PENETASAN TELUR ITIK DI INDONESIA A .R . SETioico Balai Penelitian Ternak P. O. Box 221, Bogor 16002
PENDAHULUAN Telur itik mempunyai reputasi sulit untuk ditetaskan dibanding dengan telur ayam karena waktu untuk menetas 28 hari sedangkan pada ayam hanya 21 hari, sehingga lebih banyak waktu untuk berbuat salah (KORTLANG, 1985) . Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya daya tetas, antara lain cara/metoda )enetasan, pengaturan suhu inkubator, kebersihan telur, pengumpulan dan penyimpanan telur, ukuran dan bentuk telur dan faktor faktor lain yang masih belum diketahui . Secara alami telur itik biasanya ditetaskan di permukaan air, sedangkan telur ayam akan menetas di atas permukaan tanah . Sehingga jelas penetasan telur itik membutuhkan kelembaban yang lebih tinggi dibanding penetasan telur ayam (KORTLANG, 1985) . Keadaan alam lainnya seperti adanya selaput renang di antara jari-jari itik dapat mengotori telur pada saat mengeram . Pori-pori pada kerabang telur itik yang lebih besar dibanding telur ayam akan mempengaruhi evaporasi telur sewaktu ditetaskan . PEMILIHAN DAN PENYIMPANAN TELUR TETAS Telur itik yang akan ditetaskan hendaknya dipilih dari kelompok itik yang mempunyai produksi tinggi . Hal ini penting dilakukan karena kelompok itik yang produktif cenderung akan dapat menghasilkan meri-meri yang mempunyai potensi produksi telur yang baik pula (HETZELL, 1985a) . Selain itu, kelompok tersebut harus mempunyai jumlah pejantan yang cukup agar telur yang dihasilkan mempunyai daya tunas (fertilitas) yang tinggi . Perbandingan jantan dan betina yang baik adalah 1 :7 (TAI, 1985) atau 1 :5 (SETIOKO et al., 1994) . Pada perkawinan untuk menghasilkan itik Serati (mule ducks), yaitu perkawinan antara entog jantan dan itik betina, perbandingan jantan dan betinanya adalah 1 : 2,5 karena entog jantan yang besar menyebabkan kesulitan dalam kawin alam,
40
sehingga dibutuhkan pejantan yang lebih banyak (GVARYAHu et al., 1984) . Selain ukuran telur yang ideal, telur itik yang ditetaskan harus bersih dari berbagai kotoran yang melekat pada kerabang telur. Pemberian sangkar dalam kandang itik dan pembersihan sangkar secara teratur serta penggantian litter dapat menghasilkan telur-telur yang bersih . Telur-telur yang kotor akan mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui pori-pori pada kerabang telur yang menyebabkan kematian embryo . Menurut KORTLANG (1985), seleksi telur yang baik untuk ditetaskan dapat meningkatkan daya tetas sebesar 5% . Berat telur itik yang baik untuk ditetaskan antara 65 - 75 gram dengan bentuk yang normal . Untuk mendapatkan daya tetas yang baik, maka telur tetas harus dalam keadaan bersih . Kerusakan telur tetas umumnya terjadi beberapa jam setelah ditelurkan, karena perubahan suhu telur dari suhu tubuh (37°C) ke suhu kamar yang lebih rendah menyebabkan penyusutan isi telur . Bakteri dengan mudah dapat masuk melalui pori-pori telur, dan apabila sudah berada di dalam telur sulit sekali untuk dibunuh tanpa membunuh embryo yang ada. Bakteri yang diinkubasi bersama-sama dengan telur dapat membunuh embryo itik apabila mencapai konsentrasi yang tinggi . Penggunaan kotak pengeraman (nest-boxes) di kandang dapat mengurangi kontaminasi mikroorganisme pada telur . Litter pada sangkar harus sering diganti, dan disiapkan sekitar empat minggu sebelum bertelur, agar itik mau bertelur di sarang . Telur tetas sebaiknya difumigasi dengan menggunakan 85 gram potassium permanganate dan 114 gram formaldehyde untuk 2,83m3 ruang udara segera setelah ditelurkan . Fumigasi ini telah diklaim dapat membunuh bakteri Salmonella . Pencucian dan atau pencelupan telur dengan menggunakan desinfektan dapat dilakukan selama 3 menit pada suhu 38°C dan cairan diganti setelah 3-4 kali pencelupan (KORTLAr1G, 1985) . .
