Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
KATA PENGANTAR
Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah S.W.T, atas karunianya Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika I ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan Matematika insya Allah merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta. Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar nasional pendidikan matematika I mengambil tema ―Membangun Pendidikan Karakter bagi Calon Pendidik‖ yang diselenggarakan di Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 7 Desember 2011. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik, khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
i
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP SILIWANGI BANDUNG Assalamu’alaikum wr wb, Salam sejahtera bagi kita semua. Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia. Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah S.W.T karena telah mempertemukan kita pada acara seminar nasional pendidikan matematika di STKIP SILIWANGI Bandung dalam keadaan sehat wal‘afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat bagi kita semua, Amien. Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini dengan tema, ―Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika bagi Para Calon Pendidik‖, bertujuan untuk : 1) memberikan pemahaman kepada kita semua tentang arti pentingnya karakter dan bagaimana mengintegrasikan dalam pembelajaran matematika 2) mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam lingkup pendidikan matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan, dan lembaga penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut adalah Bapak Prof. Dr. H. Wahyudin, M.Pd, Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, dan Prof. H.E.T. Ruseffendi, PhD. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya dalam setiap sesi yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerima 35 abstrak dan 29 makalah dari pemakalah dari berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel, dari kesemua pemakalah hanya 24 makalah yang akan dipresentasikan dalam sesi paralel tersebut. Seminar ini juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi dunia pendidikan. Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP SILIWANGI beserta Jajarannya, Bapak Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika. Sebagai ketua panitia, saya menyampaikan penghargaan kepada segenap anggota panitia dan semua pihak yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami. Akhirnya, kami berharap seminar ini memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Wassalmu’alaikum wr wb. Bandung, 7 Desember 2011 Ketua Panitia Seminar Nasional
Rafiq Zulkarnaen, S.Pd., M.Pd.
ii
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i KATA SAMBUTAN ............................................................................................................................. ii DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii
PEMBICARA UTAMA NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA OIeh : H.E.T. Ruseffendi .................................................................................................................... 1 PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Utari Sumarmo........................................................................................................................ 22 MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS Oleh : Wahyudin ................................................................................................................................ 33
MATEMATIKA PENDIDIKAN PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ALA JEPANG DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI INDONESIA Oleh : Euis Eti Rohaeti....................................................................................................................... 43 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh : Asep Ikin Sugandi ................................................................................................................... 50 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR STATISTIS MAHASISWA S-1 MELALUI PEMBELAJARAN MEAS YANG DIMODIFIKASI Oleh : Bambang Avip Priatna Martadiputra(1), Didi Suryadi(2) ................................................... 57 PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMK MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelompok Pariwisata di kota Bandung Oleh : Puji Lestari .............................................................................................................................. 64 KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI KOLABORASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN JIGSAW II PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Oleh : Rudy Kurniawan ..................................................................................................................... 73 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Oleh : Masta Hutajulu ....................................................................................................................... 83 MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Oleh Nur Izzati ................................................................................................................................... 91 PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SEKOLAH DASAR (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas V Sekolah Dasar Kota Cimahi) Oleh : Yuniawatika ............................................................................................................................ 97
iii
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI KOOPERATIF JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh : Nitta Puspitasari .................................................................................................................... 107 MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Oleh : Anik Yuliani ........................................................................................................................... 115 BERPIKIR INTUITIF (INTUISI) SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DALAM MENGEMBANGKAN BERPIKIR KREATIF Oleh : Aan Hasanah .......................................................................................................................... 122 MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN BERPIKIR KREATIF GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERBANTUAN PROGRAM CABRI GEOMETRY II Oleh : Atik Krismiati ........................................................................................................................ 130 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF Oleh : Tata ......................................................................................................................................... 138 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI MODEL ALBERTA Oleh : Kartini .................................................................................................................................... 145 PEMBELAJARAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MEDIA LIDI DALAM OPERASI PERKALIAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER KREATIF DAN CINTA BUDAYA LOKAL MAHASISWA PGSD Oleh : Supriadi .................................................................................................................................. 154 INTUISI DALAM BERMATEMATIKA: FAKTA DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh : Agus Sukmana ....................................................................................................................... 159 MENGENALKAN MATEMATIKA MELALUI PENGAMATAN ALAM SEMESTA (Menanamkan Karakter Rasa Ingin Tahu, Peduli Lingkungan dan Menghargai Prestasi) Oleh : Agung Prabowo ..................................................................................................................... 166 KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK PADA KONSEP PECAHAN DAN PECAHAN SENILAI Oleh : Wahid Umar........................................................................................................................... 177 PENGARUH KECEMASAN MATEMATIKA (MATHEMATICS ANXIETY) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP Oleh : Ika Wahyu Anita ................................................................................................................... 186 PEROLEHAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF (IPK) MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UIN BANDUNG BERDASARKAN JALUR MASUK YANG DITEMPUH DAN ASAL SEKOLAH Oleh : Rahayu Kariadinata, Asep Jihad, Ni’ma Hilda Mahmudah ............................................. 194 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL CORE Oleh : Ellisia Kumalasari ................................................................................................................. 221
iv
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN ADAPTIF SISWA SMA (Penelitian Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas X SMAN 6 Bandung) Oleh : Ibrahim Sani Ali Manggala .................................................................................................. 229 PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIK SISWA ANTARA YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN TAHAP-TAHAP VAN HIELE DENGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH Oleh : Rita Rudita ............................................................................................................................ 235 PENDIDIKAN KARAKTER TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH Oleh : Sony Hariana ......................................................................................................................... 239 PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERNUANSA GUIDANCE AND COUNSELING Oleh : Sutirna.................................................................................................................................... 245 MENUMBUHKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKTUAL Oleh : Kokom Komariah ................................................................................................................. 249 GURU DAN SISWA BERKARAKTER Oleh : Reti Damayanti...................................................................................................................... 255 PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMP Oleh : R. Bambang Aryan Soekisno ............................................................................................... 261 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIFTHINK-TALK-WRITE (TTW) Oleh : Wahyu Hidayat ..................................................................................................................... 272 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN ARIAS TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL Oleh : Hamidah ................................................................................................................................ 280 PENERAPAN METODE SAVI DENGAN PENDEKATAN INDUKTIF DAN PENINGKATAN BERFIKIR KREATIF MATEMATIS Oleh : Haerudin ................................................................................................................................ 287 PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN SAVI BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP Oleh : Harry Dwi Putra .................................................................................................................. 292
v
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA OIeh : H.E.T. Ruseffendi I.
PENDAHULUAN
Naskah Akademik ini tidak memuat rasional umum dibuatnya Naskah Akademik itu, tetapi langsung mengenai Pendidikan Matematika di jenjang SMP. Sebabnya ialah karena yang secara umum itu sudah ditulis pada Naskah Akademik Satuan Pendidikan yang bersangkutan. Yang akan diuraikan di bagian pendahuluan ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa belajar. Faktor-faktor itu adalah: Tujuan Pendidikan Nasional sampai dengan Tujuan Instruksional Khusus atau indikator, hakekat matematika, alasan matematika diajarkan, matematika sekolah, yang berkepentingan dengan matematika, hakekat pendidikan matematika, hakekat anak didik, teori belajar-mengajar matematika, guru dan LPTK, kebijaksanaan penguasa, keadaan masyarakat umum, khususnya matematikawan dan pendidik matematika. 1.1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional kita sangat ideal sebab, selain agar manusia Indonesia sehat jasmani dan rohani, cerdas, dan sebagainya tetapi juga agar manusia Indonesia bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya, manusia Indonesia harus beragama. Sehingga bila hasil didikan kita itu tidak berag:rma itu berarti pendidikan kita itu gagal. Bila manusia hasil didikan kita tidak beragama, manusia-manusia Indonesia itu sama saja dengan hasil pendidikan yang sekuler. Seperti kita ketahui, tujuan pendidikan nasional itu dijabarkan ke tujuan institusional, ke tujuan kurikuler, dan ke tujuan instruksional; di yang lama tujuan instruksional umum dan khusus, sedangkan di yang baru ke standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kedua-duanya sama saja merupakan jabaran dari aliran tingkah laku (behaviorist). Dalam tujuan institusional mengenai satuan pendidikan itu semestinya tercantum apakah sampai dengan SMP itu merupakan jenjang wajib belajar? Dan pada tujuan kurikulernya sudah tercantum tujuan pembentukan sikapnya. Masalahnya instrumen untuk melihat hasil belajar itu hampir semuanya hanya mengukur daerah pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan daerah efektif sering terlupakan. 1.2. Hakekat Matematika
Matematika itu sebenarnya apa? Matematika itu bisa berupa studi deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas manusia. Berpendapat bahwa matematika itu adalah itu (studi deduktif misalnya) akan berpengaruh terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Bila kita berpendapat matematika itu studi deduktif maka pembelajaran matematika di sekolah akan formal, miskin dari penerapan, di SMA-nya penuh dengan bukti, dan tidak kontekstual. Apakah pengembangan matematika itu ada atau tidak ada gunanya bagi orang yang berpendapat seperti itu tidak jadi masalah. Maksudnya, bila ada gunanya syukur, bila tidak ada tidak jadi masalah. Jadi, pengembangan matematika itu tidak menyangkut anak. Begitu pula bila kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu. Matematika itu akan indah sendiri, terpelihara dari kesalahan-kesalahan, dan akan maju sesuai dengan keinginan sendiri. Bila kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu, kata metematika, ―Bila perlu aku, datanglah kepada ku‖. Bila kita berpendapat, metematika itu sebagai bahasa, maka pembelajaran matematika di sekolah itu bisa beragam. Bagi anak-anak yang kurang mampu harus tidak formal dan bagi yang mampu bisa kepada yang formal dan bahkan bisa kepada sistem yang aksiomatik. Tetapi bagaimana pun bahasanya itu bahasa internasional, hemat, padat, cermat, singkat, dan tidak mendua arti. Misalnya untuk jumlah bilangan asli dari 1 sampai dengan l00 adalah l + 2 + 3 +... + l00 atau 100 𝑖=1 𝑖 .
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
1
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Menunjukkan kebenaran jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah bisa seperti di sekolah dasar yaitu memotong-motong sudutnya lalu menyambung-nyambungnya pada sebuah garis lurus, bisa juga dengan bukti formal secara deduktif. Matematika itu adalah seni, maksudnya ialah matematika itu sesuatu yang indah. Indahnya itu bukan saja pada bentuk-bentuk geometri yang indah seperti persegi atau persegipanjang padajendela, tabung pada penyanggah bangunan, bentuk simetris pada pintu dan lain-lain juga pada pembuktian yang secara deduktif. Pembuktian secara deduktif itu misalnya pembuktian jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah 180o dan pembuktian jumlah dua buah bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pada kedua cara itu, bukti bisa diselesaikan dalam satu-dua kalimat sedangkan dengan bukti cara biasa, sampai kiamat pun tidak akan selesai. Bila kita berpendapat matematika itu sebagai seni, pembelajaran matematikanya bisa tidak formal dan bisa formal juga. Matematika adalah pelayan ilmu artinya matematika itu harus melayani bidang-bidang studi lain; melayani fisika, kimia, akutansi, dan lain-lain. Dalam hal ini, matematika yang diberikan di sekolah harus matematika sebagai ilmu terapan; bukan yang teori. Kemudian matematika disebut kegiatan manusia karena matematika digunakan oleh manusia di segala lini kehidupan, seperti orang awam di pasar, supir angkot, pengemudi beca, siswa, mahasiswa, kantor-kantor, bidang studi lain, dan manusia dalam pengembangan teknologi tingkat tinggi. Bila demikian maka pembelajaran matematika di tingkat bawah harus kontekstual seperti PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). Demikian sedikit uraian mengenai hakekat matematika. 1.3. Alasan Makanya Matematika Diajarkan di Sekolah
Mengapa Matematika diajarkan di Sekolah? Alasan makanya matematika diajarkan di sekolah itu banyak. Pertama kegunaan dalam penerapan. Seperti sebagian sudah diuraikan di bagian l.2, matematika itu untuk orang-orang awam dalam kehidupan sehari-hari, untuk studi lanjut, untuk kenaikan kelas atau jenjang, sebagai pelajaran atau kuliah prasyarat, untuk membantu bidang studi lain, dan untuk pengembangan teknologi tingkat tinggi. Kedua, untuk mencerdaskan bangsa. Mengenai untuk mencerdaskan bangsa ini paling tidak terdapat tiga orang ahli yang pendapatnya bisa diacu: Hebb, Cattell, dan Thurstone. (Ruseffendi, 2006, h.111-112). Hebb mengatakan, bahwa kecerdasan manusia itu tergantung dari turunan dan lingkungan. Mengenai turunan, saya kira tidak diragukan lagi. Seorang anak cerdas karena orang tuanya cerdas. Kemudian lingkungan dapat mencerdaskan manusia ialah berdasarkan pengalaman orang-orang yang berwarna kulit hitam di Amerika Serikat. Selama beratus tahun mereka ada dalam keadaan sebagai budak belian dan ada diskriminasi; lingkungannya sangat jelek dan keadaannya terbelakang. Tetapi kemudian setelah mereka menjadi manusia bebas, banyak dari mereka yang menjadi politikus terkenal, dokter, ahli hukum, penyanyi, petinju, dan olahragawan lainnya. Dan matematika terutama untuk tingkat bawah dapat memperkaya lingkungan seperti mainan banyak yang bentuknya geometris, alat peraga dan media lainnya, dan permainan matematika. Cattell berpendapat bahwa dalam otak manusia itu ada bagian yang Kristal dan bagian cair. Bagian yang kristal hanya dapat menyelesaikan soal-soal rutin yaitu sa'al-soal yang algoritmenya sudah ada. Sedangkan soal pemecahan masalah dan yang berkenaan dengan kreativitas hanya bisa diselesaikan dengan otak bagian cair. Dan soal-soal pemecahan masalah dan yang kreatif dalam matematika itu banyak. Selain itu dengan diberikannya soal-soal pemecahan masalah dan yang kreatif, kemampuan siswa dalam pemecahan soal itu akan optimal. Thustone berpendapat ada 7 kemampuan dasar yang dapat dipakai untuk memilah-milah anak-anak pandai dari yang tidak. Tujuh kemampuan mental dasar itu adalah: kecepatan mengamati, fasih dalam kata-kata, penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, kemampuan verbal, dan kemampuan mengenai bilangan. Katanya bila kita membuat soal-soal berdasarkan ketujuh komponen kemampuan mental pokok itu dan andaikan seorang siswa memperoleh jawaban yang 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
benar lebih banyak daripada temannya, maka anak yang bisa menjawab lebih banyak benarnya itu adalah anak yang lebih cerdas. Karena dari tujuh komponen itu paling tidak empat buah mengenai matematika (penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, dan kemampuan mengenai bilangan), maka dapat disimpulkan bahwa matematika itu diajarkan di sekolah adalah untuk mencerdaskan bangsa. 1.4. Matematika untuk Sekolah Itu yang Mana?
Matematika sekolah itu yang mana? Bila diperhatikan, matematika sekolah di Amerika Serikat itu ada matematika tradisional, New Math atau Matematika Modern, Back to The Basics, dan Matematika Kontemporer. Kemudian di sekolah dasar Belanda banyak yang menerapkan PMR (Pendidikan Matematika Realistik). Seperti kita ketahui, matematika tradisional itu diberikan pada tahun 50-an ke belakang. Ciricirinya itu adalah materinya sedikit, penekanan pembelajarannya stimulus-respon yang menekankan kepada kecepatan, hafalan, hafalnya algoritma, dan yang serupa. Pada waktu itu karena alat-alat hitung cepat dan tepat belum banyak, cepatnya dan benamya kita menyelesaikan soal harus yang utama. Seperti kita ketahui rumus-rumus bagi sekolah dasar seperti luas lingkaran, keliling linekaran, isi bola, luas bola, dan isi kerucut harus dihapalkan tarrya adanya pengertian. Seperti kita ketahui tokohnya itu Thorndike. Kemudian pada awal tahun 50-an timbul untuk pertama kali idea New Math yang kemudian di negara-negara lain yang menerapkannya berganti nama menjadi matematika Modern. Hampir semua negara di dunia menerapkannya. yang tidak menerapkan antara lain adalah Negeri Belanda. Seperti kita ketahui juga ciri-ciri pengajaran matematika modern itu adalah materinya sangat banyak, penekanan pada pengertian, penekanan pada istilah dan notasi yang ditepatkan, penekanan pada proses juga, menggunakan metode penemuan dan adanya permainan, dan banyak menggunakan alat peraga dan media pendidikan lainnya. Tokoh-tokohnya antara lain dalah J. Piaget, J.S. Bruner, dan J.P. Dienes. Bila dibandingkan banyak buku di SD kita di jaman Matematika tradisional dengan di jaman matematika modern, di jaman radisional itu hanya sebuah buku sedangkan di jaman matematika modern 25 buah (per semester sebuah buku siswa, per semester sebuah buku pedoman khusus, dan sebuah buku pedoman umum). Pada tahun 1970 sewaktu matematika modern sedang berjalan, skor hasil belajar siswa Amerika Serikat dalam matematika menumn. Kesempatan ini oleh orang-orang yang tidak suka matematika modern dipakai alasan untuk menuduh matematika modern sebagai penyebabnya dan diusulkan tmtuk diganti. pada waktu itu para pendukung matematika modern membantah bahwa rendahnya hasil belajar anak-anak dalam matematika itu bukan karena matematika modern sebab dalam pelajaran-pelajaran lain pun skor siswa itu menurun. Walaupun begitu gerakan Back to The Basics tetap dilaksanakan. Hasilnya adalah sama tidak dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena itu hidupnya hanya setahun. Dan setelah itu hilang. Selain itu tidak seperti matematika modern, gerakan back to the basics itu tidak ada falsafahnya, hanya meninggalkan topik-topik tertentu dari matematika modern seperti himpunan sebagai ilmu, bilangan dasar selain dua dan sepuluh, dan keketatan dalam istilatr dan notasi. Oleh orang-orang Indonesia yang tidak menyukai metematika modern gerakan back to the basics itu dengan sengaja diartikan salah bahwa gerakan itu dipelesetkan menjadi gerakan meninggalkan metematika modern. Sehingga timbul isu dalam bentuk pertanyaan, "Bila di Negara asalnya matematika modern sudah ditinggalkan, mengapa kita sebaliknya?". Buku karangan M. Kline yang bedudul ―Why Johny can‘t add‖, dijadikan alasan agar di sekolah dasar diberikan Berhitung (matematika lama). Padahal M. Kline itu berpendapat juga bahwa matematika tradisional itu tidak baik. Yang ia tidak setujui ialah pengajaran matematika modern sebagai pengganti matematika tradisional tidak baik juga. Pemerintah kita waktu itu terpengaruh oleh isu itu sehingga slogan CALISTUNG (dari baCa tuLIS hiTUNG) timbul. Padahal di Amerika Serikat slogan CALISTUNG itu diramaikan di jaman dulu, sewaktu yang mau bekerja di pabrik-Pabrik itu belum bisa membaca, manulis, dan berhitung. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
3
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Seperti dikatakan Doll (1993, h.I74), ―The three R's ... were late-nineteenth-and early twentieth century creation to the needs of a developing industrial society‖. Sedangkan waktu itu (tahun 80an) keadaan di kita lain. Sehingga slogannya, tepatnya bukan CALISTUNG tetapi CALISMAT. Akibat dari isu itu di kita terjadi perubahan ke Kurikulum 1984 kemudian ke Kurikulum 1994, yang kekhasannya berbau matematika tradisional sehingga buku-buku lama yang sudah mati (tidak dipakai), bermunculan kembali. Sedangkan di negara-negara maju waktu itu tetap pengajaran matematika modern. Bahkan sudah dilibatkan kalkulator dalam pembelajaran matematika. Mengingat telah ditemukannya hasil teknologi canggih seperti kalkulator dan komputer, pada tahun 80-an Amerika Serikat menerapkan kedua alat itu dalam pengajaran matematika. Menurut ceriteranya hasil penelitian penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika sudah dikumpulkan: oleh Suydam pada tahun 1977 sebanyak 40 buah, oleh Marylindquist pada tahun 1984 sebanyak 150 buah, dan oleh Reys pada tahun 1987 sebanyak 200 buah. Hasilnya konsisten: 47,5% keunggulan bagi pengguna kalkulator, 45% sama saja, dan hanya 7,5% keunggulan bagi yang tidak menggunakan kalkultor (Ruseffendi, 1990a, h.74-75). Di Inggris pun demikian pula. Linggard, Johnson, dan O‘Brien mengatakan, ―pada ulangan/ujian pada umunnya, kalkulator boleh dipergunakan....Yang penting ialah kita harus menghasilkan anak-anak yang dapat berpikir, mampu menyelesaikan soal pemecahan masalah (problem solving), kreatif dapat memilih matematika mana yang diperlukan dan mara yang tidak, dan semacamnya‖. (Ruseffendi, 1990b, h. 38-39). Mengenai penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika pernah timbul pro dan kontra seperti dikemukakan oleh majalah Tempo dan Koran harian Pikiran Rakyat. Majalah Tempo pada tanggal 16 Juli 1983 mengetengahkan pendapat dari beberapa guru SD, Kepala Sekolah SD, dosen IKIP, dan dosen Non-IKIP. Mereka itu adalah: Lasmaria guru SD simpang Limun Medan, purnomo sidi kepala SD Ungaran III Jawa Tengah, Wirasto dosen UGM, Suwarsono dosen IKIP Sanata Dharma Andi Hakirn Nasution guru besar IPB, dan Gunarso guru besar ITB. Tempo menyimpulkan, Singkat kata yang cenderung pro maupun kontra pemakaian kalkulator terutama untuk siswa SD masih mengajukan persyaratan. Ialah, minimal, para murid itu telah menguasai konsep hitung-menghitung. Bila belum, tidak saja bisa ‗membuat anak malas berpikir', tetapi bisa mengacaukan konsep matematika pula. (1983, h.27).
Pada tanggal 24 Agustus 1987, Pikiran Rakyat mengemukakan pendapat yang berbeda dari pendapat-pendapat di atas. Menurut Ruseffendi, Kalkulator itu tidak akan membuat siswa malas berpikir, bodoh, tidak kreatif dan tidak terampil berhitung. Tetapi sebaliknya akan membuat siswa menjadi cerdas, kreatif, pengetahuannya menjadi lebih luas dan dalam, serta berjiwa eksploratif. Penggunaan kalkulaior dapat dimulai di kelas 1 sekolah dasar (Pikiran Rakyat, l987).
Mengenai penggunaan komputer di Amerika Serikat, di Sekolah Dasar digunakan bahasa komputer LOGO dan di sekolah lanjutannya dalam menyelesaikan soal-soal matematika waktu itu menggunakan bahasa komputer Basic. Selanjutnya, cirri-ciri pengajaran matematika tahun 80-an di Amerika Serikat itu (Ruseffendi, 2006, h. 80-81). 1. Masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika. 2. Keterampilan dasar harus lebih daripada keterampilan berhitung. 3. Untuk semua tingkat, pengajaran matematika harus menggunakan kalkulator dan komputer sedini mungkin. 4. Efektivitas dan efisiensi pengajaran matematika harus diterapkan. 5. Pengukuran hasil belajar siswa harus lebih daripada hanya dengan alat evaluasi yang tradisional. 6. Semua siswa harus diberi matematika yang lebih banyak melalui program-program yang lebih fleksibel. 4
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
7. Guru-guru dan teman-temannya supaya meningkatkan diri dalam keprofesionalannya. 8. Masyarakat luas sesuai dengan keperluannya supaya mendukung matematika diberikan di sekolah. Mengingat dapat diterapkannya komputer dalam pengajaran matematika, apakah matematika yang akan dikembangkan itu matematika kontinu (dengan batang kalkulus) atau matematika deskrit. salah satu keuntungan matematika deskrit, kita bisa menghitung/menyelesaikan soal-soal seperti berikut dengan kalkulus tidak. Soal-soal itu misalnya: 1 2 𝑒 𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑥 (𝑅𝑢𝑠𝑠𝑒𝑓𝑓𝑒𝑛𝑑𝑖, 1990, . 35) 1 + 𝑥4 Sekarang akan disampaikan pengajaran matematika yang lain, yaitu matematika realistik di Negeri Belanda. Mereka mengembangkannya sejak tahun 70-an dimulai di sekolah dasar. Jadi sewaktu Negara-negara di dunia menerapkan pengajaran matematika modern, mereka tidak. Kata Treffers, Negeri Belanda tidak menerapkan matematika modern, ―Contrary to most other countries in the Western World, New Math did not get an opportunity to manifest in Dutch primary school‖. (1991, h. 13). Kita lihat sepintas sasaran atau tujuan pembelajaran matematika untuk siswasiswa sekolah dasar di Negeri Belanda. 1. General ability 1) The students can count forward and backward with changing units. 2) The students can do addition tables and multiplication up to ten. 3) The students can do easy mental-arithmetic problem in a quick way with insight in the operations. 4) The students can estimate by determining the answers globally, also with fractions and decimals. 5) The students have insight in the structure of whole numbers and the place-value sistem of decimals. 6) The students can use the calculator with insight. 7) The students can convert into a mathematical problem, simple problems which are not presented in a mathematical way. 2. Written algorithms 8) The students can apply the standard algorithms, or variation of these, for the basic operations addition, substraction, multiplication and division, in easy context situations. 3. Ratio and percentage 9) The students can compare ratio and percentages. 10) The students can do simple problems on ratio. 11) The students have understanding ofthe concept percentage and can carry out practical calculations with percentages presented in simple context situation. 12) The students undestand the relation between ratios, fractions, and decimals. 4. Fractions 13) The students know that fractions and decimals several different situalions. 14) The students can locate fractions and decimals on a number line and can convert fractions into decimals; also with calculator. 15) The students can compare, add, substract, devide, and multiply simple fractions in simple context situations by means of models. 5. Measurement 16) The students can read the time and calculate time intervals; also with the help of a calculator. 17) The students can do calculations with money in daily_life context situations. 18) The students know the current units of measurement for length, area, volume, time, speed, weight, and temperature, and can apply these in simple context situations. 19) The students can read simple tabres and diagrams and produce them based on own investigations of simpre coitext situations. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
5
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
6.
Geometry 20) The students have some basic cohcepts with which they can organize and describe space in a geometiical way. 21) The students can reason geometrically using block building, ground plans, maps pictures, and data about place, directions, distance, and scale. 22) The students can explain shadow images, can compound shape, and can divise and identify nets of reguler objects.
Tujuan pembelajatan matematika di atas bukan untuk SMP tetapi untuk SD. Walaupun begitu kita bisa memanfaatkannya. 1. Tujuan pembelajaran matematika disana ditulis secara sederhana; tidak menjelimet. 2. Kita akan mengetahui dimulainya topik-topik untuk SMp. 3. Siswa harus dapat menggunakan kalkulator. 4. Soal-soal/permasalahannya harus kontekstual Mengapa mereka menerapkan PMR, karena menurut Treffers , dilihat dari segi matematisasi horizontal dan vertikal, PMR itu memiliki kedua-duanya sedang yang mekanistik, empiristik dan strukturalis tidak. Treffers menggambarkannya dalam sebuah bagan sebagai berikut. (1991, h. 32). Matematisasi horizontal maksudnya ialah bila kita akan menanamkan konsep matematika, konsep itu terwujud dalam dunia nyata. Contoh konsep pecahan dibawakan dengan menyajikan serabi yang dipotong-potong. Sedangkan matematisasi vertical adalah penerapan sifat-sifat dari matematika itu sendiri. Misalnya 2 + 3 = 3 + 2; 45 = 40 + 5.
Mekanistik Empiris Strukturalis realistik Catatan: + Artinya ada - Artinya tidak ada
Matematisasi horizontal Vertical + + + +
Mengenai pengelompokan matematika sekolah yang lain adalah dari Keitel (dalam Ernest, 1991, h. 218). Menurut dia, penelompokan matematika sekolah itu, 1. New Math, concerned largely with the introduction of modern mathematical content into the curriculum, pure or applied. 2. Behaviorist, based on behaviorist psychology, the analisys of content into behavioural objectives, and in some cases, the use of program instruction. 3. Structuralist, based on the psychological acquisition of the structures and processes of mathematics, typified by approaches of bruner and dienes. 4. Formative, based on the psychological structures of personal develovement (e.g. Piaget‘s theory). 5. Integrated-environment, an approach using a multi-disciplinary context, and using the environment both as a resource and motivating factor. Berdasarkan kapada pendapat Keitel itu kita melihat bahwa nomor 5 diatas sesuai dengan pembelajaran tematik yang diterapkan di kelas 1, 2, dan 3 sekolah dasar. Jadi pembelajaran di kelas 1, 2 dan 3 itu harus tematik. Sedangkan dalam PMR (I) yang belum tentu sama dengan pembelajaran yang tematik. Selain itu yang dimaksud dengan realistik pada PMR (I) itu tidak selalu harus ada di dunia nyata seperti dikatakan heuvel-Panhuizen (1998), ...the Dutch reform of mathematics education was called ‗realistic‘ is not just connection with the real-world, but related to the emphasis that RME puts on offering the students problem situations which they can imagine....For the problems Jo be presented to the students this means that the context can be a real-world context but this is not always necessary. The fantasy world of fairy tales and even the formal world of mathematics can be very suitable contexts for a problem, as long as they are real in the student‘s mind.
6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dari uraian yang agak panjang itu kita mengetahui bahwa matematika yang dapat diberikan itu banyak; beragam. Mulai dari yang tidak formal sampai dengan yang sangat formal, mulai dari yang penerapannya banyak sampai kepada yang penerapannya minim. Yang berikutnya yang akan diuraikan itu adalah menganai yang berkepentingan dengan matematika. 1.5. Yang Berkepentingan dengan Matematika
Seperti telah disinggung pada sub judul alasan matematika diajarkan di sekolah, yang berkepentingan itu banyak. Tetapi ada dua kelompok yang berkepentingan yang bisaaanya terlupakan yaitu pemerintah dan matematika itu sendiri. Di bagian depan sudah disampaikan yang berkepentingan dengan matematika yaitu manusia pada umumnya atau orang awam, siswa, mahasiswa, bidang-bidang studi lain, petugas di kantor dan lapangan, para peneliti, dan manusia di tingkat tinggi yang tugasnya mengembangkan teknologi tingkat tinggi. yang dua lagi yang telah disebutkan di bagian atas adalah pemerintah dan matematika itu sendiri. Perhatikan sebuah hasil pertandingan intemasional tingkat SMP dalam matematika yang disebut TIMSS. Peringkat Indonesia di lomba itu adalah 34 dari 38. Sedangkan peringkat 1 adalah Singapur dan peringkat 5 adalah Jepang. Dan diantara kedua negara itu adalah Korea, Taiwan, dan Hongkong. Alasan apa pun untuk dapat diterima mengapa nilai matematika kita itu rendah dibandingkan nilai mereka, tidak ada. Misalnya karena kita orangnya kecil dan pendek, bagitu pula mereka; karena rambut kita berwama hitam, bagitu pula warna rambut mereka; karena kita makan nasi, bagitu pula mereka. Berbeda dengan bila kita bermain sepak bola dengan orang bule dan kita kalah. Orangorang akan menerima alasan itu bila dikatakan karena orang kita kecil-kecil dan pendek. Dalam keadaan seperti di atas karena secara internasional peringkat matematika anak-anak kita itu rendah, yang berwajib (dalam hal ini pemerintah) harus segera mencari solusinya. Sebab selain berkewajiban juga paling mungkin dan berwenang untuk berbuat. Jadi pemerintah termasuk yang berkepentingan karena pemerintah harus memperbaikinya. Terakhir yang berkepentingan itu matematika itu sendiri. Kata matematika, ―Agar aku tidak hilang dari peredaran, pelajarilah aku‖. Bila tidak dipelajari, sesuatu itu bisa hilang. Sebagai contoh dulu anak-anak SD di JABAR mengetahui Aksara Sunda. Sekarang hilang dari peredaran karena tidak dipelajari. Contoh kedua, dulu kami siswa SMA mengetahui dan menguasai Ilmu Ukur Lukis. Sekarang anak-anak SMA tidak mengetahuinya karena Ilmu Ukur Lukis itu tidak dipelajari. Berikutnya yang akan diuraikan itu adalah pendidikan matematika. Apakah itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa. 1.6. Apakah Pendidikan Matematika Itu Suatu Disiplin Ilmu?
Apakah pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu atau suatu ilmu rekayasa? Sesuatu itu disebut ilmu rekayasa bila ilmu itu bisa dikaitkan dengan ilmu lain sehingga kombinasinya menjadi serasi. Seperti arsitektur, adalah ilmu rekayasa. Dalam arsitektur, kita mengaitkan yang satu dengan yang lain agar bentuknya atau profilnya menarik. Bagitu pula seorang disainer (designer). Ia bukan seorang pengembang ilmu tetapi seorang perekayasa. Kembali kepada pertanyaan di atas apakah pendidikan matematika itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa.
Bila pendidikan matematika itu ilmu rekayasa, maka seorang ahli pendidikan matematika itu menghubungkan topik-topik matematika dengan cara mengajar, alat bantu dan lain-lain sehingga pembelajarnya berhasil. Jaman dahulu, saya kira sebelum terwujudnya Kurikulum PGBK memang pendidikan matematika itu seperti itu. Jadi pendidikan matematika itu suatu ilmu rekayasa. Tetapi sekarang, dalam mengembangkan sesuatu, model pembelajaran misalnya, untuk dapat melihat cocok tidaknya model pembelajaran itu kita harus melakukan penelitian; seperti kita ketahui. dalam penelitian itu kita menggunakan metode ilmiah. Seperti kita ketahui juga sesuatu itu disebut metode Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
7
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
ilmiah bila ada masalah, studi literatur, hipotesis dan atau pertanyaan-pertanyaan yang operasional, pengumpulan data, pengolahan data, dan kesimpulan. Jadi, karena dalam pengembangannya itu pendidikan matematika memerlukan penelitian, pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu. 1.4. Hakekat Anak Didik
Apakah seorang anak itu bentuk mikro seorang dewasa? Bila anak itu bentuk mikro dari orang dewasa, tentunya seorang anak dan seorang dewasa segalanya sama. Bedanya hanya dalam besar-kecilnya tubuh. Tetapi kenyataanya tidak begitu. Antara lain, berpikir anak itu lain dari berpikirnya orang dewasa Perhatikan, misalnya dalam contoh-contoh berikut. Seorang anak yang hukum kekelan materinya belum ada, akan mengatakan banyak air dalam gelas kecil tetapi tinggi itu lebih banyak daripada yang ada dalam gelas besar dan pendek walaupun ia melihat air dalam gelas kecil itu dicurahkan dari gelas besar dan pendek yang sama. Seorang anak yang hukum kekelan bilangannya belum ada, akan mengatakan kelereng yang ada di atas lebih banyak daripada yang di bawah. Berikutnya, anak kecil yang diminta untuk mengambilkan sebuah potlot dari seonggokan potlot dan pulpen akan mengambilnya dengan benar. Tetapi bila seluruhnya ―Ambil potlot yang pendek‖ mungkin ia akan mendapat kesukaran. Apalagi bila suruhannya misalnya, ―Ambil potlot pendek yang berwarna merah‖. Jadi variabel-variabel yang ada pada anak kecil itu banyaknya masih terbatas. 1.8. Teori Belajar-Mengajar Matematika
Apa teori belajar-mengajar itu? Teori belajar adalah ilmu yang berbicara mengenai kesiapan siswa untuk belajar. misalnya dalam teori belajar matematika dibicarakan usia berapa tahun anak dapat memahami bilangan, dalam usia berapa tahun siswa dapat menjumlahkan bilangan dalam usia berapa tahun siswa dapat berpikir formal, dalam berapa tahun usia dapat berpikir deduktif dan lain-lain. sedangkan teori mengajar adarah ilmu yang berbicara mengenai cara membawa anak untuk bisa mbnjadi dapat sesuatu setelah ia siap untuk dapat sesuatu itu. Contoh, andaikan seorang anak pada usia 5 tahun sudah memiliki hukum kekekalan bilangan. Daram teori mengajar anak, kita itu berpikir bagaimana caranya mengajar anak itu agar ia lebih memahami bilangan. Seperti dalam kehidupan sehari-hari andaikan seorang anak yang berusia satu tahun sudah mulai siap untuk bias berjalan, maka bapaknya itu bisaanya mencarikan kendaraan roda tiga atau empat untuk menempatkan/mendudukkan anak itu di tengah-tengahnya. Berpikir menyediakan kendaraan itulah yang disebut teori mengajar. Teori belajar-mengajar dalam matematika itu banyak, ada yang sejaran, ada yang tidak sejalan, bahkan dalam hal tertentu ada yang bertentangan. Teori belajar mengajar dalam pembelajaran matematika yang sering digunakan antaralain adalah dari Piaget, Bruner, Dienes, Gagne, Skinner, vigotsky, dan van Hiele. Teori konstruktivisme dari piaget dan Vigotsky adalah cocok untuk pembelajaran matematika seperti PMR(I) tetapi dalam hal tenentu bertentangan dengan aliran tingkah laku dari skinner, sebab dalam PMR(I) pembelajaran matematika itu dari bawah ke atas (bottom up) sedangkan pembel ajaran matematika yang berdasarkan aliran tingkah laku adarah dari atas ke bawah (top down). Selain itu pada pembelajaran seperti PMR(I) interaksi siswa dapat ke semua arah (gambar (1)), sedangkan pada pemberajaran dari aliran tingkah laku dapat seperti gambar (2) (dua arah) dan bahkan bisa.seperti gambar (3) (satu arah). Gambar_gambar itu nampak di bawah ini.
8
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berikutnya yang akan diuraikan, yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa adalah guru dan LPTK-nya; termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa, dosen, dan sekolah sebagai lembaga. 1.9. Guru dan LPTK
Dalam suatu pembelajaran kita tidak bisa lepas dari kurikulum sekolah yang direncanakan (C), kurikulum yang diajarkan guru (J), dan hasil belajar siswa (kurikulum yang diserap siswa (S)). Begitu juga di LPTK antara kurikulum yang direncanakan (C), kurikulum yang dosen kuliahkan (J), dan yang mahasiswa peroleh (S). Hubungan antara C, J, dan S dalam keadaan normal/baik pun dapat seperti di samping ini. Di LPTK misalnya, tidak semua materi kurikulum bisa diajarkan dosen kepada mahasiswa, dan tidak semua materi dapat dicernakan oleh calon guru. Apalagi bila ada dalam keadaan tidak normal, misalnya dosen tidak memberi kuliah sepenuhnya, cara mengevaluasinya asal-asalan, dan mahasiswa calon gurunya tidak diseleksi secara ketat (seadanya). Bila demikian mutu guru yang dihasilkan oleh LPTK seperti itu akan besar dampak negatifnya ke mutu siswa tamatan sekolah. Kurikulum LPTK yang betul-betul solid untuk pengembangan pendidikan bidang studi menurut saya adalah PGBK yang disusun oleh dosen LPTK tahun 1980. Dengan kurikulum itu jelas LPTK bukan pengembang ilmu rekayasa lagi. Tetapi sayang baru berusia lima tahun, yaitu baru menghasilkan satu angkatan, kurikulum itu dituduh sebagai biang rendahnya mutu siswa SL. Menurut saya, tuduhan itu salah sasaran. Kurikulum yang berpengaruh waktu itu adalah kurikulum LPTK sebelumnya yang justru bobot bidang studinya sangat banyak. Sebagai pengganti kurikulum PGBK adalah kurikulum Team Basic Science LPTK yang diprakarsai oleh FMIPA ITB; kerjasama dengan IKIP Bandung. Bedanya antara Kurikulum PGBK dengan Kurikulum Team Basic Science antara lain adalah: Kurikulum PGBK (KPGBK) memuat mata kuliah Kapita Selekta Matematika SL sedangkan Kurikulum Team Basic Science (KTBS) tidak; bobot bidang studi di KPGBK 40% sedangkan di KTBS 60% lebih; KTBS memuat mata kuliah bersama dari matematika, fisika, kimia dan biologi, sedangkan KPGBK tidak. Tetapi KTBS ydng dianggap sebagai penyelamat mutu hasil belajar MIPA di SL sampai sekarang belum ada hasilnya padahal usianya sudah 20 tahun (sudah 15 angkatan). Adanya perbedaan penekanan bidang studi.di negara lain pun ada misalnya di Negeri Belanda. Di Twente, mahasiswa tamatan PGBK kita setelah mengambil beberapa mata kuliah-di sana yang non matematika lanjut dibolehkan mengambil gelar doktor setelah menulis disertasi. Sedangkan di Utrecht, syarat untuk menjadi mahasiswa 52 pendidikan matematika saja harus bergelar BA dalam matematika. Materi di S2nya ialah dalam satu tahun hanya matematika, dalam satu semester berikutnya masih matematika. Baru dalam semester berikutnya menempuh pendidikan matematika Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
9
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
yang tidak ada mata kuliah pendidikan umum. Barangkali itulah yang disebut demokrasi di sana; kedua-duanya disebut ahli pendidikan matematika tetapi matematika yang dimilikinya jauh berbeda. sewaktu saya mengambil gelar doktor di osu Amerika Serikat, saya bercerita mengenai visi dan misi IKIP-IKIP di Indonesia beserta perannya dibandingkan dengan Universitas. Ketua program pendidikan matematika berkomentar, ―Bila Amerika Serikat memiliki IKIP-IKIP seperti Indonesia, banyak masalah pendidikan matematika di Amerika Serikat yang bisa dipecahkan‖, katanya. Sedangkan kebijaksanaan kita terbalik; IKIP-IKIP yang sudah ada dilebur menjadi Fakuitas Pendidikan Bidang Studi atau Program Pendidikan Bidang Studi di Universitas. Tidaklah kebijaksanaan kita itu akan bernasib sama seperti di Amerika Serikat? Mengapa ketua program itu mengatakan begitu karena peran dan pendidikan guru di sana, menurut saya ―menyedihkan‖ seperti dikatakan Gardner,‖One-fifth of all 4 year colleges in the United States must accept every high school graduate within the State regardless of program followed or grade...even if they do not follow a demanding course of study in high school or perform well‖. (1983, h. 20). Selanjutnya dikatakan, ‖Too many teachers are being drawn from the bottom quarter of graduating high school and colege students‖. (h.22). Lebih-lebih, menurut saya, bila kepada tamatan Sl calon guru itu diembel-embeli dengan harus menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu tertentu. Dan tamatan Sl murninya pun akan diberi kesempatan mengambil sejumlah mata kuliah untuk bisa menjadi guru. Adilnya kepada tamatan S1 LPTK pun harus diberi kesempatan untuk menjadi S1 matematikawan. Alasan kepada diharuskannya Sl tamatan LPTK menempuh program khusus bila ingin menjadi guru, mungkin karena tamatan fukuitu, kedokteran pun diharuskan seperti itu. Saya kira ini tidak bisa disamakan sebab bila seorang dokter membuat kesalahan, akibalnya akan sangat fatal. Selain itu, saya kira, pendidikan kedokteran Sl menjadi 7 tahun pun saya kira peminat menjadi dokter itu tidak akan berkurang, sebab tamat fakultas kedokteran itu menjanjikan. Sedangkan tamat LPTK, lain. Menurut saya bila tamatan Sl LPTK itu tidak atau kurang menguasai bidang studi, solusinya bukan ditambah jenjang untuk pendidikan profesi, tetapi pertama penggarapan Kapita Selektanya lebih lama dan setiap calon guru itu sewaktu selesai SMP-nya harus nilainya baik dalam matematika IPA, dan bahasa. Dididik bagaimana pun kalau tidak memiliki potensi, hasilnya akan tetap jelek. Kemudian, menurut saya pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu bukan ilmu rekayasa sehingga programnya itu mestinya menyatu (concurrent). Dan sebaiknya, selama waktu tertenfu mereka (calon guru) itu harus diasramakan. Sehingga pembentukan kepribadian guru dan pendidikan karakter budaya bangsa terwujud. Terwujudnya pendidikan karakter itu memerlukan waktu yang lama. Jadi dalam program yang menyatu itu calon-calon guru akan melihat perilaku, cara mengajar, cara penilaian, sikap, dan sebagainya yang baik dari seorang dosen yang baik. Jangan seperti berikut. Kata Bapak dosen senior (alm), ―Saya menatar guru sekolah dasar mengenai materi baru dalam matematika modern antara lain himpunan. Salah seorang guru bertanya kepada saya bagaimana caranya mengajarkan himpunan di sekolah dasar‖. Kemudian beliau jawab sambil marah, kok tanya sama saya, semestinya Anda yang seharusnya lebih mengetahui‖. Jawaban beliau itu wajar sebab baliau tidak pernah memperoleh pendidikan guru yang sebenarnya. Selain perlunya dimiliki kepribadian guru oleh seorang guru dan karakter budaya bangsa, yang dihadapi guru sekarang-sekarang ini lebih berat. Sebab, yang bersekolah dan yang berkemampuan kurang itu makin banyak. Bila jaman saya dulu yang diterima di SMP dari kelas VI SD yang banyaknya sekitar 90 orang itu hanya 2 orang, sekarang? Menurut saya selain karena kualitas tamatan yang masuk ke LPTK itu rendah, bisa jadi juga karena ulah dari beberapa LPTK sendiri: lamanya/banyak kali kuliah dalam satu set4ester sering paling lama 8X yang seharusnya 16X; karena kekurangan pelamar, ada yang menerima seluruhnya; dalam UAS ada yang membiarkan mahasiswa saling meniru; dan ada yang meluluskan semua yang ikut UAS dengan berpikir nanti pun kalau sudah jadi guru akan bisa. Benarkah itu? 10
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
1.10.
Kebijaksanaan Penguasa
Peran penguasa dalam pengambilan keputusan bagi pelaksanaan sesuatu itu sangat besar. Bahkan sering lebih kuat daripada hasil penelitian. Sebagai contoh keunggulan siswa sebagai pengguna kalkulator dalam pengajaran matematika dibandingkan dengan yang tidak, menurut penelitan adalah 6:1. Walauprin begitu, karena penguasa tidiak memberi lampu hijau kalkulator boleh digunakan di sekolah, di sekolah-sekolah kita kalkulator itu tidak digunakan, sampai sekarang. Contoh kedua, pada tahun 80-an pemerintah menginginkan agar dalam kurikulum matematika itu ada unsur ―Tung‖. Kebijaksanaan ini diambil dari slogan CALISTUNG. Saya kira, pemerintah waktu itu terpengaruh oleh isu bahwa Amerika Serikat dan Inggris sudah meninggalkan matematika modem. Padahal khususnya di Amerika Serikat hanya ada gerakan Back to the Basic yang usianya hanya satu tahun. Dan di Inggris waktu itu tetap pengajaran matematika modern; buku-buku yang kita sadur, waktu itu di sana tetap dipakai. Akibat dari kebijaksantan itu – yang mengrut saya keliru - buku-buku matematika lama dan buku-buku berhitung lama yang semasa matematika modern sudah dikubur, bermunculan kembali. Seperti sudah disampaikan peran penguasa (pemerintah) itu sangat penting dan menentukan. Karena itu pembantu-pembantunya yang akan menjadi pembisik-pembisiknya harus orang-orang yang ahli dalam bidangnya. 1.11.
Matematikawan dan Pendidik Matematika (math educators)
Para matematikawan dan pendidik matematika (mathematics educators) dalam pendidikan matematika di sekolah dapat berperan besar dan dapat sedikit. Pada tahun 70-an sewaktu matematika lama diganti oleh matematika modern peran para matematikawan dan pendidik matematika sangat besar. Perannya itu adalah merumuskan digantinya matematika lama dengan matematika modern, memilih atau menulis buku sumber, melakukan pemilihan buku sumber, penggarapan yang harus didahulukan buku siswa atau penguasaan guru. Selain itu besar perannya itu dalam menentukan bentuk penataran bagi guru-guru; serempak (masal) seperti pengajaran matematika modern atau bertahap seperti PMRI. Tetapi bila di DEPDIKNAS sudah banyak ahlinya, baik matematikawan, pendidik matematika dan para penelitinya maka peran para matematikawan dan pendidik matematika dari universitas itu akan sangat mengurang; mungkin satu sama lain akan menjadi pelengkap atau pesaing. II.
KEADAAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI KITA SEKARANG
Pendidikan matematika di kita itu sudah melalui berbagai jaman dan berbagai kebijaksanaan. Tetapi apa yang sudah kita lakukan itu nampaknya tanpa bekas. Pengajaran matematika modern yang menekankan kepada pengertian, proses, dan penemuan tidak berbekas. CBSA yang pernah diproyekkan, dilupakan saja. Hasilnya, guru tetap mengajar dengan ceramah atau ekspositori, siswa belajar pasif, dan hasil belajar siswa tetap minim. Mengapa? Mungkinkah karena: materi matematikanya salah, gurunya kurang profesional, suasana belajar tidak konduksif, siswanya kurang dibina, materi kurikulumnya tidak sesuai dengan kemampuan siswa atau mungkin karena suasana masyarakat kita itu sedang kacau? Bila yang direncanakan dan dilaksanakan secara besarbesaran hasilnya seperti itu, bagaimana rencana kita dalam pemolesan kurikulum dengan sasaran budaya karakter bangsa, kewirausahaan, manusia aktif dan ekonomi keratif? Nanti kita lihat melalui uraian dengan butiran-butiran permasalahan di atas. 2.1. Salahkah Materi Matematika Sekolah Kita?
Perubahan yang paling besar dilihat dari berbagai segi termasuk materi matematika adalah pada perubahan dari matematika tradisional ke matematika modern. Karena itu perubahan dari Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
11
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
matematika tradisional ke matematika modem itu sering disebut revolusi; revolusi pertama. Dan sejak itu kurikulum matematika kita tidak banyak berubah. Yang terjadi adalah masuknya topiktopik geometri Euclids kedalam geometri transformasi yang sudah ada. Pemasukan itu sering menyebabkan konsep dan pembelajaran geometri menjadi rancu. Sebagai contoh seorang pendidik matematika secara kebetulan berkeliling ke beberapa kota besar di Indonesia dan pada setiap kesempatan mengajukan pertanyaan, "Apakah setiap persegipanjang itu jajaran genjang?". Katanya, tidak ada seorang pun yang menjawabnya ,,ya,,. Disimpulkan pemahaman mahasiswa/guru matematika mengenai geometri itu sangat lemah. Benarkah kesimpulan itu? Contoh kedua masih mengenai masalah ini. Pada suatu waktu sekitar tahun 2009, seorang Dosen senior berceritera kirakira, "Pak Rus saya mengajn mahasiswa ITB sebanyak 30 orang lalu saya menggambar sebuah lingkaran di papan tulis. Saya penyuruh mereka mencari titik pusat. Seorang pun tidak ada yang bisa. Bila mahasiswa ITB tidak bisa, apalagi mahasiswa PT lain", katanya. Dapatkah dari contoh 2 ini disimpulkan bahwa mahasiswa kita makin bodoh? Menurut saya yang salah di kedua contoh itu bukan mahasiswa atau yang menjawab, tetapi kedua dosennya. Masalahnya, selama ini generasi muda itu belajar geometrinya terutama geometri transformasi. Untuk pertanyaan yang pertama, bila dalam geometri Euclids benar bahwa setiap persegipanjang itu adalah jajarangenjang. Tetapi dalam geometri rransformasi harus pikir-pikir dulu. Mengenai pertanyaan kedua juga sama, mereka (mahasiswa) itu tidak mengetahui geometri Euclids apalagi yang deduktif seperti mencari pusat lingkaran. Generasi tua mengenai hal itu menguasai karena sejak di SMP pun masalah itu sudah diterima. Perubahan besar kedua walaupun tidak sebesar revolusi kesatu antara lain ialah mengenai diterapkannya hasil teknologi canggih sedini mungkin dan masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika. Di negara asalnya revolusi itu terjadi pada awal tahun 80-an. Di kita tidak banyak berubah karena pertama kalkulator tidak pemah secara resmj dibolehkan dipakai, kedua komputer di sekolah-sekolah masih belum banyak. Di negara-negara maju, penggunaan komputer dalam pengajaran matematika itu ada dampaknya ‖yaitu‖ apakah batang tubuh matemaiika itu mau tetap kalkulus atau matematika diskret. 2.2. Gurunya Kurang Profesional
Bagaimana guru yang profesional itu? Guru professional adalah guru yang pekerjaannya memang guru. Sebagai gurunya itu ia bukan amatir. Seperti pemain bola ada yang professional karena profesinya memang sebagai pemain sepak bola. Tetapi ada jugl pemain sepak bola amatir. Pemain bola amatir adalah pemain bola yang bermain bolanya itu kadangkadang saja. Kalau pun ia sering atau selalu sepak bola bila bermain bolanya itu tidak menghasilkan uang, maka ia tetap menjadi pemain bola amatiran. Jadi menurut saya, bila seorang itu PNS dan pekarjaarurya mengajar, maka pasti ia sebagai petugas professional dengan pekerjaan guru. Bahkan yang bukan PNS pun kalau pencahariannya itu mengajar (guru) maka ia itu petugas professional. Karena itu saya akan menggunakan kata ―guru efektif‖.
12
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Gambaran dari guru efektif adalah seperti di bawah ini. (Ruseffendi, 206, h.42).
Jadi, menurut saya seseorang yang menguasai bidang studi tertentu dan memiliki sifat-sifat keguruan serta pekerjaarulya mengajar ia dapat disebut guru professional, walaupun tidak sempurna. Sedangkan seorang guru professional yang sempurna adalah guru pada tahap IV di diagramkan di atas. 2.3. Suasana Belajar Kurang Kondusif
Suasana belajar kurang kondusif itu penyebabnya banyak, bisa: ruangannya panas, ruangannya pengap, bising dari luar, bising dari dalam kelas, gurunya bukan guru yang efektif (profesional) atau keprofesionalannya kurang, dan sekolahnya ada di lingkungan yang gersang. semuanya itu akan mengurangi konsentrasi siswa belajar sehingga hasil belajar siswa tidak optimal. Suasana yang demikian itu dampak jeleknya akan makin besar dalam pelajaran yang memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi seperti pelajaran matematika. Kita lihat beberapa saja yaitu yang langsung bisa diatasi. Pertama mengindarkan terjadinya kebisingan atau kegaduhan di dalam kelas. Kegaduhan di dalam kelas itu bisa terjadi karena ucapan guru tidak jelas. Tidak jelasnya itu mungkin karena bakatnya begitu (kurang lancar berbicara), ukuran kelasnya besar, dan karena adanya siswa yang suka merusak suasana belajar mengajar Untuk mengatasinya guru harus pandai mengelola kelas: memperbaiki diri dan menegur yang berulah tidak baik itu. Kedua, karena guru kurang menguasai materi pelajaran. Mengatasinya ialah dengan mempelajari materi itu sebelumnya; lebih lama, lebih luas, dan lebih dalam. 2.4. Siswa Kurang Dibina
Di SMP ini pembinaan siswa harus lebih efektif karena siswanya adalah siswa wajib belajar Besar kemungkinan siswanya itu ada yang tidak mau melanjutkan bersekolah atau siswa yang bila dibina secara biasa, belajarnya tidak berhasil. siswa pada kelompok wajib belajar itu mungkin ada yang bila disuruh belajar itu akan menjawab, "saya ini dari dulu pun tidak mau belajar lagi. Kok disuruh_suruh. Mau masuk sekolah pun, saya termasuk yang sudah berbuat baik‖. Selain itu seperti sudah diuraikan, sejak rama prosentase yang masuk ke SMP dari SD itu makin besar. Sehingga kemungkin annya, banyak siswa yang tidak mampu didik di SMP itu makin besar. Agar berhasil belajar, pembinaannya harus khusus. Pembinaan khusus itu misalnya, guru mengajarnya harus lebih lambat, guru harus lebih sabar dan setelah selesai pelajaran guru harus menyediakan waktu khusus bagi mereka. waktu khusus itu dipakai oleh guru untuk menjelaskan hal-hal yang belum dimengerti oleh siswa. Sehingga kumulatif karena tidak memahaminya tidak terlalu bertumpuk.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
13
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.5. Materi Matematika di Kurikulum tidak Cocok bagi Siswa
Tidak cocoknya materi kurikulum matematika di SMP ini menurut saya disebabkan adanya wajib belajar. Siswa SMP yang jaman dulu tidak memenuhi syarat untuk diterima di SMP menjadi terpaksa/harus diterima. Seperti di negara-negara maju, usia wajib belajar itu makin tua. Maksudnya, belajar di sekolahnya harus makin lama. Lebih jelas lagi, bila usia wajib belajar itu sampai dengan di SMP, maka mereka yang usianya sekitar 15 tahun ke bawah harus bersekolah. Sedangkan bila usia wajib belajar itu sampai dengan SMA maka mereka yang usianya 18 tahun ke bawah harus bersekolah. Itu yang dimaksud usia belajar itu makin tua. Mengingat hal itu makin maju suatu usia wajib belajar, prosentase siswa yang tidak mampu didik di jenjang wajib belajar itu makin banyak. Seperti di Inggris misalnya, wajib belajar itu sampai dengan usia 16 tahun. Ini menyebabkan makin banyak siswa yang kurang memahami topik tertentu. Topik-topik atau tahap deduktif, di sana hanya dipahami oleh 5% siswa SMA. Karena itu geometri yang diberikan di sana bukan geometri Euclids tetapi geometri Transformasi. (Elliott dalam Ruseffendi, 1990c, h.l7). Untung di kita karena kita menggunakan buku mereka masalah itu tidak begitu banyak terjadi. Karena hadirnya siswa wajib belajar di SMP, apakah tidak lebih baik bila programnya dibagi dua? Misalnya program akademik dan non akademik. 2.6. Suasana Masyarakat Luas
Masyarakat kita sekarang, menurut saya sedang sakit. Sedang menderita tekanan darah tinggi: lekas tersinggung. Kalah bertanding sepak bola mengamuk; sampai-sampai wasitnya dikejar, kereta api dilempari, dan stadionnya dibakar. Merasa diliciki dalam pemilihan, rakyat protes; panitia pemilihan lurah misalnya, dikejar karena menghitung suaranya diduga tidak benar. Kampung dengan kampong berkelahi karena masalah kecil. Dan kadang-kadang wakil rakyat pun bertengkar. Keadaan seperti itu dapat memberi contoh yang tidak baik kepada generasi muda. Yang sering dicontoh oleh manusia itu bukan perilaku baik tetapi perilaku yang jelek dan terutama yang bakal menguntungkan. Perhalikan Percobaan Baruda. Pada percobaannya ia menyediakan 3 ruang percobaan A, B, dan C dan sebuah ruangan lain D yang berisi orang-orangan; kecuali D isi ruangan bisa dilihat dari luar. Di ruang A ada orang yang sedang memukul-mukul orang-orangan. Di ruangan B ada orang dan orang-orangan yang sama tetapi orang itu tidak memukulinya. Dan di raungan C tidak ada apa-apa (kosong). Kemudian ada 3 kelompok siswa andaikan kelompok X, Y, dan Z. Mereka masingmasing dibawa untuk melihat dari luar ruangan A, B, dan C; X ke A saja, Y ke B saja, dan Z ke C saja. Setelah itu masing-masing secara bergilir disuruh masuk ruangan D. Dari ketiga kelompok siswa itu ada yang berbuat aneh yaitu kelompok X. Mereka memukuli orang-orangan yang ada di ruangan D sedangkan kelompok Y dan Z tidak. Di situ kelihatan bahwa mereka berbuat itu karena meniru. (dalam Ruseffendi 2006,h.171). Jadi, agar peniruan itu terjadi kepada yang baik-baik, manusia-menusia di masyarakat itu harus berperilaku baik. 2.7. Bagaimana Bisa Terwujudnya Pendidikan Karakter Budaya Bangsa, Kewirausahaan. Ekonomi Kreatif dan kepribadian yang aktif?
Dalam Pendidikan Matematik a, adaobjek langsung dan objek tidak langsung. (Gagne dalam Reseffendi 2006, h. 163). Objek langsung adalah materi matematika yang diberikan. Sedangkan objek tidak langsung ialah perilaku atau sikap orang yang telah memperoleh objek langsung itu. Karena matematika itu rasional, hemat, cermat, tepat, indah, dan tidak ambiguity, maka sifat yang tumbuh itu yaitu objek tidak langsung pada orang yang memperoleh matematika itu. Selain seperti itu yaitu rasional, hemat, dan sebagainya itu juga akan menjadi manusia yang kreatif dan mampu memecahkan masalah. Tentu saja, pembelajarannya pun harus mendorong terhadap terwujudnya objek tidak langsung itu. Bila objek langsungnya matematika tradisional maka objek tidak langsung yang akan tumbuh itu 14
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
akan minim sekali. Begitu pula soal-soalnya harus yang menyebabkan manusia kita berpikir, bukan dengan soal-soal rutin. Soal-soal yang sifatnya menantang terdapat antara lain pada soal-soal GRE. Contoh-contoh soalnya seperti sebagai berikut. (Ruseffendi, l99l h.346-349).
cara menjawab: Tulis di titik-titik A bila bersama di A lebih besar, B bila besaran di B lebih besar, C bila kedua besaran sarna, dan D bila hubungan tidak bisa ditentukan menurut informasi yang di ketahui. Soal No. 4-6 didasarkan kepada gambar kubus berikut. Isi titik-titik dengan nama gambar.
4. 5. 6.
Gambar yang ada pada alas gambar (3) adalah ... Gambar di seberang gambar lingkaran adalah ... Gambar di seberang gambar bujursangkar adalah ...
Soal no. 7 - 8 didasarkan kepada uraian berikut. Isilah titik-titik. Andaikan kita menggunakan sistem numerasi baru dengan angka-angka *, I, <, H, ⊡, E, Λ, V, X, dan ∅ yang berturut-turut sebagai pengganti 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Jumlah dari V + Λ + H = .... <⊡ Hitunglah I< Λ+ ⊡ −⊡ 𝑉 Andaikan dari sekolah kita untuk menyebrang itu sukar karena banyak kendaraan yang lewat dan jalannya cepat-cepat. Ditanyakan: 1) Bagaiman kita bisa meyakinkan petugas LLAJR bahwa di depan sekolah kita itu sudah perlu dipasang jalan penyeberangan. 2) Jalan penyeberangan apa yang bisa kita buat? Beri alasan masing-masing. 10. Berapa cm kubik volum badan Anda? Bagaimana menghitungnya? 7. 8. 9.
Itulah beberapa contoh yang dapat membantu sifat kreatif siswa dalam mewujudkan ekonomi. Berikutnya ialah bagaimana bisa membentuk budaya karakter bangsa. Tujuan pendidikan nasional kita antata lain adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya orang-orang Indonesia itu harus beragama. Kemudian demi mewujudkan manusia Indonesia yang beragama itu bisa melalui pendidikan pancasila dan pendidikan agama. Jadi dengan berpegang kepada dua hal itu kepribadian bangsa kita yang agamis dapat terbentuk. Apakah dengan kedua hal itu karakter budaya bangsa Indonesia dijamin bisa terwujud? Menurut saya sudah sebab kepribadian kita yang diwujudkan oleh agama itu kepribadian Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
15
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
yang ideal bagi setiap bangsa mana pun. Jusku bila kita lterobsesi oleh kebudayaan bangsa kita, kepribadian agama kita itu bisa tercemar, misalnya kita bisa menjadi syirik, kita bisa berbangga, kita bisa mengutamakan urusan dunia daripada urusan akhirat, dan lain-lain. Terakhir mengenai kewirausahaan. Kelihatannya masalah ini sukar dijangkau oleh pendidikan matematika. Satu-satunya yang mungkin ada kontribusinya kepada kewirausahaan adalah pembentukan sikap yang diharapkan terjadi pada para kewirausahaan agar kewirausahaannya itu berhasil. Sifat-sifat itu, seperti sudah disampaikan, mampu memecahkan masalah, kreati{ cermat, rasional/nalar, ekonomis, dan hemat. Ini sesuai dengan kepribadian yang tumbuh kepada mereka yang mempelaj ari matematika. Singkatnya uraian mengenai pembelajaran matematika di SMP sekarang adalah sebagai berikut. Tetapi ini hanya berupa sinyalemen. Tidak bisa disimpulkan sebagai sesuatu yang kebenarannya pasti. Sebab kesimpulan yang baik itu harus dilakukan berdasarkan penelitian. Kelihatannya adalah sebagai berikut. Permasalahan pembelajaran geometri itu terjadi karena adanya masukan topik-topik geometri Euclids kepada geometri transformasi. Pembelajarannya seperti pembelajaran matematika tradisional karena pemah ada kebijaksanaan TUNG pada Kurikulum 1984 dan terutama pada Kurikulum 1994. Mutunya rendah disebabkan karena tidak sedikit guru dan siswanya kurang berkualitas. Dan suasananya agar siswa belajar aktif tidak kondusif. Tetapi sebenarnya, sesuai dengan hakekat matematika, bila pembelajarannya baik manusia aktif dan kreatif itu bisa terjadi. III. BAGAIMANA PENDIDIKAN MATEMATIKA DI WAKTU YANG AKAN DATANG?
Bagaimana semestinya pendidikan matematika di SMP yang juga membawa empat buah misi itu yaitu karakter budaya bangsa, kewirausahaan, ekonomi yang kreatif, dan kepribadian yang aktif. Agar pendidikan matematika kita, khususnya di SMP, terwujud dengan baik terdapat empat pilar yang harus diyakini bahwa semuanya itu benar. Pertama percaya kepada matematika untuk siswa dan bahwa matematika itu benar dan berguna. Kedua percaya kepada pendidikan matematika yang harus dikembangkan secara ilmiah. Ketiga percaya bahwa cara belajar siswa dan cara mengajar kita itu benar. Dan keempat percaya bahwa kehidupan yang harus diutamakan itu kehidupan beragama. Apakah setiap orang yang menjadi guru akan dapat berpikir seperti itu? Tentu saja tidak. Yang bisa berpikir seperti itu hanya orang yang cukup pintar. Menurut saya harus orang yang nilai matematika, IPA, dan bahasanya baik di jenjang sebelum adarrya pengelompokan ke dalam MIPA dan NON-MIPA. Dengan singkat, calon guru itu harus orang yang nilai matematika, IPA, dan bahasanya baik. 3.1. Percaya kepada Matematika yang Baik bagi Siswa
Dalam pendahuluan sudah diuraikan bahwa matematika sekolah itu beragam. Kita harus yakin bahwa matematika sekolah yang kita pilih itu benar dan cocok bagi siswa kita. Sesuai dengan keadaan siswa wajib belajar, matematikanya masih perlu ada yang tidak formal dan programnya beragam atau terbagi dalam dua program; program akademik dan program non akademik. Walaupun begitu untuk program akademik atau siswa pandai pendekatan deduktifnya yang secara penuh harus dibatasi. Bila kita akan menerapkan PMRI misalnya maka matematisasi horizontal dan vertical di SD, SLTP, dan SLTA adalah sebagai berikut.
16
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Menurut saya bila kita akan menerapkan PMRI di sekolah, makin tinggi jenjangnya makin sedikit matematisasi horizontal diperlukan. Dan bila ingin melihat dari segi keformalannya, pembelajaran matematika di SMP itu campuran antara yang tidak formal dan yang formal. Di SD tidak formal sedangkan di SMA formal setelah sistem aksiomatiknya dikeluarkan untuk jadi pelajaran pilihan. Mengapa kita harus yakin bahwa matematika yang kita pilih itu benar dan berguna bagi siswa, sebab bila tidak bisa salah seperti dalam contoh berikut. Pertama seorang ahli PMR dari Negeri Belanda mengatakan dalam ceramahnya bahwa matematika modern itu maia petaka. Padahal Bell (1978,h. 64) mengatakan, ―In balancing the positive and negative assessments of the new math revolution, most well - informed people arrive at the conclusion that new math is neither dismal failure nor an overwhelming success‖. Ada lagi yang mengatakan, "Bila PMRI kita ingin berhasil kita harus membuang matematika modern jauh-jauh". Padahal waktu saya menyajikan kegiatan lapangan yang topiknya dan penyajiannya dari matematika modem (Ruseffendi, 2006, h. 536) seorang ahli PMR dari Belanda memujinya. Seorang lagi mengatakan, ―Dalam pengajaran matematika sebelum PMRI rumus-rumus seperti rumus panjang keliling lingkaran 2𝜋R harus dihapalkan tanpa penjelasan sedangkan dalam PMRI dijelaskan‖. Pernyataan itu benar, bila bicaranya di Negeri Belanda sebab sebelum PMR di Negeri Belanda diterapkan pengajaran matematikanya'itu yang mekanistik (matematika lama). Sedangkan di kita, yang begitu itu sejak pengajaran matematika modern sudah dijelaskan. 1
1
orang berikutnya dari Pusat (Jakarta). Katanya,‖siswa tidak bisa menyelesaikan soal seperti 4 : 2 2 Berarti penguasaan matematika dari siswa itu jelek‖. Kata Heuvel-Panhuizen, di Belanda operasi hitung formal dengan pecahan tidak lagi termasuk dalam kurikulum inti. Tetapi operasi dengan pecahan itu supaya terjadi pada masalah kontekstual yang sederhana. Bila dikontekstualkan tentu 1 saja bisa. Misalnya, ada karung pupuk. Lalu dimasukkan kedalam sebuah karung yang besarnya 1
4
1
2 kali lebih besar. Berapa bagian dari isi karung yang besarnya 2 kali itu? Tetapi menurut saya 2 2 itu adalah soal yang dibuat-buat sehingga menjadi kontekstual. Berikutnya lagi, seorang doctor dan guru besar dari Negeri Belanda memberitahu saya bahwa ia kedatangan orang kunci dalam kurikulum di DEPDIKNAS. Ia membawa sebongkah buku-buku matematika yang pemah digunakan di kita (Indonesia) sewaktu jaman Belanda. Ia bilang, ―Saya ingin agar matematika yang diberikan di sekolah Indonesia itu seperti ini (menunjuk kepada bukubuku yang dibawanya) sehingga siswa menjadi pandai dalam matematika seperti saya‖.
Saya Tanya, ―Apa komentar Anda?‖. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
17
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Jawabnya, "Saya tidak memberi komentar, tetapi saya berkata dalam hati,"orang ini tidak mengetahui bahwa Belanda sendiri sudah berubah", katanya. Orang-orangyangdisebutkan di atas (5 orang) dan dua orang lagi yang sudah dibicarakan di bagian depan sama-sama menyukai matematika. Yang keliru adalah pemahamannya tentang sesuatu dalam matematika. Dengan kata lain premisnya salah. Yang berikut ini dua orang yang cenderung untuk tidak menyukai matematika karena persepsinya terhadap matematika dan matematikawan itu tidak benar. Pertama seorang ahli agama terkenal yang bernama Al-Ghazali. Ia mengatakan, "Tidak satu pun hasil-hasil matematika,katanya,terkait dengan agama. Karena itu, matematika bukanlah subjek yang diharamkan. Walaupun demikian, kata Al-Ghazali, matematika menyebabkan banyak bahaya dan sangat seling menjadi penyebab kekafrran". (dalam Hoodbhoy, 1996, h. 184). Kedua adalah sikap seorang delegasi Saudi pada suatu konperensi tingkat tinggi di Kuwait pada tahun 1983. Dikatakan, "Delegasi Saudi mengatakan bahwa sains murni condong menghasilkan 'kecenderungan Mu'tazilah' yang secara potensial merupakan keyakinan bid'ah. Sains adalah sesuatu yang profane karena bersifat sekuler; menurut pendapat mereka, sains menentang keyakinan Islam. Walaupun..., sains mumi seharusnya dihambat, demikian menurut delegasi.Saudi". (Hoodbhoy, 1996, h. 66-67). Padahal mereka berbicaranya itu pada konperensi mengenali dan menyingkirkan kemacetan perkembangan sains dan teknologi di dunia Arab. Dari pendapat kedua orang terakhir itu kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana orang akan dapat berhasil membawakan pembelajaran matematika bila ia berpendapat seperti mereka di atas atau meragukan kegunaannya. 3.2. Percaya bahwa Pendidikan Matematika itu Suatu Disiplin Ilmu
Bahwa pendidikan matematika itu adalah suatu disiplin ilmu dan bukan suatu ilmu rekayasa sudah diuraikan. Dosen, guru, dan orang-orang yang berkepentingan harus mempercayainya. Dengan demikian pengembangannya harus dilakukan secara ilmiah dan paling tidak melibatkan anak didik, matematika yang diajarkan calon guru, guru, dan dosennya. Bahwa untuk menjadi guru yang professional itu calon guru harus belpengalaman guru sedini mungkin dan terus menerus calon guru itu memperoleh berbagai ilmu dan pengalaman sehingga ia menjadi seorang guru yang utuh. Dan seperti sudah disampaikan, dalam jangka waktu tertentu, calon guru itu harus diasramakan. Karena itu program gurunya bukan program konsekutif tetapi program simultan (concurrent). Kita yang terlibat di dalamnya harus sepakat untuk melakukan pembelajaran pendidikan untuk bangsa kita itu bukan hanya melalui impor saja sebab belum tentu hasil penelitian di sana akan cocok bagi anak-anak kita. Misalnya: apakah perkembangan mental anak-anak kita sesuai dengan hasil penelitian Piaget bagi bangsanya? Apakah tipe belajar anak-anak kita sesuai dengan yang Gagne temukan? Apakah tahap-tahap pemaham siswa dalam geometri di kita sama dengan yang ditemukan Van Hiele? Apakah prosentase siswa SMA yang dapat memahami sistem deduktif hanya 50lo seperti di Inggris? dan lain-lain. Masalahnya di kita, penguasa itu sering lebih percaya kepada pemikirannya sendiri daripada kepada hasil penelitian. Mungkin hasil penelitian orang-orang kita itu dianggapnya belum benar? 3.3. Percaya bahwa Cara Siswa Belajar dan Cara Guru Mengajar yang Dilaksanakan adalah yang Terbaik
Pada masa sekarang strategi pembelajaran yang guru bawakan itu sangat kurang yaitu: pembawa materi adalah guru sendiri dengan materi pelajaran yang sempit, penyaji materinya adalah guru sendiri, pendekatannya kalau tidak formal yang formal, dan ukuran kelasnya pada umumnya adalah sangat besar. Padahal warna atau macam strategi belajar mengajar itu lebih dari 1400 macam. Kemungkinannya makanya strategi pembelajaran yang guru gunakan itu hanya sebuah, mungkin karena guru tidak megnetahui atau mengetahui hanya untuk melakukannya malas, tidak mau capecape. Bila alasannya yang kedua, itu berani strategi pembelajaran yang guru bawakan itu bukan 18
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
yang terbaik. Jadi semestinya warna strategi belajar-mengajar yang guru bawakan itu yang terbaik dan guru yang bersangkutan harus yakin bahwa strategi yang dipilihnya benar. Dalam melaksanakan tugasnya itu ada kekurangannya. Mungkin karena guru tidak diberi peluangan untuk itu. Semestinya kalau tugas guru mengajar itu 24 jam per minggu, jangan seluruhnya dipakai untuk mengajar. Tetapi sebagian daripadanya dipakai untuk responsl: Misalnya 18 jam mengajar dan 6 jam respons/ Enam jam untuk respong dipakai oleh guru setelah guru memberi pelajaran dan digunakan oleh setiap siswa yang memerlukan. Jadi setelah guru itu mengajar, waktu itu juga ia masuk kantor dan menerima siswa yang dalam pelajaran tadi siswa belum mengerti. Dengan demikian ketidakmengertian siswa itu tidak akan kumulatif. Dan, bila terjadi kumulatif, kemungkinan besar siswa yang bersangkutan menjadi tidak menguasai matematika. Kemudian dalam membawakan pembelajarannya guru tidak bisa lepas dari membuat instrumen sebagai alat evaluasi. Di sini pun guru harus yakin bahwa instrumen yang dibuatnya itu benar dan baik. Seperti sudah disampaikan untuk tumbuhnya sifat kreatif, nalar, dan mampu memecahkan masalah siswa supaya diberi soal-soal yang menantang. Sedangkan di kita sering yang rutin-rutin saja. Dalam menyelesaikan soal sebagai berikut 24 x 17 misalnya perhatikan perbedaan antara anak-anak di kita pada umumnya dengan anak-anak di Inggris sewaktu saya berkunjung ke London tahun 1994. waktu saya berkunjung ke sana itu saya
mempunyai kesempatan membuka-buka buku pekerjaannya. Tidak ada seorang pun yang mengerjakannya seperti di kita. Nampak dengan cara di London itu siswa lebih tejadi mengerti daripada cara-cara anak-anak kita. Selain itu di sana sudah jarang sekali mengerjakan soal-soal rutin dalam operasi hitung dengan bilangan-bilangan besar. Sedangkan di kita sewaktu saya berkunjung ke suatu sekolah dasar, banyak. siswa bedam-jam mengerjakannya sedangkan guru bertugas sewaktu siswa menyerahkan jawabannya saja; di luar itu nganggur. soal-soal itu misalnya: 274+325+144=;315x86=; dan 39796 : 64 Mengenai tingkat kesukaran soal-soal pun harus dibedakan. Sesuai dengan normalnya kemampuan sekelompok siswa, maka dalam satu set soal itu yang mudah, sedang, dan sukarnya masing-masing sekitu 30%, 50%, dan 20%. Begitu pula masing-masing di setiap kelompok lemah, sedang, dan kuat sekitar itu. 3.4. Dalam Hidup Ini Kita Harus Mendahulukan Kepentingan Agama daripada Urusan Dunia
Seperti sudah disampaikan Tujuan Pendidikan Nasional kita itu antara lain adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Konsekuensinya manusia Indonesia itu harus beragama. Dalam setiap hgama kita tidak boleh mencuri, membunuh, menyakiti makhluk Tuhan dsb. tetapi harus sebaliknya kita harus menyayangi, membantu, menolong dsb. satu sama lain. Di dunia, khususnya di kita sekarang-sekarang ini tidak sedikit ada pencurian, perampokan, pembunuhan, tindakan anarkhis, perbuatan sadis, perbuatan tidak manusiawi, pengrusakan, pembobolan uang Negara, dan lain-lain. Tindakan perbuatan yang jelek-jelek itu perbuatan orang yang tidak beragama atau yang agamanya hanya pengakuan saja? Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
19
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Mendahulukan urusan agama itu artinya bukan kita hanya melakukan urusan agama dan meninggalkan urusan dunia, tetapi berbuat dalam urusan dunia itu karena amanah Tuhan. Dengan kata lain bila kita menjabat, itu bukannya kita mendapat kekuasaan, tetapi memperoleh amanah dari Tuhan. Bila kita berpegang kepada prinsip itu dan melaksanakannya, insyaallah dunia ini akan aman. Sebab bila orang memeluk agana dengan sebagaimana mestinya ia akan menjadi manusia yang jujur, adil, akan acuh kepada orang lain, akan memegang jabatan sebagai amanah, akan berpikir rasional dan objektif, dan sebagainya Adanya orang yang berpikir aneh seperti Al-Ghazali dan wakil Saudi mengenai sains murni (termasuk matematika) adalah karena ketidakpahamannya. orang-orang yang seperti itu pandangannya mengenai sains harus diluruskan. Selain dari pihak agama yang berpandangan kolot, dari pihak komunis dan atheis pun harus dijaga. Bila golongan agama yang berpandangan kolot cenderung untuk menghambat kemajuan matematika, golongan komunis dan atheis menghalangi kita untuk beragama seperli disampaikan oleh Habeyb, Komunisme...paham yang menghendaki kehidupan manusia bersendikan kepunyaan bgrsama dari segala sesuatunya (lanjutan dari sosialisme). . . .Ffikum-hukum alam, katanya, sudah terkandung dalam cosmos dan tidak ada hubungannya sarirasekali dengan apa yang disebut Tuhan. Segala sesuatu dan kepercayaan tentang Tuhan hanyalah khayalan manusia saja yang harus dibasmi sampai ke akir-akamya. Karena ini adalah musuh besar dari ajaran Komunisme. (1981, h. l98-199).
Selanjutnya dikatakan, Dalam hubungannya dengan agama menurut Lenin, Marxisme memandang semua agama modern dengan segala tempat ibadahnya dan semua organisasi agama sebagai alat-alat dari kaum borjuis untuk mempertahankan penjajahan mereka dan untuk meracuni masyarakat kelas buruh. Agama sebagaimana di-definisikan oleh Marx adalah candu bagi rakyat. Setiap pikiran tentang agama dan tentang Tuhan dan setiap detik sangkaan bahwa Tuhan itu ada merupakan suatu kejahatan yang paling berbahaya, suatu penyakit yang paling gila di dunia ini... (1981 ,h.228).
Bila kita beragamanya dengan benar tentunya kita akan mampu menjelaskan kepada orang-orang komunis dan atheis bahwa Tuhan itu ada. Bahwa agama samawi itu, paling tidak sumbernya adalah Tuhan yang Maha Esa. Demikianlah sedikit uraian mengenai Naskah Akademik Matematika SMP. Mudah-mudahan ada gunanya. Amin!
20
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Doll, M.E.Jr. (1993). A post-modem perspective on curriculum. New york: Teacher College Press. Ernes, P. (1991). The philosophy of mathematics education. Great Britain: The Palmer Press Gardner, D.P. (1983). A nation at risk. Washington, D.C.: U.S.Government printing Press. Habeyb, S.F. (1981). Kamus popular. Jakarta: Centra. Heuvel-Panhuizen, Maja van den (1998). Realistic mathematics education. Bon: Wed-site Freudenthal Institute http/iwww.fi .uu.nl. Hoodbhoy, P. (1996). Ikhtiar menegakan rasionalitas antara sains dan ortodoksi Islam. Bandung: Mizan Pikiran Rakyat (1997). Tanggal 24 Agustus 1987. Ruseffendi, H.E.T. (2006). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Ruseffendi, E.T. (1990a). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2. Seri 5. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (1990b). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2. Seri …. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (1990c). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2. Seri 6. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, H.E.T. (1991). Penilaian pendidikan dan hasil belajar siswa khususnya dalam pengajaran matematika. Bandung: Tarsito. Tempo (1983). Tanggal 16 Juli 1983. Treffers, A. (1991). Realistic mathematics edutacion in the Netherland 1980-1990. In L. Streefland (ed). Realistic mathematics education in primary school. The Netherlands : Freudenthal Institue.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
21
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Utari Sumarmo Abstrak Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pada dasarnya pendidikan karakter tidak diajarkan secara tersendiri namun bersamaan waktu dengan pembelajaran tiap bidang studi termasuk matematika, melalui: pemahaman, pembiasaan, keteladanan dan contoh, serta pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran tidak dapat disederhanakan dalam bentuk resep, karena melibatkan beragam unsur antara lain: pengetahuan bidang studi dan dan pedagogi pembelajarannya, siswa dan karakteristiknya, dan diskursus atau lingkungan belajar. Melalui pendekatan pembelajaran apapun, perlu diupayakan agar siswa belajar secara aktif, mencapai belajar matematika secara bermakna serta memiliki karakter yang terpuji. Kata kunci: pendidikan karakter dan nilai, pemahaman, pembiasaan, keteladanan dan contoh, pembelajaran yang berkelanjutan, belajar aktif, belajar bermakna, tugas matematik, diskursus A. Pendidikan Budaya dan Karakter
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa datang. Pendidikan juga merupakan usaha sadar suatu masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasinya untuk menghadapi tantangan demi keberlangsungan hidup di masa datang. Proses di atas merupakan proses penting dan berkelanjutan yang harus dilakukan dalam semua mata pelajaran. Beberapa alasan esensialnya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dikembangkan pada siswa dikemukakan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) sebagai berikut (Ghozi, 2010): 1) Karakter sebagai perekat kultural yang memuat nilai-nilai: kerja leras, kejujuran, disiplin, etika, estetika, komitmen, rasa kebangsaan dll. 2) Pendidikan Karakter merupakan proses berkelanjutan 3) Pendidikan Karakter sebagai landasan legal formal untuk tujuan pendidikan dalam ketiga ranah 4) Proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan karakter dan IPTEKS 5) Melibatkan beragam aspek pengembangan peserta didik 6) Sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan berfungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 tercantum sebagai berikut: ― Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Rumusan tujuan di atas merupakan rujukan utama untuk penyelenggaraan pembelajaran bidang studi apapun, yang selain memuat kemampuan kognitif yang disesuaikan dengan bidang studi juga menekankan pada pengembangan budaya, dan karakter bangsa. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, 22
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Ghozi, 2010, Pusat Kurikulum). Dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing yang semakin ketat, pengembangan kemampuan dalam bidang studi dan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa di atas merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran setiap bidang studi demikian juga dalam pembelajaran matematika. Pengembangan kemampuan matematika dan nilai di atas termuat dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika yaitu: a) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, b) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, c) memecahkan masalah; d) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan e) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (KTSP, 2006). Butir-butir a) sampai dengan d) dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika di atas menggambarkan kemampuan matematik dalam ranah kognitif, sedang butir e) melukiskan ranah afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika. Dalam pembelajaran matematika pembinaan komponen ranah afektif akan membentuk disposisi matematik yaitu: keinginan, kesadaran, dedikasi dan kecenderungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan ahlak mulia. Pengertian disposisi matematik seperti di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang terkandung dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan demikian pengembangan budaya dan karakter, kemampuan berpikir dan disposisi matematik pada dasarnya dapat ditumbuhkan pada siswa secara bersama-sama. Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik meliputi sikap atau sifat: 1) rasa percaya diri dalam menerapkan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan, 2) lentur dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari beragam cara memecahkan masalah; 3) tekun mengerjakan tugas matematik; 4) minat, rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; 5) cenderung memonitor dan menilai penalaran sendiri; 6) mengaplikasikan matematika dalam bidang studi lain dan kehidupan sehari-hari; 7) apresiasi terhadap peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa. Hampir serupa dengan pendapat Polking (1998), Standard 10 (NCTM, 2000) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Pengertian disposisi matematik di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang terkandung dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika perlu mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter, kemampuan berpikir dan disposisi matematik yang terintegrasi dan dilaksanakan secara bersamaan. Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan upaya menyiapkan lulusan yang kelak diharapkan dapat memenuhi tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing yang semakin ketat, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
23
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
B. Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Karakter
Pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur seperti guru, siswa, matematika dan karakteristiknya, dan situasi belajar yang berlangsung. Oleh karena itulah pembelajaran tidak dapat disederhanakan menjadi suatu resep untuk membantu siswa belajar. Paling sedikit terdapat dua hal yang menjadi alasan bahwa pembelajaran tidak dapat dirumuskan dalam bentuk resep. Pertama, pembelajaran melibatkan pengetahuan tentang: topik matematika yang akan diajarkan, perbedaan siswa, cara siswa belajar, lingkungan kelas, lembaga pendidikan dan masyarakat. Selain hal umum seperti di atas, guru juga harus mempertimbangkan hal-hal khusus misalnya: karakteristik topik yang akan diajarkan dan pedagogi mengajarkannya. Kedua, sebagai implikasi bahwa pembelajaran melibatkan berbagai domain, maka guru juga harus menetapkan: cara mengajukan dan merespons pertanyaan, cara menyajikan idea matematika secara tepat, berapa lama diskusi perlu dilaksanakan, jenis dan kedalaman tugas matematika, dan keseimbangan antara tujuan dan pertimbangan. Adalah rasional bahwa tak ada satu pembelajaran yang paling sesuai untuk mengembangkan semua kemampuan, proses, dan disposisi matematik. Namun demikian, dalam pendekatan dan strategi pembelajaran apapun yang perlu mendapat perhatian adalah ketercapaian belajar bermakna pada siswa. NCTM (Webb dan Coxford, Eds, 1993) mengemukakan beberapa saran kepada guru untuk melaksanakan pembelajaran matematika secara bermakna antara lain: memilih tugas matematik yang tepat, mendorong berlangsungnya belajar bermakna, mengatur diskursus (discourse), dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. a)
b)
c)
d)
e)
Memilih tugas hendaknya memperhatikan: topik-topik matematika yang relevan, pemahaman, minat, dan pengalaman belajar siswa yang sebelumnya, dan mendorong tercapainya belajar bermakna, Memilih tugas ditujukan untuk: mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematik, menstimulasi tersusunnya hubungan matematik, mendorong untuk formulasi masalah, pemecahan masalah dan penalaran matematik, memajukan komunikasi matematik, menggambarkan matematika sebagai kegiatan manusia, mendorong tumbuhnya disposisi matematik. Mengatur diskursus dengan cara: memperkenalkan notasi dan bahasa matematika yang tepat, menyajikan informasi, menjelaskan isu, membuat model, dan memberi kesempatan siswa mengatasi kesulitan serta meyakinkan diri siswa; mendorong partisipasi siswa untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif; mendengarkan, merespon, dan bertanya melalui berbagai cara untuk bernalar, membuat koneksi, menyelesaikan masalah, dan saling berkomunikasi; mengajukan pertanyaan/masalah, contoh dan lawan contoh, konjektur. Menciptakan suasana belajar untuk mendorong pengembangan daya matematik siswa dengan cara: mengajukan pertanyaan dan menyusun konjektur, idea dan masalah kontekstual yang sesuai; menghargai idea, cara berfikir dan disposisi matematik siswa melalui belajar individual atau kolaboratif Menganalisis partisipasi belajar siswa melalui: observasi terhadap apa yang telah dipelajari siswa.
Untuk mendukung berlangsungnya saran pembelajaran di atas, perlu adanya perubahan pandangan terhadap pembelajaran seperti tercantum pada Tabel 1.
24
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 1 Perubahan Pandangan dalam Pembelajaran
No. 1. 2.
Dari pandangan Kelas sebagai kumpulan individu Melayani siswa secara serupa untuk keseluruhan
No 1. 2.
3.
Mengikuti kurikulum secara kaku
3.
4.
Guru sebagai pemegang otoritas jawaban yang benar Guru sebagai instruktur
4.
5. 6.
7. 8. 9. 10.
5.
Menekankan pada mengingat 6. prosedur penyelesaian dan perolehan informasi Menekankan pada menemukan 7. jawaban secara mekanistik Kebiasaan guru bekerja sendiri 8. Suasana kompetitif yang kurang sehat Memandang dan memperlakukan matematika sebagai "body of isolated concepts and procedures"
9. 10.
Ke arah pandangan Kelas sebagai masyarakat belajar. Melayani siswa sesuai dengan minat, kekuatan, harapan, dan kebutuhan masingmasing Seleksi dan menyesuaikan kurikulum secara fleksibel. Guru membimbing siswa berpikir logis Guru sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan manajer belajar Menekankan pada pemahaman, penalaran dan proses menemukan idea matematika secara aktif Menekankan pada menyusun konjektur, menemukan, dan memecahkan masalah Kerjasama antar guru untuk memajukan program matematika Masyarakat belajar dengan kerjasama dan urunan tanggung jawab dan perhatian. "Connecting mathematics, its ideas, and its application”..
Berman, (dalam Costa, Ed. 2001) menyarankan sembilan strategi pembelajaran untuk mengembangkan berpikir terbuka dan pemahaman yang kritis pada siswa, yaitu: 1) Ciptakan lingkungan yang aman, 2) Ikuti cara berpikir siswa, 3) Dorong siswa berpikir secara kolaboratif, 4) Belajarkan cara bertanya dan bukan cara menjawab, 5) Belajarkan tentang keterkaitan, 6) Anjurkan siswa berpikir dalam multi persepektif, 7) Dorong siswa agar sensitif, 8) Bantu siswa menetapkan standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan, dan 9) Berikan kesempatan/peluang kepada siswa untuk berbuat sesuai dengan jalan pikirannya. Saran lain dikemukakan Meissner (2006) yaitu agar guru memperhatikan perkembangan individual dan sosial, menyajikan masalah yang menantang atau masalah berkenaan dengan penalaran, serta mendorong siswa mengajukan idea secara spontan. Kemudian, Nicholl (2006) menyarankan beberapa langkah agar individu menjadi kreatif yaitu: kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, berpikir dari empat arah, ajukan beragam idea, cari kombinasi yang terbaik, dan sadari aksi yang berlangsung. Berkenaan dengan pendidikan budaya dan karakter, pada dasarnya nilai-nilai tidak dapat diajarkan dalam satu bidang studi dan periode waktu tertentu, tetapi dikembangkan secara aktif dan berkelanjutan dalam semua bidang studi melalui empat cara yaitu: 1) memberi pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter, 2) pembiasaan, 3) contoh atau teladan, dan 4) pembelajaran bidang studi secara integral (Ghozi, 2010, Sauri, 2010). Berikut ini disajikan ilustrasi keempat cara pengembangan karakter dalam pembelajaran matematika. 1) Memberi pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter.
Pada dasarnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter serupa dengan penanaman pemahaman terhadap kemampuan dan disposisi matematik. Misalnya dalam belajar matematika siswa tidak hanya untuk memiliki kemampuan ranah kognitif yaitu berpikir matematik namun juga didukung dengan pemilikan disposisi matematik sedemikian sehingga siswa berkeinginan untuk melaksanakan tugas-tugas matematik Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
25
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2) Pembiasaan. Pembiasaan diposisi matematik seperti halnya dengan pembiasaan karakter dan nilai hendaknya dilakukan secara berkelanjutan melalui pembiasaan selama pembelajaran. Misalnya pembiasaan bersikap jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri dan rasa ingin tahu dibangun melalui pembiasaan pemberian tugas matematik yang menantang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan intelektual siswa. 3) Contoh atau teladan. Nilai dan karakter tidak diajarkan namun dikembangkan melalui teladan perilaku guru. Andaikan diharapkan siswa bersikap jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri dan rasa ingin tahu maka guru harus memberi teladan bersikap yang sama. Misalnya: 1) Guru adil dan jujur dalam menilai hasil belajar siswa, dan dalam menyusun karya ilmiah; 2) Guru memberi pelayanan kepada siswa sesuai dengan kebutuhannya; 3) Guru kreatif menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran yang relevan disertai dengan tugas matematik yang kritis dan kreatif dan tidak melaksanakan pembelajaran dan memberikan tugas yang rutin dari tahun ke tahun 4) Pembelajaran matematika secara integral. Dalam pembelajaran topik-topik matematika pengembangan kemampuan, disposisi matematik serta nilai-nilai dilaksanakan secara integral, tidak parsial, dan tidak terpisah-pisah sehingga pengembangan ranah yang satu mendukung pengembangan nilai-nilai dan ranah lainnya. Memperhatikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, isi Tujuan Pendidikan Nasional dan Tujuan Pembelajaran Matematika, karakteristik disposisi matematik serta beberapa saran untuk pembelajaran matematika dapat dirangkumkan kesetaraan nilai-nilai tersebut dan contoh ilustrasi pembelajaran yang relevan seperti tercantum pada Tabel 2. Perlu diperhatikan bahwa ilustrasi pembelajaran yang tercantum pada kolom terakhir pada Tabel 2 di bawah ini diawali dengan pemberian pemahaman kepada siswa terhadap pentingnya pendidikan karakter dan pemilikan kemampuan dan disposisi matematik. Selain itu, kegiatan yang tercantum dalam ilustrasi pembelajaran tadi perlu dilaksanakan secara integral, saling berkaitan, dan berkelanjutan sesuai dengan falsafah belajar sepanjang hayat. Dengan demikian diharapkan pembelajaran akan menghasilkan siswa dengan kemampun dan disposisi matematik yang tinggi serta memiliki karakter yang terpuji. Tabel 2. Kesetaraan Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter, Tujuan Pendidikan Nasional, dan Disposisi Matematik dan Ilustrasi Suasana Pembelajarannya N Pendidikan karakter
No
1.
Religius
2. 3. 4.
Jujur Disiplin Toleransi
26
Nilai-nilai dalam Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Pembelajaran dan Disposisi Matematik Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Berahlak mulia, jujur dan disiplin
Ilustrasi suasana pembelajaran matematika berbasis karakter dan memperhatikan berbagai saran Dengan memandang kelas sebagai masyarakat belajar, guru menciptakan diskursus dan suasana religius selama pembelajaran. Misalnya, melalui pembiasaan dan teladan, guru berbaha-sa santun, mengucap salam, mengawali dan mengakhiri kegiatan dengan doa, menghargai agama dan hari besar agama masing-masing Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap jujur dan disiplin dalam melaksanakan pembelajaran, dalam mengerjakan dan menilai tugas, ulangan/ ujian dan penulisan karya ilmiah dengan mengikuti aturan/ prinsip/teorema matematik yang berlaku, dan dorong siswa sensitif menerima (toleran terhadap) perbedaan kemampuan, sifat, dan pendapat siswa,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
No
N Pendidikan karakter
Nilai-nilai dalam Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Pembelajaran dan Disposisi Matematik Mengapresiasi peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat dan bahasa, dan kegunaan matematika dalam kehidupan Bekerja dengan cakap, bergairah, dan berpikir secara akurat, efisien, dan tepat
5.
Menghargai prestasi
6.
Kerja keras
7.
Kreatif
Sikap lentur, luwes, kritis, dan kreatif misalnya: mencipta, berkayal, dan berinovasi.
8.
Mandiri
Sikap rasa percaya diri dan mandiri dan cenderung memonitor dan menilai penalaran sendiri
9.
Rasa ingin tahu
Menunjukkan sikap rasa ingin tahu, dalam belajar matematika.
10.
Gemar membaca
Menunjukkan sikap senang, perhatian, dan minat belajar matematika
11.
Bersahabat/ komunikatif
Berbagi pendapat, berfikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat, melalui bahasa matematik yang tepat.
12.
