72
HASIL DAN PEMBAHASAN Keterbatasan Pene litian Desain penelitian menggunakan potong lintang (cross sectional) yang mengukur seluruh variabel bebas dan terikat pada suatu waktu. Salah satu kelemahan disain ini adalah tidak dapat menemukan hubungan sebab akibat antara faktor risiko dengan terjadinya osteoporosis, dan tingginya lemak tubuh. Kemungkinan bisa terjadi bias akibat ingatan (recall bias) dalam penelitian ini dalam mengingat kembali aktivitas olahraga, kegiatan fisik rutin harian, kegiatan waktu luang, jenis dan jumlah rata-rata konsumsi makanan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral dengan frekuensinya ketika lansia berusia 25 dan 55 tahun. Namun semua itu telah diantisipasi dengan melakukan tes/uji reliabilitas kuesioner penilaian aktivitas fisik dan data konsumsi makanan menggunakan Kappa. Instrumen semi kuantitatif FFQ memiliki beberapa keunggulan dalam mengumpulkan data konsumsi makanan jangka waktu panjang yaitu dapat menetapkan jenis makanan yang biasanya dikonsumsi oleh lansia, dan tidak mempengaruhi kebiasaan makan lansia. Validitas metode FFQ cukup tinggi dibandingkan metode lainnya. Suatu studi yang dilakukan pada wanita post- menopause di Cina (Liangzhi et al. 2004) menemukan bahwa FFQ cukup valid dalam menggambarkan kebiasaan makan responden karena FFQ menguk ur volume makanan yang dikonsumsi oleh responden dan bukan berat makanan. Namun metode ini tetap memiliki kelemahan antara lain membutuhkan memori atas pola makan di masa lalu dan asupan sekarang mungkin mempengaruhi pelaporan di masa lampau, memerlukan ketelitian untuk mengestimasi frekuensi dan porsi makanan yang dimakan, serta terbatasnya kemungkinan memasukkan spesifikasi makanan dalam kuesioner terutama makanan- makanan lokal yang belum terdaftar dalam Program Nutrisoft untuk analisis kandungan gizinya. Selain itu, lama wawancara recall FFQ semi kuantitatif sekitar 30 menit untuk seorang responden menyebabkan tingkat kejenuhan yang tinggi sehingga responden asal menyebutkan jenis makanan,
73
frekuensi konsumsi, dan porsi makanan yang dikonsumsi tanpa memikirkannya lebih lama.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di 6 lokasi pada 3 propinsi yaitu: Jawa Timur (Kota Surabaya dan Kabupaten Magetan), Jawa Tengah (Kota Semarang dan Kabupaten Wonogiri), dan DI Yogyakarta (Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul).
Kota Yogyakarta Penelitian terhadap 79 lansia dilaksanakan di 3 kecamatan dan 5 kelurahan di
Kota
Yogyakarta
Pringgokusuman),
yaitu:
Kecamatan
Kecamatan Ngampilan
Gedongtengen (Kelurahan
(Kelurahan
Notoprajan
dan
Ngampilan), dan Kecamatan Gondomanan (Kelurahan Prawirodirdjan dan Ngupasan).
Kabupaten Gunung Kidul Sebanyak 131 lansia telah diukur dan diwawancarai di 3 kecamatan dan 6 desa. Tiga kecamatan itu adalah Semanu, Tepus, dan Wonosari, dan 6 desa yaitu Desa Ngeposari, Semanu, Tepus, Baleharjo, Sidoharjo, dan Wonosari.
Kota Semarang Pengukuran antropometri BB, TB, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, skor T, persen lemak tubuh, dan lemak viseral pada 158 lansia dilakukan di Kecamatan Semarang Barat, Semarang Utara, dan Candisari. Di tiap kecamatan terpilih diambil 2 kelurahan sehingga total 6 kelurahan telah dijadikan sebagai lokasi penelitian yaitu Kelurahan Panggung Lor, Bulu Lor, Gisikdrono, Kembang Arum, Jomblang, dan Tegalsari.
Kabupaten Wonogiri Penelitian pada 149 lansia dilakukan di Kecamatan Wonogiri, Jatiroto, dan Pracimantoro, serta 6 desa yakni Desa Giritirto, Giripurwo, Jatiroto, Jatirejo, Pracimantoro, dan Suci.
74
Kota Surabaya Duaratus sebelas lansia telah diukur dan diwawancarai di Kecamatan Sawahan, Bubutan, dan Simokerto. Sedangkan 6 kelurahan terpilih di Kota Surabaya yang menjadi tempat penelitian adalah: Kupangkrajan, Banyu Urip, Gundih, Tembok Dukuh, Simokerto, dan Tambakrejo.
Kabupaten Magetan Sebanyak 81 lansia telah diukur dan diwawancarai di Kecamatan Barat, Plaosan, dan Magetan. Enam desa terpilih di Kabupaten Magetan yang menjadi lokasi penelitian adalah: Desa Rejomulyo, Purwodadi, Plaosan, Pacalan, Tawang Anom, dan Kepolorejo.
I. Karakteristik Sosiodemografi Tabel 8 menggambarkan karakteristik sosio-demografi meliputi: wilayah kota dan desa, jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan akhir, dan status pekerjaan usia 25 dan 55 tahun.
a.
Wilayah Dari 812 lansia yang berhasil diukur antropometrinya dan diwawancarai,
mayoritas berasal dari Surabaya (26,8%) yang mewakili wilayah kota dan Wonogiri mewakili wilayah desa (18,5%). Menurut FAO (1994), beberapa indikator yang digunakan dalam membedakan wilayah desa dan kota adalah: rural (desa) memiliki kepadatan penduduk kurang dari 150 jiwa/km2 ; sebagian besar lingkungan geografis dikelilingi oleh hutan, sawah, pegunungan; dan mata pencaharian pokok penduduk adalah bertani (agricultural); minimnya akses sarana air bersih, pelayanan kesehatan, & kualitas infrastruktur seperti jalan raya, transportasi; dan rendahnya tingkat pendidikan akhir penduduk. Urban (kota) memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan wilayah desa. Kabupaten Wonogiri, Gunung Kidul, dan Magetan memiliki ciri-ciri khas yang mirip dengan indikator rural sehingga dianggap representatif/mewakili wilayah pedesaan.
75
Tabel 8 Variabel
Karakteristik sosio-demografi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Wilayah: Kota : Surabaya Semarang Yogyakarta Total Desa: Wonogiri Gunung Kidul Magetan Total
218 162 71 451
26,8 20,0 8,7 55,5
150 140 71 361
18,5 17,2 8,7 44,5
Jenis Kelamin: Laki-Laki Perempuan
295 517
36,3 63,7
618 194 62,4 + 5,93 55 84
76,1 23,9
Kelompok Umur: 55 - 65 tahun 66 - 85 tahun Rata-rata + SD Minimum Maximum Tingkat pendidikan akhir: Rendah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tinggi Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/D3 Tamat PT Status pekerjaan usia 25 tahun: Tidak bekerja Bekerja Pegawai Petani/nelayan Niaga Buruh Jasa Status pekerjaan usia 55 tahun: a. Tidak bekerja b. Bekerja Petani/nelayan Niaga Buruh Pegawai Jasa
481 157 143 181 331 147 147 20 17
59,2 19,3 17,6 22,3 40,8 18,1 18,1 2,5 2,1
171
21,1
199 164 136 112 30
24,5 20,1 16,7 13,8 3,7
319
39,3
176 152 46 97 22
21,7 18,7 5,7 11,9 2,7
76
Proporsi lansia di kota (55,5%) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di desa (45,5%). Hal itu berlawanan dengan proyeksi jumlah lansia di pedesaan pada Tahun 2010 lebih tinggi daripada di desa (BPS 2005). Jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di pedesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Namun jika dilihat pada Tahun 2020, ternyata jumlah lansia yang tinggal di perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan dengan pedesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51%). Kecenderungan meningkatnya jumlah lansia yang tinggal di perkotaan dalam studi ini ini bisa jadi disebabkan karena tidak banyak perbedaan antara wilayah rural dan urban. Pemusatan penduduk di suatu wilayah dapat menyebabkan dan membentuk wilayah urban. Perbedaan wilayah rural dan urban di antara Kota Semarang dan Kabupaten Wonogiri atau antara Kota Surabaya dengan Kabupaten Magetan kelihatannya semakin tidak jelas. Alasan lain mengapa pada studi ini ada kecenderungan jumlah lansia yang tinggal di perkotaan menjadi lebih banyak daripada di desa karena dulunya mereka saat remaja banyak mengarah menuju kota untuk menempuh pendidikan atau mencari pekerjaan. Mereka sudah tidak tertarik kembali ke desa lagi karena saudara, keluarga dan bahkan teman-teman tidak banyak lagi yang berada di desa. Sumber penghidupan dari pertanian sudah kurang menarik lagi bagi mereka. Hal ini juga karena pada umumnya penduduk desa yang pergi mencari penghidupan di kota, pada umumnya tidak mempunyai lahan pertanian untuk digarap sebagai sumber penghidupan keluarganya.
b.
Jenis Kelamin, Umur, dan Pendidikan Akhir Sebagian besar lansia berjenis kelamin wanita (63,7%) dan sisanya adalah
laki- laki (36,3%). Proporsi lansia laki- laki lebih rendah ditemukan dalam studi ini daripada perempuan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan tetap lebih dominan dibandingkan laki- laki. Tingginya jumlah lansia perempuan dibandingkan dengan lansia laki- laki karena usia harapan hidup (UHH) lansia perempuan lebih tinggi yaitu 70,5 tahun daripada laki- laki 66,9 tahun (UNFPA 2007). Survival rate (usia kelangsungan hidup) lansia perempuan
77
juga lebih tinggi yaitu 81,6 tahun dibandingkan 76,3 tahun pada laki- laki. Tingkat kerentanan lansia perempuan lebih rendah daripada lansia laki- laki karena indikator pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan. Laki- laki lebih banyak terpapar dengan pendidikan (menempuh pendidikan formal), pekerjaan (untuk mencari nafkah), dan cenderung menikah kembali bila pasangan hidupnya meninggal dunia dibandingkan perempuan. Berdasarkan angka proyeksi penduduk Indonesia Tahun 2008 (BPS 2005) terdapat perbedaan proporsi lansia perempuan yang sedikit lebih tinggi (11,7%) daripada lansia laki- laki (11,2%). Menurut Aris dan Evi (2005), pada Tahun 2000 terdapat 4,7 juta lansia perempuan dan 4,1 juta lansia laki- laki di Indonesia. Ratio lansia laki- laki dengan perempuan adalah 0,88 artinya dari 100 lansia perempuan terdapat 88 lansia laki- laki. Ratio lansia berdasarkan jenis kelamin di Pulau JawaBali berada di bawah 1. Umur lansia dibagi menjadi 2 kelompok yang didominasi oleh kelompok usia 55-65 tahun (76,1%), dan sisanya kelompok usia 66-85 tahun (23,9%). Ratarata usia lansia adalah 62 tahun dengan usia terendah 55 tahun dan usia tertinggi 84 tahun. Rata-rata usia lansia dalam studi ini masih sedikit di bawah UHH lansia tingkat nasional 66,2 tahun pada Tahun 2006 (http://www.menkokesra.go.id). Dari seluruh lansia yang diwawancarai, hanya setengahnya mampu menyebutkan tanggal lahirnya secara lengkap (51,6%). Selebihnya tidak tahu tanggal lahir (28,8%), tahu tahun lahir (18,7%), dan tidak ingat sama sekali tanggal, bulan, dan tahun lahir (0,9%). Identifikasi usia lansia yang lupa tanggal lahirnya diperoleh dari kader posyandu lansia, bidan puskesmas, dan Ketua RW/RT setempat. Pendidikan akhir lansia dikelompokkan menjadi 2 tingkat yaitu rendah dan tinggi. Tingkat pendidikan tinggi mulai dari tamat atau tidaknya pendidikan di SLTP, SLTA, akademi, dan universitas. Tidak sekolah, tidak lulus SD, dan lulus SD menjadi bagian dari penilaian tingkat pendidikan akhir rendah. Persentase tingkat pendidikan akhir rendah di desa dan kota sedikit lebih banyak (59,2%) daripada yang tinggi (40,2%). Mayoritas lansia yang memiliki tingkat pendidikan akhir rendah menamatkan sekolahnya hanya sampai SD (22,3%). Sementara mereka yang berhasil menamatkan pendidikan akhirnya di
78
SLTP (18,1%) dan SLTA cukup berimbang (18,1%). Namun masih ada lansia yang berhasil menyelesaikan pendidikan akhir di tingkat akademi dan universitas baik di desa maupun di kota. Persentase lansia tidak sekolah di desa hampir duakali lebih besar (65,6%) daripada di kota (34,4%). Demikianpula tingkat pendidikan tinggi yaitu SLTP dan SLTA di kota duakali lebih besar daripada di desa. Hasil studi ini konsisten dengan besarnya jumlah lansia yang tidak sekolah di tingkat kabupaten (district). Lansia di kabupaten/desa cenderung tidak terdidik (un-educated) daripada lansia di kota (Aris & Evi 2005). Hasil studi menggambarkan bahwa persentase tingkat pendidikan rendah pada lansia perempuan lebih besar daripada laki- laki. Lansia perempuan yang tidak sekolah hampir empatkali lipat (78,3%) daripada lansia laki- laki (21,7%). Demikianpula yang tidak tamat SD dan tamat SD lebih tinggi duakali lipat dibandingkan lansia laki- laki. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Aris Ananta dan Evi N. Arifin (2005) yakni bahwa ada gap/kesenjangan pencapaian tingkat pendidikan akhir pada lansia berdasarkan jenis kelamin. Lansia perempuan cenderung lebih kurang tersentuh pendidikan/sekolah daripada lansia laki- laki dengan kisaran antara 10-30%. Lansia laki- laki lebih banyak menempuh pendidikan di SLTP dan SLTA daripada lansia perempuan.
c.
Pekerjaan dan Pola Pengaturan Kehidupan Lansia Status bekerja lansia saat usia 25 dan 55 tahun dibagi menjadi bekerja dan
tidak bekerja. Jenis pekerjaan dikelompokkan menjadi pegawai (PNS, TNI/Polri, swasta, dan mandor bangunan) ; petani/nelayan; niaga (pedagang, wiraswasta, perajin, penjahit); buruh (bangunan, pabrik, mus iman, pembantu rumah tangga, tukang becak, sopir); dan jasa (satpam). Sebagian besar lansia bekerja ketika berusia 25 (78,9%) dan 55 tahun (60,7%). Jenis pekerjaan yang banyak dilakoni ketika usia muda adalah pegawai (24,5%) dan petani (20,1%). Petani dan niaga merupakan dua jenis pekerjaan yang banyak dilakukan ketika berusia 55 tahun. Hal itu disebabkan karena bertani dan berdagang tidak mengenal usia pensiun, tidak membutuhkan keterampilan, dan pendidikan yang tinggi. Persentase lansia bekerja dalam penelitian ini cukup tinggi (60,7%). Temuan ini sesuai dengan cukup besarnya persentase lansia bekerja yaitu kurang
79
dari 50% (Aris 2005). Lansia masih cukup aktif secara ekonomi dalam pasaran kerja karena kebutuhan ekonomi. Hampir seluruh lansia di desa bekerja sebagai petani baik pada saat usia muda maupun tua. Petani adalah jenis pekerjaan yang dilakukan di desa karena mata pencaharian pokok penduduk desa adalah bertani. Namun sebagian besar lansia di desa memiliki penghasilan di bawah garis kemiskinan, terpapar oleh banyaknya masalah kesehatan, dan minimnya akses ke sarana pelayanan kesehatan (Helen et al.1990). Lebih dari tiga perempat lansia perempuan ketika berusia 25 tahun (95,9%) dan 55 tahun tidak bekerja (81,5%). Hal ini menimbulkan kesenjanga n lebar antara laki- laki dan perempuan. Tapi pemahaman ini memang dianut oleh penduduk Indonesia bahwa kaum laki- laki yang harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi (Aris dan Evi N. Arifin 2005). Tabel 9 Variabel
Pola pengaturan kehidupan lansia Jumlah (orang)
Tinggal bersama: Istri/Suami 314 Keluarga (suami/isteri, anak kandung, 452 menantu, cucu, ibu kandung) Tinggal sendiri 39 Saudara (adik, kakak, keponakan) 7 Orang yang paling sering merawat dan menemani: Isteri/suami 435 Anak kandung 298 Sendiri (tidak ada) 39 Saudara kandung 15 Lain-lain (menantu, cucu, keponakan, 25 ibu kandung)
Persentase (%)
38,7 55,6 4,8 0,9 53,6 36,7 4,8 1,8 3,1
Lebih dari setengah lansia tinggal bersama keluarga (55,6%) yaitu pasangan hidupnya sendiri (suami/istri), anak kandung, menantu, cucu, dan ibu kandung, atau tinggal berdua dengan pasangan hidupnya karena anak kandung telah memisahkan diri dari rumah sejak menikah. Tetapi masih ada lansia yang tinggal sendiri (4,8%) karena masih kuat secara fisik dan mampu dari sudut ekonomi/keuangan sehingga cenderung lebih senang hidup sendiri. Bahkan saat mereka hanya memiliki penghasilan kecil, mereka tidak mau menjadi beban keluarganya dengan tinggal bersama keluarganya. Akibatnya terjadi peningkatan lansia yang hidup seorang diri khususnya lansia wanita karena berstatus janda,
80
cerai atau tidak pernah menikah. Kebanyakan lansia tinggal bersama pasangan hidupnya atau kerabatnya (menantu perempuan atau cucu perempuan) atau orang yang ditunjuk oleh pihak keluarga atau keluarga yang tinggal berdekatan yang biasanya diserahkan kepada anggota keluarga wanita. Hal sama ditemukan pada orang yang paling sering merawat dan menemani lansia di rumah. Mereka adalah pasangan hidupnya sendiri yaitu suami atau isteri (53,6%), dan diikuti oleh anak kandung (36,7%). Sekitar 4,8% lansia yang tinggal sendiri otomatis tidak ada yang menemani sehari-hari di dalam dan luar rumah (Tabel 9).
d.
Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi Usia 25 dan 55 Tahun Tabel 10 menyajikan rata-rata pengeluaran energi berdasarkan 3 item
kegiatan yang dilakukan (olahraga, waktu luang, dan fisik harian) ketika responden berusia 25 dan 55 tahun. Rata-rata energi yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan fisik saat usia 55 tahun menurun sekitar 146,6 kkal dibandingkan usia 25 tahun. Tetapi jumlah pengeluaran energi maksimum untuk melaksanakan kegia tan fisik harian adalah sama pada kedua periode usia tersebut. Jenis kegiatan harian rutin yang dilakukan oleh lansia terkait dengan jenis pekerjaan yang dilakoninya. Petani adalah jenis pekerjaan yang paling banyak ditekuni oleh lansia di desa. Mereka me lakukan kegiatan bercocok tanam padi di sawah dan ladang, mencari kayu di hutan dan di ladang, dan mencari rumput untuk makanan ternak. Sementara profesi pegawai banyak dilakoni oleh mayoritas lansia di kota baik pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta. Profesi PNS yang banyak digeluti adalah guru sekolah, pegawai TU/administrasi dengan bentuk kegiatan harian mengajar, duduk sambil mengerjakan pekerjaan adminsitrasi keuangan atau mengetik. Pengeluaran energi untuk kegiatan olahraga usia 25 tahun rata-rata sebesar 278,7 kkal dan usia 55 tahun sebesar 161,1 kkal. Terjadi penurunan jumlah kalori yang dikeluarkan melalui reduksi intensitas dan frekuensi olahraga yang dilakukan saat menginjak usia 55 tahun. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan ketika mud a adalah bersepeda, senam, bulutangkis, sepakbola, dan berjalan kaki. Sementara olahraga senam dan berjalan kaki banyak dilakukan setelah menginjak usia 55 tahun. Pada saat menjelang usia lanjut, jenis olahraga
81
yang banyak menggunakan tenaga dan otot beralih ke olahraga santai dan lambat (tidak banyak mengeluarkan keringat). Frekuensi olahraga tiap minggu sebagian besar dilakukan antara 1-2 kali pada usia 25 dan 55 tahun dengan lama/durasi antara 1-2 jam per minggu. Mayoritas lansia mengisi waktu luang saat usia muda dengan melakukan kegiatan pekerjaan rumah tangga antara lain: menyapu dan mengepel lantai, mencuci dan menyetrika pakaian, memasak, dan menghadiri pengajian di luar rumah. Menghabiskan waktu dengan mengasuh atau momong cucu dan menghadir i pengajian di luar rumah adalah dua jenis kegiatan yang paling banyak diisi oleh responden saat usia 55 tahun. Bagi petani yang sebagian besar waktunya dihabiskan di sawah mengisi waktunya dengan beristirahat duduk-duduk atau berbaring-baring di dangau. Rata-rata mereka menghabiskan waktu antara 1-2 jam setiap hari. Jika dibandingkan besarnya pengeluaran energi untuk mengisi waktu luang saat usia 25 tahun dengan usia 55 tahun, terdapat kenaikan pengeluaran energi sekitar 140,9 kkal. Hal itu disebabkan karena banyaknya waktu kosong di dalam dan luar rumah setelah menginjak pensiun atau jarang bertani di sawah karena usia mulai lanjut. Mereka mengisinya dengan aktivitas berkebun, beternak ikan lele, menanam bunga, dan menjaga warung di rumah. Tabel 10
Rata-rata pengeluaran energi harian berdasarkan kegiatan olahraga, waktu luang, kegiatan fisik harian, dan total ketiga kegiatan pada usia 25 dan 55 tahun
Jenis kegiatan Olah Raga Waktu Luang Kegiatan Fisik Total
X 278.7 594.2 1428.2 2301.2
Umur 25 Tahun (kkal) SD Min Maks 420.8 0.0 4200.0 599.5 0.0 3546.0 1261.2 0.0 8592.0 1585.7 0.0 11442.0
X 161.1 735.1 1281.6 2177.8
Umur 55 Tahun (kkal) SD Min Maks 220.3 0.0 1242.9 600.3 0.0 3882.0 1188.4 0.0 8592.0 1483.8 0.0 10536.0
Tabel 11 menjelaskan besarnya rata-rata pengeluaran energi berdasarkan karakteristik sosio-demografi pada usia 25 dan 55 tahun. Di tingkat wilayah, pengeluaran energi di kota berbeda dengan di desa yakni lebih besar di desa daripada di kota. Hal itu disebabkan oleh lebih beratnya tingkat pekerjaan petani di desa yang harus bercocok tanam sambil mencari rumput bagi pakan ternak dan kayu di hutan untuk persediaan kayu bakar di rumah. Mereka menempuh
82
perjalanan lama dari rumah menuju sawah atau ladang dengan berjalan kaki. Umumnya mereka bertani setiap hari antara 7 – 8 jam. Sedangkan pegawai yang banyak bekerja di kota melakukan kegiatan rutin harian antara lain berdiri di ruangan sambil mengajar, duduk mengerjakan pekerjaan administratif atau mengetik. Kegiatan-kegiatan terakhir ini tidak banyak menguras tenaga dan cenderung santai. Tabel 11
Rata-rata pengeluaran energi harian berdasarkan karakteristik sosiodemografi pada usia 25 dan 55 tahun
Variabel Wilayah Kota Desa Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan akhir Rendah Tinggi Pekerjaan u mur 25 tahun Tidak kerja Sektor informal Sektor formal Pekerjaan u mur 55 tahun Tidak kerja Sektor informal Sektor formal Pekerjaan Umur 25 tahun Petani/nelayan Pegawai Buruh Niaga Jasa Pekerjaan Umur 55 tahun Petani/nelayan Pegawai Buruh Niaga Jasa ** p< 0,01
n
Umur 25 Tahun (kkal) X SD
n
Umur 55 Tahun (kkal) X SD
451 361
1837.1 2881.0
±1013.3** ±1942.6
451 361
1721.5 2747.8
±931.1** ±1813.8
295 517
2400.4 2244.6
±1687.2 ±1523.5
295 517
2164.6 2185.3
±1566.5 ±1436.0
481 331
2408.9 2144.6
±1778.8* ±1239.0
481 331
2300.9 1998.8
±1651.4** ±1179.0
171 446 195
1754.1 2638.5 2009.4
±892.9** ±1825.3 ±1248.7
171 446 195
1761.4 2483.3 1844.0
±897.6** ±1720.9 ±1107.3
319 397 96
1870.2 2686.1 2141.5
±1167.6** ±1821.4 ±1343.0
319 397 96
1714.3 2599.7 1972.8
±1055.3** ±1709.7 ±1173.1
164 199 112 136 30
3502.8 1992.7 2199.4 2157.2 1929.8
±1986.5** ±1258.8 ±1594.0 ±1521.7 ±1128.9
164 199 112 136 30
3306.7 1822.1 2174.8 1977.8 1655.9
±1978.5** ±1108.9 ±1528.2 ±1242.2 ±874.8
176 152 46 97 22
3552.4 2089.0 1730.8 2129.2 1957.5
±2037.7** ±1308.6 ±853.3 ±1341.4 ±1586.1
176 152 46 97 22
3641.2 1795.6 1617.7 1962.3 1952.0
±1834.5** ±936.6 ±925.9 ±1171.6 ±1573.7
83
Berdasarkan perbedaan jenis kelamin, kaum perempuan lebih sedikit mengeluarkan energi saat muda karena kaum laki- laki yang bekerja mencari nafkah. Tetapi begitu menginjak usia tua, kaum perempuan jua yang sedikit lebih banyak menguras tenaga untuk bekerja seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh cucu, dan kadang bekerja sebagai pedagang di rumah (menjaga warung). Kaum laki- laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat sambil membaca koran atau menonton televisi. Sebagian besar kaum laki- laki tidak lagi bekerja mencari nafkah, tetapi mengandalkan uang pensiun sebagai sumber pendapatannya bagi mereka yang bekerja sebagai pega wai. Bagi yang bekerja sebagai petani tidak lagi bertani ke sawah saat berusia tua karena sudah digantikan oleh anaknya. Tabel
11
menggambarkan
perbedaan
besar
pengeluaran
energi
berdasarkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan rendah lebih banyak menghabiskan energi untuk bekerja daripada pendidikan tinggi. Kelompok pertama ini kebanyakan bekerja di sektor informal yang banyak menggunakan fisik seperti buruh musiman/bangunan, tukang batu, tukang becak, pembantu rumah tangga, atau petani. Kelompok berpendidikan tinggi biasanya bekerja sebagai pegawai (PNS, swasta) di bidang formal. Sektor/pekerjaan informal merupakan jenis pekerjaan tidak teratur; tidak dilindungi oleh pemerintah; tidak ada regulasi atau peraturan seperti perlindungan sosial, keuntungan; dan gaji rendah (Hussmanns 2003).
Tabel 12 Tingkat aktivitas fisik pada umur 25 tahun dan 55 tahun Tingkat aktivitas fisik Umur 25 tahun Rendah (<1494 kkal) Sedang (1494-2478 kkal) Tinggi (>2474 kkal) Total
n
%
272 270 270 812
33.5 33.3 33.3 100.0
Umur 55 tahun Rendah (<1398 kkal) Sedang (1398-2316 kkal) Tinggi (>2316 kkal) Total
271 271 270 812
33.4 33.4 33.3 100.0
84
Tingkat aktivitas fisik lansia saat usia 25 dan 55 tahun disajikan pada Tabel 12. Pembagian kelompok aktivitas fisik menjadi tingkat rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan quartil (Q3). Sebagian besar lansia memiliki tingkat aktivitas rendah (33,5%) saat masa mudanya. Sebaliknya mereka mempunyai aktivitas fisik tingkat rendah dan sedang begitu memasuki usia lanjut 55 tahun. e. Kebiasaan Makan Usia 25 dan 55 Tahun Tabel 13
Jenis makanan sumber protein hewani dan nabati yang paling sering dikonsumsi ketika berusia 25 dan 55 tahun
Zat gizi
Protein hewani (gr)
Protein nabati (gr)
Jenis makanan
Umur 25 tahun
Umur 55 tahun
Daging Ayam Daging Sapi Ikan Tongkol Telur Ayam / Asin / Itik Ikan Asin
X 9.7 8.3 12.1 15.5 5.2
SD 13.3 11.8 18.5 16.8 6.5
X 10.2 5.8 11.6 22.4 4.9
SD 25.2 8.4 13.2 29.8 9.0
Tahu Tempe
69.9 63.7
52.7 49.2
73.3 65.0
56.9 46.6
Jenis makanan sumber protein hewani dan nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia saat usia 25 dan 55 tahun disajikan pada Tabel 13. Ratarata tertinggi sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi oleh lansia ketika berusia 25 tahun adalah telur ayam/asin/itik dan terendah adalah ikan asin. Gambaran sama juga ditunjukkan pada usia 55 tahun, tetapi terjadi penurunan konsumsi daging sapi dan ikan asin pada saat itu dibandingkan dengan usia 25 tahun. Hal itu mungkin itu disebabkan oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki lansia bahwa daging sapi mengandung lemak dan kolesterol, serta ikan asin tinggi garam yang keduanya memicu munculnya penyakit jantung dan hipertensi. Tahu dan tempe sebagai makanan tinggi protein nabati paling banyak dikonsumsi di seluruh lokasi penelitian baik di kota dan desa. Bila dibandingkan rata-rata konsumsi usia 25 dan 55 tahun, terjadi sedikit peningkatan pada usia tua (55 tahun). Hal itu disebabkan oleh perubahan pola konsumsi protein hewani ke protein nabati pada usia lanjut karena mengandung kadar protein kurang atau hanya sedikit. Fungsi protein pada lansia tidak lagi untuk pertumbuhan, melainkan untuk pemeliharaan dan penggantian sel-sel jaringan yang rusak, serta pengaturan
85
fungsi fisiologis tubuh. Pada lansia tidak diperlukan banyak konsumsi protein karena selain akan diubah menjadi lemak, dalam jumlah yang berlebihan akan memberatkan fungsi ginjal dan hati. Proses teknologi pangan tempe dan tahu merupakan teknologi pangan tertua dalam sejarah orang Jawa pada Tahun 1875. Meningkatnya popularitas tempe di Jawa dimulai sejak awal abad 20. Makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa. khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa, mungkin dikembangkan di daerah Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16. Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi, dan kedelai sebagai sumber pangan. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air (Wikipedia 2003). Tabel 14
Jenis makanan sumber kalsium (mg) yang paling banyak dikonsumsi saat usia 25 dan 55 tahun
Jenis makanan Daun papaya Daun singkong Ikan sarden Sawi hijau Susu sapi/bubuk/kental manis Ikan asin Tahu Tempe
Umur 25 tahun X 31.2 20.3 28.9 5.8 25.4 70.7 5.2 69.9
SD 33.6 25.2 44.8 7.3 25.9 121.6 6.5 52.7
Umur 55 tahun X 20.3 27.5 4.1 23.1 67.5 4.9 73.3 65.0
SD 30.6 52.0 8.0 30.6 118.3 9.0 56.9 46.6
Tabel 14 menampilkan jenis makanan sumber kalsium yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia ketika menginjak usia 25 dan 55 tahun. Pada umumnya mereka lebih banyak mengonsumsi tahu, tempe, dan susu sebagai sumber kalsium dibandingkan dengan sayuran, ikan sarden, dan ikan teri/asin. Harga tahu dan tempe relatif lebih terjangkau oleh sebagian besar lansia yang berasal dari kalangan ekonomi rendah dibandingkan dengan susu yang harganya lebih mahal.
86
Asal responden dari Suku Jawa juga mendorong tingginya konsumsi tahu dan tempe di lokasi penelitian. Tempe dan tahu banyak diproduksi di P. Jawa khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, tempe mengandung tinggi kalsium dan tidak mengandung kolesterol. Tahu mengandung tinggi kalsium, protein dan vitamin B, juga berfungsi sebagai substitusi makanan sumber protein hewani. Protein nabati dalam tahu dipresipitasi dengan kalsium sehingga membuat tahu tinggi kandungan kalsium. Kalsium dalam tahu berkontribusi untuk mencegah osteoporosis. Selain kalsium, tahu juga mengandung isoflavon yang mengurangi risiko osteoporosis. Rata-rata konsumsi daun pepaya, ikan sarden, dan ikan asin menurun pada usia 55 tahun dibandingkan dengan usia 25 tahun. Terjadinya penurunan itu mungkin disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan dan kesadaran lansia terhadap makanan pemicu penyakit degeneratif lansia antara lain asam urat, dan hipertensi. Sebagian kecil lansia menyebutkan daun pepaya dapat menimbulkan penyakit asam urat. Ikan asin memicu peningkatan tekanan darah pada lansia yang berisiko terhadap hipertensi sehingga mereka menghindari makanan- makanan tersebut. Makanan tinggi lemak yang paling sering dikonsumsi oleh seluruh lansia digambarkan pada Tabel 15. Hampir seluruh makanan itu berkurang konsumsinya ketika lansia berusia 55 tahun dibandingkan dengan usia 25 tahun, kecuali telur ayam. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran terhadap bahaya konsumsi tinggi lemak yang berdampak pada kesehatan khususnya penyakit jantung koroner, stroke, dan hipertensi menyebabkan lansia berusaha menghindari konsumsi makanan sumber lemak. Diet lansia harus ditekankan pada makanan padat gizi, tetapi relatif rendah lemak karena berkurangnya kebutuhan energi (Robert et al. 1998).
87
Tabel 15
Jenis makanan sumber lemak (gram) yang paling banyak dikonsumsi saat usia 25 dan 55 tahun
Jenis makanan Babat Baso Daging ayam/itik/sapi Hati ayam/sapi/usus Kerupuk udang Mentega Mie kering Nasi putih Sardines Susu sapi/segar/kental manis Telur ayam/asin/itik
Umur 25 tahun X SD 11.7 24.7 18.0 30.4 8.9 12.4 5.6 10.0 24.4 38.0 2.5 3.3 22.6 34.4 432.7 189.6 5.8 7.3 70.7 15.5
121.6 16.8
Umur 55 tahun X SD 6.0 5.0 12.1 15.6 8.0 18.9 3.6 4.9 22.5 30.5 4.8 8.0 18.3 22.5 317.5 221.5 4.1 8.0 67.5 17.5
118.3 25.8
Gambaran pola makan lansia dalam penelitian sejalan dengan temuan Boedhi Darmojo tentang studi Trend Pola Makan / Diet Lansia Indonesia pada Tahun 2002. Beliau menyatakan adanya kecenderungan lansia untuk menurunkan konsumsi lemak dan protein khususnya ikan dan telur. Tetapi 80% lansia meningkatkan asupan sayuran daun hijau, tahu, dan tempe. Kecuali telur yang banyak dihindari oleh lansia pada studi Boedhi D. tersebut, maka adanya sedikit kenaikan rata-rata konsumsi telur pada penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi makan lansia sudah cukup baik. Mereka cenderung sudah mengurangi lemak dan protein hewani, meningkatkan konsumsi protein nabati khususnya tahu dan tempe. Lansia disarankan tetap mengonsumsi telur karena telur merupakan functional food yang menyehatkan tubuh selain mampu memenuhi kebutuhan dasar protein, vitamin D dan K.
II. Status Gizi Berdasarkan Indikator Indeks Massa Tubuh (IMT), Densitas Massa Tulang (DMT), Persen Lemak Tubuh (PLT), dan Lemak Viseral Tabel 16 menggambarkan data status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), densitas massa tulang (skor T), persen lemak tubuh (PLT), dan lemak viseral. Hampir seperempat lansia memiliki status gizi lebih (23,9%), dan selebihnya masuk ke dalam kelompok status gizi baik, dan kegemukan. Tetapi masih ada sekitar 10,2% lansia termasuk dalam kelompok gizi kurang.