WARTAZOA Vo1. 7 No . 2 Th. 1998
Penyimpanan telur sebelum ditetaskan tidak boleh lebih dari 7 hari . Suhu penyimpanan yang ideal berkisar antara 10-20°C, namun bila tidak memiliki lemari pendingin, telur dapat disimpan di suhu kamar yang sejuk dengan cukup ventilasi. Studi yang dilakukan oleh KORTLANG (1985) menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu tinggi (30°C) cocok untuk jangka pendek 1-3 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu rendah (15°C) dapat digunakan pada penyimpanan 5-7 hari seperti pada Tabel 1 . Tabel 1 .
Daya tetas telur itik yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda
Suhu penyimpanan
Penyimpanan (1 - 3 hari)
(°c)
Daya Tetas (%) Penyimpanan (5 - 7 hari)
15 73,4 76,2 20 76,3 75,0 25 74,9 72,6 30 77,1 36,3 *)Perbedaan untuk LSD (P<0,05) adalah 2,2 Sumber : KORTLANG (1985)
Perbedaan*)
2,8 1,3 2,3 40,8
Seperti diketahui bahwa daya tetas menurun dengan semakin lamanya telur disimpan sebelum ditetaskan . Namun demikian, perkem bangan embryo pada saat awal penyimpanan telur sangat penting dalam menentukan kualitas embryo dan daya hidupnya . Untuk itu, penghangatan telur secara periodik selama penyimpanan untuk menjaga pertumbuhan embryo menjadi penting . Telur tetas yang disimpan pada suhu dingin harus dihangatkan secara perlahan dari suhu 15°C sampai suhu penetasan selama periode 18 jam sebelum telur tersebut ditetaskan . Hasil yang paling baik diperoleh pada penyimpanan kurang dari 4 hari, namun untuk alasan komersial, telur itik dapat disimpan selama 7 hari . Penyimpanan hingga 14 hari dapat dilakukan dengan syarat telur disimpan dalam kantong plastik cryovac tertutup dan dijenuhi dengan nitrogen pada suhu 11-12°C (KORTLANG, 1985) . BAGLAICCA et al . (1995) melaporkan bahwa pada ayam, selama periode penyimpanan, pertumbuhan embryo telah terjadi walaupun pada kecepatan yang rendah, disproporsional, dan pertumbuhan tersebut dapat berpengaruh terhadap penurunan viabilitas dengan meningkatnya periode penyimpanan . Hal ini juga berlaku pada telur itik, mengingat telur itik umumnya juga
disimpan sebelum ditetaskan . Selain itu, phase pertumbuhan embryo pada saat ditetaskan juga dapat berpengaruh pada viabilitas embryo selama penetasan (LUNDY, 1969 ; MAYES dan TAKEBALLI, 1984 ; MEIJERHOF, 1992) . CARA-CARA PENETASAN TELUR ITIK
Bangsa itik domestik yang dikenal sekarang, tidak lagi memiliki sifat mengeram . Hilangnya sifat mengeram ini disebabkan oleh proses domestikasi dan terjadinya mutasi-mutasi alamiah dari sifat-sifat mengeram (HETZELL, 1985b) . Oleh sebab itu untuk pengembangan itik perlu campur tangan manusia baik dengan bantuan unggas lain maupun dengan menggunakan mesin penetas (inkubator) . Hampir semua bangsa itik (Anas platyrhynchos) mempunyai periode inkubasi 28 hari, kecuali Entog (Cairina moschata) yang membu tuhkan waktu 33-35 hari (KORTLANG, 1985) . Umumnya daya tetas telur itik masih jauh di bahawh standar penetasan telur ayam . STANHOPE (1973) melaporkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab rendahnya daya tetas telur itik, yaitu kontaminasi embryo oleh mikroorganisme, teknik inkubasi dan adanya inbreeding atau perkawinan dalam keluarga . Pada dasarnya penetasan telur itik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penetasan secara alamiah dan secara buatan . Penetasan telur itik secara alamiah ini umumnya dengan menggunakan unggas lain yang memiliki sifat mengeram seperti entog atau ayam kampung . Cara alami ini umumnya mempunyai daya tetas