Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH (Feasibility Analysis of Alabio Duck Farm with Lanting System at Hulu Sungai Tengah) ENI SITI ROHAENI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No.4 Banjarbaru
ABSTRACT The Alabio duck is one of the local poultry livestock that are commonly reared by farmers in South Kalimantan Province. This paper aims at finding out the feasibility of Alabio duck rearing using lanting system in Hulu Sungai Tengah (HST) Regency. This activity was done by survey method through interview techniques in Mantaas Village, Labuan Amas Utara Subdistrict, HST Regency. From the survey it was found out that there were still Alabio ducks reared with lanting system, rearing above the cage or above bog water. The ducks reared were grower and laying ones. The rearing scale ranged from 50 to 1,000 heads per household. This was conducted as one business apart from catching fish. Based on the analysis it was found out that grower Alabio duck rearing produced an income of Rp. 6,600,000, R/C value amounted to 1.46 with a rearing scale of 700 heads. The Alabio entrepreneur of layers gained an income of Rp. 32,075,000, R/C value of 1.57 with a rearing scale of 700 heads for a production period of 9 months. Based on the analysis results it was found out that duck rearing with lanting system was profitable and was worth done. Key Words: Alabio Duck, Lanting System, Farming System Analyses ABSTRAK Itik Alabio merupakan salah satu ternak unggas lokal yang banyak diusahakan peternak di Propinsi Kalimantan Selatan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui analisis kelayakan usaha itik Alabio dengan sistem lanting di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Kegiatan ini dilakukan dengan cara survei melalui teknik wawancara di Desa Mantaas, Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten HST. Hasil survei diketahui bahwa masih ada yang memelihara itik Alabio dengan sistem lanting yaitu pemeliharaan di atas kandang/ lanting yang terapung di atas air rawa. Ternak itik yang diusahakan yaitu itik pembesaran dan itik petelur. Skala pemeliharaan berkisar antara 50-1.000 ekor per Kepala Keluarga (KK), usaha ini dilakukan sebagai salah satu cabang usaha selain mencari ikan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa usaha pembesaran itik Alabio menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 6.600.000, nilai R/C sebesar 1,46 dengan skala pemeliharaan 700 ekor. Pengusahaan itik Alabio periode produksi telur menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 32.075.000, nilai R/C 1,57 dengan skala 700 ekor selama 9 bulan produksi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pemeliharaan ternak itik dengan sistem lanting menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Kata Kunci: Itik Alabio, Sistem Lanting, Analisis Usaha
PENDAHULUAN Itik Alabio merupakan salah satu jenis unggas itik lokal yang berkembang di Kalimantan Selatan. Populasinya di Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sekitar 2,7 juta ekor dan yang diusahakan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST)) sekitar 20,81% dari total populasi itik. Itik ini dikenal
sebagai penghasil telur yang mempunyai peran yang tinggi karena mampu memberikan kontribusi produksi telur sekitar 53,79% pada tahun 2003 (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004). Itik ini juga merupakan salah satu sumber pendapatan yang banyak diusahakan petani di daerah Kalimantan Selatan, baik sebagai usaha utama atau usaha sampingan.
