Seminar Nasional Peternakan don Veteriner2000
PRODUKTIVITAS ITIK SILANG MA DI CIAWI DAN CIREBON P.P. KErAREN dan L.H . PRAsETYO Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Satu penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi tingkat produksi telur itik persilangan Mojosari x Alabio (MA) selama setahun yang dipelihara di kandang itik Balai Penelitian Temak dan di kandang itik milik peternak di Cirebon (Jawa Bamt). Sembilan puluh lima ekor itik petelur dewasa persilangan MA berumur 20 minggu di Ciawi dan 90 ekor di Cirebon telah digunakan didalam penelitian ini. Itik petelur di Ciawi dibagi ke dalam 9 pen yang musing-masing terdiri dari 10-12 ekor/pen dan diberi pakan ad libitum dari umur 20-31 minggu yang kemudian diberi pakan terbatas sekali sehari sebanyak 175 g/ekor/hari. Sedangkan itik di Cirebon dibagi kedalam tiga pen musing-masing 30 ekor/pen dan diberi pakan terbatas dua kali sehari sebanyak 155 g/ekor/hari . Konsumsi pakan, produksi telur, FCR dan tingkat kematian itik dicatat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat produksi telur itik di Ciswi jauh lebih tinggi dari produksi telur di Cirebon yaitu musing-masing 71,2 dun 57,4% selama 10 bulan produksi . Rontok bulu (molting) terjadi 26 minggu lebih awal pada itik yang dipelihara di Cirebon (36 minggu) dibanding itik di Ciswi yang baru mulai molting pada umur 62 minggu . Tingkat mortalitas itik petelur di Ciawi dan Cirebon musing-masing 10,5 dan 3,3% selama 10 bulan penelitian . Rataan produksi telur setahun pada itik yang dipelihara di Ciswi adalah 69,4% dengan FCR 4,1 . Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwajumlah dan mutu pakan yang diberikan tampaknya mempengaruhi sant mulainya rontok bulu dan selanjutnya menentukan tingkat produksi telur itik persilangan MA. Kata kunci: Itik persilangan MA, produksi telur, FCR
PENDAHULUAN Produktivitas Trnak termasuk itik ditentukan oleh dua faktor utama yaitu: (1) geneuk dan (2) lingkungan . Oleh karena itu perbaikan mutu bibit itik, pakan dan tata laksana pemeliharaan akan meningkatkan produktivitas itik tersebut. Dari berbagai sistem pemelihaaan itik di Indonesia, dilaporkan bahwa kemampuan produksi itik masih sangat bervariasi dan masih rendah yang diduga diakibatkan oleh genetik dan lingkungan yang masih sangat beragam. Rataan produksi telur itik yang dipelihara secara sistem gembala di Jawa Barat misalnya dilaporkan hanya berkisar antara 26,941,3% (SETIoico, 1990), clan di Jswa Tengah sekitar 33,5-55,2% (SUPRUATNA, 1990) clan 33,4-40,1 1999). Sedangkan produksi telur itik intensif/terkurung dilaporkan oleh SETIOKO (1990) dapat mencapai 55,6%, GUNAWAN et al. (1994) sebanyak 56,7%, SINURAT et al. (1994) dari 34,945,4% dan SINURAT et al . (1995) sebanyak 43,5-55,5% per tahun pada pemberian pakan yang berbeda-beda. Juga dilaporkan bahwa efisiensi penggunaan pakan yang diukur denga FCR masih sangat buruk yaitu berkisar antara 3,8-6,5 dengan sistem pemeliharaan intensif (GUNAWAN et al., 1994; SiNURAT et al., 1994; SINURAT et al., 1995). Rendahnya produktivitas itik tersebut diduga terutama diakibatkan oleh mutu bibit yang masih beragam dan pemberian pakan yang belum sesuai . Oleh karena itu, peternakan itik intensif/komersial dengan menyediakan pakan konvensional seperti lazimnya pada pemelihaaan ayam ras cenderung tidak ekonomis diusahakan karena masih buruknya efisiensi penggunaan pakan (FCR) di atas. Sebagian besar peternak itik di Indonesia adalah peternak yang menggembalakan itiknya di persawahan padi karena sebagaian besar pakan tidak perlu dibeli sehingga biaya produksi relatif rendah. Dengan demikian, untuk meningkatkan peran telur itik dalam memenuhi kebutuhan protein hewani, perlu diupayakan peningkatan efisiensi penggunaan pakan yang setidaknya mendekati FCR ayam ras yang rata-rata sekitar 2,4-2,6 (ANoN ., 1986). (PRAmoNo,
198
Seminar Nasiona! Peternakan dan Veteriner 2000
Sehubungan dengan rendahnya produktivitas itik diatas, penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi bibit itik niaga MA hasil persilangan antara itik jantan Mojosari dan itik betina Alabio yang dipelihara secara intensif/terkurung di Ciawi dan Cirebon . Kondisi kedua lokasi tersebut berbeda sistem pengelolaannya terutamajenis pakan yang diberikan . MATERI DAN METODE Prosedur penelitian Itik yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik dara hasil persilangan itik Mojosari dan Alabio yang selanjutnya dalam laporan ini disebut itik MA. Itik MA tersebut berumur 20 minggu yang diperoleh dari kegiatan penelitian pertumbuhan itik MA tahun 1998/1999 lalu. Sebanyak 95 ekor itik MA berumur 20 minggu ditempatkan di kandang percobaan Ciawi dan 90 ekor itik di kandang itik milik peternak di Cirebon . Itik di Ciawi dipelihara didalam kandang litter yang disekat menjadi 9 pen, masing-masing berukuran sama yaitu panjang 4,80 m, lebar 1,20 m dan tinggi sekat 0,60m . Setiap pen diisi sebanyak 10-12 ekor itik yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum. Pakan kering dan air minum disediakan secara tidak terbatas sampai umur 31 minggu dan mulai dari umur 32 minggu diberikan ransum terbatas dengan rataan 175 gram/ekor/hari . Itik di Cirebon dipelihara didalam 3 pen yang lebih besar yang berukuran sama yaitu masing-masing 4 x 2 M kandang belantai jerami untuk tempat beristirahat dan 4 x 4 M kandang berlantai semen untuk kandang bermain . Setiap pen diisi sebanyak 30 ekor itik serta dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum. Formula pakan yang digunakan untuk itik di Ciawi dan Cirebon berbeda baik bahan pakan yang digunakan maupun kandungan gizi pakan yang diberikan (Tabel 1). Tempat pakan diletakkan di satu ujung pen dan tempat minum di ujung pen lainnya untuk menekan jumlah pakan yang terbuang akibat kebiasaan itik yang setelah mengambil pakan dengan paruhnya lalu segera mencari air minum. Pakan starter yang digunakan dalam penelitian di Ciawi adalah pakan starter ayam petelur yang diproduksi oleh pabrik pakan ternak . Bahan baku lain seperti: dedak, menir, ikan, asam amino metionin, lisin, minyak, dikalsium fosfat, kapur, dan premix diperoleh dari toko pakan ternak Mutu ransum starter produksi pabrik ini dipandang lebih stabil dibanding mutu berbagai bahan pakan yang dicampur sendiri untuk menghasilkan pakan jadi karena mutu berbagai bahan baku tersebut dapat dipengaruhi oleh gejolak harga bahan baku yang terus berubah sesuai dengan perubahan nilai Rupiah terhadap dolar. Bahan baku pakan dibeli dan dicampur setiap dua minggu dan contoh pakan jadi diambil setiap pencampuran untuk analisis kandungan gizi di laboratorium . Pakan di campur setiap hari di Cirebon dan contoh pakan diambil lima kali selama penelitian. Kandungan gizi pakan itik di Ciawi seperti terlihat pada Tabel 1 sudah memenuhi kebutuhan gizi itik petelur yang disarankan oleh SINURAT, 1994 ; SINURAT et al., 1989, 1995, dan National Research Council (NRC, 1994). Sebaliknya setelah dianalisis di laboratorium ternyata nilai kandungan gizi pakan itik yang dipelihara di Cirebon ternyata kurang memenuhi syarat terutama kandungan ptotein dan Kalsium . Konsumsi pakan diukur setiap minggu, produksi telur, bobot telur dicatat setiap hari (kecuali di Cirebon), FCR dihitung per minggu (kecuali di Cirebon) dan tingkat kematian itik dicatat setiap ada kematian.
