Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
LEVEL DOSIS INSEMINASI BUATAN (IB) ANTARA ENTOG JANTAN VS ITIK ALABIO BETINA TERHADAP KERAGAAN PENETASAN TELUR ITIK PEDAGING Suryana, A. Darmawan, Sholih, NH dan Suprijono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
ABSTRAK Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis inseminasi buatan (IB) yang terbaik untuk memperoleh daya tunas dan daya tetas itik pedaging yang optimal. Kebutuhan daging saat ini sebagian besar masih bertumpu pada ternak sapi dan ayam, dan kontribusi itik masih relatif kecil. Alternatif untuk mengimbangi laju permintaan daging, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik pedaging, yakni hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan entok atau itik peking, yang kita kenal dengan sebutan itik serati atau mandalung. Alasan dipilihnya jenis unggas tersebut karena pertumbuhannya cepat, mempunyai bobot badan besar dan produktif dalam menghasilkan daging. Itik serati atau mule duck umumnya merupakan salah satu hibrida hasil persilangan antara itik lokal dengan itik Manila atau entok (Cairina moschata), yang potensial sebagai penghasil daging dan mempunyai kadar lemak rendah dibanding jenis itik pedaging lainnya, itik serati sudah sejak lama berada di pedesaan dan petani mengenalnya sebagai itik persilangan antara itik lokal dengan entok. Karena pemeliharaannya yang ekstensif-tradisional memberi kesempatan terjadinya perkawinan silang secara alami. Itik serati yang berkembang di Kalimantan Selatan saat ini berasal dari persilangan antara entok jantan dengan itik alabio betina atau sebaliknya. Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di Desa Taniran Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, mulai Agustus – Desember 2012. Materi yang digunakan dalam pengkajian ini adalah 100 ekor induk itik alabio dan 25 ekor entok jantan, sementara untuk mengetahui daya tunas telur dilaksanakan penetasan dengan menggunakan alat penetas kapasitas 250 butir selama kali periode penetasan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata produksi telur sebesar 19,31 – 64,73%, bobot telur tetas 39,25-51,14 g/butir, indeks telur tetas 73,72-78,86%, daya tunas 71,63-89,49, daya tetas 48,78-55,29, embrio mati 5,92-14,20%, anak itik umur sehari (DOD) yang mati 1,50-3,88%, bobot tetas 35,73-39.63 g/ekor dan bobot anak itik umur 7 hari berkisar antara 65,77 – 66,89 g/ekor. Dari hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa dosis IB terbaik adalah 0,25 cc/ekor tanpa diencerkan. Kata kunci: level dosis, IB, keragaan penetasan, itik pedaging
PENDAHULUAN Kalimantan Selatan memiliki potensi luas wilayah sebesar 3.753.052 ha, terdiri dari lahan kering, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, padang penggembalaan, lahan tidur, hutan rakyat, perkebunan, rawa tidak ditanami, tambak, kolam/empang dan hutan, dengan jumlah penduduk 3.201.962 jiwa (Dinas Peternakan Kalimantan Selatan 2011). Potensi tersebut salah satunya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan itik, 510
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
baik sebagai penghasil telur maupun daging. Kebutuhan daging saat ini sebagian besar masih bertumpu pada ternak sapi dan ayam, dan kontribusi itik masih realtif kecil. Alternatif usaha untuk mengimbangi laju permintaan daging, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik pedaging, yakni hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan entok atau itik peking, yang kita kenal dengan sebutuan itik serati atau mandalung (Suparyanto 2005; Suryana 2008), tik-tok (Simanjuntak 2002), branti, togri, tongki (Srigandono 2000). Alasan dipilihnya jenis unggas tersebut karena pertumbuhannya cepat, mempunyai bobot badan besar dan produktif dalam menghasilkan daging (Roesdiyanto dan Purwantini 2001; Simanjuntak 2002; Setioko 2003). Itik serati atau mule duck umumnya merupakan salah satu hibrida hasil persilangan antara itik lokal dengan itik Manila atau entok (Cairina moschata), yang potensial sebagai penghasil daging (Dijaya 2003;Bakrie et al. 2005), dan mempunyai kadar lemak rendah dibanding jenis itik pedaging lainnya (Simanjuntak 2002; Setioko 2003; Suparyanto 2005). Menurut Harahap (1993), itik serati sudah sejak lama berada di pedesaan dan petani mengenalnya sebagai itik persilangan antara itik lokal dengan entok. Karena pemeliharaannya yang ekstensif-tradisional memberi kesempatan terjadinya perkawinan silang secara alami (Anwar 2005). Itik serati yang berkembang di Kalimantan Selatan saat ini berasal dari persilangan antara entok jantan dengan itik alabio betina atau sebaliknya (Wasito dan Rohaeni 1994; Suryana 1998). Sistem pemeliharaan itik serati masih dilakukan secara ekstensif-tradisional dengan pemberian pakan seadanya, diumbar di padang penggembalaan seperti sawah, sungai dan rawa-rawa yang ada di sekitar permukiman. Bibit serati diperoleh dengan cara menyilangkan (crossing) secara alami antara itik Alabio jantan dengan entok betina, atau sebaliknya dengan jumlah telur yang ditetaskan relatif sedikit, telur dierami menggunakan entok betina hingga menetas (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001; Anwar 2005), dan daya tetasnya berkisar antara 30-75% (Harahap 1993; Dijaya 2003; Setioko 2003). Jumlah DOD yang dihasilkan rendah, sehingga perkembangan populasinya lamban (Wasito dan Rohaeni 1994). Menurut Metzer Farms (2001) diperkirakan DOD itik serati yang menetas 60% adalah jantan, hal ini tidak menjadi masalah karena jantan maupun betina diarahkan untuk menghasilkan daging yang pertumbuhannya relatif sama. Keunggulan yang dimiliki itik serati, antara lain pertumbuhan yang cepat dan mampu mengubah pakan berkualitas rendah menjadi daging (Hutabarat 1982; Hardjosworo dan Rukmiasih 2000), tahan terhadap serangan penyakit dan 511
Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
mortalitasnya rendah berkisar antara 2-5% (Anwar 2005), memiliki daging yang tebal, berwarna coklat muda, tekstur lembut dan bercita rasa gurih (Suparyanto 2005). Itik serati jantan umur 12 minggu mencapai bobot badan 1.920,3 kg/ekor, sedangkan betina 1.911,8 kg/ekor dengan rata-rata persentase karkas masing-masing sebesar 63,23% dan 72,64% (Suparyanto
2005). Srigandono (2000) dan Dijaya (2003)
mengemukakan bahwa itik serati pada umur 10 minggu mencapai bobot badan 2,2-2,5 kg/ekor, dan umur 12 minggu bobot badannya berkisar antara 2,5-3,0 kg. Wasito dan Rohaeni (1994) melaporkan bahwa itik serati betina umur 10 minggu mencapai bobot badan 2,4 kg, sedangkan jantan umur 12 minggu bobot badannya sekitar 4,30 kg, konversi pakan 2,7, dan rata-rata persentase karkas berkisar antara 65,0-70,0%. Bobot karkas itik serati umur 8 dan10 minggu masing-masing mencapai 1.366,8 g/ekor dan 1.142,69 g/ekor (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001). Karakteristik itik serati umumnya hampir menyerupai entok yaitu memiliki tubuh besar, tenang, dapat berenang, tetapi tidak bisa terbang (Harahap 1993). Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan itik serati di tingkat petaniternak salah satunya adalah kesulitan memperoleh bibit day old duck (DOD) dalam jumlah banyak dan kontinyu (Suryana 2008), sehingga untuk memelihara dalam skala lebih besar bibitnya tidak tersedia. Untuk mengantisipasi kebutuhan bibit DOD tersebut, salah satunya dapat ditempuh melalui penerapan teknologi inseminasi buatan, dengan dosis yang tepat dan diharapkan mampu meningkatkan fertilitas dan daya tunas telur, populasi, pendapatan peternak, menciptakan lapangan kerja, dan sekaligus meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat dalam rangka medukung ketahanan pangan nasional. Tujuan pengkajian ini adalah untuk memperoleh dosis inseminasi buatan pada itik dan entog jantan yang terbaik.
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Pengkajian Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di Desa Taniran Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan mulai Januari sampai dengan Desember 2012.
