10
Setelah dilakukan pengukuran kadar air, kadar air serbuk daun salam tersebut masih tinggi sehingga pengeringan dilanjutkan kembali di dalam oven pada suhu 50 ⁰C hingga kadar airnya di bawah 10%. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang tidak diinginkan pada sampel. Suhu ini relatif aman serta mencegah terjadinya kerusakan pada senyawa metabolit sekunder tertentu, khususnya flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang memiliki sistem aromatik yang terkonjugasi (Harborne 1996). Sistem aromatik terkonjugasi mudah rusak pada suhu tinggi. Selain itu, beberapa golongan flavonoid memiliki ikatan glikosida dengan molekul gula. Ikatan glikosida akan mudah rusak atau putus pada suhu tinggi (Poedjiadi 1994). Kadar Air Simplisia Daun Salam Penentuan kadar air berfungsi mengetahui kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya, hal ini berguna sebagai faktor koreksi terhadap hasil rendemen ekstrak kasar flavonoid yang diperoleh. Selain itu berfungsi untuk mengetahui ketahanan sampel terhadap penyimpanan (Harjadi 1986), karena kandungan air di dalam bahan merupakan medium tumbuh bagi mikroorganisme. Kadar air yang baik adalah kurang dari 10% karena pada tingkat kadar air tersebut waktu simpan sampel akan relatif lebih lama dan terhindar dari pencemaran yang disebabkan oleh mikroba (Winarno 1992). Penentuan kadar air dilakukan pada suhu 105 ⁰C. Menurut Harjadi (1986), air yang terikat secara fisik dapat dihilangkan pada suhu 100-105 ⁰C. Kadar air rerata dari serbuk daun salam kering ialah sebesar 8,80%. Kadar air tersebut memenuhi standar kadar air untuk tanaman obat yaitu kurang dari 10%. Berdasarkan nilai tersebut dapat dikatakan dalam 100 g sampel daun salam terdapat kandungan air 8,8 g (Lampiran 2). Hasil ini menunjukkan bahwa daun salam dapat disimpan dalam jangka waktu relatif lama. Kadar air pada sampel tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kelembaban, perlakuan terhadap sampel, serta besarnya penguapan. Ekstraksi Flavonoid Daun Salam Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dan sonikasi. Metode ekstraksi maserasi dipilih karena maserasi merupakan
metode yang sering digunakan untuk mengekstraksi bahan alam. Ekstraksi dengan maserasi merupakan teknik merendam sampel dengan pelarut yang sesuai dalam waktu tertentu. Waktu yang diperlukan untuk ekstraksi maserasi relatif lebih lama. Untuk itu, pada penelitian ini dibandingkan dengan metode ekstraksi sonikasi dengan memanfaatkan energi gelombang ultrasonik yang menyebabkan proses kavitasi sehingga diharapkan senyawa yang ada pada sel tanaman akan terekstrak pada pelarut yang digunakan dan waktu menjadi lebih singkat. Ekstraksi flavonoid dilakukan dengan pelarut metanol:air, mengacu pada metode Markham (1988). Penelitian ini meragamkan nisbah kedua pelarut tersebut, dan juga waktu ekstraksi. Kisaran waktu ekstraksi untuk maserasi ialah antara 6 hingga 24 jam, sedangkan sonikasi antara 5 hingga 15 menit. Ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut metanol:air. Sejumlah gugus hidroksil yang tak terganti atau suatu gula menyebabkan flavonoid bersifat polar sehingga larut dalam pelarut polar seperti metanol. Pengaruh glikosilasi (gula terikat pada flavonoid) menyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif sehingga lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti air (Harborne 1996; Markham 1988). Ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran berbeda dan waktu yang berbeda bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimal, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam sampel. Nisbah bahan baku dan pelarut (1:10) didasarkan pada penelitian Umar (2008) yang menyatakan bahwa kadar flavonoid total tertinggi dihasilkan pada nisbah bahan baku dan pelarut (1:10). Pada nisbah tersebut pelarut cukup untuk merendam sampel, sehingga proses ekstraksi menjadi lebih efektif. Ekstraksi dilakukan dengan meragamkan tiga faktor, yaitu metode ekstraksi (maserasi dan sonikasi), pelarut ekstraksi (campuran metanol dan air), serta waktu ekstraksi, sesuai dengan Tabel 2 dan 3. Rendemen ekstraksi yang diperoleh berkisar antara 8,83% hingga 23,69%. Rendemen tertinggi pada teknik maserasi adalah 24,56% diperoleh saat digunakan pelarut metanol 48%, pada waktu 15 jam. Rendemen tertinggi pada teknik sonikasi adalah 19,76% diperoleh saat digunakan pelarut metanol 48%, pada waktu 15 menit. Data rendemen selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.