Peduli lingkungan
Menerapkan matematika dalam bidang studi lain dan kehidupan sehari-hari
Ilustrasi suasana pembelajaran matematika berbasis karakter dan memperhatikan berbagai saran Melalui pembiasaan dan teladan, guru menghargai pendapat, hasil karya orang lain, keindahan, peran dan manfaat matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa dalam kehidupan Sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan manajer belajar, melalui pembiasaan dan teladan, guru bekerja dengan cakap (cerdas), akurat, efisien, dan tepat, membimbing siswa belajar aktif, berpikir logis, menyajikan masalah yang menantang yang berkenaan dengan pemahaman, penalaran, menemukan idea, menyusun konjektur. Melalui pembiasaan dan teladan, guru melaksanakan pembelajaran dan menyelesaikan tugas matematik secara kreatif dan lentur menyelidiki gagasan matematik, berusaha mencari beragam cara memecahkan masalah, mendorong pengembangan daya matematik berpikir secara kolaboratif; membelajarkan siswa cara bertanya dan bukan cara menjawab, keterkaitan antar konsep, dan berpikir multi persepektif Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap percaya diri dan mandiri dalam melaksanakan pembelajaran dan menye-lesaikan tugas matematik; berkebiasaan memonitor dan menilai penalaran sendiri; mengikuti cara berpikir siswa, memberi peluang siswa berbuat sesuai dengan jalan pikirannya; membantu siswa menetapkan standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan Melalui pembiasaan dan teladan, guru menunjukkan sikap rasa ingin tahu, dalam melaksanakan pembelajaran dan menyelesaikan tugas matematik, memberi tugas latihan kepada siswa dengan memanfaatkan beragam sumber Melalui pembiasaan dan teladan guru menunjukkan perhatian, dan minat dalam melaksanakan pembelajaran dan belajar matematika dengan memanfaatkan beragam sumber, memberi tugas latihan kepada siswa dengan memanfaatkan beragam sumber Melalui pembiasaan dan teladan, guru berbahasa santun dan berkomunikasi secara jelas dan tepat, memperkenalkan notasi dan bahasa matematika dengan tepat, menyajikan informasi, menjelaskan isu, membuat model, menjalin kerjasama antar guru untuk memajukan program matematika, Melalui pembiasaan dan teladan, guru menerapkan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari, mengkaitkan konsep matematika sesuai dengan konteks yang relevan, menseleksi topik-topik matematika dalam kurikulum secara fleksibel.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
27
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Pendidikan karakter
No
13.
Demokrasi
14. 15. 16.
Cinta tanah air Cinta damai Semangat Kebangsaan
Nilai-nilai dalam Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Pembelajaran Matematika dan Disposisi Matematik Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ilustrasi suasana pembelajaran matematika berbasis karakter dan memperhatikan berbagai saran Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap demokratis dan bertanggung jawab, memberi kesempatan yg sama kepada siswa untuk merespons dan bertanya selama pembelajaran dan belajar kooperatif dalam kelompok kecil; melayani siswa sesuai dengan minat, kekuatan, harapan, dan kebutuhan masing-masing, membangun masyarakat belajar dengan kerjasama dan urunan tanggung jawab dan perhatian. Melalui pembiasaan dan teladan guru menciptakan lingkungan belajar yang aman, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan matematika dan lainnya tingkat nasional dan internasional dengan membawa nama baik bangsa dan negara
Pada dasarnya, untuk melaksanakan pembelajaran matematika berbasis pendidikan karakter dapat dipilih beragam pendekatan pembelajaran yang inovatif berpandangan pada falsafah konstruktivisma yang mengutamakan siswa belajar aktif dan bermakna, mengembangkan nilai-nilai dalam pendidikan karakter serta beragam kemampuan dan disposisi matematik siswa. Namun, komponen penting yang harus diperhatikan guru dalam merancang pembelajaran adalah penyusunan bahan ajar dan pemilihan tugas latihan yang tepat. Beberapa pendekatan pembelajaran matematika inovatif yang telah dilaksanakan dan memberikan hasil kemampuan dan disposisi matematik siswa yang lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar melalui pembelajaran konvensional di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Gabungan pembelajaran tak langsung dan langsung untuk siswa SMP (Suryadi, 2005, Sumarni, 2005) dan untuk siswa SMA (Maya, 2005). Dalam pendekatan ini konsep/prinsip/teori disajikan dalam bentuk yang belum jadi, melalui kasus atau masalah kontekstual yang kemudian secara bertahap siswa dibimbing menemukan konsep/prinsip/teori secara bermakna yang dilanjutkan dengan pemecahan masalah yang lebih kompleks. 2) Pembelajaran berbasis masalah, penemuan, eksplorasi, kontekstual dan investigasi untuk siswa SMP (Mahmudi, 2010, Rohayati, 2005, Rohaeti, 2009) dan untuk siswa SMA (Ratnaningsih dan Herman, 2006, Sugandi, 2010, Syaban, 2008, Wardani, 2009). Pendekatan pembelajaran di atas hampir serupa dengan pendekatan pada Butir 1) yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual yang tertutup dan yang open-ended. 3) Pendekatan IMPROVE untuk siswa SMP (Rohaeti, 2003), pendekatan metakognitif untuk siswa SMA (Muin.2005, Nindiasari, 2004); pendekatan Analitik Sintetik pada siswa SMA (Mulyana, 2008); pendekatan Model – Eliciting Activities (Permana, 2010). Dalam pendekatan ini kepada peserta didik diajukan sejumlah pertanyaan yang bukan sekadar hafalan namun yang mendorong peserta didik memberikan jawaban disertai dengan alasannya. 4) Berbagai strategi belajar kooperatif untuk siswa SMP dan SMA (Kariadinata, 2002, Mudzakir, 2004, Pomalato, 2005, Sugandi, 2001, Wardani, 2002). Dalam strategi ini siswa belajar menelaah bahan ajar yang didiskusikan dalam kelompok kecil, kemudian masing-masing membuat laporan berdasarkan hasil diskusi dan atau merevisi laporan awalnya. 5) Pembelajaran dengan memanfaatkan ICT untuk siswa SMA (Kariadinata, 2001, 2005, Rohendi, 2009, Yaniawati, 2005, Yonandi, 2009). Bahan ajar dalam pembelajaran ini dikemas dengan memanfaatkan fasilitas ICT dan menggunakan bahasa pemograman tertentu atau disajikan dalam website yang dapat diakses peserta didik di kelas atau di laboratorium komputer.
28
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berikut ini disajikan beberapa contoh tugas latihan dalam kemampuan matematik tingkat tinggi (tidak rutin), bersifat menantang dan mendorong tumbuhnya disposisi matematik dan pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter. Contoh 1. Butir soal mengukur kemampuan pemahaman matematik siswa SMA (Permana, 2010)
Pak Aman memiliki kebun sperti pada gambar di bawah ini. Ukuran sudut BDA adalah θ, BD = CD dan panjang sisi AB adalah a unit. Nyatakan panjang BC dalam a and θ. B
A D C a. Tulis semua konsep matematika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. b. Nyatakan arti konsep tersebut dengan kata-katamu sendiri. c. Tulis model matematika masalah tersebut dan selesaikanlah. Contoh 2. Butir tes komunikasi matematik (Yonandi, 2010)
Sebuah kompleks perumahan mempunyai beberapa blok. Di sebuah blok yaitu blok melati terdapat beberapa rumah bernomor terdiri dari tiga angka yang berbeda dan nilainya lebih besar dari 640 tetapi lebih kecil dari 860 serta hanya mengandung angka 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. a. Ilustrasikan permasalahan tersebut ke dalam bentuk bagan ! b. Dari gambar tersebut, buatlah model matematika kemudian selesaikanlah model yang kamu buat untuk menentukan banyak rumah yang ada di blok melati ! Contoh 3. Butir tes pemecahan masalah matematik siswa SMP (Mahmudi, 2009)
Budi dan Adi berjalan dari rumahnya ke sekolah. Adi berangkat pukul 6 lebih a menit dan tiba di sekolah pukul 7 kurang b menit Budi berangkat pukul 6 lebih b menit dan tiba di sekolah pukul 7 kurang a menit. Perjalanan Adi dan Budi dari rumah ke sekolah berturut-turut selama 25 menit dan 15 menit. Pukul berapa Adi dan Budi tiba di sekolah? Jelaskan jawabanmu. Contoh 4: Butir tes mengukur kemampuan penalaran analogi matematik siswa SMA (modifikasi dari Sumarmo, 1987)
Perhatikan gambar kubus di bawah ini! H
G
E F
Serupa dengan
D C A
B
Kedudukan garis BE dengan garis GH pada kubus ABCD.EFGH di atas,
Kedudukan antara garis yang mempunyai persamaan 2x – 3y = 5 dengan garis yang mempunyai persamaan A. 3x - 2y = -5 B. 3y = 2x + 10 C. 2x = 3y + 5 D. 2x + 3y = 10
Berikan penjelasan tentang keserupaan konsep dalam soal di atas.
Contoh 5. Butir tes mengukur kemampuan penalaran generalisasi untuk siswa SMA, (Syaban, 2008).
Perhatikan gambar di bawah ini Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
29
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
B1 B2 B3 B4 B5 30
0
C1 A1
A2
A3
A4
A5
Dari gambar di atas diketahui panjang A1 B1 = 10 cm. Tentukan jumlah panjang garis A1B1 + A2B2 + A3B3 + A4B4 + A5B5 + ... Sifat apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Berikan penjelasan. Contoh 6: Butir tes mengukur kemampuan berfikir kritis matematik. (untuk siswa SMA)
Jika fungsi g dua kali fungsi f, maka absis titik ekstrim g dua kali absis titik ekstrim fungsi f. Benarkah pernyataan di atas? Berikan penjelasan disertai dengan ilustrasi/contoh yang relevan. Contoh 7: Butir tes mengukur kemampuan berfikir kritis matematik
Perhatikan penyelesaian di bawah ini Cara pertama:
lim
sin 2x 2 cos 2x - 4 sin 2x lim lim x 0 x 0 3x 3 0
Cara kedua:
lim
sin 2x sin 2x 2 2 2 lim x 1 x x 0 3x 2x 3 3 3
x 0
x 0
Analisislah tiap langkah kedua penyelesaian di atas! Kemudian tetapkan pada langkah mana terjadi kesalahan pada masing-masing cara penyelesaian di atas. Sertakan teorema atau aturan yang mendasari tiap langkah penyelesaian tersebut Contoh 8. Butir tes mengukur kemampuan berfikir kreatif matematik siswa SMA
a)
b)
Diberikan fungsi g dengan persamaan g(x) = ax2 + bx + c dan garis y = mx +n. Susun beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan grafik g dan grafik y = mx +n dan kemudian selesaikanlah. Nilai ulangan matematika siswa kelas I sebagai berikut: 5, 7, 8, 4, 7, 7, 9, 6, 7, 5, 6, 6, 8, 4, 4, 7, 8, 8, 6, 7, 5, 8, 6, 9, 8, 7, 7, 6, 8, 7, 8 i) Sajikan data tersebut dalam model matematika yang mudah dipahami, dan sertakan alasan mengapa anda pilih model tersebut. ii) Perkirakan apakah kelas tersebut memperoleh nilai yang baik? Jelaskan alasanmu DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: BNSP. Berman, S. (2001) ―Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical Understanding‖ dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Ghozi, A. (2010). Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar Guru Bahasa Perancis Tanggal 24 Okober s.d 6 November 2010 Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaporical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. 30
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Kardianata, R. (2001) Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi. Kariadianata, R (2006). Pengembangan berfikir matematik tingkat tinggi siswa SMU melalui pembelajaran dengan multimedia Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasi. Mahmudi, A.(2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis, serta Persepsi terhadap Kreativitas. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan . Maya, R. (2005). Mengembangkan Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Mudzakir, H. (2005). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematik Siswa SMP melalui Strategi Think-talk-write. Tesis pada SPs UPI, tidak dipublikasikan. Muin, A. (2005). Meningkatkan Kemampuan Berfikir matematik Tingkat tinggi Siswa SMA melalui Pendekatan Metakognitif . Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi. Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk Meningkatkan Kemampuan berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa SMA. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM. INC. NCTM [National Council of Teachers of Mathematics] (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston,Virginia: NCTM Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Tahap Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan Pomalato, S.W. (2005). Penerapan Model Treffingger dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Kreatif dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas II SMP. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan. Permana, Y. (2010). Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi serta Disposisi Matematik: Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui Model – Eliciting Activities Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Polking J. (1998). Response To NCTM's Round 4 Questions [Online] In http://www.ams.org/government/argrpt4.html. Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan Ratnaningsih, N. and Herman, T. (2006): ―Developing the Mathematical Reasoning of High School Students through Problem Based Learning‖. Transaction of Mathematical Education for College and university Vol.9 No.2 Japan Society of Mathematics Education, Division for College and University Ratnaningsih, N (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan. Rohayati , A. (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika melalui pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Rohaeti E. E, (2003), Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode IMPROVE untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik siswa SLTP. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Rochaeti, E.E.(2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk Mengembangkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama, Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
31
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah Matematik: Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui E-Learning. Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan. Sauri, S. (2010). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembinaan Profesionalisme Guru Berbasis Pendidikan Nilai. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol.2. No.2. Sugandi, A.I. (2001) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Belajar Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) pada Siswa Sekolah Menengah Umum Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi. Sugandi, A. I. (2010). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Belajar Koopertaif JIGSAW. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Komponen Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Sumarni, E. (2006). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMP melalui Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung. Tesis pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan Suryadi, D. (2005) Penggunaan variasi pendekatan pembelajaran langsung dan tak langsung dalam rangka meningkatkan kemampuan berfikir matematik tingkat tinggi siswa SLTP. Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan. Syaban, M. (2008). Menumbuhkan daya dan disposisi siswa SMA melalui pembelajaran investigasi. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Wardani, S. (2002) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematka melalui Model Kooeratif Tipe Jigsaw Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi. Wardani, S. (2009) Meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dan disposisi matematik siswa SMA melalui pembelajaran dengan pendekatan model Sylver. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Dipublikasikan pada Jurnal Pendidikan di Jepang (2011) Yaniawati, P. (2001) Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMA. Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasikan. Yaniawati, P. (2006) Pengembangan Daya Matematik mahasiswa calon guru melalui E-Learning. Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan Yonandi (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan
32
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS Oleh : Wahyudin Fakultas Pendidikan MIPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Abstrak Pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai diberlakukan masih belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah. Bidang pendidikan karakter selama ini penuh dengan kontroversi teoretis dan filosofis yang terutama terkait definisi karakter itu sendiri, fokus dari pendidikan karakter, dan beragam pendekatan untuk implementasinya. Pada periode awal pemberlakuan pendidikan karakter di negara ini, kita perlu secara terbuka mengangkat referensi-referensi yang memang telah dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para penggagas dan pengembang program pendidikan karakter untuk menekan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dan kekaburan terkait arah dan pelaksanaannya. Enam nilai yang diintegrasikan ke dalam matematika ternyata juga merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk berhasil mempelajari matematika. Pendidikan matematika yang berkualitas dapat memberikan konteks bagi pengembangan keenam nilai yang diintegrasikan ke dalamnya saat matematika hadir sebagai ―doing mathematics,‖ yaitu: pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi. PENDAHULUAN
Pada peringatan hari Pendidikan Nasional tahun ini yang bertemakan "Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti," Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa manusia dalam dunia pendidikan merupakan subjek sekaligus objek. Keilmuan sebagai medianya, memanusiakan manusia sebagai salah satu tujuannya. "Inilah yang membuat pendidikan itu kompleks, menantang namun sangat mulia." Namun demikian, pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai diberlakukan tampaknya masih belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah dasar maupun sekolah menengah. Beberapa alasan yang mungkin untuk keadaan tersebut antara lain sekolahsekolah belum sedemikian ―siap,‖ dan masalah ketersediaan referensi yang memadai dan komprehensif untuk pelaksanaan pendidikan karakter di lapangan. Peristiwa baru-baru ini terkait perilaku kekerasan oleh sejumlah siswa SMA kembali menekankan perlunya pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas dalam bidang pendidikan. Saat ini, buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dikeluarkan oleh pihak Balitbang Kemdiknas tampaknya masih menjadi satu-satunya acuan yang dapat diakses secara mudah oleh banyak orang, selain, tentu saja, dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Terkait pendidikan matematika, dalam buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dicantumkan enam nilai untuk diintegrasikan dan dikembangkan dalam mata pelajaran matematika, yaitu: kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, dokumen resmi dari pemerintah yang cakupannya umum tersebut tidak mencantumkan referensi-referensi buku atau pedoman lainnya yang mungkin membantu para pelaksana pendidikan karakter di lapangan, terutama terkait bidang studi. Dengan mengingat situasi dan kebutuhan pada periode awal pemberlakuan pendidikan karakter di negara ini, tampaknya kita perlu secara terbuka mengangkat referensi-referensi yang memang telah dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para penggagas dan pengembang program tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya para pengkaji dan pelaksana di lapangan dapat pula secara langsung mengkaji, berwacana, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan mereka terkait pengintegrasikan nilai-nilai ke dalam praktek pembelajaran yang sudah mereka biasa berlakukan selama ini. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
33
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
TREND PENDIDIKAN KARAKTER DI AMERIKA SERIKAT
Pendidikan karakter di Indonesia tampaknya tidak lepas dari pengaruh sejumlah program pendidikan karakter yang telah lebih dahulu digagas dan diprogramkan di negara-negara lain, misalnya Amerika Serikat. Program pendidikan karakter yang terkemuka di Amerika Serikat antara lain adalah Character Counts yang mengangkat ―The Six Pillars of Character‖ dan Character Education Partnership yang mengangkat ―Eleven Principles of Effective Character Education‖ dan ―Character Education Quality Standards‖ (ini dapat diakses melalui website: www.character.org). Namun demikian, terdapat kenyataan bahwa bidang pendidikan karakter selama ini penuh dengan kontroversi teoretis dan filosofis. Ini terutama terkait definisi karakter itu sendiri, fokus dari pendidikan karakter, dan beragam pendekatan untuk implementasinya. Misalnya, sebagai refleksi kemelut tersebut, Michael Davis (2003) dalam artikelnya ―What‘s Wrong with Character Education‖1 merangkumkan program-program pendidikan karakter yang dominan di Amerika Serikat ke dalam: 1) pendidikan moral sederhana (esensinya, pendidikan moral Kohlbergian2 di dalam kelas), di mana para siswa belajar bagaimana berpikir melalui situasi-situasi moral untuk dapat tiba pada pertimbangan atau keputusan moral terbaik dari suatu situasi; (2) pendidikan moral just-community (praktek pendidikan karakter berdasarkan pandangan Dewey yang menekankan pengambilan keputusan demokratis di luar kelas), di mana para siswa diundang untuk ikut serta dalam proses demokrasi untuk mendiskusikan semua aspek kehidupan sekolah; dan, (3) pendidikan karakter sederhana (mencoba untuk membangun karakter baik di dalam maupun di luar kelas dengan menekankan perilaku yang baik), di mana nilai-nilai tertentu telah ditetapkan sejak awal dan para siswa diminta untuk mempraktekkannya secara berulang-ulang. Dalam artikel tersebut, Davis menyatakan bahwa pendidikan moral sederhana hanya memiliki efek kecil pada karakter, dan bahwa just-community tidak memiliki efek lebih besar, dibanding pendidikan moral sederhana, meski memiliki resiko dan biaya jauh lebih tinggi. Senada demikian, jenis pendidikan karakter yang paling dominan yaitu pendidikan karakter sederhana dipandang oleh Davis memiliki tiga kelemahan yang mengarahkan kita untuk menolaknya: kelemahan dari segi empirik (tidak adanya bukti bahwa pendidikan karakter jenis ini memang melakukan apa yang diklaimnya), kelemahan dari segi konseptual (konflik antara apa yang dimaksud karakter yang baik dan cara yang pendidikan karakter sederhana usulkan untuk mengajarkannya), dan kelemahan dari segi moral (kegagalan untuk melakukan hal-hal yang benar untuk alasan-alasan yang benar). Kritikan Davis berangkat dari posisi bahwa pendidikan karakter adalah sebarang upaya yang dilakukan sekolah untuk meningkatkan karakter siswa sedemikian hingga mereka lebih cenderung untuk melakukan apa yang sepantasnya dilakukan—bukan hanya saat ini tetapi dalam rentang waktu panjang di masa yang akan datang. Berdasarkan definisi yang diyakininya, efek-efek jangka pendek bukan bagian dari karakter, dan karakter merupakan ―disposisi yang tertanamkan.‖ Secara umum, Davis (2003) melihat bahwa kebanyakan program pendidikan karakter memperlakukan pendidikan karakter layaknya pendidikan yang bersifat fisik, dalam arti bahwa semakin seseorang mengulang kata-kata terkait karakter, maka semakin mungkin seseorang itu menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan penggunaan istilah ―moral calisthenics,‖ yang ―meliputi antara lain menyimak cerita-cerita tertentu, mengulang kata-kata tertentu, melakukan sekian pengabdian kepada masyarakat yang disyaratkan, atau mematuhi aturan-aturan tertentu‖ untuk mendeskripsikan pendidikan karakter seperti itu, Davis mengkritik bahwa kita tidak dapat memaksa siswa untuk menginternalisasikan karakter yang baik melalui perulangan. Namun demikian, meski tidak ada evidensi yang kuat mendukung pendidikan karakter sederhana, pendidikan karakter seperti demikian terus berkembang digunakan di Amerika Serikat. Selain itu juga terdapat kritikan-kritikan lain mengenai hal bahwa pendidikan karakter di Amerika 1
M. Davis, ―What‘s Wrong with Character Education‖ dalam American Journal of Education, Vol. 110, No. 1 (The University of Chicago, 2003): 32-57. 2 L. Kohlberg, The Psycology of Moral Development, Essays on Moral Development, Vol. 2 (New York: Harper and Row, 1984).
34
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Serikat bersifat mengurangi motivasi intrinsik, fokus pada perilaku bukan pada perkembangan moral sebenarnya, kegagalan menyoroti realitas sosioekonomi, kurangnya asesmen, kurangnya penyiapan guru, serta banyak argumen lain yang menempatkan keraguan kuat pada gerakan pendidikan karakter secara keseluruhan (Noll, 2006; Burke, et al., 2001; Rossides, 2004; Colorado Board of Education, 2000; Wakefield, 1997). Namun demikian, pihak lain, misalnya Character Education Partnership (2005)3, mengemukakan klaim sebaliknya bahwa terdapat banyak program pendidikan karakter yang efektif mengangkat perkembangan karakter dalam diri siswa. Selain itu, Battistich4 merangkumkan sekumpulan evidensi bahwa pendidikan karakter yang berkualitas tidak saja efektif untuk mengangkat perkembangan karakter yang baik, tetapi juga merupakan pendekatan pencegahan yang menjanjikan bagi berbagai masalah dewasa ini seperti perilaku agresif dan antisosial, penyalahgunaan obat-obatan, perilaku seksual bawah umur, tindak kejahatan, prestasi akademik yang buruk, dan kegagalan dalam persekolahan. TREND PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Di dalam dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter yang dikeluarkan oleh Kemdiknas (2010) ditegaskan pandangan bahwa perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati, Olah Pikir, Olah Raga dan Kinestetik, dan Olah Rasa dan Karsa. Keempat proses psikososial ini secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur. Secara diagramatik, koherensi keempat proses psikososial tersebut dapat digambarkan menggunakan diagram Venn sebagai berikut.
OLAH PIKIR Cerdas, Kreatif
OLAH RAGA Sehat dan Bersih
Perilaku Berkarakter
OLAH HATI Jujur Bertanggung jawab
OLAH RASA DAN KARSA Peduli Gotong royong
jawab
Gambar 1. Koherensi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses Psikososial (Diadaptasi dari Desain Induk Pendidikan Karakter Kemdiknas, 2010)
Dokumen tersebut juga menegaskan bahwa Pendidikan karakter di Indonesia mempercayai adanya keberadaan moral absolute, yakni bahwa moral absolute perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Selain itu, pendidikan karakter kurang sepaham dengan cara pendidikan moral reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai strategi dasar pendidikan karakter di Amerika Serikat, karena sesungguhnya terdapat nilai moral 3
M.W. Berkowitz, et al., What Works in Character Education: A research driven guide for educators (Character Education Partnership, 2005). 4 Victor Battistich, Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, (Univeristy of Missouri, St. Louis. Character Education Partnership. Website.)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
35
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
universal bersifat absolut yang bersumber dari agama-agama, disebut the golden rule. Misalnya, berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang, adil dan bertanggung jawab. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan karakter di Indonesia mempunyai makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena ia bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari itu juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik, dan biasa melakukannya (domain perilaku). Dengan pandangan tersebut, pendidikan karakter di Indonesia tampaknya terkait erat dengan habit‖ atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan. Dalam hal pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup antara lain lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar, dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter menggariskan bahwa pembentukan karakter melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui strategi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan (4) penguatan. Dengan kata lain dokumen itu menegaskan bahwa perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan yang terus-menerus dalam jangka panjang secara konsisten dan penguatan, serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur. Salah satu dokumen resmi lain yang penting terkait pendidikan karakter di Indonesia adalah dokumen pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dari Puskur Balitbang Kemdiknas (2010). Berdasarkan dokumen tersebut, pada prinsipnya pengembangan budaya dan karakter bangsa, atau singkatnya pendidikan karakter, tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Pada prinsipnya, pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan karakter di Indonesia mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai mahluk sosial. Untuk lebih jelasnya, pada konteks makro, program pengembangan nilai/karakter dapat dideskripsikan sebagai berikut: Agama, Pancasila, UUD 1945, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Teori Pendidikan, Psikologi, Nilai, Sosial Budaya
Nilai-nilai Luhur
Pengalaman terbaik (best practices), dan praktek nyata
PROSES PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN INTERVENSI
SATUAN MASYAPENDIDIKAN KELUARGA RAKAT
Perilaku Berkarakter
HABITUASI
PERANGKAT PENDUKUNG Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya, Lingkungan, Sarana dan Prasarana, Kebersamaan, Komitmen pemangku kepentingan
Gambar 2. Konteks Makro Pengembangan Karakter (Diadaptasi dari Desain Induk Pendidikan Karakter Kemdiknas, 2010)
36
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan pendidikan formal dan nonformal secara holistik. Secara mikro pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan formal dan nonformal, kegiatan kokurikuler dan/atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel
KBM DI KELAS
Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan
BUDAYA SEKOLAH: KEGIATAN (KEGIATAN KEHIDUPAN EKSTRA KESEHARIAN DI SATUAN KURIKULER PENDIDIKAN)
Integrasi ke dalam kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka, Olahraga, Karya Tulis, dsb.
KEGIATAN KESEHARIAN DI RUMAH
Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di rumah yang sama dengan di satuan pendidikan
Gambar 3. Konteks Mikro Pengembangan Karakter (Diadaptasi dari Desain Induk Pendidikan Karakter Kemdiknas)
Di lingkup sekolah, ini menuntut para guru dan sekolah untuk mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa memerlukan berbagai perubahan dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung di sekolah saat ini. Meski demikian, perubahan itu tidak mengubah kurikulum yang berlaku, melainkan menghendaki sikap baru dan keterampilan baru dari para guru, kepala sekolah, dan konselor sekolah. Ringkasnya, dengan mengkaji pandangan dari kedua dokumen resmi di atas kita dapat menggarisbawahi bahwa pendidikan karakter di Indonesia tidak menganjurkan penerapan moral reasoning dan value clarification. Tampak pula kecenderungan ke arah penekanan habituation dalam prosesnya, di mana karakter yang diuraikan sebagai nilai-nilai dikembangkan dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS
Matematika telah dapat ditelusuri keberadaannya dalam peradaban-peradaban silam seperti Babilonia Kuno, Mesir Kuno, China Kuno, dan Yunani Kuno. Masing-masing peradaban dan jaman dalam sejarah matematika memiliki sekurang-kurangnya satu tokoh yang luar biasa dan tetap dikenang sampai kini. Dari fakta tersebut, tampaknya kita boleh berpikir bahwa mungkin saja pendidikan matematika yang berkualitas telah hadir di setiap peradaban dan jaman, meski dengan sifat dan kecenderungan beragam, yang relevan dengan berbagai kondisi dan realitas pada masingmasing peradaban dan jaman tersebut. Misalnya, kecenderungan sifat terapan dari matematika Mesir Kuno, dan sifat teoretis dari matematika Yunani Kuno. Pada masa selanjutnya, kita menyaksikan bagaimana matematika berkembang sangat pesat pada sekitar abad ke-17 sampai ke19 seiring perkembangan revolusioner di bidang sains yang terpahatkan dalam sejarah dan berbagai temuan para matematikawan besar seperti Isaac Newton, Gottfried Wilhelm Leibniz, Léonard Euler, dan Carl Friedrich Gauss.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
37
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Di Amerika Serikat, salah satu peristiwa sejarah yang berpengaruh menentukan terhadap matematika, dan pendidikan matematika khususnya, adalah peluncuran Sputnik 1 oleh Uni Soviet pada tahun 1957. Peristiwa ini menandai dimulainya era ruang angkasa dan perlombaan ruang angkasa di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keprihatinan bangsa Amerika Serikat bahwa mereka telah tertinggal dalam bidang matematika dan sains memicu reformasi besar secara nasional dalam kedua bidang tersebut. Upaya reformasi pendidikan matematika ketika itu memunculkan program ―New Math‖ pada tahun 1960 dan 1970-an. Penekanan New Math adalah pada bahasa dan sifat-sifat himpunan, bukti, dan abstraksi. Namun demikian, kurikulum New Math ternyata gagal memenuhi tantangan untuk meningkatkan kemampuan matematis bangsa Amerika Serikat secara utuh. Beberapa bahkan menilai bahwa New Math malah menimbulkan lebih banyak kebingungan matematis, bukan menghilangkannya, sehingga kemudian muncul trend Back to Basics pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Program Back to Basics ketika itu menekankan komputasi aritmetik dan ―penghafalan semata‖ algoritma dan fakta-fakta aritmetik dasar. Kemudian, pada rentang selanjutnya di tahun 1980-an, fokus pendidikan matematika bergeser ke berpikir kritis. Selanjutnya, suatu nuansa baru dalam pendidikan matematika di Amerika Serikat dimulai dengan dipublikasikannya dokumen Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics oleh NCTM pada tahun 1989. Dokumen ini menghimbaukan penekanan lebih besar pada pemahaman konseptual dan pemecahan masalah (lengkapnya, pemecahan masalah, komunikasi, koneksi, dan penalaran) yang diwarnai pemahaman konstruktivis tentang bagaimana para siswa belajar. Selanjutnya, pada tahun 1991, NCTM mengeluarkan dokumen Professional and Assessment Standards for Teaching Mathematics, seiring fokus utama dari reformasi pendidikan matematika saat itu yang diarahkan pada pedagogi. Pada tahun 2000, dokumen Principles and Standards for School Mathematics dipublikasikan oleh NCTM sebagai update terutama bagi dokumen NCTM Standards tahun 1989. Akhirnya, pada tahun 2006 dipublikasikan dokumen Curriculum Focal Points, di mana diidentifikasi apa yang diyakini sebagai topik-topik matematika paling penting untuk tiap tingkat kelas, termasuk berbagai gagasan, konsep, skil, dan prosedur yang berkaitan yang membentuk fondasi bagi pemahaman dan belajar yang langgeng. Dari uraian singkat di atas kita dapat selintas melihat semangat dan bagaimana The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) yang didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1920 sebagai suatu organisasi profesional dapat terus berkembang dan memangku peran sebagai suara publik pendidikan matematika, mendukung para guru untuk menjamin pembelajaran dan belajar matematika berkualitas yang berkeadilan bagi semua siswa melalui visi, kepemimpinan, pengembangan profesional, dan penelitian. Dengan populasi umat manusia yang sedemikian besar di Bumi saat ini dan laju pertumbuhannya, berikut juga kompleksitas kehidupan, dunia kerja, kebutuhan, dan tantangan, serta begitu cepatnya perubahan, tidak berlebihan jika diangkat nilai penting matematika dan kesetaraan atau keadilan terkait akses menuju matematika bagi semua orang. Selaras dengan realitas tersebut, pembelajaran matematika berkualitas tentulah menyimpulkan perlunya sehimpunan prinsip dan standar kualitas untuk pendidikan matematika yang teruji, terukur, dan diperkuat oleh penelitian yang memadai. Sebagai contoh, terkait prinsip dan standar untuk mata pelajaran matematika yang berkualitas, dokumen Principles and Standards for School Mathematics yang dikeluarkan oleh NCTM (2000), menekankan bahwa matematika seharusnya untuk semua siswa—tanpa memperbedakan jenis kelamin, ras, status sosioekonomi, atau faktor-faktor lain apa pun yang mungkin telah menyebabkan ketidakadilan. NCTM menyatakan bahwa tercapainya visi yang dicurahkan dalam dokumen tersebut tidak akan mudah, tetapi tugas tersebut sangat penting. Para siswa harus mendapatkan pendidikan matematika yang terbaik yang mungkin diberikan, untuk memungkinkan mereka mencapai ambisi pribadi dan sasaran-sasaran karier di dunia yang terus-menerus berubah dengan cepat. Untuk mengilustrasikan suatu contoh struktur dan muatan dari prinsip dan standar pendidikan matematika, berikut ini diberikan gambaran ringkas tentang dokumen Principles and Standards for School Mathematics dari NCTM (2000) yang telah kita sebutkan lebih awal tadi. 38
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dokumen tersebut memiliki empat komponen utama. Pertama, Prinsip-prinsip untuk matematika sekolah mencerminkan perspektif dasar pada mana para pendidik hendaknya mendasarkan keputusan-keputusan yang mempengaruhi matematika sekolah. Prinsip-prinsip ini memberi fondasi bagi program-program matematika sekolah dengan menyoroti isu-isu yang luas terkait kesetaraan/keadilan, kurikulum, pengajaran, pembelajaran, penilaian, dan teknologi. Setelah Prinsip-prinsip tersebut, Standar-standar matematika sekolah mendeskripsikan sehimpunan tujuan yang ambisius dan komprehensif untuk pembelajaran matematika. Lima Standar pertama menyajikan sasaran dalam area-area muatan matematika terkait bilangan dan operasi, aljabar, geometri, pengukuran, serta analisis data dan probabilitas. Lima Standar yang kedua mendeskripsikan sasaran untuk proses-proses pemecahan masalah, penalaran dan bukti, koneksi, komunikasi, dan representasi. Secara keseluruhan, Standar-standar tersebut mendeskripsikan keterampilan dan pemahaman dasar yang para siswa akan perlukan untuk berfungsi secara efektif pada abad kedua puluh satu. Selanjutnya, komponen utama ketiga, kesepuluh Standar tersebut dibahas secara lebih rinci dalam empat bab menurut kelompok rentang kelas: TK-Kelas 2, Kelas 3-5, Kelas 6-8, dan Kelas 9-12. Untuk tiap Standar Isi, masing-masing bab rentang kelas memberikan sekumpulan harapan yang spesifik bagi rentang kelas tersebut. Akhirnya diuraikan isu-isu terkait pelaksanaan Prinsip-prinsip ke dalam tindakan dan menguraikan peran-peran yang dimainkan berbagai kelompok dan masyarakat dalam mewujudkan visi dari dokumen Principles and Standards for School Mathematics tersebut. Sementara itu, di Indonesia, pendidikan matematika yang berkualitas dibangun dengan bersandar pada Standar Nasional Pendidikan—yang meliputi: Standar Kompetensi Lulusan; Standar Isi; Standar Proses; Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan; Standar Sarana dan Prasarana; Standar Pengelolaan; Standar Pembiayaan Pendidikan; dan, Standar Penilaian Pendidikan—sebagai upaya menjamin mutu pendidikan secara umum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejauh ini tampaknya NCTM dengan berbagai dokumen dan rekomendasinya menjadi salah satu sumber yang banyak dikutip sebagai tolak ukur terkait penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran matematika yang berkualitas di Indonesia. Meski demikian, sekali lagi, semangat NCTM untuk memberikan pendidikan matematika yang berkualitas dan upaya untuk menjadikan matematika aksesibel bagi semua siswa tampaknya memang pantas dicatat untuk diperhatikan. NILAI-NILAI YANG DIINTEGRASIKAN KE DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA
Di dalam pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, kita melihat kecenderungan bahwa pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, termasuk matematika, diarahkan pada nilai-nilai tertentu yang dipandang lebih potensial untuk dikembangkan dalam mata pelajaran tertentu, atau mata pelajaran-mata pelajaran tertentu, bukan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya. Saat ini, dalam pedoman tersebut dideskripsikan secara eksplisit delapan belas nilai. Untuk matematika kelas 1-12, yang dibagi ke dalam empat jenjang (yaitu, jenjang kelas 1-3, 4-6, 79, dan 10-12), teramati bahwa pedoman tersebut mengintegrasikan secara keseluruhan enam nilai yang disebarkan untuk dikembangkan dalam matematika, yaitu kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, di dalam pedoman Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa tersebut, nilai-nilai tekun, teliti, dan pantang menyerah belum tercantumkan di antara delapan belas nilai yang dideskripsikan dan diuraikan ke dalam indikator-indikator. Berdasarkan situasi pendidikan karakter yang tampak saat ini di Indonesia, terdapat beberapa masalah yang mungkin muncul di lapangan terkait pengintegrasian nilai-nilai tersebut ke dalam mata pelajaran matematika. Pertama, apakah keenam nilai tersebut bersifat wajib atau hanya merupakan anjuran untuk diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika? Kedua, apakah terdapat pedoman baku atau sekedar contoh yang tegas, kuat, dan terdukung data, terkait bagaimana keenam nilai tersebut hendaknya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika? Dan, ketiga, apakah terdapat sumber-sumber atau referensi yang direkomendasikan untuk membangun dan mengembangkan pemahaman dan keterampilan para guru terkait pengintegrasian Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
39
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
nilai-nilai tersebut ke dalam mata pelajaran matematika? Dilihat dari sifat dan otoritasnya, ketiga pertanyaan tersebut mengharapkan jawaban, atau sekurang-kurangnya respon, dari pihak penggagas dan pengembang pendidikan karakter di Indonesia (yaitu, pemerintah) terlebih dahulu, demi terjalinnya keseragaman tataran untuk kajian, wacana, penelitian, dan penyelenggaraan pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika itu sendiri. Tanpa adanya ketegasan dan keterbukaan terkait tiga perkara di atas, dikhawatirkan terjadi akumulasi miskonsepsi dan kekaburan terkait arah dan pelaksanaan pendidikan karakter, dan sebagai akibatnya, tidak efisiennya waktu dan sumber daya di tengah-tengah tuntutan implementasi program pendidikan karakter yang efektif dan harapan-harapan yang telah mulai tertanamkan dari berbagai kalangan. POTENSI MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS
Pada sekitar tiga dekade silam di Inggris telah disuarakan bahwa matematika adalah suatu mata pelajaran yang sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari (Cockcroft, 1982), dan bahwa matematika adalah bidang studi yang sangat hirarkis (Romberg, 1983). Pada praktek pembelajaran seringkali terungkap bahwa setiap orang memiliki langit-langit matematika yang tersendiri karena kecepatan anak-anak maupun orang dewasa dalam mempelajari matematika sangat berbeda-beda. Sebuah konsep yang bisa dikuasai dalam satu kali pertemuan saja oleh seseorang mungkin memerlukan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk dikuasai oleh orang lainnya, dan mungkin tidak dapat terpecahkan oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman tentang konsep-konsep prasyarat yang diperlukan untuk memahami konsep itu. Di sisi lain, suatu keuntungan bagi matematika yang dipelajari dalam hirarki yang tepat, penelitian menunjukkan bahwa suatu pendekatan bertahap, di mana konsep dan skil dibangun pada konsep, skil, dan pengetahuan yang telah dibangun lebih awal, sangatlah efektif bagi daya ingat siswa terhadap materi (Klingele & Reed, 1984). Saat kita memegang keyakinan bahwa matematika untuk semua siswa, maka kita perlu memperhatikan penelitian tentang pembelajaran matematika yang efektif. Di dalam kumpulan penelitian tersebut terdapat banyak sekali evidensi tentang bagaimana mengatur kelas, bagaimana mengangkat masalah-masalah yang bermakna dan memotivasi, serta bagaimana menggunakan teknologi dan strategi-strategi pembelajaran seperti belajar kooperatif untuk mewadahi gaya belajar dan tingkat kepercayaan diri para siswa yang sangat beragam di ruang kelas. Pada esensinya, penekanan pembelajaran matematika masa kini hendaknya adalah pada aktivitas matematika, “doing mathematics,” yang menyangkut kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi. Kelima elemen ini tercantum dalam Principles and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000) sebagai standar-standar proses, yaitu metodemetode dengan mana pengetahuan muatan dapat diperoleh. Dari sinilah kita akan berangkat melihat potensi membangun karakter melalui pendidikan matematika yang berkualitas. Lickona5 menyebutkan, ―Karakter... memiliki tiga bagian yang saling berkaitan: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral... kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan‖ (51). Dengan memperhatikan deskripsi untuk karakter tersebut, bagaimanakah mata pelajaran matematika yang hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu dapat membangun karakter? Selain itu, pertanyaan kedua, yang lebih khusus, bagaimanakah matematika dapat memberikan konteks bagi pengembangan nilai-nilai tersebut? Uraian di bawah ini akan mencoba untuk memberikan pandangan ke arah jawaban bagi dua pertanyaan tadi. Untuk pertanyaan pertama diajukan pandangan berikut. Dari dua sifat matematika yang telah dikutip lebih awal, yaitu bahwa matematika sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari dan sangat hirarkis, kita melihat bahwa keenam nilai yang diintegrasikan ke dalam matematika tampak jelas merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk berhasil mempelajari 5
T. Lickona, Educating for character: How our schools can teach respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991).
40
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
matematika. Selanjutnya, terkait pertanyaan kedua, matematika dapat memberikan konteks bagi pengembangan keenam nilai yang diintegrasikan ke dalamnya saat matematika hadir sebagai ―doing mathematics.‖ Pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi— yaitu cara memperoleh pengetahuan matematis, sekaligus juga merupakan skil-skil matematis yang hendaknya diasah, bukan muatan itu sendiri—dapat hadir dari waktu ke waktu dalam perjalanan matematika seseorang dan menjadi konteks yang subur bagi pengembangan nilai-nilai tersebut. Akhirnya, terdapat harapan bahwa pendidikan matematika berkualitas yang mengintegrasikan nilainilai kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu6 dapat membentuk tidak hanya para siswa yang memiliki daya matematis tetapi juga pribadi-pribadi masa depan yang berorientasi kepada eksplorasi, penemuan, kemandirian, dan prestasi. (Simpulan ini diperoleh dari analisis kategorisasi keenam nilai tersebut ke dalam tabel Value Content dari Schwartz & Sagie (2000).7 SIMPULAN
Pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai diberlakukan tampaknya masih belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah dasar maupun sekolah menengah. Pada periode awal pemberlakuan pendidikan karakter di negara ini, tampaknya kita perlu secara terbuka mengangkat referensi-referensi yang memang telah dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para penggagas dan pengembang program tersebut supaya para pengkaji dan pelaksana di lapangan dapat pula secara langsung mengkaji, berwacana, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan mereka terkait pengintegrasikan nilai-nilai ke dalam praktek pembelajaran yang sudah mereka biasa berlakukan selama ini. Pendidikan dan pembelajaran matematika yang berkualitas menyimpulkan perlunya sehimpunan prinsip dan standar kualitas untuk pendidikan matematika yang teruji, terukur, dan diperkuat oleh penelitian yang memadai. Saat disoroti dua sifat matematika yaitu bahwa matematika sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari dan sangat hirarkis, kita dapat melihat bahwa keenam nilai itu juga merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk mempelajari matematika secara berhasil. Dalam pendidikan matematika yang mengintegrasikan karakter, tampak suatu potensi bahwa ―doing mathematics‖ dapat menjadi konteks yang strategis untuk membangun karakter di sepanjang perjalanan matematika siswa, sekaligus mengasah dari waktu ke waktu aspek-aspek dari ―doing mathematics‖ itu sendiri: pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi.
6 7
Untuk deskripsi keenam nilai tersebut dan ceklis diri untuk masing-masingnya, lihat Lampiran 1a-f. Lihat Lampiran 2.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
41
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Bell, E.T. (1986). Men of Mathematics. New York: Simon and Schuster. Berkowitz, M.W. (1997). ―The Complete Moral Person: Anatomy and Formation‖ dalam J.M. Dubois, ed., Moral Issues in Psychology: Personalist Contributions to Selected Problems, 11-42. Lanham, Md.: University Press of America. --------------------. (2002). ―The Science of Character Education‖ dalam W. Damon, ed., Bringing in a New Era in Character Education, 43-63. Stanford, Cal.: Hoover Institution Press. Burke, Nancy, Cru, Sharon, Genzler, Mary, Shaub, Dee, & Sheets, Jayne. (2001). (ERIC Document Reproduction Service No. ED453144). Cockcroft, W.H. (1982). “Mathematics Counts: Report of the Committee of Inquiry into the Teaching of Mathematics in Schools.” London: Her Majesty‘s Stationery Office. Colorado State Department of Education, Denver. (2000). Shaping the future through character education: Colorado state conference on character education. (ERIC Document Reproduction Service No. ED468627). Damon, W. (1988). The Moral Child. New York: Free Press. Davis, Michael. (2003). What‘s wrong with character education. American Journal of Education, 110(1), 32-57. Isaacs, D. (2006). Character Building. Portland, OR: Four Courts Press. JIST. (2006) Young Person‟s Character Education Handbook. St. Paul, MN: JIST Publishing Kail, R.V., & Zolner, T. (2005). Children. Toronto: Prentice Hall. Kemdiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Jakarta: Kemdiknas. Klingele, W. E., & Reed, B. W. (1984). An examination of an incremental approach to mathematics. Phi Delta Kappan, 65(10), 712-713. Kohlberg, L. (1984). The Psycology of Moral Development, Essays on Moral Development, Vol. 2. New York: Harper and Row. Lickona, T. (1991). Educating for Character. New York: Bantam. NCTM . (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Noll, J. W. (2006). Taking sides: clashing views on controversial educational issues (13th ed.). Guilford, CT: Dushkin/McGraw-Hill. Nucci, L. (2001). Education in the Moral Domain. New York: Praeger. Posamentier, A.S., & Stepelman, J. (2002). Teaching Secondary Mathematics. New Jersey: Pearson Education. Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas. Resnick, L.B., & Ford, W.W. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Reys, E.R. (1998). Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn & Bacon. Rossides, Daniel W. (2004). Knee-jerk formalism: Reforming American education. Journal of Higher Education, 75(6), 667-704. Schwartz, S.H., & Sagie, G. (2000). ―Value Consensus and Importance: A Cross National Study,‖ Journal of Cross-cultural Psychology 31, 465-70. Wakefield, D. (1997). Who‘s teaching teachers about character education instruction? (ERIC Document Reproduction Service No. ED 429068).
42
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ALA JEPANG DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI INDONESIA Oleh : Euis Eti Rohaeti Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
A. Pendahuluan Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur yang memegang teguh nilai-nilai budaya ketimuran yang terkenal ramah, santun, dan memiliki rasa kebersamaan yang diimplementasikan dalam budaya gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. Namun fenomena yang terjadi pada saat ini, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang selama ini dikenal dimiliki oleh bangsa ini dan sudah menjadi ciri khas yang mencerminkan jati diri Bangsa Indonesia. Di berbagai media massa kini dihiasi dengan berita maraknya tawuran, kasus bullying, kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiarisme dalam ujian, dan sejenisnya. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembagalembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral. Hasil riset tahun 2004, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya indikasi pola korupsi yang melibatkan kepala sekolah bersama komite sekolah, dan pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan (Mayyadah, 2010). Kasus-kasus tersebut sangatlah berbanding terbalik dengan fungsi Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, dan tujuan Pendidikan Nasional yang pada hakikatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya tidak berlebihan jika bangsa Indonesia selama ini digambarkan sebagai bangsa yang mengalami penurunan kualitas karakter bangsa. Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter bangsa yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh bangsa ini. Untuk mengatasi semua itu Pemerintah telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter yang menjadi fokus Kementerian Pendidikan Nasional di seluruh jenjang pendidikan. Pendidikan karakter ini diharapkan mampu menjadi pondasi utama sebagai upaya penguatan jati diri generasi bangsa menuju sukses Indonesia Emas 2025. Para penggagas kebijakan pendidikan di Indonesia gencar menggaungkan pendidikan karakter ini sebagai penawar masalah pendidikan kita yang dinilai telah salah arah. Dengan memprioritaskan pendidikan karakter, mereka berharap komunitas pendidik dan masyarakat akan menggali sisi afektif siswa, dan pendidikan tidak melulu ditekankan pada sisi kognitif untuk mengejar nilai semata. Dengan lebih memperhatikan karakter, diharapkan sekolah bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cerdas, dan kreatif. Untuk membangun karakter bangsa tersebut , haruslah diawali dari lingkup yang terkecil. Khususnya di sekolah, ada baiknya kita menganalogikan proses pembelajaran di sekolah dengan proses kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan nilai-nilai tersebut di atas dapat dilaksanakan melalui pembelajaran. Tentu saja pembelajaran yang dapat mengadopsi semua nilai-nilai karakter bangsa yang akan dibangun. (Mulyo, 2009).
B. Pendidikan Karakter di Jepang Untuk membangun pendidikan karakter di sekolah-sekolah negara kita ada baiknya kita belajar dari pendidikan karakter di Jepang. Mengapa harus Jepang? Pertama, masyarakat Jepang merupakan salah satu grup masyarakat yang paling homogen baik secara ras, kultur, dan etnisnya. Hal ini Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
43
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
serupa dengan kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa, dan adat istiadat. Kedua, ketika gempa besar menghantam bagian timur laut Jepang, dunia dibuat kagum dengan kekuatan mental masyarakat Jepang. Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan. Ketiga, Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran. Untuk memberi gambaran tentang karakter masyarakat Jepang, penulis membaginya dalam dua bagian yaitu: 1. Pada Saat Terjadi Gempa dan Tsunami di Jepang
Ketika gempa besar dan tsunami menghantam bagian timurJepang, masyarakat Jepang telah menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa yang berkarakter kuat yang ditunjukkan dengan sikap sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
Mereka mampu menempatkan kepentingan umum dan keselamatan bersama jauh di atas kepentingan pribadi dalam keadaan genting sekalipun. Pada malam setelah gempa, orangorang yang mengungsi di salah satu sekolah dasar, bisa tetap mengantre dengan sabar untuk mendapatkan makanan dalam keadaan gelap gulita sekalipun (Christian, 2011) Mereka memiliki kemauan melakukan otokritik untuk bangkit kembali dengan semangat kebersamaannya tersebut sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi. Pakar bencana dan gempa Jepang mengakui setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Mereka sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan.Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya. (Patristik, 2011) Masyarakat Jepang sangat kuat dan tidak mengeluh di saat distribusi bantuan datang tersendat. Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib. (Patristik, 2011) Media massa di Jepang juga kooperatif dan memiliki peran penting dalam membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik. (Patristik, 2011)
44
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2. Pendidikan Karakter di Persekolahan Karakter mental dan kepribadian masyarakat Jepang itu tentu bukan datang begitu saja. Pendidikan dan sekolah memiliki peran besar di dalamnya, berjalan dinamis dengan tradisi dan nilai-nilai yang ditanamkan keluarga. Pembinaan karakter merupakan salah satu pilar utama pendidikan yang dilakukan sejak dini di Jepang. a.
Di Tingkat Pendidikan Usia Dini (Houikuen dan Youchien) Houikuen atau setingkat penitipan anak merupakan yurisdiksi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, sedangkan youchien atau TK, diawasi oleh Kementrian Pendidikan Jepang. Meski dilaksanakan oleh kementerian yang berbeda, aktivitas di dua jenis sekolah ini sama-sama ditekankan pada pengembangan kecerdasan sosial dan emosional, serta keseimbangan tubuh dan daya pikir. Di TK, anak-anak menghabiskan waktu dengan beragam permainan yang ditujukan untuk menumbuhkan kepekaan sosial serta semangat kebersamaan, karakter yang kemudian kita lihat melekat pada bangsa Jepang. Guruguru maupun siswa TK sering memperdengarkan yelyel seperti ‗tomodachi ni naro‘ (mari berteman), ‗saigo made gambaru‘ (berusaha sampai selesai), atau ‗kokoro kara otagai o tasukete mimashou‘ (mari saling menolong dengan tulus). Seluruh aktivitas sekolah selalu dilakukan dengan semangat kebersamaan (tomodachi, shinsetsu, nakayoku), semangat kerja keras (gambaru), antusiasme (genki), dan tanggung jawab (jibun no koto o jibun de suru). Pada akhir pendidikan TK, ketika anak harus memberikan kesan singkat seusai menerima diploma, banyak dari mereka, bahkan hampir semuanya, akan berbicara tentang gambaru, tomodachi, dan jibun no koto o jibun de suru tersebut. Proses internalisasi hasil pendidikan karakter terlihat sangat jelas (Christian, 2011)
b.
Di Tingkat Sekolah Dasar (shougakkou) Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua. Berjalan kaki dan pergipulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD, tanpa pandang bulu. Ada 3 hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang, kebersamaan, dan Tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung. Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja & kebersamaan. Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan (Setiawan, 2011). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
45
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
c.
Di tingkat Sekolah Menengah (chuugakkou dan kotougakkou) Pada tingkat sekolah menengah (chuugakkou) dan sekolah menengah atas (koukou) pola pendidikan serupa pun masih diterapkan, namun dengan cara yang berbeda. Pada murid diharapkan dapat dengan aktif memberikan pendapat atau jawaban mengenai suatu masalah umum yang diberikan oleh gurunya. Bahkan para murid pun dengan berani memberitahu yang benar apabila sang guru salah dalam memberi jawaban. Pada musim panas, sekitar pertengahan Agustus, setiap tahun juga diadakan Pertandingan Baseball (Yakyuu) yang diikuti oleh seluruh sekolah seantero Jepang. Melalui seleksi yang ketat, setiap prefektur diwakili oleh satu sekolah. Pada sekolah yang telah lolos akan diadu kembali dalam suatu Kejuaraan yang bernama Koushien, yang diadakan di Lapangan Koushien, di Kobe, Prefektur Hyougo. Mereka bertanding dengan sepenuh tenaga walaupun hari terik dan hujan turun. Teman-teman dan guru pun datang dari tempat yang jauh untuk mendukung tim yang bertanding. Setiap akhir pertandingan walaupun ada tim yang menang atau kalah, walaupun ada yang menangis ataupun tersenyum gembira, selalu diakhiri oleh pemberian hormat, dan saling bersalaman (rei). Disinilah salah satu bukti nyata pendidikan karakter Jepang. Para murid diajarkan untuk berusaha dengan keras dan bekerja sama dalam tim, tapi walaupun kalah ataupun gagal, mereka diajarkan untuk menerimanya dengan lapang dada, dan tidak berbuat curang. Satu hal yang sangat patut dicontoh. Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana. Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diizinkan mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalau pun terlalu jauh siswa boleh pergi dengan bus kota atau kereta api. Padahal kita semua mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor. Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering mendengar keluhan para orangtua yang anak-anaknya mogok sekolah lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita.
d.
Ada kerjasama yang baik antara sekolah dan orang tua siswa dalam pendidikan karakter Bersama dengan sekolah, keluarga merupakan faktor utama pengembangan karakter di Jepang. Kerja sama dan komunikasi antara pihak keluarga dan sekolah dilakukan sangat intensif melalui buku sekolah, surat elektronik, atau telepon. Meski orang Jepang terkenal sangat sibuk, mereka merasa "wajib" menghadiri upacara hari pertama sekolah putra-putri mereka. Hal ini menunjukkan perhatian orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya serta komitmen mereka terhadap budaya sekolah. Dari sinilah kerjasama, komunikasi serta harmoni antara sekolah dan keluarga demi pendidikan anak mulai terbangun. Orangtua juga dengan sukarela membuat sendiri, semacam tas kecil yang berisi bekal makan siang, sejenis celemek untuk pelajaran memasak di sekolah, baju khusus untuk kegiatan souji (membersihkan kelas setelah pulang sekolah), dan keperluan sekolah lainnya (Christian, 2011)
e.
Adanya penanaman faham kepada siswa untuk tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan memandang hina pekerjaan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya. Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi 46
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas (Setiawan, 2011). f.
Adanya pendekatan kultural atau pendekatan budaya dalam membangun karakter individu dan bangsanya. Filosofinya sederhana, kalau seseorang mau aktif berolah budi dan berolah rasa melalui budaya khususnya kesenian bangsanya maka secara otomatis akan tertanam karakter yang baik dan mantap pada dirinya. Dalam skala bangsa juga demikian adanya, kalau suatu bangsa mau aktif berolah budi dan berolah rasa maka akan tertanam karakter yang baik dan mantap pada bangsanya. Pendekatan kultural tersebut terlihat pada beberapa sekolah di Jepang; mulai masuk lingkungan sekolah sudah terasa nuansa budayanya. Dari segi fisik banyak meski tidak semua sekolah yang dibangun dengan bangunan khas Jepang dengan segala asesorinya. Ketika masuk di dalam bangunan sekolah banyak didapati aneka tulisan yang ditulis dengan tulisan Jepang, Huruf Kanji, Huruf Hiragana dan/atau Huruf Katakana, yang disajikan secara artistik. Umumnya tulisan itu berisi slogan yang melukiskan semangat berbakti kepada bangsa dan negara. Di samping aneka tulisan juga terlihat banyak lukisan dinding (kake-jiku) serta aneka tanaman bunga (chabana) yang memperindah suasana persekolahan. Kesenian tradisional Jepang diajarkan di sekolah; misalnya saja seni merangkai bunga (ikebana), seni teater khas Jepang (kabuki), seni lipat kertas dan kain (origami), seni lukis cukil kayu atau (ukiyo-e), seni sandiwara boneka tradisional Jepang (bunraku), seni drama musik Jepang klasik atau (noh), seni bercerita humor gaya Jepang (rakugo), permainan tradisional air atau (onsen), seni upacara minum teh (chato atau cha no yu), dan masih banyak yang lain. Ketika saya mengunjungi Showa University yang berada di Tokyo pun ternyata berbagai seni tersebut, khususnya seni merangkai bunga dan seni upacara minum teh, juga dibelajarkan kepada para mahasiswanya. Menurut pengampunya, merangkai bunga bukanlah sekadar seni akan tetapi lebih daripada itu ialah merangkai kesinambungan antara batin seseorang dengan keindahan alami (Supriyoko, 2011).
g.
Pendidikan karakter langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau ada orangtua siswa bertemu dengan guru maka sang orangtua tersebut apa pun status sosialnya pasti menghormat sang guru. Katakanlah Sang orangtua tersebut adalah pejabat tinggi, pasti tetap memberikan penghormatan yang cukup bagi sang guru. Di Jepang, guru adalah profesi yang sangat dihormati oleh semua orang. Kalau ada orangtua (sepuh) masuk kereta, dan di dalam kereta terse-but sudah tidak tersedia tempat duduk karena semuanya telah berisi maka dapat dipastikan anak muda akan memberikan tempat duduknya tersebut kepada sang orangtua. Kalau kita naik atau turun lift bersama anak-anak muda Jepang maka hampir dapat dipastikan yang memencet tombol lift adalah anak-anak muda Jepang tersebut; dan keluar atau masuk lift pun kita yang lebih tua akan dipersilakan lebih dulu keluar dari atau masuk ke dalam lift. Praktik pendidikan karakter tersebut dipraktikkan oleh orang Jepang tidak hanya di negaranya akan tetapi di mana saja mereka berada. Pernah sekolah dan pesantren yang berlokasi di Sleman Yogyakarta ketamuan orang Jepang yang sangat terkenal, Prof Hideo Moriyama, dosen dan pejabat di Kyushu University, Jepang, beserta isteri dan asistennya yang nota bene berpendidikan doktor. Mereka bertiga sengaja menginap di pesantren. Dan ketika tidur, mereka tidak mau di kamar yang disediakan tersendiri akan tetapi memilih tidur bersama para santriwan dan santriwati yang nota bene kebanyakan adalah anak yatim dan dhuafa.
Itulah pendidikan karakter ala Jepang yang langsung dipraktikkan. Pendidikan seperti itu pantas kita jadikan referensi untuk mengembangkan dan membentuk karakter bangsa (Supriyoko, 2011).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
47
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
C. Penerapan Pendidikan Karakter Ala Jepang dalam Pembelajaran Matematika Banyak hal yang bisa kita contoh dari karakter masyarakat Jepang dan pendidikan karakter yang dilakukan di Negara tersebut. Tentu untuk melaksanakan pendidikan karakter secara menyeluruh di sekolah-sekolah di Indonesia haruslah dimulai dari adanya kebijakan yang komprehensif dari para pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia. Seperti kebijakan di Jepang yang mewajibkan siswa sekolah dasar pulang pergi berjalan kaki dan berjalan dan berkelompok, tentu harus ada kebijakan dari pemerintah yang mewajibkan peraturan itu berlaku untuk semua sekolah dasar di Indonesia. Tetapi sambil menunggu adanya kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang jelas dari pemerintah untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah-sekolah, ada baiknya kita memulainya dengan hal-hal yang langsung bisa kita lakukan dalam pembelajaran matematika yang sedang kita tangani saja. Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter ala Jepang dalam Pembelajaran matematika kita bisa melakukan hal-hal sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Mulailah dari diri kita sendiri sebagai seorang guru untuk menjadi model dan suri tauladan bagi anak didik kita. Tidak ada salahnya kita sebagai seorang guru matematika memulai pembelajaran dengan berdoa dan ceramah-ceramah singkat yang berisi pendidikan karakter, kemaslah dengan mengaitkannya dengan materi matematika yang akan kita ajarkan. Awali dan akhiri pembelajaran sesuai dengan waktu yang ditetapkan, dan berprilaku sesuai dengan tuntutan professional seorang guru. Untuk para siswa di pendidikan dasar (PAUD, TK, SD) sajikanlah pembelajaran matematika dengan banyak menggunakan metode-metode permainan yang dikerjakan secara berkelompok. Berilah mereka permasalahan-permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan materi matematika untuk dipecahkan bersama dalam kelompoknya. Agar pembelajaran menjadi lebih menarik sajikan nuansa kompetisi dalam bentuk game yang menyenangkan. Sekali-kali tugaskanlah siswa untuk pulang atau pergi sekolah berjalan kaki dalam kelompok tertentu. Kemudian kelompok tersebut diberi tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan materi matematika. Misalnya mereka diminta untuk berangkat dari rumah seorang siswa kemudian diminta menghitung jarak antara rumah dan sekolah, bagaimana mereka mengatur waktu supaya bisa datang tepat waktu, bagaimana mereka mengatur uang jajan dari orang tuanya, dan sebagainya. Kemudian mereka diminta berdiskusi untuk membuat laporan kepada guru tentang pengalaman mereka selama berjalan kaki dan menuliskan kesan-kesan mereka tersebut. Kita juga bisa bekerja sama dengan para orang tua, untuk memberi tugas pada siswa pada saat liburan. Misalkan mencuci piring dan belanja ke pasar menjadi tugas mereka selama libur. Mintalah kepada orang tua untuk memberi sejumlah uang untuk belanja dalam seminggu, biarkan anak itu menghitung dan mengatur uang belanjaan tersebut untuk keperluan rumahnya selama seminggu. Kemudian diminta membuat laporan penggunaan uang tersebut. Dalam memberikan masalah-masalah kontekstual ada baiknya pendekatan kultural untuk memperkenalkan budaya-budaya kita kepada generasi muda menjadi salah satu alternatif cara penyajian materi. Mulailah dari budaya lokal sesuai dengan domisili siswa atau sekolah kita, kemudian bergerak kepada keanekaragaman budaya yang ada di negara kita, dan akhiri dengan mengenalkan budaya dunia secara keseluruhan. Sajikan persoalan-persoalan matematika dengan menyajikan muatan budaya tersebut di dalamnya. Ajaklah sekali-kali para siswa ke tempat-tempat yang dapat memupuk kekayaan dan kekuatan karakter mereka, seperti ke pesantren-pesantren, tempat-tempat bencana alam, panti-panti sosial, tempat-tempat budaya, dan sebagainya. Berilah tugas-tugas yang menghubungkan antara tempat yang dikunjungi dengan materi-materi matematika.
48
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
D. Penutup Karakter adalah kemampuan untuk mengatasi secara efektif situasi sulit, tak enak, tidak nyaman, atau berbahaya. Dengan pengertian tersebut karakter menuntut kecerdasan otak, kepekaan nurani, kepekaan diri dan lingkungan, kecerdasan merespons, dan kesehatan, kekuatan, dan kebugaran jasmani. Lingkungan sekolah berperan besar dalam pembentukan karakter pada anak. Intensitas pertemuan yang hampir setiap hari dengan guru dan teman-teman sekolah tentunya membuat anak mencari-cari jati dirinya melalui hal yang mereka lihat, rasakan, dengar dan tiru dari lingkungan sekitar. Matematika sebagai salah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Melalui matematika anak bernalar untuk bisa membedakan yang baik atau buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan bernalar anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Pendidikan karakter ala Jepang dapat diintegrasikan dengan materi matematika sehingga tahap demi tahap perkembangan karakter anak mulai terbentuk melalui pembelajaran matematika ini. Mudah-mudahan usaha ini dapat membuat pembelajaran matematika lebih berwarna dan lebih memberikan sumbangsih bagi pembentukan karakter generasi muda Bangsa Indonesia. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA Christian, D dan Christian, N (2011). Pendidikan karakter: Berkaca dari Jepang. [Online]. Tersedia:http://ourstoryingod.blogspot.com/2011/08/pendidikan-karakter-berkaca-darijepang.html 10 September 2011) Mayyadah(2010). Pendidikan Berbasis ESQ Sebuah Solusi Dekadensi Moral Bangsa. Kairo: Fakultas Syariah Islamiah Universitas Al Azhar Mesir. Mulyo, K (2009). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Kontekstual. [Online]. Tersedia:http://agupenajateng.net/2009/06/06/membangun-karakter-bangsa-melaluipembelajaran-kontekstual/ (6 Januari 2010) Patristik, E (2011). Bangsa Jepang, Bangsa Pembelajar. [Online]. Tersedia: http://internasional.kompas.com/read/2011/03/22/07373026/Bangsa.Jepang.Bangsa.Pembela jar. ( 5 Juli 2011) Setiawan, E (2011). Pendidikan Karakter. Online]. Tersedia: http://www.facebook.com/topic.php?uid=95186059600&topic=8986 ( 1 September 2011) Supriyoko, K (2011). Pendidikan Karakter Ala Jepang. Online]. Tersedia: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=241773&actmenu=39 ( 10 Juli 2011)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
49
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA Asep Ikin Sugandi Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung Abstrak. Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini sangat dirasakan mendesak. Hal ini disebabkan makin meningkatnya tawuran antar pelajar, korupsi, perilaku kekerasan dan peruksakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, meningkatnya jumlah remaja yang terjebak dalam narkoba. Sebagai tindak lanjut dari upaya persoalan budaya dan karakter bangsa tersebut, kini pendidikan karakter dikembangkan dengan cara diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Di dalam mata pelajaran matematika saat ini enam nilai dintegrasikan untuk diKembangkan : teliti, tekun, kerja keras, rasa ingin tahu, panyang menyerah dan kreatif. Dengan dintegrasikannya pendidikan karakter pada mata pelajaran matematika diharapkan prestasi siswa akan meningkat dan terbentuknya pribadi-pribadi masa depan yang berorientasi pada nilai-nilai luhur dari Pancasila. Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Matematika I.
PENDAHULUAN
Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan dari fenoma di masyarakat baik yang tampak maupun yang tidak, menunjukkan fenomena yang menggelisahkan seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, pengrusakan, perkelahian antar pelajar, perkelahian massal, kehidupan ekonomi yang konsumtif serta kehidupan politik yang tidak produktif. Disamping itu, pendidikan karakter ini menjadi penting dewasa ini didukung oleh amanat mendiknas pada hardiknas 2 Mei 2011 menyangkut tema pendidikan yaitu : ―Pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa‖ dengan sub tema : ―raih prestasi, junjung tinggi budi pekerti‖, pendidikan karakter di mulai semenjak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi, pendidikan formal dan non formal dan menyiapkan generasi 2045. Hal tersebut didukung oleh tujuan dan fungsi pendidikan nasional pasal 3/UU.20/2003 pasca reformasi, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar jadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrastis serta bertanggung jawab. Pengintegrasian pendidikan budaya dan karakter dewasa ini menuntut para guru khususnya untuk mengintegrasikan nilai-nilai luhur yang dikembangkan dalam pendidika budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Dengan demikian keberhasilan program tersebut bergantung kepada kemampuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki oleh guru. Oleh sebab itu para guru dituntut untuk memiliki sikap dan keterampilan baru yang pada akhirnya dituntut adanya keteladanan pada guru sebagai sebagai pesyaratan untuk keberhasilan implemntasi pendidikan dan karakter bangsa pada mata pelajaran. Perubahan sikap dan penguasaan keterampilan yang dipersayaratkan ini selanjutnya dapat dikembangkan melalui pendidikan dalam jabatan yang terfokus, sistemik dan berkelanjutan. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Karakter
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42) karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan , akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terenjawantahkan dalam prilaku. Screrenko (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau cirri-ciri yang membentuk dan membedakan cirri pribadi, ciri ethis, dan kompleksitas mental dari seseorang, 50
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
suatu kelompok atau bangsa. Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar perilaku yangbmenjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar : kedamaian, menghargai, kerja sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati, kasih saying, tanggung jawab, kesederhanaan tleransi, dan persatuan (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42). Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mendefinisikan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seserang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut di atas, serta factor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seserang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun p-engaru lingkungan, yang membedakannya dengan rang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan prilakunya dalam kehidupan sehari-hari. B. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilainilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif .(Puskur Balitbang kemendiknas, 2010) Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yangsesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah. Untuk lebih jelasnya, pada konteks makro, pengembangan karakter dideskripsikan sebagai berikut : PROSES PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN MENUJU PRILAKU BERKARAKTER Agama, Pancasila, UUD 1945, UU No. 20/2003 ttg Sisdiknas
Teori Pendidikan, Psikologi, Nilai, Sosial Budaya
Nilai-nilai Luhur
Pengalaman terbaik (best practices)dan praktik nyata
PERAN PENDIDIK
PENDIDIKAN FORMAL & NON FORMAL
SATUAN
KELUARGA
PENDIDIKAN
MASYARAKAT
Perilaku Berkarakter
PENDIDIKAN INFORMAL
PERANGKAT PENDUKUNG Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya, Lingkungan, Sarana dan Prasarana, Kebersamaan, Komitmen pemangku kepentingan.
Gambar 1. Konteks Makro Pengembangan karakter (diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
51
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Sedangkan pada kontek mikro, pengembangan karakter dideskripsikan sebagai berikut : STRATEGI MIKRO DALAM SEKOLAH Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel
BUDAYA SEKOLAH: (KEGIATAN/KEHIDUPAN KESEHARIAN DI SATUAN PENDIDIKAN)
Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan
KEGIATAN EKSTRA KURIKULER
Integrasi ke dalam kegiatan Ektrakurikuler : Pramuka, Olahraga, Karya Tulis, Dsb.
KEGIATAN KESEHARIAN DI RUMAH DAN MASYARAKAT
Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di rumah yang sama dengan di satuan pendidikan
Gambar 2. Kontek Mikro Pengembangan Karakter (diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)
Berdasarkan Grand Design Pendidikan karakter dari kemendiknas, yaitu : 1. 2. 3. 4.
Olah Hati (Spiritual and Emotinal Development) melahirkan nilai Jujur Olah Fikir (Intelectual Development) melahirkan nilai Cerdas Olah Raga (Phsycal and Kinestik Development) melahirkan nilai Bersih dan Sehat Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creative Development) melahirkan nilai Peduli dan Kreatif
Berdasarkan Grand Design Pendidikan dari kemendiknas dapat digambarkan sebagai berikut : KONFIGURASI NILAI (SOSIAL-KULTURAL-PSIKOLOGIS) cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif
bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih
OLAH PIKIR
OLAH HATI
OLAH RAGA
OLAH RASA/ KARSA
beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja 7
Gambar 3. Keterpaduan Olah Hati, Olah Pikir, Olah Ragadan Olah Rasa dan Karsa (diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)
52
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Sedangkan berdasarkan Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas merumuskan 18 Karakter sebagai berikut : a.
b.
c. d. e.
f. g. h. i. j.
k. l. m. n. o.
p. q. r. C.
Religius, adalah sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yangdianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Jujur, adalah perilaku yang menunjukkan dirinya sebagai orang yang dapatdipercaya, konsisten terhadap ucapan dan tindakan sesuai dengan hati nurani. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika di SD Toleransi, adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan, baik perbedaan agama, suku, ras, sikap atau pendapat dirinya dengan orang lain. Disiplin, adalah tindakan yang menunjukkan adanya kepatuhan, ketertibanterhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku. Kerja keras, adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalammenghadapi dan mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas atau yang lainnya dengan sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Kreatif, adalah kemampuan olah pikir, olah rasa dan pola tindak yang dapat menghasilkan sesuatu yang baru dan inovatif. Mandiri, adalah sikap dan perilaku dalam bertindak yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan suatu masalah atau tugas. Demokratis, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak dengan menempatkanhak dan kewajiban yang sama antara dirinya dengan orang lain. Rasa ingin tahu, adalah sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk mengetahui lebih dalam tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari. Semangat kebangsaan, adalah cara berpikir, bertindak dan cara pandang yanglebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok. Cinta tanah air, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa kesetiaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara. Menghargai prestasi, adalah sikap dan perilaku yang mendorong dirinya untuk secara ikhlas mengakui keberhasilan orang lain atau dirinya. Bersahabat/komunikatif, adalah tindakan yang mencerminkan atau memperlihatkan rasa senang dalam berbicara, bekerja atau bergaul bersama dengan orang lain. Cinta damai, adalah sikap perilaku, perkataan atau perbuatan yang membuat orang lain merasa senang, tentram dan damai. Gemar membaca, adalah sikap atau kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca buku-buku yang bermanfaat dalam hidupnya, baik untuk kepentingan sendiri atau orang lain. Peduli lingkungan, adalah sikap perlaku dan tindakan untuk menjaga, melestarikan dan memperbaiki lingkungan hidup. Peduli sosial, adalah sikap dan tindakan yang selalu memperhatikan kepentinganorang lain dalam hidup dan kehidupan. Tanggung jawab, adalah sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika
Pengertian pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
53
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Berikut adalah deskripsi singkat cara integrasi yang dimaksudkan. 1.
Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini silabus, RPP, dan bahan ajar disusun. Baik silabus, RPP, dan bahan ajar dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter. Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP, dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat/ada dengan menambahkan/mengadaptasi kegiatan pembelajaran yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilainilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai. Berikut adalah contoh model silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalamnya. a) Silabus Silabus dikembangkan dengan rujukan utama Standar Isi (Permen Diknas nomor 22 tahun 2006). Silabus memuat SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dirumuskan di dalam silabus pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik menguasai SK/KD. Agar juga memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang membantu peserta didik mengembangkan karakter, setidak-tidaknya perlu dilakukan perubahan pada tiga komponen silabus berikut: (1) Penambahan dan/atau modifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan pembelajaran yang mengembangkan karakter (2) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator yang terkait dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter (3) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian yang dapat mengembangkan dan/atau mengukur perkembangan karakter b) RPP RPP disusun berdasarkan silabus yang telah dikembangkan oleh sekolah. RPP secara umum tersusun atas SK, KD, Indikator, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Seperti yang terumuskan pada silabus, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian yang dikembangkan di dalam RPP pada dasarnya dipilih untuk menciptakan proses pembelajaran untuk mencapai SK dan KD. Oleh karena itu, agar RPP memberi petunjuk pada guru dalam menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada pengembangan karakter, RPP tersebut perlu diadaptasi. c) Bahan/buku ajar Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata-mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti. 2.
Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan sebagaimana disebutkan di depan. 3.
Evaluasi Pencapaian Belajar
Teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian akademik/kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa. Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan kepribadian siswa sekaligus. 54
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Di antara teknik-teknik penilaian tersebut, beberapa dapat digunakan untuk menilai pencapaian peserta didik baik dalam hal pencapaian akademik maupun kepribadian. Teknikteknik tersebut terutama observasi (dengan lembar observasi/lembar pengamatan), penilaian diri (dengan lembar penilaian diri/kuesioner), dan penilaian antarteman (lembar penilaian antarteman). 4.
Tindak Lanjut Pembelajaran
Tugas-tugas penguatan (terutama pengayaan) diberikan untuk memfasilitasi siswa belajar lebih lanjut tentang kompetensi yang sudah dipelajari dan internalisasi nilai lebih lanjut. Tugas-tugas tersebut antara lain dapat berupa PR yang dikerjakan secara individu dan/atau kelompok baik yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat ataupun panjang (lama) yang berupa proyek. Tugas-tugas tersebut selain dapat meningkatkan penguasaan yang ditargetkan, juga menanamkan nilai-nilai. Secara Ringkas pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa dalam pembelajaran matematika dapat dinyatakan sebagai : MATA PELAJARAN MATEMATIKA
Muatan Nilai/Nilainilai motivasional: pengarahan diri dan pencapaian
―Doing mathematics‖:
Pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, representasi dan pemahaman konseptual; Silabus dan RPP yang mengintehrasikan pendidikan karakter.
Nilai-nilai yang Di Integrasikan ke dalam Mata Pelajaran Matematika (teliti, tekun, kerja keras, rasa ingin tahu, pantan gmenyerah & kreatif)
Pembelajaran Matematika Guru Mata Pelajaran Matematika Pembangunan sikap dan keterampilan baru; Pemahaman pendidikan karakter secara umum dan khusus dalam matematika; Refleksi dan pengembangan karakter dirinya sebagai teladan bagi siswa; Ketekunan, kesabaran, optimisme.
Penggunaan berbagai teknik dan strategi pembelajaran yang relevan dan inovatif; Situasi-situasi dan pengalaman belajar matematika yang mengakomodasi pendidikan karakter di mana para siswa terlibatkan secara aktif; Penerapan prinsip personalisasi dan pengembangan karakter siswa berdasarkan tingkat kematangan psikologis dan intelektual.
Peningkatan prestasi belajar dalam matematika; Perkembangan nilai-nilai tertentu dalam diri siswa, terbentuknya secara bertahap karakter yang berorientasi kepada eksplorasi, penemuan, kemandirian dan prestasi.
Gambar 4. Implementasi Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Matematika (Diadopsi dari makalah Prof. H. Wahyudin, M.Pd)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
55
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Kemendiknas.(2010). Desain Induk Pendidikan Karakter. Kementrian Pendidikan Nasional. Musclih M. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis MultidimenOnal. Jakarta : Bina Aksara Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Puskur Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional Samani M. dan Hariyanto (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : Rosda Karya Wahyudin (2011). Membangun Karakter malalui Pendidikan Matematika yang Berkualitas. Makalah seminar di Universitas Negeri Padang. Padang : Universitas Negeri Padang Wardani S. dan Sustriati A. (2011). Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika di SD. Jakarta : P4TK Kementrian Pendidikan Nasional
56
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR STATISTIS MAHASISWA S-1 MELALUI PEMBELAJARAN MEAS YANG DIMODIFIKASI Oleh: Bambang Avip Priatna Martadiputra(1) Didi Suryadi(2) Jurusan Matematika - Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak Makalah ini berisi hasil penelitian tentang peningkatan kemampuan berpikir statisis mahasiswa S1 melalui pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) yang dimodifikasi dari MEAs yang telah dikembangkan oleh Garfield, delMas dan Zieffler (2010) dengan memasukan Didactical Design Research (DDR) pada saat pembuatan bahan ajar. Dalam penelitian ini dilakukan metode kuasi eksperimen dengan disain pretespostes. Penelitian dilakukan terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Pada kelas kontrol (mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi pembelajaran konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan 2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi. Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis (TKAS). Data tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir statistis (TKBS), sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan menggunakan skala disposisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Ada perbedaan peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Kata kunci: DDR, Kemampuan berpikir statistis, MEAs yang dimodifikasi. A.
Pendahuluan
Berpikir statistis adalah kemampuan untuk mengerti dan memahami proses statistis secara keseluruhan, serta mengaplikasikan pemahaman pada masalah nyata dengan memberikan kritik, evaluasi, dan membuat generalisasi berkaitan dengan mendeskripsikan data; 2) mengorganisasikan data; 3) merepresentasikan data; dan 4) menganalisis dan menginterpretasikan data. Berdasarkan tahapan berpikir kognitif pada model SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome) dari Biggs dan Collis (1991), Jones, et.al (2000) membagi level berpikir statistis menjadi empat yaitu: 1) Idiosyncratic; 2) Transitional; 3) Quantitative; dan 4) Analytical. Dari hasil penelitian Martadiputra (2010) terhadap guru-guru matematika SMP/SMA yang mengikut kegiatan PPM Dosen Jurdikamat UPI di Kabupaten Subang dan sebagian peserta PLPG sertifikasi guru matematika SMP di BMI Lembang diperoleh informasi bahwa rata-rata kemampuan berpikir statistis (statistical thinking) guru SMP/SMA baru mencapai 32,15 %, sehingga dapat dikatagorikan rendah. Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra (2010.a) diperoleh informasi bahwa: 1) Secara umum, kemampuan berpikir statistis mahasiswa program studi pendidikan maupun program studi non kependidikan, mahasiswa yang sudah lulus S1 maupun mahasiswa yang belum lulus S1 di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI masih rendah karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Jadi belum memasuki level analytical; 2) Nilai rata-rata kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang telah lulus S1 relatif Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
57
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
lebih tinggi daripada mahasiswa yang belum lulus S1; dan 3)Mata kuliah Statistika Dasar mempunyai hubungan signifikan dengan kemampuan berpikir statistis mahasiswa, sedangkan mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika, dan Pengolahan data tidak berhubungan signifikan. Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra dan Tapilouw (2011) diperoleh informasi bahwa kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar masih belum optimal karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Hanya sebagaian kecil mahasiswa yang kemampuan berpikir statistisnya sampai pada level analytical. Khusus untuk kemampuan berpikir statistis berkaitan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data ternyata tidak ada satu orangpun yang sampai pada level analytical. Hasil-hasil penelitian Martadiputra (2010, 2010.a, dan 2011) tersebut sejalan dengan AEC (1994) dan SCAA & CAAW (1996) (dalam Jones, et.al, 2000) bahwa dalam merespons pentingnya data dan informasi dalam masyarakat di era globalisasi ini dibutuhkan adanya reformasi pendidikan statistika secara internasional di semua tingkatan pendidikan. Alasan lain perlunya reformasi pendidikan statistika dikemukakan oleh Ben-Zvi & Friedlander (2010) bahwa pembelajaran statistika tradisional belum bisa mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis siswa karena biasanya hanya menekankan perhitungan dan mengabaikan pengembangan pandangan terpadu yang lebih luas dari pemecahan masalah statistika. Siswa diwajibkan untuk menghafal fakta dan prosedur. Konsep statistik jarang berasal dari masalah nyata, lingkungan belajar yang kaku, dan secara umum hanya ada satu jawaban yang benar untuk setiap masalah yang diberikan. Ketika diberikan masalah yang nyata, dalam pembelajaran statistika tradisional kegiatan cenderung menjadi "tidak nyata" dan relatif dangkal. Selain itu, biasanya siswa mendapatkan statistika dari kurikulum berbentuk sekumpulan materi yang terpisah-pisah, teknik pembelajaran tidak bermakna dan tidak relevan, membosankan, dan bersifat rutin. Pada tahun 2010 proyek CATALST (Change Agents for Teaching and Learning Statistics) disponsori oleh the National Science Foundation yang dimotori oleh Joan Garfield, Robert delMas and Andrew Zieffler mencoba memfokuskan penggunaan Model-Eliciting Activities (MEAs) pada beberapa ide statistik dengan menggunakan data "realistis" dan fokus pada model matematika yang mendasarinya. MEAs dengan sifat ini akan membantu siswa mempersiapkan diri untuk mempelajari statistika yang mengarah pada pemahaman konseptual, pemecahan masalah, retensi, dan transfer pengetahuan yang lebih baik. MEAs juga harus dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan untuk bekerja sama dalam memecahkan masalah. Pada penelitian ini, penulis memodifikasi. MEAs yang telah dikembangkan oleh Garfield, delMas & Zieffler (2010) yang semula hanya untuk siswa menjadi untuk mahasiswa serta memasukan Didactical Design Research (DDR) pada saat pendesainan MEAs yang selanjutnya penulis sebut MEAs yang dimodifikasi. DDR adalah sebuah metodologi penelitian baru yang dikembangkan oleh Suryadi sejak tahun 2005 yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) Analisis situasi didaktis; 2) Analisis metapedadidaktik; dan 3) Analisis retrosfektif. MEAs yang dimodifikasi adalah suatu pembelajaran untuk melihat masalah otentik, dunia nyata yang mengharuskan mahasiswa untuk bekerja dalam suatu tim yang terdiri dari tiga sampai empat orang untuk menghasilkan solusi masalah melalui deskripsi tertulis, penjelasan dan konstruksi dengan cara mengungkapkan pengujian berulang kali, dan memperluas cara-cara berpikir mereka. Ada enam prinsip dari MEAs, yaitu: (1) Prinsip konstruksi; (2) Prinsip realitas; (3) Prinsip selfassessment; (4) Prinsip dokumentasi; (5) Prinsip reusability dan berbagi-kemampuan; dan (6) Prinsip prototipe yang efektif. Disamping keenam prinsip tesebut, MEAs juga mempunyai tiga sifat tambahan, yaitu: (1) Mencerminkan masalah yang nyata; (2) Memiliki konteks saat ini dan menarik; dan (3) Menggunakan data nyata. Dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi ini¸pendekatan pembelajarannya berpusat pada mahasiswa, dosen hanya sebagai fasilitator. 58
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Strategi pembelajarannya bersifat individu, kelompok, maupun kelas. Strategi pembelajaran individual dilakukan pada saat awal pembelajaran. Pada saat itu, dosen menanyakan kesiapan masing-masing mahasiswa berkaitan dengan materi yang akan disajikan. Strategi pembelajaran kelompok/tim dilakukan pada saat mahasiswa menyelesaikan masalah dan mempresentasikan hasil pekerjaannya. Sedangkan strategi pembelajaran kelas dilakukan pada akhir pembelajaran, yaitu pada saat diskusi berkaitan dengan materi pembelajaran. Selanjutnya teknik dan taktik dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi adalah sebagai berikut: dosen memberikan masalah kontektual yang bersifat open-ended. Masalah dipahami terlebih dahulu oleh setiap mahasiswa secara individual. Selanjutnya dosen mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dipecahkan oleh tim yang terdiri dari 3 - 4 orang mahasiswa. Mahasiswa mengumpulkan pekerjaannya kepada dosen. Dosen memeriksa pekerjaan mahasiswa sepintas. Dosen meminta beberapa tim yang jawabannya bereda untuk mempresentasikan jawabannya di depan kelas. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk membahas permasalahan yang diberikan. Pada akhir pembelajaran, mahasiswa dengan dipandu dosen membuat kesimpulan dan rangkuman. Selanjutnya dengan diperkenalkannya MEAs yang dimodifikasi ini khususnya untuk pembelajaran statistika dasar diharapkan akan melengkapi teori-teori pembelajaran statistika yang telah ada serta diperoleh suatu informasi bahwa pemilihan suatu model pembelajaran dan penyusunan bahan ajar statistika yang tepat dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir mahasiswa atau kemampuan berpikir statistis siswa. Selain itu, dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam tentang bagaimana cara mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa atau kemampuan berpikir statistis siswa. B.
Pembahasan
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan selama setengah semester terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Dalam penelitian ini digunakan metode kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes. Pada kelas kontrol (mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi pembelajaran konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan 2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi. Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis (TKAS). Data tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir statistis (TKBS), sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan menggunakan skala disposisi. B.1 Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis
Peningkatan kemampuan berpikir statistis dihitung dengan menggunakan gain ternormalisasi antara skor pretes dengan skor postes yang diperoleh dengan menggunakan instrumen TKBS yang sama. Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji homogenitas variansi dengan menggunakan Levene‘s Test diketahui bahwa keseluruhan data kemampuan berpikir statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi α = 0,05. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
59
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berdasarkan hasil uji ANOVA dua jalur pada taraf signifikansi α = 0,05 diketahui bahwa: 1)
Ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang sifnifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Perlakuan yang diberikan (pembelajaran MEAs yang dimodifikasi) berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa sebesar 31,0 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes diketahui: a. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut adalah sebesar 0,227. b. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (mengulang) yang menggunakan pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut adalah sebesar 0,295. c. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan pembelajaran MEAs tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa (mengulang) yang juga menggunakan pembelajaran MEAs. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,069.
2)
Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang signifikan antara kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh pengelompokan (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 1,9 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes diketahui: a. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,048 (tidak signifikan). b. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,075 (tidak signifikan). c. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok sedang dengan kelompok tinggi hanya sebesar 0,027 (tidak signifikan).
3)
Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang, rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa. Pengaruh dari interaksi antara kelas dan kelompok berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa hanya sebesar 3,5 %.
Gambar 1
60
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dari gambar 1 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak mempengaruhi peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa. 1)
2)
3)
Untuk kelompok kontrol, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran konvensional tidak terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis masih tetapi didominasi oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. Untuk kelompok eksperimen 1, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok sedang. Untuk kelompok eksperimen 2, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok rendah, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok sedang.
B.2 Peningkatan Disposisi Statistis
Peningkatan disposisi statistis dihitung dengan menggunakan gain ternormalisasi antara skala disposisi awal dengan skala disposisi akhir yang diperoleh dengan menggunakan skala disposisi statistis yang sama. Dari hasil statistika deskriptif diketahui bahwa: 1)
2)
Rata-rata peningkatan disposisi statiistis (N-Gain disposisi) mahasiswa kelas kontrol, kelas eksperimen1, dan kelas eksperimen 2 masing-masing adalah: 0,1328; 0,3444; dan 0,3342. Jadi peningkatan disposisi statiistis mahasiswa kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2 masing-masing dapat dikatagorikan: rendah; sedang; dan sedang. Peningkatan terbesar diperoleh oleh mahasiswa kelas eksperimen 1 sedangkan yang terendah diperoleh oleh kelas kontrol. Rata-rata peningkatan disposisi statiistis (N-Gain KBS) mahasiswa kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah masing-masing adalah: 0,2776; 0,2679; dan 0,1607. Jadi peningkatan disposisi statiistis mahasiswa kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi masing-masing dapat dikatagorikan: rendah; rendah; dan rendah. Peningkatan terbesar diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah sedangkan yang terendah diperoleh oleh kelompok tinggi.
Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa diketahui bahwa data peningkatan disposisi statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji homogenitas variansi dengan menggunakan Levene‘s Test diketahui bahwa keseluruhan data disposisi statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi α = 0,05. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
61
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berdasarkan hasil uji ANOVA dua jalur pada taraf signifikansi α = 0,05 diketahui bahwa: 1)
Ada perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Pembelajaran MEAs berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa sebesar 19,0 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes diketahui: a. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaannya sebesar 0,2116. b. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (mengulang) yang menggunakan pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedannya sebesar 0,2013. c. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan pembelajaran MEAs tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa (mengulang) yang juga menggunakan pembelajaran MEAs.
2)
Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh pengelompokan mahasiswa menjadi kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 1,4 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes diketahui: a. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,098 (tidak signifikan). b. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,1169 (tidak signifikan). c. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok sedang dengan kelompok tinggi hanya sebesar 0,1072 (tidak signifikan).
3)
Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang, rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa. Pengaruh interaksi antara kelas dan kelompok terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa hanya sebesar 5,5 %.
Gambar 2. Interaksi antara Kelas dan Kelompok
Dari gambar 2 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak mempengaruhi peningkatan disposisi statistis mahasiswa. 1)
Untuk kelompok kontrol, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok sedang, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran konvensional terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan disposisi statistis didominasi oleh kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. 62
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2)
3)
C.
Untuk kelompok eksperimen 1, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Akan tetapi perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Jadi pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan disposisi statistis mahasiswa kelompok rendah. Untuk kelompok eksperimen 2, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok sedang. Akan tetapi perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok tinggi, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok sedang. Jadi pembelajaran MEAs pada kelas eksperimen 2 dapat lebih meningkatkan disposisi statistis mahasiswa kelompok tinggi. Penutup
Kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 dapat ditingkatkan lebih optimal dengan menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran MEAs yang dimodifikasi juga dapat disposisi statistis mahasiswa. MEAs yang dimodifikasi ini merupakan suatu pembelajaran statistika dasar yang relatif baru di Indonesia bahkan di dunia. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam pada semua jenjang pendidikan. Peneliti selanjutnya dapat mengaplikasikan MEAs yang dimodifikasi ini pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hasil-hasil penelitian tersebut tentulah sangat diperlukan dalam mereformasi pendidikan statistika sehingga pembelajaran statistika menjadi lebih bermakna bagi siswa dan siswa dapat diaplikasikannya dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan nyata. DAFTAR PUSTAKA Ben-Zvi, D., & Friedlander, A. (1997). Statistical investigations with spreadsheets (in Hebrew). Rehovot, Israel: Weizmann Institute of Science. Biggs, J. B., & Collis, K. F. (1982). Evaluating the quality oflearning: The SOLO taxonomy (Structure of the Observed Learning Outcome). New York: Academic Garfield, delMas & Zieffler. (2010). Developing Tertiary-Level Students‘ Statistical Thinking Through the Use of Model-Eleciting Activities. ICOTS8 (2010) Invited Paper Jones, Thornton, Langrall & Mooney. (2000). A Framework for Characterizing Children‘s Statistical Thinking. Mathematical Thinking and Learning, 2(4), 269–307 Copyright © 2000, Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Martadiputra. (2010). Diklat Kemampuan Melek Statistis (Statistical literacy), Penalaran Statistis (Statistical Reasoning) dan Berpikir Statistis (Statistical Thinking) Guru SMP/SMA. Bandung: Jurnal Albamas tahun 10, No. 10, Oktober 2010, ISSN 1412-1891. Martadiputra. (2010.a). Hasil Uji Coba Instrumen Kemampuan Berpikir Statistis (Statistical Thinking). Bandung: PPs UPI, Tugas Mata Kuliah MT. 911 Studi Individual. Martadiputra dan Tapilouw.(2011). Kajian tentang Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1 Jurusan Pendidikann Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Laporan Penelitian. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta PendekatanGabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: SPS UPI. Suryadi, D. (2010). Didactical Design Researh (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika I. Bandung: Seminar Nasional Pembelajaran MIPA di UM Malang, 13 November 2010. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
63
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMK MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelompok Pariwisata di kota Bandung)
Oleh : Puji Lestari Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut Abstrak SMK merupakan lembaga pendidikan yang mempersiapkan siswa siswinya agar dapat memenuhi kebutuhan dunia kerja saat ini. Matematika sebagai mata pelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan lulusan menjadi tenaga kerja terampil dan memiliki bekal penunjang bagi penguasaan keahlian profesi, diharapkan dapat membantu siswa untuk menjadi Sumber Daya Manusia yang handal sesuai kebutuhan dunia kerja. Untuk mampu mengaplikasikan konsep-konsep dasar matematika sebagai bekal penunjang bagi penguasaan keahlian profesi, maka dibutuhkan kemampuan koneksi matematis siswa yang baik. Pendekatan pembelajaran yang tepat untuk dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa adalah pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu pendekatan yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Kata Kunci: Kontekstual, Koneksi Matematis. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Sekolah Menengah Kejuruan yang merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di bidang kejuruan yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) dalam berbagai program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja, menyiapkan para siswa menjadi manusia produktif yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Agar hal tersebut dapat dicapai dengan baik maka para siswa harus dapat menyelesaikan seluruh mata pelajaran dan program diklat dengan berbagai macam standar kompetensi yang telah ditetapkan. Matematika adalah salah satu pelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan lulusan menjadi tenaga kerja terampil dan memiliki bekal penunjang bagi penguasaan keahlian profesi, sehingga matematika mempunyai peranan dalam pengembangan diri siswa dan menunjang penguasaan keahlian profesi. Dalam tujuan kurikulum SMK, siswa diharapkan mampu mengembangkan diri untuk bekerja di dalam suatu bidang keahlian, maka siswa dituntut untuk selalu siap dan terampil dalam berbagai situasi. Sedangkan pada kenyataannya, situasi yang terjadi dalam setiap bidang keahlian selalu menghadapi masalah-masalah yang relatif baru yang selalu memerlukan penyelesaian. Kondisi serupa juga dialami oleh Rusgianto (2002) juga menunjukkan bahwa kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya dalam kehidupan yang nyata masih belum memuaskan. Ruspiani (dalam Kurniawan, 2007) mengungkap bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain, 44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian. Kenyataan ini memberi isyarat bahwa tujuan pembelajaran matematika seperti yang digariskan dalam kurikulum SMK sebagai pelajaran adaptif yang diharapkan dapat membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan produktifnya dan permasalahan sehari-hari masih belum tercapai. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual ? 64
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2. 3.
Apakah terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual ? Apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. 2. Untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual. 3. Untuk mengetahui apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 1.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. 2. Ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual. 3. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. II. KAJIAN TEORI 2. 1. Pembelajaran Kontekstual Pendekatan pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas (2003) adalah pendekatan yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga. Pada pembelajaran kontekstual, sesuai dengan tumbuhkembangnya ilmu pengetahuan, konsep dikonstruksi oleh siswa melalui proses tanya-jawab dalam bentuk diskusi. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu konstruksivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan asesmen otentik (authentic assesment). Pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dilakukan dengan mengembangkan ketujuh komponen utamanya sebagai langkah penerapan dalam pembelajaran (Depdiknas, 2003: 10), yaitu: 1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menentukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. 2. Melaksanakan sebisa mungkin kegiatan penemuan dalam proses pembelajarannya. 3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pertanyaan. 4. Ciptakan suasana ‗masyarakat belajar‘ dengan melakukan belajar dalam kelompok. 5. Hadirkan ‗model‘ sebagai alat bantu dan contoh dalam pembelajaran. 6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan. 7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Penilaian yang sebenarnya dilakukan dengan mempertimbangkan setiap aspek kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
65
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.2. Koneksi dalam Matematika Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya (Ruspiani, 2000: 68). Kuatnya koneksi antar konsep matematika berimplikasi bahwa aspek koneksi matematis juga memuat aspek matematis lainnya atau sebaliknya. Koneksi di dalam dan antar ide matematika menekankan kepada hubungan-hubungan matematis, yaitu bagaimana para guru dapat membangun siswa-siswa membangun disposisi untuk memamnfaatkan hubungan-hubungan dalam memecahkan permasalahan masalah, bukannya memandang matematika sebagai konsep-konsep dan skill-skill tersendiri yang tidak saling berhubungan (Wahyudin, 2008 : 535). Sebagai contoh hubungan diantara diameter dan keliling dari suatu lingkaran bisa dipelajari secara empiris dengan mengunpulkan berbagai benda bulat dan mengukur keliling serta diameternya. Para siswa dikelas boleh mengumpulkan data dan membuat grafik data untuk kedua variabel tadi, yaitu keliling (k) dan diameter (d). Koneksi dengan dunia nyata serta mata pelajaran lain keduanya termasuk koneksi di luar matematika. Sebagai contoh, koneksi dengan kehidupan nyata yang berkaitan dengan materi luas dan keliling bangun rata misalnya menghitung luas maupun keliling suatu kebun, bagaimana mengukur luas tanah, ataupun luas sebuah rumah, dan hal ini merupakan aktifitas sehari-hari yang lazim terjadi di dunia sekitar kita. III.
