HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Existing Usahatani di DAS Siulak Biofisik lahan Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak saat ini sesuai dengan kemampuan lahan, dan lahan dikelompokkan pada kelas II, III dan IV dengan hambatan adalah kecuraman lereng yaitu berombak atau landai (II-I1), bergelombang atau agak miring (III-I2), dan berbukit atau miring (IV-I3) masing-masing pada lahan dengan kemiringan lereng 3 - 8 persen (SLP-2), 8 - 15 persen (SLP-3), dan 15 - 25 persen (SLP-4). Hambatan pada lahan dengan topografi datar (kemiringan lereng 0 - 3 persen) adalah kedalaman tanah yang tergolong sedang (II-k1) (Tabel 9, Lampiran 17). Secara keseluruhan lahan pertanian campuran di DAS Siulak mempunyai kedalaman tanah tergolong sedang dan diduga akibat telah terjadinya pengurangan kedalaman oleh erosi.
Hal ini terkait dengan ciri Andisol yang
umumnya mempunyai solum dalam tetapi peka terhadap erosi (Prasetyo 2005), karena mempunyai kandungan debu tinggi dan berada pada daerah berlereng dengan curah hujan tinggi (Dariah dan Husen 2004, Kurnia et al. 2004). Oleh karena itu dalam penggunaan lahan untuk usahatani sayuran sebagaimana penggunaan saat ini, perlu penerapan teknik KTA untuk mengendalikan erosi sekaligus menjaga kedalaman tanah yang cukup untuk produktivitas tanaman yang optimal.
Namun usahatani sayuran oleh petani di DAS Siulak dengan
guludan tanaman searah lereng yang tidak sesuai dengan kaidah KTA, karena mempercepat aliran permukaan dan meningkatkan erosi dan pada gilirannya akan menyebabkan degradasi lahan. Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa erosi yang terjadi di DAS Siulak bervariasi dengan pola tanam dan kemiringan lereng. Diprediksi erosi 6.87 11.73 ton/ha/tahun pada lahan datar (< Etol 24.09 ton/ha/tahun), 36.23 - 61.89 ton/ha/tahun pada lahan landai (> Etol 21.94 ton/ha/tahun), 81.38 - 139.03 ton/ha/tahun pada lahan agak miring (> Etol 22.84 ton/ha), dan 134.13 - 229.14 ton/ha/tahun pada lahan miring (> Etol 20.89 ton/ha/tahun) (Gambar 5, Lampiran 18). Dengan demikian ancaman bahaya penurunan kualitas lahan di DAS Siulak akibat erosi cukup tinggi dan membutuhkan teknik KTA yang memadai. Pola tanam kentang-cabe menyebabkan erosi paling besar, sebaliknya pada pola tanam kentang-kubis-rumput/semak erosi yang terjadi paling kecil dibandingkan dengan pola tanam lainnya. Perbedaan erosi antar pola tanam
sayuran tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai C masing-masing tanaman dan pola tanam. Nilai faktor C kentang, cabe dan rumput/semak masing-masing 0.4, 0.9 dan 0.3 (Lampiran 11), nilai faktor C kubis dan tomat masing-masing 0.46 dan 0.8, dan nilai faktor C pola tanam sayuran berurutan 0.6266 (analisis faktor C oleh Zubair 1994), sehingga nilai faktor C sayuran dengan pola tanam berurutan yang dominan diterapkan petani di DAS Siulak adalah 0.26 (kentangkubis-kentang), 0.37 (kentang-kubis-tomat), 0.24 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.31 (kentang-rumput/semak-tomat) dan 0.41 (kentang-cabe).
Erosi (ton/ha/tahun)
250
200
150
100
50
0
PT1
PT2
PT3
PT4
PT5
Etol
CPmaks
0-3 %
7,44
10,59
6,87
8,87
11,73
24,09
0,842
3-8 %
39,25
55,85
36,23
46,79
61,89
21,94
0,1453
8-15 %
88,16
125,46
81,38
105,12
139,03
22,84
0,0674
15-25 %
145,31
206,78
134,13
173,25
229,14
20,89
0,0479
PT1 = kentang-kubis-kentang, PT2 = kentang-kubis-tomat, PT3 = kentang-kubis-rumput/semak, PT4 = kentang-rumput/semak-tomat, PT5 = kentang-cabe
Gambar 5 Prediksi erosi pada lahan pertanian campuran dengan pola tanam sayuran berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Sebagaimana petani di sentra produksi sayuran dataran tinggi (terutama kentang) lainnya di Indonesia (Kurnia et al. 2004), petani di DAS Siulak umumnya enggan menerapkan teknik KTA (terutama guludan memotong lereng atau sejajar kontur) dengan alasan : genangan
air
pada
saluran
1) setelah hujan dapat menyebabkan
diantara
guludan
sehingga
meningkatkan
kelembaban tanah di dalam guludan tersebut dan merupakan media bagi berkembangnya jamur penyebab penyakit busuk akar atau umbi; 2) sulit, berat dan membutuhkan waktu yang lama dalam mengerjakannya; dan 3) penerapan
54
teknik KTA membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat bekerja efektif, sedangkan tanaman sayuran umumnya berumur pendek sehingga penerapan teknik KTA tersebut tidak segera memberi keuntungan Berdasarkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman, secara umum lahan pertanian campuran di DAS Siulak cukup sesuai (S2) untuk kentang dan sesuai marjinal (S3) untuk kubis, cabe dan tomat dengan faktor pembatas utama adalah retensi hara yakni kejenuhan basa (KB) sangat rendah (3.34 - 9.90 persen) dan reaksi tanah masam hingga agak masam (pH 5.0 - 6.1) serta bahaya erosi (kemiringan lereng, dengan topografi bergelombang hingga berbukit), kecuali SLP-1 (Lampiran 17). Namun untuk kubis, cabe dan tomat kesesuaian lahan mempunyai faktor pembatas utama lainnya yaitu ketersediaan air dari curah hujan (1789.16 mm/tahun, Lampiran 9) melebihi kebutuhan tanaman karena kubis, cabe dan tomat masing-masing membutuhkan curah hujan 350 - 800 mm/tahun, 600 - 1200 mm/tahun dan 400 - 700 mm/tahun (Lampiran 8, Djaenudin et al. 2003). Oleh karena itu usahatani sayuran di DAS Siulak juga perlu peningkatan pH dan KB tanah serta pengaturan pola tanam. Kombinasi jenis tanaman dan pengelolaannya serta teknik KTA yang dibutuhkan untuk lahan pertanian campuran di DAS Siulak ditentukan oleh nilai CP maksimum (CPmaks) pada masing-masing SLP yaitu 0.8420 (SLP-1), 0.0674 (SLP-2), 0.1453 (SLP-3) dan 0.0479 (SLP-4) (Lampiran 18). Semua kombinasi jenis tanaman dan pengelolaannya serta teknik KTA yang memberikan nilai CPmaks yang memadai tersebut merupakan teknik KTA yang cocok untuk SLP tersebut (Arsyad 2009, Sinukaban 1989).
Selanjutnya nilai CPmaks tersebut
diaplikasikan untuk merancang teknik KTA alternatif yang akan diintegrasikan ke dalam model usahatani sayuran berbasis kentang yang akan dibangun untuk lahan pertanian campuran di DAS Siulak. Karakteristik sosial-ekonomi petani di DAS Siulak Petani di DAS Siulak sebagian besar dalam usia produktif dengan tingkat pendidikan relatif rendah yakni berusia 20 - 54 tahun (84.68 % responden), sisanya 55 - 60 tahun (12.96 % responden) dan 61 - 82 tahun (2.36 % responden), 35.43 % lulusan sekolah dasar (SD), 26.77 % lulusan sekolah menengah pertama, 25.98 % lulusan sekolah menengah atas dan 3.94 % tidak sekolah dan tidak lulus SD. Usahatani sayuran merupakan pekerjaan atau mata pencaharian utama sebagian besar petani (97.64 % responden) dan sebagian besar petani tersebut (71.65 % responden) tidak mempunyai perkerjaan
55
sampingan. Usaha sampingan sebagian petani terutama yang tidak memiliki lahan dan petani dengan kepemilikan lahan < 0.25 ha adalah warung kecil, tukang ojek, usaha bengkel, tukang perabot, memelihara ternak (kambing, sapi) dan buruh tani; sedangkan petani yang memiliki lahan cukup luas (> 1 ha) dan cukup modal mempunyai usaha kios pupuk/pestisida atau pedagang pengumpul. Status lahan usahatani sebagian besar petani (91.49 % responden) adalah milik sendiri yang diperoleh dengan cara beli dari petani lain (dulu membuka hutan) dan sebagian petani (4.84 % responden) dari membuka hutan dan sebagian lagi (7.87 % responden) warisan dari orang tua yang dulunya membuka hutan. Sebagian kecil petani (2.13 % responden) dengan status lahan “numpang/minjam”. Luas lahan petani tersebar pada skala < 0.25 ha, 0.25 - 0.50 ha, 0.50 - 1.00 ha, 1.00 - 2.00 ha dan > 2.00 ha. Sebagian besar petani (35.11 % responden) memiliki lahan dalam skala > 0.50 - 1.00 ha (rata-rata 0.82 ha), sedangkan rata-rata kepemilikan lahan paling kecil (< 0.25 ha) adalah 0.12 ha (20.21 % responden). Dengan demikian 32.56 % responden dengan lahan < 0.5 ha, dan sebagian besar (55.82 % responden) dengan lahan 0.25 - 1.00 (Tabel 6). Tabel 6 Sebaran responden petani berdasarkan luas kepemilikan lahan di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Kepemilikan lahan (ha) < 0.25 0.25 - 0.50 > 0.50 - 1.00 > 1.00 - 2.00 > 2.00
Responden Jumlah (%) 11 12.79 17 19.77 31 36.05 19 22.09 8 9.30 86 100.00
Rata-rata (ha) 0.12 0.44 0.82 1.52 3.39
Total 94 responden, 6 responden dengan status sewa dan 2 responden dengan status ‘numpang’
Sumber utama pendapatan petani adalah dari usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat dengan tenaga kerja sebagian besar (98.43 % responden) adalah anggota keluarga (terutama bapak dan ibu) dibantu oleh buruh tani. Sumber modal sebagian besar petani adalah modal tunai sendiri ditambah dengan ‘nyaham’ (terutama untuk usahatani kentang), karena modal tunai sebagian besar petani kurang dari 10 juta rupiah (1 - 5 juta rupiah 34.32 % responden, 5 - 10 juta rupiah 47.26 % responden, > 10 juta rupiah 18.42 % responden). Sistem ‘nyaham’ adalah modal tunai atau pupuk dan pestisida dari pedagang pengumpul dan hasil panen harus dijual kepada pedagang pengumpul tersebut dengan harga lebih rendah (100 - 200 rupiah per kg hasil panen dibandingkan dengan harga jual saat panen).