yang tinggi, tetapi kapasitasnya sangat terbatas, sedangkan penetasan telur itik dengan cara buatan biasanya menggunakan inkubator baik listrik, lampu minyak atau kombinasi keduanya . Untuk tujuan komersial, inkubator kapasitas tinggi dapat berupa inkubator tipe "cabinet" atau "walk in" . Penetasan telur itik cara alami Penetasan secara alami banyak dilakukan secara besar-besaran di wilayah Asia Tenggara dan China . Di Indonesia, penggunaan entog atau ayam kampung sebagai mesin tetas telur itik banyak dilakukan dengan Skala kecil-kecilan di Jawa dan beberapa daerah lain seperti Sulawesi Selatan, Riau, Sumatera Utara dan masih banyak daerah lain . KINGSTON et al . (1978) melaporkan tentang penggunaan entog
41
A . R . SETIOKO : Penetasan Telui Itik di Indonesia
sebagai mesin tetas telur itik Alabio di Kalimantan Selatan . Entog mempunyai kemampuan mengeram yang sangat baik dan setiap ekor mampu mengerami sebanyak 15-30 butir telur itik, tergantung ukuran, kondisi dan kualitas entog . Di beberapa tempat banyak peternak itik yang beranggapan bahwa penetasan secara alami akan mampu menghasilkan meri-meri yang lebih sehat dibanding dengan meri dari penetasan dengan inkubator. Tidak diperoleh keterangan yang pasti tentang anggapan tersebut. Keuntungan cara alami ini antara lain mudah dilakukan petani kecil, daya tetas cukup tinggi, tidak memerlukan pengawasan yang intensif seperti pengaturan suhu dan kelembaban, pemutaran telur dan lain-lain . Adapun kerugian yang ada yaitu kapasitas yang sangat terbatas, memerlukan biaya untuk memelihara entog dan resiko kematian entog akibat terlalu lama mengeram atau penyakit lainnya . Entog yang digunakan sebagai "mesin tetas" hendaknya dipilih yang sehat dan besar . Tingkah laku entog perlu diperhatikan antara lain kebiasaan makan, buang kotoran di atas telur, keadaan bulu yang basah langsung mengeram, frekuensi turun dari tempat mengeram dan kondisi bulu yang kotor. Rata-rata entog dapat mengeram secara terus menerus selama 3 atau 4 bulan, bahkan entog yang baik mampu mengeram selama 7 bulan terusmenerus . Untuk mengganti entog yang sudah lama mengeram, maka perlu disediakan cadangan yang sewaktu waktu dibutuhkan . SETIADi et al . (1992) melaporkan bahwa tingkat kematian embryo dan angka kematian day old duck (DOD) pada penetasan dengan indukan entog lebih tinggi dibanding dengan mesin tetas, karena faktor kebersihan induk entog yang berpengaruh pada perkembangan embryo . Daya tetas masih dapat ditingkatkan apabila faktor kebersihan induk diperhatikan . Selanjutnya SETIADI et al. (1994) melaporkan bahwa peningkatan sanitasi dengan fumigasi telur yang akan ditetmkan dapat meningkatkan daya tetas pada penetasan dengan indukan entog . Telur-telur yang telah siap untuk dieramkan, ditetaskan dalam sangkar yang bersih dan diatur sedemikian rupa agar setiap butir telur akan mendapat pemanasan dari entog yang sama . Peneropongan telur (candling) biasanya dilakukan pada hari pertama (24 jam) setelah pengeraman dengan tujuan agar telur-telur yang
42
