PERENCANAAN USAHATANI SAYURAN BERKELANJUTAN BERBASIS KENTANG DI DAS SIULAK, KABUPATEN KERINCI JAMBI
HENNY H.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Perencanaan Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Henny H NIM. A262050011
ABSTRACT HENNY H. Potato based sustainable vegetable farming systems planning in Siulak Watershed, Kerinci District, Jambi. Under advisory of KUKUH MURTILAKSONO, NAIK SINUKABAN, and SURIA DARMA TARIGAN Established agricultural practices in upland vegetable growing areas in Indonesia are generally implementing up and down the slope cultivation with relatively high rates of fertilizers and pesticides applications. Combined with high rainfall intensity, these practices have contributed to high runoff and severe erosion and in turn gradually decreased land productivity and farmers income, thus unsustainable farming systems. The objectives of this research were : 1) to identify and describe existing conditions of the potato based vegetable farming systems, 2) to study soil conservation measures alternatives to control soil erosion and obtain optimal net farm income, and 3) to design potato based sustainable vegetable farming systems in Siulak Watershed, Kerinci District, Jambi Province. Land biophysical and farmers characteristics as well as agrotechnologies were identified through soil survey and farmers interview, while alternatives of soil conservation measures were studied through soil erosion plot experiments. Models of patato based sustainable vegetable farming system were formulated by simulation using Universal of Soil Loss Equation (USLE) model and multiple goal programming. Results of the research showed that up and down the slope vegetable farming practices and inadequate of soil conservation practices caused soil erosion rate of 39.25 - 229.14 ton/ha/year which was higher than the local soil tolerable loss (24.09 - 20.89 ton/ha/year), and net farm income was generally not enough to support life worthed living (Rp 28 000 000/year). Planting on ridges across the slope, or ridges constructed 15 degrees across the slope, or in ridges down the slope with a mound constructed across the slope in each 4.5 m distance and silt-pit, can be considered as alternatives soil conservation methods for vegetable farming systems. Potato based sustainable vegetable farming systems in Siulak Watershed could be accomplished by improving the cultivation practices by integrating the soil conservation methods (planting on ridges across the slope and mulch, or ridges down the slope with a mound constructed across the slope, mulch and silt-pit) into the existing systems. Potato based sustainable vegetable farming systems with the cropping pattern of potato-cabbage-tomato and recommended agrotechnologies performed the most optimum models in Siulak Watershed, Kerinci District, Jambi; this system generated soil erosion about 10.59 - 18.82 ton/ha/year and the net farm income about Rp 40 714 558 Rp 52 745 652 per hectar per year on 0.44 ha farm area. Some farmers in Siulak Watershed have started applicating the recommended agrotechnologies right after the research was completed. Keywods : potato, erosion, net farming income, life worthed living, ridges, mulch, silt-pit
RINGKASAN HENNY H. Perencanaan Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO, NAIK SINUKABAN, dan SURIA DARMA TARIGAN. Hulu DAS Merao di Kabupaten Kerinci berada di dataran tinggi vulkan Gunung Kerinci dan sebagian dari hulu DAS Merao merupakan hutan kawasan lindung Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Ketergantungan masyarakat di hulu DAS terhadap lahan cukup tinggi karena usaha pertanian merupakan sumber utama pendapatan sebagian besar masyarakat, terutama dari usahatani sayuran dataran tinggi. Pengelolaan lahan umumnya dengan agroteknologi yang tidak sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman. Daerah aliran sungai (DAS) Siulak di hulu DAS Merao merupakan salah satu sentra produksi sayuran dataran tinggi (terutama kentang) di Kabupaten Kerinci dan petani menanam sayuran tersebut dengan guludan searah lereng. Hal ini akan meningkatkan erosi dan mempercepat degradasi lahan akibat penurunan kualitas tanah dan pada gilirannya menyebabkan lahan kritis, terganggunya fungsi hidrologis DAS dan usahatani tidak berkelanjutan. Kajian mengenai usahatani konservasi untuk membangun model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang merupakan suatu langkah strategis, penting dan perlu segera dilakukan di DAS Siulak. Usahatani tersebut sekaligus sebagai upaya mengatasi perambahan dan alih fungsi hutan, mengembangkan potensi lahan dan wilayah sebagai sentra produksi sayuran terutama kentang, serta menekan dampak usahatani di DAS Siulak terhadap fungsi hidrologis DAS dan fungsi Danau Kerinci. Alternatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak adalah model usahatani sayuran berbasis kentang yang harus memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) petani, sekaligus mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) melalui penerapan agroteknologi spesifik lokasi, sehingga dapat diterima dan dikembangkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Teknik konservasi tanah yang diintegrasikan di dalam model usahatani sayuran berbasis kentang di DAS Siulak dikaji melalui percobaan erosi petak kecil. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk : 1) mengkaji dan mendeskripsikan kondisi existing usahatani di DAS Siulak, 2) mengkaji alternatif teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi dan memberikan produktivitas sayuran yang optimal di DAS Siulak, dan 3) merancang model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak. Penelitian menggunakan Metode Survei (Survei Tanah dan Petani) untuk mengumpulkan data biofisik lahan, karakteristik petani dan agroteknologi melalui pengamatan dan/atau pengukuran langsung di lapangan dan analisis contoh tanah di laboratorium serta wawancara dengan responden petani; dan Metode Eksperimen di lapangan (Percobaan Erosi Petak Kecil) untuk mengumpulkan data erosi dan produktivitas tanaman dari beberapa teknik konservasi tanah alternatif. Alternatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak di formulasi menggunakan Metode USLE dan analisis optimalisasi menggunakan Multiple Goal Programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak sesuai dengan kemampuan lahan, namun diprediksi terjadi erosi (39.25 - 229.14 ton/ha/tahun) lebih besar dari Etol (24.09 20.89 ton/ha/tahun), dan pendapatan usahatani (Rp 3 367 866 - Rp 20 529 788 per tahun) lebih kecil dari KHL (Rp 28 000 000/tahun) (kecuali dengan lahan
> 0.5 ha). Guludan tanaman memotong lereng, atau miring 150 terhadap lereng, atau guludan memotong lereng + rorak setiap jarak 4.5 m pada pertanaman sayuran searah lereng dapat sebagai alternatif untuk mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari kebutuhan untuk hidup layak. Model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak adalah dengan agroteknologi berdasarkan pola tanam petani dan perbaikan teknik budidaya tanaman serta integrasi teknik konservasi tanah : a) guludan tanaman memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 %; b) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 %; dan c) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 %. Semua pola tanam petani (kentang-kubis-kentang, kentang-kubis-tomat, kentang-kubis-rumput/ semak, kentang-rumput/semak-tomat dan kentang-cabe) dengan perbaikan teknik budidaya dan integrasi teknik konservasi tanah dapat sebagai agroteknologi untuk model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak dengan prediksi erosi 6.87 - 11.73, 9.06 - 15.47, 12.21 20.85, dan 10.06 - 17.19 ton/ha/tahun masing-masing pada lahan dengan kemiringan lereng 3, 7, 14, dan 20 persen (lebih kecil dari Etol), dan pendapatan usahatani Rp 37 428 962 - Rp 52 824 571 per tahun dengan lahan 0.44 ha, dan Rp 41 371 864 - Rp 98 445 793 per tahun dengan lahan 0.82 ha (lebih besar dari KHL, kecuali dengan pola tanam kentang-kubis-kentang dan kentang-kubisrumput/semak pada lahan dengan kemiringan lereng 14 dan 20 persen dan pola tanam kentang-kubis-tomat dan kentang-rumput/semak-tomat pada lahan dengan kemiringan lereng 20 %). Model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang yang optimal adalah dengan pola tanam kentang-kubis-tomat pada lahan minimal 0.44 ha dengan ketercapaian target penurunan erosi 36.37 17.60 persen dan peningkatan pendapatan usahatani 88.66 - 45.41 persen. Integrasi usaha ternak kambing (8 ekor induk betina + 1 ekor pejantan) dan sapi perah (4 ekor sapi laktasi) pada usahatani sayuran berbasis kentang dengan model usahatani sayuran berbasis kentang yang optimal pada lahan 0.12 ha dapat meningkatkan pendapatan petani hingga memenuhi KHL, masing-masing Rp 30 864 202 - Rp 28 709 646 dan Rp 35 413 702 - Rp 33 259 146 per tahun. Teknik guludan memotong lereng atau miring terhadap lereng dan mulsa plastik telah mulai diterapkan petani di DAS Siulak pada usahatani kentang dan cabe. Berdasarkan hasil penelitian, maka membangun sistem pertanian berkelanjutan di DAS Siulak dapat melalui penerapan model usahatani sayuran berbasis kentang dengan pola tanam kentang-kubis-tomat, bibit kentang berkualitas, aplikasi kapur/pupuk sesuai karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman serta mengitegrasikan : a) guludan tanaman memotong lereng + mulsa sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 %; b) guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik pada pertanaman dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 %; dan c) guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) pada pertanaman dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 %. Usaha ternak kambing (8 ekor induk betina dan 1 ekor pejantan) dapat sebagai usaha tambahan bagi petani dengan lahan 0.12 ha (< 0.25 ha) untuk meningkatkan pendapatan keluarga hingga memenuhi KHL.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERENCANAAN USAHATANI SAYURAN BERKELANJUTAN BERBASIS KENTANG DI DAS SIULAK KABUPATEN KERINCI JAMBI
HENNY H
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Ai Dariah 2. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si. Penguji Ujian Terbuka 1. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. 2. Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si.
Judul Disertasi
:
Perencanaan Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Nama
:
Henny H
NIM
:
A262050011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. Ketua
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 27 Januari 2012
Tanggal Lulus : ……...............
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH Subhanahuwata’ala atas rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak November 2008 ini adalah pengembangan usahatani tanaman hortikultura sayuran dataran tinggi, dengan judul ”Perencanaan Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi”. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini : 1. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan nasehat serta motivasi kepada penulis dalam penyelesaian kuliah, penelitian dan penulisan disertasi ini. 2 Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program doktor di Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana IPB dan telah memberikan pelayanan serta fasilitas hingga penyelesaian studi 3. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Jambi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program doktor di Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana, IPB 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu DAS, Sekolah Pascasarjana IPB 5. Prof. Dr. Ir. Sitanala Arsyad, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan Prof. Ir. Rosyid, M.Sc. atas rekomendasi untuk penulis dapat menempuh program doktor di sekolah Pascasarjana IPB 6. Dr. Ir. Ai Dariah dan Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas masukan dalam penyempurnaan disertasi ini 7. Bapak dan Ibu Dosen Pengasuh Mata Kuliah di Sekolah Pascasarjana, IPB atas ilmu dan bimbingan yang telah diberikan serta seluruh karyawan atas segala bantuan dan pelayanan 8. Prof. Dr. Ir. R. A. Muthalib, M.S. selaku Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jambi atas bantuan untuk pelaksanaan penelitian 9. Bapak dan Ibu penanggung jawab serta laboran di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB atas segala bantuan dan pelayanan 10. Bapak Kepala Desa dan warga Desa Kebun Baru, Desa Sungai Lintang dan Desa Sako Dua, Kecamatan Kayu Aro, serta Bapak Camat Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi atas segala bantuan, pelayanan dan fasilitas yang diberikan selama penelitian 11. Bapak dan Ibu di Balai Pengelolaan DAS Batanghari, Dinas Kehutanan Propinsi Jambi atas segala bantuan dalam persiapan penelitian. 12. Ir. Aswandi, M.Si. selaku Ketua Pusat Studi Pengelolaan DAS, Universitas Jambi atas segala bantuan yang diberikan dalam persiapan penelitian 13. Bapak Mardianus dan Ibu Epi Martalinda, serta Bapak Budi sekeluarga di Desa Kebun Baru, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci atas segala bantuan dan fasilitas selama penelitian di lapangan 14. Sugino, S.P. di Pusat Studi Pengelolaan DAS, Universitas Jambi dan Supriono S.P, yang telah membantu persiapan dan pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian disertasi ini, serta Dede Achdiat S.P dan Riko S.P yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan
15. Ir. Neliyati, M.Si., Dr. Ir. Lavlinesia, M.Si., Dr. Ir. Andi Masnang Makkasau, M.Si., dan Dr. Sunarti, S.P, M.P. yang telah memberi bantuan, motivasi dan fasilitas selama perkuliahan hingga penyelesaian disertasi ini 16. Keluarga besar Papa H. Saharuddin Nurut dan Mama Hj. Ratnawilis serta Ir. Susi Hartina, M.Si. di Sungai Penuh, Kerinci atas bantuan, fasilitas dan motivasi selama penelitian di lapangan 17. Dr. Ir. Agustian, M.Sc. dan Dr. Ir. Yunalfatmawita, M.Sc. selaku Ketua dan Anggota Dewan Redaksi Jurnal Solum di Universitas Andalas Padang dan Dr. Sunarti, S.P., M.P selaku Ketua Dewan Redaksi Jurnal Hidrolitan, MKTI Cabang Jambi atas fasilitas publikasi yang diberikan 18. Bapak dan ibu serta teman-teman di Sekolah Pascasarjana IPB dan Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS khususnya yang telah memberikan bantuan, motivasi dan kebersamaan selama perkuliahan hingga penyelesaian disertasi ini 19. Orang tua tercinta, Papa H. Husni Said dan Mama Hj. Nurbaiyah, terima kasih tak terhingga dan penghormatan yang sebesar-besarnya atas cinta, kasih sayang dan doa yang tak pernah putus bagi kebahagiaan dan keberhasilan penulis, serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang 20. Kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak tersebutkan namanya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Semoga ALLAH SWT memberikan penghargaan dan balasan atas semua kebaikan yang telah diberikan dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2012 Henny H
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 9 Oktober 1962 sebagai anak keempat dari pasangan H. Husni Said dan Hj. Nurbaiyah. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1991 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Magíster Sains di Program Sudi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2005.
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari BPPS
Dirjen Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai Dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Jambi sejak tahun 1988 dengan bidang penelitian konservasi tanah.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Lingkup Penelitian
Halaman viii x xi 1 1 4 6 8 9 9
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan DAS Aliran Permukaan Erosi dan Selektivitas Erosi Usaha Pertanian di Hulu DAS dan Dampaknya Andisol, Karakteristik dan Permasalahannya Usahatani Kentang Dataran Tinggi Sistem Pertanian Berkelanjutan Indikator Sistem Pertanian Berkelanjutan Program Tujuan Ganda
10 10 11 13 16 18 20 26 27 30
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian dan Pengumpulan Data Pelaksanaan Penelitian dan Analisis Data
34 34 34 34 35
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Iklim Bentuk Wilayah dan Pengunaan Lahan Jenis, Sifat Fisika dan Kimia Tanah Kependudukan dan Mata Pencaharian
47 47 47 48 50
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Existing Usahatani di DAS Siulak Efektivitas Beberapa Teknik Konservasi Tanah pada Pertanaman Kentang dan Kubis Alternatif Model Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak
53 53
72
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
86 86 87
DAFTAR PUSTAKA
88
LAMPIRAN
97
62
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1 2
3 4 5 6 7
8
9
10
11
12
13
Perkiraan pengurangan areal tanam sebagai dampak dari aplikas teknik konservasi tanah pada lahan sayuran
24
Jenis, sumber dan kegunaan data untuk perencanaan usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
35
Topografi, luas dan penyebaran SLP pada lahan usahatani campuran di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
37
Sifat fisika dan kimia tanah pada lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
49
Sebaran jumlah penduduk desa pada tahun 2009 di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
51
Sebaran responden petani berdasarkan luas kepemilikan lahan di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
56
Rata-rata skala luas lahan usahatani, hasil dan pendapatan serta kelayakan finansial usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
58
Pendapatan dan kelayakan usahatani sayuran dengan pola tanam berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
60
Kemiringan lereng, kelas kemampuan lahan, agroteknologi, produktivitas, prediksi erosi dan pendapatan usahatani dengan pola tanam sayuran berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
61
Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan dan erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
62
Pengaruh teknik KTA terhadap kapasitas infiltrasi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
63
Pengaruh teknik KTA terhadap jumlah C-organik, N-total, P dan K terbawa erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
65
Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K setara pupuk kandang ayam, Urea, SP-36 dan KCl*) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
67
viii
14
15 16
17
18
19
20
21
Pengaruh teknik KTA terhadap populasi dan persentase tanaman kentang yang mati pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
70
Pengaruh teknik KTA terhadap hasil kentang pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
71
Pengaruh teknik KTA terhadap produktivitas dan sisa tanaman pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
71
Pengaruh teknik KTA terhadap total aliran permukaan, erosi dan pendapatan serta BCR dan RCR pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
72
Deskripsi agroteknologi alternatif dalam model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
74
Prediksi erosi, pendapatan, nilai BCR dan RCR usahatani dengan agroteknologi alternatif pada lahan 0.12, 0.44 dan 0.82 hektar dengan kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
78
Ketercapaian target penurunan erosi dan peningkatan pendapatan dengan Agroteknologi B pada lahan 0.44 ha di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
79
Pendapatan petani dengan Agroteknologi B pada lahan 0.12 ha dengan integrasi usaha ternak kambing dan usaha ternak sapi perah di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
82
ix
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
4 5 6
7
8
9
10
11
12
13
Halaman Kerangka pemikiran perencanaan usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi 8 Diagram alir perencanaan usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
36
Curah hujan dan hari hujan bulanan di DAS Siulak, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci dari data Stasiun Klimatologi Kayu Aro tahun 2000 - 2008
47
Sistem guludan tanaman sayuran searah lereng oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
52
Prediksi erosi pada lahan pertanian campuran dengan pola tanam sayuran berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
54
Sebaran responden petani berdasarkan komoditas dan pola tanam yang dominan diusahakan petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
57
Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan (a) dan erosi (b) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
64
Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
66
Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp dan kadar air tanah pada pertanaman kentang MT-1 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
69
Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp dan kadar air tanah pada pertanaman kentang MT-2 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
69
Guludan tanaman kentang memotong lereng + mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru, hulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
84
Guludan tanaman kentang memotong lereng tanpa mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru di hHulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
84
Guludan tanaman cabe memotong lereng + mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru di hHulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
85
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Kondisi air Sungai Siulak dan Outlet DAS Siulak di Kabupaten Kerinci, Jambi
97
Lokasi penelitian DAS Siulak (hulu DAS Merao) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
98
Peta kemiringan lereng DAS Siulak (hulu DAS Merao) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
99
Peta penggunaan lahan DAS Siulak (hulu DAS Merao) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
100
Peta jenis tanah DAS Siulak (hulu DAS Merao) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
101
Peta satuan lahan pengamatan (SLP) di DAS Siulak (hulu DAS Merao) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
102
Kriteria untuk Klasifikasi Kemampuan Lahan berdasarkan Sistem Klasifikasi Kemampuan Lahan
103
Kriteria kesesuaian lahan untuk kentang, kubis, cabe dan tomat
105
Data curah hujan tahun 2000-2008 di DAS Siulak, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
109
Data temperatur dan kelembaban udara 2000-2008 DAS Siulak di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
110
11
Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dalam persamaan USLE
111
12
Faktor teknik konservasi tanah (P) dan CP dalam persamaan USLE
113
Kode struktur tanah dan permeabilitas profil tanah untuk menentukan nilai faktor erodibilitas tanah dalam USLE
114
Kedalaman tanah minimum yang dapat diterima dan nilai faktor penggunaan lahan dari beberapa jenis tanaman/penggunaan lahan
114
Perlakuan teknik konservasi tanah dalam percobaan erosi petak kecil pada Andisol Desa Kebun Baru, Kabupaten Kerinci, Jambi
116
Petak percobaan dengan bak penampung aliran permukaan dan erosi dalam percobaan petak kecil di Desa Kebun Baru, Kabupaten Kerinci, Jambi
117
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
13 14
15 16
xi
17
Kelas kemampuan dan kesesuaian lahan pertanian campuran di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi untuk tanaman kentang, kubis, cabe dan tomat
118
Prediksi erosi pada lahan usahatani sayuran dengan beberapa pola tanam berbasis kentang di DAS Siulak, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci
119
Sarana produksi, hama dan penyakit tanaman serta pengendaliannya pada usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
120
Data curah hujan selama percobaan di Desa Kebun Baru, hulu DAS Merao di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi
121
Aliran permukaan, erosi, produksi, biaya, pendapatan, BCR dan RCR serta BEP usahatani kentang dan kubis dengan beberapa sistem guludan pada Andisol Desa Kebun Baru di hulu DAS Merao, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi
122
Hasil analisis alternatif agroteknologi yang optimal untuk model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi menggunakan Program Tujuan Ganda
123
23
Analisis usaha ternak kambing dan ternak sapi perah
128
24
Sifat kimia dan fisika tanah sebelum perlakuan pada percobaan petak kecil di Andisol Desa Kebun Baru Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi
129
18
19
20 21
22
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Hulu daerah aliran sungai (DAS) memiliki potensi strategis sebagai kawasan pertanian produktif dalam pembangunan pertanian nasional dan telah lama dimanfaatkan oleh petani setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menopang ekonomi keluarga. Selain memberikan manfaat bagi petani, hulu DAS juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan DAS dan penyangga daerah di bawahnya. Namun lahan di hulu DAS umumnya peka terhadap erosi dan degradasi lahan terutama bila pemanfaatannya tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air (KTA), karena merupakan lahan kering yang sebagian besar berada pada topografi berombak, bergelombang hingga berbukit dan bergunung dengan curah hujan umumnya tinggi. Erosi menyebabkan kemunduran sifat fisika dan kimia tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, meningkatnya kepadatan tanah, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air. Kondisi ini akan menyebabkan menurunnya produktivitas tanah dan pengisian air tanah yang pada gilirannya menyebabkan lahan kritis, kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kondisi tersebut merupakan permasalahan utama pada sejumlah DAS di Indonesia yang menunjukkan telah rusaknya fungsi hidrologis DAS, dan berarti kualitas DAS telah menurun hingga menjadi DAS kritis dan prioritas untuk ditangani.
Pada tahun 2004 sejumlah 65 DAS di
Indonesia dikategorikan sebagai DAS Prioritas I atau Super Kritis (Ditjen Sumberdaya Air 2004) dan pada tahun 2007 tercatat 26 773 245 ha lahan kritis di luar kawasan hutan dan 51 033 636 ha di dalam kawasan hutan (Anwar 2007). Daerah aliran sungai Siulak di hulu DAS Merao berada di dataran tinggi vulkan Gunung Kerinci dan bagian dari daerah tangkapan Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci, termasuk zona barat (daerah atas/hulu) di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jambi dan berfungsi sebagai penyangga stabilitas ekosistem wilayah tengah dan bawah. Danau Kerinci yang merupakan muara dari outlet DAS Merao dan 9 DAS lainnya mempunyai arti penting terutama sebagai sumber air irigasi dan pemutar turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pengembangan perikanan air tawar dan kawasan wisata air (BP DAS Batanghari 2003). Penggunaan lahan di hulu DAS Merao terdiri dari hutan, kebun teh dan kayumanis, pertanian campuran dan pemukiman. Hutan di DAS Merao termasuk
kawasan lindung Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) (BP DAS Batanghari 2003). Namun sebagian kawasan TNKS telah terganggu oleh perambahan dan perladangan yang masih berlangsung hingga saat ini. Lebih dari 200 000 ha hutan hujan tropis TNKS telah habis akibat perambahan liar dan salah satu kawasan paling marak adalah di hulu DAS Merao (Munir 2009).
Sedikitnya
25 619 ha lahan TNKS telah dijadikan areal perladangan dan usahatani sayuran oleh sekitar 8 600 KK dari berbagai daerah di Kabupaten Kerinci (Sitepu 2010). Perambahan paling marak terjadi di Kecamatan Kayu Aro yaitu seluas 5 900 ha di kawasan sekitar kaki Gunung Kerinci yang meliputi Desa Kebun Baru, Desa Gunung Labu, Desa Lempur, Desa Giri Mulyo dan Desa Rawa Ladeh Panjang. Rusaknya hutan di kawasan ini meningkatkan erosi dan berdampak pada kerusakan DAS, sungai dan danau karena sedimen akan masuk ke Sungai Batang Siulak, kemudian ke Sungai Batang Merao dan selanjutnya bermuara ke Danau Kerinci (Munir 2009). Diprediksi 41.04 % lahan pertanian dan kawasan lindung yang telah dibuka dan diusahakan di DAS Merao tererosi dengan tingkat bahaya erosi sedang hingga sangat berat yakni 27 - 480 ton/ha/tahun, lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (Etol, 11.25 - 41.6 ton/ha/tahun). Kemudian Debit Sungai Batang Merao makin fluktuatif sejak tahun 2000 dan diprediksi rata-rata laju sedimen ke Danau Kerinci 2 676 095.48 ton/tahun (BP DAS Batanghari 2003). Saat ini Danau Kerinci merupakan salah satu dari 15 danau kritis di Indonesia dengan kerusakan 40 - 50 persen hingga menjadi prioritas utama untuk penanganan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, dengan indikator kekritisan adalah penurunan kapasitas air danau akibat pencemaran oleh sampah dan tinggginya sedimentasi (Micom 2011). Perambahan dan alih fungsi hutan TNKS menjadi lahan pertanian oleh masyarakat di hulu DAS Merao merupakan indikasi tingginya ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Hal ini terkait dengan sumber utama pendapatan sebagian besar masyarakat di hulu DAS Merao adalah usaha pertanian, terutama usahatani sayuran dataran tinggi.
Intensitas pemanfaatan lahan
meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat,
sehingga
perubahan
kualitas
lahan
terutama
produktivitas tanah akibat erosi juga akan makin meningkat.
penurunan
Disamping itu
pengelolaan lahan oleh petani di hulu DAS Merao umumnya tidak sesuai dengan karakteristik lahan, terutama petani melakukan usahatani sayuran (termasuk
2
kentang) dengan guludan tanaman searah lereng. Hal ini terutama terjadi di Kecamatan Kayu Aro yang merupakan sentra produksi sayuran dataran tinggi di Kabupaten Kerinci dan sudah mulai meluas ke lahan dengan kemiringan lebih dari 40 % (BP DAS Batanghari 2003). Guludan tanaman searah lereng akan mempercepat dan meningkatkan erosi yang berarti mempercepat degradasi lahan akibat penurunan kualitas dan produktivitas tanah, dan pada gilirannya menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan.
Tahun 2006
tercatat 9 470.6 ha lahan kritis di Kecamatan Kayu Aro (19.32 % dari total luas wilayah kecamatan) (Distanbun Kabupaten Kerinci 2007). Kentang sebagai high value commodity dan sayuran unggulan nasional (Saptana et al. 2005), juga merupakan komoditas hortikultura sayuran unggulan Kabupaten Kerinci (Bappeda Kabupaten Kerinci 2004) dan secara nasional Propinsi Jambi merupakan salah satu wilayah utama pengembangan kentang dengan wilayah andalan Kabupaten Kerinci (Sumarno 2000).
Jambi,
Palembang, Lampung, Batam, Bengkulu, Jakarta, Singapura dan Malaysia merupakan pasar sayuran asal Kabupaten Kerinci (Distanbun Kabupaten Kerinci 2006). Areal utama usahatani kentang dan sayuran lainnya di Kabupaten Kerinci saat ini tersebar pada beberapa desa di Kecamatan Kayu Aro dan Kecamatan Gunung Tujuh (pemekaran dari Kecamatan Kayu Aro sejak tahun 2006) (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci 2008). Pengembangan usahatani kentang di Kabupaten Kerinci umumnya dan Kecamatan Kayu Aro khususnya didukung oleh adanya Balai Benih Induk Kentang (BBIK) di Desa Batang Sangir, Kecamatan Kayu Aro sejak tahun 2002 dan kebijakan pengembangan areal tanam dengan membuka lahan tidur oleh pemerintah kabupaten sejak tahun 2003 (Edi 2004). Luas tanam dan luas panen kentang di Kecamatan Kayu Aro pada tahun 2008 masing-masing 1 561 ha dan 1 581 ha dengan produksi 33 991 ton (50.47 % dari total produksi kentang Kabupaten Kerinci). Namun pada tahun 2009 luas tanam kentang di Kecamatan Kayu Aro berkurang menjadi 873 ha dan luas panen menjadi 930 ha dengan produksi 25 110 ton (36.40 % dari total produksi kentang Kabupaten Kerinci) (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci 2009, 2010). Areal usahatani kentang tersebar pada 23 dari 29 desa di Kecamatan Kayu Aro. Desa Kebun Baru dan Desa Sungai Lintang yang berada dalam DAS Siulak merupakan bagian dari areal utama usahatani kentang di Kecamatan Kayu Aro (Edi et al. 2003; Adri et al. 2006).
3
Perumusan Masalah Sumber utama pendapatan sebagian besar masyarakat di DAS Siulak adalah dari usahatani sayuran dataran tinggi.
Petani umumnya menanam
kentang sebagai tanaman utama pada setiap musim tanam (April - Mei dan September - Oktober) pada luas lahan 0.2 - 2.0 ha (rata-rata 0.83 ha), namun kontinuitas produksi tidak ditopang oleh teknik budidaya yang dianjurkan (Sinaga 2005) dan upaya konservasi tanah. Penanaman sayuran (termasuk kentang) dengan guludan searah lereng (BP DAS Batanghari 2003), tidak menggunakan bibit kentang berkualitas, pemupukan tidak berimbang dan penggunaan pestisida berlebihan (tidak sesuai anjuran) (Adri et al. 2006; Edi 2004; Nugroho et al. 2004; Edi et al. 2003). Produktivitas kentang di Desa Kebun Baru 13.34 ton/ha (Edi et al. 2003), 19.31 ton/ha menurut Nugroho et al. (2004), dan di Desa Sungai Lintang 13.1 ton/ha (Adri et al. 2006). Dengan demikian dapat dinyatakan ratarata produktivitas kentang di DAS Siulak 15.25 ton/ha dan masih dalam rentang rata-rata produktivitas kentang di Indonesia (10 - 40 ton/ha), namun lebih rendah dibandingkan potensi yang dapat diperoleh (30 ton/ha) (Sunarjono 2007). Rendahnya produktivitas kentang di DAS Siulak diduga disebabkan oleh ketidaksesuaian agroteknologi dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman terutama guludan tanaman searah lereng (BP DAS Batanghari 2003), sehingga mempercepat proses erosi dan meningkatkan kehilangan topsoil yang umumnya lebih subur dan pada gilirannya menurunkan produktivitas tanah. Data erosi khusus pada lahan usahatani sayuran di hulu DAS Merao belum tersedia. Namun indikasi terjadinya erosi pada lahan sayuran di DAS Siulak dapat dilihat dari hasil pengamatan di lapangan (musim hujan, November 2008) yang menunjukkan bahwa kondisi air Sungai Siulak keruh dan berwarna coklat (indikasi tingginya kandungan sedimen) (Lampiran 1).
Diprediksi erosi pada
lahan pertanian campuran di hulu DAS Merao 60 - 180 ton/ha/tahun, lebih besar dari Etol yang hanya 22.5 - 41.6 ton/ha/tahun (BP DAS Batanghari 2003). Penggunaan bibit yang tidak berkualitas diduga juga penyebab rendahnya produktivitas kentang di DAS Siulak. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di DAS Siulak (terutama di Desa Kebun Baru dan Desa Sungai Lintang) menggunakan bibit hasil panen sendiri terus menerus (tidak jelas lagi asal usulnya). Hal ini akan menyebabkan penurunan produktivitas dan kualitas hasil panen dari pertanaman pertama ke pertanaman berikutnya (bibit telah mengalami degenerasi) (Adri et al. 2006; Nugroho et al. 2004; Edi et al. 2003).
4
Rendahnya produktivitas kentang di DAS Siulak diduga juga akibat tinggginya serangan penyakit terutama penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp, akibat penggunaan bibit yang telah terserang patogen tersebut dan dipicu oleh kondisi cuaca di dataran tinggi yang umumnya bersuhu rendah dan kelembaban tinggi. Patogen tersebut saat bibit di lapangan masih dalam masa inkubasi dan jika disimpan untuk musim tanam berikutnya, maka jamur ini akan berkembang di tempat penyimpanan (Purwantisari et al. 2008; Sunarjono 2007) dan selanjutnya menyebabkan berkembangnya penyakit tersebut pada pertanaman berikutnya, dapat menurunkan produktivitas kentang hingga 90 % (Purwantisari et al. 2008). Kondisi ini juga yang memicu petani menggunakan pupuk dan pestisida berlebihan untuk memperoleh hasil yang optimal (Adri et al. 2006; Nugroho et al. 2004; Edi et al. 2003). Penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan akan meningkatkan biaya usahatani dan mengurangi pendapatan serta potensial meningkatkan pencemaran tanah, air sungai dan danau. Data BPS Kabupaten Kerinci (2009) menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan masyarakat yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian tersebut Rp 1 024 841 per bulan.
Rendahnya pendapatan masyarakat (diduga tidak
dapat memenuhi kebutuhannya untuk hidup layak) juga dapat disebabkan oleh keterbatasan lahan milik atau garapan. Hal ini ditunjukkan oleh berlangsungnya perambahan dan alih fungsi hutan TNKS di hulu DAS menjadi areal perladangan dan usahatani sayuran oleh sebagian masyarakat hingga saat ini. Uraian di atas menunjukkan bahwa permasalahan usahatani di DAS Siulak adalah : 1) guludan tanaman sayuran termasuk kentang searah lereng, dan agroteknologi lainnya tidak sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman untuk produktivitas optimal;
2) prediksi erosi pada lahan pertanian
campuran lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan;
dan 3) rata-rata
produktivitas kentang dan pendapatan masyarakat masih tergolong rendah, diduga lebih rendah dari pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup layak. Kondisi ini menunjukkan bahwa di DAS Siulak telah dan sedang berlangsung proses saling memiskinkan antara lahan dengan petani, dan menurut Sinukaban (1999) merupakan kondisi yang umum di jumpai di hulu DAS. Kerangka Pemikiran Pendapatan petani atau produktivitas tanaman yang cukup tinggi akan membuat petani bergairah atau termotivasi untuk meneruskan usahataninya dan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya jika pendapatan petani dari usahatani
5
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), maka cepat atau lambat petani akan mencari usahatani lain atau mengganti usaha untuk dapat memenuhi
kebutuhannya
tersebut
(Sinukaban
2007).
Produktivitas
dan
pendapatan yang tinggi dapat diperoleh melalui pemilihan jenis usahatani atau komoditas dan agroteknologi yang sesuai dengan karakteristik lahan dan petani. Pemilihan komoditas dan pengelolaan lahan yang tepat dapat meningkatkan pendapatan, sehingga petani mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat melakukan kegiatan investasi termasuk agroteknologi untuk meningkatkan produktivitas atau kualitas lahan (Adnyana 1999). Agroteknologi merupakan suatu teknologi inovatif yang dirancang untuk mencapai produksi pertanian yang lebih efisien dan menguntungkan (Parker 2002). Namun Sinukaban (1989) mengemukakan bahwa tidak ada agroteknologi yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh baik dan tidak ada teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi, jika kondisi tanahnya tidak cocok untuk usaha pertanian yang dilakukan. Penggunaan tanah yang tepat (cocok)
adalah
menggunakan
setiap
bidang
lahan
sesuai
dengan
kemampuannya untuk menjamin produktivitas yang lestari dan menguntungkan, dan merupakan langkah pertama dalam menuju sistem budidaya tanaman yang baik dan program konservasi tanah yang berhasil. Berdasarkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman sayuran terutama kentang, maka teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran bersifat spesifik. Selain harus efektif mengendalikan aliran permukaan dan erosi, teknik konservasi tanah yang diaplikasikan juga harus dapat menciptakan kondisi drainase yang baik karena tanaman sayuran umumnya sangat sensitif terhadap penyakit bila drainase tanah buruk, dan merupakan penyempurnaan atau modifikasi sistem yang biasa dilakukan petani (Dariah dan Husen 2004). Oleh karena itu perlu dikaji teknik KTA yang dapat diterima petani sayuran dataran tinggi terutama kentang yang sesuai dengan agroekosistem setempat tanpa mengabaikan kebiasaan petani, dan erosi dapat dikendalikan hingga batas yang dapat ditoleransikan dan tidak menurunkan hasil (Kurnia et al. 2004). Berdasarkan pemikiran di atas, maka permasalahan usahatani di DAS Siulak diatasi dengan membangun model usahatani sayuran berkelanjutan yang indikatornya pendapatan petani dapat memenuhi KHL, sekaligus mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan Etol melalui penerapan agroteknologi spesifik lokasi, sehingga dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan
6
sumberdaya yang dimiliki.
Indikator tersebut sesuai dengan konsep sistem
pertanian konservasi (SPK) yang merupakan aplikasi paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tiga pilar atau dimensi keberlanjutan. Sistem
pertanian
konservasi
merupakan
sistem
pertanian
yang
mengintegrasikan teknik konservasi tanah ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus. Sistem pertanian konservasi dicirikan oleh : 1) produksi pertanian dan pendapatan cukup tinggi, 2) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan kemampuannya secara terus menerus, 3) komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, diterima petani dan laku di pasar, dan 4) erosi minimal sehingga produktivitas lahan dapat terpelihara secara berkesinambungan (Sinukaban 2007). Berdasarkan definisi dan ciri-ciri SPK, maka langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membangun usahatani sayuran berkelanjutan atau memperbaiki usahatani sayuran yang sedang berjalan melalui konsep SPK adalah inventarisasi keadaan biofisik lahan dan sosial ekonomi petani serta pengaruh luar seperti pasar atau prospek pemasaran hasil.
