HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Air Media (KAM) Air memegang peranan penting bagi tanaman. Untuk setiap gram zat organik yang dibuat oleh tanaman kira-kira 500 gram air diserap oleh akar dari tanah, yang nantinya akan ditranspor ke seluruh bagian tanaman dan beberapa akan hilang ke atmosfer (Taiz dan Zeiger 2002). Kandungan air pada tanaman akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan salah satunya adalah kandungan air tanah itu sendiri. Perlakuan cekaman kekeringan dengan menunda penyiraman dapat menurunkan KAM hingga mencapai rata-rata 51%, seperti pada Gambar 7. KAM terendah setelah 12 hari perlakuan kekeringan terdapat pada varietas Tidar yaitu 11,13% dan yang tertinggi pada varietas Panderman yaitu 12,54%. Dari data terlihat bahwa Panderman termasuk kedelai peka terhadap kekeringan, sehingga dengan KAM sebesar 12,54% tanaman telah layu seperti tanaman lainnya. Berbeda dengan kedelai budidaya, kedelai liar bisa mempertahankan turgornya sampai hari ke-22 ketika KAM mencapai nilai sebesar 8,53%. Seperti halnya kedelai budidaya, jagung juga hanya bisa bertahan sampai hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan. Hal ini bisa dimengerti, karena struktur tanaman jagung lebih besar dari pada tanaman kedelai, sehingga jagung membutuhkan jumlah air yang lebih besar dibandingkan kedelai. Penurunan KAM dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan aliran air pada tanaman, sehingga terjadi defisit air dan gangguan fungsi fisiologis di dalam sel tanaman. Menurut Taiz dan Zeiger (2002) laju aliran air dalam tanah bergantung pada dua faktor yaitu: besarnya gradien tekanan air tanah, dan konduktivitas hidrolik tanah. Aliran air ini terkait dengan potensial air, potensial osmotik dan gradien tekanan. Ketika kandungan air tanah menurun, konduktivitas hidrolik tanah juga akan menurun drastis. Penurunan ini terjadi karena adanya penguapan. Pada tanah yang sangat kering, potensial air akan menurun dibawah titik layu permanen. Pada titik ini potensial air tanah sangat rendah dimana tanaman tidak bisa mempetahankan tekanan turgor walaupun kehilangan air lewat
23
transpirasi berhenti. Pada kondisi ini berarti potensial air tanah lebih rendah dari atau sama dengan potensial osmotik tanaman (Levitt 1980). Aliran air di tanah terjadi dalam bentuk aliran bulk yang terjadi karena adanya gradien tekanan. Air ini kemudian akan diserap oleh tanaman secara osmosis melalui membran sel akar. Penyerapan air ini terjadi karena adanya gradien potensial osmotik ataupun gradien potensial air antara tanaman dan tanah (Taiz dan Zeiger 2002).
KAM (%)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 0
3
6
9
12
15
0
3
KAM (%)
Varietas Burangrang
6
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 0
3
6
9
12
15
0
5
10
15
20
25
Jagung 30
KAM (%)
25 20 15 10 5 0 0
3 6 9 12 Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol kekeringan
15
Gambar 7 Kandungan Air Media (%) pada 0 sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukan titik rewatering. Ketika kondisi kekeringan, tanah akan mengalami penurunan potensial air, sehingga laju penyerapan air oleh tanaman juga menurun. Telah diketahui bahwa aliran air terjadi dari potensial air tinggi ke potensial air rendah, sehingga tanaman
24
berusaha untuk menjaga agar potensial air tanaman lebih rendah dari pada potensial air tanah, sehingga air dapat diserap oleh tanaman (Kramer dan Boyer 1995). Rewatering akan dapat meningkatkan KAM kembali (Gambar 7). Peningkatan KAM mencapai nilai yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Menurut Marschner (1995), peningkatan kandungan air tanah dapat mengurangi faktor stres yang disebabkan oleh cekaman kekeringan dan dapat menurunkan kerusakan akibat stres yang terjadi. Dengan sendirinya tanaman dapat tumbuh kembali dan terhindar dari kerusakan akibat stres air.
Kandungan Air Relatif (KAR) Penurunan KAM akibat perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan penurunan KAR daun tanaman, seperti pada Gambar 8. Penurunan KAR daun mulai terlihat pada hari ke-4 setelah perlakuan cekaman kekeringan. Penurunan ini terus terjadi sampai hari terakhir perlakuan (hari ke-12). Nilai KAR tertinggi setelah 12 hari perlakuan cekaman kekeringan terdapat pada jagung yaitu 60,7%, sedangkan KAR terendah pada kedelai varietas Panderman yaitu 32,45%. Secara umum hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan tanaman mengalami penurunan KAR sampai dibawah 50%, kecuali pada kedelai liar dan jagung. Pada kedelai liar penurunan dibawah 50% baru terjadi pada hari ke-18 setelah perlakuan kekeringan, sedangkan pada tanaman jagung penurunan KAR mencapai nilai 60%. Penurunan KAR daun ini diikuti oleh kehilangan turgor daun dan akhirnya terjadi kelayuan, penutupan stomata, penurunan fotosintesis dan mempengaruhi proses metabolisme dasar lainnya (Kramer 1995). Kehilangan turgor akibat penurunan KAR daun berkaitan dengan kondisi air media tanam. Pada kondisi normal, dimana potensial air media lebih tinggi dari pada potensial air tanaman, tanaman akan dapat menyerap air dengan baik. Proses ini berlangsung hingga terjadi keseimbangan, yaitu potensial air sel tanaman akan meningkat sama dengan potensial air media sehingga tekanan turgor benilai positif (Taiz dan Zeiger 2002). Ketika cekaman kekeringan terjadi, dimana KAM rendah, laju penyerapan air oleh tanaman menurun, sehingga KAR daun juga ikut menurun dan akan menurunkan tekanan turgor sel.
25
Penurunan KAR daun akan menurunkan konduktansi stomata daun dan dengan perlahan akan menurunkan konsentrasi CO2 di dalam daun. Karena penurunan konduktansi stomata menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 dan dengan sendirinya akan menurunkan laju fotosintesis (Lawlor 2002). Penurunan konduktansi stomata ini terjadi pada tanaman untuk mengurangi kehilangan air yang berlebihan akibat stres air yang terjadi (Levitt 1980).
KAR (%)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 0
3
6
9
12
15
0
3
KAR (%)
6
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang 100
100
80
80
60
60
40
40
20
20 0
0 0
3
6
9
12
15
0
5
10
15
20
25
Jagung
100
KAR (%)
80 60 40 20 0 0
2 4 6 8 10 12 Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol
14
kekeringan
Gambar 8 Kandungan Air Relatif (%) kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering. Rewatering dapat meningkatkan KAR daun sampai pada tingkat yang sama dengan KAR daun tanaman kontrol setelah dua hari recovery (Gambar 8). Peningkatan KAR (Gambar 8) seiring dengan peningkatan KAM (Gambar 7). Peningkatan KAR daun ini diperlukan untuk perbaikan tanaman dari kerusakan akibat perlakuan cekaman kekeringan. Blanco-shanchez et al. (2002) telah
26
melakukan penelitian pada tanaman Cistus albidus dan Cistus monspeliensis, dan dari penelitian ini diperoleh bahwa pemberian air kembali pada tanaman yang mendapat perlakuan kekeringan dapat meningkatkan KAR daun sampai mencapai nilai yang sama dengan kontrol. Air sebagai komponen utama tanaman dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk transportasi air dan mineral. Pada kondisi ini tanaman telah mampu kembali menjaga keseimbangan gradien potensial osmotik antara media-akar dan tajuk (Marschner 1995). Varietas Panderman
KAR (%)
Varietas Tidar 100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
KAR (%)
Varietas Burangrang
1
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
1
2
3
4
5
6
Jagung 100 KAR (%)
80 60 40 20 0 0
1 2 3 4 5 Hari setelah perlakuan paraquat kontrol
6
paraquat
Gambar 9 Kandungan Air Relatif (%) daun dari 0, 4 jam, 1 hari sampai 5 HSP herbisida paraquat.
27
Pemberian herbisida paraquat juga dapat menurunkan KAR daun. Penurunan drastis umumnya terjadi 1 HSP herbisida paraquat. Penurunan KAR terus terjadi sampai hari ke-3 dan naik 5 HSP herbisida paraquat, terutama pada varietas Burangrang dan jagung. Penurunan KAR ini terjadi mungkin karena terjadinya kerusakan membran pada tanaman akibat perlakuan herbisida paraquat. Kerusakan membran ini akan dapat mengganggu penyerapan air dan turgor sel tanaman (McKersier 1996). Tidak demikian dengan varietas Panderman dan kedelai liar, justru menunjukkan kenaikan KAR 3 hari hingga 5 HSP herbisida paraquat (Gambar 9). Pertumbuhan Tanaman Tinggi tajuk dan panjang akar Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan selama 12 hari tidak teberpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Penurunan tinggi tajuk terbesar terjadi pada Burangrang yaitu mencapai 14,12% dan penurunan terkecil terjadi pada jagung yaitu sebesar 4,84%. Pada kedelai liar, walaupun terjadi peningkatan tinggi tajuk sebesar 2,88%, tapi tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan tajuk, akar justru lebih panjang pada perlakuan cekaman kekeringan dari pada kontrol, tapi tidak berbeda nyata pada Tidar dan Burangrang, (Gambar 10b). Peningkatan panjang akar tertinggi terjadi pada Panderman yaitu 22,89%, sedangkan yang terendah adalah varietas Tidar yaitu 6,42%. Penekanan pertumbuhan tajuk dan peningkatan panjang akar selama cekaman kekeringan ini mengakibatkan meningkatnya rasio akar dan tajuk. Banyak peneliti yang mencatat bahwa ketika tanaman mengalami stres air, maka akan terjadi penekanan pertumbuhan tajuk yang lebih besar dari pada penekanan pertumbuhan
akar,
sehingga
akan
mempengaruhi
keseimbangan
antara
pertumbuhan akar dan tajuk (Marschner 1995). Keseimbangan rasio pertumbuhan akar dan tajuk ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Ukuran sistem akar dan juga rasio bobot kering akar/tajuk dibutuhkan untuk fungsi akar (Marschner 1995). Taiz and Zeiger (2002) menambahkan bahwa tajuk akan tumbuh sedemikian sampai pengambilan air oleh akar menjadi pembatas pertumbuhan selanjutnya, sebaliknya akar akan
28
tumbuh sampai permintaan untuk fotosintat dari tajuk sama dengan suplai fotosintat ke tajuk. Hal ini dilakukan tanaman sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi kekeringan. Penekanan pertumbuhan ini terkait dengan distribusi fotosintat yang dibutuhkan organ tanaman, selain itu juga terkait dengan kemampuan akar untuk mencari air yang lebih ke dalam tanah.
Tinggi tajuk (cm)
a 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Tidar
Burangrang
Panderman
Kedelai Liar
Jagung
Kedelai Liar
Jagung kontrol kekeringan
Panjang akar (cm)
b 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tidar
Burangrang
Panderman
Gambar 10 Tinggi tajuk (a) dan panjang akar (b) 12 HSP kekeringan. Wu dan Cosgrove (2000) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi dan molekular yang membantu pertumbuhan akar dibawah kondisi kekeringan dapat terlihat antara lain pada perubahan dinding sel. Kecambah jagung beradaptasi terhadap potensial air rendah dengan membentuk dinding pada bagian apikal akar. Pada bagian akar ini akan terjadi peningkatan aktivitas pemanjangan dan pada bagian lain terdapat enzim yang dapat menginduksi pemanjangan akar dan perubahan dinding sel akar yang lebih kompleks.
29
Kramer (1995) menambahkan bahwa akar pada tanaman yang terdapat pada tanah kering berfungsi sebagai sensor utama terhadap stres air. Perubahan kandungan air tanah akan dapat menyebabkan perubahan metabolisme akar seperti; penurunan produksi sitokinin, peningkatan produksi ABA, dan gangguan metabolisme nitrogen yang akan mengirim signal biokimia ke tajuk. Signal ini akan menginduksi terhambatnya pertumbuhan tajuk sehingga terjadi perubahanperubahan pada tanaman seperti; penurunan pertumbuhan, konduktan stomata dan laju fotosintesis, tanpa memperhatikan status air daun. Bobot kering tajuk dan bobot kering akar Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan dapat mempengaruhi bobot kering tajuk tanaman. Tanaman yang diberi perlakuan cekaman kekeringan memiliki bobot kering tajuk yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman kontrol, baik pada tanaman kedelai maupun jagung, seperti terlihat pada Gambar 11 (a dan b). Penurunan bobot kering tajuk tertinggi terjadi pada Burangrang yaitu 65,12% dan penurunan terendah pada kedelai liar yaitu 16,6% (Gambar 11a). Umumnya bobot kering tajuk tanaman berbeda nyata antara perlakuan kekeringan dan kontrol, kecuali pada kedelai liar tidak menunjukkan perbedaan nyata pada 12 HSP kekeringan. Hal ini dapat dipahami karena kedelai liar masih bisa bertahan sampai 22 HSP kekekeringan. Bobot kering akar juga terjadi penurunan selama perlakuan cekaman kekeringan. Umumnya terlihat perbedaan nyata antara perlakuan kekeringan dan kontrol. Namun pada tanaman jagung tidak terlihat perbedaan nyata. Penurunan bobot kering akar tertinggi terjadi pada Panderman sebesar 39,41% dan terendah pada jagung sebesar 4,15% (Gambar 11b). Jika diperhatikan bobot kering tajuk maupun akar, maka terlihat bahwa tanaman jagung memiliki bobot kering yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tanaman kedelai. Walaupun demikian jagung mampu bertahan selama 12 HSP cekaman kekeringan, meski pot yang digunakan sama. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman jagung yang merupakan tanaman C4 tersebut cukup tahan terhadap cekaman kekeringan. Bobot kering merupakan parameter pertumbuhan yang baik untuk mengamati pengaruh dari cekaman kekeringan. Bobot kering merupakan hasil
30
akumulasi fotosintesis tanaman selama pertumbuhannya (Levitt 1980). Penurunan bobot kering ini mungkin terkait erat dengan penurunan laju fotosintesis selama cekaman kekeringan.
B0bot kering tajuk (g)
a
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Tidar
Burangrang
Panderman
Kedelai Liar
Bobot kering akar (g)
b 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Tidar
Burangrang
Panderman
Kedelai Liar kontrol
Jagung
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Jagung
kekeringan
Gambar 11 Bobot kering tajuk (a) dan bobot kering akar (b) 12 HSP kekeringan. Perbedaan rasio akar dan tajuk tidak hanya pada tinggi dan panjang akar saja tapi lebih jelas terlihat pada bobot kering akar dan tajuk. Telah umum diketahui bahwa rasio akar/tajuk meningkat ketika keberadaan air tanaman terbatas, seperti terlihat pada Tabel 1. Peningkatan rasio akar/tajuk ini terjadi karena ketidakseimbangan distribusi hara mineral maupun fotosintat keseluruh bagian tanaman. Tabel 1 Rasio bobot akar/bobot tajuk pada tanaman kedelai dan jagung setelah 12 hari perlakuan kekeringan. Perlakuan Kontrol Kekeringan
Tidar 0,27 0,62
Rasio bobot akar/bobot tajuk (g) Burangrang Panderman Kedelai liar 0,21 0,43 1,03 0,44 0,47 0,75
Jagung 2,68 3,11
31
Produksi Tanaman Jumlah biji dan bobot biji Perlakuan cekaman kekeringan dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman. Penurunan produksi ini terlihat pada jumlah biji yang dihasilkan dan bobot kering biji per tanaman.
Gambar 12 Jumlah biji per tanaman pada perlakuan kontrol dan kekeringan.
Gambar 13 Bobot kering biji per tanaman pada perlakuan kontrol dan kekeringan Pada Gambar 12 terlihat bahwa perlakuan cekaman kekeringan dapat menurunkan jumlah biji yang dihasilkan per tanaman. Penurunan jumlah biji tertinggi terlihat pada varietas Panderman yaitu mencapai 49,54%, sedangkan penurunan jumlah biji terendah terlihat pada kedelai liar (G. tomentella) yaitu mencapai 12,21%. Hal ini dapat dimengerti karena kedelai liar merupakan kedelai yang tahan terhadap kekeringan.
32
Dari Gambar 13 diketahui bahwa perlakuan cekaman kekeringan dapat mengakibatkan penurunan bobot kering biji per tanaman sebesar rata-rata 34,55%. Varietas Panderman mengalami penurunan hasil terbesar ketika diberikan perlakuan cekaman kekeringan yaitu sebesar 42,11%, hal ini berbeda dngan kedelai liar yang hanya mengalami penurunan sebesar 20,55%. Kedelai liar sebagai tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan memiliki penurunan hasil yang terendah dibandingkan tanaman lain. Hal ini membuktikan bahwa tanaman yang tahan terhadap kekeringan dapat mencegah terjadinya penurunan produksi yang tajam. Selain itu kedelai liar memiliki morfologi yang berbeda dengan kedelai budidaya, salah satunya adalah ukuran dun yang kecil, yang dapat membuat pertahanan terhadap kondisi kekeringan menjadi lebih baik. Pada keadaan ini tanaman lebih bias mencegah kehilangan air yang berlebihan akibat transpirasi dan juga dapat mempertahankan laju fotosintesis, sehingga akan mempengaruhi hasil kedelai. Cekaman kekeringan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan laju fotosintesis, sehingga dengan sendirinya akan menurunkan fotosintat tanaman. penurunan fotosintat ini akan berpengaruh terhadap produksi tanaman itu sendiri. Selain itu kondisi stres air juga akan mengganggu transpor dari source ke sink (Salisbury dan Ross 1992). Penurunan suplai fotosintat ke sink (biji merupakan organ sink terbesar pada tanaman) terjadi selama stres air pada tanaman. Hal inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab penurunan produksi tanaman Morfologi Daun Tanaman yang Mendapat Perlakuan Herbisida Paraquat Pemberian herbisida paraquat pada daun kedelai dan jagung menyebabkan kerusakan daun, seperti terlihat pada Gambar 14. Herbisida paraquat merupakan herbisida non selektif yang efektif diaplikasi di daun dan dapat mempengaruhi daun terutama pada saat ada cahaya. Herbisida paraquat ini dapat mengakibatkan gejala kelayuan segera, pengeringan, pencoklatan dan nekrosis setelah 24 jam aplikasi (McKersier 1996). Gejala yang terjadi ini dapat mengakibatkan kelaparan pada daun tanaman karena penurunan gula, atau penurunan pembentukan makanan (akibat dari penurunan fotosintesis) ataupun karena material makanan itu sendiri (Murphy 1999).
33
Klorosis pada jaringan daun menunjukkan terjadinya fotoreduksi (kerusakan akibat kelebihan sejumlah cahaya), sehingga memungkinkan kerusakan membran dan terjadi kerusakan klorofil serta pigmen lainnya (Murphy 1999). Cahaya dan klorofil merupakan faktor yang mempengaruhi respon segera daun tanaman terhadap herbisida paraquat. Hal ini dapat dijelaskan karena herbisida paraquat mengakibatkan gangguan terhadap proses fotosintesis (McKersier, 1996). Selain itu terbentuk superoksida yang merusak membran sel yang kemungkinan terbentuk ketika terjadi penangkapan elektron transpor selama fotosintesis. Kerusakan membran sel akan mengakibatkan kebocoran sel sehingga terjadi pengeringan pada daun yang terkena herbisida paraquat (Murphy 1999), seperti terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Daun jagung (kiri) dan kedelai (kanan) 1 HSP herbisida paraquat. Secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa paraquat menyebabkan terjadinya hambatan transpor elektron fotosintesis sehingga terbentuk senyawa reactive oxygen species (ROS). Penangkapan elekton pada transpor elektron fotosintesis ini terjadi ketika ada cahaya pada reaksi terang fotosintesis terjadi. Ketika paraquat diaplikasikan ke daun, maka senyawa paraquat yang bermuatan positif dan memiliki afnitas tinggi terhadap elektron akan mengikat elektron transpor fotosintesis dari PS I (Taiz dan Zeiger 2002). Pada kondisi ini paraquat bersifat sangat tidak stabil, sehingga ion paraquat berusaha melepas kembali elektron yang telah diikatnya untuk kembali kebentuk semula. Lepasnya elektron dari ion paraquat akan cenderung diikat oleh oksigen, sehingga terbentuk superoksida yang merupakan salah satu bentuk ROS. Dari superoksida ini akan terbentuk senyawa-senyawa ROS lainnya seperti H2O2 ataupun hidroksil peroksida (Mckersier 1996).
34
Laju Transpirasi Penurunan laju tanspirasi terjadi seiring dengan lamanya periode kekeringan. Pada hari ke-8 setelah perlakuan kekeringan, mulai terjadi penurunan laju transpirasi yang cukup jauh dibandingkan hari sebelumnya. Penurunan laju transpirasi ini terus terjadi sampai hari terakhir perlakuan kekeringan. Penurunan tertinggi terjadi pada jagung yaitu mencapai nilai 0 mmol m-2 s-1, penurunan terendah terjadi pada kedelai liar yaitu mencapai nilai 1,34 mmol m-2 s-1 pada 12 HSP kekeringan. Kedelai budidaya dan jagung hanya mampu bertahan sampai hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan, sedangkan kedelai liar lebih bisa bertahan sampai hari ke-22 setelah perlakuan kekeringan yaitu sebesar 0,35 mmol m-2 s-1 (Gambar 15).
E (mmol m-2 s-1)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
3
6
9
12
15
-2 0
E (mmol m-2 s-1)
Varietas Burangrang 8
6
6
4
4
2
2
0
0 3
6
9
12
6
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
8
0
3
15
-2 0
5
10
15
20
25
Jagung E (mmol m-2 s-1)
8 6 4 2 0 -2 0
3 6 9 12 Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol kekeringan
15
Gambar 15 Laju transpirasi (E) kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
35
Menurut Purwanto (2003) laju transpirasi tanaman kedelai akan semakin menurun dengan semakin lamanya stres air. Stres air akan mengakibatkan kenaikan defisit air tanaman, hal ini terjadi ketika kehilangan air akibat transpirasi (oleh daun) melebihi pengambilan air (oleh akar) (Berkowitz 1998). Oleh karena itu tanaman berusaha untuk mengurangi kehilangan air berlebihan akibat stres air dengan cara menurunkan laju transpirasi. Penurunan laju transpirasi ini berkaitan dengan konduktan stomata, dimana ketika stres air meningkat maka tanaman akan mengurangi pembukaan stomata untuk mengurangi transpirasi. Hambatan stomata ini mengakibatkan berkurangnya suplai CO2 kedalam kloroplas, sehingga akan mengurangi laju fotosintesis (Berkowitz 1998). Blanco-Shancez et al. (2002) telah melakukan penelitian dengan dua spesies (Cistus albidus dan Cistus monspeliensis), diperoleh bahwa kedua spesies tanaman melakukan mekanisme pencegahan terhadap kondisi stres air dengan cara menutup stomata, mengurangi luas daun dan konduktivitas hidrolik akar, dan epinasti. Semua ini diketahui sebagai mekanisme untuk pengaturan transpirasi dalam menghadapi kondisi kekeringan pada tanaman. Rewatering yang diberikan dapat meningkatkan kembali laju transpirasi pada semua tanaman. Nilai laju transpirasi terendah setelah 2 hari rewatering terjadi pada jagung yaitu 2,26 mmol m-2 s-1 dan nilai laju transpirasi tertinggi terjadi pada varietas Panderman yaitu 4,09 mmol m-2 s-1. Peningkatan laju transpirasi ini seiring dengan peningkatan KAR daun. Pada kondisi ini tanaman sudah memiliki cukup air untuk melakukan proses-proses metabolisme. Selain itu hal ini juga terkait dengan pergerakan konduktan stomata, dimana ketika laju transpirasi mulai meningkat, maka konduktan stomata juga meningkat. Pemberian herbisida paraquat baik kedelai maupun jagung mengakibatkan penurunan laju transpirasi. Penurunan tajam terjadi 3 HSP herbisida paraquat. Nilai laju tanspirasi terendah pada 3 HSP herbisida paraquat terjadi pada jagung yaitu 0,3 mmol m-2 s-1 dan nilai laju transpirasi tertinggi pada kedelai liar yaitu 1,6 mmol m-2 s-1 (Gambar 16). Hal yang sama juga diamati pada penelitian yang telah dilakukan oleh Iturbe-ormaextse et al. (1998) terhadap tanaman kacang kapri (Pisum sativum L.) yang diperoleh bahwa perlakuan herbisida paraquat pada daun menyebabkan laju transpirasi tidak terdeterminasi atau bernilai 0.
36
E (m mol m-2 s-1)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
8
8
6
6
4
4
2
2 0
0 0
1
2
3
4
5
6
-2
0
1
E (mmol m-2 s-1)
Varietas Burangrang 8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
1
2
3
4
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
8
-2
2
5
6
-2
0
1
2
3
4
5
6
Jagung E (mmol m-2 s-1)
8 6 4 2 0 -2 0
1 2 3 4 5 Hari setelah perlakuan paraquat kontrol
6
paraquat
Gambar 16 Laju transpirasi (E) dari 0, 4 jam, 1 hari sampai 5 HSP herbisida paraquat.
Laju Fotosintesis Penurunan laju fotosintesis terjadi seiring dengan semakin lamanya perlakuan kekeringan, seperti terlihat pada Gambar 15. Penurunan tajam terjadi khususnya antara hari ke-4 dan ke-8 setelah perlakuan kekeringan baik itu kedelai budidaya maupun jagung dan pada hari ke-10 dan ke-12 laju fotosintesis hampir mendekati nol, kecuali kedelai liar masih bertahan hingga 10 hari dan mulai menurun tajam setelah 12 HSP kekeringan. Penurunan tajam laju fotosintesis baru terjadi pada hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan yaitu pada kondisi stres air berat terjadi. Penurunan tajam laju fotosintesis ini terjadi pada saat nilai KAR daun dan laju transpirasi mulai menurun drastis (Gambar 17). Dapat dikatakan
37
bahwa penurunan KAR daun dan penurunan laju transpirasi diikuti oleh penurunan laju fotosintesis tanaman. Hal ini berkaitan dengan penurunan konduktan stomata, sehingga difusi CO2 ke dalam daun menurun yang mengakibatkan penurunan laju fotosintesis. Varietas Tidar
Pn (umol m-2 s-1)
25
Varietas Panderman 25
20
20
15
15
10
10
5
5 0
0 -5 0
3
6
9
12
15
-5 0
3
Pn (umol m-2 s-1)
Varietas Burangrang
6
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5 0
0 -5 0
3
6
9
12
15
-5 0
5
10
15
20
25
Pn (umol m-2 s-1)
Jagung 25 20 15 10 5 0 -5 0
3
6
9
12
15
Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol
kekeringan
Gambar 17 Laju fotosintesis (Pn) kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering. Menurut Medrano et al. (2002) peningkatan penutupan stomata terjadi sejalan dengan semakin lamanya kekeringan, yang diikuti secara paralel oleh penurunan laju fotosintesis. Bagaimanapun konduktan stomata tidak hanya dikontrol oleh keberadaan air saja, tetapi juga oleh adanya interaksi kompleks dari faktor internal dan eksternal daun. ABA sebagai hormon stres memegang peranan penting dalam menginduksi penutupan stomata. Konsentrasi ABA di daun akan meningkat 50 kali lebih tinggi saat kekeringan terjadi, sehingga dapat mengurangi
38
tranpirasi (Taiz dan Zeiger 2002). Selain ABA, senyawa antioksidan seperti askorbat yang diproduksi tanaman saat cekaman kekeringan terjadi, juga dapat merangsang penutupan sel penjaga stomata, sehingga dapat menghambat kehilangan air (Arora et al. 2002). Menurut Iturbe-ormaextse et al. (1998), perlakuan stres air moderat pada tanaman kacang kapri menghambat fotosintesis sampai 75%, yang kemungkinan disebabkan oleh adanya hambatan CO2 oleh penutupan stomata karena terjadi penurunan tajam konduktan stomata dan transpirasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Cornic (2000), bahwa penutupan stomata merupakan penyebab utama penurunan laju fotosintesis dibawah kondisi kekeringan ringan. Adapun perlakuan stres air yang berat menyebabkan hilangnya fotosintesis, karena hambatan CO2 dan kerusakan aparatus fotosintesis. Tezara et al. (1999) mengamati terjadinya kerusakan ATP yang mengakibatkan hambatan pembentukan RuBP pada kekeringan ringan. Penurunan CO2 intrasel memperkuat kemungkinan hambatan stomata dalam menghambat laju fotosintesis pada fase awal stres air. Hal ini berkaitan dengan perubahan metabolik dalam kehilangan potensial fotosintesis pada fase ini (Lawlor dan Cornic 2002). Ketika penutupan stomata terjadi, dengan sendirinya CO2 yang masuk melalui stomata akan menurun. Seperti diketahui bahwa CO2 dibutuhkan dalam reaksi kabon fotosintesis (siklus kalvin), sehingga penurunan CO2 ini tentunya akan menurunkan laju fotosintesis. Proses selanjutnya NADPH yang digunakan pada reaksi karbon fotosintesis akan menumpuk akibat penurunan konsentrasi CO2 (Tezara et al. 1999). Pada keadaan ini tanaman akan mengalami overeduksi pada transpor elektron fotosintesis, yang nantinya akan menginduksi terbentuknya ROS. Walaupun begitu tanaman C4 (jagung) memiliki mekanisme proses fotosintesis yang berbeda dengan tanaman C3 (kedelai). Tanaman C4 cenderung lebih bisa mempertahankan konsentrasi CO2 daun pada kondisi defisit air, sehingga laju fotosintesis bisa dipertahankan lebih lama. Hal ini terkait dengan aktivitas rubisko sebagai enzim yang mereduksi CO2 dalam siklus kalvin, dimana pada tanaman C4 rubisko hanya terdapat pada sel-sel seludang berkas, sehingga tidak terjadi persaingan antara O2 dan CO2 ketika konduktan stomata menurun. Mekanisme pertahanan ini terjadi karena tanaman C4 memiliki 2 tipe sel yaitu sel
39
mesofil dan sel seludang pembuluh yang berbeda dengan tanaman C3, yaitu hanya memiliki satu tipe sel kloroplas (sel mesofil saja). Dua tipe sel kloroplas yang dimiliki tanaman C4 membuat tanaman C4 dapat menyimpan CO2 di sel seludang berkas yang diperoleh dari malat dan aspartat hasil dari siklus C4 (Taiz dan Zieger 2002). Menurut Hamim (2005) selama kekeringan akan terjadi penurunan laju fotosintesis pada tanaman C3 segera setelah perlakuan kekeringan, sementara pada tanaman C4 penurunan laju fotosintesis terjadi setelah tanaman mengalami stres air sedang. Namun pada penelitian ini diperoleh laju fotosintesis tanaman jagung (C4) hanya bisa bertahan sampai hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan (Gambar 17). Sedangkan kedelai liar yang merupakan tanaman C3 justru lebih bisa bertahan hingga hari ke-22 setelah perlakuan kekeringan. Hal ini bisa dipahami karena kedelai liar yang memiliki daun berukuran lebih kecil memungkinkan tanaman ini untuk dapat bertahan lebih lama pada kondisi kekeringan. Ukuran daun yang kecil membuat tanaman lebih bisa menjaga kesimbangan transpirasi daun (Gambar 15), terutama pada kondisi kekeringan. Selain itu, pot yang digunakan pada penelitian ini tidak mencukupi bagi tanaman jagung yang memiliki bobot akar dan bobot tajuk yang besar (Gambar 13). Walaupun begitu rata-rata laju fotosintesis jagung yang mendapatkan cukup air lebih tinggi dari pada rata-rata tanaman kedelai, yaitu masing-masing 16,85 μmol m-2 s-1 dan12,58 μmol m-2 s-1. Hal ini membuktikan bahwa laju fotosintesis tanaman C4 lebih tinggi dari pada tanaman C3. Sebagaimana yang diamati oleh Hamim (2003) pada tanaman Echinochloa crusgallii dan gandum. Rewatering selama 2 hari menyebabkan peningkatan laju fotosintesis kembali pada semua tanaman, dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman dapat recovery setelah stres air dan penurunan laju fotosintesi terjadi seiring dengan terjadinya peningkatan KAR pada daun tanaman. Nilai laju fotosintesis tertinggi setelah rewatering terjadi pada tanaman jagung yaitu 13,63 μmol m-2 s-11 (Gambar 17). Menurut Wang dan Huang (2004), rewatering sangat penting untuk perbaikan fisiologi tanaman yang diberi perlakuan stres kekeringan dan stres panas. Tanaman memulai kembali aktivitas
