PENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH RAJUNGAN (Portunus pelagicus)
ABDUL MALIK SERANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus) adalah karya saya sendiri dan belum dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2006.
Abdul Malik Serang Nrp: C151030191
ABSTRAK
ABDUL MALIK SERANG. Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Dibimbing oleh Dr. M. AGUS SUPRAYUDI, Dr. DEDI JUSADI dan Dr. ING MOKOGINTA. Pemberian protein dan energi pada rajungan harus pada batas tertentu yang dapat memberikan pertumbuhan maksimum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar protein dan rasio energi optimum dalam pakan yang menghasilkan kinerja pertumbuhan rajungan yang terbaik. Rajungan yang digunakan pada percobaan ini adalah stadia Crab-5 (C-5). Rajunga n dipelihara dalam toples volume 2 liter yang diisi air sebanyak 1 liter dengan padat tebar 1 ekor per toples. Pakan yang digunakan sebagai pakan percobaan terdiri atas 7 jenis yakni A(Protein 30%; C/P 8), B(30%;9.5), C(35%;8), D(35%;9.5), E(40%;8), F(40%;9.5) dan G(45;8). Pemberian pakan dilakukan sebanyak 5 kali sehari sampai rajungan kenyang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi kadar protein dan rasio energi protein pakan mempengaruhi laju pertumbuhan harian dan retensi lemak. Pakan D memberikan laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan dan retensi protein yang tertinggi. Sementara frekuensi moulting yang tinggi juga dicapai pada perlakuan pakan D.
PENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH RAJUNGAN (Portunus pelagicus)
ABDUL MALIK SERANG
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Penelitian
: Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus)
Nama
: Abdul Malik Serang
Nomor Pokok
: C151030191
Program Studi
: Ilmu Perairan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. M. Agus Suprayudi Ketua
Dr. Dedi Jusadi Anggota
Dr. Ing Mokoginta Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perairan
Dr. Chairul Muluk, M.Sc
Tanggal Ujian: 22 Maret 2006
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Segala puji dan syukur patut penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan taufik serta inayah-Nya, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terlaksana. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2005 hingga September 2005 di Balai Pengembangan Benih Ikan Laut, Payau dan Udang Pangandaran kabupaten Ciamis, dengan judul “ Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi– tingginya kepada : Bapak Dr. M. Agus Suprayudi, Bapak Dr. Dedi Jusadi dan Ibu Dr. Ing Mokoginta,
selaku komisi pembimbing atas semua arahan dan
pengetahuan yang diberikan dalam penelitian serta penulisan karya ilmiah ini. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada isteri dan anak tercinta serta keluarga di Elat dan di Subang atas segala doa dan dukungan selama studi. Juga tak lupa kepada teman – teman seangkatan dan keluarga besar Balai Pengembangan Benih Ikan Laut, Payau dan Udang Pangandaran yang telah membantu dan me nyemangati penulis selama melakukan penelitian. Semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2006
Abdul Malik Serang
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1971 di kota Elat, Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Senen Husain Serang dan Ibu Sarbanun Serang (Almh). Tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri Tual, Kabupaten Maluku Tenggara. Pada tahun yang sama penulis diterima melalui jalur PSSB di Universitas Pattimura Ambon. Penulis diterima pada Jurusan Manejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan lulus sebagai Sarjana pada tahun 1996. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi ke Program Magister
untuk
pada Program Studi Ilmu Perairan,
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003. Pendidikan Pascasarjana ini mendapat dukungan Beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Perikanan Larvul Ngabal Tual, Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 1998 sampai 2004. Kemudian diangkat sebagai staf pengajar pada Politeknik Perikanan Negeri Tual sejak tahun 2005 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
x
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
1
Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................
3
Hipotesis ...........................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
4
Pertumbuhan Rajungan ....................................................................
4
Kebutuhan Protein dan Energi .........................................................
5
Kebutuhan Karbohidrat.....................................................................
8
Kebutuhan Lemak ............................................................................
9
Kebutuhan Vitamin ..........................................................................
11
Ekskresi Amonia ..............................................................................
11
Kualitas Air ......................................................................................
13
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................................
15
Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
15
Bahan Penelitian ...............................................................................
15
Metode dan Desain Penelitian ..........................................................
17
Pengukuran dan Pengamatan Peubah ...............................................
19
Analisa Data .....................................................................................
22
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
23
Hasil .................................................................................................
23
Pembahasan ......................................................................................
28
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
35
LAMPIRAN ................................................................................................
41
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Komposisi pakan percobaan (g/100 g pakan) dengan kadar protein dan imbangan energi protein yang berbeda (kkal DE/g protein = C/P) .......................................................................
15
2. Komposisi proksimat pakan percobaan ..................................................
16
3. Rata-rata lebar karapaks (LK), panjang karapaks (LP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) .....................
25
4. Komposisi proksimat tubuh rajungan (Portunus pelagicus) pada awal dan akhir percobaan ( % bobot kering )..........................................
25
5. Periode waktu antar mo ulting rajungan (Portunus pelagicus) setiap perlakuan selama percobaan. ...................................................................
26
6. Rata– ata frekuensi ganti kulit benih rajungan (Portunus pelagicus) pada berbagai pakan uji selama percobaan. ............................................
27
7. Konsumsi protein dan ekskresi amonia rajungan (Portunus pelagicus) ................................................................
27
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Rata-rata laju pertumbuhan harian rajungan (Portunus pelagicus) selama percobaan. .................................................
23
2. Rata-rata konsumsi pakan rajungan (Portunus pelagicus) selama percobaan. .................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Analisis kadar protein pakan dan tubuh rajungan...................................
42
2. Analisis kadar lemak pakan dan tubuh rajungan.....................................
43
3. Analisis kadar abu pakan dan tubuh rajungan.........................................
44
4. Analisis serat kasar pakan.......................................................................
45
5. Analisis kadar air pakan dan tubuh rajungan..........................................
46
6. Analisis amonia .......................................................................................
47
7. Hasil analisis proksimat bahan pakan .....................................................
48
8. Berat tubuh rajungan rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap pengamatan..............................................................................................
48
9. Lebar karapaks rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap pengamatan..............................................................................................
49
10. Panjang karapaks rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap pengamatan...................................................................................
49
11. Laju pertumbuhan harian (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan. .............................................................................
50
12. Konsumsi pakan (g) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan..............................................................................
50
13. Efisiensi pakan (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan..............................................................................
51
14. Retensi protein (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan..............................................................................
51
15. Retensi lemak (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan..............................................................................
52
16. Analisis ragam laju pertumbuhan harian rajungan (Portunus pelagicus) ................................................................................
52
17. Analisis ragam retensi protein rajungan (Portunus pelagicus) ..............
53
18. Analisis ragam retensi lemak rajungan (Portunus pelagicus).................
53
19. Analisis ragam frekuensi moulting rajungan (Portunus pelagicus)........
53
20. Analisis ragam ekskresi ammonia pada waktu 2 jam .............................
54
21. Analisis ragam ekskresi ammonia pada waktu 16 jam. ..........................
54
22. Hasil pengamatan frekuensi ganti kulit dari benih rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan selama percobaan .............
55
23. Perhitungan retensi protein dan retensi lemak rajungan (Portunus pelagicus) ..............................................................................
56
24. Konsentrasi amonia dalam air selama 16 jam (mg/l) dan ekskresi amonia rata-rata perjam (mg/g tubuh/jam) ..............................
58
25. Kisaran kualitas air selama pengamatan .................................................
59
PENDAHULUAN Latar Belakang Protein merupakan nutrien yang sangat berperan dalam pertumbuhan ikan, karena protein sebagai komponen terbesar dari daging dan berfungsi sebagai bahan pembentuk jaringan tubuh (Halver, 1988). Protein dengan kualitas dan jumlah tertentu mempengaruhi pertumbuhan sehingga pemberian protein yang cukup dalam pakan secara kontinyu sangat dibutuhkan agar dapat diubah menjadi protein tubuh secara efisien (NRC, 1983). Protein juga merupakan sumber energi selain lemak dan karbohidrat. Energi dibutuhkan untuk seluruh aktivitas tubuh dan energi ini diperoleh melalui proses katabolisme (NRC, 1993). Proses metabolisme membutuhkan energi yang cukup sehingga energi yang dihasilkan pertama-tama digunakan untuk kebutuhan pokok
sedangkan
kelebihannya
untuk
pertumbuhan.
Pertumbuhan
juga
dipengaruhi oleh ketersediaan lemak dan karbohidrat sebagai sumber energi nonprotein sehingga pada kondisi cukup energi protein akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan (Mahi et al. 2001). Peningkatan kelebihan energi dari pakan yang dikonsumsi menyebabkan jumlah total protein yang ditimbun meningkat, akan tetapi bagian energi yang diretensi akibat meningkatnya energi yang dikonsumsi menyebabkan terjadinya penimbunan lemak tubuh. Atas dasar ini, maka pemberian protein dan energi pada hewan harus pada batas tertentu yang dapat memberikan pertumbuhan maksimum dan efisiensi pakan yang tinggi.
Jumlah dan kualitas protein tersebut akan
mempengaruhi respon pertumbuhan. Pertumbuhan ikan maupun rajungan yang relatif lambat dis ebabkan juga karena kandungan energi pakan khususnya yang berasal dari karbohidrat dan lemak tidak cukup untuk proses metabolisme. Akibatnya protein digunakan untuk proses tersebut, sehingga protein dalam pakan tidak mencukupi bagi rajungan untuk proses pertumbuhan. Selanjutnya penggunaan protein secara berlebihan tidak ekonomis dan sisa metabolisme protein yang disekresikan dapat meningkatkan kadar amonia dan ini berbahaya bagi kehidupan ikan, termasuk rajungan.
2
Rajungan, Portunus pelagicus saat ini merupakan salah satu komoditas perikanan pantai yang memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama untuk pasar luar negeri. Rajungan diekspor ke luar negeri khususnya dalam bentuk olahan berupa daging yang telah dipisah-pisahkan dari cangkangnya (Supriatna, 1999). Selain itu rajungan mudah ditangkap dengan alat yang sederhana, mampu bertahan hidup dalam waktu relatif lama setelah penangkapan serta rasa dan aromanya yang khas. Beberapa jenis rajungan yang memiliki nilai ekonomis ialah Portunus trituberculatus, P. gladiato, dan P. hastatoides. Sampai saat ini, kesinambungan produksi rajungan melalui usaha budidaya masih mengalami hambatan mengingat penyediaan benih rajungan sepenuhnya mengandalkan hasil tangkapan di alam. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menghasilkan benih kepiting yang tepat kualitas, kuantitas maupun waktu, dengan memanfaatkan berbagai faktor yang diduga berpengaruh positif, antara lain dengan aplikasi pakan yang memenuhi standar nutrisi. Menurut Slamet dan Supriatna (1991), usaha pembesaran rajungan belum bisa dilakukan karena terhambat di dalam penyediaan benihnya. Hal ini dapat diawali dengan penanganan induk dalam pembenihannya serta pemeliharaan benih yang terkontrol. Beberapa penelitian telah banyak dilaporkan mengenai pembenihan rajungan Portunus trituberculatus di Jepang, sedangkan di Indonesia penelitian ke arah usaha budidaya rajungan telah dirintis oleh Romimohtarto pada 1979 dan produksi massal diawali sejak 1989 (Juwana dan Romimohtarto, 2000). Hasil penelitian Supriatna (1999) menyebutkan bahwa sintasan rajungan yang diperoleh berkisar 4 – 29 % dan informasi dari panti benih milik perusahaan swasta, dari beberapa kali memproduksi benih rajungan masih diperoleh sintasan 30 %. Susanto et al. (2003) melaporkan bahwa benih rajungan dapat berkembang baik dengan pemberian
pakan cumi-cumi atau kombinasi ikan rucah dengan cumi-
cumi. Sedangkan Juwana (2003) melaporkan bahwa penggunaan telur ayam tanpa campuran minyak hati cumi dapat dipakai (diuji) untuk pembesaran benih rajungan. Pada kepiting bakau misalnya, Giri et al. (2003) menyatakan bahwa kandungan lemak pakan meningkatkan pertumbuhan dan kandungan lemak tubuh
3
benih kepiting bakau dan untuk tumbuh dengan baik benih kepiting bakau membutuhkan pakan dengan kandungan lemak 9 % - 12 %. Khususnya pada rajungan, informasi yang ada sehubungan dengan kebutuhan nutrien pada stadia benih rajungan sangat sedikit. Sampai saat ini belum diperoleh informasi tentang kadar protein optimum dan rasio energi protein pakan dengan tepat untuk me nunjang efisiensi pakan dan pertumbuhan terbaik benih rajungan. Padahal dilihat dari aspek budidaya, informasi tentang kadar protein dan rasio energi protein dalam pakan sangat diperlukan untuk pertumbuhan rajungan yang optimal adalah sangat penting.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kadar protein dan rasio energi protein optimum dalam pakan yang me mberikan kinerja pertumbuhan rajungan yang terbaik. Manfaatnya ialah dapat memberikan informasi tentang nutrien rajungan, khususnya kebutuhan protein dan energi pakan sehingga dapat digunakan dalam memformulasikan pakan agar diperoleh keseimbangan yang tepat antara protein dengan nutrien lainnya.
