Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KINERJA PEMBESARAN ITIK MA SIAP TELUR DI PEDESAAN (The Performance of MA Duck Pullet in The Village) SUMANTO ,E. JUARINI , BROTO WIBOWO dan L. HARDI PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT The MA duck is the result of crossing of the Mojosari duck and Alabio duck. Result of the first year study in the field as an intermediate result showed an instability of its performance, it showed a fluctuation on both its egg production and its growth rate, although it showed better performance compare to its parents’ production due to the heterosis effects. This study is aimed to asses the performance of the final stock and its economic analysis in the villages of different agroecologies. 2500 Ma have distributed in several cooperators. All duckling distributed to the farmer were ranging between 1 to 4 weeks old, with average body weight ranges between 50.0 to 70.0 g/head. Feed and other materials were provided by the farmer, therefore vary both from place to place and from farmer to farmer. Data collected including body weight gain, the age of first laying egg, mortality, egg production and as well as socio economic data such as feed price, animal shade, egg price, total revenue, labour and farmer’s attitude. Data were collected monthly and were analysed using input–output ratio analysis. Results showed that: (1) Mixed Ration consisting of rice bran, broken rice, yellow corn, corn meal and broiler ration (511) are commonly given twice daily. This materials of the ration is not much different but the compotiyon varies from farmer to farmer.and from season to season, because of the availability of the materials used. The frequency and the amount of the feed given varies mostly depend on the age of the animal, it ranges between 50 and 165 g/head/day. Up to 14 days old ducklings usually given hundred percent of broiler starter ration as much as 60 g/head/day. Along with increasing the duck’s age, the amount of concentrate in the mixture will be reduced gradually to reach the ideal composition; (2). The body weight of the crossbred DOD is uniform but the body weight gain varies from place to place and from farmer to farmer, depend on the management system and the feeding regime given in the duck farming. Body weight of duck pullet in Blitar ranges from 1700 to 1900 g/head; in Cirebon ranges from 1600 to 1800 g/head and in Grati ranges from 1486 to 1617 g/head at 14 weeks of age. As comparison in the institute the average body weight is 1803 g/head at 14 weeks old.; (3). High mortality are usually happen at the first month of age and decrease as the duck grows older. In Blitar, Cirebon and Grati, the duck mortality ranges from 3 to 7% in the first month and in the second month only less than 1%; (4) Using the technical and economical data collected, the production cost of the duck farm producing duck pullet (147 days old) can be calculated. In Blitar, the feed cost ranges from Rp.14.800.- to Rp.15.566.- per head. In Cirebon Rp.12.500.- per head. Overal production cost in Blitar Rp.21.000.- per head, whereas in Cirebon is only Rp.18.850.- per head. Common price for duck pullet is about Rp.25,000.- per head, therefore farmers will gain about Rp.3.900.- per head in Blitar and about Rp.6.150.- per head in Cirebon and (5) Most farmers said that the final stock duck grows faster than local duck but eat more feed (feed intake crossbred > feed intake local duck) and wilder than local duck, the colour of the crossbred egg is not different from the colour of the local duck’s egg, and last but not least need more capital (investment) because need to be intensively managed. Key words: Performance, MA duck, economic ABSTRAK Itik MA adalah itik hasil persilangan itik Mojosari x Alabio. Hasil dari pengkajian multilokasi bibit itik niaga MA menunjukkan tingkat produktifitas yang belum stabil, sehingga perlu dikaji ulang di lokasi lain baik ditinjau dari segi teknis maupun segi sosial-ekonominya. Sebanyak 2500 bibit itik niaga (MA, umur 1-15 hari telah dikirim ke daerah (Cirebon, Blitar dan Pasuruan) untuk dipelihara oleh beberapa peternak kooperator. Tenaga dan