Selanjutnya membangun
usahatani berkelanjutan berbasis komoditi unggulan daerah akan lebih menguntungkan, karena sejalan dengan arah kebijakan pembangunan daerah. Oleh karena itu membangun model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak merupakan langkah strategis, penting dan perlu segera dilakukan.
Penerapan
dan
pengembangan
model
usahatani
sayuran
berkelanjutan tersebut dapat diharapkan sekaligus sebagai upaya untuk mengatasi atau mengurangi perambahan dan alih fungsi hutan TNKS, mengembangkan potensi lahan dan wilayah sebagai sentra produksi sayuran, serta menekan dampak usahatani di DAS Siulak terhadap fungsi hidrologis DAS dan fungsi Danau Kerinci. Berlandaskan
pemikiran di
atas,
maka
model
usahatani
sayuran
berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak dirancang melalui suatu kajian komprehensif yang mengintegrasikan aspek biofisik lahan, sosial-ekonomi petani dan agroteknologi berdasarkan kondisi existing usahatani di DAS Siulak dan alternatif teknik KTA spesifik lokasi dari percobaan erosi petak kecil (Gambar 1). Pemilihan agroteknologi optimal yang dapat mengendalikan erosi hingga batas Etol sekaligus memberikan pendapatan petani yang dapat memenuhi KHL
7
sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani mennnggunakan metode sistem yaitu multiple goal programming (analisis sistem multikriteria).
Multiple goal
programming atau program tujuan ganda merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang mengakomodasi lebih dari satu tujuan secara simultan (Mulyono 1991; Nasendi dan Anwar 1985).
DAS Siulak Salah satu sentra produksi kentang di Kabupaten Kerinci Produktivitas kentang (15.25 ton/ha) dan pendapatan petani (Rp 1 024 841/bulan) rendah Erosi (60 - 180 ton/ha/tahun) > Etol (22.5 - 41.6 ton/ha/tahun)
Karakteritik lahan, petani dan agroteknologi
Teknik KTA untuk usahatani sayuran
Sistem Pertanian Konservasi
Komoditi unggulan, laku dipasar
Agroteknologi acceptable dan replicable
Produktivitas usahatani dan pendapatan petani > KHL
Erosi mimimal (< Etol)
Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang
Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk :
1) mengkaji dan mendeskripsikan kondisi
existing usahatani di DAS Siulak, 2) mengkaji alternatif teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi dan memberikan produktivitas sayuran yang optimal di DAS Siulak, dan 3) merancang model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi.
8
Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan
dalam
perencanaan
pengembangan
usahatani
sayuran
berkelanjutan dan pelestarian sumberdaya di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi serta memperbaiki dan memelihara fungsi hidrologis DAS dan Danau Kerinci. Secara spesifik hasil penelitian diharapkan bermanfaat : 1) sebagai pertimbangan bagi petani atau pengguna lahan di DAS Siulak untuk meningkatkan
produktivitas
usahatani
sayuran
dan
pendapatan
secara
berkelanjutan, 2) sebagai tambahan referensi dalam perencanaan program pengelolaan lahan dan DAS berkelanjutan, dan 3) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya kajian mengenai pengelolaan lahan dan pertanian berkelanjutan di hulu DAS Ruang Lingkup Penelitian Penelitian mencakup kajian : a) kondisi existing usahatani (biofisik lahan, petani, agroteknologi), b) alternatif teknik konservasi tanah untuk usahatani sayuran yang dapat mengendalikan erosi dan memberikan produktivitas yang optimal, dan c) alternatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi. Novelty Penelitian Novelty atau kebaruan penelitian adalah metode penyusunan alternatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi yang menggunakan variabel pendapatan petani harus sama atau lebih besar dari kebutuhan hidup layak (pendapatan petani > KHL) yang terdiri atas kebutuhan fisik minimal dan kebutuhan hidup tambahan (pendidikan dan sosial, kesehatan dan rekreasi, asuransi dan tabungan), sebagai indikator keberlanjutan dimensi ekonomi.
9
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan DAS Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pemisah alam (punggung bukit) yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik outlet (Kartodihardjo et al. 2004). Pengertian fundamental DAS meliputi satu unit sistem alamiah yang terbentuk melalui proses input dan output yang di dalamnya terdapat beberapa subsistem (biofisik, sosial, ekonomi, kelembagaan) untuk tujuan fungsi perlindungan dan fungsi produksi (Pasaribu 1998). Definisi dan pengertian fundamental DAS menunjukkan bahwa DAS terdiri dari wilayah yang lebih tinggi (hulu) dan wilayah yang lebih rendah (hilir). Hulu DAS merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS, terutama fungsi tata air dan mempunyai keterkaitan biogeofisik dengan bagian hilir (Asdak 2002). Definisi DAS juga menunjukkan bahwa input dari suatu DAS adalah air hujan dan komponen outputnya terdiri dari debit aliran, muatan sedimen termasuk unsur hara di dalamnya, polusi, produksi dan kesejahteraan; sedangkan komponen utama DAS seperti vegetasi, tanah dan air/sungai berperan sebagai processor. Setiap ada input pada DAS, maka proses yang telah dan sedang berlangsung dapat dievaluasi melalui output dari sistem DAS tersebut (Kartodihardjo et al. 2004). Pengelolaan DAS merupakan upaya memelihara dan meningkatkan fungsi hidrologis DAS untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Fungsi hidrologis DAS adalah fungsi atau proses yang dilakukan komponen DAS (tanah, topografi, vegetasi, penggunaan lahan, manusia) terhadap curah hujan sebagai input dari DAS. Fungsi atau proses tersebut meliputi pengurangan air melalui evapotranspirasi dan intersepsi, simpanan depresi dan infiltrasi.
Bila
fungsi-fungsi tersebut rusak, maka air akan keluar melalui permukaan terutama bila infiltrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya output DAS berupa debit aliran sungai, produktivitas sumberdaya dan kehidupan manusia di dalam DAS tersebut akan terganggu (Sinukaban 2005). Nugroho dan Cahyono (2004) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan untuk usaha pertanian merupakan salah satu kegiatan pengelolaan DAS. Pertanian merupakan suatu sistem yang menggunakan input produksi (lahan, tenaga kerja, modal, manajemen) melalui suatu proses alam dan menghasilkan
produk pertanian sebagai output. Hal ini identik dengan pengelolaan DAS yang juga dapat dikategorikan sebagai suatu sistem produksi, menggunakan pengelolaan input sumberdaya alam (SDA) (tanah, air) untuk menghasilkan output berupa barang dan jasa dengan konsekuensi adanya efek terhadap sistem alam baik di wilayah tapak (on-site) maupun di wilayah sekitarnya (offsite).
Produksi pertanian, hasil hutan, peternakan dan air merupakan output
positif dari pengelolaan DAS; sedangkan erosi, sedimentasi, kehilangan unsur hara, pencemaran, pendangkalan dan penurunan kualitas air sungai merupakan output negatif. Berdasarkan pengertian pengelolaan DAS, maka tujuan pengelolaan DAS adalah keberlanjutan pemanfaatan semua sumberdaya di dalam DAS yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, erosi dan sedimentasi serta water yield. Oleh karena itu terjadinya penurunan atau rusaknya fungsi hidrologis DAS tercermin dari : a) makin meningkatnya luas lahan terdegradasi (lahan kiritis) akibat suatu sistem pengelolaan; dan b) perubahan output DAS terutama erosi, fluktuasi debit air, hasil sedimen dan material terlarut lainnya, serta makin rendahnya produktivitas lahan (Grip et al. 2005). Dalam rangka memperbaiki dan memelihara keberlanjutan fungsi hidrologis DAS sangat diperlukan pemilihan teknologi dan strategi pengelolaan yang tepat tergantung karakteristik DAS. Tidak ada resep umum yang dapat diberikan dalam pengelolaan DAS termasuk untuk memecahkan permasalahan yang ada, namun diperlukan pengelolaan dan teknologi spesifik lokasi yang mempertimbangkan harus tercapainya sasaran konservasi lahan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di dalamnya (Agus dan Widianto 2004). Pengelolaan DAS yang tepat sesuai karakteristik DAS diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke arah tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (Asdak 2002), karena pengelolaan DAS tidak lain adalah pengelolaan SDA (hutan, tanah, air) berskala DAS berdasarkan integrasi keterlibatan masyarakat, pengetahuan teknis dan struktur organisasi beserta arah kebijakannya (Nugroho dan Cahyono 2004). Aliran permukaan Aliran permukan merupakan bagian dari hujan yang tidak diserap tanah dan tidak tergenang di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat lain yang lebih rendah dan akhirnya terkumpul di dalam parit-parit atau saluran-saluran (Hillel 1981). Dengan demikian aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah dan merupakan bentuk aliran yang paling penting sebagai
11
penyebab erosi (Arsyad 2009), karena aliran permukaan mengangkut dan mengikis tanah permukaan dan bagian-bagiannya dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Aliran permukaan hanya akan terjadi jika laju
presipitasi atau hujan melebihi laju air yang masuk ke dalam tanah dan mulai terjadi bila laju infiltrasi, evaporasi dan intersepsi serta depresi pada permukaan tanah telah terpenuhi (Schwab et al. 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan dapat dikelompokkan atas : 1) faktor presipitasi yaitu lamanya hujan, distribusi dan intensitas hujan yang mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan; dan 2) faktor DAS yaitu ukuran, bentuk, topografi, geologi dan kondisi permukaan (Schwab et al. 1981). Jumlah dan kecepatan aliran permukaan akan meningkat dengan semakin curamnya lereng, karena aliran permukaan dari bagian atas akan menambah air ke lereng bagian bawah dan menyebabkan bertambahnya kedalaman aliran (Troeh et al. 2004). Hujan yang singkat mungkin tidak akan menimbulkan aliran permukaan, sedangkan hujan dengan intensitas yang sama tetapi lebih lama akan menimbulkan aliran permukaan. Dengan demikian total aliran permukaan untuk suatu kejadian hujan berhubungan dengan lamanya hujan tersebut dengan intensitas tertentu.
Intensitas hujan mempunyai hubungan yang erat dengan
energi kinetik hujan yaitu meningkat dengan meningkatnya inensitas hujan Energi kinetik hujan merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat. Peningkatan intensitas hujan menyebabkan meningkatnya kerusakan agregat dan struktur tanah lapisan atas serta penurunan laju permeabilitas, akibatnya aliran permukaan akan meningkat (Arsyad 2009). Sifat-sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuannya untuk menimbulkan erosi adalah jumlah, laju dan kecepatan aliran permukaan tersebut serta gejolak atau turbulensi yang terjadi sewaktu air mengalir di permukaan tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah tersebut akan terkumpul di ujung lereng sehingga lebih banyak air yang mengalir dan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng daripada di bagian atas.
Akibatnya tanah di bagian
bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas (Arsyad 2009). Aliran permukaan dari lahan pertanian biasanya meningkat dengan meningkatnya kecuraman kereng, tetapi hubungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis tanaman, kekasaran permukaan dan kejenuhan profil tanah. Praktek konservasi tanah tertentu dapat mengurangi aliran permukaan tetapi
12
aliran akan selalu terjadi kecuali pada tanah permeabel yang datar.
Aliran
permukaan dapat mencapai 75 % dari hujan pada tanah yang tidak permeabel, lereng curam dan kondisi vegetasi jelek (Troeh et al. 2004). Vegetasi yang baik akan memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan simpanan permukaan untuk mengurangi laju puncak aliran permukaan (Schwab et al. 1981). Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan, maka volume aliran permukaan dapat dikurangi dengan :
1) meningkatkan laju
infiltrasi, 2) meningkatkan ketahanan dan simpanan permukaan sehingga memberikan kesempatan lebih lama bagi air berinfiltrasi ke dalam tanah, dan 3) meningkatkan intersepsi hujan dengan menanam tanaman atau menggunakan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa (Sinukaban 1989).
Teknik budidaya yang
menghasilkan penutupan permukaan tanah yang rapat oleh tanaman, sisa tanaman atau serasah yang banyak merupakan cara terbaik untuk menjaga infilrasi yang tinggi dan mengurangi aliran permukaan (Troeh et al. 2004). Erosi dan Selektivitas Erosi Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami yaitu air atau angin (Arsyad 2009).
Namun pada sebagian besar daerah tropika basah (seperti
Indonesia) yang terpenting adalah erosi yang disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan (Sinukaban 1989). Erosi menyebabkan hilangnya tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman, berubahnya struktur tanah, berkurangnya jumlah dan keanekaragaman mikroorganisme tanah, menurunnya laju infiltrasi dan akhirnya menurunkan produktivitas tanah. Oleh karena menurunnya kualitas tanah untuk pertumbuhan tanaman, maka erosi selanjutnya akan semakin meningkat. Erosi yang
serius
menyebabkan
lahan
menjadi
rusak,
selanjutnya
sedimen
menyebabkan pencemaran sungai yang akhirnya mengendap di dalam saluran atau waduk atau danau (Arsyad 2009; Troeh et al. 2004; Sinukaban 1989). Erosi membawa lapisan tanah permukaan yang umumnya lebih subur (kaya bahan organik dan unsur hara) dibandingkan dengan lapisan bawah, dan berarti erosi juga menyebabkan hilangnya unsur hara tanaman. Dalam peristiwa erosi, fraksi halus tanah terangkut lebih dahulu dan lebih banyak dari fraksi yang lebih kasar, sehingga kandungan liat sedimen lebih tinggi dari kandungan liat tanah semula. Hal ini terkait dengan daya angkut aliran permukaan terhadap butir-butir tanah yang berbeda berat jenisnya. Pemindahan partikel halus oleh
13
erosi menyebabkan peningkatan persentase pasir dan kerikil di permukaan tanah, dan pada waktu yang sama mengurangi persentase debu dan liat (Sinukaban 1981).
Dengan demikian tanah yang telah mengalami erosi
bertekstur lebih kasar dibandingkan dengan sebelum tererosi. Kemudian oleh karena bahan organik dan unsur hara tanah umumnya terikat pada fraksi bahan halus (liat), maka sedimen atau tanah hasil erosi biasanya lebih kaya dengan bahan organik dan unsur hara dibandingkan dengan tanah asalnya (tanah yang tererosi) (Arsyad 2009).
Pengkayaan juga dapat disebabkan oleh hanyutnya
bentuk-bentuk larut dari hara yang ada di dalam residu tanaman atau pupuk organik dan anorganik yang digunakan di permukaan tanah, dan mudahnya pengangkutan terhadap partikel-partikel yang densitasnya lebih kecil terutama bahan organik (Elliot dan Wildung 1992; Sinukaban 1981). Erosi akan bersifat selektif pada partikel-partikel halus jika erosi kecil dan tidak selektif jika erosi besar, karena selektivitas erosi terjadi disebabkan oleh keterbatasan energi aliran permukaan (Sinukaban 1981). Tingkat selektivitas erosi dapat diukur dari nilai nisbah pengkayaan sedimen (NKS) atau Sediment Enrichment Ratio yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kandungan bahan organik dan unsur hara di dalam tanah yang terbawa erosi (sedimen) terhadap kandungannya di dalam tanah asalnya (Arsyad 2009). Nilai NKS dari partikel-partikel halus dan distribusi ukuran partikel di dalam sedimen sangat bervariasi tergantung pada mekanisme penghancuran dan transportasi dari proses erosi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor (Sinukaban 1981). Arsyad (2009) mengemukakan bahwa NKS dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi penghancuran agregat dan aliran permukaan. Jika dalam proses erosi terjadi dominan penghancuran agregat sebelum pengangkutan butir-butir tanah, maka nilai NKS akan besar; sebaliknya jika penghancuran agregat tidak dominan, maka selektivitas erosi akan kecil dan nilai NKS akan kecil. Demikian juga jika kecepatan aliran permukaan makin tinggi akibat lereng yang makin curam, maka selektivitas erosi semakin kecil dan nilai NKS juga akan kecil. Sebaliknya jika aliran permukaan menjadi lambat akibat lereng yang makin landai atau oleh makin rapatnya tanaman dan makin banyaknya sisa tanaman di permukaan tanah, maka nilai NKS akan makin besar. Pada umumnya energi aliran permukaan akan menurun apabila terdapat hambatan seperti adanya tindakan KTA, permukaan yang kasar atau sisa-sisa tanaman di permukaan tanah. Oleh karena itu teknik pengelolaan tanah dan
14
tanaman yang dapat menurunkan energi aliran permukaan dapat meningkatkan selektivitas erosi terhadap partikel-partikel halus, dan sekaligus menurunkan jumlah tanah tererosi secara dramatis (Johnson et al. 1979). Oleh karena itu nilai NKS cenderung meningkat dengan menurunnya jumlah tanah tererosi (Menzel 1980) dan memberi petunjuk tingkat atau kecepatan pemiskinan tanah serta petunjuk untuk mengetahui apakah kehilangan hara merupakan faktor utama penyebab penurunan produktivitas tanah (Stocking 1985 diacu dalam Arsyad 2009).
Sinukaban (1981) menemukan NKS fraksi liat dari tanah lempung
berdebu 2.34 - 3.52 dengan pengolahan tanah konservasi, lebih tinggi dari nilai NKS yang hanya 1.07 dengan pengolahan tanah konvensional. Banua (1994) mendapatkan nilai NKS fraksi liat berkisar dari 0.98 - 1.66 dengan berbagai tindakan konservasi tanah pada lahan berlereng 30 % yang ditanami kubis dan kentang, sedangkan tanpa tindakan konservasi nilai NKS fraksi liat hanya 0.98. Meningkatnya konsentrasi fraksi liat di dalam sedimen dengan makin selektifnya erosi, diikuti dengan meningkatnya konsentrasi bahan organik dan unsur hara di dalam sedimen tersebut. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar bahan organik dan unsur hara terjerap pada partikel-partikel halus seperti liat dan koloid (Soepardi 1983).
Konsentrasi unsur hara di dalam sedimen dapat
50 persen lebih tinggi daripada konsentrasinya di tanah asal (Wischmeier dan Smith 1978).
Foth (1990) melaporkan bahwa tanah tererosi mempunyai
konsentrasi bahan organik, N-total, P dan K tersedia masing-masing 2.7, 2.7, 3.4, dan 19.3 kali lebih banyak dibandingkan konsentrasinya di tanah asal. Banua (1994) melaporkan bahwa nilai NKS berkisar dari 0.99 - 1.57 untuk C-organik, 1.06 - 3.35 untuk N-total, 2.4 - 9.88 untuk P-tersedia dan 1.13 - 1.81 untuk K-tersedia dengan perlakuan berbagai tindakan konservasi tanah. Nilai NKS tertinggi adalah pada perlakuan tindakan konservasi yang menghasilkan erosi terkecil (8.37 ton/ha), sebaliknya nilai NKS terendah pada perlakuan tanpa tindakan konservasi yang menghasilkan erosi terbesar (66.55 ton/ha). Kemudian Suganda et al. (1997) melaporkan bahwa kehilangan hara (241 kg N/ha, 80 kg P2O5/ha, 18 kg K2O/ha) akibat erosi (65 ton/ha) pada lahan usahatani kentang dengan guludan searah lereng, lebih besar dibandingkan dengan erosi (40.50 ton/ha) dan kehilangan hara (146 kg N/ha, 58 kg P2O5/ha, 13 kg KCl/ha) pada penanaman dengan guludan searah kontur. Selanjutnya Sinukaban et al. (2007) melaporkan bahwa pada pertanaman jagung-kacang tanah dengan perlakuan mulsa di tanah Latosol Coklat Kemerahan Darmaga dengan kemiringan lereng
15
7 - 14 persen menunjukkan bahwa nilai NKS berkisar 3.3 - 9.4 untuk C-organik, 6.4 - 9.0 untuk N-total, 12.9 - 33.9 untuk P-tersedia dan 1.1 - 3.0 untuk K dan 1.4 - 3.6 untuk Mg. Dalam hal ini erosi menurun dari 96.1 ton/ha menjadi 39.1 ton/ha akibat penggunaan mulsa yang sekaligus juga meningkatkan selektivitas erosi. Suatu teknik konservasi tanah akan meningkatkan selektivitas erosi atau nilai NKS.
Namun karena teknik konservasi tersebut dapat menekan jumlah
tanah tererosi, maka teknik konservasi tersebut sekaligus juga akan menurunkan jumlah bahan organik dan hara yang hilang terbawa erosi. Dalam hal ini jumlah bahan organik dan hara yang hilang diduga dari konsentrasinya di dalam sedimen terhadap jumlah tanah tererosi, karena dijelaskan oleh King (1990) bahwa kehilangan unsur hara berhubungan langsung dengan jumlah tanah tererosi dan merupakan fungsi dari konsentrasi hara tersebut di dalam sedimen. Menurut Arsyad (2009) banyaknya unsur hara yang hilang oleh erosi bergantung pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam bagian tanah yang tererosi. Secara kasar banyaknya unsur hara yang hilang dari sebidang tanah yang tererosi dihitung dengan mengalikan kandungan unsur hara tanah semula dengan besarnya tanah tererosi. Namun lebih teliti jika jumlah hara yang hilang diukur dengan mengalikan banyaknya sedimen dengan unsur hara yang terbawa sedimen dan larut dalam air. Usaha Pertanian di Hulu DAS dan Dampaknya Sistem pertanian di hulu DAS umumnya merupakan pertanian lahan kering yang dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian yang dilaksanakan pada lahan dengan tanah mineral, tanpa irigasi dan kebutuhan air bergantung hanya pada curah hujan (Hadinugroho 2002). Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani 2002). Oleh karena itu pertanian lahan kering umumnya sering dikaitkan dengan pengertian usahatani bukan sawah oleh masyarakat di hulu DAS. Pengembangan usahatani lahan kering di Indonesia selama ini umumnya membuka hutan di hulu DAS dan belum menerapkan upaya KTA, kondisi ini telah menyebabkan erosi dan sedimentasi yang cukup besar. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian, diantaranya pembukaan hutan untuk usaha pertanian (karena sempitnya lahan garapan petani) di DAS Limboto Kabupaten Bone Bolongo menyebabkan laju erosi sebesar 317.67 ton/ha/tahun, dan penurunan kedalaman Danau Limboto dari 14 m pada tahun 1934 menjadi
16
3 - 3.5 m pada tahun 1994 akibat sedimentasi (Setiawan dan Yudono 2002). Kemudian di dataran tinggi Bedugul (daerah tangkapan air atau DTA Danau Beratan, Bali), rata-rata erosi di seluruh DTA 102 ton/ha/tahun dan sedimentasi di Danau Beratan 74 ton/tahun (13.47 ton/tahun berasal dari daerah kebun sayur, 65.140 ton/tahun dari lahan tandus) (Budihardja dan Syaifuddin 2003). Selanjutnya dengan luas hutan dan kebun kopi masing-masing 42.6 % dan 9.9 % dari luas DAS (DAS Tulang Bawang, Lampung) di Sub DAS Besai, jumlah air hujan yang langsung masuk ke sungai < 10 % dan erosi yang terjadi 12.08 ton/ha/tahun (1975 - 1981). Namun dengan luas hutan dan kebun kopi masingmasing 8.4 % dan 71.2 % luas DAS, jumlah air hujan yang masuk ke sungai meningkat menjadi 24.5 % dan terjadi erosi 49.93 ton/ha/tahun (1996 - 1998) (Sihite 2004). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menjadi lahan pertanian meningkatkan jumlah tanah tererosi dan air hujan yang langsung masuk ke sungai, berarti juga meningkatkan sedimentasi. Besarnya erosi pada usahatani di hulu DAS disebabkan kawasan hulu tersebut umumnya dicirikan oleh lahan kering dengan jenis tanah yang peka terhadap erosi, curah hujan tinggi dan topografi sebagian besar berbukit hingga bergunung. Kemudian kebanyakan masyarakat yang bermukim disini dicirikan oleh keterbatasan kondisi sosial-ekonomi, menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan bercocok tanam merupakan kegiatan utama untuk mencari nafkah tetapi pemilikan lahan kecil (Hadinugroho 2002; Hidayat dan Mulyani 2002). Berbagai keterbatasan tersebut menyebabkan penggunaan lahan oleh petani umumnya secara konvensional yang tidak sesuai dengan kaidah KTA. Perpaduan ciri biofisik lahan dan pengelolaan lahan intensif yang konvensional mengakibatkan sistem pertanian lahan kering ini sangat peka terhadap erosi, penurunan produktivitas dan degradasi lahan, serta penggunaan bahan kimia yang berlebihan makin merugikan terhadap keberlanjutan produktivitas lahan dan lingkungan.
Oleh
karena
itu
erosi
merupakan
pengembangan pertanian di hulu DAS.
masalah
utama
dalam
Berdasarkan karakteristik lahannya,
maka pembangunan pertanian pada dataran tinggi di hulu DAS perlu diarahkan untuk perbaikan dan pelestarian kondisi biofisik lahan, peningkatan produktivitas melalui agroteknologi dan pemilihan komoditas yang mampu memberikan pendapatan
cukup
tinggi
secara
berkelanjutan,
didukung
oleh
sistem
kelembagaan yang kuat dengan program/kebijakan dan pendekatan lintas sektoral yang mempertimbangkan perspektif masyarakat lokal (Nugroho 2002).
17
Andisol, Karakteristik dan Permasalahannya Andisol merupakan salah satu ordo tanah pada lahan kering dataran tinggi di hulu DAS (Dariah dan Husen 2004).
Andisol yang termasuk tanah-tanah
pertanian utama lahan kering adalah : 1) Udands, Andisol yang berdrainase baik di wilayah beriklim humid dengan rejim kelembaban tanah udik; 2) Ustands, Andisol yang terdapat di wilayah agak kering sampai kering dengan rejim kelembaban tanah ustik; dan 3) Vitrands, Andisol yang bertekstur agak kasar dengan kandungan gelas volkan yang tinggi (Hidayat dan Mulyani 2002). Andisol adalah tanah-tanah yang mempunyai lapisan < 36 cm dengan sifat andik pada kedalaman > 60 cm (Hardjowigeno 2010).
Sifat umum Andisol
adalah fraksi debu dan pasir halus berupa gelas vulkanik dengan mineral ferromagnesium, dan fraksi liat sebagian besar berupa alofan berkembang dan juga mengandung halloysit.
Kemudian ciri Andisol adalah sebagai berikut :
1) Ciri morfologi, horizon A1 tebal bewarna kelam, coklat sampai hitam, sangat porous, gembur, tak liat (non plastik), tak lekat (non sticky), struktur remah, mengandung bahan organik 8 - 30 persen dengan pH 4.5 - 6.0, beralih tegas ke horizon B2 berwarna kuning sampai coklat, struktur gumpal dengan granulasi yang tak pulih dengan bahan organik antara 2 - 8 persen, atau beralih ke horison C berbentuk batang gibsit dari oxida Al atau Fe; 2) Sifat mineralogi, fraksi debu dan pasir halus berupa gelas vulkanis dan mineral feromagnesium, fraksi lempung sebagian besar allophan dan berkembang menjadi hallosit; dan 3) Sifat fisika-kimia, kejenuhan basa (KB) rendah dengan kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, nisbah C/N rendah dan kadar P rendah karena terfiksasi kuat (Darmawijaya 1997). Hardjowigeno (2003) menambahkan bahwa pada Andisol sering terjadi penambahan abu vulkanik yang menyebabkan terjadinya stratifikasi atau pembentukan Andisol yang baru (lapisan tanah baru).
Oleh karena itu
dapat ditemukan Andisol yang berlapis karena adanya stratifikasi tersebut. Hasil analisis Andisols dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa Andisols memiliki tekstur bervariasi dari berliat (30 - 65 persen liat) sampai berlempung kasar (10 - 20 persen liat), namun sebagian besar berlempung halus sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam (5.6 - 6.5), kandungan bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi dan lapisan bawah umumnya rendah dengan rasio C/N tergolong rendah (6 - 10).
Kandungan P dan K
potensial sebagian sedang sampai tinggi, sebagian lagi rendah sampai sedang dan umumnya kandungan lapisan atas lebih tinggi dari pada lapisan bawahnya.
18
Jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong sedang sampai tinggi, didominasi oleh ion Ca dan Mg dan sebagian juga K, KTK sebagian besar sedang sampai tinggi dengan KB umumnya sedang.
Dengan demikian kesuburan alami Andisol
termasuk sedang hingga tinggi (Hidayat dan Mulyani 2002). Kadar C-organik tanah Andisol yang umumnya tinggi disebabkan oleh dekomposisi bahan organik pada Andisol relatif lambat akibat adanya hidroksida alumunium amorfous pada suhu udara yang dingin (Djaenuddin 2004). Menurut Prasetyo (2005) Andisol di Indonesia umumnya mempunyai sifat gembur sehingga mudah diolah dan baik untuk pertumbuhan akar tanaman, solum dalam, kapasitas menyimpan air tinggi, KTK dan KB sedang hingga tinggi, cadangan hara (berupa mineral mudah lapuk) tinggi. Oleh karena itu secara umum Andisol mempunyai potensi kesuburan tanah tergolong tinggi dan umumnya dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan kering, hortikultura sayuran dan perkebunan.
Hidayat dan Mulyani (2002) menjelaskan bahwa
komoditas tanaman yang disarankan pada lahan kering Andisol di dataran tinggi beriklim basah adalah tanaman serealia (jagung), umbi-umbian (ubi jalar), hortikultura sayuran (kentang, kubis, tomat, buncis, wortel), bunga-bungaan (sedap malam, mawar), tembakau, teh, kopi arabika, kayumanis, vanili dan buahbuahan (alpokat, markisa). Kurnia et al. (2004) mengemukakan bahwa Andisol yang merupakan salah satu ordo tanah pada kawasan usahatani sayuran dataran tinggi tergolong rentan atau mudah tererosi meskipun umumnya mempunyai sifat fisika yang baik, karena tekstur tanahnya mengandung fraksi debu lebih banyak (mempunyai sifat ”thixotropic”, tanah licin dan berair bila dipirit) dan umumnya berada pada topografi berlereng dengan curah hujan tinggi.
Dariah dan Husen (2004)
menambahkan bahwa tanah-tanah yang mempunyai sifat Andik seperti Andisol mempunyai porositas yang tinggi sehingga air lebih mudah masuk ke dalam tanah, namun karena teksturnya didominasi oleh fraksi ringan (debu) yang sangat mudah terangkut oleh aliran permukaan, maka tanah menjadi sangat mudah tererosi begitu tanah tersebut jenuh dan terjadi aliran permukaan. Berdasarkan sifat dan ciri Andisol, maka permasalahan utama Andisol secara alami adalah tingginya bahaya erosi dan longsor akibat adanya sifat ”thixotropic”, lereng yang terjal, adanya lapisan kedap air yang berupa tanah atau batuan di bawah Andisol. Kendala pemanfaatan Andisol untuk usaha pertanian adalah tingginya retensi P (> 80 %) dan pada Andisol masam ditemukan
19
kejenuhan Al tinggi yang dapat meracuni tanaman.
Kemudian letaknya di
dataran tinggi dan lerengnya yang terjal menyebabkan erosi dan pencucian hara atau bahan organik cukup intensif, sedangkan dominasi mineral amorf dan kompleks Al-humus berpotensi mengurangi ketersediaan P untuk tanaman. Penambahan P dan bahan organik banyak disarankan untuk mengatasi masalah retensi P, arah barisan tanaman atau guludan searah kontur atau memotong lereng merupakan teknik KTA yang dinilai mampu mengendalikan aliran permukaan dan erosi (Prasetyo 2005). Usahatani Kentang Dataran Tinggi Sayuran dataran tinggi mempunyai peran strategis dan memperoleh prioritas pengembangan dalam pembangunan pertanian nasional terutama kentang, kubis, cabe, bawang merah dan tomat yang merupakan komoditas sayuran unggulan nasional. meningkat
baik
dalam
Permintaan sayuran dataran tinggi cenderung
bentuk
segar
maupun
olahan
seiring
dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, berkembangnya industri makanan dan makin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi sayuran. Sayuran dataran tinggi juga merupakan salah satu komoditas yang berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Pengembangan sistem ketahanan pangan sangat diperlukan karena terkait erat dengan kemiskinan, ketahanan sosial dan stabilitas ekonomi. Kemiskinan akan berakibat pada ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan bagi suatu kehidupan yang layak dan berakibat pada kurangnya kemampuan untuk melakukan ekonomi produktif. Sejumlah usahatani sayuran di Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif karena efisien secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya (Saptana et al. 2007) dan dapat memberikan keuntungan finansial lebih besar dibandingkan dengan usahatani tanaman pangan maupun kebun campuran (Irawan et al. 2004). Kentang merupakan salah satu high value comodity yang dapat memberikan penghasilan lebih baik, potensi bisnis cukup tinggi, segmen usaha dapat dipilih sesuai dengan modal, dan paling berpeluang untuk pengembangan agribisnis dan agroindustri dibandingkan sayuran lainnya (Saptana et al. 2005; Sumarno 2000). Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pangan melalui pengembangan usahatani sayuran dataran tinggi berbasis kentang merupakan salah satu langkah strategis pengentasan kemiskinan.
20
Secara umum dataran tinggi di hulu DAS mempunyai iklim yang memenuhi persyaratan optimum untuk pengembangan berbagai komoditas sayuran termasuk kentang. Suhu rendah dan curah hujan di dataran tinggi yang hampir merata sepanjang tahun memungkinkan usahatani sayuran dapat diusahakan sepanjang tahun (Kurnia et al. 2004). Dengan kata lain kentang adaptif dengan kondisi agroklimat lahan kering dataran tinggi yang umumnya berlereng, namun dihadapkan pada banyak kendala terutama tingginya serangan hama dan penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT) (Sunarjono 2007). Menurut Lutaladio et al. (2009) faktor kendala pengembangan usahatani kentang berkelanjutan dapat dibedakan atas faktor teknis, faktor sosial-ekonomi dan faktor kelembagaan dan kebijakan.
Faktor teknis meliputi karakteristik
biologi kentang, sistem perbenihan/pembibitan yang terbatas, dan faktor hama dan penyakit. Faktor sosial-ekonomis meliputi biaya produksi yang tinggi dan kurangnya fasilitas kredit, instabilitas harga, pasar lokal tidak efisien, dan terbatasnya akses terhadap pasar yang bernilai lebih tinggi. Hama dan penyakit merupakan kendala yang cukup besar dalam usahatani kentang dan penyakit utama tanaman kentang adalah late blight dan bacterial wilt, sedangkan hama utama adalah aphids, tuber moths dan leaf miners. Dalam CIP-Balitsa tahun 1999 telah terinventarisasi sebanyak 72 jenis OPT pada tanaman kentang yang terdiri atas 4 bakteri patogen, 13 cendawan patogen, 15 virus patogen, 1 mikroplasma patogen, 8 penyakit fisiologi (abiottik) dan 31 jenis hama. Namun kelompok OPT yang umum menyerang tanaman kentang dataran tinggi adalah Phytophthora infestans (penyakit busuk batang dan daun), Fusarium oxysporum (penyakit layu fusarium), Alternaria solani (penyakit becak daun alternaria), Ralstonia solanacearum (penyakit layu bakteri), Meloidogyne spp (nematoda bengkak akar), nematoda sista kentang (NSK), virus kompleks (penyakit mosaik), trips (Thrips palmi), ulat daun/umbi kentang (Phthorimaea operculella), tungau (Polyphagotarsonemus latus dan Tetranychus sp), kutu daun persik (Myzus persicae), lalat pengorok daun (Liriomyza sp), orong-orong (Gryllotalpha) dan kutu kebul (Bemisia tabaci) (Duriat et al. 2006). Menurut Purwantisari et al. (2008) penyakit busuk batang dan daun tanaman kentang oleh P. infestans merupakan masalah krusial atau paling serius diantara penyakit yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Belum ada fungisida yang benar-benar efektif dan belum ada varietas kentang yang benarbenar tahan terhadap penyakit tersebut.