Hipotesis Berdasarkan latar belakang serta tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan adalah pemberian pakan dengan kadar protein dan rasio energi protein yang tepat dapat memberikan kinerja pertumbuhan benih rajungan yang terbaik.
TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Rajungan Pertumbuhan merupakan hasil metabolisme zat dalam tubuh organisme hidup. Wickins (1982) mengemukakan bahwa pertumbuhan pada udang merupakan pertambahan protoplasma dan pembelahan sel yang terus menerus pada waktu ganti kulit. Pada rajungan pertumbuhan dipengaruhi oleh faktorfaktor eksogen yang sangat bervariasi di antara berbagai spesies. Faktor- faktor eksogen yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu, salinitas, pakan, ruang gerak dan lama pencahayaan (Heasman et al. 1985). Apabila keadaan lingkungan baik dan pakan yang bergizi cukup tersedia, maka pada saat ganti kulit akan terjadi pertumbuhan, sebaliknya apabila keadaan lingkungan kurang baik dan kekurangan pakan, maka ganti kulit tidak diikuti dengan pertumbuhan, bahkan dapat terjadi penurunan bobot tubuh. Tingkat perkembangan (pertumbuhan) pada rajungan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu : fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat zoea I, II, III, IV dan megalopa, sedangkan pada fase rajungan dikenal dengan tingkat rajungan muda dan rajungan dewasa. Pada fase telur, tingkatan perkembangan indung telur (gonada) merujuk pada tingkat kematangan indung telur. Pada fase larva tingkat perkembangan yang setiap tingkatnya dibatasi dengan penggantian kulit (moulting) sebelum mencapai tingkat megalopa. Pada saat matang telur menjelang ditetaskan, calon larva yang akan ditetaskan tersebut disebut pre- (proto) zoea. Setelah ditetaskan disebut zoea pertama, kedua, ketiga dan keempat. Pada setiap penggantian kulit zoea tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan lebih berat dan pada tingkat megalopa bentuk tubuhnya sudah mirip rajungan dewasa kecuali abdomennya masih berbentuk seperti ekor yang relatif panjang. Juwana (2002) menyatakan rajungan memerlukan pergantian kulit untuk tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya. Pada suhu yang relatif tinggi, interval moulting menjadi pendek. Berarti pertumbuhan rajungan lebih cepat dan keseragaman ukuran tercapai. Proses moulting setiap fase pada tingkat zoea
5
terjadi setelah 3 – 4 hari bila salinitas perairan 31 ± 2 ppt, sedangkan fase megalopa menjadi juvenil memerlukan waktu 11 – 12 hari bila berada pada kisaran salinitas yang tinggi dan memerlukan waktu 7 - 8 hari bila berada pada kisaran salinitas yang rendah. Fase zoea sampai fase megalopa berlangsung selama 18 – 20 hari. Pada fase kedua atau fase megalopa, perkembangannya untuk mencapai juvenil (crab I) memerlukan waktu 11 – 21 hari. Fase ketiga atau fase juvenil membutuhkan waktu kurang lebih 30 – 34 hari. Fase keempat atau fase menjelang dewasa dicapai setelah mengalami moulting kurang lebih 20 kali sejak dari fase zoea dan kepiting bakau mulai dewasa pada ukuran panjang karapas 42.70 mm. Pertumbuhan udang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pertumbuhan yang mencakup pertumbuhan larva melalui proses metamorphose dan pertumbuhan dalam pengertian pertambahan biomas atau ukuran tubuh. Berdasarkan ciri morfologinya, tahap pertumbuhan udang dibedakan menjadi empat yaitu : stadia nauplius (N), Zoea (Z), mysis (M) dan pascalarva (PL). Setiap stadia terdiri dari N1-6 , Z1-3 , dan M1-3 , sehingga dari stadia N1 sampai menjadi pascalava (PL1 ) udang mengalami 12 kali metamorphose (Nurdjana, 1986). Secara umum dinyatakan bahwa laju pertumbuhan krustasea merupakan fungsi dari frekuensi ganti kulit (moulting) dan pertambahan bobot badan setiap proses ganti kulit tersebut (Nurdjana, 1986). Kehilangan bobot setiap ganti kulit mengakibatkan model pertumbuhan krustasea tidak kontinyu (Allen et al. 1984). Pada udang ukuran kecil yang frekuensi ganti kulitnya tinggi, maka model pertumbuhannya mendekati kontinyu (Sedwick, 1979). Lebar karapas juga merupakan salah satu parameter pertumbuhan kepiting (Giri et al. 2003).
Kebutuhan Protein dan Energi Protein merupakan komponen pakan yang sangat dibutuhkan sebagai pembentuk jaringan tubuh dalam proses pertumbuhan, tetapi jika kebutuhan energi dari sumber lemak dan karbohidrat tidak mencukupi, maka sebagian besar protein juga akan digunakan sebagai sumber energi. Sumber protein yang sering digunakan dalam pembuatan pakan udang meliputi: tepung ikan, tepung udang, tepung kedelai, tepung kepala udang dan
6
daun lamtoro. Protein tepung rebon mempunyai kualitas yang lebih baik dari pada kasein dan tepung ikan untuk pertumbuhan pascalarva udang windu (Giri, 1988). Kualitas protein dari berbagai sumber tersebut ditentukan oleh susunan dan kandungan asam aminonya. Ada kecenderungan bahwa komposisi asam amino dari protein yang baik untuk udang adalah menyerupai komposisi asam amino protein untuk udang. Cowey dan Foster (1971) dalam National Research Council (1983) mengemukakan bahwa untuk pertumbuhannya, udang membutuhkan 10 jenis asam amino esensial yang terdiri dari: arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, valin, metionin, fenilalanin, treonin dan triptofan. Kebutuhan protein untuk udang bervariasi bergantung kepada umur atau ukuran dan spesies udang, serta sumber protein pakan. Bervariasinya kadar protein pakan dipengaruhi oleh kandungan energi yang berbeda untuk tiap-tiap pakan. Ekawati (1990) melaporkan bahwa pascalarva udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang berumur 20 hari dengan bobot rata-rata 20.42 ± 0.85 mg dapat tumbuh dengan baik jika diberi pakan dengan kadar protein 39.02% dengan kandungan energi 3.58 kkal/gr pakan. Benih kepiting bakau membutuhkan pakan dengan kandungan protein 47.6% untuk dapat tumbuh baik (Giri et al. 2002). Chin et al. (1992) melaporkan bahwa kepiting bakau yang diberi pakan dengan kandungan protein 35% dan 40% menghasilkan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata. Djunaidah (2004) melaporkan bahwa larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau (Scylla paramamosain) yang diberi pakan dengan kadar protein 60% mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau (S. paramamosain) yang diberi pakan dengan kadar protein 40%. Jumlah protein yang diperlukan dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh komposisi asam amino pakan. Rajungan seperti hewan lain tidak memiliki kebutuhan protein yang mutlak tetapi memerlukan suatu campuran yang seimbang antara asam amino esensial dan non esensial. Selanjutnya NRC (1983) mengemukakan pula bahwa kekurangan asam amino esensial mengakibatkan penurunan pertumbuhan. Sumber protein terbesar dalam pakan buatan Ictalurus punctatus adalah tepung ikan dan tepung kacang kedelai. Tepung kacang kedelai kekurangan asam amino
7
metionin dan kekurangan ini dicukupi dari tepung ikan yang kaya akan asam amino lisin dan metionin. Kebutuhan energi hewan dipengaruhi oleh umur, musim dan lingkungan. Hewan muda memerlukan energi yang lebih tinggi per unit bobot tubuh untuk hidup pokok dibanding dengan hewan dewasa meskipun reproduksi meningkatkan kebutuhan energi hewan dewasa (Watanabe, 1988 ). Keberadaan tingkat energi yang optimum dalam pakan adalah penting sebab kelebihan atau kekurangan energi dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan. Kandungan energi dari pakan bergantung pada komposisi bahan kimianya, dengan nilai pembakaran panas dari protein, lipid dan karbohidrat berturut-turut adalah 5.64, 9.44 dan 4.11 kkal/g dimana kandungan total pakan yang diperoleh dari pengukuran nilai kalori disebut energi kotor (Watanabe, 1988). Akan tetapi secara kimia pakan hanya dipengaruhi oleh panas dari pembakaran, atau energi kotor dan tidak ada informasi tentang apakah energi atau nutrien tersedia untuk ikan melalui proses penyerapan. Oleh karena itu dalam pembuatan pakan perlu mengetahui bioavailability energi pakan untuk hewan yang diberi pakan (NRC, 1993). Pertumbuhan ikan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dalam pakan dan pembelanjaan energi tersebut. Kebutuhan energi untuk metabolisme standar (maintenance) harus dipenuhi terlebih dahulu dan apabila berlebih, maka kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan (Lovell, 1988). Ini berarti apabila energi dalam pakan jumlahnya terbatas, maka energi tersebut hanya digunakan untuk hidup pokok saja dan tidak untuk pertumbuhan . Dalam penyusunan pakan buatan pada krustasea (khusus udang) perlu diperhatikan keseimbangan rasio energi protein, dimana pakan dengan kandungan energi yang tinggi mengakibatkan konsumsi protein berkurang dan pertumbuhan terhambat.
Sebaliknya
pakan
dengan
kandungan
energi
yang
rendah
mengakibatkan terjadinya perombakan protein untuk mencukupi kebutuhan energinya dan menghasilkan efisiensi protein yang rendah serta terhambatnya pertumbuhan udang. Pertumbuhan atau pembentukan jaringan tubuh paling besar dipengaruhi oleh keseimbangan protein dan energi dalam pakan. Pakan yang mempunyai
8
kadar protein tinggi belum tentu dapat mempercepat pertumbuhan apabila total energi pakan rendah. Karena energi pakan terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme
standar
(maintenance)
seperti
untuk
respirasi,
transportasi
ion/metabolit dan pengaturan suhu tubuh serta untuk aktivitas fisik lainnya. Energi untuk seluruh aktivitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari nutrien non-protein (lemak dan karbohidrat). Apabila sumbangan energi dari bahan non-protein tersebut rendah, maka protein akan didegradasi untuk menghasilkan energi, sehingga fungsi protein sebagai nutrien pembangun jaringan tubuh akan berkurang. Dengan kata lain, penambahan nutrien non-protein sebagai penghasil energi dapat menurunkan penggunaan protein sebagai sumber energi (protein sparing effect) sehingga dapat meningkatkan fungsi protein dalam menunjang pertumbuhan ikan ( Furuichi, 1988).
Kebutuhan Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah untuk manusia dan hewan peliharaan, tetapi pemanfaatannya oleh ikan air tawar bervaria si (NRC, 1993). Peranan karbohidrat selain sebagai sumber energi juga sebagai preucursor berbagai hasil intermediet yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan misalnya, untuk biosintesis asam amino non esensial dan asam-asam nukleat. Kemudian manfaat lain dengan adanya karbohidrat dalam pakan adalah pakan yang mengandung karbohidrat dan lemak yang tepat dapat mengurangi penggunaan protein sebagai sumber energi yang dikenal sebagai protein sparing effect. Terjadinya protein sparing effect oleh karbohidrat dan lemak dapat menurunkan biaya produksi (pakan ) dan mengurangi pengeluaran limbah nitrogen ke lingkungan (Peres dan Teles, 1999). Sparing effect dari karbohidrat dan lemak terhadap penggunaan protein pakan untuk pertumbuhan ikan telah dilaporkan antara lain pada juvenil rockfish, Sebastes schlegeli (Lee et al. 2002). Ikan mempunyai kemampuan lebih rendah dalam memanfaatkan karbohidrat dibanding hewan darat, namun karbohidrat harus tersedia di dalam pakan ikan, sebab jika karbohidrat tidak tersedia, maka nutrien yang lain seperti protein dan lemak akan dikatabolisme untuk dijadikan energi sehingga pertumbuhan ikan akan menjadi rendah (Wilson, 1994). Selanjutnya NRC (1993)
9
mengemukakan bahwa pertumbuhan fingerling catfish lebih tinggi ketika pakannya mengandung karbohidrat dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai sumber energi non-protein . Ikan- ikan air tawar dan ikan- ikan air laut mencerna karbohidrat. Kemampuan ikan laut mencerna karbohidrat adalah sekitar 20%, sedangkan ikan air tawar mampu mencerna diatas 20% seperti 30 – 40% untuk ikan Cyprinus carpio, 25 – 30% untuk ikan Ictalurus punctatus dan sekitar 40% untuk Tilapia sp (Wilson, 1994).
Kebutuhan Lemak Lemak memegang peranan penting sebagai sumber energi dalam pakan ikan, terutama ikan- ikan karnivora termasuk di dalamnya golongan krustasea. Satu unit lemak yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak dapat menyediakan energi untuk pemeliharaan metabolisme, maka sebagian besar protein yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan sebagai sumber energi (NRC, 1983). Sheen dan Wu (1999) melaporkan bahwa pakan crab kepiting yang ditambahi dengan minyak ikan memberikan frekuensi pergantian kulit yang lebih tinggi daripada pakan tanpa pemberian lemak. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan lemak memberikan pengaruh pada pertumbuhan crab kepiting. Selanjutnya dikatakan bahwa penambahan lemak 5.3% - 13.8% merupakan level lemak yang dapat diserap dengan baik oleh crab kepiting, Scylla serrata. Asam lemak esensial, terutama kelompok HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acids) dan PUFA ( Polyunsaturated Fatty Acids ) mempunyai peranan yang penting untuk kegiatan metabolisme tubuh organisme, komponen membran (fosfolipid dan kolesterol), hormon (metabolisme steroids dan vitamin D), aktivasi enzim- enzim tertentu dan preucursor dari prostanoids dan leucosit. Asam lemak yang esensial bagi krustasea yaitu 18:2n-6 (linoleat), 18:3n-3 (linoleat), 20:5n-3 (eikosapentaenoat, EPA) dan 20:6n-3 (dokosahexaenoat, DHA) (Kanazawa dan Teshima Tokiwa, 1979 dalam Karim, 1998).
10
EPA
dan
DHA
memegang
peranan
penting
dalam
mendukung
pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustasea (D’Abramo dan Sheen, 1993). Takeuchi (2000) menyatakan bahwa rajungan dan kepiting memerlukan EPA untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan DHA dibutuhkan untuk pergantian kulit (moulting). Suprayudi et al. (2002) menyatakan bahwa rasio perbandingan antara EPA dan DHA dalam pakan merupakan ukuran penting dalam menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup larva Scylla serrata. Pakan rotiver yang mengandung
DHA
dan
EPA
yang
seimbang
cenderung
menyebabkan
kelangsungan hidup yang rendah pada stadia megalopa Scylla serrata (Takeuchi, 2000). Rusdi (1999) menyatakan bahwa pakan yang mengandung asam lemak n-3 HUFA seperti 20:5n-3 dan 22:6n-3 merupakan asam lemak yang esensial bagi larva ikan laut dan krustasea. Kandungan asam lemak pakan alami untuk larva rajungan seperti rotifer memiliki komposisi 20:5n-3 sebesar 0.73 dan Artemia sebesar 4.52. Djunaidah (2004) menyatakan bahwa larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi pakan segar yang dicampur dengan biomassa Artemia mempunyai kualitas yang baik dibandingkan dengan larva yang dihasilkan oleh induk yang diberi pakan buatan. Pakan dengan kadar lemak 5% menghasilkan rata-rata pertumbuhan mutlak tertinggi, sedangkan pemberian lemak 8%, 11% dan 14% meningkatkan akumulasi lemak di dalam tubuh dan hepatopankreas terlihat dari peningkatan retensi lemak ovarium (Fatah, 1998). Sheen (2000) menyatakan bahwa selain asam lemak, golongan kepiting juga memerlukan adanya kolesterol. Lebih lanjut dikatakan bahwa Scylla serrata memerlukan kandungan kolesterol untuk menghasilkan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup yang maksimal. Kandungan kolesterol optimal untuk krustasea berkisar antara 0.2% - 0.8%.
Kebutuhan Vitamin Vitamin C merupakan salah satu unsur vitamin yang harus tersedia di dalam pakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan yang antara lain adalah pertama ikan tidak mampu mensintesa vitamin C di dalam tubuhnya (Matsumoto et al. 1991). Alasan kedua adalah vitamin tersebut juga memiliki berbagai fungsi
11
metabolis penting, antara lain adalah berperan dalam sintesa kolagen, berperan dalam menormalkan fungsi kekebalan tubuh serta sebagai antioksidan di dalam tubuh. Sebagai akibat dari tidak terpenuhinya jumlah vitamin tersebut, maka fungsi- fungsi metabolis berjalan tidak normal yang pada akhirnya seperti terlihat pada kasus udang yang kekurangan vitamin C, yakni ditandai dengan rendahnya pertumbuhan dan konversi pakan, frekuensi moulting berkurang, mudah stress dan kematian tinggi (He dan Lawrence, 1993). Fungsi lain dari vitamin C adalah sebagai kofaktor reaksi hidroksilase asam-asam amino triptopan, tirosin, lisin, penilalanin dan prolin (Tacon, 1991). Jadi dengan adanya vitamin C ikan akan memanfaatkan protein dengan lebih baik. Peran lain dari vitamin C adalah didalam sintesa kolagen yang merupakan komponen utama matriks tulang. Kolagen ini merupakan komponen protein yang terbanyak, yakni sekitar 25 – 30% dari total protein tubuh (Combs, 1992). Oleh karena itu berdasarkan kedua peran vitamin C tersebut, ikan dapat memanfaatkan protein dan melakukan sintesa kolagen dengan lebih baik, sehingga pada akhirnya tercapai pertumbuhan yang lebih baik juga.
Ekskresi Amonia Protein yang dikonsumsi ikan akan dicerna dan diserap dengan efisien. Asam amino yang tercerna yang berlebih dari yang dibutuhkan serta tidak digunakan dalam sintesis protein akan dideaminasi, sedangkan rantai karbon akan dioksidasi atau dikonversi menjadi lemak, karbohidrat atau senyawa lainnya. Selanjutnya nitrogen hasil deaminasi asam amino tadi dikeluarkan dari tubuh karena asam amino tidak disimpan dalam tubuh sebagaimana halnya lemak dan karbohidrat (Dosdat et al. 1996). Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi, maka lemak
dan karbohidrat ini akan menghasilkan oksidasi lengkap menjadi
karbondioksida dan air, tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya yang dipakai sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen (Amino) tidak dipakai sebagai sumber energi, maka tidak dapat dimetabolisme dan harus dikeluarkan. Proses kimia dimana gugus amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksinya dikatalisis
12
oleh enzim amino transferase di dalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamat dehidrogenase dalam mitokondria. Amonia yang telah terbentuk kemudian dilepaskan ke pembuluh darah hepatik untuk selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang dalam hal ini insang melalui sistem sirkulasi darah (Hepher, 1990; Dosdat et al. 1996). Nitrogen yang diekskresikan oleh ikan khususnya ikanikan teleostie sebagian besar berupa amonia (75 – 90 %), selebihnya berupa urea (5 – 15%), asam urat, kreatin, kreatinin, trimetil oksida (TMAO), inulin, asam para-aminohippurik dan asam amino (Jobling, 1994). Karena ikan mengeluarkan kelebihan nitrogen dalam bentuk amonia, maka ikan dikenal dengan hewan ammonotelik. Meningkatnya ekskresi amonia dengan cepat lebih banyak disebabkan oleh laju ekskresi nitrogen eksogenous ya ng lebih tinggi dibandingkan ekskresi nitrogen endogenous (Ming, 1985). Laju ekskresi amonia eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi (kadar protein pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non-protein) dan laju pemberian pakan, sedangkan ekskresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh (Jobling, 1994). Ming (1985) mengemukakan bahwa ekskresi amonia meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan. Selanjutnya Degani et al. (1985) mengemukakan bahwa produksi amonia berkolerasi secara linier dengan kadar protein pakan. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitiannya dimana produksi ikan Anguilla-anguilla yang diberi pakan dengan protein 25 – 35% lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi pakan 45 – 55% protein.. Jobling (1994) mengemukakan bahwa ekskresi amonia ikan yang diberi pakan lebih tinggi dibandingkan ikan- ikan yang puasa, peningkatan tersebut bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi (Koshio et al. 1993). Ekskresi amonia akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan dan beberapa jam kemudian terjadi puncak ekskresi. Selanjutnya Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya melihat bahwa ekskresi amonia tertinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3 – 5 jam sehabis mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 g terlihat 5 – 8 jam setelah makan. Tinggi rendahnya amonia yang dikeluarkan ikan bergantung pada kadar protein pakan, keberadaan energi non-protein (rasio energi protein),
13
kualitas protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya (pH dan temperatur). Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan, dimana konsentrasi amonia meningkat dengan meningkatnya pH dan temperatur. Lingkungan yang mempunyai konsentrasi amonia tinggi dapat menyebabkan ikan stres, menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian ikan (Degani et al. 1985; Jobling, 1994). Tingkat toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda dan bergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming, 1985). Secara umum konsentrasi amonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mg/1. Konsentrasi amonia sebesar 0.4 – 2 mg/1 dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Kualitas Air Dalam pemeliharaan benih rajungan
selain pakan, faktor lingkungan
(kualitas air) banyak menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi
lingkungan
yang
optimal
untuk
kepentingan
proses
fisiologis
pertumbuhan. Beberapa faktor lingkunga n yang berpengaruh, antara lain: suhu, salintas, pH, oksigen dan lain- lain. Juwana (2003) menyatakan bahwa kondisi yang baik untuk pendederan benih rajungan adalah pencahayaan 3300 lux selama 12 jam/hari dengan suhu 28 – 30.5o C dan salinitas yang memberikan laju pertumbuhan tertinggi adalah 32 ppt yang merupakan salinitas alami. Kandungan oksigen terlarut adalah 5.2 ppm sampai dengan 6.5 ppm dan kisaran pH media adalah 7.0 hingga 7.7 Suhu dapat mempengaruhi berbagai fungsi metabolisme dari organisme akuatik seperti laju perkembangan embrionik, pertumbuhan dan reproduksi. Selain itu suhu juga mempengaruhi moulting dan nafsu makan kepiting bakau. Juwana (1996) menyatakan bahwa dalam pemeliharaan benih rajungan suhu air diatur 31o C dan salinitas 31 – 33 %o. Menurut Giri et al. (2003) suhu yang baik untuk pemeliharaan benih kepiting bakau berkisar 30 – 31o C.
14
Kondisi lingkungan dalam hal ini suhu dapat mempengaruhi kebutuhan ikan terhadap protein. Setiap fase dalam siklus hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas dan pH yang berbeda. Menurut Giri et al. (2003) salinitas yang layak bagi kelangsungan hidup benih kepiting bakau adalah 30 – 33 ppt dan pH berkisar antara 7.0 – 7.8. Larva kepiting bakau pada stadia zoea dapat mengalami kematian apabila berada pada salinitas lebih rendah dari 17 ppt. Larva kepiting bakau pada substadia zoea-I tidak toleran terhadap salinitas rendah (di bawah 17 ppt). Kepiting dapat hidup pada perairan dengan kelarutan oksigen 5.2 ppm.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengembangan Benih Ikan Laut, Payau dan Udang Pangandaran Kabupaten Ciamis. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan waktu pelaksanaannya adalah dari bulan Juli 2005 sampai dengan bulan September 2005.