661
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
peralatan disediakan sendiri oleh masing-masing peternak kooperator. Sementara itu, penyusunan ransum bahan dan komposisi pakannya diserahkan sepenuhnya pada peternak dan peneliti Balitnak hanya memberi jasa konsultatif. Pengamatan diarahkan selain data teknis juga data ekonomis dan sikap peternak terhadap kinerja itik tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada umumnya campuran jenis bahan pakan (konsentrat 511, dedak, menir, jagung, ampas tahu) yang diberikan ke itik tidak banyak bervariasi, namun komposisi dan jumlah ransumnya cukup bervariasi baik menurut lokasi penelitian, kondisi peternak dan perkembangan umur itik. Ransum itik dibuat mulai dari kombinasi 2 bahan hingga 4 bahan campuran yang didasari oleh pengalaman dan penekanan biaya pakan di masing-masing peternak. Jumlah kebutuhannya adalah berkisar 50–165 g/ekor/hari yang disesuaikan dengan umur itik. Dalam pertumbuhannya sampai itik siap telur (umur 5 bulan) cukup beragam. Bobot itik siap telur di Blitar antara 1700-1900 g/ekor, di Cirebon antara 1600– 1800 g/ekor dan di Grati antara 1486-1617 g/ekor pada umur 14 minggu. Sementara itu, di Balitnak bobot itik siap telur dapat mencapai 1803 g/ekor. Kematian itik banyak terjadi pada umur <1 bulan dan jumlah kematian itik terus menurun seiring dengan bertambahnya umur itik. Di Blitar, Grati dan Cirebon pada awalnya, persentase kematian itik 3-7% dan menurun menjadi <1% hingga itik umur dewasa. Besarnya biaya untuk memproduksi bibit itik siap telur beragam di masing-masing peternak. Di Blitar, biaya pakan hingga siap telur (147 hari) berkisar Rp.14.800,00 s/d Rp.15.566,00/ekor. Sementara itu, di Cirebon biayanya Rp.12.500,00/ekor. Dengan menambah biaya bibit DOD, kandang, obat-obatan dan tenaga kerja, maka biaya produksi bibit itik siap telur Rp.21.000,00/ekor di Blitar dan di Cirebon mencapai Rp.18.850,00/ekor. Apabila harga jual bibit itik petelur Rp.25.000,00/ekor, maka keuntungan peternak di Blitar adalah Rp.3.900,00/ekor dan di peternak di Cirebon Rp.6.150,00/ekor. Persepsi peternak terhadap itik niaga MA adalah sebagai berikut: itik makan lebih rakus, tumbuh lebih cepat dari itik lokal, lebih gesit, perlu modal besar dengan pengelolaan terus terkurung. Kata kunci: Kinerja, itik MA, ekonomi
PENDAHULUAN Pengamatan terdahulu menunjukkan bahwa cara pembibitan itik banyak dilakukan dengan cara angonan dan belum populer yang menggunakannya dalam model pembibitan itik terkurung. Namun yang berkembang di peternak adalah hanya sistem penetasannya. Namun demikian sebagai penghasil protein hewani dan pendapatan dalam usaha ternak tersebut cukup nyata. Dalam perkembangannya, usaha itik merupakan usaha telah mulai berkembang sebagai usaha komersial. Hal ini dapat dilihat dari hasil laporan ANONIMOUS (1979) yang mengatakan bahwa 50% peternak di Cirebon, 44% di Tegal dan 12% di Indramayu menyandarkan pendapatannya dari usaha itik. Dari sudut produksi telur, kontribusi jumlah telur itik terhadap produksi telur secara nasional sekitar 24,9% dan produksi daging itik terhadap produksi daging nasional masih relatif rendah (2,3%) (SINURAT dan SETIOKO, 1993). Namun demikian performan produksi telur itik lokal di masyarakat dianggap masih rendah. Di Balitnak Ciawi sedang dikembangkan itik unggul (AM/MA) hasil dari persilangan timbal balik itik Alabio (A) dan itik Mojosari (M) yang dilakukan dengan cara terkurung, dimana pertumbuhannya tampak lebih baik dari kedua galur tetuanya. Meskipun profil itik hasil persilangan tersebut memperlihatkan pertumbuhan dan produksi telur yang lebih baik dari itik lokal yang ada dilokasi sekitar penelitian, namun kemantapan produksi tampaknya masih belum stabil dan berapa biaya untuk memproduksi itik/ekor hingga umur siap telur dengan cara terkurung juga belum diketahui. Sebelum diluncurkan untuk pengembangan itik niaga di daerah-daerah tujuan tertentu, maka masih perlu dilihat kinerja itik niaga dari segi teknis dan sosial ekonomis dalam kondisi pemeliharaan dipeternak setempat.