845
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan dan keuntungan dalam usaha ternak itik adalah pakan, bibit dan manajemen/sistem pemeliharaan (SETIOKO dan ROHAENI, 2002). Biaya pakan yang dikeluarkan untuk pemeliharaan itik yang dilakukan secara intensif sekitar 60-70% dari biaya produksi (SCOTT dan DEAN, 1991 dalam SETIOKO, 1992), mutu bibit merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan itik (HARDJOSWORO et al., 2002). Menurut SETIOKO (1992) pada dasarnya sistem pemeliharaan itik petelur di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu sistem gembala, sistem lanting dan sistem terkurung. Pemeliharaan itik sistem lanting hanya terdapat di daerah Kalimantan Selatan. Menurut ROBINSON et al. (dalam SETIOKO, 1992), berdasarkan wawancara produksi telur yang dihasilkan dengan sistem lanting berkisar antara 60-90% dengan rataan 70%. Pemeliharaan itik Alabio yang dilakukan cukup beragam tergantung kebiasaan dan kondisi alam. Pada umumnya di daerah sentra itik seperti Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dan Hulu Sungai Tengah (HST) pemeliharaan itik dilakukan secara semi intensif dan intensif dengan skala pemeliharaan berkisar antara 100–5.000 ekor. Pemeliharaan itik sistem lanting, masih dilakukan terutama di daerah rawa. Pemeliharaan cara ini yaitu dilakukan di atas air rawa, pada pagi hari ternak itik ada yang dilepas sampai sore, namun ada juga yang sepanjang hari itik berada di atas lanting (kandang terapung). Lanting adalah rakit yang terbuat dari kayu atau bambu yang di atasnya dibangun kandang itik serta rumah tempat tinggal peternak. Ukuran lanting bervariasi, biasanya dibangun di atas rawa-rawa atau danau (WASITO dan ROHAENI, 1994). Tujuan dari makalah ini untuk mengetahui analisis kelayakan usaha itik Alabio dengan sistem lanting di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). MATERI DAN METODE Kegiatan ini dilakukan dengan cara survei melalui teknik wawancara di Desa Mantaas, Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan
846
Selatan. Kabupaten HST merupakan salah satu sentra pemeliharaan itik Alabio setelah Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) di Kalimantan Selatan. Wawancara dilakukan pada peternak itik yang memelihara itik Alabio dengan sistem lanting secara sampling yang ada di Desa Mantaas. Wawancara dilakukan dengan bantuan kuisioner yang meliputi tatalaksana pemeliharaan dan analisis usaha dilakukan pada bulan Maret 2005. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik pemeliharaan Itik yang dipelihara dengan sistem lanting ada dalam beberapa kelompok umur, yaitu anak itik umur 1 minggu sampai 2 bulan, itik umur 2−5 bulan dan itik penghasil telur. Skala pemeliharaan bervariasi berkisar antara 50−1.000 ekor, tergantung modal yang dimiliki peternak. Menurut WASITO dan ROHAENI (1994) dan SETIOKO (1992) pemeliharaan itik dengan sistem lanting merupakan cara yang khas terutama di daerah rawa-rawa yang ada di Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pemeliharaan anak itik umur 1 minggu sampai umur 2 bulan dilakukan secara terkurung. Pakan yang diberikan sampai umur 2 bulan yaitu pakan komersial yang dicampur dengan dedak. Itik yang berumur di atas 2 bulan pemeliharaannya secara semi intensif yaitu dikandangkan dalam lanting dari sore sampai pagi, kemudian pada pagi sampai sore hari dilepas. Pakan yang diberikan berupa sagu yang dicincang atau diparut sampai umur 5 bulan atau menjelang bertelur, namun ada juga yang mencampur dengan dedak, ikan-ikan kecil, siput dan ganggang. Itik yang siap bertelur mulai dikandangkan dalam lanting (istilah setempat: dinaikkan). Itik dewasa yang sudah bertelur, pemeliharaannya kombinasi yaitu dikurung dan diberi kesempatan untuk berenang (dilepas) antara 1−2 jam. Pakan yang diberikan untuk itik dewasa yaitu campuran antara PAR-L (pakan komersial), dedak, sagu dan ikan kering afkir, siput air, ganggang, macam bahan pakan yang diberikan untuk ternak itik ditampilkan pada Tabel 1.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 1. Pakan yang diberikan pada itik Alabio yang dipelihara dengan sistem lanting Kelompok Umur Bahan pakan
2−5 bulan
>5 bulan
X
X
Sagu
X
X
Ikan-ikan kecil
X
X
Siput
X
X
Ganggang
X
X
1−2 bulan
Pakan komersial
X
Dedak
X
Ikan kering afkir
X
X
Tempat pakan dan air minum disediakan di dalam kandang lanting. Bahan yang dipergunakan yaitu dari kayu atau bambu. Kandang lanting itu sendiri ada yang berdiri (terpisah) seperti rumah tempat tinggal namun ada pula yang ditempatkan di bawah rumah peternak. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa produksi telur yang dihasilkan bervariasi yaitu berkisar antara 50-80%/periode. Menurut ROBINSON et al. dalam SETIOKO (1992) bahwa produksi telur yang dihasilkan dengan sistem lanting berkisar antara 60-90% dengan rataan 70%. Pada umumnya peternak memelihara itik petelur selama 2 periode. Periode I, itik akan bertelur antara 5-10 bulan dan periode II lebih pendek yaitu antara 3-5 bulan. Produksi telur yang dihasilkan pada periode I rataan sebesar 74,29% dan pada periode II 57,14%. Masa istirahat (molting) antara periode bertelur I dan II selama 1 bulan. Pada masa molting (istilah daerah laring) pakan yang diberikan hanya sagu dan dedak saja dengan jumlah yang lebih sedikit. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa ada peternak yang khusus mengusahakan pembesaran anak itik. Itik dijual pada berbagai kelompok umur yaitu 2, 3 dan 5 bulan dengan harga yang berbeda. Namun ada pula peternak yang memelihara itik siap bertelur yang dibeli antara umur 5-6 bulan, sebagian lagi ada yang memelihara dari umur seminggu sampai bertelur. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan modal yang dimiliki peternak. Anak itik umur 7 hari yang dipelihara peternak diperoleh/dibeli di pasar Alabio. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) yang
dijual untuk itik betina bervariasi antara Rp. 3.500−5.000/ekor tergantung dari kualitas itik. Pemasaran produk yang dihasilkan, telur dilakukan peternak di pasar terdekat dengan menggunakan perahu yang berjarak antara 3-5 km dari desa ke kota kecamatan. Lokasi desa tempat pemeliharaan itik dengan sistem lanting cukup sulit untuk didatangi karena harus menggunakan perahu. Hal ini menyebabkan harga produksi yang lebih mahal, maka produk yang dihasilkan misalnya telur akan lebih mahal juga. Namun kualitas telur yang dihasilkan lebih baik dibanding itik yang dipelihara secara intensif (terkurung) lainnya karena warna kuning telur lebih merah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis bahan pakan yang dikonsumsi itik lebih beragam dan menunjang untuk pewarnaan kuning telur seperti hijauan/ganggang, ikan-ikan kecil yang segar dan siput air (kalambuai, bahasa daerah). Pemasaran produk yang dihasilkan terutama telur dilakukan 1 minggu sekali dengan 2 cara yaitu ada peternak yang menjual sendiri telurnya ke pasar pada hari pasar atau menjual pada pedagang pengumpul. Harga jual telur bervariasi tergantung pasar yaitu berkisar antara Rp. 700−900/butir. Kondisi lingkungan Peternak yang mengusahakan pemeliharaan itik dengan sistem lanting, kehidupannya sangat akrab dengan air, karena sejauh mata memandang yang dilihat adalah air. Alat transportasi utama yang dimiliki dan digunakan yaitu perahu. Kondisi alam ini sangat mendukung, karena peternak diuntungkan yaitu sebagian pakan untuk itik diperoleh di air seperti ikan-ikan kecil atau siput air dan ganggang. Bahan pakan ini digunakan oleh peternak sehingga tidak perlu membeli dan menekan biaya produksi. Keunikan dari sistem lanting yaitu tinggi permukaan lanting dapat berubah sesuai dengan kedalaman air yang ada di bawahnya. Pemeliharaan itik dengan sistem lanting, dikenal 2 macam yaitu ada peternak yang mengusahakannya sepanjang tahun dan ada yang beberapa bulan saja saat air tinggi. Peternak yang mengusahakan itik sistem lanting sepanjang tahun berada pada daerah yang selalu terendam air (rawa monoton/lebak
