HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Batangan adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Pati. Kecamatan Batangan terletak sejauh dua puluh dua kilometer ke arah timur dari kota Pati. Di sebelah utara Kecamatan Batangan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jaken dan Jakenan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Juwana. Luas wilayah Kecamatan Batangan adalah 50,66 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 40.896 jiwa yang tersebar di delapan belas desa yaitu Desa Tlogomojo, Desa Sukoagung, Desa Bulumulyo, Desa Tompomulyo, Desa Kuniran, Desa Gunungsari, Desa Kedalon, Desa Klayusiwalan, Desa Ngening, Desa Raci, Desa Ketitangwetan, Desa Bumimulyo, Desa Jembangan, Desa Lengkong, Desa Mangunlegi, Desa Batursari, Desa Gajahkumpul dan Desa Pecangaan (BPS, 2011). Kecamatan Batangan merupakan dataran rendah di pesisir pantai utara jawa (pantura) dengan ketinggian minimum dua meter dan ketinggian maksimum delapan belas meter dari permukaan laut. Jenis tanah di wilayah Kecamatan Batangan adalah tanah aluvial. Suhu maksimum di Kecamatan Batangan adalah 32°C dan suhu minimum 24°C. Kecamatan Batangan memiliki curah hujan sebanyak 847 mm/tahun dengan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak selama 61 hari (BPS, 2011). Kondisi Umum Desa Mangunlegi Desa Mangunlegi merupakan salah satu desa di kecamatan batangan yang berada di pesisir pantai utara pulau jawa. Ketinggian rata-rata desa mangunlegi apabila diukur dari permukaan air laut adalah lima meter. Di sebelah utara, Desa Mangunlegi berbatasan dengan laut jawa. Di sebelah barat, berbatasan dengan Desa Lengkong. Di Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Batursari. Dan di sebelah timur, berbatasan dengan Desa Batursari dan Desa Pecangaan. Desa Mangunlegi terdiri dari 2 dukuh, yakni Dukuh Asemlegi dan Dukuh Mangonan dengan luas wilayah keseluruhan 268,27 ha. Secara administrasi, Desa Mangunlegi dibagi menjadi 2 RW dengan 7 RT. Luas wilayah Desa Mangunlegi dipergunakan sebagai tambak, sawah (sawah tadah hujan), tegal, pemukiman,
pemakaman, lapangan, hutan bakau, dan perkantoran pemerintahan. Hijaauan makanan ternak tumbuh secara alami seperti rumput maupun hijauan makanan ternak yang tumbuh secara buatan yang sengaja ditanam oleh warga di sekitar areal tersebut yang berpotensi untuk memasok kebutuhan ternak ruminansia yang dipelihara. Jenis penggunaan lahan di Desa Mangunlegi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis Penggunaan Lahan di Desa Mangunlegi No Jenis Penggunaan Lahan 1. Tambak 2. Sawah (tadah hujan) 3. Tegalan/Ladang 4. Pemukiman 5. Hutan Bakau 6. Pemakaman 7. Lapangan 8. Perkantoran Pemerintahan
Luas (Ha) 167 40,25 28,56 26,24 3 1,5 1,5 0,25
Sumber : Profil Desa Mangunlegi (2010)
Lokasi penelitian (Desa Mangunlegi) dibagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di desa mangunlegi. Zona yang pertama adalah zona pesisir pantai, dimana zona daratan yang terkena langsung air laut ketika pasang surut. Zona kedua adalah zona tambak. Zona ketiga adalah zona sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman. Kondisi Umum Peternakan Desa Mangunlegi Populasi ternak Kecamatan Batangan dapat dilihat pada Tabel 4. Populasi ternak di Desa Mangunlegi didominasi oleh ternak ruminansia dan unggas. Ternak ruminansia yang banyak dipelihara oleh peternak setempat adalah sapi dan kambing, sedangkan ternak unggas yang dipelihara umumnya adalah ayam buras. Menurut lurah desa mangunlegi, beternak merupakan mata pencaharian sampingan (sambilan) yang dilakukan oleh sebagian warga. Mata pencaharian utama sebagian besar warga desa mangunlegi adalah petani garam dan peternak ikan bandeng yang dilakukan di tambak yang mereka miliki. Apabila melihat lebih lanjut tentang kondisi peternakan ruminansia, warga Desa Mangunlegi menggunakan sistem pemeliharan tradisional secara semi-intensif. Dikatakan tradisional karena warga memelihara ternaknya dengan pengetahuan
