Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
KATA PENGANTAR
Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, atas karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta. Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan karakter bangsa pada berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2016 mengambil tema “Implementasi Pembelajaran Inovatif Matematik Dalam Mengambangkan Kemampuan Pedidik dan Peserta Didik untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” yang diselenggarakan di Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 07 Desember 2016. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas penyelenggaraan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik, khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
i
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
ii
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP SILIWANGI BANDUNG Assalamu’alaikum wr wb, Salam sejahtera bagi kita semua. Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia. Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah SWT karena telah mempertemukan kita pada acara Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di STKIP Siliwangi Bandung dalam keadaan sehat wal’afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat bagi kita semua, Amiin. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema, “Implementasi Pembelajaran Matematika Inovatif dalam Mengembangkan Kemampuan Pendidik dan Peserta Didik untuk Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” yang bertujuan 1) untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan (khususnya pendidikan matematika) dalam menerapkan pembelajaran inovatif yang relevan dan bersinergi dengan pendidikan nilai dan karakter khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)., 2) mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam lingkup matematika dan pendidikan matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan, dan lembaga penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut adalah Ibu Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si, Bapak Dr. H. Sufyani Prabawanto, M.Ed, dan Ibu Prof. Dr. Hj. Utari Sumarmo. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya dalam setiap sesi yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerim. makalah dari pemakalah berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel. Seminar ini juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi dunia pendidikan. Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta Jajarannya, Bapak Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Bapak/Ibu Pengurus Organisasi Profesi Indo-MS yang telah membantu menjadikan seminar ini sebagai agenda resmi kegiatan seminar yang ada di Indo-MS sehingga seminar ini dapat menjadi fasilitator bagi para anggota Indo-MS dalam mempublikasikan karyakarya ilmiah baik hasil penelitian maupun kajian teori pada bidang matematika. Selain itu, kami atas nama panitia juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami. Akhirnya, kami berharap seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Wassalamu’alaikum wr wb. Bandung, 07 Desember 2016 Ketua Panitia
iii
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ KATA SAMBUTAN .............................................................................................................................. DAFTAR ISI ...........................................................................................................................................
i iii iv
PEMBICARA UTAMA IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA INOVATIF MELALUI DESIGN RESEARCH Oleh : Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si ...............................................................................
1
RESILIENSI MATEMATIK(MATHEMATICAL RESILIENCE) Oleh : Utari Sumarmo ...........................................................................................................................
23
PEMAKALAH PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN RESILIANASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMA Oleh : Adi Nurjaman1, Indah Puspita Sari2 ........................................................................................
43
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING Oleh : M. Afrilianto1, Tina Rosyana2 ...................................................................................................
50
PEMBELAJARAN BILANGAN DESIMAL MENGGUNAKAN KONTEKS PENGUKURAN DI KELAS V Oleh : Ari Puspita Rahayu 1, Ratu Ilma Indra Putri 2, Darmawijoyo 2 .............................................
54
PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA Oleh : Asep Ikin Sugandi ......................................................................................................................
62
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI REFLEKSI MENGGUNAKAN MOTIF KAIN BATIK UNTUK SISWA KELAS VII Oleh : Dina Novrika1), Ratu Ilma Indra Putri2) dan Yusuf Hartono2) ..............................................
73
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SMK DENGAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING. Oleh : Eka Senjayawati .........................................................................................................................
88
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI MERANCANG MODEL MATEMATIKA DARI MASALAH PROGRAM LINEAR DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Oleh : Eli Yuliana ………………..........................................................................................................
95
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN DISKURSIFUNTUK MENGEMBANGKAN PEMBUKTIAN MATEMATIS DAN HABITS OF MIND MAHASISWA Oleh : Elsa Komala.................................................................................................................................
104
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME GUNA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMPETENSI STRATEGIS SISWA SMP Oleh : Eva Dwi Minarti .........................................................................................................................
111
TABEL RASIO DAN GRAFIK DALAM DESAIN PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI UNTUK MENGEMBANGKAN PENALARAN PERBANDINGAN (PROPORTIONAL REASONING) Oleh : Haniful Muttaqin1, Ratu Ilma Indra Putri2 ............................................................................
119
iv
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR REFLEKTIFMATEMATIS SISWA SMADENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC DISERTAI STRATEGI WHAT IF Oleh : Harry Dwi Putra .........................................................................................................................
131
PEMBELAJARAN PERKALIAN PECAHAN MENGGUNAKAN PLASTIK MIKA DI KELAS V Oleh : Helni Indrayati1, Ratu Ilma Indra Putri2, Somakim3 ………………………………………
139
PENGEMBANGAN SOAL OPEN-ENDED PADA POKOK BAHASAN LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BALOK Oleh : Henry Kurniawan1, Ratu Ilma Indra Putri2, Yusuf Hartono2 ……………………………..
145
PENGGUNAAN LENGHT MODELSDAN METODE BALANCING PADA PEMBELAJARAN PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL Oleh: Hermaini1 Ratu Ilma 2, Darmawijoyo3 ......................................................................................
152
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS MAHASISWA Oleh: Ika Wahyu Anita .........................................................................................................................
161
PENGARUH VISUAL BASIC APPLICATION FOR EXCEL TERHADAP KEMAMPUAN KREATIF MAHASISWA TENTANG DEFINISI DAN TEOREMA MATEMATIKA Oleh: Martin Bernard............................................................................................................................
167
ANALISA TERHADAP KECEMASAN MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA Oleh: Masta Hutajulu.............................................................................................................................
176
PENERAPAN PENDEKATAN INDUKTIF TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA Oleh: Maya Siti Rohmah .......................................................................................................................
183
PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN PERSONALIZED SYSTEM OF INSTRUCTION Oleh: Ratni Purwasih ............................................................................................................................
187
PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN OPERASI PERKALIANSISWA SEKOLAH DASAR Oleh: Siti Chotimah................................................................................................................................
197
OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALLY REPETITION (AIR) Oleh: Sukasno, Drajat Friansah, & Intiana Hijrah Yumanif .......................................................
202
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI RUANG MELALUIPROBLEM BASED LERNING (PBL) BERBANTUAN GEOGEBRA 5.0 UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN VISUAL-SPATIAL THINKING MAHASISWA Oleh: Sumarni 1), Anggar Titis Prayitno2) ...........................................................................................
210
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI VOLUME KUBUS UNTUK SISWA SMP Oleh: Tarsudin1, Zulkardi2, Darmawijoyo2 ........................................................................................
221
OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIDEO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh: Usman Aripin ...............................................................................................................................
225
PENERAPAN METODE CONNECTING ORGANIZING REFLECTING EXTENDING TERHADAP DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP Oleh: Wahyu Setiawan ..........................................................................................................................
232
v
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR TIGA VARIABEL DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Oleh: Yuliarti Effendy1), Ratu Ilma Indra Putri2), Ely Susanti3) …...................................................
241
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP Oleh: Gida Kadarisma ..........................................................................................................................
251
vi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PEMBICARA UTAMA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA 2015 Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan STKIP Siliwangi
vii
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA INOVATIF MELALUI DESIGN RESEARCH
Prof. Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
1
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
3
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
4
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
5
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
6
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
7
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
8
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
9
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
10
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
11
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
12
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
13
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
14
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
15
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
16
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
17
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
18
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
19
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
20
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
21
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
22
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
RESILIENSI MATEMATIK(MATHEMATICAL RESILIENCE)
Utari Sumarmo, STKIP Siliwangi Bandung
[email protected],id
[email protected]
A. Pendahuluan: Rasional Pentingnya Resiliensi Matematik Beberapa studi (antara lain Ashcraft, 2002, Baloglu, dan Koçak, 200, dan Hoffman 2010, dalam Johnston-Wilder, Lee, 2010a) menemukan banyak siswa mengalami kesulitan dan ketidaksukaan dalam belajar matematika, misalnya mereka menunjukkan rasa cemas dan menghindar dari kegiatan yang memerlukan penalaran matematik. Rasa cemas dalam belajar matematika juga dilaporkan dalam beberapa studi lain (misalnya, Ashcraft, 2002 and Rodarte-Luna & Sherry 2008, dalam Johnston-Wilder, Lee, 2010a) yang menunjukkan bahwa banyak siswa belajar matematika dengan rasa takut. Demikian pula sejumlah studi menemukan bahwa siswa sekolah menengah masih mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematik (Hulukati, 2006, Mudrikah, 2013, Nurcholis, 2012, Offirston, 2012, Rachmat, 2014, Rohendi, 2009, Yonandi, 2010) dan dalam penalaran matematik (Abdurachman, 2014, Armiati, 2011, Bernard, 2015, Budiyanto, 2014, Herman, 2006, Koswara, 2012, Offirston, 2012, Rosliawati, 2014, Rusmini, 2008, Setiawati, 2014, Supriyanti, 2010). Namun setelah mendapat pembelajaran inovatif yang melibatkan pendidikan nilai dan karakter, kemampuan pemecahan masalah, penalaran, dan kemampuan matematik siswa lainnya meningkat dan siswa menunjukkan sikap positif terhadap belajar matematika. Pada dasarnya, ketika guru memilih dan melaksanakan pendekatan pembelajaran matematika tertentu selain mereka berusaha membantu siswa mengatasi kesulitan mencapai kemampuan matematik, mereka juga berusaha mengembangkan sikap positif terhadap matematika dan belajar matematika. Sikap positif tersebut antara lain termuat dalam rasa percaya diri (self confidence), kemampuan diri (self efficacy), konsep diri (self concept), tekun dan tangguh menghadapi tantangan atau kesulitan dalam belajar matematika. Johnston-Wilder, Lee, (2010a) menamakan sikap tekun dan tangguh tersebut dengan istilah resiliensi matematik (Mathematical Resilience). Resiliensi matematik diperlukan ketika guru bermaksud mendidik siswa menggunakan matematika, dan berpikir serta bersikap secara matematik dan bukan sekadar memperoleh nilai baik atau lulus ujian matematika saja. Siswa dengan resiliensi yang kuat selain ia akan memiliki kemampuan matematik yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan ujian, yang lebih penting adalah mereka juga memilki keterampilan matematik yang diperlukan di luar sekolah dan berkeinginan menerapkannya kapan saja ketika diperlukan. Pengembangan resiliensi matematik juga memerlukan sikap reflektif dan peka terhadap belajar matematika. Siswa dengan resiliensi matematik yang baik, sadar bahwa andai mereka berpikir keras, berdiskusi dengan temannya, membaca idea-idea matematik dan merefleksi pengetahuan yang diperolehnya, maka mereka juga akan tangguh dan dapat mengatasi hambatan dalam
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
23
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
belajar matematik serta mampu menyelesaikan masalah matematik yang sulit (JohnstonWilder, Lee, 2010a).
B. Pengertian Resiliensi Matematik Beberapa pakar mendefinisikan istilah resiliensi matematik (mathematical resilience) dalam pengertian yang hampir serupa. Dweck (2000, dalam Lee and Johnston-Wilder, 2010a) mengemukakan resiliensi matematik memuat sikap tekun atau gigih dalam menghadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik, dan menguasai teori belajar matematik. Siswa dengan resiliensi matematik yang kuat, akan berhasil baik dalam matematika di sekolah meskipun dalam kondisi yang kurang disenangi. Mereka memiliki sikap: adaptif atau dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan; dapat menghadapi ketidakpastian, masalah dan tantangan; menyelesaikan masalah secara logis dan fleksibel; mencari solusi kreatif terhadap tantangan; bersifat ingin tahu dan belajar dari pengalaman; memiliki kemampuan mengontrol diri; sadar akan perasaannya; memiliki jaringan sosial yang kuat dan mudah memberi bantuan. (Adolphs, R. & Damasio, A. R. 2001, dalam Johnston-Wilder, Lee, Garton, Goodlad, dan Brindley , 2013). Pakar lain (Newman, 2004, Johnston-Wilder dan Lee, 2010a) mendefinisikan resiliensi matematik sebagai sikap bermutu dalam belajar matematika yang meliputi: percaya diri akan keberhasilannya melalui usaha keras; menunjukkan tekun dalam menghadapi kesulitan; berkeinginan berdiskusi, merefleksi, dan meneliti. Dengan resiliensi tersebut memungkinkan siswa dapat mengatasi hambatan dalam belajar matematik. Pada dasarnya, dalam belajar apapun diperlukan resiliensi. Namun bukan berarti bahwa resiliensi matematik sebagai akibat beragam faktor seperti jenis pembelajaran, hakekat matematika, dan pandangan bahwa kemampuan matematik bersifat tetap (Newman, 2004, Johnston-Wilder, Lee, 2010a). Selanjutnya Johnston-Wilder dan Lee (2010a) mengemukakan bahwa resiliensi matematik memiliki empat faktor yaitu: (a) percaya bahwa kemampuan otak dapat ditumbuhkan; b) pemahaman personal terhadap nilai-nilai matematika; (c) pemahaman bagaimana cara bekerja dalam matematika; dan (d) kesadaran akan dukungan teman sebaya, orang dewasa lainnya, ICT, internet, dan lain-lainnya. Mereka juga mengemukakan bahwa pengembangan resiliensi matematik memerlukan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan sikap di atas tumbuh dan menciptakan suasana kelas matematik yang positif sehingga siswa dapat mengatasi hambatan dalam mencapai konsep-konsep matematika (Lee, Johnston-Wilder, 2013, dalam Lugalia, Johnston-Wilder dan Goodall, 2013) Selain itu, untuk mengembangkan cara berpikir (mindset), Lee, dan Johnston-Wilder (2013, dalam Lugalia, Johnston-Wilder dan Goodall, 2013), mengemukakan tiga faktor kunci untuk mengembangkan resiliensi matematik yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk: (a) memilih dan menetapkan sesuatu yang akan dikerjakannya selama di kelas; (b) melatih mereka sendiri sebagai bagian dari lingkungannya; dan (c) merasakan dirinya terlibat dalam proses belajar, baik dalam sikap dan nilai. Dalam lingkungan seperti itu, siswa termotivasi bersikap tekun dan gigih dalam menghadapi kesulitan, dan memahami nilai bekerja secara kolaboratif dengan teman sebaya, mencapai kemampuan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik mereka, memeriksa pertanyaan, dan memiliki keyakinan yang tangguh dan efektif serta berusaha lebih keras untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.
24
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Kooken, J., Welsh, M. E., Mccoach, D. B., Johnson-Wilder, S. and Lee, C. (2013) mengkonsepkan resiliensi mattematik sebagai sikap adaptif positif terhadap matematika yang memberi kesempatan siswa tetap melanjutkan belajar matematika meski menghadapi kesulitan. Beberapa faktor sikap positif tersebut di antaranya adalah: nilai, daya juang atau resiliensi dan pertumbuhan. Sikap positif yang kuat seperti di atas akan mendukung siswa bersikap tekun dan gigih menghadapi kesulitan atau hambatan, sedangkan siswa yang rendah sikapnya akan kehilangan sikap tekun dan gigih atau menyerah ketika menghadapi kesulitan. Dengan kata lain, resiliensi matematik merupakan serangkaian sikap yang memberikan respons positif terhadap belajar matematika.
C. Mengukur Resiliensi Matematik Berikut ini disajikan contoh kuesioner untuk mengukur resiliensi matematik yang digunakan dalam studi Johnston-Wilder dan Lee (2010b). Kuesioner meliputi beberapa komponen yaitu: a) Pendapat terhadap inteligensi dan belajar secara umum; b) Pendapat terhadap belajar matematika; c) Kepercayaan terhadap belajar matematika .
1.
Pendapat terhadap inteligensi dan belajar dalam pelajaran secara keseluruhan
1)
Pikirkan semua pengalamanmu selama di sekolah dan jawablah pertanyaan berikut. Bubuhkan tanda v pada kalimat yang Anda pandang benar ___ ketika saya mendapat tugas baru di sekolah, biasanya saya mampu mempelajarinya ___ ketika saya mendapat tugas baru di sekolah, saya sering berpikir bahwa saya tidak dapat mempelajarinya. Sekarang nyatakan pendapatmu terhadap pernyataan berikut. Bacalah tiap kalimat dan lingkarilah bilangan yang menunjukkan derajat kesetujuan anda terhadap kalimat yang bersangkutan. Ingatlah bahwa tak ada pilihan jawaban anda yang benar atau yang salah 2) Andai saya tahu bahwa saya tidak mampu mengerjakan suatu tugas dengan baik,mungkin saya tidak akan mengerjakannya meskipun saya harus mempelajarinya. 1 2 3 4 5 6 Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat setuju setuju tidak setuju tidak setuju 3)
Meskipun saya benci mengakuinya saya kadang-kadang lebih suka mendapat nilai baik daripada banyak belajar 1 2 3 4 5 6 Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat setuju setuju tidak setuju tidak setuju
4) Saya dapat mempelajari pengetahuan baru namun saya tidak dapat mengubah inteligensi dasar saya. 1 2 3 4 5 6 Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju Sangat setuju setuju tidak setuju tidak setuju 5)
Andaikan saya harus memilih antara memperoleh “nilai baik” dan memperoleh tantangan di kelas, saya akan memilih: 5.1 “nilai baik” 5.2. “Merasa tertantang”
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
25
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
a. Betul sekali b. Betul c. Hampir betul
a. Betul sekali b. Betul c. Hampir betul
2. Pendapat terhadap belajar matematika (a) Bubuhkan tanda V sesuai dengan pendapat anda ___ ketika saya mendapat tugas matematik baru, biasanya saya yakin dapat mempelajarinya ___ ketika saya mendapat tugas matematik baru, seringkali saya berpikir tidak dapat mempelajarinya Lingkari nomor yang paling sesuai dengan pendapat anda. 6. Saya akan dapat lebih pandai matematika bila saya bekerja keras. 1 2 3 4 5 Sangat Setuju Hampir Hampir Tidak setuju setuju setuju tidak setuju
6 Sangat tidak setuju
3. Pendapat terhadap belajar matematika (b) Bubuhkan tanda V yang melukiskan pendapat anda. Anda dapat membubuhkan sebanyak yang anda suka. Apapun jawaban anda tidak ada yang salah.
Pendapat 1: Menyelesaikan soal matematik membutuhkan waktu yang lama. a. b. c. d.
Penyelesaian masalah matematika yang perlu waktu lama tidak akan mengganggu saya Saya merasa dapat menyelesaikan soal matematika yang memerlukan waktu lama Saya dapat mengerjakan soal matematika yang sukar bila saya gigih (tekun) Bila saya tidak dapat menyelesaikan soal matematika dalam waktu singkat, mungkin saya tidak dapat mengerjakannya e. Bila saya tidak dapat cepat menyelesaikan soal matematika, saya akan berhenti mencoba menyelesaikannya f. Saya tidak begitu pandai dalam menyelesaikan soal matematika dan perlu beberapa waktu untuk membayangkannya.
Pendapat 2: Mengenai pemahaman matematika a. Diperlukan waktu yang cukup untuk menemukan alasan bahwa suatu solusi masalah matematika memenuhi b. Seseorang yang tidak memahami bahwa suatu jawab adalah benar, menunjukkan ia tidak paham masalah yang bersangkutan c. Untuk menemukan suatu jawab yang benar, adalah penting memahami mengapa jawab tersebut itu benar. d. Adalah suatu yang tidak penting mengetahui kebenaran suatu prosedur sepanjang memberikan jawab yang benar. e. Menemukan suatu jawab yang benar adalah lebih penting daripada memahami alasan jawab tersebut benar f. Adalah tidak masalah apakah saya memahami suatu soal matematika selama saya memperoleh jawab yang benar
Pendapat 3: Mengenai kegunaan matematika a. b. c. d.
Saya mempelajari matematika karena saya tahu manfaatnya Memahami matematika membantu saya menjalani hidup Matematika adalah mata pelajaran yang berguna dan penting Matematika tidak berguna dalam pekerjaan saya
26
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
e. Matematika tidak relevan dengan kehidupan saya f. Belajar matematika menghamburkan waktu. Berdasarkan pendapat pakar pada Bagian B, Sumarmo (2015) merangkumkan indikator resiliensi matematik sebagai berikut: a) menunjukkan sikap tekun, yakin/percaya diri, bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan, dan ketidakpastian; b) menunjukkan keinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya; c) memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan; d) menggunakan pengalaman kegagalan untuk membangun motivasi diri; e) memiliki rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti, dan memanfaatkan beragam sumber; f) memiliki kemampuan mengontrol diri; sadar akan perasaannya. Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi Matematik yang disusun dengan respons derajat kesetujuan (Model A) dan respons derajat frekuensi terlaksananya kegiatan/perasaan (Model B) seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2. Butir-butir pernyataan, kegiatan, dan atau perasaan berikut dapat dimodifikasi sesuai dengan kemampuan matematik, konten matematika, serta subyek penelitian yang bersangkutan. TABEL 1 CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE) (MODEL A) Petunjuk: Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat Anda. Nyatakan kesetujuan Anda terhadap pernyataan berikut. Keterangan: SS: Sangat setuju S: Setuju No. A.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
TS : Setuju STS: Sangat tidak setuju
Pernyataan Indikator: Sikap tekun, yakin/percaya diri, bekerja keras, tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian Saya yakin dapat bertahan mempelajari materi matematika yang sulit meski dalam waktu yang lama (+) Saya malas menuliskan rumus yang digunakan pada tiap langkah penyelesaian soal matematika (-) Saya berusaha mengerjakan sendiri masalah matematika sampai selesai meski perlu kerja keras (+) Saya percaya dapat memeriksa sendiri kebenaran penyelesaian soal matematika yang kompleks (+) Saya yakin akan berhasil dalam tes matematika yang akan datang setelah gagal pada tes sebelumnya (+) Saya ragu dapat menyusun masalah matematika sebaik pekerjaan teman lain (-) Saya menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah matematik yang beresiko gagal (-) Saya sengaja memilih soal latihan pembuktian matematika yang sulit sebagai latihan berpikir (+)
SS
Respons S TS
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
27
STS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
9.
Saya frustasi menghadapi ulangan matematika setelah mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-) Saya berusaha memperbaiki tugas matematika yang belum sempurna meski perlu kerja keras (+) Indikator: berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya Saya senang menjelaskan penyelesaian tugas matematika yang sulit kepada teman lain (+) Saya merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami kesulitan belajar matematika (-) Saya merasa nyaman berdiskusi matematika dengan teman sebaya yang baru kenal (+) Saya merasa sukar mencari teman untuk diminta bantuan mengatasi kesulitan belajar matematika (-) Saya berusaha menyesuaikan diri ketika belajar matematika di lingkungan baru (+) Saya merasa sungkan menyampaikan kesulitan belajar matematika kepada teman baru (-)
10. B.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
C.
Indikator: memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan Saya berani menawarkan gagasan baru ketika belajar kelompok matematika (+) Saya mencoba cara yang berbeda dari contoh yang ada di buku teks matematika (+) Saya merasa lebih aman mengerjakan tugas seperti tugas teman yang pandai matematika (-) Saya menghindar menyelesaikan soal matematika yang memiliki beragam cara penyelesaiannya (-) Saya sengaja memilih soal latihan matematika yang bersifat open-ended sebagai latihan berpikir kreatif (+) Saya mengelak mengerjakan soal matematika yang menuntut memberi beragam alasan (-) Indikator: Menggunakan pengalaman kegagalan untuk membangun motivasi diri, Saya berusaha mencari cara baru menyelesaikan ma-salah matematika ketika gagal dengan cara lama (+) Saya cemas belajar matematika setelah mendapat nilai buruk dalam ulangan matematika yang lalu (-) Saya berlatih lagi lebih keras setelah salah menyelesai-kan masalah matematika yang sulit (+) Saya berpendapat kegagalan dalam ujian matematika yang lalu menjadi pengalaman berharga (+) Saya malas menyelesaikan soal pembuktian matema-tika setelah gagal dalam soal pembuktian yang lalu (-) Saya mengerjakan ulang penyelesaian soal matematika yang salah meski perlu waktu lama (+) Semangat belajar menurun setelah kalah dalam seleksi siswa berprestasi matematik antar sekolah (-)
17. 18. 19. 20 21. 22. D. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
28
Ss
S
TS
STS
SS
S
TS
STS
SS
S
TS
STS
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
E. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
F. 38. 39. 40. 41. 42.
Indikator: Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti, memanfaatkan beragam sumber Saya mencoba membandingkan penjelasan topik matematika yang sama dari beragam buku (+) Saya bosan mempelajari matematika dari beragam buku (-) Saya bersyukur menemukan artikel melalui internet yang relevan dengan tugas matematika saya (+) Saya berpendapat mempelajari beragam buku sumber matematika akan menguatkan pemahaman (+) Saya bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari beragam buku matematika (-) Saya putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan tugas matematika (-) Saya mencoba merangkum kajian topik matematika tertentu dari beberapa buku sumber yang relevan (+) Saya menghindar mencoba cara baru membuktikan masalah matematik yang belum tahu hasilnya (-)
SS
Indikator: memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri dan sadar akan perasaannya. Saya kesal ketika mendapat kritik keras terhadap pekerjaan matematika saya (-) Saya memahami perasaan teman saya yang gagal menyelesaikan soal matematika yang sukar (+) Saya merasa sulit mengungkapkan pemahaman matematik saya kepada orang lain (-) Saya merasa percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas matematika yang sudah dikerjakan (+) Saya putus asa ketika gagal mempertahankan idea (menyelesaikan soal) matematika di depan kelas (-)
SS
S
S
TS
STS
TS
STS
TABEL 2 CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE) (MODEL B) Petunjuk: Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut. Keterangan SS: Sering sekali SR: Sering A.
1. 2.
JR: Jarang JS : Jarang sekali
Indikator: Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian Merasa yakin dapat bertahan mempelajari materi mate-matika yang sulit meski dalam waktu yang lama (+) Merasa malas menyertakan rumus yang digunakan pada tiap langkah penyelesaian soal matematika yang sulit (-)
SS
SR
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
JR
29
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3.
Berusaha mengerjakan sendiri masalah matematika sampai selesai meski perlu kerja keras (+) Yakin mampu memeriksa sendiri kebenaran proses penyelesaian soal matematika yang kompleks (+) Merasa yakin akan berhasil dalam tes matematika yang akan datang setelah gagal pada tes sebelumnya (+) Merasa ragu dapat menyusun masalah matematika sebaik pekerjaan teman lain (-) Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah matematik yang beresiko gagal (-) Sengaja memilih soal latihan pembuktian matematika yang sulit sebagai latihan berpikir (+) Merasa frustasi menghadapi ulangan matematika sete-lah mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-) Berusaha memperbaiki tugas matematika yang belum sempurna meski perlu kerja keras (+)
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
B.
Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya Merasa senang menjelaskan penyelesaian tugas matematika yang sulit kepada teman lain (+) Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami kesulitan belajar matematika (-)
11. 12. 13.
Merasa nyaman berdiskusi matematika dengan teman yang baru kenal (+) Merasa sukar mencari teman untuk diminta bantuan mengatasi kesulitan belajar matematika (-) Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar matematika di lingkungan baru (+) Merasa sungkan menyampaikan kesulitan belajar matematika kepada teman baru (-) Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan Berani menawarkan gagasan baru ketika belajar kelompok matematika (+) Mencoba cara yang berbeda dari contoh yang ada di buku teks matematika (+) Merasa lebih aman mengerjakan tugas seperti tugas teman yang pandai matematika (-) Menghindar menyelesaikan soal matematika yang memiliki beragam cara penyelesaiannya (-) Sengaja memilih soal latihan matematika yang bersifat openended sebagai latihan berpikir kreatif (+) Mengelak mengerjakan soal matematika yang menuntut memberi beragam alasan (-) Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk membangun motivasi diri, dan kontrol diri
14. 15. 16. C. 17. 18. 19. 20. 21. 22. D.
30
SS
SR
JR
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
23.
Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah matematika ketika gagal dengan cara lama (+) 24. Merasa cemas belajar matematika setelah mendapat nilai buruk dalam ulangan matematika yang lalu (-) 25. Berlatih lagi lebih keras setelah salah menyelesaikan masalah matematika yang sulit (+) 26. Berpendapat kegagalan dalam ujian matematika yang lalu menjadi pengalaman berharga (+) 27. Malas menyelesaikan soal pembuktian matematika setelah gagal dalam soal pembuktian yang lalu (-) 28. Mengerjakan ulang penyelesaian soal matematika yang salah meski perlu waktu lama (+) 29. Merasa semangat belajar menurun setelah kalah dalam seleksi siswa berprestasi mateamatik antar sekolah (-) E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, mere-fleksi, meneliti, memanfaatkan beragam sumber SS SR JR 30. Mencoba membandingkan penjelasan topik matematika yang sama dari beragam buku (+) 31. Merasa bosan mempelajari matematika dari beragam buku (-) 32. Bersyukur menemukan artikel baru melalui internet yang relevan dengan tugas matematika dihadapi (+) E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, mere-fleksi, meneliti, memanfaatkan beragam sumber SS SR JR 33. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber matematika akan menguatkan pemahaman (+) 34. Merasa bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari beragam buku matematika (-) 35. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan tugas matematika (-) 36. Mencoba merangkum kajian topik matematika tertentu dari beberapa buku sumber yang relevan (+) 37. Menghindar mencoba cara baru membuktikan masalah matematik yang belum tahu hasilnya (-) F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri dan sadar akan perasaannya. SS SR JR 38. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap pekerjaan matematika saya (-) 39. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal matematika yang sukar (+) 40. Merasa sulit mengungkapkan pemahaman matematik saya kepada orang lain (-) 41. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas matematika yang sudah dikerjakan (+) 42. Putus asa ketika gagal mempertahankan idea (menyelesaikan soal) matematika di depan kelas (-) Catatan:1) Pilihan respons netral atau kadang-kadang dapat ditiadakan sesuai dengan keinginan peneliti 2) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang 3) Susun skala kembali dengan butir-butir pernyataan/kegiatan/perasaan secara acak
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
31
JS
JS
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Berikut ini disajikan contoh modifikasi Skala Resiliensi Tabel 2 yaitu Tabel 3 yang dikaitkan dengan kemampuan berpikir kreatif matematik dan problem posing pada konten matriks dan deret pada subyek siswa SMA. TABEL 3 CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE) (MODEL B) Petunjuk: Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut. Keterangan SS: Sering sekali SR: Sering No. A.
1. 2. 3. A.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
B.
11.
32
JS : Jarang sekali JR : Jarang
Kegiatan, Perasaan, Pendapat Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian Merasa yakin dapat bertahan menyelesaikan masalah deret tak hingga yang sulit meski dalam waktu yang lama (+) Merasa malas menyusun pertanyaan yang relevan untuk soal penerapan matriks dalam masalah sehari-hari yang sulit (-) Berusaha berlatih menyusun pertanyaan sendiri tentang deret yang tidak sederhana meski perlu kerja keras (+) Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian Merasa yakin mampu merinci langkah-langkah proses perhitungan penerapan deret dalam geometri (+) Merasa ragu akan berhasil dalam ulangan matriks yang akan datang setelah gagal pada ulangan sebelumnya (-) Merasa cemas dapat menyusun pertanyaan sebelum menyelesaikan masalah deret sebaik pertanyaan teman lain (-) Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan soal matriks yang mungkin gagal (-) Sengaja memilih soal latihan penerapan deret dalam masalah sehari-hari yang mempunyai beragam cara sebagai latihan berpikir (+) Merasa frustasi merinci masalah yang kompleks tentang matriks ke dalam masalah bagiannya yang lebih sederhana (-) Merasa kehabisan akal memperbaiki tugas masalah deret dalam geometri dengan cara yang tidak biasa karena perlu kerja keras (-) Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya Merasa senang menjelaskan cara menyusun beragam pertanyaan dari serangkaian informasi tentang matriks yang sulit kepada teman lain (+)
Respons SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
12.
13. 14. 15. 16. C.. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
D. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. E. 30. 31. 32.
Merasa terganggu membantu teman yang mengalami kesulitan menyatakan suatu pertanyaan ke dalam bentuk pertanyaan lain tentang deret (-) Merasa nyaman berdiskusi penerapan matriks dalam masalah sehari-hari dengan teman yang baru kenal (+) Merasa sukar mendapat teman untuk mengatasi kesulitan menyusun pertanyaan tentang penerapan deret (-) Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar penerapan deret pada masalah sehari-hari di lingkungan baru (+) Merasa sungkan menyampaikan kesulitan menyelesaikan soal deret tak hingga kepada teman baru (-) Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan Berani menawarkan gagasan baru tentang penerapan deret ketika belajar kelompok (+) Mencoba mengajukan pertanyaan yang berbeda terhadap serangkaian informasi tentang matriks (+) Merasa lebih aman mengerjakan perhitungan limit yang sulit seperti tugas teman yang pandai matematika (-) Menghindar menyelesaikan soal penerapan deret tak hingga yang memiliki beragam cara penyelesaian (-) Sengaja memilih latihan beragam pertanyaan tentang operasi pada matriks sebagai latihan berpikir kreatif (+) Mengelak menyusun pertanyaan lanjutan setelah mendapat solusi masalah deret (-) Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk membangun motivasi diri, dan kontrol diri Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah matriks setelah gagal dengan cara lama (+) Merasa cemas belajar penerapan deret pada masalah geometri setelah mendapat nilai buruk dalam ulangan sebelumnya (-) Berlatih lagi lebih keras setelah salah merinci langkah-langkah penyelesaian masalah deret disertai aturan yang digunakan (+) Berpendapat kegagalan dalam ulangan matriks yang lalu menjadi pengalaman berharga (+) Malas merinci suatu masalah deret yang kompleks ke dalam masalah bagian-bangiannya yang lebih sederhana (-) Mengerjakan ulang tugas menyusun pertanyaan tentang matriks yang salah meski perlu waktu lama (+) Merasa semangat belajar menurun setelah gagal dalam ulangan matriks yang lalu (-) Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti, memanfaatkan beragam sumber Mencoba membandingkan uraian tentang penerapan deret dalam geometri yang sulit dari beragam buku (+) Merasa bosan mempelajari matriks dari beragam buku (-) Bersyukur menemukan beberapa artikel melalui internet yang relevan dengan tugas merangkum uraian tentang deret (+)
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
33
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
33.
Berpendapat mempelajari beragam buku sumber tentang matriks akan menguatkan pemahaman (+) 34. Merasa bingung mempelajari penjelasan yang berbeda dari beragam uraian tentang deret tak hingga (-) 35. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesai-kan tugas penerapan matriks pada masalah sehari-hari (-) 36. Mencoba merangkum kajian penerapan deret dalam masa-lah geometri dari beberapa buku sumber yang relevan (+) 37. Menghindar mencoba cara baru menyelesaikan masalah penerapan matriks yang belum pasti hasilnya (-) F. Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri dan sadar akan perasaannya. 38. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap tugas kelompok menyusun pertanyaan tentang deret (-) 39. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal matriks yang sukar (+) 40. Merasa sulit menyatakan pertanyaan tentang penerapan anti turunan ke dalam bentuk pertanyaan yang lain (-) 41. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas tentang deret yang sudah dikerjakan (+) 42. Putus asa ketika gagal menyusun pertanyaan lanjutan setelah memperoleh solusi kepada teman lain (-) Catatan: 1) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang 2) Susun pernyataan/kegiatan/perasaan sesuai dengan konten dan kemampuan matematik yang diteliti Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi (Tabel 4) yang berkaitkan dengan kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif matematik pada konten peluang pada subyek siswa SM yang dimodifikasi dari Skala Resiliensi Matematik pada Tabel 3
TABEL 4 CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK (MATHEMATICAL RESILIENCE) (MODEL B) Petunjuk: Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut. Keterangan SS: Sering sekali JS : Jarang sekali SR: Sering JR : Jarang No A.
Kegiatan, Perasaan, Pendapat Indikator : Sikap tekun, yakin, bekerja keras dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah, kegagalan dan ketidakpastian dalam berpikir kritis dan kreatif matematik Merasa yakin dapat bertahan latihan mengajukan pertanyaan tentang kombinasi disertai dengan alasan meski perlu waktu yang lama (+) Menghindar mengajukan beberapa alternatif penyelesaian masalah yang berbeda ketika belajar permutasi yang sulit (-)
1.
2.
34
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Respons SS
SR
JR
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3.
4. 5.
6. 7. 8. 9.
10.
B.
11.
12.
B.
13. 14. 15. 16. C. 17. 18. 19. 20.
Berusaha mengerjakan sendiri soal penerapan konsep kombinasi dan permutasi sampai selesai meski berbeda dengan jawaban teman dan perlu kerja keras (+) Merasa ragu dapat memeriksa kebenaran tiap langkah proses perhitungan peluang dua kejadian (-) Merasa takut mempertahankan pendapat sendiri tentang kombinasi beberapa unsur yang berbeda dengan pendapat teman dalam diskusi kelompok (-) Merasa yakin dapat menyusun pertanyaan mengenai kombinasi dan permutasi sebaik pertanyaan teman lain (+) Berani mencoba cara baru menyelesaikan soal peluang kejadian yang saling lepas meski beresiko gagal (+) Takut memilih soal latihan memeriksa kebenaran proses perhitungan peluang beberapa kejadian yang rumit (-) Merasa frustasi mendapat tugas merinci langkah-langkah menyelesaikan soal peluang disertai dengan aturan yang digunakan (-) Merasa kehabisan akal memperbaiki tugas analogi tentang kombinasi dan permutasi yang belum sempurna karena perlu kerja keras (-) Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya Merasa senang menjelaskan cara menyederhanakan masalah matematika yang ruwet ke dalam bagian-bagiannya yang lebih sederhana kepada teman baru (+) Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami kesulitan menyelesaikan perhitungan peluang kejadian yang tidak sederhana (-) Indikator : berkeinginan bersosialisasi, mudah memberi bantuan, berdiskusi dengan sebayanya, dan beradaptasi dengan lingkungannya Merasa nyaman berdiskusi masalah peluang dalam peristiwa sehari-hari dengan teman yang baru kenal (+) Merasa sukar mendapat teman untuk mengatasi kesulitan menyusun pertanyaan tentang kombinasi dan permutasi (-) Berusaha menyesuaikan diri ketika belajar penerapan kombi-nasi dan permutasi pada masalah sehari-hari di lingkungan baru (+) Merasa sungkan menyampaikan kesulitan mengidentifikasi data yang relevan dalam masalah sehari-hari kepada teman baru (-) Indikator : memunculkan ide/cara baru dan mencari solusi kreatif terhadap tantangan Berani menawarkan cara baru menerapkan konsep peluang dalam masalah sehari-hari ketika belajar kelompok (+) Mencoba mengajukan pertanyaan yang berbeda dari serangkaian informasi matematika yang diberikan (+) Merasa lebih aman mengerjakan perhitungan permutasi yang sulit seperti tugas teman yang pandai matematika (-) Menghindar menyelesaikan soal penerapan konsep kombinasi yang memiliki beragam cara penyelesaian (-)
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
35
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
21.
Sengaja memilih soal latihan peluang dengan cara yang tidak biasa sebagai latihan berpikir kreatif (+) 22. Mengelak memilih soal latihan peluang dua kejadian yang mempunyai beragam cara penyelesaian (-) D. Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk membangun motivasi diri, dan kontrol diri SS SR 23. Berusaha mencari cara baru menyelesaikan masalah kombi-nasi dan permutasi setelah gagal dengan cara lama (+) 24. Merasa cemas belajar penerapan konsep peluang pada masa-lah sehari-hari setelah gagal dalam soal sebelum-nya (-) 25. Merasa semangat belajar menurun setelah gagal dalam memeriksa kebenaran suatu pernyataan kombinasi beberapa unsur (-) 26. Berpendapat kegagalan dalam ulangan peluang yang lalu menjadi pengalaman berharga (+) 27. Mengerjakan ulang tugas memeriksa kebenaran proses perhitungan peluang yang salah dengan cara lain meski perlu waktu lama (+) E. Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti, memanfaatkan beragam sumber SS SR 28 Mencoba membandingkan penjelasan konsep kombinasi beberapa unsur yang sulit dari beragam buku (+) 29. Merasa bosan mempelajari konsep peluang dari beragam buku (-) 30. Bersyukur menemukan artikel baru melalui internet yang relevan dengan tugas menyusun pertanyaan tentang peluang kejadian yang saling lepas (+) 31. Berpendapat mempelajari beragam buku sumber peluang akan menguatkan pemahaman (+) 32. Merasa bingung mempelajari penjelasan konsep kombinasi yang berbeda dari beragam buku (-) 33. Putus asa mencari sumber yang relevan untuk menyelesaikan tugas penerapan konsep peluang pada masalah sehari-hari (-) 34. Mencoba merangkum kajian konsep permutasi dan kombinasi dari beberapa buku sumber yang relevan (+) No. Indikator f): memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri dan sadar akan perasaannya. SS SR 35. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap penyelesaian soal kombinasi yang saya kerjakan (-) 36. Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal peluang beberapa kejadian yang sukar (+) 37. Merasa sulit menyatakan suatu pertanyaan tentang kombinasi ke dalam bentuk pertanyaan yang lain (-) 38. Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas peluang yang sudah dikerjakan (+) 39. Putus asa ketika gagal menjelaskan penyelesaian soal pene-rapan konsep permutasi dan kombinasi kepada teman lain (-) 40. Menghindar menjelaskan cara baru menyelesaikan masalah peluang yang belum pasti hasilnya (-) Catatan:1) Butir pernyataan/kegiatan/perasaan negatif dan positif sebaiknya seimbang 2). Susun pernyataan/kegiatan/perasaan sesuai dengan konten dan kemampuan matematik 36
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
JR
JS
JR
JS
JR
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
yang diteliti Berikut ini disajikan contoh Skala Resiliensi Matematik (Tabel 5) yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis, dan problem posing matematik untuk mahasiswa dalam konten Peluang TABEL 5 CONTOH SKALA RESILIENSI MATEMATIK MATHEMATICAL RESILIENCE) (MODEL B) Petunjuk: Berikut ini kepada Anda diajukan daftar penilaian terhadap diri Anda sendiri. Mohon Anda menilai dengan cara membubuhkan tanda cek V pada kolom yang sesuai dengan pendapat Anda. Nyatakan seberapa sering anda melaksanakan kegiatan/pendapat/perasaan berikut. Keterangan Ss : Sering sekali Sr : Sering
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. A. 10. 11. 12. 13. 14.
Js : Jarang sekali Jr : Jarang
Kegiatan, Perasaan, Pendapat Indikator : sikap tekun, yakin, dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah dan kegagalan. Bertahan mempelajari materi peluang yang sulit meski dalam waktu yang lama (+) Menghindar menyelesaikan soal peluang yang disertai dengan alasan yang relevan (-) Memilih sendiri soal latihan masalah peluang yang rumit meski perlu kerja keras (+) Merasa ragu dapat memeriksa kebenaran proses penyelesaian soal materi peluang yang non-rutin (-) Merasa yakin akan berhasil baik dalam tes materi peluang yang akan datang (+) Merasa ragu dapat menyusun pertanyaan dalam materi peluang sebaik pertanyaan teman lain (-) Merasa cemas dapat memeriksa kerelevanan data dalam soal materi peluang yang kompleks (-) Merasa malas menyertakan rumus/aturan yang digunakan dalam menyelesaikan soal materi peluang (-) Mengelak memilih soal latihan menyusun pertanyaan yang memiliki beragam jawab dalam materi peluang (-) Indikator : sikap tekun, yakin, dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah dan kegagalan. Berlatih menyusun pertanyaan disertai alasan yang relevan dalam materi peluang (+) Merasa cemas mendapat tugas menyusun masalah berkaitan dengan pemecahan masalah materi peluang (-) Berusaha menyempurnakan penyelesaian soal peluang yang sulit meski perlu kerja keras (+) Menghindar mencoba cara penyelesaian soal peluang yang berbeda dengan contoh dari dosen (-) Menyerah ketika menghadapi tugas memeriksa kebenaran proses penyelesaian soal materi peluang (-)
Ss
Respons Sr Jr
Js
Ss
Sr
Js
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
37
Jr
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
15. B. 16. 17. 18. 19.
20. 21. 22. 23. 24. 25. C. 26. 27. 28. 29. 30.
D. 31. 32. 33. 34. 35.
Menghindar dari tugas merinci masalah utama ke dalam submasalah yang berkaitan dengan materi peluang (-) Indikator : berkeinginan bersosialisasi dan berdiskusi dengan lingkungannya; beradaptasi Merasa cemas menyampaikan kesulitan menyelesaikan soal materi peluang kepada teman (-) Berdiskusi dengan teman kelompok kerja mencari cara baru menyelesaikan soal peluang setelah gagal dengan cara yang lama (+) Merasa senang menjelaskan cara menyusun masalah dari serangkaian informasi dalam materi peluang kepada teman lain (+) Merasa terganggu diminta bantuan oleh teman yang mengalami kesulitan menyatakan suatu masalah ke dalam bentuk lainnya dalam materi peluang (-) Merasa senang berdikusi membahas beragam pemecahan masalah materi peluang disertai alasan yang relevan(+) Merasa sukar mencari teman untuk memeriksa kebenaran proses perhitungan yang sulit dalam materi peluang (-) Merasa canggung belajar materi peluang dengan teman yang pandai dalam materi peluang (-) Merasa nyaman berdiskusi tentang menyusun masalah dalam materi peluang dengan siapapun (+) Merasa sukar beradaptasi dalam situasi belajar baru ketika memulai perkuliahan peluang (-) Merasa cocok belajar dengan siapapun untuk menyusun masalah dalam materi peluang (+) Indikator : Memunculkan ide/cara baru dalam menyelesaikan masalah matematik Berani mengemukakan gagasan ketika belajar kelompok memeriksa kebenaran proses penyelesaian masalah peluang (+) Menghindar mencoba cara yang berbeda dari cara penyele-saian masalah peluang yang diberikan dosen (-) Menghindar menyelesaikan soal peluang yang memiliki beragam cara penyelesaiannya (-) Mengelak cara baru menyelesaikan soal peluang yang menuntut memberi alasan yang relevan (-) Sengaja memilih beragam soal latihan menyusun masalah dalam materi peluang sebagai latihan berpikir kreatif (+) Indikator : Menggunakan pengalaman kegagalan untuk membangun motivasi diri Berusaha mencari cara baru menyelesaikan soal peluang setelah gagal dengan cara lama (+) Merasa cemas atas kegagalan dalam memeriksa kebenaran proses perhitungan dalam materi peluang yang lalu (-) Berlatih lagi setelah gagal menyusun masalah dalam materi peluang (+) Berpendapat kegagalan dalam tes dalam materi peluang yang lalu menjadi pengalaman berharga (+) Menjadi malas menyusun masalah materi peluang setelah gagal dalam tugas yang lalu (-) 38
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
36. 37. 38. 39. E. 40. 41. 42. 43. 44. F. 45. 46. 47. 48. 49. 50.
Mengerjakan ulang soal menyusun perkiraan dalam materi peluang yang salah (+) Menghindar tugas memeriksa kebenaran pernyataan dalam materi peluang setelah salah dalam tugas sebelumnya (-) Merasa semangat belajar menurun ketika gagal menyatakan suatu masalah ke bentuk masalah lainnya dalam materi peluang (-) Terdorong belajar lebih keras setelah gagal merinci pertanyaan utama ke dalam sub-pertanyaan tentang materi peluang (+) Indikator : Menunjukkan rasa ingin tahu, merefleksi, meneliti, memanfaatkan beragam sumber Merasa senang membandingkan penjelasan materi peluang yang sama dari beragam buku (+) Berpendapat bahwa mempelajari materi peluang dari beragam buku adalah memboroskan waktu (-) Mengucap syukur menemukan penjelasan baru tentang materi peluang melalui internet (+) Merasa putus asa mencari sumber yang relevan untuk tugas menyusun makalah dalam materi peluang (-) Merasa bingung mempelajari penjelasan materi peluang yang berbeda dari beragam buku sumber (-) Indikator : memiliki kemampuan berbahasa, mengontrol diri dan sadar akan perasaannya. Merasa kesal ketika mendapat kritik keras terhadap penyelesaian soal peluang yang sudah dikerjakan (-) Memahami perasaan teman yang gagal menyelesaikan soal peluang beberapa kejadian yang sukar (+) Merasa sulit menyatakan suatu pertanyaan tentang peluang ke dalam bentuk pertanyaan yang lain (-) Percaya diri mampu menjelaskan secara lisan tugas peluang yang sudah dikerjakan (+) Putus asa ketika gagal menjelaskan penyelesaian soal pene-rapan konsep permutasi dan kombinasi kepada teman lain (-) Menghindar menjelaskan cara baru menyelesaikan masalah peluang yang belum pasti hasilnya (-)
SS
SR
JR
JS
SS
SR
JR
JS
Daftar Pustaka Abdurachman, D. (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi serta Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Pembelajaran inkuiri Terbimbing. Tesis pada Pascasarjana UPI: tidak diterbitkan. Armiati. (2011). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis, Komunikasi Matematis, dan Kecerdasan Emosional Mahasiswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Bernard, M. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Serta Disposisi Matematik Siswa SMK dengan Pendekatan Kontekstual Melalui Game Adobe Flash Cs 4.0. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi. Tidak diterbitkan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
39
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Budiyanto, A.M. (2014). Meningkatkan kemampuan berpikir logis dan kreatif matematik serta kemadirian belajar siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.Tesis magister pada Program Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung. Sebagian tesis dipublikasikan dalam International Journal of Education Vol.8, No. 1. Desember 2014. pp 54-63. Graduate School, Indonesia University of Education. Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Hulukati, E. (2006). Mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa SMP melalui pembelajaran generatif. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. tidak dipublikasi. Johnston-Wilder, S. & Lee, C. (2010a). “Mathematical Resilience”. Mathematics Teaching, 218, 38–41. Johnston-Wilder, S. & Lee, C. (2010b). Developing Mathematical Resilience. Paper presented at the BERA annual conference at Warwick University. Johnston-Wilder,S., Lee, C., Garton, E. , S. Goodlad, J. Brindley ,(2013). Developing Coaches For Mathematical Resilience. Laporan suatu Proyek Percobaan Penelitian Joubert, M. (Ed.) Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics 28(3), November 2008. From Informal Proceedings 28-3 (BSRLM) available at bsrlm.org.uk © the author – 54. Does Articulation Matter when Learning Mathematics? Kooken, J., Welsh, M. E., Mccoach, D. B., Johnson-Wilder, S. and Lee, C. (2013). Measuring mathematical resilience: an application of the construct of resilience to the study of mathematics. In: American Educational Research Association (AERA) 2013 Annual Meeting: Education and Poverty: Theory, Research, Policy and Praxis, 27 April - 1 May 2013, San Francisco, CA, USA. Koswara, U. (2012). “Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMA melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Program Autograph”. Tesis pada PPS UPI Bandung. Makalah dimuat dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan Vol VI. No.2, 125131, July 2012 Lugalia M., Sue Johnston-Wilder, S. and Goodall, J.(2013), The Role of ICT in Developing Mathematical Resilience in Learners. Laporan Penelitian di The University of Warwick, Institute of Education, Coventry (UNITED KINGDOM). Mudrikah, A. (2013). Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan Komputer untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik Siswa SMA. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. tidak dipublikasi.
40
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Mulyana, A. (2015). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masala. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi, Bandung. Tidak diterbitkan. Nurcholis, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA melalui Pendekatan Berbasis Masalah Berbantuan Komputer. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah dimuat dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan Vol VI. No.2, 125-131, July 2012. Offirston. T. (2012). “Pendekatan Inkuiri Berbantuan Software Cinderella untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa MTs” Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah dimuat dalam Educationist: Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikanVol VI. No.2, 101-106, July 2012 Rachmat, U,S. (2014). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik serta Kepercayaan Diri Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual berbantuan Mathematical Manupulative. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi, Bandung, tidak dipublikasi. Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah. Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Rusmini, (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa SMP melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Cabri Geometry II. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Setiawati, E. (2014). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif, dan Habit of Mind Matematis, melalui Pembelajaran berbasis Masalah. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan Supriyanti, N. R. (2010). Keefetifan Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams A Chievement Division (STAD) Berbantuan Macromedia Flash Terhadap Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Pada Materi Pokok Dimensi Tiga Kelas X. Semarang: Under Graduates Thesis Universitas Negeri Semarang. Yonandi (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
41
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PEMAKALAH
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA 2015 Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan STKIP Siliwangi 42
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN RESILIANASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMA Adi Nurjaman1, Indah Puspita Sari2
STKIP Siliwangi
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi resiliansi (sikap mempertahankan) dan kemampuan matematika siswa yang masih kurang dalam pembelajaran ini didasakan kepada emosional dan karakter yang ditunjukan oleh dirinya sendiri. Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretespostes yang melibatkan paling tidak dua kelompok. Metode eksperimen digunakan karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran melalui pembelajaran berbasis masalah dan kelas yang lain mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi tes. Pencapaian dan peneningkatan kemampuan pemahaman matematik dan resiliansi matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik. Kata Kunci : Pemahaman Matematik, Pembelajaran Berbasis Masalah, Resiliansi Matematik
A. Pendahuluan Sikap siswa dalam melakukan pembelajaran berbeda antara siswa satu dengan yang lainnya ini didasakan kepada emosional dan karakter yang ditunjukan oleh dirinya sendiri. Membangun sikap siswa yang tangguh tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit begitu pula dengan perlakuan yang pasti akan berbeda untuk setiap siswa. Johnston-Wilder, S., & Lee, C. (2010) mengemukakan, ketahanan (resiliansi) sangatlah diperlukan untuk membangun mental yang baik untuk menghadapi hambatan dalam matematik. Sikap positif seperti itulan yang sangat diperlukan oleh siswa ini bertujuan untuk mengatasi setiap kesulitan atau masalah yang dihadapi oleh siswa. Kemampuan resiliansi menunjukan bahwa bagaimana sikap siswa dalam mempertahakannya. Dweck (Johnston-Wilder, S., & Lee, C.(2010)) mengemukakan, resiliansi metematik memuat sikap tekun atau gigih dalam menghadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik dan menguasai teori belajar matematik. Ini berbading lurus dengan siswa yang resiliansi kuat akan berhasil baik dalam menghadapi masalah matematik di sekolah ataupun pada kondisi yang kurang disenangi. Selain itu, dalam membangun sikap siswa yang tangguh tentu saja diperlukan kemampuan pemahaman yang baik pula sehingga tercipta harmonisasi antara sikan dengan kemampuan pemahaman matematik. Polya (Ahmad, 2005 : 15) dengan jelas menyatakan bahwa tahapan pertama dalam memecahkan masalah matematika adalah memahami masalah matematika itu sendiri. Salah satu model pembelajaran yang dapat menunjang proses kreatif matematis
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
43
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
siswa adalah pembelajaran berbasis masalah, baik masalah sehari-hari maupun masalah matematika. Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk berfikir secara logis, rasional dan kreatif Dewey (Trianto, 2007:67) “belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistim saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dapat dicari pemecahannya dengan baik Berdasarkan uraian di atas penulis mengambil judul “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Resilianasi dan Pemahaman Matematik Siswa SMA. Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah pencapaian dan peningkaan resiliansi dan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya melalui pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada cara biasa?, Apakah ada asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik Siswa SMA?
B. Kajian Teori 1. Resiliansi Matematik Dalam beberapa istilah para pakar memberikan pengertian tentang resiliansi Dweck (Sumarmo, 2016) mengemukakan resiliansi matematik memuat sikap rekun atau teguh dalam mengahadapi kesulitan, bekerja atau belajar kolaboratif dengan teman sebaya, memiliki keterampilan berbahasa untuk menyatakan pemahaman matematik, dengan menguasai teori belajar matematik. Newman (Sumarmo, 2016) sebagai sikap bermutu dalam belajar matematik yang meliputi: percaya diri akan keberhasilannya melalui usaha keras, menunjukan tekun dalam menghadapi kesulitan, berkeinginan berdiskusi, merefleksi, dan meneliti. Johnston-Wilder, S., & Lee, C.(2010) mengemukakan bahwa resiliansi matematik memiliki empat indicator: 1) percaya bahwa kemampuan otak dapat ditumbuhkan, 2) pemahaman personal terhadap nilai nilai matematik, 3) pemahaman bagaimana cara bekerja dalam matematika, dan 4) kesadaran akan dukungan teman sebaya.
2. Pemahaman Matematik Pemahaman matematik adalah ranah kemampuan kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Ruseffendi (2006:221). Dinyatakan, ada tiga macam pemahaman, a) Pengubahan (translation) misalnya mengubah soal kata-kata ke dalam symbol dan sebaliknya, b) Pemberian arti (interpretation) misalnya mampu mengartikan suatu kesamaan, c) Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation) misalnya mampu memperkirakan suatu kecenderungan dari diagram. Polya (Sumarmo, 2012:6) membedakan empat jenis pemahaman, 1) Pemahaman mekanikal : dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau perhitungan sederhana, 2) Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa, 3) Pemahaman rasional: dapat membuktikan
44
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kebenaran sesuatu, 4) Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik. Kemampuan siswa dalam pemahaman matematik memiliki indikator tertentu. NCTM (Hendriana. 2009:17) menyatakan, Pemahaman siswa terhadap konsep matematika dapat dilihat dari: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan symbol-simbol untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifatsifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan dan membedakan konsep-konsep.
3. Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran berbasis masalah salah satu pendekatan yang efektif dalam proses berfikir. Dalam pembelajaran ini siswa dihadapkan kepada suatu permasalaha yang memerluakan penyelesaian yanh baik sehingga akan didapatkan hasil yang maksimal. Arens (Trianto, 2007) karakteristik pembelajaran berbasis masalah adalah: 1) pengajuan pertanyaan, 2) fokus pada keterkaitan ilmu, 3) penyelidikan yang autentik, 4) dapat mengahasilkan serta memperlihatkan hasil karya, 5) belajar berkolaborasi. Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam membantu guru untuk memberikan berbagai informasi sebanyak banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajaran yang otonom dan mandiri (Triantio, 2007). Dalam perkembangannya pembelajarn berbasis masalah memeiliki kelebihan dan kekurangan menurut Sudjana (Trianto, 2007) kelebihan pembelajaran berbasis masalah 1) realistic, 2) konsep yang sesuai, 3) memupuk inquiry, 4) memupuk kemampuan problem solving, selain itu terdapat pula kekuranganya 1) persiapan pemebelajaran yang kompleks, 2) sulit mencari permasalahan yang rekevan, 3) terjadi salah konsep, 4) waktu yang panjang.
C. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Tabel 1.1 Rekapitulasi Hasil Penelitian Pretes 7.83
Kelas Eksperimen % Postes % 30.05 17.58 69.95
Gain 0.79
Pretes 5.17
Kelas Kontrol % Postes % 29.10 14.28 61.40
Gain 0.64
1.45
2.23
0.17
1.34
2.87
0.13
Kemampuan Pemahaman Matematik
s SMI
20
1 77.83
Resiliansi s SMI
9.72 120
67
20
1 72.48
63
9.22 120
Terlihat pada Tabel 1.1 rata-rata skor pretes kemampuan pemahaman matematik kelompok eksperimen 7.83 dan kelompok kontrol 5.17. Dari kedua skor tersebut terlihat bahwa selisih rata-rata antara kedua kelompok tersebut adalah 2.66 yang artinya rata-rata skor kemampuan pemahaman matematik kedua kelas tidak jauh berbeda. Simpangan baku rata-rata pretes
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
45
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kemampuan pemahaman matematis kelompok eksperimen 1.45 sedangkan kelompok kontrol 1.34. Selisih simpangan baku antara kedua kelompok tersebut adalah 0,11 yang berarti kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki sebaran data yang relatif sama. Dilihat dari persentase rataan skor pretes kemampuan pemahaman matematis kelompok eksperimen 30.05% dan kelompok kontrol 29.10%, yang artinya persentase kemampuan pemahaman matematik kelompok eksperimen sedikit lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Selanjutnya rata-rata nilai postes kemampuan kreatif matematis kelompok eksperimen adalah 17.58 dan kelompok konrol 14.28 menunjukkan selisih 3.30 yang berarti ada perbedaan antara rata-rata kemampuan pemahaman matematik kedua kelompok tersebut setelah diberi perlakuan. Dilihat dari simpangan baku rata-rata postes kemampuan kreatif matematis kelompok eksperimen 2.23sedangkan kelompok kontrol 2.87 berarti sebaran data kelompok kontrol lebih besar daripada kelompok eksperimen. Setelah diberi perlakuan, persentase rataan skor postes kemampuan kreatif matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-masing menjadi 69.95% dan 61.40% yang artinya persentase kemampuan pemahaman matematik kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan persentase kelompok kontrol Tabel 1.2 Analsis Data Pretes Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas Eksperimen Kontrol
St. Dev 7.83 5.17
1.45 1.34
Normalitas Tes 0.049 0.200
Uji Mann Whitney 0.875
Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan
Berdasarkan tabel 1.2, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen 0.049 < 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 > 0.05 kedua data berbeda atau tidak normal, sehingga dilanjutkan dengan uji mann whitney data pretes kelompok eksperimen dan kontrol menunjukkan nilai 0.875 > 0.05, sehingga terima H0 dengan kata lain tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pemahaman matematik siswa yang yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang menggunakan pmebelajaran biasa. Tabel 1.3 Analisis data Postes Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas Eksperimen 17.58 14.28 Kontrol
St. Dev 2.23 2.87
Normalitas Tes 0.035 0.200
Uji Mann Whitney 0.037
Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan
Berdasarkan tabel 1.3, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen 0.035 < 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 kedua data berbeda atau tidak normal, sehingga dilanjutkan dengan uji mann whitney data pretes kelompok eksperimen dan kontrol menunjukkan nilai 0.037 < 0.05, sehingga tolak H0 dengan kata lain pencapaian kemampuan pemahaman matematik siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.
