FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012
SKRIPSI Diajukan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh : NISWAH AFIFAH 108101000050
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012 M/1433 H
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2012 Niswah Afifah, NIM : 108101000050 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012. 120 halaman, xvi halaman, 6 lampiran ABSTRAKSI Dermatitis kontak akibat kerja adalah penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab utama serta faktor kontributor. Penyebabnya adalah pajanan substansi dari luar tubuh, baik substansi iritan maupun substansi allergen. Pekerja proses finishing meubel kayu menggunakan bahan kimia berupa dempul, zat pewarna, sanding sealer, melamic clear, dan hidrogen peroksida yang meningkatkan risiko dermatitis kontak..Berdasarkan studi pendahuluan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu, didapatkan 9 orang (60%) mengalami dermatitis kontak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit) yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah epidemiologi analitik dengan pendekatan cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling dengan jumlah sampel 82 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, lembar pemeriksaan dokter, daily activity recall dan lembar observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 33 orang (40.2%) pekerja proses finishing meubel kayu mengalami dermatitis kontak yang berlokasi di punggung tangan, telapak tangan, sela jari tangan, dan pergelangan tangan. Analisis bivariat yang dilakukan dengan uji chi square, t-test independent, dan mann-whitney menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000), riwayat atopi (pvalue : 0.009), dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04). Untuk mengurangi risiko dermatitis kontak, disarankan bagi pengelola untuk menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang baik dan alat pelindung diri (sarung tangan) yang sesuai. Pekerja diharuskan untuk menggunakan sarung tangan saat bekerja dan menjaga personal hygiene dengan baik. Daftar Bacaan : 39 (1980-2012)
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH DEPARTMENT OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Thesis, December 2012 Niswah Afifah, NIM : 108101000050 FACTORS RELATED TO THE INCIDENT OF CONTACT DERMATITIS ON FINISHING PROCESS WORKERS OF WOOD FURNITURE AT EAST CIPUTAT IN 2012 120 pages, xvi pages, 6 attachments ABSTRACT Occupational contact dermatitis is a skin disease where exposure in the workplace become a major factor as well as a contributing factor. The cause is exposure to substances from outside the body, both the irritant substance and allergen. Finishing prosses workers of wood furniture uses chemicals such as wood filler, wood stain, sanding sealer, melamic clear, and hydrogen peroxide which increases the risk of contact dermatitis. Based on the preliminary study on 15 finishing prosses workers, obtained that 9 (60%) of workers were contact dermatitis. This study aimed to determine the factors (long-term contact, contact frequence, age, period of empolyment, history of allergy, history of atopy, and history of previous skin disease) related with the incidence of contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture at East Ciputat in 2012. This study is a kind of analytic epidemiology with cross sectional study approach. Sampling was carried out by total sampling method with a total sample of 82 people. Instruments of this research are a questionnaire, the doctor's examination sheet, daily activity recall and observation sheet. The results of this study indicated that 33 people (40.2%) of finishing process workers in wood furniture were suffered from contact dermatitis and most were located on the back of the hands, palms, between fingers, and wrists. Bivariate analyzes were conducted with chi square, independent t-test, and mann whitney test showed that the variables related with contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture are age (pvalue: 0.000), period of employment (pvalue: 0.000), a history of atopy (pvalue: 0.009), and a history of previous skin disease (pvalue: 0.04). To reduce the risk of contact dermatitis in finishing prosses workers, manager of wood furniture have to provide facilities and infrastructure of personal hygiene and suitable gloves. Then workers are suggested to use the gloves while working and maintaining a good personal hygiene. Reference : 39 (1980-2012)
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Niswah Afifah
Tempat, Tanggal, Lahir
: Jakarta, 30 Juli 1990
Alamat
: Jalan Warung Jati Timur 2 B No : 64 RT : 005 RW : 04 Kelurahan
: Kalibata
Kecamatan : Pancoran Kotamadya : Jakata Selatan Kode Pos
: 12740
Agama
: Islam
Golongan Darah
: AB
No. Telepon
: (021) 7981425 / 085694924393
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan 1994 – 1996
: TK Darul Hikmah, Jakarta Selatan
1996 – 2002
: SDI An Nizomiyah, Jakarta Selatan
2002 – 2005
: SMP Pondok Pesantren Modern La Tansa, Lebak Banten
2005 – 2008
: SMA Pondok Pesantren Modern La Tansa, Lebak Banten
2008 – 2012
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat Banten
vi
KATA PENGANTAR
ِ بِس ِم ِ الرِح يم َّ الر ْح م ِن َّ اهلل ْ Syukur
Alhamdulillah
penulis
panjatkan
kehadirat
Allah
SWT
atas
terselesaikannya skripsi yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan kelulusan program studi SI Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam pelaksanaan dan pembuatan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ingin sekali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Keluarga tercinta, Mama dan Ayah yang selalu memberikan nasihat dan semangat agar selalu menjadi orang yang mengamalkan ilmunya. Serta kakak dan adik-adikku yang senantiasa mendukung setiap kegiatan yang dilakukan. 2. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah membuka jalan pengetahuan Kesehatan Masyarakat yang luas. 4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku pembimbing pertama dan penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang secara tulus dan sabar membimbing dan memberikan semangat selama penyusunan skripsi. 5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua skirpsi. Terima kasih atas bimbingannya selama ini.
vii
6. Rahmi Nurmadinisia, selaku teman terbaik seperjuangan kuliah, terima kasih karena dengan penuh kesabaran mendengar dan memahami semua keluhkesah & suka-duka selama penyusunan skripsi ini. 7. Astrianda, Sofia Septiani, Novia Zulfa Hanum, dan Riska Ferdian. Terima kasih banyak atas informasi dan dukungan yang sangat berharga selama ini. 8. Sahabat-sahabat tercinta di Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, K3 dan Gizi, semoga keberkahan selalu menyertai langkah kita. 9. Ebi Nurhardianto, terima kasih banyak atas partisipasinya dalam membantu penyusunan skripsi ini.
Jakarta, Desember 2012
Niswah Afifah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... iv LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv DAFTAR BAGAN .................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 7 C. Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 8 D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ............................................................................................... 9 2. Tujuan Khusus .............................................................................................. 9 E. ManfaatPenelitian 1. Manfaat Bagi Pengelola ................................................................................ 11 2. Manfaat Bagi Peneliti ................................................................................... 11 F. Ruang Lingkup .................................................................................................... 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu 1. Pengertian Meubel Kayu ............................................................................... 13 2. Proses Produksi Industri Meubel Kayu ......................................................... 13 B. Dermatitis Kontak 1. Definisi .......................................................................................................... 15
ix
2. Jenis Dermatitis Kontak ................................................................................ 16 3. Etiologi .......................................................................................................... 18 a. Dermatitis Kontak Iritan ......................................................................... 18 b. Dermatitis Kontak Alergik ...................................................................... 19 4. Gejala Klinis ................................................................................................. 20 a. Dermatitis Kontak Iritan ......................................................................... 21 b. Dermatitis Kontak Alergik ...................................................................... 22 5. Patofisiologi a. Anatomi Kulit ......................................................................................... 24 b. Mekanisme Terjadinya Dermatitis Kontak ............................................. 29 6. Diagnosis a. Anamnesa ................................................................................................ 32 b. Pemeriksaan Klinis ................................................................................. 33 c. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 33 7. Epidemiologi Dermatitis Kontak .................................................................. 36 C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 1. Bahan Kimia ................................................................................................. 39 2. Lama Kontak ................................................................................................. 42 3. Frekuensi Kontak .......................................................................................... 43 4. Usia ............................................................................................................... 44 5. Jenis Kelamin ................................................................................................ 44 6. Jenis Pekerjaan .............................................................................................. 45 7. Masa Kerja .................................................................................................... 46 8. Ras................................................................................................................. 46 9. Tekstur Kulit ................................................................................................. 47 10. Pengeluaran Keringat .................................................................................... 48 11. Musim ........................................................................................................... 48 12. Riwayat Alergi .............................................................................................. 49 13. Riwayat Atopi ............................................................................................... 50 14. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya ............................................................ 50
x
15. Suhu dan Kelembaban .................................................................................. 52 16. Pemakaian APD ............................................................................................ 53 17. Personal Hygiene .......................................................................................... 54 D. KerangkaTeori .................................................................................................... 56 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ................................................................................................ 58 B. Definisi Operasional ........................................................................................... 63 C. Hipotesis ............................................................................................................. 66 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian.................................................................................................... 67 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................. 67 C. Populasi dan Sampel ........................................................................................... 67 D. Instrumen Penelitian 1. Lembar Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 71 2. Daily Activity Recall ..................................................................................... 71 3. Self Administered Questionnaire .................................................................. 71 4. Lembar Observasi ......................................................................................... 72 E. Pengumpulan Data .............................................................................................. 73 F. Pengolahan Data 1. Data Coding .................................................................................................. 73 2. Data Editing .................................................................................................. 74 3. Data Entry ..................................................................................................... 74 4. Data Cleaning ............................................................................................... 74 G. Teknik Analisa Data 1. Analisis Univariat ......................................................................................... 74 2. Analisis Bivariat ............................................................................................ 74 BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................................... 76 B. Analisis Univariat ............................................................................................... 77
xi
1. Gambaran Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 .................................. 77 2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak pada Pekerja Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 ......................................................... 78 C. Analisis Bivariat .................................................................................................. 82 1. Hubungan Antara Lama kontak dengan Dermatitis Kontak ......................... 85 2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ................. 85 3. Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak ...................................... 86 4. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ........................... 86 5. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ..................... 86 6. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ...................... 87 7. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak ........................................................................................ 87 BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ....................................................................................... 89 B. Kejadian Dermatitis Kontak................................................................................ 90 C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak ............ 95 1. Hubungan Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak .................................... 95 2. Hubungan Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ............................. 98 3. Hubungan Usia dengan Dermatitis Kontak .................................................. 102 4. Hubungan Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ....................................... 104 5. Hubungan Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ................................. 106 6. Hubungan Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak .................................. 109 7. Hubungan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak 111 BAB VII SIMPULAN & SARAN A. Simpulan ............................................................................................................ 115 B. Saran ................................................................................................................... 116 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 117
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja Yang Umum ................................................. 40 Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................................. 63 Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ......................................................................... 70 Tabel 5.1 Gambaran Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.............................. 78 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (lama kontak, frekuensi kontak, usia, dan masa kerja) pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu ........................................................................... 79 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (Riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit) pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu ................................................................ 79 Tabel 5.4 Hubungan Faktor – Faktor (Lama kontak dan Usia) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu ........................................................................................... 83 Tabel 5.5 Hubungan Faktor – Faktor (Frekuensi kontak dan Masa Kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu ............................................................................ 84 Tabel 5.6 Hubungan Faktor – Faktor (Riwayat alergi, Riwayat atopi, Riwayat penyakit kulit, dan Personal hygiene) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu ........................................................................... 84
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Kulit ....................................................................................... 25 Gambar 5.1 Pekerja proses finishing melakukan pemlituran meubel kayu .............. 76 Gambar 6.1 Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel................... 92
xiv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Kerangka Teori ........................................................................................ 57 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ..................................................................................... 62
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Kuesioner Penelitian
Lampiran 2
Lembar Observasi
Lampiran 3
Lembar Pemeriksaan Fisik
Lampiran 4
Daily Activity Recall
Lampiran 5
Hasil Uji Statistik Penelitian
Lampiran 6
Foto Dermatitis Kontak
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang diakibatkan oleh pajanan substansi kimiawi di lingkungan tempat kerja. Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat saat melakukan pekerjaan banyak penyebabnya antara lain, agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut yang berupa agen fisik, kimia, maupun, biologis (Roebidin, 2008). Walaupun tidak menyebabkan kematian, penyakit kulit sangat mengganggu bagi kenyamanan penderitanya. Oleh karena itu, penyakit kulit merupakan faktor yang sangat penting untuk terjadinya penurunan produktifitas kerja dan meningkatnya angka cuti sakit. Secara klinis, penyakit kulit akibat kerja dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dermatitis kontak dan dermatitis non-ekzema (Harrianto, 2008). Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi
partikel
yang
berinteraksi dengan kulit (Occupational Contact Dermatitis in Australia, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003). Dermatitis kontak alergik pada lingkungan kerja terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan karena hanya mengenai orang yang kulitnya hipersensitif (Sumantri dkk, 2008). 1
2
Dermatitis kontak iritan terjadi pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik hanya sekitar 10-20% (Keefner, 2004). Dermatitis kontak merupakan penyakit akibat kerja yang paling sering ditemukan, kira-kira 40% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah penyakit kulit dermatitis kontak (W.J. Cunliffe dalam Harianto, 2008). Gangguan kesehatan berupa dermatitis kontak akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Menurut Fregert (1988), beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko terjadi dermatitis kontak adalah petani, industri mebel dan petukangan kayu, pekerja bangunan, tukang las dan cat, salon dan potong rambut, tukang cuci, serta industri tekstil. Kemudian referensi lain mengemukakan bahwa pekerjaan dengan risiko besar untuk terpapar bahan iritan yaitu pemborong, pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services, tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia, pekerja logam, penanam bunga, dan pekerja di gedung (Perdoski, 2009). Penyakit dermatitis kontak akibat kerja telah menjadi salah satu dari sepuluh besar penyakit akibat kerja (PAK) berdasarkan potensial insidens, keparahan dan kemampuan untuk dilakukan pencegahan sejak tahun 1982 (NIOSH, 1996 dalam Utomo, 2007). Di Amerika Serikat 90% klaim kesehatan yang diakibatkan oleh kelainan kulit pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak (Sumantri dkk, 2008) sama halnya dengan pernyataan
3
bahwa di negara maju, dermatitis kontak ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008). Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).
Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh S.Lan dkk,
ditemukan bahwa 3.8% pekerja dari 479 pekerja industri meubel di Singapura mengalami penyakit dermatitis kontak. Data dari balai hiperkes yang sejak tahun 2005 menjadi pusat keselamatan kerja dan hiperkes, menunjukkan hampir 90% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak akibat kerja (Utomo, 2007). Pada sub bagian alergi imunologi bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens dermatitis kontak akibat kerja pada tahun 1996 adalah 50 kasus/tahun atau 11.9% dari seluruh dermatitis kontak (Effendi, 1997). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dari pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82% (Siregar, 1996). Lestari dkk (2007) menemukan melalui penelitiannya bahwa 48.8% (39 orang) pekerja body pressing dan chasis mobil mengalami kejadian dermatitis kontak. Kemudian berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), sebanyak 74%
4
(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia mengalami dermatitis. Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang, 30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996). Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa 35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3% (148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak. Kejadian dermatitis kontak didukung oleh berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Ruhdiyat, 2006) Menurut Larry.L.Hipp (1985), faktor-faktor penyebab dermatitis kontak yaitu bahan-bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit (ketebalan), musim, personal hygiene, alergi, penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya. Sedangkan menurut Rietschel (1985) adalah bahan beracun, pigmentasi, ketebalan kulit, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keringat, personal hygiene, musim, dan riwayat atopi. Dalam Djuanda dan Sularsito (2002) menjelaskan bahwa faktor penyebab dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, tekstur kulit, ras, penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya, lingkungan (suhu & kelembaban), dan personal
hygiene.
