2
dikeringkan pada suhu 105 °C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan dengan persamaan: Kadar air =
Identifikasi Keberadaan Brazilin Hasil optimasi fase gerak, yaitu kloroform:metanol (5:1), diaplikasikan dengan KLT preparatif untuk mengambil senyawa berpendar biru yang kemungkinan adalah brazilin. Fraksi yang berpendar tersebut kemudian dianalisis dengan KCKT untuk identifikasi keberadaan brazilin pada fraksi tersebut.
Ekstraksi Sebanyak 200 g kayu C. sappan yang telah dikeringkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan 2 L metanol selama 12 jam. Proses maserasi diulang 2 kali. Ekstrak hasil maserasi disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 2 lalu dipekatkan dengan penguap putar sampai kental. Setelah itu, dilakukan ekstraksi cair-cair untuk menghilangkan minyak (senyawa nonpolar) dengan menggunakan pelarut n-heksana teknis sebanyak 5 L. Pemilihan Dua Fase Gerak dan Satu Fase Diam Terbaik Sebanyak 12 macam fase gerak diujikan, yaitu n-heksana, dietil eter, n-butanol, etanol, metanol, tetrahidrofuran, asam asetat, diklorometana, etil asetat, aseton, asetonitril, dan kloroform. Pelat KLT yang dipilih ialah silika gel dan CaCO3. Pelat yang telah ditotolkan ekstrak dimasukkan ke dalam bejana kromatografi. Setelah pengembangan dilakukan, pelat diangkat dan dikeringkan. Deteksi komponen dilakukan untuk melihat jumlah pita yang muncul pada pelat. Dua fase gerak dan salah satu fase diam dipilih, yaitu fase gerak dan fase diam yang memberikan penampakan brazilin dengan deteksi UV 366 nm menghasilkan warna biru terang (Herdiana 2010) dan terpisah sempurna dengan komponen yang lain. Pengoptimuman Komposisi Fase Gerak untuk Fase Diam Terbaik Dua fase gerak dan satu fase diam yang terbaik adalah kloroform serta metanol dan silika gel. Kedua fase gerak dicampur dengan berbagai nisbah, yaitu 2:1, 3:1, 5:1, 7:1, dan 11:1. Komposisi fase gerak tersebut lalu diaplikasikan pada silika gel, setelah itu dideteksi dengan UV 366 nm menghasilkan warna biru terang dan terpisah dengan sempurna dengan komponen yang lain.
Isolasi brazilin Sebanyak 1.6544 g ekstrak yang mengandung brazilin diaplikasikan dalam kromatografi kolom silika gel dengan fase gerak kloroform:metanol (5:1). Fraksi awal (Rf 0.89 pada KLT) pada kromatografi kolom silika gel ditampung di tabung reaksi dengan volume eluat sebanyak 3 mL dalam setiap tabung reaksi. Kemudian eluat tersebut diidentifikasi keberadaan brazilinnya menggunakan KLT dengan visualisasi UV 366 nm. Setelah dilakukan identifikasi, eluat hasil tampungan tabung reaksi sebanyak 150 mL memiliki pola pemisahan yang sama sehingga dapat dikatakan merupakan fraksi atas (Rf 0.89). Fraksi atas tersebut kemudian dipekatkan, sebanyak 0.0406 g fraksi pekat yang diperoleh diaplikasikan dengan KLT preparatif dan diidentifikasi dengan UV 366 nm. Fraksi yang berpendar diambil, lalu dianalisis dengan KCKT untuk mengetahui keberadaan brazilin dan dicirikan dengan spektrofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis) (spektrofotometer U-2800) serta inframerah transformasi Fourier (FTIR) Bruker untuk karakterisasi brazilin. Analisis KCKT dilakukan dengan kondisi fase balik kolom Inertsil ODS-3 (Shimadzu 15 mm i.d. 4.6 mm) yang dipantau pada panjang gelombang 280 nm. Sistem pelarut yang digunakan adalah sebuah gradient program selama 45 menit dari 5% sampai 100% metanol di dalam larutan asam trifluoroasetat 0.05% dengan laju alir 10 mL/menit dan injeksi sampel sebanyak 10 μL (Batubara et al. 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Sampel dikeringkan dan digiling terlebih dahulu sebelum digunakan lebih lanjut. Pengeringan sampel bertujuan menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam sampel untuk menghindari tumbuhnya mikrob yang