46
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Tabel 1.4 Analisis data Gain Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas Eksperimen Kontrol
St. Dev 0.79 0.64
Normalitas Homogenitas Tes Varians 0.200 0.225 0.200
0.17 0.13
Uji t
Kesimpulan
0.008
H0 ditolak
Berdasarkan tabel 1.4, diperoleh sig dari uji nomalitas adalah untuk kelas eksperimen 0.200 > 0.05 dan kelas kontrol adalah 0.200 > 0.05 kedua data berdistribusi normal, sehingga dilanjutkan dengan homogenitas varians diperoleh sig 0.225 > 0.05 sehingga kedua data homogeny, selanjutnya dilakukan uji t diperoleh sig 0.008 < 0.05 sehingga H0 ditolak maka peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa. Tabel 1.5 Asosiasi Kemampuan Pemahaman dengan Resiliansi Metematik Kemampuan Pemahaman
Tinggi Sedang Rendah
Total
Tinggi 5 0 0 5
Resiliansi Sedang 14 8 0 22
Rendah
Total 0 5 4 9
19 13 4 36
Berdasarkan Tabel 1.5 kemampuan resiliansi matematika berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman matematik, hal tersebut ditunjukan tidak terdapat siswa kemampuan rendah tehadap pembelajaran termasuk kedalam kategori sedang kemampuan pemahaman matematik, dan kemampuan resiliansi matematik brepengaruh terhadap kemampuan pemahaman matematik tinggi hal ini ditunjukan dengan banyaknya siswa yang mempunyai kemampuan resiliansi tinggi pada kemampuan pemahaman, dan hanya sedikit siswa dengan kemampuan pemahaman rendah yang memiliki resiliansi matematik. Tabel 1.6 Hasil Uji Chi-Squere Kemampuan Pemahaman dan Resiliansi Matematik Statistic Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 16.702a 15.589 11.461 36
df 4 4 1
Asymp. Sig. (2sided) .001 .002 .000
Tabel 1.7 Hasil Uji Koefisien Kontingensi Kemampuan Pemahaman dan Resiliansi Matematik Nominal by Nominal N of Valid Cases
Statistic Contingency Coefficient
Value .534 36
Approx. Sig. .001
Dari hasil analisis diatas, karena nilai Sig.Chi square = 0.001 < 0.05 maka tolak H0 atau terima H1 dengan kata lain Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan kemampuan resiliansi matematik. Adapun ukuran aosiasi kemampuan pemahaman dan resiliansi matematik sebesar 0.534 dengan interpretasi cukup kuat.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
47
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apakah pencapaian dan peningkatan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya berbasis masalah lebih baik daripada cara biasa, apakah ada asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik siswa SMA. Berdasarkan hasil pengolahan data pretes di bagian terdahulu diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan awal pemahaman matematik siswa tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Kualifikasi rerata pretes kemampuan pemahaman matematik kedua sampel pada kategori kurang, karena peresntase rerata dari skor ideal masing-masing sampel kurang dari 60%. Setelah diberikan perlakuan pembelajaran yang berbeda kepada masing-masing sampel, hasil postes menunjukan perbedaan yang signifikan antara kedua sampel. Pencapaian kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis masalah berdasarkan kualifikasi rerata skor postes berada pada kategori baik, sedangkan pada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa berada pada kategori cukup. Peningkatan kemampuan pemahaman matematik kedua sampel berdasarkan gain ternormalisasi yang diformulasikan oleh Meltzer (Noer, 2007:14) masing-masing peningkatan berada kategori sedang. Meskipun kegori peningkatan kemampuan pemahaman matematik setelah dilakukan pengujian perbedaan rerata gain ternormalisasi kemampuan pemahaman matematik siswa pada kedua sampel tersebut menunjukan perbedaan secara signifikan. Hasil pengujian perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematik kedua sampel, diperoleh kesimpulan bahwa : peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Menurut Hiebert, dkk (Herman, 2006:53) bukti menunjukkan jika siswa belajar dengan mengingat dan latihan prosedural, mereka akan kesulitan dalam memperoleh pemahaman konsep-konsep metematika secara mendalam. Hasil analisis menunjukan adanya asosiasi yang signifikan antara: kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik, serta hasil analisis menunjukan adanya asosiasi yang signifikan antara: kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik, terhadap pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran berbasis masalah memperlihatkan tanggapan yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis terhadap hipotesis, resiliansi matematik siswa selama proses pembelajaran menunjukan terdapat perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal kemampuan pemahaman matematik setelah siswa mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah Pencapaian dan peneningkatan kemampuan pemahaman matematik dan resiliansi matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dengan resiliansi matematik
48
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Daftar Pustaka Ahmad. (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SLTP dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: Tidak diterbitkan Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan. Johnston-Wilder, S., & Lee, C. (2010). Mathematical Resilience. Mathematics Teaching, 218, 38-41. Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-ended untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kreatif. (studi eksperimen pada salah satu siswa SMPN Bandar Lampung). Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tasiro. Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung: Tidak diterbitkan. Sumarmo U. (2016). Resiliansi Matematik. Tersedia : http://utari sumarmo.dosen. stkipsiliwangi. ac.id /e-learning/materi-perkuliahan/[diunduh tanggal 20 september 2016] Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
49
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING M. Afrilianto1, Tina Rosyana2
[email protected],
[email protected] STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran biasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat. Sampelnya diambil dua kelas VII dari salah satu SMP di Batujajar Kabupaten Bandung Barat. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian ini yaitu tes kemampuan komunikasi matematik berbentuk uraian. Pengolahan data untuk uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metaphorical thinking lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa. Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Metaphorical Thinking.
A. Pendahuluan Pengalaman mempelajari matematika sangat penting dimiliki siswa. Menurut Sumarmo (2015:75), matematika memiliki beberapa karakteristik bergantung pada cara pandang orang yang melaksanakannya. Karakteristik matematikia sebagai suatu kegiatan manusia yang dikenal dengan sebutan “mathematics as a human activity”. Berdasarkan NCTM dan KTSP (Hendriana dan Sumarmo, 2014:29) komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik esensial yang tercantum dalam kurikulum matematika sekolah menengah. Komponen tujuan pembelajaran matematika tersebut antara lain: dapat mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau ekspresi matematik untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalm mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari uraian di atas, terdapat satu hal yang menekankan siswa untuk mengkomunikasikan masalah matematik. Komunikasi itu sendiri merupakan cara berbagai ide dan memperjelas pemahaman. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan mempermanenkan ide dan proses komunikasi juga dapat mempublikasikan ide. Namun saat ini kenyataan di lapangan masih belum sesuai. Hasil survey Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012 menyatakan bahwa matematika siswa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara (OECD, 2013). Sebagai alternatif untuk mengatasi rendahnya kemampuan komunikasi matematik siswa khususnya pada jenjang SMP yaitu dengan menggunakan pendekatan metaphorical thinking.
50
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa? B. Kajian Teori dan Metode 1. Komunikasi Matematik Sumarmo (2015:453) mengidentifikasi indikator komunikasi matematik yang meliputi kemampuan: a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; b) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; e) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika; f) Menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; g) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri. 2. Pendekatan Metaphorical Thinking Pendekatan metaphorical thinking merupakan pendekatan pembelajaran untuk memahami, menjelaskan dan mengkomunikasikan konsep-konsep abstrak menjadi hal yang lebih konkrit dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan (Afrilianto, 2012). Prosedur pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking menurut Afrilianto (2012) yaitu dengan menyajikan pembelajaran dalam tahap-tahap sebagai berikut: 1) Tahap pertama, kegiatan awal Pada tahap ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa dan materi yang akan dipelajari, memberi motivasi kepada siswa, melakukan apersepsi dan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok yang heterogen. Setiap kelompok terdiri dari 4 sampai 5 siswa. 2) Tahap kedua, kegiatan inti Pada tahap ini, guru memberikan materi pengantar sesuai pokok bahasan yang akan diajarkan, memberi contoh memetaforakan masalah matematika, memberi kesempatan kepada siswa dalam kelompok untuk mencari dan memikirkan metafora lain, dan membagikan LKS. Pada saat siswa berdiskusi dalam kelompoknya, guru berkeliling dan memberikan bimbingan. Selanjutnya, siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusi kelompok berupa jawaban soal latihan dan metafora yang tepat untuk menggambarkan masalah matematika yang ada. 3) Tahap ketiga, kegiatan penutup Pada tahap ini, bersama-sama membuat rangkuman hasil diskusi. Guru memberikan evaluasi menyeluruh terhadap hasil kegiatan siswa. Selanjutnya, siswa diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang materi yang sudah dipelajari. Penjelasan dilengkapi dengan metafora yang tepat. Kemudian guru bersama siswa membuat kesimpulan dan melakukan refleksi. Langkah terakhir adalah guru memberikan PR untuk dapat dikerjakan siswa. C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat, sedangkan sampelnya diambil dua kelas VII dari salah satu SMP di Batujajar Kabupaten Bandung Barat pada Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
51
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
semester ganjil Tahun Ajaran 2015/2016. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini yaitu tes kemampuan komunikasi matematik berbentuk uraian
D. Hasil Penelitian Berikut ini data deskriptif hasil penelitian sebelum dan setelah pembelajaran disajikan dalam tabel rekapitulasi berikut ini. Tabel 1. Statistik Deskriptif Kelas Tes Stat. Kemampuan Komunikasi Matematik Eksperimen Pretes 3,84 (KPMT) s 2,59 Postes 10,42 s 2,28 Gain 0,32 s 0,16 Kontrol Pretes 2,55 (KPB) s 1,89 Postes 7,72 s 2,73 Gain 0,23 s 0,15 Dari data desktiptif di atas, kemudian data diolah secara statistik inferensial untuk mengetahui peningkatan kemampuannya. Uji statistik menggunakan uji-t, dengan hipotesis: H0 ( ): Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa KPMT tidak lebih baik atau sama dengan KPB. H1 ( ): peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa KPMT lebih baik daripada KPB. Dengan menggunakan taraf signifikan maka kriteria pengujiannya: Jika P-value maka HO diterima, Ha ditolak. Jika P-Value <
maka HO ditolak, Ha diterima.
Berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t diperoleh: Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Rataan Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Komunikasi Matematik
52
P-Value (hasil uji satu pihak)
0,012
H0
Tolak
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pada Tabel 2 H0 ditolak, sehingga hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa
E. Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa. Diharapkan pendekatan metaphorical thinking dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran untuk diimplementasikan dalam pengembangan pembelajaran matematika di kelas, terutama untuk meningkatkan kemampuan matematik.
Daftar Pustaka Afrilianto, M. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa SMP. Tesis UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Hendriana, H., dan Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung: Refika Aditama. OECD. (2013). PISA: Snapshot of Performance in Mathematics, Reading and Science (Online). Tersedia: http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/PISA-2012-results-snapshotVolume-I-ENG.pdf. (Diakses 1 Desember 2016). Sumarmo, U. (2015). Berpikir dan Disposisi Matematik Kumpulan Makalah. UPI. Bandung: Tidak diterbitkan
serta
Pembelajarannya.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
53
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PEMBELAJARAN BILANGAN DESIMAL MENGGUNAKAN KONTEKS PENGUKURAN DI KELAS V Ari Puspita Rahayu 1, Ratu Ilma Indra Putri 2, Darmawijoyo 2 1
Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya 2 Dosen Magister Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar pembelajaran bilangan desimal. Subjek penelitian adalah kelas V SD Negeri 141 Palembang sebanyak 38 siswa. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Metode penelitian yang digunakan yaitu design research, dugaan lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory) dikembangkan dari serangkaian aktivitas pembelajaran menggunakan konteks pengukuran. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yakni merancang aktivitas pembelajaran (preparing for experiment), melaksanakan pembelajaran (the design experiment), dan melakukan analisis retrospektif (retrospective analysis) dalam rangka memberi kontribusi terhadap teori pembelajaran lokal (Local Instruction Theory) untuk mendukung siswa dalam mempelajari bilangan desimal. Data dikumpulkan melalui dokumentasi video, hasil kerja siswa (Lembar Aktivitas Siswa, tes awal dan tes akhir) dan wawancara. Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang telah dirancang kemudian dibandingkan dengan Actual Learning Trajectory (ALT) siswa yang sebenarnya selama pelaksanaan pembelajaran untuk menganalisis apakah siswa belajar atau tidak dari apa yang telah dirancang di rangkaian pembelajaran. Analisis retrospektif terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa penggunaan konteks pengukuran dapat membantu siswa dalam memahami bilangan desimal. Kata Kunci: Pendekatan PMRI, bilangan desimal, pengukuran.
1. Pendahuluan Bilangan desimal merupakan cara lain melambangkan pecahan dan juga merupakan perpanjangan sistem nilai tempat. Hal ini berdasarkan pernyataan CTE Resource Center (2002) bahwa bilangan desimal termasuk bagian terpenting dari bilangan rasional dan sangat bermanfaat dalam berbagai macam aturan pengukuran, seperti pengukuran menggunakan sistem metrik, persen dan uang.Di Sekolah Dasar, bilangan desimal masih dirasakan sulit seperti yang dinyatakan oleh Galen, Feijs, Figueiredo, Gravemeijer, Herpen, & Keijzer (2008) dalam bukunya bahwa “the fact that the topics-fractions, percentages, decimals and ratios-are some of the most difficult parts of the primary school curriculum”. Pernyataan tersebut didukung oleh Sembiring, Hadi, & Dolk (2008) yang menyatakan bahwa pembelajaran bilangan desimal telah lama menjadi problema di banyak negara seperti diketahui banyak siswa harus bersusah payah menyelesaikan perhitungan yang melibatkan pecahan. Menurut National Math + Science Initiative (2013) beberapa kesalahan umum pada konsep pembelajaran bilangan desimal antara lain siswa kurang memahami hubungan antara
54
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
pecahan dan bilangan desimal juga siswa tidak memahami konsep nilai tempat sehingga berdampak ketika siswa membandingkan dan mengurutkan bilangan desimal mereka menganggap bahwa 0,19 lebih dari 0,2 karena kesalahan dalam menerapkan nilai tempat bilangan bulat ke bilangan desimal. Kesulitan dalam memahami nilai tempat tersebut akan mempengaruhi pemahaman siswa tentang operasi hitung bilangan desimal, terutama operasi hitung pengurangan bilangan desimal yang akan dibahas dalam penelitian ini. Seperti yang dinyatakan oleh Mistutik (2009) bahwa materi bilangan desimal sulit dipahami karena siswa belum menguasai teknik meminjam pada pengurangan dan belum mampu mengubah pecahan biasa menjadi pecahan bilangan desimal. Kemudian dalam penelitian Standiford, Klein, & Tatsuoka (1982) menjelaskan bahwa, permasalahan pada pengurangan desimal tersebut yaitu siswa mengurangkan ke bawah dengan menulis angka rata kanan, lalu menempatkan tanda koma tidak selaras. Selanjutnya siswa menghilangkan tanda koma dan juga siswa menggunakan "aturan perkalian" untuk menempatkan tanda koma tersebut. Permasalahan yang terjadi pada penyelesaian operasi pengurangan desimal tersebut dapat diatasi dengan konteks yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Irwin (2001) bahwa siswa yang mengerjakan masalah bilangan desimal dengan konteks yang dikenalnya sehari-hari, pengetahuannya lebih meningkat secara signifikan dibandingkan siswa yang mengerjakan masalah bilangan desimal non kontekstual. Pembelajaran yang menghubungkan antara konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari merupakan penekanan pembelajaran yang menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pernyataan tersebut didukung oleh Putri (2011) bahwa PMRI dapat menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi sendiri melalui pengetahuan sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti situasi “real”. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudiani, Zulkardi, Hartono, & Amerom (2011)menjelaskan bahwa kegiatan pengukuran dapat mendukung pemahaman siswa terhadap bilangan desimal, yang kemudian memancing pemikiran siswa terhadap ide penggunaan garis bilangan sebagai model untuk menempatkan besaran bilangan desimal. Maka dari itu direkomendasikan menggunakan PMRI karena sangat cocok untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam belajar bilangan desimal. Selanjutnya (Afriansyah, 2013) meneliti di MIN 1 Palembang dengan topik operasi penjumlahan bilangan desimal menemukan bahwa serangkaian kegiatan pembelajaran membangun pemahaman siswa pada sifat operasi penjumlahan bilangan desimal melalui penerapan konsep nilai tempat bilangan desimal dapat membawa siswa dari situasi kontekstual menuju situasi yang lebih formal. Siswa tidak lagi berpikir sistem bilangan bulat ketika mengerjakan soal bilangan desimal. Mereka dapat mengerjakan berbagai soal kontekstual dengan disertai alasan. Lintasan pembelajaran pada penelitian yang menggunakan PMRI sebagai dasar pada desain dari seluruh konteks dan kegiatan tersebut, berjalan dengan baik sehingga pantas untuk digunakan pada pembelajaran di sekolah. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penelitian bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran bilangan desimal menggunakan konteks pengukuran di kelas V.
2. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode design research yang bertujuan untuk membuktikan teori-teori pembelajaran dan mengembangkan Local Instructional Theory (LIT) dengan kerjasama peneliti dan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran(Gravemeijer & Cobb, 2006).Menurut Gravemeijer & Cobb (2006), design Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
55
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
research terdiri dari 3 tahap yaitu (1) preparing for the experiment, (2) the design experiment, dan (3) retrospective analysis. Pada tahap preparing for the experiment (persiapan penelitian), peneliti melakukan kajian literatur mengenai bilangan desimal dan penggunaan PMRI sebagai pendekatan pembelajaran. Selain itu, peneliti juga meneliti kemampuan awal siswa dengan melakukan wawancara kepada beberapa siswa sebagai pengetahuan awal mengenai prasyarat pembelajaran. Hasilnya digunakan untuk mendesain serangkaian aktivitas pembelajaran yang berisi dugaan lintasan belajar (Hypothetical Learning Trajectory). HLT yang didesain bersifat dinamis sehingga terbentuk sebuah proses siklik (cyclic process) yang dapat berubah dan berkembang selama proses teaching experiment. Tahap keduathe design experiment (desain percobaan) yang terdiri dari dua siklus yakni siklus 1 (pilot experiment) dan siklus 2 (teaching experiment). Enam orang siswa dengan kemampuan bernalar heterogen (2 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, 2 siswa berkemampuan rendah) dilibatkan pada siklus pertama (pilot experiment), disini peneliti berperan sebagai guru. Hasil dari siklus pertama digunakan untuk merevisi HLT versi awal untuk satu kelas berpartisipasi dalam siklus kedua (teaching experiment). Pada siklus kedua oleh guru mereka sendiri sebagai guru model (pengajar) dan peneliti bertindak sebagai observer pada aktivitas pembelajaran. Tahap ketiga retrospective analysis, data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dianalisis digunakan untuk mengembangkan desain pada aktivitas pembelajaran berikutnya. HLT dibandingkan dengan aktivitas pembelajaran siswa sesungguhnya (Actual Learning Trajectory) untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari retrospective analysis secara umum adalah untuk mengembangkan Local Instructional Theory (LIT). Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa hal meliputi observasi, membuat rekaman video tentang kejadian di kelas dan kerja kelompok, mengumulkan hasil kerja siswa, memberikan tes awal dan tes akhir, dan mewawancarai siswa. HLT yang telah dirancang kemudian dibandingkan dengan lintasan belajar siswa yang sebenarnya selama peaksanaaan pembelajaran untuk dilakukan analisis secara retrospektif apakah siswa belajar atau tidak dari apa yang telah dirancang di rangkaian pembelajaran. Analisis data diikuti oleh peneliti beserta pembimbing untuk meningkatkan vvaliditas dan reliabilitas. Validitas dilakukan untuk melihat kualitas sekumpulan data yang berpengaruh pada penatikan kesimpulan dari penelitian ini. Reliabilitas menggambarkan penelitian yang dilakukan sehingga suatu kesimpulan dapat diambil.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran bilangan desimal dengan menggunakan konteks pengukuran. Untuk mengetahui kemampuan awal peneliti memberikan tes awal (pre test) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Hasil pre test menunjukkan bahwa siswa kesulitan membedakan nilai tempat bilangan bulat dan nilai tempat bilangan desimal serta kesulitan dalam mengurangkan bilangan desimal. Setelah mengetahui kemampuan awal siswa dari hasil pre test dilakukanlah siklus 1 tahap pilot experiment. Pada tahap ini 6 siswa (dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok heterogen) berpartisipasi dan peneliti sebagai guru model. Sebelum menyelesaikan masalah operasi pengurangan bilangan desimal, siswa harus mengetahui 56
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
unsur-unsur dari bilangan desimal sehingga pada pertemuan pertama siswa diberikan masalah seputar nilai tempat bilangan desimal. Berikut permasalahan pertama dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Menuliskan data berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
Gambar 1 merupakan permasalahan pertama yang diberikan. Ada bermacam-macam benda yang ada di lingkungan sekitar kita. Pada permasalahan ini, peneliti meminta siswa mengukur panjang dan memperkirakan lama waktu. Untuk permasalahan ini peneliti membuat dugaan jawaban siswa, yakni: Siswa mengukur panjang benda dan memperkirakan lama waktu. Siswa menuliskan dalam bilangan bulat, kemudian menuliskannya dalam bilangan desimal. Untuk mengetahui strategi yang digunakan siswa dalam menyelesaikan paermasalahan yang diberikan, peneliti sebagai guru mewawancarai siswa. 01 Guru : Bagaimana kelompok elsa, penyelesaiannya? 02 Siswa 1 : Aku ukur pengapus dulu yo. 3 cm panjangnyo. Nulisnyo cakmano? (bertanya pada teman sekelompoknya) Siswa 2 : Kan kalo ado lebihnyo pake koma nulisnyo. Ini katek lebihnyo kan. Pas 3 cm. Berarti kan nak nulis desimal, tulis be 3,0. 03 Guru : Coba ditulis yang kalian diskusikan. 04 Siswa 2 : (mengukur buku gambar) ini 29 cm lebih 5 garis kecik. berarti cakmano yo tulis 29,5 kan. Nah kalo lamo istirahat kito kan setengah jam. Cakmano nulisnyo? (bertanya pada teman sekelompoknya) Siswa 3 : Setengah kan satu per duo biar jadi desimal jadi 5/10. 0,5 jam kalu ye dak? (bertanya pada teman sekelompoknya) Siswa 1 : Iyo kan setengah tu 0,5. Lanjut lama belajar di rumah. Aku Cuma sejam. Tulis 1,0 ye. 05 Guru : Apakah ada kesulitan? 06 Siswa 1 : Caknyo katek buk kesulitan. Biso kami jawabnyo buk. Terakhir lama tidur 8 jam setengah. Tulis 8,5 jam. Oke dak? (bertanya pada teman sekelompoknya) Siswa 2 : Oke okeee Transkrip Percakapan 1. Kelompok Elsa
Berdasarkan Transkrip Percakapan 1 terlihat kelompok elsa sudah bisa memberikan alasan dalam menjawab pertanyaan. Dalam soal pertama ini, siswa berdiskusi mengenai dari bilangan bulat ke bilangan desimal.Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
57
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Gambar 2. Jawaban siswa permasalahan pertama
Permasalahan kedua, siswa dihadapkan pada konteks isian pensil mekanik. Pada soal tesebut terdapat dua pilihan isian pensil mekanik yakni 0,5 mm dan 0,7 mm. Pertama siswa diminta membuat gambaran bagaimana ukuran 0,5 dan 0,7 tersebut. Kemudian siswa menentukan mana yang lebih tebal hasil tulisannya, agar masalah terselesaikan. Untuk permasalahan kedua peneliti telah membuat dugaan jawaban siswa, yakni: Siswamengkonversikan bilangan desimal ke pecahan Siswa mengaplikasikan pecahan ke strip basis sepuluh yang telah disediakan Berikut hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan jawaban kedua.
Gambar 3. Jawaban Siswa pada Permasalahan Kedua
Adapun jawaban siswa pada kelompok bunga melati pada Transkrip Percakapan 2 di bawah ini. 07 Guru : Bagaimana kelompok bunga elsa, penyelesaiannya? 08 Siswa : 0,5 dan 0,7 pilih isi yang mano ye buk? 09 Guru : Iya. Bagaimana langkah awalnya untuk membandingkan kedua bilangan itu? 10 Siswa 1 : 0,5 tu samo dengan berapo ye? Siswa 2 : Jadike pecahan dulu berapo itu? 5/10 dak? (bertanya pada teman sekelompoknya) Siswa 3 : Iyo 5/10 trus cakmano? 11 Guru : Itu kotak yang tersedia ada berapa? 12 Siswa : Ado... (menghitung) 100 kotak buk. Nah iyo berarti gek jadike per seratus jugo. 58
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
13 14
Guru Siswa 1 Siswa 2
: Coba dibuat. : 5/10 = 50 /100. Arsir kan biar biso kejingok‟an mano banyak 0,5 atau 0,7. Berarti gek yg 0,7 jugo diarsir. : Iyo gek aku be gantian yg arsir. Transkrip percakapan 2. Kelompok Elsa
Dari transkrip percakapan 2 diatas dapat dilihat bahwa dari diskusi siswa, siswa sudah mengerti akan maksud dari soal dan bagaimana cara menyelesaikannya. Siswa sudah mengerti 0,5 = 5/10 = 50/100. Juga 0,7 = 7/10 = 70/100. Sehingga siswa dapat mengaplikasikannya pada strip basis sepuluh. Permasalahan ketiga, siswa diminta menentukanjarak yang belum ditempuh. Diketahui jarak keseluruhan yang harus ditempuh 2,4 km dan jarak yang telah ditempuh 1,8 km. Untuk permasalahan ketiga peneliti telah membuat dugaan jawaban siswa, yakni: Siswa memahami maksud dari soal Siswamemperkirakan operasi hitung yang akan digunakan Siswa mengaplikasikan pengurangn desimal pada strip basis sepuluh Adapun percakapan antara siswa dan guru sebagai berikut. 15 Guru : Bagaimana kelompok melati, penyelesaiannya? 16 Siswa 1 : Ini kan kalo ke monumen 2,4 km. Trus lah jalan 1,8 km. Siso berapo lagi, kan? Oy cakmano? (bertanya pada teman sekelompoknya) Yo berarti dikurang ye dak. Siswa 2 : 17 Guru : Kalo ditanya sisa, biasanya bagaimana? 18 Siswa 3 : Dikurang, benerla. Kurangke ke bawah be. Cubo aku nulisnyo. (siswa menulis pengurangan dengan jalan ke bawah) 19 Guru : Bagaimana cara mengurangkannya? 20 Siswa 2 : Kurangke bae buk. Dapetnyo 0,6. 21 Guru : Jadi kalo menggunakan kotak seratus itu, bagaimana? 22 Siswa : Nah untuk apo ini yo? Transkrip Percakapan 3. Kelompok Melati
Transkrip Percakapan 3 di atas dapat dilihat bahwa kelompok melati sudah dapat memahami maksud soal. Namun saat menentukan hasil pengurangan, mereka masih menggunakan cara jalan ke bawah. Strip basis sepuluh yang tersedia belum dimanfaatkan. Berikut di bawah ini jawaban dari kelompok melati.
Gambar 4. Jawaban siswa kelompok elsa pada permasalahan ketiga
Pada masalah pertama, kedua dan ketiga dapat dilihat bahwa siswa telah memahami permasalahan pada operasi pengurangan dan pembelajaran bersesuaian dengan HLT yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
59
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
telah dirancang. Siswa sudah belajar untuk menyelesaikan permasalahan dengan konteks pengukuran menggunakan strip basis 10 dan menyelesaikan pengurangan bilangan desimal. Hasil penelitian pilot experiment yang didapatkan menunjukkan Actual Learning Trajectory (ALT) yakni proses selama pembelajaran berlangsung bersesuaian dengan HLT yang telah dirancang.
3.2 Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam mengembangkan sebuah Local Instructional Theory (LIT) dengan mendesain serangkaian aktivitas pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep operasi pengurangan bilangan desimal. Pembelajaran yang didesain berdasarkan prinsip-prinsip dan lima karakteristik PMRI, yakni (a)use of contexts for phenomenologist exploration dalam mendesain pembelajaran ini dipilih konteks yang dekat dengan siswa, (b)using models and symbols for progressive mathematization penggunaan model dan simbol dalam menyelesaikan permasalahan dilakukan siswa selama proses penyelesaian masalah, (c) using student own contributin and production selama proses pembelajaan guru memberi kebebasan siswa dalam mengungkapkan dan menjawab pertanyaan, dapat dlihat dari beragam jawaban siswa dalam menyelesaikan permasalahan, (d) interactivity interaktivitas tidak terjadi antara guru dan siswa tetapi juga dengan sesama siswa bentuk interaksi ini dapat berupa diskusi, memberika penjelasan, komunikasi, koopratif dan evaluasi, (e) intertwining mathematics concept, aspect and unit maksudnya adalah matematika yang diajarkan kepada siswa akan menjadi lebih bermakna jika terkait dengan topik pembelajaran lainnya.
4. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dalam menyelesaikan permasalahan operasi pengurangan bilangan desimal menggunakan konteks pengukuran, melalui aktivitas yang dirancang dapat membantu siswa memperoleh pemahaman dari intuitifnya secara informal menuju penyelesaian permasalahan secara formal. Siswa dapat memahami dan menyelesaikan permasalahan.
Daftar Pustaka Afriansyah, E. A. (2013). Design Research: Konsep Nilai Tempat pada operasi Penjumlahan Bilangan Desimal di Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika, 7 (2), 13-23. CTE Resource Center. (2002). Thinking Rationally aboutFractions, Decimals, and Percent:Instructional Activities for Grades 4 through 8. Richmond, Virginia: Virginia Department of Education. Galen, F. v., Feijs, E., Figueiredo, N., Gravemeijer, K., Herpen, E. v., & Keijzer, R. (2008). Fractions, Percentages, Decimals and Proportions; A LEARNING-TEACHING TRAJECTORY FOR. Netherlands: Sense Publishers.
60
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. Dalam J. V. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenny, & N. Nieveen, Educational Design Research (hal. 17-51). London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Irwin, K. C. (2001). Using Everyday Knowledge of Decimals to Enhance Understanding. Journal for Research in mathematics Education , 399-420. Mistutik, S. M. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan Desimal Melalui Penggunaan Blok Desimal Siswa Kelas V SDN Winongan Lor II. Malang: Perpustakaan Digital Universitas Negeri Malang. National Math + Science Initiative. (2013). Elementary Math. United States: Creative Commons Attribution NonCommercial-NoDerivs. Pramudiani, P., Zulkardi, Hartono, Y., & Amerom, B. v. (2011). A Concrete Situation For Learning Decimals. IndoMS. J.M.E, 2 (2), 215-230. Putri, R. I. (2011). Professional Development of Mathematics Primary School Teacher in Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education Approach. Lymasol, Cyprus: Proceeding of International Congress for school Effectiveness and Improvement (ICSEI). Sembiring, R. K., Hadi, S., & Dolk, M. (2008). Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through RME. ZDM Mathematics Education , 927–939. Standiford, S. N., Klein, M. F., & Tatsuoka, K. K. (1982). Decimal Fraction Arithmetic : Logical Error Analysis and Its Validation
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
61
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMA Asep Ikin Sugandi
[email protected] STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK Artikel ini melaporkan hasil temuan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes awal dan akhir kelompok kontrol untuk menelaah penerapan pendekatan Berbasis Masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah dan diposisi matematik . Studi ini melibatkan 78 siswa dari salah satu SMP sedang di kota Cimahi. Instrumen penelitian terdiri dari satu set soal , yaitu satu set soal mengenai kemampaun pemecahan masalah matematis dan satu set angket untuk menukur disposisi matematika . Penelitian ini menemukan bahwa: (1) Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pembelajaran biasa secara (a) Keseuruhan (b) berdasarkan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS). (2) Disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pembelajaran biasa secara secara (a) keseluruhan (b) TKAS (3) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap kemamapuan pemecahan masalah matematis (4) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap disposisi matematis (5) Terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dan diposisi matematis pada kelas yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah. Kata Kunci : Pemecahan masalah, disposisi matematik, pendekatan berbasis masalah
A. Pendahuluan Kemampuan Pemecahan masalah dan disposisi matematis merupakan dua hal yang penting dalam pendidikan matematika, dan perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Sumarmo, 2012 : 5) tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika adalah: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Disamping itu kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan. hal ini sesuai dengan pendapat NCTM (2000) mengataan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan fokus dari pembelajaran matematika. Tidak saja kemampuan untuk untuk memecahkan
62
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
masalah menjadi alasan untuk mempelajari matematika, tetapi kemampuan pemecahan masalah memberikan suatu konteks dimana konsep-konsep dan kecakapan-kecakapan dapat dipelajari. Pentingnya kepemilikan kamampuan pemecahan masalah pada matematika dikemukakan oleh Branca (Sumarmo, 2012 : 9) sebagai berikut : (1) kemampuan penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, (2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur, strategi dalam pemecahan masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Demikian pula Pentingnya kepemilikan kemampauan pemecahan masalah sejalan dengan pendapat Cooney (2012 : 9) mengemukakan bahwa pemilikan kemampaun pemecahan masalah membantu siswa berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari dan mampu membantu meningkatkan kemampaun berpikir kritis dalam menghadapi situasi baru. Berdasarkan pendapat Branca tersebut, maka kita dapat memandang pemecahan masalah dalam matematika sebagai suatu tujuan, proses dan kemampuan dasar. Adapun pemecahan masalah dalam matematika sebagai tujuan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, 1) mengapa matematika diajarkan? dan 2) apa tujuan pengajaran matematika tersebut? Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut dikemukakan oleh Sumarmo (1994 : 9) adalah karena matematika merupakan bidang studi lain dan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan matematika; matematika sebagai alat untuk membangkitkan serta melatih kemampuan pemecahan masalah. Lebih lanjut Polya (Sumarmo. 2012 : 9) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan bigitu saja segera dicapai. Lebih lanjut Polya menyatakan bahwa dalam matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan (problem to find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Adapun kegiatan dalam pemecahan masalah adalah : (1) Memahami masalah (understanding the problem), hal ini meliputi : (a). apa yang diketahui ? (b). apa yang ditanyakan ? (c). apakah kondisi permasalahan yang diberikan cukup atau tidak cukup lengkap untuk mencari apa yang ditanyakan ? (2) Membuat rencana pemecahan/merencanakan penyelesaian (devising a plan), hal ini meliputi : (a). teori apa yang dapat digunakan dalam masalah ini ? (b). apakah harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal tadi atau menyatakan dalam bentuk lain ? (3) Melakukan perhitungan (carrying out the plan), hal ini meliputi : (a). pelaksanaan penyelesaian dengan cara memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum ? (b). melakukan pembuktian bahwa langkah yang dipilih sudah benar. (4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back), pada bagian ini lebih ditekankan bagaimana cara memeriksa jawaban yang telah didapat Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswasiswa Indonesia masih rendah dan belum memuaskan. Terlihat dari rendahnya persentase jawaban benar siswa-siswi SMP Indonesia dalam dua indikator hasil belajar internasional yaitu Trends in International Mathematics and Science Study TIMSS (1999) dan 2003 serta dalam Program for International Students Assessment (PISA) 2003 (OECD PISA, 2003). Data yang diperoleh dari TIMSS, kelemahan siswa-siswi Indonesia terletak pada bagian menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang memerlukan justifikasi atau pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau akta yang diberikan. Sedang dari data yang diperoleh PISA, letak kelemahan siswa Indonesia yaitu dalam hal menyelesaikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
63
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
soal-soal yang difokuskan pada literature matematika yaitu berupa kemampuan siswa dalam menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kedua fakta tersebut, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif siswa pada umumnya masih tergolong rendah. Disamping itu pembelajaran matematika saat ini masih berpusat pada guru, guru sebagai sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi, hal ini menyebabkan pembelajaran terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Siswa tidak banyak diberi kesempatan untuk berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran lebih beorientasi pada hasil dari pada beorientasi pada proses. Selain aspek kognitif perlu juga dikembangkan aspek afektif yang disebut dengan disposisi matematik yang mempunyai indikator sebagai berikut : (a) rasa percaya diri, (b) fleksibel, (c) gigih, tekun mengerjakan tugas matematik, (d) berminat, rasa ingin tahu dan daya temu dalam melakukan tugas matematik, (e) memonitor, merefleksikan penampilan dan penalaran sendiri, (f) bergairah dan perhatian serius dalam belajar matematik, (g) mengaplikasikan matematika ke situasi lain, (h) mengapresiasi peran matematika, (i) berekpek dan metakognisi, (j) berbagi pendapat dengan orang lain (Hendriana dan Sumarmo, 2014:97). Dengan demikian disposisi matematik merupakan faktor penting dalam meningkatkan kesuksesan pendidikan. Mengingat matematika adalah ilmu yang terstruktur artinya untuk menguasai suatu konsep matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya, maka kemampuan kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam tingkat kemampuan awal siswa (TKAS) terhadap matematika memegang peranan yang sangat penting untuk penguasaan konsep baru matematika, maka dalam penelitian ini akan dilihat pengaruh kemampuan awal siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa. Temuan mengenai kemampuan pemecahan masalah yang masih rendah, aktivitas siswa yang kurang memuaskan, dan disposisi matematik siswa yang masih perlu pengembangan mendorong para peneliti mencari alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu alternatif tersebut adalah diadakannya penelitian mengenai penerapan pendekatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa untuk belajar baik secara mental, fisik mapun sosial. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang diprediksi dapat efektif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, aktivitas siswa dalam belajar dan disposisi matematik siswa adalah Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah yang berasal dari bahasa inggris Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu mahasiswa (siswa) memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya. Lebih lanjut Moffit (Ratnaningsih, 2007) bahwa Belajar Berbasis Masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara optimal, memungkinkan siswa melakukan eksplorasi, observasi, eksperimen, investigasi, komunikasi yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep-konsep dasar dari berbagai konten area Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah dan siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan pengetahuan yang dimilikinya. Masalah dalam kegiatan pembelajaran menggunakan masalah dunia nyata dan dalam pembelajaran ini 64
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya. Fase-fase dalam PBM meliputi: Fase 1: memberikan orientasi tentang permasalahan kepada siswa, fase 2: mengorganisasikan siswa untuk meneliti, fase 3: membantu investigasi mandiri dan kelompok, fase 4: mengembangkan dan mempresentasikan artefak atau exhibit, fase 5: menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka rumusan dan batasan masalah pada tulisan ini adalah : 1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional dilihat secara (a) keseluruhan, (b) Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) 2. Disposisi matematsi siswa yang pembelajaranya menggunakan pendekatan berbasis berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional dilihat secara (a) keseluruhan, (b) TKAS 3. Apakah terdapat interaksi antara pendektan pembelajaran dengan TKAS terhadap kemampuan pemecahann masalah matematis: 4. apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap Disposisi matematis siswa 5. Apakah terdapat interaksi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunkn pendekatan berbasis masalah?
B. Metode dan Prosedur Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan didasain sebagai berikut : OXO --------OX O Keterangan : A : Pengambilan sampel secara acak X : Penerapan Pendekatan Berbasis Masalah O : Tes awal/Tes Akhir Populasi dalam Penelitian ini adalah seluruh Siswa SMP yang mempunyai kemampuan matematika sedang di Kota Cimahi. Sampelnya diambil siswa kelas VIII dari salah satu SMP Negeri di Kota Cimahi sebanyak 78 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa satu perangkat tes berbentuk essai untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan satu set
angket untuk mengukur disposisi matematik siswa. C. Hasil Penelitian 1. Hasil Peneliatian Mengenai Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dari Hasil pengolahan data terhadap kemampuaan pemecahan masalah matematis didapat sebagai berikut :
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
65
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Tabel 1 Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Bisa
Total
TKAS Tinggi Sedang Rendah Total
44,93 41,61 35,67 41,89
Sd 2,73 1,88 4,46 4,09
n 14 18 6 38
38,00 35,64 33,71 35,95
Sd 4,69 4,54 5,34 4,82
N 11 22 7 40
41,88 38,22 34,62 38,85
Sd 5,05 4,66 4,86 5,36
n 25 40 13 78
Skor Maksimum : 50 1) Secara keseluruhan rata-rata kemampuan Pemecahan Masalah matematis siswa adalah 38,85 (dari skor maksimum 50). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa secara keseluruhan termasuk kategori tinggi (77%). 2) Skor kemampuan pemecahan matematis siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis pembelajaran (Berbasis Masalah dan biasa) adalah 41,89 dan 35,95 ; simpangan baku masing-masing 4,09 dan 4,82; dan jumlah siswa 38 dan 40. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendektan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa. 3) Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan TKAS (atas, sedang, rendah) adalah : 41,88 ; 38,22 dan 34,62 simpangan baku 5,05 ; 4,66 dan 4,86 , jumlah siswa 25, 40 dan 13. Hal ini menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa bersifat ajeg terhadap pengklasifikasiaan TKAS siswa berdasarkan tes kemampuan matematis secara umum. Berdasarkan Hasil Uji Anova dua jalur kemampuan pemecahan matematis dengan faktor pendekatan pembelajaran dan TKAS didapat hasil sebagai berikut : Tabel 2 Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemecahan Masalah dengan Faktor Pendekatann Pembelajaran dan TKAS Sumber Jumlah Dk Rata-rata F Sign. Kuadrat Kuadarat Pembelajaran 385,24 1 385,24 25,66 0,000 TKAS 393,92 2 196,99 13,12 0,000 Interaksi 55,249 2 27,62 1,84 0,166
Matematis Keterangan Ho ditolak Ho ditolak Diterima
Dari perhitungan pada Tabel 2 , didapat analisis kemampaun pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan beberapa : 1) Berdasarkan Pendekata Pembelajaran Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut : Ho : 1 2 H1 : 1 2 Kriteria pengujian terima Ho, Jika sign. > 0,05
Dari hasil uji F dengan menggunakan anova didapat sign. 0,000, karena sign. < 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini berrti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa. 66
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis matematis siswa hal ini dapat dilihat bahwa nilai sign = 1,84 > 0,05. 3) Berdasarkan TKAS Adapun hipotesis yang aan diuji diformulasikan ebagai berikut : Ho : 1 2 3 H1 : Paling tidak ada satu kelompok berbeda dari yang lainnya dalam hal kemampuan pemecahan masalah Kriteria pengujian, Terima Ho jika sign. >0,05 Dari hasil uji F dengan menggunakan anova didapat sign. 0,00 karena sign. < 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini berarti paling sedikit ada satu kelompok berbeda dengan yang lainnya. Untu mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dalam hal kemampaun pemecahan masalah, maka digunakan uji Scheffe, hasil perhitungan disajikan pada Tabel 3 Tabel 3 Uji Schffe Rata-rata Kemampuan Pwemecahan Masalah Matematis Berdasarkan TKAS Pemb.I Pemb. II Perbedaan P Ho Rata-rata Tinggi Sedang 3,56 0,003 Ditolak Rendah 7,26 0,000 Ditolak Sedang Rendah 3,71 0,014 Ditolak Pada Tabel 3 terlihat bahwa p < 0,05 untuk setiap pasangan TKAS maka hipotesis nol ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan matematis siswa pada TKAS tinggi lebih baik daripada siswa pada TKAS sedang dan level rendah. Demikian pula, kemampuan pemecahan matematis pada TKAS sedang lebh baik dari pada TKAS rendah.
2. Hasil Penelitian Mengenai Disposisi matematis Dari Hasil pengolahan data terhadap Disposisi matematis siswa didapat sebagai berikut : Tabel 4 Deskriptif Kemampuan Disposisi Matematis Siswa Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Biasa
Total
TKAS Tinggi Sedang Rendah Total
84,14 83,22 71,33 81,68
Sd 16,98 3,76 8,91 11,80
n 14 18 6 38
76,00 71,27 67,43 71,90
Sd 9,38 9,08 10,69 9,65
n 11 22 7 40
80,56 76.65 69,23 76,67
Sd 14,48 9,31 9,71 11,76
n 25 40 13 78
Skor Maksimum : 100
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
67
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
1) Secara keseluruhan rata-rata disposisi matematis siswa siswa adalah 76,67 (dari skor maksimum 150). Hal ini menunjukkan bahwa disposisi matematis siswa secara keseluruhan termasuk kategori tinggi (76,67%). 2) Skor disposisi matematisa siswa secara keseluruhan berdasarkan jenis pembelajaran (Berbasis Masalah dan biasa) adalah 81,68 dan 71,90, simpangan baku masing-masing 11,80 dan 9,65 dan jumlah siswa 38 dan 40. Hal ini menunjukkan bahwa disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendektan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa. 3) Skor disposisi matematis siswa berdasarkan TKAS (atas, sedang, rendah) adalah : 80,56; 76,65 dan 69,23 , simpangan baku 14,48; 9,31 dan 9,71, jumlah siswa 25, 40 dan 13. Hal ini menunjukkan disposisi matematis siswa bersifat ajeg terhadap pengklasifikasiaan TKAS siswa berdasarkan tes kemampuan tes matematis secara umum. Berdasarkan Hasil Uji Anova dua jalur kemandirin belajar pembelajaran dan TKAS didapat hasil sebagai berikut :
dengan faktor pendekatan
Tabel 5 Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Disposisi matematis dengan Faktor Pendekatann Pembelajaran dan TKAS Sumber Jumlah Dk Rata-rata F Sign. Keterangan Kuadrat Kuadarat Pembelajaran 1005,22 1 1005,22 9,42 0.003 Ho ditolak TKAS 982,87 1 491,44 4,605 0,013 Ho ditolak Interaksi 171,64 2 65,82 0,80 0,451 Ho diterima Dari perhitungan pada Tabel 5 , didapat analisis disposisi matematis siswa berdasarkan beberapa : 1) Berdasarkan Pendekata Pembelajaran Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut : Ho : 1 2 H1 : 1 2 Kriteria pengujian terima Ho, Jika sign. > 0,05
Dari hasil uji F dengann menggunakan anova didapat sign. 0,000, karena sign. < 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini berarti disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Berbasis Masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa. 2) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap disposisi matematis siswa hal ini dapat dilihat bahwa nilai sign = 0,451 > 0,05. 3) Berdasarkan TKAS Adapun hipotesis yang aan diuji diformulasikan ebagai berikut : Ho : 1 2 3 H1 : Paling tidak ada satu kelompok berbeda dari yang lainnya dalam hal disposisi matematis siswa Kriteria pengujian, Terima Ho jika sign. >0,05
68
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Dari hasil uji F dengannn menggunakan anova didapat sign. 0,00, karena nilai sign. < 0,05, maka Ho ditolak. Hal ini berarti paling sedikit ada satu kelompok berbeda dengan yang lainnya. Untuk mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan dalam hal disposisi matematis, maka digunakan uji Scheffe, hasil perhitungan disajikan pada Tabel 6 Tabel 6 Uji Schffe Rata-rata Disposisi matematis siswa Berdasarkan TKAS
Pemb.I
Pemb. II
Tinggi
Sedang Rendah Rendah
Sedang
Perbedaan Rata-rata 9,47 19,500 10,30
P
Ho
0,002 0,000 0,007
Ditolak Ditolak Ditolak
Pada Tabel 6 terlihat bahwa p < 0,05 untuk setiap pasangan TKAS maka hipotesis nol ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa disposisi matematis siswa pada TKAS tinggi lebih baik daripada siswa pada TKAS sedang dan level rendah. Demikian pula, disposisi matematis siswa pada TKAS sedang lebih baik dari pada TKAS rendah. 3. Perhitungan asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dengan disposisi matematis Untuk melihat ada tidaknya asosiasi antara kualifikasi kemampuan pemecahan masalah matematis masalah dengan disposisi matematis, nilai kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis dikelompokan dahulu menjadi tinggi, sedang dan rendah. Hasilnya dapat dilihat Pada Tabel 7 di bawah ini : Tabel 7 Asosiasi Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis DISPOSISI TINGGI PM Total
SEDANG
Total
TINGGI
36
0
36
SEDANG
1 37
1 1
2 38
Untuk melihat apakah terdapat asosiasi antara kemampuan penalaran dan kemandirian belajar dilakukan uji koefisien kontingensi dengan hasil seperti pada Tabel 8 di bawah ini :
Tabel 8 Hasil Koefisien Kontingensi Value Nominal by Nominal N of Valid Cases
Contingency Coefficient
Approx. Sig.
.572 38
.000
Adapun hipotesis yang akan diuji diformulasikan sebagai berikut : Ho : Tidak Terdapat asosiasi antara kemampuan Pemecahan masalah dengan Disposisi matematis
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
69
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
H1 :
Terdapat Asosiasi antara kemampuan Pemecahan masalah dengan Disposisi matematis
Berdasarkan hasil pada Tabel 8 didapat nilai sign. = 0,000 < 0,05 jadi Ho ditolak artinya terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah dengan disposisi matematis siswa, sedangkan dari Tabel 8 Koefisien kontinegnsi C= 0,572 dan C mak = 0.816. Jadi didapat C = 0,69 C mak, yang termasuk dalam kriteria cukup tinggi.
C. Pembahasan Dari hasil pengolahan data didapat bahwa kemampuan pemecahan masalah, dan kemandirian belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan konvensional. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : a) Dilihat dari sajian Bahan ajar Bahan ajar yang disajikan dalam bentuk permasalahan, memungkinan siswa untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan konsep, prosedur, serta prinsip dalam metematika melalui suatu aktivitas belajar secara bervariasi meliputi kegiatan yang bersifat individual, kelompok maupun kelas. Setiap kegiatan yang dikembangkan diawali dengan sajian masalah yang berfungsi sebagai salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir. Berarti masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah. Pada saat melakukan eksplorasi dan investigasi siswa berusaha mengaitkan suatu konsep matematika dengan konsep yang lainnya dan mampu merumuskan suatu konsep dengan kata-katanya sendiri. Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. b) Dalam fase model pembelajaran berbasis masalah ini banyak mengharuskan mereka untuk saling bertukar pikiran sehingga melatih kemampuan berpikir yang mereka miliki. Dimulai dari orientasi siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Langkah pertama adalah orientasi siswa pada masalah. Pada langkah ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan menjelaskan hal-hal yang diperlukan selama pelajaran serta memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas pemecahan masalah dengan contoh situasi masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Langkah selanjutnya adalah guru mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada langkah ini guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah, hal ini sesuai dengan langkah pada pemecahan masalah yaitu memahami masalah, pada tahap ini siswa dibimbing untuk mengetahui apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Langkah selanjutnya membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Dalam langkah ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi siswa, siswa dituntun untuk membuat rencana penyelesaian masalah yang dihadapi, hal ini sesuai dengan langkah pemecahan masalah yang Langkah selanjutnya adalah mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Dalam tahap ini, beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dengan bimbingan dari
70
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
guru dan kelompok lain menanggapi. Melalui proses pembelajaran ini, siswa akan terlibat aktif dan diberikan kesempatan untuk melaksanakan penyelesaian dengan cara memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum dan melakukan pembuktian bahwa langkah yang dipilih sudah benar, hal sesuai dengan langkah pemecahan masalah yaitu melakukan perhitungna. Langkah yang terakhir adalah menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada langkah ini, guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi serta mengklarifikasi hasil diskusi kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Hal ini sesuai dengan langkah pemecahan masalah yang keempat yaitu memeriksa kembali hasil. Dari uraian di atas jelas bahwa langkah –langkah dalam pembelajaran berbasis masalah sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah, Dalam situsi seperti itu kemampuan pemecahan matematis siswa tergali secara maksimal, karena siswa akan menfaatkan kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari solusi dan konfirmasi terhadap pengetahuan yang ada dalam pikiran mereka.
D. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kemampuan pemecahan matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa dilihat dari keseluruhan dan TKAS. 2. Disposisi matematis siswa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan berbasis masalah lebih baik dari pada pendekatan biasa dilihat dari keseluruhan dan TKAS 3. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap kemampuan pemecahan matematis. 4. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan TKAS terhadap disposisi matematis siswa 5. Terdapat asosiasi yang cukup tinggi antara kemampaun pemecahan masalah matematis siswa dengan disposisi matematis siswa.
E. Saran-Saran Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai beikut : 1. Seyogyanya para guru dapat menerapkan pendekatan berbasis masalah dalam pembelajaran matematika khususnya untuk topik-topik terpilih dan esesnsial dalam matematika guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. 2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan penerapan pembelajaran berbasis masalah untuk tingkat sekolah yang lain dan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya.
Daftar Pustaka Hendriana, H dan Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung : Refika Aditama Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
71
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2 Pendidikan Matematika.Diktat Kuliah. Bandung : STKIP Siliwangi Bandung. TIMSS. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss 1999i/pdf/T99i_math_01.pdf. 1999. OECD-PISA. First Results from PISA 2003 (executive summary). www.pisa.oecd.org. 2003
72
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI REFLEKSI MENGGUNAKAN MOTIF KAIN BATIK UNTUK SISWA KELAS VII
Dina Novrika1), Ratu Ilma Indra Putri2) dan Yusuf Hartono2) 1
Mahasiswi Program Studi Magister Pendidikan Matematika (FKIP UNSRI) 2 Dosen Program Studi Magister Pendidikan Matematika (FKIP UNSRI)
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar untuk membantu siswa memahami konsep refleksi menggunakan motif kain batik untuk kelas VII.Penelitian ini berdasarkan PMRI yang dikaitkan dengan pembelajaran kurikulum 2013 revisi 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah design research type validation study yang bertujuan untuk membuktikan teori-teori pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri Betung dengan melibatkan siswa kelas VII sebanyak 36 orang. Aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dilakukan siswa meliputi: 1) memahami konsep pencerminan suatu obyek, 2) menemukan dan memahami konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat, dan 3) menemukan dan memahami konsep pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa melalui serangkaian aktivitas yang telah dilakukan membantu siswa dalam pembelajaran materi refleksi. Kata kunci: Refleksi, Design research, konteks motif kain batik, Pendekatan PMRI
A. Pendahuluan Geometri merupakan bagian matematika yang membahas tentang bentuk dan ukuran, posisi, arah dan gerakan dari suatu obyek yang memiliki keteraturan tertentu serta mempelajari titik, garis, bidang, angka planar, ruang, dan hubungan antara ini serta ukuran geometris seperti panjang, sudut, luas dan volume sehingga dapat di aplikasikan dalam dunia kerja yang membutuhkan instruksi canggih seperti seni, arsitektur, desain interior dan ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam karir teknis seperti pertukangan, pipa dan menggambar serta kehidupan sehari-hari yang juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan bentukbentuk matematika (Clemens, 1998 ; Copley, 2000 ; Baykul, 2000 ; Shielack, 1987).Menurut Hollebrands (2003), ada tiga alasan penting untuk mempelajari geometri transformasi dalam matematika sekolah yaitu memberikan kesempatan bagi siswa untuk berpikir konsep-konsep matematika yang penting (misalnya fungsi, simetri), menyediakan konteks di mana siswa dapat melihat matematika sebagai disiplin ilmu yang saling berhubungan, dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam melakukan aktivitas penalaran tingkat tinggi menggunakan berbagai representasi. Geometri transformasi mendorong siswa untuk menyelidiki ide-ide geometris melalui pendekatan informal dan intuitif. Pendekatan ini menekankan sensitivitas, dugaan, transformasi dan rasa ingin tahu. Transformasi dapat mengarahkan siswa untuk mengeksplorasi konsep-konsep matematika yang abstrak yaitu kekongruenan, simetri, kesamaan,dan kesebangunan serta dapat memperkaya siswa geometris pengalaman, pikiran Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
73
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
dan imajinasi serta dapat meningkatkan kemampuan keruangan mereka (Peterson,1973). Adapun kegunaan mempelajari transformasi dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan keterampilan spasial dan untuk mengintegrasikan topik matematika yang secara tradisional telah dipelajari secara terpisah (Bennie, Kate et al, 1999). Salah satu aplikasi tersebut dalam ilmu menggunakan geometri adalah Geometri Transformasi. Geometri Transformasi adalah bagian dari geometri di mana siswa belajar untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pergerakan bentuk (Kirby& Boulter, 1999).Geometri Transformasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti konstruksi geometri, seni, arsitektur, pertukangan, elektronik, mekanik, desain pakaian, geografi dan navigasi (Boulter & Kirby, 1994).Geometri Transformasi terlihat dalam seni dan konsep yang terpadu dalam arkeologi dalam studi desain diterapkan pada tembikar dan artefak lainnya di berbagai budaya dan era yang berbeda (Crowe & Thompson, 1987).Geometri Transformasi menghubungkan sifat-sifat transformasi dari benda dan dapatdicirikan sebagai studi objek geometris pada bidang dan sifat-sifattransformasi memungkinkan seseorang untuk menemukan dan membuktikan sifat-sifat benda-benda geometris untuk membentuk pola seperti mawar, dan wallpaper, untuk mengklasifikasikan benda-benda geometris, danmerasakan bentuk geometris dari suatu objek (Bouckaert, 1995 : 4). Transformasi geometri lebih menekankan pada refleksi, rotasi, simetri yang merupakan perpindahan bentuk-bentuk disekitarnya. Pendekatan geometri bisa diaplikasikan pada bidang arkeologi seperti pada pot yang dihiasi atau pecahan tembikar dimana menggunakan desain “motif” yang diklasifikasikan sebagai segitiga, lingkaran dan sejenisnya, kemudian motif tersebut diatur dengan pola berulang sehingga terbentuklah pola yang simetris (Thompson, 1987 : 106). Berdasarkan model Van Hiele yang dikembangkan oleh Zazkis menetapkan dua elemen yaitu visualisasi dan analisis sebagai dua kerangka berpikir. Kegiatan visualisasi sebagai konstruksi mental dari objek-objek eksternal atau proses, atau konstruksi eksternal dari objek atau proses dariindividual. Kegiatan analisis atau pemikiran analitik adalah manipulasi mental dari objek atau proses dengan atau tanpa bantuan smbol, dimana kegiatan visualisasi yang terkait dengan konstruksi objek yang digambarkan pada koordinat cartesius, kemudian kegiatan analisis melibatkan manipulasi dengan bantuan simbol-simbol bisa dalam bentuk aljabar maupun titik-titik pada koordinat cartesius. (Zazkis et al. 1996: 441-442). Implementasi kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan.Kurikulum 2013 menuntut pembelajaran yang menyenangkan, efektif dan bermakna sehingga peserta didik perlu dilibatkan secara aktif, karena mereka adalah pusat dari kegiatan pembelajaran.Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna, sehingga mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar (Mulyasa, 2013).Salah satu upayanya adalah mengelola kegaiatan pembelajaran secara kontekstual.Salah satu pendekatan yang menggunakan kontekstual adalah PMRI. Konteks dapat dijadikan starting point dalam menuju proses pembelajaran (Zulkardi &Putri, 2006). Menurut Sembiring (2010) PMRI dapat dikembangkan menyesuaikan dengan konteks budaya lokal dan kondisi yang terjadi di Indonesia.Salah satu konteks yang dekat dengan peserta diidik adalah konteks budaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Uy (1996, dalam Mayadiana, 2009: 49) bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan konteks budaya dapat memberikan kesempatan untuk memaknai matematika, memperlihatkan keakuratan matematika dan budaya lain, dan membuat siswa lebih termotivasi dan bekerja sama dalam mempelajari matematika. 74
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Salah satu gagasan matematis yang kegiatan tertanam sebagai konteks budaya yaitu Ethnomathematics (ethnomathematicology).Mempelajari matematika budaya ini menawarkan kesempatan yang unik bagi siswa untuk "mengalami kegiatan matematika multikultural yang mencerminkan pengetahuan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya yang beragam" (D‟ Ambrosio, 1990). Bentuk-bentuk geometri dan transformasi geomerti seperti refleksi bisa ditemukan pada dinding rumah masyarakat di Afrika selatan dimana dindingnya dihias dengan campuran lumpur yang diwarnai dengan bahan yang alami (Gerdes, Paulus : 1998). Penelitian lain yang dilakukan oleh Anileen Gray dan Reza Sarhangi dengan mempelajari desain pada potongan tembikar, kain tenun, dan dalam karya seni yang dilakukan oleh banyak perempuan Afrika untuk menghiasi dinding rumah keluarga, siswa dapat menjadi akrab dengan konsep-konsep seperti simetri, transformasi, pola dekorasi, dan pembangunan geometris angka menggunakan kompas. Dalam studi yang dilakukan Lina Fonseca dan Isabel, transformasi geometri bisa dikonstruksi dari sebuah motif menggunakan ubin persegi yang tidak harus memiliki sumbu koordinat, menggunakan “pentominoe” dan pola polygon dari perekatan kertas berwarna berbentuk persegi panjang yang berbeda. Guven (2012) mengatakan bahwa beberapa studi (Clements & Burns; Edwards; Olson, Zenigami & Okazaki; Rollick) menunjukkan bahwa siswa mengalami berbagai kesulitan dalam memahami konsep dan perbedaan dalam penyelesaian dan mengidentifikasi transformasi yang mencakup translasi, refleksi, rotasi dan kombinasi dari berbagai jenis transformasi.Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan konteks motif kain batik sebagai starting point dan inovasi dalam pembelajaran transformasi geometri. Proses pembelajarannya Kain Batik merupakan salah satu kerajinan asli Indonesia dimana memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna. Bentukgeometriyangdapatdijumpaipadabatikberupatitik,garisdanbidangdatar.Bidangdatar tersebut misalnyalingkaran, elips, segiempat dan sebagainya. Bentuk-bentuk geometri bisa juga ditemukan pada kain tradisional asli Indonesia yang lain. Akan tetapi tidak semua kain tradisional tersebut bisa digunakan sebagai konteks materi geometri transformasi. Salah satu yang bisa dijadikan konteks dalam mentransformasikan titik, garis atau bidang datar melalui refleksi (pencerminan) adalah kain batik. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Penelitian yang mengaitkan antara geometri dan konteks budaya diantaranya dilakukan oleh Wijaya (2008) dengan menggunakan konteks permainan tradisional “Gundu” dan Benthik” serta Zainab (2013) yang memunculkan pola barisan bilangan melalui motif kain tajung Palembang. Berdasarkan pendahuluan tersebut, peneliti akan mendesain pembelajaran materi transformasi geometri dengan menggunakan motif kain batik melalui pendekatan PMRI untuk siswa kelas VII.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana lintasan belajar yang dapat membantu siswamemahami materi refleksi melalui aktivitas pembelajaran menggunakan konteks motif kain batik untuk kelas VII ? 2. Bagaimana konteks motif kain batik dapat mendukung peserta didik dalam memahami konsep refleksi?
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
75
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
C. Tinjauan Pustaka PMRI merupakan inovasi pendidikan matematika yang merupakan hasil adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME) yang telah diselaraskan dengan kondisi budaya, geografi dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya (Soedjadi, 2007 : 2). PMRI lebih memperhatikan adanya potensi pada diri siswa yang harus dikembangkan. Freudenthal (de Lange, 1987 : 98) berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (Penerima pasif matematika yang sudah jadi). Dua pandangan yang penting dari Freudenthal tentang PMRI adalah (1) Mathematics must be connected to reality; and (2) Mathematics as human activity. (Zulkardi & Ilma, 2010).Pertama, matematika seharusnya dekat dengan siswa dan berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari.Kedua, ditekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga siswa seharusnya diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa atau guru. PMRI tidak hanya mementingkan hasil akhir, lebih menekankan pada proses yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. PMRI lebih menekankan kepada keterampilan proses, keaktifan dalam berdiskusi, berkolaborasi maupun berinteraksi selama proses pembelajaran berlangsung..Menurut Gravemeijer (Soedjadi, 2007 : 4-5) dalam pembelajaran PMRI terdapat tiga prinsip yaitu : 1) Guided Re-invention and progressive mathematizing. Prinsip ini menekankan penemuan kembali secara terbimbing melalui topuk-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika.2) Didactical Phenomenology ,Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topick-topik matematika kepada siswa, 3) Self-developed model.Prinsip ini berperan dalam menjembatani jurang pemisah diantara pengetahuan informal dan formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah dari situai yang dekat dengan alam siswa dengan melalui generalisasi dan formalisasi model tesebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut kemudian akan bergeser ke model for selanjutnya akan berakhir menjadi model formal matematika. Ada lima Karakteristik PMRI (Zulkardi; 2010: 5) yaitu :1) Menggunakan masalah kontekstual, 2)Menggunakan model, 3) Menggunakan kontribusi siswa, 4) Interaktivitas, 5) Keterkaitan dengan topik pembelajaran lainnya ( Intertwinning) Menurut Asmin (2003) pengembangan materi dengan menggunakan pendekatan PMRI yang perlu mendapatkan perhatian adalah konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa, bahasa yang digunakan juga jelas serta gambar juga harus mendukung konsep. Hal ini sejalan dengan pendapat Zulkardi dan Ilma (2006) mengatakan bahwa situasi atau fenomena atau kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari dapat diartikan konteks. Konteks dalam pendidikan matematika realistic bertujuan untuk membangun atau menemukan kembali suatu konsep matematika melalui proses matematisasi yang akan terjadi jika konteks bisa dibayangkan oleh siswa serta memungkinkan siswa untuk memahami dan bekerja dengan konteks tersebut menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki oleh siswa. Menurut Wikipedia , Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak – menggunakan canting atau cap dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak “malam” (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Batik secara
76
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar.Saat itu motif batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti sekarang ini. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam.Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.
Transformasi yaitu pemetaan satu-satu dari himpunan semua titik dalam suatu bidang pada himpunan itu sendiri. Transformasi adalah perubahan pada posisi atau ukuran bentuk (Walle, 2008 : 173 ) . Hasil dari transformasi disebut bayangan. Ada empat jenis transformasi, yaitu translasi, refleksi, rotasi dan dilatasi (Kemdikbud, 2014 : 101-123). a. Refleksi atau pencerminan adalah salah satu jenis transformasi yang memindahkan setiap titik pada suatu bidang dengan menggunakan sifat bayangan cermin dari titiktitik yang dipindahkan. b. Translasi atau pergesaran adalah transformasi yang memindahkan semua titik suatu bangun dengan jarak dan arah yang sama. c. Rotasi atau perputaran adalah transformasi yang memutar setiap titik pada gambar sampai sudut dan arah tertentu terhadap titik yang tetap. Titik tetap ini disebut pusat rotasi. d. Dilatasi adalah transformasi yang mengubah ukuran sebuah gambar. Dilatasi membutuhkan titik pusat dan faktor skala. Menurut Gravemeijer dan Eerde (2009), design research adalah suatu metode penelitian yang bertujuan mengembangkan Local Instruction Theory dengan kerja sama peneliti dan pendidik guna untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung terdiri dari konjektur strategi dan pemikiran siswa akan dikembangkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti mendesain materi transformasi dengan konteks motif kain batik yang mengutamakan aktivitas pengalaman siswa. Design Research mempunyai lima karakteristik, yaitu (Akker et al, 2006) : 1. Interventionist Nature Design Research bersifat fleksibel karena desain aktivitas pembelajaran dapat diubah selama penelitian untuk mengatur situasi pembelajaran. 2. Process Oriented Desain berdasarkan rencana pembelajaran dan alat atau perangkat yang digunakan untuk membantu pembelajaran tersebut. 3. Reflective Component
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
77
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
4.
5.
Setelah implementasi desain aktivitas pembelajaran, konjektur dari tiap analisa proses pembelajaran dibandingkan dengan proses pembelajaran yang sebenarnya. Cyclic Character Adanya proses evaluasi dan revisi. Proses pembelajaran yang sebenarnya digunakan sebagai dasar untuk merevisi aktivitas berikutnya. Theory Oriented
Desain berdasarkan teori harus berhubungan dengan uji coba pengajaran. Pada design research terdapat dua aspek penting, dimana keduanya diarahkan pada aktivitas dalam kegiatan pembelajaran siswa. Dua aspek tersebut sebagai berikut : a. Local Instruction Theory (LIT) Menurut Gravemeijer dan Van Eerde (2009) LIT merupakan sebuah teori tentang proses dimana siswa mempelajari suatu topik matematika dan teori tentang media atau perangkat yang digunakan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran topik tersebut. Dikatakan teori local karena teori tersebut hanya membahas pada ranah spesifik yaitu spesifik topik matematika. Guru dalam merancang sebuah bentuk suatu topic matematika dengan memilih aktivitas dengan dugaan-dugaan yang muncul pada proses pembelajaran dari LIT (Wijaya, 2012) b. Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Menurut Bakker (2004) HLT merupakan hubungan antara sebuah teori pembelajaran (instruction theory) dan uji coba pengajaran (teaching experiment) yang sebenarnya.Dari hubungan tersebut terdapat konjektur yang dapat direvisi dan dikembangkan untuk aktivitas pembelajaran berikutnya berdasarkan retrospective analysis setelah teaching experiment.Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) HLT merupakan suatu hipotesa atau dugaan pemikiran dan strategi siswa yang berkembang dari suatu konteks menuju pengetahuan formal pada aktivitas pembelajaran. HLT terdiri dari tiga komponen yaitu : (1) tujuan pembelajaran matematika bagi siswa yang mendefinisikan arah atau tujuan pembelajaran; (2) aktivitas pembelajaran dan konteks yang diginakan dalam proses pembelajaran; dan (3) hipotesis proses belajar untuk memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks kegiatan belajar.
D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan menggunakan metode penelitian design research yang mendesain materi transformasi geometri dengan pendekatan PMRI menggunakan konteks motif kain batik untuk kelas VII. Pada pelaksanaan penelitian design research merupakan a cyclical process of thought experiment and instruction experiment (Gravemeijer, 1994; Sembiring, Hoogland dan Dolk, 2010). Proses siklik (berulang) adalah dari eksperimen pemikiran kemudian ke eksperimen pembelajaran dalam bentuk diagram dengan ilustrasi ide percobaan dari Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, 2006) yang terlihat pada gambar di bawah ini: Gravemeijer dan Cobb (2006: 19-43) menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pelaksanaan penelitian design research, yaitu: 1. Preparing for the Experiment/Preliminary Design (Persiapan untuk penelitian/Desain Pendahuluan) Sebelum mendesain berbagai aktifitas dalam penelitian, peneliti akan melakukan kajian literature untuk memperoleh ide awal sebagai informasi untuk penelitian informasi yang didapatkan akan digunakan untuk merancang serangkaian kegiatan yang didalamnya terdapat
78
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
konjektur atau dugaan strategi pemikiran siswa. Peneliti akan menjelaskan 3 bagian tahapan ini yaitu: Kajian Literatur Pada tahap ini dilakukan kajian literatur mengenai materi pembelajaran yaitu transformasi geometri, pendekatan PMRI, dan design research sebagai dasar perumusan dugaan dengan strategi awal siswa dalam pembelajaran transformasi geometri dan menyesuaikan dengan literatur pendekatan PMRI, serta desain riset sebagai dasar perumusan dugaan strategi awal siswa dalam pembelajaran mengenai transformasi geometri. Kemudian peneliti melakukan diskusi dengan guru kelas mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian, memilih observer, menyesuaikan jadwal, dan cara pelaksanaan penelitian dengan guru yang bersangkutan. Meneliti Kemampuan Awal Siswa Dalam tahap ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan beberapa siswa untuk dijadikan infomasi mengenai sejauh mana pemahaman siswa yang berkaitan dengan materi prasyarat pembelajaran. Hasil tersebut akan digunakan peneliti sebagai bahan dalam mendesain aktivitas siswa sehingga desain instruksionalnya menjadi lebih sesuai. Mendesain Dugaan Lintasan Belajar Pada tahap ini, peneliti membuat rancangan Learning Trajectory dan Hypothetical Learning Trajectory mengenai strategi yang akan digunakan siswa dalam proses perkembangan berpikir dan memprediksi jawaban yang muncul. Hipotesis ini akan dikembangkan berdasarkan literature dan dapat disesuaikan pada saat penelitian berlangsung. 2. The Design Experiment (Desain Percobaan) Preliminary Teaching Experiment (Pilot Experiment) Pada tahap ini bertujuan untuk mengujicobakan HLT yang telah didesain dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana konjektur dan instrumen yang telah dibuat peneliti sehingga dapat terlaksana.Uji coba penelitian ini dilakukan untuk beberapa orang siswa kelas non subjek. Hasil uji kelas non subjek akan digunakan untuk merevisi aktifitas dan konjektur siswa sebelum dilakukan penelitian sesungguhnya. Teaching Experiment Pada tahap teaching experiment merupakan tahap inti dari sebua desain riset.Pada tahap ini HLT yang telah didesain dan diperbaiki pada tahap sebelumnya diujicobakan di kelas sesungguhnya yang menjadi subjek penelitian. Guru bertindak sebagai pengajar sedangkan peneliti mengobservasi dan menganalisis setiap aktivitas belajar siswa selama proses belajar berlangsung. 3. Restrospective Analysis Data yang diperoleh dari seluruh aktivitas pembelajaran di kelas selama pilot experiment dan teaching experiment akan dianalisis. Kemudian, HLT yang telah didesain dibandingkan dengan proses pembelajaran yang berlangsung untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari Retrospective Analysis secara umum adalah untuk mengembangkan local instructional theory. Oleh karena itu, feedback dari guru sangatlah bermanfaat guna memberikan informasi kepada peneliti mengenai perbedaan cara mengajar yang secara teori dapat disesuaikan pada berbagai macam keadaan di kelas, sehingga akan diperoleh desain pembelajaran yang lebih baik lagi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
79
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah LAS refleksi.Data yang dikumpulkan adalah dengan cara sebagai berikut : a. Wawancara Wawancara dilakukan baik pada tahap pembuatan HLT maupun setelah pelaksanaan pelaksanaan teaching experiment. Tahap wawancara akan dilakukan dengan guru model sebelum dan sesudah proses pembelajaran tentang kecukupan waktu, ketergunaan materi dan kemudahan penggunaan desain pembelajaran yang telah dirancang. Wawancara juga dilakukan pada siswa untuk mengetahui strategi pemecahan masalah terhadap materi yang dipelajari. b. Video dan Foto Rekaman video digunakan dalam penelitian ini untuk merekam aktivitas peserta didik dalam menggunakan LAS baik individu maupun kelompok.Selain itu, juga merekam interaksi peserta didik dengan peserta didik sehingga strategi pemecahan masalah dan aktivitas peserta didik dapat diukur dan diobservasi.Rekaman video dilaksanakan pada tahap pilot experiment dan teaching experiment yang ditujukan untuk merekam seluruh kegiatan yang terjadi didalam kelas baik secara individu, kelompok, maupun diskusi kelas. Peneliti juga menggunakan foto dalam penelitian ini sebagai bukti yang terkait dalam pelaksanaan penelitian baik dalam proses pembelajaran, diskusi dan hasil jawaban siswa. c. Observasi Lembar observasi digunakan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan dari pembelajaran yang telah didesain. Proses observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dengan bantuan observer menggunakan lembar observasi dan video. d. Tes Tertulis Tes tertulis dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan lembar aktivitas siswa yang dirancang sendiri oleh peneliti untuk membimbing siswa memahami konsep refleksi. Selain lembar aktivitas siswa, peneliti juga merancang pre-test dilaksanakan sebelum pembelajaran pada waktu penelitian pilot experiment dan teaching experiment yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman awal siswa yang dijadikan subjek penelitian dan apa yang seharusnya mereka pelajari. Data ini berupa jawaban, strategi dan alasan yang digunakan peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Peneliti juga merancang post-test yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran baik pada penelitian pilot experiment dan teaching experiment yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan dengan desain yang dirancang dan apa saja yang telah dipelajari. Data ini berupa jawaban, strategi, dan alasan yang digunakan siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara retrospektif yang beracuan pada HLT.Analisis data dilakukan peneliti dan bekerjasama dengan pembimbing. HLT dalam restrospective analysis yang telah dirancang kemudian dibandingkan dengan proses pembelajaran yang dilakukan siswa sehingga dapat dilakukan penyelidikan , analisis dan dijelaskan bagaimana siswa memperoleh konsep refleksi yang ditimbulkan dengan menggunakan motif kain batik. Menurut Doorman (dalam Wijaya, 2008), hasil dari design research adalah bukan merancang pekerjaan itu tetapi bagaimana dan mengapa suatu pekerjaan tersebut dirancang.Pada analisis data ini, rekaman video merupakan data utama yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitan. Rekaman video menunjukkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Video 80
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kegiatan ditranskip untuk mengetahui sejauh mana kemampuan matematika siswa mulai tampak dan berkembang, terlihat dari aktivitas, strategi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa serta jawaban-jawaban siswa dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menggunakan LAS, baik pada saat pembelajaran maupun pada saat wawancara.Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2015/2016.Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII MTs Negeri Betung.Penelitian ini melibatkan guru yang berperan sebagai guru model untuk mengajarkan materi transformasi geometri.
E. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini menghasilkan lintasan belajar untuk pembelajaran pencerminan dengan menggunakan konteks motif kain batik. Pada bab ini, peneliti menguraikan data atau hasil yang diperoleh dari setiap tahap penelitian. Ada beberapa tahap yang dilalui dalam penelitian ini, yaitu tahap persiapan untuk penelitian (preparing for the experiment), desain percobaan (the design experiment), dan analisis retrospektif (retrospective analysis). Pada tahap desain pendahuluan yang merupakan tahap untuk mendesain HLT (Hypothetical Learning Trajectory) pencerminan untuk kelas VII yang hasilnya akan diujicobakan pada tahap desain percobaan pembelajaran. Tahap desain percobaan, dilaksanakan dua tahap yaitu pilot experiment dan teaching experiment. Setelah tahap percobaan pembelajaran selesai, peneliti melakukan retrospective analysis terhadap apa yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya pada bagian pembahasan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis retrospektif yang telah dilakukan, lintasan belajar yang telah dirancang dan dilakukan oleh peneliti yaitu lintasan belajar untuk menemukan konsep pencerminan suatu obyek maupun garis-garis pada bidang koordinat kartesius. Ketiga aktivitas belajar tersebut meliputi : memahami konsep pencerminan suatu obyek (menggunakan motif kain batik melalui kegiatan mengamati obyek mana yang memiliki hasil bayangan yang sesuai), memahami konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat adapun terlihat dalam aktivitas siswa sebagai berikut
Gambar diatas menunjukkan siswa beriskusi mengamati beberapa motif kain batik yang akan dientukan hasil bayangannya. Aktivitas kedua, siswa memahami konsep pencerminan suatu obyek melalui potongan motif kain batik yang digunakan saat pembelajaran berlangsung.Dengan menggunakan motif kain batik dan diiringi dengan LAS, siswa dapat menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat. Pemahaman siswa mengenai konsep pencerminan terhadap sumbu koordinat
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
81
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
terlihat pada hasil aktivitas siswa di LAS dan post-test, dimana siswa dapat menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat
Pada gambar diatas menunjukkan strategi siswa menggunakan potongan motif dalam menentukan hasil bayangan suatu obyek yang dicerminkan terhadap sumbu koordinat. Siswa sudah bisa menentukan hasil bayangan suatu titik yang dicerminkan terhadap sumbu x dan y. Berikut kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat. Hal ini terlihat pada gambar 4 bahwa jika suatu titik (x,y) dicerminkan terhadap sumbu x maka koordinat titik y yang berubah tandanya dan jika suatu titik (x,y) dicerminkan terhadap sumbu y maka koordinat titik x yang berubah tandanya. Aktivitas ketiga membimbing siswa agar dapat memahami konsep pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat menggunakan motif kain batik.Setelah siswa mengamati beberapa motif kain batik, siswa dapat menemukan konsep pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat dan siswa diajak menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan pencerminan terhadap garis-garis pada bidang koordinat terlihat pada gambar berikut ini:
82
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pada gambar diatas terlihat bahwa siswa sudah bisa menentukan pasangan motif yang akan ditempelkan terhadap garis dan siswa juga tidak mengalami kesulitan yang berarti, siswa sudah mulai terarah dalam menentukan bayangan titik yang dicerminkan terhadap garis sesuai dengan permasalahan yang diberikan. Berikut kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat. Hal ini terlihat pada gambar 4.15 bahwa jika suatu titik (x,y) dicerminkan terhadap garis maka koordinat titik y menjadi dan koordinat titik x menjadi .
Pada gambar diatas siswa sudah dapat menemukan aturan pencerminan terhadap garis dan garis dengan menggunakan konsep jarak bayangan ke sumbu koordinat yaitu x dan y, dimana jarak bayangan ke sumbu koordinat adalah jarak bayangan ke cermin ditambah jarak cermin ke benda ditambah jarak titik asal benda ke sumbu koordinat.Berikut kesimpulan siswa mengenai pemahaman mereka dalam menemukan aturan pencerminan terhadap sumbu koordinat. bahwa jika suatu titik (x,y)dicerminkan terhadap garis maka menjadi dan jika suatu titik (x,y)dicerminkan terhadap garis maka menjadi . Secara umum pembelajaran berlangsung interaktif karena siswa berdiskusi. Hadi (2005) menyatakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya, setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
83
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Proses pembelajaran berlangsung menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dalam penelitian ini adalah lembar aktivitas. Sebelum dan sesudah melakukan serangkaian aktivitas pembelajaran, siswa diberikan pretest dan postest. Dari kedua tes ini, peneliti memperoleh informasi bahwa hasil pekerjaan siswa menunjukkan adanya perbedaan antara pretest dan postest dalam memahami pencerminan atau refleksi. Selanjutnya didalam pembelajaran ini menunjukkan bagaimana karakteristik PMRI menjadi dasar dalam mendesain setiap aktivitas. Menurut de Lange (Zulkardi, 2002) ada lima karakteristik PMRI yang berhubungan dengan pembelajaran ini yaitu: Karakteristik yang pertama adalah menggunakan masalah kontekstualyang dekat dengan kehidupan siswa adalah sebagai aplikasi dan titik awal dalam pembelajaran matematika sehingga konteks yang digunakan dalam pembelajaran refleksi adalah motif kain batik. Karakteristik yang kedua adalah menggunakan model.Siswa diarahkan untuk mengembangkan model, skema, dan simbolisasi bukan mendapatkan transfer rumus atau matematika formal dari guru.Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat kongkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Menurut Gravemeijer (Zulkardi & Ilma, 2010) terdapat level dalam pembelajaran PMRI yaitu (a) level situasional dimana strategi-strategi dan pengetahuan yang bersifat situasional digunakan di dalam penyelesaian konteks yang sajikan, (b) level referensial dimana model-model dan strategi-strategi mengacu pada situasi yang menggambarkan permasalahan, (c) level general yang berfokus pada strategi-strategi yang sudah bersifat matematika dari level referensial, (d) level formal yang bekerja dengan prosedur-prosedur konvensional dan notasi. Penggunaan motif kain batik merupakan level situasional dimana peneliti menggunakan konteks yang disajikan dalam proses pembelajaran. Siswa kemudian menggunakan kemasan produk untuk memahami materi refleksi atau pencerminan. Karaktersitik yang ketiga adalah menggunakan kontribusi siswa.Dalam proses pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan pemikiran mereka seluas-luasnya kemudian memberikan kontribusi yang diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan dari metode informal kearah yang lebih formal atau standar. Karaktersitik yang keempat adalah interaktivitas.Interaksi antar siswa dan siswa dengan guru merupakan hal penting dalam PMRI yang berguna bagi berlangsungnya proses pembelajaran secara maksimal. Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa negosiasi eksplisit, intervensi, kooperatif dan evaluasi sesama siswa dan guru. Proses belajar seseorang bukan hanya sebagai suatu proses individu melainkan juga merupakan proses sosial. Ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan siswa maka proses belajar siswa menjadi lebih bermakna. Karakteristik yang kelima adalah keterkaitan dengan topik pembelajaran lainnya ( Intertwinning). Proses pembelajaran menggunakan PMRI diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika dalam waktu bersamaan bahkan dalam hubungannya dengan pengetahuan lainnya. Penelitian ini juga mencerminkan tiga prinsip PMRI pada proses pembelajaran yaituguided reinvention and progressive mathematizing.Prinsip ini menekankan penemuan kembali secara terbimbing melalui topuk-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika. Berdasarkan prinsip guided reinvention, siswa dalam proses pembelajaran materi refleksi (pencerminan) diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama mengenai konsep 84
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
refleksi melalui bimbingan guru dengan penggunaan motif kain batik. Prinsip kedua adalah didactical phenomenology.Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topiktopik matematika kepada siswa.Tantangan dalam prinsip ini yaitu menemukan fenomena yang bisa dihubungkan dengan konsep matematika.Dalam penelitian ini, konteks penggunaan motif kain batik digunakan sebagai fenomena dalam pembelajaran materi refleksi (pencerminan).Selanjutnya prinsip ketiga adalah self-developed model. Prinsip ini berperan dalam menjembatani jurang pemisah diantara pengetahuan informal dan formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah dari situai yang dekat dengan alam siswa dengan melalui generalisasi dan formalisasi model tesebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut kemudian akan bergeser ke model for selanjutnya akan berakhir menjadi model formal matematika.Hal ini dapat terlihat pada saat siswa menyelesaikan permasalahan pada LAS 1 dan LAS 2.
F. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan motif kain batik sangat membantu siswa dalam memahami materi refleksi (pencerminan) baik refleksi suatu obyek maupun refleksi terhadap garis-garis pada koordinat kartesius.. Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan, beberapa saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Diharapkan guru dapat menerapkan lintasan belajar materi refleksi ini sebagai alternative dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat pembelajaran guru diharapkan lebih aktif menggali kemampuan siswa dan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyediakan berbagai motif kain batik yang dapat digunakan pada saat proses pembelajaran. b) Diharapkan siswa hendaknya lebih berpartisipasi aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan lebih mengembangkan pola pikirnya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. c) Bagi peneliti lain, dapat melanjutkan penggunaan motif kain batik untuk materi transformasi geometri yang lainnya misalnya rotasi, translasi dan dilatasi.
Daftar Pustaka Akker,
J. V. D, Gravemeijer, K, M, Susan and Nieven.(2006). DesignResearch.London : Routledge Taylor and Francis Group.
Educational
Asmin.(2003). Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul dilapangan.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 044.Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang-Depdiknas (online).Tersedia :http://www.depdiknas.go.id/jurnal/44/asmin.html. Diakses tanggal 5 Juli 2014. Baykul,Y. (1999). Teaching of Mathematics at Primary Education 1 and 5.Grade. Ankara: Anı Publishing, p.35-92. Bennie, Kate, et al. (1999). Transformations.Malati. Open Society Foundation for South Africa. Bouckaert, Charlotte. ( 1995).Transformation geometry in Primary School According to Michel Demal.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
85
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Boulter, D. R. & Kirby, J. R. (1994). Identification of strategies used in solving transformational geometry problems. Journal of Educational Research, 87 (5), 298303. Clements, Douglas H, ed. (1998). Geometric and Spatial Thinking in YoungChildren. Arlinggton: Virginia. Tersedia :http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED436232.pdf. Diakses tanggal 2 Juli 2014. Copley, Juanita V. (2000). Geometry and Spatial Sense in the Early ChildhoodCurriculum: Chapter 6 Math Kindergarden Primary. National Association for the Education of Young Children. Crowe, D. W. & Thompson, T. M. (1987). ).Transformation and Archaeology.Learning and teaching Geometry, K-12:1987 yearbook(pp 106-109). Reston, VA : National Council of Teachers of Mathematics. D‟Augustine, C. & Smith, C. W. 1992.Teaching Elementary School mathematics. Boston: Harpe Collins Publisher Inc. De Lange, J. (1987). Mathematica, Insight and Meaning.Utrecht : OW & OC, The Netherlands. Dreyfus, T. (1991).On the status of visual reasoning in mathematics and mathematics education.In F. Furinghetti (Ed.), Proceedings of the 15thAnnual Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education.Italy (Vol. 1, pp. 32-48) Fujita, T. and Jones, K. (2002). Opportunities for the Development of Geometrical Reasoning in Current Textbooks in the UK and Japan, Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics,22(3), 79-84. Gerdes, Paulus. 1998. Ethnomathematics as a new research field, illustrade by studies ofmathematical ideas in African history. Gravemeijer, K. & Eerde, V. S. (2009).Design research as a Means for Building aKnowledge Base fo Teaching in Mathematics Education. The Elementary School Journal.Volume 109 Number 5. Gravemeijer, K. & Cobb, P. (2006).Design Research from a Learning DesignPerspective. In Jan Van den Akker, et. Al. K. Gravemeijer, Susan Mc K, & Nienke, N (Eds). Educational Design research. London and New York : Routledge. Gray, Anileen. & Sarhangi, R. Study and Application of African Designs for Use inSecondary Education. Guven, B. (2012). Using Dynamic Geometry Software to Improve Eight Grade bStudents‟ Understanding of Transformation Geometry. Australian Journal of Educational Technology, 28(2): 364-382.
86
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Hollebrands, K.F. (2003). High school students understanding of geometrictransformations in the context of a technological environments. Journal of Mathematical Behavior, 22, 55-72. Kemdikbud.(2014). Buku MATEMATIKA KELAS VII.Jakarta : Kemdikbud. Kirby, J.R. & Boulter, D.R. (1999).Spatial ability and transformational geometry. European Journal of Psychology of Education, 14 (2), 283-294. Knight, Kathleen Chesley. (2006). An Investigation Into The Change in The VanHiele Levels of Understanding Geometry of Pre-service Elementary and Secondary Mathematics Teachers.Thesis Maine University. Maine USA: Maine University. Permendikbud, 65 A. (2013).Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Pusbangprodik. Peterson, J. C. (1973). Informal geometry in grades 7-14. In K.B. Henderson (Ed), Geometry in the mathematics curriculum: Thirty-sixth yearbook. pp. 52-91. Washington, DC: NCTM. Shielack Jr., V. P. (1987). Mathematical Application of Geometry. Lindquist, M. Mand Shulte, A. P. (Eds). Learning and teaching Geometry, K-12. 1987.Yearbook. Reston. VA : NCTM. Soedjadi, R. (2007). Inti Dasar-dasar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Jurnal Pendidikan Matematika. I(2). 1-5. Van de Walle, J. A. (2008). Matematika Sekolah Dasar danMenengah:Pengembangan Pengajaran. Jakarta : Erlangga. Wijaya,
A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik Suatu PendekatanPembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Alternatif
Wesley, Addison. (2005). Math Makes Sense. Canada : Pearson Education Canada Inc. Zazkis, R., Dautermann, J & Dubinsky, E. (1996).Coordinating visual and analytical strategies.A study of students‟understanding of the group D4.Journal for Research in Mathematics Education, 27 : 435-457. Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic MathematicsEducation for Indonesian Student Teachers.Doctoral Thesis of Twente University. Enschede: Twente University. .(2009). The “P” in PMRI: Progress and Problems. In Proceddings of ICMA 2009 Mathematics Education, pp. 773-780.Yogyakarta : IndoMs. .(2010).
How to Design Mathematics Lessons based on the Approach?.www.reocities.com/ratuilma/rme.html. Diakses 5 Juli 2014.
Realistic
Zulkardi & Ilma, R. (2006). Mendesain Sendiri Soal Kontekstual MatematikaProsiding KNM13. Semarang : Indonesia
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
87
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SMK DENGAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING. Eka Senjayawati STKIP SILIWANGI BANDUNG
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya kemampuan berpikir kreatif matematik siswa SMK. Kenyataan di lapangan, siswa terbiasa dengan soal-soal rutin yang mudah dikerjakan dengan satu solusi sehingga menghambat proses berpikir kreatif matematiknya. Tujuan penelitian ini untuk menelaah apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatanCreative Problem Solving lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional.Penelitian ini berbentuk metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes postes. Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creatve problem solving dan kelas kontrol memperoleh pendekatan secara konvensional. Instrumen berupa tes kemampuan berpikir kreatif matematik. Populasi penelitian ini adalah siswa SMK Teknik di Kota Cimahi. Sampel dipilih kelas XI TKJ 1 sebagai kelas eksperimen dan XI TKJ 2 sebagai kelas kontrol. Analisis data dilakukan secara kuantitatif, untuk melihat perbedaan rata-rata kedua kelas dengan uji-t.Berdasarkan hasil perhitungan diperolehbahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Kata Kunci: Pendekatan Creative Problem Solving, Berpikir Kreatif Matematik
A. Pendahuluan Matematika memiliki peranan penting dalam proses berpikir siswa yaitu untuk membentuk kemampuan menganalisis, berpikir kreatif, kritis, logis, dan sistematis. Munandar (2009:7) menyatakan bahwa kemajuan teknologi menuntut individu untuk beradaptasi secara kreatif. Perkembangan ilmu dan teknologi menuntut kita agar memiliki kreatifitas dalam mengembangkan berbagai macam inovasi baru baik dalam pendidikan maupun non pendidikan. Semiawan (Sumarmo,2012:37) mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menyusun idea baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah dan kemampuan mengidentifikasi asosiasi antara dua idea yang kurang jelas. Kreativitas diperlukan tidak hanya dalam hal seni atau sastra saja tetapi dalam mempelajari dan memahami pembelajaran matematika juga kita dituntut untuk berpikir lebih kreatif. Hal ini selaras dengan pernyataan Mahmudi, (2010:3) yang menyatakan bahwa kreativitas tidak hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu seperti: seni, sastra, atau sains, melainkan juga ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk matematika. Untuk itu proses berpikir kreatif atau melakukan kreatifitas dinilai sangat perlu dalam menyelesaikan masalah pada pembelajaran matematika. Kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif matematik. Kenyataan di lapangan kemampuan berpikir siswa
88
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
masih terikat pada budaya menghafal rumus dan mengerjakan soal rutin yang mudah ditebak atau dikerjakan dengan satu solusi. Hal ini menghambat kemampuan berpikir kreatif siswa. Perlu adanya metoda atau suatu pendekatan yang mendukung hal tersebut. Pendekatan Creative Problem Solving adalah suatu pembelajaran yang berpusat pada keterampilan siswa dalam memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan pertanyaan atau permasalahan, siswa dapat melakukan keterampilan untuk memilih dan mengembangkan solusi dalam menyelesaikannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir siswa. Pembelajaran seperti ini akan membuat siswa lebih aktif dan lebih efektif karena siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit dengan mendiskusikan masalah tersebut dengan rekannya.Kelebihan dari Creative Problem Solving adalah siswa dilatih untuk: 1. Menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah. 2. Menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah. 3. Mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada. 4. Memilih suatu pilihan solusi yang optimal. 5. Mengembangkan ide dan pemikirannya. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut, 1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solvinglebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional?
B. Landasan Teori 1. Pendekatan Creative Problem Solving PendekatanCreative Problem Solving (CPS) merupakan pendekatan pembelajaran yang difokuskan pada keterampilan siswa dalam memecahkan masalah atau suatu pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Seperti yang diungkapkan oleh Pepkin (Suryani, 2013:30) bahwa CPS merupakan suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah dapat memperluas berpikir kreatif pesertadidik. CPS merupakan variasi pemecahan masalah dengan teknik yang sistematik.Sintaks pembelajaran CPS (Huda, 2014:298): Langkah 1 : Objective Finding Siswadibagi kedalam kelompok-kelompok. Siswa mendiskusikan situasi permasalahan yang diajukan guru dan membrainstorming sejumlah tujuan atau sasarna yang bisa digunakan untuk kerja kreatif siswa. Langkah 2 : Fact Finding Siswa membrainstorming semua fakta yang mungkin berkaitan dengan sasaran tersebut. Langkah 3 :Problem Finding Salah satu aspek kreatifitas adalah mendefinisikan kembali permasalahan agar siswa lebih dekat dengan masalah sehingga memungkinkannya untuk menemukan solusi lebih jelas. Langkah 4 :Idea Finding Pada langkah ini gagasan siswa didaftar agar terlihat kemungkinan menjadi solusi dari suatu permasalahan. Setelah gagasan terkumpul, sortir gagasan yang potensial dan tidak potensial sebagai solusi. Evaluasi gagasan secara cepat agar menjadi pertimbangan solusi lebih lanjut.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
89
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Langkah 5: Solution Finding Gagasan yang memliki potensi terbesar dievaluasi bersama. Salah satu caranya dengan membrainstorming criteria yang dapat menentukan seperti apa solusi terbaik seharusnya. Kriteria ini dievaluasi hingga menghasilkan penilaian secara final. Langkah 6 : Acceptance Finding Siswa mulai mempertimbangkan isu-isu nyata dengan cara berpikir yang sudah mulai berubah. Siswa diharapkan sudah memiliki cara baru untuk menyelesaikan berbagai masalah secara kreatif . Gagasan-gagasan mereka diharapkan sudah bisa digunakan tidak hanya untuk menyelesaikan masalah tetapi juga untuk mencapai kesuksesan. Langkah-langkah atau sintaks pembelajaran Creative Problem Solving dalam pembelajaran secara umum dirangkum oleh Suryani (2013:32) adalah sebagai berikut: a. Klarifikasi Masalah Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan. b. Pengungkapan Gagasan Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. c. Evaluasi dan Seleksi Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah. d. Implementasi Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.
2.
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik
Berpikir kreatif merupakan suatu aktivitas yang terkait dengan kepekaan terhadap masalah,mengkaji masalah, mengemukakan informasi baru dan ide-ide yang tidak biasanya dengan suatu pikiran terbuka, serta dapat membuat hubungan-hubungan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Nicholl (Rohaeti, 2008 : 18) mengatakan bahwa langkahlangkah yang harus dilakukan untuk menjadi orang kreatif adalah: mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya; berpikir empat arah; memunculkan banyak gagasan; mencari kombinasi terbaik dari gagasan-gagasan itu; memutuskan mana kombinasi terbaik; dan melakukan tindakan. Menurut Hariman (Huda, 2011) berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang berusaha menciptakan gagasan yang baru. Silver dan Sriraman (Sumarmo, 2012) mendefinisikan kreativitas matematik sebagai kemampuan pemecahan masalah dan berpikir matematik secara deduktif dan logis. Kemudian Coleman dan Hammen (Sumarmo, 2012) menyatakan bahwa berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam konsep, pengertian, penemuan dan karya seni. Berpikir kreatif dapat juga diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan untuk membangun ide atau pemikiran yang baru.Pendapat lain dari Pehkonen (Huda, 2011), memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Maksud berpikir divergen sendiri adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang sama. Berpikir kreatif adalah kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,. Semakin tinggi tingkat berpikir kreatif seseorang, ia akan pandai menunjukkan berbagai variasi atau berbagai cara dalam penyelesaian masalah bahkan tertuang ide-ide dan inovasi yang baru.
90
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Indikator-indikator kemampuan berpikir kreatif dirangkum sebagai berikut: a. Kepekaan (Problem Sensitivity) adalah kemampuan mendeteksi (mengenali dan memahami) serta menanggapi suatu pernyataan, situasi dan masalah. b. Kelancaran (Fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. c. Keluweasan (Flexibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. d. Keaslian (Originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise dan jarang diberikan kebanyakan orang. e. Elaborasi (Elaboration) adalah kemampuan menambah situasi atau masalah sehingga menjadi lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya dapat berupa tabel, grafik, gambar, model dan kata-kata.
C. Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain, O X O (Ruseffendi, 2005 : 53) O O Keterangan : O : Tes Kemampuan berpikir kreatifmatematik X : Perlakuan dengan Creative Problem Solving
D. Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Data a. Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Untuk menguji kenormalan data pretes digunakan uji statistik kolmogorov-smirnov dengan taraf signifikansi 0,05 dengan hipotesis sebagai berikut: : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol: Tabel 4. 1 Hasil Analisis Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Kelas
Eksperimen Kontrol
Pretes Statistic 0,181
Df 30
Sig. 0,015
0,117
30
0,021
Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut: 1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak 2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa nilai signifikansi untuk kelas eksperimen lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,015 artinya ditolak atau sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Nilai signifikansi pada kelas kontrol pun lebih kecil dari 0, 05 yaitu 0, 021 artinya ditolak atau sampel berasal
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
91
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Karena kedua data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka selanjutnya harus di uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney. b. Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Setelah di uji normalitasnya, kedua sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan ke uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney. Hipotesis pengujiannya adalah, : = , tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol : , terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney data pretes adalah: 1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak 2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima Berikut ini adalah hasil uji Mann Whitneydata pretes kemampuan berpikir kreatif matematik, Tabel 4.2 Hasil Analisis Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Sig Hipotesis Berpikir Kreatif 0,651 Terima Matematik Dari hasil analisis Tabel 4.2 diperoleh bahwa nilai signifikansi lebih besar dari 0, 05 yaitu 0,651 maka diterima artinya tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
c. Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Terlebih dahulu data gain di uji normalitasnya dengan uji statistik kolmogorov-smirnov dengan hipotesis sebagai berikut: : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut: 1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak 2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka diterima Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol, Tabel 4.3 Hasil Analisis Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Kelas
Eksperimen Kontrol
92
Gain Statistic
Df
Sig.
0,115
30
0,052
0,720
30
0,006
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.3 di atas, terlihat bahwa nilai signifikansi salah satu kelas yaitu kelas kontrol lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,006 artinya ditolak atau sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Maka, dilakukan uji Mann Whitney.
d. Uji Mann Whitney Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Hipotesis penelitian yang diajukan yaitu, “Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solving lebih baik secara signifikan daripada yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional”. Untuk menguji hipotesis di atas digunakan uji satu pihak yang dirumuskan sebagai berikut, : ≤ : > : Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih baik secara signifikan atau sama dengan kelas kontrol : Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas eksperimen lebih baik secara signifikan daripada kelas kontrol Tabel 4.4 Hasil Uji Mann Whitney Data Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Sig Hipotesis Berpikir Kreatif 0,001 Tolak Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney data gain sebagai berikut: 1) Jika nilai sig.(2-tailed) lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka ditolak 2) Jika nilai
sig.(2-tailed) lebih besar dari 0,05 maka
diterima
Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh Sig.(2-tailed) = 0,000 maka nilai
sig.(2-tailed) =
0,0005dalam Uyanto (2009:145). Sesuai dengan kriteria pengambilan keputusan maka nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya ditolak. Hal ini berarti bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional.
E.
Kesimpulan
Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan creative problem solving lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Daftar Pustaka Huda, C. (2011). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika dengan Model Pembelajaran Treffinger pada Materi Pokok Keliling dan Luas Persegipanjang. [Online]. Tersedia: http://digilib.sunanampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptiain--chotmilhud-9908.html (Di akses pada 12 September 2015). Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
93
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Huda, M. (2014). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran:Isu-Isu Metodis dan Paradigmatis.Yogyakarta: Pustaka Belajar. Mahmudi, A. (2010). Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah, Yogyakarta. Munandar, U. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.Jakarta: PT. Rineka Cipta Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran Dengan Pendekatan Eksplorasi Untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian dan Bidang Non-Eksakta. Bandung:Tarsito Sumarmo, U. (2012). Bahan Ajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2 Pendidikan Matematika STKIP SILIWANGI. Bandung:Tidak diterbitkan. Suryani, A. (2013). Keefektifan Creative Problem Solving (CPS) dengan Pemanfaatan CD Pembelajarandan Alat Peraga terhadap Sikap Kreatif dan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VII MTS Miftahul Khoirot Tahun Pelajaran 2011/2012 pada Materi Pokok Persegi dan Belah Ketupat. [Online]. Tersedia: http://lib.unnes.ac.id/17440/1/4101408080.pdf. (Diakses 8 Juli 2015). Uyanto, S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta:Graha Ilmu
94
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI MERANCANG MODEL MATEMATIKA DARI MASALAH PROGRAM LINEAR DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Eli Yuliana Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya
[email protected]
ABSTRAK Pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak hanya menciptakan pembelajaran menjadi bermakna tetapi juga diharapkan dapat mendorong minat siswa untuk belajar. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk membuat siswa dapat mempresentasikan model matematika dari masalah program linear yaitu pembuatan pagar sekolah dan merencanakan lintasan belajar merancang model matematika dari masalah program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas. Penelitian melalui tiga tahap yaitu Preliminary Design, pilot eksperiment dan teaching eksperiment, Retrospective Analysis dengan menggunakan dua kelompok siswa yaitu kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan PMRI dalam pembelajaran dengan konteks pembuatan pagar sekolah dan kelompok kontrol yang menggunakan pendekatan konvensional ataupun klasikal yaitu pembelajaran berbasis buku teks. Rancangan lintasan belajar akan diujikan pada tahap pilot eksperiment, dibandingkan dengan kejadian sebenarnya, kemudian diperbaiki dan diujikan kembali pada tahap teaching eksperiment Kata kunci : Program linear, PMRI, Lintasan Belajar, Konteks pembuatan pagar sekolah.
A.
Pendahuluan
Dantzig (1963) menyatakan bahwa “linear programming is a technique for the optimization of a linear objective function, subject to linear equality and linear inequality constrains” yang berarti bahwa program linear adalah teknik untuk optimasi fungsi tujuan linear, mengikuti aturan persamaan linear dan kendala pertidaksamaan linear. Sedangkan menurut Rao, S (2011), program linear adalah teknik matematika sebagai alokasi optimum terhadap sumber daya seperti tenaga kerja, material, modal, energi, dan lain sebagainya. Berdasarkan BNSP (2006), Materi program linear diajarkan di kelas XII. Materi ini merupakan aplikasi aljabar yang sangat penting untuk dipahami sebagai prasyarat untuk dapat memahami materi lanjut. Pentingnya pemahaman tentang materi ini karena materi ini selalu diujikan dalam ujian nasional dan tes masuk ke perguruan tinggi. Menurut Supranto (2005), materi program linear merupakan cabang matematika yang salah satunya sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari yaitu : bidang ekonomi, perindustrian, dan perdagangan. Sehingga dengan mempelajari materi ini, siswa dapat mempelajari bagaimana cara mendapatkan keuntungan maksimal ataupun modal minimum menggunakan sumber daya yang terbatas. Mengingat pentingnya materi program linear untuk dipelajari siswa dan melihat data Puspendik (2014) laporan hasil Ujian Nasional matematika SMA program IPS yang memperlihatkan terjadinya penurunan daya serap pada kompetensi fungsi persamaan dan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
95
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
pertidaksamaan yang didalamnya terdapat materi program linear. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Daya Serap Matematika IPS tahun 2012, 2013, dan 2014 KOMPETENSI 2012 2013 2014 LogikaMatematika 81.61 64.78 54.16 BarisandanDeret 83.48 59.87 56.42 Eksponen, Barisan, danDeret 84.24 65.38 62.08 FungsiPersamaandanPertidaksamaan 81.86 60.89 55.20 Matriks 81.30 65.85 59.14 Kalkulus 71.58 59.72 59.50 StatistikadanPeluang 72.11 52.84 43.38 Sumber : Pusat Penilaian Pendidikan (2014), Laporan Hasil Ujian Nasional 2014 Menurunnya hasil Ujian Nasional matematika SMA program IPS pada kompetensi fungsi persamaan dan pertidaksamaan yang memuat materi program linear sejalan dengan yang dikatakan oleh Stebens & Palocsay (2004) “In recent years, student continue no have great difficulty with the process of constructing a linear programming model” bahwa dalam beberapa tahun terakhir siswa terus memiliki kesulitan besar dalam merumuskan model dari permasalahan program linear. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, menurut penelitian Afgani, Darmawijoyo, & Purwoko (2008) menyatakan bahwa masih banyak kesalahan yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah program linear, masih banyak siswa yang salah dalam menentukan daerah himpunan penyelesaian, hal ini dikarenakan siswa tidak memahami perkataan „biaya serendah-rendahnya atau untung sebesar-besarnya‟. Asih (2011) juga mengatakan bahwa beberapa kesalahan lain yang dilakukan siswa adalah kesalahan menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan soal, kesalahan membuat model matematika, kesalahan menuliskan tanda pertidaksamaan , kesalahan memanipulasi aljabar, kesalahan dalam perhitungan dan juga kesalahan pada penarikan kesimpulan. Sedangkan Hidayat & Zanaton (2014) mengatakan bahwa kesalahan siswa yang paling dominan adalah akibat dari kesulitan siswa memahami soal cerita terkait masalah sehari-hari sehingga terjadi kesalahan konsep dalam pemecahan masalah program linear. Permasalahan diatas terjadi juga pada siswa kelas XII IPS SMA N 2 Talang Ubi ketika belajar materi program linear. Kesulitan memahami program linear terutama memahami kalimat matematika, seperti merubah soal cerita menjadi model matematika. Problematika pembelajaran program linear di SMA terutama kelas XII IPS adalah sebagian besar siswa merasa kesulitan memahami program linear terutama dalam memahami kalimat matematikanya. Hal ini sangat dimungkinkan karena program linear berkaitan dengan sistem pertidaksamaan. Sistem pertidaksamaan merupakan langkah awal merumuskan model matematika. Menurut Siswanto (2007), Sallan, Lordan, Fernandez (2015), hal terpenting untuk merumuskan model matematika dari masalah program linear adalah menentukan empat unsur utamanya yaitu : (1) variabel keputusan, yaitu variabel yang mempengaruhi nilai tujuan yang hendak dicapai, (2) fungsi tujuan, yaitu fungsi yang harus berbentuk linear. Fungsi tujuan adalah fungsi yang akan di optimumkan, (3) fungsi kendala, adalah pembatas terhadap variabel keputusan yang dibuat , (4) fungsi non negative yaitu fungsi yang menyatakan bahwa setiap variabel dari program linear tidaklah negative. Sudah banyak metode pengajaran program linear yang dikembangkan untuk dapat merumuskan model matematika dan menyelesaikannya. Nurmalia, Hartono, Putri (2013)
96
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
mendesain bahan ajar program linear menggunakan konteks makanan tradisional Palembang yaitu pembuatan srikaya dan kojo. Dengan menggunakan konteks pembuatan srikaya dan kojo tersebut siswa dapat menemukan cara merumuskan model matematika dan menemukan penyelesainnya. Powers, Kalder (2006) mengajarkan program linear dengan menggunakan permasalahan dunia nyata melalui pembelajaran kooperatif. Stevens & Paloscay (2004) menggunakan pendekatan terjemahan untuk pengajaran program linear yaitu bagaimana menterjemahkan masalah dunia nyata kedalam bahasa matematika melalui langkah-langkah yang terdefinisi dengan baik, dari langkah-langkah menterjemahkan tersebut siswa mampu membuat model matematika dan menyelesaikannya. Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, maka salah satu usaha untuk membuat pembelajaran program linear lebih bermakna dan siswa tertarik untuk belajar program linear, dapat menggunakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan dunia nyata sebagai konteks pembelajaran yaitu pendekatan matematika realistik. Di Indonesia lebih dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Gavemeijer (1994) menyatakan bahwa dengan matematika relistik dapat membantu guru dan siswa dalam proses pembelajaran dikelas mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan prinsip utama dari PMRI, yaitu : (1) guided reinvention and progressive mathematizing, penemuan kembali dengan bimbingan dan matematika progresif, (2) didactical phenomology, fenomenaa didaktik, (3) self developed models, pengembangan model sendiri. Dengan mengaitkan pembelajaran ke dunia nyata, siswa diharapkan akan tertarik untuk mempelajarai materi yang diajarkan. Salah satu konteks yang bisa dilihat siswa dalam kehidupan sehari-hari adalah rencana pembuatan pagar. Dalam penelitian ini konteks rencana pembuatan pagar yang dipakai adalah rencana pembuatan pagar sekolah. Konteks pembuatan pagar tersebut dispesifikan lagi bahwa rencana pembuatan pagar sekolah adalah dengan membuat kombinasi dua jenis pagar yaitu pagar teralis dan pagar benton, dengan batasan anggaran pembelian bahan dan anggaran upah pasang tukang. Luas masing-masing pagar yang akan dibuat sudah ditentukan. Dari permasalahan tersebut, siswa mempelajari materi program linear. Terdapat tiga kompetensi dasar pada program linear untuk kurikulum KTSP yaitu, (1) Menyelesaikan sistem pertidaksamaan linear dua variabel, (2) Merancang model matematika dari masalah program linear, (3) Menyelesaikan model matematika dari masalah program linear dan penafsirannya. Gaspersz (2004) mengatakan bahwa Linear Programming (LP) merupakan teknik riset operasi yang telah dipergunakan secara luas dalam berbagai jenis masalah manajemen perencanaan. Hilier & Lieberman (2001) mengatakan bahwa pemograman linear adalah suatu model matematis untuk menggambarkan masalah yang dihadapi. Kata sifat „linear‟ bahwa semua fungsi matematis dalam model ini merupakan fungsi linear, sedangkan kata „pemrograman‟ adalah sinonim dari perencanaan. Perencanaan yang dimaksud umumnya adalah perencanaan aktifitas kegiatan ekonomi. Sehingga rencana pembuatan pagar sekolah dapat dijadikan konteks pembelajaran materi program linear. Pada pembuatan pagar sekolah, siswa membuat perencanaan untuk pembuatan dua jenis pagar yaitu pagar teralis dan pagar beton. Anggaran untuk pembelian bahan dan upah pasang tukang diketahui. Luas masing-masing pagar yang akan dibuat sudah ditentukan. Melalui tahapan pemodelan siswa dapat menentukan biaya minimum yang akan dikeluarkan sekolah.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
97
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pembelajaran program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah bertujuan untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan bermakna untuk siswa dan berhubungan dengan kehidupan nyata sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain pembelajaran materi program linear dalam aspek merancang model matematika dan menyelesaikannya dengan menggunakan konteks pembuatan pagar sekolah. Kegiatan pembelajaran terdiri dari beberapa aktifitas berdasarkan tahap-tahap pemodelan matematika sampai penyelesaiannya. Dari tahapan tersebut, siswa akan berdiskusi menyelesaikan permasalahan dan mencari biaya minimum yang dikeluarkan sebagai solusi dari permasalahan program linear. Peneliti mengangkat judul “Desain Pembelajaran Materi Merancang Model Matematika dari Masalah Program Linear di Sekolah Menengah Atas “ Dari uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana masalah pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa mempresentasikan model matematika dari masalah program linear ? dan bagaimana lintasan belajar merancang model matematika dari masalah program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas ? Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah siswa dapat mempresentasikan model matematika dari masalah program linear yaitu pembuatan pagar sekolah dengan pendekatan PMRI dan Merencanakan lintasan belajar merancang model matematika dari masalah program linear dengan konteks pembuatan pagar sekolah pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi : (1) siswa, siswa menjadi lebih termotivasi dalam memecahkan masalah program linear karena didesain dengan menarik dan bermakna. (2) guru, dapat dijadikan sebagai bahan tambahan informasi dalam inovasi pembelajaran dan meningkatkan profesionalisme guru dalam strategi pengajaran bagi pembelajaran matematika materi program linear dengan pendekatan PMRI dalam pembelajaran. (3) peneliti lainnya, sebagai masukan untuk meneliti dan mengembangkan pembelajaran matematika materi program linear.
B.
Subjek, Tempat dan Waktu Penelitian
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa kompetensi yang akan dicapai siswa adalah merancang model matematika dari masalah program linear dengan menggunakan objekobjek yang tertera dalam kurikulum sekolah menengah atas (SMA) maka subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA. Jumlah subjek adalah 34 dimana 6 siswa berpartisipasi dalam preliminary desigrn dan 28 siswa berpartisipasi dalam teaching experiment. Preliminary design dan teaching experiment akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Penelitian ini dilakukan di semester genap tahun ajaran 2016/2017 di SMAN 2 Talang Ubi Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan.
C.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menciptakan lintasan belajar yang empiris dalam pada materi program linear serta kontribusinya dalam mendukung kemampuan pemecahan masalah siswa. Oleh karenanya, Design Research dipilih sebagai pendekatan penelitian ini karena sejalan dengan tujuan penelitian.
98
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Terdapat tiga fase utama dalam penelitian ini. Dalam proses penelitian ini, peneliti mengikuti tiga fase penelitian (Gravemeijer dan Cobb, 2006). Penjelasan tahapan penelitian tersebut seperti berikut ini: tahap 1 : Preliminary Design Sebelum mendesain berbagai aktivitas dalam penelitian, peneliti memperoleh ide awal dari berbagai kajian literatur. Informasi yang diperoleh melalui observasi kelas digunakan untuk merancang serangkaian kegiatan pembelajaran yang berisi dugaan strategi pemikiran siswa. Selanjutnya peneliti akan menjelaskannya dalam 3 bagian, yaitu : a. Kajian Literatur Pada tahap ini dilakukan kajian literatur mengenai materi pembelajaran yaitu program linear, bagaimana membangun topik tersebut agar dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, PMRI, dan desain riset sebagai dasar perumusan dugaan strategi awal siswa dalam pembelajaran . b. Observasi Kelas dan Wawancara dengan Guru Peneliti melakukan pengamatan terhadap kegiatan belajar siswa di kelas. Tujuan diadakan pengamatan kelas adalah untuk mengetahui kondisi siswa, kondisi kelas, norma yang berlaku di kelas. Hal ini meliputi jumlah siswa, kebiasaan kelas, aktivitas guru dan siswa di kelas, interaksi guru dengan siswa dan interaksi antar-siswa, proses pembelajaran di kelas. Wawancara kepada guru memberikan informasi mengenai guru mengajar. Tujuannya adalah agar kegiatan pembelajaran yang dibuat sesuai dengan guru. Daftar pertanyaan dalam wawancara diarahkan untuk menggali informasi mengenai latar belakang guru, pengalamannya dalam mengajar, pengetahuannya tentang PMRI, pengetahuan tentang pengajaran(managemen kelas, pendekatan pembelajaran, dan penilaian) dan konsep guru dalam mengajarkan program linear. c. Mendesain Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Sebelum pelaksanaan penelitian, serangkaian aktivitas pembelajaran yang berisi dugaan tentang strategi siswa dan perkembangan cara berpikir siswa dari tahap formal ke informal dirancang. Pendesainan HLT bersifat dinamis dan dapat direvisi sewaktu-waktu serta dapat disesuaikan saat penelitian sedang berlangsung (teaching experiment). Tahap II: Teaching Experiment a. Pilot Experiment - Siklus 1 Pilot Experiment bertujuan untuk mengujicobakan HLT yang telah didesain guna mengumpulkan data untuk menyesuaikan dan merevisi (jika diperlukan) HLT awal pada tahap teaching experiment nantinya. Dalam penelitian percobaan ini dilakukan diskusi dengan guru model agar HLT tersebut dapat mencapai sasaran dari tujuan pembelajaran. Adanya saran dari guru model sangat membantu peneliti dalam penyesuaian pendesainan HLT awal karena guru lebih mengetahui kondisi siswa yang menjadi sampel pada penelitian. b. Teaching Experiment - Siklus 2 Tahap teaching experiment merupakan tahap inti dari Desain Riset karena pada tahap ini HLT yang telah didesain dan diperbaiki pada tahap sebelumnya diujicobakan di kelas sesungguhnya yang menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian dari tahap ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian. Guru bertindak sebagai pengajar sedangkan peneliti mengobservasi setiap aktivitas belajar siswa. Sebelum kegiatan pembelajaran (teaching
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
99
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
experiment) dimulai, peneliti dan guru model berdiskusi tentang kegiatan pembelajaran pada hari tersebut. Selama proses pembelajaran berlangsung, ide-ide dan dugaan-dugaan dapat dimodifikasi sebagai revisi untuk aktivitas berikutnya. Selanjutnya, setelah aktivitas pembelajaran selesai, peneliti dan guru model melakukan pencerminan dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan guna perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dalam pelaksanaan teaching experiment, peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara mendokumentasikan kegiatan belajar siswa melalui rekaman video dan foto, serta mengumpulkan hasil kerja siswa, dan memilih beberapa siswa untuk diwawancarai. Tahap III: Retrospective Analysis Data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dianalisis pada tahap ini kemudian hasil analisa tersebut digunakan untuk mengembangkan desain pada aktivitas pembelajaran berikutnya. HLT dibandingkan dengan aktivitas pembelajaran siswa yang sesungguhnya untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan dari retrospective analysis secara umum adalah untuk mengembangkan Lintasan Belajar. Oleh karena itu, feedback dari guru sangatlah bermanfaat guna memberikan informasi kepada peneliti mengenai perbedaan cara mengajar yang secara teori dapat disesuaikan pada berbagai macam keadaan di kelas. Dengan demikian diperoleh desain pembelajaran yang lebih baik.
D. Teknik Pengumpulan Data Selama melakukan penelitian, berbagai data mulai dari data tertulis, hasil kerja siswa, foto, rekaman video dan sebagainya dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki HLT yang telah didesain. Berikut akan dijelaskan beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan pada setiap tahap dalam penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan untuk membandingkan aktivitas siswa selama proses teaching experiment (siklus 2) dan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary design (desain pendahuluan). Doorman dalam Wijaya (2008) menyatakan bahwa hasil dari sebuah penelitian desain adalah bukan desain yang bekerja tetapi prinsip-prinsip dasar yang menjelaskan bagaimana dan mengapa desain tersebut bekerja. Oleh karena itu, dalam tahap retrospective analysis HLT yang telah dirancang dibandingkan dengan pembelajaran siswa di kelas untuk menyelidiki dan menjelaskan bagaimana siswa dapat merancang model matematika dari masalah program linear yang berada di sekitar siswa. F. Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Sebagai bagian terpenting dalam design research, peneliti mengembangkan desain pembelajaran yang di dalamnya terdapat HLT. Simon (1995) memberikan syarat tentang pengertian HLT bahwa guru harus membayangkan cara-cara di mana siswa mungkin terlibat ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran tertentu, dan kemudian mencatat potensi siswa dalam berargumentasi dimana mereka dianggap mewakili karakter komunitas kelas, terkait dengan tujuan pembelajaran yang dipilih. Dalam pengertian ini, HLT berperan penting sebagai cara untuk menjelaskan aspek pokok perencanaan pelajaran matematika yang mengutamakan pengembangan konsep-konsep matematika baru siswa, dan mendukung pengajaran matematika untuk pemahaman. Selain itu, Simon memperkenalkan deskripsi HLT meliputi tujuan pembelajaran, deskripsi aktifitas pembelajaran, dugaan lintasan belajar (Simon, & Tzur, 2004). Seperti dijelaskan sebelumnya, HLT adalah suatu wahana untuk perencanaan belajar siswa khususnya konsepkonsep matematika. Simon (1995) menjelaskan bahwa istilah "hipotesis" adalah didasarkan
100
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
pada kenyataan bahwa lintasan pembelajaran yang sebenarnya belum menjadi pengetahuan siswa. Itu berarti bahwa guru tidak pernah bisa yakin apa yang siswa akan pikirkan dan melakukan atau apa dan bagaimana mereka akan membangun interpretasi baru, ide-ide dan strategi sampai mereka benar-benar bekerja pada masalah (Fosnot & Dolk, 2001). Dalam pengertian ini, desainer harus membayangkan lintasan belajar di mana siswa mungkin terlibat dengan tujuan matematika tertentu dalam pikiran. Selain itu, istilah "lintasan" mungkin juga memiliki konotasi linear (Bakker, 2004). Meskipun kami bertujuan untuk arah tertentu, lintasan pembelajaran bukanlah struktur yang kaku dan tidak harus linear. Para siswa dapat bebas ke berbagai arah seperti mereka mengeksplorasi, memahami, dan menafsirkan dunia secara matematis (Fosnot & Dolk, 2001). Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah mendorong siswa mahir dalam merancang model matematika untuk memacahkan masalah materi program linear . Rancangan kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini meliputi pengembangan Lembar Aktifitas Siswa , Panduan guru, dan solusi Rencana Pembelajaran. Pertama mereka dapat mengembangkan pemahamannya tentang permasalahan program linear dan dapat merancang model matematikanya. Kedua, Siswa dapat meningkatkan kemampuan pemecahaan masalahnya dari bagaimana tahap-tahap siswa tersebuat merancang model matematika dari permasalahan program linear yang ada. HLT ini dilaksanakan selama fase percobaan mengajar di kelas dua belas sekolah menengah atas di kabupaten PALI, Indonesia. HLT ini berisi dua aktivitas pembelajaran dalam periode dua minggu pengajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan studi ini. Dalam setiap pelajaran, kita menggambarkan pemahaman awal siswa, tujuan pembelajaran, kegiatan matematika, dan dugaan berpikir siswa dan penalaran. HLT dirancang untuk mempelajari kemampuan pemecahan masalah pada materi program linear yang tertanam dalam kegiatan pembelajaran yang dijelaskan dalam bab selanjutnya.
G.
Penutup
Pembelajaran akan menjadi lebih bermakna apabila guru mampu mempersiapkan pembelajaran sedemikian rupa agar siswa mau dan bersemangat untuk mengikuti proses pembelajaran. Hal ini dapat terjadi apabila guru mampu mendesain pembelajaran dengan menggunakan hal-hal yang dianggap baru bagi siswa dan membawaa manfaat untuk siswa. Pendekatan pembelajaran yang masih baru dan membawa manfaat bagi siswa adalah PMRI. Hal itu terjadi karena PMRI menggunakan konteks dunia nyata yang familiar dengan siswa. Ini sejalan dengan materi program linear yang umumnya berkaitan dengan masalah seharihari siswa dalam hal perencanaan kegiatan ekonomi, perdagangan dll.
Daftar Pustaka Afgani, M. W., Darmawijoyo, & Purwoko. (2008). Pengembangan Media Website Pembelajaran Materi Program Linear untuk Siswa Sekolah Asih, I. M. (2011). Peningkatan Kemampuan Siswa SMAN 8 Denpasar dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pokok Bahasan Program Linear Mata Pelajaran Matematika. Jurnal Udayana Mengabdi , 67-71. Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education:on Symbolizing and Computer Tools.Utrect,The Netherlands:Freudenthal Institute.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
101
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
BSNP. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Cobb,dkk. (2003). Desaign Experiments and Educational Research. American Educational Research Association, 32-9. Cooney, T.J. (1994). Research and Teacher Education : In Seacrh of Command Ground. Journal for Research in Mathematics Education, 25(6), 608-636. Dantzig, G.B. (1963). Linear Programming and Extension. RAND Corporation. Depdiknas, (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Edelson, D.C. (2006). Balancing Innovation and Risk: Asessing Design Research Propsals, in : Van Den Akker,J. Gravenmeijer,K, Meckenney,S. Nieveen, N. (Eds). (2006). Educational Design Research. London : Routledge,100-106. Eddy. (2008). Manajemen Operasi. Edisi Ketiga. Jakarta. Grasindo Frudenthal, H. (1991). Revisting Mathematics Education. Dordrecht. Kluwer Academic Publishers. Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Gravenmeijer & van Erde. (2009).Desaign Research as a Means for Building a Knowladge Base for Theacher and Teaching in Mathematics Educations.The Elementry School Journal, 109-5. Hidayat, R., & Zanaton. (2014). Misconception of Linear Programming in Senior High School. Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia. Hillier & Lieberman. (2001). Introduction to Operations Research.The McGraw-Hill Companies. Hudoyo. (1979). Perkembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas.Malang : Grasindo. Johanes Suoranto. (2005). Ekonometrika Buku I. Bogor : Ghalia Indonesia. Nieveen, N., McKenney, S., van den Akker (2006). “Educational Design Research” dalamEducationalDesign Research.New York : Routledge Nurmalia, Hartono, Putri. (2013).Pendesaian Pembelajaran Materi Program Linear SMK Menggunakan Konteks Makanan Tradisional Palembang.Palembang. Universitas Sriwijaya. Panhuizen, M. V. (2000). The Didactical use of Models in Realistic Mathematics Educations: An Example from A Longitudinal Trajectory on Percentage. Journal Educational Studies in Mathematics , 9-35. 102
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Plomp. (2007). " Educational Design Research :An Introduction", dalam An Introduction tp Educational Research. Enschede, Netherland : National Institute for Curriculum Development. Plomp & Nieveen. (2007). An Introduction to Educational Design Research : Prossiding of the Seminar Conducted at The East China NormalUniversity, Shanghai : PR China, 23-26. Puspendik.2014. Laporan Hasil Ujian Nasional tahun 2014. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Putri, R.I.I. 2011.Improving Mathematics Comunication Ability Of StudentsIn Grade 2 Through PMRI Approach. International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education. Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University. Putri, R.I.I 2011. Propesional Development of Mathematics Primary School Teachers in Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education Approach.Proceeding of the International Conggress for School Effectiveness and Improvement (ICSEI), Limassol, Cyprus. Sallan, Lordan, Fernandez. 2015. Modeling and Solving Linear Programming With R. Catalunya: Omnia Science. Stevens & Palocsay.2004. A Translation Appriach To Teaching Linear Program Formulation. Journal INFORMS Transactions on Education.Maryland : USA, 3854. Siswanto. 2007. Pengantar Manajemen. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Raealistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu. Zulkardi. (2002). Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for Indonesian Student Teachers. Enschede: University of Twente. Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2010). Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP). 2(1). 1 – 24.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
103
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN DISKURSIFUNTUK MENGEMBANGKAN PEMBUKTIAN MATEMATIS DAN HABITS OF MIND MAHASISWA Elsa Komala Universitas Suryakancana
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menelaah pengaruh pembelajaran dengan pendekatan diskursif terhadap kemampuan pembuktian matematis dan kebiasaan berpikir (habits of mind) mahasiswa. Desain penelitian ini adalah The Nonequivalent Posttest-Only Control Group Design. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursifdan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional.Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa jurusan pendidikan matematika FKIP UNSUR Cianjur, dengan sampel dua kelas pada mahasiswa semester II dipilih dengan teknik purposive sampling. Untuk mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan mengenai pembuktian matematis dan angket untuk mengetahu habits of mind mahasiswa. Berdasarkan analisis data, hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kebiasaan berpikir (habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif dengan pembelajaran konvensional tidak bisa dibedakan secara signifikan. Kata Kunci: Pendekatan Diskursif, Pembuktian Matematik, Habit of Mind.
