PERENCANAAN USAHATANI KARET DAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN DI DAS BATANG PELEPAT KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI
SUNARTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan Belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Sunarti NIM A262040011
2009
ABSTRACT SUNARTI. Sustainable farming systems for Rubber and Oil Palm Planning in Batang Pelepat Watershed Bungo District Jambi Province. Under direction of NAIK SINUKABAN, BUNASOR SANIM, and SURIA DARMA TARIGAN Land for rubber and oil palm farmings in Batang Pelepat watershed were generally cultivated without adequate fertilization and soil and water conservation techniques. This practice caused high erosion and in turn gradually decreased land productivity and farmer’s income. The objectives of this research were:(1) to identify land characteristics and farming systems of rubber and oil palm (FSROP) types, (2) to study impacts of FSROP on land characteristic, run off and erosion (ROE) rate, crop production and farmer’s income and (3) to design sustainable FSROP. Identification of FSROP characteristics were carried out by using descriptive analysis. Impacts of FSROP on ROE was measured in small erosion plot and analyzed using variance analysis and Duncan New Multiple Range Test (DNMRT). The sustainable FSROP was formulated by simulation technique using universal of soil loss equation (USLE) and multiple goal programming models. The results of the research showed that farming system in Batang Pelepat watershed consisted of five types of rubber farming systems and two types of oil palm farming systems. All of those farming systems were not able to fulfill indicators of sustainable agriculture (ISA). Cultivated land resulted higher ROE than forest. However among the cultivated land sesap karet caused the lowest ROE (3.53 mm and 13.93 ton/ha/year). The sustainable FSROP could be accomplished by application of combination agrotechnologies including balance fertilization using urea, SP-36, KCl and MgSO4. Meanwhile, the ISA were accomplished by application of Legum Cover Crop (LCC) and countour cropping (on slope 3–14%) and LCC and gulud terrace (on slope 15–30%). The sesap karet I (mixed of rubber-manau-kayu sungkai) performed the most optimum ISA. The sesap karet I generated erosion of 0.61 – 3.46 ton/ha/year and the farmer’s income Rp18 320 000 –18 590 000/ha/year. Key Word : agrotechnology, rubber, oil palm, erosion, run off, income
RINGKASAN SUNARTI. Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN sebagai ketua, BUNASOR SANIM, dan SURIA DARMA TARIGAN sebagai anggota. Pembukaan dan konversi hutan menjadi penggunaan lain, termasuk pengembangan pertanian telah terjadi di berbagai DAS di Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di DAS Batang Pelepat, yang umumnya ditujukan untuk pengembangan usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS). Pembukaan dan konversi hutan menjadi lahan UTKKS di DAS Batang Pelepat dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek konservasi tanah dan air (KTA). UTKKS pun dikelola dengan berbagai agroteknologi yang tidak memadai sehingga menyebabkan erosi dan degradasi lahan serta rendahnya pendapatan petani. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perambahan hutan oleh masyarakat atau petani di kawasan ini; jika dibiarkan hal ini dapat mengancam kelestarian Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) karena kawasan hulu DAS Batang Pelepat merupakan kawasan penyangga TNKS. Perencanaan UTKKS yang komprehensif sangat diperlukan untuk mewujudkan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi karakteristik lahan dan tipe UTKKS, (2) mengkaji pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dan (3) menyusun perencanaan UTKKS berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengukuran lapangan dalam mengumpulkan data biofisik (karakteristik lahan dan tipe UTKKS, sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi pada setiap tipe UTKKS) dan sosial ekonomi (luas lahan, input yang digunakan, pendapatan dan karakteristik petani). Karakteristik lahan dan tipe UTKKS dianalisis secara deskriptif, sedangkan pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dianalisis dengan analisis ragam (uji F) dan uji jarak berganda duncan pada taraf kepercayaan 95% (α=0.05). Selanjutnya UTKKS berkelanjutan diformulasi melalui teknik simulasi dengan menggunakan model USLE dan program tujuan ganda (multiple goal programming). Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Batang Pelepat terdiri atas 23 satuan lahan (SL) yang mempunyai tingkat kesuburan yang tergolong sangat rendah – rendah. Lahan tergolong kelas II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat utamanya berupa lereng (l) yang tergolong miring hingga sangat curam, erosi (e) yang tergolong ringan hingga sangat berat dan kondisi drainase (d) yang tergolong agak baik hingga agak buruk. Sebagian besar lahan tergolong kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) untuk usahatani karet dan kelapa sawit dengan faktor pembatas berupa kejenuhan basa dan pH yang rendah (nr) serta kemiringan lereng (eh). Lahan di DAS Batang Pelepat digunakan sebagai lahan pertanian dan non-pertanian. Penggunaan lahan pertanian umumnya sudah sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan untuk karet dan kelapa sawit. Lahan pertanian umumnya berupa lahan UTKKS yang terdiri atas sesap karet I atau campuran karet, manau dan kayu sungkai (SK I), sesap karet II atau campuran karet, kayu balam dan kayu medang (SK II), monokultur karet I (MK I), monokultur karet II (MK II), karet-gaharu (KRG), monokultur kelapa sawit (MKS) dan kelapa sawit-pisang (KSP). Semua tipe UTKKS ini tidak menerapkan agroteknologi yang memadai.
Tipe UTKKS menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap sifat tanah. Tipe MK I menunjukkan pengaruh paling buruk terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya dan hutan. Tipe MK I mengakibatkan tingkat kepadatan tanah paling tinggi (BI =1.14 g/cm3) sehingga menyebabkan aliran permukaan dan erosi paling tinggi (6.92 mm dan 0.58 ton/ha), sedangkan tipe SK dengan BI = 0.92 g/cm3 menyebabkan aliran permukaan dan erosi paling rendah (3.53 mm dan 0.12 ton/ha). Berdasarkan prediksi erosi pada lahan pertanian diketahui bahwa semua tipe UTKKS menyebabkan erosi yang melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (Etol), kecuali pada lereng 2% (2.78 – 22.23 ton/ha/tahun) dan akibat penerapan tipe SK pada kemiringan lereng 7% sebesar 12.27 ton/ha/tahun. Erosi yang lebih rendah pada tipe sesap karet (SK) dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya disebabkan karena sistem pengelolaan pada tipe SK mengakibatkan kapasitas penutupan lahan yang lebih rapat dan jumlah serasah yang lebih banyak dibandingkan tipe usahatani lainnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semua sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS menunjukkan perbedaan dengan tanah hutan. Hutan dengan kepadatan tanah 0.81 g/cm3 menyebabkan aliran permukaan (0.12 mm) dan erosi (1.20x10-6 kg/ha) yang lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan dan erosi pada lahan UTKKS. Perbedaan sistem pengelolaan pada setiap tipe UTKKS juga mengakibatkan perbedaan terhadap produksi tanaman sehingga pendapatan juga bervariasi (Rp5 800 000 – 59 360 000). Pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS per tahun dari 2 hektar lahan yang dikelola petani belum dapat mencukupi kebutuhan hidup petani secara layak (Rp18 000 000/KK/tahun), kecuali pendapatan dari tipe usahatani KRG yang mencapai Rp 59 360 000/ha/tahun atau Rp118 720 000/2ha/tahun karena gaharu mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu harga jual gubal Rp2 000 000/kg. Tipe UTKKS lainnya (Rp11 200 000 – 16 200 000/2ha/tahun) hanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum bagi petani (Rp7 200 000/KK/tahun). Tipe usahatani yang layak hanya tipe MK I, KRG, MKS dan KSP, padahal populasi petani tipe tersebut hanya sebagian kecil. Sebaliknya petani tipe SK I, SK II dan MK II merupakan populasi petani yang dominan di DAS Batang Pelepat, namun tipe usahatani ini tergolong tidak layak. Berdasarkan analisis erosi dan pendapatan di atas, semua tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat tidak menunjukkan indikator berkelanjutan sehingga memerlukan alternatif agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Semua tipe UTKKS (kecuali KRG) dapat dijadikan alternatif dalam pemilihan tipe usahatani berkelanjutan yang local based, sedangkan alternatif penyempurnaan agroteknologi aktual terdiri atas 2 skenario. Skenario agroteknologi 1 (SA1) adalah pengaturan jarak tanam pada tipe SK (penanaman baru) dan pemupukan berdasarkan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005), yaitu pemberian pupuk urea, TSP dan KCl masing-masing sebanyak 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun untuk karet dan untuk kelapa sawit diberikan pupuk NPK sebanyak 0.22 – 0.45 kg/pohon/tahun dan MgSO4 sebanyak 0.10 – 0.40 kg/pohon/tahun. Penerapan agroteknologi ini pada lereng 3–14% disertai dengan penerapan LCC dan sistem tanam menurut kontur dan pada lereng 15–30% disertai dengan penerapan LCC serta teras gulud atau teras kebun. Skenario agroteknolgi 2 (SA2) adalah penerapan pemupukan sesuai dengan rekomendasi BPP Sembawa (2003) untuk karet (urea sebanyak 250 – 350 g/pohon/tahun, SP-36 sebanyak 125 – 260 g/pohon/tahun dan KCl sebanyak 100 – 300 g/pohon / tahun) dan rekomendasi PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit, yaitu urea sebanyak 0.70 – 1.50 kg/pohon/tahun, TSP sebanyak 0.50 – 2.00 kg/pohon/tahun, KCl sebanyak 0.80 – 1.50 kg/pohon/tahun
dan MgSO4 sebanyak 0.70 – 1.00 kg/pohon/tahun). SA2 juga dilengkapi dengan pengaturan jarak tanam dan teknik KTA yang sama seperti SA1. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan SA1 dapat meningkatkan produksi tanaman sehingga pendapatan petani pun meningkat menjadi Rp13 370 000 – 16 350 000/ha/tahun, meskipun biaya yang dikeluarkan untuk usahatani juga meningkat (Rp 1 290 000 – 2 440 000/ha). Pemanfaatan sebagian (2 ha) atau seluruh (5 ha) lahan milik petani mengakibatkan pendapatan melampaui standar KHL (PKHL). Penerapan SA1 juga menyebabkan erosi pada setiap tipe UTKKS lebih kecil dibandingkan dengan Etol (21.31 – 43.12 ton/ha/tahun). Erosi pada SK I dan SK II adalah 0.61 – 3.46 ton/ha/tahun, pada MK adalah 4.91 – 27.72 ton/ha/tahun dan pada MKS dan KSP adalah 3.07 – 17.32 ton/ha/tahun. Peningkatan pendapatan dan penurunan erosi disebabkan oleh penyempurnaan agroteknologi yang dilengkapi dengan penerapan teknik pemupukan dan KTA yang efektif meningkatkan produksi dan mengendalikan erosi. Penerapan SA2 juga meningkatkan produksi tanaman sehingga pendapatan yang diperoleh dari usahatani juga meningkat menjadi Rp13 980 000 – 18 590 000/ha/tahun, meskipun membutuhkan biaya yang lebih besar (Rp1 430 000 – 3 040 000/ha). Pemanfaatan sebagian (2 ha) dan seluruh (5 ha) lahan milik petani menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani melampaui standar KHL. Peningkatan produksi dan pendapatan yang dicapai dengan menerapkan SA2 juga diikuti dengan penurunan erosi hingga di bawah Etol (sebagaimana penerapan SA1). Penerapan SA1 dan SA2 tersebut pada setiap tipe UTKKS menyebabkan setiap tipe UTKKS mencapai indikator berkelanjutan. Tingkat erosi akibat penerapan SA1 sama dengan tingkat erosi akibat penerapan SA2, namun tingkat pendapatan yang dicapai akibat penerapan SA1 lebih rendah dibandingkan dengan akibat penerapan SA2. Peningkatan pendapatan dan penurunan erosi akibat penerapan keduanya juga berbanding lurus dengan diversivitas tanaman yang digunakan pada setiap tipe UTKKS. Biaya yang diperlukan untuk menerapkan SA1 dan SA2 masih dapat terpenuhi oleh ketersediaan modal yang dimiliki petani. Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan bahwa usahatani berkelanjutan yang paling optimal diterapkan di DAS Batang Pelepat adalah sesap karet I (karet-manau-kayu sungkai) yang disertai penerapan SA2. Tipe usahatani tersebut saat ini hanya optimal diterapkan petani dengan lahan seluas 2 ha, karena modal yang dibutuhkan lebih kecil yang modal yang dimiliki petani (Rp2 860 000 – 3 400 000), sedangkan penerapannya pada lahan seluas 5 ha memerlukan modal lebih besar dari modal yang dimiliki petani (Rp7 200 000 – 8 500 000). Usahatani optimal tersebut layak dan menguntungkan untuk dikembangkan di DAS Batang Pelepat, karena mempunyai B/C=2.94 – 3.74, NPV=Rp43 045 267 341.42 – 50 567 341.42 dan IRR=37.15 – 43.25%). Penerapan usahatani optimal dapat menurunkan erosi 0.61 – 3.46 ton/ha/tahun dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp18 320 000 – 18 590 000/ha/tahun. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa semua tipe UTKKS dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat, namun tipe SK I dapat dijadikan alternatif utama. Penerapan UTKKS berkelanjutan diarahkan pada pemanfaatan lahan pertanian yang sudah ada secara optimal melalui penerapan agroteknologi yang sesuai, terutama pada lereng 0 – 30%. Lahan dengan kemiringan >30 – 45% direkomendasikan untuk tananam kayu-kayuan, sedangkan lahan dengan kemiringan lereng >45% harus tetap hutan atau jika sudah dimanfaatkan menjadi lahan pertanian harus direhabilitasi menjadi hutan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERENCANAAN USAHATANI KARET DAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN DI DAS BATANG PELEPAT KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI
SUNARTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Sunaryo, M.Sc Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
Judul Disertasi Nama NIM
: Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi : Sunarti : A262040011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 22 Januari 2009
Tanggal Lulus :.............................
Buat anak-anakku tersayang, Raidan dan Adli : Usaha keras, percaya pada kemampuan sendiri, profesional dan obyetif dalam mencapai sesuatu akan memberikan kepuasan dan kebanggaan yang luar biasa
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 ini adalah pengembangan usahatani karet dan kelapa sawit, dengan judul "Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi ini. Selanjutnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaannya memberikan masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Sekolah Pascasarjana IPB, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program doktor di PS DAS Sekolah Pascasarjana IPB dan pelayanan serta fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi program doktor. 3. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jambi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Sekolah Pascasarjana IPB. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pascasarjana IPB serta mendanai sebagian penelitian disertasi ini melalui program Hibah Pascasarjana yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc dan Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, M.Ec dan Dr. Ir. H. Muhammad Nur Aidi, M.Si sebagai anggota tim peneliti. 5. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka, atas motivasi yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti kuliah di PS DAS dan masukan dalam penyempurnaan disertasi ini. 6. Bapak Dr. Ir. Sunaryo, M.Sc dari Departemen Kehutanan RI, atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka dan saran dalam penyempurnaan disertasi ini. 7. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan BP DAS Batanghari atas pelayanan, kerjasama dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian, terutama dalam pengumpulan data. 8. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perangkat Desa yang tercakup dalam kecamatan Pelepat atas kerjasama dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 9. Dr. Ir. D. Subardja, M.Sc, Drs. Yayat Hadian, M.Si, Ir. Rudi Eko, M.Sc dan Ir. Erna Suryani, M.Si atas bantuannya dalam penyediaan data karakteristik lahan dan spasial. 10. Kedua orang tua saya H.Darkutni, SH dan Hj. Ruaida yang sangat penulis hormati dan yang telah memberikan do’a, panutan dan segala fasilitas kepada penulis dan kedua mertua H. A. Halim Saleh dan Hj. Marianis atas pengertian dan juga atas dukungan moral serta materi kepada penulis.
11. Suami tercinta ARDI, SP, M.Si atas izin, motivasi dan pengertian yang diberikan kepada penulis dan anak-anak tersayang Muhammad Raidan Azani dan Muhammad Adli Rahmat Solihin atas pengertian, pengorbanan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 12. Seluruh keluarga atas pengertian dorongan dan kasih sayang yang dilimpahkan kepada penulis. 13. Dr. Ir. Apik Karyana, M.Sc dan Ir. Henny H, M.Si yang juga telah banyak memberikan perhatian, sumbangan pemikiran dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. 14. Rekan-rekan dari LSM, yaitu Edi Harfia Surma, SP, Lambok SP dan Marzoni, SP (Gita Buana Club & ACM) dan Ir. Rudisyaf dan Ir. Rahmat (Warsi) yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan dan memberikan informasi untuk melengkapi data penelitian ini. 15. Rekan-rekan yang terlibat dalam penelitian Hibah Pasca, yaitu Dr. Ridwansyah, SE, M.Sc, Dr. Ir. Ardi Novra, MS, Dr. Ir. Hutwan Syarifuddin, MP dan Idham Khalid, SP, M.Si atas sumbangan pemikiran dan bantuannya dalam pengumpulan data. 16. Rekan-rekan Program Studi Pengeloaan DAS dan Program Studi lainnya atas apresiasi, do’a dan motivasi kepada penulis selama mengikuti kuliah hingga menyelesaikan disertasi ini. 17. Suseno, SP, Budi Hermansyah, SP dan Yuli, SP yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian di lapangan dan laboratorium dan entry data. 18. Semua pihak yang telah membantu penulis tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Januari 2009 Sunarti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 27 Desember 1973 sebagai anak kedua dari pasangan H. Darkutni, S.H dan Hj. Ruaida. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Dirjen Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Jambi sejak tahun 1999. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah konservasi tanah. Selama mengikuti program S3, penulis telah menulis buku dengan judul Pengelolaan DAS Berbasis Bioregion yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan RI pada tahun 2008.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... viii PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Perumusan masalah...................................................................................... 5 Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 6 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 10 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ............................................................. 10 Konsep Pertanian Berkelanjutan ................................................................. 11 Usahatani Karet dan Kelapa Sawit .............................................................. 13 Usahatani Karet ................................................................................. 13 Usahatani Kelapa Sawit..................................................................... 17 Analisis Usahatani ....................................................................................... 20 Erosi dan Faktor-Faktor Penyebabnya ........................................................ 22 Dampak Penggunaan Lahan terhadap Erosi .............................................. 28 Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian .............................................. 29 Klasifikasi Kemampuan Lahan .......................................................... 31 Kesesuaian Lahan ............................................................................. 34 Program Tujuan Ganda .................................................................... 35 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................. 38 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 38 Bahan dan Alat ............................................................................................ 38 Metode Penelitian ........................................................................................ 38 Persiapan .................................................................................................... 38 Pengumpulan Data ...................................................................................... 40 Analisis Data................................................................................................ 44 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................................... 56 Letak Geografis ......................................................................................... 56 Penduduk .................................................................................................. 56 Iklim ........................................................................................................... 57 Hidrologi .................................................................................................... 57 Tanah ........................................................................................................ 58 Penggunaan Lahan ................................................................................... 59 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 60 Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat .................................................. 60 Satuan Lahan di DAS Batang Pelepat.................................................... 60 Kemampuan Lahan di DAS Batang Pelepat .......................................... 62 Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian di DAS Batang Pelepat . 63 Karakteristik Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ............................ 65
i
ii Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Sifat-Sifat Tanah di DAS Batang Pelepat ............................................................................................... 71 Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Aliran Permukaan dan Erosi di DAS Batang Pelepat .................................................................................. 74 Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Batang Pelepat ................................... 80 Karakteristik Petani Karet dan Kelapa Sawit di DAS Batang Pelepat 80 Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Produksi Tanaman ........................ 81 Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Pendapatan dan Kelayakan Usahatani di DAS Batang Pelepat ..................................................... 84 Perencanaan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ................... 86 Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat .................................................................................. 86 Optimalisasi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ............. 96 Penerapan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ....................... 99 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 104 Kesimpulan .............................................................................................. 104 Saran ....................................................................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 107 LAMPIRAN ........................................................................................................ 116 Glossary ............................................................................................................ 158
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perkembangan luas tanam dan produksi karet di kecamatan Pelepat tahun 2000-2004 ..................................................................................................... 14
2
Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman .................................................................................. 15
3
Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di kecamatan Pelepat tahun 2000-2004...........................................................................................................................18
4
Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman...................................................................................................19
5
Perbandingan analisis finansial dan ekonomi ditinjau dari beberapa unsur .. 21
6
Pengaruh beberapa faktor terhadap proses dan tingkat erosi tanah ............ 23
7
Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah di beberapa daerah tangkapan DAS Citarum tahun 2000 ................................................ 29
8
Pengaruh beberapa kategori penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah di Australia tahun 2004 ..................................................................................... 29
9
Jumlah sampel responden petani yang ditetapkan berdasarkan tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat ........................................................... 40
10 Jenis, sumber, teknik pengumpulan dan kegunaan data penelitian .............. 41 11 Perlakuan masing-masing petak erosi yang ditentukan berdasarkan tipe UTKKS serta kelompok kemiringan lereng untuk pengukuran erosi di lapangan ........................................................................................................ 43 12 Sebaran jumlah penduduk, jumlah KK dan jumlah jiwa/KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat berdasarkan jenis kelamin tahun 2003 .................... 56 13 Fluktuasi tinggi muka air dan debit pada setiap bulan di DAS Batang Pelepat berdasarkan data tahun 1985 -2005 ............................................................. 58 14 Sebaran dan luas setiap jenis tanah (berdasarkan grup) di DAS Batang pelepat ........................................................................................................... 59 15 Distribusi alokasi luas tipe penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat tahun 1986, 1994 dan 2005 .................................................................................... 59 16 Karakteristik satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat ................ 61 17 Sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan .................................................................................................. 62 18 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ............................................................................. 63
iii
iv 19 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ............................................................................. 64 20 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ............................................................................. 64 21 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk pisang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ............................................................................. 65 22 Sebaran luas lahan berbagai tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat berdasarkan peta satuan lahan tahun 2005 .................................................. 66 23 Deskripsi karakteristik setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ............... 67 24 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kepadatan dan pori tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ........................................................................... 71 25 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006........................................ 72 26 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kadar COT, persentase dan indeks kemantapan agregat tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ....... 72 27 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ............................................................... 75 28 Sebaran jumlah petani karet dan kelapa sawit berdasarkan tipe usahatani pada setiap desa di DAS Batang Pelepat tahun 2006 .................................. 80 29 Sebaran luas kepemilikan lahan dan luas lahan usahatani per KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ...................................................... 80 30 Sebaran tingkat pendidikan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ....................................................................................... 81 31 Sebaran produksi karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ..................................................................... 81 32 Distribusi biaya, penerimaan dan pendapatan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 84 33 Pengaruh tipe UTKKS terhadap tingkat kelayakan usahatani di DAS Batang Pelepat .......................................................................................................... 86 34 Deskripsi skenario agroteknologi 1 (SA1) dan skenario agroteknologi 2 (SA2) pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat .......................................... 87 35 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA1 di DAS Batang Pelepat ......................... 90 36 Pengaruh penerapan SA1 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap UTKKS di DAS Batang Pelepat .......................................................... 91
v 37 Pengaruh penerapan SA1 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat ............... 91 38 Pengaruh penerapan SA1 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng .................................... 92 39 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA2 di DAS Batang Pelepat ......................... 94 40 Pengaruh penerapan SA2 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap UTKKS di DAS Batang Pelepat .......................................................... 95 41 Pengaruh penerapan SA2 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat ............... 95 42 Pengaruh penerapan SA2 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng .................................... 96 43 Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d+) dan ketidaktercapaian target (d-) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 2 ha dan berbagai kemiringan lereng................. 97 44 Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d+) dan ketidaktercapaian target (d-) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 5 ha dan berbagai kemiringan lereng................. 98
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ........................................................................................................... 7
2
Fase-fase atau tahapan perencanaan pengelolaan DAS..............................................11
3
Skema parameter USLE berdasarkan pengelompokan variabel faktor fisik dan pengelolaannya ...................................................................................... 27
4
Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan ............................................................................ 32
5
Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data ......................................... 39
6
Variasi curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan di DAS Batang Pelepat berdasarkan data curah hujan tahun 1985 – 2005........................... 57
7
Komposisi tanaman karet dan gaharu pada tipe usahatani KRG di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 69
8
Komposisi tanaman kelapa sawit dan pisang pada tipe usahatani KSP di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 70
9
Pengaruh berat serasah pada setiap tipe UTKKS dan HS terhadap berat volume dan total ruang pori tanah di DAS Batang Pelepat.................................................. 73
10 Pengaruh berat serasah terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat ................................................................................................. 73 11 Pengaruh berat serasah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah serta konsentrasi sedimen di DAS Batang Pelepat ................................................ 76 12 Pengaruh bobot isi tanah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 76 13 Prediksi erosi dan Etol pada setiap SL yang digunakan sebagai lahan pertanian dan non pertanian di DAS Batang Pelepat .................................... 78 14 Pengaruh penerapan berbagai tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng terhadap erosi di DAS Batang Pelepat .......................................................... 79 15 Perbandingan sebaran produksi karet berdasarkan umur tanaman pada setiap tipe usahatani karet di DAS Batang Pelepat ....................................... 82 16 Perbandingan sebaran produksi TBS berdasarkan umur tanaman di DAS Batang Pelepat dengan potensi produksi pada lahan kelas S3 .................... 83 17 Pengaruh tipe UTKKS pada lahan seluas 2 ha terhadap pendapatan petani berdasarkan kelas kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat ...................... 85
vi
vii 18 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 88 19 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 89 20 Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 93 21 Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat .............................................................................................. 93 22 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di sub DAS Batang Pelepat .......................................... 100 23 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat ................................................. 102
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Penyebaran perkebunan karet dan kelapa sawit di Provinsi Jambi ............ 116
2
Kriteria kesesuaian lahan untuk karet ......................................................... 117
3
Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit ............................................. 118
4
Kriteria kesesuaian lahan untuk padi ladang ............................................... 119
5
Kriteria kesesuaian lahan untuk pisang ....................................................... 120
6
Kriteria klasifikasi kemampuan lahan .......................................................... 121
7
Peta Administrasi DAS Batang Pelepat....................................................... 124
8
Kriteria penilaian struktur tanah dan permeabilitas tanah ........................... 125
9
Nilai faktor C dengan pertanaman tunggal .................................................. 126
10 Nilai faktor tindakan konservasi (P) dan pengelolaan tanaman (CP) .......... 127 11 Faktor kedalaman beberapa sub order tanah ............................................. 128 12 Kedalaman tanah minimum untuk berbagai jenis tanaman......................... 129 13 Sebaran produksi tanaman yang digunakan pada beberapa tipe usahatani sesuai umur dan takaran pupuk yang digunakan ........................................ 130 14 Harga pasar yang digunakan dalam analisis usahatani ................................. 131 15 Sebaran curah hujan rata-rata bulanan di DAS Batang Pelepat tahun 1985 – 2005 ............................................................................................................ 132 16 Peta Penggunaan Lahan di DAS Batang Pelepat ....................................... 133 17 Peta tanah di DAS Batang Pelepat ............................................................. 134 18 Peta Lereng di DAS Batang Pelepat ........................................................... 135 19 Peta satuan lahan di DAS Batang Pelepat .................................................. 136 20 Sifat Fisik dan sifat kimia tanah satuan lahan di DAS Batang Pelepat.................... 137 21 Penilaian kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat ........................................................................................................ 139 22 Peta sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat ................. 140 23 Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan aktual dan kelas kesesuaian di DAS Batang Pelepat untuk beberapa komoditi pertanian.................................... 141 24 Peta sebaran kelas kesesuaian lahan untuk beberapa komoditi pertanian 142
viii
ix 25 Analisis statistik pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap beberapa sifat tanah, aliran permukaan dan erosi tanah pada petak erosi ........................ 146 26 Curah hujan bulanan (cm) dan nilai erosivitas (R) di DAS Batang Pelepat ............ 150 27 Prediksi erosi pada setiap SL di DAS Batang Pelepat akibat penggunaan lahan aktual ................................................................................................. 151 28 Perhitungan erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat ................................................................................ 152 29 Prediksi erosi pada beberapa kemiringan lereng lahan akibat penerapan berbagai teknik KTA pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ....... 153 30 Analisis pendapatan dan kelayakan Usahatani sesuai dengan skenario agroteknologi yang diterapkan .................................................................... 154 31 Nilai CP Maksimum pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat ...... 155 32 Hasil Analisis PTG dalam menentukan usahatani berkelanjutan yang optimal di DAS Batang Pelepat ................................................................................ 156
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) adalah vegetasi, tanah dan air serta jasa-jasa lingkungan yang merupakan modal bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan, sumberdaya alam telah dimanfaatkan dengan prinsip orientasi ekonomi sesaat, terutama hutan dan lahan. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pemanfaatan lahan dalam DAS umumnya kurang memperhatikan keterkaitan unsur-unsur penyusun sistem DAS, padahal kondisi daya dukung lingkungan DAS ditentukan oleh banyak faktor yang mempunyai hubungan dan keterkaitan yang kompleks. Prinsip pemanfaatan yang demikian merupakan salah satu penyebab kerusakan DAS di Indonesia. Gambaran kerusakan DAS di Indonesia dapat dilihat berdasarkan jumlah DAS prioritas yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum No : 19 tahun 1984 – No : 059/Kpts-II/1984 – No : 124/kpts/1984 tanggal 4 April 1984 tentang penanganan konservasi tanah dalam rangka pengamanan DAS prioritas, tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (Arsyad 2006). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 284/Kpts-II/1999 tentang penetapan urutan prioritas DAS, jumlah DAS prioritas meningkat hingga 472 DAS. Daerah aliran sungai (DAS) tersebut terdiri atas 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178 DAS Prioritas III (Ditjen RRL Dephut 1999). Jumlah DAS prioritas I pada tahun 2004 telah meningkat pula menjadi 65 DAS (Ditjen Sumberdaya Air 2004). Daerah aliran sungai (DAS) Batanghari merupakan salah satu DAS yang mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup (Direktorat KKSDA BAPPENAS 2007) dan merupakan DAS kedua terbesar di Indonesia. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 284/1999, DAS Batanghari termasuk dalam kategori DAS prioritas I (Ditjen RRL Dephut 1999). Daerah aliran sungai (DAS) Batanghari dengan luas ± 4.5 juta ha meliputi wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Barat dan Riau dan mempunyai nilai yang sangat strategis bagi masyarakat sekitarnya. Kekritisan DAS Batanghari ditandai dengan kondisi sungai Batanghari di luar ambang batas ketentuan sungai yang lestari. Kekritisan DAS dilihat 1
2 berdasarkan frekuensi dan besaran banjir yang sulit diprediksi. Banjir besar pernah terjadi tahun 1996; muka air sungai Batanghari naik hingga 4 m dan kembali terjadi pada tahun 2002 dan tahun 2003 (Sihite dan Pasaribu 2004). Banjir yang terjadi di DAS Batanghari disebabkan oleh sedimentasi sehingga terjadi pendangkalan sungai dan pada musim hujan air sungai meluap. Sedimentasi dan pendangkalan sungai mengancam nilai strategis DAS Batanghari, diantaranya telah menyebabkan menurunnya debit aliran sungai Batang Siat yang merupakan sumber air irigasi Sungai Dareh dan Sitiung (SEDASI) di Sumatera Barat. Penurunan debit sungai Batang Siat selama 15 tahun terakhir adalah 10.5 m3/det (tahun 1986) menjadi 6.1 m3/det (tahun 2001) sehingga kapasitas aliran irigasi ini menurun 67%. Sedimentasi juga mengancam rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di DAS Batang Merao dan Batang Merangin-Tembesi (Tim Peneliti Bioregion DAS Batanghari 2003). Daerah aliran sungai (DAS) Merangin mempunyai tingkat sedimentasi tertinggi dibandingkan dengan sub DAS yang lain, yaitu 189.43 juta ton/tahun (Depkimpraswil 2003). Pendangkalan sungai akibat sedimentasi juga terjadi di DAS Batanghari hilir sehingga operasional Pelabuhan Samudera ”Muara Sabak” pun terganggu karena keperluan navigasi kapal dengan bobot 5 000 DWT hanya dapat dipenuhi jika dilakukan pengerukan sedimen sebesar 350 000 m3/tahun (JICA 2002). Sedimentasi di DAS Batanghari diduga berasal dari erosi di kawasan hulu. Erosi di DAS Batanghari menggambarkan telah rusaknya daerah resapan terutama di bagian hulu sehingga run off meningkat (koefisien run off sebesar 0.475). Berdasarkan kriteria yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 tahun 2001, koefisien rejim sungai kawasan hulu DAS Batanghari
(120)
pun
telah
mengindikasikan
terjadinya
kerusakan
(Depkimpraswil 2004). Daerah aliran sungai (DAS) Batanghari terdiri atas 5 sub DAS, yaitu Batanghari Hulu, Batang Tebo, Batang Tabir, Batang Merangin-Tembesi, dan Batanghari Hilir. Sub DAS yang mempunyai tingkat erosi paling tinggi adalah DAS Batang Tebo (kawasan hulu DAS Batanghari) yaitu 184.73 ton/ha/tahun (Depkimpraswil 2004). Secara administratif DAS Batang Tebo termasuk dalam Kabupaten Bungo dan terdiri atas tiga sub DAS, yaitu Batang Pelepat, Batang Bungo dan Batang Ule (BPDAS Batanghari 2002). Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat yang meliputi sebagian besar kecamatan Pelepat saat ini lebih menarik perhatian berbagai pihak, baik
3 Pemerintah Kabupaten Bungo, Pemerintah Provinsi Jambi, swasta (pengusaha) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti ICRAF, CIFOR dan WARSI dibandingkan dengan DAS Batang Bungo dan Batang Ule. Hal ini disebabkan oleh potensi sumberdaya alamnya, namun beberapa tahun belakangan ini setiap musim hujan di DAS Batang Pelepat selalu terjadi banjir. Informasi terakhir pada awal Pebruari 2006 telah terjadi banjir bandang yang merusak beberapa fasilitas/sarana umum dan menggenangi lahan-lahan pertanian di beberapa desa di kecamatan Pelepat (Rantel, Balai Jaya, Rantau Keloyang, Baru Pelepat dan Batu Kerbau). Banjir yang terjadi menggenangi wilayah tersebut hingga ketinggian 2 m (Anonim 2006). Banjir di DAS Batang Pelepat juga berawal dari erosi dan sedimentasi yang diduga terjadi akibat pembukaan hutan untuk berbagai penggunaan, termasuk pertanian. Pembukaan hutan di DAS Batang Pelepat ditujukan untuk mengembangkan usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS) karena Kecamatan Pelepat merupakan salah satu sentra produksi karet nasional dan kawasan prioritas pengembangan kelapa sawit (BAPPEDA Kabupaten Bungo 2005). Berdasarkan data penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat juga dapat diketahui bahwa luas tutupan hutan di DAS Batang Pelepat saat ini hanya 23.51% dari luas DAS (BPDAS Batanghari 2002). Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat terdiri atas beberapa kelas lereng yaitu landai (52 345 ha), agak curam (19 773 ha), curam (19 809 ha) dan curam sekali (1 116 ha). Pembukaan hutan untuk UTKKS di DAS Batang Pelepat pun telah mencapai lereng yang tergolong curam, tetapi tidak disertai dengan teknik konservasi tanah dan air (KTA). Kondisi ini peka menimbulkan erosi terutama pada saat awal tanam yang pada gilirannya menyebabkan degradasi lahan. Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat mempunyai nilai indeks bahaya erosi sebesar 4.71 (BPDAS Batanghari 2002); berdasarkan kriteria Hammer (1981) indeks bahaya erosi tersebut tergolong tinggi. Prediksi erosi di beberapa desa yang termasuk dalam DAS Batang Pelepat menunjukkan bahwa erosi telah melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (Etol), seperti di Baru Pelepat prediksi erosi mencapai 59.97 ton/ha/tahun dan di Sungai Beringin sebesar 55.00 ton/ha/tahun; padahal Etol di kedua lokasi ini hanya 16.92 dan 15.48 ton/ha/tahun (PPLH UNJA 2003). Erosi dapat menyebabkan kerugian berupa kehilangan unsur hara pada lahan yang tererosi (on site). Alih fungsi lahan hutan eks HPH (PT Maju Jaya
4 Raya Timber dan PT Rimba Karya Indah) menjadi UTKKS di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) telah menimbulkan erosi yang menyebabkan kerugian berupa kehilangan unsur hara senilai Rp 93.56 milyar/tahun; sebagian besar wilayah eks HPH PT Rimba Karya Indah terdapat di DAS Batang Pelepat (Ridwansyah et al. 2006). Erosi diperkirakan juga menyebabkan sedimentasi di beberapa sungai (off site) yang termasuk dalam DAS Batang Pelepat diantaranya Sungai Batang Pelepat (7.28 ton/hari), Sungai Beringin (9.31 ton/hari) dan Sungai Senamat (9.69 ton/hari) (PPLH UNJA 2003). Lahan UTKKS di DAS Batang Pelepat umumnya dikelola dengan berbagai agroteknologi yang belum memadai. Pengelolaan UTKKS seperti ini menyebabkan rendahnya produktivitas karet (0.45 ton KKK/ha atau 0.71 ton lateks/ha) dan kelapa sawit (11 ton TBS/ha atau 2.20 ton CPO/ha) di DAS Batang Pelepat (Disbun Provinsi Jambi 2005); produktivitas ini berada di bawah produktivitas karet dan kelapa sawit nasional yang masing-masing mencapai 0.60 ton KKK/ha dan 2.78 ton CPO/ha (Ditjenbun 2004; Balitbang Pertanian 2005a) dan potensi produksi karet yang mencapai 1.20 – 1.50 ton KKK/ha (Balitbang Pertanian 2005a). Produktivitas karet dan kelapa sawit yang rendah berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat di DAS Batang Pelepat yang sebagian besar berasal dari usahatani. Pendapatan petani yang berasal dari usahatani berkisar Rp320 000 – Rp480 000/bulan, sedangkan total pendapatan masyarakat termasuk usaha di luar usahatani adalah Rp416 000 – Rp472 000/bulan; pendapatan tersebut masih dibawah standar upah minimum regional Kabupaten Bungo (Rp716 000/bulan), meskipun luas pemilikan lahan di kawasan ini adalah 3.82 ha/KK (PPLH UNJA 2003). Secara nasional standar luas lahan yang dianggap layak untuk mendukung kehidupan keluarga petani adalah 2 ha/KK. Standar ini sesuai dengan standar minimum luas lahan pertanian yang diberikan pada transmigran, dengan asumsi bahwa lahan pertanian diusahakan secara intensif (Permana 1980). Usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS) yang tidak berkelanjutan disebabkan oleh perencanaan usahatani belum disusun secara komprehensif berdasarkan pendekatan terhadap berbagai aspek secara simultan. Kondisi UTKKS yang tidak berkelanjutan di DAS Batang Pelepat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat terus merambah hutan; jika dibiarkan hal ini dapat mengancam kelestarian TNKS karena sebagian DAS Batang Pelepat termasuk kawasan penyangga TNKS.
5 Peningkatan kinerja usahatani karet rakyat tidak dapat dicapai dengan mudah karena tidak hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga terkait dengan masalah teknologi dan kemampuan sumberdaya manusia yang terkait dalam penerapannya (PPK Medan 1998). Penerapan sistem pertanian konservasi (SPK) dengan penanaman legum penutup tanah (legume cover crop atau LCC) berupa mucuna sp. dan teras gulud yang disertai pemupukan pada lahan usahatani karet milik peladang berpindah di Jambi, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan dapat meningkatkan produksi tanaman hingga 51.10% dan kelayakan usahatani hingga mencapai B/C sebesar 1.82 serta menurunkan aliran permukaan dan erosi masing-masing 65% dan 45% (Juarsah 2008). Perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga berkembang pesat dengan teknologi yang sudah ada, tetapi produktivitasnya masih rendah dibandingkan dengan potensi produksi (terutama perkebunan rakyat). Teknologi yang telah ada saat ini belum cukup untuk mendukung pengembangan usahatani kelapa sawit di masa akan datang. Oleh karena itu penelitian yang menghasilkan paket teknologi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas tanaman dan pengelolaan lahan secara berkelanjutan perlu segera dilakukan (PPKS Medan 1998). Perbaikan agroteknologi melalui SPK seperti halnya pada lahan usahatani karet diatas merupakan solusi tepat dalam pengembangan usahatani kelapa sawit berkelanjutan. Budidaya kelapa sawit pada lahan berlereng harus dilengkapi dengan tanaman penutup tanah dan teras untuk mengendalikan erosi tanah (PPKS Medan 1999). Berdasarkan pemikiran tersebut penelitian tentang kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat DAS Batang Pelepat serta karakteristik tipe UTKKS dan pengaruhnya terhadap sifat tanah, erosi, aliran permukaan dan sosial ekonomi masyarakat sangat penting dilakukan. Karakteristik biofisik dan sosial ekonomi tersebut sangat diperlukan dalam penyusunan perencanaan SPK yang komprehensif untuk pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat. Perumusan Masalah Sistem pertanian konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mampu mengendalikan degradasi lahan (erosi ≤ Etol) dan meningkatkan pendapatan petani hingga dapat memenuhi standar kebutuhan hidup secara layak (PKHL) dengan menggunakan agroteknologi memadai serta bersifat site specific (khas lokasi). Penyempurnaan sistem pertanian yang sedang berjalan menjadi SPK
6 harus melalui langkah-langkah seperti : (1) inventarisasi keadaan biofisik daerah, (2) inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani dan (3) inventarisasi pengaruh luar (Sinukaban 2007a). Kondisi biofisik dan sosial ekonomi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan perencanaan SPK untuk mewujudkan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat, sedangkan faktor luar (eksternal) merupakan pendukung implementasi perencanaan tersebut. Oleh karena
itu
SPK
dapat
diterapkan
secara
optimal
melalui
pendekatan
interdisipliner sebagaimana konsep sistem pertanian berkelanjutan (SPB). Penyempurnaan sistem UTKKS di DAS Batang Pelepat dengan mengikuti langkah-langkah dan pendekatan tersebut dapat menghasilkan perencanaan UTKKS yang komprehensif. Oleh karena itu penyusunan perencanaan UTKKS di DAS Batang Pelepat perlu didukung dengan kajian tentang (1) bagaimana karakteristik lahan dan tipe UTKKS, (2) bagaimana pengaruh berbagai tipe UTKKS terhadap aspek biofisik (beberapa sifat tanah, aliran permukaan dan erosi) dan sosial ekonomi (pendapatan petani dan kelayakan usahatani) dan (3) bagaimana mencapai UTKKS berkelanjutan. Kerangka Pemikiran Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas unsur yang saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang saling mempengaruhi (interdependensi) dan peka terhadap unsur masukan, termasuk perubahan penggunaan lahan seperti konversi hutan menjadi penggunaan lain. Hutan di DAS Batang Pelepat umumnya mengalami konversi menjadi lahan UTKKS yang masih dikelola secara konvensional sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak dan bahkan menimbulkan degradasi lahan. Perencanaan SPK dalam kerangka pengelolaan DAS sesuai konsep SPB (mengkompromikan berbagai kepentingan, meskipun saling bertentangan) merupakan solusi tepat untuk mewujudkan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Sinukaban (2007b) yang menyatakan bahwa konsep SPB yang telah dilaksanakan di sebagian wilayah pulau Jawa dan daerah transmigrasi juga harus diimplementasikan di seluruh daerah dalam rangka meningkatkan
produktivitas
pertanian
dan
sekaligus
mempertahankan
kelestarian sumberdaya alam. Penerapan SPK untuk memperbaiki agroteknologi dengan pendekatan SPB harus bersifat proaktif, berdasarkan pengalaman (experential) dan partisipatif serta mempertimbangkan sistem yang holistik dan lokal spesifik
7 (Zamora 1995, diacu dalam Salikin 2003). Agroteknologi adalah suatu teknologi inovatif yang dirancang untuk mencapai produksi pertanian yang lebih efisien dan menguntungkan (Parker 2002). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agroteknologi meliputi semua teknologi yang diterapkan dalam budidaya tanaman pertanian seperti sistem tanam, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit serta teknik KTA. DAS Batang Pelepat
Karakteristik Biofisik
Karakteristik Sosial Ekonomi
Sistem Pertanian Konservasi
Tipe dan Agroteknologi UTKKS
Analisis Ekologi : Enviromental friendly
Analisis Sosial Ekonomi : Economically profitable and Socially acceptable & Applicable
Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan
UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat.
Paket agroteknologi untuk lahan pertanian telah banyak tersedia dan direkomendasikan berdasarkan berbagai hasil penelitian, tetapi tidak semua agroteknologi dapat diterima dengan baik oleh petani dan efektif dalam mengurangi erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Selain itu tidak semua agroteknologi yang sama dapat diterapkan diberbagai lokasi. Teknik KTA akan efektif jika penggunaan lahan sudah cocok (sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan). Agroteknologi tidak ada yang mendukung tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada teknik KTA yang dapat mencegah erosi kalau
8 kondisi tanahnya tidak cocok untuk pertanian (Sinukaban 1989). Berbagai teknik KTA yang dibutuhkan untuk melengkapi agroteknologi usahatani juga bervariasi dan dapat dipilih melalui simulasi sesuai dengan kondisi biofisik dengan menggunakan model Universal of soil loss equation (USLE). Efektivitas suatu teknik KTA untuk mengurangi erosi dapat diindikasikan oleh laju erosi aktual yang lebih kecil daripada Etol (Dariah et al. 2004). Agroteknologi dalam SPB juga harus dapat diterima dan diterapkan oleh petani dengan sumberdaya yang tersedia baik pengetahuan, ketrampilan maupun tingkat persepsinya (Sinukaban 2007b). Hal ini berarti bahwa agroteknologi yang dipilih dalam usahatani harus pula disesuaikan dengan karakteristik (kendala) sosial ekonomi masyarakat, seperti ketersediaan modal petani, baik lahan, tenaga kerja maupun sarana produksi lainnya. Oleh karena itu agroteknologi juga akan mempengaruhi pendapatan petani, karena agroteknologi yang dipilih akan berhubungan dengan modal usahatani. Petani akan mengadopsi suatu agroteknologi jika mereka memperoleh manfaat ekonomis dari kegiatan tersebut (Arifin 1996; Cahyono 2002 dan Santoso et al. 2004). Pemilihan
agroteknologi
usahatani
dalam
penerapan
SPB
harus
berdasarkan berbagai kriteria, yaitu memberi keuntungan kelestarian lingkungan (environmentally friendly), memberi keuntungan ekonomi kepada masyarakat (economically profitable), serta dapat diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat (socially acceptable and Applicable) secara simultan. Berbagai metode dapat digunakan untuk merumuskan model pertanian berkelanjutan dalam pengelolaan DAS melalui analisis sistem multikriteria. Multiple goal programming (MGP) atau program tujuan ganda (PTG) adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang mengakomodasi berbagai tujuan atau kepentingan secara simultan (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991 dan Briassoulis 2004). Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran, penelitian ini bertujuan untuk : 1. mengidentifikasi karakteristik lahan dan tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat. 2. menganalisis pengaruh tipe UTKKS terhadap beberapa sifat tanah, aliran permukaan dan erosi. 3. menyusun perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat.
9 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini menyajikan kajian biofisik dan sosial ekonomi DAS Batang Pelepat terutama yang berkaitan dengan UTKKS dan alternatif pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. memberi informasi dan bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam memanfaatkan lahan di DAS Batang Pelepat yang sebagian besar termasuk dalam kawasan penyangga TNKS. 2. menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan SPB di kawasan hulu DAS Batanghari (khususnya DAS Batang
Pelepat) sehingga dapat
mengurangi tekanan penduduk terhadap TNKS. 3. menjadi sumber informasi bagi petani setempat sebagai pengguna lahan. 4. pengembangan ilmu pengetahuan dalam merancang usahatani yang berkelanjutan dengan menggunakan analisis sistem multikriteria.
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) atau watershed adalah sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut (Agus dan Widianto 2004). Pengertian tersebut menggambarkan bahwa DAS merupakan satu sistem sehingga ada keterkaitan antara bagian hulu dan hilir. Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas sub sistem biofisik dan sosial ekonomi yang juga saling berkaitan. Oleh sebab itu DAS sebagai satu unit perencanaan perlu dikelola secara terpadu. Kartodihardjo et al. (2004) juga mengemukakan bahwa berdasarkan kajian institusi DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat. Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Karakteristik DAS terdiri atas ukuran (luas), elevasi dan kemiringan (slope), aspek dan orientasi, bentuk DAS dan jaringan drainase (Black 1995). Karakteristik DAS sangat penting diketahui dalam menentukan tindakan pengelolaan secara tepat. Karakteristik setiap DAS akan menunjukkan perbedaan satu sama lain sehingga tindakan pengelolaan DAS bersifat spesifik lokasi. Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian
dan
keserasian ekosistem
serta meningkatkan
kemanfaatan
sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Easter et al. 1986; Dephut 2001). Pengelolaan DAS ini terdiri atas beberapa tahapan proses (fase) yaitu : fase identifikasi dan analisis masalah, fase perencanaan, fase implementasi dan fase evaluasi, dimana keempat fase tersebut dapat terus berlangsung membentuk suatu siklus (Gambar 2). Perencanaan pengelolaan DAS tidak selesai hanya dengan dihasilkannya dokumen rencana, tetapi sebagai proses yang berulang dan berkaitan dengan aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS.
10
11 Pelaksanaan rencana memerlukan monitoring terhadap tujuan dan sasaran yang ditetapkan, sehingga memungkinkan adanya umpan balik dan revisi terhadap rencana yang telah disusun (Davenport 2002 dan Dephut 2001). FASE PERENCANAAN
FASE IMPLEMENTASI
FASE IDENTIFIKASI MASALAH
FASE EVALUASI
Gambar 2 Fase-fase atau tahapan perencanaan pengelolaan DAS (Davenport 2002).
Pengelolaan DAS yang mampu memadukan aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya sinergi dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan pemberdayaan ekonomi rakyat/masyarakat dan pelestarian lingkungan secara simultan dan seimbang. Ciri pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam suatu DAS adalah (1) mampu memberikan produktivitas yang tinggi dan pendapatan yang layak bagi seluruh masyarakat, (2) mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu dapat menjamin fungsi DAS yang baik, dapat menyimpan air dan memberikan hasil air yang cukup untuk seluruh keperluan
yang
merata
sepanjang
tahun
dengan
kualitas
yang
baik
(erosi/sedimen rendah, pencemaran kecil) dan kuantitas yang mencukupi, (3) mampu memeratakan pendapatan (equity) dan (4) mampu menjamin kelenturan (resiliency) DAS (Sinukaban et al. 2001). Konsep Pertanian Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan harus diterapkan pada berbagai bidang, termasuk pertanian. Pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti pertanian yang mampu berproduksi dengan tetap mempertahankan basis sumberdaya. Defenisi pertanian berkelanjutan telah banyak dikemukakan oleh berbagai pakar, diantaranya : 1. United State Society of Agronomy (1989), mendefenisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian ini menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan.
12 2. Menurut TAC/CGIAR (1988), diacu dalam Reijntjes et al. (1999), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. 3. Defenisi pertanian berkelanjutan secara lebih luas mencakup beberapa hal seperti (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomis, (3) adil, (4) manusiawi dan (5) luwes (Gips 1986, diacu dalam Sabiham 2005) Unsur-unsur pendekatan SPB terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan pada prinsip prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial, dan kesehatan kesejahteraan
penduduk),
dan
semangat
ekonomi
(ketahanan
pangan,
kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa SPB harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Thrupp 1996). Indikator-indikator SPB adalah pendapatan masyarakat (petani)
yang
cukup
tinggi,
tidak
menimbulkan
kerusakan
dan
dapat
dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh petani (Sinukaban 1994). Oleh karena itu keberlanjutan sistem usahatani bergantung pada 3 (tiga) karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah hingga kurang dari Etol atau tolarable of soil loss (TSL), efektivitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, ketrampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007c). Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usahatani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem usahatani, termasuk pengelolaan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani. Pertanian berkelanjutan harus pula diindikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Indikator kerusakan ini dapat dilihat dengan tingkat erosi yang terjadi di lahan pertanian. Erosi di lahan pertanian tidak mungkin dapat dihindari karena kondisi lahan yang selalu terganggu, tetapi kerusakan tersebut
13 dapat diminimalkan. Kerusakan lahan sedikit atau tidak terjadi jika erosi yang terjadi lebih kecil dari Etol. Produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus bila erosi lebih kecil dari Etol. Erosi yang lebih besar dari Etol akan menyebabkan produktivitas lahan menurun, sehingga produksi yang tinggi itu hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja (pertanian tidak lestari) (Sinukaban 2003). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian terhadap erosi pada lahan pertanian, misalnya penerapan SPK dengan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh petani. Salah satu faktor penghambat implementasi teknologi usahatani adalah terbatasnya adopsi petani terhadap paket teknologi yang diperkenalkan karena petani merasa tidak ikut merencanakan dan tidak mengerti sehingga tidak merasa memiliki kegiatan yang mereka lakukan (Subagyono et al. 2004). Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana 2006). Usahatani Karet dan Kelapa sawit Usahatani Karet Indonesia pernah menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Komoditi ini pernah diandalkan sebagai penopang perekonomian negara. Karet telah menjadi komoditi ekspor utama Indonesia dan telah menjadi mata pencaharian bagi berjuta-juta keluarga. Usahatani karet terdiri atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Karet rakyat meliputi 83% dari total luas kebun karet di Indonesia dengan volume produksi 68% dari total produksi karet di Indonesia. Perkebunan karet rakyat di Indonesia menyebar di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Utara, sedangkan perkebunan besar negara dan swasta sebagian besar terdapat di Sumatera Utara (Balitbang Pertanian 2005a). Provinsi Jambi merupakan penghasil karet terbesar ketiga setelah Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Perkebunan karet rakyat di Jambi pertama kali dibudidayakan pada tahun 1904. Karet rakyat tersebut ada yang dipelihara dengan baik dan ada yang tidak. Perkebunan yang tidak dirawat tampak seperti tanaman liar yang tumbuh diantara vegetasi lainnya dengan produktivitas tanaman yang rendah. Perkebunan karet rakyat di Jambi menyebar
14 ke seluruh wilayah (Lampiran 1) karena karet merupakan salah satu komoditi ekspor Provinsi Jambi (Joshi et al. 2006) Karet rakyat menyumbangkan produksi ”getah” di Jambi hingga 97% terhadap total produksi. Tahun 1992 dan 1998, laju perkembangan kebun karet di Jambi mencapai 5 520 ha/tahun, tetapi produktivitas karet rakyat masih tetap rendah, yaitu 500 – 650 kg KKK/ha/tahun; produktivitas ini hanya sepertiga hingga setengah kali produktivitas perkebunan karet klon yang mencapai 1 000 – 1 800 kg KKK/ha/tahun (Joshi et al. 2006). Volume ekspor karet di Jambi tahun 2004 mencapai 127 432 916 kg dan menghasilkan devisa sebesar 142 987 228 dollar AS (Harian Kompas 4 Agustus 2005). Jumlah atau besarnya devisa yang dihasilkan tersebut tidak berbanding lurus dengan perhatian pemerintah terhadap petani karet di Jambi. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya produksi karet di daerah ini. Berdasarkan data Disbun Provinsi Jambi (2004), tahun 2003 luas total kebun karet di Jambi adalah 563 502 ha dan 122 060 ha diantaranya merupakan tanaman karet tua dengan produksi hanya sekitar 250 kg lateks/ha/tahun. Fenomena penurunan produksi terjadi hampir di seluruh wilayah yang mengembangkan usahatani karet di Provinsi Jambi, termasuk kecamatan Pelepat yang tercakup dalam DAS Batang Pelepat (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan luas tanam dan produksi karet di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 - 2004 Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) 4 162 10 233 2000 4 560 9 690 2001 4 560 9 604 2002 1 011 5 261 2003 2 920 6 463 2004 Sumber : Disbun Provinsi Jambi (2004).
Penurunan produksi juga terkait dengan pengelolaan lahan dan tanaman yang kurang optimal. Usahatani karet rakyat hanya diusahakan secara tradisional, tanpa ada pemeliharaan yang baik seperti pemupukan ataupun penyiangan. Perkebunan karet lebih menyerupai hutan karet (“sesap karet”), yang dari aspek konservasi lebih menguntungkan karena kemungkinan terjadinya kerusakan lahan akibat erosi lebih kecil dan dapat menghasilkan kekayaan biodiversiti seperti hutan, tetapi tidak didukung oleh produksi yang optimal. Erosi yang relatif besar terjadi pada awal pembukaan lahan hingga tajuk
15 tanaman dapat menutupi permukaan tanah dengan baik karena tidak ada penerapan teknik KTA yang memadai. Produksi lateks yang optimal dari karet dapat dicapai bila ada pengelolaan ideal dan memenuhi persyaratan lingkungan yang diinginkan oleh karet. Karet dapat tumbuh baik pada ketinggian 1 – 600 m diatas permukaan laut (dpl), curah hujan yang cukup tinggi (2000 – 2 500 mm/tahun) dan merata sepanjang tahun serta sinar matahari dengan intensitas cukup 5 – 7 jam/hari. Karet dapat berproduksi maksimal pada tanah-tanah subur, tetapi tanaman karet mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap tanah yang kurang subur bila dilakukan pemupukan. Tanaman ini masih dapat tumbuh pada batas pH 4 – 8, namun paling cocok pada pH 5 – 6 (Tim Penulis Penebar Swadaya 2004). Kualitas lahan yang dibutuhkan untuk karet ini secara lengkap telah disusun oleh Djaenudin et al. (2003) seperti terlampir pada Lampiran 2. Karet
membutuhkan
perawatan,
baik
sebelum
maupun
setelah
menghasilkan. Perawatan tanaman sebelum menghasilkan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan, penanaman tanaman penutup tanah serta pengendalian hama dan penyakit. Tanaman yang sudah menghasilkan (diatas 5 tahun) perlu dilakukan penyiangan dan pemupukan. Pemupukan karet harus dilakukan dengan cara, waktu dan takaran yang tepat. Balitbang Pertanian (2005b) menganjurkan penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl pada tanaman karet di Kabupaten Bungo (DAS Batang Pelepat) dengan takaran masing-masing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun. BPP Sembawa (2003) juga mengeluarkan rekomendasi pemupukan untuk karet dengan takaran pupuk pupuk urea, SP-36 dan KCl yang bervariasi sesuai dengan umur tanaman (Tabel 2). Tabel 2
Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman
Umur Urea Tanaman (g/pohon/tahun) (tahun) 0 1 250 2 250 3 250 4 300 5 300 6 – 15 350 16 – 25 300 Sumber : BPP Sembawa (2003).
SP-36 (g/pohon/tahun)
KCl (g/pohon/tahun)
125 150 250 250 250 250 260 190
100 200 200 250 250 300 250
Frekuensi Pemupukan 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun
16 Karet yang sudah tidak produktif perlu diremajakan. Peremajaan kebun karet umumnya dilakukan dengan sistem tebas bakar, tetapi petani tidak menerapkan sistem ini karena mempunyai keterbatasan modal dan lahan serta mengurangi resiko kegagalan penanaman baru. Petani di Jambi umumnya mengadopsi teknik peremajaan dengan melakukan sisipan. Bibit karet ditanam diantara celah-celah pohon karet untuk mengganti pohon yang sudah tidak produktif. Cara ini mampu memperpanjang usia produktif kebun karet secara nyata (Wibawa dan Hendratno 2006). Karet dapat ditanam secara monokultur dan tumpangsari. Karet yang ditanam secara tumpangsari di Jambi sering dikenal dengan istilah “sesap karet” atau dikenal pula dengan “wanatani karet” atau “agroforestri karet”. Salah satu contoh pengusahaan karet dengan sistem wanatani adalah di Desa Bebeko (Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi). Kebun karet sudah berumur 40 tahun tetapi masih menghasilkan lateks sekitar 40 kg per minggu (dari 300 pohon karet). Pemanenan (penyadapan) karet dilakukan tidak serentak, karena umur tanaman berbeda-beda. Di dalam kebun karet ini juga ditemukan species kayu seperti Alseodaphne spp (kayu medang), Shorea spp. (kayu meranti), Styrax benzoin (kemenyan), garcinia parvifolia (asam kandis), bambu, parkia speciosa (petai), Pithecellobium ellipticum (kabau) dan Baccaurea spp. (rambe). Beberapa tahun yang lalu pemilik telah dapat menjual kayu meranti dan kayu medang dari kebun ini (Joshi et al. 2006). Karet juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pertanian lain seperti kopi, kakao dan pisang ataupun tanaman kehutanan. Teknik budidaya karet berkelanjutan perlu juga disertai dengan teknik KTA seperti tanaman legum penutup tanah (LCC) berupa campuran 4 kg Pueraria Javanica, 6 kg Colopogonium mucunoides dan 4 kg Centrosema pubescens. Penanaman karet pada lahan dengan kemiringan lereng lebih dari 15% dianjurkan untuk membuat teras. Lebar teras berkisar antara 1.25 – 1.50 m dan jarak antar teras dapat disesuaikan dengan jarak tanam (7 m untuk jarak tanam 3 m x 7 m atau 8 m untuk jarak tanam 2.5 m x 8 m) (BPP Sembawa 2003). Penggunaan LCC adalah teknik KTA paling umum diterapkan pada lahan perkebunan. Teras masih tergolong jarang digunakan, karena biaya yang diperlukan relatif mahal dan memerlukan pemeliharaan yang intensif. Teras yang umum digunakan dalam mengembangkan tanaman perkebunan adalah teras gulud dan teras kebun (Ditjen PLA Deptan 2007).
17 Usahatani Kelapa Sawit Kelapa sawit berasal dari Guinea Afrika dan mulai diusahakan di Indonesia tahun 1911. Kelapa sawit berkembang terus hingga mencapai 25 000 ha pada tahun 1925 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Aceh, Sumatera timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Barat (Sutaryanto 1999). Perkebunan kelapa sawit di Indonesia akhir-akhir ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Indonesia telah menjadi negara produsen dan eksportir CPO terbesar kedua setelah Malaysia. Berdasarkan data Ditjenbun hingga tahun 2004 total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 5.6 juta ha yang terdiri atas perkebunan rakyat (1 960 395 ha), perkebunan besar negara (672 331 ha) dan perkebunan besar swasta (2 969 044 ha) (Khoiri 2006). Berdasarkan catatan terakhir tahun 2003, volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 6.5 juta ton dengan volume produksi 9.9 juta ton (Ditjenbun 2004). Peluang
Indonesia
untuk
meningkatkan
produksi
lebih
besar
dibandingkan dengan Malaysia karena berkaitan dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan sumberdaya manusia sebagai sumber tenaga kerja dan biaya pembangunan dan perawatan per hektar yang lebih murah, tetapi persoalan klasik dan struktural masih harus dihadapi oleh perkebunan kelapa sawit Indonesia dan hingga saat ini belum teratasi secara tuntas. Persoalan tersebut diantaranya adalah ketersediaan input produksi (bibit yang berkualitas, pestisida dan pupuk), produktivitas yang rendah dan harga yang fluktuatif. Kualitas bibit yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi perkebunan kelapa sawit Indonesia sehingga berpengaruh terhadap produktivitas. Menurut Thahar dan Khoiri (2006), di Jambi saat ini diperkirakan terdapat 60 000 ha kelapa sawit yang berasal dari bibit palsu. Produksi kelapa sawit Jambi saat ini sekitar 1.4 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit/ha/tahun, tetapi produksi kelapa sawit dari bibit palsu hanya 700 kg TBS/ha/tahun. Akibatnya dengan standar harga TBS sebesar Rp653/kg berarti petani mengalami kerugian sebesar Rp164.5 milyar/tahun. Selain itu pengembangan kelapa sawit juga menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian besar aktivis lingkungan yang menganggap bahwa pembukaan lahan untuk kelapa sawit
18 secara besar-besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini terkait dengan terjadinya konversi lahan, terutama hutan. Penebangan hutan akan berpengaruh terhadap siklus hidrologi karena terjadi perubahan infiltrasi tanah, evapotranspirasi dari tanaman dan secara potensial juga akan mengurangi jumlah air yang masuk ke sungai. Selain itu setiap aktivitas yang dilakukan pada saat dan setelah konversi hutan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan dan pola aliran sungai (Connolly dan Pearson 2005). Pembukaan hutan untuk kelapa sawit juga sering menyebabkan kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran udara, erosi dan rusaknya biodiversiti. Vegetasi hutan berfungsi baik untuk meresapkan air sehingga dapat mengurangi aliran permukaan. Menurut Iswara (1999), diacu dalam Aswandi (2004), konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm sebelum tanaman tersebut dewasa. Sebagian besar aktivis lingkungan meminta disain ulang perkebunan kelapa sawit. Disain ini penting agar lahan yang belum terjamah budidaya kelapa sawit tidak dengan mudah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, baik kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun lahan pertanian rakyat yang sudah ada (Khoiri 2006). Disain ulang tersebut harus lebih menjamin keberlanjutan usahatani kelapa sawit, tanpa mementingkan aspek dan pihak tertentu. Perluasan perkebunan kelapa sawit terus terjadi, termasuk di Jambi yang menyebar hampir di seluruh kabupaten. Kabupaten Bungo, khususnya di DAS Batang Pelepat telah dijadikan salah satu kawasan prioritas pengembangan komoditi ini. Hal ini dapat dilihat dari luas lahan kelapa sawit yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir, baik yang diusahakan oleh masyarakat maupun perkebunan swasta (Tabel 3), tetapi tidak diikuti dengan produksi yang baik. Fenomena produksi yang kurang baik ini disebabkan oleh banyaknya jumlah tanaman yang rusak sehingga tidak berproduksi secara maksimal, terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Tabel 3
Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 - 2004 Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) 2000 6 896 2 143 2001 8 823 32 691 2002 15 384 59 072 2003 13 081 22 650 2004 14 255 30 014
Sumber : Disbun Provinsi Jambi (2004).
19 Produksi yang rendah juga terkait dengan teknik budidaya yang belum memadai. Kelapa sawit tumbuh baik di daerah tropis pada curah hujan >1500 mm/tahun, tidak memiliki defisit air dan merata sepanjang tahun, suhu 25oC – 32oC (Sutarta et al. 1999). Persyaratan tumbuh lain untuk kelapa sawit adalah elevasi (0 – 500 m dpl) dan penyinaran matahari 100% diperlukan minimal 5 jam/hari (optmum 7 jam/hari). Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan syarat drainase baik, solumn dalam (minimal 80 cm), agak masam (pH 4 – 6), topografi datar, landai sampai
bergelombang, termasuk tanah
gambut (Sutaryanto 1999). Persyaratan kualitas atau karakteristik lahan yang dibutuhkan oleh kelapa sawit terdiri atas sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Lampiran 3). Faktor tanah merupakan salah satu faktor utama yang harus dikelola secara tepat untuk memperoleh produksi kelapa sawit yang optimal dan berkelanjutan. Pertumbuhan kelapa sawit memerlukan cadangan unsur hara dan air yang tinggi (Winarna et al. 2000). Oleh karena itu dalam pengembangan kelapa sawit perlu disertai dengan teknik pemupukan dan KTA yang tepat. Pupuk yang direkomendasikan untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Bungo adalah NPK dan MgSO4 dengan takaran masing-masing 0.22 dan 0.10 kg/pohon/tahun (umur 0–2 tahun), sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 2 tahun harus diberikan NPK dan MgSO4 dengan takaran masingmasing
0.45
dan
0.40
kg/pohon/tahun
(Balitbang
Pertanian
2005b).
Pengembangan kelapa sawit juga dapat menggunakan pupuk tunggal seperti Urea, TSP, KCl dan Kisierit (MgSO4) dengan takaran yang disesuaikan dengan umur kelapa sawit. Pupuk urea dan KCl diberikan dengan frekuensi satu kali dalam setahun, sedangkan pupuk TSP diberikan dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Kisierit diberikan dua kali per tahun pada tanaman yang berumur 0 – 15 tahun dan satu kali per tahun pada tanaman berumur >15 tahun (Tabel 4). Tabel 4 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman Umur Urea TSP KCl MgSO4 Tanaman (kg/pohon/tahun) (kg/pohon/tahun) (kg/pohon/tahun) (kg/pohon/tahun) (tahun) 0 0.50 1 1.10 0.50 0.80 0.70 2 1.50 0.50 1.50 0.70 3 0.70 1.00 0.50 0.90 4 0.70 1.00 0.50 0.90 5 0.70 1.00 0.50 0.90 6 – 12 0.70 2.00 1.50 1.00 > 12 1.50 1.00 1.00 0.50 Sumber : PPKS (1999).
20 Teknik KTA juga diperlukan dalam pengembangan kelapa sawit untuk menurunkan kehilangan tanah, memperbaiki sifat-sifat tanah dan meningkatkan produksi kelapa sawit. Teknik KTA yang dapat diterapkan dalam pengembangan kelapa sawit sama dengan tanaman perkebunan lainnya seperti karet, yaitu penggunaan LCC dan dilengkapi dengan teras pada lahan yang mempunyai kemiringan lereng > 15%. Analisis Usahatani Analisis usahatani pada dasarnya adalah upaya untuk menilai manfaat (output) dan biaya (cost) yang tercakup dalam suatu proses usahatani. Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gitingger 1986). Analisis usahatani dimaksudkan untuk mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek (Soekartawi 2002). Kadariah (1990) menambahkan bahwa tujuan analisis usahatani adalah untuk (1) mengetahui tingkat keuntungan yang dicapai melalui investasi dalam suatu kegiatan usahatani, (2) menghindari pemborosan pemakaian sumberdaya yaitu dengan menghindari pelaksanaan kegiatan usahatani yang tidak menguntungkan, (3) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang dilakukan sehingga dapat diketahui usahatani tersebut menguntungkan atau tidak, dan (4) menentukan prioritas kegiatan usahatani. Analisis penerimaan,
usahatani
biaya
dan
dapat
dilakukan
pendapatan
dengan
usahatani.
mengetahui
Pendapatan
struktur usahatani
merupakan selisih dari total penerimaan dan total biaya. Analisis usahatani dibagi menjadi dua, yaitu analisis parsial (satu cabang usahatani) dan analisis keseluruhan usahatani (whole-farm analysis). Selain faktor pendapatan ataupun keuntungan tersebut, perlu dianalisis biaya dan manfaatnya. Hasil analisis dapat digunakan untuk menilai kelayakan keuntungan yang diperoleh dari usahatani. Kelayakan keuntungan usahatani dapat dinilai melalui analisis finansial dan analisis ekonomi dengan indikator B/C ratio, Net Present Value (NPV) dan Internal Rate Return (IRR). Rasio manfaat terhadap biaya (B/C ratio) merupakan ukuran manfaat dari usahatani. Menurut Kadariah (1990), analisis B/C ratio adalah salah satu indikator untuk menilai kelayakan suatu investasi yang ditanam baik secara ekonomi maupun finansial. Net Present Value (NPV)
merupakan penilaian kembali terhadap
pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi modal. Net Present Value (NPV)
21 dijadikan ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu proyek (Soekartawi et al. 1986). Usahatani karet dan kelapa sawit merupakan kegiatan usahatani yang mempunyai siklus waktu yang relatif lama, sehingga setiap nilai input ataupun output perlu dikonversi ke nilai waktu sekarang (present). Hal ini penting dilakukan, mengingat waktu dan suku bunga uang akan berpengaruh terhadap nilai output yang diperoleh dari usahatani karet dan kelapa sawit. Internal Rate of Return (IRR) juga sering digunakan sebagai indikator kelayakan investasi dari suatu usahatani disamping B/C ratio dan NPV. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek baru sampai pada tingkat modal kembali (Merrett dan Sykes 1967, diacu dalam Gitingger 1986). Internal Rate of Return (IRR) adalah suku bunga yang dapat mengakibatkan NPV sama dengan nol. Kelayakan finansial dan ekonomi mempunyai indikator yang sama, tetapi keduanya berbeda. Pendekatan analisis ekonomi diperlukan untuk verifikasi bahwa hasil usahatani memberi manfaat bersih kepada masyarakat secara keseluruhan, sedangkan analisis finansial dilakukan untuk melihat keuntungan individu atau perusahaan (private group), seperti perkebunan (Gregersen et al. 1989). Secara rinci tentang perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi dapat dikemukakan dalam Tabel 5. Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi ditinjau dari beberapa unsur Unsur Analisis Finansial Analisis Ekonomi Fokus Keuntungan perusahaan atau Keuntungan untuk masyarakat individu Tujuan Indikasi insentif terhadap Ditentukan jika investasi pelaksanaan pemerintah sesuai dengan efisiensi ekonomi Harga Menggunakan harga pasar Beberapa item menggunakan (market price) harga bayangan (shadow price) Pajak Biaya (cost) Benefit Subsidi Pendapatan Biaya Pinjaman bank Meningkatkan modal (input) Transfer payment Bunga Cost (biaya) Transfer payment Marginal cost terhadap Opportunity cost terhadap modal Discount rate keuangan Distribusi Dapat dihitung sebagai net Tidak dipertimbangkan dan dapat pendapatan return individu. Faktor produksi dilakukan analisis secara terpisah seperti lahan, tenaga kerja dan atau sebagai analisis efisiensi modal tidak termasuk dalam terbobot dengan berbagai tujuan. analisis finansial. Sumber : Hitzhusen (1982), diacu dalam Gregersen et al. (1989).
22 Erosi dan Faktor-Faktor Penyebabnya Erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dan ditemui hampir di seluruh kawasan dunia. Pengaruhnya bersifat langsung (on site) dan tidak langsung (off site). Pengaruh langsung adalah penurunan produktivitas lahan dan produksi tanaman, sedangkan pengaruh tak langsung dapat berupa siltasi reservoir, saluran dan sungai, penurunan pasokan air, penurunan kapasitas energi listrik, banjir, kerusakan jalan akibat landslide, dan lain-lain (Widianto et al. 2003; Barrow 1991). Kerugian yang ditimbulkan oleh erosi tanah cukup besar, karena mengikis dan mengangkut sebagian tanah, misalnya kehilangan tanah yang terjadi pada lahan pertanian di Amerika dan Montana yang masing-masing mencapai 1.3 juta ton/tahun dan 5.50 ton/ha/tahun serta padang rumput di Wyoming yang telah menyebabkan erosi mencapai 5.10 ton/ha/tahun (McCauley dan Jones 2005). Pengaruh erosi di Indonesia dapat dilihat dari semakin meningkatnya hamparan lahan kritis dan frekuensi dan besaran banjir. Banjir terjadi akibat sedimentasi di sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menurun dan air meluap di musim hujan. Peristiwa erosi juga menyebabkan sedimentasi di berbagai waduk seperti waduk Gajah Mungkur, bendungan Jati luhur, dan lainnya. Menurut Arsyad (2006), sedimentasi dapat mempengaruhi kapasitas waduk serta menurunkan life time waduk. Erosi dan sedimentasi merupakan dua hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Erosi adalah hilangnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Tanah atau bagianbagian tanah yang terangkut ini disebut sedimen. Erosi di daerah tropika basah termasuk Indonesia umumnya disebabkan oleh air (Arsyad 2006). Erosi yang diakibatkan oleh air sangat dipengaruhi oleh curah hujan (raindrop) dan run off. Proses erosi tanah oleh air terdiri atas empat subproses yang interaktif, yaitu :penghancuran oleh curah hujan, pengangkutan oleh curah hujan, penghancuran oleh run off (scour erosion) dan pengangkutan oleh run off (David 1988 dan Lu et al. 2005). Hujan jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain. Selanjutnya
partikel
tersebut
dapat
menyumbat
pori
tanah
sehingga
menyebabkan terjadinya surface crusting atau memadatkan tanah sehingga menurunkan tingkat infiltrasi tanah. Hujan yang melebihi kapasitas infiltrasi tanah menyebabkan
run
off yang
dapat
menghancurkan
partikel
tanah
dan
23 mengangkutnya dengan tenaga aliran run off, namun jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami deposisi atau sedimentasi (McClauley dan Jones 2005). Berdasarkan proses (tempat, sumber, magnitud dan bentuk), erosi dapat dibedakan menjadi erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), sedangkan berdasarkan agent atau medianya, erosi dapat dibedakan menjadi erosi air dan erosi angin. Erosi mengalami perubahan secara spasial dan temporal, namun proses yang terlibat dalam erosi adalah sama dan semua jenis erosi ini umumnya diikuti oleh sedimentasi. Erosi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi faktor alam dan faktor manusia. Faktor-faktor alami yang mempengaruhi erosi dapat dirinci sesuai dengan pengaruh yang disumbangkannya terhadap proses erosi dan sedimentasi (Tabel 6). Tabel 6 Pengaruh beberapa faktor-faktor terhadap proses dan tingkat erosi tanah Faktor Curah Hujan : intensitas, durasi, frekwensi, indeks erosi Lereng : - Kemiringan, panjang dan bentuk
-
Posisi Terhadap lereng
Tanah : - Kedalaman -
Tekstur
-
Struktur dan agregasi
-
Kandungan Bahan Organik
Vegetasi : Struktur, penutupan kanopi, penutupan dasar (ground) Sumber : Gunn et al. (1988).
Pengaruh terhadap Proses Erosi Menghancurkan agregat tanah dengan percikan butir air hujan dan mengangkut partikel oleh run off; surface sealing Erosi cenderung meningkat dengan meningkatnya panjang dan kemiringan lereng; bentuk lereng memperngaruhi tingkat kehilangan tanah, yaitu conveks>lurus>conkaf Mempengaruhi hubungan run off – run on (erosi dan deposisi) Mempengaruhi kapasitas penyimpanan air tersedia Tanah dengan kandungan debu atau pasir halus umumnya paling mudah tererosi; erodibilitas akan menurun dengan meningkatnya kandungan fraksi pasir dan liat Proporsi air- stabilitas dan ukuran agregat mempengaruhi erodibilitas Mempengaruhi inisiasi run off, infiltrasi, perkembangan struktur tanah, water repellency. Mempengaruhi intersepsi curah hujan, percikan butir air hujan, infiltrasi, evapotranspirasi dan run off.
24 Iklim Faktor iklim yang mempengaruhi erosi di daerah beriklim basah (seperti Indonesia) adalah hujan. Karakteristik hujan akan menghasilkan energi kinetik yang dapat mendispersi partikel tanah. Besarnya curah hujan, intensitas, ukuran butir dan distribusi menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi. Kecepatan aliran permukaan juga akan berpengaruh terhadap sedimentasi. Kapasitas hujan untuk menimbulkan erosi disebut erosivitas. Nilai erosivitas ini dapat dihitung dengan berbagai cara, misalnya dengan menentukan nilai EI30 atau KE>25 (energi kinetik curah hujan dengan intensitas lebih dari 25 mm). Berdasarkan penelitian Barus dan Suwardjo
(1977), diacu dalam
Hardjowigeno (2007), di Indonesia kedua indikator tersebut merupakan indeks erosi hujan yang mempunyai koefisien korelasi paling tinggi dengan erosi yang terjadi. Erosivitas merupakan fungsi dari jumlah total curah hujan dan intensitasnya. Curah hujan yang tinggi dapat melebihi kapasitas infiltrasi tanah sehingga air akan mengalir di permukaan tanah. Curah hujan yang tinggi pada lahan bera dapat menyebabkan terjadinya surface sealing sehingga mengurangi tingkat infiltrasi tanah. Curah hujan kemudian mengakibatkan aliran run off di permukaan tanah, potensial erosi meningkat jika run off mulai concentrated (United State Society of Agronomy 2005). Sifat-Sifat Tanah Jenis tanah yang berbeda menyebabkan perbedaan tingkat kepekaannya terhadap erosi. Kepekaan erosi tanah dikenal dengan istilah erodibilitas. Erodibilitas merupakan fungsi dari sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas meliputi tekstur, kelembaban, agregasi dan struktur, serta bahan organik. Debu dan pasir halus merupakan partikel yang paling mudah tererosi karena massanya lebih kecil dibanding partikel yang lebih besar serta kurang kohesif dibandingkan dengan partikel yang halus seperti liat (Morgan 1995). Oleh sebab itu tanah aluvial yang merupakan hasil sedimentasi sering merupakan lahan yang subur, karena partikel tanah yang tererosi dan terangkut merupakan tanah yang kaya akan bahan organik tanah dan unsur hara yang diperlukan tanaman. Kelembaban tanah dapat meningkatkan daya kohesif diantara partikel tanah sehingga sulit dihancurkan. Agregasi dapat mengurangi erosi melalui
25 ikatan potensial antarpartikel tanah sehingga ukuran partikel menjadi lebih besar dan resisten terhadap perusakan dan pengangkutan. Stabilitas agregat juga akan mempengaruhi erodibiltas dan berhubungan dengan senyawa kimia dan organik dalam tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 2% akan lebih tahan terhadap erosi karena stabilitas agregatnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang kandungan bahan organiknya lebih kecil (McClauley dan Jones 2005). Nilai kepekaan erosi tanah di Indonesia juga bervariasi sesuai dengan bahan induknya, misalnya Latosol Darmaga (haplorthox) dengan bahan induk tuf vulkan mempunyai nilai erodibilitas sebesar 0.03, Podsolik Merah Kuning Lampung (tropudult) dengan bahan induk dasitik mempunyai nilai erodibilitas sebesar 0.32 dan Podsolik Jonggol (tropudult) dengan bahan induk batu liat mempunyai nilai erodibilitas sebesar 0.16 (Kurnia dan Suwardjo 1984, diacu dalam Hardjowigeno 2007). Topografi (Panjang dan Kemiringan Lereng) Pengaruh run off terhadap erosi sangat bergantung pada jumlah dan kecepatan aliran, yang pada gilirannya juga bergantung pada kemiringan lahan. Kecepatan aliran yang tinggi akan membawa sedimen lebih banyak daripada aliran yang lambat. Kehilangan material akan lebih besar terjadi pada lereng yang curam dibandingkan dengan gradual slope. Kedua faktor lereng ini akan sangat berpengaruh pada jumlah sedimen dan proses sedimentasi (United State Society of Agronomy 2005). Lereng yang pendek akan menyebabkan sedimen lebih cepat mencapai sungai. Lereng yang lebih panjang akan menyebabkan terjadinya sedimentasi di sepanjang lereng tersebut jika energi dari aliran run off berkurang atau berhenti, sehingga tidak cepat masuk ke sungai atau laut (Linsley 1982). Tanaman Vegetasi dapat meredam kecepatan angin sehingga dapat berfungsi untuk mengurangi energi angin untuk menimbulkan erosi. Penutupan vegetasi juga dapat mengurangi penghancuran tanah melalui intersepsi butir hujan, mengurangi energi butir hujan tersebut dan mengurangi energi run off dalam proses erosi oleh air. Vegetasi permukaan dan residunya akan bertindak sebagai penghalang atau dam untuk memperlambat aliran air dan memulai deposisi. Selain itu
26 vegetasi juga membantu meresapkan air ke dalam tanah melalui sistem perakarannya yang membentuk porositas tanah (Arsyad 2006). Pengaruh vegetasi terhadap erosi berbeda menurut jenisnya. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah dapat menghambat aliran permukaan, sedangkan pohon-pohon dengan tegakan yang jarang mempunyai pengaruh yang relatif kecil dalam mengurangi kecepatan aliran permukaan. Semakin rendah dan rapat tajuk tanaman, semakin kecil energi hujan yang sampai ke permukaan tanah. Vegetasi tinggi (tajuknya berada jauh di atas permukaan tanah) menyebabkan energi yang sampai ke permukaan juga akan meningkat kembali karena bila butir-butir hujan terlepas dari tajuk. Oleh karena itu pada tanaman pohon yang tinggi, peran tanaman rendah juga sangat diperlukan untuk melindungi permukaan tanah. Manusia Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya merupakan faktor yang bersifat alami, namun sebenarnya erosi semakin parah dengan adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah untuk berbagai kegunaan. Tata guna lahan juga merupakan faktor penting dalam menetapkan laju erosi. Cara bercocok tanam yang jelek atau pembuatan jalan yang ceroboh dapat mempercepat terjadinya erosi. Pemusnahan tanaman akibat kebakaran atau ditebang akan menyebabkan erosi semakin besar. Pengaturan KTA yang baik dapat memperkecil kehilangan tanah akibat erosi (Linsley 1982). Pengendalian secara vegetatif dan konstruksi seperti waterways, strip penyangga, strip cropping dan dam dapat dilakukan untuk mengurangi erosi tanah (United State Society of Agronomy 2005). Penyebab erosi seringkali merupakan faktor yang kompleks. Kultur, institusional, sosial, ekonomi dan lingkungan memberikan kontribusi terhadap erosi tanah, bahkan belakangan ini justru ada kecenderungan bahwa terjadinya kerusakan lahan merupakan akibat dari kepentingan politik, institusional dan ekonomi. Semua kepentingan-kepentingan tersebut merupakan tindakantindakan manusia dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya melalui pemanfaatan sumberdaya lahan (Barrow 1991). Banyak faktor yang menentukan bagaimana manusia memperlakukan tanah secara bijaksana sehingga kelestariannya tetap terjaga disamping terpenuhi kebutuhannya, diantaranya mengatur luas lahan pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status penguasaan tanah, tingkat
27 pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil usahatani, perpajakan, ikatan hutang, pasar dan sumber keperluan usahatani, infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan (Arsyad 2006). Besarnya erosi dapat diukur langsung di lapangan atau diprediksi dengan menggunakan model. Pengukuran langsung membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih banyak. Oleh karena itu tingkat erosi sering diprediksi dengan berbagai pendekatan atau model. Model prediksi erosi yang umum digunakan adalah model parametrik seperti yang dikembangkan oleh Weischmeier dan Smith (1965, 1978) yang dikenal dengan The Universal Soil Loss Equation (USLE). The Universal Soil Loss Equation (USLE) memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (teknik KTA) yang mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan. Persamaan tersebut mengelompokan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalam enam variabel utama yang nilainya pada setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik (Gambar 3). Besarnya Erosi yang akan terjadi adalah fungsi : Kemungkinan Erosi Tanah
Hujan Energi
Sifat Tanah
Kekuatan Perusak Hujan
A
R
Pengelolaan
Pengelolaan Lahan
K
LS
P
Pengelolaan Tanaman
C
Gambar 3 Skema parameter USLE berdasarkan pengelompokan variabel faktor fisik dan pengelolaannya (Arsyad 2006).
The Universal Soil Loss Equation (USLE) dikembangkan di National Run Off and Soil Loss Data Centre yang didirikan tahun 1954 oleh The science and education administration Amerika Serikat yang bekerjasama dengan Universitas Purdue (Weischmeier dan Smith 1978). Persamaan model USLE adalah :
28 A = R K L S C P.....................................................(1) Keterangan : A : banyaknya tanah yang tererosi (ton/hektar/tahun) R : faktor indeks (erosivitas) hujan. K : faktor erodibilitas tanah L : faktor panjang lereng S : faktor kecuraman lereng C : faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P : faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah The Universal Soil Loss Equation (USLE) sebagai model prediksi erosi mempunyai keterbatasan (kelemahan) dan keunggulan. Kelemahan model USLE adalah sulit digunakan pada kejadian hujan tertentu, pada DAS yang kompleks dan tidak memperhitungkan proses (bersifat empirik). Penggunaan USLE didasarkan pada beberapa asumsi seperti hanya dapat digunakan pada lereng yang panjangnya ≤ 400 feet, kemiringan lereng 3% - 18%, lahan dengan sistem penanaman dan pengelolaan yang konsisten, pada DAS yang tidak terlalu luas (DAS kecil), dan efektif pada unit lahan yang tanahnya bertekstur sedang (tidak untuk tanah yang bertekstur berpasir). The Universal Soil Loss Equation (USLE) mempunyai keunggulan karena mudah diaplikasikan, dapat diterapkan dimana saja (universal) dengan penetapan nilai setiap faktor secara tepat dan dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan yang berbedabeda (Goldman et al. 1986). Selain untuk memprediksi erosi, model USLE dapat pula digunakan untuk memilih teknik KTA untuk pengelolaan tanaman dan lahan pertanian (Hudson 1992). Dampak Penggunaan Lahan terhadap Erosi Tipe dan cara penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap erosi yang terjadi. Secara umum telah diketahui bahwa pada penggunaan lahan hutan erosi yang terjadi relatif kecil. Menurut Calder (1998), hutan dapat mengurangi erosi, tetapi sangat bergantung pada situasi dan kondisi seperti intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta metode pengelolaan yang dipilih. Menurut Sutono et al. (2001), hanya hutan dan sawah yang mempunyai magnitud erosi yang masih dalam batas yang dapat ditoleransikan dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Kehilangan tanah yang tinggi terjadi pada lahan yang ditanami tanaman campuran (kombinasi tanaman pohon dan
29 tanaman semusim di lahan kering) dan penggunaan lahan untuk tanaman semusim di lahan kering. Tanaman semusim menyebabkan erosi paling besar dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah (ton/ha/tahun) di beberapa daerah tangkapan DAS Citarum, Tahun 2000 Daerah Tangkapan Penggunaan Lahan Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hilir 1. Hutan 0.13 0.24 0.14 0.24 2. Tanaman Campuran 8.40 15.40 36.86 30.68 (multistrata) 3. Perkebunan Karet 8.85 11.39 40.75 4. Pemukiman 0.03 0.02 0.15 0.02 5. Sawah 0.33 0.40 1.45 1.13 6. Belukar 1.12 1.61 0.47 0.95 7. Tanaman semusim di 22.02 61.31 40.05 35.66 lahan kering 8. Perkebunan Teh 23.11 26.94 9.65 33.48 Sumber : Sutono et al. (2001).
Berdasarkan hasil penelitian di Australia pada beberapa kategori penggunaan lahan juga menunjukkan bahwa secara umum erosi pada lahan pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hutan. Tutupan vegetasi yang pendek menyebabkan erosi yang lebih kecil dibandingkan dengan vegetasi yang tinggi (Tabel 8). Tingkat erosi juga bervariasi karena perbedaan kondisi oleh iklim, tanah dan topografi (Lu et al. 2005). Tabel 8 Pengaruh beberapa kategori penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah di Australia, Tahun 2004 Tingkat erosi Total Erosi Deskripsi Penggunaan Luas Lahan rata-rata 2 (ton/tahun) Lahan (Km ) (ton/ha/tahun) 1.10 2 772 706 25 116 1. Hutan terbuka 0.35 9 896 968 285 796 2. Hutan 5.06 1 102 649 750 2 179 326 3. Woodland 0.37 5 864 068 157 460 4. Hutan produksi komersial 10.30 188 824 306 183 303 5. Taman Nasional 2.16 39 517 812 182 936 6. Tanaman serat 0.35 795 556 22 568 7. Kacang-kacangan 3.83 2 390 087 6 242 8. Oilseeds 0.73 115 250 1 573 9. Padi 6.87 2 784 581 4 053 10. Kapas 39.87 18 694 681 4 736 11. Tebu 11.24 2 402 811 2 138 12. Penggunaan Pertanian lainnya 2.31 46 307 300 200 295 13. Padang rumput 7.96 3 388 486 244 4 257 824 14. Padang rumput alami Sumber : Lu et al. (2005).
Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi. Semua faktor tersebut mempengaruhi potensi lahan
30 disamping akibat kegiatan manusia baik pada masa lalu maupun sekarang (Hardjowigeno et al. 2001). Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian (Arsyad 2006). Penggunaan lahan di daerah tropika basah seperti Indonesia secara terus menerus menyebabkan penurunan produktivitasnya secara drastis. Oleh sebab itu manajemen sumberdaya lahan pada dasarnya merupakan penerapan cara pemeliharaan lahan melalui upaya peningkatan kualitas tanah dan perbaikan karakteristik lingkungan sehingga dicapai produktivitas lahan yang tinggi secara berkelanjutan (Lal 1995). Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi (Sabiham 2005). Lahan
mempunyai
keterbatasan
daya
dukung
sehingga
perlu
perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan juga harus diterapkan pada lahan pertanian yang seringkali dibatasi oleh tingkat kesuburan yang rendah. Oleh karena itu penerapan SPK dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan pun memerlukan perencanaan yang harus diawali dengan evaluasi lahan. Evaluasi lahan berguna untuk mengetahui potensi/kemampuan lahan bagi penggunaan lahan tertentu, misalnya bagi tanaman (pertanian), pariwisata, pemukiman dll. Produktivitas lahan akan berkelanjutan bila lahan digunakan sesuai dengan potensinya yang telah diketahui secara dini. Evaluasi Lahan merupakan suatu proses penilaian suatu lahan sehingga sesuai dengan kondisinya pada penggunaan-penggunan tertentu. Evaluasi lahan terdiri atas evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif, tetapi evaluasi kualitatif adalah langkah pertama dalam evaluasi lahan dengan melakukan klasifikasi lahan. Berdasarkan tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan dan kesesuaian lahan. Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk penggunaan pertanian secara umum yaitu lahan pertanian, padang penggembalaan (ternak), hutan dan cagar alam, sedangkan klasifikasi
31 kesesuaian lahan digunakan untuk penggunaan pertanian yang lebih khusus untuk jenis tanaman tertentu (crop specific) berikut tindakan pengelolaannya seperti teknik pemupukan dan KTA yang efektif diterapkan dan lainnya. Klasifikasi Kemampuan Lahan Evaluasi kemampuan lahan merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan potensinya. Evaluasi kemampuan lahan dapat mendukung proses dalam penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah secara cepat dan tepat sebagai pijakan dalam mengatasi benturan pemanfaatan lahan (Suratman et al. 1993). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem USDA yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1961), diacu dalam Arsyad (2006) dan Hardjowigeno (2007). Sistem ini mengenal tiga kategori yaitu klas, subklas dan unit. Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas Kemampuan lahan dalam tingkat kelas menunjukkan keragaman besarnya faktor-faktor penghambat yang terdiri atas kelas I sampai VIII. Tingkat risiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin bertambah dengan semakin tingginya kelas. Tingkat faktor penghambat ditentukan berdasarkan kriteria tertentu (Lampiran 6). Tanah kelas I – IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan kelas V – VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya (Gambar 4). Kelas I. Tanah yang tergolong kelas I sesuai untuk semua jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Tanah tergolong datar, dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan sehingga dapat digarap untuk usahatani tanaman semusim. Pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan tanah
yang
baik
dapat
menjaga
kesuburannya
dan
mempertinggi
produktivitasnya. Kelas II. Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Lahannya berlereng landai, agak peka terhadap erosi, bertekstur halus sampai agak kasar. Penerapan untuk usaha pertanian semusim memerlukan pemupukan seperti pada kelas I dan disertai tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan LCC (pupuk hijau), dan guludan.
32 KELAS
INTENSIF
PERTANIAN SANGAT
PERTANIAN INTENSIF
PERTANIAN SEDANG
TERBATAS
PERTANIAN
INTENSIF
PENGGEMBALAAN
SEDANG
PENGGEMBALAAN
TTERBATAS
PENGGEMBALAAN
TERBATAS
HUTAN PRODUKSI
LINDUNG
I
DAN PILIHAN PENGGUNAAN BERKURANG
HAMBATAN/ANCAMAN MENINGKAT, KESESUAIAN
LAHAN
CAGAR ALAM/HUTAN
INTENSITAS DAN MACAM PENGGUNAAN MENINGKAT
KEMAMPUAN
II III IV V VI VII VIII
Gambar 4 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1961, diacu dalam Arsyad 2006 dan Hardjowigeno 2007).
Kelas III. Tanah golongan kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring. Usaha pertanian pada tanah kelas III memerlukan tindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah dan
tindakan
pengawetan
tanah
khusus
perlu
diterapkan
diantaranya
penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan LCC dimana waktu untuk tanaman tersebut lebih lama. Kelas IV. Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas III, sehingga memerlukan tindakan pengawetan tanah khusus yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring (15 – 30%) atau berdrainase buruk atau kedalamannya dangkal. Penggunaannya untuk tanaman semusim
33 memerlukan penerapan teras atau perbaikan drainase atau pergiliran dengan LCC/makanan ternak/pupuk hijau selama 3 – 5 tahun. Kelas V. Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan. Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya atau terdapat liat masam (cat clay) di dekat atau pada daerah perakarannya. Kelas VI. Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, disebabkan terletak pada lereng yang agak curam (30 – 45%) sehingga mudah tererosi, atau kedalamannya yang sangat dangkal atau telah mengalami erosi berat. Tanah ini lebih sesuai untuk padang rumput atau dihutankan. Penggarapannya untuk usahatani tanaman semusim memerlukan aplikasi teras tangga (bangku) dan penggunaannya untuk padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup dengan baik. Kelas VII. Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami vegetasi permanen. Penggunaannya untuk padang rumput atau penggembalaan atau penebangan harus dilakukan dengan hati-hati. Tanah kelas VII terletak pada lereng yang curam (45 – 65%) dan tanahnya dangkal atau telah mengalami erosi yang sangat berat. Kelas VIII. Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, dan harus dibiarkan pada keadaan alami atau di bawah vegetasi alam. Tanah ini dapat dipergunakan untuk cagar alam daerah rekreasi atau hutan lindung. Tanah kelas VIII adalah tanah-tanah yang berlereng sangat curam (lebih dari 65%) atau lebih dari 90% permukaan tanah ditutupi batuan lepas atau batuan singkapan dan tanah bertekstur kasar. Kemampuan Lahan pada Tingkat Subkelas Subkelas
dalam
kemampuan
lahan
adalah
pengelompokan
unit
kemampuan lahan yang mempunyai jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan yang sama jika digunakan untuk pertanian. Jenis-jenis hambatan atau ancaman kerusakan ditulis di belakang angka kelas. Jenis hambatan atau ancaman kerusakan pada tingkat subkelas terdiri atas ancaman erosi (e) yaitu tingkat erosi yang telah terjadi dan ditentukan berdasarkan kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah, keadaan drainase (d)
34 yang ditentukan berdasarkan kelebihan air atau ancaman banjir, hambatan daerah perakaran (s) ditentukan berdasarkan kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan perakaran, adanya batuan di permukaan tanah, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan Natrium atau senyawa kimia lain yang menghambat pertumbuhan tanaman yang tidak praktis dihilangkan dan hambatan iklim (c). Kemampuan Lahan pada Tingkat Unit (Satuan Pengelolaan) Kemampuan
lahan
pada
tingkat
unit
atau
satuan
pengelolaan
menunjukkan keterangan yang lebih spesifik dan detil atau besarnya faktor penghambat pada tingkat subkelas (Lampiran 8). Simbol tingkat unit kemampuan lahan ditulis dengan menambah angka arab di belakang simbol subkelas. Tanah yang tergolong dalam satu unit kemampuan lahan mempunyai kemampuan dan memerlukan cara pengelolaan (pemupukan dan lain-lain) yang sama untuk pertumbuhan tanaman. Lahan ini mempunyai sifat-sifat yang sama dalam hal (a) kemampuan mendukung produksi tanaman pertanian dan rumput ternak, (b) memerlukan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama, (c) tanaman yang ditanam di lahan tersebut dengan pengelolaan yang sama akan memberi hasil yang kurang lebih sama (produksi rata-rata tidak akan berbeda lebih dari 25%). Kesesuaian Lahan Penentuan kelas kesesuaian lahan adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam menyusun perencanaan SPK. Pertimbangan kesesuaian lahan sangat berkaitan dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh tanaman pertanian sehingga dapat tumbuh baik dan berproduksi secara optimal. Selain itu juga diperlukan untuk menentukan tindakan pengelolaan yang tepat, baik kebutuhan input maupun pola dan sistem tanam. Setiap jenis tanaman akan membutuhkan persyaratan tumbuh yang berbeda (Sinukaban 1989 dan Abdurachman et al. 1998). Penilaian
kelas
kesesuaian
lahan
dilakukan
dengan
cara
membandingkan kriteria setiap kelas kesesuaian lahan untuk suatu jenis tanaman dengan karakteristik (kualitas) lahan. Kerangka sistem klasifikasi kesesuaian laan terdiri atas 4 (empat) kategori, yaitu ordo, kelas, subkelas dan unit (FAO 1976, diacu dalam Djaenudin et al. 2003 dan Hardjowigeno 2006).
35 Tingkat ordo menggambarkan keadaan kesesuaian lahan secara global. Ordo kesesuaian lahan digolongkan menjadi sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Tingkat kelas kesesuaian lahan menggambarkan tingkat kesesuaian pada tingkat ordo dan dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Klasifikasi tingkat ordo dilanjutkan dengan tingkat subkelas yang menggambarkan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Jumlah faktor pembatas sebaiknya dibatasi, maksmimal dua pembatas. Tingkat subkelas kesesuaian lahan dapat pula digambarkan oleh tingkat unitnya yang ditentukan berdasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh terhadap pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkatan subkelas. Unit yang satu berbeda dengan unit yang lainnya dalam sifat-sifat tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan perbedaan detil dari faktor pembatasnya. Penentuan pembatas hingga tingkat unit akan mempermudah tafsiran secara detil dalam perencanaan usahatani (Djaenudin et al. 2003). Program Tujuan Ganda Program tujuan ganda (PTG) atau multiple goal programming (MGP) merupakan pengembangan dari linear programming yang diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal tahun 60-an. Perbedaan utama antara PTG dengan linear programming (LP) terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Prinsip tersebut menunjukkan bahwa PTG dianggap sebagai salah satu teknik penyelesaian masalah (penarikan keputusan) dengan sistem multikriteria. Semua
asumsi
dalam
LP
berlaku
pula
dalam
PTG,
yaitu
linearitas,
proporsionalitas, aditivitas, divisibilitas dan deterministik (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991). Multiple goal programming (MGP) adalah salah satu teknik pemrograman matematik yang ditujukan untuk memuaskan berbagai tujuan secara simultan. Semua tujuan digabung dalam sebuah fungsi tujuan dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal contraint) dan memasukkan suatu variabel simpangan dalam kendala tersebut untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan tercapai dan menggabung variabel simpangan (deviasi) dalam fungsi tujuan. Tujuan dalam analisis LP adalah maksimisasi atau minimisasi,
36 sedangkan dalam MGP tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan (deviasi) dari tujuan tertentu (Mulyono 1991 dan Hillier dan Lieberman 1980, diacu dalam Briassoulis 2004). Menurut Nasendi dan Anwar (1985), model PTG terdiri atas model tanpa prioritas tujuan dan model dengan prioritas tujuan. Perumusan model PTG tanpa prioritas dalam strukturnya adalah : Fungsi tujuan : z =
m
∑W
+
i =1
d i+ + W − d i− ................................................................ (2)
n
dengan syarat ikatan :
∑a i =1
ij
X j + d i+ − d i− = bi .................................................. (3)
untuk i = 1, 2,...,n (kendala tujuan)
∑g
kj
X j ≤ atau ≥ C k .................................................... (4)
Untuk k = 1, 2,...,p (kendala fungsional) dan j = 1, 2,...,n
Xj, d i+ , d i− ≥ 0 .................................................................. (5)
dan
d i− .d i+ = 0 ........................................................................ (6) Keterangan : Xj
=
peubah keputusan (jenis penggunaan lahan) ke-j
aij
=
koefisien teknologi Xj pada kendala sasaran ke-i
gkj
=
koefisien teknologi Xj pada kendala real ke-k
bi
=
sasaran/tujuan target ke-i
Ck
=
jumlah sumberdaya k yang tersedia
d i+ , d i− = deviasi yang kekurangan (-) dan kelebihan (+) terhadap tujuan ke-i W+
=
timbangan relatif dari d+
W−
=
timbangan relatif dari d-
Selain itu model PTG dengan prioritas tujuan dapat pula dirumuskan dengan menambahkan faktor prioritas tujuan (Ps dan Py) dalam struktur model (persamaan) fungsi tujuan seperti dapat ditulis sebagai berikut : q
z = ∑ PsWi ,s d i+ + PiWi , y d i− ........................................... (7) +
−
i =1
Program tujuan ganda (PTG) telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tentang optimalisasi penggunaan lahan, diantaranya Manik (1992)
37 mengaplikasikan PTG dalam optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan daya dukung lingkungan di DAS Way Seputih, Lampung Tengah. Model yang disusun menggunakan luas lahan di hulu DAS Way Seputih sebagai fungsi kendala riil, sedangkan kendala tujuan terdiri atas tingkat erosi, aliran permukaan tiap bulan, ketersediaan tenaga kerja petani, serta pendapatan minimal per kapita petani. Output penelitian ini adalah alokasi luas lahan untuk setiap jenis penggunaan dalam DAS yang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Program tujuan ganda (PTG) digunakan juga oleh Rachman (2000) untuk membuat model penggunaan lahan untuk pengembangan konservasi alam terpadu di Pulau Siberut Sumatera Barat dengan mempertimbangkan aspek biofisik dan sosial ekonomi sebagai faktor atau variabel kendala. Rauf (2004) juga telah menggunakan PTG ini dalam mengkaji sistem agroforestri yang optimal di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Faktor kendala riil yang digunakan adalah luas lahan yang dimiliki petani, dengan tujuan untuk mengurangi laju erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani, memanfaatkan modal serta tenaga kerja yang dimiliki petani. Hasil analisis PTG menunjukkan alokasi luas lahan optimal untuk setiap jenis tanaman yang dijadikan komponen dalam setiap sistem agroforestri yang dikaji.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai dari bulan Agustus 2006 hingga Januari 2007. Lokasi penelitian adalah kawasan hulu DAS Batanghari, tepatnya DAS Batang Pelepat (Lampiran 7). Daerah alliran sungai (DAS) ini terletak di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan berbagai pertimbangan, diantaranya DAS Batang Pelepat merupakan kawasan hulu DAS Batanghari yang sebagian wilayahnya termasuk kawasan penyangga TNKS dan sebagian hutannya telah mengalami konversi menjadi lahan UTKKS, tetapi belum dikelola secara berkelanjutan dan optimal, terutama usahatani rakyat. Bahan dan Alat Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian adalah seperangkat peralatan untuk survei tanah, seperti bor tanah, pisau profil, kompas atau GPS (Geography Position System), abney level, dan lain-lain. Peralatan lain yang diperlukan adalah seperangkat peralatan untuk pengamatan erosi di lapangan, yaitu petak dan bak erosi. Penelitian juga memerlukan bahan berupa bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis sampel tanah di laboratorium. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei dan percobaan lapangan dengan pendekatan model program tujuan ganda (PTG). Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan perencanaan UTKKS berkelanjutan (Gambar 5). Persiapan Penelitian diawali dengan penetapan lokasi pengamatan intensif, yaitu pada sub DAS Batang Pelepat. Berdasarkan peta lereng, peta tanah dan peta penggunaan lahan sub DAS Batang Pelepat diperoleh satuan lahan (SL) yang menjadi obyek pengamatan dan dasar menyusun perencanaan. Satuan lahan (SL) juga digunakan sebagai pedoman untuk menentukan letak petak erosi yang mewakili setiap tipe UTKKS pada beberapa kemiringan lereng. Sub DAS Batang Pelepat juga digunakan sebagai unit perencanaan UTKKS berkelanjutan. Perencanaan yang disusun pada sub DAS Batang Pelepat tersebut diektrapolasi untuk seluruh DAS Batang Pelepat. 38
39
Mulai
Persiapan : Studi Pustaka, Pengumpulan peta dan data sekunder, Penetapan sampel (Satuan Lahan Pengamatan, tanah dan responden), Persiapan Kuisioner, dan Groundcheck peta
Pengumpulan Data di Lapangan
Tujuan 1 dan 2
Survei, Pengukuran dan Pengamatan Kondisi Aktual
Data Sosial Ekonomi : Penduduk, pendapatan, jenis usahatani, luas dan status penggunaan lahan, modal, penggunaan input dan sarana produksi dan agroteknologi yang digunakan.
Data Biofisik : Iklim, hidrologi, karakteristik lahan dan tipe penggunaan lahan, tipe UTKKS
‐ Analisis Karakteristik Petani ‐ Analisis Usahatani ‐ Analaisis Kelayakan Usahatani
- Analisis Kemampuan dan Kesesuaian Lahan - Analisis Tipe UTKKS - Analisis Pengaruh Tipe UTKKS terhadap sifat tanah, aliran permukaan dan erosi - Prediksi Erosi dengan USLE
Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS yang sudah diterima dan diterapkan petani
Analisis Agroteknologi UTKKS (Erosi ≤ Etol; P ≥ PKHL
Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan
Analisis Optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan PTG
Usahatani Berkelanjutan dan Optimal
Selesai
Gambar 5 Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data.
Tujuan 3
40 Persiapan
penelitian
juga
meliputi
penyiapan
kuisioner
untuk
pengumpulan data dari responden. Responden terdiri atas responden pejabat terkait dan petani. Responden pejabat terkait yang ditunjuk secara sengaja (purposive) berjumlah 2 orang, yaitu kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bungo dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) di kecamatan Pelepat, sedangkan responden petani ditetapkan dengan cara proportional stratified random sampling. Petani ini dikelompokkan berdasarkan tipe usahatani yang terdapat di DAS Batang Pelepat dengan jumlah sampel sebanyak 10% dari jumlah populasi (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah sampel responden petani yang ditetapkan berdasarkan tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS Jumlah Populasi Petani Jumlah Sampel Petani Karet : Sesap Karet I 630 63 Sesap Karet II 526 52 Monokultur Karet I 200 20 Monokultur Karet II 460 46 Karet-Gaharu 20 2 Jumlah 1 836 183 Kelapa Sawit : Monokultur Kelapa Sawit 174 17 Kelapa Sawit-Pisang 4 1 Jumlah 178 18 Total 2 014 201
Pengumpulan Data Jenis, Sumber dan Kegunaan Data Data yang dihimpun dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik dan sosial ekonomi (Tabel 10). Data sekunder berupa peta-peta digunakan untuk melengkapi surface radar topography model (SRTM) dalam membuat (delineasi) batas DAS Batang Pelepat dan memperoleh satuan lahan. Data biofisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data hidrologi (tinggi muka air dan debit), data vegetasi (penggunaan lahan) dan tipe UTKKS, data tanah (fisik dan kimia) dan iklim (curah hujan dan suhu) yang dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik biofisik DAS Batang Pelepat. Data tanah dan iklim digunakan untuk evaluasi lahan, analisis erosi, erodibilitas dan pemilihan teknik KTA (Tabel 10). Data iklim (curah hujan yang meliputi curah hujan bulanan, jumlah hari hujan per bulan dan rata-rata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan) diperlukan untuk menentukan indeks erosivitas hujan dalam prediksi erosi dengan model USLE.
Tabel 10 Jenis, sumber, teknik pengumpulan dan kegunaan data penelitian Jenis Data Data Primer : 1. Aliran permukaan dan jumlah tanah yang tererosi pada setiap tipe UTKKS 2. Sifat tanah (berat volume, total ruang pori, stabilitas agregat, permeabilitas, kapasitas infiltrasi dan Corganik) 3. Luas penggunaan lahan 4. jumlah dan jenis tanaman pertanian yang diusahakan 5. jumlah anggota keluarga 6. produksi tanaman 7. pendapatan petani 8. modal yang diperlukan dan yang dimiliki petani 9. tenaga kerja yang digunakan 10. input atau sarana produksi yang digunakan 11. Sistem usahatani (agroteknologi) yang diterapkan Data Sekunder : 1. Surface radar topograph model (SRTM) 2. Peta rupa bumi skala 1 : 50.000 lembar 0814-31, 081432, 0914-11 0914-13 dan 0914-42 3. Peta SPT Kabupaten Bungo skala 1 : 100.000 4. Peta penggunaan lahan yang dapat diinterpretasi dari citra landsat ETM 7 path 126/061 tahun 2002 5. Curah hujan dan suhu udara di DAS Batang Pelepat 6. Tinggi muka air dan debit 7. Sifat-sifat tanah(berat volume, total ruang pori, struktur, tekstur, stabilitas agregat, warna tanah, kedalaman tanah, drainase dan permeabilitas, lereng dan bahaya erosi, bahaya banjir (genangan), batuan dipermukaan, C-organik, pH, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia) 8. Data Kependudukan 9. Data pendukung lainnya dan hasil penelitian sebelumnya
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Pengukuran pada petak erosi Analisis sampel tanah petak erosi di laboratorium Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel Wawancara Petani Sampel & pengamatan pada SL
Kegunaan Analisis pengaruh tipe UTKKS terhadap aliran permukaan dan erosi Analisis pengaruh tipe UTKKS terhadap sifatsifat tanah Analisis karakteristik petani Analisis karakteristik petani Analisis karakteristik petani, KFM &PKHL Analisis karakteristik UTKKS Analisis karakteristik petani Analisis karakteristik petani & analisis usahatani Analisis usahatani Analisis usahatani Identifikasi dan analisis karakteristik tipe UTKKS
Bakosurtanal Bakosurtanal Balitbang Pertanian (2005c) Balitbang Pertanian (2005c) Balitbang Pertanian (2005c) Stasiun Pasir Putih, Kabupaten Bungo Depkimpraswil Satuan lahan (Balitbang Pertanian 2005c)
Kantor Kecamatan dan BPS Kab. Bungo Studi Pustaka
SRTM dan peta-peta digunakan untuk delineasi batas DAS dan untuk menentukan satuan lahan Kondisi iklim dan menentukan indeks erosivitas Kondisi hidrologi Analisis karakteristik lahan, kelas kemampuan dan kesesuaian lahan, analisis erodibilitas dan erosi serta pemilihan teknik KTA Analisis karakteristik sosial ekonomi Penunjang
41
Data sosial ekonomi yang dikumpulkan antara lain data kependudukan, luas pemilikan lahan, sarana produksi yang digunakan, tingkat pendapatan, dan data sosial ekonomi lainnya (Tabel 10). Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk menentukan karakteristik sosial dan ekonomi DAS Batang Pelepat, terutama karakteristik petani dan karakteristik tipe UTKKS. Teknik Pengumpulan Data Tipe UTKKS Tipe UTKKS yang ada di DAS Batang Pelepat diidentifikasi melalui survei berdasarkan peta satuan lahan. Satuan lahan (SL) yang dijadikan acuan adalah SL dengan penggunaan lahan berupa karet dan kelapa sawit. Tipe UTKKS diklasifikasi berdasarkan sistem pengelolaan atau budidaya. Tanah Data karakteristik tanah setiap satuan lahan (SL) diperoleh dari hasil penelitian Balitbang Pertanian (2005c). Data tanah juga diperoleh berdasarkan analisis sampel tanah utuh, agregat utuh dan komposit yang diambil dari setiap lokasi petak erosi sesuai dengan perlakuan dan kelompok yang ditetapkan (Tabel 11). Sampel tanah utuh digunakan untuk analisis sifat-sifat fisik tanah seperti bobot isi dan permeabilitas, sampel tanah agregat utuh digunakan untuk analisis indeks kemantapan agregat dan sampel tanah komposit digunakan untuk C-organik tanah. Data tanah dari setiap petak erosi digunakan untuk analisis pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat tanah. Aliran Permukaan dan Erosi tanah pada berbagai Tipe UTKKS dan Hutan Besarnya aliran permukaan dan erosi pada lahan dengan berbagai tipe UTKKS serta hutan ditentukan berdasarkan pengukuran di lapangan dengan membuat petak erosi. Pengukuran tersebut dilakukan pada jenis tanah yang paling dominan di kawasan DAS Batang Pelepat, yaitu Dystrudept. Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengukuran aliran permukaan dan erosi adalah rancangan acak kelompok dengan perlakuan yang terdiri atas 3 tipe usahatani karet, 2 tipe usahatani kelapa sawit dan hutan sekunder yang berumur 7 – 8 tahun dan kelompok (ulangan) yang terdiri atas kelas lereng 10%, 20%, dan 30%. Oleh karena itu jumlah petak erosi yang dibuat di lapangan adalah 18 petak (Tabel 11). Deskripsi masing-masing tipe UTKKS dan hutan yang dijadikan perlakuan adalah sebagai berikut : 42
43 Tabel 11 Perlakuan masing-masing petak erosi yang ditentukan berdasarkan tipe UTKKS serta kelompok kemiringan lereng yang digunakan untuk pengukuran aliran permukaan dan erosi di lapangan Kode Kelas Lereng (%) Perlakuan Petak Erosi (Kelompok) KR11 Monokultur Karet I 10 KR12 Monokultur Karet I 20 KR13 Monokultur Karet I 30 KR21 Monokultur Karet II 10 KR22 Monokultur Karet II 20 KR23 Monokultur Karet II 30 KR31 Karet - Manau - Sungkai 10 KR32 Karet - Manau - Sungkai 20 KR33 Karet - Manau - Sungkai 30 KS11 Monokultur Kelapa Sawit 10 KS12 Monokultur Kelapa Sawit 20 KS13 Monokultur Kelapa Sawit 30 KS21 Kelapa Sawit - Pisang 10 KS22 Kelapa Sawit - Pisang 20 KS22 Kelapa Sawit - Pisang 30 Ht1 Hutan Sekunder 10 Ht2 Hutan Sekunder 20 30 Ht3 Hutan Sekunder
1. Monokultur karet I (KR-1) Penanaman karet disertai dengan pemupukan dan penyemprotan dengan pestisida secara lebih teratur dengan takaran relatif rendah. Penyiangan tanaman pengganggu dilakukan secara intensif sehingga permukaan tanah relatif bersih dan terbuka (tanpa tanaman penutup tanah dan hanya ditutupi oleh daun-daun karet yang gugur). 2. Monokultur karet II (KR-2) Penanaman karet yang disertai dengan pemupukan pada saat tanaman belum menghasilkan dan selanjutnya hanya dilakukan setiap 5 tahun. Penyiangan tanaman pengganggu relatif tidak dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. 3. Sesap karet (KR-3) Campuran karet dengan tanaman hutan (manau dan sungkai), tanpa pemupukan dan permukaan tanah dibiarkan tertutup oleh tumbuhan semak belukar. 4. Monokultur kelapa sawit (KS-1) Penanaman kelapa sawit yang disertai dengan pemupukan pada saat tanaman yang belum menghasilkan dan selanjutnya hanya dilakukan setiap 5 tahun. Penyiangan tanaman pengganggu relatif tidak dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar.
44 5. Campuran kelapa sawit dan pisang (KS-2) Campuran kelapa sawit dengan pisang dengan teknik budidaya yang dilengkapi dengan pemupukan pada saat tanaman yang belum menghasilkan dan selanjutnya dilakukan secara tidak teratur. Penyiangan tanaman pengganggu relatif tidak dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. 6. Hutan sekunder (Ht) Hutan bekas tebangan dan telah dibiarkan menjadi hutan kembali selama 7 – 8 tahun. Petak erosi yang dibuat berukuran 10 m searah lereng dan lebar 10 m searah kontur. Bagian atas dan samping petak dibatasi plastik dengan lebar 45 cm. Sebagian plastik (15 cm) ditanam secara vertikal ke dalam tanah. Bagian bawah lereng pada setiap petak dipasang bak penampung. Bak penampung ini berfungsi untuk menampung aliran permukaan yang terjadi dan tanah yang tererosi. Data aliran permukaan dan erosi pada setiap petak diasumsikan berbeda sesuai dengan perlakuan dan kelompok yang ditetapkan, sedangkan kondisi variabel lain yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi tersebut diasumsikan sama (homogen). Aliran permukaan dan tanah yang tererosi diukur per hari hujan. Volume aliran permukaan dihitung dengan menakar air yang tertampung pada bak erosi. Tanah yang tererosi ditentukan dengan menganalisis sampel yang tertampung di bak dengan metode gravimetri. Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi (Tabel 10) diperoleh melalui wawancara responden dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan. Data sosial ekonomi digunakan untuk menggambarkan karakteristik petani dan analisis pendapatan serta kelayakan usahatani. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis data biofisik dan sosial ekonomi. Analisis data biofisik meliputi analisis karakateristik lahan (kemampuan dan kesesuaian lahan untuk beberapa tanaman pertanian) dan tipe UTKKS serta pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi, sedangkan analisis data sosial ekonomi meliputi analisis PKHL, pendapatan dan kelayakan setiap tipe UTKKS. Berdasarkan hasil analisis
45 data biofisik dan sosial ekonomi disusun perencanaan UTKKS berkelanjutan sehingga diperoleh tipe dan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan optimal (Gambar 5). Karakteristik Lahan Karakteristik lahan dianalisis secara deskriptif dan dilanjutkan dengan evaluasi lahan (penilaian kelas kemampuan dan kesesuaian lahan). Kelas kemampuan setiap SL dinilai dengan berdasarkan sifat-sifat fisik lingkungan dan jenis faktor penghambat sesuai dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973), diacu dalam Arsyad (2006) dan Hardjowigeno (2007), sedangkan kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan menilai atau membandingkan kualitas lahan pada setiap SL dengan kriteria kesesuaian lahan untuk karet dan kelapa sawit serta tanaman sela (padi ladang dan pisang yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003) pada Lampiran 2 hingga 5. Karakteristik Tipe UTKKS Karakteristik tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat dianalisis secara deskriptif. Analisis meliputi karakteristik petani dan setiap tipe UTKKS yang teridentifikasi, diantaranya tanaman yang digunakan, teknik budidaya dan teknik KTA dan input
yang digunakan (bibit, pupuk, dan saprodi lainnya),
produksi tanaman (karet, kelapa sawit dan tanaman sela) serta pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Analisis Pengaruh Tipe Permukaan dan Erosi
UTKKS
terhadap
Sifat-Sifat
Tanah,
Aliran
Pengaruh setiap tipe UTKKS terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dianalisis secara statistik dengan analisis ragam atau uji F pada selang kepercayaan 95%, yang didasarkan pada model linear aditif Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang menurut Gaspersz (1991) dirumuskan dengan persamaan berikut :
Yijk = μ + K k + Ai + ε ijk ............................................................ (8) Keterangan : Yijk
= Pengamatan pada perlakuan ke-i dari faktor A dalam kelompok ke-k
µ
= nilai rata-rata umum
Kk
= pengaruh kelompok ke-k (kelas kemiringan lereng)
Ai
= pengaruh perlakuan ke-i dari faktor A (tipe UTKKS dan hutan)
46 Єijk
= pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k yang mempengaruhi perlakuan ke-i dari faktor A Analisis ragam dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s
New multiple range test atau DNMRT pada selang kepercayaan 95%). Analisis ini digunakan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan (tipe UTKKS serta hutan) dalam mempengaruhi sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi. Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983), diacu dalam Hardjowigeno (2007), yang juga memperhitungkan kedalaman minimum tanah dan laju pembentukan tanah selain kedalaman ekuivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life) dengan persamaan sebagai berikut : Etol =
De − Dmin + LPT ................................................ (9) UGT
Keterangan : De
=
kedalaman ekuivalen (Arsyad, 2006)
=
kedalaman efektif tanah (mm) x faktor kedalaman tanah (Lampiran 11)
Dmin =
kedalaman tanah minimum (mm) (Lampiran 12)
UGT =
Umur guna tanah, yaitu 300 tahun untuk pemakaian secara terus menerus dan intensif (Sinukaban, 1989)
LPT =
laju pembentukan tanah, yaitu 1.00 mm/tahun ( Hardjowigeno 2007)
Prediksi Erosi pada Satuan Lahan Erosi pada setiap SL diprediksi dengan menggunakan model USLE. Data ini digunakan dalam menyusun perencanaan UTKKS di DAS Batang Pelepat. Penetapan nilai faktor-faktor dalam model USLE dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus atau hasil penelitian yang sudah ada, yaitu : Faktor Erosivitas hujan (R). Di Indonesia data hujan harian untuk menghitung EI belum banyak tersedia sehingga biasanya menggunakan rumus EI. Faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai-nilai indeks erosi hujan bulanan (Bols 1978) dan dihitung berdasarkan persamaan berikut : 12
R=
∑ ( EI 30)i ........................................................... (10) i =1
47 Nilai EI30 dihitung dengan menggunakan rumus berikut : EI30 = 6.119 + (Rain)1.21 (Days)0.47 (Maxp)0.53 ............... (11) Keterangan : EI30
=
rata-rata erosivitas hujan bulanan
Rain
=
rata-rata hujan bulanan (cm)
Days =
rata-rata jumlah hari hujan per bulan
Maxp =
rata-rata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan
Faktor Erodibilitas Tanah (K). Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan menggunakan rumus Weischmeier dan Smith (1978) berikut : 100K = {1.292 (2.1 M1.44 (10-4)(12 – a) + 3.25 (b – 2) + 2.5 (c – 3)} ........ (12) Keterangan : K
=
erodibilitas tanah
M
=
kelas tekstur tanah (% pasir halus + %debu)(100 - % liat)
a
=
% bahan organik
b
=
kode struktur tanah (Lampiran 8)
c
=
kode permeabilitas profil tanah (Lampiran 8) Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS). Faktor panjang dan
kemiringan lereng juga bisa dihitung secara langsung (digabung) menurut rumus : LS =
X (0.0138 + 0.00965S + 0.00138S 2 ....................................................... (13)
keterangan : X = panjang lereng (m) dan S = kecuraman lereng (%) Faktor Tanaman dan Pengelolaannya (C). Penentuan faktor C untuk tanaman karet dan kelapa sawit didasarkan atas berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, demikian pula dengan penggunaan lahan lainnya (Lampiran 9). Faktor Pengelolaan Lahan atau Teknik KTA (P). Faktor P juga ditentukan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 10). Analisis Agroteknologi Analisis agroteknologi didahului dengan inventarisasi tipe UTKKS yang ada dan alternatif agroteknologi yang sesuai dengan kapasitas dan keinginan masyarakat di DAS Batang Pelepat. Sistem budidaya yang telah diterapkan oleh petani dibandingkan dengan sistem budidaya yang direkomendasikan. Perbaikan
48 agroteknologi disesuaikan dengan sistem budidaya yang ideal (rekomendasi) tersebut, meliputi pemupukan dan tindakan pemeliharaan tanaman lainnya. Analisis agroteknologi juga dilengkapi dengan pemilihan teknik KTA yang tepat. Teknik KTA dievaluasi berdasarkan perbandingan erosi yang akibat penerapan beberapa tipe UTKKS dengan Etol. Pemilihan teknik KTA dilakukan berdasarkan simulasi dengan menggunakan model USLE (Weischmeier dan Smith 1978). Nilai faktor R, K, L, dan S diasumsikan konstan sehingga teknik KTA dapat ditentukan dengan simulasi terhadap nilai faktor C dan P saja. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum adalah nilai CP yang mengakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan Etol. Kriteria tersebut dapat ditulis sebagai berikut : A ≤ Etol atau RKLSCP ≤ Etol ......................................... (14) CP ≤
Etol RKLS
atau CPrek ≤ CPmax .................................... (15)
Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani diperoleh dengan melakukan analisis usahatani dengan menggunakan input berupa komponen biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani. Menurut Soekartawi (2002), analisis usahatani dengan menggunakan variabel tersebut dikenal dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis). Variabel-variabel tersebut dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : a. Total penerimaan usahatani, merupakan perkalian antara produksi tanaman ke-i yang diperoleh dengan harga produksi tanaman ke-i dan dapat ditulis sebagai : n
TR = YiPyi =
∑ (Y P i =1
1
y1
+ Y2 Py 2 + ... + Yn Pyn ) .............................. (16)
Keterangan : TR
=
Total penerimaan usahatani (Rupiah)
Yi
=
Produksi tanaman ke-i (kg/ha)
Pyi
=
Harga produksi tanaman ke-i (Rupiah)
b. Total biaya Usahatani, merupakan nilai semua keluaran yang dipakai dalam usahatani selama proses produksi baik yang langsung maupun tidak langsung. Total biaya usahatani dapat dihitung dengan rumus :
49 TC = FC + VC ................................................................ (17) n
VC = XiPxi =
∑(X P 1
i =1
x1
+ X 2 Px 2 + ... + X n Pxn ) ................ (18)
Keterangan : TC
=
Total biaya usahatani (Rupiah)
FC
=
biaya tetap yang berupa pajak dan biaya-biaya penyusutan modal petani seperti peralatan, bangunan, dll (Rupiah).
VC
=
Biaya variabel atau tidak tetap (Rupiah)
Xi
=
Input usahatani ke-i (kg/ha)
Pxi
=
Harga input usahatani ke-i (Rupiah)
c. Pendapatan usahatani, merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dapat dirumuskan dalam persamaan berikut : π = TR – TC ................................................................... (19) Keterangan : π = Pendapatan usahatani (Rupiah) TR = Total penerimaan (Rupiah) TC = Total biaya (Rupiah) Pendapatan usahatani dianalisis pada setiap tipe UTKKS dengan berbagai
skenario
agroteknologi
(pada
kondisi
aktual
dan
perbaikan).
Pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS dengan penerapan alternatif agroteknologi dijadikan masukan dalam optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan menggunakan PTG. Standar Kebutuhan Fisik Minimum dan Hidup Layak Standar kebutuhan fisik minimum (KFM) dan hidup layak (KHL) ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per KK dan harga beras yang berlaku di suatu daerah. Menurut Sajogyo dan Sajogyo (1990), nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240 – 320 kg/orang/tahun. Standar kebutuhan fisik minimum (KFM) ditetapkan dengan pendekatan sebagai berikut : KFM = KRT x 100% x n x Rp ......................................................... (20) Keterangan : KFM
=
Kebutuhan Fisik Minimum
KRT
=
Kebutuhan Rumah Tangga setara beras
50 n
=
Jumlah anggota keluarga
Rp
=
Harga beras
Menurut Sinukaban (2007c), KHL adalah KFM ditambah dengan kebutuhan hidup tambahan (KHT) berupa kebutuhan untuk menabung, rekreasi ataupun kebutuhan untuk mengikuti kegiatan sosial yang masing-masing sebesar 50% dari KFM (Persamaan 21). Oleh karena itu besarnya KHL adalah 2.5 kali (250%) KFM (Persamaan 22). KHT = KPS + KKR +Kastab = 150% KFM ..................................... (21) KHL = KFM + KHT = KRT x 250% x n x Rp .................................. (22) Keterangan
:
KFM
=
Standar Kebutuhan Fisik Minimum (Rupiah)
KRT
=
Standar Kebutuhan Rumah Tangga setara beras (Rupiah)
n
=
Jumlah anggota keluarga (jiwa)
Rp
=
Harga beras (Rupiah)
KHT
=
Standar Kebutuhan Hidup Tambahan (Rupiah)
KHL
=
Standar Kebutuhan Hidup Layak (Rupiah)
KPS
=
Standar Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial (Rupiah)
KKR
=
Standar Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi (Rupiah)
Kastab =
Standar Kebutuhan untuk asuransi dan tabungan (Rupiah)
Kebutuhan Lahan Minimal (Lmin) Kebutuhan lahan minimal (Lmin) adalah luas lahan minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan setiap tipe UTKKS, alternatif agroteknologi sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi PKHL. Oleh karena itu kebutuhan luas lahan minimal (Lmin) dirumuskan sebagai perbandingan antara standar kebutuhan hidup layak (PKHL) dan pendapatan usahatani (P) atau dapat pula dituliskan dengan persamaan berikut :
L min =
PKHL ......................................................... (23) P
Analisis Kelayakan UTKKS Berdasarkan total biaya dan pendapatan yang diperoleh melalui analisis usahatani dapat dilakukan analisis kelayakan finansial terhadap setiap tipe UTKKS. Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk setiap tipe UTKKS eksisting dan setiap tipe UTKKS yang menerapkan skenario agroteknologi. Kelayakan
51 setiap tipe UTKKS dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator kelayakan. Menurut Gittinger (1986); Soekartawi (2002) dan Gray et al. (2007), kriteria yang umum digunakan dan dapat dipertanggung jawabkan untuk berbagai penggunaan adalah benefit cost ratio (B/C ratio), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Benefit Cost Ratio (B/C ratio) merupakan perbandingan antara present value total dari hasil keuntungan (Bt/(1+i)t) terhadap present value dari biaya (Ct/(1+i)t) atau dirumuskan dengan persamaan 24berikut :
n ⎡ Bt ⎤ ∑⎢ ⎥ i=1⎢⎣ (1 + i) t ⎥⎦
B ratio = ............................................................ (24) C n ⎡ Ct ⎤ ∑⎢ ⎥ i=1⎣⎢ (1 + i) t ⎦⎥ Keterangan rumus : Bt =
manfaat dalam tahun ke-t
Ct =
biaya produksi dalam tahun ke-t
i
=
tingkat diskonto atau bunga
t
=
tahun ke-t
n
=
umur ekonomi jenis tanaman
Tipe UTKKS dinilai layak dan menguntungkan jika nilai B/C ratio > 1 dan tidak menguntungkan jika nilai B/C ratio < 1. Nilai B/C ratio = 1 menunjukkan tipe UTKKS hanya dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan. Net Prevent Value (NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (Bt/(1+i)t) dengan nilai sekarang dari biaya (Ct/(1+i)t) dengan rumus : n ⎡B − Ct ⎤ NPV = ∑ ⎢ t ...................................................... (25) t ⎥ t =0 ⎣ (1+ i) ⎦
Keterangan rumus : Bt =
manfaat dalam tahun ke-t
Ct =
biaya produksi dalam tahun ke-t
i
=
tingkat diskonto atau bunga
t
=
tahun ke-t
n
=
umur ekonomi jenis tanaman
52 Nilai NPV > 0 (positif) adalah indikator tipe UTKKS layak dan menguntungkan untuk dikembangkan, NPV < 0 (negatif) menunjukkan bahwa tipe UTKKS tidak layak dan tidak menguntungkan untuk dikembangkan dan NPV = 0 berarti tipe UTKKS hanya dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan. Internal
Rate
of
Return
(IRR)
merupakan
tingkat
bunga
yang
menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh tiap tahun atau kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga bank. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga pada saat NPV bernilai 0. Perhitungan IRR dilakukan dengan cara interpolasi antara tingkat bunga (i) pada saat NPV bernilai positif (NPV1) dengan tingkat bunga pada saat NPV bernilai negatif (NPV2). Nilai IRR dihitung dengan menggunakan rumus : IRR = i1 +
NPV1 NPV1 − NPV2
(i2 − i1 ) ....................................... (26)
Keterangan rumus : NPV1 = NPV bernilai positif NPV2 = NPV bernilai negatif i1 = tingkat bunga pada NPV positif i2 = tingkat bunga pada NPV negatif Tipe UTKKS dinilai layak dan menguntungkan jika IRR > tingkat suku bunga yang sedang berlaku dan jika nilai IRR < tingkat suku bunga yang sedang berlaku, tipe UTKKS dinilai tidak layak dan tidak menguntungkan untuk dikembangkan. Nilai IRR = tingkat suku bunga yang sedang berlaku menunjukkan bahwa tipe UTKKS hanya dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Asumsi yang digunakan dalam analisis pendapatan dan kelayakan usahatani (UTKKS) diantaranya : 1.
Umur ekonomis tanaman adalah 30 tahun untuk tipe usahatani sesap karet dan 25 tahun untuk tipe usahatani lainnya.
2.
Tanaman karet berproduksi pada umur 8 tahun (sesap karet) dan 6 tahun (monokultur karet), sedangkan tanaman kelapa sawit berproduksi pada umur 3 tahun.
3.
Tanaman padi ladang sebagai tanaman sela hanya ditanam 2 musim tanam dalam setahun hingga tanaman utama (karet atau kelapa sawit) berumur 2
53 tahun, sedangkan produksi tanaman pagar (pinang) diperhitungkan setiap tahun, mulai tahun ketiga. 4.
Produksi tanaman karet dalam bentuk kadar karet kering (KKK), kelapa sawit dalam bentuk tandan buah segar (TBS), padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG), pinang dalam bentuk biji kering, dan gaharu dalam bentuk gubal, kayu sungkai, balam dan medang dalam bentuk kayu bulat (kg/ha atau ton/ha).
5.
Hasil panen berupa KKK dan TBS dan produk lainnya selama satu tahun (Lampiran 13) habis terjual pada tahun tersebut.
6.
Harga yang digunakan adalah harga rata-rata yang berlaku selama 5 tahun sebelumnya hingga penelitian berlangsung dan diasumsikan tetap (Rp/kg atau Rp/ton).
7.
Perhitungan menggunakan tingkat suku bunga bank 12% dan diasumsikan tetap.
8.
Harga pasar input (sarana) produksi, hasil (produksi) dan upah tenaga kerja ditentukan berdasarkan harga standar lokal.
9.
Peralatan yang digunakan diasumsikan mengalami penyusutan 5% setiap tahun dan diperbaharui setiap 5 tahun.
Optimalisasi UTKKS dengan PTG Analisis
optimalisasi
dilakukan
untuk
memperoleh
usahatani
berkelanjutan yang optimal. Analisis optimalisasi dirumuskan dengan model PTG dengan prioritas. Tahapan analisis optimalisasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Input data Input dalam analisis PTG adalah data modal yang dibutuhkan, erosi, pendapatan pada setiap kemiringan lereng yang menerapkan berbagai tipe UTKKS sesuai dengan skenario agroteknologi. 2. Penetapan target Penggunaan lahan untuk UTKKS yang disertai dengan agroteknologi optimal tersebut harus mencapai sasaran (target) sebagai berikut : a. erosi menjadi lebih kecil dari atau sama dengan Etol b. pendapatan yang diperoleh harus lebih besar dari sama dengan PKHL. 3. Penetapan peubah dan parameter Peubah keputusan, fungsi kendala dan fungsi tujuan yang ditetapkan untuk memperoleh solusi optimal berdasarkan analisis PTG adalah :
54 A. Peubah Keputusan :
luas penggunaan lahan yang menerapkan tipe UTKKS ke-i (Xi) dalam hektar.
B. Fungsi Kendala 1. Kendala real
:
a. Alokasi penggunaan lahan dengan menerapkan tipe UTKKS ke-i (Xi) yang dibatasi oleh luas milik petani (A) ∑Xi ≤ A ............................................................ (27) Xi ≥ 0 .............................................................. (28) b. Modal yang dibutuhkan untuk menerapkan tipe UTKKS ke-i (Mi) yang dibatasi oleh modal yang dimiliki oleh Petani (Mpet).
∑M
i
Xi ≤ M
............................................ (29)
pet
2. Kendala tujuan/sasaran : a. Mengurangi jumlah erosi akibat penerapan UTKKS ke-i (Xi) yang dibatasi oleh Etol.
∑E X i
−
i
+
+ d e − d e = Etol ............................ (30)
Tujuan : meminimumkan de+ b. Meningkatkan pendapatan petani dengan menerapkan tipe UTKKS ke-i (Xi) yang dibatasi oleh standar pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (PKHL).
∑P X i
−
i
+
+ d p − d p = PKHL ........................ (31)
Tujuan : meminimumkan dpC.
Fungsi tujuan
: meminimumkan total simpangan (deviasi)
fungsi
kendala tujuan terhadap target yang ditetapkan.
(
Z = ∑ PyWi , y d i + PsWi , s d i −
+
) ......................................... (32)
Keterangan rumus : Xij
:
Luas lahan dengan tipe UTKKS ke-i
A
:
Luas lahan dominan yang dimiliki petani (5 ha)
Mi
:
Modal yang dibutuhkan untuk menerapkan tipe UTKKS ke-i (Xi)
Mpet
:
Modal yang dimiliki oleh petani
55 Ei
:
Erosi akibat menerapkan tipe UTKKS ke-i (Xi)
Etol
:
Erosi yang dapat ditoleransikan
de+ , de-
:
Deviasi positif dan negatif target erosi
Pi
:
Pendapatan akibat menerapkan tipe UTKKS ke-i
PKHL
:
Pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak
dp+ ,
:
Deviasi positif dan negatif target pendapatan
Py, Ps
:
Faktor-faktor prioritas ke y dan ke s (ordinal)
Wi,y
:
Pembobotan terhadap di+ dalam prioritas ke y
Wi,s
:
Pembobotan terhadap di- dalam prioritas ke s
Z
:
Fungsi Tujuan
dp-
4. Penetapan Skenario Skenario analisis optimalisasi adalah penerapan alternatif agroteknologi UTKKS dengan modal dan luas lahan yang dimiliki petani dan diterapkan pada beberapa kemiringan lereng dengan prioritas tujuan yang berbeda, yaitu dengan menetapkan sasaran erosi sebagai prioritas utama atau menetapkan sasaran pendapatan sebagai prioritas utama.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat terletak antara 1033’ – 1o54’36” Lintang Selatan dan 101038’24” – 102018’ Bujur Timur. Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat berbatasan dengan kabupaten Tebo (sebelah timur), Kabupaten Merangin dan Kerinci (sebelah selatan) dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rantau Pandan dan Bathin III Ulu (Lampiran 7). Wilayah DAS Batang Pelepat yang terletak di sebelah utara dan timur jalan Lintas Sumatera, mempunyai tanah bergelombang dengan ketinggian lebih kurang 500 m dpl, sedangkan wilayah bagian barat dan selatan mempunyai ketinggian 500 – 1 000 m dpl dan berbatasan dengan TNKS. Penduduk Jumlah penduduk di DAS Batang Pelepat adalah 7 026 jiwa, yang terdiri atas 3 454 jiwa laki-laki dan 3 572 jiwa perempuan dengan 2 154 KK dan masing-masing keluarga rata-rata mempunyai 5 anggota keluarga (Tabel 12). Jumlah penduduk yang paling banyak terdapat di desa Rantau Keloyang (kawasan hilir DAS Batang Pelepat). Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian sebagai petani karet (1 836 KK atau 85.24%) dan sebagian kecil petani kelapa sawit (178 KK atau 8.26%), pegawai negeri sipil dan swasta (40 KK atau 6.50%). Tabel 12 Sebaran jumlah penduduk, jumlah KK dan Jumlah jiwa/KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat berdasarkan jenis kelamin, Tahun 2003 Jumlah Penduduk Jumlah Jumlah Jiwa/ No Desa Laki-Laki Wanita Jumlah KK KK 1 Batu Kerbau 552 548 1 100 445 5 2 Baru Pelepat 540 506 1 046 362 5 3 Rantel 261 458 719 224 6 4 Balai Jaya 356 304 660 266 5 5 Rantau Keloyang 1 745 1 756 3 501 857 5 Jumlah 3 454 3 572 7 026 2 154 26 Rata-Rata 691 714 1 405 431 5 Sumber : BPS Kabupaten Bungo (2004).
Penduduk di DAS Batang Pelepat juga terdiri atas penduduk asli dan pendatang. Penduduk pendatang lebih banyak terdapat di desa Rantau Keloyang yang merupakan ibukota kecamatan Pelepat. Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat juga menjadi sasaran program transmigrasi, yaitu di Desa Baru Pelepat. Jumlah transmigran yang tinggal di kawasan ini berjumlah 125 KK. Setiap kepala keluarga diberikan lahan seluas 2 ha, dengan alokasi peruntukan sebagai lahan garapan (1.75 ha) dan tempat tinggal (0.25 ha). Semua 56
57 transmigran merupakan petani karet, namun belum menerapkan teknik budidaya yang memadai. Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat mempunyai iklim tropis dengan kelembaban 56 – 85% dan suhu rata-rata 25oC – 26oC (BPS Kabupaten Bungo 2004). Berdasarkan data curah hujan, kawasan ini menurut Koppen termasuk ke dalam tipe iklim Afa, menurut Schmidt-Ferguson termasuk tipe hujan A (daerah basah dengan hutan hujan tropis) dan berdasarkan peta agroklimat Sumatera skala 1 : 3 000 000, termasuk ke dalam zona agroklimat B1 (Oldeman 1978) dengan bulan kering selama kurang dari atau sama dengan 2 bulan berturut-turut (Balitbang Pertanian 2005c). Berdasarkan data hujan dari stasiun Pasir Putih tahun 1985 –
2005
dapat diketahui bahwa curah hujan rata-rata tahunan di DAS Batang Pelepat adalah 2 359.12 mm (Lampiran 15) dengan 124 hari hujan. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan desember dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli. Curah hujan yang < 100 mm/bulan terjadi pada bulan Mei hingga agustus, sedangkan curah hujan yang > 200 mm terjadi pada bulan oktober hingga maret (Gambar 6). 400.00
18 16
350.00
14 14
13 12
12
12
12 250.00 10 10 200.00
8 7
150.00
303.81
7
273.60
339.78
8
312.81 276.18
203.88
100.00
7
6
Jumlah Hari Hujan
300.00
Curah Hujan Bulanan (mm)
16
Curah Hujan Bulanan Jumlah Hari Hujan
6
191.43
4
140.66 50.00
98.40 68.76
64.90
Jun
Jul
2
84.90
0.00
0 Jan
Peb
M ar
Apr
M ei
Ags
Sept
Okt
Nop
Des
Bulan
Gambar 6 Variasi curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan di DAS Batang Pelepat berdasarkan data curah hujan tahun 1985-2005 (Depkimpraswil Provinsi Jambi 2005).
Hidrologi Berdasarkan data tinggi muka air dan debit tahun 1985 hingga 2005 dapat diketahui bahwa debit minimum DAS Batang Pelepat adalah 24.30 m3/det
58 dengan tinggi muka air 1.00 m, sedangkan debit maksimum adalah 51.61 m3/det dengan tinggi muka air 1.50 m. Tinggi muka air dan debit minimum terjadi pada bulan Agustus, sedangkan tinggi muka air dan debit maksimum terjadi pada bulan Desember (Tabel 13). Tabel 13 Fluktuasi tinggi muka air dan debit pada setiap bulan berdasarkan data tahun 1985 – 2005 di DAS Batang Pelepat Bulan Tinggi Muka Air (m) Debit (m3/det) Januari 1.41 45.15 Pebruari 1.38 43.23 Maret 1.38 43.46 April 1.32 39.74 Mei 1.25 36.01 Juni 1.12 29.44 Juli 1.04 25.69 Agustus 1.00 24.30 September 1.02 25.52 Oktober 1.08 28.78 Nopember 1.34 40.89 Desember 1.50 51.61 Sumber : Kimpraswil Provinsi Jambi (2005).
Tanah Berdasarkan kajian Balitbang Pertanian (2005c), fisiografi sub DAS Batang Pelepat dibedakan atas 3 grup utama, yaitu : grup Aluvial (A), grup Tektonik dan Struktural (T) dan grup Volkan (V). Grup aluvial merupakan fisiografi muda yang terbentuk karena proses fluvial (aktivitas sungai) atau gabungan antara proses fluvial dan koluvial (aktivitas gravitasi). Tanah yang terbentuk umumnya berlapis-lapis dengan tekstur yang beragam. Grup aluvial yang dijumpai adalah dataran banjir dari sungai Batang Pelepat. Grup tektonik dan struktural merupakan fisiografi yang terbentuk sebagai akibat proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, patahan dan atau lipatan. Grup tektonik dan struktural dijumpai dalam bentuk dataran terplainasi berombak (T.10.2) dan bergelombang (T.10.3) dengan lereng 0 – 15%. Grup volkan adalah kelompok fisiografi yang terbentuk akibat aktivitas gunung berapi. Fisiografi ini dicirikan oleh adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Di daerah penelitian terdapat perbukitan volkan tua (V.3.2) hingga pegunungan volkan tua (V.3.3). Perbukitan volkan tua menyebar pada bentuk wilayah berbukit agak curam hingga berbukit sangat curam dengan lereng 8 – 55%. Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan peta tanah kabupaten Bungo skala 1 :100.000 (Balitbang Pertanian 2005c), tanah di DAS Batang Pelepat
59 terdiri dari 3 ordo, yaitu : Inceptisols, Ultisols dan Oxisols dan pada tingkat klasifikasi
yang
lebih
rendah
(Grup)
dibedakan
menjadi
endoaquepts,
Dystrudepts, Hapludults dan Kandiudox. Tanah di DAS Batang Pelepat didominasi oleh grup Dystrudepts dengan luas 35 441 ha atau 73.13% dari luas DAS (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran dan luas setiap jenis tanah (berdasarkan grup) di DAS Batang Pelepat Luas Jenis Tanah (Grup) Ha % 1 674 3.45 Endoaquepts Dystrudepts 35 441 73.13 10 900 17.23 Hapludults 450 0.93 Kandiudox Jumlah 48 465 100 Sumber
:
Balitbang Pertanian (2005c).
Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat dikelompokkan menjadi penggunaan untuk pertanian dan non pertanian. Tutupan lahan di DAS Batang Pelepat tahun 1984 masih didominasi oleh hutan (45 800 ha atau 94.50% dari luas DAS) dan belum ada penggunaan lahan yang lain, seperti pertanian dan pemukiman di kawasan ini. Tahun 1996 tutupan hutan berkurang menjadi 37 887 ha (78.17%) dan disertai dengan adanya penggunaan lahan untuk perkebunan karet rakyat seluas 2 857 ha (5.9%) dan pemukiman seluas 95 ha (0.20%). Penggunaan lahan aktual di DAS Batang Pelepat masih didominasi oleh hutan, namun luasnya sudah berkurang menjadi 31 176 ha (64.20%). Penggunaan lahan pertanian hanya terdiri atas perkebunan karet seluas 10 641 ha dan kelapa sawit seluas 4 192 ha. Selain itu penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat saat ini juga meliputi pemukiman (0.74%), belukar (4.24%) dan juga ada lahan yang terbuka seluas 45 ha (Tabel 15). Tabel 15 Distribusi alokasi luas tipe penggunaan lahan di DAS Batang pelepat, Tahun 1986, 1994 dan 2005 1986a 1994a 2005b Jenis Penggunaan Lahan Ha % Ha % Ha % Pertanian : Karet 0 0 2 857 5.90 10 641 21.96 Kelapa Sawit 0 0 0 0 4 192 8.65 Non Pertanian : Hutan 45 800 94.50 37 887 78.17 31 176 64.32 Hutan Bekas Tebangan 2 665 5.50 6 036 12.45 Belukar 0 0 1 590 3.28 2 054 4.24 Tanah terbuka (bekas PETI) 0 0 0 0 45 0.09 Pemukiman 0 0 95 0.20 357 0.74 Jumlah 48 465 100 48 465 100 48 465 100 Sumber
:
a
Biotrop (2000), diacu dalam Diana (2000) dan Penggunaan Lahan (Balitbang Pertanian 2005c).
b
Alokasi berdasarkan Peta
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat Satuan Lahan di DAS Batang Pelepat Lahan di DAS Batang Pelepat terdiri atas 4 jenis (grup) tanah, yaitu endoaquepts, hapludults, dystrudepts dan kandiudox, tetapi jenis tanah yang dominan adalah grup dystrudepts, yaitu seluas 35 441 ha atau 73.13% (Tabel 16 dan Lampiran 17). Lahan tersebut didominasi oleh kelas lereng >15 – 30% (13 354 ha atau 27.55%) dan kelas lereng >45 – 65% (14 242 ha atau 29.39%). Penggunaan lahan aktual di DAS Batang Pelepat dikelompokkan menjadi penggunaan pertanian (umumnya UTKKS) seluas 15 184 ha atau 31.33% dan non pertanian (hutan, semak belukar dan lahan terbuka) seluas 33 281 atau 68.67% (Tabel 16 dan Lampiran 16). Berdasarkan peta tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan, DAS Batang Pelepat terbagi menjadi 23 satuan lahan (SL) (Tabel 16 dan Lampiran 19). Berdasarkan karakteristik SL dan kriteria penilaian sifat tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) pada lampiran 20, umumnya tanah di DAS Batang Pelepat mempunyai tingkat kesuburan sangat rendah hingga rendah. Tingkat kemasaman (pH) tanah tergolong sangat masam hingga masam dan kejenuhan basa (KB) juga tergolong sangat rendah hingga rendah, sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara tanaman. Kadar bahan organik tanah (BOT) yang tinggi terdapat pada SL yang mempunyai tutupan sangat rapat dan serasah yang tebal, umumnya hutan. Karakteristik
tersebut
harus
menjadi
pertimbangan
utama
dalam
pengembangan pertanian di DAS Batang Pelepat. Agroteknologi perlu dirancang untuk mendukung keberlanjutan pertanian, terutama untuk mengendalikan dampak kesuburan yang sangat rendah hingga rendah dan lereng yang miring hingga curam. Oleh karena itu sebelumnya harus ditentukan kelas kemampuan (Lampiran 21) dan kesesuaian (Lampiran 23) lahan untuk pertanian di DAS Batang Pelepat berdasarkan karakteristik tanah masing-masing SL (Lampiran 20) sehingga lahan dimanfaatkan sesuai dengan potensinya. Kemampuan dan kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan atau pengembangan SPB dan sebagai langkah awal dalam penyusunan perencanaan SPK.
Tabel 16 Karakteristik satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat SL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Relief/lereng Datar (0-3%) Datar (0-3%) Landai (>3 - 8 %) Landai (>3 - 8 %) Datar (0-3%) Landai (>3 - 8 %) Agak miring (>8-15 %) Agak miring (>8-15 %) Agak miring (>8-15 %) Agak miring (>8-15 %) Miring (>15-30%) Miring (>15-30%) Agak curam ( >30-45% ) Agak curam ( >30-45% ) Miring (>15-30%) Landai (>3 - 8 %) Miring (>15-30%) Agak curam ( >30-45% ) Miring (>15-30%) Agak curam ( >30-45% ) Agak curam ( >30-45% ) Curam ( >45-65% ) Datar (0-3%) Total
Jenis Tanah (USDA) Endoaquepts Endoaquepts Hapludults Hapludults Hapludults Hapludults Hapludults Dystrudepts Hapludults Dystrudepts Kandiudox Kandiudox Dystrudepts Dystrudepts Dystrudepts Hapludults Dystrudepts Dystrudepts Dystrudepts Dystrudepts Hapludults Dystrudepts Endoaquepts
Landform Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Tf.10.2.B.2 Peneplain berombak Tf.10.3.C.3 Peneplain bergelombang Va.3.2.D.2 Perbukitan vulkanik tua Tf.10.3.C.3 Peneplain bergelombang Va.3.2.D.2 Perbukitan vulkanik tua Vg.3.2.E.2 Perbukitan vulkanik tua Vg.3.2.E.2 Perbukitan vulkanik tua Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Vab.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Vg.3.2.E.3 Perbukitan vulkanik tua Va.3.3.E.3 Pegunungan vulkanik tua Vab.3.3.F.4 Pegunungan vulkanik tua Au.1.1.2.A.0 Dataran banjir bermeander
Bahan Induk aluvium aluvium Batuliat Batuliat Batuliat Batuliat Batuliat Tuf Andesit Batuliat Tuf Andesit Granit Granit Granit Tuf Andesit Granit Granit Tuf Andesit Granit Tuf Andesit dan basalt Granit Tuf Andesit Tuf Andesit dan basalt aluvium
Penggunaan Lahan dan SPT Monokultur Karet II Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Sesap Karet Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Sesap Karet Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Karet I Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Belukar Belukar Hutan Hutan Hutan Hutan Lahan Terbuka
Luas (ha) (%) 1 482 3.06 147 0.30 1 098 2.27 841 1.74 248 0.51 6 026 12.56 70 0.02 60 0.08 114 0.28 1 979 4.08 162 0.33 144 0.30 84 0.17 61 0.06 2 589 5.40 79 0.16 1 811 3.74 249 0.51 8 648 17.84 5 738 11.84 2 548 5.26 14 242 29.39 45 0.09 48 465 100.00
Kemampuan Lahan di DAS Batang Pelepat Berdasarkan penilaian terhadap SL, kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat tergolong menjadi kelas II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat yang dominan berupa drainase yang agak baik (d2) hingga agak buruk (d3), lereng yang miring (I3) hingga curam (I5) dan erosi yang ringan (e1) hingga sangat berat (e5) (Tabel 17 dan Lampiran 21). Luas lahan yang dapat digunakan untuk pertanian tanaman semusim atau arable land (kelas II, III dan IV) hanya 25 792 ha atau 53.22% (Tabel 17 dan Lampiran 22), sedangkan luas lahan pertanian yang ada saat ini adalah 15 184 ha. Tabel 17 Sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Luas Klasifikasi Kemampuan Lahan Satuan Lahan Ha % 1, 2, 23 1 674 3.45 II d3 II e1 3, 4, 5, 6 8 213 16.95 11 162 0.33 III d2 7, 10 2 049 4.23 III e1 III e2 8, 9,16 253 0.52 12,17, 18 2 204 4.55 IV e3 15 2 589 5.34 IV e5 19 8 648 17.84 IV I3 VI I4 13, 14, 20, 21 8 431 17.40 22 14 242 29.39 VII I5 * Angka romawi menunjukkan kelas kemampuan lahan; d = faktor penghambat drainase; e = faktor penghambat erosi; I = faktor penghambat kemiringan lereng; angka latin menunjukkan level faktor penghambat.
Lahan yang saat ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan karena tergolong kelas II, III dan IV, kecuali SL 13 dan 14. Kedua SL ini tergolong kelas VI dengan faktor penghambat utama berupa lereng yang tergolong agak curam (>30 - 45%). Satuan lahan 13 dan 14 saat ini dimanfaatkan sebagai lahan usahatani monokultur karet, padahal sebaiknya lahan kelas VI dimanfaatkan sebagai padang rumput atau dihutankan. Pemanfaatan lahan ini sebagai lahan perkebunan masih dapat dilakukan, namun penutupan permukaan tanah harus baik. Oleh karena itu SL ini sebaiknya dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dengan sistem tanam campuran seperti agroforestri atau ditanam tanaman kayu-kayuan. Penggunaan lahan non pertanian di DAS Batang Pelepat saat ini terdiri atas semak belukar dan hutan, bahkan terdapat juga lahan terbuka. Lahan yang saat ini ditutupi oleh semak belukar (SL 17 dengan kemiringan lereng >15 – 30%) dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian karena tergolong kelas IVe3, tetapi harus disertai dengan agroteknologi yang memadai, sedangkan SL 18 dapat dimanfaatkan untuk tanaman kayu-kayuan karena mempunyai
63 kemiringan lereng >30 – 45%. Lahan yang masih ditutupi hutan terdiri atas SL 19, 20, 21 dan 22. Berdasarkan hasil penelitian, setiap SL ini masing-masing tergolong kelas IV I3 (SL 19), VI I4 (SL 20 dan 21) dan VII I5 (SL 22). Konversi penggunaan SL tersebut menjadi lahan pertanian dapat menimbulkan kerusakan lahan yang lebih berat karena faktor penghambat utamanya adalah lereng yang tergolong miring (I3) hingga curam (I5). Oleh karena itu SL tersebut diarahkan untuk tetap ditutupi hutan, terutama SL 20, 21 dan 22, sedangkan SL 19 dapat dikonversi menjadi lahan pertanian bila disertai dengan agroteknologi yang memadai dan harus disertai pula dengan izin dari Dephut RI. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian di DAS Batang Pelepat Kesesuaian Lahan untuk Karet Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang Pelepat dapat diketahui bahwa kelas kesesuaian lahan DAS Batang Pelepat untuk karet tergolong S2 (12 141 ha atau 24.54%) dan tergolong S3 seluas 19 463 ha (40.2%). Lahan yang tergolong tidak sesuai (N) mencapai 16 831 ha atau 34.73% (Tabel 18 dan Lampiran 24). Tabel 18 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk karet di DAS Batang berdasarkan satuan lahan Luas Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha S2-wa, eh 1, 2, 7, 8, 9, 10, 14, 23 3 958 S2-wa, nr 3, 4, 6 7 965 S2-wa, nr, eh 5 248 S3-nr 16 79 S3-eh 17, 19, 21 13 007 S3-nr, eh 11, 12, 13, 18, 20 6 377 N-eh 15, 22 16 831
Pelepat % 8.17 16.44 0.51 0.16 26.84 13.16 34.73
* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.
Faktor pembatas utama untuk pengembangan usahatani karet di kawasan ini adalah ketersediaan air karena curah hujan rata-rata tahunan di DAS Batang Pelepat hanya 2 359.12 mm/tahun, sedangkan karet membutuhkan curah hujan 2 500 – 3 000 mm/tahun. Faktor pembatas lain adalah pH dan kejenuhan basa (KB) tanah yang rendah dan kemiringan lereng dan erosi. Hal ini berkaitan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah hingga sangat rendah (Lampiran 20) dan sebagian besar topografi tergolong berbukit dan bahkan bergunung (Lampiran 18).
64 Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang pelepat, hanya sekitar 48% (23 213 ha) yang tergolong kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), sedangkan sekitar 52% (25 262 ha) tergolong kelas yang tidak sesuai (N) untuk kelapa sawit. Faktor pembatas lahan di DAS Batang Pelepat untuk pengembangan kelapa sawit adalah ketersediaan air, KB dan pH yang rendah dan lereng yang tergolong berbukit hingga bergunung (Tabel 19 dan Lampiran 24). Tabel 19 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan Luas Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha % S2-wa, eh 1, 2, 8, 10, 23 3 713 7.66 S2-wa, nr 3, 4, 6 7 965 16.44 S2-wa, nr, eh 5, 7, 9, 16 511 1.05 S3-eh 17, 18, 19 10 708 22.09 S3-nr, eh 11, 12 306 0.63 N-eh 13, 14, 15, 20, 21, 22 25 262 52.12 * S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.
Kesesuaian Lahan untuk Padi Ladang Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat, hanya 16 861 ha (34.79%) yang tergolong kelas tidak sesuai (N) untuk padi ladang dengan faktor pembatas lereng yang tergolong miring hingga curam. Lahan yang tergolong kelas cukup sesuai dan sesuai marginal dengan faktor penghambat yang sama (S2-nr,eh dan S3-nr,eh) terdapat seluas 3 713 ha dan 15 025 ha, sedangkan lahan yang tergolong kelas sesuai marginal dengan faktor penghambat pH dan KB rendah (S3-nr) dan kelas sesuai marginal dengan faktor lereng yang tergolong miring hingga curam masing-masing mencapai luas 8 476 ha dan 4 420 ha (Tabel 20 dan Lampiran 24). Tabel 20 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang berdasarkan satuan lahan Luas Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha S2-nr, eh 1, 2, 8, 10, 23 3 713 S3-nr 3, 4, 5, 6, 7, 9, 16, 8 476 S3-nr, eh 11, 12, 13, 18, 19, 20 15 025 S3-eh 14, 17, 21 4 420 N-eh 15, 22 16 861
Pelepat % 7.66 17.49 31.00 9.12 34.79
* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.
65 Kesesuaian Lahan untuk Pisang Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk pisang sebagian besar lahan (65.15% atau 31 573 ha) di DAS Batang Pelepat tergolong sesuai marginal (S3) dan sebagian lainnya (sekitar 16 892 ha
atau 34.85%) tergolong tidak
sesuai (N) untuk pisang. Faktor pembatas utamanya adalah KB dan pH tanah yang rendah serta lereng yang tergolong miring hingga curam (Tabel 21 dan Lampiran 24). Tabel 21 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk pisang di DAS Batang berdasarkan satuan lahan Luas Kelas Kesesuaian Lahan Satuan Lahan Ha S3-nr 1,2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 16, 23 12 189 S3-nr, eh 11, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 21 19 384 N-eh 14, 15, 22 16 892
Pelepat % 25.15 40 34.85
* S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, N = tidak sesuai, nr = retensi hara, eh = bahaya erosi.
Penggunaan lahan aktual sudah sesuai dengan kelas kesesuaian lahan untuk beberapa tanaman pertanian tersebut diatas, kecuali SL 15 yang saat ini ditutupi oleh kelapa sawit. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan, lahan ini tidak sesuai (N-eh) untuk semua tanaman tersebut diatas dengan faktor penghambat pH dan KB yang rendah (Lampiran 23). Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan di DAS Batang Pelepat untuk beberapa tanaman pertanian diatas diketahui bahwa pengembangan pertanian di kawasan ini mempunyai faktor pembatas terutama KB dan pH yang rendah serta lereng yang tergolong miring hingga curam. Berkaitan dengan faktor pembatas tersebut, pengembangan pertanian (UTKKS) berkelanjutan di DAS Batang Pelepat harus disertai dengan agroteknologi yang memadai untuk mengatasi pengaruh negatif faktor pembatas tersebut, terutama pemupukan dan teknik KTA. Karakteristik Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Usahatani di DAS Batang Pelepat terdiri atas 5 (lima) tipe usahatani karet, yaitu sesap karet I (SK I), sesap karet II (SK II), monokultur karet I (MK I), monokultur karet II (MK II), tumpangsari karet-gaharu (KRG) dan 2 (dua) tipe usahatani kelapa sawit, yaitu monokultur kelapa sawit (MKS) dan tumpangsari kelapa sawit-pisang (KSP). Lahan usahatani karet di DAS Batang Pelepat secara keseluruhan merupakan usahatani karet rakyat. Lahan usahatani karet rakyat umumnya ditanam secara monokultur dan campuran yang dikelola secara tidak intensif (62.43%). Hal ini dapat dilihat dari luas lahan tipe MK II yang mencapai 1
66 475 ha dan tipe SK seluas 8 005 ha. Luas lahan usahatani karet yang dikelola secara memadai (MK I) hanya 1 482 ha (9.71%). Usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat hanya meliputi 27.81% dari luas lahan pertanian atau 4 222 ha. Lahan usahatani kelapa sawit terdiri atas usahatani rakyat seluas 1 633 ha dan perkebunan swasta seluas 2 619 ha. Lahan usahatani rakyat terdiri atas MKS seluas 1 621 ha (99.27%) dan KSP seluas 12 ha (0.73%) (Tabel 22). Sistem pertanian yang diterapkan oleh petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat bersifat khas. Secara umum setelah pembukaan lahan dan sebelum tanaman karet dan kelapa sawit menutupi permukaan lahan, petani menanam padi ladang (Oryza sativa) dan pinang (Pinanga kuhlii) sebagai tanaman pagar. Kajian terhadap perbedaan dampak tipe UTKKS terhadap kondisi ekonomi petani dan lingkungan perlu diawali dengan pemahaman terhadap karakteristik agroteknologi setiap tipe UTKKS (Tabel 23). Tabel 22 Sebaran luas lahan berbagai tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat berdasarkan peta satuan lahan, Tahun 2005 Luas Lahan Tipe UTKKS ha % 28.46 4 321.00 - Sesap Karet I 24.26 3 684.00 - Sesap Karet II 9.76 1 482.00 - Monokultur Karet I 9.71 1 475.00 - Monokultur Karet II - Karet-Gaharu* 27.81 4 222.00 - Monokultur kelapa sawit - Kelapa sawit- Pisang* Luas Lahan Pertanian 15 184.00 100.00 * Karet-gaharu dan kelapa sawit-pisang tidak dapat diperlihatkan dalam peta penggunaan lahan dan peta SL karena luasannya yang sangat kecil (masing-masing 40 ha dan 12 ha). Sumber : Balitbang Pertanian (2005c).
Sesap Karet “Sesap karet” adalah campuran karet dengan tananam hutan, dan merupakan salah satu tipe usahatani karet khas di DAS Batang Pelepat. Tanaman hutan yang ditanam di sela karet berupa manau (Calamus manan Miq.), kayu balam (Palaquium Sp), kayu medang (Litsea Spp) dan kayu sungkai (Peronema canescens). Tanaman hutan ditanam beberapa tahun setelah karet tumbuh, sesuai dengan ketersediaan modal, bibit dan tenaga kerja yang dimiliki petani. Jarak tanam tidak teratur sehingga secara visual menyerupai hutan sehingga sering pula disebut ”hutan karet”. Sistem budidaya pada tipe SK tidak disertai tindakan pemupukan dan pemberantasan hama penyakit dan gulma serta menggunakan bibit sapuan atau lokal. Tipe SK yang terdapat di DAS Batang Pelepat ada 2 macam, yaitu campuran karet-kayu sungkai-manau (SK I) dan campuran karet-kayu balam-
Tabel 23 Deskripsi karakteristik setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Agroteknolgi Tipe UTKKS
*
Sesap Karet I
Sesap Karet II
Monokultur Karet I Monokultur Karet II
Karet-Gaharu Monokultur Kelapa Sawit
Kelapa Sawit-Pisang
*
Kondisi tutupan permukaan tanah
3mx7m
Populasi & Jenis Tanaman 500 karet, 100 manau dan 40 sungkai 500 karet, 50 balam dan 50 medang 460 karet
3mx7m
460 karet
Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun)
3 m x 7m
460 karet dan 429 gaharu 141kelapa sawit
Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) pada awal tanam dan selanjutnya hanya setiap 5 tahun
Jarak Tanam
Relatif rapat, dengan serasah = 13.7 ton/ha (BB) dan 5.66 ton/ha (BK) Relatif rapat, dengan serasah = 13.7 ton/ha (BB) dan 5.66 ton/ha (BK) Relatif terbuka; serasah = 5.8 ton/ha (BB) dan 2.28 ton/ha (BK) Rapat tetapi lebih jarang dibandingkan Sesap karet; Serasah 11.7 ton/ha (BB) dan 4.39 ton/ha (BK)
Tidak teratur
Relatif terbuka; serasah = 5.8 ton/ha (BB) dan 2.28 ton/ha (BK) Sama dengan Monokultur karet II dengan serasah = 13.1 ton/ha (BB) dan 3.95 ton/ha (BK) Sama dengan monokultur karet II dan monokultur kelapa sawit ; serasah = 13.1 ton/ha (BB) dan 3.95 ton/ha (BK)
Tidak teratur
8mx8m
8mx8m
141 kelapa sawit dan 121 pisang
Pemupukan
Penyiangan
Pemberantasan & Pengendalian HPT
Teknik KTA
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak Ada
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak Ada
Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian
Dilakukan
Seperlunya
Tidak Ada
Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh untuk menyadap karet Dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak Ada
Seperlunya
Tidak Ada
Seperlunya
Tidak Ada
Seperlunya
Tidak Ada
Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh memanen TBS Relatif tidak dilakukan, hanya di sepanjang jalan yang ditempuh memanen TBS
Setiap tipe UTKKS tetap menerapkan penanaman Padi Ladang sebagai tanaman sela pada 2 tahun pertama dan Pinang sebagai tanaman pagar.
kayu medang (SK II). Populasi tanaman pada tipe SK I adalah 500 batang karet, 100 batang manau dan 40 batang kayu sungkai, sedangkan populasi tanaman pada tipe SK II adalah 500 batang karet, 50 batang kayu balam dan 50 batang kayu medang. Penutupan SK terhadap permukaan tanah tergolong rapat karena tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh menutupi permukaan tanah. Tumbuhan semak belukar yang terdapat pada SK diantaranya adalah rumput jarum (Andropagon acciculatus), rumput teki (Kytlinga monocepela), rumput pahitan (Axohopus compresus), paku resam (Gleichenia linearis), paku sepat (Neprolepis exaltata) dan paku kawatan (Dicranopteris Spp). Berdasarkan pengukuran terhadap berat sampel serasah, total berat basah dan berat kering serasah pada tipe SK masing-masing adalah 13.70 ton/ha dan 5.66 ton/ha (Tabel 23). Sistem budidaya seperti tipe SK mempunyai nilai positif terhadap kondisi hidrologi DAS dan keanekaragaman hayati, tetapi tidak didukung oleh produksi yang optimal (Joshi et al. 2001). Monokultur karet Tipe MK di DAS Batang Pelepat karet terdiri atas 2 (dua) tipe, yaitu monokultur yang dikelola intensif (MK I) dan tidak intensif (MK II). Monokultur karet I (MK I) adalah budidaya karet yang ditanam secara monokultur dan pengelolaan yang lebih baik, namun belum disertai dengan teknik KTA. Karet ditanam dengan jarak tanam 3 m x 7 m (460 batang/ha) dan disertai pemupukan, pengendalian dan pemberantasan hama penyakit serta penyiangan. Pemupukan dilakukan sesuai dengan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b), yaitu urea sebanyak 100 kg/ha, TSP sebanyak 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha setiap tahun. Bibit yang digunakan umumnya juga bibit lokal, hanya sebagian kecil petani yang menggunakan bibit unggul. Penyiangan dilakukan hingga permukaan tanah relatif terbuka, hanya ditutupi oleh sedikit rumput-rumput pendek dan daun-daun karet yang gugur. Berdasarkan pengukuran terhadap sampel serasah, serasah yang menutupi permukaan tanah pada tipe MK I lebih sedikit (5.8 ton/ha berat basah dan 2.28 ton/ha berat kering) dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya (Tabel 23). Kondisi seperti ini menyebabkan permukaan tanah lebih mudah terkikis dan terangkut jika terjadi hujan. Pengangkutan tanah akan diikuti oleh pengangkutan unsur hara tanah dan atau pupuk yang diberikan, terutama jika pupuk diberikan secara sebar. Oleh sebab itu perlu adanya penerapan teknik KTA untuk mengurangi dan mencegah erosi dan meningkatkan efektivitas pemupukan.
Karet pada tipe monokultur karet II (MK II) juga ditanam dengan jarak 3 m x 7 m (460 batang/ha), namun tanaman dibiarkan tumbuh tanpa perawatan yang intensif (tidak seperti pada tipe MK I). Pemupukan juga hanya dilakukan pada saat tanaman belum menghasilkan, namun setelah dilakukan penyadapan (pada umur 6 – 7 tahun) pemupukan hanya dilakukan setiap 5 tahun. Bibit yang digunakan pada tipe MK II ini adalah bibit lokal (Tabel 23). Penyiangan sangat jarang dilakukan sehingga permukaan tanah ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. Penutupan permukaan lahan oleh tumbuhan semak belukar dapat menyebabkan persaingan terhadap tanaman karet sehingga produksi lateks tidak optimal. Kerapatan vegetasi yang cukup tinggi akan menghasilkan serasah yang lebih banyak (11.70 ton/ha berat basah dan 4.39 ton/ha berat kering) dibandingkan dengan tipe MK I. Tumpangsari Karet dan Gaharu Gaharu merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena harga gubal gaharu mencapai Rp2 000 000/kg (Dephut 2002). Tipe tumpangsari karet-gaharu (KRG) merupakan program Dishutbun Kabupaten Bungo yang diterapkan oleh 20 petani di DAS Batang Pelepat. Tipe KRG terdiri atas 460 batang karet (jarak tanam 3 m x 7 m) dan 429 batang gaharu yang ditanam diantara tanaman karet (Gambar 7). 7m
Kr
G
Kr
G
Kr 3m
Kr
G
Kr
G
Kr
Kr
G
Kr
G
Kr
Gambar 7 Komposisi tanaman karet dan gaharu pada tipe KRG di DAS Batang Pelepat.
Pengelolaan tipe KRG dilakukan secara intensif (seperti pada MK I) dengan penggunaan pupuk sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b). Tanaman gaharu juga diberi pupuk sesuai rekomendasi, yaitu 50 – 150 g urea/pohon, 50 – 150 g TSP/pohon dan 50 – 150 g KCl/pohon. Produksi gaharu diperkirakan mencapai 1 kg gubal, 10 kg kemedangan dan 15 kg abu dari setiap pohon gaharu (Dephut 2002 dan Sumarna 2005).
Monokultur Kelapa Sawit Petani di DAS Batang Pelepat umumnya juga menanam kelapa sawit secara monokultur (MKS). Jarak tanam yang digunakan adalah 8 m x 8 m (144 batang/ha), tetapi pengelolaannya juga kurang intensif (Tabel 23). Rumput dan tumbuhan semak belukar dibiarkan tumbuh diantara tanaman kelapa sawit karena penyiangan hanya dilakukan sambil mengambil hasil panen. Adapun berat basah serasah yang menutupi permukaan tanah adalah 13.10 ton/ha dan berat kering serasah sebesar 3.95 ton/ha. Pemupukan kelapa sawit hanya dilakukan pada saat tanam hingga menjelang tanaman menghasilkan, namun setelah tanaman menghasilkan pemupukan hanya dilakukan setiap 5 tahun (hampir tidak dilakukan). Pupuk yang digunakan untuk kelapa sawit oleh petani adalah NPK (35 kg/ha) dan MgSO4 (15 kg/ha); takaran ini lebih rendah dibandingkan dengan takaran pupuk yang direkomendasikan
oleh
PPKS
Medan
(1999)
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya pada Tabel 4. Tumpangsari Kelapa Sawit dan Pisang Usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat juga ada yang diterapkan dengan sistem tumpangsari dengan pisang (KSP). Komposisi tanaman untuk satu hektar lahan terdiri dari 144 batang kelapa sawit (jarak tanam 8 m x 8 m) dan 121 batang pisang yang ditanam diantara kelapa sawit (Gambar 8). Pisang dipelihara hingga kelapa sawit menghasilkan (empat tahun pertama) tanpa pemupukan. Seperti halnya MKS, tipe KSP juga tidak dikelola secara intensif dan permukaan lahan juga ditutupi oleh tumbuhan semak belukar. 8m
KS 8m
KS P
KS
P KS
P KS
KS P KS P
KS
KS
KS P
KS
KS
8m
Gambar 8 Komposisi kelapa sawit dan pisang pada tipe KSP di DAS Batang Pelepat.
Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Sifat-Sifat Tanah di DAS Batang Pelepat Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tipe UTKKS dan hutan berpengaruh
secara nyata terhadap beberapa sifat
tanah. Selanjutnya
berdasarkan uji DNMRT, sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS menunjukkan perbedaan dengan sifat-sifat tanah hutan, baik bobot isi (BI), total ruang pori (TRP), pori drainase cepat (PDC), pori drainase lambat (PDL), air tersedia (AT), permeabilitas, kapasitas infiltrasi, persentase agregat, kemantapan agregat maupun kadar C-organik tanah (Lampiran 25). Tipe MK I mempunyai pengaruh paling buruk terhadap sifat-sifat tanah dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Tanah pada tipe MK I mempunyai kepadatan paling tinggi dengan BI sebesar 1.14 g/cm3 dan TRP sebesar 56.98% dibandingkan dengan tanah pada tipe usahatani lainnya yang mempunyai BI sebesar 0.92 – 1.05 g/cm3 dan TRP sebesar 65.41 – 60.25% dan hutan yang mempunyai BI sebesar 0.81 g/cm3 dan TRP sebesar 69.43%. Tanah yang mempunyai kepadatan yang lebih tinggi mempunyai PDL yang lebih tinggi, sebaliknya mempunyai PDC dan AT yang lebih rendah (Tabel 24). Kepadatan tanah tinggi pada tipe MK I menyebabkan tanah mempunyai permeabilitas sebesar 8.34 cm/jam dan kapasitas infiltrasi sebesar 26.43 cm/jam; permeabilitas dan kapasitas infiltrasi ini lebih rendah dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya (Tabel 25). Tabel 24 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kepadatan dan pori tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Distribusi Pori (% Volume) Tipe Usahatani dan BI TRP hutan (g/cm3) (% Vol) PDC PDL Air Tersedia KR-1(MK I) 1.14 a 56.98 e 12.97 e 19.61 a 15.30 e KR-2(MK II) 0.98 c 63.14 c 16.91 c 17.97 c 21.26 c KR-3 (SK) 0.92 d 65.41 b 18.97 b 17.25 d 24.37 b KS-1(MKS) 1.05 b 60.25 d 15.70 c 18.55 b 20.39 c KS-2 (KSP) 1.04 b 60.88 d 14.40 d 18.79 b 18.61 d Ht (HS) 0.81 e 69.43 e 20.33 a 15.91 e 25.86 a * BI : Bobot Isi, TRP : total ruang pori, PDC : pori drainase cepat, PDL : pori drainase lambat. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT). Pengaruh
tipe MK I yang buruk terhadap sifat-sifat tanah tersebut dapat
disebabkan oleh kondisi permukaan tanah yang relatif terbuka dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya dan hutan. Kondisi tanah yang terbuka akan mempercepat proses pemadatan tanah. Selain itu jumlah serasah pada tipe MK I lebih sedikit dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya, yaitu 2.28 ton/ha berat kering (Tabel 23) sehingga kadar karbon organik tanah (COT) pada tipe MK I pun hanya 1.36% (Tabel 26) ; padahal kunci untuk mengurangi kepadatan tanah
adalah mempertahankan ketebalan serasah di permukaan tanah. Serasah dapat berfungsi untuk menjaga kekasaran permukaan tanah, kelembaban dan menyediakan pakan bagi mikroorganisme tanah seperti cacing (Hairiah et al. 2006). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepadatan tanah (bobot isi) semakin meningkat dengan berkurangnya jumlah serasah (Gambar 9). Peningkatan kepadatan tanah akibat menurunnya jumlah serasah pada gilirannya akan berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi (Gambar 10). Tabel 25 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Tipe Usahatani dan Hutan Permeabilitas (cm/jam) Kapasitas Infiltrasi (cm/jam) KR-1(MK I) 8.34 e 26.43 e KR-2(MK II) 41.20 d 30.42 d KR-3 (SK) 99.03 b 58.37 b KS-1(MKS) 50.63 d 32.53 d KS-2 (KSP) 75.89 c 44.31 c Ht (HS) 130.43 a 74.53 a * Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).
Tabel 26 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Kadar COT, persentase dan indeks kemantapan agregat tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Agregat Tanah Tipe Usahatani COT (%) dan Hutan % Agregat Indeks Kemantapan Agregat KR-1(MK I) 1.36 e 42.94 e 35.55 e KR-2(MK II) 1.56 d 47.80 d 86.67 d KR-3 (SK) 2.50 b 78.39 b 143.33 b KS-1(MKS) 1.59 d 47.60 d 86.67 d KS-2 (KSP) 1.80 c 56.75 c 110.00 c Ht (HS) 3.10 a 84.82 a 166.67 a * COT = C-organik tanah; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).
Berdasarkan hasil penelitian tipe SK mempunyai serasah yang paling banyak dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya, yaitu 5.66 ton/ha berat kering (Tabel 23). Jumlah serasah yang lebih banyak menyebabkan tanah yang ditutupi oleh SK mempunyai kandungan COT sebesar 2.50%; kandungan COT ini menunjukkan perbedaan dengan COT pada tipe usahatani lainnya yang hanya berkisar 1.36 – 1.80% dan hutan yang mempunyai COT sebesar 3.10% (Tabel 26). Hal ini disebabkan karena sistem agroforestri seperti SK mempunyai siklus hara yang berada diantara siklus hara tanah hutan (tertutup) dan siklus hara pada lahan pertanian (terbuka). Sistem agroforestri juga mempunyai sumber dan kualitas bahan organik dan unsur hara tanah yang variatif dan proses penyediaannya berlangsung terus menerus (Hairiah et al. 2007).
80.00 Y2 = 2.29x + 54.68 R2 = 0.96
1.40
70.00
Total Ruang Pori (% Vol)
1.20 3
Bobot Isi (g/cm )
60.00 1.00 50.00 0.80
40.00
0.60
Y1 = -0.06x + 1.2 R2 = 0.96
Berat Volume (Y1)
30.00
T otal Ruang Pori (Y2)
0.40
20.00
0.20
10.00 0.00
0.00 KR-1 (2.28) KS-1 (3.95) KS-2 (3.95) KR-2 (4.39) KR-3 (5.66)
Ht (9.71)
Berat Serasah (ton/ha)
Pengaruh berat serasah pada setiap tipe UTKKS dan HS terhadap Bobot Isi dan total ruang pori tanah di DAS Batang Pelepat.
140.00
140
Y1 = 20.60X - 4.51 2 R = 0.78
Permeabilitas (cm/jam)
120.00
100.00
120
Permeabilitas (Y1)
100
Kapasitas Infiltrasi (Y2) 80.00
80
60.00
60
Y2 = 9.48X + 11.24 2 R = 0.89
40.00
20.00
40
Kapasitas Infiltrasi (cm/jam)
Gambar 9
20
0.00
0 KR-1 (2.28)
KS-1 (3.95)
KS-2 (3.95)
KR-2 (4.39)
KR-3 (5.66)
Ht (9.71)
Berat Serasah (ton/ha)
Gambar 10 Pengaruh berat serasah terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat.
Kondisi serasah dan COT yang lebih tinggi menyebabkan tanah yang ditutupi oleh SK mempunyai sifat tanah yang lebih baik dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Tanah pada tipe SK mempunyai tingkat kepadatan yang paling rendah (BI sebesar 0.92 g/cm3 dan TRP sebesar 65.41%) sehingga mempunyai permeabilitas dan kapasitas infiltrasi yang lebih cepat, yaitu 99.03 dan 58.37 cm/jam (Tabel 25). Kandungan COT yang lebih tinggi (2.50%) tersebut juga menyebabkan tanah ini mempunyai persentase (78.39%) dan indeks kemantapan agregat (143.33) yang lebih baik dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya yang hanya mempunyai persentase agregat sebesar 42.94 – 56.75% dan indeks kemantapan agregat sebesar 35.55 – 110.00 (Tabel 26).
Pengaruh positif SK terhadap sifat-sifat tanah juga didukung oleh sistem perakaran tanaman yang lebih dalam dan kompleks karena tipe SK terdiri atas tanaman yang lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya. Perkembangan perakaran tanaman juga mampu menekan dan memperenggang agregat tanah yang berdekatan. Penyerapan air oleh akar tanaman dapat menyebabkan dehidrasi, pengkerutan dan terbentuknya rekahanrekahan kecil. Proses ini juga mendukung terbentuknya pori yang lebih besar (makroporositas). Selain itu banyaknya akar dapat meningkatkan produksi exudant dan akar yang mati juga merupakan sumber bahan organik tanah yang mampu
memacu
aktivitas
mikroorganisme
sehingga
dapat
mengurangi
kepadatan tanah (Widianto et al. 2003). Tanah hutan juga menunjukkan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi yang lebih cepat dibandingkan dengan pada lahan UTKKS, yaitu 130.43 dan 74.53 cm/jam (Tabel 25). Hal ini disebabkan karena tanah hutan mempunyai pori yang banyak sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah serta turnover (penetrasi) perakaran yang lebih dalam. Sistem perakaran vegetasi penyusun hutan sangat mendukung pembentukan pori dan struktur tanah yang lebih baik (Susswein et al. 2001). Tanah hutan juga mempunyai serasah yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah pada semua tipe UTKKS, yaitu 19.18 ton/ha (berat basah) atau 9.71 ton/ha (berat kering) (Tabel 23) dan bobot Isi tanah 0.81 g/cm3 (Tabel 24). Jumlah serasah yang lebih banyak juga berpengaruh positif terhadap peningkatan permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah hutan (Gambar 10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS berbeda dengan sifat-sifat tanah hutan, tetapi sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS tersebut masih lebih baik bila dibandingkan dengan sifat-sifat tanah pada lahan pertanian tanaman pangan. Berdasarkan hasil penelitian Juarsah (2008), lahan pertanian tanaman pangan (padi gogo-palawija) mempunyai tingkat kepadatan yang lebih tinggi (BI = 1.22 – 1.30 g/cm3 dan TRP 54.00 – 50.95%), PDC sebesar 12.00 – 12.95%, permeabilitas yang lebih lambat (1.85 – 2.95 cm/jam) dan COT yang lebih rendah yaitu 1.13 – 1.34%. Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Aliran Permukaan dan Erosi di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (analisis ragam pada Lampiran 25). Aliran permukaan dan erosi pada tanah dengan tutupan HS lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan dan erosi pada lahan UTKKS. Aliran permukaan dan erosi pada lahan pertanian yang paling
tinggi terjadi pada lahan usahatani MK I (6.92 mm atau 28.07% dari jumlah hujan dan 0.58 ton/ha) dan menunjukkan perbedaan dengan aliran permukaan dan erosi pada tipe usahatani lainnya, sedangkan aliran permukaan dan erosi paling rendah terjadi pada tipe SK (3.53 mm atau 14.31% dari jumlah hujan dan 0.12 ton/ha). Aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada lahan usahatani karet bervariasi sesuai tipe usahatani, tetapi aliran permukaan dan erosi pada lahan usahatani kelapa sawit
(MKS dan KSP) tidak menunjukkan perbedaan satu
sama lainnya, yaitu 5.09 mm atau 9.98% dari jumlah hujan dan 0.24 ton/ha pada tipe MKS dan 4.93 mm atau 22.25% dari jumlah hujan dan 0.23 ton/ha pada tipe KSP (Tabel 27). Tabel 27 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap aliran permukaan serta erosi tanah di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Tipe Usahatani dan Hutan KR-1(MK I) KR-2(MK II) KR-3 (SK) KS-1(MKS) KS-2 (KSP) Ht (HS) *
1
Berat Serasah (ton/ha) 2.28 4.39 5.66 3.95 3.95 9.71
Aliran Permukaan
1
(mm)
% Hujan
6.92 a 5.04 b 3.53 c 5.09 b 4.93 b 0.12 d
28.07 20.43 14.31 19.98 22.25 0.49
Konsentrasi 1 Sedimen (g/l) 8.40 4.10 3.50 4.80 4.60 0.001
1
Erosi (ton/ha) 0.58 a 0.21 b 0.12 c 0.24 b 0.23 b 1.2x10-6 d
= berdasarkan rata-rata dari 5 kejadian hujan (curah hujan 24.67 mm). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DNMRT).
Kondisi aliran permukaan dan erosi yang demikian berkaitan dengan kondisi tutupan permukaan lahan dan kepadatan tanah. Tutupan permukaan tanah bergantung pada jumlah serasah, kerapatan dan jenis vegetasi yang menutupi permukaan lahan. Penot dan Budiman (2004) mengemukakan bahwa salah satu nilai positif dari agroforestri karet (SK) adalah kapasitas penutupannya terhadap tanah sehingga dapat mengendalikan erosi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tutupan yang lebih rapat pada sistem tanam polikultur (campuran) dan tutupan permukaan tanah oleh semak belukar pada lahan UTKKS (kecuali MK I) dan hutan mengakibatkan adanya serasah yang lebih banyak (Tabel 27). Berat serasah yang lebih tinggi menyebabkan aliran permukaan dan erosi lebih rendah (Gambar 11A) karena serasah dapat menyumbangkan BOT yang mempunyai kapasitas memegang air (water holding capasity) yang relatif tinggi dan meningkatkan pori makro melalui aktivitas mikroorganisme tanah sehingga kepadatan tanah menurun dan infiltrasi meningkat (Hairiah et al. 2007) dan berfungsi sebagai filter sehingga semakin tinggi berat serasah menyebabkan konsentrasi sedimen semakin menurun (Gambar 11B).
Pengaruh jumlah serasah terhadap aliran permukaan dan erosi juga berkaitan dengan pengaruhnya terhadap kepadatan tanah. Lahan usahatani dengan tipe MK I relatif terbuka dan mempunyai kepadatan yang lebih tinggi (BI = 1.14 g/cm3) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (BI = 0.92 – 1.05 g/cm3) dan HS (0.81 g/cm3) (Tabel 24). Kondisi ini menyebabkan air lebih lambat terinfiltrasi ke dalam tanah sehingga aliran permukaan lebih cepat terjadi dan jumlahnya juga akan lebih besar (Gambar 12). Lahan usahatani kelapa sawit (MKS dan KSP) dan MK II mempunyai kondisi tutupan permukaan lahan dan tingkat kepadatan tanah yang sama sehingga aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada kedua tipe usahatani kelapa sawit tersebut tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 27).
Gambar 11 Pengaruh berat serasah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah (A) serta konsentrasi sedimen (B) di DAS Batang Pelepat.
Gambar 12 Pengaruh bobot isi tanah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat.
Data
erosi
hasil
pengukuran
langsung
tersebut
hanya
dapat
menggambarkan perbedaan erosi antar tipe UTKKS dan hutan, sedangkan erosi keseluruhan pada setiap tipe UTKKS tersebut diprediksi dengan model USLE. Prediksi erosi di DAS Batang Pelepat menunjukkan bahwa penggunaan lahan aktual menyebabkan erosi sebesar 0.84 – 838.31 ton/ha/tahun. Erosi terbesar terjadi pada lahan pertanian yaitu SL 15 dan erosi terkecil terjadi pada lahan nonpertanian (hutan) yaitu SL 22. Secara keseluruhan erosi yang terjadi di DAS Batang Pelepat mencapai 3 433 481.62 ton/tahun atau rata-rata 70.84 ton/ha/tahun. Erosi pada lahan pertanian (2 592 060.13 ton/ha atau rata-rata 170.71 ton/ha/tahun) lebih besar dibandingkan dengan erosi pada lahan non pertanian yang hanya 841 421.48 ton/tahun atau rata-rata 25.28 ton/ha/tahun (Lampiran 27). Erosi pada lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari karena tanah selalu terganggu, tetapi kerusakan lahan dapat dikurangi dengan mengendalikan erosi. Kerusakan lahan akibat erosi dapat diindikasikan dengan erosi yang lebih besar dibandingkan dengan Etol. Etol setiap SL di DAS Batang Pelepat juga bervariasi antara 5.95 – 43.12 ton/ha/tahun (Gambar 13). Perbedaan Etol setiap SL tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis tanah, kedalaman tanah, kedalaman minimum perakaran dan berat volume. Kedalaman tanah di DAS Batang Pelepat berkisar 880 – 1 600 cm dengan faktor yang berkisar 0.80 – 1.00. Kedalaman minimum perakaran bergantung pada penggunaan lahan (jenis tanaman yang menutupi tanah). Lahan yang ditutupi oleh tanaman perkebunan mempunyai kedalaman minimum perakaran 50 cm, sedangkan semak belukar dan hutan masing-masing mempunyai kedalaman minimum perakaran 30 cm dan 90 cm. Perbedaan jenis tanah dan tipe penggunaan lahan menyebabkan bobot isi tanah pun bervariasi antara 0.94 – 0.98 g/cm3 sehingga pada gilirannya juga berpengaruh terhadap besarnya Etol (Lampiran 28). Berdasarkan prediksi, erosi yang terjadi pada lahan pertanian umumnya melebihi Etol, kecuali pada SL yang mempunyai kemiringan lereng <8%, yaitu SL 1 (22.23 ton/ha/tahun), SL 3 (12 ton/ha/tahun) dan SL 6 (12.27 ton/ha/tahun) dengan Etol masing-masing sebesar 43.12 ton/ha/tahun pada SL 1 dan 29.44 ton/ha/tahun pada SL 3 dan 6. Ketiga SL tersebut digunakan sebagai lahan pertanian berupa MK I (SL 3), MK II (SL 1) dan SK (SL 6). Erosi terbesar pada lahan pertanian terjadi pada SL 15, yaitu 838.31 ton/ha/tahun, padahal Etolnya hanya 21.31 ton/ha/tahun (Gambar 13A dan Lampiran 27). Satuan lahan (SL) 15
mempunyai kemiringan lereng 30% dan ditanami kelapa sawit berumur sekitar 4 tahun (lahan relatif banyak yang terbuka). Erosi parit yang berasal dari jatuhan air pelepah daun kelapa sawit telah terlihat pada SL 15. Prediksi erosi pada lahan non pertanian menunjukkan bahwa hanya SL yang ditutupi oleh hutan yang mempunyai erosi lebih kecil dari Etol, yaitu SL 19, 20, 21 dan 22. Satuan lahan yang terbuka (SL 23) dan yang ditutupi oleh semak belukar (SL 17 dan 18) mempunyai erosi yang juga lebih besar dari Etol (Gambar 13B). 16
15.79
15
21.31
B
52.25
23
186.45
838.31 31.33
14
172.86
13
21.31
12
30.72
11
30.72 83.57
10
28.05 46.19
9
30.72
9.46
22
195.12
0.84
413.83
Erosi
Etol
126.24 42.90
8
230.97
7
26.40 26.79
6
29.44 12.27
16.49
21 Satuan Lahan
S a tu a n L a h a n
A
155.38
1.61
29.44 66.80
4
29.44 51.80
Etol
5.95
20
2.11
21.77
19
5
Erosi
2.44
27.57
18
579.95
29.44 12.00
3 2
43.12 51.79
1
43.12 22.23
-
75
150 225 300 375 450 525 600 675 750 825 900
Erosi (ton/ha/thn)
Gambar 13
38.80
17
357.10
-
75 150 225 300 375 450 525 600 675 750 825 900
Erosi (ton/ha/thn)
Prediksi erosi dan Etol pada setiap satuan lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian (A) dan non-pertanian (B) di DAS Batang Pelepat.
Berkaitan dengan adanya beberapa tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat, prediksi erosi pada lahan pertanian dapat dirinci berdasarkan tipe UTKKS tersebut pada berbagai kemiringan lereng. Prediksi erosi tersebut menunjukkan bahwa erosi yang terjadi berkisar 2.78 – 1 341.29 ton/ha/tahun; sebagian besar erosi tersebut melebihi Etol (21.31 – 43.12 ton/ha/tahun), kecuali erosi yang terjadi pada lereng 2% (2.78 – 22.23 ton/ha/tahun) dan 7% dengan tipe SK sebesar 12.27 ton/ha/tahun (Gambar 14 dan Lampiran 29). Berdasarkan prediksi erosi akibat penerapan berbagai tipe UTKKS tersebut dapat dikatakan bahwa erosi yang terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng 3 – < 8% masih dapat dikendalikan bila ditutupi oleh kanopi
tanaman yang rapat seperti tipe SK. Tipe SK mempunyai kapasitas penutupan yang lebih rapat (C = 0.10) terhadap pemukaan tanah dibandingkan dengan tipe MK I, MK II, KRG, MKS dan KSP. Tipe MK I mempunyai kapasitas penutupan yang tergolong jarang terhadap pemukaan tanah (C = 0.80), sedangkan MK II, KRG, MKS dan KSP mempunyai kapasitas penutupan yang tergolong sedang terhadap permukaan tanah (C = 0.50). Menurut
Suprayogo et al. (2007),
peningkatan diversivitas tanaman pohon seperti pada sistem agroforestri multistrata atau
penanaman LCC adalah teknik KTA vegetatif yang dapat
memulihkan laju infiltrasi dan kondisi makroporositas. Tanaman LCC dapat menjadi sumber serasah sehingga dapat menyumbangkan bahan organik tanah (BOT). Zheng et al. (2004) dan Terra et al. (2006) mengemukakan bahwa peningkatan kandungan karbon organik tanah akibat teknik KTA cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan.
Gambar 14 Pengaruh penerapan setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng terhadap erosi di DAS Batang Pelepat.
Penggunaan LCC sangat terbatas pada kemiringan lereng 0 – <15%, sedangkan penggunaannya pada lahan dengan kemiringan lereng ≥ 15% menunjukkan efektivitas yang rendah. Oleh karena itu dalam pengembangan tanaman perkebunan pada lereng yang lebih curam, penerapan LCC juga harus disertai dengan teras gulud atau teras kebun untuk menekan aliran permukaan dan erosi. Teras gulud efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng 10 – 40% dan teras kebun masih efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan 30 – 50% (Ditjen PLA 2007a).
Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Batang Pelepat Karakteristik Petani Karet dan Kelapa Sawit di DAS Batang Pelepat Berdasarkan hasil penelitian, jumlah rumah tangga (RT) tani di DAS Batang Pelepat adalah 2 014 atau sekitar 93.50% dari jumlah KK yang ada di DAS Batang Pelepat. Petani di DAS Batang Pelepat sebagian besar (91.04%) adalah petani karet dan sebagian kecil (8.96%) petani kelapa sawit yang menerapkan beberapa tipe usahatani, yaitu SK I (31.34%), SK II (25.87%), MK I (9.95%), MK II (22.95%), KRG (0.99%), MKS (8.46%) dan KSP (0.50%) (Tabel 28). Tabel 28 Sebaran jumlah petani karet dan kelapa sawit berdasarkan tipe usahatani di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Jumlah Tipe UTKKS Orang % Sesap Karet I 63 31.34 Sesap Karet II 52 25.87 Monokultur Karet I 20 9.95 Monokultur Karet II 46 22.89 Karet-Gaharu 2 0.99 Monokultur Kelapa Sawit 17 8.46 Kelapa Sawit-Pisang 1 0.50 Jumlah 201 100.00
Sebaran jumlah petani berdasarkan tipe UTKKS menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil petani yang mengelola tanaman secara memadai (MK I dan KRG). Pengelolaan usahatani yang tidak memadai di DAS Batang Pelepat disebabkan oleh keterbatasan modal tunai. Berdasarkan hasil penelitian, petani di DAS Batang Pelepat memiliki modal sebesar Rp6 000 000/KK (Rp2 000 000 modal tunai dan Rp4 000 000 modal tenaga kerja setara dengan 250 HOK). Keterbatasan modal pula yang menyebabkan petani hanya mampu mengelola sebagian lahan (2 ha) yang dimilikinya, walaupun petani memiliki lahan rata-rata 5 ha/KK (Tabel 29). Table 29 Sebaran luas kepemilikan lahan dan luas lahan usahatani per KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat, Tahun 2006 Desa Luas Lahan yang dimiliki (ha) Luas Lahan usahatani (ha) Batu Kerbau 4.22 2.50 Baru Pelepat 5.26 1.50 Rantel 6.78 2.00 Balai jaya 6.29 1.50 Rantau Keloyang 5.18 2.00 Rata-Rata 5.28 1.90
Petani juga mempunyai tingkat pendidikan (formal) yang tergolong rendah karena sebagian besar (76.12%) petani hanya lulusan sekolah dasar (SD) dan bahkan sekitar 0.99% petani tidak pernah menempuh pendidikan formal (Tabel 30). Tingkat pendidikan yang relatif rendah merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat adopsi petani di kawasan ini terhadap agroteknologi usahatani, selain modal yang terbatas. Tabel 30 Sebaran tingkat pendidikan petani karet dan kelapa sawit Pelepat, Tahun 2006 Jumlah Tingkat Pendidikan Orang Tidak sekolah 2 SD 153 SLTP 8 SLTA 32 Perguruan Tinggi 6 Jumlah 201
di DAS Batang % 0.99 76.12 3.98 15.92 2.99 100.00
Pengaruh Tipe UTTKS terhadap Produksi Tanaman Produksi Karet Produksi karet di DAS Batang Pelepat bervariasi antara 652.17 – 1 362.75 kg lateks/ha/tahun; sesuai dengan tipe usahatani. Tipe SK mulai berproduksi pada umur 8 tahun dan umur produktif mencapai 30 tahun, tetapi produksinya tergolong rendah, yaitu 652.17 kg lateks/ha/tahun. Karet pada tipe MK I dan KRG mulai berproduksi pada umur 6 tahun, tetapi umur produktifnya hanya 25 tahun dengan produksi 1 362.75 kg lateks/ha/tahun dan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada SK dan MK II yang masing-masing hanya 652.17 dan 822.25 kg lateks/ha/tahun (Tabel 31). Tabel 31 Sebaran produksi karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani Jenis Tanaman SK I SK II MK I MK II KRG MKS KSP a 652.17 652.17 1 362.75 822.25 1 362.75 1. Karet 4110 2. Manaub 40 3. Sungkaic c 4. Medang 50 5. Balamc 50 6. Gaharud 680 e 7. Klp. Sawit - 11 000 11 000 8. Pisangf 737.5 9. Padig 1 250 1 250 1 250 1 250 1 250 1 250 1 250 10. Pinangh 700 700 700 700 700 700 700 11. Ky.Karetc 100 100 100 100 100 *
a = dalam kg lateks/ha dan b = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, c = m3 kayu d e f g bulat/ha/tahun, = kg gubal/ha/tahun, = kg TBS/ha/tahun, = kg buah segar/ha/tahun, = kg h GKG/ha/tahun dan = kg biji kering/ha/tahun.
Produksi karet maksimum pada setiap tipe usahatani juga dicapai pada waktu (umur tanaman karet) yang berbeda. Produksi karet pada tipe SK mencapai maksimum pada umur 20 tahun (1 100 kg lateks/ha), sedangkan produksi maksimum pada tipe MK II tercapai pada umur 15 tahun (1 500 kg lateks/ha) dan pada tipe MK I dan KRG tercapai pada umur 13 tahun (1 700 kg lateks/ha). Produksi karet maksimum pada tipe MK I dan KRG dapat diperoleh selama 3 tahun, yaitu umur tanaman 13 – 15 tahun setelah tanam (Gambar 15 dan Lampiran 13). Produksi karet pada semua tipe usahatani juga masih tergolong rendah dibandingkan dengan standar atau potensi produksi karet, yaitu 1 737.5 kg lateks/ha/tahun dengan produksi maksimum pada tahun sadap ke 9 (umur 14 tahun setelah tanam), yaitu sebesar 2 350 kg lateks/ha (Anwar 2006). Rendahnya produksi karet disebabkan karena pengelolaan yang belum memadai, sedangkan perbedaan produksi pada setiap tipe UTKKS disebabkan oleh perbedaan sistem pengelolaannya. 1800
S e sa p K a re t
Produksi Karet (kg lateks/ha)
1600 Mon o ku ltur K a re t II
1400 Mon o ku ltur K a re t I d a n K a re t‐G a h a ru
1200 1000 800 600 400 200 0 0
1
2
3 4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Umur Tanaman (tahun)
Gambar 15
Perbandingan sebaran produksi karet berdasarkan umur tanaman pada setiap tipe usahatani karet di DAS Batang Pelepat
Produksi Kelapa Sawit Produksi kelapa sawit di DAS Batang Pelepat hanya sekitar 11 000 kg TBS/ha/tahun; produksi ini masih di bawah potensi produksi TBS pada lahan kelas S3 yang mencapai 22 000 kg TBS/ha/tahun (Tabel 31). Produksi TBS bervariasi sesuai umur tanaman dan mencapai produksi maskimum pada umur yang berbeda. Teknik budidaya kelapa sawit aktual mengakibatkan produksi maksimum
tercapai
agroteknologi
yang
pada
umur
tanaman
ideal
pada
lahan
14
dengan
tahun, kelas
tetapi
penerapan
kesesuaian
S3
mengakibatkan produksi maksimum tercapai pada umur tanaman 9 – 13 tahun (Gambar 16 dan Lampiran 13). Tipe usahatani kelapa sawit di DAS Batang Pelepat menerapkan sistem tanam monokultur (MKS) dan tumpangsari (KSP), namun belum disertai dengan agroteknologi yang memadai. Kedua tipe usahatani kelapa sawit tersebut menghasilkan jumlah produksi TBS yang sama.
Produksi TBS (kg/ha)
30000
25000 20000
15000
10000 Potensi Produksi pada Kelas Kesesuaian Lahan S3 Produksi Aktual
5000
0 0
1 2
3 4
5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur Tanaman (tahun) Gambar 16
Perbandingan sebaran produksi TBS berdasarkan umur tanaman di DAS Batang Pelepat dengan potensi produksi pada lahan kelas S3.
Produksi Tanaman Sela Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa produksi padi ladang sebagai tanaman sela hanya mencapai 1 250 kg GKG/ha/tahun dan produksi pinang adalah sekitar 700 kg biji kering/ha/tahun. Pisang adalah pilihan komoditi yang ditanam secara tumpangsari dengan kelapa sawit yang mempunyai kapasitas produksi 80 tandan pada tahun pertama dan 170 tandan pada tahun kedua hingga tahun keempat, sehingga produksi rata-rata mencapai 147.5 tandan/ha/tahun atau 737.75 kg/ha/tahun (Tabel 31 dan Lampiran 13). Tanaman kehutanan berupa manau yang dijadikan tanaman sela pada tipe SK I mencapai produksi rata-rata 4.11 ton/ha (dari 100 batang manau/ha) dan kayu sungkai dengan populasi 40 batang/ha dapat menghasilkan 40 m3 kayu bulat/ha. Berat jenis kayu sungkai menurut Martawijaya (2005a) adalah 0.63 g/cm3 sehingga 40 m3/ha kayu bulat tersebut setara dengan 25.20 ton/ha kayu bulat. Tanaman kehutanan lainnya yang digunakan sebagai tanaman sela pada usahatani karet adalah kayu medang dan kayu balam. Kedua jenis tanaman ini ditemukan pada SK II dengan populasi masing-masing 50 batang/ha dengan produksi sekitar 50 m3 kayu bulat/ha. Menurut Martawijaya (2005b), berat jenis
kayu medang dan balam adalah 0.56 g/cm3 sehingga 50 m3/ha kayu bulat tersebut setara dengan 11.20 ton/ha kayu bulat (Tabel 31 dan Lampiran 13). Selain tanaman sela, kayu karet yang sudah tua juga memberi kontribusi terhadap pendapatan petani. Berdasarkan hasil penelitian setiap hektar kebun karet rakyat dapat menghasilkan sekitar 100 m3 kayu karet (Tabel 31). Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Pendapatan dan Kelayakan Usahatani di DAS Batang Pelepat Berdasarkan analisis usahatani dapat diketahui bahwa pendapatan petani karet berkisar Rp5 800 000 hingga 59 360 000/ha/tahun. Pendapatan tertinggi akan diperoleh dari tipe KRG, tetapi saat ini tanaman belum menghasilkan, sedangkan pendapatan terendah diperoleh dari tipe MK II, yaitu Rp5 800 000/ha/tahun. Tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat mempunyai struktur biaya, penerimaan
dan
pendapatan
yang
berbeda
karena
dikelola
dengan
agroteknologi yang berbeda (Tabel 32 dan Lampiran 30). Diversifikasi tanaman pada tipe UTKKS memberikan kontribusi terhadap pendapatan usahatani. Berdasarkan analisis usahatani diketahui bahwa pendapatan pada tipe usahatani campuran lebih tinggi dibandingkan pendapatan pada usahatani monokultur. Pendapatan pada tipe SK dan KRG lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur karet dan pendapatan dari tipe KSP lebih tinggi dibandingkan dengan MKS. Pendapatan yang diperoleh petani karet lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh petani kelapa sawit. Petani MKS mempunyai pendapatan sekitar Rp8 000 000 dan petani KSP mempunyai pendapatan sekitar Rp8 100 000 (Tabel 32). Tabel 32 Distribusi biaya, penerimaan dan pendapatan serta kebutuhan luas lahan minimal (Lmin) setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Biaya Penerimaan Pendapatan Lmin Tipe UTKKS Juta Rp/ha/tahun Juta Rp/ha/tahun Juta Rp/ha/tahun (ha) Sesap Karet I 1.24 7.36 6.12 2.94 Sesap Karet II 1.10 6.90 5.80 3.10 Monokultur Karet I 1.95 9.79 7.84 2.30 Monokultur Karet II 1.42 6.87 5.45 3.30 Karet-Gaharu (TBM)* 2.74 62.10 59.36 0.30 Monokultur K.Sawit 1. 00 9.00 8.00 2.25 Kelapa sawit-Pisang 1.16 9.26 8.10 2.22 * Hasil Prediksi karena tanaman belum menghasilkan
Berdasarkan hasil penelitian PKHL di DAS Batang Pelepat adalah Rp18 000 000/KK. Pendapatan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat yang berasal dari 2 ha lahan belum dapat memenuhi PKHL, kecuali petani yang menerapkan tipe KRG (Gambar 17). Tingginya pendapatan dari tipe KRG
disebabkan oleh tingginya nilai ekonomi gubal gaharu (Rp2 000 000/kg), namun pengembangannya sangat dibatasi oleh pengetahuan petani untuk mengelola tanaman tersebut karena petani hanya terbiasa mengelola tanaman karet. Pengembangan tipe KRG di DAS Batang Pelepat masih bergantung pada fasilitas
pemerintah,
padahal
menurut
Sinukaban
(2007b)
pertanian
Pendapatan (Juta Rupiah/2 ha/tahun)
berkelanjutan harus dapat dikembangkan oleh petani secara mandiri. 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
2%
7%
14%
30%
Pendapatan SK I
12.24
12.24
12.24
12.24
Pendapatan SK II
11.60
11.60
11.60
11.60
Pendapatan MK I
15.68
15.68
15.68
15.68
Pendapatan MK II
10.92
10.92
10.92
10.92
Pendapatan KRG
118.72
118.72
118.72
118.72
Pendapatan MKS
16.00
16.00
16.00
16.00
Pendapatan KSP
16.20
16.20
16.20
16.20
PKHL
18.00
18.00
18.00
18.00
Kemiringan Lereng (%)
Gambar 17 Pengaruh tipe UTKKS pada lahan seluas 2 ha terhadap pendapatan petani berdasarkan kelas kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat.
Berdasarkan perbandingan PKHL dan pendapatan dari setiap tipe UTKKS dapat diketahui bahwa untuk memenuhi PKHL petani harus mengelola lahan yang lebih dari 2 ha, kecuali petani KRG (0.30 ha). Luas lahan minimal yang dibutuhkan petani untuk mencapai PKHL berkisar antara 2.20 – 3.30 ha (Tabel 32), sesuai tipe UTKKS yang dipilih. Pemanfaatan seluruh lahan yang dimiliki petani (5 ha) mengakibatkan petani dapat memenuhi PKHL, namun saat ini petani tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola seluruh lahan yang dimilikinya dan akan semakin meningkatkan luas lahan terdegradasi. Ketercapaian PKHL melalui usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan usahatani atau menunjukkan keberlanjutan suatu usahatani. Selanjutnya
PKHL
digunakan
sebagai
salah
satu
indikator
penilaian
keberlanjutan UTKKS di DAS Batang Pelepat dan PKHL tersebut juga digunakan sebagai salah satu target (target pendapatan) dalam optimalisasi UTKKS berkelanjutan dengan PTG.
Kelayakan UTKKS juga dapat dinilai berdasarkan analisis kelayakan terhadap masing-masing tipe UTKKS. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa tipe SK dan MK II tidak layak. Tipe usahatani yang layak adalah MK I, KRG, MKS dan KSP yang hanya diterapkan oleh sebagian kecil petani (Tabel 33 dan Lampiran 30). Hasil analisis kelayakan UTKKS sesuai dengan kondisi masyarakat (petani) di DAS Batang Pelepat yang umumnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak (masih miskin). Pendapatan sebagian besar masyarakat tergantung pada UTKKS (93.50% atau 2 014 KK), terutama tipe SK (57.21%) dan MK II (22.89%). Hasil analisis kelayakan menunjukkan bahwa tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat masih memerlukan penyempurnaan agroteknologi agar penanaman investasi petani pada UTKKS menguntungkan dan memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Tabel 33 Pengaruh tipe UTKKS terhadap tingkat kelayakan usahatani di DAS Batang Pelepat Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rp) IRR (%) Sesap Karet I 0.99 -0.10 11.96 Sesap Karet II 0.77 -3.42 10.65 Monokultur Karet I 1.40 8.29 15.01 Monokultur Karet II 0.96 0.76 11.68 Karet-Gaharu (TBM) 16.08 529.09 57.40 Monokultur Kelapa Sawit 3.26 31.89 26.47 Kelapa sawit-Pisang 3.15 33.41 28.00
Perencanaan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Berdasarkan analisis pengaruhnya terhadap erosi dan pendapatan serta kelayakan usahatani diatas, semua tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat dinilai tidak berkelanjutan sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap tipe
UTKKS yang sudah ada melalui perbaikan agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Semua tipe UTKKS (kecuali KRG) di DAS Batang Pelepat dapat dijadikan alternatif dalam pemilihan usahatani berkelanjutan yang local based yang disertai dengan 2 skenario agroteknologi. Skenario Agroteknologi 1 (SA1) Skenario agroteknologi 1 (SA1) adalah pengaturan jarak tanam pada tipe SK (untuk penanaman baru), penerapan teknik pemupukan dan KTA (Tabel 34). Pupuk yang digunakan untuk karet adalah urea, TSP dan KCl dengan takaran
Tabel 34 Deskripsi skenario agroteknologi 1 (SA1) dan skenario agroteknologi 2 (SA2) pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Skenario Agroteknologi 1 (SA1) Sesap Karet I
Jarak Tanam 3 m x 7 m**
Sesap Karet II
3 m x 7 m**
Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang
3mx7m
Populasi & Jenis Tanaman 460 karet, 128 manau dan 128 sungkai 460 karet, 128 balam dan 128 medang 460 karet
8mx8m
141kelapa sawit
8mx8m
141 kelapa sawit dan 121 pisang
Sesap Karet I
Jarak Tanam 3 m x 7 m**
Sesap Karet II
3 m x 7 m**
Monokultur Karet Monokultur Kelapa Sawit Kelapa SawitPisang
3mx7m
Populasi & Jenis Tanaman 460 karet, 128 manau dan 128 sungkai 460 karet, 128 balam dan 128 medang 460 karet
8mx8m
141kelapa sawit
8mx8m
141 kelapa sawit dan 121 pisang
Tipe UTKKS*
Tipe UTKKS*
Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b)
Seperlunya
Pemberantasan & Pengendalian HPT Seperlunya
Sesuai rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b)
Seperlunya
Seperlunya
LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%)
Sesuai rekomendasi Balitbang Seperlunya Pertanian (2005b) Sesuai rekomendasi Balitbang Seperlunya Pertanian (2005b) Sesuai rekomendasi Balitbang Seperlunya Pertanian (2005b) Skenario Agroteknologi 2 (SA2)
Seperlunya
LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%)
Pemupukan
Penyiangan
Seperlunya Seperlunya
Teknik KTA LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%)
Rekomendasi BPP Sembawa (2003)
Seperlunya
Pemberantasan & Pengendalian HPT Seperlunya
Rekomendasi BPP Sembawa (2003)
Seperlunya
Seperlunya
LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%)
Rekomendasi BPP Sembawa (2003) Rekomendasi PPKS Medan (1999) Rekomendasi PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit dan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005b) untuk pisang
Seperlunya
Seperlunya
Seperlunya
Seperlunya
Seperlunya
Seperlunya
LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%) LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%)
Pemupukan
Penyiangan
* Setiap tipe UTKKS tetap menerapkan penanaman Padi Ladang sebagai tanaman sela pada 2 tahun pertama dan Pinang sebagai tanaman pagar. ** Jika dilakukan penanaman baru
Teknik KTA LCC + Kontur (3-14%) dan LCC + teras gulud/kebun (15 – 30%)
88 masing-masing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun, sedangkan untuk kelapa sawit digunakan pupuk NPK sebanyak 0.22 – 0.45 kg/pohon/tahun dan MgSO4 sebanyak 0.10 – 0.40 kg/pohon/tahun (Balitbang Pertanian 2005b). Pemberian pupuk pada SA1 pada lereng 3 – 14% disertai dengan penerapan LCC dan sistem tanam menurut kontur (CP = 0.05 – 0.08) (Hammer 1986, diacu dalam Arsyad 2006) dan pada lereng 15–30% disertai dengan penerapan LCC serta teras gulud atau teras kebun (CP = 0.0102) (Balitbang Pertanian 2005b). Teknik KTA ini sesuai dengan nilai CPmaks pada setiap kemiringan lereng, yaitu 0.24 (pada lereng 7%), 0.06 (pada lereng 14%) dan 0.01 pada lereng 30% (Lampiran 31). Penerapan SA1 menyebabkan erosi pada setiap tipe UTKKS lebih kecil dibandingkan dengan tanpa penerapan agroteknologi (Lampiran 31) dan bahkan erosi dapat dikendalikan hingga lebih kecil Etol. Erosi pada SK I dan SK II sebesar 0.61 – 3.46 ton/ha/tahun, pada MK sebesar 4.91 – 27.72 ton/ha/tahun dan pada MKS dan KSP sebesar 3.07 – 17.32 ton/ha/tahun, sedangkan Etol berkisar 21.31 – 43.12 ton/ha/tahun (Gambar 18 dan 19). Penyempurnaan agroteknologi yang dilengkapi dengan teknik KTA yang efektif mengendalikan erosi (sesuai kemiringan lereng) pada gilirannya dapat mempertahankan produktivitas lahan.
Gambar 18
Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat.
89
Gambar 19
Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat.
Penerapan SA1 mengakibatkan peningkatan biaya usahatani karena adanya perbaikan agroteknologi berupa pemupukan dan teknik KTA. Biaya pemupukan meningkat sesuai peningkatan takaran yang direkomendasikan, sedangkan biaya teknik KTA meningkat sesuai dengan jenis teknik KTA yang digunakan. Menurut Ditjen PLA Deptan (2007b), penerapan LCC membutuhkan biaya sebesar Rp425 000/ha, yang terdiri atas biaya upah tenaga kerja sebesar Rp 400 000 (setara 16 HOK) untuk penanamannya dan bibit LCC senilai Rp25 000/ha, serta Rp150 000/tahun (setara 6 HOK/tahun) untuk pemeliharaannya, sedangkan pembuatan teras gulud atau teras kebun membutuhkan biaya upah tenaga kerja sebesar Rp2 000 000/ha (80 HOK) dan pemeliharaannya membutuhkan biaya tenaga kerja sebesar Rp150 000 – 250 000/tahun (6 – 10 HOK). Perbaikan agroteknologi UTKKS melalui penerapan SA1 mengakibatkan produksi tanaman juga meningkat dibandingkan dengan produksi tanaman yang tidak menerapkan agroteknologi. Produksi karet mencapai 1 362.75 kg lateks/ha/tahun atau 0.00 – 108.97%, kelapa sawit mencapai 20 052.17 kg TBS/ha/tahun (84.11%), manau mencapai 5 260 kg/ha (27.98%) dan kayu
90 sungkai, balam serta medang mencapai 128 m3/ha (156 – 220%) (Tabel 35). Peningkatan produksi karet dan kelapa sawit dapat diketahui berdasarkan hasil survei terhadap petani yang sudah menerapkan takaran pemupukan tersebut, sedangkan peningkatan produksi tanaman sela diperkirakan berdasarkan penambahan populasi tanaman dan pengelolaan usahatani karet secara memadai dapat meningkatkan produksi kayu karet hingga 300 m3/ha kayu bulat (Ditjenbun 2007). Tabel 35 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA1 di DAS Batang Pelepat Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani Jenis Tanaman SK I SK II MK I MKS KSP a 1 362.75 1 362.75 Karet 1 362.75 a Manau 5 260.00 128.00 Sungkaib 128.00 Medangb b 128.00 Balam a Gaharu 20 052.00 20 052.00 Klp. Sawita 737.50 Pisanga a 1 250.00 1 250.00 1 250.00 1 250.00 1 250.00 Padi a 700.00 700.00 700.00 700.00 700.00 Pinang b 300.00 300.00 300.00 Kayu Karet *
a
b
c
3
d
= dalam kg lateks/ha dan = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, = m kayu bulat/ha/tahun, = kg e f g h gubal/ha/tahun, = kg TBS/ha/tahun, = kg buah segar/ha/tahun, = kg GKG/ha/tahun dan = kg biji kering/ha/tahun.
Peningkatan produksi tanaman akibat penerapan SA1 pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan petani menjadi Rp13 380 000 – 16 350 000/ha/tahun, meskipun biaya yang dikeluarkan untuk usahatani juga meningkat (Rp1 290 000 – 2 440 000/ha). Pendapatan petani bervariasi sesuai tipe UTKKS dan agroteknologi yang diterapkan pada berbagai kemiringan lereng, yaitu Rp16 100 000 – 16 350 000/ha/tahun (SK I), Rp15 560 000 – 15 830 000/ha/tahun (SK II), Rp13 380 000 – 13 640 000/ha/tahun (MK), Rp 13 450 000 – 13 720 000/ha/tahun (MKS) dan Rp14 010 000 – 14 280 000/ha/tahun (KSP). Pendapatan paling tinggi dapat dicapai dengan menerapkan tipe SK I, sedangkan yang paling rendah dapat dicapai dengan hanya menerapkan tipe MK (Tabel 36). Pemanfaatan sebagian (2 ha) atau seluruh (5 ha) lahan milik petani dengan menerapkan SA1 mengakibatkan petani memperoleh pendapatan sebesar Rp26 740 000–81 750 000/tahun; pendapatan ini telah melampaui PKHL yang mencapai Rp18 000 000/KK (Gambar 18 dan Gambar 19). Berdasarkan pendapatan dari setiap tipe UTKKS yang dapat melampaui PKHL (pada lahan seluas 2 ha dan 5 ha) tersebut, berarti untuk memenuhi PKHL di DAS Batang Pelepat petani cukup mengelola lahan yang kurang dari 2 ha.
91 Berdasarkan perbandingan PKHL di DAS Batang Pelepat (Rp18 000 000/KK) dan pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS per hektar akibat penerapan SA1 dapat ditentukan kebutuhan lahan minimal yang harus dikelola petani sesuai dengan tipe UTKKS yang dipilih. Kebutuhan lahan minimal untuk setiap tipe UTKKS pun bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng, yaitu 1.10 – 1.35 ha karena pendapatan yang diperoleh pada setiap tipe UTKKS pun bervariasi sesuai kemiringan lereng atau disesuaikan dengan teknik KTA yang diterapkan (Tabel 37). Tabel 36 Pengaruh penerapan SA1 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Biaya (Juta Rp/ha) Pendapatan (Juta Rp/ha) Tipe Penerimaan UTKKS (Juta Rp/ha) KTA0* KTA0* KTA1* KTA2* KTA1* KTA2* SK I 1.44 1.45 1.71 17.80 16.35 16.34 16.10 SK II 1.29 1.30 1.56 17.12 15.83 15.82 15.56 MK 2.16 2.17 2.44 15.80 13.64 13.63 13.38 MKS 1.88 1.89 2.15 15.60 13.72 13.71 13.45 KSP 1.89 1.90 2.16 16.17 14.28 14.27 14.01 *
KTA0 = tanpa teknik KTA pada lereng 0 – 2%, KTA1 = LCC dan sistem tanam menurut kontur (CC) pada lereng 3 – 14% dan KTA2 = LCC dan teras gulud atau teras kebun pada lereng 15 – 30%.
Tabel 37
Pengaruh penerapan SA1 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat Luas Lahan pada setiap Kemiringan Lereng (ha) Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% Sesap Karet I 1.10 1.10 1.10 1.12 Sesap Karet II 1.14 1.14 1.14 1.16 Monokultur Karet 1.32 1.32 1.32 1.35 Monokultur Kelapa Sawit 1.31 1.31 1.31 1.34 Kelapa Sawit-Pisang 1.26 1.26 1.26 1.28
Berdasarkan
analisis
kelayakan
usahatani,
semua
tipe
UTKKS
berkelanjutan yang dicapai melalui penerapan SA1 layak dan menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari indikator kelayakan investasi usahatani (B/C, NPV dan IRR). Kelayakan investasi setiap tipe UTKKS bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng karena biaya dan penerimaan usahatani pada setiap kemiringan lereng juga berbeda (Lampiran 30). Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, tipe SK I mempunyai tingkat kelayakan yang lebih tinggi (B/C = 1.76 – 3.50, NPV = Rp14 125 266.17 – 43 147 341.60 dan IRR = 36.72 – 43.16%) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (Tabel 38). Peningkatan pendapatan, penurunan erosi dan analisis kelayakan usahatani tersebut menunjukkan bahwa indikator keberlanjutan pada setiap tipe UTKKS dapat dicapai dengan menerapkan SA1. Peningkatan pendapatan dan
92 penurunan erosi akibat penerapan SA1 berbanding lurus dengan diversivitas tanaman yang digunakan pada setiap tipe UTKKS. Tabel 38 Pengaruh penerapan SA1 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rupiah) IRR (%) SA1 pada lereng 2% Sesap Karet I 3.50 43.15 43.16 Sesap Karet II 3.33 38.65 41.92 Monokultur Karet 2.20 26.57 20.28 Monokultur Kelapa Sawit 4.23 65.85 36.47 Kelapa Sawit-Pisang 4.44 74.27 41.87 SA1 pada lereng 7% dan 14% Sesap Karet I 3.46 42.85 42.27 Sesap Karet II 3.29 38.35 41.47 Monokultur Karet 2.18 26.25 38.23 Monokultur Kelapa Sawit 4.19 65.55 35.74 Kelapa Sawit-Pisang 4.40 73.97 41.03 SA1 pada lereng 30% Sesap Karet I 1.76 14.13 36.72 Sesap Karet II 1.61 11.05 35.43 Monokultur Karet 1.74 19.11 32.68 Monokultur Kelapa Sawit 3.38 57.93 30.38 Kelapa Sawit-Pisang 3.67 66.84 34.88
Skenario Agroteknologi 2 Skenario agroteknologi 2 (SA2) adalah pengaturan jarak tanam dan penerapan KTA seperti pada SA1, namun menerapkan rekomendasi pemupukan yang berbeda (Tabel 34). Takaran pupuk tanaman disesuaikan dengan rekomendasi BPP Sembawa (2003) untuk karet (250 – 350 g urea, 125 – 260 g SP-36 dan 100 – 300 g KCl per pohon setiap tahun) dan rekomendasi PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit (0.70 – 1.50 kg urea, 0.50 – 2.00 kg TSP, 0.80 – 1.50 kg KCl dan 0.70 – 1.00 kg MgSO4 per pohon setiap tahun). Perbaikan agroteknologi dengan menerapkan SA2 dapat mengendalikan erosi hingga di bawah Etol (Gambar 20 dan Gambar 21). Tingkat ketercapaian penurunan erosi akibat penerapan kedua skenario agroteknologi adalah sama. Pengendalian erosi dapat mempertahankan kesuburan tanah sehingga dapat pula dicapai produksi tanaman secara optimal. Penerapan SA2 dapat meningkatkan produksi karet menjadi 1 737.50 kg lateks/ha/tahun (27.50 – 145.30%) dan produksi kelapa sawit menjadi 21 782.61 kg TBS/ha/tahun (98.02%). Peningkatan produksi karet sesuai dengan standar produksi karet yang ditetapkan oleh BPP Sembawa (Anwar 2006), sedangkan peningkatan produksi kelapa sawit sesuai dengan potensi produksi TBS pada lahan dengan kelas kesesuaian S3. Peningkatan produksi tanaman lainnya sama dengan produksi akibat penerapan SA1 (Tabel 39 dan Lampiran 13).
93
Gambar 20
Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap erosi dan pendapatan pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat.
Gambar 21
Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap erosi dan pendapatan pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat.
94 Tabel 39
Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA2 di DAS Batang Pelepat Produksi Tanaman pada setiap Tipe Usahatani Jenis Tanaman SK I SK II MK I MKS KSP a 1 737.50 1 737.50 1 737.50 Karet a 5 260.00 Manau 104.00 Sungkaib 104.00 Medangb b 104.00 Balam a Gaharu a 21 782.61 21 782.61 Klp. Sawit 737.50 Pisanga 1 250.00 1 250.00 1 250.00 1 250.00 1 250.00 Padia a 700.00 700.00 700.00 700.00 700.00 Pinang b Kayu Karet 300.00 300.00 300.00 a b c 3 * = dalam kg lateks/ha dan = dalam kg manau panjang 6 m/ha/tahun, = m kayu d e f g bulat/ha/tahun, = kg gubal/ha/tahun, = kg TBS/ha/tahun, = kg buah segar/ha/tahun, = kg h GKG/ha/tahun dan = kg biji kering/ha/tahun.
Penerapan SA2 membutuhkan biaya yang lebih besar (Rp1 430 000 – 3 040 000/ha) dibandingkan dengan penerapan SA1, tetapi peningkatan produksi tanaman mengakibatkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani juga meningkat menjadi Rp13 980 000 – 18 590 000/ha/tahun; peningkatan pendapatan ini pun lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan SA1 dan tanpa penerapan agroteknologi. Peningkatan pendapatan petani akibat penerapan SA2 juga bervariasi sesuai tipe UTKKS dan teknik KTA yang diterapkan pada setiap kemiringan lereng. Pendapatan tertinggi diperoleh dari tipe SK I, sedangkan pendapatan terendah diperoleh dari tipe MKS. Pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS berkisar Rp18 320 000 – 18 590 000/ha/tahun (SK I), Rp17 620 000 – 17 890 000/ha/tahun (SK II), Rp14 970 000 – 15 240 000/ha/tahun (MK), Rp 13 980 000 – 14 260 000/ha/tahun (MKS) dan Rp14 440 000 – 14 710 000/ha/tahun (KSP) (Tabel 40). Pemanfaatan sebagian (2 ha) dan seluruh (5 ha) lahan milik petani bila disertai penerapan SA2 juga menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani mencapai Rp27 960 000 – 92 950 000/tahun; pendapatan ini juga melampaui PKHL yang besarnya Rp18 000 000/KK (Gambar 20 dan Gambar 21). Tingkat ketercapaian peningkatan pendapatan akibat penerapan SA2 lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan SA1. Peningkatan pendapatan dan penurunan erosi juga berbanding lurus dengan diversivitas tanaman pada setiap tipe UTKKS. Berdasarkan perbandingan pendapatan yang diperoleh dari setiap hektar tipe UTKKS yang disertai penerapan SA2 dengan PKHL di DAS Batang Pelepat (Rp18 000 000/KK) dapat ditentukan kebutuhan lahan minimal harus dikelola petani untuk setiap tipe UTKKS yang dipilih. Luas lahan minimal yang dibutuhkan untuk setiap tipe UTKKS dalam mencapai PKHL dengan menerapkan
95 SA2 lebih kecil dibandingkan dengan SA1, yaitu 0.97 – 1.29 ha. Kebutuhan lahan tersebut juga bervariasi berdasarkan kemiringan lereng (Tabel 41). Tabel 40 Pengaruh penerapan SA2 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Tipe Biaya (Juta Rp/ha) Pendapatan (Juta Rp/ha) Penerimaan (Juta Rp/ha) UTKKS KTA0* KTA1* KTA2* KTA0* KTA1* KTA2* SK I 1.59 1.60 1.86 20.18 18.59 18.58 18.32 SK II 1.43 1.44 1.70 19.32 17.89 17.88 17.62 MK 2.57 2.58 2.85 17.82 15.24 15.23 14.97 MKS 2.65 2.66 2.92 16.91 14.26 14.25 13.98 KSP 2.76 2.77 3.04 17.47 14.71 14.70 14.44 *
KTA0 = tanpa teknik KTA pada lereng 0 – 2%, KTA1 = LCC dan sistem tanam menurut kontur (CC) pada lereng 3 – 14% dan KTA2 = LCC dan teras gulud atau teras kebun pada lereng 15 – 30%.
Tabel 41 Pengaruh penerapan SA2 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat Luas Lahan pada setiap Kemiringan Lereng (Ha) Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% Sesap Karet I 0.97 0.97 0.97 0.98 Sesap Karet II 1.01 1.01 1.01 1.02 Monokultur Karet 1.18 1.18 1.18 1.20 Monokultur Kelapa Sawit 1.26 1.26 1.26 1.29 Kelapa Sawit-Pisang 1.22 1.22 1.22 1.25
Penilaian keberlanjutan setiap tipe UTKKS melalui penerapan SA2 juga didukung dengan analisis kelayakan usahatani. Hasil analisis kelayakan usahatani menunjukkan bahwa semua tipe UTKKS layak dan menguntungkan dengan indikator nilai B/C >1, NPV > 0 dan IRR > 12%. Tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS yang disertai dengan penerapan SA2 bervariasi sesuai dengan teknik KTA yang digunakan pada setiap kemiringan lereng (Lampiran 30). Hasil analisis kelayakan usahatani menunjukkan bahwa SK I mempunyai tingkat kelayakan yang lebih tinggi (B/C = 2.94 – 3.74, NPV = 43 045 267.84 – 50 567 341.42 dan IRR = 37.15 – 43.25%) dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya (Tabel 42). Keberlanjutan UTKKS di DAS Batang Pelepat, terutama dengan tercapainya peningkatan pendapatan hingga melampaui PKHL akibat penerapan SA1 dan SA2 pada setiap tipe UTKKS dapat menekan dan mencegah perambahan hutan oleh masyarakat (petani). Perbaikan agroteknologi UTKKS di DAS Batang Pelepat juga merupakan salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan masyarakat di kawasan tersebut dan akan sangat efektif untuk menjamin kelestarian TNKS. Hal ini sejalan dengan kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yang salah satu diantaranya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar dan dalam hutan (Menhut RI 2008).
96 Tabel 42 Pengaruh penerapan SA2 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng Tipe UTKKS B/C NPV (Juta Rupiah) IRR (%) SA2 pada lereng 2% Sesap Karet I 3.74 50.57 43.25 Sesap Karet II 3.62 46.14 42.45 Monokultur Karet 1.97 26.07 18.40 Monokultur Kelapa Sawit 3.34 61.72 33.77 Kelapa Sawit-Pisang 3.42 68.66 38.36 SA2 pada lereng 7% dan 14% Sesap Karet I 3.70 50.27 42.83 Sesap Karet II 3.58 45.84 42.02 Monokultur Karet 1.95 25.77 18.28 Monokultur Kelapa Sawit 3.31 61.42 33.44 Kelapa Sawit-Pisang 3.40 68.36 37.96 SA2 pada lereng 30% Sesap Karet I 2.94 43.05 37.15 Sesap Karet II 2.80 38.62 36.21 Monokultur Karet 1.61 18.63 16.07 Monokultur Kelapa Sawit 2.80 54.28 28.61 Kelapa Sawit-Pisang 2.91 61.23 32.25
Optimalisasi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Usahatani
berkelanjutan
yang
optimal
diperoleh
melalui
analisis
optimalisasi dengan PTG. Optimalisasi usahatani dilakukan pada penerapan SA1 dan SA2 untuk sebagian (2 ha) dan seluruh (5 ha) lahan milik petani pada beberapa kelas kemiringan lereng (2, 7, 14 dan 30 %) dengan modal yang dimiliki petani (Rp 6 000 000/tahun), target pendapatan ≥ Rp18 000 000 (PKHL) dan target erosi ≤ Etol (43.12 ton/ha/tahun pada lereng 2%, 29.44 ton/ha/tahun pada lereng 7%, 28.05 ton/ha/tahun pada lereng 14% dan 21.31 ton/ha/tahun pada lereng 30%). Hasil analisis PTG menunjukkan bahwa usahatani yang paling optimal diterapkan di DAS Batang Pelepat adalah SK I (karet-manau-kayu sungkai) yang disertai penerapan SA2. Hal ini terlihat dari deviasi positif target erosi (de+) dan deviasi negatif target pendapatan (dp-) yang sama dengan nol (de+ dan dp- = 0) pada setiap kemiringan lereng dengan alokasi penggunaan hanya untuk SK I. Penerapan agroteknologi (SA1 dan SA2) menyebabkan penetapan prioritas sasaran (pengutamaan terhadap salah satu aspek) tidak berpengaruh terhadap penentuan
usahatani
yang
optimal
karena
analisis
terhadap
prioritas
pengendalian erosi dan peningkatan pendapatan menunjukkan hasil yang sama (Lampiran 32). Tingkat ketercapaian target pengendalian erosi dan peningkatan pendapatan akibat penerapan SA1 berbeda dengan SA2 (Tabel 43 dan 44).
97 +
Tabel 43
Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d ) dan ketidaktercapaian target (d ) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 2 ha dan berbagai kemiringan lereng Kendala Target SA1 SA2 Lereng 2% 2.00 2.00 Lahan (Ha) 2.00 (00.00) (00.00) 2.88 3.18 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (+52.00 ) ( +47.00) 2.78 2.78 Erosi (ton/ha/tahun) 43.12 (-93.55) (-93.55) 32.70 37.18 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+81.67 ) (+106.56) Lereng 7% 2.00 2.00 Lahan (Ha) 2.00 (00.00) (00.00) 2.90 3.20 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (+51.67) (+46.67) 0.61 0.61 Erosi (ton/ha/tahun) 29.44 (-97.93) (-97.93) 32.68 37.16 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 ( +81.56) (+106.44) Lereng 14% 2.00 2.00 Lahan (Ha) 2.00 (00.00) (00.00) 2.90 3.20 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (+51.67) (+46.67) 3.46 3.46 Erosi (ton/ha/tahun) 28.05 (-87.66) (-87.66) 32.68 37.16 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+81.56) (+106.44) Lereng 30% 2.00 2.00 Lahan (Ha) 2.00 (00.00) (00.00) 3.42 3.72 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (+43.00) (+38.00) 1.11 1.11 Erosi (ton/ha/tahun) 21.31 (-94.79) (-94.79) 32.20 36.64 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+78.89) (+103.56)
*
nilai 0 menunjukkan tujuan/target tepat tercapai, tanda negatif menunjukkan target tidak tercapai (kurang dari target) dan tanda positif menunjukkan target terlampaui.
Tingkat ketercapaian target mengendalikan erosi hingga di bawah Etol pada kedua skenario agroteknologi adalah sama (87.66 – 97.93% di bawah Etol). Sebaliknya tingkat ketercapaian target meningkatkan pendapatan petani hingga melebihi PKHL pada penerapan SA2 lebih tinggi dibandingkan dengan SA1. Peningkatan pendapatan dengan menerapkan SA1 mencapai 78.89 – 81.67% diatas PKHL (pada lahan seluas 2 ha) dan 347.22 – 354.17% diatas PKHL (pada lahan seluas 5 ha), sedangkan peningkatan pendapatan dengan menerapkan SA2 mencapai 103.56 – 106.56% diatas PKHL (pada lahan seluas 2 ha) dan 408.89 – 416.39% diatas PKHL (pada lahan seluas 5 ha) (Tabel 43 dan Tabel 44). Hasil analisis PTG juga menunjukkan bahwa usahatani paling optimal saat ini hanya dapat diterapkan petani dengan lahan seluas 2 ha, karena modal yang dibutuhkan (Rp2 880 000 – 3 720 000 atau 38.00 – 52.00%) lebih kecil dari
98 modal yang dimiliki petani (Tabel 43). Penerapannya pada lahan seluas 5 ha memerlukan modal (Rp 7 200 000 – 9 300 000 atau 20.00 – 55.00%) lebih besar dari modal yang dimiliki petani (Tabel 44). Tabel 44
+
Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d ) dan ketidaktercapaian target (d ) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 5 ha dan berbagai kemiringan lereng Kendala Target SA1 SA2 Lereng 2% 5.00 5.00 Lahan (Ha) 5.00 (00.00) (00.00) 7.20 7.95 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (-20.00 ) ( -32.50) 2.78 2.78 Erosi (ton/ha/tahun) 43.12 (-93.55) (-93.55) 81.75 92.95 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+354.17) (+416.39) Lereng 7% 5.00 5.00 Lahan (Ha) 5.00 (00.00) (00.00) 7.25 8.00 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (-20.83) ( -33.33) 0.61 0.61 Erosi (ton/ha/tahun) 29.44 (-97.93) (-97.93) 81.70 92.90 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+353.88) ( +416.11) Lereng 14% 5.00 5.00 Lahan (Ha) 5.00 (00.00) (00.00) 7.25 8.00 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 (-20.83) ( -33.33) 3.46 3.46 Erosi (ton/ha/tahun) 28.05 (87.66) (87.66) 81.70 92.90 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+353.88) ( +416.11) Lereng 30% 5.00 5.00 Lahan (Ha) 5.00 (00.00) (00.00) 8.55 9.30 Modal (Juta Rupiah/tahun) 6.00 ( -42.50) (-55.00) 1.11 1.11 Erosi (ton/ha/tahun) 21.31 (-94.79) (-94.79) 80.50 91.60 Pendapatan (Juta Rupiah/tahun) 18.00 (+347.22) (+408.89)
*
nilai 0 menunjukkan tujuan/target tepat tercapai, tanda negatif menunjukkan target tidak tercapai (kurang dari target) dan tanda positif menunjukkan target terlampaui.
Usahatani berkelanjutan yang optimal akan dapat mendukung perbaikan kesejahteraan petani di DAS Batang Pelepat karena sebagian besar petani menerapkan tipe SK I (karet-manau-kayu sungkai). Hasil penelitian ini sangat relevan untuk mendukung program pemerintah Kabupaten Bungo karena pengembangan rotan manau di Kabupaten Bungo merupakan prioritas ketiga setelah karet dan kelapa sawit (Budisetiawan 2008). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan kajian Penot dan Budiman (2004) yang mengemukakan bahwa SK adalah salah satu tipe agroforestri (agroforestri karet) khas Indonesia
99 yang berkembang dengan keterbatasan modal petani, namun melalui penerapan agroteknologi untuk intensifikasi pengelolaan dan input sistem usahatani akan memberikan keuntungan ekonomi dan lingkungan secara optimal. Penerapan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Lahan di sub DAS Batang Pelepat terdiri atas beberapa kelas kemampuan lahan, yaitu II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat berupa lereng yang miring hingga curam, drainase yang agak baik hingga agak buruk dan erosi yang ringan hingga sangat berat. Lahan digolongkan cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N) untuk tanaman karet dan kelapa sawit dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan kejenuhan basa dan pH tanah yang rendah. Usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS) rakyat yang dikembangkan petani lokal saat ini belum disertai dengan agroteknologi yang memadai sehingga terjadi kerusakan lahan, produksi yang dicapai pun tidak optimal dan pendapatan petani masih rendah. Oleh karena itu sangat diperlukan perencanaan UTKKS untuk memperbaiki kondisi tersebut. Perencanaan UTKKS berkelanjutan harus disusun secara komprehensif melalui pendekatan interdisiplin (sesuai konsep SPB) dan analisis multikriteria. Perencanaan UTKKS berkelanjutan disusun untuk memperoleh agroteknologi yang memadai dengan indikator tidak menimbulkan degradasi lahan (erosi ≤ Etol), meningkatkan kesejahteraan petani (pendapatan ≥ PKHL) dan dapat diterima serta diterapkan oleh petani. Hasil penelitian ini memberi rekomendasi agroteknologi yang menyempurnakan sistem UTKKS yang sudah ada sehingga diharapkan akan lebih mudah diadopsi oleh petani. Penyempurnaan agroteknologi UTKKS di sub DAS Batang Pelepat dititikberatkan pada teknik pemupukan dan teknik KTA yang dapat diterapkan petani
sesuai
dengan
modal
yang
dimilikinya.
Pemupukan
yang
direkomendasikan oleh BPP Sembawa (2003) untuk karet dan PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit dapat memberikan produksi dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan yang direkomendasikan oleh Balitbang Pertanian (2005b). Teknik KTA yang dipilih disesuaikan dengan kemiringan lereng. Pemanfaatan lahan dengan kemiringan lereng ≤ 2% harus disertai dengan penanaman LCC, pada kemiringan lereng 3 – 14% disertai dengan penanaman LCC dan sistem tanam menurut kontur dan pada kemiringan lereng 15 – 30% disertai dengan penanaman LCC dan teras gulud (teras kebun). Lahan dengan kemiringan >30 - 45% direkomendasikan untuk tanaman kayu-
100
PETA SEBARAN ARAHAN PENERAPAN AGROTEKNOLOGI UTKKS BERKELANJUTAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS BATANG PELEPAT
Gambar 22 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di Sub DAS Batang Pelepat
101 kayuan. Oleh karena itu sebaran penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di sub DAS Batang Pelepat bervariasi sesuai dengan kondisi biofisik lahan terutama kemiringan lereng (Gambar 22). Semua tipe UTKKS dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan UTKKS berkelanjutan, tetapi tipe usahatani yang paling optimal adalah tipe SK I (karet-manau-kayu sungkai). Penerapan tipe usahatani yang paling optimal dapat mengendalikan erosi hingga di bawah Etol (87.66% - 97.93% di bawah Etol) dan meningkatkan pendapatan petani hingga melampaui PKHL (103.56% 106.56% diatas PKHL). Oleh karena itu SK I dapat dijadikan alternatif utama dalam pengembangan UTKKS berkelanjutan di sub DAS Batang Pelepat. Berdasarkan analisis kelayakan usahatani, penerapan alternatif agroteknologi dalam pengembangan UTKKS di sub DAS Batang Pelepat juga dikategorikan layak dan menguntungkan. Metode perencanaan UTKKS berkelanjutan di sub DAS Batang Pelepat (48 465 ha) dapat diterapkan pada seluruh DAS Batang Pelepat (111 952 ha). Berdasarkan peta satuan lahan DAS Batang Pelepat dapat direkomendasikan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan seperti pada sub DAS Batang Pelepat. Satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat yang mempunyai karakteristik yang sama dengan satuan lahan di sub DAS Batang Pelepat direkomendasikan untuk menerapkan agroteknologi UTKKS yang sama. Berdasarkan perencanaan UTKKS berkelanjutan, arahan penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat meliputi hutan (31.82%), UTKKS (62.12%) dengan agroteknologi yang sesuai dan tanaman kayu-kayuan (6.07%) dengan sebaran seperti pada Gambar 23. Alokasi tersebut masih sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menetapkan bahwa luas penutupan hutan yang harus dipertahankan dalam suatu daerah DAS guna optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat adalah minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat diarahkan untuk memanfaatkan lahan pertanian yang ada secara optimal melalui penerapan agroteknologi yang sesuai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa petani dapat mencapai pendapatan yang dapat memenuhi PKHL hanya dengan mengelola atau memanfaatkan lahan < 1.5 ha, meskipun saat ini petani mempunyai lahan seluas 5 ha. Lahan yang telah diusahakan petani saat ini umumnya adalah 2 ha yang bila dikelola secara optimal dengan agroteknologi yang memadai, petani akan memperoleh pendapatan yang melampaui PKHL dengan tetap menjaga kelestarian lahan.
102
PETA SEBARAN ARAHAN PENERAPAN AGROTEKNOLOGI UTKKS BERKELANJUTAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS BATANG PELEPAT
Gambar 23 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat
40.00
103
35.00
Pembukaan lahan baru untuk pengembangan pertanian dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DAS Batang Pelepat belum mendesak untuk dilakukan. Pemanfaatan lahan yang lebih luas pun akan memerlukan modal yang besar, sedangkan saat ini petani mempunyai modal yang terbatas (hanya dapat memenuhi modal untuk mengelola lahan seluas 2 ha). Meskipun demikian kebijakan pemerintah untuk pengembangan pertanian yang membutuhkan lahan di kawasan ini masih dimungkinkan karena masih tersedia lahan yang sesuai untuk pertanian (kelas II, III dan IV) yang saat ini masih ditutupi oleh hutan (sebagian), semak belukar, dan lahan terbuka. Agroteknologi harus tetap menjadi perhatian dalam implementasi pengembangan tersebut sehingga menjamin aspek keberlanjutan usahatani. Pemanfaatan lahan kelas II, III dan IV yang masih berupa hutan untuk pengembangan usahatani berkelanjutan harus pula disertai dengan izin dari Dephut RI. Lahan yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun tergolong kelas VI dan VII dan kemiringan lereng >30 - 45% direkomendasikan untuk ditanam tanaman kayu-kayuan. Lahan pertanian yang mempunyai kemiringan
lereng
>45% sebaiknya
diarahkan untuk direhabilitasi
atau
dihutankan kembali, sedangkan lahan yang saat ini masih berupa hutan sebaiknya tidak dikonversi untuk penggunaan lain. Agroteknologi yang dapat mendukung pengembangan UTKKS seperti yang
direkomendasikan
berdasarkan
hasil
penelitian
ini
harus
pula
disosialisasikan kepada berbagai pihak yang terkait melalui berbagai pertemuan baik yang bersifat ilmiah maupun non-ilmiah. Sosialisasi agroteknologi kepada petani dapat dilakukan melalui pemberdayaan Petugas Penyuluh Lapang (PPL). Sosialisasi kepada pemerintah juga sangat penting sehingga pemerintah dapat meningkatkan kepedulian atau perhatiannya terhadap usahatani rakyat dan kesejahteraan petani lokal dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan lahan di DAS Batang Pelepat terutama untuk pengembangan pertanian. Implementasi perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya sistem kelembagaan dan efek eksternalitas yang ditimbulkan dalam penerapan UTKKS tersebut. Oleh karena itu dalam rangka melengkapi perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat masih perlu dilakukan penelitian yang mengkaji aspek-aspek tersebut dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan usahatani.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tanah di DAS Batang Pelepat mempunyai status kesuburan yang sangat rendah hingga rendah dan didominasi oleh tanah grup dystrudepts (35 441 ha atau 73.13%), kelas >15 -30% (13 354 ha atau 27.55%) dan kelas lereng >45 – 65% (14 242 ha atau 29.39%). 2. Penggunaan lahan aktual sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan. Lahan yang tergolong kelas II, III dan IV (arable land) hanya 25 792 ha atau 53.22% dengan kelas kesesuaian S2 dan S3 untuk karet dan kelapa sawit. 3. Usahatani di DAS Batang Pelepat terdiri atas campuran karet-manau-sungkai (sesap karet I), campuran karet-balam-medang (sesap karet II), monokultur karet I, monokultur karet II, campuran karet-gaharu, monokultur kelapa sawit dan campuran kelapa sawit-pisang; semua tipe usahatani ini belum menerapkan agroteknologi yang memadai sehingga tidak menunjukkan indikator berkelanjutan. 4. Tipe MK I mempunyai pengaruh paling buruk terhadap sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dibandingkan dengan tipe UTKKS lain. Tipe MK I mempunyai tingkat kepadatan paling tinggi (BI =1.14 g/cm3) sehingga menyebabkan aliran permukaan dan erosi paling tinggi (6.92 mm dan 0.58 ton/ha), sedangkan tipe SK dengan BI = 0.92 g/cm3 menyebabkan aliran permukaan dan erosi paling rendah (3.53 mm dan 0.12 ton/ha). 5. Usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS) berkelanjutan di DAS Batang Pelepat dapat dicapai bila menggunakan agroteknologi berupa pemberian pupuk untuk karet dengan takaran 250–350 g urea/pohon/tahun, 125–260 g SP-36/pohon/tahun dan 100–300 g KCl/pohon/tahun, sedangkan untuk kelapa
sawit
adalah
TSP/pohon/tahun,
0.70–1.50
0.80–1.50
kg
kg
urea/pohon/tahun,
KCl/pohon/tahun
dan
0.50–2.00
kg
0.70–1.00
kg
MgSO4/pohon/tahun. Teknik KTA yang dapat diterapkan adalah LCC dan sistem tanam menurut kontur pada lereng 3–14% dan LCC dan teras gulud/teras kebun pada lereng 15–30%. 6. Usahatani berkelanjutan yang paling optimal di DAS Batang Pelepat adalah tipe sesap karet I (karet-manau-kayu sungkai) pada lahan seluas 2 ha dengan menerapkan agroteknologi berupa pemberian pupuk dengan takaran 250–350 g urea/pohon/tahun, 125–260 g SP-36/pohon/tahun dan 100–300 g 104
105 KCl/pohon/tahun dan teknik KTA berupa LCC dan sistem tanam menurut kontur pada lereng 3–14% dan LCC dan teras gulud/teras kebun pada lereng 15–30%. 7. Sesap karet I dapat menurunkan erosi menjadi 0.61–3.46 ton/ha/tahun dan meningkatkan pendapatan menjadi Rp 18 320 000 – 18 590 000/ha/tahun serta mempunyai tingkat kelayakan investasi paling tinggi (B/C=2.94 – 3.74, NPV=Rp43 045 267.84 – 50 567 341.42 dan IRR=37.15 – 43.25%). 8. Semua tipe UTKKS dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat dan penerapannya diarahkan pada pengelolaan lahan pertanian yang sudah ada secara optimal melalui penerapan agroteknologi. Saran 1. Perencanaan usahatani berkelanjutan untuk memperoleh rekomendasi agroteknologi harus disusun dengan mempertimbangkan aspek biofisik, ekonomi dan sosial secara simultan (analisis multikriteria) dengan indikator erosi ≤ Etol, Pendapatan ≥ PKHL dan dapat diterima serta diterapkan oleh petani. 2. Pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat saat ini disarankan untuk menerapkan agroteknologi yang sesuai berupa pemberian pupuk untuk karet dengan takaran 250 – 350 g urea/pohon/tahun, 125 – 260 g SP-36/pohon/tahun dan 100 – 300 g KCl/pohon/tahun, sedangkan untuk kelapa sawit adalah 0.70 – 1.50 kg urea/pohon/tahun, 0.50 – 2.00 kg TSP/pohon/tahun, 0.80 – 1.50 kg KCl/pohon/tahun dan 0.70 – 1.00 kg MgSO4/pohon/tahun. Teknik KTA yang dapat diterapkan adalah LCC dan sistem tanam menurut kontur pada lereng 3 – 14% dan LCC dan teras gulud/teras kebun pada lereng 15 – 30%. 3. Sesap karet I (karet-manau-kayu sungkai) dengan luas lahan 2 ha dapat dijadikan alternatif utama dalam pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Batang Pelepat saat ini. Pemanfaatan lahan seluas 5 ha saat ini dapat diwujudkan melalui pengajuan kredit usahatani dengan pertimbangan kelayakan investasi (IRR > 12%, yaitu 37.15 – 43.25%). 4. Lahan di DAS Batang Pelepat yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (UTKKS) sebaiknya adalah lahan yang mempunyai kemiringan lereng 0 – 30%. Lahan yang mempunyai kemiringan lereng >30 – 45% dan telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sebaiknya ditanam tanaman
106 kayu-kayuan, sedangkan yang >45% diarahkan untuk direhabilitasi kembali menjadi hutan. Lahan yang masih berupa hutan sebaiknya tidak dikonversi. 5. Kajian tentang sistem kelembagaan yang mendukung dan efek eksternalitas penerapan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat masih sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A, Anny M dan Karmini G. 1998. Kesesuaian lahan untuk pengembangan beberapa tanaman perkebunan di Indonesia. Di dalam: Zainal M, Elna K, DD Tarigans, Syamsu O dan Joko M, editor. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Medan, 20– 21 November 1997. Medan:Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri dan Balitbang Kehutanan dan Perkebunan. Adnyana MO. 2006. Pengembangan sistem usaha pertanian berkelanjutan. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi [3 Maret 2006]. Agus, F dan Widianto. 2004. Petunjuk praktis konservasi tanah pertanian lahan kering. World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor. Allamaras RR, Linden DR dan Clapp CE. 2004. Corn-Residue Transformations into Root and Soil Carbon as Related to Nitrogen, Tillage and Stover Management. Soil Sci. Soc. Am. J 68: 1366 – 1375. [Anonim]. 2006. Banjir besar hantam tiga desa. Harian Jambi Ekspress 8 Pebruari 2006 : 2. Anwar C. 2006. Managemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pelatihan Tekno Agribisnis Karet; Jakarta, 18 Maret 2006. Jakarta : PT FABA Indonesia Konsultan. http://ipard.com/pdf [2 September 2007]. Arifin B. 1996. Kontroversi program konservasi lahan. Jurnal Sosio Ekonomika 2 (3) : 9 – 18. Arsyad S. 2006. Konservasi tanah dan air. Bogor : Serial Pustaka IPB Press. Aswandi. 2004. Tinjauan kritis peluang dan tantangan pengelolaan dengan pendekatan bioregion di DAS Batanghari. Prosiding Konsultasi Publik Regional Membangun Kesepahaman Bersama menuju Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Masyarakat dengan Pendekatan Bioregion pada DAS Batanghari; Gedung Mayang Mangurai BAPPEDA Jambi, 10 – 11 Maret 2003. Jambi : KKI Warsi, Pemerintah daerah Provinsi Jambi dan Departement for International Development Multistakeholder Forestry Programme. Baker BJ, Fausey NR, dan Islam KR. 2004. Comparison of Soil Physical Properties under Two Different Water Table Management Regimes. Soil. Sci. Am. J 68 : 1973– 981. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005a. Prospek dan arah pengembangan agribisnis karet. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005b. Kumpulan Teknologi Unggulan Pendukung Primatani. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005c. Penyusunan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Pertanian Kabupaten Bungo. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo. 2005. Revisi RTRW Kabupaten Bungo. Bungo : PEMDA Kabupaten Bungo. 107
108 [BPP] Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. 2003. Sapta Bina Usahatani Karet Rakyat. Palembang : Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. Barrow CJ. 1991. Land degradation. Cambridge-New york-Port ChesterMelbourne-Sydney : Cambridge University Press. Black PE. 1995. Watershed hydrology. New York : State University of New York. [BPDAS Batanghari] Balai Pengelolaan DAS Batanghari. 2002. Database dan informasi kegiatan rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial. Jambi : Balai Pengelolaan DAS Batanghari. Briassoulis H. 2004. Analysis of land use change theoritical an modelling approaches. Virginia : Regional Research Institute West Virginia University. Budisetiawan I. 2008. Potensi pengembangan rotan manau di Kabupaten Bungo. Di dalam : Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL dan Munggoro DW, editor. Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor : Center for International Forestry Research (CIFOR). Cahyono SA. 2002. Konservasi tanah dalam konteks kebijakan. Info DAS 13 : 14 – 26. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Calder IR. 1998. Water resources and land use issues. System Wide Initiative on Water Management. Paper No. 3, Colombo. Sri Lanka : IWMI. Connolly NM dan Pearson RG. 2005. Impact of forest conversion on the ecology of streams in humid tropics. In Forest, water and people in humid tropics (Past, present and future hydrological research for integrated land and water management). Australia : Cambridge University Press. Dariah A, Rachman A dan Kurnia U. 2004. Erosi dan degradasi lahan kering di Indonesia. Di dalam : Kurnia U, Rachman A dan Dariah A, editor. Prosiding Teknologi konservasi lahan kering berlereng. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. Dariah A, Agus F, Arsyad S, Sudarsono dan Mascar. 2007. Erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. http://icraf/cgiar/org/sea/publication/ files/journal/BK006304-7 [21 September 2007]. Davenport T E. 2002.The watershed project management guide. Washington, DC. USA : Lewis Publisher. A CRC Press Company. David WP. 1988. Erosion and sediment transport. Bahan Kuliah Transpor Sediment. (Tidak dipublikasikan) [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman penyelenggaraan pengelolaan daerah aliran sungai. Jakarta : Dirjen RLPS dan RLKT. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu. Jakarta : Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.
109 [Depkimpraswil] Departemen Kimpraswil. 2004. Rencana penyusunan arahan pemanfaatan ruang di DAS Batanghari. Jambi : Departemen Kimpraswil. [Depkimpraswil] Departemen Kimpraswil. 2005. Data Besar Aliran Air (Debit) Pos Duga Air/AWLR Rantau Keloyang. Jambi : Departemen Kimpraswil. Diana M. 2000. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Sumberdaya Air pada Sub DAS Batang Pelepat Provinsi Jambi.[Skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. [Direktorat KKSDA BAPPENAS] Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Badan Perencana Pembangunan Nasional.2007. Kajian Model Pengelolaan DAS Terpadu. http ://www/bappenas.go.id [17 Pebruari 2007]. [Disbun] Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2004. Statistik Perkebunan Jambi tahun 2003. Jambi : Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. [Disbun] Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2005. Statistik Perkebunan Jambi. Jambi : Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa Sawit dan Karet. Jakarta : Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, karet dan Kakao). Jakarta : Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian. http ://www.ditjenbun.deptan.go.id [12 September 2007]. [Ditjen PLA Deptan] Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departeman Pertanian. 2007a. Pedoman Teknis Pengembangan Usahatani Konservasi Terpadu (PUKLT). Jakarta : Departeman Pertanian. http ://setjen.deptan.go.id [12 Mei 2008]. [Ditjen PLA Deptan] Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departeman Pertanian. 2007b. Pedoman Umum Padat Karya Pengelolaan Lahan dan Air Ta. 2007. Jakarta : Departemen Pertanian. http ://setjen.deptan.go.id/Pedum_padat_karya_2007_lkp[1].pdf [12 Mei 2008]. [Ditjen RRL Dephut] Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 1999. SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 284/Kpts-II/1999 tentang Penetapan Urutan DAS Prioritas. Jakarta : Ditjen RRL Departemen Kehutanan RI. [Ditjen Sumberdaya Air] Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Departemen Pertanian. 2004. Sebanyak 65 DAS dalam kondisi semakin kritis. Harian Kompas 20 Agustus 2004 : 15. Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A dan Suharta N. 2000. Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Versi 1. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A dan Suharta N. 2003. Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Versi 4. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
110 Easter KW, Dixon JA, and Hufschmidt MM. 1986. Watershed Resources Management. Honolulu, Hawaii : Published in Cooperation With The East-West Center, Environment and Policy Institute. Gaspersz V. 1991. Metode perancangan percobaan. Bandung : CV Armico. Gittinger JP. 1986. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian. Sutomo S dan Mangiri K, penerjemah. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : Economics analysis of agriculture project. Goldman SJ, Jackson K dan Bursztynzky TA. 1986. Erosion and Sediment Control Handbook. McGraw-Hill Book Company. Gray C, Simanjuntak P, Lien KS, Maspaitella PFL dan Varley RCG. 2007. Pengantar evaluasi proyek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Gregersen HM, Brooks KN, Dixon JA dan Hamilton S. 1989. Guidelines for economics appraisal of watershed management projects. FAO Conservatioan Guide 16. FAO. Gunn RH, Beattie JA, Reid RE dan Graff V. 1988. Australian soil an land survey handbook : guidelines for conducting survey. Melbourne : Inkata Press. Hairiah K, Sulistyani H, Suprayogo D, Widianto, Purnomosidhi P, Widodo RH dan Noorwidjk MV. 2006. Litter layer resisdence time in forest and coffea agroforestry system in Sumberjaya, West Lampung. Forest Ecology and Management 224:45-57. Hairiah K, Utami SR, Lusiana R dan Noordwijk MV. 2007. Neraca hara dan karbón dalam sistem agroforestri. Bahan Agroforestri. Bogor : ICRAFT. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/publicarions/files/lecturenote/L N0036-06 [27 September 2007]. Hammer WI. 1981. Soil conservation consultant report. Bogor : Centre for soil research. Hardjowigeno S, Widiatmaka dan Yogaswara. 2001. Kesesuaian lahan dan perencanaan tata guna tanah. Bogor : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Prescindo. JICA. 2002. The study on the development scheme for the principal river ports in Indonesia. Directorate General of Sea Communication Ministry of Communications. Joshie L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Manurung G dan Noordwijk MV. 2001. Wanatani kompleks berbasis karet. Bogor : ICRAFT. http://www.icraft.cgiar.org/sea [2 Maret 2006]. Joshie L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Manurung G dan Noordwijk MV. 2006. Wanatani kompleks berbasis karet. Bogor : ICRAFT. http://www.icraft.cgiar.org/sea [2 Maret 2006]. Juarsah I. 2008. Implementasi sistem pola tanam usahatani konservasi petani peladang berpindah terhadap peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Di dalam : Murtilaksono K, Agus F, Tarigan SD, Dariah A, Nurida NL, Santoso H, Sinukaban, N dan Gintings A Ng, editor. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI; Safari Garden Hotel, Cisarua,
111 Bogor, 17 – 18 Desember 2007. Jakarta : Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI). Hlmn 237 – 246. Kadariyah. 1990. Pengantar evaluasi proyek. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kartodihardjo H, Murtilaksono K dan Sudadi U. 2004. Institusi pengelolaan daerah aliran sungai (konsep dan pengantar analisis kebijakan). Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Khoiri, I. 2006. Kebun sawit versus hutan konservasi. Harian Kompas tanggal 25 Pebruari 2006. Lal R. 1994. Soil erosion by wind and water : problem and prospects dalam R. Lal. Soil erosion research methods. Florida : Soil and Water Conservation Society. Lal R. 1995. Sustainable management of soil resources in the sumid tropics. New York : United Nation University Press. Linsley RKJR, Kohler MA dan Paulus JLH. 1982. Hirologi untuk Insinyur. Sianipar Y dan Haryadi E, penerjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Hydrology for engineers. Lu HJ, Gallart IP, Prosser, Moran C dan Priestley G. 2005. Prediction of sheet and riil erosion over the australian continent, incorporating monthly soil loss distribution. CSIRO Land and Water. Technical Report 13/01. http://www.ciw.csiro.au/publications/technical2001/tr13-01.html. [3 Juli 2005]. Manik ES. 1992. Analisis daya dukung lingkungan berdasarkkan optimasi penggunaan sumberdaya lahan di bagian hulu daerah aliran sungai Way Seputih, Lampung Tengah. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martawijaya AI, Kartasujana K, Kadir dan Prawira SA. 2005a. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Bogor : Balitbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Martawijaya AI, Kartasujana K, Kadir dan Prawira SA. 2005b. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Bogor : Balitbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. McClauley A dan Jones C. 2005. Managing for soil erosion. Di dalam : Soil and Water Management. Module 3. Montana :Montana State University Estension Service. [Menhut RI] Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Arahan Kebijakan Pembangunan Kehutanan dalam Penanganan Kawasan Hutan dan lahan yang tidak Produktif. Di dalam : Awang SA, Soepijanto B, Yuliarto JP dan Karyana A, editor : Rehabilitasi Hutan dan Lahan Capaian dan Perubahan. Yogyakarta : Jurusan Managemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dn Ditjen RLPS Dephut RI. Morgan RPC. 1995. Soil erosion and conservation. 2nd edition. London, UK: Longman Group Unlimited. Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
112 Parker SP. 2002. Dictionary of Scientific and Technical Terms. 6th edition. McGraw-Hill Companies Inc. http://www.answers.com/library [20 Maret 2008]. Penot E dan Budiman AFS. 2004. Smallholder rubber agroforestry in Indonesia : reconcile production, biodiversity and environment. Di dalam : Arifin HS, Ma’mun S dan Nurheni W, editor. Kompilasi abstrak agrofrestri di Indonesia. Bogor : IPB, INAFE, SEANAFE dan ICRAFT. http://worldagroforestry.go.id/BK0065-04[1].pdf [12 Mei 2008]. Permana T. 1980. Perencanaan teknis satuan pemukiman transmigrasi. Bahan Kursus Satgas perencanaan teknis pemukiman transmigrasi. Bandung, 20 – 29 Nopember 1980. Bandung : Kerjasama Departemen Pekerjaan Umum dan ITB. [PPK Medan] Pusat Penelitian Karet Medan. 1998. Teknologi peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman karet. Di dalam: Zainal M, Elna K, DD Tarigans, Syamsu O dan Joko M, editor. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Medan, 20 – 21 November 1997. Medan : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri dan Balitbang Kehutanan dan Perkebunan. Hlmn 89 – 103. [PPKS Medan] Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. 1998. Teknologi peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman kelapa sawit. Di dalam: Zainal M, Elna K, DD Tarigans, Syamsu O dan Joko M, editor. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Medan, 20 – 21 November 1997. Medan : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri dan Balitbang Kehutanan dan Perkebunan. Hlmn 104 – 115. [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. 1999. Pedoman teknis pemupukan tanaman kelapa sawit. No. : 05-1.2-Pub-99 edisi Januari 1999. Medan : Pusat Penelitian Kelapa Sawit. [PPLH UNJA] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Jambi. 2003. Analisis dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahannya di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Jambi : PT Aman Pratama Makmur Lestari dan PPLH Universitas Jambi. Pujianto, Wibawa, A dan Winaryo. 2001. Pengaruh teras dan tanaman penguat teras terhadap erosi dan produktivitas kopi arabika. Pelita Perkebunan Vol 17(1):18-29. Pusat Penelitian Perkebunan Indonesia. Rahman S. 2000. Model penggunaan lahan untuk pengembangan konservasi alam terpadu (Studi kasus Pulau Siberut-Provinsi Sumatera Barat). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rauf A. 2004. Kajian sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Reijntjes C, Haberkort B dan Water-Bayer A. 1999. Pertanian masa depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Jakarta : Kanisius. Ridwansyah M, Sanim B, Aidi MN dan Saukat Y. 2006. Biaya imbangan ekonomi alih fungsi eks-areal hutan konsesi di sekitar zona penyangga Taman
113 Nasional Kerinci Seblat. Makalah Seminar Hasil Penelitian Disertasi. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. Sabiham S. 2005. Manajemen sumberdaya lahan dalam usahat pertanian berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah “Save our Land for the Better Environment” Bogor, 10 Desember 2005. Sajogyo dan P. Sajogyo. 1990. Sosiologi pedesaan. Jilid 2. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press. Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jakarta : Penerbit Kanisius. Santoso, D, J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi tanah vegetatif (Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng). Bogor : Puslitbangtanak. Sihite J dan Pasaribu H. 2004. Hidup bersama Banjir. Bahan Kuliah Kapita Selekta DAS pada Bogor : Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana IPB. (Tidak dipublikasikan). Sinukaban N. 1989. Konservasi tanah dan air di daerah transmigrasi. PT. Indeco Duta Utama International Development Consultants Berasosiasi dengan BCEOM. Sinukaban N. 1994. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Orasi Ilmiah dalam penerimaan Jabatan Guru Besar. Bogor : Fakultas Pertanian IPB. Sinukaban N. 1999. Masalah dan konsepsi pengembangan daerah aliran sungai. Makalah pada seminar sehari tentang pengelolaan DAS terpadu di Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Nopember 1999. Sinukaban N, Pasaribu H, dan Siagian O. 2001. Pengelolaan Danau Toba : peluang dan ancaman dalam kebijakan konservasi tanah dan air dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Di dalam : Prosiding Kongres IV dan seminar nasional MKTI. Medan, 25 – 27 mei 2000. Sinukaban N. 2003. Strategi, kebijakan dan kelembagaan pengelolaan lahan kritis. Paper dalam studi Strategi, kebijakan dan kelembagaan pengelolaan lahan kritis di Departemen Kehutanan. (Tidak dipublikasi). Sinukaban N. 2007a. Membangun Pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Di dalam : Konservasi Tanah dan Air kunci pembangunan berkelanjutan. Ed ke-1. Jakarta : Dirjen RLPS Departemen Kehutanan. Hlmn : 226 – 241. Sinukaban N. 2007b. Agricultural Dvelopment In Indonesia. Di dalam : Soil and Water Conservatioan in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor: Direktorat Jenderal RLPS. Hlmn 97–119. Sinukaban N. 2007c. Conservation Farming Systems For Sustainable Development in Java, Indonesia. Di dalam : Soil and Water Conservatioan in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor: Direktorat Jenderal RLPS. Hlmn 120–130.
114 Soekartawi, Soehardjo A, Dillon JL dan Hardaker JB. 1986. Ilmu usahatani dan penelitian untuk pengembangan petani kecil. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press. Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Yakarta : Universitas Indonesia Press. Soil Survey Staff. 2000. Key of soil taxonomy. United Status Departement of agricultural. Natural Resources Conservation Service. Subagyono, K., U. Haryati dan S.H. Tala’ohu. 2004. Teknologi konservasi air pda pertanian lahan kering. Prosiding Teknologi konservasi lahan kering berlereng. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Sumarna Y. 2005. Budidaya Gaharu. Jakarta : Penebar Swadaya. Suprayogo D, Widianto, Purnomosidi P, Widodo RH, Rusiana F, Aini ZZ, Khasanah N, Kusuma Z. 2007. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur : kajian perubahan makroporositas tanah. http: //icraf /cgiar/ org/sea/ publication/ files/journal/JA0021-04. [21 September 2007]. Suratman W, Suharyadi dan Suharyanto. 1993. Evaluasi kemampuan lahan untuk perencanaan penggunaan lahan dengan metode GIS di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Susswein PM, Noordwijk MV, dan Verbist B. 2001. forest watershed functions and tropical land use change. Di dalam Noordwijk MV, Williams S dan Verbist B, editor. Towards integrated natural resources management in forest margins of the humic tropics:local action and global concerní. Bogor: Internacional Cetre for resesarch in Agroforestry. Sutarta ES, Pulpa W dan Lubis AU. 1999. Iklim dan teknik budidaya kelapa sawit. Pedoman Teknis No. 08-1.2-Pub-99. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Sutaryanto. 1999. Budidaya kelapa sawit (Elaeis guineensis). MMA-IPB. Bogor. Sutono S, Kusnadi H dan Djunaedi MS. 2001. Soil prediction in paddy field and upland of Citarik sub-watershed ang Garang watershed. Proceedings National Seminar on the Multifunction of Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Terra JA, Shaw JN, Reeves DW, Raper RL, Van Santen E, Schwab EB, dan Mask PL. 2006. Soil Management and Landscape Variability Affects FielScale Cotton Productivity. Soil Sci. Soc. Am. J 70:98–110. Thahar N dan Khoiri I. 2006. Runyam sejak penyediaan benih. Harian Kompas tanggal 25 Pebruari 2006. Thrupp LA 1996. New pathnerships for sustainable agriculture. New York : World Resources Institute. Tim Peneliti Bioregion DAS Batanghari. 2003. Membangun kesepahaman bersama menuju pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dengan pendekatan bioregion pada DAS Batanghari. Di dalam : Prosiding Konsultasi Publik DAS Batanghari di Sawahlunto. Tim Penulis Penebar Swadaya. 2004. Karet : budidaya dan pengolahan strategi pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta
115 United
State Society of Agronomy. 2005. http://www.agronomy.org [3 Juli 2005].
Soil
erosion
by
Water.
Weischmeier WH dan Smith DD. 1978. Predicting ranfall-erosion losses. A guide to conservation planning. USDA. Agric. Eng 29 : 458 – 462. Wibawa G dan Hendratno S. 2006. Faktor apa yang mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan sistem usahataninya di Jambi. Lembar Informasi Seri Wanatani Karet Nopember 2001. http://www.icraf.cgiar.org/sea. [2 Maret 2006]. Widianto, Hairiah K, Suharjito D dan Sardjono MA. 2003. Fungsi dan peran agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 3. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). http://www.worldagroforestrycentre.org.pdf2.pdf. [27 September 2007] Winarna ES, Sutarta dan Purba P. 2001. Konservasi tanah berliat aktivitas rendah (LAR) di perkebunan kelapa sawit : aplikasi pelepah dan tandan kosong kelapa sawit. Di dalam : Prosiding Kongres IV dan seminar nasional MKTI; Medan, 25 – 27 mei 2000. Wood SR dan Dent FJ 1983. A land evaluation computer system methodology. AGOF/INS/78/006. Manual 5 Versi 1. Ministry of Agriculture Govern of Indonesia in corporation with UNDP and FAO. Zheng FL, Merill SD, Huang CH, Tanaka DL, Darboux F, Leibig MA dan Halvorson AD. 2004. Run Off, Soil Erosion, and Erodibility of Conservation Reverse Program Land under Crop and High Production. Soil Sci. Soc. Am. J 68:1332-1341.
Lampiran 1 Penyebaran perkebunan karet dan kelapa sawit di Provinsi Jambi
Sumber : Hadi (1992), diacu dalam Joshie et al. (2006)
116
Lampiran 2 Kriteria kesesuaian lahan untuk Karet Karakteristik Lahan Temperatur (tc) o Temperatur rerata ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Masa kering (bln) Ketersed. Oksigen (oa) Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK Liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfudik (xs) Kedalaman sulfudik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
26 – 30
30 – 34 24 – 26
22 – 24
>34
2 500 – 3 000 1–2
2 000 – 2 500 3 000 – 3 500 2–3
1 500 – 2 000 3 500 – 4 000 3–4
< 1 500 > 4 000 >4
Baik
Sedang
Agak terhambat, terhambat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang < 15 > 100
-
Agak kasar
Kasar
15 – 35 75 – 100
35 – 60 50 – 75
> 60 < 50
< 60 < 140
60 – 140 140 – 200
140 – 200 200 – 400
> 200 > 400
Saprik+
Saprik, hemik+
Hemik, Fibrik+
Fibrik
< 35 5.0 – 6.0 > 0.8
35 – 50 6.0 – 6.5 4.5 – 5.0 ≤ 0.8
> 50 > 6.5 < 4.5 -
< 0.5
0.5 - 1
1-2
>2
-
-
-
-
> 175
125 – 175
75 – 125
< 75
<8
8 – 16
Sangat rendah
Rendahsedang
16 – 30 16 – 45 berat
> 30 > 45 Sangat berat
F0
-
F1
> F1
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
Sumber : Djaenudin et al. (2003)
117
Lampiran 3 Kriteria kesesuaian lahan untuk Kelapa Sawit Karakteristik Lahan Temperatur (tc) o Temperatur rerata ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Masa kering (bln) Ketersed. Oksigen (oa) Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK Liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfudik (xs) Kedalaman sulfudik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
25 – 28
22 – 25 28 - 32
20 - 22 32 – 35
< 20 > 35
1 700 – 2 500
1 450 – 1 700 2 500 – 3 500 2–3
1 250 – 1 450 3 500 – 4 000 3–4
< 1 250 > 4 000 >4
Baik, sedang
Agak terhambat
Terhambat, agak cepat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang < 15 > 100
-
Agak kasar
Kasar
15 – 35 75 – 100
35 – 55 50 – 75
> 55 < 50
< 60 < 140
60 – 140 140 – 200
140 – 200 200 – 400
> 200 > 400
Saprik+
Saprik, hemik+
Hemik, Fibrik+
Fibrik
> 16 > 20 5.0 – 6.5 > 0.8
≤ 16 ≤ 20 6.5 – 7.0 4.2 – 5.0 ≤ 0.8
> 7.0 < 4.2 -
<2
2–3
3–4
>4
-
-
-
-
> 125
100 – 125
60 – 100
< 60
<8 Sangat rendah
8 – 16 Rendahsedang
16 – 30 berat
> 30 Sangat berat
F0
F1
F2
> F2
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
<2
Sumber : Djaenudin et al. (2003)
118
Lampiran 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk Padi Ladang Karakteristik Lahan Temperatur (tc) o Temperatur rerata ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) bulan ke-1 Curah hujan (mm) bulan ke-2 Curah hujan (mm) bulan ke-3 Kelembaban Ketersed. Oksigen (oa) Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK Liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
24 – 29
22 – 24 29 - 32
18 - 22 32 – 35
< 18 > 35
50 – 400
400 – 550
550 - 650
100 - 400
400-550; 75-100 400-550; <50 30 - 33
550 -650; 50 -75 550 -650; 50 -75 <30 >90
>650; <50 >650; <50 >650; <50 >4
Baik, sedang, agak cepat, agak terhambat
-
Terhambat, sangat terhambat
cepat
Halus, agak halus, sedang < 15 > 50
-
Agak kasar
Kasar
15 – 35 40 - 50
35 – 55 25 - 40
> 55 < 25
< 60 < 140
60 – 140 140 – 200
140 – 200 200 – 400
> 200 > 400
Saprik+
Saprik, hemik+
Hemik, Fibrik+
Fibrik
> 16 > 35 5.5 – 7.5
< 20 < 5.0 > 7.9 <0.8
100 - 400 33 - 90
C-organik Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfudik (xs) Kedalaman sulfudik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%)
> 1.5
≤ 16 20 - 35 5.0 – 5.5 7.5 – 7.9 0.8 – 1.5
<2
2–4
4–6
>6
< 20
20 -30
30 - 40
>40
> 75
50 - 75
50 -30
< 30
<8
8 – 16
Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
Sangat rendah
Rendah- sedang
16 – 30 16 - 50 berat
>30 >50 Sangat berat
-
F11
F12-F13
> F13
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
Sumber : Djaenudin et al. (2003)
119
Lampiran 5 Kriteria kesesuaian lahan untuk Pisang Karakteristik Lahan
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
Temperatur (tc) o Temperatur rerata ( C)
25 – 27
27 – 30 22 - 25
30 - 35 18 - 22
> 35 <18
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
<1200 0–3 >60
1200 – 1500 2500 - 3000 3–4 50 - 60
1000 – 1250 3000 - 4000 4–6 30 -50
< 1 000 > 4 000 >6 <30
Baik, Agak terhambat
Agak cepat, sedang
Terhambat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang < 15 > 75
-
Kasar
15 – 35 > 75
Agak kasar, sangat halus 35 – 55 50 – 75
< 60 < 140
60 – 140 140 – 200
140 – 200 200 – 400
> 200 > 400
Saprik+
Saprik, hemik+
Hemik, Fibrik+
Fibrik
> 16 > 50 5.6 – 7.5 > 1.5
≤ 16 35 - 50 5.2 – 5.6 7.5 – 8.0 0.8 – 1.5
<35 < 5.2 > 8.2 <0.8
<2
2–4
4-6
>6
<4
4-8
8 - 12
>12
> 100
75 - 100
40 -75
< 40
<8 Sangat rendah
8 – 16 Rendahsedang
16 – 40 berat
> 40 Sangat berat
F0
F1
F2
> F2
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
> 40 > 25
Masa kering (bln) Kelembaban Ketersed. Oksigen (oa) Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah Gambut Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK Liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfudik (xs) Kedalaman sulfudik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
> 55 < 50
Sumber : Djaenudin et al. (2003)
120
Lampiran 6 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan Faktor Penghambat
Kelas Kemampuan Lahan IV V l3 lo
I lo
II l1
III l2
VI l4
VII l5
VIII l6
KE1,KE2
KE3
KE4,KE5
KE6
(1)
(1)
(1)
(1)
e3
(2)
e4
e5
(1)
k2
k3
(1)
(1)
(1)
(1)
t1,t2,t3
t1,t2,t3,t4
t1,t2,t3,t4
(1)
t1,t2,t3,t4
t1,t2,t3,t4
t5
t1,t2,t3
t1,t2,t3
t1,t2,t3,t4
t1,t2,t3,t4
(1)
t1,t2,t3,t4
t1,t2,t3,t4
t5
P2,P3
P2,P3
P2,P3
P2,P3
P1
(1)
(1)
P5
Drainase
d1
d2
d3
d4
d5
(2)
(2)
d0
Kerikil/batuan
b0
b0
b1
b2
b3
(1)
(1)
b4
O0
O1
O2
O3
O4
(2)
(2)
(1)
g0
g1
g2
g3
(2)
g3
(1)
(1)
1.
Lereng
2.
Kepekaan Erosi
3.
Tingkat Erosi
e0
e1
e2
4.
Kedalaman Tanah
k0
k1
5.
Tekstur Lapisan Atas
t1,t2,t3
6.
Teksut Lapisan Bawah
7.
Permeabilitas
8. 9.
10. Ancaman Banjir 11. Garam/Salinitas
(3)
* (1) = dapat mempunyai sembarang sifat (2) = tidak berlaku (3) = umumnya terdapat di daerah beriklim kering Sumber : Klingebiel dan Montgomery (1961), diacu dalam Arsyad (2006) dan Hardjowigeno (2007).
Kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas 1. Iklim : Curah hujan dan temperatur 2. KECURAMAN LERENG l0 (A) = 0 - <3% (datar) l1 (B) = >3 - 8% (landai atau berombak) l2 (C) = >8 – 15% (agak miring atau bergelombang) = >15 – 30% (miring atau berbukit) l3 (D) = >30 – 45% (agak curam atau bergunung) l4 (E) l5 (F) = >45 – 65% (curam) = > 65% (Sangay curam) l6 (G)
121
122 Lampiran 6 (Lanjutan) Kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas 2. KEPEKAAN EROSI = 0.00 – 0.10 (Sangat rendah) KE1 = 0.11 – 0.20 (rendah) KE2 KE3 = 0.21 – 0.32 (sedang) = 0.33 – 0.43 (agak tinggi) KE4 = 0.44 – 0.55 (tinggi) KE5 KE6 = 0.56 – 0.64 (sangat tinggi) 3. EROSI YANG TELAH TERJADI = tidak ada erosi e0 e1 = ringan : kurang dari 25% lapisan atas hilang = sedang : 25 – 75% lapisan atas hilang e2 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% e3 lapisan bawah hilang = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang e4 = sangat berat : erosi parit e5 4. KEDALAMAN TANAH = lebih dari 90 cm (dalam) k0 = 90 – 50 cm (sedang) k1 = 50 – 25 cm (dangkal) k2 k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal) 5. TEKSTUR TANAH = tanah bertekstur halus : liat berpasir, liat berdebu dan liat t1 t2 = tanah bertekstur agak halus : lempung liat berpasir, lempung berliat dan lempung liat berdebu = tanah bertekstur sedang : lempung, lempung berdebu dan debu t3 t4 = tanah bertekstur agak kasar : lempung berpasir, lempung berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus = tanah bertekstur kasar : pasir berlempung dan pasir t5 6. PERMEABILITAS = lambat : kurang dari 0.5 cm jam-1 P1 = agak lambat : 0.5 – 2.0 cm jam-1 P2 -1 P3 = sedang : 2.0 – 6.25 cm jam = agak cepat : 6.25 – 12.5 cm jam-1 P4 = cepat : > 12.5 cm jam-1 P5 7. DRAINASE = berlebihan (excessivelly drained) d0 = baik d1 d2 = agak baik d3 = agak buruk d4 = buruk = sangat buruk d5 8. FAKTOR-FAKTOR KHUSUS Batu-batuan dan kerikil = tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah b0 = sedang : 15 – 50 % volume tanah b1 b2 = banyak : 50 – 90 % volume tanah = sangat banyak : lebih dari 90 % volume tanah b3 Batuan kecil = b0 = b1 b2 = = b3
tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah sedang : 15 – 50 % volume tanah banyak : 50 – 90 % volume tanah sangat banyak : lebih dari 90 % volume tanah
123 Lampiran 6 (Lanjutan) Kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas Batuan lepas = tidak ada atau kurang dari 0.01 % luas areal b0 = sedikit : 0.01 – 3% permukaan tanah tertutup b1 b2 = sedang : 3 – 15% permukaan tanah tertutup = banyak : 15 – 90% permukaan tanah tertutup b3 = sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup b4 Batuan tersingkap = tidak ada atau kurang dari 2 % permukaan tanah tertutup b0 = sedikit : 2 – 10% permukaan tanah tertutup b1 b2 = sedang : 10 – 50% permukaan tanah tertutup = banyak : 50 – 90% permukaan tanah tertutup b3 = sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup b4 9. ANCAMAN BANJIR = tidak pernah : dalam periode satu tahun tanah tidak pernah O0 tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam = kadang-kadang : banjir menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya O1 tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur tertutup O2 banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam = selama waktu 2 – 5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda O3 banjir yang lamanya lebih dari 24 jam = selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara O4 teratur yang lamanya lebih dari 24 jam 10. SALINITAS = bebas : 0 – 0.15% garam larut ; 0 – 4 (ECx 103) mmhos g0 cm-1 pada suhu 25oC = terpengaruh sedikit : 0.15–0.35% garam larut ; 4–8 (ECx 103) mmhos g1 cm-1 pada suhu 25oC 3 g2 = terpengaruh sedang : 0.35 – 0.65% garam larut ; 8 – 15 (ECx 10 ) -1 o mmhos cm pada suhu 25 C = terpengaruh hebat : > 0.65% garam larut ; >15 (ECx 103) mmhos cm-1 g3 o pada suhu 25 C
Lampiran 7 Peta Administrasi DAS Batang Pelepat
Kab. Kerinci
Kab. Sarolangun
124
Lampiran 8 Kriteria penilaian struktur tanah dan permeabilitas tanah Tipe struktur Granular sangat halus (very fine granular) Granular halus (fine granular) Granular sedang dan kasar (medium, coarse granular) Gumpal, lempeng, pejal (blocky, platty, massif) Kelas Permeabilitas (cm/jam) Cepat (rapid) Sedang sampai cepat (moderat to rapid) Sedang (moderat) Sedang sampai lambat (moderat to slow) Lambat (slow) Sangat lambat (very slow) Sumber : Arsyad (2006).
Nilai > 25,4 12,7 – 25,4 6,3 – 12,7 2,0 – 6,3 0,5 – 2,0 < 0,5
Kode 1 2 3 4 Kode 1 2 3 4 5 6
125
Lampiran 9 Nilai faktor C dengan pertanaman tunggal NO 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
19 20
21
22
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Tipe penggunaan untuk pertanaman tunggal Tanah yang diberakan tapi diolah secara periodik Sawah beririgasi Sawah tadah hujan Tanaman tegalan (tidak terspesifikasi) Tanaman rumput Brachiaria : Tahun permulaan Tahun berikutnya Ubi kayu Jagung Kacang-kacangan Kentang Kacang tanah Padi Tebu Pisang Sereh wangi Kopi dengan tanaman penutup tanah Yam Cabe, jahe, dan lain-lain (rempah-rempah) Kebun campuran : Kerapatan tinggi Ubi kayu-kedele Kerapatan sedang Kerapatan rendah (kacang tanah) Perladangan berpindah-pindah (shifting cultivation) Perkebunan (penutup tanah buruk) Karet Teh Kelapa sawit Kelapa Hutan alam : Penuh dengan serasah Serasah sedikit Hutan produksi : Tebang habis (clear cutting) Tebang pilih (selective cutting) Belukar/rumput Ubi kayu + kedele Ubi kayu + kacang tanah Padi + sorgum Padi + kedele Kacang tanah + gude Kacang tanah + kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha Padi + mulsa jerami 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa clotalaria 3 ton/ha Kacang tanah + mulsa kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha Padi + mulsa clotalaria 3 ton/ha Padi tanam tumpang gilir + mulsa jerami 6 ton/ha Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman
Nilai Faktor C 1.00* 0.01* 0.05* 0.70* 0.30* 0.02* 0.80* 0.70* 0.60* 0.40* 0.20* 0.50* 0.20* 0.60* 0.40* 0.20* 0.85* 0.90* 0.10* 0.20* 0.30* 0.50* 0.40* 0.80* 0.50* 0.50* 0.80* 0.001* 0.005* 0.50* 0.20* 0.30* 0.181* 0.195* 0.345* 0.417* 0.495* 0.571* 0.049* 0.096* 0.128* 0.136* 0.259* 0.377* 0.387* 0.079* 0.347*
Sumber : Pusat Penelitian Tanah (1973 – 1981), diacu dalam Hardjowigeno (2007).
126
Lampiran 10 Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) dan pengelolaan tanaman (CP) No 1
2 3
4 5
6 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Sumber
Tindakan Konservasi Tanah dan Pengelolaan Tanaman Teras bangku a. standar disain dan bangunan baik b. standar disain dan bangunan sedang c. standar disain dan bangunan jelek Teras tradisional Penanaman/pengolahan menurut kontur pada lereng a. 0-8 % b. 9-20 % c. > 20 % Hill side ditch atau field pits Penanaman rumput dalam strip : a. stándar disain dan keadaan pertumbuhan baik b. stándar disain dan keadaan pertumbuhan tidak baik Penanaman Clotalaria dalam rotasi Penggunaan mulsa jerami a. 6 ton/ha/thn b. 3 ton/ha/thn c. 1 ton/ha/thn Penanaman tanaman penutup tanah rendah pada tanaman perkebunan a. kerapatan tinggi b. kerapatan sedang Strip cropping-kacang tanah sisa tanaman dijadikan mulsa Jagung-kedelai, sisa tanaman dijadikan mulsa Jagung-mulsa jerami padi Padi gogo-kedelai, mulsa jerami 4 ton/ha Kacang tanah-kacang hijau Kacang tanah-kacang hijau, mulsa jerami Padi gogo-jagung-kacang tanah + mulsa jerami Jagung+padi gogo+kacang tanah+mulsa (sisa tanaman) Teras gulud dengan tanaman penguat teras Teras gulud dengan tanaman penguat teras pada tanaman tahunan Teras gulud : padi-jagung Teras gulud : sorghum-sorghum Teras gulud : ketela pohon Teras gulud : jagung-kacang tanah + mulsa (sisa tanaman) Teras gulud : Kacang tanah – kedelai Teras gulud : padi-jagung-kacang tunggak, kapur 2 ton/ha Teras bangku : jagung-ubi kayu/kedelai Teras bangku : sorghum-sorghum Teras bangku : kacang tanah-kacang tanah Teras bangku : tanpa tanaman :
Nilai Faktor 0,04* 0,15* 0,35* 0,40* 0,50* 0,75* 0,90* 0,30* 0.04* 0.40* 0.60* 0,30* 0,50* 0,80* 0,10* 0,50* 0,05** 0,087** 0,008** 0,193** 0,730** 0,013** 0,267** 0,159** 0.500** 0.0102** 0,013** 0,041** 0,063** 0,006** 0,105** 0,012** 0,056** 0,026** 0,009** 0,039**
* Hammer (1986), diacu dalam Hardjowigeno (2007) dan ** Pusat Penelitian Tanah (1973 – 1981), diacu dalam Sinukaban (1989).
127
Lampiran 11 Faktor kedalaman beberapa sub order tanah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Sub order Aqualf Udalf Ustalf Aquent Arent Fluvent Orthent Psamment Andept Vitrand Udand Aquept Tropept Udepts Alboll Aquoll Rendoll Udoll Ustoll Aquox Humox Orthox Ustox Aquod Ferrod Humod Orthod Aquult Humult Udult Ustult Udert ustert
Harkat Kemerosotan Sifat Fisika dan Kimia Fisika Kimia Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Rendah Tinggi Sedang Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah
Nilai Faktor Kedalaman Tanah 0.90 0.90 0.90 0.90 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.95 1.00 1.00 0.75 0.90 0.90 1.00 1.00 0.90 1.00 0.90 0.90 0.90 0.95 1.00 0.95 0.80 1.00 0.80 0.80 1.00 1.00
Sumber : Hammer (1981), diacu dalam Sinukaban (1989) dan Hardjowigeno (2007).
128
Lampiran 12 Kedalaman tanah minimum untuk berbagai jenis tanaman Jenis Tanaman 1. Padi Sawah 2. Padi gogo 3. Jagung 4. Sorghum 5. Kedelai 6. Kacang hijau 7. Kacang tanah 8. Ubi jalar 9. Kentang 10. Hui 11. Tanah terbuka 12. Pisang 13. Jeruk 14. Mangga 15. Kelapa Sawit 16. Kelapa 17. Karet 18. Kakao 19. Kopi 20. Cengkeh 21. Teh 22. Kapas 23. Tebu 24. Rumput ternak 25. Jati 26. Mahoni 27. Agathis 28. Altingia 29. Albizia 30. Leucaina 31. Acasia 32. Eucalyptus 33. Gelam 34. Pinus
Kedalaman minimum (cm) 25 20 25 25 20 15 15 30 30 25 30 50 50 75 50 50 50 50 50 50 50 45 40 15 75 75 75 75 75 75 50 50 50 50
Sumber : Wood dan Dent (1983), diacu dalam Hardjowigeno (2007).
129
Lampiran 13 Sebaran produksi tanaman yang digunakan pada beberapa tipe usahatani sesuai umur dan takaran pupuk yang digunakan (kg/ha) T ahun K e‐ 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
*
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 450.00 500.00 500.00 500.00 500.00 600.00 650.00 700.00 800.00 900.00 1000.00 1000.00 1100.00 800.00 750.00 700.00 700.00 600.00 500.00 450.00 450.00 450.00 400.00
Karet 2 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 790.00 1,000.00 1,200.00 1,300.00 1,445.00 1,500.00 1,660.00 1,700.00 1,700.00 1,700.00 1,660.00 1,500.00 1,500.00 1,400.00 1,400.00 1,300.00 1,200.00 1,200.00 1,100.00 1,000.00 1,000.00 900.00 900.00 900.00 800.00
3 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 500.00 1,150.00 1,400.00 1,600.00 1,750.00 1,850.00 2,200.00 2,300.00 2,350.00 2,300.00 2,150.00 2,100.00 2,000.00 1,900.00 1,800.00 1,650.00 1,550.00 1,450.00 1,400.00 1,350.00 1,350.00 1,350.00 1,350.00 1,350.00 1,350.00
1 ‐ ‐ ‐ 2,700.00 4,725.00 6,525.00 7,920.00 9,045.00 9,900.00 11,925.00 13,275.00 14,100.00 15,700.00 18,300.00 20,000.00 17,100.00 17,100.00 16,400.00 15,700.00 14,800.00 11,100.00 9,000.00 8,900.00 7,600.00 4,600.00 3,700.00 -
Kelapa Sawit 2 ‐ ‐ ‐ 6,200.00 12,000.00 14,500.00 17,000.00 22,000.00 24,500.00 26,000.00 26,000.00 26,000.00 26,000.00 26,000.00 25,000.00 24,500.00 23,500.00 22,000.00 21,000.00 20,000.00 19,000.00 18,000.00 17,000.00 16,000.00 15,000.00 14,000.00 -
4 0 0 0 7,000.00 12,000.00 16,000.00 20,000.00 25,000.00 27,000.00 27,000.00 27,000.00 27,000.00 27,000.00 27,000.00 26,000.00 25,000.00 25,000.00 24,000.00 23,000.00 22,000.00 22,000.00 21,000.00 20,000.00 18,000.00 17,000.00 16,000.00 -
K opi ‐ ‐ ‐ ‐ 25.00 90.00 145.00 200.00 200.00 200.00 200.00 200.00 200.00 200.00 200.00 200.00 200.00 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ -
K akao ‐ ‐ ‐ ‐ 60.00 115.00 137.50 185.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 210.00 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ -
P is ang ‐ 400.00 850.00 850.00 850.00 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ -
G aharu ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 680.00 -
Tanaman Sela2 P inang P adi G ogo ‐ ‐ 1,500.00 ‐ 1,000.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ 700.00 ‐ -
Manau ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 3,000.00 3,000.00 3,000.00 3,600.00 3,600.00 3,600.00 3,600.00 3,600.00 3,600.00 3,720.00 3,720.00 3,720.00 3,720.00 3,720.00 4,500.00 4,500.00 4,500.00 4,500.00 4,500.00 5,400.00 5,400.00 5,400.00 5,400.00 5,400.00
Sungkai 25,200.00
Medang 11,200.00 -
Balam 11,200.00 -
1 = takaran pada agroteknologi aktual; 2 = takaran rekomendasi Balitbang Pertanian (2005); 3 = takaran rekomendasi Balai Penelitian Perkebunan Sembawa (2003) dan 4 = takaran rekomendasi Ditjenbun (1993).
130
Lampiran 14 Harga pasar yang digunakan dalam analisis usahatani No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Faktor Produksi dan produk Lahan Tenaga kerja Galon getah Bak getah Cangkul Garpu Pisau sadap Arit Parang Tempurung kelapa Atap pondok Papan dinding pondokan Dodos Urea TSP SP-36 NPK KCL MgSO4 cuka Thiodan 35 EC Bibit Karet Lokal Bibit Karet Unggul Bibit kelapa sawit Bibit Padi Bibit Pinang Benih LCC Bibit Kayu Sungkai Bibit Kayu Balam Bibit Kayu Medang Bibit Manau Bibit Pisang Karet Kelapa Sawit Padi Gogo Pinang Manau Kayu Sungkai Kayu Karet Kayu Balam Kayu Medang Pisang
Satuan 1 ha HOK unit unit unit unit unit unit unit karung kodi m3 unit kg kg kg kg kg kg botol 250 ml batang batang batang kg batang kg batang batang batang batang batang kg KKK kg TBS kg GKG kg BK ton m3 kayu bulat m3 kayu bulat m3 kayu bulat m3 kayu bulat tandan buah segar
Harga Pasar (Rp) 5 000 000 15 000 60 000 25 000 40 000 30 000 7 500 15 000 10 000 250 000 500 000 400 000 7 500 1 500 2 000 2 000 3 000 2 500 5 000 7 500 120 000 1 500 5 500 7 500 3 500 500 5 000 1 000 3 500 3 000 4 000 1 500 7 000 850 3 500 3 500 400 000 500 000 500 000 500 000 500 000 10 000
131
Lampiran 15 Sebaran curah hujan rata-rata bulanan di DAS Batang Pelepat tahun 1985 – 2005 Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 RataRata
Jan 278.19 415.90 317.10 290.10 253.50 417.00 342.40 262.40 286.50 344.90 383.50 159.50 244.00 234.10 209.90 230.00 477.74 352.30 216.00 312.10 352.80
Peb 132.00 463.60 390.10 360.50 474.00 498.30 302.50 271.20 348.00 294.56 542.20 43.40 25.20 32.70 157.50 149.00 232.70 384.00 127.40 336.10 180.70
Mar 166.50 349.50 237.30 424.10 307.50 394.70 304.70 176.80 202.40 26.60 451.90 82.80 45.00 83.00 120.00 0.00 83.00 76.40 96.00 186.86 466.50
Apr 109.40 283.50 142.00 340.00 375.00 98.30 237.70 14.30 156.80 24.20 325.50 17.40 13.20 74.70 119.20 0.00 74.70 44.60 55.50 172.70 275.20
Mei 131.50 153.00 117.70 168.00 82.30 20.80 321.00 15.30 54.80 15.70 256.00 47.70 24.20 39.80 109.00 0.00 39.80 25.90 44.00 224.80 175.20
303.81
273.60
203.88
140.66
98.40
Bulan Jun 96.48 171.10 106.00 161.40 9.30 24.90 55.00 12.70 63.70 136.10 25.10 128.30 20.00 21.80 95.00 0.00 21.80 117.00 105.50 28.00 44.70 68.76
Total
Jul 84.30 82.30 82.90 42.90 18.80 46.80 22.00 45.60 97.50 23.30 21.80 171.60 25.30 36.60 112.00 76.90 36.60 4.50 50.00 199.60 81.70
Agst 87.20 85.50 89.50 104.00 48.80 151.00 141.00 108.30 91.80 44.30 0.00 172.20 119.50 155.40 51.70 46.80 55.40 34.70 39.00 61.00 95.80
Sept 670.00 259.50 155.40 53.10 117.80 290.50 41.00 82.30 66.00 170.10 9.10 233.30 319.20 227.70 60.00 223.20 222.70 290.90 251.00 127.00 150.20
Okt 547.47 584.10 157.60 121.70 195.70 386.50 34.00 323.20 106.60 274.24 57.20 391.00 267.40 330.60 163.00 341.30 115.60 351.00 328.00 209.00 514.60
Nop 523.02 156.60 243.90 204.50 239.00 509.80 334.50 364.70 262.30 233.21 140.30 284.90 371.20 223.10 288.50 413.70 290.80 390.80 367.00 212.00 515.10
Des 533.69 417.10 344.00 262.20 245.00 574.50 361.90 457.50 321.00 357.46 43.80 313.10 325.50 326.10 332.00 334.29 234.60 334.60 374.00 458.00 185.10
3 359.75 3 421.70 2 383.50 2 532.50 2 366.70 3 413.10 2 497.70 2 134.30 2 057.40 1 944.67 2 256.40 2 045.20 1 799.70 1 785.60 1 817.80 1 815.19 1 885.44 2 406.70 2 053.40 2 527.16 3 037.60
64.90
84.90
191.43
276.18
312.81
339.78
2 359.12
132
Lampiran 16 Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Batang Pelepat
Lampiran 17 Peta Tanah di DAS Batang Pelepat
133
Lampiran 17 Peta Tanah di Sub DAS Batang Pelepat
PETA JENIS TANAH SUB DAS BATANG PELEPAT
134
Lampiran 18 Peta Lereng di Sub DAS Batang Pelepat
PETA KELAS LERENG SUB DAS BATANG PELEPAT
135
Lampiran 19 Peta satuan lahan di DAS Batang Pelepat
136
Lampiran 20 Sifat fisik dan kimia serta status kesuburan setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat
SLH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pasir 27.00 9.00 48.00 48.00 48.00 48.00 8.00 27.00 8.00 27.00 40.50 40.50 54.00 66.00 54.00 54.00 66.00 54.00 9.00 54.00 66.00 51.00 27.00
Tekstur PH Debu (%) 4.00 18.00 1.80 61.00 9.60 3.00 9.60 3.00 9.60 3.00 9.60 3.00 1.60 27.00 5.40 36.00 1.60 27.00 5.40 36.00 8.10 4.50 8.10 4.50 10.80 14.00 13.20 8.50 10.80 14.00 10.80 14.00 13.20 8.50 10.80 14.00 1.80 62.00 10.80 14.00 13.20 8.50 10.20 17.00 4.00 18.00
pH Liat 51.00 30.00 49.00 49.00 49.00 49.00 65.00 37.00 65.00 37.00 55.00 55.00 32.00 25.50 32.00 32.00 25.50 32.00 29.00 32.00 25.50 32.00 51.00
H2O
KCl
5.10 5.10 4.50 4.50 4.50 4.50 5.30 5.20 5.30 5.20 3.80 3.80 4.20 6.20 4.20 4.20 6.20 4.20 4.80 4.20 6.20 5.20 5.10
3.80 3.80 3.60 3.60 3.60 3.60 5.20 4.50 5.20 4.50 3.40 3.40 3.80 5.70 3.80 3.80 5.70 3.80 4.00 3.80 5.70 5.40 3.80
C
BO N
C/N
0.30 0.30 0.21 0.21 0.21 0.21 0.98 0.24 0.98 0.24 0.18 0.18 0.18 0.19 0.18 0.18 0.19 0.18 0.31 0.18 0.19 1.01 0.30
11.00 11.00 11.00 11.00 11.00 11.00 8.30 13.00 8.30 13.00 10.75 10.75 9.50 14.50 9.50 9.50 14.50 9.50 14.55 9.50 14.50 8.00 11.00
(%) 3.33 3.33 2.29 2.29 2.29 2.29 2.66 3.20 2.66 3.20 1.89 1.89 1.90 2.96 1.90 1.90 2.96 1.90 4.61 1.90 2.96 7.33 3.33
P2O5 ppm 2.80 2.80 6.20 6.20 6.20 6.20 16.60 5.40 16.60 5.40 6.10 6.10 7.90 6.70 7.90 7.90 6.70 7.90 25.00 7.90 6.70 10.50 2.80
Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1N pH 7) Mg K Na Jml KTK KB (%) cmol/kg 3.00 2.20 0.20 0.40 5.80 19.10 30.37 3.00 2.20 0.20 0.40 5.80 19.10 30.37 0.79 0.67 0.11 0.11 1.68 14.72 11.41 0.79 0.67 0.11 0.11 1.68 14.72 11.41 0.79 0.67 0.11 0.11 1.68 14.72 11.41 0.79 0.67 0.11 0.11 1.68 14.72 11.41 0.57 0.30 1.51 0.07 2.45 22.46 10.91 2.27 1.05 1.15 0.10 4.57 17.59 25.98 0.57 0.30 1.51 0.07 2.45 22.46 10.91 2.27 1.05 1.15 0.10 4.57 17.59 25.98 0.50 0.53 0.21 0.31 1.55 12.11 12.80 0.50 0.53 0.21 0.31 1.55 12.11 12.80 2.88 1.17 0.11 0.10 4.26 12.99 32.79 2.22 0.70 0.53 0.06 3.51 14.31 24.53 2.88 1.17 0.11 0.10 4.26 12.99 32.79 2.88 1.17 0.11 0.10 4.26 12.99 32.79 2.22 0.70 0.53 0.06 3.51 14.31 24.53 2.88 1.17 0.11 0.10 4.26 12.99 32.79 1.00 0.40 0.30 0.10 1.80 22.90 7.86 2.88 1.17 0.11 0.10 4.26 12.99 32.79 2.22 0.70 0.53 0.06 3.51 14.31 24.53 6.60 1.55 0.64 0.09 8.87 31.65 28.03 3.00 2.20 0.20 0.40 5.80 19.10 30.37
Ca
KCl 1N Al3+ H+ cmol/kg 0.29 0.29 4.24 0.38 4.24 0.38 4.24 0.38 4.24 0.38 0.05 0.05 0.77 0.07 0.05 0.05 0.77 0.07 3.43 0.48 3.43 0.48 2.95 0.30 0.00 0.22 2.95 0.30 2.95 0.30 0.00 0.22 2.95 0.30 2.45 0.46 2.95 0.30 0.00 0.22 0.05 0.06 0.29 0.00
137
Lampiran 20 (Lanjutan)
Nilai
status
nilai
Status
nilai
Status
nilai
Status
nilai
Status
Alkalinitas (ESP) %
1
5.10
masam
3.33
tinggi
2.80
sgt rendah
26.2
tinggi
30.37
rendah
2.09
2
5.10
masam
3.33
tinggi
2.80
sgt rendah
26.2
tinggi
30.37
rendah
2.09
3
4.50
masam
2.29
sedang
6.20
sgt rendah
24.09
sedang
11.41
sgt rendah
0.75
4
4.50
masam
2.29
sedang
6.20
sgt rendah
25.09
tinggi
11.41
sgt rendah
0.75
5
4.50
masam
2.29
sedang
6.20
sgt rendah
26.09
tinggi
11.41
sgt rendah
0.75
6
4.50
masam
2.29
sedang
6.20
sgt rendah
27.09
tinggi
11.41
sgt rendah
0.75
7
5.30
masam
2.66
sedang
16.60
sedang
27.7
tinggi
10.91
rendah
0.30
8
5.20
masam
3.2
tinggi
5.40
sgt rendah
18.78
sedang
25.98
rendah
0.57
9
5.30
masam
2.66
sedang
16.60
sedang
27.7
tinggi
10.91
rendah
0.30
10
5.20
masam
3.2
tinggi
5.40
sgt rendah
18.78
sedang
25.98
rendah
0.57
11
3.80
sgt masam
1.89
rendah
6.10
sgt rendah
16.42
rendah
12.80
sgt rendah
2.56
12
3.80
sgt masam
1.89
rendah
6.10
sgt rendah
16.42
rendah
12.80
sgt rendah
2.56
13
4.20
sgt masam
1.9
rendah
7.90
sgt rendah
33.04
tinggi
32.79
rendah
0.77
14
6.20
agak masam
2.96
sedang
6.70
sgt rendah
21.8
sedang
24.53
rendah
0.29
15
4.20
sgt masam
1.9
rendah
7.90
sgt rendah
33.04
tinggi
32.79
rendah
0.77
16
4.20
sgt masam
1.9
rendah
7.90
sgt rendah
33.04
tinggi
32.79
rendah
0.77
17
6.20
agak masam
2.96
sedang
6.70
sgt rendah
21.8
sedang
24.53
rendah
0.29
18
4.20
sgt masam
1.9
rendah
7.90
sgt rendah
33.04
tinggi
32.79
rendah
0.77
19
4.80
masam
4.61
tinggi
25.00
sedang
36.2
tinggi
7.86
sgt rendah
0.44
20
4.20
sgt masam
1.9
rendah
7.90
sgt rendah
33.04
tinggi
32.79
rendah
0.77
21
6.20
agak masam
2.96
sedang
6.70
sgt rendah
21.8
sedang
24.53
rendah
0.29
22
5.20
masam
10.50
rendah
36.8
tinggi
0.50
5.10
masam
tinggi
2.80
sgt rendah
26.2
tinggi
28.03 30.37
rendah
23
7.33 3.33
sgt tinggi
rendah
2.09
SLH
pH
C-organik
P-tersedia
KTK Liat
KB
138
Lampiran 21 Penilaian kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat SLH Lereng (%)
Erosi
Kedalaman tanah (cm)
Tekstur lap atas
Tekstur lap bawah
Permeabilitas
Drainase
Kerikil/batuan
Ancaman Banjir
Kelas
1
2
l0 tidak ada erosi e0
160
k0
lempung liat berdebu
t2
lempung berliat
t2 sedang
p3 agak buruk d3 tidak ada b0 kadang-kadang O1
II d3
2
3
l0 tidak ada erosi e0
160
k0
lempung liat berdebu
t2
lempung berliat
t2 sedang
p3 agak buruk d3 tidak ada b0 kadang-kadang O1
II d3
3
6
l1 ringan
e1
140
k0
Liat berpasir
t1
liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
II e1
4
6.5
l1 ringan
e1
140
k0
Liat berpasir
t1
liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
II e1
5
8
l1 ringan
e1
140
k0
Liat berpasir
t1
liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
II e1
6
7
l1 ringan
e1
140
k0
Liat berpasir
t1
liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
II e1
7
12
l2 ringan
e1
125
k0
Lempung berliat
t2
liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
III e1
8
15
l2 sedang
e2
150
k0
Liat
t1
liat
t1 sedang
p3
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
III e2
9
10
l2 sedang
e2
125
k0
Lempung berliat
t2
liat
t1 agak lambat p1
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
III e2
10
14
l2 ringan
e1
150
k0
Liat
t1
liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
III e1
11
15
l2 ringan
e1
130
k0
Liat
t1
liat
t1 agak lambat p2 agak baik d2 tidak ada b0
tidak pernah
O0
III d2
12
20
l3 agak berat
e3
130
k0
Liat
t1
liat
t1 agak lambat p2 agak baik d2 tidak ada b0
tidak pernah
O0
IV e3
13
35
l4 sedang
e2
88
k1
Lempung liat berpasir
t2
Liat berpasir
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
VI l4
14
45
l4 ringan
e1
120
k0
Liat
t1
Liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
VI l4
15
30
l3 sangat berat
e5
88
k1
Lempung liat berpasir
t2
Liat berpasir
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
IV e5
16
5
l1 sedang
e2
88
k1
Lempung liat berpasir
t2
Liat berpasir
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
III e2
17
25
l3 agak berat
e3
120
k0
Liat
t1
Liat
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
IV e3
18
35
l3 agak berat
e3
88
k1
Lempung liat berpasir
t2
Liat berpasir
t1 agak lambat p2
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
IV e3
19
30
l3 tidak ada erosi e0
140
k0
Lempung liat berdebu
t2
Lempung liat berdebu
t2 sedang
p3
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
IV l3
20
40
l4 tidak ada erosi e0
88
k1
Lempung liat berpasir
t2
Liat berpasir
t1 sedang
p3
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
VI l4
21
40
l4 tidak ada erosi e0
120
k0
Liat
t1
Liat
t1 sedang
p3
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0
VI l4
22
55
l5 tidak ada erosi e0
102
k0
Liat
t1
Lempung
t3 sedang
p3
baik
d1 tidak ada b0
tidak pernah
O0 VII l5
2
l0 tidak ada erosi e0
160
k0
lempung liat berdebu
t2
lempung berliat
t2 sedang
p3 agak buruk d3 tidak ada b0 kadang-kadang O1
23
II d3
139
Lampiran 22 Peta sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat
PETA KELAS KEMAMPUAN LAHAN SUB DAS BATANG PELEPAT
140
Lampiran 23 Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan aktual dan kelas kesesuaian lahan di DAS Batang Pelepat untuk beberapa komoditi pertanian SL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Penggunaan Lahan Aktual Karet Kelapa Sawit Karet Kelapa Sawit Kelapa Sawit Karet Karet Kelapa Sawit Kelapa Sawit Karet Karet Kelapa Sawit Karet Karet Kelapa Sawit Kelapa Sawit Belukar Belukar Hutan Hutan Hutan Hutan Lahan terbuka
Luas (ha) 1 482 147 1 098 841 248 6 026 70 60 114 1 979 162 144 84 61 2 589 79 1 811 249 8 648 5 738 2 548 14 242 45
(%) 3.06 0.30 2.27 1.74 0.51 12.56 0.02 0.08 0.28 4.08 0.33 0.30 0.17 0.06 5.40 0.16 3.74 0.51 17.84 11.84 5.26 29.39 0.09
Padi Gogo S2-nr, eh S2-nr, eh S3-nr S3-nr S3-nr S3-nr S3-nr S2-nr, eh S3-nr S2-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-eh N-eh S3-nr S3-eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-eh N-eh S2-nr, eh
Kelas Kesesuaian Setiap Tanaman Pisang Karet Kelapa Sawit S3-nr S2-wa, eh S2-wa, eh S3-nr S2-wa, eh S2-wa, eh S3-nr S2-wa, nr S2-wa, nr S3-nr S2-wa, nr S2-wa, nr S3-nr S2-wa, nr, eh S2-wa, nr, eh S3-nr S2-wa, nr S2-wa, nr S3-nr S2-wa, eh S2-wa, nr, eh S3-nr S2-wa, eh S2-wa, eh S3-nr S2-wa, eh S2-wa, nr, eh S3-nr S2-wa, eh S2-wa, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-nr, eh N-eh N-eh S3-wa, eh N-eh N-eh N-eh N-eh S3-nr S3-nr S2-wa, nr, eh S3-nr, eh S3-eh S3-eh S3-nr, eh S3-nr, eh S3-eh S3-nr, eh S3-eh S3-eh S3-nr, eh S3-nr, eh N-eh S3-nr, eh S3-eh N-eh N-eh N-eh N-eh S3-nr S2-wa, eh S2-wa, eh
Evaluasi Penggunaan Aktual Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai
141
Lampiran 24 Peta sebaran kesesuaian lahan untuk beberapa komoditi pertanian
142
Lampiran 24 Lanjutan
143
Lampiran 24 Lanjutan
144
Lampiran 24 Lanjutan
145
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan potensial untuk tanaman kelapa sawit 146
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan potensial untuk tanaman padi ladang 147
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan potensial untuk tanaman pisang 148
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman kopi 149
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan potensial untuk tanaman kopi 150
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman kakao 151
Lanjutan Lampiran 29 Peta kesesuaian lahan potensial untuk tanaman kakao 152
153
Lampiran 25
Analisis statistik pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap beberapa sifat tanah di DAS Batang Pelepat
1. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Berat Volume Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 0.20715556 0.02959365 37.83 <.0001 Error 10 0.00782222 0.00078222 Corrected Total 17 0.21497778 Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .05088 .05317 .05452 .05538 .05595 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 1.14000 KR1 B 1.05333 KS1 B 1.03667 KS2 C 0.97667 KR2 D 0.91667 KR3 E 0.81000 Ht 2. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Total Ruang Pori Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 294.9018722 42.1288389 37.80 <.0001 Error 10 11.1463556 1.1146356 Corrected Total 17 306.0482278 Duncan's Multiple Range Test for TRP Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 1.921 2.007 2.058 2.091 2.112 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 69.4333 Ht B 65.4100 KR3 C 63.1433 KR2 D 60.8800 KS2 D 60.2533 KS1 E 56.9833 KR1 3. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Pori Drainase Cepat Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 123.0280556 17.5754365 37.08 <.0001 Error 10 4.7397222 0.4739722 Corrected Total 17 127.7677778 Duncan's Multiple Range Test for PDC Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 1.252 1.309 1.342 1.363 1.377 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 20.3300 Ht B 18.9733 KR3 C 16.9133 KR2 C 15.6967 KS2 D 14.4033 KS1 E 12.9767 KR1
Lampiran 25 (Lanjutan) 4. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Pori Drainase Lambat Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 28.42133889 4.06019127 40.93 <.0001 Error 10 0.99202222 0.09920222 Corrected Total 17 29.41336111 Duncan's Multiple Range Test for PDL Number of Means 2 3 4 5 6
146
147 Critical Range .5730 .5988 .6140 .6237 .6301 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 19.6100 KR1 B 18.7867 KS2 B 18.5467 KS1 C 17.9700 KR2 D 17.2500 KR3 E 15.9133 Ht 5. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Air Tersedia Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 233.6193000 33.3741857 58.07 <.0001 Error 10 5.7475000 0.5747500 Corrected Total 17 239.3668000 Duncan's Multiple Range Test for AT Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 1.379 1.441 1.478 1.501 1.517 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 25.8567 Ht B 24.3733 KR3 C 21.2600 KR2 C 20.3867 KS1 D 18.6067 KS2 E 15.2967 KR1 6. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Permeabilitas Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 28709.04092 4101.29156 124.95 <.0001 Error 10 328.24692 32.82469 Corrected Total 17 29037.28784 Duncan's Multiple Range Test for Permeabilitas Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 10.42 10.89 11.17 11.34 11.46 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 130.427 Ht B 99.027 KR3 C 75.887 KS2 D 50.633 KS1 D 41.203 KR2 E 8.337 KR1
Lampiran 25 (Lanjutan) 7. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Kapasitas Infiltrasi Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 5397.750239 771.107177 327.76 <.0001 Error 10 23.526322 2.352632 Corrected Total 17 5421.276561 Duncan's Multiple Range Test for Infiltrasi Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 2.790 2.916 2.990 3.037 3.069 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 74.533 Ht B 58.367 KR3 D 30.423 KR2 D 32.533 KS1 C 44.307 KS2 E 26.433 KR1 8. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Persentase Agregat Sum of
148 Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 4741.616950 677.373850 174.46 <.0001 Error 10 38.827900 3.882790 Corrected Total 17 4780.444850 Duncan's Multiple Range Test for Agregasi Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 3.585 3.746 3.841 3.902 3.942 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 84.817 Ht B 78.387 KR3 C 56.753 KS2 D 47.797 KR2 D 47.600 KS1 E 42.937 KR1 9. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap Indeks Kemantapan Agregat Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 34096.07532 4870.86790 41.40 <.0001 Error 10 1176.48272 117.64827 Corrected Total 17 35272.55804 Duncan's Multiple Range Test for Stabilitas Ag Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 19.73 20.62 21.14 21.48 21.70 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 166.667 Ht B 143.333 KR3 C 110.000 KS2 D 86.667 KR2 D 86.667 KS1 E 35.553 KR1
Lampiran 25 (Lanjutan) 10. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap COT Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 6.88282222 0.98326032 88.25 <.0001 Error 10 0.11142222 0.01114222 Corrected Total 17 6.99424444 Duncan's Multiple Range Test for Corg Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .1920 .2007 .2058 .2090 .2112 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 3.10000 Ht B 2.49667 KR3 C 1.79667 KS2 D 1.59333 KS1 D 1.56333 KR2 E 1.36333 KR1 11. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap aliran permukaan Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 83.26732222 11.89533175 328.61 <.0001 Error 10 0.36198889 0.03619889 Corrected Total 17 83.62931111 Duncan's Multiple Range Test for RO Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .3461 .3617 .3709 .3767 .3806 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 6.9200 KR1
149 B 5.0933 KS1 B 5.0400 KR2 B 4.9333 KS2 C 3.5300 KR3 D 0.1200 Ht 12. Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap erosi Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 7 5614.051992 802.007427 122.37 <.0001 Error 10 65.541327 6.554133 Corrected Total 17 5679.593319 Duncan's Multiple Range Test for Erosi Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 4.658 4.867 4.990 5.069 5.122 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean Perlakuan A 57.331 KR1 B 23.817 KR2 B 22.226 KS1 B 21.463 KS2 C 12.514 KR3 D 0.000 Ht
Lampiran 26 Curah hujan bulanan (cm) dan nilai erosivitas (R) di DAS Batang Pelepat Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rain Maxp Days EI30 ∑EI30
Januari Pebruari 27.82 13.20 41.59 46.36 31.71 39.01 29.01 36.05 25.35 47.40 41.70 49.83 34.24 30.25 26.24 27.12 28.65 34.80 34.49 29.46 38.35 54.22 15.95 4.34 24.40 2.52 23.41 3.27 20.99 15.75 23.00 14.90 47.77 23.27 35.23 38.40 21.60 12.74 31.21 33.61 35.28 18.07 30.38 29.08 4.29 3.54 16.00 12.00 223.89 219.32
Maret 16.65 34.95 23.73 42.41 30.75 39.47 30.47 17.68 20.24 2.66 45.19 8.28 4.50 8.30 12.00 0.00 8.30 7.64 9.60 18.69 46.65 21.27 4.51 13.00 164.63
April 10.94 28.35 14.20 34.00 37.50 9.83 23.77 1.43 15.68 2.42 32.55 1.74 1.32 7.47 11.92 0.00 7.47 4.46 5.55 17.27 27.52 16.03 3.88 12.00 112.11
Mei 13.15 15.30 11.77 16.80 8.23 2.08 32.10 1.53 5.48 1.57 25.60 4.77 2.42 3.98 10.90 0.00 3.98 2.59 4.40 22.48 17.52 10.59 3.04 8.00 72.21
Curah Hujan Bulanan (cm) Juni Juli Agustus September 9.65 8.43 8.72 67.00 17.11 8.23 8.55 25.95 10.60 8.29 8.95 15.54 16.14 4.29 10.40 5.31 0.93 1.88 4.88 11.78 2.49 4.68 15.10 29.05 5.50 2.20 14.10 4.10 1.27 4.56 10.83 8.23 6.37 9.75 9.18 6.60 13.61 2.33 4.43 17.01 2.51 2.18 0.00 0.91 12.83 17.16 17.22 23.33 2.00 2.53 11.95 31.92 2.18 3.66 15.54 22.77 9.50 11.20 5.17 6.00 0.00 7.69 4.68 22.32 2.18 3.66 5.54 22.27 11.70 0.45 3.47 29.09 10.55 5.00 3.90 25.10 2.80 19.96 6.10 12.70 4.47 8.17 9.58 15.02 7.94 6.89 8.49 18.83 3.43 2.97 4.19 3.48 6.00 7.00 7.00 7.00 62.19 45.14 69.77 165.53 1929.64
Oktober Nopember Desember 54.75 52.30 53.37 58.41 15.66 41.71 15.76 24.39 34.40 12.17 20.45 26.22 19.57 23.90 24.50 38.65 50.98 57.45 3.40 33.45 36.19 32.32 36.47 45.75 10.66 26.23 32.10 27.42 23.32 35.75 5.72 14.03 4.38 39.10 28.49 31.31 26.74 37.12 32.55 33.06 22.31 32.61 16.30 28.85 33.20 34.13 41.37 33.43 11.56 29.08 23.46 35.10 39.08 33.46 32.80 36.70 37.40 20.90 21.20 45.80 51.46 51.51 18.51 26.83 30.89 33.99 4.69 4.53 4.32 10.00 12.00 14.00 251.69 269.04 274.12
Total 335.98 342.17 238.35 253.25 236.67 341.31 249.77 213.43 205.74 194.47 225.64 204.52 179.97 178.56 181.78 181.52 188.54 240.67 205.34 252.72 303.76 235.91
150
Lampiran 27 Prediksi erosi pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat akibat penggunaan lahan aktual SL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pengunaan lahan aktual Monokultur Karet II Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Sesap Karet Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Sesap Karet Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Karet I Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Jumlah Rata-Rata
17 18 19 20 21 22 23
Belukar Belukar Hutan Hutan Hutan Hutan Lahan Terbuka Jumlah Rata-Rata Total Rata-Rata
Luas SL (Ha)
R*
K**
LS**
C
1482 147 1098 841 248 6026 70 60 114 1979 162 144 84 61 2589 79 15184
1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64
Penggunaan Lahan Pertanian 0.16 0.09 0.800 0.36 0.15 0.500 0.14 0.44 0.100 0.14 0.38 0.500 0.14 0.49 0.500 0.14 0.45 0.100 0.16 0.87 0.100 0.18 1.33 0.500 0.16 0.82 0.500 0.18 1.33 0.100 0.14 3.11 0.100 0.14 3.08 0.500 0.19 5.4 0.100 0.16 5.62 0.100 0.19 4.64 0.500 0.19 0.86 0.500
1811 249 8648 5738 2548 14242 45 33281
1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64 1929.64
Penggunaan Lahan Non Pertanian 0.16 3.87 0.300 0.19 5.35 0.300 0.24 5.35 0.001 0.19 5.83 0.001 0.16 5.22 0.001 0.07 6.67 0.001 0.16 0.08 1.000
48465
P
Erosi (ton/ha/thn)
Erosi (ton/tahun)
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
22.23 51.79 12.00 51.80 66.80 12.27 26.79 230.97 126.24 46.19 83.57 413.83 195.12 172.86 838.31 155.38
32944.05 7613.42 13172.55 43567.69 16566.57 73936.10 1875.08 13858.41 14391.03 91419.33 13538.81 59592.05 16390.34 10544.37 2170375.65 12274.69 2592060.13 170.71
43.12
1 1 1 1 1 1 1
357.10 579.95 2.44 2.11 1.61 0.84 24.70
646703.52 144407.34 21082.41 12087.71 4090.95 11938.08 1111.47 841421.48 25.28 3433481.62 70.84
38.80 27.57 21.77 5.95 16.49 9.46 52.25
Etol (ton/ha/tahun)***
43.12 29.44 29.44 29.44 29.44 26.40 42.90 30.72 28.05 30.72 30.72 21.31 31.33 21.31 15.79
* Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 26; ** Berdasarkan Balitbang Pertanian (2005c) dan *** Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 28 151
Lampiran 28 Perhitungan erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat SL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pengunaan lahan aktual Monokultur Karet II Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Sesap Karet Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Sesap Karet Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Karet I Monokultur Karet I Monokultur Kelapa Sawit Monokultur Kelapa Sawit Belukar Belukar Hutan Hutan Hutan Hutan Lahan Terbuka (Bekas PETI)
Jenis tanah
D-min (mm)
Tanah
DE (mm)
Dek (mm)
(thn)
LPT (mm/thn) (g/cm3) Etol (mm/thn) Etol (ton/ha/thn)
Endoaquepts
500
Penggunaan Lahan Pertanian 0.95 1600 1520
300
1
0.98
4.40
43.12
Endoaquepts
0.95 0.80
1600 1400
1520
300
1
0.98
4.40
43.12
Hapludults
500 500
1120
300
1
0.96
3.07
29.44
Hapludults
500
0.80
1400
1120
300
1
0.96
3.07
29.44
Hapludults
500
0.80
1400
1120
300
1
0.96
3.07
29.44
Hapludults
500
0.80
1400
1120
300
1
0.96
3.07
29.44
Hapludults
500
0.80
1250
1000
300
1
0.99
2.67
26.40
Dystrudepts
500
1.00
1500
1500
300
1
0.99
4.33
42.90
Hapludults
500
0.90
1300
1170
300
1
0.95
3.23
30.72
Dystrudepts
500
1.00
1050
1050
300
1
0.99
2.83
28.05
Kandiudox
500
0.90
1300
1170
300
1
0.95
3.23
30.72
Kandiudox
500
0.90
1300
1170
300
1
0.95
3.23
30.72
Dystrudepts
500
1.00
880
880
300
1
0.94
2.27
21.31
Dystrudepts
500
1.00
1200
1200
300
1
0.94
3.33
31.33
Dystrudepts
500
1.00
880
880
300
1
0.94
2.27
21.31
Hapludults
500
0.80
880
704
300
1
0.94
1.68
15.79
Dystrudepts
300
Penggunaan Lahan Non Pertanian 1.00 1200 1200
300
1
0.97
4.00
38.80
Dystrudepts
300
1.00
880
880
300
1
0.94
2.93
27.57
Dystrudepts
990
1.00
1400
1400
300
1
0.92
2.37
21.77
Dystrudepts
990
1.00
880
880
300
1
0.94
0.63
5.95
Dystrudepts
990
1.00
1200
1200
300
1
0.97
1.70
16.49
Dystrudepts
990
1.00
1020
1020
300
1
0.86
1.10
9.46
Endoaquepts
300
0.95
1650
1567.5
300
1
1
5.23
52.25
152
Lampiran 29 Prediksi Erosi pada beberapa kemiringan lereng lahan akibat penerapan berbagai teknik KTA pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat Tanpa KTA Sesap Karet I dan II Lereng (%) 2 7 14 30
R 1,929.64 1,929.64 1,929.64 1,929.64
K 0.16 0.14 0.18 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.100 0.100 0.100 0.100
P 1.000 1.000 1.000 1.000
Erosi (ton/ha/tahun) Etol (ton/ha/tahun) 2.78 43.12 12.27 29.44 46.19 28.05 167.66 21.31
Monokultur Karet I Lereng (%) 2 7 14 30
R 1,929.64 1,929.64 1,929.64 1,929.64
K 0.16 0.14 0.18 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.800 0.800 0.800 0.800
P 1.000 1.000 1.000 1.000
Erosi (ton/ha/tahun) Etol (ton/ha/tahun) 22.23 43.12 98.16 29.44 369.56 28.05 1341.29 21.31
Monokultur Kelapa Sawit dan Kelapa Sawit-Pisang Lereng (%) R K 2 1,929.64 0.16 7 1,929.64 0.14 14 1,929.64 0.18 30 1,929.64 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.500 0.500 0.500 0.500
P 1.000 1.000 1.000 1.000
Erosi (ton/ha/tahun) Etol (ton/ha/tahun) 13.89 43.12 61.35 29.44 230.97 28.05 838.31 21.31
LCC +Kontur Sesap Karet I dan II Lereng (%) 2 7 14 30
R 1,929.64 1,929.64 1,929.64 1,929.64
K 0.16 0.14 0.18 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.100 0.100 0.100 0.100
P 0.050 0.050 0.075 0.090
Erosi (ton/ha/tahun) 0.14 0.61 3.46 15.09
Etol (ton/ha/tahun) 43.12 29.44 28.05 21.31
Monokultur Karet I Lereng (%) 2 7 14 30
R 1,929.64 1,929.64 1,929.64 1,929.64
K 0.16 0.14 0.18 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.800 0.800 0.800 0.800
P 0.050 0.050 0.075 0.090
Erosi (ton/ha/tahun) 1.11 4.91 27.72 120.72
Etol (ton/ha/tahun) 43.12 29.44 28.05 21.31
Monokultur Kelapa Sawit dan Kelapa Sawit-Pisang Lereng (%) R K 2 1,929.64 0.16 7 1,929.64 0.14 14 1,929.64 0.18 30 1,929.64 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.500 0.500 0.500 0.500
P 0.050 0.050 0.075 0.090
Erosi (ton/ha/tahun) 0.69 3.07 17.32 75.45
Etol (ton/ha/tahun) 43.12 29.44 28.05 21.31
LCC + teras gulud/kebun Sesap Karet I dan II Lereng (%) R 2 1,929.64 7 1,929.64 14 1,929.64 30 1,929.64
K 0.16 0.14 0.18 0.19
LS 0.09 0.45 1.33 4.64
C 0.100 0.100 0.100 0.100
P 0.0102 0.0102 0.0102 0.0102
Erosi (ton/ha/tahun) 0.03 0.13 0.47 1.71
Etol (ton/ha/tahun) 43.12 29.44 28.05 21.31
Monokultur Karet I Lereng (%) 2 7 14 30
K 0.16 0.14 0.18 0.19
LS 0.09 0.45 1.42 4.64
C 0.800 0.800 0.800 0.800
P 0.0102 0.0102 0.0102 0.0102
Erosi (ton/ha/tahun) 0.23 1.00 4.02 13.68
Etol (ton/ha/tahun) 43.12 29.44 28.05 21.31
LS 0.09 0.45 1.42 4.64
C 0.500 0.500 0.500 0.500
P 0.0102 0.0102 0.0102 0.0102
Erosi (ton/ha/tahun) 0.14 0.63 2.52 8.55
Etol (ton/ha/tahun) 43.12 29.44 28.05 21.31
R 1,929.64 1,929.64 1,929.64 1,929.64
Monokultur Kelapa Sawit dan Kelapa Sawit-Pisang Lereng (%) R K 2 1,929.64 0.16 7 1,929.64 0.14 14 1,929.64 0.18 30 1,929.64 0.19
153
Lampiran 30 Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usahatani sesuai dengan Tipe Usahatani dan Skenario Agroteknologi yang diterapkan Tipe UTKKS
Biaya
Penerimaan
Pendapatan
SK I SK II MK I MK II KRG MKS KSP
1,241,153.23 1,092,927.42 1,954,293.27 1,422,735.58 2,738,847.12 1,029,519.23 1,159,884.62
7,362,258.06 6,895,161.29 9,789,807.69 6,879,423.08 62,097,500.00 9,032,605.77 9,259,528.85
6,121,104.84 5,802,233.87 7,835,514.42 5,456,687.50 59,358,652.88 8,003,086.54 8,099,644.23
SK I SK II MK I MKS KSP
1,448,709.68 1,296,758.06 2,160,336.54 1,883,173.08 1,889,049.04
17,802,238.71 17,123,709.68 15,803,269.23 15,606,538.46 16,171,923.08
16,353,529.03 15,826,951.61 13,642,932.69 13,723,365.38 14,282,874.04
SK I SK II MK I MKS KSP
1,453,548.39 1,301,596.77 2,166,490.38 1,888,942.31 1,894,818.27
17,802,238.71 17,123,709.68 15,803,269.23 15,606,538.46 16,171,923.08
16,348,690.32 15,822,112.90 13,636,778.85 13,717,596.15 14,277,104.81
SK I SK II MK I MKS KSP
1,711,612.90 1,559,661.29 2,435,721.15 2,158,173.08 2,164,049.04
17,802,238.71 17,123,709.68 15,803,269.23 15,606,538.46 16,171,923.08
16,090,625.81 15,564,048.39 13,367,548.08 13,448,365.38 14,007,874.04
SK I SK II MK I MKS KSP
1,593,750.00 1,437,766.13 2,577,240.38 2,649,696.15 2,761,725.96
20,180,141.94 19,324,193.55 17,821,153.85 16,907,692.31 17,473,076.92
18,586,391.94 17,886,427.42 15,243,913.46 14,257,996.15 14,711,350.96
SK I SK II MK I MKS KSP
1,598,588.71 1,442,604.84 2,583,009.62 2,655,465.38 2,767,495.19
20,180,141.94 19,324,193.55 17,821,153.85 16,907,692.31 17,473,076.92
18,581,553.23 17,881,588.71 15,238,144.23 14,252,226.92 14,705,581.73
SK I SK II MK I MKS KSP
1,856,653.23 1,700,669.35 2,852,240.38 2,924,696.15 3,036,725.96
20,180,141.94 19,324,193.55 17,821,153.85 16,907,692.31 17,473,076.92
18,323,488.71 17,623,524.19 14,968,913.46 13,982,996.15 14,436,350.96
PV Biaya PV Penerimaan Tanpa Agroteknologi (S0) 15,527,744.18 30,951,988.51 14,897,193.32 26,373,016.57 20,837,885.04 49,968,601.91 17,791,800.96 34,822,181.23 35,076,603.77 599,249,791.96 14,092,973.73 60,077,667.09 15,515,841.25 64,437,589.55 SA1 (tanpa KTA) 17,282,800.82 77,712,943.25 16,580,100.93 71,811,511.94 22,177,264.23 70,925,998.39 20,387,270.43 106,622,718.67 21,615,193.39 117,504,585.92 SA1(LCC+CC) 17,432,800.82 77,712,943.25 16,730,100.93 71,811,511.94 22,337,264.23 70,925,998.39 20,537,270.43 106,622,718.67 21,765,193.39 117,504,585.92 SA1 (LCC+TG/TK) 18,590,636.38 51,306,538.94 18,158,008.71 47,362,229.35 25,905,892.06 70,925,998.39 24,348,055.21 106,622,718.67 25,333,821.21 117,504,585.92 SA2 (tanpa KTA) 18,469,809.18 87,506,959.79 17,642,109.29 81,421,949.89 26,905,126.02 79,881,895.07 26,415,122.99 114,545,524.01 28,381,416.52 125,427,391.26 SA2 (LCC+CC) 18,619,809.18 87,506,959.79 17,792,109.29 81,421,949.89 27,055,126.02 79,881,895.07 26,565,122.99 114,545,524.01 28,531,416.52 125,427,391.26 SA2 (LCC+TG/TK) 22,230,845.97 87,506,959.79 21,403,146.09 81,421,949.89 30,623,753.85 79,881,895.07 30,133,750.82 114,545,524.01 32,100,044.34 125,427,391.26
PV Pendapatan 15,424,244.33 11,475,823.25 29,130,716.87 17,030,380.27 564,173,188.19 45,984,693.37 48,921,748.31
NPV (103,499.85) (3,421,370.07) 8,292,831.83 (761,420.69) 529,096,584.42 31,891,719.64 33,405,907.06
B/C
IRR
0.99 0.77 1.40 0.96 16.08 3.26 3.15
11.96 10.65 15.01 11.68 57.40 26.47 28.00
60,430,142.43 55,231,411.00 48,748,734.15 86,235,448.24 95,889,392.54
43,147,341.60 38,651,310.07 26,571,469.92 65,848,177.80 74,274,199.15
3.50 3.33 2.20 4.23 4.44
43.16 41.92 20.28 36.47 41.87
60,280,142.43 55,081,411.00 48,588,734.15 86,085,448.24 95,739,392.54
42,847,341.60 38,351,310.07 26,251,469.92 65,548,177.80 73,974,199.15
3.46 3.29 2.18 4.19 4.40
42.72 41.47 38.23 35.74 41.03
32,715,902.56 29,204,220.64 45,020,106.33 82,274,663.46 92,170,764.72
14,125,266.17 11,046,211.94 19,114,214.27 57,926,608.25 66,836,943.51
1.76 1.61 1.74 3.38 3.64
36.72 35.43 32.68 30.38 34.88
69,037,150.60 63,779,840.60 52,976,769.04 88,130,401.01 97,045,974.74
50,567,341.42 46,137,731.31 26,071,643.02 61,715,278.02 68,664,558.22
3.74 3.62 1.97 3.34 3.42
43.25 42.45 18.40 33.77 38.36
68,887,150.60 63,629,840.60 52,826,769.04 87,980,401.01 96,895,974.74
50,267,341.42 45,837,731.31 25,771,643.02 61,415,278.02 68,364,558.22
3.70 3.58 1.95 3.31 3.40
42.83 42.02 18.28 33.44 37.96
65,276,113.81 60,018,803.81 49,258,141.22 84,411,773.19 93,327,346.92
43,045,267.84 38,615,657.72 18,634,387.37 54,278,022.37 61,227,302.58
2.94 2.80 1.61 2.80 2.91
37.15 36.21 16.07 28.61 32.25
154
Lampiran 31Nilai CP Maksimum pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat SLH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pengunaan lahan aktual
R K LS Penggunaan Lahan Pertanian Monokultur Karet I 1929.64 0.16 0.09 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.36 0.15 Monokultur Karet II 1929.64 0.14 0.44 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.14 0.38 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.14 0.49 Sesap Karet 1929.64 0.14 0.45 Monokultur Karet II 1929.64 0.16 0.87 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.18 1.33 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.16 0.82 Sesap Karet 1929.64 0.18 1.33 Monokultur Karet II 1929.64 0.14 3.11 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.14 3.08 Monokultur Karet II 1929.64 0.19 5.4 Monokultur Karet II 1929.64 0.16 5.62 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.19 4.64 Monokultur Kelapa Sawit 1929.64 0.19 0.86 Penggunaan Lahan Non Pertanian Belukar 1929.64 0.16 3.87 Belukar 1929.64 0.19 5.35 Hutan 1929.64 0.24 5.35 Hutan 1929.64 0.19 5.83 Hutan 1929.64 0.16 5.22 Hutan 1929.64 0.07 6.67 Lahan Terbuka (bekas PETI) 1929.64 0.16 0.08
CP Maks
Etol (ton/ha/tahun)
1.552 0.416 0.245 0.284 0.220 0.240 0.099 0.093 0.122 0.061 0.037 0.037 0.011 0.018 0.013 0.051
43.12 43.12 29.44 29.44 29.44 29.44 26.40 42.90 30.72 28.05 30.72 30.72 21.31 31.33 21.31 15.79
0.033 0.014 0.009 0.003 0.010 0.011 2.115
38.80 27.57 21.77 5.95 16.49 9.46 52.25
155
Lampiran 32 Hasil analisis PTG dalam menentukan usahatani berkelanjutan yang optimal di DAS Batang Pelepat 1.
Model dengan Prioritas Sasaran Pengendalian Erosi
Tipe Usahatani Optimal akibat penerapan skenario agroteknologi Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA1 pada luas lahan 2 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 2.00 2.00 2.00 2.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA1 pada luas lahan 5 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 5.00 5.00 5.00 5.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA2 pada luas lahan 2 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 2.00 2.00 2.00 2.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA2 pada luas lahan 5 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 5.00 5.00 5.00 5.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai ketercapaian target (deviasi) akibat penerapan agroteknologi pada luas lahan 2 ha dan 5 ha Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA1 pada luas lahan 2 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA1 pada luas lahan 5 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA2 pada luas lahan 2 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA2 pada luas lahan 5 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
156
Lampiran 32 (Lanjutan) 2. Model dengan Prioritas Sasaran Peningkatan Pendapatan Tipe Usahatani Optimal akibat penerapan skenario agroteknologi Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA1 pada luas lahan 2 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 2.00 2.00 2.00 2.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA1 pada luas lahan 5 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 5.00 5.00 5.00 5.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA2 pada luas lahan 2 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 2.00 2.00 2.00 2.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 Tipe usahatani optimal akibat penerapan SA2 pada luas lahan 5 ha Tipe Usahatani Optimal Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% SK I 5.00 5.00 5.00 5.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai ketercapaian target (deviasi) akibat penerapan agroteknologi pada luas lahan 2 ha dan 5 ha Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA1 pada luas lahan 2 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA1 pada luas lahan 5 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA2 pada luas lahan 2 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Nilai deviasi positif erosi dan deviasi negatif pendapatan akibat penerapan SA2 pada luas lahan 5 ha de+ dan dp- pada setiap Lereng Tipe UTKKS 2% 7% 14% 30% de+ dpde+ dpde+ dpde+ SK I 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SK II 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MKS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KSP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dp0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
157
GLOSSARY Balitbang
:
Balai Penelitian dan Pengembangan Instansi yang menjadi salah satu bagian dari suatu departemen (seperti Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dll) yang menangani masalah penelitian dan pengembangan
B/C ratio
:
Benefit Cost Ratio Rasio antara manfaat dan biaya yang merupakan salah satu indikator kelayakan suatu proyek
BAPPEDA
:
Badan Perencana Pembangunan Daerah Instansi yang bertugas menyusun perencanaan pembangunan di daerah (provinsi dan kabupaten)
BAPPENAS
:
Badan Perencana Pembangunan Nasional Instansi yang bertugas menyusun perencanaan pembangunan nasional
BI
:
Bobot Isi Salah satu sifat fisik tanah yang menggambarkan kepadatan tanah
BOT
:
Bahan Organik Tanah Salah satu sifat tanah yang menggambarkan kandungan bahan organik tanah
BPDAS
:
Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Instansi yang berwenang dalam menangani suatu daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan salah satu balai dalam lingkup Departemen Kehutanan
BPP Sembawa
:
Balai Penelitian Perkebunan Sembawa Instansi yang menangani penelitian tentang tanaman perkebunan (khususnya karet) yang terdapat di Sembawa
BPS
:
Badan Pusat Statistik Instansi pemerintah yang bertugas mengumpulkan berbagai data
CC
:
Countour Cropping Sistem tanam menurut kontur (salah satu teknik konservasi tanah dan air yang bersifat vegetatif)
CIFOR
:
Centre for International Forestry Reseach Salah satu lembaga non pemerintah (non government organization atau NGO) yang merupakan pusat penelitian kehutanan
COT
:
CPO
:
Karbon Organik Tanah Salah satu sifat tanah yang menggambarkan kandungan karbon tanah dan merupakan indikator bahan organik tanah Crude Palm Oil Suatu bentuk produk olahan dari tandan buah segar kelapa sawit dalam bentuk minyak
158
159 CPmaks
:
CP Maksimum Nilai koefisien pengelolaan tanaman dan tanah (CP) maksimum yang digunakan sebagai kriteria penentuan teknik konservasi tanah dan air dengan menggunakan model universal soil loss equation
CPrek
:
CP Rekomendasi Nilai koefisien pengelolaan tanaman dan tanah (CP) yang direkomendasikan untuk memilih teknik konservasi tanah dan air dengan menggunakan model universal soil loss equation
C-Stock
:
Stock Carbon (Cadangan Karbon) Cadangan karbon yang terdapat di alam
DAS
:
Daerah Aliran Sungai sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut
de
:
Deviasi Target Erosi Nilai deviasi (simpangan) terhadap target erosi yang digunakan dalam analisis program tujuan ganda
Dephut
:
Departemen Kehutanan Instansi pemerintah yang kehutanan di Indonesia
menangani
masalah
Depkimraswil
:
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Instansi pemerintah yang menangani masalah pemukiman dan prasarana wilayah
Deptan
:
Departemen Pertanian Instansi pemerintah yang menangani masalah pertanian
Ditjen
:
Direktorat Jenderal Salah satu bagian struktural dari suatu departemen
Ditjenbun
:
Direktorat Jenderal Perkebunan Salah satu bagian struktural dari Departemen Pertanian yang menangani masalah perkebunan
DNMRT
:
Duncan New Multiple Range Test Salah satu uji statistik yang menggunakan perbandingan nilai rata-rata untuk membedakan pengaruh antar perlakuan terhadap variabel tertentu yang dikemukakan oleh Duncan
dp
:
Deviasi Target Pendapatan Nilai deviasi (simpangan) terhadap target pendapatan yang digunakan dalam analisis program tujuan ganda
Etol
:
Erosi yang dapat ditoleransikan Batas erosi yang tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan lahan
FSROP
:
Farming Systems of Rubber and Oil Palm Tipe usahatani karet dan kelapa sawit yang dibedakan berdasarkan sistem budidaya atau pengelolaannya
160 GKG
:
Gabah Kering Giling Bentuk produksi padi yang digunakan sebagai dalam analisis usahatani
GPS
:
Geography Position System Alat yang digunakan dalam menentukan koordinat suatu titik
survei
tanah
untuk
HPH
:
Hak Pengusahaan Hutan Hak yang diberikan oleh Departemen Kehutanan kepada pihak tertentu untuk mengusahakan sebagian dari kawasan hutan dengan ketentuan tertentu
HOK
:
Hari Orang Kerja Satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam analisis usahatani
HS
:
Hutan Sekunder Hutan bekas tebangan yang dibiarkan menjadi hutan kembali
Ht
:
Hutan Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
ISA
:
Indicators of Sustainable agriculture Pedoman atau kriteria yang digunakan untuk menilai keberlanjutan pertanian
ICRAF
:
International Centre for Research in Agroforestry Suatu lembaga internasional yang berfungsi sebagai pusat penelitian agroforestri
IRR
:
Internal Rate of Return Tingkat suku bunga yang menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh setiap tahun atau kemampuan usaha untuk mengembalikan bunga bank, digunakan untuk menilai kelayakan suatu proyek (tingkat suku bunga yang mengakibatkan NPV =0)
HPT
:
Hama dan Penyakit Tanaman Hewan dan penyakit yang mengganggu pertumbuhan tanaman pertanian
Kastab
:
Kebutuhan Asuransi dan Tabungan Salah satu kebutuhan tambahan suatu keluarga untuk keperluan asuransi dan menabung (salah satu kebutuhan tambahan yang digunakan untuk melengkapi kebutuhan fisik minimum untuk mencapai kehidupan yang layak)
KFM
:
Kebutuhan Fisik Minimum Kebutuhan minimum yang dibutuhkan agar manusia dapat bertahan hidup
KHL
:
Kebutuhan Hidup Layak Kebutuhan yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup secara layak
161 KHT
:
Kebutuhan Hidup Tambahan Kebutuhan yang dibutuhkan oleh manusia untuk melengkapi kebutuhan fisik minimum sehingga dapat mencapai kehidupan yang layak
KK
:
Kepala Keluarga Orang yang memimpin suatu keluarga (ayah)
KKK
:
Kadar Karet Kering Salah satu bentuk produksi tanaman karet
KKR
:
Kebutuhan Kesehatan dan Rekreasi Salah satu unsur kebutuhan tambahan manusia untuk melengkapi kebutuhan fisik minimum dalam mencapai kehidupan yang layak
KKSDA
:
Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Salah satu bagian struktural dalam lingkungan Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang menangani bidang perencanaan kehutanan dan konservasi sumberdaya air
KPS
:
Kebutuhan Pendidikan dan Kegiatan Sosial Salah satu kebutuhan tambahan untuk pendidikan dan mengikuti kegiatan sosial dan digunakan untuk melengkapi kebutuhan fisik minimum dalam mencapai kehidupan yang layak
KRG
:
Karet-Gaharu Salah satu tipe usahatani karet yang menerapkan sistem tanam tumpangsari karet dan gaharu
KR
:
Karet Salah satu komoditi pertanian (tanaman perkebunan)
KRT
:
Kebutuhan Rumah Tangga Segala sesuatu yang dibutuhkan dalam satu rumah tangga untuk dalam menjalani aktivitas kehidupan
KS
:
Kelapa Sawit Salah satu komoditi pertanian (tanaman perkebunan)
KSP
:
Kelapa Sawit-Pisang Salah satu tipe usahatani kelapa sawit yang menerapkan sistem tanam tumpangsari kelapa sawit dengan pisang
KTA
:
Konservasi Tanah dan Air Suatu upaya untuk melestarikan tanah dan air
SEDASI
:
Sungai Dareh dan Sitiung Istilah (akronim) yang digunakan untuk wilayah yang tercakup dalam Sungai Dareh dan Sitiung
162 LCC
:
Legume Cover Crop Tanaman kacang-kacangan (legume) yang digunakan sebagai tanaman penutup tanah dalam teknik konservasi tanah dan air vegetatif
Lmin
:
Kebutuhan Lahan Minimal Luas lahan minimal yang dibutuhkan petani untuk memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak
LP
:
Linear Programming Model yang digunakan untuk mengatur alokasi satu atau beberapa sumberdaya secara optimal untuk mencapai satu tujuan
MGP
:
Multiple Goal Programming Model yang digunakan untuk mengatur alokasi satu atau beberapa sumberdaya secara optimal untuk mencapai beberapa tujuan
MK I
:
Monokultur Karet tipe I Salah satu tipe usahatani karet yang menerapkan sistem tanam monokultur tanpa tanaman penutup tanah (permukaan tanah relatif terbuka)
MK II
:
Monokultur Karet tipe II Salah satu tipe usahatani karet yang menerapkan sistem tanam monokultur dengan tanaman penutup tanah berupa tumbuhan semak belukar
MKS
:
Monokultur Kelapa Sawit Salah satu tipe usahatani kelapa sawit yang menerapkan sistem tanam monokultur dengan tanaman penutup tanah berupa tumbuhan semak belukar
NPV
:
Net Present Value Perbedaan nilai sekarang dari suatu manfaat dengan nilai sekarang biaya yang digunakan sebagai salah satu indikator kelayakan proyek
PPLH UNJA
:
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Jambi Instansi yang berada dalam lingkup Pusat Penelitian di Universitas Jambi
PPK Medan
:
Pusat Penelitian Karet Medan Instansi yang menangani penelitian tanaman karet yang terletak di Medan
PPKS Medan
:
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan Instansi yang menangani penelitian tanaman kelapa sawit yang terletak di Medan
163 PKHL
:
Pendapatan sesuai standar Kebutuhan Hidup Layak Pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak
PTG
:
Program Tujuan Ganda Model yang digunakan untuk mengatur alokasi satu atau beberapa sumberdaya secara optimal untuk mencapai beberapa tujuan
RAK
:
Rancangan Acak Kelompok Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian yaitu rancangan percobaan yang disusun berdasarkan perlakuan dan kelompok
ROE
:
Run Off dan Erosion Aliran permukaan yang terjadi akibat kelebihan hujan (air hujan yang mengalir di permukaan tanah atau tidak terinfiltasi ke dalam tanah) dan kehilangan tanah
RRL
:
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Upaya penanaman kembali lahan yang gundul dan memperbaiki lahan yang mengalami degradasi
SPK
:
Sistem Pertanian Konservasi Sistem pertanian yang menerapkan upaya konservasi terhadap sumberdaya lahan sehingga pertanian bersifat lestari
SPB
:
Sistem Pertanian Berkelanjutan Sistem pertanian yang disusun sehingga pertanian berlangsung secara terus menerus
SRTM
:
Surface Radar Topography Model Salah satu model yang menggambarkan kondisi permukaan tanah suatu wilayah dengan citra radar
SL
:
Satuan Lahan Kelompok lahan yang mempunyai lereng, jenis tanah dan penggunaan lahan yang sama
SK I
:
Sesap Karet I Salah satu tipe usahatani karet yang menerapkan sistem tanam tumpangsari karet dengan tanaman kehutanan berupa manau dan kayu sungkai
SK II
:
Sesap Karet II Salah satu tipe usahatani karet yang menerapkan sistem tanam tumpangsari karet dengan tanaman kehutanan berupa kayu balam dan kayu medang
SA1
:
Skenario Agroteknologi 1 Salah satu skenario (alternatif) agroteknologi yang dianalisis dalam penelitian yaitu berupa perbaikan jarak tanam untuk tipe sesap karet, penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl dengan takaran masing-masing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun untuk karet dan untuk kelapa sawit digunakan pupuk NPK sebanyak 0.22 – 0.45 kg/pohon/tahun dan MgSO4 sebanyak 0.10 – 0.40
164 kg/pohon/tahun, pada lereng 3 – 14% disertai dengan penerapan LCC dan sistem tanam menurut kontur dan pada lereng 15–30% disertai dengan penerapan LCC serta teras gulud atau teras kebun Skenario Agroteknologi 2 Salah satu skenario (alternatif) agroteknologi yang dianalisis dalam penelitian yaitu perbaikan jarak tanam untuk tipe sesap karet, penggunaan pupuk dengan takaran sesuai dengan rekomendasi BPP Sembawa (2003) untuk karet (Urea : 250 – 350 g, SP-36 : 125 – 260 g dan KCl : 100 – 300 g per pohon setiap tahun) dan rekomendasi PPKS Medan (1999) untuk kelapa sawit (Urea : 0.70 – 1.50 kg, TSP : 0.50 – 2.00 kg, KCl : 0.80 – 1.50 kg dan MgSO4 : 0.70 – 1.00 kg per pohon setiap tahun); pada lereng 3 – 14% disertai dengan penerapan LCC dan sistem tanam menurut kontur dan pada lereng 15–30% disertai dengan penerapan LCC serta teras gulud atau teras kebun
SA2
:
TBS
:
Tandan Buah Segar Salah satu bentuk produksi tanaman karet yang belum mengalami pengolahan
TG
:
Teras Gulud Salah satu jenis teknik konservasi tanah dan air yang bersifat mekanik
TK
:
Teras Kebun Salah satu jenis teknik konservasi tanah dan air yang bersifat mekanik
TRP
:
Total Ruang Pori Salah satu sifat fisik tanah yang menggambarkan kondisi porositas tanah
USLE
:
The Universal Soil Loss Equation Salah satu model yang digunakan untuk memprediksi erosi tanah berdasarkan iklim, kepekaan tanah terhadap erosi, lereng dan pengelolaan tanah serta tanaman
UTKKS
:
Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Usahatani yang mengusahakan komoditi karet dan kelapa sawit