KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL LANSIA (Studi Deskriptif Kualitatif Pelaksanaan Komunikasi Instruksional Antara Pengajar dan Santri Lansia dalam Pembelajaran Al Quran dan Pengajian Umum di Pondok Pesantren Sepuh Payaman Magelang)
Fairuz Uyun Azizah Sofiah Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Abstract Pondok Pesantren Sepuh Payaman is a special boarding school for elderly in Magelang. In this pleace, elderly learn about religion to spend their remains lifetime. The students which are elderly must be need special treatment in learning because of physical, psychology, and cognitive degradation. So. the teachers need more patience and special method to teach them. The purpose of this study was to determine about implementation of instructional communication between teachers and elderly students in term of learning Al Quran and public recitation at this elderly boarding school. This study used qualitative methods, with data collection techniques are indepth interviews and observation. Based on these results, it can be concluded that the implementation of instructional communicaton between theachers and students devided into five stages,(1) Content Specifications and Instructional Goals (2) Measuring behavior assessment (3) Determination of instructional strategies (4) Organization of instructional units (5) Feedback.. And also there are some barriers that could interfere the smooth of instructional communication at Pondok Pesantren Sepuh Payaman. Keywords : instructional communication, elderly, boarding school
1
Pendahuluan Manusia tidak lepas dari proses alamiah yang salah satunya adalah proses penuaan. Makin panjang usia seseorang, sejalan dengan pertambahan usia tubuh akan mengalami kemunduran secara fisik maupun psikologis. Banyak istilah yang diberikan kepada orang lanjut usia seperti “manula” (manusia lanjut usia), “lansia” (lanjut usia), “jompo” dan lain sebagainya. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas dinyatakan bahwa yang disebut lansia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Saat ini jumlah orang lansia di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data kependudukan, jumlah penduduk lansia pada tahun 1971 berjumlah 5,31 juta jiwa, pada tahun 1996 meningkat menjadi 13,30 juta jiwa, tahun 2003 berjumlah 16,1 juta jiwa, tahun 2004 berjumlah 17,7 juta jiwa, pada tahun 2010 sudah mencapai 18,04 juta jiwa dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah penduduk lansia sebanyak 28,82 juta orang (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Seiring bertambahnya jumlah penduduk lansia tersebut, tidak begitu saja menepis pandangan miring tentang lansia sebagai kaum minoritas. Padahal Lansia merupakan bagian integral dari warga masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya, di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sehingga masyarakat pun patut menghargai keberadaannya. Penghargaan kepada kaum lansia dapat dilakukan, salah satunya dengan memberikan pelayanan sosial. Sayangnya pelayanan-pelayanan yang ada saat ini belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan dari para lansia seperti kebutuhan akan pendidikan. Orang-orang masih memandang sebelah mata akan fungsi pendidikan bagi lansia. Lansia dianggap sudah tidak mampu dalam belajar karena menurunnya kemampuan kognitif. Padahal masih banyak lansia yang bersemangat untuk melanjutkan menuntut ilmu seperti yang terlihat di Desa Payaman Kecamatan Secang Kabupaten Magelang. Di sana terdapat sebuah pondok pesantren khusus lansia yang
2
bernama Pondok Pesantren Sepuh Payaman. Pondok tersebut memfasilitasi para lansia dalam hal pendidikan khususnya pendidikan agama. Potret keberadaan Pondok Pesantren Sepuh menjadi bukti bahwa lansia masih mempunyai semangat untuk menuntut ilmu. Kegiatan belajar di pondok pesantren melibatkan interaksi dan komunikasi antara santri dengan pengajar. Ditinjau dari sisi komunikasi, pengajar berperan sebagai komunikator sedangkan santri lansia adalah komunikan. Pengajar melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi atau pesan keagamaan kepada santri dengan tujuan agar santri mengikuti maksud dan melakukan sesuatu yang diinstruksikan sehingga terjadi perubahan ke arah lebih baik. Komunikasi yang terjalin antara pengajar dan santri disebut dengan komunikasi pembelajaran atau komunikasi instruksional. Dalam kasus ini, menjadi semakin menarik karena lansia lah yang menjadi sasaran atau komunikannya, dimana pada masa lanjut usia orang akan mengalami perubahan karakteristik fisik maupun psikologis tertentu yang berpeluang mempengaruhi cara mereka dalam berkomunikasi maupun dalam menerima informasi dari luar. Maka dari itu, dimungkinan munculnya penggunaan cara atau metode khusus yang ditempuh pengajar untuk mendidik para lansia ini. Selanjutnya, peneliti bermaksud melihat lebih jauh tentang pelaksanaan proses instruksional antara pengajar dengan santri di Pondok Pesantren Sepuh Payaman ini.
Rumusan Masalah Penelitian ini ingin mengetahui: “Bagaimana proses komunikasi instruksional yang terjadi antara pengajar dengan santri lansia serta hambatan yang muncul dalam pembelajaran Al Quran dan pengajian umum di Pondok Pesantren Sepuh Payaman Magelang?”
3
Tinjauan Pustaka 1) Konsep Dasar Komunikasi Secara bahasa, komunikasi atau communication berasal dari kata latin communis yang berarti sama, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama. Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung arti/makna. Arti ini perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi (Susanto, 1985:1). Komunikasi juga bisa didefinisikan sebagai hubungan kontak antar dan antara individu maupun kelompok, dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri, paling tidak sejak ia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannnya (Widjaja,1993:1). Dalam sistem sosial, komunikasi memiliki delapan fungsi yaitu: informasi, sosialisasi, motivasi, perdebatan dan diskusi, pendidikan, memajukan kebudayaan, hiburan, dan integrasi (Widjaja, 1993:3). Proses komunikasi pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk area of experience antara komunikan dan komunikator. Jadi dalam proses komunikasi harus berbentuk pengalaman yang sama antara komunikan dengan komunikator. Komunikator berusaha memformulasikan pesannya, dalam hal ini disebut encode, yang berarti komunikator berusaha menggambarkan pesannya dengan suatu lambang/kode tertentu agar pesan tersebut dapat dimengerti oleh komunikan. Kemudian komunikan menginterpretasikan lambang atau kode tersebut ke dalam pengertiannya sendiri, berarti komunikan mengkode pesan yang diterima atau yang disebut decode (Anitah, 2009: 274-275).
2) Komunikasi Instruksional Komunikasi
instruksional
merupakan
bagian
kecil
dari komunikasi
pendidikan. Ini merupakan proses komunikasi yang dipola dan dirancang secara khusus untuk merubah perilaku sasaran dalam komunitas tertentu ke arah yang lebih
4
baik (Yusuf, 2010: 2). Istilah istruksional berasal dari kata instruction yang berarti pengajaran, pelajaran, atau perintah/istruksi. Komunikasi dalam sistem instruksional ini kedudukannya dikembalikan pada fungsi asal, yaitu sebagai alat untuk merubah perilaku sasaran (edukatif). Pengajar (komunikator) dan pelajar (komunikan) sama-sama melakukan interaksi psikologis yang nantinya diharapkan berdampak pada perubahan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan di pihak komunikan. Tahap-tahap penerimaan pesan dalam konunikasi instruksional sama dengan komunikasi lain, tetapi dalam komunikasi instruksional tingkat efektivitasnya akan lebih mudah tercapai karena sudah terdapat saling pengakuan antara komunikator dengan komunikan, yaitu bahwa komunikator bertindak sebagai guru dan komunikan murid (Barata, 2003: 69-70). Proses instruksional mengandung unsur memengaruhi, terutama dari pihak pengajar meskipun dengan maksud dan tujuan yang bersifat positif. Menurut Hurt, Scott, dan Croscey (1978), proses instruksional dibagi ke dalam seperangkat langkah berangkaian yang terdiri dari spesifikasi isi dan tujuan atau sasaran, penaksiran perilaku mula, penetapan strategi, organisasi satuan-satuan instruksional, dan umpan balik (Yusuf, 2010: 70-74). Spesifikasi Isi Penetapan Strategi Instruksional
Penaksiran Perilaku Mula
Organisasi satuansatuan Instruksional Umpan Balik
Spesifikasi Tujuan
Gambar 2 : Rangkaian Proses Komunikasi Instruksional Sumber : Pawit M. Yusuf (2010: 70)
5
3) Pendekatan Komunikasi Interpersonal dalam Pelaksanaan Instruksional Menurut Kathleen S. Verderber (dalam Budyatna & Ganiem, 2011: 14-15), komunikasi interpersonal merupakan proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola hubungan mereka, melakukan tanggung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Pertama, komunikasi interpersonal merupakan proses, yaitu rangkaian sistemaris perilaku yang bertujuan dan terjadi berulang kali. Kedua, komunikasi interpersonal bergantung pada makna yang diciptakan oleh pihak yang terlibat. Ketiga, melalui komunikasi kita menciptakan dan mengelola hubungan kita . Sebuah
hubungan
interpersonal
juga
mengalami
tahapan-tahapan
perkembangan. Tahap pertama, Pembentukan Hubungan Interpersonal yang sering disebut tahap perkenalan. Menurut Steve Duck (1979) (dalam Rakhmat 2012: 123), perkenalan adalah proses komunikasi di mana individu mengirimkan atau menyampaikan informasi tentang struktur dan isi kepribadiannya kepada bakal sahabat, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda pada bermacam-macam tahap perkembangan persahabatan. Fase perkenalan sendiri diawali dengan kontak yang ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk menangkap dan menggali identitas, sikap, dan nilai pihak lain. Bila merasa ada kesamaan mulailah dilakukan proses pengungkapan diri. Bila merasa berbeda, mereka akan menyembunyikan dirinya. Tahap selanjutnya adalah Peneguhan Hubungan Interpersonal. Hubungan interpersonal sifatnya tidak statis, tapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal maka diperlukan tindakan tertentu agar tercipta keseimbangan, yaitu dengan menjalin keakraban, kontrol sikap, ketepatan respon, dan nada emosional yang tepat. Tahap ketiga yaitu Pemutusan Hubungan Interpersonal. Apabila tidak ada usaha untuk memelihara hubungan interpersonal maka hubungan tersebut akan diakhiri. Hal ini bisa saja terjadi karena konflik diantara kedua belah pihak yang disebabkan oleh kompetisi, dominasi, kegagalan, provokasi, maupun perbedaan nilai.
6
Ada sejumlah model untuk menganalisis hubungan interpersonal salah satu diantaranya adalah Model Pertukaran Sosial (Rakhmat, 2012: 119-122). Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Setiap individu menjalin hubungan sosial yang didasari ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan.
4) Pendekatan Komunikasi Kelompok dalam Pelaksanaan Instruksional Komunikasi kelompok diartikan sebagai komunikasi yang berlangsung dalam suatu kelompok, yang mana dalam kelompok itu adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan yang sama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan bersama dan saling mengenal satu sama lain. Komunikasi kelompok dipengaruhi oleh tingkah laku komunikasi anggota atau peserta kelompok. Hal tersebut meliputi penyampain pesan selama berinteraksi serta bagaimana tingkah laku anggota kelompok lain akibat efek penyampaian tadi berupa umpan balik. Dengan terbentuknya kelompok, maka akan terbentuk pula norma kelompok. Norma atau aturan yang terbentuk dalam sebuah kelompok akan menunjang keberhasilan proses komunikasi yang terjadi di dalam kelompok tersebut. Meskipun norma atau aturan bisa diubah, namun itu perlu diikuti oleh setiap peserta dalam kelompok , terutama dalam kondisi tertentu. Siapa pun anggota suatu kelompok , jika sudah masuk dalam kelompok tertentu maka harus menggunakan aturan-aturan yang berlaku dalam kelompok yang bersangkutan (Yusuf, 2010: 179). Dalam suatu kelompok biasanya juga terjadi pembagian tugas masing-masing anggota. Teori yang menegaskan pendapat ini adalah Role Emergence (Teori Kemunculan Peran) yang dikemukakan Bennie dan Sheats (1948). Ketika seseorang berada dalam hubungan dengan orang lain dalam suatu kelompok, maka dia akan mengambil perannya masing-masing. Peran-peran ini berasal dari empat kategori sebagai berikut : individual, task, maintenance, and distruptive roles (peran
7
individual, peran tugas, peran pemelihara, dan peran pengganggu). Peran-peran tersebut kadang berasal dari tugas-tugas yang dibebankan kepada anggota oleh para pemimpin atau guru (Yusuf, 2010: 177-178).
5) Lansia, Agama, dan Proses Belajar Umumnya di masyarakat terdapat pandangan populer bahwa orang tertarik pada kegiatan spiritual keagamaan pada saat kehidupan hampir selesai. Individu berusia 60 tahun ke atas menganggap bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama menyebabkan lansia kemudian menjadi memotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun (Hurlock, 2004: 402). Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu caranya adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Psychological well-being (PWB) didefinisikan sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri.Salah satu usaha mencapai PWB tersebut dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, yaitu dengan mempelajari agama. Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua. Agama, tanpa diragukan lagi, memainkan peran yang sangat penting dalam hidup
8
para lansia terutama wanita. Dengan terlibat dalam kegiatan keagamaan, para lansia bisa menjalin persahabatan, rasa kebersamaan, dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan orang lain. Melalui doa-doa yang dipanjatkan pada Tuhan, para lansia mampu mengatasi stres dan menemukan arti dan tujuan hidup dan kematian (Kahn & Neil, 1999: 3-4). Ketertarikan lansia terhadap agama tidak terlepas dari proses belajar, yang mana lansia tertarik untuk mempelajari lebih dalam ilmu agama yang dianutnya. Proses belajar yang dialami pada masa lansia ini tentu saja berbeda dengan proses belajar pada anak-anak. Pada periode lanjut usia, terjadi penurunan kemampuan dalam bidang kognitif yang disebut dengan regresi kognitif. Kemampuan belajar pada lansia mulai berkurang. Mereka kurang fleksibel dalam proses-proses mental dan lebih sering lupa. Lansia lebih mengingat masa lalu dan seringkali melupakan apa yang baru diperbuatnya. Kemampuan untuk memusatkan perhatian, berkonsentrasi, dan berpikir logis menurun, bahkan seringkali terjadi loncatan gagasan (Hurlock, 2004: 401).
6) Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam Kata pondok pesantren merupakan dua kata yang saling berkaitan dan mempunyai tujuan sama sebagai tempat tinggal sementara untuk belajar ilmu agama Islam. Kata pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti ruang tidur, wisma, dan hotel sederhana. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pedan akhiran –an, yang berarti tempat tinggal santri. Santri sendiri adalah orang yang belajar agama Islam di pondok pesantren. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren memiliki kesamaan dengan lembaga pendidikan madrasah. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang membentuknya, yaitu : (1) pelaku; terdiri dari kiai, uztad, santri, dan pengurus. (2) sarana perangkat keras; misalnya masjid, rumah kiai, rumah uztad, pondok, gedung sekolah, dan gedung-gedung lain untuk pendidikan seperti perpustakaan, kantor,
9
keamanan, koperasi, dan lain-lain. (3) sarana perangkat lunak; seperti krikulum, buku-buku, sumber belajar, cara belajar-mengajar, dan evaluasi belajar mengajar. Unsur terpenting dari semua itu adalah kiai, ia adalah tokoh utama yang menentukan corak kehidupan pesantren. Semua warga pesantren takut pada kiai (Rofiq, 2005: 3). Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berkembang di Indonesia dan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki akar sejarah panjang di Indonesia. Proses pembelajaran yang berlangsung selama 24 jam penuh menyatu antara kiai, badal (pengganti kiai dalam kegiatan pesantren jika beliau berhalangan), dan santri dalam satu komplek lingkungan pesantren, sehingga sangat efektif dakam upaya pembentukan tiga kecerdasan yaitu: kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan akal (Choliq, 2011: 7). Di tengah perkembangan pondok-pondok pesantren modern saat ini masih banyak pula pondok pesantren tradisional yang bertahan. Pondok pesantren tradisional semacam ini steril dari ilmu pengetahuan umum dan hanya menekankan pada pembelajaran agama. Pola pengajaran di dalamnya dengan menerapkan sistem halaqoh, dengan metode sorogan dan bandongan. Sorogan diterapkan pada kegiatan pembelajaran seperti membaca Al Quran, menghafal Al Quran, dan kemampuan membaca Kitab Kuning, yang mana ilmu tersebut perlu dikuasai secara mendalam oleh masing-masing individu santri. Sedangkan bandongan adalah pola pengajaran dimana seorang kiai menyampaikan materi dan para santri menyimak secara bersama-sama. Pola pengajaran ini biasanya diterapkan untuk pembelajaran yang sifat materinya umum seperti pada kegiatan tausiah atau pengajian umum (Choliq, 2011: 42-43).
Metode Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Afandi, 1993: 30). Deskriptif kualitatif ini merupakan salah 10
satu pendekatan yang digunakan untuk membedah fenomena yang diamati di lapangan. Penelitian jenis ini merupakan metode yang menggambarkan temuan variabel di lapangan tanpa memerlukan skala hipotesa. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Sepuh Payaman yang merupakan pondok khusus lansia putri. Pondok pesantren ini berada di wilayah Dusun Kauman, Desa Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Sumber data dari penelitian ini adalah pengajar dan santri lansia Pondok Pesantren Sepuh yang dirasa mampu mewakili informasi yang dibutuhkan. Data pendukung diperoleh melalui studi kepustakaan, dan referensi-referensi yang menunjang studi seperti bukubuku yang relevan dengan tema, jurnal ilmiah, penelitian ilmiah, dan dokumendokumen lainnya. Dalam mengumpulkan informasi dari sumber, digunakan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara mendalam. Hal
ini
dikarenakan agar dapat memperoleh kedalaman informasi dan temuan baru yang akan mendukung keberhasilan penelitian.
Hasil Penelitian Dari kegiatan-kegiatan keagamaan yang berlangsung di Pondok Pesantren Sepuh Payaman, peneliti menjumpai bahwa pelaksanaan komunikasi instruksional hanya terjadi pada kegiatan pembelajaran Al Quran dan pengajian umum. Hal ini dikarenakan pada kedua kegiatan ini tampak jelas komunikasi antar pengajar dengan santri dalam hal instruksional, sedangkan pada kegiatan lain lebih menonjol pada interaksi antara sesama santri sehingga peneliti tidak menjumpai adanya komunikasi instruksional di dalamnya. Maka dari itu, peneliti memfokuskan penelitian di Pondok Pesantren Sepuh ini hanya pada kegiatan pembelajaran Al Quran dan pengajian umum.
11
1. Analisis Tahapan Proses Pelaksanaan Komunikasi Instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman Data yang berhasil diperoleh selanjutnya dianalisis sesuai dengan rangkaian proses komunikasi instruksional yang dikemukakan oleh Hurt, Scott, dan Croscey yang dikutip dari Buku Komunikasi Instruksional (Yusuf, 2010: 70). a. Spesifikasi Isi dan Tujuan Instruksional Pondok Pesantren Sepuh berada di bawah naungan Ta’mir Masjid Agung Payaman. Pendirian Pondok Pesantren Sepuh dilakukan secara swadaya dan tidak memiliik ikatan dengan Kementrian Agama maupun lembaga pemerintahan lain. Oleh karena itu, selama ini pun tidak ada arahan dari lembaga pemerintahan terkait tentang pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang berlangsung di dalamnya. Pengurus maupun pengajar Pondok Pesantren Sepuh menentukan sendiri acuan pendidikan yang dipakai. Layaknya pendidikan nonformal, pembelajaran di Pondok Pesantren Sepuh tidak terpaku pada kurikulum yang ketat. Pengurus tidak menggunakan istilah kurikulum untuk mengatur kegiatan belajar mengajar di dalamnya. Kegiatan belajar mengajar yang terjadi di Pondok Pesantren Sepuh mengalir begitu saja tanpa perencanaan khusus. Penjabaran isi dan tujuan instruksional dilakukan pengajar secara lisan kepada santri. Dalam tahap ini, tidak ada rencana pengajaran khusus yang dibuat oleh pengajar. Semua mengalir begitu saja. Dalam kegiatan pembelajaran Al Quran dan Kitab Tafsir Al Ibris, isi dan tujuannya yaitu mengajarkan santri cara membaca Al Quran dengan baik dan benar serta menerangkan makna yang terkandung di dalamnya. Tujuannya agar santri lebih mencintai Al Quran, lancar membacanya, serta memahami makna yang terkandung di dalamnya. Sedangkan pada pengajian umum, kegiatannya adalah berupa ceramah dari mubaligh seputar masalah agama seperti ilmu fiqih, tauhid, dan akhlak. Tujuannya agar santri lebih memahami ilmu-ilmu
12
agama dan menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan Agama Islam.
b. Penaksiran Perilaku Mula Sebelum memulai pelaksanaan kegiatan instruksional, pengajar melakukan penaksiran perilaku mula dengan memahami situasi dan kondisi para santri. Para lansia datang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu pengurus atau pengajar harus memahami situasi dan kondisi awal mereka terlebih dahulu, seperti asal usul, latar belakang, dan motivasi mereka datang ke pondok. Dalam pelaksanaan instruksional, pengajar pun harus mengetahui terlebih dulu kemampuan awal yang telah dimiliki para santri. Pada pembelajaran Al Quran dan Kitab Tafsir Al Ibris, penaksiran perilaku mula dilakukan pengajar dengan terlebih dahulu mengetes kemampuan santri dalam membaca Al Quran. Terlebih dahulu santri diminta untuk membaca Iqro’. Santri baru dites sejauh mana mereka mengenal hurufhuruf hijaiyah dan cara mereka melafalkan. Selanjutnya apabila sudah lancar, santri diminta membaca surat-surat pendek pada Juz Amma untuk mengetahui sejauh mana mereka memahami tajwidnya. Jika memang sudah lancar santri boleh langsung memulai untuk mengaji Al Quran. Pada pengajian umum, mubaligh melakukan penaksiran perilaku mula dengan mencari tahu kondisi yang dialami para santri. Apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang populer di kalangan masyarakat khususnya para santri menjadi acuan bagi mubaligh dalam menyusun pesan dan strategi yang digunakan dalam kegiatan instruksional. Semakin banyak komunikator mengetahui kondisi sasarannya, semakin besar pula kemungkinan perilaku komunikasi sesuai dengan harapan, karena pesan dapat diterima dengan mudah oleh pihak sasaran. Dengan begitu, proses instruksional yang dikehendaki pun bisa berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. 13
c. Penetapan Strategi Instruksional Strategi instruksional dalam pembelajaran Al Quran dan Kitab Tafsir Al Ibris dilakukan dengan metode sorogan, yaitu pengajar membimbing santri secara perorangan satu demi satu. Metode sorogan atau tutorial per individu ini menurut pengajar cukup efektif dan tepat untuk pembelajaran Al Quran. Hal ini karena membaca Al Quran yang benar tidak bisa dipelajari secara otodidak. Santri harus berhadapan langsung dengan pengajar atau guru yang menguasai untuk mengetahui teknik pelafalan yang benar. Hal ini disebut dengan musyafahah. Musyafahah sangat perlu terutama bagi santri yang baru belajar Iqro’. Mereka harus menguasai ketrampilan melafatkan huruf maupun kata per kata dengan tajwid dan makhroj yang benar sebelum melangkah untuk mendalami ayat-ayat dalam Al Quran. Santri yang baru belajar harus menyelesaikan Iqro’ terlebih dahulu dari tiap jilidnya yaitu jilid 1-6. Kemampuan santri yang terus bertambah akan terlihat dari kelancarannya dalam menyelesaikan Iqro’ per jilid. Sebelum memperoleh giliran mengaji dengan Ibu Hj. Umamah biasanya santri baru yang masih belajar Iqro’ diperintahkan nderes dulu dengan meminta bantuan santri lain yang sudah lancar membaca Al Quran untuk mengoreksi bacaannya. Hal ini mempunyai maksud agar santri sering berlatih sehingga terbiasa dan menjadi lebih lancar ketika tiba gilirannya. Sedangkan pada kegiatan pengajian umun, metode instriksional yang digunakan secara bandongan, yaitu secara bersamaan atau berkelompok. Mubaligh sebagai komunikator menyampaikan ceramah kepada sekelompok santri lansia yang menjadi komunikan atau sasarannya. Metode ceramah ini sama halnya dengan model pengajaran dalam kelas, yaitu pengajar menyampaikan materi dan para santri mendengarkan. Dalam penyampaiannya, beberapa mubaligh biasanya disisipi dengan story telling kisah-kisah nabi atau para sahabat pada jaman dahulu untuk menguatkan materi yang disampaikan. Selain itu, penyisipan humor juga 14
dilakukan sesekali untuk mencairkan suasana. Dilihat dari keefektifannya, metode bandongan ini cukup efektif untuk menjangkau audiens yang jumlahnya banyak. Namun demikian, partisipasi santri sebagai peserta didik pun menjadi terbatas, sehingga mereka cenderung pasif mendengarkan pengajar berceramah.
d. Organisasi Satuan-satuan Instruksional Pada
pembelajaran
Al
Quran,
pengorganisasian
pesan
yang
disampaikan, dilakukan secara bertahap. Ini banyak bergantung pada isi yang akan disampaikan. Misalnya saja, untuk santri yang baru belajar Iqro’ tidak serta merta diajarkan materi yang banyak. Pertama santri harus bisa membaca dan mengingat macam-macam huruf hijaiyah dari alif sampai ya’. Selanjutnya mereka diajari untuk membaca harokat fathah, kasroh, dhomah dan membaca huruf-huruf hijaiyah yang disambung. Setelah menguasai itu mereka akan diajari untuk mampu membedakan lafal panjang atau pendek. Demikian seterusnya, hingga santri dapat menguasai materi yang diajarkan sedikit demi sedikit. Begitu pula dalam mempelajari Kitab Tafsir Al Ibris, pengajar menerangkan sedikit demi sedikit agar santri lebih mudah mencerna apa yang diterangkan. Sedangkan pada kegiatan pengajian umum, hal ini dilakukan mubaligh dengan menyiapkan catatan tentang poin-poin materi yang akan disampaikan agar penyampaiannya nanti bisa runtut dan tidak ada bagian yang terlupakan. Materi yang disampaikan disesuaikan dengan topik yang sedang populer di masyarakat atau disesuaikan dengan tema bulan-bulan islam seperti Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan.
e. Umpan Balik Umpan balik yang timbul dalam kegiatan instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman sifatnya langsung. Hal ini karena kegiatan instruksional 15
dilakukan secara tatap muka sehingga pengajar bisa langsung mengetahui umpan balik dari santrinya. Umpan balik dapat berupa respon secara verbal atau nonverbal bahwa santri memahami apa yang diajarkan maupun dalam bentuk pertanyaan terkait materi yang tadi disampaikan.
Dalam mendukung pelaksanaan instruksional, pengurus dan pengajar di Pondok Pesantren Sepuh Payaman juga melakukan pendekatan interpersonal dan kelompok kepada para santri. Pendekatan komunikasi interpersonal bertujuan untuk memahami kondisi personal santri, sehingga pengurus maupun pengajar bisa memberikan treatment yang tepat bagi mereka. Sedangkan pendekatan kelompok dilakukan, mengingat para lansia di Pondok Pesantren Sepuh ini membentuk sebuah kelompok masyarakat. Pendekatan kelompok ini dimaksudkan untuk mengelola tiap individu di dalamnya yaitu dengan pembagian peran-peran tertentu yang mendukung pelaksanaan instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman itu sendiri.
2. Analisis Hambatan dalam Pelaksanaan Komunikasi Instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman Di dalam pelaksanaan komunikasi instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman
juga ditemukan
hambatan
yang
mengganggu kelancaran proses
instruksional itu sendiri, yaitu : a. Hambatan pada Sumber/Komunikator Hambatan berasal dari pihak komunikator yang ditemui dalam pelaksanaan instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman yaitu penggunaan bahasa yang terlalu tinggi sehingga sulit dipahami santri lansia serta penyampaian instruksional dengan intonasi suara yang kurang keras sehingga santri sulit mendengarkan. Untuk mengatasinya, dari pihak pengurus melakukan evaluasi yang sifatnya informal kepada pengajar yang bersangkutan yaitu dengan
16
menegur dan memberi masukan agar ke depan pengajar tersebut lebih memahami audiensnya yang notabene adalah lansia. b. Hambatan pada Saluran Hambatan ini berupa gangguan pada alat penyampaian pesan seperti karena kerusakan alat pengeras suara atau karena listrik yang padam. Untuk meminimalisirnya pihak pengurus melakukan pengecekan rutin pada alat pengeras suara serta menyiapkan cadangan jika sewaktu-waktu terjadi kerusakan lagi. c. Hambatan pada Sasaran/Komunikan Hambatan yang ditemui cenderung disebabkan oleh perubahan yang dialami pada masa lansia seperti menurunnya kemampuan kognitif, daya ingat, maupun kondisi fisik lansia. Selain itu, hambatan juga datang dari pribadi santri sendiri seperti kurangnya minat dan keinginan santri untuk belajar serta kurangnya motivasi dan perhatian santri saat mengikuti instruksional. Untuk menanganinya, pengajar berusaha memberikan instruksional yang disesuaikan dengan kemampuan para lansia ini.
Kesimpulan Beradasarkan hasil penelitian di Pondok Pesantren Sepuh Payaman, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Pelaksanaan instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman terbagi dalam lima tahapan, yaitu : a. Penjabaran isi dan tujuan instruksional dilakukan secara lisan oleh pengajar langsung kepada santri. b. Penaksiran perilaku mula pada pembelajaran Al Quran ditunjukkan pengajar dengan mengetes santri baru dalam membaca Al Quran untuk mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki. Sedangkan pada pengajian umum,
17
pengajar melakukan penaksiran perilaku mula dengan mengamati perilaku dan kondisi para santri guna menentukan materi ceramahnya. c. Strategi instruksional pada pembelajaran Al Quran dilakukan dengan metode sorogan sedangkan pada pengajian umum dengan metode bandongan. d. Pada
tahap
pengorganisasian
satuan-satuan
instruksional,
pengajar
menyampaikan pesan instruksional kepada santri secara bertahap, sedikitdemi sedikit, dan runtut sehingga mudah dipahami oleh santri lansia. e.
Dalam pelaksanaan instruksional ini umpan balik bersifat langsung, baik secara verbal maupun nonverbal
2. Adanya pendekatan komunikasi yang dilakukan pengajar kepada santri baik secara
interpersonal
maupun
kelompok
guna
mendukung
pelaksanaan
instruksional di Pondok Pesantren Sepuh Payaman. 3.
Adanya hambatan yang dapat mengganggu kelancaran komunikasi instruksional di Pondok sepuh payaman, baik yang berasal dari pihak pengajar (komunikator), saluran, maupun santri (komunikan).
Saran Keberadaan pondok ini belum terlalu mendapat perhatian khusus dari masyarakat maupun pemerintah setempat. Para santri hanya menikmati fasilitas seadanya dengan jumlah kamar di pondok yang terbatas. Padahal jumlah santri lansia yang menetap di pondok sangat banyak terutama pada saat bulan Ramadhan. Maka dari itu, bantuan dari pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan fasilitas pondok akan sangat membantu. Selain itu bantuan pelayanan kesehatan seperti pelayanan Posyandu Lansia juga tentunya akan semakin membantu meningkatkan kesejahteraan para lansia ini. Dalam kegiatan pembelajaran, alangkah baiknya jika pelayanannya juga lebih ditingkatkan. Seperti dalam pembelajaran Al Quran agar menambah tenaga pengajarnya sehingga kegiatan instruksional lebih maksimal dan efektif. Selain itu
18
kegiatan instruksional juga agar dibuat lebih bervariasi agar santri lebih bersemangat belajar dan tidak bosan. Selama ini hanya segelintir orang yang bersedia mengajar para lansia di Pondok Pesantren Sepuh ini. Dan seiring berjalannya waktu mereka pun akan semakin tua dan bahkan ada yang meninggal. Untuk itu sangat diharapkan kepedulian dari kaum muda untuk meneruskan kegiatan ini nantinya sehingga kegiatan positif di Pondok Pesantren Sepuh bisa terus berlanjut.
Daftar Pustaka Afandi, A. Khozin. (1993). Kualitatif, Dasar-dasar Penelitian. Usaha Nasional: Surabaya. Anitah, Sri. (2009). Teknologi Pembelajaran. Yuma Pustaka: Surakarta. AW. Widjaja. (1993). Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Bumi Aksara: Jakarta. Barata, Atep Adya. (2003). Dasar-dasar Pelayanan Prima. Elex Media Komputindo: Jakarta. Choliq, Ahmad. (2011). Manajemen Pesantren dan Pembinaan Santri. STAINU Press: Yogyakarta. Demartoto, Argyo. (2006). Pelayanan Sosial Non Panti bagi Lansia: Suatu Kajian Sosiologis. Sebelas Maret University Press: Surakarta. Hurlock, Elizabeth. (2004). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga: Jakarta. Rakhmat, Jalaluddin. (2012). Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya: Bandung. Rofiq, Ahmad. (2005). Pemberdayaan Pesantren: Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan. Pustaka Pesantren: Yogyakarta. Yusuf, Pawit M. (2010). Komunikasi Instruksional Teori dan Praktik. PT Bumi Aksara: Jakarta. Kahn, Arnold S dan Christina M. Neill. (Feb. 1999). The role of personal spirituality and religious social activity on the life satisfaction of older widowed women. Journal of Gale Art, Engineering & Social Lite Package. Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Profil Penduduk Lanjut Usia. www.komnaslansia.go.id%2Fmodules.php%3Fname%3DDownloads: Diakses tanggal 19 Desember 2012.
19