Metode Pengkajian
512
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Rancangan yang digunakan dalam kegiatan pengkajian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan empat perlakuan dan lima kali ulangan. Masing-masing ulangan terdiri atas lima ekor itik, sedangkan pakan yang digunakan dalam kegiatan ini ditampilkan pada Tabel 1. Adapun perlakuan sebagai berikut : A
:
Dosis IB 0,25 cc tanpa pengenceran
B
:
Dosis IB 0,25 cc dengan pengenceran
C
:
Dosis IB 0,50 cc dengan pengenceran
D
:
Dosis IB 0,75 cc dengan pengenceran Tabel 1. Komposisi pakan perlakuan Bahan pakan Paya/sagu Dedak halus Pakan jadi (bama/PAR L) Ikan kering Mineral itik Konsentrat JUMLAH Kandungan nutrien: Energi metabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium (%) Phosphor (%) Harga pakan/ kg (Rp).
Persentase (%) 40 20 19,5 15 2,5 3 100 2.995 16,33 5,17 4,88 2,99 0,67 3.850,-
Sumber : BPTP Kalimantan Selatan (2010).
Pengumpulan dan Analisis Data 1.
Produksi telur harian (%), diperoleh dengan cara pengamatan dan pencatatan produksi telur yang dihasilkan setiap hari,
2.
Daya tunas telur (%), diperoleh berdasarkan rumus :
3.
Daya tetas (%), diperoleh berdasarkan rumus : x 100%
4.
Mortalitas DOD (%), diperoleh berdasarkan rumus :
513
Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
x 100 %,
5.
Bobot telur (g)
6.
bobot tetas (g)
7.
Indeks telur tetas (%)
Semua
data
hasil
pengamatan
dari
masing-masing
variabel
respons
dikumpulkan, dihitung dan dianalisis, sedangkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel respons dilakukan analisis ragam. Jika hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata atau sangat nyata, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Telur Hasil pengamatan terhadap produksi telur itik alabio selama lima bulan, ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan rata-rata produksi telur selama lima bulan pengamatan bervariasi, dari masing-masing perlakuan berkisar antara 19,31 – 64,73%. Hal ini dapat dipahami bahwa peningkatan produksi telur seiring dengan penambahan umur itik dan pemberian pakan yang memadai. Hasil kajian ini lebih rendah dari yang dilaporkan Suryana (2011), bahwa produksi telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara selama lima bulan pengamatan mencapai 76,48%. Perbedaan produksi telur yang dicapai dalam pengamatan diduga disebabkan umur pertama bertelur bervariasi.dan kualitas pakan yang berbeda. Syamyono (2011) melaporkan bahwa rata-rata produksi telur itik Ratu yang dipelihara di BPTU Pelaihari selama 52 minggu sebesar 70%, dengan puncak produksi 91,43%. Menurut Yuwono et al. (2005), kemungkinan lainnya yang menyebabkan perbedaan produksi telur adalah jumlah dan kandungan nutrien pakan yang kurang memadai, karena kebutuhan nutrien selama proses pembentukan telur kurang memadai. Setioko dan Istiana (1999) menyatakan bahwa produksi telur itik Alabio selama 5 bulan pengamatan mencapai 75,19%, lebih tinggi dari hasil penelitian Prasetyo dan Susanti (1999/2000) produksi telur itik Alabio di kandang lantai dan individu, masing-masing sebesar 28,75% dan 59,20%.