Bahan Penelitian Hewan Uji Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih rajungan stadia Crab-5 (C-5). Benih tersebut diperoleh dari hasil penetasan dan pemeliharaan di Balai Pengembangan Benih Ikan Laut, Payau dan Udang Pangandaran. Pakan Uji Pakan yang digunakan terdiri dari 7 jenis, dengan 2 tingkat kadar protein dan rasio energi protein berbeda yakni A(30%;8), B(30%:9.5), C(35%:8), D(35%:9.5), E(40%;8), F(40%;9.5), G(45%;8). Komposisi pakan tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi pakan percobaan (g/100 g pakan) dengan kadar protein dan imbangan energi protein yang berbeda (kkal DE/g protein = C/P) Pakan (Protein;C/P) Bahan Pakan Tepung Ikan T. Kepala Udang Tepung Darah Tepung Kedelai Tepung Pollard Tepung Jagung Minyak Cumi Minyak Ikan Lechitin BHT Mineral mix 2) Vitamin mix 3) CMC 1) Filler (selulosa) Cholesterol Total
A(30%;8) 18.00 10.42 5.00 10.40 9.00 9.00 3.00 2.70 2.00 0.01 4.00 3.00 3.00 19.97 0.50 100.00
B(30%;9.5) 18.70 10.42 5.00 10.40 10.00 10.00 5.50 5.50 2.00 0.01 4.00 3.00 3.00 11.97 0.50 100.00
C(35%;8) 23.00 12.16 5.83 12.70 8.00 8.00 4.30 4.30 2.00 0.01 4.00 3.00 3.00 9.20 0.50 100.00
D(35%;9.5) 23.00 12.21 5.83 11.90 9.00 9.00 7.28 7.28 2.00 0.01 4.00 3.00 3.00 1.99 0.50 100.00
E(40%;8) 27.30 13.89 6.67 14.20 7.00 7.00 5.60 5.60 2.00 0.01 4.00 2.00 3.00 1.23 0.50 100.00
F(40%; 9.5) 34.00 10.00 6.67 10.10 4.00 3.00 9.80 9.80 3.00 0.01 4.00 2.00 3.00 0.12 0.50 100.00
G(45%: 8) 41.20 8.00 7.50 10.00 4.79 4.00 8.00 7.00 2.00 0.01 2.00 2.00 3.00 0.00 0.50 100.00
16
Sebelum pakan dibuat dilakukan analisa proksimat terhadap bahan baku pakan. Hasil analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Setelah pakan dibuat dilakukan pula analisa proximat, seperti disajikan pada Tabel 2. Hasil yang diperoleh adalah : pakan A (30%;9.95),
B(30%;10.94), C(35%;9.41),
D(35%;10.07), E(40%;8.94), F(40%;9.54) dan pakan G(45%;8.70). Untuk mempertahankan kualitas pakan, maka banyaknya pakan yang dibuat untuk masing- masing perlakuan adalah 100 gram. Pakan yang telah dibuat disimpan di dalam freezer. Tabel 2. Komposisi proksimat pakan percobaan
Komposisi Pakan (Protein; C/P) proksimat (% bobot kering) A(30;9.95) B(30; 10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70) Protein Lemak Kadar Abu Serat Kasar BETN
30.54 11.63 8.70 7.97 41.16
30.88 17.45 8.71 6.95 36.01
35.92 16.56 9.45 6.77 31.30
36.05 20.70 9.61 6.02 27.62
41.17 20.65 10.09 5.42 22.67
40.84 24.46 10.23 5.10 19.37
Total energi 3039.93 (kkal DE/kg)
3394.50
3381.06
3628.95
3680.35
3894.91 3926.39
Energi/Protein 9.95 C/P (kkal DE/g
10.99
9.41
10.07
8.94
9.54
45.15 24.69 10.60 5.68 13.81
8.70
Keterangan Tabel 1 : 1. Carboxil Methyl Cellulose 2. Komposisi Mineral mix (per Kg pakan) : Fe citrate 138,58 mg, ZnSO 4 7H2 O 219,9 mg, MGSO 4 123.79 mg, CUSO 4 5H2 O 11,79 mg, COSO 4 7H2 O 2,39 mg, KIO3 5,06 mg, Cr3+ 1,28 mg, Selenium regen 7,00 mg (Watanabe, 1988). 3. Komposisi Vitamin mix (per Kg pakan) : Vitamin A 4000 IU, Vitamin D3 2000 IU, Vitamin E 200 mg, Vitamin K 8 mg, Vitamin B1 32 mg, Vitamin B2 40 mg, Vitamin B6 32 mg, Vitamin B12 0.04 mg, Pantotenat acid 120 mg, Nicotinec acid 160 mg, Biotin 8 mg, Inositol 300 mg (Watanabe, 1988).
17
Wadah dan Media Wadah percobaan yang digunakan adalah berupa toples plastik volume 2 liter berjumlah 21 buah yang diisi air sebanyak 1 liter. Air media yang digunakan adalah air laut bersalinitas 32 - 33 ppt. Sebelum digunakan, air laut tersebut disaring terlebih dahulu kemudian ditampung pada bak penampungan dan disterilkan dengan kaporit pada dosis 15 – 20 ppm, selanjutnya dari bak penampungan ini disalurkan ke wadah-wadah percobaan. Untuk mempertahankan suhu media percobaan agar dapat tetap sesuai dengan setiap perlakuan (30 – 31o C), maka masing- masing toples ditempatkan ke dalam sebuah “water bath” dengan air laut dan diberi alat pengatur suhu (thermostat). Penempatan toples tersebut dilakukan secara acak. Untuk mempertahankan kelarutan oksigen media percobaan, maka pada setiap toples diberi aerasi lemah dengan menggunakan selang yang dihubungkan dengan pipet pasteur. Sumber aerasi berasal dari "root blower" . Untuk menjaga kualitas media dalam wadah percobaan, maka sisa-sisa pakan dan kotoran rajungan uji setiap hari dibuang dengan cara menyipon dengan menggunakan selang plastik. Sebelum penyiponan dilakukan, aerasi dihentikan lebih dahulu.
Metode dan Desain Penelitian Penelitian didahului dengan tahap persiapan yang meliputi: penyediaan bahan dan peralatan, pengadaan dan pemeliharan induk matang gonad, penetasan dan kultur pakan alami.
Metode Pemeliharaan Pemeliharaan Induk Induk betina bertelur (berried females) dan jantan berjumlah 10 ekor dengan perbandingan 8 : 2. Induk ditempatkan dalam bak pemeliharaan yang terbuat dari beton berukuran panjang, lebar dan tinggi masing- masing 4 x 1 x 1 m yang diisi air laut bersalinitas 32 - 34 ppt dengan suhu berkisar 30 – 33o C. Bak pemeliharaan tersebut dilengkapi dengan aerasi yang berasal dari root blower.
18
Selama pemeliharaan, induk rajungan diberi pakan berupa kerang dara (Anadara sp) dan cumi-cumi. Untuk menjaga kualitas media pemeliharaan, maka sisa-sisa pakan dan kotoran dibuang dengan cara menyeser dan dilakukan'pergantian air sebanyak 50% dari volume total bak setiap hari. Untuk mengetahui perkembangan telur, maka dilakukan pengamatan tingkat kematangan telur (TKT) setiap hari. Setelah terlihat adanya telur berwarna kuning, induk rajungan dipindahkan ke akuarium dengan sistem resirkulasi air. Bila penetasan segera akan berlangsung yang ditandai denga n perubahan warna dari coklat menjadi hitam seluruhnya, maka induk rajungan segera dipindahkan ke wadah penetasan.
Penetasan Wadah penetasan terbuat dari fibre glass berbentuk bulat berdiameter 1.2 m dan berukuran tinggi 1 m. Setelah induk rajungan menetaskan telur-telurnya dalam wadah penetasan ini, maka induk dan larva segera dipisahkan. Induk yang telah menetaskan telur-telurnya dipindahkan kembali ke bak pemeliharaan dan dipelihara seperti semula. Larva pada wadah penetasan dibersihkan dari kotorankotoran dengan menggunakan saringan.
Persiapan dan Pemeliharaan Benih Persiapan hewan uji benih rajungan diawali dengan pemeliharaan larva hasil penetasan yang ditempatkan dalam wadah bak beton 8 ton dengan volume air 6000 liter. Selama pemeliharaan diberi pakan alami berupa rotifera dan naupli Artemia. Larva kepiting yang telah mencapai stadia Crab-5 (C-5) diadaptasikan dan dimasukan ke dalam toples sebanyak 1 ekor tiap toples. Penempatan benih rajungan dalam toples dilakukan secara acak. Pemberian pakan dilakukan 5 kali sehari yaitu pukul 7 pagi, 12 siang, 4 sore, 9 malam dan 2 malam sampai kenyang. Banyaknya pakan yang diberikan dan sisa pakan selama penelitian dicatat untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan yang selanjutnya dijadikan dasar untuk menghitung efisiensi pakan. Untuk mengetahui pertumbuhan benih rajungan uji dilakukan penimbangan bobot,
19
mengukur lebar dan panjang karapas pada awal dan akhir percobaan. Pemeliharaan benih rajungan dilakukan selama 6 minggu.
Desain Percobaan Desain percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan 2 faktor dan tiga ulangan. Faktor tersebut adalah kadar protein dan rasio energi protein pakan. Taraf faktor dari kadar protein adalah 30, 35, 40, dan 45%, serta taraf faktor dari rasio energi protein pakan sebelum analisa proksimat pakan adalah 8 dan 9.5 kkal DE/g protein. Jadi seluruhnya terdapat 7 kombinasi pakan perlakuan. Adapun suhu, salinitas dan oksigen terlarut dibuat kondisional, yaitu suhu air berkisar 29.5 – 30o C, salinitas berkisar antara 33 - 34 ppt dan kandungan oksigen terlarut di atas 4 ppm. Kondisi ini dapat mendukung pertumbuhan rajungan dengan baik.
Pengukuran dan Pengamatan Peubah Analisis Proksimat Rajungan dan Pakan Analisis proksimat pakan dan tubuh rajungan dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Analisis tersebut meliputi kadar protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kadar abu, kadar air dan BETN. Analisis proksimat untuk protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldhal, lemak kasar dengan metode ekstraksi denga n alat Soxhlet, abu melalui pemanasan sampel dalam tanur pada suhu 400 – 600o C, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta pemanasan dan kadar air dengan metode pemanasan dalam oven pada suhu 105 – 110o C (Takeuchi, 1988).
Pengukuran Produksi Amonia Pengukuran ekskresi amonia dilakukan untuk mengetahui banyaknya protein yang dikatabolisme di dalam tubuh rajungan. Pengukuran dilakukan setelah pengamatan pertumbuhan rajungan. Pada waktu pengukuran akan dilakukan, rajungan diberi pakan sampai kenyang. Kemudian dipindahkan ke
20
wadah berupa toples lain yang telah berisi air dan telah diaerasi selama 24 jam. Di toples ini rajungan tidak diberi pakan serta tidak diaerasi. Sampel air diambil setiap 1 jam, 2 jam, 4 jam, 8 jam dan 16 jam untuk diukur kadar amonianya.
Peubah Yang Diukur Laju Pertumbuhan Harian Untuk mengetahui laju pertumbuhan benih rajungan, maka dilakukan pengukuran pertambahan bobot tubuh, panjang dan lebar karapaks. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir pene litian. Pengukuran bobot tubuh menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0.0001 g, panjang karapaks
dan lebar
karapas dengan menggunakan jangka sorong. Laju pertumbuhan bobot rata-rata harian dihitung dengan menggunakan rumus Huisman (1976):
a = ( v Wt - 1 ) x 100% Wo di mana : a = Laju pertumbuhan bobot rata-rata harian (%) Wt = Bobot rata-rata individu pada akhir percobaan (g) Wo = Bobot rata-rata individu pada awal percobaan (g) t = Lama pemeliharaan (hari). Pertumbuhan panjang karapaks mutlak (L) dan lebar karapas mutlak (CWd) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ? L = Lt - Lo di mana: ?L = Pertumbuhan panjang karapaks (cm) Lt = Panjang karapaks rata-rata pada akhir percobaan (cm) Lo = Panjang karapaks rata-rata pada awal percobaan (cm). ?CWd = CWdt – CWdo di mana : ?CWd = Pertumbuhan lebar karapas (cm) CWdt = Lebar karapas rata-rata pada akhir percobaan (cm) CWdo = Lebar karapas rata-rata pada awal percobaan (cm).
21
Efisiensi Pakan (Bt + Bd) - Bo FE =
x 100 % F
di mana: FE = Efisiensi pakan (%) Bt = Bobot kepiting pada akhir penelitian (g) Bo = Bobot kepiting pada awal penelitian (g) Bd = Bobot kepiting yang mati selama penelitian (g) F = Jumlah pakan yang dikonsumsi selama penelitian (g) Sumber : Watanabe (1988) Retensi Protein (PR) dan Retensi Lemak (LR) Bobot protein tubuh akhir - Bobot protein tubuh awal (g) PR =
x 100 % Bobot total protein yang dikonsumsi (g) Bobot lemak tubuh akhir - Bobot lemak tubuh awal (g)
LR =
x 100 % Bobot total lemak yang dikonsumsi (g)
Sumber : Watanabe (1988) Periode Intermo ult =
lama waktu antara intermo ult yang pertama dengan intermoult berikutnya pada individu yang sama selama percobaan
Ekskresi amonia = [NH3 -N]t1 - [NH3-N]to x V Ekskresi amonia/NH3-N (mg/g tubuh/jam) = Bobot Ikan (g) x t Keterangan : [NH3 -N]t1 = Konsentrasi amonia pada akhir pengamatan (mg/l) [NH3 -N]to = Konsentrasi amonia pada awal pengamatan (mg/l) V = Volume air di dalam wadah (500 ml) t = Waktu pengambilan sampel (5 jam) Sumber : Ming (1985) Kualitas Air Peubah kualitas air yang diukur meliputi salinitas, suhu, pH dan oksigen terlarut. Salinitas media pemeliharaan larva dan benih rajungan diukur dengan menggunakan hand refraktometer yang mempunyai ketelitian 0.1 ppt, suhu dengan thermometer air raksa dengan ketelitian 0.1o C, pH dengan pH meter
22
dengan ketelitian 0.1. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan oksigen meter tipe YSI model 51B. Pengukuran salinitas, suhu dan pH dilakukan setiap hari sebanyak 2 kali, yaitu pukul 6.pagi dan 6 sore; oksigen terlarut setiap tiga hari sekali sampai akhir penelitian, sedangkan kadar amonia diukur pada akhir penelitian.
