RESPON KINERJA PERTUMBUHAN ITIK PEDAGING TERHADAP LEVEL PROTEIN PAKAN BERBEDA Suryana, A. Darmawan, H. Kurniawan, Sholih, N.H, dan Suprijono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Kebutuhan daging secara nasional, hingga saat ini sebagian besar masih bertumpu pada ternak sapi dan ayam. Sementara pemintaan konsumen terhadap daging itik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini dindikasikan dengan tumbuhnya warung makan dan restoran dengan menu itik. Alternatif usaha untuk mengimbangi laju permintaan daging unggas, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik pedaging. Itik pedaging merupakan hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan entok yang dikenal dengan sebutuan itik serati atau mandalung Itik serati atau mule duck umumnya merupakan salah satu hibrida hasil persilangan antara itik lokal dengan itik Manila atau entok (Cairina moschata), yang potensial sebagai penghasil daging, serta mempunyai kadar lemak rendah dibanding jenis itik lainnya. Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, dengan memilih beberapa peternak kooperator. Perlakuan yang dikenakan adalah sebagai berikut : A= pakan pola petani /kontrol; B = protein pakan 14%; C= protein pakan 16% dan D = protein pakan 18%. Parameter yang diamati antara lain berat badan awal, pertambahan berat badan mingguan, konsumsi pakan, konversi pakan, berat badan akhir, bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan lemak abdominal serta perhitungan analisis finansial usaha beternak itik pedaging. Hasil kajian mununjukkan bahwa penggunaan level protein pakan 18% dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) terhadap pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, bobot karkas dan persentease karkas, sementara persentase lemak abdominal terendah diperoleh perlakuan C (protein pakan 16%). Berdasarkan perhitungan ekonomi sederhana bahwa usaha beternak itik pedaging sebanyak 100 ekor/periode, dengan asumsi kematian nol persen, perlakuan D (protein pakan 18%) mempunyai nilai keuntungan sebesar Rp.1.800.000/periode, dengan nilai R/C 1,27. Karena nilai R/C-nya lebih dari 1, maka usaha beternak itik pedaging tersebut masih layak dan menguntungkan. Kata kunci: Itik pedaging, performa pertumbuhan, protein pakan.
Pendahuluan Kalimantan Selatan memiliki potensi luas wilayah sebesar 3.753.052 ha, terdiri dari lahan kering, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, padang penggembalaan, lahan tidur, hutan rakyat, perkebunan, rawa tidak ditanami, tambak, kolam/empang dan hutan, dengan jumlah penduduk 3.201.962 jiwa (Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 2011). Potensi tersebut salah satunya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan itik, baik sebagai penghasil Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 537
telur maupun daging. Kebutuhan daging saat ini sebagian besar masih bertumpu pada ternak sapi dan ayam, dan kontribusi itik masih realtif kecil. Alternatif usaha untuk mengimbangi laju permintaan daging, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik pedaging, yakni hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan entok atau itik peking, yang kita kenal dengan sebutuan itik serati atau mandalung (Suparyanto 2005; Suryana, 2008), tik-tok (Simanjuntak, 2002), branti, togri, tongki (Srigandono, 2000). Alasan dipilihnya jenis unggas tersebut karena pertumbuhannya cepat, mempunyai bobot badan besar dan produktif dalam menghasilkan daging (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001; Simanjuntak, 2002; Setioko 2003). Itik serati atau mule duck /itik pedaging umumnya merupakan salah satu hibrida hasil persilangan antara itik lokal dengan itik Manila atau entok (Cairina moschata), yang potensial sebagai penghasil daging (Dijaya, 