Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
UJI MULTILOKASI BIBIT NIAGA ITIK PETELUR E. JUARINI , SUMANTO dan BROTO WIBOWO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A Multilocation Assessment on the Performance of Local Commercial Duck Result of the first year study in the field as an intermediate result showed an instability of its performance, it showed a fluctuation on both its egg production and its gowth rate, although it showed better performance compare to its parents’ production due to the heterosis effects. Therefore the economic performance hasn’t been analysed yet. In the second year of study, although the result has also showed instability of egg production due to the price fluctuation of its feedstuff, the economic performance of duck farming in Blitar district was analysed. This study is aimed to asses the performance of the final stock and its economic analysis in the villages of different agoecologies.The same procedures as the previous year were followed. Feed and other materials were provided by the farmer, therefore it also vary both from place to place and from farmer to farmer. Data collected including body weight gain, the age of first laying egg, mortality, egg production and as well as socio economic data such as feed price, animal shade, egg price, total revenue, labour and farmer’s attitude. Data were collected monthly and were analysed using input–output ratio analysis. Overal results of the study showed that Mixed Ration consisting of rice bran, broken rice, yellow corn, corn meal and broiler ration (in Blitar) and plus wasted fish or shrimp (in Cirebon and Brebes) are commonly given twice or three times daily. This materials of the ration is not much different but the composition varies from farmer to farmer.and from season to season, because of the availability of the materials used. The frequency and the amount of the feed given varies mostly depend on the age of the animal, it ranges between 50 and 155 gams per head per day. Up to 14 days old ducklings usually given hundred percent of broiler starter ration as much as 60 gams per head per day. Along with increasing the duck’s age, the amount of concentrate in the mixture will be reduced gadually to reach the ideal composition. High mortality usually happen at the first month of age, and then decrease as the duck gows older, high mortality also happen during and after transportation. In Blitar, Cirebon and Brebes, the duck mortality ranges from 3 to 10% in the first month and in the second month only less than 1%. During transportation and the following period (soon after transportation), high mortality happen in most location except Cirebon. The average of egg production of one year production period ranges from 67.0% (Cirebon and Brebes) to 71.5%.(Blitar), in Riau the data for one year period has not yet. Duck rearing producing egg and DOD give benefits for farmer of about Rp.47,376,000.-to Rp.60,299,000.-/1000 heads/year. Most farmers in the location said that the final stock duck gows faster than local duck but eat more feed and more sensitive than local duck, the colour of the crossbred’s egg is not different from the colour of the local duck’s egg, even though the MA duck also moulting but the period is less than two months (in Blitar) whereas the local duck takes more. Male MA/AM duck gows faster than that of the local one, rearing the male duck for meat production and sell them at 2 month of age give a significant additional income for the farmers. Key words: Multilocation, performance, MA ducks, Brebes , Cirebon, Blitar
PENDAHULUAN Di Balitnak Ciawi telah dikembangkan itik unggul bibit niaga galur MA-2000 (persilangan MojosariAlabio), dimana pertumbuhannya dan produktivitasnya tampak lebih baik dibanding tetuanya. Hasil dari pengkajian terdahulu (tahun 2000) di Jawa Timur, DIY dan Jawa Barat terhadap bibit tersebut menunjukkan tingkat produktivitas itik MA belum stabil (bobot badan itik MA siap telur di Cirebon berkisar antara 1600 sampai 1800 gam, di Blitar 1700 sampai 1900 gam dan di Gati 1486 sampai 1617 gam), Sedangkan tingkat kematiannya rata-rata untuk Itik MA dibawah umur 1 bulan 3-7% dan menurun seiring dengan pertambahan umur sampai <1% pada umur dewasa. Itik MA mulai berproduksi pada umur 5 bulan sedangkan itik lokal mulai 5,5 bulan. Di beberapa lokasi ternyata itik MA dapat bersaing dengan itik lokal dengan cara
pemeliharaan yang sama (terkurung) terutama pada biaya pemeliharaan dari DOD hingga itik berproduksi pertama (JUARINI dan SUMANTO, 2000). Hasil uji multilokasi tersebut juga menunjukkan bahwa produktivitas itik persilangan MA lebih baik dibanding produktivitas tetuanya (Mojosari) antara lain, rataan produktivitas 72% vs 60% dengan puncak produksi itik MA berkisar antara 85 sampai 90% selama hampir 12 minggu vs itik lokal 60% sampai 80% selama 8 minggu. Oleh karena itu masih perlu diamati kembali tingkat produktivitasnya baik ditinjau dari segi teknis maupun segi sosial-ekonominya dalam kurun waktu satu tahun dan biaya produksi selama masa produksi untuk itik niaga MA petelur tersebut di lapangan belum diketahui. Untuk melengkapi informasi tersebut pada tahun 2002 telah dilakukan penelitian lanjutan di beberapa lokasi untuk melihat efisiensi produksi dan
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
507
____________________________________________________________________________________________________________________
nilai ekonomis itik petelur bibit selama setahun masa produksi telur Persilangan itik lokal lainnya (itik Alabio dengan itik Mojosari atau sebaliknya) telah mulai dilakukan (PRASETYO et al., 1997) di Balitnak Ciawi. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitasnya melebihi itik tetuanya. Pertumbuhan dan produksi telur dari hasil penelitian di Balitnak menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan kedua galur itik tetuanya (SUSANTI, et al., 1998). Namun hasil uji coba yang dilakukan di tingkat peternak di lapangan memperlihatkan penurunan kinerja dibanding hasil yang diperoleh di laboratorium walaupun tidak terlalu tajam KETAREN dan PRASETYO, 2000). Hal ini juga senada dengan laporan SUKARTAWI (1984) yang mensitasi GOMEZ (1977) bahwa hasil penelitian laboratorium apabila diterapkan dilapangan akan terjadi hasil yang menurun. Hal ini disebabkan oleh teknologi yang tidak mudah dipindahkan, lingkungan yang berbeda, kendala biologis dan sosial ekonomi masyarakat. Berbagai laporan memperlihatkan bahwa pola pemeliharan itik secara umum yang dilakukan oleh peternak adalah dengan cara angonan, tetapi untuk tujuan produksi telur dalam skala kepemilikan itik yang besar sudah banyak yang melakukan dengan cara dikurung. Perubahan pola tersebut dapat terjadi karena makin sempitnya lahan angonan, adanya residu pestisida bekas tanaman padi yang semakin banyak di lahan persawahan dan keinginan untuk meningkatkan produksi telur itik dibanding dengan yang diangon. Dengan adanya perubahan pola pemeliharaan tersebut, maka kebutuhan pakan di kandang tentunya akan bertambah dan secara langsung pula diperlukan modal yang lebih tinggi. Pola pembesaran itik siap telur cara terkurung tampaknya juga masih jarang dilakukan oleh peternak di pedesaan (JUARINI dan SUMANTO, 2000 dan TIM PELAKSANA STUDI POTENSI PENGEMBANGAN USAHA ITIK DI JAWA BARAT , 1995). Meskipun performan itik hasil persilangan tersebut memperlihatkan pertumbuhan dan produksi telur yang lebih baik dari itik lokal yang ada dilokasi sekitar penelitian, namun kemantapan produksi tampaknya masih belum didapatkan dan berapa biaya untuk memproduksi itik/ekor hingga umur siap telur dengan cara terkurung juga belum diketahui. Sebelum diluncurkan untuk pengembangan itik niaga di daerahdaerah tertentu, maka masih perlu diuji-cobakan dulu produk itik niaga dalam kondisi pemeliharaan di lokasi peternak di wilayah yang berbeda. MATERI DAN METODE Uji coba dilakukan di lokasi sentra produksi itik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan di Blitar, Jawa Timur. DOD MA sudah diberikan kepada kooperator terpilih pada tahun 2001, sedangkan pakan dan peralatan lain
disediakan oleh peternakan kooperator. Pada tahun 2002 dilakukan monitoring bulanan dari Balitnak sebagai supervisi pada lokasi penelitian, sedangkan data harian dilakukan oleh peternak maupun petugas daerah yang ditunjuk. Data yang dikumpulkan meliputi data teknis dan ekonomis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian formulir yang telah dipersiapkan. Pengamatan dan pencatatan data dilakukan selama satu tahun masa produksi. Data teknis (pertumbuhan, konsumsi pakan, produksi telur, kematian)) yang terkumpul ditabulasi dan diolah secara rataan, sedangkan data ekonomis (biaya untuk pakan, bibit, kandang, tenaga kerja; dan pendapatan dari hasil produksi telur maupun penjualan itik afkir) diolah untuk mendapatkan gambaran perbandingan antara biaya dan pendapatan. Analisis ekonomi dilakukan dengan metoda analisa finansial sederhana (SUKARTAWI, 1984; SUHARJO et al., 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Identitas peternak dan sarana penunjang Identitas kooperator peternak di Blitar dapat dicerminkan dari beberapa variabel, yaitu lama pengalaman usaha ternak itik, skala usaha, tipe usahanya, permodalan dan kepemilikan lainnya. Pengalaman kooperator untuk usaha itik berkisar antara 8 – 14 tahun. Skala usaha peternak itik tampaknya bervariasi antara 250 – 4000 ekor. Tipe usaha itik dari para kooperator umumn ya adalah sebagai usaha utama, bahkan salah satu dari para kooperator itik tersebut sebagai motor penggerak dari usaha itik yang mempunyai pola kemitraan. Dari pengamatan lapangan menunjukkan bahwa status sosial para peternak terlihat cukup baik yang tercermin dari ketersediaan permodalan dalam penyediaan pakan itik secara kontinyu (itik dipelihara terkurung terus menerus) dan keberadaan pemilikan rumah yang cukup memadai. Peternak yang digunakan sebagai kooperator pada tahun 2002 di Cirebon adalah peternak yang dipilih pada tahun 2001, karena kegiatannya masih merupakan lanjutan. Pada saat pendistribusian itik peternak kooperator sudah siap dengan melakukan perbaikan kandang dan siap dengan persediaan atas kebutuhan lainnya. Pengalaman sebagai peternak, khususnya sebagai pedagang itik cukup lama (10 tahun). Namun untuk memelihara itik sebagai penghasil telur atau penghasil DOD masih belum lama (2 tahun). Pada tahun 2001 peternak tersebut mencoba usaha pembibitan itik sendiri melalui hasil persilangan itik MA/AM dari Balitnak. Saat ini permintaan bibit itik masih sangat tinggi di daerah ini, karena secara kultur masyarakat Cirebon memang banyak yang berusaha itik. Di lain pihak
_____________________________________________________________________________________________ 508
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ peternak yang bergerak dalam bidang perbibitan secara intensif tidak ada, hanya mengandalkan dari hasil usaha angonan saja. Sedangkan peternak di daerah Brebes merupakan lokasi baru yang terpilih pada bulan September 2001 untuk melengkapi dan menambah jumlah lokasi uji multi lokasi kinerja itik persilangan MA/AM untuk tahun anggaran 2002. Pengiriman DOD (anak itik umur 1 sampai 2 minggu) pada pertengahan Oktober 2001. Di Brebes dikirim 500 ekor anak itik betina persilangan (MA/AM) yang diberikan kepada 2 kelompok peternak terpilih. Kelembagaan dan pemasaran hasil Di Blitar, faktor ketersediaan pakan jadi dan kontinyuitas pemasaran hasil produksi (telur) tampak dapat terbentuk melalui pola kemitraan dalam kawasan usaha tersebut, melalui usaha bersama: “Maju Jaya“. Pola inti-plasma tercipta melalui usaha yang gigih bertahun-tahun yang telah dirintis oleh Bapak Mahmudi di Desa Bacem, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Para peternak plasma telah tersebar tidak hanya di Blitar, tetapi sampai di Kabupaten Kediri dan Nganjuk. Pihak inti sanggup menampung hasil telur dari pihak plasma dan sebaliknya pihak inti mampu menyediakan pakan itik dengan harga yang memadai. Hasil wawancara pihak inti menunjukkan bahwa jumlah telur itik yang dapat diserap antara 70.000 – 100.000 butir/hari. Daerah pemasaran telur yang telah dilakukan pihak inti di Blitar sendiri, Tulungagung, Kediri, Pare, Surabaya, Ngawi, Surakarta, Semarang, D.I. Yogyakarta, Brebes. Untuk daerah Brebes dan Cirebon pemasaran telur, DOD dan itik dara sebagian besar dipasarkan di wilayah sekitar Kabupaten Cirebon dan Brebes hanya sebagian kecil dikirim ke luar daerah. Perkandangan Pola pemeliharaan dan perkandangan di lokasi Cirebon, Gati dan Brebes hampir sama. Sistem pemeliharaan terkurung memaksa para peternak membuat kandang itik dimana pada umumnya terpisah dengan bangunan rumah tinggal, bahkan ada yang berjarak cukup jauh sekitar 7 m. Kandang itik didesain sedemikian rupa sehingga dalam lokasi kandang terdapat bagian yang terbuka dan beratap. Bagian yang
terbuka dimaksudkan sebagai halaman yang mendapat sinar matahari langsung, dan bagian yang beratap berfungsi sebagai tempat berteduh pada siang maupun malam hari. Kandang dibangun dalam satu deretan membujur yang terdiri dari beberapa petak dengan masing-masing petak ada suatu pembatas yang jelas. Setiap petak mempunyai luas 24 m2, dengan ukuran panjang 6 m dan lebar 4 m, dari 6 m ini yang 2,5 mr merupakan bagian yang beratap. Setiap kandang ratarata diisi 35 – 50 ekor. Di dalam kandang dibuatkan 2 selokan searah lebar kandang sebagai tempat penampungan air untuk minum maupun mandi bagi itik yang ada didalamnya, adapun ukurannya adalah lebar ± 30 cm dengan ke dalaman 25 cm. Selokan tempat air minum selalu terisi air sepanjang hari dan sumber air berasal dari air sumur yang disedot dengan bantuan tenaga “jetpump”. Pengisian air dilakukan setiap hari (pagi ± jam 7) sehingga air bersih sebagai air minum dan mandi tersedia dengan sehat. Pakan dan cara pemberiaannya Pemberian pakan itik di tingkat peternak tidak semata-mata berdasarkan kebutuhan nutrisi itik, namun atas pertimbangan ketersediaan bahan baku dan tingkat harga. Di Blitar, peternak telah menggunakan bahan pakan sumber protein yaitu konsentrat 144, sedangkan bahan pakan sumber energi dapat diperoleh dari produksi pertanian lokal yaitu dedak padi dan kebi maupun jagung. Hal ini telah diterapkan pada peternak M AHMUDI (2001). Perbandingan bahan pakan dalam ransum itik pada berbagai tingkat produksi dicantumkan pada Tabel 1. Jumlah pakan yang diberikan pada awal produksi sebanyak 130 gam/ekor/hari, selanjutnya bertambah menjadi 150 gam/ekor/hari. Harga pakan dilokasi diperhitungkan tidak melebihi Rp 1320 /kg. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 (dua kali) sehari yaitu pada pagi hari jam 6.30 WIB dan sore hari pada jam 14.30 WIB. Pelaksanaan pemberian pakan membutuhkan waktu yang cepat yaitu harus selesai kurang dari 30 menit dan apabila pemberian pakan berlangsung lama itik akan terganggu akibat adanya kegaduhan. Hasil pengamatan tentang jenis dan jumlah pakan yang diberikan cukup beragam, tergantung dari tingkat
Tabel 1. Proporsi bahan pakan dalam ransum itik MA/AM di Blitar dengan tingkat produksi yang berbeda Bahan pakan Konsentrat 144 Kebi Dedak
Produksi < 50% 1 3 3
Produksi 50 –70% 1 2 2
Produksi > 70% 1 1,5 1,5
Sumber: M AHMUDI (2001)
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
509
____________________________________________________________________________________________________________________
umur itik dan ketersedian bahan yang ada. Pada dasarnya masih banyak dijumpai adanya pertimbangan segi ekonomi dalam pemberian pakan dari pada pertimbangan teknis kebutuhan ternak. Campuran bahan pakan di Cirebon (konsentrat 511, dedak, menir, jagung, ampas tahu) yang diberikan ke itik tidak banyak bervariasi, namun komposisi dan jumlah ransumnya cukup bervariasi baik menurut lokasi penelitian, kondisi peternak dan perkembangan umur itik. Ransum itik dibuat mulai dari kombinasi 2 bahan hingga 4 bahan campuran yang didasari oleh pengalaman dan biaya pakan di masing-masing peternak. Frekuensi pemberian pakan itik dilakukan antara 2-3 kali/hari dan jumlah yang diberikan berkisar antara 50 – 165 g/ekor/hari, disesuaikan dengan umur itik. Itik muda diberi konsentrat 511 seratus persen dan jumlah yang diberikan 60 g/ekor/hari. Dengan bertambahnya umur itik jumlah konsentrat terus dikurangi yang dicampur dengan dedak, jagung atau ampas tahu hingga umur itik siap telur (5 bulan) dan jumlah ramsumnya meningkat sampai 155 g/hari/ekor. Pemakaian ampas tahu dapat menekan harga pakan (Rp 900-1100,-/kg). Peternak di Brebes umumnya menggunakan loyang, sisa ikan laut dan dedak sebagai bahan pakan. Campuran pakan tersebut diberikan sekitar 150-160 gam/hari/ekor. Harga pakan jadi (campuran diatas) hanya sekitar Rp 1000-1200,-/kg. Pada saat monitoring biaya pakan utnuk itik produksi hanya Rp 165,- - Rp 192,-/hari/ekor. Pakan diberikan ke itik sebanyak 2 kali/hari, pada waktu pagi: 7.00 dan sore hari 16.0015.00.
Kematian itik Dari hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa itik hasil persilangan apabila dalam pengelolaannya ditunjang dengan lingkungan dan tatalaksana yang tepat akan memberikan produksi yang baik dan juga berdampak pada jumlah kematiannya yang rendah. Melalui hasil persilangan yang tepat, sifat dan karakter yang baik pada umumnya lebih dominan muncul bila dibandingkan dengan sifatnya yang buruk. Pada umumnya jumlah kematian itik banyak terjadi pada umur itik < 1 bulan dan jumlah kematian itik terus menurun seiring dengan bertambahnya umu r itik. Kasus di Blitar, Brebes dan Cirebon pada awalnya, persentase kematian itik sebanyak 3-10% dan menurun menjadi < 1% hingga itik umur dewasa. Jumlah kematian itik cukup tinggi di Cirebon karena adanya kesalahan dalam cara pengangkutan DOD. Produksi telur itik niaga (MA) Produksi telur selama 1 tahun (52 minggu) masa produksi terhadap itik MA di lokasi penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 2. Rataan produksi telur selama 52 minggu di Blitar mencapai 71,5% 259 butir/ekor. Puncak produksi terjadi pada minggu ke 16 yaitu rata-rata 89,3 %. Tingkat produksi diatas 80% terjadi pada minggu ke 9 sampai dengan minggu ke 21 dan minggu ke 26 sampai dengan minggu ke 32. Pada minggu ke 22 sampai dengan minggu ke 25 produktivitas menurun, hal ini disebabkan gejala molting sudah tampak, puncak penurunan hingga menjadi 74,3 % terjadi pada minggu ke 24.
Tabel 2. Produksi telur itik Niaga di beberapa lokasi penelitian Waktu (Minggu) 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 Rataan * rontok bulu kecil
Brebes 15.0 64.0 72.6 77.4 79.1 81.7 85.0 85.7 83.2 70.0+ 64.0+ 56.5*+ 44.5* 67.4
Lokasi Cirebon 13.2 41.7 71.6 79.0 81.5 83.0 85.5 85.3 80.0 72.0+ 65.0+ 64.0+ 63.0 68.0
Blitar 14.9 52.1 84.5 89.3 88.6 74.3 80.9 84.2 78.6 75.3 66.9 68.8 70.7 71.5
+ Cuaca panas
_____________________________________________________________________________________________ 510
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
Rataan produksi telur selama 52 minggu di Brebes dan Cirebon mencapai 69,5% dan 69,8%, lebih rendah bila dibandingkan dengan di Blitar. Produksi puncak sekitar 85% terjadi pada minggu ke 28 s/d munggu 32. Pada tahun 2002, bulan Oktober s/d November cuaca sangat panas, akibatnya produksi telur itik umumnya menurun, menjadi dibawah 70%. Disamping itu di Lokasi Brebes, kondisi itik telah mengalami rontoh bulu halus kurang lebih sekitar 50% dari populasi yang ada. Produksi telur itik MA lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian KETAREN et al. (1999) yang melaporkan produksi telur lebih dari 80% bertahan selama 12 minggu, sedangkan pada penelitian ini produksi telur lebih dari 80% bertahan selama > 16-20 minggu. Dibandingkan produksi telur itik Mojosari, itik persilangan ini masih lebih tinggi yaitu 60% untuk itik Mojosari dan 71,5% untuk itik persilangan (M AHMUDI, 2001). Rontok bulu Pada itik MA/AM peristiwa rontok bulu juga dialami, di Blitar rontok bulu terjadi pada minggu ke 22 hingga 25, pada saat rontok bulu produksi telur menurun dibandingi sebelumnya, sesudah lewat masa rontok bulu produksi telur naik kembali. Itik MA/AM memperlihatkan rontok bulu yang terjadi tidak secara serempak, sehingga produksi telur tidak turun drastis atau terhenti sama sekali. Sampai pada masa produksi 52 minggu ternyata ada beberapa itik yang tidak
mengalami rontok bulu yaitu antara 35 sampai 40 ekor dari total itik 288 ekor. Di Brebes, itik niaga mengalami rontok bulu pada minggu ke 47-49 dan di Cirebon hingga 11 bulan produksi itik niaga belum rontok bulu. Kondisi rontok bulu hanya pada bulu yang halus dan produksi telur naik kembali dalam waktu yang tidak lama. Jumlah itik yang mengalami rontok bulu tidak serentak dan hanya 50% dari populasi yang ada. Hal ini yang menyebabkan itik masih ada yang berproduksi. Asumsi teknis dan harga sapronak Dari berbagai hasil yang telah dilakukan oleh para peternak kooperator, kiranya dapat digunakan sebagai asumsi-asumsi dalam rangka menyusun analisa secara ekonomi. Beberapa parameter yang relatif tidak berubah sepanjang tahun2002 dapat dikemukakan sebagai asumsi adalah sebagai berikut ini : 1. Harga DOD Itik Balitnak Rp 3500 - Rp.4.000/ekor. 2. Lama pembesaran itik sampai siap telur adalah 22 minggu. 3. Biaya pakan dari DOD s/d bibit siap telur (umur 22 minggu) Rp 12.500-14.750/ekor. 4. Rataan kebutuhan pakan adalah 12.66 kg/ekor/22 minggu. 5. Persentase kematian itik hingga siap telur adalah 6,80 %. 6. Harga bibit itik siap telur Rp 25.000 - Rp 30.000 /ekor.
Tabel 3. Perhitungan biaya dan pendapatan usaha itik petelur Niaga dengan skala usaha 1000 ekor selama satu tahun di tiga lokasi penelitian Item Biaya : Itik siap telur Pakan Susut Kandang/alat Tenaga Kerja Lain-lain Total A: Pendapatan : Penjualan telur Itik Calling Itik Afkir Total B: Penerimaan B/C Ratio Efisiensi usaha per tahun (%) Efisiensi usaha per bulan (%)
Blitar
Rp 000,Cirebon
Brebes
27.500 73.173 350 6.000 5.349 112.372
27.500 54.203 350 6.000 4.403 92.456
27.500 54.203 350 6.000 4.403 92.456
146.868 139 12.741 159.748 47.376 1,42 42,2
139.875 139 12.741 152.755 60.299 1,7 65,2
138.641 139 12.741 151.521 59.065 1,6 63,9
3,51
5,43
5,32
Keterangan Harga Pakan Campuran : Blitar : Rp 1350/kg Cirebon/Brebes : Rp 1000/kg Harga Telur : Rp 575,-/butir.
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
511
____________________________________________________________________________________________________________________
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Biaya kandang Rp 750/ekor/22 minggu. Biaya tenaga kerja Rp 500.000/1000 ekor/bulan/orang. Biaya obat-obatan Rp 100/ekor/22 minggu. Rataan produksi telur per tahun berkisar 67,0 – 71.4%. Jumlah Rataan pakan adalah 150 gam – 165 gam/ekor/hari. Harga pakan itik petelur Rp 1000 - Rp 1350/kg. Harga itik afkir Rp 13.000/ekor. Harga itik calling Rp 14.000/ekor. Harga telur itik Rp 550 - Rp 650 ; Harga rataan Rp 600/butir.
Analisis usaha Analisis usaha dilakukan untuk skala 1000 ekor dengan pertimbangan bahwa skala usaha tersebut mampu dikerjakan oleh satu tenaga kerja (Tabel 3). Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa usaha itik petelur niaga memberikan keuntungan yang cukup baik, yaitu berkisar antara Rp 47.376.000,- - Rp 60.299.000,-/1000 ekor/tahun. KESIMPULAN Secara singkat kesimpulan penelitian itik niaga di beberapa lokasi dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Dalam pembesaran itik hingga umur siap telur kematian itik di ketiga lokasi penelitian banyak terjadi pada umur < 1 bulan yaitu sekitar 3-10% dan akan menurun menjadi < 1% hingga itik mencapai umur dewasa.
2.
3.
Rataan produksi telur itik niaga per tahun antara 67,0% di Cirebon dan Brebes sampai 71,4%.di Blitar Usaha itik petelur niaga memberikan keuntungan sebesar antara Rp 47.376.000,- - Rp 60.299.000,/1000 ekor/ tahun. DAFTAR PUSTAKA
JUARINI, E. dan SUMANTO . 2000. Model Usaha Itik Lokal di Jogyakarta untuk Menunjang Pendapatan Peternak. Dipresentasikan Dalam Seminar Puslitbangnak.Bogor. KETAREN, P.P, L.H. PRASETYO dan T . MURTISARI. 1999. Karakter produksi telur pada itik silang Mojosari X Alabio. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan Bogor. Hal. 286-291. KETAREN, P.P., L.H. PRASETYO, YONO .C. RAHARJO , S.N. JARMANI dan T. M URTISARI. 2000. Karaterisasi Persilangan Itik Mojosari dan Alabio pad Berbagai Lokasi. Kumpulan hasil-hasil Penelitian Peternakan APBN tahun Anggaran 1998/1999. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI . 1997. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari. I. Awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 2 (3): 152-156. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI . 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal bertelur. JITV 5(4):210-214 SINURAT, A.P dan A.R. SETIOKO. 1993. Prospek dan Kendala Penerapan Teknologi Usaha Itik. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Hal 576-61.. SUKARTAWI, A. SUHARJO , JOHN L. DILLON dan J. BRIAN Hardaher. 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia.
DISKUSI Pertanyaan: Apa yang membedakan untuk melihat performan itik MA selain nama kota dan kenapa?
Jawaban: Yang membedakan bukan nama kota; ketiga kota dipilih karena merupakan sentra untuk menguji itik MA dan dibandingkan dengan itik lokal.
_____________________________________________________________________________________________ 512
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003