Bahan
kimia
merupakan
faktor langsung
yang
5
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985;Rietschel, 1985). Dermatitis kontak umumnya terjadi pada pekerja yang kontak dengan bahan kimia iritan ataupun allergen pada berbagai bidang pekerjaan. Pekerja meubel kayu adalah pekerja yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional (Depkes, 2002). Kayu yang merupakan bagian dari struktur tumbuh-tumbuhan tersusun dari zat organik, sehingga debu kayu dapat digolongkan ke dalam debu organik. Disamping itu, beberapa golongan kayu yang digunakan dalam pembuatan meubel, mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik pada manusia seperti kayu johar, kayu ebony, kayu rengas, kayu kasasi, sehingga debu dan getah kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis, konjungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007 dalam Yunus, 2010). Kayu digunakan dalam pembuatan meubel melalui berbagai tahapan proses sehingga menjadi meubel yang layak. Pada dasarnya, proses pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan proses penyelesaian akhir (Yunus, 2010). Dalam melaksanakan proses penyelesaian akhir meubel yang terdiri dari (1) pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan dengan dempul, (3) pemutihan meubel dengan H2O2, (4) pemlituran atau “sanding sealer”,
6
(5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6) pengkilapan dengan menggunakan melamic clear (Depkes, 2002), pekerja menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja. Hal tersebut diperkuat dengan pelaksanaan studi pendahuluan terlebih dahulu. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur, ditemukan bahwa 9 orang (60%) pekerja meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing atau penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Dengan ciri spesifik sebagai berikut, 9 orang (60%) mengalami gatal-gatal, 5 orang (33.3%) kemerahan, 3 orang (20%) ditemukan adanya tonjolan isi air yang gatal, 4 orang (27%) perih, 3 orang (20%) kulit tangan mengelupas dan 33.3% (5 orang) ditemukan adanya bentol/tonjolan padat yang gatal. Hasil studi pendahuluan diperoleh dari wawancara yang diperkuat dengan pemeriksaan oleh dokter. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 15 orang (100%) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannnya. Penelitian dilakukan di tempat pembuatan meubel kayu karena pada proses finishing meubel kayu digunakan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan bahaya dermatitis kontak pada pekerja. Sedangkan pemilihan wilayah penelitian di Ciputat Timur dikarenakan Ciputat Timur merupakan salah satu pusat penjualan dan importir meubel antik yang berbahan kayu yang dimulai sejak tahun 1974 (Lesmana & Anggoro, 2010). Ciputat Timur
7
merupakan kawasan yang lebih dulu terkenal sebagai pusat meubel kayu dibandingkan dengan 3 wilayah lain di Jakarta yakni Kemang, Klender, dan Pondok Pinang (Aljihad, 2012). Kemudian
hasil penelitian ini akan
digunakan sebagai data based pelaksanaan program intervensi di wilayah sekitar Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dimana diketahui bahwa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah terletak di wilayah kecamatan Ciputat Timur. Berdasarkan latar belakang yang diperkuat dengan hasil studi pendahuluan mengenai dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak yang dialami para pekerja proses finishing meubel kayu. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukannya penelitian. Sehingga peneliti bermaksud meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kejadian dermatitis kontak pada pekerja industri meubel kayu. B. Rumusan Masalah Dalam melaksanakan proses produksi tahap finishing/penyelesaian akhir, pekerja proses finishing meubel kayu terpapar berbagai macam bahan kimia yang digunakan yang berpotensi menimbulkan gangguan kulit yaitu dermatitis kontak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur
8
ditemukan bahwa 9 pekerja (60%) proses finishing meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing/penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 100% (15 orang) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan APD (sarung tangan) saat melakukan pekerjaannnya. Sehingga perlu adanya penelitian untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu. C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? 2. Bagaimana gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya dan personal hygiene) pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? 3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja
proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012? 4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? 5. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?
9
6. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? 7. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? 8. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? 9. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012? D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. b. Diketahuianya gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya
10
dan personal hygiene)
pekerja proses finishing meubel kayu di
Ciputat Timur Tahun 2012. c. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. d. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. e. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. f. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. g. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu
di
Ciputat Timur Tahun 2012. h. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. i. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.
11
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Bagi Pengelola Meubel Kayu Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman pengelola meubel kayu mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, sehingga pengelola dan pekerja dapat melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja yaitu dermatitis kontak. 2. Manfaat Bagi Peneliti Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti dan peneliti lain mengenai dermatitis kontak serta sebagai sarana dalam mengaplikasikan teori yang telah dipelajari semasa kuliah khusunya mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai data based pelaksanaan program intervensi dermatitis kontak pada pekerja. F. Ruang Lingkup Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Spetember 2012. Lokasi penelitian ini adalah tempat pembuatan meubel kayu yang ada di wilayah kecamatan Ciputat Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel penelitian ini adalah 82 pekerja proses finishing meubel kayu diwilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan hasil
12
studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu, ditemukan adanya kejadian dermatitis kontak pada 9 pekerja (60%). Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari kuesioner, daily activity recall, pemeriksaan oleh dokter, dan observasi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu 1. Pengertian Meubel Kayu Meubel kayu adalah istilah yang digunakan untuk perabot rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya, misalnya meubel kayu sebagai tempat penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari pakaian, lemari buku dan lain-lain. Meubel kayu dapat terbuat dari kayu, bambu, logam, plastik dan lain sebagainya. Meubel kayu sebagai produk artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan dengan warna dan tekstur indah yang dikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus. Menurut Depkes RI (2002), industri meubel kayu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional. 2. Proses Produksi Meubel Kayu Pada dasarnya, pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan proses akhir (Depkes RI, 2002). 13
14
a. Penggergajian Kayu Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondongan sehingga masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok atau papan. Pada umumnya, penggergajian ini menggunakan gergaji secara mekanis atau manual dan juga menimbulkan bising. b. Penyiapan Bahan Baku Proses ini dilakukan dengan menggunakan gergaji baik dalam bentuk manual maupun mekanis, kampak, parang, dan lain-lain. Proses ini juga menghasilkan debu terutama ukuran yang besar karena menggunakan mata gergaji atau alat yang lainnya yang relatif kasar serta suara bising. c. Penyiapan Komponen Kayu yang sudah dipotong menjadi ukuran dasar bagian meubel, kemudian dibentuk menjadi komponen-komponen meubel sesuai yang diinginkan dengan cara memotong, meraut, mengamplas, melobang, dan mengukir, sehingga jika dirakit akan membentuk meubel yang indah dan menarik. d. Perakitan dan Pembentukan Komponen meubel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama lain hingga menjadi meubel. Pemasangan ini dilakukan dengan menggunakan baut, sekrup, lem, paku ataupun pasak kayu yang kecil dan lain-lain untuk merekatkan hubungan antara komponen.
15
e. Finishing/Penyelesaian Akhir Kegiatan yang dilakukan pada penyelesaian akhir ini meliputi: (1) Pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan, (3) pemutihan meubel dengan H2O2, (4) pemlituran atau “sanding sealer”, (5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6) pengkilapan dengan menggunakan melamic clear. Pada bagian ini menimbulkan debu kayu dan bahan kimia serta pewarna yang tersedia di udara, seperti H2O2, sanding sealer, melamic clear, dan wood stain yang banyak menguap dan beterbangan di udara, terutama pada penyemprotan yang menggunakan sprayer. f. Pengepakan Proses pengepakan sebenarnya bukan lagi bagian pembuatan meubel karena sebelum masuk proses ini meubel telah selesai. Tahap ini merupakan langkah penyiapan meubel untuk dipasarkan dan hanya ditemukan terutama pada industri meubel sektor formal. B. Dermatitis Kontak 1. Definisi Dermatitis kontak adalah reaksi peradangan yang terjadi pada kulit akibat terpajan dengan substansi dari luar tubuh, baik oleh substansi iritan maupun substansi allergen (National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dermatitis merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat umum, terlebih
16
lagi pada masyarakat industri. Dalam era industrialisasi saat ini, terdapat kecendrungan untuk semakin banyak menggunakan bahan-bahan industri, yang merupakan substansi allergen dan iritan, sehingga menyebabkan kenaikan prevalensi dermatitis kontak. Di negara maju, penyakit kulit ini ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008). Menurut Djuanda (1987), Dermatitis kontak ialah dermatitis karena kontaktan eksternal yang menimbulkan fenomen sensitisasi atau toksik. Sedangkan menurut John, SC (1998) dalam Occupational Dermatology, dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor. Menurut Permana (2010), tangan merupakan lokasi tersering terkena dermatitis. Lebih dari sepertiga penyakit kulit akibat kerja berlokasi ditangan (Wilde dkk, 2008). 2. Jenis Dermatitis Kontak Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003). a. Dermatitis kontak akibat iritasi Deramtitis kontak akibat iritasi merupakan peradangan kulit akibat kontak dengan bahan yang menyebabkan iritasi. Dermatitis jenis ini merupakan hasil reaksi non-imunologis. Dermatitis kontak yang
17
disebabkan oleh substansi iritan yang kuat seperti asam dan basa konsentrasi tinggi dapat menyebabkan derma kontak iritan akut, tetapi bila disebabkan oleh substansi iritan yang lemah seperti deterjen dan air, menifestasinya sebagai dermatitis kontak irtasi kronik. Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling umum dijumpai di antara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi kira-kira dua pertiga kasus penyakit kulit akibat kerja. Penyakit ini lebih sering terjadi di industri yang berkaitan dengan pekerjaan yang basah (berkaitan dengan air) seperti catering, penyepuhan elektrik, dan industri yang banyak menggunakan bahan deterjen (Harrianto, 2008). b. Dermatitis kontak alergi Dermatitis kontak alergi adalah suatu proses peradangan kulit akibat kontak dengan substansi eksternal, tetapi berbeda dengan dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini disebabkan oleh suatu proses imunologis. Tidak seperti dermatitis kontak akibat iritasi kelainan kulit ini tidak menyebabkan kerusakan langsung pada lapisan korneum kulit. Sebelum individu menjadi sensitive pada suatu allergen, ia harus mengalami beberapa kali kontak dengan substansi allergen tesebut terlebih dahulu. Dengan demikian reaksi alergi biasannya baru timbul setelah berulang kali kontak dengan allergen tersebut. Gejala dermatitis biasanya timbul setelah 36 jam – 48 jam kontak dengan allergen.
18
Manifestasinya mungkin akut, subakut, atau kronik tergantung sensitvitas individu (Harrianto, 2008). 3. Etiologi Banyak agen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak. Beberapa contohnya yaitu, sekret serangga, lipas, dan sebagainya serta getah tumbuhtumbuhan dapat menimbulkan dermatitis venenata, yang berbentuk linier. Bahan kimia terdapat dalam banyak bahan. Soda dalam sabun, zat-zat detergen (misalnya lisol), desinfektan dan zat warna (untuk pakaian, sepatu) dapat mengakibatkan dermatitis. Dermatitis akibat kerja, misalnya di perusahaan batik, percetakan, pompa bensin, bengkel, studio poto, salon kecantikan, pabrik karet, pabrik plastik, dan sebagainya. Pada dermatitis akibat kerja seringkali nampak pula fisura, skuama, dan paronikia sebagai akibat iritasi kronik (Djuanda, 1987). a. Dermatitis Kontak Iritan Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003).
19
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). b. Dermatitis Kontak Alergik Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003). Kulit dapat mengalami suatu dermatitis alergik bila terpapar oleh bahan-bahan tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk timbulnya suatu reaksi alergi. Hapten merupakan alergen yang tidak lengkap (antigen), contohnya formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh hapten memiliki berat molekul rendah, kurang dari 500-1000 Da (dalton).
20
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. Dupuis dan Benezra membagi jenis-jenis hapten berdasarkan fungsinya yaitu: 1) Asam, misalnya asam maleat. 2) Aldehida, misalnya formaldehida. 3) Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin. 4) Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah. 5) Ester, misalnya Benzokain 6) Eter, misalnya benzil eter 7) Epoksida, misalnya epoksi resin 8) Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida. 9) Quinon, misalnya primin, hidroquinon. 10) Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+. 11) Komponen tak-larut, misalnya terpentin 4. Gejala Klinis Penjelasan mengenai gejala klinis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik akan mengacu kepada referensi menurut Djuanda dan Sularsito (2002).
21
a. Dermatitis Kontak Iritan 1) Dermatitis kontak iritan akut Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas. Pada umumnya, kelainan kulit muncul segera, tetapi ada sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat, misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih pada esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis. 2) Dermatitis kontak iritan kronis Nama lain ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak iritan lemah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya gesekan, trauma, mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan, contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi oleh karena kerja sama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari,
22
berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang berisiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya: mencuci, memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel, dan berkebun. b. Dermatitis Kontak Alergik Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan
23
ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003). Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998). Gejala klinis dermatitis kontak alergik yang dijelaskan pada tiap fase (Sularsito & Subaryo, 1994 dalam Trihapsoro, 2003) : 1) Fase akut. Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal. 2) Fase Sub Akut Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan
terlihat
eritema,
pembentukan papul-papul.
edema
ringan,
vesikula,
krusta
dan
24
3) Fase Kronis Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal. 5. Patofisiologi a. Anatomi Kulit Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Wasitaatmadja, 1987).
25
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Sumber : http://www.pustakasekolah.com/struktur-dan-anatomi-kulit.html
Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Yusri, 2011). Kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hipodermis) dengan penjelasan sebagai berikut (Wasitaatmadja, 1987). : 1) Lapisan Epidermis Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
26
a) Stratum Korneum Lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis selsel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berupa menjadi keratin (zat tanduk). b) Stratum Lusidum Terdapat langsung dibawah lapisan stratum korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki. c) Stratum Granulosum Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki. d) Stratum Spinosum Disebut pula pricle cell layer terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena mengandung banyak glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Diantara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-jembatan antar sel
27
yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel spinosum terdapat
pula
sel
langerhans.
Sel-sel
stratum
spinosum
mengandung banyak glikogen. e) Stratum Basale Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertikel pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu : (1) Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel. (2) Sel pembentuk melanin atau clear cell merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes). 2) Lapisan Dermis Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis yang jauh lebih tebak daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat
28
dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni : a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. b) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis. 3) Lapisan Subkutis Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, denga inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu denga yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan makanan. Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
29
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama tergantung pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan. b. Mekanisme terjadinya dermatitis kontak 1) Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak iritan timbul setelah pemaparan tunggal atau pemaparan berulang pada agen yang sama. Beberapa mekanisme dapat menjadi penyebab terjadinya dermatitis kontak iritan. Pertama, bahan kimia mungkin merusak sel dermal secara langsung dengan absorpsi langsung melewati membrane sel kemudian merusak sistem sel. Mekanisme kedua, setelah adanya sel yang mengalami kerusakan maka akan merangsang pelepasan mediator inflamasi ke daerah tersebut oleh sel T maupun sel mast secara non-spesifik. Misalnya, setelah kulit terpapar asam sulfat maka asam sulfat akan menembus ke dalam sel kulit kemudian mengakibatkan kerusakan sel sehingga memacu pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid dengan bantuan fosfolipase. Asam arakidonat kemudian dirubah oleh siklooksigenase (menghasilkan prostaglandin, tromboksan) dan lipoosigenase
(menghasilkan
leukotrien).
Prostaglandin
dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (sehingga terlihat kemerahan)
30
dan mempengaruhi
saraf (sehingga
terasa
sakit); leukotrien
meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah tersebut (sehingga meningkatkan jumlah air dan terlihat bengkak) serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil, dan makrofag. Mediator pada inflamasi akut adalah histamine, serotonin, prostaglandin, leukotrien, sedangkan pada inflamasi kronis adalah IL1, IL2, IL3, TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat imun spesifik dan tidak membutuhkan pemaparan sebelumnya agar iritan menampakan reaksi. Beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis. Jumlah dan konsentrasi paparan bahan kimia juga penting. Iritan kimia kuat, asam dan basa tampaknya menghasilkan keparahan yang reaksi inflamasi yang sedang dan parah. Iritan yang lebih ringan, seperti detergen, sabun, pelarut mungkin membutuhkan pemaparan yang banyak untuk mengakibatkan dermatitis. Selain itu, faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban atau perekaan basah dapat berpengaruh (Crowe, M.A & James W.D, 2001, dalam Sumantri, dkk, 2008).
31
2) Dermatitis Kontak Alergik Dermatitis Kontak Alergi merupakan reaksi inflamasi pada dermal akibat paparan allergen yang mampu mengaktifasi sel T, yang kemudian migrasi menuju tempat pemaparan. Tempat pemaparan biasanya daerah tubuh yang kurang terlindungi, namun allergen uroshiol yang terbawa dalam partikulat asap rokok mampu mempengaruhi tempat-tempat yang secara umum terlindungi. Selain itu, urosiol dapat aktif lama hingga 100 tahun, Penampakan dermatitis kontak alergik biasanya tidak langsung terlihat pada daerah tersebut sesaat setelah pemaparan karena allergen melibatkan reaksi imunologis yang membutuhkan beberapa tahap dan waktu. Berikut adalah mekanisme reaksi imunologis tersebut, pertama pemaparan awal alergen tersebut akan mensensitisasi sistem imun. Tahap ini dikenal dengan tahap induksi. Menurut beberapa dokter, secara umum gejala belum tampak pada tahap tersebut. Walaupun demikian, gejala dermatitis tetap dapat langsung terjadi setelah pemaparan (tergantung faktor individu, allergen, dan lingkungan). Pada tahap ini, urushiol secara cepat (10 menit) masuk melewati kulit dan berikatan dengan protein permukaan sel langerhans di epidermis dan sel makrofag di dermis. Sell langerhans kemudian memberi sinyal kepada sel limfosit mengenai informasi
32
antigen kemudian sel limfosit berproloferasi menghasilkan sel T limfosit tersensitisasi. Setelah sistem imun tersensitisasi, maka dengan pemaparan selanjutnya akan menginduksi hipersensitifitas tertunda tipe IV, yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh sel dan membutuhkan waktu 24-48 jam atau lebih. Dermatitis yang tertangani dan tidak tertangani, secara alami akan sembuh dalam 10-21 hari, karena adanya sistem imun (Crowe M.A & James W.D, 2001, dalam Sumantri, dkk, 2008). 6. Diagnosis Terdapat
tiga
metode
diagnosis
yang
dilakukan
dalam
mengidentifikasi dermatitis kontak. Metode-metode tersebut yaitu dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan juga pemeriksaan penunjang (Utomo, 2007). a. Anamnesis Agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan anamnesis dermatitis kontak akibat kerja perlu diperhatikan kategori-kategori sebagai berikut : 1) Penyakit ini muncul pada saat masa kerja yang terpajan oleh bahan iritan atau setelah masa kerja dalam waktu yang tidak terlalu jauh. 2) Penyakit ini muncul pertama kali di daerah yang paling banyak terpajan. Biasanya memberikan karakteristik tertentu. 3) Penyakit ini tidak akan muncul; kecuali jika terpajan dengan pajanan yang sama dengan hasil penyakit yang sama.
33
4) Penyakit ini akan berubah atau hilang ketika sudah tidak terpajan lagi. 5) Penyakit ini akan segera muncul kembali jika pajanan dimulai lagi. 6) Morfologi dari penyakit ini akan konsisten sesuai dengan pajanannya. 7) Rekan kerja yang terkena pajanan juga akan mengalami penyakit yang sama. (The Chief Adviser Factories, 1965 dalam Utomo, 2007) b. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat tanda-tanda yang muncul akibat dermatitis kontak pada kulit. Pada umumnya dermatitis kontak terjadi di daerah yang terpajan, tetapi tidak menutup kemungkinan lesi meluas ke area lain yang tidak terpajan secara langsung. Sebagian dermatitis muncul di daerah tangan dan lengan yaitu sebesar 90% di tangan. Karena tangan paling sering digunakan dalam pekerjaan. Pada awalnya dermatitis menyerang pada bagian epidermis yang tipis yaitu pada dorsum manus dan sela jari. Untuk bahan iritan yang bersifat airborne (fume, vapour) dapat menyerang dan menimbulkan kelainan di wajah, dahi, telinga, dan leher (Cohen, 1999). c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan untuk mencari tahu penyebab terjadinya dermatitis kontak alergik dan juga dapat digunakan untuk membedakan dermatitis kontak alergik dan dermatitis kontak iritan.
34
Salah satu jenis pemeriksaan penunjang adalah dengan patch test (Firdaus, 2002). Ketika suatu dermatitis kontak diindikasikan sebagai dermatitis kontak alergik biasanya digunakan patch test untuk mengetahui apakah penyakit itu adalah dermatitis kontak akibat kerja atau bukan. Uji berdasarkan teori yang menyatakan bahwa akan muncul eczematous dermatitis akut atau kronik jika diberikan agen sensitizing. Caranya dengan menempelkan (biasanya di punggung ataupun di lengan atas) material yang dianggap memberikan efek pada areal yang tidak terinfeksi selama 48 jam akan menyebabkan reaksi inflamasi. Jika hasil uji positif maka pekerja tersebut memilki alergi terhadap material yang diujikan (Cohen, 1999). Patch test atau uji tempel, tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, maka harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh
35
diuji bila diduga karena penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, sendal, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet/air. Lalu ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan iritasi. Hal yang harus diperhatikan dalam uji tempel adalah : 1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat maka dapat terjadi reaksi "angry back" atau "excited skin", reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk. 2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali karena diduga urtikaria kontak. 3) Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemuadian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi. 4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar, karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga
36
agar punggung selalu kering, setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai. 5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai
riwayat
urtikaria
dadakan,
karena
dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. 6) Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi). 7. Epidemiologi Dermatitis Kontak Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi dengan dokter kulit akibat dermatitis adalah sebesar 4-7%. Di Skandinavia yang telah lama memakai uji tempel sebagai standar, terlihat insiden dermatitis kontak lebih tinggi dari pada Amerika. Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Di Indonesia laporan dari Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unsrat Manado dari tahun 1988-1991 menujukkan insiden dermatitis kontak
37
sebesar 4.45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat pada tahun 1991-1992 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak 17.76%. Sedangkan di RS. Dr. Pirngadi Medan insiden dermatitis kontak pada tahun 1992 sebanyak 37.54% tahun 1993 sebanyak 34.74% dan tahun 1994 sebanyak 40.05%. Dari data kunjungan pasien baru di RS. Dr. Pringadi Medan, selama tahun 2000 terdapat 3897 pasien baru di poliklinik alergi dengan 1193 pasien (30.61%) dengan diagnosis dermatitis kontak (Nasution dkk, 1994 dalam Sumantri dkk, 2008). Dari bulan Januari hingga Juni 2001 terdapat 2122 pasien alergi dengan 645 pasien (30.40%) menderita dermatitis kontak. Walaupun demikian, kasus dermatitis kontak sebenarnya diperkirakan 10-50 kali lipat dari data statistik yang terlihat karena adanya kasus yang tidak dilaporkan. Selain itu perkiraan yang lebih besar tersebut juga diakibatkan oleh semakin meningkatnya perkembangan industri (Keefner, 2004 dalam Sumantri dkk, 2008) Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis konta alergik hanya berkisar 10-20% (Keefner, 2004, dalam Sumantri dkk, 2008). Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi
38
ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Berdasarkan jenis kelamin, dermatitis kontak iritan secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan (National Institute of Occupational Safety and Health, 2006). Data dari balai hiperkes yang sejak tahun 2005 menjadi pusat keselamatan kerja dan hiperkes, menunjukkan hampir 90% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak akibat kerja (Utomo, 2007). Pada sub bagian alergi imunologi bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens dermatitis kontak akibat kerja pada tahun 1996 adalah 50 kasus/tahun atau 11.9% dari seluruh dermatitis kontak (Effendi, 1997). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dari pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82% (Siregar, 1996). Lestari dkk (2007) menemukan melalui penelitiannya bahwa 48.8% (39 orang) pekerja body pressing dan chasis mobil mengalami kejadian dermatitis kontak. Kemudian berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), sebanyak 74%
39
(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia mengalami dermatitis. Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang, 30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996). Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa 35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3%(148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak. C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 1. Bahan Kimia Saat ini sudah lebih dari 400 juta ton bahan kimia yang diproduksi tiap tahunnya dan lebih dari 1000 bahan kimia baru diproduksi setiap tahunnya. Penggunaan bahan kimia ini selain membawa dampak yang positif bagi kemajuan dunia industri juga memiliki dampak negatif terutama bagi kesehatan pekerja, salah satunya adalah dermatitis (Lestari dkk, 2007). Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), bahan kimia merupakan faktor langsung penyebab dermatitis kontak. Paparan bahan kimia ditentukan oleh banyak faktor termasuk lama kontak, frekuensi kontak, konsentrasi bahan, dll (Agius R, 2006).
40
Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja yang Umum Iritan Pekerja (n=310)
Prosentase (%)
Allergen Pekerja (n=215)
Prosentase (%)
Cairan Pendingin/minyak yang larut
20
Kromat
49,3
Semen Pelarut Minyak/Lemak Sabun/Detergen/Air Cairan Patri Damar Lain-lain
17,4 17,1 16,2 11,9 7,8 4,8 4,8
Bahan kimia karet Nikel Kobalt Damar Makanan Cairan Patri -
16,3 12,6 13 6 2,3 1,4 -
Sumber : Goh CL, 1987
Bahaya bahan kimia adalah korosif dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan jaringan kulit iritas sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata. Iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Menurut Cohen & Rice (2004) dalam Ruhdiat (2006), bahan kimia selalu dan merupakan penyebab terbesar terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Pada proses finishing meubel kayu, bahan kimia yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Joyce, 1987): a. Wood Filler Wood Filler adalah bahan yang digunakan untuk meratakan pori kayu, celah, dan bolong pada permukaan kayu (dempul). Umumnya wood filler mengandung resin yang kemudian diaplikasikan dengan campuran thinner. Pengamplasan dilakukan untuk mengangkat wood filler pada meubel.
41
b. Wood Stain Fungsi utama Wood Stain adalah mewarnai kayu sesuai dengan warna natural kayunya. Kandungan dalam wood stain adalah solven dan zat pewarna. Alkohol dan acetone base juga terkandung didalamnya sebagai bahan yang tahan terhadap sinar uv. c. Cat Dasar Cat dasar atau sering disebut Sanding Sealer merupakan satu tahapan aplikasi untuk melindung lapisan pewarnaan kayu oleh stain. Formulanya adalah acrilic Solvent Base yang biasanya diaplikasikan dengan campuran thinner. Selain itu, pada proses pemutihan meubel lama yang akan dilakukan finishing ulang, bahan yang digunakan umumnya adalah hidrogen peroksida ataupun soda api. Kedua bahan tersebut jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi begitu pula dengan pelarut yang ada dikandungan cat-cat yang digunakan. Kemudian pada proses pengkilapan digunakan sanding melamic clear yang mengandung resin. Pelarut organik misalnya thinner yang sering digunakan sebagai bahan campuran dalam finishing meubel kayu terdiri atas campuran alkohol, keton, dan terkadang toluene dan dipentene (bahan pemeka). Pelarut aromatic khususnya dapat mengiritasi kulit. Pelarut yang belum hilang seluruhnya misalnya pada pakaian kerja yang dibersihkan dengan sedikit air dapat mengiritasi kulit pada tungkai, pergelangan tangan dan leher. Semua pelarut
42
dapat menyebabkan dermatitis yang merusak pelindung alamiah kulit. Pelarut menutupi permukaan lemak, lemak pada stratum korneum dan fraksi lemak pada membran sel. Pelarut juga dapat menyebabkan kerusakan stratum korneum (RH. Adam, 1993 dalam Cholis, 1995). Serbuk kayu yang dihasilkan oleh kayu juga merupakan pencetus timbulnya dermatitis kontak, karena serbuk kayu merupakan salah satu bahan iritan yang dapat menyebabkan kejadian dermatitis kontak (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Adanya kandungan substansi kimia dari getah tumbuhtumbuhan yang ada dalam serbuk kayu
dapat menyebabkan dermatitis
kontak (Djuanda, 1987). Kontak dengan bahan kimia, selain menyebabkan iritasi juga dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit yang merugikan dengan sensitisasi sistem kekebalan tubuh yang dihasilkan dari kontak bahan kimia atau struktur bahan kimia yang serupa sebelumnya. Contoh bahan yang menyebabkan reaksi alergi yaitu formaldehid, kromium, nikel, dan fenoliat. 2. Lama Kontak Lama kontak adalah kurun waktu kontak pekerja dengan bahan kimia yang ditangani. Semakin lama kontak dengan bahan kimia akan menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam (Cohenn, 1999). Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Nuraga, 2008) karena
43
semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit maka akan semakin luas dan dalam penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit, yang akan mencetuskan reaksi peradangan/iritasi kulit yang lebih luas dan berat (Agius R, 2004; Cohen dan Rice R.H, 2004). Berdasaran penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 73.1%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak <8 jam adalah sebesar 22.2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama kontak maka semakin besar pula resiko kejadian dermatitis yang dialami pekerja. 3. Frekuensi Kontak Frekuensi kontak adalah jumlah berapa kalinya kontak dengan bahan kimia. Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999 dalam Nuraga dkk, 2008). Berdasarkan penelitian Ruhdiat (2006), proporsi
pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≥5 kali/hari sebesar 96.3%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak
44
dengan frekuensi kontak <5 kali/hari adalah sebesar 79.4% dengan nilai pvalue 0.004. Dan hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menemukan bahwa Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15x terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17 responden (81%) dan kronis 4 responden (80%) dengan nilai p= 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak. 4. Usia Usia merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah terjadinya dermatitis kontak. Pekerja dengan usia tua memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi terkena dermatitis kontak dibanding pekerja yang lebih muda. Hal ini terkait dengan kondisi kulit mereka (Cohen, 1999). Pada pekerja yang lebih tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Pada pekerja dengan usia yang lebih tua, ketebalan kulit pun semakin berkurang, sehingga lapisan kulit menipis dan menyebabkan mudahnya bahan kimia masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi. 5. Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam hal penyakit kulit perempuan dikatakan lebih beresiko mendapat penyakit kulit dibandingkan dengan pria (Djuanda & Sularsito, 2002). Berdasarkan Aesthetic Surgery
45
Journal dalam Suryani (2011), terdapat perbedaan antara kulit pria dan wanita, perbedaan tersebut dilihat dari jumla folikel rambut, kelenjar sebaceous atau kelenjar keringat dan hormone. Kulit pria mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi banyak bulu, sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria sehingga lebih rentan terkena penyakit kulit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Trihapsoro (2003), pada pasien rawat jalan RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan bahwa proporsi pasien perempuan yang menderita dermatitis kontak sebesar 72.5% sedangkan pria hanya sebesar 27.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa perempuan lebih beresiko tekena dermatitis kontak disbanding laki-laki. 6. Jenis Pekerjaan Dalam mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, jenis pekerjaan terkait dengan bahan kimia yang digunakan pada suatu jenis pekerjaan tersebut. Karena pada dasarnya bahan yang digunakan pada suatu jenis pekerjaan berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. Dermatitis kontak akan muncul pada permukaan kulit jika zat kimia tersebut memiliki jumlah, konsentrasi dan durasi (lama pajanan) yang cukup. Dengan kata lain semakin lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Cohen 1999 dalam Lestari 2007).
46
Berdasarkan penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa pada dua jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak sebesar 60.4%, sedangkan pekerja proses pendukung, pekerjanya lebih banyak tidak terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total pekerja 32 orang. 7. Masa Kerja Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya pekerja bekerja disuatu tempat tertentu. Masa kerja juga dapat mempengaruhi terhadap terjadinya penyakit dermatitis. Hal ini berhubungan dengan lama kontak dan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, sehingga pekerja yang lebih lama bekerja lebih risiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masih baru. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering pekerja menglami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya.
Sehingga dapat dipastikan bahwa pekerja dengan
masa kerja yang lebih lama cenderung lebih sering kontak dengan bahan kimia. 8. Ras Ras berhubungan dengan dermatitis terlihat dari warna kulit. Setiap individu memiliki warna kulit yang berbeda-beda tergantung ras nya masing-
47
masing. Kulit putih lebih rentan terhadap dermatitis dibandingkan dengan orang kulit hitam. Orang kulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri karena kulinya kaya akan melanin. Mereka jarang terkena tumor kulit akibat radiasi ultra violet, kurang peka terhadap debu kimia, dan bahan pelarut alkali (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008). 9. Tekstur Kulit Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi). Kulit merupakan bagian terluar yang melapisi manusia dimana berfungsi untuk melindungi organ-organ internal. Kulitlah yang pertama kali terkena eksposur dari luar seperti sinar matahari, udara, minyak, sabun, cat, dan sejenisnya. Oleh karena itu kulit sangat riskan mengalami inflamasi dan kerusakan akibat pengaruh zat yang mengenainya (Permana, 2010). Perbedaan ketebalan kulit menyebabkan perbedaan permeabilitas (Djuanda & Sularsito, 2002), sehingga kulit dengan lapisan yang lebih tebal lebih sulit dimasuki oleh bahan kimia hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah pori. Lapisan kulit yang tebal lebih memproteksi dibandingkan dengan lapisan kulit yang tipis.
48
10. Pengeluaran Keringat Keringat adalah air yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat pada kulit manusia. Kandungan utama dalam keringat adalah natrium klorida (bahan utama garam dapur) selain bahan lain (yang mengeluarkan aroma) seperti 2metilfenol (o-kresol) dan 4-metilfenol (p-kresol). Pada manusia, keringat dikeluarkan untuk mengatur suhu tubuh (detikhealth.com, 2012). Keringat
melindungi
kulit
dengan
cara
mengencerkan
dan
menghanyutkan bahan-bahan iritan. Keringat dapat pula mengubah bahanbahan yang larut dalam air menjad bentuk lain dan mempermudah absorpsi melalui pori-pori kulit (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008). Kulit yang tidak tidak berketingat cenderung memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak karena kulit yang tidak berkeringat cenderung kering. Kekeringan pada kulit memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih mudah kena dermatitis (Cohen 1999). Vichy (2004) dalam Ruhdiat (2006) juga menyatakan bahwa kulit yang lebih kering akan lebih rentan terkena dermatitis kontak. 11. Musim Dermatitis akibat kerja banyak dijumpai pada waktu musim panas berhubungan dengan pengeluaran keringat pada pekerja. Sehingga pekerja lebih cenderung menggunakan pakaian lengan pendek ataupun celana lengan pendek yang memudahkannya kontak langsung dengan bahan kimia. Sedangkan
cuaca
dingin
menyebabkan
pekerja
malas
mencuci
49
diri/membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008). 12. Riwayat Alergi Riwayat alergi adalah reaksi tubuh manusia yang berlebihan terhadap benda asing tertentu atau bahan yang bersifat allergen. Pengertian lain adalah reaksi terhadap berbagai rangsangan/zat dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dsengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan, sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu),dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis (Putro, 1985 dalam Utomo, 2007). Reaksi sensitifitas allergen sangat bervariasi tergantung pada faktor genetik seseorang. Demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda-beda (Dewan K3 Nasional, 1982). Dalam penelitian Utomo (2007) didapatkan bahwa, proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat alergi adalah sebesar 57.7% (15 orang) dari 26 pekerja, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat alergi adalah sebesar 44.4% (24 orang) dari 54 pekerja dengan nilai pvalue 0.383. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi lebih banyak mengalami dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalaminya alergi.
50
13. Riwayat Atopi Atopik merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat didalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono, 2006). Menurut Djuanda, 2002 atopik merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang cenderung diturunkan atau familial. Sindrom atopik disini meliputi dermatitis atopik (DA), rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2002). Pengertian lain menyebutkan bahwa atopi adalah reaksi seseorang terhadap allergen sangat bervariasi tergantung factor genetik, demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda (Cohen, 1999). Hasil penelitian Ruhdiat (2006) menyebutkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat atopi sebesar 94%, sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi sebesar 79%. Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan memilki riwayat atopi adalah sebesar 79%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat atopi adalah sebesar 71.4%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja denga riwayat atopi lebih beresiko terkena dermatitis kontak. 14. Riwayat Penyakit Kulit sebelumnya Pekerja yang sebelumnya pernah menderita dermatitis akibat kerja lebih rentan terhadap kerjadian dermatitis kontak akibat kerja. Penyakit kulit
51
yang pekerja derita sebelumnya dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pekerja menderita dermatitis kontak kembali (riwayat berulang) (Lestari dan Utomo, 2007). Di Indonesia, umunya pekerja telah bekerja pada lebih dari satu tempat kerja. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan bahwa pekerja yang telah mengalami dermatitis pada pekerjaan sebelumnya terbawa ke tempat kerja yang baru. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011), riwayat penyakit digunakan sebagai salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan seseorang. Sedangkan menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak. Berdasarkan penelitia Utomo (2007), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 81.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 43.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya lebih berisiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakt kulit sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis kronik maka pekerja tersebut lebih rentan untuk terkena dermatitis bila
52
bekerja pada tempat tertentu dikarenakan reaksi iritan ataupun sensitivasi (Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 1982). 15. Suhu dan Kelembaban Pengalaman yang disepakati oleh para ahli di Indonesia menyatakan bahwa daerah cuaca nyaman seperti itu adalah 24 – 26 0C suhu kering. Juga perbedaan di antara suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak melebihi 5 0C ( Suma’mur,1989 ). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No 1405 tahun 2002, suhu ruangan lingkungan kerja adalah sekitar 180C-280C, sedangkan kelembabannya adalah 40% - 60%. Menurut Sedarmayanti (1996), bahwa temperatur yang terlampau dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur yang terlampau panas, dapat mengakibatkan timbulnya kelelahan tubuh yang lebih cepat dan dalam bekerja cenderung membuat banyak kesalahan. Berdasarkan beberapa penelitian, suhu dan kelembaban berpengaruh dalam kejadian dermatitis kontak, karena semakin rendahnya suhu dan kelembaban lingkungan kerja maka semakin berpotensi menyebabkan dermatitis kontak selain didukung oleh faktor lain. Hasil penelitian Ruhdiat (2006), menemukan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan suhu lingkungan 23 0C adalah 100%, dengan suhu lingkungan 250C sebesar 87%, dengan suhu lingkungan 260C sebesar 80%, dan dengan suhu 290C adalah sebesar 81%. Sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban
53
lingkungan kerja <65% adalah sebesar 87%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban udara lingkungan kerja ≥65% adalah sebesar 0%. 16. Pemakaian APD Alat pelindung diri adalah peralatan keselamatan yang harus digunakan oleh pekerja yang berada di area kerja yang berbahaya. APD yang digunakan untuk bahan kimia berbahaya umunya adalah sarung tangan. Diperkirakan hampir 20% kecelakaan yang menyebabkan cacat adalah tangan, kemampuan kerja akan sangat berkurang. Kontak dengan bahan kimia kaustik beracun, bahan-bahan biologis, sumber listrik, benda yang suhunya sangta dingi atau sangat panas dapat menyebabkan iritasi pada tangan. APD tangan dikenal dengan sebutan safety gloves dengan berbagai jenis penggunaannya. Untuk melindungi tangan dari bahan kimia adalah sarung tangan vinyl dan neoprene. Nugraha dkk (2008) mengungkapkan bahwa kebiasaan memakai alat pelindung diri (APD) diperlukan untuk melindungi pekerja dari kontak dengan bahan kimia. Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan dermatitis kontak (Susanti, 2010). Penelitian Susanti (2010), menunjukkan adanya hubungan antara pemakaian alat pelindung diri (sarung tangan) dengan penurunan kejadian dermatitis kontak. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji kai kuadrat diperoleh
54
hasil nilai signifikan sebesar 0,012 (<0,05) maka secara statistik ada hubungan antara pemakaian alat pelindung diri dengan penurunan kejadian dermatitis kontak iritan. Diperoleh pula nilai Rasio Prevalensi RP = 0,48(< 1) hal ini berarti bahwa pemakaian alat pelindung diri (sarung tangan) merupakan faktor preventif dan bukan faktor resiko dari terjadinya dermatitis kontak iritan. Lestari dkk (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan pemakaian APD yang kurang baik adalah sebesar 51.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan pemakaian APD yang baik adalah sebesar 41.7%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara pemakaia APD dengan kejadian dermatitis kontak. 17. Personal Hygiene Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya personal berarti perorangan dan hygiene yang berarti sehat. Kebersihan diri seseorang adalah cara perawatan diri seseorang untuk menjaga kesehatannya.Tujuan pelaksanaan personal hygiene adalah untuk, menghilangkan minyak dan keringat, sel-sel kulit mati, dan bakteri, menghilangkan bau badan, memelihara integritas permukaan kulit, menstimulasi sirkulasi peredaran darah seseorang, serta meningkatkan dan menjaga derajat kesehatan seseorang (Pradjawanto, 2011). Personal hygiene merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak terkait dengan
55
kebiasaan pekerja membersihkan dirinya setelah bekerja seperti mencuci tangan dan mencuci pakainnya setelah bekerja (Lestari & Utomo, 2007). Menurut Cohen (1999) kebiasaan mencuci tangan yang jelek akan menyebabkan kontak dengan bahan kimia yang lebih lama yang akan menyebabkan kerugian kulit, sehingga kebiasaan mencuci merupakan upaya preventif bermakna namun sangat tergantung pada kualitas mencuci tangan dan kemudahan menjangkau fasilitas sarana pencuci tangan. Mencuci tangan dengan baik adalah dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Menurut Koh dan Goh (1996), larutan pelarut seperti thinner dan kerosene dapat pula mengakibatkan dermatitis kontak iritan kumulatif bila sering digunakan secara salah sebagai pembersih kulit Penelitian Ruhdiat (2006) menemukan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene kadang-kadang adalah sebesar 85%. Kemudian penelitian Utomo (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang kurang baik adalah sebesar 51.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang baik adalah sebesar 41.7%. Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi yang positif antara dermatitis kontak dengan personal hygiene. D. Kerangka Teori Berdasarkan beberapa referensi para ahli yaitu Larry.L.Hipp (1985) dalam Utomo (2007) yang menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab dermatitis
56
kontak yaitu bahan-bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit (ketebalan), musim, personal hygiene, alergi, dan penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya. Rietschel (1985) dalam Utomo (2007) yang berpendapat bahwa faktor penyebabnya adalah bahan kimia beracun, pigmentasi (ras), ketebalan kulit, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keringat, personal hygiene, musim, dan riwayat atopi. Siregar (1996) menyatakan bahwa pemakaian APD mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Kemudian Djuanda dan Sularsito (2002) menjelaskan bahwa faktor penyebab dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, tekstur kulit, ras, penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya, lingkungan (suhu & kelembaban), dan personal hygiene). Maka kerangka teori penelitian ini adalah sebagai berikut :
57
1. Bahan kimia 2. Lama Kontak 3. Frekuensi Kontak 4. Usia 5. Jenis Kelamin 6. Jenis Pekerjaan 7. Masa Kerja 8. Ras 9. Tekstur kulit 10. Pengeluaran Keringat 11. Musim 12. Riwayat Alergi 13. Riwayat Atopik 14. Riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya 15. Suhu 16. Kelembaban 17. Personal Hygiene 18. Pemakaian APD
DERMATITIS KONTAK
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber : Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007; Rietschel, 1985 dalam Utomo, 2007; Siregar (1996); Djuanda & Sularsito, 2002
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Faktor-faktor yang termasuk dalam kerangka konsep mengacu kepada teori-teori dari para ahli yaitu Larry.L.Hipp (1985), Rietschel (1985), Siregar (1996) dan Djuanda & Sulartiso (2002). Menurut para ahli tersebut, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dermatitis kontak adalah bahan-bahan kimia, lama kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit (ketebalan), keringat, personal hygiene, musim, jenis pekerjaan, riwayat atopi, riwayat alergi, penyakit kulit yang ada sebelumnya, suhu, kelembaban, dan pemakaian APD. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Lama Kontak Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Lama kontak merupakan lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak di tempat kerja yang dihitung jam/hari. Pekerja dengan lama kontak yang lebih lama akan menyebabkan rusaknya lapisan kulit luar, sehingga semakin lama kontak semakin bertambah pula kerusakan lapisan kulit luar yang akan merusak lapisan kulit yang lebih dalam, dan meingkatkan resiko terjadinya dermatitis kontak.
58
59
2. Frekuensi Kontak Frekuensi kontak merupakan jumlah berapa kalinya responden kontak dengan bahan yang menyebabkan dermatitis kontak di tempat kerja dalam hitungan x/kali. Pekerja yang kontak dengan bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi dengan frekuensi kontak yang lebih banyak akan beresiko mengalami dermatitis dengan luas dan berat yang lebih. 3. Usia Usia merupakan salah satu faktor penyebab dermatitis kontak. Semakin bertambahnya usia, maka kulit manusia mengalami degenerasi, terutama dari sisi ketebalan lapisan kulit. Menipisnya lapisan kulit ini memudahkan proses bahan kimia mengiritasi kulit. Sehingga pada kulit usia lanjut lebih rentan terhadap dermatitis kontak. 4. Masa Kerja Masa kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Semakin lama masa kerja seseorang maka semakin sering pekerja terpajan dan kontak dengan bahan kimia. Semakin seringnya kontak dengan bahan kimia, maka lapisan kulit akan semakin rusak sehingga memudahkan bahan kimia masuk dan meningkatkan risiko dermatitis kontak. 5. Riwayat Alergi Pekerja yang memiliki riwayat alergi merupakan pekerja dengan kulit yang hipersensitif terhadap bahan-bahan tertentu. Sehingga pekerja dengan riwayat alergi memiliki risiko yang lebih terhadap kejadian
60
dermatitis kontak ditinjau dari sensitifitas kulitnya yang lebih mudah bereaksi ketika terpajan benda asing tertentu salah satunya bahan kimia. 6. Riwayat Atopi Riwayat atopi mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, karena pekerja yang memiliki riwayat penyakit yang terkait dengan hipersensitifitas tubuh yang diturunkan atau familial, cenderung memilki reaksi tubuh yang berlebihan terhadap bahan kimia sehingga memiliki risiko yang lebih terhadap kejadian dermatitis kontak. 7. Riwayat Penyakit Kulit sebelumnya Pekerja yang sebelumnya pernah mengalami penyakit kulit atau non dermatitis akibat kerja lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit yang sudah berkurang akibat penyakit kulit tersebut. Hilangnya lapisan kulit, rusaknya kelenjar minyak dan keringat membuat penuruan fungsi kulit sehingga mempermudah terkena dermatitis kontak 8. Personal Hygiene Kebersihan perorangan seperti mencuci tangan yang baik sebelum dan sesudah bekerja mencegah terjadinya dermatitis kontak. Karena dengan membersihkan diri mampu menghilangkan bahan-bahan kimia yang menempel pada kulit. Akan tetapi personal hygiene tergantung akan sikap dan kesadaran para pekerja dalam merawat diri.
61
Variabel-variabel yang tidak diteliti oleh peneliti adalah : 1. Bahan kimia Bahan kimia yang digunakan oleh pekerja berjenis sama, sehingga bersifat sama/homogen. Peneliti tidak meneliti konsentrasi bahan kimia, dikarenakan bahan kimia yang digunakan pekerja terdiri dari berbagai jenis sehingga sulit menentukan bahan kimia mana yang menyebabkan dermatitis kontak. 2. Jenis kelamin Jenis kelamin pekerja keseluruhan adalah laki-laki sehingga variabel jenis kelamin merupakan homogen. 3. Jenis pekerjaan Peneliti tidak meneliti variabel jenis pekerjaan karena jenis pekerjaan pekerja bersifat homogen yaitu pekerja meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing. 4. Tekstur Kulit Peneliti tidak meneliti variabel tekstur kulit karena pengukuran variabel tekstur kulit tidak cukup jika diukur hanya dengan pemeriksaan fisik oleh dokter. Sehingga memerlukan uji mikroskopik agar hasilnya akurat. Hal tersbut terkait waktu dan biaya penelitian ini. 5. Pengeluaran Keringat Peneliti tidak meneliti variabel pengeluaran keringat karena variabel ini tidak cukup jika hanya diukur dengan pemeriksaan fisik oleh dokter sehingga memerlukan uji yang lebih akurat. Hal tersebut terkait waktu dan biaya penelitian ini.
62
6. Suhu dan Kelembaban Peneliti tidak meneliti variabel suhu dan kelembaban karena penelitian dilakukan di satu wilayah yaitu Ciputat Timur sehingga variabel suhu dan kelembaban sama/homogen di setiap tempat meubel kayu. 7. Pemakaian APD Pemakaian APD tidak diteliti oleh peneliti karena pekerja meubel kayu tidak menggunakan APD yang berupa sarung tangan pada saat melakukan pekerjaannya. 8. Ras Pekerja memiliki ras yang sama terkait dengan pigmentasi kulitnya sehingga variabel ras homogen. 9. Musim Musim di wilayah Ciputat Timur cenderung sama, sehingga variabel musim homogen. Variabel penelitian yang akan diteliti disajikan dalam bagan 3.1 berikut : 1. Lama Kontak 2. Frekuensi Kontak 3. Usia 4. Masa Kerja 5. Riwayat Alergi 6. Riawayat Atopi 7. Riwayat Penyakit kulit sebelumnya 8. Personal Hygiene
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
DERMATITIS KONTAK
63
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Kriteria
Skala
1
Dermatitis Kontak
Peradangan pada kulit akibat Lembar paparan bahan kimia selama pemeriksaan fisik melakukan pekerjaan, dengan gejala berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit kering, mengelupas, kulit bersisik, dan terjadi penebalan pada kulit..
Diagnosis dokter
0. Tidak dermatitis 1. Dermatitis
Ordinal
2
Lama Kontak
Daily Activity Recall
Pencatatan oleh peneliti
Jam/Hari
Rasio
3
Frekuensi Kontak
Lama waktu responden kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari kerja Jumlah berapa kalinya responden kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari
Daily Activity Recall
Pencatatan oleh peneliti
x/hari
Rasio
4
Usia
Pengisian kuesioner oleh pekerja
Tahun
Rasio
Lama hidup pekerja terhitung Self Administered sejak lahir sampai penelitian Questionnaire berlangsung. Dibulatkan ke atas bila >6 bulan, dan dibulatkan ke bawah bila <6 bulan.
64
No 5
Variabel Masa Kerja
6
Riwayat Alergi
7
Riwayat Atopi
Definisi Operasional
Alat Ukur Kurun waktu atau lamanya Self Administered responden bekerja sebagai Questionnaire pekerja meubel sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung Reaksi tubuh pekerja yang Self Administered berlebihan terhadap benda Questionnaire asing/zat tertentu misalnya debu, obat, atau makanan. Seperti alergi pada kulit dan alergi pada saluran pernapasan Penyakit pada pekerja yang Self Administered mempunyai riwayat kepekaan Questionnaire dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi
Cara Ukur Pengisian kuesioner oleh pekerja
Kriteria Tahun
Skala Rasio
Pengisian kuesioner oleh pekerja
0 Tidak beresiko 1 Beresiko
Ordinal
Pengisian kuesioner oleh pekerja
0 Tidak Beresiko 1 Beresiko
Ordinal
65
No 8
Variabel Riwayat penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya
9
Pesonal Hygiene
Definisi Operasional
Variabel Alat Ukur Definisi Operasional Cara UkurAlat Ukur Kriteria Cara Ukur Kriteria Skala Peradangan pada kulit dengan Self Administered Pengisian 0 Tidak Beresiko Ordinal gejala subyektif berupa gatal, Questionnaire kuesioner oleh 1 Beresiko rasa terbakar, kemerahan, pekerja bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah diderita oleh pekerja. Kebiasaan pekerja untuk Lembar Observasi Pengamatan 0 Baik Ordinal membersihkan tangan dengan langsung oleh 1 Tidak Baik baik sebelum dan setelah peneliti bekerja dan tidak adanya noda atau cipratan bahan kimia di pakaian pekerja saat bekerja.
66
C. Hipotesis 1. Ada Hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. 2. Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. 3. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. 4. Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. 5. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. 6. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. 7. Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan disain cross sectional study yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. Pada disain ini, data variabel dependen dan variabel independennya dikumpulkan pada waktu yang bersamaan kemudian dianalisis menggunakan uji statistik chi square, t-test independen, dan mann whitney untuk menguji hipotesis yang dibuat. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di 39 meubel kayu yang melakukan proses finishing atau penyelesaian akhir di wilayah Ciputat Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September tahun 2012. C. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah 88 pekerja proses finishing meubel kayu yang berada di 39 meubel kayu di Ciputat Timur, Tangerang Selatan tahun 2012. Sampel penelitian ini merupakan pekerja yang mewakili populasi yaitu pekerja proses finishing meubel kayu yang melakukan proses finishing/penyelesaian akhir. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Total Sampling. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus uji beda dua proporsi seperti dibawah ini :
67
68
Keterangan : n
: Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P
: Rata-rata proporsi pada populasi {(P1 + P2)/2}
P1
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P2
: Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96 Z1-β
: Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 95% = 1,64 Peneliti menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan derajat
kemaknaan 5% dan kekuatan uji 95% dalam penelitian ini. Pengambilan sampel menggunakan metode perhitungan sampel untuk penelitian ini berdasarkan perhitungan sampel per-variabel yang akan diteliti dengan mengacu kepada perhitungan penelitian sebelumnya. Variabel-variabel tersebut adalah : 1. Lama Kontak Berdasaran penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 70.3% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak <8 jam adalah sebesar 3.7% (P2).
69
2. Frekuensi Kontak Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak >7kali/hari sebesar 64.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≤ 7kali/hari adalah sebesar 9.25% (P2). 3. Riwayat Alergi Berdasarkan penelitian Utomo (2007), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat alergi adalah sebesar 57.7% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat alergi adalah sebesar 44% (P2). 4. Riwayat Atopi Hasil penelitian Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan memilki riwayat atopi adalah sebesar 46.2% (P1) sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat atopi adalah sebesar 27.7% (P2). 5. Riwayat penyakit kulit sebelumnya Berdasarkan penelitian Utomo (2007), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 81.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 43.5% (P2). 6. Personal Hygiene Hasil penelitian Utomo (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang kurang baik
70
adalah sebesar 51.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang baik adalah sebesar 41.7% (P2). Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel No
Variabel
1
Lama Kontak
2
Frekuensi Kontak
3
Riwayat Alergi
6
Riwayat Atopi
7
Riwayat penyakit kulit sebelumnya
8
Personal Hygiene
P1, P2, & P : Rata-rata proporsi P1 : 70.37% : 0.7037 P2 : 3.7% : 0.037 P : 0.37 P1 : 64.81% : 0.6481 P2 : 9.25% : 0.0925 P : 0.37 P1 : 57.7% : 0.577 P2 : 44.4% : 0.444 P : 0.5105 P1 : 46.2% : 0.462 P2 : 27.7% : 0.277 P : 0.752 P1 : 81.8% : 0.818 P2 : 43.5% : 0.435 P : 0.6265 P1 : 51.8% : 0.518 P2 : 41.7% : 0.417 P : 0.4675
Odds Ratio/r
Hasil
19
11
3.5
17
1.705 (0.662 – 4.386)
365
1.5
837
5.85 (1.176 – 29.103)
39
1.504 (0.572 – 3.951)
632
Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa hasil yang memungkinkan untuk dijadikan sampel adalah 39, kemudian dilakukan perhitungan kembali dengan cara, hasil sampel = tidak dermatitis (%) x n untuk mengetahui jumlah sampel minimum. Sehingga perlu diketahui prosentase tidak dermatitis pada penelitian lain yang serupa yaitu 51.3%. Maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut : 39 = 51.3/100 x n n = 39 x 100/51.3 n = 76
71
Maka diketahui bahwa jumlah sampel minimum penelitian ini adalah sebesar 76 orang. Akan tetapi untuk menghindari missing jawaban dari responden maka jumlah sampel ditambahkan sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebesar 88 responden yaitu semua populasi dijadikan sampel. D. Instrumen Penelitian 1. Lembar Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dermatitis kontak dilakukan dengan pemeriksaan fisik oleh dokter berdasarkan tanda dan gejala klinis yang muncul. Hasil pemeriksaan dicatat pada lembar pemeriksaan fisik. 2. Daily Acivity Recall Daily Acivity Recall merupakan lembar pencatatan kegiatan pekerja dalam melakukan pekerjaanya sehari-hari dalam waktu tertentu. Daily Activity Recall digunakan peneliti untuk mengetahui variabel lama kontak dan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia di tempat kerja. Dengan merunut kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh responden dalam satu hari, maka dapat diketahui lama kontak dalam satuan jam responden dan frekuensi kontak dalam berapa kalinya responden kontak dengan bahan kimia. 3. Self Administered Questionnaire Self Administered Questionnaire adalah kuesioner yang akan dibagikan kepada responden dengan metode pengisian yang didampingi oleh peneliti. Kuesioner ini berfungsi untuk mengumpulkan data primer penelitian dari responden yang berupa lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya. Untuk
72
variabel riwayat alergi dan riwayat penyakit kulit sebelumnya beberapa pertanyaan di kuesioner mengacu pada kuesioner dari Health and Safety Excecutive (HSE). Kuesioner yang digunakan berupa kuesioner tertutup yaitu kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden dapat memilih langsung jawaban pada kolom yang disediakan dengan member tanda x (silang). Dalam kuesioner, pertanyaan E1 dan E2 tentang riwayat atopi, jika jawaban responden dalam salah satu dari pertanyaan (E1 atau E2) atau kedua pertanyaan (E1 dan E2) adalah ‘Ya’ maka responden dinyatakan memiliki riwayat topi. Sedangkan dalam pertanyaan F1 tentang riwayat penyakit kulit sebelumnya, jika jawaban responden adalah ‘Ya’ maka responden dinyatakan memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Dalam pertanyaan G1 mengenai variabel riwayat alergi, jika jawaban pertanyaan G1 adalah ‘Ya’ maka responden dinyatakan memiliki riwayat alergi. 4. Lembar Observasi Lembar observasi merupakan panduan peneliti dalam mengamati responden. Data primer yang akan diperoleh dengan menggunakan lembar observasi adalah personal hygiene. Dalam lembar observasi, ada 6 poin yang akan diobservasi oleh peneliti. Jika salah satu dari 6 poin tidak terpenuhi oleh responden atau memiliki kategori ‘Tidak’ maka personal hygiene responden dinyatakan ‘TIdak Baik’. Akan tetapi jika ke 6 poin observasi terpenuhi oleh responden maka personal hygiene dinyatakan ‘Baik’.
73
E. Pengumpulan Data Pengumpulan data responden dilakukan berdasarkan satu jenis data yaitu data primer. Data primer merupakan data yang didapat langsung oleh peneliti dari pekerja proses finishing meubel kayu yang berada di wilayah Ciputat Timur. Data primer yang akan dikumpulkan berupa usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya yang didapat dari Self Administered Questionnaire. Kemudian variabel dermatitis kontak di periksa oleh dokter dan dicatat pada lembar pemeriksaan fisik, serta data personal hygiene yang di dapat dari lembar observasi. F. Pengolahan Data 1. Data Coding Coding data merupakan tahap mengklasifikasikan data dan pemberian kode jawaban responden sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Data coding berguna untuk memudahkan dalam membedakan antara data yang satu dengan lainnya dalam pengolahan data. Data coding dalam penelitian ini adalah : a. Dermatitis kontak, 0 : Tidak dermatitis kontak 1 : Dermatitis kontak b. Riwayat alergi, 0 : Tidak beresiko 1 : Beresiko c. Riwayat atopi, 0 : Tidak beresiko 1 : Beresiko d. Riwayat penyakit kulit sebelumnya, 0 : Tidak beresiko 1 : Beresiko e. Personal Hygiene, 0 : Baik 1 : Tidak baik
74
2. Data Editing Data lapangan yang ada dalam instrumen penelitian perlu diperiksa, diteliti, dan diedit. Tujuan dilakukannya editing adalah untuk: (1) Melihat lengkap tidaknya pengisian kuesioner. (2) Melihat logis tidaknya jawaban. (3) Melihat konsistensi antar pertanyaan. 3. Data Entry Data entry adalah proses memasukan data dari hasil yang didapat dalam instrumen penelitian yang sudah diberikan kode pada masing-masing variabel, kemudian dilakukan analisis data dengan memasukkan data tersebut dengan software statistik untuk dilakukannya analisis univariat dan bivariat. 4. Data Cleaning Data cleaning merupakan proses pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis. G. Teknik Analisa Data 1. Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang digunakan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umunya dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan prosentase dari tiap variabel. Sehingga dari analisis univariat hasil yang diperoleh adalan gambaran variabel secara umum. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel independen dengan variabel dependen menggunakan uji statistik yang sesuai dengan
75
skala data yang ada. Uji statistik pada penelitian ini adalah Chi Square, t-test independent, dan mann whitney. Uji Chi Square untuk menghubungkan variabel kategorik dan kategorik. Variabel yang termasuk pada uji Chi Square adalah riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan dermatitis kontak. Untuk menguji variabel usia, frekuensi kontak, lama kontak, dan masa kerja perlu dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu karena data yang didapatkan berupa data numerik. Bila hasil uji normalitas data berdistribusi normal maka akan dilanjutkan dengan uji t-test independen untuk menguji antara variabel numerik dan kategorik. Sedangkan jika hasil uji normalitas didapatkan bahwa data berdistribusi tidak normal maka digunakan uji mann whitney.
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil observasi penelitian yang dilakukan pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur, pekerja proses finishing meubel kayu melakukan beberapa proses kerja yaitu pengamplasan/penghalusan meubel, pendempulan meubel jika ada kayu yang bolong, pemlituran meubel yang meliputi cat dasar dan cat akhir meubel, serta pengkilapan meubel yang merupakah tahap akhir proses finishing. Bahan-bahan kimia yang digunakan sangat beragam dan berbeda sesuai prosesnya seperti wood filler untuk pendempulan, wood stain untuk pemlituran, sanding sealer untuk politur sebagai cat dasar, thinner dan spirtus sebagai bahan campuran, dan sanding melamic clear untuk pengkilapan.
Gambar 5.1 Pekerja proses finishing melakukan pemlituran meubel kayu Sumber :http://diskonews.blogspot.com/2010/12/wisata-furniture-kuno-di-jalan-ciputat.html
Sebagian besar pekerja melakukan pekerjaannya selama 8 jam tiap hari kecuali jika adanya pesanan borongan sehingga memungkinkan pekerja untuk
76
77
bekerja lebih lama dari biasanya. Keseluruhan pekerja proses finishing di Ciputat Timur tidak menggunakan APD yang berupa sarung tangan untuk melindungi kulit dari kontak langsung dengan bahan kimia, sehingga risiko dermatitis pun meningkat. Kemudian, diketahui dari observasi lapangan bahwa pekerja tidak melakukan personal hygiene yang baik dimana pekerja tidak melakukan cuci tangan dengan benar langsung setelah melakukan setiap tahap proses finishing. Jumlah total awal responden adalah 88 orang pekerja proses finishing, akan tetapi saat turun lapangan, didapatkan 82 orang pekerja yang bersedia untuk menjadi responden penelitian. Dengan jumlah total responden 82 orang, sudah cukup untuk memenuhi sampel minimum yang berjumlah 76 orang yang diketahui melalui perhitungan sampel sebelumnya, sehingga berkurangnya responden penelitian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil penelitian. Berikut merupakan hasil penelitian yang dilakukan mengenai FaktorFaktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. B. Analisis Univariat 1. Gambaran Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012. Hasil analisis univariat kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut :
78
Tabel 5.1 Gambaran Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 Gambaran Dermatitis Kontak B Dermatitis Kontak e Tidak Dermatitis Kontak r Total
Frekuensi
Prosentase (%)
33
40.2
49
59.8
82
100
Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa dari 82 pekerja proses finishing meubel kayu, 33 orang (40.2%) mengalami dermatitis kontak dan 49 orang (59.8%) tidak mengalami dermatitis kontak. 2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Analisis univariat gambaran distribusi frekuensi berdasarkan variabel faktor-faktor (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya dan personal hygiene) yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012, dapat dilihat pada tabel 5.2 dan 5.3 berikut :
79
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Lama kontak, Frekuensi kontak, Usia, dan Masa kerja Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 No
Variabel
Mean
SD
Min
Max
1
Lama Kontak
6.8 jam/hari
1.3
4 jam/hari
9.5 jam/hari
2
Frekuensi Kontak
4 kali/hari
2
2 kali/hari
8 kali/hari
3
Usia
35 tahun
11
16 tahun
65 tahun
4
Masa Kerja
89 bulan
79.9
1 bulan
360 bulan
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Alergi, Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit, dan Personal Hygiene Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012
No
Variabel
1
Riwayat Alergi
2
Riwayat Atopi
Kategori
Frekuensi
Prosentase (%)
Berisiko (Alergi)
25
30.5
Tidak Berisiko (Tidak Alergi)
57
69.5
Berisiko (Atopi)
32
39
Tidak Berisiko (Tidak Atopi)
50
61
58
70.7
Riwayat Penyakit Kulit)
24
29.3
Tidak Baik
82
100
Baik
0
0
Berisiko (Ada Riwayat 3
Riwayat Penyakit Kulit
Penyakit Kulit) Tidak Berisiko (Tidak Ada
4
Personal Hygiene
80
a. Lama Kontak Lama kontak merupakan lamanya waktu pekerja kontak dengan bahanbahan penyebab dermatitis kontak di tempat kerja yang dihitung jam/hari. Data mengenai lama kontak diperoleh dari lembar daily activity recallpekerja. Pada tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata lama kontak pekerja proses finishing meubel kayu adalah sebesar 6.8 jam/hari dengan nilai standar deviasi sebesar 1.3.Waktu lama kontak terpendek pekerja adalah 4 jam/hari dan lama kontak terpanjang adalah 9.5 jam/hari. b. Frekuensi Kontak Frekuensi kontak merupakan jumlah berapa kalinya responden kontak dengan bahan yang menyebabkan dermatitis kontak di tempat kerja dalam hitungan x/kali. Data mengenai frekuensi kontak diperoleh dari lembar daily activity recall pekerja. Pada tabel 5.2 diketahui bahwa ratarata frekuensi kontak pekerja proses finishing meubel dengan bahan kimia yang digunakan adalah sebesar 4 kali/hari dengan nilai standar deviasi sebesar 2. Frekuensi kontak terendah pekerja adalah 2 x/hari dan frekuensi kontak tertinggi adalah 8 x/hari. c. Usia Usia adalah lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian berlangsung yang diketahui melalui kuesioner. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata usia pekerja proses finishing meubel adalah 35 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 11. Usia termuda pekerja adalah 16 tahun dan usia tertua pekerja adalah 65 tahun.
81
d. Masa Kerja Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya responden bekerja sebagai pekerja meubel sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung. Data masa kerja diperoleh dari kuesioner. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja proses finishing meubel kayu adalah 89 bulan dengan nilai standar deviasi sebesar 79.9. Masa kerja terpendek adalah 1 bulan dan masa kerja terlama adalah 360 bulan. e. Riwayat Alergi Riwayat alergi adalah reaksi tubuh pekerja yang berlebihan terhadap benda asing/zat tertentu yang diketahui melalui kuesioner. Pada tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang mempunyai alergi adalah sebanyak 25 orang (30.5%) dan pekerja yang tidak mempunyai alergi adalah sebanyak 57 orang (69.5%). f. Riwayat Atopi Riwayat atopi adalah penyakit pada pekerja yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi. Data riwayat atopi diperoleh dari kuesioner. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat atopi sebanyak 32 orang (39%) dan pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 50 (61%). g. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya Riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah peradangan pada kulit dengan gejala subjektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak,
82
pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja. Data riwayat penyakit kulit sebelumnya diperoleh melalui kuesioner. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 58 orang (70.7%) sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 24 orang (29.3%). h. Personal Hygiene Personal hygiene adalah kebiasaan pekerja untuk membersihkan tangan dengan baik sebelum dan setelah bekerja dan tidak adanya noda atau cipratan bahan kimia di pakaian pekerja saat bekerja yang diketahui melalui lembar observasi. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja dengan personal hygiene yang tidak baik adalah sebanyak 82 orang (100%). C. Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel independen dengan variabel dependen menggunakan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang ada. Uji normalitas data didapatkan bahwa variabel numerik yang berdistribusi normal adalah lama kontak dan usia sehingga digunakan uji t-test independent untuk menguji hubungan lama kontak dan usia dengan dermatitis kontak. Sedangkan data variabel frekuensi kontak dan masa kerja tidak berdistribusi normal sehingga digunakan uji mann-whitney untuk menguji
83
hubungan frekuensi kontak dan masa kerja dengan dermatitis kontak. Untuk menguji variabel katagorik dari faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak (riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit) dengan variable dermatitis kontak digunakan uji Chi Square. Hasil analisis hubungan antara faktor – faktor (Lama kontak, Frekuensi Kontak, Usia, Masa Kerja, Riwayat Alergi, Riwayat Atopi, dan Riwayat Penyakit Kulit) dengan kejadian dermatitis kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5.4 Hubungan Faktor – Faktor (Lama kontak dan Usia) dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.
No 1
3
Variabel Lama Kontak
Usia
Kejadian Dermatitis
N
Mean
Dermatitis Kontak
33
6.9 jam/hari
Tidak Dermatitis Kontak
49
6.7 jam/hari
Dermatitis Kontak
33
41.3 tahun
Tidak Dermatitis Kontak
49
31.4 tahun
Kontak
Pvalue
0.532
0.000
84
Tabel 5.5 Hubungan Faktor – Faktor (Frekuensi Kontak dan Masa Kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012
No 1
2
Kejadian Dermatitis
Variabel
Kontak
Frekuensi Kontak Dermatitis Kontak
Masa Kerja
Mean
N
Rank
33
38.26
Tidak Dermatitis Kontak
49
43.68
Dermatitis Kontak
33
53.88
Tidak Dermatitis Kontak
49
33.16
P value
0.304
0.000
Tabel 5.6 Hubungan Faktor – Faktor (Riwayat alergi, Riwayat atopi, & Riwayat penyakit kulit) dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012
No
Variabel
1
Riwayat Alergi
2
Riwayat Atopi
3
Riwayat Penyakit Kulit
Kategori Berisiko (Alergi) Tidak Berisiko (Tidak Alergi) Berisiko (Atopi) Tidak Berisiko (Tidak Atopi) Berisiko (Ada Riwayat Penyakit Kulit) Tidak Berisiko (Tidak Ada Riwayat Penyakit Kulit)
Dermatitis
Frekuensi Tidak Dermatitis N % 11 44
N 25
% 100
Total
N 14
% 56
19
33.3
38
66.7
57
100
19
59.4
13
40,6
32
100
14
29.8
36
70,2
50
100
28
48,3
30
51.7
58
100
P Value
0,093
0.009
0.04 5
20,8
19
79,2
24
100
85
1. Hubungan Antara Lama kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata lama kontak pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 6.9 jam/hari, sedangkan rata-rata lama kontak pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 6.7 jam/hari. Variabel lama kontak memiliki nilai p value sebesar 0.532 yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. 2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.5 diketahui bahwa mean rank frekuensi kontak pada pekerja yang dermatitis kontak adalah sebesar 38.26 sedangkan mean rank frekuensi kontak pada pekerja yang tidak dermatitis kontak adalah sebesar 43.68. Variabel frekuensi kontak memiliki nilai p value sebesar 0.304 yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
86
3. Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 41 tahun, sedangkan rata-rata usia pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 31 tahun. Variabel usia memiliki nilai pvalue sebesar 0.000 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. 4. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.5 diketahui bahwa mean rank masa kerja pekerja yang dermatitis kontak adalah sebesar 53.88 sedangkan mean rank masa kerja pekerja yang tidak dermatitis kontak adalah sebesar 33.16. Variabel masa kerja memiliki nilai pvalue sebesar 0.000 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. 5. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa dari 25 orang pekerja yang memiliki riwayat alergi, terdapat 14 orang (56%) yang mengalami dermatitis kontak dan 11 orang (44%) yang tidak mengalami dermatitis
87
kontak. Sedangkan dari 57 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi, terdapat 19 orang (33.3%) yang mengalami dermatitis kontak dan 38 orang (66.7%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat alergi adalah sebesar 0.093 yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. 6. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa dari 32 orang pekerja yang memiliki riwayat atopi, terdapat 19 orang (59.4%) yang mengalami dermatitis kontak dan 13 orang (40.6%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 50 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi, terdapat 14 orang (29.8%) yang mengalami dermatitis kontak dan 36 orang (70.2%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat atopi adalah sebesar 0.009 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. 7. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012. Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa dari 58 orang pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 28 orang (48.3%)
88
yang mengalami dermatitis kontak dan 30 orang (51.7%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 24 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 5 orang (20.8%) yang mengalami dermatitis kontak dan 19 orang (79.2%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 0.040 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian 1. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain study cross sectional. Dengan desain study cross sectional, penelitian dilakukan pada satu waktu tertentu sehingga tidak dapat menentukan hubungan sebab akibat. Akan tetapi hanya mampu menjelaskan hubungan antar variabel. 2. Penentuan diagnosis dermatitis kontak dilakukan dengan pemeriksaan fisik oleh dokter, dimana dokter memeriksa melalui gambaran umum tanda dan gejala yang dialami oleh pekerja tanpa menggunakan uji tempel yang merupakan uji untuk memperkuat kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut disebabkan karena adanya ketebatasan biaya dan waktu penelitian. 3. Penelitian ini tidak melakukan uji konsentrasi bahan kimia yang digunakan karena beragamnya jenis bahan kimia yang digunakan pada proses finishing meubel sehingga sulit untuk menentukan bahan kimia mana yang menyebabkan kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut juga disebabkan oleh keterbatasan biaya dan waktu penelitian. 4. Hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh ingatan dan kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan terkait variabel lama kontak, frekuensi kontak, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya dalam kuesioner penelitian.
89
90
B. Kejadian Dermatitis Kontak Menurut Djuanda (1987), Dermatitis kontak ialah dermatitis karena kontaktan eksternal yang menimbulkan fenomen sensitisasi atau toksik. Sedangkan menurut John, SC (1998) dalam Occupational Dermatology, dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor. Penelitian mengenai dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012 menunjukkan bahwa 40.2% (33 orang) dari 82 pekerja mengalami dermatitis kontak. Menurut Cohen & Rice (2004) dalam Ruhdiat (2006), bahan kimia selalu dan merupakan penyebab terbesar terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Sehingga kejadian dermatitis kontak dalam penelitian ini disebabkan karena pekerja proses finishing meubel kayu menggunakan berbagai jenis bahan kimia dalam proses kerjanya serta adanya kontak dengan serbuk kayu. Seperti yang diutarakan oleh Harrianto (2008) bahwa kecenderungan untuk semakin banyak menggunakan bahan-bahan industri, yang merupakan substansi allergen dan iritan, dapat menyebabkan kenaikan prevalensi dermatitis kontak. Serbuk kayu merupakan salah satu bahan iritan yang dapat menyebabkan kejadian dermatitis kontak (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Adanya kandungan substansi kimia dari getah tumbuhtumbuhan yang ada dalam serbuk kayu dapat menyebabkan dermatitis kontak (Djuanda, 1987).
91
Berdasarkan hasil observasi lapangan, bahan kimia yang digunakan pekerja proses finishing meubel kayu adalah wood filler untuk pendempulan, wood stain untuk pewarnaan, sanding sealer untuk politur sebagai cat dasar, thinner dan spirtus sebagai bahan campuran, dan sanding melamic clear sebagai cat akhir untuk pengkilapan. Bahan dasar dari bahan-bahan tersebut adalah resin nitrosellulosa (diasamkan dengan asam nitrat & asam sulfat), melamine (formaldehid dan fenol), alkyd (glyserol dan asam phtalat), shellac (kelenjar insekta) dan pigmen. Kemudian spirtus dan thinner yang digunakan sebagai bahan campuran mengandung methanol, xylen, toluene, butyl alcohol, butyl cellosove, isopropyl alcolol. Bahan-bahan tersebut seperti formaldehid, asam nitrat, asam sulfat, xylen, dan toluen merupakan bahan yang berbahaya pada kulit karena dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Tanda dan gejala kelainan kulit yang dialami oleh 33 orang (40.2%) pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah berupa gatal, perih, kemerahan, papula (tonjolan padat), vesikel (tonjolan berisi air), krusta, licenifikasi (kulit mengkilap), kulit mengelupas, hyperkeratosis (penebalan kulit). Tanda dan gejala tersebut mencakupi pernyataan dalam Djuanda dan Sularsito (2002) yang menyebutkan pada penderita dermatitis kontak kulit terasa pedih atau panas, kering, adanya eritema (kemerahan), vesikel atau bula, papula, krusta, fisura, edema, skuama, dan likenifikasi (kulit mengkilap, menebal, menghitam).
92
Gambar 6.1 Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu berlokasi pada bagian tangan yaitu punggung tangan, telapak tangan, sela jari tangan, dan pergelangan tangan. Menurut Permana (2010), tangan merupakan lokasi tersering terkena dermatitis. Lebih dari sepertiga penyakit kulit akibat kerja berlokasi ditangan (Wilde dkk, 2008). Hal tersebut terjadi karena pekerja menggunakan tangannya secara langsung dalam mengaplikasikan bahan kimia yang digunakan dalam proses kerja sehingga tangan mengalami kontak langsung dengan bahan kimia maupun serbuk kayu yang ada pada meubel. Kejadian tersebut juga didukung oleh perilaku pekerja yang tidak menggunakan APD berupa sarung tangan pada saat melakukan pekerjaan sebagai pembatas kontak langsung pada kulit dan personal hygiene pekerja yang buruk. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, 100% (82 orang) pekerja proses finishing tidak menggunakan APD yang berupa sarung tangan sehingga risiko terjadinya dermatitis kontak semakin meningkat. Faktor personal hygiene juga mendukung
93
kejadian dermatitis kontak. Pengamatan yang dilakukan terhadap personal hygiene pekerja didapatkan bahwa 100% (82 orang) pekerja memiliki personal hygiene yang buruk, dimana menurut beberapa sumber yaitu Hipp (1985) dan Rietschel (1985) dalam Utomo (2007) serta Djuanda & Sularsito (2002) menyatakan bahwa personal hygiene merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Dalam pengamatan peneliti, setelah melakukan pekerjaannya, pekerja tidak langsung mencuci tangan untuk membersihkan bahan-bahan kimia yang menempel pada kulit tangan melainkan langsung istirahat dan melakukan pekerjaan lain sehingga risiko dermatitis kontak pun meningkat. Seperti halnya tujuan pelaksanaan personal hygiene adalah untuk, menghilangkan minyak dan keringat, sel-sel kulit mati, dan bakteri, menghilangkan bau badan, memelihara integritas permukaan kulit, menstimulasi sirkulasi peredaran darah seseorang, serta meningkatkan dan menjaga derajat kesehatan seseorang (Pradjawanto, 2009). Sehingga pekerja dengan personal hygiene yang buruk lebih besar risikonya terhadap dermatitis kontak. Sebagian besar pekerja mencuci tangan dengan menggunakan air yang ditampung di ember atau penampungan lain yang tidak melngalir, padahal telah tersedianya sarana mencuci tangan di setiap tempat kerja yang berupa kamar mandi. Bahkan, sebagian besar pekerja mencuci tangan menggunakan spirtus dan thinner dengan alasan lebih mudah menghilangkan noda bahan kimia yang menempel ditangan. Padahal menurut Koh dan Goh (1996), larutan pelarut
94
seperti thinner dan kerosene dapat pula mengakibatkan dermatitis kontak iritan kumulatif bila sering digunakan secara salah sebagai pembersih kulit. Berdasarkan observasi, diketahui juga bahwa pada sebagian besar sarana yang mendukung personal hygiene, disediakan sabun yang fungsinya bukan untuk mencuci tangan melainkan untuk mencuci pakaian dan/atau perabotan dapur. Kesalahan penggunaan sabun ini bisa menjadi penyebab yang memperparah kondisi dermatitis kontak. Karena menurut Cohen (1999), pemilihan jenis sabun pencuci tangan juga dapat berpengaruh terhadap kebersihan sekaligus kesehatan kulit pekerja. Dari variabel-variabel (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya) yang diteliti dalam penelitian ini, terdapat 4 variabel yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak yaitu usia (rata-rata 35 tahun), masa kerja (rata-rata 89 bulan), riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga diharapkan untuk peneliti selanjutnya untuk melakukan uji tempel yang berguna untuk memperkuat pemeriksaan dermatitis kontak. Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hasil penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
95
C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak 1. Hubungan Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak Lama kontak merupakan lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak di tempat kerja yang dihitung jam/hari. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel lama kontak memiliki nilai pvalue sebesar 0.532 yang artinya tidak ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga (2008), yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara lama kontak dengan dermatitis kontak. Proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 73.1%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak <8 jam adalah sebesar 22.2% (Nuraga,2008). Hasil penelitian Nuraga (2008) menunjukkan bahwa semakin lama kontak maka semakin besar pula risiko kejadian dermatitis yang dialami pekerja. Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak karena semakin lama kulit kontak dengan bahan kimia, maka menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam sehingga kejadian dermatitis kontak semakin berisiko tinggi (Cohen, 1999). Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Nuraga, 2008). Menurut Djuanda (2003),
96
semakin lama kontak dengan bahan kimia maka semakin berisiko terjadinya dermatitis kontak. Lama kontak pekerja proses finishing meubel kayu dengan bahan kimia berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan karena ada pekerja yang bekerja terkait dengan jam kerja yang ditetapkan serta ada juga pekerja yang bekerja secara suka-suka. Kemudian adanya sistem kerja borongan yang mengharuskan pekerja bekerja lebih ekstra dari biasanya, yang dapat menyebabkan lama kontak pekerja lebih lama dari biasanya. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa rata-rata lama kontak pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 6.9 jam/hari, sedangkan rata-rata lama kontak pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 6.7 jam/hari. Jadi dapat diartikan bahwa baik pekerja yang dermatitis kontak dan tidak dermatitis kontak rata-rata lama kontak dengan bahan kimia adalah selama ±7 jam/hari. Sehingga lama kontak antara pekerja yang dermatitis kontak dan tidak dermatitis kontak tidak berbeda satu sama lain. Dengan rata-rata lama kontak yang sama yaitu ±7 jam/hari, dapat diasumsikan pekerja memiliki risiko dermatitis kontak yang sama. Akan tetapi, dalam penelitian ini didapatkan bahwa ada pekerja yang mengalami dermatitis kontak dan ada pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak. Hal tersebut terjadi karena berdasarkan analisis, diketahui bahwa rata-rata masa kerja (pvalue : 0.000) pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak (rata-rata lama kontak 6.7 jam/hari) adalah sebesar 65 bulan (5 tahun 5 bulan)
97
lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata masa kerja pada pekerja yang mengalami dermatitis kontak (rata-rata lama kontak 6.9 jam/hari) yaitu 124 bulan (10 tahun 4 bulan). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan risiko kejadian dermatitis kontak antar kelompok pekerja dengan rata-rata lama kontak yang sama, dipengaruhi oleh masa kerja pekerja pada masingmasing kelompok yang berbeda. Pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung memiliki frekuensi kontak dan lama kontak yang lebih sering dibanding dengan pekerja yang baru. Seperti yang dikatakan oleh Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering pekerja mengalami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya. Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara lama kontak dengan dermatitis kontak, dimungkinkan disebabkan adanya pengaruh faktor-faktor lain seperti riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit sebelumnya (pvalue : 0.04). Pekerja dengan lama kontak yang cenderung sebentar belum tentu memiliki risiko dermatitis kontak yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang lama kontaknya cenderung sering. Dalam penelitian ini diketahui bahwa dari 14 orang pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak < 6.9 jam, terdapat 9 orang (64.3%) memiliki riwayat atopi dan 11 orang (78.6%) memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya.
98
Orang dengan riwayat atopi memiliki tubuh dengan hipersensitivitas yang tinggi jika terkena paparan benda asing di lingkungannya (Harijono, 2006), karena hal tersebutlah pekerja dengan riwayat atopi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak. Kemudian.adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya menyebabkan fungsi perlindungan kulit menurun karena adanya kerusakan pada kulit. Menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak sehingga bahan kimia lebih mudah masuk ke dalam kulit. Jadi jika pekerja memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya dan melakukan kontak dengan bahan kimia, meskipun sebentar akan dapat menyebabkan timbulnya dermatitis kontak. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut diperkirakan karena adanya pengaruh dari riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) menyebakan tidak adanya hubungan antara lama kontak dengan dermatitis kontak pada penelitian ini. 2. Hubungan Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak Frekuensi kontak merupakan jumlah berapa kalinya responden kontak dengan bahan yang menyebabkan dermatitis kontak di tempat kerja dalam hitungan x/kali. Hasil uji statistik pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa variabel frekuensi kontak memiliki nilai pvalue sebesar 0.304 yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara frekuensi kontak
99
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruhdiat (2006) yang menyatakan adanya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak dengan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≥5 kali/hari sebesar 96.3%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak <5 kali/hari adalah sebesar 79.4%. Hasil penelitian Ruhdiat (2006) menyatakan bahwa pekerja dengan frekuensi kontak lebih banyak maka akan lebih berisiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja dengan frekuensi kontak yang lebih sedikit. Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja sebagian besar karena kontak dengan bahan kimia yang dipengaruhi oleh faktor lamanya kontak dan frekuensi kontak. Semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit maka akan semakin luas dan dalam penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit, yang akan mencetuskan reaksi peradangan/iritasi kulit yang lebih luas dan berat (Agius R, 2004; Cohen dan Rice R.H, 2004). Jika pekerja kontak dengan bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi dengan frekuensi kontak yang lebih banyak, maka akan beresiko mengalami dermatitis dengan luas dan berat yang lebih. Frekuensi kontak pekerja proses finishing meubel kayu berbeda-beda satu sama lainnya, karena sistem kerja yang dilakukan di meubel kayu berbeda-beda ada yang terkait dengan jam kerja yang ditetapkan ada juga
100
yang bekerja secara suka-suka. Umumya pekerja bekerja secara borongan tergantung pesanan konsumen, sehingga ada saatnya pekerja sering kontak dengan bahan kimia, dan ada kalanya pekerja jarang kontak dengan bahan kimia yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa rata-rata frekuensi kontak pekerja proses finishing meubel dengan bahan kimia pada tabel 5.2 adalah sebesar 4 kali/hari dengan frekuensi kontak minimum 2kali/hari dan maksimum 8 kali/hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi kontak pekerja tidak sering bahkan cenderung jarang jika mengacu pada kategori dalam penelitian Ruhdiat (2006). Pada dasarnya diketahui bahwa pekerja dengan frekuensi kontak yang jarang lebih rendah risikonya dibandingkan dengan pekerja dengan frekuensi kontak yang sering. Dalam penelitian ini, pekerja dengan frekuensi kontak yang lebih jarang belum tentu lebih rendah risikonya terhadap dermatitis kontak. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi dermatitis kontak. Salah satunya adalah faktor usia (pvalue : 0.000). Dalam penelitian ini diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≤ 4 kali/hari adalah 40 tahun. Menurut Health Safety Executive (2000) dalam Suryani (2011) kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun. Terkait dengan tekstur kulitnya pekerja yang berusia tua lebih berisiko terkena dermatitis kontak karena fungsi perlindungan kulit yang semakin menurun dan kecenderungan
101
menipisnya lapisan luar kulit pada usia tua yang memudahkan penetrasi bahan kimia ke dalam kulit (Cohen, 1999). Kemudian jika ditinjau dari faktor masa kerja (pvalue : 0.000), diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≤ 4 kali/hari adalah 124 bulan (10 tahun 4 bulan). Jika frekuensi kontak pekerja sedikit tetapi masa kerjanya lebih lama maka pekerja akan mengalami kontak dengan bahan kimia yanglebih lama pula sehingga meningkatkan risiko dermatitis kontak karena bahan kimiamasuk dan menempel pada kulit lebih lama. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering pekerja mengalami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 21 orang pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≤ 4 kali/hari, didapatkan 13 orang (61.9%) memiliki riwayat atopi dan 17 orang (81%) memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Orang dengan riwayat atopi memiliki tubuh dengan hipersensitivitas yang tinggi jika terkena paparan benda asing di lingkungannya (Harijono, 2006), karena hal tersebutlah pekerja dengan riwayat atopi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak. Demikian pula dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya, menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah mengalami riwayat
102
penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak hingga bahan kimia lebih mudah masuk ke dalam kulit. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut diperkirakan karena adanya pengaruh dari usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000) riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) yang menyebakan tidak adanya hubungan antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak pada penelitian ini. 3. Hubungan Usia dengan Dermatitis Kontak Usia adalah lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian berlangsung yang diketahui melalui kuesioner. Hasil uji statistik pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa usia memiliki nilai pvalue sebesar 0.000 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata usia pekerja adalah 35 tahun dengan usia termuda adalah 16 tahun dan usia tertua pekerja adalah 65 tahun. Pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 41 tahun sedangkan rata-rata usia pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 31 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah pekerja dengan rata-rata usia 41 tahun yaitu pekerja yang tergolong usia tua. Menurut Health Safety Executive (2000) dalam Suryani (2011), kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun.
103
Kondisi kulit pekerja yang lebih tua cenderung lebih rentan karena fungsinya sudah menurun dibandingkan dengan kondisi kulit pekerja yang lebih muda yang cenderung lebih sehat sehingga lebih berisiko terkena dermatitis kontak. Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Pada pekerja yang lebih tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Pada pekerja dengan usia yang lebih tua, ketebalan kulit pun semakin berkurang, sehingga lapisan kulit menipis dan menyebabkan mudahnya bahan kimia masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi. Pada industri meubel kayu, tidak adanya sistem penempatan dimana pekerja yang lebih muda ditempatkan di tempat yang lebih berisiko dibanding pekerja yang lebih tua, sehingga risiko yang dihadapi pun sama. Dengan risiko yang sama tetapi kondisi kulit yang berbeda, maka dapat menjadi alasan bahwa pekerja lebih tua yang lebih berisiko terkena dermatitis kontak. Hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak. Untuk mengurangi risiko dermatitis kontak, pengelola diharuskan untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang personal hygiene yang baik. Peningkatan kesadaran pekerja terhadap personal hygiene juga perlu
104
dilakukan, seperti adanya poster-poster mengenai kebersihan. Setelah tersedianya sarana dan prasarana tersebut maka pekerja diwajibkan untuk menggunakannya dengan baik sehingga risiko dermatitis kontak berkurang. Kemudian penyediaan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan sebagai proteksi terhadap kontak langsung dengan bahan kimia juga diperlukan. Sarung tangan yang cocok untuk melindungi tangan dari bahan kimia adalah sarung tangan vinyl dan neoprene (Cholis, 1995). Pekerja juga diwajibkan untuk memakai sarung tangan yang telah disediakan dengan pertimbangan sensitivitas masing-masing individu. Dengan penerapan pengendalian tersebut, diharapkan risiko dermatitis kontak berkurang. 4. Hubungan Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya responden bekerja sebagai pekerja meubel kayu sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung. Hasil uji statistik pada tabel 5.4 diketahui masa kerja memiliki nilai pvalue sebesar 0.000 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja proses finishing meubel adalah 89 bulan (7 tahun 5 bulan). Masa kerja terpendek adalah 1 bulan dan masa kerja terlama adalah 360 bulan. Rata-rata masa kerja pekerja proses finishing meubel cenderung lama yaitu 89 bulan (7tahun 5 bulan). Dengan rata-rata masa kerja selama 89 bulan (7 tahun 5 bulan) maka dapat diasumsikan bahwa pekerja proses finishing meubel telah
105
lama melakukan kontak dengan bahan kimia sehingga risiko dermatitis kontak pun meningkat. Pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung memiliki frekuensi kontak dan lama kontak yang lebih sering dibanding dengan pekerja yang baru. Seperti yang dikatakan oleh Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering pekerja menglami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya. Pekerja dengan masa kerja yang lebih lama merupakan pekerja dengan usia yang lebih tua, maka dari itu risiko dermatitis meningkat karena kondisi kulit pekerja yang lebih tua telah menurun dibanding dengan pekerja yang lebih muda. Sesuai dengan teori Cohen (1999) bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis. Hal tersebutlah yang menyebabkan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lama memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak dibanding dengan pekerja yang baru. Pengendalian yang dapat dilakukan untuk pekerja proses finishing meubel kayu adalah dengan mengurangi lama kontak kulit dengan bahan kimia. Akan tetapi mengingat bahwa jam kerja pekerja tidak teratur serta adanya sistem kerja borongan, maka pengurangan lama kontak tidak bisa dilakukan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pengelola dianjurkan untuk
106
menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang dibutuhkan pekerja. Kemudian pekerja diharuskan untuk selalu menjaga personal hygiene yang baik dibawah pengawasan pengelola yaitu dengan mencuci bagian tubuh yang terkena bahan kimia dengan sabun menggunakan cara yang benar setelah melakukan tiap proses finishing agar bahan kimia tidak melekat terus di kulit sehingga meningkatkan risiko dermatitis kontak. Pengelola juga dianjurkan untuk menyediakan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan vinyl dan neoprene untuk pekerja. Setelah tersedia, maka pekerja diwajibkan untuk menggunakannya agar terhindar dari kontak langsung antara bahan kimia dengan kulit pekerja. Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan dermatitis kontak (Susanti, 2010). 5. Hubungan Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak Riwayat alergi adalah reaksi tubuh manusia yang berlebihan terhadap benda asing tertentu atau bahan yang bersifat allergen. Pengertian lain adalah reaksi terhadap berbagai rangsangan/zat dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat alergi adalah sebesar 0.093 yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Utomo (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak.
107
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa distribusi pekerja yang memiliki riwayat alergi sebesar 25 (30.5%) orang, sedangkan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 57 orang (69.5%). Pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari 25 orang pekerja yang memiliki riwayat alergi, terdapat 14 orang (56%) yang mengalami dermatitis kontak dan 11 orang (44%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 57 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi, terdapat 19 orang (33.3%) yang mengalami dermatitis kontak dan 38 orang (66.7%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Riwayat alergi merupakan salah satu aspek dalam menegakkan diagnosis dermatitis kontak. Menurut Putro (1985) dalam Utomo (2007), dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan, sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis. Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara riwayat alergi dan dermatitis kontak, dimungkinan disebabkan karena sebelumnya pekerja tidak pernah melakukan pemeriksaan mengenai riwayat alergi sehingga pekerja tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada diri mereka. Kemudian pekerja juga menyepelekan gejala alergi yang mereka alami sehingga tidak menyadari bahwa mereka memiliki riwayat alergi. Dalam Dewan K3 Nasional (1982) dikatakan bahwa, reaksi sensitifitas allergen sangat
108
bervariasi tergantung pada faktor genetik seseorang, demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda-beda. Sehingga pekerja tidak menyadari tanda dan gejala alergi yang timbul pada diri mereka, karena adanya perbedaan reaksi setiap tubuh orang terhadap allergen. Hal tersebut berpengaruh dalam pemberian jawaban di kuesioner yang diberikan. Dalam penelitian ini, pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi belum tentu memiliki risiko yang lebih rendah terhadap dermatitis kontak karena dimungkinkan adanya faktor lain yaitu usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000), dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04). Dalam penelitian ini, diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak dan tidak memiliki riwayat alergi adalah 41 tahun. Menurut Health Safety Executive (2000) dalam Suryani (2011), kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun, sehingga pekerja dengan usia ≥ 40 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak. Pada pekerja yang lebih tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Berdasarkan hasil analisis, diketahui pula rata-rata masa kerja pekerja yang mengalami dermatitis kontak dan tidak memiliki riwayat alergi adalah 126 bulan (10 tahun 6 bulan). Semakin lamanya masa kerja pekerja maka semakin lama pula pekerja kontak dengan bahan kimia sehingga risiko dermatitis kontak meningkat. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007),
109
semakin sering pekerja mengalami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya. Kemudian diketahui pula dari 19 orang pekerja yang mengalami dermatitis kontak dan tidak memiliki riwayat alergi, terdapat 14 orang (73.7%) memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Sehingga meskipun pekerja tidak memiliki riwayat alergi akan tetapi pekerja memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya yang menyebabkan terkikisnya lapisan epidermis kulit dan menimbulkan bekas kerusakan pada kulit, maka pekerja tersebut memliki risiko yang lebih tinggi karena sistem perlindungan kulit telah menurun dan mempermudah jalan masuknya bahan kimia ke dalam kulit (Jeyaratnam & Koh, 1996). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut diperkirakan karena adanya pengaruh dari usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) yang menyebakan tidak adanya hubungan antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak pada penelitian ini. 6. Hubungan Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat didalam lingkungan kehidupan. Sindrom atopik disini meliputi dermatitis atopik (DA), rhinitis alergi, asma bronkiale. Hasil uji statistik variabel riwayat atopi menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat atopi adalah
110
sebesar 0.009 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan yang signifikan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat atopi sebanyak 32 orang (39%) dan pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 50 (61%). Pada tabel tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari 32 orang pekerja yang memiliki riwayat atopi, terdapat 19 orang (59.4%) yang mengalami dermatitis kontak dan 13 orang (40.6%) orang yang tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 50 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi, terdapat 14 orang (29.8%) yang mengalami dermatitis kontak dan 36 orang (70.2%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Proporsi pekerja yang memiliki riwayat atopi dan mengalami dermatitis kontak (59.4%) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang memiliki riwayat atopi dan tidak mengalami dermatitis kontak (40.6%). Kemudian proporsi pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi dan tidak memiliki dermatitis kontak (70.2%) juga cukup tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa pekerja yang memiliki riwayat atopi lebih berisiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi. Riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisi dari dermatitis kontak. Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat didalam lingkungan kehidupan manusia yang bersifat familial atau
111
turunan (Harijono, 2006 dalam Indriani, 2010). Dalam penelitian ini, riwayat atopi berhubungan secara signifikan dengan dermatitis kontak. Hal tersebut sesuai dengan pernyatan Sularsito (2007) yang menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Pengendalian yang dapat dilakukan adalah, pengelola menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang baik. Kemudian pekerja diharuskan untuk menjaga personal hygiene dengan menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia. Pengelola juga harus melakukan pengawasan terhadap perilaku personal hygiene pekerja. Kemudian penyediaan alat pelindung diri berupa sarung tangan vinyl dan neoprene untuk pekerja dan mengawasi pekerja untuk selalu menggunakan sarung tangan tersebut sebagai proteksi kulit dari bahan kimia. Hal tersebut guna memperkecil risiko timbulnya dermatitis kontak. 7. Hubungan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak Riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau diderita oleh pekerja. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 0.040 yang dapat diartikan bahwa
112
pada =5% ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Utomo (2007) yang menyatakan adanya hubungan antara riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan dermatitis kontak dengan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 81.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 43.5%. Pada tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 58 orang (70.7%) sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 24 orang (29.3%). Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari 58 orang pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 28 orang (48.3%) yang mengalami dermatitis kontak dan 30 (51.7%) orang yang tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 24 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 5 orang (20.8%) yang mengalami dermatitis kontak dan 19 orang (79.2%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Riwayat penyakit kulit mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011), riwayat penyakit digunakan sebagai salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan seseorang. Penyakit kulit yang pekerja derita sebelumnya
113
dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pekerja menderita dermatitis kontak kembali (riwayat berulang) (Lestari dan Utomo, 2007). Kulit yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, memiliki kerentanan terhadap terjadinya penyakit kulit lain, karena lapisan kulit telah mengalami kerusakan sebelumnya sehingga bahan kimia lebih cepat masuk ke dalam kulit. Pekerja dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya perlu diperhatikan agar penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya tidak dapat timbul kembali. Bila terdapat pekerja dengan riwayat dermatitis kronik maka pekerja tersebut lebih rentan untuk terkena dermatitis bila bekerja pada tempat tertentu dikarenakan reaksi iritan ataupun sensitivasi (Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 1982). Kerusakan kulit akibat penyakit kulit yang sebelumnya diderita membuat kulit lebih rentan karena fungsinya sudah menurun karena lapisan terluar kulit telah terkikis. Seperti pernyataan Jeyaratnam & Koh (1996) bahwa pekerja yang pernah mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak. Hal inilah yang menyebabkan bahwa pekerja dengan riwayat penyakit kulit lebih berisiko terkena dermatitis kontak. Faktor personal hygiene sangat penting dalam mengurangi risiko dermatitis kontak pada pekerja khusunya yang lebih berisiko. Sehingga pengelola meubel kayu dianjurkan untuk menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang baik dan terjangkau untuk pekerja. Kemudian
114
melakukan pengawasan terhadap perilaku personal hygiene pekerja agar pekerja selalu menjaga personal hygiene dengan baik. Penyediaan alat pelindung diri berupa sarung tangan vinyl dan neoprene juga diwajibkan bagi pengelola. Setelah tersedia, pekerja diwajibkan untuk memakai sarung tangan tersebut untuk melindungi tangan dari bahan kimia dibawah pengawasan pengelola. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko dermatitis kontak pada pekerja.
115
BAB VII SIMPULAN & SARAN
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur, dapat disimpulkan bahwa : 1. Gambaran pekerja proses finishing yang mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 33 orang (40.2%). 2. Hasil uji statistik univariat diketahui bahwa dari 82 pekerja proses finishing yang diteliti, didapatkan : a. Rata-rata lama kontak pekerja dengan bahan kimia adalah 6.8 jam/hari. b. Rata-rata frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia adalah 4 kali/hari. c. Rata-rata usia pekerja proses finishing adalah 35 tahun. d. Rata-rata masa kerja pekerja proses finishing adalah 89 bulan (7 tahun 5 bulan). e. Pekerja yang memiliki riwayat alergi adalah sebanyak 25 orang (30.5%). f. Pekerja yang memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 32 orang (39%). g. Pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 58 orang (70.7%). h. Pekerja dengan personal hygiene yang tidak baik adalah sebanyak 82 orang (100%) .
115
116
3. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa variabel usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000), riwayat atopi (pvalue : 0.009), dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak. B. SARAN 1. Bagi Pengelola Meubel Kayu a. Dianjurkan untuk menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang sesuai dan terjangkau oleh pekerja saat bekerja, seperti menyediakan sabun pencuci tangan yang sesuai dan penyediaan sarana pencuci tangan yang dekat dengan pekerja. b. Dianjurkan untuk meningkatkan disiplin pekerja dengan menerapkan aturan yang mengharuskan pekerja menjaga personal hygiene dengan baik dan melakukan pengawasan terhadap berjalannya aturan tersebut. c. Dianjurkan untuk meningkatkan disiplin pekerja dengan menerapkan aturan yang mengharuskan pekerja untuk menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan) dengan baik dan melakukan pengawasan terhadap berjalannya aturan tersebut. d. Dianjurkan untuk menyediakan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan vinyl dan neoprene untuk melindungi tangan pekerja saat kontak dengan bahan kimia. 2. Bagi Pekerja a. Dianjurkan untuk menjaga personal hygiene yang baik dengan cara mencuci tangan secara benar setelah kontak dengan bahan kimia.
117
b. Dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan vinyl dan neoprene untuk melindungi tangan saat kontak dengan bahan kimia. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Disarankan untuk melakukan uji tempel pada pekerja untuk memperkuat dugaan dermatitis kontak. b. Disarankan untuk melakukan uji konsentrasi bahan kimia yang digunakan oleh pekerla.
DAFTAR PUSTAKA
Agius R. Practical Occupational Medicine.(online). http:// www.agius.com. 2004. Astono, Sudidan Sudarja, Herliani. Penyakit Kulit di Kalangan Tenaga Kerja Industri Plywood di Propinsi Kalimantan Selatan. Program Pasca Sarjana Hiperkes Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No 136. 2002. Avivah. Hubungan Antara Pajanan Pestisida dengan Dermatitis Kontak Petani Padi di Kecamatan Cilamaya Kulon Karawang. Universitas Indonesia. 2005. Bantas. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi. Universitas Indonesia. 2009 Cahyawati, I Dan Budiono, I. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang. 2011. Cohen. DE. Occupational Dermatosis, Handbook of Occupational Safety and Health, second edition, Canada. 1999 Cholis. M. Dermatitis pada Pekerja Karoseri. Majalah Kedokteran Indonesia. 1995.
Cronin E. Contact Dermatitis. Ediburgh London dan New York : Churchill Livingstone. 1980. Depkes RI. Upaya Kesehatan Kerja Bagi Perajin Kulit, Meubel, Aki Bekas, Tahu dan Tempe, Batik. Puskesja Sekjen Depkes RI, Jakarta. 2002. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. 1982 dalam Utomo, Suryo Hari. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di Bagian Produksi dan Quality Control PT. IPPI Tahun 2007. Skripsi. Universitas Indonesia. 2007. http://diskonews.blogspot.com/2010/12/wisata-furniture-kuno-di-jalan-ciputat.html diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 10.05 WIB Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI Jakarta. 2002. Firdaus, U. Dermatitis Kontak Akibat Kerja : Penyakit Kulit Akibat Kerja Terbanyak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat, Vol. II no.5. 2002. Florence, Suryani Situmeang. Analisa Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pencuci Botol PT. X Medan Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2008.
118
119
Fregert, Sigfird. Contact Dermatitis (Manual of Contact Dermatitis). Yayasan Essentia Medika. Yogyakarta. 1981. Gilles L, et all.The Pathophysiologi of Irritant Contac Dermatitis. In: Jackson EM, Goldner R, editors Irritant Contac Dermatitis. Clinical Dermatology, New York: Marcel Dekker, 1990. Hamzah, Syafei. Dermatitis Kontak Karena Pestisida. UPF Penyakit Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Dr. Abdul Muluk, Bandar Lampung. Cermin Dunia Kedokteran No. 107, 1996 http://health.detik.com/read/2012/11/22/122435/2098148/763/kelenjar-keringat-berperanpentingsembuhkan-luka-kulit diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 07.44 WIB. Hogan D. Allergic contact dermatitis. Medicine J. vol 2, no.11. 2001. http://id.scribd.com/doc/100941637/Penyakit-Kulit-Akibat-Kerja diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 09.44 WIB Hajsmy.us › Dunia Berita diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 10.12 WIB Harrianto. Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Zat Kimia (Buku Ajar Kesehatan Kerja). Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. 2008. Hudyono, J. Dermatosis Akibat Kerja. Majalah Kedokteran Indonesia. 2002. Indriani, Fitria. Pengaruh Riwayat Atopik Terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010. Jeyaratnam, J dan Koh, David. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja edisi 1. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. John, S.C. A Color Handbook of Occupational Dermatology. Manson Publishing. 1998. Joyce, Ernest. The Technique of Furniture Making (4th Edition). BT Batsford Ltd, London, 1987). http://apikayu.wordpress.com/category/teknikal-desain/ diakses pada tanggal 19 Juli 2012 Pukul 08.45 WIB. Keefner, D.M, dan Curry, C.E., Contact Dermatitis dalam Handbook of Nonprescription Drugs,12th Edition.APHA, Washington D.C. 2004.
120
http://kesehatan123.com/yusri/author/kesehatan-kulit/2011 diakses pada tanggal 2 Oktober pada pukul 09.28 WIB Lestari, Fatma dan Utomo, Suryo Hari. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Di PT. Inti Pantja Press Industri. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 2007. National Institute of Occupational Safety and Health. Occupational and Environment Exposure of Skin to Chemic. 2006 dalam http://www.mines.edu/outreach/oeesc Nuraga, Wisnu dkk. Dermatitis Kontak pada Pekerja yang Terpajan Dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Program Studi Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 2008. Occupational Contact Dermatitis in Australia. Australian Safety & Compensation Council. 2006 Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).2009 http://www.perdoski.org/index.php/public/information/news-detail/17. Permana, Made Gede Cahyadi. Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Tukang Cuci Mobil. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2010. Pradjawanto, Agus. Perawatan diri http ://www.kreasimahasiswa.page/Keperawatan-Dasar. diakses pada tanggal 14 Juli 2012 pukul 14.33 WIB Roebidin, Rachmat. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dematosis pada Pekerja Sentra Industri Tahu di Kelurahan Jomblang Kecamatan Candi Sari Kota Semarang. Tesis. Universitas Muhammadiyah Semarang. 2008. Ruhdiat, Rudi. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontakakibat kerja pada pekerja laboratorium kimia di PT Sucofindo Area Cibitung Bekasi Tahun 2006. Tesis. Universitas Indonesia. 2006. Sedarmayanti. Tata Kerja dan Produktifitas Kerja. Mandar Maju. Bandung. 1996 Siregar, RS. Dermatosis Akibat Kerja. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat, Palembang. Cermin Dunia Kedokteran Vol 107. 1996.
121
Sulistyani, dkk. Pengaruh Riwayat Atopik terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010. Suma’mur PK. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT Gunung Agung. Jakarta. 1989.
Sumantri, Muhammad, dkk. Dermatitis Kontak. Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. 2008. Suryani, Febria. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Bagian Processing dan Filling Di PT.Cosmar Indonesia. Tahun 2011 Susanti, Diah Rifqi. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (SarungTangan) Terhadap Penurunan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Bagian Penyelesaian Akhir di CV. Roda Jati Karanganyar. Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010. The Prevalence of Occupational Dermatitis amongst Printers In the Midland. HSE UK. 2000. Trihapsoro, Iwan. Dermatitis Kontak Alergik pada pasien rawat jalan di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Universitas Sumatera Utara, Indonesia, 2003. Utomo, Suryo Hari. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di Bagian Produksi dan Quality Control PT. Inti Pantja Press Industri Tahun 2007. Skripsi. Universitas Indonesia. 2007. Wilde. M.M, dkk. National of Occupational Skin Disease by Dermatologist in The Netherlands. Occupational Medicine. 2008 Yunus, Muhammad. Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja, Karakteristik Pekerjadan Kadar Debu Kayu (PM 10) terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Industri Kecil Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2010. Universitas Sumatera Utara. 2010.
KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012
Assalamualaikum Wr. Wb Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian. Hasil penelitian ini merupakan tugas akhir dari peneliti untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Untuk itu, saya mengharapkan partisipasi Bapak/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini secara jujur dan lengkap. Pengisian Bapak/Saudara/i.
kuesioner
ini
tidak
akan
Jawaban Bapak/Saudara/i
berpengaruh
dalam
terhadap
kuesioner ini
pekerjaan
akan dijaga
kerahasiaannya. Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Saudara/i saya ucapkan terima kasih. Saya menyatakan bahwa saya telah membaca pernyataan diatas, dan saya setuju untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Wassalamualaikum Wr.Wb.
Ciputat Timur, Agustus 2012 Peneliti
(Niswah Afifah)
Responden
(
)
No Tanggal Responden
Identitas Responden Nama
:
Alamat
:
No. Telp./Hp : Kuesioner No
Pertanyaan
A
Lama Kontak
A1
Berapa lama anda bersentuhan/kontak dengan bahan kimia dalam satu hari?
Kode
[
]
[
]
[
]
[
]
…………….jam/hari B
Frekuensi Kontak
B1
Berapa kali anda bersentuhan dengan bahan kimia tersebut dalam 1 hari? ………………x/hari
C
Usia
C1
Pada tanggal, bulan, dan tahun berapa anda lahir? Tanggal…….., bulan…………………., tahun…………
D
Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan apa yang sedang anda lakukan? a. Penghalusan b. Pendempulan c. Pemutihan
d. Pemlituran e. Pengecatan f. Pengkilapan E
Riwayat Atopi
E1
Apakah anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi? 1. Ya
[
]
[
]
[
]
[
]
2. Tidak Jika “ya” langsung ke pertanyaan F1, jika “tidak” lanjut ke pertanyaan E2. E2
Apakah salah satu keluarga anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi? 1. Ya 2. Tidak
F
Riwayat Penyakit Kulit
F1
Apakah
sebelumnya
anda
pernah
mengalami
penyakit/peradangan pada kulit? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan F2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan G1 F2
Bagaimana tanda dan gejala penyakit/peradangan kulit yang pernah anda alami? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Gatal ( ) b. Rasa terbakar ( ) c. Kemerahan ( )
d. Bengkak ( ) e. Lepuh kecil pada kulit ( ) f. Kulit mengelupas ( ) g. Kulit kering ( ) h. Kulit bersisik ( ) i. Penebalan pada kulit ( ) F3
Pada bagian mana anda mengalami penyakit kulit tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( )
[
]
[
]
[
]
[
]
f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ………………………. F4
Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan Alasan : …………………………………………………..
G
Riwayat Alergi
G1
Apakah anda pernah mengalami alergi pada kulit? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan G2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan H1.
G2
Apakah penyebab alergi tersebut? a. Bahan kimia b. Debu
c. Logam d. Tanaman e. Obat f. Lainnya …………………………………. G3
Pada bagian mana anda mengalami alergi tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( )
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ………………………. G4
Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan Alasan : …………………………………………………..
H
Masa Kerja
H1
Kapan anda mulai bekerja di meubel kayu ini? Bulan……………………, tahun………………….
H2
Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain? 1. Ya 2. Tidak Jika “ya” lanjut ke pertanyaan H3.
H3
Dimana anda bekerja sebelumnya? a. Meubel kayu ( ) b. Lainnya, sebutkan…………..
H4
Berapa lama anda bekerja ditempat tersebut? …………..
H5
Apakah ditempat kerja anda sebelumnya ada kemungkinan anda kontak dengan bahan kimia? 1. Ya
[
]
2. Tidak
Lembar Observasi (dilakukan oleh peneliti) Personal Hygiene 1
Kode
Pekerja mencuci tangan dengan air bersih dan sabun setelah melakukan pekerjaan? 1. Ya
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
2. Tidak 2
Pekerja mencuci tangan dengan benar? 1. Ya 2. Tidak
3
Pekerja mengeringkan tangan setelah mencuci tangan? 1. Ya 2. Tidak
4
Pekerja mengeringkan tangan menggunakan pengering/lap khusus tangan? 1. Ya 2. Tidak
6
Pakaian pekerja bersih dari bahan kimia? 1. Ya 2. Tidak
Lembar Pemeriksaan Fisik
No
:
Nama
:
Tanggal
Anamnesis/Pemeriksaan
1. Keluhan utama (gejala klinis)
Lokasi Dermatitis
:
a. Gatal b. Kemerahan c. Pembengkakan d. Vesikel/bullae e. Kulit kering bersisik f. Fissura (kulit pecah-pecah) g. Exudat (cairan bening / darah) h. Krusta/pengeringan dari krusta i. Lichenifikasi (kulit menghitam, mengkilap) j. Sidik jari tidak tampak k. Hiperkeratosis (kapalen) l. Kerusakan kuku-kuku jari m. Infeksi
Diagnosis
Paraf & Nama Dokter
2. Riwayat keluhan : a. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan
: ya/tidak
b. Apakah berkurang / hilang bila libur atau tidak kerja : ya/tidak c. Bertambah bila terus menerus bekerja dalam beberapa hari tanpa istirahat : ya/tidak 3. Tipe Kulit Pekerja a. Tebal b. Tipis 4. Pengeluaran keringat pekerja a. Berkeringat b. Tidak Berkeringat
Diisi oleh peneliti A A1
Hasil Diagnosis Dermatitis Kontak oleh Dokter 1. Tidak Dermatitis Kontak 2. Dermatitis Kontak
Kode [
]
Daily Activity Recall
No
Waktu
Kegiatan
1. Frekuensi Kontak
:
2. Lama Kontak
:
Keterangan
HASIL UJI STATISTIK
A. Uji Normalitas Data
B. Analisis Univariat ( Distribusi Frekuensi )
C. Analisis Bivariat 1. Uji T-test Independent a. Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak
b. Usia dengan Dermatitis Kontak
2. Uji Mann Whitney a. Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak
b. Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak
3. Uji Chi Square a. Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak
b. Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak
c. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak
d. Personal Hygiene
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK