Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
USAHA PENETASAN ITIK ALABIO SISTEM SEKAM YANG DIMODIFIKASI DI SENTRA PEMBIBITAN KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA (The Alabio Duck Hatchery Farm with Unhulled Paddy Modification System at Breeding Centre in Hulu Sungai Utara Regency) ENI SITI ROHAENI, AHMAD SUBHAN dan A. R. SETIOKO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jl. Panglima Batur Barat No.4 Banjarbaru
ABSTRACT Hatchery is a type of Alabio duck business conducted by breeders in Hulu Sungai Utara (HSU) Regency. The aim of this paper is to study the profile and feasibility of hatchery farms at centers in Sungai hulu Utara Regency. The activities were conducted by surveying the Alabio duckling breeders through interviews at Mamar Village of South Amuntai Sub district, HSU regency. From the survey result, it was found out that hatching done by the majority was man-made ones by using modified unhulled paddy system or combined with mechanical hatchers. The eggs hatched came from their own and also from other villages producing hatching eggs. The hatching scale run by breeders ranged from 1,000 to 10,000 per household per week with an average of 2,500 eggs. The fertility ranged from 50 to 70 % with an average of 66.12%. The ducklings produced were sold at the age of 1 to 10 days with varied prices depending on the quality, age, and sex. Most of the duckling marketing was conducted at Alabio market held every Wednesday or collected by pedagang pengumpul at hutching locations. The hatching farming conducted by breeders produced an income of Rp. 632,500/week with the R/C value equal to 1.22. This result indicated that duckling hatching is profitable and worth conducting. Key Words: Alabio Duck, Hathery, Unhulled Paddy ABSTRAK Penetasan merupakan salah satu jenis cabang usaha itik Alabio yang dilakukan oleh peternak di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Tujuan dari makalah ini adalah untuk melihat profil dan kelayakan usaha penetasan di sentra pembibitan Kabupaten HSU. Kegiatan ini dilakukan dengan cara survei melalui teknik wawancara yang dilakukan pada peternak penghasil anak itik Alabio di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten HSU. Hasil survey diketahui bahwa penetasan yang dilakukan sebagian besar secara buatan dengan sistem sekam yang dimodifikasi atau dikombinasi dengan mesin penetas. Telur yang ditetaskan selain berasal dari itik yang dipelihara sendiri, juga didatangkan dari desa lain yang mengusahakan itik penghasil telur tetas. Skala penetasan yang diusahakan peternak berkisar antara 1.000 sampai 10.000 butir per Kepala Keluarga (KK) per minggu dengan rataan 2.500 butir. Daya tunas yang dihasilkan berkisar antara 70-99% dengan rataan 95%, daya tetas yang diperoleh berkisar antara 50-70% dengan rataan 66,12%. Anak itik yang dihasilkan dijual pada umur antara 1-10 hari dengan harga bervariasi tergantung kualitas, umur dan jenis seks. Pemasaran anak itik dilakukan sebagian besar di pasar Alabio setiap hari Rabu dan atau diambil oleh pedagang pengumpul ke lokasi penetasan. Usaha penetasan yang dilakukan peternak memberikan pendapatan sebesar Rp.632.500/minggu dengan nilai R/C sebesar 1,22. Hasil ini menunjukkan bahwa usaha penetasan itik menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Kata Kunci: Itik Alabio, Penetasan, Sistem Sekam
PENDAHULUAN Itik Alabio merupakan ternak unggas lokal yang berkembang di Kalimantan Selatan.
772
Ternak ini dikenal sebagai penghasil telur dan daging yang cukup potensial. Populasi ternak itik di Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sejumlah 2,7 juta ekor atau sekitar 39,31% ada
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Kontribusi telur dan daging yang dihasilkan dari ternak itik terhadap total produksi unggas di Kalimantan Selatan pada tahun 2003 masing-masing 53,79% dan 3,57% (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Usaha penetasan (hatchery) itik Alabio yang dilakukan secara komersial di Kalimantan Selatan tersentra di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang dihimpun di bawah naungan Koperasi Unit Desa (KUD) Sekawan (NAWHAN, 1991 dan ROHAENI et al., 1994). Teknik penetasan yang digunakan saat ini pada umumnya adalah secara buatan yaitu dengan menggunakan sistem sekam yang dimodifikasi dengan mesin penetas. Menurut LASMINI et al. (1992) untuk menunjang kelancaran program pengembangan ternak itik diperlukan ketersediaan bibit itik yang baik mutunya dan terjangkau daya beli masyarakat luas. Selanjutnya SETIOKO (1992) menuliskan bahwa hampir semua bangsa itik domestikasi yang dikenal sekarang, tidak lagi memiliki sifat mengeram. Hilangnya sifat mengeram ini disebabkan oleh proses domestikasi dan terjadinya mutasi-mutasi alamiah dari sfat-sifat mengeram. Oleh sebab itu untuk pengembangan itik perlu campur tangan manusia baik dengan bantuan unggas lain, mesin tetas maupun alat incubator lain. Menurut SETIADI et al. (1992) penetasan telur merupakan suatu proses biologis yang kompleks untuk menghasilkan generasi baru dalam usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup ternak unggas yang berkesinambungan. Metode penetasan telur merupakan salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh para peternak pembibit agar dapat mencapai hasil tetasan semaksimal mungkin baik kualitas maupun kuantitas. Pada dasarnya penetasan itik dapat dikelompokkqan menjadi 2, yaitu penetasan secara alamiah dan secara buatan. Penetasan telur itik secara alamiah ini umumnya dengan menggunakan entok atau ayam kampung (SETIOKO, 1992). Tujuan dari makalah ini adalah untuk melihat profil dan kelayakan usaha penetasan di sentra pembibitan Kabupaten HSU.
MATERI DAN METODE Kegiatan ini dilakukan dengan cara survey melalui teknik wawancara yang dilakukan pada peternak penghasil anak itik Alabio di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Desa ini merupakan pusat usaha penetasan itik Alabio dan para peternak yang melakukan usaha penetasan bernaung di bawah Koperasi Unit Desa Sekawan yang beranggotakan sebanyak 49 orang sebagai pengusaha penetasan itik. Wawancara dilakukan pada peternak yang mengusahakan penetasan secara sampling. Data dan informasi yang dikumpulkan berupa tatalaksana penetasan, karakteristik penetasan (daya tunas dan daya tetas), pemasaran, dan analisis input dan output. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Desember 2004. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik penetasan Penetasan itik Alabio sebelum tahun 1975 dilakukan oleh peternak secara alami dengan menggunakan entok atau ayam kampung. Kemudian pada tahun 1975, salah seorang tokoh masyarakat yang bernama Abdulrachman Alwi dari Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten HSU mempelajari cara penetasan dengan menggunakan gabah (sekam padi) yang berkembang di Bali tepatnya di Kecamatan Mengwi, Kediri dan Gianyar. Cara penetasan ini kemudian diadopsi dan disebarkan ke warga Desa Mamar dengan mendatangkan tenaga ahlinya dari Bali. Sejak tahun 1975 itulah metode penetasan dengan sekam padi mulai berkembang di sentra penghasil anak itik yaitu di Desa Mamar. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa sejak tahun 2000 an metode penetasan itik Alabio mulai dimodifikasi oleh peternak. Padahal sebelumnya seperti yang dilaporkan oleh ROHAENI et al. (1994), peternak yang melakukan usaha penetasan di Desa Mamar
773
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
100% menggunakan sekam padi. Metode penetasan yang dimodifikasi ini maksudnya adalah campuran antara mesin tetas dan cara sekam padi. Saat ini dari sejumlah peternak yang melakukan usaha penetasan ada yang masih menggunakan penetasan sekam padi yaitu sekitar 4,08%. Selebihnya 95,92% menggunakan cara penetasan modifikasi antara mesin tetas dan sistem sekam. Dan tidak ada peternak yang melakukan usaha penetasannya 100% hanya menggunakan mesin tetas. Dalam melakukan penetasan itik sistem sekam, peralatan yang diperlukan yaitu keranjang (disebut bronjong) yang terbuat dari anyaman bambu, kotak kayu untuk menampung keranjang, balai-balai, sekam, karung plastik, karung goni, kain bekas, nyiru dan alat kandling (lampu). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa kekurangan dari metode penetasan menggunakan sekam padi yaitu banyak menyita waktu dan tidak praktis, terutama proses pembalikan telur karena bila tidak hatihati dan teliti akan menyebabkan telur pecah. Namun kelebihan dari metode ini yaitu murah. Karena ketidakpraktisan dan banyak menyita waktu inilah, peternak mulai melirik untuk memodifikasi dengan mesin tetas. Penggunaan mesin tetas pada penetasan dengan cara modifikasi/campuran dilakukan pada telur itik yang telah diseleksi pada umur 1−15 hari awal penetasan, kemudian dilanjutkan pada hari ke-16 dilakukan di balaibalai penetasan (yang biasa digunakan dalam metode penetasan sistem sekam padi). Cara ini menurut peternak lebih praktis, namun kekurangannya adalah perlu biaya lebih besar untuk listrik. Telur tetas pada hari ke-16 disusun di atas balai-balai penetasan sehingga mesin tetas tidak lagi digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat biaya listrik. Panas yang diperoleh telur tetas yang ditaruh di atas balai-balai berasal dari panas telur dan ditambah dengan penutupan atau selimut pada balai-balai menggunakan karung serta kain serta panas dari bola lampu yang berfungsi sebagai penerang ruang penetasan. Menurut SETIOKO (1992), telur itik yang ditetaskan dengan menggunakan sekam padi, pada umur 16 hari dapat memperoleh panas untuk proses inkubasi dari embrio yang mulai berkembang ini dapat dihasilkan panas yang cukup tinggi.
774
Tahapan penetasan dengan cara modifikasi yaitu menyiapkan telur tetas, mesin tetas dan balai-balai penetasan. Telur itik yang akan ditetaskan dikumpulkan dan diseleksi. Seleksi dilakukan terhadap ukuran, bentuk, keutuhan dan kualitas telur. Telur yang terlalu besar atau kecil akan dikeluarkan, demikian juga telur yang retak atau pecah, sedang dari segi kualitas telur biasanya peternak menilainya dari segi warna dan ketebalan kerabang serta berbentuk oval. Keahlian ini diperoleh karena pengalaman dan diwariskan secara turun temurun. Mesin tetas yang akan digunakan dicek akan kebersihan, temperatur dan kelembabannya, setelah semuanya siap maka proses penetasan akan dimulai yaitu dengan memasukkan telur itik yang telah diseleksi. Telur tetas ini tetap berada dalam mesin tetas sampai umur 15 atau 16 hari inkubasi, setelah itu dipindahkan ke balai-balai penetasan sampai menetas. Selama proses penetasan dilakukan 4 kali candling, candling I dilakukan pada telur umur 5 hari inkubasi, candling II dilakukan pada umur 12 hari, candling ke III dan IV dilakukan masing-masing pada umur 18 dan 24 hari. Candling I dilakukan untuk memilih telur yang bertunas dan tidak, telur yang tidak bertunas (infertile) akan dikeluarkan dan dijual sebagai telur konsumsi. Candling II dilakukan untuk memilih telur yang embrionya berkembang dan tidak, telur yang embrionya tidak berkembang (pagat urat) akan dikeluarkan, telur ini masih dapat dimanfaatkan untuk dibuat sebagai telur asin. Candling III dan IV untuk memilih telur yang embrionya hidup dan mati. Telur yang embrionya mati akan dikeluarkan dan dimanfaatkan sebagai pakan itik dengan cara mencincang dan merebusnya. Telur tetas yang digunakan selain berasal dari itik yang dipelihara sendiri, juga didatangkan dari desa lain yang mengusahakan itik penghasil telur tetas. Kadang-kadang peternak mengalami kesulitan untuk mendapatkan telur tetas dalam jumlah dan kualitas yang sesuai. Hal ini diatasi dengan melakukan kerjasama antara peternak penghasil anak itik (penetas) dengan peternak penghasil telur tetas. Bentuk kerjasamanya yaitu peternak penetas memberikan pinjaman/hutang berupa anak itik yang berkualitas untuk dipelihara sebagai penghasil telur tetas. Pembayaran dilakukan setelah itik bertelur baik secara kontan maupun cicilan. Bentuk kerjasama
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
lain yaitu dengan cara peternak penetas membayar telur tetas yang dipesan sebelum barang diterima (panjar atau uang muka). Berdasarkan wawancara dan pengalaman peternak diketahui bahwa daya tunas/fertilitas yang dihasilkan berkisar antara 70−99% dengan rataan 95%, daya tetas yang diperoleh berkisar antara 50−70% dengan rataan 66,12%. Beberapa penelitian lain yang dilaporkan oleh BRAHMANTIYO dan PRASETYO (2002) bahwa itik Alabio yang ditetaskan dengan menggunakan mesin tetas dihasilkan rataan daya tunas dan tetas masing-masing 79,18% dan 48,98%. Pada penelitian yang dilaporkan oleh SETIOKO dan ROHAENI (2002), rataan daya tunas dan tetas dari itik Alabio yang ditetaskan dengan menggunakan sekam padi masing-masing 88,08% dan 67,16%. Daya tunas/fertilitas yang dihasilkan ratarata tinggi karena peternak sudah berpengalaman baik dalam hal memelihara dan memilih telur. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas yaitu kualitas pejantan, umur induk, produksi, kualitas pakan (YUWANTA, 1983). Berdasarkan wawancara dan pengalaman peternak diketahui bahwa penetasan dengan cara modifikasi antara mesin tetas dan balai-balai penetasan (sekam) daya tetas yang dihasilkan lebih rendah dibanding dengan cara sekam padi sekitar 5-10%. Namun berdasarkan pengamatan perbedaan daya tunas antara 1-3%. Meskipun dari segi daya tetas lebih rendah namun peternak saat ini tetap menggunakan modifikasi karena kepraktisannya. Menurut SETIOKO (1992) dan LASMINI et al. (1992) daya tetas dipengaruhi oleh faktor genetis dan non genetis (lingkungan) misalnya cara/metode penetasan, pengaturan suhu dan kelembaban inkubator, kebersihan telur, penanganan dan pengumpulan serta penyimpanan telur, ukuran dan bentuk telur, umur induk, kualitas pakan induk dan faktor-faktor lain yang masih belum diketahui. Pada Tabel 1, terlihat bahwa daya tetas yang dihasilkan tidak terpaut jauh antara penetasan sistem sekam dengan cara modifikasi. Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kematian embrio yang tinggi baik pada penetasan sekam padi maupun modifikasi. Menurut SETIADI et al. (1992) tingginya tingkat kematian embrio salah satu diantara diduga karena faktor kebersihan telur selama proses
penetasan. Kematian embrio berhubungan erat dengan proses fisiologis selama perkembangan embrio yaitu pada awal masa pengeraman terjadi pertumbuhan dan perubahan fisik yang cepat serta mulai terjadinya metabolisme. Selanjutnya menurut SETIOKO (1992), telur yang akan ditetaskan harus bersih dari berbagai kotoran yang melekat pada kerabang. Telur yang kotor akan mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui pori-pori kerabang yang menyebabkan kematian embrio. Berdasarkan laporan ISTIANA et al. (1991) bahwa pada pemeriksaan debu di sekitar tempat penetasan itik dan air minum anak itik di Kabupaten HSU ditemukan Salmonella dan kuman-kuman lain. Populasi bakteri pada bulubula halus (fluff) anak itik berkisar antara 1,74262 X 106 sel/gram. Ini menunjukkan tingkat sanitasi yang tidak memenuhi syarat dan sangat jauh dari standar sanitasi yang dianjurkan (<1.000 sel banteri/gram fluff). Tabel 1. Keragaan penetasan itik Alabio di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten HSU Parameter Daya tetas (%)
