Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
ANALISA PEMASARAN TELUR ITIK DIDAERAH SENTRA PRODUKSI DI KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR: STUDY KASUS TATALAKSANA PEMASARAN PADA UD MAJUJAYA (Analysis of Egg Marketingin Production Center in Ponggok, Sub District: A Case Study on Management of Marketing of UD Majujaya) BROTOWIBOWO, E. JUARINI dan SUMANTO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The smooth egg marketing may push and may speed up the continuation of egg production. The longer of the link involved the higher different price between the producer and the consumer will be. This study was conducted in 2005, in UD Maju Jaya, Blitar. Interview was applied collecting the data. The data covered: volume, price, method of payment and the management of marketing. Data were collected and analyzed descriptively. The result showed that 200 farmers were selling egg continuously to UD Majujaya in total of average 1143 eggs per 4 days per farmer. There were 10 traders who came from outside of the area who bought 60.000 eggs per 3 days. The line of the marketing from the producer to the final consumers passed through two links. The price of the egg is decided bases on three classes: A, B, and C. The price of class A is Rp. 100 higher than the C Class. The price of egg in the B Class is Rp. 90 higher than the price of Class C. the difference price of farmer and UD Majujaya is Rp. 10. Moreover, the different price between UD Majujaya and the traders was Rp. 150 per egg. The system of payment is not in cash but postponed until the next time the traders take the next eggs. Key Words: Marketing, Egg-Duck, Trader, Egg Price, Egg Class ABSTRAK Terjaminnya pemasaran telur itik yang memadai dapat mendorong dan memperlancar kesinambungan produksi. Semakin panjang matarantai yang dilalui maka semakin tinggi perbedaan harga antara yang diterima produsen dengan yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Penelitian dilakukan pada tahun 2005 dilokasi usaha UD. Majujaya dengan cara wawancara kepada pedagang, data yang diambil meliputi;volume, harga, cara pembayaran dan tatalaksana pemasaran pada masing-masing tingkat pedagang. Data yang terkumpul dianalisis secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 200 orang, peternak yang rutin menjual telur kepada UD Majujaya, dengan rata-rata sebanyak 1143 butir/peternak/4 hari. Sementara itu, pedagang luar daerah yang melakukan pembelian mencapai 10 orang dengan kemampuan 60.000 butir/3 hari. Jalur pemasaran dari produsen hingga konsumen akhir melewati 2 mata rantai (pedagang pengumpul dan pedagang luar daerah). Penentuan harga telur masih berdasarkan satuan butiran dengan menggunakan standar kelas (A, B dan C) yang telah disepakati. Harga telur kelas A lebih tingi Rp. 100 dari pada kelas C, dan harga telur kelas B lebih tinggi Rp. 90/butir dari telur kelas C. Penjualan telur pada masingmasing pedagang mempunyai harga yang berbeda, pedagang pengumpul berbeda Rp. 10/butir dari harga produsen dan pedagang luar daerah berbeda Rp. 150/butir dari pedagang pengumpul. Sistem pembayaran atas transaksi yang terjadi dilakukan sistem tunda pada seluruh tingkat pedagang. Kata Kunci: Pemasaran, Telur Itik, Pedagang, Kelas telur, Harga Telur
PENDAHULUAN Ternak itik mempunyai peranan yang cukup besar baik dalam memenuhi kebutuhan
818
telur konsumsi maupun sebagai sumber pendapatan bagi petani/peternak. Produksi telur itik secara nasional mencapai 194 ton pada tahun 2004 (STATISTIK PETERNAKAN 2004),
