Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
EVALUASI PENGEMBANGAN ITIK MA DAN PEMASARAN TELUR DI SENTRA PRODUKSI KABUPATEN BLITAR (Evaluation on the Development of Duck MA and Its Eggs Marketing System in the Production Centre at Blitar Regency) E. JUARINI, SUMANTO, B.WIBOWO dan H. PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Result of the previous research showed that the rearing of the MA/ AM commercial duck introduced in Cirebon and Blitar has been successful. This is indicated by a good egg production level of 70% per year, both in Blitar and in Cirebon. This result is not much different compare to its production at Balitnak But the implememtation of cross and inter mating among the AM/MA commercial duck in the field held by the farmers (cooperator) tends to decrease the egg production of those cross bred duck. Therefore a further evaluation was conducted to see the technical and social-ekonomical profile including the egg marketing system of those MA/AM duck and to see the elegibility of this effort economically The activity was concentrated in Blitar region to complete the data on egg production and egg distribution (the marketing system). Data were collected periodically (monthly) by the research worker from Balitnak assisted by the farmer. Data taken coverred technical data (growth, feed intake, mortality and egg production) and the socialeconomic (expenses for feed, duck, cage, labour; and earnings from egg yield and duck disposal). Economic and Technical data were tabulated. Revenue analysis was done using a simple financial Analysis. Egg marketing system was also be analysed. Results showed that the egg production of the filial of the MA duck hatched by the nucleous farmer and reared by the nucleous farmer him self and the cooperator (plasm) in Blitar over twelve month period of egg production ranged from an average of 60 up to 70% at the plasm farmers and 73% in nucleus farmer. The economic analysis showed that the BC ratio of MA duck rearing at the plasm range from 1.55 up to 1.73 and 1.57 at the nucleous farmer. The market chain was mapped followed the flow of the product moving from the producer (plasm farm site) to the nucleous and then goes to the second middle man who finally distributed to consumers in east Java, Central Java, West Java, Jakarta and Kalimantan. Key Words: MA Duck, Egg Production, Marketing System ABSTRAK Hasil penelitian tahun 2003 menunjukkan bahwa produksi telur dari keturunan itik Ma yang ditetaskan dan dibesarkan sendiri oleh peternak kooperator masih cukup bervariasi selama tiga bulan produksi di Blitar mencapai 70%, sementara di Brebes dan Cirebon selama 3–12 bulan produksi rata-rata hanya 60%, lebih rendah dibanding dengan tetuanya yang berasal dari Balai.(70% di Cirebon dan Brebes dan 80% di Blitar), namun demikian produktivitas itik MA ini masih lebih tinggi dari kondisi itik lokal dan permintaan bibit itik MA/DOD dari peternak semakin banyak dan belum dapat dipenuhi oleh pembibit, di Blitar. Karena itu pada tahun 2004 penelitian dilanjutkan di Blitar dengan melibatkan 4 peternak plasma dengan skala usaha minimal 200 ekor induk dan 1 peternak inti untuk melengkapi data produksi telur selama setahun masa produksi dan melihat sistem pemasaran telur itik keturunan MA di masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur itik rata-rata masih cukup baik yaitu 56%, produksi telur itik tertinggi dicapai oleh peternak inti (73%). Analisis terhadap aspek usaha ini di masing-masing peternak kooperator difokuskan pada perhitungan antara biaya dan hasil produksi. Keuntungan peternak per bulan per ekor berkisar antara Rp. 3.577,0Rp.4.534,0 dari pemilikan antara 230–7000 ekor induk. Sementara BC ratio berkisar antara 1,55–1,73 di peternak plasma dan 1,57 di peternak inti. Harga telur bervariasi tergantung dari ukuran telur dan berkisar antara Rp. 550-Rp. 650. Telur dengan grade A dihargai tertinggi dan grade C terendah. Pengelompokan (grading) telur ini dilakukan oleh peternak inti yang sekaligus berfungsi sebagai pembeli. Tidak ada masalah diantara peternak plasma dan inti dalam grading dan jual beli telur. Pemasaran telur itik MA milik peternak kooperator mengikuti alur jual beli antara plasma dan inti karena hampir seluruh produksi telur peternak
836
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
plasma dijual ke peternak inti. Setelah di peternak inti barulah telur dibeli oleh pedagang besar yang datang ke Blitar dari luar daerah yang kemudian menjualnya ke kota-kota lain di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta dan Kalimantan. Kata Kunci: Itik MA, Produktivitas, Pemasaran
PENDAHULUAN Hasil Penelitian pada tahun 2001 dan 2002 terhadap produksi telur selama 1 tahun atau hingga 52 minggu masa produksi itik MA di beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa :Rataan produksi telur selama 52 minggu di Blitar mencapai 71,5% yang berarti setiap ekor itik MA/AM dapat menghasilkan telur sebanyak 259 butir. Puncak produksi mingguan terjadi pada minggu ke-16 yaitu rata-rata 89,3%. Posisi tingkat produksi mencapai diatas 80% terjadi pada minggu ke-9 sampai dengan minggu ke 21 dan minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-32. Pada minggu ke-22 sampai dengan minggu ke-25 produktivitas menurun, hal ini disebabkan gejala molting sudah tampak, puncak penurunan hingga menjadi 74,3% terjadi pada minggu ke-24. Sementara itu, rataan produksi telur selama 52 minggu di Brebes dan Cirebon masingmasing mencapai 69,5 dan 69,8% lebih rendah bila dibandingkan dengan di Blitar. Produksi puncak sekitar 85% terjadi pada minggu ke-28 sampai dengan minggu ke-32. Pada tahun 2002, bulan Oktober-November cuaca sangat panas akibatnya produksi telur itik umumnya menurun, tak terkecuali untuk itik niaga MA dimana produksinya menjadi merosot dibawah 70%. Produksi telur itik MA ini di lapang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian KETAREN et al. (1999) yang melaporkan rataan produksi telur lebih dari 80% bertahan selama 12 minggu, karena produksi telur itik di lapang mencapai lebih dari 80% bertahan selama >16 minggu. Itik persilangan ini lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur itik Mojosari, yaitu 60% untuk itik Mojosari dan 71,5% untuk itik persilangan, (MAHMUDI, pers.com.). Produksi telur itik Mojosari yang selama ini dikembangkan peternak menurut MAHMUDI (2001) menunjukkan bahwa pada bulan pertama produksi mencapai 40% dengan produksi tertinggi dicapai pada bulan ke-4 sebesar 854%. Produksi mencapai di atas 80% hanya berlangsung selama delapan minggu,
yaitu pada bulan ketiga sampai dengan bulan kelima, sedangkan rataan produksi telur tahunan sebesar 60. Hasil tersebut diatas menunjukkan bahwa performan itik niaga dari Balitnak yang disebarkan ke peternak di Brebes, Cirebon dan Blitar memberikan hasil yang baik dan dapat diterima oleh masyarakat peternak itik di wilayah tersebut. Oleh karena itu, bibit itik niaga Balitnak banyak permintaannya, namun persediaan di Balitnak tidak cukup memadai. Untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan penyediaan DOD di lapangan, para peternak kooperator di Blitar, Brebes dan Cirebon telah membibitkan sendiri-sendiri melalui persilangan itik-itik niaga yang ada yaitu antara jantan MA/AM dengan betina MA/AM dan sebaliknya atau dipersilangkan dengan bangsa (breed) lainnya seperti terjadi di Blitar. Untuk Tahun 2002, DOD hasil persilangan tersebut telah dijualbelikan ke beberapa peternak disekitar lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun 2003 menunjukkan bahwa produksi telur dari keturunan itik MA yang ditetaskan dan dibesarkan sendiri oleh peternak kooperator masih bervariasi. Selama tiga bulan produksi di Blitar mencapai 70%, sementara di Brebes dan Cirebon selama 3–12 bulan produksi rata-rata hanya 60%, lebih rendah dibanding dengan tetuanya yaitu itik MA komersial yang berasal dari Balai.