88
Tabel 16 Status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), Skor T (densitas massa tulang), persen lemak tubuh, dan lemak viseral Indikator
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Indeks Massa Tubuh (IMT) Gizi kurang ( < 18,5 ) Gizi baik/normal (18,5 – 24,9) Gizi lebih (25,0 – 29,9) Kegemukan (>= 30,0)
83 460 194 75
10,2 56,7 23,9 9,2
Skor T (DMT): Osteoporosis (< = -2,5 SD) Osteopenia (-1 - -2,49 SD) Normal ( > -1 SD)
267 396 149
32,9 48,8 18,3
Persen Lemak Tubuh Normal Mendekati Tinggi Tinggi
157 230 425
19,3 28,3 52,3
Lemak viseral Normal Mendekati Tinggi Tinggi
491 217 104
60,5 26,7 12,8
Proporsi lansia yang menderita osteoporosis cukup besar (32,9%). Nilai ini sedikit lebih rendah dari nilai rata-rata osteoporosis hasil studi Puslitbang Gizi Bogor Tahun 2005 (35,1% pada lansia di atas usia 55 tahun). Hal sama ditemukan pada proporsi osteopenia dari studi sebesar 48,8% yaitu sedikit di atas nilai ratarata hasil studi Puslitbang Gizi Bogor Tahun 2005 sebesar 45,4%. Status lemak tubuh diukur berdasarkan indikator persen lemak tubuh (PLT) dan lemal viseral (VL). Dari 812 lansia yang diukur kadar lemak tubuhnya, setengahnya memiliki tingkat persen lemak tubuh yang tinggi (52,3%). Bahkan proporsi lansia dengan tingkat PLT mendekati tinggi lebih besar daripada yang normal. Sebaliknya ditunjukkan dari persentase lemak viseral kategori normal yang lebih banyak dimiliki oleh lansia pada studi ini daripada status mendekati tinggi dan tinggi. Tetapi persentase visceral fat kelompok mendekati tinggi masih di atas kelompok tinggi.
89
III. Karakteristik Ant ropometri Tinggi Badan, Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk Tabel 17 menggambarkan rata-rata antropometri tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk menurun dengan penambahan usia. Rata-rata tinggi badan lansia laki- laki turun dari 159,5 cm pada usia 55-59 tahun menjadi 158,4 cm pada usia di atas 69 tahun. Tinggi badan lansia perempuan turun dari 149,2 cm di usia 55-59 tahun menjadi 146,3 cm pada usia di atas 69 tahun. Selisih terbesar penurunan tinggi badan pada kedua rentang usia itu adalah pada lansia perempuan sebesar 2,9 cm. Secara umum, rata-rata tinggi badan laki- laki lebih tinggi daripada perempuan. Situasi ini serupa dengan hasil studi pada lansia Cina di Malaysia (Suriah et al. 1998). Pengukuran antropometri lansia menggambarkan bahwa lakilaki memiliki Rata-rata berat badan (55,4 kg) dan tinggi badan (146,2 cm) lebih besar daripada perempuan (49.5 kg; 146.2 cm). Penurunan tinggi badan laki- laki terlihat lebih rendah daripada perempuan. Menurut Celeste et al. (2002), tinggi badan lansia berkurang 2,7 cm dan perempuan 4,22 cm dari usia 60 tahun ke usia di atas 76 tahun. Perempuan mempunyai percepatan kehilangan tulang saat 5 tahun pertama setelah mencapai menopause. Risiko perempuan terpapar osteoporosis lebih besar daripada laki- laki. Laki- laki kehilangan tulang kortikal lebih lambat dan terjadi secara alami saat mengalami kehilangan jaringan (John et al. 2006). Kehilangan tinggi badan pada lansia berhubungan dengan perubahan postur tubuh, osteoporosis, kerusakan tulang belakang, dan kelainan kifosis, dan skoliosis (Rossman 1986). Berat badan lansia laki- laki meningkat dari 57,2 kg di usia 55-59 tahun menjadi 58,1 tahun di usia 60-64 tahun dan terus menurun menjadi 54,5 kg di usia setelah 69 tahun. Sebaliknya berat badan lansia perempuan menunjukkan penurunan dari 56,5 kg pada usia 55-59 tahun menjadi 49,4 kg setelah mencapai usia di atas 69 tahun. Perbedaan penurunan berat badan lansia tertinggi ditemukan pada lansia perempuan sebesar 6,1 kg daripada lansia laki- laki (2,7 kg). Penurunan berat badan sesuai bertambahnya usia karena menurunnya kemampuan fungsional, asupan makanan perhari hanya 50%, gangguan proses mengunyah, rendahnya selera makan, dan rendahnya saliva untuk mengunyah.
90
Hasil penelitian ini sejalan dengan studi Suriah et al. (1998) yang menyatakan penurunan berat badan lansia perempuan lebih besar daripada laki- laki pada usia 60-69 tahun ke usia 80-89 tahun (berturut-turut adalah 8,43 kg dan 5,2 kg). Studi Santos et al. (2004) terhadap lansia di Chili menunjukkan penurunan berat badan sedikit lebih besar pada lansia laki- laki usia 60-64 tahun ke usia di atas 85 tahun sebesar 4,8 kg dan perempuan 4,2 kg. Tabel 17 Rata-rata antropometri berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin 55-59 tahun
60-64 tahun
Laki-laki
Perempuan
X
SD
X
SD
Tinggi Badan (cm)
159.5
6.2
149.2
5.0
Berat Badan (kg)
57.2
10.5
56.5
Tinggi Lutut (cm)
48.8
2.7
Panjang Depa (cm)
164.3
Tinggi Duduk (cm)
83.8
Variabel
Laki-laki
Perempuan
X
SD
X
SD
0,001
158.5
6.5
148.9
5.6
0,001
11.0
0,626
58.1
11.1
53.9
10.8
0,007
45.7
2.4
0,001
49.1
3.2
45.7
2.5
0,001
8.3
153.4
6.4
0,001
163.8
7.8
153.2
7.8
0,001
5.1
78.7
3.4
0,001
84.4
5.2
78.0
3.7
0,001
Variabel
p
65 – 69 tahun Laki-laki
P
> 69 tahun
Perempuan
p
Laki-laki
Perempuan
X
SD
X
SD
P
X
SD
X
SD
Tinggi Badan (cm)
158.3
6.4
147.3
5.3
0,001
158.4
5.9
146.3
5.7
0,001
Berat Badan (kg)
55.0
9.9
51.9
11.1
0,007
54.5
8.9
49.4
9.9
0,008
Tinggi Lutut (cm)
49.1
3.4
45.1
2.4
0,001
49.0
3.7
45.4
3.4
0,001
Panjang Depa (cm)
163.4
8.6
152.3
7.3
0,001
163.0
8.9
150.7
8.2
0,001
Tinggi Duduk (cm)
82.8
4.9
77.0
3.5
0,001
82.4
5.2
76.2
3.4
0,001
Secara umum lansia laki- laki memiliki rata-rata tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk lebih tinggi daripada perempuan pada semua kelompok umur. Terdapat perbedaan signifikan rata-rata seluruh parameter itu antara lansia lakilaki dan perempuan. Temuan ini sejalan dengan studi FNRI (2002) yaitu lansia laki- laki memiliki rata-rata tinggi lutut dan panjang depa lebih tinggi daripada perempuan. Rata-rata tinggi lutut lansia laki- laki adalah 49,1 cm dan perempuan 45,7 cm. Rata-rata panjang depa laki- laki adalah 164,4 cm dan perempuan adalah 153,3 cm. Studi lansia di Cina (Xiao 2004) menunjukkan panjang depa lansia perempuan lebih rendah daripada laki- laki (berturut-turut adalah 162,1 cm, dan 177,0 cm) serta tinggi duduk laki- laki lebih tinggi (89,8 cm) daripada perempuan
91
(83,8 cm). Studi lain yang turut mendukung temuan penelitian ini adalah studi Santos et al. (2004). Tinggi lutut lansia laki- laki lebih tinggi daripada perempuan, tetapi nilainya relatif konstan pada semua kelompok umur. Rata-rata ketiga prediktor tinggi badan itu terjadi karena tinggi badan dan aktivitas fisik laki- laki lebih besar daripada perempuan. Korelasi antara panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dengan tinggi badan cukup tinggi (berturut-turut adalah 0,834; 0,766; dan 0,751). Perbedaan tinggi badan pada lansia laki- laki dengan perempuan berhubungan dengan rata-rata ketiga prediktor itu berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan rata-rata tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk lebih tinggi sedikit pada lansia di kota dibandingkan desa (Tabel 18). Tidak ada perbedaan bermakna antara tinggi badan dan tinggi duduk lansia di kota dengan di desa, kecuali berat badan, tinggi lutut, dan panjang depa. Berat badan terkait erat dengan pola makan dan aktivitas fisik. Lansia kota cenderung mengonsumsi pangan tinggi lemak dan protein he wani dibandingkan lansia desa. Aktivitas fisik lansia kota lebih rendah daripada lansia desa. Perbedaan pola pangan dan aktivitas fisik pada kedua kelompok ini menyebabkan perbedaan nilai tinggi badan. Tinggi lutut dan panjang depa merupakan dua prediktor tinggi badan yang cukup valid dalam mengukur tinggi badan lansia karena cenderung tidak banyak berubah seiring pertambahan usia. Pola pangan sumber kalsium melalui konsumsi susu di kota lebih tinggi daripada desa sehingga mempengaruhi pengembangan dan kekuatan tulang. Tinggi lutut dan panjang depa memiliki korelasi tinggi dengan tinggi badan (Lucia et al. 2002 dan Knous & Arisawa 2002). Tinggi badan lansia lebih tinggi di kota berhubungan dengan perbedaan Rata-rata tinggi lutut dan panjang depa lansia di desa dan kota. Korelasi yang tinggi antara tinggi lutut dengan tinggi badan ditunjukkan oleh studi Odilia et al. (1999). Perbedaan signifikan antara tinggi lutut dengan usia juga ditunjukkan pada studi itu. Namun hasil penelitian pada 6 wilayah di Jateng, Jatim, dan DI Yogyakarta tidak menemukan adanya hubungan signifikan antara ketiga prediktor tinggi badan dengan usia. Perbedaan hasil studi ini dengan studi Odilia terjadi karena perbedaan disain studi yaitu cross sectional dan kohort.
92
Tabel 18
Rata-rata tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk berdasarkan wilayah, tingkat pendidikan, beban kerja usia 25 dan 55 tahun
Variabel Tinggi Badan
Berat Badan Tinggi Lutut
Panjang Depa
Tinggi Duduk X + SD
X +SD
X+SD
X+SD
X + SD
152,5 + 7,4 151,7 + 7,7
57,6 + 10,6* 54,9 + 10,8
47,1 + 3,4* 46,8 + 3,3
157,6 + 8,7* 156,8 + 9,3
80,0 + 4,6 79,9 + 5,5
52,4 + 11,0* 58,4 + 9,5
46,1 + 3,2* 47,8 + 3,2
154,9 + 9,0* 159,5 + 8,9
78,8 + 4,8* 81,5 + 4,9
Beban kerja fisik usia 25 tahun: Ringan 152,1 + 7,6 56,6 + 10,5* Berat 152,3 + 7,5 52,1 + 10,8
46,6 + 2,8 46,6 + 2,9
157,0 + 8,1 157,2 + 8,4
79,6 + 4,3 79,9 + 4,4
Beban kerja usia 55 tahun: Ringan 151,8 + 7,5* Berat 153,0 + 7,7
56,6 + 10,6* 50,8 + 10,3
46,5 + 2,8* 46,8 + 3,0
156,7 + 8,0* 158,0 + 8,5
79,6 + 4,2* 80,2 + 4,6
Total
54,9 + 10,8
46,8 + 3,3
Wilayah: Kota Desa
Tingkat pendidikan Rendah 150,4 + 7,2* Tinggi 154,7 + 7,4
152,2 + 7,6
156,8 + 9,3
79,9 + 4,9
* p < 0,01 perbedaan signifikan antara responden laki-laki dan perempuan, independent sample t-test.
Variabel ekonomi diwakili oleh tingkat pendidikan akhir lansia. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan rata-rata tingig badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk pada lansia berpendidikan tinggi dibandingkan pendidikan rendah. Kelompok pertama memiliki rata-rata lebih besar daripada kelompok kedua. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tingkat pendidikan tinggi menggambarkan tingkat ekonomi orang tua lansia yang cukup baik. Jenis pekerjaan orang tua lansia juga menentukan status ekonomi karena mereka mampu menyediakan asupan makanan bergizi sehingga anak tumbuh dan berkembang dengan baik, serta memiliki tingkat intelegensia cukup tinggi. Tinggi badan anak lebih tinggi dibandingkan anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah. Pencapaian tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk merupakan hasil kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan genetik.
Peningkatan
standard
kehidupan
ekonomi
dapat
memperbaiki
pertumbuhan tinggi badan manusia melalui gizi dan penyakit. Tinggi badan yang
93
rendah atau pendek dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Tinggi badan merupakan indikator yang baik bagi kondisi kehidupan masa kanak-kanak di negara maju dan negara berkembang. Kemiskinan mempengaruhi pola asupan makanan mengandung zat gizi sehingga individu yang berasal dari keluarga kurang mampu cenderung kurang mengkonsumsi makanan bergizi antara lain Ca dan P yang penting bagi pertumbuhan tulang. Tingkat beban kerja fisik dikelompokkan menjadi ringan dan berat. Ratarata berat badan lansia saat usia 25 tahun dengan beban kerja ringan sedikit lebih besar daripada beban kerja berat. Ada perbedaan berat badan lansia pada kedua kelompok tersebut. Rata-rata tinggi badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk lansia dengan beban kerja berat juga lebih besar dibandingkan dengan beban kerja ringan, kecuali variabel berat badan. Rata-rata berat badan lansia yang memiliki tingkat beban kerja fisik ringan 5,8 kg lebih besar daripada lansia dengan beban kerja fisik berat. Terdapat perbedaan bermakna antara variabel tinggi badan, berat badan, dan panjang depa berdasarkan tingkat beban kerja fisik. Tabel 19 Koefisien korelasi berbagai jenis pengukuran fisik pada lansia laki- laki dan perempuan Pengukuran fisik
Koefisien korelasi Laki-laki p-value Perempuan p-value
Panjang depa dan tinggi badan 0,907 Tinggi lutut dan tinggi badan 0,855 Tinggi duduk dan tinggi badan 0,777 Panjang depa dan tinggi lutut 0,790 Panjang depa dan tinggi duduk 0,675 Tinggi lutut dan tinggi duduk 0,615
0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
0,888 0,796 0,774 0,761 0,637 0,527
0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
Total 0,939 0,881 0,860 0,850 0,782 0,709
p-value 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
Tabel 19 menyajikan koefisien korelasi panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dengan tinggi badan sebenarnya, serta antar prediktor itu sendiri. Panjang depa memiliki korelasi paling kuat dengan tinggi badan sebenarnya (r = 0,939) dibandingkan dengan tinggi lutut dan tinggi duduk. Temuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan pada lansia wanita India Selatan (Mohanty et al. 2001). Dia menemukan hubungan paling kuat antara panjang depa dengan tinggi badan sebenarnya (r = 0,82) dibandingkan dengan tinggi duduk dan leg length.
94
Tabel 20 Perbedaan rata-rata tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dengan faktor- faktor penentu tinggi badan pada lansia laki- laki Variabel
TB Aktual X
± SD
TB Prediksi dari PD X
± SD
TB Prediksi dari TL
TB Prediksi dari TD
X
± SD
X
± SD
Wilayah Kota
159,8
± 5,6**
159,8
± 5,3**
159,3
± 4,8
159,2
± 4,5
Desa
157.6
± 6,7
157,7
± 5,9
158,2
± 5,9
158,2
± 5,2
Rendah
157,4
± 6,5**
157,6
± 5,9**
158,1
± 5.6*
157,7
± 5,1**
Tinggi
160,0
± 5,8
159,8
± 5,3
159,3
± 5.1
159,7
± 4,5
Pendidikan
Beban Kerja Umur 25 tahun Ringan
159,8
± 6,0**
159,5
± 5.4*
159,2
± 5,2
159,3
± 4,6*
Berat
157,5
± 6,3
157.9
± 5,9
158,2
± 5,6
158,1
± 5,2
Beban Kerja Umur 55 tahun Ringan
159,7
± 6,1**
159,4
± 5,6*
159,1
± 5,2
159,2
± 4,6*
Berat
157,6
± 6,3
157,9
± 5,7
158,2
± 5,6
158,1
± 5,2
Aktifitas Fisik Usia 25 tahun Ringan
159,3
± 6,0
159,0
± 5,4
158,9
± 4,6
159,3
± 4,6*
Sedang
157,7
± 6,1
157,9
± 5,7
157,9
± 5,3
157,5
± 4,8
Berat
159,0
± 6,6
159,0
± 5,9
159,2
± 6,0
159,2
± 5,0
Aktifitas Fisik Usia 55 tahun
Total
Ringan
159,4
± 6,0
159,2
± 5,5
159,1
± 4,9
159,1
± 4,5
Sedang
158,1
± 6,6
158,5
± 5,9
158,0
± 5,4
158,3
± 5,1
Berat
158,4
± 6,3
158,3
± 5,9
158,8
± 5,9
158,5
± 5.2
158,7
± 6,3
158,7
± 6,3
158,7
± 5,4
158,7
± 4,9
** p < 0,01 perbedaan signifikan antara responden laki-laki dan perempuan, independent sample t-test. * p < 0,05 perbedaan signifikan antara responden laki-laki dan perempuan, independent sample t-test.
Analisis perbedaan rata-rata tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk pada lansia laki- laki disajikan pada Tabel 20 dan lansia perempuan pada Tabel 21. Tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi dari panjang depa lansia laki- laki berbeda antara desa dan kota, tingkat pendidikan akhir, dan beban pekerjaan fisik harian. Terdapat perbedaan bermakna antara tinggi badan prediksi dari tinggi duduk dengan tingkat pendidikan akhir, tingkat beban kerja fisik harian, dan tingkat aktivitas fisik. Sementara tinggi badan prediksi dari tinggi lutut hanya berbeda pada lansia dengan tingkat pendidikan akhir tinggi dan rendah. Pendidikan akhir berhubungan dengan pendapatan dan status gizi. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat
95
Tabel 21 Rata-rata tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dengan faktor- faktor penentu tinggi badan pada lansia perempuan Variabel
TB Aktual X
TB Prediksi PD
± SD
X
± SD
TB Prediksi TL
TB Prediksi TD
X
± SD
X
± SD
Wilayah Kota
148,9
± 5,3
149,1
± 4.6**
148,8
± 4.3*
148,9
± 4,1**
Desa
147,7
± 5,4
147,5
± 4,9
147,9
± 4.1
147,8
± 4,1
Rendah
147,4
± 5,2**
147,5
± 4,6**
147,5
± 4,1**
147,6
± 3,9**
Tinggi
150,2
± 5,2
150,0
± 4,6
149,9
± 4,2
149,9
± 4,1
Pendidikan
Beban kerja u mur 25 tahun Ringan
148,6
± 5,3
148,7
± 4,7
148,7
± 4.1
148,4
± 4,2
Berat
148,1
± 5,4
147,9
± 4,8
147,9
± 4.5
148,4
± 3,9
Beban kerja u mur 55 tahun Ringan
148,7
± 5.4*
148,7
± 4,7*
148,7
± 4,3*
148,6
± 4,2*
Berat
147,5
± 5,2
147,5
± 4,8
147,5
± 4,2
147,6
± 3,9
Aktifitas fisik usia 25 tahun Ringan
147,9
± 5,6
148,0
± 4.9
148,3
± 4,5
147,8
± 4,2
Sedang
148,6
± 5,1
148,4
± 4,6
148,3
± 4,3
148,8
± 4,1
Berat
148.8
± 5,4
148,8
± 4,7
148,6
± 3,9
148,6
± 4,2
Aktifitas fisik usia 55 tahun
Total
Ringan
147,8
± 5,9
147,8
± 5,2
148,1
± 4,6
147,9
± 4,3
Sedang
148,7
± 5,0
148,7
± 4,5
148,6
± 4,0
148,7
± 3,9
Berat
148,6
± 5,2
148,6
± 4,6
148,5
± 4,2
148,5
± 4,2
148,4
± 5,4
148,4
± 4,8
148,4
± 4,3
148.4
± 4,2
** p < 0,01 perbedaan signifikan antara responden laki-laki dan perempuan, independent sample t-test. * p < 0,05 perbedaan signifikan antara responden laki-laki dan perempuan, independent sample t-test.
atau lama pendidikan dikaitkan dengan diet asupan beberapa nutrien penting seperti protein, Fe, kalsium, dan vitamin B (Ronnie 2006). Olivier (1980) menyatakan adanya korelasi yang kuat antara jenis pekerjaan orang tua dengan tinggi badan dan kemampuan intelegensia (IQ) anak. Orang tua berprofesi sebagai pegawai, karyawan industri memiliki anak dengan tinggi badan dan IQ lebih tinggi daripada petani atau buruh. Tabel 24 menggambarkan tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk berbeda pada lansia perempuan desa dan kota, lansia dengan pendidikan tinggi dan rendah, serta lansia yang memiliki tingkat beban pekerjaan fisik harian ringan
96
dan berat. Lansia desa dan kota memiliki perbedaan pola aktivitas fisik dan konsumsi makanan sumber kalsium. Sebagian besar lansia di desa bekerja sebagai petani yang memiliki tingkat beban kerja lebih tinggi daripada lansia kota yang mayoritas berkerja sebagai pegawai (PNS, TNI, swasta). Rata-rata lansia di desa ketika berusia 25 tahun mengeluarkan energi harian lebih besar (2881 kkal) dibandingkan kota (1837,1 kkal). Demikian pula rata-rata pengeluaran energi lansia saat usia 55 tahun di kota lebih rendah (1721,5 kkal) daripada di desa (2747,8 kkal). Tabel 22 Rata-rata perbedaan tinggi badan aktual dan prediksi dari panjang depa (PD), tinggi lutut (TL), dan tinggi duduk (TD) dengan persamaan Chumlea dan Eleanor S. pada lansia laki- laki dan perempuan (cm) Jenis Kelamin Laki-laki Rata-rata Minimum Maksimum SD N Perempuan Rata-rata Minimum Maksimum SD N Total Rata-rata Minimum Maksimum SD N
Eleanor S. 2,87 0,01 11,86 2,20 295
Chumlea 2,78 0,01 11,06 2,12 295
PD
TL
TD
2,19 0,00 6,82 1,49 295
2,61 0,03 10,19 1,94 295
3,15 0,03 12,40 2,38 295
13,26 5,02 22,19 3,25 517
4,90 0,01 14,61 3,00 517
1,99 0,00 7,21 1,46 517
2,56 0,00 9,01 1,99 517
2,74 0,01 11,33 2,01 517
9,48 0,01 22,19 5,79 812
4,13 0,01 14,61 2,90 812
2,06 0,00 7,21 1,48 812
2,58 0,00 10,19 1,97 812
2,89 0,01 12,40 2,16 812
Rata-rata perbedaan tinggi badan sebenarnya dalam satuan cm dengan tinggi badan prediksi dari ketiga prediktor dengan persamaan Chumlea dan Eleanor S. disajikan dalam Tabel 22. Selisih paling rendah ditemukan pada tinggi badan prediksi dari panjang depa terhadap tinggi badan aktual dibandingkan tinggi lutut, tinggi duduk, persamaan Chumlea dan Eleanor S. Bahkan rata-rata selisih tinggi badan prediksi dari persamaan Eleanor S. Chumlea terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia perempuan adalah paling tinggi (13,26 cm) dan
97
pada lansia laki- laki (2,87 cm) daripada persamaan Chumlea, serta tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dalam penelitian ini. Tabel 23 Rata-rata persentase perbedaan tinggi badan aktual dan prediksi dari panjang depa (PD), tinggi lutut (TL), dan tinggi duduk (TD) dengan persamaan Chumlea dan Eleanor S. berdasarkan jenis kelamin (%) Jenis Kelamin Laki-laki Rata-rata Minimum Maksimum SD N Perempuan Rata-rata Minimum Maksimum SD N Total Rata-rata Minimum Maksimum SD N
Eleanor S.
Chumlea
PD
TL
TD
1,83 0,01 8,35 1,45 295
1,77 0,00 7,79 1,40 295
1,38 0,00 4,32 0,94 295
1,65 0,02 7,18 1,25 295
1,99 0,02 9,05 1,56 295
8,99 3,21 16,88 2,42 517
3,35 0,00 10,93 2,12 517
1,34 0,00 5,38 0,99 517
1,73 0,00 6,85 1,36 517
1,85 0,01 7,57 1,36 517
6,39 0,01 16,88 4,05 812
2,77 0,00 10,93 2,04 812
1,35 0,00 5,38 0,97 812
1,70 0,00 7,18 1,32 812
1,90 0,01 9,05 1,44 812
Gambaran yang sama ditunjukkan oleh persentase rata-rata perbedaan tinggi badan prediksi dari ketiga prediktor, dengan persamaan Chumlea dan Eleanor S. terhadap tinggi badan sebenarnya (Tabel 23). Persentase paling rendah ditemukan pada tinggi badan prediksi dari panjang depa dibandingkan dengan tinggi badan prediksi dari tinggi lutut, tinggi duduk; serta persamaan Eleanor S. dan Chumlea baik pada lansia laki- laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa panjang depa adalah prediktor paling akurat dalam menentukan tinggi badan prediksi lansia. Selanjutnya diikuti oleh prediktor tinggi lutut, dan terakhir adalah tinggi duduk. Prediktor tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk memiliki hubungan signifikan dengan tinggi badan sebenarnya berdasarkan jenis kelamin (Tabel 24). Koefisien korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan sebenarnya adalah tertinggi pada lansia laki- laki (r = 0,815), dan perempuan (r = 0,754) usia 55 – 65 tahun. Hasil studi sejalan dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Myers
98
dan Takiguchi (1994), tetapi berlawanan dengan studi Fatmah (2005). Studi pertama melaporkan lebih tingginya korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan daripada tinggi lutut pada lansia pria dan wanita Bangsa Amerika Jepang. Sementara studi kedua menemukan bahwa koefisien korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan adalah tertinggi pada kelompok pria (r = 0,765), dan tinggi lutut pada subyek wanita (r = 0,761). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kecenderungan penurunan kecepatan panjang depa yang lebih cepat daripada tinggi lutut seiring peningkatan usia. Tabel 24 Koefisien korelasi (r) antara tinggi badan sebenarnya dengan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia Parameter
Tinggi lutut Panjang depa Tinggi duduk
Kelompok Umur Laki-laki (Tahun) 55-65 66-85 Total (n = 203 ) (n = 92) (n=295) 0,698* 0,815* 0,643*
0,600* 0,673* 0,564*
0,665* 0,765* 0,618*
Kelompok Umur Perempuan (Tahun) 55-65 66-85 Total (n = 415) (n = 102) ( n=517) 0,679* 0,754* 0,630*
0,640* 0,644* 0,654*
0,666* 0,729* 0,642*
*p < 0,01
Tabel 25
menyajikan persamaan regressi linier sederhana untuk
memprediksi tinggi badan lansia dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dalam penelitian ini. Panjang depa menunjukkan nilai korelasi tertinggi pada lansia laki- laki usia 55-65 tahun. Sebenarnya korelasi tertinggi pada lansia perempuan terdapat pada kelompok usia 66-85 tahun. Tetapi karena salah satu kriteria inklusi penelitian ini adalah responden berusia 55-65 tahun, maka korelasi yang diambil adalah kelompok usia 55-65 tahun (r = 0,785). Panjang depa merupakan prediktor paling akurat dalam menghitung tinggi badan prediksi lansia laki- laki maupun perempuan karena nilai panjang depa cenderung sedikit menurun seiring peningkatan usia. Hubungan antara ketiga prediktor dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia lansia laki- laki dan perempuan disajikan dalam Gambar 5, 6, 7, 8, 9, dan 10.
99
Tabel 25
Kelompok
Model regresi linier sederhana tinggi badan sebenarnya dengan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk Tinggi lutut Persamaan
Laki-laki usia (tahun) 55 – 85 55 – 65
R2
Panjang depa Persamaan
R2
Tinggi duduk Persamaan
R2
:
56,343 + 2,102 TL 0,732* 23,247 + 0,826 PD 0,822* 58,047 + 1,210 TD 0,604* 52,853 + 2,175 TL 0,756* 22,575 + 0,830 PD 0,842* 61,245 + 1,172 TD 0,602*
Perempuan usia (tahun) : 55 – 85 55 – 65
62,682 + 1,889 TL 64,938 + 1,845 TL
0,634* 28,312 + 0,784 PD 0,789* 46,551 + 1,309 TD 0,599* 0,634* 29,761 + 0,776 PD 0,785* 49,193 + 1,275 TD 0,582*
* p < 0,05
Temuan ini sejalan dengan penelitian Tayie et al. (2003) yang menyatakan adanya hubungan signifikan antara panjang depa dan tinggi badan sebenarnya ( r = 0,85 pada laki- laki dan r = 0,86 pada perempuan). Studi yang dilakukan oleh Rabe et al. (1996) menunjukkan korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia Indonesia sebesar 0.83 pada perempuan dan 0.81 pada laki- laki. Sebenarnya nilai koefisien determinasi (R2 ) tertinggi dari model regressi linier sederhana panjang depa terhadap tinggi badan aktual berada pada lansia kelompok usia 55-65 tahun (Tabel 25). Namun setelah persamaan itu diaplikasikan dan dibandingkan dengan tinggi badan prediksi dari persamaan Chumlea, dan persamaan regressi lansia kelompok usia 55-85 tahun (Tabel 25), ternyata rata-rata selisih tiga model regressi linier sederhana kelompok usia 55-85 tahun terhadap tinggi badan aktual adalah paling rendah sehingga diputuskan untuk memilih tiga model prediksi tinggi badan lansia dalam penelitian ini yaitu:
Laki-laki Prediksi tinggi badan = 56,343 + 2,102 tinggi lutut Prediksi tinggi badan = 23,247 + 0,826 panjang depa Prediksi tinggi badan = 58,047 + 1,210 tinggi duduk Perempuan Prediksi tinggi badan = 62,682 + 1,889 tinggi lutut Prediksi tinggi badan = 28,312 + 0,784 panjang depa Prediksi tinggi badan = 46,551 + 1,309 tinggi duduk
100
Keakuratan dari sebuah persamaan regresi dalam menentukan tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh pola dan hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan konsep allometri. Model allometri memberikan prediksi fungsi fisio logi tubuh manusia yang lebih akurat karena memanfaatkan hubungan antara struktur tubuh yang homolog pada bagian kiri dan kanan tubuh, dan menghilangkan variabel-variabel perancu (Sorg 2005). WHO (1999) merekomendasikan tinggi lutut dan panjang depa sebagai alternatif pengganti untuk mengukur tinggi badan lansia dan atau individu cacat yang harus menggunakan kursi roda atau berbaring karena tidak dapat berjalan. Panjang depa dapat digunakan sebagai pengganti tinggi badan pada lansia, namun hasilnya kurang memuaskan dibandingkan tinggi lutut karena umumnya lansia mengalami kekakuan pada sendi-sendi pergelangan tangan (joint stiffness) yang dapat mengurangi keakuratan hasil pengukuran. Namun demikian WHO (1999) merekomendasikan suatu penelitian ke depan untuk menentukan jikalau panjang depa merupakan suatu pengukuran yang sama validnya dengan tinggi lutut sebagai pengganti tinggi badan. Rekomendasi ini terjawab melalui penelitian pengembangan model prediksi tinggi badan lansia Etnis Jawa. Studi ini berhasil membuktikan bahwa panjang depa memiliki tingkat validitas lebih tinggi daripada tinggi lutut karena memberikan nilai tinggi badan prediksi yang lebih mendekati tinggi badan sebenarnya daripada tinggi lutut dan tinggi duduk.
Tinggi Badan
170.00
160.00
150.00
140.00
R Sq Linear = 0.822
140.00
150.00
160.00
170.00
180.00
Panjang Depa
Gambar 5
Hubungan antara panjang depa dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia laki- laki.
101
Tinggi Badan
170.00
160.00
150.00
140.00
R Sq Linear = 0.732
40.00
45.00
50.00
55.00
Tinggi Lutut
Gambar 6
Hubungan antara tinggi lutut dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia laki- laki.
Tinggi Badan
170.00
160.00
150.00
140.00
R Sq Linear = 0.604
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
95.00
100.00
Tinggi Duduk
Gambar 7
Hubungan antara tinggi duduk dengan tinggi badan sebenarnya pada lans ia laki- laki.
170.00
Tinggi Badan
160.00
150.00
140.00
R Sq Linear = 0.789
130.00
130.00
140.00
150.00
160.00
170.00
180.00
Panjang Depa
Gambar 8
Hubungan antara panjang depa dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia perempuan.
102
170.00
Tinggi Badan
160.00
150.00
140.00
R Sq Linear = 0.634
130.00
38.00
40.00
42.00
44.00
46.00
48.00
50.00
52.00
54.00
56.00
Tinggi Lutut
Gambar 9
Hubungan antara tinggi lutut dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia perempuan.
170.00
Tinggi Badan
160.00
150.00
140.00
R Sq Linear = 0.599
130.00
69.00
72.00
75.00
78.00
81.00
84.00
87.00
Tinggi Duduk
Gambar 10 Hubungan antara tinggi duduk dengan tinggi badan sebenarnya pada lansia perempuan. Sensitivitas tinggi badan prediksi dari panjang depa untuk menilai status gizi kurang dibandingkan dengan gizi normal lansia laki- laki dan perempuan paling tinggi dibandingkan tinggi lutut dan tinggi duduk (Tabel 26). Demikian pula penilaian status gizi lebih dibandingkan dengan normal pada lansia perempuan juga memiliki tingkat sensitivitas paling tinggi pada tinggi badan prediksi dari panjang depa. Namun tidak demikian halnya dalam penilaian status gizi lebih dan normal pada lansia laki- laki karena tinggi badan prediksi dari tinggi lutut adalah paling sensitif daripada panjang depa dan tinggi duduk. Panjang depa dapat menangkap kasus gizi kurang lansia laki- laki dan perempuan di antara lansia normal lebih baik dibandingkan tinggi lutut dan tinggi duduk karena nilai sensitivitasnya paling tinggi. Bahkan tingkat sensitifnya pada lansia perempuan
103
sedikit lebih tinggi daripada lansia laki- laki. Sementara tinggi lutut lebih sensitif menangkap kasus gizi lebih pada lansia perempuan di antara lansia normal daripada panjang depa dan tinggi duduk. Tingkat spesifisitas panjang depa untuk mengenali kelompok gizi normal di antara kasus gizi kurang pada lansia laki- laki dan perempuan paling tinggi dibandingkan tinggi lutut dan tinggi duduk. Tinggi lutut paling tinggi tingkat spesifisitasnya daripada panjang depa dan tinggi duduk dalam mengenali lansia perempuan yang berstatus normal di antara lansia dengan gizi lebih (Tabel 26). Tabel 26 Sensitivitas dan spesifisitas prediksi tinggi badan dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk terhadap status gizi kurang dan gizi lebih lansia laki- laki dan perempuan Prediksi Tinggi Badan
Gizi Kurang
Gizi Lebih
Sensitifitas Spesifisitas Sensitifitas Spesifisitas
Laki- laki Panjang Depa
89.5
95.8
83.9
94.3
Tinggi Lutut
76.3
94.7
91.1
94.2
Tinggi Duduk
78.9
91.4
85.7
91.9
Panjang Depa
95.6
97.6
93.4
93.7
Tinggi Lutut
86.7
97.0
91.0
90.6
Tinggi Duduk
71.1
97.0
90.5
88.6
Perempuan
Tabel 27 menyajikan korelasi tinggi badan aktual dan prediksi terhadap densitas mineral tulang, persen lemak tubuh, dan lemak viseral pada lansia lakilaki dan perempuan. Tinggi badan sebenarnya pada lansia laki- laki berhubungan dengan lemak viseral. Terdapat hubungan antara tinggi badan prediksi dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dengan lemak viseral. Indeks Massa Tubuh (IMT) yang diekspressikan dari tinggi dan berat badan merupakan salah satu indikator obesitas abdominal (lemak viseral) sehingga ada hubunga n antara tinggi badan dan lemak viseral (Debora & Rosely 2005). Tinggi badan aktual dan prediksi dari tinggi duduk lansia perempuan berkorelasi dengan densitas mineral tulang (skor- T). Ketiga prediksi tinggi badan
104
dari prediktor tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk juga berhubungan dengan lemak viseral. Hubungan antara tinggi badan lansia perempuan dan skor-T karena penurunan tinggi badan dapat mempengaruhi massa tulang. Perempuan memiliki risiko lebih besar terpapar osteoporosis daripada laki- laki. Hal itu disebabkan oleh rendahnya massa otot dan faktor menopause. (Kirchengast et al. 2001). Tabel 27 Korelasi tinggi badan aktual dan prediksi terhadap densitas mineral tulang (DMT), persen lemak tubuh (PLT), dan lemak viseral (VF) berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
DMT (Skor-T)
Laki- laki Tinggi badan aktual 0,004 Tinggi badan prediksi: Tinggi lutut -0,030 Panjang depa -0,002 Tinggi duduk -0,013 Perempuan Tinggi badan aktual 0,106* Tinggi badan prediksi: Tinggi lutut 0,020 Panjang depa 0,065 Tinggi duduk 0,171**
PLT
VF
- 0,063
0,156**
- 0,056 - 0,076 - 0,067
0,160** 0,151** 0,139*
- 0,020
0,080
0,020 0,035 0,080
0,109* 0,110* 0,200**
* p < 0,05 ** p < 0,01
Gambar 11 menampilkan perbandingan status gizi lansia laki- laki dan perempuan berdasarkan perhitungan IMT dari tinggi badan aktual dan prediksi dari ketiga prediktor. Mayoritas lansia memiliki status gizi normal baik dengan tinggi badan sebenarnya (56,8%) dan prediksi dari panjang depa (55,3%), tinggi lutut (54,8%), dan tinggi duduk (55%). Selebihnya adalah gizi lebih dari IMT dari tinggi badan aktual (23,9%), dan IMT dari tinggi badan prediksi panjang depa (24,4%), tinggi lutut (26%), dan tinggi duduk (25%). Selisih persentase gizi kurang antara IMT dari tinggi badan sesungguhnya (10,2%) dengan tinggi badan prediksi dari panjang depa (11,1%), tinggi lutut (10,1%), dan tinggi duduk (10,5%) tidak besar karena berkisar antara 0,1-0,9%. Demikianpula selisih antara proporsi gizi normal, gizi lebih, dan gemuk dari IMT tinggi badan aktual dengan
105
tinggi badan prediksi ketiga prediktor relatif kecil yaitu antara 1,6-2%; 0,5-1,9%; dan 0-0,4%.
60.0
56.8 55.3
54.8 55.0
50.0 40.0 30.0
23.9 24.4
26.0 25.0
20.0 10.0
10.2 11.1 10.1 10.5
9.1 9.2 9.1 9.5
0.0 Gizi Kurang TB aktual
Normal TB prediksi dari PD
Gizi Lebih TB prediksi dari TL
Gemuk TB prediksi dari TD
Gambar 11 Status gizi lansia laki- laki dan perempuan berdasarkan IMT dari tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi berdasarkan panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk. Perbandingan antara status gizi lansia laki- laki dari tinggi badan sebenarnya dengan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk pada lansia laki- laki tidak jauh berbeda (Gambar 12). Perbedaan persentase gizi kurang berkisar antara 0,1-0,9%, normal 2-5%, gizi lebih 0,7-2%, dan gemuk 0-1,3%.
68.1 66.1
70.0
65.1
63.1
60.0 50.0 40.0 30.0 20.0
12.9 14.2 13.2
15.9 16.6
15.6
18.3 16.9
10.0
3.1 3.1 3.4 4.4
0.0 Gizi Kurang TB aktual
Normal TB prediksi dari PD
Gizi Lebih TB prediksi dari TL
Gemuk TB prediksi dari TD
Gambar 12 Status gizi lansia laki- laki berdasarkan IMT dari tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi berdasarkan panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk.
106
60.0 50.3 49.1 48.9 50.5
50.0 40.0
28.4 28.2
30.0
30.4 29.6
20.0 10.0
12.6 12.8 12.4 12.4
8.7 9.3 8.3 7.5
0.0 Gizi Kurang TB aktual
Gambar 13
Normal TB prediksi dari PD
Gizi Lebih TB prediksi dari TL
Gemuk TB prediksi dari TD
Status gizi lansia perempuan berdasarkan IMT dari tinggi badan aktual dan tinggi badan prediksi berdasarkan panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk.
Pola yang sama juga ditunjukkan dari perbandingan persentase empat status gizi lansia perempuan yang diperoleh dari IMT tinggi badan aktual dengan IMT dari tinggi badan prediksi panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk (Gambar 13). Status gizi kurang memiliki selisih antara 0,4-1,2%; normal 0,21,2%; gizi lebih 0,2-2%; dan gemuk 2%. Disimpulkan bahwa perbedaan proporsi status gizi lansia dari IMT tinggi badan aktual relatif kecil dibandingkan dengan IMT tinggi badan prediksi ketiga prediktor.
Tabel 28 Koefisien korelasi IMT tinggi badan sebenarnya dengan IMT tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk IMT Tinggi Badan Prediksi
Jenis Kelamin Laki- laki (n=295)
Perempuan (n=517)
Panjang Depa
0.977**
0.983**
Tinggi Lutut
0.965**
0.972**
Tinggi Duduk
0.954**
0.968**
** p<0.01
Tabel 28 menggambarkan koefisien korelasi antara IMT tinggi badan sebenarnya dengan IMT tinggi badan prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk. Nilai IMT tinggi badan prediksi diperoleh dari aplikasi model/persamaan kelompok usia 55-85 tahun hasil penelitian ini. Koefisien
107
korelasi terbesar ditemukan pada IMT tinggi badan prediksi dari panjang depa pada kedua kelompok usia baik laki- laki maupun perempuan. Hal ini mendukung analisis regressi linier sebelumnya yaitu panjang depa merupakan prediktor paling tepat dibandingkan dengan tinggi lutut dan tinggi duduk dalam menentukan tinggi badan prediksi lansia laki- laki dan perempuan. Namun bila pengukuran panjang depa tidak dapat diterapkan pada lansia karena kondisi atau alasan tertentu, maka dapat digunakan alternatif lain dari tinggi lutut dan tinggi duduk dengan memakai model persamaan tinggi badan prediksi kedua prediktor itu untuk kelompok usia 55-85 tahun (Tabel 25). Demikianpula lansia yang tidak dapat diukur tinggi lututnya, maka diukur panjang depa sebagai alternatif pertama dan tinggi duduk sebagai alternatif terakhir untuk memperoleh tinggi badan prediksi. Bagi lansia yang hanya bisa diukur tinggi duduknya, dapat diukur panjang depa sebagai alternatif terbaik atau tinggi lutut sebaga i pilihan kedua. Bagi lansia bertubuh bungkuk akibat kelainan deformities skoliosis atau kifosis, maka harus didentifikasi availabilitas panjang depa, tinggi duduk, dan tinggi lutut untuk diukur.
IV.
Osteoporosis dan Faktor-Faktor Risikonya
Tabel 29 menampilkan rata-rata DMT (densitas massa tulang) dan Tabel 30 menampilkan distribusi frekuensi (persentase) status DMT. Kedua tabel masing- masing menyajikan faktor-faktor risiko osteoporosis yaitu wilayah; jenis kelamin; usia; pendidikan; status bekerja usia 25 dan 55 tahun; dan tingkat aktivitas saat usia 25 dan 55 tahun. Status DMT dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: osteoporosis (skor DMT < = - 2,5 SD), osteopenia (skor T antara -1 sampai dengan – 2,5 SD), dan normal (skor T > = -1 SD). Secara umum rata-rata DMT responden yang menetap di desa sedikit lebih lebih rendah daripada di kota. Terdapat perbedaan skor T atau DMT berdasarkan wilayah di desa dan kota (Tabel 29). Persentase responden osteoporosis di kota sedikit lebih tinggi daripada di desa (Tabel 30). Hasil penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh The Geelong Osteoporosis Study (Sanders et al. 2002)
108
terhadap lansia di Australia. Studi kedua menyatakan bahwa osteoporosis pada lansia desa memiliki persentase 15% lebih rendah daripada lansia kota. Di Asia, peningkatan insidens patah tulang terutama terjadi di wilayah urban (Takao 2001). Tabel 29 Rata-rata DMT (densitas massa tulang) berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, beban pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun Variabel Wilayah Kota Desa Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Umur 55-65 tahun 65-85 tahun Tingkat pendidikan Rendah Tinggi Beban kerja usia 25 tahun Ringan Berat Beban kerja usia 55 tahun Ringan Berat Tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun Rendah Sedang Tinggi Tingkat aktivitas fisik usia 55 tahun Rendah Sedang Tinggi Total
X
SD
-1.76 -1.95
1.20 0.99
-1.55 -2.00
1.14** 1.02
-1.77 -2.17
1.06** 1.14
-1.96 -1.73
1.15** 0.99
-1.97 -1.71
1.03** 1.17
-1.94 -1.70
1.07** 1.13
-1.99 -1.86 -1.75
1.05* 1.04 1.16
-2.04 -1.84 -1.73 - 1,87
1.01** 1.06 1.17 1,09
** p < 0,01
Studi terhadap lansia wanita Vietnam (Vu et al. 2005) menemukan prevalensi osteoporosis wanita pre- menopause di desa lebih rendah daripada kota. Tetapi prevalensi osteoporosis lansia wanita post- menopause di desa lebih tinggi daripada desa karena jumlah anak yang dimiliki lebih banyak, tinggi badan lebih
109
rendah, rendahnya tingkat pendidikan, dan minimnya konsumsi produk-produk susu dan telur/susu. Tabel 30
Distribusi frekuensi status DMT berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun Status DMT
Variabel
Osteoporosis n %
Wilayah Kota 157 34.8 Desa 110 30.5 Total 267 32.9 Jenis Kelamin Laki-laki 60 20.3 Perempuan 207 40.0 Total 267 32.9 Kelompok Umur 55-65 tahun 179 29.0 65-85 tahun 88 45.4 Total 267 32.9 Tingkat pendidikan Rendah 189 39.3 Tinggi 78 23.6 Total 267 32.9 Beban kerja usia 25 thn Ringan 180 35.9 Berat 87 28.1 Total 267 32.9 Beban kerja usia 55 thn Ringan 200 35.3 Berat 67 27.3 Total 267 32.9 Tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun Rendah 105 38.6 Sedang 84 31.1 Tinggi 78 28.9 Total 267 32.9 Tingkat aktivitas fisik usia 55 tahun Rendah 101 37.3 Sedang 90 33.2 Tinggi 76 28.1 Total 267 32.9
Osteopenia N %
Normal N %
Total n
%
228 168 396
50.6 46.5 48.8
66 83 149
14.6 23.0 18.3
451 361 812
100 100 100.0
χ2 =9,45 p=0,009 rs =0,086
151 245 396
51.2 47.4 48.8
84 65 149
28.5 12.6 18.3
295 517 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =48,07 p=0,001 rs =0,243
318 78 396
51.5 40.2 48.8
121 28 149
19.6 14.4 18.3
618 194 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =18,03 p=0,001 rs =0,136
205 191 396
42.6 57.7 48.8
87 62 149
18.1 18.7 18.3
481 331 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =23,94 p=0,001 rs =0,123
248 148 396
49.4 47.7 48.8
74 75 149
14.7 24.2 18.3
502 310 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =12,98 p= 0,002 rs =0,120
278 118 396
49.0 48.2 48.8
89 60 149
15.7 24.5 18.3
567 245 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =10,50 p=0,005 rs =0,110
127 139 130
46.7 51.5 48.1
40 47 62
14.7 17.4 23.0
272 270 270
100.0 100.0 100.0
χ2 =10,17 p=0,038 rs =0,104
396
48.8
149
18.3
812
100.0
137 129 130 396
50.6 47.6 48.1 48.8
33 52 64 149
12.2 19.2 23.7 18.3
271 271 270 812
100.0 100.0 100.0 100.0
χ2 =13,66 p=0,008 rs =0,117
110
Tingginya kasus osteoporosis di kota dibandingkan desa karena tingkat aktivitas fisik sebagian besar penduduk desa adalah bertani dan kegiatan fisik berat lainnya antara lain mencari kayu bakar di hutan / ladang, dan mencari pakan ternak. Bertani merupakan bentuk kegiatan fisik yang banyak menggunakan tenaga dan otot sehingga berperan pada pembentukan dan pemeliharaan tulang yang sehat, memperbaiki kekuatan otot, dan mengurangi risiko jatuh dan patah tulang. Sebagian besar responden petani pada penelitian ini melakukan pekerjaan tambahan selain bertani yaitu mencari kayu bakar untuk kebutuhan sendiri dan mencari rumput untuk hewan ternak mereka. Menurut R. Passmore dan JVGA Durnin (1955), beban kerja menanam padi memiliki skor sebesar 5,0; memacul/mencangkul 5,8, mencari kayu bakar sambil berjalan sebesar 1,5; dan mencari rumput sebesar 4,3. Total skor yang dibutuhkan untuk pekerjaan bertani sebesar 16,6. Dengan beban kerja seperti ini terlihat bahwa bertani meningkatkan kekuatan tulang melalui pembentukan tulang baru dan remodelling tulang agar lebih kuat terutama di bagian kaki, tulang belakang, dan panggul. Akibatnya densitas tulang makin padat dan terhindar dari risiko jatuh yang mengarah pada osteoporosis. Hal yang sama dit unjukkan pada pengelompokan rata-rata DMT berdasarkan jenis kelamin. Perempuan memiliki rata-rata DMT lebih rendah daripada laki- laki (Tabel 29). Bahkan persentase perempuan osteoporosis duakali lebih banyak dibandingkan dengan laki- laki (Tabel 30). Perbedaan nyata ditemukan pada penderita osteoporosis berdasarkan jenis kelamin. Wanita berisiko 4 kali lebih besar daripada pria untuk terkena osteoporosis (Miller et al. 2000). Temuan studi ini sejalan dengan hasil analisis data Densitas Massa Tulang (DMT) oleh Puslitbang Gizi dan PT. Fonterra Brands Indonesia Tahun 2005. Prevalensi osteoporosis lansia perempuan 55-59 tahun sedikit lebih besar (22,2%) daripada laki- laki (21%), dan usia di atas 70 tahun sebesar 43,6% pada lansia lakilaki dan 58,9% pada lansia perempuan. Studi Framingham Osteoporosis (Katherine et al. 2002) menunjukkan bahwa rata-rata densitas mineral tulang proksimal paha kanan lansia laki- laki lebih tinggi dibandingkan lansia perempuan (0,878 dan 0,720). Studi Yi-Hsiang Hsu et al. (2006) tentang hubungan antara komposisi tubuh terhadap DMT lansia Cina pria dan wanita menemukan rata-rata
111
DMT seluruh tubuh (1,13) dan panggul lansia pria (0,98) sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita (1,11 dan 0,97). Duapuluh lima persen lansia wanita dan 11% pria mengalami osteoporosis dalam studi efek obesitas terhadap osteoporosis (Barrera 2003). Risiko lansia wanita lebih tinggi mengalami osteoporosis daripada pria karena wanita mengalami menopause. Menurunnya hormon estrogen saat menopause berkontribusi pada peningkatan absorpsi kalsium dan metabolisme tulang dan berperan dalam percepatan hilangnya otot-otot tulang rangka wanita menopause. Osteoporosis jarang terjadi pada laki- laki daripada perempuan karena sejumlah alasan. Laki- laki memiliki puncak massa tulang (peak bone mass) lebih besar dan tidak mengalami percepatan hilangnya tulang pada wanita saat menopause. Umumnya lansia laki- laki kurang berisiko mengalami jatuh dibandingkan perempuan. Wanita juga memiliki massa otot lebih rendah daripada pria (Eleanor 2000). Semakin tinggi usia lansia nilai rata-rata DMT makin rendah artinya kelompok umur 65-85 tahun memiliki rata-rata DMT lebih rendah daripada kelompok usia 55 – 65 tahun (Tabel 29). Proporsi osteoporosis pada usia lebih tua berbeda makna dibandingkan dengan usia lebih muda (p = 0,01). Menurut Jean Woo (1991), insidens fraktur memberikan indikasi tingkat keparahan osteoporosis pada beberapa area tertentu. Di AS, 25% lansia wanita usia di atas 70 tahun dan 50% usia setelah 80 tahun menderita faktur tulang. Sementara 50% lansia wanita di atas 80 tahun mengalami fraktur vertebral, dan lebih dari 90% fraktur panggul terjadi pada usia di atas 70 tahun. Semakin lanjut usia risiko osteoporosis makin tinggi. Studi Vu et al. (2005) menyatakan peningkatan prevalensi osteoporosis pada lansia wanita di Vietnam berdasarkan kelompok usia 50-59 tahun (8,4%), 60-69 tahun (30,5%), 70-79 tahun (56,2%), dan >= 80 tahun (79,2%). Wanita pada periode pasca menopause cenderung memiliki fraktur tangan dan vertebral, sementara lansia wanita memiliki fraktur vertebral dan panggul. Terdapat hubungan antara perbedaan metabolisme kalsium dengan peningkatan usia. Berkurangnya asupan kalsium saat usia lanjut berdampak pada rendahnya asupan kalsium bagi tubuh. Lansia mungkin mengalami penurunan pemaparan sinar matahari dan atau kerusakan fungsi ginjal. Kedua faktor terakhir ini dapat
112
meningkatkan hormon paratiroid (PTH) dan resorpsi tulang. Level tinggi PTH berhubungan dengan rendahnya densitas massa tulang vertebral, meningkatnya kecepatan pemecahan tulang, dan risiko fraktur panggul. Status ekonomi merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. Variabel ini diwakili oleh tingkat pendidikan akhir yang menunj ukkan bahwa rendahnya pendidikan akhir memiliki nilai rata-rata DMT lebih rendah daripada pendidikan tinggi. Persentase osteoporosis pada lansia berpendidikan rendah lebih tinggi (39,3%) dibandingkan lansia berpendidikan tinggi (23,6%). Gambaran yang berbeda ditampilkan pada status osteopenia dan normal. Persentase status DMT normal tidak jauh berbeda pada kedua kelompok tingkat pendidikan akhir. Tetapi persentase status DMT osteopenia lebih tinggi pada kelompok pendidikan tinggi daripada pendidikan rendah. Hasil penelitian konsisten dengan studi tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan risiko osteoporosis pada wanita postmenopause di Cina (Suzanne et al. 2005). Studi membuktikan bahwa wanita dari tingkat pendidikan IV lebih tinggi 4,2-11,9% daripada tingkat I. Wanita dari tingkat pendidikan I berisiko 3,5 - 8,6 kali menderita osteoporosis daripada tingkat pendidikan IV. Tingkat pendidikan lebih tinggi berhubungan dengan DMT lebih baik dan rendahnya prevalensi osteoporosis pada wanita Cina pascamenopause. Individu dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan dan perilaku/gaya hidup kesehatan lebih baik antara lain banyak beraktivitas fisik, kurangi merokok, memelihara keseimbangan berat badan tubuh, konsumsi makanan sumber kalsium (susu, sayuran, kedelai, dan buah). Beban kerja fisik harian pada usia muda dan tua juga menjadi faktor risiko osteoporosis. Secara umum hasil studi menggambarkan rata-rata kepadatan tulang kelompok beban kerja berat sedikit lebih tinggi daripada beban kerja ringan pada periode usia yang berbeda (usia 25 dan 55 tahun). Terdapat perbedaan rata-rata densitas mineral tulang pada kelompok lansia dengan beban kerja fisik ringan dan berat pada kedua periode usia (Tabel 29). Gambaran yang sama ditemukan pada proporsi status densitas mineral tulang (DMT) pada kelompok beban kerja fisik usia 25 tahun yaitu ada perbedaan bermakna DMT pada kedua tingkat beban ringan dan berat (Tabel 30). Persentase osteoporosis pada kelompok beban kerja ringan usia 25 tahun lebih tinggi
113
daripada beban kerja berat. Demikianpula proporsi status DMT normal lebih banyak dijumpai pada kelompok beban kerja berat (Tabel 30). Namun tidak demikian dengan beban kerja fisik di usia 55 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna DMT pada kedua kelompok beban kerja, tetapi persentase osteoporosis pada kelompok beban kerja ringan mencapai 2 kali lebih besar dibandingkan kelompok beban kerja berat. Tidak adanya perbedaan signifikan pada kedua kelompok itu saat berusia 55 tahun mungkin disebabkan lansia tidak banyak menggunakan otot dan tenaga untuk bekerja karena bertambahnya usia dan menurunnya kemampuan fisik. Kondisi ini seharusnya menurunkan kepadatan tulang, tetapi kelompok ini memiliki pendapatan yang tetap untuk membeli susu dan
mengkonsumsi
makana n
bergizi
sumber
kalsium
sehingga
dapat
mempertahankan kenormalan status DMT-nya. Status kepadatan tulang pada masa tua dapat mencerminkan tingkat aktivitas fisik yang dimiliki saat usia 25 dan 55 tahun. Pada studi ini ditunjukkan bahwa lansia ketika berusia 25 tahun dengan tingkat aktivitas fisik tinggi mempunyai rata-rata DMT lebih tinggi (-1,75) daripada tingkat aktivitas fisik sedang (-1,86) dan rendah (-1,99). Gambaran yang sama ditampilkan saat lansia berusia 25 tahun. Makin tinggi kegiatan fisik makin besar rata-rata kepadatan tulangnya (berturut-turut adalah -2,04; -1,84; dan -1,73). Terdapat perbedaan bermakna persentase osteoporosis berdasarkan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun. Persentase osteoporosis terlihat lebih besar pada responden dengan tingkat aktivitas rendah daripada sedang dan tinggi pada usia 25 tahun (berturut-turut adalah 38,6%; 31,1%; dan 28,9%). Sebaliknya persentase terbesar status tulang normal terdapat pada tingkat aktivitas tinggi (23%) dibandingkan dengan sedang dan rendah ( 17,4% dan 14,7%). Pola serupa dijumpai pada saat usia 55 tahun yaitu proporsi osteoporosis tertinggi terdapat pada tingkat aktivitas rendah (37,3%) daripada sedang dan tinggi (33,2% dan 28,1%). Tingkat aktivitas tinggi memiliki persentase status tulang normal terbesar di antara sedang dan rendah (berturutturut adalah 23,7%; 19,2%; dan 12,2%). Tabel 31 menampilkan rata-rata skor T berdasarkan jenis kelamin, kelompok tinggi badan, dan berat badan. Rata-rata skor T tinggi badan lansia laki- laki antara
114
160,1 – 175 cm lebih rendah (-1,59) daripada tinggi badan < 150 cm (- 1,36). Sebaliknya makin besar tinggi badan lansia perempuan, makin tinggi skor T-nya. Rata-rata skor T tinggi badan lansia laki- laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Makin tinggi postur tubuh seseorang, makin tinggi nilai DMT-nya pada lansia perempuan, dan sebaliknya makin rendah skor T pada lansia laki- laki. Rata-rata skor T berat badan laki- laki dan perempuan akan semakin tinggi jika berat badan bertambah. Berat badan lansia perempuan di atas 60 kg memiliki Rata-rata skor T -1,75 lebih besar daripada 30-40 kg yaitu -2,49. Berat badan lansia laki- laki antara 30-40 kg mempunyai Rata-rata skor T lebih rendah yaitu 1,77 dibandingkan > 60 kg yakni -1,24. Beberapa faktor risiko terhadap osteoporosis adalah bentuk tubuh yang kurus, kecil/pendek, serta tubuh yang gemuk. Meningkatnya risiko fraktur dikaitkan dengan bentuk tubuh yang kurus. Wanita bertubuh kurus (IMT < 18,5 kg/m2 ) menghasilkan sedikit hormon estrogen dari androgen (diubah di jaringan lemak) khususnya setelah menopause. Pada wanita obes yang telah memasuki masa menopause akan mengalami sedikit kehilangan massa tulang. Berat badan rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko fraktur vertebral. Obesitas berhubungan dengan peningkatan massa otot, dampak berat tulang yang lebih besar, dan perlindungan skeleton lebih besar khususnya panggul oleh lemak sub-kutan. Massa lemak yang tinggi merupakan salah satu prediktor massa tulang karena meningkatkan tekanan mekanis melalui otot seperti stimulasi kegiatan osteoblast atau aksi gravitasi massa pada skeleton sehingga meningkatkan rangsangan osteogenesis. Inilah alasan yang mendasari mengapa wanita obes berisiko lebih rendah mengalami osteoporosis dibandingkan dengan wanita dengan berat badan mendekati ideal. Hasil studi ini serupa dengan studi yang dilakukan oleh Yi-Hsiang Hsu et al. (2006) terhadap wanita post- menopause dan lansia laki- laki di Cina. Massa lemak memiliki hubungan signifikan terbalik dengan DMT seluruh tubuh dan panggul. Studi EVOS (The European Vertebral Osteoporosis Study) Tahun 1997 pada lansia 50-79 tahun menemukan bahwa peningkatan berat badan pada laki- laki dan perempuan secara statistik mereduksi prevalensi kelainan vertebral. Berat badan yang rendah dihubungkan dengan kelainan vertebral berdasarkan jenis kelamin
115
(Johnell et al. 1997). Beberapa studi lain menggambarkan hal sama dengan studi ini, salah satunya adalah studi efek asupan diet terhadap densitas tulang pada wanita pre-menopause (Richard & Howard 1991). Berat badan merupakan prediktor DMT yang lebih baik dari faktor- faktor lain seperti usia, asupan kalsium, kegiatan fisik, merokok, dan pil KB. Tabel 31 Rata-rata skor T berdasarkan jenis kelamin, kelompok tinggi badan, dan kelompok berat badan Skor T Indikator antropometri Tinggi badan (cm): < 150 150,1 - 160 160,1 – 175 Berat badan (kg) 30 – 40 40,1 – 50 50,1 – 60 > 60
Perempuan
Laki-Laki
- 2.07 + 1,07 - 2,02 + 0,95 - 1,93 + 0,82
- 1,36 + 1,37 - 1,56 + 1,14 - 1,59 + 1,07
- 2,49 + 0,83 - 2,28 + 0,98 - 1,97 + 1,08 - 1,75 + 0,95
- 1,77 + 1,42 - 1,64 + 1,29 - 1,78 + 0,99 - 1,24 + 1,05
Makin besar tinggi badan lansia perempuan, makin besar densitas massa tulangnya artinya lebih kecil risiko terhadap osteoporosis (Tabel 31). Temuan ini sejalan dengan studi pada wanita post-menopause penderita rheumatoid arthritis usia 56-70 tahun yaitu hilangnya tinggi badan antara 4 cm atau lebih selama 10 tahun dikaitkan dengan berkurangnya DMT (Sanila et al. 1993). Rendahnya tinggi badan masa kanak-kanak turut berperan dalam kejadian osteoporosis. Studi tentang pengaruh antropometri terhadap DMT pada lansia yang sehat selama 1 tahun juga dilakukan oleh Taggart et al. (2003). Dia membuktikan pengaruh penurunan tinggi badan dengan massa tulang pada lansia laki- laki dan perempuan. Peningkatan skor T pada laki- laki berhubungan dengan massa otot yang lebih tinggi. Besarnya massa otot mungkin mencerminkan gaya hidup yang lebih aktif dan meningkatkan kekuatan biomekanik pada tulang rangka tubuh (Kirchengast et al. 2001). Perbedaan kenaikan tinggi badan dengan skor T antara laki- laki dan perempuan mungkin disebabkan karena disain studi ini adalah cross sectional sehingga tidak berhasil membuktikan hubungan sebab akibat antara peningkatan tinggi badan dengan skor T pada laki- laki.
116
Tabel 32 menyajikan gambaran keluhan yang dirasakan oleh penderita osteoporosis. Sebagian besar lansia mengeluh sakit punggung, nyeri tulang, dan leher. Sisanya pernah mengalami retak/patah tulang dan kehilangan tinggi badan. Tabel 32
Keluhan yang dirasakan oleh penderita osteoporosis (bisa lebih dari satu)
Keluhan
n (orang)
Sakit punggung Sakit di bagian tulang Sakit di bagian leher Retak/patah tulang Kehilangan tinggi badan
Persentase (%)
122 113 97 21 7
15,0 13,9 11,9 2,6 0,9
Tabel 33 menggambarkan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasi keluhan di atas. Mayoritas penderita berobat ke dokter untuk menghilangkan gejala- gelala yang dialaminya. Sebagian kecil lansia melakukan pengobatan sendiri dengan cara diurut ataupun minum obat warung. Tetapi ada lansia yang mengubah pola makan harian yaitu membiasakan minum susu dan makan ikan sesering mungkin. Kegiatan olahraga juga dilakukan sebagai upaya mengatasi gejala-gejala tersebut antara lain melakukan jalan kaki santai, dan senam. Tabel 33
Tindakan yang dilakukan setelah mengalami keluhan osteoporosis
Tindakan yang dilakukan
n (orang)
Persentase (%)
Berobat ke tenaga kesehatan Mengurut Mengobati sendiri Dibiarkan saja
111 35 22 48
13,7 4,3 2,7 5,9
Merubah pola makan Melakukan kegiatan olahraga: Jalan kaki santai Senam Jalan kaki cepat Lari cepat
101
12,4
37 26 4 2
4,6 3,2 0,5 0,2
Distribusi frekuensi jumlah kehamilan dan persalinan pada perempuan osteoporosis ditampilkan pada Tabel 34. Dari 207 lansia perempuan osteoporosis, sebagian besar mengalami kehamilan sebanyak 5-6 kali (32,4%), diikuti oleh 3-4 kali (22,7%). Mayoritas mereka yang pernah bersalin 5-6 kali (31,9%) adalah juga
117
yang pernah hamil 5-6 kali. Besarnya jumlah anak yang dimiliki merupakan salah satu prediktor osteoporosis pada perempuan. Hasil studi bertentangan dengan dua studi sebelumnya. Studi pertama tentang hubungan antara paritas dan DMT wanita usia 50-70 tahun, dan studi kedua tentang penurunan fraktur tulang wanita menopause. Studi pertama menemukan korelasi yang kuat antara peningkatan paritas dengan DMT wanita usia 50-59 tahun (Elizabeth et al. 2005). Makin tinggi jumlah anak yang dimiliki makin tinggi skor DMT pada kelompok usia ini. Tetapi kelompok lansia > 70 tahun tidak menunjukkan hubungan itu. Tingginya jumlah paritas menandai transisi menuju menopause sehingga jarang mengalami kehilangan tulang secara cepat yang biasanya menyertai masa transisi ini. Sementara studi kedua menemukan bahwa jumlah kehamilan dan melahirkan tidak berhubungan dengan pengembangan osteoporosis. Kehamilan adalah salah satu faktor pelindung pengembangan osteoporosis (Sharami et al. 2008). Tabel 34 Distribusi frekuensi kehamilan dan penderita osteoporosis Variabel
n (orang)
melahirkan pada perempuan Persentase (%)
Frekuensi kehamilan: 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali 7-8 kali >8 kali
207 38 47 67 23 32
100,0 18,4 22,7 32,4 11,1 15,5
Frekuensi melahirkan: 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali 7-8 kali > 8 kali
207 43 46 66 24 28
100,0 20,8 22,2 31,9 11,6 13,5
Secara teoritis, kehamilan dikaitkan osteoporosis karena penurunan cadangan kalsium ibu hamil dan peningkatan ekskresi kalsium melalui urin. Absorpsi kalsium di usus meningkat selama kehamilan khususnya pada trimester kedua dan ketiga. Tubuh berespons pada kebutuhan kalsium janin melalui peningkatan level 1,25-dihydroxyvitamin D total. Dua mekanisme ini dapat
118
memenuhi kebutuhan kalsium selama hamil. Perubahan-perubahan fisiologi selama hamil mungkin bersifat melindungi tulang termasuk peningkatan estrogen pada trimester ketiga dan meningkatnya beban tulang akibat bertambahnya berat badan. Beberapa wanita hamil rentan kehilangan massa tulang dan mengalami fraktur. Tabel 35 menampilkan ana lisis regresi logistik ganda faktor-faktor risiko osteoporosis. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap osteoporosis adalah jenis kelamin perempuan dengan nilai OR = 2,8550 artinya lansia perempuan berpeluang menderita osteoporosis sebesar 2,85 kali dibandingkan lansia laki- laki setelah dikontrol oleh faktor-faktor risiko wilayah perkotaan, umur lansia tua, pendidikan rendah, gizi kurang, dan status lemak viseral tingkat normal. Tabel 35 Analisis regresi logistik ganda faktor- faktor risiko osteoporosis Koefisien
S.E.
P Wald
OR
Perkotaan
0.4019
0.1763
0.0226
1.4947
1.0580
- 2.1116
Perempuan
0.9319
0.1900
0.0000
2.5394
1.7499
- 3.6852
Umur 66-85 tahun
0.8671
0.1895
0.0000
2.3800
1.6416
- 3.4507
Pendidikan rendah Beban kerja ringan umur 25 thn
0.7034
0.1864
0.0002
2.0206
1.4022
- 2.9116
0.5544
0.1943
0.0043
1.7408
1.1894
- 2.5478
Asupan kalsium umur 55 thn
0.4025
0.1901
0.0343
1.4955
1.0303
- 2.1710
Gizi kurang Lemak viseral tingkat normal
0.6553
0.2649
0.0134
1.9257
1.1458
- 3.2365
0.6934
0.1822
0.0001
2.0005
1.3998
- 2.8590
Konstanta
-3.4057
0.3355
0.0000
0.0332
Variabel
95% C.I. OR
Hal ini sejalan dengan pernyataan Miller G.D. yakni bahwa wanita berisiko 4 kali lebih besar daripada pria untuk terkena osteoporosis (Miller et al. 2000). Temuan studi ini sejalan dengan hasil analisis data Densitas Mineral Tulang (DMT) oleh Puslitbang Gizi dan PT. Fonterra Brands Indonesia Tahun 2005. Prevalensi osteoporosis lansia perempuan 55-59 tahun sedikit lebih besar (22,2%) daripada laki- laki (21%), dan usia di atas 70 tahun sebesar 43,6% pada lansia laki- laki dan 58,9% pada lansia perempuan. Risiko lansia wanita lebih tinggi mengalami osteoporosis daripada pria karena wanita mengalami menopause. Menurunnya hormon estrogen saat menopause berkontribusi pada peningkatan absorpsi kalsium dan metabolisme tulang dan berperan dalam percepatan hilangnya otot-otot tulang rangka wanita menopause. Osteoporosis
119
jarang terjadi pada laki- laki daripada perempuan karena laki- laki memiliki puncak massa tulang (peak bone mass) lebih besar dan tidak mengalami percepatan hilangnya tulang pada wanita saat menopause. Umumnya lansia laki- laki kurang berisiko mengalami jatuh dibandingkan perempuan. Wanita juga memiliki massa otot lebih rendah daripada pria (Eleanor 2000).
V. Tabel 36
Persen Lemak Tubuh dengan Faktor-Faktor Risikonya Rata-rata persen lemak tubuh berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun Variabel
Wilayah Kota Desa Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Umur 55-65 tahun 65-85 tahun Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi Beban kerja fisik harian usia 25 tahun Ringan Berat Beban kerja fisik harian usia 55 tahun Ringan Berat Tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun Rendah Sedang Tinggi Tingkat aktivitas fisik usia 55 tahun Rendah Sedang Tinggi Total *: p< 0,05 **: p< 0,01
X
SD
33.1 28.9
± 7.3** ± 8.0
23.9 35.4
± 6.1** ± 5.3
31.4 30.7
± 7.8 ± 8.2
31.0 31.6
± 7.9 ± 7.9
33.1 28.2
± 7.1** ± 8.2
33.5 26.1
± 6.9** ± 7.7
31.8 32.6 29.3
± 7.5** ± 7.7 ± 8.2
31.3 33.0 29.4
± 7.3** ± 7.7 ± 8.4
31.2
± 7.9
120
Tabel 37
Distribusi frekuensi tingkat persen lemak tubuh berdasarkan wilayah, jenis kelamin, kelompok umur, pendidikan, beban pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun
Variabel
Tinggi n
%
Wilayah Kota 288 63.9 Desa 137 38.0 Total 425 52.3 Jenis Kelamin Laki-laki 128 43.4 Perempuan 297 57.4 Total 425 52.3 Kelompok Umur 55-65 tahun 315 51.0 66-85 tahun 110 56.7 Total 425 52.3 Tingkat Pendidikan Rendah 214 44.5 Tinggi 211 63.7 Total 425 52.3 Beban kerja usia 25 thn Ringan 308 61.4 Berat 117 37.7 Total 425 52.3 Beban kerja usia 55 thn Ringan 355 62.6 Berat 70 28.6 Total 425 52.3 Tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun Rendah 147 54.0 Sedang 162 60.0 Tinggi 116 43.0 Total 425 52.3 Tingkat aktivitas fisik usia 55 tahun Rendah 155 57.2 Sedang 157 57.9 Tinggi 113 41.9 Total 425 52.3
Status Persen Lemak Tubuh Mendekati Tinggi Normal n % n %
Total n
%
119 111 230
26.4 30.7 28.3
44 113 157
9.8 31.3 19.3
451 361 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =75,20 P=0,001 rs =0,295
89 141 230
30.2 27.3 28.3
78 79 157
26.4 15.3 19.3
295 517 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =19,75 P=0,001 rs =0,153
178 52 230
28.8 26.8 28.3
125 32 157
20.2 16.5 19.3
618 194 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =18,03 p=0,001 rs =0,136
149 81 230
31.0 24.5 28.3
118 39 157
24.5 11.8 19.3
481 331 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =33,30 p=0,001 rs =0,202
148 82 230
29.5 26.5 28.3
46 111 157
9.2 35.8 19.3
502 310 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =91,40 p=0,001 rs =0,313
164 66 230
28.9 26.9 28.3
48 109 157
8.5 44.5 19.3
567 245 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =152,94 p=0,001 rs =0,412
82 68 80 230
30.1 25.2 29.6 28.3
43 40 74 157
15.8 14.8 27.4 19.3
272 270 270 812
100.0 100.0 100.0 100.0
χ2 =22,84 p=0,001 rs =0,112
80 76 74 230
29.5 28.0 27.4 28.3
36 38 83 157
13.3 14.0 30.7 19.3
271 271 270 812
100.0 100.0 100.0 100.0
χ2 =35,99 p=0,001 rs =0,161
Tabel 36 menggambarkan rata-rata persen lemak tubuh (PLT) dan Tabel 37 menyajikan distribusi frekuensi persentase PLT berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55
121
tahun. Berdasarkan wilayah, rata-rata PLT di kota berbeda dengan di desa yaitu sedikit lebih besar di kota (Tabel 36). Persentase PLT tingkat tinggi di kota lebih besar daripada di desa (Tabel 37). Perbedaan itu disebabkan oleh gaya hidup dan kebiasaan makan lansia kota dalam mengonsumsi makanan tinggi lemak. Hasil studi menggambarkan bahwa ada perbedaan konsumsi serat antara responden kota dan desa saat usia 25 dan 55 tahun. Saat menginjak usia 25 tahun, lansia di desa memiliki rata-rata asupan serat lebih tinggi (7,4 gram/hari) daripada kota (6,1 gram/hari). Terdapat perbedaan asupan serat antara lansia desa dan kota. Rata-rata asupan lemak dan kolesterol lansia kota (28,7 gram dan 198,3 gram) lebih tinggi dibandingkan dengan lansia desa (26,4 gram dan 149,5 gram). Lansia desa mempunyai perbedaan asupan kolesterol dengan lansia kota, tetapi tidak untuk asupan lemak. Ketika mencapai usia 55 tahun, lansia di desa juga memiliki rata-rata asupan serat lebih besar (6,3 gram) daripada kota (5,2 gram). Rata-rata asupan kolesterol lebih rendah (156,3) dibandingkan kota. (171,4). Terdapat perbedaan asupan serat antara lansia kota dan desa, tetapi asupan lemak dan kolestrol tidak menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Asupan tinggi serat dapat menimbulkan rasa kenyang sehingga mengurangi konsumsi makanan tinggi energi. Temuan studi ini sejalan dengan studi tentang prevalensi dislipidemia pada lansia Meksiko dikaitkan dengan kebiasaan makan dan profil lipid (Salinas 2003). Lansia desa memiliki persen lemak tubuh lebih rendah daripada lansia kota karena mereka lebih banyak mengonsumsi serat dan karbohidrat. Rata-rata PLT lansia laki- laki berbeda dengan perempuan (Tabel 36). Demikianpula persentase tingkat PLT perempuan berbeda nyata dengan laki- laki yaitu perempuan lebih besar daripada laki- laki. Persentase tingkat PLT normal lebih banyak dimiliki oleh laki- laki daripada perempuan (Tabel 37). Perbedaan itu disebabkan karena perempuan memiliki persentase lemak tubuh lebih tinggi daripada laki- laki. Perempuan memiliki tingkat aktivitas fisik dan pengeluaran energi lebih rendah, serta asupan energi lebih tinggi dibandingkan dengan lakilaki. Sementara tubuh laki- laki memiliki kandungan fat free mass lebih banyak, tingkat aktivitas fisik lebih tinggi, dan sebagian besar komposisi tubuh terdiri dari otot daripada perempuan. Selain itu, lemak tubuh terus meningkat seiring
122
pertambahan usia pada laki- laki dan perempuan. Perempuan yang telah menginjak usia lanjut pastinya telah memasuki masa menopause. Pada saat ini terjadi penurunan fungsi ovarium dan hormon estrogen yang berakibat pada penambahan absorpsi
kalsium.
Menopause
merupakan
prediktor
signifikan
penurunan/kehilangan massa jaringan otot karena terjadi defisiensi hormon estrogen (Eleanor 2003). Rata-rata PLT lansia kelompok umur 55 – 65 tahun memiliki perbedaan dengan usia 66-85 tahun (Tabel 36). Proporsi PLT tingkat tinggi rentang usia 6685 tahun lebih besar daripada rentang usia 55-65 tahun. Proporsi tingkat PLT normal yang lebih besar dimiliki oleh rentang usia 55-65 tahun dibandingkan usia 66-85 tahun (Tabel 37). Disimpulkan bahwa status PLT pada rentang usia 5565 tahun berbeda nyata karena lebih rendah daripada usia 66-85 tahun. Perbedaan itu disebabkan karena lemak tubuh terus meningkat sejalan bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin. Hasil studi ini sejalan dengan studi persen lemak tubuh dengan risiko penyakit jantung koroner (PJK) pada pria di Indian (Ram et al. 1999). Dia menemukan korelasi yang kuat antara persen lemak tubuh dengan usia. Makin bertambah usia, makin rendah persen lemak tubuhnya. Temuan ini berbeda dengan studi sebelumnya yaitu kelompok lansia lanjut sedikit lebih tinggi persen lemak tubuhnya daripada kelompok lansia muda. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tingginya asupan lemak dan kolesterol, rendahnya asupan serat, serta jumlah energi yang dikeluarkan saat usia 55 tahun. Asupan lemak dan kolesterol lansia 66-85 tahun lebih tinggi (30,5 dan 170,4) dibandingkan lansia 55-65 tahun (28,8 dan 162,9). Asupan serat lebih rendah dan energi yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan fisik lebih besar. Berdasarkan tingkat pendidikan, hasil studi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah memiliki rata-rata yang berbeda dengan pendidikan tinggi (Tabel 36). Proporsi status PLT pada 3 tingkatan memiliki perbedaan pada kelompok pendidikan tinggi dan rendah. Pendidikan tinggi memiliki persentase tingkat PLT tinggi lebih besar daripada pendidikan rendah. Lebih banyak ditemukan proporsi status PLT normal pada kelompok pendidikan rendah (Tabel 37). Hal itu disebabkan karena tingkat pendidikan mempengaruhi pendapatan dan
123
akhirnya berpengaruh pada daya beli makanan bergizi. Studi ini menunjukkan bahwa saat berusia 25 dan 55 tahun, lansia berpendidikan tinggi cenderung mengonsumsi makanan sumber lemak dan kolesterol, tetapi rendah serat daripada lansia berpendidikan rendah. Di sis i lain, aktivitas fisik tingkat tinggi dan besar pengeluaran energi lebih banyak dilakukan oleh kelompok pendidikan tinggi. Pada pengelompokan beban kerja fisik di usia 25 dan 55 tahun, lansia dengan beban kerja ringan memiliki nilai rata-rata persen lemak tubuh sedikit lebih tinggi daripada beban kerja berat. Rata-rata PLT pada lansia dengan beban pekerjaan fisik harian berat berbeda makna dengan tingkat beban ringan (Tabel 36). Temuan ini didukung pula oleh proporsi status PLT tingkat tinggi yang duakali lebih besar pada lansia dengan beban kerja ringan dibandingkan dengan beban kerja berat pada usia 25 dan 55 tahun (Tabel 37). Adanya perbedaan ratarata dan proporsi tingkat PLT pada lansia dengan beban kerja fisik berat dan ringan karena kelompok pertama lebih banyak mengeluarkan energi untuk beraktivitas. Secara keseluruhan, total rata-rata dan proporsi status PLT memiliki perbedaan bermakna pada tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun. Tingkat aktivitas fisik tinggi memiliki nilai rata-rata PLT paling rendah di antara tingkat aktivitas fisik sedang dan rendah. Demikianpula proporsi status PLT paling rendah ditemukan pada tingkat aktivitas fisik tinggi. Gambaran yang sama dijumpai pada usia 55 tahun yakni rata-rata PLT berbeda pada tingkat aktivitas fisik tinggi, sedang, dan rendah. Tingkat aktivitas fisik tinggi memiliki nilai rata-rata PLT paling rendah dibandingkan tingkat aktivitas fisik sedang dan rendah. Persentase PLT tingkat tinggi paling rendah dan tingkat normal paling besar adalah pada lansia yang memiliki aktivitas fisik tingkat tinggi. Makin tinggi tingkat aktivitas fisik, makin rendah PLT tingkat tinggi dan makin besar PLT tingkat normal. Hal itu disebabkan oleh perbedaan besar energi yang dikeluarkan oleh lansia aktif dan tidak aktif bekerja. Dalam studi ini, rata-rata pengeluaran energi adalah lebih besar (2177,8 kkal/hari) dibandingkan dengan asupan energi seluruh lansia baik laki- laki maupun perempuan saat usia 55 tahun (1135,1 kkal/hari).
124
Analisis regresi logistik ganda faktor- faktor risiko persen lemak tubuh disajikan pada Tabel 38. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap persen lemak tubuh adalah tingkat beban kerja ringan dengan nilai OR = 4,32 artinya lansia yang memiliki tingkat aktivitas kerja fisik ringan berpeluang memiliki persen lemak tubuh tingkat tinggi sebesar 4,32 kali dibandingkan lansia dengan tingkat aktivitas kerja fisik berat, setelah dikontrol oleh faktor- faktor risiko wilayah tinggal kota, dan beban kerja ringan usia 25 tahun. Tabel 38 Analisis regresi logistik ganda faktor- faktor risiko persen lemak tubuh Variabel
Koefisien
S.E.
P Wald
OR
95.0% C.I. OR
Perkotaan
0.6860
0.2229
0.0021
1.9858
1.2829
- 3.0737
Beban kerja ringan 25 thn
0.6978
0.2469
0.0047
2.0092
1.2385
- 3.2597
1.4639
0.2545
0.0000
4.3230
2.6251
- 7.1189
-0.0457
0.1434
0.7501
0.9554
Beban kerja ringan 55 thn Konstanta
Lansia yang semasa usia tuanya tidak aktif bekerja mempunyai persen lemak tubuh lebih besar karena mempengaruhi distribusi lemak tubuh sehingga meningkatkan kasus obesitas. Hal ini sejalan dengan studi tentang penuaan, komposisi tubuh, dan gaya hidup lansia (Shumei et al. 1999). Kegiatan kerja fisik berhubungan dengan penurunan persen lemak tubuh pada lansia laki- laki dan perempuan.. Perubahan lemak tubuh pada lansia gemuk dan obes karena pengaruh peningkatan aktivitas fisik.
VI. Lemak Viseral dengan Faktor-Faktor Risikonya Tabel 39 menggambarkan rata-rata tingkat lemak viseral berdasarkan wilayah, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik lansia (usia 25 dan 55 tahun). Secara umum, rata-rata tingkat lemak viseral lansia di kota berbeda dengan di desa. Studi ini konsisten dengan studi obesitas sentral pada lansia di Amerika Latin (Flavia 2006). Prevalensi lemak viseral lansia desa di Brazil meningkat pesat seiring meningkatnya pendapatan. Bahkan lansia kota cenderung mempertahankan berat badannya melalui manajemen diet makanan
125
yang tepat dan aktif berolahraga atau melakukan fitness sehingga tidak mengandung lemak viseral tinggi karena cenderung normal. Tabel 39
Rata-rata tingkat lemak viseral berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, beban pekerjaan fisik harian, & tingkat aktivitas fisik (usia 25 dan 55 tahun) Variabel
Wilayah Kota Desa Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Umur 55-65 tahun 65-85 tahun Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi Beban pekerjaan fisik harian usia 25 tahun Ringan Berat Beban pekerjaan fisik harian usia 55 tahun Ringan Berat Tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun Rendah Sedang Tinggi Tingkat aktivitas fisik usia 55 tahun Rendah Sedang Tinggi Total
X
SD
10.0 7.4
4.9** 4.5
9.2 8.6
4.8 4.9
8.8 9.0
4.9 4.9
8.0 10.0
5.0** 4.4
9.7 7.5
4.8**
9.6 7.0
4.8** 4.6
9.3 9.2 8.0
4.7** 5.0 4.8
9.4 9.2 7.9
4.6** 5.2 4.6
8.8
4.9
4.7
** p<0,01
Lansia laki- laki memiliki rata-rata lemak viseral lebih tinggi daripada perempuan. Namun tidak ada perbedaan bermakna antara lemak viseral berdasarkan jenis kelamin. Temuan ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa wanita yang mengalami masa menopause cenderung meningkat lemak viseralnya karena berkurangnya aktivitas fisik sehingga menurunkan jumlah pengeluaran energi serta berkurangnya hormon estrogen
126
(Lovejoy et al. 2008). Wanita menyimpan lemak di bagian subkutan abdomen. Laki- laki berusia di atas 60 tahun cenderung menyimpan lemak di bagian viseral. Studi juga sejalan dengan pernyataan Mitchell et al. (2003) bahwa laki- laki lebih banyak memiliki lemak viseral daripada wanita. Hasil studi menunjukkan bahwa kelompok lansia dini (55-65 tahun) mempunyai rata-rata lemak viseral hampir sama dengan kelompok usia 66-85 tahun karena efek penuaan mempengaruhi peningkatan lemak viseral akibat berkurangnya aktivitas fisik saat menua. Tingkat pendidikan akhir yang dilalui oleh lansia berbeda makna dengan lemak viseral. Tingkat pendidikan tinggi mempunyai rata-rata lemak viseral lebih besar daripada tingkat pendidikan rendah. Studi ini berlawanan dengan studi hubungan antara gaya hidup dengan adipositas lemak pada lansia Italia (Leite &. Nicolosi 2006). Lansia pria dan wanita yang menamatkan pendidikannya hingga SLTA memiliki lemak viseral lebih rendah daripada tingkat pendidikan rendah. Lansia dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki tingkat pengetahuan dan perilaku konsumsi makanan sehat dan bergizi, serta melakukan olahraga teratur untuk mencegah munculnya timbunan lemak di bagian perut. Beban kerja fisik harian responden di usia 25 dan 55 tahun berbeda makna dengan lemak viseral. Lemak viseral pada lansia dengan beban kerja fisik tingkat ringan lebih tinggi daripada tingkat berat (Tabel 39). Demikianpula rata-rata lemak viseral berbeda makna dengan tingkat aktivitas fisik lansia ketika berusia muda (25 tahun) dan tua (55 tahun). Tingkat aktivitas rendah memiliki rata-rata lemak viseral sedikit lebih tinggi daripada tingkat aktivitas sedang dan tinggi. Status bekerja berhubungan dengan besarnya jumlah energi yang dikeluarkan, termasuk kegiatan aktivitas fisiknya. Massa lemak viseral bisa diturunkan melalui kegiatan olahraga rutin dan teratur. Studi pada wanita usia muda dan menengah di Jepang menggambarkan bahwa wanita yang rutin berolahraga dapat menurunkan akumulasi lemak viseral di bagian tangan dan bahu dibandingkan wanita yang jarang/kurang berolahraga (Abe et al. 1996). Tabel 40 menyajikan distribusi frekuensi lemak viseral berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, beban pekerjaan fisik harian, dan
127
tingkat aktivitas fisik. Seluruh faktor- faktor risiko itu berhubungan dengan lemak viseral. Hasil studi menggambarkan lansia di kota memiliki prevalensi lemak viseral tingkat tinggi dan mendekati tinggi lebih besar daripada lansia di desa. Sebaliknya proporsi lemak viseral tingkat normal lebih banyak dimiliki oleh lansia di desa dibandingkan di kota. Terdapat perbedaan tingkat lemak viseral berdasarkan wilayah desa dan kota. Hal itu disebabkan oleh perbedaan rata-rata asupan lemak, kolesterol, dan tingkat aktivitas fisik yang dilakukan. Lansia kota memiliki rata-rata asupan lemak dan kolesterol saat usia muda dan tua lebih tinggi dan rata-rata asupan serat lebih rendah dibandingkan lansia desa. Persentase aktivitas fisik tingkat tinggi yang dilakukan oleh lansia desa adalah hampir duakali lipat (48,8%) dari lansia kota (20,8%). Jenis kelamin berperan dalam menentukan besaran proporsi tingkat lemak viseral. Hasil studi menunjukkan bahwa prevalensi lemak viseral tingkat tinggi sedikit lebih banyak ditemukan pada lansia laki- laki (14,6%) daripada perempuan (11,8%). Temuan ini sejalan dengan teori Mitchell et al. (2003) yang menyatakan bahwa laki- laki lebih banyak memiliki lemak viseral daripada wanita. Wanita yang telah mengalami masa menopause cenderung meningkat lemak viseralnya karena berkurangnya aktivitas fisik sehingga menurunkan jumlah pengeluaran energi serta berkurangnya hormon estrogen (Lovejoy et al. 2008). Namun wanita lebih banyak menyimpan lemak di bagian subkutan abdomen, sedangkan laki- laki berusia di atas 60 tahun cenderung menyimpan lemak di bagian viseral. Perbedaan proporsi ini mungkin disebabkan oleh lebih rendahnya aktivitas fisik tingkat tinggi yang dilakukan oleh perempuan (31,9%) daripada laki- laki (35,6%). Meskipun rata-rata asupan lemak sedikit lebih rendah pada lansia perempuan daripada laki- laki, tetapi rendahnya aktivitas fisik tingkat tinggi yang dilakukan dapat meningkatkan proporsi lemak viseral. Kelompok usia lanjut dini dan usia lebih tua tidak berbeda tingkat lemak viseralnya. Kelompok pertama memiliki proporsi lemak viseral tingkat tinggi yang sedikit lebih besar daripada kelompok kedua. Meskipun aktivitas fisik tingkat tinggi dan asupan lemak sedikit lebih banyak dimiliki oleh kelompok pertama, namun efek yang ditimbulkan oleh perbedaan aktivitas fisik dan asupan
128
lemak tidaklah besar. Selisih perbedaan itu cukup tipis sehingga tidak mempengaruhi persentase lemak viseral tingkat tinggi pada kedua kelompok usia tersebut. Hal itu disebabkan oleh peningkatan lemak viseral sampai usia 60 tahun pada laki- laki dan perempuan. Setelah itu terus menurun seiring berkurangnya aktivitas fisik (Virginia et al. 2004). Indikator sosio-ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan akhir. Pendidikan akhir berperan secara tidak langsung terhadap prevalensi tingkat lemak viseral. Persentase lemak viseral tingkat tinggi dan mendekati tinggi pada kelompok berpendidikan tinggi sedikit lebih besar daripada pendidikan rendah. Dengan menempuh tingkat pendidikan tinggi semasa muda diasumsikan bahwa responden berasal dari keluarga mampu. Hasil studi ini bertentangan dengan studi hubungan antara status sosio-ekonomi dengan risiko hipertensi lansia Spanyol ((Enrique et al. 2006) yang menyatakan adanya hubungan antara tingkat pendidikan akhir dengan prevalensi obesitas terpusat (central obesity). Pendidikan rendah memiliki prevalensi obesitas terpusat tertinggi di antara dua tingkat pendidikan lainnya (tinggi dan sedang). Lansia menempuh tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai pola hidup sehat dan diet makanan yang lebih baik melalui konsumsi sayuran, buah, susu rendah lemak, dan rendah lemak. Hasil studi pertama menunjukkan kebalikannya yaitu pendidikan tinggi cenderung memiliki proporsi lemak viseral tingkat tinggi sedikit lebih tinggi (14,8%) daripada pendidikan rendah (11,4%). Rata-rata kelompok pendidikan tinggi lebih banyak mengonsumsi lemak (31,2 gram/hari) daripada pendidikan rendah (27,9 gram/hari). Asupan serat, besar pengeluaran energi, dan aktivitas fisik tingkat tinggi lebih rendah pada kelompok pendidikan tinggi dibandingkan pendidikan rendah. Tingkat lemak viseral pada lansia secara tidak langsung dipengaruhi oleh status bekerja. Lansia bekerja saat usia 25 dan 55 tahun mempunyai proporsi lemak viseral tingkat tinggi dan mendekati tinggi yang lebih besar daripada responden tidak bekerja. Lansia bekerja baik di sektor formal dan informal diasumsikan berasal dari kalangan ekonomi mampu sehingga dapat membeli makanan bergizi. Pada penelitian ini, rata-rata asupan lemak, rata-rata pengeluaran energi, dan aktivitas fisik tingkat tinggi lebih banyak dijumpai pada
129
Tabel 40
Distribusi frekuensi tingkat lemak viseral berdasarkan wilayah, jenis kelamin, umur, pendidikan, beban pekerjaan fisik harian, dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun
Variabel
Tinggi N
%
Wilayah Kota 77 17.1 Desa 27 7.5 Total 104 12.8 Jenis Kelamin Laki-laki 43 14.6 Perempuan 61 11.8 Total 104 12.8 Kelompok Umur 55-65 tahun 76 12.3 66-85 tahun 28 14.4 Total 104 12.8 Pendidikan Rendah 55 11.4 Tinggi 49 14.8 Total 104 12.8 Beban kerja usia 25 thn Ringan 77 15.3 Berat 27 8.7 Total 104 12.8 Beban kerja usia 55 thn Ringan 84 14.8 Berat 20 8.2 Total 104 12.8 Tingkat aktivitas fisik usia 25 tahun Rendah 44 16.2 Sedang 36 13.3 Tinggi 24 8.9 Total 104 12.8 Tingkat aktivitas fisik usia 55 tahun Rendah 38 14.0 Sedang 43 15.9 Tinggi 23 8.5 Total 104 12.8
Status Lemak Viseral Mendekati Tinggi Normal N % N %
Total N
%
146 71 217
32.4 19.7 26.7
228 263 491
50.6 72.9 60.5
451 361 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =43,01 P=0,001 rs =0,230
88 129 217
29.8 25.0 26.7
164 327 491
55.6 63.2 60.5
295 517 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =4,63 P=0,099 rs =0,074
170 47 217
27.5 24.2 26.7
372 119 491
60.2 61.3 60.5
618 194 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =1,15 P=0,562 rs =0,001
88 129 217
18.3 39.0 26.7
338 153 491
70.3 46.2 60.5
481 331 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =51,86 P=0,001 rs =0,218
157 60 217
31.3 19.4 26.7
268 223 491
53.4 71.9 60.5
502 310 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =27.67 p=0,001 rs =0,172
183 34 217
32.3 13.9 26.7
300 191 491
52.9 78.0 60.5
567 245 812
100.0 100.0 100.0
χ2 =45.33 p=0,001 rs =0,205
72 81 64 217
26.5 30.0 23.7 26.7
156 153 182 491
57.4 56.7 67.4 60.5
272 270 270 812
100.0 100.0 100.0 100.0
χ2 =10,95 P=0,027 rs =0,095
86 67 64 217
31.7 24.7 23.7 26.7
147 161 183 491
54.2 59.4 67.8 60.5
271 271 270 812
100.0 100.0 100.0 100.0
χ2 =14,22 P=0,007 rs =0,113
responden bekerja saat berusia 25 dan 55 tahun dibandingkan dengan lansia tidak bekerja. Status bekerja mencerminkan adanya penghasilan atau kemampuan daya
130
beli makanan bergizi seperti buah-buahan, sayuran, dan susu rendah lemak yang mungkin harganya lebih mahal daripada makanan kurang/tidak bergizi. Kualifikasi pendidikan merupakan salah satu prediktor pekerjaan dan akhirnya berdampak pada penghasilan. Oleh karena itu, pendidikan akhir dan status bekerja digunakan dalam menilai hubungan antara variabel sosio-ekonomi terhadap lemak viseral lansia dalam studi ini. Prevalensi lemak viseral tingkat tinggi lebih rendah ditemukan pada responden bekerja dan menempuh pendidikan tinggi. Tingkat aktivitas fisik responden usia 25 dan 55 tahun berhubungan dengan besarnya proporsi status lemak viseral. Makin tinggi tingkat aktivitas fisik, makin rendah persentase lemak viseral tingkat tinggi dan mendekati tinggi. Kegiatan fisik yang dilakukan teratur dapat menurunkan lemak viseral tanpa disertai penurunan berat badan. Hasil studi didukung oleh studi hubungan antara lemak viseral dengan faktor-faktor risiko jantung koroner wanita post- menopause di Meksiko (Ono et al. 2002). Kadar lemak viseral dipengaruhi oleh aktivitas fisik harian. Tabel 41 menyajikan korelasi antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan lemak viseral, persen lemak tubuh, dan densitas mineral tulang (skor- T). IMT memiliki korelasi dengan ketiga indikator itu. Skor - T dan lemak viseral berhubungan dengan berat badan dan lemak viseral. Tinggi badan me mpunyai korelasi dengan skor T. Temuan ini sejalan dengan studi pada wanita postmenopause penderita rheumatoid arthritis usia 56-70 tahun yaitu hilangnya TB antara 4 cm atau lebih selama 10 tahun dikaitkan dengan berkurangnya DMT (Sanila et al. 1993). Rendahnya tinggi badan masa kanak-kanak turut berperan dalam kejadian osteoporosis. Studi tentang pengaruh antropometri terhadap DMT pada lansia yang sehat selama 1 tahun juga dilakukan oleh H. Taggart et al. (2003). Dia membuktikan pengaruh penurunan tinggi badan dengan massa tulang pada lansia laki- laki dan perempuan. Peningkatan skor T pada laki- laki berhubungan dengan massa otot yang lebih tinggi. Besarnya massa otot mungkin mencerminkan gaya hidup yang lebih aktif dan meningkatkan kekuatan biomekanik pada tulang rangka tubuh (Kirchengast et al. 2001).
131
Korelasi paling kuat ditemukan pada indikator IMT dan berat badan terhadap lemak viseral dan persen lemak tubuh. Temuan ini berlawanan dengan hasil studi variasi persen lemak tubuh dengan variasi IMT pada lansia Spanyol (Lusine et al. 2003). Persen lemak tubuh lansia tergantung usia (lansia laki- laki dan perempuan) dan status menopause (lansia perempuan). IMT tidak dapat digunakan untuk menilai status lemak seseorang karena berat badan terdiri dari unsur massa lemak dan massa bebas lemak. Korelasi antara IMT dengan lemak viseral dalam studi ini sejalan dengan 2 studi di luar Indonesia. Studi pertama tentang penilaian adipositas untuk menilai kelainan abnormal pada lansia Inggris (Goya et al. 2005). Dia menemukan bahwa IMT dan permukaan lingkar pinggang (waist circumference) adalah indikator terbaik untuk menilai lemak viseral pada lansia laki- laki. Studi lain tentang kontribusi IMT dan permukaan lingkar pinggang pada prediksi lemak viseral pada lansia Kanada dan New York (Janssen et al. 2002). IMT dan permukaan lingkar pinggang berperan pada penentuan lemak viseral lansia laki- laki dan perempuan. Adanya korelasi antara berat badan dengan lemak viseral dalam penelitian ini berlawanan dengan studi penurunan berat badan pada lansia dengan obesitas terpusat dan subkutan. Penurunan berat badan berdampak lebih besar pada kelompok obes viseral daripada obes sub-kutan. Perbedaan hasil kedua studi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan disain yang digunakan yaitu cross sectional pada studi ini dan kohort longitudinal selama 12 minggu pada studi kedua. Hubungan antara berat badan dengan persen lemak tubuh ditemukan dalam studi ini karena persen lemak tubuh merupakan persentase lemak dalam berat badan total tubuh manusia. Peningkatan berat badan akibat lemak tubuh dapat meningkatkan persen lemak tubuh. Studi tentang persen lemak tubuh dan risiko obesitas pada lansia Indian menemukan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan persen lemak tubuh (Ram et al. 1999).
132
Tabel 41 Korelasi antara IMT, berat badan, dan tinggi badan dengan skor T, lemak viseral (VF), dan persen lemak tubuh (PLT) Indikator antropometri IMT Berat badan Tinggi badan
Skor T
VF
PLT
r = 0,142 p = 0,001* r = 0,231 p = 0,001* r = 0,190 p = 0,001*
r = 0,896 p = 0,001* r = 0,874 p = 0,001* r = 0,118 p = 0,001
r = 0,641 p = 0,001* r = 0,344 p = 0,001* r = - 0,480 p = 0,001
Tabel 42 mendeskripsikan pola kenaikan dan atau penurunan persen lemak tubuh dan lemak viseral berdasarkan kenaikan tinggi badan dan berat badan. Pada lansia laki- laki dan perempuan ditemukan pola penurunan persen lemak tubuh sesuai peningkatan tinggi badan. Sebaliknya penambahan tinggi badan lansia lakilaki dan perempuan ditandai dengan meningkatnya lemak viseral. Tetapi tidak ada hubungan antara tinggi badan dengan lemak viseral dan persen lemak tubuh. Terdapat hubungan berbanding lurus antara kenaikan berat badan terhadap persen lemak tubuh dan lemak viseral pada kedua jenis kelamin. Makin tinggi berat badan, makin besar persen lemak tubuh dan lemak viseralnya. Berat badan adalah salah satu komponen untuk menentukan kadar lemak tubuh. Berat badan terdiri dari masa lemak dan lean body mass (massa bebas lemak) sehingga bila berat badan meningkat, maka persen lemak tubuh dan lemak viseral juga meningkat. Pada lansia terjadi peningkatan berat badan akibat meningkatnya asupan energi dan menurunnya pengeluaran energi melalui aktivitas fisik. Lansia perempuan memiliki persen lemak tubuh lebih besar daripada lakilaki karena akumulasi lemak terjadi pada bagian atas tubuh laki- laki (waist circumference, waist/hip ratio, subscapular/triseps). Secara alamiah, tubuh perempuan diciptakan untuk melindungi diri dan janinnya saat hamil sehingga tubuhnya mengandung banyak enzim untuk menyimpan dan membakar lemak. Hormon estrogen mendorong enzim-enzim cadangan lemak untuk memperbanyak diri.
133
Tabel 42
Rata-rata persen lemak tubuh, dan visceral fat berdasarkan kelompok tinggi badan, kelompok berat badan, dan jenis kelamin
Indikator antropometri Tinggi badan (cm): < 150 150,1 - 160 160,1 – 175 Berat badan (kg) 30 – 40 40,1 – 50 50,1 – 60 > 60
Persen lemak tubuh Laki-laki Perempuan
Lemak Viseral Laki-laki Perempuan
27,69 + 7,53 23,25 + 6,09 23,78 + 5,52
35,31 + 5,22 35,39 + 5,52 32,41 + 5,69
7,52 + 4,13 9,20 + 4,77 9,58 + 5,02
8,50 + 4,88 8,85 + 4,84 9,29 + 5,59
- 2,49 + 0,83 - 2,28 + 0,98 - 1,97 + 1,08 - 1,75 + 0,95
- 1,77 + 1,42 - 1,64 + 1,29 - 1,78 + 0,99 - 1,24 + 1,05
2,27 + 1,62 5,04 + 2,28 8,28 + 2,60 13,83 + 3,89
2,67 + 1,62 5,53 + 2,01 8,40 + 2,41 14,26 + 4,52
Analisis regresi logistik ganda faktor- faktor risiko lemak viseral digambarkan pada Tabel 43. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap lemak viseral adalah beban kerja fisik ringan dengan nilai OR = 2,29 artinya lansia dengan tingkat kerja fisik harian ringan berpeluang memiliki lemak viseral tingkat tinggi sebesar 2,29 kali dibandingkan lansia dengan tingkat berat, setelah dikontrol oleh faktor- faktor risiko jenis wilayah perkotaan, jenis kelamin laki- laki, dan tingkat pendidikan tinggi. Tabel 43 Analisis regresi logistik ganda faktor- faktor risiko lemak viseral Variabel
Koefisien
S.E.
P Wald
OR
95.0% C.I. OR
Perkotaan
0.6398
0.1673
0.0001
1.8961
1.3660
- 2.6320
Laki-laki
0.4986
0.1712
0.0036
1.6465
1.1772
- 2.3028
Pendidikan tinggi
0.6556
0.1615
0.0000
1.9264
1.4036
- 2.6439
Beban kerja ringan 55 thn
0.8306
0.2097
0.0001
2.2947
1.5214
- 3.4610
-1.8745
0.1990
0.0000
0.1534
Konstanta
Peningkatan aktivitas kerja fisik berbanding terbalik dengan lemak viseral melalui penurunan berat badan dan lemak tubuh (The National Institute Health 1995). Temuan studi ini sejalan dengan studi hubungan antara aktivitas fisik dan jaringan lemak viseral pada lansia di Pitsburgh (Steven et al. 2002). Terdapat hubungan bermakna antara kegiatan fisik harian dengan lemak viseral pada lansia laki- laki. Lansia laki- laki memiliki kandungan lemak viseral dalam tubuh lebih besar daripada perempuan. Lansia perempuan lebih banyak memiliki lemak subkutan dibandingkan laki- laki. Hasil studi juga menemukan besar risiko atau
134
peluang laki- laki memiliki lemak viseral tingkat tinggi sebesar 1,64 kali lebih besar daripada perempuan.