TINJAUAN PUSTAKA Itik Bali
Itik Bali adalah salah satu contoh itik lokal Indonesia yang pemelihsraannya
sudah metakyat di Bali. Seperti halnya dengan itik lokal lairmya, itik Bali termasuk unggaa air (water fowl) yang merupakan kehnunan langslmg dari itik l i a '"Mallard" berkepala hijau (Anas Plaiyrhynchos-platyrhynchos) yang s q a i kini banyak f
tersebar di beberapa tempat di dunia, terutama terpusat di belahan bumi b e a n udrPa (&ow, 1972; Haase dan Donham, 1980; Hetzel, 1984, Srigsndono, 1997). Penampilau itik Bali adalah berdiri tegak seperti botol dan laagsipg sehhgga disebut dengan itik Pi@
Warna bulu itik Bali yang pal& dominan adalah warn
mmi sedangkm warna yang lain seperti warm sumbian, putih dan belasg plltihhitam
(sikep)laaang d i m i d . Salah satu keunikan itik Bali yang membeltalrrrn d e q p itik lokal Indonesia lainnya, di sawing warm bulunya, adalah m
a kerabang telur put&
yang ssngat dimhati oleh konwrmen tells itik di daerah Bali, narnun lasaog diminrdi oleh konsumen telur di luar pula Bali (Nurbudi, 1969). Pemeliharaan itik Bali tradieional sebagian besar (73.14%) bersifat tetap yaitu terus menerus memelihara itik eebagai olnnber penghaoilan dan hanya sebagian kecil (26.86%) bentifid mwiman
dengaa rataan rasio jantan betina adalah 1: 28.3 (Supardjata et d.,1975).
.
Asal U d Warna kerabaag tells putih pada itik Bali s m a dengan warna k e r a b q telur itik lokal di India yang disebut Nageswari dan Sythet s e w diperldralcso itik Bali berasal dari India yang disebut dengan Indian Runner y a q b e d pelari cepat dari
7
India (Batty, 1985; F m l l , 1995), dm masuk ke Indonesia melalui Cina dan Malaysia (Nowland, 1984).
BetQsarkan pmgmatan fiekuensi gene pada l o b polimwf ke 8 dan lokw monomorf ke 12 pada 10 jenis itik lokal di Indonesia, 2 jenis itik Khaki Campbell (sat.jenis dari Jepaag dan jenis lain dari Denmark) dan empat jenis lain (itik Pekin
dari Demnark, itik Kairyo Osaka dari Jepang, itik Mallard, itik Pekin dari Cina) disimpulkaa bahwa itik Bali yang diambil dari Mengwi mempunyai h u b v kekerabatan yang dekat dengan itik Lombok dan Mojosari. Itik-itik Jawa T& Cirebon, Magelaag , Tegal) dekat dengan itik
(itik
Jawa Barat (itik Taqgerao& itik
Tasikmalaya) dan itik Khaki Campbell h g g i s serta itik Alabio. It& lolcsl Medm dekat dengao itik Khaki Campbell dari Jepang.
Itik Pekin dari Demnark dekd
kekerabataqa dengan itik Kajlo Osaka dm Mallard dan jauh dari it& Peltin dsri
Cina ( Tanabe et ai., 1984). Hasil pengamatau tersebut diperkuat lagi dengan hasil -p
yang lain (Taaabe et af., 1988) bahwa bsngsa itik dari Asia T-
kekerabahmya saogatjauh d e w b-a
itik dari Asia U h
Peatamtbuhan aaak itik p d a awal hidupnya adalah sangat cepat dan jauh lebih cepat dibandiqkm perhmbuban anak gram, namun setelah b e n a m ~empat sampai enam
kecepatm perlumbuhan aoak itik tersebut mulai b e d a m q eedsmgkan
kecepatm d ayam masih meniqekat (Warren,1972; Mahm, 1984). Kecepatan
.
perhnnbuhaa itik Bali dan Mojosari setelah benrmur 6 minggu sudah tidak b e r d lagi sedangkau itik Tegd masih berswti s q a i urnur 7 m@u (Hardjosworo et ai., 1980). Rataan berat badan itik Bali relatif lebih berat dibandingkan itik lolcal lainnya
dau berat badaa tersebut dipenpmh oleh palcaa Rataan berat badan itik Bali, Tegal,
8
dan Mojosari adalah 1.35, 1.29, dm 1.32 kgpadaumur 87 hari , 1.43, 1.34, dm 1.43 kg umur 130 hari clan 1.47,1.46, dan 1.40 kg pada umur 137 hari (Hardjoworo et al., 1980). Lebih jauh disimpulkan bahwa untuk memacu pethmbuhan ymg cepat itik Bali
dan itik Mojosari memerlukan protein yang tinggi sampai umur 52 hari eedmgkan itik Tegal hanya sampai umur 45 hari. Dengan kata lain, pergantian pakaa sfurter yang
berkadar protein tinggi ke pakan grower yang berkariar protein lebih rendah dapat dilakulcan sekitar urma 50 hari atau 7 mingy. Hasil yang serupa dilaportcan juga oleh Hetzel (1984) yaitu rataan berat itik Bali, Alabio, Tegal dan Khalri Campbell pada umur 16 miqgu berturut-turut adalah 1.465, 1.452, 1.390, dan 1.473 kg pada itik betina clan 1.631,1.768,1.481, dm 1.792 kg pada itik jantan. P e a i q k a h berat badan itik-itik tersebut masih jelas sampai umur 44 minggu Berat badan itik Bali umur 20 rninpnu yang d i p e l h a eecara intensif (pemeliharaan terkunmg dengan pakan komersial) adalah 1.55 kg eedaugkan yaag dipelihara eecara sistem intensif teraptin (pemeliharaan terkuntqg dengan pakan 20% koasentrat dan 80 dedak) adalah 1.62 kg (Bhinawa et d.,1990).
camp-
Kiearan pertambahan berat badan itik Bali berwarna putih adalab 9.7 sanipai 11.7 g per hari eedaagkem pada it& Bali berwaana bulu sumi adalah 9.5 sampai 12.9 g.
Pertambahan berat badan hi teqmtung pada imbangan kalori protein yaitu makin lebar imb-
makin rendah pertambahan berat badatmya (Supardjata et al.,
1976a; Matram, 1984)
Umar MemMlki MasaProddrd
.
Umur memasuki masa produksi itik Bali dipeaganhi oleh varietaa pada wmna
bulu dm protein pakan, dan umumnya lambat jika dibandiugkan denpa itik lokal
laismya Itik Bali berbulu sumi lebih cepat memasuki umur masa produlcei (154.8 hari)
dibaudingkan itik berbulu putih (176.0 hari) (Suaprdjata et al., 1976b). Pemberian
ragi sebanyak 0.0, 0.5, dan 1.M tidak berpeogaruh pada umw memasuki masa produkai (secara berturut-turut 159.6, 159.2, dan 162.0 hari) (Yadnya et d., 1976). Itik Bali termasuk itik y m g dewasa kelaminnya lambat (5Yo produksi) terutama kelompok it& yang diberi pakan dengan kanchmgaa protein yang lebib rendah Rataan umur mulai bertelur itik Bali, Tegal dan Mojosari den-
berprotein rendah (16,37%)
bertumt-turut adalah 150.67, 133.30, dan 144.00 hari, se-
pada pembefian
pakan berprotein tinggi (18%) itik Bali mulai bertelur lebih awal(137 hai) dmqkm itik Tegal daa Mojosari masih mulai bertelur pada umur yang sama (131 clan 145
hari) (Hardjosworo et d., 1980). Hasil yang senrpa juga telah dilaporicen oleh peneliti y q lain bahwa itik Bali, Itik Tegal dan itik Khaki Campbell d a i bertelur padaumur 26.4, 23.9, daa 23.6 minggu (Hetzel dan Chm-
1984). Jika dilihat dari
50% produksi, itik Bali mendahului itik Alabio (masing-mask 148 dan 169 hari)
namun tetap lebih lambat dibandingkan itik Tegal dan itik Mojosari (Hetzel, 1984).
Rataan produksi telur it& Bali dipengaruhi oleh varietas pada warna bulu, protein pakan dan pada unnglmya lebih rendah jilca dibandh$m denpo itik lokal lairmya
Rataan produkai telur Itik Bali bulu sumi,sumbian (coklat kehitwnan) dan bulu sikep (kehitaman) secara berhsut-tund adalah 28.5, 22.1, dan 17.7 butir (P<0.01) dengan lama masa bertelur masing-masing 72.5, 74.7 dan 60.7 bari ( P a l e et d., 1976). Itik Bali bulu sum' bertelur (41.1 butir) lebih banyak d i b a n d i itik Bali bulu putih (30.6 butir) (Supardjata et d., 197th). Penelitian dengan palcan lcandungan protein tinggi dan rendah menunjdckan
produksi telur itik Bali (18.10 dan 15.38%) lebih rendah d i b a n d i prochrlcsi telur itik Tegal (22.70 dm 18.16%) dan itik Mojosai (27.67 dan 21.62 YO)d
q puncak
produlcei 37.26 dan 36.6990 (itik Bali), 44.76 dan 33.97% (itik Tegal) dau 54.29 dan 49.21% (itik Mojosari) selama pengamatau 32 minggu bertelur ~ardjoewaroet ul., 1980). Bahwa produlcsi telur itik Bdi lebih rendah juga telah ditunjukkan oleh Hetzel dan Gunawaa (1984). Pengamatm selama 76 mi-
menmjuldcaa bahwa itik Bali
hanyamampu bertelur sebaayak 110 butir dengan puncak produksi 74% pada u m 36 ~
mingEpl s e w a n itik Tegal dan itik Khaki Campbell berhaut-turut bertelur seb144 dan 184 butir dengan p c a k produksi 76 dan 77% yang dicapai &-rat8
pada
u m r 33 mhggu. P e n p n a h selama enam mingy pada beberapa itik lokal yaug dipelihara t
h juga memmjdckan bahwa prortuksi telur itik Bali a d a h yxmg
paling rendah (14.3 butir) yaug kemudian diikuti oleh itik Tegal (18,l butir), itik Magelang (20.3 butir) dan yasg tertinggi adalah itik Mojosari (24.2 butir) (Sam@,
1989). Pemeliharam secara sistem intensif terapm (pemeliharaaa secara terlanuqg dengan ransum campuran dari konsentrat 20% dan dedak padi 80%) memmjukkan bahwa itik Bali hanya m a w berproduksi hatian 37,25% sedaogkan itik Tegd dan itik Khaki Campbell bertuut-turut adalah aebrmyak 41.27 dan 39.35Y0. Pemeliharaaa secara semi intensif (itik d i d r p . dengan pakan cmpuran konsentrat 20% dan dedak
padi 80% pada pagi daa siaag hari) memrnjukkao bahwa produksi telur itik Bali (23.52%) lebih tinggi d i b d m g b itik Khaki Campbell (20.3194) mmm l e W rendah dibandingkan itik Tegal(3 1,62%) (Astiningeih et al., 1993). Berbeda deagaa basil pmpmtm di atas, Hetzel (1984) m e l a p o h bahwa pemeliharsan secara intenoif pada beberapa itik lokal Indonesia mermnjuldwn bahwa itik Bdi mampu bertelur eebanyak itik Alabio (179.4 dan 179.8 butir) dan lebih tinggi
dibandingkan itik Tegal (134.6 butir) namm lebih redah dibandrngkaa itik Khaki Campbell (229.0 butir). Puncak produksi yang dicapai oleh itik-itik tersebut (it& Bali, Alabio, Tegal, Khaki Campbell) masing-masing adalah 84,82,66 dan 86 %.
Berat Tdar per Bdir Berat telur per butir sangat dipengaruhi oleh bangea unggu dan dip-
juga oleh berat badan saat memasuki masa produksi (North dan Bell, 1990; Leeaon clan Caston, 1991; Summers, 1993). Pemberian pakan dengan kancfimgan protein t
tinggi sebelum memasuki masa bertelur yang menyebabkan terjadmya akumdasi protein cadangan dalam tub&
akan m e h g k a h n produksi dan berat teIur per butir
1985; Summers clan Leeson, 1994). (Cave, 1984; Brake et d., Berat telur per butir itik Bali dipengamhi oleh varietas pada wanra bulu daa
umumnya lebih rendah d i b a n d i i itik lokal Indonesia lairmya Radaaa berat telur itik Bali bulu sumi (57.6 g) lebih ringan daipada bulu putih (59.6 g) (SupardjaEa et
d.,1976b). Peogamatan pada itik Bali, Tegal dan itik Mojosari y q diberi palran protein tinggi (18%) menuujuldnm bahwa rataan berat telur masing-masing adalah 57.25, 56.05, 57.29 g. Sed-
pada itik yang diberi pakan denpa protein rendah
rataan berat telur masing-mash adalah 55.19, 56.83, dm 56.18 g (Hardjosworo et
al., 1980). Hetzel(1984) mendapatkan bahwa rataan berat telur itik Bali adalah 64,l g sebmgl
0.94 dan 1.10 % dibaadiaglcan it& Bali. Pada *
perneliharasn secara intemif a h semi intensif (Astiningsih et d.,1993) rataan berat telur itik Bali (59.99 dan 61.62 g) lebih rendah dibandlngkan berat telur itik Tegal (62.72 dan 65.47 g). Berat telur itik Bali paling rendah (57.3 g) juga telah d i ~ u k k a n pada pengamatan pada tiga jenie itik lolcd l a m yaitu itik Magelang (67.45 g) itik
12
Tegal(65.93 g) dan itik Mojosari (64.95 g) (Saaengat, 1989). Konmmoi Pakaa Konmmsi pakan itik Bali dipengaruh oleh vatieb~m beragam jika dibandingkan dengan itik lokal lairmya
a bulu
dan
saagat
Supardjata et at. (1976a)
m e l a p o h bahwa itik Bali berbulu sunzi mengkonsumsi pakan relatif' lebih banyak dibandtnglam itik Bali berbulu putih. Sampai mingp ke IV rataen komoumsi pakan
adalah 25.6 dan 26.5 g, kemudian menlngkat menjadi 47.5 dan 48.7 g pada
ke
V sampai VIII, 52.7dan 53.0gpadaminggu ke VIII sampai XIX, dan 60.6 dan 61.3g
pada minggu ke XD[ sampai XXL Selama pemeliharaan pada masa p e r h h h m (87 hari), konsumsi itik Bali lebih rendah dibandingkan itik Tegal clan Mojoaari yaitu masing-mask 8.04, 8.49
dan 8.60 lag d e w pakan berprotein tin& (18 %) cdau 8.18, 8.27, dan 8.63 kg dengan pakan berprotein rendah (16.37%). Konsumsi pakm terendah (5.07, 5.10,dan
5.64kg) terlihat juga pada pemeliharaao dari umur 87 e q a i 130 hari deqpn pakan berprotein rendah. Seballknya aelama pernelihsraan pada masa berproduicsi (32 m)-
itik Bali mengkomumsi palcan berprotein tinggi dan rendah (33.03 dan 31.83
kg) lebih banyak dibandingkan itik Tegal (31.16 dan 29.91 lag) dan itik Mojoaari
(30.56dm 30.09 kg) (Hardjosworo et al., 1980). Rataaa koneumsi p a h a setiap ekor per hari pada itik Bali berutnur 16 sampai
68 mi-
(150.4 g) lebih rendah dibandingkan itik Tegal (154.7g) dm hampir eama
.
dengan itik Khaki Campbell (147.8 g) namm lebih banyak dibandhgb itik AIabio
(143.4 g) (Hetzel, 1984). Konsumsi pakan yang hampir aama dilapodcan oleh Sarengat (1989)di antara tiga jenis itik lokal yaitu itik Bali (149.06g), itik Mojoaari
(149.37g) dan itik Tegal (151.44 g) sedangkan itik Magels~lgmengkoasumsi pakan (158.23g) lebih banyak dibandingkan ketiga itik iokal tersebut pada pemeliharean
masa bertelur. Cara pemeliharaan berpengaruh pada konsumsi pakaa. Aetiningsih et d.
(1993)menyebutkm bahwa konmrmsi p
h itik Bali (24.54kg), Tegal (25.77kg)
dan Khaki Campbell (25.17kg) yang dipelihara secara sistem intensif adalah relatif' sama, namm pada pemeliharaan secara semi intensif' konsumsi pakan itik Khaki Campbell (19.74kg) lebih sedikit dibandmgkan itik Bali (22.20 kg) dan itik Tegal
(23.01 kg). KonvdP
h
Konversi pakan itik Bali pada masa pertumbuhan sangat dipeqsaruhr oleb imbangan kalori protein sedangkm pada masa bertelur c u b beragam Dengau energi
3.08 dan 3.42 Mkal/kg dan protein pakan masing-masing 16 persen konversi pakan adalah 9.14 dan 8.57. Konversi pakan akan membaik (7.96) bila protein palcan dithgkatkm menjadi 18 persen. Konversi pakan (10.28)akan kurang baik apabila energi pakan diturtlnkan menjadi 2.74 MkaYk& babkao a h lebih -1
baik lagi
(1 1.54) apabila proteinnya ditunmkan menjadi 14% (Mafrsm, 1984). Pemeliharaan selama 6 minggu pada masa bertelur m e n u n j u b bahwa konversi yang paling kurang baik terjadi pada itik Bali (8.261)kemudian diila~tioleh itik Magelang (5.706)dan yang terbaik adalah pada itik Mojosari (4.084) (Sarengat,
1989). Laporan lain mengatakan bahwa konversi pakan terbaik pada umur 16 sampai 18 minggu ditemukan pada itik Khaki Campbell (3.70)ymg kemudian diikuti oleh itik Alabio (4.61), itik Bali (4.81) dan y~mgpaling,kurang baik adalah pada itik Tegal
(6.66)(Hetzel, 1984). Pada pemeliharaan eecara intensif' didapatkan konversi yaag hampir sama di antara itik Bali (6.34), itik Khaki Campbell (6.36)dan itik T e d (5.94), tetapi pada
pemelihaxaan aecara semi intensif' didapatfcsn konversi yang berbeda Konversi pakan
yang terbaik adalah pada itik Tegal (6.99) sedanghn konversi pakan itik Bali (8.89)
dan itik Khaki Campbell (8.72) hampir sama (Astiningsih et d., 1993). Kematian Hardjosworo et al. (1980) mengamati kematian pada tiga jenis itik lokal (itik Bali, itik Tegal, itik Mojosari) yang menerirna pakm berprotein tinsi (22.13% masa starter dan 20.17% grower) dan berprotein rendah (20.21% s t h e r dan 18.20%
grower). Disebutkan bahwa kenlatian yang sedang pa& itik Bali (4.55 dan 1.52%), I
paling rendah pada itik Mojosari (0 dan 1.52%), dan tinsi pada itik Tegal (12.28 dan 7.02%)
pada pemeliharaan sampai umur 18 minggu, atau kematian 15.56 dan
47.30% (itik Bali), 6. 67 dan 31,01% (itik Mojosari), 25.08 dan 33.65Yo (itik Tegal)
pada pemeliharaan sampai umur 32 rninggu Kematian yang cukup rendah pada itik Bali, Alabio, Tegal dan Khaki Campbell dilaporkan juga oleh Hetzel (1984) dengan ratam kematian betturut-turut 2.3, 1.1, 2.3, dan 4.7% pada masa pertucxibuhan atau 14.4, 11.2, 16.8, dan 12% pada
urnur 16 sampai 68 minggu Kematian yang tinggi pada itik Tegal (dian~bildari petani) yang dipelihara secara intensif dilaporkm oleh Hetzel dan Chnawan (1984) pada
-
-
umur 6 24 minggu dan 24 76 minggu (46 dm 45%) sedmgkan kematiau itik Tegal,
Bali, dan Khaki Campbell berturut-hnut adalah 5 dan 100/o, 10 dm 4%, 6 dan 15%.