infertil dapat dijual kembali sebagai telur konsumsi. Peneropongan ini membutuhkan ketelitian dan :pengeraman . Untuk selanjutnya peneropongan dapat dilakukan pada hari ke-7, 16 dan 24 . Setelah menetas, meri-meri segera dipindahkan ke tempat lain dan diganti dengan telurtelur baru untuk periode penetasan berikutnya . Hal serupa dapat dilakukan sampai 3 atau 4 kali . Kondisi penetasan yang hangat dan lembab merupakan lingkungan yang baik untuk berkembangnya mikroorganisme pembusuk seperti Salmonella spp. dan Pseudomonas spp. Kedua jenis bakteri ini merupakan penyebab rendahnya daya tetas telur itik . Tanda tanda spesifik dari kontaminasi ini adalah adanya kematian embryo yang tinggi pada hari ke-4 dan 5 . Penetasan telur itik dengan inkubator Teknik penetasan telur itik dengan menggunakan inkubator baik listrik maupun lampu minyak, banyak dilakukan masyarakat petani di pedesaan . Bentuk dan kapasitas inkubator sangat bervariasi mulai dari kotak kayu yang sederhana, hingga inkubator berkapasitas ribuan telur dengan pengontrol suhu dan kelembaban secara otomatis . Untuk penetasan telur itik skala kecil, peternak menggunakan bahan yang sangat sederhana, biasanya terbuat dari kayu atau tripleks dengan desain yang bermacammacam. Penetasan telur itik dengan skala besar atau industri belum ada di Indonesia, tetapi negara-negara lain seperti Taiwan, Australia, Thailand, Cina dan Perancis, industri penetasan telur itik sudah sangat populer. Beberapa persyaratan dalam sistem penetasan ini sangat penting agar dapat diperoleh angka daya tetas yang tinggi . Pengumpulan telur harus dilakukan sepagi mungkin untuk mencegah kontaminasi oleh kotoran dalam kandang dan kebersihan di tempat penyimpanan juga harus dijaga . Ada tiga tipe inkubator yaitu tipe datar (flat type) yang hanya mempunyai kapasitas antara 50-600 butir, tipe kabinet (cabinet type) antara 600-15 .000 butir dan tipe berjalan (walk-in type) dengan kapasitas > 15 .000 butir (SETIOKo et al., 1994). Setelah telur-telur siap untuk ditetaskan, maka tahap pertama adalah menyiapkan inkubator. Inkubator harus dinyalakan minimal selama 24 jam sampai suhu di dalamnya konstan sebelum telur-telur dimasukkan . Inkubator umumnya dapat dibagi dua bagian yaitu "setter" dan
WARTAZOA Vo1. 7 No. 2 Th . 1998
"hatcher", dimana keduanya dapat berada di dalam satu inkubator atau terpisah . Pemutaran telur dilakukan 3 atau 5 kali sehari dengan interval waktu yang sarraa . Bila mesin inkubator mempunyai alat pemutar telur otomatis, maka pemutaran dapat dilakukan setiap satu atau dua jam sekali . BOGENFURST (1995) melaporkan bahwa besarnya sudut dan frekuensi pemutaran telur dapat mempengaruhi perkembangan embryo telur tetas . Pemutaran telur yang benar berperan positif terhadap volume cairan subembryonic dan pembentukan rongga udara telur, sekaligus pemanfaatan protein oleh embryo . Perlakuan penyemprotan air dan pendinginan secara periodik selama penetasan telur itik menjadi hal yang kontroversial . Menurut KALTHOVEN (yang disitasi oleh KORTLANG, 1985) bahwa penyemprotan dengan air hangat pada telur itik secara periodik dapat menaikkah daya tetas sebesar 6% . BOGENFURST (1995) melaporkan bahwa proses pendinginan telur pada penetasan telur angsa sangat penting, dan penyemprotan air dilakukan untuk mengganti air yang hilang pada saat pendinginan telur . Pendinginan telur hanya dapat dilakukan pada mesin tetas tipe cabinet, sedangkan untuk inkubator tipe walk-in hasilnya akan lebih jelek, karena tidak mungkin dilakukan pendinginan secara periodik . Peneropongan dilakukan pada hari ketujuh dan 16 untuk melihat telur yang infertil dan embryo yang mati . Tiga hari sebelum menetas yaitu pada hari ke-25 telur-telur dipindahkan ke "setter" dimana tidak dilakukan pemutaran telur lagi . Pada periode ini suhu inkubator diturunkan sekitar 0,5°C yaitu sekitar 37-37,2"C dan kelembaban dinaikkan menjadi 85% . Telur-telur dibiarkan hingga menetas sekitar hari ke-28 sampai 29 .
