PANDUAN PEMBIAYAAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN PANDUAN PRAKTIS PEMBIAYAAN BERKELANJUTAN SEKTOR KELAPA SAWIT - VOL. 1
PANDUAN PEMBIAYAAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN PANDUAN PRAKTIS PEMBIAYAAN BERKELANJUTAN SEKTOR KELAPA SAWIT - VOL. 1
DISCLAIMER Naskah ini disusun oleh tim WWF Indonesia dan telah dikoordinasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Serangkaian diskusi telah dilakukan melibatkan institusi terkait, dan para ahli yang telah membantu mempersiapkan naskah ini. Menjadi suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan naskah ini dari awal hingga selesai. Pedoman ini tidak bersifat mengikat bagi lembaga jasa keuangan (LJK) namun dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi LJK dalam hal pembiayaan di sektor kelapa sawit. Dokumen ini disediakan tanpa representasi, jaminan, atau syarat apa pun. WWF Indonesia tidak memberikan representasi atau jaminan apapun tentang keakuratan atau kelengkapan dari informasi apa pun di dokumen ini atau kepatuhannya terhadap undang-undang atau peraturan apa pun yang berlaku, WWF Indonesia atau penulis-penulisnya tidak akan pernah bertanggung jawab atas segala kerusakan yang terjadi di bawah teori hukum apa pun yang disebabkan karena penggunaan atau ketergantungan terhadap informasi di dokumen ini. Penggunaan dan rujukan kepada dokumen ini tidak menunjukkan pengesahan terhadap siapa pun atau badan hukum mana pun oleh WWF Indonesia. Serangkaian diskusi telah dilakukan melibatkan institusi terkait, dan para ahli yang telah membantu mempersiapkan naskah ini Menjadi suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan naskah ini dari awal hingga selesai.
TIM PENYUSUN: Penulis: Rizkiasari Yudawinata Kontributor: Rico Pratama Putra, Anna Batenkova, Putra Agung, Margaretha Nurunnisa. Penasehat ahli: Tim Keuangan Berkelanjutan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Irwan Gunawan, Jeanne Stampe.
4
DAFTAR ISI PANDUAN PEMBIAYAAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN 1. PENGENALAN PANDUAN
8
1.1. Siapakah Pengguna Panduan ini?
10
1.2. Tujuan Panduan
11
1.3. Lingkup Panduan
12
2. SEKTOR KELAPA SAWIT: LINGKUNGAN, SOSIAL DAN TATA KELOLA 2.1. Mengapa Kelapa Sawit yang Berkelanjutan
14
2.2. Rantai Produksi Minyak Kelapa Sawit
17
2.3. Mengapa bank/ LJK perlu memahami aspek keberlanjutan sektor kelapa sawit
19
2.4. Aspek Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola Sektor Kelapa Sawit
20
1. Legalitas Produksi
20
2. Konversi hutan
25
3. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
29
4. Perkebunan dan Operasi Mill
30
5. Hubungan dengan Masyarakat
33
6. Tenaga Kerja: Hak – Hak Pekerja, dan Keselamatan Kerja dan Kesehatan
35
7. Rantai Pasok TBS (Tandan Buah Sawit) Legal
37
3. POIN-POIN UTAMA BAGI BANK
40
3.1. Memahami isu/ masalah keberlanjutan utama
40
3.2. Dampak dari praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab
40
3.3. Menilai komitmen keberlanjutan klien Anda
44
3.4. Langkah yang perlu diambil oleh bank/ LJK secara internal
45
REFERENSI
46
5
DAFTAR TABEL
6
TABEL 1: RANTAI PRODUKSI MINYAK KELAPA SAWIT
18
TABEL 2: PROSES IZIN LOKASI
21
TABEL 3: PROSES IZIN USAHA PERKEBUNAN
23
TABEL 4: ISU KEBERLANJUTAN UTAMA, PRAKTIK BURUK SERTA PRAKTIK TERBAIK.
43
1. PENGENALAN PANDUAN Panduan ini dirancang untuk mendukung bank/ LJK dalam mengembangkan kebijakan keuangan kelapa sawit berkelanjutan dan sebagai landasan dasar untuk mengembangkan prosedur yang lebih praktis dan adaptif.
7
1. PENGENALAN PANDUAN Dalam dua dekade terakhir, pembangunan yang menargetkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan isu lingkungan, sosial dan tata kelola dengan segala implikasinya telah mendapat banyak sorotan. Bisnis tidak bertanggung jawab mengancam sumber daya alam negara. Dampak – dampak negatif yang ditimbulkan dari proses pembangunan ekonomi konvensional mendorong dicetuskannya pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan keselarasan aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 5 Desember 2014 meluncurkan Sustainable Finance Roadmap yang bertujuan memberikan peta perencanaan pemerintah terkait peran lembaga jasa keuangan untuk melakukan upaya pengarusutamaan (mainstreaming) dan internalisasi aspek lingkungan dan sosial. Internalisasi tersebut diterapkan dalam keputusan pembiayaan dan produk jasa keuangan. Salah satunya menyasar peningkatan pendanaan ramah lingkungan. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang dimaksud yaitu perbankan, pasar modal dan industri keuangan non-bank (IKNB). Pada tahap implementasi roadmap, untuk mendorong internalisasi yang dimaksud, pada tahun 2015 OJK bersama WWF-Indonesia telah meluncurkan buku pedoman berjudul “Integrasi Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola bagi Bank: Panduan Untuk Memulai Implementasi” (http:// www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/panduan/Pages/BukuPedoman-Lingkungan-Sosial-dan-Tata-Kelola-Bagi-Bank.aspx). Pedoman ini bertujuan untuk memberikan kerangka implementasi yang praktis dalam menerapkan perbankan berkelanjutan secara operasional, tata kelola yang terstruktur yang dilengkapi dengan informasi pendukung untuk membantu organisasi dalam mengelola dampak-dampak tidak langsung LST (lingkungan, sosial dan tata kelola). Buku pedoman ini dapat juga diaplikasikan untuk LJK lainnya. Lebih lanjut, OJK juga meluncurkan beberapa panduan praktis pembiayaan berkelanjutan untuk berbagai sektor prioritas, diantaranya sektor pertanian/ perkebunan yang berfokus pada kelapa sawit yang dikembangkan bersama WWF-Indonesia. Sektor kelapa sawit sebagai sub-sektor pertanian telah dipilih secara cermat untuk dijadikan rujukan karena proses “perjalanan keberlanjutan” sektor ini paling maju dibandingkan sektor pertanian lainnya. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sektor ini. Mulai dari penerapan rantai pasok sawit yang sudah mulai berjalan hingga tingkat peritel sampai dengan isu kebakaran hutan di tahun 2015 yang tengah menjadi sorotan publik. Menata arah sektor ini ke arah yang lebih baik dari sisi keberlanjutan akan menurunkan derajat tingkat risiko komoditas ini bagi para pelaku usaha maupun para lembaga jasa keuangan.
8
“OJK MELUNCURKAN BEBERAPA PANDUAN PRAKTIS PEMBIAYAAN BERKELANJUTAN UNTUK BERBAGAI SEKTOR PRIORITAS, DIANTARANYA SEKTOR PERTANIAN/ PERKEBUNAN YANG BERFOKUS PADA KELAPA SAWIT”
Panduan ini dirancang untuk mendukung bank/ LJK dalam mengembangkan kebijakan keuangan kelapa sawit berkelanjutan dan sebagai landasan dasar untuk mengembangkan prosedur yang lebih praktis dan adaptif. Rujukan utama panduan ini adalah peraturan perundang-undangan terkait perkebunan kelapa sawit, Peraturan Menteri Pertanian No. 19 Tahun 2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, serta perubahannya Peraturan Menteri Pertanian No. 11 Tahun 2015 Tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, dan dilengkapi dengan referensi praktik pengelolaan terbaik yang diterapkan baik di tingkat nasional dan global. Panduan ini terbagi menjadi 2 (dua) seri yang dirancang untuk membantu LJK dalam mengembangkan kebijakan pembiayaan minyak kelapa sawit berkelanjutan dan menyiapkan prosedur untuk diterapkan secara operasional. Pada Seri Pertama, dititikberatkan kepada isu utama terkait lingkungan, sosial dan tata kelola sektor kelapa sawit, dan mitigasi risiko tiga isu tersebut oleh pihak industri dan LJK. Pada Seri Kedua, dititikberatkan kepada saran mengenai cakupan kebijakan serta jenis layanan keuangan yang akan berlaku; contoh kebijakan yang menggambarkan jenis komitmen dan langkah pengamanan yang mungkin perlu disertakan; contoh proses penyaringan pemberian kredit dan dokumen pendukung serta template yang dibutuhkan. Panduan ini akan membantu bank/ LJK untuk: • Menyadari bahwa dengan menginkorporasikan aspek LST sektor kelapa sawit dapat menjadi pendorong nilai (value driver) untuk bisnis baru dan memperkuat hubungan dengan klien; • Menentukan selera risiko (risk appetite) LST bank untuk transaksi/ pembiayaan kelapa sawit; • Mengembangkan kebijakan pembiayaan kelapa sawit yang berkelanjutan untuk memastikan sebuah transaksi diproses sesuai dengan selera risiko bank; • Mengembangkan alat-alat (tool) serta prosedur-prosedur penyaringan (screening) untuk melakukan tinjauan dan due dilligence (uji tuntas) terhadap klien, yang dapat bank/ JLK modifikasi dan terapkan sesuai dengan selera risiko; • Mengarahkan debitur ataupun kliennya untuk menerapkan praktik produksi dan rantai pasok kelapa sawit yang berkelanjutan, • Memitigasi dampak risiko LST yang dihadapi klien maupun dampak tidak langsung LST yang dihadapi bank/ LJK, • Meningkatkan kinerja keberlanjutan perusahaan ataupun para pelaku usaha sektor pertanian.
