1
FAKTOR BIOIFISIK DAN KELEMBAGAAN DALAM PEMBENTUKAN JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
BIOPHYSICAL AND INSTITUTIONAL FACTOR IN THE ESTABLISHMENT OF MARINE CONSERVATION NETWORK IN SOUTH SULAWESI PROVINCE
1
Syah Ali Achmad, 2 Jamaluddin Jompa, 3 Yusran Nur Indar
1
Perencanaan Pengembangan Wilayah, Universitas Hasanuddin, 2 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, 3Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Syah Ali Achmad Perencanaan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin Makassar 90245 HP: 08114445683 Email:
[email protected]
2
Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi dan keterkaitan biofisik perairan di Kepulauan Spermonde dan Kepulauan Selayar dan menghasilkan wilayah perlindungan serta memungkinkan pembentukan jejaring kawasan konservasi berdasarkan aspek biofisik dan kelembagaan. Penelitian dilakasanakan di Kepulauan Spermode dan Kepulauan Selayar pada bulan Pebruari sampai Mei 2014. Penelitian mi menggunakan analisis kesamaan jenis untuk menentukan keterkaitan biofisik dan model arah dan kecepatan arus yang menghubungkan kedua perairan. Penelitian ini juga menggunakan aplikasi marxam untuk menentukan wilayah perlindungan. Untuk kelembagaan pengelola kawasan menggunakan analisis model interaktif terhadap pengelolaan kawasan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kedua perairan memiliki keterkaitan biofisik dengan tingkat kesamaan jenis, khususnya jenis karang hingga 72% Hal ini dipengaruhi oleh arus perairan dari utara ke selatan maupun sebaliknya. Persentase tutupan karang hidup menunjukkan trend peningkatan sebesar 3.1% di Selayar dan 4.8% di Spermonde dalam waktu 6 tahun, Faktor kelembagaan berpengaruh terhadap penyelenggaraan konservasi. Semakin besar kapasitas kelembagaan akan semakin baik konservasi Kemajuan kelembagaan bergantung pada jenis kawasan konservasi perairan Hasil analisis jejaring kawasan konservasi dapat dikembangkan pada kedua perairan tersebut dengan penambahan 66,115 Ha di Spermonde dan 106,747 di Selayar untuk mencapai perlindungan terumbu karang hingga 32%. Untuk kepentingan perlindungan yang lebih luas dan menjamin migrasi seperti penyu dengan menetapkan Spermonde dan Selayar sebagai jejaring ekologi dan jejaring tata kelola Kata kunci: jejaring konservasi, biofisik, analisis marxam, konektivitas perairan, kelembagaan kawasan konservasi
Abstract The research aimed to analyse the condition and marines biophysic interrelatedness in Spermonde archipelago and Selayar archipelago, to investigate the important conservation areas and possibility of the network establishment of the conservation area based on the biophysic and institutional aspects. The research was carried out in Spermonde archipelago and Selayar archipelago from February to May 2014. The research used the type similarity analysis method to determine the biophysics interrelatedness, also direction model and current speed which connected both marines, and the use of Marxam application to determine the important conservation area. Especially for the area management institution, the interactive model analysis was carried out on the area management condition.The research result indicates that the conditions of both marines have the biophysics interrelatedness with the high type similarity level particularly the coral types reaching up to 72% in Spermonde and Takabonerate marines. This is influenced by the marine current from the north to the south, and vice-versa. The percentage of the living coral coverage indicates the improvement trend of 3.1% in Selayar and 4.8% in Spermonde within the period of 6 years. The institutional factor has the effect on the conservation implementation, the bigger the institutional capacity the better, in which the institution is dependent on the marine conservation area types. The analysis result of the conservation area network can be developed in both marines by the addition of 66,115 ha in Spermonde and 106,747 ha in Selayar to achieve the coral reef conservation up to 32%. For the wider conservation interest and to guarantee the migration such as the turtles, between Spermonde and Selayar is determined as the ecological network and management network. Key-words: Conservation network, biophysic, Marxam Analysis, Marine connectivity, conservation area institution.
