M untuk menghentikan reaksi. Serapan campuran diukur menggunakan spektrofotometer UV Hitachi 2800 pada kisaran panjang gelombang (λ) 200–400 nm untuk mengetahui λ maksimumnya. Kurva standar. Larutan substrat (xantin) dibuat pada berbagai konsentrasi (0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; 0.6; 0.7 ppm), kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 264 nm. Kurva hubungan antara konsentrasi dan serapan dibuat. Persamaan kurva linear tersebut digunakan untuk menghitung aktivitas XO. Inhibisi Aktivitas Xantin Oksidase. Uji daya inhibisi ekstrak air dan etanol kelopak rosela dan herba ciplukan pada XO dilakukan pada kondisi optimumnya. Kondisi optimum pengujian mengacu pada Iswantini dan Darusman (2003), yaitu pada waktu inkubasi 45 menit, suhu 20 °C, pH 7.5, konsentrasi XO 0.1 unit/ml, dan konsentrasi substrat (xantin) 0.7 mM. Ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan beragam konsentrasi berdasarkan hasil uji toksisitas pada A. salina, dan ditambah larutan bufer kalium fosfat 50 mM pH 7.5 sehingga volumenya menjadi 1.9 ml. Campuran kemudian ditambah 1 ml xantin 2.1 mM dan xantin oksidase 0.1 unit/ml sebanyak 0.1 ml lalu diinkubasi pada suhu 20 0 C selama 45 menit. Setelah diinkubasi, campuran segera ditambahkan HCl 0.58 M sebanyak 1 ml untuk menghentikan reaksinya (Lampiran 5). Campuran diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 264 nm untuk melihat seberapa besar sisa xantin yang tidak bereaksi dalam sampel uji. Daya inhibisi yang diperoleh dibandingkan dengan alopurinol. Preparasi urin buatan (Shmaefsky 2004) Sebanyak 36.4 g urea ditambahkan ke dalam 1.5 L air distilata dan diaduk sampai semua kristal larut. Kemudian ditambahkan 15 g NaCl dan 9 g KCl diaduk sampai larutan jernih. Keasaman (pH) diperiksa dengan menggunakan kertas indikator untuk menjamin agar pH berada pada kisaran urin normal yaitu 5–7. Jika pH berada di luar kisaran tersebut, ditambah HCl 1N untuk menurunkan pH atau NaOH 1N untuk menaikkan pH. Larutan ini siap disimpan sebagai stok untuk larutan urin normal dan dapat didinginkan untuk beberapa minggu atau dibekukan untuk beberapa bulan. Sebelum digunakan larutan dibiarkan sampai mencapai suhu ruang. Untuk menjamin kesamaan dengan urin manusia, sebanyak 4 g kreatin
dan 100 mg albumin dapat dicampurkan secara perlahan ke dalam 2 L larutan. Penentuan waktu pengukuran, konsentrasi natrium dan konsentrasi asam urat (Kavanagh et al. 2000) Urin buatan disiapkan dengan konsentrasi NaCl 2, 4, 6, 8, dan 10 mM, kemudian disiapkan pula larutan asam urat dengan konsentrasi 2, 5, 7, 10, 13, 15, 20, dan 25 mM. Pengukuran turbiditas dilakukan menggunakan turbidimeter. Sel turbidimeter diisi dengan 13.6 ml larutan natrium asetat dan secara cepat ditambahkan 1.4 ml larutan asam urat (waktu tetes pertama asam urat bercampur dengan natrium asetat dihitung sebagai waktu 0 menit). Campuran dikocok pelan selama 10 detik lalu sel dimasukkan ke dalam kompartemen turbidimeter dan diukur nilai turbiditasnya. Pengukuran nilai turbiditas dilakukan selama 16 menit dengan interval waktu satu menit setiap pengukuran. Waktu pengukuran untuk pengukuran selanjutnya ditentukan berdasarkan kelinearitasan kurva turbiditas terhadap waktu yang diperoleh. Konsentrasi asam urat yang dipilih berdasarkan pada kelinearan kurva ln (∆D/min) terhadap ln [asam urat] dan pemilihan konsentrasi natrium berdasarkan pada nilai TRI dari masing-masing konsentrasi natrium. Penentuan indeks laju turbiditas (TRI) kristal natrium urat Penentuan nilai TRI kristal natrium urat dilakukan berdasarkan metode kavanagh et al. (2000) yang dimodifikasi jenis kristal yang digunakan dan penentuan waktu pengukuran. Pengukuran nilai turbiditas dilakukan selama 10 menit dengan interval waktu satu menit setiap pengukuran. Pengaruh dari ekstrak rosela dan ciplukan dilihat dengan menambahkan sampel sebanyak 1 ml ke dalam sel turbidimeter yang berisis larutan natrium klorida, kemudian dengan segera ditambahkan larutan asam urat selanjutnya dilakukan metode yang sama sepaerti pada penentuan TRI kristal natrium urat tanpa sampel dengan ragam konsentrasi natrium dan asam urat yang sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk kelopak rosela dan herba ciplukan. Fungsi penentuan kadar air adalah
untuk mengetahui cara penyimpanan terbaik bagi contoh dan menghindari pengaruh aktivitas mikrob. Selain itu juga dengan mengetahui kadar air suatu contoh dapat diperkirakan faktor koreksi dalam perhitungan rendemen hasil ekstraksi. Kadar air yang diperoleh dari serbuk kelopak rosela dan serbuk herba ciplukan masing-masing adalah 8.79 dan 7.77% (Lampiran 6). Kandungan air pada sampel tersebut terbilang cukup rendah. Perolehan tersebut menunjukkan bahwa kelopak rosela dan herba ciplukan yang berupa serbuk dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama untuk digunakan lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1997), yaitu bila kadar air yang terkandung dalam suatu bahan kurang dari 10% maka kestabilan optimum bahan akan tercapai dan pertumbuhan mikroba dapat dikurangi. Rendemen Ekstrak Mekanisme ekstraksi pada metode maserasi adalah adanya proses difusi pelarut ke dalam dinding sel tumbuhan untuk mengestrak senyawa yang ada dalam tumbuhan tersebut. Alasan etanol digunakan sebagai larutan pengekstrak karena etanol memiliki 2 gugus fungsi yang berbeda kepolarannya diharapkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang berbeda dalam sampel akan terekstrak ke dalam etanol (Khopkar 2002). Rendemen ekstrak etanol rosela dan ciplukan masing-masing, yaitu 30.05 dan 6.28%. Rendemen ekstrak air rosela dan ciplukan masing-masing sebesar 38.68 dan 24.59% pada bobot keringnya (Lampiran 7). Rendemen terbesar dihasilkan pada ekstraksi menggunakan pelarut air hal ini dikarenakan kandungan senyawa polar pada kedua sampel lebih banyak sehingga lebih terekstrak pada pelarut air. Fitokimia Rosela dan Ciplukan Uji fitokimia bertujuan untuk menguji keberadaan golongan senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, triterpenoid, dan kuinon dalam sampel. Uji pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya flavonoid di dalam ekstrak dan senyawa-senyawa lain yang kemungkinan dapat berperan dalam menginhibisi XO. Tabel 2 menunjukan bahwa simplisia herba ciplukan memiliki senyawa metabolit sekunder lebih banyak daripada simplisia kelopak rosela. Herba ciplukan mengandung
senyawa alkaloid dan steroid yang tidak ditemukan pada kelopak rosela. Hasil ini sesuai dengan penelitian Edeoga et al. (2005) yang melaporkan bahwa ciplukan mengandung saponin, flavonoid (luteolin), polifenol, alkaloid, steroid (fisalin), asam palmitat, dan asam stearat. Tabel 2 Kandungan fitokimia simplisia rosela dan ciplukan Hasil uji Golongan senyawa Rosela Ciplukan Alkaloid +++ Flavonoid +++ +++ Saponin + ++ Tanin ++ ++ Triterpenoid Steroid ++ Kuinon Keterangan: tanda (+) menunjukkan tingkat intensitas warna dan (-) menunjukkan senyawa metabolit sekunder tidak terdapat pada ekstrak
Hasil uji fitokimia pada ekstrak air menunjukkan adanya senyawa flavonoid, tanin, dan saponin pada kedua sampel dengan intensitas yang berbeda. Intensitas warna senyawa flavonoid pada ekstrak air ciplukan lebih tinggi dari pada ekstrak air rosela. Hal ini diduga karena senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak air ciplukan lebih banyak. Selain itu dapat diduga karena jenis flavonoid yang terkandung dalam ekstrak air ciplukan berbeda dengan senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak air rosela. Senyawa metabolit sekunder lain yang hanya terdapat pada ekstrak air ciplukan adalah alkaloid dan steroid (Tabel 3). Tabel 3
Kandungan fitokimia ekstrak air rosela dan ciplukan Hasil uji Golongan senyawa Rosela Ciplukan Alkaloid +++ Flavonoid ++ +++ Saponin + ++ Tanin + + Triterpenoid Steroid ++ Kuinon -
Keterangan: tanda (+) menunjukkan tingkat intensitas warna dan (-) menunjukkan senyawa metabolit sekunder tidak terdapat pada ekstrak
Ekstrak etanol rosela dan ciplukan menunjukkan senyawa yang sama seperti pada ekstrak air namun intensitas warna ekstrak etanol yang lebih besar terutama pada kandungan tanin. Hal ini diduga karena etanol memiliki gugus polar dan nonpolar, sehingga senyawa dengan kepolaran yang berbeda dapat terekstrak (Tabel 4). Kandungan senyawa pada rosela sesuai dengan penelitian Mlati et al. (2007), yaitu kelopak rosela menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, tanin, saponin, dan triterpenoid. Namun dalam penelitian ini tidak terdeteksi adanya triterpenoid. Tabel 4
Kandungan fitokimia ekstrak etanol rosela dan ciplukan Hasil uji Golongan senyawa Rosela Ciplukan Alkaloid +++ Flavonoid ++ ++ Saponin + + Tanin ++ ++ Triterpenoid Steroid ++ Kuinon -
Keterangan: tanda (+) menunjukkan tingkat intensitas warna dan (-) menunjukkan senyawa metabolit sekunder tidak terdapat pada ekstrak
Toksisitas pada Larva Udang Uji larva udang biasa digunakan untuk penapisan awal pada senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antikanker (Anderson 1991). Pemeriksaan toksisitas diperlukan untuk mengetahui berapa konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan sehingga dapat diketahui jumlah penggunaan yang tepat. Hasil uji toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah kematian larva udang A. salina karena pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam tertentu dari dosis yang telah ditentukan. A. salina yang digunakan untuk uji toksisitas diperoleh dari hasil penetasan dengan bantuan aerator untuk memenuhi kadar oksigen yang terlarut. Larva udang yang digunakan berumur 24 jam setelah menetas karena pada umur ini larva A. salina bersifat peka terhadap kondisi lingkungan. Pengujian toksisitas terhadap ekstrak kasar air rosela dan ciplukan diperoleh nilai konsentrasi letal 50 (LC50) masingmasing sebesar 96.95 dan 252.79 ppm (Lampiran 8). Nilai LC50 ekstrak etanol rosela dan ciplukan masing-masing sebesar 40.03 dan 63.83 ppm (Tabel 5). Nilai LC50 ini menunjukkan bahwa ekstrak kasar memiliki
potensi bioaktif karena menurut Meyer et al. (1982) suatu senyawa memiliki potensi bioaktif jika nilai LC50-nya di bawah 1000 ppm. Tabel 5 Nilai LC50 ekstrak roseladan ciplukan terhadap A. salina L Ekstrak LC50 (ppm) Etanol rosela Etanol ciplukan Air rosela Air ciplukan
