IDEN NTIFIKAS SI PROTO OZOA PA ARASITIIK PADA A TINJA OWA O JAW WA (Hylo obates mooloch Aud debert 179 98) DI HABITAT H T EX SITU U
SAL LSABILA YAZTHII
FAK KULTAS KEDOK KTERAN HEWAN N IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2010 0
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Identifikasi Protozoa Parasitik pada Tinja Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di Habitat Ex Situ adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Salsabila Yazthi NIM B04053747
ABSTRAK
SALSABILA YAZTHI. Identifikasi Protozoa Parasitik pada Tinja Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di Habitat Ex Situ. Dibimbing oleh SRI UTAMI HANDAJANI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan protozoa parasitik pada tinja owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di habitat ex situ sehingga dapat dilihat kemungkinan penularan protozoa ini melalui pakan, air, sanitasi kandang atau perawatan satwa. Sampel tinja diambil dari owa jawa di Pusat Studi Satwa Primata PSSP LPPM-IPB dan Javan Gibbon Center (JGC), Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Sukabumi. Pemeriksaan tinja menggunakan metode natif dan metode pengapungan. Protozoa parasitik tidak ditemukan pada tinja owa jawa di PSSP, sedangkan pada tinja owa jawa di JGC ditemukan protozoa parasitik, yaitu genus Entamoeba dan genus Balantidium. Keberadaan protozoa parasitik ini erat kaitannya dengan program pemeliharaan, seperti manajemen pakan, kandang dan kesehatan owa jawa di habitat ex situ. Program pemeliharaan yang baik dapat meminimalkan infeksi dari protozoa parasitik dan penularan terhadap satwa atau pun SDM yang bekerja dengan owa jawa. Kata kunci: Owa jawa, Hylobates moloch, protozoa parasitik, pemeliharaan
ABSTRACT SALSABILA YAZTHI. Identification of Parasitic Protozoa From Faeces of Silvery Javan Gibbons (Hylobates moloch Audebert 1798) in Ex Situ Habitat. Under direction of SRI UTAMI HANDAJANI.
This study was aimed to observe the existence of parasitic protozoa in faeces sample, that were collected from silvery javan gibbons (Hylobates moloch Audebert 1798) in ex situ habitat. It has been evaluated a probability of a protozoa transmission through the feeding, water, cage sanitation or animal care. Faeces were collected from silvery javan gibbons at The Primate Research Center of Bogor Agricultural University and The Javan Gibbon Center, Bodogol, Gunung Gede Pangrango National Park, Sukabumi. Faeces examination using natif and flotation methods. No parasitic protozoa found in silvery javan gibbons’s faeces from The Primate Research Center, while it was found in silvery javan gibbons’s faeces from The Javan Gibbon Center. The genus of protozoa were Entamoeba and Balantidium. The existence of these parasitic protozoa closely related to the care programs, such as feeding, cage and healthy management of silvery javan gibbons in ex situ habitat. A good care program can minimize the risk of infection from parasitic protozoa and transmission of any animal or human resources working with the gibbons. Keywords: Silvery javan gibbons, Hylobates moloch, parasitic protozoa, care
IDENTIFIKASI PROTOZOA PARASITIK PADA TINJA OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1798) DI HABITAT EX SITU
SALSABILA YAZTHI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi Nama NIM
: Identifikasi Protozoa Parasitik pada Tinja Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di Habitat Ex Situ : Salsabila Yazthi : B04053747
Disetujui
Dr. drh. Sri Utami Handajani, MS Pembimbing
Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP: 19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul karya ilmiah ini adalah ‘Identifikasi Protozoa Parasitik pada Tinja Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di Habitat Ex Situ’. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 hingga Oktober 2009. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Ibu Dr. drh. Sri Utami Handajani, MS atas ilmu, bantuan, bimbingan dan waktu yang diberikan selama penulisan skripsi ini 2. Bapak Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS selaku moderator dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen penilai seminar hasil atas masukan dan perbaikannya 3. Bapak drh. Isdoni, M.Biomed dan drh. Agus Wijaya, M.Sc, Ph.D selaku dosen penguji pada UASKH atas ilmu, masukan dan perbaikan untuk skripsi ini 4. Bapak drh. Nurhidayat, MS selaku dosen pembimbing akademik atas kesabaran, nasehat dan bimbingan selama proses perkuliahan 5. Pimpinan Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM-IPB Bpk. Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc, drh. Permanawati dan seluruh staf 6. Manajer Javan Gibbon Center (JGC) Bpk. Anton Ario, Teh Iip, keeper (Ayung, Pak Icas, Igud) 7. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kepala Bidang Wilayah III Bogor, Pak Ali atas perizinan 8. Seluruh staf dosen, pegawai dan laboran di Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Ibu Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS, Ibu drh. Hj Tutuk Astyawati, MS, Bu Nani, Pak Saryo dan Pak Komar 9. Kedua orangtua, Bapak Yazid Maksum dan Ibu Roestia serta adik tersayang, Nur Millah Yazthi di Depok atas dukungan, kesabaran, kasih sayang dan materi yang diberikan 10. Teman-teman Goblet 42 atas kebersamaan dan kenangan selama masa perkuliahan
11. Astriwana, Syifa, Cipie, Kak Rani, Kak Winny atas masukan, dukungan dan persahabatan selama ini 12. Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB, atas kebersamaan, dukungan, ilmu dan pengalaman yang berharga dan tak terlupakan 13. Keluarga Besar Himpro Satwaliar atas kebersamaan, ilmu dan pengalaman yang berkesan 14. Keluarga Besar Alcatraz Balebak (Windi, Trimi, Mpuss, Baqi, Mbo, Asti, Lidie, Saphie, Mamah, Yuni, Aan dan Putri) yang selalu menemani hari-hari, dukungan, semangat, tawa canda dan persahabatan selama ini 15. Supriyono D. Atmojo atas kesabaran, dukungan dan kebersamaan selama ini 16. Edi Wiraguna atas bantuan selama pengambilan sampel 17. Semua pihak yang telah membantu
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Januari 2010
Salsabila Yazthi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 31 Oktober 1986 dari Ayahanda Yazid Maksum dan Ibunda Roestia. Penulis merupakan putri sulung dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Mekar Jaya 31 Depok pada tahun 1999. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 103 Jakarta Timur dan lulus tahun 2002. Penulis kemudian menghabiskan masa putih abu-abu di SMA Negeri 39 Jakarta Timur pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjadi pilihan pertama. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di organisasi lingkup Fakultas Kedokteran Hewan, yaitu Himpro Satwaliar dan panitia di beberapa acara kelembagaan mahasiswa FKH. Penulis juga pernah mengikuti magang liburan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi pada tanggal 3-10 Juli 2007. Di lingkup IPB, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM UKF). Penulis juga mengikuti berbagai kepanitiaan kegiatan yang diselenggarakan UKM UKF dan IPB. Selain itu, penulis juga tergabung dalam organisasi ekstra kampus, yaitu Forum Badak Indonesia.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Tujuan ................................................................................................. 1.3 Manfaat ...............................................................................................
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798)................................... 2.1.1 Taksonomi .............................................................................. 2.1.2 Morfologi ............................................................................... 2.1.3 Perilaku .................................................................................. 2.1.4 Pakan ...................................................................................... 2.1.5 Habitat dan Penyebaran.......................................................... 2.1.6 Status Konservasi ................................................................... 2.1.7 Penyakit Parasit ...................................................................... 2.2 Protozoa .............................................................................................. 2.2.1 Morfologi ............................................................................... 2.2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup ................................................ 2.2.3 Klasifikasi Protozoa ...............................................................
3 3 3 3 4 5 5 6 6 7 7 8 9
3 BAHAN DAN METODE ........................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................. 3.2 Bahan dan Alat .................................................................................... 3.3 Metode ................................................................................................ 3.3.1 Pengambilan Sampel .............................................................. 3.3.2 Teknik Parasitologi ................................................................ 3.4 Identifikasi Protozoa ........................................................................... 3.5 Analisis Data .......................................................................................
10 10 10 10 10 11 12 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 4.1 Protozoa Parasitik ............................................................................... 4.1.1 Genus Entamoeba .................................................................. 4.1.2 Genus Balantidium ................................................................. 4.2 Profil Lembaga Ex Situ ....................................................................... 4.3 Hubungan Infeksi Parasit dengan Program Pemeliharaan .................. 4.3.1 Manajemen Pakan .................................................................. 4.3.2 Manajemen Kandang ............................................................. 4.3.3 Manajemen Kesehatan ...........................................................
13 13 13 16 17 18 18 21 22
5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 5.2 Saran....................................................................................................
24 24 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
25
LAMPIRAN .....................................................................................................
28
DAFTAR TABEL Halaman 1 Keberadaan protozoa parasitik pada owa jawa ............................................
13
2 Jenis pakan owa jawa di dua lokasi studi .....................................................
19
3 Manajemen kandang di dua lokasi studi ......................................................
21
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798)............................................
3
2a Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan kista genus Entamoeba................................................................................
14
2b Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan Entamoeba histolytica .................................................................................
14
3 Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan genus Balantidium .......................................................................................
17
4 Jenis pakan owa jawa, (a) buah hutan dan (b) pakan tambahan di Javan Gibbon Center ...................................................................................
19
5 Kandang introduksi di Javan Gibbon Center ..............................................
22
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Data individu owa jawa di dua lokasi studi .................................................
29
2 Keberadaan protozoa parasitik pada owa jawa di dua lokasi studi ..............
30
3 Manajemen pakan owa jawa di dua lokasi studi ..........................................
31
4 Contoh kandang tertutup ..............................................................................
32
5 Owa jawa di dua lokasi studi .......................................................................
34
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara utama dan penting di dunia dalam
keanekaragaman hayatinya. Sebagian satwaliar di dunia terdapat di Indonesia, yaitu 12% jenis mamalia, 17% jenis burung, 15% jenis reptil dan amfibi dan 25% jenis ikan (Colijn & Sozer 2000). Namun jumlah populasi satwaliar di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pemanfaatan oleh manusia, gangguan alam maupun sifat genetik satwa itu sendiri. Perlindungan terhadap satwaliar pun diberlakukan. Di Indonesia status satwa dikelompokkan menjadi satwa dilindungi dan satwa tidak dilindungi. Saat ini pemerintah telah memberlakukan perlindungan mutlak terhadap beberapa jenis satwa, seperti mamalia sebanyak 95 jenis, aves 379 jenis, reptilia 30 jenis, pisces 6 jenis, dan insekta 20 jenis. Dasar pengelompokan ini berpedoman pada status kelangkaan satwa dan derajat ancaman terhadap satwa (Dirjen PKA 2000). Ada 195 jenis primata di dunia, 40 jenis ditemukan di Indonesia dan 24 jenis diantaranya merupakan endemik yang hanya hidup di negeri ini (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) merupakan primata endemik di Pulau Jawa. Satwa ini hanya hidup di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Populasinya hingga saat ini kurang dari 200 ekor di alam bebas. Banyak orang belum mengenal satwa ini sehingga kurang mendapat perhatian dalam upaya pelestariannya. Saat ini banyak lembaga konservasi ex situ yang berusaha untuk menjaga kelestarian owa jawa. Kegiatan pengelolaan satwaliar mencakup usaha perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Pencegahan penyakit merupakan salah satu upaya perlindungan. Penyakit parasit pada primata disebabkan oleh adanya baik infestasi ektoparasit maupun infeksi oleh endoparasit. Infestasi dan infeksi oleh parasit dapat menyebabkan gangguan fisiologis tubuh hewan, seperti penurunan bobot badan, penurunan tingkat produksi, stres dan bahkan kematian. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai keberadaan protozoa parasitik pada owa jawa di habitat ex situ sehingga dapat dilihat kemungkinan
sumber penularan protozoa ini. Dengan adanya informasi awal ini maka tindakan pencegahan dapat dilakukan terhadap infeksi protozoa parasitik.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan morfologi
protozoa parasitik pada owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) dan mempelajari manajemen perawatan satwa sehingga dapat meminimalkan penularan protozoa parasitik.
1.3
Manfaat Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis-
jenis protozoa parasitik pada satwaliar primata, khususnya owa jawa. Informasi ini sebagai informasi awal kemungkinan penularan protozoa parasitik berkaitan dengan manajemen perawatan satwa di habitat ex situ.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798)
2.1.1 Taksonomi Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2008), klasifikasi owa jawa atau Silvery Javan Gibbon (Hylobates moloch) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Famili
: Hylobatidae
Genus
: Hylobates
Spesies
: Hylobates moloch (Audebert 1798)
Sub spesies
: Hylobates moloch moloch Hylobates moloch pangoalsoni
Sumber: http://www.belfastzoo.co.uk
Gambar 1 Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798).
2.1.2 Morfologi Tubuh owa jawa ditutupi rambut kecoklatan hingga keperakan atau kelabu. Bagian atas kepala dan muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu. Dagu
pada beberapa individu berwarna hitam. Warna rambut jantan dan betina sedikit berbeda terutama dalam tingkatan umur. Pada umumnya anak yang baru lahir berwarna lebih cerah. Panjang tubuh owa jawa dewasa berkisar antara 750-800 mm dengan berat tubuh jantan 4-8 kg dan betina 4-7 kg. Owa jawa dibedakan menjadi dua sub spesies, yaitu Hylobates moloch moloch yang berwarna lebih gelap dan Hylobates moloch pangoalsoni yang berwarna lebih terang (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa memiliki lengan dan jari yang panjang serta tidak memilki ekor sehingga memudahkan pada saat berayun dari satu pohon ke pohon lain (Anonim 2009a). Owa jawa memiliki kantong suara yang terletak di bawah dagu untuk mempertinggi suara yang dikeluarkan (Anonim 2009b). Baik jantan maupun betina dapat mengeluarkan suara apabila terdapat bahaya atau yang lebih dikenal dengan alarm call.