56
Agroteknologi petani dalam usahatani sayuran di DAS Siulak Hampir semua petani di DAS Siulak menanam kentang dan sebagian petani menanam kubis, cabe dan tomat dengan 5 pola tanam berurutan berbasis kentang yang dominan yaitu :
1) kentang-kubis-kentang (PT1), 2) kentang-
kubis-rumput/semak (PT2), 3) kentang-rumput/semak (PT3), 4) kentang-kubistomat (PT4), dan 5) kentang-cabe (PT5).
Tanaman lain yang juga ditanam
sebagian kecil petani adalah bawang merah, bawang daun, sawi, ubi rambat, bawang bombai, buncis dan wortel dalam luasan kecil (Gambar 6). kentang-kubis-kentang 120
kentang-kubis-rumput/semak
Persentase responden
98,94
kentang-rumput/semak-tomat
100
kentang-kubis-tomat
80
kentang-cabe 60
lain-lain
37,23 40
9,57
27,66 17,02
20
6,38
26,6
12,77
0 kentang
kubis
cabe
tomat
komoditas
(a)
21,28
Persentase responden
23,4
(b)
Gambar 6 Sebaran responden petani berdasarkan komoditas (a) dan pola tanam (b) yang dominan diusahakan petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Umumnya petani melakukan usahatani campuran (multiple cropping) yaitu menanam 2 - 3 jenis tanaman atau komoditas dalam waktu yang sama pada satu hamparan lahan yang digarap/dimiliki).
Selain karena penanaman kentang
monokultur dalam skala luas membutuhkan modal cukup besar, juga sebagai upaya antisipasi gagal panen (akibat serangan penyakit) atau pendapatan yang tidak menguntungkan (akibat harga yang sering fluktuatif). Hal ini sesuai dengan Kurnia et al. (2004) yang mengemukakan bahwa petani sayuran menerapkan sistem tanam campuran umumnya untuk mengurangi resiko kegagalan salah satu komoditas, baik kegagalan secara agronomis maupun ekonomis. Namun multiple cropping juga menguntungkan bagi konservasi sumberdaya lahan dan termasuk dalam payung pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), karena efisien dalam penggunaan sumberdaya lahan dan memberikan penutupan lahan cukup banyak sehingga mengurangi erosi dan memelihara topsoil (Jones 1992).
57
Sebagian besar petani melakukan usahatani sayuran dalam skala sempit yaitu < 0.25 ha dan 0.25 - 0.50 ha untuk kentang, < 0.25 ha untuk kubis, cabe dan tomat (Tabel 7) yang disebabkan oleh keterbatasan lahan dan/atau modal. Petani yang mempunyai lahan cukup luas (> 0.5 ha) menanam 2 - 3 jenis tanaman (terutama petani dengan lahan > 1 ha), sedangkan petani dengan lahan sempit (< 0.25 ha) umumnya hanya menanam satu jenis tanaman dengan pola tanam bervariasi. Hal ini sebagaimana menurut Adiyoga et al. (2000) bahwa luas usahatani sayuran dataran tinggi di tingkat petani umumnya rata-rata hanya 0.2 0.3 ha, selain disebabkan oleh kepemilikan atau lahan garapan yang sempit, juga karena biaya usahatani sayuran relatif mahal, modal petani terbatas dan resiko kegagalan yang harus ditanggung sendiri oleh petani. Menurut Widatono (2009) petani dengan lahan cukup luas kesulitan dalam melakukan usahatani campuran karena keterbatasan modal dan waktu, sedangkan petani dengan lahan sempit umumnya sulit atau tidak bisa melakukan usahatani campuran sehingga kegagalan panen berarti gagal untuk memperoleh pendapatan yang menjadi satu-satunya harapan dan akan mengganggu kontinuitas usahatani. Tabel 7 Rata-rata skala luas lahan usahatani, hasil dan pendapatan serta kelayakan finansial usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Skala usahatani (ha) Kentang < 0.25 0.25 - 0.50 > 0.50 - 1.00 > 1.00 Kubis < 0.25 0.25 - 0.50 Cabe < 0.25 0.25 - 0.50 0.50 - 1.00 Tomat < 0.25 0.25 - 0.50
Ratarata (ha)
Responden (%)
Produk -si (ton)
Biaya (Rp/musim tanam)
Pendapatan
(Rp/musim tanam)
BCR
RCR
0.17 0.33 0.89 1.67
41.49 43.62 10.64 4.26
3.45 6.19 16.75 38.36
5 810 815 12 079 588 27 201 426 70 712 082
4 366 685 6 180 912 22 211 074 42 449 918
0.75 0.51 0.81 0.60
1.75 1.51 1.81 1.60
0.15 0.39
60.00 40.00
5.20 12.93
1 019 000 2 877 571
1 481 000 3 587 429
1.45 1.25
2.45 2.25
0.14 0.33 0.80
69.23 23.08 7.69
1.78 4.02 11.49
6 276 470 10 655 000 32 916 600
6 183 530 17 485 000 47 513 400
0.99 1.64 1.44
1.99 2.64 2.44
0.13 0.43
81.25 18.75
4.03 11.33
10 038 000 26 348 600
2 052 000 7 641 400
0.20 0.30
1.20 1.30
Khusus untuk usahatani kentang, skala luas usahatani yang sempit juga disebabkan oleh kekhawatiran petani akan tingginya ancaman serangan penyakit busuk daun oleh Phytophthora sp dan penyakit layu oleh Fusarium sp. Purwantisari et al. (2008) mengemukakan bahwa penyakit busuk batang dan
58
daun tanaman kentang oleh Phytophthora infestans sering terjadi di dataran tinggi yang bersuhu rendah dengan kelembaban tinggi dan dapat menurunkan produksi hingga 90 %. Belum ada fungisida yang benar-benar efektif dan belum ada varietas kentang yang benar-benar tahan terhadap penyakit tersebut, sehingga merupakan masalah krusial atau paling serius diantara penyakit yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Namun hampir semua petani di DAS Siulak menggunakan bibit kentang dari hasil panen sendiri terus menerus, tanpa seleksi di lapangan dan di penyimpanan. Menurut Purwantisari et al. (2008) saat di lapangan P. infestans dalam masa inkubasi, jika disimpan untuk bibit menyebabkan jamur ini berkembang di tempat penyimpanan dan selanjutnya penyakit tersebut berkembang di lapangan pada musim tanam selanjutnya. Oleh karena itu penggunaan bibit kentang hasil panen terus menerus oleh petani dapat menjadi salah satu penyebab tingginya serangan penyakit oleh P. infestans pada usahatani kentang di DAS Siulak. Rata-rata produktivitas kentang oleh petani di DAS Siulak 20.20 ton/ha, kubis 33.91 ton/ha, cabe 12.99 ton/ha dan tomat 27.20 ton/ha, cukup baik dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kentang, kubis, cabe dan tomat nasional pada tahun 2009 masing-masing 16.51 ton/ha, 20.03 ton/ha, 5.89 ton/ha dan 12.0 ton/ha (BPS 2009).
Namun hanya usahatani kubis yang
mempunyai BCR > 1 dan RCR > 2, sedangkan usahatani kentang, cabe dan tomat pada masing-masing skala usahatani mempunyai BCR < 1 (kecuali cabe 0.25 - 0.5 ha dan > 0.5 - 1 ha). Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kubis dan cabe (0.33 dan 0.80 ha) efisien dan menguntungkan. Usahatani kubis efisien dan menguntungkan disebabkan oleh rendahnya penggunaan pupuk dan bahkan sebagian petani tidak melakukan pemupukan sehingga biaya usahatani lebih kecil (Lampiran 19).
Petani umumnya menanam kubis setelah kentang dan
menganggap kebutuhan pupuk terpenuhi dari sisa pupuk pertanaman kentang. Berdasarkan pola tanam dan luas laha, hanya pola tanam kentang-cabe pada lahan 0.82 ha yang efisien dan menguntungkan (BCR 1.18), sedangkan pola tanam lain dengan lahan 0.12, 0.44 dan 0.82 hektar mempunyai BCR < 1. Selanjutnya pendapatan usahatani sebesar Rp 3 367 866 - Rp 8 382 534 (lahan 0.12 ha), Rp 12 288 572 - Rp 12 288 572 (lahan 0.44 ha), dan Rp 24 511 491 Rp 69 165 370 (lahan 0.82 ha), dan lebih kecil dengan pola tanam kentangkubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semak-tomat yaitu masing-masing Rp 355 597.17 - Rp 2 042 624.25 (23.4 % responden), dan Rp 280 655.50 -
59
Rp 2 356 955.42 (21.28 % responden). Dengan demikian pendapatan usahatani dengan lahan < 0.5 ha (32.56 % responden) tidak memenuhi pendapatan untuk kebutuhan hidup layak (Rp 28 000 000/tahun), dan makin kecil dengan penerapan pola tanam kentang-kubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semaktomat. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pendapatan petani di DAS Siulak disebabkan oleh keterbatasan lahan dan usahatani yang dilakukan tidak efisien. Tabel 8
Pendapatan dan kelayakan usahatani sayuran dengan pola tanam berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Pola tanam
Biaya
Penerimaan
Pendapatan
BCR
RCR
7 349 532 6 161 320 4 267 166 3.367 866 8 382 534
0.81 0.39 0.87 0.23 0.88
1.81 1.39 1.87 1.23 1.88
12 288 572 20 107 902 12 288 572 15 882 616 18 799 548
0.58 0.43 0.64 0.53 0.44
1.58 1.43 1.64 1.53 1.44
44 975 626 32 330 821 24 511 491 28 283 465 69 165 370
0.84 0.59 0.87 0.54 1.18
1.84 1.59 1.87 1.54 2.18
........................... Rp/tahun ........................ Kt - Kb - Kt Kt - Kb - Tm Kt - Kb - R/S Kt - R/S - Tm Kt - Cb
9 018 704 15 791 451 4 916 952 14 976 251 9 481 583
Kt - Kb - Kt Kt - Kb - Tm Kt - Kb - R/S Kt - R/S - Tm Kt - Cb
35 458 724 46 313 743 19 352 607 30 312 784 43 067 784
Kt - Kb - Kt Kt - Kb - Tm Kt - Kb - R/S Kt - R/S - Tm Kt - Cb
53 370 466 55 269 614 28 308 478 52 023 124 58 801 503
Lahan 0.12 ha 16 368 236 20 344 117 9 184 118 18 344 117 17 864 117 Lahan 0.44 ha 55 988 512 66 421 645 31 641 179 59 127 799 61 867 332 Lahan 0.82 ha 98 346 092 87 600 435 52 819 969 80 306 589 127 966 873
KHL = Rp 28 000 000,- ; Kt = kentang, Kb = kubis, Tm = tomat, R/S = rumput/semak, Cb = cabe
Penilaian Keberlanjutan Usahatani Sayuran di DAS Siulak Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak sesuai dengan kemampuan lahan, namun agroteknologi yang diterapkan petani tidak sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman.