Alat yang digunakan berupa kotak yang terbuat dari kayu atau triplek sebagai tempat keranjang penetasan . Kotak dengan ukuran tinggi 80 cm dan lebar sekitar 70 cm untuk setiap keranjang penetasan diisi dengan sekam (kulit padi) sebagai insulator. Pada bagian tengah dipasang keranjang penetasan yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan diameter 50 cm dan tinggi 70 cm . Beberapa lapis kertas bekas semen ditempelkan pada bagian dinding dalam dan alas keranjang penetasan . Keranjang ini dipasang di bagian tengah kotak yang telah berisi sekam termasuk 10 cm di bawah keranjang untuk insulasi panas. Di bagian atas kotak yang diisi sekam disisakan sekitar 5 cm dari pinggir atas kotak dan ditutup dengan potongan karung goni (Gambar 1) .
Penetasan telur itik dengan metoda gabah Metoda penetasan dengan menggunakan gabah atau metoda Cina berasal dari Cina sekitar 2000 tahun yang silam yaitu pada masa dinasti Zhou (FUAN, 1985) . Teknik ini kemudian tersebar di beberapa negara Asia dan sampai sekarang masih banyak dijumpai di Thailand, Malaysia, Filipina dan Indonesia . Di Indonesia cara ini sudah lama dilakukan peternak itik di Bali dan sekarang sudah banyak dilakukan peternak itik di Kalimantan Selatan dan Riau .
Gambar 1 . Kotak dan balai-balai penetasan pada teknik penetasan dengan metoda gabah (FUAN, 1985)
Balai-balai penetasan yang terbuat dari kayu dan triplek dibuat dua susun . Permukaan balaibalai ditutup dengan lapisan tipis sekam yang selanjutnya ditutup dengan lembaran kantong bekas makanan ternak . Lebar balai-balai disesuaikan dengan kebutuhan dan biasanya sekitar
43
A . R. SETIOKO : Penetasan Telur Itik di Indonesia
70 cm dengan panjang 140 cm . Untuk menutup telur-telur yang berada di balai-balai clapat digunakan beberapa lapis karung goni atau kantong bekas makanan ternak yang ketebalannya disesuaikan dengan derajad insulasi yang cliperlukan . Dalam proses penetasan, pertamatama yang dilakukan ialah menjemur telur-telur yang hendak ditetaskan . Telur-telur diletakkan menclatar di sebuah tempat clan dijemur selama 30 menit . Selama penjemuran telur dibalik-batik dengan cara menggeser ke kiri clan ke kanan sampai suhu telur mencapai kira-kira 37°C yaitu dengan menempelkan telur pads pelupuk mata . Apabila ticlak ada sinar matahari pada waktu musim hujan, pemanasan dapat dilakukan di suatu ruangan dengan menggunakan sumber panas dari arang yang membara clan diletakkan di tengah ruangan . Telur-telur dimasukkan dalam keranjang clan diletakkan di rak sepanjang dinding ruangan . Pemanasan dapat dilakukan selama 1-3 jam untuk mencapai temperatur telur sekitar 37°C . Sebelum telur dimasukkan ke dalam keranjang penetasan, maka keranjang tersebut harus terlebih dahulu dihangatkan . Untuk memanaskan dinding keranjang, maka sekitar 3 kg gabah disangrai atau dihangakan di atas api sambil diaduk-aduk supaya panas merata . Apabila suhu suclah mencapai sekitar 60°C kemudian gabah diletakkan di atas kain clan segera dimasukkan di dalam keranjang penetasan . Panas tadi akan menghangatkan dinding keranjang penetasan . Setelah temperatur gabah turun sekitar 3738°C sekitar 80 butir telur yang telah dihangatkan