Suhu Lingkungan dan Fluktuasi Suhu Tubuh Sebagai hewan yang berdarah panas' (homothem) ayam ataupun itik memerlukan kisaran suhu lingkungan yang nyaman untuk kelangsungan hi*
dan
berproduksi. Pada kisaran suhu yang nyaman unggas mempunyai kemampuan yang
baik untuk memp&dcan
rmhu tubutmya (homostasis) untuk tumbuh dan
berkernbang dengan baik Sebaliknya di luar suhu lingkungan tereebut mekanisme mempertahankan suhu tubuh tidak efisien lagi dan unggas
a h menderita c h a n
(North dan Bell, 1990). Mekanisme mempertahankan suhu tub& menjadi tidak efisien pada suhu lingkungan yang tinggi disebabkan oleh kemampuan uoggas untuk mengeluarkan panas
terbatas sehixqqja menyebabkan peningkatan suhu tubuh .
Kenaikan suhu tubuh ini selanjutnya &an mengganggu proses fisiologi seperti reaksi ensim-ensim dan hormon bang memerlukm suhu tertentu sclpaya bekerja dengan baik) dalam tubuh atau mengakibatkan jaringao tidak behmgsi dengan baik (Whittow, 1976; Ecker et al., 1988). Kisaran suhu lingkun,gan yang baik untuk memelihara ternak unggas adalah dari 10 sarnpai 20" C atau rataan suhu yang ideal adalah 15°C. Suhu di
antara 5 sampai 10" C dan 20 sampai 25°C masih dapat ditolerir oleh unggas. Suhu lingkungan di antara 0 sampai 5°C dan 25 sampai 30°C adalah suhu yang cukup berbahaya karena dapat mempenganhi perhanbuhan atau menunmkm produktivitas unggas. Suhu di bawah 0 dan
di atas 30°C merupakan suhu kritis dalam pemeliharaan
unggas karena akan dapat menmgkatkm kematian akibat cekaman suhu lingkungan. Suhu iingkungan yaag mematikan bagi unggas adalah 47°C (Bousshy dan van Marle, 1978). Wilson et al. (1980) menyatakan bahwa suhu yang ideal untuk memelihara ternak itik dan ayam petelur adalah antara 18.3 dan 25.5"C, dan 20 dan 25°C (Cobb, 1991). Untuk berproduksi dengan baik, itik Peltin memerlukan suhu liqkungm 10 sampai 15°C (Hagan dan Heath, 1976). Apabila suhu lingkuqqm meningkat di atas 25"C, itik akan terengah-engah clan iaju metabolisrne meningkat yang selanjutnya dapat me-
produktivitas temak tersebut (Bowerot et al., 1974). Penrngkatan suhu
lingkungan di atas zone netral ( t h e m n a r t m l zone) akan dideteksi oleh
thennoreceptor di hipotalamus yang meneruskan signal ini ke pusat pengaturan pakan (pusat rasa laparkenyang) yang menyebabkan terjadirrya tekanan terhadap selera
makan sehingga itik meogkonm~nsipakan lebih sedikit @aile d m Mayer, 1970). Apabila suhu lingkungan mencapai 29.4"C maka akan terjadi penunman pertambahan berat badan sebanyak 30% dan penunman berat badan tersebut tidak akan terjadi apabila itik diberi kesempatan berenang pada kolam yang aimya dingin (Hester et al., 1981). Salah satu ciri b a s ternak unggas adalah suhu tub& yang lebih tinggi dibandingkan temak lairmya dan suhu tubuh tersebut bervariasi dalam sahr hari mengikuti perubahan suhu siang dan malam. Ciri khas tersebut diperkirakan memberikan keuntungan untuk dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan kondisi
suhu lingkungm yang relatif tinggi namun relatif peka akan kedinginan pada suhu lmgkungan yang sangat dingin (Yarnamoto dan Mundia, 1996).
Suhu tubuh ternak ayam lebih tinggi pada simg hari dibandingkan malam hari dan suhu tubuh tersebut tunm sebanyak 1°C setelah 0,s jam pen-
dihilmgkaa.
Penunman suhu tubuh tersebut ada kaitaanya dengan aktivitas ayam (Matram et al., 1989; Li et d., 1992). Di sarnping suhu lingbgan, jenis unggas, umur dan berat tubuh juga mempengaruhi suhu tubuh. Kalkun d e w berat 3.7 kg mempunyai suhu tubuh 4 1.2"C, ternak angsa dengan berat 5.0 kg mempunyai suhu tub& 4 l.O°C, ayam dengan berat 2.4 kg bersuhu tubuh 41.5' C dau ternak itik dengan berat 1.9 kg mempunyai suhu tubuh 42.1°C. Dilaporkan juga oleh Matram et al. (1989) bahwa itik yang dipelihara tanpa kolam mempunyai rmhu dktal yang lebih tinggi dibandingkan itik yang dipelihara dengan kolant Itik betina yeng dipelihara deflgan kolam pada masa pertumbuhan, rataan suhu rektalnya adalah 40.0S°C pada pagi hari dan 40.72OC pada siang hari, ~edsrngkanitik yang dipelihara taapa kolam mempunyai suhu rektal berhrtrut-tumt 41.08 dan 41.51°C pada pagi dan siang hari. Setelah m a d ke dalam
kolam suhu rektal itik tunm sebesar 1 sarnpai 2°C. Penentuan suhu tubuh unggm dapat dilakukan dengan mengukur suhu rektal atau sutm pada permukaan kulit (Stuticie dan Muller, 1976). Sebagai daerah yang beriklim tropis, Indonesia mempunyai suhu lingkungan yang cukup panas untuk memelihara ternak unggas yaitu rataan kisaran suhu harian di
-
antara 23.2 35.2"C (siang hari) dan 15.0
- 25.9"C (malam hari) (BPS,
1996) atau
suhu fingkungan di Denpasar addah 24.35 f 0.82"C (minimum) dan 31.04 f 1.06"C (rnaksimwm) atau rataan kisaran suhu harian 27.79 f 3.49"C (Kantor Stetistik Propinsi Bali, 1996). Suhu lingkungan yang cukup tinggi ini akan menunmkan nafrm malcan dm kemampuan ternak untuk berproduksi. P e n m a n konmrmsi pakan sebanyak 1.4 g O ~ " terjadi pada suhu ling&ungan dari 21 sampai 32°C atxu sebanyak 4.2 g O ~ " dari 32 sampai 40°C (Fanrell, 1979).
Ukman dan Fnugsi Kolam Nowland (1984) menyatakan bahwa sebagai unggas air itik sangat memerlukan banyak air bersih untuk minum, mencelupkan seluruh kepalanya s e w menjadi bersih dan untuk menghindarkan hidung tersumbat oleh pakan dan lumpur. Dalam cuaca panas itik yang dipelihara daiam kandang ymg dilengkapi den-
kolam akin lebih
banyak bergerak dan bennain d a l m air serta memerlulcan w&u dan tenaga yang lebih b q a k pula mtuk mengeringlcan bulunya (CZozali et al., 1980). Kolam sangat penting
untuk pemeliharaan itik pembibitan karena kolam akan memperlancar perkawinan sehingga telur yang dihasilkan memiliki fertilitas yang lebih tinggi dibandinglcan itik yang dipelihara tanpa kolam (Batty, 1985; Scott dan Dean, 1991; Srigandono, 1997). Kolarn dengan luas 1 m2 dan kedalaman 25
- 40 cm sudah cukup untuk 20 ekor itik
yang sedang bertelur (Soedjai, 1960 ; Nowland, 1984). Itik lokal yang dipelihara dalam kandang yang dilengkapi dengan kolam
mempunyai suhu tubuh yang lebih rendah, berat badan lebih berat, jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dm volume sel mampat (PVC) lebih banyak dibandingkan itik yang dipelihata dalam kandang tanpa kofam. Apabila mhu udara menin&& itik akan masuk ke dalarn kolam sehingga suhu tubuhnya tunm sebesar 2OC (Matram et al.,
1989). Pengeluaran panas dari tubuh itik banyak melalui paruh dan kaki yaitu bagian tubuh itik yang tidak diturnbuhi bulu (Hagan dan Heath, 1980; Midgard, 1980). Signal p e n m a n suhu tub& &an sampai pada pusat thennoreceptor di hipdamus yang &an rneneruskan signal ini ke pusat pengaturan konmrmsi pakan (lapar atau kenyang) yang merangsang itik untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak (Baite dan Mayer,
1970). Konsumsi pakan yang lebih bsmyak pada itik yang dipelihara dengan kolam akan menmgkatkaa berat badaa lebih tinggi dibandingkan den*
itik ymg dipelihara
tanpa kolam Berat badan yang lebih tinggi sekitar 2 sampai 5% pada kelompok itik
yang dipelihara dengan kolam terutama pada musim paaas juga telab dilaporlnm oleh Dean (1967) dan Yudiastari (1990). Berbeda dengan pendapat di atas beberapa peneliti menyimpulkan bahwii itik dapat dipelihara tanpa dukungan air terbuka atau kolam tempat berenang. Keberadaan
kolam sering sekali m e r e p o h peternak mtuk menjamin kebersihan aimya. Apabila air kotor, kolarn bisa menpalcan sumber bebrapa penyakit itik (Samosir dm Simandjuntak, 1984; Batty, 1985;
Srigandono, 1997). Itik yang dipelihara dalam
kandang yang dilengkapi dengaa kolam mempunyai pertambahan berat badan yang lebih rendah (Siturnorang, 1976 yang dikutip oleti Irawan, 1978) dengan produksi telur
yang lebih sedikit disertai dengan efisiensi pakan yang kurang baik (Gozali et ai., 1980) dibandiagkan itik yans dipelihara tanpa kolam. Itik Alabio betina dewasa yang dipelihara di kan-
berkolam dm
penggembalaan
bertelur
lebih sedikit
dibandingkan itik yang dipelihara tanpa kolam. Walaupun demikian, kelompok itik
yang dipelihara dengan kolam kelihatamya lebih segar (lasmini, 1985). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa itik yang dipeliham dalarn kandang terhrtup memerlukan kolam terutama pada siaug hari untuk m
e panas
tubuhnya, membersihkan kepda ataupun meningkatkan fertilitas telur. Kebutuhan Protein Itik
Seperti halnya pemeliharaan ayam petelur, pemeliharaan itik d i b d menjadi tiga sampai empat tahap sesuai dengan tingkat pertulnbuhan dan produksi teiur ymg I
mempengaruhi kebutuhan akan nutrien. Kisaran kebutuhan protein dan energi tahap pemula (0 - 4 minggu), pertumbuhan (4 - 9 minggu), perkembangan (9 - 14 minggu) dm
- 68 minggu) berturut-turut adalah 20 - 22 persen dao 2700 - 3000 kkalkg, 15 - 17 persen dan 2700 - 3000 MraYk& 15 - 16 persen dan 3000 - 3080 kkalkg, 15 - 19 persen dan 2650 - 3080 kkaYkg, (Hardjosworo et d., 1980; Mabram, produksi (14
1984; Hardjosworo, 1989; Scott dan Dean, 1991; Farrell, 1995)
Itik Khaki Campbell sampai umur empat rninggu memerluh pakan dengan kandungan protein 23% dan energi 2800 kkaVk& sedangkan pada umur 4
- 8 minggu
sebaiknya kandungan protein pakan ditunmkan menjadi 19% dengan kandungan energi ymg sama untuk rnencapai pertumbuhan yang optimal (Reddy et ai., 1980).
Peningkatan protein yang lebih tinggi &an menurunkan efisiensi pakan yang tidak dipengaruhi oleh penlngkatan energi dari 2800 sampai 3000 Idcaikg
Dalarn pemeliharaan tiga jenis itik lokal (itik Bali, Tegal, Mojosari) sampai
umur 87 hari, Hardjosworo et al. (1980) menganjurkan pemberian pakan dengan kandungan protein
20,2196 dan energi 2803,74 kkalkg pada masa starter, dan
18,200/0 protein dengan energi 2851 McaYkg pada masa grower. Untuk rnencapai
pertumbuhan yang maksimal anak itik Bali yang dipelihara secara terkunmg Matraxn (1984) menganjurkan pemberian pakan dengan imbangan kalori protein 3080 kkaVkg
dan 18%.
Pemberian protein ataupun energi di bawah imbangan tersebut akan
menunmkaa pertarnbahan berat badan, meningkafkan konsumsi p menunmkan efisiensi pakan
h sehingga
Pemberiaa pakan volume terbatas nebanyak 80940
konmrmsi pakan ad lib selama masa p&uhan
dan dilanjutkan dengan pemberian
ransum bebas selama fase bertelur cenderung menkgkatkan produksi telur dalam butir dan berat telur total itik Imbangan energi protein sebanyak 3000 kkal/kg daa 21.4% dan 16.7% untuk pemeiiharaan tahap pemula dan pertumbuhan itik Pekin juga dianjurkan oleh Scott dan Dean (1991) untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. I Farrell(1995) menyatakan bahwa untuk meningkaflian efisiensi pakan itik petelur masa pemula dm pertumbuhan sebailmya pakan mengandung protein 20% dan energi 11.7
- 12.1 MJkg (2799 - 2895 W g ) 11.9 MJkg (2750 - 2847 kkal/kg).
dan protein 17% dengan kandungau energi 11.5
-
Pengamatan pada 3 jenis itik lokal (itik Bali, Tegal, Mojosari) yang sedang bertelur, itik yang mendapatkan pakan dengan kandungan energi 2802 Mral/kg
dan
protein 18% menghasilkan telur lebih banyak dibandingkan dengan yang mendapatkan pakan berprotein 16%. Pakan dmgan protein ymg lebih tinggi menyebabkan umur rnemarmki dewasa kelamin itik Bali lebih cepat (137
dan 150.67
h e ) dengan
pementase berat telur lebih rendah pada minggu pertana namun tanpa mempenganrhi
rataan berat telur secara keseluruhan. Respon tersebut tidak nampak pada itik Tegal
dan itik Mojosari (Hardjoswwo et d., 1980). Hasil yanp; senpajuga dilaporkan oleh Matram (1984) bahwa dengan pemberian pakan dengan kandungan protein 185% dan energi 3080 lckaVkg pada itik Bali &an memp&baiki jumlah butir telur/ekor, berat telur totdekor, besar telur minggu pertama, produksi tella harian, konsumsi, konversi dm harga pakan jika dibandingkan dengan pakan berprotein 14%. Pemberian pakan terbatas (80% dari konmrmsi ad lib.) sangat m e n d proddcsi telur.
Scott dan Dean (1991) menyimpulkan bahwa jika pakan itik yang sedang bertelur mengandung energi 2900 kkal/kg sebaiknya diimbangi dengan kanprotein
16.2% untuk itik Pekin dan 18.2% untuk itik Khaki Campbell. Apabila
kandungan energi ditingkatkan (3000 kkalkg) sebaiknya kandungan protein juga ditingkatkan (16.8% untuk itik Pekin dan 18.9% untuk itik Khaki Campbell) untuk menjaga kandungan energi protein pakan yang seimbang. Anjuran yang serupa juga disrlmpaikan oleh Fanell (1995) bahwa untuk mendapatkm prockdrsi teiur yang cukup tinggi sebaiknya itik petelur setelah besumurl 14 minggu diberi pakan dengan kandungan energi antara 11.1 dan 11.5 M3Ag (2655.5
- 2751.2 kkal/kg) dan protein
18 sampai 19%. Sehubungan dengan perkembangan organ reproduksi sekunder yang sangat cepat menjelang atau sesaat akan bertelur (umur 16 sampi 20 minggu), dan dalam perkembangan organ tersebut diperkirakan memerlukan protein tinggi. Cave (1984) menganjurkan pemberian pakan berprotein pang lebih tinggi (154 dan 18lg/kg) pada saat perkembangan kritis organ sekunder (4
- 6 minggu sebelum bertelur) pada gram
broiler breeder, dan pengarutrnya narnpak pada produksi telur dam efisiensi pakan terutama pada mur 35 sampai 50 minggu. Pemberian energi yang lebih tinggi (420
dan 440 kkal/ekw/hari) selanza 2 sampai 3 minggu sebelm bertelur memmjukkan kinej a y a q paling baik (Bornstein dan Lev, 1982). Peningkatan protein pakan dari 16 ke 1% pada masa awal bertelur meningkatkan berat telur, atau penambahan 2% mlnyak jagmg pada pakan ayam dengan kandungan protein 20% pada saat yang sama juga rneningkatkan berat telur (Parson et al., 1993). Kejadian y q serupa dilaporkan juga oleh Keshavarz dm Naksjima (1995) bahwa manipulasi kandungan energi dan lemak pada masa pertumbuhan tidak mernpengaruhi kinerja ayam petelur White Leghorn, namun pemberian protein tinggi (17 dan 21%) rneningkatkan produksi telur,
berat telur dan konsumsi pakan, sedan&an lemak (4%) sebagai sumber energi hanya meningkatkan berat telur. Peningkatan berat telur terjadi terutarna pada bsgian putih telur dan peningkatan tersebut disebabkan oleh peningkatan protein daa metionin Pengaruh lemak pada berat telur terlihat pada tingkat protein pakan yang lebih tin@ (2 1%). Pengaruh peningkatan berat telur tersebut lebih jelas pada ayam tipe berat dibandingkan pada ayam tipe sedang (Keshavarz, 1995). Sebalilarya, Summers dan Leeson (1983) melaporkan bahwa pemberian pakaa dengan tingkat protein 17 dan 22%, metionin 0.34 dan 0.44%, asam linoleat 0.12 dan 5.296, dan energi 2756 dan 3036 kkalkg yang dikombinasikan dengan minyak jsguag atau lemak sapi sebesar 19% pada ayam siap bertelur tidak mempengaruhi berat telur.
Selain itu berat badan pada umur 20 rninggu dan berat telur di awal berproduksi tidak dipengaruhi oleh peningkatan kombinasi protein dan energi, namun terdapat hubyang erat antara berat badan dm berat telur pada masa awal produksi (Summers dan Leeson, 1993). Kandungan protein pakan yang berbeda mempengaruhi laju aiiran digesta dalarn pemt besar. Pengamatan pada tikus menunjukkan bahwa pakan dengan
kandungan protein yang lebih rendah cenderung mernacu laju aliran digesta yang lebih cepat dibandingkan pakan yang berprotein lebih tinggi, yang memerlukan waktu lebih banyak untuk denahPasi dan pelarutan protein mentah yang dikonsumsi (Scott ef id., 1982;
Wahyu, 1992). Lebib jauh disebutkan juga oleh Sott et al. (1982) bahwa
meskipun aym (nibbler) berbeda dengan kebanyakan hewan mamalia ( m deater), mekanisme sekresi gastr-rk dan laju pengosongan perut tidak berbeda banyak dengan hewan mamalia seperti tikus. Kandungaa dan keseimbangan asam amino pakan memegang peranan pentiag
dalam pertumbuhan dan produksi telur. Pestumbuhan ataupun produlrsi telur akan
tertekan bila kmdungan asam amino rendah karena kandungan protein pakan rendah Kandungan asam amino pakan yang tidak seimbang terutama asam anin0 esensial seperti metionin ataupun lisin akan menekan pertumbuhan a h p u n produksi telur. Kelebihan asam amino sering menyebabkan hambatan pertumbuhan karena konmrmsi pakan menurun, dan pengaruh ini dapat d i h g i dengan penambahan treonin Kelebihan asam amino leusin akan menekan perhunbuhan ayam dan pengarub ini dapat diimbangi dengan penambahan isoleusin clan vdin atau pengaruh kelebihan isoleusin dan valin dapat diimbangi dengan penambahan leusin.
Kelebihan Iisin &an
meningkadtan kebutuhan arginin. Irnbangan lisin dengan airginin untuk ayam pertumbuhan jangan melebihi 1.2 : 1. Jika kasein digunakan sebagai sumber protein sebaiknya imbangan tersebut ditingkatkan yaitu menjadi 2 : 1 (Scott et al., 1982). Kelebihan salah satu asam amino akan berakibat buruk pada ternak ayam karena penggunaan asam amino sebagai munber energi h yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandi-
g efisien akibat panas bahang
dengan penggunm
lemak dan
karbohidrat Kelebihan 2 sampai 4% salah satu asam amino merupakan r a m bagi ternak unggas (Eckert et al., 1988).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan dengan protein di atas 16% cocok untuk itik tipe petelur ringan, dan kebutuhan protein teraebut tergantung juga pada imb-
energi protein. Pemberian protein tinggi akan
mempercepat tercapainya berat badan masak kelarnin, produksi harian, dan berat telur yang lebih tinggi. Silang pendapat tentang p e n g a d pemberian protein mauprm energi tinggi pada saat perkembangan kritis organ reproduksi sekunder @m-layer) rnasih
ada, padahal informasi tersebut mash lmgkapada t m a k itik
Pertumbuhan Telur dan Ovidpk Itik Organ reproduksi u n p betina terdiri atas orarium dan oviduk bagian kiri,
meskipun pada masa pertumbuhan embrio terdapat juga ovarium dan oviduk bagian kman yang mengalami pengecilan segera setelah menetas. Ovarium unggas
lamrr
muda terdiri atas massa yang sangat kecil disebut dengan ova yang jumlahnya dapat rnencapai 12000 butir dan hanya 1000 butir bisa terlihat dengan mata biasa pada
ung~asair yang telah dijinakkan atau 500 butir pada unggas air yaog masih liar (Romanoff dan Romano% 1963). Dari jumlah' tersebut hanya sebagian kecil (200 sampai 300) mencapai dewasa atau ovulasi pada unggas yang telah dijinaldtan dan jauh lebih sedikit pada unggas yang masih liar. Pengamatan p e r k e m b q diferensial organ-organ ayarn setelah menetas, Hafez (1955) melaporkan bahwa ovariurn dan saluran telur adalah organ reproduksi yang berkernbang dengan pesat ke tiga setelah perkembangan organ-organ tubuh yang lain seperti kepala, jantung, hati, sistem pernbuluh darah dan alat pencernaan (perkembangan pesat pertama), kaki, paru-paru, sayap, bulu dan ginjal (perkebaagan pesat ke dua). Sama seperti telur hewan mamalia lain, kuning telur unggas dibenhlk di
ovarim sedangkan bagian-bagian telur yaog lain seperti albumen, selaput kerabang
dan kerabang telur terbentuk datam oviduk (Sturkie dan Mueller, 1976). Warna h i n g telur adalah putih kekuningan dan kepekatan m a kuning telur tersebut erat kaitamya d e w ukuratmya Makin pekat wsmanya makin tua umurnya Diameter kuning telur sebelum ovulasi bisa mencapai 40 mm ~ e t a kovarium addah di bawah tulmg punggun&ujung dari ginjal bagian kiri dan menggantung pada bagian dored -p melalui penggantuqg yang disebut mesovarium dalam rangga p e w U
h ovarim
erat kaitannya dengan perkembangan tubuh unggas dan perkembangan ovariurn tersebut
sangst cepat saat alcan bertelur (urnur enam bulan) seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Berat Ovarium pada Berbagai Umur Ayam Betina Umur dan kondisi ayam (White Leghorn bcrjengger tun&
Anak ayam b m u r satu hari Ayam dara b m u r 3 bulan Ayam dara bennnur empat bulan Ayam dara berumur lirna bulan Ayam dara setelah bertehu pertama kali Ayam bctina saat akan btrhcntibertelur Ayam betina yang meranggas pcnuh Ayam bctina mulai Melur sctdah mtranggas Ayam betina dalam masa bertelur Ayam betina sclesai masa bertehu Ayam betina sedang mengem
Berat ovarium (g)
I
Diambil dari Romanoff dan Romanoff (1963) Palmer dan Bahr (1992) melaporkan bahwa penyuntikan FSH pada ayam h a meningkatkan estradiol plasma secara linier yang disertai dengan penirgkabn kuning telur.
Peningkatan kuning telur tersebut disimpulkan sebagai
reaksi Impmg
pemberian FSH. TeIur itik relatif cukup besar jika dibandingkan dengan berat badarmya Berat telur, kandungan protein dan km~dunganlemak telur itik lebih tinggi dibandingkan telur
ayam (Farrell, 1995). Secara urrmm oviduk unggas dibagi menjadi 5 bagian yaitu infindibulurn,
magnum, isthmus, uterus d m vagina. Setiap bagian mempunyai cir-ciri morfologi
dan fhgsi y m g khusus dan selama masa siklus reproduksi oviduk mengalami perkembangan yang sangat nyata dan proses fisiologis tersebut berkaitan l t m p q dengan peranan honnon yaug dihasilkan oleh gonad Perkembangan ini sangat nampak pada ayam betina mulai umur 16 minggu dengan peningkatan berat oviduk basah
smpai sepuluh kali lipat pada umur 20 minggu ( dari 2.77 menjadi 19.2 g), eedanglcan peningkatan berat badan berkisar diantara 1.3 dan 1.4 kali. Peningkatan berat oviduk
tersebut masih terjdi sampai apm berumur 56 minggu dan kemudian mengalami penciutan meskipun pada saat tersebut masih terjadi peningkatan berat badan.
-
Penciutan oviduk ayam nampak jelas setelah ayam betina berumur 60 62 minggu. Nampaknya perkembangan oviduk erat kaitannya dengan estrogen, progesteron dan produksi telur (Yu dan Marquardt, 1974). Dilaporkan juga bahwa uterus adalah bagian oviduk yang jumlah selnya paling banyak (2 x 1 0 ~ /pada ~ ) masa pertumbuhan, sedan&
magnum dan vagina hampir sama (1 x 1 0 ~ / ~ )Saat . bertelur, jmlah sel
magnum (16 x 10') melebihi dari jumlah sel utkrus (10 x isthmus dm vagina (2.2 x lo9/&.
yang diikuti oleh
Jumlah sel oviduk pada ayam umur 3 sampai 20
minggu menlngkat secara drastis dengan kisaran dari 0.05 sampai 14 ~ l @sedangkan / ~
-
-
padamasa berproduksi (umur 22 17 mingp) adalah 25 28 x lo9/& dan pada masa regresi (umur 57
-
68 minggu) adalah 25 sampai 4 x 109/g. Jumiah sel oviduk
meningkat dengan drastis pada masa perkembangan dan mecapai puncak saat berproduksi (32 x
dan menurun saat ayam rnemasuki masa kering.
Kelenjar tiroid terdapat pada semua hewan vertebrata, namun kelenjar tersebut bervariasi dalam besar dan posiei anatomisnya Kelenjar tiroid berfimgsi mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan horrnon yang berhubungan dengan pengatwan laju metabolimne.
.
Kelenjar tiroid adalah organ yang labil di dalam tub& dan dcummya beduktuasi tergantung pada umur, stahrs reproddcsi, pakan dan lingkuqp pemeliharaan
Temak muda mempunyai kelenjar
dibandingkan ternak dewasa
tiroid yang lebih kecil
Kandungan jodium yang rendah pada pakan
menyebabkan kelenjar tiroid membesar. Itik jantan yang sedang gugur bulu mempunyai
kelenjar tiroid yang lebih be=
dibandingkan sesudah gugur bulu dengan kuatitas
spema yang lebih baik Itik y q dipelihara pada suhu lebih rendah (45" F) (7.22OC) mempunyai kelenjat- tiroid lebih berat dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu yang lebih tinggi (74
- 88°F)
(23.33
- 31.11°C) (Hofban dan Shaffuer, 1950;
Joiner dan Huston, 1957; Huston et al., 1962). Lebih jauh Hofhan dan S W e r (1950) menyebutkan bahwa ayam yang dipelihara pada musim panas mempunyai berat tiroid yang lebih rendah dibandingkan pada musim dingin Hal h i erat hubungamya dengan peningkatan metabolisme terutama efek~kalorigenik (peningkatan produksi panas) untuk mempertahankan suhu tubuh. Disimpulkan juga bahwa pada ayam yang
dipelihara pada suhu lingkungan yang nyarnan, aktivitas tiroid berkorelasi positif dengan ukuran kelenjar tiroid Beberapa jenis honnon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid antam lain tiroksin ('I'd), 33.3'-triidotironin (T3)dan senyawa-senyawa lain yang aktXyaag daQat diproduksi dari zat tadi di dalam tub& Diperkirakan 60% jodium yang ada dalam tiroglobulin adalah dalam bentuk tetraiodotironin dan 30% dalam bentuk triidotironin namun aktivitas 3.5.3'-triidotironin (T3) adalah 7 kali aktivitas tiroksin (T4) dengan
waktu paruh biologis yang lebih pendek pada T3 dibandingkan dengm T4 pada hewan
-
mamalia (Tbmer dan Bagoara, 1988). Jumlah T4 pada baugsa bunmg adalab 10 15 @rnl dmj d a h n y a pada ayam dan itik dapat dilihat padaTabel2. Tabel 2. Konsentrasi T4 pada Ayarn dan Itik
Anak ayam umur 2 minggu Anak ayam umur 4 lllinggu Ayam bctina umur 60 hari Ayarn bctina umur 10 mmggu Itik dcwasa Rasio T3 dam T4 pada it& dcwasa K c w a n: Data diambil dsri Aatier. 1980.
-
10 - 15
15.4 14.4 18.4
-
8.58 7.30 0.08
Konsentrasi triidotironin pada ayam sangat rendah atau rataan konsentrasi tersebut pada ayam betina dewasa adalah 1 ng/ml namm mequuyai arti penting respon fisiologis dalam stimulasi tiroid (Klandorf et d.,1978 yang dikutip oleh Falconer, 1984). Ayam yang menderita cekarnan akibat kandang yang terlalu sesak
akan menunjukkan penunman konsentrasi T3 plasma dan perubahan perilaku secara drastis namun perubahan tersebut akan normal kembali setelah dua minggu perlakuan (Falconer, 1984). Laju sekresi tiroksin efat kaitannya dengan kecepatan pertrtmbuhan Kecepatan laju sekresi tiroksin digunakan untuk menduga potensi genetik (hybrid vigor) pada ayam. Perturnbuhan anak itik y m g relatif lebih cepat mempunyai laju
sekresi tiroksin 3 kali lebih banyak (3.8 gamma) dibandingkan dengan apm (1.98 gamma per 100 g berat badan) (HoBbinann, 1950).
Estrogen adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh ovariurn clan adrenal ayam betina Ovarium menghasilkan estrogen dalam jurnlah yang baayak sedangkan kelenjar adrenal menghasilkan hormon tersebut dalam jumlah yang sangat sedikit
namun memegang peranan penting dalam perkembangan embrio. Jaringan selitan (interstitial) dan oel p m l o s a ovarium merupakan bagim yaag bectatwmg jawab atas diatribusi hormon steroid teraebut (Wells dan Gilbert, 1984).
Pada dasarnya fimg$i dan morfologi ovariurn pada w a s hampir sama dengan pada rnamalia namm terdapat perbedam model reproduksi pada kedua jenis hewan tersebut,
Unggaa tidak mengenal adanya siklus estrus, dan aktivitas reproduksi
ovarium akm berlangsung selama musim kawin yang berkenaan dengan lamaaya produksi telur. Pendewasam folikel unggas yang didahului oleh rangsangan honnon atimulasi folikel (FSH) yang tejadi secara berurutan setiap hari, &an pada saat ini
produksi estrogen oleh folikel meningkat yang kemudian akan merangsang pituitari anterior untuk mengeluarkan hormon IB yang selanjutnya akan memypang folikel berovulasi (Wells dan Gilbert, 1984). Tiga jenis honnon estrogen alamiah yang terdapat dalam jumlah bermda~a idah (3-estradiol, estron dan estriol. P-estradiol dan estron terdapat dalam jumlah besar dalam darah vena yang berasal dari ovarium, sedaflgkan estriol menrpdcan hasil oksidasi yang berasal dari kedua hormon pertama Potensi estrogenik P-esb-adiol adalah 12 kali potensi estron dm 80 kali e k i o l sehingga 9-estradiol dianggap merupakan estrogen utarna (Ndbandov, 1990). Diperkirakan kecepatan produksi
P-
estradiol adalah 23.3 pmol mii1 pada ayam betina yang sedang bertelw. Rasio antara 9-estradiol dan estron adalah 3.8 dan 1.6 sehingga total konsentrasi P-estradiol d m estron dalam plasma berturut-turut adalah 2.12 dan 1.26 mnol litter-' pada saat 2
sampai 4 jam sebelurn oviposisi. Untuk lebih jelasnya maka konsentrasi 9-estradiol dan estron pada ayam dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konsentrasi (3-Estradiol dm Estron Serum pada Ay~lm* Umur 22 sampai 6 jam sebchxn ovulasi 6 sampai 2 jam scbehrm oMllasi 2 sampai 6 jam setelah ovulasi Ayam bemur 7 rninggu scbchxn b a t c h Ayam benxnur 2 sampai 3 minggu s e b e b bertelur Ayam sedang bcrproduksi tclur Ketetangan
- * = Senior (1 974)
$-EMradiol (p@)
-
n - 29
117 94 355
47
144 66 180
.
Estron @@I) 88
138
Tingginya kandungan P-estradiol dan estron 2 srrmpai 3 minggu sebelum bertelur kemungkinan berhubungan dengan kecepatan pembentukan dan perhmbuhan kuning telur, sintesis Ca, dan protein.
Pengamatan pada tiga folikel yang terbesar pada saat 6 jam sebelum ovulasi menunjukkan peningkatan
sintesis estrogen oleh fol ikel terkecil dan
sintesis
progesteron oleh folikel terbesar, namun ketiga folikel tersebut mernperlihafkan kenaikan sintesis testosteron ayam sedang berproduksi. Konsentrasi ketiga hormon steroid tersebut mencapai puncak pada saat 6 jam sebelum ovulasi berikutnya (Shahabi et al., 1975 yang dikutip oleh Nalbandov, 1990).
Fungsi Estrogen Bersama dengan 2 hormon lainnya @rogesteron dan androgen) estrogen merangsang perkembangan anatomis dan kelenjar-kelenjar oviduk
Estrogen
menyebabkan perfumbuhan magnum, uterus dan elemen-elemen kelenjarnya menjadi sangat cepat pada ayam betina yang meningkat dewasa (Yu dan Marqumdt, 1974). Estrogen merangsang pembentukan grarmla albumen serta pelepasan graauta ini ke dalam lumen (Whitehead et d., 1993), dan dapat meningkatkan konsentrasi trigliserida
dalam plasma (Griminger, 1976). Fungsi lain estrogen ialah meningkatkan mobilisasi kalsium dari tulang yang mengakibatkan hiperkalsemia yang merupakan ciri khas ayam yang sedang bertelur.
Berkenaan dengan hal tersebut Forte et d. (1983)
menyimpulkan bahwa estrogen memegang peranan penting dalam homeosbis mineral
pada bangsa bunmg dan p-u
pembentukan medullary bone yang menrpakan
gudang penyimpanan kalsium uutuk kerabaq telur. Estrogen juga mengatur reseptor
sistem PTHdependen denylate cyclase dalam penyerapan kembali Ca di ginjal (Elaroussi et al., 1993) dan meningkatkan p6&anyakm
sel osteogenic dalam
pembentukan tulang (Miyosi dan Kusuhara, 1993). Ayarn betina tua yang disuntik dengan FSH 12.5, 50, 200, atau 500 pg menunjukkan peningkatan plasma esbradiol179 secara linier dan disimpulkan bahwa tejadinya peningkatan penimbunan kuning
telur pada folikel mungkin merupakan reaksi langsung pemberian FSH atau tejadi akibat peningkatan hormon estradiol sebagai respon tehadap penyuntikan FSH. Disimpulkan juga bahwa penunman produksi telur
ayam tua disebabkan oleh
penunman produksi FSH (Palmer dan Bahr, 1992). Lebih jauh Nakada et al. (1994a) menyebutkan bahwa dengan tidak adanya hormon pituitari (hypophysectomjzed) maka estrogen dapat mempaiahankan penimbunan kuning telur sejauh masih ada tiga folikel terbesar. Penambahan lemak pada pakan ayam y'ang sedaag bertelur ada kaitannya dengan metabolisme estrogen. Whitehead et al. (1993) menyirnpulkan bahwa estrogen memegang peranan penting dalam pembesaran telur yaitu besarnya telur berkorelasi positif (r
=
0.08) dengan konsentrasi estradiol dm pemberian lemak mempunyai
hubungan dengan metabolisme estrogen Dari uraian di atas dapat disimpulkan bafrwa estrogen bersama dengan dua hormon yang lain (progesteron dan androgen) memegang peranan penting dalam perkembangan anatomis dan kelenjar-kelenjar oviduk terutama magnum dan uterus pada ayam betina yang meningkat dewasa Peranan yang lain addah sebagai homeostasis mineral dalam pembentukan tulrrng terutama tulang medulari. Beearnya telur berkorelasi positif dengan konsentrasi estrogen. Pemnunan produksi telur ayam betina tua akibat dari pemaunan sekresi FSH yang erat kaitannya dengm konsentrasi estrogen dalam plasma Progatem. Pada unggas progesteron dihasilkan oleh ovarium tenffama folikel terbesar
sedangkan pada mamalia progesteron dihasilkan oleh korpw luteurn. Diperlcirakaa bahwa sintesis honnon tersebut tidak konstan tetapi mengalami fluktuasi secara teratur
yang mengakibatkan pelepasan gonadotropin secara siklik (Wells dan Gilbert, 1984;
Nalbandov, 1990). Produksi progesteron terjadi setelah adanya rangsangan LH pada sel granulosa folikel yang telah membesar, dan pada ayam produlrei hormon tersebut tej d i pada saat folikel berukuran 5 mm. Sel granulosa meningkat sampai 5 kdi lipat pada folikel yang berdiameter 35 rnm yaitu dari 3
-4x
lo6 menjadi 18 x lo8.
Rangsangan LH pada sel granulosa dalam pembatukan progesteron tergmtung pada kehadim konsentrasi progesteron, glukosa dan protein dalam metabolimne protein atau sintesis protein mutlak diperlukan dalam rangsangan tersebut (Wells dan Gilbert,
1984). Penambahan LH pada kuning telur (yolk) menunjukkan seltresi progesteron setelah diinkubasi selama 3 jam pada suhu 3g°C, namun apabila h m o n tersebut dimtikkan pada lapisan teka akan menunjuldcan peningkatan yang lebih besar (Mori
dan Sudo, 1993). Konsentrasi Progesteron Senun
Sekresi LH meningkat saat hari mulai gelap, dan pada saat ini juga terjadi peningkatan sekt-esi progesteron. Peningkatan s e h s i LH yang paling drastis akan
-
-
tejadi 4 11jam kemudian, yang &an mencapai puncak 6 8 jam sebelum ovulasi. Peningkatan honnon ini akan diikuti oleh peningkatan konsenkasi estrogen, estradiol 17P dan testosteron (Tanabe dtm
N -
progesteron,
1980; Wells dm
Gilbert, 1984). Furr et al. (1973) mengatakan bshwa konsentrasi progesteron 27
-
sampai 12jam sebelum ovulasi relatif konstan (2.6 2.75 ng/ml). Peningkatan mulai tejadi
-
11 8 jam sebelum ovulasi (4.39
Wml) clan mencapai puncak 7 - 4 jam
-
sebelum ovulasi (6.47 ng/ml), dan akan menurun kembali 3 0 jam sebelum ovulasi (4.60 ndml). Pengamatan pada itik Khaki Campbell yang diberi penyinaran selama 14 jam dan gelap selama 10jam menunjukkan bahwa terjadi peningkatan LH,progesteron dan estradiol segera setelah mulai gelap clan akan mencapai puncak 3 jam sebelum
ovulasi atau ovulasi terjadi 10 - 20 menit setelah oviposisi, sedangkm pada ayarn terlihat peningkatan plasma LH dan progesteron plasma 5 - 7 jam setelah mulai gelap
-
dan akan mencapai puncak 4 5 jam sebelum ovulasi. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa itik akan bertelur menjelang pagi hari sedangkan ayam bertelur pada pagi rdau siang hari. Peningkatan konsentrasi progesteron itik yang relatif rendah terjadi pada sard 16 - 8 jam sebelum o d a s i (2.3 - 2.6 pdml) dan peningkatan yang sangat keras tejadi
-
pada saat 8 - 4 (3) jam sebelum ovulasi (2.6 ,9.5 pglml) sehingga ovulasi terjadi sekitar pukulO4.00 sampai 05.00 pagi hari. Setelah mencapai puncak (sekitar pukul 2.00 pagi) konsentrasi progesteron akan menurun secara drastis dari 9.5 sarnpai 2.2 pg/ml sekitar pukul05.00 pagi dan selanjutnya konsentrasi homon tersebut mendatar sarnpai hari mulai gelap seperti terlihat pada Gambar 1 (Tanabe dan N h u r a , 1980).
Terang 19.00
05.00
*
GC~P 19.00
05.00
Terang 19.00 t
t
Gambar 1. Diagram Perubahan Pituitari (-.-.-.),LEI 0, Progesteron (----), dm Estradiol( .......) Selama Siklus Ovulasi Itik, Ayam, dan Puyuh (Tanabe clan Nakamura, 1980). 'Wsidu Ovulasi
Hubungan antara suhu lingkungan dengan tiroksin, progesteron, estradiol dan testosteron ayam bertelur tellah banyak dilaporkan. de Andrade et d. (1977) menemukan penunman tiroksin, produksi, berat jenis clan ketebalan kulit telur ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan 31°C selama 12 minggu. Peningkatan estradiol
-
-
(370 402 pglml) dan progesteron (3.11 3.92 d m l ) terlihat pada peningkatan suhu lingkungan dari 21°C menjadi 31°C tanpa mempengamhi konsentrasi testosteron. Peningkatan kandunganprotein (25%) dan energi (10%) pakan meningkatkm estradiol
-
-
(386 482 pg/mi) d9n progesteron (2.73 4.34 nglml) (Erb et al., 1978).
Yoshimura et al. (1993) menyimpulkan bahwa progesteron merupakan salah sahr bormon yamg memegmg peranan penting dalam pengaturan fungsi selder pada perkembangan folikel. Inkubasi sel kelenjar pituitari pada ayam yang tidak bertelur dengan estrogen-17P dapat meningkatkan pengikatan progesteron dengan reseptor sitosol
sel pituitari oleh rangsangan estrogen melalui jalan sintesis protein
(Kawasima et al., 1992a). Produksi LEI oleh pituitari yang
dihkubasi dengan
estrogen dirangsang oleh progesteron melalui jalan sintesis protein (Kawasima et al, 1992b). Nakada et al. (1994b) mempelajari pengasuh pemberian progesteron pada ovulasi pada gram yang dihi1aqg)can hipofisenya Hasil percobaan itu menyimpulkan bahws ovulasi d i i a n g oleh
progesteron (Ps) tanpa
kehadiran hormon
gonadotrofin, dan progesteron itu sendiri bekerja Iangsung pada ovarim yang menyebabkan robelmya folikel. Dari tulisan tersebut di afas dapat disimpulkan bahwa progesteron unggas dihasilkan oleh sel granulosa folikel yang tua
l?ungsi horrnon tersebut selain
menyebabkan pedcembangan anatomi dm kelenjar oviduk, mengatur fimgsi seluler
dalam perkembangan folikel, bersama dengan LH dapat menyebabkan terjadinya ovulasi. Sintesis progesteron berfluktuasi mengikuti sintesis LH dan peningkatan tersebut terjadi saat rnulai gelap dan akan mencapai puncak 3 jam sebelum ovulasi
- 20 menit setelah oviposisi
atau 10
s e h i i a itik bertelur menjelang pagi hari.
Peningkatan suhu lingkungan justru meningkatkan progesteron ayam yang sedang bertelur. Kortikosteron f
Kortikosteron adalah salah satu hormon steroid yang bersifat glukokortikoid
yang dihasilkan oleh zonaficiculate korteks adrenal. H o m n lain yang dibasilkan oleh zona tersebut adalah kortisol, kortison dan 11-dehidroksikortikosteron (Djojosoebagio, 1990). Kortisol addah hormon steroid adrenal yang mempunyai efek glukokortikoid paling kuat pada hewan mamalia (Shahib, 1989), aedangkan kortikosteron adalah hormon steroid yang bersifat glukokortikoid yaog paling banyak pada plasma bangsa bunmg (Ringer, 1976). Rataan konsentrasi kortikosteron serum jaringan perifer itik 5.1 f 0.5 &lo0
ml
sedangkan aldosteron 0.014 &lo0
ml plasma
Kaudungan kortikosteron
bervariasi dalam satu hari yaitu konsentrasi akan mulai menin&at pada saat l q u dimatikan atau sesaat mulainya gelap pada bunmg dara ( meningkat 3 Mi), bmmg puyuh Jepaag dan itik Peningkatan konsentrasi honnon teraebut tidek akan terjadi bila ternak diterangi selarna 24 jam. Itik Khaki Campbell yang diterangi 16jam dan gel* 8 jam perhari menunjukkau peningkatan konsentrasi kortikosteron sejak dimulainya gelap dan akan mencapai konsentrasi maksimal (19 nmoVI) sesaat mulai terang. Kisarrrn konsentrasi kortikosteron pada itik adalah 13 sarnpai 15 nmoY1. Rataan konsentrasi kortikosteron itik pada urnur 11 minggu lebih rendah dibmdinglcen pada
umur 15 minggu, sedangkan rataan konsentrasi kortikosteron pada umur 15, 19, clan 22 minggu hampir sama kemudian menurun lagi pada umur 25 minggu (Wilson et al., 1982). Sekresi kortikosteron itik 2.43 Ctg/min/kg berat badan dengan waktu paruh biologinya 11 menit, dan 32 menit pada ayam jantan yang dikastrasi. Konsentrasi kortikosteron pada ayam yang dibatasi pakamya akan lebih ti&
dibandingkan pada
ayanl yang diberi pakan sebanyak-banyaknya Konsentrasi hormon tersebut meningkat saat
pakan dihilangkan dan konsentrasi akan menurun saat pakan disajikan kembali I
(Mench, 1991).
Ternak yang mengalami cekaman seperti kedinginan, tidak diberi minum, sedang dioperasi, transportasi yang kurang nyaman, atau pemberian obat-obatan tertentu akan menmgkatkan konsentrasi kortikosteron plasma Itik yang hipofisa anteriornya dihilangkan dan kemudian mengalami cekaman dingin yang kuat tidak akan mengalami perubahan konsentrasi kortikosteron plasma, tetapi sebaliknya terjadi pada itik yang
hipofisenya masih utuh.
Hal ini menunjuldtan bahwa cekaman akan
merangsang sekresi ACTH dari hipofise anterior dan selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal untuk mengeluarkan kortikosteron (Sturkie dan Griminger, 1976). Kandungan kortikosteron pada plasma itik adalah 5.1 f 0.5 p g l l O O ml sedangkan aldosteron adalah 0.014 w 1 0 0 ml plasma
.
Salah satu h g s i kortikosteron yang penting untuk tern& itik adalah dalam metabolisme elektrolit yaitu pengeluaran garam melalui kelenjar nasal. Fungsi kortikosteron yang lain yaitu metabolisme korbohidrat melalui glukoneogenesis, dan metabolisme lemak yang menyebabkan peningkatan lemak pada hati, organ pencernaan clan karkas ayam. Selain itu kortison mempunyai hubungan dengan antibodi, yaitu
menekan limfoid sel dalam pembentukan limfosit (Stoerk, 1955).
Pengaruh Cekaman pada Gambaran Hematologi Darah
Leukosit adalah sel darah yang amat penting dalm mempertahankan tubuh terhadap serangan penyakit Jumlah leukosit berubah-ubah tergantung pada beberapa keadaan seperti stres, a d q a penyakit, pemberian obat-obatan atau penyuntikan dengan estrogen. Bagian leukosit yang paling aktif memfagositosis benda asing yang masuk ke dalam darah adalah limfosit, dan dalam kondisi seperti itu sel darah yang paling banyak mengalami perubahan adalah heterofil. Dalam ulasan mengenai hubungan antara kortison dan jaringan lidoid dalam kaitannya dengan kekebalan, Stoerk (1955) dan Genuth (1988) menyebutkan bahwa peningkatan kortisol akan
menghambat pembentukan interleukin-1 di ddam
macrophage dan interleukin-2 di dalarn T-sel sehingga terjadi
penunman
pembentukan limfosit di dalam jaringan limfoid serta kekebalan pada ternak yang mengalami cekaman.
Selanjutnya Wolford dan Ringer (1962) melihat adanya
peningkatan kortikosteron dan perubahan imbangan heterofil limfosit pada ayam yang disuntik dengan ACTH atau dipelihara dengan suhu lingktmgan 70
- 80°F (2 1.11 -
26.67"C). Disimpulkan bahwa karena sangat sensitdbya perubahan proporsi heterofil dan limfosit dalam darah berkaitan
dengan
peningkatan kortikosteron maka
perubahan proporsi heterofil dan lidosit sangat baik digunakan sebagai parameter
untuk pendugaan *at
cekaman pada ayam (Oross dan Siegel, 1983).
Aym yang diberi pakan dengan hdungan riboflavin yang tidak mencukupi
&an meningkatkan proporsi heterofil dan memPlmkan lidosit darah, dan keadaan yang samajuga terjadi dengan pakan yang kekurahgan vitamin B1. Penyuntikan ACTH dan kortisol a h bahan lain yang dapat menyebabkan cekaman akan meningkatkan
jurnlah heterofil dan menunmkan limfosit (Siegel, 1968). Ayam yang diberi pakan secara terbatas
akan menunjukkan penmgkatan heterofil dan peningkatan rasio
heterofil limfosit (Maxwell et d.,1990; Maxwell et al., 1992; Hocking et al.,
1993). Proporsi dan imbangan heterofil lidosit itik dan ayam dapat dilihat pada
Tabel 4. Tabel 4. Proporsi dan Nisbah Heterofil Lidosit pada Itik dan Ayam JCNSdan umur unggas Itik lokal India jmtan Itik lokal India bctina Itik Pckin jzmtan Itik Pckin bctina Itik Anak ayam baru rnmctas An& ayam umur 8 hari An& ayam yang diberi pakan sccara tabatas ( m4-6~hmi Anak ayam yang Qbcri paltan sccara tcrbatas (u- 24-26 hati]
Hctcro6l
Limfosit
( '
(Yo)
Nisbah hcterofil limfosit
f
0.81
--
Keterangan: Data pada itik diambil dsri Hagath dm Higgins yang dikutip oleh Sturkie dan G r h h g e r (1 976) Date pada ayam diarnbil deri Zulkifli et al. (1 994)
Pada Tabel 4 tampak bahwa nisbah heterofil lidosit pada itik adalah c&up beragam, dan nisbah heterofil lidosit itik jantan lebih tinggi dibandi-
itik betina
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penmglcatan kortikosteron dan irnbangan heterofil limfosit adalah indikator yang baik untuk menenCukao apakah unggas mendapatkan cekamau
Lipida adalah kumpulan zat-zat pakan yang lmut dalam eter, Moroform dan bensen dan umumqa disebut d e w lemak. Lemsk dalam bentuk trigliserida disebut lemak netrai yang rnerupakan cadangan energi untuk tern*
Secara kimiawi
trigliserida adalah ester asam lemak dan gliserol dan disintesis secara aktif di d a m jaringan sel hewan dan tumbuhan tinggi terutama di dalam sel lemak dan sel hati
Lemak tubuh adalah bagian terbesar penyumm tubuh dan variasi komposisinya tidak saja d i p e m oleh perbedaan jenis hewan, sex dan umur tetapi juga oleh tingkat nutrisi pakan. Lemak tubuh berasal dari lemak pakan dan lemak yang dibentuk dari Asetil KO-Ahasil metabolisme dari glukosa clan asam-asam amino tertentu. Di dalam saluran pencernaan lemak akan dihidrolisis menjadi digliserih monogliserida, gliserol dan asarn-asarn lemak Brindley (1984) menyebutkan bahwa sebagian besar lemak yang diserrp, d a l m salurrm pencernaan (bentuk miceZZes) ditransport dari usus halus ddam bentuk kilomikron yaitu merupakan partikel kecil
-
berdiameter di antara 50 450 mn d
-
-
m komposisi 85 95% trigeliserida, 4 9%
-
fodolipida, 0.2 0.7% kolesterol dan 0.6% protein Komposisi kilomikron tersebut berubah setelah memasuki peredaran darah Selain kilomikron usus juga mentransport lemak yang
disebut dengan
lipoprotein berdensitas sangat rendah (VLDL) dalam jumlah p g sangat rendah dengan kan-
trigliserida kurang lebih 60%. Mayes (1992) menyebutkm bahwa
senyawa lipid nonpolar (triasilgliserol dan ester kolesterol) dan lipid ampifittik (fosfolipid dan kolesterol) yang diserap dari saluran penceranaan akan bercampur d e w protein untuk membeohdr lipoprotein yang bisa b e r c q u r dengan air disebut dengan kilornikron. Sedaagkan lipoprotein y m g berasal dari hati sebagai VLDL sebagian besar akan diangtnrt ke jaringan tubuh untuk dioksidasi dm ke jaringan adiposa untuk disimpaa Ekstraksi senyawa lipid plasma dengan peland lipid yaag
sesuai menunjukkan adanya triasilgliserol, fodolipid, kolesterol dan ester kolesterol. Di samping ke empat kelompok lipid tersebut terdapat juga adanya fi-aksi asam lemak
fe>
rantai panjang tak teresterifikasi ( a s m lemak bebas) dalmjumlah yang sangat sedikit
(f5% total asam lernak yang ada dalam darah).
Kandungan triasilgliserol, total fosfolipid, total kolesterol, kolesterol bebas
(tak teresterifikasi), asam lemak bebas (FFA) serum darah manusia berturut-turut adalah 0.9-2.0 (1.6), 1.8-5.8 (3.1), 2.8-8.3 (5.2), 0.7-2.7 (1.4), dan 0.2-0.6 (0.4) mmoVL atau dari total asam lemak berturut-turut adalah 45, 35, 15 dan 5%. Karena densitas lemak murni lebih rendah dibandingkaa dengan air sehingga makin tinggi kandungan lemak dalam lipoprotein makin rendah densitasnya Kilomikron dengan kandungan total lipid 98 4.96;
-
99% dan trigliserida 88% dari total lipid berdensitas
VLDL dengan kandungan total lipid 90
-
93% dan trigliserida 56%
- 89% dan trigliserida 13 - 29% berdensitas 1.006 - 1.063; HDL dengan total lipid 43 - 67% dan trigliserida 13 - 16% berdensitas d.006; LDL dengan total lipid 79
-
berdensitas 1.063 1.2 1. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa triasilgliserol (trigliserida) adalah unsur lipid yang dominan dalam kilomikron dan VLDL, sedaagkan kolesterol dan fodolipid masing-masing dominan dalarn LDL dau HDL. Lemak tubuh, di samping mtuk cadangan energi, penting sekali dalam pembentukan kuning telur. Telur dengan berat 60 g mengindung kurang lebih 6 g lernak dan hampir keseluruhaa lemak tersebut terdapat pada kuning telur. Dari total lipid yaug dominam adalah triasilgliserol (63.1%) kemudian disurml oleh fodolipid (29.7%), kolestrol bebas (4.9%), kolestrol yang teresterifikasi (1.3%) dan asam lemak bebas (0.Wo) (bskauich clan Noble, 1997). J d a h lemak di daiam telur kurang lebih dua kali lemak yang diserap pada saluran pencernaan ayarn yang sedmg bertelur. Untuk memenuhi kebutuhan lemak untuk sintesis telur, lemak diperobeh dari sintesis lemak dari bahan yang bukan lemak seperti karbohidrat dm protein Sintesis lemak
berlangsung di dalam hati yang kemudian diangku! oleh darah untuk
pembentukan kuning telur. Proses sintesis lemak ini dirangsang oleh eetrogen yang banyak tehentuk di ovum (Gilbert, 1971; Wrninger, 1976; Griffin dan Hermeir,
1989). Dengan demikian, kadar lemak tubuh warn yang sedang bertelur lebih tinggi dibandingkan ayam yang tidak bertelur (Bornstein dan Lev, 1982; Brody et al., 1984; Griffin dan Henneir, 1989). Pada itik Tegal, diperoleh bahwa tingkat pembatasan pakan m e n d a n M a r lipida darah. Peningkatan kadar lipida darah dengan cepat terlihat pada saat itik mulai berumur 16 minggu. Peningkatan tersebut tidak nampak pada itik yang diberi pakan 600/adari pakan sepenuhnya (Tamsil, 1995).
DNA dan W A DNA (deoxyribonucleic acid) addah unit hgsional gen yang bekerja untuk mengatur aktivitas mahluk hidup. Gen terletak pada lrromosom yang betpasangan dan jumlah gen adalah ribuan pada tiap kt-omosom. Satu atau beberapa gen bekerja mengatur perhrmbuhan dan pemeliharaan jraringan tubuh serta aktivitasnya Kromosom terdapat dalam inti sel dan kromosom terutama terdiri atas protein dan maul nukleat
yang tersurmn secara bersambung-sambung dengan bahan dasar yang disebut nukleotida Satu nukleotida terdiri atas gula yang terikat dengan gugus fo& dan salah satu dari empat rnacam basa organik seperti adenin (A), timin (T), citosin (C) dan
guanin (G). Salah satu fimgsi DNA d a h untuk sintesis protein dari asam amino. Untuk melaksanakan fimgsi tersebut DNA dibantu oleh RNA yang fhkhmya hrimpir sarna kecuali gula RNA terdiri atas ribosa sehingga disebut dengan ribose nucleic acid dan basa timin diganti dengan basa urasil. Sesuai d e w hgsinya, RNA terdiri atas tiga jenis yaitu (1) RNA messenger yang terbentuk dalam proses tnmdcripsi yaitu pemisahan untaian molekul DNA dan salah satu kopi untaian tersebut menjadi RNA
messenger (RNAm) yang mempunyai h g s i pembawa pesan untuk struktur protein yang akan dibentuk (2) RNA M e r (RNAt) yaitu RNA yang dibuat d e w cara
yang sama dengan RNAm di dalam inti yang kemudian masuk ke dalam sitoplamna Fhgsi RNAt adalah untuk meminddhm asam amino d m menyambuugnya ~esuai dengan urutan asam amino protein yang akm disintesis. (3) RNA ribosom (RNAr) yang terdiri atas RNA dan protein yang berfungsi untuk membentuk protein di ribosom
dari asam amino yang dibawa oleh RNAt dalam sitoplamna (Manr, 1991). Jumlah DNA dalam sel bervariasi sesuai dengan jenis ternak dm organ dari ternak tersebut. Hati sapi mengandung DNA lebih banyak dibandi&
mggas (setiap
sel mengandung 6.4 dan 2.6 pg), sedangkan eritrosit unggis sama dengan hati narnun t
lebih banyak dibandingkan ginjal yaitu
berturut-turut 2.6, 2.6, dinr 2.4 pg/sel
(Vendrely, 1955). Pengamatan pada ayam daging yang dipelihara pada suhu lingkunpn 35OC selama 5 jam memmjuldcan peningkatan Hsp70 (heat shockprotein) dan Hsp7O mRNA dengan puncaknya t i pjam setelah peningkatan suhu lingkungan Lebih jauh disebutkan bahwa Hsp adalah protein yang sangat penting tmtuk mentolerir suhu lir&ungan yang panas d m kekebalan (Gabriel et al., 1995).