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dan sejak tahun 2000 rata-rata persentase naik 8,27% per tahun. Pengembangan peternakan itik di Indonesia masih bertumpu pada pola peternakan itik rakyat, yang bercirikan skala kecil dan dengan sistem tradisional, dan sifatnya masih sebagai sambilan atau cabang usaha. Namun demikian akhir-akhir ini minat untuk beternak itik semakin meningkat baik sebagai usaha pokok maupun dalam skala industri, dengan sistem pemeliharaan intensif. Sistem pemeliharaan intensif menuntut efisiensi produksi yang tinggi agar layak secara ekonomi, untuk itu perlu adanya pasaran serta harga yang wajar guna membayar kembali biaya sarana produksi baik tunai maupun natura. Pasaran hasil produksi merupakan salah satu dari lima (5) syarat–syarat pokok yang harus dipenuhi (MOSHER, 1985). Pemasaran adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyampaian barang-barang dan jasa dari produsen ke konsumen. HADIPRODJO (1990) menyatakan bahwa tujuan pokok pemasaran adalah memenuhi permintaan pasar. Kenyataan menunjukkan tidak banyak peternak yang dapat menjual sendiri hasil produksi ke pasar di kota besar, hal ini disebabkan kurang tersedianya fasilitas guna menghubungi pembeli maupun pengetahuan petani tentang ruang lingkup pasar tersebut. Dipihak lain pedagang dikota besar tidak akan membeli produk langsung kepada peternak dengan skala produksi yang sedikit, karena tidak efisien. Oleh sebab itu peternak menjual hasil produksi di tempat atau di pasar lokal. Pemasaran telur dari produsen hingga konsumen memerlukan keberadaan pedagang, namun demikian semakin banyak pedagang yang terlibat dalam satu alur pemasaran maka semakin lebar jarak perbedaan harga ditingkat produsen dengan konsumen akhir. Tataniaga itu perlu dan biayanya mahal, maka penting sekali sistem tataniaga dibuat secara efisien mengingat harga yang dibayarkan kepada peternak ditentukan oleh harga yang dibayarkan konsumen, dikurangi dengan biayabiaya tataniaga setelah hasil-hasil itu meningalkan usahatani. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap mekanisme pemasaran
telur itik yang sudah berlangsung di daerah sentar produksi di Kabupaten Blitar pada kelompok peternak yang tergabung dengan UD Majujaya. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dalam kurun waktu tahun 2005 di lokasi UD Majujaya, dimana kegiatan pemasaran telur itik terselenggara. Penggalian data dilakukan wawancara kepada pelaku pasar yang terdiri dari produsen, pedagang lokal (UD Majujaya) sebagai pengumpul TK I dan pedagang luar daerah, (pedagang TK II). Informasi yang diperlukan antara lain; volume penjualan, harga telur dan pelaksanaan kegiatan pada masing-masing pelaku pasar. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara diskriftif. HASIL DAN PEMBAHASAN Saluran pemasaran Saluran distribusi adalah aliran barangbarang dari produsen ke konsumen, yang mana jumlah dan macam perantara berbeda-beda. Lembaga saluran dan fungsinya ini melayani permintaan pasar. Skema pemasaran telur menjelaskan bahwa hasil produksi telur dari peternak dijual kepada UD Majujaya (pedagang TK I) sebagai kegiatan pemasaran yang rutin, sedangkan penjualan secara insidentil dalam jumlah yang sangat sedikit dijual kepada masyarakat (rumah tangga) dilingkungan tempat tingggal. Pemasaran telur itik dari produsen kepada konsumen akhir minimal melalui 2 pedagang yaitu UD Majujaya (pedagang TK I) dan pedagang luar daerah (pedagang TKII). Pedagang TK I adalah pedagang yang langsung berhubungan dengan produsen (peternak), sedangkan pedagang TK II adalah pedagang yang melakukan pembelian kepada pedagang TK I. Dalamkegiatan pemasaran telur di daerah ini pedagang TK II adalah pedagang yang melakukan penjualan di luar daerah dengan skala penjualan yang cukup besar.