21
Patogen tersebut dapat menyerang
daun, batang dan umbi di dalam tanah dan sangat berpotensi terjadi pada daerah dingin dan lembab, dapat menurunkan produksi kentang hingga 90 %. Gejala pada daun berupa hawar (blight) atau bercak abu-abu yang berukuran besar dengan bagian tengah agak gelap dan agak basah. Oleh karena itu kasus penyakit busuk daun dan batang oleh P. infestans sering terjadi di dataran tinggi bersuhu rendah dan kelembaban tinggi. Selain masalah hama dan penyakit tanaman, usahatani kentang datarn tinggi dihadapkan pada masalah erosi. Umumnya budidaya sayuran dataran tinggi dilakukan secara intensif pada lahan berlereng dengan tanah yang didominasi oleh Andisol yang umumnya peka terhadap erosi (Kurnia et al. 2004). Andisol yang umumnya gembur dan mempunyai porositas baik sangat cocok untuk pengembangan tanaman sayuran termasuk kentang (Hidayat dan Mulyani 2002), karena tanaman kentang tumbuh dan produktif pada tanah-tanah ringan yang dicirikan oleh sedikit pasir dan kaya bahan organik serta gembur dengan aerase yang baik (Sunarjono 2007). Umumnya petani menanam kentang dan sayuran lainnya dengan guludan atau bedengan (raised bed) selebar 0.7 - 1.2 m dan searah lereng. Selain untuk menciptakan kondisi drainase dan aerase yang baik, guludan searah lereng dimaksudkan untuk memudahkan penanaman, pemeliharaan dan panen. Namun parit atau saluran diantara guludan searah lereng akan mempercepat aliran permukaan dan menyebabkan tanahnya makin mudah tererosi. Kondisi ini akan mempercepat hilangnya tanah lapisan atas yang subur, sehingga akibat usahatani sayuran yang terus menerus pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan atau degradasi lahan (Kurnia et al. 2004). Hasil penelitian di pegunungan Tengger/Bromo menunjukkan bahwa pada lahan usahatani kentang dan sayuran lainnya terjadi erosi 100 - 200 ton/ha/tahun (Suryanata et al. 1998), dan rata-rata erosi pada pertanaman kentang 150 - 200 ton/ha/tahun akibat penanaman dengan guludan searah lereng (Saefuddin et al. 1988). Pada lahan usahatani kentang tanpa teknik KTA di daerah perbukitan Loudian Site Propinsi Guizhou Cina terjadi erosi sebesar 102.3 ton/ha/tahun (Sajjapongse et al. 2002). Pada usahatani kentang dan sayuran di dataran tinggi Dieng (Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah) erosi setiap tahun jauh lebih besar dari Etol (8 - 13 ton/ha/tahun) akibat penanaman terus menerus sepanjang tahun (3 - 5 kali tergantung jenis tanaman), karena terjadi erosi 10.5 ton/ha dan aliran permukaan 457.57 m3/ha per musim tanam (Haryati dan Kurnia 2000).
22
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penanaman kentang dengan guludan searah lereng dan searah kontur pada lereng 30 % di Desa Sukamanah Kecamatan Pengalengan masing-masing menyebabkan erosi sebesar 15.7 ton/ha dan 6.6 ton/ha setiap musim tanam pada tahun 1992 (Hermawati 1992), 32 ton/ha dan 6 ton/ha pada tahun 1994 (Banua 1994), 56.31 ton/ha dan 26.31 ton/ha pada tahun 2004 (Katharina 2007). Penerapan teknik konservasi di DAS Citere Kecamatan Pengalengan dengan usahatani dominan kentang dan kubis tahun 1993 - 1995 dapat menurunkan aliran permukaan dan annual water yield serta meningkatkan base flow (Sinukaban et al. 1998). Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan bagian dari pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya. Menurut Kurnia et al. (2004) sebagian petani sayuran di dataran tinggi telah cukup mengerti bahwa tanpa teknik konservasi tanah akan menyebabkan hanyutnya tanah pada lahan usahataninya. Namun petani enggan menerapkan penanaman pada guludan memotong lereng pada lahan usahataninya terutama kentang umumnya karena : 1) sulit, berat dan membutuhkan waktu yang lama dalam mengerjakannya;
2) setelah hujan dapat menyebabkan genangan air
pada saluran diantara guludan yang dapat meningkatkan kelembaban tanah di dalam guludan tersebut dan merupakan media bagi berkembangnya jamur penyebab penyakit busuk akar atau umbi; dan 3) penerapan teknik konservasi tanah dianggap membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat bekerja efektif, sedangkan tanaman sayuran umumnya berumur pendek sehingga penerapan teknik konservasi tersebut tidak segera memberikan keuntungan langsung. Dariah dan Husen (2004) menambahkan bahwa petani sayuran belum menerapkan teknik konservasi tanah disebabkan oleh produksi sayuran akan menurun karena berkurangnya areal tanam (Tabel 1). Pengurangan luas bidang olah atau areal tanam yang berdampak pada pengurangan populasi tanaman merupakan faktor yang sering dipertimbangkan dalam pemilihan alternatif teknik konservasi tanah, karena pada gilirannya juga akan sangat menentukan tingkat adopsi petani terhadap teknik konservasi yang diintroduksikan.
Namun
pengurangan areal tanam tersebut dapat dikompensasi dengan menanam tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi. Sebagian petani, khususnya petani dengan penguasaan lahan yang sempit tidak memiliki modal yang cukup untuk membuat bangunan konservasi.
Menurut Suganda et al. (1997) pembuatan
guludan searah kontur menyebabkan populasi tanaman berkurang 3 - 30 persen.
23
Tabel 1 Perkiraan pengurangan areal tanam sebagai dampak dari aplikas teknik konservasi tanah pada lahan sayuran Kemiringan lahan (%) < 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 > 30 Tenaga kerja (HOK/ha), tergantung kemiringan lahan
Pengurangan areal tanam (%) akibat penerapan Guludan searah Strip rumput Teras bangku kontur searah kontur <6 <3 < 14 6-9 3-6 14 - 22 9 - 12 6-9 22 - 29 12 - 15 9 - 12 29 - 36 15 - 18 12 - 15 36 - 42 > 18 > 15 > 42 60 - 160
4 - 40
600 - 1200
Sumber : Suganda et al. (1997)
Kekhawatiran petani bahwa pertumbuhan akan terganggu dan produksi kentang akan menurun bila ditanam dengan guludan memotong lereng telah terjawab oleh beberapa hasil penelitian. Hasil kentang pada lahan usahatani di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Andic Dystropepts, kemiringan lereng 9 - 22 persen) tidak berbeda nyata antara penanaman pada guludan searah lereng dan guludan memotong lereng (searah kontur).
Penanaman pada
guludan searah lereng dan dipotong guludan memotong leteng pada setiap jarak 4.5 m merupakan alternatif lain yang cukup efektif mengendalikan aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara selain penanaman dengan guludan searah kontur (Suganda et al. 1999). Kemudian pertumbuhan dan hasil kentang di dataran tinggi Dieng (Andosol, kemiringan 5 - 15 persen) juga tidak berbeda nyata, tetapi erosi pada penanaman kentang dengan guludan sejajar kontur dan miring 450 terhadap kontur dan setiap 6 m dipotong guludan memotong lereng yang ditanami Flemingia nyata lebih kecil dibandingkan dengan penanaman dengan guludan searah lereng (Haryati dan Kurnia 2000).
Selanjutnya
penanaman kentang pada tanah Andosol (kemiringan lereng 3 - 50 persen) dengan guludan miring 15 - 30 derajat terhadap kontur pada 31 % areal DAS Citere Jawa Barat dapat mengurangi total aliran permukaan, quickflow dan annual water yield (Sinukaban et al. 1998). Berdasarkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman kentang, maka teknik konservasi tanah pada lahan usahatani berbasis tanaman sayuran bersifat spesifik. Selain harus efektif mengendalikan aliran permukaan dan erosi, teknik konservasi tanah yang akan diaplikasikan juga harus dapat menciptakan kondisi drainase yang baik karena umumnya tanaman sayuran sangat sensitif terhadap penyakit bila drainase tanah buruk. Dalam hal ini perlu dikembangkan
24
teknik konservasi tanah yang merupakan penyempurnaan atau pengembangan cara yang biasa dilakukan petani (Dariah dan Husen 2004). Dengan kata lain teknik konservasi tanah yang dapat diterima petani sayuran terutama kentang adalah penerapan guludan yang sesuai dengan agroekosistem setempat tanpa mengabaikan kebiasaan petani dan erosi dapat dikendalikan hingga < Etol dan tidak menurunkan hasil (Kurnia et al. 2004). Faktor lain yang mempengaruhi produksi sayuran dataran tinggi umumnya dan kentang khususnya adalah kesuburan tanah dan kultur teknik yang biasa disebut dengan crop and soil management, good agricultural practices (GAPs) atau sapta usahatani hortikultura yang meliputi pengolahan tanah, pemupukan, pemilihan bibit (varietas), pengaturan jarak tanam, perawatan tanaman dan pengendalian hama, penyakit dan gulma. Faktor kultur teknik ini sangat penting karena mampu memanipulasi atau meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman kentang sangat responsif terhadap GAPs (Sunarjono 2007). Menurut Latuladio et al. (2009) GAPs hendaknya diaplikasikan pada skala lebih luas dalam sistem pertanian dan diaplikasikan melalui metode sistem pertanian berkelanjutan seperti integrated pest management, integrated water and fertilizer management, dan pertanian konservasi. berdasarkan pada 4 prinsip yaitu :
Dalam hal ini GAPs
1) memproduksi produk pertanian dan
makanan bernutrisi dan aman dalam jumlah yang cukup, secara ekonomis dan efisien; 2) produksi tanaman meningkat dan berkesinambungan; 3) menjaga agar bentuk-bentuk usaha pertanian (farming enterprise) bergairah dan berkontribusi terhadap peningkatan lapangan pekerjaan;
serta 4) mencukupi
kebutuhan sosial dan kultural masyarakat. Contoh GAPs dalam pengelolaan tanah antara lain mengurangi erosi melalui hedging dan ditching, menggunakan pupuk pada waktu yang tepat dalam dosis yang cukup (berdasarkan analisis tanah dan kebutuhan tanaman) untuk menghindari extra-cost dan kemungkinan terbawa aliran permukaan atau leaching, menjaga kadar bahan organik tanah melalui penggunaan pupuk kandang, penanaman dan/atau rotasi tanaman dengan tanaman rumput, memelihara struktur
tanah
melalui
pencegahan
pemadatan
tanah
dan
pembatasan pengunaan alat-alat berat dan praktek pengolahan tanah yang tidak penting dan melalui penggunaan cover crops, penerapan zero-tillage dan memelihara penutupan permukaan tanah untuk mengurangi evaporasi dan memperbaiki struktur tanah dan infiltrasi air (Latuladio et al. 2009).
25
Menurut
Suwandi (2009) penerapan GAPs dalam usahatani sayuran bertujuan untuk menghindari atau meminimalkan resiko (bahaya keamanan pangan, kerusakan lingkungan,
kesehatan,
keselamatan
dan
kesejahteraan
pekerja)
untuk
meningkatkan daya saing produk sayuran. Oleh karena itu salah satu aspek penting yang menjadi standar dalam penerapan GAPs dalam usahatani sayuran adalah pengelolaan unsur hara (pemupukan) yang efisien dan ramah lingkungan. Katharina (2007) melaporkan bahwa usahatani kentang di Kecamatan Pengalengan tidak sesuai dengan kaidah KTA dan tidak sepenuhnya menerapkan teknik budidaya yang dianjurkan.
Kontinuitas usahatani dan
produksi kentang terjadi karena dukungan input (pupuk dan pestisida) dalam jumlah besar dan makin tinggi setiap musim tanam. Kondisi ini juga ditemukan pada usahatani kentang di Kabupaten Kerinci, Jambi.
Edi et al. (2005)
melaporkan bahwa sebagian besar petani kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci menggunakan pupuk anorganik (terutama pupuk P) dalam jumlah besar dan tidak berimbang serta pestisida berlebihan. Nugroho et al. (2004) melaporkan bahwa petani kentang di Kabupaten Kerinci umumnya menggunakan bibit berkualitas rendah (asal-usul bibit tidak diketahui), hanya sebagian kecil yang menggunakan bibit unggul karena lebih mahal.
Selain itu
petani umumnya menggunakan bibit tersebut secara terus menerus dan mengalami kemunduran pertumbuhan dari pertanaman pertama ke pertanaman berikutnya, sehingga akhirnya tidak lagi memberikan keuntungan yang optimal. Dengan demikian budidaya kentang dataran tinggi umumnya dilakukan secara konvensional, tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan teknik budidaya yang dianjurkan. Hasil penelitian di Desa Kebun Baru Kecamatan Kayu Aro menunjukkan bahwa paket teknologi berupa bibit yang belum mengalami degenerasi dan jelas asal usulnya, jarak tanam 80 cm x 30 cm, pengendalian OPT dengan penyemprotan fungisida yang tepat memberikan hasil kentang dan pendapatan petani jauh lebih besar dibandingkan dengan cara petani (Nugroho et al. 2004). Hasil penelitian lain juga di Desa Kebun Baru menunjukkan bahwa paket pemupukan dengan dosis rekomendasi BPTP (Badan Pengkajian Teknologi Pertanian) Jambi (150 kg Urea, 150 kg ZA, 350 kg SP-36, 200 hg KCl per hektar) memberikan produktivitas kentang lebih tinggi (19.70 ton/ha) dan benefit cost ratio lebih besar dari satu (BCR > 1) dibandingkan dengan produktivita pada penanaman dengan paket pemupukan petani (195 kg Urea, 920 kg SP-36,
26
329 kg KCl, 185 kg ZA per hektar, BCR < 1 (Edi et al. 2003).
Dilaporkan juga
bahwa biaya yang paling banyak dikeluarkan petani kentang di Desa Kebun Baru, Kecamatan Kayu Aro adalah untuk pembelian bibit (55.31%), kemudian biaya pupuk (17.45 %), biaya tenaga kerja (16.81 %), dan biaya pestisida (10.43 %) (Adri et al. 2006). Sistem Pertanian Berkelanjutan Dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani dan menekan dampaknya terhadap lingkungan, maka sistem usahatani konvensional perlu diubah menjadi sistem usahatani konservasi untuk mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang memiliki ciri pemanfaatan sumberdaya efisien dan efektif serta pengendalian degradasi lahan terutama akibat erosi dan teknik budidaya yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman. Secara umum dalam sistem produksi pertanian yang berkelanjutan harus terjadi transformasi pertanian dari subsisten menjadi pertanian produktif yang tangguh, sehingga sistem pertanian tersebut dapat mengurangi kemiskinan dengan memberikan pendapatan yang cukup dan pada waktu yang sama juga mengkoservasi sumberdaya lahan secara efektif (Khisa 2002). Keberlanjutan produksi pertanian ditentukan oleh interaksi mutual antara faktor biofisik lahan dan sosial-ekonomi sumberdaya yang membangun dasar produksi, termasuk pengakuan dan attitude masyarakat yang juga penting untuk mencapai keberlanjutan tersebut (Minami 1997).
Oleh karena itu di bidang
pertanian, konsep keberlanjutan mengandung pengertian bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian SDA dan lingkungan hidup, guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang dan lintas generasi (Suryanata et al. 1998).
Dengan demikian sustainability merupakan suatu
konsep yang dinamis dan pertanian berkelanjutan mencakup keberhasilan pengelolaan sumberdaya untuk pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah sekaligus memelihara atau meningkatkan kualitas lingkungan dan konservasi SDA (Harwood dan Kassam 2003). Berdasarkan prinsipnya, sistem pertanian berkelanjutan harus selalu memasukkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi (Belcher et al. 2004; Derpsch dan Moriya 1998). Sistem pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian yang mencakup pengelolaan dan konservasi SDA (lahan, air, tanaman), berorientasi teknologi dan institusional yang menjamin hasil yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia masa
27
kini dan generasi mendatang, menguntungkan secara ekonomi dan secara sosial dapat diterima (Bab 14 Agenda 21 Indonesia, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1997). Indikator Sistem Pertanian Berkelanjutan Identifikasi keberlanjutan suatu agroekosistem atau usahatani merupakan prasyarat dalam menerapkan konsep keberlanjutan, sebagai kriteria untuk mengidentifikasi kendala, menilai dan memperbaiki kegiatan atau kebijakan pertanian (Adnyana 1999). Keberlanjutan agroekosistem yang kompleks dapat dievaluasi melalui monitoring perubahan dalam agroekosistem atau dari parameter output yang meliputi komponen ekonomi dan biofisik sistem tersebut, karena saling pengaruh antara produksi dan kualitas tanah merupakan faktor penting yang mengendalikan keberlanjutan sistem tersebut (Belcher et al. 2004). Berdasarkan definisi dan tujuannya, maka indikator keberlanjutan suatu sistem pertanian harus mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya terutama aspek ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi. Namun yang terpenting dalam menentukan
indikator
keberlanjutan
bukan
pengelompokan
aspek-aspek
tersebut, melainkan variabel dan kriteria setiap aspek yang dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan sistem tersebut (Mersyah 2005). Menurut Sinukaban (2007) ada tiga ciri utama suatu sistem pertanian berkelanjutan yaitu : 1) pendapatan petani atau produksi usahatani harus cukup tinggi sehingga petani bergairah meneruskan usahanya, jika pendapatannya tidak mencukupi cepat atau lambat petani akan mengganti usahanya; 2) erosi dalam sistem usahatani tersebut harus lebih kecil dari Etol agar produktivitas yang tinggi dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara terus menerus, jika erosi > Etol maka produktivitas akan menurun dan cepat atau lambat tidak memberikan hasil yang optimal; dan 3) teknologi pertanian atau sistem produksi yang dianjurkan harus dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani terus menerus dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal secara substansial, jika teknologi yang dianjurkan tidak dapat diterapkan oleh petani, maka petani akan mengganti dengan teknologi yang mampu diterapkannya. Oleh karena itu dalam rangka tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan, pendapatan petani yang cukup tinggi harus dipenuhi berapapun luas areal atau lahan usahanya. Jika pendapatan dari usaha pertanian tidak mencukupi, harus dicari usaha lain dan harus direncanakan agar semua anggota enterprise dapat sustainable untuk hidup layak. Dengan kata lain dalam dimensi ekonomi, kebutuhan hidup layak
28
(KHL) bagi petani dapat dipenuhi melalui produktivitas yang tinggi baik dari usahatani maupun di luar usahatani. Kebutuhan hidup layak adalah kebutuhan untuk hidup sehat minimal dari suatu keluarga petani dalam bentuk nilai nominal yang setara dengan total nilai kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, komunikasi, rekreasi, dan tabungan untuk jaminan hari tua sepasang kepala keluarganya. Oleh karena itu nilai KHL lebih besar dari nilai ambang kecukupan pangan (beras). Batasan mengenai KHL tersebut dapat dipastikan sebagai standar kebutuhan hidup yang lebih tinggi daripada sekedar cukup pangan, sandang dan perumahan sederhana yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup subsisten (Tim IPB 2004). Produktivitas dan pendapatan petani yang tinggi untuk dapat memenuhi KHL dapat diperoleh melalui pemilihan usahatani, komoditas dan agroteknologi yang tepat. Pemilihan komoditas yang tepat dapat meningkatkan pendapatan, sehingga petani mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat melakukan kegiatan investasi termasuk teknologi untuk meningkatkan produktivitas/kualitas lahan (Adnyana 1999). Oleh karena itu salah satu aspek yang menentukan adalah introduksi teknologi tepat guna yang inovatif melalui proses alih teknologi yang utuh mulai dari kegiatan penelitian hingga tingkat adopsi oleh petani.
Hal ini berarti teknologi tersebut harus lebih baik dari
teknologi yang ada sebelumnya yang dinyatakan dalam bentuk ekonomis (keuntungan komparatif), konsisten dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat, pengalaman masa lalu, harapan dan kebutuhan petani sebagai penerima teknologi (kompatabilitas), relatif mudah dimengerti dan dipergunakan, mudah dicoba dalam skala kecil (triabilitas), dan hasil penerapan teknologi tersebut harus dapat dilihat langsung (observabilitas) (Nugroho 2002). Pembukaan lahan kering untuk usahatani tanaman semusim di wilayah berlereng akan mempercepat degradasi lahan, terutama akibat erosi (physical degradation) dan penurunan kandungan bahan organik tanah (biological degradation) serta pencucian hara (chemical degradation) (Stocking 1994). Menurut Minami (1997) erosi merupakan faktor negatif pertama yang menentukan produktivitas dan profitability dalam konsep sustainability. Hal ini didukung oleh Belcher et al. (2004) yang mengemukakan bahwa karakteristik biofisik agro-ekosistem yang mencakup karakteristik tanah dan iklim merupakan critical determinant dari performance ekonomi dan sustainability sistem produksi. Oleh karena itu konsekuensinya menurut Wolf dan Snyder (2003) sustainability
29
hanya dapat dicapai jika erosi dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan dan/atau ditingkatkan. Derpsch dan Moriya (1998) menambahkan bahwa jika tanah yang hilang lebih besar daripada laju erosi yang dapat ditoleransikan, maka sistem pertanian berkelanjutan tidak mungkin dicapai. Untuk tujuan konservasi tanah sekaligus produktivitas yang tinggi, tidak ada agroteknologi yang memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik dan tidak ada teknik KTA yang dapat mengendalikan erosi apabila tanahnya tidak cocok untuk pertanian. Penggunaan tanah yang tepat berdasarkan hasil kemampuan lahan merupakan langkah awal menuju sistem budidaya tanaman yang baik dan program konservasi tanah yang berhasil (Sinukaban 1989) dan langkah awal dalam pengelolaan DAS berkelanjutan (Sheng 2000). Selanjutnya konservasi tanah sekaligus konservasi bahan organik tanah merupakan suatu keharusan pada setiap usaha pertanian, sehingga level bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu indikator keberlanjutan sumberdaya lahan (Wolf dan Snyder 2003; Khisa 2002; Stocking 1994). Ketergantungan sistem pertanian berkelanjutan terhadap keberadaan bahan organik disebabkan oleh efek menguntungkan bahan organik dan bentukbentuk bahan organik tanah (Wolf dan Snyder 2003). Penurunan kesuburan tanah berhubungan erat dengan penurunan bahan organik tanah yang berkorelasi dengan kerusakan struktur tanah, menurunnya kaju infiltrasi, meningkatnya kepadatan, pengkerakan, erodibilitas tanah dan pencucian, dan menurunnya status hara tanah.
Menurut Soepardi (1983) usaha pertanian
menyebabkan menurunnya kandungan bahan organik tanah dan nitrogen hingga 35 %, bila penurunan lebih dari 35 % membahayakan kondisi tanah yang ditunjukkan oleh menurunnya produktivitas. Besarnya peranan bahan organik dalam memelihara produktivitas tanah memberikan implikasi bahwa level bahan organik merupakan salah satu indikator dari sustainability suatu sistem pengelolaan tanah. Jika level bahan organik tanah berkurang dari level yang ada pada tanah tersebut akibat suatu pengelolaan, maka sistem tersebut dikatakan tidak sustainable (Greenland 1994). Dengan kata lain sustainable agriculture tidak mungkin tanpa sustainable soil, sedangkan produktivitas tanah tidak dapat berlanjut tanpa bahan organik yang cukup (Wolf dan Snyder 2003). Program Tujuan Ganda Program Tujuan Ganda (PTG) atau Multiple Goal Programming merupakan modifikasi atau variasi khusus dari Program Linier. Dalam kondisi pengambil
30
keputusan dihadapkan kepada suatu persoalan yang mempunyai beberapa tujuan, sementara satu tujuan dengan tujuan lainnya saling bertentangan (multiple and conflict goals), maka PTG dapat dengan mudah menganalisisnya untuk memberikan pertimbangan yang rasional (Nasendi dan Anwar 1985). Tujuan dari analisis PTG adalah untuk meminimumkan ”jarak antara” atau “deviasi“ terhadap ”tujuan, target/sasaran” yang telah ditetapkan, dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan, sesuai dengan syarat ikatan yang ada yang membatasinya berupa sumberdaya dan teknologi yang tersedia, kendala tujuan dan sebagainya. Tahap pertama dalam memformulasikan PTG adalah dengan menetapkan peubah-peubah pengambilan keputusan. Kemudian menspesifikasikan masalah yang dihadapi dan ingin dianalisis menurut urutan prioritasnya yang dapat disusun dalam skala kardinal maupun ordinal.
Asumsi-asumsi dasar yang
disebut dengan “peubah-peubah devisional” dalam PTG terdiri dari peubah deviasi positif dan deviasi negatif.
Kemudian dalam PTG dimasukkan satu atau
lebih tujuan yang langsung berhubungan dengan fungsi tujuan dalam bentuk peubah-peubah devisional, dan memfokuskan prosedur optimasi pada peubahpeubah tersebut dengan jalan tidak memberikan nilai pada peubah struktural Xj. Jadi yang dinilai dan dianalisis dalam PTG bukanlah kegiatannya, melainkan deviasi dari tujuan, saran atau target yang ditimbulkan oleh adanya nilai penyelesaian tersebut. Model umum PTG adalah sebagai berikut : m
Meminimumkan : Z = ∑ Wi ( di+ + di- )
........................................................... 1)
i =1
m
Z = ∑ Wi+ di+ + Wi - di ............................................................ 2) i =1
m
Syarat ikatan :
∑ ai.j Xj + di- - di+ = bi
..................................................... 3)
j =1
untuk : i = 1, 2, 3, .... m tujuan atau target n
∑ gk.j Xj
Ck
........................................................... 4)
j =1
untuk : k = 1, 2, .. p kendala fungsional j = 1, 2, .. n peubah keputusan xj, di- , di+ > 0 ................................................................... 5) di- . di+ = 0 ......................................................................... 6)
31
Keterangan : Z
= nilai skala dari kriteria pengambilan keputusan, fungsi tujuan
di-, di+
= jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)
wi- ,wi+
= timbangan atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi) = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan yang berhubungan dengan
aij
tujuan peubah pengambilan keputusan (Xj) Xj
= peubah pengambilan keputusan atau kegiatan (subtujuan)
bi
= tujuan atau target yang ingin dicapai
gk.j
= koefisien teknologi fungsi kendala biasa
Ck
= jumlah sumberdaya “k” yang tersedia Model tersebut di atas menunjukkan bahwa PTG mempunyai struktur yang
terdiri
dari
fungsi
tujuan
dan
fungsi
kendala.
Fungsi
tujuan
bersifat
meminimumkan simpangan dari tujuan atau target dan didalamnya terdapat urutan skala prioritas dari tujuan atau target tersebut. Fungsi kendala terdiri atas fungsi kendala tujuan dan fungsi kendala sumberdaya (kendala fungsional). Dalam rangka memecahkan persoalan dimana pengambil keputusan menghadapi suatu persoalan dengan tujuan ganda, tetapi satu tujuan dengan tujuan lainnya saling bertentangan, maka pengambil keputuan tersebut harus menentukan tujuan yang diutamakan atau diprioritaskan (tujuan yang paling penting ditentukan sebagai prioritas ke-1 dan seterusnya). Pembedaan prioritas tersebut dikatakan sebagai pengutamaan (preemptive) yaitu mendahulukan tercapainya kepuasan pada suatu tujuan yang telah ditetapkan sebagai prioritas utama sebelum menuju pada tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas berikutnya. Dengan kata lain prioritas-prioritas tersebut harus disusun dalam suatu urutan (ranking) menurut prioritasnya (prioritas dinyatakan sebagai Pi untuk i = 1, 2, 3 ..., m). Hubungan nPi+1 > Pi tidak mungkin diharapkan terjadi dalam persoalan PTG yang menggunakan ketentuan pengutamaan (urutan prioritas).
Perumusan
model PTG dengan urutan prioritas ini disebut sebagai “Model Program Tujuan Ganda” yang memiliki struktur prioritas yang timbangannya (Pi; i = 1, 2, 3, ...., m) adalah ordinal”. Model umum PTG yang memiliki struktur timbangan pengutamaan dengan urutan ordinal dapat dirumuskan sebagai berikut :
32
Meminimumkan :
m
Z = ∑ ( Py Wi.y+ di+ + Ps Wi.s- di- ) .......................................... 7) i =1
m
Syarat ikatan :
∑ ai.j Xj + di- - di+ = bi ....................................................... 8)
j=1
untuk : i = 1, 2, 3, .... m tujuan atau target n
∑ gk.j Xj Ck ............................................................... 9)
j =1
untuk : k = 1, 2, ....... p kendala fungsional j = 1, 2, ...... n peubah pengambil keputusan xj, di-
,
di+
> 0 .................................................................... 10)
di- . di+ = 0 .......................................................................... 11) Py dan Ps adalah faktor-faktor prioritas dari tujuan, W i.y+ dan W i.s- adalah timbangan relatif dari di+ dalam urutan ke-y dan timbangan relatif dari di- dalam urutan ke-s, dan terdapat m tujuan, p kendala fungsional dan n peubah pengambil keputusan.
33
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di DAS Siulak (hulu DAS Merao), di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi (Lampiran 2).
Pemilihan dan
penetapan lokasi penelitian secara sengaja dengan pertimbangan DAS Siulak merupakan salah satu sentra produksi sayuran dan areal utama usahatani kentang di Kabupaten Kerinci dengan guludan tanaman searah lereng. Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian
berlangsung dari bulan November 2008 hingga Februari 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain bibit kentang (Varietas Granola G-3), benih kubis (Varietas Master Grand), pupuk kandang (kotoran ayam), kapur pertanian (Dolomit), pupuk kimia (Urea, ZA, SP-36, KCl), fungisida, insektisida, nematisida dan herbisida serta sejumlah bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium. Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat survei tanah (Geographical Position System atau GPS, kompas, abney level, bor tanah, meteran, pisau lapang, Munsell Soil Color Chart), double ring infiltrometer, kamera digital, bak penampung aliran permukaan dan erosi, alat penakar hujan (manual), plastik terpal, bambu, cangkul seperangkat komputer dan printer, alat-alat tulis, dan seperangkat alat laboratorium untuk analisis contoh tanah di laboratorium. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data Penelitian menggunakan Metode Eksperimen (Percobaan Erosi Petak Kecil), Metode Survei (Survei Tanah dan Petani) dan Metode Sistem (Multiple Goal Programming). Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data biofisik lahan, karakteristik petani dan agroteknologi yang diperoleh melalui pengamatan dan/atau pengukuran langsung di lapangan serta wawancara dengan responden petani, data erosi dan produktivitas tanaman dari percobaan erosi petak kecil di lapangan.
Data
sekunder merupakan data gambaran umum daerah penelitian dari catatan kantor desa, kabupaten dan laporan instansi atau lembaga terkait, peta dan laporan penelitian dari perguruan tinggi, lembaga penelitian dan dinas terkait) (Tabel 2).
Tabel 2 Jenis, sumber dan kegunaan data untuk perencanaan usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Jenis Data Data primer Biofisik lahan (sifat fisika dan kimia tanah) Kondisi sosial-ekonomi petani Teknik budidaya tanaman dan konservasi tanah Pengaruh teknik KTA terhadap erosi dan produktivitas tanaman Data sekunder Jenis dan luas penggunaan lahan Letak, geografis, karakteristik tanah, iklim, topografi Kependudukan dan mata pencaharian masyarakat
Sumber Data
Kegunaan Data
Survei tanah dan analisis tanah di laboratorium Survei dan wawancara dengan responden petani Survei dan wawancara dengan responden petani Pengamatan dan pengukuran pada petak percobaan di lapangan
Evaluasi kemampuan/kesesuaian lahan, prediksi erosi Mendeskripsikan kondisi sosial-ekonomi petani Mendeskripsikan agroteknologi oleh petani Mengetahui teknik KTA alternatif untuk usahatani sayuran
Peta penggunaan lahan, Laporan BP DAS Batanghari Peta jenis tanah, Laporan BP DAS Batanghari, Catatan data klimatologi Stasiun Kayu Aro Catatan kantor desa, Laporan Tahunan Distanbun dan Bappeda Kabupaten Kerinci
Mendeskripsikan karakteristik dan potensi lahan Mendeskrispsikan karakteristik wilayah untuk mengetahui potensi lahan Mendeskripsikan gambaran umum dan potensi sumberdaya petani
Pelaksanaan Penelitian Penelitian terdiri atas 4 tahap yaitu persiapan, pengumpulan data kondisi existing usahatani di DAS Siulak, percobaan erosi petak kecil di lapangan, dan disain skenario agroteknologi yang akan digunakan dalam model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak (Gambar 2). Persiapan Penelitian diawali dengan pembuatan peta kerja pada lahan usahatani campuran di DAS Siulak melalui overlay peta kemiringan lereng (Lampiran 3), peta penggunaan lahan (Lampiran 4) dan peta jenis tanah (Lampiran 5) (BP DAS Batanghari 2003). Peta kerja menunjukkan bahwa lahan pertanian campuran di DAS Siulak seluas 1 970.64 ha mempunyai tanah dari ordo Andisol (Hapludand) dengan empat kelas kemiringan lereng yaitu 0 - 3, 3 - 8, 8 - 15 dan 5 - 25 persen yang selanjutnya ditetapkan sebagai satuan lahan pengamatan (SLP), sehingga dalam peta kerja terdapat 4 SLP (Tabel 3, Lampiran 6).
Titik-titik untuk
pengamatan dan pengambilan contoh tanah pada masing-masing SLP ditentukan secara acak pada kemiringan lereng yang dominan. Contoh tanah untuk analisis di laboratorium adalah contoh tanah terganggu dan contoh tanah utuh pada kedalaman 0 - 30 cm dan 30 - 60 cm. Pada tahap persiapan juga
35
dilakukan penyusunan kuisioner untuk pengumpulan data karakteristik dan kondisi sosial-ekonomi petani serta agroteknologi yang diterapkan petani. Penetapan responden menggunakan metode purposive random sampling dengan jumlah responden proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga petani pada masing-masing desa di DAS Siulak (5 - 10 persen jumlah KK/desa) Persiapan Studi pustaka, pengumpulan peta dan data sekunder, penetapan SLP, contoh tanah dan responden petani, persiapan kuisioner, groundcheck peta Tujuan 1
Tujuan 2
Pengumpulan data kondisi existing usahatani di DAS
Pengujian teknik KTA untuk usahatani sayuran (Percobaan Erosi Petak Kecil)
Karakteristik petani
Biofisik Lahan
Agroteknologi
Data erosi dan produktivitas tanaman, analisis usahatani Analisis teknik KTA alternatif untuk usahatani sayuran
Evaluasi kemampuan/ kesesuaian lahan, prediksi erosi, Etol, luas lahan petani, pola tanam, teknik budidaya dan KTA,
Teknik KTA alternatif untuk usahatani sayuran
Analisis keberlanjutan usahatani
Erosi < Etol
Agroteknologi spesifik lokasi
Pendapatan > KHL
Tujuan 3
Disain skenario agroteknologi usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang
Analisis agroteknologi usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang yang optimal
Model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak
Gambar 2 Diagram alir perencanaan usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
36
Tabel 3 Topografi, luas dan penyebaran SLP pada lahan usahatani campuran di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi SLP SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
Kemiringan lereng (%) 0-3 3-8 8 - 15 15 - 25 Jumlah
Luas (ha) 603.76 839.31 320.49 207.08 1 970.64
Penyebaran (%) 30.61 42.59 16.26 10.54 100.00
Pengumpulan dan analisis data kondisi existing usahatani di DAS Siulak a. Biofisik lahan Pengumpulan data biofisik lahan pertanian campuran di DAS Siulak untuk keperluan evaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan serta prediksi erosi. Evaluasi kemampuan lahan mengacu pada Sistem Klasifikasi Kemampuan Lahan Klingebiel dan Montgomery (1973, diacu dalam Arsyad 2009) (Lampiran 7). Evaluasi kesesuaian lahan mengacu pada kriteria kesesuaian lahan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor (Lampiran 8) (Djaenudin et al. 2003). Prediksi erosi mengacu pada Metode USLE (Universal Soil Loss Equation) melalui penetapan : a)
Nilai faktor erosivitas hujan (R)
menggunakan data curah hujan (Rumus Bols 1978, diacu dalam Arsyad 2009); b) Nilai faktor erodibilitas tanah (K) menggunakan data tekstur, struktur, permeabilitas dan bahan organik tanah; c) Nilai faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) menggunakan data panjang dan kemiringan lereng; d) Nilai faktor tanaman (C) menggunakan data jenis tanaman dan pola tanam; dan e) Nilai faktor KTA (P) menggunakan data metode KTA oleh petani (Arsyad 2009). Data iklim (curah hujan) (Lampiran 9), temperatur dan kelembaban udara (Lampiran 10) diperoleh dari catatan Stasiun Iklim Kecamatan Aro (tahun 2000 2008) oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jambi. Data tanah diperoleh melalui pengamatan/pengukuran langsung di lapangan dan analisis contoh tanah di laboratorium. Nilai C dan P diperoleh melalui Tabel Nilai C dan P yang tersedia dari pustaka (Lampiran 11, Lampiran 12) (Sinukaban 1989; Arsyad 2009). Selanjutnya prediksi erosi menggunakan persamaan sebagai berikut : A
= R K L S C P .............................................................................. (12)
Ep = R K L S ..................................................................................... (13) IBE = A / Etol .................................................................................... (14) CPmaks = Etol / Ep ................................................................................. (15)
37
Keterangan : A
= Prediksi erosi (ton/ha/tahun)
R
= faktor erosivitas hujan
K
= faktor erodibilitas tanah
L
= faktor panjang lereng
S
= faktor kemiringan lereng
C
= faktor jenis tanaman dan pengelolaannya
P
= faktor teknik konservasi tanah
Ep
= erosi potensial (ton/ha/tahun)
IBE
= indeks bahaya erosi
Etol
= erosi yang dapat ditoleransikan (ton/ha/tahun)
CPmaks = CP maksimum R = 6.119(B)1.21(D)-0.47(M)0.53 .............................................................. (16) Keterangan : B = curah hujan bulanan (cm) D = jumlah hari hujan per bulan M = rata-rata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan (cm) 100K = 1.292[2.1M1,14(10-4) (12 - a) + 3.25(b-2) + 2.5(c - 3)] ............. (17) Keterangan : M = (persentase pasir sangat halus, debu dan liat) b = kode tipe struktur tanah (Lampiran 13) c = kelas permeabilitas tanah (Lampiran 13) a = kadar bahan organik tanah LS = √x(0.0138 + 0.00965s + 0.00138s2) ........................................... (18) Keterangan : x = panjang lereng (m) s = kemiringan lereng (%) Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) dihitung berdasarkan konsep Wood dan Dent (1983, diacu dalam Hardjowigeno 2010) dengan persamaan: Etol = (DE - Dmin) / MPT + PT ………................................................ (19)
38
Keterangan : Etol
= erosi yang dapat ditoleransikan (mm/tahun) Etol (mm/tahun) x BV (g/cm3) x 1 ha = Etol (ton/ha/tahun)
DE
= kedalaman tanah ekivalen (mm) = kedalaman efektif tanah x faktor kedalaman tanah
Dmin
= kedalaman tanah minimum (mm) (Lampiran 14)
MPT = masa pakai tanah (200 tahun, untuk pemakaian terus menerus dan intensif (Sinukaban 1989) PT
= laju pembentukan tanah (1.0 mm/tahun, rata-rata proses pembentukan tanah di Indonesia, Hardjowigeno 2010)
b. Karakteristik petani dan agroteknologi Data karakteristik petani meliputi karakteristik sosial-ekonomi petani yang mempengaruhi perilaku petani dalam aktivitas usahatani.
Data agroteknologi
meliputi : 1) tanaman (jenis, varietas, pola tanam), 2) pengadaan benih/bibit (cara/sumber), 3) persiapan lahan (sistem olah tanah), 4) pemupukan (jenis, jumlah, cara, waktu), 5) penanaman (jumlah benih/bibit, jarak dan cara tanam), 6) pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman (jenis, cara, dosis/jumlah pestisida, intesitas penyemprotan), dan 7) teknik KTA. Data karakteristik petani dan agroteknologi bersumber langsung dari petani melalui wawancara terstruktur menggunakan kuisioner dan dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya dilakukan analisis usahatani dan kelayakan finansial usahatani. Analisis usahatani menggunakan input komponen penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani (cash flow analysis) (Soekartawi 2006) sebagai berikut :
Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara produksi usahatani dengan harga produksi usahatani tersebut dengan persamaan : TR = YiPyi = ∑ (Y1Py1 + Y2Py2 + …. + YnPyn) ………………………...... (20) Keterangan : TR = total penerimaan usahatani Yi = produksi yang diperoleh dalam usahatani ke-i Pyi = harga produksi usahatani ke-i
Biaya usahatani merupakan nilai semua keluaran (output) yang digunakan dalam usahatani (proses produksi), mencakup biaya tetap dan biaya tidak tetap dengan persamaan : TC = FC + VC ...................................................................................... (21)
39
VC = XiPxi = ∑ (X1Px1 + X2 Px2 + ........... .Xn Pxn) ................................ (22) Keterangan : TC = total biaya usahatani FC = biaya variabel tetap berupa biaya-biaya penyusutan modal petani VC = biaya variabel tidak tetap Xi = input usahatani ke-i Pxi = harga input usahatani ke-i
Pendapatan usahatani (π) merupakan selisih antara total penerimaan usahatani (TR) dengan total biaya usahatani (TC) Analisis kelayakan finansial usahatani berdasarkan nilai BCR (benefit cost
ratio) tanpa discount factor dan RCR (Return Cost Ratio) (Soekartawi et al. 1986) BCR = Pendapatan / Biaya Produksi ................................................... (23) BCR > 1, usahatani efisien dan menguntungkan BCR < 1, usahatani tidak efisien dan tidak menguntungkan RCR = Penerimaan / Biaya Produksi
.................................................................. (24)
RCR = 1, usahatani hanya dapat mengembalikan modal Kebutuhan hidup layak (KHL) dihitung berdasarkan rata-rata jumlah anggota satu keluarga petani, didekati dari kebutuhan fisik minimal (KFM) ditambah dengan kebutuhan hidup tambahan (KHT) yaitu pendidikan dan sosial (50 % KFM), kesehatan dan rekreasi (50 % KFM), dan asuransi dan tabungan (50 % KFM), sehingga KHL adalah 250 % KFM (Sinukaban 2007). Standar kebutuhan fisik minimum berdasarkan kebutuhan beras per KK yaitu 400 kg/orang/tahun dan harga beras di pasar (mengacu pada Sayogyo dan Sayogyo 1990; Sinukaban N 23 Desember 2011, komunikasi pribadi). KFM = kebutuhan beras/KK x jumlah jiwa/KK x harga beras .............. (25)
Luas lahan minimum (Lm) dihitung dengan persamaan (Tim IPB 2004) : Luas Lm = KHL / Pendapatan ............................................................. (26) Pengujian teknik KTA alternatif untuk usahatani sayuran Pengujian teknik KTA untuk kentang (2 musim tanam) dan kubis (1 musim tanam) dengan percobaan erosi petak kecil berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan 3 kelompok (kemiringan lereng 7, 14 dan 20 persen). Ketujuh perlakuan (Lampiran 15) adalah sebagai berikut :
40
P0
= Guludan tanaman searah lereng (sistem petani)
P1
= Guludan tanaman searah lereng + guludan memotong lereng di bagian tengah dan ujung bawah petakan (jarak 4.5 m)
P2
= P1 + 1 rorak pada guludan momotong lereng di ujung bawah petakan
P3
= P1 + 1 rorak pada guludan memotong lereng di bagian tengah dan ujung bawah petakan
P4
= Guludan tanaman memotong lereng
P5
= Guludan tanaman memotong lereng miring 150
P6
= Guludan tanaman memotong lereng miring 300 Satuan percobaan berupa petakan 10 m x 2 m (panjang petak searah
lereng).
Pengukuran aliran permukaan dan erosi dengan Metode Multi-slot
Diviser. Pembatas petakan percobaan menggunakan plastik terpal yang dibenamkan + 20 cm ke dalam tanah dan + 20 cm di atas permukaan tanah. Bak penampung aliran permukaan dan erosi berukuran 2 m x 0.5 m x 0.5 m dengan 7 lubang (diameter 5 cm) pada 5 cm dari bibir bak dan satu lubang yang ditengah dihubungkan dengan pipa paralon (diameter 5 cm) untuk mengalirkan luapan ke bak kecil 0.5 m x 0.5 m x 0.5 m (Lampiran 16). Curah hujan selama percobaan dicatat dengan alat penakar hujan yang ditempatkan di dekat petak percobaan. a. Penanaman kentang (MT-1 dan MT-2) Penanaman kentang menggunakan jarak tanam 75 cm x 30 cm (jarak antar guludan 75 cm dan jarak tanaman dalam guludan 30 cm).
Pemupukan
diaplikasikan pada setiap petak percobaan dengan takaran 200 kg Urea, 300 kg ZA, 300 kg SP-36, 200 kg KCl per hektar (Duriat et al. 2006) dan pupuk kandang 10 ton/ha. Bibit yang digunakan adalah bibit sertifikasi (G-3) varietas Granola dari Balai Benih Induk Kentang (BBIK) Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi. Penanaman dilakukan setelah pemberian pupuk kandang dan sekaligus pemberian pupuk buatan (Urea dan KCl masing-masing setengah dosis dan SP-36 dosis penuh) dengan cara tugal. Penyiangan pertama, pendangiran dan pemupukan susulan (setengah dosis Urea dan KCl) dilakukan 30 hari setelah tanaman tumbuh dan penyiangan kedua pada saat tanaman berumur 45 HST. Pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan insektisida dan fungisida dengan penyemprotan 1 - 2 kali dalam seminggu, tergantung kondisi tanaman (dosis sesuai anjuran di kemasan).
41
b. Penanaman kubis (MT-2) Dalam persiapan lahan dilakukan pengapuran (2 ton Dolomit/ha) dan pemberian pupuk kandang (10 ton/ha). Penanaman bibit kubis (Varietas Master Grand) menggunakan jarak tanam 75 cm x 40 cm (jarak antar guludan 75 cm dan antar tanaman dalam guludan 40 cm).
Takaran pupuk buatan yang
diaplikasikan pada setiap petak percobaan adalah 100 kg Urea, 250 kg ZA, 250 kg SP-36, 200 kg KCl per hektar (Sastrosiswojo et al. 2005). Pemberian pupuk buatan (Urea dan KCl masing-masing setengah dosis dan SP-36 dosis penuh) dilakukan saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST) dengan cara tugal. Penyiangan pertama dan pemupukan susulan (setengah dosis Urea dan KCl) dilakukan 6 MST.
Penyiangan kedua pada umur 45 HST.
Pengendalian hama dan penyakit menggunakan insektisida dan fungisida dengan penyemprotan seminggu sekali (dosis sesuai anjuran di kemasan). c. Pengamatan dan pengumpulan data Data yang dikumpulkan terdiri atas
:
1) sifat fisika dan kimia tanah
sebelum perlakuan; 2) sifat kimia (C-organik, N-total, P dan K-tersedia) setelah perlakuan (seminggu menjelang panen);
3) kapasitas infiltrasi (seminggu
menjelang panen), 4) aliran permukaan dan erosi;
5) konsentrasi sedimen
tersuspensi, 6) konsentrasi C-organik, N, P dan K di dalam sedimen, 7) jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi; 8) tingkat serangan penyakit tanaman kentang; 9) produktivitas kentang berdasarkan ukuran umbi (< 30 g, 30 - 60 g, > 60 g); 10) Produktivitas kubis; 11) Analisis usahatani dan kelayakan finansial usahatani masing-masing perlakuan; dan 12) Curah hujan selama percobaan. Contoh tanah untuk penetapan sifat fisika tanah diambil pada kedalaman 0 - 20 cm dan 20 – 40 cm, untuk penetapan sifat kimia tanah menggunakan contoh tanah komposit pada kedalaman 0 - 40 cm. d. Pengukuran aliran permukaan dan erosi Pengukuran aliran permukaan dan erosi dilakukan setiap pagi pukul 07.00 pada setiap kejadian hujan selama percobaan.
Volume aliran permukaan
(liter/petak) diukur dengan cara menakar air yang tertampung di dalam bak penampung.
Berat tanah (erosi) dilakukan dengan cara menimbang semua
tanah basah yang sudah dikeringanginkan, kemudian diambil contoh tanah tersebut (+ 25 g) dan dikeringkan di oven hingga beratnya tetap (1 x 24 jam), dihitung berat total tanah tererosi (Sitorus dan Tirtohadisurjo 1979).
42
e. Pengukuran konsentrasi sedimen dan konsentrasi C-organik, N, P dan K di dalam sedimen tersuspensi Konsentrasi sedimen diukur melalui contoh sedimen yang diambil menggunakan botol plastik pada ujung bawah petak percobaan (bibir petak) sebelum aliran permukaan masuk ke dalam bak penampung. Pengambilan contoh aliran permukaan (+ 500 ml) dilakukan pada setiap kejadian hujan pada musim tanam kentang dan kubis.
Selanjutnya dipilih contoh yang lengkap
(semua satuan percobaan dalam satu kejadian hujan). Konsentrasi sedimen (g/l) ditetapkan di laboratorium dengan cara pengeringan di oven. Kemudian dari contoh sedimen tersebut dilakukan analisis kandungan C-organik (Metode Walkley dan Blake), N-total (Metode Kjeldhal), P2O5 (Metode Bray-1) dan K2O (Ekstraksi dengan 1 N NH4OAc pH 7.0). f. Penghitungan jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi Jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi dihitung dengan persamaan : X = Y x E ....................................................................... (27) Keterangan : X = jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi (kg/petak) Y = konsentrasi C-organik, N-total, P dan K tersedia di dalam sedimen E = jumlah total tanah tererosi (kg/petak) g. Pengamatan serangan penyakit tanaman kentang Pengamatan serangan penyakit tanaman kentang setiap musim tanaman dilakukan pada pagi hari (10 tanaman/petak, ditetapkan secara sistematik). Tanaman yang dihitung sebagai terserang penyakit ditandai dengan kondisi tanaman yang rusak sesuai gejala serangan penyakit busuk daun oleh cendawan Phytophthora sp dan penyakit layu dan busuk kering oleh cendawan Fusarium sp. Serangan penyakit ditetapkan dengan persamaan (Duriat et al. 2006) : P = a/b x 100 % .............................................................(28) Keterangan : P = tingkat kerusakan tanaman (%) a = jumlah tanaman yang rusak b = jumlah tanaman yang diamati
43
h. Analisis data Data hasil percobaan erosi petak kecil dianalisis secara statistik menggunakan Uji-F dengan model aditif linier sebagai berikut : Yij = µ + αi + βj + ij ;
..........………........................... (29)
i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3, ……, 7
Keterangan : Yij = pengamatan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ
= nilai rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan ke-i βj = pengaruh kelompok ke-j ij = galat disebabkan oleh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Untuk melihat perbedaan pengaruh antar perlakuan dan mencari perlakuan terbaik, maka pengujian dilanjutkan dengan uji Duncan (DNMRT, Duncan New Multiple Range Test).
Untuk mengetahui kelayakan finansial masing-masing
perlakuan dilakukan analisis usahatani, BCR dan RCR. Desain skenario agroteknologi berkelanjutan berbasis kentang
untuk
model
usahatani
sayuran
Model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang (UTSBK) di DAS Siulak adalah model usahatani sayuran berbasis kentang (skala unit lahan petani) yang dapat memberikan pendapatan usahatani sama atau lebih besar dari kebutuhan hidup layak (pendapatan usahatani > KHL) dan mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (erosi < Etol) melalui penerapan agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani.
Oleh karena itu model UTSBK dibangun melalui disain skenario
agroteknologi berdasarkan kondisi existing dan hasil percobaan erosi petak kecil sesuai dengan sumberdaya lahan yang dimiliki petani. Pemilihan agroteknologi optimal berkelanjutan berbasis kentang
untuk
model
usahatani
sayuran
Agroteknologi yang optimal untuk model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang (UTSBK) di DAS Siulak diperoleh melalui analisis optimalisasi menggunakan metode multiple goal programming atau program tujuan ganda (PTG) (Nashendi dan Anwar 1985) dengan tahapan sebagai berikut :
44
1. Penetapan input data Input data dalam
analisis menggunakan PTG
untuk memperoleh
agroteknologi yang optimal adalah data erosi, pendapatan dan luas lahan petani sesuai kemiringan lereng yang menerapkan skenario agroteknologi untuk model UTSBK yang telah dirancang. 2. Penetapan target Agroteknologi yang optimal untuk model UTSBK harus mencapai target :
Erosi harus lebih kecil atau sama dengan Etol (erosi < Etol)
Pendapatan harus sama atau lebih besar dari KHL (pendapatan > KHL)
3. Penetapan peubah dan parameter Peubah keputusan adalah luas lahan yang menerapkan agroteknologi alternatif untuk model UTSBK. Fungsi kendala adalah :
Kendala tujuan Mengurangi erosi pada setiap penggunaan lahan dengan agroteknologi alternatif untuk model UTSBK ke-i (Xi) dibatasi oleh Etol :
∑ EiXi + de- - de+
< Etol ................................... (30)
Tujuan : meminimumkan de+ Meningkatkan pendapatan petani pada setiap penggunaan lahan dengan agroteknologi alternatif untuk model UTSBK ke-i (Xi) dibatasi oleh standar pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL)
∑ PiXi+ dp- - dp+ Tujuan : meminimumkan dp
> KHL ................................... (31)
-
Kendala riil Alokasi penggunaan lahan dengan agroteknologi alternatif model UTSBK ke-i (Xi) dibatasi oleh luas lahan yang dimiliki petani (A)
∑ A i Xi <
A ...................................................... (32)
Xi > 0 Fungsi tujuan adalah meminimumkan total simpangan (deviasi) fungsi kendala tujuan terhadap target yang ditetapkan m
Z=
∑ (Py Wi.y di+ i=1
45
+ Ps Wi.s di- ) ................................. (33)
Keterangan : de+ , de-
:
Deviasi positif dan negatif dari target erosi
dp+ , dp-
:
Deviasi positif dan negatif dari target pendapatan
P y , Ps
:
Faktor-faktor prioritas tujuan ke-y dan ke-s (ordinal)
W i.y ,
:
Bobot yang diberikan terhadap deviasi (+) tujuan ke-i dalam urutan prioritas ke-y
W i.s
:
Bobot yang diberikan terhadap deviasi (-) tujuan ke-i dalam urutan prioritas ke-s
46
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Siulak di hulu DAS Merao mempunyai luas 4296.18 ha, secara geografis terletak antara 101011′50” - 101015′44” BT dan 1050′45” - 1042′50” LS pada ketinggian 1500 - 1700 m di atas permukaan laut (dpl). Berdasarkan data klimatologi Stasiun Kayu Aro (tahun 2000 - 2008) ratarata curah hujan di DAS Siulak 1789.16 mm/tahun dan 149.14 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 147 hari/tahun. Curah hujan maksimum dan minimum masingmasing terjadi pada bulan April (206.39 mm/bulan) dan Agustus (100.17 mm/bulan) (Gambar 3). Curah hujan relatif lebih rendah pada bulan Mei hingga September. Rata-rata temperatur udara 22.9 0C (maksimum 32.51 0C, minimum 17.99 0C) dan kelembaban udara 89.99 %. Berdasarkan Klasifikasi Iklim Schmid dan Ferguson, seluruh DAS Siulak termasuk beriklim tropis dengan Tipe Iklim A (daerah basah dengan hutan tropis).
Curah hujan (mm)
Jumlah hari hujan
250
16
16
16
14
13
14 11 10
150 206,39 100
16
8
11
12
9
199,74
8
201,52
174,48
8
169,78
154,37 124,24
111,28
50
100,17
6
124,89
122,51
10
Jumlah hari hujan
Curah hujan (mm)
200
18 15
4
100,27
2 0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 3 Curah hujan dan hari hujan bulanan di DAS Siulak, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci dari data Stasiun Klimatologi Kayu Aro tahun 2000 - 2008 Bentuk Wilayah dan Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil analisis peta sistem lahan (peta Repprot yang dikeluarkan Bakosurtanal) oleh BP DAS Batanghari (2003), bentuk lahan (geomorfologi) DAS Siulak adalah kipas dan lahar dengan simbol TLU dan hasil
analisis peta topografi menunjukkan bahwa bentuk wilayah dan topografi DAS Siulak bervariasi yaitu datar (kemiringan lereng 0 - 3 persen) seluas 1 164 ha, berombak (kemiringan lereng 3 - 8 persen) seluas 1 342.68 ha, bergelombang (kemiringan lereng 8 - 15 persen) seluas 890.40 ha, dan berbukit (kemiringan lereng 15 - 25 persen) seluas 896.10 ha. Penggunaan lahan di DAS Siulak terdiri dari hutan (1 195.77 ha), kebun kayumanis (121.01 ha), kebun teh (845.52 ha), pertanian campuran (tanaman semusim) (1 970.65 ha) dan pemukiman (158.75 ha) (Lampiran 6).
Lahan
pertanian campuran mempunyai kemiringan lereng 0 - 3 persen (603.76 ha), 3 - 8 persen (839.31 ha), 8 - 15 persen (320.49 ha) dan 15 - 25 persen (207.08 ha).
Dengan demikian sebagian besar (69.36 %) lahan pertanian
campuran di DAS Siulak mempunyai kemiringan lereng 3 - 25 persen dengan topografi berombak sampai berbukit) (Tabel 2, Lampiran 7). Jenis, Sifat Fisika dan Kimia Tanah Berdasarkan peta tanah Repprot skala 1 : 50 000 yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal diketahui bahwa hampir semua lahan di DAS Siulak mempunyai tanah Hapludands (Lampiran 7), yakni Andisol dengan rejim kelembaban Udik. Andisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai lapisan < 36 cm dengan sifat andik pada kedalaman > 60 cm. Sifat Andik dicirikan oleh C-organik < 25 %, bobot isi (BI) < 0.90 g/cm3, retensi P > 85 %, Al + ½Fe (dengan amonium oksalat) > 2.0 % dan rasa licin (smeary) bila dipirit (Hardjowigeno 2010). Hasil penelitian Hirmen (2003) menunjukkan bahwa pada Andisol di Desa Kebun Baru, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi ditemukan sifat andik pada profil tanah kedalaman 0 - 30 cm dan 30 - 60 cm. Pada lapisan 0 - 30 cm ditemukan kandungan C-organik 10.54 % (< 25 %), Al-oksalat 4.43 % (> 2 %), Al + ½Fe-oksalat 5.32 % (2 %), retensi fospat 98.70 % ( > 85 %), BI 0.44 g/cm3 (< 0.9 g/cm3), pH NaF 11.66 (> 10) dan gelas vulkanik 34.67 % (5 %). Kemudian pada kedalaman 30 - 60 cm ditemukan kandungan C-organik 5.70 % (< 25 %), Al-oksalat 7.17 % (> 2 %), Al + ½Fe-oksalat 8.14 % (2 %), retensi fospat 97.80 % ( > 85 %), BI 0.62 g/cm3 (< 0.90 g/cm3) dan pH NaF 11.68 (> 10) dan gelas vulkanik 32.33 % (> 5 %). Udands yang merupakan Andisol dengan rejim kelembaban udik dan berdrainase baik adalah Andisol yang termasuk tanah pertanian utama di lahan kering di wilayah beriklim humid (Hidayat dan Mulyani 2002). Tanah pada lahan pertanian campuran di DAS Siulak bertekstur lempung (berlempung halus) pada
48
lapisan atas kecuali SLP-3 bertekstur lempung berpasir (berlempung kasar), dan lempung berdebu (berlempung kasar) pada lapisan bawah (Tabel 4), sebagaimana ciri Andisol yang sebagian besar tergolong berlempung halus sampai berlempung kasar (Hidayat dan Mulyani 2002). Tabel 4
Sifat fisika dan kimia tanah pada lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Sifat Tanah Sifat fisika Tekstur tanah Lapisan 0 - 30 cm Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Lapisan 30 - 60 cm Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Kedalaman tanah (cm) 3 BI (g/cm ) Porositas (%) 3 Permeabilitas (g/cm ) Sifat kimia pH C-organik (%) N-total (%) P-tersedia (ppm) KTK (me/100 g) KB (%) Basa-basa dapat ditukar Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) K-dd (me/100g) Na-dd (me/100g)
SLP-1
SLP-2
Lempung
Lempung
SLP-3
SLP-4
21.87 54.71 23.45 84.00 (s) 0.65 (r) 73.23 (s) 13.79 (c)
Lempung berpasir 48.00 58.93 42.03 29.69 9.97 11.38 Lempung berdebu 19.44 15.07 55.90 57.65 24.56 27.27 74.00 (s) 75.00 (s) 0.76 (r) 0.85 (r) 69.61 (s) 65.31 (s) 10.47 (ac) 5.81 (s)
6.10 (am) 6.88 (st) 0.73 (t) 41.40 (st) 45.88 (st) 6.11 (sr)
5.00 (m) 6.03 (st) 0.79 (st) 51.50 (st) 38.48 (t) 9.90 (sr)
5.20 (m) 5.55 (st) 0.79 (st) 45.50 (st) 37.74 (t) 3.34 (sr)
5.90 (am) 5.08 (st) 0.47 (s) 42.20 (st) 37.37 (t) 5.76 (sr)
5.57 (r) 1.16 (s) 0.36 (s) 0.30 (r)
3.06 (r) 0.22 (t) 0.25 (s) 0.28 (r)
7.11 (s) 0.56 (r) 0.69 (t) 0.45 (s)
5.10 (r) 0.38 (sr) 0.19 (r) 0.22 (r)
39.13 38.60 22.20
Lempung 40.41 48.70 10.89 14.57 57.43 28.00 71.00 (s) 0.69 (r) 71.61 (s) 9.50 (ac)
m = masam, am = agak masam, st = sangat tinggi, t = tinggi, s = sedang, r = rendah, sr = sangat rendah
Sumber : Hasil analisis contoh tanah di laboratorium
Andisol yang dicirikan oleh tingginya kandungan debu, cenderung peka terhadap erosi terutama yang berada pada wilayah berlereng (Kurnia et al. 2004), sehingga penggunaannya untuk pertanian terutama usahatani tanaman semusim memerlukan tindakan konservasi tanah yang tepat dan memadai. Pekanya tanah di DAS Siulak terhadap erosi juga dapat dilihat dari kedalaman tanah yang tergolong sedang (dalam kisaran 50 - 90 cm, menurut kriteria Hardjowigeno 2010, Arsyad 2009) dan dapat terjadi akibat telah terjadi erosi cukup besar (> Etol).
Hal ini dilandasi oleh karakteristik alami Andisol yang
umumnya mempunyai kedalaman tanah (solum) yang dalam (Prasetyo 2005, Kurnia et al. 2004). Sifat fisika tanah yang lain termasuk baik yaitu bobot isi (BI)
49
rendah (< 0.90 g/cm3), porositas sedang, permeabilitas sedang sampai cepat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tanah pada masing-masing SLP berstruktur remah, gembur, drainase baik, tidak ada ancaman banjir dan tidak terdapat kerikil atau batuan pada lapisan permukaan.
Hal ini sesuai
dengan Kurnia et al. (2004) yang mengemukakan bahwa sifat fisika tanah Andisol pada lahan usahatani sayuran di dataran tinggi umumnya baik yaitu struktur tanah remah sampai lepas, gembur (friable) dengan kedalaman tanah (solum) dalam, drainase baik dan porositas sedang sampai tinggi. Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah oleh Pusat Penelitian Tanah (1983 dalam Hardjowigeno 2010), tanah pada lahan pertanian campuran di DAS Siulak tergolong bereaksi masam hingga agak masam dengan kandungan C-organik tinggi dan P-tersedia rendah hingga sedang, N-total dan kapasitas tukar kation (KTK) tinggi hingga sangat tinggi. Namun kejenuhan basa (KB) tanah tergolong rendah hingga sangat rendah dengan kandungan basa (Ca, Mg, K, Na) tergolong sedang hingga rendah (Tabel 4).
Hal ini sesuai dengan
Darmawidjaja (1997) yang mengemukakan bahwa Andisol dicirikan oleh KB rendah, KTK tinggi dan P-tersedia rendah karena sebagian besar P terfiksasi oleh mineral allophan, dan Hidayat dan Mulyani (2002) yang mengemukakan bahwa ion basa pada Andisol didominasi oleh Ca dan Mg dan sebagian juga K. Berdasarkan sifat fisika dan kimia tanah, maka tanah pada lahan pertanian campuran di DAS Siulak dapat digolongkan mempunyai kesuburan sedang. Hal ini sesuai dengan Hidayat dan Mulyani (2002) yang mengemukakan bahwa Andisol yang umumnya dimanfaatkan untuk usaha pertanian lahan kering di daerah sekitar Gunung Kerinci, termasuk Andisol dengan kesuburan alami sedang hingga tinggi yang terbentuk dari bahan volkan intermedier dan basis. Kurnia et al. (2004) juga mengemukakan bahwa kesuburan tanah Andisol pada lahan usahatani sayuran di dataran tinggi umumnya lebih baik dibandingkan dengan tanah mineral lainnya, karena tanahnya terbentuk dari bahan vulkan dengan bahan organik dan kandungan P tinggi, dan secara umum KTK tanah biasanya tinggi ditandai dengan nilai C-organik yang tinggi. Kependudukan dan Mata Pencaharian Secara administratif, DAS Siulak berada pada 3 desa yakni Desa Kebun Baru, Desa Sungai Lintang dan Desa Sako Dua yang termasuk wilayah Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi (Lampiran 2). Jumlah penduduk pada ketiga desa tersebut adalah 4 378 jiwa dengan 1 300 kepala
50
keluarga (KK), sehingga rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 3.38 jiwa/KK (Tabel 5).
Berdasarkan rata-rata jumlah anggota keluarga petani tersebut dan
harga beras Rp 7 000/kg, maka pendapatan petani di DAS Siulak untuk pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) adalah Rp 28 000 000/tahun. Tabel 5
Sebaran jumlah penduduk desa pada tahun 2009 di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Desa Kebun Baru Sungai Lintang Sako Dua Jumlah
Laki-laki (jiwa) 798 689 720 2207
Perempuan (jiwa) 797 562 812 2171
Jumlah jiwa 1595 1251 1532 4378
KK 417 458 425 1300
jiwa/KK 3.82 2.73 3.60 3.38
Mata pencaharian utama penduduk di DAS Siulak adalah sektor pertanian dengan komoditas utama tanaman hortikultura sayuran yang meliputi kentang, kubis, cabe, tomat, bawang daun, wortel, kembang kol, brokoli, labu siam, bawang merah dan
sawi putih.
Disamping
itu
sebagian petani
juga
mengusahakan tanaman tahunan (kayu manis, kopi), tanaman pangan/palawija (terutama ubi jalar) dan tanaman buah-buahan (terutama jeruk, pisang dan terung belanda). Komoditas yang paling banyak diusahakan petani di masingmasing desa adalah kentang, kubis, tomat dan cabe (berurutan berdasarkan luas tanam).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usahatani di DAS Siulak
adalah usahatani berbasis kentang, kubis, tomat dan cabe. Budidaya kentang dan sayuran lainnya oleh petani umumnya dilakukan secara konvensional yang dicirikan oleh : a) guludan tanaman searah lereng (BP DAS Batanghari 2003, hasil pengamatan di lapangan, Gambar 4), b) bibit kentang berkualitas rendah (hasil panen petani sendiri secara terus menerus tanpa seleksi baik di lapangan maupun di tempat penyimpanan untuk penunasan (Adri et al. 2006, Edi 2004, Nugroho et al. 2004), dan c) pemupukan kimia dalam jumlah besar (terutama pupuk P) dan tidak berimbang serta pestisida berlebihan (Edi et al. 2005).
51
Gambar 4 Sistem guludan tanaman sayuran searah lereng oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
52
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Existing Usahatani di DAS Siulak Biofisik lahan Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak saat ini sesuai dengan kemampuan lahan, dan lahan dikelompokkan pada kelas II, III dan IV dengan hambatan adalah kecuraman lereng yaitu berombak atau landai (II-I1), bergelombang atau agak miring (III-I2), dan berbukit atau miring (IV-I3) masing-masing pada lahan dengan kemiringan lereng 3 - 8 persen (SLP-2), 8 - 15 persen (SLP-3), dan 15 - 25 persen (SLP-4). Hambatan pada lahan dengan topografi datar (kemiringan lereng 0 - 3 persen) adalah kedalaman tanah yang tergolong sedang (II-k1) (Tabel 9, Lampiran 17). Secara keseluruhan lahan pertanian campuran di DAS Siulak mempunyai kedalaman tanah tergolong sedang dan diduga akibat telah terjadinya pengurangan kedalaman oleh erosi.
Hal ini terkait dengan ciri Andisol yang
umumnya mempunyai solum dalam tetapi peka terhadap erosi (Prasetyo 2005), karena mempunyai kandungan debu tinggi dan berada pada daerah berlereng dengan curah hujan tinggi (Dariah dan Husen 2004, Kurnia et al. 2004). Oleh karena itu dalam penggunaan lahan untuk usahatani sayuran sebagaimana penggunaan saat ini, perlu penerapan teknik KTA untuk mengendalikan erosi sekaligus menjaga kedalaman tanah yang cukup untuk produktivitas tanaman yang optimal.
Namun usahatani sayuran oleh petani di DAS Siulak dengan
guludan tanaman searah lereng yang tidak sesuai dengan kaidah KTA, karena mempercepat aliran permukaan dan meningkatkan erosi dan pada gilirannya akan menyebabkan degradasi lahan. Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa erosi yang terjadi di DAS Siulak bervariasi dengan pola tanam dan kemiringan lereng. Diprediksi erosi 6.87 11.73 ton/ha/tahun pada lahan datar (< Etol 24.09 ton/ha/tahun), 36.23 - 61.89 ton/ha/tahun pada lahan landai (> Etol 21.94 ton/ha/tahun), 81.38 - 139.03 ton/ha/tahun pada lahan agak miring (> Etol 22.84 ton/ha), dan 134.13 - 229.14 ton/ha/tahun pada lahan miring (> Etol 20.89 ton/ha/tahun) (Gambar 5, Lampiran 18). Dengan demikian ancaman bahaya penurunan kualitas lahan di DAS Siulak akibat erosi cukup tinggi dan membutuhkan teknik KTA yang memadai. Pola tanam kentang-cabe menyebabkan erosi paling besar, sebaliknya pada pola tanam kentang-kubis-rumput/semak erosi yang terjadi paling kecil dibandingkan dengan pola tanam lainnya. Perbedaan erosi antar pola tanam
sayuran tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai C masing-masing tanaman dan pola tanam. Nilai faktor C kentang, cabe dan rumput/semak masing-masing 0.4, 0.9 dan 0.3 (Lampiran 11), nilai faktor C kubis dan tomat masing-masing 0.46 dan 0.8, dan nilai faktor C pola tanam sayuran berurutan 0.6266 (analisis faktor C oleh Zubair 1994), sehingga nilai faktor C sayuran dengan pola tanam berurutan yang dominan diterapkan petani di DAS Siulak adalah 0.26 (kentangkubis-kentang), 0.37 (kentang-kubis-tomat), 0.24 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.31 (kentang-rumput/semak-tomat) dan 0.41 (kentang-cabe).
Erosi (ton/ha/tahun)
250
200
150
100
50
0
PT1
PT2
PT3
PT4
PT5
Etol
CPmaks
0-3 %
7,44
10,59
6,87
8,87
11,73
24,09
0,842
3-8 %
39,25
55,85
36,23
46,79
61,89
21,94
0,1453
8-15 %
88,16
125,46
81,38
105,12
139,03
22,84
0,0674
15-25 %
145,31
206,78
134,13
173,25
229,14
20,89
0,0479
PT1 = kentang-kubis-kentang, PT2 = kentang-kubis-tomat, PT3 = kentang-kubis-rumput/semak, PT4 = kentang-rumput/semak-tomat, PT5 = kentang-cabe
Gambar 5 Prediksi erosi pada lahan pertanian campuran dengan pola tanam sayuran berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Sebagaimana petani di sentra produksi sayuran dataran tinggi (terutama kentang) lainnya di Indonesia (Kurnia et al. 2004), petani di DAS Siulak umumnya enggan menerapkan teknik KTA (terutama guludan memotong lereng atau sejajar kontur) dengan alasan : genangan
air
pada
saluran
1) setelah hujan dapat menyebabkan
diantara
guludan
sehingga
meningkatkan
kelembaban tanah di dalam guludan tersebut dan merupakan media bagi berkembangnya jamur penyebab penyakit busuk akar atau umbi; 2) sulit, berat dan membutuhkan waktu yang lama dalam mengerjakannya; dan 3) penerapan
54
teknik KTA membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat bekerja efektif, sedangkan tanaman sayuran umumnya berumur pendek sehingga penerapan teknik KTA tersebut tidak segera memberi keuntungan Berdasarkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman, secara umum lahan pertanian campuran di DAS Siulak cukup sesuai (S2) untuk kentang dan sesuai marjinal (S3) untuk kubis, cabe dan tomat dengan faktor pembatas utama adalah retensi hara yakni kejenuhan basa (KB) sangat rendah (3.34 - 9.90 persen) dan reaksi tanah masam hingga agak masam (pH 5.0 - 6.1) serta bahaya erosi (kemiringan lereng, dengan topografi bergelombang hingga berbukit), kecuali SLP-1 (Lampiran 17). Namun untuk kubis, cabe dan tomat kesesuaian lahan mempunyai faktor pembatas utama lainnya yaitu ketersediaan air dari curah hujan (1789.16 mm/tahun, Lampiran 9) melebihi kebutuhan tanaman karena kubis, cabe dan tomat masing-masing membutuhkan curah hujan 350 - 800 mm/tahun, 600 - 1200 mm/tahun dan 400 - 700 mm/tahun (Lampiran 8, Djaenudin et al. 2003). Oleh karena itu usahatani sayuran di DAS Siulak juga perlu peningkatan pH dan KB tanah serta pengaturan pola tanam. Kombinasi jenis tanaman dan pengelolaannya serta teknik KTA yang dibutuhkan untuk lahan pertanian campuran di DAS Siulak ditentukan oleh nilai CP maksimum (CPmaks) pada masing-masing SLP yaitu 0.8420 (SLP-1), 0.0674 (SLP-2), 0.1453 (SLP-3) dan 0.0479 (SLP-4) (Lampiran 18). Semua kombinasi jenis tanaman dan pengelolaannya serta teknik KTA yang memberikan nilai CPmaks yang memadai tersebut merupakan teknik KTA yang cocok untuk SLP tersebut (Arsyad 2009, Sinukaban 1989).
Selanjutnya nilai CPmaks tersebut
diaplikasikan untuk merancang teknik KTA alternatif yang akan diintegrasikan ke dalam model usahatani sayuran berbasis kentang yang akan dibangun untuk lahan pertanian campuran di DAS Siulak. Karakteristik sosial-ekonomi petani di DAS Siulak Petani di DAS Siulak sebagian besar dalam usia produktif dengan tingkat pendidikan relatif rendah yakni berusia 20 - 54 tahun (84.68 % responden), sisanya 55 - 60 tahun (12.96 % responden) dan 61 - 82 tahun (2.36 % responden), 35.43 % lulusan sekolah dasar (SD), 26.77 % lulusan sekolah menengah pertama, 25.98 % lulusan sekolah menengah atas dan 3.94 % tidak sekolah dan tidak lulus SD. Usahatani sayuran merupakan pekerjaan atau mata pencaharian utama sebagian besar petani (97.64 % responden) dan sebagian besar petani tersebut (71.65 % responden) tidak mempunyai perkerjaan
55
sampingan. Usaha sampingan sebagian petani terutama yang tidak memiliki lahan dan petani dengan kepemilikan lahan < 0.25 ha adalah warung kecil, tukang ojek, usaha bengkel, tukang perabot, memelihara ternak (kambing, sapi) dan buruh tani; sedangkan petani yang memiliki lahan cukup luas (> 1 ha) dan cukup modal mempunyai usaha kios pupuk/pestisida atau pedagang pengumpul. Status lahan usahatani sebagian besar petani (91.49 % responden) adalah milik sendiri yang diperoleh dengan cara beli dari petani lain (dulu membuka hutan) dan sebagian petani (4.84 % responden) dari membuka hutan dan sebagian lagi (7.87 % responden) warisan dari orang tua yang dulunya membuka hutan. Sebagian kecil petani (2.13 % responden) dengan status lahan “numpang/minjam”. Luas lahan petani tersebar pada skala < 0.25 ha, 0.25 - 0.50 ha, 0.50 - 1.00 ha, 1.00 - 2.00 ha dan > 2.00 ha. Sebagian besar petani (35.11 % responden) memiliki lahan dalam skala > 0.50 - 1.00 ha (rata-rata 0.82 ha), sedangkan rata-rata kepemilikan lahan paling kecil (< 0.25 ha) adalah 0.12 ha (20.21 % responden). Dengan demikian 32.56 % responden dengan lahan < 0.5 ha, dan sebagian besar (55.82 % responden) dengan lahan 0.25 - 1.00 (Tabel 6). Tabel 6 Sebaran responden petani berdasarkan luas kepemilikan lahan di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Kepemilikan lahan (ha) < 0.25 0.25 - 0.50 > 0.50 - 1.00 > 1.00 - 2.00 > 2.00
Responden Jumlah (%) 11 12.79 17 19.77 31 36.05 19 22.09 8 9.30 86 100.00
Rata-rata (ha) 0.12 0.44 0.82 1.52 3.39
Total 94 responden, 6 responden dengan status sewa dan 2 responden dengan status ‘numpang’
Sumber utama pendapatan petani adalah dari usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat dengan tenaga kerja sebagian besar (98.43 % responden) adalah anggota keluarga (terutama bapak dan ibu) dibantu oleh buruh tani. Sumber modal sebagian besar petani adalah modal tunai sendiri ditambah dengan ‘nyaham’ (terutama untuk usahatani kentang), karena modal tunai sebagian besar petani kurang dari 10 juta rupiah (1 - 5 juta rupiah 34.32 % responden, 5 - 10 juta rupiah 47.26 % responden, > 10 juta rupiah 18.42 % responden). Sistem ‘nyaham’ adalah modal tunai atau pupuk dan pestisida dari pedagang pengumpul dan hasil panen harus dijual kepada pedagang pengumpul tersebut dengan harga lebih rendah (100 - 200 rupiah per kg hasil panen dibandingkan dengan harga jual saat panen).
56
Agroteknologi petani dalam usahatani sayuran di DAS Siulak Hampir semua petani di DAS Siulak menanam kentang dan sebagian petani menanam kubis, cabe dan tomat dengan 5 pola tanam berurutan berbasis kentang yang dominan yaitu :
1) kentang-kubis-kentang (PT1), 2) kentang-
kubis-rumput/semak (PT2), 3) kentang-rumput/semak (PT3), 4) kentang-kubistomat (PT4), dan 5) kentang-cabe (PT5).
Tanaman lain yang juga ditanam
sebagian kecil petani adalah bawang merah, bawang daun, sawi, ubi rambat, bawang bombai, buncis dan wortel dalam luasan kecil (Gambar 6). kentang-kubis-kentang 120
kentang-kubis-rumput/semak
Persentase responden
98,94
kentang-rumput/semak-tomat
100
kentang-kubis-tomat
80
kentang-cabe 60
lain-lain
37,23 40
9,57
27,66 17,02
20
6,38
26,6
12,77
0 kentang
kubis
cabe
tomat
komoditas
(a)
21,28
Persentase responden
23,4
(b)
Gambar 6 Sebaran responden petani berdasarkan komoditas (a) dan pola tanam (b) yang dominan diusahakan petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Umumnya petani melakukan usahatani campuran (multiple cropping) yaitu menanam 2 - 3 jenis tanaman atau komoditas dalam waktu yang sama pada satu hamparan lahan yang digarap/dimiliki).
Selain karena penanaman kentang
monokultur dalam skala luas membutuhkan modal cukup besar, juga sebagai upaya antisipasi gagal panen (akibat serangan penyakit) atau pendapatan yang tidak menguntungkan (akibat harga yang sering fluktuatif). Hal ini sesuai dengan Kurnia et al. (2004) yang mengemukakan bahwa petani sayuran menerapkan sistem tanam campuran umumnya untuk mengurangi resiko kegagalan salah satu komoditas, baik kegagalan secara agronomis maupun ekonomis. Namun multiple cropping juga menguntungkan bagi konservasi sumberdaya lahan dan termasuk dalam payung pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), karena efisien dalam penggunaan sumberdaya lahan dan memberikan penutupan lahan cukup banyak sehingga mengurangi erosi dan memelihara topsoil (Jones 1992).
57
Sebagian besar petani melakukan usahatani sayuran dalam skala sempit yaitu < 0.25 ha dan 0.25 - 0.50 ha untuk kentang, < 0.25 ha untuk kubis, cabe dan tomat (Tabel 7) yang disebabkan oleh keterbatasan lahan dan/atau modal. Petani yang mempunyai lahan cukup luas (> 0.5 ha) menanam 2 - 3 jenis tanaman (terutama petani dengan lahan > 1 ha), sedangkan petani dengan lahan sempit (< 0.25 ha) umumnya hanya menanam satu jenis tanaman dengan pola tanam bervariasi. Hal ini sebagaimana menurut Adiyoga et al. (2000) bahwa luas usahatani sayuran dataran tinggi di tingkat petani umumnya rata-rata hanya 0.2 0.3 ha, selain disebabkan oleh kepemilikan atau lahan garapan yang sempit, juga karena biaya usahatani sayuran relatif mahal, modal petani terbatas dan resiko kegagalan yang harus ditanggung sendiri oleh petani. Menurut Widatono (2009) petani dengan lahan cukup luas kesulitan dalam melakukan usahatani campuran karena keterbatasan modal dan waktu, sedangkan petani dengan lahan sempit umumnya sulit atau tidak bisa melakukan usahatani campuran sehingga kegagalan panen berarti gagal untuk memperoleh pendapatan yang menjadi satu-satunya harapan dan akan mengganggu kontinuitas usahatani. Tabel 7 Rata-rata skala luas lahan usahatani, hasil dan pendapatan serta kelayakan finansial usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Skala usahatani (ha) Kentang < 0.25 0.25 - 0.50 > 0.50 - 1.00 > 1.00 Kubis < 0.25 0.25 - 0.50 Cabe < 0.25 0.25 - 0.50 0.50 - 1.00 Tomat < 0.25 0.25 - 0.50
Ratarata (ha)
Responden (%)
Produk -si (ton)
Biaya (Rp/musim tanam)
Pendapatan
(Rp/musim tanam)
BCR
RCR
0.17 0.33 0.89 1.67
41.49 43.62 10.64 4.26
3.45 6.19 16.75 38.36
5 810 815 12 079 588 27 201 426 70 712 082
4 366 685 6 180 912 22 211 074 42 449 918
0.75 0.51 0.81 0.60
1.75 1.51 1.81 1.60
0.15 0.39
60.00 40.00
5.20 12.93
1 019 000 2 877 571
1 481 000 3 587 429
1.45 1.25
2.45 2.25
0.14 0.33 0.80
69.23 23.08 7.69
1.78 4.02 11.49
6 276 470 10 655 000 32 916 600
6 183 530 17 485 000 47 513 400
0.99 1.64 1.44
1.99 2.64 2.44
0.13 0.43
81.25 18.75
4.03 11.33
10 038 000 26 348 600
2 052 000 7 641 400
0.20 0.30
1.20 1.30
Khusus untuk usahatani kentang, skala luas usahatani yang sempit juga disebabkan oleh kekhawatiran petani akan tingginya ancaman serangan penyakit busuk daun oleh Phytophthora sp dan penyakit layu oleh Fusarium sp. Purwantisari et al. (2008) mengemukakan bahwa penyakit busuk batang dan
58
daun tanaman kentang oleh Phytophthora infestans sering terjadi di dataran tinggi yang bersuhu rendah dengan kelembaban tinggi dan dapat menurunkan produksi hingga 90 %. Belum ada fungisida yang benar-benar efektif dan belum ada varietas kentang yang benar-benar tahan terhadap penyakit tersebut, sehingga merupakan masalah krusial atau paling serius diantara penyakit yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Namun hampir semua petani di DAS Siulak menggunakan bibit kentang dari hasil panen sendiri terus menerus, tanpa seleksi di lapangan dan di penyimpanan. Menurut Purwantisari et al. (2008) saat di lapangan P. infestans dalam masa inkubasi, jika disimpan untuk bibit menyebabkan jamur ini berkembang di tempat penyimpanan dan selanjutnya penyakit tersebut berkembang di lapangan pada musim tanam selanjutnya. Oleh karena itu penggunaan bibit kentang hasil panen terus menerus oleh petani dapat menjadi salah satu penyebab tingginya serangan penyakit oleh P. infestans pada usahatani kentang di DAS Siulak. Rata-rata produktivitas kentang oleh petani di DAS Siulak 20.20 ton/ha, kubis 33.91 ton/ha, cabe 12.99 ton/ha dan tomat 27.20 ton/ha, cukup baik dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kentang, kubis, cabe dan tomat nasional pada tahun 2009 masing-masing 16.51 ton/ha, 20.03 ton/ha, 5.89 ton/ha dan 12.0 ton/ha (BPS 2009).
Namun hanya usahatani kubis yang
mempunyai BCR > 1 dan RCR > 2, sedangkan usahatani kentang, cabe dan tomat pada masing-masing skala usahatani mempunyai BCR < 1 (kecuali cabe 0.25 - 0.5 ha dan > 0.5 - 1 ha). Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kubis dan cabe (0.33 dan 0.80 ha) efisien dan menguntungkan. Usahatani kubis efisien dan menguntungkan disebabkan oleh rendahnya penggunaan pupuk dan bahkan sebagian petani tidak melakukan pemupukan sehingga biaya usahatani lebih kecil (Lampiran 19).
Petani umumnya menanam kubis setelah kentang dan
menganggap kebutuhan pupuk terpenuhi dari sisa pupuk pertanaman kentang. Berdasarkan pola tanam dan luas laha, hanya pola tanam kentang-cabe pada lahan 0.82 ha yang efisien dan menguntungkan (BCR 1.18), sedangkan pola tanam lain dengan lahan 0.12, 0.44 dan 0.82 hektar mempunyai BCR < 1. Selanjutnya pendapatan usahatani sebesar Rp 3 367 866 - Rp 8 382 534 (lahan 0.12 ha), Rp 12 288 572 - Rp 12 288 572 (lahan 0.44 ha), dan Rp 24 511 491 Rp 69 165 370 (lahan 0.82 ha), dan lebih kecil dengan pola tanam kentangkubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semak-tomat yaitu masing-masing Rp 355 597.17 - Rp 2 042 624.25 (23.4 % responden), dan Rp 280 655.50 -
59
Rp 2 356 955.42 (21.28 % responden). Dengan demikian pendapatan usahatani dengan lahan < 0.5 ha (32.56 % responden) tidak memenuhi pendapatan untuk kebutuhan hidup layak (Rp 28 000 000/tahun), dan makin kecil dengan penerapan pola tanam kentang-kubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semaktomat. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pendapatan petani di DAS Siulak disebabkan oleh keterbatasan lahan dan usahatani yang dilakukan tidak efisien. Tabel 8
Pendapatan dan kelayakan usahatani sayuran dengan pola tanam berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Pola tanam
Biaya
Penerimaan
Pendapatan
BCR
RCR
7 349 532 6 161 320 4 267 166 3.367 866 8 382 534
0.81 0.39 0.87 0.23 0.88
1.81 1.39 1.87 1.23 1.88
12 288 572 20 107 902 12 288 572 15 882 616 18 799 548
0.58 0.43 0.64 0.53 0.44
1.58 1.43 1.64 1.53 1.44
44 975 626 32 330 821 24 511 491 28 283 465 69 165 370
0.84 0.59 0.87 0.54 1.18
1.84 1.59 1.87 1.54 2.18
........................... Rp/tahun ........................ Kt - Kb - Kt Kt - Kb - Tm Kt - Kb - R/S Kt - R/S - Tm Kt - Cb
9 018 704 15 791 451 4 916 952 14 976 251 9 481 583
Kt - Kb - Kt Kt - Kb - Tm Kt - Kb - R/S Kt - R/S - Tm Kt - Cb
35 458 724 46 313 743 19 352 607 30 312 784 43 067 784
Kt - Kb - Kt Kt - Kb - Tm Kt - Kb - R/S Kt - R/S - Tm Kt - Cb
53 370 466 55 269 614 28 308 478 52 023 124 58 801 503
Lahan 0.12 ha 16 368 236 20 344 117 9 184 118 18 344 117 17 864 117 Lahan 0.44 ha 55 988 512 66 421 645 31 641 179 59 127 799 61 867 332 Lahan 0.82 ha 98 346 092 87 600 435 52 819 969 80 306 589 127 966 873
KHL = Rp 28 000 000,- ; Kt = kentang, Kb = kubis, Tm = tomat, R/S = rumput/semak, Cb = cabe
Penilaian Keberlanjutan Usahatani Sayuran di DAS Siulak Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak sesuai dengan kemampuan lahan, namun agroteknologi yang diterapkan petani tidak sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman.
Diprediksi
terjadi erosi melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (kecuali pada lahan datar) dan pendapatan usahatani lebih kecil dari kebutuhan petani untuk hidup layak, kecuali dengan lahan > 0.5 ha (rata-rata 0.82 ha) (Tabel 9). Dengan demikian usahatani sayuran berbasis kentang di DAS Siulak tidak berkelanjutan karena tidak memenuhi indikator keberlanjutan usahatani. Oleh karena itu diperlukan perbaikan agroteknologi yakni penerapan teknik KTA yang tepat dan memadai dan peningkatan kesuburan dan produktivitas tanah sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman untuk produktivitas yang optimal.
60
Tabel 9 Kemiringan lereng, kelas kemampuan lahan, agroteknologi, produktivitas, prediksi erosi dan pendapatan usahatani dengan pola tanam sayuran berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi (kondisi existing) Pola tanam
KemiKelas AgroProdukErosi (ton/ha/tahun) 0.12 ha 0.44 ha 0.82 ha ringan KL teknologi tivitas Pendapatan A Etol BCR Pendapatan BCR Pendapatan BCR lereng (ton/ha) (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun) (%) 0-3 20.20 7.44 24.09 PT1 II-k1 (kentang) 3-8 39.25 21.94 II-I1 7 349 532 0.81 20 529 788 0.58 44 975 626 0.84 33.91 88.16 22.84 8 - 15 III-I2 (kubis) 145.31 20.89 15 - 25 IV-I3 Guludan 20.20 0 3 10.59 24.09 tanaman PT2 II-k1 (kentang) searah 3-8 55.85 21.94 II-I1 6 161 320 0.39 20 107 902 0.43 32 330 821 0.59 33.91 (kubis) lereng, 125.46 22.84 8 - 15 III-I2 27.20 bibit 206.78 20.89 15 - 25 IV-I3 (tomat) kentang 0 - 3 II-k1 20.20 6.87 24.09 PT3 mutu (kentang) 3-8 36.23 21.94 II-I1 rendah, 4 267 166 0.87 12 288 572 0.64 24 511 491 0.87 33.91 81.38 22.84 8 - 15 III-I2 takaran (kubis) 134.13 20.89 15 - 25 IV-I3 pupuk dan 0-3 20.20 8.87 24.09 PT4 II-k1 kapur (kentang) 3-8 46.79 21.94 II-I1 3 367 866 0.23 15 882 616 0.53 28 283 465 0.54 tidak 27.20 105.12 22.84 8 - 15 III-I2 sesuai (tomat) 173.25 20.89 15 - 25 IV-I3 anjuran 0-3 20.20 11.73 24.09 PT5 II-k1 (kentang) 3-8 61.89 21.94 II-I1 8 382 534 0.88 18 799 548 0.44 69 165 370 1.18 12.90 139.03 22.84 8 - 15 III-I2 (cabe) 15 - 25 IV-I3 229.14 20.89 PT1 = kentang-kubis-kentang, PT2 = kentang-kubis-tomat, PT3 = kentang-kubis-rumput/semak, PT4 = kentang-rumput/semak-tomat, PT5 = kentang-cabe; KL = kemampuan lahan; A = prediksi erosi, Etol = erosi yang dapat ditoleransikan; BCR = benefit cost ratio; Kebutuhan hidup layak (KHL) = Rp 28 000 000/tahun
61
Efektivitas Teknik KTA pada Pertanaman Kentang dan Kubis Erosi Erosi pada musim tanam pertama (MT-1) maupun pada musim tanam kedua (MT-2) dan pada musim tanam ketiga (MT-3) nyata lebih kecil dengan guludan memotong lereng (P4) dan miring 15 dan 30 derajat (P5 dan P6) dibandingkan dengan guludan searah lereng (P0) (Tabel 10, Gambar 7). Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi permukaan tanah akibat perbedaan arah guludan tersebut yang mempengaruhi aliran permukaan dan pada gilirannya mempengaruhi jumlah tanah yang tererosi.
Sebagaimana dikemukakan oleh
Arsyad (2009) bahwa aliran permukaan adalah air yang mengalir di permukaan tanah dan bentuk aliran ini yang paling penting sebagai penyebab erosi. Jumlah dan kecepatan aliran permukaan merupakan sifat aliran yang mempengaruhi kemampuannya untuk menimbulkan erosi, sedangkan sifat aliran permukaan tersebut dipengaruhi oleh tipe tanah, topografi dan sistem pengelolaan tanah. Tabel 10 Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan dan erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan
Aliran permukaan mm
* * * *
% CH
Erosi ton/ha
PETK (%)
MT-1 (kentang) P0 152.29 a 17.92 22.94 a 98.93 c 11.64 9.62 d 58.06 P1 92.42 cd 10.88 9.99 cd 56.45 P2 83.56 d 9.83 7.81 de 65.95 P3 51.40 e 6.05 4.31 e 81.21 P4 86.84 d 10.22 4.45 e 80.60 P5 110.08 b 12.95 17.54 b 23.54 P6 MT-2 (kentang) P0 24.22 a 4.00 7.79 a 13.87 c 2.29 3.85 c 50.58 P1 14.46 bc 2.39 3.15 cd 59.56 P2 11.86 c 1.96 2.43 de 68.81 P3 6.83 c 1.13 1.43 e 81.64 P4 10.94 c 1.81 1.75 e 77.54 P5 17.93 b 2.96 5.77 b 25.93 P6 MT-3 (kubis) P0 94.97 a 12.59 17.62 a 48.09 b 6.38 9.03 bc 51.25 P1 46.43 b 6.16 7.80 cde 55.73 P2 41.27 b 5.47 7.33 de 58.40 P3 30.02 b 3.98 3.96 e 77.53 P4 41.00 b 5.44 5.86 de 66.74 P5 52.57 b 6.97 11.53 bc 34.56 P6 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap musim tanam tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT CH (curah hujan) MT-1 = 849.79 mm; MT-2 = 606.03 mm; MT-3 = 754.33 mm (Lampiran 20) % CH = persentase aliran permukaan terhadap curah hujan PETK = persentase penurunan erosi terhadap kontrol (P0)
Guludan memotong lereng dapat berperan sebagai penghambat sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, sehingga sebagian air hujan yang jatuh di permukaan tanah mempunyai waktu yang lebih lama untuk masuk ke dalam tanah. Sebaliknya pada pertanaman dengan guludan searah lereng, air hujan yang jatuh di permukaan tanah relatif lebih sedikit yang bisa masuk ke dalam tanah, sehingga sebagian besar langsung mengalir sebagai aliran permukaan.
Kondisi ini didukung oleh kapasitas infiltrasi yang relatif lebih besar
pada P3, P4 dan P5 dibandingkan dengan P0 (Tabel 11) dan pada gilirannya aliran permukaan lebih kecil.
Kapasitas infiltrasi merupakan variabel tanah yang
menentukan jumlah aliran permukaan yang akan terjadi dari suatu kejadian hujan, karena infiltrasi merupakan peristiwa atau proses masuknya air ke dalam tanah dan umumnya melalui permukaan tanah secara vertikal. Aliran permukaan akan terjadi jika intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi. Oleh karena itu tingginya kapasitas infiltrasi atau kemampuan tanah menyimpan air akan dapat mengurangi aliran permukaan (Arsyad 2009).
Guludan memotong lereng yang
dapat mengurangi kecepatan dan energi aliran permukaan pada gilirannya mengurangi jumlah erosi atau tanah yang terbawa aliran permukaan tersebut. Sebaliknya pada guludan searah lereng, air hujan yang jatuh di permukaan tanah relatif tidak mempunyai waktu yang lama untuk masuk ke dalam tanah dan mengalir dengan cepat di permukaan karena tidak ada penghalang aliran permukaan tersebut. Akibatnya air hujan yang jatuh langsung mengalir dengan kecepatan lebih tinggi dan mengikis permukaan tanah, sehingga aliran permukaan dan erosi lebih besar. Tabel 11 Pengaruh teknik KTA terhadap kapasitas infiltrasi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
MT-1 (kentang) MT-2 (kentang) MT-3 (kubis) …………………..... cm/jam ………………….. 6.59 a (s) 7.57 a (s) 5.84 b (s) 11.59 a (c) 12.95 a (c) 13.00 ab (c) 14.27 a (c) 15.51 a (c) 11.82 ab (c) 15.66 a (c) 20.79 a (sc) 19.71 a (c) 16.61 a (c) 18.48 a (c) 18.79 a (c) 18.02 a (c) 19.33 a (c) 18.96 a (c) 11.45 a (c) 13.84 a (c) 13.51 ab (c)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT; (s) = sedang, (c) = cepat, (sc) = sangat cepat
Pertanaman dengan guludan searah lereng juga dapat mengendalikan erosi dengan adanya guludan memotong pada setiap jarak 4.5 m (P1, P2, P3).
63
Erosi pada P1, P2 dan P3 lebih besar dibandingkan dengan erosi pada P4, namun nyata lebih kecil dibandingkan dengan erosi pada P0.
Efektivitas guludan
memotong lereng dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi meningkat dengan adanya rorak kecil (P3) yang dapat berperan sebagai penampung, menahan dan menyimpan sebagian aliran permukaan. berbeda nyata dengan erosi pada P4 dan P5.
Erosi pada P3 tidak
Guludan tanaman memotong
lereng (P4) dapat menekan erosi + 80 % dibandingkan dengan guludan searah lereng (P0) (Tabel 10).
Namun efektivitasnya berkurang dengan guludan
memotong lereng miring 15 dan 30 derajat, karena guludan yang miring tersebut menyebabkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah mengalir lebih cepat akibat berkurangnya waktu untuk masuk ke dalam tanah, sehingga volume aliran permukaan menjadi lebih besar. Guludan memotong lereng miring 150 (P5) tidak berbeda nyata kemampuannya menekan erosi dibandingkan dengan P4. Hal ini disebabkan guludan memotong lereng meskipun miring 150 masih mampu berperan mengurangi kecepatan aliran permukaan dan pengikisan permukaan tanah serta menahan hanyutnya tanah bersama aliran permukaan. Aliran permukaan dan erosi pada MT-1 lebih besar dibandingkan dengan MT-2 yang sama-sama ditanami kentang dan MT-3 dengan tanaman kubis (Tabel 11, Gambar 6). Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan curah hujan, MT-1 adalah musim hujan selama + 4 bulan (Januari - Mei) dengan curah hujan lebih besar (849.79 mm) dibandingkan dengan MT-2 yang juga + 4 bulan tetapi musim kemarau (Juni - Oktober) dengan curah hujan lebih rendah (606.03 mm) dan MT-3 juga musim hujan tetapi + 3 bulan (November - Februari) dengan curah hujan (754.33 mm), lebih rendah dari curah hujan MT-1.
60 40 20 0
15 10 5 0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 7
Erosi MT-1 (kentang) Erosi MT-2 (kentang) Erosi MT-3 (kubis)
20
100 80
P0
64
25
AP MT-1 (kentang) AP MT-2 (kentang) AP MT-3 (kubis)
140 120
Erosi (ton/ha)
Aliran permukaan (mm)
160
P5
P6
P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
P5
P6
(a) (b) Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan (a) dan erosi (b) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi Teknik KTA dapat menekan jumlah erosi dan sekaligus juga menurunkan jumlah C-organik dan unsur hara yang terbawa erosi. Oleh karena itu secara keseluruhan jumlah C-organik, N, P dan K yang terbawa erosi pada ketiga musim tanam nyata lebih kecil pada pertanaman dengan guludan memotong lereng (P4) dibandingkan pertanaman dengan guludan searah lereng (P0) (Tabel 12). Hal ini disebabkan oleh jumlah erosi nyata lebih kecil pada perlakuan dengan guludan memotong lereng dibandingkan dengan searah lereng (Tabel 10). Tabel 12 Pengaruh teknik KTA terhadap jumlah C-organik, N-total, P dan K terbawa erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan
C-organik (kg/ha)
N-total (kg/ha) P2O5 (g/ha) K2O (g/ha) MT-1 (kentang) P0 2232.06 a 626.26 a 740 a 2600 ab P1 1484.37 ab 449.25 ab 420 b 2110 ab P2 866.13 ab 488.51 a 510 ab 3010 a 777.09 ab 472.50 a 420 b 2410 ab P3 950.78 b 342.21 b 240 c 1550 ab P4 1027.50 b 257.65 b 250 c 1460 b P5 2045.16 a 588.06 a 610 a 2470 ab P6 MT-2 (kentang) P0 759.45 a 211.07 a 260 a 880 a 604.81 ab 185.95 ab 170 bc 870 a P1 601.50 ab 161.93 ab 160 bcd 980 a P2 P3 487.42 ab 146.59 ab 130 bcd 740 a P4 301.39 b 112.82 ab 80 d 510 a 409.84 b 106.51 b 90 cd 590 a P5 673.30 a 194.32 ab 200 ab 810 a P6 MT-3 (kubis) P0 1337.04 a 306.93 a 410 a 2470 a 979.79 ab 189.57 ab 280 ab 1540 a P1 1017.47 ab 243.93 ab 260 ab 1740 a P2 1227.64 ab 253.14 ab 350 ab 2450 a P3 626.34 b 163.99 b 240 b 1290 a P4 1011.19 ab 203.74 ab 340 ab 2070 a P5 1317.45 a 205.58 ab 350 ab 2550 a P6 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing tanaman tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Jumlah C-organik terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah N, P dan K. Hal ini menunjukkan bahwa kehilangan bahan organik akibat erosi merupakan masalah yang lebih serius karena mempercepat kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah. Hal ini karena penurunan bahan organik tanah berkorelasi dengan kerusakan struktur tanah, meningkatnya kepadatan, pengkerakan, erodibilitas tanah dan pencucian serta menurunnya infiltrasi dan status hara tanah. Oleh karena itu konservasi tanah sekaligus konservasi bahan organik tanah merupakan suatu keharusan, sehingga level bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu indikator keberlanjutan sumberdaya lahan
65
(Wolf dan Snyder 2003, Khisa 2002, Stocking 1994). Jika level bahan organik tanah berkurang dari level yang ada pada tanah tersebut akibat suatu pengelolaan, maka sistem tersebut dikatakan tidak sustainable (Greenland 1994). Dengan demikian keberlanjutan (sustainability) sumberdaya lahan hanya dapat dicapai jika erosi dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan dan/atau ditingkatkan (Wolf dan Snyder 2003). Jumlah N terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah P dan K (Tabel 16). Hal ini disebabkan oleh N di dalam tanah merupakan unsur hara yang berasal dari bahan organik tanah dan peningkatan jumlah N di dalam tanah karena peningkatan kandungan bahan organik tanah dan adanya pemberian pupuk N serta melalui air hujan. Namun bahan organik merupakan sumber N yang utama di dalam tanah, selain unsur hara lainnya dengan perbandingan 100:10:1:1:sangat sedikit (C:N:P:S:unsur mikro) (Hardjowigeno 2010).
Dengan demikian jumlah C-organik yang besar akibat terbawa erosi
diikuti oleh jumlah N yang juga cukup besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa usahatani kentang dan kubis sebagai tanaman semusim mempercepat degradasi lahan terutama akibat erosi (physical degradation) dan penurunan kandungan bahan organik tanah (biological degradation) serta kehilangan hara (chemical degradation) (Stocking 1994).
Namun dengan teknik konservasi tanah yang
memadai, erosi dan kehilangan bahan organik serta unsur hara dapat dikendalikan. Total C-organik dan N terbawa erosi selama dua musim tanam kentang dan satu musim tanam kubis jauh lebih besar dibandingkan dengan total P dan K (Gambar 8). 6000
4500 4000
kg/ha
5000
3500
g/ha 4000
3000 2500
3000
2000
2000
1500 1000
1000
500 0
0 P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
C-organik 4328,55 3068,97 2485,1 2492,15 1878,51 2448,53 4035,91 N-total
1144,26 824,77 894,37 872,23 619,02
567,9
987,96
P0
P2O5 1410 K2O
P1
P2
P3
P4
P5
870
930
900
560
680 1160
P6
5950 4520 5730 5600 3350 4120 5830
Gambar 8 Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
66
Tabel 13 Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K setara pupuk kandang ayam, Urea, SP-36 dan KCl*) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
(C-organik) (N-total) (P2O5) K2O Pukan ayam Urea SP-36 KCl ................................... kg/ha ................................... 10 266.96 2 487. 52 3.92 10.82 7 279.43 1 792. 98 2.42 8.22 5 894.45 1 945. 15 2.58 10.42 5 911.17 1 896. 15 2.50 11.36 4 455.67 1 345. 70 1.56 6.09 5 807.71 1 234. 57 1.89 7.49 9 572.84 2 147. 74 3.22 10.60
Total Nilai Ekonomi (Rp/ha) 7 096 768 5 088 798 5 132 392 5 036 214 3 619 487 3 676 030 6 279 090
Berdasarkan kandungan hara pupuk kandang ayam (42.18 % C-organik), Urea (46 % N), SP-36 (36 % P2O5), KCl (55 % K2O) (Tim Balittanah) dengan harga pupuk kandang Rp 200/kg, Urea Rp 2000/kg, SP-36 Rp 2500/kg, KCl Rp 5500/kg
Jumlah C-organik dan N terbawa erosi masing-masing setara dengan 4.45 - 10.26 ton/ha pupuk kandang dan 1.23 - 2.49 ton/ha pupuk Urea (Tabel 13).
Kondisi ini menunjukkan bahwa erosi bukan hanya menyebabkan
penurunan kualitas tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, namun juga akan meningkatkan input yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mempertahankan kandungan bahan organik dan unsur hara tanah terutama N dengan nilai ekonomi cukup besar (Rp 890 712.00 - Rp 2 052 418.00 per hektar untuk C-organik dan Rp 2 469 120.00 - Rp 4 975 040.00 per hektar untuk N). Total nilai ekonomi kehilangan bahan organik dan hara N, P dan K pada perlakuan dengan guludan tanaman memotong lereng (P4) (Rp 3 619 487/ha) dan miring 150 terhadap lereng (P5) (Rp 3 676 030/ha) serta pembuatan guludan memotong lereng + rorak kecil pada pertanaman dengan guludan searah lereng (P3) (Rp 5 036 214/ha) lebih kecil dibandingkan penanaman dengan guludan searah lereng (P0, sistem petani) (Rp 7 096 768/ha).
Dengan demikian
penerapan teknik konservasi tersebut (P4, P5, P3) dapat mengendalikan kerugian ekonomi akibat erosi atau memberikan keuntungan masing-masing sebesar Rp 3 477 281/ha (P4), Rp 3 420 738/ha (P5) dan Rp 2 060 554/ha (P3) per tahun dibandingkan dengan penerapan guludan sistem petani (P0). Serangan penyakit tanaman kentang Penyakit yang menyerang tanaman kentang baik pada MT-1 maupun musim MT-2 adalah penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp serta penyakit daun menggulung oleh virus. Penyakit busuk daun dan batang serta penyakit layu mulai terlihat saat tanaman kentang
67
berumur 52 hari setelah tanam (HST) pada MT-1 (Gambar 9) dan 36 HST pada MT-2 (Gambar 10) dengan tingkat serangan ringan dan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Penyakit daun menggulung oleh virus terlihat saat tanaman berumur 63 HST pada MT-1 dan 47 HST pada MT-2. Gejala serangan penyakit virus ditunjukkan oleh daun tanaman agak tebal, menggulung ke atas (cekung ke arah tulang daun) dan kedudukan tangkai daun lebih tegak dan diraba terasa kaku, dibandingkan dengan tanaman sehat (Duriat et al. 2006). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diduga virus ini berasal dari tanaman bawang daun yang ditanam di dekat petak percobaan, disebarkan dan ditularkan oleh kutu daun Myzus persicae (sebagai vektor) sebagaimana dikemukakan oleh Duriat et al. (2006) dan dijelaskan bahwa gejala infeksi primer virus lebih ringan dan berada pada daun muda atau pucuk. Kondisi tersebut diatasi dengan penyemprotan insektisida, 1 - 2 minggu kemudian tidak ditemui lagi kutu daun dan kondisi tanaman cukup baik. Pengamatan selanjutnya fokus pada serangan penyakit busuk daun Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp. Serangan awal penyakit busuk daun atau blaster oleh P. infestans ditandai oleh adanya bercak basah pada bagian tepi dan/atau tengah daun. Kemudian bercak melebar membentuk bagian berwarna coklat. Peningkatan serangan ditandai oleh tangkai daun dan batang juga menjadi busuk, berwarna hitam dan mengering. Sementara itu serangan penyakit layu F. oxysporum ditandai oleh terhambatnya pertumbuhan tanaman (kerdil), daun bagian bawah klorosis, menguning dan kemudian tanaman layu dan daun mengering (hanya pada sebagian cabang) (Duriat et al. 2006, Sunarjono 2007). Kerusakan tanaman kentang oleh Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp.pada MT-1 terjadi pertama kali pada perlakuan P0 dan P4 dengan tingkat serangan ringan (Gambar 9); sedangkan pada MT-2 mulai terjadi pada perlakuan P0, P1, P3 da P4 dengan tingkat serangan juga ringan (Gambar 10). Serangan patogen meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, menyerang semua petak percobaan (dengan intensitas bervariasi dan serangan agak tinggi saat tanaman berumur 80 HST pada MT-1 dan 70 HST pada MT-2. Kondisi ini menunjukkan bahwa serangan penyakit tersebut terjadi pada semua perlakuan. Kondisi ini dapat menjawab kekhawatiran petani yang beranggapan bahwa penanaman kentang pada bedengan memotong lereng menyebabkan makin tingginya serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp karena tingginya kelembaban tanah diantara bedengan (saluran/parit antara bedengan). Hal ini
68
didukung oleh data kadar air tanah yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Gambar 9, Gambar 10). Tanaman yang terserang penyakit cukup serius dicabut dan dimusnahkan (tanaman mati) dan persentase tanaman yang mati tersebut tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 14).
Kondisi ini makin menunjukkan bahwa sistem
guludan tanaman tidak nyata mempengaruhi kelembaban atau drainase tanah. Diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil kentang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah terutama drainase yang sangat mempengaruhi produksi umbi.
Tanah
berdrainase jelek akan menyebabkan busuknya umbi dan meningkatnya
40
90
35
80
30
70
Kadar air tanah (%)
Intensitas serangan (%)
serangan penyakit layu dan busuk batang (Sunarjono 2007, Duriat et al. 2006).