847
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
dalam) baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Peternak yang berada pada daerah yang agak tinggi daratannya (lebak tengahan), maka pemeliharaan sistem lanting dilakukan kira-kira 6 bulan saja yaitu pada musim hujan, karena pada musim kemarau air akan surut dan kering. Analisis biaya dan pendapatan Berdasarkan wawancara yang dilakukan dan analisis biaya dan pendapatan dari usaha pemeliharaan itik sistem lanting, diketahui bahwa usaha ini layak untuk dilakukan karena diperoleh nilai R/C lebih besar dari 1. Pada usaha pembesaran itik dihasilkan nilai R/C 1,46 sedang pada periode bertelur 1,57. Hasil pada makalah ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh ROHAENI dan SETIOKO (2002) yaitu itik Alabio yang dipelihara secara terkurung di daerah SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan) di Hulu Sungai Utara (HSU) nilai R/C yang dihasilkan berkisar antara 1,07-1,29. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalnya penanganan yang berbeda, kualitas pakan, atau kualitas bibit. Pada Tabel 2, diketahui bahwa pemeliharaan anak itik Alabio mulai umur 1 minggu sampai umur 5 bulan dengan skala 700 ekor, menghasilkan nilai R/C 1,46 dengan pendapatan sebesar Rp. 6.600.000/5 bulan atau rata-rata mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1.320.000/bulan. Asumsi yang digunakan pada
perhitungan ini yaitu kematian itik sebesar 14,29%, harga beli anak itik Rp. 4.800/ekor, biaya kandang dan alat Rp. 100.000/bulan, harga jual itik Rp. 35.000/ekor dan tenaga kerja Rp. 10.000/hari. Pendapatan dan nilai R/C yang dihasilkan pada kajian ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh ROHAENI et al. (2000) yaitu usaha pembesaran itik Alabio sampai dengan umur 5,5 bulan yang dipelihara dengan cara terkurung dihasilkan nilai R/C antara 1,1−1,26. Hasil lain yang dilaporkan oleh SUMANTO et al. (2002) bahwa pola pemeliharaan pembesaran itik mempengaruhi nilai R/C dan keuntungan yang dihasilkan, pada pola pemeliharaan terkurung nilai R/C sebesar 1,1 sedang pola angonan 1,39. Pada Tabel 3, berdasarkan perhitungan analisis biaya dan pendapatan pada pemeliharaan ternak itik Alabio periode bertelur diperoleh nilai R/C 1,57 dengan pendapatan sebesar Rp. 32.075.000/9 bulan atau rata-rata Rp. 3.563.800/bulan dengan skala pemeliharaan sebanyak 700 ekor. Beberapa asumsi yang digunakan pada perhitungan ini yaitu itik yang diusahakan dipelihara selama 2 periode bertelur. Periode I selama 5 bulan dan periode ke II 3 bulan, masa molting selama 1 bulan. Harga telur yang dihasilkan Rp. 700/butir, harga itik afkir Rp. 15.000/ekor, tenaga kerja Rp. 10.000/hari, kandang dan alat Rp. 1.500.000 untuk 2 periode bertelur dan harga itik dewasa siap bertelur Rp. 35.000/ekor.
Tabel 2. Analisis biaya dan pendapatan usaha pemeliharaan anak itik sistem lanting sampai pemeliharaan umur 5 bulan Uraian Input DOD TK Pakan Pakan komersial Sagu Dedak Kandang Total input Output Itik Pendapatan R/C
848
Fisik
Nilai (Rp)
%
700 ekor @ Rp. 4.800 5 bulan x 30 hari @ Rp. 10.000
3.360.000 1.500.000
23,33 10,42 62,78
21,6 zak @ Rp. 150.000 36 batang @ Rp. 150.000 40 blek @ Rp. 10.000 5 bulan @ Rp. 100.000
3.240.000 5.400.000 400.000 500.000 14.400.000
600 ekor @ Rp. 35.000 Output-Input Output : Input
21.000.000 6.600.000 1,46
3,47 100,00
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 3. Analisis biaya dan pendapatan usaha pemeliharaan itik sistem lanting periode bertelur Uraian
Fisik
Nilai (Rp)
%
Input Itik
700 ekor @ Rp. 35.000
24.500.000
Pakan periode I
