FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH : ASTRIANDA NIM : 108101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H / 2012 M
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH : ASTRIANDA NIM : 108101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H / 2012
Daftar Riwayat Hidup
Nama
: Astrianda
Tempat, Tanggal Lahir
: Bogor, 26 Oktober 1991
Alamat
: Jalan M. Tadjir Rt: 04 Rw: 06 No.7 Kelurahan: Serua Kecamatan: Bojongsari Kota: Depok
Kode Pos
: 16517
Agama
: Islam
Golongan Darah
:A
No. Telepon
: (021) 7430415 / 085710556254
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan: 1996 – 2002
: SDN Serua 03, Depok
2002 – 2005
: SMP Al-Hasra, Depok
2005 – 2008
: SMA Al-Hasra, Depok
2008 – 2013
: S1 – Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Oktober 2012 Astrianda, NIM : 108101000054 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 xii+116 Halaman, 11 Tabel, 4 gambar, 3 Lampiran ABSTRAK Dermatitis kontak merupakan salah satu jenis dari penyakit kulit akibat kerja. Salah satu pekerja yang berisiko untuk mengalami dermatitis kontak adalah pekerja bengkel motor, yang diakibatkan dari paparan penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Disain studi penelitian ini yaitu cross sectional. Sampel penelitian ini adalah seluruh total populasi yaitu sebanyak 101 pekerja bengkel. Analisis data yang digunakan yaitu uji Chi Square, uji t-independent dan uji MannWhitney. Variabel yang diteliti yaitu lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene. Pekerja bengkel motor yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 37,6%, sedangkan pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 62,4%. Ada dua faktor yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak yaitu riwayat penyakit kulit (P value 0,000) dan riwayat alergi (P value 0,018). Untuk mengantisipasi risiko dermatitis kontak, sebaiknya pemilik bengkel menyediakan fasilitas cuci tangan yang memadai, mengawasi personal hygiene pekerja dan menyediakan APD bagi pekerja terutama sarung tangan. Sedangkan untuk pekerja, meningkatkan personal hygiene dan menggunakan sarung tangan selama bekerja. Daftar Bacaan : 42 (1996-2012)
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SIENCES PUBLIC HEALTH DEPARTMENT OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Thesis, October 2012 Astrianda, NIM : 108101000054 Related Factors of Contact Dermatitis Incident on Motorcycle Repair Workers at East Ciputat Region in 2012 xii + 116 pages, 11 table, 4 image, 3 attachment ABSTRACT Contact dermatitis is one type of occupational skin disease. One of the workers at risk for contact dermatitis is motorcycle repair workers, caused of exposure to use battery acid (sulfuric acid), petroleum products such as degreasers, lubricants, oil, petrol, and cooling system fluid. Based on the results of a preliminary study at East Ciputat region in 2012, there are 7 (70%) of the 10 motorcycle repair workers with contact dermatitis. The purpose of this study was to find out the factors related to contact dermatitis on motorcycle repair workers at East Ciputat region in 2012. The design of this study was cross sectional. Sample of this study is the total population of as many as 101 repair workers. Data analysis is used by the chi-square test, t-independent test and MannWhitney test. The variables studied is prolonged of contact, frequency of contact, working period, age, history of atopy, history of skin disease, history of allergy, and personal hygiene. Motorcycle repair workers with contact dermatitis are 37,6%, and workers who did not have contact dermatitis are 62.4%. There are two factors that have a significant relationship with contact dermatitis, that is a history of skin disease (P value 0.000) and history of allergy (P value 0.018). To anticipate the risk of contact dermatitis, workshop owners should provide an adequate hand washing facilities, oversee the personal hygiene of workers, and provide of PPE for workers, especially gloves. As for the workers, improving personal hygiene and use of gloves during work. The reading list : 42 (1996-2012)
ii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012”. Adapun penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam Kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapkan terimakasih kepada : 1. Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan ridha-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini. 2. Prof. Dr (Hc). dr. MK. Tadjudin, SP.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat. 4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat. 5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sekaligus sebagai pembimbing pertama yang telah memberikan ilmunya, dan banyak membantu dalam memberi masukan dan dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai. 6. Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA selaku pembimbing kedua yang telah banyak membantu dalam memberi masukan dan dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai.
iii
7. Para dosen penguji skripsi yaitu ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Bp. dr. Yuli Prapanca Satar, MARS dan ibu dr. Rahmania Diandini, MKK. Terimakasih atas saran dan masukan yang telah diberikan selama menguji sidang skripsi. 8. Semua dosen pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. Terimakasih atas ilmu-ilmu yang kalian berikan selama penulis kuliah di UIN Jakarta. 9. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan semangat, do’a dan dukungan, serta kakaku Mareny dan abangku Reggy terimakasih atas do’a dan support kalian semua. 10. Keluarga dan juga sahabatku dirumah Sarah, Ayu, & Gita. Terimakasih atas semangat dan dukungan yang diberikan. 11. Team penelitian DK yaitu Sofia, Riska, Via yang juga merupakan sahabat terbaik, serta Niswah sahabat terbaik juga yang selalu bersama-sama berjuang dengan penulis selama mengerjakan skripsi dan turun lapangan penelitian, terimakasih atas semangat, dukungan, dan bantuan akomodasinya. 12. Rahmi, Aresh, Nadya, Dea dan semua teman Kesmas UIN Jakarta angkatan 2008 (Stoopelth) khususnya peminatan K3, terimakasih atas semangat dan support kalian semua. 13. Terimakasih kepada bapak Gozali selaku Adm. pada prodi Kesmas, dan untuk semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini. 14. Dan juga terimakasih kepada someone special “M” yang turut membantu penulis dalam hal waktu, tenaga dan meteril serta tidak pernah bosan memberikan nasihat, saran, support dan semangatnya kepada penulis. Penulis menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, namun semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Oktober, 2012
Penulis
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK …………………………………………………………………..
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………
iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang …………………………………………………...
1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………..
8
1.3 Pertanyaan Penelitian …………………………………………….
9
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum ………………………………………………
10
1.4.2 Tujuan Khusus ……………………………………………...
10
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel. ........................................................
11
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat .....................
12
1.5.3 Bagi Peneliti ... ...................................................................
12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………….
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pekerjaan Bengkel Motor ………………………………………..
14
2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja ………………………………...
14
2.1.2 Bahaya Kesehatan Kerja ……………………………………
15
v
2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja ..........................................................
16
2.2.1 Penyebab Penyakit Kulit Akibat Kerja ……………………
17
2.2.2 Diagnosis Penyakit Kulit Akibat Kerja ……………………
18
2.2.2.1 Anamnesis …………………………………………..
18
2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis ………………………………….
19
2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium ………………………….
19
2.2.2.4 Uji Tempel/Patch Test ……………………………….
20
2.3 Dermatitis Kontak . ........................................................................
21
2.3.1 Anatomi Kulit ………………………………………………
21
2.3.1.1 Epidermis ……………………………………………
22
2.3.1.2 Dermis ……………………………………………….
22
2.3.1.3 Lapisan Subkutis …………………………………….
23
2.3.2 Fungsi Kulit ………………………………………………...
24
2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja ……………………………
24
2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan …………………………….
26
2.3.3.1.1 Patogenesis …………………………………….
27
2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis ……………………………..
28
2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik …………………………..
29
2.3.3.2.1 Patogenesis …………………………………….
30
2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis ……………………………..
31
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 2.4.1 Lama Kontak ……………………………………………….
32
2.4.2 Frekuensi Kontak …………………………………………..
33
2.4.3 Bahan Kimia ……………………………………………….
34
2.4.4 Masa Kerja ……………………………………………….. .
35
2.4.5 Usia …………………………………………………………
37
2.4.6 Jenis Kelamin ………………………………………………
37
2.4.7 Ras …………………………………………………………
38
vi
2.4.8 Riwayat Atopi ……………………………………………..
39
2.4.9 Riwayat Penyakit Kulit …………………………………….
40
2.4.10 Riwayat Alergi …………………………………………….
41
2.4.11 Musim …………………………………………………….
42
2.4.12 Tipe Kulit …………………………………………………
42
2.4.13 Pengeluaran Keringat ……………………………………..
43
2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan ……………………………………..
43
2.4.15 Suhu dan Kelembaban ……………………………………
44
2.4.16 Personal Hygiene …………………………………………
44
2.4.17 Pemakaian APD …………………………………………..
46
2.5 Kerangka Teori . ............................................................................
47
BAB III KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep .........................................................................
49
3.2 Definisi Operasional ....................................................................
55
3.3 Hipotesis ………………………………………………………...
58
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Disain Penelitian ..........................................................................
59
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………..
59
4.3 Populasi dan Sampel ……………………………………………
59
4.4 Instrumen Penelitian 4.4.1 Lembar Pemeriksaan Fisik Dermatitis Kontak ……………
64
4.4.2 Kuesioner ………………………………………………….
64
4.4.3 Lembar Observasi …………………………………………
64
4.5 Pengumpulan Data ………………………………………………
65
4.6 Pengolahan Data 4.6.1 Coding …………………………………………………….
65
vii
4.6.2 Editing (Penyuntingan Data) ………………………………
66
4.6.3 Entry ……………………………………………………….
66
4.6.4 Cleaning …………………………………………………..
66
4.7 Analisis Data 4.7.1 Analisis Univariat …………………………………………
67
4.7.2 Analisis Bivariat …………………………………………..
67
BAB V HASIL 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……………………………………
69
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak ………………….
72
5.2.2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak ………………………………………..
72
5.2.2.1 Lama Kontak ……………………………………..
73
5.2.2.2 Frekuensi Kontak …………………………………
73
5.2.2.3 Masa Kerja ………………………………………..
74
5.2.2.4 Usia ……………………………………………….
74
5.2.2.5 Riwayat Atopi …………………………………….
75
5.2.2.6 Riwayat Penyakit Kulit …………………………..
76
5.2.2.7 Riwayat Alergi ……………………………………
76
5.2.2.8 Personal Hygiene ……………………………….
76
5.3 Analisis Bivariat ………………………………………………..
77
5.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……..
78
5.3.2 Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……..
79
viii
5.3.3 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……..
79
5.3.4 Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………………….
80
5.3.5 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……..
82
5.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……..
82
5.3.7 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……..
83
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ………………………………………...
84
6.2 Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………………
85
6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……………………………………..
92
6.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak …………………………….
92
6.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak …………………………….
95
6.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………………….
98
ix
6.3.4 Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………………….
102
6.3.5 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………………….
105
6.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………..
108
6.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak ………………………………………..
110
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan …………………………………………………………
114
7.2 Saran ……………………………………………………………..
115
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi ………………..
25
Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja ……………
27
Tabel 2.3 Jenis Alergen yang Umum Terdapat di Tempat Kerja …. ……..
30
Tabel 3.1 Definisi Operasional ……………………………………………
55
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ………………………………………
63
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……………………………………..
72
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia dan Masa Kerja) Pada Pekerja Bengkel Motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……………
73
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Alergi, dan personal hygiene) Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……………
75
Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak dan masa kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………………………...
78
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……………
80
Tabel 5.6 Analisis Hubungan Antara (riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……………………………………..
81
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Kulit ……………………………………………….
21
Bagan 2.1 Kerangka Teori …………………………………………………
48
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ………………………………………………
54
Gambar 6.1 Kelainan Kulit Tangan Pekerja Bengkel Motor ……………..
91
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai sistem organ tubuh yang paling luas, kulit tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Kulit membangun sebuah barrier yang memisahkan organ-organ internal dengan lingkungan luar, dan turut berpartisipasi dalam banyak fungsi tubuh yang vital. Kulit merupakan cerminan dari keadaan umum pasien, banyak kondisi sistemik dapat disertai dengan manifestasi dermatologik (Smeltzer & Bare, 2001). Masalah pada kulit merupakan salah satu penyakit yang termasuk kedalam penyakit akibat kerja. Terjadinya penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit akibat kerja sering terjadi pada pekerja, terutama pada kelompok pekerja sektor informal. Penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit kerja di 5 (lima) benua tahun 1999, memperlihatkan bahwa penyakit gangguan otot rangka (Musculo Skeletal Disease) pada urutan pertama 48 %, kemudian gangguan jiwa 10-30 %, penyakit paru obstruksi kronis 11 %, penyakit kulit (Dermatosis) akibat kerja 10 %, gangguan pendengaran 9 %, keracunan pestisida 3 %, cedera dan lain-lain. Berdasarkan data tersebut, penyakit kulit akibat kerja menempati urutan ke-empat dalam penyakit akibat kerja (Lestari, 2008). Dermatosis akibat kerja/penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh1
2
pengaruh yang terdapat dalam lingkungan kerja. Gangguan kesehatan berupa dermatosis akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi (Siregar, 1996). Penyakit kulit akibat kerja merupakan salah satu kelompok utama penyakit akibat kerja dalam hal prevalensi. Meskipun penyakit kulit akibat kerja tidak mengancam jiwa, dampak ekonominya sangat besar. Dermatitis kontak merupakan salah satu bentuk dari dermatosis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering terjadi dari kelompok penyakit kulit (Ket & Leok, 2001). Insiden dari penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara adalah sama, yaitu 50- 70 kasus per 100.000 pekerja pertahun (Fathiya, 2011). Health and Safety Executive/HSE dalam Budiyanto (2010) menyatakan bahwa antara tahun 2001 sampai 2002 terdapat sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja. Menurut Trihapsoro (2003), di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi ke dokter kulit sebesar 4-7% diakibatkan oleh dermatitis kontak. Dermatitis tangan mengenai 2% dari populasi dan 20% wanita akan terkena setidaknya sekali seumur hidupnya. Anak-anak dengan dermatitis kontak 60% akan positif hasil uji tempelnya.
3
Sedangkan untuk prevalensi dari dermatitis kontak tidak diketahui secara pasti, tetapi dari hasil survai sebelumnya menunjukkan proporsi yang bermakna penyakit terkait-pekerjaan (hampir 50%) disebabkan oleh cedera akibat kerja, dan yang paling sering terkena adalah tangan. Dermatitis kontak memberikan beban ekonomik yang bermakna. Pada tahun 1975, survai di California menunjukkan bahwa 95% dari semua penyakit kulit terkait kerja adalah dermatitis kontak, yang pada gilirannya merupakan hampir dari 50% klaim pekerjaan pada tahun itu (Isselbacher et al, 1999). Dari seluruh penderita dermatitis kontak, 80% disebabkan karena dermatitis kontak iritan, sedangkan 10-20% disebabkan karena dermatitis kontak alergik. Berdasarkan laporan dari bagian Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dari tahun 1988-1991 insiden dermatitis kontak di Indonesia tercatat sebesar 4,45% (Sumantri dkk, 2008). Di Indonesia banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan dermatitis kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2007) dari 80 responden pada industri otomotif terdapat sebanyak 48,8% pekerja mengalami dermatitis kontak. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Nuraga, dkk (2008) pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 74% dari 54 responden. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Schnuch & Carlsen (2011), diantaranya yaitu dermatitis atopik/riwayat atopik, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Sedangkan menurut Djuanda dan Sularsito (2002), faktor yang mempengaruhi yaitu lama kontak,
4
frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi). Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007), ada 4 faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yaitu, jenis pekerjaan, usia, lama bekerja, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya. Sedangkan menurut Nuraga dkk (2008), ada faktor lain yang memiliki hubungan paling berpengaruh yaitu pemakaian APD terhadap pekerja yang mengalami dermatitis kontak. Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada umumnya dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor kimiawi, faktor mekanis/fisik, faktor biologis (Siregar, 1996). Dari faktor-faktor tersebut, faktor yang paling banyak disebabkan karena faktor kimiawi. Berdasarkan penelitian di United Kingdom (UK), ditemukan bahwa agen dengan jumlah tertinggi untuk kasus dermatitis kontak alergi adalah karet (23,4% kasus alergi dilaporkan oleh ahli kulit), nikel (18,2%), epoxies dan resin lainnya (15,6%), amina aromatik (8.6%), krom dan kromat (8.1%), pewangi dan kosmetik (8.0%), dan pengawet (7.3%). Sedangkan sabun (22,0% kasus), pekerjaan basah (19,8%), produk minyak bumi (8,7%), pelarut/solvent (8.0%), dan cutting oil dan pendingin (7.8%) adalah agen yang paling sering ditemukan dalam kasus dermatitis iritan (Meyer et al, 2000). Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara mengubah pH nya, bereaksi dengan protein-proteinnya (denaturasi), mengekstraksi lemak dari lapisan luarnya,
5
atau merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi kulit umumnya adalah hipersensitivitas tipe lambat (Anies, 2005). Motor sebagai alat transportasi yang murah dan cepat merupakan pilihan utama kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Jumlah kendaraan di wilayah Polda Metro Jaya yang membawahi wilayah Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang, tiap harinya bertambah 890 unit sehingga pada bulan September 2010 jumlahnya sudah mencapai 8,3 juta unit (Prambudi, 2010). Berdasarkan data dari AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) (2012), penjualan sepeda motor pada tahun 2011 tercatat mecapai 8 juta unit. Jumlah kepemilikan sepeda motor yang besar ini dapat memunculkan banyaknya layanan berbagai kebutuhan otomotif ataupun usaha bengkel perbaikan sepeda motor. Hal tersebut juga dapat memberikan peluang kepada orang lain yang juga ahli dalam menangani motor untuk bekerja sebagai mekanik dibengkel motor yang telah didirikan. Pekerja di bengkel motor merupakan salah satu pekerja yang memiliki risiko besar untuk terpapar dengan bahan kimia. Bahaya dan risiko yang ada harus diantisipasi oleh para pekerja bengkel motor yang bergerak pada sektor informal karena tidak adanya perhatian khusus dalam menangani masalah kesehatan yang terjadi. Salah satu penyakit yang bisa menjadi masalah untuk kesehatan pekerja bengkel motor adalah masalah yang terjadi pada kulit yaitu dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor diakibatkan oleh paparan penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin.
