GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS LAKTASI SETELAH MENGKONSUMSI EKSTRAK DAN FRAKSI SAUROPUS ANDROGYNUS (L.) MERR SEJAK BUNTING SAMPAI 10 HARI POSTPARTUS
ARISA MAZIDAH ERAWATI
FAKULTASKEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
ABSTRACT ARISA MAZIDAH ERAWATI. Histopathological View Of The Liver and Kidney’s Lactating Rat After Consuming Sauropus androgynus (L.) Merr Leaf Extract and Fraction From Pregnancy Upto 10 Days Postpartum. Under the supervision of AGIK SUPRAYOGI and HERNOMOADI HUMINTO. This study was aimed to obtain the information about the possibility of side effects (toxic) from consuming of katuk (Sauropus androgynus) leaf extract and fractions using rats as experimental animals. Fifteen pregnant female rats were divided into 5 treatment groups; control (K), ethanol crude exstract (EEtOH), hexan fraction (F-H), ethylacetate fraction (F-EtAc), and water fraction (FH2O). The katuk leaf extract and fraction were fed from the beginning of pregnancy until 10 days postpartus. Histopathological assay was conducted to investigate the effect of treatment to the liver and kidneys at 10 days postpartus. Histopathology of liver showed that the katuk leaves extract group F-H2O, F-EtAc, and E-EtOH are able to protect the hepatocyts of the liver from apoptosis, but the katuk leaves extract or their metabolites tended to increase the number of apoptosis on renal tubular epithelium of the kidneys. For both organs, the result indicated that the group of katuk leaves water fraction (F-H2O) treatment cause the minimal damage among the others. Keywords: Leaf extract fractions, Sauropus androgynus, apoptosis, liver, and kidney.
RINGKASAN ARISA MAZIDAH ERAWATI. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi Setelah Mengkonsumsi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan HERNOMOADI HUMINTO. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan
informasi
tentang
kemungkinan efek samping (toksik) dari mengkonsumsi ekstrak dan fraksi daun katuk (Sauropus androgynus) dengan menggunakan tikus putih sebagai hewan coba. Lima belas tikus betina bunting dibagi menjagi lima kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok ekstrak etanol (E-EtOH), kelompok fraksi heksan (F-H), kelompok fraksi etilasetat (F-EtAc), dan kelompok fraksi air (FH2O). Kelompok-kelompok tersebut diberi dosis ekstrak dan fraksi daun katuk (DK) sebesar 297,5 mg/hari/ekor untuk kelompok E-EtOH; 57,5 mg/hari/ekor untuk F-H; 209 mg/hari/ekor untuk F-H2O; dan 40 mg/hari/ekor untuk F-EtAc. Setelah 10 hari postpartus, dilakukan pengambilan sampel organ hati dan ginjal dari induk tikus, kemudian dibuat preparat histologi dan diamati adanya perubahan-perubahan lesio histopatologinya. Evaluasi histopatologi dilakukan berdasarkan rasio apoptosis sel yang terjadi pada masing-masing organ yaitu hati dan ginjal. Gambaran histopatologi hati menunjukkan bahwa kelompok fraksi air, fraksi etil asetat, dan ekstrak etanol DK memiliki potensi sebagai penghambat kematian sel hati atau dapat disebut sebagai hepatoprotektor. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dan fraksi tersebut mampu menghambat kematian sel hati. Ada kemungkinan beberapa senyawa aktif yang terdapat dalam daun katuk seperti flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-βD-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol, dan 3O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol peran
penting
dalam
menghambat
kematian
hepatosit.
mempunyai
Penelitian
juga
menunjukkan kemungkinan adanya efek samping kematian sel epitel tubuli kontorti pada ginjal yang lebih cepat pada kelompok ekstrak dan fraksi DK dibanding kontrol. Hal ini dikarenakan adanya proses biotransformasi senyawa aktif DK di hati yang menghasilkan senyawa metabolit, yang kemudian diekskresikan di ginjal. Kematian sel epitel tersebut masih bersifat apoptosis. Berdasarkan nilai rasio apoptosis keseluruhan, baik yang terjadi pada
organ hati maupun organ ginjal menunjukkan bahwa pemberian fraksi air daun katuk merupakan pemberian fraksi yang paling baik diantara ekstrak dan fraksi yang lain, karena mempunyai sifat hepatoprotektor yang relatif tinggi dengan efek samping yang relatif rendah.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS LAKTASI SETELAH MENGKONSUMSI EKSTRAK DAN FRAKSI SAUROPUS ANDROGYNUS (L.) MERR SEJAK BUNTING SAMPAI 10 HARI POSTPARTUS
ARISA MAZIDAH ERAWATI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTASKEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAANMENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi Setelah Mengkonsumsi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus” adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2011 Arisa Mazidah Erawati NIM B04070071
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Judul Penelitian
: Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus
Nama Mahasiswa
: Arisa Mazidah Erawati
NRP
: B04070071
Disetujui,
Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc. AIF Pembimbing I
drh. Hernomoadi Huminto, MVS. Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Nastiti Kusumorini, AIF Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat terwujud dengan baik atas dukungan Proyek Penelitian Hibah Kompetitif DIKTI Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009 yang diketuai oleh Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi dengan nomor kontrak : 343/SP2H/PP/AP2H/VI/2009. Selama penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan berbagai bantuan baik materi, informasi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc. AIF dan Bapak drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, masukan serta waktu selama masa pelaksanaan penelitian sampai tahap penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, AIF, beserta staf Fisiologi dan Patologi FKH IPB, serta drh. Supriyono yang telah membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2011 Arisa Mazidah Erawati
RIWAYATHIDUP Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 10 Februari 1989, sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Mubin A. Hasan dan Ibu Fatmawati. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SD Negeri Gumeno, tahun 2004 penulis lulus dari SLTPN 1 Ciawi, dan tahun 2007 lulus dari SMAN 3 Bogor. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama kuliah penulis aktif di Himpunan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik (HKSA). Penulis juga mengikuti pelatihan Grooming pada tahun 2009 dan Pelatihan Penerapan HACCP Pada Unit Usaha Pangan Asal Hewan pada tahun 2011 di FKH IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan Penelitian
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Botani Tanaman Katuk
5
2.2 Manfaat Daun Katuk
5
2.3 Komposisi Nutrien dan Senyawa Aktif Daun Katuk
7
2.4 Ekstraksi
10
2.5 Anatomi, Fisiologis, dan Patologis Organ Hati dan Ginjal
12
2.5.1 Hati
12
2.5.1.1 Anatomi Hati
12
2.5.1.2 Histologi Hati
12
2.5.1.3 Fisiologi Hati
13
2.5.1.4 Patologi Hati
13
2.5.1.5 Kematian Sel Hati
14
2.5.2 Ginjal
15
2.5.2.1 Anatomi Ginjal
15
2.5.2.2 Fisiologi Ginjal
18
2.3.2.3 Patologi Ginjal
18
2.6 Efek Samping Setelah Mengkonsumsi Daun Katuk
19
2.7 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Sebagai Hewan Percobaan 21 2.7.1 Karakteristik Tikus Putih (Rattus sp.)
21
2.7.2 Data Biologis Tikus Putih (Rattus sp.)
22
BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
23
3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya
23
3.3 Alat dan Bahan Penelitian
23
3.4 Metode Penelitian
23
3.4.1 Pembuatan Simplisia
23
3.4.2 Pembuatan Ekstrak Kasar Etanol
24
3.4.3 Pembuatan Fraksi Heksan
24
3.4.4 Pembuatan Fraksi Air dan Fraksi Etil Asetat
24
3.4.5 Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk
25
3.4.6 Pembuatan dan Pemberian Pakan
25
3.5 Pelaksanaan Penelitian
26
3.5.1 Pengelompokan Hewan Coba
26
3.5.2 Pemberian Pakan Perlakuan
26
3.5.3 Pembuatan Sediaan Histopatologi
27
3.5.4 Evaluasi Histopatologi Hati dan Ginjal
29
3.5.5 Analisis Data
29
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Hati
30
4.2 Organ Ginjal
32
4.3 Diskusi Umum
34
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan
36
5.2 Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
37
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi nutrien daun katuk per 100 gram daun katuk segar
8
2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis jaringan 3 Komposisi nutrisi dan konsentrasi ekstrak daun katuk dalam pakan
9 26
4 Rasio apoptosis hepatosit pada daerah portal dan vena sentralis hati tikus yang diberi berbagai fraksi ekstrak DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus……………………………………………………........... 30 5 Rasio apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal tikus yang diberi berbagai fraksi ekstrak DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus
33
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman katuk
4
2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluh
darahnya
15
3 Korpuskulus ginjal, sel-sel mesangial (diantara kapiler) dan apparatus JG (macula densa dan sel JG……………………………………………….
17
4 Tikus putih (Rattus sp.)
21
5 Prosedur Fraksinasi Ekstrak Daun Katuk
25
6 Tehnik Pembuatan Sediaan Histopatologi
28
7 Apoptosis hepatosit pada daerah vena sentralis ditandai dengan inti karyolisis (panah putih) H&E
31
8 Apoptosis hepatosit pada daerah portal ditandai dengan inti karyolisis (panah putih) H&E
31
9 Apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal yang ditandai dengan inti piknotis (panah putih) H&E
33
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L).Merr) merupakan salah satu tanaman yang mempunyai khasiat obat dengan kandungan utama daunnya adalah karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, Vitamin A, B, dan C (Depkes RI 2007). Menurut Suprayogi (2002), khasiat daun katuk (DK) adalah sebagai pemicu produksi air susu ibu (ASI), meningkatkan fungsi pencernaan, meningkatkan pertambahan berat badan, pemicu peningkatan jumlah darah, mengatasi kelelahan, dan perbaikan metabolisme tubuh. Beberapa senyawa aktif yang terdapat dalam DK sudah banyak diketahui. Wang dan Lee (1997) melaporkan terdapat 6 senyawa aktif DK yang ditemukan dengan menggunakan pelarut etanol (EtOH), yaitu 3 senyawa flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-βD-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol, dan 3O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol. Tiga Senyawa lain yang juga ditemukan yaitu senyawa 5’-deoxy5”methylsulphinyl-adenosine three nucleotides-adenosine, dan uridine. Suprayogi (2004) menguatkan temuan tersebut, bahwa dengan menggunakan pelarut etilasetat (EtAc) juga ditemukan senyawa-senyawa tersebut yaitu 3-O-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Senyawa kaempferol ini diketahui sebagai antioksidan kuat. Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa daun katuk mengandung 5 senyawa
aktif
utama
heptadekatrienoicacid,
yaitu
Octadecanoic
9,12,15-
acid,
Octadekatrienoicacid,
9-ecosine, dan
5,8,1111,14,17-
eicosatrienoicacid yang berperan sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senyawa eicosanoid. Senyawa lain yang juga ditemukan oleh Suprayogi (2010) yaitu androstan-17-one-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha berfungsi sebagai prekursor atau
intermediet-step
dalam
sintesis
senyawa
hormon-hormon
steroid
(progesteron, estradiol, testosteron, dan glukokortikoid), dan senyawa 3,4dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic
acid,
yang
dapat
berfungsi
sebagai
eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs. Selain manfaat DK seperti yang telah disebut diatas, penggunaan DK diketahui kemungkinan memiliki efek samping, yaitu diantaranya menyebabkan
keguguran, menghambat absorbsi kalsium di saluran pencernaan, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan pada pernafasan (Suprayogi 2000 dan Chang et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) sebesar 18 g/kg ransum menghasilkan warna daging dada yang lebih pucat (Santoso et al. 2002). Selain itu, daun katuk mengandung banyak kristal kalsium oksalat bentuk roset, sehingga bagi penderita penyakit batu ginjal daun katuk berbahaya dikonsumsi sebagai sayuran (Lai et al. 1996). Bender dan Ismail 1975, dalam Suprayogi 2000) juga melaporkan adanya senyawa kimia alkaloid papaverin dalam daun katuk yang diduga mempunyai efek fisiologis dalam tubuh. Senyawa papaverin tersebut jika dikonsumsi akan dioksidasi dalam hati, yang kemudian
menghasilkan
metabolit.
Pengaruh
metabolik
papaverin
dan
metabolitnya terutama adalah menghambat sistem neural. Metabolit papaverin ini dimungkinkan juga mengganggu organ ginjal, walaupun sampai saat ini belum diketahui. Organ hati merupakan organ parenkim yang ukurannya terbesar, dan memiliki fungsi banyak dan kompleks, salah satunya sebagai pusat detoksifikasi zat beracun di dalam tubuh. Selain itu hati juga memiliki peranan penting dalam proses metabolisme tubuh, bila organ ini mengalami gangguan, maka fungsi kerja tubuh akan menurun (degenerasi) dan yang paling fatal dapat menyebabkan kematian (Harada et al 1996). Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar zat toksik (Dellman dan Brown 1992). Hati dan Ginjal dapat mengalami kematian apoptosis, yaitu suatu kematian yang secara fisiologis dapat terjadi pada setiap sel dalam tubuh. Kematian ini dapat diperlihatkan dengan adanya apoptosis, yang berupa karyopiknosis, karyolisis, dan karyoreksis (Harrison 1999). Gambaran histopatologi memberikan informasi seluler tentang kerusakan yang terjadi di jaringan organ. Suprayogi (2000) melaporkan terjadi peningkatan sel epitel bronkhiolus yang mengalami metaplasia menjadi sel goblet penghasil mucous, dengan pemberian ekstrak etanol daun katuk sebesar 1,89 g/hari/ekor dan suspensi daun katuk kering giling sebesar 7,44 g/hari/ekor. Namun demikian selama ini belum banyak penelitian yang fokus pada studi tentang gambaran kerusakan pada hati dan ginjal akibat mengkonsumsi daun katuk. Melihat kenyataan diatas, penggunaan daun katuk sebagai bahan berkhasiat obat masih banyak menimbulkan perdebatan terutama terhadap kemungkinan adanya efek toksisitas pada organ hati dan ginjal. Penelitian ini memfokuskan
pada studi kemungkinan efek samping akibat mengkonsumsi ekstrak dan fraksi DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus, melalui pengamatan histopatologi organ hati dan ginjal tikus. 1.2 Tujuan Penelitian 1.
Mendapatkan informasi tentang kemungkinan adanya efek samping (toksik) dari mengkonsumsi daun katuk melalui pengamatan gambaran histopatologi hati dan ginjal.
2.
Mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan ginjal pada tikus yang mengkonsumsi ekstrak etanol (EtOH), fraksi hexan (FH), fraksi etil asetat (FEtc), dan fraksi air (FH2O) DK.
3.
Menentukan kemungkinan ekstrak atau fraksi yang menimbulkan efek samping rendah terkait dosisnya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L).Merr.) merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan penggunaannya sebagai tanaman obat di Indonesia dan Malaysia (Wang dan Lee 1997). Tanaman ini juga dapat tumbuh di negara-negara seperti Cina, Vietnam, Philipina, dan juga Malaysia (Setyowati 1997 dan Suprayogi 2000). Tanaman ini juga digunakan sebagai sayur-mayur oleh masyarakat bagian Asia Barat dan Asia Tenggara (Bender dan Ismail 1975, dalam Suprayogi 2000). Selain untuk sayur-mayur, tanaman katuk juga dimanfaatkan sebagi obat tradisional pada masyarakat India (Padma Vathi dan Rao 1990). Bebeda dengan negara Taiwan, tanaman katuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengobatan pada penyakit hipertensi, hiperlipidemia, konstipasi, dan pengontrol berat badan (Ger et al. 1997). Tanaman katuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman katuk (Anonim 2004).
1.1 Sifat Botani Tanaman Katuk (Sauropus androgynus (L).Merr) Menurut Tjitrosoepomo (2007) katuk dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam golongan : Divisi
: Spermatophyta
Anak Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledonae
Anak kelas
: Monoclamydae (Apetalae)
Bangsa
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Sauropus
Spesies
: Sauropus androgynus Di daerah Jawa, tanaman katuk sering disebut babing, katuken, sedangkan
di sunda disebut katuk. Berbeda dengan di Madura, tanaman katuk disebut kerakur (Anonim 1992). Ada 3 jenis sauropus yang dikenal di daerah Jawa yaitu (Sauropus androgynus (L).Merr) atau katuk, Sauropus rhammoide B1 atau katuk badak, dan Sauropus machrantus hassk (Prajogo dan Santa 1997). Beberapa laporan menyebutkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam tanaman katuk yaitu energi 59 kal%, protein 4,8%, lemak 1,0%, Ca 204 mg%, fosfor 83 mg%, besi 7,0%, vitamin A 10,370 SI%, Vitamin B 0,10 mg%, Vitamin C 239 mg%, dan air 81,0% (Depkes 2007). Menurut Sukendar (1997), daun katuk merupakan daun tunggal yang diketiaknya terdapat bunga, memiliki daun tunggal, dengan jumlah daun bercabang 11-21 helai. Warna pada permukaan atas daun hijau dengan bercak putih dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Tepi daun rata, pangkal tumpul, dan ujungnya lancip. Bunga jantan seperti iwang dengan kelopak dan mahkota masing-masing berjumlah 3, berwarna hijau kemerahan, saling berlekatan, tebal dan berdaging. Benang sari 6 buah dengan serbuk sari berwarna putih kekuningan. Bunga jantan mempunyai kelopak dan mahkota serupa, masing-masing berjumlah 3, berwarna merah kecoklatan, berlepasan, tidak mudah luruh, dan menempel pada buah.
1.2 Manfaat Daun Katuk
Katuk merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat di pulau Jawa. Daun berikut bagian pucuk batang termasuk salah satu sayuran yang sangat digemari dan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh kaum ibu yang sedang menyusui karena mengandung nutrisi yang berguna bagi tubuh. Mengkonsumsi daun katuk dapat meningkatkan produksi ASI (Suprayogi 2000). Tanaman katuk telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Bali sebagai tanaman obat keluarga (TOGA), pelancar Asi, bahan makanan, dan tanaman hias (Sumantera 1997). Sebagai bahan makanan, katuk dikenal sebagai sumber vitamin A dalam bentuk karoten sebanyak 10 mg/100 g daun segar, vitami C sebanyak 164 mg/100 g daun segar, protein 6,4 mg/100 g daun segar, dan thiamin 0,1 mg/100 g daun segar (Yuliani dan Marwati 1997). Mahyudin (1986) mengatakan bahwa tanaman katuk juga dikenal sebagai jamu atau obat tradisional, sehingga dipercaya orang bahwa daya tahan tubuh selama sakit dapat meningkat dengan pemberian daun katuk. Selain itu daun katuk juga terbukti memiliki khasiat antara lain sebagai obat bisul dan borok dan juga mampu memperbaiki fungsi pencernaan serta metabolisme tubuh (Suprayogi 1995). Air rebusan dari akar tanaman ini dapat menurunkan panas tubuh pada saat demam dan juga melancarkan air seni, sedangkan akar tanaman yang digiling digunakan sebagai obat luar untuk frambusia (Heyne 1987). Pemberian sediaan infusium daun katuk sebesar 10% dan 15% secara oral dapat meningkatkan produksi air susu mencit pada percobaaan secara nyata. Diduga kandungan senyawa aktif dari daun katuk serupa dengan hormon steroid diantaranya prolaktin dan oksitosin (Agil 1991, dalam Suprayogi 2000). Suprayogi (1995) telah membuktikan bahwa pemberian suspensi daun katuk mampu meningkatkan kecernaan terhadap pakan, diantaranya bahan kering, protein, dan lemak serta dapat menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa di hati dan peningkatan absorbsi glukosa di dalam saluran pencernaan. Santoso dan Sartini (2001) juga mengemukakan, dengan pemberian daun katuk dalam pakan ayam broiler sebagai tambahan mampu mengurangi akumulasi lemak tubuh sehingga kadar kolesterol karkas semakin berkurang. Lebih lanjut diketahui bahwa pemberian daun katuk juga dapat mempercepat usia dewasa kelamin pada ayam dan rataan konversi pakan yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi telur. Desni (2005) melaporkan bahwa penambahan daun katuk sebesar 15%
dalam pakan ayam petelur memperlihatkan efek positif bagi peningkatan kualitas karkas, peningkatan berat kuning telur, dan vitamin A serta menurunkan kadar kolesterol pada kuning telur hingga mencapai 16,82% serta peningkatan hormon ekstradiol. Suprayogi (2000) juga melakukan pengamatan efek farmakologis dan toksisitas ekstrak alkohol daun katuk pada kambing laktasi. Pemberian ekstrak alkohol daun katuk selama 14 hari dengan dosis 1,89 g/hari mampu meningkatkan produksi air susu kambing laktasi yang diikuti dengan kualitas air susu yang tetap stabil. Suprayogi (2002) juga mengungkapkan dalam pengujian toksisitas akut pada tikus putih (Wistar) terhadap penentuan nilai LD50 menggunakan sediaan teh katuk sebesar 36,68 gram/kg bb dengan kisaran dosis lethal antara 28,14 58,12 gram/kg bb menunjukkan efek non toksik. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian secara oral sediaan daun katuk kering giling sebanyak 7,44 g/hari pada kambing laktasi selama 35 hari mampu meningkatkan produksi air susu sebanyak 7,75%. Peningkatan yang kecil terjadi pada pemberian secara oral sediaan ekstrak alkohol daun katuk, yaitu hanya sebesar 0,89%. Peningkatan produksi air susu tersebut diduga karena senyawa aktif daun katuk mampu menigkatkan populasi sel-sel sekretoris kelenjar ambing (diindikasikan oleh total DNA) yang diikuti oleh peningkatan aktifitas sintesis sel-sel sekretoris tersebut (diindikasikan oleh total RNA). Disamping itu pada saat yang sama senyawa aktif daun katuk mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi didalam darah yang menuju ke kelenjar ambing (prekursor air susu). 1.3 Komposisi Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk
Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa terdapat komponen yang menyerupai papaverin dalam daun katuk. Komponen tersebut dikenal sebagai Papaverine Like-Compound yang kemungkinan mempunyai efek kimia, farmakologi, dan efek biologi yang menyerupai papaverin. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian sebelumnya oleh Bender dan Ismail (1975) dalam Suprayogi (2000), yang melaporkan adanya senyawa alkaloid (papverin) sebesar 5,8 PPV/Kg daun katuk segar yang diduga mempunyai efek fisiologis dalam tubuh. Kandungan nutrisi daun katuk bervariasi, hal ini tergantung dari tipe tanah dimana katuk tumbuh, umur, dan bagian tanaman yang dianalisis (Puspaningtyas et al. 1997). Berdasarkan beberapa hasil penelitian mengenai banyaknya kandungan
nutrisi yang terdapat dalam daun katuk, terdapat beberapa komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar). Nutrisi
Anonymous (1992)
Padma Vathi and Rao (1990)
Depkes RI (1972)
Kadar air Protein Lemak Karbohidrat Serat kasar Karoten Tiamin Riboflavin Vitamin C Kalsium Posphor Besi Abu
6,4 g 1,0 g 9,9 g 1,5 g 10020 µg 0,1 mg 164 mg 98 mg 3,5 mg 1,7 mg
69,9 g 7,4 g 1,1 g 1,8 g 5600,0 µg 0,50 mg 0,21 bmg 244,0 mg 771,0 mg 543,0 mg 8,8 mg -
81,0 g 4,8 g 1,0 g 11,0 g 10020,0 µg 0,1 mg 204,0 mg 204,0 mg 83,0 mg 3,0 mg -
Suprayogi (1995) mengemukakan bahwa dengan pemberian papaverin cenderung mengurangi kecernaan lemak kasar. Hal ini disebabkan adanya efek penghambatan terhadap sintesis cairan empedu yang mengakibatkan sekresi cairan empedu menurun. Andriyanto (2004) juga menemukan adanya penurunan kadar lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun katuk pada pakan ayam broiler. Agusta et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat 6 komponen kimia yang terdapat dalam daun katuk, yaitu: Monomethyl succinate (C5H8O4), 2phenilmalonicacid (C9H8O4), 2-methyl-cyclopentanol acetate (C8H14O2), benzoid acid (C7H6O2), 2-pyrrolidinone (C4H7NO), dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Empat senyawa dari enam senyawa ini yaitu monomethyl succinate, 2-phenyl malonic acid, 2-methyl cyclopentanolacetate, dan methyl pyroglutamate dapat dihidrolisis melalui reaksi kimia tertentu didalam saluran pencernaan menjadi produk metabolik yang berbentuk succinate, mallonate, acetate, dan glutamic acid. Keempat senyawa tersebut dapat berperan sebagai senyawa eksogenous yang berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Agusta et al. 1997). Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa dengan menggunakan alat GCMS
(Gas
Chromatography-Mass.
Spectrometry),
diperkirakan
daun
katuk
mengandung 5 senyawa aktif utama yaitu Octadecanoic acid; 9-ecosine; 5,8,11heptadekatrienoicacid;
9,12,15-
Octadekatrienoicacid
dan
11,14,17-
eicosatrienoicacid yang berperan sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis
senyawa eicosanoid dan 2 senyawa lain yaitu androstan-17-one-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha berfungsi sebagai prekursor atau intermediet-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan glukokortikoid) dan senyawa 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, yang dapat berfungsi sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa daun katuk mampu meningkatkan metabolisme glukosa di hati dengan menunjukkan efek surplus glukosa fluks. Suprayogi (2000) juga melaporkan dengan menggunakan analisa GC-MS, daun katuk mempunyai tujuh senyawa aktif utama. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk tersebut dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dalam tubuh, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhya terhadap fungsi fisiologis jaringan. No.
Senyawa
Fungsi fisiologis
1.
Octadecanoic acid
2.
9-Ecosine
Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senya wa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thrombo xane, lipoxanes, dan leukotrienes)
3.
5,8,11-heptadekatrienoicacid
4.
9,12,15-octadekatrienoicacid
5.
11,14,17-eicosatrienoicacid
6.
Androstan-17-one -3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha Senyawa 1-6 secara bersamaan
7.
3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid Senyawa 1-7 secara bersamaan
Sebagai prekursor/ intermediet-step dalam sintesis hor mon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan gl ukokortikoids) Memodulasi hormon-hormon mammogenesis dan lakt ogenesis serta aktifitas fisiologis yang lain Sebagi eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs Berkhasiat sebagai: a) Pemacu produksi ASI b) Peningkatan fungsi pencernaan c) Peningkatan pertumbuhan badan d) Pemicu jumlah darah e) Mengatasi kelelahan f) Mengatasi penyakit pembuluh darah g) Mengatasi gangguan reproduksi pada pria maupu n wanita
(Sumber: Suprayogi 2000) Wang dan Lee (1997) melaporkan terdapat 6 senyawa aktif DK yang
ditemukan dengan menggunakan pelarut etanol (EtOH), yaitu 3 senyawa flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-αL-rhamnosyl
kaempferol,
dan
3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-
rhamnosyl-kaempferol. Selain 3 senyawa diatas, 3 senyawa lain yang juga ditemukan
yaitu
senyawa
5’-deoxy5”methylsulphinyl-adenosine,
three
nucleotides-adenosine, dan uridine. Suprayogi (2004) menguatkan temuan tersebut, bahwa dengan menggunakan pelarut etilasetat (EtAc) juga ditemukan senyawa-senyawa flavonol tersebut yaitu 3-O-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-βD-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Senyawa kaempferol tersebut dapat diketahui sebagai antioksidan kuat. 2.4 Ekstraksi Ekstraksi bahan obat merupakan penarikan zat pokok (senyawa) yang diinginkan dari bahan mentah obat (simplisia) dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana senyawa yang diinginkan dapat larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan dan kemudian dikeringkan. Ekstrak tidak mengandung hanya satu senyawa saja tetapi berbagai macam senyawa, tergantung pada bahan obat yang digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989). Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam simplisia terdapat dalam bentuk yang menpunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan senyawa berkhasiat tersebut dapat diatur dosisnya. Dalam sediaan ekstrak dapat distandardisasikan kadar senyawa berkhasiat, sedangkan kadar senyawa berkhasiat dalam simplisia sukar didapat yang sama untuk setiap penggunaan. Kandungan bahan aktif yang tersari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain derajat kehalusan bahan yang disari, cara penyarian, jenis cairan penyari, lama penyarian, dan perbandingan jumlah simplisia dengan cairan penyari serta suhu penyarian (Ansel 1989). Simplisia merupakan suatu bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya berupa bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi, yaitu jumlah simplisia, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, penambahan air ekstrak, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi terdapat beberapa macam, diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006) Pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan
ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya ikatan antara partikel yang dilarutkan dengan partikel pelarut. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar, karena persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut didalam pelarut polar dan persenyawaan kovalen non-polar yang hanya larut didalam persenyawaan non-polar (Winarno et al. 1973). Pelarut yang digunakan dapat berupa etanol, heksan, etilasetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari. Air dapat melarutkan garam glikosida, tanin, minyak, alkaloid, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, mudah diperoleh, murah, dan tidak mudah terbakar (Depkes RI 1995). Air memiliki daya ekstraksi yang menonjol sebagai bahan untuk jamu yang aktif secara terapeutik dan juga mampu mengekstraksi sejumlah besar bahan dasar (simplisia). Disamping itu, penggunaan air sebagai bahan penyari juga mempunyai kerugian, yaitu tidak selektif. Hal ini dikarenakan air sebagai tempat tumbuhnya kapang, mikroba, dan kamir, sehingga dalam penggunaannya perlu ditambahkan pengawet. Air dapat melarutkan enzim sehingga menyebabkan reaksi enzimatis yang mengakibatkan penurunan mutu (Depkes RI 1995). Sebaliknya etanol merupakan penyari yang lebih selektif dibandingkan air. Hal ini dikarenakan kapang dan mikroba sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas. Etanol bersifat netral, tidak beracun, dan daya absorbsinya baik, karena dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan sekaligus memperbaiki stabilitas bahan obat yang terlarut. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0,7964. Etanol merupakan senyawa yang jernih (tidak berwarna), mudah menguap, berbau khas, dapat meyebabkan rasa terbakar pada lidah, dan mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78oC serta mudah terbakar. Sifat lain dari etanol yaitu dapat mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim. Etanol 80 % sering digunakan dan dapat menghasilkan bahan aktif yang optimal (Voight 1994). Lain halnya dengan heksan, yaitu merupakan senyawa yang mengandung 98,0% sampai dengan 100,5% C13H6Cl6O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, berwarna putih agak cokelat, tidak berbau, dan agak berbau fenol. Heksan juga tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam etanol, aseton, eter, kloroform, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (Depkes RI
1995). Pelarut organik lain yaitu etilasetat. Etilasetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton, dan membakar. Etilasetat didapat secara destilasi lambat campuran asam asetat, etil alkohol, dan asam sulfat. Berdasarkan kelarutannya, etilasetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak atsiri, dan minyak lemak (Depkes RI 1995). Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama kandungan yang lain. Pemisahan jumlah dan jenis senyawanya menjadi fraksi yang berbeda tergantung pada jenis tumbuhan maupun simplisianya. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa yang bersifat non-polar akan masuk ke pelarut non-polar (Harborne 1987). 2.5 Anatomi, Fisiologi, dan Patologis Organ Hati dan Ginjal 2.5.1 Hati 2.5.1.1 Anatomi Hati Hati tikus terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu sama lain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri. Lobus lateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus dorsal dan ventral (Harada et al. 1996). Permukaan hati tikus dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dan tembus pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darah melewati deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika kedalam vena sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah campuran darah dari cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap lobulus hati terbangun dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kuppfer dan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer yang berada di dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang memiliki fungsi fagositik (Ganong 2003). Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta dan arteri hepatika. Darah yang berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen termasuk limpa, pankreas, dan kantung empedu masuk melalui vena porta. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, pembuluh darah porta dapat menjadi jalan masuk
untuk berbagai mikroorganisme dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati tikus berasal dari vena porta. Sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya akan oksigen (Mac Lachan dan Cullen 1995). 2.5.1.2 Histologi Hati Gambaran histologi hati tikus normal saat lahir masih mengandung cukup banyak jaringan hematopoietik. Fokus hematopoietik menghilang antara 9 dan 13 hari pasca persalinan. Untuk minggu pertama, lobulus hati tidak dapat dibedakan, tetapi pada postpartum 9 hari, hubungan dari pembuluh darah dan lobulus menjadi jelas (Harada et al. 1996). 2.5.1.3 Fisiologis Hati Secara fisiologis, hati merupakan kelenjar terbesar yang memiliki fungsi kompleks yang meliputi: fungsi eksokrin (sintesis dan sekresi empedu dan kolesterol), fungsi endokrin (sintesis dan sekresi glukosa dan protein seperti albumin, globulin, fibrinogen, lipoprotein, dan prothrombin ke dalam darah); metabolisme (protein, karbohidrat, lemak, hemoglobin, obat, steroid, deiodination dari triiodothyronine, dan tiroksin); glikogenolisis (katabolisme glikogen menjadi glukosa) dan glyconeogenesis (pemeliharaan dari konsentrasi glukosa normal dalam darah); konjugasi (zat beracun, hormon steroid); esterifikasi (asam lemak bebas untuk trigliserida); penyimpanan (glikogen, lemak, zat besi, dan vitamin); detoksifikasi (berbagai racun); hematopoiesis (di dalam embrio dan saat dewasa), dan fagositosis (benda asing) (Harada et al. 1996). Hepatosit pertama kontak dengan banyak asam amino, lipida, karbohidrat, vitamin, mineral, dan xenobiotik yang masuk ke hati dari hasil penyerapan bahanbahan tersebut di saluran pencernaan. Bahan-bahan nutrisi tersebut kemudian dimetabolisme dan akhirnya didistribusikan ke darah dan sebagian ke cairan empedu. Glukosa dan asam asetoasetat adalah sumber energi utama di hati. Namun, hati juga mensintesis lipid untuk penyimpanannya. Hati memainkan peran penting di dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin dan mineral, terutama besi, tembaga, dan zink. Hati menjadi pusat metabolisme asam empedu, mengkonversi kolesterol menjadi asam empedu, menghasilkan empedu, dan mengalirkan empedu dari hati ke usus dua belas jari. Pembentukan empedu oleh hati penting dalam membantu penyerapan dan pencernaan nutrisi di usus (Harada
et al. 1996). 2.5.1.4 Patologi Hati Fungsi hati yang utama adalah melakukan detoksifikasi untuk menghindari terjadinya kerusakan seluler akibat adanya racun. Hal ini disebabkan hati menerima suplai darah sekitar 80 %, dari vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan. Bahan-bahan toksik dari saluran cerna seperti yang berasal dari tumbuhan, fungi, dan produk bakteri akan diabsorbsi kedalam pembuluh darah portal dan ditransfer ke hati (Mac Lachlan dan Cullen 1995). Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara) (Mac Lachlan dan Cullen 1995). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macam antara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa) (Mac Lachlan dan Cullen 1995). 2.5.1.5 Kematian Sel Hati Nekrosis hepatoseluler dapat ditemukan pada hati tikus yang mengalami penuaan. Morfologi yang khas adalah nekrosis koagulasi dengan sitoplasma eosinofilik dan inti karyopyknosis, karyorhexis atau karyolysis. Etiologi dari nekrosis sebagian besar tidak jelas tetapi dapat disebabkan oleh iskemia, racun, infeksi virus atau bakteri (Herada et al. 1996). Secara histopatologi, nekrosis ditandai dengan adanya sel radang (leukosit). Kematian sel nekrosis dikarenakan adanya kerusakan sistem membran sel yang menyebabkan lisis dan kematian sel. Pola nekrosis hati memiliki beberapa jenis, seperti sentrilobular, midzonal atau periportal. Jika nekrosis parah dan terus-menerus, dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia hepatoseluler. Hati yang demikian telah mengalami chirrosis (Harada et al. 1996). Bentuk sel lain dapat berupa apoptosis. Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang telah mengalami suatu proses aktif kehancuran seluler secara spontan, dapat disebut sebagai programmed cell death (kematian sel terprogram) (Harada et al. 1996). Kunci dari program ini adalah sebuah protein yang bernama caspase, tanpa protein ini apoptosis tidaklah mungkin terjadi. Caspase disekresikan oleh mitokondria suatu sel, dan dengan bantuan beberapa mediator kimiawi, protein
caspase kemudian akan mengaktifasi apoptosis pada sel (Green 2007). Secara histopatologi, apoptosis ditandai dengan bentuk inti sel yang mengalami karyopiknosis, karyorexis, dan karyolysis (inti menghilang). Fragmentasi selnya membentuk badan apoptotik dengan kromatin gelap dan tidak mengundang akumulasi sel radang (leukosit). Induksi apoptosis dapat dirangsang oleh rangsangan fisiologis atau patologis. Bentuk perluasan apoptosis yaitu meningkatnya jumlah individu sel di suatu area jaringan; bersifat individual dan tidak membentuk kelompok yang padat. Kematian sel apoptosis melalui mekanisme kerusakan genetik (fragmentasi kromosom atau DNA) sehingga membran sel tetap utuh (Harada et al. 1996). 2.5.2 Ginjal 2.5.2.1 Anatomi Ginjal Ginjal tikus mempunyai permukaan halus, berwarna merah kecoklatan, dan terdapat di dalam ruang abdominal, di daerah lumbar bagian atas. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter. Ginjal tikus terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan rata-rata 1 banding 2-3 (Seely 1996).
Gambar 2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluh darahnya (Louis 1988). Unit fungsional terkecil dari ginjal yaitu nefron. Nefron tersebut terdiri dari struktur vaskuler yang utama, yaitu glomerulus dan struktur non vaskuler yaitu kapsula Bowman, tubulus kontortus proksimal, ansa Henle pars acendens
dan pars decendens, tubulus kontortus distal, dan tubulus kolektivus (lihat pada Gambar 2) . Glomerulus adalah massa kapiler yang membentuk kumparan berawal dari arteriol aferen dan keluar dari glomerulus menjadi arteriol eferen. Tekanan darah pada arteriol aferen relatif cukup tinggi sedangkan pada arteriol eferen relatif lebih rendah, sehingga memungkinkan terjadinya filtrasi glomerulus. Sel-sel darah dan molekul-molekul yang besar, seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori membran filtrasi sedangkan air, kristaloid, dan pada protein berat molekul rendah dapat lewat dari saringan glomerulus dengan mudah (Wilson 1997). Setelah darah dfiltrasi oleh glomerulus, terjadi proses reabsorbsi selektif oleh epitel tubuli di tubulus proksimalis. Fungsi tubulus proksimal ialah mengurangi isi filtrat glomerulus sebanyak 80 sampai 85 persen melalui transport dan pompa natrium aktif. Glukosa, asam amino, protein, dan bikarbonat direabsorbsi (lihat Gambar 1). Pada umumnya semua glukosa direabsorbsi, akan tetapi bila kadar dalam darah sangat tinggi (misalnya pada diabetes) kemampuan reabsorbsi terlampaui dan glukosa terdapat dalam kemih. Sehingga dapat menyebabkan glukosuria (Wilson 1997). Pada disfungsi glomerulus dimana terlihat glomerulus yang bocor, dan bahan-bahan toksik tiba di tubulus dalam kadar yang berlebihan melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang harus direabsorbsi kembali. Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor secara aktif keluar dari bagian ascendens dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya secara pasif berdifusi masuk bagian descendens lengkung. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian descendens, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung lengkung. Proses ini penting dalam pemekatan kemih. Kemudian saat filtrat bergerak keatas melalui bagian ascendens, konsentrasi makin lama makin encer sehingga menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Mekanisme ini merupakan suatu mekanisme aliran balik (countercurrent) yang terpusat pada lengkung Henle (Wilson 1997). Asam urat, kalium, dan hidrogen disekresi kedalam tubulus distal. Air dan Cl- ditransport melalui transport pasif. Saat filtrat bergerak disepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat. Ketika filtrat turun melalui duktus koligen, sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat. Pada bagian akhir duktus koligen, sekitar 99 persen air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1 persen filtrat yang diekskresi
sebagai kemih (Wilson 1997). Berdekatan dengan glomerulus, sel-sel otot polos dalam tunika media arteriol aferen bersifat epiteloid, berinti bulat dan sitoplasma bergranula. Sel-sel ini adalah sel Jugsta-Glomerular (JG). Dalam arteriol aferen, sel JG berdekatan dengan endotel dan berhubungan erat dengan macula densa (suatu bagian khusus tubulus distal yang terdapat diantara arteriol aferen dan eferen) (lihat Gambar 3). Sel JG menghasilkan enzim yang disebut rennin (Wilson 1997).