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Dikarenakan kondisi lapangan yang tidak memungkinkan untuk penulis melaksanakan pretes pada kelas kontrol, sehingga desain pada penelitian ini berubah menjadi bentuk : O X O --------------------O Keterangan : O : Pretes dan postes (tes kemampuan koneksi matematis). X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. ---- : Subyek dipilih secara purposive berdasarkan hasil diskusi dengan pihak sekolah yang memandang penting aplikasi matematika dalam bidang pariwisata. 3.2. Subjek Penelitian Penelitian dilakukan pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Bandung Kelompok Pariwisata. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X bidang keahlian Restoran. Penentuan kelas eksperimen berdasarkan pertimbangan kelas yang tersedia yang belum menerima materi luas dan keliling bangun datar, serta konsep aplikasi yang lebih relevan diterapkan di kelas restoran. 3.3. Pengolahan Data Data yang didapat dalam penelitian ini berupa tes kemampuan koneksi matematis. Untuk instrumen tes kemampuan koneksi, pengolahan data dilakukan dengan pengujian hipotesis sebagai berikut: 1. Ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. 2. Ada perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual. 3. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 66
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Keseluruhan hipotesis diatas akan diuji dengan melihat nilai rata-rata gain ternormalisasi. Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik berikut: H0 : postes-pretes = 0 H1 : postes-pretes ≠ 0 g-postes-pretes > 0 Hipotesis 1 : H0
: tidak ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. : ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
H1
Untuk menguji hipotesis ke-2 dilakukan analisa dengan menggunakan nilai rata-rata gain ternormalisasi serta pengujian rerata 3 variabel. H0 : g-atas = g-tengah = g-bawah H1 : minimal satu pasangan tidak sama Hipotesis 2 : H0 : tidak ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual. H1 : terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual. Untuk menguji hipotesis ke-3 dilakukan analisa dengan uji perbedaan dua rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik berikut: H0 : eksperimen = kontrol H1 : eksperimen ≠ kontrol eksperimen > kontrol Hipotesis 3 : H0
: kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional sama. : kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
H1
IV. HASIL PENELITIAN 4.1.
Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis
Statistik Deskriptif Skor Pretes & Postes Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen Skor Pretes Aspek
Skor Ideal
𝐱𝐦𝐢𝐧
𝐱𝐦𝐚𝐱
Kemampuan Koneksi Matematis
17
0
7
𝐱
Skor Postes
S
Asymptotic Significance
𝐱𝐦𝐢𝐧
𝐱𝐦𝐚𝐱
1,87
0,115
4
16
2,42 14,24%
𝐱
S
Asymptotic Significance
3,02
0,005
12,69 74,65%
Dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 maka untuk skor pretes berditribusi normal sedangkan skor pretes berdistribusi tidak normal, sehingga untuk melihat adanya peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen setelah pembelajaran kontekstual tidak dapat Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
67
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
menggunakan uji-t data berpasangan, melainkan menggunakan uji non parametrik untuk menguji perbedaan rerata. Uji Non Parametrik untuk Perbedaan Rerata
Uji non Parametrik yang akan digunakan adalah uji non parametrik Mann-Whitney. Hasil Uji Mann-Whitney Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ditampilkan pada tabel berikut : Aspek
Asymptotic significance
Taraf Signifikansi
Kemampuan Koneksi matematis
0
0,05
Karena nilai probalitas kemampuan ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 ini berarti 𝐻0 ditolak, artinya ada perbedaan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pendekatan dengan pembelajaran kontekstual. Kelas Eksperiman Aspek
Kemampuan Koneksi Matematis
Rata-rata Gain Ternormalisasi
Kategori
0,70
Sedang
Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah diberikan pembelajaran kontesktual tidak terlalu tinggi. Peningkatan kemampuan koneksi matematis kelas eksperimen secara rinci dapat dilihat dari skor gain ternormalisasi per butir soal seperti yang terlihat pada Tabel berikut : Rekapitulasi Rata-rata Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Kelas Eksperimen Nomor Soal
Rata-rata Skor Pretes
Rata-rata Skor Postes
Rata-rata Skor Gain Ternormalisasi
Kategori
1
1,22
3,5
0,80
Tinggi
2
0,42
2,53
0,45
Sedang
3
0,67
3,58
0,84
Tinggi
4
0,11
3,08
0,76
Tinggi
Rata-rata
0,61
3,17
0,71
Tinggi
68
Aspek Kemampuan Koneksi Menerapkan secara matematika pada kehidupan sehari-hari Mengenali dan menerapkan konsepkonsep matematika untuk menentukan keserupaan hubungan dari konsep-konsep tersebut Menghubungkan prosedur matematis pada konsep dasar siswa Menerapkan secara matematika didalam konteks berdasarkan pekerjaan (karier) Gabungan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dari Tabel dapat dilihat bahwa besarnya peningkatan dari rata-rata skor gain dari keempat soal tes kemampuan koneksi matematis yang diberikan, rata-rata berada pada kategori tinggi, dimana nilai rata-rata skor gain ternormalisasi berkisar antara 0,45 sampai dengan 0,84. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan koneksi siswa setelah mendapat pembelajaran kontekstual mengalami peningkatan yang sangat baik. 4.2. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan Tingkat Kemampuan S Aspek
Kelompok
Tengah
x
I
S
xmin
xmaks
𝒙
S
3
7 4,90
1,20
6
16
12,1
3,67
1
3 2,06
0,68
4
15
13,13
2,85
0
1 0,50
0,53
8
15
12,6
2,80
min
maks
7
7
3 1 1 0
1
Bawah
x
Postes
𝒙
ideal Atas Kemampuan Koneksi Matematis
Pretes
Skor
3
Untuk kemampuan koneksi matematis skor rata-rata kemampuan awal siswa kelompok atas adalah 4,90 yaitu 28,82% skor ideal, kelompok tengah 2,06 sebesar 12,12% skor ideal dan kelompok bawah 0,50 sebesar 2,94% skor ideal. Sedangkan kemampuan koneksi matematis setelah mendapatkan pembelajaran kontekstual untuk kelompok atas rata-ratanya bernilai 12,1 yaitu sebesar 71,18% skor ideal, kelompok tengah 13,13 yaitu 77,24% skor ideal dan kelompok bawah 12,6 yaitu sebesar 74,12% skor ideal. Terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis sebelum dan sesudah mendapatkan pembelajaran kontekstual yaitu untuk kelompok atas sebesar 42,36%, kelompok tengah 65,12%, dan kelompok bawah sebesar 71,18%. Dari nilai tersebut, terlihat bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis setelah mendapatkan pembelajaran kontekstual. Perbedaan Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelompok Atas, Tengah, dan Bawah
15 10
pretes
5
postes
0 atas
tengah bawah
Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen
Aspek
Kelompok
Kemampuan Koneksi Matematis
Atas Tengah Bawah
Rata-rata skor Gain ternormalisasi
Kriteria
0,59 0,74 0,73
Sedang Tinggi Tinggi
Pada kemampuan koneksi matematis, peningkatan dengan kriteria sedang diperoleh kelompok atas, sedangkan kelompok tengah dan kelompok bawah peningkatannya berada pada kategori tinggi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
69
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Uji perbedaan rerata untuk melihat adanya perbedaan peningkatan koneksi matematis berdasarkan tingkat kemampuan siswa menggunakan perhitungan Anova Satu Jalur oleh program SPSS secara lengkap ditampilkan pada tabel berikut : Perhitungan Anova Satu Jalur Kemampuan Koneksi Siswa Kelas Eksperimen Aspek
Significance
Significance
Kelompok
uji Scheffe
Kesimpulan
Tengah
0,243
H0 diterima
Bawah
0,352
H0 diterima
Atas
0,243
H0 diterima
Bawah
0,996
H0 diterima
Atas
0,352
H0 diterima
Tengah
0,996
H0 diterima
Atas Kemampuan Koneksi Matematis
0,204
Tengah
Bawah
Dari Tabel terlihat bahwa kolom signifikansi kemampuan koneksi matematis seluruh kelompok menunjukkan skor masing-masing 0,204. Karena taraf signifikansi yang digunakan adalah 𝛼 = 0,05 dan probabilitasnya lebih besar dari taraf signifikansi, maka 𝐻0 diterima. Selanjutnya untuk melihat adanya perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan tingkat kemampuan siswa digunakan uji Scheffe. Untuk kemampuan koneksi matematis, kelompok atas-tengah memiliki probabilitas 0,243; kelompok atas-bawah 0,352 dan kelompok tengah-bawah probabilitas 0,996. Masing-masing kelompok untuk kemampuan koneksi matematis memiliki probabilitas lebih besar dari taraf signifikasi 0,05. Ini berarti 𝐻0 diterima, artinya tidak ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan tingkat kemampuan setelah siswa mendapat pembelajaran kontekstual. 4.3. Hasil Pengolahan Data Kemampuan Koneksi Matematis Siswa kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Karena desain yang digunakan adalah ‖Perbandingan Kelompok Statik‖, maka kemampuan awal siswa kelas eksprimen maupun kelas kontrol diasumsikan sama. Asumsi tersebut berdasarkan kepada skor pretes kelas eksperimen dan nilai rata-rata harian kelas kontrol. Skor Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Aspek Kemampuan Pemahaman Matematis Kemampuan Koneksi Matematis
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Skor Ideal
xmin
xmaks
𝒙
s
xmin
xmaks
x
S
20
4
20
15,44
2,43
4
17
10,55
3,69
17
4
16
12,54
3,04
4
13
9,88
2,13
Dari Tabel diatas diketahui bahwa kemampuan koneksi matematis, skor rata-rata siswa kelas eksperimen adalah 12,54 yaitu sebesar 73,77% skor ideal sedangkan kelas kontrol adalah 9,88 yaitu sebesar 58,12% skor ideal. Hasil perhitungan uji normalitas postes kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol ditampilkan dalam Tabel berikut ini 70
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Hasil Uji Normalitas Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Aspek
Asymptotic significance
Kemampuan Koneksi Matematis
0,005
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Taraf Taraf Asymptotic Kesimpulan Kesimpulan Signifikansi significance Signifikansi 0,05
Tidak Normal
0,180
0,05
Normal
Dengan demikian, karena terdapat kemampuan yang tidak berdistribusi normal, maka pengujian perbedaan dua rata-rata kemampuan koneksi matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji non parametrik. Uji Perbedaan Rerata Kemampuan Koneksi Matematis antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Uji perbedaan rerata kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah uji non parametrik yaitu uji U dari Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney dilakukan menggunakan program SPSS dengan hasil perhitungan sebagai berikut :
Aspek
Asymptotic significance
Taraf Signifikansi
Kemampuan Koneksi Matematis
0,0
0,05
Dari hasil uji Mann-Whitney, untuk kemampuan koneksi matematis kolom Asymptotic significance dua sisi menunjukkan nilai 0,0 ini berarti 𝐻0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis yang cukup signifikan antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. V.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
2.
3.
Siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan pembelajaran kontekstual mengalami peningkatan kemampuan koneksi matematis, yaitu secara rata-rata peningkatannya sekitar 60,41% dan peningkatan tersebut didominasi oleh soal-soal yang penerapan matematika pada kehidupan sehari-hari ataupun pada konteks berdasarkan pekerjaan atau karir. Terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis yang tidak signifikan pada siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah memperoleh pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, dikarenakan antara kelompok atas, tengah, dan bawah peningkatan berkisar antara sedang dan tinggi. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hal ini membuktikan bahwasanya pendekatan pembelajaran secara kontekstual telah membuat siswa merasa ―mengalami‖ sendiri pengetahuannya bukan hanya ―mengetahui‖ dan hal tersebut otomatis membuat siswa menjadi lebih baik kemampuannya terutama kemampuan koneksi matematisnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
71
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, M. 2007. Memahami Matematika SMK 2. Armico: Bandung. -----------------. Dukungan Media Pembelajaran Matematika Berbasis TIK Untuk Peningkatan Pemahaman Konsep Keliling dan Luas Segi Empat. Tersedia Online : Http://4riif.wordpress.com/2008/07/10/proposal-penelitian-dukungan-media-pembelajaran-matematikaberbasis-tik-untuk-peningkatan Departemen Pendidikan Nasional. Pembelajaran Berbasis Kontekstual 1. Sosialisasi KTSP. Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan. Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies. Lesson from Research and Practise. Second Edition. Australia : Social Science Press. Krismanto, A. (2003). Beberapa Tehnik, Model, dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. PPPG Matematika Yogyakarta. Kurniawan, R. (2007). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Koneksi Matematik Siswa SMK. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika: Yogyakarta. Laily, A. H. (2007). Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Mengaplikasikan Konsep Matematika. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan. New Jersey State Board of Education. (1996). The New Jersey Mathematics Curriculum Framework was developed to provide information, guidance, and assistance to teachers and curriculum developers in implementing the mathematics standars. Tersedia online : Http://dimacs.rutgers.edu/nj_math_coalition/framework/acrobat/chap01-4.pdf. Diakses pada tanggal 21 Maret 2009. Nugroho, S. Statistik Non Parametrik. Makalah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ruseffendi, H. E. T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non eksaksta Lainnya. Semarang : UNNES Press. Rusgianto. (2002). Contextual Teaching and Learning. Disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika 3 November 2002. FMIPA UNY: tidak diterbitkan. -----------------------. Statistik Uji Non Parametrik Uji Data Dua Sampel Independent. Makalah. Siegel, S. dkk. (2000). Tata Hidangan dan Minuman untuk edisi Indonesia. S. Trauner : Austria. Stewart, J. Correcting The Normalized Gain. University of Arkansas. Sudjiono, A. (1998). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Suhendar. (2007). Meningkatkan Komunikasi dan Koneksi Matematis siswa SMP yang berkemampuan Rendah melalui Pendekatan Kontekstual dengan Pemberian Tugas Tambahan. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan. Suherman, E. dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. FMIPA-JICA UPI Bandung : Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. & Permana, Y. 2007. Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi matematik Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal. EDUCATIONIST. Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius. Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Tidak Dipublikasikan. ---------------------------------. What is contextual teaching and learning?. TeachNET. Tersedia Online : http://www.cew.wisc.edu/teachnet/ctl/ diakses pada tanggal 5 Juni 2009. Van de Wall, J., A. (2008). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga.
72
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI KOLABORASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN JIGSAW II PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Oleh : Rudy Kurniawan Dosen Tetap STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Penelitian eksperimen ini berupaya mengungkap perbedaan kemampuan pemahaman matematis (KPM) dan kemampuan pemecahan masalah matematis (KPMM) siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan kolaborasi pendekatan kontekstual dan jigsaw II (CTLJ), siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual (CTL) dan siswa yang pembelajarannya secara konvensioanl (PK). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMK kelompok teknologi se-kabupaten Majalengka, dengan sampel yang dipilih secara acak kelas. Instrumen yang digunakan adalah tes pengetahuan awal matematis (PAM), tes KPM, tes KPMM, sedangkan analisis data menggunakan uji Anova 1 jalur dan Anova 2 jalur. Kesimpulan hasil penelitian secara keseluruhan adalah: (1) KPM dan KPMM siswa kelompok CTLJ dan CTL secara signifikan lebih baik dari pada siswa kelompok PK; (2) Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM ataupun level sekolah terhadap kemampuan KPM siswa; (3) Terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM ataupun level sekolah terhadap KPMM siswa. Kata Kunci: Kemampuan pemahaman matematis dan pemecahan masalah matematis serta pendekatan kontekstual dan metode jigsaw II. Latar Belakang Masalah
Pendidikan yang baik dan tepat dipandang sebagai aset sektor yang strategis dalam mempersiapkan SDM yang berbudi pekerti luhur dan mumpuni dalam menyelesaikan setiap permasalahan, harus benar-benar ditangani secara profesional. Dengan demikian, usaha-usaha yang intensif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan sudah selayaknya lebih diperhatikan, karena melalui pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk dapat bersikap dan berprilaku kritis, kreatif, logis dan inovatif dalam menghadapi serta menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut senada dengan pendapat Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa hasil dari pendidikan matematika yaitu siswa berpeluang memiliki kepribadian yang kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun, berprikemanusiaan, mempunyai perasaan keadilan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. Oleh karena itu salah satu tujuan pembelajaran matematika tingkat SMK kelompok teknologi (Depdiknas: 2008) untuk mencetak SDM yang handal adalah: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah 2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Dengan demikian, salah satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan pemahaman matematis (KPM) dan pemecahan masalah matematis (KPMM). Namun berdasarkan kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan indikasi yang berbeda, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional, sehingga KPM dan KPMM belum dapat diperoleh sebagaimana mestinya. Hal tersebut, didukung fakta belum memuaskannya KPM terlihat dalam nilai rata-rata matematika siswa SMK pada Ujian Nasional lima tahun terakhir, relatif merupakan nilai terendah dari semua mata pelajaran yang diujiankan (Depdiknas, 2008), sedangkan rendahnya KPMM siswa terlihat juga dari rendahnya prestasi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di ajang Program for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 bahwa Indonesia masih berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Syaban, 2008). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
73
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Salah satu pembelajaran yang diduga berpeluang untuk mencapai KPM dan KPMM adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Menurut Berns dan Ericson (2001), pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya. Salah satu kekuatan CTL yaitu pada awal pembelajarannya siswa diberi permasalahanpermasalahan situasional yang dikemas dalam bentuk basis-basis konteks permasalahan yang berkaitan dengan konsep matematika, ilmu pengetahuan lain atau kehidupan nyata, dimana cara penyelesaiannya dapat dilakukan secara mandiri atau melalui diskusi, sharing idea dengan teman, melakukan ekplorasi, investigasi serta pemecahan masalah yang dapat melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin bidang studi lain, sehingga proses kegiatan tersebut akan merangsang siswa menggunakan segala kemampuannya dalam mengkonstruksi pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan. Sebagaimana Sabandar (2006) menyatakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan tahapan dimana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang berpeluang memaksa siswa untuk berpikir matematis. Berpikir matematis tersebut diantaranya yaitu kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Seting pembelajaran kontekstual melalui diskusi kelompok dapat dikolaborasikan dengan metode jigsaw II (CTLJ). Dengan kolaborasi metode pembelajaran jigsaw II, selain siswa mempunyai kelebihan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk memahamai spesialisasi tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi atau mempelajari suatu materi pelajaran lebih dari dua kali. Dengan demikian, pembelajaran dengan kolaborasi pendekatan kontekstual dan jigsaw II, selain siswa digiring menuju pengkontruksian pengetahuannnya dengan permasalahan-permasalahan kontekstual, juga mereka dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan dan menyampaikan suatu materi/permasalahan hasil diskusi di kelompok ahli pada teman-teman anggota kelompok asalnya. Penelitian dengan subjek populasi siswa SMK, khususnya pada SMK kelompok teknologi harus segera dilaksanakan, hal tersebut karena berdasarkan pada program pemerintah bidang kependidikan yang akan membuka sekolah kejuruan, sehingga prosentase antara sekolah kejuruan dan sekolah umum adalah 70% berbanding 30%. Bahkan menurut Sabandar (Kurniawan, 2006) penelitian dengan subjek siswa-siswa SMK perlu segera dilakukan, karena penelitian-penelitian pada sekolah kejuruan masih sedikit, yaitu sekitar 5% dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan mahasiswa. Oleh karena itu maka penulis termotivasi untuk meneliti tentang kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis melalui pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan implementasinya pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan dan batasan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada perbedaan KPM atau KPMM siswa yang mendapatkan CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari siswa secara keseluruhan? 2. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM terhadap KPM atau KPMM siswa secara keseluruhan? 3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap KPM atau KPMM siswa secara keseluruhan? 74
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Setting Pembelajaran dengan Kolaborasi Pendekatan Kontekstual dan Metode Jigsaw II
Slavin (2008) menggambarkan pembelajaran dengan metode jigsaw II adalah pembelajaran dalam sebuah tim yang heterogen sebagaimana pembelajaran kooperatif yang biasa. Namun saat pembelajaran dengan menggunakan metode jigsaw II, para siswa diberi tugas untuk membaca dan mempelajari beberapa bab atau unit yang berisi suatu ‘lembar ahli‘. Suatu ‘lembar ahli‘ berisi suatu materi yang terdiri atas topik-topik berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca dan mempelajari materi yang diberikan. Setelah semua siswa selesai membaca dan mempelajari materi yang diberikan, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik materi yang sama bertemu dalam ‘kelompok ahli‘ untuk mendiskusikannya sekitar 30 menit. Para ahli tersebut kemudian kembali pada tim mereka masing-masing dan secara bergantian mengajari dan sharing dengan teman satu timnya mengenai topik mereka. Sebagai langkah terakhir, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik, dan skor kuis akan menjadi skor tim, artinya setiap perolehan nilai/skor kuis dari masing-masing anggota tim berkontribusi pada perolehan skor timnya secara keseluruhan. Para siswa yang memperoleh skor tim yang tertinggi akan memperoleh suatu penghargaan berupa penghargaan/sertifikat ataupun bentuk-bentuk rekognisi yang lainnya. Dengan memperhatikan penjelasan pembelajaran tersebut di atas, maka setting pembelajaran CTLJ pada penelitian ini adalah : 1. Saat pembelajaran dimulai, guru memberikan apersepsi dan motivasi tentang materi yang akan diberikan. Siswa duduk sesuai dengan teman sebangkunya. 2. Saat kegiatan inti pembelajaran, siswa dibuat kelompok kecil sekitar 4-5 orang dengan kemampuan yang heterogen. Tidak ada siswa yang duduk membelakangi papan tulis. 3. Kelompok siswa diberikan permasalahan dalam bentuk kontekstual atau yang disimulasikan. Permasalahan dipilih yang menantang siswa untuk mencari solusinya, dalam bentuk LKS. 4. Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkonstruksi, asimilasi serta akomodasi pengintegrasian pengetahuan yang ia miliki dalam menyelesaikan/mempelajari semua permasalahan yang dihadapi dengan kelompok asalnya. 5. Siswa berdiskusi tentang satu segmen permasalahan dengan kelompok/tim ahlinya masingmasing. 6. Setelah tim ahli mempelajari dan berdiskusi pada segmennya masing-masing, maka setiap anggota dalam tim ahli kembali pada kelompok jigsaw asalnya masing-masing. 7. Setiap siswa mempresentasikan hasil diskusi di kelompok ahli pada kelompok jigsawnya masing-masing. 8. Guru hendaknya berkeliling kelas, guru menjadi fasilitator, motivator, dan negoisator, serta memperhatikan setiap kelompok jigsaw dan memberikan bantuan seperlunya pada kelompok yang bermasalah. 9. Setelah diskusi pada kelompok asal jigsaw selesai, guru mengadakan kuis. Setiap siswa mengerjakan soal kuis secara mandiri. 10. Pada akhir kegiatan dilakukan refleksi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung. Siswa dibimbing agar mampu menyimpulkan hasil pembelajaran, kemudian siswa diberi pekerjaan rumah berupa soal-soal latihan atau mempelajari materi yang akan datang. Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), jika siswa memahami sesuatu objek matematika maka ia mampu mengkontruksi dan mengkomunikasikan pesan-pesan intruksional tentang objek matematika dengan kata-kata, tulisan atau grafik. Dari pengertian tersebut ada enam indikator KPM yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu menginterpretasikan, memberikan contoh, mengklasifikasikan, merangkum, membandingkan dan menjelaskan. Sumarmo (2004) menjelaskan pemecahan masalah sebagai kemampuan adalah suatu kemampuan mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan strategi untuk Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
75
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna (meaningful). Metode Penelitian eksperimen ini menggunakan teknik analisis data yang diolah secara kuantitatif. Tiga kelompok siswa dipilih secara acak kelas, yaitu kelompok eksperimen-1 memperoleh perlakuan berupa pembelajaran CTLJ, kelompok eksperimen-2 memperoleh perlakuan pembelajaran CTL dan kelompok kontrol menggunakan PK. Sebelum perlakuan, kedua kelompok diberi tes PAM, dan setelah perlakuan diadakan postes. Disain penelitian ini adalah: A X1 O A X2 O A O Keterangan: A = Pengambilan sampel secara acak O = Postes kompetensi Bilangan Real dan Program Linier X1 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTLJ X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTL Populasi dan Sampel
Populasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK kelompok teknologi seKabupaten Majalengka. Pemilihan subyek sekolah diambil secara purposive sampling untuk memilih satu sekolah level atas (SA) dan satu sekolah level tengah (ST). Level SA adalah SMKN 1 Panyingkiran, dan level ST adalah SMK PUI Majalengka. Selanjutnya dari tiap level sekolah dipilih sampel secara acak kelas sebanyak tiga kelas. Jumlah sampel penelitian yang terlibat adalah 201 siswa. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa tes PAM, Tes KPM dan tes KPMM. Untuk patokan kegiatan pembelajaran dibuat rencana pembelajaran dengan pendekatan CTLJ dan CTL serta bahan ajar yang disertai soal-soal yang berpeluang menumbuhkan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan disposisi matematis. 1. Tes Pengetahuan Awal Matematis (PAM)
Tes pengetahuan awal adalah tes yang memuat soal-soal yang dapat menunjang pemahaman dan pemecahan masalah dari konsep materi Bilangan Real dan Program Linier. Tes PAM berbentuk uraian sebanyak 15 buah soal. Sebelum digunakan pada subyek penelitian, tes PAM divalidasi terlebih dahulu secara logis. 2. Tes KPM dan Tes KPMM
Tes KPM dan tes KPMM berupa uraian sebanyak 9 buah soal, sedangkan skor rubrik jawabannya disesuaikan dari skala Evaluating Problem Solving in Mathematics (Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment: 2009), namun sebelum digunakan instrumen tes divalidasi secara logis dan empirik. Pengembangan Bahan Ajar dan Validasinya
Pembelajaran dalam penelitian ini disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS). Penyusunan LKS mempertimbangkan tugas, partisipasi, dan motivasi siswa yang dirancang dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sesuai materi ajar yang akan diteliti. Validasi LKS dilakukan secara logis oleh pakar pendidikan.
76
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Teknik Pengolahan Data
Seluruh perhitungan statistik menggunakan SPSS-16, dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis pengolahan data rerata kemampuan PAM, KPM dan KPMM menggunakan uji Anova satu jalur, Anova dua jalur. Namun sebelumnya, normalitas data diuji dengan menggunakan uji KolmogorovSmirnov Z (K-S-Z) dan homogenitas data diuji dengan menggunakan uji Levene. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.
Analisis Kemampuan Pengetahuan Awal Matematis
Tujuan tes kemampuan PAM adalah untuk mengetahui pengetahuan awal siswa sebelum proses pembelajaran berlangsung dan untuk mengetahui kesetaraan sampel penelitian serta menentukan peringkat siswa (tinggi, sedang dan rendah). Berdasarkan hasil analisis uji Anova 1 jalur terhadap rerata skor tes PAM siswa yang mendapatkan CTLJ, CTL dan PK siswa ST, SA dan keseluruhan, ternyata semua kelompok pembelajaran memiliki kemampuan PAM yang setara. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan matematis seluruh kelompok pembelajaran berasal dari kelompok yang sama. 2.
Analisis Data Kemampuan Pemahaman Matematis
Deskripsi statistik rerata KPM siswa dari setiap pembelajaran berdasarkan level sekolah disajikan sesuai Tabel 1. Dari tabel tersebut memberikan gambaran bahwa rerata KPM kelompok siswa peringkat tinggi dari setiap pembelajaran (CTLJ, CTL, PK) lebih besar dibandingkan dengan kelompok sedang dan rendah, serta rerata KPM kelompok siswa peringkat sedang dari setiap pembelajaran lebih besar dibandingkan dengan kelompok rendah. Tabel 1 Deskripsi Statistik Rerata KPM dan KPMM CTLJ Level Sekolah
Atas (SA)
Tengah (ST)
SA+ ST
PAM
CTL
Postes
Postes n
KPM
KPMM
Tinggi
52,923
58,000
Sedang
45,200
Rendah
PK Postes n
KPM
KPMM
13
53,667
53,444
46,800
15
39,190
38,833
40,917
12
Total
45,800
48,675
Tinggi
40,220
Sedang
n KPM
KPMM
9
40,600
43,000
10
42,286
21
31,471
41,176
17
35,625
39,250
8
25,250
33,750
12
40
41,868
44,290
38
31,897
39,359
39
35,560
9
46,830
42,670
6
33,750
32,620
8
39,450
33,090
11
39,240
37,410
17
31,700
35,200
10
Rendah
37,430
35,140
7
39,500
38,170
6
31,800
33,800
10
Total
39,185
34,440
27
40,862
38,660
29
32,320
33,964
28
Tinggi
51,313
56,190
16
49,600
49,130
15
35,920
41,292
24
Sedang
41,971
39,030
35
39,889
40,810
36
31,650
36,450
20
Rendah
37,500
38,250
16
37,250
37,380
16
28,430
33,304
23
Total
43,134
42,940
67
41,433
41,850
67
32,070
37,104
67
Keterangan: Skor maksimum tes KPM adalah 70 dan skor maksimum tes KPMM adalah 90
Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan PAM terhadap KPM siswa, disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
77
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 2 Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KPM Siswa Source Pembelajaran PAM Interaksi
Sum of Squares 1531,389 3671,832 239,374
Df
Mean Square
F
Sig.
2 2 4
765,694 1835,916 59,843
19,209 46,058 1,501
0,000 0,000 0,203
Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran (CTLJ, CTL dan PK) dan faktor PAM memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansinya (0,000) lebih kecil dari 0,05. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,203) lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap KPM disajikan pada Gambar.1.
Gambar 1. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan PAM dalam Pencapaian KPM Siswa Secara Keseluruhan
Pada Gambar 1 tampak bahwa ditinjau berdasarkan PAM siswa ternyata rerata KPM seluruh kelompok siswa yang mendapatkan CTLJ dan CTL lebih besar dari pada PK. Artinya secara keseluruhan pembelajaran berbasis kontektual dapat diterapkan pada semua siswa. Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan level sekolah terhadap KPM siswa, disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap KPM Siswa Source Pembelajaran Level Sekolah Interaksi
Sum of Squares 1244,261 919,766 284,312
Df
Mean Square
F
Sig.
2 1 2
622,130 919,766 142,156
11,882 17,566 2,715
0,000 0,000 0,069
Tabel 3. menunjukkan bahwa faktor pembelajaran dan faktor level sekolah memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansinya (0,000) lebih kecil dari 0,05. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,069) lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa.
78
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap KPMM disajikan pada Gambar.2.
Atas
Tengah
Gambar 2. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis
Dari gambar 2, terlihat bahwa pada level ST pembelajaran CTL lebih baik dalam mencapai KPM, sedangkan pada level SA CTLJ lebih baik dilakukan dibandingkan kedua pembelajaran yang lainnya. 3.
Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Deskripsi statistik rerata KPMM siswa dari setiap pembelajaran berdasarkan level sekolah disajikan sesuai Tabel 1 (hal.9). Tabel tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan masing-masing peringkat siswa, ternyata rerata KPMM siswa yang mendapatkan CTLJ atau CTL lebih tinggi dari pada kelompok PK. Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan PAM terhadap KPMM siswa, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran dan faktor PAM memberikan perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan KPMM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikan sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Selain itu, berdasarkan nilai probabilitas interaksi (0,002) lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap pencapaian KPMM. Tabel 4 Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KPMM Siswa
Source Pembelajaran PAM Interaksi
Sum of Squares 5690,814 4710,517 1027,050
Df 2 2 4
Mean Square 2845,407 2355,258 256,763
F
Sig.
49,523 40,992 4,469
0,000 0,000 0,002
Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap KPMM disajikan pada Gambar 3.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
79
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Gambar 3. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan PAM dalam Pencapaian KPMM Siswa Secara Keseluruhan
Pada Gambar 3, ditinjau dari PAM siswa ternyata tampak bahwa rerata KPMM seluruh kelompok siswa yang mendapatkan CTLJ atau CTL lebih besar dari pada PK. Deskripsi hasil analisis uji Anova dua jalur interaksi pembelajaran dengan level sekolah terhadap KPMM siswa, disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap KPMM Siswa secara Keseluruhan Source Pembelajaran Level Sekolah Interaksi
Sum of Squares 3844,464 2051,932 1756,898
Df
Mean Square
F
Sig.
2 1 2
1922,232 2051,932 878,449
29,386 31,369 13,429
0,000 0,000 0,000
Dari Tabel 5 tersebut tampak bahwa nilai signifikansi faktor pembelajaran, faktor level sekolah maupun faktor interaksi (0,000) lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dan level sekolah membawa dampak perbedaan terhadap KPMM siswa, selain itu terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap KPMM siswa secara keseluruhan. Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap KPMM disajikan pada Gambar 4.
Atas
Tengah
Gambar 4. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
80
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBAHASAN
Hasil Anova dua jalur seperti tersaji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran (CTLJ, CTL dan PK) dan faktor PAM memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,203) lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. Artinya bahwa pembelajaran CTLJ dan CTL dapat diterapkan pada semua jenjang PAM siswa dalam mencapai KPM. Tabel 3. menunjukkan bahwa nilai probabilitas interaksinya (0,069) lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap KPM siswa. Artinya bahwa pembelajaran CTLJ dan CTL dapat diterapkan pada siswa di semua level sekolah. Selain itu, untuk siswa level SA dan secara keseluruhan CTLJ lebih baik daripada CTL maupun PK, namun untuk level ST ternyata CTL lebih baik daripada CTLJ ataupun PK. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurniawan (2006) bahwa CTL lebih cocok dilakukan pada siswa dengan kemampuan sedang dan rendah dibandingkan siswa kelompok tinggi, karena pada sebagian siswa kelompok tinggi bila pengkonstruksian konsep selalu menggunakan basis-basis masalah kontekstual dapat membuat mereka bosan. Berdasarkan hasil uji Anova dua jalur pada Tabel 4, diketahui bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap pencapaian KPMM, tetapi karena nilai Fhitung untuk faktor pembelajaran lebih besar dari pada Fhitung faktor PAM, artinya bahwa pembelajaran CTLJ atau CTL lebih dominan terhadap KPMM siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Johson (Kurniawan, 2006) yang menyatakan bahwa orang yang sering mendapat stimulus respon saat pembelajarannya maka akan berpeluang lebih besar dalam meningkatkan kemampuan matematisnya. Selain itu dari gambar 4, terlihat bahwa pada level ST pembelajaran CTL lebih baik dalam mencapai KPMM, sedangkan pada level SA CTLJ lebih baik dilakukan dibandingkan kedua pembelajaran yang lainnya. Dengan demikian, berdasarkan Level sekolah secara keseluruhan maka CTLJ dan CTL lebih baik dari pada PK. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarmo (2005:3) bahwa pembelajaran matematika untuk berpikir kreatif dan berpikir tinggkat tinggi dapat dilakukan melalui belajar dalam kelompok kecil, menyajikan tugas non rutin dan tugas yang menuntut strategi kognitif dan metakognitif peserta didik serta menerapkan pendekatan scaffolding. KESIMPULAN
Pembelajaran CTLJ dan CTL secara signifikan lebih baik dalam mencapai kemampuan pemahaman ataupun kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Tidak terdapat interaksi pembelajaran dengan PAM siswa atau level sekolah terhadap kemampuan pemahaman matematis, hal ini menunjukan bahwa untuk mencapai KPM maka pembelajaran CTLJ ataupun CTL dapat diterapkan untuk seluruh siswa ataupun seluruh level sekolah. Terdapat interaksi pembelajaran dengan PAM siswa atau level sekolah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis. Artinya, untuk mencapai KPMM maka penerapan pembelajaran CTLJ ataupun CTL perlu memperhatikan PAM siswa ataupun level sekolah. Walaupun demikian faktor pembelajaran lebih dominan dalam pencapaian KPMM. SARAN
Mengingat bahwa sekolah kejuruan bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menerapkan semua pengetahuan yang didapat dari sekolah pada kehidupan nyata sehingga siswa akan siap bekerja sesuai dengan bidang yang digelutinya, maka pembelajaran CTLJ ataupun CTL sangatlah potensial untuk segera diimplementasikan di lapangan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
81
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Agar dapat mencapai hasil yang maksimal, maka penerapan pembelajaran CTLJ atau CTL perlu mempersiapkan PAM siswa, serta kerangka teoritik model pembelajaran berbasis kontesktual yang sudah ada. Selain itu, agar siswa tidak merasa bosan hendaknya guru dalam pelaksanaan pembelajarannya dapat mengkombinasikan pembelajaran CTLJ, CTL maupun PK. Untuk para pengambil kebijakan pendidikan, kiranya pembelajaran CTLJ ataupun CTL menjadi salah satu alternatif model pembelajaran matematika di SMK yang ditindak lanjuti dengan pelatihan-pelatihan yang lebih intensif tentang pembelajaran ini. DAFTAR PUSTAKA
Anderson dan Krathwohl (2001). The Cognitive Process Dimension of The Revised Version of Bloom‟s Taxonomy in The Cognitive Domain. The Lost Journal of Ven Polypheme. Tersedia: http://www.. enpolypheme.com/bloom.htm. (Mei 2008) Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The Highlight Zone : Research a Work No. 5 (Online) Available: http: //www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1. Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment (2009). Analytical Scale for Problem Solving. Tersedia: http://intranet.cps.kl2.il.us/ Assesment/Ideas and Rubrics/Rubrics Bank/Math Rubrics.pdf. (1 April 2009). Departemen Pendidikan Nasional (2008). KTSP SMK Edisi 2008. Jakarta : Dirjen Dikmenjur Kurniawan, R (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito. Sumarmo (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Makalah Disajikan Pada Pertemuan MGMP Matematika SMP Tasikmalaya. Sumarmo, U (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian. Bandung: Lemlit UPI. Tidak diterbitkan. Syaban, M (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Pembelajaran Investigasi. Desertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan. Sabandar, J (2006). ―Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran Matematika‖. Artikel Ilmiah. Bandung: UPI. Jurnal Pendidikan No 2 Thn XXV 2006. Slavin, R.E (2008). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
82
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Oleh : Masta Hutajulu Program Studi Pendidikan Matematika – MIPA STKIP Siliwangi Bandung Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman dan penalaran dan peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa SMA khususnya siswa SMA Negeri 15 Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan instrumen penelitian yang digunakan adalah tes kemampuan pemahaman dan penalaran matematik, bahan ajar berupa LKS dan non-tes (yang terdiri dari skala sikap siswa dan lembar observasi). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 1) Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik di kelompok kelas inkuiri terbimbing atau konvensional) berada dalam kategori sedang dan terdapat perbedaan kemampuan pemahaman berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional; 2) Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh dengan model konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik di kelompok kelas inkuiri terbimbing atau konvensional) berada dalam kategori sedang dan terdapat perbedaan kemampuan penalaran berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional; 3) Secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran yang menggunakan model konvensional. Kata Kunci: Pembelajaran Model Inkuiri Terbimbing, Pemahaman dan Penalaran Matematik I.
Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Sehingga matematika mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan. Sumarmo (2005) mengemukakan bahwa pendidikan matematika hakikatnya mempunyai dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa yang akan datang. Kebutuhan masa kini yang dimaksud yaitu mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep dan ide matematika yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan masa yang akan datang adalah pembelajaran matematika memberikan kemampuan menalar yang logis, sistematik, kritis dan cermat, menumbuhkan rasa percaya diri, dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, serta mengembangkan sikap objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang senantiasa berubah. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan beberapa tujuan umum siswa belajar matematika, yaitu: (1) belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan peranannya dalam masyarakat dan sains, (2) percaya diri pada kemampuan yang dimiliki, percaya pada kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah, (3) menjadi seorang problem solver, menjadi warga negara yang produktif dan berpengalaman dalam memecahkan berbagai permasalahan, (4) belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang simbol, lambang dan kaidah matematik, (5) belajar bernalar secara matematis yaitu membuat konjektur, bukti dan membangun argumen secara matematik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
83
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tujuan tersebut menunjukkan betapa pentingnya belajar matematika, karena dengan belajar matematika sejumlah kemampuan dan keterampilan tertentu berguna tidak hanya saat belajar matematika namun dapat diaplikasikan dalam memecahkan berbagai masalah sehari-hari. Menurut Wahyudin (2008:392) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut pemahaman dan apresiasi yang signifikan terhadap matematika. Kita akan mengalami kesukaran, jika memang bisa mustahil, untuk bisa berhasil dalam dunia nyata, tanpa memiliki pengetahuan, skills, dan aplikasi matematika yang perlu. Uraian di atas menggambarkan pentingnya usaha mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematik siswa. Kemampuan pemahaman dan penalaran matematik membantu siswa senantiasa berpikir secara sistematis, mampu menyelesaikan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari dan mampu menerapkan matematika pada displin ilmu lain serta mampu meminimalisir gejala-gejala pada siswa yang dapat membuat kemampuan matematikanya rendah. Menyadari keadaan tersebut maka menggali dan mengembangkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa perlu mendapat perhatian guru dalam pembelajaran matematika. Siswa mestinya mendapat kesempatan yang banyak untuk menggunakan pemahaman dan kemampuan bernalarnya, berlatih, merumuskan, berkecipung dalam memecahkan masalah yang kompleks yang menuntut usaha-usaha yang sangat besar dan kemudian didorong untuk merefleksi pada pemikiran mereka. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengembangan dua aspek kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa SMA melalui pembelajaran dengan metode inkuiri terbimbing. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Apakah kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? Apakah kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? Bagaimanakah peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa apabila ditinjau berdasarkan model pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah)? Bagaimanakah peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa apabila ditinjau berdasarkan model pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah)? Bagaimana sikap siswa terhadap pelajaran matematika, terhadap diskusi kelompok, dan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing?
Hipotesis Penelitian
1. 2. 3.
Kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Terdapat perbedaan secara signifikan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah).
84
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
4.
Terdapat perbedaan secara signifikan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah).
II.
METODOLOGI
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian semu (quasi eksperimen). Desain penelitian ini digunakan karena penelitian ini menggunakan kelompok kontrol, adanya dua perlakuan yang berbeda. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu sebelum proses pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah proses pembelajaran, yang disebut postes. Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan inkuiri terbimbing terhadap kemampuan pemahaman dan penalaran matematik dan sikap positif siswa terhadap matematika, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan siswa (tinggi, sedang dan rendah). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 15 Bandung tahun ajaran 2009-2010 yang terdiri dari 9 kelas. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 kelas atau 70 siswa. Dan yang menjadi kelas eksperimen adalah kelas X6 dan kelas kontrol kelas X7. Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes tulis dalam bentuk uraian dan non tes dalam bentuk angket (skala sikap). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Teknik analisis data yang diguanakan teknik analisis data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa, dan data kualitatif berupa hasil observasi, angket untuk siswa, dan angket untuk guru berkaitan dengan pandangan guru terhadap pembelajaran yang dikembangkan. Uji yang digunakan adalah uji perbedaan ratarata, yang kemudian dilanjutkan dengan anova dua jalur. III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian.
1.
Deskripsi Kemampuan Pemahaman dan Penalaran matematik
Deskripsi kemampuan pemahaman dan penalaran matematik merupakan gambaran peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran siswa baik secara keseluruhan maupun berdasarakan jenis model pembelajaran (model pembelajaran inkuiri terbimbing dan konvensional) yang digunakan dan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, menengah dan bawah). Deskripsi statistika yang dimaksud meliputi rerata, standar deviasi, nilai maksimum dan minimum serta jumlah siswa berdasarkan model pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematika yang dapat dilihat dan disajikan dalam Tabel 1 berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
85
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 1. Hasil Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik berdasarkan Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematik Siswa Jenis Kemampuan
Kemampuan Matematika Awal* Kelompok Atas
Pemahaman Matematik
Kelompok Tengah Kelompok Bawah
N 9 17 9 35
Total
Model Inkuri Terbimbing Tes Tes Gain Awal Akhir 14.750 0.867 𝒙 6.500 0.841 s 1.300 13.250 0.689 𝒙 7.188 0.827 s 1.106 12.125 0.460 𝒙 8.750 0.914 s 1.220 13.371 0.678 𝒙 7.486 s
1.264
N 9 17 11
𝒙 s 𝒙 s 𝒙 s 𝒙
35
1.091
s
Model Konvensional Tes Tes Awal Akhir 4.889 12.111 1.027 0.884 4.941 9.647 1.094 0.838 6.111 7.778 1.240 0.816 5.229 9.800 1.153
Gain 0.647 0.419 0.159 0.411
1.315
Rerata Total Kemampuan Pemahaman Kelas Eksperimen : 13.371 (83,569%) 𝒙 Kelompok Atas
Penalaran Matematik
3.436
6.567
0.683
9
Kelompok Tengah
17
Kelompok Bawah
9
Total
35
𝒙
2.656
5.622
s
0.979
0.682
𝒙
3.389
5.249
s
0.987
0.702
𝒙
4.522
5.094
s
0.895
0.763
𝒙
3.492
5.305
s
1.064
0.733
s
1.110
0.705
𝒙
3.920
6.105
s
0.947
𝒙
5.111
0.535
0.686 5.967
0.398
17 0.293
0.157
9 s
0.903
0.756
𝒙
4.101
6.188
s
1.064
0.733
0.511
Rerata Total Kemampuan Penalaran Kelas Eksperimen: 6,188 (77,350%)
*Skor Ideal Pemahaman 16, Skor ideal Penalaran 8. Gain yang dimaksud adalah gain Ternormalisasi Pengelompokan siswa (kelompok atas, tengah dan bawah) berdasarkan nilai harian siswa yang berasal dari guru matematika. Dari Tabel 1 dapat disimpulkan secara keseluruhan kemampuan pemahaman matematik siswa (ditinjau dari hasil tes akhir/postes) mempunyai rerata 13,371 (atau sebesar 83,569% dari skor ideal). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman siswa secara keseluruhan termasuk kategori tinggi. Tetapi kemampuan penalaran matematik tergolong pada kemampuan kategori cukup karena keseluruhan 6,188 (atau sebesar 77,350% dari skor ideal). Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa berdasarkan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah 0.678. Sedangkan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa berdasarkan model pembelajaran konvensional adalah 0,411. Artinya peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa berdasarkan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah 0.511. Sedangkan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa berdasarkan model pembelajaran konvensional adalah 0.375.
86
0.550
9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
0.375
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.
Skala Sikap Siswa
Adapun sikap yang diamati pada penelitian ini adalah sikap siswa terhadap pembelajaran matematika, terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing, dan terhadap belajar kelompok. Dari 24 pernyataan, secara umum respon yang diberikan siswa dalam hal kesukaan, kesungguhan, minat, dan belajar berkelompok, siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa memberikan sikap positif terhadap model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa. 3. Hasil Observasi
Observasi dilakukan untuk menginventarisasikan data tentang aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran, interaksi antara siswa dan guru dalam pembelajaran, dan interaksi antar siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model inkuiri terbimbing. Dalam observasi diperoleh data dengan harapan agar hal-hal yang tidak teramati oleh peneliti ketika penelitian berlangsung dapat ditemukan. Observasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebanyak enam kali, yaitu satu kali observasi untuk setiap pertemuan. Adapun yang menjadi observer atau pengamat dalam penelitian ini adalah guru matematika pengampu kelas eksperimen dan Guru matematika kelas XII_IPA Secara umum, pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran berjalan dengan baik. Pada awal pembelajaran, guru menjelaskan mengenai model pembelajaran yang akan dilaksanakan dan menjelaskan tentang tujuan pembelajaran. Kemudian guru membagi siswa kedalam kelompok-kelompok. Guru menggali pengetahuan prasyarat siswa mengenai materi yang akan dipelajari. Dengan demikian terjadi proses komunikasi antar siswa dan guru. Agar proses komunikasi antar siswa terjadi, guru mengarahkan siswa untuk berdiskusi dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Setelah bahan ajar yang berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berisi permasalahan matematik dibagikan, guru memberikan petunjuk dan membimbing siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan memilih strategi untuk menyelesaikan masalah matematik. Untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat di lembar kerja siswa (LKS), siswa berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Setelah seluruh kelompok menemukan solusi dari permasalahan matematik, guru membimbing siswa untuk berdiskusi dan guru mengarahkan siswa lain untuk berkomentar terhadap jawaban teman. Pada bagian akhir, guru meminta siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang yang telah dipelajari. Kemudian guru menyarikan kesimpulan-kesimpulan yang telah diberikan siswa. Pada bagian akhir pula, guru memberikan kesempatan bagi murid untuk bertanya mengenai materi yang belum dipahami . B.
Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil pretes kemampuan pemahaman matematik antara kelompok kontrol dan eksperimen memiliki perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Dari skor maksimum 16, kelompok kontrol memperoleh rerata 5,229, sementara kelompok eksperimen memperoleh rerata 7,486. Kelas kontrol perolehan skor pretes yang berkisar pada sepertiga bagian atau hanya 32,681% dari nilai total yang seharusnya. Dan Kelas eksperimen memperoleh skor pretes yang berkisar 46,787% dari nilai total yang seharusnya, dan menunjukkan bahwa secara umum kemampuan pemahaman matematik kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berada pada rentang yang rendah. Selanjutnya, terhadap kelompok kedua tersebut diberikan perlakuan yang berbeda. Kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional (ekspositori). Rerata perolehan skor postes dari kemampuan pemahaman matematik kelompok kontrol adalah 9,800, sementara perolehan rerata skor skor kelompok eksperimen adalah 13,371 Secara deskriptif, hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan pada kedua kelompok kelas. Pertanyaan yang Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
87
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
muncul selanjutnya adalah peningkatan kelompok manakala yang lebih baik di antara kedua kelompok tersebut? Berdasarkan hasil perhitungan gain normalisasi, secara keseluruhan kelompok eksperimen menunjukan peningkatan kemampuan pemahaman sebesar 67,800%, sedangkan kelompok kontrol mendapat 41,100%. Ini berarti, peningkatan kemampuan pemahaman yang dialami oleh kelompok kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan pemahaman kontrol. Kondisi serupa juga terjadi pada kemampuan penalaran matematik siswa kelompok kelas kontrol dan kelas eksperimen, di mana perolehan rerata skor pretes kelompok kontrol sebesar 3,492 dan 5,305 untuk rerata skor postesnya (dengan skor maksimum). Untuk kelas eksperimen, perolehan rerata skor pretes kemampuan penalaranya 4,101 sedangkan skor postesnya adalah 6,188. Di kelompok kontrol, kenaikan nilai rerata setelah diberikan perlakuan adalah sekitar 22,663%, di kelompok eksperimen kenaikan rerata skor mencapai 26,086% Hal ini mengiindikasikan bahwa perlakuan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing mampu memberikan peningkatan yang lebih baik daripada pembelajaran dengan metode konvesional. Simpulan tersebut juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap gain ternormalisasi skor kemampuan penalaran kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dimana nilai rerata gain ternormalisasi untuk kelompok kelas kontrol adalah sebsar 37,500% sedangkan nilai rerata gain ternormalisasi kelompok eksperimen adalah 51,100%. Simpulan tersebut juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap gain ternormalisasi skor kemampuan penalaran kelompok kontrol dan kelompok eksperimen,di mana nilai rerata gain ternormalisasi untuk kelompok kelas kontrol adalah sebesar 46% sedangkan nilai rerata gain ternormalisasi kelompok eksperimen adalah 59%. Dengan adanya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik pada siswa kelompok eksperimen,selain dikarenakan oleh model pembelajaran yang dilakukan, yaitu dengan menggunakan model inkuiri terbimbing juga diakibatkan oleh iklim belajar yang tercipta di dalam kelas. Pada kelas eksperimen,dominasi siswa dalam proses belajar mengajar sangatlah optimal.mereka terlibat hampir dalam semua tahapan pembelajaran. Sehingga peran guru selaku fasilitator untuk memberikan stimulant belajar sangat diringankan. Berbeda dengan kelas kontrol,siswa berada dikelas kontrol adalah siswa yang pasif dalam belajar. Mereka cenderung diam dalam sesi tanya jawab atau bahkan tidak mengetahui bagian mana dari matematika yang dapat dijadikan sebagai materi belajar. Dalam sesi Tanya jawab, paling tidak hanya terdapat 6 orang siswa yang memberikan respon yang positif. Guru harus terus memberikan intervensi agar materi prasyarat yang dibutuhkan dapat benar-benar optimal digunakan.mengenai kondisi ini, guru mata pelajaran matematika kelas kontrol pun menyatakan hal yang sama.dalamsuatu sesi wawancara, terungkap bahwa siswa kelas kontrol cenderung sulit belajar. Kondisi ini kemudian menjadi alasan dilakukannya analisa lajutan terhadap peningkatan gain ternormalisasi kelompok eksperimen dari kemampuan pemahaman dan penalaran matematik, yaitu dengan mencoba membandingkan model pembelajaran yang diberikan terhadap klasifikasi kemampuan awal matematika siswa.klasifikasi kemampuan ini diambil dari nilai rata-rata ulangan harian siswa yang diminta dari guru mata pelajaran matematika di kelas eksperimen. Kemudian dikelompokkan menjadi siswa kelompok atas,tengah dan bawah. Secara deskriptif, dapat diketahui bahwa siswa kelompok tengah dari kelompok eksperimen memiliki rerata gain ternormalisasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa yang berada pada siswa kelompok atas. Begitupula dengan siswa yang berada pada kelompok atas, memiliki rerata gain ternormalisasi yang lebih tinggi dari siswa kelompok rendah. Secara inferensial, dengan menggunakan uji ANOVA Dua-Jalur, dapat diketahui bahwa pada kemampuan pemahan matematik, jika ditinjau dari sudut pandang model pembelajaran, terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang dalam pembelajarannya digunakan model inkuiri terbimbing dan siswa yang dalam pembelajarannya digunakan model konvensial. Begitu pula dengan klasifikasi kemampuan awal matematika dari 88
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
kemampuan pemahaman matematik siswa. Pengujian yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah dari kelompok eksperimen. Dari sudut pandang klasifikasi kemampuan awal matematika dari kemampuan penalaran matematik siswa, pengujian yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang berada pada kelompok atas,tengah dan bawah dari kelompok eksperimen. Artinya, peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa di kelompok atas lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan penalaran siswa kelompok tengah, begitu pula dengan peningkatan kemampuan penalarah kelompok bawah. Penelitian ini juga membuat pengujian perbedaan rerata penigkatan antara kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional berdasarkan pembagian klasifikasi kemampuan awal matematika. Hasil pengujian ini menyatakan bahwa model inkuiri terbimbing cenderung lebih meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran pada kelompok atas. Sehubungan dengan sikap siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini, secara umum memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika. Tentu saja sikap ini didukung oleh faktor keberadaan guru yang tidak statis dalam mengembangkan konsep belajar dan mengajar. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, diskusi awal, kemandirian dan penarikan kesimpulan. Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsep prasyarat yang dimiliki oleh siswa, yaitu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan memancing siswa untuk bertanya mengenai konsep prasyarat yang belum dikuasai. Dengan demikian, pada awal pembelajaran terjadi proses pengembangan kesadaran metakognisi. Dalam tahap kemandirian, siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama untuk kemudian diselesaikan secara perseorangan. Guru berkeliling untuk memberikan feedback secara individual. Pada tahap kemandirian ini, karakteristik khas yang terlihat adalah aktivitas pembelajaran dengan melatihkan metakognisi, memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar mandiri, di mana setiap siswa mengisi lembar kerja yang diberikan. Dalam tahap penyimpulan, siswa merekapitulasi apa yang dilakukan di kelas dengan cara menulis, merangkum dan membuat kesimpulan. Di pertemuan-pertemuan awal, banyak siswa yang bingung terhadap apa yang harus disimpulkan dari keseluruhan aktivitas kelas. Namun pada akhirnya seiring berjalannya diskusi, sedikit demi sedikit mereka mampu membuat simpulan sesuai dengan materi yang telah diberikan. Secara keseluruhan aktivitas pembelajaran matematika dengan menggunakan model inkuiri terbimbing dapat dijadikan rujukan untuk dapat lebih memberdayakan ruangan kelas dan lebih memotivasi siswa. Hal ini sangat beralasan karena pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri terbimbing menyajikan bahan ajar yang melatih metakognisi, intervensi guru dan interaksi kelas. IV. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran matematik dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional. Terdapat perbedaan kemampuan pemahaman berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional. Artinya, siswa yang berada pada kelompok atas mengalami peningkatan yang lebih baik dari kelompok tengah dan kelompok bawah. 2. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional. Terdapat perbedaan kemampuan penalaran berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional. Artinya, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
89
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
3. V.
siswa yang berada pada kelompok atas mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berada pada kelompok tengah dan bawah. Begitupula siswa yang berada pada kelompok tengah mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berada pada kelompok bawah. Secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran yang menggunakan model konvensional. Saran-saran
Dari hasil dan simpulan penelitian, dapat disarankan sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri terbimbing dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran matematika, utamanya untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik di setiap kelompok klasifikasi (atas, tengah dan bawah). Model pembelajaran ini mampu secara signifikan meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran siswa. 2. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan untuk meneliti kemampuan matematik lainnya yang belum terjangkau oleh penulis, seperti kemampuan berfikir kreatif, multiple representative dan pengembangan dari kemampuan penalaran. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM Dahar, R.W. (1989). Teori – Teori Belajar. Jakarta : Erlangga Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi pada PPs UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan. Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah, Penalaran Logis, Berpikir Kritis & Pengkomunikasian. Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan. Meltzer,D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics. American Journal of Physics. Vol.70. No. 7. NCTM. (2000). Princip And Standards For School Mathematics. Reston : Virginia. Rusefendi, H.E.T. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito. Sabandar, J. (2007). Berpikir Reflektif. Makalah pada Seminar Nasional Matematika 2007. Bandung : tidak dipublikasikan. Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sudjana. (1996). Metode Statistik. Tarsito: Bandung. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Pendekatan Gabungan Langsung Dan Tidak Langsung Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkt Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: tidak dipublikasikan. Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka. Wahyudin (2003). Matematika dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mimbar Pendidikan. No.2 Tahun XXII. Bandung : University Press UPI. ................. (2008). Pembelajaran Dan Model-Model Pembelajaran. Diktat Kuliah. Bandung: tidak dipublikasikan.
90
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Oleh : Nur Izzati Dinas Pendidikan Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
Abstrak Kemandirian belajar dalam matematika merupakan salah satu faktor penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar matematika. Kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif terhadap pembelajaran dan pencapaian hasil belajar. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian dalam proses belajar menjadi penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar. Selain itu, adanya pergeseran paradigma pendidikan turut menuntut siswa untuk menjadi pebelajar yang mandiri. Dimana sebelumnya proses belajar mengajar sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, namun sekarang cenderung menjadi tanggungjawab bersama antara guru dan siswa. Karena itu, kemandirian belajar dalam matematika perlu dikembangkan pada peserta didik. Sehubungan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk memaparkan secara teoritis tentang kemandirian belajar siswa dalam matematika dan memuat kajian tentang pendekatan pendidikan matematika realistik sebagai pendekatan pembelajaran yang diduga kuat dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika. Kata Kunci: kemandirian belajar siswa dalam matematika, pendidikan matematika realistik A.
LATAR BELAKANG
Salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan belajar adalah kemandirian belajar. Banyak data hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif terhadap pembelajaran dan pencapaian hasil belajar. Seperti temuan dari studi Darr dan Fisher (2004), Reyero dan TourÓn (dalam Mantalvo dan Torres, 2004), Pintrich dan Groot (1990), dan Zimerman dan Martinez-Pons (dalam Abdullah, 2007), yang menunjukkan bahwa kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa. Sebaliknya, hasil studi yang dilakukan oleh Schloemer dan Brenan, Borkowski dan Thorpe, Zimmerman (dalam Abdullah, 2007) menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian dalam proses belajar menjadi penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar. Hal serupa, dikemukakan oleh Long (dalam Sumarmo, 2006), ia memandang belajar sebagai proses kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; keadaan individu, pengatahuan sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu diantara sub-faktor penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah kemandirian belajar. Akhir-akhir ini terjadi pergeseran paradigman pendidikan, dimana sebelumnya proses belajar mengajar sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, namun sekarang cenderung menjadi tanggungjawab bersama antara guru dan siswa. Konsep ini, menuntut siswa untuk menjadi pebelajar yang mandiri, misalnya dalam hal menentukan strategi belajar, mamantau kemajuan pencapaian akademik, mengevaluasi diri, dll. Karena itu, tidaklah heran kalau Pintrich, Reynolds dan Miller (dalam Montalvo dan Torres, 2004) sepakat menyatakan bahwa akhir-akhir ini, kemandirian belajar telah menjadi fokus penelitian dan merupakan salah satu akses penting pelaksanaan pendidikan. B.
PEMBAHASAN
1.
Kemandirian Belajar Matematika
Kemandirian belajar dalam matematika yang dimaksud pada makalah ini adalah kemandirian belajar pada pembelajaran matematika. Siswa-siswa yang mandiri dalam belajar matematika, mengerjakan tugas-tugas matematika dengan percaya diri, rajin, dan cerdik. Mereka secara proaktif mencari informasi ketika dibutuhkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
91
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
menguasainya. Ketika mereka menghadapi kesulitan seperti kondisi belajar yang buruk, guru yang membingungkan, buku teks yang sulit dipahami, mereka tidak lantas putus asa. Menurut Zimmerman (1990), siswa mandiri memandang kemahiran sebagai suatu proses sistematik dan dapat dikontrol, serta mereka menerima tanggungjawab yang lebih besar untuk mencapai hasil yang baik. Secara umum, studi menunjukkan bahwa karakteristik berikut membedakan siswa yang belajar mandiri dengan siswa yang tidak (Corno, 2001; Weinstein, Husman dan Dierking, 2000; Zimmerman, 1998, 2000, 2001, 2002; dalam Montalvo dan Torres, 2004): a) Mereka mengenal dan mengetahui bagaimana menggunakan serangkaian strategi kognitif (repetisi, elaborasi, dan pengorganisasian), yang membantu mereka untuk menghadirkan, mengubah, mengatur, mengelaborasi, dan memperoleh informasi. b) Mereka mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol dan mengatur proses-proses mental mereka kepada pencapaian tujuan personal (metacognition). c) Mereka menunjukkan serangkaian keyakinan motivasi dan meyesuaikan emosi, seperti pemahaman yang tinggi tentang self-efficacy akademik, menerima tujuan pembelajaran, pengembangan emosi positif terhadap tugas (misalnya; sukacita, rasa puas, antusiasme), serta kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasi ini, menyesuaikannya untuk persyaratan tugas dan juga situasi belajar tertentu. d) Mereka merencanakan serta mengontrol waktu dan usaha untuk menyelesaikan tugas-tugas, dan mereka mengetahui bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menguntungkan, seperti menemukan tempat yang cocok untuk belajar, dan mencari bantuan dari guru dan teman sekelas ketika mereka mengalami kesulitan. e) Sedapat mungkin mereka menunjukkan usaha yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam mengontrol dan mengatur tugas-tugas akademik, struktur kelas dan iklim (misalnya, bagaimana seseorang akan dinilai, persyaratan tugas, desain tugas kelas, mengatur kerja kelompok). f) Mereka dapat menerapkan serangkaian strategi-strategi berkenaan dengan kemauan, dengan tujuan untuk menghindari ganguan internal dan eksternal, untuk menjaga konsentrasi, usaha, dan motivasi mereka ketika melakukan tugas akademik. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa mandiri adalah siswa yang mampu melihat diri mereka sebagai agen dari perilaku mereka sendiri, mereka percaya bahwa belajar adalah sebuah proses proaktif, mereka memotivasi diri sendiri, dan mereka menggunakan strategi-strategi yang memungkinkan mereka untuk mencapai hasil akademik yang diinginkan. Berikut ini adalah beberapa definisi kemandirian belajar yang dikemukakan oleh sejumlah pakar, diantaranya Corno dan mardiah (dalam Cho, 2003), mendefinisikan kemandirian belajar sebagai proses perencanaan dan monitoring yang disengaja dan menekankan pada pentingnya aktifitas kognitif dan metakognitif dalam kemandirian belajar. Lebih luas dari Corno dan mardiah, Zimmerman mendefinisikan kemandirian belajar sebagai kemampuan menjadi siswa yang aktif dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudut metakognitif, motivasi, dan perilaku (dalam Zimmerman, 1990 dan Cobb, 2003). Dari sudut metakognitif, siswa yang mandiri merencanakan, menentukan tujuan, mengatur, memonitor diri, dan mengevaluasi diri terhadap berbagai hal selama proses memperoleh kemahiran. Dari sudut motivasi, siswa mandiri menyadari kompetensinya, memperlihatkan keyakinan yang tinggi terhadap dirinya (high selfefficacy), dan ketertarikan terhadap tugas. Siswa yang menyadari kompetensinya, memiliki self- efficacy yang tinggi dan mempunyai ketertarikan terhadap tugas, memulai pembelajaran dengan menampilkan usaha yang luar biasa dan tekun selama belajar. Dari segi perilaku, siswa mandiri memilih, menyusun, dan menciptakan lingkungan mereka untuk bisa belajar optimal. Mereka mencari petunjuk, informasi dan tempat dimana mereka paling suka belajar.
92
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Sementara, Pintrich dan Zusho (dalam Nicol dan Dick, 2005), mengemukakan definisi operasional kemandirian belajar sebagai suatu proses konstruktif aktif dimana siswa menentukan tujuan belajar mereka, mengamati, mangatur, dan mengontrol prilaku, motivasi dan kognisi mereka, dipandu dan dikendalikan oleh tujuan mereka dan fitur-fitur kontekstual dari lingkuangan. Dari berbagai definisi tentang kemandirian belajar, Pintrich dan Groot (1990) menyimpulkan hanya tiga komponen penting untuk kecakapan di kelas. Pertama, kemandirian belajar meliputi strategi metakognitif siswa untuk merencanakan, memonitor dan memodifikasi kognisi mereka. Kedua, manajemen dan pengontrolan siswa terhadap usaha mereka pada tugas-tugas akademik di kelas. Misalnya, siswa yang cakap bertahan pada tugas-tugas sulit, mereka tidak cepat menyerah, dan mereka tetap konsentrasi dalam tugasnya, walaupun ada gangguan di kelas, sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan yang lebih baik. Ketiga, aspek penting kemandirian belajar meliputi konsep keberadaan strategi kognitif yang digunakan siswa untuk belajar, mengingat dan memahami materi. Lebih jauh Pintrich dan Groot (1990) mengemukakan bahwa pengetahuan strategi kognitif dan metakognitif saja tidaklah cukup untuk meningkatkan kemampuan siswa. Siswa juga harus dimotivasi untuk menggunakan strategi-strategi itu, dan juga mengatur kongisi dan usaha mereka. Menurut Eccles, ada tiga komponen motivasi yang berhubungan dengan komponen-komponen kemandirian belajar, yaitu; komponen pengharapan, komponen penilaian, dan komponen sikap (Pintrich dan Groot, 1990). Komponen pengharapan meliputi keyakinan siswa tentang kemampuan mereka untuk melakukan tugas, seperti kesadaran terhadap kemampuan, self-efficacy, attibutional style, dan keyakinan mengendalikan. Komponen pengharapan melibatkan jawaban dari pertanyaan, ―Dapatkah saya melakukan tugas ini?" Komponen penilaian meliputi keyakinan dan tujuan siswa tentang pentingnya dan ketertarikan terhadap tugas. Meskipun komponen ini telah dibentuk dalam berbagai cara, (misalnya: tujuan melakukan atau belajar, orientasi instrinsik dan ekstrinsik, penilaian tugas dan ketertarikan instrinsik) esensi komponen motivaasi ini adalah alasan siswa untuk melakukan tugas. Dengan kata lain, merupakan jawaban dari pertanyaan, ―Mengapa saya melakukan tugas ini?‖ Komponen sikap meliputi reaksi emosi siswa terhadap tugas. Persoalan penting bagi siswa berhubungan dengan komponen ini melibatkan pertanyaan, ―Bagaimana perasaan saya tentang tugas ini?‖ Ada berbagai reaksi sikapyang mungkin relevan, misalnya; rasa marah, bangga, rasa bersalah, tapi dalam konteks belajar di sekolah, kelihatannya ada satu yang paling penting yaitu tes anxiety. Tes anxiety berkaitan dengan persepsi terhadap kemampuan. 2.
Kontribusi Pendekatan Pendidikan Matematika Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika
Relaistik
Terhadap
Pengembangan
Kemandirian belajar bukan merupakan keterampilan yang secara otomatis berkembang seiring dengan bertambahnya usia siswa, namun kemandiriran belajar ini perlu diajarkan dan dipelihara. Schunk and Zimmerman (dalam Abdullah, 2007), menekankan bahwa latihan kemandirian belajar dapat meningkatkan semangat siswa dan guru dengan meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas, kualitas diskusi, dan ketertarikan siswa terhadap warga sekolah. Konsekwensinya adalah membuat proses pembelajaran yang lebih nyaman untuk setiap siswa. Lebih rinci, De corte, dkk. (dalam Dar dan Fisher, 2004), mengemukakan komponen-komponen pengajaran yang membantu perkembangan kemandirian, yaitu: 1) Memberikan tugas-tugas realistik dan menantang. 2) Adanya variasi dalam metode pengajaran, latihan terbimbing, bekerja dalam kelompok kecil dan pengajaran klasikal. 3) Menciptakan ruang kelas yang membantu perkembangan disposisi positif terhadap pembelajaran matematika. Hal senada juga dikemukakan oleh Montalvo dan Torres, (2004). Menurut mereka pengajaran dalam mengajar kemandirian menekankan pada pentingnya praktek scaffolding dan pembelajaran kolaboratif. Lebih jauh, ditekankan bahwa intervensi pengajaran harus difokuskan pada pengadaan lingkungan belajar yang alami, tidak
model-model refleksi diri, dalam model ada paksaan,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
93
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
menggunakan tugas-tugas kontekstual yang menarik dan diperlukan siswa, karena ini akan memungkinkan mereka untuk menggeneralisasikan apa yang telah mereka pelajari. Menggunakan tugas-tugas kontekstual dan berdiskusi dalam proses pembelajaran (interaktif) merupakan karakteristik pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Karakteristik PMR lainnya adalah menggunakan kontribusi siswa (menggunakan sumbangan pemikiran dari siswa), karakteristik ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya diskusi kelas yang hangat. Tiga dari lima karateristik PMR ini diduga mempunyai korelasi positif terhadap perkembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika. Karena itu kuat dugaan kemandirian belajar siswa dalam matematika dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan pendekatan PMR. Kaitan ketiga karakteristik PMR ini dengan pengembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika disajikan berikut ini. a.
Menggunakan Masalah Kontekstual.
Menggunaan masalah kontekstual yang ada kaitan dengan kehidupan siswa ataupun yang riil dalam pikiran siswa, akan memicu hasrat dan kesediaan siswa untuk memecahkannya, sehingga siswa dapat berkontribusi dalam pembelajaran. Dengan demikian siswa mempunyai pengalaman belajar, dengan kata lain matematika diperoleh siswa tidak karena diberi tahu tetapi melalui pengalaman, sehingga matematika akan lebih melekat pada pikirannya. Jika hasrat dan kesediaan siswa untuk memecahkan persoalan matematika dapat ditumbuhkan terus menerus, tentunya sifat tersebut akan menjadi kepribadian siswa. Ini menjadi modal dasar siswa untuk menjadi pribadi yang mandiri di dalam belajar matematika. b.
Menggunakan Metode Interaktif dalam Belajar Matematika dan Menggunakan Sumbangan Pemikiran Siswa.
Pembelajaran dengan metode interaktif ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih keberaniannya untuk mengemukakan pendapat. Apalagi pada PMR, konsep-konsep matematika ditemukan kembali oleh siswa dengan memanfaatkan sumbangan pemikiran dari siswa tersebut. Tentunya siswa merasa bangga karena ide-idenya berguna, hal ini diharapkan mampu memicu perkembangan motivasi dan self-efficacy siswa. Kedua aspek ini merupakan karakteristik dari kemandirian belajar siswa. Dengan demikian diharapkan penerapan pendekatan PMR pada pembelajaran matematika dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika. C.
MENILAI KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA
Kemandirian belajar siswa dalam matematika dinilai melalui angket yang terdiri dari pernyataanpernyataan yang dikembangkan dari indiktor-indikator kemandirian belajar dalam matematika. Indikator-indikator tersebut diantaranya adalah (1) menggunakan strategi metakognitif (seperti: memonitor dan mengevaluasi diri, dan memonitor serta mengevaluasi diri), (2) menggunakan strategi kognitif (seperti: membaca ulang/latihan, mengelaborasi, dan mengorganisasikan), (3) memanajemen sumber daya (seperti: manajemen waktu belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar dan mencari serta memanfaatkan sumber belajar yang relevan), (4) Keyakinan motivasi (seperti: keyakinan akan pentingnya matematika dan ketertarikan terhadap matematika, self efficacy, dan orientasi instrinsik dan ekstrinsik). Berikut ini diberikan contoh angket skala kemandirian belajar siswa SMP dalam matematika. Skala tersebut berupa pernyataan positif dan negatif dengan lima kategori pilihan, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TY (bila tidak yakin/ragu-ragu atau tidak tahu), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju).
94
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
SKALA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP DALAM MATEMATIKA (Contoh) PETUNJUK: 1. Tulislah nama, nomor urut absen, kelas, dan nama sekolah pada tempat yang telah disediakan! 2. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti, kemudian beri tanda ceklis (√) pada kolom (SS) bila kamu sangat setuju, (S) bila kamu setuju, (TY) bila kamu tidak yakin atau tidak tahu, (TS) bila kamu tidak setuju, dan (STS) bila kamu sangat tidak setuju. 3. Jawablah dengan jujur berdasarkan pendapat dan keyakinan sendiri. 4. Jawaban yang kamu berikan tidak akan mempengaruhi nilai matematika yang kamu peroleh.
NO
Nama
: …………………………………………………………
No.Urut Absen
: …………………………………………………………
Kelas
: …………………………………………………………
Nama sekolah
: ………………………………………………………… PERNYATAAN
PILIHAN JAWABAN SS S TY TS STS
Saya ingin mendapatkan nilai matematika yang lebih bagus dari sebagian besar teman sekelasku. Pada matematika banyak ditemui soal-soal yang menantang, hal ini 2 mendorong saya untuk belajar lebih giat lagi. Matematika adalah pelajaran yang paling saya takuti, karena itu saya 3 tidak yakin mampu mengerjakan soal-soal matematika. Penggunaan LKS dalam pembelajaran matematika, sangat membantu 4 saya untuk memahami matematika. 1
NO
PERNYATAAN
PILIHAN JAWABAN SS S TY TS STS
5 Saya tidak punya waktu untuk membahas soal-soal matematika. Ketika diskusi kelas, saya memanfaatkan untuk bertanya kepada guru 6 atau teman-teman tentang apa yang belum saya pahami. 7 Saya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk belajar matematika. 8 Saya ceroboh dalam menyelesaikan soal-soal matematika. 9 Ketika ujian, saya memeriksa ulang jawaban saya sebelum dikumpulkan Saya kesulitan dalam menentukan strategi pemecahan soal-soal 10 matematika. Ketika saya belum memahami suatu materi matematika, saya membaca 11 catatan atau buku pelajaran matematika tentang materi tersebut berkalikali. Untuk menambah pemahaman saya terhadap konsep matematika yang 12 baru dipelajari, saya menyelesaikan soal-soal yang ada di dalam buku pelajaran matematika atau di Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Menyelesaikan soal-soal matematika merupakan kegiatan yang 13 menyenangkan. 14 Matematika merupakan pelajaran yang menakutkan. Setiap akhir pembelajaran di kelas, saya membuat kesimpulan atau 15 rangkuman.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
95
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Saya tidak tahu bagaimana menggunakan pengetahuan matematika yang 16 sudah saya miliki untuk memahami konsep matematika yang baru dipelajari. Saya binggung, sumber manakah yang dapat membantu saya dalam 17 mengatasi kesulitan belajar matematika. Saya suka dengan proses pembelajaran matematika di kelas, karena 18 membahas masalah-masalah yang sering saya temui dalam kehidupan sehari-sehari. Sepulang sekolah, saya dan teman-teman belajar bersama untuk 19 membahas soal-soal matematika yang sulit. Saya memeriksa tugas saya untuk meyakinkan bahwa yang saya kerjakan 20 adalah benar. 21 Saya belajar matematika jika ada ulangan saja. D. KESIMPULAN DAN SARAN
Kemandirian belajar siswa dalam matematik perlu dikembangkan pada peserta didik, karena kemandirian belajar tersebut tidak akan berkembang sendirinya seiring dengan bertambahnya usia. Ditambah lagi, kemandirian belajar mempunyai korelasi positif terhadap hasil belajar. PMR merupakan pendekatan pembelajaran yang diduga sangat cocok diterapkan pada pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemandirian belajar siswa dalam matematika. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.N.L. Y. (2007). ―Exploring Children‘s Self-Regulated Learning Skills‖. The 1st International Conferences on Eductional Reform November 9-11, 2007. Thailand: Mahasarakham University. Cho, M. H. (2003). The Effects of Design Strategies for Promoting Students‟Self-Regulated Learning Skill on Students‟Self-Regulation and Achievements in Oline Learning Environments [online]. Tersedi: http://www.eric.ed.gov [29 Mei 2010]. Cobb, R. (2003). The Relationship between Self-Regulated Learning Behaviors and Academic Performance in Web-Based Courses. Disertasi. State University: Tidak diterbitkan. Darr, C. Dan Fisher, J. (2004). Self-Regulated Learning In The Mathematics Class. [online]. Tersedia: http://www.nzcer.org.nz/pdfs/13903.pdf [15 Maret 2010]. Montalvo, F.T. dan Torres, M.C.G. (2004). Self-Regulated Learning: Current and Future Directions. Electronic Journal of Research Psychology, 2 (1), 1-34. Nicol, D.J. dan Dick, D.B. (2005). Formative Assessment and Self-Regulated Learning: A Model and seven Principles of Good Feedback Practice. [online]. Tersedi: http://www.psy.gla.ac.uk/~steve/rap/docs/nocol.feedback.pdf [12 Maret 2010]. Pintrich, P. R. dan Groot, E. V. D. (1990). ―Motivational and Self-Regulated Learning Components of Classroom Academic Performance‖. Journal of Education Psychology, 82 (1), 33-34. Somarmo, U. (2006). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. [online]. Tersedia: http://math.sps.upi.edu/wp-content [6 Maret 2010] Zimmerman, B. J. (1990). Sel-Regulated Learning and Academic Achievement: An Overview. Journal of Education Psychology, 25 (1), 3-17.
96
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SEKOLAH DASAR (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas V Sekolah Dasar Kota Cimahi) Oleh : Yuniawatika
[email protected] Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk menelaah apakah pembelajaran matematika dengan strategi REACT lebih baik dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa dibandingkan dengan strategi konvensional, serta memperoleh informasi mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi REACT. Penelitian ini menggunakan desain ―Nonequivalent Control Group Design‖. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD dari sekolah berlevel baik dan sedang sebanyak 4 kelas dengan 2 kelas kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran strategi REACT, dan 2 kelas kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan strategi REACT secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa sekolah dasar dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah maupun dari kemampuan matematika siswa. Selain itu, sebagian besar siswa menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah dilakukan. Kata kunci: Strategi REACT, Kemampuan Koneksi Matematik Siswa, Kemampuan Representasi Matematik Siswa. A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
National Council of Teacher Mathematics (2000) menetapkan bahwa terdapat 5 keterampilan proses yang perlu dimiliki siswa melalui pembelajaran matematika yang tercakup dalam standar proses, yaitu: (1) problem solving; (2) reasoning and proof; (3) communication; (4) connection; dan (5) representation. Keterampilan-keterampilan tersebut termasuk pada berpikir matematika tingkat tinggi (high order mathematical thinking) yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika. Setiap aspek dalam berpikir matematik tingkat tinggi mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga agar tidak terlalu melebar, dalam penelitian ini yang akan diukur hanya dua aspek yaitu kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa. Menurut Sumarmo (Tim JICA, 2010) dalam belajar matematika siswa dituntut memahami koneksi antara ide-ide matematik dan antar matematik dan bidang studi lainnya. Jika siswa sudah mampu melakukan koneksi antara beberapa ide matematik, maka siswa akan memahami setiap materi matematika dengan lebih dalam dan baik. Sehingga siswa akan menyadari bahwa matematika merupakan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan berkaitan (connected), bukan sebagai sekumpulan materi yang terpisah-pisah. Artinya materi matematika berhubungan dengan materi yang dipelajari sebelumnya. Dengan demikian maka kemampuan koneksi matematik ini sangat diperlukan oleh siswa sejak dini karena melalui koneksi matematik maka pandangan dan pengetahuan siswa akan semakin luas terhadap matematika sebab semua yang terjadi di kehidupan sehari-hari maupun materi yang dipelajari saling berhubungan. Selain koneksi, kemampuan representasi juga merupakan salah satu komponen penting dan fundamental untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, karena pada proses pembelajaran matematika kita perlu mengaitkan materi yang sedang dipelajari serta merepresentasikan ide/gagasan dalam berbagai macam cara. Menurut Jones (Hudiono, 2005), terdapat beberapa alasan Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
97
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
perlunya representasi, yaitu: memberi kelancaran siswa dalam membangun suatu konsep dan berpikir matematik serta untuk memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang kuat dan fleksibel yang dibangun oleh guru melalui representasi matematik. Wahyudin (2008) juga menambahkan bahwa representasi bisa membantu para siswa untuk mengatur pemikirannya. Penggunaan representasi oleh siswa dapat menjadikan gagasan-gagasan matematik lebih konkrit dan membantu siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dianggap rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi matematika yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Menurut penjelasan di atas, kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa perlu dikembangkan melalui proses pembelajaran khususnya dalam materi pelajaran yang berisi pengetahuan dan logika berpikir yaitu matematika tentu saja dengan mempertimbangkan tahap perkembangan khususnya bagi siswa SD yang sedang memasuki fase operasional kongkrit. Namun permasalahan yang terjadi adalah kemampuan koneksi dan representasi matematik di tingkat pendidikan dasar belum tertangani akibatnya kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa rendah. Salah satu indikasi rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa yaitu berdasarkan beberapa hasil penelitian, Kusuma (2003) menyatakan tingkat kemampuan siswa kelas III SLTP dalam melakukan koneksi matematik masih rendah. Ruspiani (2000) mengungkap bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih tegolong rendah. Selanjutnya, berkenaan dengan rendahnya kemampuan representasi matematik, Hutagaol (2007) menyatakan bahwa terdapatnya permasalahan dalam penyampaian materi pembelajaran matematika, yaitu kurang berkembangnya daya representasi siswa, khususnya pada siswa SMP, siswa tidak pernah diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri tetapi harus mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh gurunya. Kemudian, hasil studi Hudiono (2005) menunjukkan bahwa terjadinya kelemahan representasi siswa seperti tabel, gambar, model disampaikan kepada siswa karena hanya sebagai pelengkap dalam penyampaian materi. Keadaan yang terjadi di lapangan dalam hal kemampuan koneksi dan representasi matematik yaitu guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional atau menurut Turmudi (2008) proses pembelajaran yang disampaikan selama ini menggunakan sistem transmission of knowledge. Hal ini membuat kelas hanya terjadi interaksi satu arah. Begitu pula dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa hanya terbatas pada apa yang telah diajarkan oleh guru saja. Oleh karena itu, kemampuan berpikir tingkat tinggi yang seharusnya berkembang dalam diri siswa, menjadi tidak berkembang secara optimal. Berdasarkan fenomena dan pendapat di atas kemudian muncul pertanyaan: strategi apa yang cocok untuk siswa agar memperoleh kemampuan koneksi dan representasi matematik yang baik melibatkan aktivitas siswa secara optimal, dan membuat pelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan menyenangkan. Karena matematika harus dipelajari dalam konteks yang bermakna yang mengaitkannya dengan subyek lain dan dengan minat dan pengalaman siswa. Alternatif strategi pembelajaran dalam upaya untuk menumbuhkembangkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran kontekstual melalui strategi REACT. Strategi REACT ini dijabarkan oleh COR (Center of Occupational Research) di Amerika yang dari lima strategi yang harus tampak yaitu: Relating (mengaitkan), Experiencing (mengalami), Applying (Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama), Transferring (Mentransfer) (Muslich, 2008). Relating (mengaitkan) adalah pembelajaran dengan mengaitkan materi yang sedang dipelajarinya dengan konteks pengalaman kehidupan nyata atau pengetahuan yang sebelumnya. Experiencing (mengalami) merupakan pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan melakukan kegiatan matematika (doing math) melalui eksplorasi, penemuan dan pencarian. Berbagai pengalaman dalam kelas dapat mencakup penggunaan manipulatif, aktivitas pemecahan masalah, dan 98
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
laboratorium. Applying (menerapkan) adalah belajar dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari untuk digunakan, dengan memberikan latihan-latihan yang realistik dan relevan. Cooperating (bekerjasama) adalah pembelajaran dengan mengkondisikan siswa agar bekerja sama, sharing, merespon dan berkomunikasi dengan para pembelajar yang lainnya. Kemudian Transferring (mentransfer) adalah pembelajaran yang mendorong siswa belajar menggunakan pengetahuan yang telah dipelajarinya ke dalam konteks atau situasi baru yang belum dipelajari di kelas berdasarkan pemahaman. Selain itu berdasarkan hasil penelitian Martheen (2009) bahwa pembelajaran kontekstual melalui strategi REACT yang berpusat pada siswa merupakan pilihan yang tepat, karena banyak siswa yang termotivasi untuk mengembangkan kemampuan matematik yang mereka miliki Sebagai tindak lanjut dan sesuai rekomendasi Tapilouw Marthen (2009) dan Ena Suhena (2009), peneliti berkeinginan untuk mengetahui apakah penerapan strategi REACT ini dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa SD. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapan strategi REACT untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa SD. 2.
Rumusan Masalah
a. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT lebih baik daripada kemampuan koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah)? b. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT lebih baik daripada kemampuan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah)? c. Bagaimanakah sikap siswa terhadap penerapan pembelajaran matematika dengan menggunakan REACT? 3.
Tujuan Penelitian
a. Mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematik antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang). b. Mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematik antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). c. Mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematik antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang). d. Mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematik antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). e. Mengetahui gambaran sikap siswa terhadap matematika yang mengikuti pembelajaran matematika melalui REACT.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
99
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
4.
Hipotesis Penelitian
a. Peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang). b. Peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). c. Peningkatan kemampuan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang). d. Peningkatan kemampuan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). B.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, subjek yang akan diteliti merupakan siswa-siswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masing-masing, sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara acak. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, dan desain yang digunakan adalah ―Disain kelompok kontrol non-ekivalen‖ (Ruseffendi, 1994:47). Pada desain ini, peneliti memilih dua kelompok secara acak. Satu kelompok dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Kedua kelompok diberikan tes awal dan tes akhir. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yang berbeda dengan kelompok kontrol. Penggunaan strategi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah pembelajaran dengan strategi REACT dan variabel terikatnya adalah kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa SD. Diagram desain penelitiannya sebagai berikut: O X O -----------------O O (Ruseffendi, 1994:47) Keterangan: O = Pretes = Postes Kemampuan koneksi dan representasi matematik X = Pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang sikap siswa secara umum terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT terhadap koneksi dan representasi matematik siswa selama penelitian. Sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa berdasarkan hasil tes. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kota Cimahi. Dari sebanyak 118 sekolah, terlebih dahulu digolongkan sekolah ke dalam 4 kategori, yaitu sekolah dengan kualifikasi sangat baik, baik, sedang, dan rendah berdasarkan urutan hasil perolehan nilai rata-rata UASBN tahun 2010, dari setiap level baik dan sedang dipilih satu sekolah. Sampel penelitian terdiri dari 56 orang siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT dan 56 orang siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi konvensional (tanpa perlakuan). 100
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
C. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Pretes dan Postes
Sebelum pembelajaran diberikan dilakukan pretes untuk mengukur kemampuan awal siswa dan setelah pembelajaran dilakukan diberikan postes. Dari hasil analisis data dan uji statistik dengan taraf signifikansi 5% terhadap data pretes diperoleh bahwa hasil pretes di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara signifikan tidak terdapat perbedaan baik ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan matematika siswa, sedangkan pada hasil postes kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan baik ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan matematika siswa. 2. Peningkatan Kemampuan Koneksi dan Kemampuan Representasi Matematik
Peningkatan pada penelitian ini menggunakan normalisasi gain, berikut penyajian normalisasi gain:
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Baik
Sedang REACT
Konvensional
Gambar 1 Diagram Batang Rerata N-Gain Kemampuan Koneksi Matematik Menurut Level Sekolah
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Tinggi
Sedang
Rendah
Baik
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang REACT
Konvensional
Gambar 2 Diagram Batang N-Gain Kemampuan Koneksi Matematik Berdasarkan Level Sekolah, Strategi Pembelajaran, dan KMA Siswa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
101
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
0,8 0,6 0,4 0,2 0 Baik
Sedang REACT
Konvensional
Gambar 3 Diagram Batang Rerata N-Gain Kemampuan Representasi Matematik Menurut Level Sekolah
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Tinggi
Sedang
Rendah
Baik
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang REACT
Konvensional
Gambar 4. Diagram Batang N-Gain Kemampuan Representasi Matematik Berdasarkan Level Sekolah, Strategi Pembelajaran, dan KMA Siswa
Untuk mengetahui apakah perbedaan peningkatan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berbeda secara signifikan ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan matematika siswa, dilakukan uji Anova dua jalur. Berdasarkan perhitungan uji Anova dua jalur diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi REACT dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) maupun kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah). Untuk mengetahui pembelajaran mana yang lebih baik dalam kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa, dilakukan uji statistik lanjutan melalui uji-t. Berdasarkan perhitungan uji-t diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari keseluruhan, level sekolah (baik dan sedang) dan tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah). 102
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
3.
Hasil Penelitian tentang Skala Sikap Siswa
Berdasarkan tanggapan siswa melalui skala sikap dan wawancara diperoleh temuan bahwa secara umum tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi REACT cukup positif. Tanggapan para siswa tentang strategi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, LAS yang diberikan, dan soal-soal kemampuan koneksi dan representasi matematik menunjukkan suatu persetujuan dan minat serta motivasi yang tinggi terhadap pembelajaran yang dikembangkan. D.
PEMBAHASAN
Dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, pembelajaran dengan strategi REACT menunjukkan peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa. Hal ini dimungkinkan karena dalam pembelajaran strategi REACT, fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa yaitu berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk memahami suatu konsep dan prosedur matematika. Karena kekuatan dari pembelajaran melalui REACT terletak pada memotivasi dan memfasilitasi siswa belajar secara aktif. Untuk itu guru menjadi instrumen pembelajaran yang utama yaitu sebagai fasilitator terjadinya aktivitas belajar di kelas dalam upaya untuk mengarahkan siswa agar dapat membuat siswa belajar aktif. Keberhasilan pembelajaran dengan strategi REACT dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi siswa terjadi karena pada pembelajaran dengan stratgi REACT siswa terstimulus secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga kemampuan matematika siswa berkembang dan meningkat. Temuan ini sesuai dengan pernyataan Crawford (2001) yang menyatakan bahwa strategi REACT memiliki kelebihan diantaranya dapat memperdalam pemahaman siswa serta membuat belajar menyeluruh dan menyenangkan. Kemampuan koneksi merupakan tingkatan kedua dari berpikir matematik. Terdapat temuan yang diperoleh penulis ketika melaksanakan pretes yaitu kemampuan siswa dalam menemukan dan menggunakan kemampuan koneksi matematik sangat rendah. Berdasarkan kajian penulis terhadap masalah ini, penyebab rendahnya hasil pretes ini adalah karena pembelajaran yang berlangsung selama ini mengabaikan aspek keterkaitan matematik dengan topik matematik sebelumnya, dengan disiplin ilmu lain dan dengan masalah-masalah nyata di sekitar kehidupan sehari-hari siswa. Selanjutnya, jika dilihat dari skor hasil postes dalam penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan koneksi matematik setelah perlakuan, baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Dari jawaban yang diberikan siswa, terlihat bahwa yang paling membingungkan siswa adalah soal yang berkaitan dengan antar pokok bahasan lain. Hal ini dimungkinkan karena masih lemahnya kemampuan koneksi siswa atau siswa masih menganggap tiap pokok bahasan dalam pelajaran matematika merupakan bagian-bagian yang saling lepas. Salah satu penyebabnya dikarenakan mereka belum terbiasa dengan soal-soal seperti itu. Penemuan ini diperkuat pula dari hasil penelitian Ruspiani (2000) yang mengungkap bahwa kemampuan koneksi terendah ada pada kemampuan koneksi antar topik matematika. Temuan terakhir yang menjawab rumusan masalah adalah hasil tes koneksi pada siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan strategi REACT, menunjukkan peningkatan kemampuan koneksi secara signifikan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa siswa-siswa yang pembelajarannya dengan strategi REACT pada umumnya lebih mengutamakan proses penyelesaian dengan cara mengkaitkan pengetahuan yang berbeda-beda untuk menyelesaikan setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa yang pembelajarannya secara konvensional lebih mengutamakan hasil akhir. Dari hasil penelitian di lapangan, didapat bahwa pembelajaran dengan strategi REACT kemampuan koneksi siswa meningkat lebih baik dibandingkan dengan kemampuan koneksi yang menggunakan Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
103
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
pembelajaran dengan strategi konvensional, pertama karena dalam proses pembelajaran terdapat kegiatan relating dimana siswa dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sebelumnya yang didapatkan siswa juga dapat menghubungkan ide yang berkaitan dengan objek tertentu. Selain itu dengan pembelajaran dengan strategi REACT telah merubah paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru kepada pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri yang secara tidak langsung siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan mengaitkan pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki sebelumnya. Temuan ini melengkapi temuan-temuan sebelumnya yaitu mengenai penerapan REACT yang telah dilakukan di SMP dan di perguruan tinggi. Kemampuan representasi matematik adalah salah satu keterampilan proses yang berkaitan dengan kemampuan siswa menyampaikan laporan, gagasan, dan ide. Berdasarkan hasil tes representasi pada siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan strategi REACT, menunjukkan peningkatan kemampuan representasi yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa siswa-siswa yang pembelajarannya dengan strategi REACT pada umumnya lebih mengutamakan proses penyelesaian dengan cara merepresentasikan suatu masalah dengan berbedabeda untuk membantu proses menyelesaikan setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa yang pembelajarannya secara konvensional lebih mengutamakan hasil akhir. Dalam strategi REACT siswa diberi alat bantu berupa benda-benda konkrit. Menurut Herman (2004), benda konkrit dapat berperan sebagai representasi alternatif yang menghubungkan representasi suatu konsep yang baru terhadap konsep sebelumnya, sehingga representasi terkoneksi dalam jaringan dengan struktur yang lebih terorganisasi. Jadi, dengan menggunakan bantuan benda konkrit, sifat matematika yang abstrak dapat lebih mudah diterima oleh siswa, khususnya siswa sekolah dasar yang kemampuan berpikirnya berada pada tahap berpikir konkrit. Selain itu, pada kelas eksperimen siswa diberikan kesempatan untuk merepresentasikan suatu permasalahan secara bebas tanpa dibatasi sehingga siswa menjadi lebih kreatif untuk merepresentasikan suatu permasalahan. Hal ini berbeda yang terjadi di kelas kontrol dimana siswa harus melakukan prosedur atau langkah-langkah yang baku yang telah ditetapkan oleh guru kelasnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum siswa yang pembelajarannya dengan strategi REACT menunjukkan kemampuan representasi yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan strategi konvensional. E.
KESIMPULAN
Peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). Sebagian besar siswa menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan kata lain, pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT dapat meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Hal ini ditunjukkan melalui pendapat siswa dalam angket maupun pada hasil wawancara serta dari aktivitas siswa seperti siswa terlihat lebih aktif dan memiliki semangat yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan, berdiskusi antar sesama siswa, bertanya pada guru dan terjadi interaksi multi arah.