2.1.3 Perilaku Owa jawa adalah satwa primata yang sepenuhnya hidup di atas pohon (arboreal) dan jarang turun ke tanah. Pergerakan satwa ini dilakukan dengan berayun (brankiasi) dari satu pohon ke pohon lain dengan jarak mencapai lebih dari 10 m. Owa jawa juga memanjat saat makan dan bergerak pelan. Selain itu, owa jawa juga mampu berpindah tempat dalam jarak pendek menggunakan kedua kakinya (bipedal). Daerah jelajah owa jawa berkisar antara 16-17 ha dan jelajah harian dapat mencapai 1500 m. Owa jawa aktif pada pagi hingga sore hari (diurnal). Siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling mencari kutu antara jantan dan betina pasangannya atau antara ibu dan anaknya dan pada malam hari tidur di percabangan pohon (Supriatna & Wahyono 2000). Satwa primata ini memiliki suara yang nyaring dan saling bersahutan. Pada pagi hari owa jawa selalu mengeluarkan lengkingan nyaring yang disebut dengan morning call. Suara yang sangat keras ini dapat terdengar hingga sejauh satu km. Biasanya jantan lebih dahulu bersuara disusul betina. Ada empat jenis suara yang dikeluarkan owa jawa, yaitu suara betina untuk menandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjumpa dengan kelompok tetangganya, suara yang dikeluarkan bersama antar keluarga saat terjadi konflik dan suara dari
anggota keluarga sebagai tanda bahaya. Suara tanda bahaya dikeluarkan bila ada satwa pemangsa di sekitarnya, seperti macan tutul atau macan kumbang (Panthera pardus) (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain kedua induk, di dalam keluarga juga terdapat 1-2 anak yang belum mandiri. Pasangan owa jawa akan menghasilkan rata-rata 5-6 keturunan selama masa reproduksi, yaitu sekitar 10-20 tahun. Owa jawa hanya melahirkan satu keturunan tiap kelahiran dengan masa kebuntingan sekitar 197-210 hari dan jarak kelahiran sekitar 3-4 tahun. Anak owa jawa akan meninggalkan kelompoknya ketika mereka mencapai dewasa kelamin (siap kawin) pada umur 8-9 tahun. Umumnya owa jawa dapat hidup hingga 35 tahun (Supriatna & Wahyono 2000).
2.1.4 Pakan Owa jawa mengkonsumsi lebih kurang 125 jenis tumbuhan. Bagian tumbuhan yang sering dimakan, antara lain 61% buah, 38% daun dan sisanya berbagai jenis makanan, seperti bunga dan berbagai jenis serangga (Supriatna & Wahyono 2000). Satwa primata ini merupakan hewan frugivora yang memakan buah-buahan di kanopi bagian atas hutan hujan tropis. Owa jawa lebih menyukai buah-buahan dengan kandungan gula yang tinggi.
2.1.5 Habitat dan Penyebaran Owa jawa merupakan primata endemik yang hanya ditemukan di Pulau Jawa. Sebaran Hylobates moloch moloch terbatas pada hutan-hutan di Jawa Barat, terutama pada daerah yang dilindungi, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweung Sancang serta hutan lindung di Gunung Ciremai. Hylobates moloch pangoalsoni hanya ditemukan di sekitar Gunung Slamet hingga sekitar Pegunungan Dieng di Jawa Tengah (Supriatna & Wahyono 2000). Owa jawa hidup di hutan hujan tropik, mulai dari dataran rendah, pesisir hingga pegunungan pada ketinggian 1400-1600 m dpl. Namun satwa ini jarang ditemukan di dalam hutan pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Vegetasi dan
jenis tumbuhan yang berada pada daerah setinggi itu bukan merupakan sumber pakan owa jawa. Selain itu, banyaknya lumut yang menutupi pepohonan dapat menyulitkan pergerakan brankiasi owa jawa (Supriatna & Wahyono 2000).
2.1.6 Status Konservasi Primata endemik ini merupakan salah satu satwa primata yang terancam punah. Owa jawa termasuk kategori CR (Critically Endangered) dalam IUCN Red List 2006 (IUCN 2008). Selain itu, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) mengategorikan owa jawa dalam Appendix 1, yaitu spesies satwaliar yang dilarang dari segala bentuk perdagangan internasional. Semua jenis dari famili Hylobatidae adalah dilindungi menurut PP No. 7 tahun 1999 (Maryanto et al. 2008). Owa jawa juga telah dilindungi oleh Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266 tahun 1931, Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991. Meskipun demikian, populasi dan habitat owa jawa mengalami penyusutan sebesar 96%, yaitu semula menempati habitat seluas 43.274 km2 dan sekarang hanya tinggal 1.608 km2. Populasinya pun hanya 200-400 ekor di alam (Supriatna & Wahyono 2000). Oleh karena itu, upaya penangkaran ex situ, perlindungan habitat dan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menyelamatkan satwa endemik Pulau Jawa ini.
2.1.7 Penyakit Parasit Penyakit parasit merupakan salah satu komponen pendukung punahnya satwa primata di alam bebas. Telah banyak penelitian mengungkapkan tentang keberadaan parasit di satwaliar untuk tujuan konservasi. Kehidupan yang bebas merupakan salah satu faktor timbulnya keanekaragaman parasit yang ada pada satwaliar tersebut. Menurut Sulistiawati (2008), penyakit pada primata yang disebabkan oleh endoparasit, khususnya protozoa, antara lain enteritis, toxoplasmosis, dan malaria. Enteritis atau radang pada usus disebabkan oleh Entamoeba histolytica, Entamoeba coli, Giardia lambia dan Balantidium coli. Gejala klinis yang nampak
adalah diare, lemas terjadi kelemahan otot, sakit kepala dan penurunan berat badan. Muangkram et al. (2006) melaporkan bahwa gejala klinis infestasi parasit saluran pencernaan pada genus Hylobates, antara lain depresi, anorexia, penurunan berat badan dan diare. Malaria pada primata disebabkan oleh Plasmodium sp.. Gejala klinis yang terlihat, antara lain demam, pucat, lemas dan penurunan berat badan. Penyebab penyakit parasit pada primata oleh cacing, antara lain Hyostrongylus rubidis, Trychostrongylus sp., Oesphagustomum sp., Trichuris sp., Strongyloides sp. dan Ascaridia sp.. Diagnosa dapat dilakukan dengan pengamatan pada tinja segar. Gejala yang sering terlihat adalah diare ringan hingga berat, seperti disentri. Parasit masuk ke tubuh inangnya dengan cara menelan langsung kista, melalui inang antara atau dengan cara tidak langsung melalui penetrasi kulit oleh parasit darah. Semua parasit dapat menjadi patogen ketika mekanisme kekebalan inang gagal, seperti pada saat stres, kebuntingan, kondisi menurun, tua atau penyakit (Mul et al. 2007). Beberapa parasit dapat pula menyebabkan penyakit yang bersifat zoonosis.
2.2
Protozoa
2.2.1 Morfologi Protozoa adalah organisme monoseluler dengan inti yang diselubungi oleh membran (selaput) atau eukaryotik. Protozoa tersusun dari organela-organela dan bukan organ karena mereka merupakan sel yang berdeferensiasi (Levine 1990). Protozoa berukuran mikroskopis dan bentuk tubuhnya bervariasi sesuai dengan jenis makanannya. Komponen dasar protozoa adalah inti dan sitoplasma. Inti protozoa memiliki berbagai bentuk, ukuran dan struktur. Komponen penting inti protozoa adalah membrana inti, kromatin, plastin dan nukleoplasma atau cairan inti. Secara struktural inti dibagi menjadi dua tipe, yaitu vesikuler dan kompak. Inti vesikuler terdiri dari membrana inti yang kadang-kadang sangat lembut tetapi jelas, nukleoplasma, akromatin dan kromatin. Disamping itu, badan intranuklear biasanya agak bulat dan tersusun dari kromatin, nukleolus atau plasmasoma. Sebaliknya inti kompak bersifat padat karena mengandung banyak substansi kromatin dan sedikit jumlah nukleoplasma (Tampubolon 2004).
Sitoplasma protozoa berisi bermacam-macam organel, antara lain retikulum endoplasma
dan
ribosom
seperti
pada
sel
eukaryotik
lainnya.
Pada
mitokondrianya, krista berbentuk tubuler lebih banyak daripada yang berbentuk piringan seperti yang terdapat pada organisme tingkat tinggi serta organel yang lain seperti aparat golgi, vakuola kontraktil, vakuola makanan dan silia atau flagela (Tampubolon 2004). Protozoa bergerak dengan flagela, silia, pseudopodia dan selaput undulasi (Levine 1990). Alat gerak ini juga berguna dalam usaha mendapatkan makanan.
2.2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup Reproduksi pada protozoa dapat terjadi secara seksual atau aseksual. Ada tiga tipe reproduksi aseksual, yaitu pembelahan biner, pembelahan multiple (skizogoni) dan tunas (budding). Pembelahan biner biasanya terdapat pada Amoeba, flagellata dan ciliata; inti membagi dua dan tubuh melakukan hal yang sama. Pada pembelahan skizogoni, inti membelah berulang-ulang, sitoplasma bergabung mengelilingi setiap inti, dan kemudian sitoplasma membelah (Levine 1990). Endodiogeni merupakan tipe istimewa dari pembelahan biner dimana dua sel anak terbentuk di dalam sel induk dan kemudian pecah keluar dengan merusakkannya. Endopoligeni merupakan tipe yang sama dengan skizogoni. Tipe ke-3 dari reproduksi aseksual adalah tunas, dimana sel anak yang kecil secara individu memisahkan dari sisi induk dan kemudian tumbuh menjadi berukuran penuh. Pembelahan inti yang vesikuler atau inti mikro biasanya melalui mitosis, sedangkan pembelahan inti makro secara amitosis (Levine 1990). Menurut Levine (1990) terdapat dua tipe reproduksi seksual yang terdapat pada protozoa, yaitu singami dan konjugasi. Singami adalah terbentuknya dua gamet haploid yang bergabung membentuk suatu zigot. Gamet-gamet yang mungkin mirip satu sama lain disebut isogami, sedangkan yang berbeda disebut anisogami. Pada anisogami, gamet yang lebih kecil adalah mikrogamet dan yang lebih besar disebut makrogamet. Gamet-gamet diproduksi oleh sel khusus (gamon), mikrogamet diproduksi oleh mikrogamon atau mikrogametosit dan makrogamet diproduksi oleh makrogamon atau makrogametosit. Proses
pembentukan gamet tersebut disebut dengan gametogoni. Pada konjugasi, dua individu dari spesies yang sama mendekat satu sama lain untuk tujuan pertukaran badan inti. Inti makro berdegenerasi dan inti mikro membelah beberapa kali. Salah satu bakal inti haploid hasil pembelahan ini beralih dari satu konjugan ke dalam konjugan lain. Kemudian konjugan-konjugan tersebut memisah, bakal inti bergabung dan terjadi regenerasi inti. Beberapa protozoa membentuk kista yang resisten terhadap lingkungan luar pada kondisi tertentu (Levine 1990). Protozoa menjadi kista pada kondisi suhu yang optimum, penguapan, perubahan pH, kandungan oksigen yang cukup dan kelembaban yang mendukung (Tampubolon 2004).
2.2.3 KIasifikasi Protozoa Protozoa diklasifikasikan menjadi lima kelompok utama, yaitu filum Sarcomastigophora (memiliki flagela, pseudopodia atau kedua tipe organel lokomosi, tidak membentuk spora), filum Apicomplexa (memiliki komplek apikal, tidak memiliki silia dan flagela, seringkali ada kista dan bersifat parasit), filum Microspora (memiliki spora, pada invertebrata dan vertebrata berderajat rendah), filum Myxospora (memiliki spora, parasit pada vertebrata berderajat rendah terutama ikan), dan filum Ciliophora (memiliki silia, hampir semua jenisnya hidup bebas) (Levine 1990).
3 BAHAN DAN METODE 3.1
Waktu dan Tempat Pengambilan sampel dimulai pada bulan Juli hingga September 2009 di
Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB) dan Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa atau Javan Gibbon Center (JGC), Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi. Identifikasi protozoa dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2009 di Laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3.2
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah tinja owa jawa, eosin 2%, lugol, air
dan larutan garam jenuh. Alat-alat yang digunakan adalah kantong plastik transparan (zip lock) ukuran 0,5 kg, kantong plastik hitam, label nama, pulpen, cool box, timbangan, tabung sentrifus, sentrifus, pipet tetes, mikroskop cahaya, tisu, gelas obyek, gelas penutup, pengaduk (lidi), sendok, gelas ukur, lemari es dan kamera digital.
3.3
Metode
3.3.1 Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan sampel tinja owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) yang diambil di PSSP LPPM-IPB dan Javan Gibbon Center (JGC). Pengambilan sampel di PSSP LPPM-IPB dilakukan sebanyak 8 kali, yaitu seminggu 2 kali selama satu bulan dari 4 ekor owa jawa. Jumlah sampel dari PSSP LPPM-IPB adalah 37, sedangkan pengambilan sampel di JGC dilakukan sebanyak 4 kali dari 6 ekor owa jawa dengan jumlah sampel adalah 24. Semua sampel diperoleh dengan mengambil langsung tinja segar dari kandang. Pengambilan sampel tinja di PSSP LPPM-IPB dilakukan oleh dokter hewan berwenang, sedangkan pengambilan sampel di JGC dilakukan sendiri dengan
pengawasan dari perawat satwa (keeper). Sampel kemudian dimasukkan ke kantong plastik transparan zip lock dan diberi identitas, yaitu nama, kondisi tinja, tempat dan tanggal pengambilan. Sampel kemudian dimasukkan ke cool box dan dibawa untuk selanjutnya diamati di laboratorium.
3.3.2 Teknik Parasitologi Metode Pemeriksaan Natif Prosedur: 1
Satu hingga tiga tetes lugol/eosin 2% diteteskan diatas gelas obyek dan ditambahkan sedikit tinja yang masih segar di atas gelas obyek.
2
Kemudian dihomogenkan menggunakan lidi dan setelah homogen kemudian ditutup dengan gelas penutup.
3
Setelah itu diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 45 (Cahyaningsih et al. 2008).
Metode Pengapungan (Flotasi) dengan Garam Jenuh Metode ini dilakukan apabila pada pemeriksaan natif tidak terlihat adanya protozoa. Prosedur: 1
Tinja sebanyak 1 gram dicampur dengan larutan garam jenuh sebanyak 29 ml, kemudian dihomogenkan dengan cara mengaduk dengan lidi dan kemudian disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit.
2
Setelah
disentrifus,
kemudian
didapatkan
larutan
hasil
akhir.
Supernatan pada larutan tersebut diambil sedikit pada bagian permukaan dengan menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 45 (Cahyaningsih et al. 2008).
3.4
Identifikasi Protozoa Protozoa yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan morfologi dan struktur
yang dicocokkan dengan literatur bahan pustaka.
3.5
Analisis Data Data yang didapat dianalisis secara deskriptif.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini kondisi semua tinja yang diperoleh adalah normal. Ciriciri tinja owa jawa yang normal, yaitu berwarna kuning hingga coklat kehitaman, berbentuk seperti tinja manusia namun berukuran lebih kecil, tidak ada darah dan mukus serta konsistensi lembek dan tidak berair.
4.1
Protozoa Parasitik Hasil pengamatan pada 37 sampel tinja dari 4 ekor owa jawa di PSSP
LPPM-IPB tidak ditemukan protozoa parasitik. Menurut Permanawati1 (2009, komunikasi pribadi), pada tahun 2006 pernah ditemukan protozoa parasitik pada pemeriksaan tinja owa jawa di PSSP LPPM-IPB. Protozoa parasitik yang ditemukan, yaitu Entamoeba sp. dan Balantidium sp.. Protozoa ini ditemukan hanya pada satu ekor owa jawa. Hasil pengamatan 24 sampel tinja dari 6 ekor owa jawa di JGC ditemukan protozoa parasitik. Protozoa parasitik ini ditemukan tidak pada semua owa jawa di JGC.
Tabel 1 Keberadaan protozoa parasitik pada owa jawa No
Lokasi
Protozoa Entamoeba
Balantidium
1
PSSP LPPM-IPB
-
-
2
JGC
+
+
Keterangan: - tidak ditemukan protozoa parasitik + ditemukan protozoa parasitik
4.1.1 Genus Entamoeba Menurut Soulsby (1982), Noble dan Noble (1989), dan Levine (1990), genus Entamoeba biasanya ditemukan di dalam intestinum invertebrata dan vertebrata. Kista memiliki inti yang vesikuler dengan endosoma kecil di dekat 1
drh. Permanawati, Pusat Studi Satwa Primata PSSP LPPM-IPB
pusat inti dan granul-granul di sekitarnya. Inti berjumlah 1-8 buah dan dapat disertai benda kromatid pada kista yang masih muda. Pada hasil penelitian ditemukan protozoa berbentuk bulat dengan inti seperti gelembung dengan jumlah yang bervariasi. Berdasarkan ciri-ciri yang diperoleh dan disesuaikan dengan literatur, maka protozoa yang ditemukan adalah bentuk kista dan dapat dimasukkan ke dalam genus Entamoeba.
Entamoeba sp. (kista)
1
1 2
Hasil pengamatan perbesaran 10 x 45
2
Sumber: http://www.wodsworth.org
Keterangan: 1. Dinding kista 2. Inti
Gambar 2a Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan kista genus Entamoeba.
Entamoeba histolytica
3
3 1
2 1
Hasil pengamatan perbesaran 10 x 45
Sumber: http://www.msgpp.org
Keterangan: 1. Dinding kista 2. Inti 3. Benda kromatid
Gambar 2b Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan Entamoeba histolytica
Selain itu, ditemukan pula protozoa (Gambar 2b) berbentuk bulat dengan inti yang tidak terlalu terlihat jelas dan benda kromatid yang berbentuk menyerupai
batang/cerutu.
Bentuk
benda
kromatid
yang
menyerupai
batang/cerutu merupakan bentuk yang khas pada kista Entamoeba histolytica (Levine 1990). Berdasarkan persamaan bentuk dan struktur, maka protozoa ini adalah Entamoeba histolytica. Menurut Soulsby (1982) dan Noble dan Noble (1989), E. histolytica dan Entamoeba coli dapat dijumpai pada manusia, primata, babi, anjing dan kucing. Joslin (1993) juga menyatakan bahwa E. histolytica patogen pada primata dan manusia. Entamoeba juga bahkan dapat ditemui di dalam protozoa lainnya (Farmer 1980). Protozoa ini memproduksi sebuah kista infektif yang tahan terhadap kekeringan dan disinfektan. Menurut Fortman et al. (2002) protozoa saluran pencernaan yang sering menginfeksi satwa primata, antara lain E. histolytica, Cryptosporidium spp. dan Balantidium coli. Penularan protozoa parasitik ini melalui fecal-oral route, kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan ekskretanya serta pakan dan air minum yang terkontaminasi. Menurut Gandahusada et al. (1998), manusia merupakan induk semang dari enam spesies Entamoeba yang hidup dalam usus besar, yaitu Entamoeba histolytica, Entamoeba coli, Entamoeba hartmanni, Iodamoeba butschlii, Dientamoeba fragilis, Endolimax nana dan satu spesies Entamoeba yang hidup dalam mulut, yaitu Entamoeba gingivalis. Semua Entamoeba ini tidak patogen kecuali E. histolytica yang dapat menjadi patogen. Menurut Gandahusada et al. (1998), E. histolytica memilki 3 bentuk dalam daur hidupnya, yaitu bentuk histolitika, bentuk minuta dan bentuk kista. Bentuk histolitika dan minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua bentuk trofozoit tersebut adalah bentuk histolitika bersifat patogen dan memiliki ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika berukuran 20-40 mikron, sedangkan ukuran bentuk minuta adalah 10-20 mikron. Bentuk kista berukuran 10-20 mikron dan berbentuk bulat atau lonjong. Bentuk kista ini juga merupakan bentuk yang infektif. Kista dikeluarkan bersama tinja dan dapat bertahan lama pada lingkungan.
Pada penelitian ini bentuk trofozoit tidak ditemukan pada tinja. Hal ini dikarenakan bentuk trofozoit tidak dapat bertahan lama diluar tubuh induk semang dibandingkan dengan bentuk kista (Handajani 2009, komunikasi pribadi)2. Namun menurut Soulsby (1982), trofozoit dapat ditemukan pada tinja hewan penderita diare. Menurut Linn et al. (2006), genus Entamoeba umumnya menginfeksi primata dunia baru (New World Monkey), primata dunia lama (Old World Monkey) dan kera. Old World Monkey biasanya lebih mudah tertular oleh E. histolytica (Joslin 1993). Gejala klinis yang ditimbulkan berupa kekurusan, dehidrasi, anorexia, muntah dan diare yang dapat disertai mukus dan darah, meskipun lebih sering asimtomatis. Penemuan patologi dari infeksi protozoa ini adalah ulcer pada mukosa usus yang selanjutnya dapat mengakibatkan colitis ringan. Rothman dan Bowman (2003) juga menemukan genus Entamoeba pada tinja gorilla pegunungan di Virunga dan Bwindi, Afrika. Kejadian alami E. histolytica dapat menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas pada primata (Lilly et al. 2002).
4.1.2 Genus Balantidium Selain Entamoeba, pada penelitian ditemukan protozoa berbentuk agak bulat dan oval. Berdasarkan morfologi yang sesuai, maka protozoa yang ditemukan dapat digolongkan ke dalam genus Balantidium. Genus Balantidium adalah parasit yang berhabitat pada usus besar manusia, babi, monyet dan beberapa hewan lainnya, seperti ruminansia dan kuda (Soulsby 1982). Menurut Soulsby (1982) dan Gandahusada et al. (1998), Balantidium coli memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif (trofozoit) dan bentuk kista. Bentuk trofozoit adalah lonjong dan berukuran 60-70 mikron. Bagian anterior menyempit dan terdapat sitostoma yang berfungsi sebagai mulut, sedangkan bagian posterior bentuknya melebar dan terdapat sitopig (cytopyge) yang berfungsi untuk mengeluarkan zatzat yang tidak diperlukan. Pada bentuk trofozoit juga terlihat adanya vakuola dan makronukleus. Seluruh permukaan dikelilingi oleh bulu getar (cilia) yang berfungsi sebagai alat lokomosi dan mengambil makanan. Kista genus 2
Dr. drh. Sri Utami Handajani, FKH IPB
Balantidium berbentuk ovoid, memiliki makronukleus berbentuk ginjal atau sosis dan berdinding tebal. Kista dalam tinja dapat hidup 1-2 hari pada suhu kamar.
Balantidium sp. (kista)
1 2
Hasil pengamatan perbesaran 10 x 45
1 2
Sumber: http://www.course1winona.edu
Keterangan: 1. Dinding kista 2. Makronukleus
Gambar 3 Perbandingan protozoa pada tinja owa jawa hasil pengamatan dengan genus Balantidium. Genus Balantidium biasanya bersifat non patogen namun terkadang dapat menyebabkan diare, colitis, penurunan berat badan dan letargi pada primata. Protozoa ini dapat ditemukan di Old World Monkey dan New World Monkey serta kera. Balantidium sp. juga dapat menyebabkan enterocolitis ulceratif yang hebat dan kematian pada jenis kera besar (Fortman et al. 2002).
4.2
Profil Lembaga Ex Situ Berdasarkan studi, dua lokasi studi memiliki tujuan yang berbeda dalam hal
upaya pelestarian owa jawa di habitat ex situ. PSSP LPPM-IPB yang bekerja sama dengan
Taman
Safari
Indonesia
(TSI)
mendirikan
sebuah
fasilitas
pengembangbiakan (breeding) ex situ untuk owa jawa yang dikenal dengan Fasilitas Breeding PSSP LPPM-IPB. Tujuan dari program ini adalah untuk mendukung program konservasi spesies melalui pengembangbiakan dalam penangkaran ex situ. Lain halnya dengan PSSP LPPM-IPB, program konservasi ex situ yang dilakukan oleh JGC adalah rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan satwa yang berada diluar habitatnya untuk dikembalikan ke habitat aslinya melalui rangkaian proses rehabilitasi. Upaya inilah yang dilakukan
oleh Yayasan Owa Jawa yang bekerja sama dengan Departemen Kehutanan RI yang didukung oleh Conservation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Universitas Indonesia dan Silvery Gibbon Project melalui program rehabilitasi di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center). Perbedaan tujuan dari dua lokasi studi ini menyebabkan adanya perbedaan perlakuan dalam program pemeliharaan. Namun kedua lokasi studi ini juga tetap memperhatikan prosedur dan standar pemeliharaan satwa primata yang diizinkan oleh Center for Disease Control (CDC).
4.3
Hubungan Infeksi Parasit dengan Program Pemeliharaan
4.3.1 Manajemen Pakan Owa jawa merupakan satwa primata frugivora, yaitu pemakan buah-buahan. Buah-buahan yang sering diberikan di JGC, antara lain pisang, apel, markisa, jeruk, pepaya dan manggis. JGC juga memberikan buah hutan yang didapatkan dari hutan sekitar. Pemberian pakan buah hutan ini dimaksudkan agar owa jawa terbiasa dengan pakan alaminya. Contoh buah hutan yang sering diberikan adalah buah harendong dan buah afrika. Selain buah, owa jawa juga menyukai hijauan, seperti kangkung. Pakan hijauan yang berasal dari hutan yang sering diberikan adalah daun rasamala. Pemberian pakan di JGC dilakukan setiap dua jam sekali, yaitu mulai pukul 06.00 hingga 16.00 WIB. Buah-buahan yang sering diberikan pada owa jawa di PSSP LPPM-IPB adalah jeruk, apel dan salak, sedangkan pakan hijauan yang diberikan adalah kangkung, sawi, buncis dan wortel. Selain buah dan hijauan, di PSSP LPPM-IPB juga memberikan monkey chow dan diberikan bersama pakan buah lainnya. Pakan diberikan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari.
Tabel 2 Jenis pakan owa jawa di dua lokasi studi Lokasi Buah-buahan
PSSP LPPM-IPB
JGC
Buah hutan (alami) -
Buah pasar (non alami) Jeruk Apel Salak
Harendong Afrika Darangdang Kondang Beunying Rasamala
Pisang Apel Markisa Jeruk Pepaya Manggis Asam Rambutan Sawo Kedondong Semangka Nanas Mangga Duku Anggur Bengkuang
Jenis Pakan Hijauan
Kangkung Sawi Buncis Wortel Kangkung Wortel Ketimun Terong Tomat Kacang panjang Jagung Daun pepaya
Pakan Tambahan
Monkey chow
Tahu rebus Ubi Tempe Vitamin Vitcom Telur puyuh
Sumber: www.Kotabelinyu.blogspot.com /IMG_3103_resize_resize1.jpg
(a)
(b)
Gambar 4 Jenis pakan owa jawa, (a) buah hutan dan (b) pakan tambahan di Javan Gibbon Center. Usaha pencegahan pembusukan pakan berbeda pada dua lokasi studi. Di PSSP LPPM-IPB pakan disimpan pada lemari pendingin, sedangkan di JGC memilih untuk memasok pakan dua kali seminggu. Kedua lokasi studi menjaga
kebersihan pakan dengan mencuci pakan lebih dahulu. Di PSSP LPPM-IPB buah dan hijauan dibersihkan menggunakan cairan pembersih khusus untuk buah dan sayur, sedangkan di JGC hanya dicuci dengan air dan buah hutan tidak dicuci. Buah hutan yang tidak dicuci ini dimaksudkan agar membiasakan owa jawa dengan kondisi buah alaminya. Penularan protozoa parasitik dapat terjadi melalui pakan dan air yang telah tercemar. Menurut Mootnick (1999) semua pakan harus diperiksa dan dicuci untuk menjamin kualitas pakan. Selain pakan, tempat pakan juga harus diperhatikan kebersihannya. PSSP LPPM-IPB membersihkan tempat pakan dua kali sehari. Air minum pada kedua lokasi studi ini selalu tersedia. PSSP LPPM-IPB dan JGC menggunakan sipper dan mangkuk air (ad libitum). PSSP LPPM-IPB melakukan evaluasi air rutin tiap tahun dan pengukuran pH air tiap dua minggu sekali. JGC tidak melakukan evaluasi kualitas air. Air yang digunakan untuk keseharian di JGC berasal dari sumber mata air gunung Pangrango yang dialiri melalui pipa sejauh 3,5 km (Ario 2009, komunikasi pribadi)3. Peran Entamoeba yang hidup bebas dan protozoa parasitik, yaitu E. histolytica dan B. coli sebagai agen dari waterborne zoonotic disease menurut Schuster dan Visvesvara (2004) telah teruji. Kedua protozoa parasitik ini menyebabkan disentri amoeba dan balantidiosis. Genus Entamoeba mudah menular melalui pakan atau air, dan sayuran mentah juga dapat menjadi sumber penularan (Soulsby 1982). Genus Entamoeba dapat ditemukan pada air yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung Entamoeba dan pakan yang dibersihkan dengan air yang telah terkontaminasi. Joslin (1993) menyatakan bahwa penularan E. histolytica adalah melalui pakan, air dan serangga. Menurut Marshall et al. (1997) pada tahun 1991 hingga 1994, protozoa parasitik yang sering ditemukan pada kasus waterborne disease, adalah Giardia lambia, Naegleria Fowleri, Acanthamoeba spp., E. histolytica, Cryptosporidium parvum, Cyclospora cayetanesis, Isospora belii dan mikrosporidia. Oleh karena itu, penanganan pakan dan air yang baik dapat meminimalkan dan mencegah kontaminasi dari protozoa parasitik ini dan menghindari penularan penyakit antar hewan. 3
Anton Ario, Manajer Javan Gibbon Center
4.3.2 Manajemen Kandang Kandang owa jawa secara umum terbagi dua jenis, yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka (pulau). Kandang tertutup adalah kandang yang dibatasi atap dan dinding, baik berbahan kawat, besi, kaca, plastik maupun bata. Adapun kandang terbuka berupa tempat terbuka yang tidak ditutupi oleh apapun dan biasanya dikelilingi parit sebagai pengaman sehingga disebut kandang pulau. Pemilihan bentuk kandang disesuaikan dengan luas lahan, jumlah owa jawa yang akan ditempatkan dan tujuan pembuatan kandang (Pramesywari 2008). Kandang owa jawa di JGC dilengkapi dengan kandang malam atau hook dan sistem pintu ganda. Hook berupa bangunan di belakang kandang peraga dengan panggung kayu dan dihubungkan dengan pintu geser yang dapat dibuka dari luar oleh perawat satwa. Unsur fisik kandang terdiri atas dinding kawat dan besi, atap fiber glass, daun dan plastik serta lantai semen. Sistem menjaga kebersihan kandang di JGC dilakukan tiap dua kali sehari dengan cara menggiring owa jawa masuk ke hook. Hal ini untuk memudahkan perawat satwa membersihkan kandang. Pertama, kotoran dan sisa pakan dibersihkan kemudian air disemprotkan ke lantai, dinding dan sudut kandang.
Tabel 3 Manajemen kandang di dua lokasi studi Profil Unsur
Kondisi
PSSP
JGC
Dinding kawat dan besi, lantai Dinding kawat dan besi, lantai semen dan paving block
semen
Baik dan terawat
Dinding korosif dan terkelupas,
kandang
lantai berlumut dan basah
Tempat pakan Ada
Ada
dan air Frekuensi
2x sehari (pagi dan sore)
2x sehari (pagi dan sore)
pembersihan
Di PSSP LPPM-IPB terdapat dua kandang yang dihubungkan dengan lorong sehingga pergerakan owa jawa menjadi luas. Dinding kandang terbuat dari kawat dan besi, sedangkan lantai terbuat dari semen dan paving block. Berdasarkan pengamatan pada kandang, kebersihan kandang selalu dijaga di dua lokasi studi.
Di PSSP LPPM-IPB dinding dan lantai dalam keadaan baik, bersih dan terawat. Lantai kandang di JGC telah banyak ditumbuhi lumut dan basah. Beberapa dinding kandang di JGC juga telah korosif dan terkelupas. Lokasi kandang dekat dengan vegetasi di sekitar. Hal ini juga dapat menyebabkan owa jawa terinfeksi protozoa parasitik. Menurut Gandahusada et al. (1998) dan Soulsby (1982), kista Entamoeba dapat hidup dalam lingkungan dingin dan lembab selama kurang lebih 12 hari dan mati pada suhu 50°C dalam waktu 7,5 jam atau kurang.
Gambar 5 Kandang introduksi di Javan Gibbon Center.
4.3.3 Manajemen Kesehatan Pemeriksaan kesehatan owa jawa di dua lokasi studi dilakukan secara rutin. Tindakan ini merupakan upaya pencegahan penyakit pada owa jawa. Salah satu prosedur pemeriksaan kesehatan pada dua lokasi studi ini adalah deteksi dan kontrol parasit yang mencakup pemeriksaan tinja. Pemeriksaan kesehatan di PSSP LPPM-IPB dilakukan tiap enam bulan atau apabila ditemukan kasus. Menurut Permanawati (2009, komunikasi pribadi) parasit yang pernah ditemukan pada owa jawa di PSSP LPPM-IPB, antara lain protozoa Entamoeba sp. dan Balantidium sp. serta cacing, antara lain larva Strongylus, Taenia sp., dan Trichuris sp.. Upaya pencegahan infeksi strongyloid dilakukan dengan pemberian kapur tohor tiap satu tahun sekali di kandang dan pemberian anthelmentik (deworming). Anthelmentik yang biasa digunakan adalah Trivexan® (Pyrantel pamoat dan mebendazole) dosis 0,5-1 tablet PO dan diberikan bersama dengan pakan. Teknik pemeriksaan tinja yang digunakan adalah pemeriksaan natif dan teknik apung.
Pemeriksaan kesehatan di JGC juga dilakukan tiap enam bulan atau apabila ditemukan kasus dan tidak ada pengobatan khusus. Pemeriksaan kesehatan meliputi, pemeriksaan darah, tinja dan TB (Tuberculosis). Menurut Mootnick (1998), sebaiknya seluruh tinja owa diamati tiap hari dan diperiksa rutin tiap tiga kali dalam setahun. Selain pemeriksaan tinja, pemeriksaan darah dan tes TB juga dilakukan kira-kira sekali dalam setahun untuk memastikan owa dalam keadaan sehat serta vaksinasi tetanus tiap tujuh tahun sekali. Kasus diare pernah terjadi di PSSP LPPM-IPB dan JGC namun belum diketahui penyebabnya.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.3
Kesimpulan 1. Protozoa parasitik yang ditemukan pada owa jawa di Javan Gibbon Center berdasarkan morfologi dan struktur adalah genus Entamoeba dan Balantidium. 2. Salah satu spesies dari genus Entamoeba yang diidentifikasi berdasarkan morfologi dan struktur adalah E. histolytica. 3. Keberadaan protozoa parasitik erat kaitannya dengan program pemeliharaan, seperti manajeman pakan, kandang dan kesehatan.
5.4
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai protozoa parasitik hingga tingkat spesies. 2. Perlu dilakukan pemeriksaan rutin terhadap protozoa parasitik pada owa jawa di seluruh lembaga konservasi ex situ lainnya. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai keberadaan protozoa parasitik dan kaitannya dengan manajemen pemeliharaan dan perawatan di habitat ex situ. 4. Perlu dilakukan pemeriksaan rutin pada kualitas pakan dan air yang akan diberikan pada owa jawa. 5. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh vektor serangga terhadap penularan protozoa. 6. Perlu diberikan informasi dan pengetahuan kepada perawat satwa di Javan Gibbon Center tentang bahaya protozoa parasitik (genus Entamoeba dan genus Balantidium) yang bersifat zoonosis serta pemeriksaan kesehatan rutin bagi SDM yang bekerja dengan owa jawa. 7. Pengetahuan mengenai prosedur membersihkan kandang, penanganan pakan dan tinja owa jawa perlu dilakukan mengingat bahaya penularan protozoa melalui penanganan kebersihan yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009a. http://www.arkive.org/javan-gibbon/hylobates-moloch Februari 2009].
[21
------------. 2009b. http://www.theprimate.com/hylobates_moloch.html Februari 2009].
[21
------------. 2009c. http://www.belfastzoo.co.uk/animals/animal.aspx?id=65 [1 Maret 2009].
------------. 2009d. http://www.wodsworth.org [6 Oktober 2009] ------------. 2009e. http://www.Kotabelinyu.blogspot.com/IMG_3103_resize_ resize1.jpg [18 Oktober 2009]
------------. 2009f. http://www.msgpp.org [21 Oktober 2009] ------------. 2009g. http://www.course1winona.edu [21 Oktober 2009] Cahyaningsih U, Handayani SU, Astyawati T. 2008. Penuntun Praktikum Parasitologi Veteriner Endoparasit. Bogor: FKH IPB Colijn Ed, Sozer R. 2000. Satwa Liar yang Dilindungi: A Review of the Protection Status of Wildlife Species listed in PP 7/1999 and PP 8/1999. Prosiding Lokakarya Penanganan Satwaliar Peliharaan yang Dilindungi (SPL), Bogor, 20-21 Juli 2000. Bogor: Yayasan Gibbon Indonesia. hlm 9-22. [Dirjen PKA] Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. 2000. Kebijaksanaan Pengelolaan Satwaliar Peliharaan Dilindungi (SPL). Prosiding Lokakarya Penanganan Satwaliar Peliharaan yang Dilindungi (SPL); Bogor, 20-21 Juli 2000. Bogor: Yayasan Gibbon Indonesia. hlm 1-7. Farmer JN. 1980. The Protozoa-Introduction to Protozoology. London: The C.V. Mosby Company. Fortman JD, Hewett TA, Bennett BT. 2002. The Laboratory Nonhuman Primate. Washington DC: CRC Press LLC. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2008. http://www.iucnredlist.org [21 Februari 2009].
Joslin JO. 1993. Zoonotic Disease of Nonhuman Primates. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine Current Therapy 3rd Ed. USA: WB Saunders Company Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner, penerjemah: Gatut Ashadi, Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lilly AA, Mehlman PT, Doran D. 2002. Intestinal Parasites in Gorillas, Chimpanzees, and Humans at Mondika Research Site, Dzanga-Ndoki National Park, Central African Republic. Int J Primatol 23:555-573. Linn MJ, Struuck RD, Trivedi AK, Zajic LB, Wrobleski SK, Hawley AE, Myers DD. 2006. Biology and Medicine of Non-human Primates Part II: Clinical Medicine and Uses. Di dalam: Rueter JD, Suckow MA, editor. Laboratory Animal Medicine and Management. [terhubung berkala]. http://www.ivis.org/advancesReutermyers2/chapter.aspLA=1 [20 Oktober 2009]. Marshall MM, Naumovitz D, Ortega Y, Sterling CR. 1997. Waterborne Protozoan Pathogens. Clin Microbiol Rev 10(1):67-85 [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [3 November 2009]. Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundangundangan Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Mootnick A. 1998. Health and Sanitation Standards for Gibbon Studies. Di dalam: Agoramoorthy G, Pei K, Lin V, editor. First International Workshop on The Management of Wildlife Rescue Centers in South and Southeast Asia; 13(8): 39-40. [terhubung berkala]. http//www.gibboncenter.org [23 Oktober 2009]. --------------. 1999 Nutrition, Health and Sanitation Standards Used at The International Center for Gibbon Studies Which Could be Applied at A Javan Gibbon Rescue. Di dalam: Supriatna J, Manullang BO, editor. Proceedings of the International Workshop on Rescue and Rehabilitation; 20-24. [terhubung berkala]. http://www.gibboncenter.org. [23 Oktober 2009] Muangkram Y, Taweethavonsawat P, Pattanarangsan R. 2006. A Survey of Intestinal Parasites in Gibbons at Krabokkoo Breeding Center Chachoengsao Province, Thailand. Proceedings of AZWMP; Bangkok, 2629 Oct 2006. Mul IF, Paembonan W, Singleton I, Wich SA, Bolhuis HG. 2007. Intestinal Parasites of free-ranging, Semicaptive, and Captive Pongo abelii in Sumatera, Indonesia. Int J Primatol 28:407-420
Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Wardiarto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites Fifth Edition. Pramesywari W. 2008. Implementasi Medik Konservasi Pada Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798): Studi Kasus Pada Empat Lembaga Konservasi Eksitu di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Rothman J, Bowman DD. 2003. A Review of The Endoparasites of Mountain Gorillas. Di dalam: Bowman DD, editor. Companion and Exotic Animal Parasitology. [terhubung berkala]. http://www.ivis.org [6 Oktober 2009] Schuster FL, Visvesvara GS. 2004. Amebae and Ciliated Protozoa As Causal Agents of Waterborne Zoonotic Disease. Vet Parasitol 126(1-2):91-120 [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [3 November 2009]. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals 7th Ed. London: Bailliere Tindall. Sulistiawati E. 2008. Parasit Satwa Primata. Di dalam: Pelatihan Manajemen Kesehatan Satwa Primata; Bogor 1-4 Desember 2008. Bogor: Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tampubolon M. 2004. Protozoologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi; Pusat Studi Ilmu Hayati; Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data individu owa jawa di dua lokasi studi No
Nama
enis Kelamin Lokasi Lembaga Konservasi
Tahun
Asal
Kelahiran
Tanggal/Tahun
Keterangan
Datang
1
Ari
Jantan
PSSP LPPM-IPB
1992
TSI Cisarua
2003
2
Mimis
Betina
PSSP LPPM-IPB
1994
TSI Cisarua
2003
3
Oje
Jantan
PSSP LPPM-IPB
2005
PSSP
-
Hasil pengembangbiakan
4
J-Lo
Betina
PSSP LPPM-IPB
2006
PSSP
-
Hasil pengembangbiakan
5
Dompu
Betina
Javan Gibbon Center
1999
PPS Cikananga
13 April 2008
6
Simon
Jantan
Javan Gibbon Center
1999
PPS Gadog
14 Desember 2007
7
Cuplis
Betina
Javan Gibbon Center
2001
TNGHS
4 April 2008
8
Uu
Betina
Javan Gibbon Center
1998
PPS Gadog
14 Desember 2007
9
Saar
Jantan
Javan Gibbon Center
2007
Gn. Halimun
19 Juni 2008
10
Sasa
Betina
Javan Gibbon Center
2004
PPS Cikananga
13 April 2008
Lampiran 2 Keberadaan protozoa parasitik pada owa jawa di dua lokasi studi No
Nama/Kode
Lokasi
Metode
Owa
Natif
Pengapungan
1
PSSP 1
PSSP
Entamoeba sp. -
2
PSSP 2
PSSP
-
-
-
-
3
PSSP 3
PSSP
-
-
-
-
4
PSSP 4
PSSP
-
-
-
-
5
Dompu
JGC
-
-
-
-
6
Simon
JGC
+
-
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
7
Cuplis
JGC
-
-
-
-
8
Uu
JGC
+
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
9
Saar
JGC
+
+
Tidak dilakukan
10
Sasa
JGC
+
-
Tidak dilakukan
Keterangan: - tidak ditemukan protozoa parasitik + ditemukan protozoa parasitik
Balantidium sp. -
Entamoeba sp. -
Balantidium sp. -
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lampiran 3 Manajemen pakan owa jawa di dua lokasi studi
Profil
PSSP
JGC
Jenis pakan
Buah: jeruk, apel, salak Hijauan: kangkung, sawi, buncis, wortel Tambahan: monkey chow
Buah: pisang, apel, markisa, jeruk, pepaya, manggis, asam, rambutan, sawo, kedondong, semangka, nanas, mangga, duku, anggur, bengkuang Buah hutan: harendong, afrika, darangdang, kondang, beunying, rasamala Hijauan: kangkung, wortel, ketimun, terong, tomat, kacang panjang, jagung, daun pepaya Tambahan: tahu rebus, ubi, tempe, vitamin Vitcom, telur puyuh
Sumber
Pasar
Pasar dan hutan sekitar
Kontrol kebersihan
Pencucian dengan cairan pembersih khusus
Pencucian, perebusan makanan olah (tahu), buah hutan tidak dicuci
Pencegahan pembusukan
Penyimpanan pada lemari pendingin
Pemasokan pakan dua kali seminggu
Frekuensi pemberian
2x sehari (pagi dan siang)
6x sehari (06.00, 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00 WIB)
Air bersih
Tersedia tiap hari
Tersedia tiap hari
Sumber air
PAM
Mata air Gunung Pangrango
Kontrol kualitas air
Pengukuran pH air 2 minggu sekali dan pengecekan kualitas air tiap setahun sekali
Tidak dilakukan
Lampiran 4 Contoh kandang tertutup
Kandang introduksi di Javan Gibbon Center
Kandang introduksi untuk anakan di Javan Gibbon Center
Property of PSSP
Kandang tertutup di Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB
Property of PSSP
Kandang tertutup di Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB
Lampiran 5 Owa jawa di dua lokasi studi
Sasa (kiri) dan Saar (kanan) di Javan Gibbon Center
Simon di Javan Gibbon Center
Property of PSSP
Induk dan anak di Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB