Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
KARAKTERISTIK POLA PEMBIBITAN ITIK PETELUR DI DAERAH SENTRA PRODUKSI (The Characteristic of Laying Duck Breeding Pattern in Cirebon and South Kalimantan Duck Production Center) BROTO WIBOWO, E. JUARINI dan SUMANTO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A series of field study was conducted in 2006 in the duck production center in Cirebon and South Kalimantan to see the characteristic of the laying duck breeding pattern. Survey was conducted using questionaire and semi structural interview to collect primary data from selected farmers covering technical and economical data. Technical data consist of productivity, mortality and hatchability. Economical consist of data on duck, DOD, egg prices and the origin of the stock. Secondary data were also collected from local livestock service and related institutions. Result showed that the duck stock comes from hatchery but that was no selection done on the parent stock. Specialization occurred in the duck farming system: egg production system (laying duck farm that only producing egg), duck rearing farm (that only producing pullet) and hatchery (hatching farm that only producing DOD). The hatchability in the hatchery was 65% in average. The mortality of growing duck was 10% and the average egg production was 65%. The price of pullet was Rp 32.000/ head, where as the price of egg ranged from Rp. 800 for infertile or egg consumption, to Rp. 1000 for fertile egg. DOD price was from Rp. 3500 – Rp. 4500 (female DOD) and the range of disposed duck price was from Rp. 14.000 to Rp. 16000/head. Key Words: Duck, Breed, Supply DOD ABSTRAK Produksi usaha itik optimal dapat diwujudkan jika persyaratan yang diperlukan terpenuhi, salah satunya adalah bibit yang berkualitas merupakan faktor produksi yang sangat berperan dalam usaha peternakan itik. Bibit tersebut dapat diperoleh dengan cara seleksi yang terarah atau melakukan persilangan antar bangsa. Unggas lokal seperti ternak itik yang dipelihara masyarakat merupakan hasil penetasan yang dilakukan sendiri atau pihak lain, sehingga sangat beragam jenis maupun kualitasnya dalam satu populasi bahkan produksinya cenderung rendah. Serangkaian penelitian lapang telah dilakukan pada tahun 2006 di lokasi daerah sentra produksi (Cirebon dan Kalimantan Selatan) untuk mengetahui karakteristik pola pengadaan bibit itik. Dilakukan pengumpulan data skunder dan primer, diperoleh melalui wawancara semi stuktur kepada peternak itik, adapun jenis data antara lain data teknis (mortalitas, produksi, daya tetas) dan data ekonomis yang meliputi tingkat harga produk (DOD, telur, dan itik). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak itik yang dipelihara masyarakat berasal dari penetasan yang tidak memperhatikan silsilah tetuanya (tanpa seleksi). Telah terjadi spesialisasi usaha sesuai dengan komoditasnya (produksi telur, penetasan dan pembesaran) yang dilakukan secara terpisah lokasi maupun pelakunya. Kinerja usaha penetasan rata-rata menunjukkan daya tetas 70% di Cirebon dan 67% di Kalimantan Selatan (Kalsel), pada usaha pembesaran rata-rata mortalitas 10%, terdapat 2 tahap pemeliharaan pada fase pembesaran yaitu pemeliharaan intensif (hingga 1 bulan) dan pemeliharaan extensif (> 1 bulan hingga 4,5 bulan). Pada usaha produksi telur diperoleh tingkat produksi rata-rata 65%. Harga itik dewasa (siap bertelur) mencapai Rp. 32.000/ekor, harga telur konsumsi Rp. 800/butir, harga DOD betina Rp. 3.500 – Rp. 4.500/ekor dan harga itik afkir Rp. 14.000 – Rp. 16.000/ekor. Kata Kunci: Itik, Bibit, Pengadaan
658
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN
MATERI DAN METODE
Ternak itik sudah populer di masyarakat pedesaan dan perkotaan, mempunyai sumbangan nyata sebagai penghasil protein hewani dan pendapatan masyarakat. Dalam hal produksi telur, kontribusi jumlah telur itik terhadap produksi telur secara nasional mencapai sekitar 24,9%, akan tetapi untuk produksi daging kontribusi itik terhadap produksi daging nasional masih relatif sangat rendah (2,3%) (SETIOKO dan SINURAT, 1993). Walaupun masih ditemui pemeliharaan itik dengan cara digembala, namun telah dilaksanakan oleh sebagian peternak yang menerapkan pola intensif terkurung, sebagai usaha yang berorientasi ekonomi dengan mempertimbang skala usaha, faktor-faktor input produksi (bibit, pakan dan modal) dan menjamin stabilitas pemenuhan pasar. Pembibitan adalah kegiatan budidaya untuk menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Aspekaspek pembibitan yang perlu mendapatkan perhatian meliputi: sistem produksi, sistem seleksi induk, sistem perkawinan, dan kelayakan usaha. Pertimbangan dalam setiap aspek prinsipnya adalah sama bagi kedua alternatif pendekatan yang dipakai, namun secara khusus dapat sangat berbeda bagi setiap usaha pembibitan tergantung pada tujuan masing-masing dan pada material awal serta ketersediaan sumberdaya yang dimiliki. Bibit merupakan faktor produksi yang tidak dapat diabaikan, penggunaan bibit yang berkualitas tinggi diimbangi dengan manajemen dan kondisi lingkungan yang kondusif mampu menghasilkan kinerja produksi yang optimal. Pada umumnya masyarakat melakukan penetasan telur itik dengan beragam alat pengeram (alami dan buatan) yang dilakukan sebagai usaha sampingan maupun usaha pokok. Hasil penetasan ini digunakan sebagai bibit untuk usaha peternakan itik petelur. Telur yang ditetaskan tidak dapat diidentifikasi sumber perolehannya sehingga kualitas bibit yang sangat beragam dan tidak terjamin. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik pola pembibitan itik petelur di tengah masyarakat sebagai bahan acuan untuk mengembangkan pembibitan.
Penelitian dilakukan pada tahun 2006, dipilih lokasi sebagai sentra produksi berdasarkan data statistik populasi itik Nasional yaitu di Propinsi Jawa Barat (Jabar) dan di Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Kecamatan Kroya, Kabupaten Cirebon dipilih mewakili Jawa Barat untuk selanjutnya disebut lokasi Cirebon sedangkan Kecamatan Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara mewakili Propinsi Kalimantan Selatan untuk selanjutnya disebut lokasi Kalsel. Dilakukan survei melalui wawancara terstruktur berdasarkan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan kepada responden pelaku usaha (10 penetasan, 4 peternak pembesaran dan 8 peternak itik produksi telur) dan jaringan pendukungnya pada masing-masing lokasi. Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriftif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan pada tahun 2006, dipilih lokasi sebagai sentra produksi itik di Jabar, dan Kalsel yang merupakan propinsi penghasil itik dengan populasi masing-masing 5.076.577 ekor dan 3.272.537 ekor (STATISTIK PETERNAKAN, 2004) Produksi DOD hasil penetasan oleh masyarakat di Cirebon mencapai 4 juta ekor per tahun, namun permintaannya belum terpenuhi, sedangkan di Kalimantan Selatan usaha peternakan itik menghasilkan telur yang digunakan untuk telur tetas maupun telur konsumsi. Produksi ternak itik tidak hanya melayani kebutuhan daerah setempat tetapi produk tersebut sudah melayani untuk kepentingan daerah lain. Pengeluaran DOD pada tahun 2005 dari Hulu Sungai Utara (HSU) ke daerah lain mencapai 409.441 ekor, antara lain ke Kalimantan Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Sedangkan pengeluaran itik dara (bayah) mencapai 311.284 ekor ke luar propinsi. Selain produk itik HSU juga melayani permintaan telur konsumsi untuk luar daerah, pada 2005 pengeluaran telur konsumsi mencapai 4.602.122 ton (DINAS PETERNAKAN KALSEL, 2004).
659
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Sistem pembibitan itik di Jabar (Cirebon) dan Kalsel melibatkan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpisah, yaitu kegiatan penetasan, pembesaran dan produksi telur. Namun demikian masing-masing kegiatan merupakan mata rantai pembentukan bibit itik yang beredar di tengah masyarakat peternak Kegiatan penetasan Penetasan adalah proses perubahan bentuk dari telur menjadi individu itik melalui pengeraman dalam satuan waktu tertentu. Penetasan menjadi faktor kunci dalam pembibitan itik. Ternak itik mempunyai sifat alami yang tidak mengeram maka penetasan telur itik dikelola oleh masyarakat (peternak) dengan cara melakukan pengeraman secara alami atau buatan. Pengeraman secara alami menggunakan ayam atau entok sebagai indukannya, sedangkan pengeraman secara buatan dilakukan dengan menggunakan mesin tetas. Penggunaan mesin tetas mampu menetaskan telur lebih banyak bila dibanding dengan pengeraman secara alami per satuan unit pengeraman. Kinerja penetasan di Cirebon dan Kalsel tercantum pada Tabel 1. Penetas telur itik di daerah Cirebon dan Kalsel sudah berpengalaman, masing-masing lokasi rata-rata 12 tahun dan 10 tahun,
pengalaman yang dimilki mencerminkan kelangsungan usaha yang berkesinambungan, keterampilan penetasan semakin matang berdasarkan pengalaman praktis yang ditekuni. Kemampuan dan keterampilan penetasan diperoleh dari orang tua maupun tetangga, keadaan ini mengandung makna bahwa lingkungan kehidupan penetas sudah akrab dengan kegiatan penetasan telur itik. Di Cirebon jumlah pemilikan mesin tetas setiap penetas rata-rata 8 unit dengan kapasitas 600 butir telur per unit, yang berarti diperlukan sebanyak 4800 butir telur setiap satu siklus produksi, sedangkan di Kalsel jumlah pemilik setiap penetas rata-rata 3 unit dengan kapasitas 1000 butir per unit mesin tetas, yang berarti dibutuhkan sebanyak 3000 butir dalam satu siklus produksi. Jenis dan bentuk mesin tetas sangat beragam, di daerah Cirebon mesin tetas berbentuk almari 1 pintu, yang di dalamnya terdapat beberapa sap (pembatas) antar rak telur, tenaga panas diperoleh dari minyak tanah. Proses penetasan dilaksanakan dalam 1 mesin tetas yang sama sejak pemasukan telur awal hingga telur menetas. Sedangkan di daerah Kalsel mesin tetas yang digunakan berbentuk bentuk kotak 1 rak yang mampu menampung 1000 butir telur. Tenaga panas yang digunakan berasal dari tenaga listrik. Pengeraman telur dalam mesin tetas ini
Tabel 1. Kinerja penetasan telur itik di daerah pengamatan Keterangan
Cirebon
Kalsel
Juml peternak penetas (KK)
10
8
Rata-rata pengalaman (tahun)
12
10
Rata-rata pemilikan mesin tetas (unit)
8
3
Kapasitas telur rata-rata/unit (butir)
600
1.000
Fertilitas (%)
80
85
Daya tetas (%)
70
65-70
Menetas sehat (%)
95
90
50:50
50:50
Sex ratio (jantan : betina) Rata-rata harga telur fertile (Rp/butir)
850
Rata-rata harga telur infertile (Rp/butir)
600
Rata-rata harga telur konsumsi (Rp/butir)
600
600
600
Rata-rata harga DOD betina (Rp/ekor)
3.200
5.000
Rata-rata harga DOD jantan (Rp/ekor)
1.300
1.500
660
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
berlangsung sampai 15 hari pertama, selanjutnya pada hari ke 16 dilakukan pemindahan telur ke sebuah meja yang telah dilengkapi dengan alas sekam hingga telur menetas. Penetasan yang dilakukan oleh masyarakat Cirebon maupun Kalsel mampu menghasilkan daya tetas masing-masing 70% dan 67% dari telur fertil. Penetas membutuhkan jumlah telur yang banyak pada batasan waktu tertentu, kebutuhan telur dipenuhi dari pembelian kepada pedagang telur. Guna memenuhi kebutuhan penetas maka pedagang membeli dari peternak itik produksi. Telur yang dijual kepada penetas berdasarkan penilaian terhadap visualisasi fisik telur yaitu: bentuk telur (tidak lonjong dan tidak bulat), keutuhan telur (tidak retak), warna kulit kerabang adalah kebiruan. Peran pedagang telur sangat menentukan kelangsungan usaha penetasan, bahkan antara pedagang telur dengan penetas telah melakukan kerjasama yang harmonis yaitu saling memenuhi kebutuhannya, antara lain dalam bentuk usaha bagi hasil. Di Cirebon telah terjadi perdagangan telur fertil yang dilakukan antara pedagang telur dengan penetas. Pedagang telur memasukkan telur ke dalam mesin tetas selama 12 jam (dimasukkan sore hari dan diperiksa pada pagi hari) dengan cara ini pedagang telur mempunyai keyakinan menentukan telur fertil. Telur fertil inilah yang dijual kepada penetas dengan harga rata-rata Rp. 850/butir. Identifikasi telur fertil selama 12 jam dalam mesim pengeram diperoleh tingkat fertilitas 80%. Hasil penetasan (DOD) yang dilakukan di Cirebon maupun di Kalsel mempunyai perbandingan antara jantan dengan betina yaitu (50 : 50%). Harga DOD betina lebih tinggi dari DOD jantan. Kelipatan harga tersebut mencapai 3 kali untuk daerah Cirebon maupun Kalsel. Demikian pula harga DOD jantan lebih tinggi dari harga telur fertil maupun telur konsumsi. Perbandingan harga antara DOD jantan dengan telur konsumsi adalah 2 kali lipat untuk Cirebon dan 2,5 kali lipat untuk daerah Kalsel. Berdasarkan data harga jual DOD betina maupun jantan yang melebihi harga telur maka usaha penetasan mempunyai prospek untuk menjadi usaha komersial dengan peluang keuntungan yang menjanjikan.
Kegiatan pembesaran itik Kegiatan pembesaran yang dimaksud adalah pemeliharaan itik dari DOD hingga mencapai umur 5 bulan (belum menunjukkan tanda-tanda berproduksi). Kegiatan pembesaran dilakukan oleh peternak lain yang terpisah dari kegiatan penetasan maupun itik produksi. Pelaku pembesaran membeli DOD dari pedagang, pada umumnya pedagang DOD adalah pedagang telur yang mempunyai akses bisnis dengan penetas. Distribusi DOD dari penetas masih dikuasai oleh pedagang, Fenomena pemasaran DOD ini sebagaimana diungkap oleh RAHARJO et al. (1989); SINURAT et al. (1992); ISKANDAR et al. (1993) dan SUMANTO et al. (2000) menyebutkan bahwa sistem pengadaan bibit itik di sebagian besar daerah sentra produksi masih tergantung pada pedagang penjual DOD yang mengambil dari peternak khusus menghasilkan DOD secara tradisional. Pemeliharaan pembesaran melalui 2 cara yaitu; pemeliharaan cara intensif pada umur hingga 2 bulan, dan pemeliharaan secara ekstensif dari umur 2 bulan hingga 4,5 bulan. Pemeliharaan intensif terbagi dalam 2 fase: fase I hingga umur 15 hari adalah pemeliharaan berlangsung menggunakan teknik beternak yang memperhatikan faktor pemanas dan pembuatan kandang indukan, bahkan pakan yang diberikan berupa pakan komersial pabrikan penuh tanpa campuran, dan pada umur 16 hari hingga 30 hari bahan pakan yang diberikan mulai dicampur dengan bahan lokal (dedak/ sagu) sebagai sumber karbohidrat. Fase II adalah ketika itik berumur lebih 30 hari, itik mulai dilepas pada lahan yang memungkinkan memperoleh makanan yaitu di sekitar rumah atau sawah terdekat. Pemeliharaan ekstensif dilakukan setelah itik berumur 2 bulan hingga dewasa, itik digembala di lahan sawah pascapanen atau tempat pinggiran sungai yang memungkinkan mendapatkan pakan untuk kebutuhan hidupnya, karena peternak tidak memberikan pakan. Motivasi penggembalaan itik ini adalah untuk menghindari pengeluaran biaya tunai (pakan). Pemeliharaan pembesaran secara intensif mulai dari DOD hingga siap produksi telah dicobakan di tingkat lapang yang dilaporkan oleh WIBOWO et al. (2001) mengatakan kegiatan pembesaran mulai dari DO hingga siap bertelur dengan pemeliharaan
661
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
intensif terkurung masih secara ekonomi tidak merugikan, walaupun keuntungan yang diperoleh hanya 2,9%/bulan. Kinerja pembesaran itik di lokasi penelitian tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Kinerja pembesaran itik betina di daerah pengamatan Uraian
Cirebon
Kalsel
Mortalitas umur (0 – 2 bulan) %
3
3
Mortalitas umur (2 – 4,5 bulan) %
8
8
Harga itik umur 2 bulan (Rp/ekor)
9.000
9.000
Harga itik umur 5 bulan (Rp/ekor)
29.000
34.000
Kegiatan pembesaran itik betina di Cirebon dan Kalsel mempunyai mortalitas yang hampir sama yaitu pada umur kurang 2 bulan dengan pemeliharaan intensif adalah 3%, sedangkan pada pemeliharaan ekstensif adalah 8%. Itik dalam proses pembesaran sudah mempunyai harga jual tersendiri, pada umur 2 bulan harga itik di kedua lokasi hampir sama yaitu Rp. 9.000/ekor, sedangkan pada umur siap bertelur (5 bulan) maka harga itik di Cirebon Rp. 29.000/ekor, dan di Kalimantan Selatan Rp. 34.000/ekor. Harga jual itik siap bertelur (bayah) adalah 9 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga DOD untuk Cirebon dan 7 kali lipat di Kalsel. Pengusaha pembesaran (pemilik DOD) dalam prakteknya mempunyai mitra kerja yang biasa disebut pengangon. Sebagai usaha kemitraan maka terdapat kesepakatan kerja berupa perjanjian ”bagi hasil” atau ”kontrak hasil”. Bagi hasil adalah pemilik DOD memberitahukan harga DOD pada waktu serah terima dengan pengangon, setelah itik dipelihara pengangon menjadi dewasa (bayah) maka hasil penjualannya dikurangi harga DOD, sisanya dibagi sama (50% : 50%) antara pemilik DOD dengan pengangon. Sedangkan kesepakatan kontrak hasil adalah pemilik DOD menyerahkan kepada pengangon, pada saat itik menjadi dewasa (bayah) maka pemilik DOD menerima itik dewasa sejumlah 30% dari jumlah DOD yang diterimakan kepada pengangon. Model pembesaran itik mirip
662
dengan model pembesaran yang terjadi di Jawa Timur (WIBOWO et al., 2006). Kegiatan produksi telur Peternak itik produksi telur mengawali usahanya menggunakan itik dara (bayah) yang dibeli dari pengusaha pembesaran. Keputusan peternak membeli itik dara sebagai awal pemeliharaan berdasarkan pertimbangan tertentu antara lain: a. faktor waktu, peternak akan mendapatkan hasil telur dalam waktu singkat (kurang 20 hari); b. faktor tempat (kandang), bila memelihara dari DOD maka perlu adanya penambahan tempat (kandang). C. modal; biaya memelihara dari DOD maka perlu biaya dalam waktu lama. Teknis pemeliharaan itik produksi di lokasi penelitian sangat beragam, yaitu menerapkan sistem intensif terkurung (di Kalsel) dengan skala pemilikan mencapai 1.000 ekor/kk. Sedangkan di Cirebon menerapkan sistem intensif dan gembala (campuran) dengan skala 600 ekor/kk. Kinerja produksi telur tercantum di lokasi penelitian tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Kinerja pemeliharaan itik produksi telur Uraian Rata-rata produktivitas (%) Harga telur kons (Rp/butir) Harga itik afkir (Rp/ekor)
Cirebon 65
Kalsel 67
600
600
14.500
16.000
Rata-rata produktivitas telur di Cirebon dan Kalsel mempunyai angka yang tidak jauh berbeda. Peternak menjual telur kepada pedagang sebagai telur konsumsi, walaupun dalam pemeliharaannya terdapat itik pejantan dengan sex ratio 1 : 50 (jantan : betina). Salah satu produksi dari usaha itik produksi adalah itik afkir. Pada peternak di kedua lokasi ini ternak dianggap afkir apabila tidak berproduksi secara individu, namun dalam satuan kelompok apabila itik menghasilkan telur kurang dari 35%. Ternak itik yang diafkir masih mempunyai harga jual berkisar setengah dari harga ternak itik siap produksi. Di Kalsel terdapat sebagian pedagang telur bersedia menambah jumlah pejantan kepada peternak produksi telur, dengan harapan telur yang dihasilkan mempunyai fertilitas dan daya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
tetas yang tinggi, bukan meningkatkan kualitas bibit. KESIMPULAN 1. Penetasan telur di Cirebon dan Kalsel mampu menghasilkan daya tetas masingmasing 70% dan 67%. Identifikasi telur tetas berdasarkan bentuk fisik dan warna telur. Telur yang ditetaskan berasal dari pedagang telur. 2. Kegiatan pembesaran itik di Cirebon dan Kalsel dilakukan dengan 2 cara yaitu; cara intensif pada umur kurang dari 2 bulan dan cara intensif pada umur 2 buylan hingga 4,5 bulan. Tingkat mortalitas hingga umur dewasa masing-masing daerah mencapai 11%. 3. Produktivitas telur itik di Cirebon dan Kalsel masing-masing mencapai 65% dan 67%. 4. Peternak itik produksi di Cirebon dan Kalsel mengawali kegiatannya dari pembelian itik dara (bayah) dengan alasan efisiensi waktu dan modal. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2004. ISKANDAR S., T.ANTAWIJAYA, D. ZAINUDDIN, A. LASMINI, T. MURTISARI, B. WIBOWO, ABUBAKAR, T. SUSANTI, E. BASUNO , E. MASBULAN dan SUPRIYADI. 1993. Studi Produk-Produk Inkonvensional dari Berbagai Jenis Unggas Air di Jawa, Bali dan Kalimantan Selatan. Kerjasama antara Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional Badan Ltbang Pertanian dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
RAHARJO Y.C., T.ANTAWIJAYA, A.R. SETIOKO, S.SASTRODIHARDJO, S. PRAWIRODIGDO, U.WIJAYA, W. DIRDJOPRANOTO, T. SARTIKA dan D. GULTOM. 1989. Kerjasama antara Balai Penelitian Ternak Bogor dengan P.T. Bina Cipta Warna Karya Jakarta. SETIOKO.A.R. dan A.P. SINURAT. 1993. Prospek dan Kendala Penerapan Teknologi Usaha Ternak Itik. Pros. Pengolahan dan Komunikasi HasilHasil Penelitian Peternakan di Pedesaan,. Ciamis Jawa Barat. SINURAT A.P., B.WIBOWO, MITFAH dan T. PASARIBU 1992. Pemanfaatan Itik Jantan Lokal untuk Produksi Daging. Kerjasama Applied Agriculture Research Project dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan Balai Penelitian Ternak. Bogor SUMANTO, E. JUARINI, B. WIBOWO, L. HARDI PRASETYO dan M. PURBA. 2000. Analisis Ekonomik Bibit Itik Niaga. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi. Bogor WIBOWO. B., L. H. PRASETYO., E. JUARINI dan SUMANTO 2001. Analisis Ekonomi Pembesaran Itik Petelur Persilangan AM dan MA di Tingkat Petani. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. 2001 WIBOWO, B, E. JUARINI dan SUMANTO 2006. Model Permajaan pada Peternakan Itik Intensif Terkurung Penghasil Telur di Daerah Kabupaten Blitar. Prosiding Seminar Seminar Nasional. Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
663