Seminar Nasional Peternakan clan Vetermer 2000
Tabel 1. Formula clan kandungan gizi pakan itik MA di Ciawi clan Cirebon Bahan pakan Ciswi (kg) Cirebon (kg)) 77,50 Ransum starter 13,00 6 Dedak halus 4 Menir 8 2) Ikan cacah (diberikan basah) 2,00 Minyak kelapa sawit 0,25 Metionin Lisin 0,25 2,00 Dikalsium fosfat 5,00 Kapur 0,10 Premix 100,10 18,0 Total Kandungan gizi: 9,94 9,82 1 . Air (0/6) 17,24 14,66 2. Protein kasar (%) kasar (%) 5,85 8,85 3. Serat 2651 4. Enersi Kkal ME/kg ') 2911 3,42 0,31 5. Total Ca (%) 1,12 6. Total P (%) 1,03 _ Keterangan : Total pakan yang diberikan untuk 90 ekorfimi sebanyak 19 kg Ikan segar diperolch dari Tempat Peklangan lkan di Cimbon. Sampel ikan untuk analisis lab terkbih dahulu dikeringkan di oven psd& temperatur 600C sebelum dicampur dengan dedak dan menir Dihitung dengan asumsi : 1 Kksl = 4,184 Kkal Joule, I Kksl GE = 0,725 Kkal ME Analisis statistik Data persentase produksi telur, berat telur clan efisiensi penggunaan pakan (FCR) ditabulasi setiap minggu. Data kemudian dianalisis secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase produksi telur Rataan produksi telur dari kesembilan pen selama 12 bulsn produksi (umur 20-67 minggu) di Ciawi adalah 69,4% clan selama 10 bulsn produksi di Cirebon sebanyak 57,4%. Rataan produksi telur di Ciswi sedikit lebih tinggi dari rataan produksi itik Mojosari yang dilaporkan oleh PRASETYO clan Susmn (1998) yaitu 65,2% clan juga dari rataan produksi telur itik di Cirebon. Akan tetapi jauh lebih tinggi dari rataan produksi itik Alabio yang dilaporkan oleh SRIGANDONO (1980) yaitu 41,5% selama 4 bulsn produksi. Rataan produksi telur itik terus meningkat mulai dari umur 20 minggu sampai dengan 43 minggu di Ciswi yaitu dari 20,2 sampai 84,3% . Akan tetapi produksi telur itik di Cirebon naik terus dari umur 20 minggu sampai dengan 35 minggu dan kemudian turun sampai dengan umur 43 200
SeminarNasional Peternakan dart Veteriner 2000
minggu . Setelah itu produksi telur itik di Cirebon naik kembali pada umur 44 minggu selama satu bulan dan setelah itu lalu produksi turun sampai pada umur 59 minggu . Tabel 2. Dinamika persentase produksi telur itik MA di Ciawi dan Cirebon
Bulan produksi
Umur (minggu)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rataan (10 b1n) 11 12
20-23 24-27 28-31 32-35 36-39 40-43 44-47 48-51 52-55 56-59 20-59 60-63 64-67 56-67
Rataan (12 bln)
Rataan Ciawi (%) 20,2 57,9 72,8 80,5 82,2 84,3 80,8 81,6 80,3 71,6 71,2 67,3 53,0 69,4
Rataan Cirebon 30,0 56,8 74,9 83,7 41,6 43,5 70,7 66,0 48,4 58,8 57,4 -
Keterangan : Rataan produksi telur di kandang petemak di Cirebon hanya dapat diukur dari 20-59 minggu (10 bulan)
Gambar 1 menunjukkan bahwa konsistensi produksi telur itik di Ciawi jauh lebih baik disbanding produksi telur itik di Cirebon . Produksi telur itik di Ciawi dapat bertahan lebih dari 80% selama 6 bulan clan hanya dapat bertahan selama 1 bulan di Cirebon . Penelitian ini juga menunjukkan bahwa rataan produksi telur itik di Ciawi lebih tinggi dari produksi itik di Cirebon yaitu masing-masing 69,4 dan 57,4% . Perbedaan produksi ini cenderung lebih diakibatkan oleh perbeclaan jumlah pakan dan formula pakan yang digunakan. Dari analisis zat pakan yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi ternyata kandungan protein pakan di Cirebon lebih rendah dibanding kandungan protein pakan di Ciawi. Selain itu jumlah pakan yang diberikan di Ciawi (175 g/ekor/hari) lebih tinggi dari pemberian pakan di Cirebon (155 g/ekor/hari). Tingkat produksi telur itik di atas yaitu 67,4%sudah mendekati tingkat produksi telur ayam ras yang dilaporkan sekitar 73,7% pada umur 18-88 minggu (ANON., 1986). Dinamika bobot telur Bobot telur itik pertama relatif kecil yaitu berkisar antara 42-48 gram. Setelah itu rataan bobot telur meningkat terus menjadi 76gram pada umur 64-67 minggu di Ciawi. Rataan bobot telur selama 12 bulan penelitian adalah 69,7 gram. Rataan bobot telur tersebut lebih tinggi dari rataan bobot telur itik Alabio yang dilaporkan oleh WHENDARTO dan MADYANA (1986), ANON. (1976), GUNAwAN (1987) clan PRASETYO dan SUSANTI (1997). Rataan bobot telur di Cirebon tidak selalu diukur peternak sehingga tidak dapat dilaporkan.
