1 Modul ke: 13Fakultas Gunawan EKONOMI ETIK UMB Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen2 POKOK BAHASAN: Pen...
ETIK UMB Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Fakultas
EKONOMI Program Studi
Manajemen
Gunawan Wibisono SH MSi
POKOK BAHASAN: Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi SUB POKOK BAHASAN: 1. Konsep Pemberantasan Korupsi; 2. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Menggunakan Hukum Pidana; 3. Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi.
KONSEP PEMBERANTASAN KORUPSI • Mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di sebuah negara dan tidak di negara lain? • Korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ sifatnya kronis juga akut. • Perekonomian negara digerogoti secara perlahan namun pasti. Korupsi di Indonesia menempel pada semua aspek atau bidang kehidupan masyarakat. • PENTING DIPAHAMI: di manapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi akan selalu ada dalam suatu negara atau masyarakat
REALITA DI INDONESIA • Ada PERANGKAT HUKUM: ada Peraturan Per-UU, ada lembaga serta aparat hukum yang mengabdi untuk menjalankan peraturan (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan); ada lembaga independen ‘Super Body’ yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk untuk memberantas korupsi. • Di sekolah siswa/mahasiswa Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. • Realita: korupsi tetap tumbuh subur dan berkembang dengan pesat. • Apa yang salah???
UPAYA PENANGGULANAN KEJAHATAN KORUPSI
JALUR PENAL
JALUR NON-PENAL
• Kebijakan penerapan Hukum Pidana (Criminal Law Application); • Sifat repressive (penumpasan/ penindasan/pemberantasan) apabila kejahatan sudah terjadi; • Perlu dipahami bahwa: upaya/tindakan represif juga dapat dilihat sebagai upaya/tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief: 2008)
• Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment); • Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media atau media lain seperti penyuluhan, pendidikan dll); • Sifat preventive (pencegahan)
UPAYA PENAL DAN NON-PENAL • Sasaran dari upaya non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya korupsi, yang berpusat pada masalahmasalah atau kondisi-kondisi politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan (korupsi); • Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana yaitu dengan menghukum atau memberi pidana atau penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi; • Upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau posisi strategis dari keseluruhan upaya penanggulangan korupsi karena sifatnya preventif atau mencegah sebelum terjadi.
KETERBATASAN SARANA PENAL • Sarana penal memiliki ‘keterbatasan’, mengandung ‘kelemahan’ (sisi negatif). Fungsi sarana penal seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. • Secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi); • Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi; • Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal, mengadung efek sampingan yang negatif. Lihat realita kondisi overload Lembaga Pemasyarakatan;
KETERBATASAN SARANA PENAL • Hukum pidana dan pemidanaan bukanlah ‘obat yang manjur’ atau ‘panacea’ atau ‘bukan segala-galanya’ untuk menanggulangi kejahatan. • Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana; • Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
KETERBATASAN SARANA PENAL • Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional; • Efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering diperdebatkan oleh para ahli. • Hukum pidana dan pemidanaan bukanlah ‘obat yang manjur’ atau ‘panacea’ atau ‘bukan segala-galanya’ untuk menanggulangi kejahatan. (Nawawi Arief : 1998)
HUKUM PIDANA BUKA PANACEA • Rubin: hukum pidana atau pemidanaan tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. • Schultz: naik turunnya angka kejahatan tidak berhubungan dengan perubahan di dalam hukum atau putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan kultural dalam kehidupan masyarakat. •
Karl. O. Christiansen: pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit diukur.
•
S.R. Brody: 5 (lima) dari 9 (sembilan) penelitian menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani oleh seseorang di dalam penjara tidak berpengaruh pada adanya reconviction atau penghukuman kembali.
• 21
HUKUM PIDANA BUKA PANACEA • Wolf Middendorf : tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan lamanya pidana. Kita tidak dapat mengetahui hubungan sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang melakukan kejahatan dan mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya UU atau pidana yang dijatuhkan. Sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan, yang sama efektifnya dengan ketakutan orang pada pidana. (Nawawi Arief: 1998)
STRATEGI DAN/ATAU UPAYA PENANGGULANGAN KORUPSI
1
Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
2
Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
3
Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
4
Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum yang mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi