36
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Brazilin Identifikasi tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) di Sulawesi Selatan, dilakukan pada beberapa daerah yang berada pada dataran rendah dan dataran tinggi, yaitu Desa Ko’Mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar yang mewakili daerah dataran rendah. Desa Pencong, Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa, serta Desa Lonjo’boko, Kecamatan Malino, Kabupaten Gowa yang mewakili daerah dataran tinggi. Tanaman secang yang ditemukan pada daerah tersebut seluruhnya tumbuh liar. Identifikasi juga dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO) Cimanggu, Bogor. Tanaman secang yang terdapat di BALITTRO adalah hasil pembudidayaan dari polong tanaman secang. Namun, tanaman secang tersebut hanya merupakan tanaman koleksi dengan umur tanaman kurang lebih 7 tahun. Sedangkan untuk keperluan penelitian dalam lingkup BALITTRO menggunakan tanaman secang yang juga tumbuh liar pada beberapa daerah di Jawa Barat. Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang ditemui pada beberapa daerah tersebut, menunjukkan keragaman dari segi habitat (lokasi tumbuh), umur tanaman, maupun pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar. Beberapa masyarakat menggunakan bagian kayu tanaman secang sebagai pagar rumah, pembatas kebun, maupun sebagai campuran pada air minum yang mereka konsumsi setiap hari. Tanaman secang merupakan tanaman yang tumbuh bercabang-cabang dalam satu rumpun. Masyarakat memanen bagian batang dari tanaman secang yang berukuran cukup besar karena memiliki bagian inti kayu yang berwarna merah lebih optimal. Pemanenan dilakukan menggunakan parang. Pemanenan pada salah satu bagian batang tanaman secang tidak mematikan keseluruhan tanaman. Kayu secang yang diperoleh dihilangkan durinya terlebih dahulu, kemudian kulit luar dan kambiumnya hingga diperoleh bagian inti kayu secang. Sortasi basah, pencucian dan penirisan, serta perajangan dilakukan ketika kayu secang hasil panen tersebut akan digunakan sebagai bahan campuran air minum.
37
Pada penelitian tahap satu, dipilih dua daerah yang dianggap mewakili perbedaan habitat tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yaitu Desa Ko’Mara dan Desa Lonjo’boko. Perbedaan habitat yang dimaksudkan yaitu tanaman secang pada Desa Ko’Mara ditemukan tumbuh pada daerah hutan jati yang kering dan suhu cukup panas. Tanaman secang pada daerah tersebut oleh masyarakat sekitar diperkirakan berumur puluhan tahun. Bagian inti kayu secang yang diperoleh pun memiliki proporsi yang tidak terlalu besar (± 50%) dan menghasilkan banyak sampah pasca panen (sampah kulit dan kambium). Sedangkan tanaman secang pada Desa Lonjo’boko ditemukan tumbuh pada sekitar daerah aliran sungai yang kondisinya lembab dan bersuhu dingin. Warna inti kayu secangnya pun lebih merah dibandingkan di Desa Ko’Mara. Proporsi inti kayunya cukup besar (± 75%) untuk keseluruhan batang yang dipanen dengan sedikit sampah pasca panen. Tanaman secang pada daerah tersebut diperkirakan berumur kurang lebih 7 tahun. Perbedaan kayu secang pada kedua daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Perbedaan besarnya proporsi inti kayu secang yang diperoleh pada dua lokasi pengambilan sampel disebabkan oleh perbedaan agroekologi dan ketersediaan unsur hara. Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) pada daerah dataran tinggi (Desa Lonjo’boko) mendapatkan suplai makanan yang lebih baik karena tumbuh di daerah aliran sungai sehingga bagian inti kayunya pun lebih optimal. Berbeda pada tanaman secang yang tumbuh di Desa Ko’mara yang pertumbuhannya tidak disuplai dengan ketersediaan air yang cukup. Penelitian Sugiarso (1998) tentang pengaruh lingkungan terhadap produksi simplisia asal tapak liman (Elephantopus scaber L.) pada tiga daerah di Pulau Jawa menunjukkan bahwa hasil simplisia tertinggi (78,95gram/tanaman) atau 2,526kg/Ha diperoleh pada perlakuan penanaman pada 700 m dpl di daerah Gedangan pada musim kemarau, dengan pemeliharaannya yang baik dan air pengairan yang cukup.
38
(a)
(b)
Gambar 11 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko’Mara Kabupaten Takalar dan (b) Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa Setelah penentuan lokasi pengambilan kayu secang, selanjutnya dilakukan identifikasi bentuk potongan yang digunakan oleh masyarakat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa untuk diperdagangkan di pasar tradisional, kayu secang umumnya dalam bentuk gelondongan dengan panjang ± 5 cm maupun setengah gelondongan. Sedangkan sebagai bahan tambahan untuk air minum digunakan dalam bentuk stick dengan panjang ± 5 cm. Kayu secang yang umumnya diperdagangkan di Pulau Jawa berbentuk serutan, dan hal tersebut juga menjadi salah satu dasar penentuan bentuk potongan yang akan digunakan untuk tahapan selanjutnya. Berbagai bentuk potongan tersebut yang kemudian dianalisis untuk mengetahui bentuk potongan seperti apa yang memiliki kandungan brazilin optimum. Tiga bentuk potongan yang dianalisis kandungan brazilinnya dari masing-masing daerah pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 12.
(a)
(b)
(c)
Gambar 12 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis kandungan brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick
39
Hasil analisa kandungan brazilin pada berbagai bentuk potongan kayu secang
dari
dua
daerah
pengambilan
sampel
berada
pada
kisaran
7,90-79,87mg/g (berdasarkan basis kering ekstrak) (Gambar 13). Kadar brazilin tertinggi terdapat pada perlakuan bentuk potongan stick untuk daerah dataran tinggi (79,87mg/g), sedangkan kadar brazilin terendah pada perlakuan bentuk potongan serutan untuk daerah dataran rendah (7,90mg/g).
Kadar brazilin (mg/g)
79,88
78,28
80
66,26
70 52,53
60
50
Dataran Tinggi
40
28,07
Dataran Rendah
30 7,9
20 10 0 Gelondongan
Stick
Serutan
Gambar 13 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh jenis dataran dan bentuk potongan Pada penelitian ini sampel kayu secang yang digunakan memberikan nilai kadar brazilin yang lebih bervariasi. Pada daerah dataran tinggi, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 66,26-79,88mg/g dengan perincian 66,26mg/g pada bentuk potongan serutan, 78,28mg/g pada potongan gelondongan, dan 79,88 mg/g pada bentuk potongan stick. Pada daerah dataran rendah, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 7,90-28,07mg/g dengan perincian 7,90mg/g pada bentuk potongan serutan, 28,07mg/g pada bentuk potongan gelondongan, dan 52,53mg/g pada bentuk potongan stick. Hasil penelitian pada tahap analisis kandungan brazilin ini memperkaya hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Batubara et al. (2010) yang tidak
memberikan
rincian
secara
spesifik
khususnya
mengenai
lokasi
pertumbuhan tanaman secang yang diambil sebagai sampel analisis. Penelitian tersebut telah berhasil mengekstraksi kayu secang yang diambil dari berbagai
40
lokasi di Pulau Jawa (Karanganyar, Semarang, Yogyakarta, Cianjur, dan Bogor) dengan kombinasi pelarut etanol antara 5,71-9,94% (berdasarkan basis kering). Kadar brazilin yang dihasilkan untuk seluruh daerah pengambilan sampel tersebut berada pada kisaran 5,81-24,85mg/g. Konsentrasi ekstrak dan kadar brazilin tertinggi ditemukan di daerah Semarang. Variasi tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh kayu secang. Rendahnya kadar brazilin pada bentuk potongan serutan diduga disebabkan besarnya luas permukaan bahan yang kontak dengan udara, sehingga memudahkan brazilin teroksidasi. Penyerutan kayu secang yang dilakukan langsung di lokasi pemanenan, dapat memicu percepatan kehilangan senyawa brazilin. Sedangkan dengan jenis potongan stick dan gelondongan, luas permukaan bahan yang akan teroksidasi lebih sedikit, sehingga kandungan brazilinnya pun cukup tinggi. Kadar brazilin yang lebih kecil pada jenis potongan gelondongan dibandingkan dengan potongan stick diduga juga disebabkan karena waktu pemotongan gelondongan, dilakukan terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan total senyawa brazilin yang teroksidasi kemungkinan akan jauh lebih besar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) menyatakan bahwa senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam pengaruh jenis dataran dan potongan terhadap kadar brazilin kayu secang Sumber keragaman Model
Jumlah kuadrat 60749,838a
db 4
Kuadrat tengah 15187,460
F hitung 264,376
Dataran
9235,764
1
9235,764
160,772**
Potongan
2553,568
2
1276,784
22,226*
Error
804,250
14
57,446
Total
61554,088
18
Keterangan : db = derajat bebas * = berpengaruh sangat nyata ** = tidak berpengaruh sangat nyata
41
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel jenis dataran tidak berpengaruh nyata untuk kadar brazilin kayu secang. Sedangkan untuk variabel jenis potongan, menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap kadar brazilin. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,983 (98,3%) menunjukkan data-data aktual pengaruh hasil uji brazilin mencakup dalam model sebesar 98,3%. Hasil ini kemudian dilanjutkan kepada taraf uji lanjut menggunakan metode Duncan. Pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pengaruh potongan terbaik untuk kadar brazilin diperoleh pada potongan stick. Dataran tinggi dengan potongan stick dipilih sebagai model perlakuan yang akan diterapkan untuk rancangan perlakuan proses pengeringan dengan Design Expert 8.0®. Dataran tinggi dipilih untuk mewakili daerah pengambilan sampel karena memiliki nilai mean terbesar dibandingkan dataran rendah, walaupun hasil analisis sidik ragamnya menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Optimasi Proses Pengeringan Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dan Respon Piranti lunak Design Expert 8.0® sebagai alat utama pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh kombinasi optimal dari proporsi relatif masing-masing variabel pengeringan yang digunakan (suhu, kecepatan aliran udara, dan RH) terhadap keseluruhan perlakuan proses pengeringan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Response Surface Methods dengan metode Box-Benhken. Penggunaan Box-Benhken bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan kombinasi komponen dalam memperoleh respon tertentu hingga didapatkan suatu rancangan perlakuan proses pengeringan yang optimal. Design Expert 8.0® merupakan piranti lunak (software) yang menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi terhadap rancangan produk dan proses (Anonim, 2006). Penetapan faktor-faktor pengeringan beserta kisarannya didasarkan pada hasil studi beberapa literatur yang berkaitan dengan proses pengeringan simplisia. Sembiring (2007) mengatakan bahwa pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses
42
pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 oC sampai 90oC,
tetapi suhu
yang terbaik adalah
tidak
melebihi 60oC
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985). Chrysanty (2009) melakukan penelitian mengenai karateristik pengeringan lapisan tipis dan mutu simplisia temu putih dengan menggunakan alat pengering berakuisisi. Penelitian tersebut menggunakan kisaran kelembaban relatif (RH) yaitu 20-60%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kombinasi RH yang sesuai untuk pengeringan simplisia temu putih adalah RH 20-40% pada kecepatan aliran udara yang tinggi (0,78-0,95m/s). Pengujian Kadar Air Kadar air suatu bahan merupakan total keseluruhan kadar air yang ada di dalam bahan pangan seperti air bebas, air terikat secara fisik dan kimiawi. Air dalam bahan pangan biasanya terdapat dalam jaringan, sedangkan air terikat terdapat dalam sel. Kadar air bebas sangat mudah dalam penguapannya dan mudah terabsorbsi kembali ke bahan apabila kondisi lingkungan sekitarnya lembab (Syarief dan Irawati, 1988). Pengujian kadar air pada kayu secang hasil dari proses pengeringan, dilakukan untuk memastikan apakah kadar air telah mencapai interval nilai yang ditargetkan yaitu 8-10% (Tabel 6). Dengan nilai kadar air tersebut diharapkan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme merugikan, dan memudahkan penyimpanan. Selain itu, pengeringan hingga kadar air yang tidak terlalu rendah akan menghindarkan simplisia kayu secang dari kerusakan akibat pengeringan seperti perubahan warna (staining), cacat bentuk (warping), tegangan sisa di permukaan (case hardening), pecah dalam (honeycombing), pecah (checking), dan collapse (permukaan kayu yang berkerut).
43
Tabel 6 Hasil pengukuran nilai kadar air untuk seluruh perlakuan proses pengeringan Rancangan Perlakuan proses pengeringan Kadar Air perlakuan proses Suhu Kecepatan Aliran RH (%) pengeringan (oC) Udara (m/s) (%) 50 0,86 45 9,669 1 50 0,86 45 9,213 2 50 0,86 45 9,339 3 40 0,86 30 8,506 4 40 0,86 60 9,089 5 40 0,78 45 8,147 6 40 0,95 45 9,542 7 50 0,95 60 9,491 8 50 0,78 60 9,070 9 50 0,78 30 9,077 10 50 0,95 30 9,840 11 60 0,86 30 8,751 12 60 0,86 60 9,221 13 60 0,95 45 9,265 14 60 0,78 45 8,955 15 Penurunan kadar air kayu secang menunjukkan tiga tahap penurunan, yaitu tahap penurunan kadar air cepat pada awal pengeringan, tahap penurunan kadar air lambat, dan tahap penurunan kadar air sangat lambat pada akhir pengeringan. Penurunan kadar air cepat diawal disebabkan karena pada awal pengeringan massa air pada permukaan bahan masih dalam jumlah besar. Udara pengering yang dihembuskan akan meliputi permukaan bahan dan akan menaikkan tekanan uap air, terutama pada daerah permukaan. Pada saat proses ini terjadi, perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air berlangsung dalam jumlah yang besar sampai tekanan uap air pada permukaan akan menurun. Setelah massa air pada permukaan berkurang maka terjadi perpindahan air secara difusi dari dalam bahan ke permukaan. Selama proses tersebut, terjadi penurunan kadar air secara lambat. Pada akhirnya setelah air bahan berkurang, tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara sekitarnya dan tidak ada perpindahan air (Chrysanty, 2009). Suhu
merupakan
salah
satu
faktor
penting
pada
pelaksanaan
pengeringan kayu secang. Suhu yang sesuai akan memberikan pengaruh terhadap pencapaian produk akhir yang diinginkan yaitu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan kadar air 8-10%. Demikian juga dengan kecepatan
44
aliran udara yang berkaitan dengan kemampuan menyebarkan panas ke seluruh permukaan bahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sucipto (2009) bahwa panas, merupakan energi yang diperlukan oleh molekul air untuk melepaskan diri dari ikatan antara molekul pada air bebas dalam rongga sel atau melepaskan diri dari ikatan dengan tangan hidroksil pada air terikat. Pada suhu tinggi, udara cenderung menghisap kelembaban atau uap air dibandingkan dengan udara bersuhu rendah. Sirkulasi udara, berfungsi sebagai pengantar panas ke kayu yang digunakan untuk menguapkan air dari dalam kayu dan memindahkan uap air dari permukaan kayu ke udara sekitar. Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan dari kayu secang yang dikeringkan, diduga memiliki sifat yang higroskopis yakni memiliki kemampuan dalam menyerap molekul air dari lingkungannya. Hal ini diindikasikan dengan simplisia yang terasa cukup lembab ketika dipegang pada saat dikeluarkan dari kemasan plastik. Sifat higroskopis ini diduga akan mempengaruhi nilai kadar air dari simplisia kayu secang ketika pengukuran. Hasil Pengukuran Respon Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan Rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan dilanjutkan pada tahap pelaksanaan proses pengeringan. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan perhitungan untuk setiap respon yang telah ditetapkan yaitu susut pengeringan, kadar brazilin, warna (L dan oHue), dan lama pengeringan. Hasil pengukuran dan perhitungan respon dari setiap rancangan perlakuan proses pengeringan dapat dilihat pada Tabel 7.
45
Tabel 7 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan Respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan Perlakuan proses pengeringan Rancangan Warna Susut Kadar Brazilin Lama Pengeringan perlakuan proses Suhu Kecepatan Aliran RH o Pengeringan (%) (mg/g) (Menit) pengeringan L Hue (oC) Udara (m/s) (%) 1 50 0,86 45 4,6862 0,84 34,74 37,04 1260 2
50
0,86
45
4,6668
0,90
34,52
34,87
810
3
50
0,86
45
4,7646
0,87
32,82
34,07
810
4
40
0,86
30
4,5465
0,93
35,85
40,08
560
5
40
0,86
60
3,2443
1,84
30,92
36,96
1120
6
40
0,78
45
4,3529
3,60
35,47
37,52
1230
7
40
0,95
45
4,4936
1,31
33,71
38,43
360
8
50
0,95
60
4,6767
0,80
37,01
41,85
1140
9
50
0,78
60
5,5148
1,06
31,96
33,95
1700
10
50
0,78
30
4,4631
1,20
33,29
37,32
1340
11
50
0,95
30
5,1349
1,72
34,66
36,18
470
12
60
0,86
30
4,5804
3,61
32,93
37,77
1170
13
60
0,86
60
3,5392
2,16
33,74
35,47
1390
14
60
0,95
45
4,4028
1,25
35,90
36,36
1660
15
60
0,78
45
4,7250
5,29
34,40
36,49
620
46
Analisis Respon dengan Program Design Expert 8.0® Analisis Respon Susut Pengeringan Hasil uji respon susut pengeringan berkisar antara 3,2443% sampai 5,5148%. Nilai susut pengeringan terendah yaitu 3,2443% diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai susut pengeringan tertinggi yaitu 5,5148% diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon susut pengeringan adalah 4,52% dengan nilai standar deviasi sebesar 0,55%. Susut pengeringan bertujuan untuk melihat seberapa besar senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Selain itu, susut pengeringan dapat dijadikan dasar dalam penetapan kualitas simplisia akibat pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan. Susut pengeringan ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisa karena berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan kapang atau jamur serta zat yang mudah menguap pada simplisia (Soetarno dan Soediro, 1997). Variasi nilai susut pengeringan pada masing-masing rancangan perlakuan diduga disebabkan oleh adanya ketidakseragaman proses pengeringan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan suhu, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif (RH) yang berbeda-beda untuk setiap rancangan perlakuan proses pengeringan. Ketidakseragaman faktor-faktor proses pengeringan tersebut diduga mengakibatkan senyawa volatil yang hilang pada saat proses pengeringan juga lebih variatif, salah satunya senyawa brazilin. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0®, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara susut pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan. Model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean nya. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0® adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 129,83 dengan nilai p “Prob>F” lebih kecil dari 0,05 (0,0077). Hal ini menunjukkan lack of fit yang signifikan
47
terhadap pure error dimana variasi dalam replikasi nilai mean nya lebih kecil dari variasi design points nilai yang diprediksikan. Nilai lack of fit yang signifikan disebabkan oleh replikasi yang baik dan variasinya kecil, modelnya tidak memprediksikan dengan baik, atau kombinasi keduanya. Selain itu, akan muncul kemungkinan bahwa model yang dihasilkan tidak dapat memberikan prediksi yang baik dalam kondisi tertentu. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon susut pengeringan juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon susut pengeringan. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 14 menunjukkan data-data untuk respon susut pengeringan yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat disepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon susut pengeringan. Design-Expert® Software SusutPengeringan
Normal Plot of Residuals
Color points by value of SusutPengeringan: 5.5148 99
N o rm a l % P r o b a b ility
3.2443
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
Internally Studentized Residuals
Gambar 14 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon susut pengeringan Grafik contour plot pada Gambar 15 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon susut pengeringan. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai respon
48
terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen rancangan perlakuan proses pengeringan yang diukur. Grafik tiga dimensi (3-D)
pada Gambar
16
merupakan bentuk
permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon susut pengeringan. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Hal ini juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) memberikan nilai respon susut pengeringan yang dianggap tidak berbeda nyata pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Design-Expert® Software Factor Coding: Actual SusutPengeringan Design Points 5.5148
SusutPengeringan 60
3.2443
X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH
53
C: RH
Actual Factor A: Suhu = 50
3
45
38
30 0.78
0.82
0.86
0.91
0.95
B: Kecepatan
Gambar 15 Grafik contour plot hasil uji respon susut pengeringan
3.2443 X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = 50
S u s u t P e n g e r in g a n
Design-Expert® Software Factor Coding: Actual SusutPengeringan Design points above predicted value Design points below predicted value 5.5148
6.0000 5.5000 5.0000 4.5000 4.0000 3.5000 3.0000
60 53
0.95 0.91
45 0.86
C: RH
38
0.82 30
0.78
B: Kecepatan
Gambar 16 Grafik tiga dimensi hasil uji respon susut pengeringan
49
Analisis Respon Kadar Brazilin Brazilin sering digunakan sebagai senyawa penciri pada kayu secang. Brazilin memiliki banyak aktivitas sehingga dapat dijadikan standar dalam kontrol kualitas kayu secang. Kontrol kualitas bahan alami dilakukan untuk mengevaluasi kualitas dan keaslian tanaman obat sehingga mencegah adanya pencampuran obat dari tanaman lain (Soares dan Scarmino. 2008 dalam Hangoluan, 2011). Pengukuran kadar brazilin menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan detektor ultraviolet-tampak (UV-VIS) yang dipantau dengan panjang gelombang 280 nm. Brazilin dihitung menggunakan kurva kalibrasi standar eksternal dengan memplot daerah puncak terhadap perbedaan konsentrasi brazilin (kisaran 25-125 µg/mL) (Batubara et al. 2010). Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida pekat. Hasil positif ditunjukkan dengan munculnya warna kuning kemerahan yang berarti ekstak tersebut mengandung senyawa golongan flavonoid (Suhartati, 1983). Hasil uji respon kadar brazilin berkisar antara 0,80mg/g sampai 5,29mg/g. Nilai kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai kadar brazilin tertinggi yaitu 5,29mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 15 dengan suhu 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%. Nilai rata-rata (mean) dari respon kadar brazilin adalah 1,82533mg/g dengan nilai standar deviasi sebesar 0,93mg/g. Hubungan antara kadar brazilin dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan membentuk model polinomial yang melibatkan suhu dan kecepatan aliran udara (Persamaan 2). Model polinomialnya adalah reduced quadratic model. Kadar brazilin = - (1,38516)A – (8,92647)B + (0,014430)A2 ………….……… (2) Keterangan: A = suhu B = kecepatan aliran udara
50
Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0® adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen A (suhu), komponen C (RH), interaksi komponen AB (suhu dan kecepatan aliran udara), interaksi komponen AC (suhu dan RH), interaksi komponen BC (kecepatan aliran udara dan RH), komponen B2 (interaksi antar kecepatan aliran udara), dan komponen C2 (interaksi antar RH) karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout = 0,1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced quadratic model) signifikan dengan nilai p “prob>F” lebih kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen B (kecepatan aliran udara), dan komponen A2 (interaksi antar suhu), memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon kadar brazilin. Lack of fit F-value sebesar 1181,07 dengan nilai p “Prob>F” lebih kecil dari 0,05 (0,0008) menunjukkan lack of fit yang signifikan relatif terhadap pure error. Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut untuk respon kadar brazilin adalah 0,5055 dan 0,1685 yang menunjukkan bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon kadar brazilin mencakup dalam model sebesar 50,55% dan 16,85%. Nilai adequate precision untuk respon kadar brazilin adalah lebih besar dari 4 (7,349) yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan bahwa model dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space. Persamaan (2) menunjukkan bahwa respon kadar brazilin akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan interaksi antar komponen suhu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai konstanta yang positif (0,014430). Respon kadar brazilin akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kecepatan aliran udara dan peningkatan suhu yang ditunjukkan dengan nilai konstanta negatif. Brazilin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat tidak stabil. Beberapa faktor selama proses pengeringan yang diduga menjadi penyebab terjadinya oksidasi dan penurunan kadar brazilin pada kayu secang, antara lain penundaan yang cukup lama setelah pemanenan kayu secang, serta peningkatan
51
suhu dan kecepatan aliran udara selama proses pengeringan. Peningkatan kecepatan aliran udara diduga berperan dalam menyebarkan panas ke seluruh permukaan bahan dan berakibat pada laju degradasi sktruktur kimia brazilin yang lebih cepat. Faktor suhu pengeringan kemungkinan memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap penurunan nilai kadar brazilin dibandingkan dengan faktor kecepatan aliran udara. Suhu pengeringan yang semakin tinggi dapat menimbulkan energi kinetik penyebab dekomposisi dan perubahan struktur kimia brazilin menjadi senyawa lain seperti brazilein yang identik dengan pigmen warna merah pada kayu secang. Maharani (2003) telah melakukan penelitian mengenai stabilitas brazilin pada kayu secang yang telah diekstraksi sebelumnya. Pemanasan pada suhu 40 oC menyebabkan peningkatan absorbansi pigmen warna kayu secang yang sangat tajam pada menit ke 180. Pada pemanasan suhu 60 oC juga terjadi peningkatan warna setelah 60 menit kemudian terjadi penurunan secara terus-menerus. Peningkatan terjadi karena pigmen brazilin kayu secang telah berubah menjadi brazilein secara keseluruhan karena peningkatan suhu. Setelah itu nilai absorbansi mengalami penurunan secara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa pigmen brazilein telah terdegradasi. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 17 menunjukkan data-data untuk respon kadar air yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar brazilin. Design-Expert® Software Brazilin
Normal Plot of Residuals
Color points by value of Brazilin: 5.29 99
N o r m a l % P r o b a b ility
0.80
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
Internally Studentized Residuals Gambar 17 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kadar brazilin
52
Grafik contour plot pada Gambar 18 menggambarkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kadar brazilin, melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon kadar brazilin tertinggi yaitu 5,29mg/g. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot merupakan kombinasi antara tiga komponen rancangan perlakuan proses pengeringan dengan proporsi berbeda yang menghasilkan nilai respon kadar brazilin yang sama. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 19 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kadar brazilin yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon kadar brazilin yang tinggi. Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Brazilin Design Points 5.29
Brazilin 0.95
0.80
0.49
X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan
B : K e c e p a ta n
Actual Factor C: RH = 45
0.91
0.67
1.00
0.86
2.00 1.87 2.39
3
2.74
1.25
3.00 1.87 2.00
0.82
1.44 1.60
2.39
0.78 40
45
50
55
A: Suhu
Gambar 18 Grafik contour plot hasil uji respon kadar brazilin
60
53
Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Brazilin Design points above predicted value Design points below predicted value 5.29 0.80 X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan
6.00
Actual Factor C: RH = 45
5.00
B r a z ilin
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
0.78 0.82
60
0.86
B: Kecepatan
55 50
0.91 45 40
0.95
A: Suhu
Gambar 19 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon kadar brazilin Analisis Respon Warna Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizi serta sifat mikrobiologisnya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan (Winarno, 1995). Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran, kematangan dan kesempurnaan proses pengolahan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dari warna produk yang seragam dan merata. Intensitas zat warna diukur dengan menggunakan Chromamater Minolta CR-310 dengan sistem notasi warna Hunter (sistem warna L, a, dan b). Nilai L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) dan b untuk warna kuning (b positif) sampai biru (b negatif). Analisis Respon L Respon L identik dengan kecerahan warna suatu produk. Semakin tinggi nilai L maka kecerahan warna suatu produk yang diukur juga semakin meningkat. Hasil uji respon L berkisar antara 30,92 sampai 37,01. Nilai L terendah yaitu 30,92 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH)
54
60%. Sedangkan nilai L tertinggi yaitu 37,01 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon L adalah 34,40 dengan nilai standar deviasi sebesar 1,63. Nilai L memiliki kisaran dari 0 untuk warna hitam hingga 100 untuk warna putih. Kisaran nilai L antara 31,34 sampai 36,64 menunjukkan bahwa tingkat kecerahan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) cenderung rendah. Nilai L pada simplisia kayu secang (Sappan Lignum) diduga cukup kuat dipengaruhi oleh warna pigmen brazilein yang merupakan senyawa berwarna merah kecoklatan pada kayu secang. Brazilein terbentuk dari proses oksidasi pigmen brazilin yang terjadi selama proses pengeringan maupun ketika kontak dengan udara selama pemanenan dan penanganan pasca panen kayu secang. Suharti (1983) telah melakukan penelitian untuk mengisolasi zat warna dari tumbuhan secang (Caesalpinia sappan Linn). Isolasi yang dilakukan menghasilkan sedikitnya tiga zat warna, yaitu zat warna kuning dan merah serta zat warna yang larut dalam air. Zat warna kuning merupakan brazilin atau turunannya yang mudah berubah menjadi brazilein yang berwarna merah melalui oksidasi udara. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0®, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara respon L dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan. Model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean nya. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0® adalah two factorial interaction (2FI), tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 2,33 dengan nilai p “Prob>F” lebih besar dari 0,05 (0,3398). Hal ini menunjukkan lack of fit yang tidak signifikan terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon L dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon L juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon L.
55
Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 20 menunjukkan data-data untuk respon L yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon L. Design-Expert® Software L
Normal Plot of Residuals
Color points by value of L: 36.64 99
N o r m a l % P r o b a b ility
31.34
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
Internally Studentized Residuals
Gambar 20 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon L Grafik contour plot pada Gambar 21 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon L. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 22 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon L. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan yang diukur. Design-Expert® Software Factor Coding: Actual L Design Points 36.64
L 60
31.34
X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH
53
C: RH
Actual Factor A: Suhu = 50
3
45
38
30 0.78
0.82
0.86
0.91
B: Kecepatan
Gambar 21 Grafik contour plot hasil uji respon L
0.95
56
Design-Expert® Software Factor Coding: Actual L Design points above predicted value Design points below predicted value 36.64 31.34
37.00
X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH
36.00
Actual Factor A: Suhu = 50
35.00
L
34.00 33.00 32.00 31.00
60 0.95
53 0.91
45 0.86
C: RH
38
0.82 30
0.78
B: Kecepatan
Gambar 22 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon L Analisis Respon oHue Nilai oHue merupakan kisaran warna sampel yang diperoleh dari hasil perhitungan nilai b dibagi nilai a. Tabel 8 menunjukkan hubungan antara oHue dengan warna simplisia kayu secang yang diukur. Hasil uji respon
o
Hue
berkisar antara 33,95 sampai 40,08. Tabel 8 Hubungan oHue dengan warna simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang diukur o Hue Warna Sampel 18o – 54o o
red (R)
o
54 – 90
yellow red (YR)
90o – 126o
yellow (Y)
Nilai oHue hasil pengukuran pada produk akhir simplisia kayu secang (Sappan Lignum) menunjukkan warna red (R). Warna merah tersebut identik dengan warna
pigmen
brazilein
yang
merupakan
hasil
dari oksidasi
pigmen brazilin kayu secang. Brazilein memiliki warna merah tajam dan cerah pada pH netral (pH 6-7). Pigmen brazilin tersebut bersifat tidak stabil ketika proses pemanasan. Proses pengeringan dengan suhu tertentu, diduga telah menimbulkan energi kinetik yang dapat menyebabkan degradasi pigmen brazilin menjadi brazilein.
57
Nilai oHue terendah yaitu 33,95 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai oHue tertinggi yaitu 40,08 diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 4 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 30%. Nilai rata-rata (mean) dari respon oHue adalah 37,28 dengan nilai standar deviasi sebesar 1,86. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0®, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara respon o
Hue dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan. Model yang dihasilkan hanya
dibuat berdasarkan nilai mean nya. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0® adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 2,98 dengan nilai p “Prob>F” lebih besar dari 0,05 (0,2789). Hal ini menunjukkan lack of fit yang tidak signifikan terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuain data respon oHue dengan model. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon o
Hue juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480.
Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon oHue. Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 23 menunjukkan data-data untuk respon oHue yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon oHue.
58
Design-Expert® Software Hue
Normal Plot of Residuals
Color points by value of Hue: 40.64 99
N o rm a l % P r o b a b ility
34.56
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
Internally Studentized Residuals Gambar 23 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon oHue
Grafik contour plot pada Gambar 24 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon
o
Hue.
Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 25 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan terhadap respon
o
Hue. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap
kombinasi antara komponen yang diukur. Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Hue Design Points 40.64
Hue 60
34.56
X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH
53
C: RH
Actual Factor A: Suhu = 50
3
45
38
30 0.78
0.82
0.86
0.91
B: Kecepatan
Gambar 24 Grafik contour plot hasil uji respon oHue
0.95
59
Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Hue Design points above predicted value Design points below predicted value 40.64 34.56
41
X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH
40 39
Actual Factor A: Suhu = 50
H ue
38 37 36 35 34
60 53
0.95 0.91
45
C: RH
0.86 38 0.82 30
0.78
B: Kecepatan
Gambar 25 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon oHue Analisis Respon Lama Pengeringan Suatu proses pengeringan diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu singkat namun memberikan hasil berupa produk akhir dengan mutu yang sesuai keinginan. Selain itu, dengan waktu pengeringan yang singkat diharapkan biaya produksi dan umur ekonomis alat dapat ditekan sedini mungkin. Hasil uji respon lama pengeringan berkisar antara 360 menit sampai 1700 menit. Lama pengeringan terendah yaitu 360 menit diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 7 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%. Sedangkan lama pengeringan tertinggi yaitu 1700 menit diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon lama pengeringan adalah 1042,67 menit dengan nilai standar deviasi sebesar 249,40 menit. Lama pengeringan kayu secang memiliki nilai yang cukup berbeda antara masing-masing rancangan perlakuan proses pengeringan yang telah dilakukan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perbedaan kadar air awal kayu, perbedaan bagian batang pengambilan sampel dalam satu rumpun tanaman, perbedaan kerapatan kayu, maupun ketidakstabilan kondisi suhu dan RH dalam chamber mesin pengering berakuisisi yang digunakan. Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan, ukuran dan frekuensi
60
jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu yang berat atau berkerapatan tinggi mengering lebih lambat dan sehubungan dengan cacat-cacat pengeringan dibanding dengan kayu yang ringan (Budiarso, 1997). Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kecepatan pengeringan kayu terjadi yaitu: (1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda (Sukaton, 1999). Hubungan antara lama pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan membentuk model polinomial yang melibatkan suhu, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif (Persamaan 3). Model polinomialnya adalah reduced two factors interaction (2FI) model. Lama pengeringan = - (466,30147)A – (29941,17647)B + 15,08333C + 561,76471AB …………………….. (3) Keterangan: A = suhu B = kecepatan aliran udara C = kelembaban relatif (RH) Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0® adalah two factors interaction (2FI), tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination. Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen B (suhu), interaksi komponen AC (suhu dan RH), dan interaksi komponen BC (kecepatan aliran udara dan RH) karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi αout = 0,1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced two factors interaction (2FI) model) signifikan dengan nilai p “prob>F” lebih kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen C (RH), dan interaksi komponen AB (suhu dan kecepatan aliran udara) memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon lama pengeringan. Lack of fit F-value sebesar 0,90 dengan nilai p “Prob>F” lebih besar dari 0,05 (0,6242) menunjukkan lack of fit yang tidak
61
signifikan relatif terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak signifikan merupakan syarat model yang baik karena menunjukkan adanya kesesuaian data respon lama pengeringan dengan model. Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut untuk respon lama pengeringan adalah 0,6446 dan 0,2792 yang menunjukkan bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon lama pengeringan mencakup dalam model sebesar 64,46% dan 27,92%. Nilai adequate precision untuk respon lama pengeringan adalah lebih besar dari 4 (9,358) yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan bahwa model dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space. Hasil analisis terhadap model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik dan juga diharapkan memberikan prediksi yang baik. Persamaan (3) menunjukkan bahwa respon lama pengeringan akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan interaksi antara komponen suhu dan kecepatan aliran udara yang diindikasikan dengan nilai konstanta yang positif (561,76471), diikuti dengan komponen RH dengan nilai konstanta sebesar (15,08333). Respon lama pengeringan akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kecepatan aliran udara yang diindikasikan dengan nilai konstanta negatif (29941,7647), kemudian diikuti dengan komponen suhu dengan nilai konstanta sebesar (466,30147). Interaksi antara suhu dan kecepatan aliran udara yang memperpanjang waktu pengeringan diduga disebabkan oleh adanya beberapa variasi pada rancangan perlakuan proses pengeringan. Variasi ini dapat berupa suhu rendah yang
berinteraksi
dengan
kecepatan
aliran
udara
yang
rendah
pula
o
(40 C dan 0,78m/s), suhu tinggi yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara yang rendah (60oC dan 0,78m/s), maupun suhu rendah yang berinteraksi dengan kecepatan aliran udara yang tinggi (40 oC dan 0,95m/s). Variasi tersebut berinteraksi terhadap faktor ketidakseragaman kadar air awal bahan sehingga proses penguapan air pada kayu secang pun menjadi lebih lambat, berbanding lurus dengan waktu pengeringnnya.
62
Kelembaban relatif (RH) yang tinggi akan menghambat proses perpindahan uap air dari dalam bahan ke luar bahan sehingga lama waktu pengeringan akan semakin panjang. RH yang tinggi akan menyebabkan cukup banyak massa air bebas yang menyelimuti seluruh permukaan bahan, sehingga laju penguapan massa air dari permukaan bahan seolah-olah konstan. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi RH, maka laju pengeringan akan menurun perlahan (Chrysanty, 2009). Kecepatan aliran udara dan suhu merupakan faktor-faktor proses pengeringan yang harus diperhatikan untuk mencapai waktu pengeringan sesingkat mungkin. Suhu berkaitan dengan eneri panas yang dihasilkan dalam menguapkan air yang terdapat dalam kayu secang. Sedangkan kecepatan aliran udara digunakan dalam penyebaran panas ke seluruh permukaan kayu secang selama proses pengeringan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan memindahkan massa uap air dari permukaan simplisia. Semakin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara yang digunakan maka lama pengeringan juga akan semakin cepat. Chrysanty (2009) telah melakukan penelitian mengenai pengeringan simplisia temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) dengan menggunakan mesin pengering berakuisisi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara yang digunakan maka waktu pengeringan yang diperlukan juga semakin singkat. Sirkulasi udara yang baik akan mempercepat perambatan gelombang panas pada udara sehingga mempercepat pengeringan (Sucipto, 2009). Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 26 menunjukkan data-data untuk respon lama pengeringan yang menyebar normal. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon lama pengeringan.
63
Design-Expert® Software Lama Pengeringan
Normal Plot of Residuals
Color points by value of Lama Pengeringan: 1700 99
N o r m a l % P r o b a b ility
360
95 90 80 70 50 30 20 10 5
1
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
Studentized Residuals Gambar 26 Grafik kenormalan internallyInternally stundentized residuals respon lama pengeringan
Grafik contour plot pada Gambar 27 menggambarkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon lama pengeringan, melalui warna-warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan nilai respon lama pengeringan terendah yaitu 360 menit, sedangkan warna merah menunjukkan nilai respon lama pengeringan tertinggi yaitu 1700 menit. Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 28 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses pengeringan. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan. Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Lama Pengeringan Design Points 1700
Lama Pengeringan 0.95
400 1400
360
600 695.587
X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan
B : K e c e p a ta n
Actual Factor C: RH = 45
0.91
1288.37 800 1200
910.506
1151.04 1000
1125.52
3
0.86
1084.97 1105.56 1105.56
1125.52 1151.04
0.82
1084.97
1200 1288.37
1000
1400 0.78 40
45
50
55
A: Suhu
Gambar 27 Grafik contour plot hasil uji respon lama pengeringan
60
64
360 X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan Actual Factor C: RH = 45
L a m a P e n g e r in g a n
Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Lama Pengeringan Design points above predicted value Design points below predicted value 1700
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200
60 55 0.78
50 0.82
A: Suhu
0.86
45 0.91 40
0.95
B: Kecepatan
Gambar 28 Grafik tiga dimensi hasil uji respon respon lama pengeringan Optimasi Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dengan Program Design Expert 8.0® Nilai respon-respon yang optimal merupakan tujuan dilakukannya proses optimasi. Respon paling optimal ditunjukkan dengan nilai desirability mendekati satu. Tingkat kepentingan variabel respon dapat ditingkatkan dengan memberikan pembobotan yang disebut importance pada selang 1 (+) hingga 5 (+++++) tergantung tingkat kepentingan yang diinginkan. Tabel 9 menunjukkan komponen-komponen yang dioptimasi, nilai targetnya, batas minimum dan maksimumnya, serta tingkat kepentingan (importance) pada tahap optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan dengan program Design Expert 8.0®. Tabel 9 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance pada tahapan optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan Nama komponen/respon Suhu Kecepatan aliran udara RH Susut pengeringan Kadar brazilin L o Hue Lama pengeringan
Goal
Batas bawah
Batas atas
Importance
in range in range in range in range maximize in range in range minimize
40 0,78 30 3,2443 0,8 31,34 18 360
60 0,95 60 5,5148 5,29 36,64 54 1700
3 (+++) 3 (+++) 3 (+++) 3 (+++) 5 (+++++) 3 (+++) 3 (+++) 4 (++++)
65
Kadar brazilin dengan range 0,8-5,29mg/g merupakan respon yang dioptimalkan dengan goal maximize pada tingkat kepentingan (importance) 5 (+++++). Kadar brazilin adalah senyawa penciri pada kayu secang yang memiliki sifat fungsional. Dengan tingkat kepentingan yang tinggi diharapkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan akan memiliki kadar brazilin yang tinggi pula. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011). Respon lama pengeringan dengan range 360-1700 menit merupakan respon yang dioptimalkan dengan goal minimize pada tingkat kepentingan (importance) 4 (++++). Lama pengeringan diharapkan dapat dilaksanakan secepat mungkin pada waktu yang minimum sehingga dapat diperoleh efektifitas dan efisiensi dalam proses pengeringan. Hal ini akan berpengaruh pada besarnya biaya yang akan dikeluarkan dalam pelaksanaan proses pengeringan. Selain itu, pengurangan umur ekonomis dari alat yang digunakan juga dapat ditekan sedini mungkin. Respon susut pengeringan dengan range 3,2443-5,5148% dioptimalkan dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++). Respon L hasil pengukuran warna dengan range 30,92-37,01 dioptimalkan dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++). Respon oHue hasil pengukuran warna dengan range 33,95-40,08 dioptimalkan dengan target respon in range dan tingkat kepentingan (importance) 3 (+++). Respon susut pengeringan dan hasil analisis warna (L dan oHue) diberikan targer respon yang in range dengan tingkat kepentingan 3 (+++) karena pengukuran dari masing-masing respon tersebut dilakukan secara obyektif menggunakan instrument. Range yang diberikan tersebut diharapkan tidak menyimpang dan masih mewakili karateristik rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan. Setelah tahap analisis respon, selanjutnya dilakukan tahap optimasi dengan program Design Expert 8.0®. Pada tahapan ini, program akan memberikan satu solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum sebagai hasil running terhadap 29 rancangan yang kemungkinan akan memberikan hasil yang optimum. Rancangan perlakuan proses pengeringan yang memberikan nilai desirability
66
tinggi yang akan direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0® sebagai solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum. Nilai desirability yang dihasilkan dipengaruhi oleh kompleksitas komponen, kisaran yang digunakan dalam komponen, jumlah komponen dan respon, serta target yang ingin dicapai dalam memperoleh rancangan optimum. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah variabel proses pengeringan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap simplisia kayu secang (Sappan Lignum) untuk menentukan rancangan perlakuan proses pengeringan. Jumlah masing-masing variabel proses pengeringan ditentukan dalam range berbeda-beda yang akan berpengaruh terhadap nilai desirability. Semakin lebar range nya, maka penentuan rancangan perlakuan optimum dengan nilai desirability yang tinggi akan semakin sulit. Jumlah komponen dan respon juga turut mempengaruhi nilai desirability rancangan perlakuan proses pengeringan optimum. Semakin banyak jumlah komponen dan respon, maka semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga kemungkinan akan menghasilkan nilai desirability yang rendah. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan. Nilai importance yang besar +++ hingga +++++ menunjukkan adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai produk optimal yang ideal (sesuai target optimasi). Semakin besar tingkat kepentingan (importance) dari suatu respon atau komponen, maka semakin sulit untuk memperoleh rancangan perlakuan proses pengeringan optimum dengan nilai desirability yang tinggi (Wulandhari. 2007 dalam Susilo, 2011). Solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih yaitu memiliki suhu pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) sebesar 30% (Lampiran 14). Rancangan ini memiliki nilai desirability sebesar 0,709 yang artinya rancangan tersebut akan menghasilkan produk dengan karateristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 70,9%. Rancangan perlakuan proses pengeringan ini diprediksikan akan memiliki nilai susut pengeringan sebesar 4,5195%, kadar brazilin sebesar 3,84mg/g, nilai L sebesar 34,40, nilai oHue sebesar 37,282, dan lama pengeringan 692,672 menit.
67
Grafik contour plot untuk solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih dapat dilihat pada Gambar 29. Contour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon susut pengeringan, kadar brazilin, hasil analisis warna (L dan oHue), dan lama pengeringan. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen proses pengeringan dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama. Titik prediksi pada gambar tersebut menunjukkan kombinasi antara suhu pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) sebesar 30% yang menghasilkan nilai desirability sebesar 0,709. Grafik tiga dimensi (3-D) untuk solusi rancangan perlakuan proses pengeringan terpilih dapat dilihat pada Gambar 30. Grafik tersebut menunjukkan proyeksi dari grafik contour plot. Area yang rendah pada grafik tiga dimensi menunjukkan nilai desirability yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai desirability yang tinggi. Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Desirability Design Points 1.000
Desirability
0.95
0.000
Actual Factor C: RH = 30
0.91
B : K e c e p a ta n
X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan
0.109 0.331 0.354 0.354
0.86
0.331 0.354 0.354
0.171
0.396
0.208 0.208
0.396
0.446 0.500 0.262
0.82
0.550 0.286
0.600
0.304
Prediction
0.709
0.78 40
45
50
55
60
A: Suhu
Gambar 29 Grafik contour plot nilai desirability solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum
68
Design-Expert® Software Factor Coding: Actual Desirability Design points above predicted value 1.000
0.709
0.800
0.000
Actual Factor C: RH = 30
D e s ira b ility
X1 = A: Suhu X2 = B: Kecepatan
0.600
0.400
0.200
0.000
0.78 0.82
B: Kecepatan
0.86 0.91 0.95
60
55
50
45
40
A: Suhu
Gambar 30 Grafik tiga dimensi nilai desirability solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum
Uji Penerimaan Terhadap Produk Secang Celup Pembuatan produk secang celup dari simplisia kayu secang diperlukan, dengan harapan dapat dikembangkan pada skala industri yang mempersyaratkan adanya sentuhan teknologi dalam pembuatan suatu produk, salah satunya yaitu melalui proses pengeringan. Namun di sisi lain, pengolahan suatu produk berkhasiat dari tanaman segar tanpa proses pengeringan juga masih cukup digemari oleh masyarakat sehingga dirasa perlu untuk dijadikan pembanding. Produk secang celup yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 31. Secang celup yang akan diujikan kepada panelis, diseduh terlebih dahulu dengan menggunakan air mendidih (± 240 ml) dan dibiarkan selama ± 3 menit. Setelah itu, minuman secang hasil seduhan, dituangkan ke dalam gelas plastik bening berukuran kecil dan diberi kode. Penyajian dilakukan tanpa menambahkan gula pasir. Sampel yang pertama yaitu secang celup yang dibuat dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil pengeringan dengan kode A, sedangkan produk dari kayu secang segar diberi kode B. Kedua sampel tersebut yang kemudian diujikan kepada 30 panelis tidak terlatih.
69
Gambar 31 Produk Secang Celup Panelis yang akan melakukan uji organoleptik dipilih dari beberapa daerah di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap pengembangan produk secang celup yang hingga saat ini penggunaannya dalam bentuk stick kayu saja. Panelis-panelis dipilih secara acak berdasarkan jenis kelamin, tingkatan usia, pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Beberapa panelis juga dipilih dari lokasi pengambilan sampel kayu secang yaitu di Desa Lonjo’boko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Panelis-panelis tersebut diasumsikan dapat mewakili masyarakat karena mereka pernah dan bahkan masih sering mengkonsumsi minuman kayu secang. Hal ini dapat membantu mereka dalam mengidentifikasi produk secang celup berdasarkan mutu organoleptik rasa, aroma, dan warna seduhan. Dalam uji hedonik, panelis diminta tanggapannya untuk membedakan produk secang celup tentang rasa suka atau tidak suka terhadap hasil seduhan kedua produk tersebut. Setiap tanggapan yang diberikan oleh panelis disesuaikan dengan tingkat penerimaan yang disajikan pada form pengujian dengan selang angka 1 sampai 7. Jika panelis memberikan tanggapan sangat suka terhadap produk secang celup maka diberi nilai 7, tanggapan suka diberi nilai 6, agak suka diberi nilai 5, biasa saja diberi nilai 4, agak tidak suka diberi nilai 3, tidak suka diberi nilai 2, dan tanggapan sangat tidak suka diberi nilai 1. Nilai rata-rata hasil uji organoleptik produk secang celup A dan B dapat dilihat pada Gambar 32.
70
6.40
6,23 6,17
Rerata Sensori
6.20 6.00 5.80
5,83 5,67 5,60
Secang Celup A (Simplisia kayu secang)
5,53
5.60
Secang Celup B (Kayu secang hasil panen)
5.40 5.20 5.00 Rasa
Aroma
Warna
Parameter Sensori Keterangan : 1 = Sangat tidak suka 2 = Tidak suka 3 = Agak tidak suka 4 = Biasa saja
5 = Agak suka 6 = Suka 7 = Sangat suka
Gambar 32 Nilai rata-rata hasil uji organoleptik (hedonic test) terhadap parameter rasa, aroma, dan warna seduhan pada produk secang celup A dan B Rasa Seduhan Pada parameter rasa seduhan, dari 30 panelis, 7 panelis menyatakan sangat suka, 13 panelis menyatakan suka, 5 panelis menyatakan agak suka, dan 4 panelis menyatakan biasa saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada rasa seduhan produk secang celup B, 3 panelis menyatakan sangat suka, 18 panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 6 panelis menyatakan biasa saja. Nilai rata-rata parameter rasa seduhan pada produk secang celup A sebesar 5,667 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan pada produk secang celup B sebesar 5,6 juga menunjukkan tanggapan suka terhadap produk yang disajikan (Gambar 32).
71
Tabel 10 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) parameter rasa seduhan produk secang celup A dan secang celup B Sumber keragaman Model Panelis Sampel Error Total
Jumlah kuadrat
df
Kuadrat tengah
F hitung
1932,067a 27,933 0,067 25,933 1958,000
31 29 1 29 60
62,325 0,963 0,067 0,894
69,695 1,077 0,075
* a. R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,973) Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 10 menunjukkan nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk tingkat kesukaan terhadap parameter rasa seduhan pada produk secang celup A dan secang celup B. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,973 menunjukkan data-data aktual hasil uji organoleptik terhadap parameter rasa seduhan kedua produk mencakup dalam model sebesar 97,3%. Minuman kayu secang yang dikonsumsi masyarakat memiliki rasa yang sama dengan air mineral atau hampir dikatakan netral / tidak berasa. Rasa pada produk secang celup hasil seduhan secara umum menurut panelis memiliki rasa yang sama dengan minuman kayu secang yang biasa mereka konsumsi. Namun beberapa panelis memberikan tanggapan terhadap rasa seduhan produk secang celup A yang berbeda dengan produk secang celup B. Mereka menyatakan bahwa secang celup B memiliki rasa hasil seduhan yang lebih sepat seperti teh, dibandingkan dengan secang celup A yang memiliki rasa netral. Perbedaan rasa seduhan yang timbul dari dua produk secang celup yang disajikan diduga disebabkan karena adanya pengaruh proses pengeringan terhadap salah satu produk. Pengeringan menyebabkan terjadinya oksidasi komponen kimia penyebab rasa sepat pada kayu secang sehingga rasa yang dihasilkan setelah penyeduhan cenderung netral. Sedangkan untuk produk secang celup yang dihasilkan dari kayu secang segar hasil panen tanpa proses pengeringan, memiliki rasa sepat yang diduga berasal dari komponen kimia penyebab rasa yang masih terikat pada kayu secang. Eksperimen kecil dilakukan terhadap produk secang celup yang menurut panelis memiliki rasa yang sepat dengan menambahkan
72
gula pasir yang diaduk secara merata. Panelis menyatakan bahwa dengan menambahkan gula pasir, rasa yang dihasilkan dari secang celup sama dengan rasa teh pada umumnya. Produk secang celup yang dihasilkan pada penelitian kali ini memiliki rasa yang netral juga diduga karena tidak dipengaruhi oleh bahan tambahan lainnya seperti produk teh dari kayu secang yang diperdagangkan di Pulau Jawa. Produk yang telah dipasarkan di Pulau Jawa diproduksi dengan komposisi bahan yang lebih variatif. Bahannya tidak hanya berasal kayu secang saja tetapi dari bahan lainnya seperti jahe, kapulaga, daun jeruk purut, cengkeh, dan kayu manis. Aroma Seduhan Pada parameter aroma seduhan, dari 30 panelis, 4 panelis menyatakan sangat suka, 20 panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 3 panelis menyatakan biasa saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada aroma seduhan produk secang celup B, 3 panelis menyatakan sangat suka, 17 panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 7 panelis menyatakan biasa saja. Nilai rata-rata parameter aroma seduhan pada produk secang celup A sebesar 5,833 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan pada produk secang celup B sebesar 5,533 juga menunjukkan tanggapan suka terhadap produk yang disajikan (Gambar 32). Tabel 11 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) parameter aroma seduhan produk secang celup A dan secang celup B Sumber keragaman Model Panelis Sampel Error Total
Jumlah kuadrat
df
Kuadrat tengah
F hitung
1968,850a 29,483 1,350 16,150 1985,000
31 29 1 29 60
63,511 1,017 1,350 0,557
114,045 1,826 2,424
* a. R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,983) Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 11 menunjukkan nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk tingkat kesukaan terhadap parameter aroma seduhan pada produk secang celup A dan secang celup B. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,983 menunjukkan data-data
73
aktual hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma seduhan kedua produk mencakup dalam model sebesar 98,3%. Aroma pada minuman kayu secang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat cenderung netral. Hasil pengujian organoleptik pun menunjukkan bahwa kedua produk secang celup hasil seduhan secara umum menurut panelis memiliki aroma yang sama dengan minuman kayu secang yang biasa mereka konsumsi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara aroma produk secang celup A yang dihasilkan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan produk secang celup B yang dihasilkan dari kayu secang segar tanpa proses pengeringan. Namun, pengujian kepada panelis tidak terlatih menunjukkan bahwa kedua produk secang celup dapat diterima dengan baik dengan nilai tingkat penerimaan 6 (suka). Warna Seduhan Pada parameter warna seduhan, dari 30 panelis, 13 panelis menyatakan sangat suka, 14 panelis menyatakan suka, dan 3 panelis menyatakan biasa saja untuk produk secang celup A. Sedangkan pada warna seduhan produk secang celup B, 12 panelis menyatakan sangat suka, 13 panelis menyatakan suka, 3 panelis menyatakan agak suka, dan 2 panelis menyatakan biasa saja. Nilai rata-rata parameter warna seduhan pada produk secang celup A sebesar 6,233 yang menunjukkan tanggapan suka. Sedangkan pada produk secang celup B sebesar 6,167 juga menunjukkan tanggapan suka terhadap produk yang disajikan (Gambar 32). Tabel 12 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) parameter warna seduhan produk secang celup A dan secang celup B Sumber keragaman Model Panelis Sampel Error Total
Jumlah kuadrat
df
Kuadrat tengah
F hitung
2334,067a 27,600 0,067 17,933 2352,000
31 29 1 29 60
75,292 0,952 0,067 0,618
121,755 1,539 0,108
* a. R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,984)
74
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 12 menunjukkan nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel baik pada taraf 5% maupun 1%. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk tingkat kesukaan terhadap parameter warna seduhan pada produk secang celup A dan secang celup B. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,984 menunjukkan data-data aktual hasil uji organoleptik terhadap parameter warna seduhan kedua produk mencakup dalam model sebesar 98,4%. Minuman kayu secang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat cenderung berwarna merah muda. Hal ini disebabkan karena pembuatan minuman kayu secang dengan volume air rebusan yang lebih banyak dibandingkan dengan volume kayu secang yang digunakan dalam perebusan. Selain itu, penggunaan kayu secang secara berulang-ulang hingga warna merahnya hilang, menjadi penyebab warna minuman kayu secang yang dikonsumsi masyarakat kurang menarik. Penggunaan secara berulang-ulang dilakukan masyarakat untuk menghemat penggunaan kayu secang mengingat keberadaannya yang sudah langka untuk diperoleh. Hasil seduhan pada kedua produk secang celup memiliki warna merah yang menarik. Para panelis menunjukkan ketertarikan yang cukup tinggi terhadap warna secang celup ketika pertama kali disajikan. Mereka menganggap warna tersebut akan memberikan nilai jual (selling point) tersendiri untuk produk secang celup yang dihasilkan. Warna pada produk kemungkinan disebabkan oleh pengaruh bahan baku berupa inti kayu secang yang menunjukkan warna merah ketika selesai dipanen. Warna merah tersebut juga tetap bertahan setelah proses pengeringan hingga menghasilkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian tahap II yang memiliki nilai pengukuran oHue berkisar antara 33,95 - 40,08 (Red). Beberapa panelis memiliki tanggapan yang berbeda terhadap warna produk secang celup A dan secang celup B hasil seduhan. Mereka beranggapan bahwa warna secang celup B yang dihasilkan dari kayu secang segar tanpa pengeringan lebih pekat dibandingkan dengan warna secang celup A yang dihasilkan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Hal ini diduga disebabkan oleh kadar
75
brazilin dalam kayu secang yang teroksidasi oleh proses pengeringan dan membentuk senyawa brazilein yang berwarna merah. Pada produk secang celup A yang mengalami proses pengeringan dengan suhu tertentu, diduga telah menimbulkan energi kinetik yang sangat tinggi sehingga laju degradasi pigmen brazilein pun menjadi besar. Sedangkan pada produk secang celup B yang walaupun tidak melalui proses pengeringan, namun kontak dengan sinar matahari juga menyebabkan terjadinya oksidasi brazilin menjadi brazilein. Kontak dengan sinar matahari yang diusahakan tidak terlalu lama setelah pemanenan, diduga tidak menyebabkan oksidasi komponen brazilin secara keseluruhan, dan baru teroksidasi sempurna ketika proses penyeduhan menggunakan air mendidih (100 oC). Brazilin memiliki kestabilan pigmen yang akan menurun seiring dengan peningkatan pH. Air yang digunakan dalam penyeduhan yang memiliki pH netral akan menyebabkan degradasi pigmen yang lebih cepat. Brazilin (C16H14O5) merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari (Kim et al. 1997 dalam Holinesti, 2007). Pigmen kayu secang sangat tergantung pada pH. Pada pH 2 dan pH 4 warna yang muncul adalah kuning, pada pH 5 dan pH 6 warna yang muncul adalah coklat kemerahan. Sedangkan pada pH 7 akan muncul warna merah keunguan (Maharani, 2003).