1. Pendahuluan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Suryakancana (UNSUR) Cianjur merupakan salah satu pencetak calon dosen matematika di provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil pengamatan di kelas diperoleh fakta bahwa mahasiswa jurusan Pendidikan UNSUR khususnya tingkat I, cendrung masih pasif dalam proses pembelajaran. Mahasiswa masih menjadi pendengar dan menerima apa yang disampaikan oleh dosen-dosennya. Tanpa mereka melakukan klarifikasi atau mendalami apa yang diajarkan. Mahasiswa yang bertanyapun masih sangat jarang. Selain itu hal-hal yang masih menjadi kendala dalam proses pembelajaran adalah masih kurangnya kemandirian belajar, bekerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Bahkan sampai setelah dilaksanakan Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester hasilnya masih belum mencapai harapan berdasarkan data yang peneliti miliki berdasarkan semester sebelumnya. Sejalan dengan Umar (2013: 12) menyatakan bahwa kemampuan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika tidak hanya mencakup kemampuan kognitif tetapi juga kemampuan afektif, harus dimiliki oleh setiap mahasiswa.Orientasi dari pembelajaran selain mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa, yaitu mengembangkan sikap.Sikap merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku atau aksi seseorang dalam menghadapi tugas, termasuk tugas akademik. Ini berarti bahwa dalam proses pembelajaran matematika, ranah sikap perlu dan terus ditumbuh kembangkan secara optimal 104
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
pada diri mahasiswa. Hal ini dikarenakan dalam belajar matematika dan menjalani kehidupan sehari-hari, mahasiswa selalu berhadapan dengan multi persoalan. Tugas seorang dosen adalah membantu mahasiswanya mendapatkan informasi, ide-ide, keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, dan cara -cara berpikir serta mengemukakan pendapat. Namun, tugas dosen yang paling penting dan menentukan adalah membimbing para mahasiswa tentang bagaimana menumbuhkembangkan kbiasaan berpikir (habits of mind) matematis. Karena itu, tujuan jangka panjang pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan para mahasiswa agar ketika mereka sudah meninggalkan bangku sekolah, mereka akan mampu mengembangkan diri mereka sendiri dan mampu menyelesaikan masalah yang muncul. Costa dan Kallick (2012) menyebutkan bahwa kebiasaan bukanlah perilaku yang kita gunakan atau letakkan secara seenaknya atau semaunya kita.Kebiasaan ialah perilaku yang kita tunjukkan dengan baik disaat-saat yang tepat dan bekerja begitu saja tanpa kita repotrepot berusaha. Pada akhirnya pembiasaan pengaturan proses berpikir ialah sebuah cara untuk membuka ruang pikiran sebagai tempat proses tersebut berlangsung. Memandang pernyataan Costa dan Kallick sebelumnya, habits of mind mahasiswa benar-benar menjadi landasan mahasiswa dalam berlangsungnya sebuah pembelajaran. Salah satu alternatif pemecahannya diperlukan suatu proses pembelajaran matematika yang membantu mahasiswa dalam mengembangkan dan meningkatkan kompetensi strategis mereka, proses pembelajaran harus berpusat pada mahasiswa, mahasiswa harus mengalami dan mengkonstruksi sendiri ilmu pengetahuan, sehingga proses pembelajaran akan lebih bermakna. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran sehingga diharapkan mahasiswa tersebut tidak hanya memiliki pengetahuan saja tetapi mampunyai kemandirian, mampu memunculkan gagasan, ide kreatif dan mampu menghadapi tantangan dan mengatasinya dan tentunya cakap dalam menyelesaikan permasalahan matematika terutama pembuktian matematik. Pendekatan diskursif dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan terpacu dengan berbagai aktivitas, seperti pengajuan pertanyaan, mendengarkan ide orang lain, menulis, maupun melakukan percakapan berbagai arah untuk sampai pada pemahaman matematika. Aktivitas tersebut dilakukan mahasiswa ketika menyusun rencana dalam menyelesaikan masalah matematis yang sedang dimiliki mahasiswa sehingga bisa menyelesaiakan nya baik. Demikian pula pembelajaran dengan pendekataan diskursif di kelas, dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti intervensi dosen, pengambilan keputusan pengaturan kelas dan pembelajaran dengan tujuan tercapai kualitas lingkungan yang memadai, mampu membuat mahasiswa berpartisipasi aktif, mendorong mengembangkan intelektual mahasiswa serta bisa membantu menjawab permasalahan yang dihadapi mahasiswa, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan pembuktian matematis. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat mahasiswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.Hal ini tentunya membutuhkan pengembangan kebiasaan berpikir (habits of mind) mahasiswa. Costa dan Kallick (2012) menyebutkan bahwa kebiasaan bukanlah perilaku yang kita gunakan atau letakkan secara seenaknya atau semau kita.Kebiasaan ialah perilaku yang kita tunjukkan dengan baik disaat-saat yang tepat dan bekerja begitu saja tanpa kita repot-repot berusaha. Pada akhirnya pembiasaan pengaturan proses berpikir ialah sebuah cara untuk membuka ruang pikiran sebagai tempat proses tersebut berlangsung. Memandang pernyataan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
105
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Costa dan Kallick sebelumnya, habits of mind mahasiswa benar-benar menjadi landasan mahasiswa dalam berlangsungnya sebuah pembelajaran dan bisa menyelesaikan permasalahanya terutama dalam pembuktian matematik. mahasiswa perlu memiliki kebiasaan berpikir yang baik agar mampu merespon setiap masalah yang muncul dalam pembelajaran. Kebiasaan berpikir mahasiswa pada saat pembelajaran menjadi hal yang fundamental ketika mereka mendapat sekelumit permasalahan dan mereka harus mencari solusi penyelesaiannya seperti apa. Habits of mind juga sangatmendukung penampilan mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari.Kebiasaan berpikir (habits of mind) merupakan akar kekuatan mahasiswa dalam melatih kemampuan mereka dalam menentukan solusi penyelesaian dalam suatu permasalahan. Kelas merupakan sebuah kondisi atau lingkungan yang mereka tempati pada saat mereka belajar. Oleh karena itu, dosen benar-benar harus bisa melihat kebiasaan berpikir mahasiswa tersebut ketika terjadi proses pembelajaran dan dosen memiliki peranan penting minimal untuk mengingatkan mahasiswa akan pentingnya kebiasaan berpikir, sehingga mereka terbantu dalam menyelesaikan berbagai tugas termasuk dalam pembuktian matematis. Berdasarkan pemaparan mengenaipembelajaran dengan pendekatan diskursif, penelitian difokuskan pada pembelajaran dengan pendekatan diskursif untuk mengembangkan pembuktian matematik dan habis of mind mahasiswa. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Apakah kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada mahasiswa yang belajar dengan konvensional; 2) Kebiasaan berpikir (habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan diskursif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar dengan konvensional. Pendekatan Diskursif Menurut Sierpinska (2003: 4), pendekatan diskursif berfokus pada komunikasi berupa debat, alasan-alasan logis secara tertulis, dan komunikasi matematis sehingga pendekatan ini memandang mahasiswa dalam kelas sebagai masyarakat belajar yang berinteraksi satu sama lain. Pendekatan diskursif dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan terpacu dengan berbagai aktivitas, seperti pengajuan pertanyaan, mendengarkan ide orang lain, menulis, maupun melakukan percakapan berbagai arah untuk sampai pada pemahaman matematika. Aktivitas tersebut dilakukan mahasiswa ketika menyusun rencana dalam membuktikan matematis yang sedang dilakukan mahasiswa sehingga bisa menyelesaiakan pembuktian matematis dengan baik. Demikian pula pembelajaran dengan pendekataan diskursif di kelas, dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti intervensi dosen, pengambilan keputusan pengaturan kelas dan pembelajaran dengan tujuan tercapai kualitas lingkungan yang memadai, mampu membuat mahasiswa berpartisipasi aktif, mendorong mengembangkan intelektual mahasiswa serta bisa membantu menjawab permasalahan yang dihadapi mahasiswa, sehingga hal tersebut dapat mengembangkan kemampuan pembuktian matematis mahasiswa. Kemampuan Membuktikan Matematis Hanna dan Barbeau (dalam Van Spronsen, 2008) menyatakan bahwa bukti adalah langkahlangkah yang bersifat logis dari apa yang diketahui untuk mencapai suatu kesimpulan dengan menggunakan aturan inferensia yang dapat diterima. Secara tradisional, peran bukti adalah untuk memverifikasi kebenaran pernyataan matematika.Bukti ini digunakan untuk menghilangkan ketidakpastian tentang proposisi matematika dan meyakinkan suatu pernyataan. 106
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Menurut Mason (dalam Sumarmo, 2011), tiga level verifikasi dalam berpikir matematis tingkat lanjut yaitu: 1) Meyakinkan diri sendiri (convice yourself): meyakinkan mengapa suatu pernyataan bernilai benar; 2) Meyakinkan teman (convice a friend): meyakinkan orang lain disertai dengan argumen yang terorganisasi secara koheren; 3) Meyakinkan lawan (convice an enemy): meyakinkan orang lain disertai dengan argumen yang terorganisasi secara koheren, dianalisis dan diperhalus sehingga siap untuk dikritisi. Indikator kemampuan pembuktian matematis yang diukur dalam penelitian ini yaitu: 1) membaca pembuktian matematis; 2) melakukan pembuktian matematissecara langsung, tak langsung, atau dengan induksi matematis; dan 3) mengkritik pembuktian denganmenambah, mengurangi atau menyusun kembali suatu pembuktian matematis. Kebiasaan Berpikir (Habits of Mind) Menurut Aristotle (Canfields & Watkins, 2008), kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.Terdapat beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh individu sukses dan kreatif sehingga membedakannya dengan individu-individu pada umumnya. Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan semakin kuat dan menetap pada diri individu sehingga sulit diubah. Dalam hal ini kebiasaan tersebut telah membudaya pada diri individu.Salah satu jenis kebiasaan yang dipandang sangat mempengaruhi kesuksesan individu adalah kebiasaan berpikir (habit of mind).Habits of mind mengisyratkan bahwa perilaku membutuhkan suatu kedisiplinan pikiran yang dilatih sedemikian rupa, sehingga menjadi kebiasaan untuk berusaha terus melakukan tindakan yang lebih bijak dan cerdas.Hal ini dapat dipahami karena segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang individu merupakan konsekuensi dari kebiasaan berpikirnya. Costa dan Kallick (2008) mendefinisikan kebiasaan berpikir sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara intelektual atau cerdas ketika menghadapi masalah, khususnya masalah yang tidak dengan segera diketahui solusinya.Ketika menghadapi masalah, mahasiswa cenderung membentuk pola perilaku intelektual tertentu yang dapat mendorong kesuksesan individu dalammenyelesaikan masalah tersebut. Kemudian, Costa dan Kallick (2008) mengidentifikasi enambelas karakteristik kebiasaan berpikir tersebut yaitu sebagai berikut: 1) Bertahan atau pantang menyerah; 2) Mengatur kata hati. Individu yang dapat mengatur kata hatinya akan berpikir reflektif dan berhati-hati; 3) Mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati; 4) Berpikir luwes; 5) Berpikir metakognitif; 6) Berusaha bekerja teliti dan tepat; 7) Bertanya dan mengajukan masalah secara efektif; 8) Memanfaatkan pengalaman lama untuk membentuk pengetahuan baru; 9) Berpikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat; 10) Memanfaatkan indera dalam mengumpulkan dan mengolah data; 11) Mencipta, berkayal, dan berinovasi; 12) Bersemangat dalam merespons; 13) Berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko; 14) Humoris; 15) Merasa saling bergantung/ membutuhkan; 16) Belajar berkelanjutan
2.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa pendidikan matematika UNSUR, dengan sampel dua kelas mahasiswa tingkat II pada mata kuliah teori bilangan tahun ajaran 2015/ 2016 dengan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik “Purposive Sampling”, satu kelas eksperimen yang terdiri dari 26 mahasiswa yang memperoleh pendekatan diskursif dan satu kelas kontrol yang terdiri dari 32 mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
107
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Untuk mengukur kemampuan pembuktian matematis digunkana tes yang terdiri dari 5 soal tes tertulis dalam bentuk uraian yang dilakukan pada saat Ujian Akhir Semester. Angket diberikan kepada mahaiswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol pada akhir kegiatan bertujuan untuk mengetahui habits of mind mahasiswa dalam pembelajaran. Angket menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Tentu (TT), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS) dengan skor 4, 3, 2, 1 dan 0 untuk pernyataan positif, untuk pernyataan negatif skor merupakan kebalikannya.
3.
Hasil Dan Pembahasan
Kemampuan pembuktian matematis dalam penelitian ini dilihat dari nilai UAS mahasiswa.Berdasarkan Tabel 1 ditemukan bahwa rerata nilai kelas eksperimen lebih tinggi daripada rerata kelas kontrol. Tabel 1. Statistik Deskriptif Kemampuan Pembuktian Matematis Eksperimen Kontrol
N
Minimum Maximum Mean
Std. Deviation
26 32
60.00 60.00
12.92 11.45
100.00 98.00
82.31 75.94
Pengujian kemampuan pembuktian matematis yang belajar dengan pendekatan diskursif lebih baik dari pada mahasiswa yang belajar dengan konvensional menggunakan ujit.Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data kedua kelas dengan menggunakan Shapiro-Wilk.Berdasarkan tabel 2. Hasil uji nomalitas adalah nilai kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas eksperimen dan kelas kontrol masingmasing berasal dari populasi yang berdistribusi yang tidak normal dengan nilai Sig berturutturut adalah 0,014 dan 0,046. Karena kedua data tidak berdistribusi normal untuk mengetahui signifikansi perbedaan rerata kedua kelas data digunakan uji statistik dengan Mmann Tithneyyang disajikan pada tabel 3, diperoleh sig(2-tailed) = 0,055. Nilai sig(1tailed) = ½ sig(2-tailed) berarti sig(1-tailed) = ½ (0,055) = 0,028 (Widhiarso, 2008). Selanjutnya dipearoleh sig(1-tailed) < 0,05. Dengan demikian terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelas.Berarti, kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas eksperimen lebih baik daripada kemampuan pembuktian matematis mahasiswa kelas kontrol. Tabel 2. Tests of Normality Kemampuan Pembuktian Matematis Shapiro-Wilk Nilai
Kelompok
Statistic
Df
Sig.
Eksperimen
.898
26
.014
Kontrol
.933
32
.046
Tabel 3. Test Statisticsa Kemampuan Pembuktian Matematis Nilai Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
293.500 821.500 -1.917 .055
Skor habits of mind mahasiswa diperoleh dengan cara mengasumsi data ordinal ke dalam data interval. Pengujian habits of mind mahsiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif 108
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
lebih baik daripada habits of mind mahaiswa yang belajar dengan konvensional menggunakan uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data kedua kelas dengan menggunakan Shapiro-Wilk. Hasil uji nomalitas adalah skor habits of mind mahasiswa kedua kelas masing-masing berasal dari populasi yang berdistribusi normal dengan nilai Sig berturut-turut adalah 0,181 dan 0,142. Sealanjutnya, pada uji kesamaan varians dengan Levene sebesar 0,567 dengan sig = 0,454. Nilai sig tersebut lebih besar 0,05 berarti dinyatakan bahwa varians populasi kedua kelas adalah homogen. Berdasarlkan tabel 4. untuk mengetahui signifikansi perbedaan rerata kedua kelas data digunakan uji statistik, untuk pasangan data yang homogen digunakan uji-t dengan asumsi varians sama (Equal variances assumed) dan diperoleh thitung = 5,280 dengan df = 56 dan sig(2-tailed) = 0,759. Selanjutnya dipearoleh sig(1-tailed) = 0,3759 > 0,05. Dengan demikian habits of mindmahasiswa yang menunjukkan bahwa H0 diterima, artinya kebiasaan berpikir (habit of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif tidak lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Tabel 4. Independent Samples Test Habits of Mind t-test for Equality of Means
Habits of Equal mind variances assumed Equal variances not assumed
T
df
-.309
56
-.309 33.919
Mean Std. Error 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2- Differenc Differenc tailed) e e Lower Upper .759
- .556
1.797
-4.207
3.096
.759
- .556
1.797
-4.207
3.096
Belum berkembangnya habits of mind mahasiswa pada kelas ekeperimen disebabkan oleh penelitian yang relatif singkat, padahal habits of mind mahasiswa tidak dapat dikembangkan hanya dalam waktu yang relatif singkat dan dengan pengaruh dari proses pembelajaran di kampus saja, melainkan dibutuhkan tanggung jawab bersama untuk mengembangkan habits of mind mahasiswa.Hal ini sejalan dengan penelitian Safitri (2013) yang menyatakan bahwa tidak terdapat berbeda secara signifikan antara siswa kelas ekperimen dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.Ini sesuai dengan yang pendapat oleh Costa dan Kallick (2012) yaitu pengajaran “kebiasan berpikir” merupakan tugas kelompok.Karena kebiasaan-kebiasaan yang ada pada pendekatan diskursif ini membutuhkan banyak latihan dalam waktu yang lama. Jika kebiasaan-kebiasaan ini terus diterapkan mahasiswa dalam aktivitas sehari-hari, habits of mind akan menjadi modal dasar dalam membentuk kepribadian yang sangat baik. Dan tentunya akan bermanfaat untuk kehidupan selanjutnya. Sehingga kebiasaan-kebiasaan itu menjadi guide yang memandu dan mengarahkan mahasiswa untuk berperilaku efektif, tegas, dan kooperatif.
4. Simpulan Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Kemampuan pembuktian matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan diskursif lebih baik daripada mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional; 2) kebiasaan berpikir (habits of mind) mahasiswa yang belajar dengan pendekatan diskursif tidak lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
109
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Daftar Pustaka Canfield, Jack & Watkins, D.D. 2008.The Secrets Law of Attraction.Panduan Sederhana untuk Menciptakan Kehidupan yang Anda Impikan Agar Orang Lain Mau Membantu Hidup Anda. Bandung: Jabal Costa, A. & Kallick, B. 2008.Describing 16 Habits of Mind.[Online]. Tersedia: http://www.habits-of-mind.net/pdf/16HOM2.pdf. [17 April 2013]. Costa & Kallick. 2012. Belajar dan Memimpin dengan Kebiasaan Pikiran. Jakarta: Indeks. Safitri, Prahesti T. 2013. Pembelajaran Quick on The Draw Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis dan Habits of Mind Siswa Sekolah Menengah Pertama. Skropsi UPI: tidak diterbitkan. Sierpinska, A. 2002. Language and Communication in Mathematics Education. “Discursing Mathematcial Away”. Talk at lula Tecniska Universitet. Sumarmo, U. 2011. Pembinaan Budaya dan Karakter serta Pengembangan Kemampuan Disposisi Matematik: Pengertian dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, pada tanggal 15 Oktober 2011.UNSIL Tasikmalaya. Umar, W. 2013.Pengembangan MathematicalThinking Berorientasi pada Gaya Kognitif dan Budaya Siswa.Makalah diterbitkan pada jurnal pendidikan Matematika UM. Malang. Van Spronsen, H. D. 2008. Proof Processes of Novice Mathematics Proof Writers. Disertasi. Missoula: Tidak dipublikasikan. Widhiarso, W. 2008.Perbandingan Ketepatan Estimasi antar Koefisien Reliabilitas Multidimensi. Jurnal Psikologi INSAN
110
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME GUNA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMPETENSI STRATEGIS SISWA SMP Eva Dwi Minarti Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data apakah kemampuan dan peningkatan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran biasa, Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Pengumpul data menggunakan teknik tes kemampuan kompetensi strategis siswa yang sebelumnya dihitung telebih dahulu validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembeda. Analisis data dilakukan dengan uji t dan uji gain ternormalisasi. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan kompetensi strategis siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran biasa; (2) Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa. Kata Kunci: pendekatan konstruktivisme, kompetensi strategis
1. Latar Belakang Salah satu kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal tersebut sejalan dengan Posamentir dan Stepelmen (Irvansyah, 2005: 5) bahwa kemampuan serta keterampilan dalam memecahkan suatu masalah akan bermanfaat dalam menghadapi permasalahan keseharian serta dalam situasi-situasi pengambilan keputusan yang akan selalu dialami seluruh kehidupan individu. Wahyudin (1999) mengemukakan kelemahan yang dimiliki oleh para siswa dalam atau menyelesaikan persoalan matematik, diantaranya: (1)kurang memahami dan kurang menggunakan kaidah-kaidah atau aturan-aturan matematika dengan tepat dan semestinya; (2)kurang memiliki kemampuan berfikir deduktif yang baik, sehingga jika diberikan persoalan matematika bertemakan buktikan, tunjukkan, perlihatkan, maka mereka kesulitan untuk menuliskan langkah-langkahnya; (3)kurang memiliki kemampuan dalam menyelesaikan soal dengan memakai prosedur atau langkah-langkah yang logis, sehingga yang terpikirkan oleh mereka hanyalah hasil akhir yang diperoleh, tidak peduli apapun langkah ataupun prosedurnya; dan (4)jarang sekali memeriksa atau menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak). Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan dalam merumuskan permasalahan, mempresentasikan, dan menyelesaikannya. Kemampuan semacam ini dikenal sebagai kompetensi strategis (strategic competence) (Klipatrick et al,
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
111
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2001: 124). Kemampuan tersebut dapat dikembangkan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan model pengajaran yang tepat dan menekankan pada proses berfikir siswa. Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan konstruktivisme. Nurhadi (2003:33) mengemukakan, pendekatan konstruktivisme merupakan suatu pendekatan yang berkenaan dengan peserta didik harus mampu menemukan dan mentransformasikan suatu infomasi komplek ke situasi lain, apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajarannya dan peserta didik menjadi pusat kegiatan pembelajaran. Konstruktivisme memandang pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Pendekatan kostruktivisme adalah pendekatan yang bersifat membangun pengetahuan dengan mengaitkan ilmu yang sudah ada sehingga peserta didik dapat mengkolaborasikannya dengan ilmu baru yang didapat. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti, Penerapan Pendekatan Konstruktivisme guna meningkatkan kemampuan kompetensi Strategis siswa SMP.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalah yang dikaji sebagai berikut: a. Apakah kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatankonstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa? b. Apakah peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa?
3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk: a. Menelaah kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatankonstruktivisme dan pembelajaran biasa. b. Menelaah peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan konstruktivisme dan pembelajaran biasa.
4. Definisi Operasional a. Kemampuan kompetensi strategis siswa adalah kemampuan siswa untuk merumuskan, menyajikan, serta menyelesaikan permasalahan matematika. b. Pendekatan Konstruktivisme adalah suatu pendekatan yang mendorong: (1)peserta didik membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada, (2)dalam konteks pembelajaran, peserta didik seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka; (3)pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru; (4) membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Hipotesis Penelitian a. Kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang pendekatankonstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.
112
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
menggunakan
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
b. Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa.
6. Metode dan Desain Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen karena adanya keterbatasan hal mengkontrol factor-faktor yang kemungkinan dapat mengintervensi situasi pembelajaran yang dilakukan. Disain eksperimen yang digunakan adalah disain kelompok kontrol nonekuivalen sebagai berikut: O X O O O … (Ruseffendi, 1994) Keterangan: O = Pretes = Postes X = Pendekatan kontruktivisme
7. Subjek Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMP di kota Bandung. Sampel penelitian ini sebanyak dua kelas yaitu kelas VIII-B sebagai kelas eksperimen dan VIII-E sebagai kelas kontrol.
8. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam jenis instrumen yaitu soal tes tertulis mengenai kompetensi strategis matematis yang dibuat dalam bentuk uraian, dan berupa bahan ajar yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dan pembelajaran biasa.
9. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tes, data yang berkaitan dengan kompetensi strategis matematis siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes). Teknik analisis melituti, data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa hal sebagai berikut: a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem penskoran yang digunakan. b. Menghitung Peningkatan kompetensi yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran yang dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (N-Gain), yaitu:
Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut:
c. Menyajikan statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain yang meliputi skor terendah (Xmin), skor tertinggi (Xmaks), rata-rata , dan simpangan baku (S). d. Melakukan uji normalitas pada data pretes dan N-Gain kompetensi strategis matematis.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
113
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
e. Menguji homogenitas varians data skor pretes dan N-Gain kompetensi strategis matematis.
10. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh dalam setiap tahap penelitian yang telah dilakukan. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif . Data kuantitatif diperoleh dari hasil pretes dan postes kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS 23 for Windows. Berdasarkan data yang diperoleh, yaitu data pretes, postes, dan N-gain kemampuan kompetensi strategis matematis secara deskriptif tampak pada tabel di bawah ini: Tabel 2 Deskriptif Statistik Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis Siswa Variabel Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Pretes Postes N-gain Pretes Postes N-gain N 36 36 36 35 35 35 Kemampuan x 34 96 0,94 33 79 0,76 Kompetensi maks xmin 7 58 0,42 7 65 0,28 Strategis 20,89 80,06 0,75 21,20 64,97 0,55 Matematis S 7,86 9,84 0,13 7,31 8,67 0,11 SMI=100 Tampak bahwa rerata kemampuan awal siswa pada kemapuan kompetensi strategis siswa relatif sama. Tetapi nampak pada kemampuan akhir reratanya lebih besar kelas yang mendapatkan pendekatan konstruktivisme dibanding dengan kelas yang mendapat pembelajaran biasa. Rata-rata peningkatan lebih besar kelas yang mendapatkan pendekatan konstruktivisme dibanding dengan kelas yang mendapat pembelajaran biasa. Simpangan baku setiap data baik pretes, postes, maupun n-gain pada kedua kelas relatif tidak jauh berbeda. Selanjutnya akan dilakukan uji statistik untuk mengetahui kemampuan awal siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol memiliki rataan yang sama. Kemudian akan dilanjutkan dengan menganalisis gain ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk memastikan apakah peningkatan kemampuan kompetensi strategis matematis kedua kelas tersebut berbeda secara signifikan atau tidak. Untuk melihat uji rataan, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, dengan derajat signifikansi setiap uji sebesar 0,05 atau tingkat kepercayaan sebesar 95%. Dibawah ini merupakan hasil uji nomalitas, homogenitas dan rerata pretes, postes dan n-gain kemampuan kompetensi strategis siswa, hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS. Hipotesis untuk uji normalitas: H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal Kriteria pengujian, jika p value (sig.) lebih dari sama dengan α maka H 0 diterima dan jika p value (sig.) kurang dari α maka H0 ditolak, dengan taraf signifikan sebesar α = 0,05
114
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pretes Postes Gain
Tabel 3 Uji Normalitas Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis Siswa Kelas Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Eksperimen ,144 36 ,057 ,952 36 Kontrol ,120 35 ,200* ,959 35 Eksperimen ,096 36 ,200* ,966 36 Kontrol ,136 35 ,099 ,968 35 Eksperimen ,104 36 ,200* ,955 36 Kontrol ,131 35 ,133 ,947 35
Sig. ,118 ,214 ,330 ,385 ,154 ,090
Baik dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov maupun Shapiro-Wilk data pretes, postes maupun n-gain di kedua kelas tidak berdistribusi normal, sehingga untuk menghitung reratanya, digunakan uji non parametrik. Adapun hipotesis statistik untuk data pretes kemampuan kompetensi strategis matematis siswa sebagai berikut: H0 : H1 : Keterangan : H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. H1 : Terdapat perbedaan kemampuan kompetensi strategis matematis matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hipotesis statistik untuk uji data postes sebagai berikut: H0 : Kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen tidak lebih baik dari kelas kontrol. H1 : Kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Hipotesis statistik untuk uji data n-gain sebagai berikut: H0 : Peningkatan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen tidak lebih baik dari kelas kontrol. H1 : Pemampuan kompetensi strategis matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Kriteria pengujian, jika p value (sig.) lebih dari sama dengan α maka H 0 diterima dan jika p value (sig.) kurang dari α maka H0 ditolak, dengan taraf signifikan sebesar α = 0,05 Tabel 4 Uji Rerata Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Pretes 623,000
Postes 162,000
1289,00 0 -,081 ,936
792,000 -5,387 ,000
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
115
Gain 157,50 0 787,50 0 -5,435 ,000
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Sig. ,915b ,000b 95% Lower Bound ,851 ,000 Confidence Upper Bound ,980 ,041 Interval Sig. ,451b ,000b Monte Carlo Sig. (195% Lower Bound ,335 ,000 tailed) Confidence Upper Bound ,566 ,041 Interval Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi dengan Mann-Whitney U adalah 0,936 lebih dari 0,05 untuk data pretes, maka H0 diterima, sehingga tidak terdapat perbedaan secara signifikan kemampuan kompetensi strategis matematis siswa dari kedua kelas tersebut. Dengan kata lain antara kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak terdapat perbedaan kemampuan awal. Monte Carlo Sig. (2tailed)
Sedangkan untuk data postes dihitung dengan uji sig. 1 tailed dan didapatkan signifikasi reratanya adalah 0,000 dengan kata lain H 0 di tolak, artinya kemampuan kompetensi strategis siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa. Perhitungan untuk gain ternormalisasipun sama, menggunakan uji signifikansi satu pihak dan didapatkan signifikasi reratanya adalah 0,000 dengan kata lain H 0 di tolak, artinya peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa. Hasil analisis data tersebut didukung dengan pendapat ahli bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor interen pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). Wheatley (1991: 12) mengemukakan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum yang menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis seperti: 1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. 2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka. 3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. 4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada. 5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah. 6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
116
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
,000b ,000 ,041 ,000b ,000 ,041
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Tytler (1996: 20) mengemukakan rancangan pembelajaran dalam mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, sebagai berikut: (1)memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri; (2)memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif: (3)memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru: (4)memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa; (5)mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka: dan (6)menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Hal-hal tersebut di atas mendorong kelas yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih aktif dalam pembelajaran dibandingkan kelas yang menggunakan pembelajaran biasa. Pembelajaran biasa dalam penelitian ini berupa pembelajaran kovensional, yang memiliki kekhasan lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru (Ruseffendi, 2006: 294). Langkah-langkah dalam model pembelajaran konvensional Ruseffendi (2006: 351) antara lain: (1)guru menerangkan suatu konsep; (2)guru memberikan contoh soal dan penyelesaiannya; (3)guru memberikan soal latihan; (4)siswa menyimak, mencatat, dan mengerjakan tugas-tugas serta ulangan atau tes yang diberikan guru. Secara umum pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme dan pembelajaran biasa berjalan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Aktivitas guru pada tiap pertemuan selalu ada peruabahan ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan aktivitas siswa, semakin menunjukkan aktivitas positif yang relevan dengan pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun hasil yang didapat kemampuan akhir dan peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan pembelajaran biasa.
11. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dikemukakandi atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berkut: (1) Kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan pendekatan konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa. (2) Peningkatan kemampuan kompetensi strategis siswa SMP yang menggunakan konstruktivisme lebih baik dari pembelajaran biasa. Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran berhubungan dengan penelitian ini, adalah sampel penelitian yang diambil hanya dua kelas sehingga hasil penelitian ini belum tentu sesuai dengan sekolah atau daerah lain yang memiliki karakteristik dan psikologi siswa yang berbeda. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih besar, dengan tujuan memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih akurat.
Datar Pustaka Hake R, Richard. (1999). Analyzing Change/Gain Score. American Educational Research Association‟s Division Measurement and Research Methodology. Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan . Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
117
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Irvansyah. (2005). Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Open-Ended untuk Meningkatkan Kompetensi Strategis Siswa SMA. Laporan Penelitian UPI. Bandung. Tidak diterbitkan. Klipatrick, J., Wafford, J., dan Findell, B. (2001). Andding It Up: Helping Childern Learn Mathematics. Washington, DS: National Academy Press. Meltzer,D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. American Journal of Physics. Vol. 70 (12) 1259 - 1268. Tersedia: http://www.physics.iastate. edu/per /docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf Nuhadi, dkk. (2003). Pembelajaran Kontekstual (Cooperative Learningdi Ruang Kelas).Jakarta: Gramedia Widiasarana. Ruseffendi, E.T.(1994). Dasar-dasar Penelitian dan Pendidikan Bidang Non Eksakta Lainnya. Cetakan Pertama.Semarang. IKIP Semarang Press. .(2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Tytler, R. (1996). Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science. Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA. Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Pelajaran Matematika (Disertasi). Bandung: IKIP Bandung. Wheatley, G. H. (1991). Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning. Journal of Research in Science Teaching. New York: John Wiley & Sons, Inc. 35 (1)
118
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
TABEL RASIO DAN GRAFIK DALAM DESAIN PEMBELAJARAN BERBASIS PMRI UNTUK MENGEMBANGKAN PENALARAN PERBANDINGAN (PROPORTIONAL REASONING) Haniful Muttaqin1, Ratu Ilma Indra Putri2 1
Yayasan Subulussalam OKU Timur
[email protected] 2 Universitas Sriwijaya
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi perbandingan,dimana salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning). Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran perbandingan. Strategi solusi dalam penelitian ini adalah tabel rasio dan grafikmenggunakan pendekatan PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) konteks OKU Timur. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Subulussalam 2 Sriwangi Ulu OKU Timur. Metode penelitian yang digunakan adalahdesign research dengan tiga tahapan, yaitu preliminary experiment, design experiment, dan retrospective analysis. Pada tahap preliminary experiment, peniliti mendesain hipotesis lintasan pembelajaran atau Hypothetical Learning Trajectory(HLT).Pada tahap design experiment, HLT diuji cobakan pada siswa untuk mengembangkan pengetahuan informal menjadi pengetahuan formal matematika melalui aktivitas. Hasil uji coba dianalisis pada tahap retrospective analysis sehingga dihasilkan lintasan belajar atau Learning Trajectory (LT). Kata kunci: Tabel rasio dan grafik, PMRI, penalaran perbandingan (proportional reasoning).
1. Pendahuluan Masalah perbandingan merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, materi perbandingan sangat penting untuk dipelajari. Dalam matematika, sebagai contoh pemecahan masalah dan perhitungan yang melibatkan skala, peluang, persen, tarif dasar, trigonometri, kesebangunan, pengukuran, geometri dan aljabar, dapat dibantu melalui pengetahuan tentang perbandingan (Dole, Wright, Clarke & Campus, 2009). Sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam penerapan rasio dan perbandingan (ratio and proportion) (Livy &Vale, 2011). Studi terbaru di Palembang Indonesia, seperti penelitian yang dilakukan Rahmawati (2015), Utari (2015), dan Ningsih (2016) juga menunjukkan masih terdapat kesulitan siswa dalam memahami konsep perbandingan. Kesulitan siswa memahami konsep perbandingan disebabkan beberapa faktor, di antaranya kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning) yang rendah. Siswa sulit bernalar dalam menggunakan perkalian untuk menyelesaikan masalah matematika dari situasi perbandingan (Singh, 2000; Dole Wright, Clarke &
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
119
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Campus, 2009). Kesulitan anak dengan ciri tersendiri penalaran perbandingan mungkin terlalu berat aturan dalam perbandingan (Mix, Levine, & Huttenlocher, 1999; Wynn, 1997 dalam Boyer et al, 2008). Menyelesaikan masalah perbandingan dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya berdasarkan harga satuan,berdasarkan nilai perbandingan, dengan cara langsung, dan dengan menggunakan pola kelipatan (Nurharini & Wahyuni, 2008; Manik, 2009; Hardi, Hudiono, & Mirza, 2010). Dalam NCTM (2013) dijelaskan bahwa ada lima cara/strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perbandingan, yaitu (1) dengan menemukan harga satuan (unit rate) kemudian dikalikan atau dibagi untuk menemukan jawaban; (2) dengan menuliskan masalah ke dalam tabel rasio (ratio table); (3) dengan menggunakan sebuah metode yang disebut diagram pita (tape diagram); (4) dengan menyusun perbandingan sebagai persamaan dua rasio (equality between two ratios) kemudian menyelesaikannya dengan perkalian silang (cross-multiplication); dan (5) dengan membuat grafik (graphing). Dalam penelitian ini, strategi solusi yang digunakan adalah tabel rasio dan grafik, menggunakanpendekatanPMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).Dengan strategi table rasio dan grafik dan pendekatan PMRI, peniliti akan mendesain hipotesis lintasan pembelajaran atau Hypothetical Learning Trajectory(HLT) yang disusun berdasarkan pengetahuan informal dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa kemudian berkembang menjadi suatu pengetahuan formal matematika melalui suatu proses pemodelan. HLT ini dicobakan pada siswa selama penelitian kemudian direvisi sehingga menghasilkan lintasan belajar atau Learning Trajectory(LT).
2. Tinjauan Pustaka 2.1. Perbandingan(Ratio and Proportion) Perbandingan istilah ilmiah adalah rasio dan proporsi (ratio and proportion). Rasio adalah perbandingan dua atau lebih kuantitas dari jenis yang sama (Shelley, Dole, Malcolm, &Shield, 2002). Sedangkan perbandingan dua atau lebih kuantitas dari jenis yang berbeda disebut rate. Rasio dapat ditulis sebagai a : b, atau sebagai pecahan , atau sebagai persentase. Algortima standar untuk situasi perbandingan adalah representasi dari persamaan rasio, yaitu = (Karplus, Pulos, & Stage,1983; Langrall dan Swafford, 2000; Silvestre & da Ponte, 2012; dan Touriniare & Pulos, 1985). Proporsidalam arti perbandingan menyatakan kesamaan dua rasio. Proporsi ditulis
= atau
a : b = c : d (Kershaw, 2014). Prosedur solusi standar untuk menyelesaikan persamaan perbandingan adalah “perkalian silang” (Lesh, Post, & Behr, 1988). Dalam proporsi = , b dan c disebut means, sedangkan a dan d disebut extremes.
Gambar 1. Diagram Means dan Extremes pada Perkalian Silang (Kershaw, 2014) Menurut Cramer & Post (1993), menggunakan algoritma perkalian silang dalam menyelesaikan persamaan perbandingan adalah efisien, akan tetapi sedikit bermakna bagi 120
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
siswa. Cara mengajarkan perbandingan dengan memberikan perkalian silang tidak berarti bagi siswa (Sumarto, van Galen, Zulkardi, Darmawijoyo, 2014). Menurut Van de Walle (2008), untuk memahami masalah perbandingan hendaknya siswa fokus pada pengembangan kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning). 2.2. Penalaran Perbandingan (Proportional Reasoning) Kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning) merupakan kemampuan yang penting untuk membangun pondasi matematika tingkatan selanjutnya dan kemampuan bernalar dalam aljabar (Langrall, Cynthia,& Swafford, 2000). Proportional reasoning telah dirujuk sebagai pecapaian utama dari kurikulum dan fondasi dari aljabar dan pengetahuan sesudahnya (Lesh, Post, & Behr, 1988). Menurut Shannon (2003) “Proportional reasoning is the ability to compare ratios or the ability to make statements ofequality between ratios. Sedangkan menurut Tabart, Skalicky, & Watson, (2005) “proportional reasoning is a challenging yet central concept for students in the middle grades, and lays an important foundation for the mathematics that is studied later in high school”. Karplus, Pulos, & Stage (1983) mendefinisikan penalaran perbandingan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan penalaran dalam sistem dua variabel antara hubungan fungsi linier. Penalaran perbandingan dapat juga didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk memahami bentuk matematika yang multiplikatif dalam perbandingan. Menurut Van de Walle (2008) untuk mengembangkan kemampuan penalaran perbandingan, guru dapat melakukan hal-hal berikut: (1) menyediakan tugas-tugas rasio dan perbandingan dalam konteks luas, salah satunya mencakup situasi yang melibatkan penentuan harga; (2) mendorong siswa untuk melakukan diskusi dan percobaan dalam memprediksi dan membandingkan rasio; (3) membantu siswa menghubungkan penalaran perbandingan dengan proses-proses yang sudah ada.
2.3. Tabel rasio dan Grafik Menurut Aprianti (2011), siswa mengalami beberapa hambatan dalam proses pembelajaran perbandingan. Ada tiga macam hambatan epistemologi, yaitu terkait: (1) variasi bentuk soal dan informasi yang tersedia dalam soal; (2) kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal perbandingan yang disajikan dalam bentuk grafik; dan (3) koneksi pemahaman konsep perbandingan dengan konsep matematika yang lain. Utami (2012) menyatakan bahwa materi perbandingan dapat dimulai dari pembelajaran melihat pola. Tabel rasio dapat menunjukkan pola perbandingan. Sedangkan grafik perbandingan berbentuk garis lurus/linier yang melalui pusat koordinat. Dalam aljabar, ini dinyatakan dengan formula y = mx (Cetin & Ertekin, 2011).Sumarto (2014) mengatakan “tabel rasio bersama dengan konteks dapat membantu siswa mengembangkan penalaran perbandingan sekaligus strategi pemecahan masalah perbandingan, baik missing value problem maupun comparison problem”. Hancock (2014) menyatakan bahwa penggunaan tabel rasio dan grafik dapat membantu siswa untuk mengembangkan penalaran perbandingan. Ada hubungan antara tabel rasio dan grafik perbandingan. Pola-pola dalam tabel ditemukan untuk mendapatkan sebuah hubungan untuk pola titik pada grafik Semua situasi perbandingan dapat dinyatakan dengan persamaan linier y = mx, dimana m menunjukkan kemiringan garis (Tabart, Skalicky, & Watson, 2005). Dan dasar yang kuat dalam penalaran
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
121
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
perbandingan dapat membantu pemahaman siswa dalam memahami fungsi dan persamaan linier dalam bentuk y = mx dan y = mx + c (NCTM, 2013).Guru dapat menaikkan kapasitas kemampuan penalaran perbandingan siswa dengan menyeimbangkan kemampuan dan konsep, dan dengan menunda mengajarkan perkalian silang sampai siswa memperoleh pengalaman dengan membentuk rasio dan pemahaman perbandingan sebagai persamaan rasio (NCTM, 2013).
2.4. PMRI PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)adalah salah satu inovasi dalam pembelajaran matematika yang dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001 (Zulkardi & Ilma, 2010). PMRI adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat„real‟bagi siswa. PMRI dilaksanakan dengan menggunakan konteks dunia nyata, model-model, produksi dan konstruksi, interaktif, dan keterkaitan(intertwinment) (Fauzan, Slettenhaar, dan Plomp, 2002). Penggunaan konteks dunia nyata memungkinkan siswa memanfaatkan pengalamannya untuk penguasaandan penjelajahan pengalaman baru. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa PMRI dapat meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan soal-soal perbandingan (Sudarman, 2006); memiliki pengaruh yang cenderung besar terhadap memori siswa pada sub materi perbandingan (Atiqa dan Kusrini, 2000); meningkatkan kemempuan komunikasi siswa pada pokok bahasan perbandingan (Askin dan Junaedi, 2013); membantu siswa menyelesaikan masalah perbandingan dengan strategi dan pemisalan yang dibuat siswa sendiri (Ningsih, 2013 dan Ningsih, 2016); mendukung kemampuan bernalar siswa (Utari, 2015); dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap pembelajaran perbandingan senilai (Rahmawati, 2015). Menurut Freudental dalam Zulkardi (2005) ada tiga prinsip PMRI yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh peneliti dalam pendesainan perangkat pembelajaran baik itu materi maupun produk pendidikan lainnya. Ketiga prinsip tersebut dijelaskan seperti berikut: a) Penemuan terbimbing melalui matematisasi (guided reinvention through mathematization). b) Fenomena mendidik (didacitical phenomenology). c) Model-model siswa sendiri (self-develoved models). Adapun karakteristik PMRI sebagaimana yang dikemukakan Zulkardi (2002) yaitu: a) Penggunaan konteks atau ekploration phenomenology Konteks dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Atau masalah yang dapat dibayangkan (imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa (Wijaya, 2012). Real BagiSiswa
MatematisasidalamAplikasi
MatematisasidanRefleksi
AbstraksidanFormalisasi
Gambar 2. Konsep Matematika (Zulkardi, 2002) b) Penggunaan model yang menjembatani dengan instrumen vertikal Empat tingkat model pembelajaran dan mengajar dalam PMRI: 1) Tingkat Situasional. Penggunaan situasi atau konteks real bagi siswa;
122
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2) Tingkat Referensial atau Model-of (model dari situasi). Siswa membuat model untuk menggambarkan situasi atau konteks; 3) Tingkat General/umum atau model-for (model untuk penyelesaian masalah). Siswa melakukan generalisasi terhadap sekumpulan model dan strategi/solusi yang didapat; 4) Tingkat Formal. Siswa bekerja dengan prosedur konvensional, menggunakan notasi/simbol, dan representasi matematis. Formal General Referensial Situasional
Gambar 3. Representasi Matematis (Zulkardi, 2002) c) Adanya kreasi dan konstribusi siswa Siswa harus diminta membuat hal-hal konkret dengan membuat “produksi bebas”, atau siswa dipaksa merefleksikan proses belajar mereka. d) Interaktivitas Interaksi antar siswa dan antara siswa dan guru merupakan bagian penting dalam proses instruksional.Siswa terlibat menjelaskan, membenarkan, setuju, tidak setuju, mempertanyakan alternatif atau refleksi. e) Keterkaitan dengan berbagai topik matematika Hal ini sering disebut pendekatan holistik, yang menggabungkan aplikasi (animasi), dan menyiratkan bahwa unit belajar tidak harus ditangani dengan entitas yang terpisah dan berbeda. Sebaliknya jalinan berbagai topik belajar Matematika dimanfaatkan dalam memecahkan masalah kehidupan nyata.
2.5. Hypotethical Learning Trajectory (HLT) Menurut Gravemeijer dan Cobb (2006), HLT merupakan suatu hipotesa atau dugaan pemikiran dan strategi siswa yang berkembang dari sutu konteks menuju pengetahuan formal pada aktivitas pembelajaran.HLT terdiri dari tiga komponen, yaitu tujuan pembelajaran, aktivitas pembelajaran, dan hipotesis proses belajar siswa. Bagian-bagian tersebut dimuat dalam suatu jalur yang diharapkan terlaksana sehingga terlihat dengan jelas dan baik untuk mengemukaan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan.
3. Metodologi Penelitian 3.1. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini adalahdesign research. Menurut Cobb. et. al (2003),design researchmerupakan bagian dari penelitian pengembangan (development research) karena berkaitan dengan pengembangan materi pembelajaran dan/ataubahan ajar. Barab dan Squire (2004) mendefinisikan design researchsebagai serangkaian pendekatan dengan maksud untuk menghasilkan teori-teori baru, artefak, dan model praktis yang menjelaskan dan berpotensi berdampak pada pembelajaran dengan pengaturan yang alami (naturalistic). Sementara menurut Plomp & Nieveen (2007) design research adalah suatu kajian sistematis tentang merancang, mengembangkan dan mengevaluasi intervensi pendidikan (seperti program, stategi dan bahan pembelajaran, produk, dan sistem) sebagai solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik pendidikan, yang juga
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
123
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
bertujuan untuk memajukan pengetahuan tentangkarakteristik dan intervensi tersebut serta proses perancangan dan pengembangannya. Karakteristik design research menurut Cobb et al. (2003) danvan den Akker (2006), a) Interventionist: penelitian bertujuan untuk merancang suatu intervensi dalam dunia nyata; b) Iterative: penelitian menggabungkan pendekatan siklikal (daur) yang meliputi perancangan, evaluasi dan revisi; c) Process Oriented: model kontak hitam pada pengukuran input-output diabaikan, tetapi difokuskan pada pemahaman dan pengembangan model intervensi; d) Utility oriented: keunggulan dari racangan diukur untuk bisa digunakan secara praktis oleh pengguna; e) Theory oriented: rancangan yang dibangun didasarkan pada preposisi teoritis kemudian dilakukan pengujian lapangan untuk memberikan konstribusi pada teori. Ada tiga motif atau tujuan penggunaan design research (Van den Akker, 2006), yaitu: a) Meningkatkan relevansi penelitian; b) Mengembangkan landasan teori secara empiris; c) Meningkatkan kekokohan penerapan rancangan. Design research dalam penelitian ini dilakukan dengan mendesain pembelajaran perbandingan senilai menggunakan pendekatan PMRI.Pelaksanaan penelitian dipandu oleh suatu instrumen yang disebut Hypothetical Learning Trajectory (HLT). Ketika pembelajaran yang dilakukan tidak sesuai dengan desain yang dirancang, maka perlu dilakukan pendesainan kembali (thought experiment) kemudian dilakukan pengujian kembali terhadap HLT tersebut. Inti dari design research adalah proses siklik (cyclic process) dari kegiatan mendesain atau mengujikan serangkaian aktivitas pembelajaran dan aspek-aspek lain. Menurut Fruedental dalam Ilma(2012) disebutkan bahwa siklik proses dalam design research terdiri dari eksperimen gagasan atau ide (thought experiment) dan eksperimen pembelajaran (instruction experiment) seperti yang ditunjukan oleh gambar di bawah ini:
Gambar 4. Cyclic Prosess (Gravemeijer dan Cobb, 2006)
3.2. Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yang dilakukan secara berulang-ulang sampai ditemukannya teori baru yang merupakan hasil revisi dari teori pembelajaran yang dicobakan (Charitas, Zulkardi, & Hartono, 2012). Ada tiga tahap dalam design research (Gravemeijer dan Cobb, 2006) yaitu: a. Tahap 1 :Preliminary Experiment Pada tahap ini, sederetan aktivitas yang memuat konjektur pemikiran siswa dikembangkan oleh peneliti melalui hypothetical learning trajectory (HLT). b. Tahap II : Design Eksperiment 1)Siklus 1: Pilot experiment
124
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pilot experiment dilakukan untuk menguji cobakan HLT. Uji coba pada tahap ini dilakukan terhadap enam orang siswa yang tidak berasal dari kelas yang akan dilakukan teaching experiment. Dari hasil tahapini peneliti memperoleh gambaran mengenai kondisi dan kemampuan siswa sebagai subyek penelitian. 2)Siklus 2: Teaching Experiment Teaching experiment bertujuan untuk menguji coba HLT yang telah direvisi setelah diuji coba pada siklus 1. Pada tahap ini, HLT merupakan pedoman utama yang menjadi fokus dalam proses pembelajaran. Data yang dikumpulkan pada tahap ini dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian dan rumusan masalah. c. Tahap III : Restrospective Analysis Restrospective analysis adalah analisis data yang diperoleh pada setiap tahapnya, mulai dari pre-test, pilot experiment, teaching experiment, dan post-test.Hasil analisis setiap tahap tersebut digunakan untuk merancang aktivitas pada pembelajaran dan tahap berikutnya. Analisis pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana siswa dapat menggeneralisasikan aktivitas-aktivitas yang telah dirancang.
3.3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Berdasarkan metode dan prosedur penelitian yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Foto dan Rekaman Video b. Wawancara c. Tes awal (pre-test) d. Tes akhir (post-test) Data hasil penelitian dianalisis setiap tahapnya secara retrospektif.Analisis data dilakukan dengan mengacupada HLT. Secara kualitatif,analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Triangulasi Data Triangulasi data adalah teknik yang digunakan untuk melihat keterkaitan yang diperoleh dari sumber data berupa catatan lapangan, lembar observasi, dan rekaman video terhadap HLT yang menjadi panduan pelaksanaan penelitian. b. Interpretasi Silang Interpretasi silang digunakan untuk meminta petimbangan pembimbing untuk memberi saran mengenai data yang diperoleh seperti lembar observasi dan rekaman video. Interpretasi silang dilakukan untuk mengurangi subjektivitas peneliti dalam menginterpretasikan datahasil penelitian yang diperoleh di lapangan.
3.4. Subjek, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada November 2016. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII MTs Subulussalam 2 Sriwangi Ulu OKU Timur yang berjumlah 62 (32 VIIA + 30 VIIB) siswa.
4. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan pada dua siklus, yaitu siklus pertama pilot experiment dan siklus kedua teaching experiment. Pada siklus pertama, penelitian dilakukan pada 6 siswa dengan kemampuan berbeda (2 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 2 siswa berkemampuan rendah) yang diambil dari kelas 30 siswa VII B. Mereka dibagi Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
125
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
menjadi 2 kelompok kecil (small group). Pada siklus pertama ini guru menguji coba HLT yang telah disusun sebelumnya. Hasil pada siklus pertama digunakan sebagai dasar untuk merevisi HLT yang kemudian HLT hasil revisi diujicobakan pada siklus kedua. Pada siklus kedua, penelitian dilakukan pada kelas besar yaitu kelas VII A yang berjumlah 32 siswa. Pada awal pertemuan, guru memberikan pre-test kepada setiap siswa. Kemudian guru membentuk siswa menjadi beberapa kelompok secara acak, dimana setiap kelompok terdiri dari 3-4 siswa, sehingga terbentuk8 kelompok dengan anggota 3 siswa dan 2 kelompok dengan anggota 4 siswa. Dalam setiap siklus, siswa melakukan 4 aktivitas dimana setiap aktivitas dipandu oleh lembar aktivitas siswa (LAS). Pada aktivitas pertama, siswa mengidentifikasi masalah perbandingan senilai, membuat tabel rasio dan menemukan definisi perbandingan senilai dan faktor pengali. Pada aktivitas kedua, siswa menemukan perbandingan sebagai persamaan rasio. Pada aktivitas ketiga, siswa membuat grafik perbandingan senilai. Pada aktivitas ini siswa menemukan bahwa grafik perbandingan senilai berbentuk garis lurus atau linier melalui pusat koordinat dengan persamaan y = mx. Pada aktivitas keempat siswa menyelesaikan dua jenis masalah perbandingan senilai, yaitu missing value problem dan comparison problem. Kemudian setelah siswa melalukan 4 aktivitas, guru memberikan post-testyang terdiri dari 3 soal pada setiap siswa.Dari data hasil post-testyang diperoleh, guru melalukan analisis retrospektif yang dijabarkan sebagai berikut: Soal yang pertama: Buku Matematika tebalnya 124 halaman. Sedangkan Buku Bahasa Indonesia tebalnya 96 halaman. a. Berapakah rasio tebal sebuah buku matematika dengan tebal sebuah buku Bahasa Indonesia? b. Berapakah rasio tebal 7 buah buku Matematika dengan tebal 7 buah buku Bahasa Indonesia? Jawaban Siswa:
Gambar 5. Jawaban Siswa pada Soal Pertama Post-test Hasil penyelesaiannya32 siswa,28siswa benar, 3 siswa kurang tepat dan hanya ada 1 yang salah. Dilihat dari cara menyelesaikan ada 28siswa yang jawabannya benar, mereka sudah bisa menulis rasio kedalam bentuk perbandingan dan pecahan, bisa menyederhanakan. Sementara 3 siswa yang jawabannya kurang tepat karena mereka lemah atau kesulitan dalam menyederhanakan rasio atau pecahan. Soal yang kedua:
126
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Perbandingan umur Dono dan Dini adalah 4 : 5. Jika Umur Dono 40 tahun. Berapakah umur Dini? Jawaban Siswa:
Gambar 6. Jawaban siswa Soal Kedua Post-test Hasil penyelesaiannya32 siswa semuanya benar. Dilihat dari cara penyelesaiannya, ada yang menggunakan perkalian silang ada juga yang langsung mengalikan 5 dengan 10 dengan alasan karena 40 dibagi 4 sama dengan 10. Soal yang ketiga: Diketahui rasio dua grafiknya!
besaran adalah 2 : 3. Lengkapi tabel rasio berikut dan buatlah
x 2 ... 6 8 ...
Tabel rasio y (x, y) 3 (2, 3) 6 ... ... ... ... ... 15 ...
Jawaban Siswa:
Gambar 7. Jawaban Siswa pada Soal Ketiga Post-test Dilihat dari hasil penyelesaian 32 siswa, 30 siswa jawabannya benar, 1 siswa jawabannya kurang tepat dan 1siswa menjawab salah. 30 siswa yang jawabannya benar bisa mengisi tabel rasio dengan tepat dan mereka sudah mampu melihat tabel rasio sebagai pola kelipatan. Mereka juga sudah bisa membuat grafik dengan tepat, berupa garis lurus dengan persamaany = mx. 1 siswa yang jawabannya salah adalah karena kelemahan dalam menginterpretasikan tabel ke dalam grafik.
5. Penutup 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa siswa mampu menyelesaikan soal post-test dengan baik menggunakan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
127
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
cara/metode/strategi mereka sendiri setelah mereka melakukan aktivitas-aktivitas dalam pembelajaran dengan pendekatan PMRI.Ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran perbandingan (proportional reasoning) mereka telah berkembang. Dengan aktivitasaktivitas, pembelajaran perbandingan senilai menjadi lebih bermakna bagi siswa.
5.2. Saran Peneliti berharap penerapan PMRI pada materi pembelajaran perbandingan senilai dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran pada materi perbandingan dan dapat menggembangkan penerapan PMRI pada materi pembelajaran.
Daftar Pustaka Aprianti, E.N. 2011. Identifikasi Learning Obstacles pada Topik Perbandingan. Makalah pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung. Atiqa, Y & Kusrini. 2000. Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Mmeori Siswa pada Sub Materi Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai di Kelas VII SMPN 5 Tuban. Jurnal Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Barab, S. & Squire, K. 2004. Design-Based Research: Putting a Stake in the Ground. The Journal of the Learning Sciences, 13(1), 1-14. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Boyer, et. al.2008. Development of Proportional Reasoning: Where Young Children Go Wrong. Vol. 44, No. 5. 1478-1490. Cetin, H., Ertekin, E. 2011. The Relationshp Between Eighth Grade Primary School Students‟ Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations. International Journal of Instruction e-ISSN: 1308-1470. Turkey: Selcuk University Charits, R.; Zulkardi; Hartono, Y. 2012. Learning Multiplication Using Indonesian Game in Third Grade. IndoMS. J.M.E Vol. 3 No. 2 Cobb, P. et. al. 2003. Design Experiment in Education Research. Journal of Educational Researcher. Cramer, K. & Post, T. 1993. Making Connection: A Case for Proportionality. The Arithmatics Teachers, 342-346 Dole, S., Wright, T., Clarke, D., & Campus, P. 2009. Proportional Reasoning: Making Connections in Science and Mathematics (MCSAM), 1-18. The University of Queensland: Australia. Gravemeijer, K., & Cobb, P. 2006. Design Research from a Learning Design Perspective. In J. V. D Akker, K.P.E. Gravemeijer, S. McKenney, N. Nieven (Eds), Educational Design Research (pp. 17-51). London : Routledge Hardi, J., Hudiono, B., & Mirza, A. 2010. Deskripsi Pemahaman Siswa pada Permasalahan Perbandingan dan Strategi Solusi dalam Menyelesaikannya. Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak. Hancock, M.J. 2014. Common Core State Standars for Mathematics: Flip Book Grade 7.
128
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Ilma, R. 2012. Pendisainan Hypohtetical Learning Trajectory (HLT) Cerita Malinkundang pada Pembelajaran Matematika. Dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta, tanggal 10 November 2012. Universitas Negeri Yogyakarta Karplus, R., Pulos, S., & Stage, E.K. 1983. Early Adolescents‟ Proportional Reasoning on „Rate‟ Problems. Educational Studies in Mathematics, 14, 219-233. Kershaw, J. 2014. CK-12 Middle School Math – Grade 7. US : Flexbook. Langrall, Cynthia W & Swafford, J. 2000. Three Balloons for Two Dollars: Developing Proportional Reasoning. Mathematics Teaching in The Middle School, 6(4), 254-261 Lesh, R., Post, T., & Behr, M. 1988. Proportional Reasoning. In A. Kelly & R. Lesh (Eds). Number Concept and Operations in The Middle Grades (pp.93-118). Hillsdale, NJ: Lawrence Eelbaum, and Reston, VA: National Council of Teacher Mathematics, NY: State University of New York Press. Livy, S. and Vale, C. 2011. First Year Pre-service Teachers‟ Mathematical Content Knowledge: Methodes of Solution for a Ratio Question. Vol. 13.2, 22-43. Mathematics Teacher Education and Development: Victoria University. Manik, D.R. 2009. Penunjang Belajar Matematika untuk Kelas VII (BSE). Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas NCTM (National Council of Teachers of Mathematics). 2013.Teaching Ratio and Proportion in The Middle Grades. Ratio and Proportion Research Brief. Nedherland: Enchede. Ningsih, P.R. 2013. Penerapan Metode Realistic Mathematic Education (RME) pada Pokok Bahasab Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai di Kelas VII E SMP IPIEMS Surabaya. Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang. Gamatika Vol. III Ningsih, R.P. 2016. Desain Pembelajaran Perbandingan Senilai Berbasis Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Unsri. Nurharini, D. & Wahyuni, T. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya (BSE). Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas Plomp, & Nieveen. 2007. An Introduction to Educational Design Research. Netherlands : Enschede. Rahmawati. 2005. Desain Pembelajaran Perbandingan dengan Menggunakan Kertas Berpetak di Kelas VII. Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sriwaijaya. Shannon, M. 2003. Effect of Modeling Instruction on Development of Proportional Reasoning II: Theoretical Background. Permission to copy or disseminate all or part of this material is grantedprovided that the copies are not made or distributed for commercial advantage, and the copyright and its date appear.To disseminate otherwise, to republish, or to place at another website (instead of linking to
) requires written permission.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
129
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Shelley, Dole, Malcolm, Shield. 2002. Investigating Texbook Presentations of Ratio and Proportion: Proceedings Mathematics in The South Pasific. The 25th Annual Conference of The Mathematics Education Research Group of Australasia, pages pp. 608-615, University of Aucland. Silvestre, A.I., & Da Ponte, J.P. 2012. Missing Value and Comparison Problems: What Pupils Know before The Teaching of Proportion. PNA, 6(3), 73-83. Singh, P. 2000. Understanding the Concepts of Proportion and Ratio Constructed by Two Grade Six Students. Educational Studies in Mathematics, 271-292. Sudarman. 2006. Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Soal Perbandingan dengan Pembelajaran Matematika Realistik Siswa SMPN 4 Palu. Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu. ISSN: 0216-3144 Sumarto, S.N., van Galen, F., Zulkardi, Darmawijoyo. 2014. Proportional Reasoning: How to the 4th Grades Use Their Intuitive Understanding. Canadian Center of Science and Education. Tabart, P., Skalicky, J., Watson, J. 2005. Modelling Proportional Thinking with Threes and Twos. APMC Tourniaire, F. & Steven, P. 1985.Proportional Reasoning: A Review of The Literature Educational Studies in Mathematics, 16,181-204. California: Group in Science and Mathematics Education, Lawrence Hall of Science, University of California. Utami, T.H. 2012. Pembelajaran Konsep Perbandingan. J-TEQIP Tahun III Nomor I: Universitas Malang. Utari, R.S. 2015. Desain Pembelajaran Materi Perbandingan Menggunakan Konteks Khas Palembang untuk Mendukung Kemampuan Bernlar Siswa SMP. Tesis Magister Pendidikan Matematika FKIP Universias Sriwijaya. Van de Walle, J.A. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga. Van den Akker, Jan et al.2006.Educational Design Research. Routledge: London and New York. Wijaya, A. 2012. Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu. Zulkardi. 2002. Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for Indonesian Student Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of Twente. Zulkardi. 2005. Developing a „rich‟ Learning Environment on Realistic Mathematics Education (RME) for Student Teachers in Indonesia. FKIP Unsri. Zulkardi & Ilma, R. 2010. Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
130
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pengembangan Instrumen untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMA dengan Pendekatan Scientific Disertai Strategi What If Not NOT Harry Dwi Putra Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi [email protected]
ABSTRAK Kemampuan berpikir reflektif matematis merupakan salah satu kompetensi berpikir tingkat tinggi yang juga sangat penting dikembangkan pada siswa, karena mereka akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa ingin tahu, dewasa dalam berpikir, serta dapat berpikir kritis secara mandiri. Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang memfasilitasi siswa agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan berdasarkan metode ilmiah, yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring (menyimpulkan, menyajikan, serta mengkomunikasikan). Melalui strategi what if not terjadi proses berpikir siswa dalam menganalisis masalah, mempertentangkan kondisi pada masalah, dan memeriksa kebenaran penyelesaian. Oleh karena itu, diperlukan instrumen untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis melalui pendekatan scientific disertai strategi what if not. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang akan menghasilkan produk berupa instrumen. Metode penelitian terdiri dari tahaptahap, yaitu: pendahuluan (studi pustaka, observasi, dan wawancara), pengembangan produk (instrumen), validitas dari tim ahli, dan uji coba terbatas pada siswa kelas XI di SMA Negeri Cimahi dengan kriteria sekolah tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa instrumen yang dikembangkan meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan tes kemampuan berpikir reflektif matematis. Silabus mengenai materi aturan pencacahan. RPP disusun sesuai dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not. Tes disusun sesuai dengan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis. Setelah dilakukan uji coba terbatas, diperoleh instrumen yang valid. KataKunci: Instrumen,Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis, Pendekatan Scientific, StrategiWhatIfNot.
1. Pendahuluan 1.1. Latar belakang Kemampuan berpikir matematis menjadi fokus dalam pembelajaran matematika di sekolah. Guru mestinya memfasilitasi siswa agar dapat melatih kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa, salah satunya adalah kemampuan berpikir reflektif matematis. Garrison, et al (2004) menyatakan bahwa apabila kemampuan berpikir reflektif dikembangkan pada siswa, mereka akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka, toleran terhadap ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa ingin tahu, dewasa dalam berpikir, dan berpikir secara mandiri. Namun, hasil penelitian Nindiasari (2011) pada siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa hampir 60% siswa belum memberikan hasil memuaskan dalam mengerjakan soal-soal yang memuat indikator proses berpikir reflektif matematis. Ini menunjukkan bahwa tes kemampuan berpikir reflektif matematis jarang Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
131
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
dilatihkan guru pada siswa. Menurut Herman (2012) bahwa tugas matematika yang diberikan kepada siswa harus dapat membuat siswa melakukan aktivitas mengamati dan mengeksplorasi fenomena-fenomena matematika sehingga menuntut siswa berpikir secara optimal sesuai kemampuannya. Dalam kurikulum 2013 yang diterapkan saat ini menekankan guru menggunakan pendekatan scientific dalam pembelajaran. Dalam pendekatan scientific terdapat aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan menyimpulkan (Kemdikbud, 2013). Berdasarkan wawancara dengan tiga guru di SMAN Cimahi, siswa kesulitan dalam mengajukan pertanyaan terhadap permasalahan yang dihadapi. Untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan strategi what if not dengan cara mengubah informasi atau data, menambah informasi pada data, mengubah nilai data yang ada dengan pertanyaan yang sama, dan mengubah pertanyaan dengan data yang sama. Melalui strategi ini siswa dapat membuat pertanyaan berdasarkan permasalahan yang mereka hadapi dan melakukan refleksi untuk memeriksa kebenaran dari jawaban atas pertanyaan tersebut. Mengingat begitu pentingnya kemampuan berpikir reflektif untuk dilatihkan pada siswa, perlu disusun instrumen untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa SMA melalui pendekatan scientific disertai strategi what if not.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan instrumen kemampuan berpikir reflektif matematis pada siswa SMA dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not?
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan tersusunnya instrumen kemampuan berpikir reflektif matematis siswa SMA dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not..
1.4.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi guru dan pihak yang terkait untuk menggunakan instrumen ini dalam mengukur kemampuan berpikir reflektif matematis siswa sekolah menengah pada materi aturan pencacahan. Selain itu, siswa menjadi berkembang kemampuan berpikir matematis tingkat tingginya dalam menyelesaikan tes kemampuan berpikir reflektif matematis.
2. Metode Penelitian 2.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang menghasilkan instrumen untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa. Instrumen yang disusun divalidasi oleh tim ahli. Instrumen yang telah valid diujicobakan di tiga sekolah menengah dengan peringkat tinggi, sedang, dan rendah, yaitu SMAN 2, 3, dan 4 Cimahi.
2.2.
Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah dua orang tim ahli yang akan memvalidasi instrumen, tiga guru yang mengajar matematika di masing-masing sekolah menengah untuk diwawancara, dan sepuluh siswa kelas XII yang telah mempelajari materi aturan pencacahan untuk uji coba instrumen.
132
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2.3.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu studi pendahuluan, pengembangan instrumen, serta uji ahli dan terbatas. Studi pendahuluan bertujuan untuk menelaah teori tentang kemampuan berpikir reflektif matematis, pendekatan scientific, dan strategi what if not. Pada tahap pengembangan tersusun instrumen yang sesuai dengan kajian teori yang dirujuk.
2.4.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang dihasilkan dari penelitian ini terdiri dari silabus mengenai materi aturan pencacahan, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not, dan tes kemampuan berpikir reflektif matematis. Untuk memperoleh seperangkat instrumen yang valid digunakan pedoman wawancara, catatan lapangan, dan lembar penilaian. Pedoman wawancara untuk mewawancarai guru dalam memperoleh masukan terhadap instrumen. Catatan lapangan untuk mencatat masukan dari guru dan siswa terhadap instrumen yang digunakan. Lembar penilaian untuk memperoleh nilai dari dua orang tim ahli sebagai validator terhadap layak atau tidaknya instrumen yang dipakai. Tes digunakan untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran dari kelima butir soal. 2.5. Teknik Analisis Data 2.5.1. Data Pedoman Wawancara dan Catatan Lapangan.. Dianalisis dengan memisahkan data yang penting dan tidak penting serta menyusun data untuk diinterpretasikan sebagai pedoman melakukan perbaikan instrumen . 2.5.2. Lembar penilaian. Dianalisis dengan mengklasifikasi pilihan kedua validator pada masing-masing butir penilaian untuk melihat layak atau tidaknya instrumen. Rumus yang digunakan untuk menentukan kelayakan instrumen (Purwanto, 2010), yaitu:
N
k 100% Nk
Keterangan: N : Persentase aspek k : Jumlah nilai dari aspek Nk : Jumlahnilai yang harus dicapai Kriteria kelayakan ditetapkan, sebagai berikut: Sangat layak : 83,5% - 100% Layak : 64% - 83% Cukup layak : 44,5% - 63% Tidak layak : 25% - 44% 2.5.3. Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis. Tes yang telah diujicobakan pada siswa dihitung validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran denganrumus (Ruseffendi, 2005). Untuk menentukan validitas butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:
rxy
N XY X Y
N X 2 X N Y 2 Y 2
2
Keterangan: X : Nilai rata-rata soal-soal tes pertama perorangan ΣX : Jumlah nilai-nilai X ΣX² : Jumlah kuadrat nilai-nilai X Y : Nilai rata-rata soal-soal tes kedua perorangan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
133
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
ΣY : Jumlah nilai-nilaiY ΣY² : Jumlah kuadrat nilai-nilai Y XY : Perkalian nilai-nilai X dan Y perorangan ΣXY : Jumlah perkalian nilai X dan Y N : Banyaknya pasangan nilai Kriteria validitas butir soal ditetapkan, sebagai berikut: Sangattinggi : 0,90 rxy 1,00 Tinggi
:
0,70 rxy 0,90
Sedang
:
0, 40 rxy 0,70
Rendah
:
0, 20 rxy 0, 40
Sangatrendah
:
0,00 rxy 0, 20
Untuk menentukan reliabilitas tes digunakan rumus, sebagai berikut: 2 2 b DB j DBi rp x DB 2j b 1
X i2 X i Y 2 Y 2 dengan DB dan DB j N N N N 2
2
2 i
Keterangan: : Koefisien reliabilitas tes b
: Banyaksoal : Variansi skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan : Variansi skor soal tertentu (soal ke-i)
∑
: Jumlah variansi skor seluruh soal menurut skor soal tertentu
Kriteria reliabilitas tes ditetapkan, sebagai berikut: Sangattinggi : 0,90 rp 1,00 Tinggi
: 0,70 rp 0,90
Sedang
: 0, 40 rp 0,70
Rendah
: 0, 20 rp 0, 40
Sangatrendah
: 0,00 rp 0, 20
Untuk menentukan daya pembeda butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:
Dp
JBA JBB JS A SMI
Keterangan: Dp : Indeks daya pembeda : Jumlah skor kelas atas : Jumlah skor kelas bawah
134
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
JSA : Jumlah skor kelas atas atau bawah(25% dari jumlah seluruh peserta tes) SMI : Skor maksimal ideal Kriteria daya pembeda butir soal ditetapkan, sebagai berikut: Sangatbaik : 0,70 Dp 1,00 Baik
: 0, 40 Dp 0,70
Sedang
: 0, 20 Dp 0, 40
Kurangbaik
: 0,00 Dp 0, 40
Tidakbaik
: Dp 0,00
Untuk menentukan tingkat kesukaran butir soal digunakan rumus, sebagai berikut:
Keterangan: IK : Indeks kesukaran : Banyaknya jawaban benar kelompok atas : Banyaknya jawaban benar kelompok bawah JSA : Jumlah skor kelas atas atau bawah(25% dari jumlah seluruh peserta tes) SMI : Skor maksimal ideal Kriteria tingkat kesukaran butir soal ditetapkan, sebagai berikut: TerlaluSukar : I k 0, 00 Sukar
: 0, 00 I k 0,30
Sedang
: 0,30 I k 0, 70
Mudah
: 0, 70 I k 1, 00
TerlaluMudah : I k 1, 00
3. 3.1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian
Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan. 3.1.1. Studi Pustaka. Pada kegiatan ini, dilakukan kajian teori mengenai penyusunan silabus dan RPP berdasarkan Kurikulum 2013 pada materi aturan pencacahan menggunakan pendekatan scientific disertai strategi what if not. Menentukan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis yang diadaptasi dari indikator berpikir kritis (Sumarmo, 2010). Indikator dari kemampuan berpikir reflektif matematis yang telah ditetapkan, yaitu membedakan data relevan dan tidak relevan mengenai aturan perkalian; menganalisis dan mengklarifikasi jawaban mengenai aturan perkalian; menggeneralisasi dan menganalisis generalisasi mengenai permutasi dan kombinasi; menginterpretasikan suatu kasus berdasarkan konsep peluang; memeriksa kebenaran suatu argumen mengenai peluang; serta menarik analogi dari dua kasus peluang yang serupa. 3.1.2. Observasi ke Lapangan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru di SMAN 2, 3, dan 4 Cimahi, diperoleh bahwa soal tes kemampuan berpikir reflektif matematis masih jarang dilatihkan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
135
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kepada siswa. Guru biasanya menggunakan soal-soal pada buku pegangan siswa sebagai latihan. Soal yang terdapat pada buku tersebut hanya bersifat soal pemecahan masalah biasa, belum melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir reflektif mereka. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru di tiga sekolah tersebut telah menerapkan pendekatan scientific meliputi aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan menyimpulkan. Pada aktivitas menanya, siswa sedikit yang aktif mengemukakan pendapatnya. Mereka bingung dalam menyusun pertanyaan. Untuk mengatasi ini, pada aktivitas menanya dapat menggunakan strategi what if not dengan merubah data, menambah data, mengubah data tetapi pertanyaan sama, atau mengubah pertanyaan dengan data yang sama. 3.1.3. Penyusunan Instrumen. Berdasarkan studi pustaka dan hasil wawancara selanjutnya dapat disusun silabus, RPP, dan kisi-kisi tes kemampuan berpikir reflektif. Silabus berkenaan dengan materi aturan pencacahan, terdiri dari aturan perkalian, faktorial, permutasi, kombinasi, binomial newton, dan peluang. RPP disesuaikan dengan langkah-langkah pendekatan scientific disertai dengan strategi what if not. Penyusunan kisi-kisi dan tes berdasarkan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis yang terdiri dari 5 butir soal. 3.1.4. Validasi Tim Ahli Berikut ini disajikan hasil validasi dari dua dosen pembimbing mengenai soal tes kemampuan berpikir reflektif matematis yang telah disusun.Kriteria penilaian butir soal terdiri dari isi, penyajian, dan kebahasaan. Tabel 1.Hasil Uji Kelayakan Instrumen Tes Berpikir Reflektif Kriteria Kelayakan Soal (%) No. Ahli 1 2 3 4 5 1. Validator 1 62,50 60,42 56,25 62,40 58,33 2. Validator 2 58,33 56,25 64,58 62,50 56,25 Rerata 60,42 58,33 62,50 61,46 57,29 Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rerata persentase kelayakan soal berada di antara 44,50% 83,00% berarti bahwa tes kemampuan berpikir reflektif cukup layak (valid) untuk diujicobakan pada siswa.. 3.1.5. Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis. Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan rekapitulasi hasil uji coba terbatas tes kemampuan berpikir reflektif matematis yang diberikan kepada 10 siswa kelas XII yang telah memahami materi aturan pencacahan. Tes terdiri dari 5 soal dengan skor maksmimum ideal adalah 14. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis Soal Validitas Kriteria Reliabilitas Kriteria DP Kriteria IK Kriteria 1. 0.53 Sedang 0.22 Cukup 0.44 Sedang 2. 0.45 Sedang 0.33 Cukup 0.50 Sedang 3. 1.07 Sangat Tinggi 0.54 Sedang 0.67 Baik 0.67 Sedang 4. 0.64 Sedang 0.67 Baik 0.67 Sedang 5. 0.97 Sangat Tinggi 0.33 Cukup 0.61 Sedang Skor maksimum ideal dari kelima soal kemampuan berpikir reflektif matematis adalah 14. Apabila siswa menjawab dengan benar pada soal pertama bernilai 2, soal kedua bernilai 2, soal ketiga bernilai 2, soal keempat bernilai 4, dan soal kelima bernilai 4. Pada soal pertama, sebanyak 40% siswa memperoleh skor 2 dan sebanyak 60% siswa memperoleh skor 1. Pada
136
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
soal kedua, sebanyak 50% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 40% siswa memperoleh skor 1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena tidak memberikan jawaban. Pada soal ketiga, sebanyak 50% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 40% siswa memperoleh skor 1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah. Pada soal keempat, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 3, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 30% siswa memperoleh skor 1, dan sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah. Pada soal kelima, sebanyak 10% siswa memperoleh skor 3, sebanyak 80% siswa memperoleh skor 2, sebanyak 10% siswa memperoleh skor 0 karena jawaban yang diberikan salah. Pada Tabel 2 di atas, terlihat bahwa soal nomor 3 dan 5 memiliki validitas sangat tinggi, sedangkan soal nomor 1, 2, dan 4 memiliki validitas sedang. Kelima soal tersebut memiliki reliabilitas sedang. Daya pembeda pada dua soal (nomor 3 dan 4) sudah baik, sedangkan tiga soal (nomor 1, 2, dan 5) memiliki daya pembeda cukup baik. Tingkat kesukaran soal adalah sedang. Dapat disimpulkan bahwa tes kemampuan berpikir reflektif matematis sudah valid dan dapat digunakan pada siswa kelas XI di SMA Negeri 2, 3, dan 4 Cimahi untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis mereka sebelum dan setelah pembelajaran. Pada Tabel 3 berikut ini disajikan data pretest, posttest, dan peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa. Tabel 3. Hasil Pretest dan Posttest Kemampuan Mathematical Problem Posing Kelas Jumlah Pretest Posttest N-gain Kriteria XI MIPA 2 SMA 2 31 4,83 11.15 0,69 Sedang XI MIPA 1 SMA 3 35 4,73 10,68 0,64 Sedang XI MIPA 4 SMA 4 37 4,76 10,51 0,62 Sedang Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada 0,30 0,70 yang berarti peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada kriteria sedang. Siswa belum terbiasa menjawab soal yang berkaitan dengan memeriksa data relevan atau tidak terhadap informasi dari soal, memeriksa kebenaran pernyataan berkaitan dengan soal, serta menganalisis generalisasi dan analogi dari suatu permasalahan yang diberikan.
3.2.
Pembahasan
Instrumen yang telah disusun diberikan kepada tim ahli untuk memberikan masukan terhadap perbaikan instrumen. Menurut tim ahli, silabus mengenai aturan pencacahan sudah sesuai dengan panduan kurikulum 2013. Dalam RPP sudah memuat langkah-langkah pendekatan scientific dengan strategi what if not pada aktivitas menanya. Pada aktivitas pembelajaran dalam RPP mesti siswa yang dominan, jangan terlalu sering menuliskan aktivitas guru. Soal kemampuan berpikir reflektif yang terdiri dari 5 soal sudah memenuhi indikator yang ditetapkan. Kalimat pada soal ada yang mesti diperbaiki agar tidak membuat siswa bingung dalam memahami informasi dari soal. Misalnya: kalimat pada soal “Dari kota Padalarang ke kota Cimahi dilalui 4 jenis angkot”. Bagi siswa yang tidak pernah ke Padalarang dan Cimahi akan membuat mereka menjadi bingung. Untuk itu nama kota disimbolkan saja dengan Kota P dan Kota C, sehingga soal diperbaiki menjadi “Dari kota P ke kota C dilalui oleh 4 jenis angkot”. Penilaian dari reviewer menunjukkan bahwa instrumen tes kemampuan berpikir reflektif matematis cukup layak digunakan. Dalam membuat soal berpikir reflektif matematis memang tidak mudah. Indikator dalam kemampuan berpikir ini mengharuskan untuk membuat soal mengenai memeriksa data relevan atau tidak, memeriksa kebenaran, serta
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
137
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
menganalisis generalisasi dan analogi dari suatu permasalahan. Soal dengan indikator ini dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir reflektif. Peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa berada pada kriteria sedang. Siswa yang berada pada sekolah dengan peringkat tinggi memiliki peningkatan kemampuan yang lebih besar daripada siswa dengan peringkat sekolah sedang. Begitu pula, siswa dengan peringkat sekolah sedang juga memiliki peningkatan kemampuan yang lebih besar daripada siswa dengan peringkat sekolah rendah. Ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki pemahaman konsep yang baik memiliki kemampuan berpikir reflektif matematis yang juga baik. Instrumen yang telah disusun dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa dengan cukup baik.
4. 4.1.
Simpulan dan Saran Simpulan
Instrumen yang dikembangkan meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes. Silabus mengenai materi aturan pencacahan. RPP disusun sesuai dengan pendekatan scientific disertai strategi what if not. Tes disusun sesuai dengan indikator kemampuan berpikir reflektif matematis. Setelah dilakukan uji coba terbatas, diperoleh instrumen yang valid.
4.2.
Saran
Dalam menyusun instrumen berupa tes mesti memenuhi indikator yang telah ditentukan. Soal-soal pada tes mesti dapat mengembangkan kemampuan yang diinginkan, sehingga ketika diujicobakan tes tersebut memiliki validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran yang baik, yaitu diantara sedang dan tinggi. Selain itu, perlu dikembangkan instrumen berpikir reflektif untuk materi lain dan tingkat sekolah yang lain agar kemampuan berpikir reflektif siswa dapat terus ditingkatkan.
Referensi Garrison, D. R., Anderson, T., dan Archer, W. (2004). Critical Thinking, Cognitive Presence, Computer Conferencing in Distance Learning. [Online]. Tersedia di: http://communityofinquiry.com/files/CogPres_Final.pdf. Diakses 23 Maret 2015. Herman, T. (2012). Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. [Online]. Tersedia di: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1962101119101 1-TATANG-HERMAN/Artikel. Diakses 2 November 2014. Kemdikbud. (2013). Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta: Pusbangprodik. Nindiasari, H. (2011). Pengembangan Bahan Ajar dan Instrumen untuk Meningkatkan Berpikir Reflektif Matematis Berbasis Pendekatan Metakognitif pada Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY. Yogyakarta, UNY Press: 251-263. Purwanto (2010). Evaluasi Hasil belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. Sumarmo, U. (2010). Pengembangan Berpikir dan Disposisi Krititis, Kreatif pada Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika. (Makalah). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
138
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PEMBELAJARAN PERKALIAN PECAHAN MENGGUNAKAN PLASTIK MIKA DI KELAS V Helni Indrayati1, Ratu Ilma Indra Putri2, Somakim3 STKIP Muhammadiyah Pagaralam1, Dosen Universitas Sriwijaya 2. Dosen Universitas Sriwijaya3. [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan plastik mika dalam membantu siswa untuk menemukan konsep perkalian pecahan dengan menggunakan pendekatan PMRI. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi desain validasi, yang terdiri dari tiga tahap; persiapan untuk penelitian (Preparing for the Experiment) dan desain pendahuluan (Preliminary design), fase desain percobaan (The design experiment) desain yang terdiridari Pilot experiment dan Teaching experiment, dan analisis retrospektif. Apa yang akan dibahas dalam makalah ini hanya bagian dari mempersiapkan percobaan terdiri dari desain awal yang merancang Hypothetical learning trajectory (HLT) dan Pilot experiment. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD N 55 Pagaralam sebesar 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda, ada dua siswa dalam kemampuan tinggi, dua siswa dalam kemampuan sedang dan dua siswa dalam kemampuan rendah. Penelitian ini menghasilkan pembelajaran lintasan yang mencakup serangkaian proses pembelajaran dengan menggunakan plastik mika dalam empat kegiatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan video, observasi, testertulis, dokumentasi dan catatan selama kegiatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran plastik mika dengan menggunakan pendekatan PMRI diproduksi lintasan pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk memahami konsep perkalian pecahan. Kata Kunci:Pendekatan PMRI, Perkalian Pecahan, Plastik Mika
1.
Pendahuluan
Perkalian pecahan adalah salah satu operasi hitung pada pecahan, untuk menyelesaikan perkalian pecahan perlu mengingat kembali bahwa penyebut merupakan sebuah pembagian yang memungkinkan kita menemukan bagian-bagian factor lainnya (Walle, 2010:58). Menurut Rey (2007) menjelaskan bahwa penyelesaian hasil perkalian dari dua pecahan tampaknya mudah untuk diajarkan dan dipelajari, karena kita hanya perlu mengalikan pembilang dengan pembilang untuk mendapatkan hasil dari pembilang yang baru, dan dengan menggalikan penyebut dengan penyebut untuk mendapatkan hasil penyebut yang baru. Selanjutnya Walle (2010; 73) menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan perkalian pecahan dapat menggunakan rectangle multiplication. Rectangle multiplication merupakan perkalian persegi atau persegi panjang, menunjukkan model area untuk perkalian dari dua sembarang dua pecahan. Konsep pecahan dianggap salah satu konsep yang sulit dijelaskan oleh guru dan sulit dipahami oleh siswa. Konsep bilangan pecahan dan operasinya lebih sulit diajarkan kepada siswa disbanding konsep bilangan bulat dan operasinya, atau bilangan cacah dan operasinya. Salah satu konsep dalam pecahanya itu tentang perkalian pecahan. Mereka cenderung untuk berpikir bahwa perkalian itu menghasilkan bilangan yang lebih besar, sedangkan dalam perkalian pecahan dengan pecahan, hasilnya dapat berupa bilangan yang lebih besar atau
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
139
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
lebih kecil. (Khairunnisak, 2012). Sementara itu, jika siswa belajar untuk melakukan operasi ini hanya menggunakan aturan, mereka mungkin akan mengerti sangat sedikit tentang makna dibalik operasi hitung tersebut. Siswa mungkin tahu bagaimana untuk memperbanyak pecahan dengan jumlah keseluruhan sebagai 2/3 x 1/2 atau 1/2 x 2/3 juga mereka memiliki mempelajari aturan, tapi masih tidak bias menginterprestasikan ide di dunia nyata sebagai dasar untuk memecahkan masalah (copeland, 1976). Namun, setelah mereka melupakan aturan, siswa tidak dapat memecahkan masalah tentang perkalian pecahan dengan jumlah keseluruhan (Kennedy, 1980). Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006) dalam kurikulum KTSP pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan dunia nyata siswa dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang diterapkan di Indonesia yang juga dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) untuk diluar Indonesia. PMRI mengacu pada konsep Freudenthal dalam Realistic Mathematics Education (RME). Dua pandangan yang penting dari freudenthal adalah (1) mathematics must be connected to reality; and (2) mathematics as human activity”(Zulkardi & Putri, 2010). Pertama, matematika seharusnya dekat dengan siswadan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Kedua, ditekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia sehingga siswa seharusnya diberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas pembelajaran disetiap topik dalam matematika ( Putri, 2011). Putri (2011) menjelaskan bahwa PMRI adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang akan menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi sendiri melalui pengetahuan sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-harinya, dengan menemukan sendiri konsep tersebut, maka diharapkan belajar siswa menjadi bermakna. Dalam menemukan konsep tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu konteks. Menurut Wijaya (2012:21), konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisadibayangkan dalam pikiran siswa. Ullya, Zulkardi dan Putri (2010) Proses pembelajaran siswa dengan menggunakan bahan ajar penjumlahan pecahan berbasis PMRI sangat menuntun siswa untuk mengembangakan ide-ide dan menumbuhkan kreativitas siswa dalam menyelesakan masalah, dilihat dari proses yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah. Khairunnisak, Maghfirotun, Juniati, dan Haan (2012) mendukung siswa memperluas pemahaman mereka tentang makna perkalian pecahan dengan bilangan bulat. Tasman, Hertog, Zulkardi, dan Hartono (2011) kemampuan siswa untuk penataan situasi dan kemampuan siswa untuk menyatakan jumlah objek pada model persegi panjang ke kalimat perkalian menggiring siswa kepada penjumlahan berulang dan mendorong mereka untuk mengubahnya menjadi kalimat perkalian. Dari uraian di atas maka, peneliti akan mendesain dan mengembangkan Local Instructional Theory (LIT) dengan menerapkan teori Rectangle Multiplication menggunakan plastik mika mengambil judul “Pembelajaran perkalian pecahan menggunakan plastik mika di kelas V”.
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian desain pembelajaran (design research) yang merupakan suatu cara yang tepat untuk menjawab pertanyaan peneliti dan mencapai tujuan
140
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
dari penelitian. Menurut Bakker (2004), tujuan utama dari design research adalah untuk mengembangkan teori-teori bersama-sama dengan bahan ajar. Dalam penelitian ini hanya akan dibahas siklus satu yaitu tahap pilot eksperimen yang terdiri atas 4 aktivitas dan subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD N 55 Pagaralam yang berjumlah 6 orang.
3.
Hasil Dan Pembahasan
Preliminary Design Tahap ini telah menghasilkan suatu HLT yang diujicobakan pada tahap Preliminary Teaching Experiment (siklus 1). HLT yang didesain terdiri dari empat aktivitas yang masingmasing aktivitas memuat jenis aktivitas, pemikiran awal, tujuan yang akan dicapai, deskripsi aktivitas dan konjektur pemikiran siswa. Keempat aktivitas tersebut adalah a) mengamati video pemotongan tahu; b) mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori rectangle multiplication (perkalian persegi panjang); c) menggambarka perkalian persegi panjang pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan; d) Menyelesaikan masalah soal cerita berkaitan dengan perkalian pecahan. Berikut ini disajikan aktivitasaktivitas HLT 1 yang diujikan pada Preliminary Teaching Experiment. Preliminary teaching Experiment (Siklus 1) Pada tahap ini peneliti mengujikan HLT pertama pada small group yang dilaksanakan di SD N 55 Pagaralam, terdiri dari 6 orang siswa. Dimana enam orang siswa tersebut memiliki kemampuan yang berbedada – beda yaitu 2 orang siswa berkemampuan tinggi, 2 orang siswa berkemampuan sedang dan 2 orang siswa berkemampuan rendah. Peneliti berperan sebagai guru pada siklus I. Dalam pembelajaran siswa dibagi menjadi 2 kelompok masing – masing kelompok terdiri dari 3 orang siswa dengan kemampuan berbeda. Observasi beserta analisis tentang segala sesuatu yang terjadi selama Preliminary teaching Experiment (Siklus 1)dibuat dan konjektur yang ada di aktivitas pembelajaran dievaluasi berdasarkan temuan untuk memperbaiki HLT. Siklus 1 terdiri dari empat aktivitas yaitu adalahadalah a) mengamati video pemotongan tahu; b) mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori rectangle multiplication (perkalian persegi panjang); c) menggambarkan perkalian persegi panjang pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan; d) Menyelesaikan masalah .soal cerita berkaitan dengan perkalian pecahan. Sebelum mengadakan peneliti mengadakan tes awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentangmateri Perkalian Pecahan, dari hasil tes awal diperoleh data dari 3 soal yang diberikan untuk soal pertama 3 orang menjawab benar dan tiga orang menjawab salah, soal kedua dua orang menjawab dengan benar , 4 orang menjawab salah sedangkan soal ketiga belum ada siswa yang menjawab benar tetapi ada beberapa yang hampir benar. Selanjutnya, berikut uraian aktivitas-aktivitas selama siklus 1. Aktifitas 1 : Mengamati Video Pemotongan Tahu Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk mengamati video pemotongan tahu telah disediakan, kemudian setelah selesai mengamati video tersebut dengan baik, kemudian selanjutnya masing – masing kelompok diminta untuk dapat menyimpulkan hasil darivideo yang telah mereka amati. Aktifitas 2 : Mengambar persegi panjang pada plastik mika untuk memahami teori rectangle multiplication (perkalian persegi panjang)
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
141
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk mengambar persegi panjang pada 2 plastik mika yang telah disediakan, kemudian setelah selesai mengambarpersegi panjang tersebut dengan benar sesuai dengan gambar yang diinginkan, maka selanjutnya masing – masing kelompok diminta untuk menyelesaikan lembar aktivitas 2. Pada soal aktivitas 2 masing – masing kelompok sudah bisa menentukan bentuk dari gambar yang mereka susun tadi, seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar. 1 Retrospective Analysis Aktifitas 2 Pada aktivitas kedua, siswa sudah bisa menyelesaikan soal – soal tersebut dengan benar, walaupun ada beberapa soal yang perlu bimbingan guru. Dari aktivitas – aktivitas tersebut terlihat siswa masih ada yang belum bisa menarik kesimpulannya. Aktifitas 3 : Menggambarkan perkalian persegi panjang pada kertas untuk memahami konsep perkalian pecahan Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diminta untuk membuat gambar persegi panjang sesuai dengan soal pada lembar aktivitas 2 yang telah diberikan. Pada soal pertama, mereka sudah bisa menentukan gambar yang akan dibuat pada kertas tersebut, seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar. 2 Pada soal kedua masing – masing kelompok sudah bisa menentukan gambar dan jawaban dari soal tersebut, sepeti pada gambar 3 berikut ini.
Gambar. 3 142
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pada penyelesaian soal kedua, siswa juga dapat menjawab soal tersebut dengan benar. Pada soal terakhir ada kelompok yang belum bisa menarik kesimpulan soal pada aktivitas tersebut Retrospective Analysis Aktifitas 3 Pada saat menyelesaikan aktivitas 3 setiap kelompok sudah bisa menyelesaikan soal tersebut dan dapat menyimpulkan hasil dari soal yang mereka kerjakan. Aktifitas 4 : Menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan Perkalian Pecahan Pada aktivitas ini masing – masing kelompok diberikan 2 permasalahan yang terdapat pada aktivitas 4, setelah masing – masing kelompok diberikan lembar aktivitas kemudian masing – masing kelompok mulai menyelesaikan permasalahan pada aktivitas tersebut. Pada soal no 1 masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, tanpa menggunakan persegi panjang untuk mengambarkan soal yang mereka kerjakan tersebut. Seperti pada gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Sedangkan pada soal no 2 masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, dan tidak menggunakan lagi gambar persegi panjang pada saat menjawab soal tersebut, seperti pada gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Retrospective Analysis Aktifitas 4 Pada aktivitas keempat, masing – masing kelompok sudah bisa menyelesaikan permasalahan – permasalan pada aktivitas 4. Namun ada salah satu kelompok yaitu kelompok 2 yang pada awalnya tidak membuat kesimpulan dengan lengkap namun setelah mendapat arahan dari guru mereka bisa menyelesaikan soal tersebut sampai kesimpulan.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas terlihat bahwa plastik mika dapat membantu siswa dalam menemukan konsep perkalian pecahan, dari beberapa aktivitas yang dilakukan siswa ada beberapa kesulitan yang dihadapi siswa. Seperti pada aktivitas 1 siswa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
143
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kesulitan menjelaskan video yang telah mereka perhatikan, namun setelah diarahkan mereka bisa menjelaskan. Sedangkan pada aktivitas kedua siswa sudah bisa menyelesaikan soal tersebut namun masih ada yang belum bisa menarik kesimpulan pada aktivitas tersebut. Pada aktivitas ketigasiswa sudah bisa menyelesaikan soal tersebut sampai pada kesimpulan. Terakhir diaktivitas ke 4 ada salah satu kelompok yang menyelesaikan permasalahan pada aktivitas mereka belum lengkap dalam membuat kesimpulannya, namun setelah diarahkan mereka bisa menyelesikannya. Berdasarkan hasil penelitian dan pemabahasan maka dapt disimpulkan bahwa penggunaan jigsaw puzzles berperan penting dalam menemukan konsep FPB.
Daftar Pustaka Bakker, A. (2004). Design research in statistics education on symbolizing and computertools. Amersfoort: Wilco Press. Kershaw, J. (2014). CK-12 Middle School Math-Grade 6. U.S: FlexBook. Kershaw, J. (2014). FlexBook.
CK-12 Middle School Math-Grade 6 Concept Collection. U.S:
Putri, R.I.I. (2011).Improving Mathematics Comunication Ability Of StudentsIn Grade 2 Through PMRI Approach. International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education. Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University. Putri, R.I.I (2011). Propesional Development of Mathematics Primary School Teachers in Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education Approach.Proceeding of the International Conggress for School Effectiveness and Improvement (ICSEI), Limassol, Cyprus. Walle, J. A. (2010). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Jilid 2 "Pengembangan Pengajaran" (Vol. VI). Jakarta: Penerbit Erlangga. Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Graha Ilmu Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2010). Pengembangan Blog Support untuk Membantu Siswa dan Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP).2(1). 1 – 24
144
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGEMBANGAN SOAL OPEN-ENDED PADA POKOK BAHASAN LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BALOK
1
Henry Kurniawan1, Ratu Ilma Indra Putri2, Yusuf Hartono2 Mahasiswa Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya 2 Dosen Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian Design Research tipe Develompent Studyyang bertujuan untuk menghasilkan soal-soal open-ended yang valid dan praktis. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan analisis data walk through dan analisis dokumen. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa penelitian ini telah menghasilkan suatu produk soal open-ended yang valid dan praktis. Kevalidan dilihat dari hasil penilaian validator, yaitu validator telah menyatakan bahwa konten, konstruk, dan bahasa soal sudah baik. Selain itu kevalidan soal tergambar setelah dilakukan analisis validasi butir soal pada siswa sebanyak 36 orang non subjek penelitian. Praktis tergambar dari hasil uji coba small group dimana sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal open-ended yang diberikan. Kata Kunci: Design Research, Develompent Study, SoalOpen-Ended, Balok
I. I.1
Pendahuluan Latar Belakang
Salah satu materi dalam pelajaran matematika yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari adalah luas permukaan dan volume balok. Oleh karena itu, siswa perlumemahami konsep luas permukaan dan volume balok(Purwatiningsi, 2013). Namun dalam kenyataannya, siswa tidak dapat memahami keterkaitan antar konsep volume dan luas permukaan yang merupakan bekal dalam memecahkan permasalahan sehari-hari(Nurlatifah, 2013). Kesulitan siswa dalam proses belajar diperkirakan berkaitan dengan cara guru mengajukan pertanyaan atau memberikan latihan soal di kelas yang kurang bervariasi, sebagian besar guru matematika jarang memberikan soal-soal matematika kepada siswanya dalam bentuk non-rutin. Dengan demikian, perlu adanya standar soal-soal yang dapat melatih pemahaman tingkat tinggi sehingga siswa dapat berpikir kritis dan kreatif (Tandilling, 2012). Sementara itu, menurut Emilya (2010) masalah-masalah matematikaterbuka (open problems) sendiri jarang disentuhpada saat penyajian soal-soal dalam prosespembelajaran matematika di sekolah. Akibatnyabila ada soal atau permasalahan itu dianggap “salah soal” atau soal yang tidak lengkap. Di dalam KTSP disebutkan bahwa fokus dalam pembelajaran matematika hendaknya menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal dan masalah dengan berbagai macam penyelesaian (permendiknas, 2006). Ada 5 Standar Proses didalam KTSP yaitu pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi. Hal tersebut Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
145
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
sesuai dengan Permendiknas no. 14 tahun 2007 (BNSP, 2007) tentang tujuan mata pelajaran matematika yaitu memahami konsep matematika, menggunakan penalaran matematika, memecahkan masalah matematika, mengkomunikasikan gagasan, memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dan pemecahan masalah. Namun pada kenyataannya tidak sejalan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil studi TIMMS dan PISA yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMP khususnya dalam bidang matematika masih dibawah standar internasional. Hasil terbaru TIMSS 2011 menempatkan Indonesia di peringkat ke-38 dari 42 negara (HSRC & IEA, 2012) dan yang lebih memprihatinkan lagi hasil terbaru PISA 2012 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 65 negara (OECD, 2013). Maka dari itu untuk memaksimalkan pembelajaran matematika, penggunaan soal terbuka perlu dibudayakan dalam pembelajaran karena soal terbuka mempunyai potensi yang kaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Mahmudi, 2008). Shimada (1997) mengatakan dengan memberikan permasalahan terbuka (open-ended problems) diharapkan pula dapat membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Dan supaya matematika dapat disenangi dan dipelajari oleh semua siswa, maka permasalahan tertutup (closed problem) yang menuntut satu jawaban yang benar hendaknya diganti dengan permasalahan terbuka (open-ended problems). Dengan demikian pembelajaran akan mengembangkan kemampuan memecahkan masalah matematika. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Soal Open-Ended Pada Pokok Bahasan Luas Permukaan Dan Volume Balok”.
I.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik soal open-ended pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis?”
I.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan soal open-ended pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis.
I.4
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Siswa, memberikan pengalaman pada siswa dalam mengerjakan soal open-ended, dan dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan matematikanya. 2. Guru, menambah pengetahuan tentang pengembangan soal, khususnya soal open-ended dan mampu menerapkannya di kelas.
II.
Metode Penelitan
Penelitian ini adalah development research(pengembangan) yang bertujuan untuk menghasilkan soal open-ended pada pokok bahasan luas permukaan dan volume balok yang valid dan praktis. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP.
146
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode pengembangan atau development research tipe formative research (Tessmer, 1993). Pengembangan ini dilakukan dalam dua tahapan utama yaitu preliminary study dan formative evaluation. Tahap preliminary study meliputi analisis (analisis siswa, analisis kurikulum, dan analisis materi) dan pendesaian (prototyping). Sedangkan tahap formative evaluation meliputi tahap seperti gambar berikut: Expert Review
Self Evaluation
Revise
Revise
Small Group
Revise Field Test
One to one
Gambar 1. Alur desain formative evauation (Tessmer, 1993) Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu pengumpulan data Walk through dan pengumpulan data melalui dokumen. Walkthroughmerupakan validasi data yang melibatkan seorang ahli atau lebih untuk keperluan pengecekan atau pembanding sebagai dasar untuk merevisi prototipe.Dokumen adalah data yang mendukung dalam penelitian yang dapat berupa instrumen, komentar/saran dalam validasi dengan pakar ataupun pada saat one-to-one dan small group, dan juga foto dan video dalam penelitian tersebut. Dokumen digunakan untuk memperoleh data keefektifan yaitu dengan menganalisis hasil soal-soal yang diberikan kepada siswa. Analisis dokumen ini digunakan untuk mengetahui kemampuan matematika siswa pada materi luas permukaan dan volume balok, yang dalam hal ini menggunakan soalsoal open-ended.
III
Hasil dan Pembahasan
Tahappreliminary dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tahap analisis dan desain. Pada tahap analisis, siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu siswa kelas VIII.2 sebanyak 35 anak. Dari hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika di kelas menyatakan bahwa terdapat kurang lebih 40% siswa berkemampuan tinggi, 30% sedang, dan 30% rendah.Selanjutnya pada tahappendesainan, peneliti merancang soal-soal open-ended sebanyak 10 butir soal esai materi luas permukaan dan volume balok dengan satu tipe soal yaitu satu cara banyak jawaban. Peneliti juga membuatkisi-kisi, kartu soal,dan rubrik penskoran dari soal-soalopen-endedyang telah dibuat.Pada tahap preliminary ini diperoleh prototype awal berupa soal-soal open ended sebanyak 10 soal. Selanjutnya adalah tahap formative evaluation yang terdiri dari 2 tahapan yaitu self evaluation dan prototyping.Pada tahap self evaluation, peneliti menelaah kembali soal dan instrumen yang telah dibuat.Pada tahapan ini tidak terdapat perubahan pada soal open ended yang dibuat. Hasil dari self evaluation ini merupakan soal-soal open endedprototype awal. Kemudian peneliti memasuki tahap berikutnya yaitu tahap prototyping(expert review, oneto-onedan small group). Tahap expert review dan one to one dilakukan secara bersamaan. Pada tahap expert review, prototype awal divalidasikan kepada seorang pakar yaitu Dr. Rahmah Johar, M.Pd. dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Berdasarkan komentar pakar, secara konten soal open
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
147
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
ended ini telah sesuai dengan standar kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), pencapaian kompetensi pada KTSP dan telah sesuai dengan level kompetensi siswa siswa kelas VIII. Secara konstruk, ada perbaikan yang harus dilakukan pada soal-soal open ended diantaranya beberapa rumusan kalimat pada soal perlu disesuaikan dengan karakteristik soal open ended dan dituntut untuk lebih banyak penyelesaiannya. Saran tersebut sesuai dengan Shimada (1997) yang menyatakan bahwa dengan memberikan permasalahan terbuka (open-ended problems) diharapkan pula dapat membawa siswa untuk menjawab permasalahan dengan banyak cara, sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Secara bahasa, ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan pada soal-soal open ended diantaranya penghilangan kata yang kurang sesuai, susunan kalimat diperbaiki, penggunaan tanda baca yang benar. Dan pada tahap one to one, peneliti memberikan soal dari prototype awal kepada 3 orang siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan tahapan ini, semua siswa tidak mengalami kesulitan untuk memahami maksud soal. Permasalahan mereka terdapat pada kemampuan masing-masing siswa untuk mengerjakan soal tersebut. Menurut ketiga siswa tersebut, soal-soal open ended ini menarik dan merupakan hal baru bagi mereka. Kemudian peneliti melakukan analisis butir pada Prototype awal iniuntuk menguji validitas soal dan reliabilitas soal secara kuantitatif. Sebagai subjek penelitian adalah siswa kelas VIII.4 SMP Negeri 55 Palembang sebanyak 36 siswa (r tabel = 0,329). Uji Validitas menggunakan rumus korelasi Product Moment Pearson dan reliabilitas menggunakan rumus Cronbach Alpha. Perhitungan validitas butir soal dan reliabilitas soal dilakukan dengan menggunakan bantuan soft ware microsoft excel. Data dan hasil perhitungan validitas butir soal dan reliabilitas ditunjukkan tabel berikut. Tabel 1. Data hasil perhitungan validitas butir soal Butir Keterangan Soal (valid jika rhitung>rtabel) rhitung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0,781 0,053 0,657 0,497 0,308 0,438 0,596 0,436 0,445 0,590
Valid Tidak Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan r11 sebesar 1,104574. Menurut sudjiono (2011), soal memiliki reliabelitas tinggi jika r11 sama dengan atau lebih besar daripada 0,70. Jadi dapat disimpulkan bahwa soal ini memiliki reliabilitas yang tinggi karena 1,104574> 0,70. Setelah ituprototype awal ini direvisi berdasarkan saran dan komentar pada tahap expert review, one to one, dan pertimbangan dari hasil perhitungan validitas butir soal. Pada tahapan ini, peneliti menghapus 2 buah soal yaitu soal nomor 2 dan 10, dan memasukkan sebuah soal baru yang diambil dari saran pakar. Soal nomor dua dihapus karena soal tersebut hampir sama dengan soal nomor 4. Sedangkan soal nomor 10 dianggap kurang menantang bagi siswa SMP. Gambar 2 berikut merupakan soal yang diganti. 148
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
sebelum revisi
setelah revisi Gambar 2. Soal yang diganti Soal open ended yang telah direvisi berdasarkan saran dan komentar yang diperoleh pada tahap expert review dan one to one evaluation selanjutnya disebut dengan prototype 1. Pada tahap small group, peneliti memberikan prototype 1soal-soal open-ended yang terdiri dari 9 soal kepada enam orang siswa SMP Negeri 1 Belitang III dengan 2 orang siswa kemampuan tinggi, 2 orang siswa kemampuan sedang, dan 2 orang siswa kemampuan rendah.Dalam hal ini, keenam siswa tersebut diminta untuk menjawab soal-soal tersebut secara bersama-sama dan berdiskusi. Siswa yang berkemampuan tinggi menjelaskan kepada siswa yang belum mengerti maksud dari soal yang diberikan. Setelah mereka selesai menjawab soal, peneliti meminta keenam siswa tersebut untuk memberikan komentar terhadap soal-soal yang telah mereka kerjakan tersebut. Berikut beberapa komentar siswa.
Gambar 3. komentar siswa small group Setelah siswa menjawab soal dan memberikan komentarnya, kemudian peneliti menganalisis dan merevisi soal yang dianggap bermasalah. Berdasarkan komentar siswa pada saat mengerjakan soal open ended yang diberikan, beberapa siswa mengeluhkan mengenai maksud dari soal. Salahs atu soal yang kurang bisa dipahami siswa adalah soal nomor 9. Soal nomor 9 merupakan soal yang beorientasi pada kemampuan siswa dalam merancang sesutau. Dalam hal ini siswa diminta untuk merancang sebuah akuarium dengan ukuran tertentu. Berikut ini soal yang megalami revisi pada susunan kalimatnya agar lebih udah dipahami siswa.
Sebelum revisi
Setelah revisi Gambar 4. Sebelum dan setelah revisi soal 9 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
149
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Dapat dilihat pada Gambar 4 diatas, perubahan pada soal nomor 9 yaitu peneliti memperjelas arah soal yang bertujuan agar siswa menjawabnya dengan satu cara saja.
IV
Kesimpulan dan Saran
Penelitian ini mengembangkan soal-soal open ended menggunakan alur formative evaluation dengan tahapan preliminary dan prototyping yang menghasilkan soal-soal open ended yang valid dan praktis. Berdasarkan hasil dari tahapan self evaluation, expert review, one to one evaluation dan uji reliabilitas, diperoleh bahwa soal open ended ini telah valid secara konten, konstruk dan bahasa. Secara konten soal open ende telah sesuai dengan standar kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), pencapaian kompetensi pada KTSP dan telah sesuai dengan level kompetensi siswa siswa kelas VIII. Secara konstruk, rumusan kalimat telah disesuaikan dengan karakteristik soal open ended, menuntut banyak penyelesaian dan memiliki arahan yang jelas dalam pengerjaan soalnya. Sedangkan secara bahasa, soal open ended telah menggunakan bahasa yang sesuai dengan EYD, kalimatnya mudah dimengerti dan tidak ambigu. Sedangkan berdasarkan hasil tahapan small group, diperoleh karakteristik kepraktisan soal-soal open ended yang menarik bagi siswa dan mudah digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengerjakan soal. Adapun beberapa saran dari peneliti antara lain: 1) untuk guru, disarankan untuk menggunakan soal-soal open ended sebagai bahan pengayaan bagi siswa. 2) untuk peneliti lain, jika ingin mengembangkan soal sebaiknya menyesuaikan jumlah soal dengan waktu yang tersedia untuk siswa dalam mengerjakan soal tersebut.
Daftar Pustaka BNSP. (2007). Permendiknas No. 14 Tahun 2007. Dipetik 10 15, 2014, dari BNSP Indonesia: http://bsnp-indonesia.org/id/ Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Emilya, D. (2010). Pengembangan Soal-Soal Open Ended Materi lingkaran untuk Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa Kelas VIII Sekoolah Menengah Pertama Negeri 10 Palembang. Palembang: Program Studi Pendidikan Matematika PPs Unsri. Mahmudi, A. (2008). Mengembangkan Soal Terbuka (Open-Ended Problem) dalam Pembelajaran Matematika. Seminar Nasional Matematika. Yogyakarta: UNY. OECD. (2013). Indonesia Students Performance (PISA 2012). Dipetik 5 11, 2015, dari gpseducation: http://gpseducation.oecd.org Purwatiningsi, S. (2013). Penerapan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Luas Permukaan Dan Volume Balok. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako . Shimada, S., & Becker, J. (1997). The open-ended approach : A new Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National Caucil of Teachers of Mathematics. Sudjiono, A. (2011). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
150
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Tandilling, E. (2012). Pengembangan Instrumen Untuk Mengukur Kemampuan Matematik, Pemahaman Matematik, Dan Self-Regulated Learning Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Di Sekolah Menengah Atas. Jurnal Penelitian Pendidikan Universitas Tanjungpura . Tessmer, M. (1993). Planning and Conducting Formative Evaluation. London: Kogan Page Limited. TIMSS, H. &. (2012). Highlight from TIMMS 2011, The South African Perspective. Dipetik 5 12, 2015, dari hsrc: http://www.hsrc.ac.za/
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
151
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGGUNAAN LENGHT MODELSDAN METODE BALANCING PADA PEMBELAJARAN PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL Hermaini1 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika PPS Universitas Sriwijaya [email protected] Ratu Ilma 2, Darmawijoyo3 Dosen Universitas Sriwijaya 2,3 [email protected] , [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana lenght models yang dikombinasikan dengan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa tentangPersamaan Linear Satu Variabel (PLSV). Metode yang digunakan adalah design research yang melaui tiga tahap, preparing for the experiment, design experiment, dan retrospective analysis. Penelitian ini dilaksanakan dilaksanakan dikelas VII 5 SMP Negeri 22 Palembang yang terdiri atas 6 siswa pada tahap pilot. PMRI mendasari desain konteks dan aktivitas pada penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, rekaman video, mengumpulkan hasil kerja siswa, pretest dan post-test. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh lintasan belajar (HLT)yang dapat mendukung konsep persamaan linear satu variabel yaitu makna “sama dengan” dan variabel pada persamaan, menggunakan metode balancing untuk menentukan bentuk setara serta penggunaan lenght models yang merupakan alat representasi yang mendukung models of ke model forpada pendekatan PMRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui serangkaian aktivitas yang telah dilakukan dapat mendukung pemahaman siswa untuk menemukan solusi formaldaripersamaan linear satu variabel Kata kunci:PLSV,lenght models, metode balancing, desain research, PMRI, HLT
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Persamaan linier satu variabel dapat digunakan untuk memahami pembelajaran dan pemikiran siswa sebagai transisi dari aritmatika ke dalam bentuk aljabar (Jupri, Drijevers & Heuvel Panhuizen, 2014). Namun Proses transisi inilah yang dapat menimbulkan banyak masalah, dikarenakan isi dari aljabar yang berbeda dengan aritmatika yang sering ditemukan oleh siswa, seperti yang dijelaskan oleh Tall, D (1992) bahwa“Approaching algebra as generalised arithmetic through patterns has a number of difficulties”. Siswa biasanya mengabungkan konstanta dan variabel (Huntley, M., Marcus, R., Kahan, J., & Miller, J. L, 2007). Selanjutnya menurut Jupri, Drijevers & Heuvel Panhuizen (2014) bahwa siswa kesulitan memahami arti yang berbeda dari tanda sama (=), pada aritmatika, simbol sama dengan (=) sering ditemukan sebagai hasil dari perhitungan atau jawaban, sedangkan dalam aljabar,
152
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
simbol sama dengan (=) mengarah pada bentuk setara (equivalen), misalnya 2 + 3 = 5 sebagai penjumlahan 2 dan 3 untuk mendapatkan jawaban 5, sedangkan dalam aljabar, simbol sama dengan (=) mengarah pada bentuk setara, misalnya x + 2 = 3x + 4 setara dengan x = 3x + 2, 5) siswa kesulitan membuat model matematika untuk menyelesaikan masalah persamaan linier satu variabel karena siswa di Indonesia kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual, yang menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas dalam menyelesaikannya. Pembelajaran yang sesuai untuk membantu siswa memahami soal-soal kontekstual tersebut adalah PMRI. Pernyataan tersebut didukung oleh Putri (2011), bahwa PMRI merupakan pendekatan pembelajaran yang akan menggiring siswa memahami konsep matematika dengan mengkonstruksi pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Selain tahapan situasi yang “real”. PMRI juga memiliki beberapa tahapan yaitu model of dan model for, pada tahapan ini dibutuhkan alat representasi yang baik yang dapat mendukung pergeseran menuju tahap formal (Gravemeijer, 1994). Alat representasi yang dipilih oleh peneliti adalah lenght models. Lenght models adalah salah satu alat manipulative yang dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran aljabar berupa garis batang dan garis bilangan (McClung, 1998). Menurut Dickinson & Eade (2004) bahwa garis bilangan tidak hanya memungkinkan siswa untuk mengekspresikan solusi matematika mereka tetapi juga memfasilitasi solusi mereka, dengan prosedur seperti menandai langkah-langkah pada garis bilangan, ini menunjukkan operasi penyelesaian yang akan dilakukan, garis bilangan juga dapat mendukung pergeseran bertahap dari model of ke model for dan garis bilangan mendukung makna “sama dengan (=)” yang memenuhi sifat kesetaraan pada persamaan linear satu variabel. Selain itu peneliti juga menggunakan metode balancing. Menurut Merzbach & Boyer (2011) bahwa metode balancingdigunakan untuk menghilangkan suku-suku pada sisi-sisi yang berlawanan pada persamaan. Sehingga diharapkan dengan menggunakan metode tersebut, siswa dapat mengetahui nilai yang tidak diketahui (variabel) pada persamaan linear satu variabel. Sehingga berdasarkan deskripsi diatas maka peneliti tertarik untuk merancang desain pembelajaran persamaan linier satu variabel dengan pendekatan PMRI yang dikolaborasikan menggunakan lenght models dan metode balancing sehingga diharapkan menjadi pembelajaran matematika yang bermakna serta dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan pemahaman siswa terhadap materi tersebut mulai aktivitas informal menuju aktivitas formal. Ada banyak metode pembelajaran aljabar yang telah dikembangkan, diantaranya adalah Saraswati, S., Putri, R.I.I & Somakim (2016) menggunakan pendekatan PMRI yang didukung dengan alat manipulative berupa algebra tiles untuk membantu siswa memahami dan menyelesaikan persamaan linear satu variabel dinilai cukup berhasil. Selanjutnya Khuluq, M.H., Zulkardi &Darmawijoyo (2015)juga meneliti tentang persamaan linear satu variabel dengan kegiatan menyeimbangkan, kegiatan ini berhasil membantu siswa untuk lebih luwes dalam menerapkan strategi pemecahan masalah aljabar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana lenght models dan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa dalam memecahkan persamaan linear satu variabel. Oleh karena itu peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana lenght models dan metode balancing dapat mendukung pemahaman siswa dalam memecahkan persamaan linear satu variabel di kelas VII SMP?
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
153
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat diantaranya guru dapat menerapkan desain pembelajaran dengan pendekatan PMRI sebagai strating point dalam pembelajaran matematika di kelas VII SMP serta siswa dapat meningkatkan kemampuan penalaran, mengembangkan strategi penyelesaian dan mengemukkan ide melalui penggunaan lenght models yang difokuskan pada garis bilangan dan metode balancing.
2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 22 Palembang dikelas VII. Metode penelitian yang digunakan adalah Design Research (Penelitian Desain), yaitu mendesain pembelajaran persamaan linier satu variabel dengan pendekatan PMRI menggunakan garis bilangan. Menurut Akker, Gravemeijer, McKenney, Nieveen (2006) desain riset bertujuan untuk mengembangkan lintasan pembelajaran atau HLT.Bakker (2004), Gravemeijer & Cobb (2006), Gravemeijer & Eerde, (2009) menyatakan bahwadesign researchdapat terdiri dari beberapa tahap yaitu preparing for the experiment, (2) teaching experiment in the classroom, dan (3) conducting retrospective analysis. Tahap pertama yaitu Preparing for the experiment. Peneliti membuat kajian literatur dengan melakukan diskusi dengan guru kelas mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian, memilih observer, menyesuaikan jadwal dan cara pelaksanaan penelitian dengan guru yang bersangkutan. Selanjutnya meneliti kemampuan awal siswa dengan melakukan wawancara dengan beberapa siswa untuk dijadikan informasi mengenai sejauh mana pemahaman siswa yang berkaitan dengan materi prasyarat pembelajaran. Hasil tersebut akan digunakan peneliti sebagai bahan dalam mendesain aktivitas untuk siswa dan mendesain HLT. Tahap kedua yaitu Teaching experiment in the classroom. Peneliti mengimplementasikan desain pembelajaran yang telah didesain pada tahap pertama dengan tujuan untuk mengeksplorasi, mengetahui strategi dan pemikiran siswa dalam mempelajari konsep-konsep persamaan linear satu variabel. Ada 2 siklus pada tahap ini yaitu pilot experiment (siklus 1) dan teaching experiment (siklus 2) dengan masing-masing siklus terdiri dari 4 aktivitas yang dilakukan. Tahap ketiga, Retrospective Analysis. Data yang telah diperoleh pada tahap kedua dianalisis dan hasil analisis ini digunakan untuk merencanakan kegiatan dan mengembangkan rancangan kegiatan pada pembelajaran berikutnya. Tujuan dari retrosprective analysis secara umum adalah untuk mengembangkan local instructional theory. Pengumpulan data dilakukan melalui rekaman video, lembar aktivitas siswa dan wawancara kemudian dianalisis untuk memperbaiki HLT yang telah didesain. Data dianalisis secara retrospektif dengan HLT sebagai acuan. Untuk analisis data, peneliti melakukan diskusi dengan pembimbing dan guru model untuk meningkatkan reliabilitas dan validitas pada penelitian ini. Selama melakukan penelitian, beberapa teknik pengumpulan data seperti pre-test dan posttest, observasi, wawancara, dokumentasi dan catatan lapangan dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki dan merevisi HLT yang telah didesain. Design research merupakan penelitian kualitatif sehingga analisis data dilakukan secara kualitatif. Analisis data dilakukan oleh peneliti dan bekerjasama dengan pembimbing untuk meningkatkan kalibrasi penelitian ini mulai tahap preliminary design, pilot experiment(siklus 1), dan teaching experiment(siklus 2).
154
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan PembelajaraninimenghasilkanlintasanbelajarpadaPembelajaranPersamaan Linear Satu Variabel(PLSV) di kelas VII.PembelajaranPLSV menggunakanlenght models dan metode balancing dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapatmembantusiswamemahamimateriPLSV. Terdapat4aktivitasyaitu aktivitas pertama siswa menggunakan karton warna pink, biru, dan kuning untuk mengukur karton putih yang bertujuan untuk memahami makna variabel dan tanda “sama dengan (=)” pada persamaan. Aktivitas kedua siswa diminta menyelesaikan soal kontekstual menggunakan metode balancing untuk menemukan bentuk seimbang dari kedua sisi persamaan. Aktivitas ketiga siswa mengkalaborasikan metode balancing dengan lenght models dan aktivitas keempat siswa memodelkan dan menyelesaikan beberapa soal yang berkaitan dengan PLSV. Semua aktivitas dilakukan secara berkelompok dengan setiap kelompok terdiridari 3 siswa. Setiap kelompok memiliki kemampuan akademik yang heterogen. Aktivitas pertama, pembelajarandimulaidenganmemberikanapersepsimengenaikalimat terbuka yang merupakan materi prasyarat sebelum memahami PLSV karena persamaan merupakan kalimat terbuka yang memuat variabel dan tanda “sama dengan (=)”. Siswa diminta untuk berdiskusi dengan masing-masing kelompok untuk menyelesaikan dan melakukan aktivita ssesuai Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang telah dibagikan. Siswa melakukan kegiatan mengukur panjang karton putih sesuai dengan perintah pada LAS 1, siswa menempelkan beberapa karton biru, pink dan kuning untuk menutupi karton putih seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Kelompok 1dan kelompok 2 melakukan kegiatan pada LAS 1 Pada saat siswa melakukan kegiatan pengukuran, guru menjelaskan bahwa siswa boleh menggunakan berbagai karton warna sesuai dengan strategi masing-masing kelompok. Kemudiansiswa menganalisis hasil pengukuran tersebut dan menjawab beberapa soal pada LAS 1. Guru membantu siswa memahami soal-soal yang diberikan. Guru mengamati dan memberikan arahan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Selanjutnya siswa diarahkan untuk menyimpulkan kegiatan yang dilakukan pada LAS 1, yaitu memahami penggunaan variabel, dan makna “sama dengan (=)”. Berikut dialog percakapan guru dengan siswa dalam melakukan aktivitas. Dialog memahami penggunaan variabel sebagai berikut: 1. Guru : Sekarang coba, tau ngak panjangnya karton ini (sambil menunjukan satu karton warna pink) 2. Bela, Agung: Tidak tau & Nathasa 3. Guru : Nah, makanya tadikalau tidak tau, diapakan? 4. Nathasa : Disimbolkan dengan variabel 5. Guru : Iya disimbolkan 6. Bela : Jadi variabel adalah ukuran yang tidak diketahui Dialog memahami makna “sama dengan (=)” sebagai berikut :
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
155
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
7. Guru 8. Agung 9. Bela 10. Guru 11. Bela
: Dari kegiatan kalian tadi apa? Artinya “sama dengan”. : “Sama dengan” adalah : O.. sama dengan adalah bahwa kedua karton memiliki panjang yang sama : Cubo maksudnya cagmano? : Nah.. cak keduo karton ini kan panjangnya samowalaupun menggunakan kombinasi warna yang berbeda(sambil menunjukkan 2 karton putih yang telah ditempel dengan beberapa karton warna)
Pada pertemuan kedua guru memberikan apersepsi dengan mengulangi makna “sama dengan (=)‟ pada persamaan. Menjelaskan tujuan pembelajaran yaitu untuk menyelesaikan PLSV dapat digunakan menggunakan metode balancing. Pada awalnya siswa kebingungan karena kata balancing merupakan hal baru bagi mereka, selanjutnya guru menjelaskan bahwa metode balancing adalah metode menyeimbangkan atau menyetarakan kedua sisi yang berbeda, seperti pada timbangan. Pertemuan kedua ini konteks yang digunakan adalah menyetarakan kedua susunan tripleks untuk menyesuaikan ukuran panjang teras rumah. Selanjutnya siswa dibagi menjadi 2 kelompok seperti pada pertemuan sebelumnya. Guru membagikan LAS 2. Siswa bekerja secara berkelompok dan berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan pada LAS 2.
Gambar 2. Siswa berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan pada LAS 2 Selama kegiatan berlangsung,guru mengamati, memberi arahan dan membantu siswa jika mengalami kesulitan. Kegiatan balancing ini digunakan sebagai pengetahuan dasar bagi siswa untuk menentukan bentuk seimbang atau setara pada persamaan dan menjadi langkah awal untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel. Pada kegiatan ini terlihat siswa memahami makna seimbang bahwa kedua ruas (dalam konteks susunan tripleks) harus samasama dikurangi dengan jumlah tripleks yang sama banyak agar tetap memiliki susunan tripleks yang sama panjang. Berikut dialog percakapan siswa yang berdiskusi dalam melakukan aktivitas LAS 2 12. Bela : Ya sama, kan samo-samo dipotong cak tadi 13. Nathasa : Hmmm...(sambil berfikir) 14. Bela : Nah.. inikan dikurang 1 (menunjukkan susunan 1 dan susunan 2 tripleks pada soal). Samo-samo dikurang 1. 15. Nathasa : Kalau misalnya? 16. Agung : Kalau misalnya ini dikurang 1 (menunjuk soal) 17. Bela&Agung : Iyo tetap samo 18. Nathasa : iya (mengangguk) Selain strategi mengurangi siswa menemukan strategi menyeimbangkan (balancing) pada kedua susunan tripleksyang lain seperti dialog dibawah ini: 19. Guru : Ada lagi ngak? 20. Bela : Dikurang juga bisa (mengulangi strategi yang sudah ada) 156
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
21. 22. 23. 24. 25.
Agung Guru Nathasa Guru Bela
26. 27. 28. 29.
Guru Nathasa Guru Bela
30. Guru
: Dibagi.. : Dibagi dengan apa misalnya? : Dibagi 2..hehhe.. : Dibagi 2 (meyakinkan siswa), nah cubo kalau dibagi 2? : Kalau dibagi 2, batas sini (menunjuk batasan yang akan dibagi menggunakan jari pada kedua susunan tripleks), samosamo dibagi 2. : Selain dibagi, diapain lagi : Dikali misalnya : Misalnya susunan 1 dikaliin? : Dikali 2, bearti ditambah sepanjang ini (menunjukkan susunan tripleks) : iya..sipp
Setelah memahami strategi yang dapat digunakan untuk menyetarakan kedua susunan tripleks tersebut, maka pertemuan ketiga siswa diperkenalkan dengan lenght models yaitu alat representasi yang menggunaka garis batang dan garis bilangan. Penggunaan lenght models ini diharapkan dapat membantu siswa untuk menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan PLSV. Pada LAS 3, siswa diberikan masalah kontekstual. Masalah 1 yaitu mengenai panjang jembatan gantung yang rusak dengan cara melihat 2 kemungkinan susunan yang ada. Langkah pertama siswa mengelompokkan susunan kayu yang memiliki permukaan berbentuk persegi dan persegi panjang, selanjutnya siswa diminta menghitung panjang kayu persegi panjang jika panjang kayu persegi adalah 1 meter. Pada gambar berikut ini siswa menunjukkan bahwa panjang kayu persegi panjang adalah 3 meter, karena 1 kayu persegi panjang mewakili 3 kayu persegi. Jawaban tersebut didapat siswa dengan cara metode balancingpada pertemuan sebelumnya yaitu kedua susunan sama-sama dikurang 3 kayu persegi dan 1 kayu persegi panjang. Sehingga didapatlah panjang jembatan gantung tersebut adalah 15 meter. Secara keseluruhan siswa tidak mengalami kesulitan untuk memahami masalah 1.
Gambar 3. Jawaban siswa pada LAS 3 Selanjutnya siswa diberikan masalah 2 dengan menggunakan konteks lompatan kelinci (penggunaan garis bilangan). Namun ketika siswa menyelesaikan masalah 2, siswa kelompok 2 mengalami kesulitan, karena kesalahan memahami soal. Pada soal diberikan informasi bahwa dua kelinci (Lala dan Pow) akan disergap oleh seekor ular, sehingga kedua kelinci harus menghindar. Pada lompatan pertama Lala melompat sejauh 90 cm selanjutnya melompat 6 kali sedangkan Pow pada lompatan pertama melompat sejauh 60 cm dan kemudian melompat tujuh kali, pertanyaannya berapakah jarak 1 lompatan. Permasalahan tersebut menjadi pemahaman yang ganda bagi siswa. Siswa menggangap bahwa untuk lompatan kedua dan lompatan selanjutnya, siswa menambahkan 6 cm setelah lompatan pertama Lala, sehingga lompatan keduanya menjadi 101 cm dan lompatan kedua pada Pow menjadi 67 cm. Berikut dialog percakapan siswa yang mengalami kesulitan memahami soal pada LAS 3:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
157
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
31. Guru 32. Oksi
: Nah ini (menunjuk hasil jawaban siswa) kenapa 101 nak? : 95 ditambah 6. 6 kali lompatan Lala tadi.
Sehingga untuk tahapan selanjutnya peneliti menganti soal dengan menambahkan kata “sebanyak 6 lompatan” dan “sebanyak 7 lompatan”
Gambar 4. Lembar jawaban siswa pada LAS 3 Guru memberikan arahan kepada siswa untuk memahami selanjutnya siswa dapat menyelesaikan LAS 3 dengan menjawab bahwa setiap lompatan memiliki jarak 35 cm. Jawaban tersebut didapat dari hasil pengamatan pada diagram garis bilangan yang telah diberikan oleh guru. Pada pertemuan keempat guru membagikan LAS 4. Siswa diminta memodelkan dan menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan PLSV. Pada kegiatan ini peneliti menemukan permasalahan baru. Siswa mengalami kesulitan ketika membuat persamaan pada permasalahan yang diberikan. Hal ini dikarena pertanyaan pada soal kurang dimengerti, sehingga siswa menjawab soal no 1 dan no 2dengan menggunakan penyelesaian langsung (menggunakan garis bilangan) tanpa membuat persamaan terlebih dahulu.
Gambar 5. Siswa berdiskusi untuk menjawab permasalahan pada LAS 4 Pada soal no 3, siswa tidak diminta membuat persamaan tetapi siswa dapat menyelesaikan PLSV menggunakan garis bilangan. Siswa mengamati dan menganalisa soal dengan cara berdiskusi bersama kelompoknya. Berikut jawaban siswa pada kelompok 1 dan kelompok 2.
Gambar 6. Jawaban kelompok 1 pada soal no 3 LAS 4 158
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Gambar 7. Jawaban kelompok 2 pada soal no 3 LAS 4 Dari jawaban kedua kelompok tersebut, siswa memiliki jawaban yang hampir sama. Kedua kelompok tersebut menggunakan metode balancingyang telah diperkenalkan pada pertemuan sebelumnya namun siswa lebih terbiasa menggunakan kata “dipotong” dibandingan kata “dikurang”. Maka untuk perbaikannya peneliti akan mengajak siswa untuk lebih sering menggunakan kata dikurang walaupun kata dipotong memiliki makna yang sama. Sehingga secara keseluruhan siswa sudah bisa memahami penggunaan garis bilangan sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan PLSV.
4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa siswa dapat menggunakan lenght modelsyang dibantu dengan metode balancinguntuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel dengan cara formal serta penggunaan lenght modelsdapat meminimalkan kesalahan umum yang terjadi ketika memecahkan persamaan linear dengan satu variabel. Pemahaman siswa dikembangkan dari informal tingkat formal.
4.2 Saran Guru dapat menggunakan metode balancing dan lenght models dibantu dengan masalah kontekstual yang dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa untuk mendukung pemahaman siswa memecahkan persamaan linear dengan satu variabel, Bahkan, melalui penggunaanlenght models dan metode balancing, siswa dapat meningkatkan kemampuan penalaran, mengembangkan strategi penyelesaian dan mengemukkan ide sertadapat membuat proses belajar menjadi bermakna.
Daftar Pustaka Akker, J.V.D., Gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (2006). Educational design research. London dan New York : Routledge Taylor and Francis Group. Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer Tools. Amersfoort: Wilco Press. Dickinson, P. & Eade, F. (2004). Using The Number Line to Investigate The Solving of Linear Equations. For the Learning of Mathematics.FLM Publishing Association, Kingston, Ontario, Canada. 24 (2): 41-47.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
159
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Gravemeijer, K. (2004). Creating Opportunities For Students To Reinvent Mathematics. ICME. Regular Lecture. Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. In J. V. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenny, & N. Nieveen, Educational Design Research (pp. 17-51). London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Gravemeijer, K., & van Eerde, D. (2009). Design Research as a Means for Building a Knowledge Base for Teaching in Mathematics Education. The Elementary School Journal, 109 (5). Huntley, M., Marcus, R., Kahan, J., & Miller, J. L. (2007). Investigating high school students‟ reasoning strategies when they solve linear equations. Journal of Mathematical Behavior. 26(2): 115-139. Retrieved from the ScienceDirect database. Jupri, A., Drijvers, P., & Van Den Heuvel Panhuizen, M. (2014). Difficulties in Initial Algebra Learning in Indonesia.Mathematics Education Research Journal, 1-28. DOI : 10.1007/S13394-013-0097-0. Khuluq, M.H., Zulkardi & Darmawijoyo. (2015). Enhancing Student‟s Strategies to Solve Linear Equations with One Variable Through Balancing Activities. Proceeding the 3rd SEA-DR International conference (pp.1-10), Sriwijaya University, Palembang. McClung, Lewis W. (1998). A Study on the Use of Manipulatives and Their Effect on Student Achievement in a High School Algebra I Class.University Salem Teikyo.A ThesisPresentedtoThe Faculty of the Graduate SchoolSalemTeikyo University. Merzbach, U.C., & Boyer, C.B. (2010). A History of Mathematics. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken. New Jersey. Putri, R. I. I. (2011). Professional Development of Mathematics Primary School Teacher in Indonesia Using Lesson Study and Realistic Mathematics Education Approach.Lymasol, Cyprus: Proceeding of International Congress for school Effectiveness and Improvement (ICSEI). Saraswati, S., Putri, R.I.I.& Somakim. (2016). Supporting Students‟ Understanding of Linear Equations with One Variable Using Algebra Tiles. Jurnal IndoMS. J.M.E, 7(1), 1930. Tall, D. (1992). The Transition from Arithmetic to Algebra:Number Patterns, or Proceptual Programming?. Published in New Directions in Algebra Education, Queensland University of Technology, Brisbane, 213–231
160
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS MAHASISWA
Ika Wahyu Anita Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung [email protected]
ABSTRAK Studi ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru saat menghadapi mata kuliah analisis, sehingga perlu dikembangkan sebuah pembelajaran yang diharapkan mampu mendorong mahasiswa aktif dan kooperatif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Studi ini berbentuk penelitian tindakan kelas ini disusun dalam tiap lima kali pertemuan untuk setiap siklusnya.Sampel diambil pada mahasiswa calon guru pendidikan matematika yang menempuh mata kuliah Struktur Aljabar di STKIP Siliwangi Bandung. Instrumen penelitian berupa tes berbentuk uraian dan angket tertutup. Studi ini menunjukkan bahwa pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twoberhasil memunculkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, serta menunjukkan antusiasme mahasiswa dalam berpatner mempelajari mata kuliah. Kata kunci: The power of two, Berpikir Kritis Matematis
1. Pendahuluan Efek berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah makin dirasakan saat ini. Tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi makin nyata, terutama oleh para lulusan perguruan tinggi. Seseorang akan survive bersaing dengan tenaga ahli dari dalam dan luar negeri, apabila ia menguasai tidak hanya ilmu pengetahuan secara teoritis. Penguasaan terhadap skilldan pengalaman sangat dibutuhkan, selain itu kematangan pola pikir yang akan berpengaruh pada bagaimana seseorang mengambil keputusan dan berprilaku. Hal ini yang melatarbelakangi Perpres RI no.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyatakan bahwa kualitas lulusan yang dihasilkan harus sesuai dengan pencapaian pembelajaran lulusan.Setiap universitas dan sekolah tinggi harus membekali mahasiswa lulusannya tidak hanya dengan ilmu secara teoritis, namun juga ketrampilan, konsep pola pikir yang matang dan penguasaan lapangan Menyesuaikan dengan arahan KKNI, program studi pendidikan matematika STKIP Siliwangi Bandung menyusun misi yaitu menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran untuk menghasilkan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi, berdaya saing nasional, mampu mengembangkan diri, tanggap dan dapat mengikuti dan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan kemajuan IPTEK khususnya yang menyangkut pendidikan matematika (Tim SPMI, 2014). Misi ini yang harus senantiasa dijadikan patokan bagi dosen untuk mengajar. Perkuliahan harus diarahkan salah satunya untuk membentuk pola pikir mahasiswa sehingga berpengaruh pada kemampuan untuk menjadi problem solve
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
161
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Setiap mata kuliah yang diajarkan seyogyanya mahasiswa terus didorong untuk mampu mengembangkan pola pikirnya hingga pada tahap berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking). Mata kuliah Struktur Aljabar adalah salah satu mata kuliah yang menuntut mahasiswa untuk mampu menganalisis dan menemukan pembuktian dan penyelesaian merujuk pada konsep-konsep berupa definisi, aksioma, dan teorema, bukan sekedar penggunaan rumus dan melakukan perhitungan operasional, sehingga perlu penajaman proses berpikir kritis matematis. Hal ini sejalan dengan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran BSNP bahwa matematika digunakan sebagai cara bernalar (berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama) (Hidayat, 2012). Konsep berpikir kritis yang diambil pada penelitian ini sejalan dengan pendapat Sumarmo (2012) bahwa berpikir kritis adalah berpikir evaluatif yang melibatkan kriteria yang relevan dalam mengakses informasi disertai dengan ketepatan, relevansi, kepercayaan, konsistensi dan konsep bias. Berpikir kritis ini dimungkinkan akan efektif jika dilakukan dengan pembelajaran dalam kelompok kecil. Selanjutnya Sumarmo pada tulisan yang sama juga menyebutkan indikator kemampuan berpikir kritis yaitu: 1) memusatkan pada suatu pertanyaan, 2) menganalisa argumen, 3) bertanya dan menjawab untuk klarifikasi, 4) menggunakan sumber yang terpercaya, 4) menggunakan sumber terpercaya, 5) mengamati dengan kriteria, 6) deduksi da induksi, 7) membuat pertimbangan, 8) bertanya secara jelas dan beralasan, 9) berusaha memahami dengan baik, 10) menilai sesuatu secara menyeluruh, 11) tetap relevan ke masalah pokok, 12) berusaha mencari alternatif. Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two merupakan pembelajaran yang menunjukkan manfaat bersinergi bersama. Pembelajaran ini menitikberatkan pada belajar bersama dalam kelompok sangat kecil berjumlah dua orang. Pembelajaran ini bertujuan untuk menumbuhkan kerjasama secara maksimal melalui kegiatan pembelajaran oleh teman sendiri untuk mencapai kompetensi (Mafatih, 2007). Dari hasil penelitian yang dilakukan Asmawati tahun 2012 dan Suprihatin tahun 2013pada siswa di sekolah, menunjukkan pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar dan pencapaian siswa. Pembelajaran dengan konsep The Power of Two membagi peserta didik belajar bersama dalam kelompok kecil secara heterogen baik kemampuan, ras, jenis kelamin, dan satu sama lain saling membantu (Trianto, 2007). Hal ini dimungkinkan untuk mahasiswa berdiskusi dengan lebih efektif. Dosen memberi stimulasi berupa permasalahan yang harus dianalisis dan disusun pembuktian-pembuktian dan penyelesaiannya. Sehingga judul penelitian ini yaitu “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe The Power of Two Untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa”. Tujuan dari penelitian ini yaitu: untuk mengetahui dan menelaah perkembangan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa melalui penerapan pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two.
2. Metode Penelitian Penelitian ini berupa penelitian tindakan kelas untuk mencari formula terbaik melalui pembelajaran berulang yang terus menerus dan berkesinambungan. Penelitian ini terdiri dari dua siklus pembelajaran dimana setiap siklus terdapat rantai kegiatan yang berulang, yaitu rencana, tindakan, observasi/ pengamatan dan refleksi. Tidak ada pembatasan banyaknya siklus pembelajaran, sehingga dosen dapat menghentikan siklus jika dirasa tujuan telah tercapai.Penelitian yang direncanakan yaitu lima kali pertemuan untuk setiap siklus. Model
162
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
tindakan kelas diambil dari model Kemmis dan Mc. Taggart (Hendriana dan Afrilianto, 2014) seperti gambar berikut: Siklus 2 Rencana Siklus 1 Rencana
Refleksi
Refleksi Tindakan
Tindakan Observasi
Observasi Gambar 1 Model Kemmis dan Taggart Sampel penelitian adalah mahasiswa calon guru matematika program studi pendidikan matematika di STKIP Siliwangi Bandung berjumlah 39 orang yang menempuh mata kuliah Struktur Aljabar pada tahun ajaran 2016/2017. Sesuai dengan tipe siklus yang dipilih, tahap perencanaan dilakukan denganmenyiapkanseluruh perangkat pembelajaran dan instrumen. Tahap pelaksanaan tindakan yaitu pembentukan kelompok kecil berjumlah dua orang dengan pola pembagian acak, dimana dosen membagi patner belajar tanpa dasar tertentu. Kemudian dosen memberi stimulus berupa penjelasan mengenai konsep yang dipalajari, setelah itu beberapa permasalahan diberikan yang harus dipecahkan bersama. Pada tahap ini juga dilakukan tahap observasi, dimana dosen berkeliling untuk melihat bagaimana mahasiswa beradaptasi dengan patnernya untuk merumuskan penyelesaian dari permasalahan yang diberikan. Tahap refleksi berisi kegiatan presentasi dari beberapa kelompok yang memiliki penyelesaian yang berbeda dengan kelompok lain dilanjutkan dengan pengambilan keputusan penyelesaian mana yang paling tepat, paling sesuai dan paling mudah dipahami seluruh mahasiswa. Kegiatan evaluasidilakukan dosen berdasar proses kerja selama waktu diskusi dan presentasi,serta tugas. Instrumen berupa lembar observasi keaktifan dan sikap mhasiswa selama proses perkuliahan berlangsung dengan jawaban ya atau tidak. Dimana jawaban “ya” diberi skor 1 dan jawaban “tidak” diberi skor 0. Analisis observasi dilakukan dengan deskriptif kuantitatif. Kedua data hasil observasi dan hasil tes tertulis dipersentase kemudian dilihat pengelompokan berdasar kriteria yang telah ditetapkan. Tabel 1 Pedoman Kualifikasi Hasil Observasi Persentase (p) Kriteria 0% ≤ x ≤ 25% Kurang baik 26% ≤ x ≤ 50% Cukup 51% ≤ x ≤ 75% Baik 76% ≤ x ≤ 100% Sangat baik (Barbara dan Hariastuti, 2011)
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
163
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Soal tes terdiri dari dua jenis, yaitu soal mengukur kemampuan awal mahaasiswa terhadap materi prasyarat dan soal kemampuan berpikir kritis matematis. Tes kemampuan berpikir kritis matematis diberikan pada setiap akhir siklus dengan skor maksimal 4. Tabel 2 Kriteria Tes Kemampuan Matematis (%) Persentase (x) Kriteria 0% ≤ x ≤ 33,32% Rendah 33,33% ≤ x ≤ 66,65% Sedang 66,66% ≤ x ≤ 100% Tinggi (Rofiah dalam Pramesti et all, 2014)
3. Hasil Penelitian Sebelum pelaksanaan siklus tindakan kelas pada pertemuan pertama, dosen menjelaskan model pembelajaran yang akan dilaksanakan selama perkuliahan. Dosen mengajak mahasiswa untuk membuat peraturan bersama dalam perkuliahan. Kemudian dosen mengingatkan kembali tentang beberapa materi prasyarat pada mata kuliah ini. Di akhir, dosen melakukan tes awal untuk mengukur penguasaan mahasiswa terhadap materi prasyarat. Dosen berusaha untuk menekankan pada mahasiswa untuk dapat berperan aktif dalam pembelajaran jika ingin berhasil pada mata kuliah Struktur Aljabar. Tes awal menunjukkan bahwa kemampuan awal mahasiswa dengan kriteria tinggi sebesar 19,11%, kriteria sedang sebesar 35,23% dan kriteria rendah sebesar 45,66% dengan rata-rata nilai tes yang dicapai yaitu 15,5. Sedangkan pada pra siklus kualifikasi hasil observasi hanya sebesar 19,02% artinya bahwa respon mahasiswa kurang baik terhadap pembelajaran. Hasil tinjauan kegiatan pra siklus ini menunjukkan mahasiswa kurang termotivasi dan menganggap bahwa pembelajaran kurang menyenangkan. Dosen diharap terus memotivasi dan memberi penguatan positif pada mahasiswa untuk berusaha lebih baik lagi selama pembelajaran. Siklus pertama dilakukan dalam lima kali pertemuan. Pertemuan pertama materi yang disampaikan adalah teori himpunan, pertemuan kedua membahas operasi biner dan sifatsifatnya, pertemuan ketiga membahas tentang relasi, fungsi, pemetaan dan relasi ekuivalen, pertemuan keempat membahas grup dan subgrup. Selama empat pertemuan, dosen memberi penugasan dirumah. Hal ini dilakukan agar setiap mahasiswa makin terbiasa dengan patnernya masing-masing. Pertemuan kelima dilakukan tes kemampuan berpikir kritis matematis. Analisis data dan hasil observasi pada siklus pertama menunjukkan bahwa kriteria tinggi sebesar 29,01%, kriteria sedang sebesar 40,65% dan kriteria rendah sebesar 30,34% dengan rata-rata nilai tes yang dicapai yaitu 18,5. Sedangkan kualifikasi hasil observasi sebesar 40,39%. Hasil observasi menunjukkan peningkatan aktifitas mahasiswa yang cukup besar dibanding dengan hasil observasi pra siklus. Siklus kedua juga dilakukan dalam 5 kali pertemuan. Perencanaan dan tindakan yang disusun hampir sama dengan pelaksanaan pada siklus pertama, namun dilakukan beberapa perbaikan dan penambahan waktu diskusi. Dosen memberi kesempatan lebih banyak pada
164
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
mahasiswa untuk berinteraksi baik dengan dosen maupun antar kelompok. Dosen juga mendorong untuk setiap mahasiswa lebih banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan teman sekelompoknya, salah satu cara yang diambil adalah dengan memberi banyak tugas yang harus diselesaikan bersama. Pada pertemuan pertama pada siklus kedua ini materi yang dibahas adalah grup abelian dan sifat-sifatnya, pertemuan kedua membahas grup permutasi, pertemuan ketiga membahas subgrup permutasi, sedangkan pertemuan keempat membahas grup siklik dan pertemuan kelima dilakukan tes kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa yang kedua. Analisis data pada siklus kedua menunjukkan bahwa 41,27% dengan kriteria tinggi, 44,06% kriteria sedang dan 14,67% mahasiswa dengan kriteria rendah dengan rata-rata nilai tes 25,75. Sedangkan kualifikasi hasil observasi meningkat sebesar 50,09%. Dari hasil perbandingan antara pra siklus, siklus pertama dan siklus kedua menunjukkan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa. hal ini menunjukkan bahwa pola pikir kritis mahasiswa sudah mulai berkembang walau masih perlu dikembangkan lebih lanjut.Dapat dilihat bahwa mahasiswa secara keseluruhan berada pada kategori sedang, ini dimungkinkan untuk melakukan studi lebih lanjut untuk lebih meningkatkan tingkat perkembangan pola pikir kritis mahasiswa. Hasil observasi menunjukkan keaktifan dan aktivitas mahasiswa cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two ini dapat meningkatkan keterlibatan dan keaktifan belajar. Hal ini juga menunjukkan bahwa belajar bersama akan lebih efektif daripada belajar secara individu. Studi ini dapat dijadikan rujukan oleh mahasiswa untuk lebih meningkatkan hubungan dengan teman sejawatnya dalam belajar sehingga dapat saling memberi semangat dan motivasi dan saling memberi engaruh yang positif satu sama lain.
4. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh yaitu: 1) Perkuliahan dengan pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Two yang dilaksanakan berjalan dengan cukup baik; 2) Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twodapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa; 3) Pembelajaran Kooperatif tipe The Power of Twodapat meningkatkan keterlibatan serta keaktifan mahasiswa dikelas serta menjadikan hubungan antar mahasiswa terjalin dengan lebih baik, sehingga pada akhirnya akan mendukung pencapaian pembelajaran yang lebih merata karena adanya saling kerjasama yang positif.
Daftar Pustaka Barbara, F.Y. & Hariastuti, R. T. (2011). Meningkatkan Partisipasi Siswa Mengikuti Layanan Informasi Melalui Penggunaan Media Permainan. Jurnal Psikologi Pendidikandan Bimbingan, 12 (2), 1-13. Hendriana, H. & Afrilianto, M. (2014). Panduan bagi Guru, Penelitian Tindakan Kelas Suatu Karya Tulis Ilmiah. Bandung: Refika Aditama Hidayat, W. (2012). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW). Makalah pada Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. UNY
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
165
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Mafatih, A. B. H. (2007). Makalah Strategi Belajar dengan Cara Kooperatif (Bidang Studi IPS). Tersedia di http://media.diknas.go-id. Diakses pada tanggal 01 Desember 2016. Pramesti, G. et all. (2014). Pengembangan Media Game Intraktif Bilingual Berbasis Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Atas. Infinity, Vol.3, no.1, 1-17. Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses berpikir Matematika Program S2 Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung. Tim SPMI. (2014). Profil STKIP Siliwangi Bandung. Bandung: STKIP Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka
166
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGARUH VISUAL BASIC APPLICATION FOR EXCEL TERHADAP KEMAMPUAN KREATIF MAHASISWA TENTANG DEFINISI DAN TEOREMA MATEMATIKA Martin Bernard Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi [email protected]
Abstrak Microsoft Excel merupakan software pengolahan data berupa angka yang sering digunakan orang pada umumnya, dan software tersebut sangat mudah ditemui. Karena berhubungan dengan angka sebenarnya dapat dibuat menjadi alat bantu untuk mengajarkan mata kuliah matematika terutama membantu untuk menjelaskan tentang definisi dan teorema matematika yang merupakan hambatan yang sulit dipelajari oleh kebanyakan mahasiswa. Beberapa kunci yang mereka haru menguasai definisi dan teorema matematika yaitu pertama memahami langkah-langkah algoritma bahasa program Visual Basic, bisa dikatakan bahwa bahasa tersebut mudah dimengerti dibandingkan bahasa program lainnya dan bahasa tersebut sudah tersedia di dalam program Microsoft Excel itu sendiri, kedua menulis dan merencakan semua keterangan tentang definisi atau teorema secara teliti setelah itu memasukan ke dalam bahasa program untuk memproses hasil yang akan di tampilkan ke dalam layar pada Microsoft Excel dan ketiga dibutuhkan kreatif mahasiswa untuk menyusun bahasa program dari masing-masingnya untuk menciptakan suatu karya dengan hasil sesuai dengan definisi dan teorema matematika dan tujuannya untuk melihat pengaruh kemampuan kreatif mahasiswa untuk memberikan contoh dari definisi dan membuktikan teorema. Kata Kunci : Microsoft Excel, Visual Basic, Kemampuan Kreatif
A. Pendahuluan Pada umumnya pelajaran matematika merupakan pelajaran yang dikatakan cukup sulit karena mahasiswa pada awalnya belum mengerti sesungguhnya kegunaan dari matematika yang diaplikasikan kedalam aktivitas sehari-hari dan kebanyakan dari mereka bahwa matematika hanya dihubungkan dengan angka dan rumus saja. Oleh sebab itu saat ditanyakan tentang definisi keterkaitan dengan mata kuliah mereka masih belum bisa mengerti dan butuh diberikan beberapa contoh secara lisan atau tertulis tetapi mahasiswa membutuhkan banyak bukti yang lebih, apalagi membuktikan tentang teorema yang dikaitkan dengan definisi dan teorema lain yang sudah dibuktikan dengan tepat, pastinya dibutuhkan untuk memunculkan kemampuan kreatif mahasiswa. Untuk memunculkan kemampuan kreatif, mahasiswa dibutuhkan adanya contoh berupa media pembelajaran yang mampu dapat menyampaikan kepada mahasiswa tentang definisi dan pembuktian matematika, salah satu media tersebut adalah berbasis TIK dengan menggunakan software Microsort Excel yaitu software yang banyak menggunakan pengolahan data, dengan fungsi-fungsi khusus untuk membuat hasil secara automatis. Oleh sebab itu fungsi-fungsi Microsoft Excel dapat dimanfaatkan dengan beberapa banyak cara penjelasan mengenai pembuktian teorema dan memahami definisi matematika.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
167
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Agar media pembelajaran tentang pembuktian teorema dan memahami definisi matematika lebih menarik dan interaktif maka dibutuhkan software yang membantu untuk langkahlangkah sampai terbuktinya hasil yang sesuai dengan perintah apakah teorema tersebut dapat dibuktikan atau tidak. Sehingga memunculkan ide dan gagasan baru untuk memecahkan masalah pada teorema-teorema lain dengan menngunakan bahasa program dengan berbagai cara pada tujuan yang dicapai.
B. Kajian Pustaka 1.
Kemampuan Kreatif Mahasiswa
Berpikir kreatif mahasiswa merupakan proses berpikir mahasiswa untuk memunculkan ide atau gagasan yang baru untuk menyelasaikan suatu masalah yang diberikan. Johnson (Riyanto, 2007:214-215) mengatakan, “Berpikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga”. Indikator berpikir kreatif, menurutMunandar (Anisa, 2012:9) yaitu, a. Berpikir Lancar (Fluency), b. Berpikir Luwes (Flexibility), c. Berpikir Orisinal (Originality), d. Berpikir Elaboratif (Elaboration). 2. Visual Basic For ExcelPembelajara Matematika Visual Basic for Application for Exceladalah suatu program yang dirancang untuk kebutuhan aplikasi Microsoft Office (Birnbaum, 2004:1). Tujuannya yaitu untuk mempermudah pengerjaan yang yang hubungannya dengan pengolahan data, mempercapat akses dari microsoft ke program lain, merancang program menjadi lebih interaktif. Sebenarnya VBA untuk Microsoft Excel dibuat untuk mempermudah pengolahan data angka, tetapi sekarang VBA tersebut dapat dimanipulasikan kebentuk lain seperti membuat animasi dalam pembelajaran matematika supaya lebih interaktif. Alasan kuat bahwa mengapa sofware Microsoft Excel lebih cocok dalam bidang pendidikan Matematika, alasannya, kebanyakan pembelajaran matematika lebih banyak teori dan rumus-rumus yang diajarkan belum dapat dipahami hanya cukup dihafalkan dan belum memahami cara bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari apalagi jika disuruh membuktikan soal matematika yang dihadapi mahasiswa terlalu sulit untuk cara merancang strategi yang tepat, maka cocok sekali jika gambaran tersebut dapat dituangkan ke dalam bentuk gambar atau tampilan yang lebih interaktif serta tidak memakan waktu yang banyak untuk menjelaskan dibandingkan dengan pembelajaran cara biasa. Dan tidak perlu khawatir untuk mencari mencari banyak software karena software tersebut lebih banyak ditemukan di dalam program komputer (Jacobson, 2012:93)
C. Pembahasan Ada beberapa contoh langkah-langkah untuk membuat definisi dan pembuktian teorema yaitu bagaimana menjelaskan tentang definisi tentang bilangan prima. Pertama definisi bilangan prima (Burton, 2011,39) adalah seatu bilangan bulat jika dan hanya jika pembagi positif adalah 1 dan p. Dan suatu bilangan bulat lebih besar 1 bukan prima adalah Komposit.
168
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Jika dilihat dari definisi bahwa bilangan prima merupakan bagian dari bilangan asli, sekarang buat algoritma bahasa program untuk bilangan Asli.
Klik 2 kali Masukan kode VBA
Gambar 1. Membuat Tampilan Bilangan Asli Perhatikan pada gambar 1, harus disesuaikan bahwa bilangan Asli merupakan himpunan bagia dari bilangan bulat positif yang dimulai dari 1. Maka kita deklarasikan terlebih dahulu a dan b merupakan bilangan bulat dimana Dim a,b As Integer merupakan fungsi untuk menjelaskan a dan b adalah bilangan bulat dimana a merupakan nilai terakhir bilangan asli atau batasannya sedangkan b berfungsi untuk menambah satu-satu dimulai dari angka 1 sampai 100 fungsi untuk menkonter adalah For b = 1 To a Range("A" & 1 + b) = b Next b Fungsi range adalah menampilkan angka di jendela Microsoft Excel. Setelah itu pilih diantara bilangan asli yang merupakan bilangan prima lalu ber warna untuk melihat perbedaan. Yang perlu dibutuhkan sebelum membuat tampilan bilangan prima,terlebih dahulu mahasiswa merancang definisi bilangan prima sehingga bisa ditampilkan ke dalam jendela Microsoft Excel.
Bilangan Prima Bilangan Bulat
Bilangan lebih besar dari 1
Bilangan yang bisa dibagi 1 dan bilangan itu sendiri
Gambar2. Diagram Definisi Bilangan Prima Setelah membuat rancangan bilangan prima baru masukan ke dalam bahasa program Visual Basic Application for Excel.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
169
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Klik 2 kali
Masukan kode VBA
Gambar 3. Menampilkan Bilangan Prima Private Sub CommandButton2_Click() Dim a, b, c As Integer a = Range("C2") Range("A3").Interior.Color = vbRed For b = 1 To a c = Range("A" & 1 + b) For d = 2 To b - 1 e = c Mod d If e = 0 And d <> b - 1 Then Range("A" & 1 + b).Interior.Color = vbGreen Exit For Else If e <> 0 And d = b - 1 Then Range("A" & 1 + b).Interior.Color = vbRed Exit For End If End If Next d Next b End Sub Membuktikan Teorema Sisa Bagi (Chinese Reminder)
Gambar 4. Memberikan contoh Soal
170
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Mahasiswa diberikan salah satu contoh soal dari teori bilangan yaitu tentang soal sisa bagi dan dari pernyataan diatas mahasiswa diperintahkan untuk mencari berapa banyak nilai yang munkin diperoleh.
Gambar 5. Hasil Diskusi dari ide Mahasiswa Mahasiswa membuat ide atau gagasan baru yang dituangkan ke dalam tulisan di Whiteboard sebagai gambaran beberapa kemungkinan cara.
Gambar 6. Memasukan langkah-langkah ke Kode VBA Membuat rancangan dengan menggunakan tabel dimana ide-ide tersebut dihubungkan dengan bahasa program Visaul Basic, dalam bentuk tulisan di dalam Whiteboard. Tujuannya agar mahasiswa memahami hubungan definisi matematika ke fungsi Visual Basic.
Gambar 7. Membuat Rancangan ke Tampilan Excel
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
171
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Berdiskusi dengan mahasiswa jika ada beberapa kesalahan-kesalahan atau ide tambahan lagi asalakan tidak mengurangi aturan yang sesuai dengan definisi-definisi dan teorema-teorema matematika yang sudah disepakati. Dari sini mahasiswa akan memunculkan ide-ide baru dari banyak pendapat mahasiswa.
Gambar 8. Membuat VBA dengan ide lain Setelah selesai membuat tulisan bahasa program di Whiteboard, mahasiswa mencoba memasukan tulisan tersebut ke dalam Visual Basic for Excel untuk melihat tampilan hasil di Microsoft Excel
Gambar 8. Hasil dari Mahasiswa Hasil pengerjaan dapat dilihat saat program tersebut dijalankan, hal ini mahasiswa memahami dan dapat memberikan kesimpulan cara langkah-langkah untuk menemukan bilangan dari sisa bagi dengan bantuan Microsoft Excel. Hasil Visal Basic untuk Excel dapat dilihat di bawah ini.
172
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
D. Kesimpulan Klik 2 kali
Masukan kode VBA Gambar 10. Hasil Tampilan dari Mahasiswa Private Sub CommandButton1_Click() On Error Resume Next Dim a As Integer Dim b As Integer Dim c As Integer Dim d As Integer Dim e As Integer Dim f As Integer Dim g As Integer Range("H2") = Range("H2") + 1 a = Range("H2") Range("D" & 2 + a) = Range("A3") * a + Range("B3") b = Range("D" & 2 + a) Mod Range("A4") If b = Range("B4") Then Range("I2") = Range("I2") + 1 c = Range("I2") Range("E" & 2 + c) = Range("D" & 2 + a) d = Range("E" & 2 + c) Mod Range("A5") If d = Range("B5") Then Range("J2") = Range("J2") + 1 e = Range("J2") Range("F" & 2 + e) = Range("E" & 2 + c) f = Range("F" & 2 + e) Mod Range("A6") If f = Range("B6") Then Range("K2") = Range("K2") + 1 g = Range("K2") Range("G" & 2 + g) = Range("F" & 2 + e) End If End If End If End Sub
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
173
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Private Sub CommandButton2_Click() Dim a As Integer a = Range("H2") For i = 0 To a Range("D3:G" & 2 + Range("H2")) = "" Next i Range("H2:K2") = 0 End Sub D. Hasil MahasiswaSetelah Pembelajaran dan Pembuktian Matematika dengan menggunakan Visual Basic Application for Excel
Gambar 11. Hasil Buatan Mahasiswa untuk membuat Projek Setelah memahami cara bagaimana penerapan Visual Basic untuk Microsoft Excel dari berbagai contoh, mahasiswa disuruh membuat projek yang dapat bermanfaat dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan definisi-definisi dan teori-teori matematika dalam mata kuliah Aplikasi TIK dalam Pembelajaran Inovatif Matematika.
E. Kesimpulan Visual Basic For Excel merupakan software yang pengolahan angka yang dapat dimanipulasikan kedalam bentuk pembelajaran matematika untuk membantu mahasiswa memahami langkah-langkah untuk mencari hasil yang dinginkan dari teorema-teorema matematika yang bagi mahasiswa sulit dipecahkan. Selai itu juga membantu mahasiswa dapat memunculkan ide-ide dan gagasan baru yang bisa membuat aplikasi dalam pembelajaran matematika.
Referensi Anisa, Y. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dengan Metode Improve.STKIP Siliwangi. Cimahi: Tidak diterbitkan.
174
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Birnbaum, D. (2005). Microsoft Excel VBA Programming for the Absolute Biginner Second Edition. Thomson Course Technology PTR. Boston Burton, M. D. (2011). Elementary Number Theory. McGrawHill Companies Inc. University of New Hampshire. New Hampshire Jacobson, R (2007). Step by Step Office Excel 2007 Visual Basic for Applications. Online Training Solution inc. Washington Riyanto, Y. (2007). Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Learning Center (MLC)
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
175
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
ANALISA TERHADAP KECEMASAN MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA
Masta Hutajulu STKIP Siliwangi Bandung [email protected]
ABSTRAK Kecemasan adalah bagian hidup manusia. Penelitian ini mengamati kecemasan mahasiswa calon guru matematika yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Prestasi para calon guru selama berkuliah dan keaktifan mereka berorganisasi semasa kuliah, tidak menjadikan mereka manusia yang tidak memiliki kecemasan. Masalah keuangan, berubahan status dari mahasiswa menjadi guru, tanggung jawab, hidup jauh dari keluarga, dan yang lainnya; adalah hal-hal yang dicemaskan para calon guru. Kata Kunci: Kecemasan, Mahasiswa Calon Guru Matematika.
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembentukan dan pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi era globalisasi. Sumber daya manusia yang dimaksudkan perlu memiliki keterampilan yang meliputi berpikir kritis, sistematis, logis, dan mampu bekerja sama, serta mengembangkan kreativitas dan inovasi serta kemampuan untuk berargumentasi atau mengemukakan ide-ide untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan. Untuk itu, pendidikan di Indonesia harus ditingkatkan supaya tercipta sumber daya manusia yang memiliki keterampilanketerampilan tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia adalah dengan mencetak para pendidik yang berkualitas. Guru sebagai pendidik yang akan memfasilitasi siswa dalam menemukan pengetahuan haruslah memiliki kualitas yang memadai. Para calon pendidik ini ditempa dalam suatu pendidikan untuk calon guru, yang pada saat ini banyak terdapat di Indonesia. Tuntutan perkuliahan dan tantangan dunia kerja setelah menyelesaikan perkuliahan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap mahasiswa calon guru. Menyelesaikan perkuliahan tepat waktu dan memasuki dunia kerja adalah suatu hal yang ditunggu setiap mahasiswa. Bukan hanya para mahasiswa yang telah berjuang dalam perkuliahan yang menantikan hal ini, orang tua dan keluarga juga mengharapkan hal tersebut segera terwujud. Tantangan yang dihadapi beragam oleh masing-masing individu. Tidak jarang dalam menghadapi kesemuanya itu terdapat rasa cemas. Menurut Wilson (Makur, 2015: 2), kecemasan matematika pada calon guru merupakan isu penting karena berpengaruh sangat penting pada persiapannya menjadi guru kelak. Demikian pula, Uusimaki dan Nason (Makur, 2015: 2) menjelaskan bahwa kecemasan matematika mahasiswa calon guru matematika jika dibiarkan
176
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
akan ditularkan kepada siswanya nanti dan tentunya akan berakibat pada kecemasan matematika yang tidak berujung. Mahasiswa setelah menyelesaikan kuliah akan menghadapi tahapan baru dalam kehidupannya. Mahasiswa diharapkan memiliki tanggung jawab yang lebih dalam tahapan hidupnya yang baru, setelah ia tamat kuliah. Hal yang sama berlaku bagi mahasiswa calon guru, hanya kelebihannya adalah seorang mahasiswa calon guru atau mahasiswa fakultas pendidikan telah dibekali dengan pengalaman mengajar, setidaknya selama satu semester pada waktu ia mengikuti PPL(Program Pelatihan Lapangan). Hal ini tentu merupakan pengalaman yang berharga baginya sehingga ia sudah memiliki sedikit pengalaman tentang apa yang akan dihadapinya di dunia kerja. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecemasan dari para mahasiswa senior untuk memulai tahap yang baru dalam hidupnya (Rockler-Gladen, 2008), dan ada juga kecemasan guru dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam pendidikan (Sunarto,2008). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian untuk menganalisis kecemasan yang dihadapi oleh mahasiswa calon guru matematika, dengan judul “Analisa Terhadap Kecemasan Mahasiswa Calon Guru Matematika”
a. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan peneliti adalah 1. Bagaimanakah prestasi dari para mahasiswa calon guru ? 2. Apakah para mahasiswa calon guru matematika mengalami kecemasan? 3. Apakah mahasiswa calon guru yang berprestasi baik mengalami kecemasan?
b. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini untuk : 1. Mengetahui prestasi belajar mahasiswa calon guru 2. Menggali hal-hal yang mencemaskan mahasiswa calon guru matematika. 3. Menggali kecemasan mahasiswa calon guru yang berprestasi
2. Definisi operasional 1. Mahasiswa calon guru Matematika adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas pendidikan program studi matematika 2. Kecemasan adalah suatu emosi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan rasa takut atau khawatir akan sesuatu yang menyebabkan kenaikan detak jantung, keringat dingin ataupun gemetar. 1.2 Mahasiswa Calon Guru Matematika Mahasiswa calon guru Matematika adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas pendidikan program studi matematika. Mereka adalah calon tenaga pendidikan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang system Pendidikan Nasional, yang menyatakan : Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, yang tugasnya adalah (1) melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, (2) sebagai tenaga profesional yang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
177
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. 1.3 Kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Kecemasan sebagai keadaan mental yang tidak enak berkenaan dengan dengan sakit yang mengancam atau yang dibayangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, ketidakenakan dan perasaan yang tidak baik, yang tidak dapat dihindari oleh seseorang. Kecemasan merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan dan ditandai dengan aktifnya sistem saraf pusat (Post, 1978). Freud (Syamsu, 2006) mengatakan bahwa kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi psikologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda kognitif, motorik, afektif, dan somatik utamanya yang menyebabkan terjadinya hiperaktifitas sistem saraf otonom (Tresna, 2011). Menurut Taylor (2006), kecemasan merupakan suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman. Perasaan yang tidak menyenangkan umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain) dan gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Atkinson (1996) kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang kadang-kadang dialami individu dalam tingkatan yang berbeda-beda. Chaplin (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya kecemasan akan menyertai di setiap kehidupan manusia terutama bila dihadapkan pada hal-hal yang baru maupun adanya sebuah konflik. Menurut beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu emosi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan rasa takut atau khawatir akan sesuatu yang menyebabkan kenaikan detak jantung, keringat dingin ataupun gemetar.
II. Metodologi Penelitian A. Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif eksploratif, yang bertujuan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya kemudian menggambarkan keadaan dan mengungkapkan fakta yang ada dari informasi yang diperoleh dan selanjutnya menjelaskan secara deskriptif tentang fakta yang bersangkutan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek ataupun obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktafakta yang nampak dan sebagaimana adanya, yang meliputi interpretasi data-data dengan analisis data (Nawawi, 2000:63).
178
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
B. Tempat dan Sampel Penelitian Penelitian ini akan dilakukan STKIP Siliwangi Bandung. Subjek penelitian adalah 6 orang Semester 3 program studi pendidikan matematika. C. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah : a) Pedoman observasi Pedoman observasi berupa aspek-aspek yang akan diamati selama kuliah matematika berlangsung. Observasi yang dilakukan yaitu melalui cara pengamatan yang tidak berperan serta. Observasi dilakukan untuk mengetahui lebih dekat prestasi dan aktivitas para partisipan. b) Angket Angket berupa butir-butir pernyataan yang akan diajukan kepada calon guru matematika. Sebelum membuat pedoman angket, peneliti terlebih dulu membuat kisi-kisi pedoman angket yang dikaitkan dengan karakteristik kecemasan apa saja yang dihadapi para calon guru matematika. c) Pedoman wawancara Pedoman wawancara dalam penelitian ini berisi daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan secara lisan oleh peneliti. Dalam wawancara ini peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan instrumen wawancara yang terarah, dan hasil wawancara direkam menggunakan tape-recorder. Sesudahnya dilakukan klarifikasi.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode observasi, metode angket, metode wawancara dan dokumentasi. a) Observasi Observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. Observasi yang dilakukan yaitu melalui cara pengamatan yang tidak berperan serta. Observasi dilakukan untuk mengetahui lebih dekat prestasi dan aktivitas para partisipan. Observasi ini dipandu dengan pedoman observasi yang telah dibuat. b) Angket Angket dalam penelitian ini diberikan kepada siswa untuk mengidentifikasi kecemasan mahasiswa calon guru matematika. Angket digunakan untuk melengkapi dan memperkuat data yang telah diperoleh dari instrumen lain. Angket dalam penelitian ini adalah angket tertutup, yaitu butir-butir angket yang disajikan sudah tersedia alternatif jawaban sehingga mahasiswa calon guru tinggal memilih jawaban yang sesuai. c) Wawancara Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun. Wawancara digunakan untuk mengungkap tentang pemikiran atau gagasan guru tentang usaha-usaha yang dilakukan guru dalam mengatasi kesulitan siswa guna melengkapi serta untuk
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
179
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
melakukan crosscheck data yang telah diperoleh dari observasi. Wawancara juga dilakukan kepada mahasiswa calon guru yang mangalami kecemasan. d) Dokumentasi Dokumentasi adalah cara memperoleh data dengan melihat dan meneliti dokumen atau catatan yang berupa foto atau tulisan. Dalam penelitian ini studi dokumentasi dilakukan terhadap transkrip partisipan, atau data hasil belajar para partisipan. Dilakukan untuk mengetahui prestasi belajar mereka.
III.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan hasil observasi selama peneliti berada bersama-sama para partisipan dan studi dokumentasi yang dilakukan didapati beberapa hal yang menjadi data diri partisipan sebagai berikut: Tabel 4.1. Data diri partisipan IPK BERORGANISASI
NO
NAMA PARTISIPAN
1
Mahasiswa 1
3,56
Sangat Aktif
2 3
Mahasiswa 2 Mahasiswa 3
3,47 3,33
Sangat Aktif Aktif
4 5 6
Mahasiswa 4 Mahasiswa 5 Mahasiswa 6
3,23 3,17 3,03
Aktif Aktif Tidak Aktif
DAERAH TUJUAN MENGAJAR Kabupaten Bandung Barat Cimahi dan Sekitarnya Kabupaten Bandung Barat Cimahi dan Sekitarnya Bandung dan Sekitarnya Kabupaten Bandung Barat
Berdasarkan hasil wawancara dan angket didapati bahwa para mahasiswa calon guru ini tidak cemas tentang bagaimana mereka akan mendapat pekerjaan, hal ini disebabkan karena mereka yakin ada banyak sekolah di daerahnya masing-masing dan akan segera bias mengajar di sekolah setelah mereka menyelesaikan perkuliahannya. Tetapi untuk hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan seorang guru, mereka memiliki kecemasan yang tidak sama menghadapinya. Berikut adalah beberapa hal yang mereka cemaskan. 1. Partisipan mencemaskan hal dimana siswa-siswa yang akan mereka ajar akan memiliki sedikit saja ketertarikan dalam belajar. Mungkin karena banyaknya faktor lain yang lebih menarik perhatian mereka, mungkin karena sifat siswa yang tidak suka belajar, atau mungkin karena mereka sekolah hanya karena disuruh oleh orang-tuanya, hal sering terjadi pada siswa di daerah pedalaman. (Semua partisipan yang mencemaskan hal ini ) 2. Partisipan mencemaskan lingkungan baru yang akan mereka hadapai, orang- orang atau guru-guru yang lebih dewasa atau bahkan yang sudah tua; yang mungkin sulit bagi mereka untuk beradaptasi karena selama ini mereka lebih sering bergaul dengan orangorang muda seusia mereka. (Ada 4 partisipan yang mencemaskan hal ini) 3. Partisipan kuatir tidak dapat dengan sempurna atau mantap dalam menjalankan tanggung jawab yang diberikan pertama kali pada mereka. Khususnya jika diminta mengajar pada level siswa yang berbeda dengan siswa yang mereka ajar waktu mengikuti PPL, yang berarti suatu pengalaman baru bagi mereka. (Semua partisipan sedikit banyak mencemaskan hal ini )
180
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
4. Partisipan mencemaskan hal keuangan, sanggupkah mereka mengatur penggunaannya agar mencukupi kebutuhan mereka? Hal ini mengingat selama ini mereka tidak pernah bermasalah dengan masalah uang sekolah dimana mereka tidak membayarnya sendiri, dan juga mereka selalu dibantu oleh orang tua mereka dalam pemenuhan kebutuhan mereka. (Ada 3 partisipan yang mencemaskan hal ini) 5. Partisipan mencemaskan kemonoton-an dalam pekerjaan mereka sebagai guru, dimana mereka harus mengajar setiap hari . (Ada 3 partisipan yang mencemaskan hal ini) 6. Partisipan mencemaskan jika harus mengajar bersama guru lain secara bergantian pada kelas yang sama, yang memungkinkan terjadinya ketidak-cocokan atau persaingan (Semua partisipan mencemaskan hal ini) 7. Karena kurangnya guru di tujuan mereka, partisipan mencemaskan jika kepada mereka diberikan kepercayaan menjadi guru tunggal, misalnya di SMP atau SMA kelas 1,2,3. Khususnya jika harus mengajar siswa kelas 3 yang akan menghadapi UN; atau diberikan banyak tanggung jawab. (Ada 3 partisipan mencemaskan hal ini) 8. Partisipan mencemaskan kondisi jauh dari rumah akan membuat mereka rindu pada keluarga dan tidak dapat berbagi permasalahan dengan keluarga. (Dua partisipan yang semasa kuliahnya tinggal dekat dengan keluarganya mencemaskan hal ini)
Diskusi dan Kesimpulan Prestasi para mahasiswa calon guru dalam penelitian ini dan keaktifan mereka berorganisasi tidak menjadikan mereka manusia yang tidak memiliki kecemasan. Mereka menyadari keterbatasan mereka selaku orang-orang muda yang belum berpengalaman, yang masih perlu banyak belajar untuk dapat menjadi guru yang baik. Kecemasan mereka tentang keuangan, berubahan status dari mahasiswa menjadi guru, tanggung jawab, dan hidup jauh dari keluarga, semuanya tercakup juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Rokler-Gladen (2008) yang berjudul College Senior Year Graduation Blues. Pada penelitian ini Rokler-Gladen menjelaskan tentang bagaimana mahasiswa yang tidak gembira di hari wisudanya karena cemas memikirkan tentang masalah-masalah keuangan, identitas mereka yang baru, kurikulum, nilai akademik, mencari pekerjaan, kerinduan pada rumah, perubahan status, dan tanggung jawab, yang akan mereka hadapi. Walau mengungkapkan berbagai kecemasan seperti yang telah dinyatakan diatas, para mahasiswa calon guru dalam penelitian ini menyatakan juga bahwa menjadi guru yang baik memerlukan suatu proses dan mereka menyatakan siap untuk menghadapi tantangan dari tugas mereka menjadi guru di waktu mendatang.
Daftar Pustaka Atkinson dkk. (1996). Pengantar Psikologi.Jilid Kedua. Edisi Kedelapan, Jakarta: Erlangga. Chaplin,J.F. (2001). Kamus Lengkap Psikologi, Terjemahan. Jakarta: Rajawali. Diknas (2003) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang system Pendidikan Nasional
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
181
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Makur, A.P & Prahmana, R.C.I. (2015). Penyebab Kecemasan Matematika Mahasiswa Calon Guru Asal Papua. Jurnal Elemen, Vol 1. No. 1. Hal 1-12. Nawawi, H. (2000). Penelitian terapan. Yogyakarta : Gajah Mada University. Post.
(1978). Definisi Kecemasan.(online). http//www.definisikecemasan//pengertian.com.
Tersedia:
Rokler-Gladen (2008) College Senior Year Graduation Blues. Tersedia : http://campuslife.suite101.com/article.cfm/senior_year_graduation_blues#ixzz0EbxS z2Pe&B Sunarto
(2008) Membangun Kompetensi Guru Efektif . Tersedia http://www.google.co.id/search?q=kecemasan+calon+guru&ie=utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
:
Syamsu,Yusuf,L.N. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya. Taylor,S.E. (2006). Health Psychology. Singapore: Mc.Graw Hill. Inc. Tresna. (2011). Efektivitas Konseling Behavioral dengan Teknik Desensitisasi Sistematis untuk Mereduksi Kecemasan Menghadapi Ujian.Edisi khusus 1 Agustus 2011:90104 Wahyudin (2009) Metodologi penelitian Pendidikan. Bandung : UPI
182
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN PENDEKATAN INDUKTIF TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA
Maya Siti Rohmah STKIP Siliwangi [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran induktif terhadap hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah aljabar umum. Penelitian kuasi eksperimen ini mengambil populasi mahasiswa STKIP Siliwangi semester I tahun ajaran 2015/2016, dengan sampel 2 kelas. Satu kelas menggunakan pembelajaran dengan pendekatan induktif, dan satu kelas lainnya dengan pembelajaran konvensional. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa yang menggunakan pembelajaran induktif lebih baik daripada hasil belajar yang menggunakan pembelajaran konvensional. Kata Kunci:Pendekatan Induktif, hasil belajar
1. Pendahuluan Pendidikan matematika, sebagai bagian dari pendidikan nasional dipelajari di setiap tingkat pendidikan. Terlebih pada tingkat perguruan tinggi yang menjuruskan mahasiswanya untuk mempelajari matematika. Program studi pendidikan matematika STKIP Siliwangi adalah salah satunya. Mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di program studi pendidikan matematika STKIP Siliwangi sangatlah beragam dengan tujuan untuk menghasilkan caloncalon pendidik yang memiliki kualitas yang baik sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berangkat dari tujuan di atas, kemampuan dasar matematika haruslah baik. Salah satu mata kuliah yang mengajarkan kemampuan dasar matematika adalah aljabar umum. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa dilatih untuk menguasai dasar-dasar aljabar, seperti logaritma, fungsi, dan deret. Mengingat keberagaman latar belakang mahasiswa, perlu dilakukan suatu pembelajaran yang dapat melatih kemampuan berfikir. Banyak model pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mata kuliah ini, salah satunya model pembelajaran induktif. Model pembelajaran induktif merupakan model pembelajaran dari khusus ke umum. Pada model pembelajaran ini, bahan-bahan yang diajarkan dimulai dari hal yang konkrit atau contoh-contoh nyata, kemudian secara perlahan mahasiswa diarahkan dan dihadapkan menuju materi yang kompleks dan sukar. Model pembelajaran induktif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, ini berarti model ini juga dapat mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Model ini pertama kali oleh Taba. Asumsi yang mendasari model ini adalah proses berfikir dapat dipelajari, proses berfikir adalah suatu transaksi aktif antara individu dan data, dan mengembangkan proses berfikir dengan urutan yang “sah menurut aturan”. (Joyce, et all, 2000).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
183
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah hasil belajar mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan model induktif lebih baik daripada mahasiswa yang pembelajarannya konvensional?. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan model induktif lebih baik daripada mahasiswa yang pembelajarannya konvensional?. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan alternatif dalam pemilihan pendekatan pembelajaran di kelas.
2.
Metode Penelitian
2.1
Desain Penelitian
Penelitian merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain posttest only control group design. (Ruseffendi, 2010) sebagai berikut: X
O O
Keterangan: X : Perlakuan menggunakan pendekatan induktif O : Tes hasil belajar
2.2
Populasi dan Instrumen
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa STKIP Siliwangi semester I tahun ajaran 2015/2016 dengan sampel dua kelas, kelas A2 sebagai kelas eksperimen dan kelas A1 sebagai kelas kontrol. Adapun instrumen yang digunakan adalah seperangkat soal tes hasil belajar yang berupa soal uraian.
Pengolahan Data
2.3
Data yang diperoleh merupakan data kuantitatif dan diolah dengan menggunakan SPSS 22. Normalitas rerata dihitung dengan menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov dan uji perbedaan rerata dihitung dengan menggunakan uji Mann-Whitney.
3. Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Tes Hasil Belajar Hasil Tes Pembelajaran N
S Induktif 45 48,6889 14,5161 Konvensional 35 34,8 21,472 Keterangan :Skor Ideal Tes = 100 Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rerata nilai hasil belajar mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran induktif lebih baik daripada rerata nilai hasil belajar mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
184
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Hasil perolehan di atas selanjutnya diuji dengan menggunakan uji perbedaan rerata untuk mendukung dekripsi hasil belajar.
3.1
Uji Normalitas Rerata N-gain
Hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan SPSS 22 terhadap rerata data N-gain, dengan taraf kepercayaan 95% disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Data Uji Normalitas Rerata Hasil Belajar Kolmogorov-Smirnov Pembelajaran Kesimpulan N Sig. Ket. Induktif 39 0,011 Ho Ditolak Tidak Normal Hasil Belajar Konvensional 35 0,188 Ho Diterima Normal Ho : data sampel berasal dari populasi berdistribusi normal Tabel 2 menunjukkan kedua data tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu pengujian perbedaan dua rerata dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney.
3.2
Uji Perbedaan Rerata Hasil Belajar
H o : 1 2 H a : 1 2 Kriteria pengujian : jika sig.> 0,05 maka diterima Adapun hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3. Data Uji Perbedaan Rerata Hasil Belajar Sig. Sig. Pembelajaran Mann-Whitney Mann-Whitney Ket. (2-pihak) (1-pihak) Induktif Hasil 0,001 0,0005 Ho Ditolak Belajar Konvensional
Kesimpulan Ha Diterima
Hasil perhitungan uji perbedaan rerata pada Tabel 3 menunjukkan signifikansi (2-pihak) hasil perhitungan uji Mann-Whitney dari data N-gain adalah 0,001. Sehingga dapat dihitung sig. (1-pihak) = 0,001 = 0,0005. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak. Artinya, hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan induktif secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3.3
Pembahasan
Rerata skor hasil belajar mahasiswa di kelas dengan pendekatan induktif berbeda cukup jauh dengan rerata skor hasil belajar mahasiswa di kelas konvensional. Setelah diuji dengan menggunakan uji perbedaan rerata, ternyata hasil belajar mahasiswa di kelas dengan pendekatan induktif lebih baik daripada hasil belajar siswa di kelas konvensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai sig.< 0,05. Menurut Yamin (2011 : 97) belajar merupakan proses peserta didik membangun gagasan/ pemahaman sendiri, maka kegiatan pembelajaran hendaknya mampu memberikan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
185
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan pembelajar. Joyce, et.al (2009:114) mengemukakan bahwa model berpikir induktif meyakini bahwa siswa sebagai peserta didik merupakan konseptor ilmiah. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan induktif di kelas dapat membuat hasil belajar menjadi lebih baik. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya, diperoleh kesimpulan hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan induktif secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Daftar Pustaka Joyce, et all.(2000). Models of Teaching. Amerika: A. Pearson Education Copmpany. Joyce, et all. (2009). Models of Teaching. (Edisi Kedelapan) (Achmad Fawaid & Ateilla Mirza, penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ruseffendi, E. T. (2010). Dasar-DasarPenelitianPendidikandanBidang EksaktaLainnya.EdisiCetakPertama. Bandung.:Tarsito. Yamin M,. (2011). Paradigma Baru Dalam Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada
186
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Non-
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENINGKATAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN PERSONALIZED SYSTEM OF INSTRUCTION Ratni Purwasih STKIP Siliwangi [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi karena kemandirian belajar mahasiswa masih rendah dan penulis mempunyai gagasan untuk menciptakan kemandirian belajar mahasiswa dan hasil belajar meningkat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan hasil sebelum dan sesudah kemandirian belajar mahasiswa melalui pembelajaran personalized system of instruction. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction (PSI) adalah model pengajaran individual atau model pembelajaran personal dan pembelajaran tuntas (mastery learning) yang lebih menekankan pada interaksi siswa dengan materi/objek belajar, serta siswa dibantu oleh seorang tutor yang dapat berupa guru atau teman satu kelasnya untuk mencapai ketuntasan belajarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian tindakan kelas untuk mengetahui seberapa meningkat kemandirian belajar mahasiswa dengan menggunakan Pembelajaran Personalized System of Instruction. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa kelas A1 angkatan 2016. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kemandirian/ belajar mahasiswa pra siklus adalah 52,91% tingkat rendah. Sedangkan hasil siklsus I dan II berturut turut sebesar 51.92% tingakt sedang dan sebesar 55,76% level tinggi. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Personalized System of Instruction mampu meningkatkan kemandirina belajar mahasiswa kelas A1 angkatan 2016. Kata Kunci: Personalized System of Instruction, Kemandirian Belajar
A. 1.1.
Pendahuluan Latar Belakang
Dalam era informasi sekarang dan suasana bersaing yang semakin ketat, dalam upaya memiliki kemampuan, keterampilan, dan perilaku positif dalam matematika, siswa perlu memiliki kemandirian belajar. Menurut Hargis dan Kerlin (Sumarmo, 2014:338) mengemukakan bahwa kemandirian belajar (self regulated learning) merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik, serta siswa yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi cenderung lebih baik dalam pengawasannya sendiri, mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif; menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya; dan mengatur belajar dan waktu secara efisien. Berdasarkan uraian diatas, terdapat tiga langkah utama dalam kemandirian belajar (Sumarmo, 2014:338, yaitu: 1) merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya, 2) memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya: dan 3) memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu. Selain cara mengajar guru, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan lemahnya siswa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
187
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
dalam kemampuan dasar matematika lainnya serta sikap belajar siswa yang kurang baik. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada siswanya. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan. Apalagi pada mahasiswa, dalam dunia kerja mereka dituntut untuk bisa lebih meningkatkan kemandirian kerja sesuai aturan dan sistem yang berlaku. Untuk itulah harus diupayakan sebuah metode atau model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan situasi siswa saat ini. Pembelajaran Personalized of System Instruction sebagai solusi permasalahan yang telah dikemukakan di atas. Menurut Majid (2013:167) bahwa Personalized System of Instruction (PSI) merupakan model pembelajaran yang dikembangkan oleh Freds Keller yang pada awalnya lebih dikenal dengan nama The Keller Plan, yang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan materi atau objek belajar. Personalized System of Instruction (PSI) ini termasuk jenis pengajaran individual dan pembelajaran tuntas (mastery learning). Model pembelajaran PSI ini berisi tujuan instruksional khusus tentang unit yang dipelajari dan bertindak sebagai penghubung antara buku teks (materi buku) dengan pertanyaan-pertanyaan (Ruseffendi, 2006:372). Model pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih jalur unit yang akan dipelajarinya serta siswa diberi keleluasaan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya (Ruseffendi, 2006:372). Sebagai suatu metode yang menerapkan sistem ketuntasan belajar, PSI sangat mementingkan perhatian terhadap perbedaan individu dalam menguasai materi yang dipelajari. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran PSI ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematik siswa, karena dengan model pembelajaran Personalized System of Instruction ini guru dapat mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi siswa yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti sejauh mana meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa melalui model pembelajaran personalized system of Instruction. 1.2. Rumusan Masalah Apakah penggunaan model pembelajaran Personalized System of Instruction pada mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD akan meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa kelas A1 2016 Pendidikan Matematika? 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menelaah peningkatkan kemandirian belajar dan hasil belajar mahasiswa kelas A1 2016 Pendidikan Matematika melalui penggunaan model pembelajaran Personalized System of Instruction pada mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD.
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Memperluas wawasan guru tentang startegi pembelajaran matematika untuk menambah hasil belajar siswanya. b. Meningkatkan kreatifitas guru menciptakan pembelajaran yang menarik c. Memperkaya pengalaman guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran matematika sesuai dengan kemampuan matematis yang akan dikembangkan.
1.5. Definisi Operasional a. Kemandirian Belajar Siswa Kemandirian belajar (self regulated learning) merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan
188
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
suatu tugas akademik. Indikator atau tiga langkah utama dalam (self regulated learning) atau kemandirian belajar yaitu: a. merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya. b. memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya. c. memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan d. dibandingkan dengan standar tertentu. b. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction Model Pembelajaran Personalized System of Instruction adalah model pengajaran individual atau model pembelajaran personal dan pembelajaran tuntas (mastery learning) yang lebih menekankan pada interaksi siswa dengan materi/objek belajar, serta siswa dibantu oleh seorang tutor yang dapat berupa guru atau teman satu kelasnya untuk mencapai ketuntasan belajarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Adapun Langkah-langkah pembelajaran PSI (Personalized System of Instruction): a. Sebelum KBM, siswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soalsoalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM. b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa. c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan. d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok. e. Presentasi hasil kerja kelompok. f. Evaluasi dan refleksi. g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.
B.
Kajian Teoritis 2.1. Kemandirian Belajar Kemandirian belajar memiliki kesamaan karakteristik arti dengan beberapa istilah diranah kognitif lainnya. Istilah tersebut antara lain diantaranya self regulated learning, self regulated thinking, self directed learning, self efficacy, dan self-esteem. Kemandirian belajar menurut ahli psikologi memiliki pengertian yang beragam, yang pertama Menurut Montalvo dan Torres (Sugandi, 2010:31) memberikan pengertian kemandirian belajar sebagai gabungan antara keterampilan dan kemauan. Kemudian Wolters, Pintrich, dan Karabenick (Sugandi, 2010:31) menegaskan bahwa kemandirian belajar adalah suatu proses konstruktif dan aktif dimana siswa menentukan tujuan dalam belajar, dan perilaku dengan dibimbing dan dibatasi oleh tujuan dan karakteristik kontekstual dalam lingkungan. Demikian pula menurut Hargis dan Kerlin (Sumarmo, 2014:110) SRL (self regulated learning) didefinisikan sebagai upaya memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif dalam suatu bidang tertentu, dan memantau serta meningkatkan proses pendalaman yang bersangkutan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa SRL merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Dalam hal ini SRL bukan merupakan kemampuan mental atau kemampuan akademik tertentu seperti kefasihan membaca, namun merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik. Selanjutnya Bandura (Sumarmo, 2014:110) mendefinisikan SRL (self regulated learning) sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri dan merupakan kerja-keras personality
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
189
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
manusia. Hampir serupa dengan Bandura, Schunk dan Zimmerman (1998) mendefinisikan SRL (self regulated learning) sebagai proses belajar yang terjadi karena pengaruh dari pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri yang berorientasi pada pencapaian tujuan. Menurut Sumarmo (2014:113) dari berbagai karakterisitik yang telah dipaparkan oleh para pakar di atas dirumuskan tiga karakteristik yang serupa yang termuat dalam pengertian SRL, adalah: 1) Individu merancang belajarnya sendiri sesuai dengan keperluan atau tujuan individu yang bersangkutan; 2) Individu memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya: kemudian 3) Individu memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu. Paris dan Winograd (Sumarmo, 2014:109) mengemukakan karakteristik lain yang termuat dalam SRL (self regulated learning) dan SRT (self regulated thinking) yaitu: kesadaran akan berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang berkelanjutan. SRL tidak hanya berpikir tentang berpikir, namun membantu individu menggunakan berpikirnya dalam menyusun rancangan, memilih strategi belajar, dan menginterpretasi penampilannya sehingga individu dapat menyelesaikan masalahnya secara efektif. Rochester Institute of Techonology (2000), mengidentifikasi beberapa karakteristik lain dalam SRL (self regulated learning) yaitu: a. Memilih tujuan belajar; b. Memandang kesulitan sebagai tantangan; c. Memilih dan menggunakan sumber yang tersedia; d. Bekerjasama dengan individu lain; e. Membangun makna; f. Memahami pencapaian keberhasilan tidak cukup hanya dengan usaha dan g. kemampuan saja namun harus disertai dengan kontrol diri. Istilah lain yang berelasi dengan SRL, dikemukakan oleh Lowry (Sumarmo, 2014:110) yaitu self directed learning (SDL) yang didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu: berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian dalam belajar adalah perubahan dalam diri seseorang dalam proses belajar secara mandiri tanpa tergantung pada orang lain untuk memecahkan suatu permasalahan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang indikator/karakteristik dari kemandirian belajar, dapat disimpulkan bahwa indikator kemandirian belajar menurut Sumarmo (2015) adalah: a. Berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; b. Mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; c. Merumuskan/memilih tujuan/target belajar; d. Memilih dan menggunakan sumber; e. Memilih strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya; f. Bekerjasama dengan orang lain; g. Membangun makna; dan h. Mengontrol diri. Adapun indikator yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Berinisiatif belajar atau merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannya; b. Memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya; dan c. Memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan d. dibandingkan dengan standar tertentu. 190
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2.2. Model Pembelajaran Personalized System of Instruction Freds Keller (Majid, 2013:167) mengatakan bahwa Personalized System of Instruction (PSI) merupakan model pembelajaranyang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan materi atau objek belajar. Pembelajaran tuntas (mastery learning)dan pembelajaran personal atau individual merupakan sistem pengajaran pada model pembelajaran Personalization System of Instruction (PSI). Tipe ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memilih jalur unit yang akan dipelajarinya serta siswa diberi keleluasaan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya dan siswa dapat meminta soal tes bila ia sudah siap untuk menempuhnya. Bila hasil ulangannya tidak memuaskan ia dapat mengulanginya. Model pembelajaran Personalized System of Instruction (PSI) ini berisi tujuan instruksional khusus tentang unit yang dipelajari dan bertindak sebagai penghubung antara buku teks (materi buku) dengan pertanyaan-pertanyaan (Nurpratama, 2014:13). Langkah-langkah pembelajaran PSI (Personalized System of Instruction) menurut (Susilawati, 2012:195): a. Sebelum KBM, siswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soalsoalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM. b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa. c. Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan. d. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok. e. Presentasi hasil kerja kelompok. f. Evaluasi dan refleksi. g. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru dan diakhiri remedial, begitu seterusnya. Ciri-ciri pembelajaran PSI (Personalized System Instruction) menurut Sukarto (Nurpratama, 2014:22) yaitu: a. Memungkinkan siswa maju menurut kemampuan masing-masing; b. Adanya persyaratan penguasaan yang sempurna bagi setiap unit pembelajaran c. sebelum maju ke unit pelajaran berikutnya; d. Menggunakan ceramah dan demonstrasi sebagai alat untuk memberikan e. motivasi kepada siswa; f. Komunikasi guru siswa ditekankan pada penggunaan materi-materi g. pembelajaran tertulis dalam bentuk program; h. Menggunakan system proctor, yaitu pemberian tes secara berulang-ulang untuk memberikan penilaian secara cepat dan sebagai umpan balik bagi pemberian bantuan kepada siswa yang membutuhkan; i. Menggunakan siswa tutor, yaitu siswa yang pandai memberi bimbingan belajar kepada siswa yang kurang atau lemah; j. Memungkinkan adanya aspek personal dan sosial dalam proses pendidikan. Prosedur Pelaksanaan Personalized System Instruction menurut Sukarto (Nurpratama, 2014:22) yaitu: a. Merumuskan sejumlah tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh siswa; b. Menentukan patokan penguasaan atau materi pembelajaran yang akan dipelajari; c. Merumuskan satuan pelajaran yang merupakan pokok - pokok bahasa yang akan dipelajari dalam rangka mencapai tujuan; d. Pokok-pokok bahasa itu dipecah ke dalam bagian bagian lebih kecil sehingga dapat dipelajari secara tuntas;
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
191
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
e.
Prosedur pembelajaran ditentukan untuk dilakukan siswa dalam rangka mencapai tujuan.
Salah satu keberhasilan pembelajaran personalized system of instructiondapat dilihat dari prestasi akademik yang dicapai oleh mahasiswa. Nilai mahasiswa dinyatakan dalam bentuk huruf A, B, C, D, dan E. Nilai matakuliah Dalam Daftar Nilai Ujian terdapat informasi tentang IPK yang merupakan rata- rata nilai yang diperoleh dalam setiap semester.
3. 3.1
Metode Penelitian Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (action research) yang terdiri dari 2 (dua) siklus dengan 6 minggu efektif pada setiap siklusnya. 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian Subyek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika kelas A1 STKIP Siliwangi yang menempuh mata kuliah metode pembelajaran matematika SD pada semester ganjil tahun ajaran 2016/2017.
3.3
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah (1) Tes prestasi belajar, untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi perkuliahan, (2) Angket kemandirian belajar mahasiswa, untuk mengukur apakah model pembelajaran yang diberikan dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa, dan (3) Angket tanggapan mahasiswa, untuk mengukur keterlaksanaan pembelajaran personalized system of intruction. 3.4 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dari Kemmis dan Targgart yang terdiri atas empat tahap yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (act), pengamatan (observe) dan kemudian refleksi (reflect). 1. Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan, peneliti mempersiapkan materi-materi perkuliahan Metode Penelitian Matematika SD yang akan disajikan melalui pembelajaran personalized system of instruction dengan kompetensi dasar yang harus dicapai mahasiswa, instrumen penelitian, dan rencana tindakan. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ini terdiri dari siklus–siklus, kegiatan setiap siklusnya adalah Pada pembelajaran personalized system of instruction awal siklus pertama, dosen menjelaskan dan mendiskusikan rencana perkuliahan meliputi gambaran pelaksanaan perkuliahan, sistem penilaian, metode pembelajaran, dan hal–hal teknis seperti bagaimana mahasiswa dapat mengikuti perkuliahan di kelas melalui pembelajaran personalized system of intruction, mengumpulkan tugas, berdiskusi dan bertanya dalam kelas dengan teman sebaya maupun dengan dosen selama satu semester. Adapun langkah pembelajaran personalized system of intructionsebagai berikut ini: a. Sebelum KBM, mahasiswa ditugasi untuk memahami materi pelajaran dan soalsoalnya, yang tidak dipahami dicatat untuk diajukan pada proses KBM. b. Posisi duduk siswa berkelompok empat orang, mengawali pembelajaran dengan apersepsi untuk membangkitkan minat siswa dari masalah yang dimiliki siswa.
192
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
c. d. e. f. g.
Siswa memperagakan konsep awal untuk mendapat kesepakatan. Pemberian masalah untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama kelompok. Presentasi hasil kerja kelompok. Evaluasi dan refleksi. Siswa yang belum memenuhi ketuntasan minimal harus ditindak lanjuti oleh guru dan diakhiri remedial, begitu seterusnya.
3. Tahap Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap proses tindakan, bagaimana perkulihan berlangsung, kesulitan apa saja yang dihadapi mahasiswa selama proses perkuliahan. Pengaruh tindakan terhadap peningkatan kemandirian dan hasil belajar juga diamati serta pengamatan terhadap hasil tindakan yang dilakukan, dan seberapa jauh tindakan membantu pencapaian tujuan penelitian. Pengamatan dilakukan oleh observer. Diskusi antara peneliti dengan observer dilakukan setelah akhir pembelajaran dan digunakan untuk pembelajaran berikutnya. 4. Tahap Refleksi Setelah siklus I berakhir, dilakukan refleksi oleh peneliti dan observer. Refleksi dilakukan berdasarkan seluruh hasil pengamatan, tugas, ujian sisipan mahasiswa dan angket kemandirian mahasiswa. Hasil dari refleksi tersebut menjadi salah satu dasar dalam penyusunan rencana tindakan pada siklus II. Apabila evaluasi pada siklus II terdapat peningkatan kemandirian dan hasil belajar mahasiswa maka siklus dihentikan. Namun apabila terjadi perkembangan sehingga peneliti memandang perlu diberikan tambahan tindakan untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan penelitian maka diberikan tindakan berikutnya pada siklus III.
3.5
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk mendekripsikan tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran persoanlized system of instruction, digunakan angket yang diberikan kapada mahasiswa. Hasil angket dianalisis dengan cara sebagai berikut mahasiswa dikatakan mempunyai tanggapan yang positif terhadap model pembelajaran persoanlized system of instructionjika jumlah persentase mahasiswa yang memilih kategori sangat setuju dan sangat setuju lebih besar dari jumlah persentase mahasiswa yang memilih kategori ragu–ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Dari penjumlahan seluruh skor dari items angket kemandirian masing-masing mahasiswa, guna memberi interpretasi skor dilakukan kategorisasi mahasiswa yaitu mahasiswa dengan kemandirian belajar tinggi, sedang, dan rendah. Mahasiswa dikategorikan mempunyai self regulated learning yang tinggi jika melakukan strategi–strategi self regulated learning. Analisis deskriptif persentase digunakan untuk menggambarkan fenomena penelitian yaitu motivasi belajar dan kemadirian belajar mahasiswa. Rumus yang digunakan adalah: P= Keterangan: P = Persentase nilai yang diperoleh n = Jumlah skor yang diperoleh N = Jumlah seluruh nilai ideal, dicari dengan cara jumlah aitem dikalikan nilai ideal tiap item (Ali 1993).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
193
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Hasil kuantitatif dari perhitungan dengan rumus tersebut selanjutnya diubah dan ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif. Variabel kemadirian belajar mahasiswa ditafsirkan secara kualitatif ke dalam lima kriteria. Menurut Hendrayana, dkk (2014) adapun langkahlangkah untuk menentukan jenjang kriteria tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Menetapkan persentase maksimal yaitu (5 : 5) x 100% = 100% b. Menetapkan persentase minimal yaitu (1 : 5) x 100% = 20% c. Menetapkan rentang persentase, Rentang persentase diperoleh dengan cara mengurangi persentase tertinggi (100%) dengan persentase terendah (20%) yaitu 80% d. Menetapkan panjang kelas interval persentase Panjang kelas interval persentase diperoleh dengan cara membagi rentang persentase dengan banyaknya kriteria. Banyaknya kriteria yang dipakai adalah sejumlah lima kriteria yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah sehingga panjang kelas interval persentasenya adalah 80% : 5 = 16%. e. Menetapkan jenjang kriteria Berdasarkan hasil perhitungan dengan tahapan-tahapan tersebut, maka jenjang kriteria penilaian tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar dapat dilihat pada Tabel 1 . Tabel 1 Kriteria Penilaian Kemandirian Belajar Interval Kriteria 85%-100% Sangat Tinggi 69%-84% Tinggi 53%-68% Sedang 37%-52% Rendah 20%-36% Sangat Rendah Kriteria penilaian kemandirian belajar pada Tabel 1, dapat mempermudah peneliti dalam menentukan gambaran tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar mahasiswa.
3. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis, diperoleh tingkat motivasi belajar dan kemandirian belajar mahasiswa kelas A1 mata kuliah Metode Pembelajaran Matematika SD yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil Evaluasi Pra Siklus KrKriteria Kemandirian Belajar Jumlah Presentase Sangat Tinggi 3 5,77 Tinggi 10 19,23 Sedang 12 23,08 Rendah 27 51,92 Sangat Rendah 0 0 Berdasarkan Tabel 2penelitian tentang kemandirian belajar mahasiswa menunjukkan bahwa rata- rata tingkat kemandirian mahasiswa termasuk dalam kriteria rendah dengan persentase 51,92%. Banyak faktor yang mempengaruhi kontribusi terhadap pencapaian nilai rata- rata mahasiswa, salah satunya motivasi belajar. Motivasi belajar sangat penting dalam proses
194
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
pembelajaran karena proses belajar membutuhkan interaksi dan partisipasi aktif dari peserta didik untuk berhasil. Tingkat motivasi belajar mahasiswa termasuk dalam faktor yang mendukung dalam diri mereka untuk berprestasi. Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa mahasiswa dengan tingkat kemandirian belajar yang berada di kriteria yang rendah harus dilakukan siklus I untuk perbaikan melaksanakan pembelajaran dengan menekankan belajar mandiri dalam proses pembelajaran. Kesiapan dari individu yang mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendirinya masih kurang. Adapun hasil dari siklsu I adalah sebagai berikut ini:
KrKriteria Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Tabel 3 Hasil Evaluasi Siklus I Kemandirian Belajar Jumlah Presentase 7 13,46 18 34,61 27 51,92 0 0 0 0
Adapun hasil dari siklus II adalah sebagai berikut ini: Tabel 4 Hasil Evaluasi Siklus II KrKriteria Kemandirian Belajar Jumlah Presentase Sangat Tinggi 8 15,38 Tinggi 29 55,76 Sedang 15 28,86 Rendah 0 0 Sangat Rendah 0 0 Uraian tabel 1 dan 2 menunjukan bahwa tingkat kemandirian belajar mahasiswa setelah pembelajaran personalized system of intruction memperlihatkan ada peningkatan yang signifikan. Hal ini berarti penggunaan pembelajaran personalized system of intruction dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa A1 2016 STKIP Siliwangi tahun ajaran 2016/2017.
5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran personalized system of intruction dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa kelas A1 2016 STKIP Siliwangi tahun ajaran 2016/2017. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan yaitu Pembelajaran matematika dengan personalized system of intructidapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran matematika di sekolah.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
195
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Daftar Pustaka Ali M. (1993). Strategi penelitian pendidikan. Bandung: Angkasa. Hendrayana, A. S., Thaib, D., Rosnenty,R. (2014). Motivasi Belajar, Kemandirian Belajar dan Prestasi Belajar Mahasiswa BeasiswaBidikmisi dI UPBJJ UT Bandung. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 15, Nomor 2, September 2014. Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nurpratama, A.S. (2014). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMK melalui Model Pembelajaran Personalized System of Instruction. Skripsi STKIP Siliwangi Bandung. Bandung : Tidak dipublikasikan. Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.Bandung.Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Guru Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar – dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksekta lainnya. Bandung : Tarsito. Sudijono, A. (2013). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers. Sugandi, A.I. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Setting Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan Kemandirian Belajar Siswa SMA. Disertasi UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan. Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung : Wijayakusumah. Suherman, E. (2003). Desain Pembelajaran Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta. Susilawati, W. (2012). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung : CV. Insan Mandiri. Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar : Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan. Sumarmo, U. (2014). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya.FPMIPA UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan. Sumarmo, U. dan Hendriana, H. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung : PT. Refika Aditama. Sumarmo, U. (2015). Hand Out Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika. Pasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung. Bandung : Tidak dipublikasikan
196
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN OPERASI PERKALIANSISWA SEKOLAH DASAR Siti Chotimah [email protected] Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK Latarbelakang kajian ini yaitu ingin mengembangkan kemampuan pemahaman matematik siswa tentang operasi perkalian dengan menggunakan alat peraga tulang napier. Walaupun ada alat peraga lain tapi saya terinspirasi ingin menggunakan tulang napier sebagai medianya. Keterampilan siswa dalam perkalian mampu mendukung pemahaman siswa terhadap ilmu lain dalam matematika seperti ilmu menghitung, mengukur, dan lain-lain. Namun kenyataannya, operasi perkalian merupakan salah satu pokok bahasan yang kebanyakan tidak disukai oleh siswa sekolah dasar.Kemampuan pemahaman matematik merupakan salah satu kemampuan yang diperlukan dalam memahami operasi perkalian. Tulang napier adalah salah satu alat peraga yang dapat menyajikan suatu konsep matematika. Dengan bantuan media atau alat peraga tulang napier diharapkan siswa mampu menghitung operasi perkalian dengan cepat dan mudah serta paham cara menggunakan tulang napier.Alat peraga Tulang Napier diharapkan dapat membantu pemahaman siswa dalam belajar matematika khususnya siswa Sekolah Dasar, sehingga tidak memandang matematika itu menakutkan dan membosankan. Kata kunci: kemampuan pemahaman, operasi perkalian, tulang napier
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan awal dari seorang anak mengenyam dunia pendidikan formal. Dimana seorang anak dalam usia dini memiliki kemampuan daya ingat kognitif yang tinggi. Pada anak usia sekolah dasarantara 7 tahun sampai 12 tahun, tahap berpikir mereka cenderung ingin tahu dan mencoba-coba. Hal ini yang mendasari, bahwa di sekolah dasar merupakan pusat dinamika pendidikan yang utama. Anak usia sekolah dasar lebih peka dan tajam dalam menyerap segala pengetahuannya. Matematika merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Menurut Sundayana (2014), matematika merupakan salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam pendidikan, matematika merupakan salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang merasa matematika sebagai mata pelajaran yang sulit, tidak menyenangkan, bahkan momok yang menakutkan. Hal ini dikarenakan masih banyak siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengerjakan soal-soal matematika. Johnson dan Myklebust (Sundayana, 2014) mengemukakan bahwa Matematika merupakan bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
197
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
kuantitatif dan keruangan. Sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berpikir. Dengan kata lain, matematika adalah bekal bagi peserta didik untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Sebagai bahasa simbolis, ciri utama matematika ialah penalaran secara deduktif namun tidak mengabaikan cara penalaran induktif. Selain sebagai bahasa simbolis, matematika juga merupakan ilmu yang kajian obyeknya bersifat abstrak. Perkalian merupakan salah satu kosep dalam matematika yang mulai diperkenalkan di kelas III SD dengan teknik penyampaiannya masih sangat rendah. Teknik berhitung perkalian yang masih sering diajarkan dikelas adalah cara menghafal tabel perkalian 1 sampai 10. Sedangkan untuk bilangan yang besarnya diatas 10 masih menggunakan teknik perkalian bersusun. Dalam NCTM (2000: 60) menjelaskan bahwa, pembelajaran matematika harus memberi kesempatan kepada siswa untuk: 1) mengorganisasi dan mengkonsolidasikan pemikiran dan ide matematika dengan cara mengkomunikasikanya; 2) mengkomunikasikan pemikiran matematika mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru dan orang lain; 3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika orang lain; 4) menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide-ide mereka dengan tepat. Menurut Markaban (2006), “tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri.” Hal ini berarti pemahaman seorang siswa dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selanjutnya, Bruner (Markaban, 2006) menyatakan, pembelajaran matematika merupakan usaha untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui proses, karena mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Hal ini sejalan dengan Vygotsky (Marhaeni, 2007) yang menyatakan bahwa, konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial bersama orang lain yang lebih mengerti dan paham akan pengetahuan tersebut. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya. Dari beberapa pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pemahaman diperoleh oleh siswa melalui suatu 19 rangkaian proses yang dilalui oleh siswa saat belajar dan interaksi yang terjadi saat belajar bersama orang lain, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan pemahaman dari apa yang dialaminya. Semua kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa tidak serta merta dapat terwujud hanya dengan mengandalkan proses pembelajaran yang selama ini terbiasa ada di sekolah kita, dengan urutan-urutan langkah seperti, diajarkan teori/definisi/teorema, diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses belajar seperti ini tidak membuat anak didik berkembang dan memiliki kemampuan bernalar berdasarkan pemikirannya, tapi justru lebih menerima ilmu secara pasif. Dengan demikian, langkah langkah dan proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh para guru di sekolah adalah kurang tepat, karena justru akan membuat anak didik menjadi pribadi yang pasif.
2. Landasan Teori 2.1. Kemampuan Pemahaman Matematik Bloom (Ruseffendi, 2006:221) mengklasifikasikan pemahaman menjadi tiga bagian, 1) Pengubahan (translation), mengubah konsepsi abstrak menjadi suatu model; 2) Pemberian arti (interpretation), kemampuan untuk mengenal dan memahami ide;
198
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3) Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation), menerjemahkan dan menafsirkan, menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Dalam matematika misalnya mampu mengubah (translation) soal-soal ke dalam simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan (interpretation) suatu kesamaan, mampu memperkirakan (ekstrapolasi) suatu kecenderungan dari diagram. Sedangkan menurut Skemp (Sumarmo, 2012:6-7), kemampuan pemahaman digolongkan dalam dua tingkat, 1) Pemahaman instrumental: hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah. 2) Pemahaman relasional: mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi
2.2.
Media dan Alat Peraga Tulang Napier
Dalam dunia pendidikan media sangat diperlukan pembelajaran, hal ini bertujuan untuk mempermudah proses pembelajaran khususnya untuk pembelajaran matematika. National Education Association(Sadiman, dkk., 1986) mengatakan, media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik terletak maupun audio-visual dan peralatannya. Sedangkan Gagne dan Briggs (Arsyad, 2002) secara emplisit mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran antara lain buku, tape-recorder, kaset, video camera, film, slide (gambar bingkai), foto gambar, grafik, televise, dan computer. Media mengandung arti sebagai komponen sumber belajar yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Menurut Ali (1989), Alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan pesan merangsang pikiran, perasaan, dan perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar. Sedangkan Ruseffendi (1990) mendefinisikan alat peraga adalah alat untuk menerangkan atau mewujudkan konsep matematika. Pada dasarnya anak dalam belajar melalui hal yang kongkrit. Menurut Ruseffendi (1990), untuk memahami konsep abtrak anak memerlukan benda-benda kongkrit (real) sebagai perantara visualisasinya. Selanjutnya Ruseffendi (1990) mengatakan, konsep abstrak yang baru dipahaminya itu akan mengendap, melekat, dan tahan lama bila ia belajar melalui berbuat dan pengertian, bukan melalui mengingat-ingat fakta. Alat peraga sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika terutama untuk sekolah dasar, diantara manfaatnya adalah proses belajar mengajar termotivasi, konsep abstrak matematika yang tersajikan dalam bentuk konkret yang mudah dipahami. Menurut Ruseffendi (1990), kriteri alat peraga yang baik adalah: 1) tahan lama; 2) bentuk dan warnanya menarik; 3) sederhana dan mudah dikelola; 4) ukurannya sesuai (seimbang) dengan ukuran pisik anak; 5) dapat menyajikan konsep matematika; 6) sesuai dengan konsep; 7) dapat menunjukkan konsep matematika dengan jelas; 8) peragaan itu supaya merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep abstrak; 9) menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan memanipulasi alat peraga; 10) bila mungkin berfaedah lipat (banyak). Salah satu alat peraga yang akan saya paparkan dalam makalah ini adalah tulang napier. Alat peraga tulang ditemukan oleh John Napier. Dia seorang ahli matematika dari Skotlandia.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
199
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
John Napier menemukan set batang yang kemudian disebut Bones, karena terbuat dari tulang. Dia seorang ahli matematika yang menemukan logaritma, membuat alat yang membatu mencari hasil kali suatu bilangan. Alat ini pertama kali diperuntukkan bagi perkalian dalam sistem desimal. Tulang Napier ini terdiri atas sepuluh angka yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Perhatikan cara kerja tulang napier, pada gambar berikut!
Berikut contohmenghitungperkalian
Berikut contoh menghitung perkalian
200
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3.1. Kesimpulan Alat peraga Tulang Napier merupakan alat bantu hitung untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan operasi perkalian dan menjumlahkan angka-angka pada setiap petak menurut diagonalnya.Alat peraga Tulang Napier diharapkan dapat membantu pemahaman siswa dalam belajar matematika khususnya siswa Sekolah Dasar, sehingga tidak memandang matematika itu menakutkan dan membosankan. Kekurangan dari sistem perkalian ini tidak bisa mengoperasikan penjumlahan dan pembagian dengan menggunakan alat hitung tulangtulang napier. Penulis menyarankan sepertinya menarik jika sistem perkalian tulang-tulang napier ini dikembangkan untuk sistem penjumlahan dan pembagian.
Daftar Pustaka Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Marhaeni, I. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif. Makalah dalam Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Universitas Udayana. Markaban (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing.Yogyakarta: PPPG Matematika NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA:NCTM. Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini untuk Guru dan PGSD D2. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia; Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti. Depdiknas Soemarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung: Tidak diterbitkan. Sundayana, R. (2014). Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika. Bandung:`Alfabeta
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
201
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY INTELLECTUALLY REPETITION (AIR) Sukasno, Drajat Friansah, & Intiana Hijrah Yumanif STKIP-PGRI Lubuklinggau [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklnggau, serta untuk melihat respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR). Populasinya seluruh siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau dan sebagai sampelnya kelas XI IPS-1 yang diambil secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan angket respon. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji-t satu sampel pada taraf kepercayaan . Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa Kemampuan akhir pemahaman konsep matematika siswa kelas kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran matematika menggunakan model AIR termasuk dalam kategori “Sangat Baik” dengan skor rata-rata sebesar 33,43 dan siswa memberikan respon yang baik terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model AIR. Kata Kunci : Pemahaman Konsep, Auditory I ntellectually Repetition
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pembelajaran matematika di sekolah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 22 Tahun 2006 agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: a) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; b) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; c) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; d) mengomunisasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; e) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Sejalan dengan hal di atas Lerner (dalam Abdurrahman, 2012: 204) mengemukakan bahwa kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yaitu : 1) konsep, 2) keterampilan dan 3) pemecahan masalah. Jika dicermati, salah satu tujuan tersebut
202
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
menekankan pada kemampuan pemahaman konsep matematika. Hal ini cukup beralasan mengingat jika pemahaman konsep matematika tidak sesuai dengan yang semestinya hal ini akan berpengaruh kepada aplikasi dan pemecahan masalah matematika ataupun aplikasi dan pemecahan ilmu lainnya. Berdasarkan hasil wawancara kepada salah satu guru mata pelajaran matematika kelas XI IPS di SMA Xaverius Lubuklinggau, diperoleh informasi bahwa siswa kurang menyukai materi pada pelajaran matematika yang memiliki banyak rumus dalam setiap pembahasannya. Melalui data hasil ulangan harian siswa kelas XI IPS untuk pelajaran matematika guru harus mengadakan remidial secara klasikal karena 80% siswa memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 75. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti melalu hasil tes soal pemahaman konsep matematika dengan memberikan 4 soal kepada siswa-siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau, dari 24 siswa hanya 5 siswa yang mampu menyelesaikan 1 soal dari 4 soal yang diberikan oleh peneliti secara tepat, sedangkan untuk 3 soal lainnnya tidak terdapat siswa yang menjawab secara tepat untuk memenuhi indikator pemahaman konsep yang diinginkan, dilihat dari indikator pemahaman konsep matematika masih banyak siswa merasa bingung sehingga keliru dalam menyelesaikan soal padahal sebelumnya guru telah memberikan penjelasan tentang materi tersebut. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa siswa masih sulit untuk menyelesaikan soal karena kurang paham terhadap konsep materi yang diberikan. Untuk mengatasi masalah tersebut peneliti memilih model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR). Ainia, dkk (2012:711) menyatakan bahwa model pembelajaran AIR adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pada tiga aspek yaitu auditory (mendengar), intellectually (berpikir), repetition (pengulangan), yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara pemberian tugas atau kuis. Auditory berarti belajar dengan berbicara dan mendengarkan. Rose (dalam Hamzah, 2014:26) mengungkapkan bahwa dengan memberikan tekanan auditory pada suatu bahan yang sedang dipelajari akan membantu melekatkannya pada pikiran dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sehingga auditory bermakna bahwa belajar haruslah dengan melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi yang dapat membantu melekatkan bahan pembelajaran pada pikiran dalam jangka waktu yang cukup panjang. Intellectually yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan (Ngalimun, 2014:166). Repetition adalah mengulang suatu perbuatan berkali-kali. Burhan, dkk (2014:7) menyatakan bahwa pengulangan diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan luas. Oleh karena itu dengan adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke dalam memori jangka panjang. Menurut Shoimin (2014:30) keunggulan model pembelajaran AIR adalah: 1) siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan sering mengemukakan pendapatnya; 2) peserta didik memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan secara baik; 3) peserta didik dengan kemampuan rendah dapat merespon permasalahan dengan cara mereka sendiri; 4) peserta didik dari dalam dirinya termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan; 5) peserta didik memilki pengetahuan banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
203
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: 1) Apakah kemampuan pemahaman konsep matematika siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran menggunakan Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk kategori baik?; 2) Bagaimana respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR)? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklnggau, serta untuk melihat respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR). 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Siswa, dapat mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep matematika sesuai dengan indikator-indikator pemahaman konsep matematika yang diharapkan dan minimal dalam kriteria baik. 2) Guru, sebagai tambahan informasi dan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika dengan penggunaan model Auditory I ntellectually Repetition (AIR) merupakan solusi pembelajaran dalam upaya mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep. 3) Sekolah, sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi lebih baik.
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu dengan desain eksperimen berbentuk pre-test and post-test group desain yang memiliki pola: O1 X O2 Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 71 orang. Sedangkan sebagai sampel adalah kelas XI IPS-1 SMA Xaverius Lubuklinggau yang diambil secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan teknik angket. Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang kemampuan pemahaman konsep matematika siswa. Tes yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk uraian (essay) sebanyak enam soal dengan materi pokok Statistika. Angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR). Angket tersebut berbentuk checklist dan berisi pernyataan atau pertanyaan tertulis untuk menjaring informasi dari responden. Teknik analisis data untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t satu sampel pada taraf kepercayaan α = 0,05. Teknik analisis data hasil angket respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dilakukan dengan menggunakan percentages correction. Adapun pedoman penelitian untuk menentukan tinggi rendahnya persentase data angket respon siswa bisa dilihat pada tabel 1:
204
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Tabel 1 Pedoman Penilaian Angket Persentase Data Angket Predikat 82 – 100
Sangat Baik
63 – 81 Baik 44 – 62 Cukup Baik 25 - 43 Kurang Baik Sumber: dimodifikasi dari Khabibah (dalam Sukinah, 2013:10) Adapun klasifikasi nilai kemampuan Nizarwati, 2009:64) yaitu: 75% < x 100% 50% < x 75% 25% < x 50% 0% < x 25%
pemahaman konsep matematika siswa (modifikasi : sangat baik : baik : cukup : kurang baik
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1. Hasil Penelitian Kemampuan Awal Pre-test dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang pemahaman konsep matematika sebelum dilaksanakan pembelajaran dengan materi statistika. Berdasarkan hasil perhitungan data pre-test menunjukkan bahwa dari 23 siswa yang mengikuti pre-test dengan perolehan skor tertinggi yaitu 18 dan skor terendah yaitu 2. Kemudian terdapat 6 dari 23 siswa atau 26% siswa mempunyai kemampuan pemahaman konsep dengan kategori “Cukup” dan selebihnya 17 siswa atau 74% siswa mempunyai kemampuan pemahaman konsep dengan kategori “Kurang”. Adapun rata-rata skor kemampuan pemhaman konsep matematika yaitu 6,87 (kategori kurang baik).
Kemampuan Akhir Berdasarkan hasil perhitungan data postes dapat dijabarkan bahwa rata-rata skor pemahaman konsep matematika 33,43 (79,6%) dengan perolehan skor tertinggi 41 dan skor terendah 20. Kemudian terdapat 17 siswa (74%) mempunyai kemampuan pemahaman konsep matematika dikategorikan “Sangat Baik”, 5 siswa (22%) dikategorikan “Baik” sedangkan sisanya 1 siswa (4%) termasuk dalam kategori “Cukup”. Adapun rata-rata skor kemampuan pemahaman konsep matematika dalam kategori “Sangat Baik”. Berdasarkan hasil pengujian statistik data postes pada taraf kepercayaan dapat disimpulkan bahwa Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran menggunakan Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk kategori baik. Berdasarkan hasil analisis data angket respon siswa, sikap siswa terhadap pelajaran matematika menunjukan minat yang baik, begitupun respon siswa terhadap cara guru mengajar mereka sangat antusias dan menghargai serta memberikan sikap yang begitu positif terhadap pembelajaran matematika menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR). Setelah seluruh indikator penilaian dijumlahkan maka rata-rata persentase respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model AIR sebesar 70%, sehingga Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
205
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
dapat disimpulkan bahwa secara umum siswa memberikan respon yang baik terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR).
3.2. Pembahasan Kegiatan penelitian dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan, dengan rincian satu pertemuan untuk pretes, tiga pertemuan pemberian perlakuan pembelajaran, dan satu pertemuan untuk postes. Sebelum diberikan perlakuan, peneliti membagi siswa menjadi lima kelompok heterogen berdasarkan hasil pretest. Tujuan peneliti membentuk kelompok pada saat pembelajaran agar pelaksanaan kegiatan efektif dan efisien. Berdasarkan aktivitasaktivitas auditory dan intellectually yang akan dilaksanakan pada proses pembelajaran, maka akan lebih efisien jika pembelajaran dilakukan secara berkelompok sehingga peniliti lebih mudah membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dari pada jika siswa belajar individu. Menurut Huda (2013:290) siswa yang auditories lebih mudah belajar dengan cara berdiskusi dengan orang lain. Pada p erlakuan pertama diisi dengan kegiatan penjelasan materi mengenai tabel distribusi frekuensi oleh peneliti dan pemberian permasalahan kepada setiap kelompok. Pada proses auditory terdapat dua kelompok yang mampu menyampaikan maksud permasalahan dengan cukup baik kepada anggotanya. Setelah itu melalui proses intellectually dan disertai auditory mereka bekerjasama dalam menyelesaikan permasalahan tentang cara menyusun tabel distribusi frekuensi dan unsur-unsurnya. Setiap kelompok masih terlihat kebingungan menyelesaikan soal tentang pemahaman konsep materi ajar tersebut dan peneliti memfasilitasi bagi kelompok-kelompok yang belum begitu paham. Hasil dari diskusi tersebut dituangkan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami dan prosedur yang mereka pilih dan bersiap untuk dipresentasikan di kelas. Pada saat maju untuk presentasi, masih terdapat anggota kelompok yang belum percaya diri untuk maju menjelaskan hasil diskusinya. Untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan, pada 10 menit terakhir peneliti memberikan kuis. Pemberian kuis dan pekerjaan rumah merupakan proses pengulangan (repetition) dalam pembelajaran, namun masih terdapat siswa yang keliru dalam menafsirkan maksud soal sehingga masih kurang tepat dalam pencapaian konsepnya. Hal ini merupakan penyesuaian karena model Auditory Intellectually Repetition (AIR) merupakan model pembelajaran baru bagi mereka sehingga perlu adaptasi terlebih dahulu. Pada pertemuan kedua membahas materi ajar tentang penyajian data dalam bentuk histogram, polygon dan ogif. Pada kesempatan ini setiap siswa diberikan permasalahan untuk menyajikan data dalam bentuk histogram, polygon dan ogif secara berkelompok. Pada saat proses presentasi untuk kelompok pembicara dan kelompok pendengar, setiap kelompok antusias untuk maju mempresentasikan hasil diskusinya kedepan kelas. Pada saat kelompok menyajikan data dalam bentuk histogram beberapa anggota lain berdebat karena terdapat kekeliruan dalam penggunaan nilai frekuensi dan frekuensi kumulatif. Para anggota kelompok telah mampu mengembangkan syarat perlu dalam penyajian data yang merupakan salah satu indikator dalam pemahaman konsep matematika. Kemudian pada perlakuan terakhir, siswa sudah terbiasa belajar dalam bentuk tim. Peneliti menjelaskan materi ajar mengenai ukuran pemusatan data tunggal. Kegiatan
206
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
selanjutnya setiap kelompok diberikan permasalahan dengan masalah sehari-hari yang mereka biasa temui dan dituntut untuk bekerjasama seperti biasa dan mempresentasikan hasil diskusinya ke kelas. Secara umum mereka telah paham mengenai konsep pemusatan data tunggal, mengerti simbol dan rumus yang ada dan prosedur penyelesaian soal yang diaplikasikan ke dalam permasalahan matematika. Hal ini ditandai dengan tidak terlalu banyak perbedaan pendapat saat kelompok pembicara menyampaikan hasil diskusinya. Sebagian besar siswa mampu menjelaskan dan memberi contoh sesuai dengan pembentukan pemahaman yang mereka miliki dengan tetap mengikuti indikator kemampuan pemahaman konsep yang ditentukan. Rata-rata skor total dari postes untuk setiap indikator mengalami peningkatan ketika dibandingkan dengan hasil pretes. Peningkatan ketercapaian pemahaman konsep matematika sesuai dengan indikatornya dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2 Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika No
Indikator
Peningkatan
1.
Kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep
5,52
2.
Mengklasifikasi objek menurut sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
4,83
3.
Memberi contoh dan non contoh dari konsep
2,57
4.
Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika
5,17
5.
Kemampuan mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep
4,13
6.
Kemampuan menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu Kemampuan mengaplikasikan konsep/algoritma ke pemecahan masalah matematika
2,39
7.
1,96
Peningkatan skor kemampuan pemahaman konsep matematika paling rendah terletak pada indikator kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep/algoritma ke pemecahan masalah. Hal ini terjadi karena indikator tersebut membutuhkan kemampuan berpikir yang tinggi, yaitu kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Sedangkan peningkatan tertinggi pada indikator kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep, dimana indikator ini menginginkan kemampuan mengingat kembali konsep yang sudah dipelajari. Pengulangan memiliki peran yang besar untuk melatih ingatan dan pemahaman siswa, karena dengan adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke dalam memori jangka panjang. Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak membosankan. Dengan pemberian soal dan tugas siswa akan mengingat informasi-informasi yang diterimanya dan terbiasa dalam permasalahan-permasalahan matematis (Burhan, 2014:7). Secara keseluruhan berdasarkan rekapitulasi data angkat respon siswa dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) adalah 70,2% yang artinya respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dikategorikan baik. Berdasarkan rekapitulasi hasil analisis angket respon siswa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
207
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
diperoleh 90,3% siswa berminat untuk mengikuti kegiatan belajar berikutnya dengan menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR).
4. Simpulan dan Saran 4.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa kemampuan akhir pemahaman konsep matematika siswa kelas kelas XI IPS SMA Xaverius Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran matematika menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) termasuk dalam kategori “Sangat Baik” dengan skor rata-rata sebesar 33,43 (79,6%) dikategorikan “Sangat Baik”. Siswa memberikan respon yang baik terhadap kegiatan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) dengan skor rata-rata sebesar 70,2% dan sebesar 90,3% siswa berminat untuk mengikuti kegiatan belajar berikutnya dengan menggunakan model AIR
4.2. Saran Melalui hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti menyampaikan saransaran sebagai berikut: 1) Bagi pembaca, hendaknya mencari referensi yang lebih mendalam mengenai model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) sehingga tidak mengalami kesulitan pada saat penerapannya di kelas; 2) Bagi pendidik, diharapkan model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR) dapat menjadi alternatif model pembelajaran yang dilaksanakan di kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa sehingga hal tersebut akan berpengaruh terhadap mutu pendidikan yang ada di sekolah; 3) Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan memperbanyak referensi tentang model Auditory Intellectually Repetition (AIR), ketika merencanakan pembelajaran menggunakan model Auditory Intellectually Repetition (AIR) mampu menyiapkan permasalahan yang dekat dengan kehidupan siswa serta menghindari kegiatan- kegiatan yang jarang ditemui oleh siswa sedangkan untuk menyikapi siswa yang berkemampuan akademik tinggi maka siasati dengan memberikan mereka peranan lebih banyak dalam kelompok diskusi dengan membimbing anggota kelompok lainnya sehingga dapat menghindari kebosanan akibat pengulangan.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Berkesulitan Belajar Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Teori, Diagnosis, dan
Ainia, Qurotuh, dkk. 2012. Eksperimentasi Model Pembelajaan Auditory Intellectually Repetition (AIR) terhadap Prestasi Belajar Matematka ditinjau dari Karakter Belajar Siswa Kelas VII SMPN se-kecamatan Kaligesing tahun 2011/2012. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, hal.709-716. Burhan, Arini Viola, dkk. 2014. Penerapan Model AIR Pada Pembelajaran Matematika Siswa Kelas VII SMPN 18 Padang. Jurnal Pendidikan Matematika. Part 1 Vol. 3 No.1 (6-11).
208
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Hamzah, Nur., dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Auditory Intellectully Repetition (AIR) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Fisika Kelas X IPA 3 SMA Negeri 3 Purworejo tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal UMY Purworejo. Vol.4 No.1 (26-27). Huda, Miftahul. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ngalimun. 2014. Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Nizarwati, dkk. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X SMA. Jurnal PendidikanMatematika. Vol.3 No.2 (57-72) Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Kurikulum 2013.
Sukinah. 2013. Meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII-D SMP Negeri 33 Surabaya dalam pelajaran Matematika melalui media berbantuan komputer. Ejurnal Pendidikan Kota Surabaya. ISSN:2337-3253, 3, 1-16
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
209
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI RUANG MELALUIPROBLEM BASED LERNING (PBL) BERBANTUAN GEOGEBRA 5.0 UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN VISUAL-SPATIAL THINKING MAHASISWA Sumarni 1), Anggar Titis Prayitno2) Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Kuningan [email protected], [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperolehbahan ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0 yang sesuai dengan prinsip Problem Based Learning (PBL), (2) memperoleh bahan ajar Geomteri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan memenuhi kriteria valid dan praktis, (3) memperoleh bahan ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa. Keluaran penelitian ini berupa draft laporan penelitian, publikasi ilmiah, bahan ajar untuk mahasiswa, dan instrumen untuk mengukur kemampuan visual-spatial thinking.Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah research and development. Draft awal bahan ajar dan draft awal instrumen visual-spatial thinking yang telah dikembangkan selanjutnya divalidasi oleh ahli, serta diujicobakan pada kelompok terbatas (skala kecil) sehingga diperoleh bahan ajar dan instrumen yang valid dan praktis, yang sesuai dengan prinsip PBL dan dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking.Pengumpul data menggunakan teknik wawancara, validasi ahli, validasi empirik, dan penerapan/uji coba bahan ajar.Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan terhadap hasil wawancara, observasi, catatan lapangan (video record), analisis dokumen lembar validasi.Serta analisis kuantitatif (statistik) hasil pretes dan postes kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa yang menggunakan bahan ajar LKM geometri ruang berbantuan GeoGebar 5.0 melalui pendekatan PBL. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Berdasarkan penilaian validator, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL; (2) Berdasarkan hasil validasi teoritik oleh validator bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 dalam kategori baik dengan presentase keidealan 79,15 %; (3) Hasil uji coba lapangan, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 Perhitungan secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar 0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk dalam kategori sedang. Kata Kunci: Pendekatan Problem Based Learning(PBL), GeoGebra 5.0, Kemampuan Visual-Spatial Thinking
A. Pendahuluan Geometri adalah salah satu cabang matematika yang diajarkan di bangku sekolah, dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi.Geometri juga merupakan bidang penting dari matematika.Menurut Schwartz (2010) geometri merupakan sebuah konsep yang menghubungkan berbagai bidang dalam matematika.National Academy Science (2006) berpendapat bahwa setelah melaksanakan pembelajaran geometri, peserta didik harus
210
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
mempunyai 4 kemampuan yaitu: (1) menganalisis karakteristik dan sifat-sifat bentuk geometri dua dan tiga dimensi dan mengembangkan argumen-argumen matematika tentang hubungan geometri itu; (2) menetapkan lokasi dan menjelaskan hubungan spasial menggunakan koordinat geometri dan sistem representasi lainnya; (3) memakai transformasi dan menggunakan simetri untuk menganalisis situasi matematika; (4) menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan masalah. Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran geomerti adalah kemampuan visualisasi dan spasial. Giaquinto (2007) menyatakan bahwa “Visual imagination seems to play an important role in extending geometrical knowledge.” Artinya imajinasi visual memiliki peran penting dalam memperluas pengetahuan geometri.Menurut Sword (2005), ada tiga cara berpikir, yaitu: berpikir audio (audiotory thinking), berpikir visual (visual thinking), dan berpikir kinestetik (kinesthetic thinking).Visualisasi merupakan bagian dari berpikir visual (visual thinking).Ismi dan Hidayatulloh (2011), berpendapat bahwa visual thinking memegang peran penting dalam keberhasilan pembelajaran geometri sebab peserta didik yang belajar tanpa menggunakan kemampuan visual thinking rawan mengalami miskonsepsi, kemampuan visual thinking berperan untuk memecahkan masalah dari soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat tinggi.Jika kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung dari matematika, maka visualisasi merupakan inti pemecahan masalah matematika.Selain kemampuan visual thinking, kemampuan spasial juga dibutuhkan dalam mempelajari geometri. Menurut Black (2005), kemampuan spasial adalah suatu kemampuan dalam merepresentasikan, mentransformasi, membangun, dan memanggil kembali informasi simbolik tidak dalam bentuk bahasa. Geometri dianggap sebagai bidang kajian matematika yang sulit.Kariadinata (2010) mengemukakan bahwa banyak persoalan geometri yang sulit diselesaikan dan pada umumnya dalam mengkonstruksi bangun ruang geometri.Gumilar (2012) menyatakan hal yang serupa bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami geometri, terutama geometri ruang yang merupakan materi matematika yang tidak disukai oleh peserta didik. Fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam bidang kajian geometri terlebih geometri ruang/dimensi tiga.Kesulitankesulitan tersebut berkaitan erat dengan rendahnya kemampuan visual-spatial thinking yang merupakan syarat untuk dapat memahami keabstrakan geometri.Yuliardi (2010) yang menjelaskan bahwa penghambat pembelajaran geometri ruang (akibat rendahnya kemampuan visual-spatial thinking) di antaranya terdapat 2 alasan utama.Pertama, pendidik seringkali dihadapkan pada materi yang membutuhkan daya visualisasi dan imajinasi yang tinggi dari peserta didik, benda aslinya sulit diperlihatkan dan dieksplorasi oleh peserta didik langsung.Alasan yang kedua berkaitan keefektifan waktu.Jika pendidik mencoba menerangkan konsep geometri melalui metode pembelajaran konvensional maka pendidik menggambarkan bangun ruang di papan tulis, lalu menguraikan bagian-bagiannya. Hal ini jelas akan banyak menyita waktu, sedangkan jam pelajaran terbatas. Sehingga apabila ditinjau dari segi keefektivitasan waktu, metode pembelajaran konvensional saja tidaklah cukup untuk meraih hasil yang optimal dalam tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.Selanjutnya menurut Hidayati (2010), salah satu penyebab kesulitan peserta didik memahami konsep geometri adalah faktor eksternal.Faktor eksternal yang dimaksud adalah alat peraga yang tidak membantu peserta didik untuk membayangkan objek geometri yang abstrak. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu alat bantu untuk memahami geometri ruang.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
211
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Alternatif solusi untuk meningkatkan rendahnya kemampuan tersebut salah satunya adalah penggunaan bahan ajar yang memfasilitasi peserta didik mengembangkan kemampuan visual-spatial thinkingdan menciptakan lingkungan belajar yang melibatkan peran peserta didik dalam menghadapi masalah baru yang ditemukan dalam kehidupan nyata, menurut Smaldino et al. (2012), pembelajaran seperti ini disebut problem based learning (PBL). Kemudian Smaldino et al. (2012) menambahkan teknologi dapat menjadi “rekan intelektual” karena teknologi melibatkan dan mendukung peserta didik dalam pembelajaran.Teknologi merupakan lingkungan yang melibatkan peserta didik untuk menggunakan strategi belajar kognitif dan kemampuan berpikir kritis. GeoGebra 5.0 adalah salah satu perangkat lunak dinamis-geometri yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik dan pendidik untuk mengatasi beberapa kesulitan dan membuat belajar geometri dimensi tiga (geometri ruang) menjadi lebih mudah dan menarik. Keunggulan yang dimiliki GeoGebra 5.0adalah terdapat fasilitas/menu tampilan grafik 3D diperkirakan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, yaitu dengan objek geometri pada GeoGebra 5.0 yang dapat diubah kedudukannya sehingga membantu peserta didik menentukan kedudukan objek geometri dalam ruang. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: Pengembangan Bahan Ajar Geometri Ruang Melalui Problem Based Learning (PBL) Berbantuan GeoGebra 5.0 untuk Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial Thinking.penelitian ini bertujuan untuk (1) Mempreolehbahan ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL; (2) Memperoleh bahan ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan memenuhi kriteria valid dan praktis; (3) Memperoleh bahan ajar PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan dapat meningkatkan visual-spatial thinking mahasiswa.
B. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development.Penelitian ini berfokus pada pengembangan bahan ajar Geometri Ruang melalui Pendekatan Problem Based Learning (PBL) berbantuan GeoGebra 5.0 dan pengembangan instrument untuk mengukur visual-spatial thinking. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah analisis kebutuhan; pengembangan produk (bahan ajar); validasi ahli dan revisi produk; dan uji Coba lapangan skala kecil.Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, validasi ahli, validasi empirik, dan penerapan bahan ajar.Teknik wawancara digunakan dalam tahap analisis kebutuhan.Validasi ahli digunakan pada tahap validasi ahli dan revisi produk bahan ajar dan instrumen yang telah dikembangkan.Penerapan bahan ajar ini merupakan pengumpulan data untuk tahap uji coba bahan ajar, untuk melihat kepraktisan dan pengaruh dari penerapan bahan ajar geoetri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL terhadap peningkatan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa.Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan terhadap hasil wawancara, observasi, catatan lapangan (video record), analisis dokumen lembar validasi.Serta analisis kuantitatif (statistik) hasil pretes dan postes kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa yang menggunakan bahan ajar LKM geometri ruang berbantuan GeoGebar 5.0 melalui pendekatan PBL.
212
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
C. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Berikut dipaparkan hasil penelitian Pengembangan bahan ajar Geometri Ruang melalui Pendekatan Problem Based Learning (PBL) Berbantuan GeoGebra 5.0 untuk Meningkatkan kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa. 1. Tahap Analisis Kebutuhan Berdasarkan hasil pengamatan awal dilakukan dengan menganalisiskebutuhan mahasiswa peneliti memperoleh informasi sebagai berikut: 1) mahasiswa masih kurang aktif dalam pembelajaran di kelas, hal ini menyebabkan dosen lebih banyak memberikan informasi di depan kelas, menulis dan menjelaskan materi menggunakan metode ceramah dan pemberian contoh-contoh soal, sementara itu mahasiswa mencatat materi yang dosen tulis di papan tulis; 2) pembelajaran tidak didukung dengan bahan ajar yang memadai. Umumnya mahasiswa tidak memiliki buku pegangan sebagai sumber belajar, mahasiswa hanya mengandalkan materi yang diberikan oleh dosen pada saat proses pembelajaran. Sehingga mahasiswa tidak memiliki gambaran tentang materi yang akan dipelajari sebelum proses pembelajaran berlangsung. 3) nilai mahasiswa pada mata kuliah geometri ruang masih tergolong rendah, dikarenakan mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep geometri. 2. Tahap Pengembangan Produk (Bahan Ajar) Pada tahap ini dikembangkan bahan ajar Geometri Ruang berbantuan Software GeoGebra 5.0 untuk meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa sesuai dengan tahapan problem based learning. Bahan ajar yang dikembangkan berupa lembar kerja mahasiswa untuk membimbing dan mengarahkan mahasiswa dalam mengkonstruksi konsep geometri ruang dengan berbantuan Software GeoGebra. Bahan ajar yang dikembangkan terdiri lima lembar kegiatan mahasiswa (LKM) yang memfasilitasi mahasiswa dalam pembelajaran Geometri ruang. LKM 1 (Garis Tegak Lurus dan Proyeksi (1)) ; LKM 2 (Garis Tegak Lurus dan Proyeksi (2)) ; LKM 3 (Jarak Titik, Garis dan Bidang (1)); LKM 4 (Jarak Titik, Garis dan Bidang (2)); dan LKM 5 (Sudut antara Garis dan Bidang). Selain pengembangan bahan ajar Geometri Ruang berbantuan GeoGebra 5.0, dalam penelitian ini juga dikembangkan instrument kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa.Struktur bahan ajar LKM yang dikembangkan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1.Struktur Bahan Ajar Geometri Ruang Berbantuan Software GeoGebra 5.0. No Bagian Isi 1 Judul Lembar Kegiatan Judul Materi yang dipelajari, tujuan pembelajaran, Mahasiswa kolom identitas mahasiswa, petunjuk pengisian lembar kegiatan mahasiswa 2 Permasalahan dan tugas – Permasalahan kontekstual (konsep) sesuai dengan tugas materi dan tujuan pembelajaran, tugas-tugas berupa pertanyaan yang menuntun mahasiswa mengkonstruksi konsep sesuai tujuan pembelajaran dengan menggunakan tool pada GeoGebra 5.0 3 Ayo Berlatih Soal-soal susuai materi yang dipelajari dan soal untuk meningkatkan kemampuan visual-spatial thinking
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
213
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3. Validasi Ahli dan Revisi Produk Secara umum hasil validasi para ahli terhadap instrument penelitian diperoleh sebagai berikut. 1) Draft bahan ajar (LKM) dengan kriteria baik sehingga dapat digunakan dengan sedikit revisi 2) Soal tes kemampuan visual-spatial thinking dengan kriteria baik sehingga dapat digunakan dengan sedikit revisi Berdasarkan validator, nilai rata-rata validasi kualitas bahan ajar yang dikembangkan termasuk pada kategori baik.Berdasarkan indikator validasi bahan ajar maka bahan ajar yang dikembangkan dikatakan valid.Sehingga bahan ajar yang dikembangkan dapat diuji coba di lapangan.Rekapitulasi nilai validasi bahan ajar oleh validator disajikan pada tabel berikut.
No
1 2 3
Table 2. Rekapitulasi Nilai Validasi Bahan Ajar oleh Validator N Komponen Validator Jumlah Prosentase Krieteia Bahan Ajar I I III I 1 Komponen 52 40 39 131 72,78 Baik Kelakayakan Isi 2 Komponen 62 60 58 180 80,00 Baik Kebahasaan 2 Komponen 45 42 40 127 84,67 Baik Penyajian Rata-rata 79,15 Baik
Penilaian validator terhadap bahan ajar didasarkan pada indikator-indikator yang termuat dalam validasi bahan ajar.Penjelasan lebih lengkap tentang revisi yang dilakukan terhadap bahan ajar dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 3.Revisi Bahan Ajar Berdasarkan masukan Validator N No.
. .
. 4.
5.
Sebelum direvisi
1 Masih terdapat kesalahan dalam pengetikan. 2 Belum menggunakan icon-icon tool GeoGebra saat memberikan petunjuk dalam mengkonstruksi gambar GeoGebra 3 Belum memberikan informasi tentang tool apa saja yang digunakan dalam mengkonstruksi sebuah gambar Belum meminta mahasiswa untuk menentukan ukuran garis ortogonal, bidang frontal, sudut surut yang digunakan dalam menggambar secara manual. LKM belum dilengkapi dengan konteks/situasi realistik untuk setiap konsep sebelum masuk ke dalam konsep matematisnya.
214
Setelah direvisi
Kesalahan pengetikan sudah diperbaik Sudah memberikan icon-icon tool GeoGebra saat memberikan petunjuk dalam mengkonstruksi gambar GeoGebra Sudah memberikan informasi tentang tool apa saja yang digunakan dalam mengkonstruksi sebuah gambar Sudah meminta mahasiswa untuk menentukan ukuran garis ortogonal, bidang frontal, sudut surut yang digunakan dalam menggambar secara manual. LKM sudah dilengkapi dengan konteks/situasi realistik untuk setiap konsep sebelum masuk ke dalam konsep matematisnya.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
5. Uji Coba Lapangan Skala Kecil Berikut pemaparan terkait kegiatan uji coba bahan ajar dalam skala kecil. 1) Uji Kepraktisan Bahan Ajar Bahan Ajar Geometri ruang melalui PBL Berbantuan Software GeoGebra 5.0 yang dikembangkan yang melaui tahap validasi teoritik oleh tiga ahli dan validasi empirik, selanjutnya diujicobakan sebagai bahan ajar pada mahasiswa prodi pendidikan matematika tingkat 2 tahun ajaran 2016-2017 Universitas Kuningan. Kegiatan uji coba lapangan ini dilakukan sebanyak tujuh kali pertemuan (satu kali pertemuan pemberian pretes menggunakan soal tes kemampuan visual-spatial thinking yang dikembangkan, lima kali pertemuan pembelajaran menggunakan LKM geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL yang telah dikembangkan dan satu kali pertemuan pemberian postes menggunakan soal tes kemampuan visual-spatial thinkingyang dikembangkan). 2) Peningkatan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa Berdasarkan hasil uji coba bahan ajar yang telah dikembangkan dalam skala kecil dianalisis dengan melihat peningkatan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa menggunakan uji gain ternormalisasi berdasarkan hasil pretes dan postes mahasiswa.Berikut ini merupakan deskripsi data kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL. Tabel 4.Statistik Deskriptif Hasil Tes Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa Kemampuan Postes Visual-Spatial Skor Ideal SD xmin xmaks Thinking Sebelum 60 17,033 6,900 3 35 Sesudah 60 33,333 8,801 12 52 Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dilihat bahwa rerata kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa siswa secara keseluruhan, sebelum pembelajaran dan sesudah pembelajaran mengalami peningkatan. Rata-rata klasikal skor Normalitas Gain (g) dapat ditentukan berdasarkan rata-rata skor kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa yang diukur berdasarkan skor motivasi belajar mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL. Berdasarkan data skor kemampuan Visual-Spatial Thinking mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL, maka rata-rata klasikal skor normalitas gain (g) adalah:
Jadi secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar 0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk dalam kategori sedang.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
215
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3) Uji Beda Skor Pretes dan Postes Uji beda skor pretes dan postes digunakan untuk mengetahui perbedaan kemampuan visualspatial thinking mahasiswa sebelum belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang yang dikembangkan berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL dan kemampuan visualspatial thinking mahasiswa sesudah belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang yang dikembangkan berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL. Adapun rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut. Ho : η 1= η2, Tidak terdapat perbedaan skor pretes dan postes kemampuan visual-spatial thinking secara signifikan. Ha : η 1≠ η2, Terdapat perbedaan skor pretes dan postes kemampuan visual-spatial thinking secara signifikan. Berikut rangkuman hasil uji perbedaan rataan skor pretes. Tabel 4.Uji Perbedaan Rataan Skor Pretes Kemampuan Visual-Spatial Thinking Statistik Keterangan Mann-Whitney U Z Asymp. Sig. (2-tailed) 59,500 -5,778 0,000 Ho Ditolak Dari hasil uji Mann-Whitney U di atas, diperoleh nilai p-valueatau Sig. (2-tailed) yaitu 0,000 < ( = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa H o ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretes dan skor postes kemampuan visual-spatial thinkingmahasiswa kelas yang menggunakan bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0.