Seminar Nasional Peternakan dan Veleriner 2000
90
L
la I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
5Wo prWnkd
Gambar 1 . Produksi telur MA di Cirebon dan Ciawi Efisiensi penggunaan ransum (FCR) Rataan efisiensi penggunaan ransum semakin baik sesuai dengan pertambahan umur itik mulai dari 11,89 pada umur 20-23 minggu dan menjadi 2,95 pada umur 40-43 minggu (Tabel 3). Tabel 3. Dinamika bobot telur dan efisiensi penggunaan pakan (FCR) itik MA di Ciawi dari umur 20-67 minggu Bulan produksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rataan
Umur (minggu) 20-23 24-27 28-31 32-35 36-39 40-43 44-47 48-51 52-55 56-59 60-63 64-67 20-67
Rataan bobot telur (gram) 58,5 63,8 65,5 67,6 70,8 71,1 72,4 71,8 70,0 73,8 75,3 76,0 69,7
FC R 11,89 4,35 3,23 3,21 3,04 2,95 3,00 2,99 3,11 3,37 3,54 4,45 4,10
FCR itik penelitian ini yang diukur selama 48 minggu (12 bulan produksi) yaitu 4,10 lebih baik dibanding FCR itik Alabio yang dilaporkan oleh CHAVEz dan LASMINI (1978) dan GUNAWAN (1987) yang masing-masing 4,4 dan 4,2 selama 12 bulan penelitian . FCR akan semakin baik dengan 202
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
bertambahnya umur itik sampai dengan umur 40-43 minggu dan kemudian relatif stabil sampai umur 60-63 minggu seperti terlihat pada Tabe13. Rataan FCR telur itik pada umur 28-63 minggu berkisar antara 2,95-3,54 sudah mendekati rataan FCR ayam ras yaitu sekitar 2,5. Walaupun demikian FCR produksi telur itik MA selsma 12 bulan produksi mulai dari umur 20-67 minggu adalah 4,10 yang masih jauh dari FCR ayam ras . Oleh karena itu harus diupayakan melalui perbaikan nutrisi agar FCR telur itik tersebut dapat ditingkatkan mendekati FCR ayam ms yang berkisar antara 2,4-2,6 (ANoN., 1986). Ringkasan produktivitas itik MA yang dipelihara di Ciawi dan Cirebon Untuk melihat tingkat produkltivitas itik MA di kedua lokasi maka data produktivitas itik tersebut diringkas seperti terlihat pada Tabe14 dibawah ini . Umur pertama bertelur itik MA bsik di Ciswi dan di Cirebon berturut-turut 16,6 dan 16,3 minggu yang relatif lebih cepat dari umumnya itik petemak yaitu mulai bertelur setelah umur 20 minggu atau itik Tegal yang dipelihara secara intensif pada umur 22 minggu (SUBIHARTA, 1999). Umur mencapai 50% produksi dikedua lokasi pada umur 25,3 dan 25,0 minggu dan produksi 80% setelah 4 bulan produksi . Daya bidup itik di Ciawi dan Cirebon masing-masing 89,5 dan 96,7% selama 10-12 bulan. Daya hidup itik tersebut sudah menyamai daya hidup ayam petelur ras (ANON., 1986) . Penelitian ini juga menunjukkan bahwa itik di Cirebon 26 minggu lebih awal rontok bulu (molting) dibanding itik yang dipelihara di Ciawi. Kejadian ini tennyata juga menekan tingkat produksi telur itik di Cirebon. Kemungkinan jumlah dan mutu pakan yang yang diberikan pada itik di Cirebon lebih rendah menjadi penyebab itik di lokasi tersebut lebih awal rontok bulu. Pemaksaan rontok bulu (forced molting) pada itik dapat dilakukan dengan menurunkan mutu dan jumlah pakan yang diberikan (LAsmiNi et al., 1992). Tabel 4 .
Ringkasan produktivitas itik MA di Ciawi dan Cirebon dari umur
Uraian Umur bertelur pertama minggu/bulan Umur pada 50% produksi minggu/bulan Umur pada 80% produksi (bulan) Rataan bobot telur (g) FCR Umur molting I (mgg) Daya hidup (%) Keterangan: * KETAREN et al. 1999 ** 3 ekor mati karena kecelakaan (= karena stmss lingkungan)
20-59/67 minggu
Ciawi
Cirebon
16,6/5*
16,4/5
25,3/7*
25,0/7
8
8
69,7
4,1
3,2% ; 1
62
36
89,5**
96,7
ekor pecah telur didalam tubuh dsn
2
ekor patah kaki
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Rstaan produksi telur itik selama 12 bulan produksi dari umur 20-67 minggu di Ciawi adalah 69,4% sedangkan produksi telur itik selama 10 bulan produksi dari umur 20-59 minggu di Cirebon adalah 57,4%. 203
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
2.
Produktivitas itik MA di Ciawi lebih baik dari produktivitas itik Cirebon kemungkinan lebih diakibatkan oleh perbedaan kuantitas dan kualitas pakan yang digunakan.
3.
Tingkat produksi telur diatas 80% bertahan selama 6 bulan di Ciawi sedangkan di Cirebon hanya bertahan selama satu bulan dan kemudian turun.
4.
Rataan bobot telur itik dari umur 20-67 minggu adalah 69,7 grain.
5.
Itik di Cirebon 26 minggu lebih awal molting dan diikuti dengan penurunan produksi telur dibanding itik yang dipelihara di Ciawi.
6.
FCR telur itik di Ciawi selama l2 bulan produksi adalah 4,10 . UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Aep Suhendi dan Sugeng Widodo, teknisi litkayasa di Balai Penelitian Ternak, yang telah membantu dalam persiapan, pengelolaan dan pecatatan data selama penelitian berlangsung mulai dari bulan April 1999 sampai dengan Maret 2000 DAFTAR PUSTAKA ANONimus . 1977 . Program penelitian III, Itik . Laporan tahun 1977 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan, Bogor, Indonesia ANONimus . 1986 . Hy-Line variety brown, commercial management guide. Hy-Line International, Iowa, USA. CHAvEz, E.R. and A. LAswttm. 1978. Comparative performance of native Indonesian egg-laying ducks. Centre report No . 6: 1-27 . Centre for Animal Research an Development, Bogor, Indonesia . 2: GuNAwAN, B . 1987. Penggunaan teknologi genetika kuantitatif dalam pengembangan itik petelur Indonesia Pembentukan bibit unggul itik dari hasil kawin silang antara itik Alabio, Tegal dan Khaki Campbell yang telah diseleksi. i'lmu dan Peternakan. GuNAwAN, B., P. EDIANINGSIH, dan H. MARTOYO. 1994 . Produktivitas dan Kera.gaman fenotipik itik Alabio pada sistem pemelihaman intensif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengeinbangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor 25-26 Januari 1994 . KETAm, P.P, L.H . PRASETYO, dan T. MuRTisAm . 1999 . Karakter produksi telur itik silang Mojosari x Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengeinbangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengeinbangan Pertanian, Departemen Pertanian. LAsmiNi, A., I.T . MARSELINA, T.O SuRAATMAD)A, dan S. SASTROHADINOTO . 1992 . Prosiding pengolahan dan komunikasi hasil-hasil penelitian : Unggas dan Aneka Ternak . Balai Penelitian Temak, Pusat Penelitian dan Pengeinbangan Peternakan, Cisarua-Bogor, 20-22 Pebruari 1992 . NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1974 . Nutrient Requirement ofPoultry. National Academy Press, Washington, D.C . USA. PRAsE YO, L .H ., Y.C . RAHARJO, T. SU8vr17, dan W.K . SEJATI . 1998 . Persilangan timbal balik antara itik Tegal dan Mojosari II . Produksi daan kualitas telur. Kumpulan hasil-hasil penelitian peternakan APBN tahun anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian ternak unggas, pp : 205-211. Balai Penelitian Temak, Ciawi Bogor, Pusat Penelitian dan Pengeinbangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengeinbangan Pertanian, Departemen Pertanian.
204
Seminar Nasional Peternakan dan Peteriner 2000 pRAmoNO, D. 1999. Pemberian pakan tambahan dan pengaruhnya terhadap produksi telur itik gembala. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis . Seminar Nasional Unggas Lokal II, Semarang, 27 November 1999) pRAsETYo, L.H . clan T. SUSANTI. 1997 . Persilangan timbal balik antara itik Tegal clan Mojosari : I. Awal pertumbuhan dan awal bertelur . J. 11mu Ternak Vet. 2(3) :152- 156. SETIoKo, A.R ., A.P SINURAT, P. SETIADI, A. LASMINI, P. KETAREN, dan A. TANUWIDJAJA. 1992 . Pengaruh perbaikan nutrisi terhadap produktivitas itik gembala pada masa boro prosiding Agroindustri peternakan di pedesaan. Balai Penelitian Ternak,Ciawi, Indonesia. SETtOKO, A.R., A.P SINURAT, P. SETIADI, clan A. LASmiNI. 1995 . Pemberian pakan tambahan untuk pemeliharaan itik gembala di Subang, Jawa Barat.11mu dan Peternskan 8(1) :27-33 . SINURAT, A.P . 1994 . Peningkatan produktivitas Tmak itik. Bunga rampai hasil penelitian ternak unggas dan ruminansia kecil. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Indonesia. SINURAT, A.P ., J. BESTARI, WINARso, R. MAToNDANG, P. SETIAm, dan S. WAHYUNI. 1989. Pengaruh imbangan asam amino dengan energi metabolis dalam mansum terhadap performan itik Mojosari. Hasil-hasil penelitian tahun anggaran 1988-1989. Komoditi unggas, Balai Penelitian Temak, Ciawi, Indonesia. StNURAT, A.P ., P. SETIADI, A. LAsmwi, A.R. SETIOKO, clan T. PURWADARIA. 1995 . Penggunaan Cassapro (singkong terfermentasi) untuk itik petelur.11mu dan Peternakan 8(2) :28-31 . SINURAT, A.P., P.P . KETAREN, P. SEnADi, A. LAsmwi, dan A.R. SETIOKO. 1995 . Kebutuhan fosfor (P) untuk itik petelur. Prosiding seminar nasional sains dan teknologi peternakan, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Indonesia. SINURAT, A.P., P. SETIAm, dan A.R. St nom 1994. Pengaruh kadar kalsium dalam ransum terhadap produksi clan kualitas telur itik Tegal. Prosidings Seminar Nasional Sains clan Teknologi Petemakan, Balai Penelitian Temak, Pusat Penelitian clan Pengembangan Petemakan, Badan Penelitian dan Pengembsngan Pertanian, Indonesia, Ciawi-Bogor 25-26 Januari 1994. SRIGANDONo, B. 1980 . Produksi telur dari beberapa varitas lokal itik Indonesia (Anas domesticus) di Semaramg. Seri PenelitianNo .01/79. Pusat Riset dan Pengembsngan Universitas Diponegoro, Semarang. SuBIHARTA. 1999 . Pemanfaatan ikan Petek (Leiognathidae) sebagai bahan penyusun ransum itik Tegal betina fase pertumbuhan (1-5 bulan) . Jurnal Pengembangan Petemakan Tropis . Seminar Nasional Unggas Lokal II, Semarang, 27 November 1999). TIKuPADANG, A., CHALiDJAH, U. ABDuH, dan T. IBRAHIM. 1992 . Produksi itik lokal pada sistem peternakan akstensif di Sulawesi Selatan.Prosidinh pengolahan clan komunikasi hasil-hasil penelitian. Unggas dan Aneka ternak, Cisarua-Bogor 20-22 Pebruari 1992 . Balai Penelitian Temak, Pusat Penclitian clan Pengembangan Peternakan . WHENDRATo, I. dsn I.M . MADYANA. 1986 . Beternak Itik Tegal Secara Populer. Eka Offset, Semarang .