Diprediksi
terjadi erosi melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (kecuali pada lahan datar) dan pendapatan usahatani lebih kecil dari kebutuhan petani untuk hidup layak, kecuali dengan lahan > 0.5 ha (rata-rata 0.82 ha) (Tabel 9). Dengan demikian usahatani sayuran berbasis kentang di DAS Siulak tidak berkelanjutan karena tidak memenuhi indikator keberlanjutan usahatani. Oleh karena itu diperlukan perbaikan agroteknologi yakni penerapan teknik KTA yang tepat dan memadai dan peningkatan kesuburan dan produktivitas tanah sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman untuk produktivitas yang optimal.
60
Tabel 9 Kemiringan lereng, kelas kemampuan lahan, agroteknologi, produktivitas, prediksi erosi dan pendapatan usahatani dengan pola tanam sayuran berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi (kondisi existing) Pola tanam
KemiKelas AgroProdukErosi (ton/ha/tahun) 0.12 ha 0.44 ha 0.82 ha ringan KL teknologi tivitas Pendapatan A Etol BCR Pendapatan BCR Pendapatan BCR lereng (ton/ha) (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun) (%) 0-3 20.20 7.44 24.09 PT1 II-k1 (kentang) 3-8 39.25 21.94 II-I1 7 349 532 0.81 20 529 788 0.58 44 975 626 0.84 33.91 88.16 22.84 8 - 15 III-I2 (kubis) 145.31 20.89 15 - 25 IV-I3 Guludan 20.20 0 3 10.59 24.09 tanaman PT2 II-k1 (kentang) searah 3-8 55.85 21.94 II-I1 6 161 320 0.39 20 107 902 0.43 32 330 821 0.59 33.91 (kubis) lereng, 125.46 22.84 8 - 15 III-I2 27.20 bibit 206.78 20.89 15 - 25 IV-I3 (tomat) kentang 0 - 3 II-k1 20.20 6.87 24.09 PT3 mutu (kentang) 3-8 36.23 21.94 II-I1 rendah, 4 267 166 0.87 12 288 572 0.64 24 511 491 0.87 33.91 81.38 22.84 8 - 15 III-I2 takaran (kubis) 134.13 20.89 15 - 25 IV-I3 pupuk dan 0-3 20.20 8.87 24.09 PT4 II-k1 kapur (kentang) 3-8 46.79 21.94 II-I1 3 367 866 0.23 15 882 616 0.53 28 283 465 0.54 tidak 27.20 105.12 22.84 8 - 15 III-I2 sesuai (tomat) 173.25 20.89 15 - 25 IV-I3 anjuran 0-3 20.20 11.73 24.09 PT5 II-k1 (kentang) 3-8 61.89 21.94 II-I1 8 382 534 0.88 18 799 548 0.44 69 165 370 1.18 12.90 139.03 22.84 8 - 15 III-I2 (cabe) 15 - 25 IV-I3 229.14 20.89 PT1 = kentang-kubis-kentang, PT2 = kentang-kubis-tomat, PT3 = kentang-kubis-rumput/semak, PT4 = kentang-rumput/semak-tomat, PT5 = kentang-cabe; KL = kemampuan lahan; A = prediksi erosi, Etol = erosi yang dapat ditoleransikan; BCR = benefit cost ratio; Kebutuhan hidup layak (KHL) = Rp 28 000 000/tahun
61
Efektivitas Teknik KTA pada Pertanaman Kentang dan Kubis Erosi Erosi pada musim tanam pertama (MT-1) maupun pada musim tanam kedua (MT-2) dan pada musim tanam ketiga (MT-3) nyata lebih kecil dengan guludan memotong lereng (P4) dan miring 15 dan 30 derajat (P5 dan P6) dibandingkan dengan guludan searah lereng (P0) (Tabel 10, Gambar 7). Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi permukaan tanah akibat perbedaan arah guludan tersebut yang mempengaruhi aliran permukaan dan pada gilirannya mempengaruhi jumlah tanah yang tererosi.
Sebagaimana dikemukakan oleh
Arsyad (2009) bahwa aliran permukaan adalah air yang mengalir di permukaan tanah dan bentuk aliran ini yang paling penting sebagai penyebab erosi. Jumlah dan kecepatan aliran permukaan merupakan sifat aliran yang mempengaruhi kemampuannya untuk menimbulkan erosi, sedangkan sifat aliran permukaan tersebut dipengaruhi oleh tipe tanah, topografi dan sistem pengelolaan tanah. Tabel 10 Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan dan erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan
Aliran permukaan mm
* * * *
% CH
Erosi ton/ha
PETK (%)
MT-1 (kentang) P0 152.29 a 17.92 22.94 a 98.93 c 11.64 9.62 d 58.06 P1 92.42 cd 10.88 9.99 cd 56.45 P2 83.56 d 9.83 7.81 de 65.95 P3 51.40 e 6.05 4.31 e 81.21 P4 86.84 d 10.22 4.45 e 80.60 P5 110.08 b 12.95 17.54 b 23.54 P6 MT-2 (kentang) P0 24.22 a 4.00 7.79 a 13.87 c 2.29 3.85 c 50.58 P1 14.46 bc 2.39 3.15 cd 59.56 P2 11.86 c 1.96 2.43 de 68.81 P3 6.83 c 1.13 1.43 e 81.64 P4 10.94 c 1.81 1.75 e 77.54 P5 17.93 b 2.96 5.77 b 25.93 P6 MT-3 (kubis) P0 94.97 a 12.59 17.62 a 48.09 b 6.38 9.03 bc 51.25 P1 46.43 b 6.16 7.80 cde 55.73 P2 41.27 b 5.47 7.33 de 58.40 P3 30.02 b 3.98 3.96 e 77.53 P4 41.00 b 5.44 5.86 de 66.74 P5 52.57 b 6.97 11.53 bc 34.56 P6 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap musim tanam tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT CH (curah hujan) MT-1 = 849.79 mm; MT-2 = 606.03 mm; MT-3 = 754.33 mm (Lampiran 20) % CH = persentase aliran permukaan terhadap curah hujan PETK = persentase penurunan erosi terhadap kontrol (P0)
Guludan memotong lereng dapat berperan sebagai penghambat sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, sehingga sebagian air hujan yang jatuh di permukaan tanah mempunyai waktu yang lebih lama untuk masuk ke dalam tanah. Sebaliknya pada pertanaman dengan guludan searah lereng, air hujan yang jatuh di permukaan tanah relatif lebih sedikit yang bisa masuk ke dalam tanah, sehingga sebagian besar langsung mengalir sebagai aliran permukaan.
Kondisi ini didukung oleh kapasitas infiltrasi yang relatif lebih besar
pada P3, P4 dan P5 dibandingkan dengan P0 (Tabel 11) dan pada gilirannya aliran permukaan lebih kecil.
Kapasitas infiltrasi merupakan variabel tanah yang
menentukan jumlah aliran permukaan yang akan terjadi dari suatu kejadian hujan, karena infiltrasi merupakan peristiwa atau proses masuknya air ke dalam tanah dan umumnya melalui permukaan tanah secara vertikal. Aliran permukaan akan terjadi jika intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi. Oleh karena itu tingginya kapasitas infiltrasi atau kemampuan tanah menyimpan air akan dapat mengurangi aliran permukaan (Arsyad 2009).
Guludan memotong lereng yang
dapat mengurangi kecepatan dan energi aliran permukaan pada gilirannya mengurangi jumlah erosi atau tanah yang terbawa aliran permukaan tersebut. Sebaliknya pada guludan searah lereng, air hujan yang jatuh di permukaan tanah relatif tidak mempunyai waktu yang lama untuk masuk ke dalam tanah dan mengalir dengan cepat di permukaan karena tidak ada penghalang aliran permukaan tersebut. Akibatnya air hujan yang jatuh langsung mengalir dengan kecepatan lebih tinggi dan mengikis permukaan tanah, sehingga aliran permukaan dan erosi lebih besar. Tabel 11 Pengaruh teknik KTA terhadap kapasitas infiltrasi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
MT-1 (kentang) MT-2 (kentang) MT-3 (kubis) …………………..... cm/jam ………………….. 6.59 a (s) 7.57 a (s) 5.84 b (s) 11.59 a (c) 12.95 a (c) 13.00 ab (c) 14.27 a (c) 15.51 a (c) 11.82 ab (c) 15.66 a (c) 20.79 a (sc) 19.71 a (c) 16.61 a (c) 18.48 a (c) 18.79 a (c) 18.02 a (c) 19.33 a (c) 18.96 a (c) 11.45 a (c) 13.84 a (c) 13.51 ab (c)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT; (s) = sedang, (c) = cepat, (sc) = sangat cepat
Pertanaman dengan guludan searah lereng juga dapat mengendalikan erosi dengan adanya guludan memotong pada setiap jarak 4.5 m (P1, P2, P3).
63
Erosi pada P1, P2 dan P3 lebih besar dibandingkan dengan erosi pada P4, namun nyata lebih kecil dibandingkan dengan erosi pada P0.
Efektivitas guludan
memotong lereng dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi meningkat dengan adanya rorak kecil (P3) yang dapat berperan sebagai penampung, menahan dan menyimpan sebagian aliran permukaan. berbeda nyata dengan erosi pada P4 dan P5.
Erosi pada P3 tidak
Guludan tanaman memotong
lereng (P4) dapat menekan erosi + 80 % dibandingkan dengan guludan searah lereng (P0) (Tabel 10).
Namun efektivitasnya berkurang dengan guludan
memotong lereng miring 15 dan 30 derajat, karena guludan yang miring tersebut menyebabkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah mengalir lebih cepat akibat berkurangnya waktu untuk masuk ke dalam tanah, sehingga volume aliran permukaan menjadi lebih besar. Guludan memotong lereng miring 150 (P5) tidak berbeda nyata kemampuannya menekan erosi dibandingkan dengan P4. Hal ini disebabkan guludan memotong lereng meskipun miring 150 masih mampu berperan mengurangi kecepatan aliran permukaan dan pengikisan permukaan tanah serta menahan hanyutnya tanah bersama aliran permukaan. Aliran permukaan dan erosi pada MT-1 lebih besar dibandingkan dengan MT-2 yang sama-sama ditanami kentang dan MT-3 dengan tanaman kubis (Tabel 11, Gambar 6). Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan curah hujan, MT-1 adalah musim hujan selama + 4 bulan (Januari - Mei) dengan curah hujan lebih besar (849.79 mm) dibandingkan dengan MT-2 yang juga + 4 bulan tetapi musim kemarau (Juni - Oktober) dengan curah hujan lebih rendah (606.03 mm) dan MT-3 juga musim hujan tetapi + 3 bulan (November - Februari) dengan curah hujan (754.33 mm), lebih rendah dari curah hujan MT-1.
60 40 20 0
15 10 5 0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 7
Erosi MT-1 (kentang) Erosi MT-2 (kentang) Erosi MT-3 (kubis)
20
100 80
P0
64
25
AP MT-1 (kentang) AP MT-2 (kentang) AP MT-3 (kubis)
140 120
Erosi (ton/ha)
Aliran permukaan (mm)
160
P5
P6
P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
P5
P6
(a) (b) Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan (a) dan erosi (b) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi Teknik KTA dapat menekan jumlah erosi dan sekaligus juga menurunkan jumlah C-organik dan unsur hara yang terbawa erosi. Oleh karena itu secara keseluruhan jumlah C-organik, N, P dan K yang terbawa erosi pada ketiga musim tanam nyata lebih kecil pada pertanaman dengan guludan memotong lereng (P4) dibandingkan pertanaman dengan guludan searah lereng (P0) (Tabel 12). Hal ini disebabkan oleh jumlah erosi nyata lebih kecil pada perlakuan dengan guludan memotong lereng dibandingkan dengan searah lereng (Tabel 10). Tabel 12 Pengaruh teknik KTA terhadap jumlah C-organik, N-total, P dan K terbawa erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan
C-organik (kg/ha)
N-total (kg/ha) P2O5 (g/ha) K2O (g/ha) MT-1 (kentang) P0 2232.06 a 626.26 a 740 a 2600 ab P1 1484.37 ab 449.25 ab 420 b 2110 ab P2 866.13 ab 488.51 a 510 ab 3010 a 777.09 ab 472.50 a 420 b 2410 ab P3 950.78 b 342.21 b 240 c 1550 ab P4 1027.50 b 257.65 b 250 c 1460 b P5 2045.16 a 588.06 a 610 a 2470 ab P6 MT-2 (kentang) P0 759.45 a 211.07 a 260 a 880 a 604.81 ab 185.95 ab 170 bc 870 a P1 601.50 ab 161.93 ab 160 bcd 980 a P2 P3 487.42 ab 146.59 ab 130 bcd 740 a P4 301.39 b 112.82 ab 80 d 510 a 409.84 b 106.51 b 90 cd 590 a P5 673.30 a 194.32 ab 200 ab 810 a P6 MT-3 (kubis) P0 1337.04 a 306.93 a 410 a 2470 a 979.79 ab 189.57 ab 280 ab 1540 a P1 1017.47 ab 243.93 ab 260 ab 1740 a P2 1227.64 ab 253.14 ab 350 ab 2450 a P3 626.34 b 163.99 b 240 b 1290 a P4 1011.19 ab 203.74 ab 340 ab 2070 a P5 1317.45 a 205.58 ab 350 ab 2550 a P6 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing tanaman tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Jumlah C-organik terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah N, P dan K. Hal ini menunjukkan bahwa kehilangan bahan organik akibat erosi merupakan masalah yang lebih serius karena mempercepat kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah. Hal ini karena penurunan bahan organik tanah berkorelasi dengan kerusakan struktur tanah, meningkatnya kepadatan, pengkerakan, erodibilitas tanah dan pencucian serta menurunnya infiltrasi dan status hara tanah. Oleh karena itu konservasi tanah sekaligus konservasi bahan organik tanah merupakan suatu keharusan, sehingga level bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu indikator keberlanjutan sumberdaya lahan
65
(Wolf dan Snyder 2003, Khisa 2002, Stocking 1994). Jika level bahan organik tanah berkurang dari level yang ada pada tanah tersebut akibat suatu pengelolaan, maka sistem tersebut dikatakan tidak sustainable (Greenland 1994). Dengan demikian keberlanjutan (sustainability) sumberdaya lahan hanya dapat dicapai jika erosi dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan dan/atau ditingkatkan (Wolf dan Snyder 2003). Jumlah N terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah P dan K (Tabel 16). Hal ini disebabkan oleh N di dalam tanah merupakan unsur hara yang berasal dari bahan organik tanah dan peningkatan jumlah N di dalam tanah karena peningkatan kandungan bahan organik tanah dan adanya pemberian pupuk N serta melalui air hujan. Namun bahan organik merupakan sumber N yang utama di dalam tanah, selain unsur hara lainnya dengan perbandingan 100:10:1:1:sangat sedikit (C:N:P:S:unsur mikro) (Hardjowigeno 2010).
Dengan demikian jumlah C-organik yang besar akibat terbawa erosi
diikuti oleh jumlah N yang juga cukup besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa usahatani kentang dan kubis sebagai tanaman semusim mempercepat degradasi lahan terutama akibat erosi (physical degradation) dan penurunan kandungan bahan organik tanah (biological degradation) serta kehilangan hara (chemical degradation) (Stocking 1994).
Namun dengan teknik konservasi tanah yang
memadai, erosi dan kehilangan bahan organik serta unsur hara dapat dikendalikan. Total C-organik dan N terbawa erosi selama dua musim tanam kentang dan satu musim tanam kubis jauh lebih besar dibandingkan dengan total P dan K (Gambar 8). 6000
4500 4000
kg/ha
5000
3500
g/ha 4000
3000 2500
3000
2000
2000
1500 1000
1000
500 0
0 P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
C-organik 4328,55 3068,97 2485,1 2492,15 1878,51 2448,53 4035,91 N-total
1144,26 824,77 894,37 872,23 619,02
567,9
987,96
P0
P2O5 1410 K2O
P1
P2
P3
P4
P5
870
930
900
560
680 1160
P6
5950 4520 5730 5600 3350 4120 5830
Gambar 8 Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
66
Tabel 13 Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K setara pupuk kandang ayam, Urea, SP-36 dan KCl*) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
(C-organik) (N-total) (P2O5) K2O Pukan ayam Urea SP-36 KCl ................................... kg/ha ................................... 10 266.96 2 487. 52 3.92 10.82 7 279.43 1 792. 98 2.42 8.22 5 894.45 1 945. 15 2.58 10.42 5 911.17 1 896. 15 2.50 11.36 4 455.67 1 345. 70 1.56 6.09 5 807.71 1 234. 57 1.89 7.49 9 572.84 2 147. 74 3.22 10.60
Total Nilai Ekonomi (Rp/ha) 7 096 768 5 088 798 5 132 392 5 036 214 3 619 487 3 676 030 6 279 090
Berdasarkan kandungan hara pupuk kandang ayam (42.18 % C-organik), Urea (46 % N), SP-36 (36 % P2O5), KCl (55 % K2O) (Tim Balittanah) dengan harga pupuk kandang Rp 200/kg, Urea Rp 2000/kg, SP-36 Rp 2500/kg, KCl Rp 5500/kg
Jumlah C-organik dan N terbawa erosi masing-masing setara dengan 4.45 - 10.26 ton/ha pupuk kandang dan 1.23 - 2.49 ton/ha pupuk Urea (Tabel 13).
Kondisi ini menunjukkan bahwa erosi bukan hanya menyebabkan
penurunan kualitas tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, namun juga akan meningkatkan input yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mempertahankan kandungan bahan organik dan unsur hara tanah terutama N dengan nilai ekonomi cukup besar (Rp 890 712.00 - Rp 2 052 418.00 per hektar untuk C-organik dan Rp 2 469 120.00 - Rp 4 975 040.00 per hektar untuk N). Total nilai ekonomi kehilangan bahan organik dan hara N, P dan K pada perlakuan dengan guludan tanaman memotong lereng (P4) (Rp 3 619 487/ha) dan miring 150 terhadap lereng (P5) (Rp 3 676 030/ha) serta pembuatan guludan memotong lereng + rorak kecil pada pertanaman dengan guludan searah lereng (P3) (Rp 5 036 214/ha) lebih kecil dibandingkan penanaman dengan guludan searah lereng (P0, sistem petani) (Rp 7 096 768/ha).
Dengan demikian
penerapan teknik konservasi tersebut (P4, P5, P3) dapat mengendalikan kerugian ekonomi akibat erosi atau memberikan keuntungan masing-masing sebesar Rp 3 477 281/ha (P4), Rp 3 420 738/ha (P5) dan Rp 2 060 554/ha (P3) per tahun dibandingkan dengan penerapan guludan sistem petani (P0). Serangan penyakit tanaman kentang Penyakit yang menyerang tanaman kentang baik pada MT-1 maupun musim MT-2 adalah penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp serta penyakit daun menggulung oleh virus. Penyakit busuk daun dan batang serta penyakit layu mulai terlihat saat tanaman kentang
67
berumur 52 hari setelah tanam (HST) pada MT-1 (Gambar 9) dan 36 HST pada MT-2 (Gambar 10) dengan tingkat serangan ringan dan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Penyakit daun menggulung oleh virus terlihat saat tanaman berumur 63 HST pada MT-1 dan 47 HST pada MT-2. Gejala serangan penyakit virus ditunjukkan oleh daun tanaman agak tebal, menggulung ke atas (cekung ke arah tulang daun) dan kedudukan tangkai daun lebih tegak dan diraba terasa kaku, dibandingkan dengan tanaman sehat (Duriat et al. 2006). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diduga virus ini berasal dari tanaman bawang daun yang ditanam di dekat petak percobaan, disebarkan dan ditularkan oleh kutu daun Myzus persicae (sebagai vektor) sebagaimana dikemukakan oleh Duriat et al. (2006) dan dijelaskan bahwa gejala infeksi primer virus lebih ringan dan berada pada daun muda atau pucuk. Kondisi tersebut diatasi dengan penyemprotan insektisida, 1 - 2 minggu kemudian tidak ditemui lagi kutu daun dan kondisi tanaman cukup baik. Pengamatan selanjutnya fokus pada serangan penyakit busuk daun Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp. Serangan awal penyakit busuk daun atau blaster oleh P. infestans ditandai oleh adanya bercak basah pada bagian tepi dan/atau tengah daun. Kemudian bercak melebar membentuk bagian berwarna coklat. Peningkatan serangan ditandai oleh tangkai daun dan batang juga menjadi busuk, berwarna hitam dan mengering. Sementara itu serangan penyakit layu F. oxysporum ditandai oleh terhambatnya pertumbuhan tanaman (kerdil), daun bagian bawah klorosis, menguning dan kemudian tanaman layu dan daun mengering (hanya pada sebagian cabang) (Duriat et al. 2006, Sunarjono 2007). Kerusakan tanaman kentang oleh Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp.pada MT-1 terjadi pertama kali pada perlakuan P0 dan P4 dengan tingkat serangan ringan (Gambar 9); sedangkan pada MT-2 mulai terjadi pada perlakuan P0, P1, P3 da P4 dengan tingkat serangan juga ringan (Gambar 10). Serangan patogen meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, menyerang semua petak percobaan (dengan intensitas bervariasi dan serangan agak tinggi saat tanaman berumur 80 HST pada MT-1 dan 70 HST pada MT-2. Kondisi ini menunjukkan bahwa serangan penyakit tersebut terjadi pada semua perlakuan. Kondisi ini dapat menjawab kekhawatiran petani yang beranggapan bahwa penanaman kentang pada bedengan memotong lereng menyebabkan makin tingginya serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp karena tingginya kelembaban tanah diantara bedengan (saluran/parit antara bedengan). Hal ini
68
didukung oleh data kadar air tanah yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Gambar 9, Gambar 10). Tanaman yang terserang penyakit cukup serius dicabut dan dimusnahkan (tanaman mati) dan persentase tanaman yang mati tersebut tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 14).
Kondisi ini makin menunjukkan bahwa sistem
guludan tanaman tidak nyata mempengaruhi kelembaban atau drainase tanah. Diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil kentang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah terutama drainase yang sangat mempengaruhi produksi umbi.
Tanah
berdrainase jelek akan menyebabkan busuknya umbi dan meningkatnya
40
90
35
80
30
70
Kadar air tanah (%)
Intensitas serangan (%)
serangan penyakit layu dan busuk batang (Sunarjono 2007, Duriat et al. 2006).
25 20 15 10 5
60 50 40 30 20 10
0
0 36 HST 43 HST 50 HST 57 HST 63 HST 70 HST 77 HST
36 HST 43 HST 50 HST 57 HST 63 HST 70 HST 77 HST
Hari Setelah Tanam P0 P4
P1 P5
P2 P6
Hari Setelah Tanam P3
P0 P4
(a)
Gambar 9
P2 P6
P3
(b)
Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp (a) dan kadar air tanah (b) pada pertanaman kentang MT-1 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi 90
40
80
35
Kadar air tanah (%)
Intensitas serangan (%)
P1 P5
30 25 20 15 10 5
70 60 50 40 30 20 10 0
0
P0 P4
52 HST 59 HST 66 HST 73 HST 80 HST
52 HST 59 HST 66 HST 73 HST 80 HST
Hari Setelah Tanam
Hari Setelah Tanam
P1 P5
P2 P6
P3
P0 P4
P1 P5
P2 P6
P3
(a) (b) Gambar 10 Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp (a) dan kadar air tanah (b) pada pertanaman kentang MT-2 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
69
Tabel 14
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Pengaruh teknik KTA terhadap populasi dan persentase tanaman kentang yang mati pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Populasi tanam (tan/ha) 51.000 52.000 51.500 51.000 49.000 47.500 48.500
MT-1 Populasi (tan/ha) 35 HST Panen 47333 a 45500 a 48166 a 46500 a 47000 a 45500 a 47333 a 45833 a 47166 a 46166 a 39333 b 38500 c 42166 b 41000 b
Tanaman mati (%) 3.87 a 3.46 a 3.19 a 3.17 a 2.12 a 2.12 a 2.77 a
MT-2 Populasi (tan/ha) 35 HST Panen 48500 a 46833 a 49833 a 48333 a 47500 a 45666 a 48333 a 47166 a 47654 a 46500 a 40333 c 38833 c 43167 b 41833 c
Tanaman mati (%) 3.44 a 3.01 a 4.02 a 2.41 a 3.12 a 4.96 a 3.09 a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Produksi tanaman dalam satuan luas tertentu ditentukan oleh populasi dan kondisi pertumbuhan tanaman tersebut.
Perbedaan teknik KTA pada
pertanaman kentang dan kubis menyebabkan berbedanya populasi tanaman. Populasi tanaman dengan guludan searah lereng (P0) relatif tidak berbeda dengan guludan memotong lereng (P4);
namun dengan diberi guludan pada
setiap jarak 4.5 m (P1, P2, P3) dan juga ditanami dengan kentang atau kubis, populasi tanaman sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan guludan searah lereng maupun memotong lereng. Selanjutnya guludan memotong lereng miring 15 dan 30 derajat (P5,P6) mengurangi populasi tanaman cukup besar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dariah dan Husen (2009) bahwa penerapan teknik konservasi tanah berdampak pada pengurangan luas bidang olah yang selanjutnya berdampak pada pengurangan populasi tanaman.
Penanaman
dengan guludan searah kontur diperkirakan mengurangi areal tanam 6 - 18 % tergantung kemiringan lahan. Namun populasi tanaman baik pada umur 35 HST dan saat panen pada MT-1 dan MT-2 tidak berbeda nyata antar perlakuan, kecuali perlakuan P5 dan P6 yang nyata lebih kecil dan hal ini lebih disebabkan oleh populasi awal tanaman pada perlakuan tersebut memang lebih kecil. Produktivitas tanaman dan pendapatan usahatani Persentase umbi kentang yang busuk akibat serangan penyakit tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa sistem guludan tidak nyata mempengaruhi kelembaban tanah sekaligus juga menjawab kekhawatiran petani yang beranggapan bahwa penanaman kentang dengan guludan memotong lereng akan menyebabkan kelembaban yang tinggi di daerah perakaran yang memicu meningkatnya serangan penyakit layu dan busuk daun
70
dan batang pada kentang.
Selanjutnya hasil umbi sehat juga tidak berbeda
nyata antar perlakuan, baik berdasarkan ukuran umbi maupun total hasil pada MT-1 maupun pada MT-2. Namun produktivitas kentang cenderung lebih kecil pada P5 dan P6, karena populasi tanaman saat tanam juga lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya; sedangkan adanya guludan memotong lereng pada setiap jarak 4.5 m tidak mempengaruhi produktivitas kentang, karena guludan tersebut juga ditanami kentang. Pengaruh beberapa teknik KTA juga tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas kubis (Tabel 16). Tabel 15 Perlakuan
Pengaruh teknik KTA terhadap hasil kentang pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Umbi busuk (%)
P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Produktivitas kentang (ton/ha) ukuranL (> 60 g) M (30–60 g) S (< 30 g)
Total produktivitas (ton/ha)
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
17.46 15.49 20.92 16.35 14.92 11.43 16.01
21.20 17.17 16.67 16.03 17.17 14.17 12.17
16.59 16.84 16.92 16.75 16.59 16.34 16.25
16.45 16.42 16.59 17.44 16.92 15.55 15.25
3.25 3.09 3.67 2.50 2.59 3.34 2.67
2.59 2.59 1.84 2.17 2.34 2.04 2.52
0.62 0.62 0.72 0.47 0.64 0.64 0.57
0.40 0.47 0.34 0.42 0.42 0.30 0.42
20.45 20.54 21.29 19.72 19.81 20.31 19.48
19.44 19.47 18.76 20.02 19.67 17.89 18.18
Angka-angka pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Tabel 16
Pengaruh teknik KTA terhadap produktivitas dan sisa tanaman pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Krop
Sisa tanaman
kg/ptk
ton/ha
kg/ptk
ton/ha
150.67 160.33 147.33 146.00 152.33 137.67 147.67
75.33 80.16 73.00 73.66 76.16 68.84 73.83
6.72 6.56 6.63 6.02 6.34 6.26 6.01
3.36 3.28 3.31 3.01 3.17 3.13 3.01
* Angka-angka pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Total erosi dalam 2 MT kentang dan 1 MT kubis (+ 1 tahun) pada perlakuan P3 (17.67 ton/ha), P4 (9.70 ton/ha), dan P5 (12.08 ton/ha) lebih kecil dari Etol (20.89 ton/ha/tahun), sebaliknya total erosi pada perlakuan lainnya (P0, P6, P2, P1) (48.35 - 20.94 ton/ha) lebih besar dari Etol (20.89 ton/ha) (Tabel 17, Lampiran 21).
Dengan demikian jika petani menerapkan pola tanam kentang-kubis-
kentang (pola tanam dominan di DAS Siulaki) dengan guludan memotong lereng (P4) atau miring 300 (P5) atau guludan memotong lereng + rorak pada setiap jarak
71
4.5 m pada pertanaman dengan guludan searah lereng (P3) dapat diharapkan akan mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol. Selanjutnya hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa pendapatan usahatani masing-masing perlakuan Rp 97 179 939 - Rp 81 688 688 melebihi pendapatan untuk pemenuhan KHL (Rp 28 000 000/tahun). Oleh karena itu perlakuan P3, P4 dan P5 dapat sebagai alternatif teknik KTA untuk mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari KHL Tabel 17 Pengaruh teknik KTA terhadap total aliran permukaan, erosi dan pendapatan serta BCR dan RCR pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
AP (mm) 271.48 160.89 153.31 136.69 88.25 138.78 180.58
Erosi (ton/ha) 48.35 22.50 20.94 17.67 9.70 12.08 34.84
Biaya (Rp/ha) 85 314 000 86 857 312 86 762 812 86 589 562 84 983 062 79 890 562 81 754 312
Pendapatan (Rp/ha) 96 288 000 97 751 688 94 922 188 96 508 438 97 179 939 82 927 438 81 688 688
BCR
RCR
1.13 1.13 1.09 1.12 1.14 1.04 0.99
2.13 2.13 2.09 2.12 2.14 2.04 1.99
Alternatif Model Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak Deskripsi agroteknologi Altermatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang (UTSBK) di DAS Siulak adalah model usahatani sayuran yang dapat memberikan pendapatan sama atau lebih besar dari kebutuhan hidup layak petani (pendapatan > KHL Rp 28 000 000,-/tahun) dan mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (erosi < Etol 24.09 ton/ha/tahun pada SLP-1, 21.94 ton/ha/tahun pada SLP-2, 22.84 ton/ha/tahun pada SLP-3 dan 20.89 ton/ha/tahun pada SLP-4, Tabel 10) melalui agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Alternatif model UTSBK dirancang untuk lahan 0.44 ha dan 0.82 ha pada kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen dengan agroteknologi alternatif (skenario berdasarkan modifikasi atau penyempurnaan kondisi existing dan hasil percobaan erosi petak kecil). Teknik KTA yang diintegrasikan ke dalam agroteknologi alternatif untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah teknik KTA yang sesuai karakteristik tanah,
72
kebutuhan tanaman dan karakteristik sosial-ekonomi petani setempat untuk mengendalikan erosi sekaligus meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani (Latuladio et al. 2009).
Kemudian teknik budidaya dalam
agroteknologi alternatif untuk model UTSBK tersebut dirancang dengan pendekatan konsep PHT (pengandalian hama terpadu) atau GAPs (Good Agricultural Practices) yang mencakup : 1) penggunaan bibit unggul berkualitas, 2) persiapan lahan dan pengolahan tanah sesuai karakteristik tanah dan kebutuhan
tanaman
untuk
pertumbuhan
dan
produktivitas
optimal,
3) penggunaan kapur berdasarkan pH tanah dan pH optimum yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimal, 4) penggunaan pupuk sesuai dengan kondisi dan status hara tanah serta kebutuhan hara tanaman sayuran untuk
pertumbuhan
dan
produksi
optimal,
5)
pemeliharaan
tanaman
(penyiangan, pendangiran, pemangkasan tunas atau cabang) sesuai kebutuhan tanaman untuk produksi optimal, 6) pengendalian hama dan penyakit tanaman melalui penggunaan pestisida kimia yang minimal (seperlunya), sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen yang menyerang tanaman (Latuladio et al. 2009, Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005). Berdasarkan kondisi existing, maka agroteknologi alternatif untuk model UTSBK di DAS Siulak mencakup : a) teknik KTA berdasarkan pola tanam yang umumnya diterapkan petani sesuai karakteristik lahan (kemiringan lahan) dan kondisi sosial-ekonomi petani (dapat diterima dan diterapkan oleh petani), b) bibit kentang berkualitas atau sertifikasi (Varietas Granola G-3 atau G-4 dari BBIK Kayu Aro), dan c) pengapuran, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman sesuai anjuran (Tabel 18). a. Teknik konservasi tanah dan air Teknik KTA untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah :
1) guludan
tanaman memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.5); 2) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) pada pertanaman sayuran ) dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.3); dan 3) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.3 x 0.3).
73
Tabel 18
Agroteknologi
Deskripsi agroteknologi alternatif dalam model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Pola tanam
Teknik konservasi tanah pada kemiringan lereng 3%
7%
14 %
20 %
A
kentangGuludan Guludan Guludan kubistanaman memotong lereng memotong kentang memotong + lereng Tanpa lereng mulsa sisa + B kentangteknik + tanaman mulsa sisa kubisKTA mulsa sisa 6 ton/ha/tahun tanaman tomat tanaman atau 6 ton/ha/tahun C kentangatau 3 ton/ha/tahun mulsa plastik kubismulsa plastik atau + R/S pada mulsa plastik rorak D kentangpertanaman (1 x 0.3 x 0.4) m R/Sdengan pada pertanaman tomat guludan dengan guludan E kentangsearah lereng searah lereng cabe Bibit kentang varietas Granola (G-3 atau G-4) dari BBIK Kayu Aro, Kabupaten Kerinci Teknik budidaya kentang dan kubis mengacu pada rekomendasi Balitsa Lembang (Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005), budidaya tomat dan cabe mengacu pada Maynard dan Hocmuth 1999 dalam Susila 2006) Tanaman diberi Dolomit 2 ton/ha (kecuali kentang) dan pupuk kandang 10 ton/ha Pupuk kentang (300 kg Urea + 400 kg ZA + 300 kg SP-36 + 300 kg KCl) Pupuk kubis (100 kg Urea + 250 kg ZA + 250 kg SP-36 + 200 kg KCl), Pupuk tomat (499 kg Urea + 311 kg SP-36 + 225 kg KCl Pupuk cabe (499 kg Urea + 311 kg SP-36 + 226 kg KCl) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida minimal, sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen, dosis sesuai anjuran di kemasan
Berdasarkan nilai faktor P masing-masing teknik KTA tersebut, maka nilai faktor CP pada lahan dengan kemiringan lereng 7 % untuk setiap pola tanam adalah 0.065 (kentang-kubis-kentang), 0.0925 (kentang-kubis-tomat), 0.06 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.0775 (kentang-cabe).
0.1025
(kentang-rumput/semak-tomat),
dan
Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CPmaks
(0.1453). Pada lahan dengan kemiringan lereng 14 %, nilai faktor CP untuk setiap pola tanam adalah 0.039 (kentang-kubis-kentang), 0.0555 (kentang-kubistomat), 0.036 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.0615 (kentang-rumput semaktomat), 0.0465 (kentang-cabe).
Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai
CPmaks (0.0674). Pada lahan dengan kemiringan lereng 20 %, nilai faktor CP untuk setiap pola tanam adalah 0.0117 (kentang-kubis-kentang), 0.01665 (kentang-kubis-tomat), 0.0108 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.01845 (kentangrumput semak-tomat), 0.01395 (kentang-cabe). Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CPmaks (0.0479).
74
Guludan memotong lereng merupakan tumpukan tanah (tinggi 25 - 30 cm, lebar dasar 30 - 40 cm) yang dibuat memanjang memotong lereng atau menurut arah garis kontur dan dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng hingga 8 %. Jarak antar guludan tergantung kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. Makin curam lereng atau makin peka tanah terhadap erosi atau makin tinggi erosivitas hujan, maka jarak guludan makin pendek. Penentuan jarak guludan dapat menggunakan persamaan jarak teras (Arsyad 2009). Pembuatan guludan memotong lereng pada lahan dengan kemiringan lereng 14 dan 20 persen pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng diasumsikan tidak mengurangi areal tanam karena ditanami dengan sayuran yang sama dengan bidang olah. Pembuatan guludan diasumsikan membutuhkan tenaga kerja 40 HOK/ha, mengacu pada pembuatan teras gulud yang membutuhkan tenaga kerja 80 HOK (Ditjen PLA Deptan 2007), karena pada guludan tidak ada saluran sebagaimana pada teras gulud. Penambahan biaya akibat pembuatan guludan pengendali erosi tersebut diasumsikan tidak mengurangi pendapatan, karena guludan juga ditanami sayuran sehingga tidak mengurangi hasil panen (produktivitas tanaman) Rorak adalah lubang yang digali dengan dalam 60 cm, lebar 50 cm, panjang 1 - 5 m, jarak ke samping sama dengan panjang rorak, jarak searah lereng 10 - 5 m (pada kemiringan lereng 3 - 8 persen dan 8 - 15 persen), 5 - 3 m (pada kemiringan lereng 15 - 30 persen). Rorak berfungsi untuk menangkap air aliran permukaan dan tanah yang tererosi sehingga memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi dari lahan (Arsyad 2009). Pembuatan rorak berdimensi 1 m x 0.3 m x 0.4 m diasumsikan membutuhkan tenaga kerja 30 HOK, yakni setengah dari kebutuhan tenaga kerja pembuatan rorak berdimensi 5 m x 0.3 m x 0.4 m (30 unit/ha) yang membutuhkan tenaga kerja 50-60 HOK. Pembuatan rorak sebagai teknik KTA pada pertanaman sayuran searah lereng diasumsikan dan diperhitungkan mengurangi luas bidang olah (10 %), sebagaimana dikemukakan oleh Dariah dan Husen (2004) bahwa penerapan teknik konservasi tanah tertentu akan menyebabkan pengurangan luas areal tanam. Namun pengurangan areal tanam dapat dikompensasi dengan cara menanam tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi. b. Teknik budidaya Budidaya kentang menggunakan bibit sertifikasi (G3 atau G4) yang dapat diperoleh petani dari Balai Benih Induk Kentang (BBIK) Kayu Aro (Rp 9 000/kg).
75
Untuk meningkatkan pH tanah dan ketersediaan hara, diaplikasikan kapur Dolomit 2 ton/ha (target pH 6 - 6.5, optimum untuk pertumbuhan tanaman sayuran), kecuali untuk kentang.
Takaran pupuk kandang mengacu anjuran
Balitsa (Balai Penelitian Sayuran) Lembang, Jawa Barat (Sastrosiswojo et al. 2005) dan Maynard dan Hocmuth (1999 dalam Susila 2006). Perbaikan teknik pemupukan (pupuk kimia) kondisi existing mengacu pada prinsip pemberian unsur hara untuk tanaman sayuran yang harus tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman
dan
status
hara
tanah
untuk
mencapai
tujuan
peningkatan
produktivitas, efisiensi dan pelestarian lingkungan serta keberlanjutan usahatani (feed what the crop needs). Takaran pupuk untuk budidaya sayuran dataran tinggi berumur panen lebih dari 2 bulan adalah 100 - 200 kg N, 90 - 180 kg P2O5 dan 60 - 150 kg K2O per hektar.
Dalam pemupukan N, tanaman sayuran
umumnya menghendaki kombinasi Urea dan ZA (sebagai sumber N) secara proporsional (sesuai dengan jenis sayuran yang diusahakan) (Suwandi 2009). Oleh karena dosis rekomendasi pupuk untuk tanaman sayuran umumnya, kentang, kubis, tomat dan cabe khususnya pada Andisol di DAS Siulak belum tersedia, maka dosis pupuk yang digunakan dalam agroteknologi untuk model UTSBK di DAS Siulak mengacu pada rekomendasi Balitsa Lembang khusus untuk kentang dan kubis (Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005) dan rekomendasi Maynard dan Hocmuth (1999 dalam Susila 2006) untuk cabe dan tomat. Perlindungan tanaman dari serangan hama dan penyakit menggunakan pendekatan konsep PHT atau GAPs yakni pengendalian OPT atau hama dan penyakit
tanaman
melalui
penggunaan
pestisida
kimia
yang
minimal
(seperlunya), sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen yang menyerang tanaman. Penyemprotan pestisida dihitung seminggu sekali dengan dosis sesuai anjuran di kemasan. Prediksi erosi dan pendapatan petani dengan agroteknologi alternatif Produksi kentang, kubis, tomat dan cabe diperkirakan berdasarkan perbaikan kesuburan dan produktivitas tanah melalui perbaikan masukan kapur dan pupuk yang sesuai dengan anjuran/rekomendasi dari pustaka yang tersedia. Selain itu penggunaan bibit berkualitas terutama kentang diprediksi memberikan produktivitas tanaman lebih tinggi mengacu pada hasil percobaan petak kecil. Dengan demikian peningkatan kesuburan tanah dan penggunaan bibit berkualitas diprediksi meningkatkan produktivitas tanaman dan pada gilirannya memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan agroteknologi
76
yang dterapkan petani.