514
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Tabel 2. Rata-rata Produksi Telur Selama 5 Bulan Bulan
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Perlakuan A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata
Rata-rata produksi telur (%) 20,50 a 19,01 a 19,20 a 18,61 a 19,31 40,84 a 39,25 b 39,39 b 39,56 b 39,76 55,83 a 51,66 b 52,31 b 53,98 b 53,45 60,64 a 59,93 b 58,56 b 59,36 b 59,63 65,78 a 64,63 b 64,70 b 63,82 b 64,73
Ket. : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Laporan lainnya dikemukakan Hamdan dan Zuraida (2007); Hamdan et al. (2010), bahwa produksi telur itik Alabio selama 4-6 bulan di Kecamatan Babirik, HSU berkisar antara 66,92-70%, sementara Rohaeni (1997) menyatakan bahwa produksi telur itik Alabio dengan pemberian pakan lokal selama ±6 bulan sebesar 72,35%, lebih rendah dari hasil yang dikemukakan Rohaeni dan Setioko (2001), bahwa rataan produksi telur dengan perlakuan ransum berbeda, berturut-turut sebesar 68,86%, 60,07% dan 48,09%. Prasetyo dan Susanti (1999/2000) melaporkan bahwa produksi telur itik Alabio yang dipelihara intensif meningkat menjadi 200-250 butir/tahun, bila dibandingkan dengan cara tradisional. Pemeliharaan itik Alabio tradisional-lanting produksi telurnya relatif rendah seperti yang dilaporkan Rohaeni dan Rina (2006) sebesar 20%, dan 30% (Rohaeni dan Tarmudji 1994), sementara semi intensif lebih 515
Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
tinggi masing-masing sebesar 53% dan 70,90%. Solihat et al. (2003) mengemukakan produksi telur dari tiga bangsa itik (Alabio, Tegal dan Mojosari) yang dipelihara intensif berkisar antara 42,46-63,40%. Menurut Edianingsih (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan produksi telur adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan pewarisan sifat dari tetuanya antara lain dewasa kelamin lebih awal (Hardjosworo et al. 2001), tingginya intensitas peneluran, persentase peneluran dan clutch (Appleby et al. 2004), sementara lingkungan lebih dominan pengaruhnya adalah pemberian pakan dan cara pemeliharaan (Solihat et al. 2003; Pingel 2005), dan bobot telur (Ketaren et al. 1999). Selain itu, beberapa karakteristik genetik yang mempengaruhi produksi telur lainnya adalah masak kelamin, intensitas bertelur yang tinggi, panjang masa bertelur dan lama istirahat (Solihat et al. 2003). Produksi telur dipengaruhi oleh pakan, genetik dan kecepatan masak kelamin, kandungan nutrien pakan, imbangan energi dan protein pakan yang berbeda (Solihat et al. 2003), periode bertelur dan masa rontok/luruh bulu (molting) (Purba et al. 2005), stress pada saat adaptasi masuk kandang baru yang terlalu singkat akan mempengaruhi perbedaan produksi telur (Solihat et al. 2003). Umur pertama bertelur itik Alabio di HST lebih tua sekitar 6,5 bulan bila dibandingkan HSU dan HSS
berkisar antara 6-6,3 bulan. Hal ini sesuai dengan Prasetyo dan
Susanti (1999/2000) bahwa umur pertama bertelur pada itik Alabio 203,61 hari±19,68 atau 6,8 bulan, dengan bobot telur pertama 60,21 g±5,64. Umur pertama bertelur pada itik Ratu hasil pengamatan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan laporan Syamyono (2011) yaitu 84 hari, dengan bobot telur 55,5 gram, sementara Purba dan Manurung (1999) menyatakan bahwa umur pertama bertelur itik Alabio yang dipelihara selama 12 bulan sekitar 156±0,54 hari, hampir sama seperti yang dilaporkan Susanti (2003) yakni 150,3±0,7 hari. Rata-rata bobot telur yang dihasilkan bervariasi. Bobot telur tertinggi sebesar 53,25 g pada kode A dengan tingkat protein pakan 18% dan terendah 42,34 g kode K (pola petani). Bobot dan Indeks Telur Tetas Hasil penimbangan bobot telur dan pengukuran indeks telur tetas selama pengkajian, disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan rata-rata bobot berkisar antara 39,25 – 51,14 g/butir. Rata-rata bobot telur itik Alabio yang dihasilkan dari penelitian ini lebih rendah dibanding
yang dilaporkan Prasetyo dan Susanti (1999/2000) yakni 60,21±5,64.
Laporan lain dikemukakan Syamyono (2011), bahwa rata-rata bobot telur itik Ratu 516
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
sebesar 55,5g/butir. Bobot telur merupakan sifat yang banyak dipengaruhi oleh faktor genetik, umur induk, posisi telur dalam clutch, musim dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh jenis dan kualitas pakan yang berbeda. Pada pakan yang mengandung protein 18% menunjukkan bobot yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan protein 14% dan pakan pola petani.
Menurut Solihat et al.
(2003) bahwa bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat protein pakan, cara pemeliharaan dan temperatur lingkungan. Ditinjau dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat disebabkan oleh defisiensi asam linoleat ataupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti nicarbacin dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan rendah sehingga berat embrio juga lebih rendah (Komarudin et al. 2008).
