1
GAMB BARAN HISTOPA H ATOLOG GI BURSA A FABRIICIUS DA AN LIMP PA AYAM M BROIL LER YAN NG DIUJI TANTAN NG VIRU US AV VIAN INF FLUENZ ZA H5N1 SETELA S H PEMB BERIAN EKS STRAK SAMBILO S OTO (And drographiis panicullata Nees))
IKA VINA RO OSEVITA A B04062 2635
FAK KULTAS KEDOK KTERAN HEWAN N IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2010 0
i
PERNYATAAN MENGENAI SUMBER SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius dan Limpa Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza H5N1 Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Ika Vina Rosevita NRP B04062635
ii
ABSTRACT IKA VINA ROSEVITA (B04062635). Histopathology Study of Bursa of Fabricius and Spleen of Broiler which were Challenged by H5N1 Avian Influenza Virus
After
Treatment
Sambiloto
Extract
(Andrographis
paniculata Nees). Under direction of Agus Setiyono and Wiwin Winarsih This research aim was to study the histopathology of lymphoid organ bursa of Fabricius and spleen of broiler which were challenged by H5N1 AI virus after treatment medicinal plant extract of Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Fourteen chickens were divided into four groups with different treatment that are K1 (without the extract of Sambiloto, without the AI virus infection), K2 (without the extract of Sambiloto, infected with AI virus), P1 (given the extract of Sambiloto without the AI virus infection), and P2 (given Sambiloto extract and infected with AI virus). Bursa of Fabricius and spleen were taken for histopathological preparations, and then were observed using light microscopy. Histopathological observations showed that the H5N1 AI virus infection causes oedema, necrotic, and depletion of lymphoid follicles on the bursa of Fabricius; and congestion, hemorrhage, and depletion of lymphoid follicles in the spleen. The treatment of extract of Sambiloto before H5N1AI virus infection can reduce lesion in the bursa of Fabricius and spleen. Sambiloto extract indicated potentially inhibit the infection of H5N1 avian influenza viruses. Keywords: sambiloto extract, Avian Influenza, bursa of Fabricius, spleen
iii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
GAMBARAN HISTOPATOLOGI BURSA FABRICIUS DAN LIMPA AYAM BROILER YANG DIUJI TANTANG VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1 SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)
IKA VINA ROSEVITA B04062635
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
v
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Gambaran Histopatologi bursa Fabricius dan Limpa Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza H5N1 Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees).
Nama
: Ika Vina Rosevita
NRP
: B04062635
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Menyetujui,
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004
Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si, APVet NIP. 19630614 199002 2 001
Mengesahkan, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001
Lulus Tanggal :
vi
PRAKATA
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan
rahmat
dan
karunia-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius dan Limpa Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza H5N1 Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si atas bantuan, bimbingan dan arahan selama penelitian sampai akhir penullisan skripsi ini. 2. Dr. drh Koekoeh Santoso dan Dr. drh. Joko Pamungkas M.Sc atas kritik, saran, dan koreksi yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 3. PT.Vaksindo-Gunung Putri Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor, atas fasilitas dan bantuan selama penelitian. 4. Semua staf dan karyawan Laboratorium Histopatologi Bagian Patologi Departemen KRP, FKH-IPB. 5. Bapak Rusman ST dan ibu Sri Muji Astuti, yang telah sabar mendidik, mendoakan dan mendorong untuk keselamatan dan kesuksesan anakanaknya serta memberikan kasih sayang dan cintanya yang tak terbatas. 6. Adik-adikku Bagus Rama Aditya dan Bagas Yoga Aditama yang selalu menemani. 7. Sahabatku Anggi, Gilang, Ilmi, atas persahabatan, dukungan, motivasi dan kerjasamanya. 8. Purwa Novi Murtianto atas dukungan dan motivasi. 9. Tim penelitian Ipin, Sonny, Sekar, Rico, Ardhinta, Laras, Anggun, Zuhra, Mbak Ade, Corri atas kerjasama, persahabatan dan dukungannya.
vii
10. Aesculapius 43, teman-temanku seperjuangan Igit, Abe, Mamato, Sipo, Achie, Putri, Tika, Mbambit, dan Bahtiar atas kebersamaannya. 11. Teman-teman himpro SATLI atas dukungannya. 12. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Keluarga Pati (IKMP) atas kebersamaan dan dukungannya. 13. Keluarga besar Wisma Asri atas dukungannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bemanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
viii
RIWAYAT HIDUP
Ika Vina Rosevita, lahir di Pati pada tanggal 5 November 1988 dari ayah Rusman dan ibu Sri Muji Astuti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis bersekolah di SD Pati Lor 04 Pati, SMP N 1 Pati, SMU N 1 Pati, dan melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun 2006. Fakultas Kedokteran Hewan merupakan pilihan pertama penulis. Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, penulis aktif di organisasi diantaranya sebagai Divisi Kesekretariatan di Lembaga Struktural Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) dari tahun 20072008, anggota Divisi Eksternal Himpro Satwaliar tahun 2007-2008, dan Ketua Divisi Eksternal Himpro Satwaliar tahun 2008-2009. Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa ke-organisasian diantaranya Steril, UKM Seroja putih dan Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati. Penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh IPB. Penulis pernah mengikuti magang diantaranya Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi.
ix
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. v PRAKATA ............................................................................................................ vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1 1.2 Tujuan ....................................................................................................................... 2 1.3 Manfaat .................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3 2.1 Flu Burung (Avian Influenza) ................................................................................... 3 2.2 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) .............................................................. 6 2.3 Bursa Fabricius (BF) ................................................................................................. 8 2.4 Limpa ...................................................................................................................... 10
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 12 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................................. 12 3.2 Materi Penelitian ..................................................................................................... 12 3.2.1 Hewan Coba ..................................................................................................... 12 3.2.2 Ekstrak Tanaman ............................................................................................. 12 3.2.3 Virus Avian Influenza ...................................................................................... 12 3.2.4 Bahan dan Alat ................................................................................................. 12 3.3 Metode Penelitian ................................................................................................... 13 3.3.1 Penyiapan Ekstrak Tanaman ............................................................................ 13 3.3.2 Uji Perlakuan Hewan Coba .............................................................................. 13 3.3.3 Pengambilan Sampel Organ ............................................................................. 14 3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi ................................................................... 14 3.3.5 Pengamatan Histopatologi bursa Fabricius dan Limpa .................................... 16 3.3.6 Analisis Data .................................................................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 17 4.1 Evaluasi Histopatologi bursa Fabricius........................................................... 17 4.1.1 Edema pada Bursa Fabricius ................................................................................ 17
x
4.1.2 Fokus Nekrotik Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius ........................................ 19 4.1.3 Deplesi Folikel Limfoid ....................................................................................... 22 4.2 Evaluasi Histopatologi Limpa ................................................................................. 25
V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 30 5.1 Simpulan ................................................................................................................. 30 5.2 Saran ....................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31 LAMPIRAN ......................................................................................................... 35
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kelompok Perlakuan yang Diberikan ...................................................... 14 Tabel 2 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius ........................................ 18 Tabel 3 Persentase rataan fokus nekrotik pada bursa Fabricius............................ 19 Tabel 4 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius ............... 22 Tabel 5 Rataan skor histopatologi limpa .............................................................. 25
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Virus Influenza ...................................................................................... 3 Gambar 2 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees).......................................... 7 Gambar 3 Histopatologi bursa Fabricius .............................................................. 17 Gambar 4 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius ..................................... 18 Gambar 5 Persentase rataan fokus nekrotik folikel limfoid pada bursa Fabricius 20 Gambar 6 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius............ 23 Gambar 7 Kongesti pembuluh darah pada limpa .................................................. 28 Gambar 8 Kongesti pulpa merah pada limpa ........................................................ 28 Gambar 9 Hemoragi pada limpa .......................................................................... 29 Gambar 10 Deplesi pulpa putih pada limpa ......................................................... 29
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Uji Kruskal Wallis Histopatologi Organ Limpa ...................... 35 Lampiran 2 Hasil Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjutan Duncan’s Rataan Edema pada Bursa Fabricius .............................................................. 36 Lampiran 3 Hasil Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjutan Duncan’s Rataan Fokus Nekrotik Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius...................... 38 Lampiran 4 Hasil Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjutan Duncan’s Rataan Deplesi Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius .................................. 40
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) tipe A subtipe H5N1 telah banyak menimbulkan kerugian ekonomi di Indonesia karena membunuh jutaan ternak unggas. Flu burung hingga pertengahan Juni 2008 telah menelan korban jiwa sebanyak 112 orang dari 137 kasus positif flu burung dengan konfirmasi (UPPAI 2008 dalam Setiyono et al. 2008). Kondisi demikian telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan resiko tertinggi penyebaran flu burung di dunia. Penyakit ini dianggap sangat berbahaya karena resiko kematian pasien lebih dari 50% dan penyebaran virus H5N1 hingga saat ini belum dapat dikendalikan. Virus yang awalnya hanya menyerang unggas ini kini telah merebak menyerang manusia, babi, anjing dan kucing. Hal yang paling ditakuti para ahli adalah apabila terjadi mutasi yang tidak diinginkan pada virus H5N1, maka akan terjadi pandemi yang akan menelan korban jiwa manusia sangat besar karena obatnya belum ditemukan (Setiyono et al. 2008). Obat yang ditetapkan Pemerintah untuk penderita flu burung adalah oseltamivir
carboxylate
(Tamiflu).
Obat
ini
bekerja
sebagai
inhibitor
neuraminidase yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium verum) yang harus diimpor seluruhnya dari Vietnam atau China dengan biaya relatif mahal. Obat lainnya adalah Amantadine yang bekerja sebagai ion chanel blocker, namun dilaporkan telah memicu resistensi pada virus. Berdasarkan kenyataan tersebut maka sangat perlu dan mendesak untuk segera ditemukan obat alami untuk flu burung dari tanaman yang berasal dari alam Indonesia. Tanaman obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Setiyono et al. 2008). Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan salah satu tumbuhan obat yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tahan dan stamina tubuh. Herba sambiloto sangat efektif untuk infeksi dan merangsang fagositosis yaitu kemampuan sel dalam bekerja membunuh benda asing seperti bakteri, virus dan sebagainya yang masuk ke dalam tubuh, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan berbagai sumber penyakit (imunostimulan). Tizard
2
(1988) menyatakan bahwa bursa Fabricius adalah organ limfoid primer dan limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berfungsi sebagai kelenjar pertahanan dalam sistem perlindungan tubuh pada unggas. Tahun 2007 telah dilakukan uji melalui studi in vitro menggunakan beberapa tanaman obat tradisional termasuk di dalamnya adalah sambiloto. Hasil penelitian menunjukan bahwa sambiloto termasuk dalam salah satu tanaman obat yang berpotensi sebagai penghambat infeksi virus H5N1 pada sel vero. Berdasarkan hasil uji tersebut maka dilakukan pengujian lanjutan yaitu uji in vivo untuk membuktikan potensi tanaman obat khususnya sambiloto yang memiliki potensi dalam menangkal infeksi virus H5N1 ke dalam sel. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar yang sangat penting guna uji lanjutan in vivo sebelum implementasi di lapang produksi massal formula tanaman obat dilakukan (Setiyono et al, 2008).
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ limfoid bursa Fabricius dan limpa ayam broiler yang ditantang virus AI H5N1 setelah diberikan ekstrak tanaman obat sambiloto (Andrographis paniculata Nees).
1.3 Manfaat Melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai potensi sambiloto sebagai salah satu formulasi tanaman obat yang berkhasiat sebagai obat flu burung. Informasi ini akan berguna sebagai informasi awal untuk diproduksinya obat flu burung yang cukup murah, mudah diperoleh dan tidak sulit aplikasinya. Sehingga program pengendalian flu burung melalui peningkatan daya tahan tubuh dengan pemanfaatan plasma nutfah asli Indonesia dapat terwujud.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Flu Burung (Avian Influenza) Avian influenza atau flu burung adalah suatu penyakit menular pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini digolongkan dalam famili Orthomyxoviridae, genus Orthomyxovirus tipe A atau Influenza virus. Bentuk virion virus ini bulat tidak beraturan atau menyerupai benang, diameternya 90-120 nm. Partikel virus AI mempunyai lapisan luar yang mengandung glikoprotein yang berperan dalam aktivitas aglutinasi yang disebut antigen hemaglutinin (HA) dan neuramidase (NA). Glikoprotein HA dan NA merupakan protein permukaan yang sangat berperan dalam penempelan dan pelepasan virus dari sel inang. Perbedaan kedua antigen pada setiap virus AI tersebut digunakan untuk mengidentifikasi serotipe virus influenza dengan inisial huruf H (untuk antigen hemaglutinin) dan N (untuk antigen neuramidase). Virus influenza tipe A ini menyerang ternak unggas dan merupakan tipe yang dapat menimbulkan wabah pada manusia. Tipe virus influenza lain adalah virus influenza B dan C, virus ini hanya menyerang manusia tetapi tidak menyerang ternak (Rahardjo 2004).
Gambar 1 Virus Influenza (Suri, 2007)
4
Virus influenza tipe A dapat bermutasi dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Mutasi bisa menjadikan virus ini berubah menjadi virulen atau sebaliknya. Variasi antigenik pada virus AI dapat ditemukan dengan frekuensi yang tinggi dan terjadi melalui dua cara yaitu antigenik drift dan antigenik shift. Antigenik drift terjadi oleh adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat minor pada antigen permukaan H dan/atau N. Perubahan yang perlahan-lahan ini tidak merubah kedudukan ikatan antibodi dengan antigen. Mutasi asam amino individual semacam itu tidak menimbulkan wabah, hanya kehilangan kekebalan sebagian pada suatu populasi dan beberapa infeksi sehingga menimbulkan gejala ringan. Antigenik shift terjadi oleh adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan H dan/atau N. Perubahan dapat terjadi pada seluruh bagian hemaglutinin sehingga terbentuk hemaglutinin yang baru dari virus tersebut. Perubahan ini dapat menimbulkan wabah luas ke seluruh dunia. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi perlindungan kekebalan yang tersisa untuk melawan infeksi virus baru tersebut. Virus pada unggas lebih jarang mengalami antigenik drift dibanding virus pada mamalia. Pengaturan kembali struktur genetik dari virus pada unggas dan mamalia diperkirakan merupakan mekanisme timbulnya strain baru virus (Tabbu 2000). Subtipe virus AI yang ganas adalah kelompok subtipe H5 dan H7. Infeksi virus AI dapat mengakibatkan gangguan fungsi respirasi dan juga menimbulkan efek pada sistem kardiovaskular sehingga akan menghambat pertumbuhan ayam (Dunn et al. 2003). Subtipe virus yang ditemukan mewabah dan menyebabkan terjadinya flu burung di beberapa Negara Asia adalah H5N1. Subtipe H5N1 ini pertama kali ditemukan di Italia pada tahun 1878, sangat cepat menular pada unggas dan cepat menyebabkan kematian. Virus H5N1 termasuk tipe ganas, tetapi peka terhadap panas. Virus ini memiliki masa inkubasi 1 sampai 3 hari, selain itu virus AI memiliki daya replikasi tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat di dalam tubuh (Soejoedono & Handaryani 2005). Patogenitas virus AI dipengaruhi oleh spesies hewan, umur inang, keterpaparan dengan antigen (virus AI) dan faktor lingkungan (Bano et al. 2003).
5
Virus influenza dikeluarkan dari tubuh unggas terinfeksi melalui sekresi hidung dan feses. Virus ini dapat bertahan lama dalam kondisi lingkungan yang lembab dan dingin. Virus ini mampu bertahan selama 30-35 hari pada suhu 40C dan lebih dari 30 hari pada suhu 00C. Virus AI akan mati pada pemanasan 600C selama 30 menit dan pemaparan menggunakan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine (Indartono 2005 dalam Hartati 2005). Terdapat beberapa kelompok hewan selain unggas yang rentan terhadap virus flu burung, yaitu kelompok mamalia seperti babi, anjing, kucing, kuda dan kambing. Makhluk yang berhasil bertahan hidup setelah terinfeksi flu burung akan memiliki kekebalan selama 1-2 tahun, tetapi tidak kebal terhadap virus flu burung subtipe lainnya. Pada umumnya zat kebal tubuh yang timbul karena imunisasi atau infeksi virus alami dapat menangkal serangan infeksi virus yang kedua. Prinsip serangan sistem kekebalan pada penyakit flu burung tertuju pada hemaglutinin virus (Rahardjo 2004). Gejala klinik dari Avian Influenza ini bervariasi, diantaranya yaitu hewan susah bernafas, sayap jatuh, jengger, pial dan kulit yang tidak ditumbuhi bulu serta berwarna biru keunguan, pembengkakan di sekitar kepala dan muka, terdapat cairan eksudat yang keluar dari hidung dan mata, pendarahan di bawah kulit (sub kutan), pendarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki, batuk, bersin dan ngorok, diare, tingkat kematian tinggi. Berdasarkan patogenitasnya, virus flu burung diklasifikasikan menjadi dua yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) yang bersifat kurang ganas dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) yang bersifat ganas. Highly Pathogenic Avian Influenza dapat menyebabkan 100% kematian pada unggas yang terinfeksi virus ini (Soejoedono & Handaryani 2005).
6
2.2 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Sambiloto (Andrographis paniculata) adalah tanaman yang sampai saat ini dipakai sebagai bahan ramuan obat tradisional. Menurut data spesimen Herbarium Bogoriensis, sambiloto berasal dari India dan perkembangannya masuk ke Cina, Malaysia dan Indonesia. Penyebaran di Indonesia diantaranya meliputi Jawa, Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Bangka), Sulawesi Tengah, Kepulauan Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores, Timor), Kepulauan Maluku (Halmahera),
serta
Kalimantan
(Kalimantan
Barat,
Kalimantan
Timur,
Kalimantan Selatan) (Winarto 2003). Klasifikasi tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) menurut Prapanza dan Marianto (2003) adalah: Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Gamopetalae
Ordo
: Personales
Famili
: Acanthaceae
Subfamili
: Acanthoidae
Genus
: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Nees
Sambiloto merupakan tumbuhan herbal yang tumbuh tegak dengan tinggi bervariasi antara 30-100 cm. Tinggi dan rendahnya tanaman tergantung dari cara penanaman, tempat penanaman, media tanam dan cara perawatannya. Batang berbentuk persegi empat dengan nodus (buku) yang semakin membesar ke arah pucuk. Percabangannya banyak dan rasanya sangat pahit. Daunnya berupa daun tunggal kecil-kecil, berbentuk ramping sedikit memanjang dengan bagian pangkal dan ujung runcing serta tepinya rata. Daun sambiloto bertangkai sangat pendek dan letaknya saling berhadapan. Panjang daunnya berkisar 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Permukaan atas daun berwarna hijau tua dan permukaannya hijau muda. Bunga tumbuh di ujung tangkai yang tersusun dalam rangkaian berbentuk tandan yang melengkung ke arah bawah, bunga berukuran kecil dan berwarna putih keunguan. Sambiloto dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Bentuk buahnya memanjang sampai
7
lonjong, pangkal dan ujungnya tajam dengan panjang sekitar 2 cm dan digunakan sebagai alat perbanyakan. Setiap buah terdiri dari dua rongga, setiap rongga berisi 3-7 biji kecil berwarna cokelat muda yang bentuknya gepeng (Prapanza & Marianto 2003).
Gambar 2 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Anonim 2009)
Zat kimia yang terkandung di dalam sambiloto adalah andrographolid yang rasanya sangat pahit dan terdapat pada semua bagian tanaman. Sambiloto juga mengandung alkane, keton, aldehide, dammar, flavonoid, steroid, minyak asiri, asam kersik dan laktone yang berfungsi sebagai anti radang dan antipiretik karena mengandung neoandrographolid, andrographolid, deoksiandrographolid, 14-deoksi-11 dan 12 didehidroandrographolid (Prapanza & Marianto 2003). Andrographolid
selain
sebagai
anti
inflamasi
juga
bertindak
sebagai
imunostimulan khususnya dalam proses fagositosis (Mills & Bone 2000). Flavonoid yang terkandung dalam sambiloto bersifat mencegah penggumpalan darah (antitrombosis) dan mampu menghancurkan penggumpalan darah (trombosis). Sambiloto mengandung kalium dengan kadar yang sangat tinggi tetapi rendah natrium. Kalium yang bersifat diuretik diperlukan untuk membantu tubuh mengeluarkan air dan natrium dengan demikian dapat digunakan pada pengobatan darah tinggi (hipertensi) (Gusrizal 2002).
8
2.3 Bursa Fabricius (BF) Bursa Fabricius berasal dari nama Giralamo Farbizi (1533-1691), sering disebut sebagai tonsil kloaka karena strukturnya menyerupai tonsil pada mamalia, melipat ke dalam, dipenuhi oleh sel limfatik dan diselaputi sel epitel. Organ ini memiliki kripta yang dalam dan berakhir pada suatu kantung yang folikelnya terbagi atas korteks dan medulla, sel epitel berbentuk silindris banyak lapis dan tidak terdapat sel goblet (Caceci 2004 dalam Prahesti 2005). Bursa Fabricius merupakan organ limfoid yang hanya ditemukan pada unggas, termasuk ayam. Berasal dari pertemuan ektoendodermal sebagai struktur berbentuk bulat seperti kantung, tepat di bagian dorsal kloaka. Seperti halnya timus, bursa terdiri dari sel limfoid yang terbalut dalam jaringan epithelial. Jaringan epitel ini membatasi suatu kantung berongga yang dihubungkan dengan kloaka melalui suatu saluran. Pada bagian dalam kantung terdapat lipatan besar epitel yang menjulur ke dalam lumen dan melalui lipatan epitel ini tersebar folikel sel limfoid. Setiap folikel limfoid terbagi atas korteks dan medulla, korteks mengandung sel-sel limfosit, sel plasma dan makrofag. Pada pertemuan kortikomedular terdapat membran basal dan jaringan-jaringan kapiler yang bagian dalamnya adalah sel epitelial. Sedangkan bagian dalam medulla hanya terdiri dari sel-sel limfosit (Tizard 1988). Struktur dasar BF adalah Bursal Folikel, folikel disusun oleh folikel interaktif dari pertambahan sel epitel dan mesenchymal. Beberapa folikel yang sudah masak tetap berada pada medulla dan korteks. Korteks dan medulla disusun oleh membran basal yang bersambungan dengan membran basal dari permukaan epithelium. Struktur utama BF adalah folikel bursa yang berkembang dari pertumbuhan interaktif sel epitel dan sel mesenkim. Makrofag ditemukan di dalam BF, meskipun jumlahnya sedikit dibandingkan limfosit B. Dalam keadaan BF normal, keberadaan makrofag disamarkan oleh populasi limfosit (Ridell 1987). Dinding BF membentuk divertikulum bercabang dibalut epitel silindris banyak lapis pada puncak dan epitel silindris sebaris pada daerah dasar divertikulum. Langsung di bawah epitel terdapat deretan folikel getah bening yang memiliki pusat kecambah. Dinding dalam terdiri dari jaringan ikat yang mengandung otot polos. Fungsi dari Fabricius dianggap menghasilkan substansi
9
yang dapat menghambat pertumbuhan alat kelamin primer (testis), seperti halnya timus, yang menghasilkan limfosit B yang mampu berdiferensiasi menjadi sel plasma sebagai sumber penghasil antibodi (Hartono 1995). Glick (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan BF dapat dipelajari dalam tiga bentuk. Pertama, pertumbuhan yang cepat dari ayam baru menetas sampai tiga atau empat minggu. Kedua, periode plateu selama lima atau enam minggu berikutnya. Ketiga, regresi yang terjadi sebelum pematangan seksual. Kecepatan tumbuh dan kecepatan regresi BF bervariasi, antara lain tergantung pada tipe, kondisi dan strain ayam. Kecepatan tumbuh dan besar BF pada anak ayam ada hubungannya dengan resistensi terhadap penyakit. Semakin sering organ ini membentuk antibodi, maka akan menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid sehingga persentase berat BF menurun (Tizard 1987 dalam Bunawan 2003). Ridell (1987) menyebutkan pertumbuhan maksimum BF dicapai pada saat ayam berumur 4-12 minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan seksual yaitu pada umur 14 sampai 20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut, terjadi pembentukan jaringan ikat lebih intensif, deretan epitel menjadi berlipat-lipat, parenkhimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid di dalam folikel limfoid digantikan oleh kista. Fungsi BF menurut Tizard (1988) adalah sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi sel limfosit B. Kemudian sel limfosit B akan masuk ke dalam sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Bursa Fabricius juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yang bekerja untuk menangkap antigen yang masuk ke dalam tubuh dan informasi tersebut akan dikirim ke sistem pembentuk antibodi yang akan menghasilkan antibodi khusus untuk menyingkirkan antigen tadi. Makrofag ditemukan di dalam bursa Fabricius walaupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan limfosit B. Sel makrofag mempunyai fungsi utama yaitu endositosis (fagositosis dan pinositosis). Dalam menjalankan fungsinya ini, makrofag harus bersifat selektif terhadap bahan-bahan yang akan difagosit, karena kalau tidak demikian beberapa sel normal dan struktur-struktur dalam tubuh juga akan dicerna olehnya. Peranan khusus makrofag sehubungan dengan sistem imun
10
menimbulkan dan mengatur respon imun terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh dengan cara merespon antigen dan menyiapkan molekul aktif, bersamasama dengan sel T (Limfosit T) untuk diberikan kepada sel B sampai akhirnya terbentuk antibodi (Tizard 1988). 2.4 Limpa Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu organ limfoid primer dan organ limfoid sekunder. Organ limfoid primer merupakan organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit serta tempat pengaturan perkembangan limfosit. Organ limfoid sekunder merupakan organ limfosit yang responsif terhadap stimulasi antigenik atau tempat interaksi limfosit-antigen dan pengontrolannya (Tizzard 1988). Tizzard (1988) dan Guyton (1998) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Jaringan limfoid limpa berperan penting dalam menahan agen yang berhasil mencapai sirkulasi darah guna menahan invasi organisme atau toksin sebelum menyebar lebih luas. Limpa merupakan salah satu organ sistem pertahanan yang memegang peranan penting pada unggas. Limpa diklasifikasikan sebagai organ pertahanan berdasarkan struktur dan sel-sel darah yang disimpan dan dimiliki organ ini. Limpa terletak pada sebelah kanan dari proventrikulus dan ventrikulus (Pope 1995). Menurut Dellman dan Brown (1989), limpa merupakan organ kompleks dengan banyak fungsi. Salah satu fungsi limpa adalah sebagai penyaring (filter) darah dan menyimpan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesa hemoglobin. Limpa ayam berbentuk bulat lonjong berwarna merah cokelat dan kenyal. Limpa terletak didalam rongga perut dekat empedu dan berhubungan dengan sistem peredaran darah. Sel darah merah dan sel darah putih dibentuk di dalam limpa, organ ini juga bertindak sebagai penyimpan sel darah merah (Akoso 1998). Limpa secara histologis tampak tersusun dari beberapa bagian, yaitu : stroma (terdiri dari kapsula dan trabekula), parenkim (terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih) dan daerah marginal (Hartono 1995). Kapsula terdiri atas kapsula serosa dan kapsula fibrosa. Kapsula serosa merupakan bagian yang menutupi seluruh permukaan limpa kecuali daerah hilus,
11
tempat pembuluh darah masuk. Kapsula fibrosa, terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang mengandung otot polos, pembuluh darah dan limfe (Hartono 1995). Trabekula terdiri atas serabut kolagen, serabut elastik dan otot polos mulai dari kapsula sampai hilus. Trabekula mengandung arteri, vena, pembuluh limfe dan syaraf (Dellman & Brown 1989). Pada trabekula terdapat sekat-sekat tidak sempurna dengan unsur–unsur yang sama, membentuk rongga–rongga yang saling berhubungan berisi jaringan lunak yang disebut pulpa limpa (Hartono 1995). Pulpa putih merupakan jaringan limfoid pekat yang dikelilingi oleh selubung periarterial (periarterial sheat), berbentuk lingkaran atau lonjong dengan interval tertentu, disebut Limphonodus Corpusculus Malphigi. Pada pulpa putih terdapat limfosit besar, medium dan kecil. Jumlah limfosit tinggi pada limpa berasal dari limfosit sirkulasi yang masuk ke limpa melalui sinus venosus untuk tinggal didaerah tertentu dalam pulpa putih (Hartono 1995). Pulpa merah merupakan bagian terbesar dari limpa, berwarna merah, mengandung banyak darah yang disimpan dalam jaringan retikuler. Terbentuk dari anastomose sinus venosus yang membentuk bingkai pulpa. Bingkai limpa terdapat diantara sinus membentuk jalinan tiga dimensi yang terdiri dari serabut retikuler dengan sebaran sel-sel retikuler, eritrosit, makrofag, limfosit, sel plasma dan leukosit lain. Penjuluran sel-sel retikuler cenderung membentuk seperti lorong berfungsi untuk menyalurkan darah ke arah celah antar endothel dalam dinding sinus (Dellmann & Brown 1989). Daerah marginal merupakan daerah perbatasan antara pulpa merah dan pulpa putih yang berupa sebuah jalinan retikuker dimana semua kapiler membuka dari pulpa putih dan beberapa kapiler terminal dari pulpa merah. Darah mengalir perlahan menuju sinus venosus pulpa merah. Banyak limfosit dan populasi limfosit khusus terdapat didaerah marginal (Dellmann & Brown 1989).
12
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2008-Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor; serta Kandang fasilitas BSL3 milik PT.Vaksindo-Gunung Putri, Bogor. Penelitian ini telah sesuai dengan standar pelaksanaan infeksi virus AI H5N1 dari PT.Vaksindo-Gunung Putri Bogor. 3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Hewan Coba Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler strain Cobbs yang berumur satu hari (DOC). Hewan coba dipelihara dengan pemberian pakan dan minum ad libitum, mendapat vaksin ND dan vitamin. 3.2.2 Ekstrak Tanaman Ekstrak tanaman obat yang digunakan adalah ekstrak tanaman obat sambiloto (Andrographis paniculata Nees) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor. Tanaman obat diekstraksi dengan metode standar meliputi sortasi, pencucian, pengeringan, penggilingan dan ekstraksi (metanol, etanol, aseton dingin dan kloroform). 3.2.3 Virus Avian Influenza Virus yang digunakan diperoleh dari PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri, Bogor. Virus H5N1 strain legok/2003 diberikan dengan dosis 104.0EID50/0,1 ml intra nasal. 3.2.4 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah ekstrak sambiloto, virus H5N1 strain legok/2003, pakan, air, litter kandang, larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, dan alkohol absolut), xylol, parafin cair dan Haematoxylin Eosin. Peralatan yang digunakan antara lain syringe 1 ml, tempat pakan dan minum, kandang,
13
lampu, timbangan elektronik, botol ekstrak, serbet, object glass, cover glass, tissue cassette, tissue basket, automatic tissue processor, spidol, stiker label, mikroskop cahaya dan lap flanel. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penyiapan Ekstrak Tanaman Tanaman sambiloto sebagai bahan baku diperoleh dari koleksi plasma nutfah tanaman obat di kebun lingkup Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kegiatan pasca panen dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hasil Balitro. Tahap pembuatan ekstrak sambiloto meliputi proses sortasi, pencucian, pengeringan, penggilingan dan ekstraksi. Sortasi dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan antara bagian tanaman yang baik dengan yang rusak. Setelah terpilih tanaman yang masih baik, kemudian tanaman dicuci dengan air mengalir sampai bersih, lalu ditiriskan dan diiris tipis. Pengeringan dilakukan dengan menjemur bahan dibawah sinar matahari dan ditutup dengan menggunakan kain hitam, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan oven 400C sampai kadar air ± 10%. Bahan yang telah dijemur kemudian digiling dengan ukuran 60 mesh menggunakan mesin penggiling. Tahap terakhir adalah ekstraksi yang bertujuan untuk memperoleh ekstrak tanaman yang pekat murni. Ekstrak yang telah jadi dilakukan pengujian komponen fitokimia meliputi uji senyawa - senyawa seperti flavonoid dan tanin.
Selanjutnya
dilakukan
analisis
menggunakan
metode
Gas
Cromatografi Spektometri Massa (GCMS) atau Liquid Cromatografi Spektometri Massa (LCMS), untuk menentukan komponen kimia dalam ekstrak. 3.3.2 Uji Perlakuan Hewan Coba Ayam yang berumur satu hari (DOC) berjumlah 14 ekor dibagi ke dalam empat kelompok dengan perlakuan berbeda. Perlakuan yang diberikan pada setiap kelompok ayam dapat dilihat pada Tabel 1.
14
Tabel 1 Kelompok Perlakuan yang Diberikan Kelompok
Perlakuan yang Diberikan
Jumlah (ekor)
K1
Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI
2
K2
Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI
2
P1
Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI
2
P2
Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI
8
Ayam broiler strain Cobbs yang berumur satu hari dipelihara dengan diberi pakan dan minum ad libitum dengan adaptasi satu minggu, kemudian dicekok ekstrak tanaman obat dalam bentuk formulasi sebanyak 1 ml per ekor setiap hari dari umur 1-4 minggu. Selanjutnya ayam dipelihara di fasilitas BSL3 milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara di Cicadas, Gunung Putri, Bogor untuk uji tantang dengan virus AI H5N1 selama 7 hari. Ayam diinfeksi dengan virus AI H5N1 intra nasal dengan dosis 104.0 EID50/0.1 ml per ekor. 3.3.3 Pengambilan Sampel Organ Pengambilan sampel organ (bursa Fabricius dan limpa) dilakukan setelah uji tantang virus AI baik pada ayam mati maupun ayam hidup yang dimatikan pada akhir penelitian. Organ yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%, sebelum dibuat preparat histopatologi. 3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi a) Fiksasi Sediaan organ bursa Fabricius dan limpa direndam dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% selama 3 x 24 jam. Kemudian organ dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm lalu dimasukkan ke dalam kaset jaringan. b) Dehidrasi dan Clearing Organ bursa Fabricius dan limpa yang berada di dalam kaset jaringan didehidrasi dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Kemudian dilakukan
penjernihan
(clearing),
setelah
itu
sampel
organ
15
dimasukkan ke dalam xylol 1 dan 2, dan diinfiltrasi dengan paraffin cair (infiltring), masing-masing direndam selama 2 jam. c) Perendaman (embedding) dan pencetakan (block) Sediaan dimasukkan ke dalam cetakan dan kemudian setelah mulai membeku ditambahkan lagi dengan paraffin cair sampai penuh. Sediaan tersebut diatur letaknya dan diberi label lalu dibekukan dalam lemari pendingin (refrigerator) untuk memudahkan pemotongan dengan mikrotom. d) Pemotongan (sectioning) Jaringan dipotong dengan ketebalan 5-6 µm, kemudian hasil potongan yang berbentuk pita diletakkan di atas air hangat untuk menghindari lipatan dan menempelnya satu potongan dengan potongan lainnya. Sediaan diangkat dengan menggunakan gelas objek yang telah dibersihkan. Setelah itu dikeringkan dalam inkubator bersuhu 600C selama 24 jam. e) Teknik pewarnaan Haematoxylin Eosin Pewarnaan diawali dengan proses deparafinasi sebanyak 2 kali dengan menggunakan xylol 1, masing-masing selama 2 menit. Kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut 95% dan 80% secara berurutan masing-masing selama 2 menit dan dicuci dengan air mengalir. Sediaan diwarnai dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lilthium selama 1530 detik, kemudian dibilas dengan air mengalir terakhir dengan eosin selama 2-3 menit. Setelah itu sediaan dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan warna eosin yang berlebihan, lau dikeringkan. Sediaan dimasukkan ke dalam alkohol 90%, alkohol absolut 1 masingmasing selama 10 kali celupan, alkohol absolut 2 selama 2 menit. Terakhir, sediaan ditetesi dengan permonoum, lalu ditutup dengan gelas penutup. Preparat histopatologi siap untuk diamati di bawah mikroskop.
16
3.3.5 Pengamatan Histopatologi bursa Fabricius dan Limpa Pengamatan pada bursa Fabricius dilakukan untuk menghitung persentase edema, fokus nekrotik, dan deplesi folikel limfoid. Pengamatan pada organ ini dilakukan sebanyak lima plika yang dipilih secara acak tiap preparatnya, menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4x dan 10x. Perhitungan persentase edema dihitung dengan cara: %
∑ plika yang edema ∑ plika yang diamati
100%
Perhitungan persentase fokus nekrotik dan deplesi dihitung dengan cara: %
∑ folikel limfoid yang mengalami lesio ∑ plika yang diamati
100%
Pengamatan pada limpa dilakukan dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x objektif untuk mengamati lesio yang terjadi pada limpa. Lesio-lesio
tersebut
dinilai
dengan
skoring
sesuai
dengan
tingkat
keparahannya. Pengamatan dilakukan dalam 10 lapang pandang. Skoring yang digunakan untuk pengamatan histopatologi organ limpa adalah: 0 = Limfoid folikel/ pulpa putih tidak mengalami perubahan (normal) 1 = Kongesti 2 = Hemoragi 3 = Deplesi 4 = Nekrosa 3.3.6 Analisis Data Data histopatologi yang didapatkan dari pengamatan bursa Fabricius dianalisis dengan uji statistik parametrik ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Sedangkan hasil skoring lesio pada limpa dianalisis dengan uji statistik non-parametrik Kruskal-Wallis.
17
I HASIL IV. L DAN PEMBAHA ASAN 4.1 Evaluasi Histopaatologi bursa Fabriciu us Secara umum m lesio yangg ditemukan n pada penggamatan hisstopatologi bursa Fabricius adalah eddema, fokuss nekrotik folikel lim mfoid, dan deplesi folikel fo limfoid. Tingkat T kepparahan lessio tersebutt dapat dikketahui denggan mengh hitung persentasee kejadian pada bursaa Fabricius.. Gambar 3 menunjukkkan lesio yang terjadi padda bursa Fabbricius broiler yang diiinfeksi viruss AI H5N1.
Gambarr 3 Bursa Faabricius: edem ma (panah merah), m fokuss nekrotik (paanah hitam), deplesi folikel f limfooid (panah biiru), pada keelompok ayaam yang diin nfeksi virus H5N1 (K2), pew warnaan HE E, perbesaran 4x10.
4.1.11 Edema paada Bursa Fabricius Edema adalah peniimbunan caairan secara berlebihann di antara sel-sel s tubuuh atau di dalam beerbagai ron ngga tubuh.. Timbulnyya edema dapat disebbabkan oleeh faktor-faaktor lokal mencakup tekanan hidrostatik dalam d mikrrosirkulasi dan permeabilitas dinding pem mbuluh. Keenaikan tek kanan hidrostatik cennderung mem maksa cairran masuk ke k dalam rruang intersstisial tubuuh (Price & Wilson 19995). Kejadian edema pada bursa Fabricius setiap s keloompok perlaakuan dalam m penelitian n ini dapat dilihat d pada ttabel 2.
18
Tabel 2 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius Perlakuan
Persentase Edema (%)
K1
20.00b
K2
100.00a
P1
50.00b
P2
20.00b
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa perlakuan terhadap K1, P1 dan P2 tidak berbeda nyata dan ketiganya berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan K2. Hal ini berarti bahwa perlakuan terhadap kelompok K1, P1 dan P2 memberikan pengaruh yang sama (pada taraf nyata 10%), sedangkan perlakuan terhadap K2 memberikan pengaruh yang berbeda. Secara statistik dapat dinyatakan perlakuan berpengaruh nyata terhadap terjadinya edema pada bursa Fabricius. Persentase terjadinya edema paling tinggi diantara keempat perlakuan tersebut adalah K2, sedangkan persentase edema paling rendah adalah kelompok perlakuan K1 dan P2. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar 4. 120 Edema (%)
100 80 60 40
Edema (%)
20 0 K1
K2
P1
P2
Perlakuan
Gambar 4 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius
19
Terjadinya edema dengan persentase tinggi pada kelompok perlakuan K2 disebabkan oleh adanya infeksi virus AI H5N1 yang menyebabkan terjadinya peradangan pada beberapa organ. Reaksi peradangan yang terjadi pada infeksi virus AI H5N1 adalah bentuk akut. Menurut Price dan Wilson (1995), edema adalah bagian yang menyolok dari reaksi peradangan akut. Peristiwa penting pada peradangan akut adalah perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang mengakibatkan kebocoran protein. Hal ini kemudian diikuti oleh pergesaran keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama protein, sehingga menimbulkan pembengkakan jaringan. Kelompok perlakuan P2 yang diberi ekstrak sambiloto sebelum diinfeksi virus AI H5N1 menunjukkan persentase rendah terhadap terjadinya edema. Hal ini disebabkan karena sambiloto memiliki zat aktif berupa andrographolide sebagai zat anti inflamasi yang bekerja dengan cara menstimulasi
kelenjar
adrenal
dalam
menghasilkan
hormon
glukokortikosteroid. Cunningham (1994) menyatakan bahwa hormon glukokortikosteroid mempunyai peranan yang penting dalam proses respon peradangan (inflamasi), migrasi leukosit, deposit fibrin, dan pembentukan jaringan ikat. Glukokortikosteroid menghambat peradangan dengan cara menghambat pembentukan media peradangan seperti prostaglandin, thromboxanes dan leukotrienes yang mempengaruhi metabolisme asam arachidonat induk semang. 4.1.2 Fokus Nekrotik Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius Menurut Sudiana (2008), nekrosis adalah kematian sel karena adanya kerusakan sistem membran. Kerusakan membran ini disebabkan adanya aktivitas suatu enzim lisozim. Aktivitas enzim lisozim dapat terjadi karena adanya kerusakan sistem membran, oleh suatu faktor tertentu yang menyebabkan membran pembungkus enzim lisozim tersebut mengalami kebocoran. Adanya kebocoran ini mengakibatkan enzim lisozim tumpah ke sitosol dan akhirnya mencerna protein-protein, baik yang berada pada sitosol maupun protein-protein penyusun sistem membran dari sel tersebut.
20
Kejadian fokus nekrotik pada bursa Fabricius setiap kelompok perlakuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Persentase rataan fokus nekrotik pada bursa Fabricius Perlakuan
Persentase Fokus Nekrotik (%)
K1
0.0000b
K2
2.0200a
P1
0.0000b
P2
0.0000b
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
Fokus nekrotik folikel limfoid bursa Fabricius hanya terjadi pada perlakuan kelompok K2 dengan persentase kejadian 2,02%. Sedangkan pada kelompok perlakuan K1, P1, dan P2 fokus nekrotik tidak terjadi atau 0%. Secara statistik dapat dibuktikan bahwa kelompok perlakuan K1, P1, dan P2 berbeda nyata terhadap kelompok K2, dan dapat dinyatakan perlakuan berpengaruh nyata terhadap fokus nekrotik. Tingginya persentase kejadian fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius disebabkan oleh infeksi virus AI H5N1, yang dapat dilihat pada gambar 5
Fokus Nekrotik (%)
2.5 2 1.5 1
Fokus Nekrotik (%)
0.5 0 K1
K2
P1
P2
Perlakuan
Gambar 5 Persentase rataan fokus nekrotik folikel limfoid pada bursa Fabricius
21
Kehadiran antigen virus AI H5N1 dalam penelitian ini menyebabkan terjadinya fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius. Hal ini terbukti dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa fokus nekrotik ditemukan pada kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang ditantang virus AI H5N1 tanpa diberi ekstrak sambiloto sebelumnya. Dalam keadaan nekrotik, sitoplasma dari sel yang mengalami nekrosis akan terlihat lebih asidofilik (merah). Perubahan warna ini disebabkan oleh denaturasi protein sitoplasma dan kerusakan ribosom. Dalam kondisi normal, ribosom bertanggung jawab terhadap warna basofil dari sel sitoplasma. Khromatin inti akan menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru, proses ini dinamakan piknosis.
Inti
piknosis
dapat
pecah
menjadi
bagian-bagian
kecil
(karyoreksis) atau menghilang (karyolisis). Hasil pengamatan pada kelompok perlakuan P2 (ayam diinfeksi virus AI H5N1 yang sebelumnya telah diberi ekstrak sambiloto) menunjukkan bahwa tidak ditemukan terjadinya fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemberian ekstrak sambiloto yang memiliki kemampuan dalam mencegah terjadinya nekrotik. Kematian sel pada fokus nekrotik disebabkan oleh kerusakan sel dimana kebanyakan mekanisme kerusakan sel adalah melalui jalur langsung radikal bebas. Menurut Arief (2010), ion radikal bebas mengaktifkan oksigen menjadi superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil. Molekul radikal bebas memiliki ion tunggal yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya, bersifat tidak stabil dan dapat menyebabkan molekul di dekatnya berubah menjadi radikal bebas juga, sehingga menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan bersifat meluas. Molekul radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan cara peroksidasi lipid membran, merusak asam deoksiribonukleat (DNA), dan merusak protein (enzim seluler). Molekul radikal bebas biasa ditemukan pada kerusakan salah satunya akibat peradangan. Tubuh mempunyai beberapa mekanisme dalam mengontrol dan memanfaatkan radikal bebas. Molekul radikal bebas dapat dinetralkan oleh anti oksidan. Senyawa lain yang terkandung dalam tanaman obat sambiloto adalah derivat fenol (flavonoid) yang memiliki aktivitas
22
antioksidan maupun immunomodulator sehingga mampu meningkatkan ketahanan sel terhadap infeksi virus flu burung. Kadar senyawa tersebut dalam ekstrak tanaman obat mempengaruhi kekuatan aktivitasnya dalam penghambatan infeksi virus. Bila dalam ekstrak tanaman obat yang diteliti mengandung senyawa yang dapat menghambat neuroamidase dan hemaglutinin yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel inang atau mempengaruhi kanal ion (protein M2), maka ekstrak tanaman obat tersebut dapat menghambat infeksi virus flu burung (Menno et al. 2005).
4.1.3 Deplesi Folikel Limfoid Dalam Febriana 2008, deplesi pada bursa Fabricius adalah suatu keadaan dimana jumlah sel folikel limfoid berkurang yang ditunjukkan dengan kerenggangan sel-sel limfoid dalam tiap folikel. Pengurangan jumlah sel-sel limfoid disebabkan karena kerja bursa Fabricius dalam membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan, sehingga terjadi mobilisasi sel limfosit B ke organ yang mengalami peradangan. Hasil pengamatan histopatologi kejadian deplesi pada setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius Perlakuan
Persentase Deplesi (%)
K1
19.31a
K2
52.21a
P1
32.45a
P2
25.90a
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
23
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa perlakuan K1, K2, P1, dan P2 tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa kelompok perlakuan K1, K2, P1, dan P2 memberikan pengaruh yang sama (pada taraf nyata 10%), sehingga secara statistik dapat dinyatakan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap deplesi limfoid. Namun bila dilihat dari tingkat persentase deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius, kelompok perlakuan K2 memiliki persentase paling tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar 6. 60
Deplesi (%)
50 40 30 20
Deplesi (%)
10 0 K1
K2
P1
P2
Perlakuan
Gambar 6 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius
Tingginya tingkat deplesi K2 pada bursa Fabricius disebabkan karena adanya infeksi virus AI H5N1. Akibat adanya infeksi virus AI H5N1, bursa Fabricius akan membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan, sehingga terjadi mobilisasi sel limfosit B ke organ yang mengalami peradangan. Hal tersebut menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid bursa Fabricius. Fungsi dari bursa Fabricius adalah sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi sel limfosit B. Kemudian sel limfosit B akan masuk ke dalam sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
24
Menurut Tizard (1987) dalam Bunawan (2003) semakin sering organ ini membentuk antibodi, maka akan menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid sehingga persentase berat bursa Fabricius menurun. Deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius dapat menjadi faktor yang menunjukkan perubahan dan tingkat kerusakan dari organ ini. Tabbu (2000) menyatakan bahwa tingkat keparahan deplesi dipengaruhi oleh jumlah sel yang mengalami nekrotik. Umumnya deplesi folikel bursa terjadi karena nekrosis sel-sel limfosit B akibat kejadian imunosupresif. Kelompok perlakuan P2 yaitu kelompok yang diberi ekstrak sambiloto yang kemudian diinfeksi virus AI H5N1 menunjukkan tingkat kejadian deplesi yang rendah. Hal ini disebabkan karena pemberian ekstrak sambiloto yang mampu menahan peradangan akibat infeksi virus AI H5N1. Salah satu fungsi sambiloto adalah sebagai sediaan antiviral. Menurut Jassim dan Naji (2003), salah satu mekanisme kerja antiviral adalah menghambat terjadinya perlekatan ke permukaan sel. Telah diketahui bahwa setiap jenis virus memiliki molekul-molekul permukaan yang bervariasi, yang menentukan kemampuannya untuk berlekatan (attachment) dengan reseptor pada sel. Taha (2009) menyatakan bahwa mekanisme kerja dengan menghambat terjadinya attachment merupakan mekanisme yang paling mungkin terjadi dalam penelitian ini. Akibat penghambatan terjadinya attachment virus AI H5N1 terhadap sel target, menyebabkan peradangan akibat infeksi virus tidak terjadi dan penurunan jumlah limfosit B, sehingga mobilisasi limfosit B oleh bursa Fabricius tidak terjadi dan menurunkan terjadinya deplesi folikel limfoid. Hal ini dibuktikan dalam Damayanti (2007) yang mengatakan bahwa perlakuan menggunakan ekstrak sambiloto menunjukkan penurunan jumlah limfosit. Ini berkaitan dengan hasil peningkatan heterofil sebagai lini pertahanan pertama sehingga meminimalkan kejadian infeksi. Menurut Tizard (1988) kejadian ini akan menurunkan produksi limfosit di limpa, kelenjar limfe, timus, sumsum tulang belakang, tonsil dan bursa Fabricius yang bekerja pada sistem pertahanan kerja spesifik.
25
4.2 Evaluasi Histopatologi Limpa Tizzard (1988) dan Guyton (1998) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Jaringan limfoid limpa berperan penting dalam menahan agen yang berhasil mencapai sirkulasi darah untuk menahan invasi organisme atau toksin sebelum menyebar lebih luas. Kehadiran suatu patogen dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya lesio perubahan patologi pada organ tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum lesio histopatologi yang terjadi pada kelompok perlakuan adalah kongesti, deplesi, dan hemoragi. Persentase rataan skoring lesio histopatologi limpa dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 5. Tabel 5 Rataan skor histopatologi organ limpa dengan perbesaran objektif 10x Perlakuan
Rataan Skor
K1
0.25b
K2
2.10d
P1
0.20a
P2
0.70c
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.05) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
Rataan skoring tertinggi terhadap lesio histopatologi limpa adalah kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang diinfeksi virus AI H5N1 tanpa diberi ekstrak sambiloto. Kelompok perlakuan K2 berbeda nyata terhadap kelompok P2, yang dibuktikan dengan tingkat lesio histopatologi yang lebih ringan dibandingkan dengan K2. Lesio yang ditemukan pada kelompok perlakuan K2 adalah kongesti, hemoragi dan deplesi dalam jumlah banyak. Pada kelompok perlakuan P2, lesio yang ditemukan adalah kongesti dan deplesi dalam jumlah sedikit. Perbedaan lesio yang terjadi pada setiap ulangan dalam satu kelompok perlakuan disebabkan karena kondisi setiap spesies yang berbeda-beda, sehingga setiap spesies memiliki respon yang berbeda pula.
26
Kongesti yang ditemukan di limpa ada dua, yaitu kongesti pada vena dan pada pulpa merah. Kongesti pada vena secara mikroskopis dalam penelitian ini terlihat adanya akumulasi darah di dalam vena (Gambar 7), sedangkan kongesti pada pulpa merah terlihat warna pulpa merah menjadi lebih pekat dan tebal hampir di seluruh bagian limpa (Gambar 8). Kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Secara mikroskopis kapiler-kapiler dalam jaringan melebar dan penuh darah. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme dimana kongesti dapat timbul yaitu kenaikan jumlah darah yang mengalir daerah,atau penurunan jumlah darah yang mengalir di daerah (Price & Wilson 1995). Menurut Lestari (2006) lesio pada limpa berupa kongesti pada pulpa merah kemungkinan terjadi akibat hipertensi vena di daerah limpa oleh sirosis hepatis atau obstruksi vena porta. Lesio lain yang ditemukan adalah hemoragi dan deplesi. Hemoragi adalah keluarnya darah dari vaskula (ekstravasasi) ke luar tubuh, ke dalam rongga tubuh atau ke jaringan sekitarnya. Hemoragi dalam penelitian ini terlihat adanya akumulasi darah di daerah pulpa merah yang menyebar hingga ke pulpa putih, sehingga di dalam pulpa putih ditemukan adanya sel darah merah (Gambar 9). Lesio hemoragi ditemukan pada kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang diinfeksi virus AI H5N1 tanpa pemberian ekstrak sambiloto. Terbentuknya lesio ini disebabkan oleh virus AI yang bereplikasi di endotel pembuluh darah, sehingga mengakibatkan rusaknya struktur vaskula atau sel-sel endotel pembuluh darah. Menurut Radji 2006, salah satu tahap patogenesis infeksi virus AI yaitu virus mengalami replikasi di dalam sel endotel dan menyebar melalui sistem peredaran darah. Hal ini menyebabkan sel-sel endotel menjadi merenggang atau dinding vaskula menjadi robek, sehingga darah dapat keluar melalui per reksis atau per diapedesis. Deplesi pulpa putih paling banyak ditemukan pada ayam kelompok perlakuan K2. Limpa dalam keadaan normal secara mikroskpis terlihat adanya batas antara pulpa putih dengan pulpa merah. Hartono (1995) menyatakan bahwa pulpa putih merupakan jaringan limfoid pekat yang dikelilingi oleh selubung (periarterial sheat), berbentuk lingkaran atau lonjong dengan interval tertentu yang disebut dengan Limphonodus Corpusculus Malphigi. Lesio deplesi pulpa
27
putih dalam penelitian ini terlihat batas antara pulpa putih dengan pulpa merah sudah tidak terlihat lagi, dan pulpa putih menyebar dan tidak berbentuk lagi (Gambar 10). Hal ini dibuktikan oleh Budiantono (2005) yang mengatakan bahwa lesi histopatologi limpa yang terinfeksi virus HPAI adalah deplesi folikel sampai nekrosis, dimana di daerah sel-sel limfosit B banyak ditemukan sel-sel nekrosis. Perlakuan pada kelompok P2 menunjukkan bahwa lesio histopatologi limpa lebih ringan dari kelompok K2. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemberian ekstrak sambiloto dalam perlakuan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sambiloto adalah salah satu sediaan antiviral yang memiliki mekanisme kerja dalam menghambat terjadinya infeksi virus AI H5N1. Dengan hadirnya sambiloto sebagai antiviral, virus yang akan menginfeksi sel inang dapat dihambat dengan beberapa mekanisme. Menurut Jassim dan Naji (2003), mekanisme kerja antiviral terbagi menjadi tiga yaitu pertama, polifenol mengikat protein selubung protein virus. Kedua, dengan cara berikatan dengan virus dan atau protein dari membran sel inang, sehingga menahan absorbsi virus ke dalam sel. Ketiga, polifenol menginaktifkan virus secara langsung dan atau menghambat virus masuk ke dalam sel. Beberapa penelitian terhadap tanaman obat sambiloto telah dilakukan untuk membuktikan adanya potensi andrographolide sebagai anti viral. Diantaranya adalah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto mampu melawan virus HIV. Salah satu cara menghentikan virus mematikan tersebut adalah dari dalam sel tubuh manusia. Dalam sel tubuh itulah virus memanfaatkan sel untuk bereplikasi. Sel tumbuh dan bereproduksi melalui tahaptahap tertentu yang disebut daur sel. Selama proses ini, pesan-pesan kimia dibawa ke berbagai bagian sel sesuai fungsinya. Virus HIV mengganggu si pembawa pesan untuk memproduksi partikel-partikel virus. Zat andrographolid pada sambiloto mampu mencegah transmisi virus ke sel-sel lain, dan menghentikan perkembangan
virus.
Andrographolid mampu
menghambat
enzim yang
mendorong pemindahan fosfat molekul penyimpan energi sel. Dalam daur sel, fosfat dibuat atau diubah secara kimia sehingga menghasilkan energi. Energi inilah yang digunakan untuk mengatur daur sel dan bereproduksi. Ekstrak sambiloto mengganggu enzim yang mendukung reproduksi virus (Anonim 2010).
28
Taha (20009) dalam penelitianny p ya melalui studi in vitro tentangg potensi ek kstrak tanaman obat o sambiloto sebagaai alternatiff bahan obat flu buruung, mengaatakan bahwa virrus flu buruung tidak daapat diinakttivasi oleh zat-zat aktiif yang ada pada ekstrak sam mbiloto, tettapi dihambbat untuk meenginfeksi sel. s
Gam mbar 7 Limppa: kongestii pembuluh darah d (
), pada p kelompook ayam
yang diinfeksi virrus H5N1 (K K2), pewarnaaan HE, perbeesaran 40x10 0.
Gaambar 8 Limppa: kongesti pulpa merah h ( ), padaa kelompok aayam yang dibeeri ekstrak sambiloto s daan diinfeksi virus AI H5N1 (P2), pew warnaan HE, perbesaran 20x10. 2
29
Gaambar 9 Limppa: hemoragii ( ), padaa kelompok ayam a yang diiinfeksi virus H5N N1 (K2), pew warnaan HE,, perbesaran 20x10.
Gaambar 10 Lim mpa: deplesi pulpa putih ( ), pada kelompok k ayyam yang diinfekssi virus H5N1 (K2),pewaarnaan HE, perbesaaran 10x10.
30
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 1. Infeksi virus AI H5N1 menyebabkan terjadinya edema, fokus nekrotik, dan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius; serta terjadinya kongesti, hemoragi, dan deplesi pada limpa. 2. Pemberian ekstrak sambiloto yang diikuti infeksi virus AI H5N1 dapat mengurangi lesio terjadinya edema, fokus nekrotik, dan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius; serta terjadinya kongesti, hemoragi, dan deplesi pada limpa. 5.2 Saran 1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis reseptor pada sel yang dapat berikatan dengan reseptor zat-zat aktif yang terkandung dalam ekstrak sambiloto. 2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bahwa ekstrak sambiloto berpotensi dalam menghambat infeksi virus AI H5N1. 3. Perlu diadakan uji tantang dengan virus lain untuk mengetahui batas kemampuan ekstrak sambiloto sebagai antiviral.
31
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Sambiloto An Immunity Boosting Food. Herbal Remedy : Herbal remedies and natural medicine reference. [terhubung berkala]. http://herbal.medicalonlinemedia.com/2010/02/sambiloto-immunityboosting-food. [13 Oktober 2009]. Anonim. 2010. Sambiloto (Andrographis Paniculata).Tanaman Penghalau Kanker. [terhubung berkala]. http://www.trubusonline.co.id/trindo3/ images/PDF/SambilotoVSAnekaKanker.pdf. [ 20 Juni 2010]. Akoso, BT. 1998. Kesehatan Unggas. Yogyakarta: Kanisius. Arief S. 2010. Radikal Bebas. [terhubung berkala]. http://www.pediatrik.com. [20 Juni 2010]. Bano S, Naeem K, Malik SA. 2003. The Fifth International Symposium on Avian Influenza. The University of Georgia, Athens, GA. Budiantono. 2005. Studi retrospektif : Kajian Histopatologi Kasus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) di Bali Tahun 2003. Buletin BPPV Vol. XVII : 2067 [terhubung berkala]. http://bppv-dps.info.pdf. [ 20 Juni 2010]. Bunawan, A. 2003. Pengaruh Ekstrak Batang Benalu The (Scurrula oortiana) terhadap Perkembangan Folikel Limfoid Bursa Fabricius pada Embrio Telur Tertunas [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Cunningham JG. 1994. Textbook of Veterinary Physiology. 2nd Edition.W. B. Saunders Co. Philadelphia. London. Toronto. Sydney. Tokyo. Damayanti HR. 2007. Gambaran Deferensiasi Leukosit pada Ayam Pedaging yang Diberikan Ekstrak Etanol Sambiloto (Andrographis panicula Nees): Potensinya Sebagai Imunomodulator [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dellmann HD and EM Brown. 1992. Buku Teks Histology Veteriner. Edisi ke-3. Hartono R: penerjemah. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dunn PA, Wallner EA, Lu H, Shaw DP, Kradel D. 2003. The Fifth International Symposium on Avian Influenza. The University of Georgia, Athens, GA. Febriana E. 2008. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius dan Timus Pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Marek dan Pengaruh Pemberian Bawang Putih, Kunyit dan Zink [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
32
Glick B. 2000. Immunophysiology. Di dalam: Whittow GC, editor. Sturkie’s Avian Physiology. Edisi ke-5. London: Academic Press. Hlm 658-659. Gusrizal D. 2002. Sambiloto “King of Bitter” dalam Pengobatan Herbal. [terhubung berkala]. http://www.compas.com/kompas cetak/0208/iptek [10 November 2009]. Guyton AC. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7. Bagian I. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Hartati Y. 2005. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging) [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hartono R. 1995. Histologi Veteriner: Sitologi dan Jaringan Dasar. Fakultas Kedokteran Hewan.IPB. Jassim SAA, Naji MA. 2003. Novel Antiviral Agents: a Medicinal Plant Perspective [Ulasan]. J Appl Microbiol. 95: 412-427. Lestari D. 2006. Pengaruh Ekstrak Sambiloto(Andrographis panicula Nees) dengan Pelarut Metanol Terhadap Ayam yang Diinfeksi Eimeria tenella: Studi Histopatologi Organ Jantung, Limpa, dan Paru-Paru [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Menno DJ et al. 2005. Oseltamivir Resistence During Treatment of Influenza A (H5N1) Infection. Engl. J Med. 353:2667-2672. Mills dan Bone. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy. Churchill Livingstone. Hal: 262-267. Pope CR. 1995. Avian Histopathology. Edisi ke-2. The American Association of Avian Pathologiest. Prahesti KI. 2005. Aplikasi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera Lamk) dalam Ransum Ayam Broiler: Luas Permukaan Vili Ileum dan Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Prapanza IEP dan Marianto LA. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. P.T. Agro Media Pustaka. Jakarta. Price SA dan Wilson LM. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
33
Rahardjo Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasannya: Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Edisi I. PT Gallus Indonesia Utama. Jakarta. Radji, Maksum. 2006. Avian Influenza A (H5N1): Patogenesis, Pencegahan dan Penyebaran pada Manusia. Jakarta: Majalah Ilmu Kefarmasian volume III no 2; 55-65 Riddel.1987. Avian Histopathology. American Association of Avian Pathologis. University of Pennsylvania, New Boston Center Pennsylvania. Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2008. “Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung”. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan , Institut Pertanian Bogor. Soejoedono RD, Handaryani E. 2005. Flu Burung. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudiana K. 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Salemba Medika. Suri S. 2007. Viral structure and taxonomy dalam Avian Influenza (Bird Flu). [terhubung berkala].http://www.csa.com/discoveryguides/avian/review2.php [10 Oktober 2009] Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya (Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral) Volume I. Yogyakarta : Kanisius. Taha SR. 2009. Kajian Potensi Ekstrak Tanaman Obat Sambiloto (Andrographis panicula Nees) dan Beluntas (Pluchea indica Less.)Sebagai Alternatif Bahan Obat Flu Burung [tesis]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tizard IR. 1988. Veterinary Immunology An Introduction. Edisi ke-3. Masduki P, Penerjemah. Surabaya: Airlangga Univ Press. Pp: 74. Winarto WP. 2003. Sambiloto, Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat Seri Agri Sehat. Penebar Swadaya. Jakarta.
34
35
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Uji Kruskal Wallis Histopatologi Organ Limpa
HASIL UJI KRUSKAL WALLIS PADA ORGAN LIMPA
Ranks
RESPON
Perlakuan
N
K1 K2 P1 P2 Total
20 20 20 20 80
Mean Rank 29,13 65,97 27,50 39,40
Test Statistics(a,b) RESPON ChiSquare df Asymp. Sig.
42,035 3 ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
Grouping B D A C
36
Lampiran 2 Hasil Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjutan Duncan’s Rataan Edema pada Bursa Fabricius
HASIL ANALISIS RAGAM (ANOVA) EDEMA PADA BURSA FABRICIUS The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
4
K1 K2 P1 P2
Perlakuan
Number of Observations Read
8
Number of Observations Used
8
Dependent Variable: Y1 EDEMA Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
8550.000000
2850.000000
11.40
0.0198
Error
4
1000.000000
250.000000
Corrected Total
7
9550.000000
R-Square
Coeff Var
Root MSE
Y1 Mean
0.895288
33.28713
15.81139
47.50000
Source Perlakuan
Source Perlakuan
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
8550.000000
2850.000000
11.40
0.0198
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
8550.000000
2850.000000
11.40
0.0198
37
HASIL UJI LANJUTAN DUNCAN'S The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Y1 Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
0.10
Alpha
4
Error Degrees of Freedom
250
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2
3
4
43.90
44.86
45.09
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A
100.00
2
K2
B
50.00
2
P1
B
20.00
2
K1
B
20.00
2
P2
38
Lampiran 3 Hasil Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjutan Duncan’s Rataan Fokus Nekrotik pada Bursa Fabricius
HASIL ANALISIS RAGAM (ANOVA) FOKUS NEKROTIK PADA BURSA FABRICIUS The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
Perlakuan
4
K1 K2 P1 P2
Number of Observations Read
8
Number of Observations Used
8
The GLM Procedure Dependent Variable: Y1 FOKUS NEKROTIK Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
6.12060000
2.04020000
5.78
0.0616
Error
4
1.41120000
0.35280000
Corrected Total
7
7.53180000
R-Square
Coeff Var
Root MSE
Y1 Mean
0.812634
117.6178
0.593970
0.505000
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Perlakuan
3
6.12060000
2.04020000
5.78
0.0616
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Perlakuan
3
6.12060000
2.04020000
5.78
0.0616
39
HASIL UJI LANJUTAN DUNCAN'S The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Y1
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.10
Alpha
4
Error Degrees of Freedom
0.3528
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2
3
4
1.649
1.685
1.694
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A
2.0200
2
K2
B
0.0000
2
K1
B
0.0000
2
P1
B
0.0000
2
P2
40
Lampiran 4 Hasil Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjutan Duncan’s Rataan Deplesi Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius
HASIL ANALISIS RAGAM (ANOVA) DEPLESI LYMPHOID PADA BURSA FABRICIUS The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
Perlakuan
4
K1 K2 P1 P2
Number of Observations Read
8
Number of Observations Used
8
The GLM Procedure Dependent Variable: Y1 DEPLESI LYMPHOID Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
1212.036950
404.012317
1.15
0.4314
Error
4
1406.717200
351.679300
Corrected Total
7
2618.754150
R-Square
Coeff Var
Root MSE
Y1 Mean
0.462830
57.75965
18.75311
32.46750
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Perlakuan
3
1212.036950
404.012317
1.15
0.4314
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Perlakuan
3
1212.036950
404.012317
1.15
0.4314
41
HASIL UJI LANJUTAN DUNCAN'S The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Y1
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.10
Alpha
4
Error Degrees of Freedom
351.6793
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2
3
4
52.07
53.21
53.48
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perlakuan
A
52.21
2
K2
A
32.45
2
P1
A
25.90
2
P2
A
19.31
2
K1