6
Accu zuur (H2SO4 pekat) merupakan salah satu contoh bahan kimia yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Berdasarkan data yang diperoleh dari dermatologis di UK, dari bulan Februari 1993 sampai bulan Januari 1999 terdapat 152 kasus dermatitis kontak pada mekanik motor dengan insiden rate 12,7/100.000 pekerja. Agen penyebab tertinggi kejadian dermatitis kontak pada pekerja mekanik motor yaitu dari produk minyak bumi sebesar 35,6% (Meyer et al, 2000). Penelitian di Indonesia menunjukkan angka prevalensi dermatitis kontak iritan (DKI) sebesar 2% dan prevalensi yang pernah mengalami riwayat DKI subjektif sebesar 64% pada pekerja bengkel mobil di Jakarta. Didapatkan perbedaan bermakna riwayat DKI subjektif antara pekerja yang kebersihan dirinya tidak baik dengan pekerja yang kebersihan dirinya baik (Lestari, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurzakky (2011) pada pekerja bengkel motor didapatkan hasil bahwa sebesar 65,7% pekerja bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni 2012 terhadap pekerja bengkel motor di Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan, terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis
7
kontak setelah mereka terpapar atau kontak dengan bahan kimia. Dari 7 pekerja tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas pada kulit, 14,3% kulit memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja bengkel tidak memakai APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciputat Timur karena Ciputat Timur merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk yang tertinggi berdasarkan data BPS Kota Tangerang Selatan tahun 2011 mencapai 11.589 jiwa/Km2 dengan penduduk berjumlah 178.818 jiwa. Dan sebagian besar usaha di Ciputat Timur terkonsentrasi pada pelayanan jasa. Berdasarkan hal tersebut memungkinkan banyaknya kepemilikan kendaraan bermotor di Ciputat Timur dan memunculkan banyaknya berbagai layanan service motor (bengkel). Pada observasi awal diketahui bahwa di Kecamatan Ciputat Timur terdapat 43 bengkel motor informal. Selain itu, UIN Syarif Hidayatullah terletak pada Kecamatan Ciputat Timur, sehingga hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan dilakukannya penelitian tersebut diharapkan dapat menemukan langkah-langkah upaya pencegahan dan pengendalian, agar kesehatan para pekerja bengkel motor terutama untuk kesehatan kulit dapat terjamin dan bisa bekerja dengan lebih produktif.
8
1.2 Rumusan Masalah Kejadian dermatitis kontak dapat disebabkan oleh beberapa faktor menurut Schnuch & Carlsen (2011), Djuanda dan Sularsito (2002), Lestari dan Utomo (2007), dan Nuraga, dkk (2008) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, masa kerja, jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni 2012 terhadap pekerja bengkel motor di Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan, terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak. Dari 7 pekerja tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas pada kulit, 14,3% kulit memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja bengkel tidak memakai APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya. Pekerjaan yang dilakukan oleh mekanik motor pada bengkel informal di Ciputat Timur terbatas pada pelayanan servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan, tune-up, Spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur.
9
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 2. Bagaimana gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 5. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 6. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 7. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 9. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
10
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 2. Diketahuinya gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 3. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 4. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 5. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
11
6. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 7. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 8. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 9. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pekerja bengkel mengenai gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel, selain itu dapat diketahui juga bagaimana upaya pencegahan dan pengendaliannya agar masalah kesehatan tersebut dapat teratasi sehingga membuat pekerja bengkel dapat bekerja dengan lebih baik dan produktif.
12
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi keilmuan K3, khususnya mengenai dermatitis kontak pada pekerja. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai informasi penelitian dan menambah referensi hasil penelitian untuk mahasiswa keselamatan dan kesehatan kerja. 1.5.3 Bagi Peneliti Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan penelitian bidang keselamatan dan kesehatan kerja, khusunya terkait dengan dermatitis kontak. Selain itu dapat menambah wawasan keilmuan mengenai dermatitis kontak dan faktor penyebab serta faktor yang mempengaruhinya. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa semester VIII peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
13
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan disain studi cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur dengan jumlah sampel 101 pekerja. Data penelitian didapatkan dengan cara pengambilan data primer melalui kuesioner, observasi, dan pemeriksaan fisik. Data tersebut kemudian dianalisis dengan uji univariat untuk memperoleh frekuensi jumlah dan persentase, dan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square, uji t-independent, dan uji Mann-Whitney.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pekerjaan Bengkel Motor Pekerjaan bengkel dapat dibagi menjadi tiga kategori, berdasarkan jenis mesin atau peralatan yang digunakan dan jumlah pekerja yang dipekerjakan. Misalnya, beberapa bengkel yang berada dalam satu perusahaan dengan 100 atau lebih karyawan, sementara bengkel lainnya sangat kecil, terutama yang terlibat dalam menjual bahan bakar dan membuat perbaikan kecil dan mempekerjakan satu atau dua pekerja. Ada juga bengkel yang dijalankan oleh pekerja keluarga saja. Selain dari perusahaan, ada juga bengkel yang bergerak pada sektor informal (Ghebreyohannes, 2005). Bengkel motor yang berskala kecil atau bengkel motor informal merupakan bengkel yang melayani melayani servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan, tune-up, spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Selain itu juga melayani reparasi hingga penggantian bahan pelumas/oli. 2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja Bahaya keselamatan didefinisikan sebagai zat (bahan baku), mesin atau peralatan yang bisa menyebabkan luka sederhana atau serius yang berpengaruh untuk ketidakhadiran kerja yang berlangsung setidaknya 24 jam. Jenis-jenis kecelakaan yang biasa terjadi adalah luka bakar pada 14
15
tangan dan kaki karena asam dehidrasi berat, kelelahan, amputasi, injeksi, pemotongan, abrasi, patah tangan atau endapan dan cedera mata (karena benda terbang). 2.1.2 Bahaya Kesehatan Kerja Bahaya kesehatan kerja didefinisikan sebagai kondisi patologis, apakah disebabkan oleh fisik, kimia atau biologis agen, yang muncul sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan atau lingkungan tempat dia bekerja. Bahaya kesehatan kerja di bengkel diantaranya yaitu pelarut organik dan anorganik, bahan kimia yang digunakan dalam membersihkan atau mencuci bagian mesin, dari pengisian baterai, lead yang digunakan dalam pengelasan, lead filler dan molten lead cair yang digunakan untuk mengisi keretakan dan penyok. Kejadian dermatitis sensitisasi telah dilaporkan dari penggunaan primer kromat seng dalam mereparasi bagian logam. Dermatitis kontak merupakan salah satu bahaya kesehatan yang terdapat pada pekerja bengkel. Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin (Frosh & John, 2011).
16
2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam lingkungan kerja (Siregar, 1996). Penyakit kulit dapat ditandai dengan ruam yang memiliki kesamaan letak yang terbatas ke daerah serangan eksternal. Menggaruk ruam karena gatal dapat menyebabkan perluasan daerah yang terpapar. Penggunaan berbagai salep dalam kombinasi dapat memperburuk daripada mengurangi gejala. Penggunaan sarung tangan dapat melindungi terhadap kontak dengan bahan kimia penyebab, tetapi penggunaan sarung tangan yang tidak tepat dapat menyebabkan bahan kimia dapat masuk diantara sarung tangan dan kulit tangan. Hal ini dapat memperburuk dermatitis kontak. Beberapa orang juga alergi terhadap lateks dan komponen lain dalam sarung tangan (Gardiner & Harrington, 2007). Di negaranegara industri, sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian tubuh lainnya juga kadang-kadang dapat mengalami dermatitis kontak. Kebanyakan kasus didiagnosis sebagai eksim atau dermatitis kontak (Waldron & Edling, 2004). Jenis penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut (Waldron & Edling, 2004): Subtipe eksim / dermatitis kontak Acne kontak dan folikulitis
17
Depigmentasi dan hyperpigmentasi Infeksi tumor jinak dan ganas - berbagai penyakit misalnya lichenoid reaksi.
2.2.1 Penyebab penyakit kulit akibat kerja Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor (Siregar, 1996): 1. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, allergen atau karsinogen. 2. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas, dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif. 3. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan produknya, jamur, parasit dan virus. 4. Faktor psikologis (kejiwaan), ketidakcocokan pengelolaan perusahaan sering menghambat konflik diantara pegawai dan dapat menimbulkan gangguan pada kulit seperti neurodermatitis. Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat penguapan air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar. Pigmen didalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mempermudah timbulnya kelainan kulit.
18
2.2.2
Diagnosis Penyakit Kulit Akibat Kerja Untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit kulit akibat kerja, sebagaimana penyakit lain, dilakukan (Siregar, 1996): a. Anamnesis b. Pemeriksaan klinis c. Pemeriksaan laboratorik d. Percobaan temple/uji temple
2.2.2.1
Anamnesis Yang perlu ditanyakan antara lain ialah:
Apakah sudah ada penyakit kulit sebelum masuk kerja di perusahaan yang sekarang.
Jenis pekerjaan penderita.
Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya.
Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama.
Riwayat alergi penderita atau keluarganya.
Proses produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang digunakan di tempat pekerjaan.
Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan.
Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang dipakai.
19
Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan dan temperatur.
Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit, dan lain-lain.
2.2.2.2
Pemeriksaan Klinis Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan
kontak bahan yang dicurigai, yang tersering ialah daerah yang terpajan, misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustulasi. Bila ada pertumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus. 2.2.2.3
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara
lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar. Pemeriksaan biopsy kulit kadang-kadang perlu dilakukan.
20
2.2.2.4
Uji Tempel/ Patch Test Karena penyakit kulit akibat kerja sebagian besar berbentuk
dermatitis kontak alergik (80%), maka uji tempel perlu dikerjakan untuk memastikan penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes tempel yang sudah standard an disebut unit uji tempel. Unit ini terdiri atas filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji diteteskan diatas unit uji tempel, kemudian ditutup dengan bahan impermeabel, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek plester. Hasil 0
: bila tidak ada reaksi
+
: bila hanya ada eritema
++
: bila ada eritema dan papul
+++
: bila ada eritema, papul, dan vesikel
++++ : bila ada edema, vesikel Dalam penilaian ini harus dapat dibedakan antara reaksi iritasi dan reaksi alergi, reaksi negatif semu dan reaksi positif semu, untuk itu diperlukan pengalaman dan penilaian khusus.
21
2.3
Dermatitis Kontak 2.3.1 Anatomi Kulit Kulit adalah massa jaringan terbesar di tubuh. Kulit bekerja melindungi dan enginsulasi struktur-struktur dibawahnya dan berfungsi sebagai cadangan kalori. Kulit mencerminkan emosi dan stress yang kita alami, dan berdampak pada penghargaan orang lain merespon kita. Selama hidup, kulit dapat teriris, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi. Kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih. Kulit terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing tersusun dari berbagai jenis sel dan fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut afalah epidermis, dermis, dan subkutis (Corwin, 2009).
Sumber : Craecker, 2008 Gambar 2.1 Anatomi Kulit
22
2.3.1.1 Epidermis Epidermis adalah lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus menerus mengalami mitosis, dan diganti sel baru sekurang-kurangnya setiap 30 hari. Epidermis mengandung reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu, getaran, dan nyeri. Komponen utama epidermis adalah protein keratin, yang dihasilkan oleh sel keratinosit. Keratin mencegah hilangnya air tubuh dan melindungi epidermis dari iritan dan mikroorganisme penyebab infeksi. Melanosit (sel pigmen) terdapat dibagian dasar epidermis. Melanosit mensintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respon terhadap rangsangan hormon hipifisis anterior. Sel-sel imun, yang disebut sel Langerhans, terdapat diseluruh epidermis. Sel langerhans mengenali partikel asing atau mikroorganisme yang masuk ke kulit, dan member sinyal pada limfosit T atas keberadaan partikel atau mikroorganisme tersebut untuk memulai suatu serangan imun (Corwin, 2009). 2.3.1.2 Dermis Dermis terletak tepat dibawah epidermis. Jaringan ini dianggap jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan protein kolagen dan elastin. Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringan dan palit (sebasea). Sel mast, yang mengeluarkan histamine selama cedera atau peradangan, dan makrofag, yang memfagositosis sel-sel mati dan
23
mikroorganisme, juga terdapat di dermis. Pembuluh darah di dermis menyuplai makanan dan oksigen dermis dan epidermis, dan membuang produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol temperaturnya (Corwin, 2009). Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan yaitu papilaris dan retikularis. Lapisan papilaris dermis berada langsung dibawah epidermis dan tersusun terutama dari sel-sel fibroblast yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari jaringan ikat. Lapisan retikularis terletak dibawah lapisan papilaris dan juga memproduksi kolagen serta berkas-berkas serabut elastic. Dermis sering disebut sebagai “kulit sejati” (Smeltzer & Bare, 2001). 2.3.1.3 Lapisan Subkutis Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri atas lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori selain lemak, dan dapat dipecah menjadi sumber energy jika diperlukan (Corwin, 2009). Lapisan subkutis/jaringan subkutan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh (Smeltzer & Bare, 2001).
24
2.3.2 Fungsi Kulit Fungsi kulit menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu diantaranya sebagai perlindungan, sensibilitas, keseimbangan air, pengaturan suhu, produksi vitamin, dan fungsi respon imun. 2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari semua kasus gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dapat dibagi ke dalam dermatitis kontak iritan, yang terjadi pada 80% kasus, dan dermatitis kontak alergi. Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis akan hadir sebagai lesi eczematous pada bagian tubuh yang terkena, terutama tangan (Sasseville, 2008). Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan dermatitis kontak merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-alergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitive terhadap allergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera diikuti oleh gejala edema, papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta pengelupasan kulit. Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terus-
25
menerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan terjadi. Ada dua tipe dermatitis kontak akibat kerja yaitu: 1.
Dermatitis kontak iritan
2.
Dermatitis kontak alergik Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi
Patogenesis
Individu yang terkena Onset Tanda
Gejala Konsentrasi kontaktan Pemeriksaan
Dematitis kontak iritan Efek sitotoksik langsung
Dermatitis Kontak Alergik Reaksi imun yang diperantai sel T
Semua orang
Hanya orang yang alergik
Langsung atau setelah paparan berulang terhadap iritasi lemah Subakut atau kronis ekzema dengan deskuamasi, fisura Nyeri atau rasa kulit terbakar tinggi
12-48 jam
gatal rendah
Tidak ada
Tes patch atau prick
Sumber : Sasseville (2008)
Akut hingga subakut ekzema dengan vesiculation
26
2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan Dalam Partogi (2008) dermatitis kontak iritan (DKI) adalah suatu proses inflamasi lokal pada kulit jika berkontak dengan zat yang bersifat iritan. Secara umum terdapat dua macam DKI yang bergantung dari jenis bahan iritannya, yaitu DKI akut dan kumulatif. Pada DKI akut, kerusakan kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan. Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan. Mencakup didalamnya adalah asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat. Sedangkan pada DKI kumulatif, kerusakan terjadi setelah beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama, yaitu terhadap zatzat iritan lemah seperti: air, deterjen, zat pelarut lemah, minyak dan pelumas. Zat-zat ini tidak cukup toksik untuk menimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan, melainkan secara perlahan-lahan hingga pada suatu saat kerusakannya mampu menimbulkan inflamasi. Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat multifaktorial.
27
Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja No Iritan 1 Asam dan Basa (Alkali) 2 Pelarut Alifatik : Minyak bumi, Minyak tanah, Bensin Aromatik : Benzena, Toluena, Xylene/Xilena Halogenasi : Kloroform, Trikloroetilen, Metil klorida Beberapa macam lainnya : Air, Alkohol, Keton, Glikol, Terpentin 3 4
5 6
Sabun dan Deterjen Plastik dan Resin Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina katalis Styrene, Benzoil peroksida Logam Nikel, Kromium, Kobalt, Platina, Arsenik Tanaman Bulu, Duri Kalsium oksalat : Dieffenbachia, Philodendron, Daffodil, Agave Fototoksik psoralen : Apiaceae, Rutaceae
7
Partikel Pasir, Serbuk gergaji, Fiberglass, Kikiran logam, dan lain-lain. Sumber : Sasseville (2008)
2.3.3.1.1 Patogenesis Mekanisme patogenesis DKI kumulatif dapat terjadi melalui dua cara yaitu melalui mekanisme kerusakan fungsi sawar kulit yang diperankan oleh stratum korneum dan pelepasan mediator akibat kerusakan keratinosit. Stratum korneum memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah sebagai lapisan sawar pelindung yang mencegah pelepasan cairan berlebih dari kulit. Fungsi integritas kulit bergantung pada kadar kelembaban stratum korneum.
28
Kerusakan akibat pajanan zat iritan dimulai dengan kerusakan lapisan lipid dan Natural Moisturizing Factor (NMF) sehingga terjadi kekeringan kulit, kemudian kelainan stratum korneum ini akan mengakibatkan kulit kehilangan fungsi sawarnya. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pajanan langsung sel kulit yang masih hidup terhadap zat iritan tersebut. Jika zat iritan telah dapat mencapai membrane lipid keratinosit, maka zat tersebut dapat berdifusi melalui membrane untuk masuk lisosom, mitokondria, atau komponen inti. 2.3.3.1.2
Manifestasi Klinis Penyebab kerusakan stratum korneum pada DKI kumulatif
adalah penurunan ambang kulit terhadap kerusakan berulang yang terjadi lebih cepat daripada waktu untuk penyembuhan sempurna fungsi sawar kulit. Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang terjadi melebihi “ambang manifestasi” tertentu, yang akan berbeda untuk setiap individu. Nilai ambang bukan angka yang tetap bagi individu, tetapi dapat menurun jika ada suatu penyakit. Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering terlihat oleh mata, secara histopatologik pada kulit sudah terjadi kerusakan. Karena DKI kumulatif disebabkan oleh zat kimia lemah, maka kelainan kulit yang diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi yang terjadi dapat merupakan gejala yang dapat diobservasi oleh penglihatan dan berupa keluhan subjektif. Lesi kulitnya berupa
29
eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi, skuama, hyperkeratosis, dan kulit pecah dengan batas yang tidak tegas. Sedangkan keluhan yang timbul dapat berupa gatal, panas, dan nyeri akibat pecahnya kulit yang hiperkeratotik. Lokasi kulit dimana saja dapat terkena, akan tetapi yang terbanyak adalah tangan. 2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergika merupakan suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan Antigen Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa mempersoalkan keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga meskipun stratum korneum intak, tidak dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak alergi pada individu yang sensitif (Hakim, 2004).
30
Tabel 2.3 Jenis Alergens yang Umum Terdapat di Tempat Kerja No Alergen Logam 1 Nikel, Kromium, Kobalt, Merkuri, Emas, Platinum 2 Karet Aditif Akselerator : Merkaptobenzotiazol, Karbamat, Thiurams, Tiourea Antioksidan : N-fenil-N-isopropil-paraphenylenediamine, dan lain-lain 3
4
5
6
Plastik dan Resin Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina, Anhidrida, dan Katalis peroksida Colophony, Terpentin, Katekol Biosida Formalin dan Formaldehid releasers Glutaraldehid Isothiazolinones Methyldibromoglutaronitrile Iodopropynyl butylcarbamate Kosmetik Paraphenylenediamine Gliseril thioglycolate Cocamidopropylbetaine Paraben dan pengawet lainnya (lihat biosida) Wewangian dan minyak esensial Tanaman Penta-dan Heptadecylcatehols Seskuiterpen lakton
Sumber : Sasseville (2008) 2.3.3.2.1
Patogenesis Di sini yang berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan
Coombs). Reaksi ini di bagi dalam dua fase yaitu, fase sensitisasi dan fase elisitasi. Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya mempunyai berat molekul kecil, larut dalam lemak dan ini di
31
sebut sebagai hapten. Hapten akan berpenetrasi menembus lapisan korneum sampai mencapai lapisan bawah epidermis. Hapten ini akan difagosit oleh sel Langerhans, kemudian hapten akan di ubah oleh enzim lisosom dan sitosolik yang kemudian berikatan dengan HLA-DR membentuk anti gen. HLA-DR dan anti gen ini akan di perkenalkan kepada sel limfosit T melalui CD4 (cluster of differentiation-4) yang akan mengenal HLA-DR dan CD3 (cluster of differentiation-3) yang akan mengenal anti gen tersebut. Sedangkan fase elisitasi di mulai ketika anti gen yang serupa, setelah difagosit oleh sel Langerhans dengan cepat akan di kenal oleh sel memori sehingga sel memori akan mengeluarkan IFN-g (interferon gamma) yang akan merangsang keratinosit yang akan menampakkan ICAM-1 dan HLA-DR pada permukaan keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit berikatan dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat LFA-1 (lymphocyte associated-1). 2.3.3.2.2
Manifestasi Klinis Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut di
mulai dengan bercak eritea berbatas jelas, kemudian di ikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit kering berskuama, papul likenifikasi dan mungkin juga fisura, batas tidak jelas.
32
2.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak Faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak yaitu lama kontak, frekuensi kontak dan bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, tipe/jenis kulit, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, masa kerja, jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban. 2.4.1
Lama Kontak Lama kontak dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito 2002). Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan (Nuraga, 2008). Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa pekerja dengan lama kontak 8 jam//hari lebih banyak menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Dari penelitian Ruhdiat (2006)
juga didapatkan bahwa perjalanan dermatitis
kontak akut, subakut, maupun kronis sering terjadi pada orang yang
33
mempunyai kontak selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak. Menurut Cohen (1999), lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2004) juga mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat.
2.4.2
Frekuensi Kontak Frekuensi kontak juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito, 2002). Menururt Cohen (1999), dermatitis kontak alergi dapat disebabkan karena adanya frekuensi yang terus-menerus dan berulang khususnya untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak alergi, dimana dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional biasanya disebabkan oleh bahan kimia dengan jumlah sedikit. Menurut Nuraga dkk (2008), upaya menurunkan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia merupakan salah satu upaya yang baik dilakukan untuk menurunkan kejadian dermatitis kontak.
34
Dalam penelitian Ruhdiat (2006), dermatitis kontak akut terbanyak terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan bahan kimia sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut banyak terjadi pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/ hari. Untuk dermatitis kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak bahan kimia diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, maka berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak hingga kronik. Pada penelitian itu disebutkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak. 2.4.3
Bahan Kimia Bahan kimia dapat bergabung dengan protein kulit dan menyebabkan kerusakan kulit (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Linins dalam Ruhdiat (2006) mengatakan bahwa bahaya bahan kimia adalah korosif (iritan) dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan langsung jaringan kulit iritasi sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun yang sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata, iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Bahan kimia korosif cairan basa merusak jaringan lunak lebih kuat dari pada asam anorganik. Bahan ini merusak lebih dalam pada jaringan lunak kulit dengan menimbulkan proses perlemakan dalam hitungan minggu, rasa nyeri
35
yang hebat dan melemahkan lapisan epidermis sehingga kulit menjadi lebih rentan terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat permulaan terpapar justru tidak timbul rasa sakit. Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang mana asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses perusakan jaringan lunak. Asam bereaksi sangat cepat dengan lapisan pelindung. Pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan membran mukosa dengan merusak jaringan lunak yang menyebabkan jalan masuk untuk terjadinya infeksi sekunder (Linins dalam Ruhdiat, 2006). 2.4.4
Masa Kerja Masa kerja merupakan lamanya pekerja bekerja pada suatu tempat. Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis kontak menunjukan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Pekerja yang memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤2 tahun memiliki peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja selama >2 tahun (Lestari dan Utomo, 2007). Cohen (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa
36
pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja kurang atau sama dengan 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaanya (Cahyawati dan Budiono, 2011). Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terusmenerus.
37
2.4.5
Usia Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Usia pekerja yang lebih tua menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis kronik (Cronin dalam Lestari dan Utomo, 2007). Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007), pekerja dengan usia yang lebih muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja dengan usia ≤ 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan pada usia > 30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.
2.4.6
Jenis Kelamin Dermatitis kontak sering terjadi pada perempuan (Wigger dalam Avivah, 2005). Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan di antara pasien dengan iritasi eksim pada tangan tingkatnya lebih tinggi pada wanita, tetapi kebanyakan penelitian eksperimental tidak dapat memastikan adanya
38
perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam hal akut atau reaktivitas kumulatif iritan. Persepsi umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih sensitif dibandingkan dengan pria. Dalam studi yang lebih baru, pria bereaksi terhadap paparan iritan yang lebih besar tingkatnya daripada wanita (Schnuch & Carlsen, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003), Dari 40 pasien yang diuji tempel bahwa ternyata jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%). 2.4.7
Ras Variasi antar etnis dalam reaksi iritan telah dinilai antara orang Asia dan Kaukasia, kulit hitam dan kulit putih, serta Hispanik dan Kaukasia. Beberapa studi telah dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki perbedaan reaktivitas iritan antara kulit hitam dan kulit putih. Studi dasar penilaian visual, telah dilaporkan penurunan reaktivitas pada kulit hitam, sedangkan studi dasar pada parameter obyektif telah menghasilkan peningkatan reaktivitas, kesamaan reaktivitas, ataupun penurunan reaktivitas, tetapi untuk sebagian besar penurunan reaktivitas pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. Lapisan korneum memainkan peran utama dalam perbedaan antar etnis yang diamati. Mungkin ada perbedaan struktural dalam stratum korneum antara kulit hitam dan kulit putih. Jumlah lapisan sel dan kohesi interseluler dari stratum korneum dilaporkan lebih besar pada kulit Hitam,
39
tetapi ketebalan stratum korneum sama. Lipid interseluler juga tampaknya lebih besar pada kulit Hitam. Jadi dapat dikatakan, kulit putih lebih rentan untuk terjadinya dermatitis (Schnuch & Carlsen, 2011).
2.4.8
Riwayat Atopi Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, missal dermatitis atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2007). Ada pengaruh yang signifikan antara riwayat atopik dengan timbulnya dermatitis kontak iritan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyani dkk (2010), didapatkan bahwa orang dengan riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatistis kontak iritan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan 41 orang (58,6%) menderita dermatitis kontak iritan (DKI) dan 29 orang ( 41,4%) tidak menderita DKI. Dari 41 orang yang menderita DKI, sebanyak 29 orang (41,4%) mempunyai latar belakang riwayat atopi dan sebanyak 12 orang (17,1%) tidak mempunyai latar belakang riwayat atopi. Dari hasil penelitian tersebut juga dikatakan bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang lebih besar yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Sularsito (2007) menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatitis kontak iritan
40
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Schnuch & Carlsen (2011) juga mengatakan bahwa pasien dengan riwayat dermatitis atopi tetapi tidak ada lesi aktif tidak menunjukkan reaktivitas meningkat dibandingkan dengan pasien dengan dermatitis atopi aktif. Hiperreaktivitas yang diamati pada pasien dermatitis atopi mungkin juga berkorelasi positif dengan keparahan penyakit. Kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada orang yang memiliki riwayat/dermatitis atopi mungkin sebagian dikarenakan oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi yang lebih besar. 2.4.9
Riwayat Penyakit Kulit Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis, merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Dari hasil penelitian Cahyawati dan Budiono (2011), menyatakan bahwa faktor riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Sumantri dkk (2008) memgatakan bahwa beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan
respon
kulit.
Adanya
penyakit
kulit
sebelumnya
dapat
41
menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis. 2.4.10 Riwayat Alergi Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Riwayat alergi dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja (Lestari dan Utomo 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyawati dan Budiono (2011) sebagian besar responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Dari data sebanyak 17 responden (85%) responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki alergi sebelumnya, sebaliknya 10 responden (50%) yang menderita dermatitis memiliki riwayat alergi sebelumnya.
42
2.4.11 Musim Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), faktor musim dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Menururt Gilles L et al (1990) dalam Situmeang (2008), musim panas dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran keringat oleh pekerja, selain itu dapat membuat pekerja menghindari pemakaian APD dan memakai pakaian kerja yang minim sehingga memungkinkan kontak langsung dengan bahan kimia secara mudah. Pada cuaca yang dingin, pekerja biasanya lebih malas untuk membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia. 2.4.12 Tipe kulit Kulit manusia dapat berbeda berdasarkan pada status pigmentasi dan kemampuan dalam penyamakan respon terhadap sinar matahari. Tidak ada perbedaan nilai ambang respon dalam iritan akut yang telah dicatat antara individu sesuai dengan jenis kulit mereka, tetapi pengukuran dosis eritema minimal tampaknya berkorelasi terbalik dengan tingkat reaksi terhadap paparan iritan (Schnuch & Carlsen, 2011). Ketebalan kulit juga dapat mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia. Selain itu, kulit yang berminyak lebih tahan terhadap at-zat yang larut dalam air, dibandingkan dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan yang bersifat asam atau basa (Gilles L et al (1990) dalam Situmeang, 2008).
43
2.4.13 Pengeluaran Keringat Tingkat efek dermatitis kontak tergantung dari beberapa faktor, salah satunya adalah berkeringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Gilles L et al (1990) dalam Situmeang (2008) mengatakan bahwa bahan-bahan iritan dapat diencerkan dan dihanyutkan oleh keringat yang keluar dari kulit, dan akan memudahkan absorbs melalui pori-pori kulit. 2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan Jenis proses pekerjaan merupakan berbagai macam tahap pekerjaan yang dilakukan pada suatu tempat pekerjaan yang sama. Jenis proses pekerjaan dapat mempengaruhi dermatitis kontak karena diantara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya memungkinkan adanya paparan bahan kimia yang berbeda jumlah konsentrasi dan lama paparannya. Semakin besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Priatna dalam Lestari dan Utomo, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2007), ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja pada proses
realisasi
lebih
banyak
yang
mengalami
dermatitis
kontak
dibandingkan dengan pekerja yang bekerja pada proses pendukung. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pekerja pada proses realisasi memiliki
44
peluang 3,358 (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di proses pendukung. 2.4.15 Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor fisik udara di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Djuanda & Sularsito, 2002). NIOSH dalam Ruhdiat (2006) merekomendasikan tentang kriteria untuk nyaman, suhu udara dalam ruang yang dapat diterima adalah berkisar antara 20-240C untuk musim dingin dan 23-260C untuk musim panas pada kelembaban 35-65%. Mc Beath dalam Ruhdiat (2006) mengatakan semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat dan asam kuat, sabun, dan detergen dan banyak bahan kimia organik diperberat dengan faktor turunnya kelembaban dan naiknya suhu lingkungan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Ruhdiat (2006), menunjukkan bahwa dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja didalam ruang yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%. 2.4.16 Personal Hygiene Personal
hygiene
juga
merupakan
faktor
yang
dapat
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Menurut Lestari dan Utomo (2007), salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak adalah personal hygiene. Dari hasil penelitiannya menunjukkan ada perbedaan proporsi antara pekerja yang mengalami
45
dermatitis dengan personal hygiene yang baik dengan pekerja yang mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang personal hygiene-nya kurang baik. Dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja yang memiliki personal hygiene kurang baik. Dalam hal ini, yang dimungkinkan menjadi penyebabnya personal hygiene kurang baik adalah masalah mencuci tangan. Kebiasaan mencuci tangan seharusnya dapat mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja, tetapi nyatanya pekerja masih bisa berpotensi untuk mengalami dermatitis meski sudah melakukan kebiasaan mencuci tangan. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya kesalahan dalam mencuci tangan (kurang bersih dalam mencuci tangan). Dalam
penelitian
Cahyawati
dan
Budiono
(2011)
juga
menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor personal hygiene dengan kejadian dermatitis kontak. Ada kecenderungan bahwa responden yang menderita dermatitis karena memiliki personal hygiene yang buruk, sebaliknya responden yang tidak menderita dermatitis sebagian besar memiliki personal hygiene baik. Menurut hasil penelitian Nurzakky (2011) sebesar 65,7% pekerja bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis
46
kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik. 2.4.17 Pemakaian APD Sebaiknya para pekerja diperlengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya dapat mengiritasi, merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang dapat dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata pelindung, sepatu, krim pelindung dan lain-lain (Siregar, 1996). Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan dermatitis kontak. Besarnya risiko kelompok pekerja yang kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan dengan kelompok pekerja yang menggunakan APD terhadap kejadian dermatitis kontak (positif) adalah 8,556. Artinya pekerja yang kadang-kadang memakai APD mempunyai risiko mengalamai dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar dari pekerja yang selalu menggunakan APD (Nuraga dkk, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cahyawati dan Budiono (2011) membuktikan bahwa ada hubungan antara pemakaian APD dengan kejadian dermatitis kontak. Pekerja yang cenderung memakai APD secara lebih baik, hasilnya rendah untuk berisiko mengalami dermatitis kontak.
47
Pemakaian alat pelindung diri, maka akan menghindarkan seseorang kontak langsung dengan agen-agen fisik, kimia maupun biologi. Kesesuaian APD juga perlu untuk diperhatikan. APD yang baik seharusnya dapat mengurangi potensi pekerja untuk terkena dermatitis kontak. Jika pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia walaupun telah mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang digunakan tidak sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia (Lestari dan Utomo, 2007). 2.5 Kerangka Teori Berdasarkan teori yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Djuanda dan Sularsito (2002) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi. Menurut Schnuch & Carlsen (2011), faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu dermatitis atopi/riwayat atopi, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti masa kerja dan jenis proses pekerjaan (Cohen, 1999), pemakaian APD (Siregar, 1996), riwayat alergi, musim dan personal hygiene (Hipp dalam Utomo, 2007), serta bahan kimia dan pengeluaran keringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Hal tersebut dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini:
48
1. Lama Kontak 2. Frekuensi Kontak 3. Bahan Kimia 4. Masa Kerja 5. Usia 6. Jenis Kelamin 7. Ras 8. Riwayat Atopi 9. Riwayat Penyakit Kulit
Dermatitis Kontak
10. Riwayat Alergi 11. Musim 12. Tipe Kulit 13. Pengeluaran Keringat 14. Jenis Proses Pekerjaan 15. Suhu 16. Kelembaban 17. Personal Hygiene 18. Pemakaian APD
Bagan 2.1 Kerangka Teori Djuanda dan Sularsito (2002), Cohen (1999), Gardiner Aw & Harrington (2007), Schnuch & Carlsen (2011), Siregar (1996), serta Hipp dalam Utomo (2007)
BAB III KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, jenis proses pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu dermatitis kontak. Sedangkan variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1. Lama Kontak Lama kontak dengan bahan kimia dapat meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Kontak yang lama dengan bahan kimia dapat menyebabkan kulit lapisan luar mengalami peradangan, dan jika kontak dengan bahan kimia semakin lama, akan semakin memungkinkan terjadinya peradangan pada kulit lapisan dalam. 2. Frekuensi Kontak Fekuensi kontak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Semakin banyaknya frekuensi paparan bahan kimia 49
50
terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit dari lapisan yang paling luar hingga dalam. 3. Masa Kerja Masa kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Selain itu, pekerja yang lebih lama telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia, sehingga kulitnya lebih tahan. Maka dari itu, pekerja yang belum lama bekerja memungkinkan untuk mengalami kejadian dermatitis kontak. 4. Usia Kejadian dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada pekerja yang lebih tua, karena kulitnya lebih rentan. Semakin bertambahnya usia maka kulit manusia akan mengalami degenerasi. Kulit akan menipis dan kehilangan lapisan lemak sehingga menjadi lebih kering. Hal tersebut menyebabkan kulit lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak. 5. Riwayat Atopi Riwayat atopi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Adanya riwayat atopi menjadikan kerentanan pekerja terhadap rekasi iritasi. Pada orang yang memiliki riwayat atopi akan dapat memperparah penyakit. Selain itu orang yang pernah memiliki dermatitis atopi disebabkan karena permeabilitas barrier dan respon kulit yang lebih besar, sehingga memudahkan terjadinya dermatitis.
51
6. Riwayat Penyakit Kulit Pekerja yang sebelumnya pernah menderita penyakit kulit merupakan hal yang utama untuk dapat terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Hal tersebut dikarenakan kulit pekerja menjadi sensitif, khususnya terhadap bahan kimia. Bahan kimia akan lebih mudah mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah mengalami dermatitis. 7. Riwayat Alergi Riwayat alergi juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja. Riwayat alergi dapat menjadikan kulit lebih rentan, sehingga dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada orang yang memiliki riwayat alergi. 8. Personal Hygiene Personal hygiene juga dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis kontak lebih mudah dialami oleh pekerja yang memiliki personal hygiene yang tidak baik, khususnya dalam hal kebiasaan mencuci tangan setelah kontak dengan bahan kimia.
Variabel independen yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1. Bahan Kimia Bahan kimia tidak menjadi variabel penelitian karena paparan bahan kimia disetiap bengkel motor jenisnya sama. Konsentrasi dari bahan kimia itu sendiri sulit untuk diteliti, karena dalam satu bengkel tidak hanya menggunakan
52
satu bahan kimia. Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), minyak, minyak pelumas, bensin, serta cairan pendingin. Kemudian kejadian dermatitis kontak itu sendiri ada yang bersifat kronik, sehingga tidak dapat dipastikan jenis dan konsentrasi paparan bahan kimia yang menyebabkan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel. Selain itu, pekerja bengkel motor selalu kontak dengan bahan kimia selama menangani motor, yang mana bahan kimia tersebut dapat menyebabkan dermatitis kontak. Maka dari itu bahan kimia tidak dijadikan variabel penelitian. 2. Jenis Kelamin Jenis kelamin tidak diteliti karena jenis kelamin pekerja bengkel motor adalah seluruhnya laki-laki. 3. Ras Ras tidak diteliti karena pekerja bengkel di Kecamatan Ciputat Timur memiliki ras yang sama. 4. Musim Faktor musim tidak diteliti karena homogen. Musim yang terjadi di Kecamatan Ciputat Timur sama. 5. Tipe Kulit Tipe kulit tidak diteliti karena penentuan tipe kulit sulit untuk dilakukan. Penentuan tipe kulit tidak cukup hanya secara subyektif berdasarkan pemeriksaan fisik oleh dokter, namun harus dilakukan uji laboratorium.
53
6. Pengeluaran Keringat Pengeluaran keringat tidak diteliti karena pada pekerja bengkel dimana tangannya selalu basah saat bekerja akibat paparan dengan minyak atau bensin pada alat bengkel akan sulit untuk menentukan kulit yang berkeringat secara subyektif. Hal tersebut dikhawatirkan hasilnya terdapat bias/rancu. 7. Jenis Proses Pekerjaan Jenis proses pekerjaan tidak diteliti karena dibengkel motor tidak ada pembagian kerja atau spesifikasi kerja, artinya satu pekerja mengerjakan semua pekerjaan. Jadi hasilnya akan homogen. 8. Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban tidak dijadikan variabel penelitian karena suhu dan kelembaban lingkungan di bengkel motor homogen, karena semua bengkel motor terletak di out door. 9. Pemakaian APD Variabel pemakaian APD tidak diteliti karena semua pekerja bengkel tidak menggunakan APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaan.
54
1. Lama Kontak
2. Frekuensi Kontak
3. Masa Kerja
4. Usia
Dermatitis Kontak
5. Riwayat Atopi
6. Riwayat Penyakit Kulit
7. Riwayat Alergi
8. Personal Hygiene
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
55
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No 1
Variabel Dermatitis Kontak
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Peradangan pada kulit akibat paparan Lembar bahan kimia selama melakukan pekerjaan, pemeriksaan dengan gejala berupa gatal, rasa terbakar, fisik kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit kering, mengelupas, kulit bersisik, dan terjadi penebalan pada kulit.
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Hasil Ukur
Skala
0. Dermatitis
Ordinal
1. Tidak Dermatitis
2
Lama Kontak
Lama waktu responden kontak dengan Kuesioner bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari kerja
Pengisian Kuesioner Jam/hari & Self Administered
Rasio
3
Frekuensi Kontak
Jumlah kontak pekerja dengan bahan Kuesioner kimia dalam satu hari kerja
Pengisian Kuesioner x/hari & Self Administered
Rasio
4
Masa Kerja
Kurun waktu atau lamanya responden Kuesioner bekerja sebagai pekerja bengkel motor sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung
Pengisian Kuesioner Bulan & Self Administered
Rasio
56
No
Variabel
Definisi
Alat Ukur
5
Usia
Lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian berlangsung. Dibulatkan ke atas bila > 6 bulan, dan dibulatkan ke bawah bila < 6 bulan
6
Riwayat Atopi
Penyakit pada pekerja yang mempunyai Kuesioner riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi.
Pengisian Kuesioner & Self Administered
Peradangan pada kulit dengan gejala Kuesioner subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja.
Pengisian Kuesioner & Self Administered
7
Riwayat Penyakit Kulit
Kuesioner dan pengecekan KTP
Cara Ukur Pengisian Kuesioner
Hasil Ukur
Skala
Tahun
0. Berisiko ada atopi
Rasio
jika Ordinal
1. Tidak berisiko jika tidak ada atopi 0. Berisiko jika Ordinal ada riwayat penyakit kulit 1. Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
57
No 8
9
Variabel Riwayat Alergi
Personal Hygiene
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Reaksi tubuh pekerja yang berlebihan Kuesioner terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja.
Pengisian Kuesioner & Self Administered
Kebiasaan pekerja untuk membersihkan Lembar tangan sebelum dan setelah bekerja, observasi mencuci pakaian yang digunakan setelah bekerja, dan tidak adanya noda atau cipratan bahan kimia di pakaian pekerja saat bekerja. Dikatakan baik apabila pekerja memenuhi semua kriteria tersebut.
Pengamatan langsung oleh peneliti
Hasil Ukur
Skala
0. Berisiko jika Ordinal ada alergi 1. Tidak berisiko jika tidak ada tidak alergi 0. Tidak baik 1. Baik
Ordinal
58
3.3 Hipotesis 1.
Ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
2.
Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
3.
Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
4.
Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5.
Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
6.
Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
7.
Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan disain studi cross sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu penelitian dimana variabelvariabel yang termasuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi atau diteliti sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini pengambilan variabel dependen dan variabel independen dilakukan dalam waktu yang bersamaan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 pada bengkel motor yang terdapat di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan. 4.3 Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah pekerja bengkel motor yang bekerja pada bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan yang berjumlah 101 pekerja. Sedangkan sampel yang diambil adalah pekerja bengkel
59
60
motor yang dapat mewakili populasi. Pengambilan besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus uji beda dua proporsi seperti dibawah ini:
Keterangan : n
: Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P
: Rata-rata proporsi pada populasi {(P1 + P2)/2}
P1
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P2
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96 Z1-β
: Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 95% = 1,64
Pada penelitian ini, tingkat kepercayaan yang digunakan peneliti adalah 95% dengan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 95%. Besar sampel yang dibutuhkan dihitung berdasarkan variabel yang akan diteliti dengan mengacu pada variabel yang diteliti oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut: 1.
Lama kontak Berdasarkan hasil penelitian dari Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam/hari yaitu
61
sebesar 70,37%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak < 8 jam/hari yaitu sebesar 3,70%. 2.
Frekuensi kontak Berdasarkan hasil penelitian dari Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak > 7 jam/hari yaitu sebesar 64,81%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≤ 7 jam/hari yaitu sebesar 9,25%.
3.
Masa kerja Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada masa kerja ≤ 2 tahun yaitu sebesar 66,7%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada masa kerja > 2 tahun yaitu sebesar 36,2%.
4.
Usia Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang berusia ≤ 30 tahun sebesar 60,5%, dan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang berusia > 30 tahun sebesar 35,1%.
5.
Riwayat atopik Berdasarkan hasil penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat atopik yaitu sebesar 46,2%, sedangkan proporsi pada populasi yang
62
mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang memiliki riwayat atopik yaitu sebesar 27,7%. 6.
Riwayat penyakit kulit Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit yaitu sebesar 81,8%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit yaitu sebesar 43,5%.
7.
Riwayat alergi Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang memiliki riwayat alergi yaitu sebesar 57,7%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi yaitu sebesar 44%.
8.
Personal hygiene Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang kurang baik yaitu sebesar 51,8%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang baik yaitu sebesar 41,7%. Berdasarkan uraian diatas, telah didapatkan besar sampel yang dibutuhkan
berdasarkan variabel melalui perhitungan software sample size dengan hasil perhitungan seperti dalam tabel 4.1.
63
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel dengan Uji Beda Dua Proporsi Variabel Lama kontak Frekuensi kontak Riwayat atopik Riwayat penyakit kulit Riwayat alergi
Personal hygiene
Diketahui P1 = 70,37% = 0,7037 P2 = 3,70% = 0,037 P = 0,37 P1 = 64,81% = 0,6481 P2 = 9,25% = 0,0925 P = 0,37 P1 = 46,2% = 0,462 P2 = 27,7% = 0,277 P = 0,365 P1 = 81,8% = 0,818 P2 = 43,5% = 0,435 P = 0,6265 P1 = 57,7% = 0,577 P2 = 44,4% = 0,444 P = 0,510 P1 = 51,8% = 0,518 P2 = 41,7% = 0,417 P = 0,4675
Sampel total 11 17 174 39 365 632
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, jumlah besar sampel yang memungkinkan untuk diambil yaitu sebanyak 39 pekerja. Kemudian dari hasil tersebut dihitung kembali berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian Lestari & Utomo (2007). Dari penelitian itu, telah didapatkan pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 51,3%. Maka perhitungan sampelnya sebagai berikut : 39 = (51,3 / 100) x N N = 39 x (100 / 51,3) N = 76
64
Jadi sampel minimum yang dapat diambil untuk mewakili populasi adalah sebesar 76 orang. Namun untuk lebih dapat mengeneralisir maka sampel yang diambil adalah seluruh total populasi yaitu 101 orang. 4.4 Instrumen Penelitian 4.4.1 Lembar Pemeriksaan Fisik Dermatitis Kontak Untuk
mengetahui
atau
mendiagnosis
pekerja
yang
mengalami/tidak mengalami dermatitis kontak, maka harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesis yang dilakukan oleh dokter disertai dengan gejala-gejala klinis yang dirasakan oleh pekerja. 4.4.2 Kuesioner Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik yang digunakan sebagai alat pengumpulan data untuk memperoleh suatu informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian (Notoatmodjo, 2005). Kuesioner dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh informasi dari responden mengenai lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja,
usia,
riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi. 4.4.3 Lembar Observasi Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui informasi mengenai personal hygiene. Lembar observasi
65
disiapkan dengan menggunakan daftar pertanyaan agar observasi dapat terarah dan data yang diperlukan benar-benar diperoleh. 4.5 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pekerja bengkel motor dengan menggunakan alat ukur berupa lembar pemeriksaan fisik, kuesioner, dan lembar observasi. Lembar pemeriksaan fisik digunakan untuk mendiagnosa kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Kuesioner digunakan untuk mengetahui lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi. Sedangkan untuk lembar observasi digunakan untuk mengetahui personal hygiene. 4.6 Pengolahan Data Seluruh data yang terkumpul kemudian dioleh melalui tahap-tahap sebagai berikut : 4.6.1 Coding Proses pemebrian kode kepada setiap variabel yang dikumpulkan agar mempermudah pengolahan data selanjutnya. Pengkodean variabel tersebut yaitu: a.
Dermatitis kontak : 0 = Dermatitis ; 1 = Tidak dermatitis
b.
Riwayat atopi : 0 = Berisiko jika ada atopi ; 1 = Tidak berisiko jika tidak ada atopi
66
c.
Riwayat penyakit kulit : 0 = Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit 1 = Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
d.
Riwayat alergi : 0 = Berisiko jika ada alergi ; 1 = Tidak berisiko jika tidak ada alergi
e.
Personal Hygiene : 0 = Tidak baik ; 1 = Baik
4.6.2 Editing (Penyuntingan Data) Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap jawaban. Penyuntingan data ini dilakukan sebelum proses pemasukan data. 4.6.3
Entry Proses pemasukan data kedalam program atau fasilitas analisis data
didalam komputer berdasarkan klasifikasi. 4.6.4
Cleaning Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga data siap untuk diolah dan dianalisis.
67
4.7 Analisis Data 4.7.1 Analisis Univariat Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel dependen dan variabel independen. 4.7.2 Analisis Bivariat Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan melakukan uji Chi Square untuk variabel dengan bentuk kategorik – kategorik. Variabel yang dianalisis dengan uji Chi Square yaitu riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi. Uji T-test digunakan untuk menganalisis variabel bentuk numerik – kategorik dengan data yang berdistribusi normal. Variabel yang dianalisis menggunakan uji T-test yaitu usia. Sedangkan uji Mann-Whitney untuk menganalisis variabel bentuk numerik – kategorik dengan data yang tidak berdistribusi normal, variabelnya yaitu lama kontak, frekuensi kontak dan masa kerja.
68
Persamaan Chi Square:
dF = (k-1) (b-1)
Keterangan : X2
= Chi Square
O
= Nilai observasi
E
= Nilai ekspektasi
k
= Jumlah kolom
b
= Jumlah baris Metode analisis ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya.
Jika P value ≥ 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variabel. Sebaliknya jika P value < 0.05 maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat hubungan antara kedua variabel.
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian Semua bengkel motor informal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur terletak di area outdoor. Pekerja bengkel yang terdapat pada satu bengkel berkisar dari 1 hingga 13 mekanik, tergantung pada besar kecilnya bengkel motor tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, semua bengkel informal tersebut terbatas pada pelayanan servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan, tune-up, spare parts, sampai servis besar (turun mesin), juga mengerjakan beberapa pekerjaan reparasi, serta penggantian bahan pelumas/oli. Satu pekerja bengkel biasanya mengerjakan semua jenis pelayanan tersebut. Jenis paparan bahan kimia yang terdapat di bengkel motor berasal dari Accu Zuur dengan bahan dasar asam sulfat (H2SO4 pekat), air accu (ammonium, nitrat, besi, tembaga) dengan pH 6-7, serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin dimana bahan-bahan tersebut mengandung petroleum (minyak bumi) dan gasoline. Setelah melakukan observasi awal sebelum penelitian, di wilayah Kecamatan Ciputat Timur terdapat 43 bengkel motor informal dengan jumlah keseluruhan pekerja sebanyak 112 orang. Namun pada saat penelitian berlangsung populasinya menjadi 101 pekerja. Dari populasi pekerja bengkel di Ciputat Timur tersebut, semua dimasukkan kedalam sampel penelitian ini. 69
70
Waktu kerja bagi pekerja bengkel di Ciputat Timur dapat dikatakan tidak tentu, tidak mengikuti aturan jam kerja seperti 8 jam/hari. Bisa diperkirakan waktu kerja mereka dimulai dari pukul 8 atau 9 pagi hingga pukul 4 atau 5 sore. Namun ada juga beberapa bengkel yang buka dari pukul 8 hingga pukul 10 malam, sehingga waktu kerja bagi pekerjanya bisa mencapai 13/14 jam/hari. Akan tetapi, dikarenakan bengkel tersebut bukan jenis bengkel resmi, maka para pekerja bisa datang dengan semaunya terutama bagi pemilik bengkel yang juga sebagai mekanik. Proses atau unit kerja pada pekerja bengkel motor seperti dalam melakukan servis motor, para pekerja biasanya terpapar dengan bahan kimia seperti minyak pelumas, bensin, oli, serta gemuk. Peralatan bengkel yang digunakan untuk servis terletak pada suatu wadah dan direndam dengan cairan bahan kimia tersebut. Dari peralatan dan cairan pada wadah tersebutlah bahan kimia tersebut dapat memapar pekerja bengkel. Selain itu pada saat pengisian air accu ataupun penggantian bahan pelumas atau oli, akibat adanya cipratan atau tetesan bahan kimia tersebut saat mengganti dan menuangkan air accu atau oli kedalam motor dapat memapar tangan pekerja bengkel, karena pekerja tidak memakai sarung tangan. Semua pemilik bengkel tidak menyediakan tempat cuci tangan yang baik, seperti terdapat keran air sehingga ada air bersih yang mengalir, sabun cuci tangan, hingga lap khusus tangan. Jika tersedia mungkin letaknya jauh dari tempat mereparasi. Namun yang tersedia hanya berupa wadah berisi air untuk mencuci tangan, dan mungkin jika dilihat air tersebut telah keruh oleh bahan-bahan kimia
71
yang terdapat dibengkel setelah pekerja mencuci tangan, kemudian air dalam wadah tersebut tidak langsung kembali diganti dengan air bersih. Berdasarkan hasil observasi pekerja mencuci tangan hanya ketika istirahat dan makan, setelah melakukan reparasi tidak semua pekerja langsung mencuci tangan. Pekerja mencuci tangannya tidak menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun cuci tangan, namun terlebih dahulu mereka mencuci tangan dengan bensin untuk menghilangkan noda-noda, dan terkadang menggunakan sabun lalu dibilas dengan air. Selain itu, setelah melakukan observasi diketahui bahwa semua pekerja bengkel motor tidak ada yang menggunakan sarung tangan selama bekerja.
72
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak Hasil penelitian yang diperoleh mengenai kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Kejadian Dermatitis Kontak
Frekuensi
Persentase (%)
Ya
38
37,6
Tidak
63
62,4
Jumlah
101
100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 101 pekerja bengkel, 38 (37,6%) pekerja mengalami dermatitis kontak sedangkan 63 (62,4%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. 5.2.2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis konak diantaranya yaitu lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene. Gambaran untuk
73
faktor lama kontak, frekuensi kontak, usia dan masa kerja dapat dilihat pada tabel 5.2 dibawah ini: Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia dan Masa Kerja) pada Pekerja Bengkel Motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 No
Variabel
Mean
SD
Min-Max
1
Lama Kontak
5,19 jam/hari
1,815 jam/hari
2 jam/hari – 10 jam/hari
2
Frekuensi Kontak
6,49 kali/hari
2,759 kali/hari
2 kali/hari – 15 kali/hari
3
Masa Kerja
72,48 bulan
65,917 bulan
1 bulan – 300 bulan
4
Usia
28,91 tahun
7,915 tahun
15 tahun – 50 tahun
5.2.2.1 Lama Kontak Lama kontak diketahui dari lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam hitungan jam selama satu hari kerja. Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata lama pekerja bengkel motor kontak dengan bahan kimia adalah 5,19 jam/hari dengan standar deviasi 1,815 jam/hari. Lama kontak terendah yaitu 2 jam/hari, sedangkan lama kontak tertinggi yaitu 10 jam/hari. 5.2.2.2 Frekuensi Kontak Frekuensi kontak diketahui dari jumlah kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia di tempat kerja selama satu hari kerja. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata frekuensi kontak pekerja bengkel motor
74
dengan bahan kimia yaitu 6,49 kali/hari dengan standar deviasi 2,759 kali/hari. Frekuensi kontak terendah yaitu 2 kali/hari, sedangkan frekuensi tertinggi yaitu 15 kali/hari. 5.2.2.3 Masa Kerja Lama kerja diketahui dari lamanya bekerja sebagai pekerja bengkel motor sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung dalam hitungan bulan. Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja bengkel motor yaitu 72,48 bulan dengan standar deviasi 65,917 bulan. Masa kerja terendah yaitu 1 bulan, sedangkan masa kerja tertinggi yaitu 300 bulan. 5.2.2.4 Usia Usia merupakan lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian berlangsung. Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa ratarata usia pekerja bengkel motor adalah 28,91 tahun dengan standar deviasi 7,915 tahun. Usia pekerja bengkel motor terendah yaitu 15 tahun, sedangkan usia tertinggi yaitu 50 tahun.
75
Untuk gambaran dari faktor riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini : Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Alergi, dan personal hygiene) pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 No
Variabel
Kategori
1
Riwayat Atopi
2
Riwayat Penyakit Kulit
3
Riwayat Alergi
4
Personal Hygiene
Frekuensi
Persentase (%)
Ada
22
21,8
Tidak Ada
79
78,2
Ada
64
63,4
Tidak Ada
37
36,6
Ada
23
22,8
Tidak Ada
78
77,2
Tidak Baik
101
100
0
0
Baik
5.2.2.5 Riwayat Atopi Riwayat
atopi
merupakan
penyakit
pada
pekerja
yang
mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi. Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat atopi adalah 22 (21,8%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi yaitu 79 (78,2%) pekerja.
76
5.2.2.6 Riwayat Penyakit Kulit Riwayat penyakit kulit merupakan peradangan pada kulit yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja. Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat penyakit kulit yaitu 64 (63,4%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit yaitu 37 (36,6%) pekerja. 5.2.2.7 Riwayat Alergi Riwayat alergi merupakan reaksi tubuh pekerja yang berlebihan terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan yang pernah dialami oleh pekerja. Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat alergi yaitu 23 (22,8%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat alergi yaitu 78 (77,2%) pekerja. 5.2.2.8 Personal Hygiene Personal
hygiene
merupakan
kebiasaan
pekerja
untuk
membersihkan tangan sebelum dan setelah bekerja, pakaian yang digunakan dicuci setelah bekerja, dan tidak adanya noda atau cipratan bahan kimia pada pakaian pekerja. Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 101 (100%) pekerja memiliki personal hygiene yang tidak baik, dan variabel ini tidak dilanjutkan pada uji bivariat.
77
5.3 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen yaitu faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan variabel dependen yaitu kejadian dermatitis kontak. Uji yang digunakan untuk menganalisis variabel yang berdata numerik seperti lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja dan usia yaitu dengan menggunakan uji T-independent. Namun sebelum diuji, keempat variabel dilakukan uji normalitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel lama kontak, frekuensi kontak, dan masa kerja tidak berdistribusi normal, sehingga analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Sedangkan untuk menganalisis variabel yang berdata kategorik seperti riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil dari analisis hubungan antara lama kontak, frekuensi kontak, dan masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan digambarkan pada tabel 5.4.
78
Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak dan masa kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Kejadian Dermatitis Kontak No
Variabel
Ya
Tidak
Mean Rank
Mean Rank
P Value
1
Lama Kontak
50,16
51,51
0,820
2
Frekuensi Kontak
51,34
50,79
0,926
3
Masa Kerja
52,97
49,81
0,598
Tabel analisis hubungan antara lama kontak, frekuensi kontak, dan masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan dijelaskan pada sub bab dibawah ini. 5.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa Mean Rank lama kontak pada pekerja yang mengalami dermatitis sebesar 50,16, sedangkan yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 51,51. Hasil uji statistik lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak didapatkan P value sebesar 0,820, artinya pada α 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
79
5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa Mean Rank lama kontak pada pekerja yang mengalami dermatitis sebesar 51,34, sedangkan yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 50,79. Hasil uji statistik frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak didapatkan P value sebesar 0,926, artinya pada α 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 5.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa Mean Rank lama kontak pada pekerja yang mengalami dermatitis sebesar 52,97, sedangkan yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 49,81. Hasil uji statistik masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak didapatkan P value sebesar 0,598, artinya pada α 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
80
Pada sub bab dibawah ini akan memaparkan hasil analisis hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012. 5.3.4 Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Tabel 5.5 Analisis Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Kejadian Dermatitis Kontak
N
Mean (tahun)
SD
Ya
38
29.63
7.841
Tidak
63
28.48
7.990
P value
0.480
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 29.63 tahun dengan standar deviasi sebesar 7.841, sedangkan rata-rata usia pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 28.48 tahun dengan standar deviasi sebesar 7.990. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value sebesar 0.480, yang artinya pada 5% tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
81
Untuk hasil dari analisis hubungan antara riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan digambarkan pada tabel 5.6 Tabel 5.6 Analisis Hubungan antara (riwayat atopi, riwayat penyakit kulit dan riwayat alergi) dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 No
Variabel
Kategori
Kejadian Dermatitis Kontak Ya
1
Riwayat Atopi
2
Riwayat Penyakit Kulit
3
Riwayat Alergi
Total
P Value
Tidak
N
%
N
%
N
%
Ada
10
45,5
12
54,5
22
100
Tidak Ada
28
35,4
51
64,6
79
100
Ada
34
53,1
30
46,9
64
100
Tidak Ada
4
10,8
33
89,2
37
100
Ada
14
60,9
9
39,1
23
100
Tidak Ada
24
30,8
54
69,2
78
100
0,543
0,000
0,018
Tabel analisis hubungan antara riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.
82
5.3.5 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 22 pekerja yang memiliki riwayat atopi terdapat 10 (45,5%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 12 (54,5%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 79 pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi terdapat 28 (35,4%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 51 (64,6%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value sebesar 0,543, yang artinya pada 5% tidak ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 64 pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit terdapat 34 (53.1%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 30 (46.9%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 37 pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit terdapat 4 (10.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 33 (89.2%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value sebesar 0,000, yang artinya pada 5% ada
83
hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 23 pekerja yang memiliki riwayat alergi terdapat 14 (60.9%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 9 (39.1%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 78 pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terdapat 24 (30.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 54 (69.2%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value sebesar 0.018, yang artinya pada 5% ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
BAB VI PEMBAHASAN 6.2 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan penelitiannya yaitu : 1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional, sehingga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat. Namun desain ini efektif dari segi waktu dan biaya, serta sesuai dengan tujuan penelitian yang dilaksanakan, maka dari itu peneliti memilih disain ini. 2. Diagnosa kejadian dermatitis kontak dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik oleh dokter dengan hanya melihat gejala-gejala umum yang muncul, dan tidak dilakukan uji tempel untuk melihat penyebabnya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu penelitian. 3. Peneliti tidak meneliti konsentrasi dari setiap bahan kimia, sehingga tidak diketahui kekuatan bahan kimia tersebut dalam menyebabkan dermatitis kontak. Hal tersebut dikarenakan dalam satu bengkel banyak paparan bahan kimia sehingga peneliti sulit dalam mengetahui konsentrasi bahan kimia. 4. Hasil penelitian dipengaruhi oleh kejujuran, ingatan, dan kepastian responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti pada variabel lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, riwayat atopik, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi, sehingga sulit mengatasi bias informasi.
84
85
6.3 Kejadian Dermatitis Kontak Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam lingkungan kerja (Siregar, 1996). Dermatitis kontak merupakan salah satu jenis dari penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari semua kasus gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan (Sasseville, 2008). Dermatitis kontak ialah reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi nonalergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitive terhadap allergen kontak (Smeltzer & Bare, 2001). Hasil penelitian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 menunjukkan bahwa 38 (37,6%) pekerja dari 101 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak, dan 63 (62,4%) tidak mengalami dermatitis kontak. Dari 37,6% pekerja yang mengalami dermatitis kontak terdapat beberapa gejala-gejala awal seperti kulit terasa gatal dan kemerahan, hingga timbulnya kelainan kulit berupa papula, vesikel, kulit pecah-pecah (fissura), likenifikasi dan kulit mengelupas. Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan reaksi pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera diikuti oleh gejala edema, papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi
86
dan berubah menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta pengelupasan kulit. Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terusmenerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan terjadi. Proses/unit kerja pada pekerja bengkel motor seperti dalam melakukan servis motor, para pekerja biasanya terpapar dengan bahan kimia seperti minyak pelumas, bensin, oli, serta gemuk. Peralatan bengkel yang digunakan untuk servis terletak pada suatu wadah dan direndam dengan cairan bahan kimia tersebut. Dari peralatan dan cairan pada wadah tersebutlah bahan kimia dapat memapar pekerja bengkel. Selain itu pada saat pengisian air accu ataupun penggantian bahan pelumas/oli, akibat adanya cipratan atau tetesan bahan kimia tersebut saat mengganti/menuangkan air accu atau oli kedalam motor dapat memapar tangan pekerja bengkel, karena pekerja tidak memakai sarung tangan. Kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor terdapat pada bagian tangan yaitu di telapak tangan dan punggung tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan merupakan bagian tubuh yang selalu berkontak dengan bahan kimia di bengkel motor selama pekerja melakukan reparasi atau menangani motor. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh Waldron & Edling (2004), bahwa sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian tubuh lain juga kadangkadang dapat mengalaminya. Dermatitis kontak yang terjadi pada pekerja bengkel motor diakibatkan karena adanya kontak langsung dengan bahan kimia. Jenis
87
paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin (Frosh & John, 2011). Hasil distribusi frekuensi menunjukkan bahwa 100% pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 memiliki personal hygiene yang tidak baik. Berdasarkan hasil observasi, hampir semua pemilik bengkel tidak menyediakan tempat cuci tangan yang baik, seperti terdapat keran air sehingga ada air bersih yang mengalir, sabun cuci tangan, hingga lap khusus tangan. Namun yang tersedia hanya berupa wadah berisi air untuk mencuci tangan, dan mungkin jika dilihat air tersebut telah keruh oleh bahan-bahan kimia yang terdapat dibengkel setelah pekerja mencuci tangan, kemudian air dalam wadah tersebut tidak langsung kembali diganti dengan air bersih. Nuraga (2006) mengatakan bahwa kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu usaha pencegahan yang bermakna, namun perlu dilihat kualitas mencuci tangan serta fasilitas mencuci tangan yang baik seperti mudah terjangkau dan adanya sabun, dan lain-lain. Pekerja mencuci tangan hanya ketika istirahat dan makan, setelah melakukan reparasi tidak semua pekerja langsung mencuci tangan. Pekerja mencuci tangannya tidak menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun cuci tangan, namun terlebih dahulu mereka mencuci tangan dengan bensin untuk menghilangkan noda-noda, dan terkadang menggunakan sabun lalu dibilas dengan air. Hal-hal tersebut dimungkinkan dapat mempermudah terjadinya dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Menurut Cohen (1999), kebiasaan mencuci tangan yang
88
tidak sesuai prosedur akan menyebabkan kontak bahan kimia terhadap kulit menjadi lebih lama sehingga dapat lebih merugikan kulit. Terdapat beberapa pekerja yang setelah mencuci tangan tidak langsung mengeringkan tangan, atau jika mengeringkan tangan tidak menggunakan lap khusus tangan. WHO (2005) mengatakan bahwa, kebiasaan mengeringkan tangan setelah mencuci tangan juga dapat berperan mencegah semakin parahnya kondisi kulit karena tangan yg lembab. Kebiasaan mencuci tangan juga seharusnya dapat mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja, namun pada kenyataanya potensi untuk terkena dermatitis itu tetap ada. Kesalahan dalam melakukan cuci tangan dapat menjadi salah satu penyebabnya. Misalnya kurang bersih dalam mencuci tangan, sehingga masih terdapat sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan kulit pekerja. Selain itu, semua pakaian pekerja tidak ada yang bersih dari noda-noda minyak, pelumas, air aki, dan bahan kimia lainnya. Sebagian pekerja juga mengatakan bahwa pakaian yang mereka gunakan biasanya baru akan dicuci setelah 2 kali dipakai dalam 2 hari. Hipp dalam Utomo (2007) berpendapat bahwa mencuci pakaian juga merupakan salah satu usaha untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak. Sebaiknya pakaian kerja yang telah terkontaminasi bahan kimia tidak digunakan kembali sebelum dicuci. Akan lebih baik lagi jika pencucian baju kerja dilakukan setiap hari setelah digunakan. Selain itu cara pencucian perlu diperhatikan. Jangan mencampur/merendam baju kerja dengan pakaian yang dikenakan sehari-hari. Usahakan mencuci pakaian kerja dengan menggunakan mesin
89
cuci, namun cara manual tidak menjadi masalah asalkan setelah mencuci, tangan dibersihkan kembali dengan baik. Pencegahan dermatitis kontak seharusnya dimulai dari diri sendiri. Baik bagi pemilik bengkel maupun pekerjanya mungkin tidak mengetahui bagaimana menjaga kebersihan diri dengan baik. Jika mereka tahu dan mengerti mungkin mereka
mengabaikan
dan
menyepelekannnya,
sehingga
kesadaran
untuk
memperhatikan personal hygiene yang baik itu kurang. Seharusnya pekerja memiliki kesadaran yang tinggi akan kebersihan dirinya. Kesadaran dari pekerja untuk menjaga kebersihan dirinya sangatlah penting. Namun untuk meningkatkan kesadaran para pekerja bengkel, dibutuhkan juga kerjasama yang baik antara pemilik bengkel dengan para pekerjanya. Maka dari itu, disarankan pemilik bengkel menyediakan tempat khusus cuci tangan yang baik seperti wastafel atau keran air, kemudian sabun dan lap kusus untuk cuci tangan. Penyediaan sarana mencuci tangan tersebut diusahakan yang dekat dan terjangkau dari pekerja bengkel, dengan begitu mungkin pekerja bengkel akan lebih rajin untuk mencuci tangan sebelum ataupun setelah melakukan reparasi/menangani motor. Selain itu pemilik bengkel juga sebaiknya menyediakan sarung tangan yang sesuai untuk digunakan para pekerja bengkelnya saat melakukan reparasi/menangai motor agar menghindari kontak langsung dengan bahan kimia. Namun diikarenakan dalam penelitian di bengkel motor informal ini personal hygiene serta pemakaian APD tidak dapat diteliti hubungannya, maka disarankan
90
peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian pada bengkel yang bersifat formal atau resmi jika dimungkinkan terdapat perbedaan dengan bengkel yang tidak resmi. Dalam penelitian ini, peneliti tidak meneliti konsentrasi dari masingmasing bahan kimia yang digunakan. Untuk itu bagi peneliti selanjutnya disarankan agar meneliti konsentrasi dari bahan-bahan kimia yang digunakan dalam bengkel motor. Selain itu diagnosa dermatitis kontak disarankan ditentukan secara spesifik antara dermatitis kontak iritan atau dermatitis kontak alergi. Dalam penelitian ini ada 7 faktor yang diteliti hubungannya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Namun hanya ada 2 faktor yang memiliki hubungan terhadap kejadian dermatitis kontak yaitu riwayat penyakit kulit dan riwayat alergi. Hasil penelitian dari faktor-faktor tersebut akan dijelaskan pada sub bab pembahasan selanjutnya.
91
Gambar 6.1 Kelainan Kulit Tangan Pekerja Bengekel Motor
92
6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
6.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak Dalam penelitian ini, lama kontak dinyatakan dengan lamanya waktu responden kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari kerja. Lama kontak pada pekerja bengkel diketahui dengan menanyakan lamanya pekerja melakukan reparasi atau menangani motor dalam satu hari kerja. Lama kontak dengan bahan kimia dapat meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan bahan kimia akan semakin memungkinkan terjadinya dermatitis kontak. Berdasarkan hasil penelitian, pada tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata lama kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia selama satu hari kerja yaitu 5,19 jam/hari, dengan standar deviasi 1,815 jam/hari. Sedangkan lama kontak terendah yaitu 2 jam/hari dan yang tertinggi yaitu 10 jam/hari. Hasil analisis bivariat didapatkan P value sebesar 0,820, hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga dkk (2008), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat.
93
Menurut Cohen (1999), lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2004) juga mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat. Sama halnya dengan pendapat Nuraga dkk (2008) bahwa lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pada penelitian ini lama kontak tidak memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut dimungkinkan karena lama kontak pekerja dengan bahan kimia di bengkel motor sulit diukur. Kesulitan dalam mengukur lama kontak dikarenakan lama paparan bahan kimia di bengkel motor tidak tentu sehingga dimungkinkan adanya bias informasi dalam mengetahui lama kontak pekerja dengan bahan kimia. Lamanya kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia selama melakukan reparasi/menangani motor tidak selalu sama antara satu motor dengan motor lainnya dalam satu hari, hal itu tergantung pada proses kerja yang dilakukan. Selain itu, lama kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia juga tergantung pada jumlah motor yang ditangani selama satu hari. Hal itu lah yang mungkin bisa
94
mempengaruhi lama kontak menjadi tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Hal lain yang mungkin dapat mempengaruhi tidak adanya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak yaitu dari hasil ratarata lama kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia yang sebesar 5,19 jam/hari. Dalam penelitian Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa pekerja dengan lama kontak 8 jam/hari lebih banyak menderita dermatitis kontak dibandingkan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Ruhdiat (2006) juga mengatakan bahwa perjalanan dermatitis kontak akut, subakut, maupun kronis sering terjadi pada orang yang mempunyai kontak selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak. Dengan rata-rata lama kontak tersebut dimungkinkan belum dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak pada pekerja bengkel. Dapat dimungkinkan lama kontak yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak ini juga dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya. Pada pekerja dengan lama kontak dibawah rata-rata 5,19 jam/hari dan mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 21 (84%) dari 25 pekerja tersebut telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja dengan lama kontak dibawah rata-rata 5,19 jam/hari dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu didapatkan 17 (44,7%) dari 38 pekerja telah memiliki riwayat penyakit kulit
95
sebelumnya. Hal tersebut berarti bahwa kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama kontak dibawah rata-rata dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya. Sebagai upaya pencegahan terjadinya dermatitis kontak, maka selama melakukan reparasi/menangani motor, para pekerja bengkel disarankan untuk menjaga kebersihan diri khususnya mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir setiap kali selesai melakukan reparasi/menangani sebuah motor, agar bahan kimia yang menempel pada tangan dapat hilang dan tidak memapar kulit dengan lama. Selain itu para pekerja juga disarankan menggunakan sarung tangan untuk menghindari adanya kontak langsung dengan paparan yang lama terhadap kulit. 6.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak Frekuensi kontak merupakan jumlah kontak pekerja dengan bahan kimia dalam satu hari kerja. Frekuensi kontak pada pekerja bengkel motor diketahui dari jumlah motor yang direparasi atau ditangani dalam satu hari. Frekuensi kontak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Semakin banyaknya frekuensi paparan bahan kimia terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit. Hasil penelitian rata-rata frekuensi kontak pekerja bengkel motor dengan bahan kimia yaitu 6,49 kali/hari dengan standar deviasi 2,759 kali/hari. Frekuensi kontak terendah yaitu 2 kali/hari, sedangkan frekuensi
96
tertinggi yaitu 15 kali/hari, hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2. Berdasarkan hasil analisis bivariat, P value dari frekuensi kontak didapatkan sebesar 0,926, hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuraga dkk (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di perusahaan industri otomotif. Berdasarkan
hasil
penelitian
Ruhdiat
(2006)
pada
pekerja
laboratorium kimia di PT Sucofindo, dermatitis kontak akut terbanyak terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan bahan kimia sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut banyak terjadi pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/hari. Untuk dermatitis kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak bahan kimia diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, maka semakin berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak hingga kronik. Cohen (1999) mengatakan bahwa frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan
97
jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Namun pada penelitian ini frekuensi kontak tidak memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak. Sama halnya dengan lama kontak, frekuensi kontak yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor karena frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia di bengkel motor sulit diukur. Hal tersebut dikarenakan frekuensi paparan bahan kimia di bengkel motor tidak tentu sehingga dimungkinkan adanya bias informasi dalam mengetahui frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia. Frekuensi kontak pada pekerja bengkel motor tidak selalu konstan setiap harinya. Pada satu pekerja bengkel memiliki frekuensi kontak yang berbeda antara hari yang satu dengan hari yang lain. Frekuensi kontak tersebut tergantung pada jumlah motor yang ditangani para pekerja bengkel dalam satu hari, sehingga frekuensi dari masingmasing pekerja bengkel juga tidak dapat diketahui secara pasti. Dilihat dari rata-rata frekuensi kontak bahan kimia pada pekerja bengkel yaitu sebesar 6,49 kali/hari. Dapat dimungkinkan dengan rata-rata frekuensi kontak tersebut belum dapat mempengaruhi pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak. Hal itu dimungkinkan frekuensi kontak yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak dipengaruhi oleh adanya riwayat alergi. Pada pekerja dengan frekuensi kontak dibawah rata-rata 6,49 kali/hari dan mengalami dermatitis kontak didapatkan
98
sebanyak 8 (38,1%) dari 21 pekerja tersebut telah memiliki riwayat alergi. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja dengan frekuensi kontak dibawah rata-rata 6,49 kali/hari dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 5 (13,5%) dari 37 pekerja telah memiliki riwayat alergi. Hal tersebut berarti bahwa kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan frekuensi kontak dibawah rata-rata dipengaruhi oleh adanya riwayat alergi 6.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak Masa kerja dalam penelitian ini merupakan kurun waktu atau lamanya responden bekerja sebagai pekerja bengkel motor sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung dalam hitungan bulan. Masa kerja dilihat dari pertama kali pekerja bekerja sebagai mekanik motor di bengkel yang saat penelitian berlangsung. Namun, jika sebelumnya pekerja pernah bekerja sebagai mekanik motor pada bengkel lain, maka masa kerja ditambahkan dari lama bekerja pada bengkel sebelumnya. Pada tabel 5.2 dapat diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja bengkel motor yaitu 72,48 bulan dengan standar deviasi 65,917 bulan dengan masa kerja tertinggi yaitu 300 bulan. Hasil uji statistik bivariat masa kerja menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
99
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤2 tahun memiliki peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja selama >2 tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cahyawati dan Budiono (2011) juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa masa kerja ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di tempat pelelangan ikan. Cohen (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Jika dilihat dari perjalanan kejadian dermatitis kontak, pekerja yang baru dengan pengalaman yang sedikit mungkin tidak mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak. Hal tersebut dikarenakan seharusnya masa kerja yang lama yang lebih memungkinkan untuk bisa mempengaruhi
100
dermatitis kontak karena telah memiliki frekuensi kontak yang sering dan lama. Namun pada penelitian ini masa kerja menjadi tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak meski masa kerja pekerja bengkel yang hampir semua lebih dari 2 tahun/24 bulan. Para pekerja tersebut rata-rata telah bekerja sebagai pekerja bengkel motor sebelumnya, sehingga memiliki masa kerja yang lama. Telah diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur adalah 72,48 bulan atau berkisar sekitar 6 tahun. Berdasarkan hal itu, peneliti berasumsi bahwa mungkin pekerja bengkel motor dengan masa kerja yang lama telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang terpapar ke kulit karena seringnya kontak dengan bahan kimia selama melakukan pekerjaannya. Hal tersebut menjadikan pekerja lebih tahan terhadap paparan bahan kimia dan sehingga pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Akan tetapi tidak semua pekerja juga bisa mengalami resistensi. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011) bahwa masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat
101
kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terusmenerus. Masa kerja yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak dapat dimungkinkan juga dipengaruhi oleh adanya riwayat alergi. Pada pekerja dengan masa kerja dibawah rata-rata 72,48 bulan dan mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 9 (42,9%) dari 21 pekerja tersebut telah memiliki riwayat alergi. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja dengan masa kerja dibawah rata-rata 72,48 bulan dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 4 (9,1%) dari 44 pekerja telah memiliki riwayat alergi. Hal tersebut berarti bahwa kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan masa kerja dibawah ratarata dipengaruhi oleh adanya riwayat alergi. Namun bagi pekerja bengkel yang memiliki masa kerja lama dan tidak mengalami resistensi terhadap bahan kimia dapat mengalami dermatitis kontak. Hal tersebut dimungkinkan karena semua pekerja bengkel memiliki personal hygiene yang tidak baik serta tidak memakai pelindung berupa sarung tangan selama bekerja. Salah satu dari faktor tersebutlah yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak pada pekerja bengkel.
102
6.3.4 Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak. Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa rata-rata usia pekerja bengkel motor adalah 28,91 tahun dengan standar deviasi 7,915 tahun. Usia pekerja bengkel motor terendah yaitu 15 tahun, sedangkan usia tertinggi yaitu 50 tahun. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak memiliki rata-rata usia yaitu 29.63 tahun, sedangkan ratarata usia pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 28.48 tahun. Dari hasil tersebut juga didapatkan P value sebesar 0,480 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nuraga dkk (2008) yang mengatakan bahwa faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Berbeda dengan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007) yang menunjukkan adanya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja dengan usia ≤ 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan pada usia > 30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.
103
Namun menurut Cohen (1999) mengatakan bahwa kulit manusia mengalami
degenerasi
seiring
bertambahnya
usia.
Sehingga
kulit
kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Cronin dalam Lestari dan Utomo (2007) juga berpendapat yang sama bahwa, usia pekerja yang lebih tua menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis kronik. Berdasarkan teori diatas, maka yang lebih memungkinkan untuk mengalami dermatitis kontak yaitu pekerja dengan usia yang lebih tua. Namun pada penelitian ini didapatkan pekerja yang mengalami dermatitis kontak memiliki rata-rata usia yaitu 29.63 tahun, usia tersebut dapat dikatakan usia muda. Menurut Health & Safety Executive/HSE (2000) kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun. Pada usia tersebut, sel kulit lebih sulit menjaga kelembapannya karena menipisnya lapisan basal. Selain itu produksi sebum juga menurun tajam, sehingga banyak sel mati yang menumpuk karena pergantian sel menurun. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel rata-rata berada pada usia muda. Hal tersebut dikarenakan pekerja bengkel memiliki rata-rata usia sebesar 28,91 tahun, bisa dikataka pekerja bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur berada
104
pada usia muda. Namun meski begitu, tidak menutup kemungkinan pada pekerja yang lebih tua untuk mengalami dermatitis kontak, karena kulit pada orang yang tua yang telah mengalami degenerasi hingga menjadi lebih kering dan mudah untuk mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil observasi bahwa semua pekerja bengkel memiliki personal hygiene yang tidak baik dan kebiasaan bekerja tidak memakai sarung tangan, maka hal itu juga yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak, baik untuk pekerja muda ataupun pekerja yang lebih tua. Pada penelitian ini faktor umur menjadi tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut dimungkinkan karena rata-rata umur pada pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan rata-rata umur pada pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak hampir sama, rata-ratanya hanya berselisih 1 tahun. Hal lain juga dimungkinkan karena usia dipengaruhi oleh riwayat penyakit kulit sebelumnya. Pada pekerja dengan usia dibawah rata-rata 28,91 tahun dan mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 17 (89,5%) dari 19 pekerja tersebut telah memiliki riwayat
penyakit
kulit
sebelumnya.
Jumlah
tersebut
lebih
besar
dibandingkan pada pekerja dengan usia dibawah rata-rata 28,91 tahun dan mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 14 (42,4%) dari 33 pekerja telah mengalami dermatitis kontak. Hal tersebut berarti bahwa kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan usia dibawah rata-rata dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya. Untuk mencegah terjadinya
105
dermatitis kontak baik pada pekerja muda ataupun pekerja tua, maka disarankan para pekerja memiliki kesadaran untuk melakukan proteksi terhadap kulitnya, dengan cara menggunakan sarung tangan yang sesuai dan nyaman, serta menjaga kebersihan diri. 6.3.5 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, misal dermatitis atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2007). Dalam penelitian ini riwayat atopi dilihat dari penyakit pada pekerja yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi. Dari hasil distribusi riwayat atopi dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat atopi adalah 22 (21,8%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi yaitu 79 (78,2%) pekerja. Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa dari 22 pekerja yang memiliki riwayat atopi terdapat 10 (45,5%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 12 (54,5%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 79 pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi terdapat 28 (35,4%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 51 (64,6%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Pada penelitian ini, hasil analisis bivariat riwayat atopi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi
106
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruhdiat (2006) bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi terhadap terjadinya dermatitis kontak. Penelitian ini juga sejalan dengan Nuraga dkk (2008), yang mengatakan bahwa riwayat atopi keluarga tidak mempunyai pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak, baik jumlah terjadinya dermatitis kontak akibat kerja maupun perjalanan penyakit dermatitis kontak. Hal ini dikarenakan bahan kimia langsung menyebabkan iritasi pada kulit tanpa respons imun. Namun hasil penelitian Sulistyani dkk (2010) menunjukkan bahwa ada pengaruh antara riwayat atopi dengan timbulnya dermatitis kontak iritan di Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Hasil tersebut didapatkan bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena dermatitis kontak yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Sularsito (2007) menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki riwayat atopi akan lebih mudah terkena dermatitis kontak iritan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi. Menurut Schnuch & Carlsen (2011), kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada orang yang memiliki riwayat atau dermatitis atopi mungkin sebagian
107
dikarenakan oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi yang lebih besar. Riwayat atopi tidak memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Hal tersebut dimungkinkan karena jumlah pekerja yang memiliki riwayat atopi lebih sedikit mengalami dermatitis kontak dibandingkan dengan jumlah pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi yang juga mengalami dermatitis kontak. Peneliti berasumsi bahwa pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi namun mengalami dermatitis kontak mungkin telah lupa atau bahkan tidak jujur memiliki riwayat atopi. Hal lain yang dapat dimungkinkan riwayat atopi yang tidak berhubungan karena dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya. Pada pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi dan mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 25 (89,3%) dari 28 pekerja tersebut telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Persentase tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 25 (49%) dari 51 pekerja telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Hal tersebut berarti kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya.
108
6.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada penelitian ini riwayat penyakit kulit didefinisikan sebagai peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011) riwayat penyakit digunakan sebagai salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan seseorang. Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat penyakit kulit yaitu 64 (63,4%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit yaitu 37 (36,6%) pekerja. Berdasarkan hasil distribusinya menunjukkan bahwa dari 64 pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit terdapat 34 (53.1%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 30 (46.9%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 37 pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit terdapat 4 (10.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 33 (89.2%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
109
Pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit menjawab bahwa tanda dan gejala dari penyakit kulit tersebut berupa gatal, rasa panas (terbakar), kemerahan, hingga kulit mengelupas. Lokasi dari penyakit kulit yang mereka rasakan semua terbatas pada telapak tangan, punggung tangan, serta sela-sela jari tangan. Selain itu, pekerja juga mengatakan bahwa tidak pernah melakukan pengobatan, karena mereka menganggap penyakit kulit tersebut hal yang biasa dan bisa sembuh dengan sendirinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) yang menyatakan bahwa faktor riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Selain itu pada penelitian Lestari dan Utomo (2007) mengatakan bahwa antara pekerja yang memiliki riwayat dermatitis kontak akibat pekerjaan sebelumnya dengan yang tidak, menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna. Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis, merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Sejalan dengan yang dikatakan oleh Sumantri dkk (2008) bahwa beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit
110
sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis. Dengan adanya riwayat penyakit kulit, maka akan memudahkan pekerja bengkel untuk mengalami dermatitis kontak. Terjadinya dermatitis kontak tersebut juga mungkin didukung dari faktor personal hygiene yang tidak baik dan kebiasaan tidak menggunakan sarung tangan pada pekerja bengkel motor. Dalam menangani hal tersebut perlu didukung dari pihak pemilik bengkel. Oleh sebab itu disarankan pemilik bengkel untuk menyediakan sarana mencuci tangan yang baik dan terjangkau dari pekerja. Selain itu, pemilik bengkel harus selalu mengawasi dan mengatur pekerjanya untuk bekerja dengan aman, serta disediakannya sarung tangan bagi para pekerjanya. Pemilihan jenis sarung tangan yang disediakan untuk pekerja harus dengan mempertimbangkan sensitivitas individu. Sedangkan bagi para pekerja, untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak yaitu dengan menerapkan personal hygiene yang baik khususnya kebiasaan mencuci tangan setelah bekerja bagi para pekerja bengkel dan mengharuskan pekerja bengkel untuk menggunakan sarung tangan selama melakukan reparasi/menangani motor. 6.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak Riwayat alergi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai reaksi tubuh pekerja yang berlebihan terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh
111
misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Lestari dan Utomo (2007) mengatakan bahwa riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Pada penelitian ini didapatkan pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat alergi yaitu 23 (22,8%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat alergi yaitu 78 (77,2%) pekerja. Selanjutnya dari 23 pekerja yang memiliki riwayat alergi terdapat 14 (60.9%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 9 (39.1%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 78 pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terdapat 24 (30.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 54 (69.2%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Sejalan dengan penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak. Namun, dalam penelitian Lestari dan Utomo (2007) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi. Menurut Putro dalam Lestari dan Utomo (2007) beberapa pendapat menyatakan bahwa dermatitis kontak (terutama dermatitis kontak alergi)
112
akan lebih mudah timbul jika terdapat riwayat alergi sebelumnya. Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis. Dari semua pekerja yang memiliki riwayat alergi menjawab bahwa penyebab dari alergi tersebut berasal dari bahan kimia, makanan, serta obatobatan. Lokasi dari alergi yang mereka rasakan semua terbatas pada telapak tangan, punggung tangan, lengan tangan, sela-sela jari tangan, leher, hingga kaki. Selain itu, kebanyakan dari pekerja yang alergi mengatakan tidak pernah melakukan pengobatan. Namun ada juga pekerja yang melakukan pengobatan dengan memberikan salep hingga datang ke klinik untuk melakukan pemeriksaan agar dapat sembuh serta gejala dapat berkurang dan hilang. Dalam penelitian ini riwayat alergi berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak. Walaupun jika dilihat dari distribusinya bahwa pekerja yang memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis kontak proporsinya lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat namun mengalami dermatitis kontak. Hal tersebut berarti menandakan bahwa orang yang tidak memiliki riwayat alergi juga dapat mengalami dermatitis kontak, mungkin disebabkan karena faktor lain seperti personal
113
hygiene yang buruk. Hal lain yang dapat mempengaruhi yaitu karena pada pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi juga dapat mengalami dermatitis kontak dikarenakan sebanyak 20 (83,3%) dari 24 pekerja tersebut telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Hal tersebut berarti kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya. Untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak, disarankan pemilik bengkel menyediakan sarung tangan kepada para pekerjanya untuk menghindari terjadinya dermatitis kontak. Pemilihan jenis sarung tangan yang disediakan tersebut harus dengan mempertimbangkan sensitivitas individu. Penyediaan sarung tangan tersebut juga dapat ditujukan untuk menghindari luka-luka lain pada tangan pekerja akibat tergores bendabenda yang tajam selama melakukan reparasi. Selain itu disarankan bagi pekerja untuk memakai sarung tangan agar bahan kimia tidak memapar langsung ke kulit, khususnya bagi pekerja yang alergi terhadap bahan kimia.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Gambaran pekerja yang mengalami dermatitis kontak dari 101 pekerja bengkel yaitu 37,6% pekerja mengalami dermatitis kontak sedangkan 62,4% pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. 2. Gambaran dari faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak yaitu, rata-rata lama kontak dengan bahan kimia yaitu 5,19 jam/hari. Rata-rata frekuensi kontak dengan bahan kimia yaitu 6,49 kali/hari. Rata-rata masa kerja yaitu 72,48 bulan. Rata-rata usia pekerja yaitu 28,91 tahun. Pekerja yang memiliki riwayat atopi yaitu sebesar 21,8%. Pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit yaitu sebesar 63,4%. Pekerja yang memiliki riwayat alergi yaitu sebesar 22,8%. Seluruh pekerja tidak memiliki personal hygiene yang baik. 3. Hasil uji statistik menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah riwayat penyakit kulit (P value 0,000) dan riwayat alergi (P value 0,018).
114
115
7.2 Saran 1. Bagi Pekerja a) Para pekerja memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan dirinya selama bekerja dan menerapkan personal hygiene yang baik yaitu seperti mencuci tangan dengan benar, pakaian terhindar dari noda-noda dan pakaian selalu dicuci setiap kali selesai bekerja. b) Selama melakukan reparasi atau menangani motor, sebaiknya pekerja menggunakan sarung tangan yang sesuai agar dapat menghindari paparan langsung dari bahan kimia. 2. Bagi Pemilik Bengkel a) Pemilik bengkel sebaiknya menyediakan tempat mencuci tangan yang memadai seperti wastafel atau keran air serta sabun dan lap khusus tangan, agar pekerja bengkel dapat mencuci tangan dengan benar setelah melakukan reparasi motor. Sarana mencuci tangan tersebut juga disediakan dengan jarak yang terjangkau. b) Pemilik bengkel sebaiknya mengawasi dan mengatur para pekerjanya untuk bekerja dengan aman serta memperhatikan pekerjanya untuk menjaga kebersihan diri masing-masing. c) Tersedianya alat pelindung diri berupa sarung tangan yang sesuai dan nyaman, serta baju kerja untuk digunakan para pekerja bengkelnya selama melakukan reparasi atau menangani motor.
116
3. Bagi Peneliti Selanjutnya a) Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti konsentrasi bahan kimia di bengkel motor. b) Peneliti selanjutnya dapat mengelompokkan kejadian dermatitis kontak secara spesifik, yaitu dermatitis kontak iritan atau dermatitis kontak alergi. c) Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada bengkel yang formal atau resmi untuk mengetahui lebih jelas mengenai faktor personal hygiene dan pemakaian APD jika dimungkinkan terdapat perbedaan dengan bengkel yang bersifat tidak resmi.
DAFTAR PUSTAKA
Agius R. 2004. Practical Occupational Medicine. (online). http:// www.agius.com. Anies.
2005. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/21/ragam01.htm diakses pada tanggal 19 Juni 2012
Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI). 2012. Statistic: Motorcycle Production Wholesales Domestic and Exports. http://www.aisi.or.id/statistic/ Diakses pada tanggal 25 November 2012. Avivah. 2005. Hubungan Antara Pajanan Pestisida dengan Dermatitis Kontak Pada Petani Padi di Kecamatan Cilamaya Kulon Kabupaten Karawang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan. 2011. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka. Katalog BPS : 1102001.3674 Budiyanto, Cakro. 2010. Penyakit Kulit di Industri Percetakan. http://ackogtg.wordpress.com/2010/12/10/penyakit-kulit-di-industripercetakan/#more-475 Diakses pada tanggal 19 Juni 2012. Cahyawati, Imma Nur dan Irwan Budiono. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Kesmas 6 (2) : 134-141. Cohen DE. 1999. Occupational Dermatoses In: DiBerardinis LJ, editors. Handbook of Occupational Safety and Health, 2nd edition. Canada: John Wiley & Sons Inc: 697-737 Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Alih Bahasa: Nike Budhi Subekti. Jakarta : EGC. Craecker, Nele Roskams & Rik Op de Beeck. 2008. Occupational skin diseases and dermal exposure in the European Union (EU-25): policy and practice overview. Belgium : European Agency for Safety and Health at Work. Djuanda, Suria & Sri Adi Sularsito. 2002. Dermatitis, dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketiga, editor: Adhi Djuanda. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Fathiya, Inda. 2011. Dermatitis Kontak Iritan dengan Sekunder Infeksi Ec Sabun. http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=DERMATITIS+KONTAK+I RITAN+DENGAN+SEKUNDER+INFEKSI+EC+SABUN Diakses pada tanggal 19 Juni 2012. Frosh, P.J & S.M. John. 2011. Clinical Aspects of Irritans Contact Dermatitis in: Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L, editors. Contact Dermatitis 5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Gardiner Aw, T.C, K & J.M. Harrington. 2007. Pocket Consultant Occupational Health 5th edition. UK: Blackwell Publishing. Ghebreyohannes, T. 2005. Occupational Health and Safety in Garages. Afr Newslett on Occup Health and Safety, 15: 43-45. Hakim, Zainal. 2004. Penanganan Dermatitis Kontak Alergika. Majalah Kedokteran Andalas, Volume 28 No.1: 1-7. Health & Safety Executive (HSE). 2000. The Prevalence of Occupational Dermatitis Among Work in The Printing Industry and Your Skin. Hsebooks.co.uk. Isselbacher, Kurt J. et al. 1999. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 1. Alih Bahasa : Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC Ket, Ng See & Goh Chee Leok. 2001. The Principles and Practice of Contact and Occupational Dermatology in Asia Pacific Region. Singapore : Mainland Press. Lestari, Fatma & Hari Suryo Utomo. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Makara Kesehatan, volume 11 No. 2 : 61-68. Lestari, Ira Cinta. 2008. Penyakit Kulit Akibat Kerja. https://somelus.wordpress.com/2008/11/26/penyakit-kulit-akibat-kerja/ Diakses pada tanggal 26 Juni 2012. Lestari, Tara. 2009. Hubungan Accu Zuur dan Berbagai Faktor Resiko dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Bengkel Mobil. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Meyer, J.D, et al. 2000. Occupational contact dermatitis in the UK: a surveillance report from EPIDERM and OPRA. Occupational Medicine Volume 50 No.4:265-273. Notoatmodjo, soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nuraga, Fatma Lestari dan L. Meily Kurniawidjaja. 2008. Dermatitis Kontak Pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan, volume 12 No. 2 : 63-69. Nuraga, Wisnu. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di PT Moric Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Nurzakky, Muhammad. 2011. Pengaruh Kebiasaan Mencuci Tangan Terhadap Kejadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Tangan Pekerja Bengkel di Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=23621 Diakses pada tanggal 19 Juni 2012. Partogi, Donna. 2008. Dermatitis Kontak Iritan. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU. Medan. Prambudi, Shoim. 2010. Geliat Usaha Bengkel Motor. http://shoimprambudi.wordpress.com/2010/12/27/geliat-usaha-bengkel-motor/ Diakses pada tanggal 22 November 2012. Ruhdiat, Rudi. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pekerja Laboratorium Kimia di PT Sucofindo Area Cibitung Bekasi. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Sasseville, Denis. 2008. Occuational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology, Vol 4, No 2: 59–65 Schnuch, Axel & B.C. Carlsen. 2011. Genetics and Individual Predispositions in Contact Dermatitis in: Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L, editors. Contact Dermatitis 5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Siregar, RS. 1996. Dermatosis Akibat Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No. 107. Jakarta. Hal: 44-47. Situmeang, Suryani M Florence. 2008. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja Pencuci Botol di PT X Medan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan Smeltzer, Suzzane C & Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Alih Bahasa: Agung Waluyo. Jakarta : EGC.
Sularsito, SA. 2007. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Sulistyani, Fitria Indriani, dan Harijono Kariosentono. 2010. Pengaruh Riwayat Atopik terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Biomedika, Volume 2 No.2: 42-47. Sumantri, Hertanti Trias Febriani, dan Sriwahyuni T Musa. 2008. Dermatitis Kontak. Yogyakarta. Fakultas Farmasi UGM. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan Di RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Utomo, Hari Suryo. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja di Bagian Produksi dan Quality Control PT. Inti Pantja Press Industri. Skripsi. Universitas Indonesia Depok. Waldron, H.A & C. Edling. 2004. Occupational Health Practice 4th Edition. New York: Oxford Univercity Press. World Health Organization (WHO). 2005. WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care (Advance Draft): A Summary. Switzerland: WHO Press.
KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012 Assalamualaikum Wr. Wb Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian. Hasil penelitian ini merupakan tugas akhir dari peneliti untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Untuk itu, saya mengharapkan partisipasi Bapak/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini secara jujur dan lengkap. Pengisian
kuesioner
ini
tidak
akan
berpengaruh
terhadap
pekerjaan
Bapak/Saudara/i. Jawaban Bapak/Saudara/i dalam kuesioner ini akan dijaga kerahasiaannya. Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Saudara/i saya ucapkan terima kasih. Saya menyatakan bahwa saya telah membaca pernyataan diatas, dan saya setuju untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
Wassalamualaikum Wr.Wb. Ciputat Timur, Agustus 2012 Peneliti
(Astrianda)
Responden
(
)
No Responden
Tanggal
Identitas Responden Nama : Alamat : No. Telp./Hp : No A A1
A2
B B1
C C1 D D1
D2
Pertanyaan Lama Kontak Pernahkah anda kontak/bersentuhan dengan bahan kimia (minyak pelumas, air aki) selama proses pekerjaan anda? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan A2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan C1 Berapa lama anda bersentuhan/kontak dengan bahan kimia tersebut dalam satu hari? …………….jam/hari Frekuensi Kontak Berapa kali anda bersentuhan dengan bahan kimia tersebut dalam 1 hari? ………………x/hari Usia Pada tanggal, bulan, dan tahun berapa anda lahir? Tanggal…….., bulan…………………., tahun………… Riwayat Atopi Apakah anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” langsung ke pertanyaan E1, jika “tidak” lanjut ke pertanyaan D2. Apakah salah satu keluarga anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi? 1. Ya 2. Tidak
Kode
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
E E1
E2
E3
E4
F F1
Riwayat Penyakit Kulit Apakah sebelumnya anda pernah mengalami penyakit/peradangan pada kulit? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan E2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan F1 Bagaimana tanda dan gejala penyakit/peradangan kulit yang pernah anda alami? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Gatal ( ) b. Rasa terbakar ( ) c. Kemerahan ( ) d. Bengkak ( ) e. Lepuh kecil pada kulit ( ) f. Kulit mengelupas ( ) g. Kulit kering ( ) h. Kulit bersisik ( ) i. Penebalan pada kulit ( ) Pada bagian mana anda mengalami penyakit kulit tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( ) f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ………………………. Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan Alasan : ………………………………………………….. Riwayat Alergi Apakah anda pernah mengalami alergi pada kulit? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan F2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan G1.
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
F2
F3
F4
G G1 G2
G3
G4 G5
Apakah penyebab alergi tersebut? a. Bahan kimia b. Debu c. Logam d. Tanaman e. Obat f. Lainnya …………………………………. Pada bagian mana anda mengalami alergi tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( ) f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ………………………. Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan Alasan : ………………………………………………….. Masa Kerja Kapan anda mulai bekerja di bengkel motor ini? Bulan……………………, tahun…………………. Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan H3. Dimana anda bekerja sebelumnya? a. Bengkel motor ( ) b. Lainnya, sebutkan………….. Berapa lama anda bekerja ditempat tersebut? ……………… Apakah ditempat kerja anda sebelumnya ada kemungkinan anda kontak dengan bahan kimia? 1. Ya 2. Tidak
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
Lembar Observasi (dilakukan oleh peneliti) H Personal Hygiene 1 Pekerja mencuci tangan dengan air bersih dan sabun setelah melakukan pekerjaan? 1. Ya 2. Tidak 2 Pekerja mencuci tangan dengan benar? 1. Ya 2. Tidak 3 Pekerja mengeringkan tangan setelah mencuci tangan? 1. Ya 2. Tidak 4 Pekerja mengeringkan tangan menggunakan pengering/lap khusus tangan? 1. Ya 2. Tidak 5 Pakaian pekerja dicuci setelah melakukan pekerjaan? 1. Ya 2. Tidak 6 Pakaian pekerja bersih dari noda-noda minyak, pelumas, air aki, dan bahan kimia lainnya? 1. Ya 2. Tidak
Kode [ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Lembar Pemeriksaan Fisik No Nama Tanggal
: : Anamnesis/Pemeriksaan
Lokasi Dermatitis
Diagnosis
Paraf & Nama Dokter
1. Keluhan utama (gejala klinis) : Gatal Kemerahan Pembengkakan Vesikel/bullae Kulit kering bersisik Fissura (kulit pecah-pecah) Exudat (cairan bening / darah) Krusta/pengeringan dari krusta Lichenifikasi (kulit mengkilap) Sidik jari tidak tampak Hiperkeratosis (kapalen) Kerusakan kuku-kuku jari Infeksi 2. Riwayat keluhan : Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan : ya/tidak Apakah berkurang / hilang bila libur atau tidak kerja : ya/tidak Bertambah bila terus menerus bekerja dalam beberapa hari tanpa istirahat : ya/tidak Diisi oleh peneliti Hasil Diagnosis Dermatitis Kontak oleh Dokter 0. Dermatitis 1. Tidak dermatitis
Kode [ ]
1. Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Frequencies
Frequency Table a. Dermatitis Kontak Dermatitis Kontak
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Dermatitis
38
37.6
37.6
37.6
Tidak Dermatitis
63
62.4
62.4
100.0
101
100.0
100.0
Total
b. Lama Kontak Lama Kontak dengan Bahan Kimia Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
4
4.0
4.0
4.0
3
16
15.8
15.8
19.8
4
17
16.8
16.8
36.6
5
26
25.7
25.7
62.4
6
14
13.9
13.9
76.2
7
12
11.9
11.9
88.1
8
8
7.9
7.9
96.0
9
2
2.0
2.0
98.0
10
2
2.0
2.0
100.0
101
100.0
100.0
Total
c. Frekuensi Kontak Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.0
1.0
1.0
3
13
12.9
12.9
13.9
4
8
7.9
7.9
21.8
5
25
24.8
24.8
46.5
6
11
10.9
10.9
57.4
7
12
11.9
11.9
69.3
8
9
8.9
8.9
78.2
10
19
18.8
18.8
97.0
15
3
3.0
3.0
100.0
101
100.0
100.0
Total
d. Usia Usia Responden Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
15
1
1.0
1.0
1.0
17
6
5.9
5.9
6.9
19
1
1.0
1.0
7.9
20
4
4.0
4.0
11.9
21
4
4.0
4.0
15.8
22
7
6.9
6.9
22.8
23
3
3.0
3.0
25.7
24
6
5.9
5.9
31.7
25
9
8.9
8.9
40.6
26
2
2.0
2.0
42.6
27
6
5.9
5.9
48.5
28
3
3.0
3.0
51.5
29
5
5.0
5.0
56.4
30
10
9.9
9.9
66.3
31
5
5.0
5.0
71.3
32
4
4.0
4.0
75.2
33
2
2.0
2.0
77.2
34
2
2.0
2.0
79.2
36
2
2.0
2.0
81.2
37
2
2.0
2.0
83.2
38
4
4.0
4.0
87.1
40
3
3.0
3.0
90.1
42
4
4.0
4.0
94.1
44
3
3.0
3.0
97.0
50
3
3.0
3.0
100.0
101
100.0
100.0
Total
e. Riwayat Atopi Riwayat Atopi Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada atopi
22
21.8
21.8
21.8
Tidak berisiko jika tidak ada atopi
79
78.2
78.2
100.0
101
100.0
100.0
Total
f. Riwayat Penyakit Kulit Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
64
63.4
63.4
63.4
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
37
36.6
36.6
100.0
101
100.0
100.0
Total
g. Riwayat Alergi Riwayat Alergi Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Berisiko jika ada alergi
23
22.8
22.8
22.8
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
78
77.2
77.2
100.0
101
100.0
100.0
Total
h. Masa Kerja Masa Kerja Responden Frequency Valid
Cumulative Percent
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1
1.0
1.0
1.0
2
2
2.0
2.0
3.0
3
1
1.0
1.0
4.0
6
2
2.0
2.0
5.9
7
1
1.0
1.0
6.9
9
3
3.0
3.0
9.9
12
6
5.9
5.9
15.8
13
1
1.0
1.0
16.8
15
1
1.0
1.0
17.8
18
2
2.0
2.0
19.8
24
13
12.9
12.9
32.7
25
1
1.0
1.0
33.7
31
1
1.0
1.0
34.7
36
4
4.0
4.0
38.6
41
1
1.0
1.0
39.6
43
1
1.0
1.0
40.6
48
7
6.9
6.9
47.5
51
1
1.0
1.0
48.5
60
9
8.9
8.9
57.4
61
1
1.0
1.0
58.4
66
1
1.0
1.0
59.4
72
5
5.0
5.0
64.4
78
1
1.0
1.0
65.3
84
6
5.9
5.9
71.3
96
6
5.9
5.9
77.2
98
1
1.0
1.0
78.2
108
2
2.0
2.0
80.2
120
4
4.0
4.0
84.2
132
2
2.0
2.0
86.1
144
2
2.0
2.0
88.1
156
1
1.0
1.0
89.1
168
1
1.0
1.0
90.1
180
2
2.0
2.0
92.1
204
1
1.0
1.0
93.1
228
2
2.0
2.0
95.0
240
3
3.0
3.0
98.0
252
1
1.0
1.0
99.0
300
1
1.0
1.0
100.0
101
100.0
100.0
Total
2. Uji Normalitas Variabel Numerik
NPar Tests Descriptive Statistics N Lama Kontak dengan Bahan Kimia Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia Usia Responden Masa Kerja Responden
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
101
5.19
1.815
2
10
101
6.49
2.759
2
15
101 101
28.91 72.48
7.915 65.917
15 1
50 300
3. Analisis Hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak
NPar Tests Descriptive Statistics N Lama Kontak dengan Bahan Kimia Dermatitis Kontak
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
101
5.19
1.815
2
10
101
.62
.487
0
1
Mann-Whitney Test Ranks Dermatitis Kontak Lama Kontak dengan Bahan Dermatitis Kimia Tidak Dermatitis Total Test Statisticsa Lama Kontak dengan Bahan Kimia Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
1165.000 1906.000 -.228 .820
N
Mean Rank
Sum of Ranks
38
50.16
1906.00
63
51.51
3245.00
101
Test Statisticsa Lama Kontak dengan Bahan Kimia Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
1165.000 1906.000 -.228 .820
a. Grouping Variable: Dermatitis Kontak
4. Analisis Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak
NPar Tests Descriptive Statistics N Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia Dermatitis Kontak
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
101
6.49
2.759
2
15
101
.62
.487
0
1
Mann-Whitney Test Ranks Dermatitis Kontak Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Dermatitis
38
51.34
1951.00
Tidak Dermatitis
63
50.79
3200.00
Total
101
Test Statisticsa Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
1184.000 3200.000 -.092 .926
a. Grouping Variable: Dermatitis Kontak
5. Analisis Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak
NPar Tests Descriptive Statistics N Masa Kerja Responden Dermatitis Kontak
Mean 101 101
72.48 .62
Std. Deviation 65.917 .487
Minimum
Maximum 1 0
300 1
Mann-Whitney Test Ranks Dermatitis Kontak Masa Kerja Responden
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Dermatitis
38
52.97
2013.00
Tidak Dermatitis
63
49.81
3138.00
Total
101
Test Statisticsa Masa Kerja Responden Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
1122.000 3138.000 -.527 .598
a. Grouping Variable: Dermatitis Kontak
6. Analisis Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak
T-Test Group Statistics Dermatitis Kontak Usia Responden
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Dermatitis
38
29.63
7.841
1.272
Tidak Dermatitis
63
28.48
7.990
1.007
7. Analisis Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
Riwayat Atopi * Dermatitis Kontak
101
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 101
100.0%
Riwayat Atopi * Dermatitis Kontak Crosstabulation
Dermatitis Kontak Dermatitis Riwayat Atopi Berisiko jika ada atopi
Count % within Riwayat Atopi
Tidak berisiko jika tidak ada atopi Total
Count % within Riwayat Atopi Count % within Riwayat Atopi
Tidak Dermatitis
Total
10
12
22
45.5%
54.5%
100.0%
28
51
79
35.4%
64.6%
100.0%
38
63
101
37.6%
62.4%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
.735a
1
.391
Continuity Correction
.370
1
.543
Likelihood Ratio
.723
1
.395
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.458 .728
1
.394
101
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.28. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1sided)
.269
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Riwayat Atopi (Berisiko jika ada atopi / Tidak berisiko jika tidak ada atopi) For cohort Dermatitis Kontak = Dermatitis For cohort Dermatitis Kontak = Tidak Dermatitis N of Valid Cases
Lower
Upper
1.518
.583
3.954
1.282
.743
2.214
.845
.558
1.279
101
8. Analisis Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Riwayat penyakit kulit * Dermatitis Kontak
Missing
Percent 101
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 101
100.0%
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
17.888a
1
.000
Continuity Correction
16.130
1
.000
Likelihood Ratio
19.942
1
.000
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.000 17.710
1
.000
101
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.92. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1sided)
.000
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Riwayat penyakit kulit (Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit / Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit) For cohort Dermatitis Kontak = Dermatitis For cohort Dermatitis Kontak = Tidak Dermatitis N of Valid Cases
Lower
Upper
9.350
2.967
29.469
4.914
1.893
12.753
.526
.396
.698
101
9. Analisis Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Riwayat Alergi * Dermatitis Kontak
Missing
Percent 101
N
100.0%
Total
Percent 0
N
Percent
.0%
101
100.0%
Riwayat Alergi * Dermatitis Kontak Crosstabulation Dermatitis Kontak Dermatitis Riwayat Alergi
Berisiko jika ada alergi
Count % within Riwayat Alergi
Tidak berisiko jika tidak ada alergi Total
9
23
60.9%
39.1%
100.0%
24
54
78
30.8%
69.2%
100.0%
Count % within Riwayat Alergi
38
63
101
37.6%
62.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
6.857a
1
.009
Continuity Correction
5.635
1
.018
Likelihood Ratio
6.684
1
.010
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.014 6.790
1
Total
14
Count % within Riwayat Alergi
Tidak Dermatitis
.009
101
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.65.
Exact Sig. (1sided)
.009
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
6.857a
1
.009
Continuity Correction
5.635
1
.018
Likelihood Ratio
6.684
1
.010
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.014
Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
6.790
1
.009
101
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.65. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Riwayat Alergi (Berisiko jika ada alergi / Tidak berisiko jika tidak ada alergi) For cohort Dermatitis Kontak = Dermatitis For cohort Dermatitis Kontak = Tidak Dermatitis N of Valid Cases
Lower
Upper
3.500
1.333
9.192
1.978
1.240
3.156
.565
.332
.961
101
Exact Sig. (1sided)
.009
Select Cases Lama Kontak 1. Lama kontak < 5,19 & DK = 0 Statistics Riwayat penyakit kulit
N
Riwayat Alergi
Valid
25
25
Missing
0 .16 .00 0 1
0 .64 1.00 0 1
Mean Median Minimum Maximum
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
Valid Percent
Cumulative Percent
21
84.0
84.0
84.0
4
16.0
16.0
100.0
25
100.0
100.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit Total
Percent
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
9
36.0
36.0
36.0
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
16
64.0
64.0
100.0
Total
25
100.0
100.0
2. Lama kontak < 5,19 & DK = 1 Statistics Riwayat penyakit kulit N
Valid
Missing Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi
38
38
0 .55 1.00 0 1
0 .82 1.00 0 1
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
17
44.7
44.7
44.7
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
21
55.3
55.3
100.0
Total
38
100.0
100.0
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
7
18.4
18.4
18.4
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
31
81.6
81.6
100.0
Total
38
100.0
100.0
Select Cases Frekuensi Kontak 1. Frekuensi Kontak < 6,49 & DK = 0 Statistics Riwayat penyakit kulit
N
Valid
Missing Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi
21
21
0 .19 .00 0 1
0 .62 1.00 0 1
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
Valid Percent
Cumulative Percent
17
81.0
81.0
81.0
4
19.0
19.0
100.0
21
100.0
100.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit Total
Percent
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
8
38.1
38.1
38.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
13
61.9
61.9
100.0
Total
21
100.0
100.0
2. Frekuensi Kontak < 6,49 & DK = 1 Statistics Riwayat penyakit kulit N
Valid
Missing Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi
37
37
0 .54 1.00 0 1
0 .86 1.00 0 1
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
17
45.9
45.9
45.9
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
20
54.1
54.1
100.0
Total
37
100.0
100.0
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Cumulative Percent
5
13.5
13.5
13.5
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
32
86.5
86.5
100.0
Total
37
100.0
100.0
Select Cases Masa Kerja 1. Masa Kerja < 72,48 & DK = 0 Statistics Riwayat penyakit kulit
N
Valid Percent
Riwayat Alergi
Valid
21
21
Missing
0 .10 .00 0 1
0 .57 1.00 0 1
Mean Median Minimum Maximum
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
Valid Percent
Cumulative Percent
19
90.5
90.5
90.5
2
9.5
9.5
100.0
21
100.0
100.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit Total
Percent
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
9
42.9
42.9
42.9
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
12
57.1
57.1
100.0
Total
21
100.0
100.0
2. Masa Kerja < 72,48 & DK = 1 Statistics Riwayat penyakit kulit N
Valid Missing
Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi
44
44
0 .59 1.00 0 1
0 .91 1.00 0 1
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
18
40.9
40.9
40.9
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
26
59.1
59.1
100.0
Total
44
100.0
100.0
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4
9.1
9.1
9.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
40
90.9
90.9
100.0
Total
44
100.0
100.0
Select Cases Usia 1. Usia < 28,91 & DK = 0 Statistics Riwayat penyakit kulit
N
Riwayat Alergi
Valid
19
19
Missing
0 .11 .00 0 1
0 .74 1.00 0 1
Mean Median Minimum Maximum
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
Valid Percent
Cumulative Percent
17
89.5
89.5
89.5
2
10.5
10.5
100.0
19
100.0
100.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit Total
Percent
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
5
26.3
26.3
26.3
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
14
73.7
73.7
100.0
Total
19
100.0
100.0
2. Usia < 28,91 & DK = 1 Statistics Riwayat penyakit kulit N
Valid
Missing Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi
33
33
0 .58 1.00 0 1
0 .88 1.00 0 1
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
14
42.4
42.4
42.4
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
19
57.6
57.6
100.0
Total
33
100.0
100.0
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4
12.1
12.1
12.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
29
87.9
87.9
100.0
Total
33
100.0
100.0
Select Cases Riwayat Atopi 1. Atopi = 1 & DK = 0 Statistics Riwayat penyakit kulit
N
Riwayat Alergi
Valid
28
28
Missing
0 .11 .00 0 1
0 .68 1.00 0 1
Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
9
32.1
32.1
32.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
19
67.9
67.9
100.0
Total
28
100.0
100.0
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
25
89.3
89.3
89.3
3
10.7
10.7
100.0
28
100.0
100.0
2. Atopi = 1 & DK = 1 Statistics Riwayat penyakit kulit N
Valid Missing
Mean Median Minimum Maximum
Riwayat Alergi
51
51
0 .51 1.00 0 1
0 .82 1.00 0 1
Riwayat penyakit kulit Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
25
49.0
49.0
49.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
26
51.0
51.0
100.0
Total
51
100.0
100.0
Riwayat Alergi Frequency Valid
Berisiko jika ada alergi
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
9
17.6
17.6
17.6
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
42
82.4
82.4
100.0
Total
51
100.0
100.0
FOTO-FOTO TANGAN PEKERJA BENGKEL