(70% di Cirebon dan Brebes dan 80% di Blitar), namun demikian produktivitas itik MA ini masih lebih tinggi daripada kondisi itik lokal yang karena kondisi cuaca sering tidak menguntungkan dari rataan produksi yang biasanya bisa mencapai 60% turun menjadi hanya antara 50-55% (DARDJI, Pers. Com., 2003). Untuk lokasi Cirebon, meskipun usaha masih untung, tetapi besarnya keuntungan usaha yang diperoleh peternak dengan bibit itik MA yang disilangkan dari peternak ternyata lebih rendah dari usaha sebelumnya, dimana bibit itik MA didapat dari Balitnak. Meskipun demikian permintaan bibit itik MA/DOD dari peternak semakin banyak dan belum dapat dipenuhi oleh pembibit, di Blitar dan Cirebon. Penelitian ini
837
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
dilakukan untuk melengkapi data produksi telur selama setahun karena data yang ada belum mencapai satu tahun produksi, melengkapi informasi teknis, sosial-ekonomis keturunan bibit niaga itik petelur MA/AM yang diperlukan dan tata-niaga telur keturunan itik MA/AM di daerah sentra produksi di Blitar. MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian ini dilaukkan dalam 2 tahapan yaitu monitoring dan survei. Monitoring data secara periodik (bulanan) dilakukan oleh peneliti/teknisi dari Balitnak dibantu oleh peternak. Monitoring ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun sebelumnya yang melibatkan 4 peternak plasma dan 1 peternak inti. Data yang diambil meliputi data teknis (pertumbuhan, konsumsi pakan, kematian, produksi) dan sosialekonomi (biaya untuk pakan, bibit, kandang, tenaga kerja; dan pendapatan dari hasil produksi telur maupun penjualan itik afkir). Lama monitoring dilakukan setahun masa produksi telur. Disamping itu dilakukan pula pengamatan tentang pemasaran untuk produksi telurnya. Survei tata-niaga telur MA di lokasi sumber bibit itik niaga. Survei dilakukan untuk melihat rantai pemasaran telur itik MA dan keturunannya di dearah kabupaten Blitar dan sekitarnya dengan melalui wawancara terhadap pelaku pasar termasuk pedagang dan peternak itik MA serta pihak-pihak lain yang ikut terlibat dalam transaksi jual beli telur itik MA. Data teknis dan ekonomi disajikan dengan cara deskriptif dan analisis pendapatan dilakukan dengan Analisis finansial secara sederhana. Lokasi kegiatan di Kabupaten Blitar dan kerjasama penelitian dilakukan dengan Kelompok Rahayu Mandiri di Blitar, Jatim.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil kooperator Skala pemilikan itik peternak kooperator beragam (Tabel 1). Skala usaha itik berkisar antara 540-7000 ekor/kooperator. Peternak inti merupakan peternak yang telah mengusahakan pembibitan dan menyediakan pakan baik bagi usahanya sendiri maupun peternak lain dalam kelompoknya. Dengan demikian para anggota kelompok (termasuk peternak kooperator) mempunyai hubungan usaha dengan pihak inti dalam hal penyediaan bibit, pakan dan penjualan telur. Profil peternak itik kooperator yang terpilih (Tabel 1). Pakan ransum Pakan merupakan biaya terbesar dalam system usaha ternak itik. Secara garis besar jenis bahan pakan dan harga ransum di masingmasing lokasi penelitian (Tabel 2). Pakan utama itik MA adalah berupa pakan campuran yang telah dibuat oleh peternak inti. Para peternak yang tergabung dalam kelompok “Rahayu Mandiri“ biasanya membeli konsentrat dan kepala udang (kalau diperlukan) dari peternak inti dan dibayar dalam bentuk setoran telur itiknya kemudian hari. Potensi ketersediaan bahan-bahan konsentrat dari peternak inti adalah cukup baik (diantisipasi hingga kebutuhan 6 bulan kedepan). Sementara itu, bahan lainnya, seperti kebi/dedak atau bahan yang tidak tersedia dipeternak inti akan diusahakan sendiri oleh para peternak plasma. Jumlah ransum yang diberikan rata-rata 150 g ekor-1 hari-1 dengan harga Rp. 1300,-/kg, dimana sudah termasuk biaya tenaga kerja.
Tabel 1. Tabel profil kooperator penelitian di lokasi penelitian Kooperator
Itik MA(ekor)
Keterangan
Sumiran
350
selain itu juga memelihara jenis itik lain sebanyak 900 ekor
Boniran
270
memelihara jenis itik lain sebanyak 270 ekor
Meseri
230
memelihara itik lain 650 ekor
Abdulgoni
3000
seluruhnya itik keturunan MA
Mahmudi (inti)
7000
seluruhnya itik keturunan MA
838
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 2. Jenis pakan dan harga ransum di lokasi penelitian Jenis bahan pakan
*Harga ransum/kg
Konsentrat, kebi, kepala udang, dedak
1300
Jumlah pemberian (g/ekor/hari) 150
* Sudah termasuk upah tenaga kerja
Produksi dan harga telur Produksi telur itik MA di lokasi penelitian berkisar antara 52-73% per tahun dari total populasi yang dipelihara oleh masing-masing peternak kooperator. Produksi telur itik tertingi ditemui di peternak inti (73%) dan satu peternak plasma. Sistem pemeliharaan ternak itik petelur di kedua peternak tersebut, memang berbeda dengan peternak-peternak lainnya. Kedua peternak tersebut melakukan seleksi induk yang kurang produktif dengan cara langsung diafkir (dijual). Tujuan dari sistem tersebut adalah untuk mempertahankan agar produksi telur tetap stabil (kurang lebih dapat mencapai diatas 70% per tahun). Untuk peternak lainnya, model tersebut diatas tidak dilakukan, karena umumnya mereka kekurangan modal. Meskipun demikian dengan cara pemeliharaan yang baik seperti misalnya dengan ketersediaan pakan dan air yang kontiniu, ternyata produksi telur itik masih cukup baik yaitu diatas 52% per tahun. Analisa ekonomi produksi telur Analisis terhadap aspek usaha ini di masing-masing peternak kooperator difokuskan pada perhitungan antara biaya dan hasil produksi. Perlu diketahui bahwa kondisi di masing-masing peternak terdapat perbedaan yang meliputi antara lain: skala usaha, produktifitas itik, biaya pakan dan harga jual telur. Analisis ekonomi ini dilakukan selama satu tahun produksi. Melalui koefisien teknis di masing-masing peternak, maka analisis keuntungan untuk masing-masing peternak dapat dihitung. Biaya terbesar dikeluarkan
untuk penyediaan pakan dan untuk pembelian bibit itik siap telur. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan tertinggi didapatkan oleh peternak inti yaitu sebesar Rp. 31.741.167/bulan/7000 ekor induk. Keuntungan terrendah diperoleh peternak plasma dengan skala usaha 230 ekor (Rp. 822.780/bulan). Sementara itu, rata-rata keuntungan untuk usaha itik MA di Blitar pada saat ini mencapai rataan Rp. 4.170/bulan/ekor dengan selang antara Rp. 3.577–Rp.4.534/bulan/ekor. Semakin tinggi skala usaha maka semakin tinggi pula keuntungan yang diperoleh. Apabila dibandingkan dengan produktivitas dan keuntungan itik MA dari Balitnak (yang telah diuji ke peternak sebelumnya), maka produktivitas bibit itik keturunan MA saat ini (hasil persilangan itik oleh peternak sendiri) masih lebih rendah yaitu 71,4% untuk produktivitas bibit itik yang berasal dari Balitnak (PRASETYO et al., 2003) dibandingkan dengan rata-rata 62,2% untuk itik keturunan MA yang dibibitkan sendiri oleh peternak inti. Namun nilai ini masih tetap lebih tinggi dibandingkaan dengan produktivitas itik lokal. Usaha pemeliharaan itik keturunan MA juga cukup menguntungkan dengan kisaran BC ratio antara 1,55–1,73. Pemasaran telur itik di wilayah sentra produksi di Blitar Jalur pemasaran telur itik Gambaran umum pemasaran telur itik di sentra produksi telur di Kecamatan Ponggok Gambar 1. Skema pemasaran telur diatas menjelaskan bahwa hasil produksi telur dari plasma dijual kepada Inti sebagai kegiatan pemasaran yang rutin, sedangkan penjualan secara insidentil dalam jumlah yang sangat sedikit dijual kepada masyarakat (rumah tangga) dilingkungan tempat tinggal. Hal ini dilakukan karena meskipun harga jual langsung ke konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan melalui inti, dan pembeli datang ke penjual namun jumlah dan frekuensinya sangat rendah sehingga tidak akan mampu menyerap semua telur yang diproduksi.
839
R Ped s
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Produsen (peternak plasma)
insidentil
Rutin
Pedagang tingkat I (Inti)
Pedagang Tingkat II
Pedagang
Gambar 1. Pemasaran telur itik MA di sentra produksi Telur, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jatim Th 2004
Potensi peternak plasma Peternak itik yang tergabung dalam kerjasama Inti-plasma mencapai 253 orang, dengan jumlah pemilikan itik yang mencapai hampir 200. 000 ekor induk, sebagai penghasil telur. Produksi telur dari anggota dapat ditampung sekitar 65.000 hingga 80.000 butir /hari. Suplai telur dari petani bersifat fluktuatif hal ini karena dipengaruhi oleh pola budi daya yang berkaitan dengan musim, walaupun pemeliharaan itik dewasa sudah intensif (terkurung). Pada bulan September-Februari suplai telur dari peternak lebih banyak dari pada Bulan Maret-Agustus, keadaan ini terjadi secara berulang pada setiap periode. Peternak memberikan kepercayaan penuh pihak inti. Bagi inti kepercayaan yang diberikan oleh peternak ini disikapi sebagai alat kontrol kejujuran, sehingga inti tidak akan menyianyiakan kepercayaan dari peternak. Komitmen moral dalam bisnis telur itik ini diterapkan oleh kedua belah pihak. Diduga faktor inilah yang merupakan salah satu faktor kunci yang menunjang berkesinambungannya kerjasama inti–plasma pada kelompok peternak itik di lokasi penelitian. Kegiatan pengelompokan telur dilokasi inti Tidak semua telur itik mempunyai ukuran yang sama. Adanya perbedaan ukuran ini
840
mengakibatkan terjadinya perbedaan harga untuk ukuran telur yang berbeda. Penjualan telur itik yang lazim masih menggunakan satuan butir dalam penentuan harga per unit satuan, semakin besar ukuran telur maka semakin tinggi harga jual telur yang bersangkutan. Telur itik mempunyai warna yang bervariasi tergantung dari bangsanya, dari berbagai warna tersebut masih berlaku terutama bagi masyarakat yang memberikan penilaian tertinggi terhadap warna hijau kebiruan. Telur itik dengan warna kulit kerabang putih dihasilkan oleh antara lain itik Khaki Cambel dan itik Bali, sedangkan kulit telur berwarna hijau kebiruan dihasilkan oleh itik Mojosari, Alabio, Tegal, Turi dan MA. Pengelompokan telur menggunakan alat bantu yang terbuat dari papan kayu yang diberi dilubang. Diameter lubang akan menunjukkan kelas telur, tertera pada Tabel 3. Pengelompokan telur dapat diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu kelas A, kelas B dan Kelas C. Penentuan kelas telur berdasarkan besarnya diameter melintang dari sebutir telur. Kelas A mempunyai diameter >4,7 cm, kelas B mempunyai diameter = 4,7 atau >4,2.cm dan kelas C mempunyai diameter ≤4,2 cm. Hasil klasifikasi menjadi acuan terhadap harga telur dari masing-masing kelas. Pada masing-masing kelas mempunyai nilai harga yang berbeda-beda. Perbedaan nilai harga antara kelas A dengan kelas B adalah Rp 10, perbedaan nilai harga antara kelas A dengan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
kelas C adalah Rp. 100 sedangkan perbedaan nilai harga antara kelas B dengan kelas C adalah Rp. 90/butir. Secara berurutan harga telur yang tertinggi dimiliki oleh kelas A, dan menurun pada kelas B dan Kelas C. Tabel 3. Penentuan klasifikasi telur itik dan perbedaan harga pada tiap kelas (Rp/butir) Kelas
Diameter (cm)
Perbedaan harga (Rp/butir)
Perbedaan harga (Rp/butir) >100 dari C
A
>4,7
>10 dari B
B
= 4,7
>90 dari C
>4,2 C
= 4,2
Sistem pembayaran Pada saat pembayaran telur pada umumnya peternak melakukan pelunasan terhadap bahan pakan yang digunakan tetapi belum dibayarkan. Peternak dapat membawa pulang sisa kelebihan dari perhitungan antara kebutuhan pakan dengan penjualan telur. Pada saat yang sama peternak memesan pakan dan akan dibayarkan pada penjualan telur periode berikutnya. Periode penjualan telur dari peternak kepada inti berlangsung setiap 4–5 hari sekali, tergantung jumlah telur dan kebutuhan pakan.
Penjualan telur dari pedagang Tingkat I (inti) kepada pedagang Tingkat II Pihak inti selanjutnya menyalurkan telur itik kepada pedagang yang dikenal dan mempunyai loyalitas. Pihak inti secara diam– diam melakukan evaluasi kepada pedagang. Evaluasi dilakukan untuk melihat konsistensi pembelian telur kepada inti pada saat harga telur mengalami perubahan naik maupun turun. Pihak inti akan berhati-hati bahkan kalau perlu memutuskan hubungan dagang apabila terdapat pedagang yang hanya bersedia membeli pada saat harga tinggi, sedangkan pada saat harga turun pedagang yang bersangkutan enggan membeli telur. Telur itik dari Inti yang dijual kepada pedagang sudah dipisahkan berdasarkan kelas (A, B dan C). Pedagang telur yang berhubungan dengan inti berasal dari berbagai daerah. Sebaran pembeli sudah meluas hingga menjangkau keluar pulau Jawa (Kalimantan). Minimal terdapat 11 pedagang pengumpul yang menjadi pembeli tetap bagi Inti, Masingmasing pedagang berdasarkan kemampuan modal dan daerah penyebarannya mampu membeli telur kepada inti paling sedikit 8000 butir/minggu, sedangkan pembelian telur yang paling tinggi mencapai 290.000 butir. Penyebaran telur dari pihak inti ke berbagai tempat secara rinci tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Volume penjalan telur daerah pemasaran Nama pedagang
Alamat
Volume (butir/minggu)
Daerah pemasaran
Basori
Tl Agung
290.000
Kalimantan, Jakarta
Om, Pong
Blitar
120.000
Jakarta, Blitar
Haryono
Surabaya
Asih
Solo
42.000
Sukoharjo, Solo
Majid
Gresik
18.000
Gresik
Budi
Yogya
80.000
Yogya, Bandung
8.000
Surabaya
Diyah
Yogya
15.000
Sleman
Madsuri
Gresik
18.000
Gresik
CV Cemara
Blitar
15.000
Blitar
Suhadi
Ngawi
60.000
Ngawi
Mubarok
Surabaya
20.000
Surabaya
841
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Pada umumnya pembayaran telur dilakukan setelah 2 kali pedagang mengambil telur dari inti, kemudian pedagang membayar telur untuk pembelian yang pertama, dengan demikian pihak pedagang inti selalu memiliki piutang telur 1 periode pengambilan yang belum dibayar dan keadaan ini berlangsung hingga ada pemutusan hubungan bisnis. Model perdagangan dengan pembayaran tunda merupakan bagian dari suatu ikatan agar kerjasama pemasaran tetap dapat berlangsung dalam waktu lama. Penerapan teknis pembayaran tunda menuntut kemampuan permodalan dari pihak inti. Untuk proses jual – beli telur antara Inti dengan pedagang ini, semua biaya transpor ditanggung oleh pedagang.
Tabel 5. Penyebaran telur itik dari pedagang Tk. II ke pedagang Tk. III Pedagang Tingkat II
Daerah penampungan
Daerah penyebaran
Basori
Kalimantan
Banjarmasin Martapura Palangkaraya
Jakarta
Tangerang Cengkareng Jatinegara Kampung Rambutan
Budi
Yogya
Bandung Sleman Yogya
Pemasaran telur oleh pedagang Tk II Wilayah pemasaran telur yang dilakukan oleh pedagang Tk II berlangsung diluar daerah Kecamatan dimana lokasi Inti–plasma berada. Bahkan jangkauan pemasarannya jauh diluar daerah Kabupaten Blitar. Dalam prakteknya pedagang TkII sudah mempunyai jaringan pemasaran hingga telur diterima konsumen. Sebagai contoh pemasaran telur yang dilakukan oleh Pedagang TkII dari tulung Agung, setelah sampai di Jakarta maka telur tersebut didistribusikan kepada pedagang Tk III keberbagai daerah seperti halnya daerah Jatinegara, Kampung Rambutan, Tangerang dan Cengkareng. Sementara itu telur yang dikirim ke Kalimantan didistribusikan ke kotaKota Banjarmasin, Palangka Raya dan Marta Pura. Keadaan yang sama berlaku bagi pedagang Tk II lainnya. Distribusi penyebaran telur oleh pedagang Tk II Tabel 5. Pemasaran telur itik oleh pedagang besar (Surabaya dan Jakarta) pada umumnya memperhitungkan beberapa hal penting antara lain harga telur di tempat asal, biaya angkut, volume pengiriman per sekali angkutan, modal yang harus disediakan dan berapa nilai keuntungannya. Berdasarkan perhitungan atas faktor-faktor diatas maka kapasitas minimum telur itik adalah 27.000 butir/truk atau setiap kali angkut.
842
Solo Om Pong
Blitar
Kalimantan Kota Blitar Jakarta
Asih
Solo
Sukoharjo Solo Salatiga
Suhadi
Ngawi
Ngawi
Mubarok
Surabaya
Surabaya
Haryono
Surabaya
Surabaya
Diyah
Yogya
Yogya, Salatiga
CV Cemara
Blitar
Blitar
Madsuri Majid
Gresik Gresik
Gresik Gresik
Kegiatan pedagang skala besar Untuk mendapatkan keuntungan dalam perdagangan ini maka pengiriman telur harus melebihi 27.000 butir. Kapasitas alat angkut yang digunakan merupakan faktor pembatas lainnya, harus dipilih dimana alat angkut tersebut dapat memuat telur sebanyak mungkin, namun demikian karena sifat produk telur yang mudah rusak dan perlu kehati-hatian dalam pengangkutan, maka sebuah truk dimungkinkan hanya mampu membawa sebanyak 70.000 butir telur.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Frekuensi pengiriman Informasi adanya peluang tentang kebutuhan telur itik di Jakarta yang mencapai 300.000 butir setiap minggu, namun demikian banyaknya pesaing dari pedagang lainnya sehingga pedagang yang bersangkutan hanya mampu mengirim setiap 5 hari sekali dengan kapasitas 70.000 butir setiap pengiriman. Perhitungan atas keuntungan Sudah menjadi hukum perdagangan dimana mencari harga yang murah dalam pembelian dan memperoleh harga yang paling mahal ketika menjualnya. Perhitungan atas keuntungan yang akan didapat setiap pengiriman 70.000 butir. Biaya operasional Pembelian telur 70.000 x Rp 600
=Rp 42.000.000
Biaya pengiriman (PP)
=Rp 2.670.000
Jumlah biaya
=Rp. 44.670.000
Pendapatan Kerusakan telur karena transport = 350 butir = Rp 300 x 350
= Rp 105.000
Telur utuh sebanyak = 70.000 - 350 butir = 69.650 butirt x Rp. 700
= Rp 48.755.000
Jumlah pendapatan
pengiriman barang dilakukan setelah 2 kali pengiriman, yang berarti pembayaran pengirimman yang pertama dilakukan setelah ada pengiriman berikutnya, demikian seterusnya. Sistem pembayaran demikian menuntut adanya kesiapan modal yang lebih. Sehingga harus mencadangkan dana minimal 2 kali dari setiap pengiriman. KESIMPULAN Produktivitas itik MA hasil persilangan sendiri oleh peternak di Blitar ada kecenderungan lebih rendah dari yang dihasilkan di Balitnak sebelumnya. Akibat nya keuntungan usaha juga menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan usaha dari bibit sebelumnya (Balitnak). Pemasaran telur itik dari peternak plasmake inti sudah cukup lancar dan berlangsung lumintu, walaupun tingkat harga telur tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan apabila peternak plasma menjualnya ke konsumen secara langsung. Pihak inti ternyata mampu menjalin pemasaran dengan pedagang luar daerah dan dapat menjamin kelumintuan pemasaran telur dari kelompoknya sehingga mampu mendorong pengembangan budidaya itik di daerah binaannya. DAFTAR PUSTAKA
Rp 48.860.000
Keuntungan penjualan telur merupakan selisih dari nilai penjualan dikurangi seluruh biaya operasional sehingga menghasilkan Rp. 4.190.000,- setiap kali pengiriman. (5 hari). Sistem pembayaran Pada umumnya sistem pembayaran dalam penjualan telur bagi pedagang skala besar sering diberlakukan kesepakatan pola gantung, atau model 2 : 1, artinya pembayaran atas
JUARINI, E., SUMANTO, BROTO W., L. HARDI P., PIUS P. K., ARGONO RS., BRAM BRAMANTYO dan Sugeng. 2002. Ujimultilokasi Bibit Itik Niaga Petelur. Laporan Akhir. Balai Penelitian Ternak, Bogor. KETAREN P.P.,L.H.PRASETYO dan T.MURTISARI. 1999. Karakter produksi telur pada itik persilangan Mojosari X Alabio. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 286–291. PRASETYO, L.H. dan SUSANTI, T. 1997. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari. I Awal Pertumbuhan dan Awal Bertelur. JITV 2 (3): 152–156 PRASETYO, L.H. P.P. KETAREN, SUMANTO, E, JUARINI, B. WIBOWO, B. BRAHMATIYO, dan T SUSANTI, 2003. Pembibitan itik local Sebagai Komponen Pengembangan Agribisnis Itik. Edisi Khusus. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun 2002 (Buku II Non Ruminansia). Balai Penelitian Ternak, Bogor.
843
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
RAHARJO, Y.C., BROTO WIBOWO dan M.H.TOGATOROP 1995. Pengaruh Kepadatan Gizi Ransum Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Reproduksi. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak, Bogor.
SUMANTO, E.JUARINI, B.WIBOWO, L.HARDI PRASETYO dan MAIJON PURBA. 2000. Analisis Ekonomik Bibit Itik Niaga. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Batasan skala usaha, kapan usaaha mulai menguntungkan dan merupakan usaha pokok? 2. Bagaimana dengan pemasaran produk yang dihasilkan? Jawaban: 1. Batasan skala usaha adalah lebih besar dari 5.000 ekor disebut skala besar, 1.000 sampai 5.000 ekor skala menengah dan lebih kecil dari 1.000 ekor skala kecil. Usaha mulai memperoleh keuntungan apabila tingkat produksi telah mencapai lebih dari 60%. 2. Pemasaran melalui kerjasama inti plasma yang saling menguntungkan karena penjualan lewat pedagang (bukan inti) sering menyebabkan adanya permainan harga, sedangkan melalui pihak inti ahrag telur relatif stabil.
844