819
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
insidentil
Rumah tangga Pedagang keliling skala kecil
Produsen (peternak plasma) Rutin
Pedagang Tingkat I (Inti)
Pedagang Tingkat II Gambar 1. Pemasaran telur itik di sentra produksi telur, Kecamatan Ponggo Kabupaten Blitar Jawa Timur tahun 2005 Tabel 1. Kegiatan dan peralatan operasional pemasaran telur itik Pelaku pemasaran telur itik
Jenis kegiatan Peternak
Pedagang Tingkat I
Pedagang Tingkat II
Transportasi
Sepeda
-
Kendaraan roda 4
Penampung telur
Egg try
Egg try
Egg try
Grading
-
Klasifikasi telur
-
Bongkar-muat
-
-
Dilokasi asal, dan lokasi tujuan
Kegiatan pemasaran dan penanganan telur
Penanganan telur ditingkat peternak
Setiap pelaku pasar menentukan jenis kegiatan yang berbeda-beda, hal ini didasarkan atas kesepakatan antar pelaku pasar. Kegiatan dan peralatan yang digunakan dalam pemasaran telur itik ikut menentukan nilai harga jual telur. Pada Tabel 1. tercantum jenis kegiatan dan peralatan pemasaran pada masing-masing pelaku pasar. Tabel 1. memperlihatkan bahwa kegiatan operasional yang paling beragam terjadi pada pedagang luar daerah yakni; pengiriman telur dengan kendaraan roda 4, bongkar muat dari dan ke atas kendaraan. Kegiatan pada pedagang TK I hanya melakukan pemilihan dan pengumpulan telur (grading), sedangkan kegiatan pada peternak adalah pengumpulkan telur dari kandang ke tempat penampungan di lokasi usahanya. Setiap kegiatan mengandung konsekuensi biaya dan resiko, semakin beragam kegiatan yang dilakukan maka semakin besar biaya yang diperlukannya.
Jumlah peternak sebagai produsen telur itik mencapai 250 orang, seluruh peternak melakukan penjualan telur kepada pedagang TK I (UD Maju Jaya). Kegiatan masing-masing peternak dalam pemasaran telur itik adalah pengumpulan dan penyerahan telur. Penjualan telur dari masing-masing peternak kepada pedagang TK I berlangsung setiap 4 hari sekali , hal ini dimaksudkan untuk memperbesar volume penjualan. Setiap peternak mampu menjual 1.143 butir. Pengumpulan telur sudah menggunakan egg try (alat penampung telur), dengan kapasitas 30 butir setiap egg try. Pemasaran telur ditingkat peternak ini dapat dilakukan dilokasi usaha peternak dengan cara telur itik diambil oleh pedagang TK I, sehingga peternak tidak mengeluarkan biaya transport. Dalam serah terima ini peternak belum memperoleh nilai jualnya, karena telur tersebut belum dilakukan
820
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
pemisahan berdasarkan kelas. Sehingga peternak belum menerima pembayaran. Peternak selalu menjual kepada pedagang TK I karena telah tercapai tingkat kepercayaan yang memadai sebagai mitra usaha, yang dibuktikan atas kemampuan menampung hasil produksi peternak dan kelancaran pembayaran. Bahkan apabila terjadi perubahan kenaikan atau penurunan harga maka pedagang TK I segera memberikan informasi secepat mungkin. Penanganan telur di Pedagang Tingkat I Pedagang Tingkat I mampu memasarkan sebanyak 60.000 hingga 80.000 butir setiap hari, tergantung situasi produksi ditingkat peternak. Kemampuan pasokan telur dari petani bersifat fluktuatif, hal ini karena dipengaruhi oleh pola budi daya yang berkaitan dengan musim, walaupun pemeliharaan itik sudah intensif terkurung. Pada bulan September – Februari suplai telur dari peternak lebih banyak dari pada bulan Maret – Agustus, keadaan ini terjadi secara berulang pada setiap periode. Grading dan standarisasi Grading adalah proses pemilihan produk menurut klasifikasi yang telah ditetapkan karena permintaan pembeli. Grading ini mampu menaikkan efisiensi dalam pemasaran dan memperbesar kegunaan produk bagi konsumen (HADIPRODJO, 1990). Adanya grading memungkinkan penjualan dilakukan secara diskriftif (tidak usah dilihat barangnya lebih dahulu) dan dapat dilakukan dengan media komonikasi yang sudah berkembang. Grading yang dilakukan adalah: Pengelompokan berdasarkan warna kerabang. Warna kerabang hijau kebiruan masih memiliki penilaian yang tinggi dari pada warna kerabang lainnya, tertama bagi kalangan