Gambar 3 Korpuskulus ginjal, sel-sel mesangial (diantara kapiler) dan apparatus JG (macula densa dan sel JG) (Berne dan Levy 1988). Rennin adalah suatu enzim yang penting pada pengaturan tekanan darah. Terdapat dua teori mengenai pengaturan pengeluaran rennin. Menurut teori yang satu, sel JG berfungsi sebagai baroreseptor (sensor tekanan) yang sensitif terhadap aliran darah melalui arteri aferen. Penurunan tekanan arteri akan merangsang peningkatan granularitas sel-sel JG dan peningkatan sekresi rennin. Teori lain menyebutkan, sel-sel macula densa tubulus distal bertindak sebagai kemoreseptor yang sensitif terhadap kadar natrium dari cairan tubulus. Peningkatan kadar natrium akan mempengaruhi sel-sel JG (erat berhubungan dengan macula densa)
sehingga meningkatkan pengeluaran rennin (Wilson 1997). Pengeluaran rennin mempengaruhi angiotensinogen (suatu protein plasma untuk menghasilkan angiotensin 1). Kemudian angiotensin 1 diubah menjadi angiotensin II yang menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui efek vasokonstriksi perifer dan dilepasnya aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorbsi Na+ dan H2O. Sehingga terjadi peningkatkan volume plasma. Peningkatan volume plasma ikut berperat dalam peningkatan tekanan darah yang selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal (Wilson 1997). Eritropoietin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh se-sel interstitium peritubulus ginjal sebagai respon terhadap anemia. Hal ini dapat merangsang pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang (Corwin 2009). 2.5.2.2 Fisiologis Ginjal Ginjal merupakan organ utama yang berperan terhadap homeostatis cairan tubuh dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar zat toksik. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme, memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan darah (Dellman dan Brown 1992). Selain itu ginjal berfungsi menyaring filtrat dan membawanya melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai penyingkir buangan metabolisme normal dan mengekskresikan xenobiotik serta metabolitnya (Lu 1995). 2.5.2.3 Patologi Ginjal Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi utama dalam mengekskresikan nitrogenous wastes seperti ureum, uric acid, kreatinin, dan ammoniak. Pada studi toksisitas, fungsi ginjal dapat dievaluasi melalui urinalisis dan serum darah. Serum darah yang diperiksa adalah kreatinin dan ureum (Seely 1996). Ureum disintesis dari ammonia selama proses katabolisme protein. Kadar ureum yang tinggi menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal (Meyer 1992). Parameter lain yang digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal adalah kadar kreatinin. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari kreatin dan merupakan produk akhir dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis dari asam amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus dapat meningkatkan konsentrasi kreatinin dalam serum (Mayer 1992). Jika terjadi peningkatan konsentrasi kreatinin, menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal.
Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat bersifat akut atau kronis karena kerusakan yang berlangsung lama. Hilangnya fungsi ginjal pada gagal ginjal akut dan
kronis
tersebut
mengakibatkan
ketidakmampuan
tubuh
dalam
mempertahankan homeostasis cairan, elektrolit, dan asam-basa. Sehingga terjadi akumulasi adanya bahan toksik. Gangguan pada ginjal seperti nephrotoxin (racun, polutan, dan obat-obatan yang merusak ginjal) dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin. Gangguan yang paling jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah kemampuan filtrasi glomerulus yang menurun. Akibatnya jumlah urin berkurang, tekanan darah menurun, dan timbul racun metabolisme dalam darah, terutama limbah metabolisme nitrogen seperti urea dan kreatinin (Corwin 2009) Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah glomerulus. Menurut Confer dan Panciera (1995), kerusakan yang terjadi sering disebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, thrombosis, emboli, dan infeksi virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis, kerusakan glomerulus ditandai dengan terjadinya nekrosa, proliferasi sel membran, dan infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah. Jika aliran darah berkurang dapat mengurangi laju filtrasi glomerulus, proses reabsorbsi, serta sekresi tubulus. Hal ini mengakibatkan aliran dalam tubulus tersumbat dan menghambat aliran urin. Jika berlanjut mengakibatkan retensi cairan dan elektrolit. Rusaknya glomerulus juga dapat ditandai dengan lolosnya protein dan makromolekul dalam jumlah besar. Hal
ini
mengakibatkan
hiperlipidemia,
dan
terjadinya
proteinuria.
peningkatan Kejadian
ekskresi
proteinuria
urin,
udema,
menyebabkan
hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dalam darah, yang mengakibatkan udema pada paru-paru. Hal ini mengakibatkan difusi O2 menjadi terganggu. Jika berlanjut tubuh menjadi hipoksia yang kemudian gagal nafas. Pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada hewan (Sowden dan Betz 2009). Epitel tubuli ginjal dapat mengalami degenerasi dan nekrosa. Kematian epitel tubuli ginjal dapat menyebabkan nekrosa maupun apoptosis. Seperti di hati, epitel tubuli ginjal juga mengalami apoptosis (Harrison 1999). 2.6 Efek Samping Setelah Mengkonsumsi Daun Katuk Daun katuk memiliki banyak manfaat untuk kesehatan bagi semua
makhluk hidup. Menurut Suprayogi (2000) daun katuk dapat menanggulangi penyakit kurang darah atau anemia. Penelitian dilanjutkan dengan pemberian ekstrak daun katuk ke dalam air minum, dan ditemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk menurunkan akumulasi lemak perut, hati dan lemak karkas. Pemberian ekstrak daun katuk sebesar 4,5 g/l air memberikan akumulasi lemak yang paling rendah. Penelitian tersebut diperkuat dengan pemberian ekstrak daun katuk ke dalam ransum broiler sebesar 18 g/kg ransum mampu menurunkan akumulasi lemak pada perut (Santoso 1997). Di balik kelebihannya, daun katuk menyimpan sejumlah kekurangan. Selain membantu proses metabolisme di dalam tubuh, glukokortikoid hasil metabolisme senyawa aktif daun katuk dapat mengganggu penyerapan kalsium dan fosfor (Santoso 2001). Pujiyati (1999) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dengan dosis 1.89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk (SDK) dengan dosis 7.44 g/ekor/hari pada domba laktasi yang diberikan selama 5 minggu menyebabkan terjadinya degenerasi lemak pada hati yang kemungkinan diakibatkan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk. Suprayogi (2000) juga melaporkan, dengan pemberian ekstrak daun katuk sebesar 3.29% dengan dosis 1,89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk sebesar 7.55% dengan dosis 7.44 g/ekor/hari menyebabkan terjadinya peningkatan sel epitel metaplasia menjadi sel goblet pada bronkhiolus yang kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa aktif kelompok Eicosanoid yang terdapat dalam DK, seperti octadecanoid aacid, 9-ecosine, 5,8,11-heptadekatrienoic acid, 9,12,15- Octadekatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester. Ger dan Yang et al. (1997) juga melaporkan terjadi Bronkhiolitis Obliterans (BO) di Taiwan setelah mengkonsumsi daun katuk sebesar 150-303 g/hari selama 46-320 hari. Kasus yang terjadi di Taiwan akibat mengkonsumsi daun katuk menjadi dasar untuk menganalisis kembali senyawa tersebut dengan menggunakan GC-MS (Gas Chromatography-Mass. Spectrometry). Ternyata keracunan yang diduga akibat PPV seperti diatas tidak dapat dibuktikan karena pada sampel tidak ditemukan adanya PPV, begitu juga dengan sampel darah pasien yang mengalami keracunan (Chang et al. 1998). Diperkirakan keracunan disebabkan akibat mengkonsumsi daun katuk secara berlebihan dalam bentuk jus dan penggunaanya dalam jangka waktu yang lama. Hal ini diketahui setelah menghitung dosis PPV melebihi dosis yang direkomendasikan oleh The Unitate States Pharmacopeia (1950) yaitu 300-400 mg/hari katuk kering. Penelitian Suprayogi (2000) juga membuktikan bahwa kasus BO yang terjadi di Taiwan
bukan disebabkan oleh daun katuk karena tidak ditemukan kerusakan pada saluran pernafasan, tetapi ada peningkatan epitel sel bronkhiolus yang mengalami metaplasia menjadi sel goblet. Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad daun katuk, dan minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai obat antiobesitas (pelangsing tubuh). Penelitian dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi (110 perempuan dan 5 pria), berumur antara 22-66 tahun yang sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru terlihat obstruksi sedang sampai parah. Pengobatan dengan campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun bronkiolitis obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi kematian pada 6 pasien (6,1 %). Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah (150 g) selama 2 minggu - 7 bulan, terjadi efek samping dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas. Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi jus daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan bronkiolitis obliterasi.(9) Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g / hari (60.7 %), digoreng (16.9 %), campuran (20.8 %), dan digodok (1.7 %), selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah penggunaaan selama 7 bulan berupa gejala obstruksi bronkiolitis sedang sampai parah. Konsumsi selama 22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi yang permanen (Ger dan Yang et al. 1997). Pemberian ekstrak daun katuk kering dan katuk hijau dengan dosis 1.68 g/kg/BB pada mencit selama kebuntingan menimbulkan degenerasi lemak pada organ hati dan ginjal. Hal ini merupakan efek samping yang tidak diinginkan walaupun kejadiannya hanya bersifat sementara (reversible) dan tergolong masih dalam tingkat rendah (Hendarsari 2005). 2.7 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Sebagai Hewan Percobaan 2.7.1 Karakteristik Tikus Putih (Rattus sp.) Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus putih sebagai hewan percobaan dengan taksonomi sebagai berikut: kelas Mamalia, ordo Rodentia, subordo Myomorpha, famili Muridae, subfamili Murinae, genus Rattus, spesies Rattus sp. Gambar tikus putih tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tikus putih (Rattus sp.). Tikus merupakan mamalia yang umum digunakan sebagai hewan percobaan. Tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna yang digunakan secara ekstensif dalam beberapa riset medis, termasuk dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan ketenangan dan kemudahan dalam penanganannya (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang memiliki banyak keunggulan. Hal ini dikarenakan banyak gen tikus relatif mirip dengan manusia, dalam binatang menyusui (mamalia), kemampuan berkembangbiak tikus sangat tinggi, dan relatif cocok untuk digunakan dalam eksperimen massal. Selain itu, tipe bentuk badan tikus kecil, mudah dipelihara, dan obat yang digunakan di badannya dapat relatif cepat terdistribusi (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Melihat kenyataan diatas, tikus sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan kepada manusia. 2.7.2 Data Biologis Tikus Putih (Rattus sp.) Sebagai hewan percobaan, data biologis tikus penting dalam membantu menyeragamkan hasil penelitian dunia medis. Berikut ini terdapat data biologis tikus putih (Rattus sp.), yaitu diantaranya: Konsumsi pakan perhari
: 5 gram/100 gram BB
Konsumsi air minum perhari
: 8-11 mL/ 100 gram BB
Diet Protein
: 12 %
Ekskresi Urin Perhari
: 5,5 mL/ 100 gram BB
Lama hidup
: 2,5-3 tahun
Bobot badan dewasa jantan
: 300-400 gram
Bobot badan dewasa betina
: 250-300 gram
Bobot lahir
: 5-6 gram
Dewasa kelamin
: 50 ± 10 hari
Siklus estrus
: 21 hari
Rasio Kawin
: 1 jantan dengan 3 atau 4 betina
Jumlah kromosom
: 42
Suhu rektal
: 37,5º C
Laju respirasi
: 87 x/menit
Denyut jantung
: 300-500x/ menit
(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Februari 2010. 3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina bunting, galur Sprague Dawley. Tikus dikandangkan secara individu dalam bak plastik yang berukuran 40x30x15 cm3 dengan menggunakan kawat untuk menutupi bagian atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukan ad libitum dan pemberian pakan sesuai perlakuan. 3.3 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu peralatan destilasi (mesin pencampur otomatis, vacuum flas, rotary-evaporator), gelas separasi, gelas erlenmeyer, penggiling, peralatan bedah, dan timbangan digital. Bahan yang digunakan adalah daun katuk, pelarut etanol (EtOH), pelarut heksan, pelarut etilasetat (EtAc), aquades (H2O), eter, pakan tikus yang terdiri atas
tepung jagung, bungkil kedelai, garam, minyak kelapa, tepung ikan, premix, dan CaCO3. 3.4 Metode Penelitian Metode pembuatan fraksi estraksi DK dan pemberian pakan menggunakan prosedur Suprayogi et al. (2009), dapat diuraikan seperti berikut: 3.4.1 Pembuatan Simplisia Daun katuk segar yang digunakan, diperoleh di daerah sekitar Cinangneng, Ciampea Kabupaten Bogor. Daun tersebut dicuci dengan air bersih, kemudian dijemur di bawah sinar matahari sampai layu. Pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 60ºC selama 12 jam. Simplisia yang diperoleh diekstraksi dengan teknik maserasi. 3.4.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Simplisia daun katuk sebanyak 2 Kg dilarutkan dengan pelarut etanol (EtOH) sebanyak 13 L. Campuran tersebut diaduk secara manual selama 30 menit, kemudian didiamkan selama 24 jam dan diulangi 3-4 kali sampai jernih. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan vacuum flash. Filtrat dari penyaringan ini kemudian dievaporasikan dengan menggunakan rotaryevaporator pada temperatur 400C. Dari hasil ekstraksi ini diperoleh ekstrak etanol. Ekstrak etanol (E-EtOH) ini kemudian dihaluskan hingga menjadi bubuk. 3.4.3 Pembuatan Fraksi Heksan Ekstrak etanol sebanyak 20 g dilarutkan dalam 500 mL etanol yang kemudian dicampurkan dengan pelarut heksan sebanyak 500 mL pada gelas separasi. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan yaitu larutan heksan pada bagian atas dan larutan etanol pada bagian bawah. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan yang menggunakan pelarut heksan yang jernih. Kedua larutan tersebut kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Filtrat yang didapat merupakan larutan ekstrak etanol yang telah bebas senyawa non-polarnya dan larutan ekstrak heksan. Filtrat tersebut kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi heksan dan ekstrak etanol. Fraksi heksan (F-H) hasil dari evaporasi
kemudian dihaluskan hingga menjadi bubuk. Sedangkan ekstrak etanol akan digunakan untuk membuat fraksi air dan fraksi etilasetat. 3.4.4 Pembuatan Fraksi Air dan Fraksi Etilasetat Sebanyak 20 g fraksi ekstrak etanol dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit hingga membentuk larutan fraksi ekstrak etanol sebanyak 500 mL. Larutan ini dimasukkan dalam gelas separasi yang kemudian dicampurkan dengan 500 mL pelarut etilasetat. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan yaitu larutan etilasetat pada bagian atas dan larutan air pada bagian bawah. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan yang menggunakan pelarut etilasetat yang jernih. Larutan kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Filtrat yang didapat kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi etilasetat (F-EtAc) dan fraksi air (F-H2O). Hasil dari evaporasi ini kemudian dihaluskan hingga menjadi bubuk. Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk dapat dilihat pada Gambar 5. Daun Katuk Kering Giling EtOH 500 ml Evaporasi Ekstrak Etanol Daun Katuk Hexan 500 ml Evaporasi Fraksi Hexan
Etilasetat 500 ml Evaporasi
EtOH 500 ml Evaporasi Fraksi Etanol Aquades 500 ml Evaporasi
Fraksi Etilasetat
Fraksi Air
Gambar 5 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk. 3.4.5 Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk Ekstrak kental yang diperoleh dari ekstraksi dan fraksinasi dibuat menjadi bentuk bubuk. Pembuatan bubuk ekstrak dan fraksi dilakukan dengan menambahkan tepung pada masing-masing kelompok fraksi ekstrak sehingga diperoleh persentase bahan bubuk E-EtOH 25%, F-H 13%, F-H2O 25%, dan FEtAc 25%. Pembuatan bubuk ini diperlukan untuk mempermudah pembuatan pakan.
3.4.6 Pembuatan dan Pemberian Pakan Pembuatan pakan perlakuan dilakukan menurut prosedur Suprayogi et al. (2009). Pakan yang diberikan berupa pelet yang dibuat secara manual dengan komposisi terdiri atas tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, premiks, garam, CaCO3, minyak kelapa dan terigu yang disisipi dengan fraksi heksan, air, etilasetat, dan ekstrak etanol sesuai pakan perlakuan yang akan dibuat. Penambahan dan pencampuran fraksi ekstrak pada daun katuk dilakukan untuk mendapatkan pakan yang mengandung E-EtOH 4,53%, F-H 0,87%, F-H2O 3,22%, dan F-EtAc 0,45%. Penambahan fraksi ekstrak kedalam pakan
ini
disesuaikan dengan proporsi fraksinasi dari fraksi-fraksi tersebut terhadap ekstrak kasarnya. Komposisi nutrisi pakan terdiri dari protein kasar, lemak kasar, dan energi. Hasil analisis proksimat pakan kontrol, E-EtOH, F-H, F-H2O, dan F-EtAc serta persentase fraksi ekstrak yang ada di dalam pakan tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi nutrisi dan konsentrasi ekstrak daun katuk dalam pakan. Kelompok Kontrol E-EtOH F-H F-H2O F-EtAc
Konsentrasi ekstrak D aun Katuk (%) 0 4,53 0,87 3,22 0,45
Protein Kasar (%) 20,01 20,06 20,03 20,04 20,02
Lemak Kasar (%) 6,55 6,54 6,55 6,54 6,55
Energi (Kal/100 g) 3499 3497 3498 3498 3499
Suprayogi et al. 2009
3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.5.1 Pengelompokan Hewan Coba Hewan coba yang digunakan adalah 15 ekor tikus betina bunting umur 1 hari kebuntingan (H1). Sebanyak 15 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol (K), kelompok fraksi air (F-H2O), kelompok fraksi heksan (F-H), kelompok fraksi etilasetat (F-EtAc), dan kelompok ekstrak etanol (E-EtOH) dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus betina bunting. Waktu pengambilan sampel tiap kelompok yaitu pada 10 hari postpartus. 3.5.2 Pemberian Pakan Perlakuan Perlakuan diberikan sejak kebuntingan hari pertama sampai hari ke-10
postpartus. Tikus diberi makan 2 kali sehari (pagi dan sore). Berdasarkan penghitungan penelitian serupa yang dilakukan Suprayogi et al. (2009), diketahui rataan dosis fraksi ekstrak yang dikonsumsi oleh tikus pada setiap perlakuan adalah 297,5 mg/hari/ekor untuk kelompok E-EtOH; 57,5 mg/hari/ekor untuk FH; 209 mg/hari/ekor untuk F-H2O; dan 40 mg/hari/ekor untuk F-EtAc. Setelah 10 hari postpartus, dilakukan pengambilan sampel organ dari induk tikus. Pengambilan sampel dilakukan pada lima kelompok perlakuan dan kontrol. Induk yang akan diambil sampel organnya yaitu hati dan ginjal terlebih dahulu dieutanasi dengan eter. Organ tersebut lalu dimasukkan dalam larutan formalin buffer fosfat 10% dan dibuat sediaan histopatologinya. 1.1.1
Pembuatan Sediaan Histopatologi Pembuatan sediaan histopatologi dalam penelitian ini meliputi beberapa
tahapan, yaitu sampling hati dan ginjal, trimming setelah BNF 10% 48 jam (proses pemotongan dan pencucian organ), dehidrasi dengan alkohol bertahap, clearing dengan xylol, parafinisasi sampel jaringan 58ºC, embedding menjadi blok parafin, cutting 4-5 mikron dengan mikrotom, staining (pewarnaan) dengan Hematoxylin Eosin, dan mounting dengan Entellan®, setelah itu dilakukan pengamatan sediaan histologinya dibawah mikroskop, dan diamati adanya perubahan-perubahan lesio histopatologinya (Underwood 1996). Untuk melihat tehnik pembuatan sediaan histopatologi, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Pengambilan Sample hati dan ginjal
Ttrimming setelah BNF 10% 48 jam
Dehidrasi dengan alkohol bertahap dan clearing dengan cylol
Parafinisasi sampel jaringan 58ºC
Pengamatan sediaan histopalogi
Mounting dengan Entellan®
Pewarnaan dengan HE
Embedding menjadi blok paraffin Pemotongan 4-5 mikron dengan mikrotom Gambar 6 Tehnik pembuatan sediaan histopatologi. 3.5.4 Evaluasi Histopatologi Hati dan Ginjal Evaluasi histopatologi dilakukan berdasarkan rasio apoptosis sel yang terjadi pada masing-masing organ yaitu hati dan ginjal. Penghitungan rasio diperoleh dengan cara Rasio= Xy1+ Xy2+Xy3+ ..., dengan, ∑ (y1-3) X= Sel apoptosis Y= Vena sentralis/ portal di hati/ epitel tubuli di ginjal
Angka menunjukkan jumlah vena sentralis /portal di hati/ epitel tubuli ginjal yang ditemukan di semua lapang pandang. Penghitungan jumlah apoptosis hepatosit di vena sentralis dan portal hati berdasarkan karyolisis inti hepatosit dihitung tiap ekor tikus di tiap perlakuan. Berbeda dengan ginjal, penghitungan jumlah apoptosis hepatosit di epitel tubuli kontorti berdasarkan karyopiknosis inti tubuli kontorti dihitung untuk tikus di tiap perlakuan. 3.5.5 Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) dengan Rancangan Acak Lengkap, dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut (Duncan Test) (Rutherford 2001). Uji ini dilakukan menggunakan software SPSS16.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi DK pada tikus putih menunjukkan adanya perubahan gambaran histopatologi organ hati dan ginjal. Perubahan histopatologi terjadi terhadap kedua organ tersebut, pada pemberian dosis ekstrak dan fraksi DK yaitu fraksi heksan (F-H), fraksi etilasetat (F-EtAc), fraksi air (F-H2O), dan ekstrak etanol (E-EtOH), yang secara berurutan sebesar 57,5 mg/hari/ekor, 40 mg/hari/ekor, 209 mg/hari/ekor, dan 297,5 mg/hari/ekor. 4.1 Organ Hati Pengamatan histopatologi organ hati menunjukkan adanya kematian seluler hati (hepatosit) dengan terlihatnya ciri inti sel yang mengalami karyolisis. Kematian hepatosit tersebut berupa apoptosis. Hal ini dikarenakan tidak adanya infiltrasi sel radang (limfosit) yang membentuk kelompok padat. Apoptosis hepatosit ini terlihat pada sekitar daerah portal dan vena sentralis. Pengamatan apoptosis hepatosit dilakukan dengan cara menghitung rasio dari hasil skoring lesio pada kedua daerah tersebut. Rasio apoptosis hepatosit pada daerah portal dan vena sentralis dapat dilihat pada Tabel 4 dan gambaran histopatologi kedua daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Tabel 4 Rasio apoptosis hepatosit pada daerah portal dan vena sentralis hati tikus yang diberi berbagai ekstrak dan fraksi DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus. Kelompok Ekstrak
Rasio Apoptosi Hepatosit Pada Daerah
Rasio Apoptosis Hepatosit Pada
dan Fraksi DK
Portal
Daerah Vena Sentralis
Kontrol
38.937 ± 13.94b
54.191 ± 72.34a
F-H
27.233 ± 9.25b
20.500 ± 4.61a
E-EtOH
11.689 ± 6.48 a
14.122 ± 9.40a
F-EtAc
9.950 ± 3.68a
9.796 ± 5.95a
F-H2O
8.055 ± 8.12a
4.364 ± 1.13a
Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05).
Gambar 7 Apoptosi hepatosit pada daerah vena sentralis ditandai dengan inti karyolisis (panah putih) H&E.
Gambar 8 Apoptosis hepatosit pada daerah portal ditandai dengan inti karyolisis (panah putih) H&E.
Hasil pengamatan histopatologi di hati pada daerah portal kelompok kontrol terlihat adanya apoptosis hepatosit. Secara fisiologis hal ini merupakan peristiwa yang lazim terjadi pada setiap sel tubuh termasuk hati. Kematian tersebut merupakan kematian hepatosit setelah masa hidup nya terlampaui, yang kemudian sel-sel tersebut akan diganti dengan yang baru untuk menunjang fungsi hati secara sempurna. Mitchel dan Cotran (2007) juga mengatakan bahwa sel yang
normal dapat mengalami proses penuaan dan kematian sel secara fisiologis (apoptosis). Semua kelompok ekstrak dan fraksi DK (F-H2O, F-EtAc, E-EtOH, dan FH) menyebabkan rasio kematian hepatosit yang lebih sedikit dari pada kelompok kontrol, terutama F-H2O, F-EtAc, dan E-EtOH menunjukkan penurunan yang nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dan fraksi tersebut yang mampu melindungi sel, yang menyebabkan jumlah apoptosis berkurang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti senyawa apa yang bertanggung jawab terhadap penghambatan kematian sel tersebut. Ada kemungkinan beberapa senyawa seperti flavonol,
yaitu
3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol,
3-O-β-D-
glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol mempunyai peran penting dalam melindungi terhadap percepatan kematian hepatosit (Wang dan Lee 1997). Hal ini diperkuat juga oleh temuan Suprayogi (2004) bahwa senyawa aktif kaempferol merupakan antioksidan kuat. Oleh karena itu, dengan adanya penambahan antioksidan yang terkandung dalam daun katuk dapat menurunkan jumlah kerusakan (Moskaug et al. 2004). Bila melihat rasio apoptosis hepatosit di daerah vena sentrali dengan rasio apoptosis hepatosit di daerah portal, ada kemiripan pola penurunan rasio yaitu terutama pada fraksi air, fraksi etilasetat, dan ekstrak etanol dibandingkan dengan kelompok kontrolnya. Hal ini dikarenakan adanya senyawa aktif yang mampu menghambat kematian seluler hati, seperti telah diuraikan diatas walaupun terlihat adanya rasio kerusakan hepatosit dari vena sentralis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). 4.2 Organ Ginjal Pengamatan histopatologi organ ginjal menunjukkan adanya apoptosis yang ditandai dengan ciri inti epitel yang mengalami piknosis. Nekrosis ini terjadi pada inti epitel tubuli kontorti ginjal. Pengamatan apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal dilakukan dengan cara menghitung rasio dari hasil skoring lesio pada daerah tersebut. Rasio apoptosi epitel tubuli ginjal dapat dilihat pada Tabel 5 dan gambaran apoptosisnya dapat dilihat pada Gambar 9.
Tabel 5 Rasio apoptosi epitel tubuli kontorti ginjal tikus yang diberi berbagai ekstrak dan fraksi DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus. Kelompok Ekstrak dan Fraksi DK
Rasio Apoptosis Epitel Tubuli Kontorti Ginjal
Kontrol
1.99 ± 1.32a
F-H
5.57 ± 0.87a
E-EtOH
5.16 ± 4.29a
F-EtAc
9.22 ± 8.60a
F-H2O
4.34 ± 2.73a
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05).
Gambar 9 Apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal yang ditandai dengan inti piknotis (panah putih) H&E. Rasio apoptosis pada berbagai kelompok fraksi dan ekstrak daun katuk cenderung terlihat lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini kemungkinan adanya metabolit yang berasal dari hati menimbulkan efek samping yang dapat mempercepat kematian sel epitel tubuli kontorti ginjal. Senyawa metabolit tersebut mungkin saja terjadi, mengingat bahan aktif ekstrak DK ketika memasuki hepatosit akan mengalami proses biotransformasi untuk menghasilkan bahanbahan metabolit. Bahan-bahan metabolit ini kemudian menyebar ke organ-organ tubuh lain, terutama ginjal sebagai organ ekskresi.
Kematian sel epitel tubuli tersebut tidak berbeda nyata. Oleh karena itu ada kemungkinan kematian sel tersebut masih bersifat apoptosis. Proses kematian sel apoptosis ini secara fisiologis dialami oleh semua sel normal setiap sel dalam tubuh yang mengalami penuaan yang diakhiri dengan kematian sel, dan akan digantikan oleh sel baru melalui proses regernerasi (Mitchel dan Cotran 2007). 4.3 Diskusi Umum Pengamatan histopatologi organ hati menunjukkan adanya kematian seluler hati (hepatosit) yang berupa apoptosis. Apoptosis hepatosit ini terlihat pada sekitar daerah portal dan vena sentralis. Hal ini juga terjadi pada ginjal. Pengamatan histopatologi organ ginjal menunjukkan adanya apoptosis yang terjadi pada inti epitel tubuli kontorti ginjal. Bila melihat rasio apoptosis hepatosit di daerah vena sentrali dan di daerah portal, terlihat ada kemiripan pola penurunan rasio apoptosis. Keseluruhan perlakuan (F-H2O, F-EtAc, E-EtOH, dan F-H) dalam penelitian menunjukkan rasio apoptosis yang lebih rendah dibanding dengan kelompok kontrol. Secara berurutan penurunan rasio apoptosis tersebut yaitu dari kelompok kontrol menurun terus menuju perlakuan F-H, E-EtOH, F-EtAc, dan F-H2O. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dan fraksi ekstrak DK yang mampu melindungi sel, sehingga kematian seluler di hati dapat dihambat. Namun, sampai saat ini belum diketahui secara pasti senyawa apa yang bertanggung jawab terhadap penghambatan kematian sel tersebut. Ada kemungkinan beberapa senyawa aktif yang ditemukan seperti flavonol, yaitu 3-Oβ-D-glucosyl
(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol,
rhamnosyl-kaempferol,
dan
3-O-β-D-glucosyl
3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-
rhamnosyl-kaempferol mempunyai peran penting dalam menghambat kematian hepatosit (Wang dan Lee 1997). Hal ini diperkuat juga oleh temuan Suprayogi (2004) bahwa senyawa aktif kaempferol merupakan antioksidan kuat. Sebaliknya, hasil pengamatan rasio apoptosis yang terjadi pada ginjal pada berbagai kelompok perlakuan (F-H2O, F-EtAc, E-EtOH, dan F-H) cenderung terlihat lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol (P>0,05). Apoptosis epitel tubuli kontorti tersebut kemungkinan merupakan efek samping yang terjadi akibat hasil metabolit dari ekstrak dan fraksi DK di hati yang kemudian didistribusikan dan diekskresikan ke ginjal. Penelitian ini menunjukkan bahwa kematian sel kelompok fraksi air terlihat lebih rendah dari kelompok fraksi yang lain, walaupun tidak berbeda nyata (P>0,05).
Kematian sel yang terjadi pada daerah portal, vena sentralis, maupun yang terjadi pada epitel tubuli kontortorti ginjal, merupakan suatu kematian sel yang bersifat apoptosis. Melihat hasil rasio keseluruhan yang terjadi, baik pada organ hati maupun ginjal menunjukkan bahwa pemberian fraksi air daun katuk merupakan pemberian fraksi yang paling baik diantara ekstrak dan fraksi yang lain, karena mempunyai sifat hepatoprotektor yang relatif tinggi dengan efek samping yang relatif rendah.
BAB 5 PENUTUP
1.1
Kesimpulan
1.
Gambaran histopatologi hati menunjukkan bahwa fraksi air, etilasetat, dan ekstrak etanol memiliki potensi sebagai penghambat kematian sel hati atau dapat disebut sebagai hepatoprotektor, namun perlu kehati-hatian terhadap kemungkinan efek samping yang terjadi di ginjal.
2.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fraksi air yang lebih baik, karena sifat hepatoprotektornya yang relatif tinggi dengan efek samping yang relatif rendah.
1.2
Saran
1.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis efektif
2.
Perlu ada pengkajian ulang kemungkinan terhadap penambahan jumlah maupun jenis hewan percobaan.
DAFTAR PUSTAKA Agusta A, Harapin M, Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daunkatuk (Sauropus androgynus (L.)Merr.) dengan GCMS. Jou Ind Med Plants 3(3): 31-33 Andriyanto. 2004. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L).Merr) Dalam Pakan Ayam Broiler Terhadap Kecernaan Pakan Dan Produksi Cairan Empedu. [Skripsi]. FKH. IPB Anonim.
2004.
Konsep
teori
involusi
uteri.
Terhubung
berkala
http://www.scribd.com/doc/48414666/jtptunimus-gdl-idadianani-5194-3-bab2
[19 September 2011]. Anonim. 1992. Tumbuhan yang Berkhasiat Memperlancar ASI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. pp: 1,1-1,3 Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI press) Backer CA, Brink RBC. 1963. Plants of taksonomi. Flora of Java Vol.I.N.V.P.Noordhoff. Groningen: The Netherlands Berne RM, Levy MN. 1988. Physiology 2nd Ed. From figure 47.4, p786. In: Hadley ME. 2000. Endocrinology 5th Ed. Prentice Hall. New York: Upper Sadle River Press Burkitt HG, Young B, Heath JW. 1995. Weather’s fuctional histology. A Text and Colour Atlas. Jakarta: EGC Carlton WW, Gavin MMD. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd Edition Mosby. Year Book. Inc St. Louis. Missouri Chang H, Wang JS, Tseng HH, Lai RS, Su JM. 1997. Histopathological study of Sauropous androgynus-Associated constrictive Bronchiolitis obliterans. Am. J. Surg. Pathol 21(1):35-42 Chang YL, Yao YT, Wang NS, Lee YC. 1998. Segmental necrosis of small bronchi after prolonged intake of Sauropus androgynus (L).Merr) In Taiwan. Respir. Crit. Care Med 157:594-598 Churchill J. 1990. Pet sense. Caring For Pets and Native Fauna. Australia Confer AW, Panciera RJ. 1995. The urinary system. In Charlton WM, McGavin MD, Thompson. Special Veterinary Pathology Second Edition. Mosby, St
Louis :249-246 Corwin EJ. 2009. Handbook of Pathophysiology 3rd Ed. Jakarta: EGC Dellman, Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Jakarta : UI-Press [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi ke-4 [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Daftar Komposisi Dari Bahan Makanan. Jakarta: Bharata Desni TR. 2005. Daun Katuk Dalam Ransum Ayam Petelur Dan Pengaruhnya Terhadap Kandungan Vitamin A, Kolesterol Pada Telur Dan Karkas, Serta Ekstradiol Darah. [Tesis]. IPB Djojosoebagio S. 1965. Pengaruh Sauropus Androgynus (L).Merr) Terhadap Fungsi Fisiologis Dan Produksi Air Susu. Makalah Dalam Seminar Nasional Penggalian Sumber Alam Indonesia Untuk Farmasi. Yogyakarta. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC Ger LP, Chiang AA, Lai RS, Chien SM, Tseng CJ. 1997. Association of Sauropus androgynus dan bronchiolitis obliterans syndrome. American Journal Of Epidemiology 145:842-849 Guyton 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Green DR. 2007. Apoptosis. In: Cells. Lewin B, Cassimeris L, Lingapa VR, Plopper J. Inc. United States of America. hlm 533-538 Harada T, Enomoto A, Boorman GA, Maronpot RR. 1996. Liver and gallbladder. In: Pathology of the Mouse. Maronpot RR, Boorman GA, Gaul BW (eds). New York: Cache River Press. hlm 119-135 Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bandumg: Penerbit ITB Harrison. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. hlm 450 Hendarsari B. 2005. Histopatologi Hati, Ginjal, dan Paru Mencit Bunting Akibat Pemberian Ekstrak Daun Katuk. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Wana Jaya Hoskins HP, Lacroix JV, Mayer K. 1964. Canine Medicine. Second Editions, Revised. California. American Veterinary Publicatios, Inc Lai RS, Chiang AA, Wu MT, Wang JS, Lai NS, Lu JY, Ger LP. 1996. Outbreak of bronchiolitis obliterans associated with consumption of Sauropus androgynus in Taiwan. Lancet 348: 83-85 Louis MO. 1988. . Physiology 2nd Ed. From figure 15.9, p373. In: Hadley ME. 2000. Endocrinology 5th Ed. Prentice Hall. New York: Upper Sadle River Press
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Jakarta. Universitas Indonesia Press MacLachan NJ, Cullen JM. 1995. Liver, Billiary System, and Exocrine Pancreas. In: Carlton WW, McGavin MD, Thompson. Special Veterinary Pathology 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA. hlm 80-123 Mahyudin H. 1986. Katuk Tanaman Bermanfaat. Jakarta: Sinar Tani Mayer RE. (1992). Their Historic Meeting Within Educational Psychology Educational Psychology 84:405-412 Mitchell RN, Cotran RS. 2007. Jejas, Adaptasi, dan Kematian Sel. Jakarta: EGC. hlm: 26-27 Moskaug JO, Carlsen H, Myhrstad M, Blomhoff R. 2004. Molecular imaging of the biological effect of quercetin and quercetin rich food: Mechanism of Ageiing and Development 125:315-324 Padmavathi P, Rao MP. 1990. Nutritive value of Sauropus androgynus leaves. Plant Foods For Human Nutrition Prajogo BEW, Santa IGP. 1997. Studi taksonomi Sauropus androgynus (L).Merr. Warta Tumbuhan Obat 3:34-35 Pujiyati S. 1999. Pengaruh Pemberian Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L).Merr) Pada Domba Laktasi Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Dan Alveoli Paru-Paru. Skripsi]. FKH. IPB Puspaningtyas, Sutrisno, Susetyo SB. 1997. Usaha tani katuk di desa Cilebut barat kabupaten Bogor. Warta Tumbuhan Obat 3. hlm 5 Ressang AA.1984. Patologi Khusus Veteriner Ed Ke-2. Denpasar: Percetakan Bali Robinson R. 1979. Taxonomy and genetic in the laboratory rat. Biology and Disease 1: 38 Rutherford A. 2001. Introducing ANOVA and ANCOVA. Great Britain: Athenaeum Press. Santoso SO, Hasanah M, Yuliani S, Setiawati A, Mariana Y, Handoko T, Risfaheri, Anggraeni, Suprayogi A, Kusumorini N, Winarno N. 1997. Produuction Of A Medicine Product From Katuk’s Leaves (Sauropus Androgynus (L).Merr) To Increase The Secretion And Quality Of Breast Milk Integrated Priorities Research (Riset Unggulan Terpadu 11). Santoso U. 2001. Effect of Sauropus androgynus extract on organ weight, toxicity and number of Salmonella sp and Escherichia coli of broiler meat. B I P P. 7 (2): 162-169 Santoso U dan Sartini. 2001. Reduction of fat deposition in broiler chickens by Sauropus androgynous (Katuk) leaf meal supplementation. Asian-Aust. J. Anim. Sci Santoso U, Suteky T, Heryanto, Sunarti. 2002. Pengaruh cara pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap penampilan dan kualitas karkas ayam pedaging. J I T V 7:143-148
Seely JC. 1996. Kidney. In: Pathology of the Mouse. Maronpot RR, Boorman GA, Gaul BW (eds). New York: Cache River Press. hlm 207-212 Setyowati FM. 1997. Arti katuk bagi masyarakat dayak kenyah kalimantan timur. Obat Tumbuhan Indonesia 3:54 Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.V11.1 Sowden AL, Betz LC. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatric. Jakarta: EGC Sukendar. 1997. Pengenalan morfologi katuk. Tumbuhan Obat 3: 53 Sumantera IW. 1997. Etnobotani katuk di Bali. J Medic Plants 3: 53 Suprayogi A. 1995. The effect of Sauropus androgynus (L.)Merr. Leaves on the feed digestibiliti, glucose absorption and glucose metabolism in the liver (a study on a tropical medical plant). Master-Thesis of Gottingen University, Germany Suprayogi A. 2000. Studies Of The Biological Effect Of Sauropus Androgynus (L).Merr: Effect Of Milk Production And The Possibilities Of Induced Pulmonary Disorder In Lactating Sheep. ISBN : 3-89712-941-8. Cuvillier Verlag Gottingen, Germany Suprayogi A. 2002. Proses Produksi Dan Formulasi Daun Katuk Sebagai Bahan Minuman Berkhasiat. Pusat Studi Ilmu Hayati. IPB Suprayogi A. 2004. Identification of active compounds in sauropus androgynus leaves. Research-study report, Re-Invitation Program-DAAD Germany (February-April 2004). Institut fur Pharmazeutische Biologie, HeinrichHeine-Universitat Dusseldorf, Germany Suprayogi A, Kusumorini N, Setiadi MA, Murti YB. 2009. Produksi fraksi ekstrak daun katuk terstandar sebagai bahan baku obat perbaikan gizi, fungsi reproduksi, dan laktasi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB Tjitrosoepomo G. 2007. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta)-Cetakan ke-9. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm 46 The United States Pharmacopeia. 1950. Prepared By The Committee Of Revision By The Board Of Trustees. 14th Revision. Mack Printing Co., Easton. PA. pp. 418-420 Underwood J. 1996. Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta: EGC. Hlm 75-77. Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Wang PH, Lee SS. 1997. Active chemical constituents from Sauropous androgynus. J. Chin. Chem. Soc 44(2):145-149 Wientarsih I dan Prasetyo BF. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Fakultas
Kedokteran Hewan IPB. Bogor Wilson LM. 1995. Fungsi Ginjal Normal. Dalam: Patofisiologi. Price SA, Wilson LM. Jakarta: EGC Winarno FG, Fardiaz D, Ansori R, Ketaren S. 1973. Kimia Organik 1. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bogor Yang CF, Wu MT, Chiang AA, Lai RS, Chen C, Tiao WM, McLoud TC, Wang JS, Pan HB. 1997. Correlation of high Resolution CT and Pulmonary Function in Bronchiolitis Obliterans:A study based on 24 patients associated with consumption of Sauropus androgynu. American Journal of Rontgenology. 168:1045-1050. Yuliani S, Mawarti T. 1997. Tinjauan bahan katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. Indonesian Medicinal Plants 3. hlm 55.