Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G60F254. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Eluen yang digunakan adalah eluen yang semakin meningkat kepolarannya dari heksana, diklorometan, kloroform, etil asetat, metanol. Noda hasil elusi diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan spot terbanyak dan terpisah dipilih sebagai eluen terbaik. Jika lebih dari 1 eluen menghasilkan spot terbanyak dan terpisah, maka eluen-eluen tersebut dicampurkan dengan perbandingan yang sesuai sehingga diperoleh campuran eluen terbaik untuk menghasilkan spot terbanyak dan terpisah dengan baik pada pelat KLT (Houghton & Raman 1998).
antimikroba dengan cara yang sama seperti terhadap ekstrak metanol S. trifasciata. Setiap fraksi dari ekstrak metanol dibuat dengan konsentrasi 4x104, 2x104, dan 104 ppm dalam DMSO.
Uji Aktivitas Antibakteri Pelaksanaan uji aktivitas antibakteri dilakukan secara aseptik dengan metode difusi agar cakram. Pembuatan masingmasing suspensi bakteri dilakukan dengan menyiapkan tabung reaksi yang telah berisi media larutan NaCl streril kemudian diinokulasikan dengan 1 loop biakan bakteri uji. Untuk uji aktivitas antibakteri, digunakan biakan bakteri dengan kepadatan sel 108 sel/ml. Kepadatan suspensi bakteri diukur kepadatan selnya dengan metode standar McFarland. Biakan bakteri kemudian dioles ke atas permukaan media Mueller-Hinton. Ekstrak kasar dibuat pada konsentrasi 10000, 5000, 2500, dan 1250 ppm dalam DMSO. Setelah itu, cakram kosong diletakkan di atas permukaan agar dan ditetesi dengan 7.5 µl ekstrak. Sebagai kontrol negatif atau pelarut digunakan cakram yang telah diteteskan DMSO dan sebagai obat standar digunakan trimetoprim dan amoksisilin. Cawan petri ini diinkubasi dengan cara terbalik selama 24 jam pada suhu 37 °C. Daerah bening di sekitar kertas cakram menunjukkan uji positif atau terdapat hambatan pertumbuhan bakteri oleh zat uji. Diameter daerah bening sekeliling cakram diukur, dan dibandingkan daerah hambatannya dengan obat standar trimetoprim (25 µg/cakram) dan amoksisilin (25 µg/cakram). Masing-masing fraksi hasil kromatografi kolom dan KLT juga dilakukan uji aktivitas
Kadar Air
Pemisahan dengan Kromatografi Kolom Ekstrak metanol dipisahkan dengan menggunakan kromatografi kolom. Elusi dilakukan dengan menggunakan eluen yang semakin meningkat kepolarannya, mulai dari kloroform, kloroform :metanol (9:1); (8:2) (7:3); (6:4); (5:5); (4:6); (3:7); (2:8) (1:9), dan metanol. Eluat yang diperoleh ditampung setiap 4 ml, dan dideteksi dengan KLT. Setiap fraksi yang memiliki pola KLT yang sama digabung lalu diuji kembali aktivitas antibakterinya untuk menentukan fraksi yang paling aktif.