40
fisiologinya seperti fotosintesis, stabilitas membran sel, dan aktivitas senyawa antioksidan. Semua proses tersebut sangat penting bagi tanaman untuk perbaikan dari cekaman. Varietas Tidar
Pn (umol m-2 s-1)
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0
-5 0
1
2
3
4
5
6
-5 0
Varietas Burangrang
25
Pn (umol m-2 s-1)
Varietas Panderman
25
20
1
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
20
15
15
10
10
5
5
0
0
-5 0
1
2
3
4
5
6
-5 0
1
2
3
4
5
6
Jagung Pn (umol m-2 s-1)
25 20 15 10 5 0 -5 0
1 2 3 4 5 6 Hari setelah perlakuan paraquat kontrol paraquat
Gambar 18 Laju fotosintesis (Pn) dari 0, 4 jam, 1 hari sampai 5 HSP paraquat. Perlakuan herbisida paraquat pada daun tanaman menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis. Empat jam setelah pemberian herbisida paraquat, laju fotosintesis belum menunjukkan penurunan yang besar, hal ini terlihat pada gambar 14 yaitu tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan. Namun pada varietas panderman, laju fotosintesis berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan setelah empat jam, walaupun penurunan laju fotosintesis tersebut belum terlalu besar. Penurunan tajam terjadi 24 jam (1 hari) setelah pemberian herbisida paraquat (Gambar 18). Penurunan terus terjadi sampai 3 hari setelah perlakuan, yaitu mencapai nilai 0,46 μmol m-2 s-1 hingga 0 μmol m-2 s-1. Pada hari kelima laju
41
fotosintesis mulai meningkat pada tanaman kedelai. Peningkatan ini terjadi karena tanaman mulai recovery, dimana mulai tumbuhnya daun baru dan mulai gugurnya daun yang terkena herbisida paraquat. Berbeda dengan tanaman jagung, penurunan laju fotosintesis terus terjadi sampai 5 hari setelah perlakuan yaitu mencapai nilai 0,08 μmol m-2 s-1 (Gambar 18). Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa, perlakuan paraquat mengakibatkan penurunan fotosintesis, kandungan air, protein (Iturbe-ormaextse et al. 1998). Jika diperhatikan Gambar 16 dan Gambar 18, maka pada perlakuan herbisida paraquat, penurunan laju transpirasi tidak seiring dengan penurunan laju fotosintesis dan KAR daun. Hal ini terlihat bahwa ketika laju fotosintesis dan KAR daun menurun tajam (pada 1 HSP), laju transpirasi belum menunjukkan penurunan yang besar. Penurunan laju transpirasi baru jelas terlihat pada 3 HSP herbisida paraquat. Dari hasil ini bisa dikatakan bahwa kemungkinan terjadi kerusakan aparatus fotosintesis terlebih dahulu, sebelum penurunan tajam laju transpirasi terjadi. Lannelli et al. (1999) menambahkan bahwa pemberian paraquat pada daun tanaman menyebabkan kerusakan pada aparatus fotokimia, mengganggu translokasi proton sepanjang membran tilakoid yang berhubungan dengan peningkatan transpor elektron fotosintesis, sehingga mengakibatkan produksi ROS dalam kloroplas (Babbs et al. 1989; Beligni dan Lamattina 2002). Hal ini juga membuktikan bahwa penyebab utama penurunan laju fotosintesis yang terjadi akibat cekaman kekeringan pada awalnya adalah penurunan konduktan stomata. Kemudian ketika cekaman semakin berat (10 HSP) terjadi kerusakan aparatus fotosintesis. Hal ini bisa dilihat dari komparasi antara perlakuan cekaman kekeringan dan perlakuan herbisida paraquat, yaitu keterkaitan antara laju fotosintesis, laju transpirasi dan KAR daun.
Peroksidasi Lipid Cekaman kekeringan ataupun herbisida paraquat dapat menginduksi stres oksidatif pada tanaman (Iturbe-ormaextse et al. 1998). Salah satu indikasi tanaman yang sedang mengalami stres oksidatif adalah meningkatnya peroksidasi lipid membran sel tanaman (McKersier dan Leshem 1994). Peroksidasi lipid ini
42
diukur dengan melihat kandungan malondialdehid (MDA) yang terdapat pada daun tanaman. MDA merupakan salah satu senyawa hasil dari peroksidasi lipid. Kandungan MDA meningkat pada tanaman yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan (Gambar 19). Peningkatan kandungan MDA secara nyata terjadi pada hari ke-8 setelah perlakuan kekeringan, yaitu ketika tanaman sudah mulai mengalami penurunan kandungan air. Kandungan MDA yang tinggi terjadi sampai hari terakhir perlakuan kekeringan. Walaupun terlihat sedikit menurun pada hari terakhir perlakuan, namun tidak berbeda nyata dengan hari sebelumnya. Berbeda dengan kedelai, pada jagung peningkatan MDA tidak terlalu besar dan kandungan MDA jagung lebih rendah dari pada yang terdapat di daun kedelai (Gambar 19).
MDA (nmol g-1 berat sega)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
8000
8000
6000
6000
4000
4000
2000
2000
0
0 0
3
6
9
12
15
0
3
6
MDA (nmol g-1 berat segar)
VarietasBurangrang
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
8000
8000
6000
6000
4000
4000
2000
2000
0
0 0
3
6
9
12
15
0
5
10
15
20
25
MDA (nmol g-1 berat segar)
Jagung 8000 6000 4000 2000 0 0
3
6
9
12
15
Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol
kekeringan
Gambar 19 Kandungan MDA kedelai dan jagung 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan rewatering.
43
Peningkatan MDA ini menjelaskan bahwa stres air merubah keseimbangan antara produksi radikal bebas dan reaksi pertahanan enzimatik (Zhang dan Kirkham 1994). Tingginya konsentrasi MDA selama kekeringan menyatakan bahwa tanaman mengalami cekaman oksidatif.Peroksidasi lipid biasanya digunakan sebagai indikator terjadinya stres oksidatif (Iturbe-ormaextse et al. 1998). Penurunan kandungan MDA terjadi ketika rewatering. Hal yang sama juga diamati oleh Zhang dan Kirkham (1994). Penurunan MDA ini terjadi sampai pada tingkat yang sama dengan tanaman yang diperlakukan normal. Penurunan kandungan MDA ini seiring dengan peningkatan KAR yang terjadi pada tanaman setelah rewatering. Wang dan Huang (2004) juga telah melakukan penelitian bahwa rewatering pada tanaman kentucky bluegrass yang telah mendapatkan
MDA (nmol g-1 berat segar)
perlakuan cekaman kekeringan dapat menurunkan kandungan MDA kembali. Varietas Panderman
Varietas Tidar 8000
8000
6000
6000 4000
4000
2000
2000
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
MDA (nml g-1berat segar)
8000
6000
6000
4000
4000
2000
2000
0
0 1
2
3
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang 8000
0
1
4
5
0
6
1
2
3
4
5
6
MDA (nmol g-1 berat segar)
Jagung 8000 6000 4000 2000 0 0
1 2 3 4 5 Hari setelah perlakuan paraquat kontrol
Gambar 20
6
paraquat
Kandungan MDA kedelai dan jagung pada 0, 1, 3 dan 5 HSP herbisida paraquat.
44
Pemberian hebisida paraquat juga meningkatkan kandungan MDA daun pada semua jenis tanaman. Peningkatan tajam umumnya terjadi pada 1 hari setelah pemberian herbisida paraquat, kemudian mulai menurun sampai hari terakhir pengamatan. (Gambar 20). Menurut Kunert dan Dodge (1989), paraquat merupakan herbisida yang cenderung menerima elektron PSI yang mengakibatkan terjadinya transfer elektron ke O2, sehingga membentuk ROS. ROS yang terbentuk ini nantinya akan menginduksi terjadinya peroksidasi asam lemak pada rantai lipid membran, hal ini akan mengakibatkan kehilangan integritas membran, dan terjadinya reaksi oksidatif. Proses selanjutnya tanaman akan mengalami peroksidasi lipid, degradasi protein, pemutusan strand DNA dan pemutihan pigmen (Scandalios 1993). Aktivitas Enzim Antioksidan Cekaman oksidatif pada tanaman, dapat menginduksi tanaman untuk membentuk sistem pertahanan melalui suatu mekanisme penyelamatan. Mekanisme penyelamatan ini antara lain melalui perubahan aktivitas enzim-enzim antioksidan, diantaranya adalah; glutation reduktase (GR), superoksida dismutase (SOD) dan askorbat peroksidase (APX). Berikut ini akan dilihat respon masingmasing enzim tersebut selama mendapat cekaman kekeringan dan perlakuan herbisida paraquat. Glutation reduktase Aktivitas GR sebagai salah satu enzim antioksidan, meningkat seiring dengan semakin lamanya kekeringan, namun peningkatan ini terjadi hanya sampai pada titik tertentu yaitu umumnya pada hari ke-10 perlakuan cekaman kekeringan. Kemudian pada akhir perlakuan terjadi penurunan aktivitas GR, yaitu ketika KAR daun mencapai 50% atau lebih rendah. Berbeda dengan kedelai budidaya, pada kedelai liar peningkatan tajam terjadi pada hari ke-12 perlakuan cekaman kekeringan, yaitu 15,33 unit mg-1 protein (Gambar 21), dimana pada saat itu laju fotosintesis masih bertahan pada 4,18 μmol m-2 s-1 dan KAR yang terkait dengan aktivitas GR masih diatas 50%. Kemudian aktivitas GR menurun seiring dengan
45
penurunan KAR daun. Sedangkan pada tanaman jagung (tanaman C4), aktivitas GR tidak berbeda nyata antara perlakuan cekaman kekeringan dan kontrol. Enzim GR berperan penting dalam mengatasi masalah ROS dalam jaringan tanaman. GR dapat merubah H2O2 (radikal bebas) melalui siklus glutation untuk mengurangi tingginya tingkat penurunan askorbat pada kloroplas (Jiang dan Huang 2001). Tingkat aktivitas GR tertinggi terjadi pada hari ke-10 kekeringan, hal ini terkait dengan peran GR untuk melindungi tanaman dari stres oksidatif akibat KAR daun yang menurun tajam. Peningkatan GR dapat melindungi komponen kloroplas melawan oksidasi oleh H2O2 (Foster dan Hess 1980). Hal ini menjelaskan bahwa terjadi peningkatan sistem penyelamatan H2O2 seiring dengan peningkatan laju pembentukan H2O2.
GR (unit mg-1 protein)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0 -5 0
0 3
6
9
12
15 -5 0
3
GR (Unit mg-1 protein)
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang 25
25
20
20
15
15
10
10
5
5 0
0 -5 0
6
3
6
9
12
15
-5 0
5
10
15
20
25
GR (Unit mg-1 protein)
Jagung 25 20 15 10 5 0 -5 0
3 6 9 12 Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol
15
kekeringan
Gambar 21 Aktivitas GR kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan rewatering.
46
Beberapa peneliti juga melaporkan tentang peningkatan aktivitas GR selama cekaman kekeringan pada beberapa tumbuhan, sebagai contoh; Castillo (1996) menemukan bahwa aktivitas GR pada tanaman CAM Sedum album L terus meningkat hingga saat mengalami defisit air yang berat (pada KAR 50%). Sedangkan Jiang dan Huang (2001) memperoleh hasil bahwa aktivitas GR menurun ketika KAR daun turun dibawah 50% ketika cekaman kekeringan. Perbedaan hasil ini terjadi kemungkinan karena adanya perbedaan jenis tanaman dan toleransi tanaman tersebut terhadap kondisi cekaman kekeringan. Rewatering pada tanaman menyebabkan peningkatan kembali aktivitas GR setelah mengalami penurunan pada akhir stres, tidak terkecuali tanaman jagung. Peningkatan tertinggi terjadi pada varietas Panderman, yaitu naik 19,22 kali dari hari terakhir perlakuan kekeringan (Gambar 21). Peningkatan terendah diperoleh pada jagung, yaitu 2,48 kali dari hari terakhir perlakuan kekeringan. Namun tidak demikian halnya dengan kedelai liar, karena tidak terjadi peningkatan GR setelah rewatering seperti pada Gambar 21. Pemberian herbisida paraquat juga dapat menginduksi peningkatan aktivitas GR. Umumnya peningkatan GR sudah terlihat pada hari pertama (24 jam) setelah perlakuan paraquat. Peningkatan aktivitas GR ini terus terjadi seiring dengan lamanya hari setelah pemberian herbisida paraquat, seperti pada Gambar 22. Menurut Yoshinaga et al. (2005), pemberian herbisida paraquat pada daun tanaman dapat menginduksi ROS. Penginduksian ROS ini akan mengaktifkan enzim-enzim yang terkait dengan penyelamatan ROS, termasuk salah satunya GR. Berbeda dengan kedelai, tanaman jagung tidak memperlihatkan peningkatan aktivitas GR yang berarti. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan kontrol, tanaman yang mendapat perlakuan paraquat memiliki aktivitas GR yang secara nyata lebih tinggi (Gambar 22).
47
GR (Unit mg-1 protein)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
25
25
20
20
15
15
10
10 5
5
0
0 0
1
2
3
4
5
-5 0
6
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang GR (Unit mg-1 protein)
1
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5 0
0 -5 0
1
2
3
4
5
-5 0
6
1
2
3
4
5
6
GR (Unit mg-1 protein)
Jagung 25 20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
Hari setelah perlakuan paraquat kontrol
paraquat
Gambar 22 Aktivitas GR kedelai dan jagung pada 0, 1, 3 dan 5 HSP herbisida paraquat.
Superoksida dismutase Seperti halnya aktivitas GR, aktivitas SOD juga mengalami peningkatan akibat perlakuan kekeringan hingga hari ke-10. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman jagung yaitu mencapai nilai 1,00 unit mg-1 protein. Kemudian aktivitas SOD menurun sampai hari terakhir perlakuan. Ada sedikit perbedaan pada varietas Panderman dan Tidar, peningkatan aktivitas SOD hanya sampai hari ke-8 setelah perlakuan kekeringan, yaitu mencapai nilai 1,24 unit mg-1 protein (varietas Tidar) dan 0,97 unit mg-1 protein (varietas Panderman), kemudian mengalami penurunan sampai hari terakhir cekaman kekeringan (Gambar 23).
48
Peningkatan aktivitas SOD saat mengalami cekaman mencerminkan aktivitas metabolisme tanaman dalam mengurangi akumulasi O-2 di dalam sel. Pengukuran aktivitas enzim merupakan hasil dari sintesis dan degradasi, maka penurunan yang terjadi pada aktivitas SOD saat kekeringan berat dapat dikatakan akibat dari penurunan sintesis atau peningkatan degradasi dari enzim tersebut. Selain itu akumulasi H2O2 saat kekeringan juga dapat menurunkan aktivitas SOD ( Zhang and Kirkham 1994).
SOD (unit mg-1 protein)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
3
3
2
2
1
1
0
0 0
3
6
9
12
15
-1
0
3
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang SOD (Unit mg-1 protein)
6
-1
3
3
2
2
1
1
0
0 0
3
6
9
12
15
-1
0
5
10
15
20
25
-1
Jagung SOD (Unit mg-1 protein)
3 2 1 0 0 -1
3
6
9
12
15
Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol
kekeringan
Gambar 23 Aktivitas SOD kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan rewatering. Aktivitas SOD terjadi pada transpor elektron PS II dengan triplet oksigen sebagai substratnya. Peningkatan SOD akan seiring dengan peningkatan triplet oksigen. Namun dengan semakin lamanya kekeringan dan semakin berlimpahnya triplet oksigen, maka SOD tidak sanggub lagi untuk mereaksikan triplet oksigen
49
yang berlimpah. Pada kondisi ini triplet oksigen yang memiliki afinitas tinggi terhadap ikatan rangkap asam lemak (Mckersie 1996) akan lebih cenderung untuk berikatan dengan rantai asam lemak tak jenuh pada membran tilakoid, sehingga terjadi peningkatan peroksidasi lipid (salah satunya dapat dilihat dengan peningkatan MDA) (Gambar 17), yaitu pada 8 dan 10 HSP kekeringan (Gambar 23). Rewatering mengakibatkan peningkatan kembali aktivitas SOD pada tanaman kecuali pada varietas Burangrang. Rewatering pada varietas Burangrang justru menurunkan aktivitas SOD, walaupun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Nilai aktivitas SOD tertinggi setelah rewatering terjadi pada Varietas Tidar yaitu 1,03 unit mg-1 protein dan yang terendah terjadi pada varietas Burangrang yaitu 0,33 unit mg-1 protein (Gambar 23). Peningkatan aktivitas SOD ini dibutuhkan tanaman untuk perbaikan setelah keluar dari kondisi cekaman kekeringan.Menurut Wang dan Huang (2004) rewatering pada tanaman yang mendapat perlakuan stres kekeringan dan stes panas dapat meningkatkan aktivitas SOD, hal ini penting bagi tanaman untuk perbaikan dari kondisi stres oksidatif. Pada perlakuan paraquat terjadi peningkatan aktivitas SOD pada tanaman 1 HSP herbisida paraquat. Namun 3 HSP paraquat aktivitas SOD mulai menurun dari tanaman kontrol, begitu juga halnya dengan 5 HSP paraquat. Berbeda dengan kedelai budidaya, kedelai liar menunjukkan penurunan tajam aktivitas SOD pada 3 HSP herbisida paraquat dan sedikit menigkat ada hari ke-5 perlakuan. Sedangkan pada tanaman jagung, walaupun terjadi peningkatan aktivitas SOD, namun tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan kekeringan, seperti terlihat pada Gambar 24. Lannnelli et al. (1999) telah melakukan penelitian pada dua genotip tanaman jagung (genotipe toleran dan sensitif) dan memperoleh hasil bahwa, genotipe toleran lebih bisa bertahan terhadap aplikasi paraquat dari pada genotipe sensitif. Aktivitas SOD umumnya tinggi dan lebih stabil dengan meningkatnya konsentrasi paraquat. Peningkatan isozim SOD pada genotipe toleran lebih tinggi dari pada genotipe sensitif. Kerusakan diperlihatkan pada aparatus fotosintesis dan kebocoran ion setelah infiltrasi paraquat. Namun begitu tidak ada hubungan sebab akibat antara kerusakan yang terjadi dan peningkatan aktivitas SOD itu sendiri.
50
Varietas Panderman
SOD (unit mg-1 proten)
Varietas Tidar 3
3
2
2
1
1
0
0 0
1
2
3
4
5
6
-1
0
1
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang SOD (Unit mg-1 protein)
2
-1
3
3
2
2
1
1
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
-1
1
2
3
4
5
6
-1
Jagung
SOD (Unit mg-1 protein)
3 2 1 0 0 -1
1
2
3
4
5
6
Hari setelah perlakuan paraquat kontrol
paraquat
Gambar 24 Aktivitas SOD kedelai dan jagung pada 0, 1, 3 dan 5 HSP herbisida paraquat.
Askorbat peroksidase Sistem penyelamatan stres oksidatif yang terjadi akibat peningkatan stres oksidatif tidak hanya dari peningkatan level SOD saja tetapi juga dari kombinasi peningkatan aktivitas SOD dan APX pada tanaman tembakau transgenik (Ninicotiana tobacum) (Gupta et al. 1993). Pada percobaan ini peningkatan aktivitas APX terjadi mulai 4 HSP kekeringan. Peningkatan aktivitas APX ini umumnya terus terjadi sampai 8 HSP kekeringan. Aktivitas APX mulai mengalami penurunan 10 HSP kekeringan. Hal ini berbeda dengan aktivitas SOD, dimana penurunan aktivitas SOD terjadi umumnya pada 12 HSP kekeringan.
51
Namun pada varietas Tidar dan Panderman, peningkatan aktivitas APX sampai 10 HSP kekeringan, kemudian menurun pada 12 HSP kekeringan (Gambar 25). Walaupun begitu bisa dikatakan bahwa peningkatan aktivitas APX terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas SOD. Perbedaan yang terjadi pada tanaman kemungkinan bergantung pada respon tanaman dalam menghadapi stres oksidatif akibat cekaman kekeringan yang terjadi. Rewatering pada tanaman umumnya menurunkan aktivitas APX sampai pada tingkat yang sama dengan kontrol. Penurunan ini terjadi karena produksi ROS pada tanaman yang terkena cekaman kekeringan sudah mulai mengalami penurunan setelah pemberian air kembali pada tanaman. Namun pada varietas Panderman rewatering justru meningkatkan aktivitas APX sampai pada nilai yang lebih tinggi dari pada kontrol. Varietas Panderman
APX (mmol m-1 g-1 berat segar)
Varietas Tidar 12
12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
3
6
9
12
15
0
3
APX (mmol m-1 g-1 berat segar)
Varietas Burangrang
6
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
12
12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2 0
0 0
3
6
9
12
15
0
5
10
15
20
25
APX (mmol m-1 g-1 berat segar)
Jagung 12 10 8 6 4 2 0 0
3
6
9
12
15
Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol kekeringan
Gambar 25 Aktivitas APX kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan rewatering.
52
Pemberian herbisida paraquat pada daun tanaman meningkatkan aktivitas APX setelah 24 jam aplikasi. Ada kecenderungan penurunan aktivitas APX setelah 3 perlakuan herbisida paraquat (Gambar 26). Penurunan ini diduga karena kelimpahan akumulasi H2O2 sebagai substrat APX, sehingga APX tidak mampu mereaksikan senyawa radikal tersebut menjadi bentuk air. Selain itu juga terkait dengan kandungan asam askorbat di daun yang berperan sebagai senyawa antioksidan non-enzimatik yang terlibat langsung dengan aktivitas APX.
APX (mmol m-1 g-1 berat segar)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
12
12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2 0
0 0
1
2
3
4
5
0
6
1
APX (mmol m-1 g-1 berat segar)
Varietas Burangrang
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
12 12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
1
2
3
4
5
6
APX (mmol m-1 g-1 berat segar)
Jagung 12 10 8 6 4 2 0 0
1 2 3 4 5 Hari setelah perlakuan paraquat kontrol
6
paraquat
Gambar 26 Aktivitas APX pada kedelai dan jagung 0, 1, 3, dan 5 HSP herbisida paraquat. Kuk et al. (2006) menyatakan bahwa isozim APX melimpah pada daun tanaman yang diberi aplikasi paraquat, sedangkan pada daun tanpa perlakuan terdapat sedikit saja isozim APX. Selain itu penurunan aktivitas APX yang terjadi
53
juga terkait dengan peningkatan degradasi enzim dan penurunan sintesis enzim itu sendiri akibat stres oksidatif berat yang dialami tanaman.
Kandungan Asam Askorbat (ASA) Selain dengan enzim antioksidan, tanaman memiliki mekanisme lain sebagai mekanisme penyelamatan dari kondisi stres oksidatif yaitu dengan adanya senyawa antioksidan (non-enzimatik) salah satunya adalah ASA (Noctor dan Foyer 1998).
ASA (mg/100 g berat segar)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
35
35
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 0
3
6
9
12
15
0
3
6
ASA (mg/ 100 g berat segar)
Varietas Burangrang
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
35
35
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 0
3
6
9
12
15
0
5
10
15
20
25
ASA (mg/ 100 g berat segar)
Jagung 35 30 25 20 15 10 5 0 0
3
6
9
12
15
Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol kering
Gambar 27 Kandungan ASA daun kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan rewatering. Perlakuan
cekaman
kekeringan
dapat
menginduksi
peningkatan
kandungan ASA tanaman. Pada varietas Tidar peningkatan ASA terlihat jelas pada 10 HSP kekeringan (Gambar 27). Namun pada 12 HSP kekeringan,
54
kandungan ASA daun kembali mengalami penurunan. Berbeda dengan varietas Tidar, varietas Panderman dan jagung memperlihatkan peningkatan ASA pada 12 HSP kekeringan. Sedangkan nilai ASA varietas Burangrang dan kedelai liar tidak berbeda nyata antara perlakuan kekeringan dan kontrol (Gambar 27). Perbedaan respon kandungan ASA ini kemungkinan terkait dengan jenis tanaman dan respon tanaman dalam menghadapi stres oksidatif akibat cekaman kekeringan. ASA merupakan senyawa antioksidan yang memiliki peranan penting terutama pada proses fotosintesis saat tanaman menghadapi cekaman kekerngan lingkungan. ASA yang terdapat di kloroplas daun sebagaimana halnya klorofil akan dapat melindungi aparatus fotosintesis melawan radikal oksigen dan H2O2 yang terbentuk selama aktivitas fotosintesis (Smirnoff 1996). ASA terlibat dalam 3 proses biokimia pada fotosintesis; (1) ASA berperan sebagai antioksidan yang merubah H2O2 yang dikatalisis oleh APX, sehingga terbentuk H2O dan monodehidroasorbat (2) monodehidroaskorbat ini dapat berperan sebagai penerima elektron pada PSI (McKersie dan Leshem, 1994) (Gambar 4) (3) sebagai co-faktor dalam reaksi violaxanthin de-epoksidase (Sonja et al. 2001). Selain itu menurut Arora et al. (2002), ASA juga memiliki peranan dalam menginduksi penutupan stomata seperti halnya ABA. Namun peranan ASA ini terjadi terutama ketika tanaman mengalami stres kekeringan berat, yaitu untuk mengurangi kehilangan air yang berlebihan akibat transpirasi. Rewatering yang diberikan pada tanaman selama 2 hari, dapat menurunkan kembali kandungan ASA daun sampai pada tingkat yang sama dengan kontrol (Gambar 27). Hal ini menandakan bahwa tanaman sudah mulai mengalami perbaikan setelah diberikan perlakuan cekaman kekeringan. Pada kondisi tersebut mungkin metabolisme yang terjadi pada tanaman sudah mulai stabil. Walaupun tidak terlalu besar, pemberian herbisida paraquat pada daun tanaman cenderung meningkatkan kandungan ASA tanaman sampai 5 HSP herbisida paraquat. Peningkatan terbesar terjadi pada varietas Tidar dan kedelai liar, sedangkan jagung peningktannya hampir sama dengan kontrol (Gambar 28). Menurut Noctor dan Foyer (1998) ASA terdapat di dalam daun tanaman sebagai mana halnya klorofil. Peranan ASA pada tanaman terutama diperlukan
55
pada saat tanaman mengalami stres oksidatif. ASA digunakan sebagai senyawa antioksidan yang dapat membantu mengubah senyawa oksidatif menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi tanaman. ASA berkaitan dengan aktivitas APX pada siklus askorbat-glutation. Pada siklus ini ASA berperan sebagai senyawa yang ikut merubah H2O2 menjadi H2O. Pada reaksi ini ASA akan dirubah ke dalam bentuk radikal bebas, pada proses selanjutnya enzim GR berperan merubah kembali ASA yang dalam bentuk radikal bebas tersebut menjadi bentuk semula (Noctor dan Foyer 1998). Varietas Panderman
ASA (mg/100 g berat segar)
Varietas Tidar 35
35
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 0
2
4
6
0
ASA (mg/100 g berat segar)
Varietas Burangrang
1
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
35
35
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
0 0
2
4
6
0
2
4
6
ASA (mg/100 g berat segar)
Jagung 35 30 25 20 15 10 5 0 0
1 2 3 4 5 Hari setelah pemberian herbisida paraquat kontrol
6
paraquat
Gambar 28 Kandungan ASA daun kedelai dan jagung pada 0, 1, 3, dan 5 HSP herbisida paraquat.
56
Kandungan Polin Peningkatan kandungan prolin pada tanaman berhubungan dengan peningkatan periode cekaman kekeringan (Aziz dan Khan 2003). Hal ini terlihat pada Gambar 29 dimana terjadi peningkatan prolin yang tajam pada hari ke-12 setelah perlakuan cekaman kekeringan. Namun pada tanaman jagung (tanaman C4) tidak terjadi peningkatan prolin yang besar akibat perlakuan cekaman kekeringan. Prolin (umol prolin g-1 berat segar)
Varietas Tidar
Varietas Panderman
15
15
10
10
5
5
0
0 0
3
6
9
12
15
-5
0
6
9
12
15
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
Varietas Burangrang Prolin (umol prolin g-1 berat segar)
3
-5
15
15
10
10
5
5
0
0 0
3
6
9
12
-5
15
0
5
10
15
20
25
-5
Prolin (umol prolin g-1 berat segar)
Jagung 15 10 5 0 0 -5
3 6 9 12 Hari setelah perlakuan kekeringan kontrol
Gambar 29
15
kekeringan
Konsentrasi prolin kedelai dan jagung pada 0, sampai 12 HSP kekeringan dan recovery. Tanda panah menunjukkan rewatering.
Akumulasi prolin terjadi pada jaringan tanaman sebagai respon terhadap kekeringan (Stewart and Voetberg 1985). Yamada et al. (2005) telah melakukan penelitian pada tanaman Petunia (Petunia hybrida), diperoleh bahwa Petunia mengakumulasi prolin bebas selama kondisi cekaman kekeringan. Prolin digunakan sebagai osmoprotektan pada kondisi kekeringan. Srivastava (2002), menambahkan bahwa pada tanaman tembakau transgenik yang diberi perlakuan
57
kekeringan, mensintesis dan mengakumulasi prolin 10 kali lebih banyak dari pada tanaman kontrol, dan memperlihatkan toleransi yang lebih besar terhadap cekaman kekeringan. Hal ini didukung oleh penelitian Hapsoh et al. (2006) pada beberapa genotipe kedelai yang diberi perlakuan cekaman kekeringan, diperoleh bahwa pada cekaman kekeringan ringan sampai berat nyata menunjukkan peningkatan prolin pada daun. Hamim (2003) telah melakukan penelitian pada empat jenis tanaman, masng- masing dua jenis tanaman C4 (Amaranthus caudatus dan Echinochloa crusgallii) dan dua jenis tanaman C3 (gandum dan kale) yang diperoleh bahwa terjadi peningkatan prolin yang tinggi pada ketiga tanaman saat mendapat perlakuan cekaman kekeringan, sedangkan pada Amaranthus caudatus tidak terjadi peningkatan. Hal ini bisa dikatakan bahwa terjadinya peningkatan prolin pada tanaman sebagai adaptasi terhadap cekaman kekeringan mungkin tergantung pada jenis tanamannya. Tanaman jagung mungkin tidak memiliki mekanisme peningkatan prolin sebagai senyawa osmoprotektan, namun boleh jadi mengakumulasi senyawa lain sebagai osmoprotektan, seperti senyawa karbohidrat (sukrosa). Sebagai
contoh, Norwood
et
al. (2000)
mendapati bahwa
Craterostigma plantagineum dapat mengakumulasi sukrosa selama periode kekeringan, untuk menjaga keseimbangan potensial osmotik antara tanaman dan tanah. Rewatering yang diberikan pada tanaman setelah 12 hari mendapatkan perlakuan kekeringan mengakibatkan penurunan drastis kandungan prolin tanaman (Gambar 29). Hal ini membuktikan bahwa prolin digunakan tanaman sebagai senyawa pelindung tanaman saat stres air terjadi. Stewart dan Voetberg (1985) mengatakan bahwa kandungan prolin akan menurun dengan cepat ketika tanaman tidak lagi mengalami stres air. Pemberian herbisida paraquat tidak menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan prolin daun baik pada hari ke-0 maupun sampai hari ke-5. Hasil yang diperoleh ini membuktikan bahwa prolin bukanlah senyawa yang dihasilkan pada kondisi stres oksidatif tapi merupakan senyawa osmoregulator khusus bagi tanaman pada kondisi cekaman kekeringan
58
Varietas Panderman
Prolin (umol prolin g-1 berat segar)
Varietas Tidar 12
12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
2
4
6
0
Prolin (umol prolin g-1 berat segar)
Varietas Burangrang
1
2
3
4
5
6
Kedelai Liar (Glycine tomentella)
12
12
10
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0 0
2
4
6
0
2
4
6
Prolin (umol prolin -1 berat segar)
Jagung 12 10 8 6 4 2 0 0
2 4 Hari setelah perlakuan paraquat kontrol paraquat
6
Gambar 30 Konsentrasi prolin kedelai dan jagung 0, 1, 3, dan 5 HSP herbisida paraquat.
59