Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL L. HARDY PRASETYo dan TRIANA SUSANTI Balai Penelitian Ternak P. O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia
ABSTRAK PRAsETYo, L. HARDI dan T. SUSANTI. 1999/2000 . Teknologi Peternakan . ARMP 11. : 29-34.
Seleksi awal bibit induk itik lokal. Laporan Bagian Proyek Rekayasa
Pergeseran sistem pemeliharaan itik dari sistem tradisional ke arah sistem intensif terkurung memerlukan dukungan ketersediaan bibit dengan kualitas yang lebih baik dsn tegamin. Pengembangan bibit unggul dapat dilakukan melalui seleksi dan / atau persilangan. Seleksi dilakukan untuk meningkatkan produktivitas bibit induk, dan kemudian persilangan dilakukan diantara bibit-bibit induk terseleksi untuk memanfaatkan heterosis dalam menghasilkan bibit niaga. Itik Mojosari dan itik Alabio digunakan dalam mengembangkan bibit induk, dengan masing-masing sejumlah 100 ekoi jantan dan 650 ekor betina. Sistem pemeliharaan dan pemberian pakan disesuaikan dengan tahapan pertumbuhan, yaitu starter, grower dan layer. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan, umur pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur. Pada tahap awal ini, seleksi dilakukan berdasarkan produksi telur dua bulan pertama dengan kriteria ? 50 %. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bobot badan, konsumsi pakan dsn konversi pakan pada 8 minggu pertama (periode starter) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua bangsa itik, hanya pada itik Alabio betina yang menunjukkan konversi pakan yang agak tinggi (4 .59) . Pioduksi telur itik Alabio cenderung lebih tinggi dari itik Mojosari, akan tetapi itik Mojosari menunjukkan keragaman yang lebih tinggi (pada kandang individu) sehingga memberikan diffrensial seleksi yang lebih tinggi (12.57) jika dibanding dengan itik Alabio (5 .75). Ini berarti bahwa itik Mojosari lebih responsif terhadap seleksi . Kata kunci : Seleksi, produksi telur, itik lokal. ABSTRACT PRASETYO, L. HARDI and T. SUSANTI. 1999/200 0 . Early stage of selection on parental stocks of local ducks. Laporan Bagian proyek Rekayasa Teknologi Peternakan. ARMP-U. : 29-34 .
Changes in production system of local layer ducks from traditional system into fully-confined intensive demand the availability of good quality breeding stocks. The development of breeding stocks can be achieved through selection and / or cross breeding procedures . Selection should be applied on the parental stocks to increase the productivity, and then a cross breeding program should be conducted among the selected parental stocks in order to exploit heterosis in producing final stocks . Mojosari and Alabio ducks were used in the development of parental stocks, each consisting of 100 male and 650 female ducks. Raising and feeding system followed appropriate stages, i.e. starter, grower and layer periods. Data were collected on growth, eggs at first laying, weight of first egg, and egg production . In this early stage, the selection was based on the first two months egg production, at the cut-off level of 50 0/6. Results indicated that body weight, feed consumption and feed conversion during the first eight weeks (starter periods) did not show any significant difference between the two breeds, only the female Alabio ducks showed a slightly higher feed conversion (4 .59). Egg production of Alabio tended to be higher than Mojosari, but Mojosari ducks a higher variation (on individual cages) such that they indicated a higher selection differential (12 .57) when compared to Alabio (5 .75) . This means that Mojosari ducks are more responsive to selection. Key words: Selection, Egg production, Local ducks .
PENDAHULUAN
Pengembangan usaha peternakan itik dalam kurun waktu yang relatif singkat mengalami kemajuan cukup pesat. Sebagai indikator dapat dilihat jumlah permintaan yang terus meningkat tidak hanya terhadap telur itik sebagai produk utama, tapi juga terhadap produk-produk sampingan seperti daging dan bulu itik yang peminatnya relatif banyak baik di dalam negeri maupun internasional . Prospek pemasaran yang cukup menjanjikan tersebut telah merubah pola usaha peternakan itik yang tadinya hanya sebagai usaha sambilan dengan sistem tradisional, kini telah banyak yang menjadikannya sebagai usaha pokok dengan sistem pemeliharaan intensif yang mengarah pada skala komersial. Sistem pemeliharaan intensif memerlukan penyediaan faktor-faktor produksi yang berkualitas terutama temak bibit dan pakan untuk mencapai kelayakan ekonomi. Padahal kendala utama dalam pengembangan usaha ternak itik hingga saat ini adalah kurang tersedianya bibit secara kualitas dan kuantitas, karena sistem pengadaan bibit selama ini masih sangat terbatas dan hsnya dikelola secara sederhana dan tradisional. Oleh karena
29
L. HARDY PRASETYO dan TRIANA SUSANTI: Seleksi Aival Bibit IndukItik Lokal dukungan teknologi itu, perlu adanya upaya pengembangan perbibitan itik lokal secara baik dan terarah, dengan yang telah dihasilkan dari berbagai penelitian . dan Pengembangan bibit unggul pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua prosedur yaitu sistem seleksi kombinasi, dan maupun dalam suatu tersebut dapat digunakan secara terpisah persilangan. Kedua sistem atau sistem mencapai sasaran dalam masing-masing sistem terdapat berbagai alternatif dalam metode yang digunakan untuk
spesifik yang dikehendaki. Sistem seleksi dapat dilakukan mengingat kemampuan itik lokal dalam berproduksi selama periode tertentu masih sangat bervariasi, karena keragaman genetiknya diduga masih sangat besar. Diharapkan usaha seleksi untuk memperbaiki produktivitas dan meningkatkan keseragaman bibit itik akan memberikan respon positif dengan memanfaatkan keragaman genetik yang besar tersebut. Apabila telah diperoleh populasi induk terseleksi dari lokal beberapa-breed itik lokal, upaya perbaikan genetis dapat dikombinasikan dengan persilangan diantara itik-itik heterosis terseleksi tersebut . Sistem persilangan digunakan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemanfaatan
pada bibit niaga ("final stock"). Tujuan jangka panjang kegiatan penelitian ini adalah mengembangkan sistem pembibitan itik lokal di daerah sentra produksi serta mendorong pertumbuhan agribisnisnya. Sebagai langkah awal untuk mewuudkan tujuan tersebut diperlukan ketersediaan bibit itik lokal dalam jumlah dan kualitas yang layak teknis dan ekonomis . Oleh karena itu, dilakukan serangkaian kegiatan penelitian diantaranya seleksi dengan tujuan mempersiapkan bibit induk itik lokal untuk pengembangan sistem pembibitan itik lokal di lapangan . TINJAUAN PUSTAKA Populasi itik asli Indonesia hampir seluruhnya merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner yang sangat terkenal sebagai penghasil telur (SAMOSIR, 1993). Setelah sekian lama, karena sudah begitu akrab dengan kehidupan masyarakat dan banyak dipelihara maka unggas ini disebut sebagai itik rakyat atau itik lokal. Di Indonesia saat ini terdapat berbagai bangsa itik lokal yang telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan dimana mereka dikembangkan . Penamaan bangsa-bangsa itik lokal tersebut umumnya berdasarkan letak geografis dimana
itik tersebut berkembang . Sebagai contoh itik Alabio yang berkembang di rawa Alabio salah satu kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan dan itik Mojosari yang berkembang di daerah Modopuro Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Dalam rentang waktu yang cukup lama di sentra-sentra peternakan itik beberapa jenis telah beradaptasi
dengan lingkungan, pakan serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda di masing-masing wilayah sehingga diduga telah terjadi diferensiasi genetik yang mengarah pada terbentuknya bangsa-bangsa yang memiliki ciri-ciri fisik dan tingkat produksi yang berbeda-beda pula. Dengan adanya diferensiasi genetik ini persilangan diantara mereka diharapkan dapat menimbulkan heterosis. Seperti diungkapkan NOOR (1996), jika temak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu . Fenomena ini disebut hybrid vigor yang nilainya dapat diukur dan dikenal dengan istilah heterosis yaitu persentase peningkatan performa dari ternak hasil persilangan diatas rataan tetuanya.
Dalam melakukan persilangan untuk memanfaatkan heterosis tidak hanya tergantung pada jumlah, persentase dan keragaman bangsa yang digunakan, tetapi tergantung juga pada kualitas tetua yang disilangkan. Dalam rangka mempersiapkan bibit induk untuk disilangkan maka terlebih dahulu dilakukan seleksi terhadap populasi dasar bibit induk tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa seleksi terhadap itik Alabio dapat meningkatkan produksi telur, fertilitas, dan daya tetasnya (GUNAWAN, et al., 1995). Kemudian, seleksi berdasarkan jumlah telur setahun memperlihatkan respon yang baik dalam peningkatan telur itik Alabio dan Tegal, namun seleksi hanya dilakukan satu kali pada satu generasi tanpa ada kelanjutannya (GUNAWAN, 1987). Padahal
sebaiknya suatu program seleksi pada itik minimal dapat berlangsung sampai 4 -5 generasi secara kontinyu agar gen-gen yang diinginkan dapat difiksasi dalam populasi terseleksi . Selain itu, untuk memperoleh hasil yang optimal
sebaiknya seleksi dilakukan dalam skala yang lebih besar dan jangka waktu 3 sampai 5 tahun. Secara umum dapat dikatakan berdasarkan hasil-hasil penelitian bahwa seleksi dapat dilakukan untuk memperbaiki produktivitas dan
meningkatkan keseragaman itik . Jenis itik yang digunakan untuk persilangan adalah itik Mojosari dan Alabio dengan pertimbangan bahwa itik Mojosari berbeda rumpun dengan itik Alabio (SETIOKO, 1994). Oleh sebab itu, seleksi pun dilakukan terhadap
masing-masing populasi bibit induk Mojosari dan Alabio . Itik Mojosari disebut juga itik Mojokerto atau Modopuro adalah itik lokal berasal dari Kabupaten Mojokerto Jawa Timur dan merupakan itik petelur unggul . Postur tubuhnya lebih kecil jika dibandingkan dengan itik petelur
unggul jenis lain, ukuran telumya relatif besar dengan warna kerabang biru kehijau-hijauan. Itik Mojosari dapat
30
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th . 199912000
menghasilkan rata-rata 200 butir per ekor per tahun bila digembalakan dan akan meningkat rata-rata 265 butir per ekor per tahun bila dipelihara secara intensif. Kelebihan itik Mojosari ini adalah masa produktifnya yang cukup lama dengan umur pertama bertelur 6 bulan (SUHARNO dan AMRI, 1996). Itik Alabio disebut juga itik Borneo atau itik Kalimantan, karena banyak berkembang di daerah Alabio kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Performa itik Alabio berbeda dengan itik lokal lain yang ada di Indonesia, terutama paruh dan kaki yang berwarna kuning. Berdasarkan hasil penelitian, itik Alabio yang dipelihara secara tradisional dapat menghasilkan telur 130 butir per ekor per tahun. Bila dipelihara secara intensif dapat berproduksi antara 200 - 250 butir per ekor per tahun dengan berat telur berkisar 65 - 70 gram per butir. Itik Alabio merupakan itik tipe petelur yang produktif (SUHARNO dan AMRi, 1996). MATERI DAN METODE Materi penelitian yang digunakan adalah itik Mojosari dan itik Alabio sebagai populasi dasar seleksi, masing-masing 650 ekor betina dan 100 ekor jantan yang dipelihara dari umur DOD. Itik Mojosari diperoleh dari peternak penetas di desa Modopuro kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sedangkan itik Alabio didatangkan dari Rawa Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pada awal pemeliharaan itik-itik tersebut dipelihara di kandang indukan per kelompok yang terdiri dari 20 ekor sampai umur 4 minggu . Kemudian dipindah ke kandang lantai sampai umur 20 minggu . Setelah itu, menjelang bertelur itik dipindah ke kandang individu . Namun karena terbatasnya kandang individu, tidak semua ternak dapat ditempatkan di kandang tersebut, sehingga sebagian ternak tetap berada di kandang lantai yang beralaskan sekam padi kering setebal 5 - 10 cm dengan dilengkapi lampu penerang, tempat pakan dan tempat minum. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan dan produksi telur. Data pertumbuhan diperoleh dari hasil penimbangan bobot badan setiap minggu dari umur DOD sampai umur 8 minggu, kemudian pada itik dara (10 minggu) sampai umur 20 minggu penimbangan dilakukan setiap dua minggu, dan penimbangan bobot badan terakhir dilakukan pada saat itik pertama bertelur . Penimbangan konsumsi pakan dilakukan bersamaan dengan penimbangan bobot badan untuk menghitung nilai konversi pakan. Produksi telur dicatat setiap hari, untuk itik di kandang individu catatan produksinya per ekor, tetapi untuk itik di lantai dicatat produksi telurnya per kelompok . Selain produksi telur dicatat pula umur pertama bertelur dan bobot telur pertamanya . Kriteria seleksi berdasarkan produksi telur 50 % selama dua bulan pengamatan, kemudian dihitung diferensial seleksi dan respon seleksinya . Nilai heritabilitas (h2) produksi telur untuk menghitung respon seleksi adalah 0,2 (Sufflebeam, 1989 yang disitasi NOOR, 1996). Kemudian dihitung pula intensitas seleksi untuk mengestimasi proporsi ternak pengganti. Ransum yang diberikan adalah hasil mencampur sendiri. Kpmposisi nutrisi ransum yang diberikan sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan produksi telur. Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. Susunan bahan pakan untuk setiap tahapan tercantum pada Tabel 1 . Tabel 1. Susunan ransum dan komposisi nutrisinya untuk itik sedang tumbuh dan sedang berproduksi Bahan pakan Tepung ikan Bungkil kedele Jagung
Dedak padi Pollard
Minyak
Top mix Garam
Dicalcium phosphat Tepung kapur Lysine
Methionine
Pakan DOD (DOD - 8 minggu)
Pakan Dara (8 - 20 minggu)
Pakan produksi (> 20 minggu)
2.0 9.5
14 .0 7.5
8.5 14.5
16 .25 47 .0
32 .7 6.0
17 .0
28 .0
0.6
0 .6
-
0.2 1.0
6.0 0.3
0.25
4.0 0.2
1 .0
6.0
0.05 0.05
30.2 18 .0 17.0 4.0 0.6 0.2
1.0
6.0 -
0 .05
31
L. HARDY PRAsETYo dan TRIANA SUSANTI : Seleksi Awal Bibit IndukItik Lokal
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan populasi dasar itik Alabio dan Mojosari tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Pertumbuhan itik alabio dan Mojosari Uraian
Itik Mojosari Jantan Betina
Bobot badan 8 minggu (gr)
1295 1218 5095 4,18
Pertambahan bobot badan (gr) Konsumsi 8 minggu (gr) Konversi pakan 8 minggu
1235 1155 4910 4,25
Jantan
Itik Alabio
1262 1202 4811 4,00
Betina 1222 1134 5207 4,59
Hasil pengamatan pertumbuhan starter pada populasi dasar menunjukkan bobot badan 8 minggu itik Alabio jantan dan betina serta itik Mojosari jantan dan betina berturut-turut adalah 1295, 1235, 1262 dan 1222. Hasil tersebut lebih baik daripada pengamatan SUSANTI, et al. (1999) . Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh pakan serta bobot DOD yang berbeda. CARD (1962) menyatakan bahwa hubungan antara besar anak ayam pada masa pertumbuhan dengan bobot awalnya menunjukkan korelasi positif Pertumbuhan bobot badan itik Alabio jantan dan betina serta itik Mojosari jantan dan betina masing-masing 1218, 1155, 1202 dan 1134 gram . Hasil tersebut relatif sama dengan hasil penelitian PRASETYO dan SUSANTI (1997) . Konsumsi ransum masing-masing 5095 gram dan 4910 gram untuk itik Alabio, 4811 gram dan 5207 gram untuk itik Mojosari . Nilai konversi pakan pun tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh SUSANTI, et al.. (1999) maupun PRASETYG dan SUSANTI (1997) yaitu 4,18 dan 4,25 untuk itik Alabio jantan dan betina serta 4,00 dan 4,59 untuk itik Mojosari jantan dan betina . Hasil pengamatan produksi telur selama dua bulan pada populasi dasar itik Mojosari dan Alabio tertera pada Tabel 3 . Tabel 3. Persentase produksi telur itik Mojosari dan Alabio pada populasi dasar selama 2 bulan pertama Breed
Kandang
Populasi dasar
Mojosari
Lantai Individu Lantai individu
32.89 t 50.84 t 28 .75 t 59.20 t
Alabio
17 .96 18 .31 18 .11 12 .57
Populasi seleksi
Diferensial seleksi
Prediksi Respon seleksi
Intensitas seleksi
63 .41 t 8.71
12 .57
2.51
0 .69
64 .95 f 8.35
5 .75
1 .15
0.09
Dari Tabel 3 tampak bahwa persentase produksi telur selama dua bulan pertama pada populasi dasar itik Mojosari di kandang lantai dan individu adalah 32,89% dan 50,84%, sedangkan itik Alabio 28,75% di kandang lantai dan 59,20% di kandang individu . Produksi telur yang diperoleh pada pengamatan ini berbeda dengan hasil ARGONo dan ISTIANA (1999) yaitu 75,19% selama 5 bulan pengamatan . Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh lamanya pengamatan, atau asal itik bibit yang bervariasi mutunya, seperti dilaporkan GUNAWAN, et al. (1995) bahwa disinyalir telah terjadi penurunan mutu genetik itik Alabio akibat pola seleksi yang kurang tepat. Pada pengamatan ini seleksi hanya dilakukan terhadap itik di kandang individu . Setelah dilakukan seleksi berdasarkan produksi telur (>_50 %) diperoleh rataan produksi telur itik terseleksi yang lebih tinggi baik pada itik Mojosari maupun Alabio (Tabel 3). Rataan produksi untuk itik Mojosari menjadi 63,41% clan itik Alabio 64,95%, dengan diferensial seleksi pada itik Mojosari dan Alabio masing-masing 12,57% dan 5,75%. Terdapat perbedaan nilai diferensial seleksi pada itik Mojosari dan Alabio, karena perbedaan jumlah ternak yang terpilih berdasarkan produksi telur 50% tersebut. Jumlah ternak itik Mojosari yang terseleksi adalah 115 dari 192 ekor, sedangkan itik Alabio jumlah yang terseleksi adalah 144 dari 255 ekor (Tabel 4) . Hal ini sesuai dengan pendapat NOOR (1996) yang menyatakan bahwa semakin sedikit ternak yang dipilih akan semakin besar diferensial seleksinya, terutama seleksi untuk satu sifat. Diferensial seleksi pada itik Mojosari cukup tinggi, karena keragaman produksi telur yang dihasilkan pada populasi dasar juga cukup tinggi, dengan koefisien variasi pada populasi dasar itik Mojosari sebesar 36,05%.
32
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
Selain diferensial seleksi diperoleh pula nilai respon seleksi. Walaupun diferensial seleksi cukup tinggi, namun respon seleksi yang dihasilkan masih rendah, karena nilai heritabilitas yang digunakan rendah pula yaitu 0,2 (NOOR, 1996). Sehingga precliksi respon seleksi untuk itik Mojosari 2,51% seclangkan itik Alabio 1,15%. Intensitas seleksi adalah rasio antara diferensial seleksi dengan simpangan baku suatu sifat (NOOR, 1996). Dari Tabel 3 terlihat bahwa intensitas seleksi itik Mojosari adalah 0,69 clan itik Alabio 0,09. Untuk meningkatkan nilai intensitas seleksi dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi dasar atau kriteria seleksi ditingkatkan lebih dari 50% procluksi telur agar nilai diferensial seleksinya juga meningkat. Hingga saat ini seleksi masih terus dilakukan untuk memperoleh populasi bibit induk terseleksi yang stabil . Jumlah populasi itik Mojosari clan Alabio saat ini tercantum pada Tabel 4. Dari Tabel 4 tampak bahwa mortalitas pada bulan pertama sangat tinggi baik itik Alabio maupun Mojosari . ini mungkin disebabkan oleh cekaman (stress) selama perjalanan . Total kematian untuk itik Alabio 133 ekor Hat selama 5 bulan dan 172 ekor itik untuk itik Mojosari dalam rentang waktu yang sama . Tabel 4. Jumlah populasi itik Mojosari clan Alabio sampai Mei 2000 Breed
Sex
Alabio Mojosari
Mortalitas 4 5 3
Pop. Dasar
1
2
Betina Jantan
650 100
70 19
9 4
12
21
Betina Jantan
652 110
69 30
13 1
65 7
25
Jml
21
Belum bertelur
Kandang Lantai cages
Itik seleksi
133 23
22
240 24
255 53
144 77
172 38
82
206 24
192 48
115 72
Tingginya angka kematian kebanyakan karena sakit. Itik yang belum bertelur hingga umur 7 bulan ada 22 ekor itik Alabio clan 82 ekor itik Mojosari, di kandang lantai berjumlah 240 ekor itik Alabio dan 206 ekor itik Mojosari, kandang individu berisi itik Alabio 255 ekor clan itik Mojosari 192 ekor . Seleksi berdasarkan produksi telur 50 % hanya dapat dilakukan terhadap itik yang berada di kandang individu . Jumlah ternak terseleksi itik Alabio 144 ekor clan itik Mojosari 115 ekor . Jumlah total populasi hingga Mei 2000 adalah 384 ekor betina clan 77 ekor jantan itik Alabio, sedangkan itik Mojosari terdiri dari 321 ekor betina dan 72 ekor jantan . Selain data produksi telur, diamati pula umur pertama bertelur clan bobot telur pertama yang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Umur pertama bertelur dan bobot telur pertama itik Alabio clan Mojosari Uraian Umur pertama bertelur (hari) Bobot telur pertama (gram)
Alabio 203,61 t 19,68 60,21 f
Breed itik
5,64
Mojosari
213,14 f 25,76 59,87 f 6,08
Umur pertama bertelur baik itik Alabio maupun Mojosari menunjukkan nilai yang lebih tinggi dengan bobot telur yang lebih besar. Hasil penelitian PRASETYO clan SUSANTI (1997) memperoleh nilai umur pertama bertelur 176,72 hari dengan bobot telur pertama 56,52 gram . Perbedaan umur pertama bertelur yang lebih lama mungkin disebabkan oleh pakan atau faktor lingkungan lain yang berbeda seperti posisi kandang terhadap cahaya matahari (PURBA dan MANURUNG, 1999). KESIMPULAN Setelah dilakukan seleksi berdasarkan produksi telur 50% selama dua bulan pengamatan produktivitas itik Mojosari naik sekitar 63,41% dan 64,95% pada itik Alabio . Jumlah populasi itik terseleksi adalah 384 betina dan 77 jantan itik Alabio, serta 321 betina dan 72 jantan itik Mojosari . Diperoleh nilai diferensial seleksi 12,57% itik Mojosari clan 5,75% itik Alabio, sehingga prediksi respon seleksi 2,51% itik Mojosari clan 1,15% itik Alabio. Untuk meningkatkan produktivitas agar sesuai dengan yang diharapkan perlu dilakukan seleksi lebih lanjut.
33
L. HARDY PRASETYo dan TRIANA SUSANTI: Seleksi Awal Bibit Induk Ink Lokal DAFTAR PUSTAKA CARD, L. E. 1962 . Poultry Production . 9"' Ed. Lea and Febinger . Philadelphia. GUNAWAN, B. 1987. Penggunaan teknologi genetika kuantitatif dalam pengembangan itik petelur Indonesia. 1 . Seleksi genetik untuk meningkatkan produksi telur pada itik-itik asli Indonesia dan itik impor Khaki Campbell . Ilmu dan Peternakan (3) 1 : 19-21 . GUNAWAN, B., K. DIWYANTO, M. SABRANI dan S.A . DAKHLAN. 1995 . Teknologi "Village Breeding" untuk meningkatkan produktivitas itik Alabio di Amuntai Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Petemakan. Pengolahan dan komunikasi hasil penelitian. Hal 74-82. GUNAWAN, B., P. EDIANINGSIH, H. MARTOYo dan KOMARUDIN. 1994 . Produktivitas dan keragaman fenotipik itik Alabio pada sistem pemeliharaan intensif Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi . Pengolahan dan komunikasi hasil-hasil penelitian. Balai Penelitian Ternak . Bogor . Hal 597-603 . NooR, R.R. 1996 . Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. PRAsETYo, L.H. dsn T. SUSANTI. 1997 . Persilangan Timbal Balik antara Itik Tegal dan Mojossri . I. Awal pertumbuhan dan awal bertelur. Jumal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol 2 (3) : 152-156. PURBA, M. dsn T. MANURUNG . 1999 . Produktivitas temak itik petelur pada pemeliharaan intensif Prosiding Seminar Nasional Peternakan dsn Veteriner. Pusat Penelitian dsn Pengembangan Peternakan . Bogor. Hal 374-381. SAMOSIR, D.J. 1993 . Ilmu Ternak Itik . PT . Grsmedia . Jakarta. SEnoKo, A.R . dsn ISTIANA. 1999 . Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembsngan Petemakan. Bogor. Hal 382387. SETIOKO, A.R., A. SYAMSUDIN, M. RANGKUTI, H. BUDIMAN dan A. GUNAWAN. 1994. Budidaya temak itik. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian . Badan Penelitian dsn Pengembangan Pertanian. Bogor . SUHARNo, B. dsn K. AMRI . 1996 . Betemak itik secara intensif. Penebar Swsdaya. Jakarta. SUSANTI, T., L.H . PRASETYO, Y.C . RAHARJO dan W.K. SEATI. 1999 . Pertumbuhan galur persilangan timbal balik itik Alabio dan Mojosari . Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembsngan Peternakan . Bogor. Hal 356-365 .