Sekam padi1
Modifikasi2
67,16
66,12
Telur tidak menetas2 (%) Infertil
11,92
9,53
Mati bungkus, embrio mati, pecah, retak
41,58
40,76
Sumber: 1SETIOKO dan ROHAENI (2002) 2 ROHAENI et al. (2000)
Pemasaran produk Jumlah peternak yang melakukan usaha penetasan di Desa Mamar kurang lebih sebanyak 60 orang, dari jumlah ini yang terdaftar sebagai anggota KUD sebanyak 49 orang (komunikasi pribadi dengan ketua KUD Sekawan). Peternak penetas yang melakukan usahanya secara rutin (setiap minggu) sekitar 30 orang, peternak lainnya melakukan usaha jika permintaan anak itik tinggi yaitu pada musim kemarau. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa skala penetasan yang diusahakan peternak berkisar antara 1.000 sampai 10.000 butir per Kepala Keluarga (KK)
775
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
per minggu dengan rataan 2.500 butir. Anak itik yang dihasilkan dari Desa Mamar sekitar 60.000 ekor/minggu, pemasaran dilakukan dengan 3 cara yaitu dipasarkan langsung oleh peternak di pasar, lewat pedagang pengumpul dan langsung diambil pemesan atau kombinasi. Namun yang paling banyak peternak menjual anak itik pada pedagang pengumpul sekitar 4050%. Pemasaran anak itik dilakukan di pasar Alabio setiap hari Rabu dan atau diambil oleh pedagang pengumpul ke lokasi penetasan. Anak itik yang dihasilkan dipasarkan tidak hanya di kabupaten setempat, namun ke luar kabupaten bahkan luar propinsi (Kalteng dan Kaltim). Pasar Alabio merupakan salah satu pasar yang ada di Kabupaten HSU, di pasar inilah banyak dijual itik Alabio dalam berbagai umur dan jenis kelamin dengan harga yang bervariasi tergantung kualitas. Selain itik Alabio, di pasar inipun dipasarkan produk itik (telur) dan keperluan dalam melakukan usaha ternak itik (pakan, bahan pakan, kandang, obatobatan dan lain-lain). Anak itik yang dihasilkan biasanya dijual antara umur 1-10 hari, untuk itik betina harganya jauh lebih mahal dari itik jantan. Harga itik jantan umur 1-3 hari berkisar antara Rp.900-1.000/ekor, sedang untuk anak itik betina umur 7 hari berkisar antara Rp.2.7505.000/ekor. Harga anak itik ini sangat dipengaruhi oleh kualitas hasil yang ditampilkan, umur dan jenis seks. Ada 3 kriteria penilaian kualitas anak itik yaitu anak itik kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Kriteria penilaian kualitas anak itik atas dasar pengalaman peternak dan pedagang, semakin berkualitas maka harganya semakin mahal. Anak itik kelas 1 adalah anak itik paling berkualitas dengan ciri-ciri badan kokoh, kuat, bulu kering, dan gerakan lincah.
biaya Tenaga Kerja Rp.200.000/bulan, listrik Rp.100.000/bulan, biaya penyusutan alat penetasan dan kandang Rp.100.000/bulan, harga anak itik jantan @ Rp.900, harga anak itik betina kelas I @ Rp.4.250 dan kelas II @ Rp.2.750 dengan daya tetas 60% berdasarkan jumlah telur yang masuk. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha penetasan itik menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Tabel 2. Analisis biaya dan pendapatan usaha penetasan itik Alabio dengan cara modifikasi antara mesin tetas dan balaibalai penetasan (sistem sekam padi) Uraian
Fisik
Nilai (Rp)
Telur tetas
2.500 butir @@ Rp.900
2.250.000
Tenaga kerja
Rp.200.000/ bulan
200.000
Listrik
Rp.100.000/ bulan
100.000
Pakan dan vitamin
Rp.242.500/ periode
242.500
Alat
Rp.100.000/ bulan
100.000
Input
Jumlah input
2.892.000
Output 2.500 x 15% x Rp.600
225.000
Anak itik jantan
750 ekor x Rp.900
675.000
Anak itik betina kelas I
375 ekor x Rp.4.250
1.593.750
Anak itik betina kelas II
375 ekor x Rp.2.750
1.031.250
Telur afkir
Jumlah output
3.525.000
Pendapatan
632.500
R/C
1,22
Analisis biaya dan pendapatan Berdasarkan hasil analisis biaya dan pendapatan yang dilakukan pada usaha penetasan itik Alabio diketahui bahwa usaha ini mampu memberikan pendapatan sebesar Rp.632.500/minggu dengan nilai R/C sebesar 1,22 (Tabel 2). Beberapa asumsi yang digunakan yaitu harga telur tetas @ Rp.900, harga telur afkir (hasil candling) @ Rp.600,
776
KESIMPULAN Penetasan yang dilakukan peternak di Desa Mamar sebagian besar dilakukan secara buatan yaitu dengan modifikasi atau dikombinasi antara mesin penetas dengan balai-balai penetasan (sistem sekam padi) sebanyak 95,92%.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Telur yang ditetaskan berasal dari itik yang dipelihara sendiri oleh peternak penetas dan didatangkan dari desa lain yang mengusahakan itik penghasil telur tetas. Skala penetasan yang diusahakan peternak berkisar antara 1.000 sampai 10.000 butir per Kepala Keluarga (KK) per minggu dengan rataan 2.500 butir. Daya tunas yang dihasilkan berkisar antara 70−99% dengan rataan 95%, daya tetas yang diperoleh berkisar antara 50−70% dengan rataan 66,12%. Anak itik yang dihasilkan dijual pada umur antara 1-10 hari dengan harga bervariasi tergantung kualitas, umur dan jenis seks. Pemasaran anak itik dilakukan sebagian besar di pasar Alabio setiap hari Rabu dan atau diambil oleh pedagang pengumpul ke lokasi penetasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha penetasan itik menguntungkan dan layak untuk diusahakan, pendapatan yang dihasilkan berkisar antara Rp.632.500/minggu dengan nilai R/C sebesar 1,22. DAFTAR PUSTAKA BRAHMANTIYO, B. dan L. PRASETYO. 2002. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari terhadap performan reproduksi. Pros. Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 73−78. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004. Buku Saku Peternakan. Dinas Peternakan Kalimantan Selatan. Banjarbaru. ISTIANA, SURYANA dan TARMUDJI. 1991. Sanitasi pada beberapa tempat penetasan itik dan lingkungannya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 23(42): 16-18. LASMINI, A., R. ABDELSAMIE
dan N.M. PARWATI. 1992. Pengaruh cara penetasan terhadap daya tetas telur itik Tegal dan Alabio. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 20-22 Pebruari 1992. pp. 31-34.
NAWHAN, A. 1991. Usaha Peternakan Itik Alabio di Kalimantan Selatan. Pidato Ilmiah. Universitas Islam Kalimantan. Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan. Banjarbaru. ROHAENI, E. S., ISTIANA dan TARMUDJI. 1994. Penetasan itik Alabio di Kalimantan Selatan ditinjau dari aspek manajemen dan kesehatan anak itik yang dihasilkan. Penyakit Hewan XXVI(47), Semester I. Tahun 1994 pp. 63-68. ROHAENI, E.S., A.R. SETIOKO, ISTIANA dan A. DARMAWAN. 2000. Pengembagan Usaha Peternakan Itik Alabio di Kalimantan Selatan Melalui Seleksi. Laporan Akhir. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. SETIADI, P., A. LASMINI, A.R. SETIOKO dan A.P. SINURAT. 1992. Pengujian metode penetasan telur itik Tegal di pedesaan. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 20-22 Pebruari 1992. hlm. 38−42. SETIOKO, A. R., ISTIANA, D. I. SADERI, E. S. ROHAENI, A. DARMAWAN, M. DARWIS, SURYANA, FIRMANSYAH, A. SUBHAN, A. HAMDAN, R. RAIHANA dan S. HAFIZI. 1999/2000. Pengkajian Teknologi Usahatani Itik Alabio. Laporan Akhir. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. SETIOKO, A.R. 1992. Teknik penetasan telur itik. Makalah Temu Tugas dalam Aplikasi Teknologi Bidang Peternakan. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Litbang Pertanian. hlm. 142−152. SETIOKO, A.R. dan E.S. ROHAENI. 2002. Pemberian bahan pakan local terhadap produktivitas itik Alabio. Pros. Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 129−138. WASITO dan E.S. ROHAENI. 1994. Beternak Itik Alabio. Kanisius. Yogyakarta. YUWANTA, T. 1983. Beberapa Metoda Praktis Penetasan Telur. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
777
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
DISKUSI Pertanyaan: Apa keuntungan secara teknis dan ekonomis untuk penetasan dengan sistem modifikasi ini? Jawaban: Keuntungan secara teknis, lebih mudah dan praktis, hemat waktu, hemat tenaga, dan resiko telur pecah sangat sedikit.
778