HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak Rimpang Temulawak dan Hasil Pencirian Kurkuminoid Ekstak kurkuminoid diperoleh dengan mengekstraksi 1 kg serbuk temulawak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol selama 48 jam. Residu hasil maserasi diekstraksi kembali dengan metode Soxhlet menggunakan pelarut etanol sampai pelarut tidak berwarna. Selanjutnya, ekstrak etanol dari kedua metode ekstraksi tersebut diekstraksi cair-cair menggunakan pelarut heksana untuk menghilangkan minyak atsiri (Jayaprakasha et al. 2002). Fraksi etanol selanjutnya dipekatkan dengan penguap putar dan pelarut etanol dihilangkan dengan pengeringan beku (freeze-drying). Hasil ekstraksi diperoleh rendemen ekstrak sebesar 7,62% (Lampiran 2) dalam bentuk pasta. Analisis HPLC dilakukan untuk memastikan komponen utama yang terkandung pada ekstrak etanol rimpang temulawak adalah kurkuminoid, yang menunjukkan bahwa ekstraksi sudah dilakukan dengan baik. Standar kurkuminoid yang digunakan adalah standar kurkuminoid komersial yang diisolasi dari rimpang kunyit (Curcuma longa) yang memiliki tiga komponen utama dengan waktu retensi (Rt) 7,853 menit, 8,460 menit, dan 9,090 menit. Menurut Jayaprakasha et al. (2002) bahwa ketiga puncak tersebut diidentifikasi secara berturut-turut sebagai bisdemetoksikurkumin, demetoksikurkumin, dan kurkumin. Kromatogran HPLC (Gambar 6) memperlihatkan bahwa terdapat dua puncak utama pada sampel dengan waktu retensi 8,423 dan 9,050 menit, juga terdapat satu puncak dengan luas yang jauh lebih kecil dan memiliki waktu retensi 7,817 menit. Hasil analisis HPLC menunjukkan bahwa komponen utama ekstrak etanol sampel
adalah
kurkumin
dan
demetoksikurkumin
serta
sedikit
bisdemetoksikurkumin. Hasil ini berbeda dengan yang dikemukakan Kertia et al. (2005) bahwa kurkuminoid rimpang temulawak hanya mengandung kurkumin dan demetoksikurkumin. Berdasarkan luas puncak pada kromatogram (Lampiran 3) juga dapat diketahui kurkumin adalah komponen terbesar dalam ekstrak etanol rimpang temulawak. komponen utama ekstrak etanol sampel adalah dua senyawa kurkuminoid, yaitu demetoksikurkumin dan kurkumin dengan komposisi masingmasing 27,51% dan 65,42%.
20
a
b
Waktu (menit)
Gambar 6. Kromatogram HPLC (a) standar kurkuminoid dan (b) ekstrak etanol l Analisis FTIR dimaksudkan untuk melihat karakteristik gugus fungsi suatu senyawa. Secara umum, spektrum FTIR dapat dibagi ke dalam empat daerah dan gugus fungsi dapat ditentukan berdasarkan lokasi spektrumnya. Keempat daerah tersebut antara lain daerah regangan X-H (4000–2500 cm-1), daerah ikatan rangkap tiga (2500–2000 cm-1), daerah ikatan rangkap dua (2000–1500 cm-1), dan daerah sidik jari (1500–600 cm-1) (Stuart 2004). Menurut Naama et al. (2010) spektrum FTIR kurkuminoid memiliki puncak-puncak spesifik pada bilangan gelombang 3200–3400 cm-1 (regangan O-H), 1420 cm-1 (regangan C=C aromatik), 1500 cm-1 (regangan C=C olefin), 1618 cm-1 (regangan C=O), dan
Transmitan
regangan C=C-H aromatik pada bilangan gelombang 700, 720, dan 810 cm-1.
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gambar 7. Spektrum FTIR Standar Kurkuminoid dan Ekstrak Etanol Sampel.
21 Perbedaan spektrum FTIR standar kurkuminoid dengan ekstrak etanol sampel (Gambar 7; Tabel 2) adalah puncak regangan O-H ekstrak etanol sampel memiliki intensitas transmitan yang lebih besar, hal tersebut karena adanya ikatan hidrogen antar molekul dan masih terdapatnya pelarut pada ekstrak tersebut. Adanya pelarut pada ekstrak etanol sampel juga ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang 1010 cm-1 yang merupakan puncak regangan C–O alkohol primer. Tabel 2. Puncak-puncak spesifik ekstrak etanol sampel Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi Ekstrak etanol Silverstein et al. temulawak (2005) Regangan O-H 3600 – 3100 3550 – 3200 Regangan C-H aromatik 3000 3100 – 3000 Regangan C-H metil 2980 – 2840 2962 – 2872 Nada lipat aromatik 2000 – 1667 200 – 1650 Regangan C=C-C=C diena 1650 1650 – 1600 terkonjugasi Regangan C=O (tautomerisasi 1650 – 1600 1640 – 1580 keto-enol) Regangan C=C aromatik 1608, 1508, 1448 1605, 1497, 1466 Regangan C-O-C tak simetrik 1275 1275 – 1200 alkil aril eter Uluran dan regangan C-CO-C 1172 1300 – 1100 Regangan C-O alkohol primer 1010 1050 Tekukan C-H olefin keluar 980 992 bidang Tekukan C-H aromatik keluar 808 dan 750 900 - 675 bidang Nanopartikel Kurkuminoid Tersalut Lemak Padat Komposisi bahan untuk pembuatan nanopartikel kurkuminoid tersalut lemak padat pada penelitian ini menggunakan formula terbaik hasil peneliatian Yadav et al. 2008, yaitu konsentrasi asam palitat 1% : kurkuminoid 1% : poloksamer 188 0,5% (b/v) dengan volume 100 mL. Formula dibuat dengan mencampurkan fase lemak (asam palmitat dan kurkuminoid) dengan fase berair (air deionisasi dan poloksamer 188) pada suhu 75˚C. Kemudian diaduk selama 5 menit, dihomogenisasi dengan kecepatan 13.500 rpm selama 1 menit dan didinginkan dengan menempatkannya pada penangas air. Formula yang dihasilkan berupa
22 emulsi keruh dengan warna kuning cerah (Gambar 8). Formulasi dilakukan pada suhu 75˚C, yaitu ± 10˚C di atas titik leleh asam palmitat (63˚C) dimana fase lemak berada pada kondisi cair ketika didispersikan ke dalam fase berair sehingga lemak cair akan terdispersi dalam bentuk tetesan-tetesan kecil pada fase berair yang distabilkan oleh pengemulsi. Pendinginan emulsi dimaksudkan agar tetesantetesan lemak yang terdispersi pada fase cair dapat sesegera mungkin mengkristal dengan ukuran partikel kecil sebelum tetesan-tetesan tersebut menggumpal kembali menjadi tetesan-tetesan yang lebih besar (Anton et al. 2008).
Gambar 8. Emulsi sebelum sonikasi (koleksi pribadi). Emulsi selanjutnya diultrasonikasi berdasarkan ragam intensitas dan waktu untuk mengetahui kondisi ultrasonikasi terbaik yang dapat menghasilkan nanopartikel yang seragam. Ultrasonikasi tahap I digunakan 6 ragam kondisi ultrasonikasi (Tabel 3) dan kondisi A dengan kondisi ultrasonikasi sesuai penelitian Yadav et al. 2008. Emulsi diultrasonikasi dengan volume 25 mL pada gelas piala 50 mL dan selanjutnya didinginkan pada lemari pendingin. Metode ultrasonikasi bertujuan untuk memecah partikel dalam emulsi menjadi partikel yang lebih kecil. Menurut Hielscher (2005), ketika gelombang ultrasonik digunakan untuk mengecilkan ukuran partikel, aliran cairan berkecepatan sangat tinggi yang dihasilkan dari kavitasi akustik akan membuat partikel-partikel bertubrukan satu sama lain pada kecepatan lebih tinggi dari 1000 km/jam. Hal tersebut merusak gaya van der Waals bahkan ikatan utama dalam partikel. Partikel besar mengalami pengikisan atau pengecilan ukuran. Kondisi tersebut juga terjadi pada partikel lemak padat yang menyalut kurkuminoid, sehingga ukuran partikel lemak padat
23 dalam emuulsi menjaddi semakin kecil k berban nding lurus dengan eneergi ultrason nikasi yang diapplikasikan. Kondisi K ultrrasonikasi terbaik t adaalah dengann energi terttinggi yang dapaat diaplikassikan pada emulsi tanp pa merusakk stabilitas emulsi terssebut. Dari hasil ultrasonikaasi tahap I (Tabel ( 3) diiketahui bahhwa amplituudo ultrason nikasi yang lebihh tinggi dappat merusak kestabilan emulsi. Sebbagai perbandingan, ko ondisi ultrasonikkasi C2 (am mplitudo 40%, waktu 20 2 menit) dengan d eneergi ultrason nikasi 7.239 Jooule menghhasilkan emulsi e yan ng tidak stabil, sem mentara ko ondisi ultrasonikkasi B3 (am mplitudo 30%, waktu 30 3 menit) dengan d eneergi ultrason nikasi 8.042 Jouule menghaasilkan emuulsi yang stabil s (Lam mpiran 4). Ketidak-staabilan emulsi daapat terlihaat dari pengggumpalan yang terjaadi pada saaat emulsi hasil ultrasonikkasi didinginnkan (Gambbar 9). Tabel 3. Kondisii emulsi hassil ultrasoniikasi tahap I Enerrgi Koondisi A Amplitudo Waktu S Stabilitas Ultrasonnikasi Ultraasonikasi (%) (menit) Emulsi (Joulle) A 40 5 1.927 Stabbil B1 10 2.768 Stabbil B2 30 20 5.4427 Stabbil B3 30 8.042 Stabbil C1 10 3.914 Stabbil C2 40 20 7.2239 Tiddak stabil* C3 30 10.672 Tiddak stabil* * Tidak T stabill: menggum mpal
B B3
C2
Gambbar 9. Emulsi hasil soniikasi, B3 (in ntensits 30% %, waktu 300 menit) dan n C2 (inttensits 40% %, waktu 20 menit) (koleksi pribadii). Ketiidak-stabilaan emulsi ini diduga karrena rusaknnya pengemuulsi (polokssamer 188) sebaagai akibat dari pengggunaan inteensitas ultrrasonik yanng cukup tiinggi.
24 Pemaparan intensitas ultrasonik yang lama merupakan penyebab terjadinya depolimerisasi pada sebagian besar polimer dalam larutan, bahkan dapat merusak ikatan karbon-karbon. Intensitas ultrasonik yang tinggi sebagai akibat dari penggunaan amplitudo yang tinggi pula, karena intensitas ultrasonik berbanding lurus dengan kuadrat amplitudo (Mason & Lorimer 2002). Poloksamer 188 (HO(CH2CH2O)80(CH2CH(CH3)O)27(CH2CH2O)80H)
merupakan
kopolimer
polioksietilen-polioksipropilen nonionik yang digunakan sebagai pengemulsi pada industri farmasi. Rantai polioksietilen bersifat hidrofilik, sementara rantai polioksipropilen bersifat hidrofobik (Rowe et al. 2009). Ketika gelombang ultrasonik merambat dengan amplitudo tinggi, akan menghasilkan gelembung kavitasi dengan cukup besar dan menghasilkan energi yang cukup tinggi untuk merusak ikatan karbon-karbon pada struktur inti polimer. Berdasarkan data hasil ultrasonikasi tahap I (Tabel 3), maka dilakukan ultrasonikasi tahap II pada kondisi dengan amplitudo lebih rendah dan waktu yang lebih lama (Tabel 4). Hasil ultrasonikasi tahap II (Tabel 4) menunjukkan tiga kondisi ultrasonikasi yang menghasilkan emulsi yang stabil, yaitu A30T40, A20T60, dan A20T120. Tabel 4. Kondisi emulsi hasil ultrasonikasi tahap II Amplitudo Waktu Energi Ultrasonikasi Ultrasonikasi Ultrasonikasi Keterangan Kondisi (%) (menit) (Joule) A30 T40 30 40 10544 Stabil A30 T45 30 45 11493 Tidak stabil A30 T60 30 60 15625 Tidak stabil A20 T60 20 60 11245 Stabil A20 T120 20 120 22073 Stabil * Tidak stabil: menggumpal
Pencirian Nanopartikel Lemak Padat Analisis Ukuran Partikel Untuk pengendalian mutu nanopartikel lemak padat dibutuhkan pencirian yang tepat. Keragaman ukuran partikel berkaitan erat dengan sistem penghantaran obat. Banyak sekali teknik yang dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel, diantaranya photon correlation spectroscopy (PCS), transmission electron microscopy (TEM), scanning electron microscopy (SEM), atomic force
25 microscopy (AFM), dan scanning tunneling microscopy (STM). Teknik mikroskop elektron (TEM dan SEM) dan AFM memberikan pengamatan dan pencirian fisik nanopartikel secara langsung. Ketiga teknik tersebut (TEM, SEM, dan AFM) memberikan gambaran visual mengenai bentuk partikel yang diamati. PCS merupakan teknik terbaik untuk pengukuran rutin ukuran partikel. PCS (yang juga dikenal dengan dynamic light scattering) mengukur fluktuasi intensitas sinar yang dihamburkan yang disebabkan oleh pergerakan partikel pada skala waktu mikrodetik. Metode ini mencakup rentang ukuran dari beberapa nanometer sampai 3 mikrometer. Partikel-partikel lebih kecil menyebabkan penghamburan yang lebih kuat pada sudut besar dibandingkan dengan partikel lebih besar. Keuntungan dari metode ini adalah analisis yang cepat, tidak memerlukan kalibarsi, dan peka terhadap partikel submikron (Menhert & Mader 2001). Terdapat dua metode PCS, yaitu metode basah yang menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji dan metode kering yang memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke zona pemayaran. Partikel dalam emulsi hasil ketiga kondisi ultrasonikasi (A30T40, A20T60, dan A20T120) ditentukan dengan metode PCS (Lampiran 5) untuk mengetahui ukuran rata-rata dengan menggunakan alat particle size analyzer Delsa NanoC (Beckman Coulter) yang dapat mengukur partikel dengan rentang 0,6 nm hingga 7 μm. Kondisi ultrasonikasi mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan. Energi ultrasonikasi yang semakin tinggi menghasilkan rata-rata ukuran partikel yang semain kecil dengan distribusi yang semakin sempit. Agar energi ultrasonikasi yang tinggi tidak merusak kestabilan emulsi, maka energi ultrasonikasi tersebut harus dicapai melalui pengaplikasian intensitas (amplitudo) yang relatif rendah. Sebagai akibatnya, diperlukan waktu yang relatif lama. Penggunaan amplitudo yang tinggi dapat memicu terbentuknya gelembung kavitasi yang besar sehingga menghasilkan energi yang besar pula. Kondisi ultrasonikasi A20T120 menghasilkan distribusi ukuran partikel terkecil dengan ukuran rata-rata 199,0±99,6 nm (Tabel 5). Besarnya nilai simpangan baku terjadi karena kelemahan metode ultrasonikasi yang dapat menghasilkan partikel dengan distribusi ukuran yang besar bahkan dapat
26 mencapai ukuran mikrometer dan juga waktu homogenisasi yang sebentar (1 menit). Ukuran partikel hasil penelitian ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan nanopartikel lemak padat yang dihasilkan oleh Yadav et al. (2008), yaitu 131±2,22 μm dengan menggunakan metode yang sama (ultrasonikasi) tetapi waktu yang lebih pendek. Ukuran partikel dalam rantang mikrometer yang dihasilkan Yadav et al. (2008) diduga karena energi ultrasonikasi yang diaplikasikan tidak cukup besar untuk memecah ukuran partikel lemak padat dalam emulsi. Kakkar et al. (2011) membuat nanopartikel kurkumin tersalut gliseril behenat dengan teknik mikroemulsifikasi dan ukuran partikel yang dihasilkan adalah 134,6±15,4 nm. Komposisi pengemulsi (polisorbat 80) yang lebih besar (45,45%) dan penggunaan emulsi tambahan (soya lesitin) menyebabkan nanopartikel yang dihasilkan lebih kecil. Hal tersebut terjadi karena jumlah pengemulsi yang lebih banyak dapat lebih mencegah terjadinya agregasi kembali antara partikel-partikel yang pecah setelah ultrasonikasi. Tabel 5. Distribusi ukuran partikel Kisaran Ukuran Rata-rata Ukuran Kondisi Partikel Partikel (nm) Ultrasonikasi (nm) (Rata-rata±SD) 255,8±207,0 A30 T40 79,0–1627,9 252,3±69,4 A20 T60 191,3–1033,1 199,0±99,6 A20 T120* 48,6–978,5 * tiga kali pengukuran Keseragaman
ukuran
partikel
dapat
diketahui
Indeks Polidispersitas 0,270 0,280 0,296
dari
nilai
indeks
polidispersitas (IP). IP merupakan ukuran lebarnya distribusi ukuran partikel. Nilai IP lebih kecil dari 0,3 menunjukkan bahwa ukuran partikel memiliki distribusi yang sempit, dan nilai IP lebih besar dari 0,3 menunjukkan distribusi yang lebar (Yen et al. 2008). Ketiga kondisi ultrasonikasi (A30T40, A20T60, dan A20T120) memiliki nilai IP lebih kecil dari 0,3 (Tabel 5) yang menunjukkan ukuran partikel berada pada distribusi yang sempit dan mengindikasikan proses pembuatan emulsi yang baik.
27 Analisis FTIR Spektroskopi infra merah (IR) merupakan cara yang berguna untuk menyelidiki sifat struktur nanopartikel lemak padat. Melalui metode ini dapat diketahui apakah ada perbedaan gugus fungsi karakteristik bahan baku dengan produk nanopartikel yang dihasilkan. Analisis FTIR dilakukan tehadap semua bahan baku (asam palmitat, kukuminoid, dan poloksamer 188) dan paroduk nanopartikel. Spektrum FTIR produk nanopartikel diharapkan merupakan gabungan dari spektrum FTIR bahan baku. Hasil analisis FTIR terlihat bahwa nanopartikel lemak padat (Gambar 10d) memiliki pita lebar pada bilangan gelombang 3550–3200 cm-1 terjadi karena adanya ikatan hidogen antarmolekul yang berasal dari kurkuminoid dan poloksamer 188 (Gambar 10a dan 10c). Berkurangnya intensitas pita lebar tersebut diduga karena komposisi kurkuminoid yang kecil dalam produk nanopartikel lemak padat. Uluran lebar O-H (3300–2500 cm-1) berasal dari asam palmitat (Gambar 10b) yang berada dalam bentuk dimer. Sementara itu, uluran pada bilangan gelombang 3000 cm-1 (regangan C-H aromatik) dari kurkuminoid dan 2980–2840 cm-1 (regangan C-H metil) dari semua bahan baku. Puncak kuat pada 1700 cm-1 merupakan uluran C=O dimer asam karboksilat dari asam palmitat. Puncak 1608 dan 1508 cm-1 (regangan C=C aromatik) berasal dari kurkuminoid. Pita guntingan CH2 dari poloksamer 188 pada bilangan gelombang 1465 cm-1 terlihat pada spektrum FTIR nanopartikel lemak padat. Selain puncak-puncak spesifik seperti yang telah disebutkan di atas, nanopartikel lemak padat juga memperlihatkan puncak spesifik pada bilangan gelombang 1340 cm-1 (tekukan O-H di dalam bidang) yang berasal dari poloksamer 188 dan pita kuat pada 1124 cm-1 yang merupakan uluran C-O-C taksimetrik eter alifatik dari poloksamer 188. Puncak pada bilangan gelombang 930 cm-1 adalah tekukan O-H di luar bidang yang berasal dari asam palmitat. Hasil analisis FTIR nanopartikel kurkuminoid tersalut lemak padat secara lengkap disajikan pada Tabel 6.
28
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 10. Spektrum FTIR (a) kurkuminoid, (b) asam palmitat, (c) polokamer 188, dan (d) nanopartikel kurkuminoid tersalut lemak padat. Tabel 6. Puncak-puncak Spesifik Nanopartikel Kurkuminoid Tersalu Lemak Padat Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus fungsi Asal KurkuminoidSilverstein et SLN al. (2005) Ikatan hidrogen 3600–3150 3550–3200 Kurkuminoid antarmolekul Poloksamer 188 Uluran lebar O-H 3400–2500 3300–2500 Asam palmitat dalam bentuk dimer Regangan C-H 3000 3100 – 300 Kurkuminoid aromatik Regangan C-H 2980–2840 2962 – 2872 Kukuminoid metil Asam palmitat Poloksamer 188 Uluran C=O dimer 1700 1720 – 1706 Asam palmitat Regangan C=C 1608 dan 1508 1605, 1497, Kurkuminoid aromatik 1466 Tekukan O-H di 1340 1420 – 1330 Poloksamer 188 dalam bidang C-O-C taksimetrik 1124 1150 – 1080 Poloksamer 188 eter alifatik Tekukan O-H di 930 920 Asam palmitat luar bidang
29 Berdasarkan analisis FTIR dapat diketahui bahwa puncak-puncak spesifik pada spektrum nanopartikel lemak padat merupakan refleksi dari puncak-puncak spesifik bahan baku dan tidak terjadi pergeseran bilangan gelombang yang berarti. Hal itu menunjukkan bahwa hanya terjadi interaksi fisika diantara bahan baku. Kurkuminoid tersalut dalam partikel-partikel lemak padat dalam ukuran nanometer dan distabilkan oleh poloksamer 188.
Analisis Difraksi Sinar X (XRD) Salah satu parameter penting yang dalam pembuatan nanopartikel lemak padat adalah kristalinitas produk lemak padat, karena parameter ini berkaitan erat dengan penyalutan lemak dan kecepatan pelepasan zat aktif. Difraksi sinar X digunakan secara luas untuk menyelidiki keadaan partikel lemak dan memungkinkan untuk menilai tinggi rendahnya kisi lemak (Menhert & Mader 2001). Selama proses formulasi, lemak padat dilelehkan untuk kemudian didinginkan agar menghasilkan partikel lemak padat dengan ukuran yang kecil. Hasil analisis difraksi sinar X memperlihatkan puncak karakteristik nanopartikel lemak padat (Gambar 11c) memiliki pola yang sama dengan asam palmitat (Gambar 11b) tetapi dengan intensitas yang lebih lemah dikarenakan adanya kurkuminoid yang tersalut di dalam partikel lemak padat. Puncak-puncak karakteristik nanopartikel lemak padat yang sama dengan asam palmitat terdapat pada posisi 2θ: 12, 17, 19, 20, 21, 24, 30, dan 40. Sementara puncak karakteristik kurkuminoid tidak terdapat pada difraktogram nanopartikel lemak padat. Hal itu karena kurkuminoid memiliki kristalinitas rendah (Gambar 11a) yang disebabkan bahan baku kurkuminoid tidak benar-benar berwujud padat dan tetap mempertahankan wujudnya dalam produk nanopartikel lemak padat. Hasil tersebut menegaskan bahwa metode formulasi yang digunakan pada penelitian ini (homogenisasi dan ultrasonikasi) telah baik untuk membuat nanopartikel lemak padat sebagai sistem penghantaran obat.
30
(a)
(b)
(c)
Gambar 11. Difraktogram sinar X (a) kurkuminoid, (b) asam palmitat, dam (c) nanopartikel kurkuminoid tersalut lemak padat
Efisiensi Penjerapan Suatu sistem penghantaran obat harus memiliki kapasitas pemuatan obat yang tinggi dan bertahan lama. Kapasitas pemuatan obat (efisiensi penjerapan) pada umumnya dinyatakan dalam persen obat yang terjerap dalam fase lemak terhadap obat yang ditambahkan (Parhi & Suresh 2010). Ada dua metode untuk menghitung efisiensi penjerapan (EP), yaitu metode langsung dengan cara mengukur jumlah obat yang terjerap dalam fase lemak dan metode tidak langsung dengan cara mengukur jumlah obat yang tidak terjerap dalam fase lemak. Pada penelitian ini, EP dihitung dengan metode langsung, yaitu dengan mengekstraksi kurkuminoid yang terjerap dalam matriks lemak menggunakan metanol setelah
31 lemak padat dipisahkan dari medium pendispersi dengan sentrifugasi. Konsentrasi kurkuminoid selanjutnya ditentukan dengan metode spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang maksimum kurkuminoid (424,8 nm) (Lampiran 6). Penentuan EP kurkuminoid dalam nanopartikel lemak padat diketahui sebesar 0,80% (Tabel 7) sangat jauh dibawah nilai yang diharapkan (lebih besar dari 60%). Hasil tersebut dikarenakan jumlah kurkuminoid yang ditambahkan ketika formulasi terlalu besar, yaitu dengan perbandingan 1 : 1 (asam palitat : kurkuminoid) atau komposisi kurkuminoid 50% dari fase lemak. Komposisi yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan penelitian Yadav et al. (2008) yang melakukan formulasi mikropartikel kurkumin tersalut asam palmitat dengan efisiensi penjerapan 74,58%. Tingginya EP pada penelitian Yadav et al. (2008) karena partikel lemak padat yang dihasilkan memiliki ukuran dalam kisaran mikropartikel (131 μm) sehingga memiliki volume yang jauh lebih besar yang memungkinkan kapasitas penyalutan yang lebih besar pula. Nilai EP bergantung pada seberapa besar zat aktif yang ditambahkan pada saat pembuatan nanopartikel lemak padat, karena merupakan perbandingan jumlah zat aktif yang terjerap dengan yang ditambahkan. Penelitian Abdelbary & Fahmy (2009) mengenai desain dan pencirian nanopartikel diazepam tersalut nanopartikel lemak padat memperoleh hasil terbaik dengan komposisi diazepam 5% dari fase lemak dengan nilai EP 88,7%. Komposisi zat aktif yang digunakan pada penelitan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan komposisi zat aktif pada penelitian Yadav et al. (2008) yang menjadi acuan pada penelitian ini. Untuk meningkatkan efisiensi penjerapan kurkuminoid pada penelitian ini, selanjutnya dibuat dua formula dengan komposisi kurkuminoid yang lebih kecil dari formula awal, yaitu formula II dan formula III dengan komposisi bahan baku (asam palmitat : kurkuminoid) masing-masing 1 : 0,1 dan 1 : 0,01. Formula II dan III memiliki nilai efisiensi penjerapan yang jauh lebih besar dibandingkan formula I (Tabel 7), yaitu sebesar 77,65% dan 86,85% (Lampiran 6). Penggunaan kurkuminoid yang terlalu besar (formula I) menjadi tidak efisien, karena sebagian besar kurkuminoid terlarut dalam media pendispersi (air) dengan adanya pengemulsi (poloksamer 188) yang dapat meningkatkan kelarutan zat aktif dalam media pendispersi tersebut (Abdelbary & Fahmy 2009). Hal itu dapat terlihat dari
32 warna emulsi yang dihasilkan (Gambar 12). Warna kuning pada emulsi formula I lebih pekat dibandingkan formula II dan formula III.
Formula I II III
Tabel 7. Efisiensi Penjerapan Komposisi (gram) Asam palmitat kurkuminoid 1 1,00 1 0,10 1 0,01
a
b
Efisiensi Penjerapan (%) 0,80 77,65 86,85
c
Gambar 12. Emulsi (a) formula I, (b) formula II, dan (c) formula III (koleksi pribadi) Selain komposisi kurkuminoid dan pengemulsi, EP juga dipengaruhi oleh kelarutan zat aktif dalam lemak cair (Parhi & Suresh 2010). Ketika fase lemak (lemak cair dan zat aktif) didispersikan ke dalam fase berair (air dan pengemulsi) dengan metode homogenisasi, fase lemak akan terdispersi dalam bentuk tetesantetesan kecil. Apabila zat aktif tidak larut sempurna dalam lemak cair, maka sebagian zat aktif akan terlepas dari matriks lemak dan terlarut dalam media pendispersi yang distabilkan oleh pengemulsi. Hal inilah yang terjadi pada formula I dan II, sehingga emulsi terlihat berwarna kuning yang disebabkan oleh kurkuminoid yang terdapat pada media pendispersi. Untuk itu, pemilihan lemak padat yang sesuai untuk melarutkan zat aktif sangat penting dalam pembuatan nanopartikel lemak padat. Kelarutan zat aktif dalam lemak cair juga dapat ditingkatkan dengan penambahan surfaktan sebagai zat peningkat kelarutan (solubilizer agent). Berbeda dengan formula I dan II, warna emulsi formula III cenderung berwarna putih. Hal itu terjadi karena kurkuminoid yang ditambahkan hampir semuanya tersalut dalam matriks lemak. Akan tetapi, formula II memiliki jumlah kurkuminoid terjerap yang paling besar, yaitu 77,65% dari 0,1 gram kurkuminoid yang ditambahkan saat formulasi.