104
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
F.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan strategi REACT dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik yang lebih baik daripada menggunakan strategi konvensional, baik ditinjau berdasarkan level sekolah maupun kemampuan matematika siswa. Oleh karena itu disarankan pembelajaran dengan strategi REACT dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat digunakan guru matematika dalam menyajikan materi matematika untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa. Strategi REACT memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses pembelajarannya karena memerlukan beberapa langkah yang sudah ditentukan, sehingga jika guru ingin menggunakan strategi ini disarankan untuk sehingga melakukan persiapan yang matang agar pembelajaran dapat berjalan dengan lancar dengan mempertimbangkan pengalokasian waktu pada setiap langkahlangkah tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga terciptalah proses pembelajaran yang efektif dan efisien sepanjang waktu yang sudah ditetapkan. (a) LAS yang digunakan harus mengarahkan siswa dalam mengkonstruksi konsep dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti dari setiap tingkatan kemampuan matematika siswa baik tinggi, sedang maupun rendah. (b) intervensi guru dalam pembelajaran harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa jangan berlebihan agar perkembangan aktual berjalan dengan efektif. (c) Disarankan REACT diterapkan pada topik-topik matematika yang esensial yang dapat ditunjang oleh kegiatan hands-on untuk menunjang tahapan eksplorasi dan penyelidikan sehingga konsep topik-topik ini dapat lebih dipahami secara mendalam. Untuk mengurangi kelemahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal koneksi dan representasi matematik yaitu guru hendaknya selalu memberi masalah-masalah koneksi dan representasi matematika untuk dikerjakan di rumah baik secara individu maupun secara kelompok yang selanjutnya dibahas dan didiskusikan bersama. Hal ini diperlukan sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan waktu di sekolah. Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat dilengkapi dengan meneliti aspekaspek lain secara lebih terperinci yang belum terjangkau oleh penulis saat ini seperti ditinjau dari jenis kelamin, meneliti sekolah yang mewakili semua level sekolah yaitu sangat baik, baik, sedang dan rendah. Sehubungan dengan ditemukannya bahwa siswa dari kemampuan matematika rendah hasil belajar kemampuan koneksinya yang menggunakan strategi REACT tidak berbeda jauh dengan kemampuan matematika siswa rendah di strategi konvensional, hal ini berarti bahwa guru mempunyai peranan yang penting dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi siswa. Oleh karena itu dianjurkan bila guru ingin berhasil dengan baik dalam mengajarkan dengan strategi REACT maka guru harus lebih memperhatikan siswa dengan kemampuan matematika siswa yang rendah misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan bantuan yang dapat membantu siswa untuk menemukan jawaban yang diharapkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
105
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Crawford. (2001). Teaching Contextually. Texas: CCI Publishing, Inc. Herman, T. (2004). Mengajar dan Belajar Matematika dengan Pemahaman. Jurnal Mimbar Pendidikan No.1 Tahun XXIII. Bandung: University Press UPI. Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa. Disertasi PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Kusuma, D. A. (2003). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SLTP dengan Menggunakan Metode Inkuiri. Tesis PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Marthen, T. (2009). Pengembangan Kemampuan Matematis Siswa SMP Melalu Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan REACT. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan. Muslich, M. (2008). KTSP. Jakarta: Bumi Aksara. National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston VA: The National Council of Teachers of Mathematics Inc. ____________________________________. (2000). Principles and Standars for School Mathematics. Reston VA: The National Council of Teachers of Mathematics Inc. Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang:IKIP Semarang Press. Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Suhena, E. (2009). Pengaruh Strategi REACT dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Penalaran, dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Disertasi UPI : Tidak diterbitkan. Tim JICA. (2010). Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam konteks Indonesia. Bandung: JICA FPMIPA UPI. Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika. Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Diktat Perkuliahan UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
106
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI KOOPERATIF JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh : Nitta Puspitasari STKIP GARUT Abstrak Matematika selalu berkembang sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sekarang ini matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang pola dan hubungan, dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami dunia sekitar. Penelitian eksperimental dengan desain kelompok control pretest-posttest ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan siswa yang mengikuti pendekatan konvensional, keterkaitan antara pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi Jigsaw dan kualifikasi sekolah, serta sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw. Subjek populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri Garut. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional; (2) tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan kualifikasi sekolah terhadap koneksi matematis; (3) terdapat perbedaan sikap siswa yang signifikan terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah. PENDAHULUAN
Matematika selalu berkembang sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sekarang ini matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang pola dan hubungan, dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami dunia sekitar. Oleh karena itu, untuk menjawab berbagai tantangan dan tuntutan pada era seperti sekarang ini, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa seperti kemampuan memecahkan masalah, berargumentasi secara logis, bernalar, menjelaskan dan melakukan justification, memanfaatkan sumber informasi, berkomunikasi, bekerja sama, menyimpulkan dari berbagai situasi, pemahaman instrumental, dan pemahaman fungsional, perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Matematika pada dasarnya adalah ilmu yang abstrak dan bersistem deduktif-aksiomatik, yang dimulai dengan unsur-unsur yang tidak terdefinisi. Hal ini berarti bahwa matematika merupakan aktivitas mental, sehingga kegiatan berpikir matematika tidak dapat dilepaskan dari kegiatan kognitif (Akib, 2003: 1). Sejalan dengan pendapat Ruseffendi (1991: 260) yang mengatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran. Menurut Hirdjan (2000), ―matematika tidak diajarkan secara terpisah antartopik. Masing-masing topik dapat dilibatkan atau terlibat dengan topik lainnya‖. Oleh karena itu, pemahaman siswa pada satu topik akan membantu untuk memahami topik yang lain, tetapi hal ini dapat terjadi jika siswa mampu mengkoneksikan topik-topik tersebut. Pendapat di atas sesuai dengan standar NCTM (2000: 274): Thinking mathematically involves looking for connections, and making connections builds mathematical understanding. Without connections, students must learn and remember too many isolated concepts and skills. With connections, they can build new understandings on previous knowledge. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
107
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dengan koneksi, siswa mampu membangun pemahaman baru berdasarkan pada pengetahuan sebelumnya. Agar proses pembelajaran matematika dapat bermakna bagi siswa, maka diperlukan perencanaan yang sistematis dari guru sehingga siswa dapat memahami dan mengkoneksikan berbagai topik secara lebih baik dan efisien. Bruner (TIM MKPBM, 2001: 43) menyatakan bahwa ‗belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pembelajarannya diarahkan pada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubunganhubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan kata lain, belajar matematika akan berhasil jika siswa dapat melihat koneksi antartopik dalam matematika. Konsep atau topik yang dia pelajari sebelumnya harus dapat dijadikan sebagai modal untuk mempelajari topik yang sedang dan akan dipelajari. Hal ini dapat tercapai bila dalam pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk memahami konsep secara mendalam dan mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari konsep yang telah ia ketahui. Salah satu pendekatan pembelajaran yang tampaknya dapat mengembangkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis adalah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah menuntut aktivitas mental siswa dalam memahami suatu konsep, prinsip dan kompetensi matematis melalui situasi atau masalah yang disajikan di awal pembelajaran. Ruspiani (2000) mengatakan bahwa pada saat siswa mampu memahami suatu permasalahan, maka siswa mampu membuat koneksi dengan topik-topik yang terkait. Jadi dalam pembelajaran ini situasi atau masalah menjadi titik tolak untuk memahami konsep, prinsip, dan mengembangkan kompetensi matematis. Berbeda dengan pembelajaran pada umumnya, masalah disajikan pada akhir pembelajaran setelah memahami konsep, prinsip dan kompetensi matematis, pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya terhadap situasi atau masalah yang dijumpai orang lain. Agar pembelajaran berbasis masalah berjalan secara optimal, perlu diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan siswa lebih aktif dalam melakukan eksplorasi, investigasi, mengemukakan pendapat, saling membantu dan berbagi pendapat dengan teman untuk menyelesaikan masalah yang diberikan dalam pembelajaran. Kondisi yang memungkinkan timbulnya hal-hal tersebut yaitu melalui belajar dengan kelompok-kelompok kecil yang disebut belajar kooperatif (cooperative learning) (Slavin,1995). Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tipe. Salah satunya yaitu belajar kooperatif tipe Jigsaw yang dikemukakan oleh Arronson (1978). Scott (dalam Hariyanto, 2000: 3) menyatakan bahwa Jigsaw merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang sangat fleksibel (cocok) untuk semua kelas/tingkatan. Dalam model pembelajaran ini, setiap siswa ditugaskan mempelajari sebuah topik/masalah tertentu. Siswa-siswa bertemu dengan anggota dari kelompok lain yang mempelajari masalah yang sama. Setelah bertukar pendapat dan informasi, para siswa tersebut kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mendiskusikan atau menjelaskan apa yang telah dipelajarinya kepada anggota kelompok sendiri. Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah dengan menggunakan strategi kooperatif tipe Jigsaw memberi peluang untuk menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam koneksi matematis. Berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian yang berjudul ―Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Koneksi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama‖. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian latar belakang, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa? 108
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
3. Apakah terdapat perbedaan sikap siswa terhadap pembelajaran strategi kooperatif Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah?
berbasis masalah dengan
TINJAUAN PUSTAKA 1.
Koneksi Matematis
Koneksi matematis berasal dari bahasa Inggris ―Mathematical Connection‖ yang kemudian dipopulerkan oleh NCTM yang mengulas masalah ini untuk pembelajaran matematika dari tingkat dasar sampai menengah. Koneksi dengan kata lain dapat diartikan sebagai keterkaitan. Menurut NCTM (2000), terdapat tiga tujuan koneksi matematis di sekolah. Pertama, memperluas wawasan pengetahuan siswa. Kedua, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri. Ketiga, menyatakan relevansi dan manfaat baik di sekolah maupun di luar sekolah. Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, koneksi matematis diklasifikasikan menjadi tiga macam yang meliputi: a. Koneksi antartopik dan proses matematika; b. Koneksi antara konsep matematika dengan disiplin ilmu lain; c. Koneksi antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. Dari klasifikasi tersebut, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup matematika tidak hanya mencakup permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi matematika saja, tetapi meliputi bidang studi lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Representasi pemikiran yang berbeda dari suatu permasalahan yang dikemukakan, merupakan suatu sudut pandang siswa yang sesuai dengan interpretasi siswa terhadap masalah dan penyelesaiannya. Bila siswa menjadi lebih memahami secara matematis, maka mereka akan lebih fleksibel untuk mendekati situasi dalam berbagai cara dan mampu mengenal cara pandang yang berbeda. Pengalaman koneksi matematis siswa memiliki karakteristik dasar sebagai berikut: a. Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. b. Menghubungkan kemampuan prosedural dan konseptual. c. Melihat matematika secara keseluruhan yang saling berkaitan. d. Menerapkan berpikir matematis dan membuat model pemecahan masalah yang berasal dari disiplin ilmu lain. e. Menggunakan nilai-nilai yang berkaitan di antara topik-topik matematika. f. Mengenali kesamaan representasi dari konsep yang serupa (Coxford dalam Juandi, 2006: 44). Sumarmo (2002: 15) menyatakan bahwa beberapa indikator kemampuan koneksi matematis diantaranya adalah: mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami hubungan antartopik matematis; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari; memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama; mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; menggunakan koneksi antartopik matematika dan antara matematika dengan topik lain. Kemampuan koneksi matematis yang akan dikaji dalam penelitian ini akan terfokus pada kemampuan memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama, mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. 2.
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) adalah sebuah pendekatan yang lahir dari adanya perubahan yang sangat mendasar disebabkan pergeseran pandangan dalam memahami bagaimana siswa belajar matematika. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses menerima Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
109
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
informasi untuk disimpan pada memori siswa yang diperoleh melalui pengulangan praktek dan penguatan, namun siswa belajar dengan mendekati setiap persoalan baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki, mengasimilasi informasi baru dan membangun pengertian sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Duch (1995) bahwa, Problem-based learning (PBL), at its most fundamental level, is instructional method characterized by the use of „real world‟ problem as a context for student to learn critical thinking and problem solving skill, and acquire knowledge of the essential concept of the course. Ini mengandung arti bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan metode pengajaran yang mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan memperoleh pengetahuan mengenai esensi konsep. Ibrahim dan Nur (2000) memberikan karakteristik masalah yang diketengahkan dalam PBM sebagai berikut: 1. Autentik, yaitu masalah harus lebih berakar pada pengalaman dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip dasar disiplin ilmu tertentu. 2. Tidak terdefinisi dengan baik, maksudnya adalah masalah tidak terspesifikasikan dan kurangnya informasi yang diberikan sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan investigasi, eksplorasi, konjektur sebelum pemecahan masalah. 3. Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual. 4. Konsisten dengan tujuan kurikulum. Secara garis besar langkah-langkah dalam PBM ditinjau dari indikator kegiatan siswa dan aktivitas guru adalah sebagai berikut (Ibrahim dan Nur, 2000: 13):
Fase 1
2 3
4
5
3.
Tabel 1 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah Indikator Kegiatan Guru Mengorientasikan siswa Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik pada masalah yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Mengorganisasikan siswa Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan untuk belajar tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Membimbing penyelidikan Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang mandiri dan kelompok sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk penjelasan dan pemecahan masalah. Mengembangkan dan Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan menyajikan hasil karya karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Menganalisis dan Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi mengevaluasi proses terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang pemecahan masalah mereka gunakan.
Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Jigsaw
Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi atau konsep untuk mencapai pemahaman yang maksimal adalah pembelajaran kooperatif Jigsaw. Adapun tahap-tahap pembelajarannya sebagai berikut: a. Tahap pertama, pembentukan kelompok-kelompok kecil dengan kriteria setiap kelompok heterogen terdiri dari empat sampai enam orang. Pembentukan kelompok ini disebut sebagai kelompok asal. b. Tahap kedua, setiap anggota kelompok ditugaskan untuk memecahkan masalah tertentu yang diberikan pada pembelajaran. Kemudian siswa-siswa dari kelompok lain yang memiliki masalah yang sama berkumpul untuk secara bersama-sama melakukan investigasi, memunculkan atau 110
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
mengkonstruksi pertanyaan, melakukan eksplorasi dan observasi, mengemukakan jawaban sementara (hipotesis), yang pada akhirnya diperoleh pemecahan masalahnya. Pembentukan kelompok ini disebut sebagai kelompok ahli. c. Tahap ketiga, setelah dalam kelompok ahli diperoleh pemecahan masalah dari masalah yang ditugaskan, kemudian masing-masing perwakilan tersebut dalam kelompok ahli kembali ke kelompok asal. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompok dapat pula memecahkan masalah yang diberikan. d. Tahap keempat, siswa diberi tes/kuis oleh guru untuk mengevaluasi proses pembelajaran. Adapun tahapan PBM melalui model kooperatif Jigsaw disajikan pada Tabel berikut: Tabel 2 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw Fase 1
2 3
4.
Indikator Mengorientasikan siswa pada masalah Mengorganisasikan siswa untuk belajar Membimbing penyelidikan mandiri dan kelompok
4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Kegiatan Guru Mengajukan masalah (melalui soal), selanjutnya guru meminta siswa untuk mengemukakan ide, teori yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah tersebut. Mengorganisir siswa untuk belajar melalui model kooperatif Jigsaw. Pada tahap ini siswa melakukan pemecahan masalah bersama kelompok ahli kemudian menerangkan kembali kepada teman kelompoknya di kelompok asal. Guru sifatnya membantu dan mendorong siswa sehingga benarbenar mengerti permasalahannya. Menyuruh salah satu kelompok ahli untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah di depan kelas, diberikan kesempatan kepada kelompok ahli lain untuk mengajukan pertanyaan atau komentar, guru membantu jika siswa mengalami kesulitan. Membantu menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalahnya sehingga ditemukan suatu formula atau definisi yang diinginkan.
Sikap Siswa terhadap Pembelajaran
Indikator keberhasilan siswa dalam belajar tidak hanya dilihat dari nilai tes yang diperolehnya. Sikap siswa dalam proses belajar pun merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa dalam belajar. Oleh karena itu, sikap siswa dalam belajar matematika menjadi penting karena matematika akan dapat dipahami dengan baik oleh siswa, apabila siswa memiliki sikap yang positif. Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami individu. Azwar (1995: 30) menyatakan bahwa dalam interaksinya, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologi yang dihadapinya. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain kelompok control pretest-posttest. Unit-unit eksperimen dilakukan di dua kelas yang masing-masing menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan pembelajaran konvensional. Kategori sekolah ditetapkan menurut kualifikasi sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional setempat. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified sampling. Instrumen yang digunakan adalah tes dan non tes.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
111
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
HASIL PENGOLAHAN DATA
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil sebagai berikut. Nilai pretest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan awal koneksi matematis antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hasil perhitungan uji rerata gain ternormalisasi kemampuan koneksi matematis, disajikan pada Tabel berikut. Tabel 3 Hasil Perhitungan Uji Rerata Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Test Statisticsa KONEKSI Mann-Whitney U 4221.500 Wilcoxon W 10326.500 Z -4.734 Asy mp. Sig. (2-tailed) .000 a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 4 Hasil Uji Chi-Kuadrat ( ) Gain Kemampuan Koneksi Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kualifikasi Sekolah 2
Kualifikasi Sekolah Atas Tengah Bawah
α
Asym.Sig. 0,008 1,000 0,008
0,05 0,05 0,05
Kesimpulan Tolak H0 Terima H0 Tolak H0
Dari skor gain ternormalisasi secara keseluruhan diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Namun, berdasarkan kualifikasi sekolah kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional hanya terjadi pada kualifikasi sekolah atas dan bawah. Sedangkan pada kualifikasi sekolah tengah tidak terdapat perbedaan peningkatan secara signifikan antara kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Selanjutnya untuk interaksi pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 5 Hasil Uji Anova Dua Jalur Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kualifikasi Sekolah
Sumber Pembelajaran Kualifikasi Sekolah Interaksi Total 112
Jumlah Kuadrat 5,735 14,725 0,346 749,219
Df 1 2 2 230
Rerata Kuadrat 5,735 7,363 0,173
F
Sig
H0
34,799 44,674 1,050
0,000 0,000 0,474
Tolak Tolak Terima
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa faktor pendekatan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis. Demikian pula halnya dengan faktor kualifikasi sekolah, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis. Ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan koneksi matematis siswa berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran dan kualifikasi sekolah. Secara bersamaan, kedua kelompok tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis. Dari hasil uji Anova yang terdapat pada Tabel 5, diperoleh nilai F = 1,050 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,474 lebih besar dari , maka hipotesis nol (H0) diterima. Hal ini berarti tidak terdapat interaksi pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis. Semakin tinggi kualifikasi sekolah, maka nilai rerata gain yang diperoleh semakin tinggi. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara pendekatan pembelajaran dan kualifikasi sekolah. Dari hasil uji kontingensi untuk sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw diperoleh nilai hubungan positif sebesar 0,567. Hal ini berarti terdapat perbedaan sikap siswa yang signifikan terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw. KESIMPULAN
Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Secara umum pendekatan pembelajaran tidak berkaitan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Terdapat perbedaan sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah. Semakin tinggi kualifikasi sekolah, sikap siswa semakin positif. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengusulkan beberapa rekomendasi berikut : 1. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw hendaknya terus dikembangkan dan dijadikan alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan pendekatan tersebut secara umum memberikan pengaruh yang positif terhadap koneksi matematis. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif, meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih berpusat pada siswa. 2. Tidak adanya interaksi antara pembelajaran dan kualifikasi sekolah terhadap kemampuan koneksi matematis siswa berarti bahwa nilai rerata yang diperoleh siswa sesuai dengan kualifikasi sekolah artinya siswa yang berada pada kualifikasi atas memiliki nilai yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, ketentuan penerimaan siswa baru yang telah ditetapkan Dinas Pendidikan pada saat ini sudah tepat dan dapat terus digunakan. 3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana pengaruh pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw terhadap kemampuan daya matematis lainnya (komunikasi, pemecahan masalah, dan representasi matematis), dengan waktu pelaksanaan penelitian yang lebih lama dan materi yang lebih luas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
113
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Akib, I. (2003). Pembelajaran Matematika dalam Perspektif Budaya Lokal. Makalah. Makassar: UNM. Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar Duch, B. J. (1995). What is Problem-Based Learning. [Online]. Tersedia: http://www.undel.edu/pbl/cte/jan95-what.html.[10 Maret 2008]. Hariyanto, (2000). Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Kooperatif Jigsaw dan Model Konvensional. Tesis UPI: Tidak Diterbitkan Ibrahim, M. dan Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press. Juandi, D. (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah). Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan. NCTM. (2000). Professional Standard School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi matematis. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan. Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Boston: Allyn and Bacon. Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Matematika Tingkat Nasional yang Diselenggarakan BEM Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Bandung: Bandung. TIM MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI, (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI Bandung.
114
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Anik Yuliani Jurusan Pendidikan Matematika – MIPA STKIP Siliwangi Bandung Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan generalisasi matematis yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dipilih dua kelas secara acak dengan cara mengundi untuk dijadikan sampel penelitian, kelas yang terpilih sebagai sampel penelitian yaitu kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII E sebagai kelas kontrol. Setiap kelas terdiri dari 40 siswa yang terbagi kedalam tiga kemampuan awal matematika yang berbeda, yaitu siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap rataan gain ternormalisasi kedua kelompok sampel dengan menggunakan Uji ANOVA Dua Jalur. Analisis kualitatif dilakukan untuk menelaah aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan generalisasi matematis siswa, demikian juga dilihat dari kategori kemampuan awal matematika siswa. Kata Kunci: Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing, Kemampuan Generalisasi Matematis. A.
Pendahuluan
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 1989) mengungkapkan bahwa belajar dan menggunakan matematika adalah aspek yang penting dari keseluruhan kurikulum sekolah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila matematika merupakan mata pelajaran yang terdapat dalam setiap jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Adapun tujuan matematika diberikan kepada siswa menurut NCTM (2000) yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan: belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); belajar untuk mengkaitkan ide (mathematical connections); dan pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Hal tersebut menjadi acuan Depdiknas (2006) dalam menyusun tujuan pembelajaran matematika di Indonesia yaitu diantaranya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika; mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi; mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Upaya untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran matematika bukanlah hal yang mudah. Diperlukan suatu usaha dari semua pihak, baik dari guru maupun dari siswa itu sendiri. Salah satu aspek penting yang tertera dalam tujuan pembelajaran matematika adalah kemampuan penalaran. Aplikasi penalaran sering ditemukan dalam proses pembelajaran matematika, karena materi matematika dan penalaran matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika (NCTM, 1989). Nasoetion (Priatna, 2003) menyebutkan bahwa manfaat melakukan penalaran dalam pembelajaran matematika yaitu, dari hanya yang sekedar mengingat fakta, aturan, prosedur kepada kemampuan pemahaman. Masih rendahnya kualitas kemampuan penalaran dalam hal ini kemampuan generalisasi matematis merupakan indikasi bahwa tujuan pembelajaran matematika belum tercapai secara optimal. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan optimal, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
115
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Salah satu model pembelajaran yang dipandang dapat mengembangkan keterlibatan siswa secara aktif adalah model pembelajaran inkuiri. Pada model pembelajaran inkuiri pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri (Trianto, 2007). Hal ini sejalan dengan pendapat Hutabarat (2009) yang menyatakan bahwa sebagai ciri khas dari inkuiri adalah induktif, karena pembuktian rumus tanpa dipengaruhi oleh teori-teori yang sudah ada. Siswa diharapkan dapat mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dengan cara melakukan pengamatan, mengumpulkan data, menganalisis dan menarik kesimpulan. Dengan demikian model pembelajaran inkuiri terbimbing diharapkan dapat meningkatkan kemampuan generalisasi matematis, dimana generalisasi merupakan bagian dari penalaran induktif. B.
Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah? C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menelaah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah. D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan masukan yang berarti dalam memperbaiki mutu pendidikan matematika di kelas, khususnya dalam mempertajam kemampuan generalisasi matematis. Masukan-masukan yang dapat diperoleh sebagai berikut : a. Memberi informasi tentang pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap peningkatan kemampuan generalisasi matematis. b. Jika ternyata terdapat pengaruh yang positif, maka model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat dijadikan sebagai salah satu pembelajaran yang bermanfaat dalam pembelajaran matematika di sekolah. c. Melatih siswa untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran serta melatih siswa dalam menemukan konsep matematika dengan cara bereksplorasi sendiri. d. Menjadi bahan rujukan untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai penerapan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing di sekolah. E.
Kemampuan Generalisasi Matematis dan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
1.
Kemampuan Generalisasi Matematis
Generalisasi merupakan terjemahan dari generalization, generalisasi menurut Copi et al. (Sumarmo, 1987) adalah proses penalaran memperoleh kesimpulan umum berdasarkan data empiris. Selanjutnya menurut NCTM (2000) mendeskripsikan proses generalisasi adalah mencatat keteraturan dan memformulasikan konjektur. Sementara itu Shurter dan Pierce (Dahlan, 2004) mendefinisikan generalisasi sebagai proses penalaran yang dihasilkan dari pengujian contoh yang secukupnya menuju sebuah kesimpulan mengenai semua atau beberapa contoh. 116
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Begitu juga dengan Rahman (2004) mengungkapkan bahwa generalisasi adalah proses penarikan kesimpulan dimulai dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum. Penalaran tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang melandasinya. Proses generalisasi matematika menurut Mason (Rahman, 2004) terdiri dari 4 tahap yaitu: (1) (2)
(3) (4)
Perception of generality Pada tahap ini siswa baru sampai pada tahap mengenal sebuah aturan/pola. Expression of generality Pada tahap ini siswa telah mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal. Symbolic expression of generality Pada tahap ini siswa telah mampu menghasilkan sebuah aturan dan pola umum. Manipulation of generality Pada tahap ini siswa telah mampu menerapkan aturan atau pola dari berbagai persoalan.
Pola-pola dalam matematika sangat membantu anak di dalam membuat generalisasi. Ada beberapa pola yang dapat digunakan diantaranya pola tumbuh, pola berulang. Pola-pola tersebut dinyatakan dengan gambar (geometri) dan bilangan (aritmatika). Kemampuan untuk melakukan generalisasi adalah sangat penting dalam pembelajaran matematika, sebagaimana dikatakan Hudoyo (Rahman, 2004) bahwa proses generalisasi merupakan aspek atau bagian yang esensial dari berpikir matematik. Dari beberapa pengertian generalisasi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa generalisasi adalah kemampuan untuk mempersepsi (menyatakan pola), menentukan struktur/data/gambaran/suku berikutnya, dan memformulasikan keumuman secara simbolis. 2.
Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Gulo (2002) mendeifinisikan strategi inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Hal senada juga diungkapkan oleh Sanjaya (2009) strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Sund, Trowbridge dan Leslie (Gani, 2007) menjelaskan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu model pembelajaran inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Model pembelajaran inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan model pembelajaran inkuiri. Dengan model pembelajaran ini siswa belajar lebih beorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada model pembelajaran inkuiri terbimbing ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri. Langkah-langkah dalam pendekatan inkuiri dalam penelitian ini adalah: a. Merumuskan masalah b. Mengembangkan hipotesis c. Mengumpulkan data d. Menguji hipotesis e. Menarik kesimpulan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
117
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
F.
Metode dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitiannya sebagai berikut : Kelas Eksperimen : O X O Kelas Kontrol : O O Keterangan : O: X:
Pretest dan posttest (tes kemampuan generalisasi matematis siswa) Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing
Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap. Kemudian dari sekolah tersebut diambil siswa kelas VIII sebagai subyek sampel. G.
Instrumen Penelitian
Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan generalisasi matematis terdiri dari 5 butir soal yang berbentuk uraian. Dalam penyusunan soal tes kemampuan generalisasi, diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun alternatif jawaban untuk masingmasing butir soal. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa sebelum dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis sebagai berikut: Gain ternormalisasi (g) = skorpostes skorpretes (Hake, 1999) skorideal skorpretes
Tabel G.1 Tingkat Perolehan Skor Gain Ternormalisasi
Besarnya Gain (g)
H.
Interpretasi
0,7 ≤ 𝑔 ≤ 1
Tinggi
0,3 ≤ 𝑔 < 0,7
Sedang
0 ≤ 𝑔 < 0,3
Rendah
Analisis Data dan Pembahasan
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan generalisasi matematis, antara siswa yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, maka dilakukan analisis terhadap kelompok data gain ternormalisasi siswa yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan gain ternormalisasi siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berikut ini disajikan statistik deskriptif data gain ternormalisasi menurut model pembelajaran dan kategori kemampuan siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
118
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel H.1 Statistik Deskriptif Gain Ternormalisasi Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut Model Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa
Pembelajaran MPIT
PK
Total
Kategori_siswa Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
Mean 0,786 0,634 0,313 0,587 0,591 0,449 0,263 0,437 0,688 0,541 0,288 0,512
Std. Deviation 0,108 0,130 0,084 0,213 0,123 0,104 0,066 0,158 0,150 0,149 0,078 0,201
N 11 18 11 40 11 18 11 40 22 36 22 80
Beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis yang dapat diungkap dari Tabel H.1, yaitu: a. b.
c.
d.
Rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT (0,587) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,437) atau MPIT > PK Untuk siswa berkemampuan tinggi, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT (0,786) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,591) atau MPIT > PK Untuk siswa berkemampuan sedang, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT (0,634) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,449) atau MPIT > PK Untuk siswa berkemampuan rendah, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT (0,313) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,263) atau MPIT > PK
Untuk mengetahui perbedaan rataan data skor gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT dengan siswa yang memperoleh PK digunakan uji analisis varians pada General Linear Model (GLM)-Univariate. Dilakukan pada taraf signifikansi 5% (α = 0,05), rangkumannya dapat dilihat pada Tabel H.2 berikut ini: Tabel H.2 Analisis Varians Gain Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut Model Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa
Sumber Model Pembelajaran Kategori Siswa Model Pembelajaran * Kategori Siswa Inter Total
Jumlah Kuadrat (JK) 0,388 1,823
df
Rataan JK
F
Sig.
1 2
0,388 0,911
33,384 78,508
0,000 0,000
0,076
2
0,038
3,278
0,043
0,859 24,223
74 80
0,012
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
119
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: Hipotesis 1
Hipotesis penelitian untuk melihat peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berdasarkan model pembelajaran adalah, ―Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.‖ Untuk menguji hipotesis tersebut, dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut: Ho : 𝜇1 = 𝜇2 H1 : 𝜇1 > 𝜇2 Keterangan: 𝜇1 : rata-rata gain ternormalisasi generalisasi kelas eksperimen 𝜇2 : rata-rata gain ternormalisasi generalisasi kelas kontrol Kriteria pengujian adalah tolak H0 jika Asymp.Sig.(1-tailed) < 𝛼 = 0,05. Menurut Whidiarso (2007) hubungan nilai signifikansi uji satu arah dan dua arah dari output ialah Sig.(1-tailed) = ½ Sig.(2-tailed). Hipotesis nol ditolak, artinya peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hipotesis 2
Hipotesis penelitian untuk melihat peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dengan faktor kategori kemampuan siswa adalah, ―Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah.‖ Untuk menguji hipotesis tersebut, dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut: Ho : 𝜇1 = 𝜇2 = 𝜇3 H1 : Paling sedikit satu tanda ―sama dengan‖ tidak berlaku. Setelah dilakukan perhitungan ANOVA dua jalur, hasilnya dapat dilihat pada Tabel H.2 yang diperoleh nilai signifikansi (sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari = 0,05, sehingga hipotesis nol ditolak. Artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah. Karena peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berbeda pada faktor kategori kemampuan siswa, maka untuk mengetahui rataan mana saja yang berbeda secara signifikan, akan dilihat hasil Post Hoc Multiple Comparison dengan uji Scheffe yang disajikan pada Tabel H.3 berikut. Tabel H.3 Perbedaan Rataan Gain Kemampuan Generalisasi Matematis Berdasarkan Kategori Kemampuan Siswa
(I) kategori
Tinggi Sedang Rendah
120
(J) kategori
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound
Sedang Rendah Tinggi Rendah Tinggi Sedang
,14690* ,40068* -,14690* ,25378* -,40068* -,25378*
,029155 ,032484 ,029155 ,029155 ,032484 ,029155
,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
,07407 ,31953 -,21974 ,18095 -,48183 -,32661
,21974 ,48183 -,07407 ,32661 -,31953 -,18095
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel H.3 memperlihatkan perbedaan rataan di antara masing-masing kemampuan. Sebagai contoh, perbedaan rataan antara kemampuan tinggi dan kemampuan sedang adalah 0,146 dengan standar kesalahan 0,029, dan signifikansinya 0,000 (kurang dari 0,05), maka kesimpulannya adalah terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan tinggi dan rata-rata kemampuan sedang. Pada post hoc, variabel yang diberi tanda * berarti ada perbedaan yang signifikan, sehingga berdasarkan Tabel H.3 dapat disimpulkan bahwa diantara masing-masing kemampuan terdapat perbedaan yang signifikan pada peningkatan generalisasi matematis. I.
Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan hipotesis-hipotesis penelitian, antara lain: 1.
2.
Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik di kelas inkuiri terbimbing dan kelas konvensional) berada dalam kategori sedang. Terdapat perbedaan secara signifikan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah. Dalam hal ini, peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berbeda antara kemampuan siswa tinggi dan sedang, tinggi dan rendah, serta antara kemampuan siswa sedang dan rendah. DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Jarnawi A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan. Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas. Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/∼sdi/Analyzingchange-Gain.pdf. Hutabarat, D. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan Biasa. Tesis UPI: Tidak diterbitkan. NCTM, (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. United States of America: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan. Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis UPI: Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan. Trianto. (2007). Model – Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka. Whidiarso, W. (2007). Uji Hipotesis Komparatif. [online]. Tersedia: http://elisa.ugm.ac.id/files/wahyu_psy/maaio0d2/Membaca_t-tes.pdf (27 Juni 2009).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
121
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
BERPIKIR INTUITIF (INTUISI) SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DALAM MENGEMBANGKAN BERPIKIR KREATIF Oleh : Aan Hasanah Jurusan Matematika - Universitas Pendidikan Indonesia Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini adalah mengungkapkan hasil analisis pendahuluan yang diberikan pada salah seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas dua terhadap alur berpikir siswa yang melibatkan intuisi dalam menyelesaikan soal problem solving - topic Geometri dalam mencari luas daerah segitiga. Hasil observasi mengindikasikan adanya siklus berpikir antara intuisi-berpikir kritis-berpikir kreatif di dalam menyelesaikan soal problem solving
Kata Kunci: intuisi, berpikir kritis, berpikir kreatif PENDAHULUAN
Kemajuan dan ekses globalisasi di seluruh dunia pada berbagai bidang saat kini tidak dapat dielakkan, baik dalam bidang perdagangan, komunikasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu pula dalam bidang pendidikan. Satu sisi globalisasi telah menuntut adanya inovasi-inovasi dalam berbagai bidang, tetapi sisi lain juga telah memberikan permasalahan yang makin kompleks dan rumit sehingga dituntut adanya kemampuan-kemampuan yang tinggi dan kreatif untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Seperti diungkapkan di dalam NCTM (1989) dan National Research Council (1989), tuntutan dunia yang semakin komplek menuntut individu yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kreatif, kepribadian yang jujur dan mandiri (berjiwa independen), serta sikap responsive terhadap perkembangan yang terjadi di sekelilingnya. Kurikulum Matematika sekarang ini, pemecahan masalah (problem solving) merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Namun kenyataannya sering sekali pembelajaran matematika di kelas menghadapkan siswa pada suatu situasi atau permasalahan yang justru menimbulkan ambigu bagi diri siswa, keambiguan dapat terjadi karena memiliki dua pengertian yang munculnya secara bersamaan tetapi keduanya saling bertentangan ataupun karena memiliki ketidaksesuaian intuisi yang dimiliki siswa dengan pemahaman konsep yang sudah atau sedang dipelajarinya. Secara historis alur berpikir para ahli matematika pada awalnya bukanlah sebagai ilmu deduktif tetapi diawali dengan adanya pengamatan dan dugaan kuat (berupa intuisi) terhadap fenomena yang dihadapinya yang mengawali untuk membuat hipotesis dan seterusnya melakukan konjektur dan terus berkembang menjadi suatu struktur yang logis dan deduktif berdasarkan eksperimen serta pemikiran kritis dan kreatif yang dilakukan oleh para ahli matematika. Artinya intuisi dapat menjadi ―gerbang pembuka‖ bagi proses berpikir kritis dan kreatif dari para ahli matematika, sebagaicontoh, Geometri Euclide didasarkan pada lima dugaan kuat yang jelas dengan sendirinya bagi Euclide tanpa perlu adanya pembuktian (merupakan intuisi) yang kemudian disebut ―postulat‖ yang dibangun berdasarkan pada pengalamannya sehari-hari. Contoh lain, Blaise Pascal menduga kuat bahwa sifat-sifat segitiga ada kaitannya dengan barisan dan deret, dan berdasarkan usaha keras pemikiran kritisnya dan kreatifitasnya, Pascal dapat menunjukkan adanya pola-pola istimewa dalam segitiga yang dikenal dengan Segitiga Pascal (Byers, 2007, h.88-96). Fischbein (1987) intuisi merupakan cara berpikir khusus yang terutama dicirikan oleh immediacy dan self-evidence (jelas dengan sendirinya). Istilah lain yang sepadan dengan intuisi diantaranya “common sense”, “naïve reasoning”, “interpretasi empiris” dan “insight” untuk mengindikasikan suatu pemahaman yang datangnya tiba-tiba, penyusunan kembali data menyeluruh di dalam kognitif yang akan membawa pada suatu pandangan baru, interpretasi baru atau penyelesaian terhadap situasi yang diberikan. Bahkan psikologi terkenal Perancis M. Reuchelin mengatakan 122
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
“natural thinking” memiliki fungsi penting sebagai immediacy, kekongkritan, kemampuan yang tiba-tiba dan evaluasi yang bersifat global berpadanan dengan intuisi. Sedangkan Piaget menggunakan istilah “natural thinking” tersebut sebagai “self-evidence” (Beth dan Piaget dalam Fischbein, 1987, h.5). Mengapa intuisi perlu dilibatkan di dalam proses pembelajaran? Ada hal menarik dari cara berpikir seorang pengintuitif yaitu cara berpikir global yang mengerahkan segala sudut pandang berpikirnya dan pengalamannya yang dipadu secara koheren namun munculnya secara cepat dan tidak memerlukan jastifikasi terperinci terlebih dahulu (spontan). Berbeda dengan cara berpikir analitik atau algoritmik yang terjadi melalui suatu rentetan langkah yang bersifat eksplisit dan biasanya dapat disampaikan kepada orang lain. Peranan intuisi di dalam pembelajaran matematika menurut Fischbein (1987), Keith (1993), Stavy dan Tirosh (2000), Khazanov (2008), intuisi berperan disaat seseorang harus memilih dan mengambil keputusan kritis. Misal, ketika seorang siswa harus menentukan pilihan yang tepat dari option-option yang diberikan untuk menentukan nilai perkalian dari 1.804 × 2,98 tanpa menggunakan kalkulator dan harus dijawab dalam waktu yang sangat singkat. Ilustrasi, Manakah jawaban yang tepat dari perkalian 1804 × 2,98. Apakah (A) 54,0602 ; (B) 50,7596 ; (C) 37,7342. Jawaban yang tepat dari seorang pengintuitif adalah (A) 54,0602, jawaban ini didasarkan pada pemilihan akan adanya petunjuk-petunjuk praktis yang seolah adanya pembatas (boarder) angka yaitu 1804 lebih dekat ke angka 1800 dan angka 2,98 lebih dekat ke angka 3, sehingga pemikir intuitif akan memusatkan perhatiannya untuk mengalikan 18 dengan 3 yaitu sekitar 54 untuk susunan angka paling depan dan angka akhir adalah 2. Seorang pemikir intuitif yang baik mempunyai kekhususan tertentu yang sifatnya inheren, tetapi kadar efektifitas intuisinya dilandasi oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan dengan kekhususan tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis telah dikuasainya dapat menunjang terbentuknya intuisi, atau variabel-variabel yang mempengaruhi kemampuan intuitifnya. Melalui berpikir intuitif, seseorang mungkin sampai pada jawaban atau pemecahan yang sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila ia menggunakan langkah pemecahan melalui proses analitik. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah bahwa pada suatu saat seorang pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan oleh pemikir analitik. Pengetahuan yang dibangun secara intutitif dapat disajikan dalam dua ilustrasi berikut ini. Ilustrasi pertama, seseorang telah cukup lama menghadapi suatu persoalan, tiba-tiba ia menemukan pemecahannya walaupun belum memperoleh pembenaran secara formal, misal ketika siswa novice atau seseorang yang sebelumnya belum pernah menemukan menghadapi permasalahan di bawah, 1 1 1 1 1 diminta oleh gurunya untuk mencari nilai suku ke-50 dari barisan berikut: 2 , 6 , 12 , 20 , 30 , … Setelah sekian lama memikirkan dan mencari jawabnya, tiba-tiba dia mengatakan ―oh aku tahu 1 sekarang jawabnya ― walaupun jawaban formal belum diperolehnya. Ilustrasi kedua, seorang 50(51)
dapat dengan cepat memberikan jawaban dalam bentuk dugaan terhadap sesuatu persoalan secara benar dan spontan, misal seseorang diberikan barisan sebagai berikut : 4,7,10,13,… kemudian diminta untuk menentukan suku ke-n. Seorang pengintuitif yang baik akan dengan segera menjawab bahwa suku ke-n adalah 3n + 1. Berdasarkan kaitan antara intuisi dan jawaban (Fischbein, 1987, h.201-202), jenis intuisi terbagi atas : (a) affirmatory intuition, yaitu representasi-representasi atau interpretasi-interpretasi dari berbagai fakta yang diterima sebagai sesuatu yang pasti, self-evident (jelas dengan sendirinya), dan self-consistent (konsisten diri) yang berkaitan dengan kebermaknaan konsep, pernyataan, dan inferensi; (b) anticipatory intuition, yaitu konjektur-konjektur yang muncul karena adanya aktivitas problem solving. dan (c) intuisi conclusive, yaitu pandangan global ide-ide penting untuk mencari penyelesaian yang sebelumnya dielaborasi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
123
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, tampaknya intuisi dapat hadir secara spontan pada diri seseorang sebagai akibat seseorang telah memperoleh pemahaman konsep yang mendalam, serta dapat menginterpretasi pernyataan-pernyataan (statements) secara self-evident (jelas dengan sendiriya) dan self-consistent (konsisten diri). Ilustrasi intuisi affirmatory yang berkaitan dengan konsep dapat dilihat pada contoh berikut, ketika siswa diminta untuk menyusun besarnya peluang anak panah akan menancap pada sasaran A, B, dan C seperti pada gambar di bawah, A B C
Gambar (i)
C B A
Gambar (ii)
Siswa yang telah memiliki konsep mendalam tentang peluang akan secara spontan dan jelas bagi dirinya bahwa pada Gambar (i) urutan besarnya peluang P(A)≥P(B)≥P(C). Meskipun tampilan Gambar (i) diubah menjadi tampilan Gambar (ii) seorang pengintuitif akan tetap konsisten (selfconsistent) dengan pemahaman konsepnya bahwa P(A)≤P(B)≤P(C). Sedangkan ilustrasi intuisi affirmatory yang berkaitan dengan suatu statement dan inferensi, misalkan seorang siswa dihadapkan pada pernyataan berikut, A = B dan B = C. Jika terhadap pernyataan ini siswa kemudian secara spontan dan self-evidence mengklaim bahwa A = C, maka hal ini dapat dipandang sebagai suatu bentuk intuisi. Selain kehadiran intuisi yang dapat muncul langsung secara spontan dan self-evident seperti pada intuisi affirmatory di atas, kehadiran intuisi juga dapat muncul ketika seseorang berhadapan dengan masalah yang sama sekali baru bagi dirinya (novice) atau problem solving. Namun kehadiran intuisinya tidak langsung muncul sebagai self-evidence tetapi dipicu kehadirannya melalui adanya noticing, kegiatan inquiri, observasi, membuat hipotesis, konjektur, dan penarikan kesimpulan terhadap masalah yang dihadapinya. Menurut Fischbein (1987, h. 61) Intuisi antisipatory merupakan perasaan yakin yang mendalam pada diri seseorang yang hadir sebelum munculnya konjektur yaitu semacam evaluasi dan prediksi pasti terhadap masalah tadi sebagai akibat pengalaman yang dilaluinya setelah observasi yang digabungkan dengan perasaan confidence. Tidak setiap hipotesis merupakan intuisi, hanya hipotesis yang digabungkan dari sejak awal dengan perasaan pasti dan jelas merupakan intuisi anticipatory. Sedangkan intuisi konklusi merupakan ringkasan secara global akan pandangannya yang terstruktur terhadap penyelesaian masalah yang sebelumnya dielaborasi secara terus menerus disertai perasaan yakin sehingga membawa seseorang pada konklusi. Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif, berpikir kritis dan intuisi terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar fakta-fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah. Johnson (2002) membedakan antara berpikir Kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis merupakan pengorganisasian proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain. Sedangkan berpikir kreatif merupakan suatu aktifitas mental 124
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
yang memperhatikan keaslian dan wawasan (ide). Sedangkan berpikir kreatif melibatkan pencarian kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Berpikir kreatif tidak secara tegas mengorganisasikan proses, seperti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakkan imaginasi, mengungkapkan (to reveal) kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan inspirasi ide-ide yang tidak diprediksikan sebelumnya. Berpikir dengan kritis dan kreatif memungkinkan siswa mempelajari masalah secara sistematik, mempertemukan banyak sekali tantangan dalam suatu cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif dan merancang/mendesain solusi-solusi yang asli. De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000) membedakan antara 2 tipe berpikir, yaitu berpikir lateral dan berpikir vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan petunjuk-petunjuk baru dalam mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan dengan perkembangan ide-ide dan pemeriksaannya terhadap suatu kriteria objektif. Pemikiran vertikal adalah selektif dan berurutan yang bergerak hanya jika terdapat suatu petunjuk dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah generatif yang dapat meloncat dan bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru. Pemikiran lateral tidak harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan kategori-kategori, klasifikasi atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih pendekatan-pendekatan yang sangat menjanjikan pada suatu masalah selama pemikiran lateral membangun banyak alternatif pendekatan. Berpikir kreatif merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang saling melengkapi. Pengertian ini mengindikasikan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan berpikir logis ataupun analitis sekaligus intuitif, seperti pada pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif. ANALISIS PENDAHULUAN
Analisis pendahuluan dilakukan terhadap salah seorang siswa SMA kelas 2 untuk melihat cara berpikir siswa melalui rangkaian berpikir intuitif, berpikir kritis, dan berpikir kreatif pada konsep Geometri dalam mencari luas daerah segitiga. Situasi : Sebuah segitiga sebarang akan dibagi menjadi tiga bagian yang sama luas daerahnya. a) Dugalah terlebih dahulu bagaimana kamu akan membagi segitiga sebarang tersebut agar memperoleh tiga bagian segitiga yang sama luas daerahnya. b) Setelah kamu menduganya, gunakan perhitungan secara rinci untuk memperoleh masing-masing luas daerahnya. c) Apakah kamu punya cara lain untuk menunjukkannya?
Tampilan jawaban siswa, awalnya siswa menduga (intuisi awal) akan mencari sumbu simetri dengan menarik garis tegak lurus dari salah satu titik dari segitiga ABC untuk memperoleh tinggi ∆ ABC kemudian mencari luas daerah segitiga kecil ditengah yang akan memberikan luas daerah 1 = 3 luas daerah ∆ ABC sehingga tak perlu lagi mencari luas daerah segitiga lainnya. Namun, tibatiba mengganti strateginya setelah dia mencermati kembali kata-kata ―segitiga sebarang‖ serta menggambarkan segitiga lain (tampilan 2) yang berbeda dengan tampilan pertama. Karena dia menduga kalo mencarinya seperti pada tampilan 1, tidak akan mungkin memperoleh luas segitiga kecil lainnya sama besar luasnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
125
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
A
2
3
1 C
B Tampilan 1
A
C B Tampilan 2
Dia memutuskan untuk memisalkan luas daerah ∆ ABC 300 cm2 pada tampilan ke 2. Selanjutnya melakukan perhitungan untuk masing-masing segitiga yang telah diasumsikan seperti tampak pada pekerjaannya di bawah. Dia berkeyakinan bahwa dengan menentukan luas daerah segitiga kecil I dan luas daerah segitiga kecil III, tidak perlu lagi mencari luas daerah segitiga II, karena luas daerahnya pasti sama dengan luas daerah ke I dan ke III. Untuk mencari alas dan tinggi masing1 1 masing segitiga I dan III, yaitu dengan 𝐿𝑢𝑎𝑠 ∆ 𝐼 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 ∆ 𝐼𝐼𝐼 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 ∆ 𝐼𝐼 = 𝑎1 𝑡1 = 𝑎2 𝑡2 = 2 2 100 𝑐𝑚2 . Untuk luas daerah segitiga I dicari perkalian alas dan tingginya harus menghasilkan nilai 200, sehingga diperoleh banyak kemungkinan, bisa alasnya 50 cm dan tingginya 4 cm, alas 100 cm dan tinggi 2 cm, alasnya 20 cm tinggi 10 cm dan lain-lain. Begitupun untuk menentukan luas daerah segitiga III. C
100 50
B A
Kemudian dia menduga bahwa untuk mencari luas daerah dari segitiga sebarang yang paling aman adalah dengan mencari perbandingan alas AB dan BC serta tinggi tAB dan tAC yang menghasilkan 2 nilai 3 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎 ∆𝐴𝐵𝐶. Kemudian dia juga mencoba menunjukkan cara lain yaitu dengan menggeser-geser penggaris tegak lurus terhadap alas AB dan BC dengan membuat segitiga sebarang seperti di bawah, dan menentukan tABC dengan menggunakan penggaris tegak lurus dari terhadap sisi AB, diperoleh t ABC 2 = 6 cm, sehingga luas segitiga kecil harus 3 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎 ∆𝐴𝐵𝐶 = 24 𝑐𝑚. Karena panjang sisi AC = 6 maka tAC = 4 cm . Karena panjang sisi BC = 10 cm maka tBC = 2.4 cm
126
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
C 10 6 4
2.4 2
A
12
B
Selanjutnya siswa juga diberikan pertanyaan lain, apakah masih ada cara yang lebih efisien untuk mencari jawaban tadi? Siswa menjawab ―saya yakin pasti ada, dengan mencari titik di dalam segitiga ABC yang bisa membagi menjadi tiga bagian segitiga lainnya sama besar, tapi secara detail saya belum bisa menunjukkan perhitungan matematisnya‖ kemudian siswa tersebut mencoba melipat-lipat kertas untuk mencari titik (dalam bayangan pikiran siswa) yang diduganya akan memberikan tiga buah luas daerah segitiga yang sama, dan kemudian dia menarik garis dari perpotongan jejak lipatan seperti gambar di bawah,
Setelah menggarisi jejak lipatan seperti di atas dan memperhatikan terus gambar tersebut, tiba-tiba dia tergugah pula untuk menarik garis dari salah satu titik ke sisi yang berada dihadapan titik tadi, sisinya dibagi menjadi tiga bagian sama besar dan mengukur dengan menggunakan dua buah penggaris untuk mencari tinggi dan alas dari masing-masing segitiga.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
127
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
A
C B
E D
Dari hasil pengukuran dengan penggaris diperoleh tinggi segitiga ABC tABC = 5 cm dan alasnya = 10.8 cm, sehingga diperoleh luas ∆ABC = 27 cm2 .Karena luas ∆ABC = 27 cm2 maka luas ∆ABD = luas ∆ADE = luas ∆AEC = 9 cm2. Berdasar pengukuran diperoleh luas ∆ABD = 9.005 ≈ 9 cm2 ; luas ∆ADE = 8.985 ≈ 9 cm2 ; luas ∆AEC = 9.01 cm2 ≈ 9 cm2 . Setelah melakukan perhitungan, dia juga bertanya ―apa cara ini bisa berlaku untuk penarikan garis dari titik lain?‖ Dia berintuisi ―bisa‖ namun untuk lebih meyakinkan dugaannya, dia juga mencoba menarik garis dari salah satu titik lainnya ke sisi yang berada dihadapannya dan melakukan perhitungan seperti cara sebelumnya. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis pendahuluan, kegiatan berpikir yang diawali dengan intuisi dapat mendorong siswa untuk megevaluasi apa yang diduganya dengan melakukan pengecekan jawaban dari berbagai sudut pandang terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan pertanyaan serta arahan dari guru, memicu siswa untuk merinci lebih dalam analisisnya dengan cara mengeksplorasi dan mengobservasi setiap kemungkinan jawaban atau data/informasi yang diperolehnya, siswa tersebut berangsur-angsur menjadi lebih sensitive, kritis dalam mengecek kemungkinan-kemungkinan jawaban lain yang muncul, serta lebih kreatif untuk mecari jalan/cara menyelesaikan jawaban. Melalui kegiatan tersebut, secara tidak disadarinya akan memunculkan pertanyaan baru dan dugaan/intuisi baru, sebagai misal ‗adakah cara lain yang lebih efisien untuk mencari jawabannya?‘ Berdasar jawaban siswa yang diperoleh melalui analisis pendahuluan ini, pada akhiir kegiatan dia memperoleh jawaban lain yang dianggapnya lebih praktis dan diyakininya benar namun dia tidak mengetahui bagaimana mencari perhitungan matematisnya (intuisi baru). Dengan hadirnya intuisi baru ini, mendorong siswa untuk mencari lebih lanjut keinginannya memecahkan permasalahan tersebut. Berdasar analisis pendahuluan yang penulis kaji, tampak bahwa keterlibatan intuisi mendorong untuk berpikir kritis selanjutnya mendorong siswa untuk berintuisi kembali dalam mencari cara lain untuk memperoleh jawaban (berpikir kreatif). Rangkaian kegiatan berpikir siswa yang terjadi seperti tampak pada gambar berikut, Intuisi
Berpikir Kreatif
Berpikir Kritis
Intuisi
Intuisi di dalam pembelajaran matematika perlu mendapat perhatian, namun intuisi janganlah hanya terhenti sebagai tujuan saja tetapi harus terus dikembangkan dan dibudayakan keterlibatannya di dalam proses berpikir sehinga dapat memicu dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kebiasaan cara berpikir melalui intuisi, berpikir kritis dan berpikir kreatif yang terus menerus digunakan sehingga membudaya di dalam cara berpikir siswa, lama kelamaan akan menumbuhkan belief seseorang. 128
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking. The Journal of Technology Studies Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number 2. http://scholar.lib.vt.edu/ejournals. Developing Mathematical reasoning in Grades K-12. 1999 Year book. h.138-145. Reston: The National Council of teachers of Mathematics, Inc. Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati: South-Western Publishing Co. Fischbein, E. (1987). Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht:Reidel Infinite innovation. Ltd. 2001. (2001). Creativity and Creative Thinking. http://www.brainstorming.co.uk/tutorials/tutorialcontents.html. Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and why it‟s here to stay. Thousand Oaks: Corwin Press,Inc Keith, J. (1993). Researching Geometrical Intuition. http://mat.coe.uga.edu/ Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi. Stavy, R dan Tirosh, D. (2000). How students (mis-) understandscience and mathematics: intuitive rules. New York:Teachers College Press Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
129
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN BERPIKIR KREATIF GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERBANTUAN PROGRAM CABRI GEOMETRY II Atik Krismiati Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kreatif geometri, dan sikap positif terhadap matematika, serta kinerja siswa. Secara acak, dipilih kelas kontrol dan kelas eksperimen, kelas eksprimen diberi perlakuan dengan menggunakan Cabri Geometry II, dan kelas kontrol diberi perlakuan Pendekatan Matematika Biasa. Instrumen yang digunakan terdiri dari: tes kemampuan pemecahan masalah, tes kemampuan berpikir kreatif, angket sikap skala Likert, lembar observasi, dan pedoman wawancara. Secara keseluruhan siswa yang pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, berpikir kreatif. Berdasarkan respon yang ditunjukkan melalui angket yang diberikan, siswa yang diajar melalui Cabri Geometry II menunjukkan aktivitas, dan kinerja yang lebih baik dibanding siswa yang diajar melalui pembelajaran biasa. Kata kunci : “Pemecahan Masalah, Berpikir Kreatif, Berbasis Masalah, Cabri Geometry II.” A. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi komputer yang demikian cepat serta penerapannya yang semakin luas ke berbagai bidang tak terkecuali dalam pengajaran, menjadikan komputer mendapat perhatian besar untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Komputer memiliki kemampuan untuk secara cepat berinteraksi dengan individu, menyimpan dan memproses sejumlah besar informasi, dan mampu digabung dengan piranti lain seperti: proyektor dan sound system, yang menjadikan komputer sebagai media potensial dalam bidang pembelajaran. Dengan menggunakan pembelajaran komputer yang interaktif, dapat mempermudah pemahaman materi matematika bagi sebagian besar siswa masih dirasakan sulit. Hal ini dikarenakan objekobjek matematika bersifat abstrak. Menurut Suharta (2001), banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika karena objek matematika bersifat abstrak. Penggunaan metode-metode pembelajaran yang bervariasi sangat perlu dilakukan guru di dalam memberikan pengertian dan pemahaman konsep matematika kepada siswa. Piaget menegaskan, pengetahuan dibentuk seseorang melalui interaksi dengan pengalaman terhadap objek (Suparno, 1997), sehingga penting mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran dikelas (Soedjadi, 2000; Price, 1996; Zamroni, 2000 dalam Suharta, 2001). Kaitannya dengan pembelajaran matematika, guru (calon guru) hendaknya dapat menguasai perangkat lunak yang mendukung bidang matematika seperti MS Word, MS PowerPoint, MS Exel, MS FrontPage, Turbo Pascal, Visual Basic, MATLAB, MApple, Mathcad, atau program aplikasi lainnya. Hal ini dimaksudkan para pendidik matematika dapat menyiapkan sendiri bahan pembelajaran berbasis komputer. Menurut Sabandar (2002) Pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan di antara bangun-bangun geometri serta penggolongan-penggolongan diantara bangun-bangun tersebut. Karena itu perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang memadai agar siswa bias mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba, serta menemukan prinsip-prinsip geometri lewat aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal dan menerapkannya apa yang mereka pelajari.
130
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Eric Bainville (2005) menyatakan, bahwa Cabri Geometry II menawarkan suatu dimensi keseluruhan baru dalam membangu objek-objek geometris di suatu komputer, seperti menggambar, menarik, dan mengolah figur-figur dari yang paling sederhana ke yang paling rumit pada tahap yang manapun untuk menguji kontruksi, membuat dugaan, mengukur, menghitung, menghilangkan objek, membuat peruahan atau mengembalikan gambar semula secara lengkap. Cabri Geometry II adalah alat untuk mengajar dan belajar ilmu ukur, yang dirancang untuk para guru seperti juga untuk para siswa pada semua tingkat, dari sekolah dasar ke universitas. Bagaimana kaitan pemecahan masalah geometri dengan pembelajaran berbantuan program Cabri Geometry II? Pembelajaran berbantuan program Cabri Geometry II haruslah konsisten dengan prinsip pemecahan masalah geometri, yaitu : (1) Membangun pengetahuan matematika yang baru melalui pemecahan masalah, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II yang dilakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu masalah dengan memformulasikan masalah tersebut; (2) Memecahkan masalah yang ada dalam matematika maupun dalam konteks lain, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat memberikan informasi-informasi yang lebih geometris dan eksak; (3) Menerapkan dan menggunakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat menemukan beberapa alternatif jawaban soal. Dalam tahap ini juga dilakukan pemecahan masalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan; (4) Mengamati dan merefleksikan dalam proses pemecahan masalah matematika, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat dilakukan pengecekan terhadap jawaban sesuai dengan apa yang ditanyakan. B.
PEMBAHASAN
Cabry geometry II adalah suatu software yang sangat membantu kita yang ingin mempelajari konstruksi geometri. Dengan Cabri Geometry II kita bisa membuat konstruksi berbagai bangunbangun geometri (dimensi 2) beserta hubungan di antara mereka. Di Cabri Geometry II tersedia berbagai menu menggambar, mulai dari menggambar garis (dan ruas garis) sampai menggambar konflik antara lingkaran dan garis (yang akan menghasilkan dua buah parabola). Walaupun terlihat sederhana karena banyaknya menu yang disediakan, tetapi untuk mengkonstruk gambar ternyata tidak sederhana karena kita masih harus berpikir berbagai macam konsep geometri. Salah satu media pembelajaran yang kiranya tepat digunakan dalam pembelajaran berbasis komputer di sekolah dikategorikan oleh Alessi dan trollip (2001) adalah berbentuk tools. Dalam pendidikan matematika dengan menggunakan tools seperti program Cabri Geometri II, maka siswa dapat melakukan pengamatan dan investigasi berbagai konsep matematika seperti geometri. Guru dapat menggunakan tools yang ada pada program Cabry Geometry II untuk membantu siswa mempelajari matematika melalui proses berpikir siswa. Cabri Geometry II memberikan kesempatan bagi siswa dalam mengkonstruksi obyek-obyek geometris, bereksplorasi, serta melakukan proses penemuan (Eric Bainville, 2005). Cabri Geometri II menawarkan suatu dimensi keseluruhan baru dalam membangun obyek-obyek geometris di suatu komputer, seperti menggambar, menarik, dan mengolah figur-figur dari yang paling sederhana ke yang paling rumit pada tahap yang manapun untuk menguji konstruksi, membuat dugaan, mengukur, menghitung, menghilangkan obyek, membuat perubahan atau mengembalikan gambar semula secara lengkap. Program Cabri geometry II berguna untuk memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi obyek-obyek geometri, akan tetapi kurang efektif apabila guru tidak mengontrol kegiatan belajar karena siswa cenderung membuang-buang waktu. Hal ini dapat diatasi dengan meminta siswa mengkonstruksi obyek-obyek geometri sesuai dengan langkah-langkah konstruksi yang telah disiapkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
131
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Secara umum program Cabri Geometry II terdiri dari Menu, Toolbar, dan Drawing Area. Pada bagian Menu ditampilkan File, Edit, Option, Window, dan Help. Pada bagian Menu ditampilkan File, Edit, Option, Window, dan Help. Pada bagian Toolbar ditampilkan toolbox yang bisa digunakan untuk menciptakan dan memodifikasi satu figure. Toolbox terdiri dari Pointer, Points, Lines, Curves, Construct, Transform, Macro, Check Property, Measure, Display, Draw. Bagian Drawing Area adalah Screen tempat menggambar. Tampilan Program Cabri Geometry II dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar work sheet Cabry Geometry II
Gambar tool box Cabry Geometry II
Program Cabri Geometry II memiliki sifat dasar seperti : 1. Suatu obyek dapat diubah dengan cara menarik semua bagian obyek pada layar monitor ke suatu tempat lokasi baru. Setiap titik basic atau obyek independen dapat ditarik secara langsung. Suatu obyek yang independen tidak bisa ditarik, tetapi obyek dependen itu dapat diubah dengan cara menarik titik-titik basic atau obyek independen yang digunakan dalam mengkonstruksi obyek tadi. 2. Dengan menghapus/menghilangkan suatu obyek dari konstruksi yang dependen (bergantung) pada obyek tersebut akan hilang. 3. Tampilan dari obyek-obyek (gambar pada layar monitor dapat di ubah dengan menggunakan kotak menu Draw. 4. Titik, garis, atau lingkaran dapat diberikan Label dengan memilih menu Label pada kotak menu Display. Kemudian pindahkan krusor ke obyek yang akan diberi label, tunggu sampai kursor berganti menjadi I dan muncul pesan-pesan ―This Point‖, ―This Line‖. 5. Pengukuran panjang, luas, kemiringan dan sudut pada obyek-obyek yang dikonstruksi dapat dilakukan dengan cara menggunakan perangkat yang ada dalam kotak menu Measure (ukuran). Pilih menu area dari kotak menu Measure. Pindahkan kursor ke suatu sisi dari segitiga sehingga kursor berganti menjadi jari telunjuk dan muncul pesan ―This triangle‖ muncul dan klik satu kali. Akan segera muncul suatu bilangan dengan satuan luasnya. 132
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dalam melaksanakan pembelajaran dengan fasilitas Cabri Geometry II ada beberapa yang perlu diperhatikan, yaitu : a.
Persiapan
Pada tahap persiapan ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh guru diantaranya ; (a) memilih jenis pokok bahasan; (b) mempersiapkan komputer dengan fasilitas Cabri Geometry II; (c) menyusun bahan ajar; (d) mengidentifikasi tingkat kesiapan dan potensi yang dimiliki siswa berkaitan dengan implementasi penggunaan software dalam pembelajaran. b.
Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru yaitu (a) melaksanakan rencana pembelajaran yang telah disusun; (b) mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan dari program Cabri Geometry II; (c) melaksanakan bimbingan kepada siswa yang memerlukan. 1.
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif Geometri
Berdasarkan hasil analisis terhadap pretes, ternyata tidak ada perbedaan pada kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas dengan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Sedangkan hasil analisis terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif setelah pembelajaran dilakukan, ditemukan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II mempunyai peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif pada siswa. Temuan ini memperkuat, bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II memiliki kekuatan yaitu siswa lebih aktif dalam pembelajarannya, siswa memahami benar bahan pelajaran karena siswa mengalami sendiri proses menemukannya, mengasimilasi secara mental dan mengakomodasi informasi, melatih siswa untuk belajar sendiri (Suherman, 2001). Dilihat dari rentang postes, standar deviasi postes, rata-rata postes, dan standar deviasi gain kemampuan pemecahan masalah pada kedua kelompok pembelajaran adalah 25, 7,36, 60,78, dan 7,98 pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II, sedangkan pada pembelajaran biasa adalah 27, 7,69, 28,66, dan 7,71. Kemudian rentang postes, standar deviasi postes, rata-rata postes, dan standar deviasi gain kemampuan berpikir kreatif pada kedua kelompok pembelajaran adalah 18, 5,45, 41,55, dan 4,76, pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II, sedangkan pada pembelajaran biasa adalah 16, 5,44, 22,22, dan 6,02. Artinya bahwa kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelompok pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih menyebar dibandingkan dengan kelompok pembelajaran biasa. Temuan kemampuan ini menunjukkan bahwa perbedaan antara siswa yang pandai dan lemah mencolok pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometri II. Walaupun demikian, secara umum gain kemampuan pemecahan masalah(54,05) dan gain kemampuan berpikir kreatif (32,27) pada siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih baik daripada gain kemampuan pemecahan masalah (25,05) dan gain kemampuan berpikir kreatif (15,5) pada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini juga dapat dilihat normal gain kemampuan pemecahan masalah kelompok pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II (0,65) lebih baik daripada pembelajaran biasa (0,28). Normal gain kemampuan berpikir kreatif kelompok pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II adalah 0,63 lebih baik daripada pembelajaran biasa yakni 0,28.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
133
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.
Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah
Sebelum pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah siswa diberi pengenalan mengenai pembelajaran menggunakan Cabri Geometry II selama 4 kali pertemuan. Selanjutnya dilaksanakan pembelajaran berbasis masalah yang berbantuan Cabri Geometry II, pelaksanaan berlangsung baik. Pada tahap awal guru memberikan motivasi kepada siswa dengan cara tanya jawab yang disebut dengan tahap orientasi. Selanjutnya guru menjelaskan bagaimana langkah-langkah pokok kegiatan pembelajaran yang akan diterapkan didalam kelas, termasuk peran serta dan keaktifan siswa dalam diskusi antar siswa dan penyajian hasil di depan kelas. Guru selanjutnya menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam pertemuan ini, menyampaikan kepada siswa perlunya memahami konsep-konsep matematika secara mendalam dengan cara terlibat secara aktif menemukan kembali ide-ide tersebut menggunakan pengetahuan dan pengalaman belajar geometri sebelumnya. Oleh karena itu, guru menekankan betapa pentingnya mengemukakan alasan-alasan logis pada setiap langkah penyelesaian masalah yang dilakukan. Tahap kedua guru membagikan LKS kepada siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah yang disajikan dalam LKS tersebut. setelah beberapa menit berlangsung, guru mempersilahkan berdiskusi dengan teman di sebelahnya. Pada tahap berikutnya guru mengajak dan mengarahkan agar setiap siswa berpartisipasi dalam diskusi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Setiap siswa harus saling bekerjasama dan berani mengemukakan ide atau pendapatnya. Guru mengamati jalannya diskusi, mengarahkan siswa untuk memahami masalah, mengidentifikasi apa yang diketahui, apa yang harus dicari dan memikirkan cara menyelesaikan masalah. Tahap ketiga guru berkeliling mengamati jalannya proses diskusi siswa sambil memantau seberapa jauh hasil yang telah dicapai oleh siswa dalam menyelesaikan masalah. Apabila selama diskusi berlangsung terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, maka melalui teknik scaffolding, guru memberi bantuan dan mendorong siswa tersebut untuk menemukan penyelesaian masalah. Tahap keempat adalah siswa menyajikan hasil pekerjaannya didepan kelas. Dari kelompok yang telah terpilih untuk menyajikan hasil kerjanya, diutus salah seorang siswa untuk menyajikannya di depan kelas. Siswa yang lain mengamati dan membandingkannya dengan hasil yang telah mereka temukan. Guru membuka ruang tanya jawab terhadap siswa-siswa lain agar memberikan tanggapannya dengan hasil yang disajikan. Selama ruang tanya jawab berlangsung guru bertindak sebagai fasilitator (guru memandu jalannya tanya jawab dan mengarahkan siswa ke arah jawaban yang benar). Tahap terakhir menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa melakukan refleksi atau mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri terhadap penyelesaian masalah yang telah ditemukan mulai dari langkah awal hingga sampai menemukan penyelesaiannya. Guru mengajukan kepada siswa apakah sudah merasa yakin dengan langkahlangkah penyelesaian yang telah ditemukan sudah benar beserta alasan-alasannya? Bagaimana kita sampai kepada proses penyelesaian seperti ini? Apakah ada cara lain? Guru mengajak dan mengarahkan siswa untuk melihat dan memikirkan hubungan antara masalah yang telah ditemukan penyelesaiannya dengan sebuah konsep baru matematika sebagai kesimpulan dalam pertemuan ini. Menurut pengamatan peneliti, pada awal-awal proses pembelajaran berbasis masalah bebantuan Cabri Geometri II, partisipasi siswa untuk terlibat secara aktif masih belum optimal. Siswa tampak antusias tentang apa yang harus dikerjakan terutama pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa tidak enggan dan ragu-ragu dalam melakukan aktivitas yang mengarah kepada pemecahan masalah yang dihadapi, siswa aktif mengemukakan ide atau gagasan dalam proses membangun rumusrumus sendiri dari serangkaian kasus yang diberikan. Hal ini menurut dugaan peneliti disebabkan karena siswa terbiasa melakukan hal yang sebaliknya yaitu mendapatkan rumus-rumus kemudian mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah geometri. 134
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Pertemuan kedua, pembelajaran sudah bisa terlaksana dengan optimal, justru pada pertemuan kedua ini siswa meminta untuk mendiskusikan tugas-tugas yang belum selesai didiskusikan pada pertemuan sebelumnya dan mereka siap menyajikan hasil kerjanya. Permintaan ini peneliti penuhi melihat keinginan mereka yang cukup besar untuk menyajikan hasil kerja mereka didepan kelas. Dari hasil diskusi ini siswa memberikan respon yang sangat positif terhadap soal-soal yang ada. Berikut ini gambaran umum respon siswa terhadap soal-soal pemecahan masalah dan berpikir kreatif, soal-soal ini diberikan setelah pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan: Pada pertunjukkan sirkus, seorang anak berjalan di atas bambu yang disandarkan dari lantai ke atas bola besar sedemikian sehingga ujung bambu menyinggung bola tersebut. Diameter bola 5 meter sedangkan jarak dari ujung bamboo yang berada di lantai dengan pusat bola 4 meter. Dapatkah kalian menghitung panjang bambu yang digunakan? Namun sebelumnya kalian harus membuktikan terlebih dahulu bahwa bambu (garis AB) tegak lurus dengan jari-jari (OB) ! B
O A
Berdasarkan hasil kerja yang disajikan siswa untuk membuktikan bahwa panjang AB, Pertama, siswa menyatakan bahwa sudut OBA adalah siku-siku maka dapat menggunakan teorema phytagoras. Kedua siswa juga dapat menyebutkan ciri-ciri sebuah garis disebut garis singgung lingkaran. Dan siswa dapat menggunakan Cabri Geometry II dapat menemukan beberapa bentuk gambar yang memungkinkan terjadi. Pertemuan ketiga penulis menyajikan persoalan mengenai lingkaran dalam segitiga, di dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk dapat menggambar sebuah lingkaran dalam segitiga dengan menggunakan Cabri Geometry II. Berdasarkan pengamatan penulis siswa sangat berkreatif dalam melakukan pengerjaannya, mereka menyajikannya dalam beberapa bentuk dan model yang berbeda-beda. Sehingga siswa dapat menemukan beberapa garis singgung lingkatan yang mungkin dapat terbentuk, dan siswa juga menemukan kesalahan-kesalahan yang terjadi. Pertemuan keempat penulis masih melanjutkan materi lingkaran dalam segitiga akan tetapi disajikan dalam bentuk masalah sebagai berikut : Permasalahan 1
Sebuah cermin berbentuk lingkaran diletakkan dalam bingkai berbentuk segitiga sama sisi. Jika panjang sisi segitiga tersebut 5 cm. Tunjukkan berapa panjang OA, panjang OB, panjang OC. Dapatkah kamu menarik kesimpulan? Jelaskan! Permasalahan 2
Gambarlah pola segitiga berikut di bawah, dengan menggunakan Cabri Geometry II.
.... Pola ke-1
Pola ke-2
Pola ke-3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
135
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dari dua permasalahan yang disajikan penulis, siswa sangat antusias mengerjakannya, dan sangat terlihat siswa berusaha dapat menemukan penyelesaiannya, yaitu antara lain dengan berdiskusi dengan teman ataupun bertanya kepada guru. Permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa membutuhkan penguasaan-pengusaan materi sebelumnya. Selain itu juga membutuhkan pengetahuan pola bilangan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ke dua. Walaupun hanya beberapa anak yang berhasil menyelesaikan permasalahan yang ke dua, akan tetapi rasa ingin tau siswa yang lain sangat besar, terlihat terjadi diskusi antar siswa sangat tinggi pada permasalahan ini. Waktu yang tersedia 2 x 45 menit setiap satu kali pertemuan dirasakan kurang oleh siswa pada pertemuan-pertemuan awal, sedangkan untuk pertemuan berikutnya dalam berjalan dengan lancar dan siswa semakin termortivasi dalam belajarnya. Menurut siswa, diskusi sangat membantu mereka untuk bisa saling berbagi, saling membantu dalam memecahkan masalah dan berpikir kreatif. Keberanian untuk mengemukakan ide atau gagasan mulai tampak, dan siswa bisa menikmati pembelajaran yang sedang berlangsung. 3.
Deskripsi Tanggapan Guru terhadap Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Cabri Geometry II
Tanggapan atau pendapat guru mengenai pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II diperoleh melalui daftar isian yang telah disediakan. Daftar isian ini diberikan kepada guru matematika yang menjadi pengamat dalam pembelajaran. Berikut ini beberapa tanggapan dari guru tersebut: a. Guru mengatakan belum mengenal pembelajaran berbasis masalah apalagi berbantuan Cabri Geometry II. Namun kegiatan diskusi sesekali pernah dilakukan tetapi tidak dalam tahapan seperti pembelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah. Biasanya yang didiskusikan adalah penerapan atau latihan soal-soal. Guru juga tertarik untuk mengetahui dan menerapkan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dalam pembelajaran geometri. b. Pembelajaran ini mempunyai kelebihan: siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam menyelidiki ide-ide geometri, pengetahuan yang diperoleh lebih bertahan lama, anak terampil dalam memecahkan masalah, dan dengan diskusi memberikan kesempatan kepada anak untuk saling berbagi. Sedangkan kekurangan dari pembelajaran ini: sulit dilaksanakan jika dibatasi oleh target pencapaian dan sedikitnya waktu yang tersedia, kurang berhasil jika persiapan anak tidak memadai, dan memerlukan persiapan yang matang dari guru untuk menyiapkan LKS c. Secara umum guru memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II. Pembelajaran ini melatih anak mengerjakan soal-soal yang menantang, bekerjasama, berbagi dan mandiri dalam belajar. d. Soal-soal pemecahan masalah dan berpikir kreatif sangat membantu dan melatih kemampuan berpikir geometri siswa dalam memecahkan masalah. Selama ini soal-soal pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri jarang diberikan dan soal-soal seperti ini kemungkinan menyulitkan bagi anak. Berdasarkan analisis data ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II secara signifikan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Untuk mendukung hasil analisis dan kesimpulan ini, tampaknya terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan sehubungan kontribusi pembelajaran berbasis masalah yang menyebabkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Temuan ini didukung pula hasil analisis skala sikap siswa bahwa secara umum siswa memberikan tanggapan yang positif terhadap pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dan soal-soal yang sifatnya menantang. Dengan demikain, maka berdasarkan uraian diatas, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II menyebabkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas 136
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
eksperimen relatif lebih baik dibanding dengan kelas kontrol. Meskipun demikian, terjadinya peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas eksperimen menunjukkan hasil yang belum optimal. Hal ini tampak dari hasil analisis data tes akhir kelas eksperimen, bahwa skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah geometri siswa hanya sebesar 60,7 dari skor ideal 90 Sedangkan pada rata-rata kemampuan berpikir kreatif geometri siswa hanya sebesar 41,5 Dari skor ideal 60 Terdapat beberapa kemungkinan yang menurut peneliti menjadi penyebab belum optimalnya hasil peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa kelompok eksperimen. Pertama adalah faktor lamanya siswa dalam belajar menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II yang relatif tidak terlalu lama sehingga siswa masih belum terbiasa dengan pendekatan berbasis masalah atau siswa baru terbiasa belajar pembelajaran berbasis masalah pada waktu memasuki fase akhir penelitian. Pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II memerlukan waktu yang cukup lama agar bisa dijalani siswa dengan baik, sebab memerlukan pengenalan yang matang terhadap program Cabri Geometry II. Hal ini sejalan dengan Burkhardt (Herman, 2006) yang menyatakan bahwa secara matematik dan pedagogis, pembelajaran dengan penyelesaian masalah sangatlah sukar, karena menuntut keahlian guru dalam memberikan stimulus yang tepat pada saat siswa menyelesaikan masalah. C.
Kesimpulan
1.
Siswa kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Program Cabri Geomety II lebih baik daripada kemampuan siswa tinggi yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Dalam kelas dengan pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II, siswa yang memiliki rasa antusias dan minat untuk lebih mendalami lebih lanjut matematika, selain itu berdasarkan slaka sikap siswa, siswa lebih tertarik dengan pembelajaran-pembelajaran yang baru.
2.
DAFTAR PUSTAKA
Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case Study of Institutional Change in Undergraduate Education. Dalam B.J. Duch, S.E. Groh, dan D.E. Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia, Amerika: Stylus Publishing. Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The Mathematics Teacher. Vol. 92, No. 6, pp. 516-521 Hackett, G. dan Betz, N. E. (1989). An Exploration of the Mathematics Self-Efficacy/Mathematics Performance Correspondence. Journal for Research in Mathematics Education, 20. Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP. Bandung: Disertasi UPI. Tidak dipublikasikan. http://www.chartwellyorke.com/gettingstarted.pdf http://www.pf.jcu.cz/cabri/examples/index.html Sabandar, J. 2002. Pembelajaran Geometri Dengan Menggunakan Cabri Geometry II. Kumpulan Makalah, Pelatihan. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruksivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
137
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF Oleh : Tata Program Studi Pendidikan Matematika - MIPA STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis. Desain penelitian ini adalah eksperimen kelompok kontrol pretes-postes dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran biasa. Untuk memperoleh data penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir kritis berbentuk uraian. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII sebuah Sekolah Menengah Pertama di Cianjur dengan mengambil sampel dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dilakukan dengan cara purposive sampling. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap hasil tes berupa skor pretes, postes, dan gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis dengan mengunakan uji-t dan ANOVA satu jalur. Berdasarkan analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan pendekatan metakognitif lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Di samping itu, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok tinggi dengan siswa kelompok sedang, antara siswa kelompok tinggi dengan siswa kelompok rendah, serta tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok sedang dengan siswa kelompok rendah setelah memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. Kata Kunci : Berpikir kritis, Pendekatan metakognitif Pendahuluan
Menurut hasil studi Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) yang diselenggarakan International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang diumumkan secara internasional pada 14 Desember 2004 menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa kelas dua (eight grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada di peringkat ke-35 dari 46 negara dan soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2005). Fakta tersebut menunjukan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa diantaranya kemampuan berpikir kritis dalam matematika masih rendah. Salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir (Depdiknas, 2003). Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (Liliasari, 2000). Ennis (1985) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas dua belas komponen yaitu: (1) merumuskan masalah; (2) menganalisis argumen; (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan; (4) menilai kredibilitas sumber informasi; (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi; (6) membuat deduksi dan menilai deduksi; (7) membuat induksi dan menilai induksi; (8) mengevaluasi; (9) mendefinisikan dan menilai definisi; (10) mengidentifikasi asumsi; (11) memutuskan dan melaksanakan; (12) berinteraksi dengan orang lain.
138
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki ciri orisinalitas. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Seseorang dapat mengatur, menyesuaikan proses berpikirnya untuk dapat mengambil keputusan secara tepat. Menurut Ennis (1985) indikator kemampuan berpikir kritis dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (1) memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), (2) membangun keterampilan dasar (basic support), (3) membuat kesimpulan (inferring), (4) membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics). Seiring dengan perkembangan psikologi kognitif, maka berkembang pula cara guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Saat ini, guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa memperhatikan dimensi proses kognitif, seperti memperhatikan apa yang perlu dipelajari, memantau ingatan siswa tentang apa yang sedang dipelajari, merangsang siswa untuk berusaha mengetahui yang mana konsep-konsep yang belum dipahami, akibatnya upaya-upaya untuk melihat kemampuan kognitif dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat kurang atau bahkan cenderung diabaikan. Proses yang dilakukan siswa untuk menyadari kemampuan kognitifnya merupakan keterampilan metakognitif. Siswa dipandu untuk dapat menyadari apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui serta bagaimana mereka memikirkan hal tersebut agar dapat diselesaikan. Menurut Nitko (Nindiasari, 2004) metakognitif mencakup kemampuan untuk mengembangkan sebuah cara yang sistematik selama memecahkan masalah dan membayangkan serta mengevaluasi produktivitas dari proses berpikir. Menurut Suherman dkk (2001), metakognitif ialah ―suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal‖. Metakognitif merupakan kata sifat dari metakognisi, Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui oleh seseorang tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Siswa perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan: ‖Apa yang saya kerjakan?‖, ―Mengapa saya mengerjakan ini?‖, ―Hal apa yang bisa membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?‖ Menurut Hetler, Child, dan Walberge (Nindiasari, 2004), kegiatan metakognitif dibagi dalam tiga kelompok yaitu: 1. 2. 3.
Kesadaran (kemampuan seseorang untuk mengenali informasi baik eksplisit maupun implisit); Pengaturan (bertanya pada diri sendiri dan menjelaskan dengan kata-kata sendiri untuk menstimulasi pemahaman); Regulasi (membandingkan dan membedakan jawaban yang lebih masuk akal dalam memecahkan masalah);
Guru dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif di dalam kelas harus berusaha mengajari siswa untuk merencanakan, memantau, dan merevisi pekerjaan mereka sendiri termasuk tidak hanya membuat siswa sadar tentang apa yang mereka tahu tapi juga apa yang bisa mereka lakukan ketika mereka gagal untuk memahami. Dengan demikian guru harus terfokus dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan soal serta rasa percaya diri siswa di dalam kemampuan memecahkan soal (Nindiasari, 2004).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
139
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Sedangkan menurut Elawar (Nindiasari, 2004), pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dapat diupayakan melalui tiga tahap yaitu: 1.
Diskusi Awal
Guru memberikan soal, siswa dibimbing untuk bertanya pada diri sendiri dalam menyelesaikan soal tersebut. contohnya: a. Apakah saya memahami semua kata dalam soal ini? b. Apakah saya mempunyai semua informasi untuk menyelesaikannya? c. Apakah saya mengetahui bagaimana saya harus mengatur informasi ini? d. Apakah saya tahu bagaimana menghitung penyelesaiannya? 2. Kemandirian Siswa bekerja sendiri dan guru berkeliling kelas, memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual. 3.
Penyimpulan
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas. Contoh pertanyaan yang ditanyakan oleh guru : a. b.
Apa yang kamu pelajari hari ini? Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam menyelesaikan soal matematika?
Metode
Tujuan penelitian ini, adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, serta untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif. Eksperimen dilaksanakan pada satu SMP Negeri di Cianjur, disain eksperimen berbentuk disain kelompok kontrol pretes-postes dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok pertama sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol. Semua kelompok diberi pretes dan postes. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran secara biasa, dengan ilustrasi desain sebagai berikut. A O X O A O O Keterangan: A = Pengambilan sampel secara acak menurut kelas O = Pretes = Postes X = Pembelajaran melalui pendekatan metakognitif. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Pretes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Dalam penelitian ini, kemampuan berpikir kritis siswa dianalisis melalui data hasil pretes dan postes terhadap dua kelas penelitian yang mendapatkan perlakuan yang berbeda. Satu kelas eksperimen menggunakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif, sedangkan satu kelas kontrol menggunakan pembelajaran secara biasa. Penelitian dimulai dengan memberikan pretes, kemudian melaksanakan pembelajaran matematika, dan diakhiri dengan pemberian postes. Pretes dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal berpikir kritis siswa sebelum mendapatkan pembelajaran matematika, sedangkan postes dilakukan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa setelah mendapatkan pembelajaran matematika.
140
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Rerata skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol yang merupakan kemampuan awal berpikir kritis siswa sebelum mendapatkan pembelajaran matematika disajikan pada Tabel 1, di bawah. Tabel 1. Rerata dan Simpangan Baku Skor Pretes
Perlakuan
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Eksperimen Kontrol
30
29,33
5,868
1,071
30
30,47
7,176
1,310
Berdasarkan Tabel 1, hasil uji kesamaan rerata skor pretes kelas kontrol dan kelas eksperimen diperoleh
thitung = -0,670 dan P-Value (Sig) = 0,506. Dengan
= 0,05 ternyata P-Value (Sig) >
, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal berpikir kritis kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol. Hasil Postes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Postes dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan akhir berpikir kritis siswa antara siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Rerata dan simpangan baku skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sebagai berikut: Tabel 2. Rerata dan Simpangan Baku Skor Postes
Perlakuan
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Eksperimen Kontrol
30
68,03
8,373
1,529
30
53,37
5,780
1,055
Berdasarkan Tabel 2, hasil uji perbedaan rerata skor postes kelas kontrol dan kelas eksperimen diperoleh : thitung = 7,896 dan P-Value (Sig 2-tailed) = 0,000. Serta P-Value (Sig 1-tailed) = 0, 000 = 0,000. 2 Sehingga Dengan = 0,05 ternyata P-Value (Sig 1-tailed) < . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas kontrol. Ini berarti bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Analisis Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen Sebelum dilakukan analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen, terlebih dahulu siswa pada kelas tersebut dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu subkelompok tinggi, sedang, dan rendah dengan persentase berturut-turut adalah 27%, 46%, dan 27% dari jumlah seluruh siswa yang diurutkan berdasarkan nilai rerata harian (Suherman dan Kusumah, 1990). Tabel 4 berikut adalah hasil uji perbedaan rerata peningkatan kemampuan berpikir kritis (normal gain %) subkelompok tinggi, sedang, dan rendah kelas eksperimen.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
141
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 4. Hasil Uji Perbedaan Rerata Normal Gain % Kemampuan Berpikir Kritis Subkelompok Tinggi, Sedang, dan Rendah Kelas Eksperimen Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1307,349
2
653,675
9,563
,001
Within Groups
1845,610
27
68,356
Total
3152,960
29
Jadi berdasarkan Tabel 4 diperoleh F hitung = 9,563 dan P-Value (Sig) = 0,001. Sehingga dengan = 0,05 ternyata P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan bahwa paling sedikit ada satu kelompok yang reratanya berbeda dari yang lain. Setelah dilakukan uji perbedaan rerata normal gain% antara ketiga subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelas eksperimen dengan menggunakan ANOVA satu jalur, ternyata paling tidak ada satu kelompok yang reratanya berbeda dari yang lain. Untuk melihat perbedaan rerata normal gain% antara ketiga subkelompok tersebut dan variansinya homogen maka dilakukan Uji Scheffe. Uji Scheffe merupakan uji lanjutan untuk melihat perbedaan rerata yang telah dilakukan dengan ANOVA satu-jalur. Perhitungan uji Scheffe menggunakan sofware SPSS-16. Tabel 5. Hasil Uji Scheffe Subkelompok Tinggi, Sedang, dan Rendah Kelas Eksperimen
(I) Keterangan Tinggi Sedang Rendah
Mean (J) Keterangan Difference (I- Std. Error J)
95% Confidence Interval Sig.
Lower Bound
Upper Bound
Sedang
14,61036*
3,66430
,002
5,1197
24,1010
Rendah
15,43000*
4,13388
,004
4,7231
26,1369
*
3,66430
,002
-24,1010
-5,1197
Tinggi
-14,61036
Rendah
,81964
3,66430
,975
-8,6710
10.3103
Tinggi
-15,43000*
4,13388
,004
-26,1369
-4,7231
Sedang
-,81964
3,66430
,975
-10,3103
8,6710
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Berdasarkan Tabel 5, P-Value (Sig) antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang pada kelas eksperimen adalah 0,002. Pada taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata normal gain% antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang. Rerata normal gain% subkelompok tinggi lebih besar daripada subkelompok sedang. P-Value (Sig) antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah pada kelas eksperimen adalah 0,004. Pada taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan rerata normal gain% antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah. Rerata normal gain% subkelompok tinggi lebih besar daripada subkelompok rendah. P-Value (Sig) antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah pada kelas eksperimen adalah 0,975. Pada taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) > , sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan rerata normal gain% antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah. Dari uji rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tingi dari pada siswa subkelompok sedang dan rendah. Sedangkan pada subkelompok sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis. Jadi pembelajaran melalui pendekatan metakognitif baik diterapkan kepada siswa subkelompok tinggi.
142
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pretes kemampuan awal berpikir kritis siswa terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata skor pretes kelas eksperimen sebesar 29,33 dengan simpangan baku 5,87 sedangkan rerata kelas kontrol sebesar 30,47 dengan simpangan baku 7,18. Dari hasil pengujian data rerata skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Setelah kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelas kontrol mendapatkan pembelajaran biasa, selanjutnya diberikan postes untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa, diperoleh bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata skor postes kelas eksperimen sebesar 68,03 dengan simpangan baku 8,37 sedangkan rerata kelas kontrol sebesar 53,37 dengan simpangan baku 5,78. Berdasarkan data tersebut kemampuan awal kelas eksperimen lebih merata dan kelas kontrol lebih beragam, namun setelah kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelas kontrol mendapatkan pembelajaran biasa diperoleh hasil bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih beragam dibandingkan kelas kontrol. Dari hasil pengujian perbedaan dua rerata skor postes dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya secara biasa. Dari hasil analisis terhadap perbedaan rerata gain ternormalisasi siswa subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelas eksperimen diperoleh bahwa rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi berbeda dengan siswa subkelompok sedang, rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi berbeda dengan siswa subkelompok rendah, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah. Penyebab perbedaan itu dimungkinkan oleh kemampuan mengolah dan memonitor proses berpikir siswa yang diterapkan dalam pendekatan metakognitif berpengaruh terhadap kecepatan siswa dalam mengenali permasalahan dan informasi yang dihadapinnya, sehingga kemampuan metakognitif lebih dirasakan oleh siswa kelompok atas. Berdasarkan hasil analisis perbedaan rerata gain ternormalisasi subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelas eksperimen dengan menggunakan uji Scheffe diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tinggi daripada siswa subkelompok sedang dan rendah. Sedangkan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa subkelompok sedang dan rendah. Berdasarkan hasil temuan tersebut bahwa pembelajaran dengan pendekatan metakognitif cocok diterapkan pada siswa yang berkemampuan di atas rerata. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tinggi daripada siswa subkelompok sedang dan rendah. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini ditunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
143
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.
Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah, dan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional (2003). Kurikulum Standar Kompetensi Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas. Ennis, Robert H. (1996). Critical Thinking. University of Illinois : Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ 07458 Ennis, Robert H. (1985). Practical Strategies for the Direct Teaching of Thinking Skill. In A.L. Costa (ed) Developping Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria : ASCD, 43 -45 Kusumah, Y. (2008). Konsep Pengembangan dan Implementasi Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Thinking. Bandung: UPI Bandung. Liliasari (2000). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis untuk Mempersiapkan Calon Guru IPA Memasuki Era Globalisasi. Dalam Proceeding National Science and Mathematics Education Seminar, Science and Mathematics Education Development in Global Era. Yogyakarta: JICA-IMSTEP FMIPA UNY. Mullis, I.V.S., et.al. (2003). TIMSS 2003 International Mathematics Report. Lynch School of Education. Boston College. http://timss.bc.edu/PDF/t03_ download/T03INTLMATRPT.pdf (diakses 6 Maret 2007) Mulyati, T (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis siswa dalam Matematik melalui Reciprocal Teaching. Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Nindiasari. H, (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Rohayati, A (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Common Textbook JICA, Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA: UPI Bandung. Suherman dan Kusumah (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah. Suryadi,D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Suzana. Y, (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMU melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Syukur. M, (2004). Pengembangan Kemampuan berpikir Kritis Siswa SMU melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
144
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI MODEL ALBERTA Oleh : Kartini Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Riau Abstrak Kemampuan berpikir kreatif penting bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan ini terutama dalam era globalisasi dan informasi seperti saat ini. Oleh karena itu kemampuan berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah. Namun demikian, kemampuan berpikir kreatif siswa belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis (KBKM) siswa melalui penerapan pembelajaran inkuiri model Alberta (IMA). Penelitian kuasieksperimen ini melibatkan 137 siswa SMAN kelas X dari sekolah level tinggi dan sedang di Pekanbaru. Siswa kelas eksperimen mendapat pembelajaran inkuiri model Alberta dan siswa kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapatkan pembelajaran IMA lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran konvensional pada keseluruhan siswa dan setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA dari level sekolah tinggi lebih baik daripada siswa level sekolah sedang. Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor level sekolah terhadap peningkatan KBKM siswa. Kata kunci: berpikir kreatif, pembelajaran inkuiri model Alberta. A. PENDAHULUAN
Kemampuan berpikir kreatif penting bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan ini terutama dalam era globalisasi dan informasi seperti saat ini. Kemajuan teknologi seperti yang kita rasakan sekarang ini adalah berkat pemikiran orang-orang yang kreatif. Orang yang kreatif mempunyai potensi untuk sukses dalam hidupnya. Oleh karena itu berpikir kreatif perlu dikembangkan bagi setiap orang. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Munandar (1999) bahwa salah satu alasan mengapa kreativitas penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak adalah karena kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi kemampuan berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah. Berpikir kreatif telah didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Filsaime (2008) menyatakan belum ada satu pun teori berpikir kreatif yang betul-betul diterima oleh semua peneliti. Pengertian yang paling sederhana dari kreativitas menurut Evans (1991) adalah kemampuan menemukan hubungan atau keterkaitan baru untuk melihat subjek dari perspektif baru, dan untuk membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang ada dalam pikiran. Terkait dengan aspek-aspek atau komponen-komponen berpikir kreatif, dari sejumlah ahli seperti Torrance (dalam Silver, 1997; Filsaime, 2008), Guilford (dalam Ratnaningsih, 2007), Evans (1991), dan Williams (dalam Killen, 1998) telah mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif. Aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif yang telah dijelaskan mereka tersebut dapat dirangkum menjadi lima aspek yaitu aspek kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan sensitivitas. Hal ini juga sesuai dengan Holland (dalam Mann, 2005) mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan kepekaan. Kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif. Oleh karena itu kreativitas dalam matematika lebih tepat diistilahkan sebagai berpikir kreatif matematis. Kemampuan berpikir kreatif dalam matematika selanjutnya disebut kemampuan berpikir kreatif matematis.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
145
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Meskipun kemampuan berpikir kreatif matematis telah dinyatakan sebagai salah satu tujuan dalam kurikulum KTSP yang harus dicapai siswa melalui pembelajaran matematika, namun kompetensi tersebut belum berkembang secara optimal. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di dua Sekolah Menengah Atas di kota Pekanbaru diperoleh bahwa siswa mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin. Ketika siswa berhadapan dengan soal seperti itu, siswa tidak tahu harus berbuat apa dan tidak berani mencoba karena takut salah. Kebanyakan di antara mereka tidak menjawab atau meninggalkan soal-soal yang demikian. Mereka kelihatan kesal karena soal-soal seperti itu belum pernah diberikan di kelas. Mereka hanya mengerjakan soal-soal yang rutin dan menyelesaikannya dengan cara yang telah diberikan oleh guru di kelas. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa masih rendah. Berdasarkan hasil obervasi dan wawancara dengan beberapa orang guru SMA di kota Pekanbaru diperoleh bahwa dalam melaksanakan pembelajaran matematika, guru menjelaskan materi dan memberikan beberapa contoh soal, kemudian siswa mengerjakan latihan. Guru cenderung memberikan soal-soal rutin saja dan lebih menekankan pada hasil daripada proses. Akibatnya, siswa kurang berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematisnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan (Meissner, 2007) bahwa pembelajaran konvensional tidak memungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dalam matematika. Keterbatasan pengetahuan guru tentang cara meningkatkan kemampuan tersebut dan kebiasaan belajar di kelas dengan cara konvensional belum memungkinkan untuk menumbuhkan atau mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa secara optimal. Selain itu, guru lebih memfokuskan pada penyelesaian materi yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Hal ini sejalan dengan Munandar (1999) bahwa perhatian sekolah terhadap potensi belajar siswa masih terbatas pada aspek berpikir konvergen dan masih kurang memperhatikan proses berpikir divergen atau berpikir kreatif dalam pembelajarannya. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Kemampuan berpikir kreatif matematis akan tumbuh dan berkembang pada lingkungan pembelajaran yang kondusif. Hal ini sebagaimana dinyatakan Ruseffendi (2006) bahwa kreativitas siswa akan tumbuh apabila dilatih untuk melakukan eksplorasi, inkuiri, penemuan, dan memecahkan masalah. Selain itu, menurut (Fisher, 1995) untuk dapat berpikir kreatif, perlu adanya stimulus untuk memicu siswa berpikir. Stimulus dapat berupa pemberian masalah yang menantang di awal pembelajaran. Oleh karena itu, guru dapat menunjang perkembangan berpikir kreatif siswa dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pembelajaran seperti demikian. Salah satu pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah pembelajaran inkuiri. Karena pembelajaran inkuiri adalah suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2008). Selain itu Ernest (1991) juga menyatakan bahwa inkuiri dan investigasi seharusnya menempati posisi sentral dalam kurikulum matematika sekolah. Ia menambahkan bahwa objek atau fokus dari inkuiri adalah adanya masalah atau diawali dengan proses investigasi. Oleh karena itu pembelajaran inkuiri menyebabkan siswa berkembang potensi intelektualnya. Dengan menemukan hubungan dan keteraturan dari materi yang sedang dipelajari, siswa menjadi lebih mudah mengerti struktur materi yang dipelajari. Siswa lebih mudah mengingat konsep, struktur atau rumus yang telah ditemukan. Selain itu, dalam pembelajaran inkuiri materi pelajaran (konsep dan prosedur) yang akan dipelajari merupakan hal yang baru bagi siswa atau belum diketahui sebelumnya, dan tidak diberikan secara langsung. Untuk itu siswa berperan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa petunjuk perlu diberikan kepada siswa apabila mereka belum mampu menunjukkan ide atau gagasan yang dipelajari. Sebaiknya siswa tidak dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan atau menyelidiki, tetapi diberikan bimbingan atau scaffolding agar siswa tidak putus asa. Kemudian, untuk sampai kepada konsep atau masalah yang harus ditemukan, sangat tergantung 146
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
kepada pengetahuan siswa sebelumnya dan pengetahuan siswa yang baru saja diperolehnya. Oleh karena itu metode inkuiri yang lebih tepat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah adalah metode inkuiri yang telah dimodifikasi yang dapat membimbing siswa menemukan konsep dengan bimbingan guru dan melalui diskusi kelompok. Hal ini sejalan dengan pemikiran dan penelitian Gani (2007). Pembelajaran inkuiri yang dimaksud adalah pembelajaran inkuiri model Alberta. Pembelajaran inkuiri model Alberta menurut Donham (dalam Alberta Learning, 2004) terdiri dari tahap-tahap yaitu merencanakan (planning), mengingat kembali (retrieving), menyelesaikan (processing), mencipta/menghasilkan (creating), memberi dan menerima (sharing), dan mengevaluasi (evaluating). Pada tahap planning, siswa diarahkan agar memahami permasalahan yang diberikan dengan jelas dengan cara membaca dan memahami masalah secara sendiri-sendiri, membuat pertanyaan, dan merencanakan pemecahan masalah tersebut. Tahap retrieving, siswa diminta untuk mengingat kembali materi-materi yang relevan dengan masalah yang akan diselesaikan dengan cara menyimak dan memahami materi yang relevan, kemudian memilih informasi mana yang sesuai dengan permasalahan. Kemudian masalah diselesaikan sendiri-sendiri terlebih dahulu pada tahap processing. Pada tahap creating, siswa menghasilkan sesuatu atau mendapatkan solusi dari permasalahannya dan siswa diarahkan untuk kreatif sehingga dapat menyelesaikan lebih dari satu cara. Selanjutnya pada tahap sharing, secara bergantian masingmasing kelompok mempresentasikan hasil kelompoknya dan siswa yang lain memeriksa/mengoreksi, membandingkan dan menanggapi. Pada tahap terakhir yaitu evaluating, masing-masing siswa memeriksa kembali hasil yang telah diperolehnya, memperbaiki, menambahkan jika ada kesalahan atau belum lengkap. Kegiatan yang dilakukan pada tahap-tahap pembelajaran tersebut dapat melatih siswa mengeksplorasi ide-ide matematis sehingga dapat memicu siswa untuk mencoba berbagai kemungkinan alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan logika dan nalarnya. Dari berbagai alternatif penyelesaian masalah tersebut sangat memungkinkan menghasilkan cara penyelesaian masalah yang unik atau baru bagi siswa. Dengan demikian kebiasaan tersebut dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Selain itu, faktor level sekolah juga perlu diperhatikan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Karena kemampuan berpikir kreatif akan berkembang dalam suatu lingkungan belajar yang mendukung, maka level sekolah akan mencerminkan suatu lingkungan belajar tertentu. Oleh karena itu level sekolah diduga dapat mempengaruhi dalam peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran Inkuiri Model Alberta (IMA) diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa Sekolah Menengah Atas. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: a) keseluruhan, b) faktor level sekolah (tinggi dan sedang)? (2) Pada level sekolah yang manakah implementasi pembelajaran IMA memberikan dampak peningkatan KBKM yang paling tinggi? (3) Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa? Dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Menganalisis peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran IMA dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: a) keseluruhan, b) faktor level sekolah (tinggi dan sedang); (2) Menganalisis dampak implementasi pembelajaran IMA terhadap peningkatan KBKM siswa ditinjau dari level sekolah; (3) Menganalisis interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
147
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
B. METODE PENELITIAN
Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kota Pekanbaru. Sampel penelitian ini adalah siswa SMAN kelas X dari level sekolah tinggi dan sedang di Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen dengan desain kelompok kontrol nonekivalen (Ruseffendi, 2005: 52) dan melibatkan dua kategori kelas sampel, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Di kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut dilaksanakan pembelajaran inkuiri model Alberta dan pembelajaran konvensional. Pada awal dan akhir pembelajaran, siswa kedua kelas diberi tes, yaitu tes kemampuan berpikir kreatif matematis. Untuk melihat secara lebih mendalam dampak pembelajaran inkuiri model Alberta terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor level sekolah (tinggi dan sedang) sebagai variabel kontrol. Variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Sedangkan variabel bebasnya adalah pembelajaran inkuiri model Alberta dan pembelajaran konvensional. Instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat tes kemampuan awal matematika, tes kemampuan berpikir kreatif matematis, lembar observasi aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran inkuiri model Alberta. Data dianalisis dengan menggunakan uji uji–t dan ANAVA. Untuk persyaratan uji–t dan ANAVA dilakukan uji normalitas distribusi data dan uji homogenitas data. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat diketahui dengan analisis skor gain dinormalisasi (N-gain) dari skor pre-test dan post-test. Uji normalitas distribusi data dilakukan dengan menggunakan uji normalitas Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov) yang terdapat dalam prosedur SPSS Explor (Uyanto, 2009), sedangkan uji homogenitas data dilakukan dengan menggunakan uji Levene (uji-F). C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum mengenai rata-rata KBKM siswa sebelum dan setelah penelitian serta N-gain berdasarkan kelompok pembelajaran dan level sekolah disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Skor Pre-test, Post-test, dan N-gain KBKM Siswa Berdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah P-KV Posttest 28
N-gain
31
Pretest 28
0,289
2,536
9,500
0,132
9,646
0,164
1,795
3,448
0,050
38
38
38
40
40
40
Rerata
1,474
13,000
0,198
1,500
7,500
0,111
SB
1,370
5,643
0,087
1,783
2,918
0,040
n
69
69
69
68
68
68
Rerata
1,565
14,899
0,239
1,927
8,324
0,120
1,510 7,928 0,134 SB Keterangan: Skor ideal maksimal pretest dan posttest adalah 56. N-gain maksimal adalah 1.
1,847
3,276
0,045
Kategori
Tinggi Level Sekolah Sedang
Keseluruhan Siswa
P-IMA Posttest 31
N-gain
n
Pretest 31
Rerata
1,677
17,226
SB
1,681
n
Stat
28
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada masing-masing level sekolah dan secara keseluruhan, siswa yang mendapat pembelajaran IMA memiliki rata-rata skor KBKM yang lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (KV). Begitu juga dengan ratarata N-gain KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih tinggi daripada N-gain KBKM siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 148
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Sebelum menganalisis data peningkatan KBKM siswa, terlebih dahulu dilakukan uji persyatan analisis data. Hasil uji normalitas distribusi data peningkatan KBKM siswa menunjukkan bahwa data peningkatan KBKM siswa kelas eksperimen (pembelajaran IMA) dan kelas kontrol (pembelajaran konvensional) berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 0,05. Sedangkan hasil uji homogenitas data peningkatan KBKM menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak homogen atau memiliki varians yang tidak sama. Oleh karena itu untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV menggunakan uji–t' atau uji–t tanpa asumsi kesamaan varians. Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV dengan menggunakan uji–t' disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran
Pembelajaran
IMA
Rata-
Beda
rata
Rata-rata
N
69 68
dk
Sig.
H0
6,98
83
0,000
Ditolak
0,239 0,091
KV
t
0,120
Hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV. Hasil ini menyatakan bahwa pembelajaran IMA berperan dalam meningkatkan KBKM siswa. Sebelum melakukan uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians kedua kelompok data. Hasil uji normalitas data adalah bahwa kedua kelompok data berdistribusi normal, sedangkan uji homogenitas varians diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut tidak homogen. Oleh karena itu untuk menguji perbedaan rata-rata peningkatan KBKM siswa antara kedua kelompok pembelajaran untuk setiap level sekolah menggunakan uji–t'. Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah Level Sekolah
Pembelajaran
Rata-
Beda
rata
Rata-rata
N
IMA
31
0,289
KV
28
0,132
IMA
38
0,197
KV
40
0,111
Tinggi
Sedang
t
dk
Sig.
H0
0,157
5,09
36
0,000
Ditolak
0,087
5,61
51
0,000
Ditolak
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
149
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Hasil pada Tabel 3, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV pada setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Berdasarkan hasil uji normalitas data sebelumnya bahwa kedua kelompok data yakni data N-gain KBKM siswa dari level sekolah tinggi dan sedang yang mendapat pembelajaran IMA berdistribusi normal. Selanjutnya, hasil uji homogenitas varians diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut tidak homogen. Oleh karena itu, untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa kedua level sekolah setelah mendapat pembelajaran IMA menggunakan uji–t'. Hasil uji - t' tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Level Sekolah Setelah Mendapat Pembelajaran IMA
Level Sekolah
N
Ratarata
Tinggi
31
0,289
Sedang
38
0,197
Beda t
dk
Sig.
H0
2,80
43
0,004
Ditolak
Rata-rata
0,091
Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, terdapat perbedaan rata-rata peningkatan KBKM yang signifikan antara siswa level sekolah tinggi dan sedang setelah mendapat pembelajaran IMA. Karena rata-rata peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih besar daripada KBKM siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa pembelajaran IMA lebih cocok digunakan pada sekolah level tinggi di SMAN Kota Pekanbaru guna meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KBKM siswa digunakan ANAVA dua jalur. Interaksi tersebut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Peningkatan KBKM
Sumber Pembelajaran Level Sekolah Interaksi Total
Jumlah Kuadrat 0,499 0,106 0,042 6.265
dk 1 1 1 137
Rata-rata Kuadrat 0,499 0,106 0,042
F
Sig.
H0
54,726 11,581 4,588
0,000 0,001 0,034
Ditolak Ditolak Ditolak
Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah dalam peningkatan KBKM diperlihatkan pada Diagram 1.
150
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
0,350
N-gain KBKM
0,300 0,250 0,200 P-IMA
0,150
P-KV
0,100 0,050 0,000 Sekolah Tinggi
Sekolah Sedang
Diagram 1. Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap Peningkatan KBKM
Pada Tabel 5, terlihat bahwa ada perbedaan peningkatan KBKM siswa yang signifikan berturutturut berdasarkan perbedaan pembelajaran dan level sekolah. Begitu juga, terdapat interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah (tinggi dan sedang) dalam peningkatan KBKM siswa. Pada Diagram 1, nampak adanya interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah. Hal ini dapat dilihat dari selisih peningkatan KBKM siswa pada sekolah tinggi antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional lebih besar dibandingkan dengan siswa sekolah level sedang. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada siswa level sekolah sedang dalam peningkatan KBKM siswa di kota Pekanbaru. Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran IMA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Siswa yang mendapat pembelajaran IMA memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, baik ditinjau secara keseluruhan siswa, maupun setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kuhne bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat membantu siswa menjadi lebih kreatif, lebih positif, dan lebih mandiri. Ini berlaku untuk semua siswa, termasuk mereka yang membutuhkan perhatian yang lebih individu selama proses (dalam Alberta Learning, 2004). Berdasarkan hasil penelitian di atas juga ditemukan bahwa peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. Berarti level sekolah berpengaruh terhadap peningkatan KBKM siswa. Hasil yang demikian tidaklah mengherankan, karena berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran IMA ditemukan bahwa siswa sekolah level tinggi lebih mandiri dan bantuan guru lebih sedikit daripada siswa di sekolah level sedang. Hal ini karena jumlah siswa berkemapuan atas pada sekolah level tinggi lebih banyak daripada di sekolah level sedang dan jumlah siswa berkemampuan bawah pada sekolah level sedang lebih banyak daripada di sekolah level tinggi, sehingga tiap kelompok yang dibentuk secara heterogen pada sekolah level tinggi, terdapat siswa berkemampuan atas yang bisa memimpin diskusi dan membantu siswa berkemampuan tengah dan bawah. Akibatnya, diskusi kelompok di sekolah level tinggi lebih efektif dan efisien daripada di sekolah level sedang. Selain itu, aspek lingkungan dan disiplin sekolah juga memberikan dampak terhadap pencapaian belajar siswa, dalam hal ini pencapaian KBKM. Pada sekolah level tinggi, lingkungan sekolahnya luas, nyaman dan tenang, sehingga kondusif untuk belajar. Sebaliknya, pada sekolah level sedang Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
151
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
tidak demikian, lingkungan sekolahnya agak sempit sehingga suara ribut dari luar lapangan olahraga yang berada di depan ruang kelas mengganggu konsentrasi belajar siswa. Pada sekolah level tinggi lebih disiplin daripada sekolah level sedang. Akibatnya, siswa di sekolah level tinggi sudah terbiasa disiplin dan patuh kepada guru, lebih mudah untuk diarahkan dan diatur, sehingga belajar lebih tertib daripada sekolah level sedang. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah (tinggi dan sedang) terhadap peningkatan KBKM siswa. Dengan kata lain, terdapat pengaruh bersama (simultan) antara level sekolah dan model pembelajaran terhadap peningkatan KBSM dan KBKM siswa. Hal ini berarti pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada siswa level sekolah sedang dalam peningkatan KBKM siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ratnaningsih (2007) yang menemukan bahwa terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran (kontekstual dan konvensional) dengan level sekolah. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan berikut : (1) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan siswa maupun pada setiap level sekolah (tinggi dan sedang). (2) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik dari peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. (3) Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bahwa pembelajaran IMA dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa terutama pada siswa level sekolah tinggi. Sebelum melaksanakan pembelajaran IMA sebaiknya guru memperhatikan masalah yang akan diberikan kepada siswa, agar masalah yang diberikan merupakan masalah yang menantang dan membuat siswa penasaran ingin menyelesaikannya. Guru juga perlu memperhatikan kesulitan siswa terhadap materi-materi yang terkait dengan penyelesaian masalah tersebut dan membuat suatu antisipasi nya. Hal ini diperlukan terkait dengan pemberian scaffolding kepada siswa dalam proses pembelajaran.
152
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Alberta Learning. (2004). Focus On Inquiry: A Teacher‟s Guided to Implementing Inquiry-Based Learning. [Online]. Tersedia: http://www.learning.gov.ab.ac/ k-12/ curriculum/bySubject/ focusoninquiry. pdf. [20 Juni 2009]. Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press. Evans, J.R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Co. Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Gani, R. A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Desertasi pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies. Katoomba: Social Science Press. Mann, E. L. (2005). Mathematical Creativity and School Mathematics: Indicators of Mathematical Creativity in Middle School Students. Disertasi pada University of Connecticut. [Online]. Tersedia: http://www.gifted. uconn.edu/Siegle/ Dissertations/Eric%20Mann.pdf [15 November 2009]. Meissner, H. (2007). Creativity and Mathematics Education. [Online]. Tersedia: http://www.math.ecnu.edu.cn/earcome3/sym1/sym104.pdf [15 November 2009]. Munandar, S.C. Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan KreativitasAnak Sekolah. Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua. Jakarta.: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPs UPI Bandung : tidak diterbitkan. Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non Eksakta lainnya. Bandung: Depdiknas. ---------------------- (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. Dalam Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM)–The International Journal on Mathematics Education. [Online]. Vol 97(3), 75 – 80. [Online]. Tersedia: http://www.emis.de/ journals/ ZDM/zdm973a3.pdf. [15 Januari 2010]. Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
153
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MEDIA LIDI DALAM OPERASI PERKALIAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER KREATIF DAN CINTA BUDAYA LOKAL MAHASISWA PGSD Supriadi Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika SPS UPI Dosen UPI Kampus Serang Abstrak Lidi merupakan sebuah media dalam pembelajaran matematika yang sudah lama membudaya dalam pembelajaran matematika SD. Operasi perkalian dapat disajikan dengan kreatif menggunakan lidi. Karakter kreatif dan cinta budaya dapat meningkat dalam perkuliahan pemecahan masalah mahasiswa PGSD. Pembelajaran matematika berbasis budaya (ethnomatematika) diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu inovasi dalam pendidikan berbasis karakter bangsa. Kata Kunci: Lidi,Etnomatematika,Mahasiswa PGSD PENDAHULUAN
Tidak bisa dipungkiri sebuah ungkapan ―matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seseorang‖. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut Ruseffendi (1991), sehingga tugas pengajar selain menyampaikan materi matematika dengan baik juga harus dapat membantu pembentukan sikap peserta didiknya. Budaya kita telah lama ada, namun banyak siswa kita yang tidak tahu budayanya sendiri. Pembelajaran berbasis budaya dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu inovasi dalam menghilangkan anggapan bahwa matematika itu kaku. Ethnomathematics adalah studi matematika yang mempertimbangkan budaya di mana matematika muncul . Etnomatematika adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan realitas hubungan antara budaya lingkungan dan matematika saat mengajar. (Kurumeh, 2004). Jika kita tengok negara-negara lain, keberhasilan negara Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran matematika karena mereka menggunakan Etnomatematika dalam pembelajaran matematikanya.(Tereziaha, 1999; Obodo, 2000; Kurumeh, 2004; Uloko dan Imoko, 2007). Isu pendidikan berbasis karakter menjadi tujuan utama dalam penelitian pendidikan matematika saat ini. Menurunnya karakter mahasiswa terlihat dari nilai kognitif yang rendah, kemampuan kreatif yang rendah. Walaupun penggunaan tekhnologi komputer, internet sudah dipenuhi oleh mahasiswa, namun kemampuan masih rendah.Itu terlihat dari rata-rata nilai UTS dan UAS yang rendah. Mahasiswa yang beragam dalam perkuliahan dari latarbelakang yang berbeda seperti IPA,IPS dan bahasa turut mempengaruhi akan rendahnya prestasi tersebut (Supriadi,2005) Pemahaman budaya daerah yang dimiliki mahasiswa PGSD masih rendah, banyak yang lebih mengetahui budaya asing sampai penampilan seseorang mahasiswa dalam perkuliahan banyak yang dipengaruhi budaya asing. Seperti nilai budaya sunda yang banyak melekat di kehidupan mahasiswa, banyak yang tidak memahaminya. Karakter mahasiswa PGSD berdasarkan pengamatan Supriadi (2005) adalah pertama, mahasiswa PGSD cenderung menyenangi soal-soal yang berbentuk rutin sehingga saat diberikan soal-soal yang bersifat tidak rutin mereka cenderung kesulitan, suasana kegiatan belajar mengajar mahasiswa PGSD cenderung tidak terlalu aktif dan kumunitas belajar yang saling belajar yang belum terbentuk secara optimal. 154
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dengan adanya sejumlah informasi permasalahan tersebut memunculkan pemikiran dari pengajar untuk mencari solusi yaitu diperlukannya suatu strategi pembelajaran yang dapat menciptakan suasana saling belajar antara dosen dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan mahasiswa. Pendekatan etnomatematika (Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya) dapat dijadikan untuk mengatasi permasalahan di atas. KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki, diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil belajar dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian (Sardjiyo Paulina Pannen, 2005). Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg, 2000). Teori Konstrukstivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and Emancipatory Contructivism). Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya, yaitu substansi dan kompetensi bidang ilmu/bidang studi, kebermaknaan dan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, serta peran budaya .Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada sekedar pemahaman mendalam (inert understanding) (Krajcik, Czemiak, Berger,1999. Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa komponen, yaitu tugas yang bermakna, interaksiaktif, penjelasan dan penerapan ilmu secara kontekstual, dan pemanfaatan beragam sumber belajar (diadaptasi dari Brooks & Brooks,1993, dan Krajcik, Czerniak Berger, 1999). Penilaian hasil belajar tidak semata-mata diperoleh dari siswa dengan mengerjakan tes akhir atau tes hasil belajar yang berbentuk uraian (terbatas) atau objektif saja. Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis budaya adalah beragam perwujudan (multiplerepresentations). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang bidang ilmu Salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya adalah etnomatematika (Ethnomathematics). Ethnomathematics adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya di mana matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka gunakan. (Ubiratan D'Ambrosio,1985). Kajian etnomatematika dalam pembelajaran matematika mencakup segala bidang:arsitektur, tenun, jahit, pertanian, hubungan kekerabata, ornamen, dan spiritual dan praktik keagamaan sering selaras dengan pola yang terjadi di alam atau memerintahkan sistem ide-ide abstrak. Lidi merupakan perkakas budaya sunda yang banyak digunakan dalam filosofi-filosofi budaya. Media lidi sudah bersahabat dengan guru dan siswa SD di kelas rendah saat mempelajari operasi penjumlahan dan pengurangan. Lidi dapat digunakan juga dalam operasi perkalian yang dapat digunakan dalam mengamati kemampuan kreatif siswa dan mahasiswa PGSD pada khususnya. Penggunaan tekhnologi yang berasal dari luar dan dari dalam harus saling mengimbangi dalam pembelajaran matematika. Penggunaan lidi bukan berarti kita kembali ke tradisional material, namun bertujuan untuk menggali aspek kecintaan budaya local dalam pembelajaran matematika. PROSEDUR, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji substansi yang mendalam pada penelitian ini, Pendekatan ethnomatematika dirancang dalam suatu pembelajaran matematika, yaitu pada operasi perkalian dengan cara yang tidak biasa dilakukan di SD. Media yang digunakan adalah lidi yang dikaitkan dengan perkakas budaya sunda. Filosofi-filosofi dalam perkakas lidi banyak dijelaskan seperti makna persatuan, adat, dan lain-lain. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
155
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Metode penelitian adalah penelitian tindakan kelas, yaitu pada kelas semester VII pada matakuliah pemecahan masalah sebanyak dua siklus pembelajaran. Menurut data yang diperoleh oleh para mahasiswa adalah para guru pada umumnya kurang memiliki cara atau strategi yang lain dalam mengajarkan operasi perkalian pada siswa. Kemudian, dosen dengan mahasiswa merancang suatu strategi yang lain. Suatu strategi yang menghubungkan budaya setempat, yaitu dikhususkan pada perkakas budaya sunda yaitu sapu lidi. Kemudian strategi tersebut diberi nama ―perkalian lidimatika‖. Contoh: 11 x 11=
1 1
2 Kemudian dosen membuat kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari mahasiswa PGSD, yang semuanya terdiri dari 12 kelompok. Satu kelompok terdiri dari 3 orang. 1 orang akan menjadi guru model dan 2 orang akan menjadi observer. Tahap perencanaan yang ditekan kan adalah posisi duduk awal siswa yang konvensional . Lembar kerja siswa terdiri satu soal agar lebih mudah dalam menganalisis hasil pekerjaan siswa. Setelah tahap perencanaan (plan) dianggap selesai, minggu depannya para mahasiswa mengimplementasikan rancangan pembelajaran pada setiap sekolah dasar yang di pilih oleh setiap kelompok. Jenjang kelas yang diobservasi adalah kelas tinggi, yaitu kelas 6 Pada tahap pelaksanaan ini (do) para mahasiswa diharapkan dapat menemukan temuantemuan yang berharga terhadap semua aktivitas siswa terutama permasalahan, apakah siswa mengalami kesulitan dalam menggunakan strategi yang tidak biasa? Bagaimana guru memberikan perbaikan terhadap permasalahan tersebut. Setelah setiap pembelajaran selesai, maka tahap refleksi dilakukan di kelas saat perkuliahan selanjutnnya berlangsung. Pada tahap refleksi ini sejumlah temuan ditemukan: 1. Strategi ini sangat di senangi oleh siswa yang belum mahir dengan cara perkalian bersusun. Namun bagi siswa yang sudah terbiasa dengan cara perkalian bersusun siswa kurang menyenanginya. 2. Sebagian siswa mengalami kesulitan dalam menentukan posisi satuan, puluhan, ratusan dst. 3. Siswa kurang bisa berdiskusi dengan teman-teman lainnya, karena dengan posisi duduk yang konvensional Para mahasiswa membahas hasil temuan-temuan di atas dengan tetap fokus pada aktivitas siswa. Hasil rangkuman refleksi diperoleh: Siswa yang belum menyesuaikan pada strategi perkalian garis belum tentu karena tidak senang dengan strategi yang diberikan oleh Guru model, karena boleh jadi penyajian strategi perkalian lidimatika tersebut kurang jelas untuk lebih mudah dipahami oleh pemahaman siswa. Sehingga diperlukan suatu perubahan terhadap penyajian strategi perkalian garis tersebut agar lebih mudah dipahami oleh siswa. Kesulitan seperti letak garis dan titik potong yang berfungsi sebagai satuan,puluhan atau ratusan? Kemampuan berpikir kreatif dalam kasus ini ditekankan pada proses berpikir mahasiswa dalam membuat sesuatu yang baru dan original.
156
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dari hasil diskusi antar mahasiswa dengan dosen, diperoleh beberapa perbaikan untuk kegiatan pembelajaran berikutnya yaitu: posisi duduk diubah dengan huruf U dengan dibagi kelompok dengan 4 orang tiap kelompok, LKS diberikan 1 soal yaitu tetap. Strategi operasi perkalian dimodifikasi dengan diberikan nama lambang bilangannya seperti satuan,puluhan atau ratusan dan diberikan narasi agar siswa masih bisa mengingat penjelasan guru. Seperti pada gambar di bawah ini: 11 x 11=121 Narasi Guru:
1 puluhan
1 satuan
Bilangan 11 pertama Pertama: Buatlah 1 ruas garis horizontal sejajar yang kita beri jarak saling berjauhan dengan 1 garis horizontal lainnya
1 titik
1 puluhan potong 2 titik potong
1 satuan
1 titik potong
Bilangan 11 kedua Kedua: Buatlah 1 ruas garis vertical sejajar yang kita beri jarak saling berjauhan dengan 1 gari vertikal lainnya Ketiga: Lihatlah ada 1 titip potong untuk satuan,2 titik potong untuk ratusan dan 1 titik potong untuk ratusan. Sehingga 11x11=121
Kemudian dalam tahap perencanaan untuk siklus 2 dipersiapkan langkah-langkah dalam perbaikan pembelajaran berikutnya:1. Guru model bergantian 2. Posisi duduk 3. LKS 4. Modifikasi strategi operasi perkalian 5. Untuk open lesson 2 di tentukan kelas yang berbeda walaupun masih satu tempat. Kemudian pada tahap implementasi (do), semua rancangan dalam tahap perencanaan dilakukan oleh guru model. Selanjutnya dalam tahap refleksi (see) semua permasalahan dapat teratasi dengan baik. Siswa SD sebagian besar lebih mudah memahami dan tertarik untuk menggunakan cara perkalian karena unik. Penggunaan media lidi yang berasal dari perkakas budaya sunda dapat menjadi awal kecintaan mahasiswa dalam memahami hasil budaya daerahnya sendiri. Kerjasama, gotong royong antar mahasiswa merupakan karakter bangsa Indonesia yang harus selalu ditanamkan. KESIMPULAN
1. Pembelajaran Etnomatematika menumbuhkan komunitas belajar yang baik, walaupun mahasiswa konsentrasi IPS, namun matematika menjadi semakin menyenangkan bagi mereka. Jika pembelajarannya mengutamakan nilai-nilai budaya antara dosen dan mahasiswa. 2. Media Lidi sangat sederhana namun memiliki manfaat dalam meningkatkan kreativitas mahasiswa PGSD. 3. Penggunaan lidi dalam pembelajaran matematika dapat menjadi sisipan akan budaya persatuan bangsa yang digambarkan dalam lidi. 4. Pembelajaran matematika menjadi tidak kaku, yang hanya mengacu pada matematikanya sendir. Namun pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang dinamis dengan dikaitkan budaya yang baik. 5. Penelitian ini dapat menjadi motivasi bagi penulis,pembaca dan mahasiswa untuk terus menggali lebih dalam lagi akan penelitian ethnomatematika. Agar tujuan pembelajaran matematika dalam membentuk karakter bangsa dapat tercapai.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
157
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Kurumeh MSC (2004). Pengaruh pendekatan pengajaran ethnomathematics pada prestasi siswa dan minat dalam geometri dan pengukuran. Tesis Ph.D yang tidak dipublikasikan. Universitas Nigeria, Nsukka. Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-Dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sardjiyo Paulina Pannen (2005). Pembelajaran Berbasis Budaya: Model Inovasi Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi:Universitas Terbuka. Makalah Supriadi (2005). Pengamatan Kemajuan Pembelajaran Matematika PGSD UPI Serang. Makalah. Uloko ES, Imoko BI (2007). Pengaruh ethnomathematics mengajar pendekatan dan jenis kelamin terhadap prestasi siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ. Res. 5 (1): 31-36.
158
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
INTUISI DALAM BERMATEMATIKA: FAKTA DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh : Agus Sukmana Jurusan Matematika, Universitas Katolik Parahyangan Abstrak Intuisi merupakan konsep yang kontroversial dalam filsafat pengetahuan. Ada kelompok yang berpendapat intusi sebagai sumber pengetahuan sejati (Spinoza dan Descartes), sebaliknya ada yang berpendapat intusi harus dihindari dalam penalaran ilmiah karena dapat menyesatkan (Hahn dan Bunge). Bagaimana kedudukan intuisi menurut matematikawan dalam proses bermatematika mereka dan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran dan penelitian pendidikan matematika akan dibahas dalam makalah ini. Dari hasil kajian literatur, banyak matematikawan berpendapat intuisi memiliki peranan penting dalam kegiatan bermatematika dan bagaimana menumbuh kembangkannya melalui pembelajaran menjadi masalah menarik untuk dikaji dalam penelitian pembelajaran matematika. Kata kunci : Intuisi, Aha! Experience, Pembelajaran Matematika PENDAHULUAN
Intuisi merupakan istilah yang sudah tidak asing digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat namun dimaknai sangat beragam. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendesripsikan intuisi sebagai: (1).―kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari‖, (2). ―bisikan hati‖. Sedangkan Macquarie Encyclopedic Dictionary mendeskripsikannya: ―Direct perception of truths, facts, etc. Independently of any reasoning process. A truth or fact thus perceived. The ability to perceive in this way”. Deskripsi-deskripsi tersebut kiranya sejalan dengan pemahaman masyarakat umumnya bahwa intuisi tidak dihasilkan melalui proses berpikir atau penalaran, melainkan hasil dari suatu ―proses yang unik‖. Sampai saat ini belum ada definisi tegas dan definitif mengenai intuisi dan juga bagaimana proses intuisi bekerja, definisi intusi masih sangat bergantung pada ranah yang dikaji (Burton, 1999; Ben-Zeev & Star, 2001; Blacker, 2006: 17). Disisi yang lain Matematika dikenal memiliki karateristik pola pikir deduktif yang bertumpu pada penalaran dan logika, sehingga menyandingkan intuisi dengan matematika nampaknya seperti sesuatu yang dipaksakan. Namun dugaan tersebut dibantah oleh beberapa peneliti diantaranya Van Dooren, De Bock, & Verschaffel (2007) melalui makalahnya ― Intuïties en wiskunde: een verstandshuwelijk?” Mereka mencari jawaban atas keraguan apakah intuisi dan matematika dapat disandingkan dengan serasi, khususnya pada pemecahan masalah matematik. Selanjutnya pembahasan intuisi dalam makalah ini dibatasi pada kegiatan bermatematika, atau disebut intuisi matematik. Intuisi matematik menurut Reuben Hersh (1997: 61-62) memiliki karakteristik antara lain : 1. Intuitif lawan dari rigorous (arti harafiah: teliti, ketat, tepat). Makna rigorous tidak pernah didefinisikan dengan tepat dan cenderung intuitif; 2. Intuitif bermakna visual; 3. Intuitif bermakna masuk akal, dapat dipercaya, dapat diterima (plausible) sebagai sebuah konjektur tanpa melalui kehadiran suatu bukti; 4. Intuitif bermakna tidak lengkap (incomplete); 5. Intuitif bermakna didasarkan pada model atau beberapa contoh khusus, dan dekat dengan perngertian heuristik; 6. Intuitif bermakna holistik atau integratif sebagai lawan dari rinci (detailed) atau analitik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
159
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Meskipun uraian karakteristik intuisi tersebut masih samar, tetapi cukup memberikan gambaran mengenai intuisi matematik yang akan dikaji dalam makalah ini. Makalah ini merupakan paparan hasil kajian terhadap beberapa sumber pustaka mengenai bagaimana peranan intuisi menurut beberapa matematikawan dalam proses bermatematika mereka dan bagaimana implikasinya pada kegiatan dan penelitian pembelajaran matematika. Pembahasan diawali dengan mengutip beberapa pandangan dan kisah matematikawan terkemuka mengenai keterlibatan intusi dalam kegiatan bermatematika yang mereka rasakan, kemudian pandangan umum kelompok berdasarkan hasil penelitian. Selanjutnya akan dibahas beberapa implikasinya pada pembelajaran matematika dari aspek teoritis dan praktis. PANDANGAN MATEMATIKAWAN MENGENAI INTUISI
Pandangan beberapa orang matematikawan terkenal, seperti: Albert Einstein (1879-1955), Jules Henri Poincaré (1854-1912), Christian Felix Klein (1849-1925), dan Srīnivāsa Aiyangār Rāmānujam (1887-1920) mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka dapat disimak melalui kisah-kisah berikut: Albert Einstein (1879-1955) melalui sebuah suratnya (dapat dibaca pada: http://www.dialogus2.org/EIN/intuition.html) mengemukakan pernyataan terkenal mengenai intuisi: “La seule chose qui vaille au monde, c'est l'intuition” (satu-satunya yang berharga di dunia ini adalah intuisi). Pernyataan tersebut dikemukakanya ketika menjawab pertanyaan apakah intuisi telah memandunya untuk memperoleh capaian dalam penelitian yang dilakukannya. Didalam surat tersebut, Einstein menceriterakan sebuah pengalaman bagaimana intuisinya berperan ketika ia meneliti ruang pseudo-Euclidean Minkowski pada teori relativitas umum. Menurut Einstein bisa saja sebuah penemuan lahir melalui intuisi. Ketika suatu pengamatan atau observasi tidak dapat dilanjutkan dengan deduksi logis karena nampaknya tidak ada ―jalur logis‖ yang menghubungkan fakta dengan ide teoritis, untuk itu diperlukan suatu lompatan imajinasi bebas melampaui suatu fenomena yang disebut intuisi. Matematikawan Perancis Jules Henri Poincaré (1854-1912) saat menyampaikan kuliahnya yang terkenal dihadapan para anggota Société de Psychologie pada tahun 1908 di Paris juga memaparkan bahwa proses penemuan teorema-teoremanya tidak lepas dari peran intuisi. Poincaré memaparkan pengalamannya bagaimana kehadiran intuisi ketika ia sedang mengalami kebuntuan dalam memecahkan sebuah masalah Matematika: Disgusted at my want of succes, I went away to spend a few days at the seaside, and thought of entirely different things. One day, as I was walking on the cliff, the idea came to me, again with the same characteristics of brevity, suddenness, and immediate certainty .... (Poincaré, 1914/ 2009: 53-54) Poincaré menceriterakan bahwa sebuah gagasan hadir secara tiba-tiba dalam benaknya justru ketika ia tidak sedang memikirkannya, tapi ia tetap meyakini kebenaran gagasan tersebut yang kemudian telah memandunya kearah penemuan fungsi Fuchsian, itulah yang menurutnya sebuah intuisi. Demikian pentingnya intuisi bagi Poincaré, menurutnya: “It is by logic that we prove. It is by intuition that we invent ... logic remains barren unless fertilized by intuition” (Raidl & Lubart, 2000: 217). Tidak akan ada aktivitas kreatif sejati dalam Matematika dan Sains tanpa intuisi. Meskipun matematika dikenal deduktif, banyak gagasan matematika dari Poincaré diawali proses berfikir pada tingkat bawah sadar unconscious level (Van Moer, 2007: 172-173). Kajian terhadap gagasan Poincaré dan tentang intuisi matematis dibahas antara lain oleh Godlove (2009). Christian Felix Klein (1849-1925) menuturkan pengalamannya mengenai penemuan sebuah teorema yang gagasan awalnya diperoleh melalui intuisi dalam bukunya (Klein, 1928/1979: 360): But during my last night, the 22- 23 of March, [1882] -- which I spent sitting on the sofa because of asthma -- at about 3:30 there suddenly arose before me the Central Theorem, as it has been prefigured by me through the figure of the 14-gon in (Ges. 160
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Abh., vol. 3, p. 126). The next afternoon, in the mail coach (which then ran from Norden to Emden) I thought through what I had found, in all its details. Then I knew I had a great theorem. Meskipun gagasan intuitif mengenai teorema tersebut telah ia peroleh dan yakini kebenarannya, namun ternyata cukup sulit untuk membuktikannya. Bahkan pembuktian lengkap teorema tersebut baru terpecahkan tuntas 40 tahun kemudian oleh Koebe, dikenal dengan Teorema Klein-Koebe. Srīnivāsa Aiyangār Rāmānujam (1887-1920) matematikawan India menulis surat kepada beberapa matematikawan besar pada masanya mengenai rumus-rumus yang menakjubkan untuk penjumlahan, perkalian, pecahan, dan akar takberhingga yang dikemukakannya secara intuitif. Namun tidak ada seorangpun meresponnya kecuali G. H. Hardy seorang matematikawan Inggris. Hardy dapat menerima kebenaran rumus-rumus tersebut tanpa melalui proses pembuktian formal yang biasa dipergunakan dalam matematika, yang dikenal sebagai intuisi matematik. Kejeniusan Rāmānujam tercermin dari gagasan-gagasannya tersebut, dan telah memberikan kontribusi besar pada matematika meskipun beberapa gagasannya tidak sempat ia buktikan sebelum meninggal dunia pada usia 32 tahun. Dari paparan kisah tersebut tampaknya beberapa temuan penting dalam matematika oleh matematikawan besar ternyata diperoleh melalui proses ―yang tidak biasa‖: (i). Mereka melakukan lompatan-lompatan pemikiran ketika tidak/ belum ditemukan jalur logis yang menghubungkan antara fakta baru dengan gagasan teoritis yang ada, seperti yang dilakukan oleh Einstein, Klein, ataupun Ramanujam; atau (ii). Mereka memperoleh gagasan secara spontan atau ketika tidak sedang mencurahkan pikirannya untuk menyelesaikan masalah matematika yang mereka hadapi. Selanjutnya, bagaimana pendapat matematikawan kini yang tidak sekaliber Einstein, Poincaré, Klein, dan Ramanujam? Mungkin mereka tidak berada pada aras menemukan teori-teori tetapi lebih pada pengembangan teori yang sudah ada dalam Matematika. Penelitian Leone Burton (1999) dan Liljedahl (2004) akan diulas untuk tujuan tersebut. Leone Burton (1999) melakukan penelitian mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam kegiatan ―bermatematika‖ para matematikawan dengan meminta pendapat 70 orang subyek penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya terjadi pro dan kontra mengenai hal ini karena intuisi masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Menurut hasil penelitian Burton, ternyata cukup banyak subyek (yaitu 83%) yang mengakui bahwa kehadiran intuisi telah membantu mereka dalam kegiatan bermatematika mereka meskipun dengan kadar yang beragam. Dua contoh pernyataan berikut mewakili pendapat mereka yang mengakui adanya keterlibatan intuisi dalam kegiatan bermatematika:“ ...the ability to pick up that kind of connection in mathematics is mathematical intuition and is a central feature”, dan “I don‟t think you would ever start anything without intuition”. Sedangkan dari mereka yang menyatakan tidak ada keterlibatan intuisi, contohnya adalah: ―there is no such thing as intuition in mathematics”. Penelitian Burton berhasil menggali pemahaman matematikawan mengenai intusi matematik sebagai upaya mereka untuk menghubungkan / membuat ―lompatan‖ ketika mereka tidak/belum menemukan adanya ―jalur logis‖ yang menghubungkan beberapa fakta/gagasan teoritis. Penelitian Peter Gunnar Liljedahl (2004) yang ditulis dalam disertasinya mengarah kepada pemahaman bahwa intuisi matematik sebagai suatu gagasan spontan yang biasa disebut sebagai Aha! Experience. Liljedahl memberikan ilustrasi bagaimana Aha! Experience ia alami ketika dihadapkan pada penyelesain permasalahan matematika yang sudah diupayakan dalam jangka waktu lama, namun gagasan luar biasa ia dapatkan seketika saat dosennya meminta penjelasan mengenai penyelesain yang ia peroleh padahal saat itu dia sedang memikirnya. Gagasan seketika tersebut samasekali berbeda dengan yang sudah ia pikirkan sebelumnya. Gagasan seketika tersebut baginya adalah Aha! Experience. Kisah ini mirip dengan yang dialami oleh Poincaré, dan mendorongnya untuk mengkaji lebih lanjut mengenai Aha! Experience dalam pemecahan masalah matematika. Liljedahl melakukan penelitian terhadap 64 orang subyek. Aha! Experience Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
161
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya (Liljedahl, 2004: 196-197) ternyata berada dalam ranah afektif dan kalaupun ada aspek kognitifnya tidak berada dalam peranan yang penting, hal ini berbeda dengan kebanyakan yang mengasumsikan bahwa gagasan takbiasa dari Aha! Experience merupakan hasil dari proses-proses kognitif yang tersembunyi (hidden cognitive processes). Aha! Experience atau intuisi secara umum melibatkan rasa dan emosi dari pelaku matematika. Dari paparan-paparan tersebut tampak bahwa banyak matematikawan yang mengakui kehadiran intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka. Para matematikawan besar cukup banyak yang mengandalkan intuisi dalam proses penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan intuisi dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika juga diakui oleh banyak matematikawan lain setidaknya berdasarkan hasil penelitian Burton (1999) dan Liljedahl (2004). INTUISI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Telah dipaparkan cukup banyak matematikawan mengakui pentingnya peranan intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka. Persoalannya adalah seperti yang dipertanyakan oleh Burton: ― Why is intuition so important to mathematicians but missing from mathematics education?“, menurutnya intuisi telah hilang dan diabaikan dalam pembelajaran matematika. Jauh sebelum Burton mempertanyakan hal tersebut, Albert Einstein juga pernah menyampaikan keprihatinan serupa melalui pernyataannya yang terkenal dan menginspirasi penelitian mengenai intuisi : ― The intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant. We have created a society that honors the servant and has forgotten the gift “ (dalam Waks, 2006: 386). Ia mengingatkan bahwa berpikir intuitif merupakan suatu karunia mulia (a sacred gift) yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap individu, namun berpikir intitif cenderung diabaikan dalam masyarakat yang lebih menghargai berpikir rasional. Kurangnya perhatian terhadap intuisi dalam pembelajaran matematika didukung oleh Waks (2006: 386) dan untuk memperkuat argumennya tersebut ia menunjukkan bahwa unsur atau entri mengenai intuisi tidak dijumpai pada beberapa ensiklopedia pendidikan, seperti: Encyclopedia of Education (New York: Macmillan Reference Library, 2002) dan Encyclopedia of Educational Research, 6th ed. (New York: Macmillan Reference Library, 1992). Dari berbagai sumber yang tersedia nampak masih luasnya bagian dari intuisi matematik yang belum diteliti dan dikaji. Setidaknya ada dua sumber utama yang mendorong minat mendalami intuisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: 1. Kecenderungan matematikawan untuk terus meningkatkan keketatan dan ―kemurnian‖ konseptual pada masing-masing domain. Kecenderungan dasarnya adalah untuk memurnikan pengetahuan kita dari unsur-unsur: subyektifitas, interpretasi langsung dan keyakinan (belief) serta menjadikannya sesuai dengan data objektif yang diperoleh secara ketat. Hal ini menyebabkan meningkatnya kontradiksi antara apa yang tampaknya menjadi jelas dengan apa yang didapatkan sebagai hasil yang diperoleh dari analisis 'ilmiah' terhadap data (Fischbein, 1999: 12). Sebelum abad 19 Geometri (Euclidean) didasarkan pada aksioma-aksioma yang self-evidence tetapi kemudian muncul gagasan-gagasan dari Lobachevsky, Bolyai, Riemann yang menunjukkan bahwa geometri lain (Geometri non-Eucledian) juga logis. Geometri nonEucledian tersebut menimbulkan konflik dengan intuisi kita mengenai gambaran alamiah tentang dunia dan sifat-sifat ruangnya. 2. Kecenderungan adanya hambatan kognitif dalam mempelajari matematika karena pengetahuan intuitif siswa seringkali berbeda dengan penafsiran ilmiah. Contohnya, gagasan sebuah persegi adalah jajaran genjang secara intuitif dirasakan aneh oleh banyak siswa. Gagasan mengalikan dua bilangan dapat memperoleh hasil yang lebih kecil dari salah satu atau kedua bilangan yang dikalikan juga sulit diterima oleh siswa yang mengalami hambatan kognitif.
162
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berikut adalah gambaran beberapa situasi yang mendeskripsikan keadaan intusi dalam pembelajaran matematika: a. Pernyataan matematika dapat diterima tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut, hanya berdasarkan pada intuitisi siswa saja. Misalnya pernyataan ‖hanya ada tepat satu garis lurus yang menghubungkan dua titik‖ pada geometri Euclides (Fischbein, 1987, 1999). b. Pernyataan matematika yang secara intuitif dapat diterima kebenarannya, namun demikian diperlukan pembuktikan lebih lanjut. Misalnya pernyataan ―Sudut-sudut berhadapan dari dua buah garis yang berpotongan adalah sama besar ― dalam geometri Euclides dapat diterima kebenarannya dan kita perlu membuktikan kebenarannya (Fischbein, 1987, 1999). c. Pernyataan matematika yang tidak serta merta dapat diterima dan memerlukan pembuktian lebih lanjut agar dapat diterima. Misalnya teorema Phytagoras dalam geometri Euclides (Fischbein, 1987). d. Pernyataan matematika bertentangan dengan respon intuitif siswa. Situasi ini banyak dijumpai dalam masalah probabilitas (Fischbein & Schnarch, 1997; Jun, 2000; Kahneman, 2002; Sukmana & Wahyudin, 2011a). e. Representasi yang berbeda untuk suatu permasalahan matematika yang sama memunculkan pertentangan intuisi. Misalnya himpunan bilangan asli (1, 2, 3, 4, 5, 6. . .) secara intuitif tidak ekivalen dengan himpunan bilangan genap, tetapi akan tampak ekivalen bila direpresentasikan sebagai berikut: (1, 2, 3, 4, 5, 6, ....) (2, 4, 6, 8, 10, 12, ....) karena setiap bilangan asli berpadanan dengan tepat satu bilangan genap (Fischbein, 1987, 1999). Situasi-situasi tersebut memberikan implikasi terhadap pembelajaran matematika, antara lain: a. Situasi yang paling menguntungkan dalam pembelajaran matematika adalah dimana intuisi siswa dengan konsep matematika secara formal sejalan. Seringkali siswa dalam situasi trivial menafsirkan fakta-fakta matematika dengan mengacu pada realitas konkret dan menganggap bukti formal sebagai tuntutan yang berlebihan. Implikasinya siswa diarahkan untuk memahami matematika yang berpola pikir deduktif formal. Penerimaan pernyataan matematika secara intuitif tidak mengecualikan keharusan untuk memenuhi struktur deduktif matematika yang formal, ketat sesuai dengan aksiomatik. b. Situasi yang sering kali terjadi dalam pengajaran matematika adalah penerimaan siswa secara intuitif bertentangan dengan konsep matematika secara formal dan mengakibatkan terjadinya konflik kognitif bahkan bias kognitif yang dapat merintangi siswa untuk mempelajari matematika. Dalam kasus ini pembelajaran harus dapat merekonstruksi intuisi matematik dan pengetahuan awal siswa, hal ini dimungkinkan karena intuisi sekunder menurut (Fischbein, 1987) dapat direkonstruksi melalui pembelajaran yang sesuai. Membantu siswa mengatasi kesulitan ini dengan membuatnya menyadari terjadinya konflik dan membantu untuk memahami fakta-fakta dalam matematika yang mengarah pada pemahaman konsep yang benar. Beberapa penelitian berupaya merekonstruksi intuisi sekunder siswa seperti: pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Pfannkuch & Brown, 1996; Linchevski & Williams, 1999; Sukmana & Wahyudin, 2011b), melalui pendekatan diskoveri dan ekspositori (Schwartz & Bransford, 1998; delMas & Garfield, 1999; Swaak & De Jong, 2001; Swaak, De Jong, & Van Joolingen, 2004; Kapur, 2010a, 2010b). c. Situasi dimana intuisi tidak diperlukan atau tidak berkaitan dengan situasi formal, kebenaran hanya memerlukan bukti formal. Upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir intuitif siswa melalui proses pembelajaran tampak telah dilakukan seiring dengan kajian mengenai intuisi dalam pembelajaran matematika. Demikian pula secara filosofis Emmanuel Kant dan Charles Parsons memberikan dukungan teori terhadap peranan intuisi dalam bermatematika maupun dalam pembelajaran matematika (Parsons, 1993; Sher & Tieszen, 2000; Marsigit, 2006; Chen, 2008; Folina, 2008; Godlove, 2009) ditengah perbedaan yang takberkesudahan dikalangan para filsuf mengenai peranan intuisi dalam membangun pengetahuan termasuk matematika(Fischbein, 1999: 11). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
163
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Secara umum dalam pengajaran matematika, sangatlah penting guru/dosen memahami interaksi antara intuitif, formal dan aspek-aspek prosedural dalam proses memahami, bernalar dan pemecahan masalah siswa. Jika kekuatan intuitif yang dimiliki siswa diabaikan bagaimanapun terus mempengaruhi kemampuan siswa bermatematika. Bila berpikir intuitif tidak dikendalikan juga dapat mengganggu proses berpikir matematis. Jika aspek formal diabaikan dan siswa akan cenderung mengandalkan hanya pada argumen intuitif, dan apa yang akan diajarkan bukanlah matematika. PENUTUP
Keterlibatan dan pentingnya peranan intuisi dalam proses bermatematika faktanya diakui oleh banyak matematikawan telah membantu mereka untuk memahami, mengembangkan dan menemukan teori-teori baru dalam matematika. Banyak yang mempertanyakan mengapa kemampuan berpikir intuitif justru tidak dikembangkan dalam pembelajaran matematika? Adanya keraguan terhadap intuisi dalam membangun matematika adalah salah satu faktor penyebabnya. Keraguan tersebut secara filosofis sudah dijawab oleh Emmanuel Kant dan Charles Parsons yang memberikan dukungan terhadap pemanfaatan intuisi dalam mengembangkan matematika. Kecenderungan untuk mengesampingkan peranan intuisi dalam bermatematika maupun upaya untuk menekan intuisi siswa dalam pembelajaran matematika telah menimbulkan masalah bagi siswa untuk mempelajari matematika pertentangan kognisi yang terjadi menjadi berlarut-larut dan menjauhkan matematika dari aspek humanis. Dari apa yang telah dipaparkan dalam makalah ini, diharapkan dapat menggugah penelitian mengenai intuisi matematik yang masih jarang dilakukan agar dapat memberikan kontribusi pada pembelajaran matematika. Dari aspek praktis diharapkan dapat menggugah guru atau dosen untuk mulai memperhatikan interaksi intuisi dengan matematika formal, membangun jembatan diantara keduannya, mengupayakan untuk merekonstruksi intuisi matematik yang ―keliru‖ yang telah terlanjur tertanam dalam pikiran siswa dan memperkuat intuisi matematik siswa melalui pembelajaran matematika dikelas. DAFTAR PUSTAKA
Ben-Zeev, T., & Star, J. (2001). Intuitive mathematics: Theoretical and educational implications. Dalam B. Torff & R. J. Sternberg (Eds.), Understanding and teaching the intuitive mind : student and teacher learning (pp. 29-56). Mahwah, N.J. : Lawrence Erlbaum Associates. Blacker, A. (2006). Intuitive Interaction with Complex Arthefacts: Emperically-based research. Berlin: VDM Verlag Dr. Muller. Burton, L. (1999). Why is intuition so important to mathematicians but missing from mathematics education? For the Learning of Mathematics, 19(3), 27-32. Chen, H. (2008). The role of intuition in Kant's conceptualization of causality and purposiveness. Disertasi, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong: tidak diterbitkan. delMas, R. C., & Garfield, J. (1999). A Model of Classroom Research in Action: Developing Simulation Activities to Improve Students' Statistical Reasoning. Journal of Statistics Education, 7(3). Fischbein, E. (1987). Intuition in science and mathematics : an educational approach Dordrecht D. Reidel. Fischbein, E. (1999). Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in Mathematics, 38(1), 11-50. Fischbein, E., & Schnarch, D. (1997). The Evolution with Age of Probabilistic, Intuitively Based Misconceptions. Journal for Research in Mathematics Education, 28(1), 96-105. Folina, J. (2008). Intuition Between the Analytic-Continental Divide: Hermann Weyl's Philosophy of the Continuum. Philosophia Mathematica, 16(1), 25-55. Godlove, T. F. (2009). Poincare, Kant, and The Scope of Mathematical Intution. The Review of Metaphysics, 62(4), 779-801. 164
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Hersh, R. (1997). What Is Mathematics, Really? New York: Oxford University Press. Jun, L. (2000). Chinese Students‟ Understanding of Probability. Disertasi, Nanyang Technological University, Singapore: tidak diterbitkan. Kahneman, D. (2002). Maps of Bounded Rationality: A Perspective on Intuitive Judgement and Choices. [Online]. Tersedia di, http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2002/kahnemann-lecture.pdf [21 Oktober, 2010] Kapur, M. (2010a). Productive Failure in Learning the Concept of Variance. Working paper. National Institute of Education, Singapore. tidak diterbitkan. Kapur, M. (2010b). Productive failure in mathematical problem solving. Instructional Science, 38(6), 523-550. Klein, F. (1928/1979). Development of Mathematics in the 19th Century (R. Hermann, Terjemahan.). Brookline: Math Sci Press. Liljedahl, P. G. (2004). The Aha! Experience: Mathematical Contexts, Pedagogical Implications Disertasi, Simon Fraser University, Burnaby, BC Canada: tidak diterbitkan. Linchevski, L., & Williams, J. (1999). Using Intuition From Everyday Life in 'Filling' the gap in Children's Extension of Their Number Concept to Include the Negative Numbers. Educational Studies in Mathematics, 39(1), 131-147. Marsigit. (2006). Peranan Intuisi dalam Matematika Menurut Emmanuel Kant. Makalah disajikan pada Konferensi Nasional Matematika XIII. Semarang, Parsons, C. (1993). On Some Difficulties Concerning Intuition and Intuitive Knowledge. Mind, 102(406), 233-246. Pfannkuch, M., & Brown, C. M. (1996). Building on and Challenging Students' Intuitions About Probability: Can We Improve Undergraduate Learning? . Journal of Statistics Education, 4(1), Poincaré, H. (1914/ 2009). Science and Method (F. Maitland, Terjemahan.). New York: Cosimo Classic. Raidl, M.-H., & Lubart, T. I. (2000). An Emperical Study of Intuition and Creativity. Imagination, Cognition and Personality, 20(3), 217-230. Schwartz, D. L., & Bransford, J. D. (1998). A Time for Telling. Cognition and Instruction, 16(4), 475-522. Sher, G., & Tieszen, R. L. (2000). Between logic and intuition : essays in honor of Charles Parsons (C. Parsons, G. Sher & R. L. Tieszen, Terjemahan.). Cambridge, U.K. ; New York :: Cambridge University Press. Sukmana, A., & Wahyudin. (2011a). A Study of the Role of Intutition in Students' Understanding of Probability Concepts. Proceeding of the International Conference on Numerical Analysis and Optimization (ICeMATH2011): UAD Sukmana, A., & Wahyudin. (2011b). A Teaching Material Development for Developing Students' Intuitive Thinking Through REACT Contextual Teaching Approach. Mat Stat, 11(2), 7581. Swaak, J., & De Jong, T. (2001). Discovery simulations and the assessment of intuitive knowledge. Journal of Computer Assisted Learning, 17(3), 284-294. Swaak, J., De Jong, T., & Van Joolingen, W. R. (2004). The effects of discovery learning and expository instruction on the acquisition of definitional and intuitive knowledge. Journal of Computer Assisted Learning, 20(4), 225-234. Van Dooren, W., De Bock, D., & Verschaffel, L. (2007). Intuïties en wiskunde: een verstandshuwelijk? disajikan pada Internationaal symposium ter gelegenheid van de 100ste verjaardag van het Vliebergh, Leuven Van Moer, A. (2007). Logic and Intuition in Mathematics and Mathematical Education. . Dalam K. François & J. P. Van Bendegem (Eds.), Philosophical Dimensions in Mathematics Education (pp. 157-179). New York: Springer. Waks, L. J. (2006). Intuition in Education:Teaching and Learning Without Thinking. Dalam D. Vokey (Ed.), Philosophy of Education (pp. 379-388). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
165
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENGENALKAN MATEMATIKA MELALUI PENGAMATAN ALAM SEMESTA (Menanamkan Karakter Rasa Ingin Tahu, Peduli Lingkungan dan Menghargai Prestasi) Oleh : Agung Prabowo Program Studi Matematika - Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman - Purwokerto Abstrak. Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan materi ajar berkualitas yang sekaligus diarahkan untuk pembentukan karakter. Tiga buah karakter yaitu karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi diintegrasikan dalam materi matematika yang dikembangkan dari Masalah Kelinci Fibonacci. Hasilnya berupa materi matematika yang didisain untuk menanamkan ketiga buah karakter tersebut. Makalah ini disusun dengan tujuan memaparkan materi pembelajaran matematika yang dapat digunakan oleh guru/calon guru dalam mencangkokkan konsep matematika dan menanamkan tiga buah karakter tersebut. Untuk mewujudkan tujuan tersebut siswa didorong untuk menemukan sendiri rumus atau model matematika, menyelidiki hasilnya, membuat persamaan matematika dan menyelesaikannya, melakukan pengamatan lingkungan sekitar dan pemberian informasi mengenai aplikasi dan kaitan antara matematika dengan fenomena alam. Dengan demikian, kemasan materi yang dibuat dapat membuka wawasan para siswa mengenai manfaat matematika dalam kehidupan manusia, menumbuhkan minat terhadap matematika pada diri siswa, dan tumbuhnya kesadaran adanya keterkaitan matematika dengan berbagai hal. Kata kunci: matematika, Fibonacci, alam semesta, pengamatan, karakter 1. PENDAHULUAN
Apakah matematika mencerminkan realitas? Pandangan bahwa matematika adalah ratu (queen) dan pelayan (servant) menunjukkan bahwa matematika mempunyai kaitan dengan realitas atau dapat melepaskan diri dari ikatannya dengan realitas. Tidak ada yang salah apabila para matematikawan teoritik menyatakan bahwa pengetahuan matematika ―murni‖ sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia material. Beberapa fisikawan teoritik menyatakan dukungan terhadap fenomena matematika yang melepaskan diri dari dunia fisik. Kesahihan model matematika mereka tidaklah tergantung pada pembenaran yang diperoleh secara empirik, melainkan semata-mata pada kualitas estetik dari persamaan-persamaan matematika yang menyusunnya (Woods dan Grant, 2006). Menurut J.P. Stewart (Widodo, 2010: 2), ―Mathematics is the logical and abstract study of pattern.‖ Ini berarti salah satu pengertian dari matematika adalah ilmu yang mempelajari logika (cara berpikir) dan pola-pola yang abstrak. Matematika pada tingkat yang abstrak tidak bersedia lagi berhubungan dengan realitas fisik. Namun demikian, matematika tetap didisain (secara sembunyi-sembunyi) dengan harapan dapat membantu di dalam menyelesaikan seluruh masalah yang terkait dengan beragam fenomena fisik yang terjadi. Sama halnya dengan tidak ada yang salah apabila matematika dikenalkan melalui interaksinya dengan hal-hal fisik yang nyata. Perkembangan matematika adalah hasil dari kebutuhan manusia yang sangat material, sehingga matematika perlu diajarkan melalui pengamatan berbagai fenomena alam semesta yang dekat dengan siswa. Aristoteles menulis (Woods dan Grant, 2006: 457), ―Objek matematika tidak dapat hadir terpisah dari benda-benda yang dapat diraba (yaitu, material).‖ Fakta tak terbantahkan bahwa awal mula matematika terkait dengan fenomena fisik dan masa dewasa matematika lebih disajikan sebagai proses abstraksi membawa gagasan perlunya matematika dikenalkan kepada siswa dengan memulainya pada tingkat yang paling kongkret yaitu mengajarkan matematika berdasarkan fenomena alam semesta. Dengan porsi yang lebih kecil, siswa setingkat SLTP dan SLTA pun masih perlu untuk mengenal matematika dari fenomena alam. Mereka perlu mengenal dan mengetahui atau mengalami secara fisik mengapa sin 45 0 = ½ sehingga mereka mengetahuinya bukan karena diberitahu oleh guru, tabel, alat hitung tetapi benarbenar tahu setelah membuktikannya. Dengan demikian, keyakinan mereka akan semakin kuat. 166
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Semua siswa tentu saja belajar matematika baik di Indonesia maupun seluruh dunia, dengan porsi jam belajar yang lebih besar dibanding mata pelajaran lainnya. Setelah mereka meninggalkan bangku sekolah, jauh lebih banyak siswa yang tidak tertarik dengan matematika. Banyak siswa yang kemudian tidak dapat memperoleh manfaat apapun sebagai hasil dari belajar matematika. Bagi mereka matematika adalah aktifitas berpikir yang tidak dapat diikuti. Tidak ada kesan positif yang terekam dalam benak mereka setelah 12 tahun belajar matematika. Bagi mereka, matematika bukanlah kebutuhan. Padahal, hasil paling penting dari belajar matematika adalah cara berpikirnya yang dapat diterapkan pada segala bidang sehingga lulusan prodi matematika yang bekerja di luar bidang matematika dapat sukses dan berhasil berkat cara berpikir yang diperolehnya selama belajar di prodi matematika. Cara berpikir akan dapat diperoleh para siswa atau mahasiswa setelah mereka belajar matematika apabila ada ketertarikan. Syarat utamanya adalah rasa tertarik, rasa ingin tahu (curiosity), kemudian tumbuh minat dan akhirnya matematika akan menjadi kebutuhan. Apabila matematika telah menjadi kebutuhan maka belajar matematika akan dilakukan dengan senang. Salah satu cara untuk mengarahkan siswa kepada gagasan matematika sebagai kebutuhan adalah dengan memperkenalkan siswa dengan berbagai fenomena alam sehingga mereka merasa tertarik dan tumbuh rasa ingin tahunya untuk tujuan klarifikasi dan memuaskan rasa tersebut lebih dalam lagi. Minat pada matematika, apabila selama ini sulit diwujudkan melalui pembelajaran matematika dalam bentuk konsep matematika yang sudah jadi, maka konsep matematika dapat ditanamkan dengan bantuan pengamatan terhadap berbagai fenomena alam semesta. Siswa dengan melalui pengamatan dapat menemukan sendiri konsep matematika sehingga dapat membangkitkan minat mereka pada matematika. Makalah ini disusun dengan suatu rumusan masalah mengenai strategi atau cara yang dapat digunakan oleh guru/calon guru dalam menanamkan konsep matematika pada diri siswa yang dapat menanamkan karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi. Strategi atau cara yang ditawarkan adalah dengan membelajarkan konsep-konsep matematika melalui fenomena yang terjadi di sekitar siswa. Siswa diajak untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika untuk selanjutnya menggunakan konsep yang telah diperolehnya tersebut pada masalah matematika atau masalah di luar matematika. Keterkaitan dengan fenomena alam diharapkan dapat membantu meningkatkan daya tarik dan minat siswa terhadap matematika, disamping memperluas wawasan siswa bahwa matematika bukanlah pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi mempunyai kaitan dengan berbagai bidang dan mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, manfaat yang dapat diraih setelah implementasi strategi atau cara di atas adalah tertanamnya beberapa karakter pada diri siswa yaitu karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan, menghargai prestasi, tumbuhnya minat pada matematika, dan tumbuhnya kesadaran adanya keterkaitan matematika dengan berbagai hal. Makalah ini memaparkan konsep matematika mengenai pola abstrak dari suatu barisan bilangan. Pola tersebut tidak langsung diperkenalkan dalam bentuk rumus matematika, tetapi diawali dari fenomena yang akrab bagi siswa untuk kemudian dikembangkan menjadi pengetahuan matematika formal. Siswa difasilitasi dengan menemukan keterkaitan pola barisan bilangan tersebut dengan berbagai hal ada terjadi di alam semesta. Dengan demikian siswa akan mengerti bahwa matematika berguna bagi dirinya, bermanfaat bagi bidang ilmu pengetahuan lainnya dan dapat memberikan sumbangan bagi kesejahteraan umat manusia. Dari pola barisan tersebut juga dapat dikembangkan konsep-konsep matematika lainnya, seperti konstanta Phi, Golden Rectangle, pentagram, dan lainlain 2. PEMBAHASAN 2.1 Karakter
Karakter merupakan identitas yang menggambarkan kualifikasi atau kualitas pribadi seseorang. Pembentukan karakter dapat dilakukan dengan menyisipkan, melekatkan atau mengintegrasikannya dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada. Cukuplah apabila seorang siswa sudah benar-benar meyakini dan mengalaminya sendiri, bahwa hari ini ternyata lebih baik dari hari kemarin, maka kualifikasi pribadinya telah memperlihatkan keunggulan sebab secara internal siswa tersebut akan selalu terdorong untuk berubah dari hari ke hari menjadi semakin baik. Juga harus ditanamkan Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
167
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
bahwa pengembangan karakter pada akhirnya akan menjadi tanggung jawab pribadi. Karakter tanpa disertai tanggung jawab pada pribadinya sendiri ibarat bulir padi yang hampa. Menciptakan lebih banyak siswa yang menguasai matematika adalah penting. Namun demikian, jika pengalaman sejak Indonesia merdeka hingga saat ini menunjukkan tidak ada peningkatan yang berarti dalam hal jumlah/banyaknya siswa yang mampu belajar matematika, tidak ada salahnya jika pembelajaran matematika sedikit digeser dengan tidak sekedar mengajarkan materi matematika, tetapi juga mendidik untuk membangun dan memahat karakter (Prabowo dan Pramono, 2010). Pembelajaran matematika dijadikan sebagai media dan wahana untuk pembentukan karakter tersebut. Materi matematika dikemas sehingga karakter-karakter yang hendak ditanamkan dapat muncul pada materi tersebut. Dengan melekatkan pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika, maka pembelajaran matematika tidak lagi untuk mendukung pengembangan ranah kognitif saja tetapi juga mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik. Dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dipaparkan 18 jenis karakter yang harus ditumbuhkan dalam pembelajaran. Tiga dari delapan belas karakter tersebut yaitu rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi dicoba untuk dapat ditanamkan dalam pembalajaran matematika dengan mengambil topik Barisan Bilangan Fibonacci. Menurut buku tersebut, rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan lebih luas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. Peduli lingkungan berkaitan dengan upaya mencegah kerusakan alam dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi. Menghargai prestasi berkaitan dengan sikap dan tindakan yang mendorong untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati hasil karya orang lain. Apabila dikaitkan dengan atribut-atribut dalam penelitian matematika yang meliputi PEACE-AG yaitu proof (bukti), extension (perluasan), application (aplikasi-penerapan), characterization (karakterisasi-ciri), existence (eksistensi), abstraction (abstraksi) dan generalization (generalisasi), maka menurut Widodo (2010), karakter rasa ingin tahu dapat ditumbuhkan melalui atribut extension, existence, abstraction, dan generalization, sedangkan karakter peduli lingkungan dapat diintegrasikan melalui application. Sementara itu karakter semangat berprestasi dapat ditanamkan melalui proof dan characterization. Hal ini menjelaskan bahwa pada tingkat selanjutnya, karakter-karakter yang telah ditanamkan juga dibutuhkan dan dikembangkan terus melalui penelitian matematika. Hal senada diungkapkan oleh Suryadi (2010), ―...apabila materi ajarnya berkualitas dan metodenya tepat, maka hasilnya tentu bisa diharapkan lebih optimal. Apalagi jika pembelajaran matematika tidak hanya diarahkan pada penguasaan kemampuan matematikanya, melainkan juga pada pembentukan karakter bangsa ....‖ Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan materi ajar yang berkualitas yang juga diarahkan untuk pembentukan karakter. 2.2
Barisan Bilangan Fibonacci
Barisan Bilangan Fibonacci (BBF) diperkenalkan oleh Leonardo Fibonacci dalam karyanya berjudul Liber Abaci yang diterbitkan pada tahun 1202 dengan maksud memperkenalkan bilangan Hindu-Arab kepada masyarakat barat (Eropa). Dalam bukunya tersebut, Fibonacci mempromosikan untuk meninggalkan sistem bilangan Romawi dan beralih ke sistem bilangan Hindu-Arab yang sangat efisien. Dengan hanya 10 buah digit (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9) dan penggunaan sistem nilai tempat, sistem bilangan Hindu-Arab dapat mengungguli sistem bilangan Romawi. Keunggulan lainnya adalah adanya bilangan 0 dan kemudahan dalam perhitungan aritmatika. Atas jasanya ini, seluruh dunia dan matematika saat ini menggunakan sistem bilangan Hindu-Arab dan nama Fibonacci tetap harum mewangi, tetap dikenal hingga hari ini. Fibonacci tidak hanya dikenal dalam matematika. Bidang-bidang seperti arsitektur, psikologi, pasar saham, botani, zoologi, biologi dan lain-lain mengenal Fibonacci melalui Barisan Bilangan Fibonacci, Spiral Fibonacci, Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle), Persegi Fibonacci, Sudut Emas (Golden Angle), Segitiga Emas (Golden Triangle), Phi (Nisbah Emas/Golden Ratio) dan lainlain. 168
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dalam Liber Abaci juga terdapat permasalahan yang disebut The Reproductive Habits of Rabbits in an Enclosed Area (Masalah Kelinci Fibonacci). Sepasang kelinci yang baru lahir (jantan dan betina) segera menjadi dewasa sebulan kemudian dan melahirkan sepasang anak (jantan dan betina) sebulan berikutnya dan tiap bulan selanjutnya akan melahirkan sepasang kelinci. Hal yang sama berlaku untuk semua pasang anak kelinci. Proses perkembangan dan banyaknya pasang kelinci pada bulan pertama, kedua dan seterusnya diberikan pada gambar di bawah ini :
Gambar 1. Proses Perkembangbiakan Kelinci dalam Masalah Kelinci Fibonacci Sumber: www.google.com
Persoalan yang diajukan adalah berapakah jumlah pasang kelinci dalam tiap bulannya. Masalah nyata ini (dengan sedikit rekayasa) dapat digunakan untuk memperkenalkan kepada siswa mengenai pola bilangan. Siswa dapat diarahkan pada cara memperoleh bilangan selanjutnya dan menemukan rumus (model) matematika dari Masalah Kelinci Fibonacci. Dengan cara seperti ini, siswa disadarkan bahwa matematika dapat berasal dari masalah nyata sehari-hari. Dengan demikian, dalam diri siswa akan tertanam karakter menemukan sesuatu dan menghargai hasil penemuan orang lain. Dari masalah yang diajukan Fibonacci dalam Liber Abaci, diperoleh barisan bilangan yang saat ini disebut dengan namanya: Barisan Bilangan Fibonacci (Fibonacci‟s Sequence): 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, 233, 377, 610, 987, .... Barisan bilangan Fibonacci sangat istimewa. Bilangan berikutnya diperoleh dengan menjumlahkan dua buah bilangan sebelumnya yang berturutan. Secara matematika, Fn Fn1 Fn2 dengan n 3,4,5,.... dan F1 1 , F2 1 . Tentu saja, rumus (model) matematika tersebut harus ditemukan sendiri oleh siswa dengan mengamati pola pada barisan bilangan tersebut. Guru dapat membantu dengan memberikan pertanyaan yang mengarahkan siswa pada proses penemuan rumus tersebut. 2.3
Menumbuhkan Karakter Rasa Ingin Tahu
Siswa dapat diajak untuk melakukan eksplorasi lebih dalam terhadap Barisan Bilangan Fibonacci (BBF). Kepada siswa dapat diajukan pertanyaan membimbing berkaitan dengan rasio/perbandingan dua buah bilangan yang berturutan dalam BBF, dengan tujuan siswa dapat menemukan kesimpulan yang tepat dan menyadari keistimewaan BBF. Hasil eksplorasi siswa dapat dibuatkan dalam bentuk tabel seperti pada tabel 1 Tabel 1. Perbandingan Dua Buah Bilangan Fibonacci yang Berturutan Bilangan Fibonacci 1 1 2 3 5 8 dst
Perbandingan Bilangan ke - (i 1) Bilangan ke - i 1/1 = 1,000 2/1 = 2,000 3/2 = 1,500 5/3 = 1,667 8/5 = 1,600 dst
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
169
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Perbandingan dua buah bilangan yang berturutan semakin lama semakin mendekati konstanta yang dinamakan Golden Ratio (Nisbah Emas) yaitu 1,618 (pendekatan). Perhatikan bahwa 89/55 = 1,6182, 144/89 = 1,6180, 233/144 = 1,6181 dan seterusnya. Konstanta nisbah emas 1,618 saat ini disebut Phi dan dilambangkan dengan huruf Yunani Phi yaitu Φ (baca: vi). Phi tentu saja berbeda dengan Pi (baca: pi) yang dilambangkan dengan π dan bernilai 3,14. Inilah keistimewaan BBF. Apabila siswa sudah belajar penyelesaian persamaan kuadrat, dapat diajukan masalah matematika berupa penyelesaian persamaan kuadrat x2 – x – 1 = 0 yang seharusnya sudah dapat diselesaikan oleh siswa SMP kelas 1. Solusi pertama disebut Phi yaitu Φ = 1,618 dan solusi kedua disebut phi yaitu φ = 0, 618. Hubungan keduanya adalah Phi = 1/phi. Konstanta Phi mempunyai beragam nama, tergantung masa dan penggunaanya misalnya golden section dan divine proportion. Konstanta phi juga mempunyai beragam nama yaitu mean ratio, golden mean, dan golden ratio. Saat ini, semua istilah tersebut (golden section, divine proportion, mean ratio, golden mean, dan golden ratio) tidak lagi dibedakan dan dinamakan Phi dengan nilai Φ = 1,618, diambil dari nama Phidias yang membangun Kuil Parthenon dan patung-patungnya. 2.4
Menanamkan Karakter Peduli Lingkungan
Ekplorasi lebih lanjut mengenai BBF dapat dilakukan dengan cara mengajukan masalah di luar matematika yang dapat mengantarkan siswa untuk memiliki rasa peduli pada lingkungan (alam semesta). Tujuannya agar mereka dapat menyadari pentingnya merawat alam semesta, menjaga dan tidak merusaknya. Seperti apa kaitan BBF dengan lingkungan tempat tinggal siswa? Ternyata, bunga-bunga yang indah adalah bunga-bunga yang memiliki jumlah daun, kuntum atau kelopak (petals) yang berupa bilangan Fibonacci. Sebutlah bunga-bunga tersebut sebagai bunga-bunga Fibonacci. Siswa dapat diarahkan untuk secara langsung menyelidiki atau mencari bunga-bunga yang jumlah kelopaknya 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, atau 89 dan selanjutnya. Bagian ini tentu saja dapat dikaitkan dengan biologi khususnya botani, seperti nama-nama ilmiah untuk bunga-bunga Fibonacci. Contoh bunga-bunga Fibonacci adalah (angka dalam kurung adalah jumlah daun/kelopak) diberikan pada gambar 2.
Lily (3)
Delphiniums (8)
Iris (3)
Trilium (3)
Blood Root (8)
Pyrethrum (34)
Wild Rose (5)
Pinks (5)
Ragwort (13) Black Eyed Susan (13) Aster (21)
Buttercup (5)
Chamomile (21)
Gaillardia (34) Michaelmas Daisy (55) Asteracae (89) Gambar 2. Bunga-Bunga Fibonacci Sumber: www.google.com
Langkah selanjutnya adalah mengarahkan dan mendorong siswa secara persuasif untuk bersedia membuat Taman Bunga Fibonacci yaitu taman bunga yang khusus ditanami bunga-bunga Fibonacci, baik di halaman sekolah maupun halaman rumah masing-masing. Siswa juga dapat dibimbing untuk memahami kaitan matematika dengan biologi, khususnya zoologi yaitu dengan beternak lebah. Isilah taman bunga Fibonacci dengan koloni-koloni lebah. Di masa dewasanya siswa dapat mengembangkan gagasan ini dengan menjadi peternak/petani madu. Apa kaitannya matematika dengan lebah? Dalam satu koloni lebah, jumlah lebah betina akan jauh lebih banyak dibanding lebah jantan dan perbandingan keduanya adalah bilangan Nisbah Emas atau Phi yaitu Φ 170
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
= 1,618. Masih ada lagi keistimewaan koloni lebah. Ternyata, proses perkembangbiakan lebah mengikuti Barisan Bilangan Fibonacci. Perkembangan lebah pun seperti perkembangan kelinci sehingga jumlah lebah pada setiap generasi merupakan barisan bilangan Fibonacci. Generasi 1 2 3 4 5 6
Gambar
Jumlah Lebah 1 1 2 3 5 8
Keterangan Jantan Betina
Gambar 3. Barisan Bilangan Fibonacci pada Proses Perkembangbiakan Lebah 2.5
Menanamkan Karakter Menghargai Prestasi
Masalah Kelinci Fibonacci juga dapat didisain untuk menanamkan karakter menghargai prestasi dengan mengajarkan siswa untuk menghargai hasil karya dan prestasi orang lain. Pengakuan ini dapat didorong untuk menjadi semangat berprestasi dan berkontribusi yang dilakukan oleh diri sendiri. Kepada siswa dapat ditanamkan sifat jujur dan menghindari plagiarisme, bangga, dan keinginan untuk memberi kontribusi dalam hidup. Banyak hasil karya seni dan budaya yang dalam disain pembuatannya menggunakan konsep Nisbah Emas. Fakta-fakta yang akan dibeberkan dapat membantu para siswa untuk lebih memahami peran matematika dalam arsitektur dan seni lukis. Tentu saja siswa sudah mengenal piramida, tetapi sangat mungkin mereka belum mengetahui bahwa disain piramida Giza didasarkan pada konsep Nisbah Emas 1,618. Masyarakat Yunani Kuno menyebutnya Golden Section. Plato (~428 SM – 347 SM) juga telah menggunakan Golden Section dalam bukunya, Timaeus. Euclid dalam the Elements, membagi sebuah garis pada titik 0,6180399. Titik ini dinamakan Mean Ratio. Euclid juga menggunakan Mean Ratio dalam pembuatan pentagram. Pada perkembangan selanjutnya, istilah Mean Ratio diganti dengan Golden Mean. Istilah Golden Ratio juga digunakan untuk menggantikan Mean Ratio. Phidias dari Yunani Kuno menggunakannya dalam kuil Parthenon dan patung-patung di dalamnya. Phidias (500 SM – 432 SM) adalah seorang pematung (pemahat) dan matematikawan Yunani, mempelajari Nisbah Emas 1,618 dan menggunakannya untuk membangun Kuil Parthenon dan mendisain patung-patung yang ditempatkan dalam kuil tersebut. Sebagai penghargaan kepada Phidias, konstanta 1,618 dinamakan Phi, diambil dari huruf pertama namanya.
Gambar 4. Kuil Parthenon Sumber: https://taicarmen.wordpress.com/tag/patterns-in-nature/
Istilah lain untuk Phi adalah Divine Proportion (Proporsi Ilahi) yang diperkenalkan oleh Luca Pacioli pada tahun 1509 dalam karyanya De Divine Proportione. Dalam karyanya tersebut, Pacioli menjelaskan karya-karya Leonardo da Vinci yang dibuat dengan menggunakan Golden Section dan Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
171
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
berdasarkan lima benda Platonic. Da Vinci adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah Latin Sectio Aurea (Ing: Golden Section). Lukisan Monalisa dan Perjamuan Terakhir ‗The Last Supper‘ (keduanya karya Leonardo da Vinci) juga menggunakan konsep Nisbah Emas dalam pembuatannya. Di dalam ruang kelas dapat dipajang beragam karya seni yang disain pembuatannya menggunakan konsep Nisbah Emas, agar siswa terus menerus menyadari kaitan matematika dengan alam sekitar dan hasil karya manusia. Johannes Kepler (1571-1630), menemukan orbit eliptik dari planet dengan memanfaatkan divine proportion, seperti yang dikatakannya. "Geometry has two great treasures: one is the theorem of Pythagoras; the other, the division of a line into extreme and mean ratio. The first we may compare to a measure of gold; the second we may name a precious jewel." (http://www.phiforex.com/en/phi_in_financial.html)
Gambar 5. Lukisan Monalisa dan Perjamuan Terakhir Sumber: https://taicarmen.wordpress.com/tag/patterns-in-nature/ 2.6
Keterkaitan Matematika dengan Bidang-Bidang Lainnya
Masalah Kelinci Fibonacci pada akhirnya menghasilkan Barisan Bilangan Fibonacci, dan menjadi sarana untuk memperoleh konstanta Nisbah Emas (Phi). Banyak bidang-bidang lain yang memanfaatkan Barisan Bilangan Fibonacci maupun Phi dalam disain pembuatan atau penciptaannya. Bidang Matematika Lainnya (Golden Rectangle)
Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle) diyakini sebagai bentuk persegi panjang dengan proporsi yang indah. Rasio (perbandingan) antara panjang dan lebar pada Golden Rectangle adalah Golden Ratio atau Phi = 1,6180339887.... Apabila sisi panjang dilambangkan dengan p dan sisi lebar dengan l, maka pada Golden Rectangle berlaku l p pl p atau p l p pl
Bagaimana cara memperoleh Golden Rectangle? Salah satu cara sederhana untuk memperoleh Golden Rectangle adalah:
172
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
1. 2. 3. 4.
Buat persegi ABCD dengan ukuran 1 x 1. Tentukan titik tengah DC sebut titik M. Hubungkan titik M dengan titik B. Buat lingkaran dengan titik pusat M dan jari-jari MB DC 5. Perpanjang ruas garis sampai bertemu dengan lingkaran. Selesai. Diperoleh Persegi Panjang dengan perbandingan panjang dan lebar adalah golden ratio. Sebut persegi panjang tersebut AEFD.
Gambar 6. Pembuatan Golden Rectangle
Secara umum, Golden Geometry akan diperoleh dengan melibatkan Golden Ratio dalam ukuranukuran yang digunakan. Salah satu penggunaannya adalah pada logo majalah National Geographic yang berupa Golden Rectangle. Demikian juga dengan berbagai logo seperti logo Apple, Pepsi, iCloud, dan Toyota juga dibuat berdasarkan Golden Ratio.
Gambar 7. Penggunaan Golden Ratio pada Logo National Geographic dan Apple Sumber: http://www.google.com
Fenomea Phi juga ditemukan pada banyak benda yang sehari-hari digunakan. Benda-benda yang mengambil bentuk persegi panjang banyak yang merupakan perwujudan dari Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle) misalnya kartu ATM, KTP, chips kartu HP, perangko, kartu pos, dan lain-lain. Bidang Matematika Lainnya (Pentagram)
Gagasan mengenai pentagram mengandung kesan mistik. Pentagram berupa bintang sehingga secara matematika pentagram merupakan bentuk geometri. Tidak lebih. Matematika mempunyai cara untuk membuat atau menggambar pentagram, tanpa perlu membawa penjelasan-penjelasan yang bersifat mitos dan teologis. Buatlah segilima sama sisi (regular pentagon), misalkan dengan panjang sisi 1 (gambar 8a). Selanjutnya hubungkan titik-titik sudutnya dengan garis diagonal hingga diperoleh bentuk bintang yang disebut pentagram (gambar 8b). Perbandingan antara diagonal dengan sisi regular pentagon adalah Phi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
173
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Gambar 8. Pembuatan Pentagram dari Regular Pentagon
Pembuatan pentagram juga dapat dimulai dengan membuat lingkaran. Bagilah lingkaran tersebut menjadi 5 juring lingkaran bersudut sama (720). Buatlah segilima sama sisi di dalam lingkaran tersebut dan seperti cara sebelumnya, dapat diperoleh pentagram (gambar 12 a). Besar sudut setiap ujung pentagram adalah 360. Apabila pentagram tersebut dipotong hingga diperoleh bentuk segitiga, maka segitiga yang diperoleh disebut Segitiga Emas atau Golden Triangle (gambar 12 b)
(a)
(b)
Gambar 8. Pembuatan Pentagram dari Lingkaran (a) dan Segitiga Emas (b) Biologi (khususnya Genealogi)
Untuk siswa tingkat SMA, Masalah Kelinci Fibonacci dapat diangkat menjadi contoh dalam pembelajaran genealogi (ilmu pohon silsilah/keturunan) dalam biologi. 1. Seluruh pasangan kelinci yang lahir pada bulan yang sama dikelompokkan dalam satu generasi yang sama sehingga pada genealogi (pohon keturunan/pohon silsilah) ditempatkan pada level yang sama. Nenek moyang kelinci ditandai dengan angka 0 Pada bulan kesatu belum ada kelahiran Pada bulan kedua terdapat 1 pasang kelahiran (ditandai dengan angka 1) Pada bulan ketiga terdapat 1 pasang kelahiran (ditandai dengan angka 2) Pada bulan keempat terdapat 2 pasang kelahiran (ditandai angka 3 dan 4) Pada bulan kelima terdapat 3 pasang kelahiran (angka 5, 6, dan 7) dst 2. Urutan penomoran untuk setiap pasang kelinci yang lahir pada generasi yang sama, dilakukan berdasarkan urutan nomor induknya. Dengan demikian, kelinci dengan nomor 5, 6 dan 7 berturut-turut dilahirkan oleh induk dengan nomor 0, 1, dan 2
Gambar 9. Pohon Silsilah pada Masalah Kelinci Fibonacci
174
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dari pohon silsilah tersebut diperoleh beberapa pengetahuan berikut ini: (1) pasangan kelinci dengan nomor berupa bilangan Fibonacci, semuanya dilahirkan oleh nenek moyang (nomor 0). Perhatikan bahwa pasangan kelinci dengan nomor 0 melahirkan pasangan kelinci dengan nomor 1, 2, 5, 8, 13, 21; (2) pada setiap generasi yang sama, selalu terdapat pasangan kelinci dengan nomor berupa bilangan Fibonacci; (3) jumlah pasangan kelinci pada satu generasi yang sama adalah bilangan Fibonacci. Struktur DNA yang ditemukan pada semua sel di tubuh manusia juga didasarkan pada bilangan Fibonacci dan Golden Ratio. Jean-Claude Perez, penemu DNA menyatakan bahwa dalam DNA setiap organisme hidup akan ditemukan Thiamine (T), Cytosine (C), Adenine (A), dan Guanine (G) atau CTAG. Dalam 144 nukleotida yang berdekatan, akan ditemukan 55 basis T dan 89 basis CAG. Angka 55 dan 89 merupakan bilangan Fibonacci. Selanjutnya, perbandingan Bobot Atom antara Bio-Atom yang terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen dan hidrogen yang menghasilkan basis-basis nukleat TCAG dengan Bio-Atom yang menghasilkan junk DNA (DNA sampah) yang tidak dapat diterjemahkan menjadi informasi genetik atau yang terkait dengan sintesa protein adalah Phi yaitu Golden Ratio 1,618. Sesungguhnya, untuk setiap segala sesuatu telah ada ketentuan-ketentuan yang berlaku baginya dan tidak ada kreasi Sang Pencipta yang tidak seimbang. Jari tangan manusia juga memperlihatkan adanya bilangan Fibonacci dalam disainnya, seperti dapat dilihat pada gambar :
Gambar 10. Bilangan Fibonacci pada Jari Tangan Manusia Sumber: http://www.google.com 3. Kesimpulan dan Saran
Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan materi ajar yang berkualitas yang juga diarahkan untuk pembentukan karakter. Contoh materi ajar yang didisain dengan tujuan menanamkan karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi dapat diambil dari topik mengenai Masalah Kelinci Fibonacci. Pengembangan topik ini sangat luas, berkaitan dengan berbagai bidang dan dapat diberikan pada jenjang SD, SMP maupun SMA. Masalah Kelinci Fibonacci dapat digunakan untuk menanamkan karakter menemukan sesuatu dan menghargai hasil penemuan orang lain. Karakter rasa ingin tahu dapat dikembangkan dengan mendorong siswa mengekplorasi lebih jauh hasil yang diperoleh dari Masalah Kelinci Fibonacci sehingga mereka menemukan sendiri konstanta Phi. Rasa ingin tahu yang lebih dalam dapat dimunculkan dalam bentuk mengarahkan siswa untuk sampai pada bentuk persamaan kuadrat dan menemukan solusinya. Dengan pengalaman ini siswa dapat menyadari bahwa Phi atau Golden Ratio dapat diperoleh baik dari fenomena alam maupun permasalahan matematika. Dampaknya, siswa mempunyai kesadaran bahwa matematika dan alam semesta mempunyai kaitan yang erat. Selanjutnya, siswa dapat diarahkan untuk menikmati berbagai karya seni budaya yang didalamnya menggunakan konstanta Phi sehingga pada diri siswa tertanam karakter menghargai hasil karya orang lain serta keinginan untuk selalu jujur, menghindari sikap plagiat dan hasrat untuk berkontribusi dengan menciptakan karyanya sendiri. Pemberian informasi mengenai penggunaan Nisbah Emas dan bilangan Fibonacci pada Golden Rectangle, logo National Goegraphis dan Apple, pentagram, genealogi, DNA dan jari manusia dapat membuka wawasan lebih jauh mengenai manfaat matematika dalam kehidupan manusia. Sebagai saran, perlunya diekplorasi berbagai materi matematika lainnya dan dikemas dalam bentuk bahan ajar yang dapat digunakan untuk menanamkan berbagai karakter pada diri siswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
175
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
http://www.phiforex.com/en/phi_in_financial.html [11 November 2011]. https://taicarmen.wordpress.com/tag/patterns-in-nature/ [11 November 2011]. Prabowo, A. dan Pramono, S. (2010). Memahat Karakter Melalui Pembelajaran Matematika. Makalah pada Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, 8-10 November 2010. DIKNAS (2010). Pengembangan Karakter Budaya dan Karakter Bangsa. [Online]. Tersedia: http://www.puskur.net/files/1_%20Pendidikan%20Budaya%20dan%20Karakter%20Bangsa.p df [17 Juli 2011]. Suryadi, D. (2010). Penelitian Pembelajaran Matematika untuk Pembentukan Karakter Bangsa. Makalah Utama pada Booklet Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta, 27 November 2010. Widodo (2010). Peran Penelitian Matematika dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa. Makalah Utama pada Booklet Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta, 27 November 2010. Woods, A. dan Grant, T. (2006). Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Yogyakarta: IRE Press.
176
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK PADA KONSEP PECAHAN DAN PECAHAN SENILAI Oleh : Wahid Umar FKIP Unkhair Ternate Abstrak Kemampuan representasi matematis adalah salah satu standar proses yang perlu ditumbuhkan dan dimiliki siswa. Standar proses ini hendaknya disampaikan selama proses belajar matematika. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik (PMR) berpotensi dapat membelajarkan siswa menciptakan dan menggunakan representasi. Penelitian ini difokuskan pada kemampuan representasi matematis siswa SD melalui pendidikan matematika realistik pada konsep pecahan dan pecahan senilai. Permasalahan yang akan dicari solusinya adalah: Apakah kemampuan representasi matematis siswa SD kelas IV melalui pendidikan matematika realistik pada konsep pecahan dan pecahan senilai?‖ Tempat penelitian, di SD Negeri Bastiong I Ternate. Subjek penelitian sebanyak 4 siswa, diambil masingmasing satu siswa peringkat tinggi, dua siswa peringkat sedang, dan satu siswa peringkat rendah. Penelitian dilakukan dalam dua tindakan pembelajaran. Hasil analisis data ditemukan: (1) siswa peringkat tinggi (S1), sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, senang belajar kelompok. Pada tindakan I persentase kemampuan representasi matematisnya terhadap skor maksimal ideal adalah 100% baik pada saat mengerjakan LKS maupun pada tes akhir tindakan I. Modus level kemampuan representasinya berada pada level 4 (menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat), (2) siswa peringkat sedang (S2 dan S3), senang bekerja dalam kelompok. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S2 mengerjakan LKS adalah 94% dan pada tes akhir tindakan adalah 100%. Persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S3 mengerjakan LKS adalah 99,5% dan pada tes akhir tindakan adalah 96%. Modus level kemampuan representasi matematis S2 dan S3 adalah berada pada level 4, (3) siswa peringkat rendah (S4), senang bekerja sendiri. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S4 mengerjakan LKS 72% dan pada tes akhir tindakan 78%, (4) siswa senang mempelajari materi konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan matematika realistik. Penggunaan alat peraga model roti untuk konsep pecahan dan konsep pecahan senilai membuat siswa aktif bekerja secara berpasangan dan senang mengikuti pembelajaran, (5) siswa mampu menggunakan alat peraga untuk memecahkan masalah, (6) siswa mampu memanipulasi gambar untuk memecahkan masalah. Dalam pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai, peneliti menyarankan kepada para guru untuk menggunakan (1) pendekatan Pendidikan Matematika Realistik, (2) bahan manipulatif, (3) LKS yang memberi kesempatan bagi siswa menciptakan dan menggunakan representasi dengan benar. Kata Kunci: kemampuan representasi matematis, konsep pecahan, konsep pecahan senilai, matematika realistik. PENDAHULUAN
Pada dasarnya siswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memahami konsep pecahan dibandingkan dengan materi matematika lainnya. Hal ini disebabkan ide-ide tentang pecahan sudah dikenal dan diakrabi siswa sebelum mereka masuk sekolah. Anak-anak sering mendengar penggunaan bilangan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, anak-anak sering disuruh 1 ibunya untuk membeli 2 kg minyak goreng. Namun kenyataan menunjukkan, materi pecahan adalah topik yang sering sukar dipahami oleh kebanyakan siswa. Menurut Hadi (2005:65), membangun pemahaman konsep pecahan bagi siswa SD tidaklah mudah dilakukan. Hasil penelitian Sa‘dijah (1989), tingkat penguasaan konsep pecahan dan pecahan senilai siswa SD rendah. Sejalan dengan itu, Saxe dkk. (2005:137) mengemukakan, penguasaan terhadap konsep pecahan adalah salah satu kesulitan terbesar bagi siswa sekolah dasar (SD).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
177
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
D‘Augustine dan Smith (1992 : 72) mengemukakan, anak-anak masuk SD dengan miskonsepsimiskonsepsi tentang pecahan. Beberapa miskonsepsi berawal dari penggunaan pecahan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya, ketika orang tua mengatakan, ―Tolong berikan setengah gelas susu,‖ biasanya gelas tersebut tidak berisi setengah. Selanjutnya dikatakan, ungkapan-ungkapan seperti itu seringkali mengundang rasa ingin tahu, namun itu mengaburkan konsep matematika pada anak. Demikian juga, ketika seorang anak mengatakan ia makan apel ―setengah‖ biasanya berarti ―sebagian dari satu‖, bukan konsep matematika yakni satu dari dua bagian yang sama dari keseluruhan. Berdasarkan studi awal dan hasil wawancara dengan guru yang mengajar mata pelajaran matematika SD Negeri Bastiong I Ternate, diperoleh informasi masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi pecahan. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain sebagai berikut. Siswa sering kesulitan memahami konsep pecahan sebagai bagian dari 2 4 keseluruhan. Siswa juga sering kesulitan menjelaskan mengapa 3 = 6 Disisi lain, guru menyajikan soal-soal konsep pecahan, tidak mencantumkan bahwa satu daerah keseluruhan mewakili bilangan satu. Dengan tidak mencantumkan bahwa satu daerah keseluruhan mewakili bilangan satu, siswa sering memahami notasi pecahan sebagai bilangan cacah. Soal yang diberikan kepada siswa misalnya, ‖notasi pecahan untuk satu bagian yang diarsir dari empat bagian yang sama suatu lingkaran adalah...‖. Menurut siswa, notasinya bisa ditulis ‖1‖, karena perhatian siswa hanya tertuju 1 pada ‖satu‖ bagian yang diarsir. Sebaliknya, beberapa siswa menulis notasi , menurut siswa ‖1‖ 3 merujuk pada bagian yang diarsir dan ‖3‖ adalah bagian yang lain. Selanjutnya, siswa jarang menggunakan representasi gambar untuk membantunya berpikir dalam menyelesaikan soal. Dengan demikian, representasi tidak dipandang sebagai alat untuk berpikir dan alat untuk memecahkan soal. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan representasi matematika siswa masih kurang. Kemampuan representasi adalah salah satu standar proses pembelajaran matematika yang perlu ditumbuhkan dan dimiliki siswa. Standar proses ini hendaknya disampaikan tidak secara terpisah dengan materi matematika. Sayang sekali, representasi sering diajarkan dan dipelajari seolah-olah berdiri sendiri tanpa ada kaitan dalam matematika (Depkdiknas, 2005:51). Padahal, dengan representasi diharapkan dapat menunjang pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika dan hubungannya dalam mengkomunikasikan matematika, argumen, dan pemahaman seorang terhadap ide lainnya, dalam mengenal hubungan antar konsep-konsep matematika (NCTM, 2000: 76). Dalam belajar matematika dari TK sampai kelas XII siswa dimungkinkan melakukan representasi matematis. Menurut NCTM (2000: 78), program pembelajaran matematika harus memungkinkan semua siswa: (1) menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, (2) memilih, menerapkan dan menerjemahkan representasi matematis guna memecahkan soal, (3) menggunakan representasi dengan model dan menafsirkan fenomena fisik, sosial dan matematika. Menurut Hudojo (2005 : 14) representasi menjadi penting sebagai alat komunikasi maupun alat berpikir. Selanjutnya, representasi menjadikan matematika lebih konkret sehingga memudahkan untuk melakukan refleksi. Di samping itu, siswa terbantu dalam mengembangkan penalaran, karena siswa terbantu dalam mengorganisasikan berpikirnya sehingga memudahkan untuk mengembangkan pendekatan yang bervariasi. Oleh karena itu, menurut Brener dkk., (1997 : 54), pengajaran mengenai jenis-jenis representasi yang berbeda dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah. Representasi di kelas-kelas awal sekolah dasar berbeda dengan representasi di kelas 3-5. Menurut NCTM (2000 : 20), di kelas-kelas awal sekolah dasar siswa belajar dan mulai menggunakan representasi berupa simbol dan grafik. Di kelas 3-5, siswa harus menciptakan representasi yang lebih rinci dan akurat.
178
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Representasi memberikan kemampuan siswa untuk mengkonstruk pemahaman dengan penalarannya, yang kemudian mengkomunikasikan serta mendemonstrasikan penalarannya (Hudojo, 2005 : 34). Dalam konteks ini, guru dalam pembelajarannya di kelas perlu memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Jika guru menganggap siswa harus mengkonstruk pengetahuan sendiri, maka guru harus mempertimbangkan bahwa pikiran mereka tidak kosong tanpa isi (Sutawidjaja, 2002 : 28). Ini berarti guru harus mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa. Menurut Van de Henvel-Panhuizen dalam Suharta (2001 : 3), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Gravemeijer (1994) mengemukakan, matematika harus dimulai dari suatu tingkat di mana konsep yang digunakan mempunyai familiaritas yang tinggi bagi para siswa. Artinya, proses belajar matematika harus ditekankan pada konsep yang dikenal siswa. Hal ini dikarenakan, setiap siswa mempunyai seperangkat pengetahuan yang telah dimilikinya sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan ‖riil‖. Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah yang sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuan siswa, merupakan salah satu ciri pendidikan matematika realistik. Pembelajaran dimulai dari sesuatu yang riil sehingga siswa dapat terlibat dalam proses secara bermakna (Hadi, 2005:37). Sebagai suatu pendekatan pembelajaran matematika, menurut Gravemeijer (1994 : 15) pendidikan matematika realistik memiliki lima karakteristik. Pertama, menggunakan masalah kontekstual (the use of context): proses pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual yang dikenal. Kedua, menggunakan instrumen vertikal (bridging by vertical instruments): penggunaan instrumeninstrumen vertikal berupa model, skema, diagram ataupun simbol sebagai jembatan antara prosedur informal dengan bentuk formal. Ketiga, kontribusi siswa (student contribution): siswa aktif mengkostruksi sendiri bahan matematika strategi pemecahan masalah dengan bimbingan guru. Keempat, kegiatan interaktif (interactivity): siswa diberi kesempatan menyampaikan ide-ide, melakukan negosiasi secara eksplisit, berkolaborasi, dan evaluasi antar sesama siswa, siswa terhadap perangkat belajar, dan interaksi siswa dengan guru secara konstruktif. Kelima, keterkaitan (Intertwining): dalam matematika, struktur dan konsep saling terkait. Oleh karena itu, keterkaitan antar konsep atau materi pelajaran harus dieksplorasi guna mendukung proses pembelajaran matematika yang lebih bermakna. Melalui pengintegrasian antar konsep, topik, dan materi pelajaran tersebut akan membantu siswa memecahkan masalah. Pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan soal kontekstual. Soal kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran dalam membantu siswa mengembangkan pemahaman terhadap materi pecahan yang dipelajari. Beberapa penelitian terkait dengan pembelajaran pecahan menggunakan pendidikan matematika realistik pernah dilakukan. Antara lain penelitian Tahir tahun 2007 dan Jasmaniah tahun 2004. Hasil penelitian Tahir (2007), pembelajaran menggunakan pendidikan matematika realistik dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi penjumlahan dan pengurangan pecahan, siswa dapat menerapkan materi dalam kehidupan sehari-hari, dan respon siswa terhadap pembelajaran positif. Temuan Jasmaniah (2004), hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran pecahan menggunakan pendidikan matematika realistik lebih baik. Hasil penelitian Tahir dan Jasmaniah memberikan hasil yang positif dalam pembelajaran pecahan. Meskipun demikian, sejauh ini penulis belum menemukan telaah tentang pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai menggunakan pendidikan matematika realistik yang memfokuskan pada kemampuan representasi matematis siswa. Pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai menggunakan pendidikan matematika realistik diharapkan dapat membelajarkan siswa menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
179
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Melalui pendekatan ini siswa diberi kesempatan mengkonstruk sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman sebelumnya untuk menemukan konsep pecahan dan pecahan senilai di bawah bimbingan guru. Dalam konteks ini, peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan representasi matematis Siswa SD Kelas IV melalui Pendidikan Matematika Realistik pada Konsep Pecahan dan Pecahan Senilai. METODE
Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan representasi matematika siswa SD kelas IV pada konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendekatan matematika realistik. Penelitian ini lebih menekankan pada proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik diharapkan akan memberikan hasil akhir pembelajaran yang baik. Dalam penelitian ini, peneliti adalah instrumen utama. Hal ini adalah karena peneliti yang merencanakan, merancang, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisa data, menarik kesimpulan dan membuat laporan. Hal ini sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) skor kemampuan representasi matematis siswa. Data skor kemampuan representasi diperoleh dari hasil pekerjaan siswa pada LKS, tes awal dan tes akhir, (2) hasil pengamatan aktivitas siswa dan hasil pengamatan aktivitas guru dalam pembelajaran, (3) hasil wawancara dengan subjek penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah Siswa Kelas IV SD Negeri Bastiong I Ternate tahun pelajaran 2009/2010 yang mengikuti pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan matematika realistik. Sedangkan yang menjadi subjek penelitian diambil 4 siswa yang terdiri atas 1 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa berkemampuan rendah. Keempat subyek penelitian yaitu, Reno (peringkat tinggi), Devi dan Elok (peringkat sedang), dan Dwiki (peringkat rendah).Selanjutnya dalam penelitian ini Reno, Elok, Devi, dan Dwiki berturutturut disebut S1, S2, S3, dan S4. Prosedur pengumpulan data yang dilaksanakan adalah tes, observasi dan wawancara. Tes diberikan untuk mengetahui kemampuan representasi matematika siswa dengan berpedoman pada format penilaian kemampuan representasi matematika siswa. Lembar pengamatan dibuat dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang aktivitas siswa da guru selama proses pembelajaran berlangsung. Wawancara berfungsi sebagai salah satu metode untuk menilai keefektifan pembelajaran, sekaligus untuk mengetahui kelemahan siswa terkait dengan kemampuan representasi matematika. Pelaksanaan penelitian dibagi ke dalam dua tindakan, yaitu tindakan I dan tindakan II. Tindakan I adalah pembelajaran konsep pecahan dan tindakan II kegiatan pembelajaran konsep pecahan senilai. Model penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah model spiral dari Kemmis dan Taggart (Wiriaatmadja, 2007: 66) yang merupakan alur pelaksanaan tindakan yang berlangsung dalam siklus yang diulang. Tiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Data dianalisis dengan langkah-langkah mendeskripsikan data, menganalisis secara kuantitatif untuk data berupa skor, dan menyimpukan data. Kesimpulan data disesuaikan dengan kriteria yang ditetapkan. Kriteria kemampuan representasi yang ditetapkan sebagai berikut : 1. Tidak menggunakan representasi matematika...........................Level 1 2. Lebih banyak tidak tepat dalam menggunakan representasi matematika ................. .........................................Level 2 3. Lebih banyak tepat dalam menggunakan representasi matematika ........... ................................................Level 3 4. Menggunakan representasi matematika secara tepat ................................................................................Level 4 Kriteria keberhasilan tindakan ditetapkan berdasarkan modus level pencapaian kemampuan representasi matematika siswa, persentase pencapaian kemampuan representasi, dan keberhasilan proses belajar. Indikator keberhasilan proses belajar ditentukan dengan mengamati aktivitas siswa dan guru dengan menggunakan lembar observasi. 180
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan dan catatan lapangan peneliti dan 2 orang pengamat selama kegiatan penelitian diperoleh hal-hal sebagai berikut. 1. Siswa peringkat tinggi (S1), sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, senang belajar kelompok/berpasangan. Pada tindakan I persentase kemampuan representasi matematikanya terhadap skor maksimal ideal adalah 100% baik pada saat mengerjakan LKS maupun pada tes akhir tindakan I. Kemampuan representasinya berada pada level 4. 2. Siswa peringkat sedang (S2 dan S3), senang bekerja dalam kelompok. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S2 mengerjakan LKS 94% dan pada tes akhir tindakan 100%. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S3 mengerjakan LKS 99,5% dan pada tes akhir tindakan 96%. Kemampuan representasi matematis S2 dan S3 adalah berada pada level 4. 3. Siswa peringkat rendah (S4), cenderung bekerja sendiri. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S4 mengerjakan LKS 72% dan pada tes akhir tindakan 78%. Kemampuan representasi matematis S4 berada pada level 2. 4. Bila dibandingkan persentase kemampuan representasi matematika dari keempat subyek penelitian, S1 adalah yang paling konsisten menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat. 5. Siswa senang mempelajari materi konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan matematika realistik. Penggunaan soal kontekstual dan penggunaan alat peraga model roti untuk konsep pecahan dan konsep pecahan senilai membuat siswa senang mengikuti pembelajaran. 6. Pada umumnya siswa aktif bekerja secara berpasangan. Menurut siswa, dengan bekerja sama akan mudah menyelesaikan masalah karena dapat saling membantu, berdiskusi. 7. Siswa mampu menggunakan alat peraga model roti persegi untuk memecahkan soal. 8. Siswa mampu menggunakan manipulasi gambar untuk memecahkan soal. Dengan cara itu siswa dapat menyelesaikan soal dengan benar. PEMBAHASAN
Kemampuan representasi matematika S1, S2, dan S3 berada pada kategori sangat baik (90% ≤ RS ≤ 100%). Sedangkan kemampuan representasi matematis S4 berada pada kategori cukup (70% ≤ RS ≤ 80%). Pencapaian kemampuan representasi oleh S1, S2, dan S3 berada pada taraf perkembangan yang optimal. Dengan kata lain S1, S2, dan S3 memperoleh keuntungan yang banyak melalui pembelajaran pendidikan matematika realistik. Sebaliknya, S4 hanya mendapat keuntungan sedikit melalui pembelajaran pendidikan matematika realistik sehingga memerlukan bantuan lebih banyak lagi dari guru atau teman sejawat. Keadaan ini sesuai dengan Vigotsky (dalam Dworetzky, 1990) bahwa Zone of Proximal Development (ZPD) bersifat individual atau khas untuk tiap-tiap siswa. Kemampuan representasi matematika S1, S2, dan S3 yang berada pada kategori sangat baik didukung oleh beberapa hal sebagai berikut. Siswa peringkat tinggi (S1) dan siswa peringkat sedang (S2 dan S3) sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, aktif dan senang belajar kelompok/berpasangan. Sedangkan siswa peringkat sedang (S4) cenderung tidak aktif dan bekerja sendiri. Representasi yang diciptakan oleh S1, S2, dan S3 memudahkan mereka untuk aktif menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain dalam diskusi kelompok. Sedangkan, untuk S1 lebih banyak bekerja sendiri. Keadaan tersebut sesuai dengan NCTM (2000 : 205), representasi membantu siswa menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain. Keaktifan S1, S2, dan S3 juga didukung oleh keseriusan mereka memahami tujuan pembelajaran. Berbeda dengan S4, pada awal pembelajaran, S1, S2, dan S3 serius memperhatikan penyampaian tujuan pembelajaran oleh guru. Dengan memperhatikan tujuan pembelajaran, mereka mengetahui tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sehingga dapat memusatkan perhatian dalam belajar dan terarah pada satu tujuan yang hendak dicapai. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (1988 : 178) Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
181
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
bahwa tujuan pembelajaran dapat membantu siswa untuk aktif dan dapat memusatkan perhatiannya terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran. Selanjutnya, S1, S2, dan S3 termotivasi dengan pembelajaran yang mengaitkan materi konsep pecahan dan pecahan senilai dengan kehidupan sehari-hari. Orton (1992 : 10) menyatakan bahwa siswa yang termotivasi, tertarik, dan mempunyai keinginan untuk belajar, akan belajar lebih banyak. S1, S2 dan S3 mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya. Kegiatan siswa dalam mengerjakan LKS, dirancang agar siswa dapat mengaitkan materi yang sedang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya. Misalnya, pada kegiatan II nomor 1c dan nomor 2c LKS II, mengarahkan siswa mengaitkan materi konsep pecahan senilai dengan konsep pecahan dan dengan konsep dua daerah yang sama. Berdasarkan penelitian, S1, S2 dan S3 mampu mengerjakan LKS kegiatan II nomor 1c dan 2c. Representasi yang dibuat adalah tepat. Dapat dikatakan S1, S2 dan S3 telah belajar secara bermakna, mengaitkan materi konsep pecahan senilai dengan konsep pecahan dan dengan konsep dua daerah yang memiliki luas yang sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Ausubel (Orton, 1994:155), belajar bermakna terjadi jika siswa mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya yang ada dalam struktur kognitifnya. S1, S2, dan S3 menfaatkan dengan sebaiknya-baiknya media yang diberikan guru untuk menyelesaikan tugas kelompok. Media yang dibagikan berupa LKS dan alat peraga model roti berbentuk persegi. Pemanfaatan media sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996 : 305) bahwa siswa perlu diberi sumber-sumber belajar yang mendukung pelaksanaan kerja kelompok. Baik tindakan I maupun tindakan II, S1, S2, dan S3 menunjukkan rasa percaya diri, mereka tampak akrab dengan teman sekelompoknya, aktif bekerja berpasangan mengerjakan LKS, tukar pendapat dengan pasangannya. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Hadi (2005) bahwa dalam pendidikan matematika realistik siswa harus lebih percaya diri. Sejalan dengan itu, Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb dalam Suparno, 1997 : 46). Representasi yang dibuat siswa melalui tahap menyelesaikan masalah, memberikan kemampuan siswa untuk mengkonstruk pemahaman materi konsep pecahan dan pecahan senilai. Dengan representasi memudahkan siswa mengkomunikasikan pemahamannya dalam diskusi. Hal ini didukung oleh Hudojo (2005 : 44) bahwa representasi memberikan kemampuan siswa untuk mengkonstruk pemahaman dengan penalarannya, yang kemudian mengkomunikasikan serta mendemonstrasikan penalarannya. Masalah yang diberikan kepada siswa adalah masalah kontekstual berupa aktivitas membagi roti berbentuk persegi. Masalah kontekstual tersebut relevan dengan taraf berpikir siswa dan sesuai dengan konteks kehidupan siswa. Hal ini didukung oleh Hadi (2005:80) bahwa masalah kontekstual yang diberikan harus memenuhi syarat relevansi dan familiaritas, yaitu relevan dengan taraf berpikir siswa dan sudah dikenal siswa karena diambil dari konteks kehidupan siswa. Penggunaan soal kontekstual dan penggunaan alat peraga model roti untuk konsep pecahan dan konsep pecahan senilai membuat siswa senang mengikuti pembelajaran. Kebanyakan siswa mampu menggunakan alat peraga untuk menyelesaikan soal. Misalnya, pada tahap menyelesaikan LKS 1 2 konsep pecahan senilai, kebanyakan siswa mampu menunjukkan bahwa senilai dengan . 3 6 Keadaan ini sesuai dengan pendapat Bruner, apabila di dalam mengkonstruk gagasan siswa menggunakan benda-benda konkret, siswa akan cenderung ingat gagasan tersebut dan mengaplikasikan ke dalam situasi yang tepat (Orton, 1994). Kemampuan representasi matematika subyek penelitian pada tahap menyelesaikan soal kontekstual menggunakan model roti persegi pada umumnya berada pada level 4. Beberapa siswa, termasuk S1, S2, dan S3 mampu menggunakan manipulasi gambar untuk menyelesaikan soal. Hal ini dapat dilihat pada hasil pekerjaan siswa mengerjakan soal nomor 4b tes akhir tindakan I. Para siswa 182
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
tersebut memutuskan bahwa mereka perlu memanipulasi gambar dalam membantu memecahkan soal. Keadaan ini sesuai dengan NCTM (2000:206), representasi yang dibuat siswa akan mendukung dan memperluas penalarannya sekaligus menjadi cara untuk menunjukkan jawaban siswa dan untuk menjustifikasi jawabannya. Dari hasil wawancara dengan subjek penelitian, diperoleh keterangan bahwa siswa senang materi konsep pecahan dan konsep pecahan senilai dipelajari melalui pendidikan matematika realistik. Siswa senang menemukan masalah sendiri dari pada diberitahukan langsung oleh guru. Mereka beralasan bahwa dengan menemukan sendiri akan lebih mudah memahami materi pelajaran dan dapat mengingat lebih lama. Sutawidjaja (2002 : 58) mengemukakan, guru dapat mengaktifkan kegiatan siswa mengkonstruk, dengan memberi kesempatan untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Pada saat bekerja untuk menyelesaikan soal kontekstual materi konsep pecahan dan konsep pecahan senilai, siswa melewati dua bentuk pematematikaan, yaitu pematematikaan horisontal dan vertikal. Pematematikaan horisontal terjadi ketika siswa: (1) menggunakan alat peraga model roti untuk memecahkan masalah kontekstual materi konsep pecahan, dan (2) menggunakan alat peraga model roti untuk memecahkan masalah kontekstual materi konsep pecahan senilai. Ketika siswa diperhadapkan dengan soal/masalah konsep pecahan dan konsep pecahan senilai untuk diselesaikan tanpa menggunakan alat peraga lagi, berarti sedang terjadi pematematikaan vertikal. Pematematikaan horizontal dan pematematikaan vertikal yang dilakukan oleh siswa pada dasarnya merupakan suatu reinvention. Siswa dibawa pada suatu situasi bagaimana siswa menemukan cara menyelesaikan soal/masalah konsep pecahan dan konsep pecahan senilai. Pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik dapat membelajarakan siswa menciptakan dan menggunakan representasi matematika siswa pada konsep pecahan dan pecahan senilai. Siswa dengan mudah memahami materi konsep pecahan dan pecahan senilai. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli mengenai keuntungan dari pendidikan matematika realistik. Menurut Suwarsono (2001:5-8) bahwa keuntungan dari pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik, antara lain sebagai berikut, (1) siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Mereka bertanya, mengungkapkan ide-idenya untuk menyelesaikan soal yang diberikan, (2) pemahaman siswa terhadap konsep matematika lebih kuat dan mendalam. Hal ini terjadi karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi sendiri oleh siswa, (3) siswa semakin tertarik untuk belajar karena materi yang dipelajari berkaitan dengan pengalaman siswa, (4) pembelajaran matematika lebih bermakna, karena yang dipelajari dikaitkan dengan pengetahuan siswa sebelumnya. Pembelajaran yang dilaksanakan bercorak PAKEM. Berdasarkan hasil observasi pada umumnya siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa guru kreatif melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil tes akhir tindakan, pembelajaran efektif. Hasil wawancara, siswa senang mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan melalui PMR. S4 paling lemah dalam representasi simbolik dan gambar. Kemampuan S4 dalam menciptakan dan menggunakan representasi simbolik dan gambar, umumnya berada pada level 2. Level 2 artinya lebih banyak tidak tepat menciptakan dan menggunakan representasi matematis. Pada tahap menyelesaikan masalah, S4 cenderung bekerja sendiri dan tidak aktif dalam berdiskusi. Kelemahan S4 dalam menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat sangat dimungkinkan oleh karena S4 tidak aktif dalam berdiskusi. Artinya, S4 tidak memandang representasi sebagai alat untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain. Padahal, representasi dapat berperan sebagai alat berpikir, memecahkan soal dan membantu siswa menyampaikan pemikirannya (NCTM:2005). Kelemahan siswa dalam representasi matematika melalui pendidikan matematika realistik yang ditemukan oleh peneliti, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tahir (2007:13), yaitu sebagai berikut. (1) kebanyakan siswa masih kesulitan dalam menciptakan sendiri representasi dengan tepat, (2) siswa yang pasif dan lemah cenderung semakin tertinggal dari kawannya yang lebih aktif. Hal ini disebabkan para siswa terbiasa dengan pola pemberian informasi yang dominan oleh guru, (3) proses pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
183
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
KESIMPULAN
1. Pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik dapat membelajarkan siswa menciptakan dan menggunakan representasi matematis siswa pada konsep pecahan dan pecahan senilai. 2. Kemampuan representasi matematis siswa peringkat tinggi (S1) berada pada level 4. Level 4 artinya menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat. Pada tindakan I dan II, ratarata persentase kemampuan representasi matematisnya terhadap skor maksimal ideal adalah 100% baik pada saat mengerjakan LKS maupun pada tes akhir tindakan I. 3. Kemampuan representasi matematis siswa peringkat sedang (S2 dan S3) berada pada modus level 4. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S2 pada tindakan I dan II mengerjakan LKS dan tes akhir tindakan adalah 97%. Sedangkan Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S3 pada tindakan I dan II mengerjakan LKS dan tes akhir tindakan adalah 98%. 4. Kemampuan representasi matematis siswa peringkat rendah berada pada modus level 2. Ratarata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S4 pada tindakan I dan II mengerjakan LKS dan tes akhir tindakan adalah 75%. Siswa peringkat rendah (S4), cenderung bekerja sendiri. 5. Pencapaian kemampuan representasi siswa peringkat rendah (S4) dalam mengerjakan tes akhir tindakan selalu lebih baik dibandingkan dengan mengerjakan LKS. Misalnya pada tindakan I, persentase pencapaian kemampuan representasi oleh S4 mengerjakan LKS adalah 75%. Sedangkan persentase pencapaian kemampuan representasi mengerjakan tes akhir tindakan I adalah 80%. 6. Penggunaan alat peraga dapat membantu siswa memahami konsep pecahan dan konsep pecahan senilai. 7. Penggunaan alat peraga sangat membantu siswa menciptakan dan menggunakan representasi matematika. 8. Siswa peringkat tinggi dan peringkat sedang yakni S1, S2, dan S3 senang bekerja kelompok/berpasangan. 9. Siswa peringkat rendah yaitu S4 lemah dalam menciptakan dan menggunakan representasi simbolik dan gambar. SARAN Berkenaan dengan kemampuan representasi matematika sebagai salah satu kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh siswa, maka pengembangan kemampuan representasi matematis siswa hendaknya dilakukan selama proses pembelajaran matematika. Sebagai syarat perlu untuk mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa, antara lain sebagai berikut. a. Guru hendaknya menerapkan pembelajaran pendidikan matematika realistik tentang konsep pecahan dan pecahan senilai yang mengarahkan siswa menciptakan dan menggunakan representasi. Penting bagi guru mengelola pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendidikan matematika realistik, yaitu memahami masalah kontekstual, menyelesaikan masalah kontekstual, membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan menyimpulkan. b. Guru hendaknya dapat menciptakan aktivitas pembelajaran yang memberi kesempatan pada pebelajar mengutak-atik alat peraga. c. Untuk memberikan pengalaman pada siswa menciptakan dan menggunakan representasi, guru hendaknya merancang LKS yang memberi ruang bagi aktivitas siswa menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat. LKS perlu dirancang sedemikian rupa dapat memberi ruang bagi aktivitas siswa menyelesaikan masalah kontekstual yang meliputi kegiatan sebagai berikut (1) kegiatan enaktif (representasi enaktif), berupa pemecahan masalah kontekstual yang melibatkan benda konkret dan tindakan fisik siswa, (2) kegiatan ikonik (representasi ikonik), siswa mendeskripsikan dan memecahkan masalah kontekstual dengan memakai model gambar, (3) kegiatan simbolik (representasi simbolik), kematangan siswa dalam representasi ikonik akan mengantarnya pada representasi simbolik yang melibatkan penggunan simbol untuk menyatakan penalaran siswa. d. Untuk mengembangkan kemampuan siswa menggunakan representasi matematis, guru harus menyiapkan alat peraga yang memadai dan tepat. e. S4 perlu bantuan guru lebih banyak.
184
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA Brener dkk., 1999. Cross National Comparison of Representation Competence. Journal for Research in Mathematics Education. Dahar, R.W. 1998. Teori-teori Belajar. Jakarta:Depdikbud. D‘Augustine, C dan Smith, Jr.C.W. 1991. Teaching Elementary School Mathematics. New York: Harper Collins. Depdiknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Jakarta:Depdiknas Depdiknas, 2005. Pedoman Penulisan Buku Ajar. Jakarta:Pusat Perbukuan. Dworetzky, P. 1990. Introduction to Child Development. New York West: Publishing Company. Eggen, P.D.& Kauchak, D.P.1996. Strategies for Teachers, Teaching Content and Thinking Skill. Boston: Allyn & Bacon. Gravemeijer. 1991. An Instruction-Theoritical Reflection on The Use of Manipulatives. Freudenthal Institute. Utrecht. Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht. Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi. PPS IKIP Malang. 4 April Jasmaniah, 2004. Pembelajaran Penjumlahan Pecahan melalui Open Ended Problem Dengan Pendekatan Realistik di Kelas V SD Negeri percobaan Malang. Tesis. PPS UM. NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics.United States of America. NCTM, 2001. The Roles of Representations in School Mathematics. Reston Virginia. Orton, 1994. Learning Mathematics(Issues, Theory and Classroom Practice). Cassell. Sa‘dijah, 1989. Hubungan Antara Penguasaan Konsep Pecahan dan Penguasaan Kesamaan Pecahan dengan Penguasaan Penjumlahan Pecahan Siswa Kelas V dan VI SD N di Kec. Lamongan, Tesis FPS IKIP Malang. Suharta, 2001. Pembelajaran Pecahan dalam Matematika Realistik. Makalah Seminar Nasional. FMIPA Unesa Surabaya. 24 Februari. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Sutawidjaja, A. 2001. Pendidikan Matematika Realistik. Makalah disajikan pada Stadium General, Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 27 Oktober. Sutawidjaja, A. 2002. Konstruktivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Matematika dan Pembelajarannya, tahun VIII (Edisi Khusus). Juli 2002. Malang: Universitas Negeri Malang. Tahir, B. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Pada Siswa Kelas IV SD Donto-Dontoa Kabupaten Goa. Tesis. PPS UM Wiriaatmadja, R. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Remaja Rosdakarya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
185
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENGARUH KECEMASAN MATEMATIKA (MATHEMATICS ANXIETY) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP Oleh : Ika Wahyu Anita
Abstrak Penelitian ini untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Data diolah menggunakan metode regresi-korelasi ganda. Sampel penelitian 72 siswa SMP kelas VII. Menggunakan instrumen angket kecemasan matematika yang terbagi dalam tiga kriteria kecemasan matematika, tes kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis berbentuk soal uraian. Hasil analisis menunjukkan hubungan negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Koefisien regresi menunjukkan pengaruh negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Jika masing-masing jenis kecemasan matematika meningkat maka kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis turun sebesar koefisien regresinya dan sebaliknya. Kata kunci : kemampuan pemecahan masalah, kemampuan koneksi matematis siswa, kecemasan matematika PENDAHULUAN
Matematika seringkali dipandang sebagai bidang studi yang sangat obyektif serta bersih dari perasaan (Wahyudin, 2010:5). Maksudnya karakteristik matematika yang dianggap kaku dan teoritis menjadikan siswa merasa bahwa saat belajar matematika perasaan dan emosi mereka terabaikan. Akibatnya, siswa merasakan ketidaknyamanan saat harus berhadapan dengan pelajaran dan ujian matematika. Hal ini masih relevan dengan pendapat klasik bahwa matematika adalah mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari (Cockroft dalam Wahyudin, 1999). Siswa yang mengalami masalah serius pada saat belajar matematika baik dikelas maupun saat belajar diluar kelas akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan soal matematika sehingga merasa frustasi, trauma dan tidak lagi bergairah dalam belajar matematika, bahkan menghindari pelajaran matematika. Dalam teori prilaku, rasa frustasi dan trauma yang terus-menerus dan tidak tertangani akan menyebabkan munculnya kecemasan dalam diri siswa (Prawirohusodo dalam Pri‘e, 2009). Kecemasan itulah yang menyebabkan penghindaran terhadap sumber kecemasan. Jika hal ini dibiarkan, maka akan mempengaruhi kondisi psikologi dan emosi siswa saat belajar matematika. Kecemasan menurut Depkes RI (1990) adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kecemasan yang dialami siswa pada mata pelajaran matematika sering disebut sebagai kecemasan matematika (Mathematics Anxiety). Kecemasan terhadap matematika tidak bisa dipandang sebagai hal biasa, karena ketidak mampuan siswa memahami dan menguasai pelajaran menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematis serta ketakutan dan fobia terhadap matematika yang pada akhirnya menyebabkan hasil belajar dan prestasi siswa dalam matematika rendah. Kecemasan matematika juga terlahir dari kondisi pembelajaran dikelas yang kurang menyenangkan atau berasal dari guru pengajar matematika. Seperti dinyatakan oleh Wahyudin (2010:21) bahwa kecemasan matematika seringkali tumbuh dalam diri para siswa di sekolah, sebagai akibat dari pembelajaran oleh para guru yang juga merasa cemas tentang kemampuan matematika mereka sendiri dalam area tertentu. Pada akhirnya, kecemasan matematika ini akan sangat berpengaruh pada hasil belajar dan prestasi siswa dalam matematika. Menurut Ma (Zakaria & Nordin, 2007:27) ada hubungan antara kecemasan matematika dengan prestasi siswa dalam matematika. Prestasi dan hasil belajar matematika siswa secara terperinci dijabarkan dalam beberapa penguasaan kemampuan matematis sesuai dengan jenjang pendidikan.
186
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Menurut Soedjadi (Riajanto, 2010:3) pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: 1) Tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak; 2) Tujuan yang bersifat material, yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan pemecahan masalah. Sehingga dengan tidak mengesampingkan tujuan yang lain, dapat dikatakan bahwa belajar menyelesaikan masalah merupakan tujuan utama dalam mempelajari matematika. Standar kompetensi dalam Kurikulum 2006 salah satunya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Menyelesaikan masalah matematis dengan cara yang tidak rutin termasuk dalam kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa di tingkat sekolah menengah selain kemampuan matematis yang lain. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Hal ini menimbulkan keengganan dan kecemasan pada siswa menghadapi soal-soal yang menurut mereka sulit. Sebenarnya hal ini bukan disebabkan karena siswa tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah tetapi lebih disebabkan karena siswa belum dapat mengembangkan kemampuan matematikanya. Kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dikuasai siswa dengan baik jika siswa menguasai kemampuan matematis yang lain, salah satunya adalah kemampuan koneksi matematis. Hodgson (Herlan, 2006:2) mengutip bahwa dalam standar kurikulum NCTM, koneksi matematik digolongkan sebagai ―alat‖ bagi pemecahan masalah. Para pembaharu dalam pendidikan matematika sepakat bahwa matematika hendaknya ditampilkan sebagai disiplin ilmu yang berkaitan dan bukan sebagai sekumpulan topik yang terpisah-pisah baik antara topik-topik dalam matematika itu sendiri maupun dengan topik-topik bahasan ilmu yang lain. Sehingga kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Agar kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa dapat dilatih dan dikembangkan terutama dalam proses pembelajaran di kelas, guru perlu merancang sebuah pembelajaran yang tepat sehingga meminimalkan munculnya kecemasan. Banyak usaha dilakukan untuk mengembangkan model-model pembelajaran kontemporer sebagai usaha menjadikan pelajaran matematika menjadi menyenangkan, berorientasi pada pengembangan proses berpikir dan penguasaan konsep dan prosedur matematis, serta menunjukkan keindahan serta elegansi matematika. Yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kecemasan dan fobia terhadap matematika. Seperti yang dianjurkan oleh NCTM (Wahyudin, 2010:23) dalam upaya yang dapat dilakukan guru, yaitu : mengakomodasi gaya-gaya belajar yang berbeda, membuat suasana atau lingkungan ujian yang beraneka ragam, merancang pengalaman-pengalaman positif diruang kelas matematika, tidak mengikatkan harga diri dengan kesuksesan dalam matematika, menekankan bahwa setiap orang melakukan kesalahan dalam matematika, membuat matematika lebih relevan, membolehkan pendekatan-pendekatan sosial yang berbeda pada saat belajar matematika, menekankan nilai penting dari berfikir yang berkualitas dan original dibanding manipulasimanipulasi rumus secara hafalan. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk menelaah hubungan dan pengaruh kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa SMP. Pada akhirnya dapat dihasilkan studi baru untuk memperkaya inovasi dalam pendidikan matematika yang dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan. KECEMASAN MATEMATIKA
Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiety Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Terdapat tiga komponen kecemasan menurut teori Dacey (dalam Anggreini, 2010:31), yaitu sebagai berikut : Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
187
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
1. Komponen psikologis, yaitu perasaan siswa berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut dan cepat terkejut; 2. Komponen fisiologis, yaitu respon yang timbul melalui organ tubuh untuk merespon suatu perasaan, misalkan : jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mulai emosi), respon kulit terhadap sentuhan dari luar berkurang, gerak peristaltik (gerakan berulang-ulang) tanpa disadari, gejala fisik berupa otot dan sensorik, gengguan pernafasan, pencernaan dan urogenital (perkemihan dan kelamin); 3. Komponen sosial, yaitu sebuah prilaku yang ditunjukkan oleh individu dilingkungannya berupa tingkah laku (sikap) yang ditunjukkan dan gangguan tidur. Tobias (Wahyudin, 2010:7) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang mencampuri manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis dalam beragam situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang mengalami kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak bisa mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika. Ashcraft (2002: 1) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan, cemas atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika cenderung menghindari situasi dimana mereka harus mempelajari dan mengerjakan matematika. Sedangkan Richardson dan Suinn (1972) menyatakan bahwa kecemasan matematika melibatkan perasaan tegang dan cemas yang mempengaruhi dengan berbagai cara ketika menyelesaikan soal matematika dalam kehidupan nyata dan akademik. Dalam The Revised Mathematics Anxiety Rating Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray (1989) skala kecemasan dibagi dalam tiga kriteria, yaitu : kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap tes atau ujian matematika dan kecemasan terhadap tugas-tugas dan perhitungan numerikal matematika. Dari ketiga kriteria tersebut, gejala-gejala kecemasan matematika yang muncul dapat terdeteksi secara psikologis, fisiologis dan aktivitas sosial atau sikap dan tingkah lakunya. Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) menyatakan bahwa penyebab kecemasan matematika dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu sebagai berikut : 1.
Faktor kepribadian (psikologis atau emosional)
Misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief), kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti pengalaman tidak menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika yang menimbulkan trauma. 2.
Faktor lingkungan atau sosial
Misalnya kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para guru matematika dapat terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010:21). Faktor yang lain yaitu keluarga terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise. Vann (dalam Sahin, 2008) menyatakan bahwa kecemasan matematika yang dialami seorang ibu mempengaruhi secara signifikan terhadap kecemasan matematika yang dialami anak. Lingkungan dan teman-teman bermain pun dapat menjadi penyebab bagaimana pandangan dan anggapan seorang anak terhadap matematika. 3.
Faktor intelektual
Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashcraft & Kirk (dalam Johnson, 2003) menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecemasan matematika dan kemampuan verbal atau bakat serta Intelectual Quotion (IQ).
188
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
Menurut Sumarmo (1994:8) pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, atau menemukan teknik atau produk baru. Sedangkan pemecahan masalah menurut Turmudi (2001:86) adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Branca (Krulik dan Reys, 1980:3) menyatakan bahwa klasifikasi aktivitas yang termasuk pemecahan masalah dalam matematika meliputi memecahkan masalah sederhana yang muncul dalam buku teks, memecahkan masalah teka-teki non rutin, menerapkan matematika pada masalah dunia nyata, serta membuat dan menguji konjektur matematika yang mungkin mengarah pada bidang kajian baru. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan ketrampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah dan menafsirkan solusinya dalam matematika. Sudjimat (Sukasno, 2002:18) menyatakan bahwa belajar pemecahan masalah pada hakekatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuanpengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Karena itu pembelajaran yang bernuansa pemecahan masalah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu merangsang siswa untuk berpikir dan mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah. Sabandar (2005) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Woods (Stice, 1988) menyarankan bahwa keberhasilan dalam pemecahan masalah tergantung pada sejauh mana memfungsikan unsur-unsur berikut: 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Kesadaran bahwa masalah itu ada; Keterampilan prasyarat meliputi: a. Pengetahuan dasar yang berhubungan dengan masalah; b. Keterampilan mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk penyelesaian; c. Motivasi untuk menyelesaikan problem; d.Pengalaman yang menyediakan feeling (dugaan) tentang asumsi apa yang mungkin dibuat dan bagaimana masuk akalnnya sebuah jawaban; e. Kemampuan untuk mengkomunikasikan hasil; f. Keterampilan kelompok, jika pendekatan kelompok digunakan. Menyusun strategi secara keseluruhan; Memilih strategi sebagai langkah-langkah tertentu (kontradiksi, penalaran dengan analogi, pemeriksaan kembali, mengerjakan masalah yang sederhana terlebih dahulu, dan lain-lain); Pengetahuan heuristik yang memberikan pedoman tentang apa yang akan dilakukan berikutnya; Kemampuan untuk membuat, menggeneralisasi, dan menyederhanakan.
KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS
NCTM (1989) merumuskan bahwa koneksi matematis atau mathematical connections merupakan bagian penting yang harus mendapat penekanan di setiap jenjang pendidikan. Koneksi matematis terbagi dalam tiga macam yaitu koneksi antar topik matematis, koneksi dengan disiplin ilmu pengetahuan yang lain, dan koneksi dengan dunia nyata. NCTM juga menyebutkan tujuan siswa memiliki kemampuan koneksi matematis agar siswa mampu untuk : 1. 2. 3.
Mengenali dan menggunakan koneksi antara gagasan-gagasan matematik, Memahami bagaimana gagasan-gagasan matematik saling berhubungan dan berdasar pada satu sama lain untuk menghasilkan suatu keseluruhan yang koheren (padu); Mengenali dan menerapkan matematika baik didalam maupun diluar konteks matematika. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
189
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Sedangkan tiga tujuan koneksi matematis di sekolah menurut NCTM (dalam Wahyuni, 2010:17) yaitu : 1. Memperluas wawasan pengetahuan siswa. Dengan koneksi matematis, siswa diberi suatu materi yang bisa menjangkau ke berbagai aspek permasalahan baik disalam maupun diluar sekolah, sehingga pengetahuan yang diperoleh siswa tidak bertumpu pada materi yang sedang dipelajari saja tetapi secara tidak langsung siswa memperoleh banyak pengetahuan yang pada akhirnya dapat menunjang peningkatan kualitas hasil belajar secara menyeluruh; 2. Memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang padu bukan materi yang berdiri sendiri; 3. Menyatakan relevansi dan manfaat baik disekolah maupun diluar sekolah. Sumarmo (dalam Gordah, 2009:27) memberikan beberapa indikator koneksi matematis yang dapat digunakan sebagai berikut : 1. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; 2. Memahami hubungan antar topik matematika; 3. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari; 4. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep; 5. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dan representasi yang ekuivalen; 6. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik yang lain. METODE DAN INSTRUMEN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode korelasi regresi untuk melihat adanya hubungan dan pengaruh antara tingkat kecemasan matematika (Mathematics Anxiety) dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Sampel dipilih dengan metode purposive sampling pada siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Panji. Diperoleh sampel sejumlah 72 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes untuk mengukur tingkat kecemasan matematika (Mathematics Anxiety), tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis dan tes untuk mengukur kemampuan koneksi matematis. Tes mengukur kecemasan matematika diadaptasi dari beberapa tes kecemasan matematika yang telah ada. adaptasi diambil dari Mathematics Anxiety Rating Scale (MARS) (Richardson & Suinn, 1972), Mathematics Anxiety Scale-Revised (MAS-R) adaptasi dari Betz‘s (1978), skala kecemasan dari The Revised Mathematics Anxiety Rating Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray (1989), dan Mathematics Anxiety-Apprehension Survey (MAAS) yang dikembangkan oleh Ikegulu (1998). Skala kecemasan tersebut dijawab dengan mengacu pada skala Likert. Selain itu juga digunakan Mathematics Anxiety Questionnaire yang dikembangkan oleh Meece (1981) berbentuk kuisioner terbuka sebagai tambahan. Siswa diminta untuk menjawab dengan memberi tanda centang (checklist) pada hanya satu pilihan jawaban yang telah tersedia. Pemberian skor pada tiap pilihan jawaban berpedoman pada skala Likert dengan empat opsi jawaban berupa ―sangat sering‖, ―sering‖, ―jarang‖, dan ―tidak pernah sama sekali‖, yaitu sangat sering (SS) diberikan skor 4, sering (S) diberikan skor 3, jarang (J) diberikan skor 2, dan tidak pernah (TP) diberikan skor 1. Sedangkan tes mengukur kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis terdiri dari 8 soal uraian dengan materi bangun datar segiempat dan garis-garis pada segitiga. ANALISIS DATA
Data diolah menggunan uji asumsi klasik atau uji prasyarat pada analisis data model regresi linier ganda (Multiple Regression). Uji statistik menggunakan regresi linier berganda disebut sebagai model yang baik jika memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) yang dicapai bila memenuhi asumsi klasik yaitu : uji normalitas, uji linearitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas dan uji heterokedastisitas. Pengolahan data berikutnya adalah uji koefisien korelasi sederhana dua variabel, korelasi parsial dan korelasi ganda. Untuk mendapatkan model matematika di lakukan uji regresi linier ganda. Model matematika yang diperoleh berupa model matematika untuk kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. 190
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 menggambarkan pengelompokan siswa untuk kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Tabel 1 Pengelompokan Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis
Pemecahan Masalah Koneksi Matematis
Tinggi 15 14
(%) 20,83 19,44
Sedang 39 43
(%) 54,17 59,72
Rendah 18 15
(%) 25 20,83
Sedangkan uji koefisien korelasi ganda antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2 Hasil Uji Korelasi Ganda
Koefisien Korelasi
Kemampuan Pemecahan Kemampuan Koneksi Masalah Matematis -0,682 -0,903
Dari tabel 2 tampak bahwa terdapat hubungan antara kecemasan matematika dengan kamampuan pemecahan masalah sebesar 0,682, sedangkan hubungan antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,903 atau sangat signifikan. Pola hubungan tidak searah ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa hubungan tidak searah antara kecemasan matematika dan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematika. Model matematis yang terbentuk dari uji regresi linier ganda ditunjukkan sebagai berikut : Y1 = 41,664 – 0,284 X1 – 0,300 X2 – 0,457 X3 + e1 Y2 = 19,178 – 0,191 X1 – 0,183 X2 – 0,173 X3 + e2 Y1 menunjukkan skor kemampuan pemecahan masalah dan Y2 menunjukkan skor kemampuan koneksi matematis, sedangkan variabel X1 adalah kecemasan terhadap pembelajaran matematika, X2 adalah kecemasan terhadap ujian matematika dan X3 adalah kecemasan terhadap perhitungan numerikal. Tanda koefisien regresi menunjukkan arah pengaruh antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah. Tanda positif (+) berarti bahwa ada hubungan searah antara variabel bebas dan variabel terikatnya. Sedangkan tanda negatif (-) berarti bahwa ada hubungan tidak searah antara variabel bebas dan terikatnya. Nilai error berasal daro kriteria kecemasan matematikayang lain selain dari yang dikaji oleh peneliti atau berasal dari faktor-faktor lain diluar kecemasan matematika. Tampak dari koefisien regresi pada kemampuan pemecahan masalah bahwa pengaruh terbesar dari tingkat kecemasan matematika ditunjukkan oleh kecemasan terhadap perhitungan numerikal. Yaitu kecemasan siswa yang timbul saat harus berhubungan dengan bilangan-bilangan dan operasi matematis yang ada didalamnya. dilihat dari kemampuan pemecahan masalah yang menuntut siswa untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan untuk mencapai tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai (Turmudi, 2001:86). Kemampuan pemecahan masalah tidak hanya melibatkan kecakapan siswa membuat prosedur penyelesaian masalah, namun juga pada kemampuan merancang dan menemukan cara penyelesaian masalah hingga meninjau kembali jawabannya. Sehingga siswa yang hanya menghafal rumus akan mengalami kesulitan untuk mencapai kemampuan pemecahan masalah matematis. Sedangkan kecemasan terhadap pembelajaran matematika menunjukkan koefisien regresi tertinggi dibandingkan variabel kecemasan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
191
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
dilakukan peneliti memberikan kontribusi lebih besar untuk menimbulkan kecemasan dalam diri siswa. Hal ini tidak berarti bahwa pembelajaran yang dilakukan tidak berhasil, tetapi proses pembelajaran yang baru dan siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran tersebut. Hasil ini juga menunjukkan bahwa selama ini siswa hanya terbiasa dengan satu pembelajaran yaitu pembelajaran konvensional. KESIMPULAN
Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa setiap peningkatan skor kecemasan matematika berupa kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap ujian matematika dan kecemasan terhadap perhitungan numerikal mengakibatkan menurunnya skor kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Hal ini berarti pula bahwa penurunan tingkat kecemasan matematika yang dialami siswa menyebabkan naiknya tingkat kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Masing-masing kriteria kecemasan matematika memberikan pengaruh negatif terhadap kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis, artinya setiap kenaikan masing-masing skor kecemasan matematika kecemasan terhadap pembelajaran matematika, skor kecemasan terhadap ujian matematika dan skor kecemasan terhadap perhitungan numerikal berpengaruh pada penurunan skor kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Faktor kecemasan yang berpengaruh paling tinggi terhadap kemampuan pemecahan masalah adalah kecemasan terhadap perhitungan-perhitungan numerikal, ini diakibatkan karena siswa terbiasa menghafalkan rumus matematika dan kurang terlatih untuk mengerjakan soal tidak rutin pada pembelajaran-pembelajaran konvensional yang dilakukan guru dan belum terbiasa dengan pembelajaran yang dilakukan peneliti. Sedangkan kecemasan terhadap pembelajaran matematika memberikan kontribusi paling tinggi terhadap kemampuan koneksi matematis, ini diakibatkan karena pembelajaran yang dilakukan peneliti menuntut siswa untuk mengingat kembali materi yang telah dipelajari dan mampu mengkoneksikannya dengan materi yang sedang dipelajari, pada pembelajaran ini siswa dilatih untuk meninggalkan kebiasaannya untuk sekedar menghafalkan rumus matematika dan menggantinya dengan belajar memahami dan memaknai konsep dan rumus matematika serta lebih banyak melakukan latihan soal. Dan proses ini membutuhkan waktu untuk siswa beradaptasi.
192
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, L. & Martray, C. (1989). ―The Development of An Abbreviated Version of The Mathematics Anxiety Rating Scale‖. Measurement and Evaluation in Counseling and Development, 22, 143-150. Anggreini, T. (2010). Hubungan Antara Kecemasan dalam Menghadapi Mata Pelajaran Matematika dengan Prestasi Akademik Matematika pada Remaja. Skripsi. Univ. Gunadarma. Ashcraft, M.H. (2002). ―Math Anxiety: Personal, Educational, and Cognitive Consequences‖. Directions in Psychological Science. 11. Betz, N. (1978). ―Prevalence, Distribution, and Correlates of Mathematics Anxiety in College Students‖. Journal of Counseling Psychology. 25 (5), 441-448 Gordah, E.K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Melalui Pendekatan Open Ended. Tesis. PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Herlan, A. (2006). Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Komputer Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMA. Tesis. PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Ikegulu, T.N. (1998). Mathematics Anxiety-Apprehension Survey. [Online]. Tersedia: http://mathforum.org/epigone/math-teach/skimpplenkhand/robmu g8st251@legacy. [10 April 2011]. Johnson, D. (2003). Math Anxiety. Literature Review. Krulik, S. & Reys, R. E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston: NCTM. Meece, J. L. (1981). Individual Differences in The Affective Reactions of Middle and High School Students to Mathematics. Unpublished Doctoral Dissertation, University of Michigan. Peker, M. (2009). ―Pre-Service Teachers‘ Teaching Anxiety about Mathematics and Their Learning Styles‖. Eurasia Journal of Mathematics, Science, & Technology Eductaion. 5 (4), 335-345. Pri‘e. (2009). Teori Kecemasan. [Online]. Tersedia : http://perawatpskiatri. blogspot.com/2009/03/teori-kecemasan.html. [10 Juli 2011] Riajanto, M.L.E.J. (2010). Pencapaian Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik Berbantuan Software Geometer‟s Sktechpad. PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Richarson, F.C. dan Suinn, R.M. (1972). ―The Mathematics Anxiety Rating Scale: Psychometric Data‖. Journal of Counseling Psychology, 19 (6), 551-554. Sabandar, J. (2005). Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran Matematika. Makalah pada Seminar MIPA di JICA: tidak diterbitkan. Sukasno. (2002). Model Pembelajaran Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Trigonometri. Tesis. PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Sumarmo, dkk. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung: tidak diterbitkan. Turmudi. (2001). Pendekatan Matematika Realistik Sebagai Suatu Alternatif Pembelajaran Matematika Sekolah. Makalah pada Seminar GMM-99, UPI Bandung. Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Pelajaran Matematika. Disertasi IKIP Bandung. Bandung: tidak diterbitkan. Zakaria, E., Nordin, N. M. (2008). ―The Effects of Mathematics Anxiety on Matriculation Student as Related to Motivation and Achievement‖. Eurasia Journal of Mathematics, Science, & Technology Eductaion. 4 (1), 27-30.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
193
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEROLEHAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF (IPK) MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UIN BANDUNG BERDASARKAN JALUR MASUK YANG DITEMPUH DAN ASAL SEKOLAH Oleh : Rahayu Kariadinata Asep Jihad Ni’ma Hilda Mahmudah Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan perolehan indeks prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Matematika UIN Bandung berdasarkan jalur masuk yang ditempuh dan asal sekolah mereka. Jalur masuk yang ditempuh mahasiswa yaitu jalur : (1) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), (2) Penelusuran Potensi Akademik (PPA), dan (3) Ujian Lokal yang diselenggarakan oleh UIN Bandung, sedangkan asal sekolah mereka adalah Sekolah Menengah Atas atau sederajatnya (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Pengambilan sampel menggunakan teknik Propotionates Stratified Random Sampling, yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Sebanyak 90 mahasiswa angkatan 2008/2009 sebagai subjek sampel yang masuk melalui 3 jalur dan berasal dari 2 jenis sekolah. Sehingga desain eksperimen yang digunakan adalah dua jalur 2 X 3 model faktorial dan dianalisis dengan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) untuk menguji ANOVA (Analisys Of Variances) dua jalur. Instrumen dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh: 1) secara keseluruhan, terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Tidak terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur PPA dengan Jalur Ujian Lokal; 2) berdasarkan asal sekolah terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal. Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal. Terlihat perbedaan yang sangat tipis antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA; 3) tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa jalur masuk dan asal sekolah tidak memberikan pengaruh terhadap IPK mahasiswa. Kata kunci : Jalur masuk dan asal sekolah A. Pendahuluan
Sejak tahun akademik 2008/2009, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang mengadakan seleksi penerimaan mahasiswa baru dengan 3 jalur bagi para calon mahasiswanya yang berasal dari berbagai sekolah menengah atas atau sederajatnya. Seleksi penerimaan mahasiswa baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dilakukan melalui tiga jalur yaitu melalui : (1) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), (2) Penelusuran Potensi Akademik (PPA), dan (3) Ujian Lokal yang diselenggarakan oleh UIN Bandung. Jalur PPA dan Ujian Lokal berlaku bagi para mahasiswa yang akan masuk ke semua jurusan yang ada di universitas tersebut, namun pada Jalur SNMPTN hanya dilakukan pada beberapa jurusan saja. Berikut ini daftar jurusan yang dapat ditempuh melalui jalur SNMPTN
194
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 1. Jurusan/Program Studi yang dapat ditempuh melalui jalur SNMPTN pada tahun 2008/2009 No Jurusan /Program Studi Fakultas 1 Sosiologi Ushuluddin 2 Pendidikan Matematika Tarbiyah dan Keguruan 3 Ilmu Hukum 4 Administrasi Negara Syari‘ah dan Hukum 5 Manajemen 6 Ilmu Komunikasi Jurnalistik Dakwah dan Komunikasi 7 Ilmu Komunikasi Humas 8 Sastra dan Bahasa Inggris Adab dan Humaniora 9 Matematika 10 Biologi 11 Fisika 12 Kimia Sains dan Teknologi 13 Teknik Informatika 14 Teknik Elektro 15 Teknologi Pertanian 16 Psikologi Psikologi Sumber : Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)
Tahun akademik 2008/2009 merupakan tahun pertama kalinya penerimaan mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Matematika melalui Jalur SNMPTN. Sebelumnya mahasiswa diterima melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Untuk mahasiswa yang diterima melalui Jalur PPA adalah mahasiswa yang di jenjang pendidikan sebelumnya yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya dan Madrasah Aliyah (MA) termasuk peringkat 10 besar dengan nilai rata-rata raport minimal 7. Calon mahasiswa yang masuk melalui jalur ini tidak dibebankan untuk mengikuti tes namun mereka mengikuti penyeleksian administrasi yang telah ditentukan yang dilanjutkan dengan tahap yaitu wawancara. Jalur PPA dilakukan terlebih dahulu sebelum jalur-jalur yang lainnya, dengan tujuan apabila terdapat calon mahasiswa yang tidak lulus pada jalur ini dapat mengikuti di jalur yang lainnya. Dalam hal ini yang menjadi panitia adalah pihak UIN Bandung. Sedangkan jalur Ujian Lokal calon mahasiswa harus mengikuti tes secara tertulis di UIN Bandung secara serentak baik bagi calon mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika maupun prodi yang lainnya. Sama halnya dengan Jalur PPA, jalur Ujian Lokal memiliki beberapa tahap yaitu setelah penyeleksian administrasi kemudian pelaksanaan tes dan wawancara. Sama halnya pada jalur PPA, panitia penyeleksian pada jalur Ujian Lokal adalah pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Jalur SNMPTN adalah jalur masuk perguruan tinggi negeri yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Bagi yang memilih UIN Bandung, setelah lulus mereka diharuskan mengikuti tahap wawancara. Mahasiswa baru yang diterima di Prodi Pendidikan Matematika yang berasal dari SMA atau sederajatnya dan MA serta lulus melalui ketiga jalur akan menerima pembelajaran berbagai mata kuliah dari dosen. Mata kuliah yang disajikan dan diterima oleh mahasiswa tiap semester tergantung pada prosedur yang berlaku atau yang ditetapkan oleh program studi yang bersangkutan. Dalam mengikuti perkuliahan setiap mahasiswa diharuskan mengikuti prosedur perkuliahan yang diberikan oleh dosen dan tentunya berlaku di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata kuliah yang disajikan, tentunya akan diadakan evaluasi baik itu berupa tugas individu, tugas kelompok, UTS dan UAS. Evaluasi tersebut pada akhirnya akan menghasilkan sebuah penilaian terhadap kemampuan mahasiswa. Nilai-nilai mata kuliah yang ada akan diakumulasikan menjadi sebuah indeks prestasi. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
195
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Indeks prestasi adalah nilai atau angka yang menunjukan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa dalam satu semester yang dihitung setiap akhir semester (Sudarman, 2004:71). Dengan adanya indeks prestasi dapat diketahui kemampuan mahasiswa dalam satu semester atau lebih, sesuai dengan perhitungan yang berlaku. Pada akhir kuliah atau pada akhir semester tertentu biasanya indeks prestasi tersebut akan diakumulasikan menjadi indeks prestasi kumulatif (IPK). IPK merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif mulai dari semester pertama sampai semester tertentu atau sampai semester akhir termasuk skripsi (Sudarman, 2004:71). Berdasarkan uraian tersebut akan terdapat kemampuan yang bervariasi dari mahasiswa Pendidikan Matematika pada tahun akademik tersebut yang dilatarbelakangi oleh asal sekolah yang beragam serta jalur masuk yang bervariasi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sebagai gambaran tentang IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, berikut ini disajikan IPK mahasiswa tahun akademik 2006/2007 dan 2007/2008 yang penerimaannya hanya melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
2,96
4
2,82
2,99 2,84
3 2
Ujian Lokal
1 0
PPA 2007/2008 2006/2007
Gambar 1. Rata-rata Perolehan IPK melalui Jalur PPA dan Ujian Lokal Sumber: Bagian Administrasi Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)
Pada Gambar 1, terlihat bahwa rata-rata IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika yang melalui jalur PPA dan Ujian Lokal tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata IPK mahasiswa kedua jalur tersebut apabila dikonversikan pada standar kelulusan di UIN keduanya mendapat predikat B. Hasil IPK tersebut hanya di dasarkan pada jalur masuk yang ditempuh saja dan tidak diklasifikasikan berdasarkan asal sekolah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang perbedaan IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika berdasarkan asal sekolah dan jalur masuk yang ditempuh. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui IPK mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal dan asal sekolah mereka (SMA atau sederajatnya dan MA) serta untuk mengetahui jalur masuk manakah yang lebih unggul atau bahkan ada atau tidaknya interaksi antara jalur masuk dan asal sekolah 1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Apakah terdapat perbedaan IPK mahasiswa yang melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah 2) Apakah terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa 196
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini yaitu: 1) Menelaah tentang IPK mahasiswa berdasarkan variasi jalur masuk (Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal) 2) Menelaah tentang IPK mahasiswa berdasarkan asal sekolah (SMA dan MA) 3) Menelaah tentang keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa 3. Manfaat Penelitian
Kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya: 1) Bagi pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi dalam menjaring mahasiswa baru 2) Bagi mahasiswa sebagai tolak ukur kemampuan dan dapat dijadikan motivasi untuk selalu meningkatkan prestasi. 4. Batasan Masalah
Untuk mencegah meluasnya permasalahan, maka dalam penelitian ini bahasan dibatasi sebagai berikut: 1) Mahasiswa yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika 2) Mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2008/2009, hal ini dikarenakan seleksi melalui jalur SNMPTN baru diberlakukan di UIN Sunan Gunung Djati pada tahun akademik 2008/2009. 3) Rata-rata IPK yang dibicarakan dalam penelitian adalah rata-rata IPK mahasiswa angkatan 2008 semester I sampai semester V B. Kajian Pustaka 1. Indeks Prestasi
Sistem pendidikan di Perguruan Tinggi di Indonesia adalah Sistem Kredit Semester (SKS) yang merupakan sistem pendidikan yang menempatkan beban mengajar, beban belajar, serta praktikum diatur sedemikian rupa sehingga dosen, mahasiswa maupun penyelenggara pendidikan mempunyai tanggung jawab yang sama. (Sudarman, 2004:45) Adanya SKS tentunya akan berpengaruh pada sistem penilaian yang berlaku di perguruan tinggi. Sistem penilaian di perguruan tinggi tentunya berbeda dengan sistem penilaian yang ada di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Pada dasarnya sistem penilaian dalam pendidikan tidak terlepas dari kemampuan menjawab soal ujian, kegiatan praktikum, kehadiran dalam mengikuti pembelajaran dan pengerjaan tugas. Pemenuhan masing-masing bagian dari komponen sistem penilaian tersebut di perguruan tinggi dapat menolong mahasiswa dalam kelulusan suatu mata kuliah yang pada akhirnya disimbolkan dalam sebuah nilai. Nilai-nilai yang didapatkan oleh mahasiswa akan digabungkan dalam sebuah indeks prestasi. Indeks prestasi (IP) adalah nilai atau angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa dalam satu semester yang dihitung setiap akhir semester (Sudarman, 2004:71). IP dalam perkuliahan merupakan hasil yang diperoleh tiap mahasiswa di universitas yang mempunyai sistem administrasi berupa SKS. IP di bangku perkuliahan merupakan salah satu bukti adanya evaluasi pembelajaran yang hasilnya berupa nilai/score. Di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, perhitungan IP dapat dilakukan sebagai berikut: IP =
𝑋𝑌 𝑌
Keterangan: IP : Indeks Prestasi X : Bobot nilai ujian mata kuliah Y : Bobot kredit (sks) mata kuliah 𝑌 : Jumlah sks UIN (2008:60)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
197
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Penghitungan IP dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prestasi mahasiswa ataupun kemajuan belajar mahasiswa yang dapat dilihat tiap semester, sehingga mahasiswa dapat melihat hasil belajar yang dilakukan selama satu semester atau beberapa semester sampai akhir perkuliahan. 2. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
Indeks prestasi kumulatif (IPK) merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif mulai dari semester pertama sampai semester tertentu atau sampai semester akhir termasuk skripsi (Sudarman, 2004:71). Pengertian lain dari IPK adalah gambaran kumulasi prestasi hasil studi mahasiswa dari keseluruhan program kurikulum yang dihitung pada akhir program pendidikan. Adapun IPK yang dipakai dalam penelitian ini adalah IPK semester yang merupakan gambaran kumulatif nilai prestasi yang dicapai sampai dengan semester yang dilalui, yaitu gabungan seluruh nilai mata kuliah yang ditempuh (termasuk yang bernilai E). Selain menunjukkan prestasi mahasiswa, IPK pun dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi mahasiswa ketika mereka akan mengontrak mata kuliah semester berikutnya ataupun dapat dijadikan sebagai salah satu nilai pokok yang akan dijadikan acuan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Di bangku perkuliahan khususnya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, nilai setiap mahasiswa yang akan dijadikan IP sebelumnya berupa angka akan dikonversikan ke dalam nilai yang berbentuk huruf A, B, C, D dan E masing-masing berbobot nilai 4, 3, 2, 1 dan 0. Standar rentang skor, nilai dan bobot penilaian hasil studi tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Standar Rentang Skor, Nilai dan Bobot Penilaian Hasil Studi
No Rentang Skor Nilai Nilai Bobot 1 80 – 100 A 4,00 2 70 – 79 B 3,00 3 60 – 69 C 2,00 4 50 – 59 D 1,00 5 0 – 49 E 0 Sumber : Pedoman Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2007: 54) Akumulasi prestasi hasil studi mahasiswa dari keseluruhan program kurikulum dihitung pada akhir program pendidikan. Standar predikat kelulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Standar Predikat Kelulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
No 1 2 3 4 5
Indeks Prestasi 3,50 – 4,00 3,00 – 3,49 2,50 – 2,99 2,00 – 2,49 0,00 – 1,99
Predikat Kelulusan Cumlaude Amat Baik Baik Cukup Tidak Lulus
Sumber : Pedoman Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2007: 61) \ 3. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2008/2009 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki tiga jenis penyeleksian mahasiswa yaitu Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Prodi Pendidikan Matematika merupakan salah satu Prodi di Jurusan Pendidikan MIPA yang mulai tahun akademik 2008/2009 menerima mahasiswa dari tiga jalur tersebut.
198
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai ketiga jalur penerimaan mahasiswa pada tahun akademik 2008/2009 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, berikut dipaparkan proses penerimaan mahasiswa baru melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. a.
Jalur SNMPTN
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) adalah kegiatan seleksi calon mahasiswa untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di tingkat Nasional dengan pola ujian tulis dan ujian keterampilan khusus bagi Program Studi tertentu. Penyelenggaraan seleksi ini dilaksanakan oleh Panitia SNMPTN dan ditempatkan di kota-kota yang strategis dimana Perguruan Tinggi Negeri berada. Ujian tulis SNMPTN diselenggarakan secara serentak dan terpadu pada jam dan hari yang sama dengan soal yang sama di seluruh PTN di Indonesia, sehingga peserta diharapkan dapat memilih lokasi yang terdekat dengan penyelenggaraan kegiatan seleksi tersebut. Proses pengolahan hasil dilakukan secara terpadu di beberapa wilayah yang ditentukan, dengan demikian program studi pilihan pertama menjadi prioritas penerimaan di PTN yang dipilih, apabila pilihan pertama sudah penuh maka pilihan jath pada pilihan kedua, begitu juga untuk IPC yang dapat mengisi pilihan ketiga. Penerimaan calon mahasiswa melalui seleksi ini terbatas pada daya tampung masing-masing prodi, sehingga apabila daya tampungnya sudah terisi penuh maka calon mahasiswa tidak dapat diterima. Persyaratan untuk mengikuti SNMPTN tahun 2008, yakni: Peserta SNMPTN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) lulusan SMA / MA / SMK / MAK atau yang setara tahun 2006, 2007 dan 2008 dan 2) memiliki kesehatan yang memadai sehingga tidak mengganggu kelancaran proses belajarnya di Perguruan Tinggi. Sebelum diperkenalkan SNMPTN, SNMPTN berasal dari nama SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang sebelumnya juga bernama UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Untuk mengetahui sejarah singkat mengenai sistem penerimaan mahasiswa batu untuk PerguruanTinggi Negeri (PTN) di Indonesia, berikut ini disajikan ringkasan sejarah berdirinya SNMPTN (Dhimasheri, 2008). Tabel 4. Ringkasan Sejarah SNMPTN No
Tahun
1
1976
SKALU (Sekretariat Kerja sama antar Lima Universitas)
1977
SKASU (Sekretariat Kerja sama Antar Sepuluh Universitas). SKASU Dinamai pula sebagai Proyek Perintis 1
2
3
1983
4
1989
5
2001
6
2008
Nama
Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) diadakan secara resmi oleh Depdikbud Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) SNMPTN
Perguruan Tinggi yang dituju Universitas Indonesia Institut Pertanian Bogor Institut Teknologi Bandung Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga. Kelima perguruan tinggi pada SKALU ditambah dengan Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro Universitas Brawijaya Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Universitas Sumatera Utara. Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi Negeri 30 Perguruan Tinggi Negeri 60 Perguruan Tinggi Negeri
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
199
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Pada dasarnya adanya perubahan nama dari sistem penyeleksian mahasiswa baru di PTN tidak mengubah tujuan dari pengadaan penyeleksian mahasiswa baru tersebut. Tujuan diadakannya penyeleksian mahasiswa baru di PTN untuk menyeleksi dan memperoleh calon mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik guna mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Depdiknas, 2011:2) UIN Sunan Gunung Djati Bandung merupakan universitas yang terdaftar dalam data Perguruan Tinggi Negeri pada SNMPTN. Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi anggota SNMPTN terdaftar pada tiga regional yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun pembagian regional dari SNMPTN (UIN, 2008: 62) yaitu: a) b) c)
Regional I adalah PTN yang terletak di Sumatera, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan Barat. Regional II adalah PTN yang terletak di Jawa tengah, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Regional III adalahPTN yang terletak di Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua.
Dari penjelasan di atas, UIN Sunan Gunung Djati Bandung masuk pada regional I dalam panitia lokal bersama Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). b.
Jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA)
Calon mahasiswa yang akan memasuki UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur PPA harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh panitia penyelenggara penerimaan mahasiswa baru. Biasanya mahasiswa yang masuk melalui jalur ini menjadikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai universitas pilihan pertama yang akan dimasuki, karena jalur ini diadakan lebih awal dari jalur-jalur yang lainnya. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Program Reguler Sarjana (S-1) dan Diploma melalui jalur PPA dimaksudkan pada upaya calon penjaringan mahasiswa unggul dari lulusan Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah dan Keagamaan yang diperkirakan akan dapat menyelesaikan pendidikan tinggi dengan hasil yang lebih baik dalam waktu yang ditetapkan. Adapun persyaratan calon mahasiswa yang masuk melalui jalur PPA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) 2) 3)
4) 5)
6) 7)
Siswa kelas 12 MAN,MAS, MAKS, SMAN dan SMAS tahun pelajaran 2007/2008 yang selama sekolah memiliki rata-rata nilai raport minimal 7 (tujuh) setiap semester. Pada semester 1 kelas 12 menduduki peringkat/ranking 1sd.10 di kelasnya. Bagi yang memilih Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Prodi Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, dan Fakultas Sains dan Teknologi Program Studi Teknik Informatika, Pertanaian, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia di utamakan jurusan IPA. Lancar membaca dan menulis Al-Qur‘an dan Hadits Nabi SAW. Mengisi formulir yang di sediakan dengan melampirkan (masing –masing rangkap dua); a. Photo copy kartu UAN ,yang dilegalisir dengan menunjukkan asalnya; b. Photo copy Raport setiap semester yang dilegalisir dengan menunjukkan asalnya; c. Mengisi/menempel pas poto (hitam putih/berwarna) 3x4 pada kolom yang tersedia dalam formulir. Membayar uang pembayaran Rp.150.000,-(seratus lima puluh ribu rupiah). Seluruh persyaratan dimasukkan dalam map.
200
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Adapun pilihan Program Studi/Jurusan sebagai berikut : 1) 2)
c.
Calon peserta diberi kesempatan untuk memilih 2 (dua) pilihan Program studi/Jurusan yang di minatinya. (Pilahan I dan Pilihan II). Khusus Pilihan II dan dialokasikan kepada pemenuhan Formasi Program Studi/jurusan yang belum terpenuhi dari Pilihan I, apabila ranking nya memungkinkan. Jalur Ujian Lokal
Seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur Ujian Lokal diselenggarakan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam upaya penjaringan calon mahasiswa unngul lulusan SMA/MA dan Keagamaan. Mahasiswa-mahasiswa tersebut diperkirakan akan dapat menyelesaikan pendidikan tinggi dengan hasil yang lebih baik dalam waktu yang telah ditetapkan. Selain itu Ujian Lokal dilaksanakan dalam rangka asas pemerataan kesempatan belajar bagi putra-putri Indonesia. Ujian Lokal diperuntukan bagi siswa-siswi lulusan SMA atau sederajatnya dan MA yang tentunya harus memenuhi persyaratan yang berlaku. Banyaknnya lulusan disesuaikan dengan pengajuan yang diajukan oleh fakultas dan jurusan masing-masing. Materi yang diujikan pada jalur ini terdiri dari materi pengetahuan Agama Islam, pengetahuan Bahasa dan Pengetahuan Umum. Soal-soal pada jalur ini dibuat oleh panitia yang terdiri dari dosen-dosen yang ahli dalam bidangnya. Kelulusan peserta ujian Ujian Lokal ini disesuaikan dengan standar yang ditetapkan oleh pihak universitas. 4.
Kurikulum dan Mata Kuliah pada Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Kurikulum UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada umumnya sejak tahun 2006/2007 dan seterusnya diatur sesuai dengan Ketetapan Rektor. (UIN, 2007:19). Ketetapan Rektor yang diberlakukan dalam penetapan kurikulum disesuaikan dengan kompetensi lulusan dengan pencapaian tujuan Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam. Kompetensi tersebut terdiri atas kompetensi dasar, kompetensi utama, kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Adapun penjelasan mengenai empat kompetensi dasar yang mendukung kurikulum perguruan tinggi sebagai berikut : a) b) c) d)
Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa sebagai dasar bagi kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya. Kompetensi Utama adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa setelah menyelesaikan pendidikannya pada suatu program pendidikan tertentu. Kompetensi Pendukung adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa untuk mendukung kompetensi utama dan kompetensi dasar. Kompetensi lainnya adalah kompetemsi yang dianggap perlu dimilikioleh mahasiswa sebagi bekal untuk mengabdi di masyarakat, baik yang terkait langsung maupun tidak.
Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyajikan mata kuliah yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan empat kompetensi yang telah disebutkan. Empat kompetensi mata kuliah tersebut tersaji pada Tabel 5.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
201
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 5. Mata Kuliah Berdasarkan Kompetensi yang Disajikan di Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung
NO.
KODE MATA KULIAH
1
KDU-0001
Al-Qur'an/Ilmu Tafsir
2
2
KDU-0002
Hadits/Ilmu Hadits
2
3
KDU-0003
Ilmu Fiqh
2
4
KDU-0004
Ilmu Tauhid/Aqidah
2
5
KDU-0005
Akhlak/Tasawuf
2
7
KDU-0007
Ilmu Sosial Dasar (ISD)
2
8
KDU-0008
Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan
2
MATA KULIAH
BOBOT SKS
I. KOMPETENSI DASAR
9
KDU-0009
Bahasa Indonesia
2
10
KDU-0010
Bahasa Inggris
3
11
KDU-0011
Bahasa Arab
4
Jumlah
25
II. KOMPETENSI UTAMA 1
KU-40501
Landasan Pendidikan
2
2
KU-40502
Perkembangan Peserta Didik
2
3
KU-40503
Bimbingan Konseling
2
4
KU-40504
Pengembangan Kepribadian Guru
2
5
KU-40505
Pengelolaan Pendidikan
2
6
KU-40506
Kurikulum dan Pembelajaran Matematika
3
7
KU-40507
Belajar dan Pembelajaran Matematika
3
8
KU-40508
Evaluasi Pembelajaran Matematika
3
9
KU-40509
Perencanaan Pembelajaran Matematika
3
10
KU-40510
Media Pembelajaran Matematika
2
11
KU-40511
Micro Teaching
2
12
KU-40512
Program Profesi Lapangan
4
13
KU-40513
Komunikasi dan T.I. Pendidikan
2
14
KU-40514
Statistik Dasar
2
15
KU-40515
Matematika Dasar
2
16
KU-40516
Geometri
3
17
KU-40517
Trigonometri
2
18
KU-40518
Teori Bilangan
2
19
KU-40519
Pembelajaran Matematika MI/SD
3
20
KU-40520
Pembelajaran Matematika MTs/SLTP
3
21
KU-40521
Pembelajaran Matematika MA/SLTA I
3
22
KU-40522
Pembelajaran Matematika MA/SLTA II
3
23
KU-40523
Metode Riset Matematika
3
24
KU-40524
Kalkulus I
3
25
KU-40525
Kalkulus II
3
202
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
26
KU-40526
Kalkulus III
3
27
KU-40527
Aljabar Matriks
2
28
KU-40528
Aljabar Linier
3
29
KU-40529
Geometri Analitik
3
30
KU-40530
Struktur Aljabar I
3
31
KU-40531
Geometri Transformasi
3
32
KU-40532
Statistik Matematika I
3
33
KU-40533
Persamaan Diferensial
3
35
KU-40535
Analisis Real I
3
36
KU-40536
Program Komputer
4
37
KU-40537
Komprehensif
2
38
KU-40538
Skripsi
6
Jumlah
105
III. KOMPETENSI PENUNJANG KP-40539
Analisis Real II*
2
2
KP-40540
Struktur Aljabar II*
2
3
KP-40541
Statistik Matematika II
2
4
KP-40542
Stat Penelitian Pend. Mat.
3
5
KP-40543
KKN
2
6
KP-40544
Praktek Ibadah
0
7
KP-40545
Praktek Tilawah
0
8
KP-40546
Matematika Diskrit *
2
9
KP-40547
Program Linier *
2
10
KP-40548
Filsafat Matematika
2
Jumlah
17
IV. KOMPETENSI LAINNYA 1
KL-40549
Seminar Matematika
3
2
KL-40550
Teknik Penulisan Skripsi
2
3
KL-40551
Sejarah Matematika *
2
4
KL-40552
Metode Analisis Numerik *
2
5
KL-40553
Kewirausahaan *
2
Jumlah
11
Jumlah Total 158 Nb. *) Mata Kuliah Pilihan No. Jenis Kompetensi SKS Prosentasi/% 1 Kompetensi Dasar 25 15,82 2 Kompetensi Utama 105 66,46 3 Kompetensi Pendukung 17 10,76 4 Kompetensi Lainya 11 6,96 ∑ 158 100,00 Sumber: Bagian Administrasi Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung 4 Mei 2011)
Dari Tabel 5 dapat diketahui berbagai mata kuliah yang disajikan pada Prodi Pendidikan Matematika sesuai dengan klasifikasi kompetensinya. Jumlah dari keseluruhan mata kuliah yang disajikan adalah 58 mata kuliah dengan bobot SKS sebanyak 158.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
203
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
5.
Keadaan mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika berasal dari calon mahasiswa yang mengikuti jalur-jalur penyeleksian yang diadakan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pada tahun akademik 2008/2009 Prodi Pendidikan Matematika merupakan salah saru program studi yang mahasiswa didalamnya berasal dari tiga jalur seleksi yaitu Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Mahasiswa yang lulus melalui tiga jalur tersebut, akan menerima pembelajaran berbagai mata kuliah dari dosen. Mata kuliah yang disajikan dan yang diterima oleh mahasiswa tiap semester tergantung pada prosedur yang berlaku atau yang ditetapkan oleh Prodi yang bersangkutan. Pada mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2008 yang menjadi subyek dalam penelitian ini telah melewati perkuliahan selama lima semester. Dalam mengikuti perkuliahan setiap mahasiswa diharuskan mengikuti prosedur perkuliahan yang diberikan oleh dosen dan tentunya berlaku di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata kuliah yang disajikan, tentunya akan diadakan evaluasi baik itu berupa tugas individu, tugas kelompok, UTS dan UAS. Evaluasi tersebut pada akhirnya akan menghasilkan sebuah penilaian terhadap kemampuan mahasiswa yang berupa nilai. Nilai-nilai mata kuliah yang ada akan diakumulasikan menjadi sebuah indeks prestasi yang pada akhirnya diakumulasikan menjadi IPK. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mata kuliah yang disajikan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kompetensi. Adanya klasifikasi tersebut dapat menjadikan bahan acuan untuk melihat keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Keunggulan tersebut berupa nilai yang dapat diakumulasikan berdasarkan kompetensi yang sudah ada. 6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1) 2) 3) 4) 5)
Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah. Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah Terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kausal-komparatif (causal-comparative reasearch). Menurut Suryabrata (2004:84) tujuan dari penelitian kausal komparatif adalah untuk menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada dan mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu. Penelitian ini bersifat ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Menurut Suryabrata (2004:87) dalam penelitian kausal komparatif dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4)
Definisikan masalah Lakukan penelaahan pustaka Rumusan hipotesis-hipotesis Rumuskan asumsi-asumsi yang mendasari hipotesis-hipotesis itu serta prosedur yang akan dikerjakan 204
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
5)
Rancang cara pendekatannya: a. Pilihlah subjek-subjek yang akan digunakan serta sumber-sumber yang relevan b. Pilihlah atau susunlah teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data c. Tentukan kategori-kategori untuk mengklasifikasikan data yang jelas sesuai dengan tujuan studi, dan dapat menunjukan kesamaan atau saling hubungan. a) Validasikan teknik untuk mnegumpulkan data itu, dan interpretasikan hasilnya dalam cara yang jelas dan cermat. b) Kumpulkan dan analisis data c) Susun Laporan
Berdasarkan pada langkah-langkah diatas, maka penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah tersebut. 1.
Populasi , Pengambilan Sampel dan Ukuran Sampel
a.
Populasi
Menurut Asyari (dalam Suryana, 2009:175) populasi adalah keseluruhan obyek penelitian, mungkin berupa manusia, gejala-gejala, benda-benda, pola sikap, tingkah laku dan sebagainya yang menjadi obyek penelitian. Sebagaimana yang telah diuraikan pada batasan masalah bahwa mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2008/2009, hal ini dikarenakan seleksi melalui jalur SNMPTN baru diberlakukan di UIN Sunan Gunung Djati pada tahun akademik 2008/2009. Dengan demikian mahasiswa tersebut menjadi populasi dalam penelitian ini. Berdasarkan data dari bagian akademik Prodi Pendidikan Matematika terdapat 114 orang mahasiswa angkatan 2008/2009 yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal serta berasal dari SMA dan MA. Sebaran datanya tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2008 berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah
No 1 2 3
Jalur Masuk SNMPTN PPA Ujian Lokal Jumlah
Asal sekolah SMA MA 27 3 18 19 36 11 81 33
Jumlah 30 37 47 114
Sumber : Bagian Administrasi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)
Pada Tabel 6, jumlah mahasiswa yang menjadi populasi adalah 114 orang. Jumlah tersebut merupakan populasi yang heterogen, sehingga harus diubah menjadi bagian-bagian populasi yang homogen. Setelah mendapatkan populasi yang homogen, selanjutnya untuk menentukan sampelnya digunakan teknik Propotionates Stratified Random Sampling yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Teknik ini digunakan apabila anggota populasi berkaitan dengan karakteristik. Dalam teknik ini terjadi proses pembentukan sub populasi yang disebut strata. b.
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel dari populasi yang homogen dapat dilakukan dengan cara terlebih dahulu menentukan persentase ketidak-telitian yang akan dipakai. Langkah kerja teknik Stratified Random Sampling adalah sebagai berikut : 1) Tentukan anggota populasi secara keseluruhan (N) 2) Berdasarkan variabel tertentu (kriteria tertentu), populasi dibagi ke dalam strata-strata.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
205
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
3)
4) 5)
Satuan sampling untuk setiap strata didaftar sehingga diperoleh kerangka sampling untuk masing-masing strata (N1, N2, dan seterusnya untuk setiap strata ke i) dimana N = N1 + N2 + ……+ Ni Dari sebuah populasi selanjutnya kita menentukan ukuran sampel keseluruhan yang disebut overall sample size. Ukuran sampel sebesar n selanjutnya dialokasikan ke setiap strata (n 1, n2, dan seterusnya) dimana n = n1 + n2 + …. + ni. Penyebaran ini disebut alokasi sampel yang bisa dilakukan cara alokasi proporsional yaitu ukuran sampel untuk setiap strata sesuai dengan proporsi 𝑛 ukuran strata tersebut terhadap ukuran sampel keseluruhan, misal : 𝑛1 = 𝑋 𝑁1 , 𝑛2 =
c.
𝑛 𝑁
𝑁
𝑋 𝑁2 , ………….. dan seterusnya.
Ukuran Sampel
Dalam menentukan ukuran sampel ada 4 faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu : a) Derajat keseragaman (degree of homogeneity) dari populasi. b) Presesi (ketelitian) yang dikehendaki oleh peneliti, makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar sampel yang diambil. c) Rencana analisis. d) Tenaga, biaya dan waktu. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini penentuan sampel menggunakan teknik Stratified Random Sampling, berikut perhitungannya a) Menentukan anggota populasi secara keseluruhan (N) : N = 114 b) Populasi dibagi kedalam strata-strata, seperti yang terlihat pada Tabel 6, yaitu Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA (N1) = 27, Jalur SNMPTN yang berasal dari MA (N2) = 3, Jalur PPA yang berasal dari SMA (N3) = 18, Jalur PPA yang berasal dari MA (N4) = 19, Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA (N5) = 36, dan Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA (N6) = 11. c) Agar sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat mewakili populasi maka jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut :
n= 1 n N e
: : : :
N 1 + Ne2
konstanta ukuran sampel ukuran populasi persentase kelonggaran ketidak-telitian (presesi) karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir
Dalam penelitian ini diketahui N = 114 ,tingkat kelonggaran ketidak-telitian ditetapkan sebesar 5%. Dengan menggunakan rumus diatas, untuk menentukan sampel dari populasi awal yang masih heterogen didapat: N 1 + N(e)2 N = 114, ; e = 5% = 0,05 n =
n
114
1 114 0,05
2
88,71 89
Jadi jumlah minimal sampel yang diambil oleh peneliti adalah sebesar 89 Ukuran sampel sebesar n selanjutnya dialokasikan kesetiap strata yaitu mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA, Jalur SNMPTN yang berasal dari MA, Jalur PPA yang berasal dari SMA, 206
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Jalur PPA yang berasal dari MA, Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA. Selanjutnya dihitung secara proportional dengan menggunakan rumus :
𝑛 𝑛1 = 𝑥 𝑁1 𝑁: Keterangan n1 = banyaknya sampel n = banyaknya populasi N = banyaknya seluruh populasi N1 = banyaknya sampel penelitian Berikut perhitungan untuk mendapatkan sampel dari tiap-tiap Jalur masuk dan asal sekolah : a. Mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA sebanyak 27 orang, pengambilan sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑛 𝑛1 = 𝑥 𝑁1 𝑁 n1 = banyaknya sampel Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA n = banyaknya populasi Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA N = banyaknya seluruh populasi N1 = banyaknya sampel penelitian Berdasarkan data sebelumnya telah didapat : n = 27 ; N = 114 dan N1 = 89 Sehingga diperoleh : 27 × 89 = 21,07 ≈ 21 114
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA (n1) adalah 21 orang
b.
Mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari MA sebanyak 3 orang, jumlah mahasiswa tersebut akan dijadikan sampel semuanya ( n2 = 3 orang)
c.
Mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA sebanyak 18 orang, pengambilan sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑛 𝑛3 = 𝑥 𝑁1 𝑁 n3 = banyaknya sampel Jalur PPA yang berasal dari SMA n = banyaknya populasi Jalur PPA yang berasal dari SMA N = banyaknya seluruh populasi N1 = banyaknya sampel penelitian Berdasarkan data sebelumnya telah didapat : n = 18 ; N = 114 dan N1 = 89 Sehingga diperoleh : 18 × 89 = 14,05 ≈ 14 114
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA (n3) adalah 14 orang
d.
Mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari MA sebanyak 19 orang, pengambilan sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑛 𝑛4 = 𝑥 𝑁1 𝑁 n 4 = banyaknya sampel Jalur PPA yang berasal dari MA n = banyaknya populasi Jalur PPA yang berasal dari MA N = banyaknya seluruh populasi N1 = banyaknya sampel penelitian Berdasarkan data sebelumnya telah didapat : Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
207
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
n = 19 ; N = 114 dan N1 = 89 Sehingga diperoleh : 19 × 89 = 14,83 ≈ 15 114 Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari MA (n4) adalah 15 orang
e.
Mahasiswa Jalur Ujian Lokal dan berasal dari SMA sebanyak 36 orang, pengambilan sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑛5 =
𝑛 𝑥 𝑁1 𝑁
n5 = banyaknya sampel Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA n = banyaknya populasi Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA N = banyaknya seluruh populasi N1 = banyaknya sampel penelitian Berdasarkan data sebelumnya telah didapat : n = 36 ; N = 114 dan N1 = 89 Sehingga diperoleh : 36 × 89 = 28,1 ≈ 28 114 Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA (n5) adalah 28 orang
f.
Mahasiswa Jalur Ujian Lokal dan berasal dari MA sebanyak 11 orang, pengambilan sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut : 𝑛 𝑛6 = 𝑥 𝑁1 𝑁 n6 = banyaknya sampel Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA n = banyaknya populasi Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA N = banyaknya seluruh populasi N1 = banyaknya sampel penelitian Berdasarkan data sebelumnya telah didapat : n = 11 ; N = 114 dan N1 = 89 Sehingga diperoleh : 11 × 89 = 8,58 ≈ 9 114
Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA (n6) adalah 9 orang
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka didapatkan proporsi sampel (proportional sampling) untuk masing-masing jalur masuk dan asal sekolah seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Proporsi Sampel Mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah
Asal sekolah SMA MA 1 SNMPTN 21 3 2 PPA 14 15 3 Ujian Lokal 28 9 Jumlah 63 27 Sumber : Data Sekunder diolah 2011 No
Jalur Masuk
Jumlah 24 29 37 90
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara 2.
Wawancara atau yang lebih sering dikenal dengan interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 2002:132). Pada
208
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
penelitian ini digunakan wawancara bebas terpimpin. Menurut Arikunto (2002:132), wawancara bebas terpimpin adalah wawancara kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Wawancara bebas terimpin dilakukan dengan alasan agar wawancara dapat bersifat santai, namun terarah sesuai dengan garis pertanyaan yang dipersiapkan. Pelaksanaan wawancara dilakukan oleh penulis kepada Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang seleksi penerimaan mahasiswa baru yang melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal dan yang berasal dari berbagai asal sekolah pada tahun akademik 2008/2009. b.
Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subyek penelitian namun melalui dokumen (Suryana, 2009:213). Dalam hal ini penulis mendapatkan dokumentasi data mahasiswa yang masuk Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal pada tahun akademik 2008/2009. Data tersebut penulis dapatkan saat melakukan survey ke bagian akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tanggal 16 Desember 2010. Instrumen dokumentasi akan dijadikan sebagai alat bantu untuk menjawab rumusan masalah yaitu pengumpulan data IPK mahasiswa semester I sampai V dan data asal sekolah yang diperoleh dari bagian nilai Prodi Pendidikan Matematika serta dari data mahasiswa yang terdapat di bagian akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 3.
Analisis Data
Data IPK dan asal sekolah mahasiswa yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan statistika untuk membuktikan apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan SPSS yaitu ANOVA (Analisys Of Variances) dua jalur 2 x 3 faktorial, yaitu 2 kategori asal sekolah (SMA dan MA) dan 3 kategori jalur masuk UIN Bandung (Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal). Analisis ini merupakan analisis yang digunakan untuk menganalisis perbedaan tiga variabel atau lebih. Untuk memudahkan maka data berupa IPK mahasiswa dikelompokkan berdasarkan jalur masuk dan asal sekolah. Pengelompokkan tersebut tersaji pada Tabel 8.
Asal Sekolah SMA MA Total
Tabel 8. Pengelompokkan Data IPK Mahasiswa Berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah IPK Mahasiswa Jalur Masuk Jalur SNMPTN Jalur PPA Jalur Ujian Lokal IPK – SNMPTN -SMA IPK – PPA - SMA IPK- Ujian Lokal - SMA IPK – SNMPTN -MA IPK – PPA - MA IPK- Ujian Lokal - MA IPK – SNMPTN IPK – PPA IPK- Ujian Lokal
Keterangan : 1) IPK – SNMPTN : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN 2) IPK – PPA : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA 3) IPK – Ujian Lokal : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur Ujian Lokal Dalam penelitian ini ada dua macam tahapan pengolahan data untuk suatu masalah, yaitu : pertama, menguji semua persyaratan statistik yang diperlukan sebagai dasar dalam rangka pengujian hipotesis. Persyaratan statistik yang diuji terlebih dahulu adalah uji normalitas sebaran data subjek sampel, baik untuk bagian-bagiannya maupun untuk gabungannya. Setelah itu dilanjutkan dengan pengujian homogenitas varians antara kelompok sesuai permasalahannya. Kedua, menentukan statistik tertentu sesuai permasalahannya, dalam rangka pengujian hipotesis. Pada langkah ini digunakan ANOVA satu dan dua jalur. Keterkaitan antara permasalahan, hipotesis, kelompok data yang diolah, dan jenis uji statistik yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
209
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 9. Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, Kelompok Data, dan Jenis Uji Statistik yang digunakan dalam Analisis Data Hipotesis Jenis Uji Permasalahan Kelompok Data Penelitian Statistik Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal
1 (a) 2 (a) 3 (a) 4 (a)
IPK-SNMPTN IPK-PPA IPK-Ujian Lokal
ANOVA satu jalur
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari kategori asal sekolah
1 (b) 2 (b) 3 (b) 4 (b)
IPK-SNMPTN-SMA IPK-SNMPTN-MA IPK-PPA-SMA IPK-PPA-MA IPK-Ujian Lokal –SMA IPK-Ujian Lokal -MA
ANOVA dua jalur
Keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa
5
ANOVA dua jalur
Skema Penelitian Alur penelitian yang akan penulis lakukan dapat digambarkan dalam sebuah skema yang ada pada Gambar 2. 4.
Siswa Lulusan SMA
Siswa Lulusan MA
Calon Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung Seleksi Mahasiswa Baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang akan masuk berbagai jurusan atau program studi termasuk Program Studi Pendidikan Matematika SNMPTN
PPA
Ujian Lokal
Mahasiswa yang lolos seleksi dan masuk Prodi Pendidikan Matematika Mengikuti perkuliahan selama lima semester Mendapatkan nilai tiap mata kuliah yang disajikan selama lima semester Akumulasi nilai selama lima semester (IPK Semester I sampai V) Pengolahan data IPK Hasil pengolahan data Temuan Kesimpulan Penelitian
210
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
D.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Hasil Penelitian
a.
IPK Mahasiswa Angkatan 2008 pada Semester I sampai Semester V
IPK yang diklasifikasikan merupakan akumulasi dari 39 mata kuliah yang terdiri dari 12 mata kuliah kompetensi dasar, 22 mata kuliah kompetensi utama dan 5 kompetensi pendukung. Ke-39 mata kuliah tersebut yaitu Ulumulqur‘an (UQ), Bahasa Inggris (BING), Bahasa Arab (BA1/BA2), Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), Bahasa Indonesia (BI), Ulumulhadis (UH), Ilmu Sosial Dasar (ISD), Filsafat Matematika (FilM), Ilmu Ahlak (IA), Sejarah Peradaban Islam (SPI), yaitu Landasan Pendidikan (LP), Perkembangan Peserta Didik (PPD), Matematika Dasar (MD), Trigonometri (TRI), Kapita Selekta MI, MTs, MA (KSEL), Aljabar Matrik (AM), Perkembangan Kepribadian Guru (PKG), Statistika dasar (SD), Kalkulus (KL 1/2/3), Aljabar Linier (AL), Evaluasi (Eva), Bimbingan Konseling (BK), Belajar dan Pembelajaran Matematika (BPM), Perencanaan Pembelajaran Matematika (PPM), Struktur Aljabar I (SAI), Analisis Vektor (AV), Pengelolaan Pendidikan (PP), Program Linear (PL), Statistika Penelitian (SPP), Program Komputer (PK), Struktur Aljabar 2 (SA2), Matematika Diskrit (MD). Berikut ini data rata-rata IPK Mahasiswa berdasarkan Jalur masuk dan asal sekolah. Berikut statistik deskriptif tentang IPK mahasiswa. Tabel 10. Statistik Deskriptif Rata-rata IPK mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah Dan Jalur Masuk Jalur masuk Jalur SNMPTN
Jalur PPA
Jalur Ujian Lokal
Total
Asal sekolah
Rata-rata
SMA MA Total SMA MA Total SMA MA Total SMA MA Total
3,2881 3,0200 3,2546 2,9432 2,7080 2,7486 2,7921 2,7600 2,8838 3,0287 2,7600 2,9391
Standar Deviasi (SD) 0,25294 0,73899 0,33365 0,49968 0,53061 0,50846 0,38571 0,45873 0,41357 0,42136 0,51166 0,46821
N 21 3 24 14 15 29 25 12 37 60 30 90
Berdasarkan Tabel 10 rata-rata IPK mahasiswa yang melalui ketiga jalur masuk dan berasal dari SMA maupun SMA memiliki rata-rata IPK yang apabila dikonversikan dalam bentuk nilai yaitu bernilai baik. Sedangkan rata-rata IPK yang melalui jalur SNMPTN dan berasal dari SMA maupun MA memiliki rata-rata IPK yang apabila dikonversikan dalam bentuk nilai yaitu bernilai amat baik. Selanjutnya berikut ini data tentang IPK mahasiswa berdasarkan jalur masuk. Tabel 11. Statistik Deskriptif IPK mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk Jalur masuk
IPK terbesar
IPK terkecil
Rata-rata
SD
SNMPTN PPA Ujian Lokal
3,67 3,42 3,44
2,18 1,34 1,74
3,2546 2,7486 2,8838
0,33365 0,50846 0,41357
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
211
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Histogram dari statistika deskriptif berdasarkan data IPK yang diklasifikasikan berdasarkan jalur masuk diperlihatkan pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.
Gambar 3. Histogram IPK mahasiswa Jalur SNMPTN
Berdasarkan Gambar 3. pada mahasiswa jalur SNMPTN terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara rentang 2,10-2,39, 4 orang pada rentang 2,70-2,99, 5 orang pada rentang 3,00-3,29, 13 orang pada rentang 3,30-3,59, 1 orang oada rentang 3,60-3,89.
Gambar 4. Histogram IPK mahasiswa Jalur PPA
Berdasarkana Gambar 4. pada mahasiswa jalur PPA terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara rentang 1,00-1,49, 1 orang pada rentang 1,50-1,99, 5 orang pada rentang 2,00-2,99, 12 orang pada rentang 2,50-2,99, 9 orang oada rentang 3,00-3,49 dan 1 orang pada rentang 3,50-3,99 .
Gambar 5. Histogram IPK mahasiswa Jalur Ujian Lokal
Berdasarkan Gambar 5 pada mahasiswa jalur Ujian Lokal terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara rentang 1,50-1,79, 2 orang pada rentang 2,10-2,39, 9 orang pada rentang 2,40-2,69, 9 orang pada rentang 2,70-2,99, 10 orang oada rentang 3,00-3,29 dan 6 orang pada rentang 3,30-3,59. Selanjutnya data tentang IPK mahasiswa berdasarkan asal sekolah diperlihatkan pada Tabel 8.
212
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 8. Statistik Deskripsi IPK mahasiswa berdasarkan Asal Sekolah Asal Sekolah
IPK terbesar
IPK terkecil
Rata-rata
SD
SMA MA
3,67 3,57
1,67 1,34
3,0287 2,7600
0,42136 0,51166
Histogram dari statistika deskriptif data IPK mahasiswa yang diklasifikasikan menurut asal sekolah akan diperlihatkan pada Gambar 6 dan Gambar 7
Gambar 6. Histogram IPK mahasiswa yang berasal dari SMA
Berdasarkan Gambar 6. Pada mahasiswa yang berasal dari SMA terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara rentang 1,60-1,89, 1 orang pada rentang 1,90-2,19, 6 orang pada rentang 2,20-2,49, 11 orang pada rentang 2,50-2,79, 15 orang pada rentang 2,80-3,09, 14 orang pada rentang 3,10-3,39, dan 15 orang pada rentang 3,40-3,69.
