BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI
6.1. Simpulan Dari hasil pembahasan dan evaluasi terhadap penerapan Balanced Scorecard sesuai dengan prinsip-prinsip Strategy Focused Organization (SFO) pada obyek penelitian, didapat simpulan sebagai berikut: 1. Dari kelima prinsip SFO tersebut, penerapan prinsip membuat strategi menjadi pekerjaan setiap pegawai setiap hari (make strategy everyone’s everyday job) merupakan prinsip yang masih lemah. Sementara itu prinsip menerjemahkan strategi menjadi istilah-istilah operasional (translate the strategy to operational terms) menjadi prisip yang penerapannya paling baik pada obyek penelitian karena semua poin yang disyaratkan oleh SFO terpenuhi. 2. Keberhasilan penerapan Balanced Scorecard pada obyek penelitian tidak terlepas dari faktor-faktor berikut: a. Peran pucuk pimpinan yang aktif terlibat langsung dan responsif. b. Komunikasi, baik komunikasi antara pimpinan dan seluruh organisasi maupun komunikasi dengan pihak eksternal sehingga tercipta sinergi. c. Employee engagement yang cukup bagus dari seluruh pegawai terhadap penerapan sistem yang baru ini. d. Reward dan insentif khususnya yang berkaitan dengan kinerja yang telah diterima pegawai telah memacu semangat dan motivasi pegawai.
127
e. Sarana dan prasarana; sarana dan prasarana saat ini masih mengkondisikan pegawai untuk tetap dapat melaksanakan pekerjaannya seoptimal mungkin. f. Peran induk organisasi/organisasi pusat dalam mendukung dan memberikan ruang bagi pembelajaran dan peningkatan kompetensi yang luas pada semua anggota organisasi. 3. Kendala dan permasalahan yang ditemui dalam penerapan tersebut adalah: a. Peran pimpinan yang belum merata di semua level manajemen; terutama terkait sistem kinerja yang baru ini. b. Tidak adanya pernyataan strategi pada unit organisasi; akan dapat menyebabkan anggota unit organisasi tidak fokus dengan strategi. c. Kurangnya pemahaman pegawai terhadap strategi organisasi, konsep Balanced Scorecard, dan KMK 454/KMK.01/2011; hal ini akan menimbulkan sudut pandang yang sempit dan berbeda antar pegawai. d. Pengukuran dan penilaian yang belum obyektif. e. Anggaran yang terbatas; anggaran yang disusun belum terhubung sepenuhnya dengan aktifitas atau kinerja yang dilakukan organisasi. f. Adanya kemampuan dan kompetensi pegawai yang belum sesuai dengan pekerjaan; hal tersebut akan menyebabkan adanya keterbatasan dalam hal pelaksanaan pekerjaan. g. Reward dan punishment yang belum sesuai; sistem reward dan insentif yang selama ini masih mengacu pada pola lama dan sistem punishment juga belum diterapkan dan dihubungkan dengan kinerja.
128
h. Sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya mendukung; saat ini pegawai memanfaatkan sarana dan prasarana seoptimal mungkin untuk tetap dapat melaksanakan pekerjaannya. Dari hasil penelitian yang telah diperoleh di obyek penelitian, paradigma yang menyatakan bahwa sistem pengukuran dan penilaian Balanced Scorecard membuat susah ternyata tidak sepenuhnya benar. Sebagian besar informan menyatakan bahwa sistem yang baru tersebut justru telah membawa perubahan ke arah yang positif. Sementara itu beberapa informan yang berpendapat bahwa sistem yang baru ini sulit dikarenakan beban pekerjaan mereka yang sudah banyak, masih harus ditambah dengan membuat laporan kinerja, baik secara manual maupun menggunakan aplikasi. Selain itu aplikasi e-performance yang digunakan untuk membuat laporan kinerja pun kondisinya pada saat itu masih belum sempurna sehingga menyulitkan mereka untuk mengisi datanya. 6.2. Keterbatasan Dalam penelitian ini ada beberapa keterbatasan yang peneliti hadapi. Keterbatasan-keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penyajian hasil evaluasi hanya pada tahun anggaran 2012 sehingga tidak bisa melihat sejauh mana progress yang telah dicapai oleh obyek penelitian dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan akses dan ketersediaan data dan informasi untuk pelaksanaan evaluasi pada tahun-tahun sebelumnya.
129
2. Informan yang berhasil diwawancarai oleh peneliti, tidak mewakili semua jabatan dan unit organisasi yang ada pada obyek penelitian. 3. Waktu penelitian yang cukup singkat, yaitu hanya 2 (dua) minggu. Sehingga hal tersebut menyebabkan peneliti tidak bisa melakukan cross check antara informasi yang diberikan informan dengan pelaksanaan riilnya pada obyek penelitian. 4. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah informan yang sedikit dan hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Agar evaluasi yang diperoleh dapat lebih bersifat obyektif dan lebih komprehensif, maka sebaiknya peneliti lain yang berminat untuk meneliti permasalahan yang sama bisa menggunakan kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif serta melakukan
analisis
menggunakan
framework
benchmarking
yaitu
membandingkan dengan organisasi publik lain yang merupakan best practice dalam penerapan Balanced Scorecard. 6.3. Implikasi Secara teoritis evaluasi ini akan memiliki implikasi pada pembuktian teori dari Kaplan dan Norton (2001), bahwa Balanced Scorecard merupakan tools manajemen yang bisa diterapkan bukan hanya pada organisasi profit saja tetapi juga pada organisasi non-profit dan pemerintahan. Organisasi non-profit dan pemerintahan juga dapat menjadi strategis dan dapat membangun keunggulan bersaing dengan cara selain dari operasional yang baik (excellent). Keberhasilan
130
penerapan Balanced Scorecard di Kementerian Keuangan bisa menambah daftar best practice dari organisasi/perusahaan yang menerapkan Balanced Scorecard. Sementara itu, secara praktis hasil evaluasi penerapan Balanced Scorecard ini bisa menjadi early warning system bagi organisasi yang menjadi obyek penelitian. Dari hasil pembahasan sebelumnya diketahui bahwa penerapan Balanced Scorecard di obyek penelitian masih terdapat beberapa titik kelemahan dan
kendala serta permasalahan yang ditemui. Kendala dan permasalahan
tersebut jika tidak segera diatasi akan menjadi ’penyakit kronis’ yang dapat menjadi penghambat bagi keberhasilan proses implementasi. Berikut ini peneliti sampaikan rekomendasi terkait permasalahan yang dihadapi obyek penelitian: 1. Agar pimpinan di semua level bisa berperan aktif dan terlibat langsung dalam memberikan bimbingan dan arahan, maka diperlukan kepemimpinan dari pucuk pimpinan yang harus bisa memberikan contoh dalam melaksanakan monitoring secara intens terhadap semua anggota organisasi, memberikan motivasi pada pegawai, baik berupa penghargaan atas pekerjaan atau ide, menyisihkan waktu yang lebih banyak lagi untuk sharing ilmu dan informasi oleh atasan terutama yang terkait dengan kinerja, serta yang penting adalah menciptakan suasana kerja yang harmonis, seperti pendekatan secara personal dengan mendatangi meja pegawai maupun mengadakan kegiatan yang bisa membangun kebersamaan dan sinergi seperti gathering. 2. Ketiadaan pernyataan strategi pada obyek penelitian.