9
Pengenalan Panduan
1.1. SIAPAKAH PENGGUNA PANDUAN INI? Panduan ini ditujukan untuk wakil-wakil bank dan lembaga jasa keuangan lainnya yang memiliki portofolio kelapa sawit atau yang baru akan memperluas lingkup portofolionya ke sektor ini. Panduan ini akan berguna bagi: • Manajer senior dan eksekutif yang terlibat dalam manajemen risiko, pengembangan strategi dan keberlanjutan • Anggota komite dan kelompok kerja yang menangani risiko, keberlanjutan atau unit LST/ ESG • Manajer relasi dan staf kredit. • Para investor sektor kelapa sawit Panduan ini akan bermanfaat bagi: • Regulator yang akan mengembangkan kerangka regulasi untuk pembiayaan berkelanjutan untuk sektor kelapa sawit ataupun sektor pertanian lainnya. • Siapapun yang berminat memahami isu LST pada sektor kelapa sawit, contohnya, para klien korporasi dari bank, pemegang saham dan analis investasi yang meliput sektor ini. 10
1.2. TUJUAN PANDUAN Panduan ini bertujuan untuk: • Mendorong peningkatan portfolio/ reputasi LJK dalam pembiayaan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan. • Memungkinkan Anda mulai menilai risiko dan peluang bank Anda saat ini seputar isu-isu LST pada bisnis minyak sawit, dengan berfokus pada pemberian pinjaman, pasar modal ekuitas (PME), pasar modal utang (PMU) dan layanan penasihat terkait sektor minyak sawit berkelanjutan; • Memberikan bank Anda gambaran tentang latar belakang dan isu-isu LST utama yang dihadapi oleh klien atau potensial klien dari sektor kelapa sawit, • Mengekspos praktik-praktik baik yang sudah dilakukan para pelaku kelapa sawit yang kompatibel untuk diterapkan oleh para klien bank anda
11
Pengenalan Panduan
1.3. LINGKUP PANDUAN Fokus panduan ini adalah untuk memberikan informasi pendukung bagi bank dan LJK lainnya dalam mengelola dampak-dampak tidak langsung LST dari sektor kelapa sawit dan membantu bank dalam melakukan pertimbangan dan membuat keputusan sebuah transaksi. Informasi dimaksud meliputi proses bisnis sektor kelapa sawit, risiko lingkungan, sosial dan tata kelola yang sering dihadapi oleh sektor kelapa sawit, dilengkapi dengan aksi mitigasi serta solusi-solusi yang dapat ditempuh dan diterapkan oleh para pelaku usaha sektor ini. Dampak-dampak tidak langsung LST terjadi ketika produk dan layanan yang organisasi berikan, seperti pemberian kredit, PME (Pasar Modal Ekuitas), PMU (Pasar Modal Utang) dan layanan nasihat, memfasilitasi operasian bisnis klien organisasi, yang mempunyai dampak terhadap LST.
12
2. SEKTOR KELAPA SAWIT: LINGKUNGAN, SOSIAL DAN TATA KELOLA Di balik produktifitas minyak kelapa sawit yang menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dunia, sektor ini banyak mendapat sorotan akibat beberapa isu utama seputar deforestasi, emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
13
2. SEKTOR KELAPA SAWIT: LINGKUNGAN, SOSIAL DAN TATA KELOLA 2.1. MENGAPA KELAPA SAWIT YANG BERKELANJUTAN Sejak tahun 1990, industri kelapa sawit global terus mengalami pertumbuhan pesat. Dimulai dari angka produksi 11 juta ton pada tahun 1990 hingga mencapai angka 50 juta ton di tahun 2011. Berdasarkan prediksi, menjelang tahun 2050 masyarakat dunia memerlukan minyak sawit sebesar 224231 juta tonI. Industri kelapa sawit akan terus berkembang seiring dengan tingginya permintaan minyak nabati global. Karena produktifitasnya yang tinggi sekaligus manfaatnya yang beragam—mulai dari minyak goreng, produk makanan, hingga kosmetik dan kebutuhan industri seperti bahan bakar diesel—minyak sawit merupakan minyak nabati paling ekonomis. Hal ini menjelaskan mengapa permintaan global untuk komoditas ini diprediksi akan terus meningkat. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Selama satu dekade lebih, sektor kelapa sawit di Indonesia telah mengalami pertumbuhan besar-besaran. Antara tahun 1990 dan 2013, kawasan yang digunakan untuk perkebunan sawit meningkat sepuluh kali lipat dari 1,1 juta hektar menjadi 10,4 juta hektarII. Pada tahun 2013, total angka produksi untuk CPO (Crude Palm Oil)/ minyak sawit mentah mencapai 27,7 juta tonIII yakni menguasai hampir separuh produksi global. Di Indonesia, kebun kelapa sawit terdiri dari tiga kategori besar dengan komposisi luasan areal terbesar dikelola oleh perkebunan besar swasta (51%), diikuti perkebunan rakyat (42%) dan perkebunan besar negara (7%)IV. Akan tetapi komoditas ini tidak luput dari dilema. Satu sisi, kelapa sawit memberikan peluang ekonomi yang signifikan, sektor ini telah menjadi tulang punggung ekonomi nasional termasuk masyarakat dan petani di negara-negara produsenV. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia yang memiliki iklim yang sesuai, sektor sawit merupakan strategi pembangunan ekonomi yang umum bagi pemerintah daerah.
14
“LJK PERLU MEMAHAMI TANTANGAN SERTA RISIKO YANG DIHADAPI PARA NASABAH MEREKA, UNTUK BISA MEMBANTU NASABAH DALAM MEMPERBAIKI KINERJA KEBERLANJUTAN DALAM RANTAI PASOK (SUPPLY CHAIN) MEREKA.”
Disisi yang lain, tingginya produksi komoditas ini memberi tekanan terhadap ketersediaan lahan serta terdapat dampak langsung maupun tidak langsung akibat perubahan lahan. Di balik produktifitas minyak kelapa sawit, ekspansi lahan kelapa sawit banyak mendapat sorotan isu utama yang sering muncul antara lain deforestasi, kebakaran hutan dan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), hilangnya keanekaragaman hayati dan plasma nuftah, tata kelola serta konflik lahan dengan masyarakat lokal/ adat. Praktik yang tidak bertanggung jawab atau belum menerapkan prinsip keberlanjutan, khususnya pada tahap awal pembangunan dan manajemen operasional, berpotensi rentan terhadap berbagai macam risiko seperti dinamika perubahan regulasi, kebijakan dan akses pasar, sosial, reputasi, potensi biaya tinggi operasional karena adanya konflik akuisisi lahan atau masalah legalitas perizinan. Hal ini menjadikan sektor kelapa sawit sebagai sektor yang berisiko tinggi. Disamping itu, pentingnya upaya penerapan keberlanjutan tidak melekat pada perusahaan saja. Petani kelapa sawit yang menguasai lahan sebesar 42% dari total luas sawit nasional memegang peranan yang signifikan. Umumnya satu kelapa keluarga petani memiliki lahan seluas 2-5 hektar dengan rata-rata produktifitas yang rendah yakni 13.1 ton tandan buah segar (TBS) per hektar per tahun. Beberapa faktor rendahnya produktifitas dikarenakan antara lain oleh bibit yang non unggul, input yang tidak sesuai, pengetahuan yang minim tentang budidaya kelapa sawit serta akses modal dan pasar yang terbatas. Dengan serba keterbatasan tersebut, petani berpotensi untuk menerapkan praktik-praktik yang berisiko terhadap berkelanjutan usahanya seperti menggunakan pupuk yang berlebihan hingga berdampak pada hasil tanam yang memburuk atau bahkan mencari jalan pintas dengan merambah hutan guna meningkatkan produktifitas. Kini pemerintah telah menargetkan produksi CPO capai 40 juta ton pada tahun 2020. Disamping itu para pengusaha sendiri telah menetapkan target produksi CPO mereka pada tahun 2030 sebesar 60 juta tonVI.
15
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
Untuk itu, kebutuhan untuk menerapkan praktik produksi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas, harga yang lebih baik, serta menurunkan dampak lingkungan dan sosial menjadi semakin penting guna memastikan upaya pencapaian target yang ditempatkan oleh pemerintah dan para pengusaha dapat dijalan dengan menerapkan prinsip berkelanjutan secara konsisten dan menyeluruh. LJK perlu memahami tantangan serta risiko yang dihadapi para nasabah mereka, untuk bisa membantu nasabah dalam memperbaiki kinerja keberlanjutan dalam rantai pasok (supply chain) mereka. Dengan demikian, LJK mampu memitigasi risiko pembiayaan. Kebijakan pembiayaan dapat dibangun berdasarkan profil risiko rata – rata transaksi dan klien masingmasing LJK (topik ini akan dibahas lebih detil pada panduan seri ke-2 (dua). Dari sisi kebijakan pemerintah, telah dikeluarkan beberapa peraturan pendukung penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui PP No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dari berbagai sektor prioritas, salah satunya dengan memprioritaskan pengembangan beberapa sektor komoditas seperti sawit, kakao dan karet di lahan tidak berhutan. Dinamika perubahan regulasi yang akan berdampak pada operasional para debitur juga penting dipahami oleh LJK. Pada kesempatan yang lain, Presiden Republik IndonesiaVII, Joko Widodo menyampaikan rencana untuk menerapkan moratorium pemberian izin usaha untuk kelapa sawit dan pertambangan pada April 2016 yang lalu. Hal ini disampaikan bahwa luasan perkebunan saat ini sudah cukup, dan yang perlu untuk diperhatikan adalah penggunaan bibit yang sesuai agar dapat mengoptimalkan produksi hingga dua kali lipatVIII. Jika kebijakan ini terealisasi, perusahaan khususnya sudah harus melakukan antisipasi agar tidak terkendala di kemudian hari.
16
Dalam tren yang akan datang harapannya, Indonesia tidak hanya berfokus pada produksi minyak sawit mentah (CPO). Investasi diarahkah untuk melakukan intensifikasi lahan dan investasi pada industri hilir yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk terus meningkatkan pendapatan negara. Dalam merespon tren industri ini, LJK diharapkan mampu mengarahkan para debitur dan calon debitur menerapkan praktik industri sawit berkelanjutan. Di sisi lain, LJK juga dapat mengambil kesempatan dalam mengembangkan produk pembiayaan dan bisnis baru yang adaptif dengan perkembangan keberlanjutan komoditas kelapa sawit. Bagi perusahaan, ada beberapa upaya untuk menerapkan produksi rantai pasok yang lebih bertanggung jawab. Skema sertifikasi wajib ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil System) merupakan indikator yang kuat dalam menjamin perusahaan sawit untuk mematuhi ketentuan legalitas. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, sejak ISPO diluncurkan pada tahun 2011, dari total luas 11 juta hektar perkebunan 6.4 juta ton CPO atau setara dengan 1,3 juta hektar kebun sudah memperoleh sertifikasi ISPO. Jumlah perusahaan yang disertifikasi ISPO saat ini masih relatif kecil. Kendala utama umumnya terkait perizinan status kepemilikan lahan. Disamping itu, tersedia sertifikasi minyak sawit berkelanjutan yang sifatnya sukarela yang telah mendapat rekoginisi di pasar global. Indonesia merupakan negara yang memproduksi separuh minyak sawit bersertifikasi RSPO di dunia.
RINGKASAN
Sebagai intermediasi keuangan, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) perlu memahami seberapa signifikan potensi risiko yang dihadapi debitur/ klien pada sektor kelapa sawit, regulasi pemerintah terkait operasional kelapa sawit, serta tren industrinya. Melalui pemahaman yang baik, LJK dapat mengembangkan kebijakan pembiayaan dan produk jasa keuangan yang memberikan arahan agar debitur menerapkan/ meningkatkan kinerja praktik supply chain berkelanjutan dalam operasionalnya. Selain itu, LJK dapat menggunakan indikator sistem sertifikasi, baik yang bersifat wajib maupun sukarela sebagai indikator sederhana dalam menilai kinerja keberlanjutan klien potensial atau berjalan. Di sisi lain, LJK dengan memahami proses bisnis sektor tertentu lebih baik, LJK dapat mengembangkan produk keuangan saat ini untuk menerapkan kriteria LST yang memadai; dan mengeksplorasi pengembangan produk pembiayaan dan bisnis baru.
2.2. RANTAI PRODUKSI MINYAK KELAPA SAWIT Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari daerah pesisir di Afrika Barat dan ditanam di berbagai belahan dunia sejak akhir abad ke-19. Secara umum, kelapa sawit tumbuh subur di daerah dataran rendah – sedang sekitar ekuator, membuat Indonesia dan Malaysia menjadi produsen utama kelapa sawit. 17
Ilustrasi: Skema rantai produksi minyak kelapa sawit.IX
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT FRESH FRUIT BUNCHES/ TANDAN BUAH SEGAR (TBS)
CPO MILL
PALM KERNELS
TBS segera diekstrak untuk menghindari penumpukan asam lemak jenuh/menjaga kualitas minyak mentah menjadi Crude Palm Oil (CPO).
Palm kernels Biji sawit dipisahkan dari serat dalam press cake, kemudian dipecahkan menjadi kernel.
TRADER REFINERY
PALM KERNELS
Untuk industri makanan, olein disuling, dilunturkan, dan dihilangkan baunya menjadi Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (REDPO).
Kernel dipecahkan lagi di prabrik lain menjadi CPKO dan PKM
REFINERY Penyulingan kembali.
OLEOCHEMICAL PLANT
Crude Palm Kernel Oil (CPKO)
Palm Kernel Meal (PKM)/ Pakan ternak
Pemisahan secara fisik/ fraksinasi CPO dan CPKO menghasilkan cairan olein dan stearin padat.
Refinery
Industri pakan ternak
RED PKO
Refined Bleached and Deodorized (RED) Olein Kebanyakan digunakan industri makanan: minyak goreng, mentega, margarin.
Refined Bleached and Deodorized (RED) Stearin Digunakan untuk mentega, margarin, lemak, es krim.
Petani/ peternak Pembeli pakan ternak besar untuk menghasilkan daging.
Industri daging Fatty acids (asam lemak), fatty alcohols, ester, gliserol,dll
Produk daging
TRADER
INDUSTRI MAKANAN Contoh: pastri, es krim, keripik, margarin, minyak goreng, biskuit, dll.
INDUSTRI DETERJEN DAN KOSMETIK
INDUSTRI KIMIA DAN LAINNYA
PEMBANGKIT LISTRIK DAN BIO FUEL
Contoh: sabun, deterjen, lipstik, sampo, dll.
Contoh: Plasticizers (pelunak), additives, cat, coatings/pelapis, dll
Produk: listrik dan bio fuel
SUPERMARKET, RITEL DAN TOKO
18
KONSUMEN
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
KETERANGAN ILUSTRASI Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak utama, yaitu minyak kelapa sawit dari Fibrous mesocarp (daging buah) dan minyak laurat dari kernel. Masing – masing minyak memiliki perjalanan rantai produksi sendiri. Namun, Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah mempunyai rantai produksi yang jauh lebih panjang dan digunakan di lebih banyak varian produk. Sekitar 80% minyak kelapa sawit dan palm kernel oil digunakan dalam produk makanan, sementara sisanya digunakan sebagai bahan baku untuk keperluan non-makanan. Turunan minyak kelapa sawit dapat ditemukan pada es krim, kosmetik, sabun, sampo, biskuit, pengganti lemak susu, mentega, margarin, industri kimia dan masih banyak lagi. Dalam tren belakangan ini, hasil sampingan industri oleokimia serta minyak kelapa sawit mentah sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik dan bahan bakar nabati serta biodiesel. Perusahaan bio energi juga memainkan peran yang semakin besar dalam sektor minyak kelapa sawit.
2.3. MENGAPA BANK/LJK PERLU MEMAHAMI ASPEK KEBERLANJUTAN SEKTOR KELAPA SAWIT • Keberlanjutan sektor kelapa sawit sangat bergantung kepada sumber daya alam, praktik yang tidak bertanggung jawab akan berdampak baik pada perusahaan itu sendiri, berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan dan sosial Berdasarkan data BNPB, kerugian ekonomi yang diakibatkan dari kebakaran hutan di tahun 2015 yang diakibatkan dari praktik yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 221 triliun rupiah10. Angka kerugian ini lebih besar dari total jumlah investasi sawit yang dibiayai oleh 74 bank nasional di tahun 2015 sebesar 190.16 triliun rupiah. (Data olahan Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, Otoritas Jasa Keuangan, 2016). • Geografis, regulasi, tren perdagangan global, pergeseran demografi dan perubahan iklim akan terus mempengaruhi pola bisnis saat ini (risiko/ peluang), • Sebagai intermediasi keuangan, bank terpapar dampak tidak langsung dari perubahan bisnis dan praktik/ usaha kliennya. • Bank perlu adaptif dengan perkembangan tren bisnis saat ini sehingga dapat mendapatkan dan menikmati akses peluang dan pasar yang ada
19
2.4. RISIKO LINGKUNGAN, SOSIAL DAN TATA KELOLA Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (Environmental, Social and Governance/ ESG) merupakan komponen penting dalam mengukur keberlanjutan dan dampak etika investasi bisnis dan perusahaan. Beberapa isu LST, seperti emisi gas rumah kaca dan deforestasi telah dijawab solusinya melalui beberapa peraturan pemerintah seperti kebijakan penundaan (moratorium) pemberian izin lokasi pada hutan primer dan gambut; dan konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Setelah aturan dikeluarkan, nantinya pemerintah akan menunda penerbitan izin pembukaan lahan sawit baru di kawasan hutan selama lima tahun. Meskipun begitu aksi mitigasi secara komprehensif belum terperinci diatur. 1. Legalitas Produksi Definisi legalitas yang dimaksud dalam poin ini meliputi perizinan pendirian kebun, pembukaan kebun, pengelolaan kebun, dimana kelapa sawit ditanam/ diproduksi, dan diperdagangkan dengan mematuhi peraturan yang berlaku secara hukum di tingkat nasional, maupun di sepanjang rantai pasok. Produsen wajib memiliki izin usaha dan hak kepemilikan tanah/ konsesi dan perizinan lainnya untuk beroperasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tanda buah segar (TBS) yang diproduksi di dalam kawasan hutan merupakan produk kelapa sawit yang ilegal. Kawasan hutan yang boleh dicadangkan untuk dikonversi menjadi kawasan perkebunan hanya kawasan hutan yang berstatus Hutan Produksi Konversi (HPK). Penting bagi para pelaku usaha untuk memastikan bahwa suatu konsesi tidak berada dalam sengketa. Memastikan perbatasan perkebunan tidak melebihi zona konsesi. Khusus untuk perdagangan ekspor, beberapa ketentuan legalitas tambahan dari negara pengimpor merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Perizinan usaha perkebunan Secara umum untuk mendirikan usaha perkebunan diperlukan perizinan sebagai berikut: 20
UNTUK MEMAHAMI TANTANGAN DAN RISIKO YANG DIHADAPI PERUSAHAAN – PERUSAHAAN SEKTOR KELAPA SAWIT, LJK HARUS MENGETAHUI CARA KERJA RANTAI PRODUKSI MINYAK KELAPA SAWIT DAN SETIDAKNYA BEBERAPA ISU KUNCI.
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
1) Izin Lokasi PPerusahaan Perkebunan harus memperoleh Izin Lokasi dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini Bupati/ Gubernur—ditentukan berdasarkan luasan dan batasan wilayah yang dimohonkan. Izin lokasi adalah bukan izin usaha, akan tetapi izin untuk memperoleh tanah/ melakukan pembebasan lahan dengan batas waktu max 3 tahun. Jika proses perolehan tanah belum selesai, maka dapat diperpanjang selama 1 tahun jika perusahaan telah berhasil membebaskan/ memperoleh setidaknya 50% dari areal izin lokasi yang diberikan. Untuk perkebunan yang berdiri sebelum tahun tahun 1999, dokumen izin lokasi umumnya berupa: • SK pencadangan lahan • Arahan Bupati PPerusahaan lama yang berdiri pada masa penjajahan atau yang memiliki Hak Erfpacht tidak memerlukan dokumen izin lokasi. Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing yang melakukan Usaha Perkebunan wajib bekerjasama dengan Pelaku Usaha Perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Tabel 2: Proses Izin lokasi PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI (PMDN)
PENANAMAN MODAL ASING (PMA)
Memegang surat persetujuan penanaman modal
Surat persetujuan presiden
PERMOHONAN IZIN LOKASI PEMERINTAH PROVINSI (GUBERNUR)
PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA (BUPATI/WALIKOTA)
Pertimbangan teknis oleh tim teknis pertahanan provinsi
Pertimbangan teknis pertahanan Kabupaten/kota
Gubernur mengeluarkan izin lokasi
Bupati mengeluarkan izin lokasi
MASA PEMBEBASAN LAHAN 25 ha - 50 ha: 2 (dua) tahun lebih dari 50 ha: 3 (tiga) tahun Note: Izin lokasi dibutuhkan untuk luasan lebih dari 25 ha Sumber: 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1993 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 3 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 5 Tahun 2006
21
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
2) Izin Lingkungan Izin Lingkungan merupakan prasyarat memperoleh izin Usaha Perkebunan. Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan. Untuk mendapatkan izin lingkungan, diperlukan: • Dokumen AMDAL dan UKL-UPL, • Hasil penilaian AMDAL dan UKL-UPL. Perusahaan yang didirikan sebelum tahun 2012 tidak memerlukan izin lingkungan. Akan tetapi, semua perusahaan (termasuk sebelum tahun 2012) akan melakukan perluasan lahan atau peningkatan kapasitas kebun, wajib merubah AMDAL dan memohon Izin Lingkungan. 3) Izin Usaha Perkebunan (IUP) Berdasarkan Peraturan Menteri No 98 Tahun 2013 jo. Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan, jenis usaha perkebunan terdiri dari tiga jenis:
JENIS USAHA PERKEBUNAN PELAKU USAHA
JENIS IZIN
• Usaha budidaya
Perusahaan, petani (plasma atau swadaya)
Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B)
• Usaha industri
Perusahaan
Izin Usaha Perkebunan Pengolahan Industri (IUP-P)
• Usaha perkebunan
Perusahaan
Izin Usaha Perkebunan (IUP)
tanaman perkebunan,
pengolahan hasil perkebunan/ pabrik kelapa sawit (PKS), yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil perkebunan.
Izin usaha yang dikeluarkan sebelum tahun 2007 sebagaimana di bawah ini masih tetap berlaku dan diakui, antara lain: • Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP); • Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan (ITUBP); • Izin Usaha Tetap Usaha Industri Perkebunan (ITUIP); • Izin/Persetujuan Prinsip Menteri Pertanian;atau • Izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh Kepala BKPM atas nama Menteri Pertanian.
22
Tabel 3: Proses Izin Usaha
LINTAS KABUPATEN
SATU KABUPATEN
Rekomendasi kesesuaian RTRW Kab/Kota dari Bupati/Walikota
Rekomendasi kesesuaian rencana makro pembangunan perkebunan provinsi dari Gubernur
• • • • •
Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari Kementerian Kehutanan, PS 15 Permentan 26/2007 Hasil AMDAL atau UKL dan UPL Izin lingkungan Izin lokasi Rekomendasi teknis Direktorat Jenderal Perkebunan
GUBERNUR
BUPATI/WALIKOTA
Ps. 17 (5) UU 18/2004, Ps. 13(1) Permentan 26/2007
Ps. 17 UU 18/2005, Ps. 13(2) Permentan 26/2007
30 HARI Gubernur keluarkan IUP
Bupati/Walikota keluarkan IUP
2 tahun setelah keluarnya IUP, penyelesaian hak atas tanah sudah harus selesai Note: Luasan tanah lebih dari 25 hektar memerlukan izin Usaha Perkebunan Sumber: 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 Tentang Pedoman Perizinan Perkebunan
4) Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) • HGU merupakan Hak Atas Tanah. Tanah tersebut digunakan untuk usaha pertanian, peternakan dan perikanan sesuai peruntukannya. • HGU dapat digunakan baik untuk kebun dan bangunan (pabrik dan bangunan untuk kebutuhan kebun); • HGB hanya dapat digunakan untuk bangunan saja, tidak dapat dijadikan alas hak untuk budidaya kebun. • HGU setidaknya telah didapatkan maksimal 2 tahun setelah IUP diterbitkan oleh pihak yang berwenang. • Setiap perusahaan dapat memiliki beberapa HGU untuk satu unit usaha kebunnya. Hal akusisi lahan.
23
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
Perolehan HGU untuk perkebunan hanya dapat berasal dari lahan yang berstatus: • APL (Areal Penggunaan Lain) • Hutan Produksi Konversi (HPK) – sebelum mendapatkan HGU, perusahaan perlu mendapatkan Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan terlebih dahulu. • Adat/ Tanah Ulayat dari Masyarakat Hukum Adat – sebelum mendapatkan HGU, perusahaan wajib:
1. memiliki perjanjian yang dituangkan berdasarkan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak;
2. bentuk kesepakatan imbalan diketahui oleh gubernur/ bupati/ walikota sesuai kewenangannya.
Menurut Kementerian Pertanian, sejak ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) diluncurkan pada tahun 2011 sampai bulan Juli 2016, dari total luas kebun 11 juta hektar, baru sekitar 1,3 juta hektar setara produksi CPO 6,4 juta ton yang telah memperoleh sertifikasi ISPO11. Jumlah perusahaan yang disertifikasi relatif kecil salah satu kendalanya terkait perizinan dan kepemilihan lahan (aspek legalitas). Jika hukum dan standar tidak diikuti dan diterapkan, maka beberapa risiko dapat terjadi seperti izin operasional dicabut atau konsesi dikembalikan ke pemilik awal, denda dan sanksi, serta kendala akses pasar.
Contoh kasus: Komisi A Laporkan 38 Perusahaan Sawit.
24
•
Pada 3 Maret 2016, Komisi A DPRD Riau melaporkan 38 perusahaan perkebunan sawit, yang diduga melanggar izin di Riau. Laporan tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil temuan Panitia Khusus (Pansus) Monitoring Lahan DPRD Riau.
•
Laporan disampaikan ke Polda dan Kejaksaan Tinggi Riau serta Penyidik PNS, dalam pertemuan yang digelar Kamis (3/3) di Ruang Komisi A DPRD Riau.
•
Berdasarkan hasil temuan Pansus di lapangan, banyak perusahaan perkebunan sawit di Riau, yang diduga menyalahgunakan izin lahan, dengan cara menanam melebihi izin lahan yang diberikan pemerintah. Ulah perusahaan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian terhadap negara, khususnya dari pajak yang wajib disetor ke kas negara.
•
Seringkali perusahaan yang tidak patuh dan melakukan penyalahgunaan izin lahan, didapati menanam sawit dalam areal hutan dan membuka lahan dengan cara bakar
•
Estimasi potensi kerugian pajak negara yang timbul akibat dugaan penyalahgunaan izin tersebut, diperkirakan mencapai Rp31 triliun per tahun
•
Berdasakan anggota Komisi A, ada sekitar 121 pabrik kelapa sawit (PKS) yang tidak memiliki kebun. Pihaknya menilai, selama PKS tersebut beroperasi, maka pelanggaran dan perambahan hutan akan tetap terjadi karena masyarakat tetap akan menanam dalam kawasan hutan
Sumber: http://riaumandiri.co/mobile/detailberita/31557/komisi-alaporkan--38-perusahaan-sawit.html.
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • Perusahaan wajib menuntaskan seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk memenuhi aspek legalitas operasional sebuah perusahaan/ konsesi/ kebun dan memperoleh perizinan atau persetujuan yang sah dari badan otoritas yang mengeluarkan dokumen tersebut • Perusahaan memiliki prosedur yang jelas untuk memastikan perusahaan mematuhi peraturan terbaru sekalipun. Khususnya peraturan maupun kebijakan yang erat kaitannya dengan perizinan, seperti kebijakan moratorium perizinan, kesesuaian dengan tata ruang dan peruntukan wilayah. • Khusus bagi PKS tanpa kebun atau PKS yang mayoritas bahan baku suplainya dari kebun luar/ outgrower. PKS perlu memiliki kebijakan pembelian TBS yang jelas untuk memastikan rendahnya risiko tercampurnya suplai TBS dengan yang bersumber dari kawasan yang ilegal
2. Konversi hutan Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ke-3 di dunia dengan luasan 131.3 juta hektar (Kementrian Kehutanan, 2012) dan masuk sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi. 37% sumber emisi dihasilkan dari deforestasi dan 27% disebabkan oleh kebakaran gambut12. Data FAO (Food Agriculture Organisation) menyebutkan bahwa kelapa sawit yang ditanam di Indonesia antara tahun 1990 dan 2008 diasosiasikan sebagai penyebab deforestasi13. Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan yang berupaya untuk memitigasi emisi GRK salah satunya dengan menurunkan angka deforestasi, dan meminimalisir penggunaan kawasan gambut melalui kebijakan moratorium, dan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Selanjutnya pemerintah telah memberi sinyal kedepan untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih mengarah pada peningkatan produktifitas dan nilai tambah melalui intensifikasi dan hilirasasi ketimbang memperluas kawasan perkebunan kelapa sawit.
25
Photo credit: © WWF Indonesia
Pembukaan kebun baru Sehubungan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang berupaya untuk menakan deforestasi dan emisi GRK, Bank/ LJK perlu memahami bahwa perusahaan yang akan membuka kebun baru terikat dengan beberapa peraturan utama terkait, antara lain: • Ketentuan standar ISPO untuk membuka lahan baru, antara lain: ○○ SOP untuk membersihkan lahan termasuk ketentuan membuka lahan tanpa bakar, ○○ Rekaman bahwa perusahaan tidak membuka lahan dengan cara bakar sejak tahun 2004, ○○ Pembersihan lahan didasarkan pada rekomendasi dokumen AMDAL dan RKL, ○○ Pembukaan lahan tidak dapat dilakukan di area dengan keterjalan di atas 40%, dan ○○ Menyiapkan drainase dan tanaman tumbuh untuk meminimalilsir erosi dan degradasi lahan.. 26
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
• Kebijakan moratorium pemberian izin baru di hutan primer dan kawasan gambut. Dalam hal perkebunan moratorium diterapkan: ○○ Untuk pemberian izin baru terhadap lahan yang berlokasi baik di dalam kawasan hutan produksi konversi maupun APL, ketentuan ini pertama kali diluncurkan pada tahun 2011. Perusahaan sebaiknya menghindari kawasan-kawasan ini karena berisiko lingkungan – akan tetapi juga perusahaan/ pelaku usaha perlu waspada akan adanya perubahan reguler setiap 6 (enam) bulan sekali terkait lokasi yang berada di dalam peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB). • Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengolahan Ekosistem Gambut. ○○ Setiap orang maupun perusahaan dilarang membuka lahan baru (land clearing) sampai ditetapkan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu. ○○ Membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering. ○○ Membakar lahan gambut dan/ atau melakukan pembiaran terjadinya kebakaran. • Selain itu, gambut dengan kondisi berikut ini akan ditetapkan sebagai gambut yang mempunyai fungsi lindung: ○○ Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih, ○○ Plasma nutfah spesifik dan/atau endemic, ○○ Terdapat spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
PERATURAN PENTING TERKAIT PEMBUKAAN LAHAN BARU DAN KONVERSI HUTAN Beberapa peraturan terkait konversi hutan yang penting untuk diketahui oleh para pelaku usaha sawit adalah • Inpres Moratorium No. 8 Tahun 2015 tentang penundaan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan APL yang tercantum di dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru. • Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor: SE.I/ Menhut-II/2014 Tentang Penundaan Proses Perizinan di Bidang Kehutanan . • Surat Edaran No. 10/SE/VII/2015 Tentang Penerbitan Izin Pada Areal Hutan Konservasi Bernilai Tinggi (High Conservation Value Forest) o Ruang lingkup yang diatur ini ditujukan kepada Kepala Daerah agar tidak memberikan izin lokasi dan melindungi areal hutan berkonservasi tinggi yang berada di APL dan berasal dari pelepasan kawasan hutan. o Kepala Kantor BPN untuk memberikan instruksi kepada para pemegang HGU yang berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk menjaga kelestarian dan tidak melakukan land clearing.
27
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
Contoh kasus PT. Kalista Alam, Rawa Tripa, NAD •
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mencabut izin perkebunan sawit seluas 1.605 hektar milik PT Kalista Alam di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya.
•
Rawa Tripa termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan fungsi lindung, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No 26 tahun 2008 dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
•
Pencabutan izin PT Kalista Alam termuat dalam Keputusan Gubernur Aceh No 525/BP2T/5078/2012 tertanggal 27 September 2012. Surat itu juga mencabut surat izin gubernur sebelumnya (masih dijabat oleh Irwandi Yusuf) yang bernomor 525/ BP2T/5322//2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT Kalista Alam seluas 1.605 hektar.
•
Disamping itu, perusahaan terbukti membakar lahan gambut untuk pembersihan lahan (land clearing) yang merupakan habitat dari orangutan (spesies dilindungi). PT Kalista Alam diharuskan membayar ganti rugi materil dan pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 milyar. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh perusahaan tersebut karena terbukti bersalah dengan bukti – bukti yang jelas di lapangan. Ganti rugi pemulihan lingkungan meliputi kerusakan ekologis, tata air, pengendalian erosi, penguraian limbah, pelepasan karbon, dan hilangnya sumber daya genetika. .
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150914596/ptkallista-alam-didenda-rp-366-miliar
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • Pihak perusahaan harus melakukan verifikasi awal terkait status lahan (apakah lahan merupakan kawasan hutan atau tidak, lahan gambut atau bukan) yang akan dibuka sebelum melakukan ekspansi dan pembukaan lahan (land clearing), sesuai dengan peruntukkan tata ruang dan land clearing memenuhi kriteria pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab baik mandatory maupun voluntary. • Penting bagi perusahaan untuk tidak hanya fokus dengan status kawasan hutan atau tidak, akan tetapi juga kondisi tutupan hutan secara fisik—apakah masuk ke dalam kategori hutan primer atau tidak. Perusahaan sebaiknya memprioritaskan yang sudah terbuka dan tidak bertutupan hutan untuk dimohonkan izin lokasi dan dibuka. • Apabila sudah terpetakan kondisi areal yang dimohonkan, perusahaan dapat melakukan enclave ataupun penetapan kawasan tertentu menjadi berfungsi lindung.
28
NILAI KERUGIAN DARI KEBAKARAN HUTAN PADA TAHUN 2015 MENCAPAI 221 TRILIUN RUPIAH. MELEBIHI TOTAL NILAI PEMBIAYAAN INVESTASI SAWIT YANG DIBIAYAI 74 BANK DI INDONESIA PADA TAHUN 2015 SEBESAR 109.16 TRILIUN RUPIAH
3. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Setiap hektar lahan gambut yang dikeringkan untuk produksi kelapa sawit, diperkirakan melepas 3.750 – 5.400 ton CO2. Sampai saat ini, hanya 20% kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut, namun kontribusinya terhadap emisi GRK mencapai 70% di sektor komoditas tersebut. Menghentikan ekpansi perkebunan sawit ke lahan gambut dan merestorasi konsesi gambut yang rusak akan secara signifikan menurunkan emisi GRK dari sektor kelapa sawit. Deforestasi dan degradasi hutan tropis Indonesia menyumbang 20% emisi GRK dunia. Dari sisi kebijakan, pemerintah menargetkan sektor pertanian ikut melakukan upaya mitigasi emisi karbon secara aktif melalui pengelolaan berkelanjutan seperti memprioritaskan lahan terbuka dan bukan gambut dalam pemilihan arealnya. Pada dasarnya lahan gambut bukan lahan ideal untuk sawit dan perkebunan. Lahan gambut sendiri dikategorikan sebagai kelas dengan kesesuaian lahan S3 (kurang sesuai)—yakni termasuk ke dalam lahan marjinal dan memiliki beberapa faktor pembatas. Dengan kata lain, tanpa teknologi dan biaya perawatan yang tidak sedikit, budidaya pertanian di lahan marjinal sulit memberikan keuntungan. Hal ini dikarenakan lahan gambut memerlukan pengawasan dan monitoring terkait sistem pengairan serta drainase. Contoh kasus: Kabut asap, Kalimantan Tengah. •
Perkiraan awal kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan kabut asap tahun 2015 di Indonesia sebesar USD 16 milyar. Nilai ini dua kali lebih besar daripada dampak akibat Tsunami tahun 2004 yang melanda Indonesia dan beberapa negara lainnya. Nilai ini juga melebihi total investasi sawit yang dibiayai oleh 74 bank di Indonesia sebesar 109.16 triliun rupiah (Data olahan DPIP, Otoritas Jasa Keuangan, OJK, 2016).
•
Perkiraan ini mencakup kerugian dalam sektor pertanian, kehutanan, transpotasi, perdagangan, industri, wisata dan sektor lainnya. Beberapa kerugian dirasakan langsung di jumlah panen, hilangnya hutan, rumah – rumah dan infrastruktur yang rusak serta biaya penanggulangan api. Dampak ekonomi dihasilkan akibat terganggunya transportasi udara, darat dan laut saat kabut asap.
•
Kualitas udara pada desa – desa yang berlokasi dekat pusat kebakaran menyentuh level 1.000 PSI (International Pollutant Standard Index) – ini 3 kali lebih tinggi dari ambang batas status “berbahaya (hazardous)”. Kandungan racun diantaranya karbon dioksida, sianida dan amonium.
•
Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, gambut dan lahan lainnya terbakar, kerugian di dalamnya termasuk kayu, non-kayu, hidupan liar (wildlife), habitat orangutan dan spesies terancam lainnya. Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan faktor utama yang membuat Indonesia sebagai penghasil gas rumah kaca.
Sumber: The World Bank, November 2015. 29
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • Perusahaan sangat disarankan untuk membuka/ membangun perkebunan baru di tanah mineral dan lahan yang sudah terbuka, dimana kesesuaian lahannya cocok untuk perkebunan kelapa sawit. • Pabrik Kelapa Sawit (PKS) disarankan menerapkan praktik pengelolaan rendah emisi, misalnya dengan pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit. • Perusahaan melakukan perencanaan penerapan praktik – praktik terbaik untuk meminimalkan emisi. Diantaranya: pembukaan lahan baru sebaiknya menghindari lahan gambut, khususnya dengan kedalaman lebih dari 3 meter yang berakibat pengeluaran karbon tinggi, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk kegiatan operasional, mempertahankan tutupan hutan, dan membuka lahan tanpa membakar. • Pengelolaan air dan drainase (water management) penting diterapkan jika perkebunan yang sudah ada berada pada kawasan bergambut. • Perusahaan wajib memiliki prosedur penanggulangan dan pencegahan kebakaran lahan dan hutan, termasuk jika berada di lahan gambut. Dan juga wajib memiliki tim tanggap darurat kebakaran lahan dan hutan. 4. Perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS): penggunaan bahan kimia, pengelolaan hama, pengelolan tanah dan nutrisi tanah, pengelolaan air Erosi terjadi ketika land clearing dan saat pembangunan infrastruktur perkebunan tanah tidak terlindung. Erosi juga dapat terjadi pada perkebunan dengan perencanaan lingkungan yang kurang baik. Tiap metrik ton produksi kelapa sawit, 2,5 metrik ton sampah cair dihasilkan dari pemrosesan kelapa sawit di PKS. Pembuangan langsung sampah cair ini menyebabkan polusi air tawar, yang berdampak langsung pada rusaknya keanekaragaman hayati di hilir dan masyarakat. Pemakaian pestisida dan pupuk yang tidak selektif dapat merusak sumber air permukaan dan air tanah. Pestisida yang tidak baik juga dapat tanpa sengaja membunuh spesies lain (yang bukan hama). Gambaran pengelolaan lahan yang buruk: a. Air bersih. Penggunaan pupuk dan insektisida secara sembarangan oleh beberapa produsen menimbulkan polusi terhadap sumber air permukaan (surface water) dan sumber air tanah. Pengolahan utama minyak kelapa sawit di pabrik CPO menimbulkan serangkaian isu lain, yang paling utama adalah potensi polusi air akibat pembuangan langsung limbah pabrik, dan efeknya yaitu polusi terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat di hilir. b. Penggunaan bahan kimia dan pengelolaan hama. Beberapa herbisida dan pestisida yang digunakan, khususnya saat 30
Photo credit: © WWF International
31
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
perkebunan disiapkan, biasanya menjadi racun agar populasi tikus terkontrol. Namun pemakaian herbisida yang berlebihan berpotensi membunuh spesies lain yang bukan hama. Bukan hanya itu, bahan kimia tidak tepat guna meningkatkan risiko kecelakaan kerja dan biaya kompensasinya. Bahan kimia menurunkan kualitas lahan/ tanah secara perlahan. Produksi kelapa sawit memakai pupuk yang lebih sedikit daripada jenis tanaman penghasil minyak lainnya. Namun, standar nutrisi seperti nitrogen, fosfor dan potassium tetap digunakan secara rutin untuk pohon kelapa sawit. c. Pengelolaan tanah dan nutrisi tanah. Pengelolaan nutrisi tanah yang efektif menurunkan biaya, mengurangi polusi dan emisi GRK, dan meningkatkan panen, mempertahankan kualitas tanah dan mengurangi kebutuhan pupuk. Selain itu pengelolaan nutrisi tanah yang baik mengembalikan biomassa tanah, memperbaiki nitrogen dalam tanah dan nilai – nilai baik yang terkandung dalam tanah. Sayangnya, praktik perkebunan sawit di Indonesia menghilangkan permukaan tanah, nutrisi terus berkurang, sanitasi dan kadar keasaman tidak stabil akibat kelalaian pengelola. Hal ini mampu mengakibatkan berkurangnya jumlah panen dalam waktu yang lama, dan juga rusaknya lahan – lahan yang belum ditanami. Tidak hanya itu, pengelolaan tanah yang buruk mempengaruhi area sempadan sungai yang berperan melindungi stabilitas pasokan air, risiko banjir dan kekeringan. Contoh kasus: REPSA, Guatemala, Amerika Tengah. •
Kasus Empresa Reforestadora de Palma de Peten SA (REPSA) di Guatemala, Amerika Tengah yang melakukan ecocide lewat polusi bahan kimia di perairan dekat perkebunan kelapa sawit mereka pada tahun 2014.
•
Pada bulan Juni 2015, situasi semakin tidak terkontrol ketika jumlah ikan yang mati di sungai dari angka ratusan di 2014 mencapai angka jutaan di tahun 2015.
•
Kasus ini dimasukkan dalam kategori kejahatan pelanggaran terhadap manusia karena bukan hanya ratusan spesies sungai hilang, namun kontaminasi air sungai (health issues) dan mengancam food security daerah – daerah yang bergantung pada sungai tersebut.
Sumber: https://intercontinentalcry.org/justice- in-guatemalaguatemalan-court- upholds-revolutionary-ruling-on- ecocide/
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • Pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan cara mengaplikasikannya sebagai LA (Land Application). Hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah limbah cair yang diproduksi dari pabrik, selain itu tujuan LA adalah sebagai pengganti
32
pupuk kimia menjadi pupuk organik dan nutrisi bagi tanaman sawit. Dengan adanya pengelolaan limbah cair yang baik dapat meminimalkan biaya serta lebih ramah lingkungan. • Perusahaan sangat disarankan mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik yang berasal dari limbah sawit, diantaranya dari limbah cair kelapa sawit yang berbentuk LA serta tandan kosong kelapa sawit. Hal ini sangat berpengaruh terhadap struktur dan kesuburan tanah akan semakin baik. • Tidak melakukan pemupukan pada areal – areal yang dekat dengan sungai besar, sungai kecil/ anak sungai untuk tetap menjaga ketersediaan air dan kualitas air tanah/ sungai baik dan dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya termasuk manusia. • Perusahaan sangat dianjurkan mengurangi dosis pemakaian racun pestisida/ herbisida untuk mengendalikan gulma ataupun hama yang ada di perkebunan, terutama yang merupakan kategori pestisida/ herbisida terbatas dan kategori dilarang oleh WHO. Pengurangan ini bertujuan agar perusahaan juga mulai menerapkan prinsip pengelolaan hama terpadu dimana mulai menggunakan musuh alami dalam mengendalikan hama yang terdapat di perkebunan kelapa sawit. Misalnya memelihara burung hantu sebagai musuh alami dari hama tikus.
5. Hubungan dengan Masyarakat Seringkali upaya akusisi lahan antara perusahaan dan masyarakat tidak dijalankan dengan proses yang memadai. Akibatnya perusahaan akan mendapat kendala di dalam bernegosiasi langsung dengan masyarakat dan kelompok adat. Menurut private sector analyst dari RRI Consulting Group, Bryson Ogden, struktur industri seringkali tidak mengikutsertakan masyarakat lokal di dalamnya. Yang paling dirugikan dalam proses ini adalah mereka yang kehilangan lahan dan tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari kegiatan ekonomi baru yang dilakukan di lahan tersebut. Laporan RRI menyatakan masyarakat adat, petani dan perempuan merupakan kelompok yang paling lemah, begitu pula para pemilik lahan kelapa sawit kecil. Ketika masyarakat adat tidak sepakat dalam kegiatan perkebunan, risiko yang bisa terjadi amat besar seperti berhentinya operasional perkebunan, perusahaan kehilangan ijin sosial (social license) untuk beroperasi, serta dampak reputasi buruk bagi perusahaan. Masyarakat pemilik lahan seringkali memasok hasil sawitnya kepada perusahaan/mereka bekerja sebagai pegawai di perusahaan, oleh karena itu hubungan yang baik dengan masyarakat harus terjaga. Contoh kasus: PT. Hutani Sawit Lestari, Sampit, Kalimantan Tengah.
33
Photo credit: © WWF Indonesia
34
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
Konflik PT Hutani Sawit Lestari yang menggarap lahan seluas 3.000 hektar lebih milik 350 orang di tiga desa (Desa Mirah, Luwuk Sampun, dan Tumbang Kalanaman, Sampit, Kalimantan Tengah). Lahan sebelumnya telah diganti rugi oleh pihak perusahaan dengan harga murah, yaitu Rp 400.000 per hektar. Masyarakat menjual murah karena pihak perusahaan menjanjikan akan membangun kebun plasma/ kemitraan dengan masyarakat di tiga desa tersebut. Namun pihak perusahaan tidak kunjung merealisasikan janji. Sumber: http://www.antarakalteng.com/berita/244076/perusahaansawit-hsl-diduga-tipu-ratusan-warga
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • Dalam proses pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit, perusahaan wajib melibatkan semua pihak yang akan terdampak langsung maupun tidak langsung, baik itu dampak positif maupun negatif dari kegiatan pembangunan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di suatu wilayah. Perlu adanya transparansi dari pihak perusahaan dalam menyampaikan rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang di suatu wilayah dengan tahapan-tahapan yang pasti dan sudah disetujui. Kegiatan penyampaian kepada semua pihak ini dapat berupa konsultasi publik maupun pertemuan-pertemuan khusus dengan seluruh pihak dan pemangku kepentingan, diantaranya masyarakat lokat, masyarakat adat, instansi pemerintah daerah terkait, perangkat desa, serta pihak-pihak yang mungkin berkepentingan terhadap keberlangsungan usaha dari perusahaan perkebunan tersebut. • Perusahaan wajib melaksanakan identifikasi, monitoring, dan evaluasi terhadap dampak-dampak yang timbul dari pembangunan perkebunan dan pabrik kelapa sawit tersebut, yang semua diajukan dan dibuat dalam bentuk dokumen AMDAL, serta analisa dan penilaian dampak sosial dari pembangunan perkebunan kelapa sawit dan dianjurkan untuk dapat disampaikan kepada seluruh pihak.
6. Tenaga Kerja: Hak-Hak Pekerja, dan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Produksi kelapa sawit memperkerjakan setidaknya 1,4 juta orang. Industri ini menciptakan pekerjaan yang sifatnya musiman, sehingga tidak bisa memberikan kepastian pekerjaan secara terus menerus (job security). Namun ketika ekspansi perkebunan berjalan pesat, pekerjaan bisa meningkat dua kali lipat. Industri kelapa sawit juga terkait dengan pelanggaran HAM, termasuk buruh anak di pedalaman Indonesia dan Malaysia. Buruh anak diminta membawa buah sawit yang sangat berat, pekerjaan lapangan dan berjam – jam mengumpulkan buah sawit yang berceceran di perkebunan. Tidak jarang dari mereka keletihan akibat panas dan luka – luka karena memanjat pohon kelapa sawit. Sangat banyak dari anak – anak ini yang hanya diupah sedikit atau bahkan tidak sama sekali. 35
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
Banyak para pekerja perkebunan mengalami dampak kesehatan karena penggunaan bahan kimia tinggi untuk pestisida tanpa alat keselamatan atau pelatihan layak. Terutama di Malaysia, kelapa sawit menggunakan buruh secara intensif. Kasus – kasus tenaga kerja secara umum berdampak pada keuntungan perusahaan, produktifitas, kompensasi dan denda. Hak – hak pekerja yang dimaksud dalam poin ini sesuai dengan hak dasar pekerja yang berlaku di negara produsen, seperti hak berserikat, hak memperoleh upah standar minimum, hak mendapat jaminan sosial dan keselamatan kerja, dan hak memperoleh perlindungan atas kesusilaan dan moral. Contoh kasus: Perkebunan KLK di Berau, Kalimantan Timur. •
Wawancara dengan mantan pekerja KLK (Kuala Lumpur Kepong Bhd) dilaporkan oleh LSM setempat yang mengungkap kenyataan tragis di rantai pasok perusahaan. KLK mempunyai area perkebunan terbesar ke-5 di dunia.
•
Dalam melakukan operasionalnya, KLK mengandalkan kontraktor yang mengurus ribuan pekerja bergaji rendah di Berau, Kalimantan Timur. Para pekerja melaporkan mengenai penganiayaan dan penipuan oleh firma pengelola buruh bernama CV Sinar Kalimantan.
•
Selain gaji yang rendah, mereka diminta menyiramkan herbisida Paraquat yang mengandung substansi kimia penyebab kerusakan ginjal dan hati. Paraquat telah dilarang dipakai di lebih dari 32 negara. Para pekerja tidak diberikan alat – alat keselamatan kerja, sehingga banyak yang mengalami gangguan kesehatan.
•
Beberapa pekerja yang berusaha kabur dan ditangkap kembali oleh perusahaan, mengalami luka parah akibat pemukulan rutin. Baru pada November 2010, setelah Rainforest Action Network (RAN) melaporkan penganiayaan PT 198, perwakilan KLK, investigasi dilakukan. Selain penganiayaan, kontraktor pengelola buruh juga mempekerjakan anak di bawah umur. Selain di Berau, KLK memiliki masalah buruh di beberapa perkebunan mereka lainnya. KLK mengekspor hasil minyak kelapa sawit mereka ke Cina.
Sumber: http://www.bloomberg.com/news/articles/2013-07-18/ indonesias-palm-oil-industry-rife-with-human-rights-abuses
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • PPerusahaan wajib memenuhi kebutuhan keselamatan dan kesehatan kerja, terutama penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk para pekerja. APD yang memadai dan sesuai harus tersedia bagi semua pekerja di tempat kerja berdasarkan hasil identifikasi sumber bahaya dan pengendalian risiko yang mencakup semua kegiatan operasional yang berpotensi
36
berbahaya, seperti penggunaan pestisida/ herbisida, pengoperasian mesin, persiapan lahan, pemanenan, dan penggunaan api (apabila digunakan). • Perusahaan wajib melindungi semua pekerja dengan memfasilitasi pembentukan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) sesuai dengan Permenaker No 4 Tahun 1987, untuk memastikan bahwa jaminan terhadap pekerja akan tempat kerja, mesin, peralatan, transportasi dan prosesproses yang di bawah kontrol mereka selalu aman dan tidak membahayakan kesehatan. Perusahaan juga menjamin bahwa substansi kimiawi, fisik, dan biologi serta hal-hal yang berada di bawah kontrol pekerja tidak membahayakan secara keseluruhan dan mengambil tindakan apabila diperlukan, termasuk ketika terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang mengacu juga kepada Kepmenakertrans No 609 tahun 2012 7. Rantai Pasok TBS (Tandan Buah Sawit) Legal KKurangnya transparansi dari industri memberikan kesempatan pada ilegalitas dan bahan mentah tidak berkelanjutan untuk terus masuk ke dalam rantai pasok (supply chain). Rantai pasok seharusnya sudah menjadi informasi umum sehingga isu – isu ESG terbuka bagi siapa saja. Risiko ESG (konflik, deforestasi, ilegalitas) seringkali “tersembunyi” dalam rantai pasok yang kacau dari sebuah perusahaan. Mengidentifikasi kekacauan ini merupakan tantangan sulit, namun memungkinkan untuk diatasi. Meminimalisir risiko untuk perusahaan dan klien – klien mereka dengan cara membersihkan rantai pasok secara legal dan bertanggung jawab. Di Indonesia, isu legalitas masih menjadi masalah dimana dengan sistem yang kompleks justru menciptakan kesempatan – kesempatan bagi pihak – pihak tak bertanggung jawab (korup) mengekplotasi lahan terus menerus. Pemerintah Indonesia mulai menyadari hal ini dan mengambil tindakan. Misalnya dengan mengumumkan moratorium total bagi perkembangan perkebunan baru hingga masalah perizinan terselesaikan.
REKOMENDASI PRAKTIK TERBAIK: • Penelusuran/ melacak rantai pasok TBS yang legal tidak cukup hanya ketika TBS yang berasal dari luar kebun sendiri masuk untuk diolah ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS)-nya, akan tetapi perusahaan sangat dianjurkan melakukan verifikasi lapangan dan menelusuri asal-usul TBS yang masuk ke PKS-nya berasal dari siapa saja (petani kecil di sekitar, agen, sub agen, tengkulak, individu/perseorangan yang memiliki kebun sendiri) dan memastikan memiliki legalitas terhadap pasokan TBS legal dan berizin. Hal ini mengurangi risiko pengambilan buah sawit secara liar. • Perusahaan dianjurkan melakukan sosialisasi terhadap pemahaman akan kebertelusuran TBS dan asal dari lahan-lahan
37
Sektor Kelapa Sawit: Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola
yang memang tidak diizinkan untuk ditanami kelapa sawit, seperti lahan gambut (lebih khusus lagi gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter), tidak menanam sawit di areal hutan lindung, hutan primer, tidak membuka lahan untuk ditanami sawit dengan cara membakar, dll. • Perusahaan melakukan pemisahan material/ segregasi di perkebunan karena kebanyakan produksi kelapa sawit merupakan usaha gabungan dari perkebunan dan petani swadaya. • Mendefinisikan arti kata “bertanggung jawab” bagi perusahaan dan para smallholder atau petani swadaya yang menjadi pemasoknya.
38
3. POIN UTAMA BAGI BANK Memahami isu/ masalah keberlanjutan utama, contoh praktik buruk serta praktik terbaik yang dapat direkomendasikan oleh bank/ LJK.
39
3. POIN UTAMA BAGI BANK 3.1. MEMAHAMI ISU/ MASALAH KEBERLANJUTAN UTAMA, CONTOH PRAKTIK BURUK SERTA PRAKTIK TERBAIK YANG DAPAT DIREKOMENDASIKAN OLEH BANK/ LJK. LLingkungan, Sosial dan Tata Kelola (Environmental, Social and Governance/ ESG) merupakan komponen penting dalam mengukur keberlanjutan dan dampak etika investasi bisnis dan perusahaan. Untuk melakukan upaya mitigasi pembiayaan dan produk jasa keuangan berkelanjutan, LJK harus memahami skema rantai pasok kelapa sawit yang kompleks, komponen ESG dan setiap risiko yang dihadapi debitur. Pemahaman ini juga wajib disertai dengan pengetahuan mengenai regulasi terkait sektor kelapa sawit yang berlaku. Beberapa masalah dalam sektor kelapa sawit telah dijawab melalui peraturan pemerintah Indonesia. Misalnya dengan moratorium konversi kawasan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun, rincian mitigasi tidak sepenuhnya dijabarkan dan diatur. Hal ini lah yang menjadi area abu – abu, dimana kesempatan melakukan praktik buruk bisnis kelapa sawit bisa terus berjalan.
3.2. DAMPAK DARI PRAKTIK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Secara umum, dampak yang ditimbulkan dari praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab adalah sebagai berikut:
SOSIAL. Konflik sosial timbul ketika hak dan kepentingan masyarakat
setempat tidak diperhatikan. Dalam beberapa kasus, kegagalan mematuhi prosedur pembebasan tanah yang benar, atau pembukaan lahan masyarakat tanpa pemberitahuan dan konsultasi yang memadai dengan masyarakat setempat, tidak hanya menimbulkan dampak eksternal negatif tetapi berdampak pula terhadap perusahaaan. Praktik buruk ini menimbulkan sengketa dan konflik hak atas tanah yang menghambat kemampuan perusahaan untuk berkembang.
EKOLOGIS. Di banyak lokasi, pengembang perkebunan membuka sejumlah
besar area lahan hutan alami dan ekosistem penting lainnya. Praktikpraktik ini menghancurkan habitat spesies langka dan terancam punah serta meningkatkan konflik manusia-satwa saat populasi hewan besar (seperti harimau, gajah dan orangutan), dipaksa hidup dalam habitat alam yang semakin sempit. Princeton University dan Swiss Federal Institute of Technology memperkirakan bahwa dalam kurun waktu tahun 1990 – 2005, sebanyak 55-60% dari perluasan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia dilakukan dengan mengorbankan hutan alam.
40
IKLIM. Konversi hutan oleh perusahaan perkebunan berkontribusi
terhadap perubahan iklim, di mana deforestrasi berkontribusi terhadap kurang lebih 20% dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan manusia. Praktik mengonversi hutan gambut tropis sangat merusak upaya mitigasi iklim, karena fungsi gambut sebagai penyerap karbon menyimpan lebih banyak karbon per unit area dibandingkan ekosistem lainnya di dunia. Selain itu, pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan menjadi sumber utama asap di Asia Tenggara, yang mengancam kesehatan secara serius.
“LJK HARUS MEMAHAMI SKEMA RANTAI PASOK KELAPA SAWIT YANG KOMPLEKS, KOMPONEN ESG DAN SETIAP RISIKO YANG DIHADAPI DEBITUR.”
Di Indonesia, aparat pemerintah telah mengajukan tuntutan hukum terhadap beberapa perusahaan minyak kelapa sawit karena menggunakan metode pembakaran hutan secara ilegal untuk membuka lahan perkebunan. Pembakaran memiliki dampak negatif bagi produksi minyak kelapa sawit, karena asap yang dihasilkan pembakaran dapat mengurangi produktivitas pohon kelapa sawit dan memengaruhi kesehatan para pekerja perkebunan, sehingga berdampak pada hasil panen.
AIR BERSIH. Penggunaan pupuk dan insektisida secara sembarangan oleh
beberapa produsen menimbulkan polusi terhadap sumber air permukaan (surface water) dan sumber air tanah. Pengolahan utama minyak kelapa sawit di pabrik CPO menimbulkan serangkaian isu lain, yang paling utama adalah potensi polusi air akibat pembuangan langsung limbah pabrik, polusi terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat di hilir. Contoh nyata pengelolaan buruk perkebunan kelapa sawit kita rasakan pada bulan Juni sampai Oktober 2015. Saat itu, masalah kebakaran hutan yang masif melanda beberapa provinsi di Indonesia, menimbulkan dampak serius khususnya terhadap kesehatan, ekonomi, keamanan, dan lingkungan. Praktik pembukaan lahan yang tidak bertanggung jawab seperti membakar, buruknya pengelolaan ekosistem rawa gambut, yang didukung oleh musim kemarau panjang akibat El Nino serta lemahnya pengawasan. Secara finansial, kebakaran hutan dan lahan selama periode tersebut merugikan negara hingga Rp 221 triliun. Jumlah tersebut di luar penghitungan kerugian sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya. Dari sisi kesehatan, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) lebih dari 2.000 Psi atau sudah sangat berbahaya. Tidak hanya di dalam negeri, masalah kabut asap juga dirasakan oleh negara – negara tetangga. Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam Konferensi Pers Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi Bencana 2016, kerugian setara dengan 1,5 persen Produk Domestik Bruto nasional, artinya kebakaran hutan dan lahan terbukti menghambat laju pembangunan.
41
Photo credit: © WWF Indonesia
42
Tabel 4: Isu/ masalah keberlanjutan utama, praktik buruk serta rekomendasi praktik terbaik.
Tata kelola
Isu/ masalah
Lingkungan
Perizinan
Konversi hutan
Sosial
Emisi Gas Rumah Kaca
Praktik Buruk
Praktik Terbaik
Membuka lahan sebelum mendapatkan hak kepemilikan atas tanah/ izin usaha.
Memenuhi seluruh proses persyaratan perizinan.
Tidak mengikuti perkembangan regulasi saat ini. Seperti kawasan mana saja yang tidak boleh/ perlu dihindari seperti kawasan moratorium hutan primer dan gambut.
Memiliki sistem untuk mengikuti perkembangan perubahan regulasi terkini.
Tidak terkontrol – mengakibatkan deforestasi tropis
Komitmen untuk melindungi hutan dan kawasan gambut
Teknik pembukaan lahan dengan penggunaan api- menghasilkan asap dan emisi CO2.
Tidak menggunakan teknik pembakaran sama sekali.
Menanam kelapa sawit di kawasan gambut.
Menghindari kawasan bergambut atau jika terlanjur melakukan manajemen kawasan gambut yang bertanggung jawab.
Pemilihan lokasi
Penanaman di tanah marginal dan rapuh – menyebakan erosi dan masalah hidrologi.
Pemilihan lokasi berdasarkan penilaian tanah dan topografi.
Kesuburan tanah
Panen yang berlebihan – mengurangi kesuburan
Daur ulang material organik dan penggunaan pupuk secara tepat
Penggunaan pestisida dan herbisida
Penggunaan berlebih – mengakibatkan polusi pada air
Manajemen Hama yang Terintegrasi untuk mengurangi penggunaan pestisida dan teknik pembudidayaan untuk mengurangi penggunaan herbisida.
Keanekaragaman Hayati
Tidak mempertimbangkan dampak terhadap keanekaragaman hayati dalam perencanaan dan manajemen perkebunan
Perencanaan dan manajemen perkebunan berupaya untuk mempertahankan habitat hewan liar dan melindungi spesies langka.
Manajemen air
Drainase tanah gambut dalam dan irigasi yang tidak berkelanjutan
Menghindari konversi lahan gambut dan penggunaan air berkelanjutan serta daur ulang air limbah.
Akusisi dan sengketa lahan
Sengketa dengan pemilik/pengguna tanah sebelumnya
Berfokus pada negosiasi, kesepakatan sukarela dan resolusi konflik
Relasi sosial
Kekerasan, penggunaan polisi/militer yang tidak tepat
Mengakui hak guna penduduk setempat dan perlunya mendapatkan izin dari mereka secara sukarela, dari sebelumnya dan dengan sepengetahuan mereka untuk pengembangan yang akan memengaruhi hak-hak tersebut; prosedur pengaduan yang adil dan transparan.
Hak pekerja
Kurangnya perhatian terhadap hak-hak hukum, misalanya tawar menawar secara kolektif, kesehatan dan keselamatan dll
Kepatuhan terhadap atau bahkan hal-hal selain daripada persyaratan-persyaratan hukum.
43
Poin Utama Bagi bank
3.3. MENILAI KOMITMEN KEBERLANJUTAN KLIEN ANDA Menjamin suatu kinerja perusahaan dalam mematuhi ketentuan standar keberlanjutan tidaklah sederhana. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh bank/ LJK ketika melakukan penilaian risiko lingkungan, sosial dan tata kelola, antara lain: • Skema sertifikasi keberlanjutan merupakan indikator yang mudah bagi bank untuk memastikan suatu perusahaan telah mematuhi ketentuan standar tertentu, Anda dapat melihat profil risiko klien/ potensial klien Anda secara sederhana, misalnya dengan melihat berapa banyak unit perusahaan yang sudah disertifikasi. • Bank/ LJK dapat mendorong kliennya untuk menerapkan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) seperti yang dimandatkan pemerintah, dan/ atau sertifikasi voluntary lainnya yang kredibel misalnya RSPO. Hal ini juga menghindari LJK dari paparan risiko ketika mendanai bisnis tidak bertanggung jawab. • Anda dapat melihat apakah klien anda memiliki kebijakan internal untuk merespon isu-isu seputar lingkungan, sosial dan tata kelola. Penting juga untuk melihat apakah kebijakan tersebut dipublis. Hal ini untuk mengukur kekuatan komitmen mereka. • Bank juga dapat menilai apakah suatu kebijakan itu diterapkan secara operasional atau sekedar kebijakan saja, dengan melihat apakah terdapat petunjuk teknis atau SOP dari kebijakan yang ada. Contohnya: Perusahaan Perkebunan Musim Mas memiliki kebijakan keberlanjutan yang meliputi 3 aspek utama: o Hak-hak masyarakat lokal untuk berkembang atau dilindungi o Mempromosikan dampak lingkungan yang positif, o Pembangunan rantai pasok yang mampu telusur. http://www.musimmas.com/sustainability/sustainability-policy#_ ptoh_3012607 44
• Bank dapat juga melihat track record dari berbagai media publikasi atau apakah perusahaan-perusahaan pernah terlibat kasus keberlanjutan. Apabila ya, bank perlu melihat upaya apa yang mereka sudah lakukan dan perkembangannya. • Bank dapat mengonsultasikan perihal keberlanjutan dengan ahliahli maupun LSM yang mempunyai kapasitas dan pengalaman yang relevan.
3.4. LANGKAH YANG PERLU DIAMBIL OLEH BANK/ LJK SECARA INTERNAL • Mengartikulasikan risk appetite lebih baik yang ditargetkan untuk
transaksi sektor kelapa sawit, Anda harus mempertimbangkan profil risiko LST sektor ini secara spesifik, untuk memberikan rekomendasi strategi korporasi dan tujuan-tujuan bisnis terkait lainnya.
• Penetapan selera risiko dan standar minimal sebuah transaksi ini dapat dibangun dan direkomendasikan oleh unit Sustainability/ Unit LST/ (jika ada) bekerja sama dengan departemen risiko, bisnis dan komite kredit. Hal ini penting untuk memperlihatkan keseimbangan dalam penentuan selera risiko.
• Agar efektif diterapkan secara konsisten, penentuan selera risiko hanya efektif jika mendapat dukungan resmi dari senior manajemen.
• Pemahaman risiko LST kelapa sawit dan selera risiko yang merata
diantara unit bank anda, untuk itu perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan ke unit-unit yang akan terlibat dalam proses persetujuan kredit/ transaksi. Mulai dari unit yang berhadapan dengan nasabah/ klien hingga, risiko, komite kredit dan bisnis.
• Dengan bekal pengetahuan yang cukup, melakukan proses negosiasi
dengan klien disertai batasan-batasan yang terukur dan cukup jelas. Mengedepankan solusi dan peningkatan kinerja, serta mengidentifikasi peluang bersama klien Anda.
• Mengembangkan dan menyiapkan instrumen kebijakan pembiayaan sektor kelapa sawit berkelanjutan berbasis panduan ini sebagai alat pengaman dari batasan selera risiko Anda,
• Mengembangkan alat uji tuntas pembiayaan sektor kelapa sawit berkelanjutan berdasarkan panduan ini,
• Mempelajari kasus per kasus yang dihadapi klien anda untuk memperkaya strategi organisasi Anda.
45
REFERENSI i Paspi Monitor, Monitor No.6 | Masyarakat Dunia Memerlukan Tambahan Tiga Kali Lipat Kebutuhan Sawit pada 2050
, diakses pada juli 2016.
ii Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Indonesia
, diakses pada Juli 2015>. iii GAPKI, Refleksi Industri Kelapa Sawit 2015 dan Prospek 2016 diakses pada juli 2016.
iv Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Indonesia , diakses pada Juli 2015. v Gloria Samantha, Komitmen Menuju Sawit Berkelanjutan Indonesia , diakses pada Juli2016. vi Alina Musta’idah, 2030, Produksi CPO Nasional Capai 60 Juta Ton
vii Presiden Republik Indonesia, Moratorium Lahan Wujud Keberpihakan Ekonomi Rakyat , diakses pada November 2016.
viii Fabian Januarius Kuwado, Jokowi Akan Keluarkan Moratorium Lahan Sawit dan Tambang. , diakses pada Agustus 2016. ix WWF. The Palm Oil Financing Handbook ; Practical Guidance on Responsible Financing and Investment, 2008. ix-2. Otoritas Jasa Keuangan, Data olahan tentang Total Pembiayaan Sawit dari sektor Perbankan, 2015. x Sonia Fitri, BNPB Catat Kerugian Akibat Kebakaran Hutan 2015 Rp 221 Triliun , diakses pada Juli 2016.
xi Indonesia. Peraturan Menteri Pertanian No 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO). xii Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, ISPO untuk Perusahaan Besar Maupun Kecil , diakses pada Agustus 2016
xiii Burness, Tracking EU Corporate and Financial Links to the Palm Oil Industry in Indonesia , diakses pada Juli 2016. xiv Ibid.
46
47
Otoritas Jasa Keuangan Menara Radius Prawiro, Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350