HASIL DA PEMBAHASA
Serbuk daun lidah mertua (S.trifasciata) didapatkan dari daun lidah mertua yang telah dicuci bersih dan dipotong kecil-kecil, selanjutnya dikeringkan pada suhu 60 ºC sampai kadar airnya di bawah 10%. Suhu 60 ºC ini digunakan karena relatif aman untuk mencegah terjadi kerusakan pada senyawa metabolit sekunder tertentu, khususnya flavonoid. Flavonoid merupakan suatu senyawa fenol yang memiliki sistem aromatik yang terkonjugasi. Sistem aromatik terkonjugasi mudah rusak pada suhu tinggi. Daun S. trifasciata memiliki kadar air 91.35%, sedangkan serbuknya memiliki rerata kadar air 9.68% (Lampiran 2). Berdasarkan nilai rerata kadar air serbuk yang diperoleh berarti dalam 100 gram sampel terdapat kandungan 9-10 gram air. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak daun S. trifasciata kering dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Penentuan kadar air ini selain berguna untuk menunjukkan umur simpan sampel, juga berguna sebagai faktor koreksi terhadap hasil. Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstraksi daun S. trifasciata adalah metode maserasi. Metode ini digunakan karena kandungan senyawa yang dimiliki oleh sampel belum diketahui tahan terhadap panas atau tidak. Metode maserasi
menggunakan proses difusi pelarut (metanol) ke dalam dinding sel S. trifasciata untuk mengekstrak senyawasenyawa yang ada dalam serbuk tanaman tersebut. Pelarut metanol akan masuk ke dalam sel melalui dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh metanol dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Proses ini akan berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel. Pelarut metanol digunakan karena hampir semua senyawa pada jaringan tumbuhan dapat terekstraksi oleh metanol, selain itu juga pelarut metanol memberikan rendemen terbesar pada uji antibakteri yang dilakukan pada S. hyacinthoides (Afolayan et al. 2008). Hasil maserasi 20 gram serbuk kering daun (S. trifasciata) dengan pelarut metanol sebanyak tiga kali ulangan, diperoleh ekstrak sebanyak 3.1-3.6 gram, berupa cairan kental berwarna hijau kehitaman. Jumlah ekstrak yang terkumpul kemudian dinyatakan dalam rendemen. Perhitungan rendemen ekstrak kasar penting dilakukan untuk mengetahui jumlah senyawa yang dapat terambil oleh pelarut yang digunakan. Rendemen menunjukkan efektifitas pelarut tertentu terhadap bahan dalam ekstraksi, tetapi tidak menunjukkan tingkat aktivitas ekstrak tersebut. Rendemen hasil ekstraksi yang didapatkan dari serbuk daun S. trifasciata sebesar 18.48 % (Lampiran 3). Pengujian Fitokimia Pengujian fitokimia dilakukan terhadap ekstrak metanol untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya. Uji yang dilakukan meliputi uji alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan triterpenoid. Uji alkaloid memberikan hasil yang negatif karena tidak terbentuk endapan. Begitu pula pada uji tanin, dengan tidak terbentuknya warna hijau kehitaman setelah ditambah dengan FeCl3 1%. Uji saponin memberikan hasil yang positif karena terbentuk sedikit busa yang stabil selama beberapa menit setelah dikocok secara vertikal. Uji flavonoid memberikan hasil yang positif yang ditandai dengan terbentuknya warna jingga pada lapisan amil alkohol, sedangkan untuk uji streroid dan triterpenoid memberikan hasil positif untuk uji steroid dan negatif untuk triterpenoid
karena warna yang terbentuk adalah warna hijau kehitaman dan bukan berwarna merah atau ungu yang menandakan positif untuk triterpenoid. Hasil uji fitokimia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak metanol daun S. trifasciata Golongan Hasil Keterangan senyawa Alkaloid - tidak ada endapan Flavonoid + jingga Saponin + ada sedikit busa Tanin - tidak berwarna hijau kehitaman Steroid +++ hijau kehitaman Triterpenoid tidak berwarna merah/ungu (+) terdeteksi Semakin banyak meningkat
(–) tidak terdeteksi (+) intensitas warna
semakin
Hasil dari uji saponin dan steroid yang dilakukan sesuai dengan hasil uji fitokimia yang telah dilaporkan oleh Yoshihiro et al. (1996 & 1997) yang menyatakan bahwa ekstrak daun S. trifasciata positif mengandung saponin dan steroid. Tanaman S. triasciata termasuk ke dalam famili Agavaceae. Famili ini umumnya terkenal sebagai sumber steroid dan saponin yang kaya (Yoshihiro et al. 1996). Perbedaan pada uji fitokimia terdapat pada uji flavonoid. Uji flavonoid yang dilaporkan sebelumnya memberikan hasil negatif, sedangkan pada uji fitokimia yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang positif. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan habitat dan jumlah unsur hara yang terkandung dalam tanah. Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak metanol S. trifasciata mengandung golongan senyawa flavonoid, saponin, dan triterpenoid. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak kasar metanol pada konsentrasi 10000 ppm, 5000 ppm, 2500 ppm, dan 1250 ppm dalam DMSO. Konsentrasi yang digunakan dipilih berdasarkan uji antibakteri yang telah dilakukan sebelumnya oleh Afolayan (2008) dengan menggunakan S. hyacinthoides, yaitu berkisar antara 100 hingga 5000 ppm. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan kosentrasi di sekitar 5x103 ppm.
41 34 30 25
6 6
bakteri. Untuk mengetahui lebih lanjut potensi yang dimiliki, dilakukan fraksinasi agar dapat terlihat pengaruh pemisahan metabolit sekunder yang dimiliki ekstrak S. trifasciata terhadap potensinya sebagai antibakteri. Fraksinasi Ekstrak Metanol Fraksinasi ekstrak metanol dilakukan dengan cara kromatografi kolom. Sebelum dilakukan kromatografi kolom, terlebih dahulu dilakukan uji KLT terhadap ekstrak metanol untuk menentukan jenis eluen yang memiliki pola pemisahan terbaik. Eluen tunggal yang digunakan adalah n-heksana, diklorometan, kloroform, etil asetat, dan metanol.
Am ok
10 00 0
6 6
50 00
6 6
25 00
6 6
12 50
6 6
DM SO
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
sis ilin Tr im et op rim
Daya hambat (mm)*
Pelarut DMSO digunakan karena dapat melarutkan ekstrak hasil fraksinasi dengan baik dan tidak mempunyai aktivitas dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini juga sesuai dengan hasil uji yang telah dilakukan. Cakram kosong yang digunakan dalam uji mempunyai diameter 6 mm dan setelah diuji diameter daya hambat cakram yang berisi DMSO tidak mengalami pertambahan diameter daerah hambat sehingga dapat dikatakan bahwa pelarut yang digunakan tidak mempunyai aktivitas antibakteri.
Konsentrasi (ppm)
*Diameter daya hambat termasuk diameter cakram 6mm
Gambar 5 Perbandingan diameter hambat ekstrak kasar dengan E. coli ( ) dan S. aureus ( ) Bakteri yang digunakan untuk uji adalah bakteri S. aureus (Gram Positif) dan E. coli (Gram Negatif). Hasil pengujian terhadap obat standar trimetoprim memberikan diameter daerah hambatan 30 mm untuk bakteri E. coli dan 34 mm untuk bakteri S. aureus, sedangkan obat standar amoksisilin memberikan diameter daerah hambatan 25 mm untuk bakteri E. coli dan 41 mm untuk bakteri S. aureus (Gambar 5). Adanya perbedaan struktur dan sifat bakteri uji mungkin merupakan faktor penentu terjadinya perbedaan diameter daya hambatan pada kedua bakteri uji. Diameter dari cakram obat standar dan cakram ekstrak adalah 6 mm. Hasil pengujian terhadap ekstrak kasar metanol S. trifasciata dengan berbagai konsentrasi menunjukkan bahwa ekstrak kasar tersebut tidak mempunyai aktivitas antibakteri pada konsentrasi 1250 hingga 10000 ppm. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya daerah bening di sekitar cakram. Ketiadaan aktivitas antibakteri pada ekstrak kasar metanol tidak menunjukkan bahwa daun S. trifasciata tidak mempunyai potensi untuk menghambat pertumbuhan
Gambar 6 Kromatogram KLT ekstrak metanol dengan pelarut kloroform: metanol (9:1) pada panjang gelombang 366 nm Berdasarkan uji KLT didapatkan bahwa yang memiliki pola pemisahan paling baik adalah kloroform:metanol dengan perbandingan (9:1). Campuran ini merupakan eluen terbaik karena mampu memisahkan komponennya menjadi empat noda yang terpisah dengan baik (Gambar 6). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk pemisahan fraksi-fraksi dengan kromatografi kolom berdasarkan gradien kepolarannya, yaitu dari senyawa yang nonpolar sampai senyawa yang kepolarannya lebih tinggi. Ekstrak sebanyak 3.5542 g dipartisi dengan kloroform, kloroform:metanol (9:1), (8:2), (7:3), (6:4), (5:5), (4:6). (3:7), (2:8), (1:9), dan metanol. Partisi ini dimaksudkan untuk memisahkan senyawa yang terkandung dalam sampel berdasarkan tingkat kepolarannya. Eluat yang dihasilkan dari kolom kromatografi ditampung dan diuji KLT. Dari
hasil fraksinasi dengan kromatografi kolom dihasilkan 390 tabung. Tabung-tabung yang mempunyai pola KLT yang sama disatukan sehingga didapat 10 fraksi. Rendemen hasil fraksinasi kromatografi kolom ekstrak metanol ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil fraksinasi kromatografi kolom ekstrak kasar metanol Bobot Rendemen Fraksi (mg) (%)
luas (broad spectrum) yang aktif terhadap sebagian besar mikroorganisme, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram Positif dan Gram Negatif. Hal ini juga sesuai dengan hasil uji yang telah dilakukan. Kedua obat standar mempunyai daya hambat yang baik dilihat dari pertambahan diameter di sekeliling cakram (Tabel 3), sedangkan untuk uji yang dilakukan terhadap pelarut DMSO tidak terdapat daerah hambatan.
A
1032.1
32.15
B
526.6
16.40
C
178.9
5.57
Tabel 3 Hasil uji antibakteri obat standar dan pelarut DMSO Diameter hambat* Kontrol (mm)
D
51.8
1.61
E.coli
S.aureus
E
35.8
1.11
DMSO
6
6
Amoksisilin
26
40
Trimetoprim
31
35
F
25.5
0.79
G
22.9
0.71
H
20.5
0.64
I
19.3
0.60
J
8.7
0.27
Aktivitas Antibakteri Fraksi Hasil Kromatografi Kolom Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap 10 fraksi hasil fraksinasi dengan konsentrasi 4x104 ppm, 2x104 ppm, 104 ppm dalam DMSO. Konsentrasi yang digunakan dipilih di atas 104 karena pada uji ekstrak kasar, konsentrasi di bawah 104 tidak memberikan hasil yang positif akan daya hambat pertumbuhan bakteri sehingga diharapkan dengan bertambahnya konsentrasi akan memberikan hasil positif. Menurut Mustika dan Racmat (1993) konsentrasi suatu bahan yang berfungsi sebagai antimikroba merupakan salah satu faktor penentu besar kecil kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroba yang diuji. Bakteri yang digunakan sama dengan uji antibakteri ekstrak kasar, yaitu bakteri S. aureus (Gram Positif) dan E. coli (Gram Negatif). Obat standar trimetoprim memberikan diameter daerah hambatan 31 mm untuk bakteri E. coli dan 35 mm untuk S. aureus, sedangkan diameter daerah hambatan obat standar amoksisilin 26 mm untuk bakteri E. coli dan 40 mm untuk S. aureus (Gambar 7). Amoksisilin dan trimetoprim digunakan sebagai obat standar karena keduanya merupakan zat antibiotik yang berspektrum
*Diameter daya hambat termasuk diameter cakram 6mm
Obat standar trimetoprim menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat sintesis asam nukleat. Senyawa antibakteri ini diharapkan mempunyai selektifitas yang tinggi sehingga hanya sintesis asam nukleat bakteri saja yang dihambat. Umumnya senyawa penghambat akan berikatan dengan enzim atau salah satu komponen yang berperan dalam tahapan sintesis, sehingga akhirnya reaksi akan berhenti karena tidak ada substrat yang direaksikan dan asam nukleat tidak terbentuk (Jawetz 1996). Obat standar amoksisilin menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara yang berbeda dari trimetoprim, yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Tahapan awal kerja obat ini berupa pengikatan obat pada reseptor sel kemudian dilanjutkan dengan penghambatan sintesis peptidoglikan. Mekanisme ini diakhiri dengan penghentian aktivitas penghambat enzim autolisis pada dinding sel (Jawetz 1996).
*kiri: bakteri S. aureus; kanan : E. coli
Gambar 7 Hasil pengamatan uji antibakteri obat standar trimetoprim, amoksisilin, dan kontrol pelarut DMSO.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40 35
8 8
40 00 0
8 8
20 00 0
7 8
10 00 0
O S DM
et op r im
sil in
6 6
ok si Am
menimbulkan dugaan bahwa saponin dan steroid yang dimiliki oleh fraksi daun S. trifasciata memiliki sifat sinergis yang bila keduanya berada dalam fraksi yang sama dapat menimbulkan aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas yang dihasilkan oleh masing-masing senyawa yang tepisah. Tabel 4 Hasil uji fitokimia fraksi daun S.trifasciata Uji fitokimia
Fraksi FV*
SP*
TN*
ST*
TR*
A
-
++
-
++
-
B
-
+++
-
-
-
C
-
-
-
-
-
D
++
-
-
++
-
E
-
-
-
-
-
F
-
-
-
++
-
G
-
++
+
-
H
++
-
++
-
I
-
+
+
-
J
-
-
-
-
31 26
Tr im
Daya hambat* (mm)
Hasil uji terhadap fraksi hasil kromatografi kolom menunjukkan perbedaan dengan hasil uji ekstrak kasar. Hasil uji dari ekstrak kasar tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Akan tetapi setelah fraksinasi terdapat beberapa fraksi yang mempunyai aktivitas antibakteri. Hal ini dapat dilihat dengan pengukuran diameter hambat di sekitar cakram (Tabel 4). Perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi yang digunakan. Konsentrasi maksimum ekstrak kasar adalah 104 ppm sedangkan konsentrasi maksimum fraksi adalah 4x104 ppm. Penambahan jumlah konsentrasi akan menambah jumlah senyawa sehingga dihasilkan penambahan daya hambat.
Konsentrasi (ppm)
*Diameter daya hambat termasuk diameter cakram 6mm
Gambar 8 Perbandingan diameter hambat fraksi teraktif (fraksi G) dengan E. coli ( ) dan S. aureus ( ) Hasil pengujian (Lampiran 6) aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa fraksi yang memiliki aktivitas dalam penghambatan pertumbuhan bakteri adalah fraksi A, D, F, G, H, I, dan J. Fraksi yang merupakan fraksi teraktif dari uji yang dilakukan adalah fraksi G dan I karena kedua fraksi ini dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji, yaitu E. coli dan S. aureus. Hasil uji fitokimia (Tabel 4) yang dilakukan terhadap fraksi G dan I memberikan hasil bahwa kedua fraksi tersebut mengandung saponin dan steroid. Gabungan saponin dan steroid dalam satu fraksi yang sama menghasilkan antibakteri yang lebih baik bila dibandingkan dengan keberadaan saponin dan steroid yang terpisah. Hal ini dapat dilihat dari fraksi B yang mengandung saponin ternyata tidak memiliki aktivitas dalam menghambat antibakteri sedangkan fraksi F yang memiliki kandungan steroid hanya dapat menghambat bakteri gram positif (S. aureus). Hal ini juga dapat
-
(+) terdeteksi (–) tidak terdeteksi Semakin banyak (+) intensitas warna semakin meningkat FV: Flavonoid; SP :Saponin; TN: Tanin; ST: Steroid; TR: Triterpenoid
Berdasarkan hasil uji fitokima yang dilakukan dapat dilihat bahwa fraksi yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (S. aureus) mempunyai kesamaan, yaitu Positif mengandung steroid sehingga dapat diduga bahwa keberadaan steroid yang dimiliki oleh daun S. trifasciata mampu menghambat bakteri Gram Positif (S. aureus).
SIMPULA DA SARA
Simpulan Hasil uji antibakteri yang dilakukan terhadap ekstrak kasar metanol dan hasil fraksinasi daun S. trifasciata menunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus, sedangkan setelah pemisahan terdapat beberapa fraksi yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus pada media Mueller-Hinton.