DA AMPAK PENING GKATA AN PROD DUKSI B BERAS DAN HARGA A BERA AS TERH HADAP PENGE ENTASA AN K KEMISK KINAN PEDESA P AAN DI INDON NESIA
RER RTA MA ASTIANI
SEKOLA AH PASC CASARJJANA STITUT PERTA ANIAN BOGOR B R INS 2010 0
DAMPAK PENINGKATAN PRODUKSI BERAS DAN HARGA BERAS TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN PEDESAAN DI INDONESIA
RERTA MASTIANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT
RERTA MASTIANI. Impact of Increasing Rice Production and the Price of Rice against on Rural poverty Alleviation in Indonesia. Under Supervision of HARIANTO and M. PARULIAN HUTAGAOL. Rural poverty is one major problem in Indonesia is still unresolved. Rice is the main food commodities that affect the welfare of tens of millions of villagers. This study examined the relationship between poverty in rural areas using secondary data is time series data and panel data with descriptive analysis and econometric analysis. Rice production showed a tendency to increase and consumption of rice decreased. However, domestic rice prices rose an average 12.6% per year. Meanwhile, international rice prices rose an average of 10%. In 2008, the price of rice in Indonesia is 80% more expensive than international rice prices. Conditions of rural poverty in Indonesia is very fluctuating. Increasing rice production and food security reduces the number of poor in rural areas. But its influence is relatively small or not too large. Real rice price increases every 1% will increase the number of poor in rural areas by 0.24%, but when using an interval of two years, the real price of rice actually reduce the rural poor population of 0.13%. However, these studies tend to show that the increased efficiency of production systems and post harvest, expected to help solve the problem of rice in Indonesia. For further study are advised to conduct a special study in Java by using primary data and conduct analysis of production efficiency and the efficiency of post-harvest rice.
Keywords:
rural poverty, increased production, rice prices, time series data, panel data
Ringkasan
RERTA MASTIANI.2010. Dampak Peningkatan Produksi Beras dan Harga Beras Terhadap Pengentasan Kemiskinan Pedesaan di Indonesia. Dibimbing oleh HARIANTO dan M. PARULIAN HUTAGAOL
Kemiskinan di pedesaan merupakan salah satu masalah utama di Indonesia yang belum terselesaikan. Beras adalah komoditas pangan utama yang mempengaruhi kesejahteraan puluhan juta penduduk desa. Studi ini meneliti hubungan antara kemiskinan di pedesaan dengan menggunakan data sekunder yaitu data time series dan panel data dengan analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Produksi beras menunjukkan kecenderungan meningkat dan konsumsi beras menurun. Namun, harga beras dalam negeri naik rata-rata 12,6% per tahun. Sementara itu, harga beras Internasional naik rata-rata 10%. Pada tahun 2008, harga beras di Indonesia adalah 80% lebih mahal daripada harga beras Internasional. Kondisi kemiskinan pedesaan di Indonesia sangat berfluktuasi. Peningkatan produksi padi dan ketahanan pangan mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan. Tetapi pengaruhnya relatif kecil atau tidak terlalu besar. Kenaikan harga beras riil setiap 1% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 0,24%, tetapi ketika menggunakan selang waktu dua tahun, harga riil beras benar-benar mengurangi penduduk miskin pedesaan sebesar 0,13%. Namun, penelitian ini cenderung menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi sistem produksi dan pasca panen, diharapkan dapat membantu memecahkan masalah beras di Indonesia. Untuk studi lebih lanjut disarankan untuk melakukan studi khusus di Pulau Jawa dengan menggunakan data primer dan melakukan analisis efisiensi produksi dan efisiensi pasca panen padi.
Kata kunci: kemiskinan desa, produksi beras, harga beras, data runtut waktu, data panel
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ……………….................................................................................. DAFTAR TABEL ………………........................................................................... DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………... I.
II.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 1.4 Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian.....................................................
1 3 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Dimensi Kemiskinan............................................................. 2.1.1 Pengukuran Kemsikinan………………………………………….. 2.1.2. Penyebab Variasi Kemiskinan……………………………………. 2.1.3. Kemiskinan di Pedesaan………………………………………….. 2.2 Beras dan Kesejahteraan…………........…….…………….….…………. 2.2.1. Sisi Permintaan Beras……………………………………………... 2.2.2. Sisi Penawaran Beras……………………………………………… 2.3 Pentingnya Kebijakan Pemerintah di Bidang Perberasan........................... 2.4 Penelitian Terdahulu............................…….………………...……...........
7 8 10 12 13 13 14 15 17
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Dimensi Ekonomi Mikro Beras dan Kemiskinan....................................... 3.1.1. Permintaan Beras………………………………………………….. 3.1.2. Penawaran Beras…………………………………………………... 3.1.3. Struktur Padi………………………………………………………. 3.1.4. Luas Lahan dan Dampaknya………………………………………. 3.2 Dimensi Ekonomi Makro Beras dan Kemiskinan....................................... 3.2.1. Permintaan Agregat………………………………………………... 3.2.2. Penawaran Agregat………………………………………………... 3.2.3. Perkembangan Struktur Produksi dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan……………………………………………………....... 3.3 Data dan sumber Data……………………………………………………
IV.
i iv v vi
METODE PENELITIAN 4.1 Analisis Deskriptif ……………….…..…………………………………. 4.2 Model Operasional………...…………………………………………… . 4.3 Metode Pengujian Model…………………………………………………
21 22 26 27 29 32 33 35 36 36
38 38 42
i
V.
VI.
KONDISI PERBERASAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA 5.1 Produksi Beras Periode 1969 – 2008…………………………………..... 5.1.1. Luas Lahan Penanaman Padi……………………………………… 5.1.2 Produksi Padi……………………………………………………… 5.1.3. Produktifitas Lahan Penanaman Padi……………………………... 5.2 Perkembangan Struktur Produksi Padi Menurut Wilayah Tahun 1999-2008………………………………………………………… 5.3 Perkembangan Rendemen Padi…………………………………………... 5.4 Perkembangan Konsumsi………………………………………………… 5.5 Perkembangan Beberapa Rasio Utama Perberasan Nasional……………. 5.6 Perkembangan Harga Padi dan Beras di Indonesia……………………… 5.7 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Wilayah…………….. 5.8 Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan…………………………………………………...
ANALISIS HUBUNGAN KEMISKINAN PEDESAAN DENGAN HARGA DAN PRODUKSI BERAS 6.1 Faktor – Fsktor yang Mempengaruhi Produksi Padi.................................. 6.1.1. Luas Lahan Sawah Irigasi………………………………….……… 6.1.2. Luas Lahan Sawah Non Irigasi………………..…………………... 6.1.3. Luas Ladang Padi………………………………………………….. 6.1.4. Volume Penggunaan Pupuk Urea…………………………………. 6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Beras…………………... 6.2.1. Harga Eceran Beras………………………………………………... 6.2.2. Pendapatan Riil Per kapita…............................................................ 6.2.2. Volume Impor Beras…………………………………………......... 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Beras…………………… 6.3.1. Harga Eceran Beras………………………………………………... 6.3.2. Harga Pupuk Urea………………………………………………..... 6.3.2. Volume Impor Beras……………………………………………..... 6.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Beras……………………....... 6.4.1. Harga Dasar Gabah………………………………………………... 6.4.2. Harga Pupuk Urea…………………………………………………. 6.4.3. Harga Beras Impor………………………………………………… 6.4.4. Kenaikan Harga BBM 2006……………………………………….. 6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan………………………… 6.5.1. Jumlah Penduduk Miskin Satu Tahun Sebelum…………………... 6.5.2. Produksi Rata-rata Beras per Hektar Sawah…………………......... 6.5.3. PDRB Riil Per Kapita…………………………………………….. 6.5.4. Harga Riil Beras…………………………………………………… 6.5.5. Kenaikan Harga BBM Tahun 2005……………………………….. 6.5.6. Peranan Sub Sektor Pangan……………………………………….. 6.5.7. Rasio Produksi Beras per Kapita dengan Konsumsi Minimum Per Kapita…………………………………...
44 45 48 50 51 53 54 56 59 62 65
68 68 70 72 73 74 75 76 77 77 78 78 78 79 79 79 80 80 80 83 83 84 84 85 86 87
ii
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan………………………………………………………………. 7.2 Saran Studi Lebih Lanjut………………..……………………………….. 7.3 Saran Kebijakan…………………………………………………………..
91 91 92
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………
94
LAMPIRAN .…………………………………………………………………..
97
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Variabel –variable yang Digunakan dalam Model………………………………...
2.
Perkembangan Luas Lahan Panen, Produksi dan Produktifitad Beras di Indonesia Tahun 1969 – 2008 (Ribu ton)…………………………………………………...
3.
37
44
Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Sawah di Indonesia Tahun 1969 – 2008………………………………………………………………...
4.
Perkembangan Distribusi Padi Menurut Pulau Tahun 1999 –2008…......................
5.
Peranan Provinsi Produsen Padi dalam Total Produksi Nasional………………….
6.
Perkembangan Rendemen Beras di Indonesia……………………………………..
7.
Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1980 – 2006………………………………...
8.
Laju Pertumbuhan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1980-2006……………...
9.
Perkembangan Beberapa Rasio Perberasan di Indonesia Tahun 1980 – 2006…….
10. Perbandingan Harga Beras Domestik dengan Internasional Tahun 1980 – 2006…
45 52 53 54 55 55 57 59
11. Perbandingan Harga Dasar Gabah, Ganah Kering Giling Panen dengan Harga Eceran Beras Periode Tahun 1980–2006…………………………………………
61
12. Perkembangan Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Tahun 2000 – 2008…..
62
13. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 2000 – 2008……………….
64
14. Perkembangan Penduduk Miskin pada Propinsi Penghasil Beras Terbesar Tahun 2000 – 2008(Persen)………………………………………………………..
66
15. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi………………... 68 16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Beras……………………………. 74 17. Kandungan Komoditi Pangan Pengganti Beras…………………………................ 75 18. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Beras…………………………….
77
19. Hasi Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Beras…………………..
79
20. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Desa (Model 1)...………………. 81 82 21. Tingkat Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Penghasil Beras…………………. 22. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Desa (Model 2)...………………. 88 23. Perbandingan Koefisien Regresi…………………………………………………... 89
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 1998 – 2008…………….
2.
Pertumbuhan Ekonomi dan Perekembangan Kemiskinan menurut wilayah
2
Tahun 1998 – 2008........................................................................................
4
3.
Lingkaran Kemiskinan Versi Nurkse............................................................
10
4.
Kerangka Pikir Penelitian………………………………………………….
21
5.
Hubungan Antara Kualitas Lahan, Skala Produksi dengan Pendapatan Petani……………………………………………………………………….
30
6.
Dimensi Ekonomi Makro dan Penduduk Miskin………………………….
33
7.
Perkembangan Luas Lahan Areal Penanaman Padi di Indonesia Periode Tahun 1969 – 2008 (Ribu hektar)………………………………………….
8.
46
Perkembangan Produksi Padi di Indonesia Periode Tahun 1969 – 2008 (Ribu ton)…………………………………………………………………..
49
9.
Perkembangan Produktifitas Lahan Penanaman Padi……………………..
50
10.
Perkembangan Rendemen Padi (%)………………………………………..
53
11.
Perkembangan Harga Dasar Gabah, Gabah Kering Giling Panen dan Harga Eceran Beras Tahun 1980 – 2006 (Rp/kg)………………..………...
12.
60
Perkembangan Luas wilayah Sawah Irigasi di Indonesia Tahun 1980 2006 (Ribu hektar)………………………………………………………….
13.
69
Perkembangan Luas Lahan Sawah Non Irigasi di Indonesia Tahun 1980 – 2006 (Ribu hektar)………………………………………………………….
14.
Perkembangan Luas
71
Ladang Padi di Indonesia Periode 1980 – 2006
(Ribu hektar)………………………………………………………………..
73 v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
2.
Data Panel: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Pedesaan Tahun 2000 – 2008…………………………………….. ………………….
98
Pesamaan Supply – Demand (Simultan).......................................................
116
vi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Isu-isu mengenai kemiskinan untuk waktu yang lama akan merupakan fokus pembangunan. Perhatian terhadap kemiskinan bahkan menjadi isu global yang terungkap secara tegas dalam sasaran-sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals, MDGs). MDGs menetapkan sebagai sasaran utamanya adalah penghapusan kemiskinan ekstrim(exteme poverty) dan kelaparan pada tahun 2015. Target ini menjadi acuan kemajuan suatu negara. Sekalipun sudah merupakan komitmen global, upaya penanggulangan kemiskinan disadari bukan merupakan hal sederhana, karena kemiskinan bersifat kompleks. Sifat kompleks masalah kemiskinan menuntut kebijakan dan strategi penanggulangan yang terintegrasi, misalnya melalui program-program perluasan kesempatan kerja produktif, pemberdayaan manusia dan kemudahan untuk mengakses berbagai peluang social ekonomi yang ada. Karena berbagai keterbatasan pemerintah, program pengentasan kemiskinan ataupun kebijakan yang berorientasi pada masalah kemiskinan membutuhkan skala proritas. Di Indonesia, kemiskinan merupakan masalah yang sangat krusial, tidak hanya karena tendensinya yang semakin meningkat, namun juga konsekuensinya yang tidak hanya meliputi ruang lingkup ekonomi semata namun juga masalah sosial dan instabilitas politik dalam negeri. Oleh karena itu, pengentasan masalah kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perjuangan
menghilangkan
orang
miskin
adalah
perjuangan
ketidakseimbangan kekuatan. Menurut Ikhsan (2001) bahwa 99 persen penduduk miskin dalam sub sektor pertanian pangan adalah petani atau buruh tani. Karena itu perlu untuk menetapkan sector pertanian pangan sebagai target dalam kebijakan anti kemiskinan. Tanpa perencanaan yang matang dan langkah strategis yang konsisten untuk meningkatkan produksi pangan, Indonesia sebagai negara agraris dalam arti mayoritas angkatan kerjanya bekerja di bidang pertanian akan
1
terus menjjadi negara importer pangan yang g sangat bessar yang akaan terus sem makin membesarr dan pada gilirannya g d dapat mengaancam ketahhanan nasional 24,2 24,8 23,4 2 22,4 21,9 21,8 21,1 4 20,4 20,2 20,1 20,0 2 19,4 19,1 18,9 20,0 18,4 18,2 8 17,8 17,4 16,7 16,6 15,9 15,4 14 4,6 14,5 15,0 13,6 13,5 12,5 12,1 11 1,7 11,7
(Persen)
25,0
9,8
10,0
5,0
‐ 22003200420 00520062007 72008 19981999200020012002 Tahun Kota
Desaa
Total
Suumber: BPS Gaambar 1. Perkembangann Jumlah Peenduduk Miskin M Tahunn 1998 – 20 008 Perrkembangann
jumlah dan persen ntase penduuduk miskiin pada peeriode
1998 - 20008 tampakk berfluktuaasi dari tahu un ke tahunn meskipunn terlihat ad danya kecenderuungan menuurun pada peeriode 2002 2 – 2005. Masih M relatiff tingginya angka a kemiskinaan merupakkan masalahh yang sed dari dulu dihadapi banngsa ini. Angka A kemiskinaan di Indoonesia sejaak
terjad dinya krisiss hingga saat ini belum b
menampakkan penurunnan yang beerarti. Uppaya-upaya pengentassan kemiskinan yanng dilakukkan antara lain membagikkan beras bagi orang miskin, m banttuan kesehaatan dan peendidikan. Tetapi T upaya-upaaya dalam jangka j pannjang tidak dapat dianndalkan. Seelain memb bebani pemerintaah, juga berrpotensi unntuk disalah hgunakan. Salah S satu llangkah po otensil untuk meengurangi kemiskinan k n secara beerkesinambuungan adallah pening gkatan jumlah prroduksi panngan. Kareena selain memperkuat ketahanaan pangan juga menciptakkan lapanggan kerja dan meniingkatkan pendapatann dan tenttunya menguranngi jumlah penduduk p m miskin. 2
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs aproach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Komoditi pangan yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Beras merupakan bahan makanan utama rakyat Indonesia. Sekitar 95% dari 230 juta rakyat Indonesia memiliki kebutuhan makanan pokok adalah beras. Tidak mengherankan bila permintaan beras di Indonesia sangat besar, bahkan konsumsi beras Indonesia adalah konsumsi terbesar di dunia (Surono, 2007). Menurut Harianto (2001), beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54,3 persen, dengan kata lain setengah dari intake kalori adalah bersumber dari beras.
1.2. Perumusan Masalah Kondisi perekonomian Indonesia sudah berangsur pulih sejak terjadinya krisis pada pertengahan 1997 yang ditunjukkan oleh semakin membaiknya kondisi makroekonomi nasional, khususnya membaiknya pertumbuhan ekonomi. Namun masalah kemiskinan khususnya di perdesaan masih belum dapat diatasi. Kemiskinan sebagian besar merupakan fenomena pedesaan, dengan lebih dari 30 persen rumah tangga di pedesaan hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu karakteristik yang terkait dengan tingginya tingkat kemiskinan di Pedesaan adalah rumah tangga dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Menurut Siregar (2007), masalah kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata dengan mengharapkan terjadinya efek menetes kebawah (trickle down effect). Tingkat kemiskinan di desa selalu lebih besar dari kota. Secara rata-rata perbedaan angka kemiskinan desa-kota pada periode tersebut lebih dari 35 persen. Padahal sebagaimana diketahui tenaga kerja pertanian, kehutanan, dan perikanan yang sebagian besar berada di pedesaan merupakan mayoritas tenaga kerja di 3
Indonesia.. Selama peeriode terseebut secaraa rata-rata lebih dari 444 persen teenaga kerja bekkerja di sektor pertannian, kehuttanan, dan perikanan. Artinya dapat dikatakan bahwa perttumbuhan ekonomi e yan ng terjadi belum b dirasaakan manfaaatnya bagi masyyarakat kelaas bawah khususnya k di d wilayah pedesaan. Hal inilah yang menyebabbkan masihh relatif tinngginya ang gka kemiskkinan di w wilayah pedesaan dibandinggkan perkotaaan. 10
50,0 45,0
5
40,0
0
30,0
(%)
Juta orang
35,0
25,0 ‐5
20,0
Kota Desa Total
15,0 ‐10
10,0
Growth
5,0 ‐
‐15 1998 2000 20 002 2004 200 06 2008 Tahun
Suumber: BPS G Gambar 2. Pertumbuhan P n Ekonomi dan Perkem mbangan Keemiskinan menurut Wilaayah Tahun n 1998 - 20008 Kaarena porsi belanja beeras dalam pendapataan penduduuk miskin relatif r besar, maaka perubahhan harga beras b akan sangat berrpengaruh tterhadap ju umlah orang miskin. m Baggaimanakahh pengaruh h kenaikan harga beras terh hadap peningkataan jumlah orang misskin dan faaktor-faktorr apa yangg mempeng garuhi fluktuasi harga h beras?? Di sisi laain, kenaikaan harga berras dapat saj aja meningk katkan pendapataan petani padi, p sehinggga memun ngkinkan mereka m lepaas dari beleenggu kemiskinaan. Namun apakah a benaar peningkaatan produkksi beras akaan meningk katkan pendapataan petani padi? p
Kaarena itu perlu p dikajii, apakah hharus dilak kukan
kebijakan harga baikk output mauupun input ataupun suubsidi untukk pemilikan aset? Oleh karena itu, secaara umum perlu p dikaji faktor-fakttor apa yangg mempeng garuhi jumlah peenduduk miskin di daaerah pedessaan. Secara khusus juuga perlu dikaji d 4
hubungan antara peningkatan produksi beras dan menjaga stabilitas harga beras dengan upaya pengentasan kemiskinan di pedesaan. Timmer (2007) menjelaskan penyebab-penyebab utama dan pilihan-pilihan kebijakan yang memungkinkan Indonesia untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan yang berpihak kepada golongan miskin untuk jangka waktu lama. Ia mengidentifikasi adanya integrasi yang erat antara pasar tenaga kerja pedesaan dan perkotaan serta peningkatan produktivitas pertanian melalui investasi dalam prasarana pedesaan dan pertanian untuk pertumbuhan yang berpihak pada golongan miskin di Indonesia.
I.3.
Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika harga
dan produksi beras dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis dinamika harga beras dan produktifitas padi serta perkembangan tingkat kemiskinan.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pedesaan, harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras.
1.4.
Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/masukan bagi
pemerintah dalam pengurangan kemiskinan melalui kebijakan harga beras dan usaha peningkatan produksi padi. Studi dibatasi dalam lingkup pada beberapa hal berikut: 1.
Kemiskinan yang diamati adalah kemiskinan desa pada tingkat propinsi penghasil beras di Indonesia. Dasar pertimbangannya adalah bahwa tenaga kerja pertanian sebagian besar berada di pedesaan dan merupakan mayoritas tenaga kerja di Indonesia. Kegiatan penanaman padi dan produksi beras mempunyai hubungan yang luas dengan kegiatan lain, sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat memperluas kesempatan kerja.
2.
Periode pengamatan adalah periode 2000-2008. Dasar pertimbangannya adalah bahwa selama periode ini banyak perkembangan-perkembangan 5
menarik yang mempengaruhi perkembangan produksi beras di Indonesia. Perkembangan yang paling menarik adalah semakin diperluasnya mekanisme pasar sebagai alat alokasi sumber daya dalam perekonomian Indonesia dan semakin luasnya globalisasi termasuk dalam sektor pangan 3.
Penelitian difokuskan pada keterkaitan antara sisi peningkatan produksi dinamika harga beras dengan pengentasan
kemiskinan, khususnya di
pedesaan.
6
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Dimensi Kemiskinan Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (kebutuhan standar hidup minimal) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari kebutuhan yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif.
Kemiskinan
absolut
ditentukan
berdasarkan
pada
ketidakmampuan individu untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum untuk hidup layak seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Menurut Chambers (1996), kemiskinan di daerah pedesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan
(powerlessness),
keterisolasian
(isolution),
kerentanan
(vulverability) dan kelemahan fisik (phisical weakness), dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan minimum tersebut dapat dianggap miskin. Ukuran kemiskinan absolut ini banyak digunakan oleh negara-negara sedang berkembang.
7
Sementara banyak negara maju menggunakan ukuran kemiskinan relatif untuk menggambarkan hubungan antara kelompok berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi sesuai dengan standar hidup yang berlaku. Standar minimum yang digunakan biasanya diambil sebagai suatu persentase dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan. Umumnya ditetapkan setengah dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan rumahtangga. Penduduk yang berada di bawah kemiskinan relatif belum tentu masuk dalam kategori miskin secara absolut. Badan
Pusat
Statistik
(BPS)
mengartikan
kemiskinan
sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan; Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar serta
menambahkan adanya kebutuhan sosial
psikologis antara lain pengajaran agama; Sementara United Nation Development Program
(UNDP)
mendefinisikan
kemiskinan
sebagai
ketidakmampuan
memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan wilayah tersebut. Sehingga kemiskinan menjadi salah satu tujuan pembangunan dimana keberhasilan pembangunan acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan. 2.1.1
Pengukuran Kemiskinan Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
adalah dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun bukan makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup secara layak. Nilai standar minimum tersebut digunakan sebagai garis pembatas untuk memisahkan penduduk miskin dan tidak miskin. Uppal (1985) menyebutkan garis pembatas tersebut sebagai garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold). Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis kemiskinan Non-Makanan, sehingga GK = GKM + GKNM. Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk masing-masing provinsi daerah perkotaan dan pedesaan.
8
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinana yang digunakan, yaitu: -
Head Count Index (HCI- P0) yaitu persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (GK)
-
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index – P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan -
Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index – P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978,
garis
kemiskinan (GK) sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makan setara dengan 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan bukan makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang dan jasa lainnya. Biaya untuk membayar kebutuhan makanan dan bukan makanan disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau penduduk miskin. Penggunaan pendekatan kebutuhan minimum mempunyai kelemahan yakni kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidak mampuan memenuhi kebutuhan dasar dan diukur hanya dari sisi pengeluaran perkapita. Kelemahan ini sangat melekat pada pengukuran kemiskinan absolut karena pada hakekatnya kemiskinan hanya dilihat dari sisi ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar atau standar tertentu, sementara kemiskinan sangat kompleks dan mempunyai banyak dimensi sosial dan kultural. Garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan Profesor Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas 9
garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi perkapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil (Kuncoro, 2002). 2.1.2. Penyebab Variasi Kemiskinan Kemiskinan menurut Nurkse merupakan deretan kekuatan-kekuatan yang melingkar dan berinteraksi satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara atau daerah miskin tetap berada dalam keadaan miskin. Jadi kemiskinan seperti lingkaran setan yang saling terkait sehingga menjadikan kemiskinan sebagai penyebab sekaligus akibat (Jhingan, 2004). Lingkaran kemiskinan bermula dari fakta bahwa produktivitas total di negara atau daerah miskin sangat rendah sebagai akibat dari kekurangan modal, pasar yang tidak sempurna, dan keterbelakangan perekonomian. Dari sisi permintaan
dapat
dijelaskan
bahwa
rendahnya
tingkat
pendapatan
riil
menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat investasi rendah pula. Tingkat investasi yang rendah menyebabkan modal kurang dan produktivitas rendah yang tercermin pada rendahnya pendapatan riil. P r o d u k t iv it a s Rendah
K e k u ra n g a n M odal
P e n d a p a ta n Rendah
In v e sta si Rendah
Tabungan Rendah
Sumber: Jhingan, 2004 Gambar 3. Lingkaran Kemiskinan Versi Nurkse Dari sisi penawaran, digambarkan bahwa tingkat pendapatan rendah yang mencerminkan rendahnya tabungan akan menyebabkan rendahnya investasi dan keterbatasan
modal.
Lingkaran
yang
lain
adalah
yang
menyangkut
keterbelakangan manusia dan sumber alam. Pengembangan sumber alam pada 10
suatu daerah tergantung pada kemampuan produktivitas manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, kurang pengetahuan dan ketrampilan, maka sumber alam akan kurang guna atau salah guna. Sebaliknya keterbelakangan sumber alam akan menyebabkan keterbelakangan manusia. Berdasarkan kompleksitas dan keragaman dimensi-dimensi kemiskinan, penyebab kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor tetapi merupakan kombinasi dari banyak faktor. Hal ini tercermin dari beberapa pendapat tentang kemiskinan. Todaro
(2004)
menyebutkan
keragaman
struktural
negara-negara
berkembang adalah: (1) ukuran negara seperti luas geografis, jumlah penduduk, serta tingkat pendapatan, (2) latar belakang sejarah dan kolonial, (3) Persediaan sumber daya fisik/alam dan manusia, (4) komposisi etnik dan agama, (5) hubungan sektor pemerintah dan sektor swasta, (6) struktur industri, (7) ketergantungan kekuatan politik dan ekonomi luar negeri, (8) pembagian kekuasaan, kelembagaan, dan struktur politik dalam negeri. Sedangkan tinggirendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yakni: (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan (2) lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Sementara Jhingan (2004) menyatakan ciri-ciri negara terbelakang adalah: (1) pelayanan pendidikan dan kesehatan sangat minim yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk yang buta huruf dan rakyat hidup dalam kondisi yang nyaris tidak sehat, (2) duapertiga atau lebih penduduk tinggal di daerah pedesaan dan mata pencaharian utama adalah pertanian, (3) posisi demografi dan kecenderungannya disebabkan oleh luas, kepadatan, struktur usia dan laju pertumbuhan penduduk yang beragam, (4) keterbelakangan ekonomi, berupa efisiensi tenaga kerja yang rendah, berbagai faktor yang tidak mobil, terbatasnya spesialisasi dalam jenis pekerjaan dan dalam perdagangan, serta struktur nilai dan sosial yang memperkecil kemungkinan perubahan ekonomi, (5) kelangkaan alat modal, (6) keterbelakangan teknologi, (7) orientasi perdagangan luar negeri, terlihat pada ekspor barang-barang primer dan impor barang-barang konsumsi dan mesin.
11
Ajakaiye dan Adeyeye (2002) yang melakukan penelitian di negaranegara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah (1) Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah, (2) Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi, (3) Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah, (4) Migrasi, (5) Pengembangan sumberdaya manusia. Kuncoro (2002) mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi: (1) kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, (2) kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia, (3) kemiskinan bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty).
Adanya keterbelakangan, ketidak
sempurnaan pasar dan kurangnya modal. 2.1.3. Kemiskinan Di Pedesaan Todaro (2004) mengatakan bahwa penduduk miskin adalah mereka yang pada umumnya bertempat tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian. Data kemiskinan BPS menunjukan bahwa sekitar 77 persen penduduk miskin di daerah pedesaan bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu perlu dikaji potensi produksi pertanian dan faktor faktor yang mempengaruhi Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan pembangunan ekonomi perkotaan. Ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, ketika lahan pertanian semakin banyak terkonversi untuk tujuan lain mendorong peningkatan migrasi desa ke kota. Untuk melihat pengaruh kebijakan harga beras terhadap kelompok miskin, perlu pemahaman terhadap karakteristik dari setiap kelompok masyarakat apakah net consumer atau producer, (Mellor, 1978). Rumah tangga yang merupakan net seller akan diuntungkan oleh kenaikan harga beras, sementara rumah tangga yang tergolong net consumer atau net buyer seperti rumah tangga perkotaan, buruh tani atau rumah tangga not farming akan dirugikan. Menurut Ikhsan (2001), selanjutnya
adalah
menurunnya
tingkat
kesejahteraan
dampak
keluarga
yang 12
berpendapatan rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka stabilitas harga beras, memang sangat dibutuhkan khususnya untuk memelihara tingkat kesejahteraan penduduk yang berpendapatan rendah. Dengan demikian perlu diingat adalah inelastisnya permintaan beras, dapat menyebabkan upaya-upaya pemerintah mendorong peningkatkan produksi beras, justru menurunkan pendapatan petani. Dalam upaya peningkatan produksi padi yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani sekaligus rakyat konsumen beras, maka skala produksi harus diperluas agar tercapai efisiensi karena membesarnya skala produksi (large scale of economies). Peningkatan perluasan perlu dilakukan secara konsisten dalam jangka panjang dan melakukan efisiensi produksi padi melalui proses belajar dan spesialisasi (learning process)
2.2 Beras dan Kesejahteraan Keterkaitan antara beras dan kesejahteraan, khususnya secara lebih spesifik keterkaitan antara beras dengan kemiskinan, dapat dipahami dengan melihat sisi permintaan dan penawaran beras. Fluktuasi harga dan kuantitas beras, dapat dilihat sebagai akibat fluktuasi di sisi permintaan dan atau penawaran beras.
2.2.1. Sisi Permintaan Beras Engel’s Law menyatakan bahwa proporsi anggaran rumahtangga yang dialokasikan untuk membeli pangan akan semakin kecil pada saat tingkat pendapatan meningkat. Bila perekonomian masih dalam tingkat pendapatan per kapita yang rendah, maka bagian terbesar dari produksi agregat akan dialokasikan untuk konsumsi rumah tangga, dan sebagian besar konsumsi rumah tangga akan dialokasikan untuk pangan. Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, bahwa 95% konsumsi pangan adalah konsumsi beras (BAPPENAS, 2007). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beras adalah komoditi penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Beras merupakan kebutuhan pokok, yang dikonsumsi oleh banyak orang dan relatif sulit dicari substitusinya, maka secara teoritis elastisitas permintaan beras di Indonesia relatif kecil (tidak elastis). Kenaikan harga beras sebesar 1% akan menurunkan jumlah beras yang diminta kurang dari 1%. Akibatnya bila 13
harga beras naik, ceteris paribus total pengeluaran rumah tangga akan bertambah besar. Hal ini akan menjadi persoalan besar bagi rumah tangga yang berpendapatan rendah, karena porsi pengeluaran untuk beras terhadap total pengeluaran akan menjadi lebih besar. Sebaliknya ketika harga beras turun satu persen, maka jumlah yang diminta akan naik, tetapi lebih kecil dari satu persen, hal ini akan dapat menurunkan pendapatan petani padi.
2.2.2. Sisi Penawaran Beras Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat fluktuasi di sisi permintaan dan atau penawaran. Kendala yang dihadapi usaha tani padi sehingga tidak tercapai produksi potensial atau terjadi gap antara produksi potensial dengan produksi aktual menurut Herdt dan Wickham (1978) antara lain: (1) ada tidaknya irigasi, (2) musim, (3) faktor-faktor ekonomi, (4) kerusakan karena serangan hama dan penyakit , dan (5) tidak adanya adopsi teknologi baru oleh petani. Secara berturutturut besarnya perbedaan produksi potensial dengan aktual dari lima kendala tersebut yaitu: pengaturan air 23 persen, (2) tidak mengadopsi teknologi baru 22 persen, (3) serangan hama penyakit 19 persen, dan (4) faktor ekonomi sebesar 17 persen. Dari kelima kendala diatas maka ada tidaknya irigasi merupakan kendala terbesar sehingga terjadi gap produksi potensial dan aktual. Keputusan petani menanam padi akan dipengaruhi oleh expected income (Price) dari gabah yang dihasilkan. Petani secara individu (mungkin) tidak peduli apakah
keputusan
mereka
menanam
atau
tidak
menanam
padi
akan
mempengaruhi ketahanan pangan jangka panjang atau tidak. Namun tidak demikian
bagi
pemerintah,
karena
pemerintah
berkepentingan
terhadap
berlangsungnya usaha tani padi untuk melaksanakan Undang-Undang Pangan.
2.3.
Pentingnya Kebijakan Pemerintah di Bidang Perberasan Penduduk miskin menghabiskan hampir seperempat (24 %) dari anggaran
mereka hanya untuk beras, sedangkan bagi masyarakat non miskin anggaran yang 14
dikeluarkan untuk beras hanyalah sebesar 9,4 %. Lebih dari tiga perempat masyarakat miskin merupakan konsumen netto dimana mereka mengkonsumsi lebih daripada yang mereka hasilkan, bahkan di daerah pedesaan lebih dari 70% masyarakat miskin merupakan konsumen netto. Dengan demikian kenaikan harga beras justru merugikan sebagian besar penduduk. Itulah sebabnya, ketika terjadi kenaikan harga beras pada tahun 2005, maka sebanyak 3,1 juta orang telah terdorong ke dalam kemiskinan. Menurut Harianto (2001), kedudukan beras dalam pangsa pengeluaran rumahtangga yang menonjol dapat ditunjukkan oleh nilai elastisitas silang antara beras dengan komoditas pangan lainnya. Harga beras mempunyai pengaruh yang besar bagi konsumsi komoditas pangan lainnya. Sebaliknya perubahan hargaharga komoditas non beras berpengaruh relatif kecil terhadap konsumsi beras. Perubahan harga komoditas pangan non beras tidak memiliki dampak yang besar terhadap perubahan konsumsi beras. Besarnya keterkaitan antara konsumsi beras dengan pendapatan diperkuat dengan data konsumsi Susenas – BPS tahun 1996 dan 1999 Pada tahun 1996 konsumsi beras di kota dan di desa masing-masing adalah 108,89 kg dan 120,97 kg per kapita. Setelah adanya krisis ekonomi, yang diperkirakan menyebabkan turunnya pendapatan rumah tangga, konsumsi beras di kota dan di desa pada tahun 1999 telah berkurang menjadi 96 kg dan 111,78 kg perkapita. Fenomena yang sama ditemukan jika konsumen dipilah dalam kategori pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Pada seluruh segmen konsumen tersebut terjadi penurunan konsumsi beras yang cukup berarti, dimana semakin tinggi pendapatan, semakin kecil penurunan konsumsinya. Penurunan konsumsi beras pada konsumen berpendapatan rendah, sedang, dan tinggi diantara 1996
dan 1999, masing-
masing adalah 14,96 kg, 6,19 kg dan 4,31 kg. (Ariani et al, 2000). Pengaruh perubahan pendapatan terhadap konsumsi beras memang berbeda di antara ketiga segmen pendapatan. Dapat diperkirakan pengaruh perubahan harga beras juga akan memiliki pola yang serupa. Kenaikan atau penurunan harga akan menyebabkan segmen konsumen yang berpendapatan rendah akan menurunkan atau menaikan konsumsi berasnya dengan magnitude yang relatif lebih besar daripada konsumen yang berpendapatan tinggi. 15
Harianto (2001) menyimpulkan bahwa pengaruh perubahan harga terhadap konsumsi beras terlihat memiliki pola yang sama dengan pengaruh perubahan pendapatan. Semakin besar tingkat pendapatan, semakin berkurang pengaruh perubahan harga maupun pendapatan terhadap konsumsi beras dan ada kemiripan antara besaran elastisitas pendapatan dengan elastisitas harga di setiap segmen konsumen ataupun gabungan konsumen angka elastisitas pendapatan dan elastisitas harga relatif tidak jauh berbeda. Fakta-fakta di atas menunjukkan pentingya intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas harga beras, khususnya melalui stabilisasi produksi dan atau pasokan beras. Karena itu diperlukan kebijakan beras yang sifatnya komprehensif dan kontekstual namun tetap berorientasi ke depan. Campur tangan pemerintah pada pemasaran beras di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968/69 dengan ditentukannya harga dasar pembelian gabah (Darwanto, 2001). Untuk itu pemerintah memberikan jaminan atas tercapinya harga dasar tersebut dengan mengelola stok melalui pengadaan gabah di tingkat petani pada musim panen, yang pada umumnya harga gabah relatif sangat murah, dilakukan penyaluran pada saat tingkat harga terlalu tinggi. Saragih
(2001)
menyatakan
perubahan
strategik
domestik
dan
internasional sehingga pemerintah perlu campur tangan dalam perberasan nasional. Perubahan domestik tersebut antara lain: (1) krisis ekonomi telah membuat subsidi semakin terbatas, (2) karakteristik usaha tani padi Indonesia yang berlahan sempit, dikaitkan dengan sasaran pembangunan, (3) akibat krisis ekonomi berkepanjangan, jumlah penduduk miskin cukup besar yaitu sekitar 20 persen, dan (4) saat ini tengah berlangsung proses desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan lingkungan strategis telah dimulai sebelum krisis ekonomi yaitu ketika Indonesia turut mengambil bagian dalam kesepakatan perdagangan internasional di awal tahun 90-an. Krisis moneter tahun 1998, memberikan dampak terhadap ekonomi perberasan nasional antara lain(1) dicabutnya subsidi pupuk dan dibebaskannya tata niaga pupuk, (2) dibebaskannya impor beras oleh swasta, (3) dibebaskannya tarif impor yang kemudian ditetapkan tarif sebesar Rp.430 per kilogram, dan (4) dihapuskannya kredit program Kredit Usaha Tani (KUT) yang diubah menjadi 16
Kredit Kesehatan Pangan (KKP). Berbeda dengan KUT, KKP menggunakan sistem executing yang berarti bank pelaksana harus menanggung dana dan resiko kredit. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI tidak lagi menyalurkan kredit program termasuk KUT sehingga sejak saat itu bank pelaksana harus menanggung dana KUT.
2.4.Penelitian Terdahulu Pembangunan pertanian dan pedesaan sangat strategis karena kondusif untuk menciptakan struktur ekonomi yang sehat, pro pemerataan dan penanggulangan kemiskinan serta membuat ketahanan pangan (Hossain, et al, 2001) Menurut Ilham (2007), pangsa pengeluaran mempunyai hubungan yang erat dengan ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan dan pendapatan regional. Makin rendah pangsa pengeluaran pangan rumahtangga maka makin tinggi dan beraneka ragam pangan yang dikonsumsi. Dinamika kesejateraan terkait dengan upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan termasuk adanya kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005 dan kenaikan harga beras selama periode 2002 – 2005. Kebijakan tersebut merupakan dua guncangan ekonomi yang sangat menentukan inflasi di Indonesia. Menurut Harianto (2001), harga beras memiliki pengaruh yang besar bagi diversifikasi konsumsi pangan, dimana penurunan harga beras terutama akan menguntungkan konsumen berpendapatan rendah di perkotaan maupun di pedesaan, dan jika harga beras naik akan memberikan dampak buruk. Peningkatan pendapatan konsumen akan
disertai
dengan
peningkatan
harga
beras
yang
dibelinya,
yang
mengindikasikan pentingnya perbaikan kualitas ataupun atribut komodi beras yang dijual. Surono (2001), masalah utama yang dihadapi oleh petani adalah banyaknya kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada kepentingan petani. Memburuknya harga padi, terutama di saat musim panen raya, adalah akibat kebijakan makro pemerintah yang ’enggan’ melindungi kepentingan petani dalam negeri.
17
Impor beras merugikan produsen disisi lain menguntungkan konsumen beras. Menurut Harianto (2001) penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang ada di pedesaan. Elastisistas harga di pedesaan dan di kota masing-masing adalah -0,707 dan – 0,504. Konsumen di pedesaan juga dadalah petani padi akan menghadapi dilemma. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi fluktuatifnya sisi permintaan dan atau penawaran. Terjadinya ketidakstabilan beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik; dan (ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan (Ellis, 1992). Variasi transmisi harga secara umum dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada pedagang sehingga mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga beli dari petani atau harga di tingkat produsen. Kedua, rantai pemasaran yang semakin panjang yang memungkinkan terjadinya akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Rantai pemasaran yang semakin panjang antara lain dapat disebabkan oleh jarak pemasaran yang semakin jauh antara daerah produsen dan daerah konsumen. Jarak pemasaran yang lebih jauh dapat terjadi karena produksi komoditas terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Sifat pasar dan peranannya dalam penentuan harga adalah hal pokok dalam ekonomi. Letak geografis pasar, terutama bagi sektor pertanian sangat relevan karena produk-produk pertanian bersifat kamba (bulky) dan atau mudah rusak (perishable), serta area produsen dan konsumen terpisah jauh, sehingga biaya transportasi sangat menentukan. Batas-batas geografis adalah penting dalam mengukur permintaan dan penawaran, pembentukan harga dan struktur kompetisi. Menurut Ikhsan (2001), secara agregat, setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan mengakibatkan kenaikan penduduk miskin sebsar 1 persen 18
atau tambahan penduduk miskin sekitar 2 juta penduduk miskin di Indonesia. Disagregasi lebih lanjut memberikan beberapa temuan yang menarik. Kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan menyebabkan kenaikan indeks head count sebesat 1, 15 poin persentase di daerah kota dan sekitr 0,90 poin persentase di daerah pedesaan. Berbeda dengan besarnya penurunan pendapatan riil penduduk luar Jawa secara agregat lebih besar dibandingkan penduduk di Jawa, dampak kenaikan harga beras cenderung akan meningkatkan kemiskinan yang lebih besar di Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. Hal ini berlaku baik untuk pedesaan maupun perkotaan. Dasar kebijakan harga, antara lain diajukan oleh Mears dan Affif dalam Amang dan Sawit (1999) mengatakan bahwa kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan pangan. Sasarannya, pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga memiliki dua sisi yang menunjang bidang produksi dan sisi lain dapat mendorong bidang distribusi dan konsumsi. Menurut Saifullah (2001), pengendalian stabilitas harga konsumen periode 1985-2001 cukup terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan fluktuasi harga beras yang dapat dikendalikan dan jauh lebih rendah dari fluktuasi harga beras dunia. Selain itu, koefisien variasi – yang menunjukkan volatilitas– di pasar domestik sekitar 5,54 persen, sedangkan di pasar dunia sekitar 8,63 persen. Yudhoyono (2004) menyimpulkan bahwa angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perkotaan dan untuk pedesaan, pengeluaran pemerintah untuk pertanian berpengaruh nyata. Nanga (2006) menyimpulkan bahwa ada indikasi kemiskinan di daerah pedesaan semakin memburuk setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan, sementara di daerah perkotaan menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Artinya kemiskinan di daerah perkotaan menunjukan kecenderungan semakin membaik 19
setelah kebijakan desentralisasi fiscal tersebut diterapkan. Salah satu dugaan mengapa dampak transfer fiscal terhadap kebijakan desentralisasi fiscal cenderung positif dibandingkan dengan daerah pedesaan adalah karena perbedaan dalam kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki kedua wilayah tersebut, Menurut Yudhoyono dan Harniati (2004), pembangunan ekonomi pedesaan yang berkelanjutan penting mendapat prioritas, karna lebih dari 60 persen penduduk tinggal di pedesaan dan sekitar 70 persen dari penduduk miskin berada di pedesaan.Untuk itu perlu menciptakan aktivitas ekonomi atau lapangan kerja yang berbasis sumberdaya yang dikuasai oleh masyarakat pedesaan, mendorong pengembangan agribisnis dan industri berbasis sumberdaya lokal; pembangunan infrastruktur, kapasitas lembaga-lembaga sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan.
