FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRES KERJA PADA WANITA BEKERJA SEKTOR FORMAL DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2013
SKRIPSI
OLEH PRATIWI PUJI LESTARI 108101000066
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H./2013 M.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRES KERJA PADA WANITA BEKERJA SEKTOR FORMAL DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2013
SKRIPSI
OLEH PRATIWI PUJI LESTARI 108101000066
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H./2013 M.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi dengan judul "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja
pada Wanita Bekerja Sektor Formal Tahun 2013"
ini
di
Wilayah Kecamatan Ciputat Timur
merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata
1 di
Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli penulis
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka perrulis bersedia menerima sanksi yang berlaku
di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Llniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2013
Penulis,
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Juli 2013 Pratiwi Puji Lestari, NIM. 108101000066 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 xv + 145 halaman, 43 tabel, 3 gambar, 3 lampiran ABSTRAK Semakin banyak terbukanya peluang kerja yang saat ini terjadi, tidak menutup kemungkinan masuknya kaum wanita ke dalam dunia kerja. Dari meningkatkanya wanita yang terlibat dalam dunia kerja sebagai salah satu prestasi bagi wanita tersebut, ternyata wanita bekerja dikabarkan memiliki ancaman cukup serius untuk terkena stres kerja. Stres kerja memiliki beberapa dampak negatif, diantaranya dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan menurunkan produktivitas kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita bekerja sektor formal yang berjumlah 200 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari instansi terkait dan data primer yang diperoleh melalui wawancara kepada responden. Hasil penelitian menggambarkan sebesar 79,5% responden mengalami stres kerja ringan dan 20,5% mengalami stres kerja berat. Hasil analisis bivariat dengan tingkat kemaknaan 5%, diperoleh empat faktor yang berhubungan dengan stres kerja yakni beban kerja dengan p value 0,011, perkembangan teknologi dengan p value 0,045, pelecehan seksual di tempat kerja dengan p value 0,001, dan kondisi lingkungan kerja dengan p value 0,036. Upaya pengelolaan stres kerja dapat dilakukan oleh individu itu sendiri seperti lebih selektif terhadap pekerjaan yang akan diambil, dan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual yang berakibat pada stres kerja, sebaiknya pekerja wanita lebih waspada dengan cara tidak berpakaian seksi dan lebih berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis di tempat kerjanya. Upaya pengelolaan stres kerja juga dapat dilakukan oleh instansi seperti dengan melakukan identifikasi bahaya psikososial khususnya yang berhubungan dengan stres kerja pada pekerja dan untuk pelecehan seksual di tempat kerja, instansi dapat melakukan upaya pencegahan dengan menetapkan peraturan termasuk sanksi bagi pekerja yang melakukan tindakan pelecehan seksual tersebut. Kata Kunci : Stres Kerja, Wanita, Formal Daftar Bacaan : 92 (1983-2012)
i
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA STATE ISLAMIC UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduated Thesis, July 2013 Pratiwi Puji Lestari, NIM 108101000066 The Factors Related Work Stress on Woman Working of Formal Sector in Ciputat Timur, 2013 xv + 145 pages, 43 table, 3 pictures, 3 attachments ABSTRACT The more open employment opportunities that are currently going on, do not rule out the entry of women into the workforce. As woman participation increase in the workplace, women working rumored to have turned serious enough threat for the affected work stress. Some negative effects of work stress are health problem and descent of work productivity. This study aim to determine the factors related work stress on woman working of formal sector in Ciputat Timur, 2013. Study design of this study is cross-sectional. Samples of this study are women working of formal sector, amounting to 200 respondents. The data used are secondary data from relevant agencies and primary data obtained through interviews with respondents. The result show that 79.5% of respondents getting low work stress and 20.5% of respondents getting high work stress. Based on bivariate analysis with a significance level of 5% known that there are four factors related to work stress that workload with 0.011 p value, technological developments with 0,045 p value, sexual harassment in the workplace with 0.001 p value, and working conditions with 0.036 p value. Managing work stress can be done by individuals themselves by making more selective decision to get work and to prevent sexual harassment by handling with kid gloves. Other efforts to manage work stress can be done by institutions such as identifying particular psychosocial hazards that relates work stress on workers.
Key Word : Work Stres, Women, Formal Reading List : 92 (1983-2012)
ii
PERNYATAAII PERSETUJUAN Skripsi dengan Judul
FAICOR-FAKTOR YANG BBRIITIBTJNGAN DENGAII STRES KERJA PADA WANITA BEKERJA SEKTOR FORMAL DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMU'R TAIIT]N 2013 Telah Disetujui, Diperiksa, dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2013
Oleh
Pratiwi Puii Lestari 108101000066
Mengetahui,
W
$, Catur Rosidati. SKM. MI(M Pembimbing Skripsi
Dr. H. Arif Sumantri. SKM. MKes
I
Pembimbing Skripsi
ill
II
PENGESAIIAN PANITIA
Skripsi dengan judul FAKTOR-FAKTOR YANG BERITUBUNGAN DENGAN STRES KERJA PADA WANITA BEKERJA SEKTOR FORMAL DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAIIUN 2013 tEIAh diAJUKAN dalam sidang ujian skripsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada24 Juli 2013. Skripsi initelah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat.
Jakarta, Juli 2013
Sidang Ujian Skripsi Ketua
ffi
Dewi Utami. Ph.D
Anggota
M
f,'ase Badriah. MKes. Ph.D
Ir. Rrrlvenzi Rasyid. MKKK
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama Lengkap
: Pratiwi Puji Lestari
Tempat/Tanggal Lahir : Jepara, 19 September 1990 Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Sinanggul RT/RW 31/06, Mlonggo, Jepara, Jateng 59452
Email
:
[email protected] [email protected]
Riwayat Pendidikan 1. 1994 - 1996
: TK Sinanggul II Jepara
2. 1996 - 2002
: MI Miftahul Falah Sinanggul II Jepara
3. 2002 - 2005
: MTs Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara
4. 2005 - 2008
: MA Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara
5. 2003 – 2008
: Non formal (Pesantren Darut Ta’lim Bangsri Jepara)
6. 2008 – 2013
: Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Organisasi 1. 2005 – 2007
: Pengurus ICF MA Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara
2. 2006 – 2008
: Pengurus Pesantren Darut Ta’lim Bangsri Jepara
3. 2008 – 2009
: Pengurus Asrama Putri Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. 2009 – 2011
: Pengurus CSS MORA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
5. 2009 – 2010
: Pengurus BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
6. 2010 dan 2012
: Anggota Lembaga Tahsin Tahfidz Alquran (LTTQ)
v
Pengalaman Penelitian 1. 2010
: Pengalaman Belajar Lapangan 1 (PBL 1) menentukan masalah dan akar masalah kesehatan masyarakat di Wilayah kerja Puskesmas Serpong, Kota Tangsel
2. 2011
: Pengalaman Belajar Lapangan 2 (PBL 2) menentukan solusi masalah kesehatan masyarakat yakni berupa ”Pemberdayaan Masyarakat dalam Pencegahan DBD” di Kelurahan Serpong, Kota Tangsel
3. 2011
: Pengalaman penelitian seminar profesi mengenai tanggap darurat bencana banjir di Kampung Pulo Jakarta
Pengalaman Magang: 2012
: Pengalaman magang tentang Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT Pertamina EP Field Cepu Jawa Tengah
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, atas rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang membawa umatnya untuk senantiasa menapaki jalan yang diridloi-Nya. Skripsi merupakan tugas akhir perkuliahan berupa hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Almarhum Bapak dan almarhumah Ibu, keluarga besar Wiro dan Mustam khususnya Ka ArifQu, Ka AfidQu, De’ JunQu, Mb Anik dan suami, Ka Yong dan Istri, De Yanto, dan Mbahe yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan semangatnya untuk kebaikan penulis; 2. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan besar kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi formal ke Perguruan Tinggi; 3. MA Hasyim Asy’ari Bangsri yang telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu dan memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam program beasiswa ke Perguruan Tinggi; 4. Ma’had Darut Ta’lim yang telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu agama; 5. Prof. Dr. dr. (hc) M.K. Tadjudin, Sp. And.; selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK); 6. Ibu Febrianti, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat dan stafnya; 7. Ibu Catur Rosidati, SKM. MKM, selaku pembimbig I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan skripsi ini; 8. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM. MKes, selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama penyusunan skripsi;
vii
9. Penguji skripsi, Ibu Dewi Utami, Ph.D, yang telah membimbing dan memberikan banyak koreksi dalam penyusunan skripsi; 10. Ibu Fase Badriah, Ph.D, selaku penguji sidang skripsi dan memberikan banyak koreksi dalam penyusunan skripsi; 11. Bapak Ir. Rulyenzi Rasyid, MKKK, selaku penguji sidang skripsi dan memberikan banyak koreksi dalam penyusunan skripsi; 12. Segenap bapak ibu dosen Kesehatan Masyarakat yang telah membagikan ilmu pengetahuan dan memberikan pengarahannya selama prosesi akademi; 13. Staf Kesehatan Masyarakat dan FKIK yang membantu dalam hal administrasi; 14. Pihak Kecamatan Ciputat Timur; 15. Pihak Kelurahan Se-Kecamatan Ciputat Timur dan Ibu-Ibu kader yang dengan senang hati telah membatu penulis dalam pengumpulan data; 16. Responden Wanita Bekerja sektor formal se-Kecamatan Ciputat Timur; 17. Sahabat-sahabat senaungan dan seperjuangan Dhevy, Eka, Eca, Mbak Lia, Erni yang telah membantu dalam pengumpulan data dan sharing ilmu; 18. Untuk para oponen dalam seminar proposal skripsi yang telah bersedia pusing membaca dan memberi masukan untuk arah skripsi ini; 19. Seseorang di sana yang selalu menghujani penulis dengan semangat juang; 20. Keluarga besar Stoopelth 2008 yang selalu menyemangati dan mengingatkan; 21. Keluarga besar CSS MORA UIN JKT, khusunya Matrix’08; 22. Serta kepada berbagai pihak yang turut mendukung dan membantu atas terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun isi. Maka dari itu, penulis berharap akan adanya penyusunan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Wallahu a’lam, Semoga bermanfa’at. Wassalamu’alaikum, Wr. Wb. Jakarta, Juli 2013
Pratiwi Puji Lestari
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK .................................................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah Penelitian ............................................................................... 7 C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 8 D. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 10 1. Tujuan Umum ................................................................................................ 10 2. Tujuan Khusus ............................................................................................... 10 E. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 11 1. Bagi Wanita Bekerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur ........................ 11 2. Bagi Peneliti .................................................................................................. 12 F. Ruang Lingkup Penelitian................................................................................. .12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Wanita Bekerja ..................................................................................................... 13 B. Definisi Stres Kerja .............................................................................................. 16 C. Stres Kerja Wanita Bekerja .................................................................................. 18 D. Gejala-Gejala Stres Kerja..................................................................................... 21 E. Model Stres Kerja ................................................................................................ 22 1. Cooper dan Davidson (1987)........................................................................... 22
ix
2. Hurrel, dkk. (1988 dalam Munandar, 2008) .................................................... 24 3. Robbins (1998) ................................................................................................ 27 4. Greenberg (2002)............................................................................................. 28 5. National Safety Council (2004) ....................................................................... 29 F. Pengukuran Stres Kerja ........................................................................................ 47 G. Upaya Pengelolaan Stres Kerja ............................................................................ 51 H. Kerangka Teori .................................................................................................... 55 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konsep Penelitian ................................................................................ 57 B. Definisi Operasional ............................................................................................ 59 C. Hipotesis .............................................................................................................. 64 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ................................................................................................. 66 B. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................................. 66 C. Populasi dan Sampel ............................................................................................ 66 1. Populasi ........................................................................................................... 66 2. Sampel ............................................................................................................. 66 D. Instrumen Penelitian ............................................................................................ 72 E. Pengumpulan Data ............................................................................................... 75 F. Pengolahan Data .................................................................................................. 76 G. Analisis Data ........................................................................................................ 77 BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisis Univariat ................................................................................................ 79 1. Gambaran Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 ........................................................... 79 2. Gambaran faktor organisasional pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 ............................................................ 79 3. Gambaran faktor individu pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 ............................................................ 83
x
4. Gambaran faktor lingkungan pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 ............................................................ 86 B. Analisis Bivariat ................................................................................................... 88 1. Hubungan antara faktor organisasional dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 .................... 88 2. Hubungan antara faktor individu dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 ............................... 93 3. hubungan antara faktor lingkungan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 .................... 97 BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 100 B. Gambaran Stres Kerja pada wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013................................................................................. 100 C. Hubungan antara faktor organisasional dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 ....................... 106 D. Hubungan antara faktor individu dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013.................................. 123 E. Hubungan antara faktor lingkungan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013.................................. 133 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ............................................................................................................ 142 B. Saran .................................................................................................................. 144 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Halaman
2.1
Berbagai Gejala Kerja Menurut Arden (2002)………………………… ............ .22
2.2
Penyebab Stres Kerja Menurut National Safety Council (2004)…………. ......... 29
2.3
Indikator Perubahan Akibat Stres Kerja……………………………… ............... 49
3.1
Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian…………………… .............. 59
4.1
Hasil Penghitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua Propori Terhadap Penelitian Terdahulu………………………………………… ............. 68
4.2
Proporsi Jumlah Sampel dari Masing-Masing RW Terpilih ................................ 71
5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Stres Kerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………………………………………… ............................ 79
5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Kurangnya Otonomi Kerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………… ...................... ..80
5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Beban Kerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………………… ........................................... ……80
5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Relokasi Pekerjaan di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………………...........80
5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Kurangnya Pelatihan di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………………………………81
5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan Karir di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………………………...81
5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan yang Buruk dengan Atasan di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………….82
5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan Teknologi di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………...82
5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Bertambahnya Tanggung Jawab Tanpa Pertambahan Gaji di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…...........83
5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………………....83
5.11
Distribusi Responden Berdasarkan Ketidakpastian Ekonomi di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………………..........84
xii
5.12
Distribusi Responden Berdasarkan Kurangnya Penghargaan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………………………...84
5.13
Distribusi Responden Berdasarkan Kejenuhan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………………………………………...85
5.14
Distribusi Responden Berdasarkan Perawatan Anak yang Tidak Adekuat di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………....85
5.15
Distribusi Responden Berdasarkan Konflik dengan Rekan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………………………...86
5.16
Distribusi Responden Berdasarkan Buruknya Kondisi Lingkungan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………...86
5.17
Distribusi Responden Berdasarkan Pelecehan Seksual di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………………………………....87
5.18
Distribusi Responden Berdasarkan Kekerasan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………………………...........................87
5.19
Distribusi Responden Berdasarkan Kemacetan saat Berangkat dan Pulang
Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………....88 5.20
Tabulasi Silang antara Kurangnya Otonomi dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………….88
5.21
Tabulasi Silang antara Beban Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………................89
5.22
Tabulasi Silang antara Relokasi Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……..….......90
5.23
Tabulasi Silang antara Pelatihan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………………………….90
5.24
Tabulasi Silang antara Perkembangan Karir dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………....91
5.25
Tabulasi Silang antara Hubungan dengan Atasan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…………...91
5.26
Tabulasi Silang antara Perkembangan Tekonologi dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013…..92
xiii
5.27
Tabulasi Silang antara Bertambahnya Tanggung Jawab tanpa Pertambahan Gaji dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………………………………………………………………93
5.28
Tabulasi Silang antara Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………………………........................................93
5.29
Tabulasi Silang antara Ketidakpastian Ekonomi dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………..94
5.30
Tabulasi Silang antara Penghargaan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………..95
5.31
Tabulasi Silang antara Kejenuhan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………...95
5.32
Tabulasi Silang antara Perawatan Anak dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………...96
5.33
Tabulasi Silang antara Konflik dengan Rekan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……..96
5.34
Tabulasi Silang antara Lingkungan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………...97
5.35
Tabulasi Silang antara Pelecehan Seksual dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013………...........97
5.36
Tabulasi Silang antara Kekerasan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………....98
5.37
Tabulasi Silang antara Kemacetan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013……………………....99
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar
Halaman
2.1
Model Stres Kerja Menurut Cooper dan Davidson (1987) ............ 1124
2.2
Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja ...... 56
3.1
Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian
Lampiran 2
: Pernyataan Responden dan Kuesioner Penelitian
Lampiran 3
: Output Olahan Analisis Univariat dan Bivariat
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bagi manusia, bekerja merupakan suatu kebutuhan dasar untuk pemenuhan kebutuhan maupun keinginan, baik bagi pria maupun wanita. Bekerja diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dalam hidupnya (BPS, 2011). Semakin banyak terbukanya peluang kerja yang saat ini terjadi, tidak menutup kemungkinan masuknya kaum wanita ke dalam dunia kerja. Salah satu bukti keikutsertaan wanita dalam dunia kerja tersebut terlihat dari hasil Susenas oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 mengenai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita yakni sebesar 51,76 persen dan pria sebesar 83,76 persen dari jumlah persentase penduduk yang produktif (15-64 tahun) (BPS, 2011). Dari angka tersebut terlihat bahwa keterlibatan wanita dalam dunia kerja cukup tinggi. Setiap pekerja, baik pria maupun wanita dihadapkan pada berbagai risiko baik keselamatan maupun kesehatan kerja. Oleh karena itu, setiap pekerja diharuskan menjaga dirinya masing-masing dari berbagai gangguan keselamatan dan kesehatan kerja. Salah satu gangguan kesehatan yang kurang mendapat perhatian dari perusahaan adalah stres, karena bersifat abstrak (Williams, 1997 dalam Vierdelina, 2008). Dalam penelitiannya, Vierdelina (2008) menyebutkan bahwa pekerja yang
1
2
mengalami stres dapat menurunkan produktivitasnya sehingga dapat merugikan diri sendiri, orang lain, lingkungan kerja, dan perusahaan. Dampak negatif dari stres kerja juga disampaikan oleh Leka S., et al (2003) yaitu pekerja yang mengalami stres kerja kemungkinan besar mengalami gangguan kesehatan, buruknya motivasi, berkurangnya produktivitas kerja, dan mengabaikan keselamatan kerja, sehingga selain dapat merugikan diri pekerja itu sendiri juga menjadikan organisasi atau perusahaan mengalami kegagalan kompetisi berbisnis. Adapun menurut penelitian Baker dkk. (1987 dalam Rini, 2002), stres yang dialami oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit. Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit karena tubuh tidak banyak memproduksi sel-sel kekebalan tubuh. Stres selain dapat merubah sistem imun, juga berpengaruh terhadap penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, dan tendensi terjadinya kecelakaan kerja (Schuller, 1980 dalam Rini, 2002). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Northwestern National Life menunjukkan bahwa 40% dari tenaga kerja Amerika merasa bahwa pekerjaan mereka sangat stres (U.S. Departmen of Health and Human Service, 1999 dalam Fawzy, 2004). Perkiraan kerugian untuk kasus stres yang terjadi di industri U.S pada tahun 1995 diperkirakan mencapai $13.000 per pekerja disegala profesi setiap tahun (Bruhn, Chesney, dan Salcido, 1995 dalam Fawzy, 2004). Clausses (2012) juga menyatakan bahwa stres memiliki dampak negatif bagi yang mengalaminya diantaranya yakni dapat menyebabkan penyakit kronik jika stres terjadi terus-menerus, dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, dan
3
gangguan tulang terutama tulang belakang dan ekstremitas, sertas dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Penelitian Arismunandar (2008) dalam Safaria (2011) terhadap profesi guru di Sulawesi Selatan, menunjukkan hasil bahwa terdapat 30,27% dari 80.000 guru mengalami stres kerja berat dimana stres kerja tersebut dapat menurunkan produktivitas dan kinerja guru dengan cepat. Secara statistik Health and Safety Executor (2011) memperkirakan total jumlah kejadian stres kerja pada tahun 2010-2011 di Great Britain adalah sebesar 400.000 dari semua total penyakit akibat kerja sebanyak 1.152.000. Kerugian karena stres kerja tersebut menjadi alasan mengapa stres kerja perlu diperhatikan (Cooper, Liukkonen, & Cartwright, 1996 dalam Fawzy, 2004). Dari peliknya kejadian stres kerja tersebut, menurut Rini (2002) para wanita yang bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria, dimana salah satu faktor tersebut karena wanita yang bekerja menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Kemudian, menurut Nelson & Burke yang dikutip oleh Schultz dan Shcultz (2006) wanita bekerja mengalami level stres yang lebih tinggi dibandingkan pria yang bekerja, dimana wanita yang bekerja lebih sering mengalami beberapa gejala stres seperti sakit kepala, kegelisahan, depresi, gangguan tidur, dan gangguan makan dibandingkan dengan pria yang bekerja. Menanggapi kejadian stres tersebut, secara statistik Health and Safety Executor (2011) memperkirakan total jumlah kejadian stres kerja pada wanita tahun 2010-2011 di Great Britain adalah sebesar 125.000 pekerja wanita dibandingkan dengan kejadian stres kerja pada pekerja pria yaitu sebesar 86.000 pekerja.
4
Stres kerja tidak terjadi begitu saja, dimana Hurrel, dkk (1988) dalam Munandar (2008) menyatakan bahwa faktor penyebab stres kerja di pekerjaan dikelompokkan menjadi faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran individu dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, dan struktur dan iklim organisasi. Kemudian menurut Cooper dan Davidson (1987) penyebab stres kerja dikelompokkan berdasarkan empat area atau lingkungan yakni lingkungan kerja, rumah, sosial, dan individu. Pengelompokan tersebut juga dipaparkan oleh Greenberg (2002), yakni faktor stres kerja yang bersumber pada pekerjaan, karakteristik indvidu, dan luar organisasi. Sedangkan menurut Robbins (1998), faktor penyebab stres kerja dikelompokkan menjadi tiga sumber yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan, organisasi, dan individu dimana pengelompokan besar ini serupa dengan pengelompokan penyebab stres kerja oleh National Safety Council (2004) namun tidak sama dalam penggolongan faktor-faktor yang lebih rincinya. Lebih rinci faktor penyebab sres kerja menurut National Safety Council (2004) tersebut yakni berupa kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan atasan, perkembangan teknologi, bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji, dan pekerja yang dikorbankan (faktor organisasional), pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak, dan konflik dengan rekan kerja (faktor individu), buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, kemacetan saat berangkat dan pulang kerja, dan diskriminasi ras (faktor lingkungan).
5
Terkait faktor-faktor stres kerja tersebut, terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diantaranya yakni Saragih (2008) dalam penelitiannya mengenai kurangnya otonomi kerja terhadap 70 responden, menyebutkan bahwa dari 47,1% responden yang tidak memiliki otonomi dalam melaksanakan tugasnya, terdapat 54,5% mengalami stres kerja. Selanjutnya dalam hasil penelitian terhadap hubungan pekerja dengan atasan, Nugrahani (2008) menyebutkan bahwa dari buruknya hubungan responden dengan atasan atau supervisor terdapat 58,8% responden mengalami stres kerja sedang. Kemudian Airmayanti (2010), dalam hasil penelitiannya terhadap 108 sampel disebutkan bahwa dari 19 responden yang menyatakan beban kerja berat terdapat 73,3% mengalami stres kerja berat dan dari beban kerja sedang sebesar 57 responden terdapat 59,6% mengalami stres ringan. Berdasarkan gambaran stres kerja tersebut, peneliti kemudian ingin melakukan penelitian mengenai stres kerja di Kecamatan Ciputat Timur karena dilihat dari data ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan tahun 2010 hingga 2011 untuk wanita bekerja mengalami peningkatan, yakni 173.922 wanita bekerja pada tahun 2010, meningkat menjadi 215.395 orang wanita bekerja pada tahun 2011 (BPS Kota Tangerang Selatan, 2011). Kemudian berdasarkan data penduduk usia produktif (15-64 tahun) untuk perempuan, Kecamatan Ciputat Timur berada pada peringkat ke-empat dari tujuh Kecamatan yakni sebesar 64.807 jiwa dan merupakan Kecamatan dengan persentase penduduk terpadat di Tangerang Selatan (BPS Tangsel, 2012). Kecamatan Ciputat Timur juga merupakan salah satu wilayah yang dekat dengan Provinsi DKI Jakarta. Pesatnya perkembangan Kecamatan Ciputat Timur
6
karena Kecamatan Ciputat Timur merupakan salah satu daerah penyangga ibukota Jakarta. Sabagai wilayah perkotaan, pertumbuhan penduduk Kecamatan Ciputat Timur sangat dinamis, terdiri dari beraneka ragam suku, adat istiadat, budaya, dan berbagai karakter (BPS Tangsel, 2012). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap 15 wanita bekerja di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, diketahui
bahwa 26,7%
responden mengalami stres berat dan 73,3% mengalami stres ringan. Dimana wanita bekerja yang dimaksud adalah wanita bekerja dalam sektor formal dan yang belum maupun sudah menikah, dan untuk yang sudah menikah dengan kriteria memiliki maupun belum memiliki anak. Adapun sektor formal yang dimaksud adalah suatu bentuk usaha yg memiliki izin dan terdaftar di kantor pemerintahan (berbadan hukum) dan atas usaha tersebut dikenakan pajak. Sedangkan sektor informal merupakan suatu bentuk usaha yang tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak atau suatu bentuk usaha yang tidak berstatus permanen dan tidak berbadan hukum (Saparini dan Basri, dalam MenegPP, 2010). Pembatasan pada pekerjaan sektor formal ini karena sebagaimana menurut Nimran (1992) dalam Airmayanti (2010) suatu organisasi dalam kaitannya dengan lingkungan kerja, dimana seseorang bekerja dan menjadi bagian dari hubungan dengan orang lain, merupakan tempat beradanya sejumlah stres yang penting karena dalam organisasi seseorang melaksanakan pekerjaan dengan segala sifatnya, berhubungan dengan orang lain, memimpin dan dipimpin, memainkan satu atau lebih peran, berinteraksi dengan lingkungan fisik, dengan tempat kerja, dan sebagainya.
7
Berdasarkan kejadian stres berat dan ringan tersebut diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang diprediksi berhubungan dengan stres kerja yakni berupa kurangnya otonomi kerja, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan atasan, perkembangan teknologi, pertambahan tanggung jawab tanpa pertambahan gaji (faktor organisasional), pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak, konflik dengan rekan kerja (faktor individual), buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan ketika berangkat dan pulang kerja (faktor lingkungan). Oleh karena beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian stres kerja pada wanita bekerja tersebut cukup banyak dan bervariasi, maka peneliti tertarik untuk mengangkat hal tersebut sebagai tema penelitian dengan judul penelitian “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013”. B. Rumusan Masalah Penelitian Semakin banyak terbukanya peluang kerja yang saat ini terjadi, tidak menutup kemungkinan masuknya kaum wanita ke dalam dunia kerja. Dari hasil Susenas BPS tahun 2010 disebutkan bahwa keikutsertaan wanita dalam dunia kerja adalah sebesar 51,76 persen dan pria sebesar 83,76 persen dari penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebesar 65,74 persen (BPS, 2011). Salah satu kenaikan jumlah wanita yang ikut serta dalam dunia kerja ditunjukkan oleh data ketenagakerjaan Kota Tangerang
8
Selatan tahun 2010 hingga 2011. Tenaga kerja wanita di Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan yakni 173.922 pekerja pada tahun 2010, meningkat menjadi 215.395 orang pekerja pada tahun 2011 (BPS Kota Tangerang Selatan, 2011). Meningkatnya jumlah wanita yang terlibat dalam dunia kerja sebagai salah satu prestasi bagi wanita tersebut, ternyata wanita bekerja dikabarkan memiliki ancaman cukup serius untuk terkena stres kerja. Berdasarkan data tersebut kemudian peneliti melakukan studi pendahuluan di Kecamatan Ciputat Timur terhadap 15 responden wanita bekerja dengan hasil 26,7% responden mengalami stres berat dan 73,3% mengalami stres ringan, serta terdapat beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan stres kerja yakni faktor organisasional seperti kurangnya otonomi kerja, faktor individual seperti pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, dan faktor lingkungan seperti pelecehan seksual di tempat kerja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti faktorfaktor yang berhubungan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah gambaran stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? 2. Bagaimanakah gambaran faktor organisasional (kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan majikan, perkembangan teknologi, dan bertambahnya tanggung
9
jawab tanpa pertambahan gaji) pada wanita bekerja sektor formal di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? 3. Bagaimanakah gambaran faktor individu (pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak yang tidak adekuat, dan konflik dengan rekan kerja) pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? 4. Bagaimanakah gambaran faktor lingkungan (buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja) pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? 5. Apakah ada hubungan antara faktor organisasional (kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan majikan, perkembangan teknologi, dan bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji) pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? 6. Apakah ada hubungan antara faktor individu (pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak yang tidak adekuat, dan konflik dengan rekan kerja) dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? 7. Apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan saat berangkat
10
dan pulang kerja) dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013? D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran stres kerja dan faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013; b. Diketahuinya gambaran faktor organisasional (kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan majikan, perkembangan teknologi, dan bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji) pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013; c. Diketahuinya gambaran faktor individu (pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak yang tidak adekuat, dan konflik dengan rekan kerja) pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013; d. Diketahuinya gambaran faktor lingkungan (buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan saat berangkat
11
dan pulang kerja) pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013; e.
Diketahuinya hubungan antara faktor organisasional (kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan majikan, perkembangan teknologi, dan bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji) dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013;
f.
Diketahuinya hubungan antara faktor individu (pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak yang tidak adekuat, dan konflik dengan rekan kerja) dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013;
g.
Diketahuinya
hubungan
antara
faktor
lingkungan
(buruknya
kondisi
lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja) dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Wanita Bekerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang bermakna bagi masyarakat Kecamatan Ciputat Timur, khususnya bagi wanitawanita yang bekerja agar dapat mengelola stres kerja yang mungkin dialami untuk menghasilkan output yang bermanfaat.
12
2. Manfaat bagi Peneliti Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengaplikasikan teori yang diperoleh selama perkuliahan, khususnya mengenai stres kerja pada pekerja wanita. F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa tingkat akhir PSKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) dengan waktu pelaksanaan pada bulan Juli 2012 hingga April 2013 di Kecamatan Ciputat Timur, dengan responden penelitian yaitu wanita bekerja sektor formal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari instansi terkait dan data primer yang diperoleh melalui wawancara kepada responden. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional utuk mengetahui gambaran stres kerja dan faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Wanita Bekerja 1. Definisi Wanita Bekerja dalam Sektor Formal Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) selama seminggu terakhir (BPS, 2011). Bekerja dalam Sakernas (2008) termasuk status pekerjaan utama yang dikelompokkan menjadi dua yakni sektor formal dan informal. Adapun pekerja yang termasuk dalam sektor formal adalah mereka yang bekerja dalam lingkup berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh atau karyawan. Adapun sektor informal meliputi berusaha sendiri tanpa bantuan, berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian dan non pertanian, dan pekerja keluarga atau tidak dibayar (BPS, 2011). Adapun menurut Breman (1991) dalam Manurung (2000) pekerja sektor formal adalah pekerja formal sebagai pekerja bergaji atau upah harian dalam pekerjaan yang permanen seperti dalam perusahaan industri, kantor pemerintahan, dan perusahaan besar lainnya dengan ciri-ciri meliputi: sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yakni bagian dari suatu struktur pekerjaan yang terjalin dan sangat terorganisir, pekerjaan yang secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, dan syarat-syarat bekerja yang dilindungi hukum.
13
14
Adapun sektor formal yang dimaksud adalah suatu bentuk usaha yg memiliki izin dan terdaftar di kantor pemerintahan (berbadan hukum) dan atas usaha tersebut dikenakan pajak. Sedangkan sektor informal merupakan suatu bentuk usaha yang tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak atau suatu bentuk usaha yang tidak berstatus permanen dan tidak berbadan hukum (Saparini dan Basri, dalam MenegPP, 2010). MenegPP (2010) menyebutkan bahwa pekerja sektor formal terdiri dari tenaga professional, teknisi dan sejenisnya, tenaga kemepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tata usaha dan sejenisnya, tenaga usaha penjualan, dan tenaga usaha jasa. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dinyatakan bahwa wanita bekerja dalam sektor formal adalah seorang wanita yang beraktifitas dengan menguras tenaga serta kemampuan dalam sektor formal (misalnya teknisi, buruh pabrik, tenaga professional seperti dokter, guru, perawat, dan lain sebagainya) yang dilakukan secara sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menghasilkan uang atau sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan baik secara langsung maupun tidak langsung (al-Qarasyi, 2007). 2. Permasalahan Wanita Bekerja Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh wanita bekerja diantaranya adalah gaji atau upah yang tidak setara dengan pria. Deka (2009) menyebutkan bahwa meskipun besar upah pokok antara pegawai pria dan wanita sama, namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara pegawai wanita dan pria. Seorang pegawai wanita yang berstatus menikah atau lajang, tetap
15
dianggap lajang. Seorang pegawai wanita yang berstatus menikah, tidak mendapatkan tunjangan untuk suami atau anak melainkan hanya untuk dirinya sendiri. International Labour Organization (2008) juga menyatakan bahwa wanita masih memperoleh upah yang lebih kecil dibandingkan pria, dimana wanita lebih mendominasi jenis-jenis pekerjaan dengan upah rendah dan kurang terlindungi serta menjadi mayoritas pekerja di sektor pekerjaan informal yang bersifat tidak tetap dan bahkan tanpa upah. Persoalan selanjutnya yaitu perkembangan karir. Dalam penelitian Deka (2009) menyatakan bahwa dibandingkan pria, wanita di sektor publik atau pekerjaan menghadapi kendala lebih besar untuk mengembangkan karirnya seperti kenaikan pangkat, posisi, dan jabatan karena masih sangat melekatnya ideologi patriarkis dalam sebagian besar masyarakat luas. Selain perkembangan karir, permasalahan lainnya yakni peran ganda, dalam hal ini wanita yang bekerja berperan sebagai ibu atau istri juga di luar rumah sebagai wanita bekerja. Pencapaian peran yang tidak seimbang inilah yang kemudian dapat menimbulkan konflik peran ganda, yang akhirnya menjadi pemicu stres kerja pada wanita atau ibu yang bekerja (Rini, 2002). Permasalahan yang sama juga disampaikan Ni‟mah (2009) dalam penelitiannya yakni di tempat kerja wanita ditempatkan pada posisi sekunder karena adanya anggapan bahwa wanita lebih pasif dan memiliki intelektual lebih rendah dibanding pria, selain itu juga wanita dipandang kurang produktif karena terhalang cuti hamil dan melahirkan.
16
B. Definisi Stres Kerja Manusia tidak bisa terlepas dari stres dalam kehidupan sehari-harinya, dan yang menjadi masalah adalah bagaimana hidup beradaptasi dengan stres tanpa harus menghadapi distres (stres sebagai ancaman) (Hawari, 2001). Menurut Losyk (2005) setiap orang tidak dapat menghilangkan semua penyebab stres dalam kehidupan, namun dapat menguranginya untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Losyk (2005) juga menambahkan bahwa setiap orang tidak dapat terlepas dari semua stres yang menghadangnya setiap hari, namun dapat mengendalikannya agar stres berada pada tingkat tertentu dengan dampak negatif tingkat rendah. Adapun stres yang terjadi pada seseorang berawal dari adanya stressor yang ditangkap oleh panca inderanya, melalui sistem saraf panca indera kemudian diteruskan ke susunan saraf pusat otak, yaitu bagian saraf otak yang disebut lymbic system, melalu neurotransmitter. Selanjutnya rangsangan psikososial tersebut melalui saraf autonom akan diteruskan ke kelenjar-kelenjar hormonal (endokrin) yang merupakan
sistem imunitas tubuh dan organ-organ
tubuh yang dipersarafinya
(Hawari, 2001). Definisi stres menurut National Safety Council (2004) adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual seseorang yang suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang tersebut. Lebih rinci lagi, Seyle dalam Munandar (2008) membedakan stres ke dalam dua bentuk, distres (destruktif) dan eustres (kekuatan positif). Menurutnya, stres
17
diperlukan untuk prestasi yang tinggi. Stres yang meningkat sampai unjuk kerja mencapai optimalnya merupakan stres yang baik, yang menyenangkan yaitu eustres, dimana peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan yang menantang. Sedangkan stres menjadi distres ketika peristiwa atau situasi yang dialami sebagai ancaman yang mencemaskan. NIOSH dalam Clausses (2012) menambahkan bahwa meskipun stres dalam level rendah tidak terlalu begitu mengancam, namun situasi stres yang sangat tinggi atau konstan dapat menimbullkan masalah serius baik masalah kesehatan maupun keselamatan diantaranya berupa penyakit kronik jika stres terjadi terus-menerus, dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, dan gangguan tulang terutama tulang belakang dan ekstremitas, serta dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Selain itu Soewono (1993) dalam Inayah (2011) menyampaikan stres yang lebih serius mengakibatkan pekerja mengalami penyimpangan perilaku dan fungsi yang normal yang pada akhirnya dapat mengganggu kinerjanya. Adapun stres kerja, Cox, T. (1981 dalam Miller, 2000) mendefinisikannya sebagai
suatu
keadaan
psikologi
yang
mewakili
ketidakseimbangan
atau
ketidakcocokan antara persepsi seseorang terhadap tuntutan-tuntutan atas mereka (yang berhubungan dengan pekerjaan) dan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan-tuntutan tersebut. Stres kerja adalah bentuk stres yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan, yang ditandai oleh perubahan dalam diri orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan perilaku dari fungsi yang normal (Soewondo, 1993 dalam Inayani, 2011). Dalam penelitiannya, Inayani (2011) menyataan bahwa stres tidak selalu berdampak buruk,
18
dimana stres juga memiliki nilai positif dimana stres tersebut dianggap sebagai tantangan. Adapun stres yang bernilai negatif ia mengatakan, jika stres tersebut terjadi terlalu berat sehingga dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, dan dalam dunia kerja stres tersebut dapat mengakibatkan tenaga kerja mengalami perkembangan berbagai macam jenis gejala stres yang dapat mengganggu kinerjanya. Greenberg (2002) memaparkan bahwa stres kerja merupakan stres pada pekerjaannya yang terjadi pada seseorang. Selanjutnya, Greenberg mendefinisikan stres kerja sebagai kombinasi antara sumber-sumber stres pada pekerjaan, karakteristik individual, dan stresor di luar organisasi. Berdasarkan beberapa definisi mengenai stress kerja tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa stress kerja merupakan stres yang diakibatkan oleh pekerjaan yang ditandai dengan perubahan dalam diri seseorang yang menyebabkan penyimpangan psikologis, perilaku, maupun fisik dari fungsi normal yang dapat merugikan diri sendiri maupun organisasi. C. Stres Kerja Wanita Bekerja Stres kerja dapat terjadi pada pria maupun wanita, dan dari beberapa referensi disebutkan bahwa stres kerja lebih cenderung dialami oleh wanita. Rini (2002) dalam penelitiannya memaparkan bahwa para wanita yang bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria, dimana salah satu faktor tersebut karena wanita yang bekerja menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Hal serupa juga disampaikan oleh Cooper dan Davidson dalam Hastjarja
19
(2004) bahwa manager wanita mengalami stres yang lebih besar dikarenakan wanita mempunyai peran ganda berupa kehidupan karir dan kehidupan rumah tangga. Menurut Nelson & Burke yang dikutip oleh Schultz dan Shcultz (2006) wanita bekerja mengalami level stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja, dimana wanita yang bekerja lebih sering mengalami beberapa gejala stres seperti sakit kepala, kegelisahan, depresi, gangguan tidur, dan gangguan makan dibandingkan dengan pria yang bekerja. Adapun Efendi (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat 11 faktor yang menyebabkan stress kerja pada buruh wanita, yakni desain pekerjaan, lingkungan fisik pekerjaan, sikap atasan, konflik ditempat kerja, peralatan dan tuntutan peran, formalitas hubungan kerja, aturan, kepentingan diluar pekerjaan, keluarga, perlakuan diskriminasi, dan kebiasaan. Adapun Hendrix, Spencer & Gibson (1994 dalam Wirakristama, 2011) menyebutkan bahwa terdapat beberapa macam stres yang dihadapi oleh wanita: 1. Wanita pekerja juga dipengaruhi oleh sumber stres yang biasanya dihadapi oleh laki-laki seperti beban kerja yang berlebih, kebosanan kerja, hubungan dengan pasangan dan anak, dan masalah keuangan. 2. Sumber stres lainnya berasal dari pekerjaan atau luar pekerjaan. Faktor pekerjaan seperti kebosanan, rendahnya tingkat kekuasaan, dan promosi yang sedikit, sedangkan faktor di luar pekerjaan seperti peran ganda sebagai istri ataupun ibu dan sebagai wanita bekerja. Faktor lain yang mempengaruhi kejadian stres kerja pada wanita lebih tinggi adalah wanita memiliki karakteristik psikis dan metabolisme biologis yang berbeda dengan pria. Ahmadi dan Sholeh (2005) dalam Lestarianita (2010) menyebutkan
20
bahwa wanita memiliki karakteristik psikologis yang lebih sensitif daripada pria seperti cenderung untuk meminta perlindungan, minat tertuju kepada yang bersifat emosional dan konkrit, berusaha mengikuti dan menyenangkan orang tua, dan bersifat subjektif. Adapun metabolisme yang berbeda tersebut diantaranya wanita mengalami menstruasi, kehamilan, dan bahkan menyusui dimana dengan adanya hal ini wanita dengan sendirinya dapat mengalami stres psikologis karena pengaruh hormon. Hal inilah yang akhirnya dapat membuat para wanita bekerja merasa cemas karena perasaan takut akan mengabaikan pekerjaannya (Ningsih, 2009). Diantara ketiga hal tersebut yang paling sering dialami wanita adalah menstruasi dengan siklus setiap bulannya. Menurut Corwin (2009), siklus menstruasi adalah pematangan dan pelepasan sebuah ovum yang terjadi secara siklik yang dipengaruhi oleh hormone akibat tidak adanya pembuahan dari sperma. Dari hal tersebut, kebanyakan wanita mengalami gangguan fisik seperti nyeri yang terjadi tanpa tanda-tanda infeksi atau penyakit panggul yang biasanya terjadi menjelang, saat, ataupun sesudah menstruasi, dimana gangguan tersebut dapat mempengaruhi wanita menjadi sangat tidak berdaya, gangguan tersebut sering disebut dengan dismenore. Dismenore merupakan rasa nyeri saat menstruasi yang mengganggu kehidupan sehari-hari wanita yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya kadar kortisol dalam darah (Connoly, 2001 dalam Hapsari 2010). Kasdu (2005) dalam Haryani (2012) menggambarkan gejala dismenore yang dirasakan wanita yaitu nyeri yang dirasakan sebagai kram yang hilang-timbul. Oleh karena hampir semua wanita
21
mengalami dismenore sebelum, hari-hari pertama, ataupun selama haid dan sering kali ditambah rasa mual, hal tersebut dapat memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari, dimana hal ini yang kemudian mempengaruhi stres pada wanita bekerja lebih tinggi dibandingkan pria bekerja karena adanya ancaman terganggunya tanggung jawab pekerjaannya (Wiknjosastro, 1999 dalam Haryani, 2012). Sumber stres kerja lainnya pada wanita menurut Hastjarja (2004) adalah status pekerjaan. Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha atau kegiatan. Indikator status pekerjaan pada dasarnya dilihat dari empat kategori yang berbeda yaitu tenaga kerja dibayar (buruh), pekerja yang berusaha sendiri, pekerja bebas (bekerja secara serabutan dan tidak terikat), dan pekerja keluarga (dikenal dengan pekerja tak dibayar) (MenegPP, 2010). Hastjarja (2004) memaparkan bahwa terdapat perbedaan sumber stres pada jenis pekerjaan atau status pekerjaan pada wanita bekerja. Dalam penelitiannya terhadap kelompok clerical, akademik, dan sales, Hastjarja (2004) menyatakan bahwa sumber stres untuk seorang pekerja clerical banyak disebabkan oleh work overload dan lack of control, penyebab stres untuk kelompok akademik adalah interpersonal conflict dan time/effort wasted, sedangkan kelompok sales lebih banyak disebabkan oleh karena interpersonal conflict dan time/effort wasted. Hal ini dapat diartikan bahwa jenis pekerjaan tertentu memiliki tingkat dan sumber stres kerja yang berbeda. D. Gejala-Gejala Stres Kerja Menurut Arden (2002) gejala stres difragmentasikan ke dalam tiga fragmen, yakni gejala fisik, psikologis, dan gejala perilaku (tabel 2.1).
22
Tabel 2.1 Berbagai Gejala Stres Kerja Menurut Arden (2002) Gejala Fisik Gejala Psikologi Gejala Perilaku 1. Sakit kepala 1. Pesimisme 1. Keresahan 2. Sakit punggung 2. Mudah lupa 2. Mudah marah 3. Kehilangan nafsu makan 3. Kebosanan 3. Sifat suka memerintah 4. Makan berlebihan 4. Ketidaktegasan 4. Rentan mengalami kecelakaan 5. Bahu tegang 5. Ketidaksabaran 5. Isolasi sosial 6. Diare 6. Pikiran yang kaku 6. Agresivitas 7. Insomnia 7. Depresi 7. Membela diri 8. Kelelahan 8. Kecemasan 8. Kecurigaan 9. Sering flu 9. Tidak logis 9. Hygiene yang buruk 10. Gangguan pencernaan 10. Apati 10. Tidak memiliki rasa humor 11. Gangguan perut 11. Kesepian 11. Mudah bingung 12. Napas pendek 12. Merasa tidak berdaya 12. Pekerjaan yang buruk 13. Ingin melarikan diri 13. Mangkir kerja Sumber: Arden (2002)
E. Model Stres Kerja Stres dapat disebabkan oleh tekanan baik dari lingkungan rumah maupun lingkungan kerja (Leka S., et al., 2003), berikut merupakan beberapa jenis model stres kerja atau faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja menurut beberapa ahli: 1. Model Stres Kerja Cooper dan Davidson (1987) Cooper dan Davidson (1987) membagi model stres kerja ke dalam empat arena atau lingkup; lingkup kerja, rumah atau keluarga, sosial, dan lingkup individu. a. Arena kerja meliputi 1) Faktor intrinsik pekerjaan meliputi kecocokan perorangan/lingkungan dan kepuasan kerja, peralatan, pelatihan, shift kerja, beban kerja berlebih, beban kerja kurang, bahaya fisik, dan kepercayaan diri terhadap pekerjaan. 2) Peran dalam organisasi meliputi peran ambigu, konflik peran, tanggung jawab terhadap orang banyak, batasan-batasan organisasi
23
3) Pengembangan karir meliputi promosi kurang/lebih, kurangnya keamanan kerja, ketidakpastian status pekerjaan, kepuasan gaji 4) Relasi atau dukungan sosial meliputi kolega, atasan, dan bawahan 5) Iklim dan struktur organisasi meliputi politik, konsultasi/komunikasi, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, perilaku terbatas, kekakuan dalam bidang politik, hal-hal lain yang berpengaruh. b. Arena rumah meliputi dinamika keluarga, status perkawinan, dukungan dari pasangan atau teman dekat, hubungan dengan anak, perhatian keluarga terhadap keselamatan,
lingkungan
tempat
tinggal,
masalah
keuangan,
bentuk
pengembangan. c. Arena sosial meliputi alienasi dan anomi, iklim, diet, dan lain-lain, frekuensi perpindahan, mengemudi, kehidupan urban vs rural, latihan, olah raga, hobi, aktivitas dan kontak sosial. d. Arena individu meliputi gen riwayat hidup, demografi (misalnya umur, pendidikan, agama, kebangsaan atau ras), kemampuan menghadapi stres, kepribadian tipe A, extraversi vs intervensi, neurosis, peristiwa kehidupan, dan lain-lain. Dari keempat arena tersebut dapat menimbulkan stress outcome diantaranya ketidakpuasan kerja, konsumsi alkohol, merokok, perceraian, penggunaan narkoba, obesitas dan diet, penyakit jantung koroner, hipertensi, migrain, asma, sakit fisik dan mental, dan kecelakaan.
24
Stres kerja tersebut dapat timbul ketika stresor-stresor tersebut saling terkait dan mempengaruhi sehingga menghasilkan suatu gejala-gejala yang bisa diamati melalui perubahan fisik, emosi, dan perilaku (gambar 2.1): Arena Kerja
Arena Sosial
Arena Rumah
Arena Individu
Arena manifestasi Gambar 2.1 Model Stres Kerja Menurut Cooper dan Davidson (1987)
2. Model Stres Kerja Hurrel, dkk. (1988 dalam Munandar, 2008) a. Faktor-Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan yang terbagi dalam tuntutan fisik dan tuntutan tugas 1) Tuntutan Fisik, meliputi kebisingan, vibrasi, dan hygiene. Bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan
kesiagaan
dan
ketidakseimbangan
psikologis
sehingga
memudahkan timbulnya kecelakaan (Munandar, 2008). Untuk vibrasi, dari hasil penelitian Sutherland dan Cooper (1986) dalam Munandar (2008) disebutkan bahwa kondisi kerja yang tidak menyenangkan karena adanya getaran dinilai sebagai pembangkit stres oleh 37% dari pekerja.
25
Selain bising, lingkungan yang kotor dan tidak sehat juga merupakan pembangkit stres dimana dalam hal ini Munandar (2008) menyampaikan bahwa lingkungan yang kotor, berdebu, akomodasi pada waktu istirahat dan toilet yang kurang baik merupakan faktor tinggi pembangkit stres. 2) Tuntutan Tugas, meliputi kerja shift, beban kerja, dan paparan dari risiko dan bahaya. Penelitian dari Monk & Tepas (1985) dalam Munandar (2008) menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. Kemudian, beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit baik kuantitatif maupun kualitatif merupakan pembangkit stres. Selain kerja shift dan beban kerja, risiko dan bahaya yang dihubungkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber dari stres (Munandar, 2008). b. Peran Individu dalam Organisasi 1) Konflik Peran Konflik peran yang
dimaksud salah satunya ditandai dengan
pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan seseorang dan tanggung jawab yang dimiliki. Menurut Kiev dan Kohn (1979 dalam Munandar, 2008) konflik peran merupakan salah satu sumber stres utama pada para manajer puncak dan menengah. 2) Ambiguitas Peran Ambiguitas peran yang dimaksud adalah jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya. Salah satu
26
faktor yang menimbulkan ambiguitas peran adalah ketidakjelasan dari sasaran-sasaran kerja (Munandar, 2008). Dalam hal ini Kahn, dkk. (1964 dalam Munandar, 2008) mengatakan bahwa stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ke ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa diri tidak berguna, rasa harga diri yang menurun, depresi, motivasi rendah untuk bekerja, tekanan darah dan tekanan nadi, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan. c. Pengembangan Karir 1) Ketidakpastian Pekerjaan Pekerjaan seseorang dianggap tidak dibutuhkan lagi merupakan hal yang wajar dalam kehidupan kerja. Dari sana timbul kegiatan reorganisasi yang bertujuan untuk tetap berjalannya usaha. Setiap reorganisasi inilah dapat menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial (Munandar, 2008). 2) Promosi Berlebih dan Kurang Promosi dapat merupakan sumber dari stres, jika peristiwa tersebut dirasakan seseorang sebagai perubahan drastis yang mendadak sedangkan orang tersebut belum siap menerima (Munandar, 2008). d. Hubungan dalam Pekerjaan Hubungan dalam pekerjaan yang mengacu pada timbulnya stres adalah lebih pada hubungan yang tidak baik dalam pekerjaan.
27
e. Struktur dan Iklim Organisasi Menurut Munandar (2008) kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang negatif. Dari hal tersebut, faktor stres yang dikenali terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dalam urusan pekerjaan dan pada support sosial. 3. Model Stres Kerja Menurut Robbins (1998) Terdapat tiga sumber potensial pencetus stres kerja menurut Robbins (1998), yakni sumber dari lingkungan, organisasi, dan individu. a. Faktor stres kerja yang bersumber dari lingkungan Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain struktural organisasi dan juga dapat mempengaruhi tingkatan stres diantara para pekerja dalam organisasi tersebut. Faktor lingkungan sebagai pemicu stres kerja tersebut berupa ketidakpastian ekonomi, politik, dan ketidakpastian teknologi. b. Faktor stres kerja yang bersumber dari organisasi Faktor
organisasi ini meliputi tuntutan pekerjaan (misalkan bentuk
pekerjaan, kondisi bekerja, dan tempat kerja), tuntutan peran (meliputi konflik peran, peran berlebihan, dan peran ambigu), tuntutan interpersonal merupakan suatu bentuk tekanan dari pekerja lain (misalnya hilangnya dukungan sosial dan buruknya hubungan interpersonal), struktur organisasional yang membedakan jabatan organisasi, derajat peraturan, dan pembuatan keputusan, kepemimpinan organisasi, dan taraf kehidupan organisasi (misalkan taraf pendirian organisasi dan kemunduran merupakan hal yang stressfull).
28
c. Faktor stres kerja yang bersumber dari individu Faktor individu meliputi permasalahan keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian. Permasalahan dalam keluarga seperti hubungan tidak baik dengan anak dan pasangan, serta perceraian dapat mempengaruhi stres seseorang dalam pekerjaannya. Kemudian permasalahan ekonomi seseorang seperti banyaknya kebutuhan dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Adapun karakteristik kepribadian seperti ekspresi gejala stres kerja. 4. Model Stres Kerja Menurut Greenberg (2002) a. Faktor stres kerja yang bersumber pada pekerjaan: 1) Sumber intrinsik pada pekerjaan yaitu meliputi kondisi kerja yang sangat sedikit menggunakan aktifitas fisik, beban kerja yang berlebihan, waktu kerja yang menekan, risiko atau bahaya fisik. 2) Peran di dalam organisasi, yaitu meliputi peran yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab kepada orang lain, konflik batasan-batasan reorganisasi baik secara internal maupun eksternal. 3) Perkembangan karir, yaitu meliputi promosi ke jenjang yang lebih tinggi atau penurunan
tingkat,
tingkat
keamanan
kerja
yang kurang,
ambisis
perkembangan karir yang mengalami hambatan. 4) Hubungan relasi di tempat kerja, meliputi kurangnya hubungan relasi dengan pimpinan, rekan sekerja, atau dengan bawahan, serta kesulitan dalam mendelegasikan tanggung jawab.
29
5) Struktur organisasi dan iklim kerja, meliputi terlalu sedikitnya atau bahkan tidak ada keikutsertaan dalam pembuatan keputusan, hambatan dalam perilaku, politik di tempat kerja, kurang efektifnya konsultasi. b. Faktor stres kerja yang bersumber pada karakteristik individu, meliputi tingkat kecemasan, tingkat neurotisme individu, toleransi terhadap hal yang tidak jelas, dan pola tingkah laku tipe A c. Faktor stres kerja yang bersumber di luar organisasi, meliputi masalah-masalah dalam keluarga, peristiwa krisis dalam kehidupan, dan kesulitan secara finansial. 5. Model stres Kerja menurut National Safety Council (2004) National Safety Council (2004) mengelompokkan penyebab stres kerja ke dalam tiga kategori besar yakni penyebab organisasional, individu, dan lingkungan (tabel 2.2). Tabel 2.2 Penyebab Stres Kerja Menurut National Safety Council (2004)
Penyebab Organisasional 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kurangnya otonomi Beban kerja Relokasi pekerjaan Kurangnya pelatihan Perkembangan karir Hubungan yang buruk dengan majikan 7. Perkembangan teknologi 8. Bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji 9. Pekerja dikorbankan
Penyebab Individu 1. Pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga 2. Ketidakpastian ekonomi 3. Kurangnya penghargaan kerja 4. Kejenuhan kerja 5. Perawatan anak yang tidak adekuat 6. Konflik dengan rekan kerja
Sumber: National Safety Council (2004)
1. 2. 3. 4. 5.
Penyebab Lingkungan Buruknya kondisi lingkungan kerja Diskriminasi ras Pelecehan seksual Kekerasan di tempat kerja Kemacetan saat pergi dan pulang kerja
30
a. Penyebab Organisasional 1) Kurangnya otonomi kerja Kurangnya otonomi merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja (NSC, 2004). Dalam hal ini Seyle dalam Arden (2002) menyatakan bahwa keadaan stres tergantung pada individu itu sendiri, apakah dirasakan sebagai stres atau tidak atau apakah stres kerja tersebut dirasakan sebagai ancaman atau sebagai tantangan. Otonomi diartikan sebagai kemandirian pekerja dalam menjalankan tugasnya serta tidak membutuhkan pengawasan ketat dari atasannya. Tuntutan tugas merupakan faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang yang meliputi desain pekerjaan individu (otonomi, berbagai tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik. Semakin banyak ketergantungan antara tugas-tugas seseorang dengan tugas lainnya, maka hal tersebut memiliki potensi terhadap timbulnya stres, sedangkan dengan adanya otonomi, memiliki kecenderungan dapat mengurangi stres (Robbins, 1998). Menurut Kauffeld (2006) dalam Saragih (2007), dengan adanya desain pekerjaan yang memberikan otonomi kerja yang tinggi menjadikan kreatifitas dan kompetensi karyawan meningkat. Dalam hal otonomi kerja ini, Saragih (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kemandirian perawat dalam bertugas dengan kejadian stres. Dalam hasil penelitiannya disebutkan bahwa responden yang tidak mandiri dalam melaksanakan tugasnya cenderung mengalami stres kerja.
31
2) Beban Kerja (beban kerja berlebih maupun terlalu sedikit kuantitatif dan kualitatif) Beban kerja merupakan beban yang dialami oleh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaan yang dilakukan olehnya. Pengaruh beban kerja cukup dominan terhadap kinerja sumber daya manusia tetapi dapat juga menimbulkan efek negatif terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja (SNI 7269, 2009). Timbulnya beban kerja berlebih atau terlalu sedikit kuantitatif adalah sebagai akibat dari tugas-tugas yang diberikan kepada tenaga kerja dan dirasakan oleh tenaga kerja sebagai beban kerja yang terlalu banyak atau sedikit untuk diselesaikan dalam waktu tertentu. Sedangkan beban kerja berlebih atau terlalu sedikit kualitatif timbul, jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau suatu tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja (Munandar, 2008). Davis dan Newstrom (1989) dalam Margiati (1999) juga menyatakan bahwa banyaknya tugas akan menjadi sumber stres apabila tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi pekerja tersebut. Dalam hal ini, Airmayanti (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara beban kerja dengan stres kerja yang dialami oleh responden penelitiannya. Selanjutnya, untuk beban kerja kuantitatif Nugrahani (2008) memaparkan bahwa terdapat hubungan antara beban kerja kuantitatif dengan tingkat stres kerja, yakni semakin pekerja
32
merasa bahwa beban kerjanya berlebih secara kuantitatif, maka tingkat stres yang dialami akan semakin berat dan sebaliknya. Rohman (2010) dalam penelitiannya memaparkan bahwa beban yang dimaksud adalah beban bagi semua umat Islam untuk menjalankan ibadah termasuk bekerja yang harus dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Rohman menjelaskan bahwa beban yang harus dilakukan tersebut akan menimbulkan stres kerja karena adanya tekanan. Hal tersebut berdasar pada firman Allah yang artinya “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan
ia
mendapat
siksa
(dari
kejahatan)
yang
dikerjakannya….” (QS. Al Baqarah 286). Beban kerja selain dapat dinilai berdasarkan persepsi seseorang, juga dapat dinilai berdasarkan jumlah kalori yang dikeluarkan akibat aktivitas yang dilakukan selama seseorang tersebut bekerja, diantaranya kegiatan duduk akan menghabiskan 0,3 kcal/menit, berdiri sebesar 0,6 kcal/menit, berjalan 2-3 kcal/menit. Total skor yang diperoleh dari penilaian beban fisik terhadap aktivitas yang dikerjakan pekerja tersebut kemudian dikategorikan menjadi beban kerja ringan yaitu dengan pengeluaran kalori sampai dengan 200 kcal/jam), beban kerja sedang (200–350 Kcal/jam), dan beban kerja berat (> 350 kcal/jam) (ACGIH, 1992 dalam Dowell dan Tapp, 2007). Standar penilaian beban kerja yang sama juga berlaku di Indonesia yakni dilakukan melalui penilaian beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi yaitu dengan mengukur berat badan,
33
megamati
aktivitas,
dan
meghitung
kebutuhan
kalori
berdasarkan
pengeluaran energi tenaga kerja tersebut sesuai tabel perhitungan beban kerja, misalnya menulis dengan posisi duduk dapat mengeluarkan kalori sebesar 0,6 kkal/jam dan berdiri sebesar 0,9 kkal/jam. Total skor kemudian dikategorikan menjadi kerja ringan (100 kkal/jam – 200 kkal/jam), sedang (200 kkal – 350 kkal/jam), dan berat (>350 kkal/jam – 500 kkal/jam) (SNI 7269, 2009). 3) Relokasi pekerjaan Relokasi pekerjaan dapat diartikan sebagai pemindahan suatu pekerjaan dari tempat kerja lama menuju tempat kerja baru dengan tanggung jawab
sama
atau
berubah
(Ghufroni,
2010).
Kemudian
menurut
Sastrohadiwiryo (2002 dalam Zaini, 2012) relokasi atau mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada perusahaan. Berbeda dengan Zaini (2012), hasil penelitian Saragih (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara mutasi kerja dengan stres kerja pada pekerja (perawat yang bekerja di ruang rawat inap RSUD Porsea) yaitu terdapat 55,9% responden yang stres dari 48,6% responden yang mengalami mutasi tidak sesuai.
34
Mobley (1986) dalam Purwanti (2008) juga memaparkan bahwa pemindahan kerja yang tidak sesuai dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya menimbulkan stres bagi pekeja, mengurangi konsensus dalam kelompok, dan mengakibatkan komunikasi kurang akurat. 4) Kurangnya Pelatihan Pelatihan kerja merupakan keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan (UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003). Menurut Notoadmodjo (1989) tujuan pokok dari setiap training (pelatihan) adalah untuk merubah kemampuan seseorang yang ditunjukkan di dalam melaksanakan pekerjaannya, sedangkan kebijaksanaan umum suatu pelatihan adalah agar pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan efektif, serta menyiapkan mereka untuk dapat mengembangkan selanjutnya. Tujuan tersebut tidak tercapai jika pelatihan yang diberikan kepada pekerja kurang, dimana menurut Denny (2011), kurangnya pelatihan bagi pekerja akan dapat menyebabkan stres kerja. Denny (2011) memaparkan bahwa salah satu penyebab stres terbesar adalah kurangnya pelatihan atau skenario penempatan yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Orang yang ditempatkan tidak sesuai dengan pelatihan mereka atau kualifikasinya tidak tepat akan sulit untuk mengatasi situasi. Kemudian
35
kepercayaan
diri
orang
tersebut
hilang
secara
dramatis
sehingga
menyebabkan stres. 5) Perkembangan karir (promosi yang kurang dan lebih) Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengijinkan maupun karena mungkin dilupakan, dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang merasa sudah waktunya mendapat promosi. Begitu pula untuk promosi berlebih, dimana tenaga kerja merasa terlalu dini untuk dipromosikan sedangkan ia belum siap dituntut untuk berpengetahuan dan berketrampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya, hal tersebut juga dapat memicu stres kerja (Munandar, 2008). Mengenai hal ini, Nugraha (2013) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa terdapat hubungan antara pengembangan karir dan stres kerja pada pekerja. Namun berbeda dengan Zainiyah (2012) yang menyampaikan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan pekerja manufacturing di Semarang. 6) Hubungan yang buruk dengan majikan Hubungan yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Perilaku yang kurang toleransi oleh atasan dapat memicu timbulnya tekanan kerja bagi para pekerja yang kemudian dapat menimbulkan stres bagi pekerja (Munandar, 2008). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Cristian (2005) dalam
36
Purwanti (2008), hubungan antara pekerja dengan atasan yang sering menimbulkan konflik merupakan penyebab stres kerja di tempat kerja. Berdasarkan hal tersebut, Airmayanti (2010) menyampaikan bahwa responden dengan hubungan interpersonal yang buruk sebagian besar mengalami stres kerja berat, sedangkan respoden dengan hubungan interpersonal yang baik sebagian besar mengalami stres kerja ringan. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Nugrahani (2008) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara supervisor (majikan atau atasan) terhadap tingkat stres yang dialami pekerja; yakni semakin pekerja merasa belum puas denga hubungannya dengan atasan (hubungan buruk) maka tingkat stres yang dialami akan semakin berat. 7) Perkembangan teknologi Ketidakpastian teknologi ditandai dengan perubahan inovasi teknologi yang sangat pesat. Pesatnya inovasi teknologi yang menuntut pekerja untuk dapat menguasainya dalam waktu singkat dan dengan pengalaman minim merupakan faktor pembangkit stres kerja bagi pekerja (Robbins, 1998). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Siagian (2004) dalam Henni (2007), stres merupakan interaksi seseorang dengan lingkungannya dengan ciri ketegangan emosional yang mempengaruhi fisik dan mental seseorang, dimana salah satu faktor yang menyebabkannya yakni faktor lingkungan berupa ketidakpastian ekonomi dan perkembangan teknologi.
37
8) Bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji. Menurut Greenberg (2002) faktor-faktor yang secara khusus dianggap berhubungan dengan ketidakpuasan terhadap pekerjaan adalah gaji dan kondisi tempat kerja. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Cooper dan Davidson (1987) dalam Miller (2000) yaitu kepuasan terhadap pembayaran (dalam dunia usaha dapat diartikan sebagai gaji) merupakan faktor yang berhubungan dengan stres kerja. Untuk hal ini, Nugrahani (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan terhadap gaji dengan tingkat stres yang dialami pekerja, yakni semakin pekerja merasa belum puas terhadap gajinya, maka tingkat stres yang dialami akan semakin berat dan begitu pula sebaliknya. Siswanti (2004) juga meneliti hubungan pemberian gaji dengan stres kerja, hasil statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kepuasan pemberian gaji dengan stres kerja. Namun, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti (2010) disebutkan bahwa pengembangan karir berupa pemberian gaji bukan termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja. b. Penyebab Individu 1) Pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga Peran merupakan bagian yang dimainkan individu pada setiap keadaan dan cara tingkah lakunya untuk menyelaraskan diri dengan keadaan (Davis dan Newstrom, 1996 dalam Indriyani, 2009). Wanita bekerja menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi mereka di antara kepentingan
38
keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Konflik peran ganda muncul apabila wanita merasakan ketegangan antara peran pekerjaan dengan peran keluarga (Greenhaus dan Beutell, 1985 dalam Indriyani, 2009). Pertentangan pekerjaan-keluarga didefinisikan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Indriyani (2009) sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Indriyani (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya stress kerja pada pekerja (perawat rumah sakit), dimana pertentangan ini cenderung mengarah pada stress kerja karena ketika urusan pekerjaan mencampuri kehidupan keluarga, tekanan sering kali terjadi pada individu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga. Adapun faktor penting yang dapat mengurangi dilema antara keluarga dan pekerjaan bagi wanita menurut Suriyasam dalam Almasitoh (2011) adalah adanya dukungan suami dan anggota keluarga. 2) Ketidakpastian ekonomi Ketika keadaan ekonomi berubah, kekhawatiran orang mengenai keamanannya akan meningkat (Robbins, 1998). Kemudian, ketidakpastian ekonomi ini mengancam timbulnya kemiskinan, sehingga kemiskinan dalam hal ekonomi keuangan dianggap membuat sangat stres bagi keluarga khususnya individu itu sendiri (Belton dan Santor, 2011).
39
Dalam hal ini Islam mengenalkan stres di dalam kehidupan sebagai cobaan (Yuwono, 2010). Allah SWT berfirman di dalam Al Qur‟an yang artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Albaqarah, 155). Datangnya cobaan kepada diri seseorang tersebutlah yang akan dirasakan sebagai suatu stres (tekanan) dalam diri, beberapa indikator stres tersebut diantaranya ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta atau seseorang mengalami ketidakpastian ekonomi. Kemudian, dalam surat al Baqarah ayat 10 yang artinya “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” Kondisi stres dan gangguan psikologis yang mengikuti manusia disebut sebagai penyakit hati dimana hal ini dapat menjadikan seseorang merasa terancam sesuatu yang sebenarnya dapat dihindari (Yuwono, 2010). 3) Kurangnya penghargaan kerja Penghargaan kerja merupakan pemberian oleh instansi kerja yang dimaksudkan untuk menghargai jasa atau prestasi responden yang dirasa kurang oleh responden (Moenir,1983). Mengenai kurangnya penghargaan kerja ini, Swee, dkk. (2007) menyebutkan bahwa faktor stres kerja yang bermakna secara statistik adalah kurangnya penghargaan kerja, terlalu fokus pada kualitas kerja, beban kerja yang berat, dan masa kerja yang panjang,
40
yakni dari 13 responden yang kurang dalam mendapat penghargaan kerja terdapat 11 responden mengalami stres. Adapun salah satu upaya untuk mencegah stres kerja tersebut menurut Noviandri (2007) adalah dengan memberikan penghargaan yang sesuai kepada pekerja. 4) Kejenuhan kerja Gejala khusus dari kejenuhan kerja ini berupa kebosanan, depresi, pesimisme, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan, absen, dan kesakitan atau sakit. Kejenuhan kerja cukup berpotensi untuk menyebabkan keletihan kerja sehingga pekerja merasa bahwa dirinya hanya memiliki sedikit kontrol terhadap faktor-faktor di tempat kerja atau bahkan tidak memiliki kontrol sama sekali. Dari gambaran inilah mengapa kejenuhan kerja dapat menjadi faktor pencetus stres kerja (National Safety Council, 2004). Rahmawati (2007) dalam penelitiannya menambahkan lagi, pola sikap yang menandakan kebosanan kerja diantaranya adalah pembolosan, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan dan bahkan kekerasan fisik. Kebosanan dalam bekerja merupakan manifestasi dari stres kerja yang menyebabkan produktivitas kerja menurun, adanya ketidakpuasan kerja, kurang motivasi, hilangnya gairah kerja (burnout), angka absen yang meningkat (Prihantini, 2000 dalam Rahmawati, 2007). Hasil penelitian Saragih (2008) mengenai kejenuhan kerja terhadap stres kerja pada perawat, memaparkan bahwa terdapat hubungan yang
41
bermakna antara kejehuhan dalam bekerja dengan kejadian stres kerja pada responden penelitiannya. 5) Perawatan anak Sebagaimana Wilson dan Corlett (1992 dalam Wulayani dan Sudiajeng, 2006) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal yang dapat memicu timbulnya stres kerja yakni pekerja dihadapkan pada tuntutan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, pekerja mempunyai keterbatasan dalam mengatasi masalahnya, dan kurangnya dukungan dari kolega, penyelia, teman atau keluarga termasuk kurangnya perawatan untuk anak. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulayani dan Sudiajeng (2006) terhadap faktor-faktor yang memicu timbulnya stres kerja pada wanita Bali yang bekerja terdapat tiga faktor yang sangat berpengaruh yaitu adat, pengasuhan anak, dan bantuan pekerjaan rumah tangga. Menurut Wulayani dan Sudiajeng (2006) wanita bekerja yang mengalami permasalahan dalam pengasuhan anak adalah para wanita bekerja yang memiliki anak masih kecil. Semakin kecil usia anak maka semakin tinggi tingkat stres yang dialami, terutama ketika anak tersebut sakit. Dari sini jelas bahwa salah satu faktor yang memicu stres kerja adalah pengasuhan terhadap anak yang dirasa kurang atau tidak adekuat. Pernyataan serupa juga disebutkan oleh Rahmah (2012), dalam penelitiannya Rahma menyebutkan bahwa stres kerja yang terjadi pada wanita bekerja selain dipicu oleh kurangnya istirahat akibat besarnya tanggung jawab keluarga dan pekerjaan, juga disebabkan oleh kecemasan
42
akan efek negatif terhadap berkurangnya kesempatan atau kemampuan untuk membina keluarga ideal dan terhadap perkembangan anak akibat pengasuhan yang tidak adekuat. Anak-anak adalah termasuk anugerah sekaligus cobaan yang diberikan Allah dan ketika seseorang merasa kurang dalam mengasuh buah hatinya akan dapat menimbulkan stres atau tekanan tersendiri, sebagimana firman Allah yang artinya “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali „Imran, 14). 6) Konflik dengan rekan kerja Salah satu faktor pencetus stres kerja adalah konflik dengan rekan kerja (NSC, 2004) dimana dalam hal ini Robbins (1998) menggolongkannya pada faktor tuntutan antar pribadi dalam pekerjaan. Dalam hal ini, Putri (2011) menggolongkan faktor tersebut ke dalam dukungan sosial dimana jika hubungan tersebut buruk maka akan dapat menyebabkan stres. Dalam hasil penelitiannya, Putri menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan stres kerja. Hal serupa juga disampaikan oleh Margiati (1999) yakni pekerja yang tidak memperoleh dukungan sosial dari rekan kerjanya termasuk terjadinya konflik akan cenderung terkena stres.
43
Pernyataan yang sama selanjutnya juga disampaikan oleh Almasitoh (2011) dimana dalam penelitiannya disebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan stres kerja, yakni jika responden memiliki dukungan sosial yang rendah dari rekan kerjanya maka tingkat stres kerja yang dialami responden tinggi, dan sebaliknya jika dukungan sosial yang tinggi dari rekan kerja, maka tingkat stres kerja yang dialami responden rendah. Mengenai hal ini, Rook (dalam Masitoh, 2011) mengemukakan bahwa dukungan yang diperoleh dari rekan kerja dapat mengurangi efek-efek dari stres yang merugikan serta mampu menciptakan rasa nyaman dan ketenangan dalam bekerja. Hal senada juga disampaiakan oleh Qomari (2007) yakni salah satu strategi yang diterapkan oleh wanita yang bekerja untuk mengelola stres kerja adalah dengan memelihara hubungan baik dengan rekan-rekan kerja di sekelilingnya agar tetap bersemangat dalam bekerja. c. Penyebab Lingkungan 1) Buruknya kondisi lingkungan kerja Kondisi lingkungan fisik menurut Irawan (2010) dapat berupa suhu yang telalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, lingkungan kerja kotor atau kebersihannya kurang, dan lain sebagainya. Ruangan yang terlalu panas (dapat berarti juga sirkulasi) menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Di samping itu, kebisingan juga memberikan pengaruh yang cukup
44
besar terhadap munculnya stres kerja karena beberapa orang lebih sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky dalam Irawan, 2010). Dalam penelitiannya, Harrianto (2007) menambahkan kondisi fisik lingkungan yang dapat mempengaruhi timbulnya stres kerja, diantaranya adalah tempat kerja yang sunyi atau terpencil dimana pekerja tidak memiliki kesempatan berkomunikasi dengan orang lain selama kerjanya, tempat kerja yang jauh atau sulit dijangkua, dan adanya paparan fisik maupun zat kimiawi. Buruknya kondisi lingkungan yang akhirnya dapat menimbulkan stres kerja bagi pekerja ini dibuktikan oleh Nugrahani (2008) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara buruknya lingkungan kerja yang meliputi adanya hubungan temperatur (tempat kerja terlalu panas) dan kebisingan dengan tingkat stres kerja yang dialami para pekerja. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan penelitian Suliso (2012), disebutkan bahwa lingkungan kerja fisik secara simultan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja karyawan dengan kontribusi sebesar 65,7% dibandingkan dengan faktor lainnya, yakni lingkungan kerja yang buruk termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja. 2) Diskriminasi ras Di beberapa Negara lain, diskriminasi ras merupakan hal yang masih diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, berbeda dengan Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang no. 40 tahun 2008 diskriminasi ras dan etnis telah dihapuskan karena tidak sesuai dengan fitrah manusia dimana dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa umat manusia berkedudukan
45
sama di hadapan Tuhan dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun, baik ras maupun etnik. 3) Pelecehan seksual Pelecehan seksual ini berupa kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindungmya (Baron and Greenberg dalam Irawan, 2010). Adheswary (2012) dalam penelitiannya menyatakan beberapa dampak negatif dari pelecehan seksual yang dapat menyebabkan stres meliputi faktor psikologis dapat berupa marah, stres, ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya, anti sosial, kehilangan rasa percaya diri, dan merasa berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab terjadinya kasus pelecehan seksual. Dampak lainnya ditinjau dari faktor kesehatan diantaranya yakni mengalami gangguan
46
fisik seperti gangguan perut, nyeri tulang belakang, gangguan makan, gangguan tidur, rasa cemas, dan mudah marah. 4) Kekerasan di tempat kerja Newstorm & Davis, 1997 (dalam Harsanti, 2009) menyatakan bahwa terdapat jutaan pekerja menjadi korban dari kekerasan tempat kerja, dan banyak lagi yang hidup di bawah tekanan atau ancaman. Ia juga menambahkan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya stres kerja, tetapi juga dapat timbul sebagai akibat dari stres kerja. Menurut CCOHS (2012) tindakan kekerasan di tempat kerja meliputi perilaku mengancam (seperti merusak peralatan dan melempar objek), ancaman secara verbal dan tulisan, pelecehan (seperti merendahkan, menghina, memfitnah), perkataan makian (seperti sumpah serapah), dan penyerangan fisik (seperti memukul, menendang, dan mendorong) (CCOHS, 2012 dengan modifikasi).
Kekerasan di tempat kerja tergambar pula dari manajemen yang tidak sehat seperti gaya kepemimpinan para manajer yang cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, dan terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian
yang
semestinya
sepele
dan
semacamnya,
akan
menjadikan seseorang tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam Margiati, 1999).
47
5) Kemacetan saat pergi dan pulang kerja Kemacetan identik dengan kepadatan, yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang jalan tertentu dari lajur atau jalan, dirata-rata terhadap waktu (Sari, 2011). Kemacetan lalul intas pada ruas jalan raya terjadi saat arus kendaraan lalu lintas meningkat seiring bertambahnya permintaan perjalanan pada suatu periode tertentu serta jumlah pemakai jalan melebihi dari kapasitas yang ada (Meyer et al, 1984 dalam Sari, 2011). Menurut laporan buletin Butarau (2009) mengenai kemacetan, puncak kemacetan di kota-kota besar terjadi pada jam-jam sibuk di pagi hari dan sore hari, dimana dari kemacetan tersebut mengakibatkan stres yang tinggi pada pengguna jalan. F. Pengukuran Stres Kerja Menurut Karoly (1985) dalam Airmayanti (2010) teknik pengukuran stres dapat digolongkan dalam empat cara, yakni: 1. Self Report Measure Cara ini menggunakan kuesioner untuk mengukur stres yaitu dengan menyatakan intensitas pengalaman psikologis, fisiologis, dan perubahan fisik yang dialami dalam peristiwa kehidupan seseorang. Cara ini juga dikenal sebagai “Life Event Scale” yang berisi beberapa pertanyaan sebagai indikator dalam menentukan stres kerja. Teknik ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi
48
perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan seseorang, seperti kurangnya konsentrasi. Berdasarkan pertanyaan pada daftar pertanyaan metode Life Event Scale setiap pertanyaan bernilai 0-2 (tabel 2.3). Untuk melakukan penilaian indikator stres kerja, dapat dilakukan penilaian sendiri (self assesment). Sistem penilaian yang digunakan sebagai indikator untuk masing-masing kelompok adalah nilai 125 termasuk kategori stres ringan, untuk nilai > 25 termasuk kategori stres berat. Pertanyaan yang digunakan tidak bersifat mutlak, artinya pertanyaan dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Sehingga penilaian dan pengelompokannya juga dapat disesuaikan. Metode Life Event Scale paling sering digunakan dalam penelitian mengenai stres, karena dianggap paling manageable dan biayanya relatif murah walaupun sering ada keterbatasan tertentu seperti penilaian gejala-gejala akibat stres kerja dilakukan secara subjektif (Karoly, 1985 dalam Airmayanti, 2010).
49
Tabel 2.3 Indikator Perubahan Akibat Stres Kerja Perubahan Fisiologis, Psikologis, dan Perilaku selama satu bulan terakhir Perubahan Fisiologis Sakit kepala atau pusing Sakit punggung Gangguan seksual Asma atau sesak nafas Gangguan pencernaan pada lambung dan usus (mag atau lainnya) Insomnia (susah tidur) Diare Telinga berdenging Bruxims (menggertakan gigi di malam hari pada waktu tidur) Sakit sendi tempero mandibular (sakit rahang) Gejala tekanan darah tinggi Gejala PJK (penyakit jantung koroner) Gejala herpes atau cacar air Migraine (sakit kepala sebelah) Gejala tukak lambung Jantung berdebar-debar Sering buang air kecil Sering keluar keringat Gugup Nafsu makan hilang Badan terasa lemah Letih atau lesu Perubahan psikologis Mudah marah Mudah tersinggung Perasaan tertekan Merasa cemas atau gelisah Mudah putus asa Sikap acuh tak acuh Perasaan tegang Perubahan perilaku Merasa malas bekerja Absenteisme tinggi Kurang konsentrasi Cepat merasa lupa Menunda-nunda pekerjaan Minum kopi atau merokok Minum obat tidur atau obat penenang Menghindar dari interaksi sosial (pergaulan)
Sumber: Karoly (1985) dalam Airmayanti (2010)
Tidak Pernah (0)
KadangKadang (1)
Sering (2)
50
2. Performance Measure Cara ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi perubahanperubahan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Contohnya, penurunan prestasi kerja terlihat dari gejala seperti cenderung berbuat salah, cepat lupa dan menjadi lamban dalam bereaksi. Cara ini cukup bagus, namun dalam melaksanakannya,
orang
yang
melakukan
pengukuran
harus
melakukan
pengamatan langsung dan tidak cukup hanya dengan melakukan wawancara. 3. Physiological Measure Pengukuran dengan teknik ini berusaha untuk melihat perubahan yang terjadi pada fisik seperti perubahan tekanan darah, ketegangan otot-otot bahu, leher, dan pundak. Cara ini sering dianggap paling tinggi realibilitasnya, namun sangat tergantung pada alat yang digunakan dan orang yang melakukan pengukuran itu sendiri. 4. Biochemical Measure Pengukuran stres kerja dengan teknik ini yaitu melihat stres melalui respon biokimia individu berupa perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah pemberian stimulus. Reabilitas dari cara ini tergolong tinggi namun hasil pengukurannya dapat berubah bila subjek penelitiannya adalah perokok, peminum alkohol dan kopi. Hal ini karena rokok, kopi dan alkohol dapat meningkatkan kadar kedua hormon tersebut dalam tubuh.
51
G. Upaya Pengelolaan Stres Kerja Dalam kehidupan, stres kerja tidak selamanya dapat dihindari oleh sebab itu seseorang harus mampu mengelola stres kerja yang dialami, karena cobaan yang diberikan Allah tidak dapat diatur oleh manusia. Untuk itu seseorang harus menyiapkan sikap dan perilaku mengelola stres kerja agar dapat mencegah akibat buruk dari stres kerja tersebut. Dalam mengelola stres kerja, Islam menganjurkan beberapa cara agar seseorang dapat terhindar dari akibat buruk stres kerja (Yuwono, 2010), diantaranya yakni: 1. Niat Ikhlas. Upaya yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari berbagai motivasi dimana motivasi inilah yang menentukan bagaimana upaya tersebut dilakukan dan bagaimana sikap apabila upaya tersebut tidak tercapai. Dari sinilah Islam mengajarkan berniat ikhlas atau selalu berprasangka baik kepada Allah dalam berusaha agar selalu mendapat ketenangan baik ketika usaha tersebut berhasil maupun ketika keberhasilan usaha tersebut masih ditangguhkan. Ketenangan ini bersumber dari motif hanya karena Allah, sebagaimana firman Allah yang artinya “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orangorang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. At Taubah, 91). 2. Sabar dan shalat. Sabar dalam Islam adalah mampu berpegang teguh dan mengikuti ajaran agama untuk menghadapi atau melawan hawa nafsu. Seseorang yang sabar akan mampu mengambil keputusan dalam menghadapi penyebab stres
52
yang ada. Begitupun dengan shalat yang mampu menjadi obat bagi ketakutan yang muncul akibat penyebab stres, karena dengan melaksanakan shalat yang khusyu‟ segala kepenatan fisik, berbagai masalah, beban pikiran, dan emosi yang tinggi akan terkontrol. Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah, 153). 3. Bersyukur dan berserah diri (tawakkal). Salah satu cara menghadapi stressor atau penyebab stres adalah dengan selalu bersyukur atas apa yang dikaruniakan Allah dan berserah diri atas segala yang ditetapkan Allah. Dalam firman-Nya, Allah mengajarkan kepada manusia agar selalu bersyukur “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al Fatihah, 2), dan selalu bertawakkal atas segala ketentuan Allah “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya
Allah
melaksanakan
urusan
yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS. Ath Thalaaq, 3). Dengan bersyukur dan bertawakkal dapat memberikan kekuatan positif kepada seseorang sehingga orang tersebut dapat mengelola atau mencegah stres kerja. 4. Doa dan Dzikir. Bagi orang yang beriman, doa dan dzikir merupakan sumber kekuatan dalam berusaha. Melalui dzikir perasaan menjadi lebih tenang dan khusyu‟ sehingga dapat meningkatkan konsentrasi, menjernihkan pikiran, dan mengendalikan emosi untuk dapat mencegah stres dan mengelola stres dengan baik. Hawari (2005) juga menyebutkan bahwa psikologis yang negatif dapat
53
mengakibatkan imunitas menurun, sedangkan penghayatan dan pengamalan keagamaan seperti doa dan dzikir dapat melahirkan faktor psikologis yang positif yang pada gilirannya dapat meningkatkan imunitas tubuh dan mencegah diri dari stres sebagaimana firman Allah yang artinya “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar Ra‟d, 28). Dalam hal secara umum, Wallce (2007) memaparkan beberapa cara menghadapai stres yakni: 1. Cognitive restructuring, yaitu dengan mengubah cara berpikir negatif menjadi positif. Menurutnya hal ini dapat dilakukan melalui pembiasaan dan pelatihan. 2. Journal writing, yaitu menuangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan dalam jurnal atau gambar. Dengan cara ini seseorang juga dapat menuliskan secara bebas apa yang ingin dituliskan atau digambarkan karena gambar dapat menjadi ekspresi perasaan diri yang tidak mampu diutarakan dalam tulisan. Menurutnya, psikolog juga dapat membantu seseorang dalam menemukan solusi yang tepat melalui jurnal, tulisan, dan gambar tersebut. 3. Time management, yaitu mengatur waktu secara efektif untuk mengurangi stres akibat tekanan waktu. Terdapat dimana seseorang melakukan teknik relaksasi dan sharing secara efektif dengan psikolog dalam membentuk kepribadian yang kuat. 4. Relaxation technique, yaitu mengembalikan kondisi tubuh pada homeostatis, yaitu kondisi tenang sebelum ada stressor. Ada beberapa teknik relaksasi, antara lain yaitu yoga, meditasi, bernapas diaphragmatic, beraktivitas fisik seperti olahraga secara teratur.
54
Sementara Levi (1984) menyebutkan upaya pencegahan terhadap stres kerja dalam setting perusahaan atau organisasi di tempat kerja dengan cara: 1. Adanya peraturan tentang identifikasi bahaya kerja di lingkungan kerja perusahaan, termasuk identifikasi terhadap bahaya psikososial kerja. 2. Program Healthy Life Style antara lain tidak minum minuman beralkohol, tidak merokok, diet sehat, olah raga, rekreasi dan lain-lain. 3. Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memikirkan dan menentukan cara dan peralatan kerjanya, mempunyai wewenang untuk menghentikan pekerjaan bila berbahaya, meminta tenaga ahli untuk menilai perilaku kerja atas biaya perusahaan. 4. Memberi kesempatan untuk merancang organisasi kerja, teknologi kerja, sistem remunerasi (insentif) dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan keterampilannya. 5. Memberi kesempatan kepada pekerja untuk menentukan variasi tempat kerja, seperti dekorasi ruang kerja dan adanya musik untuk menghindari kejenuhan. 6. Pendidikan dan pelatihan bagi pekerja. 7. Sistem penggajian tetap dan tidak menggunakan sistem upah harian
55
H. Kerangka Teori Dari beberapa teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja yang telah dipaparkan sebelumnya, diambil salah satu teori yakni model stres kerja menurut National Safety Council (2004). Dimana dari beberapa teori tersebut, model stres kerja menurut NSC (2004) dianggap paling spesifik dalam cakupan semua aspek kehidupan dan sesuai dengan tempat dan responden dalam penelitian ini. Diantaranya berupa faktor kemacetan ketika berangkat dan pulang kerja yang tidak ada dalam model stres kerja lainnya. Faktor ini sesuai dengan kondisi lingkungan penelitian dimana secara umum kemacetan merupakan suatu hal yang sering terjadi di sekitar lingkungan penelitian. Faktor lainnya seperti pelecehan seksual di tempat kerja dan relokasi pekerjaan. Selain itu juga, model stres kerja ini masih jarang dipakai dalam tema penelitian stres kerja sebelumnya. Kemudian, dalam penelitian ini hanya dibatasi pada teori stres kerja menurut National Safety Council (2004) dengan tanpa mengikutsertakan faktor stres internal dan eksternal dari teori lainnya juga dengan tidak mengikutsertakan faktor karakteristik wanita itu sendiri seperti kepribadian maupun psikologis wanita, juga metabolisme biologis yang menimbulkan stres dengan sendirinya seperti siklus menstruasi, kehamilan, dan menyusui. Dari penggolongan faktor stres kerja yang dapat mempengaruhi stres kerja berdasarkan NSC (2004) tersebut dapat dikategorikan menjadi faktor internal (lingkungan kerja) dan faktor eksternal (luar lingkungan kerja). Faktor internal tersebut berupa kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan,
perkembangan
karir,
hubungan
buruk
dengan
atasan/majikan,
56
perkembangan teknologi, bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji, PHK, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, konflik dengan rekan kerja, buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual di tempat kerja, kekerasan di tempat kerja, dan driskiminasi ras. Sedangkan faktor eksternal tersebut diantaranya pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, perawatan anak, dan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja. Berikut merupakan kerangka teori dari faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja menurut NSC (2004) (gambar 2.2): Gambar 2.2 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja Faktor Organisasional 1. Kurangnya otonomi 2. Beban kerja 3. Relokasi pekerjaan 4. Kurangnya pelatihan 5. Perkembangan karir 6. Hubungan yang buruk dengan majikan 7. Perkembangan teknologi 8. Bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji 9. Pekerja dikorbankan Faktor Individu 1. Pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga 2. Ketidakpastian ekonomi 3. Kurangnya penghargaan kerja 4. Kejenuhan kerja 5. Perawatan anak 6. Konflik dengan rekan kerja Faktor Lingkungan 1. Buruknya kondisi lingkungan kerja 2. Pelecehan seksual di tempat kerja 3. Kekerasan di tempat kerja 4. Kemacetan saat berangkat dan pulang kerja 5. Diskriminasi ras Sumber: National Safety Council (2004)
Stres Kerja
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini dibuat untuk menjelaskan keterkaitan antara stres kerja dengan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan stres kerja. Kerangka konsep penelitian ini dibatasi hanya pada teori yang digunakan peneliti yaitu beberapa variabel dari teori stres kerja menurut National Safety Council (2004), sehingga adanya faktor internal dan eksternal lain seperti shift kerja, jenis atau status pekerjaan, keadaan psikis maupun kepribadian, status perkawinan, dan metabolisme wanita serta faktor lainnya yang dapat mempengarui stres kerja tersebut tidak diteliti dalam penelitian ini karena keterbatasan peneliti. Adapun faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan stres kerja tersebut yakni faktor organisasional (kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan atasan, perkembangan teknologi, dan bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji), faktor individu (pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak, dan konflik dengan rekan kerja), dan faktor lingkungan (buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja). Dari semua faktor yang mempengaruhi kejadian stres kerja yang terdapat pada kerangka teori sebelumnya, terdapat dua faktor yang tidak diteliti yaitu faktor 57
58
pekerja dikorbankan dan diskriminasi ras. Faktor diskriminasi ras tidak diteliti dalam penelitian ini dikarenakan umumnya di Indonesia kebangsaan atau ras tidak menjadi permasalahan dalam pekerjaan (tidak ada diskrimasi terhadap pekerja dengan kebangsaan atau ras tertentu) dimana hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan nasional di Indoensia yakni penghapusan diskriminasi ras. Kemudian, faktor pekerja dikorbankan tidak diteliti dalam penelitian ini dikarenakan responden yang diteliti adalah wanita yang bekerja bukan yang tidak bekerja atau terkena pemutusan hubungan kerja. Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Faktor Organisasional 1. Kurangnya otonomi 2. Beban kerja 3. Relokasi pekerjaan 4. Kurangnya pelatihan 5. Perkembangan karir 6. Hubungan yang buruk dengan atasan 7. Perkembangan teknologi 8. Bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji Faktor Individu 1. Pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga 2. Ketidakpastian ekonomi 3. Kurangnya penghargaan kerja 4. Kejenuhan kerja 5. Perawatan anak 6. Konflik dengan rekan kerja Faktor Lingkungan 1. Buruknya kondisi lingkungan kerja 2. Pelecehan seksual 3. Kekerasan di tempat kerja 4. Kemacetan saat berangkat dan pulang kerja
Stres Kerja
59
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian No. 1.
Variabel Stres kerja
Definisi
Cara Ukur
Hasil Ukur
Kuesioner
0. Stres berat (>25) 1. Stres ringan (1-25) (Karoly (1985))
Wawancara
Kuesioner
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak mandiri (total skor < nilai median) 1. Mandiri (total skor ≥ nilai median) 0. Berat (total skor < nilai median) 1. Ringan (total skor ≥ nilai median)
Wawancara
Kuesioner
0. Terganggu (tidak nyaman atas relokasi pekerjaan) 1. Tidak terganggu (nyaman atas relokasi pekerjaan)
Ordinal
Stres yang dialami dan tak Wawancara dapat dihindari responden yang diakibatkan oleh pekerjaannya yang diukur dengan perubahan-perubahan psikologis, fisik, dan perilaku (indikator stres) (Karoly (1985), Hawari (2001), Losyk (2005))
Faktor Organisasional 2. Kurangnya Persepsi responden tentang otonomi kemandirian tanggung jawab dan wewenang dalam menjalankan tugas yang dirasakan kurang oleh responden 3. Beban kerja Persepsi yang dirasakan responden terhadap beban kerja dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki, yang terfragmentasi dalam (Every dan Giordano, 1980 dalam Munandar, 2008): 1. Beban kerja berlebih kuantitatif: beban kerja yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu 2. Beban kerja berlebih kualitatif: beban kerja dimana pekerja sulit dalam menyelesaikannya 4. Relokasi Persepsi responden terhadap pekerjaan rasa terganggu akibat dari pemindahan suatu pekerjaan dari tempat kerja lama menuju tempat kerja baru dengan tanggung jawab sama atau berubah (Ghufroni, 2010)
Skala Ukur Ordinal
Alat Ukur
Ordinal
60
No.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
5.
Kurangnya pelatihan
Persepsi responden terhadap pelatihan yang didapatkannya untuk bisa memudahkan responden melakukan pekerjaannya.
Wawancara
Kuesioner
6.
Perkembangan karir
Wawancara
Kuesioner
7.
Hubungan yang buruk dengan majikan atau atasan
Persepsi responden terhadap peluang yang kecil untuk mendapatkan promosi kurang maupun promosi lebih (Munandar, 2008): 1. Promosi kurang: keadaan tidak mengijinkan maupun karena mungkin dilupakan 2. Promosi lebih: merasa terlalu dini untuk dipromosikan Persepsi responden terhadap hubungan tidak baik antara responden dengan atasan yang terungkap dalam beberapa gejala dengan adanya kepercayaan yang rendah dan taraf pemberian support yang rendah dari atasan (Munandar, 2008)
Wawancara
Kuesioner
Hasil Ukur 0. Kurang (responden tidak mendapatkan pelatihan/ pernah namun masih merasa sulit dalam mengerjakan pekerjaannya (total skor < nilai median)) 1. Cukup (responden pernah mendapatkan pelatihan dan merasa mudah dalam mengerjakan pekerjaannya(tot al skor ≥ nilai median)) 0. Tidak memuaskan (total skor < nilai median) 1. Memuaskan (total skor ≥ nilai median)
0. Ya (jika hubungan buruk atau belum baik) 1. Tidak (hubungan baik)
Skala Ukur Ordinal
Ordinal
Ordinal
61
No.
Variabel
8.
Perkembangan teknologi
9.
Bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji
Faktor Individu 10. Pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga
Hasil Ukur
Skala Ukur Ordinal
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Kurangnya kemampuan yang dirasakan oleh responden untuk menguasai inovasi teknologi termasuk perlatan dan cara kerja baru dalam waktu yang singkat dan dengan pengalaman yang minim dimana responden merasa terganggu (Robbins, 1998) Persepsi responden terhadap pertambahan tanggung jawab tanpa pertambahan hasil yang diterima berupa uang atau kemudahan fasilitas yang diberikan oleh pihak perusahaan atau organisasi atau majikan sebagai kompensasi terhadap pekerjaan atau usaha yang telah dilakukannya.
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak mampu mengikuti 1. Mampu mengikuti
Wawancara
Kuesioner
0. Ya (tanggung jawab bertambah tanpa pertambahan gaji) 1. Tidak (tanggung jawab bertambah diikuti pertambahan gaji)
Ordinal
Persepsi responden terhadap bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara bersamaaan tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal yang dirasakan responden sebagai suatu hal yang mengganggu (Greenhaus dan Beutell,1985 dalam Indriyani, 2009).
Wawancara
Kuesioner
0. Mengganggu (total skor < nilai median) 1. Tidak mengganggu (total skor ≥ nilai median)
Ordinal
62
No.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur 0. Ya (penghasilan respoden tidak tetap setiap bulannya atau jika responden berpenghasilan tetap tapi dirasa tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap bulannya) 1. Tidak (responden berpenghasilan tetap dan dapat mencukupi kebutuhan/bulan annya) 0. Tidak memuaskan 1. Memuaskan
Skala Ukur Ordinal
11.
Ketidakpastian ekonomi
Persepsi responden mengenai keadaan ekonomi yang cenderung mengancam timbulnya kemiskinan atau kesulitan ekonomi (Belton dan Santor, 2011)
Wawancara
Kuesioner
12.
Kurangnya penghargaan kerja
Wawancara
Kuesioner
13.
Kejenuhan kerja
Wawancara
Kuesioner
0. Ya (pekerjaan Ordinal dirasakan sebagai hal yang membosankan) 1. Tidak (pekerjaan dirasakan tidak membosankan)
14.
Perawatan anak yang tidak adekuat
Persepsi responden terhadap pemberian dari instansi tempay kerja yang dimaksudkan untuk menghargai jasa atau prestasi kerjaresponden (Moenir,1983). Persepsi responden terhadap suatu keadaan yang membosankan dengan pekerjaan yang selalu sama sepanjang tahun dan sudah tidak suka lagi karena terlalu sering atau banyak (NSC (2004) dan Saragih (2008)) Persepsi responden terhadap perawatan anak yang dirasakan kurang oleh responden dikarenakan urusan pekerjaan
Wawancara
Kuesioner
15.
Konflik dengan rekan kerja
Persepsi responden terhadap hubungan yang tidak baik/pertentangan antara satu /lebih kelompok kerja yang dialaminya
Wawancara
Kuesioner
0. Ya (perawatan anak bermasalah karena pekerjaan) 1. Tidak (perawatan anak dirasakan baik) 0. Buruk 1. Baik
Ordinal
Ordinal
Ordinal
63
No.
Variabel
Faktor Lingkungan 16. Buruknya kondisi lingkungan kerja
17.
Pelecehan seksual
18.
Kekerasan di tempat kerja
19.
Kemacetan saat pergi dan pulang kerja
Hasil Ukur
Skala Ukur
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Persepsi responden terhadap buruknya kondisi fisik lingkungan kerja meliputi suhu tempat kerja, kebisingan, dan kebersihan tempat kerja yang mengganggu kenyamanan responden dalam bekerja (Muchinsky dalam Irawan, 2010) Pengalaman responden berupa kontak atau komunikasi yang berhubungan dengan seks, dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh responden hingga menimbulkan reaksi negatif seperti rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya (Baron and Greenberg dalam Irawan, 2010) Persepsi responden terhadap tindakan kekerasan dalam pekerjaan yang mengganggu responden meliputi perilaku mengancam (merusak peralatan dan melempar objek), ancaman secara verbal dan tulisan, pelecehan (seperti merendahkan, menghina, memfitnah), perkataan makian (seperti sumpah serapah), dan penyerangan fisik (seperti memukul dan mendorong) (CCOHS, 2012 dengan modifikasi) Persepsi responden tentang terhambatnya kendaraan yang digunakannya akibat kepadatan jalan atas kendaran dimana responden merasa terganggu berada pada situasi tersebut (Sari, 2011)
Wawancara
Kuesioner
0. Mengganggu (total skor < nilai median) 1. Tidak mengganggu (total skor ≥ nilai median)
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
0. Ada (terdapat ≥ 1 jawaban yang menunjukkan pernah mengalami) 1. Tidak (tidak pernah mengalami)
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
0. Ada (terdapat ≥ 1 jawaban yang menunjukkan pernah mengalami) 1. Tidak (tidak pernah mengalami)
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
0. Terganggu 1. Tidak Terganggu
Ordinal
64
C. Hipotesis 1. Ada hubungan antara kurangnya otonomi kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 2. Ada hubungan antara beban kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 3. Ada hubungan antara relokasi pekerjaan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 4. Ada hubungan antara kurangnya pelatihan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 5. Ada hubungan antara perkembangan karir dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 6. Ada hubungan antara hubungan buruk dengan majikan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 7. Ada hubungan antara perkembangan teknologi dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 8. Ada hubungan antara bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 9. Ada hubungan antara pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 10. Ada hubungan antara ketidakpastian ekonomi dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013.
65
11. Ada hubungan antara kurangnya penghargaan kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 12. Ada hubungan antara kejenuhan kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 13. Ada hubungan antara perawatan anak dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 14. Ada hubungan antara konflik dengan rekan kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 15. Ada hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 16. Ada hubungan antara pelecehan seksual dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 17. Ada hubungan antara kekerasan di tempat kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. 18. Ada hubungan antara kemacetan saat berangkat dan pulang kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013.
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional atau potong lintang. Desain ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel dependen (stres kerja) dengan variabel independen (faktorfaktor yang berhubungan dengan stres kerja) pada sampel dari suatu populasi yang diteliti dalam waktu bersamaan. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini bertempat di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten dengan waktu pelaksanaan yaitu bulan Juli 2012 hingga April 2013. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang peneliti lakukan (Sabri dan Hastono, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah semua jumlah wanita bekerja dalam sektor formal yang berdomisili di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan tahun 2013 dengan tempat kerja di berbagai kota atau daerah sebesar 1.826 jiwa. 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai atau karakteristiknya diukur dan kemudian dipakai oleh peneliti untuk menduga karakteristik dari populasi (Sabri dan Hastono, 2006). Sampel dalam penelitian ini adalah wanita bekerja 66
67
yang terpilih yang bekerja dalam sektor formal yang berdomisili dan hadir di tempat penelitian, yakni sebesar 200 responden dengan usia responden yang dibatasi pada 18 hingga 56 tahun (menghindari adanya sampel dengan usia di bawah umur dan sampel dengan batas usia pensiun). Wanita bekerja yang dimaksud adalah baik yang belum maupun sudah menikah, dan untuk kategori menikah baik memiliki maupun belum memiliki anak. Adapun jenis pekerjaan formal yang dimaksud yakni para wanita yang bekerja dalam lingkup berusaha sendiri dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh atau karyawan seperti tenaga kerja tetap, profesional, pekerja teknis, administratif, manajeral, serta lainnya yang memiliki perlindungan hukum (MenegPP (2010 dan al-Qarashi (2007)). Adapun jumlah sampel diperoleh berdasarkan uji hipotesis beda dua proporsi dengan rumus sebagai berikut (Ariawan, 1998): √
√
Keterangan: n
= besar sampel = derajat kemaknaan = kekuatan uji
P
= Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu
dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi yang kemudian diperoleh hasil seperti pada tabel 4.1 berikut:
68
Tabel 4.1 Hasil Penghitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua Proporsi terhadap Hasil Penelitian Terdahulu Variabel Kepuasan terhadap gaji (Nugrahani, 2008) P1: Buruk P2: Baik
Hubungan sosial dengan rekan kerja (Nugrahani, 2008) P1: Buruk P2: Baik
Beban kerja kuantitatif (Nugrahani, 2008) P1: Buruk P2: Baik
Hubungan sosial dengan atasan (Nugrahani, 2008) P1: Buruk P2: Baik
Kejenuhan kerja (Saragih, 2008) P1: Jenuh P2: Tidak Jenuh
Mutasi (Saragih, 2008) P1: Sesuai P2: Tidak Sesuai
Beban kerja (Saragih, 2008) P1: Berat P2: Ringan
P1
0,278
0,358
0,486
0,314
0,529
0,559
0,513
P2
0,036
0,043
0,048
0,102
0,222
0,194
0,194
α (%) 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1
β (%) 80
90
80
90
80
90
80
90
80
90
80
90
80
90
N 35 27 52 46 37 65 25 19 37 32 26 46 15 12 23 20 16 28 57 45 85 75 61 107 38 30 52 50 41 72 27 21 40 35 29 50 34 27 52 45 37 65
69
Variabel Peningkatan karir (Saragih, 2008) P1: Tidak Meningkat P2: Meningkat
Pengembangan karir (Airmayanti, 2010) P1: Memuaskan P2: Tidak Memuaskan
Promosi kerja (Yunus, 2011) P1: Buru P2: Baik
P1
0,633
0,488
0,75
P2
0,175
0,321
0,25
α% 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1 5 10 1
β% 80
90
80
90
80
90
N 17 13 26 22 18 32 135 146 201 180 106 255 15 12 22 19 16 22
Sumber: Hasil Perhitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua Proporsi, Ariawan (2009) terhadap Hasil Analisi bivariat Nugrahani (2008), Saragih (2008), Airmayanti (2010), dan Yunus (2011)
Berdasarkan hasil perhitungan sampel pada tabel 4.1, jumlah sampel yang akan diambil adalah 57 orang (P1= proporsi hubungan sosial dengan atasan kategori buruk pada stres kerja dan P2= proporsi hubungan sosial dengan atasan kategori baik pada stres kerja). Dari hasil tersebut, kemudian dilakukan penghitungan sampel minimal dengan menggunakan perbandingan dari hasil penelitian Saragih (2008) yaitu hasil dari responden yang tidak stres sebesar 62,9% : 95
= persentase tidak stres (%) x n
n
= 57 / persentase tidak stres (%)
n
= 57 / 62,9%
n
= 91 responden. Berdasarkan perhitungan sampel di atas diperoleh jumlah sampel minimal
sebesar 91 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
70
menggunakan metode cluster sampling sehingga perlu memperhatikan efek desain. Efek desain yang umum digunakan dalam cluster sampling berkisar 2 dan 4 (Ariawan, 1998). Dalam penelitian ini desain efek yang digunakan adalah 2 mengingat cluster yang digunakan hanya satu tahap, sehingga jumlah sampel sebelumnya dikalikan dua menjadi 182. Untuk menghindari drop out dan missing data, sampel kemudian ditambah kurang lebih 10% sehingga jumlah sampel minimal yang diambil menjadi 200 responden. Untuk menentukan lokasi dan elemen sampel terpilih digunakan cluster sampling pada tingkat RW dengan sampling frame RW dan sampling frame sampel, berikut langkah-langkahnya: 1. Dari 6 Kelurahan se-Kecamatan Ciputat Timur, ditentukan berapa banyak RW pada masing-masing Kelurahan. Kemudian dari RW tersebut dibuat sampling frame RW. 2. Sampling frame RW dari masing-masing Kelurahan tersebut kemudian dibagi secara proporsional (RW per Kelurahan/jumlah RW keseluruhan x 15% dari jumlah RW keseluruhan) untuk menentukan berapa banyak RW yang akan diambil dari masing-masing Kelurahan. Setelah itu secara acak sederhana terpilih beberapa RW (12 RW) yang akan menjadi lokasi penelitian dengan 2 RW untuk masing-masing Kelurahan (gambar 4.1). 3. Dari 12 RW terpilih, kemudian dibuat sampling frame sampel (gambar 4.2) berupa wanita bekerja sektor formal. setelah itu, untuk menentukan banyaknya sampel dari masing-masing RW berdasarkan sampling frame sampel tersebut, pengambilan sampel dibagi secara proporsional (tabel 4.2).
71
Kecamatan Ciputat Timur Rempoa
Pisangan
12 RW
5
Cmpk Pth
18 RW
11 RW
2
7
Cirendeu
3 11
12 RW
6
9
Rengas
Pdk Ranji
11 RW
15 RW
3
1
11
5
10
Gambar 4.1 Sampling Frame RW dalam Penentuan RW sebagai Lokasi Penelitian
Kelurahan Se-Kecamatan Ciputat Timur Rempoa
5 205 22
Pisangan
2
7
3 11
6
188
138 15
Cmpk Ptih
164 18
72 8
21
Cirendeu
Pndk Ranji
9
1
11
152 145 16
17
135
5
147
162
16
17
15
Rengas
3
10 144
176
16
19
Gambar 4.2 Sampling Frame Sampel dalam Penentuan Sampel Penelitian
Tabel.42 Proporsi Jumlah Sampel dari Masing-Masing RW Terpilih Proporsi Jumlah Sampel Proporsi Jumlah Sampel RW/Kelurahan RW/Kelurahan (Responden) (Responden) 5/Rempoa 205 / 1826 x 200 = 22 9/Cirendeu 152 / 1826 x 200 = 17 7/Rempoa 138 / 1826 x 200 = 15 11/Cirendeu 135 / 1826 x 200 = 15 2/Pisangan 164 / 1826 x 200 = 18 1/Pondok Ranji 147 / 1826 x 200 = 16 11/Pisangan 72 / 1826 x 200 = 8 5/Pondok Ranji 162 / 1826 x 200 = 17 3/Cempaka Putih 188 / 1826 x 200 = 21 3/Rengas 176 / 1826 x 200 = 19 6/Cempaka Putih 145 / 1826 x 200 = 16 10/Rengas 144 / 1826 x 200 = 16 Sumber: Hasil Penghitungan Sampel Berdasarkan Data Kartu Keluarga Beberapa RW Terpilih dari Kelurahan Se-Kecamatan Ciputat Timur
72
D. Instrumen Penelitian 1. Uji Coba Kuesioner Kuesioner yang akan digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba. Dari hasil uji coba, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada pertanyaanpertanyaan dalam kuesioner hasil uji coba tersebut. Selanjutnya dilakukan revisi terhadap kuesioner tersebut. Uji coba kuesioner tersebut dilakukan kepada 20 responden dengan karakteristik sama, namun di lokasi yang berbeda dengan lokasi penelitian untuk menghindari terpilihnya kembali responden sebagai responden penelitian. 2. Kuesioner Kuesioner yang digunakan memuat pertanyaan-pertanyaan mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan stres kerja berupa faktor organisasional (kurangnya otonomi, beban kerja, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, perkembangan karir, hubungan yang buruk dengan majikan, perkembangan teknologi, dan bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji), faktor individu (pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan kerja, kejenuhan kerja, perawatan anak, dan konflik dengan rekan kerja), dan faktor lingkungan (buruknya kondisi lingkungan kerja, pelecehan seksual, kekerasan di tempat kerja, dan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja). Kuesioner tersebut juga mengandung pertanyaan yang berisi indikator dalam menentukan stres kerja. Dimana indikator-indikator tersebut kemudian digunakan untuk menilai kondisi stres pada responden.
73
3. Skoring Skoring dalam variabel ini menggunakan skala likert dengan 3 tingkatan pengukuran untuk variabel stres kerja (0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, dan 2 = sering) dan 4 tingkatan pengukuran untuk beberapa variabel independen 1 = sangat sesuai, 2 = sesuai, 3 = tidak sesuai, 4 = sangat tidak sesuai (pertanyaan favourable), dan 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak sesuai, 3 = sesuai, dan 4 = sangat sesuai (unfavourable). a. Variabel stres kerja Stres kerja diukur dengan menggunakan indikator yang telah ditetapkan sesuai dengan metode self report dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan adanya perubahan fisiologis, psikologi dan perilaku. Hasil jawaban tidak pernah diberi skor 0, kadang-kadang diberi skor 1, dan sering diberi skor 2. Instrumen pengukuran stres kerja dalam penelitian ini didasarkan pada pendekatan yang dilakukan oleh Karoley (1985 dalam Airmayanti, 2010). Hasil skor stres kerja adalah hasil total skor seluruh jawaban responden kemudian dikategorikan menjadi 2, yaitu kategori stres berat (> 25 ) dan stres ringan (1-25). b. Variabel kurangnya otonomi Semakin tinggi skor, maka otonomi yang didapat semakin membuat responden mandiri, dan sebaliknya apabila semakin rendah skor maka otonomi yang didapat kurang dan membuat responden tidak mandiri. Skor tersebut didasarkan pada dua kategori, yakni tidak mandiri (skor < median) dan mandiri (skor ≥ median).
74
c. Variabel beban kerja Semakin tinggi skor, maka beban kerja yang dibebankan dirasakan ringan, dan sebaliknya apabila semakin rendah skor, maka beban kerja yang dibebankan terasa semakin berat. Skor tersebut didasarkan pada dua kategori, yakni ya/beban kerja berat (skor < median) dan tidak/beban kerja ringan (skor ≥ median). d. Variabel kurangnya pelatihan Semakin tinggi skor, maka pelatihan yang yang diperoleh responden dirasa cukup dan semakin baik, namun sebaliknya apabila semakin rendah skor, maka pelatihan yang diperoleh dirasa kurang. Skoring terseut didasarkan pada dua kategori yakni kurang (skor < median) dan cukup (skor ≥ median). e. Variabel perkembangan karir Semakin tinggi skor, maka karir yang didapat semakin terasa memuaskan dan sebalikya apabila semakin rendah skor maka karir pekerja wanita dirasakan semakin tidak memuaskan. Skor tersebut didasarkan pada dua kategori, yakni tidak memuaskan (skor < median) dan memuaskan (skor ≥ median). f. Pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga Semakin tinggi skor, maka tanggung jawab keluarga semakin terasa tidak mengganggu karir dan apabila semakin rendah skor maka tanggung jawab keluarga semakin terasa mengganggu karir. Skor tersebut didasarkan pada dua kategori, yakni mengganggu (skor < median) dan tidak mengganggu (skor ≥ median).
75
g. Variabel buruknya kondisi lingkungan kerja Semakin tinggi skor, maka kondisi lingkungan dirasakan tidak mengganggu, dan sebalinya apabila semakin rendah skor, maka kondisi lingkungan kerja semakin mengganggu. Skor tersebut didasarkan pada dua kategori, yakni mengganggu (skor < median) dan tidak mengganggu (skor ≥ median). E. Pengumpulan Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder: 1. Data Primer Data primer dalam penelitian ini yakni berupa data yang diperoleh secara langsung dari sampel yaitu wanita bekerja dalam sektor formal yang hadir dan berdomisili di lokasi penelitian. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner untuk variabel dependen maupun variabel independen. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti atau dengan cara penelusuran dokumen yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, Kecamatan Ciputat Timur, dan Kelurahan seKecamatan Ciputat Timur. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa profil Kecamatan Ciputat Timur dan data wanita bekerja di Kecamatan tersebut.
76
F. Pengolahan Data Setelah data primer diperoleh, kemudian dilakukan pengolahan data dengan beberapa tahapan berikut: 1. Editing Pada langkah ini peneliti melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawaban dikuesioner sudah: a. Lengkap: semua pertanyaan sudah terisi jawabannya b. Jelas: jawaban pertanyaan apakah tulisannya cukup jelas terbaca c. Relevan: jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaannya d. Konsisten: apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan isi jawabannya konsisten. Misalnya antara pertanyaan punya anak atau tidak dan perawatan anak. Bila pertanyaan kepemilikan anak terisi tidak dan pada pertanyaan perawatan anak terisi jawaban baik ya atau tidak, berarti tidak konsisten. Jika isian kuesioner sudah sesuai dengan poin-poin tersebut (poin a sampai d) maka pengolahan data dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya, jika belum maka isian kuesioner tersebut harus dilengkapi terlebih dahulu dengan menanyakan kembali kepada responden atas isian jawaban yang kurang lengkap tersebut. Proses editing/pengecekan ini peneliti lakukan sebelum meninggalkan responden penelitian. 2. Coding Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka agar lebih mudah dalam mengentry dan menganalisis data. Salah satu contoh pengkodingan data dalam penelitian ini:
77
Kurangnya otonomi, 0 = tidak mandiri jika total skor dari semua jawaban pertanyaan < nilai median, dan 1 = mandiri jika total skor ≥ nilai median. 3. Processing Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga sudah melewati proses coding, maka selanjutnya data akan dientry ke computer dengan menggunakan software statistics agar dapat dilakukan analisis data. Dalam melakukan tahap processing ini, peneliti menggunakan software statistics berupa EpiData dan Statistical Program for Social Science (SPSS). 4. Cleaning Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak yang dimungkinkan terjadi pada saat proses entry ke komputer. Misalnya dalam semua data terdapat data dengan kode 4 atau 5, seharusnya semua data berdasarkan coding yang ada hanya antara 0 dan 1. Jika dari hasil cleaning ini masih terdapat ketidaksesuaian data, maka dilakukan pengecekan kembali, namun jika data sudah sesuai maka data sudah siap untuk dianalisis. G. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel dependen dan variabel independen sehingga diperoleh gambaran objek dari penelitian. Sedangkan analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel-variabel independen dan variabel dependen.
78
Analisis bivariat ini menggunakan uji statistik chi square dengan tingkat kemaknaan 0,05 dengan pedoman pengambilan keputusan berikut: 1. Jika hasil perhitungan statistik menunjukkan p value ≥ 0,05 maka dikatakan antara kedua variabel (independen terhadap variabel dependen) secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna. 2. Bila p value < 0,05 maka dikatakan antara kedua variabel (independen terhadap variabel dependen) secara statistik ada hubungan yang bermakna.
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat 1. Gambaran Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Berikut gambaran stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 (tabel 5.1): Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Stres Kerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Stres Kerja Jumlah (n) Persentase (%) Berat 41 20,5 Ringan 159 79,5 Total 200 100 Berdasarkan tabel 5.1 tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami stres kerja ringan, dan sebaliknya hanya sebagian kecil yang mengalami stres kerja berat yaitu sebesar 20,5%. 2. Gambaran Faktor Organisasional pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 a. Kurangnya Otonomi Variabel kurangnya otonomi diukur dengan menggunakan pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan otonomi kerja. Dalam analisis data, kurangnya otonomi dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan nilai median (7,0). Berikut distribusinya (tabel 5.2):
79
80
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kurangnya Otonomi Kerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Kurangnya Otonomi
Jumlah (n)
Persentase (%)
Tidak Mandiri 84 42,0 Mandiri 116 58,0 Total 200 100 Dari tabel 5.2 tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya atau memperoleh otonomi kerja yang sesuai yakni sebesar 58,0%. b. Beban Kerja Dalam analisis data, beban kerja dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan nilai median (3,0). Berikut distribusinya (tabel 5.3): Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Beban Kerja di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Beban Kerja
Berat Ringan Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
89 111 200
44,5 55,5 100
Dari tabel 5.3 mengenai beban kerja tersebut dapat diketahui bahwa, sebagian besar responden memiliki beban kerja ringan atau sesuai dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki yaitu sebesar 55,5%. c. Relokasi Pekerjaan Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Relokasi Pekerjaan di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Relokasi Pekerjaan
Terganggu Tidak Terganggu Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
19 76 95
20,0 80,0 100
81
Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden merasa tidak terganggu atau nyaman atas relokasi pekerjaan yang dialaminya tersebut yakni sebesar 80,0%. d. Kurangnya Pelatihan Dalam analisis data, variabel kurangnya pelatihan dikategorikan menjadi 2 berdasarkan nilai median (2,0) (tabel 5.5): Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pelatihan di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Kurangnya Pelatihan
Kurang Cukup Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
86 114 200
43,0 57,0 100
Dari tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 57,0% responden telah mendapatkan pelatihan dan merasa bahwa pelatihan yang diterima
cukup
atau
memudahkan
responden
dalam
melaksanakan
pekerjaannya. e. Perkembangan Karir Berdasarkan nilai median 3,0, perkembangan karir dikategorikan menjadi 2 yakni tidak memuaskan dan memuaskan dari responden yang dalam pekerjaannya terdapat sistem kenaikan jabatan (tabel 5.6). Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan Karir di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Perkembangan Karir
Tidak Memuaskan Memuaskan Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
32 89 121
26,4 73,6 100
82
Dari hasil analisis pada tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau sebesar 73,6% responden merasa bahwa karir yang diperoleh memuaskan atau sesuai dengan kinerjanya. f. Hubungan yang Buruk dengan Atasan/Majikan Dalam analisis data, hubungan yang buruk dengan atasan dikategorikan menjadi 2 yakni ya (hubungan buruk) dan tidak (hubungan baik). Berikut distribusinya (tabel 5.7): Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan yang Buruk dengan Atasan di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Hubungan Buruk dengan Atasan
Jumlah (n)
Persentase (%)
4 196 200
2,0 98,0 100
Ya Tidak Total
Dari tabel 5.7 dapat dilihat bahwa sebagian besar atau sebesar 98% responden memiliki hubungan tidak buruk atau memiliki hubungan baik dengan atasannya. g. Perkembangan Teknologi Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan Teknologi di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Perkembangan Teknologi
Jumlah (n)
Persentase (%)
Tidak Mampu Mengikuti Mampu Mengikuti Total
31 169 200
15,5 84,5 100
Dari tabel 5.8 diketahui bahwa sebagian besar atau 84,5% responden mampu mengikuti perkembangan teknologi.
83
h. Bertambahnya Tanggung Jawab Tanpa Pertambahan Gaji Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Bertambahnya Tanggung Jawab Tanpa Pertambahan Gaji di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Bertambahnya Tanggung Jawab Jumlah (n) Persentase (%) Tanpa Pertambahan Gaji
Ya Tidak Total
75 125 200
37,5 62,5 100
Dari tabel 5.9 tersebut dapat diketahui bahwa terdapat sebagian besar responden tidak mengalami masalah dalam gajinya atau dapat dikatakan bahwa seiring bertambahnya tanggung jawab yang dibebankan kepada responden, juga diikuti dengan bertambahnya gaji yang diterima, yakni sebesar 62,5%. 3. Gambaran Faktor Individu pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 a. Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga Dalam analisis data, variabel pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga dikategorikan menjadi dua yakni mengganggu dan tidak mengganggu, dimana pengkategorisasian tersebut berdasarkan nilai median (3,0). Berikut distribusinya (5.10): Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Pertentangan antara Karir dan Jumlah Persentase (n) (%) Tanggung Jawab Keluarga Mengganggu 65 32,5 Tidak Mengganggu 135 67,5 Total 200 100
84
Dari tabel 5.10 tersebut dapat diketahui bahwa, sebagian besar atau sebesar 67,5% responden merasa bahwa karir dan tangggung jawab terhadap keluarga dapat dijalankan dengan baik tanpa adanya gangguan. b. Ketidakpastian Ekonomi Dalam analisis data, variabel ketidakpastian ekonomi dikategorikan menjadi dua, berikut distribusinya (tabel 5.11): Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Ketidakpastian Ekonomi di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Jumlah (n) Persentase (%) Ketidakpastian Ekonomi Terganggu 107 53,5 Tidak Terganggu 93 46,5 Total 200 100 Dari analisis pada tabel 5.11 diperoleh bahwa sebesar 53,5% responden merasa bahwa penghasilannya tidak tetap atau tetap namun belum dapat memenuhi kebutuhannya (terganggu). c. Kurangnya Penghargaan Kerja Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Penghargaan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Jumlah (n) Persentase (%) Penghargaan Kerja Tidak memuaskan 106 53,0 Memuaskan 94 47,0 Total 200 100 Dari tabel 5.12 dapat diketahui bahwa terdapat 53,0% responden merasa bahwa fasilitas maupun penghargaan kerja yang diberikan instansi kerja atas hasil kinerjanya tersebut tidak memuaskan.
85
d. Kejenuhan Kerja Dalam analisis data, variabel kejenuhan kerja dikategorikan menjadi dua yakni ya (pekerjaan membosankan) dan tidak (pekerjaan tidak membosankan). Berikut distribusinya (tabel 5.13): Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kejenuhan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Kejenuhan Kerja
Ya Tidak Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
56 144 200
28,0 72,0 100
Dari tabel 5.13 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau sebesar 72,0% responden tidak mengalami kejenuhan dalam bekerja. e. Perawatan Anak Dalam analisis data, variabel perawatan anak yang tidak adekuat dikategorikan menjadi 2 yakni ya (perawatan anak dirasakan tidak baik) dan tidak (perawatan anak dirasakan baik) (tabel 5.14). Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Perawatan Anak di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Jumlah (n) Persentase (%) Perawatan Anak Tidak Adekuat Ya 10 9,5 Tidak 95 90,5 Total 105 100 Dari tabel 5.14 dapat diketahui bahwa sebesar 90,5% atau sebagian besar responden dapat mengasuh atau merawat anaknya dengan baik meski disibukkan dengan tugas pekerjaan.
86
f. Konflik dengan Rekan Kerja Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Konflik dengan Rekan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Jumlah (n) Persentase (%) Konflik dengan Rekan Kerja Buruk 10 5,0 Baik 190 95,0 Total 200 100 Dari tabel 5.15 tersebut dapat diketahui bahwa sebesar 95,0% atau sebagian besar responden merasa bahwa hubungan dengan rekan kerjanya berjalan baik. 4. Gambaran Faktor Lingkungan pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013. a. Buruknya Kondisi Lingkungan Kerja Varibel buruknya kondisi lingungan kerja diukur dengan menggunakan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi fisik lingkungan kerja. Dalam analisis data, berdasarkan nilai median sebesar 2,0, variabel tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori
yakni
mengganggu dan tidak
mengganggu. Berikut distribusinya (tabel 5.16): Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Lingkungan Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Buruknya Kondisi Lingkungan Jumlah Persentase (n) (%) Kerja Mengganggu 72 36,0 Tidak Mengganggu 128 64,0 Total 200 100 Berdasarkan tabel 5.16 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 64,0% responden merasa bahwa kondisi lingkungan kerjanya baik dan nyaman atau tidak mengganggunya dalam melaksanakan pekerjaannya.
87
b. Pelecehan Seksual Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Pelecehan Seksual di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Jumlah (n) Persentase (%) Pelecehan Seksual Ada 58 29,0 Tidak 142 71,0 Total 200 100 Dari tabel 5.17 tersebut dapat diketahui bahwa dalam dunia kerjanya sebesar 71,0% atau sebagian besar responden tidak pernah mengalami pelecehan seksual dari rekan kerja maupun atasannya. c. Kekerasan di Tempat Kerja Variabel kekerasan di tempat kerja diukur menggunakan pertanyaan dengan beberapa pilihan jawaban. Dalam analisis data variabel tersebut dikategorikan menjadi dua yakni ada (jika terdapat ≥ 1 perlakuan) dan tidak (jika tidak ada perlakuan) (tabel 5.18): Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Kekerasan di Tempat Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Jumlah (n) Persentase (%) Kekerasan di Tempat Kerja Ada 25 12,5 Tidak 175 87,5 Total 200 100 Dari tabel 5.18 tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden atau sebesar 87,5% tidak pernah mengalami kekerasan di tempat kerja.
88
d. Kemacetan saat Berangkat dan Pulang Kerja Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Kemacetan saat Berangkat dan Pulang Kerja di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Kemacetan saat Berangkat Persentase Jumlah (n) (%) dan Pulang Kerja Terganggu 146 73,0 Tidak Terganggu 54 27,0 Total 200 100 Berdasarkan tabel 5.19 dapat diketahui bahwa sebesar 73,0% atau sebagian besar responden menyatakan bahwa kemacetan dirasa mengganggu kenyamanan mereka.
B. Analisis Bivariat Dalam analisis bivariat ini digunakan uji statistik chi-square untuk melihat hubungan masing-masing variabel independen (variabel-variabel yang berhubungan dengan stres kerja) dengan variabel dependen (stres kerja) pada wanita bekerja sektor formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013. 1. Hubungan antara Faktor Organisasional dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 a. Hubungan antara Kurangnya Otonomi dengan Stres Kerja Tabel 5.20 Tabulasi Silang antara Kurangnya Otonomi dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Kurangnya Otonomi Kerja Tidak Mandiri Mandiri
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 19 22,6 65 77,4 22 19,0 94 81,0
Total N
%
84 116
100 100
P value 0,650
Dari tabel 5.20 dapat diketahui bahwa dari 84 responden yang menyatakan tidak mandiri dalam kerjanya, sebesar 22,6% mengalami stres
89
kerja berat. Sedangkan dari 116 responden yang mandiri dalam kerjanya, sebesar 19,0% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 0,650 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kurangnya otonomi dan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. b. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres Kerja Tabel 5.21 Tabulasi Silang antara Beban Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Beban Kerja Berat Ringan
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 26 29,2 63 70,8 15 13,5 96 86,5
Total N
%
89 111
100 100
P value 0,011
Dari tabel 5.21 dapat diketahui bahwa dari 89 responden yang menyatakan beban kerja berat, sebesar 29,2% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 111 responden dengan beban kerja ringan, sebesar 13,5% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 0,011 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara beban kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013.
90
c. Hubungan antara Relokasi Pekerjaan dengan Stres Kerja Tabel 5.22 Tabulasi Silang antara Relokasi Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Relokasi Pekerjaan Terganggu Tidak Terganggu
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 7 36,8 12 63,2 14 18,4 62 81,6
Total N
%
19 76
100 100
P value 0,120
Dari tabel 5.22 dapat diketahui bahwa dari 19 responden yang menyatakan relokasi tidak nyaman, sebesar 36,8% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 76 responden dengan relokasi kerja tidak nyaman, sebesar 18,4% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 0,120 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara relokasi pekerjaan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. d. Hubungan antara Pelatihan dengan Stres Kerja Tabel 5.23 Tabulasi Silang antara Pelatihan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Kurangnya Pelatihan Kurang Cukup
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 22 25,6 64 74,4 19 16,7 95 83,3
Total N
%
86 114
100 100
P value 0,171
Dari tabel 5.23 dapat diketahui bahwa dari 86 responden yang merasa kurang dalam pelatihan kerjanya maupun yang belum mendapat pelatihan kerja, sebesar 25,6% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 114 responden yang merasa cukup, sebesar 16,7% mengalami stres kerja berat.
91
Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 0,171 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kurangnya pelatihan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. e. Hubungan antara Perkembangan Karir dengan Stres Kerja Tabel 5.24 Tabulasi Silang antara Perkembangan Karir dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Perkembangan Karir Tidak Memuaskan Memuaskan
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 7 21,9 25 78,1 21 23,6 68 76,4
Total
P value
N
%
32 89
100 100
1,000
Dari tabel 5.24 dapat diketahui bahwa dari 121 responden terdapat 32 responden yang menyatakan karir kerjanya tidak memuaskan dengan 21,9% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 89 responden dengan karir memuaskan, sebesar 23,6% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 1,000 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara perkembangan karir dengan stres kerja. f. Hubungan antara Buruknya Hubungan dengan Atasan dengan Stres Kerja Tabel 5.25 Tabulasi Silang antara Hubungan dengan Atasan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Hubungan dengan Atasan Buruk Baik
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 1 25,0 3 75,0 40 20,4 156 79,6
Total N
%
4 196
100 100
P value 1,000
92
Berdasarkan tabel 5.25 diketahui bahwa dari 4 responden yang menyatakan memiliki hubungan buruk dengan atasannya, sebesar 25,0% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 196 responden yang hubungan dengan atasannya baik, sebesar 20,4% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 1,000 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara hubungan buruk dengan majikan dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013. g. Hubungan antara Perkembangan teknologi dengan Stres Kerja Tabel 5.26 Tabulasi Silang antara Perkembangan Tekonologi dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Stres Kerja Total P value Berat Ringan N % N % N % 0,045 Tidak Mampu 11 35,5 20 64,5 31 100 Mampu 30 17,8 139 82,2 169 100 Dari tabel 5.26 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan
Perkembangan Teknologi
tidak mampu atas perkembangan teknologi terdapat 35,5% mengalami stres kerja berat, sedangkan dari 169 responden yang mampu, sebesar 17,8% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 0,045 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara perkembangan teknologi dengan stres kerja.
93
h. Hubungan antara Bertambahnya Tanggung Jawab Tanpa Pertambahan Gaji dengan Stres Kerja Tabel 5.27 Tabulasi Silang antara Bertambahnya Tanggung Jawab tanpa Pertambahan Gaji dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Bertambahnya Tanggung Jawab tanpa Pertambahan Gaji Ya Tidak
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 14 18,7 61 81,3 27 21,6 98 78,4
Total N
P value
%
75 100 125 100
0,752
Berdasarkan tabel 5.27 diketahui bahwa dari 75 responden yang merasa tanggung jawab kerjanya bertambah tanpa diikuti dengan bertambahnya gaji, sebesar 18,7% mengalami stres berat. Sedangkan responden yang menyatakan tanggung jawab dan gaji sesuai sebesar 21,7% mengalami stres kerja berat. Dari hasil uji statistik diperoleh P value sebesar 0,752 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji dengan stres kerja. 2. Hubungan antara Faktor Individu dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 a. Hubungan antara Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga dengan Stres Kerja Tabel 5.28 Tabulasi Silang antara Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Pertentangan Karir dan Tanggung Jawab Keluarga Mengganggu Tidak Mengganggu
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 16 24,6 49 75,4 25 18,5 110 81,5
Total N
%
65 135
100 100
P value 0,416
94
Dari tabel 5.28 diketahui bahwa dari 65 responden yang merasa terganggu atas karir dan tanggung jawab terhadap keluarga, sebesar 24,6% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 135 responden yang tidak merasa terganggu, terdapat 18,5% mengalami stres kerja berat. Dari uji statistik diperoleh P value sebesar 0,416 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pertentangan karir dan tanggung jawab keluarga dengan stres kerja. b. Hubungan antara Ketidakpastian Ekonomi dengan Stres Kerja Tabel 5.29 Tabulasi Silang antara Ketidakpastian Ekonomi dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Ketidakpastian Ekonomi Ya Tidak
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 20 18,7 87 81,3 21 22,6 72 77,4
Total N
%
107 93
100 100
Pvalue 0,614
Berdasarkan tabel 5.29 diketahui bahwa dari 107 responden yang menyatakan ekonomi tidak pasti, sebesar 18,7% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 93 responden yang tidak masalah dengan perekonomiannya, sebesar 22,6% mengalami stres kerja berat. Dari hasi uji statistik diperoleh P value sebesar 0,614 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ketidakpastian ekonomi dengan stres kerja.
95
c. Hubungan antara Penghargaan Kerja dengan Stres Kerja Tabel 5.30 Tabulasi Silang antara Penghargaan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Kurangnya Penghargaan Kerja
Stres Kerja Berat Ringan N % N %
Total N
%
Ya
17
16,0
89
84,0
106
100
Tidak
24
25,5
70
74,5
94
100
P value
0,138
Berdasarkan tabel 5.30 diketahui bahwa dari 106 responden yang menyatakan penghargaan kerja kurang, sebesar 16,0% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 94 responden yang penghargaan kerjanya sepadan, sebesar 25,5% mengalami stres kerja berat. Dari hasil uji statistik diperoleh P value sebesar 0,138 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penghargaan kerja dengan stres kerja. d. Hubungan antara Kejenuhan kerja dengan Stres Kerja Tabel 5.31 Tabulasi Silang antara Kejenuhan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Kejenuhan Kerja Ya Tidak
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 15 26,8 41 84,0 26 18,1 118 81,9
Total
P value
N
%
56 144
100 100
0,239
Berdasarkan tabel 5.31 diketahui bahwa dari 56 responden yang menyatakan jenuh terhadap pekerjaannya, sebesar 26,8% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 144 responden yang tidak jenuh dengan pekerjaannya, sebesar 18,1% mengalami stres kerja berat. Dari hasi uji statistik diperoleh P
96
value sebesar 0,239 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kejenuhan kerja dengan stres kerja pada responden. e. Hubungan antara Perawatan Anak dengan Stres Kerja Tabel 5.32 Tabulasi Silang antara Perawatan Anak dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Perawatan Anak tidak Adekuat Ya Tidak
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 3 30,0 7 70,0 18 18,9 77 81,1
Total
P value
N
%
10 95
100 100
0,415
Dari hasil analisis pada tabel 5.32 diketahui bahwa dari 10 responden yang tidak adekuat dalam mengasuh anaknya, sebesar 30,0% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 95 responden yang adekuat dalam merawat anaknya, sebesar 18,9% mengalami stres kerja berat. Dari hasi uji statistik diperoleh P value sebesar 0,415 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara perawatan anak yang tidak adekuat dengan stres kerja pada responden. f. Hubungan antara Konflik dengan Rekan Kerja dengan Stres Kerja Tabel 5.33 Tabulasi Silang antara Konflik dengan Rekan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Stres Kerja Total P value Konflik dengan Berat Ringan Rekan Kerja N % N % N % 0,691 Ya 1 10,0 9 90,0 10 100 Tidak 40 21,1 150 78,9 190 100
Dari hasil analisis pada tabel 5.33 diketahui bahwa dari 10 responden yang memiliki hubungan buruk dengan rekan kerjanya, sebesar 10,0% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 190 responden berhubungan baik
97
dengan rekan kerjanya, sebesar 21,1% mengalami stres kerja berat. Dari hasi uji statistik diperoleh P value sebesar 0,691 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara konflik dengan rekan kerja dengan stres kerja. 3. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 a. Hubungan antara Kondisi Lingkungan dengan Stres Kerja Tabel 5.34 Tabulasi Silang antara Lingkungan Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Lingkungan Kerja Terganggu Tidak Terganggu
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 21 29,2 51 70,8 20 15,6 108 84,4
Total N
%
72 128
100 100
P value
0,036
Dari tabel 5.34 diketahui bahwa dari 72 responden yang terganggu akan kondisi lingkungan kerjanya, sebesar 29,2% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 128 responden yang nyaman, sebesar 15,6% mengalami stres kerja berat. Dari hasil uji statistik diperoleh P value sebesar 0,036 yang artinya pada α = 5% diketahui bahwa ada hubungan antara buruknya kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja. b. Hubungan antara Pelecehan Seksual dengan Stres Kerja Tabel 5.35 Tabulasi Silang antara Pelecehan Seksual dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Pelecehan Seksual Ada Tidak Ada
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 21 36,2 37 63,8 20 14,1 122 85,9
Total
P value
N
%
58 142
100 100
0,001
98
Berdasarkan tabel 5.35 diketahui bahwa responden yang mengalami pelecehan seksual sebesar 36,2% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 142 responden yang tidak mengalami pelecehan seksual, sebesar 14,1% mengalami stres kerja berat. Dari hasil uji statistik diperoleh P value sebesar 0,001 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pelecehan seksual dengan stres kerja. c. Hubungan antara Kekerasan di Tempat Kerja dengan Stres Kerja Tabel 5.36 Tabulasi Silang antara Kekerasan di Tempat Kerja dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Kekerasan di Tempat Kerja Ada Tidak Ada
Stres Kerja Berat Ringan N % N % 7 28,0 18 72,0 34 19,4 141 80,6
Total N
%
25 175
100 100
Pvalue 0,466
Dari tabel 5.36 diketahui bahwa dari 25 responden yang mengalami kekerasan kerja sebesar 28,0% mengalami stres kerja berat. Sedangkan dari 175 responden yang tidak mengalami kekerasan kerja, sebesar 19,4% mengalami stres kerja berat. Dari hasil uji statistik diperoleh P value sebesar 0,466 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kekerasan di tempat kerja dengan stres kerja.
99
d. Hubungan antara Kemacetan dengan Stres Kerja Tabel 5.37 Tabulasi Silang antara Kemacetan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013
Kemacetan
Stres Kerja Berat Ringan N % N %
Terganggu
30
20,5
116
Tidak Terganggu
11
20,4
43
Total N
%
79,5
146
100
79,6
54
100
Pvalue
1,000
Dari tabel 5.37 diketahui bahwa dari hasi uji statistik diperoleh P value sebesar 1,000 yang artinya pada α = 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kemacetan dengan stres kerja.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian 1. Penentuan RW sebagai lokasi penelitian Dalam menentukan RW mana saja sebagai lokasi penelitian, penulis menggunakan metode simple random sampling dengan bentuk kocokan. Meski cara tersebut sudah dapat dipakai dan relatif lebih mudah, namun tidak cukup sistematis, sehingga tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi hasilnya. Misalnya kertas yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam ukuran gulungannya, sehingga dengan begitu kertas dengan gulungan yang lebih kecil akan dapat lebih mudah keluar dari kocokan dibandingkan dengan yang lainnya. 2. Instrumen penelitian Kuesioner sebagai alat ukur stres yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang diadopsi oleh penulis dari teori dan instrumen penelitian terdahulu yang tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen yang digunakan bukan instrumen standar atau baku. B. Gambaran Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 Seseorang baik pria maupun wanita perlu bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan dan memperoleh apa yang diinginkannya. Dalam lingkup bekerja ini, Islam sendiri membolehkan wanita ikut serta untuk bekerja. Sebagaimana Shihab
100
101
(2006) menyatakan bahwa Islam tidak melarang wanita bekerja di dalam maupun di luar rumah, secara mandiri atau bersama-sama, siang atau malam selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, serta selama wanita bekerja tersebut dapat memelihara tuntutan agama dan dapat menghindarkan dampak-dampak negatif dari pekerjaannya terhadap diri dan lingkungannya. Pernyataan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Qashash ayat 21-24 yang artinya “Maka dia keluar darinya dengan rasa takut menanti. Dia berkata: “Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim.” Dan ketika ia menghadap ke arah Madyan, dia berkata: “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar. “Dan tatkala dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan dan dia mendapati di belakang mereka dua orang wanita yang sedang menghalangi (ternak mereka). Dia berkata: “Apakah maksud kamu berdua?” Kedua wanita itu berkata: “Kami tidak dapat meminumkan sebelum penggembala-penggembala itu pulang, sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.” Maka (Musa) memberi minum untuk keduanya……..” Dalam bekerja tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketegangan pada diri pekerja di tempat kerja maupun di luar tempat kerja. Ketegangan yang terlalu sering dialami tersebut, menurut Anoraga (1998) dapat mengganggu konsentrasi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga menurunkan produktivitas kerja yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi instansi atau perusahaan. Menurut NSC (2004), setiap aspek kehidupan baik dari lingkungan kerja, lingkungan hidup, dan individu itu sendiri dapat dirasakan sebagai hal yang dapat
102
menimbulkan stres bagi pekerja tersebut. Dalam hal ini Seyle dalam Arden (2002) menyatakan bahwa keadaan stres tersebut tergantung pada persepsi pekerja itu sendiri, apakah dirasakan sebagai stres atau tidak sehingga dapat diartikan bahwa pada kondisi kerja atau jenis pekerjaan yang sama seorang pekerja dapat mengalami stres, sedangkan yang lainnya tidak. Stres kerja pada wanita merupakan konsentrasi dalam penelitian ini yang didasarkan pada beberapa sumber yang menyatakan bahwa stres kerja banyak terjadi pada wanita, hal tersebut diantaranya karena wanita memiliki karakteristik psikis dan metabolisme biologis yang berbeda dengan pria (Ahmad dan Soleh, 2005 dalam Lestarianita, 2010). Stres kerja dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan beberapa pertanyaan yang mengindikasikan pada stres kerja meliputi perubahan fisiologis, psikologis, dan perilaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami stres kerja ringan yakni sebesar 79,5%. Hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh berkurangnya kesenggangan atau permasalahan yang dialami wanita bekerja dalam dunia kerja dan lingkungan luar kerja. Deka (2009) dan ILO (2008) menyatakan bahwa salah satu permasalahan kerja yang menjadikan wanita mengalami stres kerja adalah gaji atau upah yang kurang atau tidak sesuai dengan tanggung jawab yang dikerjakan. Sedangkan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah memperoleh gaji atau upah yang sesuai dengan tanggung jawab kerjanya sehingga hal tersebut tidak memicu timbulnya stres berat bagi mereka.
103
Deka (2009) dan Ni’mah (2009) juga menyebutkan permasalahan wanita bekerja lainnya adalah adanya kendala dalam perkembangan karir kerja. Sedangkan dalam hasil penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar responden tidak mengalami karir yang melelahkan atau tidak ada kendala dalam perkembangan karir kerjanya. Permasalahan selanjutnya yakni konflik peran ganda wanita yang bekerja (Rini, 2012). Sedangkan dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa tidak terganggu dengan peran ganda yang ditanggung yakni responden tetap dapat mengasuh anak secara baik dan mendapat dukungan dari keluarga untuk pekerjaannya. Selain faktor penyebab stres kerja dari dunia kerja tersebut, juga terdapat penyebab stres dari luar pekerjaan seperti metabolisme biologis dari wanita itu sendiri diantaranya wanita mengalami dysminorrhae. Sebagaimana Kasdu (2005) dalam Haryani (2012) meyebutkan dysminorrhae merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja lebih tinggi dari pria bekerja karena wanita bekerja merasa tanggung jawab pekerjaannya terganggu akibat gangguan menstruasi tersebut. Sedangkan dalam hasil penelitian ini sebagian besar responden tidak mengalami gangguan menstruasi baik dysminorrhae, terlambat datang bulan, maupun gangguan menstruasi lainnya. Penelitian lainnya mengenai stres kerja juga diperoleh presentase stres kerja ringan yang lebih besar, diantaranya yakni hasil penelitian dari Airmayanti (2010) yang menyatakan bahwa sebesar 55,6% atau sebagian besar karyawan yang mengalami stres kerja ringan lebih banyak dibandingkan karyawan yang mengalami stres kerja berat.
104
Meskipun sebagian besar responden dalam penelitian ini mengalami stres kerja ringan, namun jika hal tersebut tidak ditangani secara dini maka akan dapat berkembang secara kronik dan menjadi lebih serius. Akibatnya pekerja mengalami penyimpangan perilaku dan fungsi yang normal yang pada akhirnya dapat mengganggu kinerjanya (Soewono, 1993 dalam Inayah, 2011). Dalam hal ini NIOSH dalam Clausses (2012) menyatakan bahwa stres dalam keadaan konstan dapat menimbulkan masalah serius bagi keselamatan maupun kesehatan pekerja, diantaranya yaitu timbulnya penyakit kronik seperti kardiovaskular, gangguan tulang belakang dan ekstremitas, serta dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Oleh karena itu, pengelolaan sebagai upaya pencegahan dan penganggulangan terhadap stres harus segera dilakukan. Pencegahan stres ringan agar tidak menjadi lebih serius ini dapat dilakukan sendiri oleh pekerja maupun dari instansi tempat kerjanya. Instansi dapat melakukan beberapa upaya pencegahan stres kerja sebagaimana disebutkan Levi (1984) diantaranya yakni: 1. Adanya peraturan tentang identifikasi bahaya kerja termasuk identifikasi terhadap bahaya psikososial kerja. Stres merupakan kondisi ketidakseimbangan psikososial yang dapat diketahui dari beberapa gejala yang tampak. Dengan adanya identifikasi bahaya tersebut diharapkan stres dapat ditanggulangi secara dini. 2. Memberi kesempatan kepada pekerja untuk mengembangkan keterampilannya termasuk keleluasaan dalam memberikan pendapat tentang organisasi tempat kerja. Dengan adanya keleluasaan tersebut instansi dapat mengetahui hal-hal yang
105
dapat menyebabkan pekerja merasa menjadi stres akan kondisi kerja, sehingga instansi dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan segera. Selain oleh instansi, upaya pengelolaan stres juga dapat dilakukan oleh pekerja itu sendiri, diantaranya dengan jalan kembali pada agama (Yuwono, 2010). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mencoba membiasakan berniat ikhlas untuk segala ketentuan Allah atas usaha yang telah dilakukan, serta sabar dan sholat dengan teratur dengan begitu dapat mengurangi kepenatan fisik, berbagai masalah, beban kerja, dan emosi tinggi sebagaimana firman Allah yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah, 153). Upaya selanjutnya yakni agar selalu bersyukur dan berserah diri (tawakkal) atas apa yang dikaruniakan dan ditetapkan Allah dalam kehidupan, karena dengan begitu akan menambah kekuatan positif bagi seseorang sehingga dapat selalu optimis dalam menjalani kehidupan termasuk bekerja. Selanjutnya yakni doa dan dzikir karena dengan berdoa, secara spiritual akan dapat menambah kekuatan pada seseorang dan dengan berdzikir dapat memberi ketenangan jiwa maupun pikiran sehingga dengan keadaan tersebut seseorang akan lebih produktif, sebagaimana firman Allah yang artinya “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar Ra’ad, 28). Selain dari aspek agama, upaya pengelolaan stres juga dapat dilakukan secara umum (Wallace, 2007), diantaranya yakni mengubah cara berpikir negatif menjadi positif melalui pembiasaan dan pelatihan, menulis baik tulisan ilmiah maupun nonilmiyah karena dengan menulis seseorang akan mendapatkan ketenangan, mengatur
106
waktu secara efektif untuk mengurangi stres akibat tekanan waktu, dan melakukan relaxation technique diantaranya dengan berolahraga secara teratur. C. Hubungan antara Faktor Organisasional dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013 1. Hubungan antara Kurangnya Otonomi dengan Stres Kerja Otonomi kerja merupakan kemandirian pekerja dalam melaksanakan tanggung jawab kerjanya tanpa adanya pengawasan yang ketat dari atasannya. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebesar 58,0% atau sebagian besar responden merasa bahwa mereka memiliki kemandirian dalam melaksanakan tanggung jawab kerjanya atau telah memperoleh otonomi kerja yang sesuai. Pekerja yang memperoleh otonomi kerja untuk melaksanakan tanggung jawab kerjanya menjadikan pekerja tersebut dapat leluasa menunjukkan kompetensi dan kreatifitasnya untuk hasil kerja terbaik. Sebagaimana menurut Kauffeld (2006) dalam Saragih (2007), kreatifitas karyawan meningkat dengan desain pekerjaan yang memberikan otonomi kerja tinggi. Berbeda jika otonomi yang diperoleh pekerja tersebut kurang, NSC (2004) mengemukakan bahwa kurangnya atau tidak sesuainya otonomi kerja memiliki hubungan dengan stres kerja yang terjadi pada pekerja. Namun dengan otonomi, dapat memberikan kebebasan bagi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga akan mengurangi tingkat stress karena menjadikan pekerja tersebut terbebas dari tekanan dan ancaman dalam bekerja (Elsass dan Veiga, 1997 dalam Saragih, 2007).
107
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara otonomi kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Saragih (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kemandirian perawat dalam bertugas dengan kejadian stres kerja. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sampel penelitian, dimana dalam penelitian Saragih (2008) sasaran respondennya adalah perawat yang memiliki satu jenis pekerjaan dan pada tempat serta kebijakan kepemimpinan yang sama, meskipun stres kerja yang terjadi pada setiap individu berbeda dengan individu lainnya, namun satu faktor tertentu juga tidak menutup kemungkinan dirasakan sebagai hal yang sama oleh seluruh individu tersebut. Sebagaimana Seyle dalam Arden (2002) yang menyatakan bahwa keadaan stres tergantung pada persepsi pekerja itu sendiri, apakah dirasakan sebagai stres atau tidak, dengan begitu dapat diartikan bahwa dalam kondisi dan pekerjaan yang sama seorang pekerja bisa mengalami stres sedangkan yang lainnya tidak, serta tidak menutup kemungkinan semua pekerja juga dapat mengalami stres. Seorang perawat biasanya memiliki tekanan maupun tuntutan dari atasan untuk selalu melayani pasien dengan ramah dalam situasi apapun, selain itu perawat juga menjadi partner dokter yang harus siap menjalankan tugasnya sesuai dengan instruksi ataupun advise dari dokter, dan di sisi lain perawat harus bisa menghadapi komplain dari keluarga pasien (Indriyani, 2009). Dengan adanya faktor-faktor tersebut tidak menutup kemungkinan sebagian perawat mengalami stres kerja karena kurangnya otonomi kerja yang diterima. Sedangkan responden
108
dalam penelitian ini terdiri dari berbagai jenis profesi pekerjaan, tempat kerja berbeda, dan kebijakan kepemimpinan yang berbeda pula sehingga berpengaruh terhadap otonomi kerja yang diterima oleh masing-masing responden. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang tidak mandiri dalam kerjanya sebesar 22,6% mengalami stres kerja berat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robbins (1998) yakni tidak adanya otonomi atau otonomi yang kurang dapat menyebabkan stres kerja, sedangkan dengan adanya otonomi yang sesuai memiliki kecenderungan dapat mengurangi stres kerja yang dialami pekerja. Otonomi yang dirasakan kurang oleh pekerja menyebabkan pekerja tersebut merasa tertekan karena pada dasarnya pekerja mengharapkan otonomi yang luas dari atasan maupun instansi tempat kerja. Dalam hal ini, Manajer (1986) dalam Saragih (2008) menyatakan bahwa manusia memiliki sifat ego yang tinggi diantaranya tidak ingin dikekang oleh suatu peraturan atau tata tertip dan pengawasan yang ketat, karena dengan adanya tata tertib dan pengawasan yang ketat akan menjadikan pekerja merasa terkekang dan mudah mengalami stres. Hasil dari penelitian ini juga diperoleh sebesar 19,0% responden mengalami stres kerja berat dari responden yang mandiri dalam kerjanya. Hal tersebut dapat dikarenakan beberapa responden merasa kurang memperoleh pengawasan dari atasan sehingga timbul rasa cemas atau khawatir dalam menentukan sikap dan keputusannya sendiri terkait tanggung jawab kerja yang dibebankan. Sebagaimana NIOS (2008) menyampaikan, dengan tidak adanya atau kurangnya kontrol dalam tugas dari atasan dapat menjadi salah satu penyebab dan pemicu terjadinya stres kerja pada pekerja. Selain itu, peneliti berasumsi bahwa adanya faktor selain
109
otonomi kerja diantaranya yakni pelecehan seksual dan beban kerja yang diterima dirasakan terlalu berat sehingga dapat menyebabkan responden dengan otonomi sesuai mengalami stres kerja berat. 2. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres Kerja Beban kerja merupakan beban yang dialami oleh pekerja sebagai akibat pekerjaan yang dilakukan olehnya. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa 55,5% atau sebagian besar responden merasa beban yang diterima ringan atau sesuai dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki. Adapun dari analisis bivariat diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Dimana hasil tersebut sesuai dengan ungkapan SNI 7269 (2009) yakni beban kerja selain memiliki pengaruh cukup dominan terhadap kinerja pekerja, dapat juga menimbulkan efek negatif terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Dalam kajian penelitian ini dapat dikatakan bahwa efek negatif dari beban kerja terhadap kesehatan pekerja tersebut adalah stres kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan Nugrahani (2008) yang juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara beban kerja kuantitatif dengan tingkat stres kerja, dimana semakin pekerja merasa beban kerjanya berlebih maka tingkat stres yang dialami semakin berat, dan sebaliknya. Penelitian dengan hasil serupa juga diungkapkan oleh Airmayanti (2010) yakni ada hubungan antara beban kerja dengan stres kerja atau dapat dikatakan bahwa beban kerja merupakan faktor pencetus stres kerja.
110
Beban kerja terlalu banyak maupun sedikit tersebut timbul selain sebagai akibat dari tugas-tugas yang diberikan kepada pekerja dan dirasakan oleh pekerja sebagai beban kerja yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, juga merupakan manifestasi dari ketidakmampuan pekerja untuk melakukan suatu tugas yang diberikan (Munandar, 2008). Berdasarkan jawaban dari responden, terdapat beberapa responden yang menyatakan bahwa beban kerja yang diterima terlalu berat dan responden juga dituntut untuk bekerja secara cepat dan tepat, dari hal tersebut tidak menutup kemungkinan menjadikannya stres dalam bekerja. Hasil dari penelitian juga diperoleh bahwa responden dengan stres kerja berat dan memiliki beban kerja berat sebesar 29,2%, hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan responden dengan stres kerja berat dan memiliki beban kerja ringan yakni sebesar 13,5%. Hal tersebut dikarenakan responden merasa bahwa beban kerja yang diterima terlalu berat, tugas-tugas yang dikerjakan di luar tugas pokok terlalu banyak, responden dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan secara cepat dan tepat, dan beberapa responden menyatakan bahwa pekerjaan yang dikerjakan terasa tidak mudah atau responden belum merasa terampil atau berpotensi untuk melaksanakan tugas kerjanya. Sebagaimana Davis dan Newstrom (1989) dalam Margiati (1999) menyatakan bahwa banyaknya tugas akan menjadi sumber stres apabila tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi pekerja tersebut. Adapun untuk responden dengan beban kerja sedang namun mengalami stres kerja berat dapat dikarenakan kemungkinan responden memiliki beban kerja
111
kuantitatif yang ringan atau tidak terlalu sedikit namun responden memiliki beban kerja kualitatif yang terlalu banyak atau berat. Beban kerja kualitatif tersebut tercermin dari banyaknya responden menyatakan bahwa dalam bekerja mereka dituntut untuk cepat dan tepat, dimana hal ini dapat menimbulkan tekanan pada responden sehingga berimplikasi kepada terjadinya stres kerja. Seperti yang diungkapkan Rohman (2010), beban yang harus ditanggung oleh seseorang dapat menimbulkan stres kerja karena adanya tekanan yang dirasakan. Oleh karena itu perlu adanya upaya promotif dan preventif bagi pekerja itu sendiri maupun oleh instansti tempat kerja mengenai stres kerja. Upaya pengelolaan tersebut dapat dilakukan oleh instansi dengan melakukan identifikasi terhadap bahaya psikosoial kerja, salah satunya untuk mengetahui seberapa besar beban kerja yang dapat diterima pekerja, selain itu instansti juga disarankan untuk mengoptimalkan pelatihan agar pekerja lebih mudah dalam melaksanakan tugas kerjanya, mengingat beberapa responden menyatakan masih kurang dalam memperoleh pelatihan. Bagi pekerja itu sendiri dapat melakukan pengelolaan stres dengan membiasakan diri untuk rileks dan lebih bisa mengatur waktu secara efisien dan efektif. Selain itu, jika sendirian diusahakan agar tidak memilih pekerjaan yang selesai jam kerjanya terlalu sore atau malam, untuk mengurangi potensi dari tindakan criminal yang mungkin terjadi.
112
3. Hubungan antara Relokasi Pekerjaan dengan Stres Kerja Relokasi merupakan pemindahan suatu pekerjaan dari tempat kerja lama menuju tempat kerja baru dengan tanggung jawab sama atau berubah (Ghufroni, 2010). Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar responden mengalami relokasi pekerjaan yang sesuai atau tidak terganggu dengan relokasi pekerjaannya yaitu sebesar 80,0%. Adapun dari analisis bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara relokasi pekerjaan dengan stres kerja pada responden. Hasil ini tidak sesuai dengan Saragih (2008) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara mutasi kerja dengan stres kerja pada perawat. Namun sejalan dengan pendapat Zaini (2012) mengenai tujuan dari relokasi pekerjaan diantaranya yakni agar pekerja yang mengalami relokasi memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada perusahaan. Relokasi pekerjaan juga dapat menumbuhkan kecocokan kerja pada pekerja tertentu secara lebih baik, pembentukan staf kerja yang fleksibel, perubahanperubahan yang lebih baik dalam masalah gaji dan tunjangan, serta dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran baru untuk instansi tempat kerja (Mobley, 1986 dalam Purwanti, 2008). Dengan adanya relokasi pekerjaan yang dirasakan tidak menggangu tersebut pekerja akan merasakan situasi kerja baru sehingga dapat menambah semangat untuk bekerja yang akhirnya dapat mengurangi stres yang mungkin timbul.
113
Hasil lain dari analisis juga menunjukkan bahwa responden yang merasa terganggu dengan relokasi pekerjaan sebesar 36,8% mengalami stres kerja berat, hasil tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan responden yang merasa tidak terganggu dengan relokasi pekerjaan dan mengalami stres kerja berat yakni sebesar 18,4%. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya ketidakpuasan dari pekerja atas relokasi pekerjaan yang mungkin tidak sesuai dengan aturan instansi maupun harapan dari pekerja tersebut. Pekerja yang merasa terganggu atau merasakan bahwa relokasi pekerjaan yang tidak sesuai tersebut dapat mengalami ketegangan atau guncangan jiwa dan pikiran karena belum siap dengan adanya hal-hal baru yang dihadapi. Pekerja harus beradabtasi lagi dengan lingkungan baru dan kemungkinan dengan jabatan dan tanggung jawab pekerjaan baru, serta tidak menutup
kemungkinan
timbulnya
kekhawatiran
akan
terhambatnya
perkembangan karir kerjanya. Ketegangan yang dialami pekerja tersebut jika berlangsung lama dan sulit diatasi akan mengakibatkan stres. Stres timbul karena adanya tekanan yang terlalu besar dan bersifat personal dimana setiap orang memiliki kemampuan pada tingkatan tertentu dan waktu tertentu dalam menghadapi tekanan (Cooper, 1995). Sebagaimana Mobley (1986) dalam Purwanti (2008) memaparkan bahwa pemindahan kerja yang tidak sesuai dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya menimbulkan stres bagi pekeja, mengurangi konsensus dalam kelompok, dan mengakibatkan komunikasi kurang akurat.
114
Adapun responden yang tidak terganggu dengan relokasi kerja yang diterima namun mengalami stres berat kemungkinan dapat dikarenakan oleh hal lain, diantaranya seperti pelecehan seksual di tempat kerja dan kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman dapat menyebabkan responden dengan relokasi kerja tersebut mengalami stres kerja berat. 4. Hubungan antara Kurangnya Pelatihan dengan Stres Kerja Pelatihan merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam suatu organisasi kerja. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden mengalamai stres ringan dibandingkan berat. Dimana salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah sebagian besar responden merasa bahwa pelatihan yang diperoleh telah cukup atau telah sesuai. Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pelatihan dengan stres kerja. Hal ini dapat dikarenakan pelatihan yang diperoleh dirasakan sesuai dan cukup oleh sebagian besar responden sehingga responden merasa mudah dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari pelatihan yakni untuk memperbaharui kemampuan pekerja, membantu pekerja untuk beradaptasi terhadap teknologi baru, agar pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan efektif, dan dapat menghilangkan rasa jenuh dan stres (Notoadmodjo, 1989). Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa responden yang merasa kurang dalam pelatihan kerjanya maupun yang belum mendapat pelatihan kerja, sebesar 25,6% mengalami stres kerja berat. Hasil tersebut lebih besar jika
115
dibandingkan dengan responden yang merasa cukup atas pelatihan dan mengalami stres kerja berat yakni sebesar 16,7%. Pelatihan merupakan suatu metode yang digunakan untuk memberikan pekerja baru atau lama dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan (Dessler, 2010 dalam Martcahyo, dkk., 2012). Pelatihan tersebut biasanya diberikan berdasarkan kebutuhan pekerja untuk memperbaiki kekurangan
keterampilan,
memberikan
kompetensi
pekerjaan
tertentu,
mempersiapkan pekerja untuk peran-peran yang akan didapatkan di masa mendatang dan sebagainya (Jackson, 2011 dalam Martcahyo, dkk., 2012). Tidak adanya atau kurangnya pelatihan dapat menjadikan pekerja kesulitan dan cemas dalam melaksanakan tugas pekerjaannya karena pelatihan memiliki pengaruh terhadap kinerja pekerja. Hal tersebut sebagaimana disebutkan Martcahyo, dkk. (2012) dalam hasil penelitiannya yakni apabila pelatihan dilaksanakan sesuai kebutuhan pekerja dan berkala maka akan dapat meningkatkan kinerja pekerja tersebut. Rasa cemas yang berlangsung lama karena kesulitan mengerjakan pekerjaan dan khawatir terhadap hasil kerja yang diakibatkan tidak adanya atau kurangnya pelatihan yang diperoleh pekerja, maka tidak menutup kemungkinan pekerja tersebut menjadi stres. Sebagaimana NSC (2004) menyatakan bahwa kurangnya pelatihan dapat menyebabkan stres kerja bagi pekerja. Kurangnya pelatihan atau sekenario penempatan yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pekerja akan menjadikannya kurang percaya diri dan mengalami kesulitan dalam menghadapi situasi sehingga dapat menyebabkan stres (Denny, 2011).
116
Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan adanya responden dengan pelatihan cukup namun mengalami stres kerja berat, hal tersebut dimungkinan karena terdapat responden yang masih melakukan kelalaian dalam bekerja yang menyebabkan hasil kerjanya buruk sehingga menimbulkan kecemasan berlarutlarut yang akhirnya memicu timbulnya stres kerja. Sebagaimana Martcahyo, dkk. (2012) yang menyatakan bahwa karyawan dengan pelatihan baik tetapi memiliki kinerja kurang baik dikarenakan masih terdapat kelalaian karyawan dalam melaksanakan tugas kerjanya. 5. Hubungan antara Perkembangan Karir dengan Stres Kerja Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 73,6% atau sebagian besar responden menyatakan bahwa karir dalam kerjanya dirasa tidak melelahkan atau dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden merasa perkembangan karir yang ada sudah sepadan dengan kinerjanya. Berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa responden yang merasa karir kerjanya melelahkan dan mengalami stres kerja berat sebesar 21,9%, sedangkan responden dengan karir yang tidak melelahkan dan mengalami stres berat sebesar 23,6%. Berdasarkan uji statistik chi square diketahui tidak adanya hubungan antara perkembangan karir dengan stres kerja pada responden (wanita bekerja sektor formal). Hal ini dapat disebabkan karena instansi tempat kerja telah meningkatkan potensi dari pekerja melalui pelatihan yang cukup dan sesuai dan sebagian besar responden menyataan bahwa karir yang diperolehnya telah sesuai dengan hasil kerjanya dan pendidikan yang dimiliki, telah merasa nyaman dengan jabatan atau
117
posisi kerja yang sekarang atau tanggung jawab yang dimiliki telah memadai, serta instansi dirasakan telah sesuai dalam memberikan penghargaan berupa tunjangan kerjanya. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Nugraha (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengembangan karir dan stres kerja pada pekerja. Namun sejalan dengan Zainiyah (2012) yang menyampaikan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan perkembangan karir pekerja manufacturing di Semarang, salah satunya karena pekerja telah memperoleh tunjangan dan kesejahteraan yang baik dari perusahaannya. Beberapa hal yang melatarbelakangi tidak adanya hubungan antara perkembangan karir dan stres kerja tersebut dimungkinkan karena perkembangan karir yang responden alami dirasakan sudah cukup memuaskan sehingga dapat mengurangi stres kerja yang mungkin timbul. Seperti halnya Everly dan Giardano dalam Munandar (2008) menyatakan, perkembangan karir termasuk promosi kerja dirasakan sebagai stres karena adanya perubahan-perubahan dari fungsi pekerjaan, penambahan tanggung jawab, dan perubahan dalam peran sosial. Dimana jika hal tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang mengganggu atau adanya rasa optimis dari pekerja maka tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat mengurangi stres yang ada.
118
6. Hubungan antara Buruknya Hubungan dengan Atasan dengan Stres Kerja Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa sebesar 98,0% atau hampir seluruh responden memiliki hubungan baik dengan
atasan atau majikannya, dimana
diperoleh juga hasil bahwa responden yang menyatakan memiliki hubungan buruk dengan atasannya sebesar 25,0% mengalami stres kerja berat, lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang memiliki hubungan baik dan mengalami stres kerja berat yakni sebesar 20,4%. Hubungan yang baik dengan atasan merupakan hal yang penting agar terbentuk lingkungan kerja yang harmonis dan tujuan kerja dapat tercapai secara optimal. Hubungan interpersonal yang buruk antara pekerja dengan atasannya karena adanya sikap tidak baik dari atasan dapat menimbulkan efek negatif terhadap keselamatan maupun kesehatan kerja, salah satunya adalah stres kerja. Sebagaimana yang disampaikan Munandar (2008), perilaku yang kurang toleransi oleh atasan dapat memicu timbulnya tekanan kerja bagi para pekerja yang kemudian dapat menimbulkan stres kerja bagi pekerja tersebut. Cristian (2005) dalam Purwanti (2008) juga menyatakan bahwa hubungan antara pekerja dengan atasan yang sering menimbulkan konflik atau pertentangan peran merupakan penyebab stres kerja di tempat kerja. Dengan adanya dominasi hubungan yang buruk dengan atasan tersebut, tidak menutup kemungkinan bagi responden mengalami stres kerja berat. Adapun responden dengan hubungan baik dengan atasan namun mengalami stres kerja berat, penulis berasumsi bahwa hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor stres lainnya seperti beban kerja dan kondisi lingkungan kerja.
119
Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa tidak ada hubungan signifikan antara hubungan dengan atasan dengan stres kerja. Hal ini berarti antara hubungan dengan atasan dengan stres kerja tidak terdapat saling keterkaitan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Nugrahani (2008) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan stres kerja adalah hubungan antara pekerja dengan supervisor atau atasannya. Namun sejalan dengan hasil penelitian Airmayanti (2010) yang juga menyampaikan bahwa tidak terdapat hubungan antara hubungan interpersonal atasan dengan stres kerja. Hubungan yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan, taraf pemberian dukungan, dan minat yang rendah dalam pemecehan masalah dalam organisasi (Munandar, 2008). Sedangkan dalam penelitian diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara hubungan dengan atasan dan stres kerja dikarenakan berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hampir sebagian besar responden mengatakan bahwa hubungan antara mereka dan atasannya terjalin dengan baik, sebagaimana Munandar (2008) mengatakan bahwa hubungan sosial yang mendukung dari atasan diharapkan dapat menurunkan risiko stres kerja dalam pekerjaan. Tidak adanya hubungan tersebut juga dimungkinkan karena adanya kepedulian dari atasan terhadap tanggung jawab kerja bawahannya yang dirasakan oleh responden. Dalam hal ini Houese (1981) dalam Miller (2000) menyatakan bahwa dukungan yang diperoleh dari supervisor atau atasan merupakan sumber yang signifikan sebagai penopang stres dan dapat mengurangi efek stres kerja terhadap kesehatan pekeraja. Selain itu, menurut Britton (1989)
120
dalam Putri (2011), dukungan sosial dari para atasan berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para karyawannya. 7. Hubungan antara Perkembangan teknologi dengan Stres Kerja Hasil analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 84,5% atau sebagian besar responden merasa bahwa mereka mampu mengikuti perkembangan teknologi ataupun mesin kerja yang ada. Keberadaan teknologi maupun mesin-mesin sangat mendukung untuk kelancaran suatu pekerjaan. Namun hal tersebut dapat menjadi ancaman serius bagi pekerja, jika pekerja tidak mampu menguasainya. Robbins (1998) mengungkapkan bahwa pesatnya inovasi teknologi yang menuntut pekerja untuk dapat menguasainya dalam waktu singkat dan dengan pengalaman minim merupakan faktor pembangkit stres bagi pekerja. Hasil penelitian ini juga diperoleh responden dengan ketidakmampuan atas perkembangan teknologi terdapat 35,5% mengalami stres kerja berat, hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang mampu dan mengalami stres kerja berat yakni sebesar 17,8%. Dan berdasarkan analisis bivariat dari penelitian ini diperoleh
hasil bahwa ada hubungan antara
perkembangan teknologi dengan stres kerja pada wanita bekerja. Hasil ini sesuai dengan teori NSC (2004) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab stres kerja adalah perkembangan teknologi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kekhawatiran dari pekerja yang kurang bisa beradaptasi dengan teknologi maupun mesin kerja baru. Sebagian responden merasa khawatir karena mengalami kesulitan dalam menggunakan teknologi
121
tersebut. Kurang dapatnya responden untuk beradaptasi tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya rasa cemas bagi pekerja karena khawatir akan posisi pekerjaannya digantikan oleh pekerja lain sehingga pekerja tersebut berpotensi mengalami stres. Sebagaimana menurut Siagian (2004) dalam Henni (2007), stres merupakan interaksi seseorang dengan lingkungannya dengan ciri ketegangan emosional yang mempengaruhi fisik dan mental seseorang, dimana salah satu faktor yang menyebabkannya yakni faktor lingkungan berupa ketidakpastian ekonomi dan perkembangan teknologi. Ketika interaksi tersebut tidak berjalan seimbang kemungkinan akan timbul ketegangan-ketagangan, seperti halnya kurang mampunya pekerja dalam beradaptasi dengan teknologi baru yang dapat menyebabkannya mengalami stres kerja. Untuk mencegah stres kerja akibat perkembangan teknologi ini agar tidak lebih serius, instansi perlu melaksanakan pelatihan yang cukup dan sesuai untuk setiap teknologi atau cara kerja baru maupun lama sehingga dengan begitu pekerja dapat menguasainya dengan baik. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya responden yang mampu atas perkembangan teknologi yang ada namun masih mengalami stres kerja berat. Hal tersebut dapat dimungkinkan bahwa dalam menjalankan kerjanya responden tidak begitu dihadapkan pada pesatnya teknologi yang digunakan sehingga dapat memicu stres kerja. Sebagaimana Ross & Altmaeier (1994) dalam Henni (2007) mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi yang terbatas juga dapat memicu stres kerja. Selain itu, kemungkinan terdapat faktor lainnya seperti buruknya kondisi lingkungan kerja yang mengganggu kenyamanan pekerja dalam bekerja.
122
Untuk mencegah stres kerja yang lebih serius lagi, disarankan bagi instansti tempat kerja sesekali meng-update teknologi atau mesin kerja yang digunakan dengan tujuan selain lebih memaksimalkan produk kerja juga supaya pekerja tidak merasa jenuh dalam bekerja sehingga dapat mengurangi stres kerja yang mungkin timbul. 8. Hubungan antara Bertambahnya Tanggung Jawab Tanpa Pertambahan Gaji dengan Stres Kerja Gaji merupakan imbalan atau kompensasi sesuai kesepakatan yang diperoleh setelah pekerja melaksanakan tanggung jawab kerjanya. Adapun dalam penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar atau sebesar 62,5% responden tidak mengalami masalah dalam gajinya atau dapat dikatakan bahwa seiring bertambahnya tanggung jawab juga diikuti dengan bertambahnya gaji yang diterima. Salah satu maksud dari seseorang bekerja adalah untuk mendapatkan gaji atau kompensasi dari pekerjaan yang dilaksanakan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Apabila dalam bekerja gaji yang diperoleh tidak sesuai atau lebih sedikit dibandingkan dengan tanggung jawab kerja yang harus dikerjakan, maka akan timbul pemberontakan dalam jiwa yang akhirnya menimbulkan stres kerja. Sebagaimana Cooper dan Davidson (1987) dalam Miller (2000) menyebutkan, kepuasan terhadap pembayaran merupakan faktor yang berhubungan dengan stres kerja. Bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji dari hasil analisis bivariat dalam penelitian ini ternyata tidak berhubungan secara signifikan dengan
123
stres kerja wanita bekerja sektor formal. Hal tersebut disebabkan sebagian besar responden merasa bahwa gaji yang diperoleh telah sesuai dengan tanggung jawab kerja yang dibebankan kepada mereka. Dalam hal ini Munandar (2006) dalam Nugrahani (2008) menyatakan, jika pekerja menganggap gaji yang diterimanya terlalu rendah, pekerja tersebut akan merasa tidak puas yang pada akhirnya dapat menimbulkan stres kerja. Hal tersebut akan berbeda jika gaji yang diperoleh sesuai dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Selain itu gaji merupakan bukan motivasi utama bagi beberapa responden, melainkan terdapat hal lainnya seperti adanya rasa senang dalam melaksanakan pekerjaannya karena reponden merasa dapat membantu dan bermanfaat bagi orang lain, dengan begitu responden lebih merasa puas akan pekerjaanya yang pada akhirnya dapat mengurangi stres kerja yang mungkin timbul. Sebagaimana Miller (2000) dalam Nugrahani (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mempertimbangkan potensial stres kerja adalah dengan mempertimbangkan stres kerja karena stres kerja dapat terjadi melalui hal-hal yang mengurangi kepuasan kerja yang mengakibatkan ketidakpuasan terhadap kerja. D. Hubungan antara Faktor Individu dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 1. Hubungan antara Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga dengan Stres Kerja Berdasarkan analisis unvariat diperoleh hasil sebesar 67,5% atau sebagian besar responden merasa bahwa karir dan tangggung jawab terhadap keluarga dapat dijalankan dengan baik tanpa adanya gangguan atau dapat dikatakan bahwa
124
karir kerjanya tidak mengganggu tanggung jawab keluarga dan sebaliknya, tanggung jawab terhadap keluarga tidak mengganggu karirnya dalam bekerja. Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Indriyani (2009) pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga dirasakan sebagai hal yang mengganggu apabila wanita bekerja tersebut merasakan ketegangan antara peran pekerjaan dengan peran keluarga, dan hal tersebut dirasakan tidak mengganggu jika wanita bekerja tersebut dapat menyeimbangkan antara urusan pekerjaan dan keluarga. Selain itu juga dukungan dari keluarga atas pekerjaan merupakan salah satu hal yang dapat mengurangi ketegangan wanita bekerja dalam masalah karir dan tanggung jawab keluarga (Putri, 2011). Berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga dengan stres kerja. Hasil ini tidak sesuai dengan teori NSC (2004) yang memaparkan bahwa pertentangan antara karir dan tanggung jawab terhadap keluarga atau peran ganda memiliki hubungan dengan stres kerja. Dengan adanya intensitas konflik peran ganda yang tinggi, pekerja wanita akan mengalami peningkatan stres dan peningkatan keluhan fisik sehingga menurunkan kinerjanya. Tidak adanya hubungan dalam hasil penelitian ini dimungkinkan karena responden mendapat dukungan penuh dari anggota keluarganya terhadap pekerjaannya sekarang ini. Selain itu responden juga merasa mampu mengurus atau membantu keluarga dengan baik tanpa terlambat masuk kerja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suriyasam dalam Almasitoh (2011), faktor penting yang
125
dapat mengurangi dilema antara keluarga dan pekerjaan bagi wanita adalah adanya dukungan suami dan anggota keluarga. Sekaran (1986) dalam Almasitoh (2011) juga menyatakan bahwa dukungan dan bantuan yang diberikan suami dan anggota kerluarga akan memberikan kesempatan dan memberikan rasa aman bagi pekerja tersebut untuk berkarir. Dengan adanya keseimbangan antara urusan keluarga dan karir kerja tersebut menjadikan responden merasa tenang sehingga bisa mengurangi stres kerja yang mungkin dialaminya. Sebagaimana disampaikan Almasitoh (2011) dalam penelitiannya, pekerja wanita yang memiliki konflik peran ganda yang rendah dan medapat dukungan sosial yang tinggi maka stres yang dialaminyapun pada tingkat stres rendah, dan sebaliknya. Hasil analisis dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden yang merasa terganggu dengan pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga dan mengalami stres kerja berat sebesar 24,6%, dimana hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang merasa tidak terganggu dan mengalami stres kerja berat yakni sebesar 18,5%. Hal tersebut dapat dikarenakan sebagian responden merasa bahwa dukungan dari keluarga yang diperoleh masih kurang dan sebagian responden merasa belum dapat menyeimbangkan perannya seperti mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan kehidupan keluarga sehingga mengurangi waktu untuk keluarga. Sebagaimana diungkapkan oleh Indriyani (2009) bahwa pertentangan karir dan tanggung jawab (konflik peran ganda) berpengaruh signifikan terhadap terjadinya
126
stres kerja pada pekerja yang salah satu penyebabnya adalah urusan pekerjaan yang dibawa ke dalam kehidupan keluarga. Adapun untuk responden yang tidak terganggu namun mengalami stres berat, dimungkinkan karena masih terdapat sebagian responden yang mendapat dukungan dari keluarganya namun dalam hal tertentu keluarga tidak mendukung, seperti anggota keluarga melarang responden untuk bekerja pada malam hari. Selain itu, dimungkinan juga terdapat faktor stres lain yang dialami responden yang berkaitan dengan stres kerja seperti perawatan anak yang tidak adekuat dan otonomi kerja yang kurang. 2. Hubungan antara Ketidakpastian Ekonomi dengan Stres Kerja Hasil analisis univariat penelitian ini diperoleh sebesar 53,5% atau sebagian besar responden berpenghasilan tidak tetap atau tetap namun belum dapat memenuhi kebutuhannya (terganggu). Dari hasil wawancara dengan responden, hal tersebut dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh responden setiap bulannya tidak tetap dan pemasukan keuangan yang diperoleh responden tersebut dirasa kurang bisa memenuhi kebutuhannya setiap bulannya sehingga timbul kecemasan. Salah satu permasalah dasar bagi manusia adalah perekonomian. Ketidakpastian ekonomi atau cobaan ini menurut Yuwono (2010) dapat dirasakan sebagai suatu stres atau tekanan dalam diri seseorang, dimana indikator stres tersebut didasarkan pada QS. Al-Baqarah: 155 yakni berupa ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Belton dan Santor (2011) juga memaparkan, ketidakpastian ekonomi dapat mengancam timbulnya kemiskinan, sehingga kemiskinan dalam
127
hal ekonomi keuangan dianggap membuat sangat stres bagi keluarga khususnya individu itu sendiri. Berdasarkan hasil analisis bivariat dalam penelitian ini diperoleh responden yang bermasalah dengan perekonomiannya sebesar 18,7% mengalami stres kerja berat, dan responden yang tidak bermasalah dengan perekonomiannya sebesar 22,6% mengalami stres berat. Dari uji chi-square diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara ketidakpastian ekonomi dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan teori NSC (2004) dan Robbins (1998) yang menyatakan bahwa ketidakpastian ekonomi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan timbulnya stres kerja. Tidak adanya hubungan dalam hasil penelitian ini dimungkinkan karena meski sebagian besar responden merasa pemasukan keuangan yang diperoleh belum dapat memenuhi kebutuhan keluarganya setiap bulan, namun hal tersebut tidak menjadikan mereka cemas karena merasa bahwa penghasilannya merupakan penghasilan tambahan, dengan penghasilan utama tetap bersumber dari kepala keluarga atau suaminya. Sebagaimana Shihab (2006) menyampaikan bahwa penghasilan istri adalah hak istri, sedangkan penghasilan kepala keluarga atau suami adalah hak mereka berdua dan keluarga. 3. Hubungan antara Penghargaan Kerja dengan Stres Kerja Penghargaan dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima sebagai bentuk imbalan untuk balas jasa atas suatu kegiatan atau prestasi kerja. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebesar 53,0% responden merasa
128
bahwa fasilitas maupun penghargaan kerja terhadap hasil kinerjanya tersebut kurang, dan 47,0% sepadan. Berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara penghargaan kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Swee, dkk. (2007), menurutnya kurangnya penghargaan kerja merupakan salah satu faktor stres kerja dimana dari 13 responden yang merasa kurang dalam mendapat penghargaan kerja terdapat 11 responden mengalami stres kerja. Tidak adanya hubungan antara penghargaan kerja dan stres kerja dalam penelitian ini dikarenakan sebagian responden merasa bahwa meskipun tunjangan dan fasilitas sebagai bentuk penghargaan kerja dirasakan belum memuaskan, namun dimungkinkan suasana tempat kerja cukup menyenangkan, seperti adanya hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja maupun atasan yang akhirnya dapat menumbuhkan perasaan diterima atau diakui di lingkungan kerjanya. Dalam hal ini Nawawi (2003) dalam Pradijumiga (2009) meyebutkan, selain adanya rasa diakui juga terdapat perasaan senang, puas, dan bergairah dalam bekerja secara fisik, sosial, dan kesehatan mental. 4. Hubungan antara Kejenuhan kerja dengan Stres Kerja Kejenuhan dalam bekerja salah satunya timbul karena pekerja merasa bosan dengan pekerjaan yang selalu sama atau berulang setiap tahunnya. Kejenuhan kerja tersebut dapat ditandai dengan pembolosan, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan, dan kekerasan fisik (Rahmawati, 2007).
129
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebesar 72,0% responden tidak mengalami kejenuhan dalam bekerja. Kemudian berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara kejenuhan kerja dengan stres kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Saragih (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejenuhan kerja dengan stres kerja perawat sebagai respondennya. Rasa jenuh umumnya timbul karena kondisi kerja yang monoton sepanjang waktu dan apabila tidak ada perubahan ataupun tidak ada stimulus yang baru akan membuat pekerja menjadi stres. Dalam hal ini, menurut Sulsky & Smith (2005) dalam Nugrahani (2008), pekerjaan rutin yang berulang-ulang secara umum dialami sebagai suatu hal yang membosankan dan monoton sehingga pekerja merasa jenuh, dan hal ini dapat menimbulkan stres. Tidak adanya hubungan antara kejenuhan kerja dengan stres kerja dalam penelitian ini dimungkinkan karena sebagian besar responden merasa nyaman dengan pekerjaannya, pekerjaannya tersebut dianggap sesuai dengan bidang kajian keilmuannya, dan beban kerja yang diterima juga tidak melebihi kapasitas kemampuan yang diakibatkan oleh bervariasinya profesi dan isntansi kerja responden tersebut yang ditandai dengan tidak adanya pembolosan kerja kecuali karena sakit atau adanya hal yang mendesak. Pekerja yang merasa nyaman dengan pekerjaannya akan tetap dapat menjaga perhatian terhadap pekerjaannya sehingga mengurangi potensi untuk bertindak membahayakan keselamatan dan kesehatannya dalam bekerja. Berbeda jika responden merasa jenuh dalam bekerja, karena kebosanan ditemukan sebagai
130
sumber stres yang nyata (Cooper dan Kelly, 1984 dalam Munandar, 2001). Widyastuti (1999) dalam Martina (2012) juga mengatakan bahwa faktor individual yang mempengaruhi stres kerja diantaranya pertentangan antara karir dan tanggung jawab keluarga dan kejenuhan kerja. Pekerja yang tetap konsentrasi dan merasa nyaman dalam pekerjaannya, serta tidak mengalamai kejenuhan, selain menguntungkan bagi dirinya sendiri karena dapat mengurangi stres kerja yang mungkin timbul dan mengurangi risiko beberapa kerugian, juga dapat memberi efek positif untuk kemajuan instansi tempat kerja. Dimana dalam hal ini, NSC (2004) menyatakan bahwa stres kerja menyebabkan pemilik perusahaan harus mengeluarkan sekitar $200 milyar per tahun karena beberapa masalah pekerjaan, salah satunya adalah kejenuhan dalam bekerja. 5. Hubungan antara Perawatan Anak dengan Stres Kerja Anak merupakan anugerah sekaligus cobaan yang diberikan Allah dan ketika seseorang merasa kurang dalam mengasuh buah hatinya akan dapat menimbulkan stres atau tekanan tersendiri (Yuwono, 2010). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebesar 90,5% atau sebagian besar responden dapat mengasuh atau merawat anaknya dengan baik meski disibukkan dengan tugas pekerjaannya. Selanjutnya dari hasil analisis bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara perawatan anak dengan stres kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Wulayani dan Sudiajeng (2006) yang mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang memicu timbulnya stres kerja pada wanita Bali yang bekerja yaitu adat, pengasuhan anak, dan bantuan
131
pekerjaan rumah tangga. Hal ini dikarenakan dalam penelitian Wulayani dan Sudiajeng (2006) sebagian responden memiliki anak yang masih kecil, sedangkan dalam penelitian ini berdasarkan hasil wawancara dengan responden kepemilikan anak responden bervariasi bahkan beberapa anak dari responden sudah masuk perguruan tinggi dan bekerja. Selain itu untuk sebagian responden yang masih memiliki anak kecil, dalam merawat anaknya selama responden tersebut bekerja, dibantu oleh kerabat dekat yang responden percaya sehingga dapat mengurangi kecemasannya terhadap pengasuhan anaknya. Menurut Rahmah (2012) salah satu penyebab stres keja pada wanita bekerja adalah kecemasan akan efek negatif terhadap berkurangnya kesempatan atau kemampuan untuk perkembangan anak karena pengasuhan yang tidak adekuat. Adapun dalam penelitian ini, sebagian besar responden merasa bahwa mereka dapat mengasuh anak dan memberikan perhatian kepada anak dengan baik tanpa mengganggu tugas pekerjaannya, dengan begitu risiko terhadap stres dapat terkurangi. Dalam hal ini, Diahsari (2006) mengungkapkan bahwa dengan menunjukkan cinta serta kasih dan juga kelekatan kepada anaknya, stres kerja yang dialami oleh wanita bekerja dapat berkurang. 6. Hubungan antara Konflik dengan Rekan Kerja dengan Stres Kerja Keberhasilan
pekerja
dalam
melaksanakan
pekerjaannya
memiliki
keterkaitan interaksi dengan lingkungan kerjanya termasuk rekan kerja. Adapun dari hasil analisis univariat diperoleh sebesar 95,0% atau sebagian besar responden merasa bahwa hubungan dengan rekan kerjanya berjalan baik. Selanjutnya, berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa sebagian besar
132
responden yang memiliki hubungan baik dengan rekan kerja mengalami stres kerja ringan, dan begitu pula responden yang memiliki hubungan buruk dengan rekan kerja sebagian besar mengalami stres ringan. Salah satu faktor pencetus stres kerja adalah adanya konflik dengan rekan kerja (Robbins, 1998). Kemudian Putri (2011) menambahkan bahwa pekerja yang memiliki konflik dan kurang mendapat dukungan dari rekan kerjanya akan cenderung terkena stres. Berbeda dengan hal tersebut, dari analisis menggunakan chi-square dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara konflik dengan rekan kerja dengan stres kerja. Hasil ini juga tidak sejalan dengan Zainiyah (2012), disebutkan bahwa ada hubungan antara hubungan interpersonal rekan kerja dengan stres kerja. Namun penelitian ini sejalan dengan Airmayanti (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara hubungan interpersonal rekan kerja dengan stres kerja pada pekerja. Dukungan yang diperoleh dari rekan kerja dapat mengurangi efek-efek dari stres yang merugikan serta mampu menciptakan rasa nyaman dan ketenangan dalam bekerja (Rook dalam Masitoh, 2011). Selain itu Munandar (2008) juga menyatakan bahwa hubungan sosial yang mendukung antara satu pekerja dengan yang lainnya diharapkan dapat menurunkan risiko stres dalam pekerjaan. Beberapa hal yang melatarbelakangi tidak adanya hubungan antara konflik dengan rekan kerja dengan stres kerja dalam penelitin ini adalah dikarenakan hampir seluruh responden merasa bahwa hubungannya dengan rekan kerja berjalan baik dan adanya dukungan sosial dari rekan kerja misalnya rekan kerja
133
membantu
ketika
responden
mendapati
kesulitan
dalam
melaksanakan
pekerjaannya sehingga dapat mengurangi beban mental maupun fisik yang dialami responden. Sebagaimana menurut Parasuraman, dkk (1992) dalam Putri (2011) bahwa dukungan sosial yang diterima seseorang dari teman sekerja mempunyai andil yang besar untuk meringankan beban seseorang yang mengalami kelelahan fisik, emosional, maupun mental diantaranya adalah stres kerja. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Arden (2002) yang menyampaikan bahwa rekan kerja lebih sering memberikan penangkal untuk terjadinya stres melalui persahabatan dan pertolongan yang diberikan. Alasan lainnya yakni ketika terdapat konflik diantara responden dan rekan kerjanya secara dini langsung diatasi dengan baik-baik dan kekeluargaan agar hubungan diantara mereka tetap baik dan masing-masing dari mereka dapat melaksanakan tanggung jawab kerja dengan baik dan sesuai demi kebaikan mereka sendiri maupun instansi tempat kerja. Dalam hal ini Qomari (2007) menyatakan bahwa salah satu strategi yang diterapkan oleh wanita yang bekerja untuk mengelola stres kerja adalah dengan memelihara hubungan baik dengan rekan-rekan kerja di sekelilingnya agar tetap bersemangat dalam bekerja. E. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013 1. Hubungan antara Kondisi Lingkungan dengan Stres Kerja Harrianto (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kondisi lingkungan fisik seperti kurangnya cahaya, sirkulasi buruk, dan tempat kerja yang sunyi dan terpencil dapat mempengaruhi timbulnya stres kerja. Adapun dari
134
analisis univariat diperoleh hasil bahwa sebagian besar atau 64,0% responden merasa bahwa kondisi lingkungan kerjanya baik dan nyaman atau tidak mengganggunya dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden merasa bahwa suhu, sirkulasi udara, dan kebersihan di lingkungan kerjanya sesuai dan membuatnya nyaman dalam bekerja, serta tempat kerja yang tidak bising. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Hasil ini sesuai dengan teori faktor stres kerja oleh NSC (2004). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Nugrahani (2008) dan Suliso (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara buruknya lingkungan kerja dengan stres kerja pada pekerja. Suliso (2012) menyimpulkan bahwa lingkungan kerja yang buruk termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja. Adanya hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja dalam penelitian ini dimungkinkan karena sebagian responden merasa terganggu dengan kondisi lingkungan kerja fisik yang ada. Lingkungan fisik yang nyaman dan tidak berbahaya dipercaya memiliki nilai positif terhadap hasil kerja atau kepuasan kerja. Sebaliknya, menurut Muchinsky dalam Irawan (2010) kondisi lingkungan fisik yang buruk seperti kebisingan dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap munculnya stres kerja karena beberapa orang lebih sensitif pada kebisingan dibanding yang lain. Buruknya kondisi lingkungan dalam hasil penelitian ini diantaranya meliputi:
135
a. Kebersihan lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang bersih dapat membuat perasaan menjadi tenang dan damai sehingga dapat dengan optimal dalam bekerja (Nitisemito, 1999 dalam Aribowo, 2011). Sebaliknya jika kondisi lingkungan buruk atau kotor akan menambah ketegangan dan mengganggu kinerja. Dalam hal ini diduga sebagian responden merasa bahwa kondisi kebersihan lingkungan kerjanya kurang sehingga memicu timbulnya stres kerja. b. Pencahayaan dan sirkulasi udara Pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup dan sesuai dibutuhkan pekerja untuk dapat melakukan pekerjaan dengan optimal. Nitisemito (1999) dalam Aribowo (2011) menyatakan, dalam melaksanakan tugas sering kali karyawan membutuhkan penerangan yang cukup terutama bila pekerjaan yang dilakukan menuntut ketelitian, serta sirkulasi udara yang cukup dapat memberikan kesegaran fisik namun sebaliknya, pertukaran udara yang kurang akan menimbulkan kelelahan pada karyawan. Dalam hal ini diduga sebagian responden merasa bahwa pencahayaan dan sirkulasi udara di tempat kerja kurang sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja. c. Kebisingan Menurut Nitisemito (1999) dalam Aribowo (2011), kebisingan dapat mengganggu konsentrasi. Dengan adanya kebisingan maka akan mengganggu konsentrasi karyawan, sehingga akan menimbulkan kesalahan atau kerusakan. Dalam penelitian ini diduga sebagian responden merasa terganggu dengan kebisingan yang ada di tempat kerja maupun di sekitarnya, sehingga
136
menimbulkan kelelahan dan mengganggu konsentrasi kerja yang pada akhirnya berpotensi mengalami stres kerja. Hasil penelitian ini juga diperoleh 15,6% responden merasa nyaman namun mengalami stres kerja berat. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor lain selain kondisi lingkungan kerja seperti perkembangan teknologi dan pelecehan seksual di tempat kerja yang dapat memicu timbulnya stres kerja berat pada responden. Selain itu, karena penelitian ini lebih bersifat subjektif sehingga jawaban dari responden memiliki pengaruh besar terhadap hasil penelitian. 2. Hubungan antara Pelecehan Seksual dengan Stres Kerja Pelecehan seksual ini berupa kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebesar 71,0% atau sebagian besar responden tidak pernah mengalami pelecehan seksual dari rekan kerja maupun atasannya. Hal tersebut berarti hubungan antara pekerja wanita dengan rekan kerja maupun atasan pria di tempat kerja mayoritas berjalan dengan baik dan masing-masing memiliki kesadaran cukup tinggi dalam bersikap dalam bekerja. Selain itu, sebagian responden bekerja dalam lingkup lingkungan kerja yang menjaga normanorma agama dan etika seperti tenaga pengajar dan tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit yang berlandaskan agama dalam menjalankan visi dan misinya. Berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara pelecehan seksual di tempat kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Hasil ini sesuai dengan teori NSC (2004) yang
137
menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab stres kerja adalah adanya pelecehan seksual di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja merupakan salah satu hal yang sangat mengganggu karena dapat menimbulkan gangguan psikis seperti rasa cemas yang tinggi, frustasi, dan ketakutan untuk berangkat kerja, gangguan lainnya berupa gangguan fisik seperti nafsu makan berkurang. Adheswary (2012) menyatakan pelecehan seksual dapat menyebabkan stres dengan beberapa dampak negatif seperti mudah marah, kehilangan rasa percaya diri, anti sosial, dan mengalami gangguan perut. Menurut Komnas perempuan (2002) pelecehan seksual relatif lebih sering dilakukan pada pekerja perempuan yang berusia muda karena tenaga kerja junior lebih dilihat sebagai objek seks, dianggap tidak berani bersikap tegas, dan masih banyak bergantung pada karyawan lelaki, misalnya dalam hal dukungan kelancaran operasi peralatan. Sebagaimana hal tersebut, dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden masih berusia muda dengan kisaran usia mulai dari 19 tahun hingga 37 tahun sehingga memungkinkan dapat menarik perhatian rekan kerja maupun atasan yang lain jenis untuk melakukan tindakan pelecehan seksual tersebut. Selain itu diduga responden yang mengalami tindak pelecehan seksual, memiliki karakteristik yang sangat sensitif dan perasa sehingga tindakan pelecehan dengan skala ringanpun dapat memicu timbulnya stres kerja berat yang dialaminya.
138
Pelecehan seksual yang terjadi tersebut dimungkinkan juga karena sikap wanita bekerja itu sendiri, sebagaimana Papu (2002) dalam Dharma (2009) menyatakan bahwa salah satu penyebab pelecehan seksual pada wanita didasari oleh wanita itu sendiri, seperti penggunaan baju yang menampilkan dan menonjolkan lekuk tubuh, memakai pakaian yang minim (seksi), menggunakan parfum yang menarik lawan jenis, cara bicara yang mendesah, dan sebagainya. Untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual yang berakibat pada stres kerja tersebut sebaiknya responden lebih berhati-hati dan waspada dengan cara tidak berpakaian minim atau seksi, mencari informasi mengenai pelecehan seksual dengan maksud agar dapat terhindar dari pelecehan seksual tersebut, serta lebih berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis di tempat kerja. Selain dari pekerja itu sendiri, upaya pengelolaan tersebut juga dapat dilakukan instansi tempat kerja diantaranya dengan menetapkan sanksi bagi pekerja yang melakukan tindakan pelecehan seksual tersebut. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya responden yang tidak mengalami pelecehan seksual namun mengalami stres kerja berat yakni sebesar 14,1%. Hal ini diduga adanya faktor stres lainnya yang menjadikan responden mengalamai stres kerja berat seperti ketidakpastian ekonomi dan kurangnya penghargaan kerja yang diterima. 3. Hubungan antara Kekerasan di Tempat Kerja dengan Stres Kerja Kekerasan di tempat kerja merupakan salah satu hal yang sering terjadi di tempat kerja baik terjadi para pria maupun wanita. Adapun dari analisis univariat dalam penelitian ini diperoleh bahwa sebesar 87,5% atau sebagian besar
139
responden tidak pernah mengalami kekerasan kerja baik dari rekan kerja maupun atasannya. Hal ini tercermin dari adanya hubungan yang baik antara sebagian besar responden dengan rekan kerja maupun dengan atasannya sehingga sangat sedikit peluang untuk terjadinya kekerasan di tempat kerja. Berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kekerasan di tempat kerja dengan stres kerja. Kekerasan di tempat kerja terjadi dan bahkan meningkat dikarenakan majikan atau atasan menuntut produktifitas yang lebih besar dari kesanggupan pekerjanya. Wanita yang menjadi korban kekerasan di tempat kerja tersebut umumnya bekerja dalam pekerjaan yang tidak memperoleh perlindungan hukum dan khususnya takut kehilangan pekerjaan dan pendapatan mereka jika melaporkan tindak kekerasan tersebut kepada pihak berwenang atau serikat buruh (IUF, 2009). Tidak adanya hubungan antara kekerasan kerja dan stres kerja tersebut diduga karena sebagian besar responden tidak pernah mengalami kekerasan di tempat kerja baik dari rekan kerja maupun atasannya. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh bahwa sebagian responden bekerja dalam lingkup jenis pekerjaan yang terjamin mengutamakan etika dalam bersikap seperti para pegawai negeri sipil, tenaga pengajar, dan tenaga kesehatan seperti perawat dan bidan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh juga berupa responden yang pernah mengalami kekerasan di tempat kerja sebagian kecil mengalami stres kerja berat. Hasil tersebut diduga karena responden memiliki hubungan yang kurang baik dengan rekan kerja maupun dengan atasan kerja sehingga menimbulkan tekanan
140
yang berpotensi terjadinya stres kerja. Dalam menanggapi hal tersebut, Newstorm & Davis (1997) dalam Harsanti (2009) menyatakan bahwa pekerja yang menjadi korban kekerasan di tempat kerja termasuk berupa tekanan dan ancaman dapat mengalami stres kerja, dan kekerasan kerja tersebut juga dapat timbul sebagai akibat dari stres kerja. Hasil penelitian ini juga menunjukan adanya responden yang tidak pernah mengalami kekerasan di tempat kerja namun mengalami stres kerja berat. Hal tersebut diduga karena adanya faktor selain kekerasan di tempat kerja seperti pelecehan seksual di tempat kerja yang memicu timbulnya stres kerja pada responden. 4. Hubungan antara Kemacetan dengan Stres Kerja Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 73,0% atau sebagian besar respoden mengalami kemacetan dan menyatakan bahwa kemacetan dirasa mengganggu kenyamanan dan menyita waktu mereka. Selanjutnya, berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa responden yang merasa terganggu dengan kemacetan sebesar 20,5% mengalami stres kerja berat, sedangkan responden yang tidak terganggu, sebesar 20,4% mengalami stres kerja berat. Hal ini kemungkinan karena meskipun sebagian besar responden sering mengalami kemacetan saat berangkat dan pulang kerja, namun kemacetan tersebut masih dirasakan sebagai hal yang sangat menggaggu dan menyita waktu mereka. Selain itu, kemacetan secara tidak langsung dirasakan dapat mengganggu pekerjaan karena dengan kemacetan yang ada responden bisa saja terlambat untuk tepat waktu masuk kerja. Sebagaimana menurut Soesilowati (2008) dalam Sari
141
(2011), secara ekonomis, kemacetan lalulintas akan menimbulkan beberapa masalah diantaranya menciptakan biaya sosial dan operasional yang tinggi, hilangnya waktu, polusi udara, dan tingginya angka kecelakaan. Tidak sedikit dampak negatif dari kemacetan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga tidak menutup kemungkinan responden merasa terganggu dan akhirnya timbul stres. Menurut laporan bulletin Butaru (2009), kemacetan dapat mengakibatkan stres yang tinggi bagi pengguna jalan, termasuk responden sebagai pekerja wanita. Berdasarkan analisis bivariat dengan chi-square diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kemacetan saat berangkat dan pulang kerja dengan stres kerja pada wanita bekerja sektor formal. Dimana Hasil penelitian ini sejalan dengan Vierdelina (2008) bahwa belum terbukti adanya hubungan antara kemacetan dengan stres kerja pada pengendara Bus. Hasil ini dimungkinkan karena responden yang merasa terganggu dengan kemacetan sudah terbiasa mengalami situasi tersebut sehingga dalam menghadapi kemacetan yang dialami, mereka memilih melakukan aktivitas lainnya seperti mendengarkan musik lewat headset, tiduran, membaca buku, dan lain sebagainya untuk mengurangi kepenatan akibat kemacetan tersebut.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada wanita bekerja sektor formal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2013, dapat ditarik kesimpulan sebagai beriku: 1. Gambaran wanita bekerja yang mengalami stres kerja ringan yakni sebesar 79,5% dan stres berat sebesar 20,5%. 2. Gambaran faktor organisasional pada wanita bekerja meliputi gambaran: a. Wanita bekerja yang tidak mandiri yaitu sebesar 42,0%. b. Wanita bekerja yang memiliki beban kerja berat sebesar 44,5%. c. Wanita bekerja yang terganggu akan relokasi pekerjaan sebesar 20,0%. d. Wanita bekerja yang kurang pelatihannya yaitu sebesar 43,0%. e. Wanita bekerja yang mengalami perkembangan karir melelahkan yaitu 26,4%. f. Wanita bekerja yang memiliki hubungan buruk dengan atasan yaitu 2,0%. g. Wanita bekerja yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang ada di tempat kerja yaitu sebesar 15,5%. h. Wanita bekerja yang tanggung jawabnya bertambah namun tidak diikuti dengan bertambahnya gaji yaitu sebesar 37,5%. 3. Gambaran faktor individual pada wanita bekerja yaitu meliputi gambaran: a. Wanita bekerja yang mengalami pertentangan antara karir dan tanggung jawab kerja yakni sebesar 32,5%. 142
143
b. Wanita bekerja yang terganggu akan ketidakpastian ekonomi yaitu 53,5%. c. Wanita bekerja yang merasa kurang dalam memperoleh penghargaan kerja yakni sebesar 53,0%. d. Wanita bekerja yang mengalami kejernuhan dalam bekerja yaitu sebesar 28,0%. e. Wanita bekerja yang tidak adekuat dalam merawat anaknya sebesar 9,5%. f. Wanita bekerja yang memiliki hubungan buruk dengan rekan kerjanya yakni sebesar 5,0%. 4. Gambaran faktor lingkungan pada wanita bekerja meliputi gambaran: a. Wanita bekerja yang terganggu akan kondisi lingkungan kerjanya yakni 36,0%. b. Wanita bekerja yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yakni sebesar 29,0%. c. Wanita bekerja yang mengalami kekerasan di tempat kerja yaitu 12,5%. d. Wanita bekerja yang terganggu dengan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja yaitu sebesar 73,0%. 5. Hubungan faktor organisasional dengan stres kerja pada responden meliputi: a. Tidak terdapat hubungan antara kurangnya otonomi dan stres kerja. b. Terdapat hubungan antara beban kerja dengan stres kerja. c. Tidak terdapat hubungan antara relokasi pekerjaan dengan stres kera. d. Tidak terdapat hubungan antara kurangnya pelatihan dengan stres kerja. e. Tidak terdapat hubungan antara perkembangan karir dengan stres kerja. f. Tidak terdapat hubungan antara hubungan dengan atasan dengan stres kerja. g. Terdapat hubungan antara perkembangan teknologi dengan stres kerja.
144
h. Tidak ada hubungan antara bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji dengan stres kerja. 6. Hubungan faktor individual dengan stres kerja pada responden meliputi: a. Tidak ada hubungan antara pertentangan karir dan tanggung jawab keluarga dengan stres kerja. b. Tidak ada hubungan antara ketidakpastian ekonomi dengan stres kerja. c. Tidak ada hubungan antara kurangnya penghargaan dengan stres kerja. d. Tdak ada hubungan antara kejenuhan kerja dengan stres kerja. e. Tidak ada hubungan antara perawatan anak dengan stres kerja. f. Tidak ada hubungan antara konflik dengan rekan kerja dengan stres kerja. 7. Hubungan faktor lingkungan dengan stres kerja pada responden meliputi: a. Terdapat hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja. b. Terdapat hubungan antara pelecehan seksual dengan stres kerja. c. Tidak ada hubungan antara kekerasan di tempat kerja dengan stres kerja. d. Tidak ada hubungan antara kemacetan dengan stres kerja. B. Saran 1. Masyarakat Khususnya Wanita Bekerja di Wilayah Ciputat Timur a. Wanita bekerja disarankan untuk lebih selektif lagi dalam memilih jenis pekerjaan yang akan diambil untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan seperti potensi dari tindakan kriminal yang mungkin terjadi. b. Untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual yang berakibat pada stres kerja, sebaiknya pekerja wanita lebih berhati-hati dan waspada dengan cara tidak berpakaian minim atau seksi, mencari informasi mengenai pelecehan seksual
145
dengan maksud agar dapat terhindar dari pelecehan seksual tersebut, serta lebih berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis di tempat kerja. 2. Peneliti Selanjutnya a. Selain diharapkan agar dapat menganalisis lebih lanjut, peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat menambahkan variabel lainnya dan tidak hanya terbatas pada variabel-variabel dalam penelitian ini saja. b. Melakukan cara yang sistematis selain kocokan dalam menentukan lokasi maupun sampel penelitian. c. Untuk pemakaian self measurement, diharapkan dilakukan uji validitas maupun reliabilitas untuk kuesioner sebagai alat ukur stres kerja yang akan digunakan, jika instrumen tersebut bukan instrument standar baku. d. Diharapkan melakukan analisis tempat kerja atau penggalian informasi mengenai jarak antara rumah responden ke tempat kerjanya untuk mengetahui apakah responden tersebut mengalami kemacetan atau tidak ketika berangkat maupun pulang kerja.
Daftar Pustaka Adheswary, Vitana. 2012. Pelecehan Seksual pada Wanita yang Bekerja Sebagai Sekretaris. Skripsi S1 Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Airmayanti, Diah. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja pada Pekerja Bagian Produksi PT ISM Bogasari Flour Mills Tbk Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2009. Skripsi S1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Almasitoh, U. H. 2011. Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran Ganda dan Dukungan Sosial pada Perawat. Jurnal Psikologi Islam. 8, (1), 63-82 Al-Qarasyi, B., S. 2007. Huququl „Amil fil Islam, Azwar, Dede (Editor). Keringat Buruh. Jakarta: Penerbit Al-Huda Arden, B. J. 2002. Surviving Job Stres, Sulistiyanto, Anton (Editor). Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Aribowo, R. N. 2011. Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi, dan Lingkungan Kerja Fisik terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada CV Karya Mina Putra Rembang Devisi Kayu). Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Badan Pusat Statistik. 2011. Profil Wanita Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak RI Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2012. Katalog BPS: Kecamatan Ciputat Timur dalam Angka 2012. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2011. Katalog BPS: Kecamatan Ciputat dalam Angka 2011. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2012. Katalog BPS: Kecamatan Pamulang dalam Angka 2012. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2012. Katalog BPS: Kecamatan Serpong Utara dalam Angka 2012. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2012. Katalog BPS: Kecamatan Setu dalam Angka 2012. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2011. Katalog BPS: Kecamatan Pondok Aren dalam Angka 2011. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2011. Katalog BPS: Kecamatan Serpong dalam Angka 2011. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan
Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2011. Kota Tangerang Selatan dalam Angka 2011. Tangerang Selatan: BPS Kota Tangerang Selatan Belton, Suzanne dan Santos, C. 2011. Peningkatan Kemampuan Profesional Kesehatan dan Pengacara untuk Memahami dan Menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Menggunakan Kerangka Hak Asasi Manusia. JSMP Charles Darwin University CCHS. 2012. Violence in The Workplace dalam www.cchs.net diakses pada 08-01-2013 pukul 13.35 Cooper, C. L. 1995. Managerial Occupational and Organizational Stress Research. Dalam http://www.ashgate.com diakses pada 18-05-2013 pukul 01.13 Corwin, E. J. 2009. Handbook of Pathophysiology, Egi Komara Yuda et al. (editor). Jakarta: EGC Denny, Richard. 2011. Success fot yourself eidsi III “Membuka Kunci Potensi Kesuksesan dan Kebahagiaan Anda”. Jakarta: Gramedia Dharma, W. S. 2009. Pelecehan Seksual pada Wanita di Tempat Kerja. Skripsi S1 Universitas Gunadarma Diahsari, E. Y. 2006. Tend-and-Befriend: Pola Respon terhadap Stres ala Wanita. Jurnal Humanitas. 3, (2). 94-101 Dowell, C. H. & Tapp, L. C. 2007. Evaluation of Heat Stress at a Glass Bottle Manufacturer. Lapel: National Institude for Occupational Safety and Health (NIOSH). Dalam http://www.cdc.gov/niosh/hhe/reports/pdfs/2003-0311-3052.pdf diakses pada 24-07-2012 pukul 10.29 Efendi, Nur. 2009. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Stres Kerja pada Buruh Wanita (Studi pada Buruh Wanita yang Bekerja pada Sektor Industri di Bandar Lampung. Dalam http://eprints.umk.ac.id/ diakses pada 24-07-2012 pukul 11.21 Greenberg, J. S. 2002. Comprehensive Stres Management (eighth ed.). New York: McGraw-Hill Companies Inc Ghufroni, J. N. M. 2010. Pengaruh relokasi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi pedagang (studi kasus relokasi pasar Klitikan Notoharjo Kota Surakarta) dalam http://library.um.ac.id/ diakses pada 24-07-2012 pukul 10.42 Hapsari, B. D. A. 2010. Pengaruh Hipertensi Primer terhadap Timbulnya Premenstrual Syndrome pada Wanita di Kelurahan Jati Kecamatan Jaten Karanganyar. Skripsi S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Hariyono, Widodo, Suryani, Dyah, dan Wulandari, Yanuk. 2009. Hubungan antara Beban Kerja, Stres Kerja, dan Tingkat Konflik dengan Kelelahan Kerja Perawat di Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas UAD. 3, (3). 189-197 Harrianto, Irawan. 2007. Stres Akibat Kerja dan Penatalaksanaannya. Universa Medicina. 24, (3), 145-154 Harsanti, Intaglia. 2009. Faktor-Faktor Organisasional sebagai Pencetus Kecenderungan Agresi di Tempat Kerja. Indigenous, Jurnal Berkala Psikologi. 11, (2), 2-13 Haryani, Astri. 2012. Stres dan Koping Remaja dalam Menghadapi Dysmenorrhea di SMP Negeri 35 Medan. Skripsi S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Hastjarja, Dwi. 2004. Stres di Tempat Kerja: Perbandingan antara Gender dengan Pekerjaannya. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan. 4, (1), 31-40 Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Hawari, Dadang. 2005. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Penerbit FKUI Health and Safety Executor. Stres and Psychological Disorders. Great Britain, 2001 dalam http://www.hse.gov.uk/statistics/causdis/stres/index.htm diakses pada 2407-2012 pukul 17.01 Henny. 2007. Hubungan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Karyawan bagian Cusomer Care pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bekasi. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi dan Manajemen institute Pertanian Bogor Inayani, Yani. 2011. Analisis Perbedaan Faktor Demografi dalam Strategi Penanggulangan Stres Kerja: Studi Kasus Dinas Kesehatan Kota Bogor. Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Indriyani, Azazah. 2009. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Stres Kerja Terhadap Kinerja Perawat Wanita Rumah Sakit (Studi pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang). Tesis S2 Manajemen Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Irawan R. A. 2010. Analisis Pengaruh Stres Kerja dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan pada P.D BPR Jepara Artha. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro IUF. 2009. Pedoman Kesetaraan Jender untuk Serikat Buruh di Bidang Pertanian, Pangan, hotel, dan Katering. Serikat Buruh Internasional Sektor Makanan,
Pertanian, Hotel, Restoran, Jasa Boga, Tembakau, dan Asosiasi-Asosiasi Buruh Sejenisnya (IUF).pdf Kalimo, Raija, El-Batawi, M. A., Cooper, C. L. 1987. Psychosocial Factors at Works and Their Relationship to Health. Geneva: World Health Organization Karoly, P. 1985. Measurement strategies in health psychology. New York: John Wiley and Sons Komnas Perempuan. 2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Ameepora Konradus, Danggur. 2006. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Membangun SDM Pekerja yang Sehat, Produktif dan Kompetitif. Jakarta: Litbang Danggur & Partners Lestarianita, Prety. 2010. Perbedaan Coping Stres pada Perawat Pria dan Wanita. Skripsi S1 Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Leka S., et al. 2003. Work Organization & Stres, Protecting Worker‟s Helath Series No. 3. Zwitzerland: World Health Organization Levi, L. 1984. Stress in Industry: Causes, Effect and Prevention. Geneva : ILO Losyk, Bob. 2005. Get a Grip, Konggidinata, Catherine (Editor). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Manurung, Amson. 2000. Dampak Krisis Ekonomi dan Strategi Hidup Rumah Tangga Pekerja Sektor Formal dan Informal di Pariwisata. Skripsi S1 Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Matina, Anggra. 2012. Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Dr. Moehammad Goenawan Partowidigo Cisarua Bogor (RSPG). Skripsi S1 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Martcahyo, V. A., Hidayat, Wahyu dan Suryoko, Sri. 2012. Pengaruh Pelatihan Kerja, Jaminan Sosial dan Insentif terhadap Kinerja Karyawan Bagian Produksi PT. Fumira Semarang. Artikel Jurnal Administrasi Bisnis Undip. 1-16 Margiati, Lulus. 1999. Stres Kerja: Penyebab da Alternatif Pemecahannya. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan politik. (3), 71-80 Menegpp, 2010. Pekerja sektor Formal/Informal dalam menegpp.go.id/ diakses pada 15-01-2013 pukul 13.23 Miller, David. 2000. Dying to Care? Work, Stres, and Burnout in HIV/AIDS. London: Routledge
Moenir, A. S. 1983. Pendekatan Manusiawi & Organisasi terhadap Pembinaan Kepegawaian. Jakarta: PT Gunung Agung Munandar, A. S. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press NIOSH. 2008. Exposure to Stress Occupational Hazard in Hospital. NIOSH National Safety Council. 2004. Stres Management, Yulianti, Devi (Editor). Manajemen Stres. Jakarta: EGC Ningsih, M. A. 2009. Kecemasan Terhadap Kehamilan pada Wanita Dewasa Muda yang Bekerja. Skripsi S1 Fakultas Psikologi Universitas Gunadarama Ni’mah, Ziadatun. 2009. Wanita Karir dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Pandangan K.H. Husein Muhammad). Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Noviandari, R. R. 2007. Analisis Pengaruh Stres Kerja terhadap Kinerja karyawan (Studi kasus PT Pos Indonesia (Persero) Jakarta Timur 13000). Skripsi S1 Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut pertanian Bogor Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-Dasar Pendidikan Dan Pelatihan. BPKM FKM UI: Depok. Nugraha, Fajar. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Pekerja Konveksi Sidi CV Iswara Bandung. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2, (1), 1-10 dalam http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm diaskes pada 23-01-2013 pukul 11.17 Nugrahani, Salafi. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Pekerja Bagian Operasional PT Gunze Indonesia Tahun 2008. Skripsi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Pradijumiga, Risna. 2009. Proses Peningkatan Minat Baca melalui Pemberian Penghargaan: Studi Kasus di Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Purwanti, U. M. 2008. Analisis Pengaruh Persepsi Tenaga Keperawatan tentang Stressor Kerja terhadap Keinginan Pindah Kerja pada Tenaga Keperawatan di RSU Dr. R. Soetrasno Rembang. Tesis S2 Universitas Diponegoro Putri, S. A. P. 2011. Hubungan Dukungan Sosial Terhadap Stres Kerja pada Karyawan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana Semarang. Majalah Ilmiah Informatika. 2, (1), 104-114 Rahmah, Laili. 2012. Atribusi tentang Kegagalan Pemberian Asi pada Ibu Pekerja (Sebuah Studi Fenomenal). 6, (1), 62-70
Rahmawati, Anida. 2007. Hubungan antara Karakteristik Pekerjaan dan Sikap terhadap Lingkungan Kerja dengan Kebosanan Kerja. Skripsi S1 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Rini,
J. F. 2002. Wanita Bekerja. Jakarta dalam http://www.epsikologi.com/epsi/search.asp diakses pada 02-07-2012 pukul 09.32
Robbins, P. S. 1998. Organizational Behaviour Concepts, Controversies, Application. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc Sabri, Luknis dan Hastono, S. P. 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Safaria, Triantono. 2011. Peran religious Coping sebagai Moderator dari job Insecurity terhadap Stres Kerjapada Staf Akademik. Jurnal Humanitas. 3, (2). 155-170 Saragih, Harlen. 2008. Pengaruh Karakteristik Organisasi dan Individu terhadap Stres Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea. Tesis S2 Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Saragih, S., R. 2007. Pengaruh Otonomi Kerja terhadap Work Outcomes: Self Efficacy sebagai Variabel Pemediasian. Thesis S2 Pogram Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Magister Sains Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sari, F. A. P. 2011. Analisis Kebijakan Penanganan Kemacetan Lalulintas di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang dengan Metode Analisis Hirarki Proses. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Satriawan, Adipradana. 2008. Beban Kerja Fisik-Biomekanika. Dalam http://adipradana.wordpress.com/2008/11/28/beban-kerja-fisik/ diakses pada 0207-2012 pukul 11.05 Schultz, Duane dan Ellen, S. Schultz. 2006. Psychology & Work Today (Ninth Ed.). Canada: Pearson prentice hall Shihab, M., Q. 2006. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Volume 10. Jakarta: Lentera Hati Soetjipto, B. E. 2008. Kepuasan Kerja sebagai Pemediasi Pengaruh Stres Kerja terhadap Komitmen Organisasi. Jurnal Aplikasi Manajemen. 6, (1). 49-55 Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269. 2009. Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Tingkat Kebutuhan Kalori Menurut Pengeluaran Energi. Badan Standarisasi Nasional
Swee, W. F., dkk. 2007. Work Stress Prevalence among the Management Staff in an International Tobacco Company in Malaysia. Med & Health. 2, (1), 93-98 dalam http://journalarticle.ukm.my/1953/1/10._93-98_(MH_018).pdf diakses pada 15-112012 pukul 14.35 Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Popular Edisi Lengkap. Surabaya: Gitamedia Press Tim Redaksi Butaru. 2009. Pembatasan Kendaraan untuk Mengurangi Kemacetan Jakarta. Bulletin online dalam http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=165 diakses pada 15-11-2012 pukul 13.40 Vierdelina, Nadya. 2008. Gambaran Stres Kerja dan factor-Faktor yang Berhubungan pada Pengemudi Bus Patas 9B Jurusan Bekasi Barat-Cililitan/Kampung Rambutan Tahun 2008. Skripsi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Wallace, E. V. 2007. Managing Stress: What Consumers Want To Know From Health Educators. American Journal of Health Studies. 22, (1), 56-58 Wirakristama, Richardus Chandra. 2011. Analisis Pengaruh Konflik Peran Ganda (Work Family Conflict) terhadap Kinerja Karyawan Wanita pada PT Nyonya Meneer Semarang dengan Stres Kerja sebagai Variabel Intervening. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Wulayani, Swasti dan Sudiajeng, Lilik. 2006. Stres Kerja Akibat Konflik Peran pada Wanita Bali. Psychology Journal. 21, (2), 192-195 Yunus, Muhammad. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stres Kerja pada Pegawai Unit Kerja Laundry RSUD Pasar Rebo. Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Yuwono, Susastyo. 2010. Mengelola Stres dalam Perspektif Islam dan Psikologi. Jurnal Psycho Idea. (2), 14-26 Zaini, Fawaid. 2012. Mutasi Pegawai sebagai Langkah Pendewasaan Tanggung Jawab, dalam telenteyan.blogspot.com/2012_07_01_archive.html Zainiyah, A. A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Pekerja Manufacturing di PT. X Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1, (2). 644 – 653 dalam http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm diakses pada 20-05-2013 pukul 14.05
I
EI-,
LIII I
KBMENTERIAN AGAMA U\IYERSITAS ISLANI NEGERI ( UIN ) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN Telp.
: (62-21) 7,1716718 Fax : (62-21) 7,104985 Wcbsite : *'rvrv. uinjkt. ac. i d; E-mzril : fk ik(rluinjkt. ac. id
-il. Kertaniuktl No. ,i Pisangarr Ctputat 15.119
Nomor : Un.0 i/Fl 0/KM.00.U i 001) 12013
Iakarta,
Lamp :-
Hal
ii
Maret 2013
: Izin Penelitian Skripsi
KepadaYth. Kepala Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Di
-
Tempat Assalamuaiaikum Wr. Wb. Bersama ini kami sampaikan bahwa mahasiswa yang namanya tersebut dibawah ini akan melaksanakan penyusunan Skripsi denganjudul "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja Pada Wanita Bekeda Sektor Formal di wilayah Ciputat Timur Tahun 2013- atas nama : Nama
Pratiwi Puji Lestari
NIM
108101000066 Kesehatan Masyarakat X (sepuluh) / K3
Prograrn Studi Semesteri Peminatan
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon mahasisrva tersebut dapat diizinkan untuk melakukan penelitian skripsi di wilayah yang saudara pimpin.
Demikian, atas perhatian dan kerjasarna saudara, karni ucapkan terima kasih. Wassalamu' alaikum Wr.Wb.
A.n Dekan Pembantu Dekan
Bjdlang\ademik,
dr. H. Djauhari W, AIF, PFK.| Tembusan : Dekan FKIK
lt't,l [:r!!i lt!!iii lt!!i:i
PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN
KECAMATAN CIPUTAT TIMUR Jl.
w.R. supratman No.66 Pondok RanjiTelp. (021)7440717 Kode Pos 15412
Ciputat Timur, 26
Nomor Lampiran Perihal
6/
te0 - Ctm/2013
lzin Penelitian SkriPsi a/n Pratiwi Puji Lestari
Yth.
Maret 2013
Kepada, Para Lurah Se-Kecamatan CiPutat Timur diTempqt
Menindaklanjuti surat dari universitas lslam Negeri (ulN)
Syarif Hidayatullah Jakarta nomor : Un.01/F10/KM.00.1n0AU2013 tanggal 11 Maret 2013 Perihal lzin Penelitian Skripsi atas nama Pratiwi Puji Lestari, bersama ini kami perintahkan kepada Saudara agar memberikan izin penelitian kepada yang ber:sangkutan untuk keperluan pembuatan Skripsinya di wilayah Kelurahan saudara' Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
CAMAT CIPUTAT TIMUR
'.19571031 197803 '.l 002 Tembusan, disamPaikan kePada; 1. Yth. Dekan FKIK
2.
Ybs.
Lampiran 2
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera, saya Pratiwi Puji Lestari, mahasiswa yang bermaksud melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Stres Kerja pada Wanita Bekerja Sektor Formal di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2013”. Penelitian ini merupakan tugas akhir saya sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana (S1) Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di tengah-tengah kesibukan ibu/saudari saat ini izinkanlah saya meminta waktu ibu/saudari selama kurang lebih 15 menit untuk mengisi daftar pertanyaan atau angket penelitian saya ini. Saya mengharapkan kesediaan ibu/saudari untuk menjawab kuesioner ini dengan jujur tanpa ada rasa takut, karena tidak ada penilaian benar atau salah untuk jawaban yang telah ibu/saudari berikan. Dan setiap jawaban ibu/saudari akan dijaga kerahasiaannya, serta tidak akan mempengaruhi terhadap kinerja ibu/saudari. Untuk kesediaan ibu/saudari dalam pengisian kuesioner ini, saya sampaikan banyak terima kasih dan semoga Allah swt membalas kebaikan ibu/saudari dengan sebaik-baik pembalasan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ciputat Timur, ………………. 2013
Peneliti
Responden
( Pratiwi Puji Lestari )
( ……………………….. )
Nomor Responden LEMBAR KUESIONER PENELITIAN Petunjuk Pengisian: Isilah indentitas diri ibu/saudari di kolom “Identitas Responden” yang sudah tersedia. Berilah tanda () pada salah satu pilihan sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat setuju yang ada pada setiap pernyataan sesuai dengan jawaban ibu/saudari. Jika ibu/saudari telah selesai mengisi, mohon untuk memeriksa kembali jawaban ibu/saudari agar tidak ada yang kosong atau terlewati. Diisi oleh peneliti A IDENTITAS RESPONDEN A1 Nama :________________________________ A2 Umur :_________________________Tahun A3 Alamat :________________________________ RW/Kelurahan :________/____________________ A4 No. Telpon/HP :_____________________________ A5 Status perkawinan : 0. Menikah 1. Belum Menikah [ ] A6 Jenis pekerjaan :___________________________ Jabatan:___________________ PILIHAN JAWABAN PERNYATAAN Diisi B1 Kurangnya Otonomi B1.1 B1.2
B1.3 B1.4
B1.5
B1.6 B1.7 B1.8 B1.9
Saya bisa membuat keputusan sendiri tentang bagaimana saya menjadwalkan pekerjaan saya sekarang ini. Pekerjaan sekarang ini memungkinkan saya dapat bebas menentukan urutan hal-hal yang akan saya lakukan pada pekerjaan saya. Pekerjaan saya ini memungkinkan saya bisa merencanakan bagaimana saya melakukan pekerjaan saya. Dalam melakukan pekerjaan sekarang ini saya memiliki kesempatan untuk menggunakan inisiatif pribadi saya dalam melaksanakan pekerjaan. Pekerjaan saya sekarang ini tidak memungkinkan saya untuk dapat membuat keputusan saya sendiri mengenai pekerjaan saya tersebut. Saya tidak leluasa untuk membuat keputusan sendiri dalam mengerjakan pekerjaan saya sekarang ini. Saya tidak memiliki wewenang untuk memutuskan metode apa yang akan saya gunakan dalam menyelesaikan pekerjaan saya. Saya memiliki kesempatan yang cukup bebas untuk menentukan bagaimana saya melakukan pekerjaan saya. Pekerjaan saya sekarang ini memungkinkan saya untuk memutuskan sendiri bagaimana cara saya melakukan pekerjaan saya.
Sangat Setuju
Setuju
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
oleh peneliti
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
PILIHAN JAWABAN PERNYATAAN
B2.1 B2.2 B2.3 B2.4
B3
B4.1
B4.2
B5.1
B5.2 B5.3 B5.4
B2 Beban Kerja Saya merasa bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada saya terlalu berat bagi saya. Saya merasa bahwa pekerjaan di luar tugas pokok yang harus saya lakukan dalam satu hari terlalu banyak bagi saya. Pekerjaan yang dibebankan kepada saya setiap hari terasa mudah untuk saya kerjakan. Dalam menyelesaikan pekerjaan saya, saya dituntut untuk bekerja dengan cepat dan tepat. B3 Relokasi Pekerjaan Saya merasa nyaman ketika saya pindah/dipindahkan ke tempat kerja baru dengan jenis pekerjaan baru maupun tetap. (jika tidak pernah berpindah tugas/ pindah tempat kerja tidak perlu diisi, lanjut ke pertanyaan B4.1) B4 Pelatihan Dari awal saya bekeja hingga sekarang, saya sudah mendapatkan pelatihan yang memudahkan saya dalam mengerjakan pekerjaan saya. (jika tidak pernah mendapatkan pelatihan, silahkan langsung ke pertanyaan B5.1) Pelatihan yang saya dapatkan kurang sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan saya. B5 Karir yang Melelahkan Saya merasa puas terhadap kesempatan kenaikan jabatan ataupun promosi kerja yang ada? (jika pekerjaan anda tidak ada sistem kenaikan jabatan/ golongan karir, pertanyaan B5.1 - B5.4 tidak perlu diisi, langsung lanjut ke pertanyaan B6) Di tempat kerja saya sekarang, saya pernah mendapat posisi atau jabatan lain. Saya merasa tidak nyaman dengan posisi/jabatan pekerjaan saya sekarang. Pimpinan menempatkan saya sesuai dengan jenjang pendidikan yang saya miliki.
Sangat Setuju
Setuju
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
Diisi oleh peneliti
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
PERNYATAAN B6 Hubungan yang Buruk dengan Atasan/Majikan B6
B7
B8
C1.1 C1.2
C1.3 C1.4
C2.1 C2.2
C3
C4
C5
C6
PILIHAN JAWABAN Sangat Sangat Tidak Setuju tidak Setuju setuju setuju
Selama saya bekerja di sini, hubungan kerja antara saya dengan atasan/pimpinan berjalan dengan baik. B7 Perkembangan Teknologi Saya merasa bisa ketika dihadapkan dengan cara kerja atau mesin kerja baru untuk digunakan dalam pekerjaan saya ini. B8 Bertambahnya Tanggung Jawab tanpa Pertambahan Gaji Gaji/upah yang saya terima telah sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan yang saya laksanakan. C1 Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga Keluarga saya mendukung pekerjaan saya saat ini Saya selalu tepat waktu masuk kerja meskipun sebelum berangkat bekerja saya harus mengurus atau membantu kerluarga terlebih dahulu. Keluarga saya tidak mengijinkan saya untuk bekerja lembur Keluarga saya tidak memperbolehkan saya untuk bekerja pada malam hari C2 Ketidakpastian Ekonomi Penghasilan yang saya dapatkan selalu tetap setiap bulannya. Saya merasa pemasukan keuangan saya dapat memenuhi kebutuhan saya setiap bulannya C3 Kurangnya Penghargaan Kerja Saya merasa bahwa tunjangan, fasilitas, maupun penghargaan kerja yang diberikan oleh instansti tempat saya bekerja sudah sepadan dengan usaha yang saya kerjakan. C4 Kejenuhan Kerja Saya merasa tidak suka atau bosan dalam mengerjakan pekerjaan saya ini
C5 Perawatan Anak yang Tidak Adekuat Saya dapat mengasuh anak dengan baik tanpa mengganggu pekerjaan saya. (jika belum memiliki anak tidak perlu diisi, silahkan lanjut ke pertanyaan C6) C6 Konflik dengan Rekan Kerja Hubungan kerja saya dengan rekan kerja di tempat kerja saya sekarang ini berjalan dengan baik.
Diisi oleh peneliti
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
PILIHAN JAWABAN PERNYATAAN
Sangat Setuju
Setuju
Tidak setuju
D1 Buruknya Kondisi Lingkungan Kerja Saya merasa nyaman dengan kondisi (suhu, sirkulasi udara, dan kebersihan) lingkungan kerja saya. D1.2 Saya merasa terganggu dengan keramaian di tempat kerja saya. D2 Kemacetan saat Berangkat dan Pulang Kerja D2 Kemacetan yang saya rasakan saat berangkat maupun pulang kerja menyita waktu dan mengganggu kenyamanan saya. D3 Pelecehan Seksual D3 Apakah anda pernah mendapat perlakuan yang tidak diinginkan dari lawan jenis, baik dari rekan kerja ataupun atasan anda? (jika pernah, berilah tanda (x) pada beberapa perlakuan di bawah ini, boleh diisi lebih dari satu) a. main mata 0. Ya b. siulan nakal 1. Tidak c. komentar yang berkonotasi seks d. humor porno e. cubitan f. colekan g. tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu h. gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual i. ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman j. ajakan melakukan hubungan seksual sampai perkosaan D4 Kekerasan di Tempat Kerja D4 Apakah anda pernah mendapat perlakuan di bawah ini dari rekan atau atasan anda? (jika pernah, berilah tanda (x) pada beberapa perlakuan di bawah ini, boleh diisi lebih dari satu) 0. Ya a. Perilaku yang mengancam 1. Tidak (misal: melempar benda ke anda, menggebrak meja/pintu/dinding) b. Perkataan atau tulisan yang berisi ancaman c. Dilecehkan (perilaku yang merendahkan, mempermalukan, menghina, ataupun mengganggu mental) d. Dicaci maki e. Mendapat penyerangan secara fisik (misal: dipukul, disikut, didorong, atau ditendang
Sangat tidak setuju
D1.1
Diisi oleh peneliti
[
]
[
]
[
]
Diisi oleh Peneliti
[
]
Diisi oleh Peneliti
[
]
Petunjuk Pengisian: Berilah Tanda () pada Kolom Indikator Perubahan Akibat Stres Kerja dengan memilih salah satu dari pilihan Tidak Pernah, Kadang-Kadang, atau Sering. Jika ibu/saudari selesai mengisi, mohon untuk memeriksa kembali jawaban ibu/saudari agar tidak ada yang kosong atau terlewati.
No.
E INDIKATOR PERUBAHAN AKIBAT STRES KERJA Perubahan Fisiologis, Psikologis, dan Perilaku selama Tidak KadangPernah Kadang satu bulan terakhir
Perubahan Fisiologis E1 Sakit kepala atau pusing [Saat tenang dan tiba-tiba terjadi] E2 Sakit punggung [Bukan karena kurang minum, bukan karena habis berolahraga atau bukan karena habis melakukan aktifitas yang berat] E3 Gangguan menstruasi E4 Asma atau sesak nafas [Saat tenang dan tiba-tiba terjadi] E5 Gangguan pencernaan pada lambung dan usus (mag atau lainnya) [Bukan karena salah makan] E6 Susah tidur (Insomnia) E7 Buang air besar lebih dari 2kali berturut-turut [Bukan karena salah makan] E8 Telinga berdenging [Bukan karena bising, tapi saat tenang dan tiba-tiba terjadi] E9 Menggertakan gigi di malam hari pada waktu tidur E10 Sakit sendi di bagian rahang E11 Gejala tekanan darah tinggi (seperti sakit kepala bagian belakang, sukar tidur, pusing, marah, dada berdebar-debar, sesak nafas) E12 Gejala PJK (penyakit jantung koroner) (seperti nyeri pada dada bagian kiri sampai ke belakang dan terkadang sampai lengan) E13 Gejala herpes atau cacar air (ada tonjolan pada kulit seperti berisi air) E14 Migraine (sakit kepala sebelah) [Saat tenang dan tiba-tiba terjadi] E15 Perih /luka pada lambung [Bukan karena salah makan] E16 Jantung berdebar-debar [Saat tenang dan tiba-tiba terjadi] E17 Sering buang air kecil [Bukan karena banyak minum ataupun penyakit diabetes, dan bukan karena kondisi lingkungan yang dingin] E18 Sering keluar keringat [Bukan sedang /setelah olahraga, bukan karena kondisi lingkungan yang dingin dan/atau panas, serta bukan karena habis melakukan aktifitas yang berat] E19 Gugup [Saat tenang dan tiba-tiba terjadi] E20 Nafsu makan hilang
Sering
Diisi Peneliti
[
]
[
]
[ [
] ]
[
]
[
]
[
]
[
]
[ [
] ]
[
]
[
]
[
]
[ [ [
] ] ]
[
]
[
]
[ [
] ]
No.
Perubahan Fisiologis, Psikologis, dan Perilaku selama satu bulan terakhir
Tidak Pernah
KadangKadang
E21
Badan terasa lemah [bukan karena habis melakukan aktifitas yang berat] E22 Letih atau lesu [bukan karena habis melakukan aktifitas yang berat] Perubahan psikologis E23 Mudah marah. [Saat tenang, tiba-tiba terjadi dan bukan karena pengaruh dari orang lain] E24 Mudah tersinggung E25 Perasaan tertekan. [Saat tenang, tiba-tiba terjadi dan bukan karena pengaruh dari orang lain] E26 Merasa cemas atau gelisah [Saat tenang, tiba-tiba terjadi dan bukan karena pengaruh dari orang lain] E27 Mudah putus asa E28 Sikap acuh tak acuh/cuek E29 Perasaan tegang [Saat tenang, tiba-tiba terjadi dan bukan karena pengaruh dari orang lain] Perubahan perilaku E30 Merasa malas bekerja E31 Ketidak hadiran tinggi E32 Kurang konsentrasi E33 Cepat merasa lupa E34 Menunda-nunda pekerjaan E35 Minum kopi E36 Minum obat tidur atau obat penenang E37 Menghindar dari interaksi sosial (pergaulan)
***TERIMA KASIH TELAH BERSEDIA MENGISI KUESIONER INI***
Sering
Diisi Peneliti
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
[ [
] ]
[
]
[ [ [ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ] ] ]
Lampiran 3 OUTPUT ANALISIS DATA Analisis Univariat 1. Kurangnya Otonomi Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
84
42.0
42.0
42.0
1
116
58.0
58.0
100.0
Total
200
100.0
100.0
2. Kuota Tidak Logis (Beban Kerja) Frequency Valid
0
89
1
111
Total
200
Percent
Valid Percent
44.5
Cumulative Percent
44.5
44.5
55.5
55.5
100.0
100.0
100.0
3. Relokasi Pekerjaan jump_relokasi Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
0
95
47.5
47.5
47.5
1
105
52.5
52.5
100.0
Total
200
100.0
100.0
Frequency Valid
Valid Percent
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
19
20.0
20.0
20.0
1
76
80.0
80.0
100.0
Total
95
100.0
100.0
4. Kurangnya Pelatihan medi_pelatihan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
59
29.5
29.5
29.5
1
27
13.5
13.5
43.0
2
114
57.0
57.0
100.0
Total
200
100.0
100.0
oke_pelatihan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
86
43.0
43.0
43.0
1
114
57.0
57.0
100.0
Total
200
100.0
100.0
5. Karir yang Melelahkan jump_karir Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
121
60.5
60.5
60.5
1
79
39.5
39.5
100.0
200
100.0
100.0
Total
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
32
26.4
26.4
26.4
1
89
73.6
73.6
100.0
121
100.0
100.0
Total
6. Hubungan Buruk dengan Atasan/Majikan Frequency Valid
YA
Percent 4
Valid Percent
2.0
Cumulative Percent
2.0
2.0 100.0
TIDAK
196
98.0
98.0
Total
200
100.0
100.0
7. Perkembangan Teknologi Frequency Valid
YA
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
31
15.5
15.5
15.5
TIDAK
169
84.5
84.5
100.0
Total
200
100.0
100.0
8. Bertambahnya Tanggung Jawab tanpa Bertambahnya Gaji Frequency Valid
YA
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
75
37.5
37.5
37.5
TIDAK
125
62.5
62.5
100.0
Total
200
100.0
100.0
9. Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga Frequency Valid
Percent
0
65
1
135
Total
200
Valid Percent
32.5
Cumulative Percent
32.5
32.5
67.5
67.5
100.0
100.0
100.0
10. Ketidakpastian Ekonomi ekonomi_oke Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
107
53.5
53.5
53.5
1
93
46.5
46.5
100.0
200
100.0
100.0
Total
11. Kurangnya Penghargaan Kerja Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
KURANG
106
53.0
53.0
53.0
SEPADAN
94
47.0
47.0
100.0
200
100.0
100.0
Total
12. Kejenuhan Kerja Frequency Valid
YA
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
56
28.0
28.0
28.0
TIDAK
144
72.0
72.0
100.0
Total
200
100.0
100.0
13. Perawatan Anak Tidak Adekuat jump_perawatananak Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
0
105
52.5
52.5
52.5
1
95
47.5
47.5
100.0
200
100.0
100.0
Total
Frequency Valid
Valid Percent
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
YA
10
9.5
9.5
9.5
TIDAK
95
90.5
90.5
100.0
105
100.0
100.0
Total
14. Konflik dengan Rekan Kerja Frequency Valid
BURUK
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
10
5.0
5.0
5.0
BAIK
190
95.0
95.0
100.0
Total
200
100.0
100.0
15. Buruknya Kondisi Lingkungan Kerja Frequency Valid
0
72
1
128
Total
200
Percent
Valid Percent
36.0
Cumulative Percent
36.0
36.0
64.0
64.0
100.0
100.0
100.0
16. Pelecehan Seksual Frequency Valid
ADA
Percent
Valid Percent Cumulative Percent
58
29.0
29.0
29.0
TIDAK
142
71.0
71.0
100.0
Total
200
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
17. Kekerasan di Tempat Kerja Valid
ADA
Cumulative Percent
25
12.5
12.5
12.5
TIDAK
175
87.5
87.5
100.0
Total
200
100.0
100.0
18. Kemacetan saat Berangkat dan Pulang Kerja Frequency Valid
TERGANGGU TIDAK TERGANGGU Total
146
Percent 73.0
Valid Percent
Cumulative Percent
73.0
73.0 100.0
54
27.0
27.0
200
100.0
100.0
Analisis Bivariat 1. Kurangnya Otonomi med_otonomi * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat med_otonomi
0
Count
19
Expected Count % within med_otonomi 1
% within med_otonomi
% within med_otonomi
65
84
17.2
66.8
84.0
77.4%
100.0%
22
94
116
23.8
92.2
116.0
19.0%
81.0%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Count Expected Count
Total
22.6%
Count Expected Count
Total
Stres Ringan
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
.399a
1
.528
Continuity Correctionb
.206
1
.650
Likelihood Ratio
.397
1
.529
Linear-by-Linear Association
.397
1
.529
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.596
.323
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.22. b. Computed only for a 2x2 table
2. Kuota Tidak Logis (Beban Kerja) med_bebankerja * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT med_bebankerja
0
Count Expected Count % within med_bebankerja
1
Count Expected Count % within med_bebankerja
Total
Count Expected Count % within med_bebankerja
STRES RINGAN
Total
26
63
89
18.2
70.8
89.0
29.2%
70.8%
100.0%
15
96
111
22.8
88.2
111.0
13.5%
86.5%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
7.471a
1
.006
Continuity Correctionb
6.538
1
.011
Likelihood Ratio
7.462
1
.006
7.433
1
.006
Pearson Chi-Square
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.008 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.25. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.005
3. Relokasi Pekerjaan B3 * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT B3 saya merasa nyaman ketika 0 saya pindah atau dipindahkan ke tempat kerja
Count
7
Expected Count % within B3
1
19
14.8
19.0
63.2%
100.0%
14
62
76
16.8
59.2
76.0
18.4%
81.6%
100.0%
21
74
95
21.0
74.0
95.0
22.1%
77.9%
100.0%
Count Expected Count % within B3
12
4.2
Expected Count % within B3
Total
36.8%
Count
Total
STRES RINGAN
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
a
1
.083
Continuity Correctionb
2.021
1
.155
Likelihood Ratio
2.744
1
.098
2.964
1
.085
Pearson Chi-Square
2.995
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.120
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.081
95
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.20. b. Computed only for a 2x2 table
4. Kurangnya Pelatihan oke_pelatihan * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT oke_pelatihan
0
Count Expected Count % within oke_pelatihan
1
% within oke_pelatihan
% within oke_pelatihan
Total 86
17.6
68.4
86.0
74.4%
100.0%
19
95
114
23.4
90.6
114.0
16.7%
83.3%
100.0%
41
159
200
Count Expected Count
64
25.6%
Count Expected Count
Total
STRES RINGAN
22
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
2.390a
1
.122
Continuity Correctionb
1.875
1
.171
Likelihood Ratio
2.370
1
.124
2.378
1
.123
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.157 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.63. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.086
5. Karir yang Melelahkan Med_karir * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT med_karir
0
Count
% within med_karir
7
25
32
24.6
32.0
21.9%
78.1%
100.0%
21
68
89
Count Expected Count % within med_karir
Total
20.6
68.4
89.0
23.6%
76.4%
100.0%
Count
28
93
121
28.0
93.0
121.0
23.1%
76.9%
100.0%
Expected Count % within med_karir
Total
7.4
Expected Count
1
STRES RINGAN
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
1
.843
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.040
1
.842
Linear-by-Linear Association
.039
1
.844
N of Valid Casesb
121
Pearson Chi-Square
.039
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.527
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.40. b. Computed only for a 2x2 table
6. Hubungan Buruk dengan Atasan/Majikan B6 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat B6 Selama saya bekerja di sini, YA hubungan kerja antara saya dengan atasan/pi
1
3
4
Expected Count
.8
3.2
4.0
25.0%
75.0%
100.0%
40
156
196
40.2
155.8
196.0
20.4%
79.6%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Count Expected Count % within B6
Total
Total
Count
% within B6 TIDAK
Stres Ringan
Count Expected Count % within B6 Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
.051a
1
.822
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.048
1
.826
Linear-by-Linear Association
.050
1
.822
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
1.000
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .82. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.604
7. Perkembangan Teknologi B7 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat B7 Saya merasa bisa ketika dihadapkan dengan cara kerja/mesin kerja baru un
YA
11
20
31
Expected Count
6.4
24.6
31.0
35.5%
64.5%
100.0%
30
139
169
Count Expected Count % within B7
Total
Total
Count
% within B7 TIDAK
Stres Ringan
34.6
134.4
169.0
17.8%
82.2%
100.0%
Count Expected Count % within B7
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
a
1
.025
Continuity Correctionb
4.024
1
.045
Likelihood Ratio
4.528
1
.033
5.029
1
.025
Pearson Chi-Square
5.054
Fisher's Exact Test
.031
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.027
200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.36. b. Computed only for a 2x2 table
8. Bertambahnya Tanggung Jawab tanpa Bertambahnya Gaji B8 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat B8 Gaji/upah yang saya terima YA telah sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan
Count Expected Count % within B8
TIDAK
Count Expected Count % within B8
Total
Stres Ringan
14
Count Expected Count % within B8
61
Total 75
15.4
59.6
75.0
18.7%
81.3%
100.0%
27
98
125
25.6
99.4
125.0
21.6%
78.4%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
a
1
.619
Continuity Correctionb
.100
1
.752
Likelihood Ratio
.250
1
.617
Linear-by-Linear Association
.246
1
.620
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
.247
Fisher's Exact Test
.718
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.38. b. Computed only for a 2x2 table
.379
9. Pertentangan antara Karir dan Tanggung Jawab Keluarga med_tjkeluarga * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT med_tjkeluarga
0
Count
% within med_tjkeluarga
16
49
65
51.7
65.0
24.6%
75.4%
100.0%
25
110
135
Count Expected Count % within med_tjkeluarga
Total
27.7
107.3
135.0
18.5%
81.5%
100.0%
Count
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Expected Count % within med_tjkeluarga
Total
13.3
Expected Count
1
STRES RINGAN
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
a
1
.317
Continuity Correctionb
.662
1
.416
Likelihood Ratio
.979
1
.323
Linear-by-Linear Association
.996
1
.318
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
1.001
Fisher's Exact Test
.352
.207
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.33. b. Computed only for a 2x2 table
10. Ketidakpastian Ekonomi ekonomi_oke * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT ekonomi_oke
0
Count
% within ekonomi_oke
20
87
107
85.1
107.0
18.7%
81.3%
100.0%
21
72
93
19.1
73.9
93.0
22.6%
77.4%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Count Expected Count % within ekonomi_oke
Total
Count Expected Count % within ekonomi_oke
Total
21.9
Expected Count
1
STRES RINGAN
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
.462a
1
.497
Continuity Correctionb
.254
1
.614
Likelihood Ratio
.461
1
.497
Linear-by-Linear Association
.459
1
.498
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.599
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.07. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.307
11. Kurangnya Penghargaan Kerja C3 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat C3 Saya merasa bahwa tunjangan, fasilitas, maupun penghargaan kerja yang di
KURANG
Count
17
Expected Count % within C3 SEPADAN
106
84.3
106.0
84.0%
100.0%
24
70
94
19.3
74.7
94.0
25.5%
74.5%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Count Expected Count % within C3
89
21.7
Expected Count % within C3
Total
16.0%
Count
Total
Stres Ringan
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
2.755a
1
.097
Continuity Correctionb
2.204
1
.138
Likelihood Ratio
2.756
1
.097
2.742
1
.098
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.115
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.069
200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.27. b. Computed only for a 2x2 table
12. Kejenuhan Kerja C4 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat C4 Saya merasa tidak suka atau bosan dalam mengerjakan pekerjaan saya ini.
YA
Count Expected Count % within C4
TIDAK
Count Expected Count % within C4
Total
Count Expected Count % within C4
Stres Ringan
Total
15
41
56
11.5
44.5
56.0
26.8%
73.2%
100.0%
26
118
144
29.5
114.5
144.0
18.1%
81.9%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
a
1
.170
Continuity Correctionb
1.388
1
.239
Likelihood Ratio
1.814
1
.178
1.876
1
.171
Pearson Chi-Square
1.886
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.177 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.48. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.120
13. Perawatan Anak Tidak Adekuat C5 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat C5 Saya dapat mengasuh anak YA dengan baik tanpa mengganggu pekerjaan saya (ji
Count
% within C5
3
7
10
8.0
10.0
30.0%
70.0%
100.0%
18
77
95
Count Expected Count % within C5
Total
19.0
76.0
95.0
18.9%
81.1%
100.0%
Count Expected Count % within C5
Total
2.0
Expected Count
TIDAK
Stres Ringan
21
84
105
21.0
84.0
105.0
20.0%
80.0%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
a
1
.406
Continuity Correctionb
.173
1
.678
Likelihood Ratio
.630
1
.427
Linear-by-Linear Association
.684
1
.408
N of Valid Casesb
105
Pearson Chi-Square
.691
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.415
.319
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00. b. Computed only for a 2x2 table
14. Konflik dengan Rekan Kerja C6 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat C6 Hubungan saya dengan rekan kerja di tempat kerja saya sekarang ini berja
BURUK
Count Expected Count % within C6
BAIK
Count Expected Count % within C6
Total
Count Expected Count % within C6
Stres Ringan
Total
1
9
10
2.0
8.0
10.0
10.0%
90.0%
100.0%
40
150
190
39.0
151.0
190.0
21.1%
78.9%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
a
1
.399
Continuity Correctionb
.195
1
.658
Likelihood Ratio
.833
1
.362
Linear-by-Linear Association
.709
1
.400
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
.712
Fisher's Exact Test
.691
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.05. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.355
15. Buruknya Kondisi Lingkungan Kerja med_lingkungan * STRES Crosstabulation STRES STRES BERAT med_lingkungan
0
Count Expected Count % within med_lingkungan
1
Count Expected Count % within med_lingkungan
Total
Count Expected Count % within med_lingkungan
STRES RINGAN
Total
21
51
72
14.8
57.2
72.0
29.2%
70.8%
100.0%
20
108
128
26.2
101.8
128.0
15.6%
84.4%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
a
1
.023
Continuity Correctionb
4.387
1
.036
Likelihood Ratio
5.029
1
.025
5.159
1
.023
Pearson Chi-Square
5.185
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.029
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.019
200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.76. b. Computed only for a 2x2 table
16. Pelecehan Seksual D3 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat D3 Apakah anda pernah mendapat perlakuan yang tidak diinginkan dari lawan j
ADA
Count Expected Count % within D3
TIDAK
Count Expected Count % within D3
Total
Count Expected Count % within D3
Stres Ringan
Total
21
37
58
11.9
46.1
58.0
36.2%
63.8%
100.0%
20
122
142
29.1
112.9
142.0
14.1%
85.9%
100.0%
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
12.366a
1
.000
Continuity Correctionb
11.046
1
.001
Likelihood Ratio
11.525
1
.001
12.304
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.001 200
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.89. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.001
17. Kekerasan di Tempat Kerja D4 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat D4 Apakah anda pernah mendapat perlakuan dari rekan kerja atau atasan anda?
ADA
Count
% within D4
7
18
25
19.9
25.0
28.0%
72.0%
100.0%
34
141
175
Count Expected Count % within D4
Total
35.9
139.1
175.0
19.4%
80.6%
100.0%
Count Expected Count % within D4
Total
5.1
Expected Count
TIDAK
Stres Ringan
41
159
200
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
a
1
.321
Continuity Correctionb
.530
1
.466
Likelihood Ratio
.923
1
.337
Linear-by-Linear Association
.981
1
.322
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
.986
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.302
.228
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.13. b. Computed only for a 2x2 table
18. Kemacetan saat Berangkat dan Pulang Kerja D2 * STRES Crosstabulation STRES Stres Berat D2 Kemacetan yang saya rasakan saat berangkat maupun pulang kerja menyita w
TERGANGGU
Count
% within D2
30
116
146
116.1
146.0
20.5%
79.5%
100.0%
11
43
54
11.1
42.9
54.0
20.4%
79.6%
100.0%
41
159
200
Count Expected Count % within D2
Total
Count Expected Count % within D2
Total
29.9
Expected Count
TIDAK TERGANGGU
Stres Ringan
41.0
159.0
200.0
20.5%
79.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided)
.001a
1
.978
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.001
1
.978
Linear-by-Linear Association
.001
1
.978
N of Valid Casesb
200
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
1.000
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.07. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1-sided)
.574