40.03 63.83 96.95 252.79
Nilai LC50 masing-masing ekstrak dapat dijadikan sebagai batas konsentrasi tertinggi pada penentuan ragam konsentrasi ekstrak dalam uji enzimatik aktivitas XO. Hal ini dikarenakan pada formulasi obat akan lebih aman jika konsentrasinya dibuat di bawah nilai LC50. Inhibisi Ekstrak Kasar Rosela dan Ciplukan pada Aktivitas Xantin Oksidase Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan sebelum uji inhibisi XO. Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer ultarviolet (uv) pada kisaran panjang gelombang 200–400 nm karena senyawa yang akan diukur tidak berwarna. Selain itu, senyawa xantin yang akan diukur dari reaksi enzimatis diperkirakan memiliki panjang gelombang 263 nm (Westerfeld et al. 1959). Pengukuran menggunakan spektrofotometer berkas ganda merk Hitachi 2800. Hasil uji pencarian panjang gelombang maksimum diperoleh pada panjang gelombang (λ) 264 nm. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan λmaks yang diperoleh Hakim (2005), yaitu 262 nm. Terjadi pergeseran batokromik mungkin dikarenakan pengaruh pelarut sehingga terjadi pergeseran λmaks sebesar 2 nm. Uji inhibisi inhibisi pada XO dilakukan pada semua ekstrak rosela dan ciplukan dengan menggunakan varian konsentrasi. Pengujian pada konsentrasi beragam ini ditunjukkan untuk melihat pengaruh penambahan konsentrasi ekstrak pada peningkatan daya inhibisi. Ragam konsentrasi ekstrak yang digunakan ialah 10–100 ppm. Selain itu juga dilakukan pengamatan aktivitas enzim tanpa penambahan ekstrak (blangko) untuk melihat pengaruh inhibisi ekstrak tersebut pada aktivitas enzim. Pembuatan kurva standar perlu dilakukan sebelum uji enzimatik untuk mengetahui serapan xantin pada berbagai konsentrasi.
Inhibisi (%)
50 43.66 45 40 35 29.6 29.3 27 30 20.82 25 18.75 19.38 18.78 20.82 20.42 20 12.52 15 9.86 10 5 0 10 20 40 60 80 100 Konsentrasi (ppm) Ekstrak air rosela Ekstrak air ciplukan
Gambar 5
Persen inhibisi aktivitas xantin oksidase ekstrak air.
Daya inhibisi ekstrak air ciplukan (43.66%) jauh lebih besar daripada ekstrak rosela (20.82%). Hal ini diduga karena tingginya kandungan alkaloid dan flavonoid pada ekstrak air herba ciplukan sehingga memiliki efek inhibitor XO lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak air rosela. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak air herba ciplukan lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder (Tabel 2). Efek sinergis metabolit sekunder pada ekstrak air ciplukan seperti alkaloid, flavonoid, tanin, dan steroid membuat daya inhibisi ekstrak air ciplukan lebih kuat daripada ekstrak air rosela. Gambar 6 menunjukkan daya inhibisi ekstrak etanol rosela dan ciplukan. Ekstrak etanol herba ciplukan menunjukkan daya inhibisi yang jauh lebih besar (70.08%) dibandingkan dengan ekstrak etanol rosela (35.53%) pada konsentrasi 100 ppm. Berdasarkan data tersebut diduga senyawa metabolit sekunder yang bersifat inhibisi lebih banyak terdapat pada ekstrak ciplukan. 80
70.08
70 60 Inhibisi (%)
Dengan demikian dapat diketahui berapa jumlah xantin yang dikonversi menjadi asam urat dalam reaksi enzimatis. Persamaan linier kurva standar yang diperoleh adalah y=2.0315x+0.2688 dan nilai R = 95.24% (Lampiran 9). Y adalah serapan xantin dengan penambahan ekstrak yang terukur dan x adalah konsentrasi xantin sisa yang tidak terkonversi menjadi asam urat. Konsentrasi ini nantinya dapat diubah menjadi konsentrasi xantin yang bereaksi. Dengan diperolehnya konsentrasi xantin yang bereaksi, maka akan diketahui seberapa besar aktivitas xantin oksidase dalam mengubah xantin menjadi asam urat, sekaligus dapat ditentukan seberapa besar persen inhibisi ekstrak yang diujikan terhadap aktivitas XO. Uji enzimatis dilakukan pada kondisi optimum seperti yang dilaporkan oleh Iswantini & Darusman 2003. Kondisi optimum tersebut adalah pada suhu inkubasi 20 oC, pH 7.5, konsentrasi xantin oksidase 0.1 unit/ml, konsentrasi xantin 0.7 mM, waktu inkubasi selama 45 menit, dan pada panjang gelombang 264 nm yang diperoleh dari pencarian λmaks. Hasil uji menunjukkan bahwa semua ekstrak yang diuji memiliki aktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan blangko. Daya inhibisi seluruh ekstrak rosela dan ciplukan baik dengan menggunakan pelarut air dan etanol menunjukkan bahwa hampir semua ekstrak berpotensi menghambat aktivitas XO. Secara keseluruhan, persen inhibisi aktivitas enzim meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak (Lampiran 10). Ektrak air rosela dan ciplukan terbukti dapat menurunkan kerja enzim XO cukup baik pada konsentrasi rendah 10 ppm dengan % inhibisi masing-masing sebesar 18.75% dan 12.52%, sementara persen inhibisi tertinggi untuk rosela sebesar 20.82% pada konsentrasi 80 ppm dan persen inhibisi tertinggi ekstrak air ciplukan 43.66% pada konsentrasi 100 ppm (Gambar 5). Semakin tinggi konsentasi ekstrak air rosela persen inhibisi XO menurun. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan asam organik pada ekstrak air rosela yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi kerja enzim XO. Blunden et al. (2005) melaporkan tingginya konsentrasi asam organik pada ekstrak air kelopak rosela yang didominasi oleh asam sitrat, asam askorbat, dan malat sehingga keasaman rosela mencapai pH 3. Kerja enzim salah satunya dipengaruhi oleh pH sehingga apabila pH lingkungan tidak sesuai dengan pH optimumnya maka enzim akan berkurang aktivitasnya.
44.41
50
35.3
40 30 20
50.18 35.53
25.21 18.05
19.44 18.52 16.61
10 0 20
40
60
80
100
Konsentrasi (ppm) Ekstrak etanol rosela Ekstrak etanol ciplukan
Gambar 6
Persen inhibisi aktivitas xantin oksidase ekstrak etanol
Berdasarkan uji fitokimia, senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak
120 100
98.63
80
70.08
60
% Inhibisi
etanol ciplukan meliputi flavonoid, tanin, dan alkaloid yang terbukti melalui beberapa penelitian sangat berperan dalam menghambat kerja XO (Schmeda-Hirschmann et al. 1996; Cos et al. 1998; Milián et al. 2004). Hasil yang didapat sesuai dengan literatur, bahwa tanaman ciplukan mengandung saponin, flavonoid (luteolin), polifenol (tanin), alkaloid, dan steroid (Edeoga et al. 2005). Ekstrak rosela mangandung golongan senyawa flavonoid quarsetin, mirisetin, luteolin, luteolin glikosida, tanin, dan triterpenoid (Mlati et al. 2007). Senyawa flavonoid diisolasi dari ekstrak etil asetat rosela secara kromatografi kertas preparatif. Isolat diduga merupakan senyawa flavonoid glikosida golongan flavon yang mempunyai gugus hidroksil pada posisi 5, 7, dan 4’ (Salah et al. 2002; Mlati et al. 2007). Kandungan flavonoid golongan kuersetin, mirsetin, apigenin, dan luteolin dari ekstrak tumbuhan sebagai inhibitor XO terkuat disebabkan oleh adanya gugus hidroksil (gugus OH) pada C5 dan C7. Selain itu juga disebabkan ikatan rangkap antara C2 dan C3 sehingga cincin B co-planar terhadap A, akibatnya lebih memudahkan interaksi dengan XO, sedangkan adanya ikatan rangkap pada flavonoid memungkinkan reaksi adisi (oksidasi oleh xantin oksidase) (Cos et al. 1998; Van Hoorn et al. 2002). Kemampuan flavonoid dalam menghambat aktivitas XO berlangsung melalui mekanisme inhibisi kompetitif dan interaksi dengan enzim pada gugus samping (Nagao et al. 1999; Lin et al. 2002). Daya inhibisi yang besar pada ekstrak ciplukan diduga karena kandungan senyawa luteolin. Daya inhibisi ekstrak etanol rosela dan ciplukan lebih tinggi daripada ekstrak air. Hal ini diduga karena kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat semipolar pada ekstrak etanol memiliki efek yang cukup kuat dalam menghambat XO. Gambar 7 menunjukkan perbandingan daya inhibisi setiap ekstrak sampel, ekstrak etanol kumis kucing, produk komersial, dan kontrol positif (dengan penambahan alopurinol) pada konsentrasi terbesar (100 ppm). Berdasarkan hasil penelitian ekstrak etanol ciplukan memiliki daya inhibisi terbesar (70.08%) dibandingkan produk komersial dan ekstrak etanol kumis kucing masing-masing sebesar 34.15 dan 48.28%. Akan tetapi jika dibandingkan alopurinol pada konsentrasi yang sama, daya inhibisi ekstrak masih di bawah alopurinol (98.63%).
48.28
43.66
34.15
40
35.53
20.42 20 0 A
B
C
D
E
F
G
Alopurinol (A)
Biouric (B)
Ekstrak etanol kumis kucing (C)
Ekstrak air rosela (D)
Ekstrak air ciplukan (E)
Ekstrak etanol rosela (F)
Ekstrak etanol ciplukan (G)
Gambar 7 Persen inhibisi terbaik dari seluruh ekstrak, kontrol negatif, dan kontrol positif pada konsentrasi 100 ppm. Hasil penelitian menunjukan daya inhibisi ekstrak etanol ciplukan (70.08%) lebih tinggi daripada ekstrak etanol meniran (31.43%) dan ekstrak kasar flavonoid sidaguri (29.83%) dengan konsentrasi yang sama pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardani (2008) dan Ramdhani (2004). Namun, daya inhibisi ekstrak etanol ciplukan (70.08%) masih lebih rendah jika dibandingkan dengan ekstrak air salam (82.54%) pada penelitian Muflihat (2008). Data persen inhibisi masing-masing ekstrak digunakan untuk menentukan kurva estimasi dengan program SPSS. Selanjutnya akan diperoleh persamaan kurva estimasi. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa inhibisi masing-masing ekstrak memiliki R2 lebih dari 80% pada kurva linear (Tabel 6). Persamaan untuk ekstrak air rosela memiliki R2 lebih kecil dari 80% sehingga persamaan tersebut tidak dapat digunakan untuk mencari nilai IC50. Tabel 6 Persamaan linear ekstrak rosela dan ciplukan Ekstrak Persamaan Air rosela y = 18.827+2.271Ln(x) Air ciplukan y = 9.0474+0.3235 x Etanol rosela y = 11.46+0.2541x Etanol ciplukan
y = 0.693x-1.62
Dari persamaan yang digunakan maka dapat ditentukan nilai IC50 dari masingmasing ekstrak. IC50 merupakan nilai konsentrasi minimal ekstrak yang dapat
menginhibisi enzim sampai 50% (Behera et al. 2003). Nilai konsentrasi dari seluruh ekstrak yang dapat menginhibisi XO sebesar 50% ditunjukkan dalam Tabel 7. Menurut Noro et al. (1983), ekstrak dikatakan berpotensi sebagai inhibitor XO dan bisa dimanfaatkan sebagai obat asam urat bila memiliki daya inhibisi lebih besar dari 50%. Tabel 7 Nilai IC50 ekstrak rosela dan ciplukan terhadap xantin oksidase Ekstrak IC50 (ppm) Air ciplukan 128.81 Etanol rosela 151.67 Etanol ciplukan 74.49 Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol ciplukan memiliki nilai IC50 yang paling rendah (74.49 ppm). Ekstrak etanol ciplukan terbukti secara in vitro berpotensi sebagai obat antigout karena dapat menghambat enzim XO sampai 50% pada konsentrasi di bawah 100 ppm. Nilai IC50 yang paling tinggi adalah ekstrak etanol rosela, yaitu 151.67 ppm dapat dikatakan ekstrak etanol rosela kurang berpotensi dalam menghambat XO. Nilai IC50 yang rendah pada ekstrak tanaman sangat diharapkan karena dapat memudahkan aplikasinya sebagai obat. Pembentukan Kristal Natrium Urat Metode pengukuran pertumbuhan kristal sangat beragam salah satunya adalah menggunakan metode turbidimetri, metode turbidimetri memiliki keunggulan karena sederhana dan murah. Metode turbidimetri tidak memberikan data pertumbuhan kristal secara langsung namun berdasarkan kekeruhan yang ditimbulkan sebagai pertambahan masa kristal yang terbentuk (Kavanagh et al. 2000). Pada penelitian direaksikan antara asam urat (H2U) dan natrium asetat (CH3COONa) pada berbagai konsentrasi dan diharapkan akan terbentuk kekeruhan yang menggambarkan proses pembentukan kristal natrium urat. Hasil pengukuran turbiditas natrium urat semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan oleh kristal natrium urat merupakan kristal yang tidak berwarna sehingga tidak menghasilkan kekeruhan tetapi menurunkan kekeruhan ketika diukur dengan turbidimeter. Penelitian ini dipusatkan terhadap perubahan laju awal dari perubahan peningkatan turbiditas proses kristalisasi (∆D/min). Laju awal dari perubahan turbiditas ini dipengaruhi oleh konsentrasi natrium
asetat. Semakin tinggi konsentrasi natrium asetat maka nilai ∆D/min semakin tinggi, artinya perubahan laju yang terjadi semakin besar dengan bertambahnya konsentrasi natrium asetat, namun dalam penelitian ini tidak terjadi demikian yang terjadi adalah penurunan turbiditas. Nilai ∆D/min semakin menurun sejalan dengan bertambahnya waktu (Lampiran 11). Indeks laju turbiditas (TRI) kristal merupakan dugaan yang memadai terhadap nilai konstanta laju pertumbuhan (K) dan karakteristik bentuk kristal (a) natrium urat. plot dari ln (∆D/min) terhadap ln[asam urat] memberikan intersep dari kurva tersebut yang dapat dihubungkan secara langsung dengan nilai K dan a. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini (Tabel 8) memberikan persamaan hubungan antara konsentrasi natrium asetat dengan TRI yang tidak memiliki kelinearan (R=0) sehingga persamaan yang diperleh tidak dapat diolah lebih lanjut data tersebut untuk melihat pertumbuhan kristal natrium urat (Lampiran 12). Tabel 8 Indeks laju turbiditas urat [Na-Asetat] (mM) 2 4 6 8 10
kristal natrium TRI 0.18768 0.17325 0.01407 0.26553 0.13821
Reaksi antara asam urat dan natrium asetat memberikan produk natrium urat yang rendah karena konsentrasi ion natrium dari penguraian natrium asetat dalam air rendah sehingga reaksinya tidak berjalan sempurna. Konsentrasi ion natrium sangat penting dalam terbentuknya kristal natrium urat (Burt & Dutt 1987). Reaksi antara asam urat (H2U) dan natrium hidroksida (NaOH) akan menghasilkan produk natrium urat lebih banyak (Wang & Konigsberg 1998) karena asam urat dapat terdisosiasi dengan baik pada kondisi basa sehingga akan terjadi reaksi pembentukan natrium urat (Na-UH ). Penelitian untuk melihat pertumbuhan kristal natrium urat kurang tepat apabila menggunakan metode turbidimetri karena kristal natrium urat tidak menimbulkan kekeruhan seperti pada kristal kalsium oksalat (CaOX) pada penelitian yang dilakukan Kavanagh et al. (2000). Hal ini, terbukti
dengan kelinearan yang sangat rendah pada kurva hubungan konsentrasi natrium asetat terhadap nilai TRI. Metode yang tepat untuk mempelajari laju pertumbuhan kristal natrium urat adalah metode secara langsung dengan metode gravimetri.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak rosela dan ciplukan dapat menghambat kerja xantin oksidase dalam mengubah xantin menjadi asam urat Dari seluruh ekstrak rosela dan ciplukan, ekstrak etanol ciplukan memiliki daya inhibisi terbesar (70.08%) namun masih lebih kecil dibandingkan dengan daya inhibisi alopurinol (98.63%). Berdasarkan hasil ini terbukti bahwa etanol ciplukan berpotensi sebagai obat antigout dengan cara menghambat enzim xantin oksidase karena memiliki daya inhibisi di atas 50% sedangkan ekstrak rosela daya inhibisinya masih tergolong rendah. Metode turbidimetri tidak dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan kristal natrium urat karena kristal natrium urat tidak menimbulkan kekeruhan dalam proses pembentukannya dan dibuktikan dengan rendahnya kelinearan kurva hubungan konsentrasi natrium asetat terhadap nilai TRI ( R= 0). Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui daya inhibisi ekstrak rosela dan ciplukan secara in vivo dan uji farmakologi lain agar memenuhi syarat sebagai obat. Selain itu, perlu dilakukan fraksinasi, analisis ultraviolet serta inframerah dan analisis NMR. Untuk mengetahui senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak, yang secara khusus berpotensi menghambat aktivitas xantin oksidase. Perlu pengembangan metode yang tepat seperti metode gravimetri untuk meneliti laju pertumbuhan kristal natrium urat.
DAFTAR PUSTAKA Anderson et al. 1991. List of insect pest isusceptible to neem products. The Neem iTree-Source of Unique Natural products ifor Integrated Pest Management, iMedicine, Industry and Other Purposes. ipp. 195-204.. Weinheim: VCH.
Ankrah NA et al. 2003. Evaluation of efficacy and safety of a herbal medicine used for the treatment of malaria. Phytotherapy Research (17): 697–701. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Virgina: Association of Official Analitycal Chemistry. [BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Ekstrak Tumbuhan Indonesia Vol. 2. Jakarta: BPOM. Bastos GNT. 2006. Antinociceptive effect of the aqueous extract obtained fromroots of Physalis angulata L. on mice. Journal of Ethnopharmacology :241– 245. Behera BC, Adawadkar B, Makhija U. 2003. Inhibitory activity of xanthine oxidase and superoxide-scavenging activity in some taxa of the lichen family graphidaceae. Phytomedicine 10:536543. Blunden G, Ali HB, Wabel AN. 2005. Phytochemical, pharmacological an toxicological aspect of Hibiscus sabdariffa L. Phytother Res 19:369– 375. Bodamyali T, Kancler JM, Millar TM, Blake DR, Stevens CR. 2002. Free radicals in rheumatoid arthritis: Mediators and modulators. Di dalam: Redox Genome interaction in Health and Disease. Ed J. Fuchs, M. Podda, L. Packer. New York: Marcel Dekker. Boumerfeg S et al. 2009. Antioxidant properties and xanthine oxidase inhibitory effects of Tamus communis L. root extracts. Phytotherapy Research 23:283–288. Chiang HC, Lo YJ, Lu FJ. 1994. J Enz Inhibit 8:61–71 Choi EM, Hwang JK. 2003. Investigations of anti-inflammatory and antinociceptive activities of Piper cubeba, Physalis angulata and Rosa hybrida. Journal of Ethnopharmacology 89: 171–175. Cos
P et al.. 1998. Structure-Activity relationship and classification of