Paradoks Ashlabiellah Nur Safah Lubis Seminggu yang lalu aku melihatnya terkapar di atas karpet bercorak batik mega mendung dengan berbalut kain pucat. Seakan-akan corak karpet itu ikut bersedih hati karena perginya sang pemilik yang selalu menghabiskan waktunya dengan menduduki karpet itu sambil bermain laptop atau mengerjakan tugas. Wajahnya begitu tenang dan damai. Terbentuk setengah lingkaran pada bibirnya yang tipis dan pucat. Mungkin ia sedang memimpikan sesuatu. Atau memikirkan padminya yang telah berhasil membuatnya jatuh hati hingga tertidur. Atau mungkin dia sangat bahagia sekali, karena rasa rindu pada-Nya akan segera sirna. Aku jadi ingat, sekitar musim dimana matahari sangat dermawan memancarkan sinarnya tahun lalu, dia menyapaku. Dan kami berbincang-bincang sekitar setengah jam di dekat aula sekolah. “Halo nona.”, sapanya kepadaku yang sedang berjalan dan membuat langkahku mendadak terhenti. “Eh iya kang, ada apa?”, jawabku dengan wajah terlihat agak dungu karena kaget, mengapa dia menyapaku. Ah, salah. Bukan kaget, melainkan heran. Karena hampir seribu hari kita saling mengenal, belum pernah dia menyapaku dengan raut wajah semanis itu. “Coba, kemari, duduk.”, ajaknya kepadaku sambil menepuk-nepuk kursi berbahan plastik yang ada disampingnya. Jujur, saat itu aku begitu penasaran. Banyak sekali pertanyaan yang saling bertubrukan di benakku. Mau apa dia? Apa yang dia lakukan? Apa yang akan dia tanyakan? Dan apa yang harus kulakukan? Aku bingung. Aku bersenandika selama beberapa detik itu. Honestly, pria berkulit sawo matang yang parasnya enak dipandang itu tidak biasanya berperilaku seperti itu, jarang sekali ia bersosialisasi dengan orang yang bukan teman dekatnya atau teman sekelasnya. Atau bisa ku simpulkanlah, dia itu orangnya D-I-N-G-I-N dan M-I-S-T-E-R-I-U-S. bahkan bisa dibilang, semacam flegma. Atas landasan seorang junior yang menghormati kakak seniornya, akupun menurutinya dan duduk di bangku yang dia persilahkan tadi. Aromanya tercium sangat kuat dan khas. Sulit ku deskripsikan harumnya seperti apa. Tapi cukup buatku terpana saat menghirupnya. Seorang pemimpin memang sudah seharusnya seperti itu. Tampil menawan di depan oranglain. “Boleh saya wawancara?” “Tentu. Apa ya kang?”, tanya ku tanpa basa-basi. “Maaf sebelumnya. Ini sedikit menyinggung masalah pribadimu. Anggap saja kita curhat, oke?”, katanya sambil tersenyum.
“Iya kang, tanya aja. Mira jadi panik.” “Ahahahaha.”, dia mendadak tertawa. “Santai aja santai.” “Iya kang.” “Gini loh, mengapa kamu sangat tidak suka kepada Daril dan menolaknya secara mentahmentah? Apa yang membuatmu seperti itu?” WOW! Sontak diriku kaget. Daril Haryansyah. Seorang pria yang menakjubkan. Selain berbakat dan berprestasi, diapun memiliki paras yang menawan. Namun aku membencinya. Tentunya karena suatu alasan yang tak bisa ku jelaskan. “Perlu sekali Mira jawab kang?” “Jika kamu bisa. Em, gini loh. Maaf ya kalau ga enak. Bukan maksud saya ikut campur atau apapun. Saya cuman bingung sama Daril, mantanmu itu. Dia kan sahabat saya, kamu juga adik saya, dia itu selalu menceritakan kesedihannya terhadap saya. Katanya kamu itu ginilah, gitulah. Dan saya ikut bingung sekaligus penasaran, barangkali saya bisa bantu, barangkali kamu bersedia menceritakan perasaanmu kepada saya.” “Terimakasih banyak kang. Tapi, kayaknya Mira ga bisa jawab kang.” “Nah, coba jelasin kenapa kamu ga bisa jawab.” “Aduh kang, akang lagi ngewawancara atau lagi nganalisa sih kang? Hehehehe.” “Analisa. Saya punya beberapa hipotesa. Pertama, yang saya lihat kinerja kamu bagus. Kamu pandai berbaur dan bisa memahami perasaan oranglain. Dan orang-orang bilang, kamu sangat baik. Hipotesa kedua, Daril itu suka menceritakan kamu, bahwa kamu mencampakkannya, menduakannya, dan sebagainya. Untuk mendapatkan kesimpulan, tentu saja saya harus menganalisa dong? Salah satunya dengan observasi.” Subhanallah. Terimakasih ya Allah. Ternyata di dunia ini masih ada pria yang berpikiran kritis dan sederhana seperti ini. Sesaat aku terpana mendengar penjelasannya. Bibirnya lihai sekali dan sangat pandai merangkai kata-kata. “Maaf kang. Kukira ini aib. Tapi gapapa kok. Wajar kalau orang-orang benci Mira. Secara, Mira emang jahat sama Kak Daril. Mira udah nyakitin laki-laki yang jadi idaman semua perempuan. Maafin Mira juga ya kang, udah nyakitin temen berharga akang.” “Aduh, Mira. Maaf ya Mir. Eh, kamu ga usah minta maaf. Malahan saya deh yang salah, saya ga sopan. Maaf Mira, maaf.” “Hahaha, gapapa kang.”
Kira-kira seperti itulah, percakapan kami yang berlangsung selama setengah jam itu. Setengah jam itu berhasil membuatku merasa bahwa aku pantas memiliki seseorang yang aku idamkan. Ya, singkat kata, aku menyukainya selama satu tahun terakhir ini. Namun aku merasa tidak pantas apabila harus mencintai seorang Arya, sosok lelaki yang kritis dalam berpikir dan sangat bertanggung jawab. Sedikit skeptik. Dan ku amati, dia tipikal orang yang bisa berpikiran jauh serta bisa mengambil keputuan secara tepat tanpa menimbulkan resiko yang sangat besar. Hahahahaha. Aku baru tahu satu bulan yang lalu, bahwa Kang Arya ini menyukai gadis teman seperjuangannya sejak SD. Tidak usah ditanya lagi, gadis itu sangat cantik, anggun, cerdas, dan tangguh. Tentulah sangat jauh bila dibandingkan denganku. Aku hanyalah dula. Sekali lagi, D-U-L-A. Aku ini perempuan. Yang memiliki perasaan sensitif dan peka terhadap situasi. Namun aku bingung, apakah gadis itu merasakannya atau tidak. Kelihatannya, tidak ada respon sama sekali. Apa mungkin dia memang tidak menyadarinya? Ah. Tapi, masa sih. Menurutku Kang Arya sudah mengirimkan sinyal-sinyal cinta yang kuat. Entahlah. Sudah seminggu kepergian kang Arya. Dan aku masih tidak menyangka bahwa kini, manusia spesies langka yang menarik serta sangat berbeda dari yang lain itu telah pulang. Serasa baru kemarin, dia lewat dihadapanku yang sedang duduk dikoridor dengan meninggalkan aroma parfumenya yang khas. Serasa baru kemarin, dia menyapaku dengan pandangan yang datar dan dingin. Serasa baru kemarin, dia menjadi imam shalat dzuhur pada jam istirahat, dan serasa baru kemarin, dia memberi pesan kepadaku sekaligus pesan terakhir yang kudapat darinya. Intinya, aku masih belum bisa percaya, bahwa kini, dia telah pulang. Hatiku selalu menentangnya. Semacam paradoks. “Mira, lain kali kalau cari pacar lagi harus pandai memilih ya. Harus janjinjun lah.” “Janjinjun itu maksudnya apa ya kang?” “Iya jadi maksudnya, ada tiga hal yang harus kamu nilai dan pertimbangkan. Pertama, lihat dari penampilannya. Bagus apa engga, rapih apa engga. Karena kepribadian seseorang itu tercermin dari penampilannya. Yang kedua, cara bicaranya. Apakah terlihat sebagai orang yang terdidik atau tidak. Dan ketiga, akhlaknya. Jika dia mencintai Tuhannya, dia tidak akan menyakiti siapapun secara sengaja.” “Tapi kang, pada dasarnya pacaran itu kalau engga nyakitin ya disakitin.” “Kalau itu memang sudah menjadi hukum alam dalam berpacaran, kamu langsung nikah aja.” Ya, seperti itulah kira-kira percakapan kami yang berlangsung di bawah pohon rindang, sekitar satu jam sebelum matahari beringsut meninggalkan cahayanya.
Aku sangat ingat, ketika wajahnya tengelam dalam kegelisahan, karena mencemaskan padminya yang masuk ruangan unit gawat darurat. Aku tidak begitu paham dengan ilmu kesehatan, yang ku dengar, sel darah merah gadis cantik itu hanya sedikit karena diserangnya oleh sel darah putih. Dengan kata lain, leukimianya sudah parah. Tentulah, ketika orang yang kita cintai sakit, dunia seakan-akan berwarna abu. Untuk sebagian orang, mungkn ini berlebihan. Tapi, percayalah, aku paham betul perasaannya, karena aku juga mengalaminya ketika melihat dia sakit hati. Intinya, aku ikut sedih karena dia bersedih hati. Meskipun dia mengkhawatirkan gadis yang ia cintai, aku tak peduli. Yang kurasakan adalah, aku khawatir karena dia sedang bersedih hati hingga dia lupa makan. Kurasa, dia amat sangat mencintainya. Sudah sangat jelas, mereka saling mengenal lebih dari separuh hidupnya. Rumah mereka sangat dekat. Dan kemanapun selalu bersama. Hanya mungkin, Tuhan belum mengijinkan mereka bersama dalam satu ikatan. Begitupun aku yang belum dijinkan untuk bersamanya. Pria yang kucintai sampai saat ini, meninggal dengan sebab mengalami kram lambung yang akut. Mungkin selama seminggu berturut-turut, dia terlaru larut dalam kekhawatiran sehingga lupa bahwa perutnya perlu diisi. Ketika empat jam sebelum dia pulang ke pangkuan-Nya, aku memaksanya untuk makan. Diapun menuruti kata-kataku untuk yang pertama kalinya. Sepertinya, lambungnya tidak bisa berkoordinasi sehingga Kang Arya harus mengalami sakit perut yang luar biasa, yang akhirnya dilarikan ke UGD. Sekitar tiga jam dia berada di ruang operasi. Aku risau, aku resah, aku gelisah, aku kalut, aku bimbang, aku khawatir. Lampu operasi terus menyala dengan memutarkan warna merah dan biru. Beberapa saat kemudian, akhirnya lampu itu mati. Dokter pun keluar dengan wajah beralur sendu. Arya Praheswaranata tidak bisa diselamatkan. Oh. …… …… Aku tidak bisa berkata apa-apa. Terkadang, rasa sakit hati yang telah mencapai puncaknya, disaat ingin meraung-raung, berteriak sambil menangis, ternyata mati rasa. Aku tidak merasakan apa-apa. Air mata yang sejak tadi tumpah mendadak kering. Seluruh badanku tiba-tiba menjadi beku dan tak bisa kugerakkan. Apakah penyabab dari semua ini adalah aku? Seharusnya, sejak awal aku memaksanya makan. Tak peduli sekeras kepala apapun dia. Seharusnya, aku bisa membujuknya makan teratur. Seharusnya, aku selalu disampingnya. Seharusnya, aku tidak meninggalkannya demi ikut konferensi penulis remaja di Bandung. Seharusnya……..
Tiada guna lagi aku menyesali semua yang telah berlalu. Kupikir dia bahagia, satu jam pulangnya dia kepada Allah, aku mendengar bahwa padminya juga pulang. Aku iri. Matipun tetap bersama. Dan penyebab kematian utamanya adalah dia tidak makan karena mencemaskan gadis itu. Dan setelah mati, gadis itu menyusulnya. Apakah mereka saling berbalas budi? Sampai matipun, membalas budi? Cintanya sangat besar. Gadis itu beruntung, mendapatkan cinta yang tulus dari orang yang begitu hebatnya. Namun, mengapa gadis itu tidak merasakannya? Atau pura-pura tidak merasakannya? Entahlah. Sebesar apapun cintanya kepada gadis itu, yang kutahu, cintakulah yang paling besar kepadanya. Selamat jalan, Kang Arya. Berbahagialah dengannya dan Allah disana. Maaf, hanya ini yang bisa kuberikan. Doaku selalu menyertaimu