662
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
MATERI DAN METODE Sebanyak 2500 Bibit itik niaga (MA/AM) didistribusikan ke daerah untuk dipelihara oleh peternak kooperator. Jumlah penyebaran bibit itik niaga (berbagai umur) per lokasi setempat adalah sebagai berikut: Di Blitar sebanyak 1074 ekor (784 betina, 290 jantan) yang dipelihara oleh 5 peternak. Di Grati sebanyak 201 ekor betina yang dipelihara oleh 2 peternak. Di Lawang sebanyak 631 ekor (414 betina dan 217 jantan) dipelihara 1 peternak dan Cirebon sebanyak 627 ekor (365 betina dan 262 jantan) dipelihara 1kelompok (5 orang). Umur itik niaga yang dikirim tersebut belum seragam. Tenaga dan peralatan lain disediakan sendiri oleh masing-masing peternak kooperator. Sementara itu, penyusunan bahan dan komposisi pakannya diserahkan sepenuhnya di peternak dan peneliti Balitnak hanya memberi jasa konsultatif. Data yang diamati bentuk teknis yaitu: bobot itik dewasa mulai bertelur, kematian. Data nilai input ekonomi pakan, bibit, kandang, tenaga kerja dan nilai output: harga jual itik siap telur. Di samping itu diamati persepsi peternak kooperator terhadap profil bibit itik niaga. Data dikumpulkan secara periodik bulanan dan analisis finansial menggunakan metoda input-output ratio. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi itik di lokasi penelitian Perkembangan poluasi ternak itik sangat berubah-ubah di Kabupaten Blitar, kenaikan populasi terjadi pada tahun 1994 hingga tahun 1997 sedangkan pada tahun 1998 mengalami penurunan hingga populasinya hampir sama dengan tahun 1994, hal ini diduga karena terjadi krisis moneter yang berlangsung sejak tahun 1997. Penurunan populasi tersebut akibat adanya krisis harga pakan komersial yang meningkat dan berfluktuasi. Dalam kondisi ini para peternak itik yang bermodal kecil tampak gulung tikar. Populasi di Pasuruan itik pada tahun 1997 adalah 53.208 ekor dan meningkat menjadi 81.490 ekor pada tahun 1998. Sebaran populasi terbanyak adalah di Kecamatan Grati (10.308 ekor), kemudian menyusul di Kecamatan Lumbang (4.893 ekor), Kecamatan Rejoso (4.892 ekor) dan Kecamatan Winongan (4.208 ekor). Dilihat dari sumber produksi daging di Pasuruan (1998/1999) memperlihatkan bahwa peranan daging broiler masing dominan (>52%). Peran daging itik masih sangar kecil, tetapi untuk produksi telurnya tampak cukup bagus yaitu berproduksi sebanyak 8.886.526 kg pada tahun 1999. Ahkirakhir ini untuk daging itik banyak digemari oleh konsumen, sehingga diharapkan akan mempengaruhi terhadap persediaan daging yang selama ini masih banyak disediakan dari daging sapi. Perkembangan populasi itik dewasa sampai pengeluaran DOD itik di Cirebon dapat dilihat pada Tabel 2. Dari laporan Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon (1999) memperlihatkan bahwa populasi itik terkonsentrasi di lima kecamatan, berturut-turut adalah di Kapetakan (67.347 ekor), Babakan (53.582 ekor), Losari (31.901 ekor), Walet (12,675 ekor) dan Gegesik (10.980 ekor). Dilihat dari perkembangan populasi itik dari tahun ke tahun menunjukkan grafik yang menurun. Misalnya terjadi di Kecamatan Kapetakan (populasi terpadat) dimana populasi itik pada tahun 1993 mencapai 663
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
255.690 ekor turun menjadi 66.000 ekor pada tahun 1996 dan hampir sama jumlah populasinya sampai tahun 1999. Namun untuk pemotongan itik tampaknya sudah mulai menaik jumlahnya, sedangkan untuk jumlah telur dan DOD yang keluar Cirebon masih berfluktuasi jumlahnya. Tabel 1. Perkembangan populasi dan pemotongan itik di Kabupaten Cirebon tahun 1989-1999 Populasi
Pemotongan
Pengeluaran
(ekor)
telur itik (butir)