131
Pernyataan strategi pada unit organisasi tetap diperlukan agar awareness semua anggota/pegawai dalam mencapai tujuan organisasi semakin meningkat. 3. Tingkat pemahaman pegawai yang kurang terhadap strategi organisasi dan konsep Balanced Scorecard akan mengakibatkan perbedaan sudut pandang dan pelaksanaan di lapangan. Sistem pengukuran kinerja yang berbasis Balanced Scorecard ini bertujuan agar organisasi bisa fokus terhadap keberhasilan eksekusi strategi mereka. Sehingga apabila pegawai yang memiliki peran penting dalam organisasi tidak memahami strategi organisasinya sendiri, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik baik konflik sesama pegawai, maupun antara pegawai dan organisasi. Oleh karena itu pimpinan perlu memperbaiki proses internalisasi dan sosialiasi yang dilakukan. Kegiatan internalisasi dan sosialisasi harus secara jelas memberikan informasi mengenai visi,misi, sasaran strategis dan strategi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan organisasi tersebut. Sehingga pegawai akan semakin terbuka wawasannya dan semakin termotivasi untuk memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi tersebut. Salah satu contoh proses internalisasi, sesuai dengan masukan dari salah satu informan, adalah dimasukkannya materi mengenai Balanced Scorecard dan pengelolaan kinerja pada pendidikan dan pelatihan (diklat) formal pegawai maupun pimpinan yang diadakan oleh organisasi Ditjen Perbendaharaan. 4. Untuk membuat pengukuran dan penilaian secara obyektif, maka harus bisa memberikan argumen yang didukung dengan fakta-fakta berupa dokumen atau yang lainnya. Salah satu dokumen yang bisa menjadi pendukug terhadap
132
capaian kinerja yang dicapai pegawai adalah activity log. Activity log atau di KPPN Yogyakarta dikenal dengan istilah Laporan Harian Kinerja Pegawai (LHKP) merupakan catatan aktivitas riil yang dilakukan oleh seorang pegawai setiap hari di tempat kerja disertai dengan catatan alokasi waktunya. Mengutip pendapat Susanto (2010), dengan adanya activity log, monitoring capaian kinerja yang dilakukan bukan hanya dengan melihat capaian kinerja saja tetapi juga dengan melakukan cross check antara capaian kinerja dengan activity log. Activity log merupakan driver untuk mencapai target IKU, sehingga activity log memiliki hubungan positif terhadap capaian IKU.
Apabila terdapat
ketidaksesuaian, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, IKU yang digunakan sudah benar tapi pegawai bekerja tidak efektif bekerja dalam organisasi. Kedua, IKU yang disusun tidak mencerminkan pekerjaan atau tugas riil yang dilakukan sehari-hari. Terakhir, pegawai lebih banyak melaksanakan pekerjaan adhoc diluar IKU yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. 5. Dalam penganggaran berbasis kinerja, penyerapan anggaran yang optimal tentu akan seiring dengan peningkatan kinerja. Sehingga perlu disinkronkan dan dikaji lebih mendalam antara siklus penetapan indikator kinerja dengan siklus penganggaran. 6. Masih terdapatnya kemampuan dan kompetensi pegawai yang belum sesuai dengan pekerjaan, bisa diatasi dengan memberikan lebih banyak kesempatan tugas belajar, diklat maupun peningkatan kompetensi yang diselenggarakan oleh internal organisasi. Diklat/konsentrasi tugas belajar yang diberikan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan minat pegawai. Selain itu
133
pola mutasi dan penempatan pegawai juga harus selaras dengan pengembangan kompetensi pegawai serta kebutuhan unit organisasi. 7. Rumusan reward and punishment harus benar-benar mencerminkan upah dari sebuah hasil kinerja dan akomodatif terhadap harapan pegawai. Reward dan punishment juga harus dibakukan dalam peraturan yang jelas, sehingga dalam pelaksanaannya di lapangan tidak akan menimbulkan perbedaan persepsi. Selain itu dalam penyusunan IKU dan penetapan target dan capaian kinerja, yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian reward dan punishment, juga harus sesuai dengan kondisi riilnya. 8. Keterbatasan sarana dan prasarana yang ada saat ini masih belum mengganggu kinerja organisasi. Namun jika tidak segera direspon oleh induk organisasi, maka ke depan hal ini bisa menjadi faktor penghambat yang bisa mengganggu kinerja. Apalagi sarana dan prasarana ini merupakan salah satu poin dalam prinsip SFO yang membuat strategi sebagai suatu proses yang berkelanjutan. Meremajakan dan meningkatkan performa seluruh sarana dan prasarana adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh organisasi walaupun mungkin hal tersebut akan berimbas pada kebutuhan biaya/dana yang besar.
134