FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRESS KERJA PADA PEKERJA DI PT X TAHUN 2014
SKRIPSI
OLEH Asri Karima NIM : 1110101000069
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Juli 2014
Asri Karima
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juli 2014 Asri Karima, NIM: 1110101000069 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014 xiv + 196 halaman, 3 bagan, 23 tabel, 3 lampiran ABSTRAK Stress kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di PT X menunjukkan bahwa terdapat empat (36,4 %) dari sebelas pekerja yang mengalami gejala stress cukup tinggi. Stress kerja memiliki dampak yang beragam yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja maupun performa perusahaan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 69 orang dari total populasi yang berjumlah 113 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan uji tindependen dan analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi linier ganda. Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang masuk sebagai model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja, kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi beban kerja. Sedangkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja adalah jumlah beban kerja. Oleh
karena
itu,
peneliti
menyarankan
agar
dilakukannya
langkah
pengendalian bagi perusahaan berupa penurunan suhu udara dengan menggunakan ventilasi dilusi di plant, penyesuaian kualitas seragam, melakukan komunikasi yang efektif setiap meeting departemen mingguan dengan para pekerja serta menerapkan strategi manajemen konflik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antar pekerja, serta mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan jumlah beban kerja ii
dengan kemampuan pekerja dan memperkaya pekerjaan yang harus dilakukan pekerja untuk mencegah kebosanan. Adapun saran bagi pekerja yaitu menyampaikan ketidaknyamanan suhu di lingkungan kerja kepada Departemen HSE serta berpikir positif terhadap kemampuan diri dan menjalin relasi untuk mempermudah mencari lowongan kerja. Kata Kunci
: Stress kerja, Pekerja, Jumlah beban kerja, Kurangnya Kesempatan Kerja
Daftar bacaan : 140 (1990-2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH MAJOR OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduate Thesis, July 2014 ASRI KARIMA, NIM: 1110101000069 Factors Associated with Job Stress in PT X’s Workers Year 2014 xiv + 196 pages, 3 images, 23 tables, 3 attachments ABSTRACT Job stress is a physical and emotional disturbances as a result of mismatch between the capabilities, resources or needs of the worker which comes from the work environment. Based on the results of preliminary studies in PT X suggested that there were four (36.4%) of the eleven workers who experienced a quite high symptoms of stress. Job stress has various impact which can influence the worker’s health and the company's performance. Therefore, researcher conducted a study factors associated with job stress in workers at PT X in 2014. This study was an descriptive analytical study with cross sectional design. Samples numbered 69 out of a total population of 113 people. Sampling was done by systematic random sampling method. Bivariate analysis were performed by Pearson correlation test and independent t-test and multivariate analysis was performed by multiple linear regression. The result from this study showed that there were five factors that included to the final multivariate models such as the quantitative of workload, lack of employment opportunities, interpersonal conflict, temperature, and variations in workload. While the most influence factor associated with job stress was the quantitative of workload. Therefore, the researchers suggested to perform the control measures by decreasing air temperature with dilution ventilation at the plant, adjustment the uniform material quality, implementing effective communication in weekly department meeting with employees and management strategies to resolve conflicts that occur between workers, and redesigning jobs to adjust the amount of workload iv
with the ability of workers and to enrich the variation of worker’s job to prevent boredom. Suggestions for the workers are telling to the HSE Department about the discomfort of workplace temperature, be positive thinking to yourself ability, and building a relation to help you in finding a job. Keyword
: Job stress, Employee, Quantitative workload, Lack of job opportunity
References
: 140 (1990-2014)
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama
: Asri Karima
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Depok, 9 Januari 1993
Alamat
: Jalan Borneo Raya No 5 RT 10 RW 13 Depok Timur 16418
No. Handphone
: 081212355109
E-mail
:
[email protected]
Pendidikan Formal Tahun 2010 – 2014
Nama Institusi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat
2007 – 2010
SMA Negeri 3 Depok
2004 – 2007
SMP Negeri 3 Depok
1998 - 2004
SD Negeri Mekar Jaya XVIII Depok
viii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji dan syukur saya ucapkan kepada Ilahi Rabbi yang selalu memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita. Atas segala kekuatan dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini. Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni usaha penulis melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa doa, motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini kepada: 1. Keluarga saya (ibu, bapak, kakak, dan adik) terima kasih atas segala doa dan dukungan selama penelitian. 2. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin Sp. And., selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan
Ilmu
Kesehatan
Universitas
Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ir. Febrianti M.Si selaku kepala program studi kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik. 4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dan keikhlasannya memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Yuli Amran SKM, MKM selaku dosen pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Fase Badriah Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.
ix
7. Ibu Raihana Nadra Alkaff MMA selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 8. Ibu Meilani Anwar M.Epid selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 9. Untuk kak Moch. Noval Mauludi terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan pertolongannya selama penyusunan skripsi. Thanks dear for helping me wholeheartedly. 10. Bapak Ruri selaku manajer HRGA yang sudah mengijinkan penulis melaksanakan penelitian ini. 11. Ibu Niken, Pak Himawan, Pak Cecep, Pak Jamal dan seluruh pekerja di PT X yang telah bersedia membantu penelitian ini. 12. Untuk teman-teman K3 2010, Kiki, Dewi, Sinta, Evi, Dini, Mono, Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbal, Zaki, dan Sony semoga silaturahmi kita tetap terjaga meski sudah jarang berjumpa. Semoga kita dapat meraih kesuksesan dengan jalan yang diridhoi Allah Swt. 13. Teman-teman di masa lalu, Kebabers dan Kesmas UIN angkatan 2010 yang sudah membantu selama perkuliahan dan penyusunan skripsi penulis. Dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i ABSTRAK .................................................................................................................. ii PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ....................................................... vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... viii KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix DAFTAR ISTILAH .................................................................................................. xi DAFTAR BAGAN .................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 5 1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 6 1.4 Tujuan......................................................................................................... 7 1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 7 1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7 1.5 Manfaat ...................................................................................................... 9 1.5.1 Bagi Perusahaan ................................................................................ 9 1.5.2 Bagi Pekerja ...................................................................................... 9 1.5.3 Bagi Peneliti...................................................................................... 9 1.6 Ruang Lingkup ........................................................................................ 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stress ........................................................................................ 11 2.2 Stress Kerja ............................................................................................ 12
2.2.1 Stress Akut ................................................................................... 15 2.2.2 Stress Kronis ................................................................................ 17 2.3 Tahapan Stress ....................................................................................... 18 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja.................................... 21 2.4. 1 Karakteristik Pekerjaan ............................................................... 21 2.4.2 Karakteristik Individu .................................................................. 37 2.4.3 Aktivitas di Luar Pekerjaan .......................................................... 44 2.4.4 Faktor Pendukung ........................................................................ 45 2.5 Dampak Stress Kerja .............................................................................. 46 2.5.1 Dampak Bagi Pekerja ................................................................... 46 2.5.2 Dampak Bagi Perusahaan ............................................................. 50 2.6 Pencegahan Stress Kerja ........................................................................ 51 2.7 Penanggulangan Stress Kerja ................................................................ 54 2.8 Cara Pengukuran Stress Kerja ............................................................... 56 2.9 Instrumen Pengukuran Stress Kerja ....................................................... 57 2.10 Kerangka Teori .................................................................................... 60 BAB
III
KERANGKA
KONSEP,
DEFINISI
OPERASIONAL
DAN
HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep............................................................................. 61 3.2 Definisi Operasional......................................................................... 63 3.3 Hipotesis .......................................................................................... 69 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Desain Penelitian ................................................................... 70 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 70 4.3 Populasi dan Sampel.............................................................................. 70 4.3.1 Populasi ....................................................................................... 70
4.3.2 Sampel .......................................................................................... 71 4.3.3 Metode Sampling ......................................................................... 72 4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 73 4.6 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ....................................................... 75 4.6.1 Validitas ........................................................................................ 75 4.6.2 Reliabilitas .................................................................................... 76 4.6 Pengumpulan Data .................................................................................. 77 4.7 Pengolahan Data ...................................................................................... 80 4.8 Analisis Data ............................................................................................ 83 4.8.1 Analisis Univariat ........................................................................... 83 4.8.2 Analisis Bivariat .............................................................................. 83 4.8.3 Analisis Multivariat ......................................................................... 84 4.9 Penyajian Data ........................................................................................... 87 BAB V HASIL 5.1 Gambaran Umum Perusahaan ................................................................... 88 5.1.1 Profil Perusahaan .............................................................................. 88 5.1.2 Visi dan Misi .................................................................................... 89 5.1.3 Kebijakan K3 .................................................................................... 89 5.2 Analisis Univariat ...................................................................................... 91 5.2.1 Stress Kerja ....................................................................................... 91 5.2.2 Faktor Individual .............................................................................. 91 5.2.3 Faktor Pekerjaan ............................................................................... 93 5.2.4 Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan ................................................. 100 5.2.5 Faktor Dukungan Sosial ................................................................. 101 5.3 Analisis Bivariat ...................................................................................... 102 5.3.1 Hubungan Antara Faktor Individual dengan Stress Kerja .............. 102
5.3.2 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja............... 105 5.3.4 Hubungan Antara Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja ............................................................................................... 113 5.3.5 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja .............. 113 5.4 Analisis Multivariat ................................................................................. 114 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 120 6.2 Stress Kerja .............................................................................................. 120 6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Stress Kerja ............................ 122 6.4 Hubungan Antara Umur dengan Stress Kerja ......................................... 125 6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan dengan Stress Kerja ...................... 126 6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak dengan Stress Kerja.............................. 128 6.7 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Stress Kerja ................................ 129 6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A dengan Stress Kerja ................... 130 6.9 Hubungan Antara Penilaian Diri dengan Stress Kerja ............................ 132 6.10 Hubungan Antara Kebisingan dengan Stress Kerja............................... 133 6.11 Hubungan Antara Pencahayaan dengan Stress Kerja ............................ 135 6.12 Hubungan Antara Suhu dengan Stress Kerja......................................... 136 6.13 Hubungan Antara Ventilasi dengan Stress Kerja .................................. 139 6.14 Hubungan Antara Konflik Peran dengan Stress Kerja .......................... 141 6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran dengan Stress Kerja ...................... 144 6.16 Hubungan Antara Konflik Interpersonal dengan Stress Kerja .............. 147 6.17 Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan dengan Stress Kerja ........ 149 6.18 Hubungan Antara Kurangnya Kontrol dengan Stress Kerja.................. 152 6.19 Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja dengan Stress Kerja 154 6.20 Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja dengan Stress Kerja ................ 157
6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja dengan Stress Kerja ................ 160 6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain dengan Stress Kerja ...................................................................................................... 162 6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan dengan Stress Kerja ...................................................................................................... 164 6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental dengan Stress Kerja ...................... 166 6.25 Hubungan Antara Shift Kerja dengan Stress Kerja ............................... 168 6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja ..... 170 6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja ..................... 171 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan .................................................................................................. 175 7.2 Saran ........................................................................................................ 178 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 182 LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
CCOHS
: Canadian Centre of Occupational Health and Safety
CDC
: Centre for Disease Control and Prevention
EAP
: Employee Assistance Program
HVAC
: Heating, Ventilation, and Air Conditioning
ILO
: International Labour Organization
NIOSH
: National Institute for Occupational Safety and Health
OSHA
: Occupational Safety and Health Administration
WHO
: World Health Organization
xi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial .................................................................. 14 Bagan 2.2 Kerangka Teori ......................................................................................... 60 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 62
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Gejala Stress Akut...................................................................................... 16 Tabel 2.2 Cara Mendesain Tempat Kerja yang Baik ................................................. 52 Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Penelitian ........................................................... 54 Tabel 4.1 Data Pekerja PT X...................................................................................... 71 Tabel 4.2 Skroing Instrumen NIOSH Generic Job Stress Questionnaire ................. 74 Tabel 4.3 Data Kode dan Skoring Variabel ............................................................... 80 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ....... 91 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ....................................................................................... 92 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A dan Penilaian Diri Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ..................... 92 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi dan Shift Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................... 94 Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Kadar Debu dan Ventilasi Pada Area Kerja PT X Tahun 2014 ............................................ 95 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................................................................ 96 Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas di Luar Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ........................................................................................... 101 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 .............................................................................................. 101 Tabel 5.9 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Status Pernikahan dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................ 102 xiii
Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ............................................................................................ 103 Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi, dan Shift Kerja dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................ 106 Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................................................... 107 Tabel 5.13 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 .................................................................. 113 Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................................................... 114 Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas di Luar Pekerjaan dan Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 .................................................................................. 115 Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat ............................ 117 Tabel 5.17 Hasil Analisis Model Akhir Variabel Multivariat ................................. 118
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1970 disebutkan bahwa pelaksanaan keselamatan kerja dilakukan salah satunya untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik secara fisik, psikis, peracunan, infeksi dan penularan. Penyakit akibat kerja sendiri terjadi akibat paparan faktor risiko yang terdapat di tempat kerja, seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi (NIOSH, 1999b).
Dampak yang timbul jika terjadi penyakit akibat kerja
tentunya akan mempengaruhi produktivitas pekerja dalam bekerja. Hal ini tentunya juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang berdampak pada hasil produksi. Stress akibat kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Kondisi tersebut dapat memicu terjadinya stress karena beban kerja yang tidak sesuai, buruknya lingkungan sosial, konflik yang terjadi, lingkungan kerja yang berbahaya. Kondisi tempat kerja yang tidak nyaman tersebut menjadi peranan yang penting dalam menyebabkan terjadinya stress kerja. Padahal stress kerja secara langsung dapat mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan stress kerja dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan bahkan terjadinya kecelakaan kerja.
1
Menurut NIOSH, stress akibat kerja merupakan masalah umum yang saat ini terjadi di tempat kerja di Amerika. Berdasarkan hasil penelitian Northwestern National Life, satu dari empat pekerja di Amerika berpendapat bahwa pekerjaan merupakan penyebab stress nomor satu dalam hidup mereka. Dalam sebuah survei yang dilakukan Princeton Survey Research Associates disebutkan bahwa, tiga dari empat orang di Amerika mengatakan bahwa pekerja pada saat ini memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi beberapa tahun sebelumnya (NIOSH, 1999b). Tuntutan pekerjaan yang semakin tingginya tentunya memaksa pekerja untuk dapat bekerja secara cepat. Hal ini yang kemudian membuktikan bahwa pekerja semakin menyadari bahwa pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang seringkali terjadi dalam kehidupan mereka. Selain itu, berdasarkan data CDC , jumlah kasus stress kerja yang terjadi di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 4409 kasus pada tahun 1998 menjadi 5659 kasus pada tahun 2001. Jumlah kasus ini bertambah khususnya pada pekerja yang berusia muda. Dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya stress kerja tidak dapat dipandang sebelah mata. Stress kerja dapat mengakibatkan terjadinya hari hilang kerja akibat kecelakaan kerja dan timbulnya kesakitan (CDC, 2004). Kerugian yang dialami perusahaan akibat stress kerja pun tidak sedikit. Setiap tahunnya industri di Amerika Serikat mengalami kerugian lebih dari US 300 miliar sebagai akibat dari kecelakaan, absenteisme, turnover pekerja, dan kompensasi asuransi akibat stress kerja yang dialami para pekerjanya (AIS, 2013).
2
Di Indonesia, berdasarkan data Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan menyatakan bahwa dari jumlah populasi orang dewasa di Indonesia sebesar 150 juta jiwa sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa kecemasan dan depresi. Meskipun data tersebut bukan merupakan data khusus mengenai stress akibat kerja tetapi dapat memberikan gambaran mengenai jumlah kasus gangguan mental yang saat ini terjadi di Indonesia. Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh program studi Magister Kedokteran Kerja FKUI sekitar tahun 1990-an menunjukkan bahwa sekitar 30 persen pekerja pernah mengalami stress di tempat kerja mulai dari keluhan ringan sampai berat. Data ini menunjukkan bahwa kejadian stress kerja pada era saat ini bisa jadi semakin mengalami peningkatan. Menurut Nurmiati Amir, dokter spesialis kejiwaan dari FKUI RSCM dalam (Hidayat, 2012) mengatakan bahwa insomnia menyerang 10 persen dari total penduduk di Indonesia. Total kejadian tersebut sekitar 10-15 persennya merupakan gejala insomnia kronis. Kejadian ini dapat disebabkan situasi masalah keluarga maupun pekerjaan. PT X merupakan salah satu perusahaan pengolah bahan baku keramik dan kaca di Indonesia. PT X merupakan anak perusahaan dari regional Asia yang berpusat di Singapura. Produk utama yang dihasilkan dari PT X yaitu berupa pasir silika dan feldspar. PT X memiliki dua unit pengolahan yang terletak di Cikarang dan Cikupa serta satu unit pengolahan dalam tahap pembangunan yang terletak di Surabaya. Sedangkan lokasi penambangan PT X terletak di Capkala dan Belitung.
3
Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dalam menjalankan kegiatannya. Kegiatan administrasi dilakukan pada bagian kantor sedangkan kegiatan produksi dilakukan pada bagian plant. Para pekerja baik di kantor maupun plant memiliki tingkat paparan sumber stress yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi dan identifikasi bahaya di lapangan, perbedaan lokasi kerja membuat paparan bahaya dan risiko lingkungan fisik yang diterima oleh para pekerja pun berbeda di setiap lokasi pekerjaan terutama paparan bising dan debu yang memiliki intensitas paparan cukup tinggi. Selain itu, pekerja pada bagian kantor tidak memiliki shift kerja sedangkan pekerja pada bagian plant sebagian besar memiliki shift kerja karena harus memenuhi target produksi perusahaan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4%) mengalami gejala stress yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang dirasakan oleh pekerja. Stress kerja yang dialami para pekerja memiliki efek yang beragam baik bagi kesehatan secara fisik, psikologis, perubahan perilaku maupun hubungan sosial. Efek stress kerja yang mereka alami bisa terjadi dalam jangka waktu yang singkat maupun lama. Dalam jangka waktu yang lama menurut Hardy et al (1998), stress dapat memicu terjadinya insomnia, kecemasan, depresi kronis, neurosis bahkan bunuh diri. Sedangkan menurut Sauter et al (1990), stress dapat 4
berdampak pada perpecahan rumah tangga dan isolasi terhadap kehidupan sosial yang terdapat di sekitarnya. Menurut Stranks (2005), stress kerja yang dialami pekerja tidak hanya merugikan bagi pekerja tetapi juga perusahaan. Dampak stress kerja yang dialami oleh pekerja dapat mempengaruhi performa dalam mencapai target perusahaan. Selain itu, menurut WHO, organisasi yang tidak sehat tidak akan mendapatkan usaha terbaik yang diberikan para pekerjanya. Hal ini tidak hanya berdampak pada performa organisasi tetapi juga keberlangsungan organisasi ke depannya. Kerugian akibat stress kerja yang dapat dirasakan perusahaan, antara lain meningkatnya absenteisme pekerja, menurunnya komitmen terhadap perusahaan, meningkatnya jumlah turnover pekerja, dan meningkatnya angka kecelakaan kerja. Bahkan dalam tingkat yang lebih serius, stress kerja juga dapat berdampak pada meningkatnya komplain dari klien yang berujung pada rusaknya citra perusahaan. Pengukuran stress kerja penting dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Sehingga perusahaan dapat mengevaluasi penyebab stress kerja yang dialami para pekerja mereka. Pengukuran ini juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah dan mengendalikan stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. 1.2 Rumusan Masalah Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki 5
tugas dan fungsi yang berbeda serta lokasi kerja yang berbeda juga. Selain itu, pekerja pada bagian kantor maupun plant memiliki paparan sumber stress yang berbeda, seperti pajanan lingkungan fisik dan shift kerja. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4 %) mengalami gejala stress yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang dirasakan oleh pekerja. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014? 2. Bagaimana gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) pekerja di PT X tahun 2014? 3. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014? 4. Bagaimana gambaran faktor aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X tahun 2014? 6
5. Bagaimana gambaran faktor dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun 2014? 6. Apakah ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014? 7. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014? 8. Apakah ada hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014? 9. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014? 10. Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014? 1.4 Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014
7
2. Diketahuinya gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) pada pekerja di PT X tahun 2014 3. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik
peran, ketaksaan peran,
konflik interpersonal,
ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014 4. Diketahuinya gambaran aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X tahun 2014 5. Diketahuinya gambaran dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun 2014 6. Diketahuinya hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 7. Diketahuinya
hubungan
antara
faktor
pekerjaan
(kebisingan,
pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014
8
8. Diketahuinya hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 9. Diketahuinya hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 10. Diketahuinya faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 1.5 Manfaat 1.5.1 Bagi Perusahaan 1. Sebagai gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh pekerja 2. Sebagai bahan evaluasi sumber stress yang terdapat di dalam maupun luar lingkungan kerja 3. Sebagai masukan untuk mencegah dan mengendalikan stress yang dialami
oleh
para
pekerja
guna
meningkatkan
produktivitas
perusahaan 1.5.2 Bagi Pekerja 1. Sebagai gambaran faktor penyebab stress yang dialami baik pengaruh dari faktor pekerjaan maupun luar pekerjaan 2. Sebagai bahan evaluasi diri untuk dapat mengukur tingkat stress yang dialami pekerja 3. Sebagai langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat stress yang dialami pekerja dan mencegah dampak yang akan ditimbulkan 1.5.3 Bagi Peneliti 1. Sebagai bahan referensi penelitian mengenai stress kerja
9
2. Pengukuran stress kerja menggunakan kuesioner yang berbeda dari penelitian yang biasa dilakukan yaitu menggunakan NIOSH Generic Job Questionnaire 1.6 Ruang Lingkup Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
menyebabkan terjadinya stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. Subjek penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer melalui pengisian kuesioner NIOSH Job Stress Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Pemilihan sampel penelitian akan dilakukan dengan cara systematic random sampling.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stress Kata stress pertama kali diperkenalkan oleh Selye pada dunia psikologi dan kedokteran sekitar tahun 1930-an. Menurut Selye, stress merupakan reaksi organisme terhadap keadaan terancam dan tertekan. Selye menemukan bahwa stress dihasilkan dari reaksi rantai hormon neuroendokrin yang terjadi di dalam tubuh. Hal ini terjadi dengan diawalinya eksitasi pada jaringan otak yang diikuti peningkatan sekresi hormon dari kelenjar adrenal. Peningkatan sekresi hormon tersebut di dalam tubuh akan mempengaruhi peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Reaksi dalam tubuh ini biasa disebut dengan pengaturan ergotropik dan diidentikkan sebagai mekanisme dasar terjadinya stress di dalam tubuh seseorang (Kroemer & Grandjeai, 1997). Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade terakhir telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi psikologi, fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress menurut para ahli: a.
Lazarus dan
Foldman mendefinisikan stress sebagai hasil dari
ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang tersedia. b.
Cox mendefinisikan stress sebagai sebuah fenomena persepsi yang timbul dari adanya perbandingan antara permintaan dan kemampuan coping.
11
c.
McGrath
mendefinisikan stress
sebagai
hasil
dari permintaan
lingkungan yang tidak mampu dipenuhi oleh individu. d.
McEwen menyatakan bahwa stress merupakan sebuah peristiwa yang mengancam individu sehingga menghasilkan respon secara fisiologi dan perilaku (Oxington, 2005).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan ketidakseimbangan yang terjadi antara permintaan dan kemampuan individu sehingga menimbulkan respon baik secara fisiologi dan perilaku. 2.2 Stress Kerja Stress kerja merupakan keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian antara tingkat permintaan dengan kemampuan individu untuk mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Hal ini bersifat subjektif dan selalu ada pada setiap individu yang tidak mampu mengatasi tuntutan yang terdapat di lingkungan kerja (Kroemer & Grandjeai, 1997). Stress yang diterima setiap individu
berbeda
tergantung
dengan
persepsi
setiap
individu
yang
mengalaminya. Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara permintaan dan tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketidaksesuaian dengan pengetahuan dan kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga pengetahuan dan kemampuan individu yang tidak digunakan dengan baik sehingga memicu timbulnya masalah bagi diri mereka (WHO, 2003). Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya. Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis 12
tetapi juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, ketidaksesuaian permintaan terhadap pekerja, dan kurangnya dukungan dari rekan kerja dan manajemen. Reaksi
setiap individu dalam
mengatasi stress berbeda-beda. Bagi beberapa individu merupakan sebuah hal yang mungkin untuk mengatasi permintaan pekerjaan yang tinggi tetapi hal ini belum tentu dapat terjadi pada individu lainnya. Sehingga kemampuan untuk menghadapi keadaan stress sangat tergantung pada evaluasi yang bersifat subjektif (OSHA, 2014). Pekerjaan yang sehat seharusnya mampu menyesuaikan antara tekanan kerja dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu, kemampuan mengontrol pekerjaan dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan individu dapat menimbulkan terjadinya kondisi stress yang merugikan baik bagi pekerja maupun perusahaan. Di Eropa, stress berada pada urutan kedua sebagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa sekitar 22 persen pekerja di Eropa terkena dampak stress akibat kerja dan sejumlah pekerja lainnya mengalami kondisi yang berhubungan dengan stress akibat pekerjaan (WHO, 2003). Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales (2000) bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik dan psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu maupun level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat 13
berdampak pada fisik, mental, dan kesehatan sosial.
Sedangkan pada level
organisasi dapat berdampak pada tingginya angka absenteisme, menurunnya produktivitas, rendahnya kepuasan kerja dan turnover pekerja. Selain itu, bahaya paparan fisik dan psikososial juga dapat berdampak pada kondisi psikologis individu baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 2010). Berikut ini adalah mekanisme terjadinya stress kerja menurut Cox, Griffiths dan RialGonzales (2000).
Lingkungan Sosial dan Konteks Organisasi Desain dan Manajemen Pekerjaan
Lingkungan Fisik
Lingkungan Psikososial
Pengalaman dengan Kondisi Stress
Bahaya bagi kesehatan pekerja baik secara fisik, psikologis, dan sosial
Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths & Rial-Gonzales (2000) dalam WHO (2010) Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial
14
2.2.1 Stress Akut Stress akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut bisa berdampak positif jika terjadi dalam pajanan yang rendah dan ditanggapi sebagai suatu hal yang menantang oleh individu yang menerimanya. Akan tetapi, apabila stress akut ini terjadi dalam pajanan yang tinggi maka akan berdampak negatif bagi individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010). Stress akut biasanya tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang sehingga tidak berisiko menimbulkan kerusakan pada tubuh dan pikiran. Stress akut biasanya hanya berupa reaksi singkat tubuh terhadap sumber stress yang datang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis, emosional, dan psikologis. Akan tetapi, gangguan yang terjadi akibat stress akut tersebut masih dapat diatasi apabila dikontrol dengan baik (Hiriyappa, 2013). Berikut ini adalah gangguan kesehatan akibat stress akut:
15
Tabel 2.1 Gejala Stress Akut Fisiologis a. Wajah panas
Psikologis terasa
Perilaku
a. Nafsu makan menurun b. Sedih berkepanjangan
b. Sakit kepala c. Nyeri dada
c. Sulit berkonsentrasi
d. Mulut kering e. Napas pendek
d. Merasa tertekan
f. Tekanan tinggi
e. Pesimis
darah
f. Merasa gagal
g. Nyeri otot h. Sembelit diare
atau
i. Kelelahan j. Insomnia k. Mudah sakit l. Gangguan pencernaan m. Jantung berdebar cepat n. Rahang kaku o. Berkeringat banyak p. Nafsu makan menurun/bertamb ah q. Tangan gemetar
selalu
g. Selalu merasa ketakutan h. Gelisah tidur
a. Tidak sabar b. Suka berdebat c. Menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja d. Penggunaan alkohol/obatobatan e. Merokok f. Mengabaikan tanggung jawab
ketika
i. Merasa kesepian j. Mudah menangis k. Merasa orang ramah
orangtidak
l. Tidak dapat menikmati hidup m. Berbicara lebih sedikit n. Merasa disukai orang
tidak orang-
Sumber: NIOSH Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat 16
berkembang menjadi munculnya suatu penyakit yang berkaitan dengan stress. Hal ini dapat terjadi apabila stress akut tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dan individu tidak dapat mengendalikannya (Perlmutter & Villoldo, 2011). 2.2.2 Stress Kronis Stress kronis merupakan salah satu bentuk stress yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Stress kronis ini terjadi karena adanya situasi
mengganggu yang sangat sulit untuk diatasi.
Sehingga stress kronis ini lama kelamaan akan menimbulkan kerusakan bagi tubuh, pikiran dan kehidupan individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010) . Di negara berkembang, menurut Cox et al (2000), stress yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kesehatan pekerja dan kesehatan organisasi pekerjaan itu sendiri. Hasil survei yang dilakukan oleh European Foundation for the Improvement of Working Conditions pada tahun 2000 menemukan bahwa sekitar 28 % pekerja melaporkan penyakit atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress terutama stress kronis. Hal ini menunjukkan bahwa stress merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi oleh para pekerja di dunia (Flin, O'Connor, & Crichton, 2008). Stress kronis bersifat seperti racun yang membunuh seseorang secara perlahan. Dampak stress kronis yang dialami seseorang secara perlahan akan merusak kesehatan tubuhnya. Ketika hal ini terjadi maka akan muncul sejumlah penyakit dalam tubuh individu (Hiriyappa, 2013). 17
Menurut NIOSH, beberapa penyakit yang berkaitan dengan stress kronis, antara lain diabetes, hernia, tuberculosis, asma, darah tinggi, penyakit jantung, rematik, epilepsi, glukoma, paralysis, gangguan ginjal, gangguan pernapasan, stroke, anemia, gangguan hati atau pancreas, gangguan kelenjar tiroid, insomnia, gastritis, colitis, ulkus lambung, sakit punggung, dan alergi. Stress kronis terjadi akibat perkembangan stress akut yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak mudah menemukan hubungan antara stress akut dengan stress kronis. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan penyebab awal munculnya dampak dari stress kronis tersebut dimana stress akut yang menyebabkan terjadinya stress kronis atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya stress kronis tersebut (Praag, Kloet, & Os, 2004). 2.3 Tahapan Stress Stress merupakan respon tubuh baik secara fisiologi maupun perilaku terhadap keadaan terancam yang dihadapi oleh individu. Menurut Watts (1990) dalam (Casper, 2014) respon tubuh terhadap stress terdiri dari lima tahapan, yaitu: a.
Tahap alarm Tahapan awal ini merupakan tahap reaksi alarm dalam tubuh berupa mekanisme pertahanan tubuh. Untuk mengatasi stressor yang dihadapi, tubuh membutuhkan pengeluaran energi yang cukup tinggi. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan aktivitas kelenjar tiroid dan adrenal. Saraf simpatik kemudian meresponnya dengan meningkatkan sekresi hormon 18
kortikoid aldosterone dan antidiuretic hormone (ADH) dalam tubuh. Sekresi ini menghasilkan retensi natrium dan air di dalam tubuh yang kemudian menjadi indikasi terjadinya inflamasi. Pada tahap yang lebih lama akan menyebabkan terjadinya gastritis, diverculitis, kolitis, sinusitis artritis, dll. Pada tahapan ini juga terjadi peningkatan hormon stress, denyut jantung, penyempitan pembuluh darah, kadar gula darah, kadar kolesterol, pengeroposan tulang, pemecahan protein otot dan jaringan ikat, resistensi insulin, perasaan stress, takut, cemas, dan depresi. Tahap alarm ini juga menyebabkan
penurunan
memori
jangka
pendek,
kemampuan
berkonsentrasi, dan imunitas tubuh. Pada tahapan ini kebutuhan vitamin, seperti C, D, E, B1, B6, dan B12 serta kalsium, tembaga, kobalt, natrium, selenium dan seng mengalami peningkatan. Sehingga ketika individu kekurangan nutrisi tersebut maka kemampuannya untuk mengelola respon akan sulit dilakukan. Sisi positif dari tahapan ini adanya peningkatan refleks dan fokus mental. Hal ini dapat menjadikan tubuh merespon terhadap stress menuju efek yang baik atau buruk. b. Tahap resisten Tahap ini terdiri dari tahapan lanjutan dari stimulasi saraf simpatik yang terjadi pada tahap alarm. Pada tahap ini tubuh berusaha mempertahankan homeostasis akibat adanya stressor dalam tubuh. Hormon kortisol disekresikan untuk mengendalikan inflamasi yang terjadi di dalam tubuh. Sekresi hormon kortisol ini menyebabkan terjadinya katabolisme dan meningkatkan gula darah sehingga disebut hormon glukokortikoid. Jika 19
individu tidak dapat melewati tahapan ini maka katabolisme yang terjadi akan menyebabkan penyakit kronis, seperti syok, disfungsi kekebalan tubuh, fluktuasi tingkat energi, dll. c. Tahap pemulihan Pada tahap ini stress mulai dapat dikendalikan, perbaikan jaringan terjadi dan fungsi tubuh kembali normal. Dalam keadaan ini, sistem pencernaan, metabolisme dan fungsi sel mengalami perbaikan. Istirahat, pertumbuhan, dan aktivitas mental yang lebih tenang akan mengembalikan kesehatan individu pada level yang baik. d. Tahap adaptasi Jika tubuh tidak mampu melalui tahap pemulihan, keadaan stress akan menjadi kronis. Pada tahapan ini, tubuh tidak dapat menyesuaikannya kondisinya terhadap keadaan stress yang dihadapi sehingga berbagai kondisi kronis mulai muncul, seperti menurunnya tingkat energi, menurunkan self-esteem, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, gangguan emosional, merasa sedih berkepanjangan, tidak mampu merasakan sakit, gairah seks menurun, konsentrasi menurun, serta hilangnya motivasi. e. Tahap kelelahan Pada tahap ini tubuh semakin kehilangan kemampuannya untuk pulih dari kondisi kronis yang dihadapi. Sebagai akibat stress yang berkepanjangan, maka kelenjar tiroid dan adrenal mulai merasa kehilangan sumber energi dari dalam tubuh. Individu akan berusaha mencari sumber energi dari luar tubuh dengan mengkonsumsi alkohol, kopi, nikotin, dan obat-obatan. Pada 20
tahap ini kadar kolesterol mengalami peningkatan sehingga berbagai penyakit kronis timbul, seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, sembelit, alergi dan asma, kelelahan, dan hipoglikemia. Keadaan berkepanjangan yang seperti ini akan membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit bahkan dalam kasus yang lebih berbahaya dapat mengakibatkan kematian. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja 2.4.1 Karakteristik Pekerjaan a. Kebisingan Kebisingan biasa didefinisikan sebagai suara yang tidak diinginkan yang dapat memicu timbulnya stress. Kebisingan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di tempat kerja. Tingkat kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling tinggi dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah
kebisingan,
sanitasi
lingkungan,
substansi
berbahaya,
pencahayaan dan suhu (ILO, 2003). Kebisingan dapat memicu terjadinya peningkatan ketidakseimbangan psikologi (Rose, 1994). Pajanan kebisingan di tempat kerja juga berhubungan dengan berbagai macam efek stress, seperti aktivitas neuroendokrin, peningkatan detak jantung, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan rendahnya motivasi kerja. Berdasarkan hasil penelitian Broadbent (1971), efek dari kebisingan yang tidak dapat diduga akan lebih parah dibandingkan dengan kebisingan yang dapat diduga. 21
Berdasarkan hasil penelitian Evans dan Johnson (1999) menemukan bahwa intensitas kebisingan yang rendah tidak memiliki dampak yang besar terhadap pekerja. Akan tetapi, dalam waktu pajanan kebisingan tersebut selama tiga jam akan memperlihatkan perubahan motivasi kerja dan peningkatan hormon stress dalam tubuh. Hasil penelitian Evans dan Johnson ini juga sejalan dengan penelitian sejenis bahwa pajanan kebisingan dapat meningkatkan kadar hormon neuroendokrin stress dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan Lindvall (1995) dan Medical Research Council (1997) menemukan bahwa pajanan kebisingan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan beberapa penyakit lain yang berujung pada penyakit jantung koroner (Barling, Kelloway, & Frone, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ljungberg dan Neely (2007) menemukan bahwa individu yang mengalami pajanan kebisingan akan mengalami peningkatan hormon kortisol dengan tingkat stress yang bersifat subjektif (Perrewe & Ganster, 2010). b. Pencahayaan Sumber stress lain yang berasal dari lingkungan kerja adalah tingkat pencahayaan. Menurut Poulton (1978), tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan 22
pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout & Rout, 2002). Selain tingkat cahaya, kualitas cahaya yang dihasilkan juga penting. Sebagian besar individu lebih merasa bahagia ketika cahaya matahari pada siang hari yang terang. Cahaya matahari pada siang hari yang terang dapat mendorong terjadinya reaksi kimia dalam tubuh yang dapat menghasilkan perasaan senang secara psikologis. Sehingga peningkatan kualitas cahaya dapat meningkatkan kualitas lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dilakukan (Schroeder, 2013). c. Suhu Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu, lingkungan kerja yang terlalu dingin juga dapat menurunkan tingkat ketangkasan dan motivasi dalam bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian kecelakaan. Berdasarkan hasil penelitian Ramsey menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan kualitas kerja dan meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya kecelakaan (Rose, 1994). Menurut McCormick (1976), suhu lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan tingkat produktivitas kerja. Begitu juga 23
pada lingkungan kerja yang dingin, dimana menurut Fox (1967) dan Enander (1987), suhu lingkungan kerja yang terlalu dingin juga menurunkan produktivitas kerja. Pada beberapa pekerjaan seperti tugas yang berhubungan dengan kemampuan kognitif, suhu lingkungan yang dingin dapat meningkatkan performa kerja karena dapat menurunkan terjadinya kelelahan. Akan tetapi, semakin kompleks tingkat pekerjaan maka performa kerja akan semakin memburuk jika suhu lingkungan terlalu panas atau dingin (Barling et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitian Pilcher et al (2002), menemukan bahwa suhu yang terlalu dingin memiliki dampak negatif terhadap proses pembelajaran dan tugas yang membutuhkan memori. Sedangkan suhu yang terlalu panas berdampak negatif terhadap tugas yang membutuhkan perhatian dan persepsi. Akan tetapi, efek ini hanya terlihat pada durasi yang singkat karena pekerja biasanya sudah teraklimatisasi jika terpajan dalam durasi waktu yang lama (Perrewe & Ganster, 2010). d. Ventilasi Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin
24
ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik, terlalu banyak orang di ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia (Schroeder, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Chandraseker (2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Ajala (2012) menunjukkan bahwa sistem ventilasi yang baik dapat meningkatkan produktivitas kerja serta menurunkan pajanan terhadap substansi udara yang berbahaya sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit akibat hubungan kerja, absenteisme, dan turnover pekerja (Ajala, 2012). e. Konflik Peran Konflik peran biasanya terjadinya pada individu ketika tingginya harapan perusahaan terhadap diri mereka. Akan tetapi, tingginya harapan tersebut mempersulit pencapaian tugas yang diberikan. Konflik peran merupakan bentuk umum stressor yang terjadi di tempat kerja. Konflik ini biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu: 1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik 2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda 3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan 25
4. Banyaknya peran yang harus dilakukan 5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (Hubbard, 1998) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada manajer di Singapura menunjukkan bahwa secara signifikan konflik peran berhubungan dengan munculnya stress kerja (Quah & Campbell, 1994). Konflik peran yang terjadi di perusahaan akan berdampak pada tingginya angka absenteisme dan turnover pekerja. f. Ketaksaan Peran Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga berhubungan dengan ketidakjelasan dalam memberikan tugas kepada pekerja. Sehingga hal ini dapat menimbulkan terjadinya frustasi dan sulitnya bagi pekerja untuk mencapai kepuasan dalam bekerja. Hasil survei yang dilakukan Kahn et al (1964) menunjukkan bahwa 35 persen pekerja merasa bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada mereka tidak jelas sehingga mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan (Cardwell & Flanagan, 2005). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran 26
berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang dialami (Ram, Khoso, Shah, Chandio, & Shaikih, 2011). g. Konflik Interpersonal Setiap
pekerjaan
pasti
mengharuskan
pekerjanya
untuk
berinteraksi dengan orang lain, misalnya dengan rekan kerja, klien, atau kontraktor. Dalam beberapa pekerjaan, interaksi sosial merupakan sumber kepuasan kerja. Akan tetapi, di sisi lainnya, interaksi sosial berpotensi menimbulkan konflik yang dapat mengakibatkan stress. Dalam tingkat yang lebih bahkan konflik interpersonal tadi dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan fisik. Penyebab munculnya konflik interpersonal seringkali disebabkan kompetisi antar pekerja. Di beberapa perusahaan, pekerja diwajibkan mencapai beberapa target untuk bisa mendapatkan penghargaan, promosi jabatan atau reward. Konflik interpersonal memang masih jarang dibahas akan tetapi dampaknya terhadap stress kerja sangat nyata terutama dalam jangka waktu yang lama. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat terjadi ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi misalnya
ketika
seseorang
lupa
mengundang
rekannya
untuk 27
menghadiri sebuah pertemuan yang dianggap penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal merupakan salah satu variabel penting yang dapat berdampak kompleks bagi pekerja
yang
mengalaminya (Jex & Britt, 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan manufaktur skala kecil dan sedang di Jepang menunjukkan bahwa tingginya konflik interpersonal dapat berpengaruh terhadap peningkatan gejala depresi (Ikeda et al., 2009). h. Ketidakpastian Pekerjaan Ketidakpastian pekerjaan berkaitan dengan ancaman kehilangan pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu sumber
stress yang dapat mengakibatkan menurunnya
performa kerja dan menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan di tempat lain (Stellman, 1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat direspon berbeda oleh setiap pekerja. Di satu sisi, pekerja akan semakin meningkatkan performanya agar mereka dapat tetap bekerja. Akan tetapi, di sisi lainnya secara tidak langsung dapat menimbulkan kondisi stress atau ketidakpuasan dalam diri pekerja yang dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja. Dari hasil penelitian Abramis (1994) didapatkan bahwa ketidakpastian pekerjaan tidak berhubungan dengan performa kerja seseorang. Akan tetapi, ketidakpastian tersebut 28
sangat berhubungan dengan ketidakpuasan kerja, kecemasan dan depresi (Heery & Salmon, 1998). Ketidakpastian pekerjaan juga dapat berhubungan dengan kemungkinan perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan yang tidak berguna di masa mendatang. Kekhawatiran mengenai ketidakpastian
pekerjaan
bisa
terjadi
ketika
adanya
situasi
penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang terjadinya ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu tersebut. Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu, kekhawatiran ini juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja (Robbins, 2009). i. Kurangnya Kontrol Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Marmot et al (1997) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kemampuan kontrol kerja lebih sedikit memiliki risiko empat kali lebih besar terkena serangan jantung dibandingkan dengan pekerja yang memiliki kontrol lebih besar 29
terhadap
pekerjaannya.
Hasil
penelitian
tersebut
kemudian
merekomendasikan agar para manajer lebih memberikan kebebasan bagi para staf untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan mereka (O'Rourke & Collins, 2009). j. Kurangnya Kesempatan Kerja Perekonomian dunia saat ini perlahan berusaha bangkit setelah terjadinya krisis ekonomi. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat tidak dibarengi oleh peningkatan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran yang terjadi di hampir seluruh dunia. Sehingga hal ini dapat membuat pertumbuhan ekonomi yang sedang terjadi kembali mengalami kegoyahan (Forbes, 2012). Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah besar bagi individu. Meskipun demikian, penelitian yang membahas mengenai dampak kurangnya lapangan pekerjaan terhadap kesehatan mental individu sangat jarang dibahas. Peneliti cenderung membahas mengenai pengaruh kurangnya lapangan pekerjaan terhadap peningkatan angka pengangguran. Padahal kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia dapat memicu terjadinya stress. Hal ini dikarenakan munculnya kekhawatiran dalam diri individu terhadap kemungkinan kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan kembali (Bizymoms, 2013). Selain itu, ketidakpastian pekerjaan di masa depan akibat sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia juga dapat memicu terjadinya frustasi (Swain, 2008). 30
Kekhawatiran
yang
terjadi
terus
menerus
ini
dapat
menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang merasakannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja dewasa menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan emosi, dan kecemasan (Burgard, Kalousova, & Seefeldt,
2012).
Meskipun
seorang
pekerja
telah
berusaha
mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006). k. Jumlah Beban Kerja Beban kerja baik mental maupun fisik berpotensi menjadi sumber stress di tempat kerja. Bekerja di bawah tekanan waktu untuk mencapai target merupakan sumber stress yang seringkali terdapat di tempat kerja. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tingkat stress akan meningkat seiring dengan semakin dekatnya target yang ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa jumlah beban kerja secara signifikan berkaitan dengan munculnya sejumlah gejala stress, seperti mudah marah, kelelahan, gelisah, dan gejala depresi (Nishitani, Sakakibara, & Akiyama, 2013). Selain itu, dalam penelitian lainnya yang dilakukan de Jonge et al (2000) menemukan bahwa tingginya beban kerja secara signifikan berhubungan dengan timbulnya ketidakpuasan dalam
31
bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi, dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis. Beban kerja yang tinggi memang dapat menimbulkan kondisi stress bagi pekerja. Akan tetapi, beban kerja yang terlalu sedikit juga dapat menimbulkan stress bagi pekerja. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang diberikan terlalu monoton, membosankan, dan terlalu jauh dibawah kemampuan pekerja itu sendiri. Sehingga pekerja merasa tertekan dengan kondisi pekerjaan yang demikian (Koradecka, 2010). l. Variasi Beban Kerja Variasi beban kerja berkaitan dengan beragam jenis pekerjaan yang diberikan kepada pekerja dengan tuntutan kemampuan yang berbeda-beda. Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja ketika mereka merasa tidak mampu melaksanakan tugas tersebut. Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas tersebut dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya (Rose, 1994). Berdasarkan hasil survei Caplan et al (1975) pada 23 negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap petugas pemadam kebakaran menunjukkan bahwa variasi beban kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap munculnya gejala stress berupa insomnia (Afrianti, Widyahening, Amri, & Kusumawardhani, 2011). Dalam penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja manufaktur di Jepang menunjukkan hal yang sama bahwa variasi beban 32
kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009). m. Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain. Menurut Wardwell et al (1964) memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat memicu terjadi penyakit jantung koroner dibandingkan memegang tanggung jawab terhadap benda. Peningkatan tanggung jawab terhadap orang lain berarti bahwa seorang pekerja lebih sering menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan pekerja lain, menghadiri pertemuan, bekeja sendiri dan sebagai konsekuensinya berdasarkan penelitian French & Caplan (1970) akan menyebabkan seorang pekerja berada dalam tekanan. Berdasarkan hasil penelitian Pincherle (1972) menemukan bahwa sekitar 2000 manager di Inggris mendatangi pusat kesehatan untuk melakukan medical check up. Dari hasil pemeriksaan kesehatan yang mereka lakukan didapatkan hasil bahwa stress secara fisik yang mereka alami disebabkan oleh faktor umur dan tingkat tanggung jawab dalam pekerjaan. Semakin tua dan tinggi tanggung jawab mereka maka 33
akan semakin besar kemungkinan munculnya gejala penyakit jantung koroner (Cooper, 2013). Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa seorang pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang lain akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki tanggung jawab terhadap orang lain juga dapat menyebabkan munculnya rasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada berbagai profesi yang tidak terbatas hanya pada seorang manajer tetapi juga guru, petugas kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel & Schultz, 2012). n. Kemampuan yang Tidak Digunakan Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena sudah menggunakan alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stress (Ross & Altmaier, 2000). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di Jepang didapatkan hasil bahwa kemampuan pekerja yang tidak digunakan dengan baik dapat meningkatkan risiko stress kerja yang berdampak pada peningkatan kadar tekanan darah (Konno & Munakata, 2014). Dalam penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kemampuan 34
yang tidak digunakan dengan baik berhubungan secara signifikan terhadap kejadian stress kerja pada level manager dan pekerja buruh (Jamal & Ahmed, 2009). o. Tuntutan Mental Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan seorang pekerja. Di satu sisi, pekerja harus bersiap menghadapi emosi negatif yang berasal dari klien yang dihadapi. Tetapi di sisi lainnya mereka harus tetap bersikap ramah meskipun keadaan emosional pekerja tidak dalam kondisi baik. Menurut Zapf (2002), pekerjaan yang menuntut kondisi emosional yang baik sangat berhubungan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja secara mental (Koradecka, 2010). p. Shift Kerja Shift kerja yang bertentangan dengan pola tidur akan berisiko menimbulkan gangguan kesehatan baik secara psikologis, fisik, dan perilaku. Gangguan yang dapat dialami pekerja shift berupa gangguan pernapasan, detak jantung, tekanan darah, eksresi urin, mitosis sel, 35
produksi hormon, dan gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama pada malam hari akan menyebabkan perubahan kerja dimana para pekerja diharuskan lebih aktif pada waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Selain itu, penyesuaian diri terhadap shift bukan suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di dalam tubuh serta aktivitas sosial lainnya. Pekerjaan shift terutama saat malam hari akan memberikan tekanan yang besar bagi tubuh. Tubuh akan merasa lebih lelah sehingga risiko terjadinya kecelakaan akan meningkat. Jam kerja yang terlalu lama sebaiknya juga dihindari. Urutan shift kerja yang baik yaitu shift pagi- siang – malam dan setiap shift tersebut diselesaikan tubuh akan membutuhkan waktu sekitar 11 jam untuk beristirahat. Kurangnya istirahat akan memberikan efek negatif dari stress dengan munculnya gangguan kesehatan (Authority, 2006). Hasil penelitian Dirken (1966) menemukan bahwa meskipun pekerja shift merasakan kelelahan dan malaise lebih tinggi tetapi tidak ditemukan adanya perbedaan gejala berarti dibandingkan dengan pekerja non-shift. Hasil survei literatur yang dilakukan Rutenfranz et al (1977) juga menemukan hal yang serupa yaitu pekerjaan shift tidak memiliki dampak yang signifikan terhdapa penyakit jantung dan saraf (Ivancevich & Ganster, 2014).
36
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat shift malam menunjukkan bahwa stress kerja yang dialami oleh perawat shift malam
mempengaruhi
kinerja
mereka
menjadi
kurang
baik.
Menurunnya kinerja ini disebabkan adanya tekanan emosional yang mereka hadapi (Klau, 2010). Hubungan antara stress kerja dan shift kerja juga signifikan pada pekerja bagian produksi di PT Newmont Nusa Tenggara (Firmana, Firmana, & Hariyono, 2011). Selain itu, pada penelitian terhadap operator SPBU di Magelang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat stress kerja yang dirasakan pekerja pada setiap shiftnya dimana pekerja pada shift malam memiliki tingkat stress kerja paling tinggi (Nuryati, 2007). 2.4.2 Karakteristik Individu a. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu: 1.
Perempuan memiliki peran dominan dalam merawat keluarga sehingga total beban kerja perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
2.
Tingkatan untuk mengontrol pekerjaan cenderung rendah karena sebagian besar perempuan menempati jabatan di bawah laki-laki. 37
3.
Semakin banyaknya perempuan yang menduduki jabatan penting
4.
Semakin banyaknya perempuan yang bekerja pada tingkat stress kerja tinggi
5.
Terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi dari posisi yang lebih senior Selain itu, respon perempuan dan laki-laki dalam menghadapi
stress juga cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002) menemukan bahwa laki-laki cenderung untuk mengatasi stress yang dialami dengan melakukan perubahan perilaku, seperti merokok, minum alkohol, obat-obatan, dll. Sedangkan perempuan cenderung mengatasi stress yang dihadapi dengan melakukan perubahan secara emosional. Sehingga laki-laki cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara fisik ketika mengalami stress. Adapun wanita cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara psikologis (Bickford, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Swedia menunjukkan bahwa pada pekerja perempuan tingkat keparahan gejala stress yang muncul cenderung lebih tinggi dibandingkan pekerja lakilaki. Tingkat gejala stress ini dipengaruhi oleh permasalahan pekerjaan dan keluarga yang mereka hadapi (Krantz, Burntson, & Lundberg, 2005). Dalam penelitian lainnya juga ditemukan hasil yang sama bahwa pekerja perempuan mengalami stress kerja yang lebih tinggi dikarenakan beban kerja dan kelelahan secara emosional (Antoniou, Polychroni, & Vlachakis, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang 38
dilakukan pada pekerja di Thailand menemukan bahwa tingkat stress pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Tingkat ini dipengaruhi oleh iklim lingkungan yang tidak nyaman (Tawatsupa, Lim, Kjellstrom, Seubsman, & Sleigh, 2010). Sedangkan dalam penelitian lain yang dilakukan pada perawat tidak ditemukan hubungan antara stress kerja dengan jenis kelamin (Sukmono, 2013). b. Umur Umur dapat mempengaruhi tingkat stress yang dialami seseorang. Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002), pekerja pada usia yang lebih tua cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berumur muda. Tetapi pengalaman stress pada pekerja yang berumur tua lebih banyak dibandingkan dengan pekerja muda. Pengaruh umur terhadap stress yang dialami pekerja biasanya hanya terjadi pada pekerjaan tertentu terutama yang berhubungan dengan kekuatan fisik dan penggunaan indera (Bickford, 2005). Individu yang berumur lebih tua cenderung mengalami stress lebih rendah. Individu yang berumur tua mengalami stress yang lebih dikarenakan pengalamannya dalam menghadapi stress sudah lebih baik dibandingkan individu yang berumur muda (Mroczek & Almeida, 2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan pada karyawan bank di Semarang dimana ditemukan bahwa pada umur yang lebih tua maka pekerja akan memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan pekerja yang berumur muda sehingga tingkat stress akan
39
lebih rendah. Pada penelitian tersebut umur yang lebih tua berada pada kategori 34 tahun ke atas (Fitri, 2013). c. Status Pernikahan Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress seseorang. Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat stress yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya maka stress kerja yang dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari pasangan (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan baik. Pernikahan yang tidak bahagia akan lebih mungkin menimbulkan stress dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Berdasarkan hasil penelitian Kiecolt-Glaser et al (2003) membuktikan bahwa individu yang bercerai dan individu yang menikah tetapi tidak bahagia akan memiliki tingkat stress yang sama tingginya dibandingkan dengan individu yang memiliki pernikahan yang bahagia (Ogden, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada perawat dimana terdapat hubungan antara status pernikahan dengan kejadian stress kerja (Sukmono, 2013). d. Jumlah Anak Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai penyatu hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak 40
kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan pernikahan. Menurunnya kepuasan pernikahan ini sebagai dampak adanya transisi menjadi pasangan orang tua sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini seringkali terjadi setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009). Menjadi orang tua merupakan salah satu pengalaman yang menyenangkan. Akan tetapi, ada saatnya tuntutan dalam kehidupan sebagai orang tua dapat menyebabkan stress. Selama ini, perawatan terhadap anak dianggap dapat meningkatkan perasaan stress yang dirasakan orang tua. Sehingga hal ini dapat memicu timbulnya kemarahan, kecemasan hingga perasaan stress yang cukup berat. Hal ini dapat dirasakan lebih berat ketika jumlah anak yang dimiliki semakin banyak dan apabila terdapat anak yang memiliki perilaku sulit diatur (CMHA, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Twenge et al (2005) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak lebih dari dua akan memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah serta tingginya stress yang dirasakan oleh orang tua (Hess, 2008). Dalam penelitian lainnya menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki jumlah anak lebih sedikit akan lebih baik dalam mengelola stress sehingga tingkat stress yang dirasakan oleh orang tua cenderung lebih rendah. Jumlah anak yang lebih sedikit dalam penelitian ini yaitu berjumlah kurang dari tiga orang anak (Anismasahun & Oladeni, 2012). Kedua penelitian di atas
41
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anak dalam pernikahan dengan kejadian stress pada orang tua. e. Masa Kerja Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit (Harigopal, 1995). Masa kerja yang berhubungan dengan stress kerja berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru. Kejenuhan ini yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stress di tempat kerja (Munandar, 2001). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pustakawan di Universitas Gadjah Mada didapatkan hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan stress kerja. Pada pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 18 tahun memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki masa kerja lebih sedikit (Sarwono & Purwono, 2006). f. Kepribadian Tipe A Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung bersifat kompetitif, ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Individu dengan tipe kepribadian ini selalu berusaha mencapai tujuan mereka tanpa mempedulikan perasaan bahagia dalam diri mereka. Individu 42
yang memiliki tipe kepribadian ini cenderung bereaksi secara berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang tinggi. Selain itu, kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya (McLeod, 2011). Seseorang dengan kepribadian tipe A memiliki pola yang cepat dalam berbicara, kurang relaks, agresif, mendominasi dalam mencapai tujuan, sangat suka bekerja sehingga pola ini dapat memprediksi infark miokardial (Matthews, Deary, & Whiteman, 2003). Selain itu, hasil dari penelitian yang dilakukan pada pasien yang mengalami penyakit jantung koroner menemukan bahwa pasien yang mengakami penyakit tersebut memiliki tingkat kepribadian tipe A yang tinggi yang juga berdampak pada timbulnya rasa gelisah, stress yang tinggi, dan depresi (Swapana, Singh, & Demen, 2008). Berdasarkan penelitian King (2002), menyatakan bahwa pasien yang terkena penyakit infark miokardial mengalami stress sebagai penyebab terjadinya serangan jantung yang mereka alami. Begitu juga dengan pendapat Stansfeld (2002) bahwa permasalahan stress berkaitan dengan munculnya sejumlah penyakit sehingga ketika individu mengalami stress maka akan semakin mudah terkena penyakit jantung (Matthews et al., 2003). g. Penilaian Diri Penilaian diri adalah persepsi individu terhadap kemampuan, keberhasilan, dan
kelayakan dirinya. Penilaian individu terhadap 43
dirinya dapat mempengaruhi perilaku. Berdasarkan hasil penelitian Randle (2001) menemukan bahwa penilaian diri individu yang positif dapat mempengaruhi perilakunya menjadi lebih baik dalam mengatasi sumber stress yang dihadapinya (Resnick, 2004). Rosenberg (1986) menyatakan bahwa penilaian diri seseorang dapat berubah setiap waktu dan dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar diri individu tersebut. Selain itu, stress kerja kronis berhubungan secara signifikan dengan peningkatan stress secara fisik, kurangnya kompetensi, dan rendahnya penilaian diri individu tersebut (Koslowsky, 1998). 2.4.3 Aktivitas di Luar Pekerjaan Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Pada semua model stress kerja, aktivitas di luar pekerjaan diakui sebagai salah satu sumber stress bagi pekerja. Aktivitas di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti masalah keuangan, penikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Oleh karena itu, menghilangkan sumber stress dari aktivitas di luar pekerjaan sebaiknya dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah menurunnya kepuasan kerja seseorang serta menghambat perkembangan reaksi stress dari sumber yang telah didapat ketika bekerja (Hurrell, 1990).
44
2.4.4 Faktor Pendukung a. Dukungan Sosial Hubungan yang baik antara individu dengan lingkungannya akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan individu tersebut. Hubungan yang baik bukan hanya dengan menghindari terjadinya konflik di tempat kerja tetapi juga adanya dukungan aktif yang diberikan kepada pekerja. Menurut House (1981), terdapat empat jenis dukungan, yaitu: 1. Dukungan emosional berupa rasa simpati, ketertarikan, kebaikan, dll. 2. Dukungan instrumental berupa dukungan yang nyata, seperti bantuan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. 3. Dukungan informasi berupa memberikan informasi yang berguna dalam menyelesaikan suatu permasalahan. 4. Dukungan evaluasi berupa opini yang berkaitan dengan penampilan, perilaku atau tindakan seseorang. Dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Dalam lingkungan kerja yang rukun maka pekerja tidak akan mungkin mendapatkan tindakan yang tidak adil. Selain itu, jika dalam lingkungan kerja banyak terdapat sumber stress, dukungan sosial bisa menjadi penahan dampak negatif sumber stress yang terdapat di lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya dukungan untuk 45
mengatasi sumber stress tersebut sehingga tingkat stress menjadi rendah dan tidak berdampak negatif bagi kesehatan pekerja. Dukungan sosial juga dapat berpengaruh positif bagi kesejahteraan pekerja. Karena pekerja yang dikelilingi lingkungan yang baik akan merasa lebih percaya diri meskipun bekerja dalam kondisi yang sangat tertekan sekalipun (Koradecka, 2010). 2.5 Dampak Stress Kerja 2.5.1 Dampak Bagi Pekerja Stress merupakan masalah umum yang saat ini seringkali terjadi pada pekerja. Stress memiliki dampak kerugian yang besar bagi absenteisme dan rendahnya performa kerja. Selain itu, efek jangka panjang stress dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti gangguan lambung, gangguan tulang dan otot, hipertensi hingga penyakit jantung. Penyakitpenyakit tersebut merupakan penyebab tingginya angka kesakitan, kecacatan, dan kematian di negara industri (ILO). Berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak stress terhadap individu menemukan bahwa stress berdampak negatif pada tiga hal, yaitu psikologis, kesehatan fisik, dan perilaku individu. a.
Efek psikologis Efek psikologis yang dapat timbul akibat kondisi stress, antara lain 1. Sulitnya berkonsentrasi 2. Ketidakpuasan dalam bekerja 3. Gangguan afektif, seperti kecemasan, depresi, dan mudah marah 46
4. Gangguan somatik, seperti sakit kepala, sesak napas, dan pusing 5. Rendahnya penghargaan diri Adapun efek jangka panjang bagi kondisi psikologis individu, yaitu insomnia, kecemasan dan depresi kronis, neurosis, dan bunuh diri (Hardy, Carson, & Thomas, 1998). Depresi dan kecemasan merupakan dampak langsung yang disebabkan bahaya psikososial di tempat kerja. Di Inggris, sekitar 1530 persen mengalami gangguan kesehatan mental akibat pekerjaan mereka. Berdasarkan hasil penelitian D’Souza et al (2003) menunjukkan
bahwa
karakteristik
pengontrolan
pekerjaan,
pemanfaatan
keterampilan,
pekerja
keterlibatan dan
seperti
rendahnya
pengambilan
keputusan,
ketidakseimbangan
imbalan
berhubungan erat dengan risiko depresi, rendahnya fungsi kesehatan, kecemasan, kelelahan, ketidakpuasan kerja, dan absen karena sakit. Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Park et al (2009) didapatkan hasil bahwa stress kerja memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan risiko terjadinya depresi (WHO, 2010). Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa stress kerja memiliki pengaruh dalam meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan mental pekerja. b. Efek kesehatan fisik Dampak kesehatan fisik yang timbul akibat kondisi stress sangat beragam, seperti sakit kepala, sakit punggung, gangguan pola tidur, gangguan sistem pernapasan, dan gangguan sistem imun 47
(Dollard, Winefield, & Winefield, 2003). Adapun efek jangka panjang yang dapat timbul, seperti penyakit jantung, hipertensi, dan rendahnya kondisi kesehatan secara umum (Hardy et al., 1998). Berdasarkan hasil penelitian De Beeck & Hermasn (2000) menemukan bahwa risiko psikososial juga dapat berdampak pada timbulnya gangguan muskuloskeletal. Gangguan low back pain memiliki peran yang sangat berkaitan dengan faktor psikososial, seperti rendahnya dukungan sosial, kepuasan kerja, buruknya organisasi kerja dan rendahnya konten pekerjaan. Dampak yang ditimbulkan akibat paparan bahaya fisik dan psikososial terhadap kejadian musculoskeletal akan lebih besar dibandingkan paparan secara terpisah. Dalam penelitian Sim, Lacey, dan Lewis (2006) menunjukkan bahwa faktor fisik dan psikososial berhubungan dengan kerjadian sakit pada leher dan limbik bagian atas. Hal ini terjadi dikarenakan kegiatan mengangkut yang berulang, bekerja dengan lengan bagian atas, rendahnya kesempatan mengontrol pekerjaan, dan rendahnya dukungan supervisor. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa stress juga dapat berdampak pada timbulnya penyakit jantung. Menurut Knutsson (1989) penyakit jantung dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok, darah tinggi, kolesterol tinggi, aterosklerosis, diabetes mellitus, kepribadian tipe A, masalah kehidupan, rendahnya dukungan sosial, dan shift kerja. Dalam penelitian yang dilakukan di Swedia oleh Nurminen & Karjalainen (2001) menunjukkan bahwa peningkatan 48
sekresi hormon stress dalam tubuh akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung. Sindrom metabolik merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan akumulasi lemak visceral dalam tubuh dan berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, depresi dan diabetes. Dalam penelitian Chandola, Brunner & Marmot (2006) mengenai hubungan antara kejadian stress di tempat kerja dengan sindrom metabolik menunjukkan bahwa adanya hubungan dosis-respon antara paparan stress kerja dengan risiko sindrom metabolik. Pekerja yang memiliki stress kerja kronis memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk terkena sindrom metabolik dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalami stress kerja. Hasil penelitian ini juga memberi bukti bahwa adanya hubungan antara stressor psikososial dalam kehidupan seharihari dengan kejadian penyakit jantung (WHO, 2010). c. Efek perilaku Perubahan perilaku akibat kondisi stress dapat terlihat dari konsumsi alkohol, rokok dan obat-obatan, penurunan performansi kerja, apatisme, tingginya angka absenteisme, kecelakaan kerja dan tingginya angka turnover pekerja (Dollard et al., 2003). Sedangkan dalam jangka waktu yang panjang, efek perilaku ini dapat juga berdampak pada perpecahan rumah tangga dan isolasi terhadap kehidupan sosial di sekitarnya (Hardy et al., 1998). Menurut Cox, Griffiths, & Rial Gonzales (2000) risiko psikososial berhubungan erat dengan munculnya perilaku tidak sehat 49
seperti konsumsi alkohol dan rokok berlebih, diet yang rendah dan gangguan tidur. Berdasarkan hasil penelitian Ng & Jeffery (2003) yang dilakukan pada 12110 pekerja dari 26 tempat kerja menunjukkan adanya hubungan antara perasaan stress dengan perilaku. Berdasarkan hasil self-reported responden dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku yang biasa muncul akibat perasaan stress, seperti perilaku seks yang tidak sehat, diet lemak yang tinggi, rendahnya aktivitas, merokok dan peningkatan jumlah rokok, dan rendahnya efikasi diri (WHO, 2010). 2.5.2 Dampak Bagi Perusahaan Sikap para manager dalam menghadapi stress sangat beragam. Di beberapa perusahaan, ada kalanya ketika pekerja mengeluhkan stress akibat beban kerja yang dialaminya maka pilihan yang dihadapinya yaitu berhenti dari pekerjaan tersebut. Padahal seharusnya keluhan tersebut dijadikan bahan evaluasi terhadap stress kerja yang dialami para pekerja. Perusahaan seringkali hanya meninjau pencapaian performa perusahaan. Peninjauan terhadap stress kerja yang dialami pekerja seharusnya dilakukan untuk mencegah meningkatnya tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dikarenakan stress yang dialami pekerja dapat berdampak juga pada performa perusahaan. Berikut adalah beberapa dampak stress kerja bagi perusahaan. a. Meningkatnya keluhan dari klien b. Rendahnya komitmen pekerja untuk mecapai tujuan perusahaan c. Meningkatnya angka kecelakaan kerja 50
d. Meningkatnya angka turnover pekerja e. Meningkatnya absenteisme f. Menurunnya performa kerja Para manajer seharusnya mengenali setiap gejala stress yang dihadapi pekerjanya. Kegagalan dalam mengenali gejala stress di tempat kerja dapat berdampak pada keberlangsungan usaha, termasuk rendahnya motivasi, peningkatan absenteisme, rendahnya produktivitas, kesalahan pengambilan keputusan, rendahnya efisiensi, dan rendahnya hubungan dengan industri lain (Stranks, 2005). 2.6 Pencegahan Stress Kerja Pada dasarnya stress kerja merupakan bahaya pekerjaan yang dapat dicegah dan dikendalikan. Menurut WHO, terdapat tiga langkah dalam mencegah terjadinya stress kerja, antara lain: a. Pencegahan primer Pencegahan stress primer dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian ergonomik, mendesain lingkungan dan pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja, dan melakukan pengembangan organisasi dan manajemen. Dalam mendesain lingkungan dan pekerjaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar mencegah terjadinya stress pada pekerja. Berikut ini adalah beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendesain pekerjaan yang baik.
51
Tabel 2.2 Cara Mendesain Tempat Kerja yang Baik Hal yang harus diperhatikan
Penjelasan Pekerja harus disediakan informasi
Struktur organisasi yang jelas
yang jelas mengenai struktur, tujuan dan praktik organisasi.
Penempatan,
pelatihan,
dan Keterampilan,
pengembangan pekerja yang tepat
pengetahuan
dan
kemampuan pekerja harus disesuaikan dengan kebutuhan yang terdapat di tempat
kerja.
penempatan
Sebelum pekerja
melakukan sebaiknya
dilakukan penilaian terlebih dahulu terhadap kesesuaian antara kemampuan pekerja dengan kebutuhan di tempat kerja. Selain itu, pelatihan yang sesuai juga
harus
disediakan
agar
keterampilan pekerja dapat mengikuti perkembangan tuntutan pekerjaan yang dilakukannya. Supervise yang efektif juga harus dilakukan untuk melindungi pekerja dari kemungkinan terjadinya stress.
52
Deskripsi kerja
Deskripsi
kerja
kebijakan,
tergantung
objektif
dan
dari strategi
perusahaan. Deskripsi kerja yang jelas akan
membantu
pekerja
dalam
memahami perannya di tempat kerja sehingga tidak terjadi ambiguitas peran. Deskripsi kerja yang jelas juga akan membantu pekerja dalam memahami tuntutan
pekerjaan
yang
akan
dihadapinya. Komunikasi
Setiap pekerjaan yang akan dilakukan sebaiknya
dikomunikasikan
dengan
baik antara staff dengan manajer. Komunikasi pekerjaan yang dilakukan harus
bersifat
komprehensif
serta
konsistem dengan deskripsi kerja yang telah ditentukan. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial dan kerja tim yang baik dapat mendorong komitmen kerja yang baik. Hal ini tentunya dapat meningkatkan produktivitas kerja dan menciptakan
suasana
kerja
yang
menyenangkan.
Sumber: (WHO, 2003) 53
b. Pencegahan sekunder Untuk melakukan pencegahan stress sekunder dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pekerja dalam mencegah dan mengatasi stress kerja. c. Pencegahan tersier Langkah pencegahan terakhir yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan sensitivitas dan respon sistem manajemen serta meningkatkan pelayanan kesehatan kerja. Pencegahan tersier ini menekankan pada peningkatan respon dan pelayanan kesehatan kerja yang efisien. Program manajemen stress kerja juga seharusnya dikembangkan dalam langkah pencegahan ini. 2.7 Penanggulangan Stress Kerja Menurut NIOSH, pengendalian stress di tempat kerja dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu pendekatan dalam manajemen stress dan perubahan organisasi. a. Manajemen stress Manajemen stress biasanya dilakukan dengan cara memberikan pelatihan manajemen stress bagi para pekerja melalui Employee Assistance Program (EAP). Pelatihan ini diberikan untuk meningkatkan kemampuan pekerja dalam mengatasi situasi pekerjaan yang sulit. Hampir setengah dari perusahaan besar di Amerika Serikat telah menyediakan pelatihan manajemen stress bagi para pekerja mereka. Program manajemen stress ini mencakup penjelasan mengenai sifat dan sumber stress, dampak stress bagi kesehatan, dan kemampuan untuk mengurangi stress bagi pekerja. 54
Employee Assistance Program ini menyediakan pelayanan konseling bagi pekerja mengenai permasalah pribadi maupun pekerjaan. Pelatihan manajemen stress ini dapat membantu dengan cepat dalam mengurangi gejala stress, seperti kecemasan dan gangguan tidur. Keuntungan mengimplementasikan
program
ini
yaitu
murah
dan
mudah
diimplementasikan. Akan tetapi, kelemahan program ini yaitu efek gejala stress
seringkali
bersifat
sementara
sehingga
pekerja
seringkali
mengabaikannya. b. Perubahan organisasi Perubahan organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan untuk melakukan perbaikan kondisi kerja di suatu organisasi. Pendekatan ini cara langsung yang dapat digunakan untuk mengurangi stress di tempat kerja. Pendekatan cara ini dilakukan dengan cara mengidentidikasi aspek stress kerja yang terdapat di tempat kerja, seperti beban kerja berlebih, harapan yang bertentangan, dll dan melakukan desain strategi untuk mengurangi atau menghilangkan stressor yang telah diidentifikasi. Keuntungan dari pendekatan ini yaitu secara langsung mengatasi permasalahan stress kerja hingga ke penyebab dasarnya. Akan tetapi, para manajer seringkali tidak menyukai pendekatan ini karena melibatkan perubahan dalam rutinitas kerja, jadwal produksi atau perubahan struktur organisasi. Secara umum, prioritas utama dalam menanggulangi stress kerja harus dilakukan dengan cara perubahan organisasi untuk memperbaiki kondisi kerja. Akan tetapi, kombinasi perubahan organisasi
55
dan manajemen stress marupakan pendekatan yang paling sesuai untuk dapat mengurangi stress di tempat kerja (NIOSH, 1999a). 2.8 Cara Pengukuran Stress Kerja Menurut Karoley (1985) dalam (Desy, 2002), teknik pengukuran stress dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a. Self Report Measure Pengukuran dengan metode ini dilakukan dengan menanyakan intensitas pengalaman baik psikologis, fisiologis dan perubahan fisik yang dialami seseorang menggunakan kuesioner. Teknik ini seringkali disebut life event scale. Teknik ini mengukur stress dengan cara mengobservasi perubahan perilaku seseorang, seperti kurangnya konsentrasi, cenderung berbuat salah, bekerja dengan lambat, dll. b. Physiological Measure Pengukuran metode ini dilakukan dengan cara melihat perubahan yang terjadi pada kondisi fisik seseorang, seperti perubahan tekanan darah, ketegangan otot bahu, leher, dan pundak. Cara ini dianggap memiliki reliabilitas paling tinggi akan tetapi sebenarnya tergantung pada alat yang digunakan serta pengukur itu sendiri. c. Biochemical Measure Pengukuran metode ini dilakukan dengan melihat respon biokimia melalui perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah dilakukan pemberian stimulus. Reliabilitas pengukuran dengan metode ini tergolong cukup tinggi tetapi hasil pengukurannya dapat berubah jika subjek penelitiannya memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, dan kopi. Hal 56
ini dikarenakan kandungan dalam rokok, alkohol, dan kopi dapat mempengaruhi kadar hormon tersebut di dalam tubuh. Dari ketiga cara di atas pengukuran life event scale paling sering digunakan dalam pengukuran stress. Hal ini dikarenakan penggunaannya yang mudah serta biaya yang relatif mudah meskipun tidak dapat dihindari adanya keterbatasan tertentu. 2.9 Instrumen Pengukuran Stress Kerja Saat ini telah berkembang banyak penelitian mengenai stress kerja yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan pun menggunakan berbagai macam jenis instrumen mengenai kondisi pekerjaan, potensial stressor, kesehatan dan kesejahteraan pekerja, kepuasan kerja dan keadaan suasana hati. Berbagai macam instrument pengukuran yang telah distandarisasi dan teruji baik validitas maupun reliabilitasnya. Berikut ini adalah beberapa macam instrumen pengukuran stress kerja.
57
Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Pengukuran
Nama Instrumen Job Content Questionnaire
Penyusun Karasek, 1985
Kelebihan a. Dapat stress
digunakan yang
Kekurangan
untuk
mengukur a. Hanya berfokus pada penilaian
berhubungan
dengan
situasi psikologi dan sosial di
kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan kejadian penyakit jantung koroner b. Relevan
untuk
lingkungan kerja b. Tidak ada penilaian kepribadian
digunakan
dalam
dan faktor di luar pekerjaan
mengukur motivasi pekerja, kepuasan kerja,
absenteisme
dan
turnover
pekerja c. Validitas dan reliabilitas kuesioner sudah teruji d. Dapat digunakan pada berbagai sektor industri
54
Nama Instrumen AnOrganizational
Penyusun
Stress Cartwright dan Cooper,
Screening Tool (ASSET)
2002
Kelebihan
Kekurangan
a. Faktor sumber stress yang dinilai berorientasi pada lingkungan kerja b. Mengukur efek stress pada kondisi psikologis dan kesehatan fisik pekerja
Quality
of
Questionnaire
Worklife NIOSH dan Institute for The
Social
Research
University of Michigan
a. Digunakan untuk mengevaluasi faktor a. Hanya mengukur efek stress pada yang berhubungan dengan stress kerja
kesehatan fisik
dan kepuasan kerja b. Dapat
digunakan
juga
untuk
mengetahui karakteristik organisasi dan hubungan terhadap kualitas kesehatan dan keselamatan pekerja
55
Nama Instrumen Job Stress Survey (JSS)
Penyusun Spielberg, 1994
Kelebihan
Kekurangan
a. Dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan lingkungan
dan
frekuensi
tempat
kerja
faktor yang
berdampak pada psikologis pekerja b. Dapat digunakan mengevaluasi peningkatan menurunkan
lingkungan kondisi
stress
a. Fokus penilaian hanya pada faktor lingkungan kerja dan dampaknya terhadap perubahan psikologis b. Validitas
dan
dan
reliabilitas
diragukan
kerja, dan
meningkatkan produktivitas kerja
56
Nama Instrumen
Penyusun
NIOSH Generic Job Stress Hurrell dan McLaney, Questionnaire
1988
Kekurangan
Kelebihan
a. Mengukur sumber stress yang berasal a. Pengukuran dari dalam maupun luar lingkungan pekerjaan
serta
faktor
dibutuhkan
stress
kronis
konsultasi
bersama
pendukung petugas medis
lainnya b. Mengevaluasi efek stress pada kondisi akut dan kronis c. Reliabilitas dan validitas instrument telah teruji d. Tersedia dalam berbagai bahasa The Hassles and Uplifts Kanner, Coyne, Schaefer a. Dapat Scales
dan Lazarus, 1981
digunakan
untuk
mengukur a. Menyediakan
kondisi stress yang terjadi dalam
sedikit
informasi
untuk
yang
melakukan
kehidupan sehari-hari intervensi pencegahan stress kerja b. Sumber stress yang diukur berasal dari dalam maupun luar lingkungan kerja
57
Nama Instrumen HSE Indicator Tool (HSE)
Penyusun Health
and
Kelebihan Safety
Kekurangan
a. Dapat digunakan untuk menanggulangi faktor risiko stress yang berhubungan
Executive
a. Hanya dapat digunakan untuk mengukur sumber stress yang terdapat di lingkungan kerja
dengan pekerjaan b. Hasil temuan dalam instrumen ini b. Penggunaannya dapat dipakai sebagai instrument tunggal atau digabungkan
harus didiskusikan lagi bersama dengan dilengkapi
dengan instrumen lainnya
para
pekerja dengan
serta data
pendukung, seperti data turnover pekerja, tingkat absenteisme, dll.
Life Event Scale
Thomas
Holmes
Richard Rahe, 1967
dan
a. Digunakan
untuk
memprediksi
hubungan antara kejadian yang dialami
a. Penggunaannya harus dilakukan dengan disertai konsultasi pada
6 bulan terakhir dengan munculnya penyakit
dokter atau data medis
Sumber: (HSE, 2001) Dari hasil perbandingan di atas, peneliti memilih menggunakan kuesioner NIOSH Generic Job Stress Questionnaire. Hal ini dikarenakan kuesioner tersebut memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kuesioner lainnya terutama faktor sumber stress yang
58
diukur lebih bersifat komprehensif. Selain itu, kuesioner ini merupakan instrumen baku pengukuran stress kerja yang disahkan oleh NIOSH. Reliabilitas dan validitas kuesioner juga dapat dipercaya karena sudah diuji dan sering digunakan dalam penelitian
59
2.10 Kerangka Teori
a. b. c. d. e. f. g.
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Faktor Individual Jenis Kelamin Umur Status Pernikahan Jumlah dan Umur Anak Masa Kerja Kepribadian Tipe A Penilaian Diri
Faktor Pekerjaan Kebisingan Pencahayaan Suhu Ventilasi Konflik Peran Ketaksaan Peran Konflik Interpersonal Ketidakpastian Pekerjaan Kurangnya Kontrol Kurangnya Kesempatan Kerja Jumlah Beban Kerja Variasi Beban Kerja Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain Kemampuan yang Tidak Digunakan Tuntutan Mental Shift Kerja
Stress Kerja Akut
Stress Kerja Kronis
Faktor di Luar Pekerjaan Aktivitas di Luar Pekerjaan
Faktor Pendukung Dukungan Sosial Sumber: Caplan, Cobb, French, Harrison, dan Pinneau (1975), Cooper dan Marshal (1976), dan House (1974) dalam (Murphy & Hurrell, 1992) Bagan 2.2 Kerangka Teori 60
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep mengacu pada variabel yang akan diteliti. Berdasarkan pada kerangka teori pada bab sebelumnya, maka variabel yang akan diteliti pada penelitian ini, yaitu variabel independen yang terdiri dari faktor individual, faktor pekerjaan, faktor aktivitas di luar pekerjaan, dan faktor pendukung. Sedangkan variabel dependen yang akan diukur yaitu stress kerja akut. Adapun stress kerja kronis tidak dilakukan pengukuran karena adanya keterbatasan penelitian berupa tidak tersedianya data medical check up untuk mendukung penentuan tingkat stress kerja kronis. Berikut ini adalah gambaran kerangka konsep yang akan diteliti:
61
Variabel Independen a. b. c. d. e. f. g.
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Faktor Individual Jenis Kelamin Umur Status Pernikahan Jumlah Anak Masa Kerja Kepribadian Tipe A Penilaian Diri
Faktor Pekerjaan Kebisingan Pencahayaan Suhu Ventilasi Konflik Peran Ketaksaan Peran Konflik Interpersonal Ketidakpastian Pekerjaan Kurangnya Kontrol Kurangnya Kesempatan Kerja Jumlah Beban Kerja Variasi Beban Kerja Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain Kemampuan yang Tidak Digunakan Tuntutan Mental Shift Kerja
Variabel Dependen
Stress Kerja Akut
Faktor di Luar Pekerjaan Aktivitas di Luar Pekerjaan
Faktor Pendukung Dukungan Sosial Bagan 3.1 Kerangka Konsep
62
3.2 Definisi Operasional No 1
2
3
4
5
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
Stress Kerja Akut Keluhan stress yang dialami NIOSH Generic responden berdasarkan perubahan Job Stress fisiologis dan psikologis yang Questionnaire dialaminya
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Jenis Kelamin
Perbedaan laki-laki dan perempuan NIOSH Generic secara biologis dan fisiologis dari Job Stress sejak lahir Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Jumlah tahun yang dihitung mulai NIOSH Generic dari responden lahir sampai waktu Job Stress pengumpulan data ini dilakukan Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Umur saat ini (dalam tahun)
Keterangan yang menunjukkan NIOSH Generic riwayat pernikahan tenaga kerja Job Stress sesuai yang tercantum di dalam Questionnaire kartu identitas pekerja
Menyebarkan kuesioner kepada responden
1. Tidak Menikah
Jumlah anak yang dimiliki NIOSH Generic responden yang dalam keadaan Job Stress hidup sampai waktu pengumpulan Questionnaire data ini dilakukan
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Umur
Status Pernikahan
Jumlah Anak
1. Perempuan
Ordinal
2. Laki-laki
Rasio
Ordinal
2. Menikah
Jumlah anak
Rasio
63
No
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
6
Masa Kerja
Jumlah waktu yang telah dilalui NIOSH Generic pekerja sejak bekerja di PT X Job Stress Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
7
Kepribadian Tipe A
Kepribadian individu yang NIOSH Generic cenderung bersifat kompetitif, Job Stress ambisius, tidak sabar, agresif dan Questionnaire sangat kritis
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Penilaian Diri
Persepsi individu terhadap NIOSH Generic kemampuan, keberhasilan, dan Job Stress kelayakan dirinya yang dapat Questionnaire mempengaruhi perilaku individu tersebut
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Persepsi pekerja terhadap tingkat kebisingan yang terdapat di sekitar lingkungan kerja yang disertai dengan hasil pengukuran kebisingan di lingkungan kerja sebagai data pendukung
Menyebarkan kuesioner kepada responden
8
9
Kebisingan
NIOSH Generic Job Stress Questionnaire dan Data Hasil Pengukuran Kebisingan
Hasil Ukur
Skala
Lama kerja (dalam bulan)
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
1. Bising
Ordinal
2. Tidak bising
64
No 10
11
12
Variabel Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Definisi Persepsi pekerja terhadap tingkat pencahayaan yang terdapat di sekitar lingkungan kerja yang disertai dengan pengukuran tingkat pencahayaan di lingkungan kerja untuk mengetahui kondisi aktual sebagai data pendukung
Alat Ukur
Cara Ukur
NIOSH Generic Job Stress Questionnaire dan Luxmeter
Menyebarkan kuesioner kepada responden dan pengukuran tingkat pencahayaan (hanya sebagai data pendukung)
Persepsi pekerja terhadap kenyamanan suhu di lingkungan kerja yang disertai dengan hasil pengukuran suhu udara di lingkungan kerja untuk mengetahui kondisi aktual sebagai data pendukung
NIOSH Generic Job Stress Questionnaire dan Termohigrometer
Menyebarkan kuesioner kepada responden dan pengukuran suhu udara di lingkungan kerja (hanya sebagai data pendukung)
Persepsi pekerja terhadap kualitas udara yang terdapat di sekitar lingkungan kerja yang disertai dengan hasil pengukuran kadar debu di lingkungan kerja dan ukuran ventilasi yang tersedia untuk mengetahui kondisi aktual sebagai data pendukung
NIOSH Generic Job Stress Questionnaire, Data Hasil Pengukuran Kadar Debu, dan alat ukur meteran
Menyebarkan kuesioner kepada responden dan pengukuran luas ruangan serta ventilasi di ruang kerja (hanya sebagai data pendukung)
Hasil Ukur
Skala
1. Buruk Ordinal 2. Baik
1. Tidak Nyaman Ordinal 2. Nyaman
1. Buruk Ordinal 2. Baik
65
No
Variabel
13
Konflik Peran
14
15
16
17
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Tuntutan perusahaan terhadap NIOSH Generic responden untuk bekerja di luar Job Stress ketentuan yang berlaku atau cara Questionnaire yang berbeda
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Ketidakjelasan informasi mengenai NIOSH Generic pekerjaan yang harus dilakukan Job Stress sehingga menimbulkan Questionnaire ketidakpahaman mengenai pekerjaan yang harus dilakukan
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Konflik Interpersonal
Permasalahan yang dihadapi antara NIOSH Generic responden dengan rekan kerja Job Stress akibat interaksi sosial yang tidak Questionnaire terjalin dengan baik
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Ketidakpastian Pekerjaan
Ketidakpastian mengenai masa NIOSH Generic depan pekerjaan yang saat ini Job Stress dilakukan oleh responden Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Kurangnya Kontrol
Kurangnya otoritas responden NIOSH Generic untuk melakukan kontrol terhadap Job Stress pekerjaan yang dilakukannya Questionnaire maupun hal-hal yang terkait pekerjaannya
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Ketaksaan Peran
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
Rasio Rata-rata skor
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
66
No 18
19
20
21
22
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
Kurangnya Kesempatan Kerja
Rendahnya kesempatan pekerjaan NIOSH Generic yang tersedia di perusahaan lain Job Stress Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Jumlah Beban Kerja
Banyaknya jumlah pekerjaan yang harus dilakukan oleh responden
NIOSH Generic Job Stress Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Rata-rata skor
Rasio
Beragam jenis pekerjaan yang NIOSH Generic diberikan kepada pekerja dengan Job Stress tuntutan kemampuan yang berbeda- Questionnaire beda
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Rata-rata skor
Rasio
Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain
Tanggung jawab yang harus NIOSH Generic dilakukan responden terhadap Job Stress keamanan dan keselamatan pekerja Questionnaire lain
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Rata-rata skor
Rasio
Keterampilan yang Tidak Digunakan
Kemampuan yang dimiliki NIOSH Generic responden yang tidak digunakan Job Stress dalam melaksanakan pekerjaan Questionnaire yang dilakukannya
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Rata-rata skor
Rasio
Variasi Beban Kerja
67
No 23
24
25
26
Variabel Tuntutan Mental
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Tuntutan pekerjaan yang berkaitan NIOSH Generic dengan kondisi mental Job Stress Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Kerja bergilir yang dilakukan di luar waktu kerja yang normal
NIOSH Generic Job Stress Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Aktivitas di Luar Pekerjaan
Kegiatan yang dilakukan di luar NIOSH Generic jam kerja yang berkaitan dengan Job Stress keluarga, pendidikan, maupun Questionnaire kegiatan di lingkungan masyarakat
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Dukungan Sosial
Hubungan sosial responden yang NIOSH Generic terjalin dengan atasan, rekan kerja Job Stress maupun kerabat Questionnaire
Menyebarkan kuesioner kepada responden
Shift Kerja
Hasil Ukur
Skala
Rata-rata skor
Rasio
1. Shift 2. Tidak Shift
Ordinal
Rata-rata skor
Rasio
Rata-rata skor
Rasio
68
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 2. Ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 3. Ada hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 4. Ada hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014
69
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian yang dilakukan untuk menguji kausal atau determinan suatu fenomena. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja yang dapat diukur pada saat yang bersamaan. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Jumlah pekerja berjumlah 113 orang. Berikut adalah data jumlah pekerja di masing-masing departemen.
70
Tabel 4.1 Data Pekerja PT X Nama Departemen
Jumlah Pekerja
Departemen Produksi
41 orang
Departemen HR-GA
11 orang
Departemen Supply Chain
20 orang
Departemen Engineering & Maintenance
11 orang
Departemen Project & HSE
3 orang
Departemen Finance & Admin
7 orang
Departemen Sales & Marketing
7 orang
Departemen General Resource
5 orang
Departemen Lab
8 orang
Sumber: Departemen HR-GA PT X
4.3.2 Sampel Besar sampel untuk uji hipotesis koefisien korelasi dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Dimana : Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Z = 1.96 Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10 %, maka Z = 1.28 r = korelasi minimal yang dianggap bermakna. Ditetapkan sebesar 0.4 Dengan demikian, 71
Untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban responden maka jumlah sampel akan dilebihkan sebesar 10 % sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi 69 responden. 4.3.3 Metode Sampling Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random sampling. Systematic random sampling dilakukan agar jumlah sampel yang didapatkan tersebar di seluruh departemen. Adapun perhitungan interval untuk systematic random sampling yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
72
Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan interval antar sampel sebesar dua. Sehingga sampel pertama merupakan nama pertama yang terdapat di dalam sampling frame dan untuk sampel selanjutnya akan ditambahkan dua dari nomor urut sampel, yaitu nomor 1, 3, 5, 7, dst. 4.4 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah NIOSH Generic Job Stress Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia. Pemilihan kuesioner ini karena kuesioner ini memiliki variabel stress kerja yang paling lengkap untuk diukur meliputi variabel yang mempengaruhi stress maupun variabel indikator stress. Daftar pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner tersebut terdiri dari 25 variabel penyebab stress dan 2 indikator stress berupa perubahan psikologis dan fisiologis. Indikator stress berupa perubahan perilaku tidak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan tidak sesuai untuk mengukur stress pada responden di Indonesia. Setiap item kuesioner menggunakan skala penilaian yang berbeda-beda, ada yang menggunakan 5 skala Likert ada juga yang menggunakan 7 skala Likert. Berikut ini adalah contoh pemberian skoring untuk 5 skala Likert seperti dalam tabel 4.2
73
Tabel 4.2 Skoring Instrumen NIOSH Generic Job Stress Questionnaire Sangat Contoh
Tidak Tidak
Item
Sangat Biasa Saja
Setuju
Setuju
Setuju
Setuju Skor Item
1
2
3
4
5
5
4
3
2
1
Positif Skor Item Negatif Contoh skoring akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk variabel satu misalnya rata-rata nilai yang didapatkan pada satu orang yaitu: A1 + A2 + A3 + A4 + A5 +A6 + A7/7 Perhitungan nilai rata-rata untuk tiap individu dilakukan dengan membagi antara skor total jawaban dengan jumlah pertanyaan yaitu sebesar 7. Adapun contoh penghitungan total rata-rata dari rata-rata variabel 1 : 1. 5 orang mempunyai rata-rata skor untuk variabel 1 masing-masing sebagai berikut : 2,67 ; 2,33 ; 2,44 ; 2,56 ; 2,67 2. Maka total rata-rata populasi adalah : (2,67 + 2,33 + 2,44 + 2,56 + 2,67)/5 = 2,53 3. Begitu seterusnya pada variabel-variabel lainnya.
74
4. Kemudian rata-rata tersebut nilainya akan dibandingkan dengan nilai median dari setiap total rata-rata minimum dan maksimum untuk tiap variabelnya. Selain menggunakan kuesioner, instrumen yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah alat luxmeter, termohigrometer, dan alat ukur meteran. Alat luxmeter digunakan untuk mengukur tingkat pencahayaan di lingkungan kerja. Alat termohigrometer digunakan untuk mengukur suhu udara di lingkungan kerja. Alat ukur meteran digunakan untuk mengukur panjang dan lebar ventilasi. 4.5 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 4.5.1 Validitas Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan alat ukur dapat mengukur objek secara tepat atau tidak. Pengujian validitas kuesioner dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun tidak valid. Item kuesioner yang tidak valid tidak dapat digunakan untuk dilakukan
pengukuran
dan
pengujian.
Pengujian
validitas
dapat
menggunakan rumus statistik koefisien korelasi product moment. Hasil analisis yang didapatkan lalu dibandingkan dengan tabel r kritis product moment. Item pertanyaan dapat dianggap valid jika hasil perhitungan statistik > tabel r kritis product moment dan begitu juga sebaliknya (Notoatmodjo, 2010). NIOSH Generic Job Stress Questionnaire disusun untuk mengukur spesifik stressor dan efek stress yang timbul. Kuesioner ini diadaptasi dari berbagai skala yang memiliki reliabilitas dan validitas yang dapat dipercaya sehingga kuesioner ini dapat digunakan untuk
75
mengukur stress kerja pada berbagai jenis pekerjaan (Stroh, Northcraft, & Neale, 2008). 4.5.2 Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas biasanya menunjukkan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten bila dilakukan berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama. Pengujian reliabilitas salah satunya dapat dilakukan dengan rumus statistik alpha cronbach. Hasil analisis reliabilitas tersebut nantinya akan dibandingkan dengan tabel r kritis product moment. Apabila hasil perhitungan statistik > nilai tabel r kritis product moment maka alat ukur yang digunakan dinyatakan reliabel (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan pada petugas pemadam kebakaran di Iran menunjukkan nilai reliabilitas NIOSH Generic Job Stress Questionnaire sebesar lebih dari 0,7 (Kazronian, Zakerian, Saraji, & Hosseini, 2013). Sedangkan reliabilitas NIOSH Generic Job Stress Questionnaire yang digunakan di Jepang memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0,68 (Yasuaki, Takeji, & Yoshihiro, 2012). Berdasarkan hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan didapatkan nilai alpha cronbach sebesar 0,804. Jika dibandingkan dengan nilai r kritis sebesar 0,6 maka kuesioner ini sudah dianggap reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penelitian.
76
4.6 Pengumpulan Data 1. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh pekerja di PT X dan pengukuran tingkat pencahayaan dan suhu udara. Berikut ini adalah teknik pengumpulan data masing-masing instrumen: a. Pengisian kuesioner Teknik pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada pekerja yang menjadi sampel penelitian ini dan terlebih dahulu akan dijelaskan maksud dan tujuan penelitian serta cara pengisian kuesioner. b. Pengukuran tingkat pencahayaan Pengukuran cahaya dilakukan pada area office dan plant. Pengukuran cahaya dilakukan pada penerangan setempat, yaitu pada masing-masing meja kerja responden. Pengukuran dilakukan menggunakan alat luxmeter. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi terlebih dahulu. Kemudian alat tersebut akan diletakkan pada meja responden. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap meja dan hasil akhirnya merupakan rata-rata dari ketiga pengukuran tersebut. Hasil akhir pengukuran dari setiap meja akan dibandingkan dengan batas minimal pencahayaan berdasarkan SNI 03-6197-200 mengenai konservasi energi pada sistem pencahayaan. Adapun batas minimal pencahayaan pada masing-masing ruang kerja adalah sebagai berikut: 1. Lobby
: 100 lux
2. Ruang kerja
: 350 lux 77
3. Laboratorium : 500 lux 4. Plant
: 200lux
c. Pengukuran suhu udara Pengukuran suhu udara dilakukan pada seluruh area kerja responden, yaitu area office dan plant. Pengukuran dilakukan menggunakan termohigrometer. Alat tersebut akan diletakkan di area kerja sekitar pekerja dan didiamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit maka alat akan menunjukkan suhu dan kelembaban udara sekitar. Hasil pengukuran akan dibandingkan dengan persyaratan suhu dan kelembaban ruang kerja berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405 Tahun 2002, yaitu suhu sebesar 18 – 28oC dan kelembaban sebesar 40 – 60 %. d. Pengukuran ventilasi Pengukuran ventilasi dilakukan pada seluruh area kerja responden yaitu di area office. Pengukuran dilakukan menggunakan alat ukur meteran. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui luas ruangan serta luas ventilasi yang terdapat di ruang kerja responden. Hasil pengukuran ini akan dibandingkan dengan persyaratan ventilasi minimum berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405 Tahun 2002, yaitu luas ventilasi minimum 15 % dari luas lantai. 2. Data Sekunder Adapun data sekunder yang digunakan yaitu berupa data hasil pengukuran kadar debu dan kebisingan milik Departemen HSE PT X. Berikut adalah tata cara pelaksanaan pengukuran yang dilakukan:
78
a. Pengukuran kebisingan Hasil pengukuran kebisingan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan oleh Departemen HSE PT X pada bulan Desember 2013. Pengukuran kebisingan ini dilakukan pada beberapa titik, yaitu depan office, mill 1, mill 3, warehouse, dan kompresor. Pengukuran dilakukan menggunakan alat Sound Level Meter. Hasil pengukuran kebisingan ini akan dibandingkan dengan NAB kebisingan berdasarkan Permenaker No 13 Tahun 2011, yaitu sebesar 85 dB. b. Pengukuran kadar debu Hasil pengukuran kadar debu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran kadar debu yang dilakukan oleh Departemen HSE PT X pada bulan Mei 2014. Pengukuran kadar debu ini dilakukan pada 17 titik di lingkungan kerja. Pengukuran kadar debu dilakukan dengan
menggunakan
alat
AirChek
XR500.
Sebelum
dilakukan
pengukuran, alat akan dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan calibration jar. Kemudian alat tersebut dipasangkan dengan cassette yang berfungsi sebagai wadah penampung debu. Setelah itu, alat tersebut akan diletakkan di lingkungan kerja yang akan diukur selama 8 jam kerja. Setelah pengukuran selesai dilakukan pada seluruh area maka hasilnya akan dianalisis di laboratorium dan didapatkan hasilnya. Hasil analisis tersebut akan dibandingkan dengan NAB kadar debu silika kristalin berdasarkan Permenaker No 13 Tahun 2011, yaitu sebesar 0,5 mg/m3.
79
4.7 Pengolahan Data 1. Mengkode data (data coding) Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban responden. Hal ini dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah pengolahan data selanjutnya. Coding dilakukan pada pada seluruh bagian dalam kuesioner, yaitu: Tabel 4.3 Daftar Kode dan Skoring Variabel No 1
Variabel Jenis kelamin
Kode dan Skoring Laki-laki = 1
Keterangan Jenis kelamin perempuan lebih berisiko mengalami stress kerja
Perempuan = 2
2
Umur
Umur responden dalam tahun
Semakin muda usia maka semakin berisiko mengalami stress kerja
3
Status pernikahan
Menikah = 1
Status tidak menikah lebih berisiko mengalami stress kerja
Tidak Menikah = 2 4
Jumlah Anak
Semakin banyak jumlah anak maka semakin berisiko mengalami stress kerja
Jumlah anak saat ini
5
Masa Kerja
Jumlah bulan
masa
kerja
6
Kepribadian Tipe A Sangat tidak tepat = 1
dalam
Tidak tepat = 2 Netral =3 Tepat =4
Semakin lama masa kerja maka semakin berisiko mengalami stress kerja Skor total 1-5 Semakin tinggi skor maka semakin berhubungan dengan stress kerja
Sangat Tepat = 5 Untuk pernyataan yang bersifat berlawanan dengan variabel maka pemberian kode dibalik. 80
No 7
Variabel
Kode dan Skoring
Penilaian Diri dan Sangat tidak setuju = 1 Dukungan Sosial
Tidak setuju = 2 Netral =3 Setuju =4
Keterangan Skor total 1-5 Semakin rendah skor variabel tersebut maka semakin berhubungan dengan stress kerja
Sangat setuju = 5 Untuk pernyataan yang bersifat berlawanan dengan variabel maka pemberian kode dibalik. 8
Kebisingan
Tidak Bising = 1 Bising = 2
9
Pencahayaan
Baik = 1 Buruk = 2
10
Suhu
Nyaman = 1 Tidak Nyaman = 2
11
Ventilasi
Baik = 1 Buruk = 2
12
Kondisi bising memicu terjadinya stress kerja Kondisi pencahayaan yang buruk memicu terjadinya stress kerja Kondisi suhu yang tidak nyaman memicu terjadinya stress kerja Kondisi ventilasi yang buruk memicu terjadinya stress kerja
Konflik peran dan
Sangat tidak tepat sekali = 1
Skor total 1 – 7
ketaksaan peran
Sangat tidak tepat = 2
Semakin tinggi skor variabel tersebut maka semakin berhubungan dengan stress kerja
Kurang tepat = 3 Tidak tepat = 4 Tepat = 5 Sangat tepat = 6 Sangat tepat sekali = 7 Untuk pernyataan yang bersifat berlawanan maka pemberian kode dibalik.
81
No
Variabel
13
Konflik interpersonal, Ketidakpastian pekerjaan, Kurangnya Kontrol, Kurangnya Kesempatan Kerja, Jumlah Beban Kerja, Variasi Beban Kerja, Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain, Kemampuan yang Tidak Digunakan
Sangat tidak setuju = 1
Skor total 1-5
Tidak setuju = 2
Semakin tinggi skor variabel tersebut maka semakin berhubungan dengan stress kerja
Tuntutan mental
Sangat setuju = 1
Skor total 1-4
Agak setuju = 2
Semakin tinggi skor maka semakin berhubungan dengan stress kerja
14
Kode dan Skoring
Netral =3 Setuju =4
Keterangan
Sangat setuju = 5 Pemberian kode ini juga dilakukan untuk skala sangat tidak yakin – sangat yakin, tidak pernah – sangat sering, dan sangat tidak tepat – sangat tepat. Untuk pernyataan yang bersifat berlawanan dengan variabel maka pemberian kode dibalik.
Agak tidak setuju = 3 Sangat tidak setuju = 4 Penyataan yang berlawanan dengan kategori maka pemberian kode dibalik 15
Shift Kerja
Tidak Shift = 1 Shift =2
16
Aktivitas di Luar Ya = 1 Pekerjaan
Pekerjaan yang memiliki shift lebih berhubungan dengan stress kerja Skor Total 0 – 5
Semakin tinggi skor maka semakin Pertanyaan yang bersifat berhubungan dengan negatif maka pemberian kode stress kerja dibalik Tidak = 0
82
2. Menyunting data (data editing) Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, dan konsistensi pengisian jawaban kuesioner. 3. Memasukkan data (data entry) Memasukkan data dari hasil kuesioner yang sudah diberikan kode pada masing-masing variabel. Data dimasukkan ke dalam program SPSS untuk dianalisis univariat dan bivariat. 4. Membersihkan data (data cleaning) Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan ke program SPSS untuk memastikan kelengkapan data dan siap untuk diolah dan dianalisis. 4.8 Analisis Data 4.8.1 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase masing-masing variabel independen dan dependen pada penelitian ini. 4.8.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis data yang dilakukan menggunakan dua jenis uji yaitu uji Korelasi Pearson untuk seluruh variabel kecuali variabel jenis kelamin, status pernikahan, kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, dan shift kerja menggunakan uji T-Test Independen karena jenis data yang akan diuji berupa data kategorik dengan data numerik . 83
Adapun rumus uji korelasi adalah sebagai berikut:
Nilai korelasi biasanya berkisar antara -1 sampai dengan 1. Nilai r dapat diartikan sebagai berikut: r = 0 berarti tidak ada hubungan linear r = -1 berarti hubungan linear negatif sempurna r = 1 berarti hubungan linear positif sempurna Sedangkan menurut Colton, kekuatan hubungan antara dua variabel dibagi menjadi empat, yaitu: r = 0 - 0,25 berarti tidak ada hubungan atau hubungan lemah r = 0,26 – 0,50 berarti hubungan sedang r = 0,51 – 0,75 berarti hubungan kuat r = 0,76 – 1 berarti hubungan sangat kuat (Amran, 2012) 4.8.3 Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling dominan berhubungan terhadap variabel dependen. Analisis multivariat yang akan dilakukan yaitu menggunakan analisis regresi linier ganda. Analisis regresi linier ganda ini merupakan analisis hubungan antara beberapa variabel independen dengan variabel dependen. Fungsi dari analisis regresi linier ganda, yaitu memprediksi dan mengestimasi. Fungsi prediksi yaitu untuk memperkirakan variabel dependen dengan menggunakan informasi yang ada pada sebuah variabel. Sedangkan fungsi 84
estimasi yaitu untuk mengkuantifikasi hubungan sebuah atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen. Untuk melakukan
analisis multivariat maka harus dilakukan uji
asumsi analisis multivariat yang terdiri dari lima tahap, antara lain: 1. Asumsi Eksistensi Asumsi ini berkaitan dengan teknik pengambilan sampel. Cara mengetahui asumsi ini yaitu dengan melakukan analisis deskriptif
variabel
residual
dari
model.
Bila
residual
menunjukkan adanya mean mendekati nol dan sebaran maka asumsi ini terpenuhi. 2. Asumsi Independensi Merupakan suatu kondisi dimana masing-masing nilai variabel dependen bebas satu sama lain. Untuk mengetahui asumsi ini dilakukan dengan uji Durbin Watson. Bila nilai uji Durbin Watson berkisar antara nilai -2 hingga 2 berarti asumsi independensi terpenuhi. 3. Asumsi Liniearitas Nilai mean dari variabel dependen dapat membentuk kombinasi X1, X2, X3, …Xk yang terletak pada garis yang dibentuk dari persamaan regresi. Untuk mengetahui asumsi liniearitas dapat diketahui dari uji Anova bila hasilnya signifikan Pvalue < alpha maka model berbentuk linier.
85
4. Asumsi Homoscedascity Asumsi ini merupakan varian nilai varibel dependen sama untuk semua nilai variabel independen. Untuk mengetahui asumsi ini dilakukan dengan melakukan pembuatan plot residual. Bila titik tebaran tidak berpola tertentu dan menyebar merata di garis titik nol maka dapat disebut varian homogen pada setiap variabel independen yang artinya asumsi ini terpenuhi. Bila titik tebaran membentuk pola tertentu maka variannya diduga terjadi heteroscedascity. 5. Asumsi Normalitas Pada asumsi ini variabel dependen mempunyai distribusi normal untuk setiap pengamatan variabel independen. Asumsi ini dapat diketahui dari nilai normal P-P plot residual. Bila data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Amran, 2012). Analisis ini dilakukan dengan memasukkan kandidat variabel yang dianalisis secara multivariat. Kandidat variabel tersebut merupakan variabel yang memiliki nilai Pvalue < 0,25. Selanjutnya setelah dianalisis secara bersamaan maka variabel yang dapat masuk ke dalam model multivariat hanya variabel yang memiliki nilai Pvalue ≤ 0,05. Proses pengeluaran variabel yang memiliki Pvalue > 0,05 dilakukan satu persatu hingga semua variabel memiliki Pvalue ≤ 0,05. Setelah itu, seluruh variabel yang masuk ke dalam model analisis multivariat akan dilakukan
86
uji asumsi. Kemudian dilanjutkan model matematis untuk memprediksi variabel dependennya. Berikut adalah persamaan regresi yang diperoleh: Y = a + bnxn Keterangan: Y : variabel dependen
X : variabel independen
4.9 Penyajian Data Penyajian data dilakukan untuk menyusun informasi secara baik dan akurat sehingga memudahkan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel disertai uraian mengenai isi tabel tersebut.
87
BAB V HASIL 5.1 Gambaran Umum Perusahaan 5.1.1 Profil Perusahaan PT X merupakan anggota dari Sablieres et Carriere Reunies (SCR)S yang berpusat di Belgia. didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas Emsens. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan mineral terutama silika maka SCR-S mengembangkan usahanya hingga ke beberapa negara termasuk salah satunya Indonesia. Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT X yang masuk ke dalam anggota regional Asia yang merupakan hasil kerja sama antara UNIMIN Corporation (USA), SCR-S NV (Belgium) dan PT Lautan Luas Tbk. (Indonesia). Hingga saat ini PT X yang berlokasi di Kawasan Industri Jababeka I Cikarang Barat telah memiliki dua daerah penambangan yaitu di Capkala (November 2003) sebagai tempat penambangan clay (tanah liat) dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan silika. Untuk cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat, yaitu Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar serta di Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon. Kemudian pada bulan Juli 2011, PT X mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality Management System (QMS) dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan ISO 9001;2000 oleh LRQA (Lioyd’s Register Quality Assurance) dari badan sertifikasi Amerika Serikat. Selanjutnya sertifikasi ISO 14001 mengenai sistem manajemen lingkungan dan OHSAS 18001 mengenai 88
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja baru didapatkan pada bulan April 2013. 5.1.2 Visi dan Misi 1. Visi To build and organization talents choose to work for and grow a company customer want to associate with (Membangun talenta organisasi yang bekerja untuk menumbuhkan perusahaan yang menjadi kebanggaan). 2. Misi a. Global Competencies (Berkompetensi Global) b. Regional Resources (Sumber daya Regional) c. Local Excellence (Keunggulan Lokal) 3. Nilai a. We Grow People (Kami mengembangkan karyawan) b. We Invest in Minerals Resources (Kami berinvestasi pada sumber daya mineral) c. We Partner Our Customer (Kami bekerja sama dengan pelanggan kami. 5.1.3 Kebijakan K3 Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan fokus utama perusahaan ini dalam mengembangkan bisnis mereka. Slogan “Safety Starts With Me” merupakan bukti komitmen mereka dalam mengajak para 89
karyawan untuk menerapkan perilaku selamat dimulai dari diri sendiri. PT X juga berupaya dalam meminimalisasi dampak buruk dari proses produksi yang dapat merugikan bahwa masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Sebagai
bukti
komitmen
mereka
dalam
mengutamakan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3), PT X memiliki tiga kebijakan utama yang berkaitan dengan K3L, antara lain: 1. PT X adalah perusahaan di bidang industri mineral yang bertujuan untuk
memuaskan
atau
melebihi
harapan
pelanggan
melalui
pengembangan secara terus menerus dalam kualitas produk dan pelayanan 2. Perusahaan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan kerja untuk mencegah insiden dan kesakitan, mencegah pencemaran lingkungan, mengendalikan sumber daya, dan meningkatkan hubungan sosial sebagai bagian yang utuh dari keseluruhan aktivitas 3. Manajemen berkomitmen untuk meningkatkan efektivitas sistem manajemen perusahaan secara terus menerus, menentukan dan meninjau kembali target dan objektif perusahaan secara periodik, dan memenuhi seluruh perundangan dan peraturan lainnya.
90
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Stress Kerja Pada penelitian ini stress kerja yang diteliti yaitu stress kerja akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis, emosional, dan psikologis. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi pada variabel dependen stress kerja: Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Mean ± SD
Min-Max
95% CI
n
Stress Kerja
1,42 ± 0,37
0,71-2,6
1,33-1,51
69
Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan hasil distribusi frekuensi bahwa rata-rata tingkat stress kerja yang dialami responden, yaitu sebesar 1,42 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 1,33-1,51. 5.2.2 Faktor Individual Pendeskripsian faktor individual yang berkaitan dengan stress kerja terdiri dari tujuh variabel, antara lain jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi faktor individual pada pekerja di PT X:
91
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Kategori
n
%
Perempuan
9
13
Laki-laki
60
87
Tidak Menikah
15
21,7
Menikah
54
78,3
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Mean ± SD
Min - Max
95% CI
n
Umur
33,09 ± 6,09
20 - 48
31,62 – 33,09
69
Jumlah Anak
1 ± 0,91
0-3
0,71 – 1,15
69
Masa Kerja
71,64 ± 57,94
2 - 200
57,72 – 85,56
69
Kepribadian Tipe A
3,24 ± 0,22
2,65 - 4
3,19 – 3,29
69
Penilaian Diri
3,59 ± 0,45
2,7 – 4,8
3,48 – 3,69
69
1. Jenis Kelamin Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa dari jumlah pekerja laki-laki yang menjadi responden pada penelitian ini lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan, yaitu sebanyak 60 responden (87 %) dari 69 responden. 92
2. Status Pernikahan Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa jumlah responden yang telah berstatus menikah, yaitu sebanyak 54 responden (78,3 %) dari 69 responden. 3. Umur Rata-rata umur responden, yaitu sebesar 33,09 tahun dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 31,62 – 33,09. 4. Jumlah Anak Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden, yaitu sebesar 1 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 0,71 – 1,15. 5. Masa Kerja Rata-rata masa kerja yang telah dilalui oleh responden, yaitu sebesar 71,64 bulan dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 57,72 – 85,56. 6. Kepribadian Tipe A Rata-rata skor kepribadian tipe A yang dimiliki responden, yaitu sebesar 3,24 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,19 – 3,29. 7. Penilaian Diri Rata-rata skor penilaian diri terhadap diri responden, yaitu sebesar 3,59 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,48 – 3,69. 5.2.3 Faktor Pekerjaan Pendeskripsian faktor pekerjaan yang berkaitan dengan stress kerja terdiri dari enam belas variabel, antara lain kebisingan, pencahayaan, suhu, 93
ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, dan shift kerja. Berikut ini adalah hasil analisis univariat faktor pekerjaan pada pekerja di PT X: Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi dan Shift Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Kategori
n
%
Bising
32
46,4
Tidak Bising
37
53,6
Buruk
17
24,6
Baik
52
75,4
Tidak Nyaman
38
55,1
Nyaman
31
44,9
Buruk
48
69,6
Baik
21
30,4
Shift
30
43,5
Tidak Shift
39
56,5
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Shift Kerja
94
Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Kadar Debu dan Ventilasi Pada Area Kerja PT X Tahun 2014 Jenis Pengukuran
Hasil Pengukuran
n
%
Sesuai standar
43
62,3
Tidak sesuai standar
26
36,8
Sesuai standar
32
46,4
Tidak sesuai standar
37
53,6
Sesuai standar
41
59,4
Tidak sesuai standar
28
40,6
Sesuai standar
69
100
Tidak sesuai standar
0
0
Sesuai standar
60
86,96
Tidak sesuai standar
9
13,04
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Kadar Debu
Ventilasi
95
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Mean ± SD
Min - Max
95% CI
n
Konflik Peran
3,56 ± 0,83
1 - 5,62
3,36 – 3,76
69
Ketaksaan Peran
2,48 ± 0,73
1 – 5,33
2,3 – 2,66
69
Konflik Interpersonal
2,27 ± 0,63
1 – 3,94
2,12 – 2,42
69
Ketidakpastia n Pekerjaan
2,7 ± 0,91
1-5
2,48 – 2,92
69
Kurangnya Kontrol
2,93 ± 0,75
1 – 4,88
2,75 – 3,11
69
Kurangnya Kesempatan Kerja
3,29 ± 0,8
1-5
3,09 – 3,48
69
Jumlah Beban Kerja
3,26 ± 0,38
2,55 – 4,45
3,17 – 3,35
69
Variasi Beban Kerja
3,62 ± 0,59
2-5
3,48 – 3,76
69
Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain
2,96 ± 1,06
1-5
2,7 – 3,21
69
Kemampuan yang Tidak Digunakan
2,55 ± 0,81
1-5
2,36 – 2,74
69
Tuntutan Mental
3,09 ± 0,4
2,2 - 4
2,99 – 3,19
69
96
1. Kebisingan Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa area kerja mereka tidak bising, yaitu sebanyak 37 responden (53,6 %). Adapun berdasarkan tabel 5.5, dari hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan, jumlah responden yang bekerja pada area tidak bising yaitu sebanyak 43 responden (62,3 %). 2. Pencahayaan Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa pencahayaan di area kerja mereka baik, yaitu sebanyak 52 responden (75,4 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran pencahayaan pada tabel 5.5 didapatkan bahwa jumlah responden yang bekerja di area kerja dengan tingkat pencahayaan tidak sesuai standar mencapai 37 responden (53,6 %). 3. Suhu Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa suhu udara di area kerja mereka tidak nyaman, yaitu sebanyak 38 responden (55,1 %). Sedangkan dari hasil pengukuran suhu udara pada tabel 5.5 didapatkan hasil bahwa jumlah responden yang bekerja di area kerja dengan suhu udara yang sesuai standar mencapai 41 responden (59,4 %). 4. Ventilasi Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa ventilasi di area kerja mereka buruk, yaitu sebanyak 48 responden (69,6 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran kadar 97
debu pada tabel 5.5 didapatkan bahwa seluruh responden (100%) bekerja pada area kerja yang memiliki kadar debu pada tingkat yang aman. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran ventilasi pada tabel 5.5 didapatkan bahwa 60 responden (86,96 %) berada pada ruang kerja yang memiliki ventilasi sesuai dengan standar minimum luas ventilasi. 5. Shift Kerja Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki sifat pekerjaan yang tidak shift, yaitu sebanyak 39 responden (56,5 %). 6. Konflik Peran Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor konflik peran yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,56 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada rentang nilai 3,36 - 3,76. 7. Ketaksaan Peran Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor ketaksaan peran yang dimiliki responden, yaitu sebesar 2,48 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang skor 2,3 – 2,66. 8. Konflik Interpersonal Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor konflik interpersonal yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,27 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,12 – 2,42.
98
9. Ketidakpastian Pekerjaan Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor ketidakpastian pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,7 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,48 – 2,92. 10. Kurangnya Kontrol Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya kontrol yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,93 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,75 – 3,11. 11. Kurangnya Kesempatan Kerja Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya kesempatan kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,29 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,09 – 3,48. 12. Jumlah Beban Kerja Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor jumlah beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,26 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,17 – 3,35. 13. Variasi Beban Kerja Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor variasi beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,62 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,48 – 3,76. 14. Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tanggung jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh responden, yaitu
99
sebesar 2,96 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,7 – 3,21. 15. Kemampuan yang Tidak Digunakan Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kemampuan yang tidak digunakan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,55 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,36 – 2,74. 16. Tuntutan Mental Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tuntutan mental yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,09 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,99 – 3,19. 5.2.4 Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Aktivitas di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti masalah keuangan, penikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Berikut ini adalah hasil analisis univariat faktor di luar pekerjaan pada pekerja di PT X:
100
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas di Luar Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Mean ± SD
Min-Max
95% CI
n
Aktivitas di Luar Pekerjaan
2,19 ± 1,17
0-5
1,91 – 2,47
69
Berdasarkan tabel 5.7 rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,19 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 1,91 – 2,47. 5.2.5 Faktor Dukungan Sosial Hubungan yang baik antara individu dengan orang lain di lingkungannya akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan individu tersebut. Hal ini yang kemudian menjadikan dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dapat terjadi dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Berikut ini adalah hasil analisis univariat faktor pendukung pada pekerja di PT X: Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel Dukungan Sosial
Mean ± SD
Min-Max
95% CI
n
3,87 ± 0,67
2,12 - 5
3,71 – 4,03
69
101
Berdasarkan tabel 5.8, didapatkan hasil bahwa rata-rata skor dukungan sosial yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,87 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,71 – 4,03. 5.3 Analisis Bivariat 5.3.1 Hubungan Antara Faktor Individual Dengan Stress Kerja Faktor individual merupakan faktor instrinsik yang dapat mempengaruhi munculnya stress kerja pada diri seseorang. Adapun faktor individual yang dapat mempengaruhi munculnya stress kerja, yaitu jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara faktor-faktor individual dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.9 dan 5.10 Tabel 5.9 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Kategori Perempuan
Mean
SD
n
1,34
0,348
9
Jenis Kelamin Laki-laki Tidak Status
Menikah
1,43
0,374
60
1,39
0,32
15
Pernikahan Menikah
1,43
0,38
95% CI
Pvalue
-0,17–0,36
0,479
-0,17–0,26
0,726
54
102
Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
r
Pvalue
Umur
0,034
0,784
Jumlah Anak
-0,063
0,607
Masa Kerja
-0,08
0,946
Kepribadian Tipe A
0,09
0,461
-0,323
0,007
Penilaian Diri
1. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja lakilaki yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,374. Sedangkan rata-rata pekerja perempuan yang mengalami stress kerja hanya sebesar 1,34 dengan standar deviasi sebesar 1,348.
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas
sebesar 0,479 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan stress kerja. 2. Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang berstatus menikah yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,38. Sedangkan rata-rata pekerja yang berstatus tidak menikah dan mengalami stress kerja hanya 103
sebesar 1,39 dengan standar deviasi 0,32. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,726 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja. 3. Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara umur dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah umur maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,784 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara umur dengan stress kerja. 4. Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara jumlah anak dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,607 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara jumlah anak dengan stress kerja. 5. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara masa kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,946 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengan stress kerja.
104
6. Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kepribadian tipe A dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah kepribadian tipe A maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,461 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kepribadian tipe A dengan stress kerja. 7. Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara penilaian diri dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,007 artinya pada tingkat kepercayaan 5 %
terdapat hubungan antara
penilaian diri dengan stress kerja. 5.3.2 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Stress Kerja Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
munculnya
stess
kerja.
Faktor
pekerjaan
yang
dapat
memengaruhi stress kerja, meliputi kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi,
konflik
peran,
ketaksaan
peran,
konflik
interpersonal,
ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara faktor-faktor
105
pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.11 dan 5.12 Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi, dan Shift Kerja Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
Kebisingan
Pencahayaan
Suhu
Ventilasi
Shift Kerja
Kategori
Mean
SD
n
Bising
1,46
0,42
32
Tidak Bising
1,38
0,32
37
Buruk
1,41
0,45
17
Baik
1,42
0,34
52
Tidak Nyaman
1,5
0,43
38
Nyaman
1,32
0,26
31
Buruk
1,47
0,39
48
Baik
1,3
0,28
21
Shift
1,41
0,39
30
Tidak Shift
1,42
0,35
95% CI
Pvalue
-0,25-0,1
0,392
-0,21-0,2
0,95
-0,35- 0,003
0,046
-0,35-0,03
0,09
-0,17-0,19
0,92
39
106
Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel
r
Pvalue
Konflik Peran
0,324
0,007
Ketaksaan Peran
0,245
0,043
Konflik Interpersonal
0,308
0,01
Ketidakpastian Pekerjaan
0,346
0,004
- 0,209
0,085
Kurangnya Kesempatan Kerja
0,154
0,208
Jumlah Beban Kerja
0,375
0,001
Variasi Beban Kerja
0,16
0,19
Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain
- 0,031
0,801
Kemampuan yang Tidak Digunakan
- 0,061
0,617
0,097
0,428
Kurangnya Kontrol
Tuntutan Mental
1. Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja karena area kerja yang bising lebih besar yaitu 1,46 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,42. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja karena area kerja yang tidak bising hanya sebesar 1,38 dengan standar deviasi 0,32. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,392 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara kebisingan dengan stress kerja.
107
2. Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat pencahayaan area kerja yang baik lebih besar yaitu 1,42 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,34. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat pencahayaan area kerja yang tidak baik hanya sebesar 1,41 dengan standar deviasi sebesar 0,45. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,95 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara pencahayaan dengan stress kerja. 3. Hubungan Antara Suhu Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat suhu area kerja yang tidak nyaman lebih besar yaitu 1,5 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,43. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat suhu area kerja yang nyaman hanya sebesar 1,32 dengan standar deviasi sebesar 0,26. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,046 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti terdapat hubungan antara suhu dengan stress kerja. 4. Hubungan Antara Ventilasi Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi di area kerja yang buruk lebih besar yaitu 1,47 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,39. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi kerja yang baik hanya sebesar 1,3 dengan standar deviasi 0,28. Dari hasil uji 108
statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,09 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara ventilasi dengan stress kerja. 5. Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat bekerja tidak shift lebih besar yaitu 1,42 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,35. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat bekerja secara shift hanya sebesar 1,41 dengan standar deviasi 0,39. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,92 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara shift kerja dengan stress kerja. 6. Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara konflik peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin meningkat konflik peran maka akan semakin meningkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,007 artinya pada tingkat kepercayaan 5 %
terdapat hubungan antara konflik peran dengan
stress kerja. 7. Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara ketaksaan peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah ketaksaan peran maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil 109
uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,043 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara ketaksaan peran dengan stress kerja. 8. Hubungan Antara Konflik Interpersonal Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara konflik interpersonal dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang
dan berpola positif artinya semakin bertambah konflik
interpersonal maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,01 artinya pada tingkat kepercayaan 5 %
terdapat hubungan antara
konflik interpersonal dengan stress kerja. 9. Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin bertambah ketidakpastian pekerjaan maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,004 artinya pada tingkat kepercayaan 5 %
terdapat
hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja. 10. Hubungan Antara Kurangnya Kontrol Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kurangnya kontrol dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas
110
sebesar 0,085 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kurangnya kontrol dengan stress kerja. 11. Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola positif berarti semakin besar kurang kesempatan kerja maka akan semakin tinggi tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,208 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja. 12. Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara jumlah beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin banyak jumlah beban kerja maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,001 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara jumlah beban kerja dengan stress kerja. 13. Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara variasi beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin banyak variasi beban kerja maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik 111
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,19 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara variasi beban kerja dengan stress kerja. 14. Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara tanggung jawab terhadap pekerja lain dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,801 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara tanggung jawab terhadap pekerja lain dengan stress kerja. 15. Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,617 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan stress kerja. 16. Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara tuntutan mental dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin tinggi tuntutan mental maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik 112
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,428 artinya pada tingkat kepercayaan 5 %
tidak terdapat hubungan antara tuntutan mental
dengan stress kerja. 5.3.3 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.13 Tabel 5.13 Hubungan Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel Aktivitas di Luar Pekerjaan
r
Pvalue
0,127
0,297
Berdasarkan tabel 5.13 didapatkan hasil bahwa hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin banyak aktivitas di luar pekerjaan maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,297 artinya pada tingkat kepercayaan 5 %
tidak terdapat hubungan antara aktivitas di luar
pekerjaan dengan stress kerja. 5.3.4 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.14
113
Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel Dukungan Sosial
r - 0,231
Pvalue 0,056
Berdasarkan tabel 5.14 didapatkan hasil bahwa hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,056 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja. 5.4 Analisis Multivariat Untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap stress kerja maka dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi linier ganda. Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam analisis multivariat dengan model prediksi: 1. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat Pada penelitian ini terdapat 25 variabel yang diduga memiliki pengaruh terhadap stress kerja, yaitu faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri), faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja), faktor aktivitas di 114
luar pekerjaan, dan faktor dukungan sosial. Untuk pemilihan kandidat variabel yang akan dimasukkan ke dalam model prediksi uji regresi linier ganda, seluruh variabel tersebut dilakukan analisis bivariat terlebih dahulu dengan variabel dependen. Setelah analisis bivariat dilakukan maka variabel yang memiliki Pvalue < 0,25 akan menjadi variabel kandidat yang dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Hasil analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.1 Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas di Luar Pekerjaan dan Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 No 1
2
Variabel
Pvalue
Faktor Individual Jenis Kelamin
0,479
Umur
0,784
Status Pernikahan
0,726
Jumlah Anak
0,607
Masa Kerja
0,946
Kepribadian Tipe A
0,461
Penilaian Diri
0,007
Faktor Pekerjaan Kebisingan
0,392
Pencahayaan
0,95
Suhu
0,046
Ventilasi
0,09
Konflik Peran
0,007
Ketaksaan Peran
0,043
Konflik Interpersonal
0,01 115
Ketidakpastian Pekerjaan
0,004
Kurangnya Kontrol
0,085
Kurangnya Kesempatan Kerja
0,208
Jumlah Beban Kerja
0,001
Variasi Beban Kerja
0,19
Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain
0,801
Kemampuan yang Tidak Digunakan
0,617
Tuntutan Mental
0,428
Shift Kerja
0,92
3
Aktivitas di Luar Pekerjaan
0,297
4
Dukungan Sosial
0,056
Berdasarkan tabel di atas terdapat 12 variabel yang memiliki Pvalue < 0,25, yaitu penilaian diri, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, dan dukungan sosial. Dengan demikian, variabel-variabel tersebut masuk ke dalam model prediksi uji regresi linier ganda. 2. Pembuatan model faktor yang paling dominan berhubungan secara statistik dengan variabel stress kerja Dalam pemodelan ini, semua variabel kandidat dianalisis secara bersamaan. Variabel yang dimasukkan ke dalam model selajutnya adalah variabel yang memiliki pvalue ≤ 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki pvalue > 0,05 dikeluarkan dari model. Pengeluaran model akan dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki pvalue paling besar. Berikut adalah hasil pembuatan model faktor penentu pada tabel 5.16
116
Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat Variabel
Pvalue 4 5 0,118 0,125
6 0,143
7 0,071
8 -
Penilaian Diri
1 0,125
2 0,118
3 0,117
Suhu
0,106
0,103
0,1
0,102
0,097
0,102
0,05
0,026
Ventilasi
0,75
0,748
0,715
0,672
-
-
-
-
Konflik Peran
0,73
0,727
0,746
-
-
-
-
-
Ketaksaan Peran
0,979
-
-
-
-
-
-
-
0,08
0,068
0,054
0,038
0,033
0,036
0,049
0,011
0,622
0,616
0,588
0,6
0,618
-
-
-
0,167
0,161
0,16
0,167
0,184
0,211
-
-
0,011
0,01
0,006
0,006
0,006
0,005
0,008
0,001
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,052
0,049
0,044
0,042
0,04
0,044
0,047
0,038
0,875
0,873
-
-
-
-
-
-
Konflik Interpersonal Ketidakpastian Pekerjaan Kurangnya Kontrol Kurangnya Kesempatan Kerja Jumlah Beban Kerja Variasi Beban Kerja Dukungan Sosial
Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan hasil bahwa variabel yang dominan
berhubungan
dengan
stress
keja,
yaitu
suhu,
konflik
interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan variasi beban kerja. Hasil analisis multivariat variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 5.17
117
Tabel 5.17 Hasil Analisis Model Akhir Variabel Multivariat Variabel
R
R Square
Pvalue
β
Partial Correlation
0,171
0,277
0,156
0,315
0,171
0,404
0,623
0,482
-0,188
-0,258
α
Suhu Konflik Interpersonal Kurangnya Kesempatan Kerja
0,621
Jumlah Beban Kerja Variasi Beban Kerja
0,386
0,000
-1,117
Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan hasil bahwa: 1. Hubungan antara variabel tersebut dengan stress kerja memiliki hubungan yang kuat dan berpola positif sehingga semakin tinggi suhu, konflik interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. 2. Nilai koefisien determinannya adalah 0,386 yang berarti model regresi yang diperoleh dapat menerangkan 38% variasi stress kerja. 3. Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis di atas yaitu sebesar 0,000 artinya pada tingkat kepercayaan 5% dapat dinyatakan bahwa model regresi fit dengan data yang ada. 118
4. Persamaan garis yang diperoleh dari hasil analisis ini adalah sebagai berikut: Y = α + βx Stress kerja = -1,117 + 0,171 (Suhu) + 0,156 (Konflik Interpersonal) + 0,171 (Kurangnya Kesempatan Kerja) + 0,623 (Jumlah Beban Kerja) – 0,188 (Variasi Beban Kerja) Artinya dari persamaan garis tersebut, yaitu a. Setiap kenaikan suhu sebesar 1oC maka stress kerja akan lebih besar sebesar 0,171 kali. b. Setiap bertambahnya konflik interpersonal yang terjadi maka stress kerja akan lebih besar sebesar 0,156 kali. c. Setiap semakin sedikitnya kesempatan kerja yang diberikan maka stress kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,171 kali. d. Setiap semakin banyaknya jumlah beban kerja yang diberikan maka stress kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,623 kali. e. Setiap penurunan variasi beban kerja maka stress kerja yang dialami akan lebih rendah sebesar 0,188 kali. 5. Berdasarkan hasil partial correlation didapatkan hasil bahwa variabel yang paling dominan berhubungan dengan peningkatan stress kerja adalah variabel jumlah beban kerja.
119
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Jumlah pertanyaan yang terlalu banyak dapat membuat responden merasa kelelahan sehingga tidak fokus dalam mengisi kuesioner tersebut tetapi hal ini telah ditangani dengan melakukan uji reliabilitas terlebih dahulu. 2. Kuesioner
yang
digunakan
menggunakan
tipe
self-report
sehingga
memungkinkan pekerja untuk tidak mengisinya tidak sesuai dengan kondisi aktual. 3. Analisis multivariat menggunakan uji regresi linier ganda untuk variabel dependen yang tidak normal seharusnya menggunakan uji analisis yang lain. 4. Keterbatasan jumlah sampel mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi klasik untuk dilakukannya uji regresi linier ganda. 5. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau sehingga memungkinkan terjadinya bias recall terhadap persepsi pekerja mengenai suhu udara saat musim hujan. 6.2 Stress Kerja Dalam penelitian ini, pengukuran stress kerja dilakukan dengan melihat hubungan dengan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya stress kerja baik berupa faktor individual, faktor pekerjaan, faktor di luar pekerjaan maupun faktor pendukung. Pengukuran berbagai faktor tersebut dilakukan dengan mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman yang dirasakan oleh responden terhadap berbagai faktor yang mereka hadapi selama bekerja. 120
Secara umum, gejala stress kerja yang dialami seseorang dapat terlihat dari berbagai perubahan, baik psikologis, fisiologis, dan perilaku (NIOSH, 1999b). Hasil penelitian mengenai gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 berada pada tingkat yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi stress kerja yang dialami responden, nilai rata-rata skor stress kerja dari seluruh responden yaitu sebesar 1,42 dengan nilai minimum sebesar 0,71 dan nilai maksimum sebesar 2,6. Jika rata-rata skor stress kerja yang didapatkan dibandingkan dengan median rata-rata total skor sebesar 2 maka rata-rata skor yang didapatkan dalam penelitian ini masih di bawah nilai rata-rata total skor. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat stress kerja yang dialami oleh para responden tidak terlalu tinggi. Meskipun rata-rata tingkat stress kerja yang dialami para responden cenderung tidak tinggi tetapi faktor-faktor yang melatarbelakangi peningkatan tingkat stress kerja tersebut secara statistik terbukti berhubungan signifikan dengan faktor pekerjaan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, terdapat lima variabel yang masuk ke dalam model multivariat, yaitu suhu, konflik interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan variasi beban kerja. Hal ini membuktikan bahwa pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pencegahan dan pengendalian untuk dapat mengurangi tingkat stress kerja yang dialami para pekerja mereka. Stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak jangka panjang dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan apabila tidak diatasi dengan baik (Perlmutter & Villoldo, 2011). Berdasarkan hasil studi kohort yang dilakukan pada populasi MONICA/KORA di Jerman menunjukkan bahwa 121
pekerja sehat yang mengalami paparan stress di tempat kerja secara signifikan mengalami peningkatan tekanan darah dan menghadapi risiko penyakit jantung dua kali lebih besar. Selain itu, dari penelitian ini juga ditemukan bahwa stress akibat kerja dapat memicu dampak psikologis yang berbahaya, seperti depresi, gangguan tidur, dan berbagai perilaku tidak sehat lainnya (Emeny, 2013). Selain berdampak bagi kesehatan pekerja, stress kerja yang dialami oleh para pekerja juga dapat berdampak bagi perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Malaysia didapatkan hasil bahwa stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak besar pada kepuasan kerja yang dirasakan para pekerja. Selain itu, kepuasan kerja ini yang kemudian dapat meningkatkan terjadinya absenteisme dan turnover pekerja di suatu perusahaan (Yahaya, Yahaya, Amat, Bon, & Zakariya, 2010). Pada penelitian lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta dan negeri di Yunani ditemukan bahwa meningkatnya stress kerja yang dialami para pekerja berdampak secara signifikan terhadap menurunnya produktivitas perusahaan. Hal ini dapat terjadi ketika pekerjaan yang mereka miliki sudah mulai mengganggu kehidupan pribadi pekerja maka hal ini akan berdampak negatif bagi produktivitas perusahaan (Halkos & Bousinakis, 2010). 6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, respon
122
perempuan dan laki-laki dalam menghadapi stress juga cenderung berbeda (Bickford, 2005). Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan (13 %) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah responden laki-laki (87 %). Pekerja perempuan biasanya mengalami stress kerja yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hal ini terjadi dikarenakan keunikan sumber stress yang biasanya dihadapi oleh pekerja perempuan di tempat kerja, seperti gaji yang kecil, diskriminasi, stereotip, konflik pernikahan maupun di tempat kerja (Crandall & Perrewe, 1995). Selain itu, menurut Almeida et al (2003), efek stress kerja pada pekerja perempuan akan lebih merusak kesehatan dibandingkan dengan pekerja laki-laki (Aldwin, 2007). Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel jenis kelamin tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan rata-rata stress kerja yang dialami pekerja lakilaki (1,43) dan perempuan (1,34) tidak begitu signifikan sehingga hal ini dapat mengakibatkan tidak terdapat perbedaan tingkat stress kerja pada pekerja berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan yang tidak signifikan ini dapat disebabkan tidak terdapatnya perbedaan jumlah beban kerja antara kedua jenis kelamin tersebut sehingga jenis kelamin tidak mempengaruhi stress kerja yang mereka alami. Padahal menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu peranan dalam 123
merawat keluarga, kemampuan mengontrol pekerjaan yang rendah, semakin banyaknya perempuan menduduki jabatan penting, serta adanya diskriminasi terhadap perempuan (Bickford, 2005). Kesulitan untuk mengidentifikasi pengaruh jenis kelamin terhadap perbedaan stress yang dialami pekerja berkaitan dengan permasalahan sampling yang seringkali sulit mendapatkan sampel seimbang baik dari segi jumlah maupun jabatan. Sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan di antara kedua jenis kelamin tersebut. Pada penelitian ini terjadi hal yang demikian, dimana jumlah pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan berada pada jumlah yang sangat berbeda. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan stress kerja antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan. Selama ini bukti mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap gejala stress kerja yang terjadi di tempat kerja sangat sedikit. Perbedaan yang terlihat dari individu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya mekanisme coping. Saat mengalami kondisi stress, pekerja perempuan cenderung mengalami perubahan secara psikologis sedangkan pekerja laki-laki cenderung mengalami perubahan secara fisik (Crandall & Perrewe, 1995). Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi para pekerja sebaiknya berusaha mengatur stress yang mereka alami dengan cara mengatur waktu yang baik dalam menyelesaikan tugas dan mengontrol situasi antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi sehingga keduanya tidak menimbulkan stress kerja khususnya bagi pekerja perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi. Dengan melakukan langkah pencegahan ini diharapkan tidak akan terjadi stress kerja terutama pada pekerja perempuan di kemudian hari. 124
6.4 Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja Umur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stress yang dialami oleh seseorang. Meskipun demikian, penelitian mengenai pengaruh umur terhadap tingkat stress kerja masih belum jelas dan hasilnya seringkali berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja industri di Jerman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan gejala stress akut (Rauschenbach, Krumm, Thielgen, & Hertel, 2013). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan pada perawat menunjukkan bahwa pekerja yang berusia tua berhubungan secara signifikan dengan terjadinya stress kerja (Golubic, Milosevic, Knezevic, & Mustajbegovic, 2009). Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata umur pekerja adalah sebesar 33,09. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rauschenbach dan Hertel (2011), hubungan antara umur dengan tingkat stress kerja membentuk kurva “U” terbalik. Tingkat stress yang dialami pekerja muda (< 35 tahun ) cenderung rendah dan mulai mengalami peningkatan hingga mencapai puncak stress kerja pada pekerja usia menengah (36-50 tahun) kemudian mengalami penurunan stress ketika pekerja memasuki golongan usia tua (> 50 tahun). Perbedaan tingkat stress ini dipengaruhi oleh tuntutan kerja yang cenderung berbeda pada masing-masing kelompok umur sehingga menghasilkan tingkat stress kerja yang berbeda-beda (Schlick, Frieling, & Wegge, 2013). Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan bahwa variabel umur berhubungan lemah dan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa peningkatan umur seseorang akan semakin meningkatkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang 125
dilakukan oleh Hansson et al (2001) yang menemukan bahwa tingkat stress kerja yang dialami oleh pekerja berumur tua biasanya cenderung rendah. Hal ini dikarenakan pada pekerja berusia tua, mereka sudah cenderung lebih matang sehingga memiliki kemampuan mengolah stress lebih baik dibandingkan dengan pekerja berusia muda (Hansson, Robson, & Limas, 2001). Meskipun berhubungan secara positif tetapi variabel umur tidak berhubungan signifikan dengan variabel stress kerja. Hal ini dapat terjadi karena faktor umur tidak mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami para pekerja secara signifikan. Pekerja berumur tua cenderung mengalami stress yang lebih tinggi akibat beban kerja dan tanggung jawab yang besar (Juneja, 2004). Pada penelitian ini, faktor tanggung jawab dan beban kerja yang harus diemban oleh pekerja tidak dipengaruhi oleh umur. Baik pekerja yang berusia muda maupun tua memiliki beban kerja yang tidak berbeda sehingga variabel umur tidak berpengaruh dengan tingkat stress kerja. 6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress seseorang. Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat stress yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya maka stress kerja yang dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari pasangan (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan baik.
126
Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa pekerja yang berstatus menikah (78,3 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang berstatus tidak menikah (21,7 %). Status sebuah hubungan terhadap kesehatan merupakan suatu hal yang penting. Akan tetapi, kualitas hubungan tersebut juga berhubungan dengan kesehatan seseorang. Kebahagiaan sebuah pernikahan merupakan salah satu cara memprediksi kebahagiaan secara global sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan yang tidak bahagia akan menyebabkan stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak menikah (Ogden, 2012). Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja baik pada pekerja yang sudah menikah (1,43) maupun belum menikah (1,39) juga tidak berbeda secara signifikan. Tingkat stress kerja yang cenderung tidak berbeda ini dapat terjadi karena sama tingginya faktor pekerjaan baik pada pekerja yang sudah menikah maupun belum menikah sehingga membuat kedua kelompok pekerja tersebut memiliki tingkat stress kerja yang tidak jauh berbeda. Hal ini yang kemudian mengakibatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pernikahan dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja kesehatan dimana terdapat hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja. Pekerja yang berstatus menikah cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan pekerja yang berstatus menikah mendapatkan dukungan emosional 127
dari pasangannya yang tidak didapatkan oleh pekerja yang tidak menikah sehingga stress kerja yang dialami cenderung lebih rendah (Olatunji & Mokuolu, 2014). Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja juga dapat disebabkan pada pekerja yang sudah menikah dimana terdapat dukungan yang diberikan pasangan tidak terlalu berpengaruh terhadap stress yang dialami akibat pekerjaannya. Sehingga tingkat stress kerja baik pada pekerja yang berstatus menikah maupun tidak menikah tidak terlalu dipengaruhi oleh adanya keberadaan pasangan. 6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai penyatu hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan pernikahan. Menurunnya kepuasan pernikahan ini sebagai dampak adanya transisi menjadi pasangan orang tua sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini seringkali terjadi setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009). Dari hasil penelitian ini, rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh para pekerja berjumlah satu orang. Memiliki anak berarti bahwa pekerja memiliki tugas tambahan untuk merawat anak mereka di rumah. Menurut Sonnentag (2001), aktivitas merawat anak merupakan salah satu aktivitas dapat mempengaruhi tingkat stress seseorang (Sonnentag, Perrewe, & Ganster, 2009). Dalam beberapa keluarga, pertambahan jumlah anak dapat membuat tingkat stress menjadi sangat tinggi (Vajdi, 1991).
128
Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa jumlah anak berhubungan negatif dan tidak signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Twenge et al (2005) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak lebih dari dua akan memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah serta tingginya stress yang dirasakan oleh orang tua (Hess, 2008). Dalam penelitian ini, tidak terdapatnya hubungan antara jumlah anak dengan stress kerja dapat terjadi dikarenakan jumlah anak yang dimiliki rata-rata dalam jumlah yang sedikit, yaitu satu orang. Sehingga apabila terdapat efek stress yang timbul akibat jumlah anak maka tingkat stress yang terjadi tidak terlalu signifikan berbeda dengan pekerja yang belum memiliki anak. Adapun stress yang dialami para pekerja lebih mungkin berasal dari faktor pekerjaan seperti tingginya jumlah beban kerja. 6.7 Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Masa kerja yang berhubungan dengan stress kerja berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru. Kejenuhan ini yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stress di tempat kerja (Munandar, 2001). Dari hasil penelitian ini, rata-rata pekerja memiliki masa kerja selama 71,64 bulan. Semakin lama masa kerja akan menyebabkan tingkat stress kerja yang dialami seseorang semakin tinggi. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan 129
dengan pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit sehingga pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama akan mengalami stress yang lebih tinggi (Harigopal, 1995). Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel masa kerja berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Frone (1998) yang menemukan bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka semakin tinggi stress kerja yang dialami seseorang. Hal ini dikarenakan seseorang dengan masa kerja yang lama cenderung memiliki pengalaman kerja yang baik sehingga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang lebih besar (Barling et al., 2005). Sedangkan pada penelitian ini, masa kerja tidak berhubungan dengan stress kerja bisa terjadi dikarenakan besarnya tanggung jawab yang diberikan kepada pekerja tidak tergantung pada masa kerja. Pekerja baru maupun lama tidak memiliki perbedaan beban kerja yang signifikan. Oleh karena itu, lama atau baru masa kerja pekerja tidak dapat mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami pekerja di PT X. 6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung bersifat kompetitif, ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Individu dengan tipe kepribadian ini selalu berusaha mencapai tujuan mereka tanpa mempedulikan perasaan bahagia dalam diri mereka. Individu yang memiliki tipe kepribadian ini cenderung bereaksi secara berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang tinggi. Selain itu, kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya (McLeod, 2011). 130
Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,24 dengan nilai minimum sebesar 2,65 dan nilai maksimum sebesar 4. Jika dibandingkan dengan total skor sebesar 1 – 5 maka rata-rata tersebut sudah melebihi nilai median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Seseorang yang memiliki kepribadian tipe A memiliki pola orientasi untuk berprestasi dan berkompetisi, dan tidak sabar yang terlihat melalui sifat agresif dan bermusuhan dengan orang lain. Menurut Maslach et al (2001) kepribadian tipe A sangat berhubungan dengan kelelahan. Kepribadian tipe A memicu ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kepribadian tipe A dapat memicu terjadinya stress kerja yang tinggi ketika kontrol terhadap pekerjaan rendah. Pekerja dengan kepribadian tipe A cenderung mengambil tanggung jawab lebih besar yang mengakibatkan beban kerja berlebih dan ketegangan secara psikologis (Pestonjee & Pandey, 2013). Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa variabal kepribadian tipe A berhubungan positif dengan stress kerja sehingga peningkatan sikap yang berkaitan kepribadian tipe A akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami. Meskipun demikian, variabel kepribadian tipe A tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan guru sekola di Haryana yang menunjukkan bahwa kepribadian tipe A dapat memicu terjadinya burnout (Kumari, 2008). Selain itu dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta menemukan bahwa kepribadian tipe A berhubungan stress kerja yang mengakibatkan timbulnya kelelahan dalam bekerja (Aghaei, Asadollahi, Moezzi, Beigi, & Parvinnejad, 2013). Pada 131
penelitian ini tidak terdapatnya hubungan antara kepribadian tipe A dengan stress kerja bisa terjadi dikarenakan baik pekerja yang memiliki kepribadian tipe A maupun tidak memiliki tingkat stress kerja yang hampir sama sehingga stress kerja yang dialami bukan dipengaruhi faktor kepribadian tipe A melainkan faktor pekerjaan lainnya. 6.9 Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stress Kerja Penilaian
diri
adalah
persepsi
individu
terhadap
kemampuan,
keberhasilan, dan kelayakan dirinya. Penilaian individu terhadap dirinya dapat mempengaruhi perilaku (Resnick, 2004). Penilaian diri dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi tekanan yang berasal dari lingkungan. Ketika penilaian seseorang terhadap dirinya baik maka orang tersebut akan berusaha untuk menghadapi dan mengatasi setiap peristiwa yang dihadapinya sehingga tingkat stress yang dialaminya cenderung rendah dan begitu juga sebaiknya (Wijono, 2010). Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,59 dengan nilai minimum sebesaar 2,7 dan nilai maksimum sebesar 4,8. Jika dibandingkan dengan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Penilaian diri yang rendah sangat mungkin meningkatkan risiko tress yang dialami seseorang terutama ketika tuntutan pekerjaan dan konflik yang dimiliki cukup tinggi (Lundberg & Cooper, 2011). Selain mempengaruhi tingkat stress, penilaian diri juga dapat mempengaruhi pemilihan metode coping tetapi kesuksesan atau kegagalan coping yang
132
dilakukan juga dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang (Aneshensel, Phelan, & Bierman, 2013). Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel penilaian diri berhubungan negatif dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Baumeister et al (2003) yang menemukan bukti bahwa penilaian diri yang baik dapat membantu mengatasi stress dan mencegah kegelisahan ketika mengalami stress bahkan trauma sekalipun (Mruk, 2006). Variabel ini tidak berhubungan dikarenakan meskipun pekerja menilai mereka memiliki kemampuan diri yang baik tetapi penilaian diri tersebut tidak mampu mengurangi perasaan stress yang dialami pekerja faktor pekerjaan yang tinggi. Sehingga hal ini mengakibatkan penilaian diri tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja. Penilaian diri yang dimiliki para pekerja sudah cenderung baik. Oleh karena itu, sebaiknya para pekerja tetap berusaha mempertahankan penilaian diri yang baik ini. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penurunan penilaian terhadap diri sendiri yang dapat berdampak pada meningkatnya stress kerja. 6.10 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stress Kerja Kebisingan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di tempat kerja. Tingkat kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling tinggi dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah kebisingan, sanitasi lingkungan, substansi berbahaya, pencahayaan dan suhu (ILO, 2003).
133
Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang merasakan tempat kerja mereka bising (46,4%) lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang merasakan bahwa tempat kerja mereka tidak bising (53,6 %). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kebisingan di tempat kerja didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang terpapar kebisingan seharusnya hanya berjumlah 37,6%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pekerja yang seharusnya tidak terpapar kebisingan tetapi menganggap bahwa tempat kerjanya bising. Karakteristik personal mempengaruhi respon seseorang terhadap kebisingan yang dihadapinya. Seseorang yang menganggap tempat kerja mereka bising biasanya memiliki perasaan yang mudah gelisah. Meskipun demikian, kebisingan dapat diartikan berbeda pada setiap orang baik dari segi intensitasnya, frekuensi mauun reaksinya tergantung dari pengalaman subjektif yang pernah dirasakan orang tersebut (Sutherland & Cooper, 2010). Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa kebisingan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini bisa terjadi dikarenakan jumlah responden yang menganggap tempat kerja mereka bising lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang menganggap tempat kerja mereka tidak bising. Sehingga tidak terlihat adanya pengaruh signifikan dengan adanya kebisingan terhadap stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen terus berupaya untuk mengendalikan tingkat kebisingan yang terdapat di lingkungan kerja yang diupayakan dengan melakukan pengendalian teknis untuk mencegah terjadinya stress kerja akibat tingkat kebisingan yang tinggi.
134
6.11 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Stress Kerja Pencahayaan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di lingkungan kerja. Tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout & Rout, 2002). Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pekerja yang menganggap tempat kerja mereka memiliki pencahayaan baik (75,4) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat kerja mereka buruk (24,6%). Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran tingkat pencahayaan di tempat kerja, seharusnya pekerja yang terdapat di tempat kerja dengan pencahayaan baik hanya sebesar 46,37 %. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi pekerja terhadap kondisi pencahayaan yang baik lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual. Meskipun persepsi pekerja terhadap pencahayaan di tempat kerja mereka baik tetapi tingkat pencahayaan yang tidak baik dapat memicu terjadinya ketegangan pada otot mata, kerusakan mata, kelelahan mata, sakit kepala, dan frustasi (Sutherland & Cooper, 2010). Oleh karena itu, tingkat pencahayaan yang efektif harus diterapkan karena pencahayaan yang efektif dapat mengurangi stress pada pekerja dan meningkatkan kepuasan kerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja (Leavitt & Leavitt, 2011).
135
Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan tidak terdapat perbedaan ratarata yang signifikan antara pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat kerja mereka baik (1,42) dengan pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat kerja mereka buruk (1,41). Sehingga tingkat stress kerja yang dialami pekerja tidak dipengaruhi oleh faktor pencahayaan di tempat kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pekerja terhadap pencahayaan di tempat kerja mereka cenderung baik. Akan tetapi, jika melihat hasil pengukuran cahaya yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tempat kerja masih memiliki tingkat pencahayaan di bawah batas minimal pencahayaan untuk tempat kerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen melakukan perbaikan pencahayaan di tempat kerja agar sesuai dengan batas minimal pencahayaan baik untuk lobby 100 lux, ruang kerja 350 lus, laboratorium 500 lux, dan plant 200 lux dengan menggunakan pencahayaan alami maupun dengan pencahayaan buatan. Langkah perbaikan ini dilakukan untuk mencegah efek jangka panjang bagi kesehatan pekerja akibat pencahayaan yang buruk. 6.12 Hubungan Antara Suhu Dengan Stress Kerja Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu, 136
lingkungan kerja yang terlalu dingin juga dapat menurunkan tingkat ketangkasan dan motivasi dalam bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian kecelakaan (Rose, 1994). Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pekerja yang merasakan suhu di tempat kerja tidak nyaman (55,1 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang merasakan suhu di tempat kerja mereka nyaman (44,9 %). Padahal berdasarkan hasil pengukuran suhu udara didapatkan hasil sebanyak 59,4 % pekerja bekerja pada ruangan dengan suhu udara yang nyaman. Hal ini membuktikan bahwa persepsi pekerja terhadap suhu udara di tempat kerja mereka lebih buruk dibandingkan dengan kondisi aktual. Selain itu, berdasarkan nilai rata-rata tingkat ketidaknyamanan suhu yang dirasakan para pekerja hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar dirasakan oleh pekerja yang bekerja di area plant. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suhu udara di area plant yang mencapai lebih dari 30oC sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pekerja. Efek suhu udara yang dirasakan seseorang tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan, ketebalan pakaian, dan lamanya waktu yang dihabiskan pada suhu udara yang terlalu dingin atau panas (Barling et al., 2005). Hal ini yang kemudian dapat menyebabkan perbedaan persepsi pekerja terhadap kondisi aktual di tempat kerja. Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel suhu udara berhubungan secara signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Dampak umum ketika bekerja dengan kondisi yang terlalu panas dapat membuat pekerja merasa lebih sulit untuk mengatasi stressor lain yang terdapat di tempat kerja dan dapat menyebabkan menurunnya motivasi pekerja. Oleh 137
karena itu, persepsi subjektif pekerja terhadap kondisi suhu udara di tempat kerja merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mengontrol lingkungan fisik di tempat kerja dapat menjadi penyebab utama timbulnya persepsi suhu udara yang tidak nyaman (Sutherland & Cooper, 2010). Selain berhubungan signifikan dengan stress kerja, variabel suhu merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat di rumah sakit di Iran bahwa suhu udara yang nyaman berhubungan dengan kualitas tidur yang baik (Azmoon, Dehghan, Akbari, & Souri, 2012). Penelitian tersebut membuktikan bahwa suhu di tempat kerja dapat mempengaruhi kondisi stress yang dialami seseorang. Untuk mengatasi ketidaknyamanan pekerja karena suhu udara yang tidak sesuai maka pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pengendalian bagi pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu berupa penurunan suhu udara dan penyesuaian kualitas seragam. Bagi lokasi plant, penurunan suhu udara dapat dilakukan dengan menggunakan ventilasi dilusi. Ventilasi dilusi ini berfungsi untuk menyuplai dan mengeluarkan udara dalam jumlah yang besar dalam suatu area bangunan yang biasanya menggunakan bantuan fan. Selain itu, ventilasi dilusi ini juga dapat digunakan untuk mengendalikan panas di dalam suatu bangunan. Pemasangan ventilasi dilusi ini dapat digunakan untuk menurunkan suhu udara dengan cara menyeimbangkan antara volume ruangan dengan kecepatan udara yang akan dialirkan (CCOHS, 2008). Dengan demikian suhu udara akan menurun serta dapat memberikan 138
dampak yang positif bagi kenyamanan pekerja dalam bekerja. Adapun penyesuaian kualitas seragam yaitu dengan mengatur ukuran seragam yang digunakan pekerja harus longgar agar dapat membantu penguapan keringat tetapi tidak terlalu longgar karena juga dapat membahayakan pekerja. Selain itu, bahan seragam sebaiknya terbuat dari bahan alami, seperti katun dan wool untuk membantu pengeluaran panas (Labour, 2010). Sedangkan bagi para pekerja disarankan agar apabila merasakan ketidaknyamanan suhu di lingkungan kerja sebaiknya menyampaikannya kepada Departemen HSE setiap safety meeting mingguan dilakukan. Dengan menyampaikan keluhan yang dirasakan nantinya diharapkan akan ada tindak lanjut dari Departemen HSE kepada pihak manajemen untuk dapat melakukan perbaikan terhadap kondisi lingkungan kerja yang dirasa tidak sesuai. 6.13 Hubungan Antara Ventilasi Dengan Stress Kerja Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik, terlalu banyak orang di ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia (Schroeder, 2013). Dari hasil penelitian ini, pekerja yang merasakan ventilasi di tempat kerja mereka buruk (69,6 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang menganggap bahwa ventilasi di tempat kerja mereka baik (30,4 %). Padahal 139
berdasarkan hasil pengukuran kadar debu, seluruh responden sebenarnya berada pada lokasi kerja dengan kadar debu pada tingkat yang aman. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran ventilasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden (86,96 %) berada tempat kerja yang memiliki ventilasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan 1405 Tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kadar debu dan ukuran ventilasi yang terdapat di tempat kerja mereka telah sesuai dengan standar yang ditetapkan tetapi persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di tempat kerja mereka tidak sesuai dengan kondisi aktual. Hal ini bisa terjadi dikarenakan meskipun ventilasi di tempat kerja mereka sudah sesuai dengan standar tetapi pada aktivitas pekerjaan sehari-harinya ventilasi di tempat kerja mereka tidak pernah dibuka. Sehingga pekerja menganggap bahwa sirkulasi udara di tempat kerja mereka tidak baik. Padahal menurut Chandraseker (2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan kesehatan (Ajala, 2012). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Roelofsen (2002) menunjukkan bahwa kualitas udara dan ventilasi memiliki pengaruh yang paling besar dengan kepuasan kerja dan stress kerja (Awbi, 2008). Polusi udara juga dapat mempengaruhi timbulnya
emosi
negatif,
menurunkan
interaksi
interpersonal
dan
meningkatkan konflik, dan pada kondisi tertentu bahkan dapat meningkatkan perilaku agresif (Barling et al., 2005). Meskipun sebagian besar pekerja menganggap ventilasi di tempat kerja mereka buruk, tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan stress kerja yang dialami 140
para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak terdapatnya perbedaan rata-rata yang signifikan di antara pekerja yang menganggap ventilasi di tempat kerja baik (1,3) maupun buruk (1,47). Sehingga pekerja yang menganggap ventilasi baik maupun buruk tidak memiliki tingkat stress kerja yang berbeda. Akan tetapi sebaiknya pihak manajemen berupaya melakukan perbaikan kondisi ventilasi di tempat kerja. Hal ini dikarenakan persepsi pekerja terhadap ventilasi di tempat kerja mereka cenderung tidak baik. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 1405 Tahun 2002 disebutkan bahwa ruang kerja yang menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan diupayakan agar mendapatkan pergantian udara secara alamiah dengan cara membuka seluruh pintu atau jendela atau dengan menggunakan kipas angin. Selain itu, pemeliharan AC berupa pembersihan filter udara juga harus dilakukan secara periodik minimal satu tahun sekali. Hal ini dilakukan agar sirkulasi udara di ruangan dapat berjalan dengan baik sehingga dapat memperbaiki persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di tempat kerja mereka. Dengan demikian, sirkulasi udara akan berjalan dengan baik serta dapat mencegah timbulnya stress kerja akibat kondisi ventilasi yang buruk. 6.14 Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja Konflik peran biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu: 141
1.
Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik
2.
Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda
3.
Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan
4.
Banyaknya peran yang harus dilakukan
5.
Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (Hubbard, 1998) Dalam penelitian ini, rata-rata skor konflik peran yang dialami para
responden yaitu sebesar 3,56 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5,62. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor variabel konflik peran yaitu sebesar 3,5 maka skor pada variabel ini sudah cenderung tinggi karena sudah melebihi nilai median. Selain itu, nilai maksimum yang dicapai pun sudah cenderung sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa konflik peran yang dialami para pekerja sudah cukup tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada pekerja di perusahaan industri skala kecil dan menengah di India dimana konflik peran berperan dalam meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dapat terjadi ketika pekerja diharuskan memenuhi tuntutan bertentangan peran yang mereka lakukan. Konflik peran tersebut kemudian membentuk harapan yang berlebihan sehingga sangat sulit untuk dicapai dan berujung pada munculnya stress yang dialami para pekerja (Vanishree, 2014b). Konflik peran yang dialami oleh para pekerja dapat menimbulkan dampak terutama dalam meningkatkan turnover pekerja dan menurunkan performa kerja (Barling et al., 2005). Selain itu, dari hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan 142
kerja dan komitmen tetapi berhubungan secara signifikan dan positif terhadap gangguan psikologis yang direfleksikan melalui kesehatan mental seseorang (Dobreva-Martinova, Villeneuve, Strickland, & Matheson, 2002). Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa konflik peran berhubungan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti peningkatan konflik peran yang dirasakan para pekerja dapat meningkatkan tingkat stress kerja yang mereka alami. Apabila konflik peran terjadi secara terus menerus dan dibarengi ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi maka sangat mungkin menyebabkan kelelahan secara emosional yang dapat mempengaruhi kesehatan dan performa kerja. Menurut Schwab (1981) dan Kelloway dan Barling (1991), menyatakan bahwa konflik peran dapat memprediksi terjadi kelelahan emosional secara signifikan. Konsekuensi lain dari konflik peran, yaitu pengasingan diri, rendahnya privasi , frustasi, dan burnout (Harigopal, 1995). Meskipun variabel konflik peran memiliki kecenderungan skor yang tinggi, tetapi variabel ini tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat teradi karena dipengaruhi perbedaan karakteristik sampel yang dapat dipengaruhi oleh budaya kerja yang diimplementasikan di suatu negara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika, Norwegia, Turki yang menunjukkan hasil berbeda-beda pada setiap negara tersebut (Perrewe & Ganster, 2011). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel konflik peran tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja. Meskipun demikian, 143
hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan yang tinggi mengenai konflik peran yang dirasakan para pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen berupaya untuk mengurangi konflik peran yang dirasakan para pekerja. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik peran, yaitu melalui komunikasi efektif dan pelatihan. Peningkatan komunikasi dengan pekerja dapat mengurangi ketidapastian yang menyebabkan terjadinya konflik peran. Semakin banyak informasi yang diberikan mengenai tuntutan, tantangan dan kesempatan kerja maka dapat mengurangi konflik peran yang terjadi. Sedangkan pelatihan diberikan untuk menjelaskan spesifikasi dan memperjelas tanggung jawab pekerjaan sehingga dapat menghindari terjadinya konflik peran (H. Singh, 2009). Dengan tingkat stress yang rendah maka pekerjaan akan berjalan lebih efektif. 6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga dapat terjadi akibat perubahan teknologi, struktur organisasi, adanya pekerja baru dalam organisasi, perubahan pekerjaan, supervisor baru, atau tempat kerja baru (Barling et al., 2005). Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,48 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum 5,33. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 3,5 maka rata-rata skor tersebut 144
masih cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketaksaan peran yang dirasakan para pekerja cukup rendah. Rendahnya ketaksaan peran yang dirasakan para pekerja dapat dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial yang baik dari supervisor maupun rekan kerja (Sutherland & Cooper, 2010). Dengan adanya dukungan sosial yang baik dari lingkungan di sekitarnya sehingga para pekerja mengetahui dengan baik mengenai pekerjaan yang mereka lakukan. Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel ketaksaan peran tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X tetapi keduanya berhubungan positif. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan ketaksaan peran yang dirasakan para pekerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang dialami (Ram et al., 2011). Ketaksaan peran memiliki konsekuensi yang hampir sama dengan permasalahan konflik peran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan ketaksaan peran berdampak pada timbulnya stress kerja yang mengakibatkan menurunnya kepuasan kerja dari anggota organisasi, rendahnya konsentrasi, dan rendahnya kemampuan pengambilan keputusan ( (Vanishree, 2014a) dan (Anton, 2009)). Selain itu, konflik peran dan ketaksaan peran dapat 145
berpengaruh secara tidak langsung terhadap turnover pekerja melalui variabel kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Rahim, 2011). Tidak adanya hubungan yang signifikan antara ketaksaan peran dengan stress kerja pada penelitian ini dapat dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang berbeda dengan penelitian lainnya. Pada penelitian Singh (2000) ditemukan hubungan yang signifikan antara ketaksaan peran dengan stress kerja pada para pekerja frontline di bidang jasa. Tetapi, dalam penelitian Lord (1996) dan Narayanan et al (1999), tidak ditemukan hubungan antara ketaksaan peran dengan stress kerja pada pekerja clerical, polisi, dan professor (Sams, 2005). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketaksaan peran tidak berhubungan
signifikan
dengan
stress
kerja.
Meskipun
memiliki
kecenderungan yang rendah sebaiknya dilakukan langkah pencegahan secara dini untuk menghindari terjadinya peningkatan ketaksaan peran di waktu yang akan datang. Pencegahan ketaksaan peran dapat dilakukan melakukan komunikasi yang efektif
(H. Singh, 2009). Komunikasi efektif ini dapat
dilakukan setiap minggu
antara atasan dengan bawahan (manajer dengan
supervisor atau supervisor dengan pekerja) ketika meeting setiap departemen dilakukan. Melalui komunikasi yang efektif, para pekerja dapat menyampaikan aspirasi mereka mengenai pekerjaan yang mereka lakukan dan atasan dapat membantu pekerjanya untuk mengatasi hambatan yang dirasakan para pekerja khususnya yang berkaitan dengan ketaksaan peran. Melalui komunikasi ini pekerja juga dapat mengetahui peran dan tanggung jawabnya secara jelas.
146
6.16 Hubungan Antara Konflik Interpersonal Dengan Stress Kerja Konflik di tempat kerja merupakan hal yang biasa terjadi dimana ketidaksepakatan atau diskusi yang panas merupakan kondisi yang tidak terelakkan yang terjadi di lingkungan pekerjaan. Beberapa konflik dapat mendorong dalam meningkatkan produktivitas jika pekerja berusaha mencari solusi permasalahan yang kreatif. Akan tetapi, ketika perbedaan dan ketidaksepakatan tersebut memicu terjadinya perasaan sakit hati maka hal ini dapat menimbulkan stress jangka panjang dan perasaan tidak senang (Edelmann, 2000). Hubungan sosial yang baik antar sesama pekerja memang dapat mengurangi perasaan stress di tempat kerja tetapi apabila yang terjadi tidak demikian maka hal ini dapat menyebabkan timbulnya tekanan dalam bekerja (Rout & Rout, 2002). Dalam penelitian ini, nilai rata-rata skor yang didapatkan untuk variabel ini yaitu sebesar 2,27 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 3,94. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1-5 maka skor tersebut telah masih berada di bawah nilai median sehingga rata-rata skor tersebut memiliki kecenderungan tidak tinggi. Sedangkan konflik interpersonal yang seringkali terjadi yaitu perbedaan pendapat di antara anggota departemen. Meskipun kecenderungan skor dari variabel ini tidak tinggi tetapi dampak adanya konflik interpersonal cukup serius. Konflik interpersonal memiliki dampak terhadap stress kerja yang sangat nyata terutama dalam jangka waktu yang panjang. Dampak yang paling signifikan akibat adanya konflik interpersonal yaitu perasaan gelisah. Perasaan gelisah merupakan emosi yang muncul untuk mengantisipasi permasalahan dan 147
tantangan di masa depan. Sehingga apabila seseorang pernah mengalami konflik interpersonal maka orang tersebut akan menghabiskan waktu yang lama untuk merenungkan masalah yang pernah dialaminya dan lebih merasa khawatir mengenai kemungkinan terjadinya masalah serupa di masa depan (Jex & Britt, 2008). Secara statistik, konflik interpersonal berhubungan positif dengan stress kerja yang dialami para pekerja berarti semakin tinggi konflik interpersonal yang dialami para pekerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang mereka alami. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya konflik yang dirasakan oleh para pekerja baik dengan sesama anggota departemen maupun dengan anggota departemen lainnya. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat terjadi ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi misalnya ketika seseorang lupa mengundang rekannya untuk menghadiri sebuah pertemuan yang dianggap penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal merupakan salah satu variabel penting yang dapat berdampak kompleks bagi pekerja yang mengalaminya (Jex & Britt, 2008). Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel konflik interpersonal merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan 148
manufaktur skala kecil dan sedang di Jepang menunjukkan bahwa tingginya konflik interpersonal dapat berpengaruh terhadap peningkatan gejala depresi (Ikeda et al., 2009). Untuk mencegah timbulnya dampak yang merugikan akibat adanya konflik interpersonal maka pihak manajemen harus berupaya melakukan langkah pengendalian. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi yang efektif dengan pekerja yang bertikai. Komunikasi efektif ini dilakukan dengan cara melakukan komunikasi dua arah yang menghasilkan umpan balik. Komunikasi yang efektif ini sebaiknya dilakukan secara rutin setiap meeting mingguan tiap departemen untuk mengendalikan bahkan mencegah terjadinya konflik interpersonal antar pekerja. Melalui komunikasi yang efektif, maka pihak manajemen dapat menggali informasi mengenai permasalahan yang dihadapi antar pekerja tersebut. Untuk penyelesaian lanjutannya, pihak manajemen dapat menerapkan strategi manajemen konflik. Strategi yang dapat diterapkan yaitu penyelesaian dengan mengambil jalan tengah atau kompromi atau menggunakan peraturan perusahaan yang berlaku sebagai cara penyelesaiannya (Wijono, 2010). 6.17 Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan Dengan Stress Kerja Ketidakpastian
pekerjaan
berkaitan
dengan
ancaman
kehilangan
pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang dapat mengakibatkan menurunnya performa kerja dan menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan di tempat lain (Stellman, 1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat direspon berbeda oleh setiap pekerja. Di satu sisi, pekerja akan semakin meningkatkan performanya agar mereka 149
dapat tetap bekerja. Akan tetapi, di sisi lainnya secara tidak langsung dapat menimbulkan kondisi stress atau ketidakpuasan dalam diri pekerja yang dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja. Dalam penelitian ini, didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,7 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum mencapai 5. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor tersebut sudah melebih nilai median dan memiliki kecenderungan cukup tinggi. Selain itu, rata-rata tingkat ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan oleh para pekerja cenderung lebih tinggi pada pekerja yang berstatus pekerja tetap (2,77) dibandingkan dengan pekerja tidak tetap (2,43). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pekerja telah berstatus sebagai pekerja tetap tetapi keyakinan para pekerja terhadap masa depan karir mereka di perusahaan ini cenderung rendah. Menurut Filipkowski dan Johnson (2008), ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan para pekerja dapat menyebabkan rendahnya komitmen pekerja terhadap organisasi dan meningkatkan turnover pekerja (Perrewe & Ganster, 2011). Bagi para pekerja, ketidakpastian pekerjaan mereka di masa depan dapat dinilai sebagai ancaman karena hal ini memiliki konsekuensi yang serius yaitu dapat mengubah kehidupan seseorang secara drastis dan merubah gaya hidup secara tidak terduga (Perrewe & Ganster, 2010). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Akan tetapi, kedua variabel tersebut saling berhubungan secara positif yang berarti apabila terjadi ketidakpastian pekerjaan yang terjadi semakin tinggi maka akan menghasilkan tingkat stress kerja yang lebih tinggi 150
juga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja dimana hasilnya menunjukkan bahwa ketidakpastian pekerjaan berhubungan signifikan dalam meningkatkan absenteisme pekerja (Chirumbolo & Areni, 2005). Selain itu, hasil penelitian pada pekerja di rumah sakit juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ketidakpastian pekerjaan
dengan
stress
kerja
(Zyl,
Eeden,
&
Rothmann,
2013).
Ketidakpastian pekerjaan juga dapat terjadi dikarenakan kemungkinan perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan yang tidak berguna di masa mendatang. Kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan bisa terjadi ketika adanya situasi penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang terjadinya ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu tersebut. Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu, kekhawatiran ini juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja (Robbins, 2009). Tidak adanya hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X dapat dipengaruhi perbedaan karakteristik pekerja di Indonesia. Pada beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan hasil pada pekerja di beberapa negara, seperti Amerika, Jerman, Hungaria, Jepang, Slovenia, Jepang, Korea, Taiwan dan Inggris (Perrewe & Ganster, 2011). Selain itu, ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan pekerja memang cenderung tinggi tetapi variabel ini tidak terlalu berpengaruh jika dibandingkan dengan variabel faktor pekerjaan lainnya yang lebih berpengaruh terhadap stress kerja. Sehingga varibel ini tidak berhubungan dengan stress kerja. 151
Meskipun tidak berhubungan secara signifikan, tetapi harus diperhatikan bahwa ketidakpastian pekerjaan ini lebih banyak dirasakan oleh para pekerja tetap. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun telah memiliki status pekerjaan yang jelas tetapi mereka cenderung merasa khawatir terhadap pekerjaan mereka saat ini. Untuk itu, sebaiknya pihak manajemen berupaya untuk mengatasi rasa khawatir yang dirasakan para pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan berupa meningkatkan upaya kerja yang stabil baik dari pihak manajemen dan pekerja melalui diskusi, kontrak kerja yang jelas mengenai status pekerja, masa kontrak dan upah yang diberikan, menetapkan kebijakan yang jelas mengenai kepastian pekerjaan serta menghargai hak pekerja
(ILO,
2012).
Dengan
demikian,
setelah
dilakukan
langkah
pengendalian diharapkan kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan para pekerja dapat berkurang sehingga mencegah timbulnya stress kerja akibat ketidakpastian pekerjaan. 6.18 Hubungan Antara Kurangnya Kontrol Dengan Stress Kerja Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005). Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,93 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 4,88. Jika dibandingkan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah 152
melewati nilai median sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa variabel ini memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam memberikan kebebasan kepada para pekerja untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan yang mereka miliki. Kurangnya kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka miliki merupakan salah satu faktor yang berkontribusi penting terhadap munculnya stress dan gangguan kesehatan yang dialami pekerja (Karwowski, 2006). Menurut Newton dan Jimmieson (2008), dengan memberikan kesempatan kepada para pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka lakukan maka hal ini akan membantu mengurangi stress yang berkaitan dengan pekerjaannya. Kesempatan yang diberikan kepada para pekerja dapat meningkatkan
kemudahan
bagi
para
pekerja
dalam
menyelesaikan
pekerjaannya. Dengan begitu, pekerja dapat menggunakan kemampuannya dalam mengatasi setiap hambatan yang dihadapinya sehingga dapat mengurangi perasaan frustasi dan stress di tempat kerja (Lewin, Kaufman, & Gollan, 2011). Selain itu, menurut Logan dan Ganster (2007), kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan juga dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan performa dari para pekerjanya (Perrewe & Ganster, 2010). Meskipun skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi, tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kesempatan para pekerja untuk mengontrol pekerjaan mereka tidak dapat mempengaruhi stress kerja yang mereka alami. Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan lebih tingginya jumlah 153
beban kerja yang membebani para pekerja sehingga kesempatan para pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka miliki saat ini masih belum mampu membantu mereka dalam mengurangi perasaan stress yang mereka alami. Pekerja yang memiliki beban kerja tinggi yang tidak disertai kemampuan untuk mengontrol pekerjaan dengan baik akan memiliki risiko untuk mengalami kematian penyakit jantung atau penyakit yang berhubunngan dengan peredaran darah (Byrne & Rosenman, 1990). Meskipun variabel ini sudah memiliki kecenderungan yang baik, tetapi sebaiknya pihak manajemen tetap memastikan bahwa setiap pekerja memiliki kontrol yang baik terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan berupa melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan, cara melakukan pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan mereka bekerja, dan libatkan para pekerja untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi sehingga partisipasi pekerja meningkat (ILO, 2012). Keterlibatan pekerja ini dapat dilakukan ketika pelaksanaan rapat perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kerja. Dengan menjamin bahwa kontrol terhadap pekerjaan dapat dilakukan dengan baik maka hal ini dapat mencegah terjadinya stress kerja akibat kurangnya kontrol pekerja terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. 6.19 Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress Kerja Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah besar bagi individu. Hal ini dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia dapat memicu terjadinya stress. Ini dapat terjadi dikarenakan munculnya
kekhawatiran dalam diri
individu terhadap
kemungkinan 154
kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan kembali (Bizymoms, 2013). Dalam penelitian ini didapat nilai rata-rata skor untuk variabel kurangnya kesempatan kerja sebesar 3,29 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 1-5 maka nilai rata-rata tersebut sudah melebihi nilai median untuk skor variabel ini yaitu 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa skor yang didapatkan dalam variabel ini sudah memiliki kecenderungan tinggi mendekati skor maksimum. Kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan oleh para pekerja bukan disebabkan faktor internal perusahaan tetapi dikarenakan kekhawatiran mereka terhadap ketersediaan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di perusahaan lain. Kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan oleh para pekerja menyebabkan terjadinya stress kerja yang kemudian memicu terjadinya frustasi (Swain, 2008). Kekhawatiran akibat kurangnya kesempatan kerja yang terjadi terus menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang merasakannya (L. B. Singh, 2006). Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara variabel kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja. Hal ini berarti semakin tinggi rasa khawatir para pekerja mengenai kurangnya kesempatan kerja akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami mereka. Dalam penelitian yang dilakukan selama tahun 1997 hingga 2001 pada pekerja di Jerman menemukan bahwa kekhawatiran pekerja akibat masa depan pekerjaan mereka dapat mengakibatkan efek yang merusak bagi kesehatan pekerja,
155
meningkatkan perilaku konsumsi alkohol dan rokok, serta depresi dan stress (Eurofound, 2010). Selain itu, berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel kurangnya kesempatan kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya keyakinan para pekerja untuk bisa mendapatkan kesempatan bekerja dan ketersediaan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di tempat lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Warr (1983) yang menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan emosi, dan kecemasan. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Cobb dan Kasl (1977) menunjukkan bahwa meskipun seorang pekerja telah berusaha mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006). Selain berdampak menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan dan stress, kekhawatiran pekerja terhadap kurangnya kesempatan kerja juga dapat berdampak pada munculnya stress kronis jika terjadi secara terus menerus (Heaney, Israel, & House, 1994). Menurut Vuuren (1990), perasaan khawatir yang terus dirasakan pekerja dapat membahayakan kesejahteraan dan kesehatan pekerja. Seorang pekerja yang mengalami dua kekhawatiran dalam waktu yang bersamaan akan memiliki tingkat kesejahteraan yang buruk. Selain merugikan bagi pekerja, kekhawatiran yang dialami pekerja juga dapat berdampak buruk bagi perusahaan. Kekhawatiran yang dirasakan para 156
pekerja dapat menyebabkan menurunnya komitmen mereka terhadap perusahaan, hilangnya kepercayaan terhadap manajemen, perlawanan terhadap perubahan organisasi dan menurunnya performa kerja (Witte, 2005). Oleh karena itu, para pekerja sebaiknya mengatasi perasaan khawatir mereka terhadap keberadaan kesempatan bekerja di tempat lain. Langkah pengendalian yang dapat yaitu berupa manajemen stress. Manajemen stress yang dapat mereka lakukan yaitu dengan selalu berpikir positif terhadap kemampuan yang dimiliki dan mengembangkan keterampilan diri dalam bekerja serta membangun relasi dengan rekan kerja di perusahaan saat ini maupun di tempat lain untuk memudahkan mencari lowongan kerja yang baru. Dengan melakukan langkah pengendalian tersebut diharapkan para pekerja dapat mengatasi perasaan khawatir mereka serta selalu berpikir positif terhadap kesempatan kerja yang akan mereka dapatkan. 6.20 Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja Dengan Stress Kerja Jumlah beban kerja merupakan suatu kondisi dimana pekerja memiliki sejumlah pekerjaan yang banyak yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas sehingga pekerja memiliki ketidakmampuan untuk menangani beban kerja yang dihadapinya (Rahim, 2011). Stress yang diakibatkan jumlah beban kerja dapat terjadi akibat beban kerja yang berlebih maupun beban kerja yang terlalu sedikit. Jumlah beban kerja yang terlalu banyak terjadi ketika beban kerja yang ada sangat banyak atau ketika pekerja diharuskan bekerja di bawah tekanan waktu. Permasalahan jumlah beban kerja merupakan masalah umum yang menyebabkan munculnya stress kerja yang dialami oleh para pekerja di berbagai sektor industri (Karwowski, 2006). 157
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 3,26 dengan nilai minimum sebesar 2,55 dan nilai maksimum 4,45. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor yang didapatkan pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Berdasarkan rata-rata skor jumlah beban kerja terdapat tiga departemen yang memiliki rata-rata skor tertinggi, yaitu Departemen Project & HSE, Departemen Engineering & Maintenance, dan Departemen HRGA. Tingginya skor jumlah beban kerja pada penelitian ini berkaitan dengan banyaknya jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu yang terbatas. Menurut Claessens, Van Eerde, Rutte dan Roe (2004), beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan rendahnya produktivitas kerja akibat sulitnya melakukan pengaturan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan yang dimiliki. Selain itu, peningkatan beban kerja dapat menghambat pekerja untuk mencapai sasaran kerja mereka sehingga dapat mengakibatkan terjadinya stress akibat pekerjaan (Perrewe & Ganster, 2010). Secara statistik, variabel jumlah beban kerja berhubungan sedang dan berpola positif sehingga peningkatan jumlah beban kerja yang dialami para pekerja di PT X dapat meningkatkan terjadinya stress kerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja dapat mengakibatkan gangguang fisik yang cukup serius. Hasil penelitian Buell dan Breslow (1960) menemukan bahwa pekerja yang memiliki jumlah beban kerja yang tinggi dua kali lebih berisiko mengalami kematian akibat penyakit jantung. Selain itu, menurut Rau (2004), tingginya beban kerja berhubungan dengan peningkatan kadar tekanan darah selama bekerja. Tetapi, tekanan darah tersebut akan kembali pada kadar 158
yang normal ketika seseorang memiliki kesempatan untuk mengontrol pekerjaan yang mereka lakukan (Jex & Britt, 2008). Dari hasil penelitian ini, kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan masih berada pada tingkat yang lebih rendah sehingga pekerja tidak dapat mengatur beban kerja yang mereka miliki. Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel jumlah beban kerja merupakan variabel yang
masuk ke dalam model multivariat dan paling
dominan berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Margolis et al (1974), jumlah beban kerja secara signifikan berkaitan dengan munculnya sejumlah gejala stress, seperti rendahnya motivasi kerja, rendahnya penghargaan diri, tingginya absenteisme, serta perilaku minum alkohol (Rose, 1994). Selain itu, dalam penelitian lainnya yang dilakukan de Jonge et al (2000) menemukan bahwa tingginya beban kerja secara signifikan berhubungan dengan timbulnya ketidakpuasan dalam bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi, dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis (Koradecka, 2010). Sehingga secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan teori stress kerja dan penelitian terdahulunya. Jumlah beban kerja merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Secara statistik, peningkatan beban kerja ini akan semakin meningkatkan stress kerja. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah pengendalian stress kerja yang saat ini dialami oleh para pekerja. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan dengan cara mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini dilakukan 159
untuk mengatur jumlah beban kerja yang diberikan kepada para pekerja serta menyesuaikannya dengan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki pekerja. Selain itu, melalui desain ulang pekerjaan ini juga dapat memberi kesempatan bagi pekerja untuk berdiskusi mengenai penyelesaian pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Dengan melakukan desain ulang pekerjaan ini maka bisa tercipta prosedur dan ekspektasi yang jelas antara atasan dengan bawahannya (Borkowski, 2011). Pengaturan jumlah beban kerja juga harus disertai dengan perencanaan deadline yang bersifat realistis untuk dicapai dan baik bagi kesejahteraan dan produktivitas pekerja (ILO, 2012). Pengaturan jumlah beban kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan oleh atasan terhadap bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor maupun supervisor terhadap pekerja. 6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja ketika
mereka
merasa
tidak
mampu
melaksanakan
tugas
tersebut.
Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas tersebut
dapat
mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya. Bentuk variasi beban kerja yang biasa terjadi yaitu ketika seorang pekerja dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi dengan setumpuk perfoma kerja yang harus dicapai tetapi pekerja tersebut tidak mampu melakukannya karena kurangnya pengalaman atau pelatihan (Rose, 1994). Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 3,62 dengan nilai minimum sebesar 2 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor 160
yang didapatkan pada variabel ini sudah cenderung tinggi karena melebihi nilai median tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pekerja seringkali mengalami penambahan beban kerja yang disertai kebutuhan untuk lebih berkonsentrasi dan berpikir lebih mendalam tetapi pekerja tidak mampu menyelesaikan beban kerja tersebut dengan baik. Variasi beban kerja sebagai salah satu sumber stress juga berhubungan signifikan terhadap penilaian diri yang rendah akibat ketidakmampuannya mengerjakan pekerjaan yang dimiliki pekerja tersebut (Rose, 1994). Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel variasi beban kerja berhubungan positif dan signifikan terhadap stress kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Caplan et al (1975) pada 23 negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010). Dalam penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja manufaktur di Jepang menunjukkan hal yang sama bahwa variasi beban kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009). Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel variasi beban kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil analisis multivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan variasi beban kerja dapat menurunkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kebosanan yang dirasakan oleh para 161
pekerja akibat beban kerja yang kurang beragam. Kebosanan merupakan salah satu potensi stress yang dapat menyebabkan ketidakpuasan bekerja. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kebosanan yaitu dengan mengubah karakteristik pekerjaan agar lebih menstimulasi, menantang, dan berarti bagi pekerja (Dewe, O'Driscoll, & Cooper, 2010). Salah satu cara yang dapat dilakukan pihak manajemen untuk meningkatkan variasi beban kerja, yaitu dengan cara memperkaya pekerjaan. Memperkaya pekerjaan dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan agar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki pekerja. Proses mendesain ulang ini akan membantu pekerja mengurangi stress yang dirasakannya akibat variasi beban kerja yang dianggap kurang serta menghilangkan kebosanan pekerja akibat beban kerja yang terlalu monoton. Pengaturan jumlah beban kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan oleh atasan terhadap bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor maupun supervisor terhadap pekerja. Dengan peningkatan variasi beban kerja yang baru nantinya dapat meningkatkan motivasi dan tantangan terhadap tugas yang dihadapi sehingga pekerja memiliki tingkat variasi beban kerja yang beragam (H. Singh, 2009). 6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Dengan Stress Kerja Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain. Memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat 162
memicu terjadi penyakit jantung koroner dibandingkan memegang tanggung jawab terhadap benda. Peningkatan tanggung jawab terhadap orang lain berarti bahwa seorang pekerja lebih sering menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan pekerja lain, menghadiri pertemuan, bekeja sendiri dan sebagai konsekuensinya akan menyebabkan seorang pekerja berada dalam tekanan. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,96 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 1 – 5 maka skor pada variabel ini sudah lebih tinggi dari nilai median total skor sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh para pekerja di PT X sudah cukup tinggi.Tanggung jawab terhadap orang lain dapat berkaitan dengan kesuksesan dan keselamatan orang tersebut di lingkungan pekerjaan. Sehingga semakin tinggi tanggung jawab seseorang terhadap orang lain maka dapat memicu terjadinya stress kerja yang tinggi (Karwowski, 2006). Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa seorang pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang lain akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki tanggung jawab terhadap orang lain juga dapat menyebabkan munculnya rasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada berbagai profesi yang tidak terbatas hanya pada seorang manajer tetapi juga guru, petugas kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel & Schultz, 2012). Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel tanggung jawab terhadap orang lain berhubungan negatif dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya tanggung jawab yang 163
diemban oleh pekerja tidak mempengaruhi peningkatan stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Menurut Karasek dan Theorell (1990), tanggung jawab biasanya selalu beriringan dengan kemampuan pekerja untuk mengontrol pekerjaannya. Tanggung jawab yang tinggi yang disertai dengan kemampuan mengontrol dengan baik akan mampu menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja (Aldwin, 2007). Pada penelitian ini, keduanya telah berjalan beriringan tetapi tingginya beban kerja yang dimiliki para pekerja lebih berpotensi menyebabkan terjadinya stress kerja. Sehingga sekalipun besarnya tanggung jawab yang dibebankan kepada seseorang mampu dikontrol dengan baik tetapi jumlah beban kerja tetap tinggi maka pekerja tetap akan mengalami stress kerja. Untuk itu, sebaiknya pihak manajemen melakukan langkah pengendalian untuk menurunkan besarnya tanggung jawab terhadap orang lain yang dirasakan para pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini dilakukan untuk menyesuaikan antara pekerjaan serta tanggung jawab yang harus diemban pekerja serta disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki pekerja. Jika masih memungkinkan untuk mendelegasikan tanggung jawab terhadap pihak lain yang memiliki pekerjaan lebih sedikit sebaiknya dilakukan agar pekerjaan dan tanggung jawab tersebut tidak menumpuk pada pekerja tertentu saja. 6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan Dengan Stress Kerja Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja 164
memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena sudah menggunakan alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stress (Ross & Altmaier, 2000). Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 2,55 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 1 – 5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai media sebesar 2,5 sehingga variabel ini memiliki kecenderungan yang cukup tinggi. Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat terjadi ketika kemampuan yang dimiliki pekerja tersebut melebihi kualifikasi kemampuan untuk pekerjaannya (Paludi, Vlydegger, & Paludi, 2006). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kemampuan pekerja tidak digunakan dengan baik ketika melakukan pekerjaannya. Apabila kemampuan tersebut benar-benar tidak digunakan maka akan menghasilkan ketidakpuasan bekerja yang dirasakan bekerja (Penn, 1994). Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan penelitian Watari yang menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan secara signifikan dengan peningkatan tingkat stress yang berkaitan dengan tingginya prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi pekerja (Konno & Munakata, 2014). Pada penelitian ini tidak terdapatnya hubungan antara kedua variabel dapat terjadi dikarenakan meskipun kemampuan pekerja tidak digunakan 165
dengan baik tetapi hal ini bukan merupakan suatu hal yang menyebabkan terjadinya stress. Akan tetapi, terdapat faktor pekerjaan lainnya yang dapat menimbulkan terjadinya stress. 6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan seorang pekerja (Koradecka, 2010). Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata tuntutan mental yang dirasakan pekerja yaitu sebesar 3,09 dengan nilai minimum 2,2 dan nilai maksimum 4. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1 – 4 maka ratarata skor tersebut sudah melewati nilai median sebesar 2. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Beban kerja berlebih yang dimiliki pekerja dapat menyebabkan kurangnya waktu kerja serta sulitnya bagi pekerja untuk mencapai sasaran organisasi. Beban kerja yang disertai dengan tuntutan mental dapat menyebabkan terjadinya stress bahkan burnout. Ketika tuntutan mental yang dihadapi pekerja dalam jumlah yang besar maka mereka akan mengalami frustasi. Menurut Dean Jeffrey Klepfer, frustasi dapat menyebabkan
166
menurunnya kapasitas kerja seseorang dan menyebabkan menumpuknya beban kerja berlebih (Gryna, 2004). Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan adanya hubungan yang positif dan sedang antara variabel tuntutan mental dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tuntutan mental yang dihadapi pekerja maka akan semaking meningkatkan stress kerja yang mereka alami. secara berlebihan
Tuntutan mental
melampaui kemampuan dan kompetensi pekerja dapat
menyebabkan terjadinya ketidakmampuan, frustasi bahkan burnout. Pekerjaan dengan tuntutan mental yang baik seharusnya berada pada level tuntutan mental yang nyaman bagi pekerja sehingga sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya(Gryna, 2004). Meskipun demikian, kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pekerja sudah merasa terbiasa dengan tekanan pekerjaan yang dirasakannya sehingga tidak menganggap tuntutan mental sebagai penyebab utama stress yang mereka rasakan akibat pekerjaan. Stress yang dialami pekerja bisa saja lebih dipengaruhi faktor pekerjaan lainnya, seperti jumlah beban kerja yang lebih banyak dibandingkan tuntutan kerja secara mental. Sehingga variabel ini tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja. Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi variabel tuntutan mental berhubungan positif terhadap stress kerja. Oleh karena itu, pihak manajemen sebaiknya melakukan upaya pencegahan terhadap tuntutan mental yang dirasakan para pekerja. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan untuk mencegah tuntutan yang berlebih terhadap pekerja. Desain ulang yang dapat dilakukan berupa pertimbangan ulang 167
mengenai jumlah pekerjaan dengan kapasitas pekerja, rotasi tingkat kesulitan dan tantangan pada tiap pekerja, serta mengembangkan kemampuan dan performa pekerja dalam bekerja (ILO, 2012). 6.25 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Stress Kerja Shift kerja yang bertentangan dengan pola tidur akan berisiko menimbulkan gangguan kesehatan baik secara psikologis, fisik, dan perilaku. Gangguan yang dapat dialami pekerja shift berupa gangguan pernapasan, detak jantung, tekanan darah, eksresi urin, mitosis sel, produksi hormon, dan gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama pada malam hari akan menyebabkan perubahan kerja dimana para pekerja diharuskan lebih aktif pada waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Selain itu, penyesuaian diri terhadap shift bukan suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di dalam tubuh serta aktivitas sosial lainnya (Authority, 2006). Dari hasil penelitian ini didapatkan jumlah pekerja yang bekerja secara tidak shift (56,5 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang bekerja secara shift (43,5 %). Pekerja yang bekerja secara shift merupakan subjek yang rentan mengalami stress kerja, seperti kelelahan, mudah marah, depresi dan kurang minat bekerja (Speegle, 2013). Menurut hasil penelitian Riber dan Derriennic (1999) masalah kesehatan yang seringkali dirasakan pekerja shift adalah gangguan tidur dan kelelahan. Menurut Akerstedt (1998) tiga dari empat pekerja shift mengalami masalah kesehatan dan mengalami kurang tidur (Sonnentag et al., 2009). 168
Berdasarkan hasil analisis bivariat, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja sengan stress kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dirken (1966) menemukan bahwa meskipun pekerja shift merasakan kelelahan dan malaise lebih tinggi tetapi tidak ditemukan adanya perbedaan gejala berarti dibandingkan dengan pekerja non-shift. Hasil survei literatur yang dilakukan Rutenfranz et al (1977) juga menemukan hal yang serupa yaitu pekerjaan shift tidak memiliki dampak yang signifikan terhdapa penyakit jantung dan saraf (Ivancevich & Ganster, 2014). Pada penelitian ini, tidak terdapatnya hubungan antara shift kerja dengan stress kerja dapat terjadi karena pekerja shift sudah beradaptasi dengan baik dengan jadwal kerja mereka yang harus bergilir sehingga rata-rata tingkat stress pekerja baik shift (1,41) maupun tidak shift (1,42) tidak berbeda jauh. Selain itu, pengaruh pekerjaan terhadap pekerja yang berbeda shift bisa saja tidak berbeda sehingga stress yang dialami para pekerja tidak dipengaruhi oleh faktor shift kerja tetapi faktor pekerjaan lainnya, seperti beban kerja. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat stress kerja pekerja shift dengan tidak shift. Walaupun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan stress kerja tetapi sebaiknya pihak manajemen melakukan langkah pengendalian untuk mencegah timbulnya stress kerja akibat pengaruh shift kerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan tetap mempertahankan pola shift kerja pagi-siang-malam untuk mengurangi gangguan tidur , menyesuaikan pencahayaan pada malam hari agar terlihat terang, menyediakan diet makanan yang sehat serta penentuan jam makan yang 169
sesuai, pelarangan konsumsi alkohol dan obat terlarang (Stranks, 2005), serta diupayakan agar pekerja berusia tua tidak bekerja secara shift lagi karena pekerja berusia tua lebih berisiko mengalami masalah gangguan sirkadian dibandingkan pekerja berusia muda (Barling et al., 2005). 6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Pada semua model stress kerja, aktivitas di luar pekerjaan diakui sebagai salah satu sumber stress bagi pekerja. Aktivitas di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti masalah keuangan, pernikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Oleh karena itu, menghilangkan sumber stress dari aktivitas di luar pekerjaan sebaiknya dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah menurunnya kepuasan kerja seseorang serta menghambat perkembangan reaksi stress dari sumber yang telah didapat ketika bekerja (Hurrell, 1990). Dari hasil penelitian ini, rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan sebesar 2,19 dengan nilai minimum sebesar 0 dengan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 0 -7 maka rata-rata skor pada variabel ini belum melebihi nilai median sebesar 3,5 sehingga memiliki kecenderungan yang rendah. Stress yang terjadi di tempat kerja juga dapat dipengaruhi oleh tuntutan di luar pekerjaan. Tuntutan di luar pekerjaan dapat berasal dari keluarga maupun tuntutan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sama seperti stress kerja yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga, maka tuntutan di 170
luar pekerjaan juga dapat mempengaruhi kehidupan di lingkungan pekerjaan (Nelson & Quick, 2013). Konflik yang berasal dari luar pekerjaan dapat menimbulkan gejala ketegangan,seperti ketidakpuasan kerja, ketidakpuasan dalam kehidupan, dan kesehatan mental yang rendah (Ivancevich & Ganster, 2014). Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel aktivitas di luar pekerjaan berhubungan dengan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa peningkatan aktivitas di luar pekerjaan dapat meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Allen et al (2000) yang menunjukkan bahwa stress kerja berhubungan positif dan sedang dengan konflik keluarga (Schabracq, Winnubst, & Cooper, 2003). Meskipun demikian, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan pada kedua variabel tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan rendahnya aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki para pekerja. Sehingga aktivitas di luar pekerjaan yang mereka miliki cenderung tidak mempengaruhi stress kerja yang dialami. Stress kerja yang dialami para pekerja dapat terjadi dikarenakan lebih tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah beban kerja daripada faktor aktivitas di luar pekerjaan sehingga hal ini yang mengakibatkan faktor aktivitas di luar pekerjaan tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja. 6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Dalam lingkungan kerja yang rukun 171
maka pekerja tidak akan mungkin mendapatkan tindakan yang tidak adil. Selain itu, jika dalam lingkungan kerja banyak terdapat sumber stress, dukungan sosial bisa menjadi penahan dampak negatif sumber stress yang terdapat di lingkungan tersebut (Koradecka, 2010). Dalam penelitian ini, rata-rata skor dukungan sosial yang didapatkan oleh para responden, yaitu sebesar 3,87 dengan nilai minimum sebesar 2,12 dan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 15 maka skor yang didapatkan dalam penelitian ini sudah melebihi nilai median total skor. Sehingga dapat dikatakan bahwa dukungan sosial yang didapatkan oleh para responden di tempat kerja sudah cukup baik. Dukungan sosial sangat baik dalam melindungi pekerja dari kondisi stress akibat pekerjaan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dengan melindunginya dari berbagai dampak negatif akibat stress kerja yang tinggi. Selain itu, deukungan sosial sangat membantu seseorang untuk dapat mengatasi keadaan stress yang dialaminya. Dukungan sosial bekerja dengan dua cara, yaitu seseorang yang terpapar stress kerja tinggi tetapi memiliki dukungan sosial baik maka akan lebih menganggap keadaan stress yang dialaminya sebagai suatu hal yang biasa saja dibandingkan dengan orang lain yang hanya memiliki dukungan sosial yang rendah. Cara yang kedua, yaitu dukungan sosial dapat mengubah respon seseorang terhadap keadaan stress yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh House (1981) yang mengukur mengenai jumlah dukungan sosial yang diterima dari supervisor, rekan kerja, keluarga, dan teman. House menemukan bahwa pekerja yang mendapat dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja 172
akan merasakan stress yang lebih rendah. Sedangkan dukungan sosial dari keluarga atau teman hanya memiliki dampak yang kecil atau bahkan tidak memiliki dampak sama sekali (Rout, 2002). Selain itu, dalam mengatasi stress yang dialami seseorang, dukungan sosial dapat berfungsi sebagai tiga hal, yaitu efek pencegahan, efek penyembuhan, dan efek moderating (Rossi, Perrewe, & Sauter, 2006). Meskipun rata-rata skor yang didapatkan pada variabel ini sudah cukup baik, tetapi secara statistik menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi jika disertai dengan dukungan sosial yang baik maka mampu mencegah dampak stress yang dialami oleh seseorang (Kato, 2008). Hal ini dapat terjadi dikarenakan dukungan sosial yang dimiliki oleh para pekerja tidak mampu mengurangi perasaan stress yang diakibatkan tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah beban kerja yang tinggi, konflik interpersonal, dan kurangnya kesempatan kerja. Meskipun dalam teori lainnya dikatakan bahwa rendahnya dukungan sosial lebih berisiko meningkatkan depresi dibandingkan dengan faktor lainnya, seperti konflik peran, ketaksaan peran dan rendahnya partisipasi. Akan tetapi dalam penelitian ini, dukungan sosial yang baik sekalipun tidak mampu menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja akibat tingginya faktor pemicu stress yang berasal dari faktor pekerjaan. Selain itu, berdasarkan penelitian terdahulu juga ditemukan pengaruh karakteristik pekerjaan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga pada penelitian ini tidak 173
terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja. Selain itu, pada beberapa studi terdahulu juga tidak ditemukan hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja khususnya ketika dilakukan analisis regresi pada kedua variabel tersebut (Rossi et al., 2006). Dari hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tercipta di lingkungan kerja sudah baik. Oleh karena itu, lingkungan sosial yang baik ini sebaiknya tetap terjaga untuk mencegah timbulnya stress kerja. Dukungan sosial yang baik dapat berupa hubungan yang harmonis antara manajemen dan pekerja, saling memberikan dukungan terhadap sesama pekerja, serta meningkatkan aktivitas sosial dan rekreasi untuk menjaga hubungan yang baik antar pekerja.
174
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di PT X dapat disimpulkan bahwa: 1.
Rata-rata tingkat stress kerja yang dialami oleh responden, yaitu sebesar 1,42.
2.
Gambaran faktor individual adalah sebagai berikut: a. Responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak, yaitu berjumlah 60 orang (87 %). b. Responden yang berstatus menikah lebih banyak, yaitu berjumlah 54 orang (78,3 %). c. Rata-rata umur responden yaitu sebesar 33,09 tahun. d. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden berjumlah satu orang. e. Rata-rata masa kerja yang telah dilalui responden yaitu selama 71,64 bulan (± 6 tahun). f. Rata-rata tingkat kepribadian tipe A yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,24. g. Rata-rata penilaian diri responden terhadap diri mereka yaitu sebesar 3,59
3.
Gambaran faktor pekerjaan adalah sebagai berikut: a. Responden yang memiliki persepsi tempat kerja tidak bising lebih besar yaitu berjumlah 37 orang (53,6 %).
175
b. Responden yang memiliki persepsi pencahayaan tempat kerja baik lebih besar yaitu berjumlah 52 orang (75,4 %). c. Responden yang memiliki persepsi suhu di tempat kerja tidak nyaman lebih besar yaitu berjumlah 38 orang (55,1 %). d. Responden yang memiliki persepsi ventilasi di tempat kerja buruk lebih besar yaitu berjumlah 48 orang (69,6 %). e. Rata-rata konflik peran yang dirasakan responden yaitu sebesar 3,56. f. Rata-rata ketaksaan peran yang dirasakan respoden yaitu sebesar 2,48. g. Rata-rata konflik interpersonal yang dimiliki responden yaitu sebesar 2,27. h. Rata-rata ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan responden yaitu sebesar 2,7. i. Rata-rata kurangnya kontrol yang dirasakan responden yaitu sebesar 2,93. j. Rata-rata kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan responden yaitu sebesar 3,29. k. Rata-rata jumlah beban kerja yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,26. l. Rata-rata variasi beban kerja yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,62. m. Rata-rata tanggung jawab yang dimiliki responden terhadap pekerja lain yaitu sebesar 2,96. n. Rata-rata kemampuan yang tidak digunakan yang dirasakan respoden yaitu sebesar 2,55. 176
o. Rata-rata tuntutan mental yang dirasakan respoden yaitu sebesar 3,09. p. Responden yang bekerja secara tidak shift lebih besar yaitu berjumlah 39 orang (56,5 %). 4.
Rata-rata aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki responden yaitu sebesar 2,19.
5.
Rata-rata dukungan sosial yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,87.
6.
Hubungan antara faktor individual dengan stress kerja adalah sebagai berikut: a. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja dan kepribadian tipe A dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. b. Ada hubungan antara penilaian diri dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.
7.
Hubungan antara faktor pekerjaan dengan stress kerja adalah sebagai berikut: a. Tidak ada hubungan antara kebisingan, pencahayaan, ventilasi, kurangnya kontrol, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. b. Ada hubungan antara suhu, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kesempatan kerja dan jumlah beban kerja dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.
177
8.
Tidak ada hubungan antara faktor aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X 2014.
9.
Tidak ada hubungan antara faktor dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X 2014.
10. Faktor yang masuk model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja, kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi beban kerja dengan faktor yang paling dominan berhubungan yaitu faktor jumlah beban kerja. 7.2 Saran 7.2.1 Bagi Perusahaan 1. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan antara jumlah beban kerja dengan kemampuan pekerja, mendiskusikan cara penyelesaian pekerjaan bersama dengan pekerja, dan perencanaan deadline pekerjaan yang realistis serta memperkaya jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja sehingga variasi beban kerja yang dimiliki menjadi beragam dan pekerja terhindar dari kebosanan kerja. Desain ulang ini dapat dilakukan pada tahap perencanaan pekerjaan dan dilakukan baik oleh pihak atasan dan bawahan (manajer dengan supervisor atau supervisor dengan pekerja). 2. Melakukan komunikasi yang efektif secara rutin setiap meeting mingguan tiap departemen untuk mendiskusikan masalah yang terjadi di dalam departemen serta menerapkan strategi konflik dengan cara kompromi atau menggunakan peraturan untuk menyelesaikan konflik interpersonal antar pekerja. 178
3. Menurunkan suhu udara di area plant dengan menggunakan ventilasi dilusi hingga mencapai suhu udara yang nyaman bagi pekerja (1828oC) serta menyesuaikan kualitas seragam dengan menggunakan material alami, seperti katun dan wool dan ukuran yang longgar untuk memudahkan penguapan keringat. 4. Mengendalikan kebisingan di lingkungan kerja dengan melakukan pengendalian teknis, seperti pemasangan barrier untuk meredam bising 5. Memperbaiki pencahayaan baik menggunakan pencahayaan alami maupun buatan hingga sesuai dengan batas minimal pencahayaan yang baik sesuai dengan lokasi kerja (lobby 100 lux, ruang kerja 350 lux, laboratorium 500 lux, dan plant 200 lux). 6. Melakukan
pergantian
udara
secara
alamiah
dan
melakukan
pemeliharaan AC secara periodik minimal satu tahun sekali agar sirkulasi udara berjalan dengan baik. 7. Meningkatkan komunikasi dengan pekerja mengenai cara penyelesaian pekerjaan untuk mengendalikan konflik peran yang dirasakan pekerja dan memberikan pelatihan untuk menjelaskan spesifikasi dan tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan pekerja. 8. Melakukan komunikasi yang efektif antara atasan dengan bawahan (manajer dengan supervisor atau supervisor dengan pekerja) untuk mengatasi hambatan kerja dan memperjelas peran dan tanggung jawab untuk mengendalikan ketaksaan peran.
179
9. Meningkatkan upaya kerja yang stabil, pembuatan kontrak kerja yang jelas serta menerapkan kebijakan yang jelas mengenai kepastian kerja untuk mengurangi kekhawatiran pekerja terhadap ketidakpastian pekerjaan yang mereka rasakan. 10. Meningkatkan keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah melalui rapat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kerja untuk meningkatkan kontrol pekerja terhadap pekerjaan. 11. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan kemampuan pekerja dengan
tanggung jawab
yang harus
diemban
dan
berusaha
mendelegasikan tanggung jawab kepada pihak lain yang memiliki pekerjaan lebih sedikit serta menyesuaikan pekerjaan dengan kapasitas pekerja, melakukan rotasi tingkat kesulitan dan tantangan dalam bekerja serta mengembangkan kemampuan dan performa dalam bekerja. 7.2.2 Bagi Pekerja 1. Melakukan manajemen stress dengan berpikir positif terhadap kemampuan diri dan mengembangkan keterampilan diri dalam bekerja serta membangun relasi dengan rekan kerja di perusahaan saat ini atau tempat lain untuk memudahkan mencari lowongan kerja yang baru. 2. Menyampaikan ketidaknyamanan suhu yang dirasakan kepada Departemen HSE ketika dilakukannya safety meeting mingguan agar Departemen HSE bersama pihak manajemen melakukan perbaikan kondisi lingkungan kerja yang tidak sesuai.
180
3. Mengatur waktu dengan baik antara menyelesaikan pekerjaan dengan kehidupan pribadi serta tidak memaksakan diri dalam bekerja. 7.2.3 Bagi Peneliti Lain 1.
Meningkatkan jumlah sampel untuk penelitian multivariat.
2.
Melakukan penelitian stress kerja hingga ke tahap stress kerja kronis.
181
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, R., Widyahening, I. S., Amri, Z., & Kusumawardhani, A. (2011). Stressor Kerja dan Insomnia pada Petugas Pemadam Kebakaran di Jakarta Selatan. Journal Indonesia Medical Association, 61(12). Aghaei, M., Asadollahi, A., Moezzi, A. D., Beigi, M., & Parvinnejad, F. (2013). The Relation Between PersonalitY Type, Locus of Control, Occupational Satisfaction and Occupational Exhaustion and Determining the Effectiveness of Stress Innoculation Training (SIT) on Reducing it among Staffers of Saipa Company. Journal of Recent Science, 2(12), 6-11. AIS. (2013). Workplace Stress. http://www.stress.org/workplace-stress/ Ajala, E. M. (2012). The Influence of Workplace Environment on Workers Welfare, Performance and Productivity. African Educational Research Network, 12(1). Aldwin, C. M. (2007). Stress, Coping, and Development: An Integrative Perspective. United States of America: The Guilford Press. Amran, Y. (2012). Pengolahan dan Analisis Data Statistik di Bidang Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aneshensel, C. S., Phelan, J. C., & Bierman, A. (2013). Handbook of the Sociology of Mental Health. New York: Springer Science. Anismasahun, & Oladeni. (2012). Effects of Length of Marriage and Number of Children on Marital Satisfaction Among Baptist Couples in Lagos State, Nigeria. International Journal of Current Research, 4, 163-171.
182
Anton. (2009). The Impact of Role Stress on Workers Behavior Through Job Satisfaction
and
Organizational
Commitment.
International
Journal
Psychology, 44(3), 187-194. Antoniou, Polychroni, F., & Vlachakis, A. N. (2006). Gender and Age Differences in Occupational Stress and Professional Burnout Between Primary and Highschool Teachers in Greece. Journal of Managerial Psychology, 81, 682-690. Authority, S. W. E. (2006). Stress. Swedia: Work Environment Retrieved from http://www.av.se/dokument/inenglish/themes/stress.pdf. Awbi, H. B. (2008). Ventilation Systems: Design and Performance. United States of America: Taylor & Francis. Azmoon, H., Dehghan, H., Akbari, J., & Souri, S. (2012). The Relationship bertween Thermal Comfort and Light Intensity with Sleep Quality and Eye Tiredness in Shift Work Nurses. Journal of Environment and Public Health. Barling, J., Kelloway, E. K., & Frone, M. R. (2005). Handbook of Work Stress. United States of America: Sage Publications Inc. Bickford,
M.
(2005).
Stress in the Workplace: A General Overview of the Causes, the Effects, and the Solution. http://www.cmhanl.ca/pdf/Work%20Place%20Stress.pdf Bizymoms. (2013). The Lack of Job Opportunities. http://www.bizymoms.com/jobcareer/lack-of-job-opportunities.html Borkowski, N. (2011). Organizational Behavior in Health Care. United States of America: Jones and Barlett Publishers.
183
Burgard, S. A., Kalousova, L., & Seefeldt, K. S. (2012). Perceived Job Insecurity and Health: The Michigan Recession and Recovery Study. Journal of Occupational and Environmental Medicine, 54(9), 1101-1106. Byrne, D. G., & Rosenman, R. H. (1990). Anxiety and the Heart. United States of America: Hemisphere Publishing Corporation. Cardwell, M., & Flanagan, C. (2005). Psychology AS Casper,
J.
(2014).
Stress
Response
Ability.
http://nutritionalbalancing.org/center/htma/conditions/articles/distress.php CCOHS.
(2008).
Industrial
Ventilation.
http://www.ccohs.ca/oshanswers/prevention/ventilation/introduction.html CDC. (2004). Worker Health Chartbook. Columbia: Department of Health and Human Services. Chirumbolo, A., & Areni, A. (2005). The Influence of Job Insecurity on Job Performance and Absenteeism: The Moderating Effect of Work Attitudes. Journal of Industrial Psychology, 31(4), 65-71. CMHA.
(2014).
Children
and
the
Stress
of
Parenting.
http://www.cmha.ca/mental_health/the-stress-of-parenting/#.U15CD_mSxnY Cooper, C. L. (2013). From Stress to Wellbeing. New York: Palgrave Macmillan. Crandall, R., & Perrewe, P. L. (1995). Occupational Stress: A Handbook. United States of America: Taylor & Francis. Desy. (2002). Tingkat Stress Kerja dan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Karyawan Bagian Marketing Services PT Unilever Indonesia Tbk Jakarta Tahun 2002. Universitas Indonesia, Depok.
184
Dewe, P. J., O'Driscoll, M. P., & Cooper, C. L. (2010). Coping wth Work Stress: A Review and Critique. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd. Dobreva-Martinova, T., Villeneuve, M., Strickland, L., & Matheson, K. (2002). Occupational Role Stress in the Canadian forces: Its association with Individual and Organizational Well-Being. Canadian Journal of Behavioural Science, 34(2), 111-121. Dollard, M. F., Winefield, A. H., & Winefield, H. R. (2003). Occupational Stress in the Service Professions. New York: Taylor & Francis Ltd. Edelmann, R. J. (2000). Interpersonal Conflicts At Work. India: Universities Press. Emeny, R. (2013). Workplace Stress Poses Risk to Health. Brain, Behavior, and Immunity and Psychosomatic Medicine. Eurofound. (2010). Work Related Stress Fink, G. (2010). Stress Consequences: Mental, Neuropsychological, and Socioeconomic. United Kingdom: Elsevier. Firmana, A. S., Firmana, W. H., & Hariyono, W. (2011). Hubungan Shift Kerja Dengan Stres Kerja Pada Karyawan Bagian Operation PT Newmon Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa. Kesehatan Masyarakat, 5. Fitri, A. M. (2013). Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stress Kerja Pada Karyawan Bank. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2. Flin, R. H., O'Connor, P., & Crichton, M. (2008). Safety at the Sharp End: A Guide to Non-technical Skills. United States of America: Ashgate Publishing Limited.
185
Forbes. (2012). The Key to Economic Growth: Reduce The Unemployment Rate. http://www.forbes.com/sites/mikepatton/2012/08/27/the-key-to-economicgrowth-reduce-the-unemployment-rate/ Gatchel, R. J., & Schultz, I. Z. (2012). Handbook of Occupational Health and Wellness. New York: Springer. Golubic, R., Milosevic, M., Knezevic, B., & Mustajbegovic, J. (2009). Work-related Stress, Education, And Work Ability Among Hospital Nurses. Journal of Advanced Nursing, 65(10), 2056-2066. Gryna, F. M. (2004). Work Overload: Redesigning Jobs to Minimize Stress and Burnout. United States of America: Quality Press. Halkos, G., & Bousinakis, D. (2010). The Effct of Stress and Satisfaction on Productivity. International Journal of Productivity and Performance Management, 59(5), 415-431. Hansson, R., Robson, S., & Limas, M. (2001). Stress and Coping Among Older Workers. NCBI, 17(3), 247-256. Hardy, S., Carson, J., & Thomas, B. (1998). Occupational Stress: Personal and Professional Approaches. United Kingdom: Stanley Thornes Ltd. Harigopal, K. (1995). Organizational Stress: A Study of Role Conflict Heaney, C. A., Israel, B. A., & House, J. S. (1994). Chronic Job Insecurity Among Automobile Workers: Effects on Job Satisfaction and Health. Social Science Medical, 38(10), 1431-1437. Heery, E., & Salmon, J. (1998). The Insecure Workforce: Cardiff University. Hess, J. (2008). Marital Satisfaction and Parental Stress. (Magister), Utah State University,
Logan,
Utah.
Retrieved
from 186
http://books.google.co.id/books?id=taT34ocDf8C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false Hidayat, B. U. A. (2012). Hubungan Tingkat Stress dengan Kejadian Insomnia pada Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. Universitas
Diponegoro,
Semarang.
Retrieved
from
http://eprints.undip.ac.id/33160/10/Artikel_HUBUNGAN_TINGKAT_STRE S_DENGAN_KEJADIAN_INSOMNIA.pdf Hiriyappa, B. (2013). A Person Who Can Manage The Stress At Workplace in an Organization HSE. (2001). A Critical Review of Psychosocial Hazard Measure. Hubbard, J. R. (1998). Handbook of Stress Medicine: An Organ System Approach Hurrell, J. J. (1990). An Overview of Organizational Stress and Health. United States of America: NIOSH. Ikeda, Nakata, Takahashi, JHojou, Haratani, Nishikido, & Kamibeppu. (2009). Correlates of Depressive Symptomps Among Workers in Small and Medium Scale Manufacturing Enterprises in Japan. Occupational Health, 51, 26-37. ILO. (2003). Work Stress in The Context of Transition. Budapest: ILO. ILO. (2012). Stress Prevention at Work Checkpoints Ivancevich, J. M., & Ganster, D. C. (2014). Job Stress From Theory to Suggestion. USA: Taylor & Francis. Jamal, M., & Ahmed, S. W. (2009). Job Stress, Stress-Prone Type A Behavior, and Personal
and
Organizational
Consequences.
Canadian
Journal
of
Administrative Sciences, 2(2), 360-374.
187
Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A ScientistPractitioner Approach. Canada: John Wiley & Sons Inc. Juneja, N. (2004). How Principals Manage Stress: Strategies for Successful Coping. India: Krishan Mittal. Karwowski, W. (2006). International Encyclopaedia of Ergonomics and Human Factors. United States of America: CRC Press. Kato, K. (2008). The Effect of Co-Worker Support on A Worker's Stress: The Mediating Effects of Perceived Job Characteristics. Michigan States University,
Michigan.
Retrieved
from
http://books.google.co.id/books?id=AGNsKc11JuIC&pg=PA11&dq=qualitat ive+workload&hl=id&sa=X&ei=0C6hU9DaBo6UuATpvoKACw&ved=0CF IQ6AEwCA#v=onepage&q=qualitative%20workload&f=false Kazronian, S., Zakerian, S., Saraji, J., & Hosseini, M. (2013). Reliability and Validity Study of the NIOSH Generic Job Stress Questionnaire Among Firefighters in Iran. Journal Health and Safety of Work, 3(3). Klau, I. C. T. (2010). Hubungan Stres Kerja Pada Perawat Shift Malam Dengan Kinerja Perawat di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang. Universitas Brawijaya,
Malam
Retrieved
from
http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/keperawatan/ike%20christine.pd f Konno, & Munakata. (2014). Skill Underutilization is Associated with Higher Prevalence of Hypertension the Watari Study. Occupational Health. Koradecka, D. (2010). Handbook of Occupational Safety and Health. United States of America: CRC Press. 188
Koslowsky, M. (1998). Modelling the Stress-Strain Relationship in Work Settings. London: Routledge. Krantz, G., Burntson, L., & Lundberg, U. (2005). Total Workload, Work Stress and Perceived Symptoms in Swedish Male and Female White-collar Employees. European Journal of Public Health, 15, 209-214. Kroemer, K. H. E., & Grandjeai, E. (1997). Fitting The Task to The Human (Fifth ed.). London: Taylor & Francis Ltd. Kumari, M. (2008). Personality and Occupational Stress Differentials of Female School Teachers in Haryana. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 34(2), 251-257. Labour. (2010). Pencegahan Terhadap Serangan Hawa Panas Pada Saat Bekerja di Lingkungan
yang
Panas.
http://www.labour.gov.hk/eng/public/oh/HeatStroke_Indo.pdf Leavitt, J., & Leavitt, F. (2011). Improving Medical Outcomes: The Psychology of Doctor-Patient Visits. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers Inc. Lewin, D., Kaufman, B. E., & Gollan, P. J. (2011). Advances in Industrial and Labor Relations. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited. Lundberg, U., & Cooper, C. L. (2011). The Science of Occupational Health: Stress, Psychobiology, and the New World of Work. United Kingdom: Blackwell Publishing. Matthews, G., Deary, I. J., & Whiteman, M. C. (2003). Personality Traits McLeod,
S.
(2011).
Type
A
Personality.
http://www.simplypsychology.org/personality-a.html 189
Mroczek, D. K., & Almeida, D. M. (2004). The Effect of Daily Stress, Personality, and Age on Daily Negative Effect. Journal of Personality. Mruk, C. J. (2006). Self Esteem Research, Theory, and Practice. United States of America: Springer Publishing Company. Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press. Murphy, L. R., & Hurrell, J. (1992). Stress Management in Work Settings An Overview of Organizational Stress and Health
Retrieved from
http://www.cdc.gov/niosh/pdfs/87-111-c.pdf Nelson, D., & Quick, J. (2013). Organizational Behavior: Science, The Real World and You. United States of America: Cengange Learning. NIOSH. (1999a). Stress At Work. What Can Be Done About Job Stress? http://www.cdc.gov/niosh/docs/99-101/pdfs/99-101.pdf NIOSH. (1999b). Stress At Work. Columbia: NIOSH. Nishitani, N., Sakakibara, H., & Akiyama, I. (2013). Short Sleeping Time and Job Stress in Japanese White-Collar Workers. The Open Sleep Journal, 6, 104109. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nuryati, K. (2007). Tingkat Stress Kerja Pada Karyawan SPBU Bagian Operator Ditinjau Dari Shift Kerja. Universitas Katholik Soegijapranata, Semarang. O'Rourke, J., & Collins, S. (2009). Managing Conflict and Workplace Relationships Ogden, J. (2012). Health Psychology. New York: McGraw Hill. Olatunji, & Mokuolu, B. (2014). The Influence of Sex, Marital Status, and Tneure of Service on Job Stress, and Job Satisfaction of Health Workers in a Nigerian
190
Federal Health Institution. International Multidisciplinary Journal, 8(1), 126133. Olpin, M., & Hesson, M. (2010). Stress Management for Life. United States of America: Wadsworth Cengange Learning. OSHA.
(2014).
Stress
-
Definition
and
Symptoms.
https://osha.europa.eu/en/topics/stress/definitions_and_causes Oxington, K. H. (2005). Psychology of Stress. New York: Nova Science Publisher. Paludi, M. A., Vlydegger, R., & Paludi, C. A. (2006). Understanding Workplace Violence: A Guide for Managers and Employees. United States of America: Praeger Publishers. Penn, R. (1994). Skill and Occupational Change. United Kingdom: Oxford University Press. Perlmutter, D., & Villoldo, A. (2011). Power Up Your Brain Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2010). New Development in Theoretical and Conceptual Approaches to Job Stress. United Kingdom: Emerald Group. Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2011). The Role of Individual Differences in Occupational Stress and Well Being. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited. Pestonjee, D., & Pandey, S. (2013). Stress and Work: Perspective in Understanding and Managing Stress. India: Sage Publishing. Praag, H. V., Kloet, E. d., & Os, J. v. (2004). Stress, the Brain and Depression. New York: Cambridge University Press.
191
Quah, J., & Campbell, K. M. (1994). Role Conflict and Role Ambiguity as Factors in Work Stress Among Managers in Singapore. Huma Resource Management, 2. Rahim, M. A. (2011). Managing Conflict in Organizations. United States of America: Transaction Publishers. Ram, N., Khoso, I., Shah, A. A., Chandio, F. R., & Shaikih, F. M. (2011). Role Conflict and Role Ambiguity as Factors in Work Stress Among Managers: A Case Study of Manufacturing Sector in Pakistan. Asian Social Science, 7(2). Rauschenbach, C., Krumm, S., Thielgen, M., & Hertel, G. (2013). Age and Work Related Stress: A Review and Meta Analysis. Journal of Managerial Psychology, 28(7), 781-804. Resnick, B. (2004). Restorative Care Nursing for Older Adults: A Guide for All Care Settings. New York: Springer Publishing Company Inc. Robbins, S. P. (2009). Organizational Behaviour in Southern Africa. South Africa: Pearson Education. Rose, A. H. (1994). Human Stress and The Environment (Vol. 5). Swiss: Gordon and Breach Science Publishers. Ross, R. R., & Altmaier, E. M. (2000). Intervention in Occupational Stress: A Handbook of Counselling for Stress At Work. London: Sage Publications. Rossi, A. M., Perrewe, P. L., & Sauter, S. L. (2006). Stress and Quality of Working Life: Current Perspective in Occupational Health. United States of America: IAP-Information Age Publishing Inc. Rout, U. R., & Rout, J. K. (2002). Stress Management for Primary Health Care Professional. United States of America: Kluwer Academic. 192
Sams, D. (2005). An Empirical Examination of Job Stress and Management of Emotionally-Based
Behavior:
Frontline
Social
Service
Personnel
Perspective. University of South Florida, United States of America. Retrieved from http://books.google.co.id/books?id=_5qVD8WjLvkC&pg=PA35&dq=role+c onflict+to+job+stress&hl=id&sa=X&ei=XKiU_XPPMmfugSL6YHYCg&ved=0CDIQ6AEwAw#v=onepage&q=role %20conflict%20to%20job%20stress&f=false Sarwono, & Purwono. (2006). Hubungan Masa Kerja Dengan Stres Kerja Pada Pustakawan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 1. Schabracq, M. J., Winnubst, J. A., & Cooper, C. L. (2003). The Handbook of Work and Health Psychology. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd. Schlick, C. M., Frieling, E., & Wegge, J. (2013). Age Differentiated Work Systems. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Schroeder, L. (2013). Managing Environment Stress in the Workplace. (49). www.familyserviceseap.com Shute,
N.
(2009).
Having
Children
Adds
Stress
to
Marriage.
http://health.usnews.com/health-news/blogs/on-parenting/2009/04/13/havingchildren-adds-stress-to-marriage Singh, H. (2009). Organizational Behaviour. India: Neekuni Print Process. Singh, L. B. (2006). The Scourge of Unemployment in India and Psychological Health. India: Ashok Kumar Mittal.
193
Sonnentag, S., Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2009). Current Perspective on Job Stress Recovery. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited. Speegle, M. (2013). Safety, Health, and Environmental Concepts for the Process Industry. United States of America: Delmar. Stellman, J. M. (1998). Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. Geneva: ILO. Stranks, J. (2005). Stress at Work Management and Prevention. Inggris: Elsevier Butterworth-Heinemann. Stroh, L. K., Northcraft, G. B., & Neale, M. A. (2008). OrganizationaL Behavior: A Management Challenge. United States of America: Taylor & Francis. Sukmono, T. (2013). Hubungan Antara Karakteristik Individu Dengan Tingkat Stress Kerja Perawat Indonesia yang Bekerja di Qatar. Universitas Muhammadiyah
Semarang,
Semarang.
Retrieved
from
http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimusgdl-trisukmono-7019 Sutherland, V. J., & Cooper, C. L. (2010). Strategic Stress Management: An Organizational Approach. United Kingdom: Palgrave Macmillan. Swain, S. (2008). Applied Psychology: India Specific and Cross-Cultural Perspectives. India: New Vishals. Swapana, C., Singh, A., & Demen, J. (2008). Type A Behavior Pattern, Stress and Coronary Heart Disease. Annals of General Psychiatry, 7. Tawatsupa, B., Lim, L. L., Kjellstrom, T., Seubsman, S.-a., & Sleigh, A. (2010). The Association
Between
Overall
Health,
Psychological
Distress,
and
194
Occupational Heat Stress Among a Large National Cohort of 40,913 Thai Workers. Global Health Action. Tsuno, Kawakami, Inoue, Ishizaki, Tabata, Tsuchiya, . . . Shimazu. (2009). Intragroup and Intergroup Conflict at Work, Psychological Distress, and Work Engangement in a Sample of Employees in Japan. Industrial Health. Vajdi, M. (1991). The Human Jungle. United States of America: Rosemont Publishing. Vanishree, P. (2014a). Impact of Role Ambiguity, Role Conflict and Role Overload on Job STress in Small and Medium Scale Industries. Journal of Management Sciences, 3(1), 10-13. Vanishree, P. (2014b). Impact of Role Ambiguity, Role Conflict and Role Overload on Job Stress in Small and Medium Scale Industries. Research Journal of Management Sciences, 3(1), 10-13. WHO. (2003). Work Organization and Stress. United Kingdom: WHO. WHO. (2010). Health Impact of Psychosocial Hazards at Work: An Overview. Wijono, S. (2010). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Kencana. Witte, H. D. (2005). Job Insecurity: Review of The International Literature on Definitions, Prevalence, Antecendents and Consequences. Journal of Industrial Psychology, 31(4), 1-6. Yahaya, A., Yahaya, N., Amat, F., Bon, A. T., & Zakariya, Z. (2010). The Effect of Various Modes of Occupational Stress, Job Satisfactiob, Intention to Leave and Absenteism Companies Commission of Malaysia. Australian Journal of Basic and Applied Sciences.
195
Yasuaki, S., Takeji, U., & Yoshihiro, H. (2012). Post Traumatic Stress Disorder and Job Stress Among Firefighters of Urban Japan. Zyl, L. V., Eeden, C. V., & Rothmann, S. (2013). Job Insecurity and The Emotional and Behavioral Consequences Journal Bussiness Management, 44(1).
196
No. Responden (Diisi Oleh Peneliti):
Kuesioner Penelitian NIOSH Generic Job Stress Questionnaire Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya Asri Karima mahasiswa semester 8 peminatan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya akan melakukan penelitian mengenai Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014. Dalam rangka penelitian tersebut, saya meminta kesediaan anda untuk mengisi kuesioner ini. Sebelum anda mengisinya, silahkan membaca dengan seksama petunjuk pengisian. Jawablah setiap pertanyaan sesuai kondisi yang anda alami. Jawaban yang anda tulis akan sangat membantu saya. Penelitian ini tidak akan mencapai sasaran jika anda tidak menjawabnya sesuai dengan kondisi yang anda alami. Semua data dalam kuesioner ini akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk penelitian. Sebelum mengembalikan kuesioner ini, mohon periksa jawaban Anda, jangan sampai ada yang terlewat. Atas bantuan dan kerja sama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih. Responden
Peneliti
Asri Karima PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah setiap pertanyaan dan setiap pilihan jawaban dengan seksama 2. Isilah setiap pertanyaan pada kolom jawaban yang tersedia di bagian kanan 3. Beri tanda ceklis (√) pada kolom pilihan jawaban yang tersedia untuk tipe pertanyaan dengan skala Sangat Tidak Setuju – Sangat Setuju / Sangat Mudah – Sulit / Tidak Pernah - Sangat Sering, dsb 4. Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia untuk tipe pertanyaan dengan skala 0 – 3 / 1 – 5 / 1 – 7 . Sesuaikan jawaban anda dengan pilihan skala yang tersedia di masing-masing pertanyaan.
IDENTITAS DIRI Nama Lengkap No. Handphone Departemen
A. INFORMASI PRIBADI No A1 Jenis Kelamin
Pertanyaan
Jawaban
1. Perempuan 2. Laki-laki A2 Tanggal lahir A3 Status Pernikahan 1. Tidak Menikah 2. Menikah A4 Berapa jumlah anak anda
Orang
B. INFORMASI UMUM PEKERJAAN No.
Pertanyaan
B1
Sudah berapa lama anda bekerja di perusahaan ini?
B2
Pilihlah deskripsi yang sesuai dengan situasi anda 1. Pekerja tetap 2. Pekerja kontrak 3. Pekerja lepas
B3
Pilihlah keadaan shift kerja anda 1. Rotasi shift setiap 8 jam kerja 2. Tanpa rotasi shift
B4
Jika anda bekerja secara shift, bagaimana pola rotasi shift anda? 1. Shift 8 Jam; Pagi-Sore-Malam 2. Shift 8 Jam; Malam-Sore-Pagi 3. Shift 8 Jam; tanpa pola
Jawaban Tahun
Bulan
C. LINGKUNGAN FISIK No.
Pernyataan
Benar
C1
Tingkat kebisingan di area kerja saya tinggi
C2
Tingkat pencahayaan di area kerja saya rendah atau gelap
C3
Suhu di area kerja saya selama musim kemarau cenderung nyaman
C4
Suhu di area kerja saya selama musim hujan cenderung nyaman
C5
Kelembaban area kerja saya terlalu tinggi atau terlalu rendah
C6
Sirkulasi udara di area kerja saya baik
C7
Udara di area kerja saya bersih dan terbebas polusi
Salah
D. KONFLIK PERAN DAN KETAKSAAN PERAN Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pilihan Jawaban 1 = Sangat tidak tepat sekali;
4 = Tidak tepat;
2 = Sangat tidak tepat;
5 = Tepat;
3 = Kurang tepat;
6 = Sangat tepat;
No
7 = Sangat tepat sekali
Pernyataan
D1
Saya mengetahui hak saya sebagai pekerja
D2
Saya mengetahui dengan jelas rencana, sasaran dan tujuan pekerjaan saya
D3
Saya harus menyelesaikan pekerjaan dengan cara yang berbeda atau tidak biasa
D4
Saya membagi waktu dengan baik selama bekerja
D5
Saya mendapat tugas tanpa adanya bantuan padahal saya membutuhkannya
D6
Saya mengetahui tanggung jawab kerja saya
D7
Saya harus melanggar peraturan atau kebijakan untuk menyelesaikan tugas saya Saya bekerja dengan dua departemen atau lebih yang memiliki cara bekerja berbeda dengan departemen saya Saya mengetahui apa yang diharapkan perusahaan dari hasil kerja saya
D8 D9
D10 Saya mendapat permintaan kerja yang bertentangan dari dua orang atau lebih D11 Cara saya menyelesaikan pekerjaan tidak dapat diterima orang lain D12 Saya menerima tugas tanpa sumber daya dan material yang cukup untuk menyelesaikannya D13 Saya mengetahui tugas yang harus saya selesaikan selama bekerja D14 Saya mengerjakan hal yang tidak penting
Jawaban
E. KONFLIK INTERPERSONAL No. E1. E2. E3. E4. E5. E6. E7. E8. E9. E10. E11. E12. E13. E14. E15. E16.
Pernyataan Adanya kerukunan antar anggota departemen saya Dalam departemen saya, kami sering berselisih mengenai pekerjaan Adanya perbedaan pendapat di antara anggota departemen saya Adanya perselisihan di departemen saya Setiap anggota departemen saya saling mendukung ide anggota lainnya Adanya perselisihan antar tim kerja di dalam departemen saya Adanya keramahan di antara anggota departemen Adanya rasa kebersamaan di dalam departemen saya Adanya perselisihan antara departemen saya dengan departemen lain Adanya kesepakatan kerja antara departemen saya dengan departemen lain Departemen lain menyembunyikan informasi penting yang dibutuhkan departemen saya Hubungan antara departemen saya dengan departemen lain berjalan rukun dalam mencapai tujuan organisasi Kurangnya rasa tolong menolong antara departemen saya dengan departemen lain Adanya kerjasama antara departemen saya dengan departemen lain Adanya perselisihan antara departemen saya dengan departemen lain Departemen lain membuat masalah dengan departemen saya
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
F. KETIDAKPASTIAN PEKERJAAN No
Sangat Tidak Yakin
Pertanyaan
F1
Apakah anda yakin pekerjaan anda?
dengan
masa
F2
Seberapa yakin anda akan mendapat kesempatan kenaikan jabatan beberapa tahun ke depan?
F3
Seberapa yakin keterampilan kerja anda akan berguna dan bernilai lima tahun mendatang?
F4
Seberapa yakin diri anda mengenai tanggung jawab pekerjaan yang akan anda dapatkan selama enam bulan ke depan?
Tidak Yakin
Cukup Yakin
Yakin
Sangat Yakin
depan
G. SKALA OTORITAS KERJA Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan pengaruh anda dalam mengatur pekerjaan di departemen anda. Pilihan Jawaban 1 = Sangat kecil
3 = Cukup Besar
2 = Kecil
4 = Besar
No
5 = Sangat besar
Pertanyaan
G1
Berapa besar hak anda dalam mengatur pekerjaan?
G2
Berapa besar tugas anda dalam mengatur ketersediaan pasokan alat di departemen anda?
G3
Berapa besar hak anda dalam mengatur urutan pekerjaan yang akan dilakukan?
G4
Berapa besar hak anda dalam menentukan jumlah pekerjaan yang akan anda lakukan?
G5
Berapa besar hak anda dalam menentukan waktu penyelesaian pekerjaan?
G6
Berapa besar pengaruh anda terhadap kualitas pekerjaan anda?
G7
Berapa besar hak anda dalam menata area kerja?
G8
Berapa besar hak anda dalam mengatur pembagian tim kerja?
G9
Berapa besar tugas anda dalam melakukan pengawasan pekerjaan?
G10 Berapa besar pengaruh anda dalam pengambilan keputusan di departemen anda? G11 Berapa besar pengaruh anda dalam menentukan kebijakan dan prosedur di departemen anda?
Jawaban
No
Pertanyaan
Jawaban
G12 Berapa besar tugas anda dalam memastikan ketersediaan material kerja? G13 Berapa besar tugas anda untuk memberikan pelatihan terhadap anggota departemen anda? G14 Berapa besar hak anda dalam menentukan penataan peralatan kerja? G15 Selama bekerja, apakah anda memiliki waktu untuk beristirahat sejenak? G16 Berapa besar pengaruh jabatan anda terhadap pekerjaan di departemen anda?
H. KESEMPATAN KERJA Sangat Mudah
No.
Pertanyaan
H1
Apakah mudah untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain?
H2
Apakah mudah untuk menemukan pekerjaan di perusahaan lain sebaik pekerjaan anda saat ini?
H3
Bagaimana anda menggambarkan ketersediaan lowongan kerja di perusahaan lain yang sesuai dengan kemampuan diri anda?
H4
Berapa besar kemungkinan anda untuk pindah ke kota lain untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain?
Mudah
Cukup Mudah
Sulit
Sangat Sulit
KadangSering kadang
Sangat Sering
I. TUNTUTAN KERJA Tidak Pernah
No
Pertanyaan
I1
Seberapa sering anda dituntut bekerja sangat cepat?
I2
Seberapa sering anda dituntut untuk bekerja sangat keras?
I3
Seberapa sering pekerjaan menyita waktu anda?
I4
Seberapa sering anda diharuskan mengambil keputusan besar yang berkaitan dengan pekerjaan anda?
I5
Seberapa sering beban kerja anda bertambah?
I6
Seberapa sering anda harus meningkatkan konsentrasi selama bekerja?
anda
sangat
Jarang
Tidak Pernah
No
Pertanyaan
I7
Seberapa sering anda diharuskan berpikir dengan cepat selama bekerja?
I8
Seberapa sering anda menggunakan kemampuan dan pengetahuan yang didapat ketika sekolah?
I9
Seberapa sering anda diberi kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan menggunakan kemampuan terbaik anda?
I10
Seberapa sering anda menggunakan keterampilan yang didapat pelatihan dalam bekerja?
Jarang
KadangSering kadang
Sangat Sering
J. BEBAN KERJA DAN TANGGUNG JAWAB Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pertanyaan di bawah ini berkaitan dengan beban kerja anda sehari-hari.
No
Tidak ada
Pertanyaan
J1
Berapa banyak beban memperlambat anda?
kerja
yang
J2
Selama bekerja, berapa banyak waktu yang anda gunakan untuk berpikir dan merenung?
J3
Berapa banyak beban kerja anda?
J4
Berapa banyak pekerjaan yang harus anda selesaikan?
J5
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan?
J6
Berapa banyak proyek dan tugas yang anda dalam bekerja?
J7
Berapa banyak ketenangan yang anda rasakan di antara beban kerja yang berat?
J8
Berapa besar tanggung jawab anda terhadap masa depan orang lain?
J9
Berapa besar tanggung jawab anda terhadap keamanan kerja orang lain?
Tidak Agak terlalu banyak banyak
Banyak
Sangat banyak
No
Tidak ada
Pertanyaan
Tidak Agak terlalu banyak banyak
Banyak
Sangat banyak
Agak Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
J10 Berapa besar tanggung jawab anda terhadap moral orang lain? J11 Berapa besar tanggung jawab anda terhadap kesejahteraan dan kehidupan orang lain?
K. TUNTUTAN MENTAL No
Sangat Setuju
Pernyataan
Agak Setuju
K1 Pekerjaan saya membutuhkan konsentrasi yang tinggi K2 Pekerjaan saya mengharuskan saya mengingatkan banyak hal K3 Saya harus fokus dalam bekerja setiap waktu K4 Saya selalu bekerja dengan santai tetapi pekerjaan saya tetap selesai dengan baik K5 Saya tetap dapat bekerja meskipun pikiran saya sedang tidak fokus
L. PENILAIAN DIRI Sangat Tidak Setuju
No
Pernyataan
L1
Secara keseluruhan, saya merasa puas dengan diri saya
L2
Saya merasa dibanggakan
L3
Terkadang saya merasa tidak berguna
L4
Saya merasa bahwa saya berharga dan setara dengan orang lain
L5
Saya merasa saya memiliki kualitas diri yang baik
L6
Saya cenderung merasa bahwa diri saya gagal
L7
Saya berharap bisa lebih peduli terhadap diri saya
saya
tidak
cukup
untuk
Tidak Setuju
Netral
Sangat Tidak Setuju
No
Pernyataan
L8
Saya bisa melakukan pekerjaan sebaik yang dilakukan orang lain
L9
Terkadang, saya berpikir saya tidak bisa melakukan apa-apa
L10
Saya mengambil sikap positif dari diri saya
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
M. AKTIVITAS DI LUAR PEKERJAAN No
Pertanyaan
M1 Apakah anda memiliki pekerjaan lain? M2 Apakah anda memiliki anak di rumah? M3 Apakah anda memiliki tanggung jawab utama dalam mengurus anak? M4 Apakah anda memiliki tanggung jawab utama dalam membersihkan rumah? M5 Apakah anda memiliki tanggung jawab utama dalam merawat orang yang lanjut usia atau orang memiliki kelainan fisik/mental? M6 Apakah anda sedang sekolah dan mengambil kursus untuk mendapat gelar? M7 Apakah anda mengikuti organisasi keagamaan yang menghabiskan waktu sekitar 5-10 jam per minggu?
Ya
Tidak
N. DUKUNGAN SOSIAL Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pilihan Jawaban 1 = Tidak pernah bercerita masalah pribadi; 2 = Tidak membantu; 3 = Jarang membantu; 4 = Kadang membantu; 5 = Sangat membantu/mudah No
Pertanyaan
N1
Apakah keberadaan atasan anda membuat pekerjaan anda lebih mudah?
N2
Apakah rekan kerja anda membuat pekerjaan anda lebih mudah?
N3
Apakah mudah berdiskusi mengenai pekerjaan dengan atasan anda?
N4
Apakah mudah berdiskusi mengenai pekerjaan dengan rekan kerja anda?
N5
Apakah atasan anda mau membantu anda ketika terjadi kesulitan saat bekerja?
N6
Apakah rekan kerja anda mau membantu anda ketika terjadi kesulitan saat bekerja?
N7
Apakah atasan anda mau mendengarkan masalah pribadi anda?
N8
Apakah rekan kerja anda mau mendengarkan masalah pribadi anda?
Jawaban
O. KEPRIBADIAN TIPE A No
Sangat Tidak Tepat
Pernyataan
O1
Saya sering merasa gelisah
O2
Saya bekerja dengan cepat dan energik
O3
Saya sangat lambat ketika berbicara di telepon
O4
Saya sering terburu-buru mengerjakan apapun
O5
Saya sering menggerakkan tangan dan kepala ketika berbicara
O6
Saya jarang berkendara
O7
Saya suka pekerjaan yang berpindahpindah tempat
O8
Orang-orang mengganggap saya lebih diam dari biasanya
O9
Gaya berbicara saya dibandingkan orang lain
mengebut
ketika
ketika
lembut
O10 Saya selalu menulis dengan cepat O11 Saya lambat dan hati-hati dalam bekerja O12 Cara makan saya lambat O13 Saya senang berkendara
mengebut
ketika
O14 Saya senang bekerja dengan lambat dan hati-hati O15 Cara berbicara saya lambat O16 Saya membiarkan masalah selesai dengan sendirinya O17 Saya senang mempengaruhi orang lain O18 Cara berjalan saya lambat O19 Cara makan saya cepat O20 Saya biasa bekerja dengan cepat
Tidak Tepat
Tidak Tahu
Tepat
Sangat Tepat
P. PERUBAHAN FISIOLOGIS Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan perubahan kesehatan yang anda rasakan selama beberapa bulan terakhir. No P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17
Pernyataan Wajah terasa panas meskipun tidak bekerja dan cuaca tidak panas Berkeringat banyak meskipun tidak bekerja dan cuaca tidak panas Mulut terasa kering Otot terasa kaku dan tegang Anda merasa sakit kepala Anda merasa kram di kepala atau migrain Anda merasa ada gumpalan di tenggorokan atau perasaan tersendat Tangan anda gemetar tanpa diketahui penyebabnya Sesak napas meskipun sedang tidak bekerja yang berat Anda merasa jantung anda berdetak cepat Tangan berkeringat banyak Anda merasa pusing Anda mengalami sakit perut saat gugup atau bingung Jantung terasa berdebar-debar atau nyeri dada Anda mengalami sakit yang mempengaruhi pekerjaan anda Kehilangan nafsu makan Gangguan tidur pada malam hari
Tidak Pernah
Jarang
Kadangkadang
Sering
Sangat Sering
Q. PERUBAHAN PSIKOLOGIS Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan perasaan anda selama beberapa minggu terakhir. Pilihan Jawaban 0 = Hampir tidak pernah (kurang dari 1 hari); 1 = Jarang terjadi (sekitar 1-2 hari); 2 = Kadang-kadang terjadi (sekitar 3-4 hari); 3 = Hampir terjadi setiap waktu (sekitar 5-7 hari) No Q1
Pernyataan Saya merasa terganggu dengan hal yang biasanya tidak mengganggu
Q2
Nafsu makan saya menurun
Q3
Saya tidak dapat menghilangkan rasa sedih meskipun telah dibantu teman atau keluarga saya
Q4
Saya merasa diri saya sebaik orang lain
Q5
Saya sulit berkonsentrasi dalam bekerja
Q6
Saya merasa tertekan atau depresi
Q7
Saya merasa semua yang saya lakukan adalah sebuah usaha
Q8
Saya merasa optimis terhadap masa depan saya
Q9
Saya merasa hidup saya merupakan sebuah kegagalan
Q10 Saya merasa ketakutan Q11 Saya merasa gelisah ketika tidur Q12 Saya merasa senang Q13 Saya berbicara lebih sedikit daripada biasanya Q14 Saya merasa kesepian Q15 Saya merasa orang-orang tidak ramah Q16 Saya menikmati hidup saya Q17 Saya mudah menangis Q18 Saya merasa sedih Q19 Saya merasa orang-orang tidak menyukai saya Q20 Saya sulit mengalihkan perhatian saya
Terima Kasih Atas Partisipasi Anda
Jawaban
Hasil Pengukuran Kebisingan No Lokasi Pengukuran
Tingkat Kebisingan
Keterangan
1
Depan Office
65,7 dB
Aman
2
Mill 1
89,7 dB
Tidak Aman
3
Mill 3
83,3 dB
Aman
4
Warehouse
73,4 dB
Aman
5
Kompressor
80,7 dB
Tidak Aman
Hasil Pengukuran Pencahayaan
No
Lokasi Pengukuran
Urutan Tempat
1
Office
Lobby Meja 1 Meja 2 Meja 3 Meja 4 Meja 5 Meja 6 Meja 1 Meja 2 Meja 3 Meja 4 Meja 5 Meja 6 Meja 7 Meja 8 Meja 1
Tingkat Pencahayaan (dalam Lux) 36,05 441 390 442,3 392,5 243,9 275,6 43,07 42,65 60,37 62,34 65,4 66,2 64,58 64,43 131,87
Meja 2
128,45
Meja 1
246,8
2
Laboratorium
3
Dept. Supply Chain
4
Dept. Sales
5
Dept. General
Keterangan Tidak Sesuai Sesuai
Tidak Sesuai
Tidak Sesuai
Tidak Sesuai Tidak Sesuai
No
Lokasi Pengukuran
Urutan Tempat
Resource
Meja 2 Meja 3 Meja 1 Meja 2 Meja 3 Meja 4 Meja 5 Meja 1 Meja 2 Meja 3 Meja 4 Meja 5 Meja 1 Meja 2 Meja 3 Meja 4 Meja 1 Meja 2 Meja 3 Mesin 1 Mesin 2 Mesin 3 Mesin 4
6
Dept. Finance
7
Dept. HRGA
8
Ruang Workshop
9
Control Room
10
Warehouse
Tingkat Pencahayaan (dalam Lux) 246,46 246, 57 215,37 214,79 216,25 215,57 215,47 179,37 181,24 181,56 179,53 178,67 94,1 90 91,4 97,28 124,3 143,3 155,4 1601,67 843 202,57 290,43
Keterangan
Tidak Sesuai
Tidak Sesuai
Tidak Sesuai
Tidak Sesuai
Sesuai Tidak Sesuai
Hasil Pengukuran Suhu No
Lokasi Pengukuran
Suhu Ruangan (dalam oC)
Keterangan
1
Lobby
24
Sesuai Standar
2
Dept SCM
24
Sesuai Standar
3
Dept Sales dan General Resource
24
Sesuai Standar
4
Dept Finance
24
Sesuai Standar
5
Dept HRGA
23
Sesuai Standar
6
Ruang Workshop
24
Sesuai Standar
7
Laboratorium
24
Sesuai Standar
8
Control Room
23
Sesuai Standar
33
Tidak Sesuai Standar
9
Warehouse
Hasil Pengukuran Ventilasi No
Lokasi Pengukuran
Luas Ruangan
Luas Ventilasi
Keterangan
1
Lobby
16,5
3,6
Sesuai
2
Dept. Finance
73,8
39,6
Sesuai
147,75
35,1
Sesuai
3
Dept. Sales dan General Resource
4
Dept. SCM
49,5
10
Sesuai
5
Dept. HRGA
56,16
6,97
Tidak Sesuai
6
Workshop
61,2
10,35
Sesuai
7
Laboratorium
20
4,45
Sesuai
127,75
12,375
Tidak Sesuai
Hasil Pengukuran Kadar Debu No
Lokasi Pengukuran
Kadar Debu (dalam mg/m3)
Keterangan
1
Office
0,003
Aman
2
Laboratorium
0,024
Aman
3
Material Handling Office
0,047
Aman
4
Control Room
0,070
Aman
5
Big Bag BM501
0,146
Aman
6
Paper Bag BM503
0,009
Aman
7
Paper 3BM502
0,478
Aman
8
Feldspar Bay
0,053
Aman
9
Bulk Truck
0,021
Aman
10
Warehouse Product
0,002
Aman
11
Warehouse Nephelyne
0,263
Aman
12
Maintenance
0,042
Aman
13
Mill 1
0,060
Aman
14
Mill 3
0,008
Aman
15
Mill 2 lantai 2
0,048
Aman
16
Mill 2 lantai 3
0,161
Aman
17
Top Bin Silo
0,274
Aman
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .804
117