PENG GARUH PENGGOR RENGAN TERHADAP P KARAK KTERISTIK K ASAM M AMINO O IKAN BU UNTAL PIS SANG (Tettraodon lun naris) DARII PERAIRA AN KABU UPATEN CIIREBON, JAWA J BA ARAT
GIN NANJAR PR RATAMA C34061700
DEPAR RTEMEN TEKNOLO T OGI HASIL L PERAIRA AN FAKUL LTAS PERIIKANAN DAN D ILMU U KELAUT TAN INSTITU UT PERTA ANIAN BOG GOR BOGO OR 2010 0
RINGKASAN
GINANJAR PRATAMA. C34061700. Pengaruh Penggorengan terhadap Karakteristik Asam Amino Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dibimbing oleh NURJANAH dan RUDDY SUWANDI. Ikan buntal pisang merupakan ikan yang sering dikonsumsi di daerah Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dalam bentuk ikan goreng. Nilai gizi ikan ini belum sepenuhnya diketahui, oleh karena itu untuk memperoleh informasi tentang rendemen, kandungan gizi, serta pengaruh penggorengan terhadap jumlah dan jenis asam amino maka dilakukanlah penelitian ini. Sebelum ikan buntal pisang diuji, dilakukan terlebih dahulu proses penggorengan deep-fat frying dengan suhu 185 ˚C selama 5 menit. Komposisi ikan buntal pisang baik yang segar maupun yang telah goreng diuji dengan metode termogravimetri, soxhlet dan kjeldahl berdasarkan AOAC 2005. Pengujian asam amino pada daging ikan buntal segar dan goreng diuji menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) yang mengacu pada AOAC 2005. Kandungan gizi yang terdapat pada ikan buntal pisang yang segar meliputi air 81,22%, abu 1,01%, protein 16,31%, lemak 0,63%, dan karbohidrat 0,83%. Kandungan gizi ikan buntal yang telah digoreng meliputi kadar air 38,79%, abu 2,61%, lemak 11,25%, protein 43,42% dan karbohidrat 3,93%. Hasil tersebut berdasarkan basis basahnya. Ikan buntal pisang baik yang segar maupun yang telah digoreng mengandung 17 asam amino yang terdiri atas 9 asam amino esensial dan 8 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada ikan buntal pisang adalah histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, dan lisin. Asam amino non esensial yang terdapat pada ikan buntal pisang adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, alanin, prolin, tirosin, dan sistein. Kandungan asam amino esensial yang tertinggi pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah leusin dengan nilai 884 mg/100 g dan 636 mg/100 g. Kandungan asam amino non esensial yang tertinggi pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah asam glutamat dengan nilai 1.319 mg/100 g dan 956 mg/100 g. Kandungan taurin pada ikan buntal yang segar dan yang digoreng adalah 273 mg/100 g dan 211 mg/100 g. Asam amino pembatas pada ikan buntal pisang yang segar dan yang telah digoreng adalah sistein dengan nilai 115 mg/100 g dan 109 mg/100 g. Asam amino esensial pembatas pada ikan buntal pisang yang segar adalah metionin dengan nilai sebesar 223 mg/100 g, sedangkan untuk asam amino esensial pembatas pada ikan buntal yang digoreng adalah histidin dengan nilai sebesar 204 mg/100 g. Perlakuan penggorengan pada penelitian ini sangat berpengaruh terhadap jumlah asam amino. Penggorengan berpengaruh terhadap turunnya kandungan asam amino yang terdapat pada ikan buntal pisang. Adapun asam amino yang tidak terdeteksi adalah triptofan yang diduga hilang akibat proses hidrolisis.
PENGARUH PENGGORENGAN TERHADAP KARAKTERISTIK ASAM AMINO IKAN BUNTAL PISANG (Tetraodon lunaris) DARI PERAIRAN KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
GINANJAR PRATAMA C34061700
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
SKRIPSI
Judul
: Pengaruh Penggorengan terhadap Karakteristik Asam Amino Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Nama
: Ginanjar Pratama
Nrp
: C34061700
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Nurjanah, MS NIP. 19591013 198601 2 002
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 19580511 198503 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Pengesahan :
PERNYATAAN TENTANG SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Penggorengan terhadap Karakteristik Asam Amino Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
Ginanjar Pratama C34061700
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 22 Mei 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sutaman dan Gayah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Darul Hikam (tahun 1993-1994), SD Negeri Kalijaga Permai
(tahun
1994-2000),
selanjutnya
penulis
melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 5 Cirebon (tahun
2000-2003).
Pendidikan
menengah
atas
ditempuh
penulis
di SMA Negeri 3 Cirebon (tahun 2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai anggota Divisi Humas FPC HIMASILKAN periode 2007-2008, sebagai anggota Fisheries Processing Club periode 2008-2010, sebagai Kadiv. KKI IKC periode 2007-2008, sebagai Ketua Badan Pengawas IKC periode 2008-2009, sebagai Ketua Teater Air pada periode 2008-2009, dan sebagai Koordinator Asisten Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2009-2010. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan diantaranya Try out SPMB untuk siswa SMA se-kota Cirebon (2007), sebagai Ketua Gebyar Nusantara di IKC (2007), sebagai Ketua Pelatihan Eksternal FPC (2007), sebagai Ketua Bina Desa HIMASILKAN (2008), sebagai Steering Comittee Save Our Cirebon (2010) dan sebagainya. Penulis juga ikut serta dalam berbagai pelatihan yaitu Pelatihan Keamanan Pangan (2008), Pelatihan ISO 22000 (2009), Pelatihan GLP (2010) dan sebagainya yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana perikanan, penulis melakukan
penelitian
yang
berjudul
“Pengaruh
Penggorengan
terhadap
Karakteristik Asam Amino Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengaruh Penggorengan terhadap Karakteristik Asam Amino Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, terutama kepada: 1.
Ibu Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan, saran, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.
2.
Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku dosen pembimbing akademik dan Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
3.
Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi S1 Departemen Teknologi Hasil Perairan dan sebagai dosen penguji, atas arahan serta masukannya yang sangat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.
4.
Ibu Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku Sekretaris Departemen Teknologi Hasil Perairan atas bantuan dan kesabarannya.
5.
Kedua orang tuaku tercinta dan kedua adikku tersayang, untuk dukungan yang diberikan baik dukungan moral maupun materiil yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.
6.
Made Suhandana dan Rachmawati Rusydi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.
Fauziah Naryuning Tias selaku teman yang selalu memberikan dorongan dan semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8.
Genk Pajar (Bang Boby, Izal, Ozy, Apin, Mas Bayu, Kiki, Wahyu, Budi, Puguh, Qori, Ase, Farouq, Mas Hans, Irvan, Nadler dan Sam) yang telah memberikan semangat dan dukungannya.
9.
Eza, Spy, Mba Enji, Aci, Memet, Uu, Uti, Gae, Mpok, Cece, Ely, Ratna, Holland, Feri dan 43 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala dukungan, kerjasama, kebersamaan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
10. Boncel, Emen, Henry, Esa, Hilda, Hilma, Iis, dan Fida atas dukungannya yang selalu diberikan kepada penulis. 11. Pelangi Smanta dan IKC-IPB (Ida, Diana, Diani, Dicky, Tyas, Alm. Omen) sahabat yang selalu ada di saat senang, susah, dan sedih. 12. Teman-teman THP 41, 42, 44 dan 45 atas keakraban dan kebersamaannya. 13. Teman-teman penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Desember 2010
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
1 PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan .................................................................................................
2
2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris)... .
3
2.2 Komposisi Kimia Ikan Buntal ............................................................
4
2.3 Asam Amino .......................................................................................
4
2.3.1 Asam amino esensial................................................................
5
2.3.2 Asam amino non esensial.........................................................
8
2.3.3 Taurin .......................................................................................
9
2.4 Penggorengan ......................................................................................
10
2.5 High Performance Liquid Chromatography (HPLC) .........................
12
3 METODOLOGI .........................................................................................
14
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan .........................................................
14
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................
14
3.3 Metode Penelitian ...............................................................................
14
3.3.1 Pengambilan sampel ................................................................
15
3.3.2 Identifikasi ...............................................................................
15
3.3.3 Preparasi ...................................................................................
16
3.3.4 Rendemen ................................................................................
17
3.3.5 Penggorengan ...........................................................................
17
3.3.6 Analisis proksimat....................................................................
17
1) Analisis kadar air (AOAC 2005) ....................................... 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) ..................................... 3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) ................................. 4) Analisis kadar protein (AOAC 1980) ................................ 5) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2005) .........................
17 18 18 19 19
3.3.7 Analisis kandungan asam amino ..............................................
20
3.3.8 Analisis kandungan taurin........................................................
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
23
4.1 Karakteristik Bahan Baku ....................................................................
23
4.2 Rendemen ............................................................................................
24
4.3 Hasil Analisis Proksimat ......................................................................
26
4.3.1 Kadar air...................................................................................
28
4.3.2 Kadar abu .................................................................................
29
4.3.3 Kadar lemak .............................................................................
30
4.3.4 Kadar protein ...........................................................................
31
4.3.5 Kadar karbohidrat ....................................................................
33
4.4 Komposisi Asam Amino dan Taurin .................................................
34
5 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
41
5.1 Kesimpulan ........................................................................................
41
5.2 Saran ..................................................................................................
41
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
42
LAMPIRAN....................................................................................................
45
viii
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
Gambar 1 Ikan buntal pisang.........................................................................
3
Gambar 2 Struktur umum asam amino..........................................................
5
Gambar 3 Struktur taurin ...............................................................................
9
Gambar 4 Alur proses penggunaan HPLC ....................................................
13
Gambar 5 Diagram alir metode penelitian ....................................................
15
Gambar 6 Diagram alir preparasi ikan buntal pisang ....................................
16
Gambar 7 Ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) ........................................
23
Gambar 8 Diagram batang persentasi rendemen ikan buntal pisang ............
25
Gambar 9 Daging ikan buntal segar dan daging ikan buntal goreng ............
26
ix
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1
Kandungan gizi ikan buntal Takifugu rubripes (g/100 g) ..........................
4
2
Jenis asam amino esensial ..........................................................................
6
3
Jenis asam amino non esensial ...................................................................
8
4
Kisaran ukuran dan bobot ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) ...........
24
5
Komposisi kimia daging segar dan goreng ikan buntal pisang..................
27
6
Komposisi asam amino ikan buntal ...........................................................
34
x
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1
Gambar perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ......................
46
2
Gambar ikan buntal pisang ........................................................................
46
3
Data panjang, tinggi, lebar, dan bobot ikan buntal pisang .........................
47
4
Data rendemen kepala, badan, kulit, dan jeroan ikan buntal .....................
48
5
Data analisis proksimat ikan buntal pisang ................................................
49
6
Data asam amino ikan buntal pisang segar ................................................
51
7
Data asam amino ikan buntal pisang yang digoreng..................................
52
8
Data standar asam amino ...........................................................................
53
9
Data hasil analisis asam amino dan taurin .................................................
54
xi
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Protein merupakan salah satu nutrisi yang sangat penting setelah air. Protein tersusun dari sekuen-sekuen asam amino. Susunan asam amino ini bersifat khas untuk setiap jenis protein (Winarno 1997). Asam amino adalah suatu komponen organik yang mengandung gugus amino dan karboksil. Susunan kandungan asam amino dapat menentukan kualitas protein. Apabila suatu protein mengandung semua asam amino yang penting dalam jumlah yang diperlukan oleh tubuh, maka protein ini mempunyai mutu yang tinggi. Jika mengalami kekurangan salah satu atau lebih asam amino esensial maka protein ini termasuk pada mutu yang rendah (Winarno 1997). Protein yang terkandung di dalam hewan biasanya lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein nabati. Hal itu karena protein hewani memiliki asam amino yang lebih lengkap dan susunannya mendekati nilai protein yang diperlukan oleh tubuh (Muchtadi 1989). Ikan merupakan salah satu hewan yang dikenal oleh masyarakat mengandung protein yang sangat tinggi. Salah satunya adalah ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris). Ikan buntal pisang merupakan ikan buntal yang mempunyai kandungan racun yang tinggi pada jaringan ototnya yaitu lebih dari 1000 MU/g. Sedangkan pada kulit ikan ini mempunyai kandungan racun antara 100-1000 MU/g. Selain jaringan otot dan kulitnya, tingkat toksisitas yang rendah terdapat pada bagian tubuh ikan ini yaitu kurang dari 10 MU/g. Darah ikan buntal pisang tidak mengandung tetrodotoksin. Satu MU (mouse unit) didefinisikan sebagai jumlah toksin yang dibutuhkan untuk membunuh tikus jantan (berat 20 g) dalam waktu 30 menit (Noguchi dan Arakawa 2008). Ikan tersebut merupakan ikan yang terkenal di Jepang dengan nama dokusabafugu dan merupakan salah satu ikan buntal yang sering dikonsumsi di Jepang selain ikan buntal Takifugu rubripes. Ikan buntal pisang ini secara empiris sangat digemari oleh nelayan-nelayan di daerah Gebang, Kabupaten Cirebon. Ikan buntal pisang umumnya dikonsumsi dengan cara digoreng. Tujuan penggorengan adalah untuk memperoleh karakteristik warna, flavor, aroma, dan
2
crust yang khas dari bahan pangan. Karakteristik yang khas ini diperoleh dari kombinasi antara reaksi Maillard dengan komponen volatil yang diserap minyak (Fellows 1990). Bahan pangan yang mengalami penggorengan akan mengalami beberapa perubahan baik perubahan kimia maupun fisik. Informasi
mengenai
rendemen,
kandungan
gizi
dan
pengaruh
penggorengan terhadap karakteristik asam amino ikan buntal pisang belum diketahui secara lengkap. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan agar diperoleh informasi mengenai kandungan gizi ikan buntal pisang sehingga dapat dimanfaatkan secara optimum. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan rendemen, kandungan gizi dan pengaruh penggorengan terhadap karakteristik asam amino ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) yang berasal dari perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, baik jenis maupun jumlah asam aminonya.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) Puffer fish (Tetraodontiformes) merupakan kelompok ikan yang memiliki karakteristik adaptasi yang tinggi pada perairan karang, dalam hal tingkah laku dan anatomi. Hanya beberapa jenis ikan ini yang tidak menetap pada perairan karang, yaitu triggerfish dan molas yang dapat hidup di perairan laut yang luas (Grzimek 1974). Kelompok ikan ini pun ada yang hidup di perairan tawar, pada umumnya mereka menyukai daerah perairan yang tenang dan berlumpur (Kottelat et al. 1993). Ikan buntal pisang termasuk ke dalam Ordo Tetraodontiformes. Nama Tetraodontiformes berasal dari morfologi ikan ini, yaitu memiliki dua gigi besar pada rahang atas dan bawahnya. Morfologi ikan buntal pisang dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun klasifikasi ikan buntal pisang menurut Saanin (1984) adalah: Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Pleognathi (Tetraodontiformes)
Famili
: Tetraodontidae
Genus
: Tetraodon
Spesies
: Tetraodon lunaris (buntal pisang)
Gambar 1 Ikan buntal pisang Ikan buntal pisang memiliki bentuk badan membulat. Mulut kecil dengan moncongnya yang tumpul. Ikan ini memiliki 4 buah gigi seri yaitu 2 buah gigi di
4
rahang atas menyatu dan 2 buah berada di rahang bawah menyatu. Gigi tersebut menyerupai paruh burung kakak tua (Kottelat et al. 1993). Ikan buntal pisang berwarna kuning kecokelatan dari ujung kepala, bagian punggung (dorsal) sampai sirip ekor dan berwarna putih di bagian perut (ventral) serta ujung sirip ekor. Ikan buntal pisang memiliki satu sirip punggung, satu sirip ekor, satu sirip dubur, dan sepasang sirip dada. Sirip punggung memiliki 12-13 jari-jari lemah. Sirip dubur memiliki 10-11 jari-jari lemah dan sirip dada memiliki 16 jari-jari lemah. Gurat sisinya terlihat dari bagian anterior mata sampai ke dorsal dan berakhir di pangkal ekor (Tarp dan Kaliola 1983 dalam Yusfiati 2006). Ikan buntal merupakan jenis ikan omnivora yang dapat memakan segalanya, makanan ikan ini antara lain adalah spermatophyta laut (jenis rumput laut), sponge, kepiting, polychaeta, pelechypoda, hydroid, dan alga (Hilary 1984 dalam Yusfiati 2006). 2.2 Komposisi Kimia Ikan Buntal Ikan buntal merupakan ikan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Ikan ini sangat digemari di Negara Jepang sebagai menu masakan yang mempunyai cita rasa yang lezat dan sangat bergizi. Salah satunya adalah ikan buntal jenis Takifugu rubripes. Ikan buntal ini memiliki beberapa kandungan gizi yang sangat berguna bagi tubuh manusia diantaranya ialah asam amino, asam lemak, mineral, dan zat gizi lainnya. Kandungan asam amino taurin pada ikan buntal ini sebanyak 120,1 mg/100 g (Saito dan Kunisaki 1998). Kandungan gizi ikan buntal Takifugu rubripes dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan gizi ikan buntal Takifugu rubripes (g/100 g) Sampel
Air
Protein
Lemak
Karbohidrat
Abu
Wild
78,9
16,5
0,7
2,5
1,4
Cultured
78,7
16,5
0,9
2,7
1,3
Sumber: Saito dan Kunisaki (1998)
2.3 Asam Amino Struktur asam amino secara umum adalah satu atom C yang mengikat empat gugus, yaitu gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H) dan satu gugus sisa (R atau residue) atau disebut juga gugus rantai samping yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Winarno 1997).
5
Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang berbeda, maka asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi D dan konfigurasi L. Molekul asam amino mempunyai konfigurasi L apabila gugus NH2 terdapat di sebelah kiri atom karbon α dan bila posisi gugus NH2 di sebelah kanan, maka molekul asam amino disebut asam amino konfigurasi D (Lehninger 1982). Struktur asam amino dapat dilihat pada Gambar 2.
H N H
H
C
RR
O C OH
Gugus amina
Gugus rantai samping
Gugus karboksil
Gambar 2 Struktur umum asam amino Sumber: Winarno (1992)
Asam amino pada umumnya larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik non polar, yaitu eter, aseton, dan kloroform. Asam amino biasanya diklasifikasikan berdasarkan rantai samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai samping dapat membuat asam amino bersifat asam lemah, basa lemah, hidrofilik jika polar, dan hidrofobik jika non polar (Lehninger 1982). Tidak semua asam amino yang terdapat pada molekul protein dapat dibuat dalam tubuh kita, jadi apabila ditinjau dari segi pembentukannya asam amino dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam amino endogen dan asam amino eksogen. Asam amino eksogen disebut juga asam amino esensial dan asam amino endogen disebut juga asam amino non esensial (Winarno 1997). 2.3.1 Asam amino esensial Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein yang disebut juga asam amino eksogen (Winarno 1997). Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Jenis-jenis asam amino esensial disajikan pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Jenis asam amino esensial Asam amino Histidin Arginin Treonin Valin Metionin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin Triptofan
Singkatan tiga huruf His Arg Thr Val Met Ile Leu Phe Lys Trp
berat molekul (g/mol) 155,2 174,2 119,1 117,1 149,2 131,2 131,2 165,2 146,2 204,2
Sumber: Hames dan Hooper (2005)
Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Manfaat dari beberapa asam amino esensial adalah sebagai berikut: a. Asam amino histidin diperoleh dari hasil hidrolisis protein yang terdapat pada sperma suatu jenis ikan (kaviar). Histidin berfungsi mendorong pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak (Edison 2009). Asam amino ini juga bermanfaat baik untuk kesehatan radang sendi. Histidin merupakan asam amino yang esensial bagi perkembangan bayi, tetapi tidak diketahui pasti apakah dibutuhkan oleh orang dewasa (Linder 1992). b. Arginin adalah asam amino yang dibentuk di hati dan beberapa diantaranya terdapat dalam ginjal. Arginin bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau produksi limfosit, meningkatkan pengeluaran hormon pertumbuhan (HGH) dan meningkatkan kesuburan pria (Linder 1992). c. Treonin dapat meningkatkan kemampuan usus dan proses pencernaan, mempertahankan keseimbangan protein, penting dalam pembentukan kolagen dan elastin, membantu fungsi hati, jantung dan sistem syaraf pusat serta mencegah serangan epilepsi (Harli 2008). d. Valin merupakan asam amino rantai bercabang yang berfungsi sebagai prekursor glukogenik. Valin sangat penting untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan otot. Valin juga dapat memacu kemampuan mental, memacu koordinasi otot, membantu perbaikan jaringan yang rusak dan menjaga keseimbangan nitrogen (Harli 2008). Kekurangan asam amino ini
7
dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit, panas dan dingin (Edison 2009). e. Metionin penting untuk metabolisme lemak, menjaga kesehatan hati, menenangkan syaraf yang tegang, mencegah penumpukan lemak di hati dan pembuluh darah arteri terutama yang menyuplai darah ke otak, jantung dan ginjal, penting untuk mencegah alergi, osteoporosis, demam rematik, dan detoksifikasi
zat-zat
berbahaya
pada
saluran
pencernaan.