15
seadanya yang didasarkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Pemeliharaannya dilakukan secara intensif dimana ternak selalu berada di dalam kandang dan semi-intensif yakni dengan cara menggembalakannya pada siang hari dan mengkandangkannya pada sore hari. Sebagian besar penanganan penyakitnyapun dilakukan dengan pemberian resep obat tradisional pada ternak yang terserang penyakit. Tabel 4. Populasi Ternak Kecamatan Batangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Desa Tlogomojo Sukoagung Bulumulyo Tompomulyo Kuniran Gunungsari Kedalon Klayusiwalan Ngening Raci Ketitangwetan Bumimulyo Jembanga Lengkong Mangunlegi Batursari Gajahkumpul Pecangaan Kec. Batangan
Jenis Ternak Sapi Kambing Domba Kuda Ayam Buras 171 205 0 1 1785 159 199 10 1 1591 420 315 15 2 2152 520 186 7 1 1789 516 236 6 5 1821 651 204 0 2 1539 1092 210 11 0 2182 509 296 5 2 2341 446 274 152 3 2366 122 331 46 3 2106 154 240 41 2 1245 29 214 0 0 1439 433 193 26 0 1939 40 212 12 1 1968 253 205 0 0 1536 251 215 19 2 1809 141 252 0 1 1408 0 257 28 0 1391
Itik 172 169 211 188 212 197 197 225 216 195 221 209 271 241 199 206 184 173
5907
3686
4244
378
26
32407
Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Kecamatan Batangan
Jenis Ternak Ternak ruminansia yang banyak dipelihara oleh warga adalah sapi dan kambing. Jenis kambing yang dipelihara adalah kambing lokal (kacang) (Gambar 2a), kambing peranakan ettawa (PE), dan kambing jawarandu yang merupakan persilangan antara kambing lokal dengan peranakan ettawa. Jenis sapi yang dipelihara adalah sapi peranakan ongole (PO) (Gambar 2b) yang lebih sering disebut oleh warga sebagai sapi lokal atau sapi jawa atau sapi putih. Kambing kacang memiliki ciri bulu pendek (putih, hitam dan coklat). Tanduk berbentuk pedang 16
lengkung ke atas dan ke belakang. Pada umumnya memiliki telinga pendek dan tegak (Devendra dan Burns, 1983). Kambing peranakan ettawa merupakan hasil persilangan antara kambing ettawa dari India dengan kambing kacang dari Indonesia. Kambing PE banyak dikembangkan di Indonesia terutama di daerah pedesaan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pesisir Utara Jawa Barat (Heriyadi, 2004). Jakaria et al. (2007) menggolongkan sapi pesisir ke dalam kelompok sapi Bos indicus. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) bangsa sapi yang diklasifikasikan ke dalam Bos indicus adalah sapi Ongole, Brahman, Angkole, dan Boran.
(a)
(b)
Gambar 2. Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi. (a) kambing lokal (kacang); (b) sapi peranakan ongole (PO). Sistem pemeliharaan Pemeliharaan ternak ruminansia yang dilakukan oleh para peternak di Desa Mangunlegi yakni menggunakan dua sistem yakni intensif dan semi-intensif. Peternak yang menggunakan sistem intensif selalu menempatkan ternaknya di dalam kandang sepanjang hari dengan alasan keamanan. Peternak yang menggunakan sistem semi-intensif menggembalakan hewan ternak mereka pada siang hari dan menempatkannya di dalam kandang pada malam hari. Zona tempat penggembalaan ternak berada di zona tambak (Gambar 3a), zona sawah (Gambar 3b), dan zona pemukiman. Pada zona tambak dan zona sawah, ternak dibiarkan mencari rumput sepanjang hari, diikat dengan menggunakan tali tambang pada sebuah pasak yang tertancap di tanah. Pada zona pemukiman, ternak digembalakan di sekitar rumah mereka untuk mencari rumput.
17
(a)
(b)
Gambar 3. Zona Pengembalaan Ternak. (a) Zona tambak, (b) zona sawah. Pola penyediaan hijauan Peternak di Desa Mangunlegi menerapkan sistem pemeliharaan intensif dan semi-intensif. Peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif, melakukan cara cut and carry dalam menyediakan hijauan pakan bagi ternaknya (Gambar 4). Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979), sistem cut and carry adalah makanan diaritkan dan diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan perlu mendapat perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi. Peternak
yang
menerapkan
sistem
pemeliharaan
semi-intensif,
menggembalakan ternaknya pada siang hari dan mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan ternak pada malam hari. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menyatakan bahwa penggembalaan berarti sebagian besar atau seluruh kebutuhan makanan diperoleh dari lapangan penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang diperoleh di lapangan penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi.
(a)
(b)
Gambar 4. Pola Penyediaan Hijauan Makanan Ternak
18
Peternak yang memelihara sapi selain memberi rumput potongan juga memberi pakan jerami padi kering kepada ternaknya. Peternak mengaku tidak mampu mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BK sapi. Bahkan untuk peternak yang memiliki sapi lebih dari empat ekor, harus membeli jerami padi untuk konsumsi sapi yang dimiliki. Harga jerami padi yang dbeli peternak berkisar Rp 900.000,00 – Rp 1.200.000,00 per truk, tergantung kadar air jerami padi. Jerami yang mereka miliki, disimpan di lumbung jerami sebagai persediaan (Gambar 5). Menurut Sarwono dan Arianto (2003), dengan memiliki persediaan jerami padi kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput, namun jerami padi memiliki kandungan nutrisi rendah. Jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit dicerna, karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh struktur jaringan yang sudah tua, melalui proses lignifikasi.
Gambar 5. Lumbung Jerami Pakan untuk ternak kambing biasanya diambil dari rumput dengan ditambah beberapa leguminosa atau yang disebut dengan ramban. Leguminosa tersebut antara lain adalah Leucaena leucocephala Lamk., atau dalam nama lokal disebut godhong petet, Pterocarpus indicus Willd. (godhong angsana), Gliricidia sepium Jacq. Kunth. ex Walp. (godhong kudo), Hibiscus macrophyllus Roxb. (godhong waru), Ruta angustifolia Pers. (godhong kelor). Ramban yang diambil oleh peternak adalah ramban yang disukai ternak. Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, beberapa hijauan yang disukai oleh ternak sapi dan telah teridentifikasi adalah jerami padi (Oryza sativa), Alternanthera philoxeroides Mart. Griseb., Andropogon bladii Retz., Andropogon sp., Arthraxon hispidus Makino., Bulbostylis warei Torr., Cardaminehirsuta L,
19
Carum roxburghianum Benth., Chloris garbata L. Swartz., Cynodon dactylon L. Pers., Cyperus rotundus L., Echinochloa colona L., Eleusine indica L. Gaertn., Fimbristylis aphylla Steud., Ipomoea aquatica Forsk., Ipomoea obscura L., Leptochloa chinensis L. Ness., Panicum paludosum Roxb., Panicum repens L., Paspalidium flavidium Retz., Schizachfrium brevifolium Sw. Ness., Sphaeranthus indicus L., Xerochloa cheribon Steud. Ohwi. Keanekaragaman dan Komposisi Botani Hijauan di Desa Mangunlegi Identifikasi jenis hijauan yang terdapat di Desa Mangunlegi dengan menggunakan herbarium dan untuk menganalisis komposisi botani digunakan metode “Dry Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Setiap zona penelitian dilakukan penghitungan komposisi botani untuk menentukan persentase tiap jenis hijauan yang ada. Tabel 5. Komposisi Botani Zona Pantai No. Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Kodokan
Panicum repens L.
45,46
2
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
42,42
3
Mbakonan Tambak
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
9,85
4
Abangan Tambak
Andropogon sp. Herb. Linn.
2,27
Hijauan di zona pantai didominasi oleh rumput Pannicum repens L. yakni sebesar 45,46% (Tabel 5). Urutan kedua ditempati oleh rumput Cynodon dactylon L. Pers. dengan porsi 42,42%. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh Xerochloa cheribon Steud. Ohwi. dan Andropogon sp. Herb. Linn. Pier (1999) mengatakan bahwa Panicum repens L. tumbuh di tanah yang lembab seperti pada tanah pasir di sepanjang pantai, dipinggir laguna, danau, kolam dan sungai di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Panicum repens L. secara cepat berkembang menjadi monokultur di habitatnya menggeser kehadiran rumput yang lain. Secara spesifik, Panicum repens L. adalah rumput yang sangat kompetitif dalam penyerapan air dan dapat menurunkan produksi Cynodon dactylon L. Pers. hingga 40% dalam dua tahun. Pada zona tambak teridentifikasi delapan jenis rumput. Rumput yang mendominasi adalah Cynodon dactylon L. Pers. sebanyak 30,28% (Tabel 6). Apabila
20
merujuk ke Tabel 9. salinitas tanah di zona tambak mencapai 3020 ppm. Cynodon dactylon L. Pers dapat tumbuh dengan baik dan mendominasi komposisi botani rumput. Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan ternak. Tabel 6. Komposisi Botani Zona Tambak No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
30,28
2
Kacang-kacangan
Cardaminehirsuta L.
28,40
3
Gondan
Arthraxon hispidus Makino.
12,76
4
Abangan Tambak
Andropogon sp. Herb. Linn.
12,47
5
Platikan
Carum roxburghianum Benth.
8,23
6
Cakar Ayam
Borreria latifolia Schum.
3,02
7
Lawatan
Ipomoea obscura L.
3,02
8
Mbakonan Tambak
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
1,81
Tabel 7. Komposisi Botani Zona Sawah No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
35,17
2
Suket Teki
Cyperus rotundus L.
16,82
3
Abangan Sawah
Leptochloa chinensis L. Nees.
10,76
4
Tuton
Echinochloa colona L.
9,16
5
Senikan
Andropogon bladii Retz.
8,67
6
Kremah/Urang
Alternanthera philoxeroides Mart.
6,71
Griseb. 7
Klapa-klapanan
Sphaeranthus indicus L.
5,70
8
Kangkung
Ipomoea aquatic Forsk.
4,12
9
Melikan Dawa
Fimbristylis aphylla Steud.
2,89
Pada zona sawah teridentifikasi sembilan jenis rumput, didominasi oleh rumput Cynodon dactylon L. Pers. sebanyak 35,17% (Tabel 7). Apabila
21
membandingkan salinitas tanah zona penelitian (Tabel 9) zona sawah memiliki salinitas tanah yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan zona pantai maupun zona tambak. Rumput Cynodon dactylon L. Pers tetap saja mendominasi baik di peringkat pertama maupun kedua tabel komposisi botani, namun ada dampak yang nyata pada produktivitasnya. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan berat kering tanaman pada Cynodon dactylon L. Pers. akan menurun beranding terbalik dengan peningkatan salinitas tanah. Tabel 8. Komposisi Botani Zona Pemukiman No Nama Lokal Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
23,60
2
Suket Teki
Cyperus rotundus L.
22,62
3
Lulangan
Eleusine indica L. Gaertn.
9,35
4
Kodokan
Panicum repens L.
9,05
5
Melikan Cekak
Bulbostylis warei Torr.
6,04
6
Abangan Sawah
Leptochloa chinensis L. Nees
6,04
7
Sadaman
Elephantopus scaber L.
3,92
8
Kangkung
Ipomoea aquatic Forsk.
3,92
9
Melikan Dawa
Fimbristylis aphylla Steud.
3,02
10
Juwawut
Chloris garbata L. Swartz.
3,02
11
Mbakonan Pemukiman
Schizachfrium brevifolium Sw. Nees.
3,02
12
-
Panicum paludosum Roxb.
2,56
13
Klapa-klapanan
Spaeranthus indicus L.
2,03
14
-
Paspalidium flavidium Retz.
1,81
Pada zona pemukiman teridentifikasi 14 jenis dan rumput yang banyak ditemui adalah rumput Cynodon dactylon L. Pers. dengan nilai komposisi botani sebesar 23,60% (Tabel 8). Merujuk pada Tabel 9. seiring menjauhi zona pantai, salinitas tanah mulai menurun dan keanekaragaman jenis rumput juga meningkat. Hal ini disebabkan tidak semua jenis rumput dapat berkembang dengan baik di tanah salin karena pengaruh cekaman atau stress. Harjadi dan Yahya (1988) mengungkapkan bahwa stres garam merupakan salah-satu dari antara enam bentuk stres tanaman yaitu stres suhu, stres air, stres radiasi, stres bahan kimia dan stres
22
angin, tekanan, bunyi dan lainnya. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman. Rumput Cynodon dactylon L. Pers. atau yang sering disebut oleh peternak sebagai suket grinting dapat tumbuh di semua zona rumput yang terdapat di Desa Mangunlegi. Berdasarkan Tabel 9. tempat zona tersebut memiliki salinitas yang berbeda. Besarnya salinitas tersebut meningkat apabila mendekati daerah pantai yang terkena air laut secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa rumput Cynodon dactylon L. Pers. dapat bertahan hidup di tanah yang salinitasnya hingga 3270 mg/l. Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers. ditemukan di habitat yang beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan baik pada tanah salin, mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap cekaman garam. Tabel 9. Salinitas Tanah Zona Penelitian No
Zona
Luas (ha)
Salinitas (ppm)
1
Pantai
4,57
3270,00
2
Tambak
167
3020,00
3
Sawah
40,25
1102,67
4
Pemukiman
26,24
337,00
Seiring dengan menurunnya nilai salinitas tanah di tiap zona penelitian, jumlah spesies rumput yang tumbuh pun mengalami peningkatan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya empat jenis rumput di zona pantai, delapan jenis rumput di zona tambak, sembilan jenis rumput di zona sawah dan empat belas jenis rumput di zona pemukiman.
23
Gambar 6. Peta Komposisi Botani Hijauan Desa Mangunlegi
24
Alternanthera philoxeroides Mart. Griseb.
Andropogon bladii Retz.
Andropogon sp. Herb. Linn.
Arthraxon hispidus Makino.
Borreria latifolia Schum.
Bulbostylis warei Torr.
Cardaminehirsuta L.
Carum roxburghianum Benth.
Gambar 7. Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi
25
Chloris barbata L. Swartz.
Cynodon dactylon L. Pers.
Cyperus rotundus L.
Echinochloa colona L.
Elephantopus scaber L.
Eleusine indica L. Gaertn.
Gliricidia sepium Jacq. Kunth. ex Walp. Hibiscus macrophyllus Roxb. Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
26
Ipomoea aquatic Forsk.
Ipomoea obscura L.
Leptochloa chinensis L. Nees.
Leucaena leucocepala Lamk.
Panicum paludosum Roxb.
Fimbristylis aphylla Steud.
Panicum repens L.
Paspalidium flavidum Retz.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
27
Pterocarpus indicus Willd.
Ruta angustifolia Pers.
Schizachfrium brevifolium Sw. Nees.
Sphaeranthus indicus L.
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi. Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan) Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Batangan dihitung berdasarkan metode Nell and Rollinson (1974) dengan pendekatan potensi lahan sebagai sumber dan penyedia hijauan bagi ternak ruminansia. Penghitungan potensi lahan sebagai sumber penyedia hijauan makanan ternak ruminansia dilakukan dengan menganalisis data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. Data populasi ternak diperoleh dari Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kecamatan Batangan. Populasi ternak dikalikan dengan koefisien satuan ternak.
28
Tabel 10. Analisis KPPTR Nell & Rollinson Kecamatan Batangan No.
Desa
Populasi Ternak (ST)
Asumsi Produksi Hijauan (ton BK/ha/thn)
KKPTR
KPPTR
Maksimum
Efektif
1
Tlogomojo
131,62
222,59
96,95
-34,67
2
Sukoagung
123,96
312,30
136,03
12,07
3
Bulumulyo
308,71
822,93
358,44
49,73
4
Tompomulyo
363,36
291,64
127,03
-236,33
5
Kuniran
367,91
334,28
145,60
-222,31
6
Gunungsari
452,40
261,78
114,02
-338,38
7
Kedalon
746,27
391,80
170,66
-575,61
8
Klayusiwalan
365,68
390,60
170,13
-195,55
9
Ngening
334,93
222,57
96,94
-237,99
10
Raci
114,71
51,60
22,48
-92,23
11
Ketitangwetan
127,38
41,88
18,24
-109,14
12
Bumimulyo
36,87
77,40
33,71
-3,16
13
Jembangan
306,71
140,59
61,24
-245,47
14
Lengkong
45,85
89,90
39,16
-6,69
15
Mangunlegi*
185,50
793,64
345,68
160,18
16
Batursari
188,17
157,68
68,68
-119,49
17
Gajahkumpul
115,47
32,76
14,27
-101,20
18
Pecangaan
23,40
0,00
0,00
-23,40
4.338,90
4.635,94
2.019,26
-2.319,64
Kec Batangan *) Lokasi penelitian
Kecamatan Batangan memiliki nilai KPPTR negatif (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa produksi hijauan makanan ternak (HMT) Kecamatan Batangan tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak yang ada. Rumus dan perhitungan nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia dapat dilihat pada lampiran 1 dan lampiran 2. Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang paling tinggi jika dibandingkan dengan desa lain di kecamatan Batangan. Masyarakat di Desa Mangunlegi masih bisa menambah populasi ternak ruminansia yang mereka miliki
29
sebanyak 160,18 ST. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hijauan di Desa Mangunlegi masih memenuhi kebutuhan untuk pakan ternak ruminansia. Selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak untuk Desa Mangunlegi sendiri, hijauan makanan ternak yang tersedia dapat dijual keluar daerah untuk memenuhi kebutuhan makanan ternak di desa lain. Meskipun di Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang positif, kebiasaan peternak yang suka mencari dan membeli jerami padi dari daerah lain tetap dilakukan. Hal ini disebabkan oleh peternak tidak sanggup memotong rumput selama seharian untuk memenuhi kebutuhan ternak. Kebanyakan peternak hanya mampu mencari rumput sebanyak tiga karung per hari. Selain itu, kebiasaan membeli jerami padi tetap dilakukan peternak karena produktivitas rumput lapang sangat fluktuatif. Produktivitas rumput lapang akan sangat menurun apabila musim kemarau, ditambah lagi area Desa Mangunlegi yang berada di pesisir pantai yang memiliki suhu maksimum mencapai 32ºC. Potensi Hijauan Galengan Tambak Analisis KPPTR menurut Nell dan Rollinson (1974) belum memasukkan perhitungan potensi galengan tambak sebagai penyedia hijauan. Akan tetapi, Desa Mangunlegi memiliki luas galengan tambak yang berpotensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak. Peternak setempat memanfaatkan galengan tambak untuk menggembalakan ternak dan mencari rumput. Desa Mangunlegi, memiliki luas tambak seluas 167 ha (data profil desa). Peternak di Desa Mangunlegi sering mencari rumput lapang di area galengan tambak. Selain itu, peternak juga menggembalakan kambing yang dimiliki di area galengan tambak. Hal ini menunjukkan tambak memiliki potensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak. Potensi hijauan yang ada di area galengan tambak diketahui berdasarkan persentase luasan galengan tambak dari luas tambak yang ada. Persentase rata-rata luas galengan 9,64% dari luas tambak secara keseluruhan (lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi memiliki luas galengan tambak sebesar 16,10 ha. Daya dukung total galengan tambak di Desa Mangunlegi adalah sebesar 41,96 ST, menunjukkan galengan tambak memiliki potensi sebagai penyedia hijauan 30
untuk sekitar 41,96 ST. Jika dijumlahkan antara potensi galengan tambak dengan analisis KPPTR dengan metode Nell dan Rollinson (1974) maka nilai KPPTR efektif Desa Mangunlegi akan bertambah menjadi 202,14 ST (lampiran 10). Persentase produksi hijauan di galengan tambak sebesar 39,89% dari padang rumput permanen. Nilai persentase tersebut dapat digunakan sebagai nilai koefisien produksi hijauan tambak dalam perhitungan potensi hijauan galengan tambak yakni sebesar 0,399 dari produksi hijauan padang rumput permanen. Potensi Wilayah untuk Pengembangan Peternakan Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknis maka, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Selain perhitungan kepadatan teknis, dihitung pula kepadatan ekonomis. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) semakin rendah nilai kepadatan teknik suatu wilayah, maka wilayah tersebut semakin berpotensi untuk pengembangan peternakan ruminansia karena jumlah ternak tiap satuan wilayah penghasil hijauan masih sedikit. Apabila dilihat pada Tabel 11. maka desa yang memiliki nilai kepadatan teknik yang masih rendah adalah desa Sukoagung, Bumimulyo, dan Lengkong. Oleh karena itu, penambahan populasi ternak ruminansia masih memungkingkan apabila ditinjau dari aspek kepadatan teknik. Di Desa Pecangaan, memiliki nilai kepadatan teknik imajiner. Hal ini disebabkan oleh Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah penghasil hijauan. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menegaskan bahwa semakin tinggi nilai kepadatan ekonomik suatu wilayah, maka wilayah tersebut cenderung ke arah konsumen hijauan. Beberapa desa yang berperan sebagai konsumen hijauan adalah Desa Kedalon, Desa Gunungsari, dan Desa Kuniran. Apabila dilihat dari aspek kepadatan ekonomik, Desa Mangunlegi relatif memiliki nilai yang rendah apabila dibandingkan dengan desa lain. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi merupakan desa produsen hijauan. Untuk Desa Pecangaan, meski memiliki nilai kepadatan ekonomik yang rendah apabila dibandingkan dengan desa lain, namun Desa Pecangaan tidak bisa dikatakan sebagai daerah produsen hijauan. Hal ini disebabkan oleh Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah sebagai penghasil hijauan. 31
Tabel 11. Potensi Desa untuk Pengembangan Ternak Ruminansia Kec. Batangan No Desa
Jumlah Populasi Ternak (ST)
Luas Wilayah (km²)
Kepadatan
Kepadatan
Teknis
Ekonomis
1
Tlogomojo
131,620
1,272
103,442
0,132
2
Sukoagung
123,960
1,768
70,105
0,124
3
Bulumulyo
308,710
2,978
103,667
0,309
4
Tompomulyo
363,360
1,798
202,046
0,363
5
Kuniran
367,910
1,921
191,560
0,368
6
Gunungsari
452,400
1,604
282,010
0,452
7
Kedalon
746,270
2,311
322,991
0,746
8
Klayusiwalan
365,680
2,269
161,164
0,366
9
Ngening
334,930
1,316
254,603
0,335
10
Raci
114,710
0,349
328,682
0,115
11
Ketitangwetan 127,380
0,279
456,232
0,127
12
Bumimulyo
36,870
0,516
71,453
0,037
13
Jembangan
306,710
0,949
323,363
0,307
14
Lengkong
45,850
0,599
76,506
0,046
15
Mangunlegi*
185,500
1,049
176,801
0,186
16
Batursari
188,170
1,064
176,852
0,188
17
Gajahkumpul
115,470
0,218
528,709
0,115
18
Pecangaan
23,400
0,000
imajiner
0,023
4338,900
22,260
3830,186
4,339
Kec. Batangan *) Lokasi Penelitian
32