20
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Dimensi Ekonomi Mikro Beras dan Kemiskinan Dimensi ekonomi mikro dari kemiskinan, mencoba memahami gejala
kemiskinan sebagai salah satu hasil interaksi antara sisi permintaan dan penawaran beras, seperti yang dapat digambarkan di bawah ini. Produksi Padi Domestik:
Pasokan Beras Nasional
-Harga Riil Beras -Faktor Produksi -Kapasitas Produksi
Kuantitas
-Rendemen padi
dan Harga Beras
Impor Beras :
Daya Beli Rakyat
Jumlah Penduduk Miskin Di Pedesaan
Permintaan Beras :
- Harga Beras Impor
-Daya Beli
- Perkiraan Defisit Beras
-Jumlah Penduduk -Harga Riil Beras
- Kebijakan
Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian Hubungan antara produksi beras dengan
pengentasan kemiskinan di
pedesaan dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran, serta tingkat sensitivitas terhadap faktor-faktor tersebut. Jumlah
penduduk
miskin
di
pedesaan,
secara
sederhana
dapat
dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu petani padi dan non petani padi. Bila dikaitkan dengan komoditi beras, maka jumlah penduduk miskin di pedesaan dapat dikurangi bila daya beli rakyat diperbaiki dan pasokan beras dijaga 21
kelangsungannya (menjamin keamanan/kedaulatan pangan). Daya beli rakyatnon petani padi yang umumnya adalah konsumen neto, dapat diperbaiki sekalipun pendapatan nominal tidak meningkat, asal harga beras eceran dapat dikendalikan. Sementara itu daya beli petani padi sangat ditentukan oleh pendapatan sebagai petani padi. Pasokan beras dan harga beras merupakan hasil interaksi antara permintaan dan penawaran beras. Tingkat pasokan beras ditentukan oleh pasokan padi domestik dan impor beras. Pasokan padi domestik ditentukan oleh jumlah faktor produksi, seperti lahan sawah dan pupuk, harga faktor produksi dan juga harga padi itu sendiri (harga gabah kering panen). Untuk memotivasi petani, pemerintah dapat menetapkan harga dasar gabah. Jika harga dasar gabah makin tinggi, ceteris paribus pasokan akan meningkat. Pasokan padi juga ditentukan oleh kapasitas produksi padi yang dipengaruhi oleh luas dan kualitas lahan, irigasi, distribusi penguasan lahan dan kemampuan manajerial. Bagi petani padi, pasokan padi memberikan gambaran tentang tingkat pendapatan. Ceteris paribus, makin besar produksi beras sampai batas tertentu akan meningkatkan pendapatan petani, yang berarti akan memperbaiki daya beli petani. Besarnya sumbangsih produksi padi domestik terhadap pasokan beras nasional sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi transformasi padi menjadi beras. Tingkat efisiensi transformasi dapat dinilai dari tingkat rendemen padi beras, dimana makin tinggi tingkat rendemennya, efisiensi transformasinya semakin tinggi. Efisiensi transformasi padi ke beras juga membutuhkan dukungan institusional, seperti badan penyangga (BULOG), struktur pasar, sistem keuangan dan kepastian hukum atau peraturan-peraturan. Selain berpengaruh terhadap pasokan beras, efisiensi transformasi juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya beli rakyat dan pasokan pangan. 3.1.1. Permintaan Beras Di sisi permintaan faktor-faktor yang memengaruhi adalah daya beli, yang dapat diukur dengan upah riil atau pendapatan per kapita, harga riil beras, yaitu 22
harga nominal beras dibagi IHK dan harga substitusi beras. Jika daya beli meningkat, ceteris paribus konsumsi beras akan meningkat. Tetapi karena beras merupakan kebutuhan pokok, maka pengaruh kenaikan pendapatan terhadap kenaikan konsumsi beras tidaklah besar. Dengan kata lain, permintaan beras tidak sensitif (inelastis) terhadap perubahan pendapatan. Jika harga riil beras makin rendah, maka ceteris paribus konsumsi beras meningkat. Tetapi juga konsumsi beras tidak sensitif terhadap perubahan harga riil beras. Jadi bila harga riil beras turun satu persen, maka jumlah beras yang diminta bertambah, namun lebih kecil dari satu persen. Sedangkan jika harga substitusi beras bertambah mahal maka konsumsi beras meningkat. Pada bagian dibawah ini akan dijelaskan parameter yang menggambarkan sensitivitas permintaan terhadap perubahan factor-faktor yang mempengaruhinya. Setelah itu, secara ringkas dijelaskan keterkaitan parameter tersebut dengan angka kemiskinan. a.
Elastisitas Permintaan Beras Konsep elastisitas mengacu pada tingkat sensifitas sebuah variabel sebagai
respon atas variabel-variabel yang mempengaruhinya. Dalam analisis ekonomi, Konsep elastisitas amat luas penggunaannya karena dapat memberi pemahaman terhadap reaksi para pelaku ekonomi sebagai respon atas perubahan-perubahan yang dihadapinya. Pemahaman ini amat berguna terutama dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Elastisitas permintaan beras adalah berapa persen permintaan beras berubah bila faktor-faktor yang mempengaruhinya berubah satu persen. Dalam analisis ekonomi mikro, tiga variabel utama yang umumnya dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap permintaan terhadap satu komiditi adalah harga
komoditi
itu
sendiri,
harga
komoditi
substitusi
dan
tingkat
pendapatan.Secara matematis, dapat dinyatakan sebagai berikut: Qd = f(PX, PY, I, ...) Keterangan : Qd = jumlah komoditi X yang diminta 23
PX = Harga komoditi X per unit PY = Harga komoditi Y per unit, dimana Y merupakan komoditi substitusi atau komplemen
Elastisitas Harga (Price Elasticity) Jika yang diamati adalah senvititas Qd terhadap PX maka konsep yang digunakan adalah elastisitas harga (price elasticities) yaitu berapa persen jumlah komoditi X yang diminta berubah, bila harga X berubah satu persen. Hubungan antara Qd dengan PX adalah berlawanan arah (ΔX/ΔPX < 0), maka angka elastisitas harga dapat dipastikan memiliki nilai negatif, karena itu angka elastisitas harga dapat ditulis angka absolutnya saja. Jika angka elastisitas harga lebih kecil dari satu, maka permintaan dikatakan inelastis atau tidak sensitif terhadap perubahan harga, misalkan harga turun 10%, jumlah yang diminta hanya naik kurang dari 10%. Sebaliknya jika
angka elastisitas harga lebih besar dari
satu, maka permintaan dikatakan elastis atau sensitif terhadap perubahan harga, misalkan harga turun 10%, jumlah yang diminta naik lebih besar dari 10%. Elastisitas harga dapat berubah sepanjang kurva permintaan (movement along curve). Pada titik tengah kurva permintaan angka elastisitas adalah sama dengan satu, yang artinya jika harga X berubah satu persen, maka jumlah X yang diminta juga berubah satu persen. Areal di atas titik tengah merupakan daerah elastis, karena angka elastisitas harga lebih besar dari satu. Pada areal ini jika harga komoditi X turun satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan bertambah lebih besar dari satu persen. Sebaliknya jika harga komoditi X naik satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan berkurang lebih besar dari satu persen. Selanjutnya areal di bawah titik tengah kurva permintaan merupakan daerah inelastis, karena angka elastisitas harga lebih kecil dari satu. Pada areal ini jika harga komoditi X turun satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan bertambah, namun lebih kecil dari satu persen. Sebaliknya jika harga komoditi X naik satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan berkurang lebih besar dari satu persen. 24
Elastisitas harga juga dapat dibandingkan antar kurva permintaan. Jika sudut kemiringan (slope) kurva permintaan semakin landai (datar) permintaan dikatakan makin elastis. Kondisi ekstrim secara teoritis adalah pada saat kurva permintaan berbentuk garis tegak lurus sejajar dengan sumbu vertikal (inelastis sempurna) dan berbentuk garis lurus sejajar sumbu horisontal (elastis sempurna). Inelastis sempurna artinya jumlah yang diminta sama sekali tidak responsif terhadap perubahan harga ( Ε P =0) . Sedangkan elastis sempurna artinya jumlah yang diminta sama sekali responsif sempurna terhadap perubahan harga ( Ε P = ∞). Elastisitas Silang (Cross Elasticity) Sensitivitas Qd terhadap PY dikenal sebagai elastisitas silang (cross elasticity) yaitu berapa persen jumlah X yang diminta berubah jika harga barang Y berubah 1%. Nilai angka elastisitas silang (EC) menunjukkan sifat hubungan antara komoditi X dan Y. Angka elastisitas silang yang negatif menunjukkan hubungan antara komoditi X dan Y adalah komplemen. Jika harga Y naik, maka jumlah Y yang diminta akan turun, sehingga jumlah komoditi X yang diminta juga ikut berkurang. Bila Y merupakan substitusi X maka pada saat harga Y naik, permintaan X akan naik pula, sebab konsumen mengurangi konsumi Y dan menambah konsumsi X. Dengan demikian angka elastisitas silang komoditi substitusi adalah positif (lebih besar dari nol). Elastistas Pendapatan Sensitivitas Qd terhadap I dikenal sebagai elastisitas pendapatan (cross elasticity) yaitu berapa persen jumlah X yang diminta berubah jika pendapatan berubah 1%. Nilai elastisitas pendapatan menunjukkan jenis komoditi. Jika angka elastisitas pendapatan lebih kecil dari nol, maka barang tersebut dikatakan barang inferior (inferior goods). Hal ini menunjukkan bahwa ada komoditi yang pada saat tingkat pendapatan meningkat, jumlah yang diminta justru berkurang. Jika angka elastisitas pendapatan lebih besar dari nol, maka barang tersebut dikatakan barang normal (normal goods).
Untuk barang normal jika
elastisitas pendapatan lebih kecil dari satu, maka komoditi tersebut merupakan 25
komoditi kebutuhan pokok (primary goods). Sebaliknya,
jika elastisitas
pendapatan lebih besar dari satu, maka komoditi tersebut merupakan komoditi kebutuhan luksurius (luxurious goods). b.
Elastisitas Permintaan Beras di Indonesia: Prespektif Teoritis Elastisitas permintaan beras adalah elastisitas harga, elastisitas silang dan
elastisitas pendapatan. Dari sudut pandang teori, elastisitas permintaan harga komoditi beras adalah lebih kecil dari satu. Hal ini disebabkan dalam konteks Indonesia, beras masih sulit dicari substitusinya dan konsumen beras di Indonesia sangat banyak (sekitar 90% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai kebutuhan pokok). Elastisitas silang untuk komoditi beras di Indonesia, relatif kecil khususnya untuk komoditi substitusi seperti jagung dan ubi-ubian. Harga beras mempunyai pengaruh yang besar bagi konsumsi komoditas pangan lainnya. Sebaliknya perubahan harga-harga komoditas non beras berpengaruh relatif kecil terhadap konsumsi beras. Perubahan harga komoditas pangan non beras
tidak
memiliki dampak yang besar terhadap perubahan konsumsi beras. Elastisitas pendapatan beras juga adalah lebih kecil dari satu, dalam arti jika pendapatan tumbuh satu persen maka ceteris paribus konsumsi beras tumbuh kurang dari satu persen. c.
Hubungan Antara Elastisitas Permintaan Beras dengan Kemiskinan Pengaruh elastisitas permintaan terhadap kemiskinan dapat dilihat dari
sisi konsumen dan produsen beras. Permintaan beras adalah tidak sensitif terhadap perubahan pendapatan dan harga beras. Jika pendapatan konsumen beras, meningkat maka konsumsi beras, kenaikannya tidak akan besar. Bagi petani, hal ini menyebabkan petani tidak dapat berharap banyak terhadap peningkatan pendapatan. Dengan kata lain, dalam jangka panjang, pertumbuhan permintaan beras akan relatif rendah, sekalipun pendapatan nasional terus meningkat. Karena permintaan beras, tidak sensitif terhadap perubahan harga beras, maka dampak penurunan harga beras terhadap kesejahteraan rakyat tidaklah besar. Menurunnya harga beras sebesar satu persen, hanya menaikkan jumlah 26
beras yang diminta kurang dari satu persen. Bagi konsumen beras, penurunan harga beras, tidak terlalu mempengaruhi peningkatan kesejahteraan. Sebaliknya bagi produsen, penurunan harga beras tidak mempunyai dampak yang besar terhadap pendapatannya. Jika harga beras naik, maka ceteris paribus konsumen beras, tidak akan menurunkan konsumsi berasnya dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan belanja konsumen untuk beras dapat meningkat. Bagi kelompok miskin, kenaikan belanja tersebut dapat menurunkan kesejahteraan mereka, karena semakin besarnya porsi pendapatan yang dikeluarkan untuk belanja beras. Bagi produsen beras kenaikan belanja konsumen beras, merupakan peningkatan pendapatan mereka.
3.1.2. Penawaran Beras Sisi penawaran beras ditentukan oleh impor beras dan produksi beras domestik. Jika impor beras makin tinggi maka pasokan beras domestik makin besar. Sementara itu impor beras ditentukan terutama oleh harga beras impor, kebijakan pemerintah dan perkiraan tentang defisit beras yang akan terjadi. Sumber utama pasokan beras di Indonesia adalah pasokan padi. Besarnya pengaruh pasokan padi nasional, terhadap pasokan beras ditentukan oleh angka rendemen. Bila angka rendemen padi makin membaik, maka ceteris paribus pasokan beras juga akan meningkat. Produksi padi nasional ditentukan oleh harga riil beras, kapasitas produksi nasional yang dihitung dengan mengalikan luas lahan dengan produktivitas lahan, harga substitusi beras dan kebijakan pemerintah. Jika harga beras riil makin tinggi maka ceteris paribus pasokan padi akan bertambah. Jika kapasitas produksi makin tinggi, ceteris paribus produksi padi akan semakin tinggi. Demikian juga bila harga substitusi beras, semakin tinggi maka produksi padi ceteris paribus akan semakin besar. Sebaliknya bila harga faktor produksi, khususnya tenaga kerja, sewa barang modal dan sewa lahan, semakin tinggi, maka ceteris paribus pasokan padi berkurang. 27
Dilihat dari sifat beras sebagai komoditi primer, rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk, maka laju pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia, sebenarnya relatif rendah dan stabil. Faktor yang menimbulkan gejolak harga beras adalah sisi penawaran. Karena itu stabilitas sisi penawaran, khususnya peningkatan produksi beras diharapkan memperbaiki stabilitas harga dan pasokan beras di Indonesia, yang pada saat bersamaan diharapkan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di desa, terutama yang merupakan produsen padi. Faktor utama yang menyebabkan lambannya pertumbuhan produksi beras adalah lahan sawah yang semakin berkurang dan sebagai akibatnya Indonesia harus mengimpor beras dalam jumlah yang besar setiap tahun.
3.1.3. Struktur Pasar Padi Secara teoritis struktur pasar padi adalah persaingan sempurna (perfect competition).
Struktur pasar persaingan sempurna mempunyai beberapa ciri
pokok, antara lain, produk homogen (homogenity) yang artinya fungsi dan kualitas beras yang dihasilkan adalah sama, informasi sempurna (perfect information) tidak ada produsen yang dominan (small relatively output), sehingga posisi mereka adalah penerima harga (price taker) dan tidak ada kendala yang menghalangi produsen baru yang ingin memasuki pasar, sebaliknya jika produsen tidak mampu bersaing dia harus keluar dari pasar (free entry free exit). Struktur pasar ini, secara teoritis seharusnya menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien, dimana dalam jangka panjang setiap produsen hanya menikmati laba normal. Konsumen membayar harga beras per unit sama besar dengan biaya marjinalnya saja atau tidak ada eksploitasi konsumen. Tetapi tidak ada satupun asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna yang dapat dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor seperti perbedaan tingkat kesuburan tanah, perbedaan kepemilikan awal (initial endowment) dan perbedaan kemajuan teknologi, maupun akses terhadap informasi. Akibatnya struktur pasar padi dalam kehidupan nyata khususnya pada level lokal, amat sulit diidentifikasi. Dalam kasus tertentu, jika distribusi lahan 28
sawah dan kesuburan lahan, relatif sama, maka pasar padi lebih mengarah ke persaingan sempurna. Tetapi
jika dalam satu wilayah, lahan dikuasai oleh
kelompok atau keluarga tertentu, maka struktur pasar mengarah kepada non kompetisi sempurna. Faktor lain yang menyebabkan struktur pasar padi pada level lokal sulit diidentifikasi, adalah perbedaan lokasi produksi dan konsumsi. Namun demikian, secara keseluruhan khususnya pada tingkat nasional dan global, produsen padi posisinya adalah penerima harga, karena secara individu tidak
mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengendalikan pasar.
Karena itu daya tahan produsen sangat ditentukan oleh efisiensi internal. Hal ini menjadi masalah besar, bagi petani kecil karena tidak mampu mencapai efisiensi yang tinggi dengan perluasan skala produksi (economies of scale).
3.1.4. Luas Lahan dan Dampaknya Bagi Pendapatan Petani Seberapa besar peningkatan produksi beras, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, ditentukan oleh luas lahan yang dimiliki atau dikelola petani serta kualitas atau produktivitas lahan. Struktur pasar padi kalangan petani khususnya petani kecil cenderung menempatkan petani sebagai penerima harga (price taker). Berdasarkan hal tersebut, maka analisis hubungan antara luas lahan dengan pendapatan petani padi dapat dilakukan pada tingkat individu. Pendapatan petani dari usahanya dipengaruhi oleh besaran penerimaan dikurangi biaya yang dikeluarkan, yaitu: Keuntungan = Penerimaan – Biaya Produksi Tinggi rendahnya penerimaan usahatani ditentukan oleh harga yang diterima bagi produknya dikalikan dengan jumlah produksi yang dihasilkan: Penerimaan = Harga Output X Jumlah produksi Petani bertindak sebagai penerima harga (price taker), sehingga sisi penerimaan yang dapat dikontrol petani lebih ditentukan oleh jumlah produksi. Jumlah produksi adalah produktivitas dikalikan dengan luas lahan usahatani yang diusahakan. 29
Jumlah Produksi = Produktivitas X Luas Lahan (a) Y
(b)
Sawah Irigasi
Sawah Non Irigasi
Y
Y1
Y2
MP, AP MP, AP
AP
AP
S S0
Sumber : Nicholson, 1995
S1
S
MP
S2
S3
MP
Gambar 5. Hubungan antara Kualitas Lahan, Skala Produksi dengan Pendapatan Petani Dengan demikian untuk meningkatkan jumlah produksi dari sisi penerimaan, upaya
yang
dapat
dilakukan
adalah
meningkatkan
produktivitas
atau
meningkatkan luas lahan atau kedua-duanya. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui perbaikan teknologi dan akses petani terhadap input-input usahtani, seperti pupuk, pestisida dan benih unggul. Pada tingkat petani, pembatas yang utama biasanya adalah luas lahan yang dikuasai. Oleh sebab itu penguasaan luas lahan oleh petani akan berhubungan langsung (positif) dengan pendapatan petani. 30
Secara teoritis produktivitas lahan sawah ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah, kuantitas dan kualitas irigasi, serta kualitas pengelolaan lahan. Bila diasumsikan tingkat kesuburan sawah dan kualitas pengelolaan sawah di antara petani adalah sama maka pendapatan petani ditentukan oleh jenis lahan sawah yang dimiliki yang dalam konteks Indonesia umumnya dibedakan dengan lahan sawah irigasi dan non irigas (termasuk ladang padi). Selanjutnya bila diasumsikan harga padi dan harga input adalah konstan, maka hubungan antara luas lahan dan dampaknya bagi pendapatan petani dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 5.yang menunjukkan hubungan antara kualitas lahan, skala produksi dan pendapatan petani pada dalam satu musim panen. Kurva pada bagian atas
menggambarkan hubungan antara luas lahan
sawah (S) dengan produksi padi yaitu gabah kering panen (Y). Panel (a) adalah lahan sawah irigasi, panel (b) adalah lahan sawah non irigasi. Kurva produksi (kurva Y) lahan sawah irigasi lebih besar dibanding kurva lahan sawah non irigasi. Hal ini menunjukkan untuk luas lahan yang sama, produksi GKP yang dihasilkan sawah irigasi adalah lebih banyak dibanding dengan non rigasi. Kurva bagian bawah menggambarkan produktivitas kedua jenis lahan. Lahan sawah irigasi maksimal yang bisa dikelola adalah S1 dimana hasil GKP yang diperoleh Y1. Sedangkan luas lahan sawah non irigasi yang optimal adalah S3 dimana GKP yang diperoleh Y2.
Luas lahan maksimal adalah pada saat
produktivitas marjinal (MP) sudah sama dengan nol. Lebih rendahnya skala optimal
lahan sawah non irigasi menunjukkan lebih cepat terjadinya the law of
diminishing return. Bila masing-masing petani dapat mengelola lahannya sampai luas maksimal, maka pendapatan petani yang mengelola lahan sawah irigasi adalah lebih besar dari petani yang mengelola lahan sawah non irigasi. Sawah irigasi umumnya dapat dipanen minimal dua kali setahun, sedangkan sawah non rigasi rata-rata dipanen setahun sekali. Dengan demikian bila analisis dilakukan dalam dimensi waktu per tahun, maka penghasilan petani yang mengelola sawah jauh lebih besar lagi dibanding dengan petani yang mengelola sawah non irigasi. 31
Analisis dampak .luas lahan atau distribusi penguasaan lahan terhadap pendapatan petani dapat dilihat di Gambar 5, Misalkan semua lahan sawah yang tersedia adalah sawah irigasi dan misalkan lahan optimal seluas S1 adalah sama dengan dua hektar. Diasumsikan juga luas lahan yang menghasilkan AP tertinggi pada S0 adalah seluas 1 hektar. Maka secara teoritis luas lahan yang efisien untuk diolah adalah 1 sampai dengan dua hektar. Berapa luas lahan yang akan digarap petani, ceteris paribus ditentukan oleh harga Gabah Kering Panen, namun interval luas yang digarap adalah antara satu sampai dengan dua hektar. Asumsi-asumsi yang disusun pada paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa petani-petani yang memiliki lahan kurang dari satu hektar, selain penghasilannya lebih rendah, namun juga efisiensi usahanya lebih rendah. Demikian halnya dengan petani-petani yang memiliki sawah lebih luas dari dua hektar. Hal ini secara implisit menunjukkan petingnya distribusi penguasaan lahan yang adil, tetapi juga memenuhi syarat luas yang efisien. Analisis untuk petani yang mengelola sawah non irigasi adalah analogis dengan analisis petani pengelola lahan irigasi. Misalkan bila S2 adalah 0,5 hektar dan S3 adalah 1 hektar, maka luas lahan swah non irigasi yang optimal adalah antara 0,5 sampai dengan 1 hektar. Analisis yang lebih komprehensif membawa kepada kesimpulan bahwa petani yang mengelola lahan sawah non irigasi dengan luas (skala usaha) yang sangat kecil, akan memperoleh pendapatan yang sangat kecil dan mengalamai inefiensi usaha.
3.2.
Dimensi Ekonomi Makro Beras dan Kemiskinan Dimensi ekonomi makro tentang beras dan kemiskinan diuraikan
berdasarkan pemikiran bahwa kemiskinan adalah salah satu hasil interaksi antara permintaa agregat dengan penawaran agregat, seperti dapat divisualisasikan dalam bentuk Gambar 6..
32
Permintaan Agregat: -Tingkat Harga Umum - Pendapatan Riil Perkapita - Distribusi Pendapatan - Kebijakan pemerintah - Kejutan Eksternal
Penawaran Agregat : -Harga input -Stok Barang Modal -Jumlah Tenaga Kerja -Teknologi -Manajemen -Kebijakan Pemerintah -Kejutan Eksternal
Kinerja Makro: -Pertumbuhan Ekonomi -Stabilitas Harga Umum -Pengangguran
Jumlah Penduduk Miskin
Gambar 6. Dimensi Ekonomi Makro dan Penduduk Miskin Gambar 6. menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara permintaan dan penawaran agregat terhadap pengentasan kemiskinan terjadi melalui perbaikan kinerja ekonomi makro yang diukur dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang relatif
tinggi dan stabil dalam jangka
panjang, terkendalinya laju inflasi pada level yang rendah dan perluasan kesempatan kerja yang menurunkan tingkat pengangguran, dipercaya dapat menurunkan atau mengurangi jumlah penduduk miskin. Seberapa cepat ekonomi dapat tumbuh, tanpa disertai inflasi yang tinggi dan sebaliknya disertai dengan perluasan kesempatan kerja, sangat ditentukan oleh kemampuan mengelola sisi permintaan dan penawaran agregat. 3.2.1. Permintaan Agregat Permintaan agregat (agregat demand) adalah total barang/jasa yang diminta pada berbagai tingkat harga umum. Permintaan agregat ditentukan oleh 33
internal dan eksternal perekonomian. Faktor-faktor internal antara lain adalah tingkat harga umum, pendapatan per kapita, distribusi pendapatan dan kebijakan pemerintah. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar kemampuan kendali perekonomian internal, seperti resesi dunia. Hubungan antara tingkat harga umum dengan jumlah output agregat yang diminta adalah berlawanan arah. Jika indeks harga umum menurun (deflasi) ceteris paribus akan meningkatkan jumlah agregat yang diminta. Sebaliknya jika terjadi inflasi, jumlah agregat yang diminta akan meningkat. Membaiknya pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan, akan menyebabkan permintaan agregat bertambah. Kebijakan ekspansif pemerintah, baik kebijakan fiskal (perpajakan) dan atau moneter akan meningkatkan permintaan agregat. Misalkan, bila pemerintah menambah belanjanya, maka permintaan agregat akan bertambah. Sebaliknya kebijakan kontraktif akan mengurangi permintaan agregat. Komponen utama permintaan agregat adalah konsumsi rumah tangga (consumption), konsumsi pemerintah (government consumption) dan investasi swasta
(investment).
Jika
perekonomian
melakukan
hubungan
dengan
perekonomian luar negeri atau dunia, maka komponen permintaan agregat ditambah dengan ekspor neto (net export) yaitu selisih antara ekspor dengan impor barang dan jasa. Pada saat perekonomian semakin maju, biasanya terjadi perubahan struktur permintaan agregat. Pada awalnya, komponen permintaan agregat didominasi oleh konsumsi. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pada saat pendapatan nasional per kapita masih rendah, sekitar 75% permintaan agregat adalah konsumsi. Bila diamati lebih seksama, pada saat itu komponen konsumsi didominasi oleh konsumsi pangan. Ketika pendapatan per kapita semakin tinggi, nilai absolut konsumsi semakin besar, namun porsi relatif terhadap PDB semakin mengecil. Sekalipun demikian, porsi konsumsi dalam permintaan agregat tetap yang paling dominan. Ketika pendapatan nasional meningkat, struktur konsumsi juga mengalami 34
perubahan, dimana porsi pengeluaran untuk pangan mengalami penurunan. Konsumsi non pangan yang meningkat terutama adalah jasa pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi dan informasi. Pada saat perekonomian terus tumbuh, maka porsi investasi dalam permintaan agregat terus meningkat. Beberapa bukti empiris menunjukkan porsi tersebut dapat mencapai sekitar 30% sampai dengan 40% permintaan agregat. Besar porsi investasi dalam permintaan agregat dalam jangka panjang, sangat menentukan kecepatan pertumbuhan kapasitas produksi perekonomian. Jika investasi terus meningkat, maka dalam jangka pendek permintaan agregat akan terus meningkat, tetapi dalam jangka panjang kapasitas produksi akan terus meningkat.
3.2.2. Penawaran Agregat Penawaran agregat adalah jumlah total barang/jasa yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga umum. Penawaran agregat ditentukan oleh faktor-faktor tingkat harga umum, tingkat harga input, stok barang modal, jumlah tenaga kerja, tingkat kemajuan teknologi, manajemen, kebijakan pemerintah dan kejutan eksternal. Penawaran agregat dalam jangka pendek, mengacu kepada tingkat response jumlah output agregat ketika harga umum pengalami kenaikan. Jika jumlah output agregat yang ditawarkan memiliki respon yang besar terhadap perubahan tingkat harga umum, maka penawaran agregat dikatakan elastis. Jika penawaran agregat bersifat elastis, maka peningkatan permintaan agregat akan menstimulir pertumbuhan ekonomi, tetapi laju inflasi relatif rendah. Dalam jangka panjang, pengertian penawaran agregat mengacu kepada kapasitas produksi, yaitu berapa output agregat yang dapat dihasilkan ketika seluruh faktor produksi telah digunakan.
Kapasitas produksi agregat sebuah
perekonomian, besarnya ditentukan oleh stok barang modal yang tersedia, jumlah
35
tenaga kerja, kemajuan teknologi dan manajemen yang mempunyai pengaruh terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja dan barang modal.
3.2.3. Perkembangan
Struktur
Produksi
dan
Dampaknya
terhadap
Kemiskinan Struktur
produksi
juga
mengalami
perubahan
seiring
dengan
perkembangan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan perekonomian sangat mengandalkan sektor pertanian, khususnya pangan. Ketika
perekonomian
mengalami kemajuan, maka terjadi pergeseran struktur produksi, dimana peran sektor pertanian menurun, digantikan oleh sektor industri. Selanjutnya ketika perekonomian terus berkembang, sektor yang menjadi andalan adalah sektor jasa. Saat ini peran sektor pertanian di negara-negara maju hanya 3% PDB, sedangkan peran sektor industri sekitar 30%-35% PDB. Dengan demikian peran sektor jasa mencapai lebih dari 60% PDB. Dampak perubahan struktur produksi terhadap pengentasan kemiskinan bersifat mendua. Di satu sisi, perubahan struktur produksi dapat mengentaskan kemiskinan khususnya di desa, melalui perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Di sisi lain, perubahan struktur produksi dapat menambah kemiskinan, bila modernisasi perekonomian, menutup akses bagi angkatan kerja yang berasal dari sektor pertanian untuk masuk ke sektor industri dan atau jasa.
3.3. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam analisis pada tulisan ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari lembaga-lembaga pemerintah seperti BPS, Bulog, dan Departemen Perdaganghan. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series dari tahun 2000 - 2008 dan cross-section yang terdiri dari 23 provinsi. Data ke-23 propinsi ini merupakan propinsi penghasil deras terbesar yang ada di Indonesia. Jumlah amatan dalam data panel tercatat sebanyak 36
7 × 23 = 161 amatan. Data tersebut terdiri dari variabel-variabel sebagai berikut: jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita, share PDRB tanaman pangan, rata-rata produktifitas, rasio ketahanan pangan minimum dan harga riil beras, serta variabel dummy yang menyatakan rejim kebijakan harga BBM. Keseluruhan variabel tersebut di rangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Model No
Variabel
Keterangan
Satuan
Sumber
1
LMISD
Log. Jumlah penduduk miskin desa
Orang
BPS
2
LAVPRO
Log Produksi per hektar
Ribu ton
Deptan
3
LYC
Log. PDRB riil per kapita
Ribu rupiah
BPS
4
LPBRS
Log. Harga riil beras
Rupiah
5
BBM
Dummi kebijakan
0 dan 1
6
LSPANGAN
Log. Share pangan
Persen
BPS
7
HBE
Harga Beras eceran
Rupiah
Bulog
8
HDG
Harga Dasar gabah
Rupiah
Bulog
9
HPU
Harga Pupuk urea
Rupiah
Bulog
10
PIM
Harga beras impor
Rupiah
Dep.Perdag
11
VIB
Volume Impor Beras
Ribu ton
Dep.Perdag
12
LPP
Log. Prpduksi padi
Ribu ton
BPS
13
LLAI
Log. Luas lahan sawah irigasi
Ribu hektar BPS
14
LNONIR
Log. Luas lahan non irigasi
Ribu hektar BPS
15
LLADANG
Log Luas lahan ladang
Ribu hektar BPS
16
LVPU
Log. Volume pupuk urea
Ribu hektar BPS
Dep.Perdag
37
IV.
METODE PENELITIAN
Studi ini merupakan studi empiris, yang menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis ekonometrika yaitu regresi linier berganda. Ada 5 model regresi yang akan diestimasi. Seluruh Data yang digunakan untuk regresi adalah data panel, yang merupakan kombinasi antara data runtut waktu (time series) periode 2000-2008 dan kerat lintang (cross section) 23 provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia.
4.1.
Analisis Deskriptif Tujuan analisis deskriptif dilakukan untuk mendapatkan gambaran atau
pemahaman tentang tentang kondisi perkembangan perberasan dan penduduk miskin pedesaan di Indonesia.
Analisis deskriptif juga dilakukan untuk
memperkuat atau memberikan penjelasan tambahan terhadap hasil analisis ekonometrika. Analisis deskriptif menggunakan data sekunder periode 1969-2008.
4.2.
Model Operasional Untuk mengetahui dengan pasti hubungan ataupun pengaruh berbagai
faktor terhadap harga beras, permintaan, penawaran beras serta kemiskinan, maka dirumuskan model spesifik yang dapat diuji secara rinci. Masing-masing model yang diuji dalam penelitian ini disajikan pada bagian di bawah ini.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Dalam konteks Indonesia, mata rantai antara produksi padi dengan pasokan beras ke konsumen akhir (rumah tangga) adalah relatif panjang. Karena itu, bukannya tidak mungkin bahwa sekalipun produksi padi tinggi, namun pasokan beras tetap rendah. Berdasarkan hal di atas maka studi ini juga memperhatikan faktor-faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi pasokan beras. Faktor yang secara langsung mempengaruhi pasokan beras adalah produksi padi. Sedangkan faktor-faktor yang secara tidak
38
langsung mempengaruhi pasokan beras adalah tingkat rendemen dan tingkat efisiensi panen. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dilandaskan pada model
regresi
antara
produksi
padi
dengan
variabel-variabel
yang
mempengaruhinya. Model yang akan diestimasi diturunkan berdasarkan hubungan antara input dengan output seperti dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sederhana di bawah ini.: LPPt
= µ0
+µ1LLAIt
+µ2LNONIRt +µ3LLADANGt
+µ4LVPUt
+εt...(1)
Keterangan: LPPt
= Logaritma Produksi padi nasional pada periode t
LLAIt
= Logaritma Luas Lahan Sawah Irigasi pada periode t
LNONIRt
= Logaritma Luas Lahan Sawah Non Irigasi pada periode t
LLADANGt = Logaritma Luas Lahan Ladang pada periode t LVPUt
= Logaritma Volume Penggunaan Pupuk Urea Per hektar Sawah pada periode t
µ0
= Konstanta
µ1,...,4
= Koefisien regresi
εt
= Error term
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Beras Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras, menggunakan model persamaan simultan. Pada sistem persamaan simultan, yang merupakan variabel-variabel endogenous adalah kuantitas beras (KB) dan harga eceran beras (PB). Sedangkan yang merupakan variabel-variabel exogenous adalah pendapatan per kapita (YRC), harga pupuk urea (PU) dan volume impor beras (VIB). Adapun bentuk persamaan yang telah disederhanakannya adalah sebagai berikut: QD = θ0 + θ1PB + θ2YRC + θ3VIB + ε1 …………….........................……(2) QS = δ0 + δ1PB +δ2PU +δ3VIB + ε2
…………………...........................(3)
QD = QS………………………………………………………(4) Keterangan: 39
QD
= Kuantitas konsumsi beras pada tahun t
QD
=
Kuantitas pasokan beras pada tahun t
PB
=
Harga eceran beras pada tahun t
PU
=
Harga Pupuk Urea
YRC
=
PDB harga konstan 2000 per kapita pada tahun t
VIB
=
Volume impor beras pada tahun t
Θ0,…, θ3
=
Koefisien regresi variabel-variabel bebas sisi permintaan
δ0,…., δ3
=
Koefisien regresi variabel-variabel sisi penawaran
ε1 , ε2
=
Error term
Persamaan-persamaan
di atas diselesaikan secara simultan untuk
menghindarkan bias regresi. Tahap penyelesaiaanya secara ringkas adalah dengan membentuk persamaan yang disederhanakan (reduced form) untuk dasar evaluasi identifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi dapat diputuskan metode estimasi yang digunakan: OLS, ILS atau TSLS. Uji identifikasi menunjukkan bahwa model teridentifikasi tepat (exactly identified). Estimasi model di atas menggunakan metode TSLS (Two Steps Least Square). Dasar pertimbangannya adalah metode TSLS lebih cocok untuk persamaan yang teridentifikasi tepat (Hill, 2001) Tahap pertama yang dilakukan adalah regresi variabel endogenous yaitu Q dan PB dengan variabel-variabel exogenous yaitu YRC, PU dan VIB. Tujuan regresi ini adalah untuk mendapatkan variabel-variabel endogenous yang tidak memiliki hubungan kolinieritas dengan error term. Berdasarkan hasil regresi, akan diperoleh nilai PB,
yang akan dimasukkan dalam regresi persamaan-
persamaan struktural (2) dan (3).
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Harga Beras Model harga eceran beras (HEB) dengan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhinya, yaitu harga dasar gabah (HDG), harga pupuk urea (HPU), harga beras impor (PIM) dan harga BBM yang direpresentasikan dengan variabel dummi kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005 sebagai berikut:
40
HBEt = β0
+ β1HDGt
+β2HPUt
+β3PIMt
+β 4BBM
+εt……(7)
Keterangan: HBEt
= Harga beras eceran pada tahun t
HDG
= Harga dasar gabah pada tahun t
HPU
= Harga pupuk urea per kilo gram pada tahun t
PIM
= Harga beras impor per kilo gram pada tahun t
BBM
= Kebijakan kenaikan harga BBM; nilai tahun 2005 dan seterusnya = 1, sedangkan nilai sebelum tahun 2005 = 0
β0
= Konstanta
β 1,..4
= Koefisien regresi
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kemiskinan
bertujuan
mengetahui tingkat signifikansi, besar dan arah hubungan variabel – variabel yang dianggap mempengaruhi jumlah penduduk miskin di pedesaan. Data yang digunakan adalah panel data 23 provinsi penghasil beras di Indonesia, periode 2000-2008. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan
alat ekonometrika
dengan pendekatan regresi linier berganda. Ada dua tehnik yang biasa digunakan untuk membuat model data panel yaitu Metode efek tetap dan metode efek random (Nachrowi, 2006). Asumsi yang digunakan dalam penyusunan model adalah Metoda Efek Tetap (Fixed Effect), karena memerlukan perlakuan yang berbeda terhadap jumlah kemiskinan pada 23 propinsi dengan α konstan yang berbeda. Dengan demikian dimungkinkan adanya perubahan α pada setiap provinsi. Adapun model yang diestimasi adalah sebagai berikut:: LMISDit =
α0 + α1 LMISDit-1 +α5BBM05
+ α2LAVPROit
+α6LSPANGANit
+ α3LYCit
+ α4LPRBRSit
+α7LRQCBRSit ………(8)
Keterangan: LMISDit
= Logaritma jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode t
LMISDit-1
= Logaritma jumlah penduduk miskin desa di provinsi i pada satu periode sebelumnya 41
LAVPROit
= Logaritma produksi beras per hektar provinsi i pada periode t.
LYCit
= Logaritma PDRB riil (harga konstan 2000) per kapita di provinsi i pada periode t
LPRBRSit
= Logaritma harga riil beras per kilogram provinsi i pada periode t.
BBM05
= Dummi kebijakan kenaikan harga BBM pada tahun 2005, dimana 1 = kenaikan harga BBM tahun 2005 dan 0 = tahun selain tahun 2005
LSPANGAN = Logaritma peranan atau porsi sub sektor pertanian pangan provinsi i pada periode t.
4.3.
Metode Pengujian Model Model faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi yaitu persamaan
(1) dan model faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan desa yaitu persamaan (8), diestimasi dengan menggunakan metode OLS (ordinary least square). Kedua model ekonometrika tersebut menggunakan bentuk logaritma dengan tujuan memperoleh angka elastisitas perubahan variabel terikat terhadap perubahan variabel-variabel bebas yang dianggap mempengaruhinya. Model faktor-faktor yang mempengaruhi harga menggunakan bentuk satuannya masing-masing, yaitu pada persamaan (7). Sedangkan model simultan digunakan untuk melihat faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras, diestimasi dengan metode TSLS (two stage least square). Model yang telah dirumuskan perlu diuji dengan menggunakan data empiris. Metode pengujian menggunakan ekonometrika, yaitu dalam hal ini adalah OLS (ordinary least square) untuk menguji model kemiskinan dan produksi. Sedangkan untuk model permintaan dan penawaran digunakan model TSLS (two stage leaast square) karena kedua model adalah simultan. Untuk mengetahui daya penjelas model digunakan indikator R2, sedangkan untuk mengetahui
signifikansi
dari
masing-masing
faktor(variabel)
independen
pengaruhnya terhadap variabel dependen maka digunakan uji t. Model juga harus memenenuhi persyaratan asumsi klasik, yaitu data homogen (tidak ada masalah heterosekdastisitas)
dan terdistribusi normal, tidak ada multikolinieritas yang 42
mengganggu antara variabel bebas yang digunakan dan
tidak ada masalah
hubungan galat antar waktu (otokorelasi). Untuk data runtut waktu yang jumlah observasinya kurang dari tiga puluh, telah dilakukan uji normalitas, dengan menilai angka Jaque-Berra. Hasilnya menunjukkan nilai statistik Jaque-Berra ternyata lebih kecil dari 2,50, sehingga dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal. Untuk menguji tidak ada masalah multikolineritas dilakukan uji matriks korelasi. Untuk menguji ada tidaknya masalah otokorelasi dilakukan uji dengan menggunakan statitstik Durbin-Watson.
43
V.
5.1.
KONDISI PERBERASAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Produksi Beras Periode 1969-2008 Secara umum perkembangan produksi beras selama periode 40 tahun
(1969 – 2008) memperlihatkan kecenderungan meningkat untuk luas lahan panen, total produksi dan produksitivitas lahan. Luas lahan panen dan produksi menggambarkan tren yang meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh sebaran luas lahan penanaman padi, produksi padi maupun produktivitas lahan penanaman padi yang diukur dengan produktivitas rata-rata selama periode 1969-2008 terus mengalami peningkatan. Luas lahan padi menjadi hampir dua kali lipat, sedangkan produksi padi menjadi lebih dari dua kali lipat sebagaimana sebaran data pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Luas Lahan Panen dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 1969-2008
Tahun
Luas Lahan Panen
Produksi Padi
(Ribu hektar)
(Ribu ton)
Padi
Padi
Sawah
Ladang
Total
Padi
Padi
Sawah
Ladang
Total
1969
6.544
1.470
8.014
21.474
2.082
23.556
1970
6.679
1.456
8.135
23.149
2.121
25.270
1975
7.334
1.161
8.495
27.265
1.936
29.201
1980
7.824
1.181
9.005
27.993
1.659
29.652
1985
8.756
1.147
9.903
37.027
2.006
39.033
1990
9.378
1.125
10.503
42.825
2.353
45.178
1995
10.081
1.358
11.439
46.806
2.938
49.744
2000
10.618
1.176
11.794
49.207
2.692
51.899
2005
10.799
1.106
11.905
51.318
2.834
54.152
2008
11.258
1.069
12.327
57.170
3.157
60.327
Sumber: BPS 44
Luas lahan padi sawah mengalami peningkatan hampir seratus persen selama periode 40 tahun. Namun pada tahun 2000 – 2008 hanya mengalami peningkatan sebesar 640 ribu hektar atau sekitar 6 persen. Sedangkan pada luas padi ladang terus mengalami penurunan 401 ribu hektar atau sekitar 27 persen selama 40 tahun. Peningkatan produksi terbesar terjadi pada tahun 1990, dimana produksi padi sawah meningkat sebesar 5798 ribu ton dan padi ladang sebesar 347 ribu dan peningkatan produksi total 6145 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan sawah sangat berpengaruh dengan peningkatan produksi padi. Apabila dilihat dari laju pertumbuhan luas lahan, produksi padi dan produktivitas lahan menggambarkan tren yang meningkat secara signifikan. Sebagaimana digambarkan sebaran data pada Tabel 3. Tabel 3. Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sawah di Indonesia Tahun 1969-2008 (persen) Periode
Luas Lahan Panen
Jumlah Produksi
Produktivitas Lahan
Tahunan
Sawah
Sawah
Sawah
1970-1980
1,6
1,04
1,9
1,6
0,28
0,65
1980-1990
1,84
1,53
4,35
4,30
2,49
2,65
1990-2000
1,25
1,27
1,39
1,39
0,00
0,25
2000-2008
0,7
0,4
1,89
1,92
1,30
1,33
1969-2008
1,4
1,1
2,50
2,40
1,1
1,35
Total
Total
Total
Sumber: BPS (Diolah)
5.1.1. Luas Lahan Penanaman Padi Penanaman padi di Indonesia dikenal dalam dua jenis lahan terdiri atas lahan sawah dan ladang padi,
yang menurut perkembangan luas areal
penanamannya selama periode 1969 – 2008
menunjukkan
kecenderungan
tren yang semakin meningkat sebagaimana tergambar dalam Grafik 7.
45
Sumber: BPS dan Deptan Grafik 7.
Perkembangan Luas Areal Penanaman Padi di Indonesia Tahun 1969-2008 (Ribu hektar)
Sekalipun sebaran data luas areal penanaman padi
sebagaimana
digambarkan pada Grafik 7. fluktuatif, namun secara umum menunjukkan bahwa perkembangan luas areal penanaman padi di Indonesia memiliki kecenderungan meningkat terutama pada luas areal sawah, walaupun sebaliknya disatu sisi luas ladang padi memiliki kecenderungan terus berkurang. Bila melihat kembali sebaran data pada Tabel 3. menunjukkan selama empat dasawarsa terakhir (1969-2008) bahwa laju pertumbuhan luas total lahan panen padi hanya rata-rata 1,1 % per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan luas lahan padi sawah adalah 1,4 % per tahun. Pada satu dasawarsa terakhir (20002008), laju pertumbuhan luas lahan panen padi ladang dan padi sawah adalah yang terendah selama periode 1969-2008. Laju pertumbuhan luas lahan panen total hanya 0,4% per tahun, sedangkan luas lahan sawah hanya 0,7 % per tahun. Laju pertumbuhan luas lahan tertinggi tercapai pada periode 1980-1990 dan dalam periode tersebut laju pertumbuhan luas lahan padi total adalah 1,53 % per tahun, sedangkan laju pertumbuhan luas lahan sawah adalah 1,84 % per tahun. Perkembangan luas lahan padi khususnya untuk lahan sawah di Indonesia, tidak lepas dari pengaruh kebijakan ekonomi pemerintah pusat. Ciri khas dari kebijakan pemerintah pusat setidak-tidaknya selama hampir tiga
dasawarsa 46
terakhir adalah industrialisasi yang terkonsentrasi di pulau Jawa dan semakin luas dan dalamnya
penggunaan mekanisme pasar. Sayangnya kebijakan-kebijakan
ekonomi yang ditempuh pemerintah, kurang memiliki konsistensi jangka panjang, sehingga berdampak terhadap stabilitas luas lahan sawah. Inkonsistensi kebijakan secara umum juga dapat dilihat dalam kurun waktu yang lebih panjang seperti
pada periode 1970an-1990an, Pemerintah
memprioritaskan peningkatan produksi beras dalam negeri. Kebijakan ini adalah rasionil mengingat beras merupakan kebutuhan pokok lebih dari 90% rakyat Indonesia. Ketidakstabilan produksi padi diperkirakan akan mempengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial-politik nasional. Berkaitan dengan prioritas tersebut, pemerintah pusat selama periode 1970-1980an giat membangun irigasi dan atau mencetak sawah-sawah baru yang tergolong sebagai program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Adapun hasilnya dapat dilihat seperti pada Tabel 2. yang menggambarkan pertumbuhan luas lahan sawah dan luas lahan total mencapai tingkat tertinggi yaitu 1,85% per tahun dan 1,53 % per tahun. Namun setelah swasembada pangan tercapai pada pertengahan periode 1980an, laju pertumbuhan lahan sawah secara total menurun menjadi hanya sekitar 1,2 % per tahun dan menunjukkan kecenderungan terus menurun. Setelah selama periode 1970an – 1980an pemerintah berkonsentrasi pada pencapaian swasembada pangan, selanjutnya dalam memasuki pertengahan 1980an kebijakan pemerintah mengkonsentrasikan diri pada pembangunan sektor industri. Strategi industrialisasi selama periode 1990-an terkonsentrasi di tiga provinsi besar di pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun dari ketiga daerah tersebut, Provinsi Jawa Barat menjadi wilayah yang lebih diprioritaskan untuk pembangunan industri. Salah satu konsekwensi logis atas pembangunan industri tersebut adalah dibutuhkannya lahan industri yang sangat luas. Untuk memenuhi kebutuhan lahan industri yang relatif luas tersebut ditempuh jalan pintas dengan mengalihkan fungsi lahan sawah menjadi lahan industri, sehingga berakibat kepada berkurangnya lahan sawah dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini terlihat di Jawa Barat, misalnya kawasan-kawasan yang
47
dahulu terkenal sebagai gudang beras seperti Bekasi, Karawang dan Cikarang, sekarang sudah berubah menjadi kawasan industri. Meluasnya penggunaan mekanisme pasar dalam alokasi sumber daya di Indonesia, tidak didasari dengan perangkat-perangkat peraturan atau undangundang untuk mencegah menurunnya tingkat kesejahteraan sosial (social walfare). Dalam hal penggunaan lahan, mekanisme pasar yang tanpa peraturan telah menyebabkan banyak lahan sawah berubah menjadi lahan perumahan. Hal ini juga menyebabkan lahan sawah di berbagai provinsi di Indonesia, khsususnya di pulau Jawa menyusut dalam jumlah yang besar. 5.1.2. Produksi Padi Berdasarkan sebaran data perkembangan produksi padi di Indonesia selama periode 1969-2008 sebagaimana tergambar pada Grafik 7. menunjukkan bahwa sekalipun produksi terus meningkat, namun perkembangan padi ladang peningkatannya jauh lebih lamban dan peningkatan produksi didominasi oleh padi sawah. Selama periode 1969-2008, rata-rata 94% produksi padi Indonesia merupakan padi sawah dan sampai dengan tahun 1972 konstribusi padi ladang dalam total produksi padi nasional hampir mencapai 10% serta pada tahun-tahun selanjutnya peranannya menurun hingga tinggal sekitar 5%. Berdasarkan data pada Tabel 3. dapat diketahui bahwa selama periode 1969-2008 produksi padi di Indonesia tumbuh sebesar rata-rata 2,4% per tahun. Laju tertinggi untuk pertumbuhan produksi padi tercapai pada dekade 1980-1990 yaitu mencapai angka 4,3 % per tahun dengan pertumbuhan produksi padi sawah adalah 4,35% per tahun. Namun memasuki periode 1990-2000 laju pertumbuhan produksi mengalami penurunan sangat drastis menjadi hanya 1,39 % per tahun. Pada periode 2000-2008 pertumbuhan produksi meningkat lagi menjadi 1,92%, sementara itu laju pertumbuhan produksi sawah adalah 1,89 % per tahun.
48
Sumber: BPS Grafik 8. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia Tahun 1969-2008 ( Ribu ton) Sepanjang periode pengamatan bahwa rendemen padi diolah menjadi beras tidak berubah, maka dapat dikatakan bahwa laju pertumbuhan produksi beras sama dengan laju pertumbuhan produksi padi. Dengan demikian bila ingin meningkatkan produksi beras, maka laju pertumbuhan produksi padi harus ditingkatkan. Selama periode pengamatan, laju pertumbuhan produksi padi juga sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah. Tingginya laju pertumbuhan produksi selama periode 1980-1990 tidak terlepas dari kebijakan pemerintah membangun infrastruktur pertanian terutama irigasi dan pencetakan sawah, memperkenalkan budidaya padi yang lebih modern, membuat harga-harga input pupuk dan obatobatan menjadi murah dan terjangkau petani. Selain infrastruktur fisik pemerintah juga membangun infrastruktur keuangan bagi petani padi khususnya yang berskala kecil melalui skema kredit murah bagi petani. Langkah-langkah tersebut di atas, sudah dilakukan sejak periode 1970 an namun hasil optimalnya baru dapat dinikmati pada dekade 1980-1990. 49
Memasuki periode 1990-2000 terjadi pergeseran sebagai akibat berbagai faktor yang saling berpengaruh seperti harga pupuk terus naik, pembangunan dan perawatan irigasi terhambat, berkembangnya sektor industri dan jasa yang juga menjadi faktor penyebab melambannya pertumbuhan produksi padi. Secara spesifik bahwa perkembangan sektor industri dan jasa telah menyebabkan buruhburuh sawah berpindah ke sektor industri dan jasa yang formal maupun informal. Krisis ekonomi tahun 1997-1999 yang bersamaan datangnya dengan krisis politik dan sosial di Indonesia,
juga turut berperan mempersulit keadaan, karena
menimbulkan banyak ketidakpastian. 5.1.3. Produktivitas Lahan Penanaman Padi Produktivitas rata-rata lahan sawah dan lahan ladang selama periode 19692008 cenderung meningkat yang memberikan sumbangan terhadap peningkatan produksi padi selama periode yang sama. Perkembangan produktivitas rata-rata lahan sawah, ladang dan total
selama periode 1969-2008 dapat dilihat pada
Grafik 9.
Sumber: BPS Grafik 9. Perkembangan Produktifitas Lahan Penanaman Padi di Indonesia Tahun 1969-2008 (Ribu ton)
50
Gambaran
pada
Grafik
9.
menunjukkan
bahwa
perkembangan
produktivitas ladang padi selama beberapa tahun terakhir cenderung sedikit lebih cepat dibanding perkembangan produktivitas rata-rata lahan sawah. Pada tahun 1969 produktivitas rata-rata lahan sawah adalah 2,5 kali lipat produktivitas ratarata ladang padi, namun pada tahun 2008 produktivitas lahan sawah adalah 1,7 kali produktivitas rata-rata ladang padi. Semakin kecilnya jarak produktivitas lahan sawah dengan ladang padi, disebabkan bahwa masih banyak lahan sawah yang belum memiliki jaringan irigasi. Sebaran data pada Tabel 3. menunjukkan bahwa selama periode 19692008, produktivitas lahan panen hanya tumbuh sebesar 1,35% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut menggambarkan bahwa pada setiap 50 tahun sekali produkvitas lahan menjadi dua kali lipat. Pertumbuhan produktivitas lahan yang tertinggi, pernah dicapai pada periode 1980-1990 sebesar 2,65 %. Bila laju pertumbuhan tersebut dapat terus dipertahankan maka baru setiap 21 tahun sekali (satu generasi) produktivitas lahan menjadi dua kali lipat. Laju pertumbuhan produktivitas terendah terjadi pada periode 1990-2000, dimana pertumbuhan produktivitas lahan hanya 0,25% per tahun mengalami pertumbuhan produktivitas.
sedangkan lahan sawah tidak
Rendahnya laju produktivitas lahan
juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang tidak konsisten khususnya dalam menjaga kelanggengan lahan-lahan produktif. Berkurangnya lahan-lahan di wilayah yang dahulunya adalah lumbung padi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah diduga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan menurunkan laju pertumbuhan produktivitas lahan selama periode 1990 sampai 2008. 5.2.
Perkembangan Struktur Produksi menurut Wilayah Tahun 1999-2008 Sampai dengan tahun 2008, pulau Jawa masih merupakan sentra produksi
padi/beras di Indonesia seperti terlihat dalam sebaran data pada Tabel 4. Sebaran data tersebut menunjukkan bahwa pulau Jawa dan Sumatera menyumbangkan sebanyak 77,5%
total produksi beras Indonesia, sedangkan
Sulawesi
menyumbang sebanyak 10,1 %, Kalimantan menyumbang 6,5% dan Bali-Nusa Tenggatra menyumbang 5,2% total produksi beras Indonesia. Selama periode 51
1999-2008 produksi padi cenderung fluktuatif dengan produksi tertinggi tercapai pada tahun 2008 sebanyak 60,3 juta ton, sedangkan tingkat produksi terendah terjadi pada tahun 2001 sebesar 50,4 juta ton serta sementara itu produksi rata-rata selama periode 1999-2008 adalah 53,7 juta ton. Tabel 4. Perkembangan Distribusi Produksi Padi Menurut Pulau Tahun 1999-2008 Pulau Sumatera
1999 2003 2005 2008 11.816 12.136 12.675 13.556
Jawa
27.923 28.167 29.764 31.547
Rata-rata 1999-2008
Peranan Pulau (%)
12.362
22,9
29.509
54,6
Bali & Nusa Tenggara
2.705
2.725
2.616
3.171
2.802
5,2
Kalimantan
3.067
3.358
3.614
3.827
3.532
6,5
Sulawesi
5.225
5.602
5.301
6.150
5.449
10,1
131
149
181
246
162
0,3
50.866 52.138 54.151 60.251
54.010
100,0
Lainnya Indonesia
Sumber: BPS (Diolah) Berdasarkan persebaran data pada Tabel 5. memberi gambaran tentang tingkat konsentrasi produksi padi di Indonesia berdasarkan peringkat provinsiprovinsi produsen terbesar. Peranan untuk kategori tiga provinsi di pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah
menyumbangkan 51% total
produksi padi nasional. Untuk kategori lima provinsi produsen terbesar menyumbangkan 64% total produksi nasional dan untuk kategori sepuluh besar provinsi produsen terbesar menyumbangkan 81% produksi nasional. Berdasarkan sebaran data tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu masalah penting dalam perberasan nasional adalah defisit yang sangat besar antara kebutuhan konsumsi dengan produksi beras di provinsi DKI Jakarta.
Dengan
jumlah penduduk sekitar 9 juta jiwa maka kebutuhan beras di DKI Jakarta bila ditaksir dengan konsumsi rata-rata nasional pada
beberapa tahun terakhir 52
diperkirakan mencapai 1,2 juta ton, sedangkan produksi padi di DKI Jakarta dapat dianggap tidak ada. Tabel 5. Peranan Provinsi Produsen Padi Dalam Total Produksi Padi Nasional Tahun 2008 Kategori
Total Produksi (Rbu ton)
Tiga Besar
Peran (%)
27.380
Lima Besar
34.397
Sepuluh Besar
43.874
Keterangan
Jawa Barat + Jawa Timur 51 Jawa Tengah
+
Tiga Besar + Sulawesi Selatan + 64 Sumatera Utara Lima Besar + Sumatera Selatan + 81 Lampung + Sumatera Barat + Banten + Kalimantan Selatan
Sumber: BPS (Diolah) 5.3.
Perkembangan Rendemen Padi Angka rendemen padi-beras adalah menyatakan ukuran berapa persen
beras yang dapat dihasilkan dari satu unit produksi padi. Perkembangan rendemen padi-beras di Indonesia selama periode 1980-2006 digambarkan sebagaimana pada Grafik 10.
Sumber: BPS Grafik 10. Perkembangan Rendemen Padi-Beras Tahun 1980-2006 (persen) 53
Jika selama periode 1980-2006 produksi beras dan produktivitas sawah dan ladang mengalami peningkatan, namun angka rendemen padi menjadi beras justru mengalami penurunan seperti dapat dilihat secara lebih rinci pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Rendemen Beras di Indonesia Tahun 1980-2006 Tahun 1980 1985 1990 1995 2000 2006 Sumber: BPS;
Produksi Padi Produksi Beras Rendemen (Ribu ton) (Ribu ton) (%) 29.652 20.163 68 39.033 26.542 68 45.179 29.361 65 49.744 32.334 65 51.898 32.794 63 54.663 34.545 63 Catatan: Rendemen= (Produksi Beras/Produksi Padi)
Sebaran data pada Tabel 6. menunjukkan bahwa rendemen padi-beras selama periode 1980-2006 terus mengalami penurunan. Periode tahun 1980 sampai tahun 1985 angka rendemen adalah 68% yang artinya dari setiap ton padi dapat dihasilkan 680 kilo gram beras. Tetapi pada periode 1990 dan 1995 rendemennya turun menjadi 65%, kemudian pada tahun 2000 dan 2006 angka rendemen turun kembali menjadi 63%. Penurunan angka rendemen ini sangat merugikan ketika jumlah produksi padi terus meningkat. Misalkan bila kondisi pada tahun 2006 dapat dipertahankan angka rendemen periode tahun 1990 dan tahun 1995, maka hal itu berarti jumlah produksi beras tahun
2006 sekitar 900.000 ton menjadi lebih banyak. Bahkan
bila dapat mempertahankan angka rendemen tahun 1985 maka jumlah produksi beras akan menjadi 2,6 juta ton lebih banyak. Hal ini bermakna, jika angka rendemen tahun 1980an dapat kembali tercapai maka
besar kemungkinan
Indonesia tidak perlu melakukan impor beras. 5.4.
Perkembangan Konsumsi Selama periode 1980-2006, bahwa konsumsi total beras di Indonesia terus
meningkat namun dengan kecepatan yang melamban. Sedangkan konsumsi beras per kapita hanya mengalami peningkatan pada periode 1980-1990 dan pada 54
periode selanjutnya konsumsi beras per kapita terus mengalami penurunan. Konsumsi perkapita per tahun pada tahun 1980 sebesar 116,9 kg, pada tahun 1990 mengalami peningkatan menjadi 139,6 kg sebagai peningkatan tersesar, sedangakan pada tahun berikutnya terjadi penurunan dimana pada tahun 2000 sebesar 125,9 kg dan pada tahun 2006 sebesar 117 kg perkapita pertahun. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi tren yang menurun sejak tahun 2000. Gambaran tentang perkembangan konsumsi beras di Indonesia selama periode 1980-2006 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Konsumsi Beras di IndonesiaTahun 1980-2006 Tahun 1980 1990 2000 2006 Sumber: BPS
Total Konsumsi (ribu ton) 17.241 25.043 26.408 26.600
Konsumsi Rata-Rata (Kg/Kapita) 116,9 139,6 125,9 117,0
Berdasarkan total konsumsi beras selama periode 1980-2006 tumbuh ratarata 1,68 % per tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun adalah 1,66 % untuk periode yang sama. Apabila diamati perkembangan pada setiap dekade, ternyata hanya pada periode 1980-1990
terjadi pertumbuhan
konsumsi tinggi yaitu 3,8% per tahun sedangkan pada dekade selanjutnya laju pertumbuhan konsumsi beras terus melambat. Laju perubahan total konsumsi dan konsumsi beras per kapita dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Laju Pertumbuhan Konsumsi Beras Di Indonesia Tahun 1980-2006 (persen) Periode Tahunan 1980-1990 1990-2000 2000-2006 1980-2006 Sumber: BPS
Total Konsumsi 3,8 0,53 0,12 1,68
Konsumsi Per Kapita 1,8 -1 -3,5 -0,5
Sebaran data pada Tabel 8. juga menunjukkan bahwa konsumsi beras per kapita selama periode 1980-2006 mengalami penurunan rata-rata 0,5 % per tahun. Gejala penurunan konsumsi beras per kapita di Indonesia sudah terlihat sejak 55
periode 1990-2000, dengan laju penurunan sebesar 1% per tahun. Pada periode 2000-2006 laju penurunan konsumsi beras per kapita semakin cepat yaitu menjadi 3,5 % per tahun. Gejala melambatnya konsumsi total beras dan konsumsi beras per kapita dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Harga beras dalam negeri yang relatif tinggi kemungkinan besar menjadi faktor utama penyebab melambatnya laju pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia. Harga beras domestik yang terus meningkat tinggi tersebut menyebabkan kelompok penduduk yang berpendapatan menengah, melakukan substitusi beras dengan terigu dan produk-produk makanan yang berasal dari terigu khususnya roti dan mie instan atau dapat berakibat meningkatnya jumlah penduduk miskin Indonesia.
5.5.
Perkembangan Beberapa Rasio Utama Perberasan Nasional Rasio utama perberasan nasional yang dipandang cukup relevan adalah
menyangkut
ratio
stok/produksi
dan
impor/produksi,
serta
rasio
produksi/konsumsi. Angka rasio stok/ produksi menunjukkan porsi stok beras nasional terhadap produksi beras, jika angka rasionya makin besar maka ada dua penafsiran yang mungkin. Yang pertama dalam arti baik bahwa produksi beras tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan konsumsi, bila laju pertumbuhan produksi jaraknya dengan laju pertumbuhan konsumsi maka porsi stok semakin besar. Yang kedua dalam arti kurang baik, bila angka rasio stok/produksi makin besar maka bisa jadi manajemen perberasan nasional semakin buruk. Angka rasio impor/produksi memberikan gambaran tentang tingkat ketergantungan impor beras dengan korelasi bilamana angka rasio impor/produksi semakin besar maka tingkat ketergantungan impor semakin besar. Angka rasio produksi/konsumsi memberikan gambaran tentang tingkat keamanan pangan atau bahkan tingkat kedaulatan pangan. Bilamana angka rasio produksi/pangan lebih besar dari 1 (atau 100%) maka jumlah produksi adalah lebih besar dari jumlah konsumsi,
dengan
demikian
tingkat
keamanan
pangan
semakin
baik.
Perkembangan rasio-rasio tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. 56
Tabel 9. Perkembangan Beberapa Rasio Perberasan di Indonesia Tahun 1980-2006
Tahun 1980 1985 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: BPS
Produksi Beras (000 ton) 20163 26542 29361 32334 33216 31206 31119 32149 32794 31890 32542 32952 34185 34222 34545
Stok/ Produksi (%) 8 10 5 6 7 5 7 8 5 9 8 7 5 6 5
Impor / Produksi (%)
Produksi / Knsumsi (%)
10 0 0 9 4 3 19 13 4 2 5 4 1 1 1
117 125 117 123 124 117 117 121 124 120 122 122 127 130 130
Sebaran data pada Tabel 9. menunjukkan bahwa stok/produksi umumnya di atas angka 5%, hal ini
berarti
angka rasio stok beras yang
disiapkan pemerintah merupakan 5% total produksi. Angka rasio tertinggi terjadi pada tahun 1984 dan 1985, misalnya pada tahun 1985
adalah sekitar 10% yang
berarti pada tahun 1985 stok beras merupakan 10% total produksi. Tingginya rasio ini dapat dikaitkan dengan tercapainya swasembada pangan pada periode yang bersangkutan. Memasuki periode tahun 2000an rasio stok/produksi lebih rendah dari 10%, hal ini mungkin saja menunjukkan bahwa pengelolaan beras nasional sudah semakin baik. Lebih lanjut sebaran data pada Tabel 9. juga menunjukkan bahwa angka rasio impor/produksi memiliki kecenderungan mengecil kecuali tahun 1998 dan 1999. Secara teoritis bila rasio impor/produksi makin kecil, maka tingkat kemandirian pangan (kedaulatan pangan) Indonesia dikatakan membaik. Pada 57
tahun 1984 dan 1985 rasio impor/produksi adalah nol persen yang artinya Indonesia tidak melakukan impor karena hal ini berhubungan dengan keberhasilan mencapai swasembada beras. Sementara itu rasio impor/produksi yang paling tinggi terjadi pada tahun 1998 dimana impor merupakan 19,5% produksi. Pada tahun 1999 rasionya sudah menurun tetapi masih di atas 10% yaitu 13% dan merupakan nomor dua tertinggi. Indonesia juga pernah mencapai rasio impor/produksi sebesar 10% pada tahun 1980. Angka-angka rasio tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1980, 1998 dan 1999 kedaulatan pangan Indonesia relatif terganggu. Namun angka ratio tahun 1998-1999 kemungkinan besar lebih dipengaruhi oleh faktor psikologis dan politik, karena pada periode tersebut Indonesia sedang mengalami krisis multi dimensi. Pada periode-periode setelah krisis khususnya tahun 2004 dan seterusnya, rasio impor/produksi menurun drastis. Hal ini berkaitan dengan pelarangan impor beras atau pembatasan impor beras yang sangat ketat oleh pemerintah. Data pada Tabel 9. menunjukkan bahwa
selama periode 1980-2006
angka rasio produksi/konsumsi selalu lebih besar dari 100%, artinya bahwa jumlah produksi beras Indonesia selalu lebih besar dari jumlah konsumsinya. Selama periode 1980-2006 produksi beras rata-rata lebih tinggi 27% dari kebutuhan konsumsi, Angka rasio terendah terjadi pada tahun-tahun 1980, 1990, 1993, 1997 dan 1998 yang adalah 117. Hal ini berarti selama periode tersebut produksi beras adalah 17% lebih besar dari kebutuhan konsumsi. Angka rasio produksi/konsumsi tertinggi tercapai justru pada tahun-tahun dimana Indonesia tidak mencapai tingkat swasembada beras lagi yaitu tahun 2005 dan 2006. Pada kedua Periode tahun tersebut total produksi beras adalah 30% lebih tinggi dari kebutuhan konsumsi. Angka rasio produksi/konsumsi pada tahun 2005 dan 2006 adalah lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1985 pada saat swasembada beras tercapai, bahkan angka rasio produksi/konsumsi tahun 1985 sebesar 125% masih lebih rendah dari angka rasio tahun 2004 yang mencapai 127%. Berdasarkan perkembangan rasio-rasio tersebut di atas, secara teoritis harga beras di Indonesia seharusnya dari tahun ke tahun menjadi lebih murah.
58
Setidak-tidaknya semakin besarnya surplus beras seharusnya akan menurunkan harga beras. Tabel 10. Perbandingan Perkembangan Harga Beras Domestik dengan Internasional Tahun 1980-2006 Tahun
Domestik Internasional Domestik Produksi (Rp/Kg) (Rp/Kg) Internastional (%) Konsumsi 1980 198 180 110 1985 345 221 156 1990 525 468 112 1995 776 683 114 1996 880 778 113 1997 1.063 2.181 49 1998 2.099 2.117 99 1999 2.665 1.576 169 2000 2.215 1.251 177 2001 2.450 1.762 139 2002 2.842 1.572 181 2003 2.759 1.542 179 2004 2.795 1.946 144 2005 3.332 2.116 157 2006 4.378 2.424 181 Sumber: BPS dan Departemen Perdagangan
(%) 117 125 117 123 124 117 117 121 124 120 122 122 127 130 130
Tetapi faktanya harga beras di Indonesia terus menjadi lebih mahal. Pada tahun 2008 dan tahun 2009 kenaikan harga beras di Indonesia sempat menjadi isu hangat, bahwa harga beras di Indonesia bahkan lebih mahal dan terus menjadi lebih mahal dibanding dengan harga beras Internasional. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. yang menunjukkan bahwa harga beras di Indonesia meningkat lebih cepat dibanding harga beras Internasional. Pada tahun 2006 harga beras Indonesia hampir dua kali lipat harga beras Internasional. Pada hal selama tahun 1980-2006 jumlah produksi beras menurut laporan BPS selalu lebih besar dibanding jumlah konsumsi. 5.6.
Perkembangan Harga Padi dan Beras di Indonesia Perkembangan indikator harga padi dan beras yang akan dianalisis adalah
harga dasar gabah (HDG), harga gabah kering panen (HGKP) dan harga eceran 59
beras (HEB). Tiga indikator harga tersebut memberikan informasi tentang perkembangan tingkat kelangkaan beras dan secara tidak langsung memberi gambaran tentang efisiensi pengelolaan perberasan di Indonesia. Perkembangan harga padi (gabah) dan beras eceran di Indonesia selama tahun 1980-2006 ditunjukkan pada Grafik 11.
Sumber: BPS dan Bulog Grafik 11. Perkembangan Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Gabah Kering Panen (HGKP) dan Harga Eceran Beras (HEB) Periode 1980-2006 (Rp/Kilogram)
Sebaran data pada Grafik 11. menunjukkan bahwa selama periode 19802006 HDG, HGKP maupun HEB terus meningkat. Peningkatan yang paling tajam terjadi pada harga eceran beras, khususnya sejak tahun 1997. Pada tahun 1980 harga eceran beras adalah Rp.198/kg, pada tahun 1997 meningkat menjadi Rp.1063/kg. Sejak tahun 1998 harga eceran beras menembus angka Rp.2000/kg. Dengan demikian pada tahun 1998 naik 97,5% dibanding tahun 1997. Kenaikan harga eceran beras terus berlanjut, dimana pada tahun 2006 menjadi Rp.4378/kg atau sekitar 22 kali lipat harga tahun 1980. 60
HDG juga terus dinaikkan pemerintah, kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu menjadi sebesar Rp.1.400/kg atau naik 82,5% dibanding dengan HDG tahun 1998. Pada tahun 2006 HDG naik menjadi Rp.2.250/kg atau naik sebesar 29,3% HDG tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 11. Perbandingan Harga Dasar Gabah, Harga Gabah Kering Panen dengan Harga Eceran Beras Periode Tahun 1980 - 2006
Tahun
Harga Per Unit (Rp/kg)
HDG HGKP 1980 105 116 1985 175 188 1990 270 283 1995 400 416 1996 450 466 1997 525 541 1998 767 1016 1999 1400 1145 2000 1400 1200 2001 1500 1248 2002 1500 1256 2003 1700 1530 2004 1700 1494 2005 1740 1801 2006 2250 2094 Sumber: BPS dan Bulog
HEB 198 322 525 776 880 1063 2099 2665 2215 2450 2842 2759 2795 3332 4378
Rasio Harga (%) HGKP/HDG HEB/HDG HEB/HGKP 110 189 171 107 184 171 105 194 186 104 194 187 104 196 189 103 202 196 132 274 207 82 190 233 86 158 185 83 163 196 84 189 226 90 162 180 88 164 187 104 191 185 93 195 209
Sekalipun harga gabah kering panen (HGKP) cenderung mengalami kenaikan, namun selama periode pasca krisis ekonomi
1997 terlihat
kecenderungannya bahwa harga gabah kering panen umumnya selalu lebih rendah dari harga dasar gabah. Hal ini menunjukkan semakin lemahnya daya tawarmenawar petani. Kebijakan pemerintah untuk pembatasan impor pada tahun 2004 walaupun menyebabkan kenaikan HGB namun tidak efektif menaikkan HGKP. Persebaran data tersebut di atas menunjukkan bahwa harga gabah kering yang diterima petani hanya beberapa persen di atas harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. Bahkan pada beberapa tahun seperti tahun 2000 dan tahun 61
2006, harga gabah yang diterima petani justru lebih rendah dengan harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya harga eceran beras selalu jauh lebih tinggi dari harga dasar gabah. Hal ini menunjukkan inefisiensi pengelolaan beras di Indonesia, sekaligus menunjukkan yang lebih menikmati keuntungan dari produksi padi/beras di Indonesia adalah kelompok-kelompok non petani. 5.7.
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Wilayah Kota dan Desa Perkembangan jumlah penduduk miskin pada periode 2000 -2008 tampak
berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun terlihat cenderung menurun pada tahun 2002 – 2005 Tabel 12. Perkembangan Jumlah dan Komposisi Penduduk Miskin Tahun 2000-2008
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber : BPS
Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa) Kota Desa K+D 12.312 26.431 38.744 8.599 29.268 37.867 13.319 25.075 38.394 12.264 25.076 37.339 11.369 24.778 36.147 13.297 23.505 36.802 14.489 24.806 39.295 13.559 23.609 37.168 12.768 22.195 34.963
Porsi Penduduk Miskin (%) Kota Desa K+D 31.8 68.2 100.0 22.7 77.3 100.0 34.7 65.3 100.0 32.8 67.2 100.0 31.5 68.5 100.0 36.1 63.9 100.0 36.9 63.1 100.0 36.5 63.5 100.0 36.5 63.5 100.0
Berdasarkan sebaran data pada Tabel 12.dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia senantiasa bergerak naik turun, namun selalu lebih besar dari 32 juta jiwa. Rata-rata jumlah penduduk miskin Indonesia selama periode 2000-2008 adalah 37,4 juta jiwa. Dalam periode yang sama jumlah ratarata penduduk miskin di kota adalah 12,4 juta jiwa dan di desa adalah 25 juta jiwa. Selanjutnya juga menunjukkan ada tahun-tahun dimana jumlah penduduk miskin mengalami penurunan drastis. Misalnya
selama periode 2002-2004
jumlah penduduk miskin turun dari 38,3 juta jiwa menjadi 36 juta. Dalam periode 2006 -2008 jumlah penduduk miskin juga berkurang drastis dari 39,3 juta pada tahun 2006 menjadi 35 juta pada tahun 2008. Di sisi lain juga terlihat ada tahun62
tahun dimana jumlah penduduk miskin melonjak drastis seperti pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin bertambah menjadi 39,3 juta jiwa dibanding pada tahun 2005 yang jumlahnya 36,8 juta jiwa. Data pada Tabel 12. menunjukkan bahwa sampai tahun 2008 penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di wilayah desa. Pada tahun 2008 misalnya 63,5 % dari total penduduk miskin di Indonesia berada di wilayah pedesaan. Jumlah penduduk miskin juga masih sangat besar karena pada tahun 2008 mencapai angka sekitar 35 juta jiwa yang diantaranya sekitar 22 juta tinggal di desa. Tingkat konsentrasi tertinggi yang pernah terjadi adalah tahun 2001 dimana sebanyak 77,3% atau lebih dari tiga perempat bagian penduduk miskin Indonesia berada di wilayah pedesaan. Rata-rata porsi penduduk miskin di desa selama tahun 2000-2008 adalah 66,7 juta jiwa. Hal ini menunjukkan dua pertiga bagian penduduk miskin di Indonesia ada di wilayah pedesaan. Data pada Tabel 12. juga menunjukkan bahwa porsi penduduk miskin yang tinggal di kota selama kurun waktu 2000-2008 cenderung membesar. Pada tahun 2000 hanya 32% penduduk miskin tinggal di kota dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 36,5%. Peningkatan porsi penduduk miskin yang tinggal di kota lebih disebabkan
penurunan jumlah penduduk miskin di desa lebih besar
dibanding dengan penurunan jumlah penduduk miskin di kota. Hal ini menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan dengan lebih memprioritas wilayah pedesaan tampaknya lebih efektif. 4.7.1. Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Masalah kemiskinan bukan hanya masalah jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Garis kemiskinan secara umum akan terus mengalami peningkatan. Garis kemiskinan kota selalu lebih besar dari desa yang menunjukan bahwa pengeluaran per kapita di kota selalu 63
lebih besar dibandingkan pengeluaran di desa. Data pada Tabel 13. menunjukkan perkembangan tiga indikator kemiskinan di Indonesia, yaitu Garis Kemiskinan (P0), Indeks Kedalaman Kemiskina (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) selama periode tahun 2000-2008. Tabel 13. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 2000-2008 Garis Kemiskinan Tahun Kota Desa 2000 91,632 73,648 2001 100,011 80,382 2002 130,499 96,512 2003 138,803 105,888 2004 143,455 108,725 2005 165,565 117,365 2006 174,290 130,584 2007 187,942 146,837 2008 204,896 161,831 Sumber: BPS
Indeks Kedalaman Kemiskinan Kota Desa 1.89 4.68 1.74 4.68 2.59 3.34 2.55 3.53 2.18 3.43 2.30 3.37 2.61 4.22 2.15 3.78 2.07 3.42
Indeks Keparahan Kemiskinan Kota Desa 0.51 1.39 0.45 1.36 0.71 0.85 0.74 0.93 0.58 0.90 0.66 0.92 0.77 1.22 0.57 1.09 0.56 0.95
Garis Kemiskinan Selama tahun 2000-2008 nilai batas garis miskin di kota dan desa terus meningkat. Pada tahun 2000 batas garis kemiskinan di kota adalah Rp91.632, sedangkan tahun 2008 menjadi Rp.204.896. Dengan demikian selama periode 2000-2008 garis kemiskinan di kota meningkat rata-rata 10,6 % per tahun. Laju peningkatan garis kemiskinan kota tertinggi yang pernah terjadi adalah tahun 2002 yang mencapai 30,5%. Kemudian pada tahun 2003 meningkat
sebesar
15,4%. Sedangkan laju peningkatan garis kemiskinan yang terendah tercapai pada tahun 2004 yaitu hanya 3,4%. Pada tahun 2000 batas garis kemiskinan di desa adalah Rp73.648 sedangkan tahun 2008 menjadi Rp.161.831. Dengan demikian selama periode 2000-2008 garis kemiskinan di desa meningkat rata-rata 10,4 % per tahun. Laju peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 20,1%, sedangkan laju peningkatan terendah tercapai pada tahun 2004 yaitu 2,7%. Memasuki tahun 2006
64
dan berlanjut sampai dengan tahun 2008, laju peningkatan garis kemiskinan di desa selalu lebih tinggi dari 10% per tahun. Secara keseluruhan laju peningkatan garis kemiskinan di kota dan desa selama periode 2000-2008,
tidak jauh bedanya dengan laju inflasi nasional.
Namun gejala laju peningkatan garis kemiskinan di desa selama tiga tahun terakhir yang senantiasa lebih tinggi dari 10% per tahun menunjukkan bahwa biaya hidup di desa selama tiga tahun terakhir meningkat lebih cepat dari biaya hidup di kota. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) Secara umum indeks kedalaman kemiskinan di Indonesia dalam periode 2000-2008 berfluktuasi meskipun ada kecenderungan menurun dari waktu ke waktu. Keadaan ini merupakan indikasi bahwa dalam periode tersebut rata-rata pengeluaran penduduk cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Nilai indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskina(P2) di daerah pedesaan lebih tinggi dari pada perkotaan. Indeks kedalaman kemiskinan perkotaan cenderung meningkat dari 1,89 pada tahun 2000 meningkat menjadi 2,07 pada tahun 2008, meskipun pada tahun 2001 mmengalami penuruna sebagi indeks kedalam kemiskinan terendah pada periode tersebut. Untuk daerah pedesaan nilai indeks kedalaman kemiskinan mengalami penurunan dimana pada tahun 2000 sebesar 4,68 dan menurun pada tahun 2008 menjadi 3,42. Akan tetapi perlu dicatatat bahwa pada tahun 2005 ke 2006 dimana terjadi kebujakan kenaikan harga BBM, nilai indeks kemahalan di perkotaan meningkat dari 2,30 menjadi 2, 61 begitu juga dengan daerah pedesaan mengalami peningkatan lebih besar dari 3,27 menjadi 4,22.
5.8.
Perkembangan Penduduk Miskin di Daerah Penghasil Beras Perkembangan jumlah penduduk miskin di daerah-daerah atau provinsi-
provinsi produsen beras utama di Indonesia dapat dilihat data pada Tabel 13. Produsen beras utama adalah sepuluh provinsi penghasil beras utama di Indonesia selama periode 2000-2008. 65
Data pada Tabel 14. menunjukkan bahwa selama periode 2000-2008 jumlah penduduk miskin di provinsi-provinsi penghasil beras utama di Indonesia mengalami penurunan. Bila pengamatan dikonsentrasikan kepada tiga produsen beras yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk miskin di tiga provinsi tersebut selama periode 2000-2008 mengalami penurunan sebesar rata-rata 2 % per tahun. Tabel 14. Perkembangan Penduduk Miskin pada Propinsi Penghasil Beras Terbesar Tahun 2000 – 2008 (Persen) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jawa Barat 13.25 13.24 9.14 9.79 9.73 11.46 11.83 11.87 12.19
Jawa Tengah 15.39 18.50 18.13 17.78 18.15 16.43 16.70 16.39 16.37
Jawa Timur 21.09 19.40 19.31 20.35 20.51 18.82 19.52 19.40 19.56
Total 49.73 51.14 46.58 47.92 48.39 46.71 48.05 47.66 48.11
Sumber: BPS
Selanjutnya sebaran data tersebut di atas juga menunjukkan bahwa produksi
padi di pulau Jawa selama periode 2000-2008 cenderung meningkat. Sementara sumber peningkatannya berasal dari peningkatan produksi beras di tiga provinsi terbesar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun harus hati-hati untuk mengatakan bahwa pengurangan penduduk miskin di tiga provinsi tersebut di atas, semata-mata disebabkan oleh kenaikan produksi beras mereka. Pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin di tiga provinsi tersebut adalah 13,15 juta atau sekitar sepertiga jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di tiga provinsi tersebut adalah 11,8 juta yang juga merupakan sepertiga jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini terlihat ironis, dimana sepertiga penduduk miskin Indonesia berdomisili di tiga provinsi produsen beras terbesar di Indonesia. Data di atas juga menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah penduduk miskin di Indonesia khususnya di provinsi produsen beras terus 66
berfluktuatif. Dari sisi pandang perberasan, penyebab hal ini dapat disebabkan oleh flkutuatifnya harga beras dan memiliki kecenderungan semakin mahal. Kenaikan harga beras dapat berdampak terhadap jumlah penduduk miskin, karena yang diuntungkan dari perubahan harga beras adalah kelompok pemilik lahan sawah yang besar dan para pedagang beras. Data menunjukkan bahwa sekitar tiga perempat jumlah penduduk miskin dan dua pertiga petani adalah konsumen neto beras.
Faktor-faktor lain di luar beras yang berpengaruh terhadap jumlah
penduduk miskin, terutama adalah kebijakan-kebijakan ekonomi yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi daya beli masyarakat dan perluasan kesempatan kerja. Kebijakan yang paling menjadi perdebatan adalah pengurangan subsidi BBM melalui kenaikan harga BBM
yang tinggi pada tahun 2005.
Pengurangan subsidi BBM berpengaruh terhadap biaya transportasi dan harga input sektor pertanian, khususnya pupuk dan obat-obatan. Kebijakan lain yang menjadi perdebatan adalah kebijakan pembatasan impor yang dilaksanakan sejak tahun 2004. Kebijakan tersebut dinilai telah menaikkan harga beras domestik.
67
VI.
6.1.
ANALISIS HUBUNGAN KEMSKINAN PEDESAAN DENGAN HARGA DAN PRODUKSI BERAS
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi Dalam konteks Indonesia, mata rantai antara produksi padi dengan
pasokan beras ke konsumen akhir (rumah tangga) adalah relatif panjang. Karena itu, bukannya tidak mungkin bahwa sekalipun produksi padi tinggi, namun pasokan beras tetap rendah. Berdasarkan hal di atas maka studi ini juga memperhatikan faktor-faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi pasokan beras. Faktor yang secara langsung mempengaruhi pasokan beras adalah produksi padi. Sedangkan faktor-faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi pasokan beras adalah tingkat rendemen dan tingkat efisiensi panen. Adapun hasil regresi persamaan ekonometrika dapat dilihat pada Tabel 15. Table 15. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Variable INTERCEPT Luas Lahan Irigasi Luas Lahan Ladang Luas Lahan non Irigasi Volume Pupuk Urea
Estimated Parameter -7.249463 0.923702 0.455906 0.448144 0.615033
Standard Error 1.265851 0.150856 0.123765 0.109689 0.118886
P-Value 0.0000 0.0000 0.0013 0.0005 0.0000
R2/Adj.R2(%) = 97,8%/97,4 % Statistik DW = 2,043913 Statistik F = 242,5648
6.1.1. Luas Lahan Sawah Irigasi Hasil regresi menunjukkan bahwa luas lahan sawah irigasi berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap jumlah produksi padi. Koefisien regresi 68
sebesar 0,92 menunjukkan bahwa bila luas lahan areal irigasi ditambah 1 % maka jumlah produksi padi akan bertambah sebesar 0,92 %. Dengan asumsi rendemen tidak berubah maka peningkatan
produksi padi nasional akan meningkatkan
produksi beras nasional. Berdasarkan angka koefisien regresi dapat dikatakan bahwa penambahan produksi padi tidak terlalu sensitif terhadap penambahan luas lahan sawah irigasi. Alasannya adalah jika luas lahan sawah irigasi ditambah 1% maka jumlah produksi padi nasional memang akan meningkat, tetapi kurang dari 1%. Hasil ini memberikan indikasi masih belum begitu efisiennya pengelolaan lahan irigasi atau jaringan irigasi atau mungkin juga hal di atas disebabkan menurunnnya kualitas jaringan irigasi.
Sumber: BPS Grafik 12. Perkembangan Luas Sawah Irigasi di Indonesia Tahun 1980-2006 (Ribu hektar) Grafik 12. menunjukkan walaupun luas lahan sawah irigasi cenderung mengalami peningkatan, namun laju kecepatannya sangat rendah yaitu hanya 1,2% per tahun selama periode 1980-2006. Sementara itu perkembangan luas lahanya sangat fluktuatif.
Periode yang menarik untuk diamati adalah tahun
1990-1996 dimana luas lahan sawah irigasi mengalami penurunan, lima tahun setelah Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Penurunan luas lahan 69
selama periode 1990-1996 disebabkan oleh alih lahan sawah untuk areal industri, perumahan dan perkantoran. Contoh untuk kasus ini adalah berubahnya fungsi lahan sawah di Karawang, Bekasi, Cikarang dan Cikampek menjadi kawasan industri. Hal ini memberikan gambaran tentang inkonsistensi pemerintah dalam stabilisasi produksi beras di Indonesia. Namun demikian hasil regresi menunjukkan bahwa penambahan luas sawah irigasi memberikan sumbangan terbesar terhadap penambahan produksi padi nasional dibandingkan dengan penambahan luas lahan sawah non irigasi maupun penambahan luas ladang padi. Hal ini disebabkan kualitas lahan irigasi umumnya jauh lebih baik dibandingkan dengan lahan non irigasi. Selain itu intensitas penggunaan lahan sawah irigasi bisa mencapai dua atau tiga kali penanaman dalam setahun. Berdasarkan hasil regresi di atas, dapat dikatakan bahwa penambahan luas lahan sawah irigasi merupakan salah satu pilihan terbaik dalam upaya meningkatkan produksi beras nasional. Masalahnya adalah selama periode pengamatan, penambahan luas lahan sawah irigasi di Indonesia relatif lambat, seperti yang dapat dilihat dalam Grafik 12. Selama periode 1980-2006 porsi luas lahan sawah irigasi tidak pernah mencapai angka 50% total luas areal penanaman padi di Indonesia. Selama periode 1980-2006 porsi lahan irigasi rata-rata adalah 40,8%. Artinya hanya sekitar 40% areal penanaman padi di Indonesia yang dilayani oleh jaringan irigasi. Porsi tertinggi tercapai pada tahun 2006 yang sebesar 42%. Porsi terendah terjadi pada tahun 1996 yang hanya merupakan 35,1% luas areal penanaman padi. Membesarnya porsi luas sawah irigasi pada tahun 2006 lebih disebabkan oleh menyusutnya dengan cepatnya luas ladang padi selama periode 2004-2006. Sedangkan luas lahan sawah irigasi, antara tahun 2004-2006 juga mengalami penyusutan sekitar 70.000 hektar. Rendah dan fluktuatifnya lahan sawah irigasi di satu sisi menyebabkan fluktuatifnya produksi padi di Indonesia. 6.1.2. Luas Lahan Sawah non Irigasi Hasil regresi menunjukkan bahwa penambahan luas lahan sawah non irigasi berpengaruh signifikan terhadap penambahan produksi padi dengan arah 70
positif. Bila luas lahan sawah non irigasi bertambah sebesar 1% maka jumlah produksi padi akan bertambah sebesar 0,45%. Kecilnya pengaruh penambahan luas lahan sawah non irigasi terhadap penambahan produksi disebabkan lahan sawah non irigasi umumnya hanya dapat digunakan rata-rata satu kali dalam setahun. Selain itu, tanpa irigasi maka kualitas pengolahan lahan menurun, sehingga produktivitas juga menurun. Selama periode 1980-2006 lahan sawah non irigasi mencapai sekitar separuh luas lahan penanaman padi. Pada tahun 1980 luas lahan sawah non irigasi adalah sekitar 4,1 juta hektar, sedangkan pada tahun 2006 adalah 5,7 juta hektar. Dengan demikian pertumbuhan lahan sawah irigasi selama periode 1980-2006 adalah rata-rata 1,2% per tahun. Beradasarkan data di atas,
sebenarnya lahan sawah non irigasi sangat
potensil ditingkatkan untuk menjadi lahan sawah irigasi, terutama bila lokasinya tidak jauh dari sumber air atau dari lahan-lahan sawah irigasi. Sayangnya perkembangan luas lahan sawah non irigasi, selama periode 1980-2006 sangat fluktuatif. Bahkan beberapa tahun terakhir justru mengalami penurunan seperti dapat dilihat pada Gambar 13. Non Irigasi 7.000
L 6.000 u a 5.000 s 4.000 3.000
Nonir
L a 2.000 h 1.000 a 0 n Tahun Sumber : BPS Grafik 13. Perkembangan Luas Lahan Sawah non Irigasi di Indonesia Tahun 1980-2006 (Ribu hektar)
71
Grafik 13. menunjukkan bahwa setelah mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi khusus selama periode 1990-1998, maka pada tahun-tahun selanjutnya luas lahan sawah non irigasi menurun sampai tahun 2006. Penurunan ini nampaknya bukan karena peningkatan status dari lahan sawah non irigasi menjadi lahan sawah irigasi. Berdasarkan data,
penurunan lahan sawah non
irigasi adalah lebih besar dibanding dengan penambahan lahan sawah irigasi. 6.1.3. Luas Ladang Padi Hasil regresi menunjukkan bahwa luas ladang padi berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap produksi padi. Bila luas ladang padi bertambah sebesar 1% maka produksi padi di Indonesia akan bertambah sebesar 0,46 %. Pengaruh penambahan luas ladang padi terhadap penambahan produksi padi dapat dikatakan sama dengan pengaruh penambahan luas lahan sawah non irigasi terhadap penambahan produksi padi. Ladang padi merupakan porsi terkecil dalam luas areal penanaman padi di Indonesia. Selama periode 1980-2006 luas ladang padi rata-rata hanya 11,6% luas lahan panen padi di Indonesia. Bahkan pada tahun 2005 porsinya menurun drastis menjadi hanya 9,0 % luas areal penanaman padi. Porsi terbesar tercapai pada tahun 1983 dimana luas ladang padi mencapai 13,7% luas aeral penanaman padi. Data ini menunjukkan bahwa ladang padi juga turut mendukung upaya pencapaian swa sembada beras tahun 1985. Tetapi sedang tahun 1985 luas ladang padi cenderung mengalami penurunan. Sedangkan selama tahun 2005-2006 luas ladang padi berkurang hampir sebesar 390.000 hektar. Data selama periode 1980-2006 menunjukkan bahwa produktivitas ladang padi adalah separuh dari produktivitas lahan sawah irigasi. Hal ini disebabkan intensitas dan kualitas pengolahan sawah irigasi jauh lebih baik dari pada ladang padi. Namun demikian, selama periode 1980-2006 produktivitas ladang padi menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1980 produktivitas rata-rata ladang padi di Indonesia adalah 1,4 ton per hektar. Pada tahun 2006 produktivitas rata-rata ladang padi di Indonesia meningkat menjadi 3 ton per hektar. Dengan demikian produktivitas ladang padi selama periode 1980-2006 tumbuh 3% per tahun. 72
Berdasarkan fakta tersebut maka sebenarnya sama halnya dengan sawah non irigasi, ladang padi mempunyai potensi untuk diubah menjadi lahan sawah irigasi. Namun demikian, sama halnya dengan lahan sawah non irigasi, luas ladang padi selama periode 1980-2006 juga sangat fluktuatif. Sedangkan selama periode 2004 - 2006 luas ladang padi mengalami penurunan drastis.
Tren
perkembangan
luas ladng dalam jangka panjang dapat dilihat pada Grafik 14 yang menunjukan cenderung datar. Namun pergerakan data selama periode 1980-2006 menunjukkan kecenderungan fluktuatif. Data di atas menunjukkan bahwa selama beberapa tahun dalam periode-periode pertengahan 1980an, 1990an dan 2000 an areal ladang padi mengalami peningkatan. Tetapi selama sejak pertengahan 1990an luas ladang padi di Indonesia, terus mengalami penurunan.
Sumber : BPS Grafik 14. Perkembangan Luas Ladang Padi di Indonesia Tahun 1980-2006 (Ribu hektar) 6.1.4. Volume Penggunan Pupuk Urea Hasil regresi menunjukkan bahwa volume penggunaan pupuk urea berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap produksi padi. Bila jumlah penggunaan pupuk urea per hektar sawah naik 1% maka ceteris paribus produksi padi akan naik sebesar 0,62%. Berdasarkan hasil regresi, pengaruh penambahan pupuk urea terhadap penambahan produksi padi juga tidak terlalu besar. 73
Selama periode 1980-2006 volume penggunaan pupuk urea terus meningkat. Pada tahun 1980 jumlah pupuk urea yang digunakan untuk setiap hektar sawah adalah sekitar 139 kilo gram, tetapi pada tahun 2006 telah mencapai 196 kilo gram. Dengan demikian selama periode 1980-2006 penggunaan pupuk urea per hektar sawah meningkat rata-rata 1,3% per tahun. Sedangkan produksi padi selama periode yang sama meningkat sebesar 2,3% per tahun. Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa penambahan pupuk urea secara teknis cukup efektif meningkatkan produksi padi. Persoalannya adalah harga pupuk urea selama periode 1980-2006 meningkat rata-rata 13,7% per tahun, yaitu dari Rp.72/kg pada tahun 1980 menjadi Rp.2.010/kg pada tahun 2006. Artinya penambahan penggunaan pupuk urea dalam rangka peningkatan produksi padi secara finansial atau ekonomi adalah pilihan yang sangat mahal 6.2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Beras Faktor-faktor yang umumnya dianggap mempengaruhi permintaan beras
adalah harga beras dan pendapatan per kapita. juga dimasukkan variabel volume impor beras. Tabel 16 menunjukan hasil regresi antara permintaan beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Table 16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Beras Variable
Estimated Parameter
INTERCEPT Pendapatan Perkapita Harga Eceran Beras Volume Impor Beras
12058.43 2.207289 -0.655532 0.129960
Standard Error 1332.441 0.289048 0.378372 0.186579
P-Value 0.0000 0.0000 0.0965 0.4931
R2/Adj.R2(%) = 84,3%/82,2 % Statistik DW = 0,41 Statistik F = 41,3
6.2.1
Harga Eceran Beras Hasil regresi di atas menunjukkan bahwa konsumsi beras di Indonesia
tidak sensitif terhadap perubahan harga beras nominal. Jika harga beras nominal 74
(harga eceran beras) naik satu
unit atau satu
rupiah maka ceteris paribus,
konsumsi beras akan turun sebesar 0,66 unit atau 660 ton. Hasil regresi tersebut dapat dijelaskan dari beberapa sisi. Sisi yang pertama adalah beras merupakan komoditi pangan yang sulit disubstitusi. Sekalipun komoditi-komoditi pangan non beras relatif beragam, namun 95% kebutuhan pangan di Indonesia merupakan konsumsi beras. Selain sulit disubstitusi, pengguna beras di Indonesia sangat besar, yaitu lebih dari 200 juta penduduk. Walaupun masih harus diteliti lebih lanjut, salah satu faktor yang dapat digunakan adalah kandungan kalori yang dihasilkan per unit beras adalah lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi-komoditi pangan lainnya, seperti dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kandungan Komoditi Pangan Pengganti Beras
Komoditi
Berat (gram)
Kalori
Kalori /gram
Jagung Rebus 250 90.2 Kentang Rebus 200 166 Roti Tawar Serat Tinggi 60 149 Singkong Rebus 100 146 Talas Rebus 100 98 Ubi Rebus 100 125 Nasi Putih 100 175 Sumber: Redaksi Ditjen Hortikultura-Deptan
Kandungan kalori relatif beras (beras = 1)
0.36 0.83
0.21 0.47
2.48 1.46 0.98 1.25 1,75
1.42 0.83 0.56 0.71 1,00
Data di atas menunjukkan hanya roti tawar serat yang tinggi kandungan kalori per gram-nya lebih tinggi dibanding beras. Namun harga roti gandum adalah beberapa kali lipat lebih mahal dibanding beras. Karena itu roti gandum bukanlah pilihan, ketika pendapatan masih rendah. Komoditi-komoditi lain kandungan kalori per gram-nya lebih rendah dari beras, sedangkan harganya tidak terlalu jauh dibanding beras.Hasil regresi di atas menunjukkan bahwa harga beras dalam hal ini harga eceran beras, bukanlah faktor utama yang mendorong pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia.
75
6.2.2. Pendapatan Riil Per Kapita Dalam studi ini, pendapatan riil per kapita rakyat Indonesia diproksi atau diperkirakan dengan PDB harga konstan tahun 2000 per kapita (PDB riil per kapita). Jika PDB riil per kapita meningkat maka daya beli rakyat meningkat sehingga konsumsi beras.
Hasil regresi pada
di atas menunjukkan bahwa
konsumsi beras di Indonesia responsif (elastis) terhadap perubahan pendapatan riil kapita. Jika pendapatan per kapita naik satu unit, maka konsumsi beras akan naik sebesar 2,21 unit atau 2.210 ton.Secara teoritis umumnya konsumsi beras tidak responsif terhadap perubahan pendapatan per kapita. Namun hal ini hanya terjadi bila pendapatan per kapita masyarakat sudah jauh di atas garis kemiskinan. Data
BPS
menunjukkan
bahwa
Indonesia
masih
belum
dapat
dikategorikan negara berpendapatan menengah tinggi, karena pendapatan per kapita Indonesia masih lebih rendah dari US$4.000. Saat ini pendapatan riil perkapita Indonesia menurut laporan Bank Dunia, masih sedikit di atas US$2.000. Dengan memperhatikan angka Koefisien Gini beberapa dekade terakhir yang umumnya masih berada diantara 0,35 sampai dengan 0,42 dapat disimpulkan masih banyak rakyat Indonesia yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dari US$2.000. Bila diukur dengan batas kemiskinan berdasarkan konsumsi per kapita per bulan, dapat disimpulkan beberapa hal berikut; Diukur berdasarkan standar BPS, maka penduduk miskin di Indonesia mencapai angka sekitar 40 juta jiwa. Bila diukur dengan menggunakan standar Bank Dunia, yaitu ≤ US$2/kapita/hari, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia melebihi angka 100 juta jiwa. Data di atas dapat menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan per kapita di Indonesia masih dalam taraf awal, sehingga dampaknya terhadap peningkatan konsumsi beras masih relatif besar. Pada tahap yang sangat awal, ketika pendapatan per kapita meningkat ada kelompok masyarakat yang pindah dari mengkonsumsi komoditi pangan inferior seperti gaplek dan jagung, ke konsumsi beras, sekalipun kualitas rendah. Pada tahap berikutnya bila pendapatan per kapita meningkat lagi, ada kelompok masyarakat yang meningkatkan frekuensi 76
konsumsi beras dan atau pindah dari beras kualitas rendah ke beras kualitas yang lebih tinggi. 6.2.3. Volume Impor Beras Hasil regresi menunjukkan bahwa volume impor beras ceteris paribus tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras di Indonesia. Hal ini dapat dipahami, karena keputusan impor beras ditentukan berdasarkan proyeksi kebutuhan beras dan untuk menjaga stabilitas harga. Pengalaman menunjukkan bahwa impor beras di Indonesia, nampaknya lebih didasarkan pertimbangan psikologis dan politis dari pada pertimbangan ekonomi. Misalkan pada tahun 1998 dan 1999 volume impor beras masing-masing adalah 6 juta ton dan 4,1 juta ton. Dengan demikian porsi impor pada tahun 1998 dan 1999 masing-masing adalah 19,5% dan 13,0% total produksi beras tahun yang bersangkutan. Porsi ini adalah yang tertinggi selama periode 1980-2006. Pada hal selama tahun 1998 dan 1999 produksi beras tidak mengalami gangguan berarti.
Pada periode swa
swembada beras 1984-1985 impor beras Indonesia juga relatif tinggi yaitu lebih besar dari 2 juta ton.
6.3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penawaran Beras Dalam studi ini, faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi jumlah
penawaran beras adalah harga beras, harga pupuk urea dan volume impor beras. Hasil regresi antara pasokan beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat seperti Tabel 18. 6.3.1. Harga Eceran Beras Hasil regresi menunjukkan harga eceran beras berpengaruh signifikan terhadap pasokan beras dengan arah positif. Koefisien regresi menunjukkan bila harga beras naik 1 Unit atau satu Rupiah, maka pasokan beras ceteris paribus akan meningkat sebanyak
sekitar 81 unit atau
81.000 ton. Hasil regresi di atas
menunjukkan bahwa komoditi beras adalah komoditi yang besar, sumber utama
77
penambahan pasokan beras berasal dari impor. Mengingat pasokan padi sifatnya inelastis, maka kemungkinan Table 18. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Beras Variable
Estimated Parameter
INTERCEPT Harga Eceran Beras Harga Pupuk Urea Volume Impor Beras
Standard Error
10792.10 81.09591 -141.1847 1.110978
P-Value
1494.689 10.40200 18.48836 0.219244
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
R2/Adj.R2(%) = 84,3%/82,3 % Statistik DW = 0,41 Statistik F = 41,3
6.3.2. Harga Pupuk Urea Hasil regresi menunjukkan bahwa harga input (pupuk urea) berpengaruh signifikan terhadap jumlah pasokan beras dengan arah negatif. Bila harga pupuk urea naik satu rupiah, maka jumlah beras yang dipasok akan berkurang sebesar 141 unit atau sekitar 141.000 ton. Hasil regresi ini dapat diterima secara teoritis, karena pupuk urea adalah salah satu komponen utama dalam budidaya penanaman padi di Indonesia. Pada tahun 2006 rata-rata penggunaan pupuk urea di Indonesia adalah 196 kilo gram. Pada tahun yang sama, harga pupuk urea adalah sekitar Rp.2.100 per kilo gram. Dengan demikian petani harus menyiapkan dana sekitar Rp.400.000,00 per hektar setiap kali tanam, untuk membeli pupuk urea. Dampak pengurangan pasokan beras akibat kenaikan pupuk urea adalah lebih besar dari dampak penambahan pasokan beras akibat kenaikan harga beras. Karena itu sebaiknya, pemerintah berhati-hati dalam penentuan harga pupuk urea. 6.3.3. Volume Impor Beras Hasil regresi menunjukkan bahwa volume impor beras berpengaruh signifikan terhadap pasokan beras, dengan arah positif. Koefisien regresi sebesar 1,11 artinya adalah bila volume impor beras bertambah satu unit atau seribu ton, maka pasokan beras akan bertambah sebesar 1.110 ton.
Dengan
demikian 78
hasil regresi menunjukkan bahwa penambahan volume impor beras, cukup efektif untuk menambah pasokan beras di Indonesia. 6.4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras Di bawah ini adalah hasil regresi antara harga eceran beras (HEB) dengan
faktor-faktor yang dianggap mempengaruhinya, yaitu harga dasar gabah (HDG), harga pupuk urea (HPU), harga beras impor (PIM) dan harga bbm yang direpresentasikan dengan variabel dummi kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005 (BBM). Tabel 19. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Beras Variable INTERCEPT Harga Dasar Gabah Harga Pupuk Urea Harga Beras Impor BBM
Estimated Parameter 65.38663 0.863752 0.646095 0.196883 361.2696
Standard Error
P-Value
48.59371 0.265512 0.295488 0.078492 122.6268
0.1922 0.0036 0.0397 0.0200 0.0075
R2/Adj.R2(%) = 98,9%/98,6 % Statistik DW = 1.9493 Statistik F = 492.7757
6.4.1. Harga Dasar Gabah Harga dasar gabah memiliki pengaruh signifikan dengan arah positif terhadap harga eceran beras. Hasil regresi menunjukkan bahwa jika harga dasar gabah naik 1 unit, maka ceteris paribus harga beras eceran akan naik 0,86 unit. Dengan demikian kenaikan harga dasar gabah sifatnya mengikat terhadap kenaikan harga eceran beras. Dampak kenaikan harga dasar gabah terhadap kenaikan harga beras sifatnya tidak langsung, karena di pasar beras ada faktor lain yang mempengaruhi harga yaitu permintaan beras dan impor beras. 6.4.2. Harga Pupuk Urea Harga pupuk urea
memiliki pengaruh signifikan dengan arah positif
terhadap harga eceran beras. Jika harga pupuk urea naik 1 unit, maka harga beras 79
eceran akan naik 0,65 unit. Dampak kenaikan harga pupuk urea terhadap harga beras berlangsung melalui sisi penawaran. 6.4.3. Harga Beras Impor Harga beras impor
memiliki pengaruh signifikan dengan arah positif
terhadap harga eceran beras. Hasil regresi menunjukkan jika harga impor naik 1 unit, maka ceteris paribus harga beras eceran akan naik 0,20 unit. Hal ini menunjukkan bahwa pasar beras Indonesia, sudah terintegrasi dengan pasar beras dunia, sehingga kenaikan harga beras impor menyebabkan kenaikan harga beras eceran di Indonesia. Namun sayang dalam hal integrasi
dengan pasar beras
dunia, posisi Indonesia importir. Karena itu pengaruh kenaikan harga beras internasional terhadap harga beras dalam negeri masuk melalui jalur impor beras. 6.4.4. Kenaikan Harga BBM 2005 Kebijakan kenaikan harga BBM sejak tahun 2005 berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap harga eceran beras. Kenaikan harga BBM tersebut telah menyebabkan harga beras eceran naik sebesar Rp.363 per kilogram. Besarnya kenaikan harga beras akibat kenaikan harga BBM disebabkan pengaruh BBM terhadap pertanian beras di Indonesia pada sisi pasokan dan permintaan. 6.5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kemiskinan
bertujuan
mengetahui tingkat signifikansi, besar dan arah hubungan variabel – variabel yang dianggap mempengaruhi jumlah penduduk miskin di pedesaan. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan alat ekonometrika yaitu regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah panel data 23 provinsi penghasil beras di Indonesia periode tahun 2000-2008. Regresi dilakukan dengan menggunakan dua model yaitu model 1 dan 2. Perbedaan model dilakukan dengan membedakan selang waktu (time lag) dan variabel yang berpengaruh.
80
Tabel 20. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan (Model 1) Variable INTERCEPT Kemiskinan Desa Lag 1 tahun Produksi Rata-rata per Hektar Lag 2 th Harga Beras Riil Lag 2 tahun PDRB Perkapita Lag 2 tahun Share sub sector Pangan Rasio Produksi terhadap Konsumsi per Kapita Lag 3 tahun BBM
Estimated Parameter Fixed Effects 0.544032 -0.493713 -0.131067 -0,592632 -0,281116 -0,136952 0,132096
Standard Error
P-Value
0.065885 0.255692 0.070262 0.166580 0.069784 0.082336
0.0000 0.0561 0.0648 0.0006 0.0001 0.0991
0.023386
0.0000
R2/Adj.R2(%) = 99,9%/99,9 % Statistik DW = 2,153761 Statistik F = 11364,94
FIXED EFFECTS Model regresi disusun dengan asumsi bahwa koefisien perubahan variabel terikat karena perubahan variabel bebas ceteris paribus untuk setiap individu (cross section) adalah sama. Regresi ini menggunakan fixed effect. Nilai fixed effect menunjukkan besarnya jumlah orang miskin di provinsi i, bila semua variabel bebas nilainya sama dengan nol. Dengan demikian nilai fixed effect dalam regresi ini adalah sama dengan nilai dummi wilayah dapat dilihat pada tabel 21. Nilai fixed effect yang tertinggi, terlihat pada provinsi – provinsi Aceh (NAD) sebesar 6,21, kemudian Jawa Barat dengan nilai 6,48, selanjutnya Jawa Tengah dengan nilai 6,36 dan Jawa Timur dengan nilai 6,51. Hal ini menunjukkan bahwa bila seluruh variabel-variabel bebas nilainya sama dengan nol, maka jumlah penduduk miskin di provinsi-provinsi tersebut adalah yang paling tinggi. Nilai fixed effect empat provinsi di atas dinyatakan dalam bentuk logaritma basis 10. Jika diterjemahkan dalam nilai konvensional,
artinya, pada saat semua
variabel bebas bernilai nol, maka jumlah penduduk miskin di empat provinsi tersebut adalah lebih besar dari satu juta jiwa. Lebih spefisik, NAD adalah 1,62
81
juta jiwa, Jawa Barat 3, juta jiwa, Jawa Tengah 2,29 juta jiwa dan Jawa Timur 3,24 juta jiwa. Tabel 21. Tingkat Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Penghasil Beras No.
Provinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kaltim Kalsel Sulut Sulteng Sulsel Sultra
Log Penduduk Peringkat Miskin Desa 6,21 4 5,99 5 5,64 6 5,37 11 4,87 17 5,63 7 4,89 16 5,45 10 6,48 2 6,36 3 5,47 9 6,51 1 5,21 12 5,52 8 4,36 22 4,78 18 4,26 23 4,68 20 5,17 13 5,11 14 4,71 19 4,99 15 4,56 21
Tingginya angka kemiskinan di provinsi-provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur berkaitan erat dengan tekanan kependudukan. Jumlah penduduk pada ketiga provinsi rata-rata lebih dari 30 juta jiwa. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Jawa Barat adalah sekitar 40 juta jiwa, Jawa Tengah 33 juta jiwa dan Jawa Tinur 37 juta jiwa. Total jumlah penduduk ketiga provinsi tersebut mencapai hampir separuh total penduduk Indonesia tahun 2008.
Sedangkan
gejala kemiskinan di NAD kemungkinan besar juga disebabkan ketidakstabilan politik, selama sekitar tiga dekade terakhir ini. 82
6.5.1 Jumlah Penduduk Miskin Desa Satu Tahun Sebelumnya Hasil regresi menunjukan bahwa variabel jumlah penduduk miskin desa satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan dengan arah positif jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel
terhadap
sebesar 0,54 artinya ceteris
paribus jika jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode t bertambah sebesar 1%, maka jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode setahun yang akan datang bertambah sebesar 0,54%. Hasil regresi ini memberi indikasi bahwa masalah kemiskinan desa di Indonesia, merupakan masalah yang kronis dan kemungkinan bersifat struktural. Yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah bahwa kemiskinan di pedesaan disebabkan terutama oleh ketidakmampuan penduduk untuk melepaskan diri dari kemiskinan karena rendahnya kualitas SDM, minim dan buruknya infrastruktur dan skala produksi khususnya pertanian yang masih dalam taraf memenuhi kebutuhan sendiri. 6.5.2. Produksi Rata-Rata Beras Per Hektar Sawah Hasil regresi menunjukan bahwa variabel produksi rata beras per hektar berpengaruh signifikan dengan arah negatif selang waktu 2 tahun terhadap jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel sebesar -0,49 artinya ceteris paribus jika produksi rata beras per hektar di provinsi i pada periode t meningkat sebesar 1%, maka jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode 2 tahun yang akan datang berkurang sebesar 0,49%. Hasil regresi ini memberi indikasi bahwa peningkatan produktivitas sawah dapat menurunkan jumlah penduduk miskin desa. Peningkatan produktivitas lahan ceteris paribus akan meningkatkan pendapatan petani. Namun hasil regresi menunjukkan bahwa pengaruh (elastisitas)
kenaikan produkvitas rata-rata terhadap penurunan kemiskinan di
pedesaan adalah lebih kecil dari satu. Hal ini disebabkan yang lebih diuntungkan dari kenaikan produksi padi atau gabah kering panen adalah para pedagang atau kelompok-kelompok non petani padi.
83
6.5.3. PDRB Riil Per Kapita Hasil regresi menunjukan bahwa variabel PDRB riil per kapita berpengaruh signifikan dengan arah negatif selang waktu 2 tahun terhadap jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel sebesar -0,59 artinya ceteris paribus jika PDRB riil per kapita di provinsi i pada periode t meningkat sebesar 1%, maka jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode 2 tahun yang akan datang berkurang sebesar 0,59%. Pertumbuhan PDRB per kapita secara teoritis akan memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan rakyat. Hasil regresi ini memberi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi khususnya pendapatan per kapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin desa. PDRB per kapita akan tumbuh bila pertumbuhan PDRB riil lebih besar dari pertumbuhan penduduk. Sehingga dapat juga dikatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang konstanpun, jumlah penduduk miskin desa dapat dikurangi bila tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan. Selama periode Orde Baru, pemerintah berhasil menekan pertumbuhan penduduk sampai mencapai hanya 1% per tahun. Namun beberapa tahun terakhir pertumbuhan penduduk kembali meningkat dan mencapai angka 1,3% per tahun. Meningkatnya pertumbuhan penduduk, pada saat perekonomian makro mengalami banyak tekanan, memang merupakan masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Diantara variabel-variabel bebas yang digunakan dalam regresi, variabel pertumbuhan pendapatan per kapita memberikan sumbangsih yang paling besar dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Namun elastisitas pengurangan jumlah penduduk kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita masih lebih kecil dari satu. Hasil ini berhubungan erat dengan karakteristik sektor ekonomi pedesaan yang padat karya, sementara nilai tambahnya umumnya relatif rendah. 6.5.4. Harga Riil Beras Hasil regresi menunjukan bahwa variabel harga riil beras berpengaruh signifikan dengan arah negatif selang waktu 2 tahun terhadap jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel sebesar -0,13 artinya ceteris paribus jika harga 84
riil beras di provinsi i pada periode t meningkat sebesar 1%, maka jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode 2 tahun yang akan datang berkurang sebesar 0,13%. Hasil regresi ini memberi indikasi bahwa kenaikan harga riil beras dapat menurunkan jumlah penduduk miskin desa. Hasil tersebut dapat dijelaskan dari sisi bahwa provinsi yang dijadikan sampel dalam studi ini merupakan penghasil beras, sehingga kenaikan harga beras akan meningkatkan pendapatan pertani. Dapat juga dikatakan bahwa sekalipun harga beras tidak berubah, jumlah penduduk miskin desa dapat dikurangi bila laju inflasi dapat ditekan. Kecilnya pengaruh kenaikan harga riil beras terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di pedesaan, dapat dijelaskan dari beberapa sisi. Yang pertama, luas lahan sawah yang digarap oleh petani padi, umumnya kurang dari setengah hektar, sehingga tidak mencapai skala usaha yang efisien. Dengan asumsi kenaikan harga beras memberikan indikasi kenaikan harga gabah, maka dampak kenaikan harga gabah tersebut terhadap peningkatan pendapatan petani tidaklah besar. Data menunjukkan bahwa pada saat HGKp di bawah HDG, harga beras masih tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa petani padi khususnya dengan usaha skala kecil tidak menikmati banyak manfaat dari kenaikan harga riil beras. Yang kedua, masih banyak petani padi atau pekerja tani yang statusnya bukan pemilik lahan atau merupakan petani gurem. Kondisi ini menyebabkan bahwa mereka pada dasarnya merupakan konsumen beras (net consumers). Dengan demikian, kenaikan harga beras di satu sisi memberi dampak negatif yang menghapus atau mengurangi dampak positif dari kenaikan harga riil beras. 6.5.5. Kenaikan Harga BBM Tahun 2005 Hasil regresi menunjukan bahwa variabel dummi kenaikan harga BBM berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel
sebesar 0,13 artinya
ceteris paribus pada saat
pemerintah menaikkan harga BBM tahun 2005, jumlah penduduk miskin pedesaan di tingkat provinsi bertambah 0,13%. Hasil regresi dapat dijelaskan dari sisi teori, yaitu kenaikan harga BBM ceteris paribus menyebabkan kejutan di 85
sisi penawaran yang bersifat kontraktif (adverse supply shock). Sifat kontraktif inilah
yang
akan
menekan
perekonomian
makro
dan
mengakibatkan
bertambahnya jumlah penduduk miskin desa. Dalam konteks Indonesia khususnya dalam konteks pertanian , komoditi BBM adalah komoditi strategis. Di sisi produksi padi, komoditi BBM merupakan input, baik sebagai bahan bakar, maupun salah satu variabel yang mempengaruhi harga pupuk buatan, seperti pupuk urea. BBM juga digunakan untuk aktivitas transportasi dalam proses produksi maupun pasca panen. Karena itu kenaikan harga BBM akan menaikkan harga beras. Selanjutnya kenaikan harga BBM telah menyebabkan laju inflasi, sehingga menurunkan daya beli masyarakat yang berpendapatan rendah dan tetap. Relatif kecilnya pengaruh kenaikan harga BBM tahun 2005 terhadap kenaikan penduduk miskin disebabkan pada saat yang sama pemerintah memberi bantuan kepada keluarga miskin, baik dalam bentuk raskin maupun bantuan langsung tunai (BLT). Porgram raskin, misalnya telah menyebabkan pemerintah harus menyediakan beras sebanyak 15kg/bulan kepada 11 juta KK, sepuluh bulan per tahunnya. Harga subsidi beras miskin adalah Rp.1.000/kg. Masalah yang muncul adalah tidak efektifnya sasaran, karena hanya 26% penerima raskin yang merupakan penduduk miskin. 6.5.6. Peranan Sub Sektor Pangan Hasil regresi menunjukan bahwa variabel peranan sub sector pangan berpengaruh signifikan dengan arah negatif selang waktu 1 tahun terhadap jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel sebesar -0,35 artinya ceteris paribus jika porsi sektor pangan
di provinsi i pada periode t meningkat sebesar 1%,
maka jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode 1 tahun yang akan datang berkurang sebesar 0,35%. Hasil regresi ini memberi indikasi bahwa peningkatan peranan sub sektor pangan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin desa. Hasil tersebut dapat dijelaskan dari sisi bahwa provinsi yang dijadikan sampel dalam studi ini merupakan penghasil beras, sehingga kenaikan peranan 86
sub sektor pangan akan memperluas kesempatan kerja, karena kualifikasi pekerja di sektor tersebut dapat dipenuhi oleh penduduk desa yang umumnya berpendidikan dan atau memiliki ketrampilan yang rendah. Namun demikian, kenaikan peranan pertanian pangan yang dapat diidentikkan dengan pertanian padi, tidak berdampak besar terhadap pengurangan penduduk miskin di pedesaan. Jika penduduk miskin pedesaan ingin dikurangi sebesar satu persen, maka peranan sub sektor pertanian pangan harus dinaikkan tiga kali lipat. Implikasinya dibutuhkan investasi yang sangat besar, yang kurang sebanding dengan tambahan manfaatnya. Hasil ini berkaitan dengan karakteristik permintaan produk pangan yang cenderung semakin inelastis pada saat tingkat pendapatan rakyat meningkat. Berdasarkan hasil regresi dapat dikatakan bahwa peningkatan peran sub sektor pertanian pangan dalam upaya pengurangan jumlah penduduk miskin di pedesaan tidak dapat terlalu diharapkan. 6.5.7. Rasio Produksi Beras per Kapita dengan Konsumsi Minimum per Kapita Hasil regresi menunjukan bahwa variabel rasio produksi beras per kapita dengan konsumsi minimum per kapita
berpengaruh signifikan dengan arah
negatif selang waktu 3 tahun terhadap jumlah penduduk miskin desa. Koefisien variabel
sebesar -0,14 artinya ceteris paribus angka rasio (ketahanan pangan)
di provinsi i pada periode t meningkat sebesar 1%, maka jumlah penduduk miskin di provinsi i pada periode 3 tahun yang akan datang berkurang sebesar 0,17%. Hasil regresi ini memberi indikasi bahwa peningkatan ketahanan pangan atau dalam hal ini kedaulatan pangan karena sumber pangan sepenuhnya berasal dari daerah sendiri dapat dilakukan seiring dengan upaya menurunkan jumlah penduduk miskin desa.
Peningkatan ketahanan pangan di satu sisi akan
memperbaiki pasokan pangan di provinsi yang bersangkutan, di sisi lain, juga dapat meningkatkan penghasilan petani melalui ekspor beras ke daerah lain. Variabel ini pada dasarnya memberikan gambaran tentang kedaulatan pangan, dimana bila nilainya makin besar berarti kedaulatan pangan makin kuat. Namun dampak positif peningkatan kedaulatan pangan terhadap pengentasan 87
kemiskinan di pedesaan tidak terlalu besar bahkan dapat dikatakan relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa selain kedaulatan pangan, pengentasan kemiskinan juga membutuhkan peningkatan akses rakyat terhadap pangan, melalui perbaikan distribusi dan kebijakan stabilitas harga. Hasil regresi pada Tabel 20. menimbulkan pertanyaan tentang dampak kenaikan harga beras riil terhadap pengentasan kemiskinan yang justru menurunkan jumlah penduduk miskin pada masa dua tahun kemudian. Berdasarkan hal tersebut di atas, dilakukan estimasi model alternatif yang secara substansial tidak berbeda dengan model seperti pada Tabel 20. Pada model 2, regresi terhadap variabel harga riil beras dilakukan tanpa tenggang waktu, sedangkan regresi terhadap pendapatan riil per kapita dilakukan dengan tenggang waktu 1 tahun. Selanjutnya, variabel produktivitas rata-rata dan ketahanan pangan dikeluarkan dari model. Hasil regresi adalah seperti dapat dilihat pada Tabel 22. Table 22. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan (Model 2) Variable INTERCEPT Kemiskinan Desa 1 tahun sebelumnya Harga Beras Riil Pendapatan Perkapita lag 1 tahun Share sub sektor Pangan BBM
Estimated Parameter Fixed Effects -0.364565 0.240650 -0.278740 -0.163150 0.108585
Standard Error 0.055810 0.100332 0.156063 0.080450 0.036024
P-Value 0.0000 0.0176 0.0760 0.0443 0.0030
R2/Adj.R2(%) = 99,69%/97,55 % Statistik DW = 2,054554 Statistik F = 1892,028
Hasil regresi model 2 seperti pada Tabel 22. tidak menghasilkan perbedaan menyolok dengan hasil regresi pada Tabel 20. kecuali pada variabel harga riil beras. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 23. yang menunjukkan perbandingan koefisien regresi dari variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model 1 dan 2.
88
Tabel 23. Perbandingan Koefisien Regresi Variable Kemiskinan Desa Harga Beras Riil Pendapatan Perkapita Share sub sektor Pangan BBM
Koefisien Regresi Model (1) Model (2) 0,541) 0,371) -0,132) 0,24 2) -0,59 -0,281) -0,28 -0,16 0,13 0,11
Keterangan: 1) artinya tenggang waktu 1 tahun 2) artinya tenggang waktu 2 tahun pada model utama
Hasil regresi model (2) tidak menghasilkan perbedaan menyolok dengan hasil regresi pada model (1) kecuali pada variabel harga riil beras.
Namun
demikian ada beberapa hal yang menarik untuk di bahas. Dampak positif kenaikan pendapatan per kapita maupun kenaikan peranan sub sektor pangan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin pedesaan, terlihat lebih besar bila tenggang waktunya lebih panjang. Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia, hasilnya tidak dapat dirasakan secara langsung. Hasil ini juga menunjukkan perlunya perbaikan insitusi di sektor riil, akan dampak kebijakan pemerintah maupun perkembangan ekonomi terhadap kesejahteraan rakyat, semakin cepat terasa. Angka koefisien regresi jumlah penduduk miskin desa sebelumnya pada model 2 adalah lebih kecil dibanding model 1. Pada model 1 koefisien regresinya adalah 0,54 dan pada model 2 adalah 0,37 Hasil di atas dapat diintepretasikan bahwa tingkat kelembaman kemiskinan desa pada model 1 lebih besar dari model 2. Hasil di atas, juga menunjukkan bahwa bila variabel produktivitas rata-rata dan ketahanan pangan dihapuskan maka tingkat kelembaman kemiskinan menurun. Hal ini menunjukkan persoalan lemahnya aksebilitas rakyat miskin terhadap produksi beras. Hasil model 2 menunjukkan bahwa bila harga riil beras pada di provinsi i tahun t meningkat sebesar 1% maka jumlah penduduk miskin desa di provinsi i pada tahun yang sama akan naik sebesar 0,24%. Hasil ini
dapat
dijelaskan bahwa kenaikan harga riil beras akan menurunkan daya beli rakyat desa khususnya yang berpendapatan rendah, mengingat porsi pengeluaran beras dalam total pengeluaran relatif besar. 89
Efek dari kenaikan harga riil beras bagi petani dapat menaikkan pendapatan petani, melalui kenaikan harga gabah kering panen. Namun, hal ini hanya dirasakan oleh para petani atau lebih tepatnya pemilik lahan penanaman padi (sawah irigasi) yang relatif luas. Data menunjukkan, bahwa sebagian besar petani padi di Indonesia, mengolah lahan kurang dari 0,25 hektar dan angkatan kerja di sub sektor pangan umumnya bekerja sebagai buruh tani atau petani gurem. Kondisi tersebut menyebabkan mereka sebenarnya merupakan konsumen neto (net consumer) dalam arti jumlah beras (padi) yang dihasilkan lebih rendah dari jumlah beras yang dikonsumsi. Akibatnya kenaikan harga riil beras akan membawa mereka masuk dalam perangkat kemiskinan. Inefisiensi transformasi dari gabah atau padi ke beras tersebut ditunjukkan dari makin rendahnya rendemen padi-beras. Penurunan rendemen tersebut menyebabkan petani padi kehilangan pendapatan potensil mereka. Misalkan dalam konteks agregat, bila total produksi gabah kering panen pada satu tahun adalah 50 juta ton, maka penurunan rendemen padi sebesar 1% saja akan menurunkan produksi beras sebesar sebesar 500.000 ton. Bila diasumsikan harga satu kilo gram beras adalah Rp.2000, maka para petani padi akan kehilangan pendapatan sebesar Rp.1Triliun per tahun. Inefisiensi yang lain adalah mata rantai perdagangan beras yang masih panjang, rusaknya infrastruktur irigasi dan transportasi, serta alih fungsi lahan di daerah-daerah produksi yang sangat baik, menyebabkan biaya produksi meningkat karena menurunnya skala produksi. Perbedaan hasil regresi dengan menggunakan dan tanpa menggunakan tenggang waktu menunjukkan ketidakberdayaan rakyat pedesaan terhadap kenaikan harga beras. Namun dalam jangka dua tahun, kemungkinan besar efek multiplier dari aktivitas beras akan menurunkan kemiskinan pedesaan. Sayangnya koefisien regresi yang sangat kecil,
yaitu -0,13 yang artinya bila ingin
menurunkan jumlah penduduk miskin desa sebesar 1% pada tahun t, maka dua tahun sebelumnya harga riil beras harus dinaikkan sebesar 7,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya ekonomi dari peningkatan harga riil beras, menjadi begitu besar, sehingga kenaikan harga riil beras, bukan pilihan kebijakan yang dapat diprioritaskan. 90
VII.
7.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Peningkatan produktivitas rata-rata lahan penanaman padi, peningkatan
ketahanan pangan dan perluasan peran output sub sektor pangan dalam output sektor pertanian, berpengaruh signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Namun pengaruhnya relatif kecil atau tidak terlalu besar. Bila tidak menggunakan time lag, maka setiap kenaikan 1% harga beras riil akan menambah jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 0,24%, tetapi bila menggunakan time lag dua tahun, harga beras riil justru menurunkan penduduk miskin desa sebesar 0,13%. Peningkatan produksi padi, peningkatan harga riil beras, PDRB per kapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin desa, akan tetapi elastisitasnya yang relatif kecil menyebabkan sub sektor pertanian pangan tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Pendapatan per kapita menjadi faktor penting yang mempengaruhi permintaan beras dan harga beras menjadi factor yang berlawanan arah dengan permintaan beras. Produksi padi di Indonesia dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas input. Luas lahan sawah irigasi dan volume penggunaan pupuk urea, harga beras, harga pupuk urea dan impor beras mempunyai sumbangan yang paling besar terhadap peningkatan produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras di Indonesia, secara signifikan dipengaruhi oleh harga pupuk urea, harga dasar gabah, harga beras internasional dan harga BBM dengan arah positif
7.2.
Saran Untuk Studi Lebih Lanjut Keterbatasan studi ini adalah data yang digunakan masih terlalu agregat
sehingga analisis keterkaitan antara aspek perberasan dengan kemiskinan sifatnya terlalu umum. Untuk studi selanjutnya disarankan agar dilakukan kajian spesifik di pulau Jawa dengan menggunakan data-data primer atau data rumah tangga. Studi ini tidak secara langsung mengamati masalah efisiensi produksi dan pasca panen padi, namun cenderung menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi 91
sistem produksi dan pasca panen diperkirakan akan sangat membantu menyelesaikan masalah perberasan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk melihat secara lebih detail terhadap keterkaitan antara aspek perberasan dengan kemiskinan disarankan dapat dilakukan analisis tingkat efisiensi produksi dan pasca panen secara spesifik dengan menggunakan data mikro atau data primer.
7.3
Saran Kebijakan Penanganan masalah beras di Indonesia, sebaiknya diprioritaskan pada
penanganan sisi pasokan di pulau Jawa. Hasil studi menunjukkan bahwa masalah sisi pasokan beras diduga lebih disebabkan inefisiensi pengelolaan input dan manajemen perberasan. Penanganan sisi pasokan beras sebaiknya jangan didominasi pertimbangan politisi. Berdasarkan hasil studi dapat disimpulkan bahwa jika porsi luas sawah irigasi dinaikkan hingga 50% atau 60% maka kebutuhan beras nasional dapat dipenuhi. Dengan demikian perbaikan irigasi dan kualitas irigasi pada lahan-lahan sawah non irigasi dan atau ladang padi yang ada, akan memberi manfaat lebih besar dalam perbaikan sisi pasokan. Karena produksi beras dan kemiskinan terkonsentrasi di pulau Jawa, maka pemerintah harus tetap konsisten mempertahankan areal-areal atau daerah-daerah yang merupakan lumbung padi di pulau Jawa. Selain mempertahankan luas lahan sawah, perbaikan irigasi juga mendesak dilakukan.
Mempertahankan dan
memperbaiki kualitas irigasi sawah-sawah di pulau Jawa adalah lebih efisien, lebih murah dan lebih cepat memperbaiki sisi pasokan beras di Indonesia. Untuk sawah-sawah di luar pulau Jawa, langkah yang dibutuhkan adalah pembangunan irigasi khususnya di wilayah-wilayah yang penduduk dan atau konsumsi berasnya besar, misalnya Sumatera dan Sulawesi. Peningkatan efisiensi dalam proses penanaman dan pemeliharaan padi sehingga dapat menurunkan penggunaan pupuk urea atau input lainnya pada tingkat produksi yang sama, amat dibutuhkan untuk menurunkan biaya produksi. Peningkatan efisiensi pasca panen, misalnya mencapai kembali angka rendemen tahun 1980an maupun mengurangi porsi bulir padi yang hilang selama proses pemanenan, juga memberi harapan yang besar bagi penanganan masalah beras di Indonesia. 92
Selain
perbaikan-perbaikan
yang
bersifat
teknis
dan
manajerial,
pemerintah juga sebaiknya melakukan perbaikan kelembagaan termasuk didalamnya koordinasi antara institusi-intitusi yang terkait dengan perberasan, seperti Bulog, Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan. Yang termasuk dengan perbaikan institusi juga adalah perbaikan koordinasi antara sektor pemerintah (publik) dengan sektor swasta. Perbaikan institusional dibutuhkan untuk memperbaiki efisiensi transformasi dari sektor pertanian khususnya sub sektor pangan dengan sektor-sektor lainnya. Perbaikan institusi ini diharapkan akan menurunkan jarak antara harga gabah kering panen dengan harga eceran beras. Bila harga ini tercapai, maka kebijakan kenaikan harga dasar gabah, sampai batas tertentu tidak akan menaikkan harga eceran beras. Dengan demikian pendapatan petani padi dapat ditingkatkan, sedangkan daya beli konsumen beras tidak turun.
93
DAFTAR PUSTAKA
Ajakaiye DO, Adeyeye VA. 2002. Concept, Measurement, and Causes of Poverty. CBN Economic & Financial Review, VOL. 39 N0. 4 Amang, B. dan M.H. Sawit. 2001 Kebijakan Harga Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Edisi Kedua. Institut Pertanian bogor Press, Bogor Ariani, M., Handewi, P.S., Sri Hastuti, M.husein Sawit(2000). Dampak Krisis Ekonomi Terhadap konsumsi Pangan Rumah Tangga. Dalam Harianto, 2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Dalam Suryana dan Mardianto(Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta Bappenas, 2007. Ketahanan Pangan Dalam Perdagangan Beras. Seminar 8 Agustus 2007. Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2005, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta Barder, Owen dan Medvedev Denis. 2009. What is Poverty Reduction. Policy Research Working Paper Number 170. Center for Global Development. Washington, D.C. Chambers, R. 1996. Rural Development: Putting the Last First. Longman Group Limited London Reperinted. Darwanto, D.H. 2001. Perilaku Harga Beras dan Gabah di Indonesia Dalam Suryana dan Mardianto(Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. De Hoyos, Rafael E. 2009. Poverty Effects of Higher Food Prices. Working Paper Number 4887. A Global Perspective. The World Bank Development Economics. Development Prosphects Group Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing countries. Cambridge University Press, Cambridge. Harianto, 2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Dalam Suryana dan Mardianto(Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Herdt, R.W. and T.H. Wikham.1978. Exploring the Gap Between Potential and Actual Rice Yields: the Philippine Case. In Barker and Hayami(Editor) Economic Consequences of the new Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. Ikhsan,M. 2001. Kemiskinan dan Harga Beras. Dalam Suryana dan Mardianto(Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. 94
Ilham, Nyak. 2007, Dinamika Kesejateraan Petani dan Non Petani di Indonesia: Suatu Analisis Makro Vs Mikro. Litbang Deptan. Seminar Nasional, Bogor. Jhingan, M.L, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi Sepuluh, Jakarta, Raja Grafindo Persada Kuncoro, Mudrajad, 2002, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Ketiga, Yogyakarta, Penerbit UPP-AMPYPKN Mears ,L, A. dan S, Affif. 1996. An Operational Rice Price Policy for Indonesian. Ekonomi Keuangan Indonesia. Mellor, Jhon, 1978. Food Policy and Income Distribution in Low-Income Countries. Economic Development abd Cultural Change. Dalam Ikhsan, M, 20 Kemiskinan dan Harga Beras. Dalam Suryana dan Mardianto(Editor). Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.. Nicholson, Walter. 1995. Teori Mikro Ekonomi. Edisi Kelima, Jakarta, Binarupa Aksara. 1995. Nachrowi,D. Nachrowi. Usman, Hardius, 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit FEUI. Nanga, Muana, 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis simulasi Kebijakan. Disertasi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahardja, Prathama, Mandala Manurung (2002), Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar, Edisi Kedua, Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI Saifullah, A. 2001.Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Dalam Suryana dan Mardianto(Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Saragih, B. 2001. Sambutan Menteri .Pertanian Republik Indonesia pada Diskusi Panel Reformulasi Kebijakan Ekonomi Beras Nasional Tanggal 17 Julli 2001, Bogor Surono, S, 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Dalam Suryana dan Mardianto(Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Sumaryanto, dan Sudaryanto T. 2009, Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan: Analisis Data Patanas tahun 1995 dan 2007 Siregar, Hermanto. 2007, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, Institut Pertanian Bogor & Grighten Institute. Bogor. 95
Tambunan, Tulus T.H, 2001, Perekonomian Indonesia, Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia. Timmer, CP, 2007. Rice Price Formation in the Short Run and the Long Run. Journal of the East Asian Economic Association, Volume 21. Todaro, Michael P, 2004, Pembangunan Ekonomi di dunia ketiga, edisi kedelapan Yudhoyono, S.B., dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan Di Indonesia: Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi. Brighten Press, Bogor. Yudhoyono, S.B, 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
96