3
akan merusak sampel, sehingga memungkinkan sampel disimpan dalam jangka waktu lama. Suatu bahan relatif stabil dari serangan mikrob jika kandungan airnya kurang dari 10% (Harjadi 1986). Kadar air yang diperoleh dari serbuk kayu secang sebesar 4.89% (Lampiran 2). Nilai ini lebih kecil dari 10% yang berarti sampel dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama. Nilai kadar air juga diperlukan sebagai faktor koreksi untuk penghitungan rendemen. Penggilingan sampel menjadi ukuran lebih kecil bertujuan memperbesar luas permukaan bahan dan dapat membantu penetrasi pelarut ke dalam sel tumbuhan, sehingga mempercepat pelarutan komponen bioaktif dan meningkatkan rendemen. Namun, ukuran sampel juga tidak boleh terlalu kecil karena bahan yang terlalu halus akan sulit disaring (Ilmiawati 2010). Ekstraksi Sebelum melakukan isolasi, dilakukan ekstraksi terhadap serbuk kayu secang. Metode ekstraksi yang dipakai adalah maserasi dan ekstraksi cair-cair. Alasan memilih metode maserasi adalah relatif sederhana, mudah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas, khususnya brazilin. Proses maserasi dibantu dengan pengadukan untuk memaksimumkan pencampuran dan kontak antara sampel dan pelarut, sehingga akan meningkatkan rendemen ekstrak. Pelarut yang dipakai dalam metode maserasi adalah metanol. Dalam penelitian sebelumnya, yaitu Saitoh et al. (1986), Nagai & Nagumo (1987), dan Batubara et al. (2010) menggunakan metanol untuk ekstraksi kayu secang. Metanol dapat melarutkan senyawa polar dan nonpolar walaupun sifat pelarut tersebut polar. Ini merupakan kelemahan dalam isolasi brazilin yang sifatnya polar. Senyawa lain yang bersifat nonpolar perlu dibuang untuk memudahkan dalam proses pemisahan. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksana untuk membuang senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar. Ekstraksi cair-cair adalah teknik ekstraksi yang menggunakan pelarut berbeda kepolarannya. Dalam proses ini digunakan pelarut n-heksana, memiliki sifat nonpolar dan titik didih relatif rendah sehingga mudah diuapkan. Selain itu, n-heksana juga tidak terlalu toksik dibandingkan dengan petroleum eter atau dietil eter sehingga relatif tidak
begitu berbahaya digunakan di laboratorium. Rendemen ekstrak metanol sebesar 8.64% (b/b kering) dan ekstrak n-heksana sebesar 0.93% (b/b kering) (Lampiran 3). Pemilihan Dua Fase Gerak dan Satu Fase Diam Terbaik Pemilihan fase diam terbaik didasarkan pada daya afinitas terhadap brazilin, yang tinggi dengan ditunjukkan warna berpendar biru paling terang (Herdiana 2010), sedangkan pemilihan 2 fase gerak terbaik yang akan dikombinasikan sebagai fase gerak diawali dengan menguji 12 pelarut tunggal. Kedua belas pelarut ini diharapkan dapat mewakili tingkat kepolaran senyawa yang terdapat pada kayu secang dan dapat mengidentifikasi brazilin (berpendar warna biru) dengan keterpisahan yang baik dengan senyawa lain pada visualisasi UV 366 nm. Pola KLT pada fase diam silika gel dapat dilihat pada Gambar 1 dan pola KLT pada fase diam kalsium karbonat dapat dlihat pada Gambar 2. Kromatogram dengan visualisasi 254 nm dapat dilihat pada Lampiran 4 untuk fase diam silika gel.
a
b
c
d
g
h
i
j
e
k
f
l
Gambar 1 Pola KLT menggunakan pelarut tunggal etanol (a), asetonitril (b), aseton (c), tetrahidrofuran (d), n-heksana (e), dietil eter (f), butanol (g), diklorometana (h), kloroform (i), metanol (j), etil asetat (k), asam asetat (l) pada fase diam silika gel dengan visualisasi UV 366 nm
4
semipolar dapat memperbaiki pita pada Gambar 4j yang menggunakan fase gerak metanol (polar) sehingga fraksi berpendar biru tersebut tidak menjadi berekor lagi. Pengoptimuman Komposisi Fase Gerak untuk Fase Diam Terbaik serta Identifikasi Brazilin
a
b
c
Gambar 2 Pola KLT menggunakan pelarut tunggal butanol (a), asam asetat (b), etil asetat (c) pada fase diam kalsium karbonat dengan visualisasi UV 366 nm. Dengan membandingkan Gambar 1 dan 2, terlihat fase diam silika gel memiliki noda berpendar biru yang paling terang. Dapat dikatakan silika gel mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap brazilin daripada fase diam kalsium karbonat sehingga merupakan fase diam terbaik. Setelah mendapatkan fase diam terbaik, dipilih 2 fase gerak terbaik pada silika gel. Berdasarkan pola pemisahan pada Gambar 1, pelarut yang cenderung polar akan menghasilkan pita dengan jumlah sedikit yang mendekati garis akhir dan berekor (Gambar 1a−d, 1j, dan 1l). Pelarut nonpolar akan cenderung menahan sampel pada garis awal dan tidak menghasilkan komponen (Gambar 1e), sedangkan pelarut semipolar menghasilkan banyak pita dengan jarak antarpita yang berdekatan serta ada yang tertahan seperti diklorometana dan kloroform (Gambar 1f−i dan 1k). Perbedaan pola pemisahan ini disebabkan masing-masing pelarut memiliki kekuatan yang berbeda untuk memisahkan senyawa komponen. Pada Gambar 1 terlihat bahwa pita berpendar biru terdapat pada seluruh eluen yang digunakan. Warna berpendar biru pada KLT yang disinari UV 366 nm tersebut kemungkinan brazilin (Herdiana 2010). Saitoh et al. (1986) dan Nagai & Nagumo (1987) mengisolasi brazilin memakai komposisi fase gerak kloroform dan metanol pada fase diam silika gel. Pemilihan fase gerak tersebut dikarenakan kedua fase gerak tersebut dapat memisahkan brazilin dengan senyawa yang lain (fraksi yang berpendar selain biru). Oleh karena itu, kedua eluen tersebut dipilih dengan harapan kloroform yang bersifat
Dua fase gerak terpilih, yaitu kloroform dan metanol, dibuat menjadi 5 komposisi campuran, yaitu 2:1, 3:1, 5:1, 7:1, dan 11:1 pada pelat silika gel yang merupakan fase diam terbaik. Hasil dari optimasi komposisi ditunjukkan pada Gambar 3.
e m d Gambar 3 Pola KLTp menggunakan pelarut campuranur kloroform:metanol (2:1) (a), s(3:1) (b), (5:1) (c), (7:1) a
b
(d), (11:1) (e) dengan visualisasi UV 366 nm. . Gambar 3 memperlihatkan bahwa semakin banyak ditambahkan kloroform atau senyawa semipolar, noda yang berpendar biru di posisi paling bawah akan semakin menghilang dan noda yang berependar biru di posisi paling atas akan semakin ke bawah. Hal ini disebabkan kekuatan pelarut kloroform lebih lemah daripada metanol untuk membawa spot berpendar biru yang kemungkinan brazilin (polar) semakin tidak terbawa oleh campuran fase gerak. Komposisi fase gerak yang optimum ialah yang memisahkan fraksi berpendar biru (brazilin) relatif jauh dengan fraksi yang lain (bukan berependar biru), diduga fase gerak yang terbaik adalah kloroform:metanol (3:1) (Gambar 3c) dikarenakan fraksi paling bawah yang berpendar berwarna biru (Rf 0.03) terpisah jauh dengan fraksi yang lain kemudian fraksi tersebut dianalisis dengan KCKT, tidak menunjukkan kandungan brazilin dikarenakan tidak ada puncak pada waktu retensi sebesar 15.440 menit yang dimiliki oleh kromatogram standar brazilin (Gambar 4a). Selain fraksi yang paling bawah, fraksi paling atas (Rf 0.89) juga menghasilkan warna berpendar biru.
5
Fase gerak kloroform:metanol (5:1 memiliki pemisahan terbaik pada fraksi paling atas dengan fraksi yang di bawahnya (bukan berpendar biru) diantara fase gerak yang lainnya sehingga dijadikan sebagai fase gerak terbaik. Fraksi paling atas (Rf 0.89) dianalisis dengan KCKT, fraksi tersebut mengandung brazilin di waktu retensi sebesar 15.4 menit yang sama dengan waktu retensi standar brazilin (Gambar 4a). Akan tetapi, fraksi tersebut belum murni karena masih ada puncak-puncak yang lain pada profil kromatogram fraksi paling atas dengan kemurnian sebesar 12.1%. (Gambar 4b).
bobot ekstrak kasar (Lampiran 6). Fraksi tersebut didapatkan dengan fase gerak kloroform:metanol (5:1) sebagai fraksi berwarna kuning dan merah yang berposisi paling atas sebanyak 150 mL. Profil pemisahan fraksi tersebut dengan KLT dapat dilihat pada Gambar 5.
Noda yang berpendar biru
Gambar 5 Profil pemisahan fraksi atas (Rf 0.89 pada KLT) kromatografi kolom silika gel pada KLT dengan fase gerak kloroform:metanol (5:1). a
b Gambar 4
Kromatogram standar brazilin (a) dan fraksi paling atas (Rf 0.89) pada fase gerak kloroform:metanol (5:1) (b)
Hasil ini dapat menjadi petunjuk untuk melakukan isolasi tahap selanjutnya. Teknik kromatografi kolom digunakan untuk mendapatkan fraksi paling atas dengan Rf 0.89 dan teknik KLT preparatif untuk pemurniannya. Isolasi brazilin Berdasarkan informasi sebelumnya, fraksi atas mengandung brazilin. Rendemen fraksi tersebut yang didapat dari kromatografi kolom silika gel sebesar 28.85% berdasarkan
Tabel 1
Nilai Rf pada noda berependar biru dari KLT preparatif Noda
Rf
1
0.54
2
0.65
3
0.68
4
0.80
Tabel 1 menunjukkan terdapat 4 noda yang berpendar biru pada ekstrak fraksi atas. Analisis KCKT dilakukan pada fraksi 1 (Rf 0.54). Kromatogram fraksi yang dihasilkan Gambar 6 menunjukkan bahwa fraksi ini mengandung brazilin karena memiliki puncak yang muncul pada waktu retensi 15.695 menit. Waktu retensi tersebut tidak berbeda signifikan dengan waktu retensi standar brazilin yang ditunjukkan pada Gambar 4a. Namun, masih ada puncak lain di waktu retensi 13.371 dan 14.456 menit sehingga fraksi tersebut belum dapat dikatakan murni. Kemungkinan saat pengambilan fraksi tersebut, fraksi yang lain yang tidak berpendar biru sehingga senyawa lain ikut terdeteksi. Rendemen fraksi 1 yang didapat adalah sebesar 21.43% (8.7 mg) berdasarkan bobot ekstrak fraksi awal pada kromatografi kolom (Rf 0.89 pada kondisi KLT) (Lampiran 7) dengan kemurnian sebesar 66.94% (Lampiran 5). Di dalam Batubara et al. (2010), kayu
6
secang mengandung brazilin sebanyak 5.81−24.85 mg/g. Oleh karena itu, brazilin yang diisolasi belum spenuhnya terambil di dalam kayu secang dan nilai kemurnian yang didapati lebih tinggi daripada nilai kemurnian dari hasil proses sebelumnya, yaitu sebesar 12.1%.
Gambar 6
Kromatogram fraksi dengan Rf 0.54
Hasil dari analisis UV-Vis dari fraksi pertama (Rf 0.54) tersebut dapat dilihat dari Gambar 7.
Gambar 8
Spektrum IR dari pertama (Rf 0.54)
Gambar 9
Struktur brazilin
Tabel 2
Data bilangan gelombang pada spektrum IR (Creswell et al 2005)
Bilangan Gugus gelombang fungsi -1 (cm ) 3437.44 Regang –OH terikat 2928.04 C=C, Ar−H 2856.44
Regang C−H
1624.08
Regang C=C (aromatik)
Spektrum UV-Vis dari fraksi pertama (Rf 0.54)
1098.72
C−O
Pada Gambar 7 dapat ditentukan nilai panjang gelombang maksimum fraksi brazilin (λmaks). Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan melihat puncak yang terdapat di dalam spektrum UV-Vis (Creswell et al 2005). Nilai λmaks dari fraksi tersebut adalah 206.0 dan 254.0 nm dengan nilai absorbans sebesar 0.417 dan 0.099 abs. Panjang gelombang sebesar 206 nm merupakan transisi π → π* yang dimiliki kromofor C=C dan panjang gelombang sebesar 254 nm merupakan merupakan transisi n → π* yang dimiliki kromofor C=C−O. Kromofor tersebut terdapat di dalam struktur brazilin (Gambar 9).
803.01
Lentur C=C
Gambar 7
fraksi
Struktur pada brazilin
Pada Tabel 2 dapat dilihat nilai bilangan gelombang dari serapan fraksi pertama (Rf 0.54) memiliki karakter ikatan karbon dan gugus fungsi yang sama dengan brazilin. Dari hasil karakterisasi UV-Vis dan FTIR dapat memperkuat hasil isolasi bahwa fraksi pertama (Rf 0.54) tersebut merupakan fraksi brazilin. Isolasi brazilin pada penelitian ini relatif singkat, murah serta rendemen yang tinggi untuk mendapatkannya. Ini bisa dilihat dari metode ekstraksi sampai dengan isolasi. Khususnya dari metode kromatografi kolom