2003; Bakrie et al. 2005), dan mempunyai kadar lemak rendah dibanding jenis itik pedaging lainnya (Simanjuntak, 2002; Setioko, 2003; Suparyanto, 2005). Menurut Harahap (1993), itik serati sudah sejak lama berada di pedesaan dan petani mengenalnya sebagai itik persilangan antara itik lokal dengan entok. Karena pemeliharaanya yang ekstensif-tradisional memberi kesempatan terjadinya perkawinan silang secara alami (Anwar, 2005). Itik serati yang berkembang di Kalimantan Selatan saat ini berasal dari persilangan antara entok jantan dengan itik alabio betina atau sebaliknya (Wasito dan Rohaeni, 1994; Suryana, 1998). Sistem pemeliharaan itik serati/itik pedaging masih dilakukan secara ekstensiftradisional dengan pemberian pakan seadanya, diumbar di padang penggembalaan seperti sawah, sungai dan rawa-rawa yang ada di sekitar permukiman. Bibit serati diperoleh dengan cara menyilangkan (crossing) secara alami antara itik Alabio jantan dengan entok betina, atau sebaliknya dengan jumlah telur yang ditetaskan relatif sedikit, telur dierami menggunakan entok betina hingga menetas (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001; Anwar, 2005), dan daya tetasnya berkisar antara 30-75% (Harahap, 1993; Dijaya, 2003; Setioko, 2003). Jumlah DOD yang dihasilkan rendah, sehingga perkembangan populasinya lamban (Wasito dan Rohaeni, 1994). Metzer Farms (2001) memperkirakan bahwa DOD itik serati yang menetas 60% adalah jantan, hal ini tidak menjadi masalah karena jantan maupun betina diarahkan untuk menghasilkan daging yang pertumbuhannya relatif sama. Keunggulan yang dimiliki itik serati/itik pedaging, antara lain pertumbuhan yang cepat dan mampu mengubah pakan berkualitas rendah menjadi daging (Hutabarat, 1982; Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000), tahan terhadap serangan penyakit dan mortalitasnya rendah berkisar antara 2-5% (Anwar, 2005), memiliki daging yang tebal, berwarna coklat muda, tekstur lembut dan bercita rasa gurih (Suparyanto, 2005). Itik serati jantan umur 12 minggu mencapai bobot badan 1.920,3 kg/ekor, sedangkan betina 1.911,8 kg/ekor dengan rata-rata persentase karkas masing-masing sebesar 63,23% dan 72,64% (Suparyanto, 2005). Srigandono (2000) dan Dijaya (2003) mengemukakan bahwa itik serati pada umur 10 minggu mencapai bobot badan 2,2-2,5 kg/ekor, dan umur 12 minggu bobot badannya berkisar antara 2,5-3,0 kg. Wasito dan Rohaeni (1994) melaporkan bahwa itik serati betina umur 10 minggu mencapai bobot badan 2,4 kg, sedangkan jantan umur 12 minggu bobot badannya sekitar 4,30 kg, konversi pakan 2,7, dan rata-rata persentase karkas berkisar antara 65,0-70,0%. Bobot karkas itik serati umur 8 dan10 minggu masing-masing mencapai 1.366,8 g/ekor dan 1.142,69 g/ekor (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001). Karakteristik itik serati umumnya hampir menyerupai entok yaitu memiliki tubuh besar, tenang, dapat berenang, tetapi tidak bisa terbang (Harahap, 1993). Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan itik serati/itik pedaging di tingkat petani-ternak salah satunya adalah tingkat pertumbuhaan yang belum stabil, sehingga peningkatan berat badan yang dicapai di tingkat petani masih bervariasi. Untuk Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 538
meningkatkan pertumbuhan itik pedaging, di samping harus terpenuhinya asupan gizi dengan kualitas pakan yang memadai, juga tingkat protein pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup dan produksi daging. Penelitian tentang pengaruh pakan terhadap pertumbuhan itik lokal telah banyak dilaporkan, namun pada itik pedaging atau itik persilangan belum banyak dilaporkan. Oleh sebab itu, pengkajian ini pelu dilakukan untuk mengetahui level protein pakan yang dapat mempenagruhi kinerja performa dan efisensi pertumbuhan itik pedaging.