Pengeluaran DOD (ekor)
Tenaga kerja
(ekor)
1989
329.935
225.919
105.928
5.443
3.299
1990
332.514
191.773
150.600
6.500
3.325
1991
364.735
137.645
144.579
21.020
3.647
1992
394.402
98.600
228.841
20.735
3.944
1993
397.470
99.367
456.199
457.972
3.974
1994
382.269
95.567
147.316
346.270
3.823
1995
218.549
109.274
254.522
363.613
2.185
1996
218.986
109.493
472.000
369.200
2.188
1997
212.810
120.442
67.496
427.905
2.128
1998
180.116
154.287
294.435
235.950
1.801
1999
216.205
162.154
688.124
291.330
2.162
Tahun
untuk itik
Sumber: Peternakan dalam angka 1989-1999, Dinas Peternakan Kabupaten Cirebon
Jenis itik penelitian Umumnya itik yang dipelihara para peternak di daerah Jawa Timur (termasuk di Blitar) adalah jenis Mojosari, sedangkan itik di Jabar (Cirebon) adalah jenis itik Tegal. Jenis itik yang diujicobakan di peternak kooperator adalah hasil persilangan antara itik Mojosari dan itik Alabio dimana dan diberi nama Itik AM atau MA yang diperoleh dari hasil penelitiaan para pakar pemuliaan di Balai PenelitianTernak Ciawi. Jumlah itik yang disebarkan telah disebutkan terdahulu di bab metoda penelitian. Perkandangan Bangunan kandang untuk itik berumur dara sampai dewasa pada umumnya terpisah dengan bangunan rumah tinggal, bahkan ada yang berjarak cukup jauh sekitar 7 meter. Kandang itik didesain sedemikian rupa sehingga dalam lokasi kandang terdapat bagian yang terbuka dan beratap. Bagian yang terbuka dimaksudkan sebagai halaman yang mendapat sinar matahari langsung, dan bagian yang beratap berfungsi sebagai tempat berteduh pada siang maupun malam hari. Kandang dibangun dalam satu deretan membujur yang terdiri dari beberapa petak dengan masing-masing petak ada suatu pembatas yang jelas. Setiap petak mempunyai luas 24 m2, dengan ukuran pamjang 6 meter dan lebar 4m, dari 6 m ini yang 2,5 meter merupakan bagian yang beratap. Setiap kandang rata-rata diisi 30–35 ekor. Di dalam kandang dibuatkan 2 selokan searah lebar kandang sebagai tempat penampungan air untuk minum maupun mandi bagi itik yang ada didalamnya, adapun ukuran nya adalah lebar ±30 cm dengan kedalaman 25 cm. Selokan tempat air minum selalu terisi air sepanjang hari,adapun sumber air berasal dari air sumur yang diangkut dengan bantuan tenaga mesin disel. Pengisian air dilakukan setiap hari (pagi ±jam 7) sehingga air bersih sebagai air minum dan mandi tersedia dengan sehat. Ternak itik berada dalam kandang ini dari umur DOD hingga masa afkir, yaitu 12 bulan masa produksi atau pada umur 18 bulan. 664
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Pakan dan pemberiannya Komposisi jenis bahan untuk menyusun ransum itik pada berbagai umur diserahkan kepada peternak kooperator, namun oleh peneliti Balitnak telah diberi petunjuk praktis tentang penyusunan pakannya sesuai dengan kebutuhan gizi itik. Hasil pengamatan tentang jenis dan jumlah pakan yang diberikan ke itik di beberapa peternak kooperator menunjukkan bahwa jenis dan jumlahnya cukup beragam. Pemeliharaan itik secara intensif mengandung konsekuensi terhadap penyediaan segala hal yang dibutuhkan itik, karena ternak itik sudah tidak sanggup mencari sesuatu hal dilingkungan hidupnya tanpa adanya campur tangan pemilik. Jenis, jumlah maupun kualitas pakan yang dikonsumsi itik tergantung dari apa yang disediakan oleh peternak, sehingga peternak perlu memperoleh pengetahuan yang sepadan dengan kebutuhan tentang gizi ternak itik yang dipelihara. Pada umumnya masih banyak dijumpai adanya pertimbangan ekonomi dari pada pertimbangan teknis kebutuhan ternak. Jenis pakan yang diberikan setiap peternak agak berbeda, hal ini tergantung dari tingkat produksi itik dan ketersediaan bahan yang diperlukan. Pada umumnya campuran bahan pakan (konsentrat 511, dedak, menir, jagung, ampas tahu) yang diberikan ke itik tidak banyak bervariasi, namun komposisi dan jumlah ransumnya cukup bervariasi baik menurut lokasi penelitian, kondisi peternak dan perkembangan umur itik. Ransum itik dibuat mulai dari kombinasi 2 bahan hingga sampai 4 bahan campuran yang didasari oleh pengalaman dan penekanan biaya pakan di masing-masing peternak. Frekuensi pemberian pakan itik dilakukan antara 2-3 kali/hari (paling sedikit diberikan pada pagi dan sore hari) dan jumlah kebutuhannya adalah berkisar 50–165 g/ekor/hari yang disesuaikan dengan umur itik. Pada itik berumur muda, konsentrat 511 seratus persen sebagai pakan utama dan rataan jumlah yang diberikan 60 g/ekor/hari. Dengan bertambahnya umur itik peranan konsentrat terus dikurangi yang dicampur dengan dedak, jagung hingga umur itik siap telur (5 bulan) dan jumlah rataan ramsumnya adalah meningkat sampai 155 g/hari/ekor. Kombinasi antara konsentrat, kebi dan dedak cukup populer dipakai oleh peternak di Blitar. Sementara itu, di Grati, ransum terbuat dari campuran konsentrat, dedak, jagung dan kupang. Tetapi di Cirebon, ransum dibuat dari campuran konsentrat, jagung, dedak dan ampas tahu. Pemakaian ampas tahu tampaknya dapat menekan harga campuran pakannya (Rp.700,00/kg). Harga bahan pakan Seperti telah diuraikan diatas bahwa fluktuasi harganya dan jenis bahan untuk membuat ransum itik adalah bervariasi dan ini tampak berpengaruh terhadap biaya pakan yang diperlukan dalam rangka pembesaran bibit itik Balitnak hingga siap bertelur (umur 22-23 minggu). Berbagai harga bahan untuk membuat ransum campuran dapat dilihat pada Tabel 2.
665
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tabel 2. Harga berbagai bahan pakan untuk ransum itik Jenis bahan
Unit
Harga (Rp)
Br-1
50 kg
80.000-85.000
Br-2
50 kg
105.000-109.000
Kebi
Kg
400-800
Katul / dedak
Kg
300–750
50 kg
130.000-139.000
K-144 Lb kecap
?
150.000
Lb- Pt ayam ras
Kg
900-1000
Ampas tahu
Kg
100
Jagung
Kg
1200
Keong
Kg
400
Tepung ikan
Kg
2000
Tenaga kerja Pemeliharaan itik terkurung memerlukan tenaga kerja untuk pengelolaan dalam kesehariannya, tenaga ini dapat berasal dari upahan maupun tenaga keluarga, tergantung dari skala pemilikan itik yang dibudidayakan. Adapun aktifitas utamanya adalah penyiapan pakan (mencampur), mendistribusikan pakan dari gudang ke kandang itik, penyediaan air minum dan pengumpulan telur setiap pagi hari. Kegiatan utama yang perlu diperhatikan adalah pemberian pakan kekandang harus dapat diselesaikan dengan cepat, agar ternak itik tidak mengalami stress karena kegiatan ini sedikit membuat suasana gaduh. Pengalaman di lapang pemeliharaan ternak secara intensif cukup diperlukan 2 orang tenaga dalam skala 3000 ekor, bahkan masih bias skalanya ditambah sedikit. Setiap daerah mempunyai tarif harga tenaga kerja upahan yang berbeda, khusus di Kecamatan Ponggok maka tenaga kerja dibayar sebanyak Rp.200.000,00/orang/bulan, dengan dijamin makan siang. Tetapi waktu tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan itik niaga dibeberapa lokasi uji-coba masih sulit untuk diperhitungkan. Hal ini disebabkan jumlah skala dari itik niaga yang relatif kecil dan curahan tenaganya sulit dipisahkan dari alokasi rutinitas pengelolaan usaha itik lokalnya. Dengan demikian faktor tenaga kerja dapat dimasukkan untuk analisis ekonominya, tetapi dengan menggunakan asumsi tertentu. Bobot itik siap telur Bobot DOD dari Balitnak umumnya hampir seragam, sekitar 56 g/ekor dan dalam pertumbuhannya sampai itik siap telur (umur 5 bulan) cukup beragam. Bobot itik siap telur di Blitar antara 1700-1900 g/ekor, di Cirebon antara 1600–1800 g/ekor dan di Grati antara 1486-1617 g/ekor pada umur 14 minggu. Sementara itu, di Balitnak bobot itik siap telur dapat mencapai 1803 g/ekor. Kematian itik Kematian ternak merupakan salah satu cerminan dari kondisi lingkungan dimana ternak dipelihara dan pengelolaan selama ternak dipelihara. Tinggi dan rendahnya jumlah kematian 666
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
tersebut secara nyata akan berhubungan dengan tingkat pendapatan yang diperoleh peternak. Dari hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa itik hasil persilangan apabila dalam pengelolaannya ditunjang dengan lingkungan dan tatalaksana yang tepat akan memberikan produksi yang baik dan juga berdampak pada jumlah kematiannya yang rendah. Melalui hasil persilangan yang tepat, sifat dan karakter yang baik pada umumnya lebih dominan muncul bila dibandingkan dengan sifatnya yang buruk. Jumlah kematian itik yang dipelihara peternak kooperator selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Dalam situasi yang normal jumlah kematian itik banyak terjadi pada umur itik <1 bulan dan jumlah kematian itik terus menurun seiring dengan bertambahnya umur itik. Kasus di beberapa tempat (Blitar, Grati dan Cirebon) pada awalnya (umur kurang dari 1 bulan), persentase kematian itik sebanyak 3-7% dan menurun menjadi <1% hingga itik umur dewasa. Analisa finansial usaha pembesaran itik MA Dari berbagai hasil yang telah dilakukan oleh para peternak kooperator, kiranya dapat digunakan sebagai asumsi-asumsi dalam rangka menyusun analisa usaha tersebut. Beberapa parameter dapat dikemukakan sebagai asumsi adalah sebagai berikut ini: 1. Harga DOD Itik Balitnak Rp.3500,00-/ekor 2. Biaya pakan dari DOD s/d bibit siap telur (umur 22 minggu) Rp.12.500,00 s/d Rp.14.750,00/ekor 3. Rataan kebutuhan pakan adalah 12,66 kg/ekor/22 minggu 4. Lama pembesaran itik sampai siap telur adalah 22 minggu 5. Persentase kematian itik hingga siap telur adalah 6,80% 6. Harga bibit itik siap telur Rp.25.000,00/ekor 7. Biaya kandang Rp.750,00/ekor/22 minggu 8. Biaya tenaga kerja Rp.2000,00/ekor/22 minggu 9. Biaya obat-obatan Rp.100,00/ekor/22 minggu Dengan menggunakan sejumlah ketentuan teknis diatas, maka besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi bibit itik siap telur tampaknya beragam di masing-masing peternak. Kasus di Blitar menunjukkan bahwa biaya pakan untuk bibit itik hingga siap telur (147 hari) berkisar antara Rp.14.800,00 s/d Rp.15.566,00/ekor. Sementara itu, di Cirebon biayanya mencapai Rp.12.500,00/ekor. Dengan menambah biaya lainnya seperti untuk biaya bibit DOD, kandang, obatobatan dan tenaga kerja, maka Di Blitar untuk biaya produksi bibit itik siap telur mencapai Rp.21.000,00/ekor dan di Cirebon mencapai Rp.18.850,00/ekor. Tingkat harga bibit di Cirebon lebih rendah dari pada di Blitar, karena jumlah biaya pakannya juga lebih rendah. Dengan harga jual bibit itik petelur Rp.25.000,00/ekor, maka keuntungan peternak di Blitar adalah Rp.3.900,00/ekor dan di peternak di Cirebon Rp.6.150,00/ekor. Dalam masalah penekanan biaya pakan selama itik dibesarkan sampai siap bertelur (umur 22 minggu).dapat dilakukan dengan cara pemeliharaannya tidak sepenuhnya terkurung. Dari pengalaman peternak, pemeliharaan itik lokal dengan cara diangon secara nyata tidak menimbulkan masalah dan bahkan biaya input (pakan) dapat ditekan hampir 50% dari kondisi pemeliharaan itik terkurung. Dalam penelitian lanjutan model pembesaran itik Balitnak semi-angonan hingga siap bertelur perlu diuji-cobakan dilapangan, guna melihat kinerja secara teknis dan nilai keuntungan yang dapat diraih oleh peternak kooperator.
667
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Persepsi peternak terhadap itik MA Secara umum tanggapan peternak terhadap uji-coba itik niaga dilokasi penelitian adalah sebagai berikut: itik makan lebih rakus, tumbuh lebih cepat dari itik lokal, lebih gesit, diperlukan modal cukup banyak dengan pola pengelolaan terus terkurung. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bahan dan model kandang sangat bervariasi, tergantung dari banyaknya modal dan keseriusan dalam usaha itik. Bagi peternak yang serius berusaha itik, maka kondisi perkandangan masih dirawat dengan baik (kasus di Blitar) dan akan terjadi sebaliknya (kasus awal di peternak Cirebon). Pada umumnya campuran bahan pakan ransum tidak banyak bervariasi (terdiri dari 2-4 macam bahan), tetapi jumlahnya tiap-tiap bahan cukup beragam yang didasari oleh perkembangan umur ternak, pengalaman dan penekanan biaya pembuatannya. Bobot itik siap telur (umur 5 bulan) di masing-masing lokasi penelitian tidak jauh berbeda, bila dibandingkan dengan hasil di laboratorium Dalam pembesaran itik hingga umur siap telur banyak terjadi kematian pada umur itik <1 bulan yaitu sekitar 3-7% dan akan menurun menjadi <1% hingga itik mencapai umur dewasa. Biaya produksi bibit itik MA siap telur (umur 22 minggu) mencapai Rp 21.000,00/ekor (Blitar) dan Rp.18.850,00/ekor (Cirebon). Sikap peternak tampaknya cukup antusias untuk memelihara itik yang diuji-cobakan, karena tumbuh lebih cepat dari yang itik lokal Saran Satu siklus produksi telur itik belum tercapai pada penelitian tahun 2000, maka untuk menuntaskan informasi tersebut masih perlu dilakukan penelitian lanjutan Agar informasi hasil penelitian di lapang dapat terus dimonitor, maka perlu dicari target peternak yang mempunyai modal kuat, sangat berminat untuk menyerap teknologi baru dan berpengalaman dalam beternak itik Saat ini hasil DOD MA masih dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, disarankan masalah ini dapat dilaksanakan oleh Instansi BPTP di daerah/peternak/pengusaha swasta untuk dapat disebarkan di lokasi pusat-pusat produksi itik. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1979. Laporan Fesibility Study Dalam Rangka Intensifikasi Peternakan Itik. Sekretariat Pengedali Harian Bimas Ayam Pusat , Ditjen Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. GUNAWAN, B. 1987. Penggunaan Teknologi Genetika Kuantitatif dalam Pengembangan Itik Petelur Indonesia. 1. Seleksi Genetik untuk Meningkatkan Produksi Telur pada Itik-Itik Asli Indonesia dan Itik Impor Khaki Campbell. Ilmu dan peternakan (3) 1: 19-21. HETZEL, D.J.S. 1983. The Egg Production of Intensively Managed Alabio and Tegal Ducks and Their Reciprocal Crosses. W. Rev. Anim. Pro. (19) 4: 41-46.
668
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KETAREN P.P., L.H. PRASETYO, YONO.C. RAHARJO, S.N. JARMANI dan T. MURTISARI. 2000. Karakterisasi Persilangan Itik Mojosari dan Alabio Pada Berbagai Lokasi. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. PRASETYO, L.H. dan SUSANTI, T. 1997. Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio dan Mojosari. I. Awal Pertumbuhan dan Awal Bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2 (3): 152-156. SINURAT, AP dan A.R. SETIOKO. 1993. Prospek dan Kendala Penerapan Teknologi Usaha Itik. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Hal 576-61. SUKARTAWI, A. SUHARJO, JOHN L. DILLON dan J. BRIAN HARDAHER. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. 1984.Penerbit Universitas Indonesia. SUSANTI, T., L.H. PRASETYO, T.C. RAHARJO dan W.K. SEJATI. 1998. Pertumbuhan Galur Persilangan Timbal Balik Itik Alabio dan Mojosari. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Optimasi Sumberdaya Lokal dalam Rekayasa Teknologi Peternakan dan Veteriner untuk Efisiensi Usaha Pasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. TIM PELAKSANA STUDI POTENSI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK di JAWA BARAT. 1995. Dinas Peternakan Jawa Barat-Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.
669