17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat akan melarutkan senyawa semi polar. Simplisia daun mimba yang dimaserasi dengan perbandingan 1 : 10 dengan pelarut, dilakukan berulang-ulang sampai filtrat yang dihasilkan relatif tidak mengandung komponen tumbuhan dalam jumlah yang berarti atau warna filtrat sudah tidak pekat lagi. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 °C dan 50 rpm yang bertujuan menguapkan pelarutnya hingga berupa ekstrak kental. Jumlah ekstrak hasil maserasi sebanyak 10 liter. Volume yang dihasilkan setelah dievaporasi sekitar 1/10 volume awal, yaitu diperoleh 91,6 g ekstrak kental etil asetat daun mimba. Hasil uji penapisan fitokimia terhadap ekstrak etil asetat daun mimba menunjukan hasil positif terhadap senyawa flavonoid, saponin, dan tanin sedangkan yang menunjukan hasil negatif adalah senyawa alkaloid, steroid, triterpenoid, dan hidroquinon (Tabel 1). Uji penapisan fitokimia pada ekstrak etanol daun mimba menunjukan hasil positif pada senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, kumarin, dan steroid serta hasil negatif pada saponin dan triterpenoid (Tabel 2). Gahukar (2010) menyatakan bahwa hasil fitokimia daun mimba mengandung lebih dari 40 senyawa aktif biologis, termasuk lomonid, flavonoid, polisakarida dan senyawa sulfur. Perbedaan kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman yang sama di tempat yang berbeda dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuh, waktu pemanenan, umur tanaman dan sensitifitas metode untuk analisis kandungan tersebut. Senyawa yang diduga berpengaruh pada aktivitas antihiperglikemik ekstrak etil asetat daun mimba adalah tanin dan flavonoid. Menurut Zabri et al. (2008) flavonoid berfungsi menurunkan kadar gula darah. Tadera et al. (2005) juga menyatakan bahwa senyawa tanin dan flavonoid memiliki potensi antihiperglikemik dengan mekanisme penghambatan reversibel nonkompetitif enzim glukosidase. Glukosidase adalah enzim yang sangat diperlukan dalam
18
proses metabolisme karbohidrat yang terletak dibagian tepi permukaan sel usus halus. Enzim glukosidase memecah karbohidrat menjadi glukosa pada usus. Senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim ini menunjukan indikasi bahwa senyawa tersebut berpotensi menurunkan kadar gula dalam darah.
Tabel 1 Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etil asetat daun mimba Uji
Hasil
Alkaloid Dragendorf Mayer Wagner
Steroid Triterpenoid Tanin Flavonoid Saponin Hidroquinon
Negatif (-) Negatif (-) Negatif (-) Negatif (-) Negatif (-) Positif (+) Positif (+) Positif (+) Negatif (-)
Tabel 2 Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etanol daun mimba Golongan senyawa Hasil uji Keterangan Flavonoid ++ Warna jingga kemerahan Saponin Tidak berbuih Alkaloid + Endapan putih dan endapan merah jingga Triterpenoid Warna hijau Tanin + Endapan hitam kehijauan Kuinon + Endapan merah Kumarin + Fluoresensi hijau pada sinar UV 366 nm Steroid +++ Endapan biru Ket : Tanda (+) menunjukan tingkat intensitas warna
Bobot Badan Pengamatan terhadap bobot badan tikus selama tiga minggu adaptasi, menunjukan kecenderungan kenaikan bobot badan tikus. Hal ini menandakan tikus sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kelompok normal (K1) yang tidak disuntik dengan aloksan terus mengalami kenaikan bobot badan (Gambar 3), menunjukan tikus dalam keadaan sehat dan tumbuh dengan normal.
19
Gambar 3 Rata-rata bobot badan tikus kelompok normal (K1)
Gambar 4
Rata-rata bobot badan tikus Ket : h0 = sebelum induksi aloksan, h6 = setelah induksi aloksan, h10 = setelah perlakuan
Kelompok K2, K3, KP1, KP2 dan KP3 yang disuntik aloksan, pada hari ke-6 menunjukan penurunan bobot badan (Gambar 4). Kelompok K2 mengalami penurunan bobot badan dari 189 g menjadi 172 g (Lampiran 5). Begitu juga
20
dengan dengan kelompok K3, mengalami penurunan bobot badan dari 176 g menjadi 159 g (Lampiran 5). Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Penurunan bobot badan tikus akibat tikus telah menderita hiperglikemia. Hiperglikemia merupakan kondisi dimana nilai ambang reabsorbsi glukosa melebihi nilai normal. Glukosa yang berlebih akan dikeluarkan bersama urin. Keadaan ini menyebabkan terjadinya poliuria yang diikuti dengan polidipsi. Glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel karena gangguan insulin, akibatnya terjadi poliphagia dan glukoneogenesis. Sel yang kekurangan glukosa untuk metabolisme akan merangsang pusat lapar di hipotalamus menyebabkan rasa lapar yang berlebihan. Glukoneogenesis dapat berasal dari asam amino hasil degradasi protein di otot sehingga berkurangnya masa otot yang ditunjukan dengan penurunan bobot badan. Setelah pemberian ekstrak etil asetat daun mimba, pada hari ke-10 bobot badan tikus ditimbang lagi. Kelompok KP1 mengalami penurunan bobot badan dari 168 g pada hari ke-6 menjadi 144 g pada hari ke-10. Kelompok KP2 mengalami kenaikan bobot badan sebanyak 2 g, sedangkan bobot badan kelompok KP3 tidak mengalami perubahan dari hari ke-6 sampai hari ke-10, yaitu 180 g (Lampiran 5). Untuk mengetahui pengaruh bobot badan dan perlakuan dilakukan analisis statistik yang menunjukan pemberian perlakuan pada tikus tidak memberikan respon yang berbeda (p>0,05). Pemberian ekstrak etil asetat tidak mempengaruhi bobot badan tikus.
Kadar Glukosa Darah Pada penelitian ini digunakan aloksan dosis 150 mg/kgBB untuk menginduksi terjadinya hiperglikemia pada tikus. Aloksan merupakan senyawa kimia yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel β pankreas dan digunakan sebagai bahan untuk menginduksi terjadinya hiperglikemia pada hewan coba (Ellenberg & Rifkin 1970). Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sesaat sebelum induksi aloksan, 6 hari setelah induksi aloksan, dan 10 hari setelah induksi aloksan. Pengukuran kadar glukosa dilakukan pada hari ke-6 dengan asumsi semua tikus telah menderita hiperglikemia. Tikus yang telah mengalami hiperglikemia dicekok dengan ekstrak etil asetat daun mimba, glibenklamid dan
21
aquades setiap hari selama empat hari. Pengukuran pada hari ke-10 dilakukan dengan asumsi kadar glukosa darah sudah kembali mendekati nilai normalnya. Hasil pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke-0, sesaat sebelum induksi aloksan dari semua kelompok menunjukan nilai yang hampir sama. Kadar glukosa darah tikus semua kelompok berkisar antara 70-110 mg/dL. Enam hari setelah diinduksi, kelompok yang diinduksi aloksan mengalami hiperglikemia, kadar glukosa darah tikus berkisar 360-460 mg/dL. Tikus dinyatakan menderita hiperglikemia apabila kadar glukosa darahnya > 250 mg/dL (Gutirerrez & Vargas 2006). Keadaan hiperglikemia pada tikus disertai dengan kusamnya warna bulu serta meningkatnya intensitas minum dan urinasi.
Gambar 5
Rata-rata kadar glukosa darah tikus pada h0 = sebelum induksi aloksan, h6 = setelah induksi aloksan, h10 = setelah perlakuan
Kelompok K1 tidak mengalami kenaikan glukosa darah pada hari ke-6, cenderung mengalami penurunan karena tidak diinduksi aloksan. Kadar glukosa darah kelompok K1 pada hari ke-0 74 mg/dL, turun menjadi 62 mg/dL pada hari ke-6. Kelompok K2, K3, KP1, KP2 dan KP3 mengalami kenaikan kadar glukosa darah pada hari ke-6 dengan nilai yang berbeda-beda (Gambar 5). Kadar glukosa darah kelompok K2 berbeda nyata dengan KP1 dan KP3. Kelompok K2 mengalami kenaikan glukosa darah menjadi 454 mg/dL, sedangkan kelompok KP1 dan KP3 mengalami kenaikan glukosa darah menjadi 370 mg/dL dan 363 mg/dL (Tabel 4).
22
Kenaikan glukosa darah pada kelompok K3 berbeda nyata dengan KP3. Kadar glukosa darah K3 yaitu 451 mg/dL sedangkan kadar glukosa darah KP3 adalah 363 mg/dL (Tabel 4). Perbedaan kenaikan kadar glukosa darah dapat disebabkan oleh kondisi fisiologis hewan coba yang berbeda, pengulangan data yang minim dan proses metabolisme obat yang berbeda di setiap individu. Pengukuran kadar glukosa darah hari ke-10 pada kelompok K2 yang dicekok dengan aquades tidak menunjukan penurunan glukosa darah. Kadar glukosa darah tikus adalah 454 mg/dL pada hari ke-6 dan hari ke-10. Tikus tetap menderita hiperglikemia karena aquades tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah K3 pada hari ke-10 menunjukan penurunan yang berarti yaitu terjadi penurunan sebanyak 269 mg/dL (Tabel 3). Kadar glukosa darah pada hari ke-6 adalah 451 mg/dL, turun menjadi 182 mg/dL (Tabel 4) pada hari ke-10. Kelompok K3 dicekok dengan glibenklamid. Glibenklamid merupakan obat oral golongan sulfonilurea. Senyawa ini memobilisasi insulin tubuh, meningkatkan sekresi insulin sel-β pulau Langerhans sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma.
Tabel 3 Hasil analisis statistik antar perlakuan Perubahan kadar glukosa darah (mg/dL) Kelompok
Ket
H6
H10
(setelah induksi hiperglikemia)
(setelah perlakuan)
K1
-12,33±20,21d
-23,33±14,84d
K2
366,33±28,73a
0,33±4,16c
K3
346,33±100,33ab
269,67±151,86a
KP1
261,67±18,01bc
79,33±34,01b
KP2
303,33±19,86abc
153,67±47,43ab
KP3
254,67±33,56c
149,67±28,94ab
:
angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil berbeda nyata (p<0,05)
Penurunan kadar glukosa darah kelompok KP1 berbeda nyata dengan K3. Pemberian ekstrak etil asetat dengan dosis 30 mg/kg BB dapat menurunkan kadar glukosa darah, tetapi dosis ini tidak mempunyai efek yang setara dengan
23
glibenklamid. Kelompok KP1 mengalami penurunan kadar glukosa darah sebanyak 79 mg/dL (Tabel 3). Kadar glukosa darah pada hari ke-6 yaitu 370 mg/dL turun menjadi 290 mg/dL (Tabel 4) pada hari ke-10. Kelompok KP1 belum mampu menurunkan kadar glukosa darah menjadi normal karena dosis yang digunakan kecil. Kadar glukosa setelah perlakuan >250 mg/dL. Kelompok KP2 dan KP3 tidak terdapat perbedaan nyata dengan K3. Pemberian ekstrak etil asetat 60 mg/kg BB dan 90 mg/kg BB menurunkan kadar glukosa darah setara dengan glibenklamid. Sukrasno & Tim Lentera (2003) menyatakan bahwa aktivitas hipoglikemik ekstrak daun maupun biji mimba setingkat dengan glibenklamid. Kelompok KP2 mengalami penurunan kadar glukosa darah sebanyak 153 mg/dL (Tabel 3). Penurunan ini belum dapat menurunkan kondisi hiperglikemia menjadi normal. Kelompok KP3 sudah tidak menderita hiperglikemia, kadar glukosa darah < 250 mg/dL. Terjadi penurunan kadar glukosa darah dari 363 mg/dL menjadi 213 mg/dL (Tabel 4).
Tabel 4 Rata-rata kadar glukosa darah H0
H6
Sebelum induksi
Setelah induksi
hiperglikemia
hiperglikemia
(mg/dL)
(mg/dL)
K1
74,67±11,67
62,33±9,81d
85,67±24,37 d
K2
88,00±19,00
454,33±40,20a
454,00±36,37c
K3
105,33±4,16
451,67±101,08ab
182,00±145,34a
KP1
108,33±6,02
370,00±16,64bc
290,67±39,80b
KP2
110,67±6,65
414,00±18,52abc
260,33±29,4ab
KP3
108,33±4,04
363,00±32,78c
213,33±14,57ab
Perlakuan
Ket
:
H10 Setelah diberi perlakuan (mg/dL)
angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil berbeda nyata (p<0,05)
Hasil analisis secara statistik menunjukan bahwa pemberian ekstrak etil asetat daun mimba pada kelompok KP1, KP2 dan KP3 berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penurunan kadar glukosa darah. Ekstrak etil asetat dengan
24
dosis yang berbeda dapat menurunkan kadar glukosa darah. Hasil ini sesuai dengan penelitian Biswas et al. (2002) yang menyatakan bahwa daun, batang, kulit dan minyak biji mimba mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar glukosa darah). Sukrasno & Tim Lentera (2003) juga menyatakan bahwa aktivitas hipoglikemik ekstrak daun mimba tidak mempengaruhi penggunaan glukosa pada jaringan tetapi menghambat penguraian glikogen yang dirangsang oleh epinefrin.