43,20 26,00
Dedak
400 blek @ Rp. 10.000
4.000.000
Ikan
2.000 kg @ Rp. 2.000
4.000.000
Par-L
40 zak @ Rp. 140.000
5.600.000
Siput air
100 blek @ Rp. 4.000
400.000
Padi
100 blek @ Rp. 7.500
750.000
Pakan periode II
15,60
Dedak
240 blek @ Rp. 10.000
Ikan
1.200 kg @ Rp. 2.000
2.400.000 2.400.000
Par-L
24 zak @ Rp. 140.000
3.360.000
Siput air
60 blek @ Rp. 4.000
240.000
Padi
60 blek @ Rp. 7.500
450.000
Kandang
Rp. 1.500.000/2 periode
1.500.000
2,64
Tenaga kerja
9 bulan X 30 hari Rp. 10.000
2.700.000
4,76
4.425.000
7,80
56.725.000
100,00
Pakan selama molting Total input Output Telur I
78.000 butir @ Rp. 700
54.600.000
Telur II
36.000 butir @ Rp. 700
25.200.000
Itik afkir
600 ekor @ Rp. 15.000
9.000.000
Total output
88.800.000
Pendapatan
32.075.000
R/C
Pada Tabel 2 terlihat bahwa biaya pakan yang dikeluarkan untuk pembesaran itik Alabio sebesar 62,78% dari total biaya produksi, sedang pada pemeliharaan itik petelur biaya pakan sebesar 49,4% (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa biaya pakan baik pada usaha pembesaran maupun produksi telur porsi biaya adalah yang terbesar. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapatan bahwa pakan adalah salah satu faktor yang perlu untuk diperhatikan karena biaya yang dikeluarkan besar dan sangat berpengaruh terhadap produksi dan kelayakan usaha. Porsi biaya terkecil adalah untuk kandang dan peralatan, hal ini disebabkan karena peternak menyediakan kandang dan alat yang sederhana
1,57
dengan memanfaatkan bahan yang ada di daeah seperti kayu, bambu dan paralon. KESIMPULAN Kesimpulan dari makalah ini yaitu: 1.
Pemeliharaan itik dengan sistem lanting masih ditemukan di daerah dengan agroekosistem rawa.
2.
Skala pemeliharaan berkisar antara 501.000 ekor per Kepala Keluarga (KK), usaha ini dilakukan sebagai salah satu cabang usaha selain mencari ikan.
3.
Usaha pembesaran itik Alabio dengan skala pemeliharaan 700 ekor diperoleh
849
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
pendapatan sebesar Rp. 1.320.000/bulan dengan nilai R/C sebesar 1,46. 4.
Pengusahaan itik Alabio periode produksi telur memberikan pendapatan sebesar Rp. 32.075.000 atau rata-rata Rp. 3.563.800/bulan, nilai R/C 1,57 dengan skala 700 ekor selama 9 bulan produksi.
5.
Berdasarkan hasil analisis biaya dan pendapatan diketahui bahwa pemeliharaan ternak itik dengan sistem lanting menguntungkan dan layak untuk diusahakan. DAFTAR PUSTAKA
DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004. Buku Saku Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. HARDJOSWORO, P.S., A.R. SETIOKO, P.P. KETAREN, L.H. PRASETYO, A.P. SINURAT dan RUKMIASIH. 2002. Perkembangan teknomologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros. Lokakarya Unggas Air: Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6−7 Agustus 2004. hlm. 146−156.
ROHAENI, E.S. dan A.R. SETIOKO. 2002. Keragaan produksi telur pada Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) itik Alabio di kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Unggas Air: Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 139−145. ROHAENI, E.S., A.R. SETIOKO, ISTIANA dan A. DARMAWAN. 2000. Laporan Akhir Pengembangan Usaha Peternakan Itik Alabio di Kalimantan Selatan Melalui Seleksi. IPPTP Banjarbaru. SETIOKO, A.R. 1992. Budidaya, usahatani dan pasca panen itik. Makalah Temu Tugas dalam Aplikasi: Bidang Peternakan. hlm. 71−121. SETIOKO, A.R. dan E.S. ROHAENI. 2002. Pemberian bahan pakan lokal terhadap produktivitas itik Alabio. Pros. Lokakarya Unggas Air: Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 129−138. SUMANTO, E.J., B. WIBOWO dan R. MATONDANG. 2002. Analisis ekonomi pembesaran itik di DIY, Jatim dan Jabar. Pros. Lokakarya Unggas Air: Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 146−156. WASITO dan E.S. ROHAENI. 1994. Beternak Itik Alabio. Kanisius. Yogyakarta.
850