Metode Penelitian Kegiatan ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 4 (empat) perlakuan dan 5 (lima) kali ulangan. Tiap-tiap ulangan terdiri atas 10 ekor. Pakan yang digunanakan selama pemeliharaan (Tabel 1), sementara perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut : A B C D
= = = =
Pakan pola petani (kontrol) Pakan formulasi dengan tingkat protein 14% Pakan formulasi dengan tingkat protein 16% Pakan formulasi dengan tingkat protein 18%
Tabel 1. Komposisi pakan perlakuan. a.
Pakan Perlakuan B (Protein 14%) No. 1. 2. 3. 4. 5. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bahan pakan Paya/sagu Dedak halus Pakan jadi (bama/PAR L) Mineral itik Konsentrat JUMLAH Kandungan nutrien Energi metabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium (%) Phosphor tersedia (%) Harga pakan/ kg (Rp).
Persentase 40 35 20 2,0 3,0 100 2.900 14,0 4,17 5,88 3,99 0,65 4.850,-
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 539
b. Pakan Perlakuan C (Protein 16%) No. 1. 2. 3. 4. 5. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. c.
Bahan pakan Paya/sagu Dedak halus Pakan jadi (bama/PAR L) Mineral itik Konsentrat JUMLAH Kandungan nutrien: Energi metabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium (%) Phosphor tersedia (%) Harga pakan/ kg (Rp).
Persentase 40 20 30 2,0 8,0 100 2.850 16,0 6,17 6,88 4,99 0,70 5850,-
Pakan Perlakuan D (Protein 18%)
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Bahan pakan Paya/sagu Dedak halus Pakan jadi (bama/PAR L) Mineral itik Konsentrat
Persentase 35 20 30 2,0 13 100
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
JUMLAH Kandungan nutrien Energi metabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium (%) Phosphor tersedia (%) Harga pakan/ kg (Rp).
2.950 18,0 4,17 5,88 3,00 0,85 6450,-
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 540
Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan meliputi: variabel berat badan awal (g/ekor), konsumsi pakan, koversi pakan, pertambahan berat badan (g/ekor), berat badan akhir (g/ekor), berat hidup (g/ekor), berat potong (g/ekor), berat karkas (g/ekor), persentase karkas (%), lemak abdominal (%) dan perhitungan finansial sederhana usahatani/ternak itik pedaging (R/C ratio). Semua data hasil pengamatan dari masing-masing variabel respons dikumpulkan, dihitung dan dianalisis, sedangkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel respons dilakukan analisis ragam. Jika hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
Hasil dan Pembahasan Konsumsi Pakan Data pengukuran konsumsi pakan pada masing-masing perlakuan selama pengkajian disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan level protein pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi pakan itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 2. Rata – rata konsumsi pakan itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor) Perlakuan
Konsumsi Pakan
A (Pakan pola petani/kontrol)
4579,75 a
B (Protein pakan 14%)
4679,75 a
C (Protein pakan 16%)
4794,50
D (Prptein pakan 18%)
4840,50 b
a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 4840,50 g/ekor, disusul perlakuan C (4794,50 g/ekor) dan terendah perlakuan A sebesar 4579,75 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh komposisi kandungan bahan penyusun pakan masing-masing perlakua dengan tingkat palatabilitasnya berbeda-beda, yang menyebabkan konsumsi pakan tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dikemukakan Hahliyansyah (2013) bahwa konsumsi pakan yang dicapai itik serati umur 8 minggu dengan pemberian pakan berbasis empulur sagu fermentasi dengan tingkat protein pakan 18% sebesar 4347,25 g/ekor. Pertambahan Berat Badan Rata-rata penimbangan berat badan akhir masing-masing perlakuan selama pengkajian tertara pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan level protein pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 541
berat badan itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 3. Rata – rata pertambahan berat badan itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor) Perlakuan
Pertambahan berat badan
A (Pakan pola petani/kontrol)
915,79 a
B (Protein pakan 14%)
1145,65 b
C (Protein pakan 16%)
1247,82 c
D (Protein pakan 18%)
1545,74 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%. Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 1545,74 g/ekor, disusul perlakuan C (1247,82 g/ekor), B (1145,65 g/ekor), dan perlakuan A 1041,31 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh konsumsi pakan yang dicapai selama pertumbuhan berbeda pada masingmasing perlakuan, sehingga pertambahan berat badannya bervariasi. Selain itu, jumlah konsumsi pakan yang tinggi juga disebabkan oleh tingkat palatabilitas dan kecernaan pakan yang lebih efisien, sehingga pakan dapat dimanfaatkan lebih baik untuk menghasilkan daging. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibanding yang dikemukakan Mahliansyah (2013), bahwa rata-rata pertambahan berat badan tertinggi yang dicapai itik serati umur 8 minggu dengan pakan berbasis empulur sagu fermentasi mencapi 1247,82 g/ekor. Pernyataan senada dikemukakan Nasroedin (1995) dan Zuprizal (1998) bahwa pertambahan berat badan selama pemeliharaan akan berdampak kepada berat badan akhir yang tinggi. Pendapat yang sama dikemukakan Rasyaf (1995) bahwa laju pertambahan berat badan salah satunya dapat menentukan berat badan akhir. Menurut Syamsuardi (1989) dalam Matitaputty (2002) dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa pertambahan berat badan yang tinggi pada itik dan entog serta hasil persilangannya akan lebih baik, apabila keseimbangan ransum dan protrein ransum sesuai dengan tingkat umur dan kebutuhan fisiologisnya. Konversi pakan Konversi pakan merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan efisiensi penggunaan pakan dalam menghasilkan satu kg daging/telur selama satu siklus produksi. Rata-rata konversi pakan atau perbandingan antara jumlah berat badan akhir dengan konsumsi pakan pada masing-masing perlakuan selama pengkajian, disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan protein pakan 18% dalam pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konversi pakan itik serati umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan D tidak berbeda nyata (P> 0,05) dengan perlakuan lainnya. Walaupun tidak berbeda antar perlakuan, namun perlakuan C menunjukkan kecenderungan nilai konversi pakan paling rendah dibanding perlakuan A dan B.
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 542
Tabel 4. Rata-rata konversi pakan itik pedaging umur 10 minggu Perlakuan
Konversi Pakan
A (Pakan pola petani/ kontrol )
3,82 a
B (Protein pakan 14%)
3,32 a
C (Protein pakan 16%)
3,07 a
D (Protein pakan 18%)
3,66 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%. Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata konversi pakan itik pedaging terendah dihasilkan perlakuan C sebesar 3,07, disusul perlakuan B (3,32). Perbedaan angka konversi pakan diduga oleh perbedaan tingkat efisiensi pemanfaatan pakan selama proses pertumbuhan menjadi daging, masing-masing individu ternak berbeda-beda, walaupun jumlah, jenis dan waktu pemberiannya sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1995) bahwa perbedaan angka konversi pakan salah satunya disebabkan oleh tingkat palabilitas pakan yang dikonsumsi itu sendiri. Pendapat lain dikemukakan Nuraini (2009) bahwa salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan peningkatan pertambahan berat badan akhir, salah satunya ditentukan oleh tingkat konsumsi pakan yang efisen dan nilai konversi pakan (feed conversion ratio) yang lebih kecil. Hasil pengkajian ini lebih rendah dari yang dilaporkan Mahliansyah (2013), bahwa konversi pakan itik serati selama pemeliharaan 8 minggu sebesar 4,12. Berat Badan Akhir Data rata-rata penimbangan berat badan akhir masing-masing perlakuan selama pengkajian, dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan level protein pakan sebesar 18 % berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) terhadap berat badan akhir itik pedaging umur 10 minggu. Tabel 5. Rata – rata berat badan akhir itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
A B C D
Perlakuan (Pakan pola petani/kontrol ) (Protein pakan 14%) (Protein pakan 16%) (Protein pakan 18%)
Berat badan akhir 1.700 a 1.850 b 1.990 c 2.150 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%. Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata berat badan akhir itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 2.150 g/ekor, disusul perlakuan C (1.990 g/ekor), B (1.850 g/ekor), dan terendah perlakuan A sebesar 1.700 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh tingkat konsumsi pakan yang dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda. Selain jumlah konsumsi pakan yang tinggi juga disebabkan oleh tingkat palatabilitas pakan yang baik dengan tingkat kecernaannya optimal, sehingga pakan dapat Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 543
dimanfaatkan lebih efisien untuk menghasilkan daging. Berat badan akhir yang dicapai menunjukkan peningkatan yang lebih baik seiring dengan pertambahan level protein pakan. Hasil pengkajian ini lebih tinggi dibanding yang dikemukakan Mahliansyah (2013), bahwa rata-rata berat badan akhir yang dicapai itik serati pada 8 minggu, dengan pemberian pakan berbasis empulur sagu fermentasi sebasar 1393,75 g/ekor. Selain itu, pertambahan berat badan yang tinggi akan mengakibatkan berat badan akhir ikut meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasroedin (1995) dan Zuprizal (1998) bahwa pertambahan berat badan selama proses pemeliharaan akan berdampak kepada berat badan akhir yang tinggi. Pendapat yang sama dikemukakan Rasyaf (1995), bahwa laju pertambahan berat badan salah satunya dapat menentukan berat badan akhir. Berat Potong Data rata – rata hasil penimbangan terhadap berat potong masing-masing perlakuan, disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan level protein pakan 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat potong itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 6. Rata-rata berat potong itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
A B C D
Perlakuan (Pakan pola petani/kontrol ) (Protein pakan 14%) (Protein pakan 16%) (Protein pakan 18%)
Berat potong 1,100 a 1,759 b 1,801 c 2,000 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata berat potong itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 2.000 g/ekor, disusul perlakuan C (1.801 g/ekor), sementara terendah pada perlakuan A sebesar 1.100 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat badan akhir yang dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda. Berat badan akhir yang tinggi salah satunya disebabkan karena jumlah konsumsi pakan yang tinggi dengan tingkat palatabilitas dan efisiensi kecernaan pakan yang baik, sehingga daging yang dihasilkan meningkat. Selain itu, korelasi antara berat badan akhir yang tinggi akan mengakibatkan berat potong meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasroedin (1995) dan Zuprizal (1998), bahwa berat badan akhir yang dicapai selama pemeliharaan dengan komposisi pakan berbeda atau sama, akan berdampak kepada berat potong yang dihasilkan. Pendapat yang sama dikemukakan Rasyaf (1995) bahwa berat badan akhir salah satunya dapat menentukan berat potong, apabila ternak sudah disembelih. Berat Karkas Data rata-rata berat karkas itik pedaging masing-masing perlakuan selama pengkajian (Tabel 7). Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan level protein pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,1) terhadap berat karkas itik pedaging Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 544
umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 7. Rata - rata berat karkas itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor) Perlakuan A (Pakan pola petani/kontrol )
Berat karkas 910 a
B (Protein pakan 14%)
1,100 b
C (Protein pakan 16%)
1,500 c
D (Protein pakan 18%)
1,900 d
Keterangan :
Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata berat karkas itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 1.900 g/ekor, disusul perlakuan C (1.500 g/ekor) dan terendah perlakuan A sebesar 910 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat potong yang dicapai masing-masing perlakuan berbeda. Semakin tinggi berat potong yang dihasilkan, semakin tinggi pula berat karkas yang diperoleh. Hal ini senada dengan pendapat Mahliansyah (2013), bahwa itik serati dengan pemberian pakan berbasis empuluh sagu fermentasi yang berbeda tingkat kandungan serat kasarnya, menunjukkan perbedaan berat karkas nyata. Pernyataan yang selaras dikemukakan Uhi et al. (2004), bahwa semakin tinggi tingkat serat kasar dalam pakan, maka konsumsi pakan semakin rendah, sehingga mempunyai konsekuensi terhadap pertambahan bobot badan, berat akhir dan berat karkas yang dicapai berbeda-beda. Persentase Karkas Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan level protein pakan 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase karkas itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan lainnya. Rata-rata persentase karkas itik pedaging umur 10 minggu selama pengkajian, disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rata- rata persentase karkas itik pedaging umur 10 minggu (%)
A B C D
Perlakuan (Pakan pola petani/kontrol) ) (Protein pakan 14%) (Protein pakan 16%) (Protein pakan 18%)
Karkas (%) 61,24 a 65,66 b 69,45 c 71,23 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%. Tabel 8 menunjukkan bahwa rata-rata persentase karkas itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 71,23%, disusul perlakuan C (69,45%), dan terendah perlakuan A sebesar 61,24%. Perbedaan persentase karkas yang diperoleh dari perlakuan D yakni penggunaan level protein pakan 18%, diduga bahwa tingkat konsumsi pakan yang Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 545
tinggi dan palatabilitasnya baik, sehingga berat potong yang dicapai masing-masing perlakuan berbeda-beda. Bobot potong berhubungan erat dengan berat badan akhir dan pertambahan berat badan. Pertambahan berat badan akhir yang tinggi karena jumlah konsumsi pakan yang tinggi, dengan tingkat palatabilitas pakan yang baik akan meningkatkan pencapaian berat dan persentase. Hal ini sejalan dengan pendapat Matitaputty (2002), bahwa konsumsi pakan yang tinggi akan menyebabkan pertambahan berat badan dan berat badan akhir yang tinggi serta persentase karkas yang tinggi. Persentase karkas itik pedaging yang dihasilkan dalam kajian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Lutfi (1988) dalam Matitaputty (2002) yakni sebesar 64,39%. Selanjutnya laporan lain dikemukakan Lukman (1995) bahwa persentase karkas itik serati sebesar 63,20% dari bobot hidup. Laporan lainnya dikemukakan Mahliansyah (2013), bahwa persentase karkas itik serati selama pemeliharaan 8 minggu berkisar antara 63,34 - 70,66%. Persentase Lemak Abdominal Data rata – rata hasil perhitungan persentase lemak abdominal itik pedaging masingmasing perlakuan selama pengkajian, disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan level protein pakan 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase lemak abdominal itik serati umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 9. Rataan persentase lemak abdominal itik pedaging umur 10 minggu (%) Perlakuan
Lemak Abdominal
A (Pakan pola petani/kontrol) )
15,40 a
B (Protein pakan 14%)
13,26 b
C (Protein pakan 16%)
13,57 b
D (Protein pakan 18%)
18,15 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sam pada kolom rata-rata tidak menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%. Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata persentase lemak abdominal tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 18,15% dan terendah perlakuan B sebesar 13,26%. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh faktor efiensi pemanfaatan nurien pakan lebih baik, terutama energi metabolisme (EM/k/kal) yang digunakan selama pertumbuhan masingmasing perlakuan berbeda, walaupun pakan yang diberikan iso protein dan iso energi, namum selama proses metabolisme di dalam tubuh karena ada faktor lainnya yang ikut mempengaruhi, seperti temperatur dan kondisi fisiologis ternak, hal ini akan berdampak pada pengurangan kandungan lemak tubuh. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa penggunaan level protein pakan 14% dapat menurunkan persentase lemak abdominal, sehingga kandungan lemak abdominalnya lebih yang baik. Hasil kajian ini didukung oleh pernyataan Mahliansyah (2013), bahwa pakan yang mengandung empulur sagu fermentasi sebesar 30% dapat mempengaruhi persentase lemak abdominal itik serati selama pemeliharaan 8 minggu.
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 546
Berat Hati Data penimbangan bobot jerohan (jantung dan empela) itik pedaging masing-masing perlakuan selama pengkajian, disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan level protein 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat hati itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 10. Rata-rata bobot jantung dan empela itik serati umur 10 minggu (g) Perlakuan
Parameter
A
B a
54,03
C a
63,86
D b
74,04c
Berat hati (g)
54,62
Berat jantung (g)
31,19 b
27,41c
20,58b
20,58c
Berat ampela (g)
85,02a
90,75b
94,33c
90,57b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak nyata pada DMRT 5%. Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata berat hati itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan D 74,04 g/ekor, disusul perlakuan B (63,86 g/ekor) dan terendah perlakuan B sebesar 54,62 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat badan akhir yang dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda-bedan. Pertambahan berat badan yang tinggi karena iik mengkonsumsi jumlahi pakan yang tinggi, dengan tingkat palatabilitas dan kecernaan pakan yang baik. Berat hati yang berbeda diduga oleh penambahan berat selama pertumbuhan, sehingga berat hati mengalamai peningkatan. Berat hati menurut Zuprizal (1995) ada hubungannya dengan konsumsi pakan, terutama jika unggas diberi pakan berupa jagung butiran. Berat Jantung Data penimbangan terhadap berat jantung itik pedaging (Tabel 10). Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan pakan berptotein 18% dalam pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat jantung itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya. Berat jantung berbeda diduga disebabkan oleh berat akhir masing-masing individu ternak berbeda dengan tingkat konsumsi pakan yang berbeda pula. Pertumbuhan yang cepat pada unggas dengan komposisi pakan yang banyak mengandung lemak kasar sering diikuti dengan pembesaran jantung, sehingga terjadi penimbunan lemak tinggi yang menyelimuti permukaan jantung. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1995) bahwa besarnya jantung pada unggas sangat berhubungan dengan berat badan dan perlemakan di sekitar jantung. Berat Empela Data penimbangan berat rampela itik pedaging masing-masing perlakuan (Tabel 10). Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan pakan berprotein 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat empela itik pedaging umur 10 minggu. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 547
Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein 18% berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan lainnya. Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata berat empela itik pedaging tertinggi dihasilkan perlakuan C sebesar 94,33 g disusul perlakuan B (90,75 g), dan terendah perlakuan A sebesar 85,02 g. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat badan akhir yang dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda-beda. Berat empela itik pedaging yang berbeda diduga disebabkan oleh berat akhir masing-masing individu ternak yang berbeda dalam usaha untuk menghancur pakan secara kimiawi di dalam empela. Kekuatan otot empela yang besar, menyebabkan empelanya menjadi besar. Hasil pengkajian ini senada dengan yang dilaporkan Kusyanti (2013), bahwa besarnya empela sangat dipengaruhi oleh tingkat kontraksi empela pada saat melakukan proses pemecahan pakan secara kimiawi di dalam empela. Analisis Usaha (Income Over Duck Feed Cost - IODFC) Income over duck feed cost (IODFC) itik pedaging dihitung berdasarkan total pendapatan - (harga bibit/DOD + biaya pakan). Hasil perhitungan analisis usaha sederhana pemeliharaan itik pedaging selama 10 minggu, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Analisis kelayakan usaha tani sederhana (Income Over Duck Feed Cost IODFC)) itik pedaging selama 10 Minggu. No.
Uraian
Jumlah
Harga satuan (Rp)
Perlakuan (dalam Rp .000) A B C D
100 ekor
12.000
1.200
1.200
1.200
1.200
890 kg 1 paket
4.000 100.000
4.000 -
3.560 100
3.000 1000
3.500 150
20 buah
15.000
300
300
300
300
2 OB
750.000
1.500 5.000
1.500 6.660
1.500 6.100
1.500 6.650
100 ekor 5 karung
70.000 15.000
-
-
6.000 0 6.000 1.000 0,85
7.000 7.500 8.000 45 50 45 7.450 7.550 8.450 850 1.4500 1.800 1,11 1,23 1,27
A.
Pengeluaran : Bibit DOD umur 7 hari Pakan Obat-obatan/ vitamin Peralatan kandang/ tempat air minum Upah Tenaga Kerja Sub Jumlah B Pemasukan : Jual itik pedaging Pupuk kandang Sub Jumlah Keuntungan (B-A) R/C ratio Keterangan : OB (orang/bulan)
Tabel 11 dapat dikemukakan bahwa berdasarkan perhitungan sederhana pemeliharaan itik pedaging dengan jumlah 100 ekor, masing - masing perlakuan yang memperoleh keuntungan tertinggi adalah level protein 18% yakni sebesar Rp. 1.800.000,-, R/C ratio atau perbandingan antara biaya dan keuntungan 1,27, dengan asumsi-asumsi yang digunakan salah satunya tidak ada kematian (mortalitas). Angka R/C ratio lebih dari 1 (satu), dinyatakan bahwa usaha tersebut layak dan menguntungkan.
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 548
Kesimpulan 1.
Penggunaan level protein pakan 18% dalam ransum berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahah berat badan, berat badan akhir, berat karkas dan persentease karkas itik pedaging, sementara persentase lemak abdominal terendah diperoleh perlakuan C (protein pakan 16%).
2.
Berdasarkan analisis ekonomi sederhana, usaha beternak itik pedaging sebanyak 100 ekor/periode (2,5 bulan pemeliharaan), dengan asumsi kematian nol persen, perlakuan D (protein pakan 18%) mempunyai nilai keuntungan sebesar Rp. 1.800.000/periode, dengan nilai R/C 1,27. Karena nilai R/Cnya lebih dari 1, maka usaha beternak itik pedaging tersebut layak dan menguntungkan.
Daftar Pustaka Anwar. R. 2005. Produktivitas itik Manila (Cairina moschata) di Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan VI (1): 24-33. Bakrie, B., Suwandi dan L. Simanjuntak. 2005. Prospek pemeliharaan terpadu ”Tik-Tok” dengan padi, ikan dan azolla di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Wartazoa 15 (3):128135. Dijaya, A.S. 2003. Penggemukan Itik Jantan Potong. Penerbit PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatam. 2011. Laporan Tahunan 2011. Banjarbaru. Harahap, D. 1993. Potensi itik mandalung sebagai penghasil daging ditinjau dari berat karkas dan penilaian organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya. Disertasi. Prorgam Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Penerbit PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Hutabarat, P.H. 1982. Genotipe x nutrient interaction of crosses between Alabio and Tegal duck and Muscovy and Pekin draker. Brith.Poult.Sci. (24): 555-563. Kusyanti. 2013. Tingkat pemberian empulur sagu fermentasi dengan Aspergillus niger terhadap kualitas karkas itik serati umur 8 minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin Mahliansyah. 2013. Tingkat pemberian empulur sagu fermentasi dengan Aspergillus niger terhadap performa itik serati umur 2—8 minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan MINITAB . Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Metzer Farms. 2001. Mule duck.
[email protected] [10 September 2001].
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 549
Roesdiyanto dan D. Purwantini. 2001. Kinerja entik hasil persilangan (entok x itik) melalui inseminasi buatan (IB) yang dipelihara secara intensif. Journal Animal Production 3 (1):31-39. Setioko, A.R. 2003. Keragaan itik ” Serati” sebagai itik pedaging dan permasalahannya. Wartazoa 13 (1): 14-21. Simanjuntak, L. 2002. Mengenal lebih dekat tiktok unggas pedaging hasil persilangan itik dan entok. Penerbit Agro-Media Pustaka. Jakarta. Srigandono, B. 2000. Beternak Itik Pedaging. Penerbit PT. Trubus Agriwidya. Jakarta. Suparyanto, A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik madalung melalui pembentukan galur induk.Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryana. 1998. Optimalisasi pemanfaatan itik alabio jantan sebagai penghasil daging. Balai Pengkajian Tengkologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan. Banjarbaru. hlm 1-11. Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (3):109-114. Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Penerbit Kanisius Yogjakarta.
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 550