13 II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Menurut Komisi Burtland pembangunan berkelanjutan bukan merupakan kondisi yang kaku mengenai keselarasan, namun lebih dari itu diartikan sebagai suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Sesuai dengan pendapat Munasinghe (1993) dalam mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (modifikasi dari Munasinghe, 1993)
30b
Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial
(Pearce and Turner, 1990).
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai paradigma pembangunan yang diarahkan untuk tidak saja memenuhi kebutuhan generasi saat ini melainkan juga generasi mendatang. Menurut Setiawan (2004) konsepsi pembangunan berkelanjutan mengandung tiga prinsip utama yakni : (1) prinsip ekologis atau lingkungan (environmental/ecological principles); (2) prinsip sosial-politis (socio-political principles); dan (3) prinsip ekonomi (economi principles) Dalam
konteks
pembangunan
berkelanjutan,
Munasinghe
(1993)
menawarkan konsep pembangunan yang seimbang antara tiga dimensi berkelanjutan yakni ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan memerlukan analisis multikriteria. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak dapat diukur hanya dengan satu dimensi, diperlukan interaksi analisis tiga dimensi berkelanjutan yakni masalah lingkungan, ekonomi dan sosial didalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Salah satu aspek lingkungan yang saat ini banyak mendapat perhatian berbagai pihak adalah upaya mewujudkan perencanaan penggunaan lahan secara optimal yang dapat mendorong pencapaian tujuan pembangunan perdesaan secara berkelanjutan. Seperti telah dijelaskan di atas, dalam pembangunan berkelanjutan salah satu fokus utamanya adalah perhatian terhadap lingkungan, begitu pula dalam implementasi
pembangunan
berkelanjutan
yang
sangat
sinergi
dengan
pengelolaan
lingkungan. Adapun pengelolaan lingkungan ini didefinisikan
sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
30b pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU Nomor 23 tahun 1997). Definisi pengelolaan lingkungan hidup ini cakupannya luas, karena meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan sekaligus juga mencegah berbagai hal yang mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Hal ini sesuai juga dengan pernyataan dalam Undangundang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya maka pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi keijaksanaan penataan, pemanfaatan
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan
dan
pengendalian lingkungan hidup adalah agar manusia hidup lebih nyaman, sehat, tenteram dan bebas beraktivitas. Sumberdaya alam sering dieksploitasi secara berlebihan, sehingga muncul ketidak seimbangan lingkungan. Dalam konteks usahatani (agribisnis), keberlanjutan diartikan sebagai kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem ditingkatkan sehingga tetap produktif untuk memenuhi kebutuhan manusia (Reijntjes et al., 1999).
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa paradigma
pembangunan berkelanjutan dalam sektor pertanian dalam arti luas, termasuk di dalamnya perikanan, termasuk pangan menjadi sangat penting. Kondisi tersebut dapat diupayakan melalui pengelolaan agribisnis berdasarkan agroekosistem yang mencerminkan interaksi pembudidaya dengan potensi sumberdaya alam. Kondisi ini menurut Mosher (1981), FAO dan WHO (1992) merupakan salah satu strategi yang dapat mempercepat pencapaian tujuan kegiatan usaha berbasis pertanian, termasuk di dalamnya perikanan, sekaligus juga merupakan komponen dalam sistem ketahanan pangan yang meliputi aspek ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan secara berkelanjutan. Dan menurut Suryana (2002) ketiga aspek tersebut merupakan subsistem yang saling berinteraksi secara berkesinambungan.
30b
2.2 Pembangunan Pertanian, Perikanan dan Lingkungan Dalam pembangunan masyarakat yang terintegrasi dan berkesinambungan, kehidupan dan berbagai implikasi sosial diperhitungkan, begitu juga potensipotensi lingkungan hidup setempat dimanfaatkan dengan tetap menjaga kelestariannya (Koestoer, 1995).
Ada dua hal yang menjadi perhatian pada
Konsep Bruntland dalam pembangunan yaitu : (1) menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi, (2) menyangkut perhatian pada kesejahteraan pada generasi yang akan datang (Fauzi, 2004). Pada hakekatnya pembangunan yang berkesinambungan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang tanpa merugikan generasi yang akan datang (Anwar, 2005). Sektor pertanian akan tetap memegang peranan strategis dalam perekonomian rakyat, disamping berfungsi dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dalam artian luas juga meningkatkan kesempatan kerja serta usaha terutama perdesaan (Anwar, 2005). Kondisi yang sama juga diduga akan terjadi pada sektor perikanan.
Oleh karenanya, maka seperti halnya pada bidang
pertanian, kegiatan perikanan juga dituntut untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup pembudidaya ikan, mengisi dan memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Menurut Anwar (2005) dalam mewujudkan pertanian yang tangguh maka peranan sistem agribisnis yang berorientasi pada komersialisasi usaha atau industri perdesaan dan perikanan rakyat modern sangat dibutuhkan. Kondisi ini juga diduga akan terjadi pada sektor perikanan. Permasalahan
yang
ada
dalam
pembangunan
perikanan
adalah
keseimbangan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan dengan upaya mempertahankan
kelestarian
lingkungan.
Pembangunan
yang
berbasis
sumberdaya alam yang tidak mengindahkan aspek lingkungan akan berdampak negatif pada lingkungan, karena kapasitas daya dukung dan sumberdaya alam itu terbatas (Fauzi, 2004). Ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam tidak dapat dilakukan secara terus menerus (Meadow et al., 1972 dalam Fauzi, 2004) tanpa dilakukan upaya keberlanjutannya.
Perlu diupayakan suatu sistem perikanan yang mencari
30b optimasi
dan
kontinuitas
penggunaan
sumberdaya
lokal
dengan
mengkombinasikan komponen-komponen yang berbeda dari suatu usaha tani yang saling melengkapi (komplementer) dengan memiliki kemungkinan pengaruh yang sinergik yang besar. Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan suatu usaha dalam pemenuhan kebutuhan akan hasil-hasil perikanan secara bijak untuk generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anwar, 2005). Kondisi yang sama juga diduga sama pada pembangunan perikanan berkelanjutan, Oleh karenanya maka pembangunan perdesaan melalui sistem perikanan berkelanjutan selaras dengan pendekatan agropolitan.
2.3 Perikanan Berkelanjutan Pada dasarnya kegiatan pertanian dalam arti luas, di dalamnya mencakup kegiatan perikanan dan kegiatan lain seperti peternakan, kehewanan, perkebunan dan kehutanan. Kegiatan ini sudah dilakukan di berbagai lokasi, bahkan tidak jarang kegiatan-kegiatan pertanian tersebut dilakukan secara terpadu. Dalam rangka mencapai kegiatan pertanian yang dapat berjalan secara kontinyu dan menguntungkan masyarakat, kita mengenal istilah pertanian berkelanjutan. Berkenaan dengan pertanian berkelanjutan ini FAO mendefinisikan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) juga diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya pertanian dalam arti luas untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan SDA. Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha pertanian melalui penerapan teknologi pertanian dan kelembagaan secara berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan. Kesinambungan usaha dapat diartikan bahwa usaha tani tersebut dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi petani dan keluarganya,
30b sehingga pemilihan jenis komoditas dan usaha harus yang bernilai ekonomis, pasar tersedia dan produksi kontinyu (Departemen Pertanian, 2005). Mengingat perikanan merupakan salah satu kegiatan dari pertanian secara umum, maka seperti halnya pada pertanian berkelanjutan, pada dunia perikananpun kita mengenal istilah perikanan berkelanjutan.
Pada dasarnya
perikanan berkelanjutan merupakan kegiatan perikanan yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam. Seperti halnya dengan istilah minapolitan yang merupakan pengembangan dari agropolitan, maka istilah perikanan berkelanjutan ini juga berasal dari pengembangan pertanian berkelanjutan. Sejalan dengan definisi tersebut, maka secara lebih luas pembangunan perikanan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan (lahan, air dan sumberdaya genetik) melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara berkesinambungan baik dari waktu ke waktu maupun dari generasi ke generasi. Aktivitas
kegiatan
ekonomi
yang
mencerminkan
pembangunan
berkelanjutan dapat dilihat kualitas lingkungan yang ada. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan adalah: (1) struktur: jenis barang dan jasa yang diproduksi dalam lingkungan, (2) efisiensi: input yang digunakan untuk menghasilkan per unit output dalam perekonomian, (3) substitusi: kemampuan substitusi sumberdaya langka dengan bahan lain, dan (4) teknologi bersih lingkungan: kemampuan mempengaruhi kerusakan lingkungan per unit dari penggunaan input atau output yang dihasilkan. Sistem usaha pertanian dikatakan berwawasan lingkungan apabila dalam pengelolaannya menerapkan teknologi maju yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan tidak menimbulkan eksternalitas negatif kepada lingkungan biofisik maupun sosial ekonomi pada tingkat mikro dan makro (Kasryno, 1998). Berdasarkan pendapat tersebut maka system usaha perikanan yang berwawasan lingkunganpun merupakan kegiatan usaha yang tidak saja menimbulkan keuntungan secara ekonomi, namun juga tidak menimbulkan eksternalitas negatif
30b kepada lingkungan biofisik maupun sosial ekonomi pada tingkat mikro dan makro. Sejalan dengan hal itu menurut Kasryno (1998) pertanian berkelanjutan mengandung arti bahwa dalam jangka panjang secara simultan harus mampu: (1) mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan, (2) mampu menyiapkan insentif sosial dan ekonomi bagi semua pelaku dalam sistem produksi, (3) mampu memproduksii pangan secara cukup dan setiap penduduk memiliki akses terhadap pasokan pangan. Mengingat pertanian dalam arti umum di dalamnya mencakup kegiatan perikanan, maka perikanan berkelanjutanpun dalam jangka panjang harus mampu melaksanakan ketiga hal tersebut di atas.
2.4 Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Agropolitan Konsep pembangunan agropolitan dibahas oleh John Friedmann dan Mike Douglas pada suatu seminar di Nagoya (1975), dengan judul “Pengembangan Agropolitan : Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia”. 1 Menurut pemikiran Jhon Friedmann dan Mike Douglass, konsep agropolitan terdiri dari distrik-distrik agropolitan. Distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2. Dalam distrik agropolitan ini akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10.000-25.000 jiwa. Batas distrik dinyatakan dalam radius sejauh 510 km atau kurang lebih setara dengan 1 jam perjalanan dengan sepeda. Dimensi luasan geografis wilayah agropolitan ini akan menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000-150.000 jiwa yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Disini Friedmann tidak membedakan secara spesifik bentuk pertanian modern atau tidaknya, tetapi lebih cenderung menggunakan referensi pertanian modern yang ada di Amerika atau di Eropa. Menurut definisi ini apabila besaran penduduk yang menjadi ukuran, maka suatu distrik agropolitan setara dengan 1 wilayah pengembangan partial (WPP) permukiman transmigrasi. Namun bila dilihat dari luas wilayahnya (sekitar 100250 km2) atau 10.000 - 25.000 Ha, ukurannya dapat lebih kecil dari luasan 1 WPP. Secara administratif luasan dan besaran penduduk ini setara dengan luasan
30b wilayah Kecamatan, dapat berpenduduk sampai dengan 25.000 jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai suatu simpul jasa distribusi (Hadjisaroso12) Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem & usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan perikanan (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Suwandi, 2005). Berdasarkan definisi tersebut, maka agropolitan (mina = perikanan : politan = kota) dapat diartikan sebagai kota perikanan yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem & usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan perikanan (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan kawasan minapolitan, terdiri dari kota perikanan dan desa-desa sentra produksi perikanan yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administrasi Pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi yang ada. Pembangunan agropolitan merupakan model pembangunan yang dapat mengintegrasikan pembangunan sistem dan usaha agribisnis secara simultan dan harmonis dengan pembangunan wilayah dalam suatu kluster industri, untuk mendukung
peningkatan produksi pertanian, mendukung tumbuhnya industri
agro-processing skala kecil-menengah dan mendukung kemudahan dalam pemasaran hasil-hasil pertanian sampai outletnya. Segala aktivitas pengembangan ke-lima subsistem agribisnis, harus diorganisasikan dan diintegrasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara kawasan yang menjadi sentra produksi, sentra industri pengolahan, serta sentra pemasaran hasil, untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan di kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan (Harun, 2004) mencakup sistem produksi, distribusi dan pemerintah yang mempunyai 20 sampai 100 ribu populasi, dengan modal sebesar 40-60 ribu (Friedmann, 1979).
Besaran ini merupakan ukuran efisien untuk mencapai
ekonomi eksternal pada produksi dan pasar lokal untuk keluaran industri yang
1 Konsep pengembangan wilayah dengan menggunakan simpul-simpul jasa koleksi dan distribusi barang ini dikembangkan oleh Dr. Poernomosidhi Hadjisaroso (alm) ketika beliau menjadi Dirjen Bina Marga, Dep. PU. untuk pengembangan dan pembinaan sistem jaringan jalan di Indonesia.
30b kecil. Mengacu pada hal tersebut maka kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan mencakup sistem produksi, distribusi dan pemerintah yang mempunyai 20 sampai 100 ribu populasi, dengan modal sebesar 40-60 ribu. Pengembangan kawasan agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah (Anwar, 2005). Pengembangan agropolitan tidak berarti mengubah perdesaan menjadi perkotaan, tetapi bagaimana potensi desa dapat dikembangkan melalui peningkatan kemampuan dan peran aktif masyarakat dan dengan fasilitasi pemerintah yang konsisten dalam mengelola sumberdaya perikanan secara arif untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka.
Oleh karena itu agropolitan merupakan gerakan
masyarakat dalam membangun ekonomi berbasis pertanian di perdesaan. Adapun prinsip dasar pengembangan kawasan agropolitan (Suwandi, 2005) : 1. Ciri-ciri kawasan agropolitan a. Pendapatan masyarakat pada umumnya bersumber dari pertanian (agribisnis) b. Kegiatan agribisnis (ada komoditi unggulan) c. Hubungan kota dan kawasan (timbal balik) yang harmonis d. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip suasana Desa Modern. 2. Persyaratan kawasan agropolitan a. Memiliki lahan yang didukung oleh sumber daya alam (sda) yang memadai dan telah memiliki komoditi unggulan yang sesuai budaya lokal b. Memiliki kelembagaan dan prasarana/sarana agribisnis c. Pasar (pasar untuk hasil pertanian, sarana pertanian, pasar lelang/sub agribisnis) d. Lembaga keuangan (bank dan non bank/LKM)
30b e. Balai penyuluhan pertanian sebagai klinik konsultasi agribisnis (tempat agribisnis, sumber informasi, dan pusat pemberdayaan dan usaha agribisnis) f. Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis (termasuk inovasi teknologi tepat guna untuk teknologi pertanian dan produk olahannya) g. Prasarana aksebilitasi (jalan, irigasi, dsb) h. Memiliki kelembagaan petani (koperasi, asosiasi petani/gapoktan, tani, kelompok usaha) i. Memiliki sarana dan prasarana umum (listrik, telepon, dsb) j. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial k. Menjamin kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, sosial budaya dan keharmonisan hubungan kota desa Ditinjau dari aspek tata ruang maka secara umum struktur hierarki sistem kota-kota agropolitan dapat digambarkan sebagai berikut :3 Orde yang paling tinggi (kota yang menjadi outlet ) dalam lingkup wilayah agropolitan skala besar yang berfungsi sebagai : ¾ Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah (nasional dan
internasional) dan bila berada di tepi pantai maka kota ini
memiliki pelabuhan samudra ¾ Pusat berbagai kegiatan final manufacturing industri pertanian (packing), stock pergudangan dan perdagangan bursa komoditas ¾ Pusat berbagai kegiatan tertier agribisnis, jasa perdagangan, asuransi pertanian, perbankan dan keuangan ¾ Pusat berbagai pelayanan (general agro industri services) Orde kedua (kota tani utama/agropolis) yang berfungsi sebagai : ¾ Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditas sejenis ¾ Pusat kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agribisnis
3
DR. Uton Rustan Harun, dalam kertas kerja No : KK-07-002, yang berjudul Tinjauan Kembali Konsep Agropolitan dalam Konsep Pengembangan Wilayah di Indonesia, halaman 24
30b ¾ Pusat pelayanan agro industri khusus (special agro-industry services), pendidikan, pelatihan dan pengembangan tanaman unggulan Orde ketiga (kawasan yang menjadi sentra produksi pertanian) yang berfungsi sebagai ¾ Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian ¾ Pusat koleksi komoditas pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah industri ¾ Pusat penelitian, pembibitan dan percontohan komoditas ¾ Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian ¾ Koperasi dan informasi pasar barang perdagangan ¾ Pusat produksi komoditas pertanian primer yang di pasok dari beberapa desa-desa hinterland yang ada disekitarnya.
Gambar 4. Struktur dan hierarki sistem kota-kota agropolitan
2.5 Keberlanjutan Pembangunan Perikanan Keberlanjutan pembangunan pertanian dipengaruhi oleh jenis komoditas yang diusahakan.
Hal yang sama juga akan terjadi pada keberlanjutan
30b pembangunan perikanan yang sangat dipengaruhi oleh jenis komoditas yang diusahakan.
Komoditas unggulan merupakan jenis pilihan komoditas yang
diusahakan pada daerah setempat yang memiliki sifat-sifat unggul bagi daerah tersebut bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Sifat unggul pada kegiatan penelitian yang akan dilakukan ini dapat ditera antara lain dengan : (1) dari segi ekologi pengusahaan komoditas pada suatu lahan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di masa sekarang tanpa merugikan generasi yang akan datang, (2) dari segi ekonomi komoditas yang diusahakan menguntungkan secara finansial dengan jangkauan pasar yang luas dan permintaan yang tinggi, (3) dari segi sosial pengusahaan komoditas didukung dengan adanya partisipasi masyarakat maupun pemerintah dan (4) dari segi kelembagaan komoditas yang diusahakan didukung pula oleh kebijakan maupun sumberdaya pendukung lainnya.
Pembangunan
perdesaan melalui sistem pertanian berkelanjutan yang didukung oleh komoditi unggulan dalam pendekatan agropolitan diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi dan menjawab berbagai permasalahan kesenjangan antara desa dengan kota. Seperti halnya pada pembangunan perdesaan melalui sistem pertanian berkelanjutan, maka pada pembangunan perdesaan melalui sistem perikanan berkelanjutan yang didukung oleh komoditi unggulan dalam pendekatan minapolitan juga akan dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi dan menjawab berbagai permasalahan kesenjangan antara desa dengan kota, sehingga pada akhirnya dapat mencegah terjadinya urbanisasi dari perdesaan ke perkotaan. Mengingat masih belum ada acuan pada minapolitan, keberlanjutan perikanan dari setiap aspek masih mengacu pada aspek-aspek yang ada pada agropolitan.
2.5.1 Segi Ekologi Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan khususnya untuk keperluan produksi pertanian memerlukan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas dan juga melakukan tindakan konservasinya untuk penggunaan masa mendatang (Reijntjes, 1992). Kondisi yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk kegiatan
30b minapolitan.
Melihat hal tersebut maka dibutuhkan suatu perencanaan
penggunaan lahan menyeluruh mengenai tersedianya informasi faktor fisik lingkungan meliputi sifat dan potensi lahan dengan evaluasi sumberdaya lahan yang berkaitan dengan kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2003). Djaenudin et al. (2003) juga mengemukakan bahwa definisi evaluasi sumberdaya lahan adalah proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan dengan menerjemahkan informasi-informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperoleh dalam bentuk yang dapat dipahami oleh para praktisi seperti petani. Hasil evaluasi sumberdaya lahan dapat digunakan untuk membantu perencanaan kegiatan berdasarkan kesesuaian lahan pertanian yang dibutuhkan dengan harapan produksi yang akan diperoleh. Salah satu sistem evaluasi lahan yang banyak dikembangkan adalah sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan yang dirancang untuk pemetaan tanah tingkat semi detil pada skala 1 : 50.000 (Djaenudin et al., 2003).
Evaluasi sumberdaya lahan dibagi
berdasarkan penggunaan lahan yang dipakai diarahkan pada beberapa kelompok yaitu: kelompok tanaman pangan, kelompok tanaman hortikultura, kelompok tanaman perkebunan, kelompok tanaman hijauan pakan ternak dan pertanian. Berbeda dengan evaluasi sumberdaya lahan untuk kegiatan pertanian, yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertania, maka pada evaluasi lahan untuk kegiatan perikanan, parameter utamanya adalah keberadaan air untuk memelihara ikan. Selanjutnya setelah ada air, parameter berikutnya di dasarkan pada kualitas air yang menjadi persyaratan hidup dan kehidupan ikan yang hidup di dalamnya. Masalah lingkungan yang banyak terjadi di bidang pertanian salah satunya disebabkan karena eksploitasi lahan yang berlebihan.
Beberapa diantaranya
adalah penggunaan pestisida dan pupuk buatan yang semakin meningkat dan pengolahan lahan serta penggunaan air (irigasi) secara berlebihan menyebabkan degradasi kesuburan tanah dan penyusutan air tanah (Coen et al., 1992). Melihat kenyataan tersebut dibutuhkan suatu cara pengolahan lahan maupun produksi agroindustri yang mampu memaksimalkan penggunaan limbah yang dihasilkan
30b dari produk yang dihasilkan dan meminimalkan kegiatan pencemaran lingkungan yang mempercepat kerusakan tanah tersebut. Kegiatan analisis penentuan kualitas lingkungan adalah salah satu cara untuk mengkaji kegiatan pertanian dengan komoditas yang mampu menekan eksploitasi lahan yang berlebihan tetap terjaga. Berbeda dengan pertanian yang masalah lingkungannya didominasi oleh eksploitasi lahan yang berlebihan, pada perikanan ada indikasi bahwa yang menjadi masalah utama justru masalah pencemaran air yang pada umumnya berasal dari kegiatan antropogenik (Riani dan Cordova, 2008).
Selanjutnya
dikatakan bahwa masalah lingkungan lain pada perikanan adalah alih fungsi ekosistem perairan untuk kegunaan lain terutama diperuntukan bangunan serta pendangkalan akibat erosi.
2.5.2 Segi Ekonomi Dari segi ekonomi ciri yang menonjol pada pengelolaan lahan dan komoditas yang dilakukan petani adalah terbatasnya sumberdaya, wawasan dan teknologi yang dimiliki serta kekurangan modal (Soekartawi, 1986). Kondisi ini juga terjadi pada kegiatan usaha perikanan. Segala keterbatasan pada bidang pertanian secara umum, termasuk di dalamnya perikanan, diharapkan dapat diminimalkan dengan penentuan komoditas yang layak (feasible) secara ekonomi dengan biaya manfaat yang lebih dibandingkan dengan komoditas lainnya atau memiliki keunggulan komparatif.
Beberapa faktor yang dapat mengubah
keunggulan komparatif diantaranya adalah: a. Pengembangan pola usahatani baru atau perbaikan teknologi. b. Perubahan biaya produksi dan harga relatif komoditi c. Perubahan biaya angkutan seperti bila jalan diperbaiki atau rusak. d. Perbaikan kualitas lahan seperti karena drainase dan irigasi. e. Pengembangan produk substitusi yang lebih murah. Dengan demikian setiap daerah dapat memperbaiki posisi ekonominya dengan komoditi tanaman atau ternak dengan mencapai keunggulan komparatif komoditas yang diusahakan.
30b
2.5.3
Segi Sosial dan Kelembagaan Kondisi sumberdaya dan ekosistem pertanian (secara umum, termasuk
perikanan di dalamnya) di Indonesia relatif beragam, dan hal itu membutuhkan variasi jenis (kompleks) teknologi untuk menanganinya sesuai dengan kondisi spesifik lokasi. Penyediaan teknologi (usahatani) secara fisik dari luar, terutama yang diperkenalkan secara top-down (oleh pemerintah), belum tentu sesuai dengan permasalahan atau agro-region setempat. Kliksberg (1999) mengatakan bahwa faktor kunci keberhasilan pembangunan adalah modal sosial dan budaya (social capital and culture).
Jika konsep dasar atau paradigma yang
melatarbelakangi pembangunan pertanian masih terus-menerus mengecilkan peran sosiobudaya, maka kegagalan demi kegagalan tinggal menghitung bilangan tahun ke tahun atau (bahkan) musim ke musim. Oleh sebab itu sangat wajar jika di berbagai tempat ditemui gejala bahwa kebijakan atau program pembangunan pertanian tidak bisa diterima oleh sistem sosial setempat.
Elemen kebijakan
sosio-budaya yang diperkirakan akan berpengaruh besar terhadap percepatan transformasi usaha pertanian dan usaha perikanan (paling tidak) mencakup lima hal, yaitu: kompetensi sumberdaya manusia (SDM), tata nilai, keorganisasian usaha pertanian atau perikanan, kepemimpinan, dan struktur sosial. 2.6
Budidaya Perikanan Berkelanjutan Budidaya ikan (aquakultur) adalah adanya proses memelihara oranisme air
dibawah kondisi yang terkendali atau semi-terkendali, yang dapat dilaksanakan dan berpotensi untuk dikembangkan pada perairan waduk.
Teknologi yang
diterapkan pada budidaya ikan lebih bersifat bio-teknologis, yang dalam hal ini, pertumbuhan ikan dapat diupayakan lebih pesat, perkembangbiakannya dikendalikan dan atau mortalitasnya ditekan (Rifai, 1989). Sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan tumbuhan teknoloi tidak hanya menuntut pencurahan pemikiran juga karya dan besar kecilnya biaya sesuai dengan rumit tidaknya teknologi yan diterapkan. Teknologi yang sederhana memerlukan masukan yang relatif sedikit, sebaliknya yang rumit memerlukan masukan yang lebih banyak, yang selanjutnya mengarah kepada
30b usaha yang komersil. Untuk itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan budidaya, antara lain adalah jenis komoditas ikan yang diusahakan harus berorientasi kepada pasar, termasuk di dalamnya adalah harga, jaminan pasokan dan kualitas produk (Roice, 1987). Adapun jenis komoditas ikan yang relatif mudah dibudidayakan, banyak diminati berbagai kalangan dan harganya lumayan tinggi serta masuk pada komoditi yang menguntungkan jika dibudidaya adalah ikan lele.
2.7 Rapid Apraissal Analysis Analisis keberlanjutan pengelolaan suatu kawasan atau keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis rapid apraissal analysis atau yang dikenal dengan istilah rapfish. Dalam MDS ini pada umumnya dilihat keberlanjutan dari beberapa dimensi yang menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi ini akan memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari penentuan status ini pada akhirnya akan menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan pengelolaan suatu kawasan. Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher, 1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Pada pendekatan MDS, data yang diperoleh pada umumnya dianalisis dengan menggunakan software pendukung MDS dengan menggunakan software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment techniques for fisheries) Rapid apraissal (RAP) adalah teknik yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisiplin yang dikembangkan
30b oleh University of British Columbia, Canada (Pitcher, 1999 serta Fauzi dan Anna, 2005), namun saat ini RAP dimodifikasi untuk mengevaluasi keberlanjutan berbagai pembangunan yang saat ini dilakukan, karena pada dasarnya RAP merupakan teknik yang bersifat multidisiplin dan dengan sedikit modifikasi dapat digunakan untuk mengevaluasi comparative sustainability dari sejumlah atribut/indikator yang mudah untuk dibuat skor-nya.
Oleh karena itu maka
apilkasi dari RAP ini juga dapat digunakan untuk melihat keberlanjutan dari pembangunan minapolitan beserta infrastrukturnya.
Adapun yang dimaksud
dengan atribut/indikator di sini adalah variabel atau komponen ekosistem serta variabel dan komponen pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status kriteria. Penggunaan analisis RAP ini bisa mencakup berbagai aspek seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum, kelembagaan, dan sebagainya, sehingga dari sini akan diperoleh gambaran yang jelas dan jelas mengenai kondisi saat tersebut.
Sebagai contoh kaitannya dengan pembangunan minapolitan
beserta infrastrukturnya, hasil analisis RAP-nya akan memperoleh gambaran situasi pembangunan minapolitan beserta infrastrukturnya yang ada saat ini sekaligus akan dapat dibuat kebijakannya yang tepat dalam rangka menciptakan pembangunan minapolitan beserta infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Hasil analisis keberlanjutan ini dapat dilanjutkan dengan
analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga dari sini akan dapat ditentukan urutan prioritas kebijakannya, dan selanjutnya dari faktor-faktor dominannya
akan
dibangun
model
pembangunan
minapolitan
beserta
infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2005) ada lima tahapan yang harus dilalui dalam prosedur RAP indeks keberlanjutan sumberdaya, yakni: 1. Menganalisis data yang diteliti, baik data statistik maupun data yang berasal dari studi literatur maupun data yang berasal dari hasil pengamatan di lapang (kondisi eksisting) 2. Membuat skoring yang mengacu pada literatur yang sudah ada, untuk keperluan ini biasanya menggunakan excell)
30b 3. Melakukan analisis multi dimentional scalling (MDS) dengan menggunakan software SPSS, sehingga dari sini akan dapat ditentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL algoritma 4. Melakukan rotasi, sehingga akan dapat ditentukan posisi sumberdayanya pada ordinasi bad dan good.
Untuk keperluan ini biasanya digunakan
excell dan visual basic 5. Melakukan analisis sensitifitas (analisis leverage) dan analisis montecarlo sehingga dapat memperhitungkan aspek ketidak pastiannya.
2.8 Analisis Prospektif Analisis prospektif adalah analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Hasil dari analisis prospektif ini akan diperoleh informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam sistem berdasarkan kebutuhan stakeholders yang terlibat dalam sistem tersebut. Untuk keperluan analisis prospektif ini akan ditentukan faktor kunci dan tujuan strategis. Pada penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya didasarkan pada pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai stakeholders yang terkait dengan system yang akan dikaji dengan cara melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) di wilayah studi melalui bantuan kuesioner (Trayer, 2000). Menurut Bourgeois (2004) tahapan analisis prospektif ada tiga yaitu: (1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang di kaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan kebergantungan dari masing- masing faktor ke dalam 4 kuadran utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario
30b dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Analisis prospektif juga akan menentukan faktor kunci keberlanjutan pengelolaan suatu system. Pada tahap penentuan faktor kunci ini seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit yang sudah didapat dari hasil analisis MDS.
Untuk keperluan analisis prospektif ini, data-data yang
digunakan berasal dari pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dengan pengelolaan sistem tersebut.
Adapun cara yang dilakukan pada pengumpulan
data tersebut adalah wawancara mendalam dengan bantuan kuesioner dan melalui diskusi. Pada analisis prospektif ini akan dilihat pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor serta akan melihat pengaruh timbal baliknya yang digambarkan dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.