Tabel 3. Rata-rata Bobot Telur dan Indeks Telur Tetas Bulan
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Perlakuan A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata
Rata-rata bobot telur (g) 39,34 39,21 39,11 39,36 39,25 41,44 40,99 40,87 40,66 40,99 45,88 43,56 43,76 44,81 44,50 48,55 47,22 48,01 47,21 47,74 52,66 51,00 50,24 50,66 51,14
517
Rata-rata indeks telur (%) 74,55 73,44 73,21 73,66 73,72 76,45 75,66 74,99 75,33 75,61 78,33 77,01 77,65 76,99 77,49 78,99 77,88 77,65 77,47 77,99 79,67 78,21 78,77 78,50 78,86
Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
Indeks telur merupakan perbandingan antara panjang telur dibagi lebar dikali 100%. Rata-rata indeks telur itik berkisar antara 73,72 - 78,86%. Indeks telur yang mencerminkan bentuk telur yang sangat dipengaruhi oleh genetik dan bangsa (Romanov et al. 1995), juga proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur (Larbier dan Leclercq 1994). Hasil pengamatan ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Suryana (2011), bahwa rata-rata index telur yang diperoleh selama proses penetasan sebasar 78,22%. Keragaan Penetasan Data keragaan penetasan telur selama enam periode penetasan, tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Keragaan penetasan telur itik selama 6 periode Periode penetasan Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Perlakuan A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B
Jumlah telur (butir) 75 75 75 75 75 125 125 125 125 125 200 200
Daya tunas (%) 75,44 70,31 70,34 70,44 71,63 79,88 76,87 76,98 76,54 77,56 86,66 84,55
Daya tetas (%) 48,99 48,66 48,91 48,56 48,78 52,88 49,99 48,77 46,88 49,63 52,77 50,11
Embrio mati (%) 12,34 15,99 13,77 14,98 14,2 5,67 6,89 7,55 7,89 6.69 5,44 6,55
Mortalitas DOD (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata
200 200 200 230 230 230 230 230 260 260 260 260 260
84,33 83,99 84,88 89,67 88,91 87,67 87,89 88,53 90,90 88,88 89,87 88,34 89,49
51,88 50,77 51,38 54,11 53,81 54,01 52,99 53,73 56,98 55,23 54,77 54,21 55,29
7,21 7,67 6,71 5,10 6,21 5,76 5,34 5,60 5,66 6,89 5,97 5,21 5,92
0 0 0 0 0 0 0 0 1,50 2,00 2,90 3,88 2,57
Pada Tabel 4 terlihat rata-rata daya tunas atau fertilitas telur antara perlakuan A berbeda dengan perlakuan D. Rata-rata daya tunas (fertilitas telur) tertinggi sebesar 90,90% pada perlakuan A pada bulan Desember, sementara terendah 70,31% 518
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
perlakuan B pada bulan Agustus. Perbedaan fertilitas ini diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, khususnya pemberian pakan. Fertilitas telur dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan Istiana & Setioko (1999), yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan terseleksi di Kabupaten HST masing-masing sebesar 73.33% dan 77,4%, sementara Rohaeni et al. (2005) melaporkan bahwa rataan fertilitas telur itik Alabio sebesar 88,16%. Demikian pula hasil yang dilaporkan Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), bahwa rataan fertilitas pada telur itik Alabio sebesar 79,12%±2.71. Wibowo et al. (2005) melaporkan fertilitas telur itik yang diperoleh selama 27 kali periode penetasan sebesar 85,3%. Pendapat lainnya dikemukakan Setioko et al. (1999/2000), bahwa fertilitas telur itik Alabio di lokasi Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) di Kabupaten HSU sebesar 95,57%, sedangkan dilaporkan Suryana dan Tiro (2007) hasil fertilitas yang diperoleh selama 26 periode penetasan telur itik Alabio di Kabupaten HSU sebesar 90,38%. Purba et al. (2005) menyatakan bahwa rataan fertilitas telur itik di daerah sentra produksi dan penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur berkisar antara 86.46-90.49%, sementara Yuwono et al. (2005) melaporkan bahwa rataan fertilitas telur itik lainnya selama lima periode penetasan sebesar 89,31%. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur (Srigandono 1997), jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al. 2003). Selain itu, hubungan temperatur lingkungan yang semakin meningkat antara lain temperatur atmosfir disinyalir dapat menyebabkan penurunan fertilitas atau sebaliknya (Kortlang 1985). Rata-rata daya tetas tertinggi pada perlakuan A sebesar 56,98%, sedangkan terendah pada perlakuan D (46,88%). Rendahnya daya tetas ini diduga disebabkan oleh faktor non teknis, yaitu sarana penetasan yang kurang mendukung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lasmini et al. (1992), tinggi rendahnya daya tetas bergantung kepada kualitas telur tetas, sarana penetasan dan keterampilan pelaksana, dan lamanya penyimpanan telur (Kortlang 1985). Hasil kajian Setioko (1998) menyebutkan bahwa penyimpanan telur tetas selama 1-3 hari diperoleh rataan daya tetas lebih tinggi (73,43%), dibandingkan penyimpanan selama 5-7 hari hanya mencapai 65,03%. Rataan daya tertas telur yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Rohaeni et al. (2005); Suryana dan Tiro (2007), rataan daya tetas telur itik Alabio masing-masing sebesar 79,49% dan 61,77%, tetapi sebaliknya lebih tinggi dari laporan Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) sebesar 48,98%±2,16. Menurut Wilson (1997) daya tetas sangat dipengaruhi oleh 519
Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang 1985). Mortalitas DOD yang diperoleh selama pengkajian tertinggi pada perlakuan D sebesar 3,88%, dan terendah sebesar 1,50% terjadi pada perlakuan A. Rendahnya mortalitas DOD ini salah satu penunjangnya adalah keterampilan peternak cukup baik dalam menangai DOD yang baru menetas, yakni dengan cara diberi alat pemanas/lampu untuk menghindari DOD kedinginan.
Bobot Tetas dan Bobot DOD Umur 7 Hari Hasil penimbangan terhadap bobot tetas dan bobot anak itik umur 7 hari, disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Bobot Tetas dan Bobot Umur 7 hari Periode penetasan Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Perlakuan A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata A B C D Rata-rata
Rata-rata bobot tetas (g/ekor) 35,44 36,55 35,90 35,01 35,73 36,11 36,88 36,81 36,87 36,67 36,77 36,67 37,76 36,99 37,04 36,99 36,65 37,21 36,89 36,94 40,55 39,21 39,98 38,77 39,63
520
Rata-rata bobot umur 7 hari (g/ekor)
65,77
66,89
66,51
66,43
65,21
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Rata-rata bobot tetas tertinggi sebesar (40,55 g/ekor), sementara terendah sebesar 35,01g/ekor. Perbedaan bobot tetas yang dihasilkan disebabkan bobot telur tetas yang digunakan berbeda. Pada periode penetasan bulan Agustus bobot telur relatif lebih rendah bila dibanding dengan periode penetasan Desember, yang bobot telurnya relatif besar (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al. (1998), bahwa bobot telur tetas mempunyai pengaruh signifikan terhadap bobot tetas yang dihasilkan. Bobot tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif sama dengan hasil penelitian Lasmini et al. (1992) sebesar 42,22 g, tetapi lebih besar dibandingkan hasil yang diperoleh Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) yakni 39,85 g±0,66. Rata-rata bobot DOD umur 7 hari, menunjukkan pertambahan yang lebih baik, yakni berkisar antara 65,77–66,89 g/ekor. Hal ini disebabkan di samping pemberian pakan pada fase tersebut terjamin, juga pemanasan di dalam brooder house atau indukan buatan memadai, sehingga DOD tidak banyak yang mati akibat kekurangan pakan dan kedinginan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dosis inseminasi buatan (IB) terbaik adalah 0,25 cc/ekor (perlakuan A) tanpa pengenceran dengan menggunakan NaCl fisiologis 0,90%. 2. Rata-rata produksi telur selama lima bulan (19,31-64,73%), daya tunas (71,6389,49%), daya tetas (48,78-55,29%), bobot tetas (35,73-39,63 g/ekor) dan mortalitas DOD yang diperoleh selama enam periode penetasan lebih rendah dengan rata-rata sebesar 1,50-3,88%.
Saran Untuk mendapatkan informasi keragaan pertumbuhan dan karkas serta kelayakan usahatani/ternak itik pedaging, perlu dilakukan pengkajian lanjut mengenai usaha pembesaran itik serati dengan menggunakan pakan berbasis bahan pakan lokal yang lebih efisien, murah dan berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Alfiyati, A. 2008. Si Penghasil telur dan daging yang handal dari Kalimantan Selatan. Bibit. Media Informasi Perbibitan Ternak 2 (1):19-21. Anwar. R. 2005. Produktivitas itik Manila (Cairina moschata) di Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan VI (1): 24-33.
521
Suryana: Level Dosis Inseminasi Buatan (IB) ……
Biyatmoko, D. 2005. Petunjuk teknis dan saran pengembangan itik Alabio. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 9 hlm. Biyatmoko, D. 2005a. Kajian arah pengembangan itik di masa depan. Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun 2005; Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 13 hlm. Dijaya, A.S. 2003. Penggemukan Itik Jantan Potong. Penerbit PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatam. 2011. Laporan Tahunan 2011. Banjarbaru. Dwi Putro, A.H., 2003. Penampilan itik, entok dan mandalung yang dipelihara secara intensif. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Harahap, D. 1993. Potensi itik mandalung sebagai penghasil daging ditinjau dari berat karkas dan penilaian organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya. Disertasi. Prorgam Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Penerbit PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Hutabarat, P.H. 1982. Genotipe x nutrient interaction of crosses between Alabio and Tegal duck and Muscovy and Pekin draker. Brith.Poult.Sci. (24): 555-563. Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan MINITAB . Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Metzer Farms. 2001. Mule duck.
[email protected] [10 September 2001]. Nawhan, A. 1991. Usaha peternakan itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Orasi Ilmiah disampaikan pada Lustrum II dan Wisuda VI Sarjana Negara Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary; Banjarmasin, 26 Oktober 1991. 18 hlm. Roesdiyanto dan D. Purwantini. 2001. Kinerja entik hasil persilangan (entok x itik) melalui inseminasi buatan (IB) yang dipelihara secara intensif. Journal Animal Production 3 (1):31-39. Sari, M. 2002. Pertumbuhan komparatif mandalung keturunan entog itik dan itik entog secara alometris. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Setioko, A.R. dan Istiana. 1999. Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 382-387.
522
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Setioko, A.R, Istiana dan E.S. Rohaeni. 2000. Pengkajian peningkatan mutu itik Alabio melalui program seleksi pada pembibitan skala pedesaan. Disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Sub Sektor Peternakan; Banjarbaru, 15-16 Agustus 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru.13 hlm. Setioko, A.R. 2003. Keragaan itik ” Serati” permasalahannya. Wartazoa 13 (1): 14-21.
sebagai
itik
pedaging
dan
Simanjuntak, L. 2002. Mengenal lebih dekat tiktok unggas pedaging hasil persilangan itik dan entok. Penerbit Agro-Media Pustaka. Jakarta. Solihat . S, Suswoyo dan I. Ismoyowati. 2003. Kemampuan performan produksi telur dari berbagai itik lokal. Jurnal Peternakan Tropis 3 (1):27-32. Srigandono, B. dan Sarengat W. 1990. Ternak itik identitas Jawa Tengah. Prosiding Temu Tugas Sub Sektor Peternakan. Pengembangan Itik di Jawa Tengah. hlm.10-16. Srigandono, B. 2000. Beternak Itik Pedaging. Penerbit PT. Trubus Agriwidya. Jakarta. Suparyanto, A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik madalung melalui pembentukan galur induk. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryana. 1998. Optimalisasi pemanfaatan itik alabio jantan sebagai penghasil daging. Balai Pengkajian Tengkologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan. Banjarbaru. hlm 1-11. Suryana, A. Darmawan, S.N. Hadi dan Suprijono. 2012. Laporan Akhir Hasil Kegiatan Pengkajian Itik Pedaging Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 33 hal. Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (3):109-114. Suwindra, I.N. 1998. Uji tingkat protein pakan terhadap kinerja itik umur 16 - 40 minggu yang dipelihara intensif pada kandang tanpa dan dengan kolam. Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Uhi, H.T., Rukmiasih dan A. Parakkasi. 2004. Pemberian pakan berserat tinggi dan suplementasi vitamin E terhadap penampilan itik mandalung. Media Peternakan 6 (2):44-49. Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Penerbit Kanisius Yogjakarta. Zulkarnain. 1992. Komposisi karkas dan lemak rongga tubuh itik mandalung II jantan dan betina. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
523