25 20 15 10 5
60 50 40 30 20 10
0
0 36 HST 43 HST 50 HST 57 HST 63 HST 70 HST 77 HST
36 HST 43 HST 50 HST 57 HST 63 HST 70 HST 77 HST
Hari Setelah Tanam P0 P4
P1 P5
P2 P6
Hari Setelah Tanam P3
P0 P4
(a)
Gambar 9
P2 P6
P3
(b)
Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp (a) dan kadar air tanah (b) pada pertanaman kentang MT-1 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi 90
40
80
35
Kadar air tanah (%)
Intensitas serangan (%)
P1 P5
30 25 20 15 10 5
70 60 50 40 30 20 10 0
0
P0 P4
52 HST 59 HST 66 HST 73 HST 80 HST
52 HST 59 HST 66 HST 73 HST 80 HST
Hari Setelah Tanam
Hari Setelah Tanam
P1 P5
P2 P6
P3
P0 P4
P1 P5
P2 P6
P3
(a) (b) Gambar 10 Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp (a) dan kadar air tanah (b) pada pertanaman kentang MT-2 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
69
Tabel 14
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Pengaruh teknik KTA terhadap populasi dan persentase tanaman kentang yang mati pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Populasi tanam (tan/ha) 51.000 52.000 51.500 51.000 49.000 47.500 48.500
MT-1 Populasi (tan/ha) 35 HST Panen 47333 a 45500 a 48166 a 46500 a 47000 a 45500 a 47333 a 45833 a 47166 a 46166 a 39333 b 38500 c 42166 b 41000 b
Tanaman mati (%) 3.87 a 3.46 a 3.19 a 3.17 a 2.12 a 2.12 a 2.77 a
MT-2 Populasi (tan/ha) 35 HST Panen 48500 a 46833 a 49833 a 48333 a 47500 a 45666 a 48333 a 47166 a 47654 a 46500 a 40333 c 38833 c 43167 b 41833 c
Tanaman mati (%) 3.44 a 3.01 a 4.02 a 2.41 a 3.12 a 4.96 a 3.09 a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Produksi tanaman dalam satuan luas tertentu ditentukan oleh populasi dan kondisi pertumbuhan tanaman tersebut.
Perbedaan teknik KTA pada
pertanaman kentang dan kubis menyebabkan berbedanya populasi tanaman. Populasi tanaman dengan guludan searah lereng (P0) relatif tidak berbeda dengan guludan memotong lereng (P4);
namun dengan diberi guludan pada
setiap jarak 4.5 m (P1, P2, P3) dan juga ditanami dengan kentang atau kubis, populasi tanaman sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan guludan searah lereng maupun memotong lereng. Selanjutnya guludan memotong lereng miring 15 dan 30 derajat (P5,P6) mengurangi populasi tanaman cukup besar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dariah dan Husen (2009) bahwa penerapan teknik konservasi tanah berdampak pada pengurangan luas bidang olah yang selanjutnya berdampak pada pengurangan populasi tanaman.
Penanaman
dengan guludan searah kontur diperkirakan mengurangi areal tanam 6 - 18 % tergantung kemiringan lahan. Namun populasi tanaman baik pada umur 35 HST dan saat panen pada MT-1 dan MT-2 tidak berbeda nyata antar perlakuan, kecuali perlakuan P5 dan P6 yang nyata lebih kecil dan hal ini lebih disebabkan oleh populasi awal tanaman pada perlakuan tersebut memang lebih kecil. Produktivitas tanaman dan pendapatan usahatani Persentase umbi kentang yang busuk akibat serangan penyakit tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa sistem guludan tidak nyata mempengaruhi kelembaban tanah sekaligus juga menjawab kekhawatiran petani yang beranggapan bahwa penanaman kentang dengan guludan memotong lereng akan menyebabkan kelembaban yang tinggi di daerah perakaran yang memicu meningkatnya serangan penyakit layu dan busuk daun
70
dan batang pada kentang.
Selanjutnya hasil umbi sehat juga tidak berbeda
nyata antar perlakuan, baik berdasarkan ukuran umbi maupun total hasil pada MT-1 maupun pada MT-2. Namun produktivitas kentang cenderung lebih kecil pada P5 dan P6, karena populasi tanaman saat tanam juga lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya; sedangkan adanya guludan memotong lereng pada setiap jarak 4.5 m tidak mempengaruhi produktivitas kentang, karena guludan tersebut juga ditanami kentang. Pengaruh beberapa teknik KTA juga tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas kubis (Tabel 16). Tabel 15 Perlakuan
Pengaruh teknik KTA terhadap hasil kentang pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Umbi busuk (%)
P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Produktivitas kentang (ton/ha) ukuranL (> 60 g) M (30–60 g) S (< 30 g)
Total produktivitas (ton/ha)
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
MT-1
MT-2
17.46 15.49 20.92 16.35 14.92 11.43 16.01
21.20 17.17 16.67 16.03 17.17 14.17 12.17
16.59 16.84 16.92 16.75 16.59 16.34 16.25
16.45 16.42 16.59 17.44 16.92 15.55 15.25
3.25 3.09 3.67 2.50 2.59 3.34 2.67
2.59 2.59 1.84 2.17 2.34 2.04 2.52
0.62 0.62 0.72 0.47 0.64 0.64 0.57
0.40 0.47 0.34 0.42 0.42 0.30 0.42
20.45 20.54 21.29 19.72 19.81 20.31 19.48
19.44 19.47 18.76 20.02 19.67 17.89 18.18
Angka-angka pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Tabel 16
Pengaruh teknik KTA terhadap produktivitas dan sisa tanaman pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Krop
Sisa tanaman
kg/ptk
ton/ha
kg/ptk
ton/ha
150.67 160.33 147.33 146.00 152.33 137.67 147.67
75.33 80.16 73.00 73.66 76.16 68.84 73.83
6.72 6.56 6.63 6.02 6.34 6.26 6.01
3.36 3.28 3.31 3.01 3.17 3.13 3.01
* Angka-angka pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT
Total erosi dalam 2 MT kentang dan 1 MT kubis (+ 1 tahun) pada perlakuan P3 (17.67 ton/ha), P4 (9.70 ton/ha), dan P5 (12.08 ton/ha) lebih kecil dari Etol (20.89 ton/ha/tahun), sebaliknya total erosi pada perlakuan lainnya (P0, P6, P2, P1) (48.35 - 20.94 ton/ha) lebih besar dari Etol (20.89 ton/ha) (Tabel 17, Lampiran 21).
Dengan demikian jika petani menerapkan pola tanam kentang-kubis-
kentang (pola tanam dominan di DAS Siulaki) dengan guludan memotong lereng (P4) atau miring 300 (P5) atau guludan memotong lereng + rorak pada setiap jarak
71
4.5 m pada pertanaman dengan guludan searah lereng (P3) dapat diharapkan akan mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol. Selanjutnya hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa pendapatan usahatani masing-masing perlakuan Rp 97 179 939 - Rp 81 688 688 melebihi pendapatan untuk pemenuhan KHL (Rp 28 000 000/tahun). Oleh karena itu perlakuan P3, P4 dan P5 dapat sebagai alternatif teknik KTA untuk mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari KHL Tabel 17 Pengaruh teknik KTA terhadap total aliran permukaan, erosi dan pendapatan serta BCR dan RCR pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
AP (mm) 271.48 160.89 153.31 136.69 88.25 138.78 180.58
Erosi (ton/ha) 48.35 22.50 20.94 17.67 9.70 12.08 34.84
Biaya (Rp/ha) 85 314 000 86 857 312 86 762 812 86 589 562 84 983 062 79 890 562 81 754 312
Pendapatan (Rp/ha) 96 288 000 97 751 688 94 922 188 96 508 438 97 179 939 82 927 438 81 688 688
BCR
RCR
1.13 1.13 1.09 1.12 1.14 1.04 0.99
2.13 2.13 2.09 2.12 2.14 2.04 1.99
Alternatif Model Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak Deskripsi agroteknologi Altermatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang (UTSBK) di DAS Siulak adalah model usahatani sayuran yang dapat memberikan pendapatan sama atau lebih besar dari kebutuhan hidup layak petani (pendapatan > KHL Rp 28 000 000,-/tahun) dan mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (erosi < Etol 24.09 ton/ha/tahun pada SLP-1, 21.94 ton/ha/tahun pada SLP-2, 22.84 ton/ha/tahun pada SLP-3 dan 20.89 ton/ha/tahun pada SLP-4, Tabel 10) melalui agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Alternatif model UTSBK dirancang untuk lahan 0.44 ha dan 0.82 ha pada kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen dengan agroteknologi alternatif (skenario berdasarkan modifikasi atau penyempurnaan kondisi existing dan hasil percobaan erosi petak kecil). Teknik KTA yang diintegrasikan ke dalam agroteknologi alternatif untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah teknik KTA yang sesuai karakteristik tanah,
72
kebutuhan tanaman dan karakteristik sosial-ekonomi petani setempat untuk mengendalikan erosi sekaligus meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani (Latuladio et al. 2009).
Kemudian teknik budidaya dalam
agroteknologi alternatif untuk model UTSBK tersebut dirancang dengan pendekatan konsep PHT (pengandalian hama terpadu) atau GAPs (Good Agricultural Practices) yang mencakup : 1) penggunaan bibit unggul berkualitas, 2) persiapan lahan dan pengolahan tanah sesuai karakteristik tanah dan kebutuhan
tanaman
untuk
pertumbuhan
dan
produktivitas
optimal,
3) penggunaan kapur berdasarkan pH tanah dan pH optimum yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimal, 4) penggunaan pupuk sesuai dengan kondisi dan status hara tanah serta kebutuhan hara tanaman sayuran untuk
pertumbuhan
dan
produksi
optimal,
5)
pemeliharaan
tanaman
(penyiangan, pendangiran, pemangkasan tunas atau cabang) sesuai kebutuhan tanaman untuk produksi optimal, 6) pengendalian hama dan penyakit tanaman melalui penggunaan pestisida kimia yang minimal (seperlunya), sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen yang menyerang tanaman (Latuladio et al. 2009, Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005). Berdasarkan kondisi existing, maka agroteknologi alternatif untuk model UTSBK di DAS Siulak mencakup : a) teknik KTA berdasarkan pola tanam yang umumnya diterapkan petani sesuai karakteristik lahan (kemiringan lahan) dan kondisi sosial-ekonomi petani (dapat diterima dan diterapkan oleh petani), b) bibit kentang berkualitas atau sertifikasi (Varietas Granola G-3 atau G-4 dari BBIK Kayu Aro), dan c) pengapuran, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman sesuai anjuran (Tabel 18). a. Teknik konservasi tanah dan air Teknik KTA untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah :
1) guludan
tanaman memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.5); 2) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) pada pertanaman sayuran ) dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.3); dan 3) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.3 x 0.3).
73
Tabel 18
Agroteknologi
Deskripsi agroteknologi alternatif dalam model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Pola tanam
Teknik konservasi tanah pada kemiringan lereng 3%
7%
14 %
20 %
A
kentangGuludan Guludan Guludan kubistanaman memotong lereng memotong kentang memotong + lereng Tanpa lereng mulsa sisa + B kentangteknik + tanaman mulsa sisa kubisKTA mulsa sisa 6 ton/ha/tahun tanaman tomat tanaman atau 6 ton/ha/tahun C kentangatau 3 ton/ha/tahun mulsa plastik kubismulsa plastik atau + R/S pada mulsa plastik rorak D kentangpertanaman (1 x 0.3 x 0.4) m R/Sdengan pada pertanaman tomat guludan dengan guludan E kentangsearah lereng searah lereng cabe Bibit kentang varietas Granola (G-3 atau G-4) dari BBIK Kayu Aro, Kabupaten Kerinci Teknik budidaya kentang dan kubis mengacu pada rekomendasi Balitsa Lembang (Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005), budidaya tomat dan cabe mengacu pada Maynard dan Hocmuth 1999 dalam Susila 2006) Tanaman diberi Dolomit 2 ton/ha (kecuali kentang) dan pupuk kandang 10 ton/ha Pupuk kentang (300 kg Urea + 400 kg ZA + 300 kg SP-36 + 300 kg KCl) Pupuk kubis (100 kg Urea + 250 kg ZA + 250 kg SP-36 + 200 kg KCl), Pupuk tomat (499 kg Urea + 311 kg SP-36 + 225 kg KCl Pupuk cabe (499 kg Urea + 311 kg SP-36 + 226 kg KCl) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida minimal, sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen, dosis sesuai anjuran di kemasan
Berdasarkan nilai faktor P masing-masing teknik KTA tersebut, maka nilai faktor CP pada lahan dengan kemiringan lereng 7 % untuk setiap pola tanam adalah 0.065 (kentang-kubis-kentang), 0.0925 (kentang-kubis-tomat), 0.06 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.0775 (kentang-cabe).
0.1025
(kentang-rumput/semak-tomat),
dan
Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CPmaks
(0.1453). Pada lahan dengan kemiringan lereng 14 %, nilai faktor CP untuk setiap pola tanam adalah 0.039 (kentang-kubis-kentang), 0.0555 (kentang-kubistomat), 0.036 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.0615 (kentang-rumput semaktomat), 0.0465 (kentang-cabe).
Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai
CPmaks (0.0674). Pada lahan dengan kemiringan lereng 20 %, nilai faktor CP untuk setiap pola tanam adalah 0.0117 (kentang-kubis-kentang), 0.01665 (kentang-kubis-tomat), 0.0108 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.01845 (kentangrumput semak-tomat), 0.01395 (kentang-cabe). Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CPmaks (0.0479).
74
Guludan memotong lereng merupakan tumpukan tanah (tinggi 25 - 30 cm, lebar dasar 30 - 40 cm) yang dibuat memanjang memotong lereng atau menurut arah garis kontur dan dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng hingga 8 %. Jarak antar guludan tergantung kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. Makin curam lereng atau makin peka tanah terhadap erosi atau makin tinggi erosivitas hujan, maka jarak guludan makin pendek. Penentuan jarak guludan dapat menggunakan persamaan jarak teras (Arsyad 2009). Pembuatan guludan memotong lereng pada lahan dengan kemiringan lereng 14 dan 20 persen pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng diasumsikan tidak mengurangi areal tanam karena ditanami dengan sayuran yang sama dengan bidang olah. Pembuatan guludan diasumsikan membutuhkan tenaga kerja 40 HOK/ha, mengacu pada pembuatan teras gulud yang membutuhkan tenaga kerja 80 HOK (Ditjen PLA Deptan 2007), karena pada guludan tidak ada saluran sebagaimana pada teras gulud. Penambahan biaya akibat pembuatan guludan pengendali erosi tersebut diasumsikan tidak mengurangi pendapatan, karena guludan juga ditanami sayuran sehingga tidak mengurangi hasil panen (produktivitas tanaman) Rorak adalah lubang yang digali dengan dalam 60 cm, lebar 50 cm, panjang 1 - 5 m, jarak ke samping sama dengan panjang rorak, jarak searah lereng 10 - 5 m (pada kemiringan lereng 3 - 8 persen dan 8 - 15 persen), 5 - 3 m (pada kemiringan lereng 15 - 30 persen). Rorak berfungsi untuk menangkap air aliran permukaan dan tanah yang tererosi sehingga memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi dari lahan (Arsyad 2009). Pembuatan rorak berdimensi 1 m x 0.3 m x 0.4 m diasumsikan membutuhkan tenaga kerja 30 HOK, yakni setengah dari kebutuhan tenaga kerja pembuatan rorak berdimensi 5 m x 0.3 m x 0.4 m (30 unit/ha) yang membutuhkan tenaga kerja 50-60 HOK. Pembuatan rorak sebagai teknik KTA pada pertanaman sayuran searah lereng diasumsikan dan diperhitungkan mengurangi luas bidang olah (10 %), sebagaimana dikemukakan oleh Dariah dan Husen (2004) bahwa penerapan teknik konservasi tanah tertentu akan menyebabkan pengurangan luas areal tanam. Namun pengurangan areal tanam dapat dikompensasi dengan cara menanam tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi. b. Teknik budidaya Budidaya kentang menggunakan bibit sertifikasi (G3 atau G4) yang dapat diperoleh petani dari Balai Benih Induk Kentang (BBIK) Kayu Aro (Rp 9 000/kg).
75
Untuk meningkatkan pH tanah dan ketersediaan hara, diaplikasikan kapur Dolomit 2 ton/ha (target pH 6 - 6.5, optimum untuk pertumbuhan tanaman sayuran), kecuali untuk kentang.
Takaran pupuk kandang mengacu anjuran
Balitsa (Balai Penelitian Sayuran) Lembang, Jawa Barat (Sastrosiswojo et al. 2005) dan Maynard dan Hocmuth (1999 dalam Susila 2006). Perbaikan teknik pemupukan (pupuk kimia) kondisi existing mengacu pada prinsip pemberian unsur hara untuk tanaman sayuran yang harus tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman
dan
status
hara
tanah
untuk
mencapai
tujuan
peningkatan
produktivitas, efisiensi dan pelestarian lingkungan serta keberlanjutan usahatani (feed what the crop needs). Takaran pupuk untuk budidaya sayuran dataran tinggi berumur panen lebih dari 2 bulan adalah 100 - 200 kg N, 90 - 180 kg P2O5 dan 60 - 150 kg K2O per hektar.
Dalam pemupukan N, tanaman sayuran
umumnya menghendaki kombinasi Urea dan ZA (sebagai sumber N) secara proporsional (sesuai dengan jenis sayuran yang diusahakan) (Suwandi 2009). Oleh karena dosis rekomendasi pupuk untuk tanaman sayuran umumnya, kentang, kubis, tomat dan cabe khususnya pada Andisol di DAS Siulak belum tersedia, maka dosis pupuk yang digunakan dalam agroteknologi untuk model UTSBK di DAS Siulak mengacu pada rekomendasi Balitsa Lembang khusus untuk kentang dan kubis (Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005) dan rekomendasi Maynard dan Hocmuth (1999 dalam Susila 2006) untuk cabe dan tomat. Perlindungan tanaman dari serangan hama dan penyakit menggunakan pendekatan konsep PHT atau GAPs yakni pengendalian OPT atau hama dan penyakit
tanaman
melalui
penggunaan
pestisida
kimia
yang
minimal
(seperlunya), sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen yang menyerang tanaman. Penyemprotan pestisida dihitung seminggu sekali dengan dosis sesuai anjuran di kemasan. Prediksi erosi dan pendapatan petani dengan agroteknologi alternatif Produksi kentang, kubis, tomat dan cabe diperkirakan berdasarkan perbaikan kesuburan dan produktivitas tanah melalui perbaikan masukan kapur dan pupuk yang sesuai dengan anjuran/rekomendasi dari pustaka yang tersedia. Selain itu penggunaan bibit berkualitas terutama kentang diprediksi memberikan produktivitas tanaman lebih tinggi mengacu pada hasil percobaan petak kecil. Dengan demikian peningkatan kesuburan tanah dan penggunaan bibit berkualitas diprediksi meningkatkan produktivitas tanaman dan pada gilirannya memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan agroteknologi
76
yang dterapkan petani.
Produksi kentang, kubis, tomat dan cabe dengan
agroteknologi perbaikan diprediksi masing-masing 21 ton/ha, 50 ton/ha, 36 ton/ha dan 15.3 ton/ha. Pada lahan dengan kemiringan lereng 3 persen (SLP-1) tidak diaplikasi teknik KTA, karena prediksi erosi kondisi existing menunjukkan bahwa erosi pada lahan tersebut dengan masing-masing pola tanam lebih kecil dari Etol (Tabel 10). Namun karena kedalaman tanah termasuk kriteria sedang (Tabel 5), maka untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya lahan seyogyanya diterapkan teknik KTA sederhana yang memadai agar terpelihara kedalaman tanah yang cukup untuk pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal secara berkelanjutan. Hasil analisis erosi dan pendapatan usahatani sayuran berbasis kentang dengan Agroteknologi A, B, C, D dan E menunjukkan bahwa pada kemiringan lereng 3 % diprediksi erosi (6.87 - 11.73 ton/ha/tahun) lebih kecil dari Etol (24.09 ton/ha/tahun) dan pada lereng 7 % diprediksi erosi (9.06 - 15.47 ton/ha/tahun) juga lebih kecil dari Etol (21.94 ton/ha/tahun) dengan nilai BCR > 1 (1.12 - 1.19 pada lereng 3 %, dan 1.15 - 1.26 pada lereng 7 %).
Namun pendapatan
usahatani dengan lahan 0.12 ha (Rp 7 344 389 - Rp 14 385 167 pada lereng 3 %, dan Rp 7 494 437 - Rp 14 406 702 pada lereng 7 %) masih lebih kecil dari KHL, sedangkan pada lahan 0.44 ha (Rp 42 507 032 - Rp 52 745 652 pada lereng 3 %, dan Rp 43 016 641 - Rp 52 824 571 pada lereng 7 %) lebih besar dari KHL, demikian juga pada lahan 0.82 ha (Rp 50 186 697 - Rp 98 292 680 pada lereng 3 %, dan Rp 51 211 985 - Rp 98 445 793 pada lereng 7 %) lebih besar dari KHL (Tabel 19). Pada lahan dengan kemiringan lereng 14 %, diprediksi erosi (12.21 - 20.85 ton/ha/tahun) lebih kecil dari Etol (22.84 ton/ha/tahun), namun nilai BCR < 1 dengan Agroteknologi A dan C (masing-masing 0.96 dan 0.98) dan pendapatan usahatani pada lahan 0.12 ha (Rp 6 218 644 - Rp 12 545 909) masih lebih kecil dari KHL, sedangkan pada lahan 0.44 ha (Rp 37 428 962 - Rp 46 001 705) dan 0.82 ha (Rp 42 494 070 - Rp 85 730 378) lebih besar dari KHL. Selanjutnya pada lereng 20 %, diprediksi terjadi erosi (6.04 - 10.31 ton/ha/tahun) juga lebih kecil dari Etol (20.89 ton/ha/tahun), namun hanya Agroteknologi E dengan BCR > 1 (1.01) dan pendapatan usahatani (Rp 41 371 864 - Rp 83 722 572) lebih besar dari KHL.
Usahatani dengan BCR < 1 (tidak efisien dan tidak
menguntungkan) disebabkan oleh berkurangnya pendapatan usahatani besarnya biaya usahatani akibat penerapan teknik KTA.
77
Tabel 19 Prediksi erosi, pendapatan, nilai BCR dan RCR usahatani dengan agroteknologi alternatif pada lahan 0.12, 0.44 dan 0.82 hektar dengan kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Agroteknologi
Erosi (ton/ha/thn)
Pendapatan (Rp/tahun) 0.12 ha
0.44 ha Lereng 3 %
BCR
RCR
1.12 1.19 1.19 1.12 1.13
2.12 2.19 2.19 2.12 2.13
0.82 ha
(tanpa teknik konservasi tanah)
A B C D E
7.44 10.59 6.87 8.87 11.73
11 896 438 14 385 167 7 344 389 11 592 827 12 095 709
43 620 312 52 745 652 26 929 466 42 507 032 44 350 931 Lereng 7 %
81 292 364 98 292 680 50 186 697 79 217 650 82 654 008
(guludan tanaman memotong lereng + mulsa sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik)
A B C D E
9.82 13.96 9.06 15.47 11.70
12.313.984 14.406.702 7.494.437 11.731.812 13.155.207
45.151.274 52.824.571 27.479.601 43.016.641 48.235.756 Lereng 14 %
84.145.555 98.445.793 51.211.985 80.167.378 89.893.604
1.21 1.20 1.25 1.15 1.26
2.21 2.20 2.25 2.15 2.26
(guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik pada pertanaman dengan guludan searah lereng)
A B C D E
13.22 18.82 12.21 20.85 15.77
10.207.898 12.545.909 6.218.644 10.316.519 11.370.014
37.428.962 46.001.705 22.801.735 37.827.236 43.214.597 Lereng 20 %
69.753.975 85.730.378 42.494.070 70.496.213 77.695.096
0.96 1.02 0.98 1.00 1.04
1.96 2.02 1.98 2.00 2.04
(guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik + rorak pada pertanaman dengan guludan searah lereng)
A 7.80 9.924.572 36.390.096 67.817.063 0.90 1.90 B 10.31 12.252.146 44.924.533 83.722.572 0.98 1.98 C 6.04 6.054.481 22.199.763 41.371.864 0.93 1.93 D 9.31 10.067.756 36.915.103 68.795.907 0.96 1.96 E 6.54 11.103.971 40.714.558 76.006.910 1.01 2.01 Etol 24.09 ton/ha/tahun (lereng 3 %), 21.94 ton/ha/tahun (lereng 7 %), 22.84 ton/ha/tahun (lereng 14 %), dan 20.89 ton/ha/tahun (lereng 20 %); KHL = Rp 28 000 000/tahun
Hasil
analisis
erosi
dan
pendapatan
usahatani
tersebut
di
atas
menunjukkan bahwa agroteknologi A, B, C, D dan E efisien dan menguntungkan pada lahan dengan kemiringan lereng 3 dan 7 persen, Agroteknologi B, D dan E pada kemiringan lereng 14 %, hanya Agroteknologi E pada lereng 20 %, serta memenuhi indikator usahatani berkelanjutan (erosi < Etol, pendapatan usahatani > KHL) kecuali pada lahan 0.12 ha.
Agroteknologi yang memberikan
pendapatan lebih baik adalah Agroteknologi B. Hal ini juga ditunjukkan oleh luas lahan minimum untuk pemenuhan KHL pada masing-masing kemiringan lereng paling kecil dengan Agroteknologi B (0.23 - 0.27 ha) dan lebih besar dengan Agroteknologi A (0.27 - 0.34 ha), Agroteknologi C (0.46 - 0.55 ha), Agroteknologi D (0.29 - 0.33 ha), dan Agroteknologi E (0.26 - 0.30 ha).
78
Agroteknologi alternatif yang optimal untuk model UTSBK di DAS Siulak Hasil
analisis
multiple
goal
programming
menunjukkan
bahwa
agroteknologi yang optimal untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah Agroteknologi B, ditunjukkan oleh deviasi positif target erosi dan deviasi negatif target pendapatan yang sama dengan nol (de+, dp- = 0) pada setiap kemiringan lereng (Lampiran 22) dengan ketercapaian target penurunan erosi 36.37 - 17.60 persen, dan peningkatan pendapatan 88.66 - 45.41 persen dengan lahan 0.44 ha dan 24.34 - 20.33 persen dengan lahan 0.82 ha (Tabel 20). Dengan demikian untuk memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi KHL dalam usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang dengan Agroteknologi B membutuhkan lahan minimal dengan luas 0.44 ha. Tabel 20
Ketercapaian target penurunan erosi dan peningkatan pendapatan dengan Agroteknologi B pada lahan 0.44 ha di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Kendala
*)
Target
Ketercapaian
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 24.09 28.00
0.44 0.59 52.75
% KeterTarget capaian Lereng 3 % 100.00 0.82 *) 0.00 24.09 188.38 28.00
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 21.94 28.00
0.44 13.96 52.82
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 22.84 28.00
Lahan (ha) Erosi (ton/ha/tahun) Pendapatan (juta rupiah/tahun)
0.44 20.89 28.00
**)
Ketercapaian
% Ketercapaian
0.29 10.59 34.76
+64.63 **) 0.00 124.15
Lereng 7 % 100.00 0.82 136.37 21.94 188.66 28.00
0.29 13.96 34.82
+64.63 136.37 124.34
0.44 18.82 46.00
Lereng 14 % 100.00 0.82 117.60 22.84 164.29 28.00
0.33 18.82 34.50
+59.76 117.60 123.22
0.44 15.51 40.71
Lereng 20 % 100.00 0.82 125.75 20.89 145.41 28.00
0.33 15.51 33.69
+59.76 125.75 120.33
*)
tanda (+) berarti kelebihan lahan nilai ketercapaian = kondisi existing (tanpa penerapan teknik konservasi tanah)
Penerapan model usahatani sayuran berbasis kentang di DAS Siulak Pola tanam kentang-kubis-tomat merupakan pola tanam yang intensif dibandingkan dengan pola tanam lain (kentang-kubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semak-tomat) yang lebih banyak diterapkan petani.
Petani
melakukan usahatani sepanjang tahun (3 musim tanam dalam setahun) dengan
79
pola tanam tersebut dan dalam kondisi existing memberikan pendapatan usahatani cukup baik tetapi masih lebih kecil dari pendapatan untuk pemenuhan KHL dibandingkan dengan pola tanam lainnya, tetapi menyebabkan erosi lebih besar dari Etol.
Namun dengan Agroteknologi B, pola tanam tersebut juga
memberikan pendapatan usahatani melebihi KHL serta mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol pada kemiringan lereng 3. 7, 14 dan 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam intensif tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga dapat mengendalikan erosi jika diintegrasikan teknik KTA ke dalam usahatani tersebut. Dalam kondisi existing, pola tanam kentang-kubistomat tidak banyak petani yang menerapkan (12.77 % responden) lebih disebabkan oleh keterbatasan modal.
Kondisi ini sebagaimana dikemukakan
oleh Adiyoga (2000) bahwa usahatani sayuran merupakan usahatani yang relatif mahal dibandingkan dengan usahatani lainnya. Namun hasil analisis multiple goal programming menunjukkan bahwa Agroteknologi B dapat memberikan pendapatan lebih besar dari KHL dan menekan erosi lebih kecil dari Etol dengan luas lahan 0.44 ha.
Hal ini memberikan gambaran bahwa Agroteknologi B
tersebut lebih menguntungkan sehingga dapat diharapkan akan diterapkan oleh petani di DAS Siulak. Masalah keterbatasan modal petani dapat diatasi secara bertahap melalui bantuan modal oleh lembaga keuangan yang ada di daerah atau melalui usaha dengan sistem kemitraan. Oleh karena tanaman sayuran merupakan komoditi bernilai ekonomi tinggi dan Agroteknologi B menguntungkan sehingga petani bisa menabung sebagian pendapatannya, maka dapat diharapkan secara bertahap petani akan melakukan usahataninya dengan modal sendiri. Dengan demikian penerapan model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang tersebut dapat sebagai salah satu langkah dalam membangun sistem pertanian berkelanjutan di DAS Siulak. Khusus untuk petani dengan lahan < 0.25 ha (rata-rata 0.12 ha), perlu usaha lain agar pendapatan petani dapat memenuhi KHL. Sinukaban (2007) mengemukakan bahwa dalam sistem pertanian konservasi yang ciri-crinya sesuai dengan tiga pilar sistem pertanian berkelanjutan, komoditi yang diusahakan dan dikembangkan bervariasi dapat dari tanaman pangan, palawija, sayuran, buah-buahan, kayu-kayuan termasuk ternak dan ikan yang sesuai dengan karakteristik tanah dan iklim setempat, diterima masyarakat dan laku di pasar. Dalam rangka tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan,
80
pendapatan petani yang cukup tinggi harus dipenuhi berapapun luas areal atau lahan usahanya. Jika pendapatan dari usaha pertanian tidak mencukupi, harus dicari usaha lain dan harus direncanakan agar semua anggota enterprise dapat sustainable untuk hidup layak.
Dengan kata lain
dalam dimensi ekonomi,
kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani dapat dipenuhi melalui produktivitas yang tinggi baik dari usahatani maupun di luar usahatani. Kondisi existing menunjukkan bahwa sejumlah kecil petani di DAS Siulak mempunyai ternak kambing (11.46 % responden) dan ternak sapi (13.54 % responden) yang diusahakan secara sederhana.
Berdasarkan karakteristik
tanah dan iklim serta karakteristik sosial ekonomi petani di DAS Siulak, maka usaha ternak kambing atau sapi dapat sebagai alternatif bagi petani untuk sumber pendapatan tambahan agar pendapatan petani dapat memenuhi KHL. Usaha ternak kambing merupakan jenis usaha yang telah lama dilakukan masyarakat sebagai usaha sampingan, karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksinya (daging, susu, kotoran) relatif mudah. Meskipun dilakukan secara tradisional, usaha ternak kambing telah memberikan hasil yang cukup baik bagi petani (Deptan 2005). Disamping itu usaha ternak kambing sangat toleran terhadap aneka pakan hijauan dan adaptasi yang baik terhadap lingkungan terutama iklim (suhu dan kelembaban udara). Sebagian besar usaha ternak kambing dilakukan petani untuk menghasilkan anak (pembibitan) atau penggemukan untuk dijual (Choliq et al. 2009). Usaha ternak sapi perah merupakan salah satu usaha andalan subsektor peternakan yang memiliki peluang prospektif dalam kegiatan agroindustri sebagai satu sub sistem agribisnis. Pengembangan usaha ternak sapi perah berpengaruh positif terhadap pemanfaatan tenaga kerja atau penciptaan lapangan kerja dan menjanjikan pendapatan tunai, sehingga dapat memotivasi petani untuk berperan aktif dalam kegiatan usahatani guna meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagian besar usaha sapi perah oleh petani/peternak di Indonesia adalah usaha peternakan rakyat dengan rata-rata kepemilikan ternak 2-3 ekor induk dengan sistem usaha bersifat tradisional yang ditandai dengan penggunaan tenaga kerja keluarga dan pemeliharaan sederhana.
Meskipun
demikian usaha ternak sapi perah tersebut dapat sebagai sumber pendapatan tambahan untuk pemenuhan pendapatan petani (Kaliky dan Hidayat 2002). Integrasi usaha ternak kambing (8 induk betina dan 1 induk pejantan) dan usaha ternak sapi perah (4 ekor sapi laktasi) pada usahatani sayuran dengan
81
lahan 0.12 ha memberikan total pendapatan petani melebihi KHL yakni Rp 30 864 202 - Rp 28 709 646 dengan usaha ternak kambing; Rp 35 413 702 – Rp 33 259 146 dengan usaha ternak sapi perah. Namun usaha ternak sapi perah membutuhkan modal (tunai) dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan usaha ternak kambing (Tabel 21, Lampiran 23). Berdasarkan kondisi petani yang juga dalam keterbatasan modal, maka usaha ternak kambing dapat sebagai alternatif untuk memenuhi pendapatan petani hingga > KHL. Hal ini terkait dengan beberapa keuntungan memelihara ternak kambing yaitu : 1) kebutuhan lahan tidak terlalu luas; 2) kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap
berbagai
lingkungan,
sehingga
mudah
dipelihara
dan
dikembangkan baik di dataran tinggi maupun dataran rendah; 3) kambing memiliki perkembangbiakan yang cepat, umur 1.5 tahun sudah mulai beranak dan dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dan setiap beranak melahirkan 2 ekor anak; 4) investasi yang dibutuhkan untuk memelihara kambing lebih kecil dibandingkan dengan ternak besar seperti sapi perah; dan 5) merupakan sumber modal uang tunai yang relatif lebih mudah dijual sewaktu-waktu (Deptan 2005). Tabel 21
Pendapatan petani dengan Agroteknologi B pada lahan 0.12 ha dengan integrasi usaha ternak kambing dan usaha ternak sapi perah di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Kemiringan lereng (%)
Pendapatan (Rp/tahun) Usahatani Usaha ternak Usaha ternak sayuran kambing sapi (S) (Tk) (Ts) 14 385 167 16 457 500 21 007 000 14.406.702 16 457 500 21 007 000 12.545.909 16 457 500 21 007 000 12.252.146 16 457 500 21 007 000
3 7 14 20
Total pendapatan (Rp/tahun) S + Tk
S + Ts
30 842 667 30 864 202 29 003 409 28 709 646
35 392 167 35 413 702 33 552 909 33 259 146
Modal/biaya : usaha ternak kambing Rp 8 500 000,- (1 pejantan + 8 induk betina) (Choliq et al 2009, Deptan 2005), usaha ternak sapi Rp 42 180 000,- (4 ekor sapi laktasi) (Rusdiana dan Praharani 2009)
Respon petani terhadap teknik konservasi tanah alternatif Sebagian petani di DAS Siulak terutama di Desa Kebun Baru menyadari telah terjadi penurunan kualitas lahan usahataninya (berkurangnya ketebalan lapisan olah dan berubahnya warna tanah dari hitam menjadi kecoklatan) dan penurunan produktivitas lahan akibat erosi, dan telah mengetahui bahwa guludan tanaman memotong lereng dapat mengurangi kehilangan tanah akibat aliran permukaan dan erosi. Namun petani belum menerapkan teknik konservasi tanah tersebut lebih disebabkan oleh sangat tingginya kekhawatiran akan rendahnya
82
produksi, akibat serangan penyakit tanaman terutama penyakit busuk daun dan batang oleh cendawan Phytophthora sp. Pengamatan di lapangan selama percobaan erosi petak kecil di Desa Kebun Baru menunjukkan bahwa sejumlah petani (+ 30 orang) antusias dengan kegiatan percobaan erosi petak kecil terutama terhadap hasil pengamatan dan pengukuran erosi yang menunjukkan tingginya erosi (banyaknya tanah yang hanyut masuk ke dalam bak penampung aliran permukaan dan erosi) pada perlakuan P0 yang merupakan sistem tanam kentang yang dilakukan petani. Sebaliknya jumlah tanah yang hanyut dan masuk ke dalam bak penampung aliran permukaan dan erosi jauh lebih kecil pada perlakuan lain terutama perlakuan P4, P3 dan P5. Kemudian petani juga tertarik dengan pertumbuhan dan produksi kentang dari petak percobaan tersebut cukup baik dan cukup tinggi dengan penggunaan bibit kentang berkualitas dan aplikasi pupuk sesuai anjuran. Selanjutnya petani juga telah melihat dan mengamati sendiri bahwa penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp dan Fusarium sp menyerang tanaman kentang baik yang ditanam dengan guludan memotong lereng maupun searah lereng (intensitas serangan rata-rata sedang). Petani makin menyadari bahwa penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp merupakan penyakit yang dominan dan paling serius pada tanaman kentang dataran tinggi yang dipicu oleh faktor cuaca (suhu dan kelembaban tinggi serta tebalnya kabut) terutama di musim hujan, serta penggunaan bibit kentang bermutu rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan pengamatan di lapangan terutama di Desa Kebun Baru setelah penelitian (+ 15 bulan setelah berakhirnya penelitian), diketahui bahwa sejumlah petani (+ 20 orang) telah menerapkan penanaman sayuran (kentang, kubis, cabe, tomat) dengan guludan memotong lereng atau miring terhadap lereng dan penggunaan mulsa plastik pada tanaman kentang (Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13).
Kondisi ini terutama didukung
oleh keberhasilan Ketua KTNA (Kelompok Tani dan Nelayan Andalan) Kabupaten Kerinci (Bapak Mardianus) dengan hasil kentang mencapai 29.6 ton/ha pada musim tanam Januari – Juni 2010.
Keberhasilan Ketua KTNA
tersebut diikuti oleh Kepala Desa Kebun Baru dan keluarganya serta anggota Kelompok Tani G-7 di Desa Kebun Baru dan petani di sekitar lahan usahatani ketua KTNA tersebut.
83
Gambar 11 Guludan tanaman kentang memotong lereng + mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru, hulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Ganbar 12 Guludan tanaman kentang memotong lereng tanpa mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru di hHulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
84
(a)
(b)
Gambar 13 Guludan tanaman cabe memotong lereng + mulsa plastik oleh petani (Ketua KTNA Kabupaten Kerinci) di Desa Kebun Baru di hHulu DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa Agroteknologi B terutama penerapan teknik KTA berupa guludan tanaman memotong lereng atau miring terhadap lereng dapat diterima, diterapkan dan dikembangkan oleh petani di DAS Siulak. Dengan demikian model usahatani sayuran berbasis kentang yang dirumuskan telah memenuhi tiga pilar sistem pertanian berkelanjutan yaitu memberi keuntungan ekonomi terhadap masyarakat (economically profitable) dan memberi keuntungan terhadap pelestarian lingkungan dan sumberdaya lahan (environmentally friendly) serta dapat diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat (socially acceptable and applicable) secara berkesinambungan.
85
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak saat ini sesuai dengan kemampuan lahan (faktor penghambat kecuraman lereng). Namun erosi yang terjadi (39.25 - 229.14 ton/ha/tahun) lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (24.09 - 20.89 ton/ha/tahun), dan pendapatan usahatani (Rp 3 367 866 - Rp 20 529 788 per tahun) lebih kecil dari kebutuhan petani untuk hidup layak (Rp 28 000 000/tahun) (kecuali petani dengan lahan > 0.5 ha) 2. Guludan tanaman memotong lereng, atau miring 150 terhadap lereng, atau guludan memotong lereng + rorak setiap jarak 4.5 m pada pertanaman searah lereng dapat sebagai alternatif untuk mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari kebutuhan untuk hidup layak. 3. Agroteknologi alternatif untuk model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak adalah dengan agroteknologi yang terdiri dari pola tanam dan perbaikan teknik budidaya tanaman oleh petani serta integrasi teknik konservasi tanah : a) guludan tanaman memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 %; b) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 %; dan c) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 % 4. Semua pola tanam petani (kentang-kubis-kentang, kentang-kubis-tomat, kentang-kubis-rumput/semak, kentang-rumput/semak-tomat dan kentangcabe) dengan perbaikan teknik budidaya dan integrasi teknik konservasi tanah dapat sebagai model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak dengan prediksi erosi (6.87 - 11.73, 9.06 - 15.47, 12.21 - 20.85, dan 10.06 - 17.19 ton/ha/tahun masing-masing pada lahan dengan kemiringan lereng 3, 7, 14, 20 persen) lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (24.09 - 20.89 ton/ha/tahun), dan pendapatan usahatani (Rp 37 428 962 - Rp 52 824 571 dengan lahan 0.44 ha, Rp 41 371 864 -
Rp 98 445 793 dengan lahan 0.82 ha) lebih besar dari kebutuhan untuk hidup layak (kecuali pola kentang-kubis-kentang dan kentang-kubis-rumput/semak pada lereng 14 dan 20 persen dan pola kentang-kubis-tomat dan kentangrumput/semak-tomat pada lereng 20 %. 5. Model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang yang optimal pada lahan dengan kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen adalah model usahatani sayuran dengan pola tanam kentang-kubis-tomat dan luas lahan minimal 0.44 ha dengan ketercapaian target penurunan erosi 36.37 - 17.60 persen dan peningkatan pendapatan 88.66 - 45.41 persen dengan lahan minimal 0.44 ha 6. Integrasi usaha ternak kambing dan ternak sapi perah pada usahatani sayuran berbasis kentang dengan model usahatani sayuran berbasis kentang yang optimal (dengan pola tanam kentang-kubis-tomat) pada lahan 0.12 ha dapat meningkatkan pendapatan petani hingga memenuhi KHL, yaitu Rp 30 864 202 - Rp 28 709 646 dengan usaha ternak kambing (8 ekor induk betina dan 1 ekor pejantan) dan Rp 35 413 702 - Rp 33 259 146 dengan usaha ternak sapi perah (4 ekor sapi laktasi) 7. Teknik guludan tanaman memotong lereng atau miring terhadap lereng dan mulsa plastik telah mulai diterapkan petabi di DAS Siulak dalam usahatani kentang dan cabe. . Saran Membangun sistem pertanian berkelanjutan di DAS Siulak dapat dengan menerapkan model usahatani sayuran berbasis kentang dengan pola tanam kentang-kubis-tomat dengan guludan memotong lereng atau searah lereng (sistem
petani),
bibit
kentang
berkualitas,
aplikasi
kapur/pupuk
sesuai
karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman serta mengitegrasikan : a) guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 persen; b) guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 %;
dan c) guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman
6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 %. Khusus bagi petani dengan luas lahan < 0.25 ha (rata-rata 0.12 ha) dapat meningkatkan pendapatan keluarga hingga memenuhi kebutuhan hidup layak dengan melakukan usaha ternak kambing (8 ekor induk betina dan 1 ekor pejantan) sebagai usaha tambahan.
87
DAFTAR PUSTAKA Adiyoga W, Ameriana M, Suherman R, Soetiarso TA, Udhiarto BK, Sulastrini I. 2000. Sistem produksi beberapa jenis sayuran di Indonesia. J Hort 9(2): 258-265 Adnyana MO. 1999. Farming systems research in Indonesia : Lesson learnt and future direction. Di dalam: Goto J, Mayrowani H, editor. Learning from the Farming Systems Research Experiences in Indonesia. Proceeding of CASER-JIRCAS International Workshop; Bogor, 3-4 March 1999. Japan: JIRCAS. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. hlm: 19-36 Adri, Edi S, Firdaus. 2006. Struktur biaya usahatani kentang di Kerinci. Tambua 5(1):33-37 Agus F, Widianto. 2004. Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Petunjuk Teknis. Bogor: World Agroforestry Center. ICRAF Southeast Asia. Anwar S. 2007. Luas lahan kritis di Indonesia. Informasi disampaikan kepada para pemangku kepentingan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Jakarta: Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Dirjen RLPS. Arsyad S. 2009. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajahmada Univ Press. Banua SI. 1994. Dinamika aliran permukaan dan erosi akibat tindakan konservasi tanah pada Andosol Pengalengan Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. [Bappeda Kabupaten Kerinci] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci. 2004. Penyusunan Master Plan Agribisnis Pariwisata dan Jasa Kabupaten Kerinci [Laporan Rencana]. Sungai Penuh: Bappeda Pemerintah Kabupaten Kerinci. Belcher KW, Boehm MM, Fulton ME. 2004. Agroecosystem sustainability : A system simulation model approach. J Agric System 79(5):225-245. [BP DAS Batanghari] Balai Pengelolaan DAS Batanghari. 2003. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT) DAS Batang Merao. Buku I dan II. Jambi: BP DAS Batanghari. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas panen, produksi dan produktivitas sayuran 2009-2010. Jakarta: BPS. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? tabel=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=15, [30 September 2010] [BPS Kabupaten Kerinci] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. 2009. Kabupaten Kerinci Dalam Angka. Sungai Penuh: BPS Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
Budihardja D, Syaifuddin. 2003. Prediksi erosi dan sedimentasi di dataran tinggi Bedugul Propinsi Bali menggunakan ANSWERS. Alami 8(1) :46-54. Cholic A, Utomo B, Bahri S, Ambarsari I. 2009. Peran usaha budidaya ternak kambing skala rumah tangga dalam meningkatkan pendapatan petani di Banjarnegara. Makalah pada Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan 20 Mei 2009 di Semarang. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. http://jateng.litbang.deptan.go.id/ind/images/Publikasi/artikel/artikel/choliqbudi dayakambing.pdf [21 Januari 2012] Dariah A, Husen E. 2004. Optimalisasi multifungsi pertanian pada usahatani berbasis tanaman sayuran. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Darmawijaya MI. 1997. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada Univ Press. [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Budidaya kambing. Teknologi Tepat Guna Menteri Negara Riset dan Teknologi. IPTEKnet. All rights reserved. BPPT, Jakarta. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=4&doc= 4a16 [21 Januari 2012) Derpsch R, Moriya K. 1998. Implications of no-tillage versus soil preparation on sustainability of agricultural production. Di dalam: Blume HP, Eger H, Fleischhauer E, Hebel A, Reij C, Steiner KG, editor. Towards Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31:1197-1186. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci. 2008. Data Base Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Tahun 2007. Sungai Penuh: Distanbun Kabupaten Kerinci. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci. 2009. Data Base Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Tahun 2008. Sungai Penuh: Distanbun Kabupaten Kerinci. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci. 2010. Data Base Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Tahun 2009. Sungai Penuh : Distanbun Kabupaten Kerinci. [Distanbun Kabupaten Kerinci] Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kerinci. 2006. Data Base Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Tahun 2005. Sungai Penuh: Distanbun Kabupaten Kerinci. [Distanbun Kabupaten Kerinci] Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kerinci. 2007. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kerinci Tahun 2006. Sungai Penuh: Distanbun Kabupaten Kerinci. [Ditjen PLA Deptan] Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Umum Padat Karya Pengelolaan Lahan dan Air. TA. 2007. Jakarta: Departemen Pertanian. http://setjen.deptan.go.id/Pedum _ padat_karya_2007_lkp(1)pdf [12 Setemberi 2011]
89
[Ditjen Sumberdaya Air] Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Departemen Pertanian. 20 Agustus 2004. Sebanyak 65 DAS dalam kondisi semakin kritis. Kompas:15 Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Ed ke-1. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Puslitbangtanak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Djaenudin D. 2004. Beberapa sifat spesifik Andisol untuk pembeda klasifikasi pada tingkat seri : Studi kasus di daerah Cikajang dan Cikole, Jawa Barat. J Tanah dan Lingkungan 6(1):14-21. http://www.akademik.unsri.ac.id/down load/journal/files/bai-journal/spesifik.pdf [22 September 2011] Duriat AS, Gunawan OS, Gunaeni N. 2006. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kentang. Monografi No. 28. ISBN: 979-8304-50-0. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Edi S. 2004. Potensi pengembangan dan teknologi budidaya kentang di Kabupaten Kerinci Jambi. Di dalam: Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu (PLTT), Prosiding Seminar dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi; Jambi, 13 -14 Des 2004. Jambi: BPTP Jambi-BALITTRA. Edi S, Hasan N, Asni N, Adri, Yardha. 2003. Kajian pemupukan terhadap peningkatan produksi dan kelayakan usahatani kentang di Kabupaten Kerinci. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Pertanian. Jambi: BPTP Jambi. Edi S, Yardha, Mildaerizanti, Mugiyanto. 2005. Pengaruh sumber bibit terhadap pertumbuhan dan produksi kentang di Kabupaten Kerinci, Jambi. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(2):232-241. Elliot LF, Wildung RE. 1992. What biotechnology means or soil and water conservation. J of Soil and Water Conserv 47(1):17-20. Foth HD. 1990. Fundamentals of Soil Science. Ed ke-8. New York: John Willey and Sons. . Greenland DJ. 1994. Soil science and sustainable land management. Di dalam: Syers JK, Rimmer DL editor, Soil Science and Sustainable Land Management In The Tropic. London: Cab International and British Society of Soil Science. hlm: 1-15 Grip H, Fritsch JM, Bruijnzeel LA. 2005. Soil and water impacts during forest conversion and stabilization to new land use. Di dalam: Bonell M, Bruijnzeel LA, editor. Forest, Water and People in the Humid Tropics. Past, Present and Future Hydrological Research for Integrated Land and Water Management. Cambridge: Cambridge Univ Pr. hlm: 561-589. Hadinugroho HYS. 2002. Teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) di Lembah Palu. Alami 7(1):34-37.
90
Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Ed ke-1. Jakarta: Akademika Pressindo. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Harwood RR, Kassam AH, editor. 2003. Research Towards Integrated Natural Resources Management. Interim Science Council. Centre Directors Committee on Integrated Natural Resources Management. FAO. Rome. Haryati U, Kurnia U. 2000. Pengaruh teknik konservasi terhadap erosi dan hasil kentang (Solanum tuberosum) pada lahan budidaya sayuran di Dataran Tinggi Dieng. Di dalam: Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk I. Prosiding Seminar Nasional. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm: 439-460 Hermawati. 1992. Pengaruh beberapa teknik konservasi tanahd an air dalam budidya kentang dan kubis terhadap aliran permukaan dan erosi dan produksi tanaman [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Hidayat M, Mulyani A. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Di dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. hlm: 1-34. Hillel D. 1981. Soil and Water Physical Principle and Process. New York: Academic Press. Hirmen T. 2003. Pengkajian tingkat perkembangan Andisol pada pertanaman kentang (Solanum tuberosum) Kabupaten Kerinci, Jambi [skripsi]. Jambi: Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Irawan, Husen E, Maswar, Watung RL, Agus F. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian : Studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di dalam: Multifungsi Pertanian dan Koservasi Sumberdaya Lahan. Prosiding Seminar. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. hlm: 21-43 Johnson, CN, Mannering JV, WC Moldenhauer. 1979. Influence of surface roughness and clod size and stability on soil and water losses. Soil Sci Amer J 43:772-777. Jones VI. 1992. Multiple cropping as a sustainable agriculture practice. Agricultural Research, Langston: Langstone Univ, http://www.ag. auburn.edu /auxiliary/nsdl/scasc/Proceedings/1992/Jones.pdf+multiple+croppingsystem [14 Oktober 2011] Kaliky R, Hidayat N. 2002. Karakteristik peternak sapi perah di Desa Kepuh Hardjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. http//www.ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2006 /NP/karakteristikpeternak.doc [21 Januari 2012]
91
Kantor Menteri Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. www.worldcat.org/title/agenda-21-indonesia-strategi/68036671 [23 Oktober 2011] Kartodihardjo H, Murtilaksono K, Sudadi U. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Katharina R. 2007. Adopsi sistem pertanian konservasi usahatani kentang di lahan kering dataran tinggi Kecamatan Pengalengan Bandung [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascsarjana, Institut Pertanian Bogor. Khisa KS. 2002. Farming practices and sustainable development in the Chittagong Hill Tracts. Di dalam: Khan NA, Alam MK, Khisa SK, editor. Farming Practices and Sustainable Development in the Chittagong Hill Tracts. Banglades: CHT Devlopment Board Government of the People’s Republic of Bangladesh. hlm: 49-60 King LD. 1990. Soil nutrient management in the United States. Di dalam: Edwards CA, Lal R, Madden P, Miller RH, House G, editor. Sustainable Agricultural Systems by Soil and Water Conservation Society. United States. Kurnia U, Suganda H, Erfandi D, Kusnadi H. 2004. Teknologi konservasi tanah pada budidaya sayuran dataran tinggi. Di dalam: Adimihardja A, Mappaona, Saleh A, editor. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. hlm: 133-150 Latuladio NB, Ortiz O, Haverkort A, Caldiz D. 2009. Sustainable Potato Production. Guidlines for Developing Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Menzel RG. 1980. Enrichment ratio for water quality modelling. Di dalam: CREAMS. A Field Scale Model for Chemicals, Runoff and Erosion from Agricultural Managements Systems. Conservation Research Report No. 26. United States Departement of Agriculture Mersyah R. 2005. Desain budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Micom] Media Indonesia.com. Penanganan 15 Danau Kritis Dimulai 2012. (http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/18/284979/89/14/Penangan an-15-Danau-Kritis-Dimulai-2012, 19 Desember 2011). Minami K. 1997. How to achieve sustainable agriculture. Di dalam: Approriate Use of Inputs for Sustainable Agriculture. Tokyo: Asian Productivity Organization. hlm: 86-108 Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta: Lembaga Penelitian, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
92
Munir M. 2009. 200.000 Hektar Hutan TNKS Habis. Pili-Green Network A Bridge for Sustainability. http://www.pili.or.id. [25 Juni 2010] Nasendi, Anwar A. 1985. Program Linier dan Variasinya. Jakarta: PT Gramedia. Nugroho SPC. 2002. Peluang dan tantangan pengembangan lahan kering untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Alami 7(1): 9-13. Nugroho CSP, Cahyono SA. 2004. Teknologi pengelolaan daerah aliran sungai : Cakupan, Permasalahan dan Upaya Penerapannya. Di dalam: Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan. Prosiding Seminar; Bogor, 18 Des 2003 - 7 Jan 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Nugroho H, Busyra BS, Mugiyanto, Adri, Sahat S. 2004. Kajian teknologi kentang dataran tinggi. Di dalam: Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu (PLTT) Prosiding Seminar dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Jambi 13-14 Des 2004. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Petanian (BPTP) Jambi-Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA). Parker SP. 2002. Dictionary of Scientific and Technical Terms. Ed ke-6. McGraw-Hill Companies Inc http://www.answers.com/library [20 Maret 2008] Pasaribu H. 1998. Pengelolaan daerah aliran sungai “Pendekatan Strategis dan Kendalanya”. Materi Pelatihan Pengelolaan DAS Terpadu Mei 1998. Prasetyo BH. 2005. Andisol : Karakteristik dan pengelolaannya untuk pertanian di Indonesia. J Sumberdaya Lahan 1(1):1-9. Purwantisari S, Ferniah RS, Raharjo B. 2008. Pengendalian hayati penyakit lodoh (busuk umbi kentang) dengan agens hayati jamur-jamur antagonis isolat lokal. Bioma 10(2):13-19. Rusdiana S, Praharani L. 2009. Profil dan analisis usaha sapi perah di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; Bogor, 14 Okt 2009. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. http://www.pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MKP_C6.pdf (21 Januari 2012] Saefuddin A, Yusron M, Carson B. 1988. Identifikasi usaha konservasi tanah di empat zone agro-ekosistem. Di dalam: Pendekatan Agro-ekosistem pada Pola Pertanian Lahan Kering. Jakarta: Kelompok Penelitian Agro-ekosistem (KEPAS), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan The Ford Foundation. hlm: 161-175.
93
Sajjapongse A, Qing Z, Yihing C, Hongzhong W. 2002. Development of Sustainable agriculture on sloping lands in China. Di dalam: Sustainable Utilization of Global Soil and Water Resources. Soil and Water Conservation Regional Policies and Action. International Soil Conservation Organization Conference Proceedings 12th; Beijing China, 26-31 May 2002. China: Tsinghua Univ Press. hlm: 335-353 Sajogyo dan Sajogyo P. 1990. Sosiologi Pedesaan. Jilid 2. Yogyakarta: Universitas Gajahmada Press. Saptana, Siregar M, Wahyuni S, Dermoredjo SS, Ariningsih E, Darwis V. editor. 2005. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Balitbang Pertanian 2005 Saptana, Sumaryanto, Priyatno. 2007. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. http:// ejournal.unud.ac.id. [21 Maret 2010] Sastrosiswojo S, Uhan TS, Sutarya R. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Monografi No. 21. ISBN : 979-8403-35-7. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Schwab GO, Frevert RK, Edminster TW, Barnes KK. 1981. Soil and Water Conservation Engeneering. Ed ke-3. New York: John Willey and Sons. Setiawan O, Yudono SHN. 2002. Strategi penanganan lahan kritis dalam upaya pelestarian Danau Limbato. Alami 7(1):27-33. Sheng TC. 2000. Planning for Sustainable Watershed Management. Di dalam: Soil Conservation and Watershed Management in Asia and The Pasific. Tokyo: Asian Productivity Organization. hlm: 29-35 Sihite JHS. 2004. Valuasi ekonomi dari perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Besai-DAS Tulang Bawang–Lampung [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sinaga A. 2005. Studi agribisnis kentang di Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci [skripsi]. Jambi: Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Sinukaban N. 1981. Erosion selectivity as affected by tillage-planting systems. [thesis Phd]. Madison: University of Wisconsin. Sinukaban N. 1989. Konservasi tanah dan air di daerah transmigrasi. Jakarta: PT INDECO Duta Utama-BCEOM.
94
Sinukaban N, Pawitan H, Arsyad S, Armstrong J. 1998. Impact of soil and water conservation practices on stream flows in Citere Catchment, West Java Indonesia. Di dalam: Blume HP, Eger H, Fleischhauer E, Hebel A, Reij C, Steiner KG, editor. Towards Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31(3) : 1275-1280 Sinukaban N. 1999. Sistem pertanian konservasi kunci pembangunan pertanian berkelanjutan. Makalah pada Seminar Sehari “Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan”, Dalam Rangka Dies Natalis ke-43 FP USU Medan, 4 Desember 1999. Sinukaban N. 2005. Bahan kuliah Pengelolaan DAS. Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor (Tidak dipublikasikan) Sinukaban N. 2007. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Di dalam: Sinukaban N, Konservasi Tanah dan Air. Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Departemen Ilmu Tanah dan Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan. hlm: 226-241 Sinukaban N, Sudarmo, Murtilaksono K. 2007. Pengaruh penggunaan mulsa dan pengolahan tanah terhadap erosi, aliran permukaan dan selektivitas erosi pada Latosol Coklat Kemerahan Darmaga. Di dalam: Sinukaban N, Konservasi Tanah dan Air. Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB dan Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan. hlm: 32- 45 Sitepu A. 2010. Perambah Harus Segera Tinggalkan Areal TNKS. Koran Mingguan Media. Jambi.http://groups.yahoo.com/group/highcamp/message /26569 [19 Oktober 2011) Sitorus SRP, Tirtohadisurjo W. 1979. Penuntun praktikum konservasi tanah. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-PRESS. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Australian Universities International Development Program. Jakarta: UI-PRESS. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: IPB Press. Stocking M. 1994. Soil erosion and conservation : A place for soil Science? Di dalam: Syers JK, Rimmer DL, editor. Soil Science and Sustainable Land Management in The Tropic. Cab. International and British Society of Soil Science. hlm: 28-40 Suganda H, Djunaedi MS, Santoso D, Sukmana S. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi dan produksi sayuran pada Andisols. J Tanah dan Iklim 15(2):38-50.
95
Suganda H, Kusnadi H, Kurnia U. 1999. Pengaruh arah barisan tanaman dan bedengan dalam pengendalian erosi pada budidaya sayuran dataran tingi. J Tanah dan Iklim 17(4):55-64 Sumarno. 2000. Konsep pendayagunaan sumberdaya lahan untuk pengembangan tanaman hortikultura. Di dalam: Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk, Prosiding Seminar Nasional; Bogor, 31 Okt-2 Nov 2000. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm: 27-53. Sunarjono HH. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka. Suryanata A, Erwidodo, Prajogo UH. 1998. Isu strategis dan alternatif kebijaksanaan pembangunan pertanian memasuki Repelita VII. Bogor: Pusat Penelitian Sosial-ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bagian Produksi Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Agroforestry and Sustainable Vegetable Production In Southeast Asian Watershed Project. SANREM-CRSP-USAID. http://pdf.usaid.Go/ pdf_docs/PNADL249.pdf [12 Oktober 2011] Suwandi. 2009. Menakar kebutuhan hara tanaman dalam pengembangan inovasi budidaya sayuran berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(2):131-147. www.pustaka.litbang.deptan.go.id/ publikasi/ ip022094.pdf [16 Oktober 2011] [TIM IPB] Tim Institut Pertanian Bogor. 2004. Analisis pengembangan usahatani tanaman pangan terpadu Cianjur Selatan [laporan akhir]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor-Departemen Pertanian. Troeh, FR, Hobbs JA, Donahue RL. 2004. Soil and Water Conservation for Productivity and Environmental Protection. Ed ke-4. New Jersey: Prentice Hall. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River. Widatono H. 2009. Optimalisasi penggunaan lahan dengan diversifikasi tanaman semangka dan padi. http://hendri-wd.blogspot.com/2009/02/optimalisasipenggunaan-lahan-dengan.html [14 Oktober 2011) Wischmeier WH, Smith DD. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Conservation Planning. Agric. Handbook No.137. USDA. Wolf B, Snyder GH. 2003. Sustainable Soils. The Place of Organic Matter in Sustainability Soils and Their Productivity. London: Food Product Press. Zubair H. 1994. Pola pengelolaan kawasan hutan berdasarkan karakteristik hidroorologi di Daerah Aliran Sungai Konto Hulu Malang – Jawa Timur. Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Manting [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
96
97
LAMPIRAN
97
Lampiran 1 Kondisi air Sungai Siulak dan outlet DAS Siulak di Kabupaten Kerinci, Jambi
97
Lampiran 2 Lokasi penelitian DAS Siulak (di hulu DAS Merao) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
97
Lampiran 3 Peta kemiringan lereng DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
97
Lampiran 4 Peta penggunaan lahan DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
97
Lampiran 5 Peta jenis tanah DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
97
Lampiran 6 Peta satuan lahan pengamatan di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi
97
Lampiran 7 Kriteria untuk Klasifikasi Kemampuan Lahan berdasarkan Sistem Klasifikasi Kemampuan Lahan Faktor
Kelas Kemampuan Lahan
Penghambat
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Lereng
I0
I1
I2
I3
I0
I4
I5
I6
KE1, KE2
KE3
KE4, KE5
KE6
(1)
(1)
(1)
(1)
Tingkat erosi
e0
e1
e2
e3
(2)
e4
e5
(1)
Kedalaman tanah
k0
k1
k2
k3
(1)
(1)
(1)
(1)
t1, t2,
t1, t2,
t1, t2,
t1, t2,
(1)
t1, t2,
t1, t2,
t5
t3
t3
t3, t4
t3, t4
t3, t4
t3, t4
t1, t2,
t1, t2,
t1, t2,
t1, t2,
t1, t2,
t1, t2,
t3
t3
t3, t4
t3, t4
t3, t4
t3, t4
P2, P3
P2, P3
P2, P3
P2, P3
P1
(1)
(1)
P5
Drainase
d1
d2
d3
d4
d5
(2)
(2)
d0
Kerikil/batuan
b0
b0
b1
b2
b3
(1)
(1)
b4
O0
O1
O2
O2
O4
(2)
(2)
(1)
g0
g1
g2
g2
(2)
g3
(1)
(1)
Kepekaan erosi
Tekstur lapisan atas Tekstur lapisan bawah Permeabilitas
Ancaman banjir Garam/salinitas
(3)
(1)
t5
1) = dapat mempunyai sembarang sifat, (2) = tidak berlaku, (3) = umumnya di daerah beriklim kering Sumber : Klingebiel dan Montgomery (1973) diacu dalam Arsyad (2009)
Kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas : 1. Iklim : Curah hujan dan temperatur 2. Kecuraman lereng : = 0 - <3 % (datar) I0 (A) = >3 - 8 % (landai atau berombak0 I1 (B) = >8 - 15 % (agak miring atau bergelombang) I2 (C) = >15 - 30 % (miring atau berbukit) I0 (D) = >30 - 45 % (agak curam atau bergunung) I4 (E) = >45 - 65 % (curam) I5 (F) = > 65 % (sangat curam) I6 (G) 2. Kepekaan Erosi = 0.00-0.10 (sangat rendah) KE1 = 0.11-0.20 (rendah) KE2 KE3 = 0.21-0.32 (sedang) = 0.33-0.43 (agak tinggi) KE4 = 0.44-0.55 (tinggi) KE5 = 0.56-0.64 (sangat tinggi) KE6 3. Erosi yang telah terjadi e0 = tidak ada erosi = erosi ringan : < 25 % lapisan atas hilang e1 e2 = erosi sedang : 25-75 % lapisan atas hilang e3 = erosi agak berat : > 75 % lapisan atas - < 25 % lapisan bawah hilang e4 = erosi berat : > 25 % lapisan bawah hilang e5 = erosi sangat berat : erosi parit 4. Kedalaman tanah = > 90 cm (dalam) k0 = 90-50 cm (sedang) k1 = 50-25 cm (dangkal k2 = <25 cm (sangat dangkal) K3
97
Lampiran 7 (Lanjutan) 5. Tekstur tanah t1 = halus : liat berpasir, liat berdebu, liat = agak halus : lempung liat berpasir, lempung berliat,lempung liat berdebu t2 = sedang : lempung, lempung berdebu, debu t3 = agak kasar : lempung berpasir, lempung berpasir halus, lempung t4 berpasir sangat halus = kasar : pasir berlempung, pasir t5 6. Permeabilitas P1 = lambat : < 0.5 cm/jam = agak lambat : 0.5 - 2.0 cm/jam P2 = sedang : 2.0 – 6.25 cm/jam P3 = agak cepat : 6.25 – 12.5 cm/jam P4 P5 = cepat : > 12.5 cm/jam 7. Drainase = berlebihan d0 = baik d1 d2 = bgak baik d3 = buruk d4 = sangat buruk 8. Faktor-faktor Khusus Batu-batuan dan kerikil = tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah b0 = sedang : 15 – 50 % volume tanah b1 b2 = banyak : 50 – 90 % volume tanah b3 = Sangat banyak : > 90 % volume tanah Batuan kecil = Tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah b0 = sedang : 15 – 50 % volume tanah b1 b2 = banyak : 50 – 90 % volume tanah b3 = Sangat banyak : > 90 % volume tanah Batuan lepas = Tidak ada atau < 0.01 % luas areal b0 = sedikit : 0.01 – 3 % permukaan tanah tertutup b1 b2 = sedang : 3 – 15 % permukaan tanah tertutup b3 = banyak : 15 – 90 % permukaan tanah tertutup b4 = sangat banyak : > 90 % permukaan tanah tertutup 9. Ancaman banjir = tidak pernah : dalam periode 1 tahun tanah tidak pernah tertutup banjir O0 untuk waktu > 24 jam = kadang-kadang : banjir menutupi tanah > 24 jam terjadinya tidak teratur O1 dalam periode < 1 bulan O2 = selama waktu 1 bulan dalam 1 tahun tanah secara teratur tertutup banjir untuk jangka waktu > 24 jam = selama waktu 2-5 bulan dalam 1 tahun tanah secara teratur selalu O3 dilanda banjir yang lamanya > 24 jam = selama waktu > 6 bulan tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang O4 lamanya > 24 jam 10. Salinitas 3 0 = bebas : 0–0.15 % garam larut; 0-4 (Ecx10 )mmhos/cm pada suhu 25 C g0 3 = terpengaruh sedikit : 0.15 – 0.35 % garam larut; 4-8 (Ecx10 )mmhos/cm g1 0 pada suhu 25 C = terpengaruh sedang : 0.35 – 0.65 % garam larut; 8-15 g2 (Ecx103)mmhos/cm pada suhu 25 0C 3 = terpengaruh hebat : > 0.65 garam larut; .15 (Ecx10 )mmhos/cm pada g3 0 suhu 25 C
97
Lampiran 8 Kriteria kesesuaian lahan untuk kentang, kubis, cabe dan tomat a. Kentang Persyaratan Penggunaan /Karakteristik Lahan Temperatur (tc) 0 Temperatur rata-rata ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
97
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
16 - 18
14 – 16 18 - 20
12 – 14 20 - 23
> 12 > 23
> 45 > 80 > 20
30 – 45 65 – 80 < 20
20 – 30 50 - 65
< 20 < 50
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
agak halus, sedang < 15 > 75
agak kasar, halus 15 – 35 50 – 75
sangat halus
kasar
< 60
60 – 140
140 – 200
> 200
< 140 saprik
140 – 200 saprik, hemik
200 – 400 hemik, fibrik
> 400 fibrik
> 16 > 35 5,6 – 7,0 > 1,2
< 16 < 35 5,2 – 5,6 7,0 – 8,0 0,8 – 1,2
< 5,2 > 8,0 < 0,8
<3
3–5
5–6
>6
< 25
25 – 35
35 - 45
> 45
<8 sangat rendah
8 – 16 rendahsedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
F0
-
F1
> F1
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
35 – 55 30 – 50
> 55 < 30
Lampiran 8 (Lanjutan) b. Kubis Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) 0 Temperatur rata-rata ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
97
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
13 - 24
24 - 30 13 - 10
30 – 35 5 - 10
> 35 <5
350 – 800
800 – 1000 300 - 350 60 – 65 90 - 95
> 1000 230 - 500 50 – 60 > 95
< 250
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang < 15 > 50
-
agak kasar
kasar
15 – 35 -
35 – 55 25 – 50
> 55 < 25
< 60
60 – 140
140 – 200
> 200
< 140
140 – 200
200 – 400
> 400
saprik
saprik, hemik
hemik, fibrik
fibrik
> 16 > 50 6,0 – 7,8
< 35 < 5,8 > 8,0
> 0,8
< 16 35 - 50 5,8 – 6,0 7,8 – 8,0 < 0,8
< 4,5
4,5 – 7
7 - 10
> 10
< 15
15 - 20
20 - 45
> 25
> 75
50 - 75
30 - 50
< 30
<8 sangat rendah
8 – 16 rendahsedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
F0
-
-
> F0
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
65 - 90
< 50
Lampiran 8 (Lanjutan) c. Cabe Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) 0 Temperatur rata-rata ( C)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
21 - 27
27 - 28 16 - 21
28 - 30 14 - 16
> 30 < 14
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
60 – 1.200
500 – 600 1200 - 1400
400 - 500 > 1400
< 400
Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang < 15 > 75
-
agak kasar
kasar
15 – 35 50 - 75
35 – 55 30 – 50
> 55 < 30
< 60
60 – 140
140 – 200
> 200
< 140
140 – 200
200 – 400
> 400
saprik
saprik, hemik
hemik, fibrik
fibrik
> 16 > 35 6,0 – 7,6
< 20 < 5,5 > 8,0
> 0,8
< 16 20 - 35 5,5 – 6,0 7,6 – 8,0 < 0,8
<3
3-5
5-7
>7
< 15
15 - 20
20 - 25
> 25
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
<8 sangat rendah
8 – 16 rendahsedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
F0
-
F1
> F1
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
97
Lampiran 8 (Lanjutan) d. Tomat Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) 0 Temperatur rata-rata ( C)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
18 - 26
26 - 30 16 - 18
30 - 35 13 - 16
> 35 < 13
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
400 – 700
700 – 800 300 - 400
> 800 200 - 300
< 200
Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang < 15 > 50
-
agak kasar
kasar
15 – 35 > 50
35 – 55 30 – 50
> 55 < 30
< 60
60 – 140
140 – 200
> 200
< 140
140 – 200
200 – 400
> 400
saprik
saprik, hemik
hemik, fibrik
fibrik
> 16 > 35 6,0 – 7,5 > 1,2
< 16 20 - 35 5,5 – 6,0 7,6 – 8,0 0,8 – 1,2
< 20 < 5,5 > 8,0 < 0,8
<5
5-8
8 - 10
> 10
< 15
15 - 25
25 - 25
> 35
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
<8 sangat rendah
8 – 16 rendahsedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
F0
-
F1
> F1
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
97
Lampiran 9 Data curah hujan, tahun 2000 - 2008 DAS Siulak di Kabupaten Kerinci, Jambi Tahun
Curah hujan (mm) bulan 1
2
3
4
5
6
7
CH 8
9
10
11
12
(mm/thn)
2000
159.0
26.5
56.5
153.5
52.2
115.1
112.0
113.0
88.2
119.0
159.0
192.5
1346.5
2001
61.0
114.0
56.5
95.4
111.0
25.0
45.5
53.5
92.6
36.0
105.5
66.0
862.0
2002
89.0
80.0
166.0
181.0
148.0
113.4
125.5
8.0
183.5
43.0
256.4
151.4
1545.2
2003
214.2
180.6
243.6
404.7
30.0
128.2
81.0
203.7
122.9
225.8
367.1
287.6
2489.4
2004
200.5
132.7
121.0
253.7
161.1
17.4
207.8
68.5
110.6
113.5
203.7
252.3
1842.8
2005
188.1
142.6
191.2
253.7
89.2
128.3
137.6
68.5
110.0
209.5
229.8
143.5
1892.3
2006
129.0
215.5
110.0
88.5
156.5
113.3
132.0
73.9
69.7
305.4
192.7
323.0
1909.5
2007
312,0
126,0
110,5
254,0
187.0
132,5
181,7
117,5
120,5
239,0
157,5
307,5
2245.7
2008
217,5
100,3
334,0
173,0
75,5
128,3
79,5
195,8
226,0
236,8
142,0
73,9
1982.6
Rata-rata
174.48
124.24
154.37
206.39
111.28
100.17
122.51
100.27
124.89
169.78
201.52
199.74
Sumber : Stasiun Klimatologi Kayu Aro di Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci
97
Lampiran 10 Data temperatur dan kelembaban udara 2000 - 2008 DAS Siulak di Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi Tahun 1
2
3
4
5
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2008 Rata-rata Maximum Minimum
31.1 25.5 28.3 18.0 20.9 24.1 23.2 23.5 24.3 31.1 18.0
33.4 25.9 20.0 18.7 20.7 23.7 22.8 23.6 23.6 33.4 18.7
32.3 24.5 20.1 21.1 20.3 24.1 23.5 23.5 23.7 32.3 20.1
34.5 26.2 20.4 20.3 17.6 23.4 24.0 24.0 23.8 34.5 17.6
34.4 26.3 19.6 19.6 17.1 18.0 20.1 20.1 21.9 34.4 17.1
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2008 Rata-rata Maximum Minimum
86.6 90.0 88.0 90.0 99.0 86.1 98.9 98.9 92.2 98.9 86.1
86.7 89.6 87.1 90.7 98.7 80.2 90.6 93.8 89.7 98.7 80.2
89.8 89.9 87.9 88.7 99.0 90.5 88.5 88.5 90.4 99.0 87.9
88.9 90.0 87.6 87.6 98.9 88.7 90.0 90.0 90.2 87.6 98.9
87.7 89.9 88.0 88.0 99.0 89.0 88.9 88.9 89.9 87.7 99.0
97
Bulan6 7 0 Temperatur ( C) 34.8 34.8 26.1 26.0 20.7 20.3 18.2 20.3 17.3 17.0 22.8 22.5 18.0 18.1 18.0 18.1 22.0 22.1 34.8 34.8 17.3 17.0 Kelembaban (%) 88.1 88.2 89.9 89.8 87.7 88.0 87.7 88.0 99.1 99.1 92.1 99.1 91.8 89.1 91.8 89.1 91.0 91.3 99.1 99.1 67.7 88.0
8
9
10
11
12
34.9 26.0 28.7 17.8 17.7 22.3 18.7 18.7 20.8 34.9 17.7
27.0 26.2 28.3 18.3 18.0 23.1 18.3 18.3 22.2 28.3 18.0
28.6 28.5 28.7 21.7 17.3 25.0 21.6 21.6 24.1 28.7 17.3
33.6 26.9 28.6 23.3 18.5 25.8 23.8 23.8 25.5 33.6 18.6
29.3 26.0 20.1 25.8 18.6 24.4 20.2 18.7 22.9 29.3 18.6
92.4 89.7 88.0 90.6 98.8 90.0 92.3 92.3 91.8 98.8 88.0
87.7 87.1 88.9 90.8 98.9 90.9 90.7 90.7 90.7 98.9 87.1
89.6 89.7 70.1 88.2 98.7 90.4 88.9 88.9 88.1 98.7 70.1
88.1 86.6 54.5 87.1 90.0 96.6 90.2 90.8 85.5 96.6 54.5
86.9 89.4 76.6 76.6 89.9 94.6 90.2 92.3 87.1 94.6 76.6
Lampiran 11 Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dalam persamaan USLE Macam penggunaan Tanah terbuka/tanpa tanaman Sawah Tegalan tidak dipesifikasi Ubi kayu Jagung Kedelai Kentang Kacang tanah Padi Tebu Pisang Akar wangi (sereh wangi) Rumput bede (tahun pertama) Rumput bede (tahun kedua) Kopi dengan penutup tanah buruk Talas Kebun campuran kerapatan tinggi Kebun campuran kerapatan sedang Kebun campuran kerapatan rendah Perladangan Hutan alam serasah banyak Hutan alam serasah kurang Hutan produksi tebang habis Hutan produksi tebang pilih Semak belukar/padang rumput Ubi kayu + kedelai Ubi kayu + kacang tanah Padi – sorgum Padi – kedelai Kacang tanah + kacang gude Kacang tanah + kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha Padi + mulsa jerami 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa Crotalaria 3 ton/ha Kacang tanah + mulsa kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha Padi + mulsa Crotalaria 3 ton/ha ** Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami *** Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman Alang-alang murni subur *) Data Pusat Penelitian Tanah (1973–1981) diacu dari (Arsyad 2009)
97
Nilai C * 1,0 0,01 0,7 0,8 0,7 0,399 0,4 0,2 0,561 0,2 0,6 0,4 0,287 0,002 0,2 0,85 0,1 0,2 0,5 0,4 0,001 0,005 0,5 0,2 0,3 0,181 0,195 0,345 0,417 0,495 0,571 0,049 0,096 0,128 0,136 0,259 0,377 0,387 0,079 0,357 0,001
Lampiran 11 (Lanjutan) Jenis tanaman dan pengelolaannya atau tipe penggunaan lahan Rumput Brachiaria tahun pertama Rumput Brachiaria tahun kedua Rumput Brachiaria tahun seterusnya Tanaman perkebunan, tanaman penutup tanah permanen kerapatan tinggi Tanaman perkebunan tanaman penutup tanah permanen kerapatan sedang Reboisasi dengan penutup tanah tahun pertama Kopi dengan tanaman penutup tanah Tanaman bumbu (cabai, jahe) Perladangan berpindah Hutan, hutan alami (primer) berkembang baik serasah tinggi Hutan, hutan alami (primer) berkembang baik serasah rendah Hutan produksi tebang habis Hutan produksi tebang pilih Kebun produksi (penutup tanah, jelek) : karet Kebun produksi (penutup tanah, jelek) : teh Kebun produksi (penutup tanah, jelek) : kelapa sawit Kebun produksi (penutup tanah, jelek) : kelapa Kolam ikan Lahan kritis, tanpa vegetasi Padi gogo – jagung (dalam rotasi) + mulsa jagung Padi gogo +jagung + ubi kayu dirotasikan dengan kedelai/kacang tanah Jagung dan kacang tanah, sisa tanaman jadi mulsa Alang-alang permanen Semak, lamtoro Albizia dengan semak campuran Albizia tanpa tanaman bawah Kentang ditanam searah lereng Kentang ditanam menurut kontur Bawang ditanam menurut kontur Pohon tanpa semak Ubi kayu tumpangsari dengan kedelai Ubi kayu tumpangsari dengan kacang tanah Ubi kayu tumpangsari dengan sorgum Padi gogo tumpangsari dengan sorgum Kacang tanah + kacang gude (tumpangsari) Kacang tanah + kacang tunggak (tumpangsari) Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha Padi gogo + mulsa jerami 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa batang jagung 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa Crotalaria 3 ton/ha Kacang tanah + mulsa kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami padi 2 ton/ha Padi gogo + mulsa Crotalaria 3 ton/ha Padi gogo – jagung – kacang tanah (rotasi) dengan sisa tanaman jadi mulsa Padi gogo – jagung – kacang tanah dalam rotasi Padi gogo + jagung + kacang tanah tumpangsari, mulsa sisa tanaman Padi gogo + jagung + kacang tanah tumpangsari
Nilai C 0,3 * 0,02* 0,002** 0,1* 0,5* 0,3* 0,2* 0,9* 0,4* 0,001* 0,005* 0,5* 0,2* 0,8* 0,5* 0,5* 0,5 * 0,001* 0,95* 0,083*** 0,421*** 0,014*** 0,021*** 0,51*** 0,012*** 1,0*** 1,0*** 0,35*** 0,08*** 0,32*** 0,181** 0,195** 0,345** 0,417** 0,495** 0,571** 0,049** 0,096** 0,126** 0,136** 0,259** 0,377** 0,387** 0,347** 0,496** 0,357** 0,588**
*) Hammer (1980), **) Abdurachman, S.Abujamin dan U. Kurnia (1984), ***) Pusat Penelitian Tanah (tahun ??) diacu dalam Sinukaban (1989)
97
Lampiran 12 Faktor teknik konservasi tanah (P) dan CP dalam persamaan USLE Teknik konservasi tanah Nilai P dan CP Teras bangku 0,037** Teras bangku desain/konstrusi baik 0,04* Teras bangku desain/konstrusi sedang 0,15* Teras bangku desain/konstrusi buruk 0,35* Teras tradisional 0,40* Teras koluvial ditanami strip rumput/bambu/atau rumput permanen rumput bahia desain baik tahun-1 0,04* Teras koluvial ditanami strip rumput/bambu/rumput permanen rumput bahia desain buruk tahun-1 0,40* Rorak (slit pits) 0,30* Rotasi dengan crotalaria 0,6* Mulsa penan air serasah/jerami 6 ton/ha/tahun 0,3* Mulsa penan air serasah/jerami 3 ton/ha/tahun 0,5 Mulsa penan air serasah/jerami 1 ton/ha/tahun 0,8* Penanaman menurut kontur pada lereng 0 – 8 % 0,5* Penanaman menurut kontur pada lereng 1– 20 % 0,75* Penanaman menurut kontur pada lereng > 20 % 0,90* Teras bangku ditanami kacang tanah-kacang tanah 0,009** Teras bangku ditanami jagung + mulsa jerami 4 ton/ha 0,006** Teras bangku ditanami sorgum-sorgum 0,012** Teras bangku ditanami jagung 0,048** Penanaman strip rumput bahia (3 tahun) dalam sereh wangi 0,0** Penanaman strip rumput brachiaria (3 tahun) dalam tumpangsari jagung + padi gogo + ubi kayu, jagung dirotasikan dengan sorgum 0,0** Penanaman strip rumput bahia (1 tahun) dalam tanaman kedelai 0,02** Penanaman strip Crotalaria dalam kedelai 0,111** Penanaman strip Crotalaria dalam padi gogo 0,340** Penanaman strip Crotalaria dalam kacang tanah 0,389** Penanaman strip kacang tanah dalam pertanaman jagung, sisa tanaman sebagai mulsa 0,05*** Teras guludan dengan rumput penguat 0,50*** Teras guludan, ditanami padi gogo dan jagung dalam rotasi 0,013*** Teras guludan pada pertanaman sorgum 0,041*** Teras guludan pada pertanaman ubi kayu 0,063*** Teras guludan pada pertanaman jagung-kacang tanah dalam rotasi, menggunakan mulsa sisa tanaman 0,006*** Teras guludan pada pertanaman kacang tanah-kedelai dalam rotasi 0,105*** Teras guludan pada padi gogo-jangung-kacang tunggak dalam rotasi dengan 2 ton kapur/ha 0,012*** Teras bangku ditanami jagung-ubi kayu/kedelai dalam rotasi 0,056*** Teras bangku ditanami sorgum-sorgum 0,024*** Teras bangku ditanami kacang tanah-kacang tanah 0,009*** Teras bangku tanpa tanaman 0,039*** Penanaman strip Crotalaria dalam sorgum-sorgum 0,264*** Penanaman strip Crotalaria dalam kacang tanah-ubi kayu 0,405*** Penanaman strip Crotalaria dalam padi gogo-ubi kayu 0,193*** Penanaman strip rumput dalam padi gogo 0,841*** * Hammer, W.I. (1980), **Abdurachman, A. Sofiyah dan U. Kurnia (1994), *** PPT Bogor (1973 -1981 diacu dalam Sinukaban (1989)
97
Lampiran 13 Kode struktur tanah dan permeabilitas profil tanah untuk menentukan nilai faktor erodibilitas tanah (K) dalam persamaan USLE Variabel dan Ukuran Kelas Struktur Tanah Diameter (mm) Granuler sangat halus <1 Granuler halus 1–2 Granuler sedang sampai kasar 2 - 10 Berbentuk block, blocky, plate, massive Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Sangat lambat < 0.5 Lambat 0.5 – 2.0 Lambat-sedang 2.0 - 6,3 Sedang 6.3 – 12.7 Sedang-cepat 12.7 – 25.4 Cepat > 25.4
97
Kode 1 2 3 4 6 5 4 3 2 1
Lampiran 14
Kedalaman tanah minimum yang dapat diterima dan nilai faktor penggunaan lahan dari beberapa jenis tanaman/penggunaan lahan
Jenis tanaman/penggunaan lahan
Faktor penggunaan lahan (C) 0,01
Padi sawah dengan pemindahan tanaman Padi gogo 0,56 Padi sawah langsung tanam biji 0,01 Jagung 0,64 Sorgum 0,24 Kentang 0,45 Ubi jalar 0,4 Ubi kayu 0.65 Yams 0,70 Talas 0,70 Kacang hijau, Mung bean 0,35 Tebu rakyat 0,3 Tebu perkebunan 0,2 Kacang tanah 0,45 Kedelai 0,4 Kapas 0,85 Tembakau rakyat 0,16 Tembakau perkebunan 0,16 Cabai 0,8 Padang penggembalaan (rumput) 0,01 Pisang 0,99 Nenas 0,4 Jambu mete 0,5 Kopi rakyat 0,6 Kopi perkebunan 0,6 Coklat rakyat 0,8 Coklat perkebunan 0,8 Teh rakyat 0,35 Teh perkebunan 0,35 Kelapa 0,7 Kelapa sawit rakyat 0,55 Kelapa sawit perkebunan 0,55 Cengkeh 0,5 Kapuk 0,7 Karet 0,85 Kina 0,9 Padi sawah+ubi kayu dalam batas 0,01 usahatani Padi gogo+jagung 0,5 Jagung + ubi jalar 0,45 Jagung + kacang-kacangan 0,45 Jagung + kacang tanah 0,35 Jagung + kedelai 0,45 Jagung + ubi kayu 0,55 Padi gogo + ubi kayu 0,5 Kacang tanah + ubi kayu 0,2 Kedelai + ubi kayu 0,18 Padi gogo + kacang-kacangan 0,45 Padi gogo + kacang tanah 0,45 Padi gogo + kedelai 0,42 Sumber : Wood & Dent (1983) diacu dalam Sinukaban (1989)
97
Kedalaman tanah minimum (cm) 20 20 20 20 20 20 20 20 25 25 15 30 30 15 15 35 99 99 99 15 35 99 99 30 30 60 60 40 40 40 30 30 99 99 50 99 30 20 20 20 20 20 30 30 30 30 20 20 20
P0
guludan P0, P1, P2, P3, P4, P5, P6 Bak penampung aliran permukaan dan erosi
Perlakuan
Rorak kecil P1
P4
P2
P5
P3
P6
Lampiran 15 Perlakuan teknik konservasi tanah dalam percobaan erosi petak kecil pada Andisol Desa Kebun Baru, di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
97
Lampiran 16 Petak percobaan dengan bak penampung aliran permukaan dan erosi dalam percobaan petak kecil di Desa Kebun Baru, Kabupaten Kerinci, Jambi
97
Lampiran 17 Kelas kemampuan dan kesesuaian lahan pertanian campuran di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi untuk tanaman kentang, kubis, cabe dan tomat SLP SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
Kemampuan lahan II-k1 II-I1 III-I2 IV-I3
kentang S2-nr S2-nr,eh S2-nr,eh S3-eh
Kelas Kesesuaian lahan kubis cabe S3-wa S3-wa,nr S3-wa,nr S3-wa,nr S3-wa,nr S3-wa,nr,eh S3-wa,nr,eh S3-wa,nr,eh
tomat S3-wa,nr S3-wa,nr S3-wa,nr S3-wa,nr,eh
k1 = kedalaman tanah sedang; I1, I2, I3 masing-masing kemiringan lereng 3-8, 8-15 dan 15-25 % nr = retensi hara (KB dan pH tanah), eh = bahaya erosi (kemiringan lereng), wa =ketersediaan air (curah hujan)
97
Lampiran 18 Prediksi erosi pada lahan usahatani sayuran dengan beberapa pola tanam berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi SLP
R
K
SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
1130.74 1130.74 1130.74 1130.74
0.022 0.104 0.229 0.242
SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
1130.74 1130.74 1130.74 1130.74
0.022 0.104 0.229 0.242
SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
1130.74 1130.74 1130.74 1130.74
0.022 0.104 0.229 0.242
SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
1130.74 1130.74 1130.74 1130.74
0.022 0.104 0.229 0.242
SLP-1 SLP-2 SLP-3 SLP-4
1130.74 1130.74 1130.74 1130.74
0.022 0.104 0.229 0.242
LS
C
P
Epot Eakt Etol … ton/ha/tahun … kentang-kubis-kentang 1.15 0.26 1.00 28.61 7.44 24.09 1.28 0.26 1.00 150.95 39.25 21.94 1.31 0.26 1.00 339.09 88.16 22.84 2.40 0.26 1.00 656.73 170.75 20.89 kentang-kubis-tomat 1.15 0.37 1.00 28.61 10.59 24.09 1.28 0.37 1.00 150.95 55.85 21.94 1.31 0.37 1.00 339.09 125.46 22.84 2.40 0.37 1.00 558.87 206.78 20.89 kentang-kubis-rumput/semak 1.15 0.24 1.00 28.61 6.87 24.09 1.28 0.24 1.00 150.95 36.23 21.94 1.31 0.24 1.00 339.09 81.38 22.84 2.40 0.24 1.00 558.87 134.13 20.89 kentang-cabe 1.15 0.41 1.00 28.61 11.73 24.09 1.28 0.41 1.00 150.95 61.89 21.94 1.31 0.41 1.00 339.09 139.03 22.84 2.40 0.41 1.00 558.87 229.14 20.89 kentang-rumput/semak-tomat 1.15 0.31 1.00 28.61 8.87 24.09 1.28 0.31 1.00 150.95 46.79 21.94 1.31 0.31 1.00 339.09 105.12 22.84 2.40 0.31 1.00 558.87 173.25 20.89
IBE
CPmaks
0.31 1.79 3.86 8,17
0.8420 0.1453 0.0674 0.0318
0.44 2.55 5.49 9.90
0.8420 0.1453 0.0674 0.0479
0.29 1.65 3.56 6.42
0.8420 0.1453 0.0674 0.0479
0.49 2.82 6.09 10.97
0.8420 0.1453 0.0674 0.0479
0.37 2.13 4.60 8.29
0.8420 0.1453 0.0674 0.0479
Epot = erosi potensial, Eakt = erosi aktual, Etol = erosi yang dapat ditoleransikan, IBE = indeks bahaya erosi, CPmaks = CP maksimum
97
Lampiran
19
Sarana produksi, hama dan penyakit tanaman serta pengendaliannya pada usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi
Sarana produksi, hama, penyakit dan pengendaliannya Bbit/benih Varietas
Kentang
Kubis
Tomat
Cabe
Granola/Cipanas
Master Grand
Lokal
Jumlah
1.5-2.5 ton/ha
150-210 g
Menara, Hatori, Sinta, Wanari 540-600 g
Sumber
Hasil panen sendiri, terus menerus (20-30)x (60-80)
Beli
Beli
Jarak tanam (cm) Kapur Dolomit (kg/ha) Pupuk kandang (kg/ha) Kompos Pupuk kimia (kg/ha) NPK Phonska 15:15:15:10 SP-36 Urea ZA KCl Grower(N:P:S,14:9:20) Hormon Jenis Dosis Pupuk cair/mikro Jenis Dosis Herbisida Jenis/merek Dosis Fungisida Jenis/merek Dosis Insektisida Jenis/merek Dosis Hama Jenis Tingkat serangan Penyemprotan insektisida Penyakit Jenis
Tingkat serangan Penyemprotan fungisida
97
(20-40)x( 60-80) *)
450-3500 450-3000 270-1800
0-400 400-500
250-2500 125-1250 50-200 50-400 50-450 150-1250
0-333.33 0-250 0-150 0-250 0-250 -
[(25-50)x(40-50)] x(80-100) 400-2500 875-4000 200-750
2-6 kg cabe segar Hasil panen sendiri/beli hasil panen petani lain [(25-50)x(40-60)] x(80-100 400-3125 750-4375 250-1000
125-2500 100-1250 250-937.5 125-833.3 62.5-625 250-1250
125-1250 150-1250 150-625 125-250 125-625 150-1250
Atonik, Dekamon, Optima, Vitanik, Sesuai dosis anjuran di kemasan Petrovita, Sangwor, MKP, Bayfolan, EM4, Mikrosil 1-2 kali dosis anjuran di kemasan Gramaxone, Basmilang 1-2 kali dosis anjuran di kemasan Dithane M-45, Curzatte, Previcur, Amistartop, Dakonil, Score, Acrobat, Antracol Siodan, Procure, Megatan, Mankozeb, Daconil, Antracol, 1-2 kali dosis anjuran di kemasan Matador, Virtako, Triser, Starpidor, Prevaton, Confidor Prevaton, Calicron, Antracol, Demolis,Hamador 1-2 kali dosis anjuran di kemasan
Ringan-sedang 20-23 kali 2-3 x1 minggu
Ulat tanah, ulat daun, ulat grayak Ringan-sedang 8-10 kali 1x1 minggu
Agrotis, kutu daun, Thrips, ulat grayak Ringan-sedang 20-30 kali 2x1 minggu
Kutu daun, Thrips, ulat grayak, Agrotis, Ringan-sedang 30-40 kali 2-3x 1 minggu
Phytopthora, Fusarium, Virus
Becak daun, busuk hitam
Ringan-berat 20-23 kali 2-3 x1 minggu
Ringan-sedang 8-10 kali 1x1 minggu
Penyakit layu, busuk daun Phytopthora, virus Ringan-sedang 20-30 kali 2x1 minggu
Antaknosa, busuk daun Phytopthora, Virus, Ringan-berat 30-40 kali 2-3x 1 minggu
Thrips, Agrotis, Lyriomiza
Lampiran Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 ∑CH ∑HH
97
20 Curah hujan (mm) selama penelitian bulan 9 Januari 2009 – 11 Februari 2010 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug 37.85 1.66 3.76 1.28 0.00 0.00 1.64 0.00 17.38 9.72 0.00 34.61 7.96 0.00 2.52 0.00 22.34 11.71 1.33 0.00 5.04 7.64 0.00 0.00 0.00 11.38 0.00 92.36 0.00 9.66 0.00 0.00 26.53 1.28 2.94 2.05 1.59 0.00 0.00 0.00 12.46 0.00 8.33 5.15 5.08 0.00 1.50 0.00 35.89 0.00 4.93 6.45 2.87 0.00 0.00 0.00 0.00 1.22 0.00 6.32 0.00 3.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 23.95 0.00 0.00 5.37 0.00 0.00 0.00 3.23 3.75 18.12 0.00 1.22 16.29 32.70 0.00 0.00 0.00 9.63 0.00 0.00 4.07 0.00 0.00 0.84 2.03 4.60 0.00 30.51 5.81 0.00 0.00 14.05 2.56 5.10 1.44 0.00 0.00 10.53 0.00 5.82 13.26 10.58 15.03 0.00 0.00 9.17 0.00 0.00 30.93 0.97 41.10 0.00 0.00 0.00 0.00 4.68 2.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.33 0.00 0.00 0.00 0.00 11.32 0.00 0.00 9.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.86 0.00 6.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.78 0.00 0.00 0.00 18.12 0.00 0.00 29.61 1.71 1.17 3.49 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 34.47 0.00 0.00 0.00 8.39 0.00 0.00 0.00 13.76 0.00 16.22 0.00 6.85 0.00 0.00 0.00 5.96 0.73 0.00 0.00 3.38 0.00 0.00 28.29 2.49 22.49 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.84 0.00 5.04 0.00 0.00 12.51 4.35 32.72 18.23 6.47 12.62 0.00 0.00 0.00 0.00 4.75 55.68 4.88 3.29 0.00 0.00 9.41 0.00 3.14 7.40 2.94 9.63 0.00 5.26 26.35 0.00 10.16 0.00 22.74 0.00 7.56 0.00 0.00 1.77 2.70 0.00 0.00 20.78 211.38 122.35 119.43 325.09 71.54 150.02 73.46 98.88 11 15 20 19 11 17 8 8
Sep 4.33 12.95 0.00 0.00 3.80 7.94 1.50 0.00 0.00 6.96 0.00 0.00 0.00 0.00 1.72 0.00 0.00 2.48 0.00 0.00 0.00 1.02 0.00 12.47 0.00 2.12 0.00 1.19 9.13 5.22 72.83 14
Okt 16.80 8.60 8.31 12.93 13.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.83 63.22 21.22 40.67 12.60 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.10 17.35 0.00 9.35 16.80 20.34 8.27 28.74 316.75 17
Nov 0.00 0.00 1.44 0.00 0.00 0.00 2.70 0.00 0.00 30.51 11.89 6.30 0.00 0.99 1.88 26.26 7.03 26.81 5.84 0.00 0.00 1.92 0.99 0.00 3.45 7.65 2.32 8.27 14.21 6.54 167.00 19
Des 1.88 4.75 0.00 18.13 29.62 5.39 46.75 24.21 9.17 1.28 3.89 0.00 0.00 5.06 15.16 0.53 13.48 3.36 18.83 2.43 0.00 1.41 0.00 0.00 73.38 9.64 0.00 11.34 19.18 8.31 5.92 333.10 24
Jan 7.25 2.61 11.63 15.91 5.02 0.00 0.00 7.16 6.52 0.46 9.42 14.14 30.50 16.80 0.00 0.00 0.00 0.00 12.49 0.00 0.00 24.75 0.00 9.24 7.27 18.12 6.06 5.75 0.00 1.75 11.85 224.7 21
Feb 19.45 5.92 0.00 0.00 4.11 26.08 0.00 3.27 0.00 1.22 22.32
82.37 7
Lampiran 21 Aliran permukaan, erosi, produksi, biaya, pendapatan, BCR dan RCR serta BEP usahatani kentang dan kubis dengan beberapa sistem guludan pada Andisol Desa Kebun Baru di hulu DAS Merao, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan
AP (mm)
Erosi (ton/ha)
Produksi (ton/ha)
Biaya (Rp/ha)
P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
152.29 98.93 92.42 83.56 51.40 86.84 110.08
22.94 9.62 9.99 7.81 4.31 4.45 17.54
20.450 20.535 21.295 19.715 19.805 18.305 17.480
34.527.375 35.207.156 35.120.531 35.007.656 34.361.906 31.802.531 32.734.406
P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
24.22 13.87 14.46 11.86 6.83 10.94 17.93
7.79 3.85 3.15 2.43 1.43 1.75 5.77
19.435 19.465 18.755 20.015 19.665 16.885 17.180
34.527.375 35.207.156 35.120.531 35.007.656 34.361.906 31.802.531 32.734.406
P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
94.97 48.09 46.43 41.27 30.02 41.00 52.57
17.62 9.03 7.80 7.33 3.96 5.86 11.53
75.33 80.16 73.00 73.66 76.16 68.84 73.83
16.259.250 16.443.000 16.521.750 16.574.250 16.259.250 16.285.500 16.285.500
97
Penerimaan (Rp/ha) MT-1 (kentang) 72.945.500 73.632.000 75.124.000 72.075.500 71.696.000 66.121.500 64.459.000 MT-2 (kentang) 70.991.500 70.897.000 70.061.000 74.144.000 72.387.000 62.276.500 62.069.000 MT-3 (kubis) 37.665.000 40.080.000 36.500.000 36.830.000 38.080.000 34.420.000 36.915.000
Pendapatan (Rp/ha)
BCR
RCR
BEP-VP (kg)
BEP-HP (Rp/kg)
38.418.125 38.424.844 40.003.469 37.116.344 37.334.094 34.318.969 31.724.594
1.11 1.09 1.14 1.06 1.09 1.08 0.97
2.11 2.09 2.14 2.06 2.09 2.08 1.97
15694.26 16003.25 15963.88 15912.57 15619.05 14455.69 14879.27
1688.38 1714.50 1649.24 1775.69 1735.01 1737.37 1872.68
36.464.125 35.689.844 34.940.469 39.136.344 38.025.094 30.473.969 29.334.594
1.06 1.01 0.99 1.12 1.11 0.96 0.90
2.06 2.01 1.99 2.12 2.11 1.96 1.90
15694.26 16003.25 15963.88 15912.57 15619.05 14455.69 14879.27
1776.56 1808.74 1872.60 1749.07 1747.36 1883.48 1905.38
21.405.750 23.637.000 19.978.250 20.255.750 21.820.750 18.134.500 20.629.500
1.32 1.44 1.21 1.22 1.34 1.11 1.27
2.32 2.44 2.21 2.22 2.34 2.11 2.27
32518.5 32886.0 33043.5 33148.5 32518.5 32571.0 32571.0
215.84 205.13 226.33 225.01 213.49 236.57 220.58
Lampiran 22 Hasil analisis alternatif agroteknologi yang optimal untuk model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi menggunakan Program Tujuan Ganda Lereng 3 % MIN DE1+DP2 SUBJECT TO X1+X2+X3+X4+X5<=0.44 7.44X1+10.59X2+6.67X3+8.87X4+11.73X5+DE1-DE2<=24.09 43.62X1+52.75X2+26.93X3+42.51X4+44.35X5+DP1-DP2=>28.00 END VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1
VALUE 0.000000 0.000000 0.000000 0.440000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 4.790000
REDUCED COST 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 0.000000 3) 19.430401 0.000000 4) 0.000000 0.000000 NO. ITERATIONS=
2
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1 ROW 2 3 4
97
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 0.440000 0.090806 0.440000 24.090000 INFINITY 19.430401 28.000000 INFINITY 4.790000
Lampiran 22 (lanjutan) Lereng 7 % MIN DE1+DP2 SUBJECT TO X1+X2+X3+X4+X5<=0.44 9.82X1+13.96X2+9.06X3+15.47X4+11.70X5+DE1-DE2<=21.94 45.15X1+52.82X2+27.48X3+43.02X4+48.24X5+DP1-DP2=>28.00 END VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1
VALUE 0.000000 0.000000 0.000000 0.440000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 4.759200
REDUCED COST 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 0.000000 3) 15.797600 0.000000 4) 0.000000 0.000000 NO. ITERATIONS=
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1 ROW 2 3 4
97
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 0.440000 0.090102 0.440000 21.940001 INFINITY 15.797600 28.000000 INFINITY 4.759200
Lampiran 22 (lanjutan) Lereng 14 % MIN DE1+DP2 SUBJECT TO X1+X2+X3+X4+X5<=0.44 13.22X1+18.82X2+12.21X3+20.85X4+15.77X5+DE1-DE2<=22.84 43.62X1+52.75X2+26.93X3+42.51X4+44.35X5+DP1-DP2=>28.00 END VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1
VALUE 0.000000 0.000000 0.000000 0.440000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 4.790000
REDUCED COST 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 0.000000 3) 14.559200 0.000000 4) 0.000000 0.000000 NO. ITERATIONS=
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1 ROW 2 3 4
97
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 0.440000 0.090806 0.440000 22.840000 INFINITY 14.559200 28.000000 INFINITY 4.790000
Lampiran 22 (lanjutan) Lereng 20 % MIN DE1+DP2 SUBJECT TO X1+X2+X3+X4+X5<=0.44 7.80X1+10.31X2+6.04X3+9.31X4+6.54X5+DE1-DE2<=20.89 36.39X1+44.92X2+22.20X3+36.92X4+40.71X5+DP1-DP2=>28.00 END VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1
VALUE 0.000000 0.000000 0.000000 0.440000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 8.235200
REDUCED COST 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 0.000000 3) 14.272400 0.000000 4) 0.000000 0.000000 NO. ITERATIONS=
1
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: VARIABLE DE1 DP2 X1 X2 X3 X4 X5 DE2 DP1 ROW 2 3 4
97
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 0.440000 0.183330 0.440000 20.889999 INFINITY 14.272400 28.000000 INFINITY 8.235200
Lampiran 23 Analisis usaha ternak kambing dan ternak sapi perah Komponen
Volume
Biaya Bibit pejantan 1 ekor Bibit betina 8 ekor Kandang 1 unit Obat-obatan dan vitamin Pakan konsentrat 700 kg Total Penerimaan Anak sapi prasapih 10.3 ekor/tahun Anak umur 8 bulan 10.3 ekor/tahun Kambing induk 8 ekor Kambing pejantan 1 ekor Daging dari induk*) 164.25 kg Kotoran 45 kg Total Pendapatan *) pertambahan berat 9 ekor x 50 g x 365 hari Sumber : Cholic et al. (2009), Deptan 2005)
Harga satuan (Rp)
Besaran (Rp)
1 000 000 600 000 1 500 000 500 000 1 000
1 000 000 4 800 000 1 500 000 100 000 700 000 8 500 000
350 000 525 000 700 000 1 200 000 60 000 2 000
3 605 000 5 407 500 4 800 000 1 000 000 9 855 000 90 000 24 957 500 16 457 500
Analisis agribisnis ternak sapi perah pada skala 4 ekor laktasi/tahun Komponen
Volume
A. Biaya tetap Penyusutan selama 5 tahun Pembelian ternak awal 4 ekor Penjualan ternak afkir 4 ekor Penyusutan ternak per tahun Penyusutan kandang Per tahun Tenaga kerja (432 HOK/tahun) Total B. Biaya variabel 5kg/ekor/hari Konsentrat pakan Ampas tahu 20 kg/ekor/hari Ketela 4 kg/ekor/hari Pakan hijauan 40 kg/ekor/hari Obat-obatan Per tahun Biaya habis pakai Per tahun Total C. Produksi 15 liter/hari Produksi susu/7 bulan Penjualan anak umur 1-3 bulan 4 ekor Penerimaan Total biaya A+B Pendapatan/tahun C- (A+B) Sumber : Rusdiana dan Praharani (2009)
97
Harga satuan (Rp)
Besaran (Rp)
12 000 000 9 700 000 2 300 000 500 000 2 160 000
48 000 000 38 800 000 2 300 000 500 000 2 160 000 4 960 000
1 500 500 1 000 100 250 000 250 000
10 800 000 14 400 000 5 760 000 5 760 000 250 000 250 000 37 220 000
3 250 3 000 000
51 187 000 12 000 000 63 187 000 42 180 000 21 007 000
Lampiran 24 Sifat tanah Andisol Desa Kebun Baru di hulu DAS Merao, Kabupaten Kerinci, Jambi Sifat tanah I Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH (H2O, 1 : 1) pH (KCl, 1 : 1) C-organik (%) N-total (%) P-tersedia (ppm) P-total (ppm) Basa dapat ditukar Ca-dd (me/1000g) Mg-dd (me/100g) K-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) KTK (me/100g) KB (%) Al-dd (me/100g) H-dd (me/100g) Unsur mikro Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) 3 Bulk Density (g/cm ) 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Porositas (%) 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Kadar air (% vol.) pF 1.0 : 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) pF 2.0; 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) pF 2.54; 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) pF 4.2; 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Pori drainase (%) Sangat cepat; 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Cepat; 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Lambat; 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Pori air tersedia (%) 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b) Permeabilitas (cm/jam) 0 – 20 cm (a/b) 20 – 40 cm (a/b)
Kelompok (Lereng, %) II
lempung berdebu
lempung berdebu
20.56 73.10 6.34 5.20 m 4.40 12.09 st 0.36 s 21.70 s 41.30
21.04 70.32 8.64 5.00 m 4.00 11.12 st 0.29 s 12.00 r 44.00
20.88 74.06 5.06 5.20 m 4.30 13.90 st 0.46 s 21.70 s 39.80
6.14 s 3.26 t 0.20 r 0.20 r 29.34 t 34.00 r tr 0.24
3.02 r 1.24 s 0.18 r 0.18 r 27.98 t 17.10 sr tr 0.24
8.24 s 3.40 t 0.20 r 0.20 r 36.88 t 33.30 r tr 0.18
30.63 0.82 3.26 42.31
36.22 0.63 5.43 46.26
45.31 0.74 6.21 72.18
0.53/0.69 0.67/0.73
0.64/0.60 0.87/0.66
0.41/0.43 0.53/0.46
80.03/73.95 74.68/72.38
75.71/77.33 67.21/74.91
84.70/83.87 80.18/82.74
60.42/57.46 61.87/56.28 51.55/43.64 51.95/49.53 42.08/37.83 41.70/39.32 25.20/25.65 27.36/23.46
59.30/60.75 55.93/62.12 45.13/47.35 42.13/53.18 36.52/37.05 34.96/41.18 23.29/24.16 24.80/26.52
69.10/64.21 66.33/68.33 55.49/49.46 52.48/48.58 44.74/38.64 37.84/36.37 26.45/22.50 22.71/21.15
19.61/16.49 12.81/16.10 8.87/13.82 9.92/ 6.76 9.46/ 5.81 10.26/10.20
16.41/16.58 11.28/12.80 14.17/13.40 13.80/ 8.94 8.60/10.30 7.17/11.99
15.61/19.66 13.85/14.41 13.61/14.74 11.85/19.75 10.71/10.83 16.79/12.22
16.88/12.18 14.34/15.86
13.23/12.89 10.16/14.66
18.33/16.14 14.04/15.22
21.36/24.34 13.27/17.91
17.26/18.23 12.48/15.54
21.47/23.68 16.38/20.51
a = atas, b = bawah (posisi titik pengambilan contoh tanah pada lereng)
97
III
lempung berdebu
97