masyarakat Jawa. Secara kebetulan warna kerabang yang diperjual belikan adalah warna kerabang hijau kebiruan, karena peternak pada umumnya memelihara itik jenis Mojosari, dan MA (persilangan Mojosari dengan Alabio). Pengelompokan berdasarkan ukuran (besar – kecil). Pedagang TK I menerapakan kriteria kelas pada kegiatan jual-beli telur itik. Terdapat 3 kategori yaitu kelas A, B dan C, dengan masing-masing kelas mempunyai nilai harga tersendiri. Teknis pelaksanan telah menggunakan alat ukur yaitu dengan cara memasukkan telur kedalam lobang pada sebuah papan, setiap papan yang terbuat dari kayu diberi 2 lobang, setiap lobang mempunyai ukuran kelas tersendiri. Penentuan kelas dengan cara ini sangat mudah dan praktis, pekerja trampil selama 8 jam kerja (1 hari) mampu melakukan penentuan kelas telur rata-rata sebanyak 10.000 butir telur. Penggunaan alat bantu perlu dikoreksi setelah beberapa waktu berlangsung, karena akan terjadi gesekan antara kulit telur dengan dinding bagian dalam pada lobang kayu, agar tidak merugikan pihak lain. Ukuran diameter untuk masing-masing kelas adalah;Kelas A memupunyai diameter > 4,7 cm, kelas B mempunyai diameter > 4,2 sampai 4,7 cm dan kelas C mempunyai diameter = 4,2 cm. Hasil klasifikasi menjadi acuan terhadap harga telur, secara berurutan nilai tertinggi sampai terendah adalah adalah kelas A dan diikuti kelas B dan kelas C. Perbedaan nilai harga antara kelas A dengan kelas B adalah Rp 10/butir, kelas A dengan C adalah Rp. 100/butir, sedangkan kelas B dengan kelas C adalah Rp. 90/butir. Penentuan kelas telur seperti ini belum banyak diterapkan dalam pemasaran telur, di tempat lain pada umumnya pentuan harga telur berdasarkan pengamatan fisual, sehingga kurang akurat, bahkan masih banyak cara perdagangan berdasarkan borongan (jumah butiran) terutama pada pembelian kepada peternak. Penentuan kelas
Tabel 2. Penentuan Klasifikasi telur itik dan perbedaan harga pada tiap kelas (Rp./butir) Kelas
Diameter (cm)
Perbedaan harga dengan A (Rp /butir)
Perbedaan harga dengan B (Rp./butir)
Perbedaan harga dengan C (Rp./butir)
A B C
> 4,7 > 4,2 – 4,7 = 4,2
0
10 0
100 90 0
821
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
telur dengan alat ukur ini perlu dikembangkan, mengingat perhitungan nilai harga pada telur itik masih berdasarkan satuan butiran. Contoh pengukuran telur yang beredar pada pedagang TK I adalah sebagai berikut: Jumlah telur = 64.752 butir Telur rusak = 0,48% Telur utuh = 99,52% Kelas A = 78,5% Kelas B = 19,1% Kelas C = 1,9% Kelas telur menentukan kualitas dan harga jual, semakin banyak telur yang mempunyai kelas A maka nilai harga telur semakin besar, demikian sebaliknya pada kelas C. Terbukti telur yang beredar dari peternak adalah telur yang mempunyai kelas C paling sedikit dibandingkan kedua kelas lainnya. Pengelompokan berdasarkan keutuhan. Telur itik dapat mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh benturan dengan benda keras, sehingga kulit telur mengalami keretakan. Pengertian telur rusak ini adalah telur yang mengalami retak kerabang, atau kulitnya tipis sehingga mempunyai harga jual yang rendah. Peristiwa rusaknya telur terjadi karena benturan dengan sesuatu dalam kandang. Hal yang paling sering itik meletakkan telurnya secara sembarangan, atau beberapa telur tertimbun dalam satu lobang peneluran. Kemungkinan lain keretakan telur dapat terjadi ketika pengangkutan dari kandang ke gudang penyimpanan, atau dalam waktu proses penyimpanan atau pencucian. Telur yang utuh dengan telur yang rusak (retak kerabangnya) mempunyai harga jual yang sangat berbeda, perbandingan harganya mencapai 50%.