Gambar 7. Histogram IPK mahasiswa yang Berasal dari MA
Berdasarkan Gambar 7. Pada mahasiswa yang berasal dari MA terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara rentang 1,00-1,49, 1 orang pada rentang 1,50-1,99, 5 orang pada rentang 2,00-2,99, 9 orang pada rentang 2,50-2,99, 10 orang oada rentang 3,00-3,49 dan 1 orang pada rentang 3,50-3,99. b.
Perbedaan IPK Mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk
Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan rerata IPK mahasiswa berdasarkan ketiga jalur masuk digunakan uji ANOVA satu jalur terlebih dahulu harus ditentukan hipotesis. Adapun hipotesis dalam hal ini adalah sebagai berikut: Ho: Tidak terdapat perbedaan IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal. Ha: Terdapat perbedaan IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal. Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu: - Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:69) Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
213
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 12. Uji ANOVA satu Jalur
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3.534 15.957 19.511
df 2 87 89
Mean Square 1.767 .183
F
Sig.
9,689
.000
Pada Tabel 12, terlihat bahwa F hitung untuk jalur masuk yaitu 9,689 dengan probabilitas 0,000. Karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak atau terdapat perbedaan IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal. Selanjutnya untuk melihat mana saja kelompok pembelajaran yang berbeda dan mana saja yang tidak berbeda ? Masalah ini akan dibahas pada analisis Scheffe dalam Post Hoc test yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 13. Tabel Post Hoc Test Multiple Comparisons Dependent Variable:IPK (I) Jalur masuk
(J) Jalur masuk
Mean Difference (I-J)
PPA .5060* Ujian Lokal .3708* PPA SNMPTN -.5060* Scheffe Ujian Lokal -.1352 Ujian Lokal SNMPTN -.3708* PPA .1352 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. SNMPTN
Std. Error
Sig.
.11833 .11238 .11833 .10635 .11238 .10635
.000 .006 .000 .449 .006 .449
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound .2111 .8008 .0907 .6509 -.8008 -.2111 -.4002 .1299 -.6509 -.0907 -.1299 .4002
Berdasarkan table Post Hoc Test untuk melihat ada tidaknya perbedaan dapat dilihat dari ada atau tidaknya tanda * di ujung bilangan pada kolom mean difference (perbedaan tara-rata). Dalam Post Hoc Test tahap ini akan diuji signifikansi perbedaan rata-rata IPK mahasiswa berdasarkan jalur masuk. 1)
Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA
Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh 0,5060 dan pada kolom 95% confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara 0,2111 sampai 0,8008 Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang nasuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA. Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA. Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu: Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:71)
Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabolitasnya adalah 0.000 < 0,05 maka Ho ditolak atau terdapat perbedaan rata-rata IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA. Perbedaan tersebut sangat signifikan karena pada perbedaan rerata terdapat tanda *. Perbedaan rata-rata IPK mahasiswa jalur SNMPTN lebih besar dari jalur PPA. Dengan demikian IPK mahasiswa jalur SNMPTN lebih unggul daripada mahasiswa jalur PPA. 214
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2)
Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui jalur SNMPTN dan jalur Ujian Lokal
Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh 0,3708 dan pada kolom 95% confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara 0,0907sampai 0,6509. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang nasuk melalui jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu: - Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:72)
Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabolitasnya adalah 0.006 < 0,05 maka Ho ditolak atau terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal. Perbedaan tersebut sangat signifikan karena pada perbedaan rerata terdapat tanda *. Perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari jalur SNMPTN lebih besar dari jalur Ujian Lokal. Dengan demikian IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih unggul daripada mahasiswa Jalur Ujian Lokal. 3)
Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.
Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh - 0,1352 dan pada kolom 95% confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara -0,4002 sampai 0,1299. Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang masuk melalui jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu: - Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:71)
Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabilitasnya adalah 0,449 0,05 maka Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. c.
Perbedaan IPK Mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk dan asal sekolah serta interaksinya.
Selanjutnya akan dilakukan analisis dengan menggunakan Uji ANOVA dua jalur yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada interaksi (hubungan) yang signifikan antara dua faktor, yang dalam kasus ini akan diuji apakah ada interaksi antara Jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK Mahasiswa . Hipotesis dalam kasus ini sebagai berikut: Ho: Tidak terdapat interaksi antara Jalur masuk UIN Bandung dengan asal sekolah terhadap IPK Mahasiswa. Ha: Terdapat interaksi interaksi antara Jalur masuk UIN Bandung dengan asal sekolah terhadap IPK Mahasiswa.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
215
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu: - Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima. - Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:69) Tabel 14. Uji ANOVA Interaksi Dua Jalur Dependent Variable : IPK Source Jalur masuk * Asal sekolah
Type III Sum of Squares .076
df 2
Mean Square .038
F
Sig.
.208
.813
Pada Tabel 14 terlihat bahwa nilai F hitung untuk interaksi jalur masuk dan asal sekolah (Jalur masuk * asal sekolah) adalah 0,208 dengan probabilitas 0,813. Karena probabilitas > 0,05 maka Ho diterima atau tidak terdapat interaksi antara Jalur masuk dengan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Interaksi antara Jalur masuk dan asal sekolah tersaji pada Gambar 8
Gambar 8. Interaksi IPK mahasiswa berdasarkan Jalur masuk dan asal sekolah
Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Berikut ini uraian tentang grafik interaksi tersebut : a) Mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur SNMPTN (garis putus-putus paling atas), IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur PPA (garis putus-putus yang tengah ) dan Jalur Ujian Lokal (garis paling bawah) b) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal. c) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal. d) Terlihat perbedaan yang sangat tipis antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA. Selanjutnya semua hipotesis yang telah diuji dirangkum dalam Tabel 15
216
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 15. Rangkuman Pengujian Hipotesis pada Taraf Signifikansi 5% Permasalahan
Hipotesis Penelitian
Jenis Uji Statistik
Pengujian Ho
Hasil Uji
Perbedaan IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal
1(a)
ANOVA satu jalur
Ho ditolak
Berbeda signifikan
Perbedaan IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal sekolah
1(b)
ANOVA dua jalur
Ho ditolak
Berbeda signifikan
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA
2(a)
Scheffe
Ho ditolak
Berbeda signifikan
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA berdasarkan asal sekolah
2 (b)
ANOVA dua jalur
Ho ditolak
Berbeda signifikan
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal
3(a)
Scheffe
Ho ditolak
Berbeda signifikan
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal sekolah
3 (b)
ANOVA dua jalur
Ho ditolak
Berbeda signifikan
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal
4(a)
Scheffe
Ho diterima
Tidak berbeda signifikan
Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal sekolah
4 (b)
ANOVA dua jalur
Ho ditolak
Berbeda signifikan
5
ANOVA dua jalur
Ho ditolak
Tidak terdapat interaksi
Keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa
2.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian perbedaan rata-rata IPK terjadi berdasarkan asal sekolah yang menempatkan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA lebih unggul dari mahasiswa yang berasal dari MA. Hal ini terjadi karena karakteristik mata pelajaran di SMA yang berbeda dengan mata pelajaran di MA. Walaupun untuk mata pelajaran umum di MA kurikulumnya sama dengan SMA. Di MA masih ada tambahan pelajaran Agama sedangkan di SMA cukup satu jenis pelajaran agama yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Sehingga jumlah mata pelajaran di MA lebih banyak dibandingkan dengan di SMA. Mata kuliah kematematikaan yang diberikan di Prodi Pendidikan Matematika merupakan pengembangan mata pelajaran matematika yang ada di tingkat menengah atas. Sehingga apabila kualitas penguasaan materi seorang siswa pada pelajaran matematika di tingkat menengah atas kurang baik maka akan berpengaruh pada penguasaan materi siswa tersebut apabila menjadi mahasiswa perkuliahan di Perguruan Tinggi. Sementara itu berdasarkan data empiris kualitas SMA pada umumnya lebih baik daripada MA dari segi sarana, proses pembelajaran dan latar belakang siswa yang masuk ke MA. Berdasarkan data pada pembahasan sebelumnya IPK mahasiswa semester I sampai V pada mahasiswa Jalur SNMPTN didapat rata-ratanya 3,25 (amat baik), Jalur PPA dengan rata-rata 2,75 dan Jalur Ujian Lokal dengan rata-rata 2,86. Jalur SNMPTN merupakan jalur yang memiliki ratarata IPK paling unggul dan berpredikat amat baik. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
217
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur SNMPTN adalah mahasiswa yang berprestasi dan berpotensi di bidang pendidikan matematika sehingga mereka bisa lolos dalam SNMPTN. Berdasarkan data didapat pula bahwa mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN dan berasal dari SMA, nilai mata kuliah yang termasuk kelompok kompetensi utama (lihat Tabel 5) pada umumnya baik. Selain itu, kompetisi melalui jalur ini sangat ketat dan berskala nasional, SNMPTN memang sarat dengan persaingan. Tingginya persaingan, membuat calon mahasiswa harus pintar-pintar menetapkan strategi, baik pemilihan jurusan maupun dalam pengerjaan soal. Persaingan untuk mendapatkan kursi melalui Jalur SNMPTN dari tahu ke tahu tahun semakin ketat. Tes tertulis pada SNMPTN tidak sama dengan ujian nasional maupun dengan ujian-ujian lainnya. Jika menjawab soal benar memiliki bobot nilai 4, kalau kosong nilai 0. Sedangkan jika salah, nilai akan dikurangi 1. Dengan demikian calon mahasiswa harus berhati-hati, tidak bisa asal jawab. karena kalau salah berimbas pada nilai. Tingkat kesulitan pada soal SNMPTN lebih tinggi dibandingkan ujian nasional. Terlebih, variasi soal yang diberikan, membuat calon mahasiswa harus lebih cermat atau teliti. Soal-soal dalam SNMPTN adalah soal-soal yang dibuat oleh para ahli yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Sehingga mereka yang lolos Jalur SNMPTN adalah calon mahasiswa yang unggul. Pada urutan kedua jalur masuk Ujian Lokal merupakan jalur yang memiliki rata-rata IPK dengan predikat baik. Hal ini mmengindikasikan bahwa kebanyakan mahasiswa yang masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung adalah mahasiswa yang berprestasi dan berpotensi dibidang pendidikan matematika sehingga mereka bisa lolos pada jalur Ujian Lokal. Soal-soal dalam jalur Ujian Lokal adalah soal-soal yang dibuat oleh para ahli dicivitas akademika UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Hanya saja dalam soal-soal pada jalur Ujian Lokal tidak di klasifikasikan sesuai dengan jurusan yang diambil oleh mahasiswa melainkan disamaratakan, sehingga fakta dilapangan banyak calon mahasiswa yang mengeluhkan penyamarataan soal-soal Ujian Lokal tersebut. Pada urutan ketiga jalur masuk PPA merupakan jalur yang memiliki rata-rata IPK dengan predikat baik. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur PPA adalah mahasiswa yang berprestasi sehingga mereka bisa lolos pada jalur PPA. Sebagaimana persyaratan mengikuti jalur ini. Mahasiswa yang masuk melalui jalur ini adalah mahasiswa yang memiliki prestasi sepuluh besar disekolahnya. Namun karena setiap sekolah memiliki kualitas yang berbeda baik itu dalam segi akademik maupun sarana yang ada, sehingga meskipun mahasiswa bersangkutan memiliki prestasi sepuluh besar dari asal sekolahnya tapi belum tentu akan memiliki prestasi yang sama di bangku perkuliahan. Hal tersebut bergantung pada usaha yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut dalam mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi yang dimiliki. Berdasarkan analisis didapat bahwa tidak terdapatnya keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Hal ini mengindikasikan bahwa jalur masuk dan asal sekolah tidak berpengaruh terhadap IPK mahasiswa. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan akademik mahasiswa diantaranya motivasi, minat, kerja keras , lingkunga keluarga dan lingkungan kampus. E. Simpulan dan Saran 1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penelitian ini disimpulkan sebagai berikut 1. IPK mahasiswa berdasarkan Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari a. Keseluruhan : 1) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. 218
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN dengan Jalur PPA. (i) IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur PPA. (ii) Bila ditinjau dari rata-rata IPK, didapat rata-rata IPK mahasiswa Jalur SNMPTN adalah 3,2546 sedangkan rata-rata IPK mahasiswa Jalur PPA adalah 2,7486. 3) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN dengan Jalur Ujian Lokal. (i) IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur Ujian Lokal. (ii) Bila ditinjau dari rata-rata IPK, didapat rata-rata IPK mahasiswa Jalur SNMPTN adalah 3,2546 sedangkan rata-rata IPK mahasiswa Jalur PPA adalah 2,8838 4) Tidak terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur PPA dengan Jalur Ujian Lokal. b. Asal sekolah : 1) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal sekolah. 2) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA dan MA. (i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA. (ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN adalah 3,2881 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA adalah 2,9432 (iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA. (iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA adalah 2,7080 (v) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. (vi) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal masing-masing adalah 2,9432 dan 2,7921 3) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan MA. (i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal. (ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN adalah 3,2881 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah 2,7921 (iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal. (iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal adalah 2,7600 4) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan MA. (i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal. (ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA adalah 2,9432 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah 2,7921. (iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
219
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA adalah 2,7080 dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah 2,7600 (v) Perbedaan yang sangat tipis terlihat antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA. 5) Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa jalur masuk dan asal sekolah tidak memberikan pengaruh terhadap IPK mahasiswa. Banyak faktor yang mempengaruhi IPK mahasiswa diantara minat, motivasi, usaha dan lingkungan kampus serta lingkungan keluarga. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan poembahasan, maka dikemukakan saran sebagai berikut : 1. Bagi pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung seskiranya dapat terus meningkatkan kualitas baik itu dalam segi penyeleksian calon mahasiswa yang berasal dari berbagai asal sekolah dan jalur masuk. Terutama dalam pembuatan soal pada Ujian Lokal , diharapkan dapat disesuaikan dengan Jurusan ataupun Program Studi yang dituju oleh calon mahasiswa. 2. Bagi pihak Prodi Pendidikan Matematika sekiranya dapat merekomendasikan kepada pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk memperbanyak mahasiswa yang berasal dari SMA dan mahasiswa yang melalui jalur SNMPTN. Daftar Pustaka
Arikunto Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Rhineka Cipta ________________. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rhineka Cipta. Depdiknas. 2011. Buku Panduan Peserta SNMPTN 2011. http://snmptn.ac.id. Akses tanggal 20 April 2011(11:15 AM) Dimasheri. 2008. SNMPTN Dulu dan Kini. http://neutronik.wordpress.com. Akses tanggal 20 April 2011(11:45 AM) Kariadinata Rahayu. 2010. Modul Praktikum Mengolah Data Statistik Inferensial dengan SPSS 17. Bandung: Tidak dipublikasikan. Nurgana Endi. 1985. Statistika untuk Penelitian. Bandung:Permadi. Setiawan Beni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional.Yogyakarta: Ar-Aruz Media Group. Sudarman Paryati. 2004. Belajar Efektif di Perguruan Tinggi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Sudjana Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung: Remaja Rosda Karya Sudjana. 2006. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suryabrata Sumadi. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suryana Yaya dan Tedi Priyatna. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Azkia Pustaka Utama. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2008. Buku Panduan Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun akademik 2008/2009. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2008. Petunjuk Penerimaan Calon Mahasiswa Melalui Penelusuran Potensi Akademik. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2007. Buku Panduan Akademik Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun akademik 2007/2008. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2007. Kurikulum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati bandung. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung. UNSRI. 2008. Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2008. http://snmptn2008UNSRI.wordpress.com. Akses tanggal 20 April 2011(10:06 AM) 220
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL CORE Oleh: Ellisia Kumalasari Jurusan Pendidikan Matematika, MIPA STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan pembelajaran model CORE dan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pembelajaran konvensional. Subyek populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP dengan kriteria sekolah peringkat: baik, sedang, dan rendah. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran matematika dengan model CORE dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Selain itu, faktor peringkat sekolah tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis tersebut. Pembelajaran dengan model CORE dapat menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan di Sekolah Menengah Pertama mana saja tidak tergantung tingkat peringkat sekolah. Kata kunci : CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending), Pemecahan Masalah Matematis. A.
Pendahuluan
Pada era sekarang ini, pendidikan nasional sedang mengalami perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu faktor utama yang mendorong perubahan tersebut adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan untuk memproses informasi sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat bersaing dalam menghadapi tantangan global. Berbicara mengenai pendidikan, tidak lengkap bila tidak melibatkan matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah dan memiliki peran besar dalam dunia pendidikan. Keberadaan matematika menjadi posisi sentral karena dua alasan, yaitu (1) Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sejak tahun 1940 menegaskan bahwa kita hidup di peradaban sains dan (2) Perangkat keilmuan yang mendukung peradaban sains dan teknologi seperti fisika, kimia, keteknikan, sains manajemen, ilmu ekonomi, sains biologi dan medis, serta sains behavorial, yang kesemuanya memerlukan matematika untuk pemahaman dan pengembangan lebih lanjut (Wahyudin, 2008). Senada dengan yang disampaikan di atas, Santosa (Hudojo, 2001) menyatakan bahwa salah satu aspek pendorong negara-negara maju dapat berkembang hingga sekarang, ternyata 60% - 80% karena menggantungkan pada matematika. Begitupun bagi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang sudah seharusnya turut serta melibatkan matematika dalam dunia pendidikan. Dalam proses belajar-mengajar, matematika merupakan suatu arena bagi siswa-siswa untuk menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh kepercayaan bahwa untuk menghasilkan suatu penyelesaian yang benar bukan hanya dari perkataan gurunya, tetapi karena logika berpikir dari siswa tersebut dan proses memecahkan masalah yang dilaluinya. Menurut Sumarmo (1994) kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu hasil belajar yang akan di capai dalam pengajaran matematika di tingkat sekolah manapun. Siswa yang dapat memecahkan masalah adalah siswa yang memiliki kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda sehingga siswa tersebut dapat memecahkan masalah secara kreatif agar dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan siswa yang lain. Ironisnya kemampuan pemecahan masalah siswa bahkan mahasiswa masih kurang. Hasil studi internasional dalam bidang matematika dan IPA (TIMSS) untuk kelas dua SLTP, menunjukkan bukti bahwa soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia yang mengikuti studi Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
221
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
itu, prestasi Indonesia di bawah rata-rata (Gulo, 2009). Selain itu Hendrayana (2008) menyatakan bahwa hasil nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa SMP kurang dari 50% dari skor maksimal. Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, hal utama yang menjadi perhatian saat ini adalah meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya pemecahan masalah matematis siswa. Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran model CORE. Seperti yang diungkap Calfee, et al (2004) bahwa yang dimaksud pembelajaran model CORE adalah model pembelajaran yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan (connecting) dan mengorganisasikan (organizing) pengetahuan baru dengan pengetahuan lama kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari (reflecting) serta diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar mengajar berlangsung (extending). CORE diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. B.
Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional? 2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional jika dilihat dari peringkat sekolah? C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa mendapat pembelajaran konvensional. 2. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa mendapat pembelajaran konvensional jika dilihat dari peringkat sekolah? D.
yang yang yang yang
Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian dan diperoleh hasil yang baik, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat pada pihak terkait, antara lain: 1. Bagi peneliti: Penelitian ini dapat menjawab keingintahuan serta memberikan informasi mengenai peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa melalui pembelajaran model CORE. 2. Bagi sekolah: Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan atau menerapkan pembelajaran melalui model CORE di kelas-kelas lain, serta menjadi pertimbangan bagi pihak sekolah untuk melengkapi fasilitas yang sudah ada agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik. 3. Bagi guru: Jika pembelajaran model CORE ini berhasil maka model ini dapat menjadi alternatif untuk pembelajaran matematika lainnya guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 4. Bagi siswa: Melalui pembelajaran model CORE, siswa dapat lebih berpikir kritis dalam memecahkan masalah, melatih siswa belajar dalam kelompok, menumbuhkan minat siswa terhadap matematika. 5. Bagi praktisi pendidikan: Mengenalkan model pembelajaran yang dapat dijadikan rujukan untuk penelitian selanjutnya. 222
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
E.
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Pembelajaran Model CORE
1.
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Suatu keadaan dapat dikatakan masalah jika seseorang menyadari bahwa keadaan tersebut memerlukan tindakan dan orang tersebut tidak dapat menemukan pemecahannya saat itu juga. Gaugh (Fatah, 2008) mendefinisikan masalah sebagai suatu tugas yang apabila kita membacanya, melihatnya atau mendengarnya pada waktu tertentu, dan kita tidak mampu untuk segera menyelesaikannya pada saat itu juga. Menurut Polya (1985) pemecahan masalah diartikan sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak secara mudah dapat dicapai. Dari definisi itu dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika. Sumarmo (1994) memaparkan ada beberapa indikator yang harus diperhatikan dalam pemecahan masalah, diantaranya sebagai berikut: a) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan; b) merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik; c) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika; d) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; e) menggunakan matematika secara bermakna. Pembelajaran pemecahan masalah dijelaskan Cooney et al. (1975: 242) sebagai berikut “... the action by which a teacher encourage students to accept a challenging question and guides them in their resolution”. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu tindakan (action) yang dilakukan guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya. Jadi dalam kegiatan pemecahan masalah siswa haruslah memiliki keingintahuan, kemauan, dan merasa tertantang untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Jika siswa merasa termotivasi untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, maka siswa dengan sendirinya dapat melakukan aktivitas pemecahan masalah dan guru dapat memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan siswa, serta pada saat itu secara bersamaan penilaian pemecahan masalah dapat dilakukan guru. 2.
Pembelajaran Model CORE
CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) adalah salah satu model pembelajaran yang berdasarkan pada teori konstruktivisme bahwa siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, melalui interaksi diri dengan lingkungannya. a.
Connecting
Connecting berarti menghubungkan. Seperti yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa: ―An effective lesson connects students to the topic. Connectedness is the link between what the reader knows and what is being learned. Teachers should connect students to the content and the text structure”. Hal ini perlu diterapkan kepada siswa, karena dengan adanya koneksi yang baik, maka siswa akan mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan metakognitifnya untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya. Sesuai dengan apa yang dipaparkan Novak (Susanna, 2003) bahwa dalam belajar orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi sebelumnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
223
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
b.
Organizing
Organizing digunakan oleh siswa untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang diperolehnya. Untuk membantu proses pengorganisasian informasi yang didapat siswa bisa dilakukan dengan cara diskusi kelompok c.
Reflecting
Reflecting merupakan tahap saat siswa memikirkan secara mendalam terhadap konsep yang dipelajarinya. Menurut Sagala (Tamalene, 2010) refleksi adalah cara berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa: “Reflect is where students explain or critique content, structures, and strategies”. Jadi siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Dengan proses ini dapat dilihat bahwa kemampuan siswa menjelaskan informasi yang telah mereka peroleh dan akan terlihat bahwa tidak setiap siswa memiliki kemampuan yang sama. d.
Extending
Extending adalah tahap saat siswa dapat menggeneralisasikan pengetahuan yang mereka peroleh selama proses belajar mengajar berlangsung. Sedangkan untuk perluasan pengetahuan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa. Pengetahuan deklaratif dan procedural siswa diperluas dengan cepat sehingga mereka meneliti tentang jawaban atas pertanyan yang mereka miliki, pengetahuan metakognitif meningkat sehingga mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama temannya dan guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-temannya di kelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model CORE adalah model pembelajaran yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari serta diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar-mengajar berlangsung. F.
Metode dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitiannya sebagai berikut : Kelas Eksperimen : O X O Kelas Kontrol : O -O Keterangan : O : Pretest dan posttest (tes kemampuan pemecahan masalah matematis) X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Model CORE Subyek dalam penelitian ini tiga sekolah, masing-masing mewakili karakteristik secara acak, yaitu: satu sekolah peringkat baik, satu sekolah peringkat sedang dan satu sekolah peringkat rendah. Dari level sekolah peringkat baik, peringkat sekolah sedang dan peringkat sekolah rendah dipilih satu SMP secara acak sederhana. Kemudian dari sekolah tersebut dipilih siswa kelas VII sebagai subyek sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. G.
Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan instrumen dalam bentuk tes yakni seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis. Dalam penyusunan soal tes diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun alternatif jawaban untuk masing-masing butir soal.
224
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebelum dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis sebagai berikut: Gain ternormalisasi (g) = skorpostes skorpretes (Hake, 1999) skorideal skorpretes
Tabel G.1 Tingkat Perolehan Skor Gain Ternormalisasi
Besarnya Gain (g)
H.
Interpretasi
0,7 ≤ 𝑔 ≤ 1
Tinggi
0,3 ≤ 𝑔 < 0,7
Sedang
0 ≤ 𝑔 < 0,3
Rendah
Analisis Data dan Pembahasan
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, antara siswa yang memperoleh pembelajaran model CORE dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, maka dilakukan analisis terhadap kelompok data gain ternormalisasi siswa yang memperoleh pembelajaran model CORE dan gain ternormalisasi siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berikut ini disajikan statistik deskriptif data gain ternormalisasi menurut model pembelajaran dan kriteria sekolah di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Kriteria Sekolah Baik Sedang Rendah
Tabel H.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Eksperimen Kontrol Pretes Postes Pretes Postes g
𝑿𝒎𝒊𝒏 3
𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 16
𝑿 7,54
𝑿𝒎𝒊𝒏 𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 14 30
𝑿 21,26
0,62
𝑿𝒎𝒊𝒏 𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 𝑿 2 19 9.69
0
15
8,61
10
30
22,09
0,65
0
14
0
12
6,48
15
30
22,30
0,69
0
11
g
𝑿𝒎𝒊𝒏 10
𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 30
𝑿 21,08
0,56
7,69
10
28
20,96
0,60
5,91
10
25
17,91
0,50
Skor ideal = 30
Dari tabel di atas, terlihat pola perbedaan skor prestasi belajar siswa memakai memakai model kontrol dan eksperimen. Pada kriteria sekolah baik, rata-rata skor kontrol lebih rendah dari rata-rata skor kontrol pada kriteria sekolah sedang. Namun pada kriteria sekolah sedang, rata-rata skor kontrol lebih tinggi dari rata-rata skor kontrol pada kriteria sekolah baik dan rendah. Pola tersebut tidak bersesuaian dengan pola rata-rata kelompok perlakuan eksperimen, dimana rata-rata skor kriteria sekolah baik lebih rendah dari rata-rata skor kriteria sekolah sedang dan rata-rata skor kelompok perlakuan eksperimen terus meningkat lebih tinggi seiring menurunnya kriteria sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara kriteria sekolah dengan kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya interaksi yang saling mendukung. Artinya, setelah diberi perlakuan pada kelas eksperimen, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada tiap-tiap peringkat sekolah berbeda, dan tidak sejalan dengan peringkat sekolah tersebut. Sekolah dari peringkat rendah justru hasil peningkatannya jauh lebih tinggi daripada di sekolah dengan peringkat sedang bahkan jika dibandingkan dengan sekolah peringkat baik. Jadi peringkat sekolah tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Untuk membuktikannya, maka selanjutnya akan dilakukan pengujan komparatif menggunakan Anova dua jalur.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
225
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
1.
Analisis Anova Dua Jalur
Untuk melihat apakah ada atau tidaknya pengaruh faktor perlakuan dan faktor kriteria sekolah serta interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap aspek-aspek yang diteliti digunakan analisis menggunakan Anova dua jalur. Jika terdapat perbedaaan yang signifikan, selanjutnya akan dilakukan pengujian perbandingan berganda antar elemen di dalam masing-masing faktor tersebut. Berikut akan ditampilkan tabel-tabel berikut sebagai hasil analisis Anova dua jalur untuk kemampuan pemecahan masalah matematis. Tabel H.2 Anova Dua Jalur Skor Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Sig. Kelompok Perlakuan Kriteria Sekolah Interaksi Kelompok perlakuan dengan kriteria sekolah
0,002 0,571 0,170
Dari Tabel di atas tampak bahwa faktor model perlakuan memperoleh nilai sig. sebesar 0,002, nilai ini lebih kecil dari nilai = 0,05. Hal ini berarti faktor model perlakuan memberi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Artinya, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, jika siswa dikelompokan berdasarkan model perlakuannya. Berbeda halnya dengan faktor kriteria peringkat sekolah, dari data diketahui nilai sig. dari faktor kriteria peringkat sekolah adalah 0,571. Nilai ini jauh lebih besar dari nilai = 0,05. Hal ini berarti bahwa faktor kriteria peringkat sekolah tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Artinya, tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, jika siswa dikelompokkan berdasarkan kriteria peringkat sekolahnya. Begitu pula pada faktor interaksi antara model perlakuan dengan kriteria peringkat sekolah yang nilai sig. lebih besar dari nilai = 0,05, yakni 0,170. Hal ini juga berarti bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor model perlakuan dengan faktor kriteria peringkat sekolah terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dengan kata lain, faktor model perlakuan dan faktor kriteria peringkat sekolah secara bersama-sama tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 2.
Uji Perbandingan Rata-rata antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen pada Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara skor kelompok perlakuan kontrol dengan kelompok perlakuan eksperimen pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis diuji menggunakan uji t untuk sampel yang saling independen. Pengujian hipotesis: H0 : µ 1 µ2 H1 : µ 1 µ2 α : 5%. Kriteria pengujian: H0 ditolak jika p-value < 0,05 H0 diterima jika p-value 0,05 Berikut disajikan tabel uji perbedaan rata-rata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis.
226
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel H.3 Uji Perbandingan Rata-rata antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen pada Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kriteria Sekolah
Sig. (2 tailed)
Sig. (1 tailed)
0,272 0,397 0,000
0,136 0,198 0.000
Baik Sedang Rendah
Kesimpulan
H0 diterima H0 diterima H0 ditolak
Dari tabel di atas dapat dilihat pada kriteria sekolah berperingkat baik memiliki sig (1 tailed) sebesar 0,136. Nilai ini lebih kecil dari =0,05 sehingga H0 diterima. Jadi untuk sekolah dengan peringkat baik, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol, walaupun kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Begitu pula pada kriteria sekolah berperingkat sedang yang memiliki sig (1 tailed) sebesar 0,198. Nilai ini lebih besar dari =0,05 sehingga H0 diterima. Jadi untuk sekolah dengan peringkat sedang, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol, walaupun kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Lain halnya dengan sekolah peringkat rendah, nilai sig.( 1 tailed) sekolah ini sebesar 0,000. Nilai ini kurang dari =0,05 sehingga H0 ditolak dan hipotesis diterima. Jadi untuk sekolah dengan peringkat rendah, terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol, dimana kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol. 3.
Uji Perbandingan Berganda antara Kriteria Sekolah dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Uji ini digunakan untuk mengetahui perbandingan skor antar peringkat sekolah mana yang lebih baik dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa. Tabel H.4 Uji perbandingan Berganda Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kriteria Sekolah (I) GamesHowell
Baik Sedang Rendah
Kriteria Sekolah (J) Sedang Rendah Baik Rendah Baik Sedang
Mean Difference (I–J) -0,0376 -0,0027 0,0376 0,0349 0,0027 -0,0349
Sig. 0,610 0,997 0,610 0,620 0,997 0,620
Pada tabel di atas dapat kita lihat sekolah mana yang lebih baik peningkatannya dalam aspek kemampuan pemecahan masalah. Pada kemampuan pemecahan masalah ini, sekolah peringkat baik jika dibandingkan dengan sekolah peringkat sedang menempati peringkat terakhir. Hal ini karena peningkatan pada sekolah peringkat baik lebih kecil dibanding dengan peningkatan pada sekolah sedang dan rendah. Jika dilihat dari mean difference, sekolah peringkat sedang lebih baik dari sekolah peringkat baik dengan mean difference 0,0376. Begitu pula jika dibandingkan dengan sekolah peringkat rendah yang lebih baik dari sekolah peringkat baik dengan mean difference sebesar 0,0027. Akan tetapi jika sekolah peringkat sedang dibandingkan dengan sekolah peringkat rendah, masih jauh lebih baik sekolah peringkat sedang dengan mean difference 0,0349. Perbedaan peningkatan antara semua sekolah tidak signifikan, karena nilai sig. lebih besar dari = 0,05.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
227
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
I.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian selama pembelajaran matematika melalui model CORE dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok eksperimen, siswa yang belajar dengan model CORE, lebih baik daripada kelompok kontrol, siswa yang belajar melalui konvensional. 2. Jika dilihat dari peringkat sekolahnya, baik sekolah dengan peringkat baik, sedang dan rendah, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. DAFTAR PUSTAKA
Calfee, et al. (2004). Making Thingking Visible. National Science Education Standards.University of California, Riverside Cooney, et al. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Houghton Mifflin Company. Dymock, S. (2005). Teaching Expository Text Structure Awareness. New Zealand: School of Education – University of Walkato. Fatah, A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Gulo.S. (2009). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui Pendekatan Advokasi. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/∼sdi/Analyzingchange-Gain.pdf Hendrayana, A. (2008). Pengembangan Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan Hudojo, H. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Universitas Negeri Malang. Malang Polya, G.(1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Methods. New Jersey: Pearson Education, Inc. Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung:tidak diterbitkan. Susanna S. Epp. (2003) The American Monthly: “The Role of Logic in Teaching Proof”. Volume 110, number 10, December 2003 Tamalene, H. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Model CORE melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelengkap Untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional). Bandung
228
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN ADAPTIF SISWA SMA (Penelitian Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas X SMAN 6 Bandung) Oleh : Ibrahim Sani Ali Manggala Abstrak Matematika memegang peran penting dalam kehidupan termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Salah satu aspek berpikir matematis tingkat tinggi adalah penalaran adaptif. Sebagai tindak lanjut, maka dilakukan penelitian kuasi eksperimen untuk mengetahui kualitas peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA melalui pembelajaran matematika dengan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). Sampel yang dipilih secara acak yang terdiri atas dua kelas dari keseluruhan kelas dalam satu SMA yang selanjutnya salah satu dijadikan sebagai kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran matematika dengan metode TAPPS dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran matematika dengan metode nonTAPPS (pembelajaran biasa). Dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen, instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah tes penalaran adaptif bentuk uraian untuk mengetahui kemampuan penalaran adaptif siswa sebelum perlakuan dan setelah diberi perlakuan. Selain itu, lembar observasi digunakan untuk memastikan keberlangsungan pembelajaran dan hal-hal yang ditemukan selama pembelajaran. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode TAPPS secara signifikan lebih baik dari pada siswa yang mendapat pembelajaran metode non-TAPPS (pembelajaran biasa). Kata kunci: metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), penalaran adaptif. LATAR BELAKANG MASALAH
Matematika memegang peran penting dalam kehidupan termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Salah satu aspek berpikir matematis tingkat tinggi adalah penalaran adaptif. Namun pada kenyataannya masih banyak siswa-siswa mengalami kesukaran dalam penalaran. Menurut laporan hasil studi TIMSS 1999 yang dilakukan di 38 negara yang salah satunya termasuk Indonesia, Mullis, dkk (dalam Suryadi, 2005:2) antara lain menjelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan penalaran matematik siswa. Belum banyak pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan penalaran terutama penalaran adaptif sehingga diperlukan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan penalaran adaptif siswa. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ―Apakah peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa melalui pembelajaran matematika dengan metode TAPPS secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa)?‖ TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa yang melalui pembelajaran matematika menggunakan metode pembelajaran TAPPS secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa). Ada pun manfaat untuk berbagai pihak di antaranya pembelajaran matematika dengan metode TAPPS diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif siswa. Selain itu metode pembelajaran ini dapat menjadi alternatif metode pembelajaran yang dapat meningkatkan penalaran adaptif siswa di sekolah. Sekolah dapat merekomendasikan penggunaan metode pembelajaran TAPPS sebagai aternatif pada materi yang lain atau bahkan pada mata pelajaran yang lain dalam rangka meningkatkan prestasi di sekolah. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
229
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
TEORI
Kilpatrick, et al. (2001:116) menyimpulkan bahwa terdapat lima jenis kompetensi matematis yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di sekolah, di antaranya adalah Conseptual understanding (Pemahaman Konsep), Procedural fluency (Kemahiran Prosedural) Strategic competence (Kompetensi Strategis), Adaptive reasoning (Penalaran Adaptif), dan Productive disposition (Sikap Produktif). Dari uraian di atas, nampak bahwa penalaran adaptif merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari kompetensi matematik lainnya sekaligus memiliki peranan penting dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Penalaran merupakan salah satu aspek kompetensi dasar matematika. Dengan penalaran ini, siswa merasa yakin bahwa matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan dan dievaluasi. Penalaran merupakan tahapan berpikir matematik tingkat tinggi, mencakup kapasitas untuk berpikir secara logis dan sistematis. Salah satu kelebihan dari penalaran adaptif adalah kemampuan untuk memeriksa pekerjaan seseorang. Pengertian memeriksa di sini maksudnya ―menyediakan untuk dinalar‖ (Kilpatrick, et al. 2001:130). Bukti adalah bentuk pemeriksaan, tetapi tidak semua pemeriksaan adalah pembuktian. Pemeriksaan dan pembuktian adalah ciri khas matematika formal, yang seringkali terlihat dimiliki siswa senior. Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pertama kali diperkenalkan oleh Claparade, yang kemudian digunakan oleh Bloom dan Broder untuk meneliti proses pemecahan masalah pada siswa SMA. Art Whimbey dan Jack Lochhead telah mengembangkan metode ini pada pengajaran matematika dan fisika. Pada metode TAPPS, siswa di kelas dibagi menjadi beberapa tim, setiap tim terdiri atas dua orang. Satu orang siswa menjadi Problem Solver dan satu orang lagi menjadi Listener. Setiap anggota tim memiliki tugas masing-masing yang akan mengikuti aturan tertentu (Stice, 1987). Menurut Whimbey dan Lochhead (dalam Hartman, 1998), metode ini menggambarkan pasangan yang bekerja sama sebagai Problem Solver dan Listener untuk memecahkan suatu permasalahan, dan setelah selesai bertukar peran. Setiap siswa memiliki tugas masing-masing, dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa sesuai prosedur yang telah ditentukan. Satu orang siswa menjadi Problem Solver. Hal yang pertama harus dia lakukan adalah membaca soal dan kemudian dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Satu orang lagi sebagai Listener. Seorang Listener harus membuat Problem Solver tetap berbicara. Tugas utama seorang Listener adalah memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat Problem Solver. Seorang Listener yang bagus tidak hanya mengetahui langkah yang diambil Problem Solver tetapi juga memahami alasan yang digunakan untuk memilih langkah tersebut. Listener harus berusaha untuk tidak menyelesaikan masalah Problem Solver. Listener sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila telah terjadi kesalahan tetapi tidak menyebutkan letak kesalahannya. Setelah suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa saling bertukar tugas. Sehingga semua siswa memiliki kesempatan untuk menjadi Problem Solver dan Listener. Terdapat nilai nyata menggunakan metode TAPPS ini di dalam kelas. Seperti yang diungkapkan oleh Whimbey dan Lochhead bahwa metode ini telah diperagakan dan sangat efektif untuk membantu siswa belajar. Selain itu, Kyungmoon Jeon (1995) mengatakan bahwa metode TAPPS lebih efektif dalam mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, terutama dalam mengingat kembali konsep-konsep yang terkait serta dalam menyelesaikan soal matematika. Sejalan dengan pendapat di atas, Caruso dan Tudge (Majumder, 2006) mengungkapkan bahwa metode TAPPS adalah metode yang efektif dan efisien membangun kemampuan menjelaskan analitis siswa karena metode ini melibatkan pertukaran konsepsi antar siswa, yang membantu mereka meningkatkan pembelajaran dan pemahaman mereka terhadap materi pelajaran sehingga membantu mereka dalam memahami konsep dengan pemahaman yang lebih baik.
230
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Metode TAPPS ini mengacu pada dua teori yaitu teori interaksi sosial Piaget dan teori Vygotsky tentang perkembangan sosial. Dalam teorinya, Piaget (Sujiono, 2009:58) percaya bahwa anak-anak itu membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat dua teori yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi terjadi ketika seorang anak menerima konsep, keterampilan dan informasi yang diperoleh dari pengalaman mereka dengan lingkungan dalam rangka mengembangkan pola atau skema pemahaman, sedangkan proses akomodasi terjadi ketika skema mental harus diubah untuk menyesuaikan dengan konsep, keterampilan dan informasi baru. Jika teori Piaget dikaitkan dengan metode pembelajaran TAPPS yang terdapat kolaborasi antar siswa maka diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penalaran siswa terhadap suatu konsep serta lebih mampu memecahkan masalah-masalah kompleks. Selain Piaget, metode TAPPS juga berhubungan dengan teori Vygotsky. Vygotsky (Sujiono, 2009:60) berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Metode TAPPS mengharuskan siswa untuk mengartikulasikan pikiran mereka kepada seorang listener ketika mereka memecahkan masalah yang diajukan. Dalam proses tersebut, siswa belajar untuk mengorganisasikan dan menilai kualitas pemikiran mereka sendiri. Sebagai listener, siswa belajar untuk menghargai berbagai cara logis yang digunakan oleh problem solver dalam memecahkan suatu masalah. HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : ―Peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA melalui pembelajaran matematika menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa).‖ METODE DAN DESAIN PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen karena subjek yang akan diteliti merupakan siswa-siswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masing-masing, sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara acak. Desain yang digunakan adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen. Pada desain ini, peneliti mengelompokkan tidak secara acak, tetapi peneliti memilih dua kelompok secara acak. Satu kelompok dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Kedua kelompok diberikan tes awal dan tes akhir. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yang berbeda dengan kelompok kontrol. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah pembelajaran dengan metode TAPPS dan variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran adaptif siswa SMA. Diagram desain penelitiannya sebagai berikut: O X O --------------------O O
(Ruseffendi, 1994:47)
Keterangan: O = Pretes/Tes awal atau Postes/Tes akhir X = Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
231
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen sebagai alat pengumpul data, yaitu tes dan nontes. Instrumen soal tes untuk mengetahui kemampuan penalaran adaptif siswa yang memuat lima butir soal uraian. Instrumen non-tes terdiri atas lembar observasi. Data yang diperoleh dari instrumen tersebut akan diolah untuk dianalisis menyangkut data hasil tes awal, data hasil tes akhir, pengamatan terhadap aktivitas siswa dan pengamatan terhadap pengelolaan metode TAPPS. Tes penalaran matematik dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum pembelajaran (tes awal) dan sesudah pembelajaran (tes akhir). Tes ini diberikan kepada kelompok eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan metode TAPPS dan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa/konvensional. Tes kemampuan penalaran adaptif diberikan pada kelompok eksperimen yang terdiri dari 36 siswa dan kelompok kontrol terdiri dari 36 siswa. Pada tes awal kemampuan penalaran adaptif siswa diperoleh skor rata-rata kedua kelompok, yaitu 34,92 pada kelompok kontrol dan 38,61 pada kelompok eksperimen. Secara sekilas terlihat sedikit perbedaan, namun perlu diuji secara statistik. Dalam pengujian statistik, kedua kelompok diuji normalitas. Pada pengujian normalitas, diperoleh bahwa data tes awal kelompok kontrol tidak berdistribusi normal, sedangkan data tes awal kelompok eksperimen berdistribusi normal dengan taraf signifikan 5%. Karena salah satu data kelompok tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan uji non-parametrik yaitu uji MannWhitney U pada taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan software SPSS for windows menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor-skor kedua kelompok. Dengan kata lain, rata-rata skor kedua kelompok dapat dikatakan bernilai sama. Cara selanjutnya untuk melihat pembelajaran dengan metode mana yang mengalami peningkatan lebih baik adalah cukup dengan melihat perbedaan skor rata-rata tes kemampuan akhir penalaran adaptif siswa kedua kelompok. Hal ini dilakukan karena skor rata-rata tes awal kemampuan penalaran adaptif siswa adalah sama atau dengan kata lain, kondisi kemampuan penalaran adaptif siswa-siswa pada kedua kelompok adalah sama. Lain hal jika skor rata-rata tes awal kedua kelompok berbeda, maka perlu dilihat perbedaaan rata-rata indeks gain kedua kelompok untuk diketahui kelompok mana yang mengalami peningkatan lebih baik secara signifikan. Pada tes akhir kemampuan penalaran adaptif siswa diperoleh skor rata-rata kedua kelompok, yaitu 40,83 pada kelompok kontrol dan 51,33 pada kelompok eksperimen. Nampak adanya perbedaan yang cukup besar antara rata-rata skor tes akhir kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen, namun perlu diuji secara statistik. Kedua kelompok berdistribusi normal dan homogen dengan taraf signifikan 5%. Uji selanjutnya adalah uji perbedaan dua rata-rata secara parametrik yaitu uji-t satu pihak. Setelah melalui perhitungan, diperoleh hasil bahwa skor tes akhir rata-rata kelompok ekpserimen secara signifikan lebih baik daripada kelompok kontrol dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan pengolahan data hasil tes akhir, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan penalaran adaptif matematik siswa SMA melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa). Berdasarkan pengolahan dan analisis data kedua tes masing-masing kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA yang memperoleh pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa). Dengan demikian penerapan metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif siswa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Whimbey dan Lochhead (1987) serta Slavin (1995) bahwa metode ini terbukti efektif dalam membantu siswa belajar karena dapat membentuk suatu pemahaman mendalam terhadap suatu konsep.
232
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Selain itu, hasil penelitian metode TAPPS juga sejalan dengan teori interaksi sosial Piaget dan teori Vygotsky tentang perkembangan sosial. Teori Piaget menyebutkan bahwa kolaborasi di antara siswa sangat diperlukan karena kegiatan ini akan menunjukkan pandangan yang berbeda dari yang lainnya agar dapat memperbaiki dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu konsep serta lebih mampu memecahkan masalah-masalah kompleks dibandingkan dengan siswa yang belajar secara individu. Selain Piaget, Vygotsky juga berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Dari hasil observasi, baik terhadap aktivitas siswa, aktivitas guru dan proses pembelajarannya, metode TAPPS telah berjalan dengan baik dan lancar, walau ada saja kendala-kendala kecil. Kelas yang memperoleh pembelajaran dengan metode TAPPS, siswa lebih terlihat aktif, komunikatif dan memiliki semangat yang tinggi dalam memecahkan masalah yang diberikan, meskipun awalnya mereka terlihat pasif dan bingung. Pembelajaran matematika dengan metode TAPPS ini juga lebih mudah diterapkan kepada kelas dengan kemampuan siswa yang cukup setidaknya setengah dari jumlah siswa di kelas tersebut. Jika hal itu tidak terpenuhi maka dimungkinkan akan menemukan kelompok-kelompok yang berkendala untuk memecahkan masalah yang diberikan. Akibatnya, guru harus bekerja lebih untuk membantu kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan. Penerapan metode TAPPS ini memang cocok untuk kelas dengan siswa berjumlah genap sehingga setiap kelompok memiliki anggota sepasang. KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisis data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA yang memperoleh pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa). REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa rekomendasi yaitu penelitian terhadap metode pembelajaran TAPPS ini disarankan untuk dilanjutkan dengan aspek penelitian yang lain pada kajian yang lebih luas, misalnya pada materi, populasi, variabel yang diperkirakan mempengaruhi kompetensinya ataupun kompetensi matematik lainnya. Selain itu, metode pembelajaran TAPPS dianjurkan hanya untuk kelas dengan jumlah siswa genap, sehingga setiap siswa memiliki pasangan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
233
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA Hartman. (1998). Improving Student‟s Problem Solving Skills [Online]. Tersedia : http://www.ccny.cuny.edu/ctl/handbook/hartman.html[16 Desember 2006] Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics . Washington, DC: National Academy Press Kyungmoon, Jeon. (2005). The Effects of Thinking Aloud Pair Problem Solving on High School Students‟ Chemistry Problem-Solving Performance and Verbal Interactions [Online]. Tersedia: http://jchemed.chem.wisc.edu /Journal/Issues/2005/OctACS/ACSSub/V82N10/p1558.pdf [16 Desember 2006] Majumder, Towfiq. (2006). How do students learn to solve problems to develop conceptual understanding of a subject? [Online]. Tersedia: www.sci. ccny.cuny.edu/~chemwksp/Posters-Spring2006/Majumder-poster-Sp-6.ppt [16 Desember 2006] Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang : CV. IKIP Semarang Press. Slavin. (1995). Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) [Online]. Tersedia: http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/CL/doingcl/tapps.ht [16 Desember 2006] Stice, J.E. (1987). Teaching Problem Solving [Online]. Tersedia: http://wwwcsi. unian.it/educa/problemsolving/stice_ps.html [16 Desember 2006] Sujiono, Yuliani N. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Indeks. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
234
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIK SISWA ANTARA YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN TAHAP-TAHAP VAN HIELE DENGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH Oleh: Rita Rudita Mahasiswa S-1 Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar matematika khususnya geometri antara siswa yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran menggunakan tahaptahap Van Hiele dan kelas yang lain mendapat pembelajaran berbasis masalah. Eksperimen dilakukan di satu SMP di Cianjur, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perbandingan hasil belajar siswa antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah. Kata Kunci: Hasil Belajar, Tahap-tahap Van Hiele, Pembelajaran Berbasis Masalah. PENDAHULUAN
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia serta memiliki ketrampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara (UU no. 20 tahun 2004). Namun demikian mutu pendidikan matematika di Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, seperti yang diungkapkan oleh Sunardi (Purniati, 2004 : 2) bahwa dari 433 siswa kelas III SMP yang diteliti terdapat 86,91% siswa yang menyatakan bahwa persegi bukan persegi panjang, 64,33% yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan jajar genjang, dan 36,34% siswa yang menyatakan bahwa pada persegi dua sisi yang berhadapan saling tegak lurus. Menurut Ruseffendi (1991): agar pembelajaran geometri lebih menarik bagi siswa dan konsepkonsep geometrinya lebih dapat dipahami siswa secara benar, kita dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian dalam pembelajaran geometri, misalnya hasil penelitian Van Hiele, karena hasil penelitian Van Hiele menunjukkan dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dalam geometri. Menurut Van Hiele (Suherman; 2001) tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Selanjutnya Van Hiele menyatakan terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi. Siswa dalam belajar geometri harus melalui tahapan-tahapan tersebut dan tidak boleh ada tahapan yang diloncati. Teori Van Hiele (Tata; 2009) mengemukakan bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir dengan melalui tingkat-tingkat berikut: Tingkat 1 : Tingkat Visualisasi: Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan, sesuatu yang holistic. Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati cirri-ciri bangun dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu bahwa suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari cirri-ciri dari bangun yang bernama persegipanjang tersebut. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
235
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tingkat 2 : Tingkat Analisis: Tingkat ini sering disebut juga tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan cirri-ciri dari masing-masing bangun dan siswa sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu ― mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku‖. Tingkat 3 : Tingkat Abstraks: Tingkat ini disebut juga pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antara ciri yang satu dan ciri yang lain pada suatu bangun. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berfikir deduktif. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu juga sama panjang. Disamping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tingkat ini siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang karena persegi juga memiliki cirri-ciri persegipanjang. Tingkat 4 : Tingkat deduksi formal: Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertiapengetian pangkat, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema pada geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini bearti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berfikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berfikir tersebut. Tingkat 5 : Tingkat Rigor: Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang system-sistem matematika (termasuk sistemsistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Selain Pembelajaran geometri berdasarkan tahap Van Hiele, ada beberapa pendekatan pembelajaran yang lain, salah satunya adalah pembelajaran berbasis masalah (PBM). Menurut Herman (2007): Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Karakteristik Pembelajaran berbasis masalah: 1) Belajar dimulai dengan suatu masalah, 2) Masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa. 3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, 4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 5) Menggunakan kelompok kecil. 5) Menuntut siswa untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Metode dan Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran berdasarkan tahap-tahap Van Hiele dan kelas yang lain mendapat pembelajaran berbasis masalah. Pada awal dan akhir pembelajaran kedua kelas diberi tes sehingga disain penelitiannya adalah sebagai berikut. A A
O O
X1 X2
O O
Keterangan: A O X1 X2
236
= Pengambilan sampel secara acak menurut kelas = Pretes = Postes = Pembelajaran berdasarkan tahap-tahap Van Hiele = Pembelajaran berbasis masalah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, tes kemampuan awal hasil belajar matematik terhadap kelas eksperimen-1 dan kelas eksperimen-2 diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal hasil belajar matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van Hiele dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah, hal ini dapat dilihat dari hasil tes kemampuan awal kelas eksperimen-1 dengan rerata sebesar 61,5 dan eksperimen-2 dengan rerata 62,6. Seperti pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1: Uji Signifikansi Perbedaan Rata-rata Skor Tes Awal
Kelompok siswa yang Pembelajarannya Menggunakan tahap-tahap Van Hiele Berbasis Masalah
Uji-t
X
StDev
N
61,5
8,84
39
62,6
7,21
36
thit
Interpretasi
P
-0,6
0,539
Tidak terdapat perbedaan
Setelah kelas eksperimen-1 memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van Hiele dan kelas eksperimen-2 memperoleh pembelajaran berbasis masalah diperoleh perbedaan rerata antara kelas eksperimen-1 dan kelas eksperimen-2 yaitu 75,2 untuk kelas eksperimen-1 dan 69,3 untuk kelas eksperimen-2, artinya terdapat perbedaan hasil belajar matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van Hiele dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah. Hasil tes akhir disajikan pada Tabel 2 di bawah: Tabel 2: Uji Signifikansi Perbedaan Rata-rata Skor Tes Akhir
Uji-t
Kelompok siswa yang pembelajarannya
X
StDev
N
Menggunakan tahap-tahap Van Hiele
75,2
7,33
39
Berbasis Masalah
69,3
7,44
36
thit
P
3,46
0,001
Interpretasi
Terdapat perbedaan
Karena kelas eksperimen-1 yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van Hiele mempunyai rerata tes akhir 75,2 dan kelas eksperimen-2 yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah mempunyai rerata tes akhir 69,3, dan diperoleh nilai p = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05 berarti bahwa terdapat perbedaan rerata antara kelas eksperimen-1 dengan kelas eksperimen-2 pada α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematik siswa antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perbandingan hasil belajar siswa antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematik siswa antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
237
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Herman, T (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. UPI Bandung: Educationist Vol. 1 No.1 Januari 2007. Purniati, T (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-Tahap Awal Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Common Textbook JICA, Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA: UPI Bandung. Tata (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendektan Metakognitif Berorientasi Teori Van Hiele. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
238
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENDIDIKAN KARAKTER TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH Oleh : Sony Hariana Abstrak Tujuan pendidikan nasional merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Salah satu prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah melalui semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika dalam pembelajaranya di sekolah. Disadari atau tidak, beberapa sekolah cenderung lebih memperhatikan pembelajaran matematika serta memfasilitasi proses belajar siswa untuk menguasai berbagai kompetensi matematis, lebih memikirkan ranking sekolah dan prestasi akademik namun lalai dan cenderung mengabaikan pembentukan karakter peserta didik. Sebaiknya, siswa bukan saja dapat menguasai berbagai kompetensi matematis namun juga dapat mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Hal ini memberi pengertian bahwa pembelajaran matematika dapat turut membangun budaya dan karakter bangsa. Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai serta menjadikannya perilaku. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah (di dalam kelas)dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika. Sebuah kegiatan belajar (task), baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud adalah: tujuan, input, aktivitas, pengaturan (Setting), peran guru dan peran peserta didik. A. Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
239
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Adapun prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu berkelanjutan; melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa salah satu prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah melalui semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika dalam pembelajaranya di sekolah. Disadari atau tidak, beberapa sekolah cenderung lebih memperhatikan pembelajaran matematika serta memfasilitasi proses belajar siswa untuk menguasai berbagai kompetensi matematis, lebih memikirkan ranking sekolah dan prestasi akademik namun lalai dan cenderung mengabaikan pembentukan karakter peserta didik. Sebaiknya, siswa bukan saja dapat menguasai berbagai kompetensi matematis namun juga dapat mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Hal ini memberi pengertian bahwa pembelajaran matematika dapat turut membangun budaya dan karakter bangsa. Para guru, termasuk guru-guru matematika, sebagai agen pembelajaran sekaligus agen perubahan, dapat menjadi guru-guru terbaik bagi peserta didiknya. Untuk itu, guru dituntut menjadi sumber inspirasi sekaligus menjadi inspirator bagi mereka. Untuk membentuk karakter setidaknya perlu tiga hal, yaitu teladan, pembiasaan dan koreksi atau kontrol (Rachman, 2010). Hal ini mengisyaratkan bahwa membangun karakter tidaklah dapat dilakukan hanya dengan memberikan materi atau pengetahuan mengenai karakter, tetapi lebih ditekankan pada praktek langsung baik oleh pendidik (guru) untuk kemudian ditiru oleh peserta didik. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya sekedar lips-service, tetapi satunya kata, pikiran dan tindakan. Guru haruslah mempunyai karakter tertentu yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) dan menjadi contoh bagi siswa-siswanya. Berkaitan dengan uraian di atas, penulis akan mencoba untuk mengupas mengenai ―Pendidikan Karakter Terintegrasi di dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah.” B.
Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah
Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke 240
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai serta menjadikannya perilaku. Keberhasilan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal 1980-an dicontohkan Megawangi (2007). Terkandung pertanyaan, apakah pendidikan karakter menjadi satu-satunya solusi atau minimal menjadi solusi yang paling mujarab bagi masalah-masalah tersebut? Dalam masalah ini, tentunya bukan menjadi satu-satunya solusi tetapi dapat menjadi solusi yang mujarab untuk menangani berbagai masalah tersebut. Keberhasilan Cina dalam pendidikan karakter untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good (Megawangi, 2007) dapat menjadi teladan yang memberikan ekspektasi besar dalam menangani krisis multidimensi di Indonesia. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah (di dalam kelas)dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika. Sebuah kegiatan belajar (task), baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud adalah: tujuan, input, aktivitas, pengaturan (Setting), peran guru dan peran peserta didik. Dalam hal tujuan, kegiatan belajar yang menanamkan nilai adalah apabila tujuan kegiatan tersebut tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga sikap. Oleh karenanya, guru perlu menambah orientasi tujuan setiap atau sejumlah kegiatan belajar dengan pencapaian sikap atau nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya diri, kerja keras, saling menghargai, dan sebagainya. Pembelajaran matematika dapat dikembangkan guru matematika dengan mengintegrasikan dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari budaya dan karakter bangsa dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh, guru dapat memulai dengan merencanakan proses pembelajaran matematika yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Nilai-nilai itu dapat diintegrasikan dalam rancangan kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, dan/atau tujuan pembelajaran. Input dapat didefinisikan sebagai bahan/rujukan sebagai titik tolak dilaksanakannya aktivitas belajar oleh peserta didik. Input tersebut dapat berupa teks lisan maupun tertulis, grafik, diagram, gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan sebagainya. Input yang dapat memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya menyajikan materi/pengetahuan, tetapi yang juga menguraikan nilai-nilai yang terkait dengan materi/pengetahuan tersebut. Satu hal yang mendukung adalah penggunaan BSE untuk pendidikan karakter. Buku-buku pelajaran SMP yang telah masuk dalam daftar BSE (Buku Sekolah Elektronik) memenuhi kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika. Dalam hal isi, setiap BSE memuat semua SK/KD sebagaimana ditetapkan melalui Permen Diknas 22/2006 dengan cakupan dan kedalaman pembahasan yang memadai. Selanjutnya isi/materi disajikan dan/atau dibelajarkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Banyak di antara kegiatan-kegiatan pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pelaku pembelajaran yang aktif. Bahasa untuk menyajikan materi merupakan bahasa Indonesia yang baku, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa SMP, dan gagasan/pesan disajikan secara koheren. Dari sisi grafika, BSE memenuhi berbagai ketentuan kegrafikaan. Jika diperhatikan ciri-ciri tersebut di atas, BSE memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan mengembangkan karakter peserta didik secara terpadu dalam pembelajaran. Hanya dengan melakukan sejumlah revisi, buku-buku tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan pendidikan karakter secara terintegrasi dalam pembelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
241
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dalam hubungannya dengan aktivitas maka yang dimaksudkan adalah aktivitas belajar. Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh peserta didik (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu peserta didik menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas belajar aktif yang berpusat pada siswa sedemikian hingga secara otomatis akan membantu siswa memperoleh banyak nilai. Pembelajaran matematika mulai banyak mengalami pergeseran paradigma, salah satunya dari paradigma teacher centered ke paradigma student centered. Pergeseran paradigma ini membawa implikasi terhadap pengelolaan pembelajaran matematika yang memberi kesempatan lebih luas bagi peserta didik untuk belajar matematika. Contoh-contoh aktivitas belajar yang memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi, eksperimen, pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh siswa, dan mengerjakan proyek. Pengaturan (setting) pembelajaran berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan, berapa lama, apakah secara individu, berpasangan, atau dalam kelompok. Masing-masing setting berimplikasi terhadap nilai-nilai yang terdidik. Setting waktu penyelesaian tugas yang pendek (sedikit), misalnya akan menjadikan peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga menghargai waktu dengan baik. Sementara itu kerja kelompok dapat menjadikan siswa memperoleh kemampuan bekerjasama, saling menghargai, dan lain-lain. Seorang guru matematika dituntut untuk mampu mengatasi setiap tantangan yang ditemuinya dalam pembelajaran matematika. Guru matematika dapat mengupayakan beberapa hal seperti mengubah model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pengelolaan pembelajaran sedemikian hingga memungkinkan lebih berkembangnya segenap potensi belajar siswa, baik fisik maupun mental. Penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi, misalnya metode penemuan terbimbing, tanya jawab, dan penugasan secara individu dan berkelompok, mungkin dapat lebih mengaktifkan belajar siswa daripada hanya menggunakan metode ceramah, ekspositori, atau penugasan individu. Penggunaan open-ended approach dalam pembelajaran matematika dapat lebih mengoptimalkan berkembangnya inovasi dan kreasi siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika di samping mengoptimalkan berkembangnya kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Penggunaan berbagai model pembelajaran kooperatif dapat lebih mengoptimalkan kemampuan bekerjasama antarsiswa daripada penggunaan model pembelajaran langsung. Namun perlu dicatat, bahwa penggunaan model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pengelolaan pembelajaran itu sangat tergantung pada kebutuhan pembelajaran matematika pada waktu dan situasi tertentu di sekolah. Selanjutnya peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak tersedia.Peran guru yang memfasilitasi diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan, dan pemberi umpan balik. Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan efisien mengembangkan karakter siswa adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (di depan guru berperan sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah peserta didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan mereka), tut wuri handayani (di belakang guru memberi daya semangat dan dorongan bagi peserta didik). Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru matematika dapat mengelola pembelajaran matematika yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, misalnya sikap jujur, rasa ingin tahu, kreatif, inovatif, ulet, tekun, percaya diri, pantang menyerah, bertanggung jawab, dan teguh dalam pendirian. Untuk itu, prasyarat yang harus dimiliki seorang guru matematika tentu adalah penerapan nilai-nilai itu terlebih dahulu dan pola sikap, pola tutur, dan pola tingkah laku ‗sang guru‘ sendiri. Ini artinya, guru perlu menjadi teladan terlebih dahulu bagi peserta didiknya! Pendidikan karakter tentunya harus diberikan oleh guru yang berkarakter (mempunyai karakter). Sebagai orang dewasa, pada diri guru tentulah sudah melekat sekian banyak karakter yang dapat 242
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
diwariskan kepada peserta didiknya sehingga untuk membangun karakter tidaklah perlu bagi guru memperoleh pembelajaran terlebih dahulu mengenai pendidikan karakter. Cukuplah para guru menguatkan niatnya untuk menjadi teladan dan diteladani para siswanya. Jika guru yang diteladaninya sudah tidak dijumpainya lagi (misalnya karena siswa lulus atau guru pindah) maka siswa tidak akan kehilangan orientasi dan siswa akan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi dirinya sendiri. Keyakinan dirinya akan tumbuh semakin kuat dan ia akan tahu ke arah mana mesti melangkah. Dalam membangun karakter tidak pernah ada yang instan, semuanya butuh proses panjang dan pembiasaan. Pembiasaan tidak akan bisa terlaksana tanpa ada keteladanan. Jika seorang guru mengatakan X tetapi berbuat Y, maka siswa pun akan dengan mudah tahu bahwa guru tersebut kontradiktif. Dalam kasus seperti ini tidak akan ada pembiasaan sebab tidak ada teladan dan karakter yang hendak diteladani dan dijadikan kebiasaan (habit) oleh siswa. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus ditekankan pada program pembiasaan yang mengarah pada aksi moral dan keteladanan seluruh warga sekolah. Seperti halnya dengan peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar, peran peserta didik biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit juga. Pernyataan eksplisit peran peserta didik pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap peran peserta didik pada kebanyakan kegiatan pembelajaran. Agar peserta didik terfasilitasi dalam mengenal, menjadi peduli, dan menginternalisasi karakter, peserta didik harus diberi peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut antara lain sebagai partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil diskusi dan eksperimen, pelaksana proyek, dsb. Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi penulis terhadap beberapa guru mata pelajaran matematika menunjukkan bahwa masih banyak siswa belum menyenangi atau menyukai bahkan cinta terhadap matematika. Ketika mereka ditanya mengenai mata pelajaran apa yang paling mereka senangi, umumnya, mereka tidak mengatakan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang paling mereka senangi. Hanya sebagian kecil siswa yang mengatakan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang mereka senangi. Pembelajaran matematika di Indonesia masih belum seperti di Rumania seperti perasaan yang diungkapkan seorang sopir taksi di sana (Preston, 2005: 83), ‖Di Rumania, ketika orang tahu kau seorang matematikawan, orang tersebut akan bilang, ‘Aku pun dulu pintar matematika. Matematika adalah mata pelajaran favoritku‘. Demikianlah keadaannya‖, maka membangun karakter melalui pembelajaran matematika perlu dilakukan. Setidaknya, jika seorang siswa tidak begitu gemilang dalam matematika, atau benar-benar gagal, siswa tersebut masih bisa menyerap karakter-karakter yang dapat ditumbuhkan dalam pembelajaran matematika, dengan tetap percaya diri menyatakan bahwa matematika bukanlah pelajaran yang tidak dapat diselesaikan, meskipun yang menyatakannya pada akhirnya tidak harus menjadi matematikawan atau profesor matematika. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana pembelajaran matematika berhasil menanamkan kepercayaan diri pada mereka yang pernah belajar matematika. Jika selama ini pembelajaran matematika lebih dominan pada ranah kognitif, maka sudah saatnya untuk mengeksplorasi ranah-ranah lainnya, salah satunya dapat dilakukan dengan membangun karakter melalui pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika di kelas dapat dilakukan dengan mendorong siswa untuk melakukan refleksi dan penghayatan. Dengan cara seperti ini, sesungguhnyalah pembelajaran matematika dapat menanamkan dan menguatkan motivasi, apresiasi atau penghargaan siswa terhadap matematika, kontribusi siswa dalam pembelajaran, interest (minat kuat), beliefs (sikap mental yakin), confidence (sikap mental percaya) dan perseverance (ketekunan, kekuatan hati, kegigihan).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
243
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta Preston, Richard., et al. (2005): Gunung Pi Kisah-Kisah Matematika Paling Asyik. Banana Publisher. Depok Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. Rachman, Arief. (2010): Urgensi Pendidikan Karakter dalam Membangun Bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. http://pirdauslpmp.wordpress.com/2011/05/28/tantangan-dan-peluang-pembelajaran-matematikadalam-upaya-turut-membangun-budaya-dan-karakter-bangsa/ http://file.upi.edu/.../memahat_karakter_melalui_pembelajaran_matematika
244
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERNUANSA GUIDANCE AND COUNSELING Oleh : Sutirna Dosen STKIP Siliwangi Bandung Mahasiswa S-3 Bimbingan dan Konseling UPI Bandung
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utama dalam pendidikan secara sinergis, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau pembelajaran, serta bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling). Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan mungkin hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. (Djawad Dahlan & Juntika, 2007: 173; Sunaryo, 2008: 185). Dari pernyataan tersebut, kenyataan ini dengan tidak menyudutkan keadaan pembelajaran matematika yang telah berjalan selama ini, hampir seluruhnya proses pembelajaran matematika yang terjadi baru menjalankan bidang administrasi pembelajaran dan pembelajaran matematikanya saja, sehingga aspek bimbingan dan konseling seharusnya masuk dalam proses pembelajaran terabaikan bahkan berparadigma bahwa bimbingan dan konseling merupakan tugas guru bimbingan dan konseling. Kedaan nyata seperti inilah yang menjadi matematika oleh para peserta didik dianggap sulit dan sukar bahkan menakutkan sehingga dari satu kelas sebanyak 40 siswa yang bisa menguasai matematika tidak lebih dari 5 orang atau hanya rata-rata 12,5% bahkan guru matematikanya sendiri belum memahami tentang bimbingan dan konseling secara menadalam sehingga berparadigma bukan tugas dan tanggungjawabnya. Mari kita perhatikan gambar berikut ini:
Wilayan Manajemen & Kepemimpinan
Manajemen & Supervisi
Wilayah Pembe lajaran yang men didik
Pembelajaran Bidang Studi
Wilayah Bimbing an & Konseling yang Memandirikan
Tujuan: Perkembangan Optimal Setiap Peserta Didik
Bimbingan & Konseling
Gambar 2.1: Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Depdiknas, 2008)
Gambar tersebut dengan jelas bahwa tiga komponen yang tidak bisa ditinggalkan satu komponenpun dalam melaksanakan PBM, ketika diabaikan salah satu dari ketiga komponen tersebut, maka tujuan perkembangan yang optimal setiap peserta didik akan tidak tercapai. Rochman Natawidjaja (1987:37) yang mengartikan bahwa bimbingan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada umumnya. Dengan demikian dia akan dapat menikmati kebahagiaan hidupnya, dan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
245
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berdasarkan pengertian bimbingan tersebut di atas, pembelajaran matematika yang bernuansa bimbingan dan konseling akan memberikan nuansa yang harmonis dan menyenangkan, karena nuansa bimbingan dan konseling berangkat dari landasan dasar hakikat manusia yang memiliki keunikan masing-masing dan wajib melaksanakan bantuan kepada seluruh peserta didik tanpa memandang kemampuan yang rendah, sedang dan tinggi sehingga peserta didik merasa dihargai keadaan dirinya. Selain itu pembelajaran yang menerapkan nuansa bimbingan dan kosneling dalam pembelajaran matematika akan merasa bahagia dan menyenangkan ketika bapak/ibu gurunya selalu berpenampilan sosok yang menjadi panutan dengan bahasa penyampaian yang bijak dan penuh etika sehingga peserta didik akan menjadi tidak takut lagi ketika pembelajaran matematika berlangsung. Namun, apa yang terjadi selama ini dalam proses pembelajaran matematika? Hal ini akan saya sampaikan pengalaman pribadi menjadi guru matematika di SMP sejak tahun 1986 sampai dengan 1999 dengan tidak menggunakan nuansa bimbingan dan konseling serta tutur bahasa penyampaian yang memojokan atau menyudutkan peserta didik yang kemampuannya rendah bahkan tidak memperdulikan peserta didik yang tidak mampu mencapai nilai minimum yang telah ditetapkan. Bahkan berparadigma radikal dalam pikiran saya ―biarkan saja anak pribadi bukan, saudara bukan, tetangga bukan dan lain-lain‖. Akhirnya saya pun dengan mata pelajaran matematika tidak disenangi bahkan menjadi masalah bagi peserta didik ketika ada mata pelajaran matematika. Tetapi setelah mengetahui dan mempelajari dunia pendidikan bimbingan dan konseling secara mendalam, pengalaman saya tersebut di atas merupakan kesalahan besar yang saya lakukan sehingga saya merubah dalam pembelajaran kepada pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Inilah pengalaman empiric saya yang tidak usah menjadi fantasi bagi guru matematika yang lainnya, marilah kita merubah diri karena guru adalah agen perubahan, bagaimana matematika akan menjadi mata pelajaran yang disenangi jika guru matematika selama ini masih menakutkan dan menyeramkan bagi peserta didik. PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan) yang sedang digalakan oleh para Guru Matematika dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika sangatlah tepat dengan pembelajaran matematika bernuansa bimbingan dan konseling. Mari kita bersama-sama merefleksi, ketika akan berlangsungnya Ujian Nasional dimana mata pelajaran matematika menjadi salah satu pelajaran penentu bagi standar kelulusan, padahal jika kita kaji lebih dalam tentang nilai batas lulus Ujian Nasional adalah angka yang buruk atau jelek yaitu 5,50, tetapi mengapa rasanya takut oleh angka tersebut? Dari kepala sekolah, guru matematika, peserta didik dan bahkan orang tua tidak menutup kemungkinan pihak dinas pendidikanpun menjadi ketakutan dengan nilai seperti itu. Inilah kenyataan nyata yang tidak bisa ditutup-tutupi, mau tidak mau hal ini akibat dari proses pembelajaran yang tidak optimal mengedepankan kepentingan peserta didik atau pembelajarannya tidak menggunakan aspek bimbingan dan konseling sehingga terjadilah mutu pendidikan matematika selama ini secara menyeluruh jauh dari mutu yang diharapkan. Wahyudin (2007) mengatakan dalam tulisannya di Majalah Pendidikan Universitas Pasundan Bandung mengatakan bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak membutuhkan matematika. Bahkan Ruseffendi (2008) mengatakan bahwa matematika itu adalah ratunya ilmu pengetahuan ―King Of The Siant‖. Dengan demikian jelas sekali proses menghasilkan kualitas matematika dibutuhkan guru yang memiliki ilmu matematika secara penuh dan teori pembelajaran yang utuh memandang manusia sebagai makhluk yang sempurna dan unik. Bagaimana dan seperti apa pembelajaran matematika bernuansa bimbingan dan konseling? Marilah kita lihat tabel di bawah ini tentang prinsip-prinsip pelaksanaan bimbingan dan konseling yang ditransfer ke dalam nuansa pembelajaran matematika.
246
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel 2.1 Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling diaplikasikan Dalam pembelajaran matematika No 1
2
3
4
5
6
Prinsip Prinsip Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Bimbingan dan Konseling diperuntukan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual) Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya) dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataannya masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang. Bimbingan dan konseling merupakan usaha bersama. bimbingan bukan hanya tugas atau tanggungjawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru (tutor) dan kepala sekolah/madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai team work. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk mempertimbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan. Bimbingan dan konseling berlangsung dalam berbagai setting (adegan) kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di sekolah/madrasah saja, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersufat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Diaplikasikan dalam PBM Matematika
Dalam pembelajaran matematika tidak boleh diskriminasi layanan bimbingan dalam PBM matematika.
Setiap peserta didik unik, PBM matematika harus dapat memfasiltasi tanpa memandang kemampuan peserta didik (guidance for all). Dengan keharmonisan, kehangatan, keceriaan, dan penuh keakraban di dalam kelas.
Bantuan dalam PBM matematika harus mengarah kepada hal yang positif bagi peserta didik, dengan memberikan contoh teladan dihadapan peserta didik.
Bimbingan dalam PBM matematika harus bekerjasa sama dengan seluruh pihak terkait (networking) khsusnya kepada guru BK jika permasalahannya diperlukan bantuan lain.
Pengambilan keputusan harus berangkat dari peserta didik dan guru matematika hanya membantu untuk memahami tentang permasalahannya, khususnya dalam PBM Matematika.
Bimbingan dapat dilakukan diberbagai aspek setting, bisa ketika mengajar atau di luar mengajar dengan membuat perjanjian terlebih dahulu.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
247
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Berkaitan dengan pendidikan karakter yang sedang digalakan pemerintah dalam segala bidang khususnya dalam bidang pendidikan, pembelajaran bernuansa bimbingan dan konseling sudah sangat tepat dilakukan oleh semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, baik dia seorang yang sudah menjadi guru maupun yang sedang menempuh pendidikan di kependidikan. Karena karakter itu merupakan bagian dari kepribadian. Abin Syamsudin (2003) yang mengatakan bahwa karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat. Dengan demikian pembelajaran yang menggunakan situasi bimbingan dan konseling akan berkaitan erat dengan apa yang dinamakan karakter, oleh karena itu yang selama ini karakter guru dan calon guru yang tidak konsekuen dengan etika, perilaku, dan tidak konsisten dengan tugas tanggunggjawabnya selaku pendidik yang sudah mendarah daging harus segera berbalik 1800 jika perubahan ingin kita raih demi masa depan pendidikan yang bermutu. Selanjutnya dikaitan dengan peran guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing masih berjalan hanya dua yang dilakukan para guru, yaitu sebagai pendidik dan sebagai pengajar, sedangkan sebagai pembimbing inilah yang hilang bahkan tidak dilakukan di dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, tepatlah sekali bahwa dibagian pertama dikatakan bahwa pendidikan yang bermutu, ketika ketiga komponen berjalan dengan sinergis dilakukan guru dalam proses pembelajaran. Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang selama ini pembelajaran matematika menakutkan, menyeramkan, dan tidak harmonis serta banyak persepsi negatif terhadap matematika sehingga sangatlah wajar mutu pendidikan atau mutu matematika selalu tidak ada perubahan yang sangat berarti bagi peserta didik maupun perkembangan matematika. Oleh karena itu dengan moto ―Guru adalah Agen Perubahan ― atau ―Teacher is Agen of The Change‖ marilah kita berjalan bersama untuk memahami pentingnya aspek bimbingan dan konseling pada saat proses pembelajaran dengan nuansa bimbingan dan konseling sehingga pembelajaran konsep PAIKEM akan berjalan dan terlaksana dengan baik sehingga matematika bukan lagi mata pelajaran yang menakutkan dan menyeramkan dikalangan peserta didik. DAFTAR PUSTAKA
Moh. Djawad Dahlan dan Juntika. (2007). Konsep Bimbingan dan Konseling. Bandung : Pedagogia Press. Sunaryo (2008). Kompilasi Materi Perkulihan Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Bandung : SPS UPI Bandung. ABKIN (2008). Prinsip-prinsip pelaksanaan bimbingan dan konseling. Bandung : ABKIN Bandung. Wahyudin (2007). UNPAS Bandung Ruseffendi (2008). Matematika Modern: untuk siswa dan guru. Bandung : Tarsito Abin Syamsudin (2003). Kompilasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Bandung: UNPAD.
248
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENUMBUHKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKTUAL Oleh : Kokom Komariah Guru SMP 3 Cimahi Abstrak
Karakter bangsa yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah karakter cerdas yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Pembelajaran matematika yang berorientasi pada potensi pengembangan potensi olah pikir siswa, sangat strategis berkontribusi pada pencapaian tujuan tersebut. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat menumbuhkan karakter bangsa adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan Kontektual. Kata kunci: Pendekatan , Kontektual, Karakter, Bangsa I.
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan hal yang penting dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kurikulum KTSP mengisyaratkan bahwa pembelajaran diharapkan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pada sisi lain, dalam proses pembelajaran pendidik diharapkan dapat memberikan keteladanan bagi peserta didiknya. Kemudian ditegaskan pula Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 1) bahwa peserta didik dari mulai sekolah dasar perlu dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama. Sejalan dengan hal itu, termasuk dengan penerapan KTSP, saat ini pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap dunia pendidikan dengan membuat beberapa program dengan skala prioritas tertentu. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian dari program penguatan metodologi dan kurikulum dalam Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 di atas. Upaya ini berupa penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Kondisi saat ini di lapangan pada umumnya pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal. Hal ini sesuai hasil studi Sumarmo (1993, 1994) terhadap siswa SMU, SLTP, dan guru di Kodya Bandung yang hasilnya antara lain pembelajaran matematika pada umumnya kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar. Temuan Sumarmo didukung pula oleh temuan Sutiarso (2000) dengan mengemukakan bahwa kenyataan di lapangan justru menunjukkan siswa pasif dalam merespon pembelajaran. Siswa cenderung hanya menerima transfer pengetahuan dari guru, demikian pula guru pada saat kegiatan pembelajaran hanya sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa dalam proses yang aktif dan generatif. Padahal menurut Darr dan Fisher (Ratnaningsih, 2007) jika siswa diharapkan menjadi siswa yang mandiri, mereka perlu aktif dan dihadapkan pada kesempatankesempatan yang memungkinkan mereka berpikir, mengamati dan mengikuti pikiran orang lain. Disamping itu, akhir-akhir ini makin marak muncul fenomena yang kurang mendidik, seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya. Fenomena ini merupakan tantangan yang besar dan kuat terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah-sekolah merupakan sebuah keniscayaan. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
249
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah melalui pembelajaran matematika melalui pendekatan Kontektual . Alasan mengapa memilih pembelajaran pendekatan kontektual diantaranya dengan menyajikan masalah kontekstual pada awal pembelajaran merupakan salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir. Pada keadaan ini, masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai tujuan. Pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah. Sabandar (2005) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir matematika tingkat tinggi. Hal ini memungkinkan untuk menumbuhkan sifaf sabar, tekun dan menjadi manusia Indonesia yang tangguh dalam menyelesiakan suatu masalah Alasan lain, melalui pembelajaran dengan pendekatan kontektual, siswa juga belajar untuk bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif, namun harus aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang ia miliki. Dalam PBM dengan pendekatan kontektual, siswa dituntut untuk terampil bertanya dan mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari sumber yang tersembunyi, mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Dalam situasi pemecahan masalah seperti ini tidak mustahil siswa mengalami kebuntuan, sehingga mengharuskannya untuk meninjau ulang cara berpikir yang telah ia gunakan. Dengan demikian, jelaslah bahwa melalui pembelajaran matematika berbasis masalah, siswa dikondisikan untuk mampu berpikir fleksibel, mengajukan konjektur dan menjustifikasinya, menyelesaikan masalah, dan menemukan aturan umum. Hal-hal tersebut merupakan ciri dari karakter bangsa yang akan dibangun melalui pendidikan. PBM dengan dengan pendekatan kontektual, siswa dimungkinkan terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan siswa dalam memehami suatu konsep. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1979), ―... jika siswa aktif melibatkan dirinya di dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti konsep tersebut lebih baik, mengingat lebih lama, dan mampu menggunakan konsep tersebut dalam konteks yang lain‖. II. DISKUSI 1.
Konsep Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Dalam Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) maka pendidikan nasional bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pengembangan potensi peserta didik tersebut meliputi tataran individu, kolektif maupun untuk kepentingan ekstensi bangsa. Pada buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya (Pusat Kurikulum, 2010) dijelaskan mengenai pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis budaya dan karakter. Budaya adalah nilai, moral, norma dan keyakinan (belief), pikiran yang dianut oleh suatu masyarakat atau bangsa dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat, dan warga negara. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, dan indah. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak aatau kepribadian yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri dari sejumlah nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, bersikap, dan cara bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud dari karakter seseorang yang menjadi anggota masyarakat bangsa tersebut.
250
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Buku tersebut lebih lanjut mendefinisikan Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warga negara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Terdapat cukup banyak nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran atau pendidikan di sekolah. Nilai-nilai itu adalah: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komuniktif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung-jawab. 2.
Pendekatan Kontektual
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Triato, 2007). Menurut Trianto (2007) untuk penerapannya, pendekatan kontektual memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). 3.
Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontektual
Beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Kontektual diprediksi dapat membangun karakter bangsa, diantaranya : a.
Konstruktivisme (constructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontektual, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar, siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Siswa mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan , namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada pada diri siswa. Siswa berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan yang lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah. Dengan komponen Kontruktivisme seperti ini diharapkan siswa mempunyai sifat : 1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimilikinya. b. Penemuan (Inkuiri) Penemuan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Pengetahuan yang didapat dari hasil belajar sendiri akan tertanam lebih lama dalam pikiran siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1979 : 109), ―... jika siswa aktif melibatkan dirinya di dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti konsep tersebut lebih baik, mengingat lebih lama, dan mampu menggunakan konsep tersebut dalam konteks yang lain‖. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
251
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dengan komponen penemuan seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut : 1) Tanggung jawab yaitu sikap dan prilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (Alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. 2) Menumbuhkan rasa ingin tahu, kerja keras, kreatif, rasa ingin tahu dan pantang menyerah c.
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Dengan komponen bertanya seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut : 1) Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dengan orang lain. 2) Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. d.
Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‗sharing‘ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Dengan komponen masyarakat belajar seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut: 1) Semangat Kebangsaan, yaitu cara berpikir, berindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 2) Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, cara bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetian, kepedulian dan penghargaan yang tinggi dalam bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. 3) Bersahabat, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. 4) Cinta damai, yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 5) Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingim memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan e.
Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. Dengan komponen pemodelan seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut: 1) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimilikinya. 2) Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. f.
Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. 252
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dengan komponen Refleksi seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut: 1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimilikinya. g.
Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)
Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. Dengan komponen Assemen Autentik seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut: 1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 2) Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. 3) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 4) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimilikinya. 5) Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 4) Gemar membaca, yaitu Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya 5) Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. III. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis mempunyai kesimpulan sebagai berikut : 1) Pembelajaran matematika melalui pendekatakan Kontektual diprediksi dapat membangun karakter bangsa. 2) Dalam pelaksanaan Pembelajaran matematika melalui pendekatakan Kontektual dalam membangun karakter bangsa diperlukan keteladanan para guru. 3) Pada prakteknya, dalam mata pelajaran matematika saat ini enam nilai diintegrasikan untuk dikembangkan : teliti, tekun,kerja keras, rasa ingin tahu, pantang menyerah dan kreatif. Selain itu, berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut : 1) Keberhasilan peserta didik menyelesaikan pendidikannya di suatu satuan pendidikan lebih diseimbangkan antara aspek kongnitif/psikomotor dengan aspek afektif. 2) Pembelajaran matematika yang ‗kering nilai‘ dapat dikembangkan guru matematika dengan mengintegrasikan dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari budaya dan karakter bangsa dalam kegiatan pembelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
253
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Effendy. O. U. (1993). Dinamika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hamzah, (2003). Kemampuan pengajuan masalah dan pemecahan masalah siswa SMU melalui teknik probing. Disertation at Post Graduate Studies, Indonesia University of Education, Bandung. Not published. Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung , Indonesia, not published Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta : Kemendiknas. NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Virginia : The NCTM Inc. NCTM. (2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. USA : Reston. V.A Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Puskur Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional. Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung , Indonesia, not published Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Indonesia University of Education, Bandung , not published Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Research Report at Indonesia University of Education, Bandung , not published Suparno, P. (1997). Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung , Indonesia, not published Trianto (2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
254
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
GURU DAN SISWA BERKARAKTER Oleh : Reti Damayanti Abstrak Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Mengingat cukup banyaknya steakholder yang terlibat dalam mengembangkan pendidikan karakter, maka penulis mencoba membatasinya dengan hanya mengemukakan mengenai guru dan siswa yang berkarakter. Tiap guru memiliki cara sendiri-sendiri dalam mendidik dan mengajar , ada yang menjadi sosok teman dan sahabat yang sangat dekat dengan siswa-siswinya, ada yang menjadi sosok galak hingga ditakuti siswasiswinya, ada yang menjadi sosok yang sangat lucu hingga para siswa antusias saat pelajarannya, yang jelas mereka memiliki metode sendiri sesuai karakter mereka. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Guru berkarakter bisa saja sosok guru dengan kualitas hidup baik dengan empat kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian). Adapun cara memperoleh kualitas dan nilai hidup yang baik itu bisa diperoleh melalui alam lingkungan kehidupannya, pendidikan, dan kebiasaan. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak (siswa), supaya menjadi manusia yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. A.
Pendidikan Karakter
Sudah menjadi suatu topik pembahasan yang hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan bahwa persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya. Untuk itu berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undangundang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Beberapa alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat. Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa telah dilakukan di berbagai direktorat dan bagian di berbagai lembaga pemerintah, terutama di berbagai unit Kementrian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa, akhirnya Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
255
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
berakumulasi pada kebijakan pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak untuk masa 5 (lima) tahun mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah: 1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; 2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan 3. penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Salah satu program utama Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan mutu proses dan output pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah pengembangan pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Pembinaan watak melalui mata pelajaran di kelas belum membuahkan hasil yang memuaskan karena beberapa hal. Pertama, di dalam mata pelajaran cenderung baru membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai melalui materi/substansi mata pelajaran. Kedua, kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran pada umumnya belum secara memadai mendorong terinternalisasinya nilai-nilai oleh masing-masing peserta didik sehingga ia berperilaku dengan karakter yang tangguh. Ketiga, menggantungkan pembentukan watak peserta didik di dalam pembelajaran tidak cukup. Pengembangan karakter peserta didik perlu melibatkan lebih terinntegrasi mata semua mata pelajaran. Selain itu, kegiatan pembinaan kesiswaan dan pengelolaan sekolah dari hari ke hari perlu juga dirancang dan dilaksanakan untuk mendukung pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Mengingat cukup banyaknya steakholder yang terlibat dalam mengembangkan pendidikan karakter, maka penulis mencoba membatasinya dengan hanya mengemukakan mengenai guru dan siswa yang berkarakter. Tiap guru memiliki cara sendiri-sendiri dalam mendidik dan mengajar , ada yang menjadi sosok teman dan sahabat yang sangat dekat dengan siswa-siswinya, ada yang menjadi sosok galak hingga ditakuti siswa-siswinya, ada yang menjadi sosok yang sangat lucu hingga para siswa pasti antusias saat pelajarannya, yang jelas mereka memiliki metode sendiri sesuai karakter mereka. Yang penting outputnya adalah materi yang disampaikan dapat diserap dengan baik oleh anak didiknya. Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya bertumpu pada bagaimana menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan interaksi sosial sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. 256
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
B.
Guru dan Siswa Berkarakter
Hal yang menjadi perbincangan hangat hari-hari ini adalah Pendidikan karakter untuk menunjang siswa menjadi sosok yang sopan dan bermoral. Sepintas penulis kemukakan satu kasus yang menyangkut pernyataan salah seorang siswa pada jejaring sosial Facebook. Dalam satu kasus ditemukan bahwa terdapat seorang siswa yang tidak menerima atas tugas yang diberikan oleh gurunya. Dalam statusnya siswa tersebut memaki gurunya dengan perkataan menyakitkan dan membuat sang guru meradang, ditambah bumbu dari rekan-rekannya (siswa) yang memberikan jempol tanda setuju (menyukai) dan komentar-komentar lain yang mendukung atas perkataan tidak senonoh (dengan bahasa yang tidak baik dan tidak sopan) dari siswa yang bersangkutan. Melihat perilaku tersebut, pihak sekolah akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah tersebut karena selain menyangkut individu guru juga menyangkut lembaga sekolah yang terlibat. Kasus seperti tersebut di atas secara nyata akan ditemui dilapangan, walaupun dengan kasus yang berbeda. Perkara moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas publik oleh demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya untuk menjalani hidup dalam suasana demokrasi yang sopan dan santun. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan identitas, ikut arus, terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan. Jika melihat kenyataan yang ada sampai saat ini, masih banyak sekolah yang terlalu trobsesi untuk menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional, mendorong siswa aktif hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus bertambah saat guru-guru memasang target tinggi nilai KKM dan kelulusan. Padahal sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses merumuskan jati dirinya menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang diserap adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat sekitarnya. Setelah siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya sendiri yang harus mampu menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya. Kiranya amat disayangkan apabila ada guru yang memang pandai secara akademik, tetapi mereka tidak pandai dalam menyampaikan pengetahuannya kepada para siswa. Akibatnya anak didik tidak antusias saat kelas berlangsung, tidak paham materi yang disampaikan dan banyak yang nyontek saat ujian. Berikut ini penulis sampaikan temuan yang didapat saat berbincang-bincang dengan salah seorang guru SMP di salah satu kota di Jawa Barat. Guru tersebut menceritakan bahwa ada salah satu siswa yang telah diberi pelajaran cara-cara menyontek oleh salah satu gurunya sejak kelas 1 sampai kelas 5 Sekolah Dasar (saat itu SD nya di daerah Jawa Tengah) sehingga ia terbiasa untuk melakukannya. Siswa tersebut mengaku bahwa kebiasaannya tersebut selalu ia lakukan meskipun sekolahnya pindah ke salah satu kota di Jawa Barat semenjak kelas 6 SD sampai di bangku kelas 7 SMP. Namun setelah kebiasaannya diketahui dan dipergoki oleh rekan penulis tersebut (guru) maka siswa tersebut berjanji tidak akan mengulangi kembali kebiasaannya dalam hal mencontek, dan Alhamdulillah menurut pantauan beberapa guru di sekolah tersebut sampai saat ini siswa yang bersangkutan dapat merubah kebiasaan buruknya. Apabila kita perhatikan kasus di atas, tentunya sangat erat berhubungan dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
257
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan kaitannya dengan proses pembelajaran, yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam melaksanakan pengajaran, dan (2) sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasi materi pelajaran seperti yang diharapkan. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat menyampaikan keseluruhan materi pelajaran dengan baik dan siswa dapat menguasai substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dewasa ini dikenal berbagai istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual, pembelajaran PAIKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan sebagainya. Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dirancang secara sistematis sesuai dengan tujuan, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh Guru yang profesional dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai hasil belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik. Dalam hubungannya dengan nilai karakter, maka ada banyak nilai (80 butir) yang dapat dikembangkan pada peserta didik. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu sebagai nilai utama yang penanamannya diprioritaskan. Untuk tingkat SMP, nilai-nilai utama tersebut disarikan dari butirbutir SKL, yaitu: Religius, Jujur, Cerdas, Tangguh, Bertanggung jawab, Bergaya hidup sehat, Disiplin, Kerja keras, Berjiwa wirausaha, Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, Mandiri, Ingin tahu, Cinta ilmu, Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, Patuh pada aturan-aturan sosial, Menghargai karya dan prestasi orang lain, Santun, Demokratis, Peduli lingkungan, Nasionalis, Menghargai keberagaman. Di antara butir-butir nilai tersebut di atas, enam butir dipilih sebagai nilai-nilai pokok sebagai pangkal tolak pengembangan, yaitu: Religius, Jujur, Cerdas, Tangguh, Peduli dan Demokratis. Keenam butir nilai tersebut ditanamkan melalui semua mata pelajaran dengan intensitas penanaman lebih dibandingkan penanaman nilai-nilai lainnya. Adapun untuk mata pelajaran matematika di SMP karakter yang dikembangkan adalah Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli, demokratis, berpikir logis, kritis, kerja keras, ingin tahu, mandiri, percaya diri. Terkait dengan pendidikan karakter, maka sekali lagi bahwa kunci utama dalam penyelenggaraan dan proses pendidikan itu justru pada aktor-aktornya. Mereka ini adalah guru-guru yang tidak sekadar profesional di bidangnya, namun mereka juga sebagai guru yang berkarakter. Dengan kata lain, karakter itu diasumsikan sudah melekat di dalam pribadi guru-guru di sekolah di di negeri ini. pembentukan karakter seseorang bisa di dalam tiga wadah proses, yaitu, alam, forma pendidikan, dan kebiasaan-kebiasaan hidup seseorang itu dalam sejarah kehidupannya. Dengan melalui tiga wadah itu, maka seseorang bisa menjadi orang berkarakter. Kumpulan serangkain nilai atau beberapa kualitas hidup yang baik dan melekat pada diri seseorang ini yang membentuk karakter seseorang. Nah, sekarang timbul pertanyaan bagaimanakah guru yang berkarakter itu? Untuk menjawabnya, kita bisa mulai dahulu dari definisi guru yang terdapat dalam UU no 14 tahun 2005, Pasal 1, ayat (1) yaitu guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada usia dini jalur pendidikan formal, dasar, dan menengah. Selanjutnya tugas utama guru adalah memiliki kualitas hidup atau nilai-nilai baik yang berguna untuk dirinya, orang lain (peserta didik) lingkungannya dan masyarakat luas. 258
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Dalam UU tersebut guru diharapkan memiliki empat keterampilan yaitu keterampilan pedagogik, keterampilan kepribadian, keterampilam sosial, dan keterampilan profesional. Dengan demikian, empat kompetensi itu sebagai kompetensi yang bisa membentuk nilai dan kualitas hidup seorang guru. Guru berkarakter bisa saja sosok guru dengan kualitas hidup baik dengan empat kompetensi itu. Adapun cara memperoleh kualitas dan nilai hidup yang baik itu bisa diperoleh melalui alam lingkungan kehidupannya, pendidikan, dan kebiasaan. Jika dirinci, maka, lingkungan kehidupan tidak hanya di sekolah saja melainkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kebisaan hidup seharihari pula. Karakter seperti di dalam definisi di atas, diperoleh dan kahirnya melekat secara koheren di dalam diri seorang guru. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan karakter yang dicuatkan pada fenomena kahir-akhir ini memerlukan kunci utama dalam penggerak proses pendidikan. Mereka itulah guru-guru yang berkarakter dan digembleng di dalam wadah tidak hanya formal saja melainkan alam lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan. Pendidikan karakter bisa dibangun melalui kinerja sistem pendidikan dan instrumen pemerintah lainnya yang sama-sama sinergis. Dalam arti bahwa, guru merupakan kunci utama, sehingga yang lebih penting adalah kebutuhan guru berkarakter baru kemudian mendidik peserta didik menjadi insan-insan berkarakter. Sebagai seorang guru hendaklah kita berusaha untuk menjadi yang terbaik. Meski dengan tugas berat, karena guru selain sebagai pengajar juga sebagai mendidik. Dengan tugas ini hendaknya mengajar dimaknai sebagai sebuah amanah bukan sekedar tugas sampingan yang ringan. Untuk itu kerja ikhlas dan keras hendaknya senantiasa menyemangati hati dan jiwa kita sebagai pendidik. Pembentukan jiwa dengan semangat tinggi akan mewujud dan membentuk seorang guru yang ―Berkarakter‖. Karakteristik yang humble dapat dengan mudah membawa siswa untuk tunduk dan patuh pada perintah yang baik. Mereka membutuhkan guru yang pantas menjadi suri tauladan baginya. Rasa penasaran, haus akan ilmu pengetahuan menjadi terpuaskan tatkala seorang guru dengan sikap lemah lembutnya mampu menenagkan siswa di saat yang tepat. Oleh karena itu guru harus memiliki karakter karena tugas guru sebagai pembentuk karakter. Bagaimana nasib bangsa ini kelak sangat dipengaruhi oleh bagaimana karakter guru dalam mendidik. Apabila gurunya memiliki sifat temperamental dan suka melakukan kekerasan, maka jangan salahkan siswanya kalau mereka senang tawuran, anarki dan emosional. Pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting dan mutlak. Adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini jelas menunjukkan bahwa bangsa kita masih belum memiliki karakter yang kuat dalam menyelesaikan permasalahannya. Guru sebagai bagian dari orang tua siswa di sekolah perlu mewujudkan agar siswanya menjadi manusia-manusia shaleh yang bertaqwa. Fitrah kecintaan guru kepada siswa membuat segala upaya telah dilakukan agar siswa menjadi jauh lebih baik. Banyak guru mencita-citakankan agar siswanya menjadi shaleh, namun tidak mendukung support system yang bisa mendukung tumbuh kembangnya keshalihah ini. Misalnya siswa diharapkan rajin beribadah, berakhlak mulia, tetapi gurunya tidak mencontohkan dirinya menjadi sosok yang rajin beribadah. Tentu saja sulit bagi siswa untuk membentuk karakter yang shaleh tersebut. Orang yang berperilaku tidak jujur, rakus, atau kejam dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Berikut ini penulis sampaikan Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang tertuang dalam ―Panduan guru Mata Pelajaran mengenai Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama‖ yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan Nasional.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
259
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
NILAI 1. Religius
2. Jujur 3. Toleransi 4. Disiplin 5. Kerja Keras
6. Kreatif 7. Mandiri 8. Demokratis 9. Rasa Ingin Tahu
10. Semangat Kebangsaan 11. Cinta Tanah Air
12. Menghargai Prestasi
13. Bersahabat/ Komuniktif 14. Cinta Damai
15. Gemar Membaca 16. Peduli Lingkungan
17. Peduli Sosial 18. Tanggung-jawab
DESKRIPSI Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional http://indonesiaposnews.com/2011/05/31/pendidikan-dan-kebutuhan-guru-berkarakter/ http://pundi-pundi-pundi-pundi.blogspot.com/2011/09/menjadi-guru-berkarakter.html http://infokomtek.com/berita-nasional/guru-pelopor-pembentukan-karakter-bangsa http://mustafatope.wordpress.com/2011/08/02/guru-berkarakter-cerminan-siswa-berkarakter 260
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMP Oleh : R. Bambang Aryan Soekisno STKIP Siliwangi - Bandung Abstrak Makalah ini menggambarkan penerapan teori konstruktivisme pada prinsip-prinsip pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Prinsip pembelajaran terdiri dari apersepsi, peragaan, motivasi, aktivitas, kerjasama, mandiri, penyesuaian dengan individu, korelasi, dan evaluasi yang teratur. Prinsip-prinsip pembelajaran merupakan prinsip didaktisasi yang sangat dipengaruhi oleh teori-teori pembelajaran. Prinsip pembelajaran matematika pun memiliki kesamaan dengan prinsip didaktisasi ini. Pada makalah ini, penulis mengadopsi prinsip didaktisasi untuk diterapkan pada pembelajaran matematika. Setiap prinsip pembelajaran didaktisasi dipaparkan contoh-contoh yang cukup aplikatif untuk diterapkan pada tingkat SMP. Contoh-contoh yang dipaparkan tersebut merupakan penerapan teori konstruktivisme pada pembelajaran. Kata kunci: Konstruktivisme, prinsip-prinsip pembelajaran, matematika SMP 1.
Pendahuluan
Usaha berbagai pihak dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi (1994: 36) bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan lingkungan. Salah satu reformasi pembelajaran (di Indonesia) yang gaungnya sudah semakin dirasakan di sekolah-sekolah adalah pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan ini pada awalnya begitu monumental bahkan terus menerus diperbincangkan setiap pelaku dan pemerhati pendidikan. Akan tetapi, bagi para guru yang belum banyak mendapat informasi tentang inovasi pembelajaran, pendekatan ini menjadi barang mewah yang sukar diraih bahkan sukar ditiru seperti apa melaksanakannya di depan kelas. Konstrutivisme berawal dari aliran kognitifisme, oleh karena itu sering juga disebut konstruktivisme kognitif. Aliran inilah yang pertama kali menyatakan bahwa siswa (anak) adalah mahluk aktif, ia dapat mengkonstruk sendiri pengetahuan dari informasi-informasi yang didapatkannya atau dari pengalamannya. Salah satu pencetus dari aliran ini adalah Piaget, yang terkenal dengan teorinya bahwa konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh anak melalui fase perkembangan kognitif. Fase perkembangan kognitif anak oleh Piaget dibagi menjadi empat, yaitu sensori motorik (0-2 tahun), pra operasional konkrit (3-6 tahun), operasional konkrit (7-12 tahun), dan operasional formal (> 12 tahun). Siswa usia sekolah dasar menurut Piaget berada pada fase operasional konkrit. Konstruktivisme kemudian berkembang menjadi konstruktivisme sosial yang dimotori oleh Vygosky, dan konstruktivisme emosional yang dimotori oleh Kohlberg. Pengusung konstruktivisme kognitif pun bertebaran, diantaranya Ausuble, dan Bruner. Vygotsky menawarkan suatu teori yang mengatakan bahwa potensi untuk perkembangan kognitif dibatasi oleh suatu rentang tertentu dan bersifat unik bagi setiap individu belajar. Teori itu Zone of Proximal Development (ZPD), dapat didefinisikan sebagai rentang antara tingkat perkembangan kecerdasan aktual dan kecerdasan potensial. Teori Vygotsky juga mengklaim bahwa pembelajaran akan sangat efektif ketika individu belajar ditempatkan dalam suatu lingkungan belajar yang supportive dan ketika mereka menerima bimbingan yang sesuai. Peran bimbingan yang dilakukan adalah untuk mengorganisasikan dukungan dinamis yang dapat digunakan pembelajar dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan sampai pada batas atas ZPD yang dimiliki pembelajar. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
261
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Interpretasi akan optimal dan sesuai dengan harapan tujuan pembelajaran ketika mendapatkan dukungan dari lingkungan, dan ia dapat mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan apa yang diberi interpretasi. Dalam menciptakan suasana lingkungan yang dapat mendukung interpretasi siswa dalam pembelajaran, peran guru pada saat ini sangat dibutuhkan. Guru tidak hanya berperan sebagai fasilitator namun dapat lebih dari itu, yang dapat membangkitkan motivasi, dan dapat mendorong siswa untuk membangun pengetahuan baru. Pengetahuan dapat dibangun apabila pembelajaran itu memiliki makna bagi siswa, seperti yang dikatakan Ausubel, bahwa dalam belajar bermakna, materi yang diperolehnya dimengerti dan siswa mampu mengembangkan ke dalam keadaan lain. Selanjutnya, Ausubel membedakan antara belajar menerima dan menemukan. Belajar menerima, maksudnya siswa hanya menerima materi dan menghapalkannya. Adapun belajar menemukan menurut Ausubel penting karena dengan memberikan pengulangan secara garis besar tentang apa-apa yang akan dipelajari mengarahkan siswa kepada proses pemahaman. Sejalan dengan teori konstruktivisme yang mengatakan bahwa pengetahuan baru dibangun atas dasar pengalaman dan pengetahuan yang ada sebelumnya, prinsip-prinsip pembelajaran menganggap bahwa sistem memori yang paling krusial untuk memindahkan informasi menjadi berbagai pengetahuan yang bermakna ke dalam memori jangka panjang (long term memory) adalah memori jangka pendek. (short term memory). Seluruh informasi yang masuk ke otak manusia diorganisasikan dan diproses dalam memori jangka pendek melalui proses interaksi dengan memori jangka panjang. Tetapi mengingat memori jangka pendek hanya mampu mengolah informasi antara 8 – 11 unit informasi (psychological unit) setiap proses dilakukan (Schenck, J., Building Memory Bank), maka untuk membangun pengetahuan dalam jumlah yang besar pemrosesan informasi semestinya dilakukan secara bertahap. Pada makalah ini, penulis mencoba memberikan alternatif pembelajaran seperti apa yang diinginkan dalam konstruktivisme, khususnya dalam pembelajaran matematika sehingga pembelajaran dapat bermakna. Akan tetapi, penulisannya dibatasi hanya pada pengembangan dan penerapan prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah konstruktivisme. Prinsip-prinsip yang dikemukakan para pengembang konstruktivis pada umumnya belum secara operasional seperti apa pembelajarannya di depan kelas. Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba menafsirkannya melalui beberapa contoh pembelajaran matematika. 2.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran Matematika Menggunakan Konstruktivisme dan Penerapannya
Konstruktivisme sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi pembelajaran matematika, terutama pendekatan mengajar yang disampaikan guru serta posisi dan peran guru dalam proses pembelajaran matematika. Sebagaimana pernyataan Suparno (1997:12), konstruktivisme sangat mempengaruhi praktek pendidikan sains dan matematika, banyak cara mengajar di sekolah didasarkan pada konstruktivisme seperti cara belajar yang menekankan peranan murid dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu keaktifan murid tersebut dalam pembentukan pengetahuannya. Pembelajaran matematika yang konstruktivis dapat dikembangkan dengan mengacu pada prinsipprinsip pembelajaran yang relevan. Dari sekian banyak teori yang dikemukakan para konseptor dan pengembang konstruktivisme, penulis mencatat beberapa prinsip pembelajaran konstruktivis, seperti apersepsi, peragaan, motivasi, aktivitas, kerjasama, mandiri, penyesuaian dengan individu, korelasi, dan evaluasi yang teratur. Prinsip didaktisasi matematika yang dikemukakan di atas sangat dipengaruhi oleh filsafat dan psikologi pembelajaran matematika. Filsafat berpengaruh pada didaktisasi matematika, terutama dalam menentukan tujuan pendidikan matematika serta menentukan pandangan kita sebagai anak manusia serta hubungan antara guru dan siswa. Salah satu filsafat yang banyak mempengaruhi pendidikan matematika saat ini adalah filsafat konstruktivisme. Implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran matematika adalah perlunya guru meyakini perannya sebagai fasilitator dalam membuat siswa aktif mengkonstruksikan sendiri ide, konsep, prosedur, dan prinsip matematika. 262
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Psikologi memberikan sumbangan di dalam didaktisasi dari segi perkembangan anak dan bagaimana anak belajar, termasuk bagaimana anak belajar matematika serta bagaimana guru dapat memberikan bimbingan yang efektif sehingga hasil belajar siswa menjadi optimal. Salah satu psikologi yang kini sangat berpengaruh dalam pendidikan matematika adalah aliran psikologi kognitif yang lebih mengutamakan proses berpikir dalam memahami realitas dan kebenaran. Tokohnya seperti Piaget, Bruner, Vygotsky, dan Van Hiele. a.
Prinsip Apersepsi
Apersepsi digunakan dalam mengajar dengan maksud untuk membangun pemahaman ide yang baru dipelajari dengan mengaitkan pada pemahaman ide yang telah dimiliki siswa. Apersepsi diperlukan untuk menafsirkan tanggapan-tanggapan baru. Apersepsi juga digunakan untuk membangkitkan minat dan perhatian terhadap sesuatu berdasarkan pengetahuan yang ada. Contoh apersepsi yang dapat dikembangkan guru di antaranya sebagai berikut. Contoh 1
Pada pembelajaran dengan materi fungsi linear dan grafiknya (Puskur, 2002), pada saat hendak masuk ke pembicaraan tersebut perlu diawali dengan kegiatan apersepsi seperti :
Menugasi siswa untuk menggambar titik-titik A(2,5), B(-3,5), C(0,4), D(6,6) pada bidang koordinat Cartesius Mengisi tabel yang memenuhi persamaan y x = x untuk (x,y) bilangan bulat antara -5 dan 5, kemudian menggambarkannya pada y bidang koordinat Cartesius.
Kegiatan apersepsi dapat dilanjutkan dengan kegiatan menggambar 2 titik sembarang pada bidang koordinat dan menghubungkannya menjadi sebuah segmen garis. Contoh 2
Untuk memasuki pelajaran tentang mencari luas daerah lingkaran yang diketahui panjang jarijarinya, digunakan apersepsi di antaranya sebagai berikut.
Tanya jawab dengan siswa tentang konsep unsur-unsur lingkaran seperti jejari, diameter, sektor, keliling. Tanya jawab tentang pemahaman mencari luas daerah lingkaran yang diketahui panjang dan lebarnya. Konsep-konsep terebut diperlukan untuk memahami luas daerah lingkaran secara informal. Dibuat daerah lingkaran dari kertas manila dengan panjang jejarinya tertentu, dipotong-potong menurut sektor-sektornya dan dibentuk menyerupai persegi panjang seperti gambar di bawah ini.
1 1 keliling l = 2 r r 2 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
263
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
b. Prinsip Peragaan Banyak ahli psikologi belajar, terutama penganut psikologi kognitif mengajarkan kepada kita bahwa untuk mengajarkan konsep yang abstrak harus dimulai dari sesuatu yang konkrit lalu semikonkrit, kemudian abstrak. Salah satunya yang dikembangkan oleh Bruner, yaitu dengan mengkonstruksi (enactive, iconic, simbolik), menyusun notasi, dan mengkontraskan. Misalnya pada teori menyusun notasi, siswa mempelajari matematika yang menggunakan begitu banyak simbol, hendaknya memahami secara bertahap mulai dari yang paling sederhana sesuai dengan tingkat pemahamannya. Contoh 3.
Untuk mengajarkan notasi fungsi linear (Puskur, 2002), tidak diajarkan dengan serta merta melalui pendekatan f : x f(x), tetapi dimulai dari diagram Venn terlebih dahulu.
Hubungan dari suatu himpunan ke himpunan sebagai berikut.
. 4 . 10 . n . x . 2
A
f
. 5 .7 . 13 . n+3 . x+3 B
Selanjutnya dijelaskan ada fungsi dari himpunan A ke himpunan B dan ditulis: f:A→B f:n → n+3 f(n) → n + 3 f(x) → x + 3 y=x+3 c.
Prinsip Motivasi
Salah satu fungsi yang melekat pada diri guru adalah peran sebagai motivator, yang mampu mendorong siswa memiliki semangat dan kemauan belajar yang lebih tinggi. Motivasi yang dapat ditanamkan bisa berupa motivasi intrinsik (yang didorong oleh cita-cita, harapan pribadi dari siswa) atau motivasi ekstrinsik (tumbuh dari luar diri siswa). Misalnya, guru dapat melakukan beberapa tindakan seperti memberi nilai secara obyektif, memberi hadiah dan penghargaan, menumbuhkan rasa sukses, membiasakan sikap bekerja sama, membangun suasana kelas yang menyenangkan. d.
Prinsip Belajar Aktif
Makna aktif dapat bermacam-macam bentuknya seperti mendengarkan, menulis, membuat, mendiskusikan. Tetapi, ada pula keaktifan yang tak dapat diamati secara langsung, misalnya menggunakan khasanah ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah, memilih teorema untuk membuktikan, melakukan asimilasi dan akomodasi untuk memperoleh pengetahuan baru. Apalagi dalam matematika syarat dengan aktivitas abstrak. Karena itu, pembelajaran yang dapat dilakukan hendaknya tidak seutuhnya mengedepankan metode ceramah, tetapi hendaknya bervariasi dengan metode lain yang dapat membangkitkan keaktifan siswa, seperti cooperative learning atau Problem Based Instruction.
264
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Contoh 4.
Pembelajaran matematika di SMP melalui Problem Based Instruction. Pokok bahasan : Statistika Kelas : Kelas 2 Topik : Penyajian Data Kegiatan 1: Mengumpulkan data Pilihlah olehmu satu topik kegiatan berikut ini. Penimbangan berat badan teman-teman sekelasmu sampai kg terdekat Pengukuran tinggi badan teman-teman sekelasmu sampai cm terdekat Menanyakan usia teman-temanmu sampai tahun terdekat Rekamlah data yang kamu peroleh tadi melalui tabel atau diagram. Kegiatan 2: Menganalisis data Urutkanlah data yang diperoleh kemudian tentukanlah mean, median, dan modus dari data itu. Jelaskan ukuran manakah yang lebih mewakili jawaban itu. Mengapa? Kegiatan 2: Memamerkan hasil Sajikan atau tunjukkan data hasil pengukuran atau hasil survey tersebut ke dalam tiga diagram berbeda (diagram batang, diagram garis, dan diagram lingkaran) Menurut pendapatmu, diagram mana yang sesuai untuk menyajikan data hasil pengukuran atau hasil survey tersebut? Mengapa e.
Prinsip Kerjasama
Di dalam pembelajaran siswa perlu diberikan kesempatan untuk berlatih belajar bagaimana hidup dalam kelompok. Wujud nyatanya, siswa diharapkan terlibat dalam tugas-tugas kelompok. Guru bertugas memfasilitasi kegiatan kelompok agar berlangsung produktif dan dinamis. Untuk mengefektifkan kerja kelompok dapat digunakan pendekatan cooperative learning tipe jigsaw. Pelaksanaan diskusi tipe jigsaw akan dapat menghilangkan ketergantungan kelompok pada anggota tertentu saja, dan semua anggota dapat berpartisipasi aktif. Kegiatan diskusi model jigsaw yang bisa disarankan untuk pembelajaran matematika di sini seperti contoh berikut ini. Contoh 5
Misalkan satu kelas yang terdiri atas 30 siswa dibagi ke dalam 3 kelompok sebut kelompok Pythagoras (P), Euclid (E), dan Cartesius (C). Masing-masing anggotanya sebanyak 10 orang. Kelompok P terdiri atas P1, P2, P3, ... P10. Kelompok E terdiri atas E1, E2, E3, ... E10. Kelompok C terdiri atas C1, C2, C3, ... C10. Guru menyiapkan 10 macam tugas yang berbeda antara tugas yang satu dengan yang lainnya. Kemudian anggota ke-1 dari setiap kelompok (P1, E1, C1) mengerjakan tugas 1, anggota ke-2 dari setiap kelompok kelompok (P2, E2, C2) mengerjakan tugas 2, dan seterusnya hingga tugas 10 oleh anggota ke-10 setiap kelompok (P10, E10, C10) Setelah selesai menyelesaikan tugas di kelompok kecil, setiap anggota menjadi narasumber di kelompok besar mengenai soal atau tugas yang dikerjakan pada kelompok kecil. Misalnya, P1 sebagai nara sumber pada kelompok P dalam memecahkan soal/tugas 1. E1 sebagai nara sumber pada kelompok E dalam memecahkan soal/tugas 1, dan seterusnya hingga C10 sebagai nara sumber pada kelompok C dalam memecahkan soal/tugas 10. Diskusi pada kelompok besar (P, E, dan C) berupa pembahasan soal/tugas 1 , soal/tugas 2, dan seterusnya hingga soal/tugas 10. Gambaran prosedur kegiatan di atas seperti diperlihatkan skema berikut ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
265
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
30 siswa disebar
P6
P5
P7
E6 E7
P4 P3
P8
E10
C4 C3
C8
E2
E9
C5
C7
E4 E3
P1
P10
C6
E8
P2
P9
E5
C2
C9
E1
C1
C10
P1 C1
E1
P10
P2
......
C2
E2
C10
E10
30 siswa disebar
P6
P5
P7
E6 E7
P4 P3
P8 P2
P9 P1
P10
E5
C6 C7
E4 E3
E8 E2
E9 E10
E1
C5 C4 C3
C8 C2
C9 C1
C10
P1 E1
C1
P10
P2 E2
f.
C2
......
E10
C10
Prinsip Mandiri
Paham konstruktivisme merupakan paham yang sesuai untuk mengembangkan kemandirian pada proses berpikir siswa karena esensi konstruktivisme mampu mengkonstruk ide berdasarkan pengetahuan/pengalaman yang pernah didapatkan tanpa terlalu banyak menggantungkan diri pada penjelasan guru sebagai salah satu nara sumber. Menurut penulis tugas-tugas membaca dan metode proyek dapat dijadikan sarana untuk memupuk kemandirian siswa. Berikut ini contoh yang dapat diterapkan guna memupuk kemandirian belajar siswa.
266
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Contoh 6
Kelas : 1 Kompetensi matematika Topik Kompetensi dasar Hasil belajar Indikator Model Pembelajaran Penilaian
Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah ……………………………………….......... Semester : 2 : Geometri : Luas : kekekalan luas : memahami konsep kekekalan luas : dapat menyusun potongan gambar (tangram) dalam berbagai susunan : Permainan :Asesmen Proyek dengan cara scoring holistic rubriks
Tugas : Siswa diminta untuk menjiplak gambar tangram berikut ini beberapa kali. Hasil jiplakan itu dipotong-potong sesuai gambar, kemudian dipakai untuk membentuk bangun geometri yang lain, misalnya kucing-kucingan, anjinganjingan, lilin menyala, perahu layar,dan lain-lain Lakukan pembagian tugas di antara teman- teman sekelompokmu! Susunlah setiap hasil kerja kelompokmu pada tabel berikut ini. Susunan ke-
2
5 3
1
2
4
1
gambar
1
2
dst
dst
Tampilkan hasil pekerjaan kelompokmu itu
g. Prinsip Korelasi Prinsip korelasi yang penulis dimaksudkan di sini adalah upaya mengaitkan satu topik matematik dengan topik lain dalam matematika juga atau dengan mata pelajaran lain serta dengan kehidupan keseharian. Tujuannya agar selama mengkonstruk pengetahuan yang baru siswa mendapatkan kesenangan dan kemanfaatan dari pengetahuan yang dipelajarinya itu. Contoh 7
Ketika guru mengajarkan basis bilangan perlu dijelaskan betapa peran pentingnya perubahan basis decimal ke sistem biner sehingga kemudian dapat diterapkan untuk menyusunkan kode-kode atau simbol-simbol ke dalam rangkaian angka 0 dan 1 yang dikaitkan dengan rangkaian arus listrik, kemudian menjadi sistem pengolahan informasi yang dikenal dalam komputer.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
267
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
h.
Prinsip Asesmen Otentik
Model asessmen yang dikembangkan adalah penilaian yang sesungguhnya (assessmen authentic). Maksudnya, penilaian terhadap hasil kerja siswa saat berlangsung proses kegiatan siswa belajar dan di akhir pembelajaran. Jadi, tidak hanya pada saat siswa mengerjakan tes akhir suatu pokok bahasan saja. asesmen otentik yang dikembangkan meliputi Paper and Pencil Tes, Performance Assessment, Project Assessment, Product Assessment, Portfolio. Berikut beberapa contoh asesment tersebut yang dapat dikembangkan para guru matematika. Contoh 8 Asesmen Kinerja
Kelas : 3 (tiga) Kompetensi matematika Topik Kompetensi dasar Hasil belajar Indikator
Model pembelajaran Penskoran
Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah ……………………………………….......... Semester : 1 (satu) : Statistika dan Peluang : Statistika : Melakukan kegiatan statistika : Menyajikan dan menafsirkan data : Menghitung mean (rata-rata) Menjelaskan makna mean (rata-rata) : Cooperative Learning tipe STAD : Menggunakan rubrics untuk setiap respon yang diberikan siswa pada setiap langkah pekerjaannya
SOAL 1 a. Guntinglah seutas benang menjadi tiga potong yang berbeda panjangnya. b. Tanpa menggunakan alat ukur panjang, carilah rata-rata panjang ketiga benang tersebut. c. Tulislah rumus yang mungkin untuk menyatakan rata-rata panjang ketiga benang tersebut. SOAL 2 Siswa berkumpul dalam kelompok masing-masing Dalam setiap kelompok siswa dibagi permen/kerikil/kelereng atau yang sejenisnya dengan jumlah permen/kerikil/kelereng yang berbeda setiap orangnya. a. Hitunglah jumlah permen/kerikil/kelereng yang kamu dapatkan dan ingat baik-baik jumlah permen/kerikil/kelereng tersebut. b. Pilihlah seorang teman dalam kelompokmu, tanya berapa jumlah permen/kerikil/kelereng yang ia dapat. Jumlah permen/kerikil/kelereng yang paling banyak dari pasanganmu itu berikan pada teman pasanganmu yang memiliki permen/kerikil/kelereng lebih sedikit, sehingga jumlah permen/kerikil/kelereng yang kamu miliki dengan pasanganmu sama atau lebihnya satu. c. Pilih kembali teman yang lain sebagai pasanganmu dan lakukan seperti langkah b di atas. Demikian seterusnya sampai setiap orang dalam kelompokmu memiliki jumlah permen yang sama. d. Tulislah rumus yang mungkin untuk menyatakan rata-rata dari banyaknya permen yang didapat setiap orang dalam kelompokmu. Lembar Penilaian Rubriks Nama Siswa
Kelompok
Skor tiap Langkah a b c D
Jumlah skor 268
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Contoh 9 Asesmen Proses Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah
Kelas : 3 (tiga) Kompetensi matematika Topik Kompetensi dasar Hasil belajar Indikator Model pembelajaran Penskoran
……………………………………….......... Semester : 1 (satu) : Pengukuran dan Geometri : Kesebangunan : Menerapkan konsep kesebangunan : Menentukan perbandingan kesebangunan dua bangun datar : Menggambar bangun-bangun yang sebangun dengan menggunakan bidang koordinat : cooperative learning : Rubriks
Kisi-Kisi Pertanyaan Nomor Soal 1a 1b 1c 1d 1e 1f 1g
Jenis Pertanyaan reasoning, connecting measuring, using tools Visualizing measuring, using tools comparing, reasoning, counting comparing, reasoning, counting comparing, reasoning, connecting
Langkah Kerja
Perhatikan gambar kepala boneka di samping ini. 1. a. Tentukan letak titik-titik sudut pada gambar di samping ini (lihat tabel 1 kolom 3) b. Lengkapilah tabel 1 untuk kolom 4 c. Gambarlah bayangan dari gambar kepala boneka pada kertas berpetak yang lain sesuai dengan tabel 1 kolom 6. d. Lengkapilah tabel 1 kolom 6 e. Bandingkan panjang sisi-sisi yang bersesuaian antara bangun 1 dan bangun 2 f. Bandingkan besar sudut yang bersesuaian antara bangun 1 dan bangun 2 g. Kesimpulan apa yang kamu peroleh tentang bangun 1 dan bangun 2 ? Jelaskan 2. Lakukan seperti soal 1 (b) s.d. (g) untuk tabel kolom 7 dan kolom 8 (bangun 3) ! Y
O
Kelompok
Titik Sudut
Wajah
A B C D E F G H ... ... dst
Mulut ... dst
Tabel 1 Bangun 1 Bangun 2 Koordinat Besar Koordinat Besar (x,y) sudut (x+2,y+2) Sudut (2,12) ........... ........... ........... (1,10) 153o43‘ ........... ........... (1,4) 153o43‘ ........... ........... (2,2) 153o43‘ ........... ........... (10,2) ........... ........... ........... (11,4) ........... ........... ........... (11,10) ........... ........... ........... (10,12) ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ... ... ... ... dst Dst dst dst
X
Bangun 3 Koordinat Besar (x-2,y-2) Sudut ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ... ... Dst dst
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
269
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Contoh 10 Penilaian Proses Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah
Kelas : 3 Kompetensi matematika Topik Kompetensi dasar Hasil belajar Indikator Model pembelajaran Penskoran
……………………………………….......... Semester : 2 : Penalaran : Pembuktian induktif dan deduktif : Menerapkan konsep barisan/deret bilangan : Menentukan banyak loncatan minimal pada permainan menara Hanoi : Menemukan rumus untuk banyak loncatan minimal pada permainan menara Hanoi : permainan : kartu evaluasi
Soal
Berikut ini dua model penalaran dalam matematika untuk menentukan banyak loncatan minimal pada permainan menara Hanoi. Lengkapilah langkah-langkah tersebut dengan cara mengisi titik-titik a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k yang ada
Model Penalaran induktif Pin 1 1
Loncatan 21 – 1 = 1
Selisih Loncatan 2
2
3
22 – 1 = 3
3
7
23 – 1 = 7
4
15
......(a)......
5 . . . k–1
31
25 – 1 = 31
4 8 .......(b)......
........(c)....... 2k-1 k
k
2 -1
k+1 . . . N
2k+1 – 1
.......(d).....
.......(e).......
Model Penalaran deduktif
Untuk n = 1 benar bahwa banyak loncatannya adalah 21 – 1 = 1 Andaikan benar untuk n = k, yaitu banyak loncatannya adalah 2k – 1, maka akan dibuktikan bahwa benar pula untuk n = k + 1, yaitu .....(f)..... Dengan demikian, untuk n = .....(g)..... berlaku (2k – 1) + selisihnya = 2k – 1 + .....(h)..... = ......(i)..... = 2k+1 – 1. Jadi, terbukti bahwa untuk pin sebanyak n = k+1, loncatannya sebanyak 2k+1 – 1 = 1 Penskoran
Skor tertinggi adalah 9. Skor +1 untuk setiap tempat kosong 270
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
3.
Penutup
Demikianlah ilustrasi pembelajaran yang bisa dikembangkan dalam mengimplementasikan filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran matematika di SLTP. Teringat pada sebuah pendapat mengatakan sebaik apapun suatu teori belajar mengajar, maka tidak ada teori belajar mengajar yang paling unggul. Semuanya tergantung kepada si penyampai pelajaran, penerima pelajaran, dan lingkungan belajarnya, alias guru, siswa, dan sekolah itu sendiri. Tiga hal itu mengait dan saling mendukung untuk mewujudkan PBM yang bermutu sehingga hasil belajar siswa tercapai sesuai dengan tujuan. Prinsip-prinsip didaktisasi pembelajaran matematika berdasarkan konstruktivisme di atas bermuara pada kompetensi guru, baik secara profesional maupun akademik. Dengan demikian, harapan semakin baiknya kualitas dan hasil pembelajaran matematika di masa datang diharapkan menjadi kenyataan. Semoga. DAFTAR PUSTAKA
Ernest, Paul (1994). Constructing Mathematical Knowledge: Epistemology and Mathematics Education. London: The Falmer Press. Puskur (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTS. Jakarta: Pusat Kurikulum – Balitbang Depdiknas. Soedjadi (1994).Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan Pembudayaan Penalaran. Surabaya: PPS IKIP Surabaya Suparno, Paul (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius Vygotski (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological Processes. London : Harvard University Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
271
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK-TALK-WRITE (TTW) Oleh: Wahyu Hidayat Jurusan Pendidikan Matematika - MIPA STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen berbentuk kelompok kontrol pretes-postes, dengan perlakuan pendekatan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) dan pembelajaran konvensional.Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan cara konvensionalberdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi, sedang, dan kurang ( = 5%); (2) Tidak terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan TKAS dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa ; (3) Faktor Pendekatan Pembelajaran memiliki peran yang lebih besar dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematik siswa dibanding faktor Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS). Kata kunci : berpikir kreatif matematik, Think-Talk-Write (TTW) A.
Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia.Pembelajaranmatematika diberikan pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah, bertujuan agar siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama). Hal ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP adalah dapat mengembangkan berpikir kritis dan kreatif siswa yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. Dengan demikian pembelajaran matematika memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, kreatif dan bekerja sama yang diperlukan siswa dalam kehidupan modern. Pada dasarnya sejak masih kanak-kanak manusia sudah cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif.Sebagai makhluk rasional dan pemberi makna, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya.Kecenderungan itu dapat kita temukan pada seorang anak kecil yang memandang berbagai benda di sekitarnya dengan rasa ingin tahu dan menguji coba segala sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya lalu menarik kesimpulan dari hal-hal yang ditemuinya. Dalam upaya meningkatkan kualitas matematika, maka perlu terus dilakukan usaha-usaha untuk mencari penyelesaian terbaik guna meningkatkan kreativitas berupa pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa dalam matematika. Untuk itu diperlukan usaha-usaha apa yang dilakukan oleh guru berupa inovasi-inovasi dalam pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar dapat lebih bermakna bagi siswa. Hendriana (2009 : 5) mengatakan bahwa pola pembelajaran ceramah dan ekspositori ini kurang menanamkan pemahaman konsep, karena siswa kurang aktif. Sehingga, jika siswa diberi soal yang berbeda dengan soal yang telah diselesaikan oleh gurunya, maka siswa akan kesulitan untuk menyelesaikan, karena mereka tidak memahami konsep.
272
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Hasil studi awal di Kota Cimahi terhadap siswa SMA, kecenderungan mereka menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit untuk dipelajari dan jika diperbolehkan mereka berusaha menghindar dari bidang studi matematika.Kecenderungan ini berakibat pada motivasi siswa untuk belajar matematika sangat rendah.Ini juga berakibat pada tingkat Kemampuan Awal Siswa terhadap matematika (TKAS) yang rendah. Tingkat Kemampuan Awal Siswa terhadap Matematika (TKAS) memberi pengaruh langsung atau tidak terhadap kemampuan matematika selanjutnya. Karena orang yang belajar matematika harus memiliki pengetahuan matematika sebelumnya (Sumarmo, 2002). Ada kemungkinan kemampuan siswa baik, sedang ataupun kurang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. Salah satu solusi dari permasalahan-permasalahan di atas adalah pembelajaran matematika di sekolah dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) yang diupayakan dapat membuat siswa lebih aktif terlibat dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran matematika tersebut, maka diharapkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa akan dapat terlatih dengan baik. Pembelajaran Kooperatif TTW diharapkan dapat memicu keaktifan siswa di dalam kelas yang sasarannya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. B.
Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan cara biasa berdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi, sedang, dan kurang? 2. Apakah terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajarandan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS)dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa? 3. Mana di antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang lebih berperan dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa? C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan cara biasa berdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi, sedang, dan kurang. 2. Mengetahui apakah terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS)dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. 3. Mengetahui mana di antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang lebih berperan dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. D.
Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat : 1.
Bagi siswa, penerapan pembelajaran dengan Kooperatif Think-Talk-Write (TTW) sebagai salah satu sarana untuk melibatkan aktivitas siswa secara optimal dalam memahami konsep matematika sehingga konsep yang semula abstrak akan lebih cepat dipahami secara terintegrasi. Dengan menggunakan pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW) belajar siswa menjadi bermakna karena ia dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang dikenalnya. Hal ini diharapkan membuat siswa mengubah pandangannya Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
273
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.
E.
dengan tidak menganggap lagi matematika sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya memiliki kemampuan untuk mempelajari mata pelajaran ini sehingga pada akhirnya siswa diharapkan lebih mempunyai kepercayaan diri dalam belajar matematika. Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik pada berbagai jenjang pendidikan. Berpikir Kreatif Matematik dan Think-Talk-Write (TTW)
1. Berpikir KreatifMatematik
Kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk menghasilkan atau mengembangkan sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang berbeda dari ide-ide yang dihasilkan kebanyakan orang. Coleman dan Hammen (Yudha, 2004: 63) menyatakan bahwa berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam konsep, pengertian, penemuan dan karya seni. Sejalan dengan pendapat Coleman dan Hammen, (Sukmadinata, 2004:177) mengemukakan, ―Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating)‖. Munandar (Nurlaelah, 2009 : 37) mengemukakan aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur kreativitas yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibiliy), keaslian (originality), dan keterincian (elaboration). Sejalan dengan pendapat munandar tersebut, nurlaelah (2009 : 18) menyatakan bahwa kreativitas matematika adalah tingkat kemampuan matematika mahasiswa yang memiliki ciri-ciri kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keterincian. Nicholl (Rohaeti, 2008 : 18) mengatakan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjadi orang kreatif adalah: mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya; berpikir empat arah; memunculkan banyak gagasan; mencari kombinasi terbaik dari gagasan-gagasan itu; memutuskan mana kombinasi terbaik; dan melakukan tindakan. Berpikir kreatif matematik adalah kemampuan yang meliputi keaslian, kelancaran, kelenturan, dan keterperincian respon siswa dalam menggunakan konsep-konsep matematika. 2. Think-Talk-Write (TTW)
Pembelajaran TTW dimulai dengan bagaimana siswa memikirkan penyelesaian suatu tugas atau masalah, kemudian diikuti dengan mengkomunikasikan hasil pemikirannya melalui forum diskusi, dan akhirnya melalui forum diskusi tersebut siswa dapat menuliskan kembali hasil pemikirannya. Aktivitas berpikir, berbicara, dan menulis adalah salah satu bentuk aktivitas belajar-mengajar matematika yang memberikan peluang kepada siswa untuk berpartisipasi aktif.Melalui aktivitas tersebut siswa dapat mengembangkan kemampuan berbahasa secara tepat, terutama saat menyampaikan ide-ide matematika. a.
Think
Menurut Marzuki (2006 : 27) bahwa berpikir yang dilakukan manusia meliputi lima dimensi yaitu : 1) Metakognisi, merupakan kesadaran seseorang tentang proses berpikirnya pada saat melakukan tugas tertentu dan kemudian menggunakan kesadaran tersebut untuk mengontrol apa yang dilakukan. 2) Berpikir kritis dan kreatif, merupakan dua komponen yang sangat mendasar. Berpikir kritis merupakan proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang diyakini serta dilakukan. Sedangkan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang bersifat spontan, terjadi karena adanya arahan yang bersifat internal dan keberadaannya tidak bisa diprediksi. 3) Proses berpikir, memiliki delapan kompenen utama yaitu pembentukan konsep, pembentukan prinsip, pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, penelitian, penyusunan, dan berwacana secara oral. 274
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
4)
5)
b.
Kemampuan berpikir utama, juga memiliki delapan komponen yang memfokuskan, kemampuan mendapatkan informasi, kemampuan mengingat, kemampuan mengorganisasikan, kemampuan menganalisis, kemampuan menghasilkan, kemampuan mengintegrasi, serta kemampuan mengevaluasi. Berpikir matematik tingkat tinggi, pada hakekatnya merupakan non-prosedural yang antara lain mencakup hal-hal berikut : kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola, kemampuan menggunakan fakta-fakta, kemampuan membuat ide-ide matematik, kemampuan berpikir dan bernalar secara fleksibel, serta menetapkan bahwa suatu pemecahan masalah bersifat logis. Talk
Diskusi dapat menguntungkan pendengar yang baik, karena dapat memberi wawasan baru baginya. Baroody (Ansari, 2003:25) menguraikan beberapa kelebihan dari diskusi kelas, yaitu : 1) Dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi. 2) Membantu siswa mengkonstruksi matematika. 3) Menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendirisendiri, tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam satu tim. 4) Membantu siswa menganalisis dan memecahkan masalah secara bijaksana. c.
Write
Aktivitas menulis berarti mengonstruksi ide, karena setelah berdiskusi antar teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Shield dan Swinson(Ansari, 2003:39)menyatakan, bahwa menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang ia pelajari.Aktivitas selama tahap ini adalah : 1) Menulis solusi terhadap masalah yang diberikan termasuk perhitungan. 2) Mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah. 3) Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan yang tertinggal. 4) Meyakini bahwa pekerjaannya lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya. F. Metode dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain penelitiannya sebagai berikut : O X O (Ruseffendi, 2005 : 53) O O Keterangan : O : Tes Kemampuan berpikir kreatifmatematik X : Perlakuan dengan pembelajaran Kooperatif TTW Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Cimahi. Kemudian dari sekolah tersebutdiambil siswa kelas XI sebagai subyek sampel.Disamping skenario pembelajaran untuk pendekatan TTW, dalam penelitian ini digunakan Instrumen berupa tes kemampuan berpikir kreatif matematik. G. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan beberapa macam instrumen, yaitu seperangkat tes kemampuan berpikir kreatifmatematik.Didalam penelitian ini disamping tes awal, kedua sampel dikelompokkan berdasarkan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang data kuantitatifnya diperoleh dari data nilai guru pada tiga standar kompetensi terakhir. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa sebelum dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis skor gain ternormalisasi yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : skor tes akhir −skor tes awal maksimum ideal −skor tes awal
g = skor
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
275
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tingkat perolehan skor gain ternormalisasi dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu : 0,70 < g : Tinggi 0,30 ≤ g ≤ 0,70 : Sedang g < 0,30 : Rendah H. Analisis Data dan Pembahasan
Deskripsi peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik merupakan gambaran kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (pendekatan pembelajaran TTW dan pendekatan pembelajaran KONV) dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) kelompok tinggi, sedang atau kurang. Deskripsi yang dimaksud adalah ratarata dan standar deviasiberdasarkan pendekatan pembelajarandan klasifikasi Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS). Tabel E.1 Deskripsi Data Gain Ternormalisasi Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan TKAS Pend Pemb TTW
KONV
TKAS TINGGI SEDANG KURANG TOTAL TINGGI SEDANG KURANG TOTAL
Skor Min. 0,63 0,53 0,59 0,53 0,38 0,25 0,31 0,25
Maks. 0,83 0,82 0,76 0,83 0,61 0,53 0,59 0,61
Rata-rata 0,75 0,71 0,68 0,72 0,51 0,39 0,47 0,44
Simp. Baku 0,07 0,10 0,07 0,08 0,08 0,09 0,10 0,10
Catatan: Skor Maksimum Ideal 1,00 Berdasarkan Tabel E.1, dapat dikemukakan deskripsi peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematiksiswa sebagai berikut: 1) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata 0,72>0,44; standar deviasi 0,08 <0,10;Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. 2) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang berasal dari TKAS tinggi berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata 0,75>0,51; standar deviasi 0,07<0,08. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa pada TKAS tinggiyang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. 3) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang berasal dari TKAS sedang berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata 0,71> 0,39; standar deviasi 0,10> 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa pada TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. 4) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang berasal dari TKAS kurang berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata 0,68> 0,47; standar deviasi 0,07< 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada TKAS kurang yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. 276
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
5)
Dari faktor pendekatan pembelajaran dan TKAS maka faktor pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada faktor TKAS dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa TKAS tinggi yang pembelajarannya menggunakan carakonvensional. Begitu pula peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa TKAS kurang yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. Dengan demikian dari kedua faktor yaitu pendekatan pembelajaran dan TKAS maka faktor pendekatan pembelajaran yang lebih berperan dalam pencapaian peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa.
Untuk mendukung deskripsi peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik yang telah dijelaskan, maka dilakukan analisis data berpikir kreatif matematik siswa melalui uji statistik dengan menggunakan ANOVA dua jalur. Tabel E.2 Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Peningkatan Kemampuan Berpikir KreatifMatematik Berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan TKAS SUMBER Pendekatan Pembelajaran (A) TKAS (B) AxB Inter
JK
dk
RJK
1,051 0,079 0,030 0,402
1 2 2 57
1,051 0,039 0,018 0,007
F h it 149,246 5,573 2,624
Sig 0,000 0,006 0,081
(Diambil dari output SPSS. 17) a)
Pendekatan Pembelajaran
H0 : e = k H : e k A
Kriteria pengujian : Jika sig> 0,05 maka H0 diterima Dari Tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,000; atau dengan kata lain sig< 0,05. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif TTW dengan yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional pada taraf signifikansi 5%. b)
Peringkat Sekolah
H0 : t ' s ' k ' HA : Paling tidak terdapat satu TKAS yang berbeda secara signifikan dengan TKAS lainnya Kriteria pengujian : Jika sig> 0,05 maka H0 diterima Dari tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,006; atau dengan kata lain sig< 0,05; hal tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu kelompok siswa dengan TKAS tertentu yang kemampuan berpikir kreatif matematik siswanya berbeda secara signifikan dengan TKAS lainnya pada taraf signifikansi 5%. Untuk mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dilakukan uji scheffe. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel E.3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
277
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel E.3 Uji Scheffe Skor Rerata Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Berdasarkan TKAS TKAS (I)
TKAS(J)
Tinggi
Sedang
Sig 0,000
H0 Ditolak
Sedang
Kurang
0,359
Diterima
Tinggi
Kurang
0,024
Ditolak
(Diambil dari output SPSS.17)
Dari Tabel E.3 disimpulkan bahwaterdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada TKAS tinggi dan kurang dibandingkan siswa dengan TKAS sedang pada taraf signifikansi 5%. Dalam hal ini kemampuan berpikir kreatif matematik siswa dengan TKAS tinggi dan kurang lebih baik daripada siswa dengan TKAS sedang. Implikasinya Kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada TKAS tinggi dan kurang lebih berkembang dari TKAS sedang. c)
Efek Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan TKAS
H 0 : Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah H A : Paling tidak ada satu selisih yang berbeda secara signifikan dari yang lainnya. Dari tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,081 lebih besar dari 0,05; hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat efek interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) dengan TKAS dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada taraf signifikansi 5%. F. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
2.
3.
Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional (KONV) berdasarkan kemampuan siswa tinggi, sedang, dan kurang.Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran TTW pada siswa yang kemampuannya tinggi dan sedang berada dalam kualifikasi tinggi, sedangkan yang lainnya berada dalam kualifikasi sedang. Tidak terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa. Berarti secara bersamaan faktor pendekatan pembelajaran dan TKAS tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada taraf signifikansi 5%. Faktor Pendekatan Pembelajaran memiliki peran yang lebih besar dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa dibanding faktor Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS).
278
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
DAFTAR PUSTAKA Ansari, B. I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) melalui Strategi Think Talk Write. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan. Hendriana, H. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik Dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan. Marzuki, A. (2006). Implementasi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Tesis pada PPS UPI. Bandung : Tidak diterbitkan. Nurlaelah, E. (2009). Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Disertasi pada SPS UPI. Bandung : Tidak diterbitkan. Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran Dengan Pendekatan Eksplorasi Untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan. Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung : Tarsito Sukmadinata, N.S (2004). Kurikulum Karya.
dan
Pembelajaran
Kompetensi.
Bandung: Yayasan Kesuma
Sumarmo,U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan pada Seminar Nasional FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan Yudha, A. S. (2004). Berpikir Kreatif Pecahkan Masalah. Bandung: Kompas Cyber Media.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
279
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN ARIAS TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL Hamidah Jurusan Pendidikan Matematika - MIPA STKIP Siliwangi Abstrak. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman dapat membantunya mengembangkan bagaimana untuk berfikir dan bagaimana untuk membuat keputusan. Sehingga, rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa dapat mempengaruhi kualitas belajar siswa yang berdampak pada rendahnya prestasi siswa di sekolah. Salah satu upaya mengatasinya adalah dengan menciptakan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa serta memotivasi siswa saat pembelajaran berlangsung, yaitu dengan model pembelajaran ARIAS. Sampel pada penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII. Selanjutnya, penelitian ini juga ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS memberikan pemahaman yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Kemudian, ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional siswa, diketahui bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional siswa maka semakin baik kemampuan pemahamannya. Namun pembelajaran dengan model ARIAS tidak dapat membedakan kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS dapat diberikan pada siswa dengan tingkat kecerdasan emosional tinggi, sedang, ataupun rendah. Selanjutnya, dilihat dari aktivitas menunjukkan siswa sangat aktif pada saat pembelajaran dengan model ARIAS terlebih aktivitas diskusinya. Kemudian, dari respon siswa diketahui bahwa siswa merespon positif terhadap pembelajaran dengan model ARIAS. Kata kunci: pembelajaran ARIAS, pemahaman matematis, kecerdasan emosional. A.
Latar Belakang Masalah
Menurut National Research Council (1989), bahwa sebenarnya semua keterampilan matematis itu didasarkan pada pemahaman matematis. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman dapat membantunya mengembangkan bagaimana untuk berfikir dan bagaimana untuk membuat keputusan (Allen, 1992; Borasi & Rose, 1989; Burton & Morgan, 2000; Countryman, 1992; Noraini, 2009). Dengan demikian, membangun pemahaman matematis dapat mengembangkan kemampuan matematis lainnya. Menurut Sardiman (2006), dalam interaksi belajar mengajar yang terpenting adalah guru sebagai pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi membantu menciptakan kondisi yang kondusif serta memberikan motivasi dan bimbingan agar siswa dapat mengembangkan potensi dan kreatifitasnya melalui kegiatan belajar. Untuk itu, perlu suatu rancangan model pembelajaran yang dapatmengaktifkan siswa, menarik minat siswa, serta mengajak siswa untuk terlibat saat proses pembelajaran. Model pembelajaran ARIAS dikembangkan oleh Keller dan Thomas (1987) yang merupakan modifikasi dari model ARCS (attention, relevance, convidence, satisfaction). Model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen yaitu assurance (percaya diri), relevance (relevan), interest (minat/perhatian), assessment (evaluasi), dan satisfaction(kepuasan/rasa bangga). Modelpembelajaran ARIAS merupakan acuan kegiatan guru dalam proses belajar mengajar yang dirancang untuk memotivasi siswa serta mengaktifkan siswa saat proses pembelajaran berlangsung. Namun pada umumnya, siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) tinggi hasil belajarnya akan tinggi. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki IQ yang tinggi. Inteligensi dianggap merupakan satu-satunya bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Di lain pihak, Goleman (2000) menyatakan bahwa tidak sedikit orang yang
280
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
memiliki IQ tinggi namun tidak sesukses orang yang memiliki IQ sedang bahkan IQ rendah sekalipun. Dengan kata lain, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, namun kecerdasan emosional juga diperlukan. Berdasarkan uraian di atas,maka judul pada penelitian ini yaitu ―Pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa SMP ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional‖. B.
Masalah Penelitian
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran ARIAS lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran tradisional? 2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional? 3. Apakah terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap kemampuan pemahaman matematis? 4. Bagaimana aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model ARIAS? 5. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model ARIAS? C.
TujuanPenelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menelaah dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran ARIAS dan yang mendapatkan pembelajaran tradisional. 2. Menelaah dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemahaman matematis ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional. 3. Menelaah dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemahaman matematis ditinjau dari interaksi antara jenis pembelajaran dan kecerdasan emosional. 4. Mengetahui aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model ARIAS. 5. Mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan model ARIAS. D.
Hipotesis
Hipotesis penelitian pada penelitian ini adalah : 1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model ARIAS lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran tradisional. 2. Terdapat perbedaan kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional. 3. Terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap kemampuan pemahaman matematis. E.
Definisi Operasional
Istilah-istilah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut: 1. Kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kemampuan: a. menjelaskan konsep secara tulisan dengan kata-kata sendiri; b. menyatakan suatu permasalahan ke dalam model matematis; c. mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dalam memecahkan persoalan matematis; d. menggunakan model untuk memecahkan persoalan matematis; e. melihat dan menggunakan hubungan antar konsep dalam memecahkan suatu persoalanmatematis.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
281
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2.
3.
4.
Model pembelajaran ARIAS yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu: a. Assurance (percaya diri), misalnya dengan memberikan soal-soal yang relatif mudah pada awal pembelajaran atau dengan memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan kemampuannya. b. Relevance (relevan), misalnya dengan mengemukakan tujuan pembelajaran, menggunakan contoh-contoh yang ada hubungannya dengan kehidupan nyata, mengadakan kegiatan yang relevan dengan kehidupan nyata dan pengalaman atau pengetahuan siswa sebelumnya. c. Interest (minat dan perhatian), misalnya dengan mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan, atau dengan mengadakan diskusi, demonstrasi, menggunakan media atau alat peraga. d. Assessment (evaluasi), misalnya dengan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri mengenai materi yang belum dipahami, atau dengan mengajak siswa mengevaluasi hasil pekerjaan temannya. e. Satisfaction (rasa puas dan bangga), misalnya dengan memberi penghargaan baik secara verbal (ucapan ―selamat‖ atau ―bagus sekali‖) maupun non-verbal (senyuman) kepada siswa yang berani menampilkan kemampuannya, atau dengan mengadakan pembelajaran yang mengajak siswa menemukan konsep matematika. Kecerdasan emosional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk mengenali dan mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina kerjasama dengan orang lain (keterampilan sosial). Aktivitas yang dimaksud pada penelitian ini adalah aktivitas dalam melakukan hal yang relevan (aktif menulis, aktif berdiskusi, dan aktif membaca) dan aktivitas dalam melakukan hal yang tidak relevan.
F.
Kajian Pustaka
1.
Pemahaman Matematis
Menurut Bloom (dalam Anderson & Krathwohl, 2001), pemahaman adalah kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Sedangkan menurut Driver (1993), pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Ruseffendi (1991) mengemukakan tiga jenis pemahaman yaitu translation (pengubahan), interpretation (pemberian arti), dan extrapolation (pembuatan ekstrapolasi). Jadi pemahaman merupakan kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari informasi yang didapat. 2.
Model Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction). Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan saat kegiatan pembelajaran dalam upaya menciptakan pembelajaran yang dapat memotivasi dan mengaktifkan siswa. 3.
Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Untuk itu penting bagi individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia serta dapat lebih mengontrol pikiran dan tingkah laku. Goleman (2002)menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. 282
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
G.
Metode Penelitian
1.
Desain Penelitian
Penelitian ini berbentuk kuasi eksperimen dengan desain faktorial (factorial design). Factorial design dapat dilihat interaksi antara variabel bebasnya (X) dengan variabel kontrol (Y), yang dalam hal ini adalah kecerdasan emosional (Fraenkel & Wallen, 1993). Berdasarkan hal tersebut maka desain penelitiannya adalah sebagai berikut. Eksperimen : Y O X O Kontrol : Y O O 2.
SubjekPenelitian
Subjek pada penelitian ini dilakukan dengan purpose yang didasarkan kepada kelompokyaitusiswa kelas VIII di salah satu SMP Negeridi Bandung. 3.
InstrumenPenelitian
Berdasarkan jenis data yang diharapkan dalam penelitian ini, maka untuk memperoleh data digunakan empat instrumen yaitu tes kemampuan pemahaman matematis, tes kecerdasan emosional, observasi aktivitas, dan angket respon siswa. 4.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan bantuan software SPSS dan software Micosoft Excel dengan kriteria untuk menolak atau menerima berikut:
Jika P value , maka Jika P value , maka
a.
H O didasarkan harga P value
yaitu sebagai
H O ditolak, H O diterima.
Data Tes Kecerdasan Emosional
Data yang diperoleh dari tes kecerdasan emosional dikategorikan berdasarkan tingkatnya yaitu tinggi, sedang, dan rendah. b.
Data pretes kemampuan pemahaman matematis
Data yang diperoleh dari hasil pretes, dihitung perbedaan reratanya. Tujuannya adalah untuk mengetahui kemampuan awal kedua kelas apakah sama atau berbeda. Untuk mengetahui statistik apa yang digunakan untuk menguji perbedaan rerata, dilakukan uji normalitas dan homogenitas dengan bantuan software SPSS pada taraf signifikansi 5%. Jika hasil menunjukkan data berdistribusi normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji parametrik yaitu uji-t, namun jika data berdistribusi normal tapi tidak homogen digunakan uji- t ' . Selanjutnya, jika salah satu data atau keduanya tidak berdistribusi normal dilakukan uji non parametrik Mann Whitney. Perhitungan dilakukan dengan bantuan software SPSS. c.
Data postes kemampuan pemahaman matematis
Menganalisis data postes sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian, digunakan teknik statistika ANOVA (Analysis of variance), dan apabila diperoleh hasil ada perbedaan pengaruh maka untuk menentukan signifikansinya digunakan Post HocMultiple Comparison yaitu uji Bonferroni. Namun jika datanya tidak berdistribusi normal, maka dilakukan Uji Friedman untuk Desain Acak Blok.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
283
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
H.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Kemampuan Pemahaman Matematis
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diketahui bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model ARIAS memiliki perbedaan yang signifikan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran tradisional. Lebih lanjut, ditemukan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model ARIAS lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran tradisional. Hal ini dikarenakan pembelajaran dengan model ARIAS dirancang untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa selama pembelajaran berlangsung. Lima komponen dalam model ARIAS masing-masing memberi kontribusi yang besar dalam membangun kemampuan pemahaman matematis siswa. Secara keseluruhan, kontribusi model pembelajaran ARIAS terhadap pemahaman matematis siswa adalah bahwa model pembelajaran ARIAS dirancang untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Dengan motivasi dapat mendorong aktivitas belajar siswa dan dengan motivasi dapat memupuk optimisme siswa dalam belajar. Lebih lanjut, menarik minat siswa untuk terlibat dan memperhatikan pada saat proses pembelajaran. Sikap seperti ini jika dipertahankan pada saat pembelajaran akan sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam memahami materi yang sedang disampaikan. Sehingga mampu memberikan kemampuan pemahaman matematis yang baik kepada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model ARIAS. 2.
Pemahaman Matematis Ditinjau dari Tingkat Kecerdasan Emosional
Hasil pengolahan dan analisis data menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional memiliki perbedaan. Hasil analisa lebih lanjut, menunjukkan bahwa untuk semua pasangan kelompok tingkat kecerdasan emosional memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan pemahaman matematisnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional siswa secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis. Hasil diketahui bahwa rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional tinggi lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional sedang dan rendah. Lebih lanjut, diketahui juga bahwa rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional sedang lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional rendah. Hasil ini menggambarkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional siswa maka kemampuan pemahaman matematisnya semakin baik. 3.
Kemampuan Pemahaman Matematis Ditinjau dari Interaksi antara Jenis Pembelajaran dan Kecerdasan Emosional
Hasil ANOVA 2-jalur, menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan tingkat kecerdasan emosional siswa. Selisih kemampuan pemahaman matematis antara pembelajaran tradisional dan pembelajaran ARIAS pada setiap tingkat kecerdasan emosional tidak menunjukkan perbedaan yang jauh. Lebih lanjut, hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa pada masing-masing pasangan jenis pembelajaran berdasarkan kemampuan pemahamannya ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS dapat diberikan kepada siswa yang kecerdasan emosional tinggi, sedang, ataupun rendah. Karena yang diteliti adalah siswa sekolah berkemampuan sedang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS dapat diterapkan di sekolah berkemampuan sedang baik untuk siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang, maupun rendah.
284
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
4.
Korelasi antara Kecerdasan Emosional dan Kemampuan Pemahaman Matematis
Hasil korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara kecerdasan emosional dan pemahaman matematis siswa di kelas eksperimen dan kontrol. Selanjutnya diketahui bahwa hubungan antara kecerdasan emosional dan pemahaman matematis siswa di kelas eksperimen tergolong cukup. Sedangkan di kelas kontrol hubungan antara kecerdasan emosional dan kemampuan pemahaman matematisnya tergolong kuat. 5.
Pemahaman Matematis Kelas Eksperimen Ditinjau dari Butir Soal
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa secara rata-rata, pembelajaran dengan model ARIAS belum optimal dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa dalam aspek menggunakan model untuk memecahkan persoalan matematis. Hal ini disebabkan, pembelajaran lebih sering mengajak siswa untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah dengan mengidentifikasi sifat-sifat atau menggunakan hubungan antar konsep dalam memecahan persoalan matematis, namun kurang mengajak siswa untuk mengotak-atik model atau menyelesaikan masalah matematis dengan menggunakan model. 6.
Aktivitas Siswa selama Pembelajaran dengan Model ARIAS
Secara keseluruhan hasil menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa meningkat dalam setiap pertemuan yaitu dalam melakukan aktivitas yang relevan dengan pembelajaran yaitu aktif menulis, berdiskusi, dan membaca yang diberikan pada 8 pernyataan observasi. Dengan kata lain, siswa menunjukkan sikap yang aktif dan relatif meningkat saat diberikan model pembelajaran ARIAS. 7.
Respon Siswa terhadap Pembelajaran dengan Model ARIAS
Selama 14 kali pertemuan, siswa diberikan pembelajaran dengan model ARIAS. Lampiran F.1 menunjukkan rata-rata siswa merespon positif terhadap pembelajaran yang diberikan. Rata-rata keseluruhan indikator menunjukkan respon positif yang diberikan siswa terhadap pembelajaran dengan kriteria tergolong kuat. I.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis temuan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model ARIAS lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran tradisional. 2. Ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional, disimpulkan bahwa kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional tinggi, sedang, dan rendah memiliki perbedaan kemampuan pemahaman matematis yang signifikan satu sama lain. Hasil korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan emosional siswa dengan kemampuan pemahamannya, yaitu semakin rendah kecerdasan emosional siswa maka semakin rendah pula kemampuan pemahaman matematisnya. 3. Ditinjau dari interaksi antara jenis pembelajaran dan tingkat kecerdasan emosional siswa terhadap kemampuan pemahaman matematisnya, disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Artinya, tidak terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dengan tingkat kecerdasan emosional siswa terhadap kemampuan pemahaman matematisnya. 4. Secara umum, siswa menunjukkan aktivitas yang aktif pada saat proses pembelajaran dengan model ARIAS. Lebih lanjut, ditemukan aktivitas diskusi siswa menunjukkan kegiatan yang paling aktif. 5. Secara umum, dari skor rata-rata yang diperoleh tampak bahwa siswa merespon positif terhadap proses pembelajaran dengan model ARIAS.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
285
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
J.
Rekomendasi dan Saran
Rekomendasi dan saran pada penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada jenjang SMP. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pada jenjang sekolah yang berbeda, misalnya SD, SMA/SMK, atau tingkat perguruan tinggi. 2. Penelitian ini hanya meninjau aspek kecerdasan emosional. Pada penelitian selanjutnya dapat ditinjau aspek yang berbeda, misalnya bakat, motivasi, atau (Emotional Spiritual Quotient – ESQ). DAFTAR PUSTAKA
Anderson, O. W dan Krathwohl. (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing. New York. Addison Wesley Longman, Inc. Allen, N. B. R. (1992). A Study of Metacognitive Skills as Influenced by Expressive Writing in College Introductory Algebra Classes. Dissertation Abstract International, 53, 432A. Borasi, R. dan Rose, B. J. (1989). Educational Studies in Mathematics. Journal Writing and Mathematics Instruction, 20, 347-365. Burton, L., dan Morgan, C. (2000). Mathematics Writing. Journal for Research in Mathematics Education, 31, 420-453. Countryman, J. (1992). Writing to Learn Mathematics. Portsmouth: Heinemann. Driver, R., Leach, J. (1993). A constructivist view of learning: Children‟s conceptions and nature of science. In what research says to science teacher. 7, 103-112. Washington: National Science Teachers Assosiation. Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education (secon ed.). Singapore: McGraw-Hill.
Goleman, D. (2000). Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama. ----------------- (2002). Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Keller, J. M. dan Thomas W. K. (1987). An Application of the Arcs Model of Motivational Design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. National Research Council. (1989). Everybody Counts: A Report to The Nation on The Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press. Noraini, I. (2009). Enhancing Student‟s Understanding in Calculus Through Writing. International Electronic Journal of Mathematics Education, 4, 37-55. Ruseffendi, H.E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sardiman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
286
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PENERAPAN METODE SAVI DENGAN PENDEKATAN INDUKTIF DAN PENINGKATAN BERFIKIR KREATIF MATEMATIS Oleh : Haerudin Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak Banyak siswa mengalami kesulitan belajar matematika. Faktor-faktor yang mempengaruhinya mungkin antara lain masih adanya anggapan bahwa matematika itu pelajaran yang sulit, abstrak, kurang sinergisnya unsur-unsur penunjang lainnya. Oleh karena itu, perlu dicarikan metode yang cocok agar matematika mudah dipahami dan mudah dimengerti. Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif bisa dipilih menjadi alternatif untuk memudahkan siswa belajar matematika dan akhirnya kemampuan berfikir kreatif matematis bisa berkembang dengan baik. Metode pembelajaran SAVI mampu mengaktifkan seluruh komponen yang ada pada diri siswa yaitu menggabungkan semua gerak fisik, intelektual, dan aktivitas intelektual yang mengaktifkan semua indera. Dalam makalah ini akan dikaji lebih mendalam tentang apa dan bagaimana metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif bisa diterapkan dalam meningkatan berfikir kreatif matematis. Kata kunci: Metode SAVI, kemampuan berfikir kreatif matematis A. PENDAHULUAN
Menurut pengamatan dan diskusi dengan beberapa guru matematika di Kota Bandung, terlihat bahwa sebagian besar siswa prestasi belajar matematiknya masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar matematika adalah siswa kurang berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran di kelas, sehingga siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran matematika. Hasil belajar siswa selain dipengaruhi oleh metode pembelajaran juga dipengaruhi oleh partisipasi siswa. Jika siswa aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran maka bukan hanya aspek prestasi saja yang dapat diraihnya namun ada aspek lain yang diperoleh yaitu aspek afektif dan aspek social. Mengingat pentingnya partisipasi siswa dalam pembelajaran, maka guru diharapkan bisa menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif yang memberikan lebih banyak partisipasi siswa, sedangkan siswa hendaknya dapat memotivasi dirinya sendirinya agar aktif di dalam proses pembelajaran. Dengan meningkatnya partisipasi siswa dalam pembelajaran maka diharapkan prestasi belajar siswa semakin meningkat dan kemampuan berfikir kratif semakin terlatih. Salah satu metode pembelajaran yang dapat mengatasi masalah rendahnya partisipasi siswa adalah dengan metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif. Hernowo (2004: 13-14) mengatakan,‖ SAVI ini adalah semacam metode belajar yang jika diterapkan secara serempak akan memfungsikan seluruh indera dan otak‖. Jadi metode SAVI adalah metode pembelajaran yang melibatkan seluruh anggota tubuh dari gerakan tubuh, pendengaran, kemampuan membayangkan, dan mampu bersifat cendikia atau berkait dengan kemampuan merenungkan, merumuskan, dan mengait-ngaitkan dengan memfungsikan pikiran secara baik dan benar. Pendekatan induktif adalah salah satu pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi, berfikir kreatif, dan kritis. Tujuannya adalah melatih siswa untuk belajar mengumpulkan, mengorganisasikan, kemudian membuat suatu kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan. Jadi metode SAVI dengan pendekatan induktif bisa diartikan suatu proses pembelajaran yang melibatkan gerak fisik, indera, dan intelektualitas untuk memahami, mempelajari, dam mengambil kesimpulan dari apa yang telah diamati. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
287
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
B. Metode Pembelajaran SAVI
Menurut Dave Meier (2002: 91),‖Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indera dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya namakan ini belajar SAVI. Unsur-unsurnya mudah diingat.‖ 1.
Somatis
: Belajar dengan bergerak dan berbuat.
Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, praktis melibatkan fisik dan menggunakannya serta menggunakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian, tubuh dan pikiran bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Keduanya adalah satu. Maksudnya tubuh adalah pikiran dan pikiran adalah tubuh. Menghalangi fungsi tubuh dalam belajar berarti dapat menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya. 2.
Auditori
: Belajar dengan berbicara dan mendengar.
Belajar auditori berarti belajar dengan melibatkan kemampuan audotori (pendengaran). Ketika telingan menangkap dan menyimpan informasi auditori, beberapa area penting di otak menjadi aktif.dengan merancang pembelajaran matematika yang menarik saluran auditori (pendengaran), guru bisa melakukan tindakan seperti membicarakan materi apa yangsedang dipelajari. Siswa diharapkan mampu mengungkapkan pendapat atas informasi yang didengarkan atas penjelasan guru. 3.
Visual
: Belajar dengan mengamati dan menggambarkan.
Belajar visual adalah belajar dengan melibatkan kemampuan visual (penglihatan), dengan alasan bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi visual daripada indera yang lain. Dalam merancang pembelajaran yang menarik kemampuan visual, seoarng gur dapat melakukan tindakan seperti meminta siswa menerangkan kembali materi yang sudah diajarakan. 4.
Intelektual : Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.
Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pangalaman tersebut. Belajar intelektuan adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. dalam membangun proses belajar intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal dari materi yang sudah diajarkan dan dijelaskan oleh guru. C. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif adalah salah satu pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi, berfikir kreatif, dan kritis. Pada pendekatan induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru membimbing siswa untuk merumuskan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tadi. Pada pendekatan induktif guru harus terampil dalam memberikan pertanyaan (questioning), membimbing dan mengarahkan siswa dapat memahami materi pelajaran yang disampaikan, dan mampu menumbuhkan dan membangun ide-ide kreatif kreatif siswa. Bagi siswa diberikan keluasan bertanya tanpa takut salah dan malu saat memberikan pendapat, bertanya, bersikap kritis, atau membuat konklusi dan jawaban. 288
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Pendekatan induktif dikembangkan atas dasar: 1. Kemampuan berfikir dapat dikembangkan. 2. Berfikir merupakan transaksi aktif antara individu dengan data. Siswa belajar mengorganisasikan fakta kedalan suatu system konsep, yaitu: a. Saling menghubung-hubungkan data yang diperoleh satu sama lain kemudian membuat kesimpulan berdasarkan hubungan-hubungan tersebut. b. Menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahuinya dlam rangka membangun hipotesis. c. Memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena tertentu . 3. Proses berfikir merupakan suatu urutan tahapan yang beraturan. D. Berfikir Kreatif
Johnson (2007:214) mengatakan, ‖Bagian dari berfikir kreatif−berlawanan dengan berfikir merusak−adalah mencari kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Pemikir kreatif melihat diri mereka tinggal di sebuah konteks, konteks keluarga, sekolah, kota, atau ekosistem, dan mereka mencoba untuk memperbaiki konteks ini.‖ Menurut saya berfikir kreatif adalah suatu proses berfikir untuk menemukan sesuatu yang bisa mengubah atau memperbaiki kondisi apapun sehingga menjadi lebih baik. Lebih lanjut Johnson (2007: 214) mengemukakan,‖Berfikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinankemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga.‖ Berfikir kreatif dapat menumbuhkan siswa sikap rasa ingin tahu dan banyak bertanya, mendorong siswa untuk mengkaji dan meneliti masalah-masalah dan berusaha mencari solusinya. Mampu menemukan pola tertentu yaitu menghubungkan satu hal dengan hal lainnya untuk menemukan makna. Ciri-ciri kreativitas yang aptitude adalah: a.
Keterampilan Berfikir Lancar (fluency)
b.
Definisi Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan. Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan bebagai hal. Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Perilaku siswa Mengajukan banyak pertanyaan. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah. Lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya. Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada anak-anak yang lainnya. Dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu obyek atau situasi.
Keterampilan Berfikir Luwes (Flexibility)
Definisi Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi. Dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda. Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda. Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
289
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
c.
Keterampilan Berfikir Orisinal (Originality)
d.
Definisi Mempu melahirkan ungkapan yang baru dan unik. Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri. Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Prilaku Siswa Memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain. Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha memikirkan cara-cara yang baru. Memilih a-simetris dalam menggambar dan membuat desain. Lebih senang mensintetis daripada menganalisa situasi.
Keterampilan Memperinci (Elaboration)
e.
Perilaku Siswa Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu obyek. Memberikan macam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah. Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda. Memberikan pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang diberikan orang lain. Dalam membahas atau mendiskusikan suatu situasi mempunyai posisi yang berbeda atau bertentangan dari mayoritas kelompok. Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara yang berbeda-beda untuk menyelesaikannya. Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang berbeda-beda. Mampu mengubah arah piker secara spontan.
Definisi Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk. Menambah atau memperinci secara detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Perilaku Siswa Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah terperinci. Mengembangkan dan memperkaya gagasan orang lain. Mencoba atau menguji secara detail untuk melihat arah yang akan ditempuh. Mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana. Menambah garis-garis,warna-warna, dan detail-detail, atau bagian –bagian terhadap gambarnya sendiri atau gambarnya orang lain.
Keterampilan Menilai (Evaluation)
290
Definisi Menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan suatu pernyataan benar atu tidak. Mampu mangambil keputusan terhadap situasi yang terbuka. Tidak hanya mencetuskan gagasn tetapi juga melaksanakannya. Perilaku Siswa Memberi pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri. Menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal. Menganalisis masalah atau penyelesaian secara kritis.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Mampu mempunyai alasan atau rasional yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencapai suatu keputusan. Merancang suatu rencana kerja dari gagasan-gagasan yang tercetus. Pada waktu tertentu tidak menghasilkan gagasan-gagasan tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis. Menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya.
E. Hasil Dan Pembahasan
Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif belum dikemukakan hasil penelitiannya karena masih merupakan Proposal Skripsi yang sedang diajukan untuk diadakan penelitian lebih lanjut. Tapi paling tidak telah memberikan gambaran yang baik sebagai masukan dan saran bagi proses pembelajaran yang baik yang dapat meningkatkan berfikir kreatif matematis. F.
Kesimpulan
Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif merupakan metode yang mungkin bisa digunakan untuk meningkatkan berfikir kreatif matematis. Membiasakan berfikir kreatif akan menumbuhkan rasa keingintahuan dan banyak pertanyaan serta akan memberikan warna yang baru dan bermakna bagi kehidupannya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
291
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN SAVI BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP Oleh : Harry Dwi Putra
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan analogi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selain itu diungkap pula aktivitas dan sikap siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Desain penelitian ini adalah kelompok eksperimen dan kontrol dengan pretest dan posttest. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk memperoleh data penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan analogi matematis, skala sikap siswa, dan lembar observasi. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama dengan level menengah (sedang). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 29 Bandung dengan sampel adalah siswa kelas VII-I sebagai kelompok eksperimen dan kelas VII-F sebagai kelompok kontrol yang dipilih dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan tujuan siswa di kelas tersebut mampu mengoperasikan komputer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data skala sikap siswa menunjukkan sikap siswa yang positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Kata kunci: pembelajaran SAVI berbantuan Wingeom, kemampuan analogi matematis. A. Pendahuluan Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi tuntutan global, sebab pendidikan merupakan suatu wadah kegiatan untuk membangun masyarakat dan karakter bangsa secara berkesinambungan, yaitu membina mental, intelektual, dan kepribadian dalam rangka membentuk manusia seutuhnya. Oleh karena itu, pendidikan perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara intensif dari pemerintah, masyarakat, maupun pengelola pendidikan. Pembelajaran merupakan suatu proses yang tidak hanya mentransfer informasi dari guru kepada siswa, tetapi juga melibatkan berbagai tindakan dan kegiatan agar hasil belajar menjadi lebih baik. Namun, pembelajaran di kelas masih berfokus kepada guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dengan metode ceramah sebagai pilihan utama, sehingga proses pembelajaran yang terjadi secara satu arah, siswa hanya mengetahui dan tidak mengalami apa yang dipelajarinya. Dalam hal ini, guru aktif sedangkan siswa pasif. Paradigma ―guru mengajar‖ masih dipertahankan dan belum berubah menjadi paradigma ―siswa belajar‖. Meier (2002: 42) mengatakan bahwa: Learning doesn't automatically improve by having people stand up and move around. But combining physical movement with intellectual activity and the use of all the senses can have a profound effect on learning. Guru ditekankan untuk lebih memenuhi target pencapaian kurikulum daripada target penguasaan materi. Proses ini telah mengabaikan sisi perkembangan individu siswa sebagai manusia yang tidak hanya diajar secara intelektual, tetapi diperlukan kemampuan mengambil makna dari apa yang diperolehnya. Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran 45 menit secara 292
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
tidak efektif dan rutinitas. Hal ini dapat membahayakan dan merusak seluruh minat siswa (Sobel dan Maletsky, 2004). Realitas inilah yang terus mengukuhkan posisi pelajaran matematika sebagai pelajaran yang menakutkan bagi sebagian siswa dan menggejala baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA (Turmudi, 2008). Bagi banyak orang, nama matematika menimbulkan kenangan masa sekolah yang merupakan beban berat. Bahkan Piaget mengungkapkan bahwa siswa cerdas sekalipun secara sistematis menemui kegagalan dalam pelajaran matematika (Maier, 1985). Hal ini diperkuat oleh Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan mata pelajaran yang paling dibenci. Hal ini terlihat dari rendahnya hasil belajar matematika yang diperoleh siswa. Lebih dari itu suasana belajar menjadi tidak menarik, cenderung membosankan, dan rutinitas belaka (Asyhadi, 2005). Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan. Faktor klasik yang menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa salah satunya adalah pembelajaran yang diselenggarakan guru di sekolah. Widdiharto (2004) menyatakan bahwa pembelajaran matematika di SMP cenderung berorientasi pada buku teks, guru mendominasi pembelajaran, dan materi matematika kurang berkaitan dengan konteks dunia nyata siswa. Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata lain tidak mempertimbangkan tingkat kognitif siswa sesuai dengan perkembangan usianya. Berbagai penelitian terus dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa, yang secara spesifik pada kemampuan matematisnya. Salah satu kemampuan matematis yang berperan penting dalam keberhasilan siswa adalah kemampuan penalaran. Hal ini dikarenakan matematika dan penalaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Prowsri dan Jearakul (Priatna, 2003) pada siswa sekolah menengah Thailand, terdapat keterkaitan yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan hasil belajar matematika mereka. Hal ini menunjukkan kemampuan penalaran berperan penting dalam keberhasilan siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang baik diharapkan memiliki prestasi belajar matematika yang baik pula. Salah satu penalaran yang penting dikuasai oleh siswa adalah analogi. Sastrosudirjo (1988) mengungkapkan bahwa analogi merupakan kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Soekadijo (1999) mengemukakan bahwa analogi berbicara tentang dua hal yang berlainan, dari dua hal yang berlainan itu dibandingkan satu sama lain. Dalam mengadakan perbandingan, dicari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang dibandingkan. Jika perbandingan itu hanya memperlihatkan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbulah analogi, yaitu persaman (keserupaan) di antara dua hal yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, Wahyudin (1999) menemukan bahwa salah satu kelemahan yang ada pada siswa adalah kurang memiliki kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Rif‘at (Suzana, 2003) juga menunjukkan kelemahan kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar. Misalnya, kesalahan dalam penyelesaian soal matematika disebabkan karena kesalahan menggunakan logika deduktif. Hal senada juga dikemukakan oleh Matz (Priatna, 2003) bahwa kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal matematika dikarenakan kurangnya penalaran terhadap kaidah dasar matematika. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
293
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Beberapa temuan di atas menunjukkan kemampuan penalaran siswa khususnya analogi masih rendah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Priatna (2003) yang menemukan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi) matematika siswa SMP masih rendah karena skornya hanya 49% dari skor ideal. Kemampuan analogi matematis siswa yang rendah serta sikap negatif siswa terhadap pelajaran matematika, tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk menggali dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan lebih banyak terlibat di dalam proses pembelajaran. Salah satu cabang matematika di sekolah yang memiliki ruang lingkup yang luas adalah geometri. Berdasarkan penyebaran standar kompetensi untuk satuan pendidikan SMP, materi geometri mendapatkan porsi yang paling besar (41%) dibandingkan dengan materi lain seperti aljabar (29%), bilangan (18%), serta statistika dan peluang (12%). Namun, penguasaan siswa dalam memahami konsep geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan (Abdussakir, 2009). Begitu juga dengan Jiang (2008) yang menuturkan bahwa salah satu bagian dari matematika yang sangat lemah diserap oleh siswa di sekolah adalah geometri, di mana kebanyakan siswa yang memasuki sekolah menengah atas memiliki pengetahuan ataupun pengalaman yang terbatas mengenai geometri. Menurut Sabandar (2002) pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan di antara bangun-bangun tersebut. Oleh karena itu, perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang memadai agar siswa bisa mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba, serta menemukan prinsipprinsip geometri lewat aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal menerapkannya apa yang mereka pelajari. Mengingat pentingnya pembelajaran geometri di sekolah, tetapi kurangnya penguasaan konsep geometri bagi siswa menyebabkan terhambatnya penguasaan materi ajar lainnya. Kemungkinan terbesar penyebab dari permasalahan ini adalah cara pengajaran guru yang selalu berfokus pada buku ajar dan kurangnya strategi atau pendekatan pembelajaran yang dapat memudahkan siswa dalam belajar geometri. Ruseffendi (1991) menyatakan apabila menginginkan siswa belajar geometri secara bermakna, tahap pengajaran disesuaikan dengan tahap berfikir siswa, sehingga siswa dapat memahaminya dengan baik untuk memperkaya pengalaman dan berfikir siswa, juga untuk persiapan meningkatkan berfikirnya pada tahap yang lebih tinggi. NCTM (Siregar, 2009) menyatakan bahwa secara umum kemampuan geometri yang harus dimiliki siswa adalah: (1) Mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik 2D atau 3D, dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang lainnya, (2) Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran hubungan spasial dengan menggunakan koordinat geometri serta menghubungkannya dengan sistem yang lain, (3) Aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk menganalisis situasi matematika, (4) Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan permasalahan. Untuk itu NCTM (Mulyana, 2003) menganjurkan agar dalam pembelajaran geometri siswa dapat memvisualisasikan, menggambarkan, serta memperbandingkan bangun-bangun geometri dalam berbagai posisi, sehingga siswa dapat memahaminya. Salah satu pendekatan yang dipandang dapat memfasilitasi pembelajaran geometri adalah pendekatan SAVI. Meier (2002) mengemukakan pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra yang dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Unsur-unsur dari pendekatan SAVI antara lain: Somatis (belajar dengan berbuat), misalnya siswa diminta menggambarkan bangun geometri ruang. Auditori (belajar dengan mendengarkan), seperti siswa diminta mengungkapkan pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penjelasan guru, misalnya siswa diminta menjelaskan perbedaan persegi dengan belah ketupat. Visual (belajar dengan mengamati dan menggambarkan), melalui bantuan program Wingeom siswa diharapkan dapat mengamati bangun294
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
bangun geometri secara jelas dan mampu menggambarkannya. Intelektual (belajar dengan memecahkan masalah dan merenungkan), misalnya siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan dari materi yang telah dijelaskan oleh guru. Menurut Meier (2002) pembelajaran geometri menjadi optimal apabila keempat unsur SAVI tersebut terdapat dalam satu peristiwa pembelajaran. Siswa akan belajar sedikit tentang konsepkonsep geometri dengan menyaksikan presentasi (Visual), tetapi mereka dapat belajar lebih banyak jika mereka dapat melakukan sesuatu (Somatis), membicarakan atau mendiskusikan apa yang mereka pelajari (Auditori), serta memikirkan dan mengambil kesimpulan atau informasi yang mereka peroleh untuk diterapkan dalam menyelesaikan soal (Intelektual). Dalam pembelajaran dengan pendekatan SAVI digunakan dynamic geometry software, yaitu Wingeom sebagai media visual bagi siswa. Program Wingeom memuat geometri dimensi dua dan tiga dalam jendela yang terpisah. Salah satu fasilitas menarik yang dimiliki program ini adalah fasilitas animasi yang begitu mudah, misalnya benda-benda dimensi dua atau tiga dapat diputar sehingga visualisasinya akan tampak begitu jelas. Menurut David Wees (Rahman, 2004) ada beberapa pertimbangan tentang penggunaan dynamic geometry software seperti Wingeom dalam pembelajaran matematika, khususnya geometri, di antaranya memungkinkan siswa untuk aktif dalam membangun pemahaman geometri. Program ini memungkinkan visualisasi sederhana dari konsep geometris yang rumit dan membantu meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep tersebut. Siswa diberikan representasi visual yang kuat pada objek geometri, siswa terlibat dalam kegiatan mengkonstruksi sehingga mengarah kepada pemahaman geometri yang mendalam, sehingga siswa dapat melakukan penalaran yang baik, terutama pada kemampuan analogi. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apakah kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom? C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom terhadap kemampuan analogi matematis siswa. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: 1. Mengkaji kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. 2. Mengkaji sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti bagi pihakpihak tertentu yang berperan dalam dunia pendidikan, di antaranya: 1. Bagi guru, pembelajaran dengan pendekatan SAVI dapat menjadi alternatif pembelajaran matematika lainnya dan memberikan pengalaman mengembangkan strategi dengan menggunakan media komputer dalam pembelajaran. 2. Bagi siswa, pembelajaran dengan pendekatan SAVI memberikan pengalaman baru dalam belajar matematika, mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas, serta membantu siswa meningkatkan kemampuan bernalarnya. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
295
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
3.
4.
E. 1.
Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan dalam menerapkan inovasi model pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom guna meningkatkan mutu pendidikan. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan/referensi tambahan untuk melakukan penelitian mengenai pembelajaran dengan pendekatan SAVI di sekolah. Kemampuan Analogi Matematis dan Pendekatan SAVI Kemampuan Analogi Matematis
Analogi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai persamaan atau persesuaian antara dua hal yang berbeda. Menurut Kane (Suriadi, 2006) analogi merupakan tipe khusus perbandingan, subjek kedua dikenalkan untuk menunjukkan kemiripan yang dapat menjelaskan topik lama. Menurut Shapiro (Suriadi, 2006) dalam pembelajaran analogi dapat memuat informasi baru lebih konkrit dan lebih mudah untuk membayangkan. Sastrosudirjo (1988) mengungkapkan bahwa analogi kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Alamsyah (2002) juga mengungkapkan bahwa dalam analogi yang dicari adalah keserupaan dari dua hal yang berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan itu. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran. Analogi terdiri dari dua macam, yaitu: analogi induktif dan analogi deklaratif/penjelas (Mundiri, 2000). Analogi induktif yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi pula pada fenomena kedua. Misalnya, terdapat keserupaan antara Bumi dengan planet-planet lain seperti Venus, Mars dan Jupiter. Planet-planet ini semuanya mengelilingi matahari sebagaimana Bumi, berputar dalam porosnya, menjadi subjek gravitasi yang kesemuanya itu sama seperti Bumi. Atas dasar keserupaan itulah tidak salah apabila kita menyimpulkan bahwa kemungkinan planetplanet tersebut dihuni oleh makhluk hidup sebagaimana Bumi. Analogi deklaratif/penjelas yaitu metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang abstrak atau belum dikenal atau masih samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Misalnya, untuk menjelaskan struktur ilmu yang masih samar bagi orang yang mendengarnya, dapat dijelaskan melalui sesuatu yang sudah dikenalnya, yaitu dengan menganalogikan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun oleh fakta-fakta, sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu. Meskipun tidak semua kumpulan fakta itu ilmu, sebagaimana tidak semua kumpulan batu itu rumah. Lawson (Suriadi, 2006) mengungkapkan keuntungan analogi dalam pengajaran antara lain: 1) memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengaitkan atau membandingkan pengetahuan analogi yang dimiliki siswa, 2) pengaitan tersebut akan membantu mengintegrasikan struktur-struktur pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses pengungkapan kembali pengetahuan baru, dan 3) dapat dimanfatkan dalam menanggulangi salah konsep. 2.
Pendekatan SAVI
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang menyediakan kondisi yang merangsang dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sebagai subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun kesadaran diri sebagai pribadi (Kamulyan dan Surtikanti,1999). Pembelajaran dengan pendekatan SAVI merupakan pembelajaran dengan menggabungkan gerakan fisik dan aktifitas intelektual serta melibatkan semua indera yang berpengaruh besar dalam pembelajaran. Pendekatan SAVI dikembangkan oleh Dave Meier dalam bukunya The Accelerated 296
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Learning Handbook, yang berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi, yaitu tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau Intelektual (I). Prinsip dasar pendekatan SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning, yaitu: pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh, pembelajaran berarti berkreasi bukan mengkonsumsi, bekerjasama membantu proses pembelajaran, pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan, belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik, emosi positif sangat membantu pembelajaran, dan otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis. Pendekatan SAVI juga menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan bahwa belajar yang paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang belajar dengan cara-cara yang berbeda. Unsur-unsur pendekatan SAVI adalah belajar Somatis, belajar Auditori, belajar Visual, dan belajar Intelektual. Apabila keempat unsur ini berada dalam setiap pembelajaran, maka siswa dapat belajar secara optimal. Berikut akan dijelaskan unsur-unsur pendekatan SAVI tersebut. a.
Belajar Somatis
Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, praktis melibatkan fisik dan menggunakan serta menggunakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian, tubuh dan pikiran bukan merupakan dua bagian yang tak terpisahkan. Keduanya adalah satu. Intinya, tubuh adalah pikiran dan pikiran adalah tubuh. Menghalangi fungsi tubuh dalam belajar berarti kita menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya. Untuk merangsang hubungan pikiran dan tubuh dalam pembelajaran matematika, maka perlu diciptakan suasana belajar yang dapat membuat siswa bangkit dan berdiri dari tempat duduk serta aktif secara fisik dari waktu ke waktu. Kegiatan dalam belajar somatis ini misalnya, siswa diminta menggambarkan bangun geometri ruang. b.
Belajar Auditori
Belajar auditori berarti belajar dengan melibatkan kemampuan auditori (pendengaran). Ketika telinga menangkap dan menyimpan informasi auditori, beberapa area penting di otak menjadi aktif. Dengan merancang pembelajaran matematika yang menarik saluran auditori, guru dapat melakukan tindakan seperti mengajak siswa membicarakan materi apa yang sedang dipelajari. Siswa diminta mengungkapkan pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penjelasan guru. Dalam hal ini siswa diberi pertanyaan oleh guru tentang materi yang telah diajarkan. Misalnya, siswa diminta menjelaskan perbedaan persegi dengan belah ketupat. c.
Belajar Visual
Belajar visual adalah belajar dengan melibatkan kemampuan visual (penglihatan), dengan alasan bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi visual daripada indera yang lain. Dalam merancang pembelajaran matematika yang menarik kemampuan visual, digunakan program Wingeom agar siswa dengan jelas dapat mengetahui bangun-bangun geometri yang dipelajari. d.
Belajar Intelektual
Belajar intelektual adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan, masalah dan membangun makna. Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Dalam proses belajar Intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan dari materi yang telah dijelaskan oleh guru. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
297
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
F.
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan eksperimental. Penelitian dilakukan dengan cara memberikan perlakuan terhadap subjek berupa penggunaan metode pembelajaran yang berbeda. Pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom diberikan kepada siswa kelompok eksperimen, sedangkan pembelajaran konvensional diberikan kepada siswa kelompok kontrol. Pada penelitian ini diperlukan sekolah yang memiliki laboratorium komputer dan siswanya mampu mengoperasikan komputer. Desain penelitian yang digunakan adalah non randomized pretest-posttest control group design (Fraenkel dan Wallen, 1993). O X O O ‒ O Keterangan: O : Pretest dan posttest (tes kemampuan analogi matematis siswa). X : Pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 29 Bandung kelas VII pada Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011. SMP Negeri 29 Bandung dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan sekolah dengan level menengah (sedang). Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling (sampel acak bertujuan). Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Sampel yang nantinya terpilih tidak berdasarkan pengacakan, peneliti menerima sampel yang sudah terbentuk sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pada penelitian ini diperlukan sekolah yang memiliki laboratorium komputer dan siswanya mampu mengoperasikan komputer. G. Instrument Penelitian Penelitian ini menggunakan tiga jenis instrumen, yaitu tes kemampuan analogi matematis, skala sikap siswa, serta lembar observasi. Tes yang digunakan terdiri dari tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Tes yang diberikan pada setiap kelas eksperimen dan kontrol, baik soal-soal untuk pretest maupun posttest adalah sama. Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan prestasi belajar sebelum mendapatkan pembelajaran dengan metode yang akan diterapkan, sedangkan tes akhir dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil belajar dan ada tidaknya pengaruh yang signifikan setelah mendapatkan pembelajaran dengan metode yang telah diterapkan. Jadi, pemberian tes pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar kemampuan analogi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap proses pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Skala sikap ini berupa angket yang terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Pembuatan skala sikap berpedoman pada bentuk skala Likert dengan lima option, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral atau ragu-ragu atau tidak tahu (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Lembar observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom berlangsung. Aktivitas guru yang diamati adalah kemampuan guru melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Hal ini bertujuan untuk memberikan refleksi pada pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya menjadi lebih baik. Aktivitas siswa yang diamati adalah keaktifan siswa dalam memperhatikan penjelasan guru, bekerjasama dalam kelompok, menanggapi dan mengemukakan pendapat, serta keterampilan dalam menggunakan program Wingeom. Observasi dilakukan oleh peneliti dan guru matematika.
298
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
H. Analisis Data dan Pembahasan 1. Kemampuan Analogi Matematis Siswa Berdasarkan skor pretest dan posttest kemampuan analogi matematis siswa diperoleh skor minimun (xmin), skor maksimum (xmaks), skor rerata (𝑥 ), persentase (%), dan standar deviasi (s) seperti pada tabel berikut.
Kelas Eksperime n Kontrol
Tabel H.1. Rekapitulasi Skor Pretest dan Posttest Kemampuan Analogi Matematis Siswa Pretest Posttest Skor Data Ideal xmin xmaks 𝒙 % s xmin xmaks % 𝒙
s
36
16
3
8
5,56 34,72 1,18
9
16
13,11
81,94 1,94
36
16
4
8
5,58 34,90 1,18
7
16
11,47
71,70 2,21
Berdasarkan Tabel H.1 terlihat bahwa rerata skor pretest kelas eksperimen dan kontrol berturutturut 5,56 dan 5,58. Hal ini menjukkant tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest kelas eksperimen dan kontrol. Sedangkan rerata skor posttest kelas eksperimen dan kontrol berturut-turut 13,11 dan 11,47. Secara kasat mata, rerata skor posttest kelas eksperimen meningkat sebesar 7,55 sedangkan kelas kontrol meningkat sebesar 5,59 dari skor pretest. Selisih perbedaan rerata skor posttest kelas eksperimen dan kontrol sebesar 1,64. Selanjutnya diuji apakah perbedaan rerata tersebut signifikan menggunakan uji-t. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa rerata kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dengan pendekatan SAVI membuat siswa aktif dalam belajar. Selain daripada itu, dengan berbantuan program Wingeom siswa menjadi lebih mudah memahami konsep matematika dengan mencari keserupaan dari bangun segiempat yang ditampilkan pada layar komputer. 2.
Skala Sikap Siswa
Analisis sikap siswa meliputi sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan SAVI, dan pembelajaran berbantuan Wingeom. Skor netral siswa adalah 3,00. Berdasarkan Tabel H.2 di bawah ini, terlihat bahwa sikap siswa terhadap pelajaran matematika menunjukkan rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pelajaran matematika. Begitu juga dengan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI menunjukkan rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI. Sama halnya dengan sikap siswa terhadap pembelajaran berbantuan Wingeom juga menunjukkan rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan SAVI, dan pembelajaran berbantuan Wingeom.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
299
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Tabel H.2. Rerata Sikap Siswa Aspek
Rerata/ Persentase 4,30 85,93% 4,09 81,85% 4,07 81,39% 4,38 87,59% 4,17 83,33% 4,14 82,78%
Indikator Minat siswa terhadap pelajaran matematika
Sikap siswa terhadap pelajaran matematika
Manfaat pelajaran matematika Minat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI.
Sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI.
Manfaat pembelajaran dengan pendekatan SAVI. Penggunaan LKS dalam pembelajaran. Kesenangan dan kesanggupan siswa menggunakan program Wingeom.
Sikap siswa terhadap pembelajaran berbantuan program Wingeom.
3.
Manfaat pembelajaran berbantuan program Wingeom.
3,82 76,39%
Aktivitas Guru dan Siswa
Aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan seorang guru matematika pada setiap pertemuan. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan terhadap kegiatan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan SAVI, menunjukkan peningkatan rerata aktivitas dari pertemuan ke-1 s.d ke-6. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dengan pendekatan SAVI membuat siswa aktif dalam belajar. Keempat aspek SAVI dilakukan siswa dengan baik. Siswa mendengarkan penjelasan guru (Auditori), siswa melihat dengan jelas konsep bangun segiempat dengan jelas melalui program Wingeom (Visual), siswa berdiskusi dalam kelompoknya membahas permasalahan dalam LKS dengan program Wingeom (Somatis), dan siswa mengerjakan latihan untuk menguji pemahamannya (Intelektual). Hasil pengamatan juga menunjukkan siswa menjadi lebih kreatif memanipulasi bangun segiempat yang ada pada komputer mereka. Siswa bersemangat berdiskusi dengan temannya mencari solusi dari permasalahan dalam LKS. Peran guru mulai berkurang dalam pembelajaran. Guru hanya sebagai fasilitator, motivator, dan moderator bagi siswa. Pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru, siswa yang lebih aktif, keberhasilan siswa ditentukan oleh dirinya sendiri. Berikut ini disajikan grafik peningkatan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. 76% 80% 85%
91% 91% 94% Persentase
Persentase
100% 50% 0%
1
2
3
4
5
6
Aktivitas Guru Pada Setiap Pertemuan
84% 82% 80% 78% 76%
81%
82%
83% 83%
79% 79%
1
2
3
4
5
Aktivitas Siswa Pada Setiap Pertemuan
Gambar H.1. Perkembangan Aktifitas Guru dan Siswa Pada Pembelajaran dengan Pendekatan SAVI berbantuan Wingeom 300
6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
I.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan mengenai perbedaan kemampuan analogi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom memiliki kemampuan analogi matematis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Setelah memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom, siswa menunjukkan sikap positif. Aktivitas belajar siswa meningkat dari pertemuan ke-1 s.d ke-6.
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah. (2002). Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Analogi Matematika. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan. Asyhadi, A. (2005). Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staf LPMP Pengelola Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG Matematika Yogyakarta. Fraenkel, J. R dan Wallen, N. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. Singapore: Mc. Graw Hill. Kamulyan, Mulyadi, S., dan Surtikanti. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Maier, H. (1985). Kompendium Didaktik Matematika. Bandung: CV Remaja Karya. Mulyana, E. (2003). Masalah Ketidaktepatan Istilah dan Simbol dalam Geometri SLTP Kelas 1. Makalah FPMIPA UPI. Mundiri. (2000). Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 SLTP di Kota Bandung. Disertasi UPI Bandung: tidak diterbitkan. Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Siswa SMA melalui pembelajaran Berbalik. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan. Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dan Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sabandar, J. (2002). Pembelajaran Geometri dengan Menggunakan Cabri Geometry II. Kumpulan Makalah, Pelatihan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Sastrosudirjo, S. S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar Untuk Siswa SMP. Jurnal Kependidikan no.1 Tahun ke 18: IKIP Yogyakarta. Siregar, N. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Madrasah Tsanawiyah Pada Kelas yang Belajar Geometri Berbantuan Geometer‟s Sketchpad dengan Siswa yang Belajar Geometri Tanpa Geometer‟s Sketchpad. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan. Sobel, M. A. dan Maletsky, E. M. terj. Dr. Suyono, M.Sc. (2004). Mengajar Matematika. Ed. 3. Jakarta: Erlangga. Soekadijo, G. R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: Gramedia. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta. Suriadi. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi Untuk Menigkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa SMA. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan. Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kognitif. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
301
Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (berparadigma Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Pelajaran Matematika. Laporan penelitian IKIP Bandung: tidak diterbitkan. Widdiharto. R. (2004). Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG Matematika.
302
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung