FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HEAT STRAIN PADA PEKERJA PABRIK KERUPUK DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2014
SKRIPSI
Oleh RIZKI FADHILAH 1110101000086
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juli 2014
RIZKI FADHILAH, NIM: 1110101000086 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Heat Strain pada Pekerja Pabrik Kerupuk di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014 xiii + 100 Halaman, 2 bagan, 10 tabel, 1 grafik, 1 lampiran ABSTRAK Heat strain merupakan respon tubuh terhadap tekanan panas yang diterima oleh seseorang dan dapat diperparah dengan kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, obesitas, penyakit kronis, konsumsi alkohol dan obat-obatan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 4 pekerja di pabrik kerupuk Kecamatan Ciputat Timur terdapat 1 orang pekerja yang mengalami heat strain. Heat strain dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pekerja serta menurunkan produktivitas perusahaan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah kecamatan Ciputat Timur tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional. Faktor-faktor yang akan diteliti adalah tekanan panas, umur, obesitas, penyakit kronis, serta konsumsi obat-obatan. Seluruh populasi yaitu sebanyak 79 orang pekerja dijadikan sampel dalam penelitian ini. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square. Berdasarkan hasil penelitian, pekerja yang mengalami heat strain sebanyak 56 orang (70,8%). Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa hanya variabel tekanan panas yang berhubungan dengan heat strain (p value 0,000). Sedangkan variabel umur, obestias, penyakit kronis dan konsumsi obat tidak berhubungan dengan heat strain (p value > 0,05). Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar dilakukan pengendalian secara teknis maupun administratif. Pengendalian teknis dapat dilakukan dengan memasang ventilasi yang memadai atau memberikan pembatas antara sumber panas dengan pekerja. Pengendalian administrative dapat dilakukan dengan menyediakan tempat beristirahat dengan suhu yang lebih dingin, memberikan sosialisasi kepada pekerja agar meningkatkan konsumsi air putih selama bekerja, memperbaiki posisi kerja dan menambah proses mekanisasi. Kata Kunci
: Heat strain, tekanan panas.
Daftar bacaan : 32 (1969-2013)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH MAJOR OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduate Thesis, July 2014 RIZKI FADHILAH, NIM: 1110101000086 Factors Associated with Heat Strain in Workers at Crackers Factory in Ciputat Timur District Year 2014 xiii +100 pages, 2 images,10 tables,1 attachments ABSTRACT Heat strain is the expression of the body’s response to heat stress and compounded with personal factors such as age, gender, obesity, chronic disease, alcohol and drugs. Based on the results of preliminary studies with 4 workers in crackers factory at Ciputat Timur District suggested that one worker experienced heat strain. Heat strain can affect worker’s health and factory’s productivity. Therefore, researcher conducted a study factors associated with heat strain in workers at crackers factoryin Ciputat Timur District in 2014. This study is an analytical study with cross sectional design. Researched factors are heat stress, age, obesity, chronic disease and drugs. All of population numbered 79 as a sample in this study. Bivariate analysis were performed by chi square test. The result showed that there were 56 workers (70,8%) who experienced heat strain. Bivariate analysis showed that heat stress variable has significantly associated with heat strain (p value 0,000). However the unrelated variables are age, obesity, chronic disease and drugs (p value > 0,05). Therefore, the researcher suggested to perform engineering and administrative control. Engineering control such as good ventilation system and make a barrier between sources heat and workers. Administrative control such as provide the rest area with cool temperature, increasing drink intensity while working, improved work position and mechanization addition. Keyword
: Heat strain, heat stress.
References
: 32 (1969-2013)
iv
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama
: Rizki Fadhilah
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 23 Oktober 1992
Alamat
: Jalan Raya Pelabuhan Lorong 4 No.12 RT 001 RW 05 Jakarta Utara
No. Handphone
: 085693447454
E-mail
:
[email protected]
Pendidikan Formal Tahun 2010 – 2014
Nama Institusi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat
2007 – 2010
SMA Negeri 13 Jakarta
2004 – 2007
SMP Negeri 93 Jakarta
1998 - 2004
SD Negeri Tanjung Priok 01
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji dan syukur saya ucapkan kepada Ilahi Rabbi yang selalu memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita. Atas segala kekuatan dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Heat Strain pada Pekerja Pabrik Kerupuk di Wilayah Kecamatan Ciputata Timur Tahun 2014”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini. Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni usaha penulis melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa doa, motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini kepada: 1. Bapak, Ibu dan Kakak tercinta terima kasih atas segala doa dan dukungan selama penelitian. 2. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin Sp. And., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ir. Febrianti M.Si selaku kepala program studi kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik. 4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dan keikhlasannya memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.
viii
7. Ibu Yuli Amran SKM, MKM selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 8. Ibu Izzatu Millah SKM, MKKK selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 9. Bapak Ujang, Bapak Rahman dan Bapak Ahmad selaku pemilik pabrik kerupuk yang sudah mengijinkan penulis melaksanakan penelitian ini. 10. Untuk teman-teman K3 2010, Dewi, Asri, Evi, Sinta, Dini, Agung, Mono, Ajis, Iqbal, Zaki, Dika, Sony, Dian, Randy dan Dani yang selalu memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama penyusunan skrispi. Dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i ABSTRAK .................................................................................................................. ii PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi DAFTAR ISTILAH ................................................................................................... x DAFTAR BAGAN ..................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii DAFTAR GRAFIK………………………………………………………………..xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang………………………………………………………………….…1 1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………...5 1.3 Pertanyaan penelitian……………………………………………………………..6 1.4 Tujuan………………………………………………………………………….…7 1.4.1
Tujuan umum……………………………………………………………...7
1.4.2
Tujuan khusus……………………………………………………………..7
1.5 Manfaat………………………………………………………………………...…8 1.5.1
Bagi tempat penelitian……………………………………………………..8
1.5.2
Bagi peneliti………………………………………………………...……..8
1.6 Ruang lingkup penelitian……………………………………………………...….9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Heat strain…………………………………………………..…………….….…10 2.1.1 Heat stroke………………………………………………………………..11 2.1.2 Heat exhaustion……………………………………...…………………...11 2.1.3 Heat cramp……………………………………………………...………..12 2.1.4 Heat collapse……………………………………………………………..12 2.1.5 Heat rashes……………………………………………………………….12 2.2 Gejala Heat strain………………………………………………………………..13
vii
2.2.1 Kram otot………………………………………………………………...13 2.2.2 Peningkatan frekuensi pernapasan………………………………………..14 2.2.3 Peningkatan denyut nadi…………………………………………………15 2.2.4 Kelemahan………………………………………………………………..16 2.2.5 Peningkatan suhu kulit…………………………………………………..17 2.2.6 Pengeluaran keringat……………………………………………………..18 2.2.7 Penurunan tingkat kesadaran……………………………………………..19 2.3 Evaluasi Heat Strain…………………………………………………………….20 2.3.2 Physiological Heat Strain…………………………………………….….20 2.3.3 Heat Strain Score Index………………………………………………….22 2.3.4 Observasi Gejala Heat strain…………………………………………….23 2.3.5 Kelebihan dna kekurangan beberapa metode evaluasi heat strain……….24 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi heat strain……………………………….…25 2.4.1 Tekanan panas…………………………………………………………...26 2.4.2 Umur………………………………………………………………….....31 2.4.3 Jenis kelamin…………………………………………………………....32 2.4.4 Obesitas………………………………………………………………....33 2.4.5 Aklimatisasi………………………………………………………….….33 2.4.6 Konsumsi alkohol……………………………………………………….34 2.4.7 Konsumsi obat-obatan…………………………………………………..34 2.4.8 Penyakit kronis………………………………………………………….34 2.5 Pengendalian heat strain……………………………………………………..…35 2.5.1 Pengendalian teknis…………………………………………………..…35 2.5.2 Pengendalian administratif…………………………...………………...37 2.6 Kernagka teori………………………………………………………………….40 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 1.1 Kerangka konsep……………………………………………………………….42 1.2 Definisi operasional…………………………………………………………….43 1.3 Hipotesis………………………………………………………………………..46
viii
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis penelitian………………………………………………………………….47 4.2 Tempat dan waktu penelitian…………………………………………………...47 4.3 Populasi dan sampel penelitian…………………………………………………49 4.4 Metode pengeumpulan data………………………………………………….....57 4.5 Pengolahan data…………………………………………………………………58 4.6 Analisi data……………………………………………………………………..58 BAB V HASIL 5.1 Gambaran Pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur………………..……..59 5.2 Heat Strain……………………………………………………………..……….61 5.3 Faktor Tekanan panas…………………………………………………………..63 5.4 Faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis, konsumsi obatobatan)………………………………………………………………….………64 5.5 Hubungan faktor tekanan panas dan faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat) dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah kecamatan ciputat timur tahun 2014……………………..66 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan penelitian………………………………………………………....69 6.2 Heat strain……………………………………………………………………....69 6.3 Hubungan tekanan panas dengan heat strain…………………………………....74 6.4 Hubungan umur dengan heat strain……………………………………………..78 6.5 Hubungan obesitas dengan heat strain………………………………...…….….81 6.6 Hubungan penyakit kronis dengan heat strain……………………………....….83 6.7 Hubungan konsumsi obat dengan heat strain………………………………..….85 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan………………………………………………………………………..86 7.2 Saran…………………………………………………………………………….87 Daftar Pustaka……………………………………………………………………….89 Lampiran…………………………………………………………………………….96
ix
DAFTAR ISTILAH
CCOHS
: Canadian Centre of Occupational Health and Safety
HSSI
: Heat Strain Score Index
NIOSH
: National Institute for Occupational Safety and Health
OSHA
: Occupational Safety and Health Administration
PSI
: Physiological Strain Index
WHO
: World Health Organization
x
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori…………………………………………………………..40 Bagan 3.1 Kerangka Konsep………………………………………………………...42
xi
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Evaluasi Heat strain…………………………...19 Tabel 2.2 Estimasi Panas Metabolik……………………………………………………………..22 Tabel 2.3 Tingkat Beban Kerja…………………………………………………………………..23 Tabel 2.4 Standar Iklim Kerja atau Indeks Suhu Bola Basah (ISBB)……………….…………..24 Tabel 3.1 Definisi Operasional…………………………………………………………………..34 Tabel 5.1 Distribusi ProporsiHeat strain pada Pekerja di Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014……………………………..………………….…………51 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Faktor Tekanan Panas pada Pekerja di Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014………………………………………….……53 Tabel 5.3 Distribusi Faktor Karakteristik Individu (Umur, Obesitas, Penyakit Kronis dan Konsumsi Obat) pada Pekerja di Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014…………………………………………………………………………. ..54
xii
Tabel 5.4 Gambaran Distribusi Berdasarkan Faktor Tekanan Panas dengan Heat strain Pada Pekerja di Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014………..56 Tabel 5.5 Gambaran Distribusi Berdasarkan Karakteristik Individu (Umur, Obesitas, dan Penyakit Kronis dengan Heat strain Pada Pekerja di Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014……………………………………………...58
xiii
DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1 Keluhan Heat Strain pada Pekerja Pabrik Kerupuk Kecamatan Ciputat
Timur
2014……………………………………………………..…….52
xiv
Tahun
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Menurut OSHS (1997) heat strain merupakan dampak akut atau kronis yang diakibatkan paparan tekanan panas yang dialami oleh seseorang dari aspek fisik maupun mental. Dampak fisik yang ditimbulkan dapat bervariasi mulai dari keluhan ringan seperti ruam pada kulit atau pingsan sampai situasi yang mengancam kehidupan saat terjadi terhentinya pengeluaran keringat dan heat stroke. Respon-rsespon fisik tersebut dapat menjadi lebih parah apabila didukung oleh buruknya faktor-faktor lain seperti faktor umur, kondisi fisik, tingkat aklimatisasi, dan dehidrasi pada pekerja. Hal ini kemudian dapat menimbulkan beberapa penyakit atau keluhan yang berhubungan dengan panas, seperti heat cramps, heat exhaustion, atau pun heat stroke (National Safety Council, 2002).
1
Pekerja yang mengalami heat strain akan menurunkan kinerja yang akan berdampak juga terhadap produktivitas perusahaan. Pada tahun 1979 di Amerika, total dari insiden heat strain dengan kehilangan hari kerja paling kecil satu hari diestimasikan sebesar 1.432 kasus. Menurut data kasus dikarenakan sakit akibat panas per 100.000 pekerja adalah pada area perkebunan (9,16 kasus/ 100.000 pekerja), konstruksi (6,36 kasus/100.000 pekerja), dan tambang (5,01 kasus/ 100.000 pekerja) (NIOSH, 1986). Penelitian lain yang dilakukan oleh Dehghan et al (2013) pada 145 pekerja menunjukkan 22,1% berisiko mengalami heat strain dan 11,7% mengalami heat strain. Kejadian heat strain di Indonesia ditunjukan dari beberapa hasil penelitian salah satunya hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2008) menunjukkan bahwa pekerja yang berada pada lingkungan kerja dengan suhu melebihi NAB mengalami keluhan heat strain seperti kelelahan yang sangat besar 50%, pusing 27,8% dan kaku/kram otot 11,1%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Utami (2004) pada pekerja di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan juga menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar tekanan panas mengalami keluhan subjektif heat strain seperti pusing, kram/kaku otot, lelah lemas, dan peningkatan pengeluaran keringat.
2
Respon tubuh pada seseorang yang mengalami heat strain menunjukkan terjadinya gangguan sistem dalam tubuh terutama pada sistem pengaturan suhu tubuh. Jika sistem pengaturan suhu tubuh berjalan secara tidak normal dan tidak dilakukan penanggulangan akan berakibat pada sistem tubuh lainnya yang membuat kondisi seseorang menjadi lebih buruk seperti terhentinya pengeluaran keringat dan dapat menyebabkan kematian. Dampak lainnya yang ditimbulkan oleh heat strain pada pekerja adalah menurunnya kapasitas fisik pekerja dalam melakukan tugas akibat kondisi tubuh yang menurun sehingga akan berdampak juga pada produktivitas perusahaan. Penyebab timbulnya heat strain pada seseorang merupakan respon dari tekanan panas yang diterima dari panas lingkungan dan panas hasil metabolik tubuh. Menurut NIOSH (1986) tekanan panas (heat stress) pada suatu area kerja dipengaruhi oleh cuaca lingkungan kerja, panas metabolism yang dihasilkan dari aktifitas fisik pekerja serta dipengaruhi karakteristik pekerja seperti faktor umur, masa kerja, indeks massa tubuh, dan aklimatisasi. Kebanyakan manusia merasa nyaman bekerja pada temperature udara sekitar 20oC dan 27oC. Apabila temperatur lebih tinggi, orang akan merasa tidak nyaman, situasi ini tidak menimbulkan kerugian selama tubuh dapat beradaptasi dengan panas yang terjadi. Lingkungan yang sangat panas dapat mengganggu mekanisme penyesuaian tubuh dan berlanjut kepada kondisi serius dan bahkan fatal (CCOHS, 2001). 3
Beberapa usaha sektor informal yang terdapat di Ciputat memiliki iklim lingkungan kerja yang panas salah satunya adalah pabrik kerupuk. Area produksi pabrik kerupuk melibatkan suhu panas pada beberapa tahapan seperti pembuatan adonan yang menggunakan uap hasil pembakaran tungku serta tahap penggorengan. Dari hasil pengukuran suhu lingkungan yang dilakukan pada 3 titik di 2 pabrik kerupuk di kecamatan Ciputat Timur masing-masing adalah 32,4o C, 33,6o C dan 32,1o C. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa semua titik pengukuran melebih NAB iklim kerja yang diatur dalam Permenaker No. 13 Tahun 2011 yaitu sebesar 31o C untuk beban kerja ringan dan 28o C untuk beban kerja sedang. Sehingga pekerja memiliki risiko untuk mengalami heat strain. Penilaian heat strain menggunakan metode Phsyological Strain Index (PSI) juga dilakukan pada 4 pekerja. Hasilnya 1 pekerja termasuk kelompok yang mengalami heat strain dan 3 pekerja tidak mengalami heat strain. Berdasarkan hal tersebut dan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan tekanan panas terhadap gejala heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014.
4
1.2
Rumusan Masalah Pabrik kerupuk merupakan salah satu usaha sektor informal yang melibatkan suhu tinggi dalam proses produksinya. Penggunaan mesin yang belum optimal juga menyebabkan beban kerja para pekerja menjadi lebih tinggi. Dengan adanya sumber panas dari lingkungan kerja serta panas metabolik yang dihasilkan akibat beban kerja, pekerja memiliki risiko untuk mengalami gejala heat strain. Gejala heat strain yang dibiarkan
terus-menerus
dalam
waktu
yang lama
akan
menimbulkan keadaan yang lebih buruk seperti terhentinya pengeluaran keringat dan dapat menyebabkan kematian. Dari hasil pengukuran suhu lingkungan yang dilakukan pada 3 titik di 2 pabrik kerupuk di kecamatan Ciputat Timur masing-masing adalah 32,4o C, 33,6o C dan 32,1o C. Hasil pengukuran tersebut mmenunjukkan bahwa semua titik pengukuran melebih NAB iklim kerja yang diatur dalam Permenaker No. 13 Tahun 2011 yaitu sebesar 31o C untuk beban kerja ringan dan 28o C untuk beban kerja sedang. Sehingga pekerja memiliki risiko untuk mengalami pajanan tekanan panas serta mengalami heat strain.
5
Penilaian heat strain menggunakan metode Phsyological Strain Index (PSI) juga dilakukan pada 4 pekerja. Hasilnya 1 pekerja termasuk kelompok yang mengalami heat strain dan 3 pekerja tidak mengalami heat strain. Berdasarkan hal tersebut dan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan tekanan panas terhadap gejala heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014. 1.3
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah distribusi frekuensi heat strain pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014? 2. Bagaimanakah distribusi tekanan panas pada pabrik pekerja kerupuk menurut pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014? 3. Bagaimanakah distribusi faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan) pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014? 4. Apakah ada hubungan antara tekanan panas dan faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan) dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014?
6
1.4
Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014.
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Diketahuinya distribusi frekuensi heat strain pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 2. Diketahuinya distribusi tekanan panas pada pabrik pekerja kerupuk menurut pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 3. Diketahuinya distribusi faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan) pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 4. Diketahuinya hubungan antara tekanan panas dan faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan) dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014.
7
1.5 Manfaat 1.5.1
Bagi Tempat Penelitian Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak pabrik kerupuk di wilayah Ciputat dalam mengembangkan program pengendalian yang dilakukan terkait dengan heat strain yang dialami oleh pekerja.
1.5.2
Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menjadi tahap pengaplikasian dari setiap ilmu yang telah didapat oleh penulis pada masa perkuliahan. Sehingga penulis mendapatkan pelajaran berharga dari hasil penelitian ini dan menjadikannya sebagai bekal di masa depan untuk menghadapi dunia kerja.
8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2014 dilaksanakan di pabrik kerupuk wilayah Kecamatan Ciputat Timur membahas mengenai hubungan heat strain dengan faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu tekanan panas serta faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan) dan menggunakan desain studi cross sectional. Dampak akibat heat strain tidak hanya merugikan pekerja tetapi juga merugikan perusahaan sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebab terjadinya heat strain dan dapat dilakukan pengendalian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 79 orang pekerja dan menggunakan
instrumen
Wet
Bulb
Globe
Thermometer
untuk
mengevaluasi tekanan panas dan Phsyological Strain Index (PSI) untuk mengukur heat strain.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Heat strain Menurut OSHS (1997) heat strain merupakan dampak akut atau kronis yang diakibatkan paparan tekanan panas yang dialami oleh seseorang dari aspek fisik maupun mental. Dampak fisik yang ditimbulkan dapat bervariasi mulai dari keluhan ringan seperti ruam pada kulit atau pingsan sampai situasi yang mengancam kehidupan saat terjadi terhentinya pengeluaran keringat dan heat stroke. Bekerja ditempat yang panas dapat berakibat pada mental dan fisik seseorang dengan ciri sebagai berikut. 1. Respon awal pada mental: Meningkatkan kekesalan, pemarah, agresif, perubahan suasan hati dan sepresi. 2. Respon pada fisik: Meningkatkan
kerja
jantung,
pengeluaran
keringat,
ketidakseimbangan antara cairan dan garam dalam tubuh, dan perubahan aliran darah pada kulit 3. Kombinasi respon mental dan fisik: Ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas yang berat, performa kerja yang kurang, mudah lelah, kurang konsentrasi sehingga banyak melakukan kesalahan dalam bekerja. 10
Menurut NIOSH (1986) gangguan bersifat akut dan tampak secara klinis . gangguan ini dapat timbul ketika respon tubuh untuk meningkatkan aliran darah ke kulit dan produksi keringat tidak cukup untuk menghilangkan panas atau ketika pusat pengatur suhu tubuh mengalami kegagalan. Gangguan akibat pajanan panas (heat strain) yang timbul dapat berupa heat stroke, heat exhaustion, heat cramp, heat collapse dan heat rashes (OSHA, 1999). 2.1.1 Heat stroke Heat stroke sering disebut sebagai sengatan panas merupakan masalah kesehatan yang sangat serius. Terjadi ketika sistem pengatur suhu tubuh mengalami kegagalan, timbul karena tidak berfungsinya termoregulator dan pengeluaran keringat yang terganggu
serta
membahayakan.
suhu Jika
tubuh penderita
terus heat
meningkat stroke
pada tidak
level segera
mendapatkan pertolongan medis dapat menyebabkan kematian. 2.1.2 Heat exhaustion Heat exhaustion atau sering disebut kelelahan akibat panas terjadi dikarenakan banyaknya kehilangan cairan tubuh melalui keringat yang disertai dengan kehilangan elektrolit tubuh.
11
2.1.3 Heat cramp Heat cramps atau sering disebut sebagai kejang akibat panas merupakan rasa sakit atau kejang pada otot yang biasanya terjadi pada otot perut, tnagan dan kaki serta dapat terjadi bersamaan saat aktifitas tinggi. Heat cramp terjadi karena ketidakseimbangan cairan dan kandungan garam dalam tubuh. Pengeluaran keringat tidak diseimbangi dengan asupan elektrolit yang cukup sebagai pengganti akan menimbulkan heat cramp. 2.1.4 Heat collapse Heat collapse terjadi karena pekerja kurang bergerak dan terlalu lama berada pada kondisi yang diam di lingkungan kerja yang panas. hal tersebut menyebabkan terjadinya pelebaran pembuluh darah khususnya pada tubuh bagian bawah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengumpulan darah pada satu tempat dan menghambat kelancaran peredaran darah ke otak. Jika kondisi ini berlangsung lama akan menyebabkan berkurangnya asupan oksigen ke otak sehingga penderita merasa pusing atau bahkan pingsan. 2.1.5 Heat rashes Heat rash dikenal juga dengan sebutan prickly heat. Terjadi pada pekerja yang bekerja pada lingkungan panas, kelembaban tinggi, sehingga proses pengeluaran keringat menjadi terganggu. Akibatnya kulit menjadi basah dan lembab. Terlihat bintik-bintik
12
merah seperti gejala iritasi dan dapat mengganggu performa kerja yang disebabkan rasa tidak nyaman.
2.2
Gejala Heat strain Gejala heat strain yang dialami pekerja akibat pajanan tekanan panas menurut OSHS (1997) adalah kram otot, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut nadi, kelemahan, peningkatan suhu kulit, pengeluaran keringat dan penurunan tingkat kesadaran. 2.2.1 Kram Otot Kram otot adalah kontraksi tidak biasa yang terjadi pada otot dan biasa terjadi pada bagian tubuh seperti leher, punggung, bahu atau kaki. Diagnosis kram otot melalui gejala yang dirasakan saat mengalami kram otot adalah rasa tegang pada otot, terasa sakit saat digerakan dan mungkin terasa sulit untuk menggunakan otot yang kram (Rouzier, 2003). Menurut Wedro (2013), indikasi terjadinya kram otot menunjukkan beberapa gejala saat terjadi kram otot seperti
serangan
rasa
sakit
pada
otot
yang berkontraksi,
pembengkakan otot mungkin terlihat atau dirasakan pada lapisan kulit yang melapisi otot. Diagnosis kram otot lebih mendalam dibutuhkan pemeriksaan klinis seperti pemeriksaan glukosa, kreatinin dan fungsi tiroid. Kram otot yang terjadi yang disebabkan oleh tekanan panas merupakan dampak dari keringat yang berlebih, terutama ketika 13
cairan tubuh yang hilang hanya digantikan dengan meminum air putih dan bukan cairan elektrolit yang mengandung Sodium ataupun Kalsium. Walaupun kram yang terjadi cukup memberikan rasa sakit tetapi biasanya tidak menyebabkan dampak yang permanen (ACC, 2013). Kram otot saat melakukan kegiatan dapat terjadi pada kegiatan yang berat dengan suhu yang beragam, tapi sering terjadi pada suhu yang tinggi dan kondisi yang lembab. Kram otot membutuhkan istirahat dan penggantian sodium. (Armstrong, 2007). Kegiatan yang menggunakan otot terlalu sering pada lingkungan yang panas dan penggantian cairan tubuh yang hilang dengan air terbukti mengakibatkan kram otot (Miller, 2005). Biasanya kram otot terjadi dalam beberapa detik atau mungkin lebih lama. Kram otot dapat terjadi saat melakukan aktivitas atau setelahnya dan terkadang beberapa jam setelah selesai melakukan kegiatan (Shiel, 2014). 2.2.2 Peningkatan Frekuensi Pernapasan Menurut Hunt (2011), salah satu gejala heat strain yang dialami akibat tekanan panas adalah peningkatan frekuensi pernapasan. Peningkatan frekuensi pernapasan merupakan respon tubuh dalam menerima panas yang diterima baik dari lingkungan maupun dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi karena menurut saat
14
terjadi peningkatan suhu, hemoglobin cenderung untuk melepaskan lebih banyak oksigen (Yamasawa,2007). Parsons (2002) menyatakan bahwa peningkatan frekuensi pernapasan yang terjadi saat beraktivitas di lingkungan yang panas merupakan dampak dari sistem pusat respirasi yang terpengaruh oleh peningkatan sirkulasi darah. Frekuensi pernapasan normal menurut Dougherty (2004) untuk laki-laki dewasa adalah 14-18 per menit; perempuan dewasa 16-20 per menit; remaja 15-25 per menit; anak-anak 20-40 per menit dan bayi 30-80 per menit. Pengukuran frekuensi pernapasan dapat dilakukan melalui beberapa metode salah satunya adalah perhitungan satu siklus napas inhalasi dan ekshalasi secara manual. 2.2.3 Peningkatan Denyut Nadi Peningkatan denyut nadi merupakan indikasi yang dipercaya terhadap terjadinya tekanan panas. denyut
nadi seseorang
menunjukkan kombinasi dari panas lingkungan, tingkat pekerjaan, peningkatan suhu tubuh dan kondisi kesehatan jantung (Hunt, 2011). Recovery Heart Rate merupakan cara untuk mengevaluasi denyut nadi yang umumnya digunakan untuk mengenali kejadian tekanan panas di tempat kerja. Recovery heart rate pada satu menit (HRR1) tidak boleh melebihi 110 beat per minute (bpm) atau
15
recovery heart rate pada menit ketiga (HRR3) tidak boleh melebihi 90 bpm, atau selisih HRR1 dan HRR3 tidak boleh lebih dari 10 bpm (OSHA, 1999). 2.2.4 Kelemahan Menurut CCOHS (2008), kelemahan merupakan salah satu gejala yang timbul akibat pajanan tekanan panas. Kelemahan adalah perasaan lelah pada tubuh. Saat seseorang mengalami kelemahan mungkin tidak dapat menggerakkan bagian tubuh dengan benar atau bahkan mengalami tremor pada bagian tubuh tertentu. Beberapa orang mengalami kelemahan pada bagain tertentu pada tubuh seperti lengan, kaki atau pada seluruh tubuh. Kelemahan mungkin bersifat sementara, tetapi dalam beberapa kasus dapat terjadi berkepanjangan (Krucik, 2014). Definisi medis kelemahan mengacu pada hilangnya kekuatan otot atau kondisi yang dapat berakibat pada hilangnya fungsi otot. Tanda atau gejala kelemahan seperti kesulitan dalam melakukan tugas,
bermasalah
dengan
cara
berjalan,
atau
kehilangan
keseimbangan ( Stöppler, 2014). Diagnosis kelemahan memerlukan pemeriksaan medis yang dilakukan oleh dokter dan membutuhkan beberapa tes yang digunakan untuk memprediksi penyebab terjadinya kelemahan seperti tes darah, urin, MRI dan biopsi otot (Vorvick, 2012).
16
2.2.5 Peningkatan Suhu Kulit ISO 7933 menjelaskan bahwa penilaian heat strain dapat dilakukan melalui pengukuran salah satu indikasi terjadi pada tubuh yaitu peningkatan suhu kulit. Fisiologis heat strain yang terbukti berhubungan dengan tekanan panas salah satunya adalah suhu kulit (Lundgren, 2006). Menurut NIOSH (1986), suhu kulit harus berada setidaknya 1o C dibawah suhu inti tubuh. Saat set point yang diatur oleh termoregulasi dalam tubuh telah terlampaui akibat peningkatan suhu tubuh, pembuluh darah mengalami vasodilatasi dan darah dipompa menuju kulit, sehingga panas dari dalam tubuh dilepas dari darah ke kulit. Wadsworth dan Parsons (1986) menyatakan bahwa hasil pengukuran suhu kulit antara 37o sampai 38o C merupakan tahap seseorang memiliki risiko mengalami heat strain (Parsons, 2002). Pengukuran suhu kulit dapat melalui sentuhan langsung yang dilakukan oleh seseorang yang sudah terlatih untuk merasakan keadaan suhu kulit pada pekerja. Metode pengukuran suhu kulit lainnya yaitu menggunakan sensor kecil yang diletakan pada beberapa bagian di kulit (Parsons dalam Wan, 2006).
17
2.2.6 Pengeluaran Keringat Pengeluaran keringat pada dasarnya tidak memiliki peran terhadap pelepasan panas. Sebaliknya, penguapan keringat dari kulit mendorong proses pendinginan pada suhu lingkungan yang panas sekaligus mempertahankan suhu inti tubuh (Parsons, 2002). Produksi keringat sekitar 1 liter/jam terlah tercatat secara berkala pada pekerjaan industry dan menunjukkan sumber potensi pendinginan yang besar jika seluruh keringat yang dihasilkan mengalami proses evaporasi. Lingkungan yang panas dengan tingkat kelembaban yang tinggi akan mempengaruhi jumlah keringat yang akan mengalami evaporasi. Keringat yang tidak mengalami evaporasi tidak akan menyebabkan pelepasan panas dari tubuh (NIOSH, 1986). Menurut Geneva (2004) pengukuran tingkat pengeluaran keringat dijaikan salah satu indikator dalam memprediksi terjadinya heat strain pada seseorang. Terdapat beberapa metode untuk memprediksi pengeluaran keringat salah satunya menggunakan rumus yang ditetapkan dalam ISO 7933 Hot Environments – Analytical determination and interpretation of thermal stress using calculation of Required Sweat Rate (SWreq). Pengukuran pengeluaran keringat yang paling sederhana adalah dengan menghitung jumlah berat badan sebelum bekerja dikurangi jumlah berat badan setelah bekerja, kemudian ditambah dengan jumlah 18
cairan yang dikonsumsi selama bekerja dan dibagi dengan jumlah waktu kerja. 2.2.7 Penurunan Tingkat Kesadaran Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi (Marissing, 2011) : 1.
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan terntang keadaan sekelilingnya.
2.
Apatis,
yaitu
keadaan
kesadaran
yang
segan
untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. 3.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi dan kadang berkhayal.
4.
Somnolen (obtundasi, letargi) yaitu kesadran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang , mampu member jawaban verbal.
5.
Stupor (soporo koma) yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6.
Coma (comatose) yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun.
19
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dar berbagai faktor termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak dan tekanan berlebih di dalam rongga tulang kepala. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka
morbiditas
(kecacatan)
dan
mortalitas
(kematian).
Pengukuran tingkat kesadaran dilakukan melalui pemeriksaan medis dengan mengukur status neurological. 2.3
Evaluasi Heat strain Menurut Dehghan et al (2013), terdapat beberapa metode untuk mengevaluasi heat strain yaitu melalaui Physiological Heat strain dan Heat strain Score Index (HSSI). Selanjutnya dalam OSHS (1997) metode penilaian heat stress yang lainnya adalah melalui observasi gejala heat strain. 2.3.2 Physiological Heat strain McArdle et al. mengembangkan metode penilaian heat strain menggunakan parameter fisiologis tingkat pengeluaran keringat selama 4 jam dalam kondisi iklim yang berbeda-beda. Namun, Belding dan Hatch menyatakan bahwa pengeluran keringat tidak secara komprehensif menunjukan terjadinya heat strain pada seseorang. Metode penilaian heat strain menggunakan parameter fisiologis juga dikembangkan oleh Robinson et al. dengan rektal
20
temperature, denyut jantung, suhu kulit, dan tingkat pengeluaran keringat sebagai parameter penilaian heat strain. Kedua metode tersebut hanya dapat digunakan pada populasi pria yang sudah mengalami aklimatisasi. Selanjutnya Hall dan Plote menganjurkan penilaian heat strain berdasarkan simpanan panas dalam tubuh serta rektal temperature, denyut jantung, suhu kulit, dan tingkat pengeluaran keringat. Kompleksitas penghitungan menjadi alasan metode ini tidak dapat digunakan secara universal (Moran, 1998). Metode penilain heat strain menggunakan Physiological Strain Index (PSI) diperkenalkan pertama kali oleh Moran, Shitzer, dan Pandolf (1998). Physiological Strain Index (PSI) yang didasarkan pada pengukuran denyut jantung dan suhu tubuh yang kemudian dimasukan dalam rumus berikut : PSI = 5(T – 36.5) / (39.5 – 36.5) + 5(HR – 60) / (180 – 60) T dan HR merupakan suhu tubuh dan denyut nadi yang diukur pada waktu kapan saja selama waktu paparan tekanan panas berlangsung. Sedangkan 36.5 dan 60 merupakan standar suhu tubuh dan denyut nadi terendah, serta 39.5 dan 180 sebagai standar suhu tubuh dan denyut jantung tertinggi (Wan, 2006). Hasil perhitungan kemudian dibedakan menjadi beberapa tingkatan heat strain. Nilai index 0-2 dikategorikan sebagai “no”, 3-4 adalah kategori “low”, 5-6 kategori “moderate”, 7-8 termasuk
21
kategori “high” dan 9-10 termasuk kategori “very high” (Wan, 2006). PSI dihitung saat responden terpapar tekanan panas tanpa harus menunggu sampai paparan berakhir untuk menilai terjadinya heat strain. Tidak seperti metode lain yang melibatkan banyak indikatot,
PSI
menghindari
hanya
terjadinya
menggunakan kesalahan.
dua
indikator
Evaluasi
heat
untuk strain
menggunakan PSI dapat digunakan untuk membandingkan kejadian heat strain pada kondisi pakaian kerja dan iklim kerja yang berbeda-beda (Moran, 1998). 2.3.3 Heat strain Score Index (HSSI) Pada tahun 2011, metode penilaian heat strain dibuat dan telah diuji coba oleh Dehghan yaitu Heat strain Score Index (HSSI) berupa kuesioner yang terdiri dari 15 pertanyaan terkait faktor yang berhubungan dengan tekanan panas dan heat strain yaitu suhu lingkungan, kelembaban, perpindahan udara, tingkat pengeluaran keringat, tingkat rasa haus, rasa lelah, rasa tidak nyaman, gejala klinis, suhu yang dirasakan permukaan kulit, pendingin udara, jenis dan warna pakaian kerja, bahan pakaian kerja, jenis alat pelindung diri, intensitas latihan fisik, postur kerja, luas ruangan kerja dan lokasi kerja.
22
HSSI membedakan tingkat heat strain menjadi 3 kelompok. Nilai index kurang dari 13,5 termasuk kelompok yang tidak mengalami heat strain atau berada pada zona hijau, nilai index antara 13,5 – 18 merupakan kelompok yang mungkin mengalami heat strain atau berada pada zona kuning dan nilai index diatas 18 termasuk kelompok yang mengalami heat strain atau berada pada zona merah. Teknik penilaian heat strain menggunakan kuesioner HSSI telah banyak digunakan dengan beberapa alasan yaitu memiliki performa yang baik, penggunaan waktu dan biaya yang rendah, sederhana dan murah. Hasil pengkuruan heat strain menggunakan HSSI telah terbukti berbanding lurus dengan suhu tubuh yang dipercaya menjadi salah satu indikasi terjadinya heat strain. Selain dengan suhu tubuh, HSSI juga memiliki korelasi yang berbanding lurus dengan hasil pengukuran heat strain menggunakan metode PSI. Seseorang yang berada pada level tertinggi pada HSSI juga memiliki nilai indeks heat strain PSI yang tinggi (Dehghan, 2013). 2.3.4 Observasi Gejala Heat strain Penilaian gejala heat strain menggunakan kriteria observasi dimaksudkan sebagai alat pelatihan terhadap pekerja. Seorang supervisor maupun pekerja yang bekerja di lingkungan yang panas, dapat mengenali gejala heat strain pada diri mereka sendiri,
23
maupun gejala heat strain pada orang lain. Gejala yang diamati yaitu kram otot, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut nadi, kelemahan, peningkatan suhu kulit, pengeluaran keringat dan penurunan tingkat kesadaran. Beberapa gejala seperti kelemahan, peningkatan suhu kulit dan penurunan tingkat kesadaran memerlukan pemeriksaan medis dan observasi yang dilakukan oleh ahli kesehatan. Sehingga tidak dimungkinkan untuk diamati dalam penelitian ini. 2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Metode Evaluasi Heat strain Metode evaluasi heat strain Physiological Heat strain, Heat strain Score Index (HSSI), dan Observasi Gejala Heat strain memiliki indikator, cara kerja dan hasil pengukuran yang berbedabeda. Berikut pada tabel 2.1 dijelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan beberapa metode evaluasi heat strain.
24
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Evaluasi Heat strain No.
Metode Evaluasi
Kelebihan
Kekurangan
Heat strain 1.
Physiological Heat Memiliki tingkat akurasi hasil Membutuhkan strain
yang cukup tinggi dibanding kesehatan dengan metode lain
2.
Heat strain Score Lebih Index (HSSI)
3.
Observasi heat strain
cepat
dan
dilakukan gejala Lebih semua
menyeluruh gejala
untuk
melakukan pengukuran mudah Hasil
pengukuran
bersifat subjektif
heat
diamati
karena Membutuhkan bantuan strain ahli
kesehatan
mengamati gejala.
2.4
alat
Faktor-faktor yang mempengaruhi heat strain OSHS (1997) dan NIOSH (1986) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi heat strain adalah tekanan panas. Selain itu beberapa faktor karakteristik individu yang juga mempengaruhi heat strain menurut NIOSH (1986) adalah umur, jenis kelamin, obesitas, aklimatisasi, konsumsi alkohol serta obat-obatan. Faktor karaktersitik individu lainnya yang dapat mempengaruhi heat strain menurut Kenny (2010) adalah penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan hipertensi.
25
untuk
beberapa
Berikut adalah penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi heat strain. 2.4.1 Tekanan Panas Tekanan panas merupakan jenis bahaya yang sudah umum dan selalu menjadi masalah pada beberapa industri. Tekanan panas dapat menyebabkan terjadinya berbagai macam respon tubuh atau heat strain seperti heat syncope, heat exhaustion, heat stroke, kebingungan, peunrunan konsentrasi dan kelelahan (Dehghan et al, 2013). Terjadinya tekanan panas adalah melalui kombinasi dari beberapa faktor dan cenderung untuk meningkatkan suhu inti tubuh, detak jantung/denyut nadi, dan keringat (Hunt, 2011). Tubuh manusia selalu menghasilkan panas dan mengeluarkan dari dalam tubuh menuju lingkungan. Semakin tinggi tubuh melakukan pekerjaan, maka semakin besar panas yang harus dilepaskan dari dalam tubuh. Saat berada pada lingkungan yang panas, tubuh harus berusaha keras untuk melepaskan panas (Health and Safety Ontario, 2008). Menurut Hunt (2011) saat terpapar tekanan panas, suhu tubuh akan meningkat dan untuk mencegah terjadinya peningkatan suh tubuh yang lebih tinggi, tubuh akan melepaskan panas melalui peningkatan aliran darah dan evaporasi keringat dari permukaan kulit. Jika pelepasan panas tidak seimbang dengan panas yang
26
diproduksi oleh tubuh, maka suhu tubuh akan terus meningkat sampai pada tingkat yang tidak aman. Proses evaporasi keringat merupakan mekanisme utama tubuh untuk melepaskan panas saat bekerja pana lingkungan yang panas. Pengeluaran keringat meningkat 1 liter per jam pada atlet dan pekerja di industri. Jika keringat yang keluar dari tubuh tidak diganti dengan asupan yang memadai maka risiko untuk mengalami heat strain akan meningkat (Sawka et al, 2007). Menurut OSHA (1997), tekanan panas adalah ketika terdapat suatu pekerjaan yang berhubungan dengan temperature udara yang tinggi, radiasi dari sumber panas, kelembaban udara yang tinggi, pajanan langsung dengan benda yang mengeluarkan panas, atau aktifitas fisik secara terus menerus yang mempunyai potensi tinggi untuk menimbulkan tekanan panas. Aktivitas fisik yang mempunyai kontribusi terhadap total tekanan panas adalah aktivtias yang menyebabkan terjadinya peningkatan panas metabolik dalam tubuh sesuai dengan intensitas pekerjaan. Berdasarkan mengevaluasi
penjelasan
tekanan
panas
sebelumnya, diperlukan
maka
pengukuran
untuk panas
lingkungan dan panas metabolik tubuh. Selain itu, dalam Permenaker PER.13/MEN/X/2011 faktor pengaturan jam kerja juga menjadi hal yang dipertimbangkan dalam mengevaluasi tekanan panas. Pengukuran panas metabolik dapat dilakukan dengan 27
melakukan estimasi panas metabolik berdasarkan aktivitas yang dilakukan. Dalam NIOSH (1986), perhitungan estimasi panas metabolik berdasarkan posisi kerja, tipe pekerjaan dan metabolisme basal. Setiap posisi dan tipe pekerjaan diestimasikan mengeluarkan panas metabolik yang berbeda-beda. Berikut pada tabel 2.1 dijelaskan mengenai perhitungan estimasi panas metabolik dalam NIOSH (1986).
Tabel 2.2 Estimasi Panas Metabolik A. Body position and
Kcal/min
movement Sitting
0,3
Standing
0,6
Walking
2,0-3,0
Walking uphill
Add 0,8 per meter rise
B. Type of work
Average
Range
kcal/min
kcal/min
Light
0,4
0,2-1,2
Heavy
0,9
Hand work
Work one arm light
1,0
heavy
1,8
0,7-2,5
Work both arms light
1,5
heavy
2,5
28
1,0-3,5
Work whole body light
3,5
moderate
5,0
heavy
7,0
very heavy
9,0
2,5-9,0
C. Basal metabolism
1,0
D. Sample calculation
Average kcal/min
Assembling work with heavy hand tools 1. Standing
0,6
2. Two-arm work
3,5
3. Basal metabolism
1,0
Total
5,1 kcal/min
Sumber : NIOSH (1986) Setelah mendapatkan hasil perhitungan panas metabolik dalam satuan kkal/jam, kemudian dikategorikan menjadi tiga tingkat beban kerja berdasarkan estimasi panas metabolik yang dihasilkan selama melakukan pekerjaan. Berikut pada tabel 2.2 dijelaskan mengenai kategori beban kerja berdasarkan panas metabolik yang diatur dalam Permenaker PER.13/MEN/X/2011 Tabel 2.3 Tingkat Beban Kerja No.
Panas Metabolik
Tingkat Beban Kerja
1.
Panas metabolik < 200 kkal/jam
Ringan
2.
200kkal/jam < panas metabolik
Sedang
< 350 kkal/jam
29
3.
350 kkal/jam < panas metabolik
Berat
< 500 kkal/jam Sumber : PER.13/MEN/X/2011 Indikator untuk mengevaluasi tekanan panas selanjutnya adalah panas lingkungan. Pengukuran panas lingkungan dilakukan menggunakan alat Wet Bulb Globe Thermometer (WBGT). Setelah mendapatkan hasil pengukuran panas lingkungan, kemudian berdasarkan tingkat beban kerja dan pengaturan jam kerja dibandingkan dengan standar yang diatur dalam Permenaker PER.13/MEN/X/2011 seperti pada tabel 2.3 berikut. Jika suhu panas lingkungan melebihi standar, maka pekerja terpapar tekanan panas.
Tabel 2.4 Standar Iklim Kerja atau Indeks Suhu Bola Basah (ISBB) Pengaturan Waktu Kerja
ISBB Beban Kerja Ringan
Sedang
Berat
75% - 100%
31,0
28,0
-
50% - 75%
31,0
29,0
27,5
25% - 50%
32,0
30,0
29,0
0% - 25% 32,2 Sumber : PER.13/MEN/X/2011
31,1
30,5
30
2.4.2 Umur Kekuatan
maksimum
jantung untuk
memompa darah
menurun seiring dengan pertambahan umur sehingga kemampuan tubuh untuk menyalurkan panas dari inti tubuh ke permukaan kulit juga menjadi terhambat. Akibatnya terjadi peningkatan pada suhu inti tubuh yang merupakan salah satu indikasi terjadinya heat strain (NCDOL, 2011). Proses penuan menyebabkan kelenjar keringat menjadi lebih lembam sehingga akan mengurangi efektivitas pengontrolan suhu tubuh (NIOSH, 1986). WHO (1969) juga menyatakan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang akan menyebabkan respon kelenjar keringat terhadap perubahan temperature menjadi lebih lambat, sehingga proses pengeluaran keringat menjadi tidak efektif dalam mekanisme pengendalian suhu tubuh. Analisis yang dilakukan di penambangan emas Afrika Selatan selama 5 tahun menunjukkan peningkatan kasus heat strain seiring dengan peningkatan umur pada pekerja. Kasus heat strain per 100.000 pekerja 10 kali lipat lebih besar terjadi pada laki-laki berumur di atas 40 tahun dibanding laki-laki berumur di bawah 25 tahun jumlah cairan tubuh yang semakin menurun menjadi faktor yang mungkin menyebabkan tingginya kasus heat strain fatal dan non fatal pada kelompok yang lebih tua (NIOSH, 1986).
31
2.4.3 Jenis Kelamin Kemampuan aklimatisasi perempuan lebih rendah dibanding pria karena perempuan mempunyai kapasitas kardiovaskuler yang lebih kecil daripada pria. (WHO, 1969). Kapasitas dasar aerobik terendah pada perempuan rata-rata sama dengan pria di bawah ratarata. Perempuan yang memiliki beban kerja yang sama dengan pria rata-rata akan merasa dirugikan. Saat perempuan bekerja pada kondisi kapasitas oksigen yang sama dengan pria, maka performa mereka akan sama atau sedikit lebih rendah dibanding pria karna terdapat perbedaan kapasitas termoregulasi pada waktu yang berbeda
selama
siklus
menstruasi
yang
dialami
oleh
perempuan.(NIOSH, 1986). Akibat kapasitas kardiovaskuler dan termoregulasi yang dimiliki oleh perempuan lebih rendah dibanging pria. Maka saat berada di lingkungan panas, perempuan akan lebih rentan untuk mengalami heat strain dibanding pria. 2.4.4 Obesitas Peningkatan berat badan akan membutuhkan energi lebih banyak untuk melakukan kegiatan sehingga akan membutuhkan oksigen yang lebih banyak pula. Peningkatan lapisan subkutan akan meningkatkan pemisah antara kulit dengan jaringan terdalam. Lapisan lemak akan menghambat pemindahan panas dari otot menuju kulit (NIOSH, 1986). Sehingga saat seseorang dengan 32
indeks massa tubuh yang tinggi menerima tekanan panas akan memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami heat strain karena terhambatnya proses perpindahan panas dari dalam tubuh menuju kulit. 2.4.5 Aklimatisasi Proses aklimatisasi merupakan salah satu cara tubuh untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan. Tekanan panas serta dampak akibat tekanan panas yaitu heat strain mudah terjadi pada pekerja yang tidak teraklimatisasi. (WHO, 1969). Aklimatisasi yang penuh dapat dicapai dalam waktu 7 hari. Dalam kondisi yang tidak teraklimatisasi pekerja seharusnya diaklimatisasi dengan periode lebih dari 6 hari. Jadwal aklimatisasi dimulai dengan pajanan 50% untuk mengantisipasi kelebihan beban kerja dan waktu pajanan pada hari pertama. Pada hari berikutnya ditingkatkan 10% setiap harinya, sehingga mencapai 100% pada hari keenam. Aklimatisasi terhadap panas akan bertahan selama satu minggu jika tidak terpajan panas. aklimatisasi akan hilang setelah 3 minggu tidak terpajan panas.
jika telah beberapa bulan tidak
terpajan panas, proses aklimatisasi akan memerlukan upaya yang serius (Dept. of Minerals and Energy, 1997 dalam Hendra, 2003).
33
2.4.6 Konsumsi Alkohol Alkohol akan mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat dan peripheral yang bekerja sama dengan hipodehidrasi dengan menekan produksi ADH. Konsumsi alkohol selama bekerja seharusnya tidak diperbolehkan karena akan mengurangi toleransi panas dan meningkatkan risiko terjadinya heat strain (NIOSH, 1986). 2.4.7 Konsumsi Obat-obatan Kebanyakan obat termasuk antihipertensi, diuretik dan antidepresan yang telah diresepkan untuk pengobatan terapeutik dapat
mempengaruhi
sistem
termoregulasi
dalam
tubuh.
Kebanyakan obat mempunyai efek terhadap aktivitas sistem saraf pusat, peredaran darah, dan pengaturan cairan tubuh, sehingga berpotensi menghambat daya toleransi terhadap panas (Hendra, 2003). 2.4.8 Penyakit Kronis Risiko seseorang untuk mengalami dampak akibat paparan tekanan panas dipengaruhi oleh beberapa penyakit kronis yang diderita seperti diabetes mellitus dan hipertensi. Kondisi tersebur mengurangi kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan perubahan suhu lingkungan yang terjadi. (Kenny, 2010) Stransberry et al (1997) menjelaskan bahwa penyakit diabetes mellitus menyebabkan gangguan pelebaran pembuluh darah saat 34
mengalirkan darah menuju kulit untuk melepaskan panas. Penurunan respon keringat juga terjadi pada penderita penyakit diabetes mellitus yang berpotensi mempengaruhi kemampuan tuhbuh untuk mempertahankan suhu inti. Beberapa perubahan metabolik tersebut dapat menurunkan kemampuan toeransi tubuh terhadap suhu panas. Hipertensi ditandai dengan terjadinya elevasi resistensi perifer dan disertai dengan beberbagai perubahan sirkulasi perifer. Perubahan
tersebut
dapat
menyebabkan
gangguan
dalam
pengendalian aliran darah pada kulit dan berakibat pada melemahnya regulasi suhu inti tubuh. Saat melakukan aktivitas, penderita
hipertensi
mengalami
heat
strain
lebih
besar
dibandingkan kelompok dengan tekanan darah normal atau normotension (Kenny, 2010). 2.5
Pengendalian Heat strain Beberapa tindakan pengendalian yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko heat strain di tempat kerja antara lain adalah sebagai berikut : 2.5.1 Pengendalian Teknis Faktor-faktor lingkungan yang dapat dikendalikan secara enjiniring adalah perpindahan panas secara konveksi, radiasi, dan evaporasi (NIOSH, 1986).
35
1.
Pengendalian panas konveksi
Pengendalian terhadap panas konveksi adalah melalui pengendalian temperature udara dan kecepatan angin. Jika suhu kering (ta) lebih rendah dari suhu kulit (tsk), tingkatkan kecepatan angin yang melewati kulit dengan cara ventilasi umum atau lokal. Namun jika ta melebihi tsk (terjadi konveksi), maka ta seharusnya dikurangi dengan memasukkan udara luar yang lebih dingin ke tempat kerja atau malalui evaporasi atau alat pendingin udara. Selain itu kecepatan angin harus dikurangi sampai pada batas di mana evaporasi keringat menjadi stabil. 2.
Pengendalian panas radiasi
Untuk menurunkan panas radiasi dapat dilakukan beberapa cara, yaitu (NIOSH, 1986) : a.
Menurunkan temperatur proses yang biasanya tidak sesuai dengan temperature yang seharusnya diperlukan.
b.
Relokasi, memberi sekat, atau pendinginan sumber panas.
c.
Memasang pembatas yang dapat memantulkan panas radiasi antara sumber dan pekerja.
d.
Merubah tingkat emisivity permukaan material dengan melapisi atau coating.
Dari beberapa cara pengendalian panas radiasi di atas yang paling baik
adalah
dengan 36
memasang
pembatas
yang
dapat
memantulkan panas dan mampu menurunkan panas radiasi sebesar 80-85%. Jika tidak memungkinkan dipasang pembatas, maka
sebaiknya
diciptakan
sistem
kerja
yang
dapat
dikendalikan secara jarak jauh (remotely) atau pemasangan pintu hidrolik yang hanya akan terbuka melalui sistem tertentu. 3.
Pengendalian panas evaporasi
Panas evaporasi dapat dikendalikan dengan 2 (dua) cara, yaitu : (NIOSH, 1986) a.
Meningkatkan kecepatan angin, dengan menggunakan kipas, fan, atau blower.
b.
Menurunkan tekanan
uap air ambient,
yang biasanya
menggunakan AC atau alat pendingin udara. 2.5.2 Pengendalian Administratif Pengendalian secara administratif pada dasarnya adalah untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap heat strain. Beberapa pengendalian secara administratif antara lain adalah (NIOSH,1986): 1.
Pembatasan temperatur dan waktu pajanan Beberapa cara pengendalian terhadap lama pajanan dan tingkat temperatur pada pekerja yang terpajan panas adalah : a.
Jika memungkinkan buat jadwal kerja dimana pekerjaan yang panas dilakukan pada waktu-waktu yang lebih dingin seperti pagi hari, sore hari, atau malam hari.
37
b.
Buat jadwal rutin pekerjaan maintenance dan perbaikan di area panas dilakukan pada musim yang lebih dingin dalam satu tahun.
c.
Merubah pola kerja dan istirahat sehingga waktu istirahat menjadi lebih lama.
d.
Menyediakan area yang lebih dingin untuk tempat istrirahat dan recovery.
e.
Membuat ketentuan bahwa pekerja dapat menghentikan pekerjaannya jika merasa terlalu panas dan tidak nyaman.
f.
Meningkatkan jumlah minum pada saat melakukan pekerjaan.
g.
Mengatur jadwal sehingga memungkinkan pekerjaan di tempat yang panas tidak dilakukan pada waktu dan tempat yang sama dengan pekerjaan lain.
2.
Penurunan tingkat panas metabolism Pada kebanyakan industri, panas metabolisme bukan merupakan hal yang utama terhadap pajanan panas. Panas metabolik dapat dikurangi biasanya tidak lebih dari 200 kcal/jam (800 basal thermal unit/jam) dengan cara : a.
Proses mekanisasi beberapa bagian pekerjaan fisik.
b.
Mengurangi jam kerja (mengurangi hari kerja, menambah waktu istirahat, membatasi bekerja dua shift).
38
3.
Peningkatan toleransi terhadap panas Program aklimatisasi yang baik akan menurunkan risiko terhadap penyakit akibat pajanan panas. Untuk pekerja yang mempunyai pengalaman sebelumnya maka sebaiknya terpajan 50% pada hari pertama, 60% pada hari kedua, 80% pada hari ketiga dan 100% pada hari keempat. Untuk pekerja yang baru sebaiknya terpajan 20% pada hari pertama dan ditambah 20% setiap hari berikutnya.
4.
Pelatihan K3 a. Supervisor
dan
pekerja
lainnya
seharusnya
telah
mendapatkan pelatihan tentang tanda-tanda berbagai jenis gangguan kesehatan akibat pajanan panas. b. Semua pekerja yang terpajan harus mengetahui instruksi dasar jika terjadi gangguan akibat pajanan panas. c. Semua pekerja yang bekerja di area panas harus mengetahui tentang dampak
dari
faktor-faktor
lain
yang dapat
memperburuk dampak pajanan panas seperti obatobatan, alkohol, kegemukan, dan lain-lain.
39
2.6
Kerangka Teori Menurut OSHS (1997) dan NIOSH (1986) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi heat strain adalah tekanan panas. Selain itu beberapa faktor karakteristik individu yang juga mempengaruhi heat strain menurut NIOSH (1986) adalah umur, jenis kelamin, obesitas, aklimatisasi, konsumsi alkohol serta obat-obatan. Faktor karaktersitik individu lainnya yang dapat mempengaruhi heat strain menurut Kenny (2010) adalah penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan hipertensi.
40
Tekanan panas
Peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi
Karakteristik individu
Peningkatan umur
Gangguan proses evaporasi keringat
Jenis kelamin perempuan
Tingkat aklimatisasi rendah
Obesitas
Pengeluaran panas dari dalam tubuh terhambat
Tidak teraklimatisasi
Heat strain
Konsumsi alkohol
Konsumsi obatobatan Penyakit kronis
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber : NIOSH (1986), Kenny (2010), OSHS (1997)
41
Toleransi tubuh terhadap panas menurun
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1
Kerangka Konsep Tekanan panas sebagai variabel independen yang mempengaruhi tejadinya heat strain sebagai variabel dependen. Menurut NIOSH (1986) faktor karakteristik individu juga mempengaruhi terjadinya heat strain. Faktor individu yang dijadikan variabel independen dalam penelitian ini yaitu umur, obesitas, konsumsi obat-obatan serta penyakit kronis. Seluruh pekerja pabrik kerupuk adalah laki-laki. Sehingga variabel jenis kelamin tidak diteliti karena bersifat homogen. Sedangkan variabel aklimatisasi dan konsumsi alkohol juga tidak diteliti karena berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik pabrik tidak ada pekerja yang mengkonsumsi alkohol.
Tekanan panas
Heat strain Karakteristik individu : 1. 2. 3. 4.
Umur Obesitas Konsumsi obat-obatan Penyakit Kronis Bagan 3.1 Kerangka Konsep
42
3.2 Definisi Operasional No. Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
1.
Skor indeks yang dikur
Pengukuran
Digital Oral
berdasarkan respon tubuh
suhu tubuh dan Thermometer dan
yang dirasakan oleh
denyut nadi.
Heat strain
Hasil Ukur
Skala
1. Ya, jika total skor indeks Ordinal diatas 2.
perabaan arteriradialis 2. Tidak, jika total skor indeks
pekerja akibat pajanan
dibawah atau sama dengan 2
tekanan panas seperti
(Wan, 2006)
peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. 2.
Tekanan panas
Paparan panas lingkungan
Pengukuran
Wet Bulb Globe
1. Ya
yang disesuaikan dengan
langsung pada
Thermometer
2. Tidak
tingkat beban kerja serta
panas
(WBGT) Quest Temp
jam kerja dan
lingkungan,
34, tabel estimasi
dibandingkan dengan
beban kerja
panas metabolik
standar suhu panas
dan jam kerja.
NIOSH.
43
Ordinal
lingkungan yang diatur dalam Permenaker PER.13/MEN/X/2011 6.
Umur
Lama hidup responden
Wawancara
Kuesioner
Rata-rata umur kemudian
dalam tahun dari pertama
dikategorikan berdasarkan nilai
lahir sampai saat
median menjadi :
Ordinal
1. ≥30 tahun
dilakukan penelitian.
2. <30 tahun 7.
Obesitas
Kondisi status gizi pekerja
Pengukuran
Timbangan dan
1. Obesitas ( ≥30)
saat dilakukan penelitian.
langsung
meteran
2. Tidak obesitas (<30) (WHO,
Diukur berdasarkan rasio
1969)
antara berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan (dalam meter) pangkat dua.
44
Ordinal
8.
Obat-obatan
Konsumsi
obat-obatan Kuesioner
Kuesioner
antidepresan, diuretik atau
1. Ya
Ordinal
2. Tidak
antihipertensi pada pekerja dalam 24 jam terakhir.
9.
Penyakit
Penyakit diabetes mellitus, Wawancara
kronis
hipertensi
dan
Kuesioner
penyakit
2. Tidak
jantung yang diderita oleh responden
dan
1. Ya
sudah
didiagnosa oleh dokter
45
Ordinal
3.3
Hipotesis 1. Ada hubungan antara tekanan panas dan faktor karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan) dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014.
46
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Variabel yang diamati adalah heat strain sebagai variabel dependen. Tekanan panas, umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat-obatan sebagai variabel independen.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 3 pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur dan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2014. 4.2.1 Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja pabrik kerupuk di pada 3 pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur yaitu sebanyak 36 orang pada pabrik kerupuk 1, 32 orang pada pabrik kerupuk 2 dan 11 orang pada pabrik kerupuk 3. Sehingga total keseluruhan populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 79 orang.
b. Sampel Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus besar sampel untuk penelitian kategorik tidak berpasangan yaitu sebagai berikut :
47
[
√
(
) (
√ (
)]
)
43,65 Keterangan : n
=
besar sampel yang dikendaki
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20% maka Po
=
0,7
Pa
=
0,5
=1,96. = 0.84.
Besar sampel yang didapat dari hasil perhitungan adalah 43,65 dan untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban responden maka jumlah sampel akan dilebihkan sebesar 10 % menjadi 47. Namun, dalam penelitian ini seluruh populasi yaitu 79 orang dijadikan sampel.
4.3
Metode Pengumpulan Data 4.3.1 Proses Pengambilan Data Primer a. Heat strain Pengukuran heat strain dilakukan menggunakan Heat strain Score Index (HSSI) untuk menilai kejadian heat strain secara subjektif dan metode Phsyological Strain Index (PSI) untuk menilai kejadian heat strain secara objektif. Hasil pengukuran heat strain menggunakan kuesioner HSSI hanya
48
akan digambarkan dalam penelitian ini. Sedangkan hasil pengukuran heat strain menggunakan PSI akan digunakan sebagai data dalam variabel heat strain karena lebih objektif. PSI dihitung saat responden terpapar tekanan panas tanpa harus menunggu sampai paparan berakhir untuk menilai terjadinya heat strain. Tidak seperti metode lain yang melibatkan banyak indikatot, PSI hanya menggunakan dua indikator untuk menghindari terjadinya kesalahan. PSI = 5(T – 36.5) / (39.5 – 36.5) + 5(HR – 60) / (180 – 60) T dan HR merupakan suhu tubuh dan denyut nadi yang diukur pada waktu kapan saja selama waktu paparan tekanan panas berlangsung. Sedangkan 36.5 dan 60 merupakan standar suhu tubuh dan denyut nadi terendah, serta 39.5 dan 180 sebagai standar suhu tubuh dan denyut jantung tertinggi (Wan, 2006). Hasil perhitungan kemudian dibedakan menjadi beberapa tingkatan heat strain. Nilai index 0-2 dikategorikan sebagai “no”, 3-4 adalah kategori “low”, 5-6 kategori “moderate”, 7-8 termasuk kategori “high” dan 9-10 termasuk kategori “very high”. (Wan, 2006). Sedangkan dalam penelitian ini, hasil perhitungan PSI dikategorikan menjadi dua yaitu tidak mengalami heat strain jika skor dibawah atau sama dengan 2 dan mengalami heat strain jika skor lebih dari 2. b. Tekanan Panas Evaluasi tekanan panas membutuhkan pengukuran beberapa indikator yang berpengaruh yaitu panas lingungan, beban kerja dan jam kerja.
49
1. Evaluasi Beban Kerja Pengukuran beban kerja diawali dengan perhitungan estimasi panas metabolik berdasarkan aktivitas yang dilakukan. Dalam NIOSH (1986), perhitungan estimasi panas metabolik berdasarkan posisi kerja, tipe pekerjaan dan metabolisme basal. Setiap posisi dan tipe pekerjaan diestimasikan mengeluarkan panas metabolik yang berbeda-beda. Berikut pada tabel 2.1 dijelaskan mengenai perhitungan estimasi panas metabolik dalam NIOSH (1986)
Tabel 2.1 Estimasi Panas Metabolik E. Body position and
Kcal/min
movement Sitting
0,3
Standing
0,6
Walking
2,0-3,0
Walking uphill
Add 0,8 per meter rise
F. Type of work
Average kcal/min
Range kcal/min
Light
0,4
0,2-1,2
Heavy
0,9
Hand work
Work one arm light
1,0
heavy
1,8
0,7-2,5
Work both arms Light
1,5
50
1,0-3,5
heavy
2,5
Work whole body light
3,5
moderate
5,0
heavy
7,0
very heavy
9,0
2,5-9,0
G. Basal metabolism
1,0
H. Sample calculation
Average kcal/min
Assembling work with heavy
0,6
hand tools
3,5 1,0
Total
5,1 kcal/min
Sumber : NIOSH (1986) Setelah mendapatkan hasil perhitungan panas metabolik dalam satuan kkal/jam, kemudian dikategorikan menjadi tiga tingkat beban kerja berdasarkan estimasi panas metabolik yang dihasilkan selama melakukan pekerjaan. Berikut pada tabel 2.2 dijelaskan mengenai kategori beban kerja berdasarkan panas metabolik yang diatur dalam Permenaker PER.13/MEN/X/2011 Tabel 2.2 Tingkat Beban Kerja No.
Panas Metabolik
Tingkat Beban Kerja
1.
Panas metabolik < 200
Ringan
kkal/jam 2.
200kkal/jam < panas metabolik < 350 kkal/jam
51
Sedang
3.
350 kkal/jam < panas
Berat
metabolik < 500 kkal/jam Sumber : PER.13/MEN/X/2011 2. Evaluasi Panas Lingkungan Indikator untuk mengevaluasi tekanan panas selanjutnya adalah panas
lingkungan.
Pengukuran
panas
lingkungan
dilakukan
menggunakan alat Wet Bulb Globe Thermometer (WBGT). Proses produksi pada pabrik kerupuk melalui beberapa tahap yaitu pembuatan adonan, pengukusan adonan, pencetakan dan penggorengan. Pada tahap pembuatan dan pengukusan adonan melibatkan uap panas yang dihasilkan dari pembakaran tungku api. Walaupun pada tahap pencetakan tidak menggunakan uap panas, tetapi lokasi dilakukannya pencetakan berada dalam satu ruangan dengan sumber panas dari pembakaran tungku api. Tahap selanjutnya yaitu proses penggorengan yang menggunakan api yang berasal dari kompor. Sehingga pengukuran panas lingkungan dilakukan pada beberapa titik yang mewakili seluruh proses produksi kerupuk. Pengukuran menggunakan WBGT dilakukan melalui beberapa tahap : 1. Siapkan alat Wet Bulb Globe Thermometer (WBGT) beserta manualnya. 2. Pastikan alat dalam kondisi baik dan berfungsi dengan benar. 3. Periksa apakah daya baterai pada alat masih memadai. Lihat petunjuk pada buku manual tentang minimal daya baterai yang diperkenankan. 52
4. Lakukan kalibrasi internal dengan alat kalibrasi yang tersedia yaitu dengan membandingkan ukuran WB, DB, G dan RH pada alat dengan ukuran pada kalibrasi. 5. Lakukan pengaturan tanggal, waktu, satuan pengukuran, logging rate, heat index. 6. Letakkan WBGT menggunakan tripod pada titik pengukuran yang telah ditentukan. 7. Buka tutup thermometer suhu basah alami dan isi dengan aquadest sebanyak ¾ untuk menjamin agar thermometer tetap basah selama pengukuran. 8. Nyalakan alat dan biarkan alat selama 10 menit untuk proses adaptasi dengan kondisi titik pengukuran. 9. Setelah 10 menit, aktifkan tombol run dan data temperature lingkungan akan disimpan di dalam memori alat berdasarkan kelipatan waktu yang digunakan yaitu 1 menit. 10.
Lakukan pengukuran selama 30 menit.
3. Evaluasi Jam Kerja Pengukuran pengaturan jam kerja dilakukan dengan menanyakan langsung kepada pekerja. Kemudian dikelompokan menjadi 4 kategori dalam bentuk persentase sesuai dengan PER.13/MEN/X/2011 pada tabel 4.3 Tabel 4.3 Pengaturan Jam Kerja No.
Pengaturan waktu kerja setiap jam
53
1.
75% - 100%
2.
50% - 75%
3.
25% - 50%
4.
0% - 25%
Sumber : PER.13/MEN/X/2011
4. Evaluasi Tekanan Panas Setelah
mendapatkan
hasil
pengukuran
panas
lingkungan,
kemudian berdasarkan tingkat beban kerja dan pengaturan jam kerja dibandingkan
dengan
standar
yang
diatur
dalam
Permenaker
PER.13/MEN/X/2011 seperti pada tabel 2.3 berikut. Jika suhu panas lingkungan melebihi standar, maka pekerja terpapar tekanan panas Tabel 2.3 Standar Iklim Kerja atau Indeks Suhu Bola Basah (ISBB) Pengaturan Waktu Kerja
ISBB Beban Kerja Ringan
Sedang
Berat
75% - 100%
31,0
28,0
-
50% - 75%
31,0
29,0
27,5
25% - 50%
32,0
30,0
29,0
0% - 25% 32,2 Sumber : PER.13/MEN/X/2011
31,1
30,5
Standar WBGT berbeda pada setiap tingkat beban kerja dan pengaturan jam kerja. Misalnya pada contoh kasus pekerja dengan tingkat beban kerja ringan dan pengaturan jam kerja 75%-100% maka standar WBGT yang dianjurkan adalah 31,00C. Apabila hasil pengukuran
54
WBGT melebihi 31,00C maka pekerja tersebut menerima paparan tekanan panas dari lingkungan. e. Umur Data umur diperoleh melalui wawancara kepada pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. f. Obesitas Data obesitas diperoleh melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan secara langsung. Kemudian menghitung IMT menggunakan rumus : IMT = Berat Badan (kg)/Tinggi badan2 (m) Hasil perhitungan IMT dikelompokan menjadi obesitas (≥30) dan tidak obesitas (<30). g. Konsumsi obat-obatan Data konsumsi obat-obatan diperoleh melalui wawancara kepada pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. h. Penyakit Kronis Data penyakit kronis diperoleh melalui wawancara kepada pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
4.5
Pengolahan Data Pengolahan data dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Mengkode Data (Coding)
55
Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode data hasil pengukuran maupun hasil jawaban responden untuk mempermudah pengolahan data selanjutnya. Variabel dependen dan semua variabel independen juga dilakukan pengkodean, yaitu : a.
Heat strain
:
Ya= 0; Tidak= 1
b.
Tekanan panas
:
Ya =0; Tidak = 1
c.
Umur
d.
Obesitas : Obesitas (≥30) = 0; Tidak obesitas (<30) = 1
e.
Obat-obatan
:
Ya = 0; Tidak =1
f.
Penyakit kronis
:
Ya = 0; Tidak = 1
: ≥30 tahun = 0; <30 tahun = 1
2. Menyunting data (editing) Editing bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data. 3. Memasukkan data (entry) Memasukan data dari hasil pengukuran yang telah dilakukan serta hasil jawaban responden terkait variabel karakteristik pekerja ke dalam program SPSS.
4. Membersihkan data (cleaning) Pengecekan kembali data yang telah dimasukan kedalam program SPSS untuk ememastika data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis. 4.6
Analisis Data 4.6.1 Analisis Univariat 56
Analisis univariat dilakukan untuk membuat distribusi frekuensi masingmasing variabel independen dan dependen pada penelitian ini. 4.6.2 Analisis Bivariat Analisa bivariat akan menganalisa hubungan tekanan panas, umur, obesitas, konsumsi obat-obatan dan penyakit kronis dengan
heat strain.
Analisis hubungan dilakukan menggunakan uji Chi Square karena variabel dependen dan independen bersifat kategorik. Adapun rumus uji Chi Square menurut Hastono (2006) adalah sebagai berikut : (
Keterangan
)
:
O
:
Frekuensi yang diamati
E
:
Frekuensi yang diharapkan BAB V HASIL
5.1
Gambaran Proses Produksi Pabrik Kerupuk di Kecamatan Ciputat Timur Proses pembuatan kerupuk melalui 6 tahap yaitu pembuatan adonan, pencetakan, pengukusa, penggarangan dan penggorengan. a. Pembuatan Adonan Proses pembuatan adonan dimulai dengan mencampurkan bahan utama yaitu tepung tapioka dengan bahan lainnya seperti bawang putih, minyak ikan, garam, terasi putih dan pewarna makanan. Selanjutnya campuran bahan tersebut dimasukan kedalam alat pengaduk sehingga membentuk adonan. 57
b. Pencetakan Adonan yang sudah siap dimasukan kedalam mesin cetak untuk dibentuk menjadi bentuk jaring. Selanjutnya disusun dalam sebuah wadah untuk dimasukan ke dalam mesin kukusan. c. Pengukusan Adonan kerupuk yang sudah dibentuk menjadi bentuk jaring selanjutnya dimasukan ke dalam mesin kukusan. Uap yang digunakan untuk mengukus dihasilkan dari pembakaran kayu. Proses pembakaran kayu membutuhkan api yang sangat panas untuk menghasilkan uap secara terus menerus. d. Penjemuran Setelah adonan selesai dikukus, kemudian didinginkan selama beberapa menit. Selanjutnya adonan disusun dalam wadah kayu untuk dijemur dibawah terik matahari. e. Penggarangan Proses penggarangan dimuali saat kerupuk selesai dijemur selama satu sampai dua hari. Kemudian digarang agar kerupuk menjadi hangat dan mengembang saat digoreng. Proses penggarangan menggunakan panas api yang berasal dari gas elpiji. f. Penggorengan Setelah digarang dan kerupuk menjadi hangat, kerupuk siap untuk digoreng. Proses penggorengan menggunakan dua penggorengan berukuran besar serta pengaduk dan penyaring untuk mengangkat kerupuk setelah mengembang.
58
Setiap pekerja memiliki tugasnya masing-masing. Proses produksi dari tahap pembuatan adonan smapai tahap penggorengan dimulai dari jam 06.00 sampai jam 16.00. Secara keseluruhan, proses produksi kerupuk tahap yang membutuhkan suhu panas yaitu pada tahap pengukusan dan penggorengan. Pada ketiga pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, seluruh tahapan produksi dari mulai pembuatan adonan sampai pencetakan berada dalam satu ruangan. Sehingga walaupun pekerja pada tahap pembuatan dan pencetakan tidak menggunakan suhu panas dalam proses pekerjaannya, tetapi pekerja tetap menerima paparan uap panas yang digunakan dalam proses pengukusan. Kondisi ruangan produksi pada ketiga pabrik sudah memiliki ventilasi namun masih belum memadai. Sebanyak 64 pekerja (81%) yang bekerja di dalam ruangan mengeluhkan kondisi suhu lingkungan kerja yang panas dan sebanyak 34 pekerja (43%) merasa ventilasi yang berada di tempat kerjanya tidak mencukupi. Sehingga diperlukan perhatian lebih lanjut dari pemilik pabrik kerupuk terhadap keluhan-keluhan pekerja mengnai kondisi tempat kerjanya. 5.2
Heat strain Distribusi frekuensi heat strain pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 disajikan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Heat strain pada Pekerja di Pabrik Kerupuk menurut Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014
59
Variabel
Kategori
Pabrik 1
Pabrik 2
Pabrik 3
n(%)
n(%)
n(%)
Ya
21(58,3)
28(87,5)
7(63,6)
Tidak
15(41,7)
4(12,5)
4(36,4)
36(100)
32(100)
11(100)
Heat strain Total n(%)
Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang mengalami heat strain paling banyak terdapat pada pabrik kerupuk 2 yaitu sebanyak 28 orang.. Sedangkan jumlah pekerja yang mengalami heat strain paling sedikit terdapat pada pabrik kerupuk 3 yaitu sebanyak 7 orang Hasil pengukuran heat strain menggunakan kuesioner Heat strain Score Index (HSSI) menggambarkan beberapa keluharn yang dirasakan oleh pekerja. Berikut grafik 5.1 menggambarkan beberapa keluhan yang dirasakan oleh pekerja pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 : Grafik 5.1 Keluhan Heat strain pada Pekerja Pabrik Kerupuk Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014.
60
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Keringat di seluruh tubuh
Sangat Haus
Lelah
Nyeri Otot
Berdasarkan grafik 5.1 keluhan yang paling banyak dirasakan oleh pekerja adalah keringat di seluruh tubuh yaitu sebanyak 86%. Pekerja yang merasa sangat hasu sebanyak 54 orang (68%), merasa lelah sebanyak 41 orang (52%) dan merasa nyeri otot sebanyak 23 orang (29%). 5.3
Faktor Tekanan Panas Distribusi frekuensi tekanan panas pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 disajikan pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tekanan Panas pada Pekerja di Pabrik Kerupuk menurut Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014 Variabel
Tekanan
Kategori
Ya
Pabrik 1
Pabrik 2
Pabrik 3
n(%)
n(%)
n(%)
23(63,8)
28(87,5)
8(72,7)
61
panas
Tidak
13(36,2)
4(12,5)
3(27,3)
36(100)
32(100)
11(100)
Total n(%)
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang menerima paparan tekanan panas paling banyak pada pabrik kerupuk 2 yaitu 28 orang. Sedangkan jumlah pekerja yang menerima paparan tekanan panas paling sedikit pada pabrik kerupuk 3 yaitu 8 orang. 5.4
Faktor Karakteristik Individu (Umur, Obesitas, Penyakit Kronis dan Konsumsi Obat) Distribusi frekuensi karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat) pada pekerja pabrik kerupuk menurut pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 disajikan pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu (Umur, Obesitas, Penyakit Kronis dan Konsumsi Obat) menurut Pabrik Kerupuk di Pabrik Kerupuk Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014 No
1
2
3
Variabel
Kategori
Pabrik 1
Pabrik 2
Pabrik 3
n(%)
n(%)
n(%)
≥ 30 tahun
19(52,7)
18(56,3)
5(45,5)
< 30 tahun
17(47,3)
14(43,7)
6(54,5)
Total n(%)
36(100)
32(100)
11(100)
Obesitas
1(2,9)
2(6,3)
0(0)
Tidak Obesitas
35(97,1)
30(93,7)
11(100)
Total n(%)
36(100)
32(100)
11(100)
Ya
2(5,6)
0(0)
1(9,1)
Umur
Obesitas
Penyakit
62
Kronis
4
Konsumsi Obat
Tidak
34(94,4)
32(100)
10(90,9)
Total n(%)
36(100)
32(100)
11(100)
Ya
0(0)
0(0)
0(0)
Tidak
36(100)
32(100)
11(100)
Total n(%)
36(100)
32(100)
11(100)
Berdasarkan tabel 5.3, didapatkan hasil sebagai berikut: a. Jumlah pekerja dengan umur ≥ 30 dan <30 tahun paling banyak pada pabrik kerupuk 1 yaitu 19 dan 17 orang . Sedangkan jumlah pekerja dengan umur ≥ 30 dan <30 tahun dan paling sedikit pada pabrik kerupuk 3 yaitu 5 dan 6 orang. Jumlah pekerja dengan umur ≥ 30 pada seluruh pabrik lebih banyak dibanding jumlah pekerja dengan umur <30 yaitu 42 orang . b. Jumlah pekerja yang mengalami obesitas paling banyak pada pabrik kerupuk 2 yaitu 2 orang. Sedangkan pada pabrik kerupuk 3 tidak ada pekerja yang mengalami obesitas. Jumlah pekerja yang mengalami obesitas pada seluruh pabrik kerupuk lebih sedikit dibanding jumlah pekerja yang tidak mengalami obesitas yaitu 3 orang. c. Seluruh responden yaitu sebanyak 79 (100%) dari tiga pabrik kerupuk tidak sedang mengkonsumsi obat apapun selama masa penelitian berlangsung.
63
5.5 Hubungan Heat strain dengan Tekanan Panas dan Karakteristik Individu (Umur, Obesitas, Penyakit Kronis, Konsumsi Obat) pada Pekerja Pabrik Kerupuk di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014 Frekuensi kejadian heat strain berdasarkan tekanan panas dan karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit kronis, konsumsi obat) pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah kecamatan Ciputat Timur tahun 2014 disajikan pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Frekuensi Kejadian Heat strain Berdasarkan Tekanan Panas dan Karakteristik Individu (Umur, Obesitas, Penyakit Kronis, Konsumsi Obat) pada Pekerja Pabrik Kerupuk di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014 Heat strain n(%) Variabel
Kategori
Tekanan panas n (%)
Ya
51(91,1)
8(34,8)
Tidak
5(8,9)
15(65,2)
Total n(%)
56(100)
23(100)
≥ 30 tahun
29(51,8)
13(56,5)
< 30 tahun
27(48,2)
10(43,5)
Total n(%)
56(100)
23(100)
Obesitas
3(5,4)
0(0)
Tidak Obesitas
53(94,6)
23(100)
Total n(%)
56(100)
23(100)
3(5,4)
0(0)
Tidak
53(94,6)
23(100)
Total n(%)
56(100)
23(100)
Umur n(%)
Obesitas n (%)
Penyakit Kronis n(%)
P value Ya
Ya
Tidak
64
0,000
0,702
0,552
0,552
Konsumsi Obat n(%)
Ya
0(0)
0(0)
Tidak
56(100)
23(100)
Total n(%)
56(100)
23(100)
Tidak dilakukan analisis karena homogen
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil sebagai berikut : a.
Sebagian besar pekerja yang mengalami tekanan panas yaitu 51 orang mengalami heat strain. Hasil uji chi-square didapatkan p value sebesar 0,000 dengan demikian pada tingkat kemaknaan 5 % dikatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tekanan panas dengan heat strain.
b.
Jumlah pekerja yang mengalami heat strain pada umur ≥ 30 tahun lebih banyak dibanding pekerja dengan umur < 30 tahun yaitu 29 orang. Hasil uji chi square didapatkan p value sebesar 0,702 dengan demikian pada tingkat kemaknaan 5% dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara umur dengan heat strain.
c.
Seluruh pekerja yang obesitas mengalami heat strain yaitu sebanyak 3 orang pekerja. Hasil uji chi square didapatkan p value sebesar 0,552 dengan demikian pada tingkat kemaknaan 5% dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara obesitas dengan heat strain.
d.
Pekerja yang memiliki penyakit kronis seluruhnya mengalami heat strain yaitu sebanyak 3 orang . Pekerja yang tidak memiliki penyakit kronis sebagian besar tidak mengalami heat strain yaitu sebanyak 53 orang. Hasil uji chi square didapatkan p value sebesar 0,552 dengan demikian pada tingkat kemaknaan 5% dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara penyakit kronis dengan heat strain. 65
e.
Seluruh pekerja tidak mengonsumsi obat selama penelitian berlangsung. Sebanyak 56 orang mengalami heat strain dan 23 orang tidak mengalami heat strain.
BAB VI PEMBAHASAN 6.1
Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasn sebagai berikut : 1.
Pengukuran variabel penyakit kronis dan konsumsi obat hanya melalui wawancara dan dapat terjadi bias informasi.
2.
Pengukuran tinggi badan menggunakan tidak menggunakan mikrotois, hanya menggunakan meteran biasa.
66
6.2
Heat strain Heat strain merupakan dampak baik akut ataupun kronis yang diakibatkan paparan tekanan panas. Gejala umum heat strain yang dirasakan antara lain kram otot, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut nadi, kelemahan, peningkatan suhu kulit, pengeluaran keringat dan penurunan tingkat kesadaran (OSHS, 1997). Pengukuran dilakukan dengan mengukur suhu tubuh dan denyut nadi yang diukur saat pekerja melakukan pekerjaan. Peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi merupakan indikasi terjadinya heat strain. Heat strain perlu di evaluasi terhadap pekerja karena efek kesehatannya serius. Menurut OSHS (1997) dampak fisik yang ditimbulkan pada seseorang yang mengalami heat strain dapat bervariasi mulai dari keluhan ringan seperti ruam pada kulit atau pingsan sampai situasi yang mengancam kehidupan saat terjadi terhentinya pengeluaran keringat dan heat stroke. Penelitian ini dilakukan di tiga pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Pengukuran heat strain dilakukan menggunakan Heat strain Score Index (HSSI) untuk menilai kejadian heat strain secara subjektif dan metode Phsyological Strain Index (PSI) untuk menilai kejadian heat strain secara objektif. Hasil pengukuran heat strain menggunakan kuesioner HSSI menunjukan bahwa sebanyak 43 pekerja (54,43%) mengalami heat strain. Sedangkan hasil pengukuran heat strain menggunakan PSI menunjukan bahwa sebanyak 56 pekerja (70,9%) mengalami heat strain dari total 79 orang pekerja. Hal tersebut menggambarkan bahwa kejadian heat strain pada pabrik kerupuk cukup tinggi.
67
Bekerja di pabrik kerupuk berarti pekerja harus melakukan pekerjaannya di lingkungan yang panas dan lembap. Kondisi ini jelas dapat memicu terjadinya heat strain. Saat tubuh manusia terpapar oleh tekanan panas dan memproduksi panas hasil metabolisme, total panas yang ada di dalam tubuh akan meningkat. Sistem termoregulasi yang berfungsi untuk mengontrol dan mengurangi panas dalam tubuh dapat mengalami kegagalan atau tidak mampu menangani panas dalam tubuh. Saat kondisi tersebut, tubuh manusia akan mengalami heat strain sebagai respon. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata suhu tubuh dan denyut nadi pekerja yang diukur saat pekerja melakukan pekerjaan adalah 37,03o C dan 93,8 denyut nadi per menit. Walaupun suhu tubuh pekerja masih dibawah standar yang disarankan oleh NIOSH untuk pekerja yang teraklimatisasi yaitu dibawah 38o C, namun berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode Phsyological Heat Starin (PSI), pekerja dengan suhu tubuh lebih dari 36,5o C sebagai standar suhu tubuh terendah dan menghasilkan nilai indeks 2 sudah termasuk dalam kelompok pekerja yang mengalami heat strain. Hasil pengukuran heat strain secara subjektif menggunakan kuesioner Heat strain Score Index (HSSI) didapatkan beberapa keluhan yang dirasakan oleh pekerja. Keluhan yang paling banyak dirasakan oleh pekerja adalah keringat di seluruh tubuh yaitu sebanyak 86%. Pekerja yang merasa sangat haus sebanyak 54 orang (68%), merasa lelah sebanyak 41 orang (52%) dan merasa nyeri otot sebanyak 23 orang (29%). Keluhan heat strain yang dirasakan oleh pekerja akan berdampak buruk jika tidak dilakukan pengendalian. Penyebab keluhan seperti pengeluran keringat yang berlebih dan rasa haus dapat disebabkan oleh lingkungan kerja yang panas dan tidak
68
didukung oleh sistem ventilasi yang tidak memadai. Pengendalian yag dapat dilakukan menurut NIOSH (1986) yaitu melalui pengendalian secara teknis dengan menurunkan temperature proses atau jika tidak dimungkinakan untuk menurunkan temperatur dapat dipasang pembatas yang membatasi sumber panas dengan pekerja. Selain itu pemasangan ventilasi yang mencukupi juga diperlukan untuk memasukan suhu udara yang lebih dingin ke dalam ruangan agar pengeluaran keringat dapat dikendalikan dan tubuh tidak terlalu banyak kekurnagan cairan tubuh sehingga rasa haus juga akan berkurang. Pengendalian secara administratif juga dapat dilakukan dengan menyediakan tempat beristirahat dengan suhu yang lebih dingin atau dengan meningkatkan jumlah minum pada saat melakukan pekerjaan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya heat strain anatara lain faktor yang bersumber dari pekerjaan dan lingkungan yaitu beban kerja, jam kerja dan tekanan panas serta faktor karakterisitik individu seperti umur, obesitas, penyakit kronis dan konsumsi obat. Menurut NIOSH (1986), faktor umur yang semakin menua akan meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami heat strain akibat kelenjar keringat yang menjadi lembam sehingga menghambat proses pengeluran keringat. Selain umur, NIOSH (1986) menambahkan bahwa faktor obesitas juga menjadi faktor yang mempengaruhi heat strain. Timbulnya lapisan lemak pada seseorang dengan status obesitas menghambat perpindahan panas dari dalam tubuh ke luar tubuh. Selanjutnya menurut Kenny (2010), seseorang yang menderita penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan hipertensi dapat mengurangi kemampuan tubuh untuk beradaptasi saat berada pada lingkungan yang panas sehingga akan meningkatkan risiko untuk mengalami heat strain. Namun, dalam
69
hasil penelitian ini tidak menunjukan hubungan antara peningkatan umur, obesitas dan penyakit kronis dengan heat strain. Selain faktor karakteristik individu, faktor pekerjaan dan lingkungan yaitu beban kerja, jam kerja dan tekanan panas juga dapat mempengaruhi timbulnya heat strain. Menurut Gagnon (2011), durasi jam kerja menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi kemampuan sistem termoregulasi tubuh seseorang. Selanjutnya menurut OSHS (1997), heat strain merupakan respon tubuh seseorang akibat pajanan tekanan panas yang diterima. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara beban kerja, jam kerja dan tekanan panas dengan tingginya kejadian heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2014. Temuan ini perlu menjadi perhatian bagi pihak terkait dalam peningkatan kondisi keselamatan pekerja sektor informal seperti pekerja Pabrik Kerupuk. Hal ini dikarenakan heat strain memiliki dampak yang cukup serius. Bureau of Labor Statistics (BLS) melaporkan angka kematian yang tinggi akibat kejadian heat strain yaitu lebih dari 200 kematian dan 15.000 kasus dalam periode tahun 1999-2003. Federal and California Occupational Safety and Health Administrations (OSHA) menempatkan heat strain sebagai heat illness dalam prioritas utama dalam tiga tahun terakhir. Menurut NIOSH (1986) pada tahun 1979 di Amerika, total dari insiden heat strain dengan kehilangan hari kerja paling kecil satu hari diestimasikan sebesar 1.432 kasus. Dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan adalah menurunya produktivitas kerja. Menurut Poulton (1970), produktivitas pekerja menurun seiring
70
dengan meningkatnya temperatur lingkungan. Menurunnya produktivitas pekerja ini dapat mengakibatkan kerugian biaya. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan akibat heat strain yaitu terhentinya pengeluran keringat dan dapat menyebabkan kematian. Selain merugikan pekerja, heat strain juga dapat menurunkan produktivitas perusahaan akibat menurunnya kinerja pekerja. Menurut Bureau of Labor Statistics (2009) estimasi biaya yang dihabiskan untuk satu kejadian heat strain adalah $7500 Rata-rata upah yang hilang per hari adalah $150 atau setara dengan $100 juta selama periode 5 tahun atau lebih dari $20 juta per tahun. Jumlah tersebut hanya untuk kejadian heat strain yang akut dan belum termasuk kasus heat strain yang sampai menyababkan kematian. (Brown, 2013)
6.3
Hubungan Tekanan Panas dengan Heat strain Faktor lingkungan merupakan salah satu penyebab timbulnya heat strain. Tekanan panas merupakan pajanan yang diterima oleh pekerja akibat panas lingkungan dan panas metabolik yang dihasilkan oleh tubuh. Meningkatnya beban kerja yang berdampak pada peningkatan metabolisme tubuh mempengaruhi timbulnya tekanan panas (Ramsey, 1994). OSHS (1997) juga menyatakan bahwa heat strain merupakan respon tubuh akibat paparan tekanan panas yang diterima dari lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pekerja menerima pajanan tekanan panas yaitu sebanyak 59 orang. Tingginya jumlah pekerja yang menerima tekanan panas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat beban kerja, pengaturan jam kerja dan panas lingkungan kerja. Menurut Hunt (2011), terjadinya tekanan panas
71
akan cenderung untuk meningkatkan suhu inti tubuh, detak jantung/denyut nadi, dan keringat. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara tekanan panas dengan heat strain. Hal ini sejalan dengan penelitian Brown (2013) yang menunjukan bahwa kelompok pekerja dengan tingkat paparan tekanan panas yang tinggi memiliki angka kejadian heat strain yang besar dibanding kelompok pekerja lainnya. Menurut NIOSH (1986) tekanan panas merupakan hasil dari panas yang berasal dari lingkungan dan panas yang berasal dari metabolik tubuh. Pekerja yang mengalai tekanan panas sebagaian besar berada pada kategori beban kerja sedang. Beban kerja didapatkan dari hasil pengukuran estimasi panas metabolik yang dihasilkan oleh pekerja selama melakukan pekerjaan. Setiap posisi dan pergerakan pekerja menghasilkan panas metabolik dalam satuan kkal. Menurut NIOSH (1986), panas metabolik yang dihasilkan akan menambah muatan panas di dalam tubuh. Sehingga panas yang harus dikeluarkan menuju lingkungan juga semakin meningkat. Saat tubuh mengalami kegagalan dalam melepas panas, maka suhu tubuh akan semakin meningkat. Sehingga risiko untuk menerima paparan tekanan panas juga semakin meningkat. Pekerja yang termasuk dalam kelompok beban kerja sedang sebagian besar adalah pekerja pada bagian penggorengan. Pekerja pada bagian penggorengan harus selalu dalam posisi berdiri dalam waktu 30 menit dan kedua tangannya memegang pengaduk dan penyaring untuk mengangkat kerupuk. Sehingga beban kerja bagian penggorengan lebih berat dibanding pekerja pada bagian pencetakan ataupun
72
penyusunan adonan siap jemur yang tidak selalu dalam posisi berdiri dan termasuk dalam kelompok beban kerja ringan. Pada kelompok beban kerja ringan, pekerja yang tidak menerima paparan tekanan panas lebih banyak dibanding pekerja yang menerima paparan tekanan panas. Menurut Berry et al (2011) pada beban kerja yang tinggi, jantung mengalami kesulitan untuk memenuhi semua tuntutan yang dibutuhkan. Hasilnya akan terjadi peningkatan denyut jantung dan suhu tubuh serta penurunan kemampuan otot. Pengendalian beban kerja harus dilakukan untuk menurunkan tingkan kejadian heat strain pada pekerja pabrik kerupuk. Perbaikan posisi kerja ataupun otomatisasi alat dapat menurunkan panas metabolik yang dihasilkan oleh tubuh. Selain dipengaruhi oleh beban kerja, paparan tekanan panas juga dipengaruhi oleh pengaturan jam kerja. Durasi kerja merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Penelitian menggambarkan bahwa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan mempengaruhi kemampuan termoregulasi tubuh (Gagnon, 2011). Saat termoregulasi tubuh terganggu akibat pengaturan jam kerja dan jam istrahata yang tidak seimbang, maka tubuh akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh saat terpapar lingkungan yang panas akibatnya risiko untuk menerima paparan tekanan panas juga meningkat. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan jam kerja pada pekerja pabrik kerupuk sebagian besar termasuk dalam kategori jam kerja rendah dengan persentase jam kerja 0%-25% yaitu sebanyak 53 pekerja. Menurut Hudson (2003) durasi paparan panas yang terus menerus akan menyebabkan kebutuhan cairan tubuh
73
semakin meningkat dan jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan dehidrasi pada pekerja. Faktor panas lingkungan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap peperan takanan panas. Panas lingkungan kerja pada pabrik kerupuk bersumber dari mesin dan api yang dibutuhkan
dalam proses produksi. Terutama pada tahap proses
pengukusan dan penggorengan. Tahap pengukusan menggunakan uap yang berasal dari pembakaran kayu. Pekerja pada bagian pengukusan, selain harus memasukan dan mengeluarkan adonan kerupuk yang akan dikukus juga harus menyuplai kayu untuk dibakar agar uap yang dihasilkan tidak terhenti. Sehingga, selain pekerja selalu berada dekat pada sumber panas, beban kerja yang dilakukan juga cukup berat. Pekerja bagian pencetakan yang berada pada satu ruangan dengan mesin pengkukus dan tungku pembakaran kayu juga ikut terpapar panas. Pada tahap penggorengan, pekerja berada dekat dengan dua penggorengan besar yang dipanaskan menggunakan api. Serta posisi pekerja yang harus selalu berdiri dengan kedua tangan yang memegang pengaduk dan penyaring juga menjadi faktor yang meningkatkan paparan tekanan panas pada pekerja. Pekerja yang menerima paparan tekanan panas akan mengalami heat strain dan akan berdampak serius jika heat strain dibiarkan terjadi antara lain terhentinya pengeluaran keringat sampai menyebabkan kematian. Paparan tekanan panas yang diterima oleh pekerja harus dikendalikan untuk menurunkan tingkat kejadian heat strain pada pekerja. Pengendalian teknis yang dapat dilakukan antara lain dengan memasang ventilasi yang mencukupi agar suhu yang lebih dingin dari luar dapat
74
menurunkan suhu dalam ruang produksi atau dengan memberikan pembatas antara sumber panas dengan pekerja. 6.4
Hubungan Umur dengan Heat strain Menurut NIOSH
(1986), umur merupakan salah satu
faktor
yang
mempengaruhi terjadinya heat strain. Proses penuaan menyebabkan kelenjar keringat menjadi lebih lembam sehingga akan mengurangi efektivitas pengontrolan suhu tubuh. WHO (1969) juga menyatakan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang akan menyebabkan respon kelenjar keringat terhadap perubahan temperature menjadi lebih lambat, sehingga proses pengeluaran keringat menjadi tidak efektif dalam mekanisme pengendalian suhu tubuh. Akibatnya semakin bertambah umur, maka risiko seseorang mengalami heat strain menjadi lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa persentase pekerja dengan umur >= 30 tahun lebih banyak dibanding pekerja dengan umur < 30 tahun yaitu sebanyak 42 orang (53,16%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kenney (2001) telah menunjukan bahwa toleransi tubuh terhadap panas menurun seiring dengan bertambahnya umur akibat menurunnya aliran darah menuju kulit untuk melepas panas dari dalam tubuh ke lingkungan. Sehingga suhu dalam tubuh akan cepat meningkat dan mendukung terjadinya heat strain pada seseorang. Hasil penelitian Na¨yha¨ et al (2007) menunjukan bahwa gejala heat strain paling banyak terjadi pada kelompok umur tertinggi yaitu 75 tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh Brown (2013) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan heat strain.
75
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan heat strain. Hal ini dapat disebabkan pada kedua kelompok umur, sebagian besar pekerja menerima paparan tekanan panas yang menjadi faktor berpengaruh terhadap tingginya kejadian heat strain pada kedua kelompok umur. Sehingga tidak dapat terlihat perbedaan kejadian heat strain yang signifikan pada kedua kelompok umur. Tingginya paparan tekanan panas yang diterima oleh pekerja juga dapat menjadi faktor yang berpengaruh terhadap distribusi kejadian heat strain pada kedua kelompok umur. Paparan tekanan panas dapat berasal dari panas lingkungan yang bersumber dari panas bumi dan panas dari penggunaan mesin. Pada pabrik kerupuk, mesin yang yang menghasilkan panas yaitu antara lain tungku pembakaran kayu dan mesin kukus. Salah satu solusi untuk menurunkan paparan panas lingkungan yang diterima oleh pekerja adalah dengan menambah ventilasi. Sebagian besar pekerja yaitu sebanyak 24 orang (30,4%) yang terdiri dari 12 orang pekerja pada masing-masing kelompok umur menerima paparan WBGT sebesar 32,6oC. Suhu tubuh yang merupakan respon dari paparan panas yang diterima menunjukan bahwa sebagian besar pekerja atau sebanyak 25 orang (31,6%) yang terdiri dari 12 orang pekerja dengan umur dibawah 30 tahun dan 13 orang pekerja dengan umur lebih dari sama dengan 30 tahun memiliki suhu tubuh sebesar 37,1oC. Hal tersebut menunjukan bahwa tingginya paparan WBGT yang diterima oleh pekerja menyebabkan distribusi heat strain yang digambarkan dengan respon suhu tubuh pada kedua kelompok tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Penelitian yang
76
dilakukan oleh Stapleton et al (2013) menunjukan hasil yang serupa yaitu tidak terdapat perbedaan suhu tubuh yang signifikan pada dua kelompok umur dengan rata-rata 21 tahun dan rata-rata 65 tahun pada kondisi lingkungan yang sama. Penelitian lain yang dilakukan oleh Marszalek et al (2004) pada tiga kelompok umur yaitu kelompok 20-29 tahun, 41-55 tahun dan 58-65 tahun dengan paparan WBGT yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan heat strain yang signifikan pada ketiga kelompok. Walaupun beberapa teori menunjukan bahwa dengan bertambahnya umur akan meningkatkan risiko untuk mengalami heat strain, namun menurut Pandolf (1997) menyatakan bahwa tingkat toleransi terhadap panas pada kelompok dengan umur yang lebih tua mungkin sama dengan kelompok yang lebih muda. 6.5
Hubungan Obesitas dengan Heat strain Obesitas menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya heat strain pada seseorang. Menurut Anderson (1999), kemampuan untuk melepas panas dari dalam tubuh berhubungan secara langsung dengan massa tubuh. Komposisi tubuh akan mempengaruhi peningkatan suhu tubuh. Seseorang dengan massa tubuh yang lebih besar, suhu tubuhnya akan lebih cepat meningkat sehingga risiko untuk mengalami heat strain juga meningkat. Berdasarkan hasil penelitian, pekerja yang termasuk dalam kategori obesitas sebanyak 3 orang (3,8%) dan 76 orang (96,2%) termasuk dalam kategori tidak obesitas. Bar-Or et al., (1969) dalam hasil penelitiannya menunjukan bahwa heat strain terjadi paling banyak pada kelompok dengan status obesitas dan memiliki suhu tubuh, denyut nadi dan tingkat berkeringat yang lebih tinggi dibanding kelompok
77
dengan status indeks massa tubuh kurus. Dalam penelitian lain, dua kelompok dengan persentase lemak tubuh yang berbeda (10,9% dan 18,8%) berjalan diatas treadmill. Kelompok dengan lemak tubuh yang rendah lebih bertahan lebih lama berjalan diatas treadmill dan memiliki kemampuan toleransi peningkatan suhu tubuh yang lebih tinggi dibanding kelompok dengan lemak tubuh yang lebih tinggi (Selkirk dan McLellan, 2001). Menurut Donoghue dan Bates (2000) obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya heat strain saat bekerja pada lingkungan yang panas. Namun hasil analisis bivariat pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara obesitas dengan heat strain. Hal ini dapat terjadi karena pada kelompok yang mengalami obesitas dan sebagian besar pada kelompok tidak obesitas memiliki beban kerja yang sama yaitu kategori beban kerja sedang. Sehingga dengan tingkat beban kerja yang sama, tidak terlihat perbedaan heat strain pada kelompok obesitas dan tidak obesitas. Pengendalian tingkat beban kerja dapat dilakukan dengan memodifikasi posisi kerja untuk mengurangi panas metabolik yang dihasilkan oleh tubuh atau dengan menambah proses mekanisasi pada beberapa bagian pekerjaan fisik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vroman et al., (1983) pada dua kelompok dengan kategori indeks massa tubuh yang berbeda yaitu kelompok obestias dan kurus. Kedua kelompok tersebut melakukan kegiatan yang sama tetapi tidak memiliki perbedaan pada suhu tubuh yang merupakan indikasi terjadinya heat strain. Pada kelompok obesitas seluruhnya mengalami heat strain dan pada kelompok tidak obesitas, sebagian besar pekerja menerima paparan tekanan panas. Sehingga
78
dengan paparan tekanan panas yang diterima, pekerja tetap mengalami heat strain walaupun tidak obesitas. Seluruh kelompok obesitas berada pada pekerjaan proses penggorengan. Pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian heat strain pada kelompok obesitas salah satunya dengan pengurangan beban kerja. 6.6
Hubungan Penyakit Kronis dengan Heat strain Penyakit kronis seperti penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus dapat meningkatkan risiko untuk mengalami heat strain (OSHA, 2003). Menurut Brown (2013) seseorang yang menderita penyakit degeneratif seperti diabetes memiliki risiko tinggi untuk mengalami heat strain akibat sistem termoregulasi yang terganggu. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 3 pekerja (3,79%) dari total 79 orang pekerja yang mengalami penyakit diabetes mellitus berdasarkan diagnosis dokter. Penelitian yang dilakukan oleh Gardner et al (1996) menunjukan bahwa kejadian heat strain lebih tinggi pada kelompok yang menderita penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Wilmore dan Costil (1994) pada kelompok dengan status kesehatan yang baik dan kelompok penderita penyakit jantung memiliki perbedaan kerjadian heat strain yang signifikan. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara penyakit kronis dengan heat strain. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Kenny (2010) yang menyatakan bahwa diabetes berkaitan metabolik tubuh dan memiliki peran dalam mempengaruhi mekanisme termoregulasi saat terpapar panas. Sehingga sistem termoregulasi tidak dapat mengendalikan peningkatan panas di dalam tubuh dan mengakibatkan seseorang mengalami heat strain.
79
Penelitian lain menunjukan bahwa vasodilatasi yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan temperatur tubuh lebih tinggi dibanding dengan bukan penderita diabetes mellitus (Wick et al., 2006). Selain itu, pada penderita diabetes mellitus juga terjadi gangguan pengeluaran keringat akibat terganggunya pengaturan glukosa dalam tubuh. Sehingga panas dari dalam tubuh yang seharusnya mengalami evaporasi dengan pengeluaran keringat tidak dapat berpindah ke luar tubuh, akibatnya suhu tubuh mengalami peningkatan. Pengumpulan data penyakit kronis pada penelitian ini hanya dilakukan melalui wawancara sehingga dapat terjadi bias informasi. Saran untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan pengukuran sederhada terhadap variabel diabetes mellitus dan hipertensi agar pekerja yangsebenarnya menderita penyakit kronis tetapi tidak memeriksakan diri ke dokter dapat terdeteksi.
6.7
Hubungan Konsumsi Obat dengan Heat strain
80
Obat-obatan yang mengganggu proses termoregulasi termasuk antidepresan yang dapat mempengaruhi denyut jantung dan mengurangi tingkat pengeluaran keringat. Obat antihipertensi juga dapat menurunkan aliran darah ke kulit dan mengurangi proses pendinginan dalam tubuh. Kemudian, obat diuretik juga akan mempengaruhi keseimbangan cairan dalam tubuh (Platt et al dalam Brown, 2013) Menurut NIOSH (1986), hampir seluruh obat yang mempengaruhi sistem saraf pusat dapat menurunkan toleransi terhadap panas pada seseorang. Sehingga seseorang yang sedang mengkonsumsi obat dan bekerja pada lingkungan yang panas akan lebih berisiko untuk mengalami heat strain. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ditemukan satupun pekerja yang mengkonsumsi obat saat penelitian berlangsung. Sehingga tidak dapat dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungannya dengan heat strain.
Pengumpulan data konsumsi obat-obatan pada penelitian ini hanya
dilakukan melalui wawancara sehingga dapat terjadi bias informasi. Saran untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan wawancara mendalam dan juga melakukan wawancara kepada keluarga atau teman pekerja untuk menanyakan apakah pekerja mengkonsumsi obat-obatan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
81
1.
Jumlah pekerja yang mengalami heat strain pada pabrik kerupuk 1 sebanyak 21 orang, (58,3%) pada pabrik kerupuk 2 sebanyak 28 orang (87,5) dan pada pabrik kerupuk 3 sebanyak 7 orang (63,6%).
2.
Jumlah pekerja yang menerima paparan tekanan panas pada pabrik kerupuk 1 sebanyak 23 orang (63,8%), pada pabrik kerupuk 2 sebanyak 28 orang (87,5) dan pada pabrik kerupuk 3 sebanyak 8 orang (72,7%).
3.
Distribusi frekuensi faktor karakteristik individu (umur, obesitas, konsumsi obat-obatan dan penyakit kronis) pada tiga pabrik adalah sebagai berikut: a.
Jumlah pekerja dengan umur >= 30 tahun pada pabrik kerupuk 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah 19 orang, 18 orang dan 5 orang. Jumlah pekerja dengan umur <30 pada pabrik kerupuk 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah 17 orang, 14 orang dan 6 orang.
b.
Jumlah pekerja yang mengalami obesitas pada pabrik kerupuk 1 dan 2 adalah 1 orang dan 2 orang. Sedangkan pada pabrik kerupuk 3 tidak ada pekerja yang mengalami obesitas.
c.
Jumlah pekerja yang menderita penyakit kronis pada pabrik kerupuk 1 dan 3 berturut-turut adalah 2 orang dan 1 orang. Sedangkan pada pabrik kerupuk 2 tidak ada pekerja yang menderita penyakit kronis.
d.
Pada pabrik kerupuk 1, 2 dan 3 tidak ada pekerja yang mengkonsumsi obat-obatan.
4.
Ada hubungan bermakna antara tekanan panas dengan heat strain dan tidak ada hubungan bermakna antara karakteristik individu (umur, obesitas, penyakit
82
kronis, konsumsi obat) dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2014. 7.2
Saran 7.2.1 Bagi Pabrik Kerupuk 1.
Untuk melakukan pengendalian teknis maupun administratif untuk mengurangi kejadian heat strain pada pekerja pabrik kerupuk yaitu dengan cara sebagai berikut : a.
Pengendalian teknis : memasang ventilasi yang memadai, memberikan pembatas antara sumber panas dengan pekerja.
b.
Pengendalian administratif : menyediakan tempat beristirahat dengan suhu yang lebih dingin, memberikan sosialisasi kepada pekerja agar meningkatkan konsumsi air putih selama bekerja, memperbaiki posisi kerja dan menambah proses mekanisasi.
7.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya 1.
Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya dalam pengumpulan data penyakit kronis diabetes dan hipertensi dilakukan pemeriksaan sederhana agar pekerja
yangsebenarnya menderita penyakit
kronis
tetapi
tidak
memeriksakan diri ke dokter dapat terdeteksi. 2.
Melakukan wawncara mendalam kepada pekerja, keluarga maupun teman pekera untuk menanyakan apakah pekerja mengkonsumsi obatobatan.
83
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Lawrence E, Douglas J. Casa, Daniel S. Moran. 2007. Exertional Heat Illness during Training and Competition. American College of Sports Medicine Anderson GS. 1999. Human morphology and temperature regulation. International Journal Biometeorology Austin Community Collage (ACC). 2013. Heat stress Guideline. Austin Community Collage. Bar-Or O, Lundergen HM, Buskrik ER. 1969. Heat tolerance of exercising obese and lean women. Journal Application Physiology. Berry, Cherie, Allen McNeely and Kevin Beauregard. 2011. A Guide to Preventing Heat Stress and Cold Stress. N.C. Department of Labor Occupational Safety and Health Program.
84
Brown, Eric Nicholas. 2013. Evaluation of Heat Stress and Strain in Electric Utility Workers. A disserttation for the degree Doctor of Public Health in Environmental Health Science University of California Los Angeles. Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS). 2001. Hot Environments – Health Effect. Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS). 2008. Hot Environments-Health Effects. Dahlan, S. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika Dehghan, Habibollah, Ehsanollah Habibi dan Peymaneh Habibi. 2013. Validation of Questionnaire for Heat strain Evaluation in Women Workers. Donoghue, A Michael., Bates, Graham P., Sinclair, Murray J. 2000. Heat exhaustion in a deep underground metalliferous mine. Occupational and Environmental Medicine. BMJ Publishing. Dougherty & Lister 2004. Respiration Monitoring. NHS Foundation Trust. Gagnon, Daniel. 2011. Exercise-rest cycle do not alter local and whole body heat loss responses. American Journal Physiology Gardner, J., Kark, J., Karnei, K., Sanbron, J., Gastaldo, E., et al. 1996. Risk Factors predicting axertional heat illness in male Marine Corp recruits. Medicine & Science in Sports & Exercise.
85
Geneva. 2004. ISO 9886 (2004) (ED 2) Evaluation of thermal strain by physiological measurements. International Organization for Standardization. Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta : Fajar Interpratama Offset. Hudson, Joel B. 2003. Heat Stress Control and Heat Casualty Management. Technical Bulletin Medical Department of The Army and Air Force.
Hunt, Andrew Philip. 2011. Heat strain, Hydration Status, and Symptoms of Heat Illness in Surface Mine Workers. Queensland University of Technology Hendra. 2009.
Tekanan Panas dan Metode Pengukurannya di Tempat Kerja.
Semiloka
Keterampilan Pengukuran Bahaya Fisik dan Kimia di Tempat Kerja. Kenney, W. Larry. 2001. Decreased cutaneous vasodilation in aged skin. Journal of Thermal Biology. Kenny, Glen P, Jane Yardley, Candice Brown. 2010. Heat Stress in Older Individuals and Patiens with Common Chronic Diseases. National Center for Biotechnology Information. Krucik , George MD, MBA. 2014. General-Weakness. Lundgren, Karin, Kalev Kuklane dan Ingvar Holmer. 2006. Effects of Heat stress on Working Populations when Facing Climate Change. National Institute of Occupational Safety and Health. Marszalek, A, Smolander J. 2004. Age-related thermal strain in men while wearing radiation protective clothing during short-term exercise in the heat. International Journal Occupational Safety Ergonomi. 86
Miller, Timothy M and Robert B. Layzer. 2005. MUSCLE CRAMPS. Wley Periodicals, Inc. Moran, Daniel S, Avvraham Shitzer dan Kent B. Pandolf. 1998. A Physiological Strain Index to evaluate heat stress. NCDOL. 2011. A Guide to Preventing Heat stress and Cold Stress. N.C. Department of Labor. Occupational Safety and Health Division. National Safety Council. 2002. Fundamentals of Industrial Hygiene Fifth Edition. NSC Press United States of America. Na¨yha¨ S, Rintamaki H, Donaldson G. 2013. Heat-related thermal sensation, comfort and symptoms in a northern population. Eur Journal Public Health. NIOSH.1986. Criteria For a Recommended Standard Occupational Exposure to Hot Environments Revised Criteria: U.S Department of Health and Human Services National Institute for Occupational Safety and Health. Occupational Safety and Health Service (OSHS). 1997. Guidelines For The Management Of Work In Extreme Of Temperature. Occupational Safety and Health Service Department of Labour. Wellington. Occupational Safety and Health Administrtion. 1999. Technical Manual Section III Chapter 4 – Heat stress Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Republik
Indonesia
Nomor
PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia dan Fisika di Tempat Kerja.
87
Parsons, Ken dan Damian Bethea. 2002. The Development of a practical heat stress assessment methodology for use in UK industry. Loughborough University. United Kingdom. Poulton, E.C. 1970. Environment and human efficiency. Springfield, Illinois. Pandolf, K. B. 1997. Aging and Human Heat Tolerance. Experimental Aging Research. Ramsey, J and Bernard, T. 1994. Evaluation and control of hot working environments. International Journal of Ergonomics. Rouzier, Pierre. 2003. Mucle Spasms. McKesson Health Solutions LLC Selkirk, Glen A., McLellan, Tom M. 2001. Influence of aerobic fitness and body fatness on tolerance to uncompensable heat stress. Journal of Applied Physiology. Stapleton, Jill, Joanie Larose, Christina Simpson. 2013. Do older adults experience greater thermal strain during heat waves. Shiel, William C. 2014. Muscle Cramps. McKesson Health Solutions LLC SNI- 16-7061-2004 tentang Pengukuran iklim kerja Stöppler, Melissa Conrad MD. 2014. Weakness. McKesson Health Solutions LLC. Stansberry KB, Shapiro SA. 1997. Impairment of peripheral blood flow responses in diabetes resembles an enhanced aging effect. Diabetes Care. Siregar, Hikmah Ridha. 2008. Upaya Pengendalian Efek Fisiologis Akibat Heat stress Pada Pekerja Industri Kerupuk Tiga Bintang Kecamatan Binjai Utara. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
88
Utami, Tri Niswati. 2004. Program Intervensi Dalam Upaya Pengendalian Tekanan Darah dan Temperatur Tubuh Pekerja Akibat Heat stress di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Vorvick, Linda J. 2012. Weakness. Vroman, N. B., Buskirk, E.R., and Hodgson, J.L. 1983. Cardiac output and skin blood flow in lean and obese individuals during exercise in the heat. Journal of Applied Physiology. Wan, Margaret. 2006. Assessment of Occupational Heat strain. Department of Environmental and Occupational Health. College of Public Health. University of South Florida Wedro, Benjamin dan William C. Shiel. 2013. Muscle Spasms. Wley Periodicals, Inc. WHO. 1969. Health Factors Involved In Working Under Conditions of Heat stress. Technical Report Series No. 412. Geneva : World Health Organization WHO. 2000. Obesity: preventing and managing the global epidemic. WHO Technical Report Series 894. Geneva : World Health Organization Wick, DE., Roberts, SK., Basu, A., Snadroni, P. et al. 2006. Delayed threshold for active cutaneous vasodilation in patients diabetes mellitus. Journal of Applied Physiology. Yamaswa, Fumihiro dan C. Harmon Brown. 2007. Environmental Factors Affecting Human Performance.
89
LAMPIRAN 6 Output SPSS Univariat
Univariat Heat Strain heatstrain2 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Tidak
23
29.1
29.1
29.1
Ya
56
70.9
70.9
100.0
Total
79
100.0
100.0
Univariat Tekanan Panas tekananpanas Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
ya
59
74.7
74.7
74.7
tidak
20
25.3
25.3
100.0
Total
79
100.0
100.0
Univariat Umur umur_kat Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
<30
37
46.8
46.8
46.8
>=30
42
53.2
53.2
100.0
Total
79
100.0
100.0
Univariat Obesitas obeskat Cumulative Frequency
Percent
Valid Percent
90
Percent
Valid
tdk obes
76
96.2
96.2
96.2
obes
3
3.8
3.8
100.0
Total
79
100.0
100.0
Univariat Penyakit Kronis penyakitkrns Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
ya
3
3.8
3.8
3.8
tidak
76
96.2
96.2
100.0
Total
79
100.0
100.0
Univariat Konsumsi Obat konsumsiobt Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
79
100.0
100.0
100.0
tidak
Output SPSS Bivariat Bivariat Tekanan Panas dengan Heat Strain
tekananpanas * heatstrain2 Crosstabulation heatstrain2 ya tekananpanas
ya
Count % within heatstrain2
tidak
Total
8
59
91.1%
34.8%
74.7%
5
15
20
8.9%
65.2%
25.3%
56
23
79
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within heatstrain2
Total
51
Count % within heatstrain2
tidak
91
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square b
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.000
24.426
1
.000
25.975
1
.000
27.322
Continuity Correction
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
26.976
1
.000
79
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.82. b. Computed only for a 2x2 table
Bivariat Umur dengan Heat Strain
umurkat * heatstrain2 Crosstabulation heatstrain2 ya umurkat
>=30
Count % within heatstrain2
<30
Count % within heatstrain2
Total
Count % within heatstrain2
tidak
Total
29
13
42
51.8%
56.5%
53.2%
27
10
37
48.2%
43.5%
46.8%
56
23
79
100.0%
100.0%
100.0%
92
.000
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.702
.018
1
.893
.147
1
.701
.147 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.806
Linear-by-Linear Association
.145
b
N of Valid Cases
1
.447
.703
79
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.77. b. Computed only for a 2x2 table
Bivariat Obesitas dengan Heat Strain obeskat * heatstrain2 Crosstabulation heatstrain2 ya obeskat
obes
Count
0
3
5.4%
.0%
3.8%
53
23
76
94.6%
100.0%
96.2%
56
23
79
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within heatstrain2
Total
Count % within heatstrain2
Total
3
% within heatstrain2 tdk obes
tidak
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.258
.234
1
.628
2.113
1
.146
1.281 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.552
93
.351
Linear-by-Linear Association
1.265
b
N of Valid Cases
1
.261
79
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .87. b. Computed only for a 2x2 table
Bivariat Penyakit Kronis dengan Heat Strain penyakitkrns * heatstrain2 Crosstabulation heatstrain2 ya penyakitkrns
ya
tidak
Count
3
0
3
5.4%
.0%
3.8%
53
23
76
94.6%
100.0%
96.2%
56
23
79
100.0%
100.0%
100.0%
% within heatstrain2 tidak
Count % within heatstrain2
Total
Count % within heatstrain2
Total
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.258
.234
1
.628
2.113
1
.146
1.281 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.552 1.265
1
.261
79
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .87. b. Computed only for a 2x2 table
94
.351
95