3
PENDAHULUAN Konservasi diperkenalkan oleh International Union for Conservation of Nature ( IUCN ) yang menyatakan bahwa Jaringan Marine Protected Area (MPA) merupakan kumpulan Kawasan Konservasi individu atau daerah pencadangan yang saling sinergis di berbagai skala spasial, dengan kisaran tingkat perlindungan yang dirancang untuk memenuhi tujuan yang lebih besar, dimana perlindungan kawasan tidak cukup pada tingkatan yang lebih kecil (IUCN-WCPA, 2008). Menurut White (2006), jaringan MPA sebagai kumpulan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang dipilih secara teliti untuk mencapai peningkatan konservasi keanekaragaman hayati dan peningkatan perikanan. Saat ini Jejaring Konservasi juga dikembangkan di Indonesia guna mengejar target 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020. Tahun 2013 luas Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia telah mencapai 15,764,210.85 Hektar yang berjumlah 131 kawasan, diantaranya terdiri dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah, Taman Nasional, Taman Wisata Perairan, Cagar Alam, Suaka Perikanan dan Suaka Alam Perairan (Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2014). Peluang untuk mencapai target kawasan konservasi yang saat ini masih kurang 4,215,870.48. dapat ditambahkan salah satunya dengan membuat jejaring kawasan konservasi di Ecoregion Selat Makassar. Selat Makassar bersama dengan Laut Sulawesi sebagai Ecoregion dengan kelimpahan spesies ikan karang yang tinggi diantara ecoregion lain di Indonesia dan sebagai koridor larva karena bentang alam dan pengaruh arus lintas Indonesia (Huffard et al., 2012). Sulawesi selatan berada di dua ecoregion laut, yaitu berada di Selat Makassar dimana terdapat perairan Spermonde yang meliputi perairan Kabupaten Pangkep, Kota Makassar, hingga perairan Bulukumba. Sementara itu Perairan Selayar berada pada ecoregion laut 13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone. Dalam pembentukan jejaring konservasi, maka pertimbangan terhadap keadaan biofisik perairan menjadi penting, hal ini untuk menilai informasi keanekaragaman biologi yang hidup diperairan dan saling ketergantungannya terhadap lingkungan perairan seperti di daerah Terumbu karang, didaerah Atol, daerah Mangrove dan Padang Lamun, daerah ini sebagai tempat mencari makan, berkembang biak dan mendapatkan perlindungan bagi organisme Laut. Kepulauan Spermonde dan Perairan Selayar menjadi daerah penting bagi penyebaran larva dan nutrient, oleh karena adanya Arus Lintas Indonesia dari Laut Pasifik menuju Selat Makassar. Sementara kajian kelembagaan untuk mengevaluasi upaya pengelolaan kawasan terhadap efektivitasnya untuk mencapai sasaran konservasi.
4
Penelitian ini bertujuan menganalisis kemungkinan pembentukan jejaring kawasan konservasi berdasarkan aspek biofisik dan Kelembagaan.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Kepulauan Spermonde meliputi wilayah perairan dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru. Waktu penelitian dilakukan dari Bulan Februari Hingga Mei Tahun 2014 Pengumpulan Data Kecepatan Arus: Data arus didapatkan dari hasil interpretasi data Satelit Altimetri Topex Poseidon Tahun 2013 selama 12 bulan. . Data ekosistem lamun dan terumbu karang didapatkan dari data sekunder yang berasal dari hasil survey kondisi terumbu karang dan lamun dan juga didapatkan dari hasil analisis citra satelit dengan metode Lyzengga. Data sekunder yang didapatkan adalah sebagai berikut: meliputi 1.) Jumlah Spesies Karang dan lamun, 2.) Persentase Tutupan Karang, 3.) Ikan
satuan Jumlah individu /350m2, 4.)
Megabentos satuan Jumlah individu /140m2, 5.) Biota Lindung Jenis dan Lokasi dan 6.) Mangrove Jenis dan lokasi. Data kelembagaan didapatkan dari data primer melalui wawancara. Tahapan Wawancara meliputi identifikasi/inventarisasi Kelembagaan baik struktur dan fungsi, visi dan misi kelembagaan, kebijakan kelembagaan, kapasitas kelembagaan dan uraian tugas, program dan laporan kinerja, kebijakan dalam Kawasan Konservasi Perairan, serta keterkaitan terhadap Konsep Jejaring Konservasi. Analisis Data Persentase kesamaan dihitung di antara tiga wilayah, Spermonde-Selayar, Spermonde-Takabonerate dan Selayar-Takabonerate. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa jenis karang dan ikan karang, berdasarkan kehadiran dan ketidakhadiran jenis di wilayah tersebut. Data ini kemudian dihitung dalam persamaan = (2 (umum spp.) / (SA + SB), di mana SA = kekayaan spesies yang hanya dari situs A dan SB = kekayaan spesies yang hanya dari situs B, sementara Umum spp yaitu jumlah jenis yang didapatkan di kedua perairan yang diperbandingkan (Edinger et al., 2000). Analisis data kelembagaan berasal dari data hasil wawancara dan kuisioner. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif (Interactive Model of Analysis). Menurut Miles et al (1992), dalam model ini tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Penentuan jejaring konservasi dibantu dengan Aplikasi Marxam untuk menghasilkan best selection. Data dikelompokan
5
dimasukkan kesatuan perencanaan dengan sistem present/absent. Data konservasi yang sudah dimasukkan disebut data habitat (habitat.shp) dan data fitur biaya disebut data biaya (cost.shp). Selanjutnya menetapkan target perlindungan. Untuk wilayah jejaring konservasi ditetapkan dengan menghubungkan factor jarak dan aliran arus di kedua perairan.
HASIL Kondisi Biofisik Perairan Kepulauan Selayar dan Kepulauan Spermonde keduanya terhubung oleh Selat Makassar yang juga merupakan daerah lintasan Arus Lintas Indonesia. Kep. Selayar mendapat lebih banyak pengaruh hidrodinamika perairan karena berada diantara tiga perairan yaitu Laut Jawa dari arah Barat, Selat Makassar dari Utara dan Laut Flores dari bagian Timur. Kondisi menempatkan perairan Selayar sebagai daerah pencampuran banyak elemen perairan seperti nutrient, melimpahnya plankton dan berbagai ikan pelagis. Melihat pola pergerakan arus dari bulan Januari hingga Desember di Spermonde dan Selayar menunjukkan adanya pola utama dari pergerakan arus yaitu: pola pertama: Arus bergerak dari utara keselatan namun mendapat pengaruh dari arus laut dari arah barat (Laut Jawa) yang menuju perairan selayar (Januari, Maret) pada Gambar 1. Pola Kedua: arus bergerak sebaliknya dimana arus dari perairan selayar menuju spermonde yang bergerak dari selatan menuju perairan bulukumba, Jeneponto dan Takalar /Spermonde (Juli, September). Pola Arus ketiga: arus bergerak berputar diantara kedua perairan tersebut dan membentuk circular. Hal ini dipengaruhi karena diantara kedua perairan tersebut merupakan pertemuan antara arus dari selat Makassar, Laut Jawa dan Laut Flores. Pulau Selayar yang letaknya tegak lurus terhadap pulau Sulawesi dan menjadi barrier diantara perairan Laut Flores, Selat Makassar, Laut Jawa juga mengakibatkan adanya pembelokan arus dan sebagian diteruskan (Februari, April, Agustus, Oktober, November, Desember). Terumbu Karang Pada tahun 2000 hingga 2013, survey telah dilakukan guna memonitoring terumbu karang di kedua perairan ini, ditemukan jumlah jenis karang yang jauh lebih rendah dibanding penelitian sebelumnya Ekspedisi Snelliues II dan Buginesia project (Tahun 19841985). Hal ini dipengaruhi oleh lokasi pengamatan yang berbeda dan tidak mencakup keseluruhan wilayah serta berbagai aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merusak di daerah terumbu karang yang mengindikasikan adanya penurunan biodiversitas. Persentase tutupan karang hidup di Spermonde menunjukkan trend peningkatan sebesar 3.1% dalam kurun waktu 6 tahun. Kondisi terumbu karang mengalami kecenderungan kerusakan
6
(turun) dibandingkan dengan tahun 2010, tetapi masih lebih baik dari 3 tahun sebelumnya dimana ada peningkatan. Hasil monitoring terumbu karang di Perairan Selayar menunjukkan trend peningkatan karang hidup sebesar 4, 8% dalam 6 tahun. Peningkatan ini lebih tinggi dibanding di Pangkep. Padang Lamun Habitat padang lamun ditemukan di hampir seluruh pulau pulau kecil baik di Spermonde maupun di Kep. Selayar bersama dengan karang ataupun membentuk habitat sendiri. Jenis lamun paling banyak terdapat di Kapoposang dan Pulau selayar dengan jumlah 9 jenis. Jenis paling umum ditemukan diantaranya Thallasia hemprichii dan Enhalus acoroides sementara jenis jarang ditemukan yaitu jenis Halodule pinifolia dan Halophila sulawesii Biota Lindung Biota lindung sebagian besar ditemukan di daerah terumbu karang dan padang lamun, beberapa diantaranya menjadikan habitat tersebut sebagai habitat untuk mencari makan, dan berkembang biak. Diantara biota lindung yang telah ditetapkan dalam PP No.7 1999, seperti penyu, di kepulauan spermonde dan selayar juga terdapat beberapa jenis karang dan ikan serta beberapa jenis kima. T.derasa,T. gigas. Di Selayar juga terdapat beberapa daerah peneluran Penyu, diantaranya di Takabonerate dan Pulau Selayar. Di Pulau Selayar ditemukan di Dusun Tulang Desa Barugaiya beberapa jenis penyu ditemukan bertelur sepanjang tahun seperti Penyu Hijau, Lekang, dan Sisik. Sementara di perairan Spermonde, daerah peneluran penyu hijau dan penyu sisik ditemukan di Pulau Kapoposang Jumlah jenis karang yang ditemukan di kedua peraian berbeda, dimana Spermonde lebih banyak dibanding dengan Selayar dan Takabonerate. Jenis yang ditemukan di ketiga perairan tersebut Faviidae dengan 43 jenis, Fungiidae dengan 25 jenis, Acroporidae dengan 22 jenis dan total jenis yang ditemukan untuk seluruh family 138 jenis. Jenis karang yang tidak ditemukan di Selayar dan Takabonerate tetapi ditemukan di Spermonde sebanyak 31 jenis karang. berdasarkan data kehadiran dan ketidakhadiran jenis karang pada ketiga perairan tersebut, didapatkan tingkat kesamaan jenis karang diatas 70% dengan tingkat kesamaan tertinggi yaitu Selayar-Takabonerate. Perbedaan tingkat kesamaan jenis karang dipengaruhi oleh faktor jarak dan isolasi perairan. Jarak yang semakin jauh maka tingkat kesamaan akan rendah sebagaimana antara Spermonde dan Takabonerate sebagaimana pada Tabel 1
7
Kelembagaan Kawasan perlindungan yang telah ditetapkan di Spermonde dan selayar terdiri atas kawasan yang ditetapkan dan dikelola oleh Kementerian dan Pemerintah Kabupaten. Sampai saati ini terdapat tiga KKPD telah dibentuk melalui SK Bupati dua KKPD di Kab. Selayar dan satu di Kab. Pangkep, dan telah diusulkan ke Menteri untuk penetapan bersama dengan dokumen rencana pengelolaan dan zonasi. Selain ditetapkan, pemerintah daerah juga menetapkan unsur pengelola kawasan. KKPD di Selayar dikelola melalui Lembaga Pengelola dan berada dibawah Seksi di Dinas Kelautan dan Perikanan. Namun mengingat waktu yang dibutuhkan dalam persiapan yang melibatkan berbagai pihak, sebelum terbentuknya kelembagaan KKPD, dibentuk kelembagaan pengelola transisi yang beranggotakan Dinas terkait. Kawasan perlindungan yang di kelola oleh Kementerian terdiri atas Taman Nasional Takabonerate yang dikelola Balai Taman Nasional Tipe B di Selayar yang dikelola dan Taman Wisata Kapoposang di Spermonde yang dikelola oleh satuan kerja dibawah Uni Pelaksana Teknis Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional Kupang Kawasan perlindungan Penyelenggaran perlindungan kawasan perairan di Kep. Spermonde sampai saat ini baru Kabupaten Pangkep yang memiliki kawasan yang telah dicadangkan dan diusulkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan denga luas 193,273.79 , selain itu terdapat Taman Wisata Kapoposang dengan luas 51,681.10 Ha. Di Selayar, kawasan konservasi perairan terdiri atas TN Takabonerate dengan luas 530,765 Ha Dan KKPD Selayar terdiri atas KKPD kayu adi dengan luas 3983 Ha dan KPPD Pulo Pasi gusung 5018 Ha. Kepulauan Spermonde memiliki Luas habitat terumbu karang kurang lebih 32,162 ha, dan Lamun 2,285.17 Ha, di kepulauan juga terdapat tumbuhan mangrove yang dominan tumbuh di bagian utara (P. Sagara) dan Pulau Pulau Tanakeke di bagian selatan. KKPD Pangkep telah mencapai level perlindungan komunitas sebesar 30% habitat karang untuk di zona inti,(No Take Zone) sebagaimana yang disyaratkan dalam referensi Jejaring Konservasi. Sementara untuk TWP Kapoposang dan TNBTR belum mencapai 30% perlindungan habitat karang. Kondisi ini merupakan implikasi dari berbagai faktor yang mendorong pemilihan lokasi zona inti. Identifikasi Wilayah Penting Perlindungan Dalam pengembangan jejaring kawasan perlindungan, dilakukan dengan Aplikasi Marxam. Dalam analisis di daerah Spermonde dan Selayar dilakukan secara terpisah. Pada analisis ini digunakan fitur habitat sebagai target konservasi, yaitu Terumbu Karang dan Padang Lamun, sementara fitur cost (biaya) dilakukan dengan data terbatas hanya digunakan data sebaran Pelabuhan dan aktivitas Rumput Laut. Pada tabel 2 untuk Spermonde digunakan
8
target perlindungan 20%, dimana didapatkan luas terumbu karang yang berbeda pada tiap nilai BLM. BLM yang rendah dengan kencederungan daerah tersebar yaitu 5208 Ha, hal ini lebih rendah dibandingkan dengan BLM 1 dimana daerah terpilih cenderung terpusat pada satu tempat, perbandingan ini dapat dilihat pada gambar diatas sementara itu untuk perairan Selayar, dimana digunakan hanya satu fitur yaitu terumbu karang dimana juga termasuk didalamnya daerah lamun dan pasir yang ada diterumbu. Skenario BLM dengan nilai 1 memiliki 16426.6 Ha, hal ini lebih rendah dibandingkan dengan BLM 0.0001. di Selayar semua hasl analisis dengan nilai BLM berbeda cenderung tidak ditemukan daerah best selection yang terpusat, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh luas perairan dan jarak antara habitat terumbu karang yang berjauhan, sebagaimana pada gambar 2 dan gambar 3 Analisis Kemungkinan Pengembangan Jejaring Kawasan Perlindungan Pembentukan Jejaring konservasi perairan yang melibatkan antara Spermonde dan Perairan Selayar yang secara biofisik memiliki keterkaitan juga dapat menjadi dasar dalam pembentukan jejaring ekologi dengan tujuan untuk pengembangan jumlah dan luas perlindungan, untuk melindungi daerah migrasi penyu. selain itu pertimbangan untuk jejaring tata kelola dapat dikonsentrasikan di masing masing perairan oleh karena telah terbentuk kerjasama untuk berbagai aktivitas antara pengelola kawasan konservasi. Oleh karenanya berdasarkan dari data table 5 dengan hasil kajian ini maka penambahan wilayah penting perlindungan dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan jumlah kawasan konservasi di Indonesia dan Sulawesi selatan pada khususnya sebesar 172,862 Ha dengan target perlindungan 32% terumbu karang di perairan Spermonde dan perairan selayar.
PEMBAHASAN Penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan keterkaitan diantara kedua perairan baik dari kesamaan jenis karang, factor arus dan juga ditemukan adanya alur migrasi penyu yang memanfaatkan perairan spermonde dan Selayar. Hal ini sebagaimana kedua perairan ini pada bulan Maret dimana arus dari Spermonde dari utara menuju keselatan yaitu ke perairan Selayar dan bercampur dengan arus yang berasal dari Laut Jawa. Arah arus bergerak menjauhi pesisir takalar dan bergerak Ke arah barat. Sementara pada bulan Juli arus bergerak dari Selatan yaitu dari laut flores menuju perairan selayar dan kemudian menyisir pesisir pulau Sulawesi dan menuju ke Spermonde, faktor perubahan ini terkait dengan perubahan Musim. Kedua perairan ini menujukkan adanya hubungan keterkaitan karena faktor arus yang bolak balik sepanjang tahun, dan kedua daerah ini tidak terhalangi oleh daratan dan juga tidak
9
terisolasi, sehingga memungkinkan rekruitmen/transper larva dapat terjadi diantara keduanya. Menurut Palumbi (2004), bahwa konektivitas dapat dilihat dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota dimana dapat berkisar 10-100 Km hampir semua ikan dasar, ikan pelagis kecil, 100-1000 Km Ikan pelagis besar. Penyu sebagai biota lindung berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 dan merupakan Appendiks I CITES IUCN Red List 2010. Khusus untuk penyu Hijau dengan kategori Endengered (EN). Hasil tracking WWF tahun yaitu 2005-10-06 hingga 2006-02-18 (WWF, 2014), menunjukkan bahwa penyu hijau yang diberi nama ‘’Mona” dari Raja Ampat, melintasi daerah Kepulauan Selayar dan Spermonde (Tanakeke) hingga ke Kalimantan. Daerah lintasan tersebut sebagai daerah habitat migrasi dimana menujukkan adanya ketergantungan terhadap kondisi wilayah. Hasil penelitian Starger (2007), tentang aliran gen, dimana terjadi aliran dari utara menuju selatan yaitu bali menerima 7% larva S. Hystrix dari Makassar, dan Flores menerima 23% larva dari Selayar, walaupun penelitian Starger (2007), tidak menjelaskan larva antara Makassar ke Selayar, tetapi di ketahui bahwa faktor Arus lintas Indonesia (Arlindo) yang bergerak dari Laut Sulawesi menuju Selat Makassar dan perairan sekitarnya. Kawasan Konsevasi Perairan Daerah (KKPD Pangkep) dan Taman Wisata Perairan Kapoposang (TWP Kapoposang) berada di satu gugusan kepulauan yaitu Spermonde semuanya masih berada di Kabupaten Pangkep dengan total luas 244,954.89 Ha (Luas TWP Kapoposang + KKPD pangkep), luas terumbu karang dan lamun yang terlindungi 2244.51 Ha (Luas terumbu karang dan lamun di No Take zone TWP Kapoposang dan KKPD Pangkep) sementara daerah lain belum terdapat kawasan yang dicadangkan. Bilamana mengacu pada rekomendasi perlindungan 20-30% pada berbagai level komunitas di daerah ‘’no take area” (Zona inti), maka spermonde sebagai satu kesatuan terumbu karang yang saling berhubungan belum mencapai persentase tersebut yang baru 5% perlindungan untuk terumbu karang. Akan tetapi KKPD Pangkep telah mengalokasikan perlindungan habitat karang hingga 30% diwilayah Spermonde pada zona inti, sementara TWP Kapoposang baru mengalokasikan kurang lebih 1%. Desain kawasan konservasi erat kaitannya dengan sasaran konservasi didirikan, sehingga mempengaruhi alokasi ruang luasan zona inti. Perkembangan kelembagaan pengelola kawasan ditunjukkan dengan meningkatnya tingkatan kelembagaan pengelola seiring dengan perubahan tingkatan kawasan konservasi. Hal ini sebagaimana pada perjalanan pengelolaan Taman Nasional Takabonerate (TNTBR), dimana diawali dengan penetapan kawasan sebagai Cagar Alam Alam dengan lembaga
10
pengelola sebagai Unit Pelaksana Teknis dibawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi selatan hingga Tipe B. KKPD yang ada di Pankep dan Selayar juga demikian berawal dari kawasan konservasi yang dikelola dan dibentuk tingkat desa yaitu Daerah Perlindungan Laut kemudian dari kawasan ini berkembang menjadi KKPD melalui kajian inisiatif daerah. Seiring dengan hal tersebut tingkatan pengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL) kemudian juga berubah dimana dikelola melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, sementara peran dari Pemerintah Desa dan lembaga lain didalam kawasan dilibatkan dalam penyelenggaran pengelolaan, misalnya dalam pengawasan dan monitoring kawasan. Program pengelolaan KKPD dan masyarakat pesisir juga harus memberikan suatu bentuk kepemilikan atau pengelolaan bagi warga setempat. Hal ini dapat dinyatakan melalui keterlibatan mereka dalam mempertahankan praktek-praktek manajemen tradisional, pengaturan kuota eksploitasi, daerah larangan. Semua ini, bagaimanapun, akan membutuhkan komitmen jangka panjang dari pemerintah dan lembaga (Alder et al., 1994). Konsekuensi dari besarnya permasalahan kelembagaan yang dimana faktornya adalah internal terutama di KKPD dan TWP, maka pilihannya adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan. Pilihan untuk peningkatan kapasitas salah satunya dengan peningkatan tipe kelembagaan karena kelembagaan dengan tipe yang tinggi juga memiliki kewenangan mengelola anggaran yang lebih besar. Kelleher (1999)
dalam Jentoft et al
(2007),
mengatakan bahwa" sebuah Marine Protected Area (MPA) jarang akan berhasil kecuali melekat pada institusi yang besar atau sebuah rezim pengelolaan ekosistem terpadu, "di Chile, misalnya Fernandez (2005),
menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan
efektivitas KKPD, rencana manajemen yang luas didalam MPA seharusnya ditetapkan, keterlambatan desain rencana pengelolaan akibat dari kompleksitas pemerintah, yaitu sistem administrasi yang rumit dengan beberapa instansi tumpang tindih Untuk kepentingan perlindungan yang lebih luas dan menjamin migrasi seperti penyu dan menetapkan koridor antara Spermonde dan Selayar, maka dapat terbentuk Jejaring Spermonde dan Selayar karena adanya factor biofisik yang saling berhubungan walaupun dalam kriteria ecoregion laut yang ditetapkan oleh Kementerian lingkungan Hidup hal ini berbeda. Sementara untuk kerangka penguatan perairan, jejaring ekologi ditingkat kepulauan yang sama dalam satu ecoregion dapat dibentuk yaitu jejaring kawasan konservasi tingkat lokal di kepulauan Spermonde, dimana daerah ini terdiri atas 5 kabupaten dalam satu hamparan daerah terumbu karang yaitu Barru, Pangkep, Maros, Makassar dan Takalar. Sampai saat ini baru Pangkep yang memiliki daerah konservasi yang telah dicadangkan, 1
11
TWP yang dikelola oleh Kementerian yang juga di wilayah Pangkep. Sedangkan daerah lainnya belum ada yang dicadangkan. Kondisi biofisik dan keterkaitan ecologi didalam kawasan Spermonde menjadi pertimbangan untuk penyelenggaraan konservasi dengan model Jejaring Konservasi lokal, namun masalah terbesar adalah kesamaan pandangan pelaku dan pentingnya jejaring bagi para pemangku kepentingan
di wilayah tersebut. KKPD di Selayar, jejaring kerjasama
mudah terbentuk karena telah ada melalui kerjasama rutin. Komitmen para pelaku untuk berjejaring juga ditunjukkan, namun bagaimana komitmen tersebut dapat diukur dan terimplementasi akan banyak variabel dan faktor yang mempengaruhinya. Strategi dalam mendorong kerjasama jejaring dapat
didorong dengan menjalin
Hubungan saling ketergantungan fungsional Chisholm (1989), atau ketergantungan sumber daya Pfeffer & Salancik 1978, dalam (Weible et al., 2005). Saling ketergantungan fungsional terjadi ketika organisasi bergantung pada satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama atau layanan. Ketergantungan sumber daya mengasumsikan bahwa organisasi tidak sendiri untuk menghasilkan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka, sehingga mereka harus mendapatkan sumber daya tambahan dari orang lain (Weible et al., 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN Perairan Spermonde dan Selayar memiliki keterkaitan biofisik sebagai pengaruh dari arus lokal dan Arus lintas Indonesia (Arlindo) yang dominan bergerak dari utara ke Selatan, sehingga memberikan pengaruh terhadap aliran larva dan kesamaan jenis karang yang tinggi. Pengembangan daerah perlindungan dapat dilakukan di kedua perairan, guna mencapai perlindungan habitat hingga 32% terumbu karang.dengan luas di Spermonde 66115 Ha dan 106,747 Ha . Faktor kelembagaan berpengaruh terhadap penyelenggaran konservasi, semakin besar kapasitas kelembagaan akan semakin baik, dimana kelembagaan juga bergantung pada Jenis Kawasan Konservasi perairan. Saran guna mengetahui secara lebih jauh keterkaitan perairan Spermonde dan Selayar, maka disarankan untuk dilakukan penelitian genetic dan aliran genetic jenis karang atau ikan di kedua perairan tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Marine Protected Areas Governance (MPAG) dan USAID atas bantuannya dalam mendukung kegiatan penelitian mahasiswa pascarjana universitas hasanuddin berupa Travel grant kegiatan penelitian.
12
DAFTAR PUSTAKA Alder, J., Sloan, N., & Uktolseya, H. (1994). A Comparison of Management Planning and Implementation in Three Indonesian Marine Protected Areas. Ocean & Coastal Management 24, 179-198. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2014, Januari 29). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah 689 ribu hektar. Diakses 29 Januari 2014. Available from Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/186-capaian-2013pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasan-kkp-3k-bertambah-689ribu-hektar Edinger, E., Kolasa, J., & J Risk, M. (2000). Biogeographic variation in coral species diversity on coral reefs in three regions of Indonesia. Diversity and Distributions 6, 113-127. Fernandez, M. a. (2005). Marine conservation in Chile: Historical perspective,lessons, and challenges. Conservation Biology 19, 1752-1762. Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Geographic Priorities For Marine Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program. IUCN-WCPA, I. W. (2008). Establishing Marine Protected Area Networks—Making It Happen. Washington, D.C: IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric Administration and The Nature Conservancy 118 p. Jentoft, S., Van son T. C., & Bjorkan M. (2007). Marine Protected Areas: A Governance System Analysis. Human Ecology 35, 611-622. Miles, B.B, & Huberman A.M. (1992). Analisa Data Kualitatif. Jakarta : UI Press . Palumbi SR. 2004. Marine Reserves and Ocean Neighborhoods: The SpatiaScale Of Marine Populations And Their Management. Annu. Rev. Environ.Resour. 2004. 29:31–68 Starger, C. (2007). Coral Population Genetics in the Indonesian Seas [Thesis]. Columbia: Columbia University. Weible, C., Sabatier Paul A. (2005). Comparing Policy Networks: Marine Protected Areas in California. The Policy Studies Journal, Vol. 33, No. 2, , 181-202. White, A. P. (2006). Creating and managing marine protected areas in the Philippines. Fisheries Improved for Sustainable Harvest Project, Coastal Conservation and Education . Philippines: Foundation, Inc. and University of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City Coastal Conservation and Education . WWF. (2014, Mey 31). Mona - Raja Ampat Sea-Turtle Tracking Project. Diakses 31 Mei 2014. Available from http://www.seaturtle.org/: http://www.seaturtle.org/tracking/index.shtml?tag_id=60648
13
LAMPIRAN Gambar 1 arah dan pola arus di Perairan Spermonde dan Selayar
Gambar 2 : a) nilai BLM 0.0001 dengan sebaran best selection didaerah selatan dan utara Kep. Spermonde dan terpusat di bagian tengah. b) BLM 0.025 daerah best selection bagian selatan sebelah timur yaitu di Pulau Tanakeke. c) BLM 1 kecenderungan best selection terpusat dibagian tengah dimana daerah terumbu karang dominan.
14
Gambar 3 : a) nilai BLM 0.0001 dengan sebaran best selection yang tinggi b) BLM 0.025. c) BLM 1. Target Perlindungan 30%, SPF Terumbu Karang Luas Habitat di Selayar yang tidak masuk Kawasan Konservasi:
Tabel 1 Analisis persentase kesamaan jenis karang di Selayar dan Spermonde Perbandingan Jumlah spesies di A Jumlah spesies di B Jumlah spesies di kedua A dan B Jumlah spesies hanya di A tidak ada di B Jumlah spesies hanya di B tidak ada di A Persentase kesamaan Sumber Data: Hasil Analisis
(A) Spermonde(B)Selayar 241
(A) Sepermonde(B)Takabonerate 241
(A) Selayar(B)Takabonerate 200
200
202
202
165
160
159
76
81
41
35
50
43
75%
72%
79%
Tabel 2 Hasil analisis wilayah terpilih sebagai best selection untuk jejaring kawasan konservasi di Spermonde dan Selayar Hasil Analisis Marxam untuk Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Spermonde
Hasil Analisis Marxam untuk Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Selayar
Nilai BLM
Luas Habitat Best Selection (Ha) Terumbu Karang + Lamun
BLM 0.0001 BLM 0.025 BLM 1
Luas Habitat Best Selection (Ha) Terumbu Karang Lamun 5208.4 113.4 6439.2 152.9 6080.3 152.0
Target Perlindungan 20%, SPF Terumbu Karang 6 dan Lamun 4 Luas Habitat di Spermonde yang tidak masuk Kawasan Konservasi : Terumbu Karang 21,143.60 Ha Lamun 620.092 Ha Fitur Konservasi Terumbu karang dan Padang Lamun
18493.8 17112.6 16426.6 Target Perlindungan 30%, SPF Terumbu Karang 3 Luas Habitat di Selayar yang tidak masuk Kawasan Konservasi : Terumbu Karang + Lamun : 55487.77Ha Fitur Konservasi Terumbu karang