FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012 SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh: RISKA FERDIAN NIM : 10810100042
\
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012 M/1434 H i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, November 2012 Riska Ferdian, NIM
: 108101000042
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012 xix+ 138 halaman, 11 tabel, 2 gambar, 3 bagan, 4 lampiran ABSTRAK Dermatitis kontak akibat kerja yang merupakan salah satu penyakit kelainan kulit sering timbul pada industri seperti industri pada pabrik tahu yang dapat menurunkan produktifitas pekerja. Pemaparan zat kimia yang digunakan dalam proses penggumpalan dapat menyebabkan dermatitis kontak, mengakibatkan iritasi dan gangguan kulit lainnya dalam bentuk gatal-gatal, kulit kering dan pecah-pecah, kemerah-merahan, serta koreng yang tidak sembuh-sembuh. Studi pendahuluan yang dilakukan menunjukkan 50% dari 10 orang pekerja pembuat tahu mengalami dermatitis kontak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – September 2012 pada pekerja pembuat tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur. Sampel penelitian ini berjumlah 71 orang dari total populasi 79 orang. Faktor – faktor yang diduga sebagai penyebab dermatitis kontak adalah faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan). Pengumpulan data menggunakan lembar pemeriksaan dokter (untuk variabel kejadian dermatitis), thermohigrometer, dan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian di uji menggunakan uji chi-square dan uji Mann-Withney dengan derajat kepercayaan 95% dan alpha sebesar 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja pembuat tahu yang menderita dermatitis kontak adalah sebanyak 37 orang (52,1%) dan sebanyak 34 pekerja (47,9%) tidak mengalami dermatitis kontak. Faktor eksternal yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, dan suhu. Faktor internal yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, dan jenis pekerjaan. Beberapa hal yang dapat disarankan untuk menurunkan risiko terkena dermatitis adalah dengan mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin yang terbuat dari sari air laut, meningkatkan kesadaran pekerja terhadap penyakit kulit khususnya dermatitis kontak. Menjaga kebersihan diri (personal hygiene). Memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan yang menutupi sampai bagian lengan dan baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh. Kata Kunci: dermatitis kontak, pekerja pembuat tahu, lama kontak, jenis pekerjaan Daftar bacaan: 1990-2012
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF SAFETY AND OCCUPATIONAL HEALTH Undergraduated Thesis, November 2012 Riska Ferdian, NIM: 108101000042 Factors Associated With Incidence of Contact Dermatitis In Tofu Maker Workers in Ciputat and Ciputat Timur Sub-District 2012 xix+ 138 pages, 11 tables, 2 pictures, 3 diagrams, 4 attachments Abstract Occupational contact dermatitis is a skin disease which is often arise in the tofu’s industry that can reduce workers productivity. The exposure of chemicals used in the process of clotting can caused contact dermatitis, may lead to irritation and other skin disorders like itching, dry skin and chapped, redness, and sores that do not heal. The earlier study found the Tofu makers with contact dermatitis is 5 persons from 10 persons (50%) This research is a quantitative study using a cross-sectional study design. The research was conducted in June - September 2012 on tofu maker workers in Ciputat and Ciputat Timur Sub-District. The sample amounted to 71 people from a total population of 79 people. The Factors suspected as the cause of contact dermatitis is an external factor (prolonged contact, frequency of contact, temperature and humidity) and internal factors (age, history of skin disease, history of atopy, history of allergies, years of service, and the type of work). The data are collected using a doctor's examination (for contact dermatitis), thermohigrometer, and questionnaires. The data is tested using the chi-square and Mann-Whitney test with a confidence interval of 95% and alpha 0.05. The results showed that workers with contact dermatitis is 37 people (52.1%) and the workers without contact dermatitis is 34 workers (47.9%). External factors associated with the incidence of contact dermatitis is prolonged contact, frequency of contact, and temperature. Internal factors associated with contact dermatitis are history of skin disease, history of atopy, history of allergies, and type of work. Some solutions that can be recommended to reduce the risk of dermatitis are change the clotting solvent into Nigarin which is made from seawater extract, increase employee awareness about skin disease especially contact dermatitis. Maintain a good personal hygiene. Using PPE (Personal Protective Equipment) such a gloves which covers full arm and use work’s cloth that covers entire body. Keywords: contact dermatitis, tofu maker workers, prolonged contact, type of work References: 1990-2012 iv
v
vi
CURRICULUM VITAE A. Personal Detail Name
: Riska Ferdian
Place/Date of Brith
: Bukitttinggi, February 24th 1990
Home Address
: Jl. S. Parman no.90 Malana Ponco, Baringin Sub-District; Lima Kaum District; Batusangkar, West Sumatera Province
Current Address
: Jl. SD Inpres No. 84, RT 02/09 Cirendeu Sub- District; Ciputat Timur District; South Tangerang. Banten Province Zip Code (15419)
Blood Type
: AB
Email
:
[email protected] [email protected]
B. Formal Education No. 1
Degree University
Major Public Health/Occupational Health and Safety Concentration
School/University
2
High School
IPA
3 4
Junior School Elementary School
SMAN 1 Cisauk (SMAN 2 Tangerang Selatan) SMPN 1 Pamulang SDN Serua X
vii
Faculty of Medicine and Health Sciences Islamic State University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Period 2008-2012
2005-2008 2002-2005 1996-2002
C. Experiences and Organizations NO 1
2
3
4 5
Company / Institution Position/ Job description Dates PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit II, Dumai – Riau February- March On the Job Training; Health, Safety, Environment Division (HSE) 2012 Kompas Gramedia, South Palmerah – Jakarta February 2009 – Polling Staff (Freelancer) LitbangKompas Gramedia December 2012 May 2012 Interviewer Pra-Pilkada DKI 2012 1st round July 2012 Interviewer Exit Poll Pilkada DKI 2012 1st round September 2012 Interviewer Pra-Pilkada DKI 2012 2nd round September 2012 Interviewer Exit Poll Pilkada DKI 2012 2nd round Paduan Suara FKIK (Pasifik) 2010-2011 Chairman of Paduan Suara FKIK 2009-2010 Treasurer of Paduan Suara FKIK Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta 2010-2011 Chief of Relation Between Organization Division Badan Eksekutif Mahasiswa FKIK 2008-2009 Staff Sports and Arts Division
D. Courses and Training Name
Institution
Training Paduan Suara (Choir Training)
Paduan Suara Mahasiswa UIN Jakarta (Student Choir of UIN Jakarta) BEM FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BEM FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Super Training Indonesia
The Powerful Training And Simulation Public Speaking Health Cybernatics Day
Training Management Quality System – EnvironmentOHSAS QHSE INTEGRATED – ISO 9001, 14001 & 18001
viii
From January 2009
Year To May 2009
Result New Member Of UIN Jakarta’s Student Choir
June/13/ 2009
June/13/2009
As Participant
June/20/ 2009
June/20/2009
As Participant
April/2/ 2011
April/3/2011
Certified
KATA PENGANTAR Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang akhirnya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu Di Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat Timur Tahun 2012”. Sholawat dan salam juga selalu tercurah kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini. Dalam penyusunan skripsi ini, tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Riastuti Kusumawardani, MKM. selaku pembimbing I yang menyempatkan waktu di kesibukannya untuk membimbing selama ini. 2. Ibu Iting Shofwati, MKKK selaku pembimbing II dan yang memberikan kesempatan saya untuk ikut dalam penelitian mengenai dermatitis kontak. Terima kasih banyak bu... barakallah.. 3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS sebagai ketua sidang skripsi saya.. 4. Ibu Yuli Amran, MKM selaku penguji II dalam sidang skripsi 5. Ibu dr. Rachmania Diandini, M.KK selaku penguji III sidang skripsi 6. Sofia, Era, Iqbal, Astri, Via dan Niswah atas bantuannya selama menulis skripsi ini. 7. Seluruh pekerja dan pemilik pabrik tahu di Ciputat dan Ciputat Timur, terima kasih telah berkenan menjadi subjek penelitian ini. ix
8. Keluarga Besar PSM UIN Jakarta, terima kasih atas segala pengalaman dalam berjuang mulai dari Cirebon sampai Thailand. Terima kasih support kawan kawan. That was my last concert with you guys. Thanks for everything. Jaya PSM UIN Jakarta! 9. Keluarga Besar Pasifik UIN Jakarta yang telah memberikan pengalaman yang menguatkan hati untuk terus bertahan di tengah kesibukan perkuliahan di FKIK. 10. Era, Tika , Depoy, Ayu dan Kak Yunci atas semua semangat yang diberikan. Semoga kalian sukses,, sampai bertemu di masa depan! 11. Surya Pradana, No more words to say but thank you. 12. The last but the best untuk Mama dan Papa yang telah mencurahkan semua kasih sayang dan doanya setiap saat.. semua yang aku lakukan,untuk mama papa.. Love you much! Skripsi ini tentu jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun terhadap skripsi ini sangat saya harapkan. Jakarta, Januari 2013
Penulis
x
DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... ii ABSTRAK..................................................................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ v LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................... vi CURRICULUM VITAE ................................................................................................ vii KATA PENGANTAR .................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................................. xi DAFTAR BAGAN ........................................................................................................ xvii DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xviii DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................... 7 1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................. 8 1.4. Tujuan...................................................................................................................... 9 1.
Tujuan Umum ......................................................................................... 9
2.
Tujuan Khusus ........................................................................................ 9
1.5. Manfaat Penelitian................................................................................................... 10 1.6. Ruang Lingkup ........................................................................................................ 10 xi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 12 2.1 Penyakit Akibat Kerja ........................................................................................... 12 2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja .................................................................................... 13 2.2.1
Pengertian ................................................................................................. 13
2.2.2
Etiologi...................................................................................................... 13
2.2.3
Anatomi Kulit ........................................................................................... 14
2.2.4
Skin Barrier............................................................................................... 15
2.3 Dermatitis Kontak ................................................................................................... 16 2.3.1 Definisi .......................................................................................................... 16 2.3.2 Etiologi .......................................................................................................... 17 2.3.3 Fisiologi ......................................................................................................... 19 2.3.4 Tanda dan gejala ............................................................................................ 22 2.3.5 Diagnosis ....................................................................................................... 25 2.4 Tahu ......................................................................................................................... 28 2.4.1
Bahan baku .............................................................................................. 28
2.4.2
Pembuatan Tahu ...................................................................................... 29
2.5 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak ......................................... 38 2.5.1 Faktor Eksternal (Eksogen/Luar) ................................................................... 38 a. Lama Kontak ............................................................................................. 38 b. Frekuensi Kontak ...................................................................................... 40 c. Bahan Kimia ............................................................................................. 41 xii
d. Suhu .......................................................................................................... 44 e. Kelembaban .............................................................................................. 45 f. Musim ....................................................................................................... 45 2.5.2 Faktor Internal (Endogen).............................................................................. 46 a. Jenis kelamin ............................................................................................. 46 b. Usia ........................................................................................................... 47 c. Masa Kerja ................................................................................................ 48 d. Jenis Pekerjaan .......................................................................................... 49 e. Riwayat Alergi .......................................................................................... 50 f. Jenis Kulit ................................................................................................. 51 g. Keringat ..................................................................................................... 52 h. Ras ............................................................................................................. 54 i. Riwayat Penyakit Kulit ............................................................................. 54 j.
Riwayat Atopi ......................................................................................... 55
k.
Personal Hygine ..................................................................................... 57
l.
Penggunaan APD .................................................................................... 58
2.6 Kerangka Teori ........................................................................................................ 60 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..................... 62 3.1 Kerangka Konsep .................................................................................................... 62 3.2 Definisi Operasional ................................................................................................ 64 3.3 Hipotesis ................................................................................................................. 66
xiii
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 68 4.1 Jenis Penelitian ......................................................................................................... 68 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................... 68 4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................................ 68 4.4 Instrumen Penelitian................................................................................................. 73 4.4.1 Lembar Pemeriksaan Dokter ....................................................................... 73 4.4.2 Pengukur Suhu dan Kelembaban ................................................................ 73 4.4.3 Kuesioner..................................................................................................... 73 4.5 Pengumpulan Data ................................................................................................... 74 4.5.1 Data Primer.................................................................................................. 74 4.6 Pengolahan Data....................................................................................................... 75 4.6.1 Data Coding ................................................................................................ 75 4.6.2 Data Editing ................................................................................................ 75 4.6.3 Data Entry ................................................................................................... 75 4.6.4 Data Cleaning ............................................................................................. 76 4.7 Teknik Analisis Data ................................................................................................ 76 4.7.1 Analisa Univariat ......................................................................................... 76 4.7.2 Analisa Bivariat ........................................................................................... 76 BAB V HASIL .............................................................................................................. 78 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian .................................................................................... 78 5.2 Analisis Univariat..................................................................................................... 81 xiv
5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur ............................................................................. 81 5.2.2 Gambaran Faktor Eksternal dan Faktor Internal Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 ........ 82 5.2.2.1 Gambaran Faktor Eksternal ............................................................... 84 5.2.2.2 Gambaran Faktor Internal .................................................................. 85 5.3 Analisa Bivariat ........................................................................................................ 88 5.3.1 Hubungan Antara Faktor Eksternal dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 ................. 90 5.3.2 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 ................. 92 BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................. 97 6.1 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 97 6.2 Kejadian Dermatitis Kontak ............................................................................... 97 6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.............................................................................................. 100 6.3.1
Hubungan Antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak ................. 100
6.3.2
Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak .......... 103
6.3.3
Hubungan Antara Suhu dengan Dermatitis Kontak .............................. 105
6.3.4
Hubungan Antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak .................. 107
6.3.5
Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak ............................... 111 xv
6.3.6
Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Dermatitis Kontak..................................................................................................... 113
6.3.7
Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ............... 117
6.3.8
Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak .............. 120
6.3.9
Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak .................... 122
6.3.10 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Dermatitis Kontak .............. 125 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 128 7.1 Simpulan................................................................................................................. 128 7.2 Saran ........................................................................................................................ 131 7.2.1
Saran Bagi Pekerja ...................................................................................... 131
7.2.2
Saran Bagi Pemilik Pabrik .......................................................................... 132
7.2.3
Saran Bagi Penelitian Selanjutnya .............................................................. 133
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 134
xvi
DAFTAR BAGAN
No. Bagan
Judul Bagan
Halaman
Bagan 2.1
Alur pembuatan tahu
37
Bagan 2.2
Kerangka Teori
61
Bagan 3.1
Kerangka Konsep penelitian
63
xvii
DAFTAR TABEL
No. Tabel
Judul Tabel
Halaman
Tabel 2.1
Alergen yang sering menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi
18
Tabel 2.2
27
Tabel 2.3
Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dengan Dermatitis Kontak Alergis (DKA) Bahan kimia berpotensi iritasi dan sensitisasi
Tabel 3.1
Definisi Operasional
64
Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Sampel
72
Tabel 5.1
Gambaran Tahapan Proses Kerja Pada Pabrik Tahu beserta Jenis Pekerjaan
81
Tabel 5.2
Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
82
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Masa Kerja, Usia, Suhu dan Kelembaban) pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Distribusi Frekuensi (Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Atopi, Riwayat Alergi, dan Jenis Pekerjaan) pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Analisis Hubungan antara (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Masa Kerja, Usia, Suhu dan Kelembaban) dengan dermatitis kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Distribusi pekerja menurut (Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Atopi, Riwayat Alergi, dan Jenis Pekerjaan) dengan Dermatitis kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
83
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
xviii
41
83
88
89
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar
Judul Gambar
Halaman
Gambar 5.1
Salah satu proses pembuatan tahu (pencetakan)
81
Gambar 6.1
Dermatitis pada pekerja pembuat tahu
98
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Menurut Diepgen & Coenraads (1999), dermatitis kontak akibat kerja menempati urutan pertama dari seluruh penyakit akibat kerja di banyak negara. Tingkat kejadiannya berkisar antara 0,5-1,9 kasus per 1000 pekerja penuh waktu per tahun. Prevalensi dermatitis kontak pada populasi umum di AS telah diperkirakan bervariasi antara 1,5% dan 5,4%. Dermatitis kontak adalah alasan yang paling umum ketiga bagi pasien yang berkonsultasi dengan dokter kulit, tercatat ada 9,2 juta kunjungan pada tahun 2004. Hal ini juga menyumbang 95% dari semua penyakit kulit akibat kerja yang dilaporkan. Agius & Seaton (2005) menyebutkan bahwa di United Kingdom dermatitis kontak adalah penyakit akibat kerja yang umum diderita, sekitar 80% dari kasus yang dilaporkan. Tipe dari dermatitis kontak yang dilaporkan tersebut ada dua yaitu tipe iritan dan alergik. Dermatitis kontak salah satunya dapat disebabkan oleh keterpaparan bahan kimia yang mempunyai tingkat keasaman tertentu dan bahan kimia yang mempunyai aktifitas kimia (chemical activity) tertentu ( Taylor & Amado, 2009). Effendi (2007) melaporkan bahwa insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9
1
2
persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dermatitis kontak adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen (eksternal) dan atau faktor endogen (internal), menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal (Djuanda, 1999). Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
penyakit
dermatitis
kontak
merupakan penyakit yang lazim terjadi pada pekerja-pekerja yang berhubungan dengan bahan kimia dan panas, serta faktor mekanik sebagai gesekan, tekanan, trauma. Menurut Siregar (2009), beberapa jenis dermatitis kontak seperti dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam kuat, basa kuat, logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan misalnya sabun, detergen dan pelarut organik. Jenis dermatitis lain adalah dermatitis kontak alergi biasanya disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia atau lainnya yang meningkatkan sensivitas kulit. Dermatitis kontak akibat kerja mencapai 90% dari dermatitis akibat kerja (DAK) (Trihapsoro, 2003). Di banyak industri saat ini, prevalensi dermatitis kontak akibat kerja meningkat sejalan dengan peningkatan penggunaan bahan kimia di industri tersebut. Siregar (2009) menyebutkan bahwa beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dari penebang kayu di Palembang dan 11,8% dari
3
pekerja perusahaan kayu lapis menderita dermatitis kontak. Utama Wijaya (1972) dalam Siregar (2009) menemukan 23,75% dari pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja. Dari data ini terlihat bahwa dermatitis akibat kerja memang mempunyai prevalensi cukup tinggi, walaupun jenis dermatitisnya tidak sama pada semua perusahaan. Dermatitis kontak akibat kerja yang merupakan salah satu penyakit kelainan kulit sering timbul pada industri seperti industri pada pabrik tahu yang dapat menurunkan produktifitas pekerja. Jumlah industri tahu di Indonesia mencapai 84.000 unit usaha dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton per tahun. Sebanyak 80 persen industri tahu berada di Pulau Jawa (Sadzali, 2010). Tahu merupakan hasil olahan dari bahan dasar kacang kedelai melalui proses pengendapan dan penggumpalan oleh bahan penggumpal. Tahu ikut berperan dalam pola makan sehari-hari sebagai lauk pauk maupun sebagai makanan ringan. Kacang kedelai sebagai bahan dasar tahu mempunyai kandungan protein sekitar 30-45%. Jika dibandingkan dengan kandungan protein bahan pangan lain seperti daging (19%), ikan (20%) dan telur (13%), ternyata kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein tertinggi. Zat penggumpal yang dapat digunakan adalah asam cuka, asam laktat, batu tahu dan CaCl2 (Koswara, 1992). Bahan – bahan tersebut dipakai salah satu saja sebagai zat penggumpal. Para pembuat tahu lebih mengenal zat
4
penggumpal ini sebagai sioh koh. Zat penggumpal yang digunakan rata-rata berkadar asam 90%. Pemaparan zat-zat kimia yang digunakan dalam proses penggumpalan terhadap tahu dapat mengakibatkan iritasi dan gangguan kulit lainnya dalam bentuk gatal-gatal, kulit kering dan pecah-pecah, kemerah-merahan, serta koreng yang tidak sembuh-sembuh. Kerusakan kulit seperti ini akan memudahkan masuknya zat-zat kimia yang bersifat beracun kedalam tubuh melalui kulit yang terluka. Uap zat kimia dapat mengakibatkan peradangan dan iritasi saluran pernafasan, dengan gejala batuk, pilek, sesak nafas dan demam. Kebersihan lingkungan kerja di pabrik tahu yang kurang baik (panas, lembab, lantai kotor dan basah, bau yang menyegat, dll) dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti penyakit infeksi, gangguan kenyamanan kerja, kecelakaan, penyakit allergi/ dermatitis kontak, dll (Dinkes Sulsel, 2004) Sherine (2007) dalam Ernasari (2012) menyebutkan bahwa kasus dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu terjadi di Lamongan Jawa Timur, dimana para pekerja pembuat tahu mengalami gatal-gatal di daerah tangannya dan kaki akibat sering kontak dengan bahan-bahan pembuat tahu. Beberapa dari mereka juga menyebutkan bahwa penyakit kulit yang mereka alami diakibatkan oleh karena mereka tidak menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan pada saat melakukan proses pembuatan tahu.
5
Penelitian yang dilakukan oleh Elisandri (2007) dalam Ernasari (2012) menyebutkan bahwa kasus yang terjadi pada para pekerja pembuat tahu di beberapa pabrik tahu di daerah Binjai menyebutkan bahwa 72% dari pekerja pembuat tahu mengalami reaksi akibat kontak dengan bahan pembuat tahu dalam waktu yang lama. Beberapa dari mereka juga menyebutkan gatal-gatal yang mereka alami tidak akan kunjung sembuh apabila mereka tidak menghentikan pekerjaannya dalam waktu yang lama. Data yang diperoleh dari Puskesmas Medan Deli menunjukkan angka kasus penyakit kulit para pengrajin tahu yaitu 93,42 persen dengan kasus dermatitis kontak dan 6,58 persen dengan kasus penyakit kulit lainnya (Profil Puskesmas Medan Deli (2009) dalam Ernasari (2012)).
Hasil penelitian
Kusriastuti (1992) menunjukkan bahwa pemeriksaan fisik pada pekerja-pekerja industri tahu di Kelurahan Utan Kayu Utara menyatakan bahwa pekerja di bagian penyaringan mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terkena dermatitis kontak dibanding pekerja yang bekerja di bagian lainnya. Djuanda (1999) dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin menyebutkan bahwa dermatitis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi dipengaruhi faktor-faktor seperti bahan yang bersifat iritan, lama kontak, kekerapan, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan taruma fisis juga suhu dan kelembaban lingkungan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor individu meliputi perbedaan ketebalan kulit, usia, ras,
6
jenis kelamin, riwayat penyakit kulit. Agner & Menne (2006) menambahkan bahwa selain faktor jenis kelamin, usia, ras, riwayat penyakit kulit lain seperti yang disebutkan oleh Djuanda (1999), dermatitis juga dipengaruhi oleh riwayat atopi dan pengobatan yang sedang diterima. Lestari, dkk (2008) juga menyebutkan bahwa faktor yang paling utama mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja karena kontak dengan bahan kimia adalah pemakaian APD berupa sarung tangan yang tidak sesuai untuk jenis bahan kimia yang digunakan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja adalah adanya kontak dengan bahan kimia, lama kontak, dan frekuensi kontak. Terdapat sekitar 2500 pengrajin tahu di wilayah Tangerang, Banten. Di Tangerang Selatan sendiri, terdapat beberapa daerah penghasil tahu yang cukup banyak dan tersebar di daerah Ciputat dan Ciputat Timur (Sekarningrum, 2012). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-22 Juni 2012 di 4 pabrik tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan kecamatan Ciputat Timur, dari 10 orang pekerja pembuatan tahu di didapatkan 5 orang pekerja pembuat tahu mengalami dermatitis kontak dan 5 pekerja pembuat tahu tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil tersebut di dapat dari pemeriksaan fisik dan diperkuat dengan hasil diagnosa dokter.
7
Oleh karena itu perlu diteliti apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu, sehingga diharapkan dengan diadakannya penelitian ini dapat dapat menambah informasi pengelola pabrik tahu dan pekerja pembuat tahu mengenai penyakit akibat kerja khususnya dermatitis kontak. 1.2. Rumusan Masalah Data yang diperoleh dari Puskesmas Medan Deli menunjukkan angka kasus penyakit kulit para pengrajin tahu yaitu 93,42 persen dengan kasus dermatitis kontak dan 6,58 persen dengan kasus penyakit kulit lainnya (Profil Puskesmas Medan Deli, 2009 dalam Ernasari 2012). Hasil penelitian Kusriastuti (1992) menunjukkan bahwa pemeriksaan fisik pada pekerja-pekerja industri tahu di Kelurahan Utan Kayu Utara menyatakan bahwa pekerja di bagian penyaringan mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terkena dermatitis kontak dibanding pekerja yang bekerja di bagian lainnya. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-22 Juni 2012 kepada 10 orang pekerja di 4 pabrik pembuatan tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan kecamatan Ciputat Timur didapatkan 5 orang pekerja pembuat tahu mengalami dermatitis kontak dan 5 pekerja pembuat tahu tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil tersebut di dapat dari pemeriksaan fisik dan diperkuat dengan hasil diagnosa dokter.
8
Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006), Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008) menyebutkan bahwa faktor- faktor yang berhubungan dengan dengan dermatitis kontak adalah faktor eksternal ( bahan iritan, lama kontak, frekuensi kontak, musim, suhu dan kelembaban), faktor internal (faktor perbedaan jenis kulit, usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan (personal hygiene)) dan penggunaan APD. 1.3. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?
2.
Bagaimana gambaran faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?
3.
Bagaimana gambaran faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?
4.
Apakah ada hubungan antara faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?
9
5.
Apakah ada hubungan antara faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?
1.4. Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012. 2. Diketahuinya gambaran faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012. 3. Diketahuinya gambaran faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012. 4. Diketahuinya hubungan antara faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur
10
pada tahun 2012.Diketahuinya hubungan antara faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit yang sedang dialami, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Bagi Pekerja Pembuat Tahu Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi pengelola pabrik tahu dan pekerja pembuat tahu mengenai penyakit akibat kerja khususnya dermatitis kontak. 1.5.2 Manfaat Bagi Peneliti Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan dermatitis kontak. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – September 2012. Sasaran penelitian ini adalah pekerja pembuat tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional (potong lintang). Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang pekerja pembuat tahu pada 4 pabrik tahu di wilayah
11
kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur, diketahui ada 5 pekerja yang mengalami kejadian dermatitis kontak. Data primer diperoleh dari pemeriksaan oleh dokter, hasil pengukuran lingkungan, dan kuesioner.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Akibat Kerja Menurut Keppres RI no 22/1993, Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyebab Penyakit akibat kerja: 1. Golongan fisik: Bising, Radiasi, Suhu ekstrem, Tekanan udara, Vibrasi, Penerangan 2. Golongan Kimiawi: Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap , gas, larutan, kabut 3. Golongan biologik: Bakteri, virus, jamur, dan lain-lain. 4. Golongan Fisiologik/ergonomik: desain tempat kerja, beban kerja 5. Golongan Psikososial: Stress psikis, monotoni kerja, tuntutan pekerjaan, dan lain-lain. Adapun kriteria umum penyakit akibat kerja adalah sebagai berikut: 1. Adanya hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit 2. Adanya fakta bahwa frekwensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada frekwensi kejadian penyakit di masyarakat umum 3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif di tempat kerja
12
13
2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja 2.2.1
Pengertian Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam lingkungan kerja. Dari batasan ini terlihat bahwa penyakit kulit akibat kerja ini boleh disebut sebagai gejala sampingan usaha manusia atau sebagai buatan manusia. Oleh karena itu manusia dituntut untuk mencegah atau memperkecil kemungkinan terjadinya dengan menerapkan teknologi pengendalian (Siregar, 2009).
2.2.2
Etiologi Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor (Siregar, 2009): 1. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, alergen, atau karsinogen. 2. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas, dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif. 3. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan produknya, jamur, parasit, virus. 4. Faktor psikologis (kejiwaan) seperti ketidak cocokan pengelolaan perusahaan sering membuat konflik di antara pegawai dan dapat menimbulkan gangguan pada kulit seperti neurodermatitis. Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari
serangan/rangsangan
luar.
Epidermis
berfungsi
menghambat
penguapan air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan
14
berlebihan dari luar. Pigmen di dalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mempermudah timbulnya kelainan kulit. 2.2.3
Anatomi Kulit Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 – 1,75 m², rata-rata tebal kulit 1-2 mm, paling tebal (6 mm) ada ditelapak tangan dan kaki, paling tipis (0,5 mm) ada di penis. Kulit di bagian atas terdiri dari tiga lapisan pokok yaitu : epidermis, dermis atau korium dan jaringan subkutan atau subkutis (Harahap, 1990). Kulit terbagi atas 3 (tiga) lapisan pokok yaitu : a. Epidermis, terbagi atas empat lapisan yaitu : lapisan basal atau stratum
germinativum, lapisan malpighi atau stratum spinosum,
lapisan granular atau stratum granulosum dan lapisan tanduk atau stratum korneum. b. Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan diatas jaringan. c. Subkutis Jaringan Subkutan (subkutis atau hipodermis) merupakan lapisan yang langsung dibawah dermis, yang berfungsi untuk penyeka
15
panas, bantalan terhadap trauma dan tempat penumpukan energi (Harahap, 1990). 2.2.4
Skin Barrier Kulit mengandung sejumlah tumpukan lapisan spesifik yang dapat mencegah masuknya bahan-bahan kimia yang terutama disebabkan adanya lapisan tipis lipida dipermukaan, lapisan tanduk dan lapisan epidermis alfigi. Pada daerah ini ditemukan juga suatu celah yang berhubungan langsung dengan epidermis kulit bagian dalam yang dibentuk oleh kelenjar sebasea yang membatasi bagian luar dan cairan ekstraselular yang juga merupakan sawar (barrier). Barrier kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk. Deretan sel-sel pada lapisan tanduk salilng berkaitan dengan sangat kuat dan merupakan pelindung kulit yang paling efisien. Sesudah penghilangan lapisan tanduk, impermeabilitas kulit dipengaruhi oleh regenerasi sel. Dalam 2-3 hari meskipun ketebalan lapisan tanduk yang terbentuk masih sangat tipis, namun lapisan tersebut telah mempunyai kapasitas perlindungan yang mendekati sempurna (Schaefer, 1996)
16
2.3 Dermatitis Kontak 2.3.1 Definisi Dermatitis kontak adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen (eksternal) dan atau faktor endogen (internal), menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi
polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal (Djuanda, 1999). Eczema atau dermatitis merupakan nama yang diberikan untuk suatu inflamasi khusus pada kulit, dermatitis kontak mengarah kepada inflamasi semacam itu yang disebabkan oleh zat-zat dari luar (external agents). Istilah eczema dan dermatitis digunakan untuk keadaan inflamasi kulit lainnya yang bukan terjadi karena faktor-faktor eksternal melainkan terutama karena faktor-faktor internal. Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit mereka. Seringkali lokasi awal ruam merupakan suatu petunjuk penting (Harahap, 1990).
17
2.3.2 Etiologi Dibawah ini akan dijelaskan etiologi dermatitis kontak iritan dan etiologi dermatitis kontak alergi. a. Dermatitis Kontak Iritan Dapat disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam kuat, basa kuat, garam logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan iritan relatif, seperti sabun, detergen, dan pelarut organik. Dermatitis kontak oleh iritan absolut biasanya timbul seketika setelah berkontak dengan iritan, dan semua orang akan terkena. Sedangkan dermatitis kontak iritan relatif dapat timbul sesudah pemakaian bahan yang lama dan berulang, dan seringkali baru timbul bila ada faktor fisik berupa abrasi, trauma kecil dan maserasi; oleh karena itu sering disebut traumatic dermatitis. Kelainan yang timbul biasanya berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, fisur dan kadang-kadang eritem dan vesikel (Siregar, 2009). Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali disebut dermatitis kontak iritan akut, dan biasanya disebabkan oleh iritan kuat seperti asam kuat. Sedangkan, dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan berulang disebut dermatitis kontak iritan kronis dan biasanya disebabkan oleh iritan lemah (Hayakawa, 2000 dalam Sumantri, dkk, 2008).
18
b. Dermatitis kontak alergi Banyak senyawa yang dapat berperan menjadi alergen pada individu tertentu, misalnya saja urusiol yang berasal dari racun tanaman oak, ivy atau sumac. Selain itu juga ada garam nikel yang terdapat pada perhiasan dan parfum yang terdapat pada kosmetik, alergen tersebut dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi. Di Amerika Serikat, dermatitis kontak alergi banyak disebabkan oleh senyawa urushiol dari racun ivy, oak, atau sumac. Racun ini berasal dari tanaman genus toxicodendron. Selain itu, tanaman lain yang dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi adalah kacang cashew, mangga, Laquer dan ginko biloba (Keefner, 2004). Tabel 2.1 Alergen yang sering menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi Alergen Benzokain
2
Uji Patch Positif
Garam Kromium
2,8
Lanolin Latex Bacitracin Kobal Klorida Formaldehid Tiomersal Pewangi
3,3 7,3 8,7 9 9,3 10,9 11,7
Balsam Peru Neomisin Sulfat
11,9 13,1
Nikel Sulfat
14,2
Tanaman
Tidak ditentukan
Sumber: (Keefner, 2004)
Sumber Antigen Penggunaan anastetik tipe –kain, baik pada penggunaan topikal maupun oral Plat elektronik kalium dikromat, semen, detergen, pewarna Lotion, pelembab, kosmetik, sabun Sarung tangan karet, vial, Syringes Pengobatan topikal maupun injeksi Semen, plat logam, pewarna cat Germisida, plastik, pakaian, perekat Pengawet dalam sediaan obat, kosmetik Produk rumah tangga, kosmetik, asam sinamat, geraniol Sirup untuk obat batuk, penyedap Pengobatan, salep antibiotik, aminoglikosida lainnya Akssoris pada celana jeans, pewarna, perabot rumah tangga, koin Spesies Toxicodendron, primrose, tulip
19
2.3.3 Fisiologi a. Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak iritan tampak setelah pemaparan tunggal atau pemaparan berulang pada agen yang sama. Beberapa mekanisme dapat menjadi penyebab terjadinya dermatitis kontak iritan. Pertama, bahan kimia mungkin merusak sel dermal secara langsung dengan absorbsi langsung melewati membran sel kemudian merusak sistem sel. Mekanisme kedua, setelah adanya sel yang mengalami kerusakan maka akan merangsang pelepasan mediator inflamasi ke daerah tersebut oleh sel T maupun sel mast secara non-spesifik. Misalnya setelah kulit terpapar asam sulfat maka asam sulfat akan menembus ke dalam sel kulit kemudian mengakibatkan kerusakan sel sehingga memacu pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid dengan bantuan fosfolipase. Asam arakidonat kemudian dirubah oleh siklooksigenase (menghasilkan
prostaglandin,
tromboksan)
dan
lipooksigenase
(menghasilkan leukotrien). Prostaglandin dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah sehingga terlihat berwarna merah dan mempengaruhi saraf sehingga terasa sakit. Leukotrien meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah tersebut sehingga meningkatkan jumlah air dan terlihat bengkak serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil dan makrofag. Mediator pada inflamasi akut adalah histamin, serotonin, prostaglandin, leukotrien, sedangkan pada inflamasi kronis adalah IL1,
20
IL2, IL3, TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat imun spesifik dan tidak membutuhkan pemaparan sebelumnya agar iritan menampakan reaksi. Beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis. Jumlah dan konsentrasi paparan bahan kima juga penting. Iritan kimia kuat, asam dan basa tampaknya menghasilkan keparahan yang reaksi inflamasi yang sedang parah. Iritan yang lebih ringan seperti detergen, sabun, pelarut mungkin membutuhkan pemaparan yang banyak untuk mengakibatkan dermatitis. Selain itu faktor lingkungan seperti suhu hangat, kelembaban yang tinggi atau pekerjaan basah dapat berpengaruh (Siregar, 2009). b. Dermatitis Kontak Alergi Siregar (2009) memaparkan bahwa dermatitis kontak alergi biasanya disebabkan oleh bahan dengan berat molekul rendah yang disebut hapten. Kelainan kulit terjadi melalui proses hipersensitivitas tipe IV atau proses alergi tipe lambat (Gell & Coombs). Hapten bergabung dengan protein pembawa menjadi alergen lengkap. Alergen lengkap difagosit oleh makrofag dan merangsang limfosit yang ada di kulit yang mengeluarkan limfosit aktivasi faktor (LAF). Sel limfosit kemudian berdeferensiasi membentuk subset sel limfosit T memori (sel Tdh) dan sel limfosit T helper dan sel T suppresor. Sel T memori ini bila menerima
21
informasi alergen yang sudah dikenal masuk kedalam kulit maka sel Tdh akan mengeluarkan limfokin (faktor sitotoksis, faktor inhibisi migrasi, faktor kemotaktik dan faktor aktivasi makrofag). Dengan dilepaskannya berbagai faktor ini, maka akan terjadi pengaliran sel mas dan sel basofil, ke arah lesi, dan timbulah proses radang yang merupakan manifestasi reaksi dermatitis kontak alergis. Gambaran klinis umumnya berupa papul, vesikel dengan dasar ertitem dan edema, disertai rasa gatal. Dalam perusahaan sering ditemukan beberapa bahan kimia yang mempunyai gugusan rumus kimia yang sama. Apabila pekerja sudah sensitif terhadap suatu zat kimia, maka ia akan mudah menjadi sensitif terhadap zat-zat lain yang mempunyai rumus kimia yang bersamaan, misalnya prokain, benzokain, paraaminobensen mempunyai gugus bensen yang sama. Apabila seseorang sensitif terhadap benzokain atau PABA; ini disebut sensitisasi silang. Pengetahuan sensitisasi silang ini sangat penting untuk menentukan penempatan seorang pegawai. Orang yang sudah sensitif terhadap suatu zat jangan lagi ditempatkan pada tempat yang mengandung bahan yang mempunyai rumus kimia serupa.
22
Contoh bahan yang mempunyai rumus kimia serupa ialah: 1. Rhus antigen : poison ivy, poison sumac, japanese decyl catechol, mangga. 2. Streptomisin, kanamisin, klomisin 3. Fenotiazin: prometazin, khlorpromazin, biru metilen. 2.3.4 Tanda dan gejala a. Dermatitis kontak iritan Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak kemerahan dan dapat berkembang menjadi veskel kecil atau papul (tonjolan) dan mengeluarkan cairan apabila terkelupas. Gatal, perih dan rasa terbakar terjadi pada bintik-bintik merah itu. Reaksi inflamasi bermacam-macam, mulai dari gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronis, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper/hipopigmentasi dan penebalan (likenifikasi). Kebanyakan dermatitis kontak iritan terjadi pada daerah tubuh yang kurang terlindungi, seperti wajah, punggung (bagi pekerja yang tidak menggunakan baju), tangan dan lengan. Sebesar 80% dermatitis kontak irtitan terjadi di daerah tangan dan 10% di daerah wajah. Secara klinis, penampakan yang paling sering adalah batas yang jelas dari lesi. (Siregar, 2009)
23
b. Dermatitis kontak alergi Tanda dan gejala dermatitis kontak alergi sangat tergantung pada alergen, tempat dan durasi pemaparan serta faktor individu. Pada umumnya, kulit tampak kemerahan dan bulla. Blister juga mungkin terjadi dan dapat membentuk crust dan scales ketika mereka pecah. Gatal, rasa terbakar dan sakit merupakan gejala dari dermatitis kontak alergi. Setelah pemaparan urushiol, pada tahap awal reaksi adalah rasa gatal yang intensif kemudian diikuti eritema. Pasien yang menggaruk rasa gatal tersebut dapat mengakibatkan menyebarnya urushiol ke daerah yang sebelumnya tidak terpapar sehingga rasa gatal dapat menyebar. Walaupun demikian, bulla atau vesikel yang pecah dapat menyebar ke daerah tubuh lain, namun cairan vesikel tersebut tidak mengandung urushiol. Tetapi dengan terbukanya bulla atau vesikel dapat mengakibatkan infeksi luka. Mikroba yang sering menginfeksi tersebut adalah S. Aureus, Streptococcus kelompok A dan E. Coli. Bulla yang pecah tersebut dalam beberapa hari akan mengering dan membentuk
crust . Urushiol yang tertinggal dipermukaan kulit dapat
mengalami oksidasi oleh udara sehingga tampak kehitaman pada beberapa daerah kulit yang mengalami dermatitis. Secara umum, tingkat keparahan dermatitis kontak alergi dapat dibagi menjadi tiga: dermatitis ringan, sedang, dan berat.
24
1. Dermatitis ringan Dermatitis ringan secara karakteristik ditandai oleh adanya daerah gatal dan eritema yang terlokalisasi, kemudian diikuti terbentuknya vesikel dan bulla yang biasanya letaknya membentuk pola liner. Bengkak pada kelopak mata juga sering terjadi, namun tidak berhubungan dengan bengkak di daerah terpapar, melainkan akibat terkena tangan yang terkontaminasi urushiol. Secara klinis, pasien menglami reaksi dibawah tubuh dan lengan yang kurang terlindungi. 2. Dermatitis sedang Sealin rasa gatal, eritema, papul dan vesikel pada dermatitis ringan, gejala dan tanda dermatitis sedang juga meliputi bulla dan bengkak eritematous dari bagian tubuh. 3. Dermatitis berat Dermatitis berat ditandai dengan adanya respon yang meluas ke daerah tubuh dan edema pada ekstremitas dan wajah. Rasa gatal dan iritasi yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan
vesikel,
blister dan bulla juga dapat terjadi. Selain itu, aktivitas harian pasien dapat terganggu, sehingga kadang membutuhkan terapi yang segera, khususnya dermatitis yang telah mempengaruhi sebagian besar wajah, mata ataupun genital. Komplikasi dengan penyakit lain yang dapat terjadi adalah eosinofilia, serima multiform, sindrom pernapasan akut, gangguan ginjal, dishidrosis dan uretritis (Siregar, 2009).
25
2.3.5 Diagnosis Terdapat beberapa cara diagnosis dermatitis kontak, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Anamnesis Menurut Siregar (2009), hal-hal yang perlu ditanyakan dalam mendiagnosa penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut: a) Apakah penderita sudah ada penyakit kulit sebelum bekerja di perusahaan yang sekarang b) Jenis pekerjaan penderita c) Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya d) Apakah ada karyawan lain menderita hal yang sama e) Riwayat alergi penderita dan keluarganya f) Prosedur produksi di tempat kerja dan bahan- bahan yang digunakan di tempat pekerjaan g) Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan h) Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang dipakai. i) Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan dan temperatur j) Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit, dan lain-lain.
26
b. Pemeriksaan Klinis Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan kontak bahan yang dicurigai; yang tersering ialah daerah yang terpajan, misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustulasi. Bila ada penumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus. c. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar. Pemeriksaan biopsi kulit kadang perlu dilakukan. d. Uji tempel Dermatitis akibat kerja sebagian besar berbentuk dermatitis kontak alergis (80%) maka uji tempel perlu dikerjakan untuk memeriksa penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes tempel yang sudah standar dan disebut unit uji tempel; unit ini terdiri dari filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji
27
diteteskan di atas unit uji tempel, kemudian ditutup dengan bahan impermebel, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48,72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek plester. Hasil yang didapat akan berupa: 0
: bila tidak ada reaksi
+
: bila hanya eritema
++
: bila ada eritema dan papul
+++
: bila ada eritema, papul dan vesikel
++++ : bila ada edema, vesikel Tabel 2.2 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dengan Dermatitis Kontak Alergis (DKA) No. 1. 2. 3. 4.
Jenis perbedaan Penyebab Permulaan penyakit Penderita Kelainan Kulit
5.
Uji tempel
Sumber: Siregar (2009)
DKI DKA Iritan primer Alergen= sensitizer Kontak pertama Kontak berulang Semua orang Orang yang sudah alergis Hebat; eritem, bula, batas Ringan, tidak akut, tegas eritem, erosi, batas tidak tegas Eritem berbatas tegas, bila Eritem tidak berbatas uji tempel diangkat reaksi tegas; bila uji tempel berkurang diangkat reaksi menetap atau bertambah.
28
2.4 Tahu Tahu adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur. ( Kastyanto (1999) dalam Fredickson (2012). 2.4.1
Bahan baku 1. Kedelai Kedelai merupakan bahan utama dalam pembuatan tahu. Kedelai yang biasanya digunakan adalah kedelai jenis Bola I. Kedelai dicuci hingga bersih kemudian dilakukan pelunakan supaya kedelai mudah dihancurkan pada saat penggilingan. 2. Air Hampir semua tahapan dalam pembuatan tahu membutuhkan air dari proses perendaman, pencucian, penggilingan, pemasakan, dan perendaman tahu yang sudah jadi sehingga dibutuhkan air dalam jumlah banyak. Air yang digunakan di berasal dari air tanah atau air artesis. 3. Asam Cuka Asam cuka encer / batu tahu / kalsium sulfat Digunakan untuk menggumpalkan protein yang masih tercampur di dalam sari kedelai. Bahan- bahan tersebut berfungsi untuk mengedapkan atau memisahkan air dengan konsentrat tahu. Asam cuka yang digunakan diperoleh dari pabrik tahu lain dan dapat digunakan secara berulang-ulang.
29
4. Soda kue Digunakan supaya dapat diperoleh sari kedelai dalam jumlah maksimal (konsentrasi 5 g per 10 liter air bersih) dan diaduk-aduk agar seluruh soda kue larut. 2.4.2
Pembuatan Tahu Berikut ini adalah tahapan pembuatan tahu menurut Suprapti ( 2005): a.
Persiapan Tahap persiapan merupakan kegiatan pokok pada pembuatan tahu meliputi: persiapan bahan baku dan persiapan bahan penggumpal. 1. Persiapan Bahan Baku a) Pembersihan Biji kedelai dibersihkan dari kotoran, misalnya kerikil, butiran tanah, kulit, ataupun batang kedelai. b) Pengeringan Pengeringan
dilakukan
dengan
cara
penjemuran
ataupun
pemanasan dalam oven dengan suhu 400C – 600C (sama dengan suhu sinar matahari). Pengeringan dilakukan hingga kulit luar kedelai pecah-pecah. Waktu pengeringan atau penjemuran berkisar antara 3-7 hari berturut-turut. Tujuan utama proses pengeringan biji kedelai adalah untuk mempermudah pelepasan kulit kedelai dalam proses penggilingan.
30
c) Pemisahan Kulit Setelah kedelai dikeringkan, maka pemisahan kulit kedelai akan mudah dengan cara menampinya. d) Pelunakan Pelunakan dilakukan dengan menambahkan soda kue sehingga diperoleh sari kedelai dalam jumlah maksimal. Larutan pelunak dibuat dengan mencampurkan soda kue ke dalam air bersih mendidih dengan konsentrasi 5 g per 10 liter air bersih dan diadukaduk agar seluruh soda kue larut. Untuk 10 kg kedelai kering, diperlukan larutan pelunak sebanyak + 30 liter. Pelunakan biji kedelai dilakukan dengan merendam kedelai kering pecah-pecah dalam larutan pelunak yang masih panas selama 6-24 jam atau sampai kedelai cukup lunak. e) Pencucian-Penirisan Setelah kedelai cukup lunak dan mengembang, segera diangkat dari dalam larutan pelunak, dicuci, serta dibilas beberapa kali agar benar-benar bersih. Soda kue yang masih tersisa akan menyebabkan rasa pahit, maka kedelai harus ditiriskan. Kedelai tanpa kulit yang telah lunak akan menghasilkan tahu yang kenyal dan dalam jumlah yang maksimal dengan limbah berupa ampas yang minimal. Bahkan, dimungkinkan tanpa menyisakan ampas sama sekali.
31
2. Persiapan Bahan Penggumpal Proses pembuatan tahu membutuhkan bahan penggumpal untuk menggumpalkan protein yang masih tercampur di dalam sari kedelai. Dengan demikian, akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak. Bahan penggumpal yang digunakan dapat berupa asam cuka encer, batu tahu (sioh koo) atau kalsium sulfat. a) Asam cuka encer
Digunakan bahan baku berupa asam cuka pekat atau asam cuka keras. Asam cuka ini perlu diencerkan terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan (200 ml asam cuka keras dalam wadah yang terbuat dari kaca atau plastik dicampur dengan air bersih 500 ml sedikit demi sedikit sambil diaduk). b) Batu tahu
Batu tahu berbentuk pecahan kaca dibakar beberapa saat lalu ditumbuk halus dan diayak menjadi serbuk putih (serbuk gips) yang kemudiaan dilarutkan dalam air bersih hingga jenuh (tidak mampu lagi melarutkan serbuk). Larutan dibiarkan beberapa saat, kemudiaan endapan dipisahkan dan diambil cairan jernihnya. Cairan jernih inilah yang digunakan sebagai bahan penggumpal protein.
32
c) Whey
Dilakukan pemisahan sebagian dari cairan sisa penggumpalan (whey), sementara yang lainnya dibuang atau dimanfaatkan untuk pupuk, dan pakan ternak. Whey yang telah dipisahkan disimpan selama 24 jam dan siap digunakan sebagai bahan penggumpal protein. b. Proses Pembuatan Tahu Proses pembuatan tahu menurut Widiantoko (2010) terdiri beberapa tahap yaitu: 1. Perendaman Pada tahapan perendaman ini, kedelai direndam dalam sebuah bak perendam yang dibuat dari semen. Langkah pertama adalah memasukan kedelai ke dalam karung plastik kemudian diikat dan direndam selama kurang lebih 3 jam (untuk 1 karung berisi 15 kg biji kedelai). Jumlah air yang dibutuhkan tergantung dari jumlah kedelai, intinya kedelai harus terendam semua. Tujuan dari tahapan perendaman ini adalah untuk mempermudah proses penggilingan sehingga dihasilkan bubur kedelai yang kental. Selain itu, perendaman juga dapat membantu mengurangi jumlah zat antigizi (Antitripsin) yang ada pada kedelai. Zat antigizi yang ada dalam kedelai ini dapat mengurangi daya cerna protein pada produk tahu sehingga perlu diturunkan kadarnya.
33
2. Pencucian kedelai Proses
pencucian
merupakan
proses
lanjutan
setelah
perendaman. Sebelum dilakukan proses pencucian, kedelai yang di dalam karung dikeluarkan dari bak pencucian, dibuka, dan dimasukan ke dalam ember-ember plastik untuk kemudian dicuci dengan air mengalir. Tujuan dari tahapan pencucian ini adalah membersihkan biji-biji kedelai dari kotoran-kotoran supaya tidak mengganggu proses penggilingan dan agar kotoran-kotoran tidak tercampur ke dalam adonan tahu. Setelah selesai proses pencucian, kedelai ditiriskan dalam saringan bambu berukuran besar. 3. Penggilingan Proses penggilingan dilakukan dengan menggunakan mesin penggiling biji kedelai dengan tenaga penggerak dari motor lisrik. Tujuan penggilingan yaitu untuk memperoleh bubur kedelai yang
kemudian
dimasak
sampai
mendidih.
Saat
proses
penggilingan sebaiknya dialiri air untuk didapatkan kekentalan bubur yang diinginkan.
34
4. Perebusan/Pemasakan Proses perebusan ini dilakukan di sebuah bak berbentuk bundar yang dibuat dari semen yang di bagian bawahnya terdapat pemanas uap. Uap panas berasal dari ketel uap yang ada di bagian belakang lokasi proses pembuatan tahu yang dialirkan melalui pipa besi. Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber panas adalah kayu bakar yang diperoleh dari sisa-sisa pembangunan rumah. Tujuan perebusan adalah untuk mendenaturasi protein dari kedelai sehingga protein mudah terkoagulasi saat penambahan asam.
Titik
akhir
perebusan
ditandai
dengan
timbulnya
gelembung-gelembung panas dan mengentalnya larutan/bubur kedelai. Kapasitas bak perebusan adalah sekitar 7.5 kg kedelai. 5. Penyaringan Setelah bubur kedelai direbus dan mengental, dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Tujuan dari proses penyaringan ini adalah memisahkan antara ampas atau limbah padat dari bubur kedelai dengan filtrat yang diinginkan. Pada proses penyaringan ini bubur kedelai yang telah mendidih dan sedikit mengental, selanjutnya dialirkan melalui kran yang ada di bagian bawah bak pemanas. Bubur tersebut dialirkan melewati kain saring yang ada diatas bak penampung.
35
Setelah seluruh bubur yang ada di bak pemanas habis lalu dimulai proses penyaringan. Saat penyaringan secara terusmenerus dilakukan penambahan air dengan cara menuangkan pada bagian tepi saringan agar tidak ada padatan yang tersisa di saringan. Penuangan air diakhiri ketika filtrat yang dihasilkan sudah mencukupi. Kemudian saringan yang berisi ampas diperas sampai benar-benar kering. Ampas hasil penyaringan disebut ampas yang kering, ampas tersebut dipindahkan ke dalam karung. Ampas tersebut dimanfaatkan untuk makanan ternak ataupun dijual untuk bahan dasar pembuatan tempe gembus/bongkrek. 6. Pengendapan dan Penambahan Asam Cuka Dari proses penyaringan diperoleh filtrat putih seperti susu yang kemudian akan diproses lebih lanjut. Filtrat yang didapat kemudian ditambahkan asam cuka dalam jumlah tertentu. Fungsi penambahan
asam
cuka
adalah
mengendapkan
dan
menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi pemisahan antara whey dengan gumpalan tahu. Setelah ditambahkan asam cuka terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas (whey) dan lapisan bawah (filtrat/endapan tahu). Endapan tersebut terjadi karena adanya koagulasi protein yang disebabkan adanya reaksi antara protein dan asam yang ditambahkan. Endapan tersebut yang merupakan bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu. Lapisan atas (whey)
36
yang berupa limbah cair merupakan bahan dasar yang akan diolah menjadi Nata De Soya. 7. Pencetakan dan Pengepresan Proses pencetakan dan pengepresan merupakan tahap akhir pembuatan tahu. Cetakan yang digunakan adalah terbuat dari kayu berukuran 70x70cm yang diberi lubang berukuran kecil di sekelilingnya. Lubang tersebut bertujuan untuk memudahkan air keluar saat proses pengepresan. Sebelum proses pencetakan yang harus dilakukan adalah memasang kain saring tipis di permukaan cetakan. Setelah itu, endapan yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya dipindahkan dengan menggunakan alat semacam wajan secara pelan-pelan. Selanjutnya kain saring ditutup rapat dan kemudian diletakkan kayu yang berukuran hampir sama dengan cetakan di bagian atasnya. Setelah itu, bagian atas cetakan diberi beban untuk membantu mempercepat proses pengepresan tahu. Waktu untuk proses pengepresan ini tidak ditentukan secara tepat, pemilik mitra hanya memperkirakan dan membuka kain saring pada waktu tertentu. Pemilik mempunyai parameter bahwa tahu siap dikeluarkan dari cetakan apabila tahu tersebut sudah cukup keras dan tidak hancur bila digoyang.
37
8.
Pemotongan tahu Setelah proses pencetakan selesai, tahu yang sudah jadi dikeluarkan dari cetakan dengan cara membalik cetakan dan kemudian membuka kain saring yang melapisi tahu. Setelah itu tahu dipindahkan ke dalam bak yang berisi air agar tahu tidak hancur. Sebelum siap dipasarkan tahu terlebih dahulu dipotong sesuai ukuran. Pemotongan dilakukan di dalam air dan dilakukan secara cepat agar tahu tidak hancur. Diagram 2.1 Alur pembuatan tahu Perendaman
Pencucian kedelai
Penggilingan
Perebusan/Pemasakan
Penyaringan
Pengendapan dan Penambahan Asam Cuka
Pencetakan dan Pengepresan
Pemotongan tahu
38
2.5 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 2.5.1
Faktor Eksternal (Eksogen/Luar) Agius & Seaton (2005) menyebutkan bahwa paparan ditentukan oleh
banyak faktor diantaranya adalah lama kontak, frekuensi kontak, konsentrasi bahan kimia dan lain-lain. Sehingga terjadinya risiko kontak dengan bahan kimia perlu dikendalikan dan dikotrol seperti membatasi jumlah kontak yang terjadi. Wolff K (2007) menyebutkan bahwa faktor eksternal (bahan iritan, lama kontak, frekuensi kontak, musim, suhu dan kelembaban) dapat menyebabkan dermatitis kontak. 1.
Lama Kontak Pekerja yang berkontak dengan bahan kimia menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Kontak dengan bahan kimia yang bersifat iritan atau alergen secara terus menerus akan menyebabkan kulit pekerja mengalami kerentanan mulai dari tahap yang ringan sampai tahap yang berat (Hudyono, 2002) Lama kontak adalah jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan kimia dalam hitungan jam/hari. Setiap pekerja memiliki lama kontak yang berbeda-beda sesuai dengan proses kerjanya. Semakin lam
39
berkontak dengan bahan kimia maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Lestari, 2007). Melalui hasi penelitiannya, Nuraga (2006), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue = 0,003). Selain itu dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pekerja dengan lama kontak 8 jam/hari menyebabkan dermatitis kontak akut dengan angka 92,8%, dermatitis kontak sub akut sebesar 95,2% dan 100% pada dermatitis kontak kronis. Hasil penelitian Lestari, dkk (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue 0,003). Hasil penelitian Lestari, dkk (2008) menunjukkan bahwa pekerja yang berkontak lebih lama cenderung lebih banyak menderita dermatitis kontak daripada pekerja dengan jangka waktu paparan lebih singkat. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lingga (2011) dengan subjek penelitian pekerja pada perusahaan Invar Sin, Medan. Pada penelitiannya, Lingga (2011) menyebutkan bahwa pekerja dengan lama kontak ≤ 8 jam sehari yang menderita dermatitis kontak berjumlah tujuh orang (22,6%), sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak berjumlah 24 orang (77,4%). Pekerja dengan lama kontak > 8 jam sehari yang menderita dermatitis kontak berjumlah lima orang (20,8%), sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak berjumlah 19 orang
40
(79,2%). Dari analisis bivariat, diperoleh p-value sebesar 0,876 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara lama kontak dengan angka kejadian dermatitis kontak pada penelitian Lingga (2011). 2. Frekuensi Kontak Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak
proporsional. Oleh
karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999). Hasil penelitian Nuraga (2006) menunjukkan bahwa kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15x/hari terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 100% responden, sub akut pada 81% responden dan kronis 80%. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak yaitu dengan pvalue sebesar 0,000. Penelitian yang dilakukan oleh Lingga (2011) menunjukkan bahwa bahwa pekerja dengan frekuensi kontak ≤ 3
41
kali sehari yang menderita dermatitis kontak berjumlah satu orang (3,8%), sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak berjumlah 25 orang (96,2%). Pekerja dengan frekuensi kontak >3 kali sehari yang menderita dermatitis kontak berjumlah sebelas orang (37,9%), sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak berjumlah 18 orang (62,1%). Pada penelitian Lingga (2011), diperoleh p-value sebesar 0,002 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak dengan angka kejadian dermatitis kontak. 3. Bahan Kimia Beberapa bahan kimia yang mempunyai potensi iritasi
dan
sensitisasi pada kulit menurut National Safety Council, Itasca, Illinois dalam bulettin SHARP (Departemen Buruh dan Industri Amerika Serikat, 2001) dalam Ruhdiat (2006) dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 2.3 Bahan kimia berpotensi iritasi dan sensitisasi Bahan Kimia Asam Asetat Karbolat Kromat Kreslat Format Hidrokolat Hidroflourat Laktat Nitrat Oksalat Pikrat
Primary Irritans Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Sensitizers Ya Ya
Bentuk kelainan kulit Dermatitis dan ulserasi Dermatitis dan ulserasi Korosif, rasa kebal Ulkus Korosif Iritasi berat Iritasi dan ulserasi Luka bakar hebat Ulserasi Luka bakar dan ulkus Korosif berat
42
Sulfurat Basa Ammonia Kalisum Sianida Kalsium Oksida Natrium hidroksida Kalium Hidroksida Natrium/kalium sianida Trisodium fosfat Pelarut Aseton Benzen Karbon disulfida Trikloroetilen Terpentin Alkohol
Ya
-
Kemerahan, dermatitis, korosif
Ya Ya Ya Ya Ya Ya
-
Iritasi Iritasi Dermatitis Korosif berat Korosif berat Ulserasi
Ya
-
Ulserasi
Ya Ya Ya Ya Ya Ya
-
Iritasi Iritasi Iritasi Dermatitis Dermatitis Dermatitis
Ya Ya Ya
Bahan-bahan yang bersifat perangsang primer menyebabkan kelainan kulit dengan cara (Hetler, 2002 dalam Ernasari, 2012): 1.
Melarutkan lapisan sebum dipermukaan kulit sehingga kulit banyak kehilangan air, akibatnya keseimbangan kulit terganggu menyebabkan timbulnya penyakit kulit, misalnya sabun dan detergen.
2.
Pengeringan permukaan kulit oleh bahan-bahan perangsang yang mudah menguap menyebabkan kulit retak-retak (fissure). Hal ini menyebabkan mudahnya masuk kuman sehingga terjadi dermatitis, misalnya oleh asam-asam kuat atau pelarut organik.
3.
Bahan kimia merusak lapisan corneum/lapisan keratin sehingga fungsi pelindung kulit menurun dengan segala akibat-akibatnya, misalnya oleh bahan alkali dan detergen kuat.
43
4.
Merangsang lapisan keratin, keratin formation menyebabkan terjadinya hyperkeratosis atau pertumbuhan ganas pada kulit, misalnya oleh arsen, teradiasi ultraviolet.
5.
Mengendapkan protein kulit sehingga terjadi koagulasi protein, misalnya oleh logam-logam berat dan asam kuat.
6.
Bahan perangsang bersifat photo sensitivity, sehingga apabila sesudah kontak lalu kena sinar matahari, maka kerusakan kulit akan menjadi lebih berat, misalnya oleh bahan-bahan parfum, dan senyawa hidrokarbon lainnya. Sebanyak 70-80% dari semua penyakit kulit akibat kerja disebabkan oleh perangsang primer yang menimbulkan dermatitis kontak iritasi. Berat ringannya iritasi kulit tergantung pada: konsentrasi bahan kimia, lama pemaparan, sifatsifat bahan iritasi, pemakaian alat pelindung diri. Menurut Siregar (2009), beberapa jenis dermatitis kontak seperti dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam kuat, basa kuat, logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan misalnya sabun, detergen dan pelarut organik. Jenis dermatitis lain adalah dermatitis kontak alergi biasanya disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia atau lainnya yang meningkatkan sensivitas kulit. Tingkat keasaman suatu bahan kimia akan meningkat seiring dengan semakin rendahnya pH bahan kimia tersebut. Semakin asam larutan maka makin kecil nilai pH, dan sebaliknya. Bila pH berkurang, konsentrasi ion
44
hidronium akan meningkat, dan konsentrasi ion hidroksida berkurang. Bahan kimia yang mempunyai pH kurang dari 7 bersifat asam. Bila Anda perhatikan, nilai pH merupakan eksponen negatif dari konsentrasi ion hidronium. Sebagai contoh, larutan basa kuat dengan konsentrasi ion hidronium 10 -11 M mempunyai pH 11. Larutan asam kuat dengan pH 1 mempunyai konsentrasi ion hidronium 10 -1 M. Hal ini dikarenakan asam/basa kuat terionisasi sempurna, maka konsentrasi ion H + setara dengan konsentrasi asamnya. Atau dalam kata lain di dalam larutan netral, konsentrasi ion hidroksida dan ion hidronium adalah sama (Azizah, 2010) 4. Suhu Djuanda, dkk (1999) dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin menyebutkan bahwa dermatitis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi dipengaruhi faktor-faktor seperti bahan yang bersifat iritan, lama kontak, kekerapan, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan taruma fisis juga suhu dan kelembaban lingkungan. Berdasarkan Kepmenkes No. 1405/MenKes/SK/XI/2002 tentang nilai ambang batas kesehatan lingkungan kerja, suhu udara yang dianjurkan adalah 18 °C – 28 °C. American Academy of Dermatology (2010) menyebutkan bahwa dermatitis disebabkan oleh lingkungan yang ekstrim termasuk suhu yang tinggi. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2008) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dermatitis kontak dan suhu ruangan.
45
5. Kelembaban Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang Nilai Ambang Batas Kesehatan Lingkungan Kerja, membatasi kelembaban lingkungan kerja yaitu pada kisaran 40 % - 60 %. American Academy of Dermatology (2010), menyebutkan bahwa salah satu penyebab dermatitis disebabkan oleh kelembaban yang tinggi selain disebabkan oleh suhu yang tinggi. Pada penelitian Lestari, dkk (2008), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada kelembaban < 65 %
sebesar 74 %,
sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban ≥ 65 % sebesar 0 %. Pada penelitian Lestari, dkk (2008) tidak ada perbedaan antara faktor kelembaban dengan terjadinya dermatitis kontak. 6. Musim Dermatitis akibat kerja banyak dijumpai pada musim panas karena pengeluaran keringat meningkat dan pekerja kurang senang memakai alat pelindung diri bahkan lebih suka pakai celana pendek, kaus singlet atau tanpa baju sehingga lebih mudah kontak dengan bahan kimia. Cuaca dingin menyebabkan pekerja malas mandi atau mencuci tangan setelah berkontak dengan bahan kimia (Gilles L et.al, 1990 dalam Situmeang, 2008).
46
2.5.2
Faktor Internal (Endogen) Dermatitis adalah penyakit yang kompleks, dengan patogenesis multifaktorial,
termasuk
faktor
individu
(faktor
internal)
yang
berkontribusi dalam penyakit ini (Agner & Menne, 2006). Variabelvariabel individu atau internal terkait dermatitis akan dibahas di bawah ini. 1. Jenis Kelamin Menurut Djuanda (1999), insiden kejadian dermatitis kontak lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Hasil penelitian Yusfinah, dkk (2008) menunjukkan bahwa penderita yang memiliki hasil uji tempel positif terdiri dari 58% wanita dan 42% pria. Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003) mengenai dermatitis kontak pada pasien rawat jalan di RSUP Medan menunjukkan dari 40 pasien yang diuji tempel ternyata bahwa jenis kelamin yang terbanyak mengalami dermatitis kontak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nuraga (2006), bahwa perempuan ternyata lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan pria. Insiden pada wanita lebih tinggi di usia muda, sedangkan pada pria kejadian akan meningkat sesuai dengan peningkatan usia.
47
2. Usia Menurut Ganong (2006) dalam Ernasari (2012), Pekerja muda lebih sering menderita dermatitis kontak akut karena lalai dalam bekerja, sering keluar perusahaan sehingga terkena sinar matahari, lingkungan basa, dan panas tinggi. Umumnya keterampilan mereka juga kurang. Penelitian Lestari (2007) menunjukkan hasil analisis hubungan antara usia pekerja dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh bahwa sebanyak 60,5% pekerja yang berusia < 30 tahun terkena dermatitis kontak, sedangkan diantara pekerja yang berusia > 30 tahun hanya sekitar 35,1% yang terkena dermatitis kontak. Dalam penelitian ini, dengan tingkat kepercayaan 95% (OR=2,824) mempunyai kesimpulan bahwa pekerja muda mempunyai risiko atau peluang 2,8 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja berusia tua. Menurut hasil penelitian Erliana (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak 50% terjadi pada kelompok umur 30-35 tahun dibandingkan dengan umur 36-40 tahun (33,3%), dan umur 24-29 tahun (16,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,350). Menurut Erliana (2008), usia bukan merupakan faktor risiko yang mempengaruhi dermatitis kontak. Dalam konteks determinan kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis dapat menyerang semua
48
kelompok usia, artinya usia bukan merupakan faktor resiko utama terhadap paparan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak, sedangkan dari perbandingan penelitian cenderung didominasi oleh masa kerja pekerja dalam suatu perusahaan bukan dari aspek makin lama usia hidupnya menyebabkan resiko terhadap terjadinya dermatitis kontak. 3. Masa Kerja Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseoramg dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya. Hasil penelitian Erliana (2008) mengungkapkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak dengan p value sebesar 0,018. Dalam penelitian tersebut juga dapat diketahui bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak paling banyak adalah pekerja dengan masa kerja < 6 tahun (61,5%) sedangkan pekerja yang terkena dermatitis kontak dengan masa kerja > 6 tahun hanya terdapat sebesar 18,8%. Situmeang (2008) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa 12 orang pekerja yang menderita dermatitis mempunyai masa kerja < 1 tahun dan yang menderita dermatitis dengan masa kerja > 2 tahun sebanyak 15 orang. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan dermatitis kontak (pvalue 0.794). Sedangkan
penelitian
yang dilakukan oleh
Lestari (2007)
menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki masa bekerja ≤2 tahun lebih
49
banyak yang terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (66,7%), dibandingkan dengan 17 orang (36,2%) dari 47 pekerja yang telah bekerja selama >2 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik terlihat bahwa terdapat perbedaan proporsi terkena dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja yang memiliki masa kerja ≤2 tahun dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja >2 tahun terlihat dari nilai p value sebesar 0,014. 4. Jenis Pekerjaan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah pekerja yang mengalami dermatittis kontak berdasarkan jenis pekerjaannya. Pada penelitian tersebut, di unit proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak sebesar 60,4%, yaitu artinya lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang tidak terkena dermatitis kontak (39,6%). Hal di unit proses realisasi berbanding terbalik dengan hasil dari unit proses pendukung. Pada unit proses pendukung, pekerja yang tidak terkena dermatitis kontak (68,8%) lebih banyak daripada yang terkena dermatitis kontak (32,2%). Hasil uji satistik diperoleh nilai p value= 0,02 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan proporsi penyakit dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja di unit proses realisasi dengan pekerja di unit proses pendukung. Hasil analisis menunjukkan nilaai OR sebesar 3,358. Hal ini berarti pekerja pada unit proses realisasi
50
memiliki peluang 3,358 kali (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di unit proses pendukung. Hasil penelitian yang didapatkan oleh Kusriastuti (1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dan dermatitis kontak. Dalam penelitian tersebut didapatkan pvalue sebesar 0,000 dan OR 6,21 (2,41- 16,35), dimana artinya terdapat hubungan antara jenis pekerjaan dengan dermatitis kontak. Nilai OR pada analisis antara jenis pekerjaan dan dermatitis kontak mempunyai arti bahwa pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang risiko 6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena dermatitis kontak. 5. Riwayat Alergi Djuanda (2007) menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak akibat kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu, dan riwayat penyakit sebelumnya. Pekerja yang sebelumnya atau sedang menderita penyakit kulit atau memiliki riwayat alergi akan lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya. Fungsi perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan
51
kulit, rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH kulit. Menurut penelitian Cahyawati (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis pada nelayan (p value=0,018) dengan proporsi nelayan yang memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%) dan nelayan yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh hasil penelitian Lestari (2007) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi. Hal ini terlihat dari nilai p value 0,383 > 0,05 pada CI 95%. 6. Jenis Kulit Menurut Haryoga (2009), kulit yang tipis (seperti wajah, genital) jauh lebih mudah terkena dermatitis kontak daripada kulit telapak tangan yang lebih tebal dari kulit wajah atau genital. Bisa saja kontak terhadap suatu substansi yang berkontak dengan tangan bermanifestasi pertama kali sebagai dermatitis kelopak mata, atau dermatitis penis, dan kemudian baru muncul dermatitis tangan. Istilah tebal dan tipis mengacu pada ketebalan epidermis. Sebagian besar tubuh ditutupi oleh kulit tipis, yaitu 0,003 inci (0,08 mm). Kulit ini
52
mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea, dan otot pili arrector. Epidermis pada kulit yang tebal mungkin enam kali lebih tebal daripada epidermis yang menutupi permukaan tubuh secara umum. Kulit tebal tidak memiliki rambut, otot polos, atau kelenjar sebaceous. Kulit tebal di telapak tangan, ujung jari, dan telapak kaki dapat dilindungi oleh banyak lapisan sel-sel keratin yang telah terkornifikasi. (Balaban & Bobick, 2008). 7. Keringat Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan menghanyutkan bahan-bahan iritan. Hyperhidrosis menyebabkan miliaria dan macerasi kulit di lipatan ketiak, pangkal paha atau pusat, dan mudah terjadi sekunder infeksi. Keringat dapat juga merubah bahan-bahan yang larut dalam air menjadi bentuk lain dan mempermudah absorbsi melalui pori-pori kulit. Gas-gas
yang mudah larut dalam air seperti hydrogen
chlorida dan ammonia bila dihisap akan segera larut dalam cairan mucosa saluran napas bagian atas yang selalu basah sehingga sering menyebabkan iritasi dan lesi seperti rhinitis dan infeksi saluran napas bagian atas lainnya (Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012). Menurut Nielloud (2003), pada kasus dermatitis atopi, terdapat fitur klinis seperti pruritus, eksim, lichenifikasi dan kekeringan kulit, super infeksi dari bakteri atau jamur. Kulit dermatitis atopik ditandai dengan hipereaktivitas banyak faktor dan peradangan. Dermatitis ini adalah faktor predisposisi
untuk kulit sensitif. Kulit sensitif akan memiliki
53
kecenderungan untuk hipersensitif terhadap agen topikal dengan gejala kulit kering seperti eritema dan scaling dan juga berbagai bentuk ketidaknyamanan seperti menyengat, membakar dan gatal. Kulit yang berminyak (lebih tahan terhadap sabun, bahan pelarut dan zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering kurang tahan terhadap chemical dehydration seperti asam, basa, detergen dan bahan pelarut lemak, misalnya terpentine, benzol dan sabun. Kulit yang banyak rambutnya mudah terkena folliculitis bila kontak dengan minyak, gemuk, coklat ataupun debu (Gilles L et.al, 1990 dalam Situmeang, 2008). Selain itu kelenjar minyak dalam kulit dapat menjaga kelembaban kulit dan menjaga kulit agar tidak kering. Kulit atopik dan sensitif keduanya ditandai dengan fungsi penghalang terganggu. Kurangnya lipid interseluler seperti kolesterol, ceramides, asam lemak esensial-terorganisir dalam struktur lipid berlapislapis antara corneocytes menyebabkan kehilangan air ditingkatkan transepidermal, dan inadekuatnya stimulasi pada ujung saraf sehingga masukan dari neurosensorik tinggi. Hal ini juga memberikan kontribusi untuk reaksi kekebalan ditingkatkan melalui berubahnya penyerapan perkutan. Kenyataannya pengembangan microfissures epitel menjadi xerosis memungkinkan masuknya alergen kulit dan pathogen.
54
8. Ras Kulit putih lebih rentan terkena dermatitis dibandingkan dengan kulit hitam. Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri karena kulitnya kaya akan melanin. Mereka jarang menderita tumor kulit oleh radiasi ultraviolet, kurang peka terhadap debu kimia, bahan pelarut dan alkali. Melanin merupakan pigmen kulit yang berfungsi sebagi proteksi atau perlindungan kullit. Melanoosit turut berperan dalam melindungi kulit dari pengaruh sinar matahari maupun gangguan fisis, mekanis dan kimiawi (Djuanda, 1999). 9. Riwayat Penyakit Kulit Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit non occupational cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses, seperti pekerja-pekerja dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting oil dan ter, sering menderita dermatitis. Pekerja dengan riwayat atopic dermatitis bila bekerja di lingkungan panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat. Karyawan dengan psoriasis atau dermatitis kronik akan menjadi lebih berat bila tempat lesi dikenai bahan kimia atau terjadi penekanan. Pekerja dengan hyperhidrosis mudah mendapat penyakit kulit bila kontak dengan bahan yang larut dalam air. (Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) yang menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis pada pekerjaan sebelumnya
55
sebanyak 9 orang (81,8%) dari 11 orang pekerja. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya sebanyak 30 orang (43,5%) terkena dermatitis dari 69 orang pekerja. Uji statistik yang dilakukan untuk meilhat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak antara pekerja yang memiliki riwayat dermatitis kontak akibat pekerjaan sebelumnya dengan yang tidak, menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna dengan pvalue 0,042. Hasil penelitian dari Cahyawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor riwayat penyakit kulit menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis, dengan pvalue
0,006. Pada penelitian tersebut,
sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebesar 90% dan pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat penyakit kulit sebesar 10%. 10. Riwayat atopi Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Rystedt (1985), Bryld et.al (2003) dan Nilsson & Black (1986) dalam Agner & Menne (2006) menunjukkan secara komprehensif bahwa riwayat atopi sangat mempunyai arti penting bagi pengembangan dermatitis iritasi di tangan. Dalam eksperimen studi TEWL yang telah dilaporkan pasien
56
dengan atopik dermatitis dilaporkan bereaksi lebih parah terhadap iritasi dari kontrol yang sehat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Agner & Menne (2006) menunjukkan bahwa pasien dengan dermatitis atopi dilaporkan telah beraksi lebih cepat dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Tetapi abnormalitas yang ada pada pasien dengan dermatitis atopi tidak ditemukan pada pasien dengan atopi di saluran nafas (respiratory atopy) yang tidak menderita dermatitis atopi. Coenraads et.al (2006) dalam Agner & Menne (2006) juga menyebutkan bahwa fakta yang terkumpul dari dahulu sampai saat ini adalah riwayat dermatitis atopi adalah faktor risiko terhadap dermatitis kontak iritan. Studi terdahulu menyebutkan bahwa atopi hampir tiga kali lebih besar pada penderita dermatitis di tangan pada populasi umum atau kontrol yang sehat. Lalu belakangan ini diketahui bahwa dermatitis atopi berhubungan erat dengan dermatitis kontak iritan, bukan dengan dermatitis kontak alergi. Sedangkan hasil penelitian Nuraga dkk (2007) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara adanya riwayat atopi dengan tidak ada riwayat atopi terhadap terjadinya dermatitis kontak dengan nilai pvalue 0.199.
57
11. Personal Hygiene Pekerja yang kurang bersih misalnya tidak membersihkan badan sehabis bekerja, tidak memakai alat pelindung atau memakai pakaian yang telah terkontaminer akan lebih mudah dermatoses akibat kerja. Lestari (2007) dalam penelitiannya memperlihatkan hasil bahwa pekerja dengan personal hygiene yang baik dan menderita dermatitis kontak sebanyak 10 orang (41,7%) dari 24 orang yang terkena dermatitis kontak. Sedangkan dengan personal hygiene yang kurang baik, pekerja yang terkena dermatitis sebanyak 29 orang (51,8%) dari 56 orang pekerja. Hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara personal hygiene yang baik dan personal hygiene yang kurang baik. Hal ini terlihat dari pvalue sebesar 0,588. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah masalah mencuci tangan. Kebiasaan mencuci tangan seharusnya dapat mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat kerja akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja, namun pada kenyataannya potensi untuk terkena dermatitis tetap ada. Kesalahan dalam melakukan cuci tangan dapat menjadi salah satu penyebabnya. Misalnya kurang bersih dalam mencuci tangan sehingga masih tersisa bahan kimia yang menempel pada permukaan kulit pekerja.
58
Pemilihan jenis sabun cuci tangan juga dapat berpengaruh terhadap kebersihan sekaligus kesehatan kulit pekerja. Sebaiknya memilih sabun cuci tangan yang dapat menghilangkan bahan kimia tangan namun tidak merusak lapisan pelindung kulit tangan. Jika jenis sabun ini ditemukan dapaty menggunakan pelembab tangan setelah mencuci tangan. Usaha mengeringkan tangan setelah dicuci juga dapat berperan dalam mencegah semakin parahnya kondisi kulit karena tangan yang lembab. 12. Penggunaan APD Pada pabrik yang aktivitasnya banyak menggunakan tangan biasanya
mengharuskan pekerjanya minimal menggunakan sarung
tangan sebagai alat pelindung diri pada saat bekerja. Seorang pekerja yang bekerja dengan mengoperasikan mesin melibatkan tangan harus dilindungi dengan sarung tangan atau pelindungan tangan. Pemakaian sarung tangan bagi beberapa orang menimbulkan masalah seperti perasaan kaku, risih, maupun mengganggu penampilan. Meskipun begitu pada bidang industri, sarung tangan memberikan perlindungan terhadap bahaya yang mungkin terjadi di mana pekerjaan tersebut menimbukan kemungkinan resiko kecelakaan yang berbahaya bagi diri dan anggota badan pekerja tersebut. Sarung tangan dapat melindungi pekerja dari kemungkinan celaka seperti kejutan aliran listrik, terbakar, maupun percikan logam panas.
59
Pada pabrik yang banyak bersentuhan dengan zat-zat kimia biasanya menggunakan jenis sarung tangan yang terbuat dari karet dan tahan terhadap ancaman terkontaminasi cairan yang berbahaya. Sarung tangan tersebut harus tipis dan lentur melapisi ketat melekat pada tangan hingga siku tangan pekerja secara kuat sehingga tidak boleh kendur. Jenis sarung tangan dan penggunaan pada bidang ini adalah sarung tangan sekali pakai, begitu setelah dipakai kemudian dibuang. Penggunaan APD merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
dermatitis
kontak.
Hasil
penelitian
Erliana
(2008)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan proporsi antara pekerja yang menggunakan APD dengan pekerja yang tidak menggunakan APD. Proporsi pekerja yang tidak menggunakan APD diketahui 87,5% menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan APD hanya 19,0%. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa variabel penggunaan APD mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak dengan p value 0,001. Nuraga, dkk (2006) juga menyebutkan bahwa besarnya risiko kelompok pekerja yang kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan dengan kelompok pekerja yang menggunakan APD terhadap kejadian dermatitis kontak (positif) adalah 8,556. Artinya pekerja yang kadangkadang memakai APD mempunyai risiko mengalami dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar dari pekerja yang selalu menggunakan APD. Nilai
60
kisaran (minimum dan maksimum) Odds Ratio sebesar 2,018-36,279, berarti bahwa dengan tingkat kepercayaan 95% kelompok responden yang kadangkadang menggunakan APD mempunyai risiko yang lebih besar
dibandingkan
dengan
kelompok
responden
yang
selalu
menggunakan APD. Hal ini karena batas minimum lebih besar dari satu (2,018 > 1) menunjukkan arti yang signifikan bahwa kelompok responden
yang
kadang-kadang
menggunakan
APD
cenderung
mempunyai risiko lebih besar dibandingkan kelompok responden yang selalu menggunakan APD untuk terjadinya dermatitis kontak (positif). 2.6 Kerangka Teori Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006), Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008) menyebutkan bahwa faktor- faktor yang berhubungan dengan dengan dermatitis kontak adalah faktor eksternal ( bahan iritan, lama kontak, frekuensi kontak, lingkungan seperti musim, suhu dan kelembaban), faktor internal (faktor perbedaan jenis kulit, usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, keringat, masa kerja, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan (personal hygiene)) dan penggunaan APD.
61
Bagan 2.2 Kerangka Teori
1. Faktor Eksternal a. Lama kontak b. Frekuensi kontak c. Bahan iritan d. Musim, e. Suhu f. kelembaban 2. Faktor internal: a. jenis kulit b.Usia c. Ras d.Jenis kelamin e. Riwayat penyakit kulit f. Riwayat atopi, g.Masa kerja h.Riwayat alergi, i. Keringat, j. Jenis pekerjaan, k. Kebiasaan mencuci (personal hygiene)) l. Penggunaan APD
Dermatitis Kontak
tangan
Sumber: Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006), Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008)
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu kepada Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006), Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008) yang menyebutkan bahwa faktor- faktor yang berhubungan dengan dengan dermatitis kontak adalah faktor eksternal ( bahan iritan, lama kontak, frekuensi kontak, lingkungan seperti musim, suhu dan kelembaban), faktor internal (faktor perbedaan jenis kulit, usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, keringat, masa kerja, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan (personal hygiene)) dan penggunaan APD. Dari kerangka teori yang dipaparkan, pada penelitian ini variabel dependennya adalah kejadian dermatitis kontak, sedangkan variabel indepedennya adalah faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, dan jenis pekerjaan) Sedangkan variabel- variabel yang tidak diteliti adalah bahan iritan karena bahan yang digunakan sama, musim karena musim di kelurahan Ciputat dan Ciputat Timur sama, ras karena ras bersifat homogen, jenis kelamin karena bersifat homogen (96,2% pekerja adalah laki-laki), kebiasaan mencuci tangan (personal
62
63
hygiene), jenis kulit, keringat dan penggunaan APD. Jenis kulit tidak diteliti dikarenakan pengukurannya harus melalui pengujian laboratorium. Keringat tidak diteliti dikarenakan terlalu sulit menentukan kulit yang berkeringat pada pekerjaan basah, sehingga jika dilakukan secara subjektif dikhawatirkan terdapat kerancuan dalam hasilnya nanti. Penggunaan APD tidak diteliti karena saat melakukan studi pendahuluan diketahui bahwa dari semua pekerja pembuat tahu tidak ada yang memakai APD, sehingga jika diteliti tidak ada variasinya. Sama halnya dengan penggunaan APD, kebiasaan mencuci tangan atau personal hygiene tidak diteliti karena saat studi pendahuluan diketahui bahwa semua pekerja tidak ada yang memiliki personal hygiene yang baik. Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan 3.1 sebagai berikut: Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Faktor Eksternal a. lama kontak, b. frekuensi kontak, c. suhu d. kelembaban Faktor Internal e. usia f. riwayat penyakit kulit g. riwayat atopi, h. riwayat alergi, i.masa kerja, j.jenis pekerjaan
Kejadian Dermatitis Kontak
Sumber : Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006), Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008)
64
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel 1 Dermatitis Kontak
2
Lama Kontak
3
Frekuensi Kontak
4
Suhu
5
Kelembaban
6
Usia
Definisi Operasional Peradangan kulit yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit pekerja dengan gejala kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kering, mengelupas dan bersisik. Jangka waktu pekerja berhubungan langsung dengan bahan kimia (Asam Cuka Asam cuka encer / batu tahu / kalsium sulfat/sioh koo) dalam dalam satu hari kerja.
Alat Ukur Lembar Pemeriksaa n dokter
Cara Ukur Diagnosis dokter
Kriteria 0. Dermatitis 1. Tidak Dermatitis
Skala Ordinal
Kuesioner
Pengisian kuesioner oleh pekerja dan self administered
Jam/hari
Rasio
kekerapan responden berkontak dengan bahan kimia (Asam Cuka Asam cuka encer / batu tahu / kalsium sulfat/ sioh koo) dalam beberapa kali per harinya. Derajat panas atau dingin lingkungan kerja yang tercatat pada alat ukur Istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah uap air yang terkandung di dalam campuran air-udara dalam fase gas di lokasi orang bekerja Jumlah tahun hidup pekerja dihitung sejak tahun kelahiran sampai penelitian berlangsung. Dibulatkan ke atas bila > 6 bulan, dan dibulatkan ke bawah bila < 6
Kuesioner
Pengisian x/hari kuesioner oleh pekerja dan self administered Tingkat suhu dalam °C °C Tingkat % kelembaban dalam %
Rasio
Pengisian kuesioner oleh pekerja dan self administered
Rasio
Thermohygrometer Thermohygrometer
Kuesioner dan pengecekan KTP
Tahun
Interval Interval
65
bulan
No Variabel 7 Jenis Pekerjaan
Definisi Operasional Alat Ukur Jenis kegiatan yang dilakukan oleh pekerja Kuesioner saat membuat tahu.
8
Masa Kerja
Lama kerja yang telah dilalui pekerja sampai Kuesioner pada saat penelitian berlangsung
9
Riwayat Alergi Reaksi tubuh pekerja yang berlebihan Kuesioner terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja.
10
Riwayat Atopi
11
Riwayat penyakit kulit
Penyakit pada pekerja yang mempunyai Kuesioner riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi. Penyakit kulit yang sebelumnya pernah di Kuesioner derita berupa peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya.
Cara Ukur Pengisian kuesioner oleh pekerja dan self administered Pengisian kuesioner oleh pekerjadan self administered Pengisian kuesioner oleh pekerja dan self administered Pengisian Kuesioner oleh pekerja dan self administered Pengisian Kuesioner oleh pekerja dan self administered
Kriteria 0. Penyaringan 1. Lainnya.
Tahun
Skala Ordinal
Rasio
0. Memiliki Ordinal Riwayat 1. Tidak Memiliki Riwayat 0. Atopi Ordinal 1. Tidak Atopi
0. Ada riwayat penyakit kulit 1. Tidak ada riwayat penyakit kulit
Ordinal
66
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 2. Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 3. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 4. Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 5. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 6. Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 7. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.
67
8. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 9. Ada hubungan antara masa kerja dengan
kejadian dermatitis kontak pada
pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. 10. Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko
kejadian dermatitis kontak pada pekerja
pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional (potong lintang) dimana data variabel dependen dan
independen diamati pada waktu
(periode) yang sama. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 pada pabrik tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur, Tangerang Selatan. 4.3 Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah pekerja pembuat tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur, Tangerang Selatan yang berjumlah 79 orang. Sedangkan sampel yang diambil adalah pekerja pembuat tahu yang mewakili populasi, yaitu bekerja pada pabrik tahu yang pabriknya berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur,
68
69
Tangerang Selatan. Pengambilan sampel dilakukan secara uji beda dua proporsi dengan rumus berikut:
z n
1 / 2
2 P 1 P Z1 P11 P1 P 2(1 P 2)
P1 P22
2
Keterangan: n
: Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok pertama
P2
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok kedua : Rata-rata proporsi ((P1+ P2)/2)) : Derajat kemaknaan
pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar
5%=1,96 : Kekuatan uji
yaitu sebesar 95%=1,64
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan memakai derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uj
i
95%. Perhitungan sampel akan dilakukan berdasarkan variabel yang akan diteliti yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun spesifikasinya yaitu:
70
1. Lama kontak Berdasarkan penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak < 5 jam per hari sebesar 5% dan pekerja dengan lama kontak > 5 jam per hari sebesar 70%. 2. Frekuensi Kontak Hasil penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi < 7x/hari sebesar 9,25%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi > 8x/hari sebesar 64,88%. 3. Usia Berdasarkan penelitian Lestari, dkk (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang berusia < 30 tahun (P1) sebesar 60,5% dan pekerja yang berusia > 30 tahun (P2) sebesar 35,1%. 4. Masa Kerja Berdasarkan penelitian Erliana (2008), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada masa kerja < 6 tahun (P1) sebesar 18,8% sedangkan proporsi pada populasi dengan masa kerja > 6 tahun sebesar 61,5%.
71
5. Riwayat Alergi Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat alergi (P1) adalah 57,7%, sedangkan proporsi pada populasi yang tidak memiliki riwayat alergi adalah 44%. 6. Suhu Berdasarkan penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada suhu < 24°C sebesar 67,5% sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada suhu > 24 °C yaitu sebesar 32,5%. 7. Kelembaban Berdasarkan penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada kelembaban < 65% (P1) sebesar 74% sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban > 65% (P2) sebesar 0%.
72
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel Variabel Lama Kontak
Frekuensi Kontak
Usia
Masa Kerja
Riwayat Alergi
Diketahui P1 = 5%= 0,05 P2= 70%=0,7 P=0,375 P1= 9,25%=0,0925 P2=64,8%= 0,648 P=0,37 P1= 60,5%=0,605 P2=35,1%=0,351 P= 0,478 P1=18,8 %=0,188 P2=61,5%=0,615 P=0,4
Total Sampel
N= 62
N= 66
N= 139
N=53
P1=57,7%=0,577 P2=44,4%=0,44 P=0,458 N=723
Suhu
Kelembaban
P1=67,5=0,675 P2=32,5=0,325 P=0,5
N= 189
P1=74%=0,74 P2=0 P=0,37
N= 35
Populasi pembuat tahu di Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur adalah 79 orang. Berdasarkan perhitungan sampel, maka sampel minimal yang dapat diambil adalah sebanyak 66 orang. Metode sampling yang diambil adalah sampel jenuh, sehingga peneliti mengambil sampel sebanyak
73
populasi yaitu 79 orang. Tetapi pada saat dilakukan penelitian, responden yang bersedia untuk menjadi sempel hanya 71 orang. Walau berkurang 8 orang tetapi jumlah sampel yang didapatkan tetap memenuhi jumlah sampel minimal. 4.4 Instrumen Penelitian 4.4.1 Lembar Pemeriksaan Dokter Diagnosa dermatitis kontak ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan anamnesis yang dilakukan oleh dokter, dengan hasil ukur dermatitis kontak atau tidak dermatitis kontak. Hasilnya akan dicatat dalam lembar pemeriksaan dokter. 4.4.2 Pengukur Suhu dan Kelembaban Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan alat thermohigrometer.
Berikut ini cara kerja
thermohigrometer (Mutoif, 2008) : 1. Alat digantung dalam ruangan, atau diletakkan diatas meja, jangan selalu dipegang. 2. Untuk mengetahui hasilnya menunggu 15 menit, kemudian dibaca dengan cara melihat angka yang ditunjuk oleh jarum. 4.4.3 Kuesioner Salah satu instrumen yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden adalah angket atau kuesioner. Kuesioner
74
tertutup merupakan kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden cukup hanya memilih pada kolom yang sudah disediakan dengan memberi tanda silang (X). Kuesioner tertutup digunakan dengan alasan agar lebih sistematis sehingga memudahkan responden dalam menjawab pertanyaan, selain itu keterbatasan waktu penelitian dan keterbatasan biaya menjadi alasan digunakannya kuesioner tertutup. Variabel yang dapat diketahui dari kuesioner tertutup yaitu lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat penyakit kulit , riwayat atopi , jenis pekerjaan dan riwayat alergi. 4.5 Pengumpulan Data 4.5.1 Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari pekerja pembuat tahu di pabrik tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur. Data primer yang akan diteliti dapat diperoleh dari kuesioner antara lain: usia (diperkuat dengan pengecekan KTP), masa kerja, lama kontak, frekuensi kontak, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, jenis pekerjaan dan riwayat alergi. Suhu dan kelembaban diperoleh dari hasil pengukuran langsung di tempat kerja menggunakan termohigrometer.
75
4.6 Pengolahan Data Seluruh data yang terkumpul akan diolah melalui tahap-tahap pengolahan data. Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan agar data siap untuk diuji statistik dan dilakukan analisis atau interpretasi. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut: 4.6.1 Data coding Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberi kode untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. 4.6.2 Data editing Penyuntingan sebelum proses pemasukan data. Sebelum diolah, data diteliti apabila ada kesalahan dan dibetulkan apabila masih ada kesalahan serta memeriksa kelengkapannya. 4.6.3 Data structure Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat menggunakan data structure, bagi masing-masing variabel perlu ditetapkan nama, skala ukur variabel, jumlah digit. 4.6.4 Data entry Merupakan proses pemasukan data ke dalam program atau fasilitas analisis data di dalam komputer.
76
4.6.5 Data cleaning Merupakan proses pembersihan data setelah data di entri. Cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. Tahapan cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan mengetahui konsistensi data. 4.7 Teknik Analisis Data 4.7.1 Analisa Univariat Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan presentase dari variabel dependen dan variabel independen antara faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban ) dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan. 4.7.2 Analisa Bivariat Analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel independen yaitu antara faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) terhadap faktor dependen yaitu kejadian dermatitis kontak. Analisa bivariat menggunakan uji chi-square untuk variabel kategorik dan untuk variabel numerik menggunakan uji Mann-Withney karena data yang diperoleh tidak berdistribusi
77
normal. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Jika P value < 0,05 maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan bermakna antara variabel independen dan variabel dependen.
BAB V HASIL 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di pabrik tahu yang bergerak dalam sektor informal dimana pekerjaannya masih menggunakan cara-cara tradisional. Pabrik tahu yang menjadi lokasi penelitian berjumlah 7 (tujuh) buah pabrik yang tersebar dalam wilayah Kecamatan Ciputat dan Wilayah Kecamatan Ciputat Timur pada tahun 2012. Jumlah pekerja yang bekerja pada ketujuh pabrik tersebut adalah sebanyak 79 orang. Jika dilihat dari hasil produksinya, terdapat 2 pabrik tahu yang menghasilkan tahu goreng, 1 pabrik tahu yang menghasilkan tahu putih dan tahu goreng, 1 pabrik menghasilkan tahu putih super, 1 pabrik menghasilkan tahu putih super, tahu putih Jambi dan tahu goreng, 1 pabrik menghasilkan tahu putih dan tahu kuning, 1 pabrik lainnya hanya menghasilkan tahu putih. Walaupun berbeda hasil produksi tahunya, tetapi bahan yang digunakan dan proses pembuatan tahu secara keseluruhan adalah sama. Dalam satu kali produksi, rata-rata pabrik tahu di Wilayah Ciputat dan Ciputat Timur mampu mengolah sebanyak 5 (lima) kuintal kacang kedelai. Hasil produksinya tidak hanya dipasarkan di wilayah Tangerang Selatan, tetapi juga dipasarkan di wilayah Pondok Labu yaitu di pasar Pondok Labu. Salah satu pabrik juga langsung memasok hasil produksinya ke supermarket. Berdasarkan wawancara terhadap salah satu pemilik pabrik, setiap 10 kg kacang kedelai dapat menghasilkan 100 buah tahu putih super atau 400 buah
78
79
tahu putih Jambi atau dapat pula menghasilkan 600 buah tahu goreng. Semua pemilik pabrik tahu mengaku tidak menambahkan bahan- bahan berbahaya seperti formalin kedalam tahu mereka. Bahan penyedap yang digunakan hanya garam dan kunyit (untuk tahu kuning). Para pekerja di pabrik tahu umumnya tidak mengetahui bahwa larutan penggumpal yang digunakan untuk mengendapkan protein kedelai adalah termasuk zat kimia. Larutan penggumpal ini hanya mereka sebut dengan asam yang terbuat dari batu tahu atau sioh koh. Larutan penggumpal ini tidak setiap hari dibuat. Batu tahu atau sioh koh digunakan sebagai bibit pertama larutan penggumpalan. Jika larutan penggumpalan yang terbuat dari sioh koh tersebut selesai digunakan maka akan disimpan dan digunakan kembali pada keesokan harinya. Dalam buku yang ditulis oleh Suprapti (2005), larutan sisa penggumpalan yang dipakai lagi keesokan harinya disebut dengan whey. Lebih tepatnya whey adalah cairan sisa proses penggumpalan dalam pembuatan tahu yang masih dapat digunakan lagi sebagai bahan penggumpalan selanjutnya. Agar dapat digunakan lagi untuk menggumpalkan protein dalam pembuatan tahu, sisa cairan (whey) harus disimpan selama 1 x 24 jam untuk memberikan kesempatan kepada bakteri asam cuka untuk memfermentasikannya (Ariawiyana, 2012). Dari hasil pengujian pH dari cairan penggumpal atau whey, didapatkan kisaran pH whey yang digunakan oleh para pekerja pembuat tahu sebesr 3-4. Artinya zat penggumpal ini memang bersifat asam. Tingkat keasaman suatu bahan kimia akan meningkat seiring dengan semakin rendahnya pH bahan
80
kimia tersebut. Semakin asam larutan maka makin kecil nilai pH, dan sebaliknya. Bila pH berkurang, konsentrasi ion hidronium akan meningkat, dan konsentrasi ion hidroksida berkurang. Bahan kimia yang mempunyai pH kurang dari 7 bersifat asam (Azizah, 2010). Bagian pekerjaan pada pabrik tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur terdiri dari bagian penggilingan, bagian penyaringan, bagian pencetakan, bagian pemotongan, bagian penggorengan serta bagian pengepakan. Bagian penggilingan bertugas melakukan perendaman, pencucian sampai penggilingan kedelai. Bagian penyaringan bertugas melakukan perebusan, penyaringan, pengendapan dan penambahan larutan penggumpal. Bagian pencetakan bertugas melakukan pencetakan dan pengepresan,bagian pemotongan bertugas memotong tahu, bagian penggorengan bertugas menggoreng tahu sedangkan bagian pengepakan bertugas menyusun tahu agar siap dijual. Tiga buah pabrik tahu yang berada di wilayah Ciputat Timur, pembagian kerjanya tidaklah jelas seperti ini. Pekerja pada ketiga pabrik tersebut mengerjakan semua bagian atau serabutan.
81
Gambar 5.1 Salah satu proses pembuatan tahu (pencetakan) Tabel 5.1 Gambaran Tahapan Proses Kerja Pada Pabrik Tahu Beserta Jenis Pekerjaan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
Tahapan Perendaman kedelai Pencucian kedelai Penggilingan Perebusan Penyaringan Pengendapan dan Penambahan larutan penggumpal (setelah disaring maka bubur tahu diendapkan pada larutan penggumpal) Pencetakan dan Pengepresan Pemotongan tahu Penggorengan Pengepakan Sumber: Data Primer
Bagian Kerja Penggilingan
Penyaringan
Pencetakan Pemotongan Penggorengan Pengepakan
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012 Data kejadian dermatitis diperoleh dari data primer. Data tersebut didapatkan melalui diagnosa dokter. Hasil penelitian mengenai gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 5.2.
82
Tabel 5.2 Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 No 1 2
Kejadian Dermatitis Dermatitis Tidak Dermatitis Total
N 37 34 71
Persentase (%) 52.1 % 47.9 % 100%
Dari data yang tercantum dalam Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa sebanyak 37 pekerja (52,1%) mengalami dermatitis kontak dan sebanyak 34 pekerja (47,9%) tidak mengalami dermatitis kontak. 5.2.2 Gambaran Faktor Eksternal dan Faktor Internal Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak terdiri dari faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan). Distribusi faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
83
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Masa Kerja, Usia, Suhu dan Kelembaban) Pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012 No. 1 2 3 4 5 6
Variabel Lama Kontak Frekuensi kontak Masa Kerja Usia Suhu Kelembaban
Mean 1.59 jam/hari
SD 1.409
Min-Maks 0 jam/hari – 4 jam/hari
9 kali/hari
8.166
0 kali/hari-25 kali/hari
11.80 tahun 33 tahun 35.13 °C 51.85%
10.44 11.59 0.816 4.423
0 tahun - 42,5tahun 17 tahun -72 tahun 33.50°C – 37 °C 46% - 60 %
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi (Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Atopi, Riwayat Alergi, dan Jenis Pekerjaan) pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012 No. 1.
Variabel Riwayat Penyakit Kulit
2.
Riwayat Atopi
3.
Riwayat Alergi
4.
Jenis Pekerjaan
Kategori Memiliki Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Memiliki Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Memiliki Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Semua Bagian Penyaringan Penggorengan Pencetakan Pemotongan Penggilingan Pengepakan
Frekuensi 32 39
Persentase 45.1 % 54.9%
28 43
39.4 % 60.6 %
25 46
35.2 % 64.8 %
27 16 4 11 5 4 4
38.0% 22.5% 5.6% 15.5% 7.0% 5.6% 5.6%
84
5.2.2.1 Gambaran Faktor Eksternal Faktor eksternal dalam penelitian ini meliputi lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban. 1. Lama Kontak Data lama kontak diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden berdasarkan jangka waktu paparan bahan penggumpal yang dipakai dalam membuat tahu yang dihitung dalam satu hari kerja. Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rata-rata lama kontak adalah 1.59 jam/hari (1 jam 35 menit/hari) dengan standar deviasi 1.409, lama kontak minimum 0 jam/hari dan maksimum 4 jam/hari. 2. Frekuensi Kontak Data frekuensi kontak diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden berdasarkan kekerapan responden berkontak dengan bahan kimia dalam beberapa kali per harinya. Frekuensi kontak ini dihitung saat responden terpapar bahan penggumpal saat melakukan pekerjaan penyaringan. Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rata-rata frekuensi kontak adalah 9 kali/hari dengan standar deviasi 8.166. Frekuensi kontak minimum 0 kali/hari dan maksimum 25 kali/hari. 3. Suhu Ruangan Suhu ruangan diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan thermohigrometer. Suhu ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah
85
35,13 °C, dengan standar deviasi 0.816. Suhu ruangan minimum adalah 33.50°C dan suhu ruangan maksimum adalah 37 °C. 4. Kelembaban Ruangan Kelembaban
ruangan
diperoleh
dari
hasil
pengukuran
menggunakan thermohigrometer. Kelembaban ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah 51.85%, dengan standar deviasi 4.423. Kelembaban ruangan minimum adalah 46% dan kelembaban ruangan maksimum adalah 60 %. 5.2.2.2 Gambaran Faktor Internal Faktor internal dalam penelitian ini meliputi usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja dan jenis pekerjaan. Distribusi pekerja pembuat tahu menurut riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, dan jenis pekerjaan dapat terlihat pada tabel 5.4. Sedangkan variabel masa kerja dan usia dapat dilihat pada tabel 5.3. 1.
Usia Data usia diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden dimana data tanggal lahir akan dicocokkan dengan yang tertera di KTP. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan umur individu masing-masing. Gambaran distribusi usia responden terdapat pada tabel 5.3. Dari tabel 5.3 dapat
86
diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 33 tahun, usia termuda adalah 17 tahun, sedangkan usia pekerja tertua adalah 72 tahun dan jumlah usia yang paling banyak pada pekerja pembuat tahu adalah 31 tahun. Standar deviasi dari variabel usia adalah 11.59. 2.
Riwayat Penyakit Kulit Variabel riwayat penyakit kulit diketahui dengan cara pengisian kuesioner. Pada tabel 5.4 diketahui bahwa responden yang memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 32 orang (45.1 %) dan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 39 orang (54.9 %).
3.
Riwayat Atopi Variabel riwayat atopi diketahui dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Riwayat atopi dapat dilihat distribusinya dalam tabel 5.4. Responden yang memiliki riwayat atopi sebanyak 28 orang (39.4 %) dan yang tidak memiliki riwayat atopi sebanyak 43 orang (60.6 %).
4.
Riwayat Alergi Variabel riwayat alergi diketahui dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Riwayat alergi dapat dilihat distribusinya dalam tabel 5.4. Responden yang memiliki riwayat alergi sebanyak 25
87
orang (35.2 %) dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 46 orang (64.8 %). 5. Masa Kerja Data masa kerja diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.3. Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rata-rata masa kerja responden adalah 11.80 tahun (11 tahun 9 bulan) dengan standar deviasi 10.44. Responden ada yang bekerja belum genap satu tahun sehingga masa kerja minimal adalah 0 tahun dan responden dengan masa kerja terlama yaitu responden yang sudah bekerja sebagai pembuat tahu selama 42.5 tahun (42 tahun 6 bulan). 6. Gambaran Jenis Pekerjaan pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Data jenis pekerjaan diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.4. Responden yang bekerja pada semua bagian sebanyak 27 orang (38%), bagian penyaringan sebanyak 16 orang (22.5%), bagian penggorengan sebanyak 4 orang (5.6%), bagian pencetakan sebanyak 11 orang (15.5%), bagian pemotongan sebanyak 5 orang (7%), bagian penggilingan sebanyak 4 orang (5.6%), dan bagian pengepakan sebanyak 4 orang (5.6%).
88
5.3 Analisis Bivariat Tabel 5.5 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, suhu dan kelembaban) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012
No.
1.
Variabel
Lama kontak
2.
Frekuensi kontak
3.
4.
5.
6.
Usia
Masa Kerja
Suhu
Kelembaban
Kejadian Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak Tidak Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak Tidak Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak Tidak Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak Tidak Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak Tidak Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak Tidak Dermatitis Kontak
N
Mean Rank
P value
37
43,70
0.001
34
27,62
37
43,22
34
28,15
37
32,72
34
39,57
37
33.78
34
38.41
37
44,57
34
26,68
37
33,68
34
38,53
0.001
0.162
0.345
0.000
0.319
89
Tabel 5.6 Distribusi Pekerja menurut (riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, jenis pekerjaan) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012 No
Variabel
Kategori
1
Riwayat Penyakit Kulit
Memiliki Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Memiliki Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Memiliki Riwayat Tidak Memiliki Riwayat Penyaringan
2.
3.
4.
Riwayat Atopi
Riwayat Alergi
Jenis Pekerjaan
Bagian Lainnya
Frekuensi Dermatitis Tidak Total Dermatitis N % N % N % 22 68,8 10 31,3 32 100 15
38,5
25
61,5
39
100
22
78,6
6
21,4
28
100
15
34,9
28
65,1
43
100
19
76
6
24
25
100
18
39,1
28
60,9
46
100
30
69.8
13
30.2
43
100
7
25
21
75
28
100
P Value
OR (95% CI)
0,021
3,520 (1,311 – 9,448)
0,001
6,844 (2,280 – 20,545)
0,003
4,926 (1,65 – 14,684)
0,001
6.923 (2.36320.281)
90
5.3.1 Hubungan Antara Faktor Eksternal dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 1. Hubungan Antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik antara lama kontak dan dermatitis kontak didapatkan mean rank sebesar 43.70 untuk responden yang mengalami dermatitis kontak dan pada responden yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebesar 27.62. Nilai probabilitas atau pvalue yang dihasilkan adalah sebesar 0.001, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan dermatitis kontak. 2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.5, mean rank yang dihasilkan dari uji bivariat antara frekuensi kontak dan lama kontak adalah sebesar 43.22 untuk responden yang mengalami dermatitis kontak dan mean rank untuk responden yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebesar 28.15. Nilai probabilitas atau pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0.001. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak.
91
3. Hubungan Antara Suhu Ruangan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Jika dilihat dari tabel 5.5, nilai mean rank pada pengujian antara suhu dan dermatitis kontak adalah sebesar 44.57 untuk responden yang mengalami dermatitis kontak. Sedangkan pada responden yang tidak mengalami dermatitis kontak mempunyai mean rank sebesar 26.68. Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara suhu dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0.000. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara suhu dengan dermatitis kontak. 4. Hubungan Antara Kelembaban Ruangan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.5, perbedaan mean rank pada variabel kelembaban antara responden yang mengalami dermatitis kontak dengan yang tidak mengalami dermatitis kontak, perbedaannya tidak jauh. Pada responden yang mengalami dematitis kontak mempunyai mean rank sebesar 33.68, sedangkan pada responden yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebesar 38.53. Nilai pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara kelembaban dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0.319. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan dermatitis kontak.
92
5.3.2 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 1. Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Hasil uji statistik menunjukkan mean rank usia pada responden yang menderita dermatitis kontak adalah sebesar 32.72 (tabel 5.5), tidak terpaut jauh dengan nilai mean rank pada responden yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 39.57. Hubungan antara variabel usia dan dermatitis kontak mempunyai pvalue sebesar 0.162. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. 2. Hubungan Antara Penyakit Kulit dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan tabel 5.6, diperoleh bahwa responden yang mengalami dermatitis dan memiliki riwayat penyakit kulit sebanyak 22 orang (68.8%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 15 orang (38.5%). Sedangkan responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit namun tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 10 orang (31.3%) dan responden yang tidak mempunyai riwayat penyakit kulit dan tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 25 orang (61.5%).
93
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0.021. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit kulit dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 3.520. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah 3,52 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit. 3. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan
tabel
5.6,
diperoleh
bahwa
responden
yang
mengalami dermatitis dan memiliki riwayat atopi sebanyak 22 orang (78.6%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 15 orang (34.9 %). Responden yang memiliki riwayat atopi tetapi tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 6 orang (21.4%) dan responden yang tidak memiliki riwayat atopi dan tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 28 orang (65.1%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,001. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat atopi dengan dermatitis kontak pada pekerja
94
pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,844. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah 6,844 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat atopi. 4. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan
tabel
5.6,
diperoleh
bahwa
responden
yang
mengalami dermatitis dan memiliki riwayat alergi sebanyak 19 orang (76%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat alergi adalah sebanyak 18 orang (39.1%). Responden yang memiliki riwayat alergi namun tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 6 orang (24%) sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat alergi dan tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 28 orang (60.9%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,006. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 4.926. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat alergi untuk terkena dermatitis kontak adalah
95
4.926 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat alergi. 5. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Dari hasil tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pada analisis antara variabel masa kerja dan dermatitis kontak menghasilkan nilai pvalue yang lebih dari 0.05 yaitu 0.345 (0.345 > 0.05), dimana menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak. Mean rank masa kerja pada responden yang menderita dermatitis kontak adalah sebesar 33.78, tidak terpaut jauh dengan nilai mean rank masa kerja pada responden yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 38.41. 6. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan tabel 5.6, responden yang mengalami dermatitis pada bagian penyaringan yaitu sebanyak 30 orang (69,8%), pada bagian lainnya sebanyak 7 orang (25%). Responden yang bekerja pada bagian penyaringan tetapi tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 13 orang (30,2%) dan pekerja yang bekerja dibagian lain dan tidak mengalami dermatitis kontak ada sebanyak 21 orang (75%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue sebesar 0,001. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang
96
bermakna antara jenis pekerjaan dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6.923. Artinya adalah risiko responden yang bekerja pada bagian penyaringan untuk terkena dermatitis kontak adalah 6.923 kali dibandingkan dengan responden yang bekerja pada bagian lainnya.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga lemah dalam menganalisis hubungan sebab akibat. 2. Pada penelitian ini, diagnosa dermatitis kontak oleh dokter umum, bukan dilakukan oleh dokter spesialis. Selain itu tidak dilakukan penegakan diagnosa lebih lanjut misalnya dengan melakukan uji tempel. 3. Penelitian ini direncanakan akan menggunakan metode pengambilan sampel jenuh, tetapi saat penelitian dilakukan, dari target responden 79 orang yang didapat hanya 71 orang. Walaupun demikian, jumlah tersebut telah memenuhi jumlah sampel minimal sebesar 69 orang. 4. Hasil penelitian pada variabel seperti pada lama kontak, frekuensi kontak, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, dan masa kerja walau hasilnya terdapat hubungan, tetapi kemungkinan terdapat bias informasi karena variabel ini bergantung kepada kejujuran responden dan ingatan responden. 6.2 Kejadian Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksternal dan atau faktor internal, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
97
98
skuama, likenifikasi) dan gatal (Djuanda, 1999). Menurut Keppres RI no 22/1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja, dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu adalah penyakit akibat kerja yang penyebabnya digolongkan ke golongan kimiawi. Tetapi menurut Harahap (1990), menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit mereka. Seringkali lokasi awal ruam merupakan suatu petunjuk penting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 71 pekerja pembuat tahu di Ciputat dan Ciputat Timur didapatkan sebanyak 37 responden (52,1%) mengalami dermatitis kontak dan sebanyak 34 responden (47,9%) tidak mengalami dermatitis kontak. Pekerja pembuat tahu mengaku rasa gatal dan panas akan dirasakan seseorang jika baru pertama kali bekerja. Apalagi jika sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan bahan yang mengandung asam. Selain rasa gatal dan panas, pekerja juga merasakan kelainan kulit berupa fissura (kulit pecah-pecah) dan exudat yang berisi cairan bening. Pekerja banyak yang tidak mengetahui bahwa gejala yang mereka rasakan adalah dermatitis kontak sehingga kebanyakan dari mereka tidak melakukan pengobatan karena gejala ringan seperti gatal dan perih dapat hilang jika mereka berhenti bekerja.
99
Lokasi terjadinya dermatitis kontak pada pekerja pada pembuat tahu terdapat di telapak tangan, sela jari tangan, dan lengan. Hal ini terjadi karena mereka tidak ada yang menggunakan alat pelindung diri berupa sarung tangan sehingga dermatitis kontak banyak timbul didaerah sekitar tangan. Beberapa pekerja yang memakai sepatu boots terhindar dari dermatitis pada kaki. Selain dermatitis, pada kaki pekerja juga sering menderita kutu air. Selain tidak menggunakan APD, kurang sadarnya pekerja dalam menjaga kebersihan diri juga dapat meningkatkan peluang terjadinya dermatitis kontak. Pekerja tidak disediakan tempat cuci tangan dengan air bersih dan sabun sehingga mereka tidak mencuci tangannya dengan baik saat beralih dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang lainnya. Kejadian dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang terkena larutan penggumpal yang digunakan saat tahapan penyaringan, dimana pekerja akan mencampurkan air kedelai yang telah direbus dan disaring kelarutan penggumpal yang mengandung asam. Pabrik tahu di Ciputat dan Ciputat Timur memberi keterangan bahwa larutan ini pertama kalinya terbuat dari sioh koh. Mereka juga mengaku tidak menambahkan bahan kimia yang berbahaya seperti formalin. Mereka hanya menggunakan garam untuk memberikan rasa asin pada tahu.
100
Gambar 6.1 Dermatitis pada pekerja pembuat tahu
6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. 6.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak Menurut Hudyono (2002), pekerja yang berkontak dengan bahan kimia menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Kontak dengan bahan kimia yang bersifat iritan atau alergen secara terus menerus akan menyebabkan kulit pekerja mengalami kerentanan mulai dari tahap yang ringan sampai tahap yang berat. Lama kontak adalah jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan kimia dalam hitungan jam/hari. Setiap pekerja memiliki lama kontak yang berbedabeda sesuai dengan proses kerjanya. Semakin lama berkontak dengan bahan
101
kimia maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Lestari, 2007). Pada penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata lama kontak pekerja pembuat tahu dengan bahan kimia yang digunakan untuk tahap penggumpalan adalah 1,59 jam/hari (1 jam 35 menit/hari) dengan standar deviasi 1,409. Pekerja ada yang berkontak langsung dengan bahan penggumpal, ada pula yang sama sekali tidak berkontak dengan larutan penggumpal, tergantung jenis pekerjaan mereka. Sehingga lama kontak minimum pada penelitian ini adalah 0 jam/hari dan lama kontak maksimum yaitu 4 jam/hari. Hasil uji statistik antara lama kontak dan dermatitis kontak didapatkan pvalue sebesar 0,001, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lestari, dkk (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue 0,003). Hasil penelitian Lestari, dkk (2008) menunjukkan bahwa pekerja yang berkontak lebih lama cenderung lebih banyak menderita dermatitis kontak daripada pekerja dengan jangka waktu paparan lebih singkat. Seperti dengan hal yang diungkapkan oleh Hudyono (2002) sebelumnya, bahan penggumpal tahu yang mengandung asam dapat menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak dengan bahan kimia maka akan
102
semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, maka sebaiknya pemilik pabrik mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin yang terbuat dari sari air laut. Sisa air Nigarin mempunyai pH netral bahkan layak untuk diminum sehingga tidak menyebabkan dermatitis, selain itu limbah Nigarin juga ramah lingkungan. Tahu yang terbuat dari Nigarin akan menghasilkan tahu dengan kandungan Kalsium, magnesium dan Vitamin B12. Pemilik pabrik tahu sebaiknya menyediakan fasilitas untuk mencuci tangan yang memadai agar pekerja dapat mencuci tangan dengan mudah. Pekerja juga sebaiknyamenjaga kebersihan diri (personal hygiene) seperti melakukan cuci tangan yang baik setelah berkontak dengan bahan penggumpal tersebut untuk mengurangi lama kontak dengan bahan kimia. Selain itu, pemakaian alat pelindung diri (APD) berupa sarung tangan yang menutupi sampai bagian lengan dan baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh dapat dijadikan alternatif untuk mengendalikan lama kontak. Baju kerja yang digunakan haruslah yang nyaman karena suhu ruangan di pabrik tahu cukup panas. Sepatu boots juga harus dipakai saat bekerja dan dijaga kebersihannya.
103
6.3.2 Hubungan Antara Frekuensi Kontak Dengan Dermatitis Kontak Cohen (1999) menyebutkan bahwa frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Pada penelitian ini data frekuensi kontak diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden berdasarkan kekerapan responden berkontak dengan bahan kimia dalam beberapa kali per harinya. Frekuensi kontak ini dihitung saat responden terpapar bahan penggumpal saat melakukan pekerjaan penyaringan. Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa rata-rata frekuensi kontak adalah 9 kali/hari dengan standar deviasi 8,166. Frekuensi kontak minimum 0 kali/hari dan maksimum 25 kali/hari. Nilai pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0,001. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak yaitu dengan pvalue sebesar 0,000. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lingga (2011) bahwa terdapat hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue 0,002)
104
Produksi tahu yang selalu banyak setiap hari (rata-rata 5 kuintal per pabrik) kemungkinan menyebabkan para pekerja lebih banyak melakukan proses penyaringan (langsung terpapar oleh larutan penggumpal) sehingga frekuensi kontak pekerja lebih tinggi dan kemungkinan menyebabkan dermatitis kontak. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Cohen (1999) bahwa frekuensi kontak yang berulang terhadap larutan pengendap pada proses penyaringan akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak. Seperti pengendalian pada variabel lama kontak, untuk pengendalian frekuensi kontak sebaiknya pemilik pabrik tahu mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin yang terbuat dari sari air laut. Sisa air Nigarin mempunyai pH netral bahkan layak untuk diminum sehingga tidak menyebabkan dermatitis. Pemilik pabrik tahu juga sebaiknya menyediakan wadah yang lebih besar untuk bak penyaringan. Jika menggunakan wadah penyaringan yang lebih besar, frekuensi melakukan penyaringan dapat dikurangi dan itu akan mengurangi frekuensi pekerja dalam berkontak dengan bahan penggumpal saat tahapan penyaringan. Selain itu, penggunaan mesin pengaduk dan mesin penyaring juga dapat mengurangi frekuensi pekerja berkontak dengan bahan penggumpal. Selama ini disemua pabrik di Ciputat dan Ciputat Timur masih menggunakan cara tradisional dalam membuat tahu, tidak ada yang menggunakan mesin atau alat yang canggih dalam pembuatan tahu.
105
Frekuensi kontak juga dapat dikurangi dengan mencuci tangan yang baik. Pemilik pabrik tahu sebaiknya menyediakan fasilitas untuk mencuci tangan yang memadai agar pekerja dapat mencuci tangan dengan mudah. Pemakaian APD (sarung tangan, wearpack, sepatu boots) dapat dijadikan alternatif untuk mengendalikan frekuensi kontak. Baju kerja yang digunakan haruslah yang nyaman karena suhu ruangan di pabrik tahu sangat panas. Sepatu boots juga harus dipakai saat bekerja dan dijaga kebersihannya. 6.3.3 Hubungan Antara Suhu dengan Dermatitis Kontak Djuanda, dkk (1999) dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin menyebutkan bahwa dermatitis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi dipengaruhi faktor-faktor seperti bahan yang bersifat iritan, lama kontak, kekerapan, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan taruma fisis juga suhu dan kelembaban lingkungan. American Academy of Dermatology (2010) juga menyebutkan bahwa dermatitis salah satunya dapat disebabkan suhu lingkungan yang tinggi. Suhu ruangan pada penelitian ini cukup tinggi. Suhu ruangan minimum yang terdapat pada penelitian ini adalah 33.50°C dan suhu ruangan maksimum adalah 37 °C.
Berdasarkan Kepmenkes No. 1405/MenKes/SK/XI/2002
tentang nilai ambang batas kesehatan lingkungan kerja industri, suhu udara yang dianjurkan adalah 18 °C – 30 °C. Sehingga suhu rata-rata pada penelitian ini
tidak
sesuai
dengan
ketentuan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.1405/MenKes/SK/IX/2002 mengenai nilai ambang batas kesehatan
106
lingkungan kerja karena suhu rata-rata yang diperoleh yaitu 35,13 °C. Standar deviasi
suhu ruangan yang didapat adalah sebesar 0.816. Pvalue yang
didapatkan dari hasil analisis antara suhu dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0,000. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara suhu dengan dermatitis kontak. Hasil penelitian ini sesuai dengan hal yang dikemukakan oleh American Academy of Dermatology (2010) bahwa dermatitis salah satunya dapat disebabkan suhu lingkungan yang tinggi, sehingga kemungkinan cukup tingginya suhu pada pabrik tahu pada penelitian ini menjadi faktor yang berhubungan dermatitis. Apalagi jika orang tersebut mempunyai riwayat dermatitis atopi, suhu lingkungan yang panas akan memicu terjadinya gejala dermatitis yang lebih parah menurut American Academy of Dermatology (2010). Sebaiknya pada ruangan pabrik tahu diberikan sirkulasi udara yang memadai untuk mengurangi suhu di dalam ruangan yang amat panas. Ruangan dapat diberikan ventilasi seperti jendela yang lebar dan local exhaust agar sirkulasi udara didalam ruangan lancar. Saat proses pekerjaan berlangsung, membuka jendela dan membuka pintu diharapkan dapat melepaskan panas ke luar ruangan. Sistem local exhaust harus dirancang berdekatan dengan titik operasi dimana kontaminan (dalam hal ini panas) dilepaskan. Selain itu sebaiknya untuk dapur diberikan ruangan khusus yang
107
terpisah dari ruang produksi agar asap dan uap panas yang dihasilkan oleh kompor tidak menyebar ke seluruh ruangan. 6.3.4 Hubungan Antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak Kelembaban ruangan diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan thermohigrometer. Kelembaban ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah 51.85%, dengan standar deviasi 4.423. Kelembaban ruangan minimum adalah 46% dan kelembaban ruangan maksimum adalah 60 %. Berdasarkan tabel 5.4, pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara kelembaban dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0,319. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan dermatitis kontak. Kelembaban rata-rata di ruangan pabrik tahu adalah 51.85%, hal ini telah
sesuai
dengan
ketentuan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang Nilai Ambang Batas Kesehatan Lingkungan Kerja Industri, yaitu 65 % - 95 %. Kemungkinan kelembaban dengan dermatitis tidak menunjukkan hubungan yang signifikan adalah karena kelembaban pada pabrik tahu masih dalam ambang batas Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/XI/2002. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari, dkk (2008) dimana proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada kelembaban < 65 % sebesar 74 %, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban ≥ 65 % sebesar 0 %. Pada penelitian
108
tersebut tidak ada perbedaan antara faktor kelembaban dengan terjadinya dermatitis kontak. Dalam penelitian ini bahwa pekerja yang berada pada kelembaban kurang dari 95%
tetapi menderita dermatitis kontak (37 orang) ternyata
mempunyai lama kontak diatas rata-rata, yaitu sebesar 2 jam/hari. Frekuensi kontak pada kelompok ini juga diatas rata-rata yaitu sebanyak 12 kali/hari. Selain lama kontak dan frekuensi kontak, pekerja yang berada pada kelembaban kurang dari 95% dan menderita dermatitis kontak ternyata 59.5% mempunyai riwayat atopi dan riwayat penyakit kulit, 51.4% diantaranya juga mempunyai riwayat alergi dan 81.1% bekerja pada bagian penyaringan. Pekerja yang berada pada kelembaban kurang dari 95% dan menderita dermatitis kontak juga rata-rata bekerja pada suhu ruangan sebesar 35.49°C dimana suhu tersebut melebihi dari rata-rata suhu ruangan yang ada (35.13°C). Pada penelitian ini, dermatitis kontak yang dialami oleh pekerja walau pekerja tersebut bekerja pada kelembaban yang aman salah satunya disebabkan oleh frekuensi kontak yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh Cohen (1999) bahwa frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak. Selain itu, lama kontak diatas rata-rata (2 jam/hari) juga dapat menjadi variabel yang mendominasi daripada variabel kelembaban, karena pekerja yang berkontak dengan bahan kimia menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan
109
luar, semakin lama berkontak dengan bahan
kimia maka akan semakin
merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Kontak dengan bahan kimia yang bersifat iritan atau alergen secara terus menerus akan menyebabkan kulit pekerja mengalami kerentanan mulai dari tahap yang ringan sampai tahap yang berat (Hudyono, 2002). Sebanyak 59.5% pekerja yang mempunyai riwayat atopi dan riwayat penyakit kulit mengalami dermatitis kontak walau berada dalam kelembaban lingkungan yang aman (kurang dari 95%). Hal ini dikarenakan pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses seperti dermatitis kontak (Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012). Selain itu seseorang yang memiliki riwayat atopi juga lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa 51.4% pekerja yang mengalami dermatitis dan berada pada kelembaban yang aman diantaranya mempunyai riwayat alergi. Pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat alergi atau sedang menderita penyakit kulit akan lebih mudah mendapat dermatitis kontak akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya. Fungsi perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan kulit, rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH kulit (Djuanda, 2007). Variabel jenis pekerjaaan dalam penelitian ini juga mendominasi faktor kelembaban. Dimana pekerja yang berada pada kelembaban aman namun
110
mengalami dermatitis kontak sebanyak 81.1% bekerja pada bagian penyaringan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Kusriastuti (1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu yang menunjukkan bahwa pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang risiko 6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena dermatitis kontak. Suhu ruangan pada penelitian ini cukup tinggi. Pekerja yang berada pada kelembaban kurang dari 95% dan menderita dermatitis kontak rata-rata bekerja pada suhu ruangan sebesar 35.49°C. Sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/IX/2002. Suhu lingkungan yang panas akan memicu terjadinya gejala dermatitis yang lebih parah menurut American Academy of Dermatology (2010). Sehingga menurut hasil penelitian ini, suhu ruangan menjadi salah satu faktor yang mendominasi variabel kelembaban ruangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, terdapat faktor yang lebih mendominasi faktor kelembaban untuk menyebabkan kejadian dermatitis kontak, yaitu faktor frekuensi kontak, lama kontak, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, jenis pekerjaan khususnya bagian penyaringan dan suhu ruangan dimana pekerja bekerja setiap harinya. 6.3.5 Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak Menurut Ganong (2006) dalam Ernasari (2012), Pekerja muda lebih sering menderita dermatitis kontak akut karena lalai dalam bekerja, terkena
111
lingkungan basa, dan panas tinggi. Umumnya keterampilan mereka juga kurang. Pada penelitian ini, data usia yang dituliskan dalam kuesioner oleh responden dicocokkan dengan data yang ada di KTP. Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 33 tahun, usia termuda adalah 17 tahun, sedangkan usia pekerja tertua adalah 72 tahun. Hasil uji statistik pada analisis bivariat menunjukkan pvalue sebesar 0,162. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan seperti yang dikatakan oleh Ganong (2006) dan tidak sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007), hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Erliana (2008) bahwa usia bukan merupakan faktor risiko yang mempengaruhi dermatitis kontak. Menurut Erliana (2008) dalam konteks determinan kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis dapat menyerang semua kelompok usia, artinya usia bukan merupakan faktor resiko utama terhadap paparan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa pekerja yang berusia lebih dari 30 tahun tetapi menderita dermatitis kontak sebanyak 78.9% mempunyai riwayat penyakit kulit, sebanyak 63.2% mempunyai riwayat alergi dan mempunyai riwayat atopi sebanyak 52.6%. Pekerja yang berusia lebih dari
112
30 tahun tetapi menderita dermatitis kontak sebanyak 78.9% mempunyai riwayat penyakit kulit. Menurut Ganong (2006) dalam Ernasari (2012) pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses seperti dermatitis kontak. Sehingga dalam penelitian ini riwayat penyakit kulit menutupi faktor usia. Selain itu diketahui bahwa pekerja yang berusia lebih dari 30 tahun tetapi menderita dermatitis kontak sebanyak 52.6% mempunyai riwayat atopi. Dimana diketahui bahwa seseorang yang memiliki riwayat atopi juga lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Sehingga memudahkan untuk terjadinya dermatitis kontak. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sebanyak 63.2% pekerja yang berusia lebih dari 30 tahun tetapi menderita dermatitis kontak mempunyai riwayat alergi. Pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat alergi atau sedang menderita penyakit kulit akan lebih mudah mendapat dermatitis kontak akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya. Fungsi perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan kulit, rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH kulit (Djuanda, 2007). Sehingga pada penelitian ini dapat dilihat bahwa riwayat alergi adalah salah satu faktor yang mendominasi usia pekerja untuk mengalami dermatitis kontak. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kejadian dermatitis kontak dapat menyerang semua usia (tidak tergantung dari usianya). Jika
113
pekerja berusia tua atau lebih dari 30 tahun, mereka terkena dermatitis kontak belum tentu dikarenakan lamanya usia mereka berkecimpung dalam membuat tahu. Tetapi kemungkinan pekerja berusia tua tersebut mengalami dermatitis kontak karena mereka mempunyai riwayat atopi, riwayat alergi ataupun riwayat penyakit kulit. 6.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Dermatitis Kontak Variabel riwayat penyakit kulit diketahui dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Riwayat penyakit kulit sebelumnya merupakan riwayat peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja. Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit non occupational cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses, seperti pekerjapekerja dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting oil dan ter sering menderita dermatitis. Pekerja dengan riwayat atopic dermatitis bila bekerja di lingkungan panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat. Karyawan dengan psoriasis atau dermatitis kronik akan menjadi lebih berat bila tempat lesi dikenai bahan kimia atau terjadi penekanan. Pekerja dengan hyperhidrosis mudah mendapat
114
penyakit kulit bila kontak dengan bahan yang larut dalam air. (Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012). Variabel riwayat penyakit kulit diketahui dengan cara pengisian kuesioner. Pada tabel 5.3 diketahui bahwa responden yang memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 32 orang (45,1 %) dan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 39 orang (54,9 %). Hasil analisis bivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang mengalami dermatitis dan memiliki riwayat penyakit kulit sebanyak 22 orang (68,8%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 10 orang (31,3%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,021. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit kulit dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 3,520. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah 3,52 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) yang menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis pada pekerjaan sebelumnya sebanyak 9 orang (81,8%) dari 11 orang pekerja. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat dermatitis akibat pekerjaan
115
sebelumnya sebanyak 30 orang (43,5%) terkena dermatitis dari 69 orang pekerja. Uji statistik yang dilakukan untuk meilhat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak antara pekerja yang memiliki riwayat dermatitis kontak akibat pekerjaan sebelumnya dengan yang tidak, menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna dengan pvalue 0,042. Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian dari Cahyawati (2011) yang menyebutkan bahwa faktor riwayat penyakit kulit menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis, dengan pvalue
0,006. Pada
penelitian tersebut, sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebesar 90% dan pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat penyakit kulit sebesar 10%. Pekerja pembuat tahu banyak mengeluhkan bahwa mereka merasakan gatal, rasa terbakar, perih, kemerahan, pembentukan lepuh kecil pada kulit, dan penebalan pada kulit pada bagian telapak tangan, lengan, dan kaki. Beberapa juga pernah mengalami perandangan kulit dibagian punggung. Pekerja mengaku mengobati perandangan yang ada pada kulitnya dengan salep atau bedak untuk mengurangi gejala yang mereka rasakan. Kejadian dermatitis kontak yang di alami oleh para pembuat tahu kemungkinan dipicu oleh penyakit kulit yang sebelumnya pernah diderita. Saat pengobatan yang dilakukan tidak tuntas, maka kulit yang terdapat luka terbuka akan
116
memudahkan bahan kimia masuk ke dalam kulit dan menyebabkan dermatitis atau bahkan memperparah dermatitis tersebut. Sehingga sebaiknya pekerja diharapkan meningkatkan kesadarannya terhadap penyakit kulit yang diderita dan juga mengenai dermatitis kontak. Sehingga pekerja dapat mengurangi potensi terkena dermatitis kontak. Sebaiknya jika pekerja mempunyai penyakit kulit, pekerja harus melakukan pengobatan terhadap penyakit kulit tersebut sampai sembuh. Sebaiknya pekerja selalu menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan yang baik dan benar. Benar dalam arti tahapan mencuci tangan dan baik dalam artian bahan yang digunakan untuk mencuci tangan. Sebaiknya bagi pekerja pembuat tahu yang memiliki penyakit kulit khususnya memakai alat pelindung diri seperti sarung tangan yang panjangnya sampai lengan, sepatu boots dan pakaian kerja yang menutupi seluruh badan tetapi tetap nyaman dipakai. Dikhawatirkan jika sedang mengalami penyakit kulit lain lalu tidak memakai alat pelindung diri yang memadai, penyakit kulit yang di derita akan semakin parah. 6.3.7 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Variabel riwayat atopi diketahui dengan cara pengisian kuesioner oleh responden dan pengisiannya didampingi oleh peneliti. Riwayat atopi
dilihat dari penyakit pada pekerja berdasarkan
117
kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi. Riwayat atopi dapat dilihat distribusinya dalam tabel 5.3. Responden yang memiliki riwayat atopi sebanyak 28 orang (39,4 %) dan yang tidak memiliki riwayat atopi sebanyak 43 orang (60,6 %). Berdasarkan tabel 5.5, diperoleh bahwa responden yang mengalami dermatitis dan memiliki riwayat atopi sebanyak 22 orang (78,6%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 15 orang (34,9 %). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,001. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat atopi dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,844. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah 6,844 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat atopi. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,844. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah 6,844 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat atopi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rystedt (1985), Bryld et.al (2003) dan Nilsson & Black (1986) dalam Agner & Menne (2006) menunjukkan secara komprehensif bahwa riwayat atopi sangat
118
mempunyai arti penting bagi pengembangan dermatitis iritasi di tangan. Dalam eksperimen studi TEWL yang telah dilaporkan pasien dengan atopik dermatitis dilaporkan bereaksi lebih parah terhadap iritasi dari kontrol yang sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Agner & Menne (2006) menunjukkan bahwa pasien dengan dermatitis atopi dilaporkan telah beraksi lebih cepat dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Tetapi abnormalitas yang ada pada pasien dengan dermatitis atopi tidak ditemukan pada pasien dengan atopi di saluran nafas (respiratory atopy) yang tidak menderita dermatitis atopi. Coenraads et.al (2006) dalam Agner & Menne (2006) juga menyebutkan bahwa fakta yang terkumpul dari dahulu sampai saat ini adalah riwayat dermatitis atopi adalah faktor risiko terhadap dermatitis kontak iritan. Studi terdahulu menyebutkan bahwa atopi hampir tiga kali lebih besar pada penderita dermatitis di tangan pada populasi umum atau kontrol yang sehat. Lalu belakangan ini diketahui bahwa dermatitis atopi berhubungan erat dengan dermatitis kontak iritan, bukan dengan dermatitis kontak alergi. Sehingga hasil penelitian ini sejalan dengan hal yang diungkapkan oleh Agner & Menne (2006) dan Coenraads, et.al (2006) tersebut. Riwayat atopi memang tidak dapat langsung dihilangkan karena berhubungan dengan keturunan seseorang. Oleh karena itu pekerja diharapkan meningkatkan kesadaran mengenai penyakit akibat kerja terutama dermatitis kontak. Pekerja juga sebaiknya menjaga kebersihan tubuh khususnya dalam
119
mencuci tangan. Lakukan proses cuci tangan yang baik dengan memakai air mengalir dan sabun dan juga melakukan tahapan cuci tangan dengan benar. Untuk mendukung cuci tangan yang baik dan benar tersebut sebaiknya pemilik pabrik menyediakan wastafel untuk sarana mencuci tangan. Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boots juga memakai baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh juga diperlukan. Tentunya dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan pekerja sehingga tidak mengganggu pekerjaannya. 6.3.8 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak Djuanda (2007) menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak akibat kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, riwayat alergi terhadap makanan atau obatobatan tertentu, dan riwayat penyakit sebelumnya. Pekerja yang sebelumnya atau sedang menderita penyakit kulit atau memiliki riwayat alergi akan lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya. Fungsi perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan kulit, rusaknya saliuran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH kulit. Variabel riwayat alergi diketahui dengan cara pengisian kuesioner oleh responden dan pengisiannya didampingi oleh peneliti. Riwayat alergi dapat dilihat distribusinya dalam tabel 5.3. Responden yang memiliki riwayat alergi
120
sebanyak 25 orang (35,2 %) dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 46 orang (64,8 %). Berdasarkan tabel 5.5, diperoleh bahwa responden yang mengalami dermatitis dan memiliki riwayat alergi sebanyak 19 orang (76%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat alergi adalah sebanyak 18 orang (39,1%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,006. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 4,926. Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat alergi untuk terkena dermatitis kontak adalah 4,926 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat alergi. Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cahyawati (2011) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis pada nelayan (p value=0,018) dengan proporsi nelayan yang memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%) dan nelayan yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%).
121
Alergi yang banyak di derita oleh para pekerja pembuat tahu adalah alergi terhadap makanan seperti ikan dan udang. Lokasi alergi kebanyakan terdapat pada lengan dan paha. Saat terpapar alergen pekerja mengeluhkan bengkak, rasa gatal dan merah pada kulit. Kebanyakan dari mereka tidak melakukan pengobatan terhadap alergi tersebut. Mereka hanya menghindari memakan makanan yang mengandung alergen atau menghindari keterpaparan terhadap alergen. Pada pekerja yang menderita alergi sebaiknya menghindari bahan-bahan atau zat yang menjadi alergen pada tubuh dan sebaiknya jika terjadi reaksi alergi segera diobati dan berkonsultasi dengan dokter. Selain itu pekerja diharapkan meningkatkan kesadarannya terhadap alergi yang diderita dan juga mengenai dermatitis kontak. Sehingga pekerja dapat mengurangi potensi terkena dermatitis kontak. Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boots juga memakai baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Aspek kenyamanan pekerja dalam pemakaian APD tentunya harus diperhatikan agar tidak mengganggu pekerjaannya. 6.3.9 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya. Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa rata-rata masa kerja responden adalah 11,49 tahun (11 tahun 9 bulan) dengan standar deviasi 10,44. Responden ada yang bekerja belum genap satu tahun sehingga masa
122
kerja minimal adalah 0 tahun dan responden dengan masa kerja terlama yaitu responden yang sudah bekerja sebagai pembuat tahu selama 42,5 tahun (42 tahun 6 bulan). Dari hasil tabel 5.4 dapat diketahui bahwa rata-rata masa kerja responden yang menderita dermatitis kontak adalah 33,78 tahun. Sedangkan pada rata-rata masa kerja responden yang tidak menderita dermatitis adalah 38,41 tahun. Nilai pvalue yang lebih dari 0,05 (0,345 > 0,05) menunjukkan tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Suma’mur (1996), bahwa semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Erliana (2008) yang mengungkapkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak dengan pvalue sebesar 0,018. Dalam penelitian tersebut juga dapat diketahui bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak paling banyak adalah pekerja dengan masa kerja < 6 tahun (61,5%) sedangkan pekerja yang terkena dermatitis kontak dengan masa kerja > 6 tahun hanya terdapat sebesar 18,8%.
123
Walau pada variabel masa kerja dalam penelitian ini tidak sejalan dengan hal yang diungkapkan Suma’mur (1996) dan Erliana (2008), tetapi penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Situmeang (2008). Dimana di dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa 12 orang pekerja yang menderita dermatitis mempunyai masa kerja < 1 tahun dan yang menderita dermatitis dengan masa kerja > 2 tahun sebanyak 15 orang. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan dermatitis kontak (pvalue 0.794). Dalam penelitian ini terlihat bahwa pekerja dengan masa kerja yang seharusnya tidak berisiko terkena dermatitis kontak atau dengan masa kerja kurang dari 2 tahun ternyata tetap menderita dermatitis kontak. Hal ini terjadi kemungkinan dikarenakan oleh adanya faktor lain yang menjadikan seseorang yang bekerja kurang dari 2 tahun tersebut terkena dermatitis kontak. Dalam penelitian ini diketahui bahwa dari pekerja dengan masa kerja kurang dari 2 tahun dan menderita dermatitis kontak ternyata sebanyak 60% mempunyai riwayat penyakit kulit. Hal ini dikarenakan
pekerja yang
sebelumnya atau yang sedang sakit kulit cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses seperti dermatitis kontak (Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012). Selain itu, pekerja yang sebelumnya sedang menderita penyakit kulit atau memiliki riwayat alergi akan lebih mudah mendapat dermatitis kontak akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya (Djuanda, 2007).
124
Sebanyak 60% pekerja dengan masa kerja kurang dari 2 tahun dan menderita dermatitis kontak ternyata bekerja pada bagian penyaringan. Seperti diketahui sebelumnya bahwa bagian penyaringan memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue = 0,001). Selain itu juga telah diketahui bahwa dari hasil penelitian yang didapatkan oleh Kusriastuti (1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu yang menunjukkan bahwa pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang risiko 6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena dermatitis kontak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masa kerja tidak berhubungan dengan dermatitis dikarenakan adanya dominasi dari faktor lain yaitu riwayat penyakit kulit yang diderita pekerja dan jenis pekerjaan pada pekerja tersebut. 6.3.10
Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Dermatitis Kontak Data jenis pekerjaan diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.3. Responden yang bekerja pada semua bagian sebanyak 27 orang (38%), bagian penyaringan sebanyak 16 orang (22,5%), bagian penggorengan sebanyak 4 orang ( 5,6%), bagian pencetakan sebanyak 11 orang (15,5%), bagian pemotongan sebanyak 5 orang (7%), bagian penggilingan sebanyak 4 orang ( 5,6%), dan bagian pengepakan sebanyak 4 orang ( 5,6%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, responden yang mengalami dermatitis pada bagian penyaringan yaitu sebanyak 30 orang (69,8%), pada
125
bagian lainnya sebanyak 7 orang (25%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue sebesar 0,001. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,923. Artinya adalah risiko responden yang bekerja pada bagian penyaringan
untuk
terkena
dermatitis
kontak
adalah
6,923
kali
dibandingkan dengan responden yang bekerja pada bagian lainnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lestari (2007) bahwa terdapat perbedaan jumlah pekerja yang mengalami dermatittis kontak berdasarkan jenis pekerjaannya. Selain itu, hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Kusriastuti (1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu. Dalam penelitian tersebut didapatkan pvalue sebesar 0,000 dan OR 6,21 (2,4116,35), dimana artinya terdapat hubungan antara jenis pekerjaan dengan dermatitis kontak. Nilai OR pada analisis antara jenis pekerjaan dan dermatitis kontak mempunyai arti bahwa pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang risiko 6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena dermatitis kontak. Proses pekerjaan pada bagian penyaringan memang bersentuhan langsung dengan larutan penggumpal tahu. Dimulai dari merebus bubur kedelai hasil penggilingan, mencampurkan hasil rebusan dengan larutan
126
penggumpal dan diakhiri dengan menyaring hasil penggumpalan. Dari tahapan tersebut dapat dikatakan bahwa bagian penyaringan berisiko untuk terkena dermatitis kontak kemungkinan dikarenakan terpapar oleh larutan penggumpal yang bersifat asam dan di dukung oleh paparan air yang cukup panas saat mencampurkan larutan penggumpal dengan bubur kedelai hasil rebusan. Terkait dengan hasil tersebut, maka sebaiknya seperti yang telah disarankan sebelumnya bahwa larutan penggumpal dapat di ganti dengan bahan lain yang terbuat dari Nigarin. Pemakaian mesin pengaduk dan mesin penyaring juga dapat mengurangi keterpaparan bahan penggumpal yang bersifat asam tersebut. Selain itu pekerja diharapkan untuk tetap menggunakan alat pelindung diri berupa sarung tangan yang panjangnya sampai lengan dan sepatu boots agar tangan dan kaki tidak langsung bersentuhan dengan larutan penggumpal dalam proses penyaringan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Gambaran pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 yang menderita dermatitis kontak adalah sebanyak 37 orang (52,1%) dan sebanyak 34 pekerja (47,9%) tidak mengalami dermatitis kontak. 2. Gambaran faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: a. Rata-rata lama kontak adalah 1,59 jam/hari (1 jam 35 menit/hari) dengan standar deviasi 1,409, lama kontak minimum 0 jam/hari dan maksimum 4 jam/hari. b. Rata-rata frekuensi kontak adalah 9 kali/hari dengan standar deviasi 8,166. Frekuensi kontak minimum 0 kali/hari dan maksimum 25 kali/hari. c. Suhu ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah 35,13 °C, dengan standar deviasi 0.816. Suhu ruangan minimum adalah 33.50°C dan suhu ruangan maksimum adalah 37 °C.
127
128
d. Kelembaban ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah 51.85%, dengan standar deviasi 4.423. Kelembaban ruangan minimum adalah 46% dan kelembaban ruangan maksimum adalah 60 %. 3. Gambaran gambaran faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: a. Rata-rata usia responden adalah 33 tahun, usia termuda adalah 17 tahun, sedangkan usia pekerja tertua adalah 72 tahun dan jumlah usia yang paling banyak pada pekerja pembuat tahu adalah 31 tahun. Standar deviasi dari variabel usia adalah 11,59. b. Responden yang memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 32 orang (45,1 %) dan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 39 orang (54,9 %). c. Responden yang memiliki riwayat atopi sebanyak 28 orang (39,4 %) dan yang tidak memiliki riwayat atopi sebanyak 43 orang (60,6 %). d. Responden yang memiliki riwayat alergi sebanyak 25 orang (35,2 %) dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 46 orang (64,8 %). e. Rata-rata masa kerja responden adalah 11,49 tahun (11 tahun 9 bulan) dengan standar deviasi 10,44. Responden ada yang bekerja belum genap satu tahun sehingga masa kerja minimal adalah 0 tahun dan responden dengan masa kerja terlama yaitu responden yang sudah bekerja sebagai pembuat tahu selama 42,5 tahun (42 tahun 6 bulan).
129
f. Responden yang bekerja pada semua bagian sebanyak 27 orang (38%), bagian penyaringan sebanyak 16 orang (22,5%), bagian penggorengan sebanyak 4 orang ( 5,6%), bagian pencetakan sebanyak 11 orang (15,5%),
bagian
pemotongan
sebanyak
5
orang
(7%),
bagian
penggilingan sebanyak 4 orang ( 5,6%), dan bagian pengepakan sebanyak 4 orang ( 5,6%). 4. Faktor eksternal yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak dengan pvalue 0.001, frekuensi kontak dengan pvalue 0.001, suhu dengan pvalue 0.000. Sedangkan kelembaban tidak berhubungan dengan dermatitis kontak yaitu dengan pvalue 0.319. 5. Faktor internal yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah riwayat penyakit kulit dengan pvalue 0,021 , riwayat atopi dengan pvalue 0.001, riwayat alergi dengan pvalue 0.006, dan jenis pekerjaan dengan pvalue 0.001. Sedangkan faktor internal yang tidak berhubungan dengan dermatitis kontak adalah usia dengan pvalue 0.162 dan masa kerja dengan pvalue 0.345.
130
7.2 Saran 7.2.1 Saran Bagi Pekerja 1. Pekerja diharapkan meningkatkan kesadarannya terhadap penyakit kulit
yang diderita dan juga mengenai dermatitis kontak. Sehingga pekerja dapat mengurangi potensi terkena dermatitis kontak. 2. Pada pekerja yang menderita alergi sebaiknya menghindari bahan-bahan atau zat yang menjadi alergen pada tubuh dan sebaiknya jika terjadi reaksi alergi segera diobati dan berkonsultasi dengan dokter. 3. Sebaiknya jika pekerja mempunyai penyakit kulit, pekerja harus melakukan pengobatan terhadap penyakit kulit tersebut sampai sembuh. 4. Menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan yang baik dan benar. Baik dalam arti tahapan mencuci tangan dan bahan yang digunakan untuk mencuci tangan. 5. Sebaiknya sebelum bekerja, pembuat tahu di pabrik tahu menggunakan lotion kulit yang dapat menjaga kelembaban kulit. Setelah memakai lotion, gunakan APD berupa sarung tangan. Lotion juga dapat dipakai ketika telah selesai bekerja. 6. Memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan yang menutupi sampai bagian lengan dan baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh. Baju kerja yang digunakan haruslah yang nyaman karena suhu ruangan di pabrik tahu sangat panas. Sepatu boots juga harus dipakai saat bekerja dan dijaga kebersihannya.
131
7.2.2 Saran Bagi Pemilik Pabrik 1. Sebaiknya mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin yang terbuat dari sari air laut. Sisa air nigarin mempunyai pH netral, tidak menyebabkan dermatitis, bahkan dapat diminum. 2. Sebaiknya pabrik tahu menggunakan mesin pengaduk dan penyaring mekanik agar tidak sepenuhnya menggunakan tenaga manusia sehingga paparan terhadap larutan penggumpal dapat berkurang. 3. Sebaiknya pemilik pabrik tahu menyediakan wadah yang lebih besar untuk bak penyaringan. Jika menggunakan wadah penyaringan yang lebih besar, frekuensi melakukan penyaringan dapat dikurangi dan itu akan mengurangi frekuensi pekerja dalam berkontak dengan bahan penggumpal saat tahapan penyaringan. 4. Sebaiknya pada ruangan pabrik tahu diberikan sirkulasi udara yang memadai untuk mengurangi suhu di dalam ruangan yang amat panas. Ruangan dapat diberikan ventilasi seperti jendela yang lebar dan local exhaust agar sirkulasi udara didalam ruangan lancar. 5. Sebaiknya untuk dapur diberikan ruangan khusus yang terpisah dari ruang produksi agar asap dan uap panas yang dihasilkan oleh kompor tidak menyebar ke seluruh ruangan.
132
7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya 1. Dalam penelitian selanjutnya, sebaiknya diagnosa dermatitis kontak dilakukan dengan uji tempel agar hasilnya lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Agius, R., Seaton Anthony. Practical Occupational Medicine. United Kingdom : Edward Arnold Ltd. 2005 Agner, Tove, Torkil Menne. Individual Predisposition to Irritant and Allergic Contact Dermatitis. Handbook Contact Dermatitis 4th Edition. 2006 American Academy of Dermatology. Heat, Humidity, and emotions: Possible Triggers for
Atopic
Dermatitis.
2010.
Available:
www.skincarephysicians.com/eczemanet/heat_humidity.html Ariawiyana, Febby. Tahu tanpa Cuka, Tahu Nigarin. 2012. [cited: 6 September 2012. 14.42
WIB]
available:
http://m.
Kompasiana.com/post/wirausaha/2012/08/23/tahu-tanpa-cuka-tahu-nigarin Azizah,
Utiya. Hubungan Tingkat Keasaman dengan pH. 2010 . Available:
http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia_dasar/asam_dan_basa/hubungantingkat-keasaman-dengan-ph/ Balaban, Naomi E, Bobick, James E. Anatomy Q&A The Handy Anatomy Answer Book. Visible Ink Press. 2008 . Available: www.handyanswers.com Budimulja, U., Ilmu Penyakit Kelamin. FKUI. Jakarta: 2008 Cahyawati, Imma Nur. Irwan Budiono. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang. 2011.
133
134
Cohen, DE. Occupational Dermatoses In: Di Berardinis LJ, editors. Handbook of Occupational Safety and Health Second Edition. Canada: John Wiley & Sons Inc. 1999. Diepgen, TL., Coenraads, PJ. The Epidemiology Of Occupational Contact Dermatitis. International Archives of Occupational and Environmental Health .Volume 72, Number 8, 1999. Dinas Kesehatan Sulawesi Utara. Upaya Kesehatan Kerja Bagi Perajin (Kulit, Mebel, Aki Bekas, Tahu & Tempe, Batik). [cited: 2012 June]. Available: http://dinkes sulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20upaya%20yankes%20perajin. pdf Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI. Jakarta: 1999. Effendi. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.Haji Masagung, Jakarta: 2007 Erliana. Hubungan Karakteristik Individu Dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Paving Block CV. F. Lhoksemawe Tahun 2008. Tesis. Universitas Sumatera Utara. 2008. Ernasari, Pengaruh Penyuluhan Dermatitis Kontak Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Perajin Tahu Di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli Tahun 2011. Tesis. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan. 2012.
135
Fredickson, Andrew. Kajian Potensi Asetat, Natrium benzoat, dan kalium sorbet sebagai pengawet pada tahu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 2012 Harahap,M, Penyakit Kulit, Penerbit PT Gramedia, Jakarta: 1990. Haryoga, I Made. Sakit kulit karena pekerjaan bagian II. 2009. Available : http://imadeharyoga.com/2009/01/sakit-kulit-karena-pekerjaan-bagian-ii/ Hudyono, J. Dermatitis Akibat Kerja. Majalah kedokteran Indonesia. 2002. Keefner, DM, Curry CE. Contact Dermatitis in Handbook of Nonprescription Drugs 12 edition, APHA, Washington DC. 2004 Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 22 tahun 1993. Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Koswara, Sutrisno. Teknologi Pengolahan Kedelai: Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta: 1992. Kusriastuti, Rita. Dermatitis Pada Industri Tahu kelurahan Utan Kayu. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia: 1992. Lestari, Fatma, Utomo HS. Faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja di PT. Inti Pantja Press Industri. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. FKM UI. 2007
136
, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara, Kesehatan, Vol. 12, No. 2, Desember 2008: 63-70. Lingga, Ira Nola. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja di Perusahaan Invar Sin Kawasan Industri Medan. Skripsi : Universitas Sumatera Utara. 2011 Mutoif, Dorin. Pengenalan Alat-Alat Laboratorium Terapan Dan Rekayasa Hygiene Perusahaan Dan Keselamatan Kerja ( Hyperkes ). Politeknik Kesehatan Yogyakarta. 2008 Nielloud, Françoise. Current Galenical Research Challenges In Human Dermatology: Application For The Development Of Products For Sensitive And Atopic Skin. Faculté de Pharmacie. Université Montpellier. 2003 Nuraga, Wisnu. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di PT. Moric Indonesia Tahun 2006. Tesis. Universitas Indonesia. 2006 Partogi, Donna. Dermatitis Kontak Iritan. Universitas Sumatera Utara. 2008
137
Ruhdiat, Rudi. Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja Laboratorium Kimia di PT Sucofindo Area Cibitung Bekasi Tahun 2006. Tesis : Universitas Indonesia. 2006 Sadzali, Imam. Potensi Limbah Tahu Sebagai Biogas dalam Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi. Volume 1, Desember 2010. Schaefer, Hans, Thomas E. Redelmeier. Skin Barrier : Principles of percutaneous absorption. Kager. 1996 Sekarningrum, Amba Dini. Kedelai mahal, pengusaha tahu-tempe mogok produksi. [cited: 2012 July]. Available: www.okezone.com/read/2012/05/10/450/62748 Siregar, RS. Dermatosis Akibat Kerja. SMF Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang. 2009. Situmeang, Suryani MS. Analisa Dermatitis Kontak Pada Pekerja pencuci Botol di PT. X Medan tahun 2008. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Tesis. 2008 Suma’mur, PK. Diagnosa Dan Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: 2010. Available : http://www.jamsostek.co.id/content_file/diagnosa.pdf Suprapti, M.lies. Pembuatan Tahu. Kanisius. Yogyakarta. 2005 Taylor, JS., Amado A. Contact Dermatitis and Related Conditions. USA: 2009.
138
Trihapsoro, Iwan. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003
Widiantoko.
Proses
Pembuatan
Tahu.
[cited:
2012
July].
Available:
http://lordbroken.wordpress.com/2010/07/16/proses-pembuatan-tahu/ Wolff, Klause, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis Of
Clinical
Dermatology Fifth Edition. The McGraw-Hill Companies. 2007. Yusfinah, dkk. Dermatitis Kontak Alergi Karena Cat Rambut. Majalah Kedokteran Nusantara
Volume
4.
2008
No Responden
Tanggal
KUESIONER PENELITIAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012 INFORMED CONSENT Assalamualaikum Wr. Wb Saya Riska Ferdian, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan K3 Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan pengumpulan data mengenai keluhan kesehatan yang saudara rasakan saat bekerja, dimana pengumpulan data ini adalah sebagai salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi). Semua data dan informasi yang saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila sudah tidak digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb. Apakah saudara bersedia? (lingkari pada jawaban)
Ya
Tidak Tanda Tangan
Identitas Responden Nama
:
Alamat
:
No. Telp./Hp : No
Pertanyaan
A
Lama Kontak
A1
Pernahkah anda kontak/bersentuhan dengan bahan kimia (Asam Cuka Asam cuka
Kode
encer / batu tahu / kalsium sulfat, Natrium (sodium) benzoat, Nipagin (para amino benzoic acid / PABA), Asam propionate)) selama proses pekerjaan anda?
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
0. Ya 1. Tidak (langsung ke pertanyaan C1) A2
Berapa lama anda bersentuhan/kontak dengan bahan kimia tersebut dalam satu hari? …………….jam/hari
B
Frekuensi Kontak
B1
Berapa kali anda bersentuhan dengan bahan kimia tersebut dalam 1 hari? ………………x/hari
C
Usia
C1
Pada tanggal, bulan, dan tahun berapa anda lahir? Tanggal…….., bulan…………………., tahun…………
D
Riwayat Atopi
D1
Apakah anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi? 0. Ya 1. Tidak
D2
Apakah salah satu keluarga anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi? 0. Ya 1. Tidak
E
Riwayat Penyakit Kulit
E1
Apakah sebelumnya anda pernah mengalami penyakit/peradangan pada kulit? 0. Ya
[
]
[
]
[
]
[
]
1. Tidak (langsung ke pertanyaan F1) E2
Pada bagian mana anda mengalami penyakit kulit tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( ) f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ……………………….
E3
Bagaimana tanda dan gejala penyakit/peradangan kulit yang pernah anda alami? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Gatal ( ) b. Rasa terbakar ( ) c. Kemerahan ( ) d. Bengkak ( ) e. Lepuh kecil pada kulit ( ) f. Kulit mengelupas ( ) g. Kulit kering ( ) h. Kulit bersisik ( ) i. Penebalan pada kulit ( ) j. Lainnya.............
E4
Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan Alasan : …………………………………………………..
F
Riwayat Alergi
F1
Apakah anda pernah mengalami alergi pada kulit? 0. Ya 1. Tidak (langsung ke pertanyaan G1)
F2
[
]
[
]
[
]
[
]
Apakah penyebab alergi tersebut? (Jawaban Boleh lebih dari satu) a. Bahan kimia b. Debu c. Logam d. Tanaman e. Obat f. Lainnya ………………………………….
F3
Pada bagian mana anda mengalami alergi tersebut? (Jawaban Boleh lebih dari satu) a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( ) f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ……………………….
F4
Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan Alasan : …………………………………………………..
G G1
Jenis Pekerjaan Apa tugas atau pekerjaan anda di pabrik tahu ini? 0. Bagian penyaringan 1. Bagian pengendapan
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
2. Bagian Lainnya,...................................... H
Masa Kerja
H1
Kapan anda mulai bekerja di pabrik tahu ini? Bulan……………………, tahun………………….
H2
Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain? 0. Ya 1. Tidak Jika “tidak” BERHENTI menjawab
H3
Dimana anda bekerja sebelumnya? a. Pabrik tahu ( ) b. Lainnya, sebutkan…………..
H4
Berapa lama anda bekerja ditempat tersebut? ………………
H5
Apakah ditempat kerja anda sebelumnya ada kemungkinan anda kontak dengan bahan kimia? 0. Ya 1. Tidak
Hasil Pengukuran Lingkungan Kerja (Diisi oleh peneliti) I
Suhu
…….0C
J
Kelembaban
…….%
Lembar Pemeriksaan Dokter
No. responden: Nama
:
Tanggal
:
Anamnesis/Pemeriksaan:
1. Keluhan utama (gejala klinis)
:
Gatal
Kerusakan kuku-kuku jari
Kemerahan
Infeksi
Pembengkakan Vesikel/bullae Kulit kering bersisik Fissura (kulit pecah-pecah) Exudat (cairan bening / darah) Krusta/pengeringan dari krusta Lichenifikasi (kulit mengkilap) Sidik jari tidak tampak Hiperkeratosis (kapalen)
2.
Riwayat keluhan : Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan
: ya/tidak
Apakah berkurang / hilang bila libur atau tidak kerja : ya/tidak Bertambah bila terus menerus bekerja dalam beberapa hari tanpa istirahat : ya/tidak
K
Tipe Kulit
K1
Bagaimana ketebalan kulit yang dimiliki pekerja? 0. Tipis
[
]
1. Tebal K2
Apakah pekerja mengeluarkan keringat berlebih pada telapak tangan saat melakukan pekerjaan 0. Tidak 1. Ya
L L1
Hasil Diagnosis Dermatitis Kontak oleh Dokter 0. Dermatitis
Kode [
1. Tidak Dermatitis
146
]
*Faktor Eksternal Statistics
usia N
Valid
suhu
kelembaban
Lama_kontak
71
71
71
71
71
0
0
0
0
0
Mean
33.45
35.1380
51.85
1.5915
9.17
Median
32.00
35.3000
52.00
2.0000
11.00
11.592
.81615
4.423
1.40994
8.166
Minimum
17
33.50
46
.00
0
Maximum
72
37.00
60
4.00
25
Missing
Std. Deviation
*Faktor Internal
dermatitis
Frequency Valid
frekuensi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
37
52.1
52.1
52.1
tidak
34
47.9
47.9
100.0
Total
71
100.0
100.0
atopi
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
28
39.4
39.4
39.4
tidak
43
60.6
60.6
100.0
Total
71
100.0
100.0
riwayat_peny_kulit
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
32
45.1
45.1
45.1
tidak
39
54.9
54.9
100.0
Total
71
100.0
100.0
alergi
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
25
35.2
35.2
35.2
tidak
46
64.8
64.8
100.0
Total
71
100.0
100.0
masa_kerja_tahun N
Valid Missing Mean Median Std. Deviation
71 0 11.80 8.00 10.444
Minimum
0
Maximum
43
jenis_pekerjaan
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
pemotongan
5
7.0
7.0
7.0
pencetakan
11
15.5
15.5
22.5
pengepakan
4
5.6
5.6
28.2
penggilingan
4
5.6
5.6
33.8
penggorengan
4
5.6
5.6
39.4
penyaringan
16
22.5
22.5
62.0
semua bagian
27
38.0
38.0
100.0
Total
71
100.0
100.0
Crosstabs riwayat_peny_kulit * dermatitis Crosstab dermatitis ya
riwayat_peny_kulit
Ya
Count
% within riwayat_peny_kulit
Tidak
Count
% within riwayat_peny_kulit Total
Count % within riwayat_peny_kulit
tidak
Total
22
10
32
68.8%
31.3%
100.0%
15
24
39
38.5%
61.5%
100.0%
37
34
71
52.1%
47.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
Df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.011
5.305
1
.021
6.581
1
.010
6.462 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.017 6.371
1
.012
71
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,32.
.010
Crosstab dermatitis ya
riwayat_peny_kulit
Ya
Count
% within riwayat_peny_kulit
Tidak
Count
% within riwayat_peny_kulit Total
Count
tidak
Total
22
10
32
68.8%
31.3%
100.0%
15
24
39
38.5%
61.5%
100.0%
37
34
71
b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate
95% Confidence Interval Value
Odds Ratio for
Lower
Upper
3.520
1.311
9.448
1.788
1.128
2.833
.508
.287
.899
riwayat_peny_kulit (ya / tidak) For cohort dermatitis = ya For cohort dermatitis = tidak N of Valid Cases
atopi * dermatitis
71
Crosstab
dermatitis ya
atopi
ya
Count
% within atopi
tidak
Total
6
28
78.6%
21.4%
100.0%
15
28
43
34.9%
65.1%
100.0%
37
34
71
52.1%
47.9%
100.0%
Count % within atopi
Total
22
Count
% within atopi
tidak
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
Df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
11.278
1
.001
13.585
1
.000
12.969 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.001 12.787
1
.000
71
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,41.
.000
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Df a
1
.000
11.278
1
.001
13.585
1
.000
12.969 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.001
Linear-by-Linear Association
12.787
N of Valid Cases
1
.000
71
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,41. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value
Odds Ratio for atopi (ya /
Lower
Upper
6.844
2.280
20.545
2.252
1.434
3.539
.329
.157
.691
tidak) For cohort dermatitis = ya For cohort dermatitis = tidak N of Valid Cases
71
.000
Case Processing Summary
Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
alergi * dermatitis
71
100.0%
0
.0%
71
100.0%
riw_alergi * dermatitis
71
100.0%
0
.0%
71
100.0%
alergi * dermatitis
Crosstab
dermatitis ya
alergi
ya
Count
% within alergi
tidak
Count
% within alergi
tidak
Total
19
6
25
76.0%
24.0%
100.0%
18
28
46
39.1%
60.9%
100.0%
Total
Count % within alergi
37
34
71
52.1%
47.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.003
7.407
1
.006
9.168
1
.002
8.823 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.006 8.699
1
.003
71
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,97. b. Computed only for a 2x2 table
.003
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value
Odds Ratio for alergi (ya /
Lower
Upper
4.926
1.652
14.684
1.942
1.273
2.963
.394
.189
.822
tidak) For cohort dermatitis = ya For cohort dermatitis = tidak N of Valid Cases
71
Jenis pekerjaan*dermatitis
pekerjaan * dermatitis Crosstabulation
dermatitis ya
pekerjaan
Penyaringan
Count
% within pekerjaan
Lainnya
Count
% within pekerjaan Total
Count % within pekerjaan
tidak
Total
30
13
43
69.8%
30.2%
100.0%
7
21
28
25.0%
75.0%
100.0%
37
34
71
52.1%
47.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.000
11.884
1
.001
14.107
1
.000
13.618 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association
13.427
N of Valid Cases
1
.000
71
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,41. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value
Odds Ratio for pekerjaan
Lower
Upper
6.923
2.363
20.281
2.791
1.427
5.459
.403
.244
.666
(penyaringan / Lainnya) For cohort dermatitis = ya For cohort dermatitis = tidak
.000
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value
Odds Ratio for pekerjaan
Lower
Upper
6.923
2.363
20.281
2.791
1.427
5.459
.403
.244
.666
(penyaringan / Lainnya) For cohort dermatitis = ya For cohort dermatitis = tidak N of Valid Cases
71
Mann-Whitney Test (Untuk Variabel Numerik) Ranks dermatitis
usia
N
Mean Rank
Sum of Ranks
ya
37
32.72
1210.50
tidak
34
39.57
1345.50
Total
71 37
33.78
1250.00
tidak
34
38.41
1306.00
Total
71
ya
37
44.57
1649.00
tidak
34
26.68
907.00
Total
71
ya
37
33.68
1246.00
tidak
34
38.53
1310.00
Total
71
ya
37
43.70
1617.00
tidak
34
27.62
939.00
Total
71
ya
37
43.22
1599.00
tidak
34
28.15
957.00
masa_kerja_tah ya un
suhu
kelembaban
Lama_kontak
frekuensi
Ranks dermatitis
usia
N
Mean Rank
Sum of Ranks
ya
37
32.72
1210.50
tidak
34
39.57
1345.50
Total
71 37
33.78
1250.00
tidak
34
38.41
1306.00
Total
71
ya
37
44.57
1649.00
tidak
34
26.68
907.00
Total
71
ya
37
33.68
1246.00
tidak
34
38.53
1310.00
Total
71
ya
37
43.70
1617.00
tidak
34
27.62
939.00
Total
71
ya
37
43.22
1599.00
tidak
34
28.15
957.00
Total
71
masa_kerja_tah ya un
suhu
kelembaban
Lama_kontak
frekuensi
a
Test Statistics
masa_kerja_tahu usia
Mann-Whitney U Wilcoxon W
n
suhu
kelembaban
507.500
547.000
312.000
543.000
1210.500
1250.000
907.000
1246.000
-1.400
-.944
-3.670
-.996
.162
.345
.000
.319
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: dermatitis
Test Statistics
a
Lama_kontak
frekuensi
Mann-Whitney U
344.000
362.000
Wilcoxon W
939.000
957.000
-3.433
-3.178
.001
.001
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: dermatitis