11
24,56 23,69 22,85 23,02 23,35 21,61 24,30 21,12 23,93 21,11 19,75 23,53 18,86
25 rendemen (%)
20 15
13,82 12,90 13,31 13,47
10
11,28 8,83
5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
kondisi ekstraksi Gambar 6 Grafik rendemen ekstraksi maserasi (%) dengan ragam perlakuan pelarut ( air, metanol 24%, metanol 48%, metanol 72%, metanol 96%) dan waktu (624 jam) dengan meningkatnya waktu dari kanan ke kiri.
rendemen (%)
20 15
19,76 18,83 18,78 17,90 17,48 18,17 16,76 18,89 17,28 17,48 16,13 14,19 13,78 14,00 13,99 14,42 14,84 13,80 13,79
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
kondisi ekstraksi Gambar 7 Grafik rendemen ekstraksi sonikasi (%) dengan ragam perlakuan pelarut ( air, metanol 24%, metanol 48%, metanol 72%, metanol 96%) dan waktu (515 menit) dengan meningkatnya waktu dari kanan ke kiri. Proses ekstraksi berdasarkan pada prinsip kelarutan like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Rendemen estraksi tertinggi diperoleh saat menggunakan pelarut metanol 48% yang bersifat polar. Pelarut tersebut dapat mengekstrak senyawa polar maupun nonpolar dalam sampel sehingga menghasilkan rendemen paling tinggi di antara penggunaan pelarut lainnya. Pelarut metanol 48% dapat mengambil senyawa flavonoid yang terikat dengan glikosida maupun flavonoid yang tidak memiliki ikatan glikosida. Lama waktu ekstraksi juga sangat mempengaruhi rendemen ekstraksi, terlihat rendemen ekstraksi tertinggi terdapat pada teknik ekstraksi maserasi yaitu sebesar 24,56%. Hal ini dikarenakan pada teknik maserasi terjadi kontak yang lebih lama dan intensif antara pelarut dan sampel yang menyebabkan komponen dalam sampel berpindah ke dalam pelarut sehingga rendemen ekstraksi semakin tinggi. Berdasarkan rancangan kombinasi DOptimal tidak semua kondisi dari setiap teknik eksraksi memiliki ulangan. Hal ini bertujuan
untuk melihat ketelitian yang dihasilkan dari kondisi yang diulang dan diharapkan dapat mewakili ketelitian yang dilakukan untuk kondisi ekstraksi lainnya. Ketelitian diperoleh dengan kisaran 82,78% hingga 99,97%. Kadar Flavonoid Daun Salam Pembuatan kurva standar flavonoid didasarkan pada metode kolorimetri (Zongo et al. 2010). Analisis ini didasarkan pada reaksi pembentukan kompleks antara flavonoid dan aluminium klorida. Gugus orto dihidroksi dan gugus hidroksi keton dari flavonoid ini membentuk kompleks dengan AlCl3 sehingga memberikan efek batokromik (Harborne 1996) dan kemudian diukur menggunakan spektrofotometri UV-vis sebagai ekivalen kuersetin. Kuersetin digunakan sebagai standar karena senyawa ini merupakan senyawa flavonoid kuat golongan flavonol. Flavonol diketahui sebagai senyawa penciri adanya flavonoid karena keberadaanya yang banyak tersebar dalam tumbuhan. Selain itu, kebanyakan tanaman obat memperlihatkan aktivitas kandungan kuersetin yang tinggi.
12
Menurut metode ini, larutan standar kuersetin dengan berbagai konsentrasi diukur pada panjang gelombang 435 nm. Kurva standar yang diperoleh memiliki persamaan garis y = 0,025x + 0,043 dengan R2 = 0,9993 yang menunjukkan konsentrasi mampu menerangkan keragaman absorbans sebesar 99,93%, dan sekitar 0,007% oleh faktor lain. Berdasarkan kurva standar, dapat ditentukan kadar flavonoid total dari sampel sesuai perlakuan yang dicobakan. Hasil selengkapnya disajikan dalam Lampiran 3. Nilai kadar flavonoid total tertinggi untuk teknik maserasi dan sonikasi masing-masing berturut-turut sebesar 0,0153 mg QE/mg ekstrak dan 0,0139 mg QE/mg ekstrak (Tabel 5 dan 6). Nilai kadar flavonoid tertinggi untuk teknik maserasi diperoleh saat digunakan pelarut metanol 96% dengan waktu ekstraksi selama 24 jam, sedangkan untuk teknik sonikasi diperoleh saat digunakan pelarut metanol 96% dalam waktu ekstraksi 5 menit. Apabila dibandingkan dari kedua teknik ekstraksi yang digunakan, kadar flavonoid tertinggi diperoleh dengan teknik maserasi. Perendaman suatu bahan dalam pelarut dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel dalam 3 tahapan, yaitu masuknya pelarut ke dalam dinding sel tanaman dan membengkakkan sel, kemudian senyawa yang terdapat dalam dinding sel akan terlepas dan masuk ke dalam pelarut, diikuti oleh difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel tanaman (Gamse 2002). Hal ini berkaitan dengan waktu kontak antara bahan dan pelarut pengekstraksi yang lebih intensif pada teknik maserasi menyebabkan komponen dalam sampel terutama flavonoid berpindah ke dalam pelarut pengekstraksi yang digunakan. Kedua teknik ekstraksi menunjukkan pelarut metanol 96% dapat mengekstraksi flavonoid daun salam dengan baik. Hal ini dikarenakan pelarut organik polar seperti metanol 96% selektif dalam mengekstraksi senyawa fenol seperti flavonoid yang tidak memiliki ikatan glikosida dengan molekul gula sederhana. Senyawa flavonoid ini kurang polar sehingga pelarut metanol 96% merupakan pelarut yang baik untuk mengekstraksi flavonoid tersebut. Kadar flavonoid daun salam berdasarkan kondisi yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Secara keseluruhan, teknik ekstraksi maserasi memberikan kadar flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan teknik sonikasi. Semakin polar pelarut organik yang digunakan, semakin tinggi pula kadar flavonoid yang diperoleh. Semakin lama
waktu ekstraksi yang digunakan, maka semakin tinggi pula kadar flavonoidnya. Secara keseluruhan faktor-faktor yang dicobakan berpengaruh pada kadar flavonoid. Aktivitas Antioksidan Daun Salam Aktivitas antioksidan diuji dengan metode penangkapan radikal bebas 1,1- difenil-1,2pikrilhidrazil (DPPH). DPPH berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan antioksidan membentuk 1,3-difenil-2pikrilhidrazin. Antioksidan akan memberikan atom hidrogennya kepada radikal DPPH untuk melengkapi kekurangan elektron dan membentuk radikal antioksidan yang lebih stabil. Reaksi ini menyebabkan DPPH kehilagan warna ungunya ketika dicampurkan dengan zat yang mampu bertindak sebagai antioksidan dan selanjutnya diukur dengan spektrometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm sehingga aktivitas peredaman radikal bebas oleh sampel dapat ditentukan. Pengujian aktivitas antioksidan ekstrak daun salam dari kondisi ekstraksi secara keseluruhan memberikan nilai IC50 kurang dari 100 ppm, nilai tersebut menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat pada ekstrak daun salam (Tabel 5 dan 6). IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak (mikrogram/mililiter) yang mampu menghambat proses oksidasi sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik, suatu senyawa dikategorikan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat jika IC50 bernilai 50-100 ppm, sedang jika IC50 bernilai 100-150 ppm, dan lemah jika IC50 adalah 151-200 ppm (Mardawati 2008). Nilai IC50 terendah untuk metode maserasi dan sonikasi berturut-turut adalah 11,460 µg/ml dan 7,199 µg/ml. Dengan demikian ekstrak hasil ekstraksi sonikasi memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat daripada ekstraksi maserasi. Teknik sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 38 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut karena adanya proses kavitasi yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001). Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat, sehingga dalam waktu 15 menit senyawa bioaktif dalam
13
Tabel 5 Hasil IC50 dan kadar flavonoid total untuk rancangan kombinasi pada metode maserasi
air
6
Antioksidan IC50 (mg/L) 61,615
air
6
61,013
air
10,5
air air air metanol 24% metanol 24% metanol 48% metanol 48% metanol 48% metanol 48% metanol 72% metanol 72% metanol 96% metanol 96% metanol 96% metanol 96% metanol 96%
pelarut
waktu
Air
5
Antioksidan IC50 (mg/L) 17,598
0,0062
Air
5
16,199
0,0032
73,393
0,0085
Air
7,5
36,447
0,0059
15
53,273
0,0090
air
10
21,053
0,0033
24
46,097
0,0151
air
15
13,875
0,0033
24
54,185
0,0116
15
22,507
0,0034
10,5
44,519
0,0060
7,5
11,307
0,0042
19,5
75,236
0,0072
12,5
47,965
0,0041
6
17,241
0,0065
5
17,119
0,0039
15
49,312
0,0054
10
11,519
0,0023
24
21,314
0,0056
15
8,214
0,0048
24
21,873
0,0050
15
7,199
0,0053
10,5
51,906
0,0051
7.5
7,624
0,0059
19,5
52,505
0,0068
12,5
49,682
0,0060
6
21,303
0,0107
5
9,454
0,0112
6
33,940
0,0135
5
8,806
0,0139
15
11,457
0,0141
10
32,490
0,0089
24
25,062
0,0153
15
10,305
0,0129
24
27,684
0,0122
air metanol 24% metanol 24% metanol 48% metanol 48% metanol 48% metanol 48% metanol 72% metanol 72% metanol 96% metanol 96% metanol 96 % metanol 96% metanol 96%
15
12,469
0,0126
(jam)
kadar flavonoid (mg QE/mg ekstrak) 0,0112
Tabel 6 Hasil IC50 dan kadar flavonoid total untuk rancangan kombinasi pada metode sonikasi
sampel terekstraksi dengan baik ke dalam pelarut. Nilai IC50 terendah untuk teknik maserasi diperoleh saat digunakan pelarut metanol 96% dengan waktu ekstraksi selama 15 jam, sedangkan untuk teknik sonikasi diperoleh saat digunakan pelarut metanol 48% dalam waktu ekstraksi 15 menit. Namun, aktivitas antioksidan daun salam masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan standar kuersetin yang memiliki nilai IC50 4,683 µg/ml (Lampiran 4). Aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol 48% yang bersifat polar. Pelarut ini dapat mengekstraksi glikosida flavonoid. Molekul gula mempunyai gugus hidroksil yang bersifat polar, sehingga akan mudah larut dalam pelarut dengan kepolaran yang tinggi. Kekua-
waktu pelarut
(menit)
kadar flavonoid (mg QE/mg ekstrak) 0,0031
tan aktivitas antioksidan dari flavonoid bergantung pada jumlah dan posisi gugus hidroksil yang terdapat pada molekul. Semakin banyak gugus hidroksil pada molekul menyebabkan aktivitas antioksidan molekul tersebut akan semakin besar. Aktivitas antioksidan tinggi tidak diperoleh saat menggunakan pelarut air yang bersifat sangat polar di antara pelarut lain yang dicobakan. Hal ini sesuai dengan Markham (1988) yang menyatakan bahwa campuran pelarut metanol dan air merupakan pelarut yang baik untuk glikosida flavonoid. Aktivitas antioksidan berdasarkan kondisi yang dicobakan dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Secara keseluruhan, aktivitas antioksidan teknik ekstraksi sonikasi memberikan aktivitas antioksidan lebih baik dibandingkan dengan teknik maserasi. Hal ini
14
(a)
(b)
Gambar 8 Plot permukaan respon (a) dan kontur (b) kadar flavonoid pada polaritas pelarut dan waktu ekstraksi. terlihat dengan nilai IC50 kondisi yang dicobakan pada teknik sonikasi lebih rendah dibandingkan teknik maserasi. Campuran pelarut metanol dan air dengan proporsi yang semakin sama menunjukkan aktivitas antioksidan yang semakin tinggi. Semakin lama waktu ekstraksi yang digunakan, maka semakin tinggi pula aktivitas antioksidannya. Secara keseluruhan, faktor-faktor yang dicobakan berpengaruh pada aktivitas antioksidan. Kondisi Optimum Ekstraksi Flavonoid
respon untuk melihat aktivitas antioksidan dari flavonoid yang berhasil diekstrak dengan berbagai kondisi ekstraksi. Berdasrkan hasil pengolahan data dengan piranti lunak DX8.0.6 versi uji coba, didapat model regresi sebagai berikut : Kadar flavonoid = 4,828. X + 8,790. XY – 0,014 XZ – 8,887. YZ + 1,692. XYZ – 1,451. XZ2 + 3,851. YZ2 + 1,036 2 . XYZ IC50 = 30,46 + 36,84 Z – 16,53 Z2 – 37,62 Z3 (X= Air, Y= Metanol, Z= Waktu ekstraksi)
Faktor kondisi ekstraksi yang akan dioptimumkan berupa teknik ekstraksi, polaritas pelarut, dan waktu ekstraksi. Pengoptimuman dilakukan menggunakan rancangan kombinasi D-Optimal dengan bantuan piranti lunak DX8.0.6 versi uji coba yang akan melihat pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kadar flavonoid total dan aktivitas antioksidan sebagai responnya. Berdasarkan pengolahan data statistik, ekstrak daun salam yang memiliki kadar flavonoid tertinggi dan nilai IC50 terendah adalah kondisi ekstraksi sonikasi menggunakan pelarut metanol 96% dalam waktu 15 menit (Lampiran 5). Kadar flavonoid dugaan pengolahan tersebut ialah sebesar 0,0125 mg QE/mg ekstrak dan nilai IC50 8,0289 µg/mL. Pengaruh masing-masing faktor pada nilai respon dapat dijelaskan dengan model dan grafik dari rancangan D-Optimal (Gambar 8 dan 9). Keberhasilan ekstraksi ditentukan oleh respon kadar flavonoid dan aktivitas antioksidan. Nilai IC50 diperlukan sebagai
Berdasarkan hasil uji statistika terlihat bahwa faktor polaritas pelarut dan waktu ekstraksi berpengaruh secara linear terhadap kadar flavonoid total. Berpengaruhnya faktorfaktor tersebut terhadap kadar flavonoid ditunjukkan dengan model regresi kadar flavonoid memiliki nilai p lebih kecil dari taraf α (0,05), dapat dilihat pada Lampiran 6. Hal ini menunjukkan parameter yang terlibat berpengaruh secara signifikan. Model regresi kadar flavonoid memiliki nilai koefisien determinasi R-Sq yang cukup tinggi yaitu 95,49% sehingga model yang dihasilkan dapat digunakan karena memenuhi syarat model yang baik. Berdasarkan persamaan model dapat digambarkan plot permukaan respon dan kontur dari model yang diperoleh untuk setiap respon. Gambar 8 menunjukkan bahwa penurunan polaritas pelarut dan peningkatan waktu ekstraksi menghasilkan kadar flavonoid total yang semakin tinggi. Namun, pada polaritas pelarut tersebut terdapat pengaruh keragaman waktu ekstraksi. Plot permukaan
15
(a) (b) Gambar 9 Plot permukaan respon (a) dan kontur (b) nilai IC50 pada polaritas pelarut dan waktu ekstraksi. respon penentuan kadar flavonoid total menunjukkan titik belok saat waktu ekstraksi mencapai 12,5 menit. Hasil uji statistika ekstrak terbaik daun salam menunjukkan bahwa waktu merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi nilai IC50. Model regresi IC50 memiliki nilai p lebih kecil dari taraf α (0,05), dapat dilihat pada Lampiran 7. Hal ini menunjukkan parameter tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas antioksidan. Namun, nilai R-Sq dari model tersebut rendah, yaitu 54,18% artinya hanya sebesar 54,18% nilai IC50 dipengaruhi oleh faktor waktu ekstraksi. Oleh karena itu, berdasarkan model tersebut diperkirakan terdapat faktor lain yang mempengaruhi nilai IC50 yang tidak dicobakan dalam penelitian ini. Bila dibandingkan dengan analisis secara kimia, faktor-faktor seperti polaritas pelarut dan waktu ekstraksi dapat berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Hal ini terkait dengan komponen kimia yang dapat terekstrak pada saat ekstraksi menggunakan pelarut tertentu berdasarkan prinsip like dissolve like (Khopkar 2002). Lama ekstraksi berpengaruh terhadap waktu kontak bahan dengan pelarut yang digunakan. Kontak yang intensif menyebabkan difusi komponen kimia yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel tanaman (Gamse 2002). Banyaknya komponen kimia yang dapat terekstraksi, terutama flavonoid, seharusnya dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Senyawa flavonoid bertindak sebagai donor atom hidrogen yang dapat mengubah DPPH menjadi bentuk tereduksi dan kehilangan warna ungunya (Molyneux
2004), sehingga aktivitas antioksidan yang ditunjukkan sebagai nilai IC50 dapat diukur menggunakan spektrofotometer UV-vis. Bedasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai IC50 menunjukkan nilai yang fluktuatif. Ekstraksi pada menit awal menunjukkan nilai IC50 yang rendah dengan berkurangnya polaritas pelarut. Nilai IC50 menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya waktu ekstraksi dan kembali menunjukkan penurunan pada waktu ekstraksi lebih dari 12 menit. Apabila dilihat dari plot permukaan responnya (9a), terdapat titik belok saat waktu ekstraksi mencapai 12,5 menit. Setelah melewati titik ini, peningkatan waktu ekstraksi akan menghasilkan nilai IC50 yang lebih rendah dari sebelumnya atau menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi. Berdasarkan analisis ini, terlihat bahwa waktu ekstraksi sangat berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Analisis sidik jari selanjutnya dilakukan pada ekstrak metanol 96% dengan waktu ekstraksi pada kondisi yang dicobakan, yaitu pada waktu 5, 10, dan 15 menit. Hal ini bertujuan melihat pengaruh waktu ekstraksi terhadap pola sidik jari dari masing-masing ekstrak. Pola sidik jari yang dihasilkan diharapkan dapat merepresentasikan aktivitas antioksidan ekstrak. Analisis sidik jari dilakukan menggunakan KLT dengan fase gerak kloroform. Analisis ini menggunakan pola kromatogram komponen kimia dari ekstrak untuk menentukan kualitas, dan identitas tanaman obat (Borges et al. 2007) Hasil sidik jari dapat dilihat pada Lampiran 12. Kromatogram menunjukkan pada ekstrak
16
Uji Fitokimia Senyawa Golongan Flavonoid Uji golongan flavonoid dapat memberikan informasi tentang keberadaan jenis golongan flavonoid yang terdapat pada ekstrak kasar secara kualitatif. Berdasarkan hasil pengujian fitokimia golongan flavonoid, ekstrak teraktif mengandung senyawa antosianidin, flavonol, flavon, dan kalkon. Hasil uji selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Senyawa antosianidin, flavonol, dan flavon disebut sebagai senyawa flavonoid utama dikarenakan senyawa ini banyak ditemukan di alam. Hasil uji golongan flavonoid juga sesuai dengan penelitaian Pratt (1992), yang menyatakan bahwa senyawa golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavonol dan kalkon.
Penentuan Campuran Fase Gerak dari Fase Gerak Tunggal Sebanyak 6 macam fase gerak tunggal yang mewakili sifat polar, semipolar, dan non polar digunakan sebagai eluen untuk mengelusi tahap awal ekstrak terbaik daun salam pada KLT. Pita yang terbentuk dideteksi dengan menggunakan UV 254 nm dan 366 nm. Deteksi ini dipilih karena cara deteksi tersebut spesifik untuk senyawa tertentu terutama flavonoid. UV 254 nm dapat mendeteksi alkaloid, flavonoid, dan triterpenoid sedangkan UV 366 nm dapat mendeteksi alkaloid, flavonoid, dan lignan dengan warna yang berbeda-beda (Fernand 2003). Namun, pita terlihat jelas pada UV 366 nm, hal ini dikarenakan pelat KLT yang digunakan merupakan pelat silica gel GF254, artinya silica gel dengan fluoresens yang berpendar pada UV 254 nm, sehingga pita yang dihasilkan tidak begitu terlihat. Untuk itu, metode pendeteksian yang akan digunakan selanjutnya adalah UV 366 nm. Keenam fase gerak tersebut, tampak setiap fase gerak mampu memisahkan komponen dengan kemampuan berbeda-beda. Hal ini terlihat dari jumlah pita yang berbeda-beda pada setiap fase gerak (Gambar 10). Tiga fase gerak yang akan dijadikan sebagai penyusun komposisi fase gerak sesuai rancangan Simplex Centroid adalah fase gerak yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dengan pemisahan yang baik. 8 8 7 6 Jumlah spot
dengan waktu ekstraksi 5, 10, dan 15 menit berturut-turut menampilkan jumlah pita berbeda, yaitu 7, 4 dan 8 pita. Ekstrak metanol 96% dengan waktu ekstraksi 5 menit memiliki 7 pita pada hasil sidik jari dan memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Sedangkan pada ekstrak dengan waktu ekstraksi 10 menit, menghasilkan 4 pita dan menunjukkan aktivitas antioksidan yang rendah. Hal ini menunjukkan komponen kimia yang berhasil terekstrak merupakan senyawa golongan flavonoid sehingga menunjukkan korelasi secara linear dengan aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Pengaruh polaritas pelarut dan waktu ekstraksi terhadap respon teramati cukup baik pada plot kontur permukaan (Gambar 8b dan Gambar 9b). Kurva tersebut menampilkan kisaran pelarut dan waktu ekstraksi optimum, yaitu teramati pada pelarut metanol 96% selama 15 menit, dengan kadar flavonoid total sebesar 0,0116 mg QE/mg ekstrak dan nilai IC50 13,1593 µg/mL. Metode ekstraksi sonikasi merupakan metode yang optimum daripada metode maserasi, hal ini dikarenakan pada ekstraksi sonikasi terjadi aktivitas kavitasi yang menyebabkan proses perpindahan massa pelarut menjadi lebih cepat. senyawa bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Nilai kadar flavonoid dan IC50 pada hasil keseluruhan ekstrak yang dicobakan berbeda dengan hasil optimisasi. Hal ini dikarenakan piranti lunak DX8.0.6 menganalisis secara statistik dari nilai-nilai yang mungkin dihasilkan pada kondisi optimum.
6 4
3
2
1
2 0
Fase gerak Gambar 10
Jumlah spot pada elusi KLT ekstrak terbaik daun salam untuk fase gerak tunggal dengan deteksi UV 366 nm.
Ketiga pelarut terpilih, yaitu kloroform, nbutanol, dan etil asetat sebagai komposisi campuran fase gerak karena ketiga fase gerak tersebut menghasilkan jumlah pita lebih banyak. Hasil selengkapnya untuk ke-6
17
macam fase gerak tunggal ditunjukkan pada Lampiran 9. Penentuan Fase Gerak Optimum dengan Simplex Centroid Design
7
7
2/3A:1/6B:1/6C
1/6A:1/6B:2/3C
1/6A:2/3B:1/6C
1/3A:1/3B:1/3C
5 5 5
1/2A:1/2B:0C
5
0A:1/2B:1/2C
1/2A:0B:1/2C
0A:1B:0C
8 7 6 7
0A:0B:1C
8 7 6 5 4 3 2 1 0
0A:1B:0C
jumlah pita
Penggunaan Simplex Centroid Design (SCD) untuk pengoptimuman fase gerak KLT dilakukan untuk mendapatkan sidik jari yang informatif. SCD digunakan untuk mengetahui pengaruh proporsi fase gerak yang berbedabeda. Ketiga pelarut terpilih, yaitu kloroform sebagai titik A, n-butanol sebagai titik B, dan etil asetat sebagai titik C dicampurkan sehingga didapatkan berbagai komposisi pelarut sesuai dengan Tabel 4. Setelah itu, dilakukan pemisahan pada kesepuluh komposisi tersebut dan dideteksi dengan sinar UV 366 nm. Hasil selengkapnya untuk 10 komposisi fase gerak ditunjukkan pada Lampiran 10.
menunjukkan terdapat interaksi yang sinergis antara kloroform dan n-butanol. Interaksi yang berlawanan terdapat pada campuran fase gerak kloroform dan n-butanol, n-butanol dan etil asetat, serta campuran di antara ketiga fase gerak kloroform, n-butanol, dan etil asetat. Hal ini dapat dilihat dari plot kontur Simplex Centroid Design pada Gambar 12. Daerah optimum pada plot kontur desain dinyatakan dengan warna jingga. Koefisien determinasi atau R-Sq dari pengolahan data dengan deteksi UV 366 nm diperoleh sebesar 96,17%. Selanjutnya, fase gerak yang digunakan untuk analisis sidik jari ektrak terbaik daun salam adalah fase gerak tunggal kloroform.
komposisi fase gerak Gambar 11 Jumlah pita hasil KLT ekstrak daun salam dengan deteksi UV 366 nm. Gambar 11 menunjukkan bahwa jumlah pita yang banyak dihasilkan pada fase gerak tunggal adalah kloroform. Fase gerak optimum ditentukan berdasarkan analisis statistik dengan jumlah pita sebagai responnya. Persamaan regresi yang didapatkan dari pengolahan data adalah y = 8,14A + 5,96B + 6,87C + 0,20 AB – 1,98 AC – 6,34BC – 31,76ABC. (A= kloroform, B= n-buatnol, C= etil asetat) Persamaan regresi tersebut memiliki nilai p lebih kecil dari taraf α (0,05), dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga fase gerak berpengaruh terhadap penentuan komposisi fase gerak optimum. Ketiga koefisien pertama (8, 5, dan 6) memberikan peningkatan pengaruh secara linear terhadap respon. Model tersebut juga
Gambar 12
Plot kontur desain campuran simplex centroid untuk jumlah pita optimasi fase gerak mn 7-8 <5, 5-6, 6-7, dengan deteksi UV 366 nm.
Analisis Sidik Jari pada Kondisi Optimum Analisis sidik jari dilakukan dengan tujuan melihat pola sidik jari ekstrak flavonoid pada kondisi optimum. Pola sidik jari tersebut memberikan informasi secara kualitatif kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak daun salam. Analisis sidik jari dilakukan menggunakan KLT sehingga pola yang dihasilkan berupa pita yang selanjutnya dapat diketahui nilai Rf dari masing-masing pita yang dihasilkan. Nilai Rf spesifik untuk komponen kimia dalam tanaman. Sidik jari ekstrak flavonoid terbaik daun salam dilakukan menggunakan fase gerak optimum yaitu kloroform dengan deteksi UV 366 nm. Pola kromatogram yang diperoleh menghasilkan 8 pita dengan Rf masingmasing pita berturut-turut 0,07; 0,13 0,25; 0,43; 0,62; 0,67; 0,91; dan 0,96. Pita yang dihasilkan menampilkan bercak berwarna merah dan biru muda. Menurut Markham (1988), fluoresensi biru muda dapat
18
menunjukkan adanya senyawa flavon, flavonon, atau flavonol, sedangkan bercak berwarna merah menunjukkan adanya senyawa antosianidin. Hal ini memperkuat hasil uji kualitatif golongan flavonoid yang dilakukan terhadap ekstrak daun salam tersebut (Lampiran 8). Pola sidik jari dapat dilihat pada Gambar 13.
karena kondisi optimum teramati pada ujungujung taraf.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1984. Official Methods of Analysis. Virginia: AOAC. Akbar HR. 2010. Isolasi dan identifikasi golongan flavonoid daun dandang gendis (Clinacanthus nutans) berpotensi sebagai antioksidan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Ashley K, Andrews RN, Cavazos L, Demange M. 2001. Ultrasonic extraction as a sample preparation technique for elemental analysis by atomic spectrometry. J. Anal. At. Spectrom. 16: 1147-1153. Blois MS. 1958. Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Nature 181: 1199-1200.
Gambar 13
Kromatogram KLT dengan fase gerak pada titik optimum (kloroform) dengan deteksi pada UV 366 nm.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Waktu ekstraksi sangat berpengaruh dalam penentuan kondisi ekstraksi optimum berdasarkan analisis rancangan D-Optimal. Ekstrak flavonoid daun salam dengan bioaktivitas paling baik sesuai rancangan kombinasi dihasilkan pada ekstraksi sonikasi dengan pelarut metanol 96% dalam waktu ekstraksi selama 15 menit. Kadar flavonoid dan nilai IC50 pada kondisi tersebut diperoleh berturut-turut sebesar 0,0116 mg QE/mg ekstrak dan 13,1593 µg/mL. Fase gerak optimum yang didapat untuk analisis sidik jari ekstrak terbaik daun salam adalah kloroform dengan deteksi UV 366 nm menghasilkan 8 pita. Saran Perlu dilakukan validasi terhadap model yang telah diperoleh pada penelitian ini. Selain itu perlu dicobakan kisaran taraf yang lebih luas pada parameter yang digunakan
Bolourtchian N, Hadidi N, Foroutan SM, Shafaghi B. 2008. Formulation and optimization of captopril sublingual tablet using d-optimal design. Iranian Journal of Pharmaceutical Research 7 (4): 259-267. Borges CN, Bruns RE, Almeida AA, dan Scarminio IS. 2007. Mixture design for the fingerprint optimalization of chromatographic mobile phases and extraction solutions for Camellia sinensis. Analytical Chimica Acta 595: 28-37. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Maanan. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Vol 1. Jakarta : BPOM. Chen C, Pearson AM, Gray JI. 1992. Effects of synthetic antioxidant (BHA, BHT, and PG) on the mutagenicity of IQ-like compounds. Food Chemistry 43: 177-183. Chen HM, Muramoto K, Yamauchi F, Nokihara K. 1996. Antioxidant activity of designed peptides based on the antioxidative peptide isolated from digests of a soybean protein. J. Agric. Food Chem. 44 (9): 2619-1613. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2008.