tadi diletakkan di atas gabah beralaskan kain di dalam keranjang . Secara berselangseling, padi yang hangat diletakkan di atas telur clan seterusnya hingga seluruh keranjang penuh dengan lapisan gabah clan telur serta bagian paling atas diberikan padi yang hangat tadi . Kemudian keranjang ditutup dengan beberapa lapis karung goni untuk menjaga agar keranjang tetap hangat . Hal yang sama dilakukan untuk keranjang-keranjang lainnya, tetapi harus disisakan satu keranjang untuk memindahkan telur. Pada hari ke-1-3, gabah digantikan dengan yang hangat sehari tiga kali clan pada hari ke-46 cukup dua kali sehari . Yang penting adalah menjaga agar keranjang tetap hangat sampai hari ke-6 untuk pengembangan embryo . Sisa keranjang yang kosong tadi digunakan untuk meminclahkan telur-telur dari keranjang sebelahnya clan sekaligus sambil mengganti/menambah gabah yang telah dihangatkan . Dengan demi-
44
kian telur-telur yang berada di lapisan atas pada keranjang pertama akan berada di lapisan bawah pada keranjang berikutnya, sehingga temperatur akan lebih merata . Keranjang yang telah dikosongkan tadi digunakan untuk mengisi telur-telur dari keranjang berikutnya, demikian seterusnya . Telur telur itik yang ditetaskan dengan cara ini hanya membutuhkan penghangat sampai 16 hari saja clan selanjutnya embryo yang berkembang clapat menghasilkan panas sendiri untuk proses inkubasi sehingga ticlak membutuhkan sumber panas . Peternak biasanya mengelompokkan telurtelur yang ditetaskan menjadi tiga yaitu telur "muda" yaitu umur 1-6 hari dimana masih membutuhkan pemanas, telur "sedang" yaitu umur 7-16 hari dimana tidak membutuhkan pemanas tetapi belum menghasilkan panas clan telur "tua" umur 16-28 hari dimana dapat menghasilkan panas. Setiap jenis telur di atas mempunyai kode tersendiri yang clibuat pada kulit telur untuk memudahkan pengelola dalam proses penetasan. Keranjang-keranjang yang berisi telur "sedang" clan "tua" tidak lagi membutuhkan gabah hangat yaitu dengan cara menyusun lapisan-lapisan telur "tua" clan "sedang" dalam keranjang secara bergantian . Walaupun demikian telur-telur dalam keranjang tetap harus dibalik/cliputar tiga kali sehari dengan interval waktu 8 jam . Peneropongan telur dilakukan pada hari ke-7 clan 16 clan selama peneropongan telur, suhu telur selalu dicek dengan cara menempelkan telur pada pelupuk mata . Temperatur dalam keranjang dapat diatur dengan tiga cara yaitu 1 . Mengatur proporsi telur-telur "tua" clan "muda", sehingga apabila sebagian telurtelur "tua" diambil, suhu dalam keranjang akan turun. 2 . Menyusun telur-telur pada bagian dinding keranjang . Telur-telur "tua" yang berada di dekat dinding keranjang akan lebih cepat melepaskan panas clibanding telur-telur yang di bagian tengah, sehingga dalam proses penetasan di dalam keranjang, telur-telur "tua" biasanya diletakkan di bagian tengah agar dapat memberi pemanas kepada telurtelur "muda" . 3 . Mengganti penutup di bagian atas keranjang . Penutup keranjang yang tebal biasanya clipakai pada awal penetasan atau pada musim dingin, sedangkan penutup
WARTAZOA Vo1. 7 No . 2 Th . 1998
yang tipis dapat menurunkan dalam keranjang penetasan .
temperatur
Telur-telur pads akhir masa penetasan dapat menghasilkan panas yang cukup tinggi . Oleh sebab itu telur-telur "tua" pads hari ke-16 dipindahkan ke balai-balai dimana telur disusun dalam satu lapis untuk perkembangan embryo selanjutnya . Temperatur pada balai-balai dijaga sekitar 37°C, sedikit lebih rendah dibanding dengan temperatur dalam keranjang . Pengaturan temperatur dilakukan dengan mengganti ketebalan selimut penutup telur, mengatur jarak antara telur pada balai-balai, memindahkan telur-telur yang ada di pinggir dengan telur-telur yang di tengafi clan bila udara dalam kamar cukup tinggi dengan menyemprotkan percikan air kecil-kecil di atas permukaan telur. Telur dibiarkan di atas balai-balai hingga menetas dan bulu-bulunya kering . Kemudian setelah itu meri yang menetas dapat dijual atau dipindahkan ke dalam kandang pengeraman . KESIMPULAN Telur itik lebih sulit untuk ditetaskan dibanding dengan telur ayam . Selain ukuran telur yang ideal, telur itik yang akan ditetaskan harus bersih dari berbagai kotoran yang melekat pada kerabang telur . Pemberian sangkar dalam kandang itik akan dapat menghasilkan telur-telur yang bersih . Telur tetas sebaiknya difumigasi dengan menggunakan 85 gram potassium permanganate dan 114 gram formaldehyde untuk 2,83 m3 ruang udara segera setelah ditelurkan . Pencucian dan atau pencelupan telur dengan menggunakan desinfektan dapat dilakukan selama 3 menit pada suhu 38°C clan cairan diganti setelah 3-4 kali pencelupan . Pada dasarnya penetasan telur itik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penetasan secara alamiah dan secara buatan . Penetasan telur itik secara alamiah ini umumnya dengan bantuan unggas lain yang memiliki sifat mengeram seperti entog atau ayam kampung, sedangkan penetasan telur itik dengan cara buatan biasanya menggunakan inkubator baik listrik, lampu minyak atau kombinasi keduanya . Penetasan dengan metoda gabah pertama kali dikembangkan di Cina dan sekarang sudah tersebar ke negara-negara lain termasuk Indonesia . Entog yang digunakan sebagai "mesin tetas" hendaknya dipilih yang sehat dan besar.
Tingkah laku entog perlu diperhatikan antara lain kebiasaan makan, buang kotoran di atas telur, keadaan bulu yang basah langsung mengeram, frekuensi turun dari tempat mengeram dan kondisi bulu yang kotor. Ratarata entog dapat mengeram secara terus menerus selama 3 atau 4 bulan . Ada tiga tipe inkubator yaitu tipe datar (flat type) yang hanya mempunyai kapasitas antara 50-600 butir, tipe kabinet (cabinet type) antara 600-15 .000 butir dan tipe berjalan (walk-in type) dengan kapasitas > 15 .000 butir. Penyemprotan dengan air hangat pada telur itik secara periodik dapat menaikkan daya tetas sebesar 6% . Metoda penetasan menggunakan alat berupa kotak yang terbuat dari kayu atau triplek sebagai tempat keranjang penetasan dan balai balai penetasan yang dibuat dua susun. Peternak biasanya mengelompokkan telur-telur yang ditetaskan menjadi tiga yaitu telur "muda" yaitu umur 1-6 hari dimana masih membutuhkan pemanas, telur "sedang" yaitu umur 7-16 hari dimana tidak membutuhkan pemanas tetapi belum menghasilkan panas dan telur "tua" umur 16-28 hari dimana dapat menghasilkan panas. Suhu dalam keranjang dapat diatur yaitu dengan cara menyusun lapisan-lapisan telur "tua" clan "sedang" dalam keranjang secara bergantian . Pada hari ke-16 telur dipindahkan ke balai-balai clan disusun dalam satu lapis untuk perkembangan embryo selanjutnya . Telur dibiarkan di atas balai-balai hingga - menetas clan bulubulunya kering . DAFTAR PUSTAKA and PETROCELLI, C. 1995 . Effect of Warming Treatments During Duck Egg Storage on Incubation Performance . Proceedings 10th European Symposium on Waterfowl. World's Poultry Science Association, Halle (Saale) Germany, pp . 299-302.