Metionin
memberikan gugus metal untuk sintesis kolin dan kreatinin (Harli 2008). Metionin juga diperlukan tubuh untuk membentuk sistein (Edison 2009). f. Isoleusin diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, membantu dalam perbaikan jaringan yang rusak, perkembangan kecerdasan, mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh, pembentukan asam amino non esensial lainnya, dan pembentukan hemoglobin serta menstabilkan kadar gula darah. Kekurangan isoleusin dapat memicu gejala hypoglycemia (Harli 2008). g. Leusin dapat memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post-operative) (Harli 2008). Leusin juga berfungsi dalam menjaga sistem imun (Edison 2009) . h. Fenilalanin merupakan prekursor tirosin. Fenilalanin diperlukan oleh kelenjar tiroid untuk menghasilkan tiroksin yang dapat mencegah penyakit gondok. Selain itu, fenilalanin juga berfungsi memproduksi epinefrin dan neropinefrin (Edison 2009). Asam amino ini dipakai untuk mengatasi depresi juga untuk mengurangi rasa sakit akibat migrain, menstruasi dan arthritis, menghasilkan neropinefrin otak yang membantu daya ingat dan daya hafal, serta mengurangi obesitas (Harli 2008). i. Lisin berfungsi sebagai bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen, menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih (Harli 2008). Lisin juga berperan penting dalam memproduksi karnitin, yang sangat penting untuk mengoksidasi asam lemak (Edison 2009). Kekurangan lisin dapat menyebabkan mudah lelah, sulit
8
konsentrasi, rambut rontok, anemia, pertumbuhan terhambat dan kelainan reproduksi (Harli 2008). j. Triptofan merupakan prekursor vitamin niasin dan pengantar syaraf serotonin. Triptofan dapat meningkatkan penggunaan dari vitamin B kompleks, meningkatkan kesehatan syaraf, menstabilkan emosi, meningkatkan rasa ketenangan dan mencegah insomnia (membantu anak yang hiperaktif), serta meningkatkan pelepasan hormon pertumbuhan (Harli 2008). 2.3.2 Asam amino non esensial Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesis dalam tubuh disebut juga asam amino endogen (Winarno 1997). Beberapa asam amino non esensial dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis asam amino non esensial Asam amino Singkatan tiga huruf Asam aspartat Asp Asam glutamat Glu Serin Ser Glisin Gly Alanin Ala Prolin Pro Tirosin Tyr Sistin Sis
Berat molekul 133,1 147,2 105,1 75,0 89,0 115,1 181,1 120,1
Sumber: Hames dan Hooper (2005)
Asam amino non esensial seperti juga asam amino esensial, asam amino ini memiliki beberapa manfaat yang baik untuk tubuh makhluk hidup. Manfaat dari beberapa asam amino non esensial adalah sebagai berikut: a. Asam glutamat dan asam aspartat dapat diperoleh masing-masing dari glutamin dan asparagin. Gugus amida yang terdapat pada molekul glutamin dan asparagin dapat diubah menjadi gugus karboksilat melalui proses hidrolisis asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental serta meredam depresi. Asam aspartat merupakan komponen yang berperan dalam biosintesis urea, prekursor glukonik dan prekursor pirimidin. Selain itu asam aspartat bermanfaat untuk penanganan pada kelelahan kronis dan peningkatan energi (Linder 1992).
9
b. Serin merupakann komponen pada fosfolipid f yang menngandung gugus g min dan kolin hidrokksil. Serin digunakaan sebagaii prekursoor etanolam (Lindeer 1992). c. Glisin adalah asaam amino yang y dapat menghambbat proses ddalam otak yang menyeebabkan kekkakuan geraak seperti paada multiplee sclerosis ((Harli 2008). d. Alaninn merupakaan asam am mino dengaan gugus R nonpolar yang digun nakan sebagaai prekursorr glukogenik dan pemb bawa nitroggen dari jariingan permu ukaan untuk ekskresi nittrogen (Lindder 1992). e. Prolin adalah asam m amino yaang gugus R-nya R nonpoolar dan berrsifat hidroffobik. Prolin memiliki gugus g aminno yang beb bas dan membentuk sttruktur arom matik. Asam amino ini dapat d diperooleh dari hassil hidrolisis kasein (Hawab 2007)). mino yang mempunyaai gugus feenol dan beersifat f. Tirosinn merupakaan asam am asam lemah. l Asam m amino inni dapat diperoleh dari kasein, yaiitu protein utama u yang terdapat paada keju. Tirosin T mem miliki bebeerapa manffaat, yaitu dapat menguurangi
streess,
antideepresi
sertta
detoksiifikasi
obaat
dan
kokain k
(Lindeer 1992). g. Sistin dihasilkan bila dua moolekul sisteein berikatann kovalen ssebagai jem mbatan disulfiida atau ikkatan disulffida. Sistin digunakann sebagai pprekursor taaurin. Sistin berperan paada strukturr beberapa protein p funggsional sepeerti pada ho ormon insulinn, imunoglobin sebaggai antibod di dan keraatin yang ditemukan pada rambuut, kulit dan kuku (Haw wab 2007). 2.3.3 Taurin Taaurin atau 2-aminoetha 2 anesulphoniic acid adallah asam am mino non prrotein yang menngandung beelerang. Taaurin merup pakan asam amino nonn esensial karena k dapat disinntesis dari sistein dan metionin (W Welborn daan Manahann 1995). Strruktur kimia taurrin (C2H7O3SN) dapat dilihat d padaa Gambar 3..
Gam mbar 3 Struk ktur Taurin S Sumber: Pateel (2006)
10
Taurin merupakan asam amino bebas terbanyak yang terdapat dalam jaringan, yakni otot jantung dan otak (Patel 2006). Taurin mengandung gugus amino, tetapi tidak memiliki gugus karboksil yang diperlukan untuk membentuk ikatan peptida. Itu sebabnya, molekul tersebut tidak berfungsi sebagai pembangun struktur protein. Taurin merupakan senyawa tidak esensial bagi nutrien manusia karena secara internal dapat disintesis dari asam amino metionin atau sistein dan piridoksin (Vitamin B6). Taurin sangat diperlukan pada saat masa pertumbuhan. Taurin banyak ditemukan dalam susu murni, telur, daging dan ikan. Taurin banyak dijumpai pada produk suplemen makanan atau minuman. Taurin dibentuk oleh tubuh di dalam hati yang diikuti dengan reaksi oksidasi dari dekarboksilasi asam amino sistein (Marsh dan May 2009). Pada manusia, taurin berfungsi mempertahankan keseimbangan sel membran pada jaringan yang aktif, yaitu pada jaringan otak dan jantung (Patel 2006). Taurin juga berfungsi membantu metabolisme kolesterol dan mengemulsi asam empedu sehingga meringankan beban kerja dari hati, pankreas dan kantong empedu (Smayda 2002). 2.4 Penggorengan Proses penggorengan mengakibatkan produk berubah menjadi cokelat keemasan. Munculnya warna ini disebabkan karena reaksi Maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari waktu, suhu menggoreng, dan komposisi kimia permukaan luar dari bahan pangan, sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh
sangat
kecil
terhadap
warna
permukaan
bahan
pangan
(Ketaren 1986). Tujuan utama dari penggorengan adalah untuk memperoleh karakteristik warna, flavor, aroma, dan crust yang khas dari bahan pangan. Karakteristik yang khas ini diperoleh dari kombinasi antara reaksi Maillard dengan komponen volatil yang diserap minyak (Fellows 1990). Deep-fat frying merupakan metode penggorengan yang cepat dengan produk secara langsung terendam dalam medium minyak panas sehingga menghasilkan tekstur dan flavor produk yang diiinginkan. Pada sistem penggorengan deep-fat frying, transfer panas terjadi melalui kombinasi antara konveksi dengan minyak dan konduksi dengan permukaan bahan pangan. Semua permukaan bahan pangan akan menerima perlakuan panas yang sama, untuk
11
menghasilkan penampakan dan warna yang seragam. Sistem ini cocok untuk berbagai bentuk bahan pangan, tetapi pada bahan pangan dengan bentuk yang tidak beraturan cenderung untuk menyerap minyak dalam jumlah yang lebih banyak (Fellows 1990). Beberapa proses yang terjadi selama penggorengan secara deep-fat frying (Hui 1996) adalah: 1) Air akan terevaporasi dari produk mengakibatkan suhu permukaan produk meningkat. 2) Produk akan mengalami pemanasan hingga mencapai temperatur yang diinginkan untuk memperoleh karakteristik yang diinginkan. 3) Suhu permukaan produk meningkat sehingga diperoleh warna cokelat dan produk yang renyah. Derajat pencokelatan tergantung pada jumlah surfaktan pada minyak. 4) Produk akan mengalami perubahan dimensi. Produk dapat mengecil, membesar, atau tetap pada ukuran yang sama. 5) Produk tidak hanya berubah dimensinya saja, tetapi juga densitasnya menyebabkan beberapa produk mengambang di permukaan. 6) Perubahan sifat fisiko-kimia minyak dan kemampuan transfer panas, menyebabkan perubahan kualitas produk (misalnya perubahan flavor, pencokelatan, dan perubahan aroma). Adapun beberapa keuntungan dari sistem penggorengan deep-fat frying antara lain (Hui 1996) adalah: 1) Diperoleh produk dengan rasa, flavor, tekstur, dan mouthfeel yang baik 2) Terbentuk lapisan (coating) yang akan berbentuk kerenyahan. 3) Diperoleh produk dengan warna kecokelatan yang mengundang selera. 4) Terjadi penyerapan minyak kedalam bahan pangan yang berpengaruh terhadap mouthfeel yang diinginkan. 5) Produk yang telah digoreng dapat dengan mudah direkonstitusi dalam penggorengan, oven konvensional, dan oven microwave. 6) Suhu penggorengan (biasanya diatas 177˚C) akan memberikan efek blanch pada produk. Proses blanching biasa digunakan untuk inaktivasi enzim,
12
mengurangi udara intraseluler, mengurangi volume, dan menghancurkan beberapa mikroorganisme. 7) Suhu penggorengan akan menghancurkan beberapa mikroorganisme, dan beberapa
proses
penggorengan
didesain
untuk
menghancurkan
mikroorganisme patogen. 8) Minyak merupakan medium transfer panas yang sangat baik. Sistem penggorengan deep-fat frying juga menyebabkan reaksi oksidasi minyak menjadi penyusunnya yakni volatile carbonyls, hidroxy acids, keto acids, dan epoxy acids. Kelemahan tersebut berpengaruh terhadap gizi suatu bahan pangan (Fellows 1990). 2.5 High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Unit HPLC didefinisikan sebagai suatu teknik analisis kromatografi menggunakan tekanan tinggi yang berguna untuk pemisahan ion atau molekul terlarut dalam suatu larutan. Teknik ini berkembang untuk mengatasi kelemahankelemahan pemisahan pada kromatografi gas, seperti senyawa yang relatif tidak tahan panas dan senyawa yang tidak volatil. Berdasarkan kepolaran kolomnya HPLC dibagi menjadi dua, yaitu fase normal dan terbalik. Kromatografi fase normal menggunakan fase diam lebih polar daripada fase gerak, sedangkan pada kromatografi fase terbalik, fase gerak lebih polar daripada fase diam. Proses pemisahan campuran komponen terjadi di dalam kolom, yaitu berdasarkan perbedaan distribusi masing-masing komponen pada fase diam dan fase gerak. Zat-zat yang berinteraksi kuat dengan diam akan tertahan lebih lama dalam kolom, sedangkan yang berinteraksi lemah akan keluar dengan cepat dari kolom (Christian 1986). Pelarut yang biasanya digunakan pada HPLC adalah air, metanol, asetonitril, kloroform, dan pelarut lainnya yang berada dalam keadaan murni (HPLC grade). Pelarut-pelarut tersebut sebelum digunakan harus disaring terlebih dahulu dengan kertas saring milipore (0,45 mm) dan harus dihilangkan gasnya (degassing) (Salamah 1997). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC adalah reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor, kolom, detektor, dan rekorder (Adnan 1997). Jantung dari peralatan HPLC adalah kolom dimana terdapat fase diam dan terjadi pemisahan komponen antara fase diam dan fase
13
bergerak yang dialirkan dengan bantuan pompa (Salamah 1997). Alur proses penggunaan HPLC dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Alur proses penggunaan HPLC Sumber: IOWA (2010)
Sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi terlebih dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan untuk memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino jika dihidrolisis, tetapi ada beberapa protein disamping menghasilkan asam amino juga menghasilkan molekul-molekul protein yang masih berikatan. Hidrolisis asam yang umum digunakan adalah HCl 6 N yang menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit kerusakan juga terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak
triptofan
tetapi
menyebabkan
deaminasi
asam
amino
lain
(Nur et al. 1992). Metode analisis asam amino dengan HPLC memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat bekerja lebih cepat sehingga waktu yang dibutuhkan singkat serta HPLC mampu memisahkan senyawa yang sangat serupa dengan resolusi yang baik (Adnan 1997).
14
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biologi Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, serta di Balai Besar Litbang Pertanian Pasca Panen, Cimanggu Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada saat preparasi yaitu pisau, talenan, plastik dan trace bag. Alat yang digunakan pada proses penggorengan adalah penggorengan deep-fat frying. Alat yang digunakan pada analisis proksimat adalah plastik, blender, timbangan analitik, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, tabung erlenmeyer, tabung kjeldahl, tabung sokhlet, pemanas, destilator, buret dan tanur. Alat yang digunakan dalam analisis asam amino dan taurin adalah oven, syringe, pipet mikro, timbangan analitik, labu takar, mortar, kertas saring milipore, dan High Performance Liquid Chromatrography (HPLC) dengan merek Waters 2487. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan buntal pisang dari perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Bahan yang digunakan pada analisis proksimat, asam amino dan taurin adalah akuades, campuran selenium, H2SO4, NaOH, H3BO3, HCl 0,09 N, HCl 6 N, pelarut heksana, NaCl, metanol, pikolotiosinat, trietilamin, natrium asetat 1 M, asetonitril 60%, kertas saring whatman, air suling, pereaksi carrez, buffer natrium karbonat, larutan danzil klorida dan larutan metilamin hidroklorida. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi pengambilan sampel ikan buntal pisang dari perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, identifikasi, pengukuran morfometrik (berat total, panjang, lebar, tinggi), rendemen tubuh (daging, jeroan, tulang), penggorengan dan analisis kimia yaitu analisis proksimat,
15
serta asam amino dan taurin. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Karakterisasi: Identifikasi, pengukuran bobot, panjang, lebar, dan tinggi
Ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris)
Preparasi
Rendemen daging
Rendemen kepala, jeroan, dan kulit
Pelumatan daging
Penggorengan deep-fat frying
Daging ikan buntal pisang
Daging ikan buntal pisang
Analisis kimia: 1. Analisis proksimat 2. Analisis asam amino 3. Analisis taurin
Gambar 5 Diagram alir metode penelitian 3.3.1 Pengambilan sampel Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan buntal pisang dari perairan
Gebang,
Kabupaten
Cirebon.
Pengambilan
sampel
dilakukan
menggunakan payang oleh nelayan pada pukul 03.00 sampai pukul 14.00 WIB. Ukuran dari ikan buntal yang diambil dengan panjang 9,5 sampai 12,5 cm. 3.3.2 Identifikasi Sampel
ikan
buntal
yang
telah
didapat
kemudian
diidentifikasi
menggunakan buku identifikasi dari Saanin (1984). Pengidentifikasian dilakukan
16
dengan cara mencocokkan ciri-ciri yang ada dengan buku identifikasi sesuai dengan spesies ikan buntal tersebut. 3.3.3 Preparasi Preparasi sampel ikan buntal pisang dilakukan berdasarkan pengalaman empiris dari nelayan di Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Preparasi dilakukan dengan cara memotong bagian dorsal antara kepala dan badan, dengan sudut 45˚ hingga batas tulang perut (jangan sampai terkena bagian jeroannya). Kulit pada bagian badan kemudian ditarik hingga didapatkan daging ikan. Penarikan kulit harus dilakukan secara hati-hati agar jeroan tidak rusak, karena menurut pengalaman empiris kandungan racun tetrodotoksin terdapat pada bagian jeroannya tepatnya di empedu. Penarikan kulit yang dilakukan tidak secara hati-hati menyebabkan empedu pecah dan tetrodotoksin akan menyebar. Berdasarkan pengalaman empiris belum ada seorang pun nelayan yang keracunan akibat mengkonsumsi ikan dengan cara preparasi tersebut. Adapun tahapan dari preparasi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir preparasi ikan buntal pisang
17
3.3.4 Rendemen Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh ikan buntal dari bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut: (%) Rendemen =
x 100%
3.3.5 Penggorengan Daging ikan buntal yang segar dipisahkan dari tulang dan jeroannya, kemudian dilembutkan menggunakan mortar. Daging yang telah lembut dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat serta diberi kode yang jelas sebagai daging segar. Penggorengan dilakukan selama 5 menit pada suhu diatas 177 ˚C (Hui 1996). Kemudian ikan dilembutkan menggunakan mortar. Daging yang telah lembut dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat serta diberi kode yang jelas sebagai daging yang telah mengalami penggorengan. Sebelum dan sesudah proses penggorengan selalu dilakukan penimbangan untuk mengetahui ada tidaknya penambahan atau penyusutan berat ikan buntal. 3.3.6 Analisis Proksimat Analisis proksimat yang dilakukan terhadap daging ikan buntal pisang baik yang segar maupun yang digoreng meliputi uji kadar air, abu, lemak menggunakan metode soxhlet, protein kasar menggunakan metode kjeldahl, dan karbohidrat menggunakan perhitungan by difference. 1) Analisis kadar air (AOAC 2005) Penentuan kadar air didasarkan pada berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 ˚C, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ˚C sampai beratnya konstan (lebih kurang selama 6 jam) dan kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus: (%) Kadar air =
x 100%
18
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging (gram) C = Berat cawan dengan daging setelah dikeringkan (gram) 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 ˚C, lalu dimasukkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 ˚C selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus: (%) Kadar abu =
B
x 100%
B
3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Daging ikan buntal pisang seberat 2 gram (W1) disebar di atas kapas yang beralaskan kertas saring dan digulung membentuk thimble. Sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ˚C, setelah itu labu dimasukkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar lemak ditentukan dengan rumus: (%) Kadar lemak =
W –W W
x 100%
Keterangan : W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
19
4) Analisis kadar protein (AOAC 1980) Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Daging ikan ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Satu butir selenium dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 3 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 ˚C, kemudian ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening. Larutan yang telah jernih didinginkan dan kemudian ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 40 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau kebiruan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,09 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: (%) Nitrogen =
HC
–
HC
N HC
x 100%
(%) Protein = % N x faktor konversi (6,25) 5) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2005) Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, abu, protein, dan lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: (%) Karbohidrat = 100% - (% abu + % air + % lemak + % protein)
20
3.3.7 Analisis kandungan asam amino (AOAC 2005) Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Perangkat HPLC harus dibilas terlebih dahulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan dibilas dengan akuades sampai syringe benar-benar bersih. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri dari empat tahap, yaitu: tahap pembuatan hidrolisat protein, tahap pengeringan, tahap derivatisasi dan tahap injeksi serta analisis asam amino. a. Tahap pembuatan hidrolisat protein Preparasi sampel, yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel ditimbang sebanyak 0,1 g dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis. b. Tahap pengeringan Sampel disaring dengan kertas saring milipore. Penyaringan ini bertujuan agar larutan yang dihasilkan benar-benar bersih, terpisah dari padatan. Hasil saringan diambil sebanyak 30 µl dan ditambahkan dengan 30 µl larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran metanol, pikotiosianat dan trietilamin dengan perbandingan 4:4:3. c. Tahap derivatisasi Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari campuran metanol, natrium asetat dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel, selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml asetonitril 60% atau buffer natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit. d. Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 40 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang
21
telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan asam amino dalam bahan dapat dihitung dengan rumus: (%) Asam amino =
C
BM
%
Keterangan: C
= Konsentrasi standar asam amino (µg/ml)
FP = Faktor pengenceran BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol) Kondisi HPLC pada saat berlangsungnya hidrolisis asam amino adalah sebagai berikut: Temperatur
: 27 ˚C (suhu ruang)
Jenis kolom HPLC
: Pico tag 3,9 x 150 nm column
Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit Tekanan
: 3000 psi
Program
: Gradien
Fase gerak
: Asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M
Detektor
: UV
Panjang gelombang
: 254 nm.
3.3.8 Analisis kandungan taurin (AOAC 2005) Kandungan taurin dapat dianalisis menggunakan alat HPLC. Pada pengujian kadar taurin, sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam tabung ukur 100 ml, kemudian ditambahkan 80 ml air suling dan 1 ml pereaksi carrez lalu dikocok hingga homogen. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan air suling sampai tanda tera dan dikocok hingga homogen. Kemudian larutan disaring menggunakan kertas saring whatman. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan di tempat yang gelap. Selanjutnya dilakukan tahap derivatisasi dengan mengambil 1 ml ekstrak sampel dimasukkan ke labu takar 10 ml, kemudian ditambahkan 1 ml buffer natrium karbonat dan 1 ml larutan dansil klorida. Setelah itu sampel didiamkan selama 2 jam lalu dikocok dan ditambahkan 0,5 ml larutan metilamin hidroklorida kemudian dikocok kembali hingga homogen. Hasil derivatisasi diambil sebanyak
22
40 µl kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC untuk mengetahui kandungan taurin pada sampel. Kandungan taurin dalam bahan dapat dihitung dengan rumus: (%) Taurin
=
L
xCx
Keterangan: C = konsentrasi standar taurin Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis taurin sebagai berikut: Temperatur
: 27 ˚C (suhu ruang)
Jenis kolom HPLC
: Pico tag 3,9 x 150 nm coulumn
Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit Tekanan
: 3000 psi
Fase gerak
: Asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1M
Detektor
: UV
Panjang gelombang
: 272 nm
23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karakteristik bahan baku merupakan sifat penting untuk mengetahui potensi yang terdapat pada bahan tersebut. Adapun karakteristik ikan buntal pisang yaitu daging ikan buntal mempunyai tekstur lembut dan kenyal layaknya ikan salmon. Kulit ikan ini elastis seperti ikan belut. Kepala yang besar dari ikan buntal merupakan ciri khasnya (Grzimek 1974). Jeroan ikan buntal memiliki tekstur yang lembek dan kenyal. Ikan buntal pisang memiliki ciri-ciri tubuh lonjong seperti pisang, mempunyai gurat sisi tak terputus, berwarna kuning kecokelatan pada bagian atas badan dan putih pada bagian bawahnya, mempunyai duri-duri halus pada bagian dorsal dan ventralnya, mempunyai dua pasang gigi, dan dapat mengembang sebagai alat pertahanan diri. Ikan buntal pisang dari perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan bobot ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) yang terdiri atas beberapa parameter yaitu panjang, lebar, tinggi dan berat total. Ikan buntal pisang memiliki panjang rata-rata 10,97 cm, lebar rata-rata 1,65 cm, tinggi rata-rata 2,48 cm, dan bobot total rata-rata 28,73 g. Perbedaan ukuran dan bobot dari ikan buntal dipengaruhi oleh pertumbuhan. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor luar dan dalam. Faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol sedangkan faktor dalam sukar untuk dikontrol misalnya keturunan. Kisaran panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan buntal pisang dapat dilihat pada Tabel 4.
24
Tabel 4 Kisaran ukuran dan bobot ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) Parameter
Satuan
Nilai
Panjang
cm
10,97±0,8
Lebar
cm
1,65±0,2
Tinggi
cm
2,48±0,3
Bobot
g
28,73±7,2
*menggunakan 30 sampel Ikan buntal yang telah diukur kemudian dipreparasi menggunakan teknik preparasi yang diadopsi dari nelayan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Teknik preparasi ikan buntal pisang yang dilakukan oleh nelayan tersebut dapat dijadikan sebagai contoh untuk teknik preparasi ikan buntal yang memiliki racun di bagian jeroannya, hal ini karena teknik preparasi yang diadopsi dari nelayan Kabupaten Cirebon langsung mengambil daging tanpa merusak jeroan, dengan proses penarikan kulit terlebih dahulu. Ikan buntal pisang yang digunakan dalam penelitian ini hanya bagian dagingnya saja. Daging segar yang digunakan berwarna putih segar dengan aroma spesifik ikan buntal dan tidak berbau amis. Daging yang digoreng berwarna cokelat keemasan dengan aroma yang lezat. Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen guna mempermudah saat analisis kimia. Bahan baku daging segar dan goreng kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu bahan baku. 4.2 Rendemen Rendemen merupakan presentasi bobot bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan sehingga menghasilkan nilai ekonomis dari suatu bahan baku. Semakin tinggi nilai rendemen dari bahan baku maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Perhitungan rendemen didapatkan dengan membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan berat ikan buntal pisang utuh. Ikan buntal pisang ditimbang berat utuhnya, kemudian dipreparasi dengan membagi menjadi jeroan, kulit, kepala, dan dagingnya untuk ditimbang. Persentasi rendemen ikan buntal pisang dapat dilihat pada Gambar 8.
25
50
45,71
45
rendemen (%)
40
38,28
35 30 25 20 15 7,13
10
8,87
5 0 daging
kepala
jeroan
kulit
bagian tubuh
Gambar 8 Diagram batang persentasi rendemen ikan buntal pisang Rendemen tertinggi ada pada kepala ikan buntal pisang yaitu sebesar 45,71%. Kepala yang besar dari ikan buntal merupakan ciri khasnya (Grzimek 1974). Pemanfaatan kepala dari ikan buntal pisang belum banyak dikembangkan sehingga belum menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi pada bagian ini. Kepala ikan ini sebenarnya bisa dijadikan sebagai olahan tepung tulang ikan yang mempunyai nilai ekonomis. Hasil lain yang didapatkan adalah rendemen daging ikan buntal pisang. Daging ikan mempunyai nilai rendemen terbesar kedua setelah kepalanya. Terlihat bahwa nilai persentase rendemen daging ikan buntal sebanyak 38,28%. Hasil ini dapat membuktikan bahwa ikan buntal pisang merupakan salah satu ikan yang dapat dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Daging ikan inilah yang menjadi primadona bagi para pencinta ikan buntal pisang karena rasanya yang lezat dan nikmat, sehingga mampu memikat para pengkonsumsinya. Daging ikan buntal pisang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku yang kaya akan protein, berdasarkan hasil pengujian kandungan gizi, daging ikan buntal pisang memiliki nilai protein yang tinggi. Bahan baku yang kaya protein memiliki fungsi yang baik bagi tubuh yaitu dapat membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 1992). Hasil perhitungan jeroan ikan buntal pisang dapat dinyatakan kecil karena hanya sebesar 7,13%. Pemanfaatan menggunakan bagian jeroan dari suatu bahan
26
baku memang masih jarang pengembangannya. Pemanfaatan jeroan tetap dapat dikembangkan. Jeroan dapat diekstrak sebagai komponen bioaktif. Secara empiris kandungan tetrodotoksin ikan buntal pisang terdapat di dalam jeroannya, namun menurut Noguchi dan Arakawa (2008) kandungan tetrodotoksin yang tinggi terdapat pada jaringan ototnya yaitu lebih dari 1000 MU/g. Hal tersebut diduga karena makanan, habitat, dan proses pencernaan ikan buntal pisang yang berbeda satu dengan lainnya (Yusfiati 2006). Penelitian dari Noguchi dan Arakawa (2008) menunjukkan bahwa ikan buntal tidak mensintesis tetrodotoksin, tetapi terakumulasi melalui rantai makanan, yang dimulai dari bakteri laut sehingga dapat disimpulkan bahwa tetrodotoksin dari ikan buntal tidak bersifat endogen melainkan eksogen. Rendemen kulit ikan ini tidak berbeda dengan nilai rendemen jeroan ikan buntal pisang yaitu sebesar 8,87%. Kulit ikan buntal ini seperti kulit ikan belut karena tidak memiliki sisik sehingga bersifat kasar dan elastis. Berdasarkan pengalaman empiris kulit ikan buntal pisang sering dijadikan kerupuk kulit ikan. Kulit ikan ini juga sangat berpotensi untuk penyamakan kulit ikan. 4.3 Hasil Analisis Proksimat Sifat dari setiap unsur pokok yang terdapat dalam bahan pangan perlu diketahui untuk mengembangkan bahan pangan tersebut. Bahan baku yang segar maupun yang telah diolah harus diketahui kandungan unsur pokoknya agar dapat diketahui secara jelas kandungan gizi dari bahan baku yang segar ataupun setelah mengalami proses pengolahan. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat pengolahan dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dari suatu bahan baku segar. Daging segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 9 Daging ikan buntal segar dan daging ikan buntal goreng
27
Salah satu contoh pengolahan yang dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dari suatu bahan baku adalah penggorengan. Bahan pangan yang mengalami penggorengan akan mengalami beberapa perubahan baik perubahan kimiawi maupun fisik. Penggorengan merupakan proses pengolahan yang sering digunakan oleh masyarakat. Penggorengan adalah proses termal yang digunakan untuk memperoleh karakteristik warna, flavor, aroma, dan crust yang khas dari bahan pangan (Fellows 1990). Salah satu metode yang lazim digunakan untuk mengetahui kandungan gizi suatu bahan adalah analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Kandungan karbohidrat dihitung secara by difference. Komposisi kimia daging segar dan goreng ikan buntal pisang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi kimia daging segar dan goreng ikan buntal pisang Segar Komposisi
Goreng
Basis basah (g/100 g)
Basis kering (g/100 g)
Basis basah (g/100 g)
Basis kering (g/100 g)
Air
81,22
0
38,79
0
Abu
1,01
5,38
2,61
4,26
Protein
16,31
86,85
43,42
70,94
Lemak
0,63
3,35
11,25
18,38
Karbohidrat
0,83
4,42
3,93
6,42
Nilai gizi suatu bahan sangat dipengaruhi oleh kadar air. Pengaruh air terhadap suatu bahan baku yang diolah menjadikan proporsi nilai gizi kurang valid karena pada bahan yang kering sekalipun masih terdapat kandungan air. Nilai yang valid didapatkan dengan cara mengasumsikan perhitungan kandungan gizi tanpa kandungan air atau dengan kata lain kandungan air harus diabaikan. Hal tersebut dianggap sebagai hasil yang valid karena dengan mengabaikan kandungan air suatu bahan maka dapat terlihat perbandingan antara nilai gizi bahan baku segar dan bahan baku yang digoreng. Nilai gizi tersebut yaitu abu, lemak, protein, dan karbohidrat.
28
4.3.1 Kadar air Air merupakan komponen sel hidup yang ada dimana-mana dan merupakan 60-95 persen dari berat organisme (Amstrong 1995). Air merupakan molekul luar biasa yang sangat esensial bagi kehidupan, melarutkan dan memodifikasi sifat-sifat biomolekul yaitu asam nukleat, protein serta karbohidrat melalui pembentukan ikatan hidrogen dengan gugus fungsionalnya yang bersifat polar (Murray et al. 2003). Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Air dalam bahan makanan biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi adalah air yang masuk kedalam bahan pangan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air ini bukan merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Air kristal merupakan air yang terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun nonpangan yang berbentuk kristal, yaitu gula, garam dan CuSO4, dan lain-lain (Winarno 1992). Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan. Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu bakteri aw: 0,9, khamir aw: 0,8-0,9, kapang aw: 0,6-0,7 (Winarno 1992). Kandungan air dalam ikan buntal pisang yang segar adalah 81,22% dan ikan buntal pisang yang digoreng yaitu 38,79%. Kandungan air ikan buntal pisang yang segar lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan buntal dari jenis Takifugu rubripes yaitu sebesar 78,9% (Saito dan Kunisaki 1998). Tingginya kadar air pada daging diduga karena kemampuan suatu bahan untuk mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC) (Pearson dan Dutson 1999). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air akan membentuk hidrat dengan molekul yang mengandung atom O dan N layaknya protein dan karbohidrat (Winarno 1997). Tingginya kadar air ini diduga karena adanya air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh (Winarno 1992).
29
Kandungan air ikan buntal pisang yang telah digoreng sangat kecil bila dibandingkan dengan kandungan air ikan buntal yang segar, hal ini diakibatkan oleh proses penggorengan yang berpengaruh terhadap kadar air dari suatu bahan. Penggorengan selama dua menit pada suhu minyak 180 ˚C menyebabkan 20% air yang terdapat pada daging ikan akan menguap. Penguapan air ini akan semakin besar dengan semakin kecilnya ikan serta dengan semakin besar kandungan lemaknya. Terbebaskannya air dari jaringan dan terjadinya penyerapan medium minyak untuk mengisi kekosongan jaringan daging, menyebabkan teksturnya menjadi lembek (Zaitsev et al. 1969 dalam Suwandi 1990). 4.3.2 Kadar abu Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu (Winarno 1992). Biasanya mineral dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu komponen garam utama dan unsur sesepora. Komponen garam utama mencakup kalium, natrium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat, fosfat, dan bikarbonat. Unsur sesepora dapat dibagi menjadi tiga golongan yang pertama adalah unsur gizi esensial, termasuk Fe, Cu, I, Co, Mn, dan Zn, yang kedua adalah unsur gizi nontoksik, termasuk Al, B, Ni, Sn, dan Cr, dan yang terakhir adalah unsur nongizi dan toksik, termasuk Hg, Pb, As, Cd, dan Sb (deMan 1997). Mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran) (deMan 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak karena itulah disebut abu (Winarno 1992). Jika ditentukan dengan cara ini, abu tidak mengandung nitrogen yang terdapat dalam protein, sehingga berbeda dengan kandungan mineral yang terdapat pada bahan yang sebenarnya. Anion organik menghilang selama pembakaran dan logam diubah menjadi oksidanya. Karbonat dalam abu dapat dibentuk karena penguraian bahan organik. Beberapa unsur sesepora dan beberapa garam dapat hilang karena penguapan selama pengabuan, oleh karena itu mineral makanan bergantung kepada metode analisisnya (deMan 1997). Kadar abu pada ikan buntal pisang yang segar adalah 5,38% sedangkan pada ikan buntal pisang yang digoreng kadar abunya sebesar 4,26%. Kadar abu
30
ikan buntal pisang yang segar lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan buntal Takifugu rubripes, dengan kadar abu sebesar 1,4% (Saito dan Kunisaki 1998). Perbedaan kandungan abu ini diduga akibat perbedaan lingkungan dari ikan tersebut, sehingga mineral yang terakumulasi pun berbeda tergantung pada habitatnya. Ikan buntal pisang ini diperoleh dari habitat perairan Gebang, Kabupaten Cirebon namun penilitian tentang ikan buntal Takifugu rubripes yang ditulis oleh Saito dan Kunisaki (1998) tidak diketahui asal perairannya. Perbedaan yang terlihat pada kadar abu ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng disebabkan oleh adanya pengaruh penggorengan. Kadar abu ikan buntal yang segar dan yang digoreng seharusnya sama nilainya, dengan asumsi tanpa perlakuan penggorengan. Penggorengan dapat mempengaruhi nilai gizi suatu bahan pangan. Proses penggorengan dapat menyebabkan kandungan gizi suatu bahan menurun akibat panas (Fellows 1990). 4.3.3 Kadar lemak Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal/g, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/g. Minyak dan lemak pun berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E, dan K (Winarno 1992). Lemak dan minyak adalah komponen sel yang tidak larut dalam air, namun dapat diekstrak dengan pelarut non polar. Beberapa lemak berfungsi sebagai komponen struktural membran dan yang lain sebagai bentuk penyimpanan bahan bakar utama yang diperlukan oleh hampir semua organisme. Triasilgliserol adalah salah satu contoh lemak penyimpan (Lehninger 1982). Kandungan lemak pada suatu makanan dapat rendah maupun tinggi hal tersebut bergantung pada bahannya. Susunan asam lemak dan gliseridanya dapat menimbulkan sifat yang berbeda. Asam lemak dibagi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh, asam lemak jenuh bertitik leleh lebih tinggi bila dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh (deMan 1997). Dalam penanganan dan pengolahan bahan pangan, perhatian lebih banyak ditujukan pada suatu bagian yaitu trigliserida atau lemak netral. Perubahan-perubahan kimia atau
31
penguraian lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu bahan makanan, baik yang menguntungkan ataupun tidak (Winarno 1992). Lemak ikan berbeda dengan lemak pada tanaman dan hewan darat. Lemak tanaman dan hewan darat jarang yang memiliki asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 18 (Nurjanah dan Abdullah 2010) Berdasarkan hasil penelitian kandungan lemak ikan buntal pisang yang segar adalah 3,35%, sedangkan untuk ikan buntal pisang yang digoreng adalah 18,38%. Kandungan lemak dari ikan buntal yang segar lebih besar bila dibandingkan dengan ikan buntal Takifugu rubripes hasil penelitian dari Saito dan Kunisaki (1998), yaitu sebesar 0,7%. Nilai ini didapatkan karena kandungan lemak setiap bahan berbeda bergantung pada asal dari bahan tersebut (deMan 1997). Ikan buntal pisang dengan ikan buntal Takifugu rubripes merupakan ikan buntal yang berbeda jenis sehingga kandungan lemak yang terdapat pada tubuhnya pun bisa sama dan berbeda. Ikan buntal pisang yang segar dan yang telah digoreng jelas berbeda kandungan lemaknya, disebabkan oleh adanya proses penggorengan yang memakai minyak. Minyak goreng merupakan lemak cair yang berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno 1992). Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa terjadinya proses penggorengan ini akan menambah kandungan lemak, dan memperbesar penguapan air (Zaitsev et al. 1969 dalam Suwandi 1990). Kandungan minyak yang masuk tersebut memiliki nilai sebesar 15,03% yang didapatkan dari selisih lemak penggorengan dan lemak ikan segar. Kandungan minyak tersebut sangat berpengaruh terhadap proporsi lemaknya, sehingga kandungan lemak pada ikan buntal pisang yang digoreng jauh lebih tinggi bila dibandingkan ikan buntal yang segar. Perubahan nilai lemak yang terjadi pada saat setelah digoreng sebenarnya tidak terlalu besar, karena pada saat proses penggorengan terjadi penyerapan minyak yang sangat besar (deMan 1997). 4.3.4 Kadar protein Protein adalah makromolekul yang paling berlimpah di dalam sel hidup dan merupakan 50 persen atau lebih berat kering sel. Protein ditemukan di dalam semua sel dan semua bagian sel (Lehninger 1982). Protein merupakan suatu zat
32
yang sangat penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar juga berfungsi sebagai zat pengatur dan zat pembangun. Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki olek lemak dan karbohidrat (Winarno 1992). Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila kebutuhan energi tubuh tidak terpenuhi oleh lemak dan karbohidrat. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein merupakan komponen setelah air. Diperkirakan separuh atau 50% dari berat kering sel dalam jaringan yaitu hati dan daging terdiri dari protein (Winarno 1992). Nilai protein yang terkandung
di
dalam
ikan
biasanya
berkisar
antara
15-25%
(Nurjanah dan Abdullah 2010). Kandungan protein ikan buntal pisang yang segar adalah 16,31% dan kandungan protein ikan buntal pisang yang telah digoreng adalah 43,42%. Hasil ini disebabkan oleh kandungan air yang terdapat pada bahan baku rendah sehingga
secara
proporsional
akan
meningkatkan
kadar
protein
(Syarief dan Halid 1993). Nilai basis basah kandungan protein ikan buntal yang segar dan yang digoreng tersebut dipengaruhi oleh kadar airnya. Ikan buntal pisang yang telah digoreng kadar airnya sangat kecil bila dibandingkan ikan buntal yang segar maka secara proporsional kadar proteinnya pun akan meningkat drastis. Kandungan protein yang sesuai diperlihatkan dengan perhitungan basis kering dimana kandungan protein ikan buntal pisang yang segar adalah 86,85% dan kandungan protein ikan buntal pisang yang telah digoreng adalah 70,94%. Hal tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian Suwandi (1990) yang menyatakan bahwa pemanasan menyebabkan protein terkoagulasi dan terdenaturasi, yang mengakibatkannya menjadi tidak larut. Kandungan protein yang dihasilkan pada saat penggorengan sebenarnya kurang valid karena masih dipengaruhi oleh persentase minyak yang terkandung di dalam ikan. Kita ketahui bahwa pada saat penggorengan nilai lemak semakin tinggi akibat banyaknya minyak yang masuk ke dalam daging ikan, sehingga proporsi protein pun menurun seiring dengan kandungan lemak yang tinggi. Nilai protein pada saat penggorengan sebenarnya adalah 83,49%. Nilai ini didapatkan
33
dengan asumsi minyak yang masuk ke dalam bahan dihilangkan sehingga didapatkan nilai protein yang valid. Dengan kata lain kita dapat mengetahui perubahan kandungan protein yang terjadi pada saat penggorengan tidak terlalu besar karena selisih antara protein ikan yang segar dan ikan yang telah digoreng adalah 3,36%. 4.3.5 Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia, khususnya bagi penduduk yang sedang berkembang. Walaupun jumlah kalori yang dapat dihasilkan dalam 1 gram karbohidrat hanya 4 kkal bila dibandingkan dengan protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Selain itu beberapa golongan karbohidrat menghasilkan serat-serat (dietary fiber) yang berguna bagi pencernaan (Winarno 1992). Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakterisik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain. Sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 1992). Kandungan karbohidrat pada ikan biasanya sangat sedikit, nilainya berkisar antara 0,1-1% (Nurjanah dan Abdullah 2010). Karbohidrat yang terdapat dalam seafood tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen (Nurjanah et al. 2008). Pada proses penggorengan terjadi reaksi Maillard antara karbohidrat (glikogen) khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan warna cokelat pada bahan (Winarno 1992). Hasil perhitungan by difference pada ikan buntal pisang didapatkan kandungan karbohidrat ikan buntal pisang yang segar adalah 4,42% sedangkan untuk ikan buntal pisang yang telah digoreng kandungan karbohidratnya adalah 6,42%. Kandungan karbohidrat ikan buntal yang segar lebih besar bila dibandingkan dengan kandungan karbohidrat dari ikan buntal Takifugu rubripes, dengan kadar karbohidratnya adalah 2,5% (Saito dan Kunisaki 1998). Pada hasil perhitungan by difference diduga masih terdapat kandungan lain selain karbohidrat karena tidak dilakukan pengujian khusus tentang karbohidrat.
34
4.4 Komposisi Asam Amino dan Taurin Sekitar 300 jenis asam amino berada di alam, namun hanya 20 jenis yang merupakan unit monomer untuk membangun tulang punggung polipeptida protein (Murray et al. 2003). Kadar asam amino pada hewan lebih lengkap dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan komposisi asam amino pada tumbuhan (Trimartini 2008). Kandungan asam amino pada masing-masing spesies tidaklah sama. Masing-masing spesies memiliki proses fisiologis yang berbeda. Perbedaan kandungan asam amino ini juga dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005). Berikut adalah komposisi asam amino ikan buntal pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi asam amino ikan buntal Hasil (mg/100 g) Jenis asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin* Arginin* Treonin* Alanin Prolin Tirosin Fenilalanin* Valin* Metionin* Sistein Isoleusin* Leusin* Lisin* Taurin
Daging ikan buntal pisang segar1 620 1.319 273 550 248 245 382 578 241 304 232 401 223 115 241 884 534 273
Daging ikan buntal pisang digoreng1 529 956 260 396 204 242 308 572 223 303 228 281 225 109 228 636 349 211
Takifugu rubripes2 2,8 1,5 4,6 28,6 1,0 7,2 7,4 21,5 1,5 1,8 1,8 2,6 1,0 0,3 2,2 3,5 22,1 120,1
Kebutuhan (mg/100 g)3 ~ ~ ~ ~ 2.600 ~ 4.300 ~ ~ 7.200** ~ 4.200*** 4.600 9.300 6.600 ~
Keterangan: * Asam amino esensial ** Jumlah fenilalanin+tirosin *** Jumlah metionin+sistein 1 Hasil penelitian 2 Saito dan Kunisaki (1998) 3 FAO/WHO (1985) diacu dalam Santoso et al. (1996)
Hasil dari analisis asam amino ikan buntal pisang segar dan goreng didapatkan 17 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 8 asam
35
amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada ikan buntal pisang adalah histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, dan lisin. Asam amino non esensial yang terdapat pada ikan buntal pisang adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, alanin, prolin, tirosin dan sistein. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa ikan buntal pisang merupakan ikan yang mempunyai kandungan asam amino esensial yang tinggi dan sangat diperlukan oleh tubuh karena tubuh manusia tidak dapat menghasilkan asam amino tersebut. Hasil yang telah didapatkan diolah menggunakan rancangan data statistik deskriptif. Asam amino non esensial dan asam amino esensial yang paling banyak terdapat pada ikan buntal pisang yang segar. Hal tersebut disebabkan oleh adanya reaksi Maillard yang terjadi akibat proses penggorengan. Pada reaksi Maillard terjadi pembentukan pigmen berwarna cokelat, setelah proses penggorengan. Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard menyebabkan penurunan daya cerna protein yaitu lisin dan sistin menjadi rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid, serta penurunan availibilitas semua asam amino (Muchtadi 1989). Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada metionin karena pada ikan buntal yang telah digoreng nilainya lebih besar bila dibandingkan dengan ikan buntal pisang yang segar. Hal ini diduga akibat adanya proses penggorengan. Menurut deMan (1997) beberapa asam amino dapat teroksidasi oleh radikal bebas yang terbentuk karena oksidasi lipid. Metionin dapat bereaksi dengan peroksida lipid menghasilkan metionin sulfoksida. Metionin mengandung belerang yang sangat penting untuk antioksidan alami tubuh. Metionin penting untuk metabolisme lemak, menjaga kesehatan hati, menenangkan syaraf yang tegang, mencegah penumpukan lemak di hati dan pembuluh darah arteri terutama yang menyuplai darah ke otak, jantung dan ginjal, penting untuk mencegah alergi, osteoporosis, demam rematik, dan detoksifikasi zat-zat berbahaya pada saluran pencernaan (Harli 2008). Metionin juga berfungsi menghasilkan asam amino lain, yaitu sistein. Kedua hasil analisis komposisi asam amino baik yang segar maupun yang telah digoreng nilainya lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saito dan Kunisaki (1998). Perbedaan kandungan asam amino ikan buntal pisang dan ikan buntal Takifugu rubripes diduga akibat
36
perbedaan umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005). Namun, jumlah asam amino yang dianalisis dari ikan buntal Takifugu rubripes lebih lengkap bila dibandingkan ikan buntal pisang, yaitu berjumlah 20. Pada ikan buntal pisang ada 3 asam amino yang tidak terdeteksi hal tersebut karena adanya proses hidrolisis, ketiga asam amino yang tidak terdeteksi adalah asparagin, glutamin, dan triptofan. Proses hidrolisis merusak semua triptofan dan sistein, dan jika terdapat ion logam, akan terjadi kehilangan sejumlah metionin dan tirosin. Pemerolehan kembali serin dan treonin tidak lengkap akibat proses hidrolisis. Ikatan Val-Val, Ile-Ile, Val-Ile, dan Ile-Val sangat resisten terhadap hidrolisis, sementara glutamin dan asparagin akan mengalami
deaminasi
menjadi
asam
glutamat
dan
asam
aspartat
(Murray et al. 2003). Kehilangan tiga asam amino ini tidak terlalu berpengaruh terhadap gizi di dalam tubuh bila kita mengkonsumsi makanan yang mengandung asam amino yang hilang tadi. Hal tersebut dijelaskan oleh Almatsier (2001) bahwa jika dua protein yang memiliki jenis asam amino yang berbeda dikonsumsi bersama-sama, maka kekurangan asam amino dari satu protein dapat ditutupi oleh asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain. Dua protein tersebut saling mendukung sehingga mutu gizi dari campuran menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis, asam amino non esensial yang paling tinggi adalah asam glutamat. Asam glutamat yang didapatkan pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah 1.319 mg/100 g dan 956 mg/100 g. Nilai asam glutamat yang dicapai dari hasil analisis juga merupakan nilai yang paling tinggi diantara nilai asam amino lainnya, baik yang esensial maupun non esensial. Tingginya kadar asam glutamat pada ikan buntal yang segar dan yang digoreng disebabkan oleh proses analisis yang menggunakan hidrolisis asam dengan derajat analisis yang lebih tinggi. Selain itu, asam amino glutamin mengalami deaminasi membentuk asam glutamat (Murray et al. 2003). Asam amino esensial yang paling tinggi terdapat pada leusin. Nilai leusin yang terkandung dalam ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng yaitu 884 mg/100 g dan 636 mg/100 g. Leusin merupakan asam amino yang paling banyak ditemui pada bahan pangan sumber protein. Leusin dapat memacu fungsi
37
otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post-operative) (Harli 2008). Leusin juga berfungsi dalam menjaga sistem imun (Edison 2009). Setiap jenis bahan pangan yang mengandung protein memiliki asam amino pembatas. Asam amino pembatas merupakan asam amino yang berada dalam jumlah paling sedikit, sehingga disebut sebagai asam amino pembatas (Harris dan Karmas 1989). Asam amino pembatas pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah sistein dengan nilai masing-masing 115 mg/100 g dan 109 mg/100 g. Asam amino esensial pembatas pada ikan buntal pisang yang segar adalah metionin dengan nilai sebesar 223 mg/100 g, sedangkan untuk asam amino esensial pembatas pada ikan buntal pisang yang telah digoreng adalah histidin dengan nilai sebesar 204 mg/100 g. Kenaikan pH daging selama pemanasan disebabkan oleh terjadinya pengurangan grup asam (asam amino yang bersifat asam), yang akibatnya akan menggeser titik isoelektrik menjadi lebih tinggi. Nilai perubahan pH ini dapat berbeda-beda tergantung pada komposisi kimia setiap bagian daging, grup asam ini juga paling tidak stabil terhadap pemanasan (Hamm dan Deatherage 1960 dalam Suwandi 1990). Salah satu asam amino yang tidak stabil akibat pemanasan adalah grup imidazolium. Grup imidazolium
terdiri
dari
histidin,
karnosin,
dan
anserin
(Simidu 1961 dalam Suwandi 1990). Beberapa kebutuhan asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh menurut FAO/WHO (1985) diacu dalam Santoso et al. (1996) yaitu histidin 2.600 mg/100 g, treonin 4.300 mg/100 g, isoleusin 4.600 mg/100 g, leusin 9.300 mg/100 g, 6.600 mg/100 g, jumlah fenilalanin dan tirosin 7.200 mg/100 g, dan jumlah metionin dan sistein 4.200 mg/100 g. Berdasarkan hasil penelitian, ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng dapat memberikan asupan asam amino esensial yang cukup baik terhadap tubuh, hal ini terlihat dari kandungan asam amino yang telah dihasilkan. Hasil analisis asam amino ikan buntal yang segar dan yang telah digoreng yaitu histidin 248 mg/100 g dan 204 mg/100 g, treonin 382 mg/100 g dan 308 mg/100 g, isoleusin 241 mg/100 g dan 228 mg/100 g, leusin 884 mg/100 g dan 636 mg/100 g, lisin 534 mg/100 g dan
38
349 mg/100 g, jumlah fenilalanin dan tirosin 536 mg/100 g dan 531 mg/100 g, serta jumlah metionin dan sistein 338 mg/100 g dan 334 mg/100 g. Kebutuhan tubuh terhadap asam amino esensial sangat erat kaitannya dengan fungsi dari asam amino itu sendiri. Tubuh yang tidak dapat menghasilkan asam amino esensial menjadi pemicu kebutuhan akan asam amino esensial. Beberapa kandungan asam amino dan fungsinya yaitu histidin berfungsi untuk mendorong pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak (Edison 2009), treonin dapat meningkatkan kemampuan usus dan proses pencernaan, mempertahankan keseimbangan protein, penting dalam pembentukan kolagen dan elastin, membantu fungsi hati, jantung dan sistem syaraf pusat serta mencegah
serangan
epilepsi
(Harli
2008),
isoleusin
diperlukan
untuk
pertumbuhan yang optimal, membantu dalam perbaikan jaringan yang rusak, perkembangan kecerdasan, mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh, pembentukan asam amino non esensial lainnya, dan pembentukan hemoglobin serta menstabilkan kadar gula darah (Harli 2008). Leusin dapat memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu
menurunkan
kadar
gula
darah
yang
berlebihan,
membantu
penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post-operative) (Harli 2008). Leusin juga berfungsi dalam menjaga sistem imun (Edison 2009). Lisin berfungsi sebagai bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen, menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih (Harli 2008). Fenilalanin merupakan prekursor tirosin. Fenilalanin diperlukan oleh kelenjar tiroid untuk menghasilkan tiroksin yang dapat mencegah penyakit gondok. Selain itu, fenilalanin juga berfungsi memproduksi epinefrin dan neropinefrin (Edison 2009). Metionin penting untuk metabolisme lemak, menjaga kesehatan hati, menenangkan syaraf yang tegang, mencegah penumpukan lemak di hati dan pembuluh darah arteri terutama yang menyuplai darah ke otak, jantung dan ginjal, penting untuk mencegah alergi, osteoporosis, demam rematik, dan detoksifikasi zat-zat berbahaya pada saluran pencernaan. Metionin memberikan gugus metal untuk
39
sintesis kolin dan kreatinin (Harli 2008). Metionin juga diperlukan tubuh untuk membentuk sistein (Edison 2009). Asam amino sangat penting sebagai komponen pembangunan dasar seluruh jaringan tubuh, terutama neurotransmitter. Neurotransmitter merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk membantu otak dalam menyerap informasi dan mengolahnya secara optimal di dalam sel-sel otak. Penyerapan asam amino oleh tubuh terjadi di usus halus dan di seluruh tubuh melalui peredaran darah. Apabila asam amino dari makanan melebihi kebutuhan tubuh, maka kelebihan asam amino tersebut tidak dapat ditimbun. Asam amino tersebut akan diubah menjadi lemak sebagai cadangan kalori tubuh (Trimartini 2008). Pada manusia, taurin berfungsi mempertahankan keseimbangan sel membran pada jaringan yang aktif, yakni pada jaringan otak dan jantung (Patel 2006). Selain itu, taurin juga berfungsi membantu metabolisme kolesterol dan mengemulsi asam empedu sehingga meringankan beban kerja dari hati, pankreas dan kantong empedu (Smayda 2002). Taurin dibentuk oleh tubuh di dalam hati yang diikuti dengan reaksi oksidasi dari dekarboksilasi asam amino sistein (Marsh dan May 2009). Taurin dari hasil analisis ikan buntal pisang yang segar didapatkan kandungan taurin sebesar 273 mg/100 g dan pada ikan buntal pisang yang telah digoreng 211 mg/100 g. Kandungan hasil analisis ikan buntal pisang baik yang segar maupun goreng memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Saito dan Kunisaki (1998) dari ikan buntal Takifugu rubripes yaitu sebesar 120,1 mg/100 g. Hal ini diduga akibat adanya perbedaan umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005). Taurin memiliki dua peran utama dalam metabolisme manusia, yaitu taurin sebagai neurotransmitter dan sebagai pengemulsi asam empedu. Secara medis, taurin dapat menyembuhkan hepatitis akut. Pemberian taurin sebanyak 4 gram 3 kali sehari dapat menurunkan bilirubin dan asam empedu total secara signifikan (Matsuyama et al. 2001). Taurin juga dapat mengobati penyakit jantung. Orang yang menderita gagal jantung mengalami kemajuan kesehatan dengan melakukan terapi taurin dalam jumlah 3 sampai 5 gram per hari. Menurut penelitian Nakaya et al. (2000), taurin sangat efektif dalam meningkatkan
40
metabolisme kolesterol, menurunkan kadar kolesterol dan triasilgliserol dalam darah dengan cara meningkatkan sekresi kolesterol menjadi asam empedu dan menurunkan produksi kolesterol.
41
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Ikan buntal pisang memiliki nilai rendemen daging sebesar 38,28% dari bobot tubuhnya. Kandungan gizi yang terdapat ikan buntal pisang yang segar meliputi air 81,22%, abu 1,01%, protein 16,31%, lemak 0,63%, dan karbohidrat 0,83%. Hasil tersebut berdasarkan perhitungan basis basahnya. Ikan buntal pisang yang segar maupun yang telah digoreng mengandung 17 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 8 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin. Asam amino non esensial yang terdapat pada ikan buntal pisang yang segar dan yang telah digoreng adalah asam glutamat, asam aspartat, serin, glisin, alanin, prolin, tirosin dan sistein. Kandungan asam amino pada ikan buntal pisang yang segar lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan asam amino yang terdapat pada ikan buntal yang digoreng, terkecuali asam amino metionin yang tinggi pada ikan buntal yang digoreng. Kandungan asam amino esensial yang tertinggi pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah leusin dengan nilai 884 mg/100 g dan 636 mg/100 g. Kandungan asam amino non esensial yang tertinggi pada ikan buntal pisang yang segar dan yang telah digoreng adalah asam glutamat dengan nilai 1.319 mg/100 g dan 956 mg/100 g. Asam amino pembatas pada ikan buntal pisang yang segar dan yang digoreng adalah sistein dengan nilai 115 mg/100 g dan 109 mg/100 g. Kandungan taurin pada ikan buntal yang segar dan yang telah digoreng adalah 273 mg/100 g dan 211 mg/100 g. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai kandungan asam lemak dan mineral yang terdapat pada ikan buntal pisang yang segar ataupun yang telah mengalami proses pengolahan agar data mengenai kandungan gizi ikan buntal semakin lengkap. Selain itu perlu dilakukan pengujian terhadap asam amino triptofan agar data mengenai komposisi asam amino pada ikan buntal pisang semakin lengkap.
42
DAFTAR PUSTAKA Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi dalam Analisis Bahan Pangan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu dan Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: PT Gramedia. Amstrong FB. 1995. Buku Ajar Biokimia (Biochemistry). Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Christian GD. 1986. Analytical Chemistry. Kanada: J Wiley. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Bandung: ITB Press. Edison
T. 2009. Amino Acid: Esensial http://livewellnaturally.com. [03 Mei 2010].
for
Our
Bodies.
Fellows PJ. 1990. Food Processing Technology: Principle and Practice. England: Ellis Horwood Limited. Grzimek B. 1974. Animal Life Encyclopedia. Vol. 5 Fishes II and Amphibians. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Hames D dan Hooper N. 2005. Biochemistry, 3th. New York: Taylor dan Francis. Harli M. 2008. Asam Amino Esensial. http://www.suparmas.com. [20 April 2010]. Harris RS dan Karmas E. 1989. Evalusi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Edisi ke-2. Bandung: ITB Press. Hawab HM. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Diadit Media. Hui, Y H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Fifth edition, Volume 3. A Willey-Interscience Publication. New York: John Willey&Sons.Inc. IOWA. 2010. High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Japan: Iowa State University of Science and Technology. Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kottelat M, Whitten JN, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: CV Jaya Book.
43
Lehninger AJ. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Kimia. Aminuddin P, Penerjemah. Jakarta: UI Press. Litaay M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalone. Oseana. No 3:1-7. Marsh R dan May P. 2009. Taurine. http://www.chm.bris.ac.uk. [26 April 2010]. Matsuyama Y, Morita T, Higuchi M, Tsujii T. (2001). The effect of taurine administration on patients with acute hepatitis. Prog. Clin. Biol. Res. 125:461-468. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Nakaya Y, Minami A, Harada N, Sakamoto S, Niwa N, dan Ohnaka M. 2000. Taurine improves insulin sensitivity in the Otsuka long-evans tokushima fatty rat, a model of spontaneous type 2 diabetes. American Journal of Clinical Nutrition. Vol 71(1): 54-58. Noguchi T dan Arakawa O. 2008. Tetrodotoxin-distribution and accumulation in aquatic organisms, and cases of human intoxication. Marine Drugs. 6:220-242. Nur MA, Adijuwana H, Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum Teknik Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Nurjanah, Kustiariyah, Rusyadi S. 2008. Karakteristik gizi dan potensi pengembangan kerang pisau (Solen spp) di perairan Kabupaten Pamekasan Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan 13(1):41-51. Nurjanah dan Abdullah A. 2010. Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press. Patel S. 2006. Taurin and Energy Drink: Meant to be or Doomed. Nashville: Psychology Department, Vanderbilt University. Pearson AM, Dutson TR. 1999. Fish Products Advances in Meat Research Series Volume 9. Britain: An Aspen Publication. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi (Jilid I dan II). Bandung: Bina cipta.
44
Saito M, dan Kunisaki N. 1998. Proximate composition, fatty acid composition, free amino acid contents, mineral contents, and hardness of muscle from wild and cultured puffer fish Takifugu Rubripes. Nippon Suisan Gakkaishi. 64(1):116-120. Salamah E. 1997. Analisis kimia menggunakan HPLC bagian-1. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol 3:1. Santoso J, Sumaryanto H, Hidayat A, Mulya S. 1996. Pembuatan makan bayi (weaning food) dari campuran tepung beras dan konsentrat protein ikan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 2(2): 31-42. Smayda R. 2002. Contemporary review of therapeutic benefits of the amino acid taurine. The Journal of Biological Chemistry 257(6): 2802-2805 Suwandi R. 1990. Pengaruh proses penggorengan dan pengukusan terhadap sifat fisiko-kimia protein ikan mas (Cyprinus carpio L). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Syarief R, dan Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Jakarta: Penerbit Accan. Trimartini. 2008. Metabolisme Asam Amino. http://www.ajinomoto.com. [26 April 2010]. Welborn JR dan Manahan DT. 1995. Taurine metabolism in larvae of marine molluscs (bivalvia, gastropoda). The Journal of Experimental Biology 198:1791-1799. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan kesembilan. Jakarta: Gramedia. Yusfiati. 2006. Anatomi alat pencernaan ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1 Gambar perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Lampiran 2 Gambar ikan buntal pisang
47
Lampiran 3 Data panjang, tinggi, lebar, dan bobot ikan buntal pisang
panjang
lebar
tinggi
bobot total
11,5 12 9,5 12 11 10 11 10 10 11 12 10 10 12 11 10,5 12 11 9.5 12 12 11 10 11 10 10 12 11,5 12,5 11
1,8 2 1,5 2 1,9 1,4 1,8 1,5 1,4 2 1,8 1,5 1,5 1,6 1 1,5 1,5 1,5 1,5 2 2 2 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2 1,8
2,5 3 2 3 2,5 2,5 3 2,2 2 2,5 2,5 2 2,5 2 1,8 2,5 3 2,5 2 3 3 3 2,5 2 2,5 2,5 2,4 2,5 2,5 2,5
30 40 18 40 32 20 26 26 20 34 36 20 24 34 26 26 38 30 20 36 44 34 26 28 20 20 36 26 30 22
Contoh perhitungan: panjang = 329 = 10,96667 ± 0,899553
48
Lampiran 4 Data rendemen kepala, badan, kulit, dan jeroan ikan buntal
badan
Kepala
jeroan
kulit
10 16 8 16 10 6 12 10 8 14 16 8 6 14 10 10 14 12 8 14 16 14 10 10 8 6 10 10 12 12
12 18 8 18 15 10 12 12 10 16 17 10 10 16 12 13 17 14 10 18 19 16 12 14 9 9 13 12 13 9
3 2 1 2 3 1 1 1 1 1,5 1 0,5 5 1 2 1 4 1 0,5 2 4 1,5 2 1 1 3 10 2 2 0,5
5 4 1 4 4 3 1 3 1 2,5 2 1,5 3 3 2 2 3 3 1,5 2 5 2,5 2 3 2 2 3 2 3 0,5
Contoh perhitungan: jeroan = 61,5 = 2,05 ± 1,877039
49
Lampiran 5 Data analisis proksimat ikan buntal pisang Kadar air Kode
Berat cawan
Bobot sampel
Berat stlh oven
Hasil (100%)
Segar
26,4712 28,4713 24,7526 24,2270
1,2039 1,1970 1,0140 1,0141
26,6951 28,6984 25,3736 24,8475
81,40 81,03 38,76 38,81
Kode
Berat cawan
Bobot sampel
Berat stlh tanur
Hasil (100%)
Segar
19,1969 20,2088 22,6058 27,3521
1,5363 1,5801 1,5410 1,5724
19,2124 20,2248 22,6473 27,3919
1,01 1,01 2,69 2,53
Kode
Berat cawan
Bobot sampel
Berat stlh oven
Hasil (100%)
Segar
38,9958 38,3716 38,2250 38,8560
2,1140 2,1668 2,0017 2,0034
39,0103 38,3837 38,4498 39,0816
0,69 0,56 11,23 11,26
Kode
Bobot sampel (gr)
Titrasi (ml)
N HCl
Hasil (100%)
Segar
0,2142 0,3242 0,1078 0,1099
9,00 13,85 12,25 12,30
0,11 0,11 0,11 0,11
16,18 16,44 43,75 43,09
Goreng Kadar abu
Goreng Kadar lemak
Goreng Kadar protein
Goreng
Contoh perhitungan (Ulangan 1): a. Kadar air Daging ikan buntal segar = Daging ikan buntal goreng =
,
,
100%
, ,
, ,
100%
81,40% 38,76%
50
b. Kadar abu Daging ikan buntal segar =
,
100%
, ,
Daging ikan buntal goreng =
1,01%
100%
,
2,69%
c. Kadar Lemak Daging ikan buntal segar =
,
100%
, ,
Daging ikan buntal goreng =
0,69%
100%
,
11,23%
d. Kadar Protein Daging ikan buntal segar = Daging ikan buntal goreng =
,
,
,
,
100%
, ,
, ,
, ,
16,18%
100%
e. Kadar Karbohidrat (by difference) Daging ikan buntal segar = 100% - (81,40+1,01+0,69+16,18)% = 0,72% Daging ikan buntal goreng = 100% - (38,76+2,69+11,23+43,75)% = 3,57%
43,75%
51
Lampiran 6 Data asam amino ikan buntal pisang segar
52
Lampiran 7 Data asam amino ikan buntal pisang yang digoreng
53
Lampiran 8 Data standar asam amino
54
Lampiran 9 Data hasil analisis asam amino dan taurin Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Fenilalanin Valin Metionin Sistein Isoleusin Leusin Lisin Taurin
Daging ikan buntal pisang segar (%) 0,620 1,319 0,273 0,550 0,248 0,245 0,382 0,578 0,241 0,304 0,232 0,401 0,223 0,115 0,241 0,884 0,534 0,273
Daging ikan buntal pisang digoreng (%) 0,529 0,956 0,260 0,396 0,204 0,242 0,308 0,572 0,223 0,303 0,228 0,281 0,225 0,109 0,228 0,636 0,349 0,211