Produksi kentang, kubis, tomat dan cabe dengan
agroteknologi perbaikan diprediksi masing-masing 21 ton/ha, 50 ton/ha, 36 ton/ha dan 15.3 ton/ha. Pada lahan dengan kemiringan lereng 3 persen (SLP-1) tidak diaplikasi teknik KTA, karena prediksi erosi kondisi existing menunjukkan bahwa erosi pada lahan tersebut dengan masing-masing pola tanam lebih kecil dari Etol (Tabel 10). Namun karena kedalaman tanah termasuk kriteria sedang (Tabel 5), maka untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya lahan seyogyanya diterapkan teknik KTA sederhana yang memadai agar terpelihara kedalaman tanah yang cukup untuk pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal secara berkelanjutan. Hasil analisis erosi dan pendapatan usahatani sayuran berbasis kentang dengan Agroteknologi A, B, C, D dan E menunjukkan bahwa pada kemiringan lereng 3 % diprediksi erosi (6.87 - 11.73 ton/ha/tahun) lebih kecil dari Etol (24.09 ton/ha/tahun) dan pada lereng 7 % diprediksi erosi (9.06 - 15.47 ton/ha/tahun) juga lebih kecil dari Etol (21.94 ton/ha/tahun) dengan nilai BCR > 1 (1.12 - 1.19 pada lereng 3 %, dan 1.15 - 1.26 pada lereng 7 %).
Namun pendapatan
usahatani dengan lahan 0.12 ha (Rp 7 344 389 - Rp 14 385 167 pada lereng 3 %, dan Rp 7 494 437 - Rp 14 406 702 pada lereng 7 %) masih lebih kecil dari KHL, sedangkan pada lahan 0.44 ha (Rp 42 507 032 - Rp 52 745 652 pada lereng 3 %, dan Rp 43 016 641 - Rp 52 824 571 pada lereng 7 %) lebih besar dari KHL, demikian juga pada lahan 0.82 ha (Rp 50 186 697 - Rp 98 292 680 pada lereng 3 %, dan Rp 51 211 985 - Rp 98 445 793 pada lereng 7 %) lebih besar dari KHL (Tabel 19). Pada lahan dengan kemiringan lereng 14 %, diprediksi erosi (12.21 - 20.85 ton/ha/tahun) lebih kecil dari Etol (22.84 ton/ha/tahun), namun nilai BCR < 1 dengan Agroteknologi A dan C (masing-masing 0.96 dan 0.98) dan pendapatan usahatani pada lahan 0.12 ha (Rp 6 218 644 - Rp 12 545 909) masih lebih kecil dari KHL, sedangkan pada lahan 0.44 ha (Rp 37 428 962 - Rp 46 001 705) dan 0.82 ha (Rp 42 494 070 - Rp 85 730 378) lebih besar dari KHL. Selanjutnya pada lereng 20 %, diprediksi terjadi erosi (6.04 - 10.31 ton/ha/tahun) juga lebih kecil dari Etol (20.89 ton/ha/tahun), namun hanya Agroteknologi E dengan BCR > 1 (1.01) dan pendapatan usahatani (Rp 41 371 864 - Rp 83 722 572) lebih besar dari KHL.
Usahatani dengan BCR < 1 (tidak efisien dan tidak
menguntungkan) disebabkan oleh berkurangnya pendapatan usahatani besarnya biaya usahatani akibat penerapan teknik KTA.
77
Tabel 19 Prediksi erosi, pendapatan, nilai BCR dan RCR usahatani dengan agroteknologi alternatif pada lahan 0.12, 0.44 dan 0.82 hektar dengan kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Agroteknologi
Erosi (ton/ha/thn)
Pendapatan (Rp/tahun) 0.12 ha
0.44 ha Lereng 3 %
BCR
RCR
1.12 1.19 1.19 1.12 1.13
2.12 2.19 2.19 2.12 2.13
0.82 ha
(tanpa teknik konservasi tanah)
A B C D E
7.44 10.59 6.87 8.87 11.73
11 896 438 14 385 167 7 344 389 11 592 827 12 095 709
43 620 312 52 745 652 26 929 466 42 507 032 44 350 931 Lereng 7 %
81 292 364 98 292 680 50 186 697 79 217 650 82 654 008
(guludan tanaman memotong lereng + mulsa sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik)
A B C D E
9.82 13.96 9.06 15.47 11.70
12.313.984 14.406.702 7.494.437 11.731.812 13.155.207
45.151.274 52.824.571 27.479.601 43.016.641 48.235.756 Lereng 14 %
84.145.555 98.445.793 51.211.985 80.167.378 89.893.604
1.21 1.20 1.25 1.15 1.26
2.21 2.20 2.25 2.15 2.26
(guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik pada pertanaman dengan guludan searah lereng)
A B C D E
13.22 18.82 12.21 20.85 15.77
10.207.898 12.545.909 6.218.644 10.316.519 11.370.014
37.428.962 46.001.705 22.801.735 37.827.236 43.214.597 Lereng 20 %
69.753.975 85.730.378 42.494.070 70.496.213 77.695.096
0.96 1.02 0.98 1.00 1.04
1.96 2.02 1.98 2.00 2.04
(guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik + rorak pada pertanaman dengan guludan searah lereng)
A 7.80 9.924.572 36.390.096 67.817.063 0.90 1.90 B 10.31 12.252.146 44.924.533 83.722.572 0.98 1.98 C 6.04 6.054.481 22.199.763 41.371.864 0.93 1.93 D 9.31 10.067.756 36.915.103 68.795.907 0.96 1.96 E 6.54 11.103.971 40.714.558 76.006.910 1.01 2.01 Etol 24.09 ton/ha/tahun (lereng 3 %), 21.94 ton/ha/tahun (lereng 7 %), 22.84 ton/ha/tahun (lereng 14 %), dan 20.89 ton/ha/tahun (lereng 20 %); KHL = Rp 28 000 000/tahun
Hasil
analisis
erosi
dan
pendapatan
usahatani
tersebut
di
atas
menunjukkan bahwa agroteknologi A, B, C, D dan E efisien dan menguntungkan pada lahan dengan kemiringan lereng 3 dan 7 persen, Agroteknologi B, D dan E pada kemiringan lereng 14 %, hanya Agroteknologi E pada lereng 20 %, serta memenuhi indikator usahatani berkelanjutan (erosi < Etol, pendapatan usahatani > KHL) kecuali pada lahan 0.12 ha.
Agroteknologi yang memberikan
pendapatan lebih baik adalah Agroteknologi B. Hal ini juga ditunjukkan oleh luas lahan minimum untuk pemenuhan KHL pada masing-masing kemiringan lereng paling kecil dengan Agroteknologi B (0.23 - 0.27 ha) dan lebih besar dengan Agroteknologi A (0.27 - 0.34 ha), Agroteknologi C (0.46 - 0.55 ha), Agroteknologi D (0.29 - 0.33 ha), dan Agroteknologi E (0.26 - 0.30 ha).
78
Agroteknologi alternatif yang optimal untuk model UTSBK di DAS Siulak Hasil
analisis
multiple
goal
programming
menunjukkan
bahwa
agroteknologi yang optimal untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah Agroteknologi B, ditunjukkan oleh deviasi positif target erosi dan deviasi negatif target pendapatan yang sama dengan nol (de+, dp- = 0) pada setiap kemiringan lereng (Lampiran 22) dengan ketercapaian target penurunan erosi 36.37 - 17.60 persen, dan peningkatan pendapatan 88.66 - 45.41 persen dengan lahan 0.44 ha dan 24.34 - 20.33 persen dengan lahan 0.82 ha (Tabel 20). Dengan demikian untuk memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi KHL dalam usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang dengan Agroteknologi B membutuhkan lahan minimal dengan luas 0.44 ha. Tabel 20
Ketercapaian target penurunan erosi dan peningkatan pendapatan dengan Agroteknologi B pada lahan 0.44 ha di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Kendala
*)
Target
Ketercapaian
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 24.09 28.00
0.44 0.59 52.75
% KeterTarget capaian Lereng 3 % 100.00 0.82 *) 0.00 24.09 188.38 28.00
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 21.94 28.00
0.44 13.96 52.82
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 22.84 28.00
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 20.89 28.00
**)
Ketercapaian
% Ketercapaian
0.29 10.59 34.76
+64.63 **) 0.00 124.15
Lereng 7 % 100.00 0.82 136.37 21.94 188.66 28.00
0.29 13.96 34.82
+64.63 136.37 124.34
0.44 18.82 46.00
Lereng 14 % 100.00 0.82 117.60 22.84 164.29 28.00
0.33 18.82 34.50
+59.76 117.60 123.22
0.44 15.51 40.71
Lereng 20 % 100.00 0.82 125.75 20.89 145.41 28.00
0.33 15.51 33.69
+59.76 125.75 120.33
*)
tanda (+) berarti kelebihan lahan nilai ketercapaian = kondisi existing (tanpa penerapan teknik konservasi tanah)
Penerapan model usahatani sayuran berbasis kentang di DAS Siulak Pola tanam kentang-kubis-tomat merupakan pola tanam yang intensif dibandingkan dengan pola tanam lain (kentang-kubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semak-tomat) yang lebih banyak diterapkan petani.
Petani
melakukan usahatani sepanjang tahun (3 musim tanam dalam setahun) dengan
79
pola tanam tersebut dan dalam kondisi existing memberikan pendapatan usahatani cukup baik tetapi masih lebih kecil dari pendapatan untuk pemenuhan KHL dibandingkan dengan pola tanam lainnya, tetapi menyebabkan erosi lebih besar dari Etol.
Namun dengan Agroteknologi B, pola tanam tersebut juga
memberikan pendapatan usahatani melebihi KHL serta mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol pada kemiringan lereng 3. 7, 14 dan 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam intensif tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga dapat mengendalikan erosi jika diintegrasikan teknik KTA ke dalam usahatani tersebut. Dalam kondisi existing, pola tanam kentang-kubistomat tidak banyak petani yang menerapkan (12.77 % responden) lebih disebabkan oleh keterbatasan modal.
Kondisi ini sebagaimana dikemukakan
oleh Adiyoga (2000) bahwa usahatani sayuran merupakan usahatani yang relatif mahal dibandingkan dengan usahatani lainnya. Namun hasil analisis multiple goal programming menunjukkan bahwa Agroteknologi B dapat memberikan pendapatan lebih besar dari KHL dan menekan erosi lebih kecil dari Etol dengan luas lahan 0.44 ha.
Hal ini memberikan gambaran bahwa Agroteknologi B
tersebut lebih menguntungkan sehingga dapat diharapkan akan diterapkan oleh petani di DAS Siulak. Masalah keterbatasan modal petani dapat diatasi secara bertahap melalui bantuan modal oleh lembaga keuangan yang ada di daerah atau melalui usaha dengan sistem kemitraan. Oleh karena tanaman sayuran merupakan komoditi bernilai ekonomi tinggi dan Agroteknologi B menguntungkan sehingga petani bisa menabung sebagian pendapatannya, maka dapat diharapkan secara bertahap petani akan melakukan usahataninya dengan modal sendiri. Dengan demikian penerapan model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang tersebut dapat sebagai salah satu langkah dalam membangun sistem pertanian berkelanjutan di DAS Siulak. Khusus untuk petani dengan lahan < 0.25 ha (rata-rata 0.12 ha), perlu usaha lain agar pendapatan petani dapat memenuhi KHL. Sinukaban (2007) mengemukakan bahwa dalam sistem pertanian konservasi yang ciri-crinya sesuai dengan tiga pilar sistem pertanian berkelanjutan, komoditi yang diusahakan dan dikembangkan bervariasi dapat dari tanaman pangan, palawija, sayuran, buah-buahan, kayu-kayuan termasuk ternak dan ikan yang sesuai dengan karakteristik tanah dan iklim setempat, diterima masyarakat dan laku di pasar. Dalam rangka tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan,
80
pendapatan petani yang cukup tinggi harus dipenuhi berapapun luas areal atau lahan usahanya. Jika pendapatan dari usaha pertanian tidak mencukupi, harus dicari usaha lain dan harus direncanakan agar semua anggota enterprise dapat sustainable untuk hidup layak.
Dengan kata lain
dalam dimensi ekonomi,
kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani dapat dipenuhi melalui produktivitas yang tinggi baik dari usahatani maupun di luar usahatani. Kondisi existing menunjukkan bahwa sejumlah kecil petani di DAS Siulak mempunyai ternak kambing (11.46 % responden) dan ternak sapi (13.54 % responden) yang diusahakan secara sederhana.
Berdasarkan karakteristik
tanah dan iklim serta karakteristik sosial ekonomi petani di DAS Siulak, maka usaha ternak kambing atau sapi dapat sebagai alternatif bagi petani untuk sumber pendapatan tambahan agar pendapatan petani dapat memenuhi KHL. Usaha ternak kambing merupakan jenis usaha yang telah lama dilakukan masyarakat sebagai usaha sampingan, karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksinya (daging, susu, kotoran) relatif mudah. Meskipun dilakukan secara tradisional, usaha ternak kambing telah memberikan hasil yang cukup baik bagi petani (Deptan 2005). Disamping itu usaha ternak kambing sangat toleran terhadap aneka pakan hijauan dan adaptasi yang baik terhadap lingkungan terutama iklim (suhu dan kelembaban udara). Sebagian besar usaha ternak kambing dilakukan petani untuk menghasilkan anak (pembibitan) atau penggemukan untuk dijual (Choliq et al. 2009). Usaha ternak sapi perah merupakan salah satu usaha andalan subsektor peternakan yang memiliki peluang prospektif dalam kegiatan agroindustri sebagai satu sub sistem agribisnis. Pengembangan usaha ternak sapi perah berpengaruh positif terhadap pemanfaatan tenaga kerja atau penciptaan lapangan kerja dan menjanjikan pendapatan tunai, sehingga dapat memotivasi petani untuk berperan aktif dalam kegiatan usahatani guna meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagian besar usaha sapi perah oleh petani/peternak di Indonesia adalah usaha peternakan rakyat dengan rata-rata kepemilikan ternak 2-3 ekor induk dengan sistem usaha bersifat tradisional yang ditandai dengan penggunaan tenaga kerja keluarga dan pemeliharaan sederhana.
Meskipun
demikian usaha ternak sapi perah tersebut dapat sebagai sumber pendapatan tambahan untuk pemenuhan pendapatan petani (Kaliky dan Hidayat 2002). Integrasi usaha ternak kambing (8 induk betina dan 1 induk pejantan) dan usaha ternak sapi perah (4 ekor sapi laktasi) pada usahatani sayuran dengan
81
lahan 0.12 ha memberikan total pendapatan petani melebihi KHL yakni Rp 30 864 202 - Rp 28 709 646 dengan usaha ternak kambing; Rp 35 413 702 – Rp 33 259 146 dengan usaha ternak sapi perah. Namun usaha ternak sapi perah membutuhkan modal (tunai) dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan usaha ternak kambing (Tabel 21, Lampiran 23). Berdasarkan kondisi petani yang juga dalam keterbatasan modal, maka usaha ternak kambing dapat sebagai alternatif untuk memenuhi pendapatan petani hingga > KHL. Hal ini terkait dengan beberapa keuntungan memelihara ternak kambing yaitu : 1) kebutuhan lahan tidak terlalu luas; 2) kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap
berbagai
lingkungan,
sehingga
mudah
dipelihara
dan
dikembangkan baik di dataran tinggi maupun dataran rendah; 3) kambing memiliki perkembangbiakan yang cepat, umur 1.5 tahun sudah mulai beranak dan dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dan setiap beranak melahirkan 2 ekor anak; 4) investasi yang dibutuhkan untuk memelihara kambing lebih kecil dibandingkan dengan ternak besar seperti sapi perah; dan 5) merupakan sumber modal uang tunai yang relatif lebih mudah dijual sewaktu-waktu (Deptan 2005). Tabel 21
Pendapatan petani dengan Agroteknologi B pada lahan 0.12 ha dengan integrasi usaha ternak kambing dan usaha ternak sapi perah di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Kemiringan lereng (%)
Pendapatan (Rp/tahun) Usahatani Usaha ternak Usaha ternak sayuran kambing sapi (S) (Tk) (Ts) 14 385 167 16 457 500 21 007 000 14.406.702 16 457 500 21 007 000 12.545.909 16 457 500 21 007 000 12.252.146 16 457 500 21 007 000
3 7 14 20
Total pendapatan (Rp/tahun) S + Tk
S + Ts
30 842 667 30 864 202 29 003 409 28 709 646
35 392 167 35 413 702 33 552 909 33 259 146
Modal/biaya : usaha ternak kambing Rp 8 500 000,- (1 pejantan + 8 induk betina) (Choliq et al 2009, Deptan 2005), usaha ternak sapi Rp 42 180 000,- (4 ekor sapi laktasi) (Rusdiana dan Praharani 2009)
Respon petani terhadap teknik konservasi tanah alternatif Sebagian petani di DAS Siulak terutama di Desa Kebun Baru menyadari telah terjadi penurunan kualitas lahan usahataninya (berkurangnya ketebalan lapisan olah dan berubahnya warna tanah dari hitam menjadi kecoklatan) dan penurunan produktivitas lahan akibat erosi, dan telah mengetahui bahwa guludan tanaman memotong lereng dapat mengurangi kehilangan tanah akibat aliran permukaan dan erosi. Namun petani belum menerapkan teknik konservasi tanah tersebut lebih disebabkan oleh sangat tingginya kekhawatiran akan rendahnya
82
produksi, akibat serangan penyakit tanaman terutama penyakit busuk daun dan batang oleh cendawan Phytophthora sp. Pengamatan di lapangan selama percobaan erosi petak kecil di Desa Kebun Baru menunjukkan bahwa sejumlah petani (+ 30 orang) antusias dengan kegiatan percobaan erosi petak kecil terutama terhadap hasil pengamatan dan pengukuran erosi yang menunjukkan tingginya erosi (banyaknya tanah yang hanyut masuk ke dalam bak penampung aliran permukaan dan erosi) pada perlakuan P0 yang merupakan sistem tanam kentang yang dilakukan petani. Sebaliknya jumlah tanah yang hanyut dan masuk ke dalam bak penampung aliran permukaan dan erosi jauh lebih kecil pada perlakuan lain terutama perlakuan P4, P3 dan P5. Kemudian petani juga tertarik dengan pertumbuhan dan produksi kentang dari petak percobaan tersebut cukup baik dan cukup tinggi dengan penggunaan bibit kentang berkualitas dan aplikasi pupuk sesuai anjuran. Selanjutnya petani juga telah melihat dan mengamati sendiri bahwa penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp dan Fusarium sp menyerang tanaman kentang baik yang ditanam dengan guludan memotong lereng maupun searah lereng (intensitas serangan rata-rata sedang). Petani makin menyadari bahwa penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp merupakan penyakit yang dominan dan paling serius pada tanaman kentang dataran tinggi yang dipicu oleh faktor cuaca (suhu dan kelembaban tinggi serta tebalnya kabut) terutama di musim hujan, serta penggunaan bibit kentang bermutu rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan pengamatan di lapangan terutama di Desa Kebun Baru setelah penelitian (+ 15 bulan setelah berakhirnya penelitian), diketahui bahwa sejumlah petani (+ 20 orang) telah menerapkan penanaman sayuran (kentang, kubis, cabe, tomat) dengan guludan memotong lereng atau miring terhadap lereng dan penggunaan mulsa plastik pada tanaman kentang (Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13).
Kondisi ini terutama didukung
oleh keberhasilan Ketua KTNA (Kelompok Tani dan Nelayan Andalan) Kabupaten Kerinci (Bapak Mardianus) dengan hasil kentang mencapai 29.6 ton/ha pada musim tanam Januari – Juni 2010.
Keberhasilan Ketua KTNA
tersebut diikuti oleh Kepala Desa Kebun Baru dan keluarganya serta anggota Kelompok Tani G-7 di Desa Kebun Baru dan petani di sekitar lahan usahatani ketua KTNA tersebut.
83
Gambar 11 Guludan tanaman kentang memotong lereng + mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru, hulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Ganbar 12 Guludan tanaman kentang memotong lereng tanpa mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru di hHulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
84
(a)
(b)
Gambar 13 Guludan tanaman cabe memotong lereng + mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru di hHulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa Agroteknologi B terutama penerapan teknik KTA berupa guludan tanaman memotong lereng atau miring terhadap lereng dapat diterima, diterapkan dan dikembangkan oleh petani di DAS Siulak. Dengan demikian model usahatani sayuran berbasis kentang yang dirumuskan telah memenuhi tiga pilar sistem pertanian berkelanjutan yaitu memberi keuntungan ekonomi terhadap masyarakat (economically profitable) dan memberi keuntungan terhadap pelestarian lingkungan dan sumberdaya lahan (environmentally friendly) serta dapat diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat (socially acceptable and applicable) secara berkesinambungan.
85