BAGLAICCA, M., MARZONI M., PACT, G .,
F. 1995 . The Current State of Incubation in Waterfowl . Proceedings 10th European Symposium on Waterfowl. World's Poultry Science Association, Halle (Saale) Germany, pp . 241-256.
BOGENFURST,
L. 1985 . The Parched Rice Incubation Technique for Hatching Duck Eggs . In : Duck Production Science and World Practice . Farrell, D .J . and Stapleton, p. (pd) . University of New England, pp 178-183 .
FUAN,
45
A. R. SETIOKO : Penetasan Telur Itik di Indonesia
GVARYAHU, G., ROBINZON, B., MELTZER, A., PEREK, M .,
and SNAPIR, N. 1984 . Artificial Insemination and Natural Mating in the Crossbreeding of the Muscovy drakes and the Pekin ducks. Poultry Science, 1984, 63 (2) :pp 386-387 . D. J. S.1985a . Duc k Breeding Strategies The Indonesian Example. In Duck Production Science and World Practice . Farrell, D .J . and Stapleton, p. (ed) . University of New England, pp . 204 - 223 .
R. 1992 . Pre-Incubation Holding of Hatching Eggs . World's Poultry Science Journal 48 (1) : 57 - 68 .
MEIJERHOF,
P. SINURAT, A. R. SETIOKO dan A. 1994 . Perbaikan Sanitasi Untuk Meningkatkan Daya Tetas Telur Itik Di Pedesaan Prosidings Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan . Balai Penelitian Ternak . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
SETIADI,
HETZELL,
D. J. S . 1985b. Domestic ducks : An Historical Perspective . In : Duck Production Science and World Practice . Farrell, D.J . and Stapleton, p . (ed) . University of New England, pp . 1- 5 . D . J ., KOASIH, D . dan IBERANI ARDI . 1978 . Penggunaan Entog (Itik Muscovy) Untuk Menetaskan Telur-Telur Itik Alabio di Daerah-daerah Rawa di Kalimantan .Centre Report No . 7 . Centre for Animal Research and Development, Bogor, Indonesia.
A.
LASMINI, A. R . SETIOI(O dan A. P. 1992 . Pengujia n Metoda Penetasan Telur Itik Tegal di Pedesaan . Prosiding Penge lolaan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian . Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian clan Pengembangan Peternakan .
SETIADI,
P.,
SINURAT.
HETZELL,
KINGSTON,
P.,
LASMINI.
A.
R., SYAMSUDIN, A., RANGKUTI, M., H. dan GUNAWAN, A. 1994 . Budidaya Ternak Itik . Publikasi Teknis . Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian . Badan Litbang Pertanian .
SETIOKO,
A.
BUDIMAN,
C. 1973 . Diversification with other species - turkey, ducks, and geese. In Poultry Officers' Refresher Course, Healesville II : 8 22 .
H. F. 1985 . Th e Incubation of Duck Egg. In : Duck Production Science and World Practice . Farrell, D.J . and Stapleton, p. (ed) . University of New England, pp . 168-177 .
STANHOPE, W.
H. 1969 . A Review of the Effect of Temperature, Humidity, turning and gasseous environment in the incubator on the hatchability of the hen's eggs . In The Fertility and Hatchability of Hen's Egg. Eds. Carter, T.C . and Freeman, B.M . Edinburg : pp 143-176 .
TAI,
KORTLANG, C. F.
LUNDY,
F. J . and TAKEBALLI, M. A . 1984 . Storage of the eggs of the fowl. (Gallus domesticus) Before Incubation : A Review . World's Poultry Science Journal 40 (2) : 131 - 140 .
MAYES,
C. 1985 . Duck Breeding and Artificial Insemination in Taiwan . In : Duck Production Science and World Practice . Farrell, D .J . and Stapleton, p. (ed) . University of New England, pp . 193-203 .