Penanganan telur pada pedagang TK II Pedagang TK II melakukan pembelian telur yang sudah diklasifikasikan dilokasi usaha pedagang TK I. Untuk selanjutnya pedagang TK II melakukan penjualan diluar Provinsi. Jumlah pedagang TK II yang melakukan pembelian telur kepada pedagang TK I mencapai 10 orang, namun demikian rutinitas masing-masing pedagang berbeda-beda. Jumlah pedagang TK II dan kemampuan pasarnya merupakan potensi pasar bagi pedagang TK I untuk menjamin kelangsungan pemasaran bagi produsen. Potensi pasar bagi pedagang TK I tercantum dalam Tabel 3. Pedagang pada level ini akan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bongkar muat dari dan ke kendaraan. Biaya ini akan menjadi biaya pembelian kumulatif telur yang harus dikeluarkan oleh pedagang TK II. Apabila ditambah kentungan maka menjadi harga yang harus dibeli oleh konsumen. Harga Menentukan harga merupakan salah satu keputusan yang penting dari manajemen. Harga yang ditetapkan seharusnya cukup tinggi untuk menutup ongkos-ongkos dan laba. Tujuan dari penetuan harga adalah kemauan pembeli untuk membeli pada harga yang telah ditetapkan dengan jumlah yang cukup untuk menutup ongkos-ongkos dan laba.tersebut. Harga jual merupakan penjumlahan dari harga pokok dengan gross marjin. Gross marjin dimaksudkan adalah biaya opreasional ditambah laba yang diinginkan. Pedagang
Tabel 3. Nama pedagang tingkat II, alamat, daerah pemasaran dan volume pembelian per minggu (butir) Nama Basori Om, Pong Asih Majid Budi Diyah Madsuri CV Cemara Suhadi Mubarok
822
Alamat
Volume (butir)
Daerah pemasaran
Tl Agung Blitar Solo Gresik Yogya Yogya Gresik Blitar Ngawi Surabaya
290 000 120 000 42 000 18 000 80 000 15 000 18 000 15 000 60 000 20 000
Kalimantan, Jakarta Jakarta, Blitar Sukoharjo, Solo Gresik Yogya, Bandung Sleman Gresik Blitar Ngawi Surabaya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
menitik beratkan pentingnya gross margin. Pedagang berusaha untuk mendapatkan harga yang cukup tinggi dalam memperoleh laba bersih di atas ongkos operasional. Pada pemasaran telur itik perbedaan harga jual antara produsen (peternak) dengan Pedagang TK I berkisar Rp. 10/butir. Sementara itu, antara produsen dengan pedagang luar daerah mencapai Rp. 160/butir. Perbedaan harga jual pada pedagang luar daerah dengan Pedagang TK I disebabkan ongkos operasional yang ditanggung oleh pedagang luar daerah.dengan yang telah dijelaskan di atas. Harga telur mengalami perubahan pada setiap waktu, bahkan dalam satu bulan dapat mengalami perubahan, namun demikian perubahan harga paling tinggi mencapai Rp. 40/butir, demikian pula penurunannya. Kejadian perubahan harga tertingi itu hanya berlangsung beberapa kali, tetapi perubahan harga yang paling sering berkisar antara Rp. 10 sampai Rp. 20/butir. Harga telur tertinggi pada bulan Juli sampai pertengahan Agustus dan pada akhir bulan November hingga awal Desember, pada bulan-bulan tersebut harga telur mencapai diatas Rp. 605/butir. Perubahan harga telur baik penurunan maupun kenaikan paling tinggi mencapai 4,7%. Pada Tabel 5 tercatat perubahan harga telur khususnya kelas A pada tingkat produsen selama beberapa bulan. Sistem pembayaran Pembayaran antara pedagang tingkat I dengan peternak (produsen) Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang TK I kepada peternak, pada saat setelah diperoleh hasil perhitungan grading telur. Peternak dapat meminta pembayaran hasil penjualannya secara tunai, namun karena peternak telah menggunakan pakan terlebih dahulu untuk usaha budidaya itik, maka nilai
penjualan telur akan dibayar setelah diperhitungkan terhadap jumlah penggunaan pakan sebelumnya. Peternak dengan pihak pedagang ini (UD Majujaya) telah melakukan hubungan kerja dalam bentuk kemitraan (WIBOWO et al., 2000). Bila hasil perhitungan tersebut mempunyai nilai lebih maka peternak segera dapat menerima bayaran, sebaliknya bila nilai perhitungan adalah negative maka peternak tidak perlu melunasi saat itu juga. Pada umunya peternak selalu menerima pembayaran penjualan telur, yang berarti setiap transaksi mempunyai nilai positif, dalam kata lain usaha budidaya itik ini menguntungkan. Keadaan ini membuat peternak semangat beternak karena tidak pernah mengeluarkan biaya pakan secara tunai dalam usahanya. Pembayaran antara pedagang tingkat II dengan pedagang tingkat I Pembayaran terhadap jual-beli telur antara pedagang tingkat I dengan Pedagang tingkat II menerapkan sistem tunda dengan model 2 : 1, artinya pedagang tingkat II mempunyai tanggungan satu (1) kali transaksi yang belum dibayar terhadap 2 kejadian transaksi. Cara pembayaran demikian menuntut adanya kekuatan modal pada pihak pedagang TK I, karena pedagang ini akan melakukan pembayaran kepada produsen agar usahanya tetap berlangsung. Grading atau standarisasi dalam kegiatan pemasaran suatu komoditas dapat mempermudah dan mempercepat proses transaksi tanpa antar pihak bertemu secara fisik, melainkan cukup menyebutkan kelas barang dan jumlah. Kegiatan penjualan telur berlangsung dilokasi usaha UD Majujaya, dengan cara pihak calon pembeli menangani i semua kegiatan (pemuatan, transport dan pembongkaran), sehingga UD Majujaya hanya menyediakan telur yang telah diidentifikasi berdasarkan standar kelas.
Tabel 4. Volume dan harga telur itik (Rp./butir) Pelaku pasar Produsen/peternak
Volume produksi (butir)
Harga pokok (Rp./butir)
Margin (Rp./butir)
Harga jual (Rp./butir)
1.143 butir/4 hari
490
0
490
Pedagang TK I
60.000 – 80.000 butir/hari
490
10
500
Pedagang TK II
60.000 butir/3 hari
500
150
650
823
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 5. Perkembangan harga telur itik ditingkat produsen (Rp./butir) Bulan Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
824
Tgl
Harga
1
550
Kenaikan
7
540
15
530
21
530
0
28
550
20
7
550
0
13
560
10
21
585
25
29
590
5 15
Penurunan 10 10
7
605
13
610
5
20
635
25
27
665
30
1
635
0
30
7
630
5
10
600
30
13
585
15
20
585
0
27
585
0
1
565
0 0 20
7
525
13
535
10
40
20
535
0
27
535
0
1
520
0 0 15
8
520
0
17
565
40
25
575
15
30
585
10
7
540
14
550
21
630
28
640
0
45 10 20 10
5
610
12
600
30
19
615
15
24
615
0
30
610
10 0 10
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pemasaran telur itik dari produsen (peternak) untuk pemenuhan permintaan pasar luar propinsi melalui 2 saluran, yaitu pedagang TK I dan Pedagang TK II. Marjin harga pada pedagang TK II mencapai Rp. 150/butir, sedangkan pada pedagang TK I sebesar Rp 10/butir. UD Majujaya dalam pemasaran telur itik telah menerapkan grading telur secara baku berdasarkan kelas. (A, B dan C). Kemampuan pedagang TK I memasarkan telur akan menjamin dan mendorong kelangsungan usaha peternakan itik di tingkat peternak.
ANONIMUS. 2004. Buku Statistik Peternakan . Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. MOSHER, A.T. 1985 Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Yasaguna, Jakarta REKSOHADIPRODJO, S., H. RANUPANDOJO dan IRAWAN. 1990. Pengantar Ekonomi Perusahaan Buku 2. Edisi ke-3. BPFE-Yogyakarta. WIBOWO, B., L.H. PRASETYO, E. JUARINI dan SUMANTO. 2000. Pros. Seminar Nasional Teknologi Pertanian untuk Mendukung Agribisnis dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Ketahanan Pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian kerjasama UPN & Wangsa Manggala dan Pusat Studi Ekonomi. Yogyakarta.
825