Analisa Data Parameter yang diuj i secara statistik adalah: retensi protein, retensi lemak, laju pertumbuhan harian, lebar karapaks, panjang karapaks dan efisiensi pakan. Untuk mengetahui pengaruh pakan uji terhadap peubah yang diukur tersebut digunakan analisis ragam (uji F). Jika terdapat perbedaan antara perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNJ (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Laju Pertumbuhan Harian Data perubahan bobot tubuh rajungan (Portunus pelagicus) dari setiap perlakuan dan ulangannya selama percobaan dapat dilihat pada Lampiran 7. Sedangkan rata-rata laju pertumbuhan harian rajungan selama percobaan disajikan pada Gambar 1.
Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian (%)
8 7
b ab
5
ab
ab
6
A(30%;9.95)
a
ab
B(30%;10.99) C(35%;9.41)
a
4
D(35%;10.07)
3
E(40%;8.94) F(40%;9.54)
2
G(45%;8.70) 1 0 1 Pakan (Protein;C/P)
Gambar 1. Rata-rata laju pertumbuhan harian rajungan (Portunus pelagicus) selama percobaan. Hasil pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan terjadi laju pertumbuhan harian rajungan (Gambar 1).
Laju
pertumbuhan harian memberikan pengaruh berbeda antar perlakuan (P<0.05). Rata-rata laju pertumbuhan harian individu tertinggi pada hari ke-42 dicapai pada perlakuan D yakni sebesar 6.72 ± 0.34 % kemudian diikuti oleh E, C, A, G , B dan terendah pada perlakuan F yakni sebesar 3.89 ± 1.20 %.
24
Konsumsi Pakan Rajungan Pemberian pakan uji memberikan rata-rata konsumsi pakan yang berbeda antar perlakuan. Rata-rata konsumsi pakan rajungan tertinggi selama pengamatan dicapai pada perlakuan D yakni sebesar 1.85 g kemudian diikuti oleh A, C, E, F,
Rata-rata konsumsi pakan (g)
B dan terendah pada perlakuan G
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
yakni sebesar 0.93 g (Gambar 2).
1.85
A(30%;9.95) B(30%;10.99)
1.32 1.17
1.09
C(35%;9.41)
0.96 0.93
0.95
D(35%;10.07) E(40%;8.94) F(40%;9.54) G(45%;8.70)
1 Pakan (Protein;C/P)
Gambar 2. Rata-rata konsumsi pakan rajungan (Portunus pelagicus) selama percobaan. Rata-rata Lebar Karapaks, Panjang Karapaks, Efisiensi Pakan, Retensi Protein dan Retensi Lemak Interaksi kadar protein dan rasio energi protein pakan tidak memberikan pengaruh terhadap lebar karapaks, panjang karapaks, efisiensi pakan dan retensi protein (P>0.05) (Tabel 3). Sedangkan pemberian pakan dengan kadar protein dan rasio energi protein pakan berbeda memberikan pengaruh terhadap retensi lemak (P<0.05) dimana nilai retensi lemak tertinggi pada perlakuan E dan nilai retensi lemak terendah pada perlakuan B. Tingkat kelangsungan hidup rajungan pada seluruh perlakuan pakan selama percobaan berlangsung adalah sebesar 100 %. Ini berarti bahwa jumlah pakan yang diberikan sudah cukup untuk mendukung kebutuhan pokok rajungan
25
untuk hidup dan tumbuh. Hal ini juga didukung dengan kualitas air yang mendukung kehidupan rajungan selama pengamatan (Lampiran 25). Tabel 3. Rata-rata lebar karapaks (LK), panjang karapaks (PK), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL)1)
Pakan (Protein; C/P) Parameter A(30; 9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.0.7) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70) LK (cm) 1.09±0.35a PK (cm) 0.45±0.17a EP (%) 44.44±23.64a RP (%) 14.23±7.42a RL (%)2 3.58±2.59b
1.14±0.40a 1.30±0.14a 1.64±0.66a 1.59±0.25a 1.15±0.30a 1.27±0.34a a a a a a 0.42±0.17 0.52±0.12 0.70±0.36 0.69±0.09 0.41±0.14 0.50±0.18a 49.93±27.51a 53.11±13.72a 77.96±31.84a 89.46±18.35a 46.12±18.26a 58.10±25.87a 16.55±9.07a 11.23±2.81a 26.94±11.10a 22.59±5.09a 12.07±4.51a 15.08±6.73a 3.26±1.79b 4.17 ±0.83ab 6.64±2.65ab 11.05±2.11a 7.88±3.11ab 9.28±4.16ab
Keterangan. 1) data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9, 10, 12, 13, 14 dan 15 2)
huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan antar perlakuan (P<0.05)
Pengaruh pakan percobaan terhadap komposisi proksimat tubuh rajungan pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Komposisi proksimat tubuh rajungan (Portunus pelagicus) pada awal dan akhir percobaan ( % bobot kering )1). Parameter Awal Percobaan
Pakan ( Protein; C/P )
A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
Protein
22.79
28.78
30.59
33.59
42.01
30.92
32.17
33.70
Lemak
12.81
4.31
5.30
7.43
6.64
8.35
13.39
11.10
9.79
11.01
13.75
9.92
10.12
11.06
13.90
11.20
Abu
Keterangan : 1) Kadar air pada awal percobaan 69.39% dan pada akhir percobaan: A(69.40%), B(69.65%), C(78.21%), D(72.14%), E(68.85%), F(69.91%) dan G (68.64%). Tabel 4 menunjukkan adanya peningkatan kadar protein tubuh di akhir penelitian dibandingkan dengan kadar protein tubuh awal rajungan. Kadar lemak akhir lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar lemak tubuh awal rajungan, kecuali pada perlakuan F. Kadar abu akhir secara umum mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kadar abu tubuh awal rajungan. Protein tubuh tertinggi dicapai oleh perlakuan D dan terendah pada perlakuan A. Sedangkan kadar lemak tertinggi pada perlakuan F dan terendah
26
pada perlakuan A. Selanjutnya kadar abu tertinggi pada perlakuan F dan terendah pada perlakuan C. Intermoult Periode Data mengenai intermoult periode untuk masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Periode waktu antar mo ulting (jam) rajungan (Portunus pelagicus) setiap perlakuan selama percobaan.
Ulangan
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
1
384
360
264
216
336
336
216
2
312
312
264
168
216
528
288
3
264
264
264
192
240
240
456
Rata – rata
320
312
264
192
264
368
320
Hasil pengamatan selama 42 hari menunjukkan bahwa periode waktu antar moulting rajungan berkisar antara 192 – 368 jam (Tabel 5). Pemberian perlakuan pakan D cenderung mempersingkat periode waktu antar mo ulting. Selanjutnya diikuti oleh E,
C, B, A, G dan perlakuan pakan F cenderung
memperlambat periode waktu antar moulting.
Frekuensi Ganti Kulit Data frekuensi ganti kulit merupakan rata–rata jumlah ganti kulit yang terjadi pada setiap individu rajungan setelah diberikan perlakuan pakan uji. Rata– rata frekuensi ganti kulit disajikan pada Tabel 6. Sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 22. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa pemberian pakan uji memberikan pengaruh yang positif terhadap frekuensi ganti kulit. Rata–rata frekuensi ganti kulit tertinggi pada pemberian pakan uji penelitian (Lampiran 19).
D yaitu sekitar 4.33 kali selama
27
Tabel 6. Rata–rata frekuensi ganti kulit benih rajungan (Portunus pelagicus) pada berbagai pakan uji selama percobaan.
Perlakuan
Rata – rata frekuensi ganti kulit
A(30%;9.95) B(30%;10.99) C(35%;9.41) D(35%;10.07) E(40%;8.94) F(40%;9.54) G(45%;8.70)
2.67 ± 0.58 2.33 ± 0.58 3.00 ± 1.00 4.33 ± 0.58 3.67 ± 0.58 2.67 ± 0.58 2.33 ± 0.58
Produksi Amonia Data mengenai amonia (NH3 -N) yang dihasilkan pada setiap perlakuan selama 16 jam pengamatan setelah rajungan mengkonsumsi pakan uji dapat dilihat pada Lampiran 24. Banyaknya protein yang dikonsumsi dan protein yang dibakar yang kemudian menghasilkan amonia sebagai sisa katabolisme protein disajikan pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Konsumsi protein dan ekskresi amonia rajungan (Portunus Pelagicus). Parameter
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
Konsumsi protein 376.24 (mg) Ekskresi amonia 0.0181 (mg/g tubuh/jam)
281.35
404.91
643.97
431.17
382.53
405.71
0.0220
0.0104
0.0178
0.0028
0.0053
0.0135
Peningkatan protein pakan menghasilkan peningkatan konsumsi protein dan amonia yang diekskresikan rajungan (Tabel 7). Akan tetapi dengan bertambahnya rasio energi protein (energi total) pakan, maka protein yang dikonsumsi dan ekskresi amonia cenderung menurun. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada waktu 2 jam dan 16 jam memberikan pengaruh yang berbeda terhadap ekskresi amonia (Lampiran 20
28
dan 21). Ekskresi amonia tertinggi dicapai pada perlakuan B dan terendah dicapai pada perlakuan E (Tabel 7).
PEMBAHASAN Pertumbuhan merupakan proses yang terjadi dalam tubuh organisme yang menyebabkan pertumbuhan bobot atau ukuran tubuh dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan juga merupakan gabungan dari proses tingkah laku dan proses fisiologi (Brett, 1979). Dari sudut fisik pertumbuhan berupa peningkatan ukuranukuran bobot, panjang dan lebar tubuh. Dari sudut kimia, perubahan ini dapat dilihat dari peningkatan kandungan protein, lemak, karbohidrat, abu dan air di dalam tubuh. Pertumbuhan udang merupakan fungsi dari pergantian kulit dan pertumbuhan bobot pada waktu pergantian kulit tersebut (Wickins, 1976). Jika keadaan lingkungan baik dan makanan cukup, maka pada saat ganti kulit terjadi pertambahan bobot, sebaliknya jika keadaan lingkungan buruk dan kekurangan makanan, maka pada saat itu akan terjadi penurunan bobot. Pertumbuhan terkait dengan faktor luar dan dari dalam tubuh. Faktor luar yang sangat berpengaruh selain lingkungan perairan terhadap pertumbuhan adalah makanan. Unsur makanan yang sangat terkait dengan pertumbuhan adalah protein, dimana fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Tinggi rendahnya kadar protein dan rasio energi protein (kandungan energi total) pakan dapat membatasi pertumbuhan dan pertambahan bobot tubuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah 42 hari pemeliharaan terlihat adanya peningkatan bobot rata-rata individu rajungan pada setiap perlakuan (Lampiran 8). Selain itu juga terlihat adanya penambahan lebar karapaks rata-rata dan panjang karapaks rata-rata individu rajungan (Lampiran 9 dan 10). Semakin tinggi perubahan bobot tubuh dalam kurun waktu tertentu, maka laju pertumbuhan harian akan semakin tinggi (Gambar 1). Laju pertumbuhan harian ini erat kaitannya dengan bobot tubuh dan bobot tubuh erat kaitannya dengan protein. Hal tersebut dapat dimengerti karena hamp ir 45 – 75% berat kering tubuh ikan terdiri dari protein (Watanabe, 1988). Peningkatan bobot tubuh yang diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan harian dan penambahan
29
lebar karapaks serta panjang karapaks menunjukkan adanya pertumbuhan rajungan. Ini berarti bahwa energi yang dikonsumsi rajungan melebihi energi yang diperlukan untuk kebutuhan pokok, seperti maintenance dan aktifitas tubuh lainnya. Lovell (1988) mengatakan bahwa kebutuhan energi untuk maintenance harus dipenuhi terlebih dahulu dan apabila berlebihan, maka kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan. Hasil analisis komposisi proksimat tubuh rajungan (Tabel 4) menunjukkan bahwa kadar lemak tubuh rajungan semakin menurun
dengan semakin
meningkatnya kadar lemak pakan, kecuali pada perlakuan F terlihat relatif lebih tinggi. Menurunnya lemak tubuh rajungan diduga disebabkan karena pakan yang dikonsumsi rajungan tersebut mempunyai imbangan protein dan non-protein yang memenuhi kebutuhan rajungan, sehingga lemak dapat dimanfaatkan dengan efisien sebagai energi dan yang dideposit di dalam tubuh rendah. Marzuqi et al. (2003) menyatakan bahwa kadar lemak 9% - 12% dapat meningkatkan pertumbuhan juvenil mud crab (Scylla paramamosain). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sheen dan D’Abramo (1991) bahwa pemberian lipid pada krustasea berkisar antara 5% - 8 %. Sedangkan tingginya lemak tubuh rajungan pada perlakuan F disebabkan karena adanya peningkatan lemak yang dikonsumsi sebagai akibat dari meningkatnya lemak di dalam pakan dan lemak yang tidak digunakan sebagai sumber ene rgi disimpan sebagai lemak tubuh. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nematipour et al. (1992) bahwa tingginya energi di dalam pakan menyebabkan terjadinya akumulasi atau deposit lemak yang tinggi pada tubuh ikan. Ward et al. (2003) menyatakan bahwa ada hubungan antara pengambilan nutrien dan pertumbuhan yang optimal rock lobster, Jasus edwardsii terhadap penyerapan protein kasar 29 % dan 31% dengan kadar lemak pakan 5% dan 9%. Berdasarkan energi pakan yang dimiliki oleh ketujuh perlakuan (Tabel 2) terlihat bahwa pakan A, B dan C memiliki energi antara 3039.93 – 3381.06 kkal DE/kg pakan, sedangkan pakan D, E, F dan G memiliki energi berkisar antara 3628.95 – 3926.39 kkal DE/kg pakan. Kedua kelompok energi ini bila dibandingkan terlihat bahwa konsumsi pakan perlakuan D, E, F dan G lebih tinggi dibanding dengan perlakuan A, B dan C. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan
30
berusaha memenuhi kebutuhan energinya dengan mengkonsumsi pakan lebih banyak. Akibatnya jumlah nutrien yang masuk seperti protein dan lemak juga lebih banyak. Terbukti dengan retensi protein dan lemak pada pakan D, E, F dan G relatif lebih tinggi dibanding dengan pakan A, B dan C. Kondisi ini mengakibatkan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan harian juga relatif lebih tinggi. Ekawati (1990) menya takan bahwa pakan buatan dengan kadar protein 39.02% dan kandungan energi
3.58 kkal/g pakan dapat meningkatkan
pertumbuhan pascalarva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Sementara Catacutan (2002) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) tumbuh secara baik bila diberi pakan yang mengandung protein 32 – 40 % pada energi 14.7 – 17.6 MJ/kJ (3513.3 – 4206.4 kkal DE/kg). Protein dan imbangan energi pakan sangat berperan dalam pertumbuhan rajungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rajungan pada perlakuan D mengkonsumsi protein lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain dan menghasilkan simpanan protein tubuh tertinggi sebesar 643.97 mg (Lampiran 23). Hasil ini dicapai diduga karena kandungan protein pakan D (35%) dan diimbangi pula oleh kadar lemak (20.70%), karbohidrat (27.62%) yang menghasilkan total energi pakan sebesar 3628.95 kkal DE/kg pakan yang relatif sesuai dibanding dengan perlakuan lainnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (2004) menunjukkan bahwa kebutuhan energi ikan baung (Mystus nemurus C.V) adalah sebesar 3327.11 kkal DE/kg pakan pada kandungan protein pakan 37.4%. Watanabe (1988) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh kualitas makanan dalam hal keseimbangan nutrien- nutriennya, kandungan energi, ketersediaan setiap nutriennya dan kondisi lingkungan. Ketepatan energi pakan pada perlakuan ini mengakibatkan protein yang ada dapat disimpan cukup banyak yang digunakan untuk pembentukan jaringan tubuh. Ini ditunjukkan oleh nilai retensi protein yang tinggi dan protein tubuh yang juga tinggi, sedangkan ekskresi amonia relatif rendah Suprayudi et al. (1999) pada penelitiannya mendapatkan nilai ekskresi amonia antara 0.0134 – 0.0292 mg/kg/jam dengan retensi protein tertinggi diperoleh nilai eksreksi amonia terendah sebesar 0,0134 mg/kg/jam. Pemberian pakan dengan kadar protein yang sama dan imbangan energi protein (C/P) berbeda menghasilkan retensi protein,
laju pertumbuhan harian
31
dan efisiensi pakan berbeda. Pakan dengan imbangan energi protein lebih tinggi pada kadar protein yang sama menghasilkan retensi protein, laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan yang lebih tinggi pula. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar protein pakan D (35%) yang sama dengan pakan C (35%) tetapi total energi pakan D lebih tinggi (Tabel 2) menghasilkan retensi protein,
laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan total energi pakan dengan imbangan energi protein (C/P) lebih tinggi pada kadar protein sama mempengaruhi jumlah simpanan protein tubuh yang pada akhirnya mempengaruhi retensi protein, laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan. Yang et al. (2002) menyatakan bahwa pemberian pakan berkadar protein 37% - 55% dapat meningkatkan pertumbuhan bagi juvenil silver perch (Bidyanus bidyanus). Pada perlakuan C diduga lemak dikatabolisir untuk mencukupi kebutuhan energi. Sedangkan karbohidrat kemungkinan tidak dimanfaatkan secara efisien karena kadar karbohidrat dalam pakan cukup tinggi (33.78%). Kandungan karbohidrat pakan yang tinggi sulit dicerna oleh ikan karnivora sehingga pemanfaatannya rendah untuk menyediakan energi. Furuichi (1988) menyatakan bahwa ikan karnivora memanfaatkan karbohidrat optimum pada kadar 10 – 20 %. Rendahnya kadar lemak dalam pakan dan sulitnya karbohidrat dicerna memungkinkan protein dikatabolisir untuk digunakan sebagai sumber energi sehingga protein yang dapat digunakan untuk sintesis jaringan tubuh semakin berkurang. Keadaan ini ditunjukkan oleh rendahnya protein yang disimpan di dalam tubuh (Lampiran 22), sehingga mengakibatkan rendahnya laju pertumbuhan harian (Gambar 1) dan efisiensi pakan (Tabel 3). Peningkatan protein pakan pada perlakuan F
(protein 40.84%)
menyebabkan konsumsi pakan rajungan rendah yakni sebesar 0.96 g, namun masih lebih tinggi dari perlakuan pakan G dan B (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena tingginya kadar lemak pakan. Pakan F ini mempunyai kadar lemak yang tinggi yaitu
24.46 % (Tabel 2). Rendahnya konsumsi pakan rajungan pada
perlakuan F menyebabkan terbatasnya protein yang masuk ke dalam tubuh rajungan (0.96 g), akibatnya protein yang disimpan menjadi protein tubuh akan sedikit (46.17 mg) yang selanjutnya akan menyebabkan laju pertumbuhan harian
32
rajungan menjadi rendah yakni 3.89%. Selain itu tingginya akumulasi lemak dalam tubuh rajungan pada perlakuan F yakni (13.39%) diduga mempengaruhi metabolisme asam amino. Asam amino yang diserap oleh usus dan tidak dimanfaatkan untuk sintesis protein tubuh akan dideaminasi menjadi amoniak (NH3 ) dan diekskresi lewat insang (Lovell, 1988). Deaminasi asam amino ini menyebabkan simpanan protein tubuh berkurang. Hal yang sama ditemukan juga oleh Fotedar (2004) pada Cherax tenuimanus (Smith). Selanjutnya dikatakan bahwa pakan yang berenergi tinggi karena keberadaan lemak yang tinggi tidak hanya mengurangi konsumsi pakan Cherax, tetapi juga memberikan pertumbuhan yang rendah. Tabel 2 juga memperlihatkan total energi pada pakan F lebih tinggi yakni 3894.91 kkal DE/kg pakan. Namun masih lebih rendah dari pakan G. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pakan D baik untuk memacu rajungan melakukan mo ulting dimana rata-rata periode waktu antar mo ulting terendah yakni 192 jam. Hal ini juga dibuktikan dengan laju pertumbuhan harian pada perlakuan D tinggi yakni 6.71%. Sedangkan lamanya periode waktu antar moulting pada pakan F (472 jam) menyebabkan laju pertumbuhan harian juga menjadi rendah. Wickins (1976) mengemukakan bahwa seberapa banyak ganti kulit dan seberapa besar pertambahan yang terjadi pada setiap ganti kulit menentukan laju pertumbuhan udang. Affandi et al. (1994) memperoleh periode waktu antar mo ulting pada larva udang windu, Penaeus monodon Fab. Berkisar antara 145 - 211 jam. Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hal yang sama juga ditemukan oleh Wu dan Dong (2002) pada juvenil chines shrimp (Fenneropenaeus chinensis). Sedangkan Juwana (2002) menyatakan rajungan memerlukan pergantian kulit untuk tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya. Hasil pengamatan ganti kulit menunjukkan bahwa perlakuan pakan D ternyata mampu merangsang kuantitas ganti kulit rajungan dengan frekuensi ganti kulit tertinggi 4.33 kali. Sedangkan frekuensi ganti kulit terendah adalah pada perlakuan B dan G yang hanya mencapai rata-rata 2.33 kali ganti kulit (Tabel 6). Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara kadar protein dan rasio energi protein pakan mempengaruhi frekuensi ganti kulit (P<0.05) (Lampiran 19). Kaligis (2005) mendapatkan frekuensi ganti kulit pada lobster air tawar (Cherax
33
quandricarinatus) yakni antara 1.75 – 4.50 kali. Tingginya frekuensi ganti kulit pada perlakuan pakan D dicapai karena pertumbuhan optimal pada kondisi tersebut dan juga disebabkan karena tingginya konsumsi pakan pada pakan D (Gambar 2). Sedangkan yang menentukan pertumbuhan apabila kelebihan energi pakan dengan disertai proses osmotik dan kalsifikasi yang berlangsung lancar. Pertumbuhan terjadi saat intermoult atau periode antar ganti kulit yang merupakan periode terlama dalam siklus ganti kulit. Pada stadia postlarva lamanya intermoult lebih pendek daripada udang dewasa karena seringnya intensitas pergantian kulit. Penambahan bobot saat intermoult karena terjadinya pembentukan dan penambahan jaringan somatik tubuh. Dengan demikian ketika kulit tidak mampu lagi menahan tekanan pertumbuhan tubuh akan terjadi proses pergantian kulit secara periodik yang dikontrol lewat sistem endokrin pada tangkai mata udang.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil percobaan ini diperoleh simpulan sebagai berikut : pemberian pakan dengan kadar protein 35% dan imbangan rasio energi protein 10.07 kkal DE/g protein memberikan kinerja pertumbuhan benih rajungan yang terbaik.
Saran Dalam membuat formulasi pakan untuk benih rajungan (Portunus pelagicus) diharapkan dapat menggunakan pakan berkadar protein 35% dan rasio energi protein pakan 10.07 kkal DE/g protein.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Riani E, Salim A. 1994. Pengaruh hormon ekdison terhadap mo ulting pada larva udang windu, Penaeus monodon Fab. J. Il. Perairan dan Perik. Indo. II : 42 - 51. Allen P.G, Botsford L.W, Schuur A.M, Johnston W.E. 1984. Bioeconomics of Aquaculture. Elsevier, Amsterdam. Brett JR, Groves TDD. 1979. Physiological energetics. Fish Physiology Vol. 1. New York. Academic Press. Catacutan M.R. 2002. Growth and body composition of juvenile mud crab, Scylla serrata, fed different dietari protein and lipid leve l and protein to energy ratios. Aquaculture 213: 113 - 123 Chin H.C, Gunasekera U.P.D, Amandakoon H.P. 1992. Formulation of artificial feed for mud crab culture: a preliminary biochemical, physical and biological evaluation. In Angel C.A. (Eds.). Report of the seminar on the mud crab culture and trade. Surat Thani. Thailand. Combs G.F. 1992. The vitamin fundamental aspects in nutrition and health. Academic Press. London. D’Abramo L.R, Sheen S. 1993. Polyunsaturated fatty acid nutrition in juvenile freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 115: 63 – 86. Degani, G.A, Horowitz A, Levanon D. 1985. Effect of protein level in purified diet and density, ammonia and O2 level on growth of juvenile European eels (Anguilla anguilla L). Aquaculture 46: 193 - 200. Djunaidah I.S. 2004. Kajian pola pemijahan kepiting bakau (Scylla paramamosain Estampador) dan peningkatan penampilan reproduksinya melalui perbaikan kualitas pakan dalam substrat pemeliharaan teruji. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dosdat A, Servais F, Metailler R, Huelvan C, Desbruyeres E. 1996. Comparisons of nitrogeneous losses in five teleost fish species. Aquaculture 141. Ekawati A. W. 1990. Pengaruh kadar protein pakan terhadap pertumbuhan pascalarva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fatah M.H. 1998. Pengaruh suplemen hormon 20-hidrosiekdison dan kolesterol dalam pakan buatan serta ablasi tangkai mata terhadap sinkronisasi percepatan pelunakan karapaks dan pematangan telur kepiting bakau
36
(Scylla serrata FORSKAL). Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Furuichi M. 1988. Dietary requirement. In fish nutrition and mariculture (Eds.) Watanabe T. JICA textbook. The General Aquaculture Course. Japan. Fotedar R. 2004. Effect of dietary protein and lipid source on the growth, survival, condition indices and body composition of marron, Cherax tenuimanus (Smith). Aquaculture 230: 439 - 455. Giri N.A. 1988. Kualitas beberapa sumber protein hewani untuk pertumbuhan pascalarva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Giri N.A, Yunus, Suwirya K, Marzuqi M. 2002. Kebutuhan protein untuk pertumbuhan juvenil kepiting bakau, Scylla paramamosain. J. Pen. Per. Indonesia 8(5): 31 – 36. Giri N.A, Suwiryo K, Rusdi I, Marzuqi M. 2003. Kandungan lemak pakan optimal untuk pertumbuhan benih kepiting bakau (Scylla paramamosain). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Volume 9. Nomor 4. Halver J.E. 1988. Fish nutriton. Academis Press, Inc. London. He H, Lawrence A.L. 1993. Vitamin C requirement of shrimp Penaeus vannamei. Aquaculture 114. Heasman M.P, Fielder D.R, Shepherd R.K. 1985. Mating and spawning in the mud crab Scylla serrata FORSKAL (Decapoda : Portunidae), In Morton Bay Queensland Aust. J. Mar. Freshw. Res. 36. Hepher B. 1990. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Press. Cambridge, New York. Huisman E.A.1976. Food conversion efficiencies at maintenance and production levels for carp, Cyprinus carpio L and rainbow trout, Salmon gairdneri R. Aquaculture 9. Jobling M. 1994. Fish bioenergetics. The Norwegian College of Fishery Science University of Tromso, Norway. Chapman and Hall. Juwana S. 1996. Studi pendahuluan tentang peranan pakan buatan dalam budidaya rajungan, Portunus pelagicus (Portunidae, Decapoda). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 29. Juwana S. 2002. Crab culture technique at RDCO-LIPI, Jakarta Indonesia 1994 to 2001. Proceedings workshop on mariculture in Indonesia. Mataram,
37
Lombok Island. Research centre for Oseanography-LIPI, Institute of Marine Research Norwegian Bergen – Norway. P.144 Juwana S. 2003. Kriteria optimum untuk pemeliharaan larva rajungan (Portunus pelagicus). 2. Pengaruh pencahayaan dan diet formulasi Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 35: 37 - 50. Juwana S, Romimohtarto K. 2000. Rajungan, perikanan, cara budidaya dan menu masakan. Penerbit Djambatan. Djogjakarta. 47 hlm. Kurnia A. 2002. Pengaruh pakan dengan kadar protein dan rasio energi protein yang berbeda terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan benih ikan baung (Mystus nemurus C.V). Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kaligis E.Y. 2005. Pertumbuhan dan sintasan postlarva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pada media alkalinitas berbeda. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Koshio S, Teshima S.I, Kanazawa A, Watase T. 1993. The effects of dietary protein content on growth, digestion efficiency and nitrogen excreation of juvenile kuruma prawns, Penaeus japonicus. Aquaculture 113: 101 – 114. Kureshy N, Allen D. 2002. Protein requirement for maintenance and maximum weight gain for the pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture 204: 125-143. Karim M.Y. 1998. Aplikasi pakan alami (Brachionus plicatilis dan Nauplius Artemia) yang diperkaya dengan asam lemak Omega-3 dalam pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla serrata FORSKAL). Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lee S. M, Jeon I.G, Lee J.Y. 2002. Effect of digestible protein and lipid levels in practical diet on growth, protein utilization and body composition of juvenile rock fish (Sebasters schlegeli). Aquaculture 211: 227-239. Lovell R.T. 1988. Nutrition and feeding of fish. Van Nostrand Reinhold. New York Marzuqi M, Suwirya K, Giri N.A. 2003. Several nutritional aspect in development of mud crab (Scylla paramoimosain) culture. Popers IMFS 2003: 43 - 48. Mahi I.I, Affandi R, Mokoginta I, Jusadi D. 2001. Pengaruh kadar protein dan imbangan energi protein pakan berbeda terhadap retensi protein dan pertumbuhan benih ikan sidat (Anguilla bicolor bicolor). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia , VIII (2): 19-28.
38
Ming F.W. 1985. Ammonia excreation rate as an index for comparing efficiency of dietary protein utilization among rainbow trout (Salmo gairdneri) different strains. Aquaculture 46. Matsumoto T, Hosokawa H, Shimeno S.1991. Ascorbic acids role in aquaculture nutrition p. 42-48. In Akiyama D.M. dan R.K.H. Tan (Eds.). Proceeding on the aquaculture feed processing and nutrition workshop. American Soybean Association, Singapura. National Research Council. 1983. Nutrient requirements of warm water fishes and shellfish; Revised Edition. National Academic Press. Washington D.C. National Research Council. 1993. Nutrient requirements of fish. National Academic of Science Washington D.C. Nematipour G.R, Brown M.L, Gatlin D.M. III. 1992. Effect of dietary energy protein ratio on growth characteristics and body composition of hybrid sriped bass, Morone chrysops x M. Saxatitis. Aquaculture 187: 359 - 358. Nurdjana M.L. 1986. Pengaruh ablasi mata terhadap perkembangan telur dan embrio serta kualitas telur larva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Disertasi. Jogjakarta: Fakultas Pascasarjana, Universitas Gajah Mada. Peres H, Teles A.O. 1999. Effect of dietary lipid level on growth performance and feed utilization by european sea bass juvenille (Dicentrarchus labrax). Aquaculture 179. Rusdi I. 1999. Pengaruh pengkayaan rotiver terhadap sintasan dan perkembangan kepiting bakau Scylla serrata skala laboratorium. Prosiding seminar nasional Puslitbang bekerjasama dengan JICA ATA 379 . Sedgwick R. W. 1979. Effect of ratio size and feeding frequency on the growth and food conversion of juvenile Penaeus merguiensis de Man. Aquaculture 16. Sheen S. 2000. Dietary cholesterol requirement of of juvenile mud crab Scylla serrata. Aquaculture 189: 227-285. Sheen S, D’Abramo L.R. 1991. Response of juvenile freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii to different levels of a cod liver oil/corn oil mixture in a semi-purified diet. Aquaculture 93: 121 – 134. Sheen S, Wu S. 1999. The effects of dietary lipid levels on the growth response of juvenile mud crab Scylla serrata. Aquaculture 173: 143 – 153. Suprayudi M.A, Bintang M, Takeuchi T, Mokoginta I, Sutardi T. 1999. Defatted soybean meals as an alternative source to substitute fish meal in the feed
39
of giant gouramy, Osphronemus gouramy Lac. Suisanzoshoku 47 (4): 551 - 557. Suprayudi M.A, Takeuchi T, Hamasari K, Hirokawa J. 2002. The effect of N3HUFA content in rotifers on the development and survival of mud crab, Scylla serrata, larvae. Japan Aquaculture Society. 50(2): 205 - 212. Supriatna A. 1999. Pemeliharaan larva rajungan (Portunus pelagicus) dengan waktu pemberian pakan artemia yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Puslitbang bekerja sama dengan JICA ATA 379: 168 - 172. Susanto B, Syahidah D, Setiadi I, Marzuqi M, Rusdi I. 2003. Penanganan induk dan pemeliharaan benih rajungan (Portunus pelagicus) secara terkontrol dalam menunjang budidayanya. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol – Bali. Hlm: 1-11. Slamet B, Supriatna A. 1991. Penelitian pendahuluan beberapa aspek biologi rajungan (Portunus pelagicus) dari perairan Teluk Banten Jawa Barat. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional Biologi X. Vol II: 50-55. Steel R.G.D, Torrie J.H. 1993. Prinsip dan prosedur statistika: Suatu pendekatan biometrik. Edisi ke dua. PT. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. 772 hlm. Tacon A.G.J. 1991. Vitamin nutrition in shrimp and fish, P. 10-41. In Akiyama, D.M. dan. R.K.H. Tan (Eds). Proceeding oh the aquaculture feed processing and nutrition workshop. American Soybean Association, Singapura. Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrients. P. 179-233. In Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture. JICA textbook. The General Aquaculture Course. Japan. Takeuchi T. 2000. A review of studies on the effect of diatery n-3 highly unsaturated fatty acid on larval swimming crab Portunus triturberculatus and mud crab Scylla transquebarica. JSPS – DGHE International Symposium. Ward L. R, Carter C.G, Crear B.J, Smith D.M. 2003. Optimal dietary protein level for juvenile southern rock lobster, Jasus edwardsii, at two levels. Aquaculture 217: 483 - 500. Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture. JICA textbook. The General Aquaculture Course. Japan. Wickins J.F. 1976. Prawn biology and culture. Oceanography Mar. Biol. Ann. Aberdeenniv. Press.
40
Wickins J.F. 1982. Opportunisties for farming crustaceans in western temperate regions. P : 87 – 177. In J.F. Muir and R.J. Roberts (Eds). Recent Advances in Aquaculture. Westview Press. Colorado. Wilson, R.P. 1994. Utilization of dietary carbohydrate by fish. Aquaculture 124. Wu L, Shuanglin D. 2002. Protein restriction with subscquent realimentation on growth performance of juvenile Chinese shrimp (Fenneropenaeus chinensis). Aquaculture 210: 343-358. Xu XL, Ji WJ, Castel JD, O’Dor RK. 1992. Influence of dietary lipid sources on fecundity, egg hatchability and fatty acid composition of Chinese prawn (P. chinensis) broodstock. Aquaculture 119. Yang SD, Liou CH, Liu FG. 2002. Effect of dietary protein level on growth performance, carcas composition and ammonia excreation in juvenile silver perch (Bidyanus bidyanus). Aquaculture 213: 363 - 372.
LAMPIRAN
42
Lampiran 1. Analisis kadar protein pakan dan tubuh rajungan (metode semi micro Kjeldahl, Takeuchi, 1988)
1. 0.5 – 1.0 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal dan salah satu labu digunakan sebagai blanko, dimana pada labu itu tidak dimasukkan sampel. 2. Ke dalam labu no. 1 ditambahkan 3 gram katalis (K 2 SO4 + CuSO4 .5H2O) dengan rasio 9:1 dan 10 ml H2 SO4 pekat. 3. Labu no. 2 dipanaskan 3 - 4 jam, sampai cairan dalam labu berwarna hijau, setelah itu pemanasan diperpanjang 30 menit lagi. 4. Larutan didinginkan, lalu ditambahkan air destilasi 30 ml. Kemudian larutan no. 2 dimasukan ke labu takar, tambahkan larutan destilasi sampai volume larutan menjadi 100 ml. 5. Dilakukan proses destilasi untuk membebaskan kembali NH3 yang berasal dari proses destruksi pada nomor 4. 6. Labu erlenmeyer diisi 10 ml H2 SO4 0.05 N dan tambahkan 2 - 3 tetes indicator (metyl red methylen blue) dipersiapkan sebagai penampung NH3 yang dibebaskan dari labu no.4 7. Labu destilasi diisi 5 ml larutan nomor 4, lalu ditambahkan larutan sodium hydroxyl 30%. 8. Pemanasan dengan uap terhadap labu destilasi (no. 7) di lakukan minimum 10 menit setelah kondensasi uap terlihat pada kondensor. 9. Larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan 0.05 N larutan sodium hydroxide.
0.0007* x (Vb – Vs) x F x 6.25** x 20 10. % protein =
x 100 S
Keterangan : Vs = ml 0.05 N titare NaOH untuk sample Vb = ml titar NaOH untuk blanko F = faktor koreksi dari 0.05 N larutan NaOH S = bobot sample (g) * = setiap ml 0.05 N NaOH equivalent dengan 0.0007 g nitrogen ** = faktor nitrogen
43
Lampiran 2. Analisis kadar lemak pakan dan tubuh rajungan (metode Folch, Takeuchi, 1988) 1. Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110o C selama 1 jam, dinginkan dalam eksikator selama 30 menit kemudian ditimbang (X1). 2. Timbang 2 - 3 gram bahan/sampel (A) ke dalam gelas homogenize. 3. Tambahkan larutan kloroform/ methanol C (20 x A), sisakan sebagian untuk membilas pada saat penyaringan. 4. Sampel yang telah diberi larutan tadi kemudian dihomogenize selama 5 menit, setelah itu saring dengan vacuum pump. 5. Masukkan sampel yang telah disaring tersebut ke dalam labu pemisah yang telah diberi larutan MgC l2 0.03 M sebanyak (0.2 x C), kemudian kocok dengan kuat minimal 1 menit. Tutup dengan aluminium foil dan diamkan semalam. 6. Lapisan bawah yang terdapat pada labu pemisah disaring ke dalam labu silinder, kemudian dievaporator sampai kering. Tiup sisa kloroform/methanol yang terdapat pada labu menggunakan vacuum pump. Setelah itu ditimbang (X2). X2 – X1 7. % lemak =
x 100 % A
44
Lampiran 3. Analisis kadar abu pakan dan tubuh rajungan (Takeuchi, 1988). 1. Cawan porselen dipanaskan pada suhu 600o C selama 1 jam dengan menggunakan muffle furnace, kemudian dibiarkan sampai suhu muffle furnace turun sampai 110o C, lalu cawan porselin dikeluarkan dan disimpan dalam eksikator selama 30 menit, lalu timbang (A). 2. Masukkan samp el lalu timbang (B), penimbangan sampai empat decimal. 3. Panaskan dalam muffe purnace pada suhu 600o C sampai bahan berwarna putih. 4. Cawan porselin dikeluarkan lalu didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, lalu timbang (C). C–A 5. % kadar abu =
x 100% B–A
45
Lampiran 4. Analisis serat kasar pakan (Takeuchi, 1988) 1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110o C, didinginkan dalam eksikator lalu timbang (A). 2. Demikian juga cawan porselen dipanaskan seperti pada prosedur no. 1 dari Lampiran 8, lalu ditimbang. 3. Sampel sebanyak 1 - 2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditambahkan H2 SO4 0.3 N, lalu dipanaskan selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan lagi NaOH 1.5 N sebanyak 25 ml lalu dipanaskan lagi 30 menit. 4. Larutan pada no. 3 disaring, lalu dicuci berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2 SO4 0.3 N, 50 ml air panas dan 25 ml acetone. 5. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu dikeringkan selama 1 jam, lalu disimpan dalam eksikator dan ditimbang (Y). Kemudian dipijarkan, didinginkan lalu timbang (Z). Y–Z- A 6. % serat kasar =
x 100% X
46
Lampiran 5. Analisis kadar air pakan dan tubuh rajungan (Takeuchi, 1988) 1. Cawan dipanaskan pada suhu 105o C selama 3 jam. 2. Bahan seberat A gram dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang (X) 3. Cawan yang sudah berisi bahan dimasukkan dalam oven pada suhu 105o C selama 3 jam, selanjutnya didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (Y). 4. Prosedur no. 3 diulang kembali, jika tidak ada perubahan berat makanan, maka pengukuran selesai. (X – Y) 5. % kadar air =
x 100% A
47
Lampiran 6. Analisis amonia (metode Phenate, Tarras et al. dalam Ming, 1985)
1. Sampel sebanyak 25 ml dimasukkan ke dalam bekerglass. Tambahkan 1 tetes MnSO4 0.003 M, kemudian diaduk. 2. Tambahkan 0.5 ml larutan chlorox 20%, aduk. Kemudian segera tambahkan 0.6 ml larutan phenate. Aduk kembali dan diamkan selama 25 menit. 3. Ukur nilai absorban dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. 4. Lakukan prosedur yang sama pada larutan blanko dan standar. 5. Konsentrasi ammonia (NH3 -N) dihitung dengan persamaan regresi : Y = -0.0039 + 1.3749 X Keterangan : Y = konsentrasi amonia sample X = nilai absorban sampel.
48
Lampiran 7. Hasil analisis proksimat bahan pakan
Bahan
Kadar Proksimat Bahan (%) Protein
Lemak
Abu
Serat kasar
BETN
Tepung ikan
70.76
5.79
15.60
3.88
7.22
Tepung kepala udang
49.66
1.37
22.32
23.45
3.05
Tepung darah
82.01
0.99
4.61
0.00
10.23
Tepung kedelai
44.34
2.78
6.13
10.66
40.22
Tepung pollard
18.41
5.33
4.56
6.96
56.12
Tepung jagung
10.49
5.03
2.57
2.49
78.98
Lampiran 8. Berat tubuh rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap pengamatan
Hari Ulangan ke-
Berat rajungan (g)
ke-
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
0
1 2 3
0.0611 0.0730 0.1630
0.0850 0.0716 0.1731
0.1616 0.0733 0.0612
0.0823 0.1645 0.0634
0.1603 0.0832 0.0741
0.1715 0.0952 0.0764
0.0885 0.1751 0.0697
42
1 2 3
0.8269 0.2993 0.9315
0.4903 0.3262 0.9368
0.9591 0.5570 0.6434
1.4514 2.2296 0.9572
1.3582 0.9894 0.8899
0.6742 0.3424 0.6616
0.3776 0.9456 0.6392
49
Lampiran 9. Lebar karapaks rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap pengamatan
Hari
Ulangan
Lebar karapaks rajungan (g)
ke-
ke-
Pakan (Protein; C/P)
A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
0
1 2 3
0.45 0.38 0.47
0.42 0.38 0.48
0.43 0.38 0.43
0.40 0.42 0.37
0.43 0.41 0.39
0.41 0.38 0.44
0.38 0.45 0.41
42
1 2 3
1.71 1.07 1.80
1.37 1.12 1.99
1.88 1.50 1.70
2.11 2.73 1.37
2.31 1.90 1.80
1.66 1.13 1.72
1.26 2.00 1.29
Lampiran 10. Panjang karapaks rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap pengamatan
Hari
Ulangan
Panjang karapaks rajungan (g)
ke-
ke-
Pakan (Protein; C/P)
A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
0
1 2 3
0.13 0.10 0.14
0.12 0.10 0.14
0.15 0.12 0.13
0.13 0.13 0.12
0.13 0.13 0.13
0.13 0.11 0.13
0.12 0.14 0.13
42
1 2 3
0.66 0.35 0.70
0.51 0.36 0.74
0.80 0.53 0.62
0.84 1.18 0.46
0.92 0.80 0.74
0.63 0.36 0.61
0.45 0.82 0.48
50
Lampiran 11. Laju pertumb uhan harian (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan.
Ulangan
Laju pertumbuhan harian rajungan
ke-
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
1 2 3
6.3990 3.4166 4.2374
4.2606 3.6765 4.1024
4.3313 4.9471 5.7613
7.0720 6.4030 6.6766
5.2194 6.0721 6.0971
3.3131 3.0945 5.2741
3.5147 4.0971 5.4179
Lampiran 12. Konsumsi pakan (g) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan
Ulangan
Konsumsi pakan (g) rajungan
ke-
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
1 2 3
1.3206 1.3206 1.3206
0.9505 0.9505 0.9505
1.1696 1.1696 1.1696
1.8505 1.8505 1.8505
1.0880 1.0880 1.0880
0.9650 0.9650 0.9650
0.9346 0.9346 0.9346
51
Lampiran 13. Efisiensi pakan (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan
Ulangan
Efisiensi pakan (%) rajungan
ke-
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
1 2 3
57.99 17.14 58.19
42.64 26.79 80.35
68.19 41.36 49.78
73.98 111.60 48.30
110.10 83.29 74.98
52.09 25.62 60.64
30.93 82.44 60.93
Lampiran 14. Retensi protein (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan
Ulangan
Retensi protein (%)
ke-
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
1
18.23
14.06
14.31
25.50
28.34
13.93
8.17
2
5.66
8.98
8.80
38.76
20.75
6.93
21.62
3
18.79
26.60
10.58
16.72
18.68
15.35
15.45
52
Lampiran 15. Retens i lemak (%) rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan
Ulangan
Retensi lemak (%)
ke-
Pakan (Protein; C/P) A(30;9.95) B(30;10.99) C(35;9.41) D(35;10.07) E(40;8.94) F(40;9.54) G(45;8.70)
1
5.85
2.87
4.93
6.39
13.42
8.93
4.87
2
0.76
1.70
3.29
9.41
10.38
4.39
13.12
3
4.12
5.22
4.30
4.12
9.36
10.33
9.86
Lampiran 16.
Analisis ragam laju pertumbuhan harian rajungan (Portunus pelagicus)
SK
db
JK
KT
Fhit
Protein
3
8.691
2.897
3.537
0.043*
C/P
1
0.378
0.378
0.461
0.508
Protein x C/P
2
10.081
5.040
6.154
0.012*
Galat
14
11.467
0.819
Total
20
30.276
*berpengaruh pada tingkat kepercayaan 95 % ( P< 0.05 )
P
53
Lampiran 17. Analisis ragam retensi protein rajungan ( Portunus pelagicus )
SK
db
JK
KT
Fhit
P
Protein
3
43.622
14.541
0.283
0.837
C/P
1
28.602
28.602
0.556
0.468
Protein x C/P
2
518.201
259.101
5.039
0.022*
Galat
14
719.816
51.415
Total
20
1320.674
*berpengaruh pada tingkat kepercayaan 95 % ( P< 0.05 )
Lampiran 18. Analisis ragam retensi lemak rajungan ( Portunus pelagicus )
SK
db
JK
KT
Fhit
P
Protein
3
134.513
44.838
6.404
0.006*
C/P
1
0.517
0.517
0.074
0.790
Protein x C/P
2
23.830
11.915
1.702
0.218
Galat
14
98.016
7.001
Total
20
262.501
*berpengaruh pada tingkat kepercayaan 95 % ( P< 0.05 )
Lampiran 19. Analisis ragam frekuensi moulting rajungan ( Portunus pelagicus )
SK
db
JK
KT
Fhit
Protein
3
C/P
5.472
1.824
4.256
0.025*
1
0.000
0.000
0.000
1.000
Protein x C/P
2
4.333
2.187
5.056
0.022*
Galat
14
6.000
0.429
Total
20
16.000
*berpengaruh pada tingkat kepercayaan 95 % ( P< 0.05 )
P
54
Lampiran 20. Analisis ragam ekskresi amonia pada waktu 2 jam
SK
db
JK
KT
Fhit
P
Protein
3
0.015
0.005
4.144
0.027*
C/P
1
0.000
0.000
0.336
0.572
Protein x C/P
2
0.000
0.000
0.052
0.949
Galat
14
0.017
0.001
Total
20
0.033
*berpengaruh pada tingkat kepercayaan 95 % ( P< 0.05 )
Lampiran 21. Analisis ragam ekskresi amonia pada waktu 16 jam. SK
db
JK
KT
Fhit
Protein
3
0.000
0.000
1.856
0.183
C/P
1
0.000
0.000
2.118
0.168
Protein x C/P
2
0.000
0.000
3.912
0.045*
Galat
14
0.000
0.000
Total
20
0.000
*berpengaruh pada tingkat kepercayaan 95 % ( P< 0.05 )
P
55
Lampiran 22. Hasil pengamatan frekuensi ganti kulit dari benih rajungan (Portunus pelagicus) pada setiap perlakuan selama percobaan (mulai 30 – Juli sampai 14 – September, 42 hari). Perlakuan M1
M2
M3 13-Sept
M4
M5
Jumlah
Rata-rata
Moulting
Moulting
A1
7-Agust
23-Agust
3
A2
2-Agust
15-Agust
A3
5-Agust
16-Agust
3-Sept
3
B1
3-Agust
15-Agust
1-Sept
3
B2
3-Agust
16-Agust
2
B3
3-Agust
22-Agust
2
C1
5-Agust
14-Agust
C2
3-Agust
24-Agust
C3
3-Agust
14-Agust
25-Agust
11-Sept
D1
1-Agust
10-Agust
21-Agust
3-Sept
D2
5-Agust
12-Agust
23-Agust
11-Sept
4
D3
4-Agust
12-Agust
22-Agust
10-Sept
4
E1
3-Agust
17-Agust
31-Agust
E2
3-Agust
12-Agust
26-Agust
12-Sept
4
E3
4-Agust
14-Agust
30-Agust
12-Sept
4
F1
3-Agust
17-Agust
2
F2
4-Agust
26-Agust
2
F3
4-Agust
14-Agust
26-Agust
3
G1
5-Agust
14-Agust
7-Sept.
3
G2
5-Agust
17-Agust
G3
4-Agust
23-Agust
2.67
2
1-Sept
3
2.33
3.00
2 4 12-Sept
5
3
2 9-Sept
3
4.33
3.67
2.33
2.67
56
57
58
59
Lampiran 25. Kisaran kualitas air selama pengamatan
Parameter
Kisaran Kualitas Air
Salinitas (%o )
31 – 33
Suhu (o C)
29 – 30
pH
7.0 – 8.1
DO (ppm)
5.35 – 5.96