EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN SEKELOA KECAMATAN COBLONG KOTA BANDUNG Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang di rancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat (Brokensha dan Hodge dalam Adi, 2003). Salah satu kegiatan program pengembangan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup keluarga miskin adalah peningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi, hal tersebut dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha dan pengembangan kelembagaan dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi. Dalam hal ini program pengembangan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi permasalahannya dengan kekuatannya sendiri. Salah satu ciri mendasar dari suatu kegiatan program pengembangan masyarakat dalam kerangka pemberdayaan adalah adanya keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan tersebut (sustainability). Dengan demikian untuk mengkaji sejauhmana keberhasilan program pengembangan
masyarakat
yang
sudah
dilaksanakan
dalam
kerangka
pemberdayaan masyarakat, dan bagaimana keberlanjutan program tersebut di daerah kajian, perlu dilakukan suatu evaluasi terhadap program-program pengembangan masyarakat tersebut. Tujuan evaluasi antara lain : (1) Ingin mengetahui
bagaimana keberdayaan masyarakat di daerah kajian dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonominya setelah dilaksanakan program-program pengembangan masyarakat yang berkaitan dengan kemiskinan, (2) Sejauhmana program tersebut telah melakukan jejaring sosial dan jejaring usaha dengan stakeholders terkait, (3) Sejauhmana kemampuan kelembagaan di dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki masyarakat sebagai modal sosial bagi keberlanjutan program tersebut. Evaluasi juga dilakukan terhadap faktor-faktor yang akan menjadi penghambat dan yang akan mendukung keberhasilan program. Hasil dari evaluasi ini akan menjadi masukan bagi pelaksanaan program pada tahap-tahap selanjutnya.
Evaluasi
dilaksanakan
terhadap
program-program
penanggulangan
kemiskinan PDM-DKE, P2KP yang sudah tidak eksis dan BMT yang masih eksis di daerah kajian. Hal ini disebabkan berdasarkan hasil observasi lapangan keberhasilan dari kedua program tersebut sangat variatif. Hasil evaluasi terhadap program pengembangan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan di daerah kajian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Deskripsi Kegiatan
Kegiatan Modal Bergulir PDM-DKE PDM-DKE (Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi) merupakan salah satu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan pemerintah, program ini bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dengan tujuan untuk mengatasi berbagai dampak krisis ekonomi yang di mulai pada tahun 1997. Secara umum program-program JPS bertujuan untuk: 1. Memulihkan kecukupan pangan yang terjangkau oleh masyarakat miskin 2. Menciptakan kesempatan kerja yang dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat miskin 3. Memulihkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat miskin 4. Memulihkan kegiatan ekonomi rakyat Sebagai bagian dari program JPS, PDM-DKE bertujuan untuk: 1. Meningkatkan daya beli masyarakat miskin melalui peningkatan pendapatan, 2. Menggerakkan kembali ekonomi rakyat melalui pemberian modal usaha dan membangun atau merehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi serta sosial yang mendukung sistem produksi dan distribusi barang dan jasa, 3. Meningkatkan fungsi sarana dan prasarana sosial ekonomi rakyat dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup. Sesuai dengan tujuannya, penerima sasaran bantuan adalah penduduk miskin yang kehilangan pekerjaan dan yang penghasilannya tidak cukup bagi
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (kebutuhan hidup: sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) Secara garis besar kegiatan dalam program PDM-DKE ini dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu 1. Kegiatan modal bergulir,
berupa pemberian dana bantuan modal bagi
penduduk miskin yang harus dikembangkan dengan menggulirkan pada sebanyak mungkin penduduk miskin, 2. Kegiatan pemeliharaan/pembangunan sarana prasarana, berupa pemberian upah
kerja
bagi
penduduk
miskin
pemeliharaan/pembangunan sarana
yang
bekerja
pada
kegiatan
prasarana sosial ekonomi rakyat yang
dikerjakan dengan sistem padat karya. Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam pelaksanaan program PDM-DKE adalah: 1. Kegiatan yang dilaksanakan terbuka untuk diketahui seluruh masyarakat (Transparency) 2. Setiap kegiatan melibatkan peran aktif masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelestariannya. (Participation) 3. Penyaluran dana harus sesegera mungkin dapat dinikmati masyarakat miskin yang menjadi sasaran (Quick imbursement) 4. Kegiatan yang dilaksanakan harus dapat di pertanggungjawabkan baik secara teknis ataupun administrasi (Accountability) 5. Kegiatan yang telah dihasilkan dapat dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah organisasi masyarakat setempat sehingga kegiatan tersebut dapat berkelanjutan (sustainability) PDM-DKE di daerah kajian dibentuk pada tahun 1998 dengan mekanisme pelaksanaan sebagai berikut: 1. Sosialisasi program di tingkat kecamatan menghadirkan Camat, Lurah, Ketua LKMD, perwakilan Tokoh Masyarakat, Pengawas PLKB dan Ketua Tim Penggerak PKK tingkat Kelurahan. 2. Sosialisasi dan pembentukan pengurus di tingkat kelurahan menghadirkan Lurah, anggota LKMD, Tokoh Masyarakat, PLKB, Pos KB, Ketua RW dan Ketua Pokja I-IV PKK kelurahan.
3. Musyawarah Kelurahan untuk merencanakan kegiatan ekonomi yang akan dilaksanakan, pembentukan kelompok dan menyusun prioritas sasaran 4. Melengkapi dokumen pencairan dana yang diajukan kepada pengelola di tingkat Kota. 5. Setelah dana cair dilakukan musyawarah pengurus untuk menentukan teknis pemberian dana terhadap sasaran 6. Penyerahan dana bergulir kepada ketua kelompok sasaran untuk diserahkan kepada anggotanya 7. Untuk mengawasi jalannya perguliran dana dan pemanfaatannya disusun jadwal pertemuan rutin antara ketua kelompok dengan kelompoknya dan ketua kelompok dengan pengurus tingkat Kelurahan Dana
yang
diterima
dari
program
PDM-DKE
tersebut
sebesar
Rp.218.761.000,- pemanfaatan dana ini adalah untuk kegiatan modal bergulir sebesar Rp.128.900.00,- dana ini harus dikembangkan dengan menggulirkan pada sebanyak mungkin masyarakat miskin yang memiliki usaha-usaha kecil. Modal usaha yang diberikan kepada setiap orang pelaku usaha kecil tersebut adalah sebesar 1 juta – 7,5 juta yang dibagi dalam dua tahap, tahap I digulirkan kepada 28 orang sasaran sedangkan pada tahap ke II digulirkan kepada 15 orang sasaran. Untuk mendapatkan bantuan modal usaha ini, pelaku usaha kecil yang menjadi sasaran terlebih dahulu harus mengajukan proposal. Pembuatan proposal dipandu oleh pengurus secara massal, teknis pembuatan proposal yaitu seluruh calon penerima modal diundang ke kantor Kelurahan Sekeloa di mana seluruh pengurus juga ikut hadir. Dalam pertemuan ini, salah seorang pengurus yang telah dilatih pengisian proposal menjelaskan kepada semua yang hadir bagaimana cara mengisi proposal tersebut. Bagi yang tidak bisa menulis, pengisian proposal dilakukan dengan teknis wawancara. Proposal yang sudah selesai diberikan kepada ketua kelompok masing-masing untuk ditindak lanjuti dalam kegiatan survey lapangan, hasil survey dimusyawarahkan oleh pengurus untuk menentukan berapa dana yang akan diberikan kepada sasaran tersebut. Selain untuk modal bergulir, dana yang diterima juga dimanfaatkan untuk kegiatan pemeliharaan/pembangunan sarana prasarana seperti perbaikan jalan, gorong-gorong, kirmir dan MCK umum. Pelaksana dari kegiatan fisik ini adalah
masyarakat miskin dengan sistem padat karya, anggaran untuk kegiatan fisik ini adalah sebesar Rp.89.861.000,- .Koordinator dari kegiatan fisik ini adalah ketua kelompok masing-masing dibantu oleh bendahara yang telah disepakati oleh ketua kelompok dan anggota sebagai pemegang keuangan. Pelaksanaan kegiatan fisik selesai pada waktunya sesuai dengan rencana, tetapi pada kegiatan modal bergulir sejak perguliran tahap I sudah muncul masalah. Dana yang digulirkan tidak kembali sepenuhnya, pada tahap I dari dana yang digulirkan sebesar Rp.128.900.000,- yang kembali pada tahap I hanya Rp.28.000.000,- dan pada tahap II terus menurun sampai hanya tinggal Rp.4.000.000,-. Berdasarkan informasi dari mantan ketua PDM-DKE, faktor penyebab masalahnya adalah tersebarnya isu bahwa dana tersebut adalah hibah dari pemerintah dan tidak perlu dikembalikan. Dengan terus menyusutnya modal bergulir, akhirnya pada tahun 1999 kepengurusan PDM-DKE dianggap tidak berhasil dan dibubarkan. Sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan BAPPEDA Kota Bandung bahwa jika PDM-DKE tidak dapat berlanjut,
sisa dana yang ada harus dihibahkan kepada lembaga
ekonomi masyarakat lain yang ada di daerah yang sama. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, harus dibentuk lembaga ekonomi masyarakat yang baru dan dana dihibahkan kepada lembaga ekonomi masyarakat yang baru dibentuk tersebut. Dengan adanya peraturan tersebut maka dibentuklah sebuah koperasi yang diberi nama Koperasi Gerakan Ekonomi Masyarakat Sekeloa (GEMA) pada tahun 2000, tetapi kondisinya tidak lebih baik, koperasi GEMA hanya bertahan 1 tahun dan selanjutnya tidak jelas pertanggungjawabannya dari pengurus koperasi yang baru tersebut.
Kegiatan P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) telah berjalan di daerah kajian sejak tahun 2003, Proyek ini merupakan program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan. Tujuan proyek ini adalah untuk merespon dampak krisis ekonomi yang menimpa masyarakat miskin di perkotaan. P2KP merupakan jenis bantuan yang bermotif pemberdayaan,
arah
pemberdayaan dalam program ini adalah memacu masyarakat untuk berusaha
mandiri dan ada tanggungjawab untuk menggulirkannya kepada orang lain. Fokus utama P2KP adalah pengembangan institusi lokal, pengembangan kapasitas dan pengembangan kewirausahaan baik secara individu maupun komunitas organisasi. P2KP di Kelurahan Sekeloa pada periode pertama dibentuk tahun 1999 dengan nama BKM ”Mandiri”. Mekanisme dan langkah-langkah pembentukan P2KP BKM ”Mandiri” adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi program di tingkat kecamatan yang dihadiri oleh Camat, Lurah, Ketua LKMD, perwakilan Tokoh Masyarakat, Pengawas PLKB dan Ketua Tim Penggerak PKK tingkat Kelurahan. 2. Sosialisasi di tingkat kelurahan yang dihadiri oleh Lurah, anggota LKMD, Tokoh Masyarakat, PLKB, Pos KB, Ketua Pokja I-IV PKK kelurahan dan perwakilan RW untuk menjelaskan tentang akan dibentuknya P2KP sebagai program penanggulangan kemiskinan di daerah kajian dan meminta dukungan untuk keberhasilan program tersebut. 3. Pembentukan BKM ”Mandiri”, untuk membentuk pengurus di tingkat Kelurahan. Anggota dari kepengurusan BKM terdiri dari seluruh komponen masyarakat, Tokoh Masyarakat, perwakilan RT dan RW. 4. Sosialisasi Program, yang dihadiri oleh seluruh Ketua RW untuk memberi penjelasan mengenai program P2KP dan meminta dukungan untuk keberhasilan program tersebut. 5. Pembentukan KSM, dengan Ketua RW secara musyawarah menseleksi masyarakat yang berdomisili di wilayahnya yang sesuai dengan kriteria yang disyaratkan. Masyarakat yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota KSM yaitu memiliki Kartu Keluarga, KTP setempat serta memiliki usaha yang diperkirakan akan mampu mengembalikan pinjaman P2KP. Jumlah KSM yang dibentuk sebanyak 50 KSM. 6. Penyusunan usulan kegiatan KSM, fasilitator membimbing KSM tentang cara membuat proposal yang benar sehingga layak untuk mendapat bantuan pendanaan dari program P2KP. 7. Penetapan Prioritas usulan kegiatan KSM, kegiatan ini merupakan hasil keputusan final tentang jumlah dana bantuan yang akan disalurkan kepada masing-masing KSM. Dana disalurkan kepada KSM setelah dilakukan survey
terhadap kelayakan KSM, hasil presentasi proposal, nilai ajuan KSM yang dibandingkan dengan dana pada setiap tahap BLM, penelusuran terhadap pengaduan informasi dengan kasus KSM yang bersangkutan. 8. Penyaluran Dana Langsung Masyarakat (BLM) dari KPKN ke rekening BKM yang berada di Bank pemerintah yang dipilih BKM, dana tersebut selanjutnya diserahkan kepada KSM. Jumlah dana yang digulirkan kepada KSM sebesar Rp.463.195.579,-. Sejak awal perguliran dana sudah menimbulkan banyak kotroversi baik dari KSM maupun dari masyarakat, mereka menilai P2KP sebagai ladang korupsi pengurus. Akibat dari adanya kontroversi tersebut KSM enggan untuk mengembalikan pinjaman, sehingga sampai tahun 2002 jumlah dana yang tidak kembali mencapai Rp.339.237.598,-. Hal tersebut menunjukkan bahwa munculnya kontroversi karena adanya praduga negatif terhadap pengurus dan kurangnya kepercayaan KSM terhadap kejujuran para pengurus. Adanya praduga negatif tersebut, diperkuat dengan adanya fakta yang disampaikan oleh pengurus P2KP (BKM) tahap II bahwa Kelurahan Sekeloa pada periode ke II tidak mendapat lagi dana bantuan untuk kegiatan ekonomi penyebabnya adalah pertanggungjawaban keuangan dari pengurus P2KP (BKM) tahap I belum diserahkan kepada pengurus tingkat kota. Selanjutnya menurut pengurus P2KP (BKM) tahap II, belum diserahkannya berkas pertanggungjawaban keuangan oleh pengurus P2KP (BKM) tahap I karena adanya ketidak beresan dalam pengadministrasian. Hal ini menyebabkan pengurus P2KP (BKM) tahap I mendapat kesulitan di dalam menelusuri perguliran dana yang tidak kembali tersebut. Adanya kemacetan pengembalian pinjaman yang cukup tinggi dan adanya ketidak beresan kepengurusan, akhirnya pada tahun 2002 kepengurusan P2KP tahap I dibubarkan.
Kegiatan BMT Nurul Ummah BMT Nurul Ummah merupakan salah satu BMT di Kota Bandung dibentuk di Kelurahan Sekeloa pada tanggal 20 Januari 1997, dibentuknya BMT Nurul Ummah bermula dari inisiatif salah satu warga masyarakat (Ibu R) yang prihatin atas kondisi ekonomi masyarakat terutama para pedagang kecil. Hal yang
membuatnya prihatin adalah banyaknya pedagang kecil yang terlibat dengan para rentenir untuk menambah modal usahanya. Inisiatif untuk membentuk BMT Nurul Ummah muncul
ketika Ibu R
mengikuti pelatihan BMT yang diselenggarakan oleh Depnaker pada tahun 1996, bersama lima orang temannya yang sama-sama mengikuti pelatihan BMT Ibu R membentuk BMT Nurul Ummah. Modal awal untuk merintis BMT bersumber dari uang pribadi Ibu R sendiri dengan 5 orang temannya sebesar Rp.10 juta, dana tersebut dimanfaatkan untuk biaya perlengkapan (sarana operasional) Rp.4 juta dan untuk dipinjamkan kepada nasabah Rp.6 juta. Ibu R baru mampu melakukan kegiatan simpan pinjam, pernah juga membuat usaha sembako tetapi tidak berhasil karena kurang pengetahuan dalam bidang tersebut. Sejak mulai dibentuk nasabah BMT sudah mencapai 1589 yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Coblong, wilayah kerja BMT adalah 10 Km dari lokasi kantor. Sasaran BMT adalah pelaku usaha sektor informal diutamakan yang memiliki modal kecil, memiliki identitas kependudukan sesuai dengan tempat tinggalnya. Seluruh nasabah BMT beragama Islam tetapi tidak menutup kemungkinan bagi pelaku usaha sektor informal yang bukan muslim untuk menjadi nasabah karena agama tidak menjadi persyaratan untuk seorang calon nasabah BMT. Nasabah merasakan sekali kemudahan meminjam modal kepada BMT karena persyaratan dan prosedur yang diminta tidak sulit, untuk menjadi nasabah BMT calon peminjam harus terlebih dahulu menjadi nasabah dan menabung minimal satu bulan aktif, menyerahkan Kartu Keluarga dan KTP serta ijin suami bagi istri dan ijin istri jika seorang suami, dan ijin dari orang tua bagi yang belum menikah. Persyaratan lainnya mempunyai usaha minimal 6 bulan berjalan dan minimal keuntungan 10 % dari modal yang dinilai dengan sistem prediksi. Proses pemberian pinjaman, dilakukan dengan wawancara dan tidak memakai fasilitas formulir karena menurut Ibu R jika memakai fasilitas formulir tidak pernah diisi oleh calon peminjam. Penentuan besarnya pinjaman, ditentukan pada saat wawancara berapa modal yang dibutuhkan dan untuk apa
penggunaannya, selanjutnya langsung ditetapkan berapa pinjaman yang akan diberikan. Jaminan untuk mendapat pinjaman hanya kondisi usaha calon peminjam saat akan meminjam, kecuali jika pinjaman agak besar jaminan yang diminta adalah BPKB kendaraan bermotor. Pinjaman tanpa jaminan biasanya untuk pinjaman antara 500 ribu rupiah sampai 3 juta rupiah, diatas itu ada yang diminta jaminan ada yang tidak tergantung keyakinan dari pihak BMT (90 % nasabah calon peminjam tidak diminta jaminan) Untuk profisi administrasi diminta 1 % dari pinjaman yang diterima, biaya ini juga digunakan untuk biaya dokumen dan materai. Selain profisi admisnistrasi, nasabah juga diminta untuk membayar infaq tetapi sifatnya sukarela dan tidak dipaksakan. Dalam jangka waktu, lebih diprioritaskan pada pembiayaan jangka pendek (kurang dari 6 bulan) namun demikian tidak tertutup kemungkinan lebih dari itu. Bagi hasil (nisbah) berdasarkan kesepakatan nasabah dan BMT, misalnya: 50 % 50 %, 40 % - 60 %, 30 % - 70 % dan proporsi lainnya yang disepakati kedua belah pihak. Selain prosedur dan jaminannya yang mudah, nasabah juga merasa tidak direpotkan dengan pengembalian pinjaman karena untuk pengembalian pinjaman dan simpanan/tabungan, petugas BMT akan mengambil langsung kepada nasabah. Di dalam kegiatannya BMT Nurul Ummah memiliki tujuan, yaitu : 1. Membantu meningkatkan dan mengembangkan potensi dan peranan umat dalam program pengentasan kemiskinan, 2. Mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat banyak melalui pemberdayaan dan peningkatan ekonomi, 3. Mendorong/ mengembangkan usaha-usaha produktif di tingkat bawah, 4. Menciptakan sumber pembiayaan dan penyediaan modal bagi usaha kecilbawah, 5. Mengembangkan sikap hidup hemat melalui kegiatan menabung. Masalah yang sedang dihadapi BMT saat ini adalah masih cukup tingginya nasabah yang menunggak pengembalian pinjaman, faktor penyebabnya menurut pengakuan
nasabah
yang
menunggak
adalah
karena
usahanya
tidak
berkembang/terhenti sehingga mereka tidak mampu mengembalikan pinjaman. Selain itu kesadaran nasabah dalam menabung masih rendah, menurut nasabah sistem bagi hasil dalam menabung belum difahami. Adanya masalah cukup tingginya kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah
dan
kurangnya
aktivitas
nasabah
dalam
menabung/simpanan
berpengaruh pada kurang berkembangnya modal usaha BMT. berkembangnya modal,
Dengan tidak
BMT Nurul Ummah belum mampu memenuhi
permintaan nasabah yang akan meminjam sehingga setiap ada peminjam baru harus menunggu pengembalian dari peminjam sebelumnya. Nasabah mempercayai BMT terutama yang berkaitan dengan simpanan dan pengembalian pinjaman, walaupun petugas BMT yang mengambil uang nasabah tidak selalu sama tetapi nasabah tidak pernah ragu untuk menyerahkan uangnya terhadap petugas BMT yang datang. Sebagai kelembagaan ekonomi masyarakat, masyarakat banyak yang tidak mengetahui, mereka hanya tahu bahwa BMT tersebut adalah BPR. Tokoh masyarakat yang tahu aktivitas BMT dan fungsinya hanya Ketua RW 13, beliau adalah ketua RW dimana BMT berlokasi. Selain sebagai lembaga simpan pinjam, BMT juga merupakan lembaga penghimpun ZIS, tetapi pengurus BMT belum mampu memfungsikannya.
Kelembagaan Ekonomi Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Masyarakat Program PDM-DKE dan P2KP tergolong baru di masyarakat, sebelum program ini di dilaksanakan mayarakat tidak memiliki persiapan baik teknis, data maupun kemampuan pengelolaan. Banyak kelemahan yang terjadi dari pelaksanaan program tersebut. Proses sosialisasi oleh pemerintah terlalu singkat, begitu juga dengan data yang dimiliki pemerintah daerah keakuratannya masih perlu dibenahi. Data yang dimiliki pemerintah daerah merupakan hasil pendataan dari setiap dinas instansi yang memiliki kepentingannya masing-masing seperti BPS, Dinas Kesehatan dan BKKBN. Kriteria kemiskinan yang ditetapkan kurang spesifik dan terlalu disamaratakan yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi kemiskinan di perkotaan. Pendata sering harus mengartikannya lebih mendalam,
sehingga terkadang kriteria kemiskinan lebih banyak menurut persepsi pendata itu sendiri. Kelemahan data, ketika program dilaksanakan tidak dilakukan updating data sehingga ketika dana bantuan digulirkan sering terjadi salah sasaran. Kelemahannya lain adalah adanya ketentuan penerima manfaat harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sementara tidak semua penduduk miskin mampu membuat KTP tersebut. Ketika sasaran penerima manfaat tidak memiliki KTP sasaran dialihkan kepada yang lain, karena dana harus diserap secepatnya oleh pengurus terkadang sasaran penerima manfaat tidak selalu masyarakat miskin. Inilah yang sering menjadi konflik dimasyarakat, penyebabnya adalah munculnya kecemburuan sosial pada masyarakat miskin yang merasa berhak tetapi tidak menerima sementara yang tidak berhak justru menerima. Menurut pendapat beberapa tokoh masyarakat, program PDM-DKE dan P2KP adalah program penanggulangan kemiskinan yang tidak menyentuh masyarakat miskin. Adanya ketentuan dalam pelaksanaan yang telah ditetapkan dalam juklak dan juknis, pelaksanaan kegiatan menjadi kaku dan kurang memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kegiatan. Hal ini menyebabkan manfaat dan kelanjutan program tidak optimal untuk mengembangkan kelembagaan sosial yang telah ada pada masyarakat. Kelemahan lain dalam program ini adalah kurang mampu memanfaatkan potensi dan kemampuan modal sosial sasaran. Dalam situasi ”rescue” program lebih diarahkan pada upaya mempertahankan kehidupan warga masyarakat tanpa memberikan muatan-muatan pemberdayaan. Dengan adanya hal tersebut keikutsertaan masyarakat dalam program ini juga terbatas pada pelaksanaan program, sementara perencanaan dan evaluasi kegiatan tidak terjangkau mereka. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan disebabkan kondisi krisis yang menimpa masyarakat telah membuat masyarakat tidak memikirkan proses belajar, tetapi lebih mementingkan kebutuhan hidup yang mendesak. Rancangan program tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan kegiatan. Secara konseptual program ini cukup baik, tetapi dengan adanya kondisi tersebut diatas menyebabkan pelaksanaan program kurang optimal. Hal itu
terbukti dengan banyaknya terjadi kemacetan dalam pengembalian modal, munculnya kontroversi dan konflik di masyarakat. Sampai program ini berakhir, masyarakat tidak mengetahui bagaimana perkembangan dana tersebut karena dana yang dipegang pengelola tidak terdokumentasi dengan baik, di samping kurang ada keterbukaan dari pengelola pertanggungjawaban kepada masyarakat pun tidak ada. Kurangnya kemampuan pada pengelola program juga menjadi salah satu kelemahan ketidak berlanjutan program di Kelurahan Sekeloa. BMT Nurul Ummah, walaupun kondisinya berbeda dengan PDM-DKE dan P2KP tetapi permasalahan yang dihadapi tidak jauh berbeda, Konsep pemberdayaan pada nasabah belum optimal. Nasabah BMT banyak yang mengatakan tidak mengetahui program kegiatan BMT secara keseluruhan, pemahaman nasabah mengenai sistem bagi hasil pun yang merupakan trade mark nya BMT masih sangat kurang. Pemberian pinjaman modal hanya untuk memenuhi kebutuhan modal nasabah tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pembinaan keberlanjutan usaha nasabah, sehingga menurut pandangan nasabah BMT hanya penyedia sarana pinjaman modal sedangkan BMT sebagai kelembagaan yang dapat dijadikan sarana peningkatan kemampuan usahanya tidak diketahui nasabah. Secara konseptual,
BMT merupakan lembaga keuangan masyarakat
mengerti kebutuhan masyarakat miskin. Adanya kegiatan Baituttamwil (komersil) yang memberi kemudahan dalam proses pemberian pinjaman dengan tidak meminta jaminan kepada nasabah dalam kegiatan komersilnya, memberi peluang pada masyarakat miskin untuk dapat mengaksesnya. Adanya kegiatan penghimpunan dana ZIS (Baitul Maal), dapat memberi peluang bagi pelaku usaha sektor informal miskin yang tidak mampu memiliki KTP untuk dapat mengakses modal produktif. Pelaksanaannya, pada kegiatan Baituttamwil BMT hanya memberikan bantuan pinjaman modal tanpa memperhatikan keberlanjutannya (sustainability) dengan
meningkatkan
kemampuan
dan
keterampilan
nasabah
dalam
mengembangkan modal usahanya dari modal tersebut, selama ini menurut nasabah pengetahuan usaha yang mereka miliki bersifat otodidak. Pada kegiatan
Baitul Maal, BMT belum mampu memfungsikannya karena kurangnya pemahaman pengurus terhadap proses pelaksanaan penghimpunan ZIS. Kelemahan dari program penanggulangan kemiskinan melalui kelembagaan BMT adalah kurang tanggapnya pemerintah daerah terhadap fungsi BMT, selain itu ABSINDO sebagai koordinator BMT kurang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (community need) pada BMT sehingga upaya untuk meningkatkan kemampuan (capacity) pengelola BMT masih kurang. Kesimpulan dari hasil evaluasi pada kelembagaan masyarakat dalam program penanggulangan kemiskinan, bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan baik pada PDM-DKE maupun P2KP merupakan proses belajar bagi masyarakat, tetapi perlu disadari oleh pemerintah atau LSM-LSM yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan bahwa membentuk masyarakat sipil yang berdaya (civil society) merupakan proses yang berkesinambungan yang harus memperhatikan karakteristik lokal masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilaksanakan insidental ketika kehidupan masyarakat terhimpit kemiskinan, tetapi program pemberdayaan haruslah merupakan kebijakan yang selalu dikaji ulang, dievaluasi untuk kemudian dilanjutkan kembali dalam bentuk program yang lebih sempurna. Memperhatikan karakteristik lokal berarti suatu program pemberdayaan haruslah mampu memanfaatkan potensi lokal di samping mengenalkan masyarakat pada sistem sumber di luar yang mampu menunjang potensi dan kemampuan tersebut. Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan PDM-DKE dan P2KP serta BMT didapatkan bahwa suatu program pemberdayaan ternyata tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien manakala hanya mengusung satu kegiatan saja. Dari ketiga macam kegiatan program pemberdayaan tersebut diatas, BMT dapat dikatakan cukup berhasil dibanding dua program lainnya. Kelebihan yang BMT dari kedua program lainnya adalah BMT dibentuk oleh warga masyarakat, pemerintah hanya memberi fasilitas. Dana awal berasal dari pribadi perintis, hal ini menumbuhkan tanggungjawab dari pengurus pada keberlanjutan modal tersebut. Pengurus dibekali kemampuan yang cukup dalam pengelolaan manajemen kelembagaan, sehingga sedikitnya pengurus memahami apa yang harus dilakukan.
Sementara pada program PDM-DKE dan P2KP, fasilitas dan sarana disediakan oleh pemerintah baik modal maupun
mekanisme kerjanya dan
masyarakat hanya tinggal menjalankan, secara psikologis hal ini menumbuhkan sikap bahwa mereka menjalankan tugas pemerintah segala aturan dan ketentuan harus sesuai dengan yang telah ditentukan pemerintah, dengan adanya hal tersebut pelaksanaan kegiatan menjadi sangat kaku dan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal. Pengurus kurang memahami konsep pemberdayaan di dalam pengembangan masyarakat yang menjadi tujuan pemerintah, sehingga di dalam pelaksanaannya proses pemberdayaan tidak tersentuh oleh pengurus. Selain itu pengurus juga tidak dibekali kemampuan manajemen yang baik dengan adanya hal tersebut pengurus tidak mampu mengelola program baik teknis maupun administrasi, dampaknya adalah ketidak jelasan data dari penerima dana pinjaman. Dampak yang dirasakan masyarakat, mereka dapat menikmati dananya tetapi tidak mampu mengembangkannya.