Pembahasan Berikut pemaparan pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya.
1. Keseuaian Bahan Ajar Geometri Ruang Berbantuan GeoGebra 5.0 yang Dikembangkan dengan Prinsip PBL Prinsip-prinsip PBL yang dikemukakan olehSanjaya (2010) bahwa PBL merupakan pendekatan pembelajaran yang mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi peserta didik untuk belajar berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan memperoleh pengetahuan mengenai esensi materi pembelajaran. Sehingga peserta didik dituntut aktif menemukan konsepnya sendiri. Berikut pemaparan tentang kesesuaian bahan ajar geometri ruang berbantuang geogebra 5.0 yang dikembangkan dengan prinsip PBL: LKM yang dikembangkan menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi peserta didik untuk belajar berpikir kritis.Pada bagian awal LKM disajikan masalah terkait konsep yang akan dipelajari. Mahasiswa mendiskusikan masalah yang diberikan dalam kelompok. Mereka mengklarifikasi fakta, mendefinisikan apa masalahnya. Menggali gagasan berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Menemu-kenali apa yang mesti diketahui (dipelajari) untuk memecahkan masalah itu (isu belajar terletak di sini). Bernalar melalui masalah dan menentukan apa tindakan atas masalah tersebut.Dalam hal ini bahan ajar (LKM) yang dikembangkan disusun untuk kegiatan belajar kelompok, setiap kelompok terdapat 4-5 mahasiswa.Tugas tugas yang diberikan juga menuntut untuk menggali gagasan berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Bernalar melalui masalah dan menentukan apa tindkan atas masalah yang diberikan.
216
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2. Validitas dan Kepraktisan dari Bahan Ajar Geometri Ruang melalui PBL berbantuan GeoGebra 5.0 Bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan divalidasi baik validasi secara teoritis. Validasi teoritis dilakukan oleh tiga validator, persentase rata-rata penilaian terhadap bahan ajar yang dikembangkan sebesar 79,15 dengan krtiteria baik. Penilaian validator terhadap bahan ajar didasarkan pada indikator-indikator yang termuat dalam validasi bahan ajar yaitu komponen kelayakan isi, komponen kebahasaan, dan komponen penyajian.Berdasarkan kesimpulan dan masukan validator, selanjutnya dilakukan revisi terhadap bahan ajar. 1) Kesalahan pengetikan; 2) Penggunaan icon-icon tool GeoGebra saat memberikan petunjuk dalam mengkonstruksi gambar GeoGebra; 3) Pemberian informasi tentang tool apa saja yang digunakan dalam mengkonstruksi sebuah gambar; 4) meminta mahasiswa untuk menentukan ukuran garis ortogonal, bidang frontal, sudut surut yang digunakan dalam menggambar secara manual; 5) LKM harus dilengkapi dengan konteks/situasi realistik untuk setiap konsep sebelum masuk ke dalam konsep matematisnya. Hasil penilaian terhadap LKM yang dikembangkan bahwa LKM memfasilitasi kemampuan visual-spatial thinking melalui karena LKM mampu 1) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengubah informasi menjadi objek geometri; 2) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam membayangkan posisi suatu obyek geometri sesudah obyek tersebut mengalami rotasi, refleksi, atau dilatasi; 3) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam membandingkan kaitan hubungan logis dari unsur-unsur suatu bangun ruang; 4) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menduga secara akurat bentuk suatu obyek dipandang dari sudut pandang tertentu; 5) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menentukan obyek yang cocok pada posisi tertentu dari sederetan obyek bangun geometri ruang atau mengenal pola; 6) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam merepresentasikan model-model bangun geometri yang digambarkan pada bidang datar; dan 7) Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menemukan informasi dari visual berupa obyek sederhana dalam konteks keruangan yang kompleks. Sedangkan untuk cakupan materi, akurasi materi termasuk dalam kriteria baik, untuk komponen kebahasaan termasuk dalam kriteria baik. Begitu juga komponen penyajian sudah sesuai dengan prinsipprinsip PBL. Pada pertemuan pertama dosen memberikan pretes kepada mahasiswa subjek peneltian hal ini bertujuan untuk memperoleh data kemampuan awal visual-spatial thinking mahasiswa. Pada pertemuan kedua dosen memberikan instruksi kepada mahasiswa untuk duduk sesuai kelompok yang telah diinformasikan pada pertemuan sebelumnya. Mahasiswa dibagi ke dalam 7 kelompok, sehingga terdapat lima kelompok yang beranggotakan 4 mahasiswa dan dua kelompok yang beranggotakan 5 mahasiswa. Pada pertemuan kedua terlihat mahasiswa masih beradaptasi untuk belajar secara berkelompok dan sekaligus menyelesaikan masalah dengan bantuan GeoGebra 5.0. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada siswa pada akhir pembelajaran siswa mengaku bahwa mereka jarang sekali melaksanakan pembelajaran secara berkelompok untuk mata kuliah ilmu matematika dengan menggunakan LKM sehingga kesulitan berinteraksi dalam kelompok. Mahaiswa juga belum pernah terlibat dalam pembelajaran matematika yang menggunakan bantuan program komputer.Namun mahasiswa terlihat antusias untuk belajar geometri ruang.Mereka tertarik dengan penggunaan GeoGebra 5.0.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
217
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Selanjutnya pada pertemuan ketiga mahasiswa mulai beradaptasi dengan aktivitas pembelajaran berbasis masalah berbantuan GeoGebra 5.0.adaptasi ini terus terjadi pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Siswa tetap bersemangat dan semakin terbiasa melakukan pembelajaran dengan LKM dan menggunakan GeoGebra 5.0. Komunikasi dengan rekan dalam kelompok dan komunikasi dengan dosen sebagai fasilitator juga berjalan dengan baik. Kondisi ini membuktikan kebenaran pendapat Xiuping (Pitriani, 2014) yang menyatakan bahwa beberapa karakteristik PBL di antaranya masalah-masalah yang disajikan justru akan memotivasi belajar siswa dan juga mampu membawa siswa untuk fokus pada proses belajar itu sendiri sebab siswa diminta untuk melakukan refleksi. Selain itu mahasiswa juga lebih memahami konsep geometri ruang.Hal ini sejalan dengan temuan dari penelitian-penelitian penerapan teknologi yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan bantuan komputer dapat menjadi suatu metode yang efektif bagi para siswa dan berpengaruh positif terhadap pembelajaran matematika mereka (Li dan Edmonds, 2005).Selanjutnya pada pertemuan terakhir (pertemuan ketujuh) adalah pemberian postes kemampuan visual-spatial thinking. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa setelah belajar menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL. Secara keseluruhan mahasiswa menunjukkan perhatian dan ketertarikan yang lebih dalam proses pembelajaran menggunakan bahan ajar yang dikembangkan, karena mahasiswa tidak hanya mencatat dan berlatih soal – soal yang diberikan oleh dosen. Mahsiswa sangat antusias karena proses pembelajaran menggunakan kemajuan teknologi dalam hal ini penggunaan software geogebra 5.0 untuk mengkonstruksi konsep-konsep dalam geometri ruang. Dengan beragam fasiltasi yang dimiliki, GeoGebra 5.0 dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, mahasiswa dapat mendemonstrasikan atau memvisualisasikan konsepkonsep matematis serta sebagai alat bantu untuk mengkonstruksi konsep-konsep geometri ruang. Software GeoGebra 5.0 berfungsi sebagai media gambar yang dinamis sehingga mahsiswa dapatmelakukan geseran titik, garis dan bidang serta membuat garis tegak lurus untuk membuat proyeksi baik titik terhadap garis maupun titik terhadap bidang ataupun melakukan pengukuran ruas garis dan besar sudut yang terbentuk. Mahsiswa melalui LKM geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBLmendapat pengalaman langsung dalam belajar, selain itu melalui pemberian masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam LKM berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBLmendukung kegiatan penemuan konsep dan dapat meningkatkan kemampuan Visual-Spatial Thinking mahsiswa dalam belajar Geometri ruang.
3. Peningkatan Kemampuan Visual-Spatial Thinking Mahasiswa Setelah dilakukan penelitian, yaitu berupa uji coba skala kecil terhadap bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 terhadap mahasiswa tingkat 1 semester 2 tahun ajaran 2015/2016 prodi pendidikan matematika Universitas Kuningan sebagai subjek penelitian, kemudian dilakukan analisis data hasil penelitian yaitu terhadap hasil tes kemampuan visual-spatial thinking. Peneliti juga melakukan uji beda skor pretes dan postes untuk melihat peningkatan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswayang menggunakan bahan ajar gemoetri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL. Hasil uji beda menunjukkanpenggunaan bahan ajar gemoetri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL berpengaruh pada peningkatan kemampuan visual-spatial thinking mahasiswa. Hal ini berdampak padakemampuan pemahaman konsep bangun ruang mahasiswa.Seperti pendapat Accascina dan Rogora
218
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
(2006), yang menyatakan kesalahan mahasiswadalam memahami bentuk dimensi tiga dapat menyebabkan kesalahan dalampenyelesaian soal yang diberikan.
Gambar 1. Aktivitas Diskusidan Presentasi Kelompok Pembelajaran Geometri Ruang berbantuan GeoGebra melalui PBL Kegiatan diskusi dan presentasi mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran berbasis masalah berbantuan GeoGebra 5.0dapat meningkatkan interaksi antar mahasiswa, yangsecara tidak langsung dan efektif dalam membangun lingkungan belajar yangberpikir.Seperti pendapat Sabandar (2008), yang menyatakan bahwa diperlukan upaya pendidik secara sengaja agar terwujud dan tercipta suatu kelas yang berpikiryaitu mengembangkan kemampuan berpikir matematika peserta didik.Kemampuan berpikir di sini salah satunya adalah kemampuan visual-spatial thinking sehingga berdasarkan penjelasan di atas jelaslah alasan peningkatan kemampuan kemampuan visual-spatial thinking siswa di kelas yang pembelajarannya menggunakan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian pengembangan ini adalah telah dikembangkan bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui pendekatan PBL melalui tahapan: 1) analisis kebutuhan; 2) pengembangan produk (bahan ajar); 3) validasi ahli dan revisi produk; 4) uji Coba lapangan skala kecil. Melalui langkah-langkah tersebut maka dihasilkan bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 Berkaitan dengan kualitas bahan ajar berdasarkan penilaian validator dan uji coba lapangan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Berdasarkan penilaian validator, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 yang dikembangkan sesuai dengan prinsip PBL b. Berdasarkan hasil validasi teoritik oleh validator bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 dalam kategori baik dengan presentase keidealan 79,15 %. c. Hasil uji coba lapangan, bahan ajar geometri ruang berbasis PBL berbantuan GeoGebra 5.0 Perhitungan secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas gain (g) sebesar 0,38 yang berarti tafsiran peningkatan kemampuan Visual-Spatial Thinking termasuk dalam kategori sedang.
Saran Peneliti menyarankan agar bahan ajar geometri ruang berbantuan GeoGebra 5.0 melalui PBL yang dikembangkan: a. Di ujicobakan kembali di beberapa kelas untuk mendapatkan hasil yang lebih beragam sehingga bahan ajar yang dikembangkan lebih baik lagi
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
219
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
b. Digunakankan dalam pembelajaran mata kuliah geometri ruang.
Daftar Rujukan Black,
A. A. (2005). Spatial Ability and Earth Science Conceptual Understanding.Springfield: Missouri State University. [Online]. Tersedia: http://www.redorbit.com/news/science/268601/spatial_ability_and_earth_science_con ceptual_understanding/ [25 Oktober 2013].
Giaquinto, M. (2007).Visual Thinking in Mathematics An Epistemological Study. United States: Oxford University Press Inc., New York. Gumilar.(2012). Pembelajaran Geometri dengan Wingeom untuk Meningkatkan Kemampuan Spasial dan Penalaran Matematis Siswa.Tesis pada SPs UPI.Tidak diterbitkan. Hidayati, F. (2010).Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam Mempelajari Aljabar.Skripsi Pendidikan Matematika UNY Yogyakarta.Tidak diterbitkan. Ismi, I. N. & Hidayatulloh, B. (2012).Pentingnya Visual Thinking dalam Pembelajaran Geometri SMP.[Online]. Tersedia: http://ohmymath.wordpress.com/category/jurnaldan-artikel/ [19 Oktober 2013]. Kariadinata, R. (2010). Aplikasi PembelajaranMatematika.Disertasi Jurusan Bandung.Tidak diterbitkan.
Berbasis Pendidikan
Komputer dalam Matematika SPs UPI
Li, Q. & Edmonds, K. A. (2005). Mathematics and At-Risk Adult Learners: Would Technology Help? Journal of Research on Technology in Education Vol. 38 No. 2. National Academy of Science (2006).Learning to Think Spatially. Washington DC: The National Academics Press. Sabandar, J. (2008). Thinking Classroom dalam Pembelajaran Sekolah.Makalah Pada Seminar Matematika. Bandung.
Matematika
di
Sanjaya, W. (2010).Strategi Pembelajarran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Schwartz, J.E. (2010). Why Learn Geometry? [Online] Update on Jul 20, 2010. Tersedia: http://www.education.com/reference/article/why-learn-geometry-mathematics/ [3 Juni 2014]. Smaldino, S. E., Lowther, D. L., & Russel, J. D. (2012). Instructional Technology & Media for Learning. Jakarta: Kencana. Sword, L. K. (2005).The Power of Visual Thinking.[Online]. Tersedia:http://www.tempinformationsheets.apduk.org.uk/HTMLobj210/Power_of_Visual_Thinking.pdf [20 Oktober 2013]. Yuliardi, R. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Interaktif Berbasis Komputer Tipe Drill untuk Meningkatkan Kemampuan Spatial Sense Siswa SMP dalam Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung.Skripsi FPMIP UPI Bandung.Tidak diterbitkan
220
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI VOLUME KUBUS UNTUK SISWA SMP Tarsudin1, Zulkardi2, Darmawijoyo2 1
Mahasiswa Program Magister PendidikanMatematikaUniversitasSriwijaya 2 Dosen Program Magister PendidikanMatematikaUniversitasSriwijaya [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lembar kerja siswa dengan pendekatan saintifik yang valid dan praktis. Jenis penelitian ini adalah Design Research tipe development study dengan metode penelitian yang digunakan adalah formative evaluation. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary (tahap persiapan dan tahap desain) dan tahap formatif evaluation (tahap expert reviews, oneto-one, small group, dan field test). Penelitian ini melibatkan siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang sebagai subjek uji coba one-to-one dan small group. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah walk through dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan memenuhi karakteristik kevalidan dan kepraktisan. Kata kunci : LKS, Pendekatan Saintifik, Volume Kubus
1. Pendahuluan Dalam standar isi pendidikan dasar dan menengah, salah satu materi matematika yang diajarkan pada siswa SMP adalah geometri yang didalamnya termasuk bangun ruang (Permendikbud, 2016) . Salah satu indikator yang ada dalam materi bangun adalah menentukan volume. Hasil penelitian (Rostika, 2008) tentang pembelajaran volume bangun ruang menunjukan bahwa siswa mengalami kejenuhan karena pembelajaran yang kurang menarik, guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif memanipulasi benda-benda secara langsung, sehingga sebagian besar siswa suka rmemahami setiap konsep yang diajarkan. Selain itu, (Heruman, 2008) juga menyatakan bahwa siswa jarang sekali diajak untuk mencari dan menemukan sendiri rumus dari volume bangun ruang. Padahal, jika saja siswa diarahkan untuk bisa menemukan sendiri rumus tersebut, pengajaran topik itu akan lebih bermakna dan membuat siswa lebih mengerti. Salah satu solusi yang bisadilakukan oleh guru adalah dengan menerapkan pembelajaran yang bisa menciptakan keaktifan siswa, baik untuk menemukan konsep dari materi pembelajaran, memecahkan persoalan, serta menerapkan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan merasakan suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan pembelajaran akan lebih bermakna. Dalam menerapkan pembelajaran aktif, guru bisa memilih salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik dipilih karena pembelajaran dengan pendekatan saintifik berpusat pada siswa, serta pembelajaran membentuk students‟ self concept (Kemdikbud, 2013).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
221
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Dalam menerapkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, maka guru memerlukan bahan ajar. Salah satu bahan ajar yang bisa digunakan untuk menerapkan pembelajaran saintifik adalah lembar kerja siswa (LKS). Guru harus mengembangkan LKS yang sesuai dengan pendekatan saintifik sehingga pembelajaran aktif yang diharapkan bisa tercapai. Menurut (Risnawati, Mardianita, & Rahmawati, 2015) bahwa penggunaan LKS membuat siswa aktif dalam belajar, ditandai dengan saling berdiskusi dalam kelompoknya membahas soal-soal LKS, bertanya kepada guru jika ada yang belum jelas, mengerjakan dengan tepat waktu, adanya perhatian penuh dari seluruh siswa pada saat siswa lain presentasi. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Pendekatan Saintifik pada Materi Volume Kubus untuk Siswa SMP”. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik lembar kerja siswa berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi volume kubus untuk siswa SMP kelas VIII?”. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan lembar kerja siswa berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi volume kubus untuk siswa SMP.
2. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah design research tipe development study. Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan LKS ini adalah yaitu formative evaluation. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary (tahap persiapan dan tahap desain) dan tahap formatif evaluation (tahap self evaluation, expert reviews, one-to-one, small group, dan field test) (Tessmer, 1993 ; Zulkardi, 2002). Alurdesain formative evaluation dapat dilihat beriku tini.
Gambar 1. Alurdesain formative evaluation (Tessmer, 1993; Zulkardi, 2002) Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah walk through dan dokumentasi. Walk through berupa lembar validasi dan lembar komentar dan saran expert, sedangkan dokumentasi berupa lembar komentar atau saran siswa pada tahap uji coba one-to-one dan small group. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi volume kubus untuk siswa SMP. Proses pengembangan bahan ajar ini yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap preliminary dan tahap formative evaluation.
222
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Tahap preliminary terdiri dari 2 tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pendesainan.Tahap persiapan yang dilakukan oleh peneliti meliputi analisis siswa, analisis kurikulum, analisis materi, serta berkolaborasi dengan guru dalam rangka persiapan penelitian. Setelah melakukan analisis, selanjutnya peneliti mendesain LKS yang difokuskan pada konten, konstruk, dan bahasa. Setelah LKS didesain, selanjutnya peneliti mengevaluasi sendiri (self evaluation) LKS yang telah dibuat. Pada tahap ini peneliti juga mengkonsultasikan LKS kepada dosen pembimbing. Peneliti mendapatkan masukan dari dosen pembimbing dan kemudian merevisi LKS. Hasil yang diperoleh dari tahap ini adalah LKS prototype pertama. Selanjutnya LKS prototype pertama dievaluasi melalui empat tahap yaitu taha pexpert review, one-to-one, small group, dan field test. Prototype pertama yang telah dihasilkan dari tahap self evaluation kemudian dikirimkan pada 2 orang expert untuk divalidasi. Expert memberikan penilaian terhadap LKS dari segi konten, konstruk, dan bahasa. Dari segi konten, LKS yang telah dikembangkan telah sesuai indikator materi pembelajaran, sesuai konten dengan tujuan pembelajaran. Dari segi konstruk, LKS telah sesuai dengan level siswa kelas VIII, dan sesuai dengan langkahlangkah pendekatan saintifik. Dari segi bahasa, ketepatan bahasa telah sesuai dengan EYD, dan penggunaan rumusan kalimat yang tepat sehingga tidak menimbulkan makna ganda atau salah pengertian. Selain memberikan penilaian dari segi konten, konstruk, dan bahasa, Expert juga memberikan komentar dan saran terhadap LKS yang dikembangkan. Bersamaan dengan proses validasi, LKS juga diuji cobakan pada one-to-one. Uji coba oneto-one dilakukan pada 3 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa diminta untuk membaca kalimat pada LKS serta menyelesaikan permasalahan pada LKS. Selanjutnya siswa diminta untuk memberikan komentar dan saran terutama mengenai kalimat yang kurang dimengerti dan gambar kurang jelas. Setelah melalui taha pexpert reviews dan one-to-one, selanjutnya peneliti merevisi LKS berdasarkan komentar dan saran yang diberikan. LKS yang telah direvisi disebut dengan prototype kedua dan LKS kedua ini dapat dikatakan sebagai LKS yang valid. Valid dilihat dari hasil penilaian expert, dimana 2 orang expert menyatakan baik berdasarkan konten, konstruk, danbahasa, serta hasil uji coba one-to-one. Selanjutnya bahan ajar prototype kedua di uji cobakan pada small group yang terdiridari 6 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 55 Palembang yang masing-masing terdiri dari 2 orang siswa berkemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah. Siswa pada tahap small group ini berasal dari kelas yang berbeda dengan siswa pada tahap one-to-one. Secara berkelompok, siswa menyelesaikan permasalahan pada LKS dimulai dari permasalahan yang ada pada langkah mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, hingga mengkomunikasikan. Setelah menyelesaikan permasalahan pada LKS, kemudian siswa diminta untuk memberikan komentar dan saran. Selanjutnya peneliti merevisi LKS berdasarkan komentar dan saran siswa dari tahap small group ini. LKS yang telah direvisi disebut dengan LKS prototype ketiga. LKS prototype ketiga merupakan LKS yang praktis. Hal ini dilihat dari keterpakaian dan kemudahan siswa dalam menggunakan LKS yang dikembangkan saat uji coba small group. Siswa secara aktif mengerjakan LKS yang telah dikembangkan dengan baik dan mandiri tanpa ada bantuan yang berarti dari peneliti.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
223
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini telah menghasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang valid dan praktis pada materi volume kubus untuk siswa SMP. Kevalidan LKS dilihat dari segi konten, konstruk, dan bahasa. Sedangkan kepraktisan LKS dilihat dari keterpakaian dan kemudahan siswa dalam menggunakan LKS yang dikembangkan.
Daftar Pustaka Heruman. (2008). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kemdikbud. (2013). Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013 Pendekatan Saintifik. Jakarta: Kemdikbud Permendikbud. (2016). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kemdikbud Risnawati, Mardianita, W., & Rahmawati, R. (2015). Pengembangan Bahan Ajar Dimensi Tiga Menggunakan Pendekatan Open-Ended di Kelas VIII MTs. Suska Journal of Mathematics Education , 51. Rostika, D. (2008). Pembelajaran Volume Bangun Ruang Melalui Pendekatan Konstruktivisme untuk Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar , 9 - April 2008. Zulkardi. 2002. Developing A Learning Environment on RME for Indonesian Student Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of twente. Tersedia di:http://projects.edte.utwente.nl/cascade/imei/dissertation/disertasi.html.
224
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
OPTIMALISASI PENGGUNAAN VIDEO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Usman Aripin STKIP Siliwangi Bandung [email protected]
ABSTRAK Artikel ini dilatar belakangi oleh kesulitan-kesulitan siswa dalam memahami matapelajaran Matematika.Kesulitan siswa tersebut terjadi karena kurangnya motivasi dalam belajar matematika.Banyak faktor yang menyebabkan motivasi belajarnya kurang salah satu diantaranya karena kurangnya kemampuan awal siswa, situasi pembelajara kurang menarik dan pengaruh penggunaan Gadget.Dalam mengatasi permasalahan tersebut maka secara teoritik penggunaan video merupakan salahsatu solusinya.Melalui video pembelajaran siswa dapat belajar kapanpun dan dimanapun dengan memanfaatkan gadget dan media sosial yang mereka miliki.Pembelajaran menggunakan video sangat bersinergi dengan situasi saat ini bahwasaannya gadget dan media sosial bisa dimanfaatkan untuk belajar. Artikel ini merupkan hasil kajian teori.Adapun rumusan masalahnya apakah pembelajan matematika menggunakan video lebih optimal?Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji secara teoritis optimalisasi penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Manfaat yang diharapkan dari artikel ini adalah memberikan pemahaman kepada guru dalam hal penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Hasil kajian teori disimpulkan bahwa penggunaan video dapat membantu siswa dalam memahami pembelajaran matematika.Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi perhatian bagi guru untuk memanfaatkan gadget dan media sosial dalam pembelajaran matematika. Kata kunci : Penggunaan Video, Pembelajaran Matematika
1. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu matapelajaran yang dianggap sulit bagi kebanyakan siswa bahkan diaanggap matapelajaran menakutkan karena tak jarang rata-rata yang nilainya paling kecil diantara matapelajaran lain adalah matematika. Olehkarena itu matematika dianggap salahsatu matapelajaran yang sulit.Namun bagi sebagian kecil orang justru sebaliknya matematika merupakan pelajaran yang menyenagkan, menantang dan penuh tekateki.Sebagian siswa yang menyukai matematika karena siswa tersebut memahami dan menguasai matematika.Bagi sebagian siswa yang menganggap sulit itu karena tidak menguasai suatu pokok bahasan di matematika.Oleh karena itu perlu sebuah situasi pembelajaran yang dapat meningkan hasil belajar matematik siswa. Ketika hasil belajar siswa mengalami peningkatan akan berimplikasi pada minat siswa belajar matematika. Pembelajaran Matematika saat ini menghadapi tantangan yang sangat besar karena rangking Indonesia selama 10 tahun terkahir ini masih belum memuaskan.Berdasarkan hasil studi Program for International Student Assessment(PISA) tahun 2015 yang menunjukkan Indonesia baru bisa menduduki peringkat 69 dari 76 negara (Sarnapi, 2016). Kemudian hasil TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), menurut Ruri (Sarnapi, 2016) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara dalam hal
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
225
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
melakukan prosedur ilmiah.Hal ini menunjukan masih perlu peningkatan kwalitas pembelajaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu alternatif solusinya adalah pembelajaran dengan menggunakan video.Menurut (Hiebert & Lefevre, 1986) matematika mempunyai dua komponen penting yaitu pengetahuan konsep yang berisi hubungan atau jaringan ide dan pengetahuan prosedur itu pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Seorang siswa untuk memahami matematika haruslah memahami konsepnya terlebih dulu kemudian menjalankan prosedur dengan benar.Pada tahap pemahaman konsep pencapaiannya bervariasi ada yang sangat cepat, sedang, dan lambat memahami suatu konsep.Melalui video siswa bisa mengulang-ulang berapakali untuk melihat dan memahami suatu konsep matematika. Perkembangan teknologi saat ini sangatlah berkembang cepat oleh karena itu pembelajaran matematika haruslah mempunyai inovasi untuk menghadapai tantangan perkembangan saat ini. Saat ini penggunaan smartphonesudah menjadi kebiasaan dan menjadi gaya hidup. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2016) “Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika”. Sering berkemabngnya teknologi saat ini salah satu inovasi pembelajaran saat ini melalui pembelajaran dengan video.Dengan memanfaatkan smartphone dan media sosial yang dimiliki siswa seorang guru dapat membagikan video yang berisi materi pembelajaran sebelum pembelajaran dimulai.Kemudian siswa dapat melihat materi yang ada divideo tersebut kapan pun dan dimanapun video itu dapat dilihat artinya siswa dapat belajar fleksibel tidak hanya disekolah dan kelebihannya apabila siswa tidak mengerti materinya siswa dapat mengulang-ulang videonya supaya lebih paham tentang materi yang disampaikan.Kemudian ketika pertemuan dikelas guru bisa merefleksi apakah ada bagian yang tidak dimengerti dan dapat memberikan soal-soal yang levelnya lebih tinggi.Melalui pembelajaran menggunakan video ini diharpakan hasil belajar matematika lebih optimal. Berdasarkan uraian diatas maka permasalahannya di rumuskan apakah pembelajaran matematika menggunakan video lebih optimal?Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji secara teoritis optimalisasi penggunaan video dalam pembelajaran matematika.Manfaat yang diharapkan dari artikel ini adalah memberikan pemahaman kepada guru dalam hal penggunaan video dalam pembelajaran matematika.
2. Pembahasan 2.1 Pengertian Media Video Media merpukan suatu bentuk ataupun saluran yang digunakan untuk mempermudah tercapinya suatu tujuan. Kata media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata “medium”. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti "perantara" atau "pengantar", yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia media adalah alat, sarana komnuikasi. Hamidjojo dan Latuheru (Azhar Arsyad, 2011: 4) mengemukakan bahwa media sebagai bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide,
226
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai pada penerima yang dituju. Berdasarkan beberapa pengertian tenatng media diatas dapat disimpulkan bahwa media adalah suatu alat sarana untuk menyambung, menyalurkan atau menyampaikan sebuah pesan atau informasi. Video menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bagian yang memancarkan gambar pada pesawat televisi atau rekaman gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan lewat pesawat televisi.Video berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya melihat (mempunyai daya penglihatan) dapat melihat (K.Prent, 1969: 926). Azhar Arsyad (2011 : 49) menyatakan bahwa video merupakan gambar-gambar dalam frame, di mana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar hidup. Jadi pada kesimpulannya video merupakan rekaman gambar hidup yang tervisualisasikan melalui sebuah alat elektronik.
2.2 Karakteristik Video dalam Pembelajaran Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebuah video dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.Menggunakan video juga dapat menjadi daya tarik seorang guru agar dapat memotivasi siswa supaya lebih antusias dalam belajar.Menurut Riyana (2007:8-11) untuk menghasilkan video pembelajaran yang mampu meningkatkan motivasi dan efektivitas penggunanya maka pengembangan video pembelajaran harus memperhatikan karakteristik dan kriterianya. Karakteristik video pembelajaran yaitu: a. Clarity of Massage (kejalasan pesan) Dengan media video siswa dapat memahami pesan pembelajaran secara lebih bermakna dan informasi dapat diterima secara utuh sehingga dengan sendirinya informasi akan tersimpan dalam memori jangka panjang dan bersifat retensi. b. Stand Alone (berdiri sendiri). Video yang dikembangkan tidak bergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain. c. User Friendly (bersahabat/akrab dengan pemakainya). Media video menggunakan bahasa yang sedehana, mudah dimengerti, dan menggunakan bahasa yang umum.Paparan informasi yang tampil.bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan keinginan. d. Representasi Isi Materi harus benar-benar representatif, misalnya materi simulasi atau demonstrasi.Pada dasarnya materi pelajaran baik sosial maupun sain dapat dibuat menjadi media video. e. Visualisasi dengan media Materi dikemas secara multimedia terdapat didalamnya teks, animasi, sound, dan video sesuai tuntutan materi.Materi-materi yang digunakan bersifat aplikatif, berproses, sulit terjangkau berbahaya apabila langsung dipraktikkan, memiliki tingkat keakurasian tinggi. f. Menggunakan kualitas resolusi yang tinggi Tampilan berupa grafis media video dibuat dengan teknologi rakayasa digital dengan resolusi tinggi tetapi support untuk setiap spech system komputer.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
227
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
g. Dapat digunakan secara klasikal atau individual Video pembelajaran dapat digunakan oleh para siswa secara individual, tidak hanya dalam setting sekolah, tetapi juga dirumah.Dapat pula digunakan secara klasikal dengan jumlah siswa maksimal 50 orang bisa dapat dipandu oleh guru atau cukup mendengarkan uraian narasi dari narator yang telah tersedia dalam program. Adapun tujuan penggunaan media video dalam pembelajaran menurut Anderson (1987: 104) yaitu sebagi berikut : a. Tujuan Kognitif Dapat mengembangkan kemampuan kognitif yang menyangkut kemampuan mengenal kembali dan kemampuan memberikan rangsangan berupa gerak dan sensasi.Kemudian mempertunjukan serangkaian gambar diam tanpa suara sebagaimana media foto dan film bingkai meskipun kurang ekonomis. Selain itu video digunakan untuk menunjukan contoh cara bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan khususnya meyangkut interaksi manusiawi. b. Tujuan Afektif Menggunakan efek dan teknik, video dapat menjadi sarana yang sangat baik dalam mempengaruhi sikap dan emosi c. Tujuan Psikomotorik Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan contoh keterampilan yang menyangkut gerak.Melalui video siswa langsungmendapat umpan balik secara visual terhadap kemampuan mereka sehingga mampu mencoba keterampilan yang menyakut gerak. Setiap memunculkan sebuah inovasi tentunya mesti ada kelebihannya maupun kekuranganya.Menurut Daryanto (2011: 79), mengemukakan beberapa kelebihan penggunaan media video, antara lain : a. Video menambah suatu dimensi baru di dalam pembelajaran, video menyajikan gambar bergerak kepada siswa disamping suara yang menyertainya. b. Video dapat menampilkan suatu fenomena yang sulit untuk dilihat secara nyata. Sedangkan kekurangannya, antara lain : 1) Opposition Pengambilan yang kurang tepat dapat menyebabkan timbulnya keraguan penonton dalam menafsirkan gambar yang dilihatnya. 2) Material pendukung Video membutuhkan alat proyeksi untuk dapat menampilkan gambar yang ada di dalamnya. 3) Budget Membuat video membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu menurut Anderson (1987: 105) media video memiliki kelebihan,antara lain : a. Dengan menggunakan video (disertai suara atau tidak), kita dapat menunjukkan kembali gerakan tertentu. b. Dengan menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik proses belajar maupun nilai hiburan dari penyajian itu.
228
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
c. Dengan video, informasi dapat disajikan secara serentak pada waktu yang sama di lokasi (kelas) yang berbeda dan dengan jumlah penonton atau peserta yang tak terbatas dengan jalan menempatkan monitor di setiap kelas. d. Dengan video siswa dapat belajar secara mandiri. Dimana ada keuntungan pasti ada kerugian. Penggunaan video mempunyai keterbatasan diantaranyasebagai berikut : a. Biaya produksi video sangat tinggi dan hanya sedikit orang yang mampu mengerjakannya. b. Layar monitor yang kecil akan membatasi jumlah penonton, kecuali jaringan monitor dan sistem proyeksi video diperbanyak. c. Ketika akan digunakan, peralatan video harus sudah tersedia di tempat penggunaan. d. Sifat komunikasinya bersifat satu arah dan harus diimbangi dengan pencarian bentuk umpan balik yang lain. Berdasarkan paparan diatas bahwa pembelajaran menggunakan media video mempunyai kelebihan diantaranya sebagai berikut a. Menarik perhatian siswa b. Waktu yang digunakan lebih efisien dalam memaksimalkan tujuan pebelajaran. c. Distribusi video lebih mudah karena banyak yang menggunakan smartphonemelalui media sosial yang mereka miliki. d. Sangat bersinergi dengan kondisi saat ini dimana pengguna smartphone di Indonesia sangatlah banyak karena Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. e. Siswa dapat belajar mandiri dan dapat berdiskusi dengan teman sekelasnya didalam ataupun diluar sekolah f. Video dapat diberikan sebelum pembelajaran dimulai akibatnya siswa dapat belajar kapanpun dan dimanapun. g. Menjadi aktif mengerjakan latihan-latihan soal h. Dapat diulang-ulang sampai beberapakalipun. Artinya ketika siswa tidak mngerti sekali menonton video siswa tersebut dapat memutar kembali supaya lebih paham akan materi yang diajarkan oleh guru. i. Guru dapat membahas soal yang lebih tinggi pemahamanya ketika dikelas Adapun kelemahanya sebagai berikut : 1. Membutuhkan biaya untuk membeli alat-alat yang digunakan dalam pembuatan video 2. Terlalu sering diberikan video akan mengakibatkan kejenuhan 3. Tidak dapat melihat siswa saat belajar dengan video tersebut apakah sungguh-sungguh dalam belajanya ataupun tidak.
2.3 Pengunaan Video dalam Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran menggunakan video ini mempunyai beberapa langkah yang harus dilakukan agar pembelajaran lebih optimal. Adapun langkah-langkah penggunaanya sebagai berikut : a. Distribusikan Video Video di distribusikan tentunya sebelum atau sesuadah pembelajaran dapat dilakukan.Cara mendistribusikanya yaitu dengan bantuan akun media sosial yang siswa gunakan.Selanjutnya guru mengupload video yang berisikan materi pembelajaran yang akan dipelajari pada
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
229
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
pertemuan selanjutnya dan beberapa soal latihan untuk dikerjakan siswa. Kemudian mengecek kehadiran siswa dengan cara mengkomentari video yang didistribusikan. Gambar 1. Contoh Pendistribusian Video Pembelajaran
Tahap selanjutnya siswa dapat melihat video dan mempelajari materi yang terdapat di video tersebut dan mengerjakan beberapa soal latihan. Siswa dapat melihat video itu kapanpun, dimanapun dan berpakalipun video itu diputar. Dengan ini siswa akan lebih memahami materi karena dapat berualng-ulang dilihat sampai siswa paham materi tersebut. b. Refleksi dan Pendalaman Materidikelas Setelah video di distribusikan tahap selanjutnya yaitu refleksi materi yang terdapat di video didalam kelas. Guru mengecek apakah materi yang terdapat divideo dapat dipahami atau tidaknya. Setelah video distribusikan ada tiga kemungkinan yaitu siswa paham materi dan dapat mengerjakan soal, paham materi namun ada beberapa soal tidak dapat diselesaikan dan ada yang mungkin sama sekali memahami materi yang terdapat dalam video pembelajaran. Pada tahap ini tugas guru dikelas menguatkan kembali materi supaya siwa lebih memahami materi pembelajaran.Tugas guru dalam mengajar menjadi lebih ringan karena siswa sudah memiliki pemahaman saat melihat video yang sebelumya didistrisbusikan. Adapun untuk siswa yang belum memahami materi guru dapat mengulangi materi untuk menguatkan pemahaman siswa. Walapun masih ada siswa yang belum paham saat melihat video, mengajar seperti ini akan lebih baik daripada siswa tidak samasekali belum mengetahui materi karena sedikitnya siswa sudah membaca materi itu artinya sedikitnya sudah ada memliki dasar.
230
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Apabila materi sudah tersampaikan dan terkuasai dengan baik guru dapat melakukan pendalaman materi atau memberikan materi pengayaan dikelas. Pembelajaran menggunakan video akan dapat mengoptimalkan kegiatan pembelajaran karena materi dapat dibahas mendalam dan lebih efisien dalam mengejar materi. Setelah pembelajaran dikelas selesai tahap selanjutnya adala guru membuat lagi video untuk pertemuan selanjutnya. 3. Metode Penulisan Artikel ini merupakan hasil kajian teori yang di kumpulkan dari beberapa referensi yang berkaitan dengan karakteristik pembelajaran matematika menggunakan video.Selain itu artikel ini mengkaji optimasilasi penggunaan video pembelajaran dalam pembelajaran matematika. 4. Kesimpulan dan Saran Menurut (Hiebert & Lefevre, 1986) matematika mempunyai dua komponen penting yaitu pengetahuan konsep yang berisi hubungan atau jaringan ide dan pengetahuan prosedur itu pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Berlandaskan teori tersebut secara konsep dan prosedur dalam matematika penggunaan video dapat mengoptimalkan pemahaman konsep dan prosedur menyelesaikan masalah matematika karena siswa dapat mengulang-ulang materi sampai siwa tersebut memaham materi yang disampaikan. Walapun terdapat siswa yang belum memahami setelah video di distribusikan guru dapat menguatkan pemahaman siswa pada saat pembelajaran dikelas.Dapat disimpulkan bahwa penggunaan video dapat membantu siswa dalam memahami pembelajaran matematika. Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi perhatian bagi guru untuk memanfaatkan gadget dan media sosial dalam pembelajaran matematika karena sangat bersinergi dengan kondisi saat ini dimana pengguna smartphone di Indonesia yang semakin banyak.
Daftar Pustaka Anderson, R.H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran.Jakarta : CV Rajawali. Arsyad, Azhar. (2011). Media Pembelajaran.Jakarta : Rajawali Pers Daryanto (2011).Media Pembelajaran.Bandung : Nurani Sejahtera Hiebert, J & Lefevre, P. (1986).Conseptual and Procedural knowledge in Mathematics : An Introductory Analisis. Hillsdalem NJ. & London: Erlbaum K.Prent dkk.1969, Kamus Latin-Indonesia. Semarang: Jajaran Kanisius. Kominfo (2016).Indonesia Raksasa Teknologi Digital Asia. [online]. Tersedia :https://kominfo.go.id/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-digitalasia/0/sorotan_media Riyana, C. 2007. Pedoman Pengembangan Media Video. Jakarta: P3AI UPI. Sarnapi (2016). Peringkat Pendidikan Indonesia Masih Rendah.[online]. Tersedia :http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikanindonesia-masih-rendah-372187
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
231
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN METODE CONNECTING ORGANIZING REFLECTING EXTENDING TERHADAP DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP Wahyu Setiawan STKIP Siliwangi Bandung [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya disposisi matematik di tingkat SMP yang belum tertangani dengan baik.Oleh karena itu, guru harus menentukan metode pembelajaran yang tepat sehingga dapat mempermudah siswa mengembangkan disposisi matematiknya.Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan metode CORE.Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain yang digunakan adalah “kelompok kontrol postes”.Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP di salah satu SMP di kota Cimahi dengan satu kelas kelompok eksperimen dan satu kelas kelompok kontrol. kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran metode CORE, dan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran biasa (konvensional). Setelah dilakukan pembelajaran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selama enam kali pertemuan, dilanjutkan dengan pengumpulan data.Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah tes berupa angket untuk mengetahui respon siswa mengenai metode CORE.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan metode CORE dapat mencapai disposisi matematik siswa SMP.Pembelajaran matematika dengan metode CORE menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.Hal ini ditunjukkan melalui angket skala disposisi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pembelajaran matematika dengan metode CORE dapat dijadikan sebagai alternatif metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan disposisi matematik.. Kata kunci:Metode CORE, Disposisi Matematik Siswa.
A.
Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagiperkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsadan negara.Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah halyang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan.Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terusmenerusdilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Seperti yang dikemukakan Trianto (2010:2) yangmenyatakan bahwa : “Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatangadalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik,sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkanproblema kehidupan yang dihadapinya.” Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mendudukiperanan penting dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari alokasi waktu matapelajaran matematika di sekolah lebih banyak dibandingkan mata pelajaran lain.Mata pelajaran Matematika perlu diberikan 232
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
untuk membekali peserta didik dengankemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta kemampuanbekerjasama.Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memilikikemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untukbertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syaban (2009) menyimpulkan bahwa saat ini, daya dan disposisi matematik siswa belum tercapai sepenuhnya. Hal ini terlihat dari temuan yaitu adanya indikasi akan rendahnya disposisi matematik siswa. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesumawati (2009) menemukan bahwa dari 297 siswa SMP sebagai sampel penelitiannya diperoleh 58% yang digolongkan memiliki disposisi matematik yang rendah.Untuk mengoptimalkan kemampuan pemahaman, koneksi dan disposisi matematik siswa khususnya pada siswa kelas VIII SMPN 4 Cimahi, perlu untuk dicarikan solusi. Solusinya adalah dengan menggunakan metode pembelajaran CORE.CORE (Connecting, Organizing, Reflecting and Extending) diterapkan dalam pembelajaran untuk menghubungkan, mengorganisasikan, menggambarkan dan menyampaikan pengetahuan yang ada dalam pikiran siswa serta memperluas pengetahuan mereka dengan melakukan diskusi pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dengan Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru yang akan dipelajari dengan pengetahuannya terdahulu. Organizingmembawa siswa untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya.Kemudian dengan Reflecting, siswa dilatih untuk dapat menjelaskan kembali informasi yang telah mereka peroleh dan Extending, siswa dapat memperluas pengetahuan mereka pada saat diskusi berlangsung. Dalam metodeCORE siswa berdiskusi untuk menghubungkan pengetahuan yang baru dengan apa yang telah mereka ketahui, mengkonstruksi pengetahuan, meningkatkan kemampuan berpikir dan membantu memperluas pengetahuan mereka. Sejalan dengan hal tersebut, Calfee et al., (Jacob, 2005) mengatakan bahwa ada empat hal yang dibahas dalam pembelajaran dengan metodeCORE yaitu: Pertama, diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Kedua, diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan.Ketiga, diskusi yang baik dapat meningkatkan berpikir reflektif dan Keempat, diskusi membantu memperluas pengetahuan siswa. Hal ini, akan menimbulkan motivasi dan pengetahuan yang akan menghasilkan pemaknaan dan pemahaman dalam pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran dengan metodeCORE ini diduga dapat bermanfaat bagi usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan disposisi matematik siswa SMP. Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi dan dirumuskan sebagai berikut: “Apakah disposisi matematik siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan metode biasa. Disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain dengan indikator yang sebagai berikut :(1) Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar matematika. (2) Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika. (3) Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan. (4) Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.(5) Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi. (6) Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.Metode pembelajaran CORE dalam pembelajaran matematika adalah metode pembelajaran yang mencakup empat aspek kegiatan yaitu connecting, organizing, reflecting, dan extending. Adapun keempat aspek tersebut adalah :Connecting (C) Merupakan kegiatan mengoneksikan informasi lama dan informasi baru dan antar konsep. Organizing (O) Merupakan kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi. Reflecting (R) Merupakan kegiatan memikirkan kembali,
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
233
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
mendalami dan menggali informasi yang sudah didapat. Extending (E) Merupakan kegiatan untuk mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.
B.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilaksanakan adalah kuasi eksperimen.Penggunaandesain dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelas yang ada telah terbentuksebelumnya sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokan secara acak.Kuasieksperimen adalah metode yang tidak memungkinkan peneliti melakukanpengontrolan penuh terhadap variabel dan kondisi eksperimen. Subjekdikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa adanya(Ruseffendi, 2005). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desain Kelompok Kontrol Postes (Ruseffendi, 2010:50).Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua) kelasyang dipilih yaitu kelas pertama dijadikan kelas kontrol ataukelompok kontrol, kelas kedua dijadikan kelas eksperimen yang diberikanperlakuan yaitu menggunakan pembelajaran dengan Metode COREdalam kegiatan belajar di kelas, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikanperlakuan. Pemilihan desain ini bertujuan untuk melihat pengaruh pembelajaranmetode terhadap kelas eksperimen. Adapun desain penelitiannya adalah sebagaiberikut: X
O
O O = Postes angket disposisi matematik X = Perlakuan berupa pembelajaran dengan metodeCORE = subjek tidak dikelompokan secara acak Penelitian ini menggunakan instrumenjenis non-tes adalah skala disposisi matematiksiswa.Skala sikap yang digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadappembelajaran matematika dengan metodepembelajaran CORE, sikap siswa terhadap soal-soalkemampuan pemahaman dan koneksi matematik. Pada penelitian ini,skala sikap disusun dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang terdiri dari 24 butirdengan rincinan 12 butir pernyataan positif dan 12 butir pernyataan negatif. Metode skala sikap yang digunakan adalah metode skala sikap Likert. Siswadiharapkan dapat memberikan jawaban yang sesungguhnya, karena skala sikapdiberikan pada siswa kelas eksperimen yang telah mengalami proses pembelajaran Skala sikap yang digunakan pada penelitian ini, diberikan pada saat postes. Skala yang dipakai adalah skala Likert dengan pilihan jawaban Sangat Sering (SS), Sering (Sr), jarang (J), dan Tidak Pernah (TP). Skala sikap ini bertujuan untuk mengetahui disposisi matematik siswa terhadap proses pembelajaran yang menggunakan metodeCORE.Skala sikap disposisi matematik yang disusun dalam penelitian ini memuat enam indikator, yaitu; 1).Rasa percaya diri; 2).fleksibel dalam pembelajaran; 3). Gigih dan ulet; 4).Rasa ingin tahu yang tinggi; 5). Refleksi terhadap cara berpikir; 6). Menghargai aplikasi matematika dalam bidang lain dan kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah Pelaksanaan Eksperimen dalam penelitian ini adalah: a. Kedua kelas diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode CORE pada kelas eksperimen dan pembelajaran biasa pada kelas kontrol. b. Memberikan angket disposisi matematik pada siswa di kedua kelas, untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan metode CORE dan pembelajaran biasa.
234
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
c. Mengolah dan menganalisis data yang diperoleh setelah penelitian berakhir.
C. Hasil Penelitian Untuk mengetahui respon dan sikap siswa terhadap pencapaian kemampuan pemahaman dan koneksimatematik baik siswa dengan menggunakan metode pembelajaran CORE dan pembelajaran biasa, peneliti menganalisis skala disposisi yang diberikan terhadap kedua kelas tersebut untuk melihat perbedaan disposisi matematik antara siswa yang menerima perlakuan pembelajaran CORE dan pembelajaran biasa. Angket tersebut diberikan setelah seluruh pembelajaran selesai diajarkan (postes) pada kedua kelas. Indikator skala disposisi yang di ukur antara lain : a. antusias, b. perhatian yang serius, c. gigih, d. percaya diri, e.rasa ingin tahu yang tinggi, f. kemampuan berbagi dengan orang lain. Pernyataan-pernyataan tersebut terdiri atas pernyataan positif dan pernyataan negatif. Skala yang digunakan yaitu skala likert, yang terdiri atas jawaban Selalu (SL), Sering (SR), Jarang (J), Tidak Pernah (TP). Deskripsi statistik untuk disposisi matematik meliputi, rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum dan minimum serta jumlah siswa dapat dilihat pada Tabel. 1. Tabel. 1 Hasil Tes Skala Likert Disposisi Matematik Kelas
Jumlah siswa(n)
SD
Eksp
30
74,30
8,80
Kontrol
30
65,23
5,09
Berdasarkan Tabel 1 di atas didapat bahwa perbedaan nilai rata-rata disposisi matematik kelas eksperimen dan kelas kontrol 9,77, dan juga didapatkan standar deviasi disposisi matematik kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, hal ini berarti bahwa nilai kelas kontrol lebih bervariasi dibandingkan kelas eksperimen. Sebelum data diproses lebih lanjut, distribusi datanya diuji terlebih dahulu kenormalannya dan diperiksa homogenitas variansinya . a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah skor skala disposisiyang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Di samping itu, uji normalitas dilakukan untuk keperluan analisis data selanjutnya yaitu menggunakan statistik parametrik atau non-parametrik, dengan bentuk hipotesis sebagai berikut: :
Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
:
Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
235
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Karena ukuran sampel masing-masing lebih kecil atau sama dengan 40 maka uji statistik yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (Ruseffendi, 1993) dengan mengambil taraf signifikansi (α) sebesar 0,05. Sedangkan untuk kriteria penerimaan hipotesisnya adalah: Jika P – value < α, maka ditolak Jika P – value ≥ α, maka
diterima
Setelah dianalisis dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh hasil pada Tabel.2 dibawah ini. Tabel. 2 Uji Normalitas Skala Disposisi Matematik Kelas dengan Model Statistik N Sig. Interpretasi Pembelajaran CORE 0.210 30 0.002 H0 ditolak Biasa 0.104 30 0.200 H0 diterima Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa kelas yang menggunakan metode pembelajaran CORE memiliki signifikansi < 0,05, yang artinya sampel berasal dari populasi yang tidak terdistribusi normal, sedangkan kelas yang menggunakan metode pembelajaran biasa memiliki signifikansi > 0,05. Karena data dari salah satu kelas tidak normal, maka dilakukan uji rata-rata kedua kelas dengan uji non parametrik yaitu Uji Mann - Whitney. b. Uji Rata-rata Disposisi Matematik Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan bahwa salah satu kelas mempunyai data yang tidak berdistribusi normal, selanjutnya akan dilakukan uji non parametrik disposisi matematik. bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut: H0 : µA= µB (Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode CORE tidak lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa). : (Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode CORE lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa). Dengan mengambil taraf signifikansi (α) sebesar 0,05, maka kriteria penerimaan hipotesis adalah: Tolak jika nilai signifikansi α, Terima jika nilai signifikansi α Setelah dianalisis dengan menggunakan SPSS 21 diperoleh hasil pada Tabel. 4.11 dibawah ini Tabel 4.11 Uji Rata-rata Non Parametrik DisposisiMatematik Disposisi Interpretasi Matematis Mann-Whitney U 196.000 Wilcoxon W 661.000 Z -3.762 Asymp. Sig. (2-tailed .000 H0 ditolak Berdasarkan Tabel 4.11 didapat bahwa sig hitung adalah 0,000 untuk 2 pihak, sehingga nilai signifikansinya harus dibagi menjadi dua, menjadi Sehingga didapatkan sig hitung < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H 1 diterima dan H0 ditolak, artinya rata-rata 236
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
disposisi matematik kelas kontrol dan kelas eksperimen terdapat perbedaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa disposisi matematik kelas eksperimen lebih baik daripada disposisi matematik kelas kontrol.
D. Pembahasan 1. Proses Pembelajaran Pada proses belajar mengajar selama 6 kali pertemuan, langkah-langkah metode pembelajaran CORE,dirasakan oleh siswa ini merupakan sesuatu yang baru dikenal, karena selama ini yang dikenal oleh siswa hanyalah metode ekspositori saja. Beberapa siswa mengalami perubahan kemampuan pemahaman dan koneksi matematika, tetapi beberapa siswa lainnya masih belum nampak perubahannya.Proses adaptasi yang cukup lama sedikit menghambat proses belajar. Proses connecting yang seharusnya berlangsung kurang lebih 15 menit, pada kenyataannya berlangsung lebih dari 30 menit, sehingga untuk melanjutkan ke tahap berikutnya waktu yang tersedia tidak cukup lama untuk melanjutkan ke proses-proses berikutnya. Tetapi hal itu hanya berlangsung selama dua kali pertemuan, untuk pertemuan ketiga dan seterusnya proses yang membutuhkan waktu lama hanya ada pada tahap reflecting dan extending. Hambatan selanjutnya yang muncul pada metode CORE ini, adalah materi bangun ruang sisi datar yang cukup padat harus disesuaikan dengan enam kali pertemuan.Untuk itu peneliti mencoba mengelompokan materi-materi tersebut untuk dibahas pada kelompok yang berbeda, ada satu kelompok yang membahas luas kubus, kelompok satu lagi membahas tentang luas balok, hal ini dilakukan supaya seluruh materi bisa dibahas oleh semua siswa. Ada beberapa siswa yang tidak mengikuti kegiatan ini dengan baik misal ngobrol saat kelompok lain menerangkan, kurang aktifnya beberapa siswa dalam diskusi dan tidak terbiasanya mereka melakukan proses presentasi di depan dirasa cukup menghambat proses belajar mengajar yang menggunakan metode CORE ini.
2.
Disposisi Matematik
Respon dan sikap siswa terhadap kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa dengan menggunakan metode CORE cukup baik, hal ini terlihat dari uji signifikansi kemampuan disposisi matematik siswa yang kurang dari 0,041, sehingga mengakibatkan adanya perbedaan kemampuan disposisi matematik siswa antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode CORE dan pembelajaran biasa. Walaupun metode pembelajaran CORE lebih baik digunakan pada kelas eksperimen, guru masih perlu memberikan perhatian, arahan dan bimbingan yang lebih bagi siswa secara keseluruhan.Siswa terbiasa dengan penjelasan guru untuk penerapan konsep, dan soal-soal sesuai contoh yang diberikan guru. Sehingga ketika proses tahapan pembelajaran CORE diterapkan mereka belum bisa mengikuti secara optimal tahapan pembelajaran CORE yang dilakukan. Kegiatan yang disajikan dalam LKS dan diskusi kelompok pun bagi siswa dengan kategori rendah masih kurang optimal, karena hanya siswa yang memiliki kemampuan dengan kategori tinggi dan sedang saja yang bisa mengikuti proses pembelajaran CORE. Sehingga soal-soal kemampuan pemahaman dan koneksi yang diberikan terhadap siswa tidak dapat berkembang bagi siswa dengan kemampuan kategori rendah.Berdasarkan hasil pengamatan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode CORE, didapatkan adanya peningkatan hasil belajar siswa selama enam kali pertemuan. Peningkatan juga terlihat pada aktivitas siswa secara kelompok jika dibandingkan dengan aktivitas siswa
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
237
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
secara individual. Hal tersebut membuktikan bahwa siswa cenderung lebih menyukai pembelajaran matematika yang dilakukan secara kelompok. Karena dengan cara berkelompok, siswa dapat berdiskusi dan saling bertukar fikiran, ide atau gagasan dengan teman yang lainnya tentang cara dan strategi penyelesaian masalah dalam mengerjakansoal, Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diberikan oleh guru. Dalam proses pembelajaran dengan metodeCORE ini, guru memiliki peranuntuk memberikan berbagai motivasi kepada siswa agar siswa mau berinteraksi baikdengan guru maupun dengan teman-temannya, guru senantiasa mendorong supaya siswamau bekerja secara aktif dan kreatif dalam setiap penyelesaian masalah, kemudianbeberapa anggota kelompok menyajikan jawaban dengan menjelaskan danmengkomunikasikan alasan serta bukti dari setiap jawaban yang disampaikan. Adapunkelompok yang lain diarahkan agar menyimak kelompok yang sedang mempresentasikanjawabannya, kemudian kelompok tersebut memberikan tanggapan atas jawaban darikelompok lainnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap siswa pada awalpembelajaran masih kurang begitu tertarik, dengan menunjukkan sikap kurang responsive terhadap masalah yang dibahas, pada saat bekerja secara kelompok mereka kurangberusaha mencari tahu pada setiap penyelesaian jawaban yang diajukan oleh kelompoklain apabila jawaban yang disajikan tidak sesuai dengan jawaban yang ditampilkanolehkelompoknya. Hal itu jelas menunjukkan bahwa, respon secara lisan kurang berhasil.Tetapi pada pertemuan selanjutnya mulai terlihat adanya ketertarikan terhadap materiyang diberikan. Sedangkan hasil penelitian pada pertemuan terakhir telah menunjukkanadanya sikap yang baik dan responsif dari siswa. Sehingga pembelajaran dapat dinilaipositif dan mengalami peningkatan.
E.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada keseluruhan tahap penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa:Disposisi Matematik siswa SMP yang mendapatkan metode pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan metode pembelajaran biasa Dari hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. Dalam implementasi metodepembelajaran CORE sebaiknya sejak awal dipersiapkan sebaik mungkin lembar aktivitas siswa yang sesuai dengan indikator, penggunaan bahasa, dan efektivitas waktu perlu menjadi pertimbangan yang serius, mengingat pada pelaksanaannya pembelajaran terkadang tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. b. Sebelum melakukan penelitian lebih baik peneliti mengetahui terlebih dahulu bagaimana kemampuan awal dari kedua kelas yang akan diteliti. Hal ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kemampuan awal dari kelas yang akan diteliti. c. Untuk materi-materi yang berhubungan dengan prinsip atau materi yang memerlukan aplikasi matematika, untuk membantu pengenalan konsep awal secara abstrak, metodepembelajaran CORE bisa dijadikan sebagai metode pembelajaran yang membantu siswa. d. Dalam penelitian ini materi yang digunakan adalah materi Bangun Ruang Sisi Datar. Maka penulis menyarankan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang serupa untuk memilih materi pelajaran yang berbeda dengan kemampuan matematika dan tingkatan sekolah yang berbeda pula.
238
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Daftar Pustaka Ansari, Bansu Irianto. (2009). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi PPS UPI Bandung:tidak diterbitkan. Crockcroft, W. (1981).Mathematics Count: Report Into The Teaching of Mathematics in School under The Chairmanship of W. H. Crockcroft. London, UK: HMSO. NCTM.(1989). Curriculum Reston, V.A: Author.
and
Evaluation
Standards
for
School Mathematics.
NCTM (2000).Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM. Rusefendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika.Bandung: Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi Ruseffendi, E.T.(2005). Dasar-Dasar EksaktaLainnya. Bandung: Tarsito
Penelitian
Pendidikan
&
Bidang
Non-
Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangakan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: PT. Tarsito Bandung
Suherman, et al. (2003).Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.JICA FPMIPA UPI. Suherman, et al. (2003).Evaluasi Pembelajaran matematika. Bandung: JICA-UPI
Sugiono. (2012), Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumarmo U. (2003).Daya dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB, Oktober 2003.(http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=6 2 Jurnal Pendidikan dan budaya). Syahban,M. 2008. Menggunakan open ended untuk memotivasi berpikir matematika.. Tersedia pada: http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_ Syaban, M. (2009).Menumbuhkembangkan Daya Matematik Siswa. Bandung: UPI Press.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
239
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Trianto.(2010). Metode-Metode Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: prestasi pustaka. Wahyudin.Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan
240
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
DESAIN PEMBELAJARAN MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR TIGA VARIABEL DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Yuliarti Effendy1), Ratu Ilma Indra Putri2), Ely Susanti3) SMA N 1 Tanjung Raja1) [email protected] Dosen FKIP, Universitas Sriwijaya2) [email protected] Dosen FKIP, Universitas Sriwijaya3) [email protected]
ABSTRAK Belajar aljabar bukanlah sekedar menentukan nilai x dan y, tetapi merupakan cara berpikir dengan mengontruksi sebaik mungkin pemahaman aljabar yang tidak hanya fokus kepada menghafal prosedur penyelesaian. Penelitian ini bertujuan mendesain pembelajaran sistem persamaan linear tiga variabel menggunakan pendekatan PMRI dengan konteks toko sepeda, membantu siswa merepresentasikan sistem persamaan linear tiga variabel, membuat lintasan belajar (LIT). Sebelum proses pembelajaran terlebih dahulu mendesain perangkat pembelajaran yaitu berupa HLT (lintasan belajar), Ice berg, silabus, RPP, LKS. Pembelajaran pemodelan sistem persamaan linear tiga variabel ini menggunakan empat aktivitas yaitu, mengidentifikasi masalah nyata, merumuskan model matematika, menentukan penyelesaian dari model matematika dengan metode eliminasi dan substitusi, menyelesaikan model matematika dengan metode determinan. Dari hasil pembelajaran menunjukkan bahwa dengan menggunakan gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga dan sepeda tandem dan langkah-langkah sistem persamaan linear tiga variabel mudah dipahami dan dimengerti siswa serta mampu menjelaskan kebermaknaan dari nilai variabel yang didapat. Kata kunci: SPLTV, toko sepeda, eliminasi dan substitusi, determinan
1. Pendahuluan Belajar aljabar bukanlah sekedar menentukan nilai x dan y, tetapi merupakan cara berpikir dengan mengontruksi sebaik mungkin pemahaman aljabar yang tidak hanya fokus kepada menghafal prosedur penyelesaian (Husna, Zulkardi, Somakim, 2014). Kemudian Mengajarkan sistem persamaan linear banyak menemui kendala. Penyelesaian sistem persamaan linear adalah kesalahan yang sering dibuat siswa dalam menggunakan metode substitusi dan eliminasi karena ketidakpahaman tahap-tahap penyelesaian (Husna, Zulkardi, Somakim, 2014). Kemudian juga melalui hasil TIMSS 2007, Jupri & Djivers (2014a) menyatakan bahwa siswa Indonesia mengalami kesulitan belajar aljabar yang terdiri dari kesulitan penggunaan operasi aritmatika, pemahaman dalam penyimbolan, pemahaman ekspresi aljabar, pemahaman tentang tanda penghubung, dan matematisasi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
241
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyajikan solusi untuk mengajarkan sistem persamaan linear tiga variabel yaitu, Gharib (2015) menyatakan bahwa sistem persamaan linear tiga variabel dapat diselesaikan dengan metode Gauss Jordan dan teori matrik.Selanjutnya Prince & Angelo (2015) menyatakan bahwa untuk membuat sistem persamaan linear tiga variabel lebih menarik perlu diajarkan salah satu aplikasi dari sistem persamaan linear yang menyangkut sebuah model matematika alami dari berbagai variasi aplikasi dunia nyata. Bluman (2004) juga menyatakan bahwa “when you solve an algebra word problem, you must first be able to translate the conditions of the problem into an equation involving algebraic expressions”. Berdasarkan penjelasan di atas, hendaknya siswa diberikan pembelajaran yang bermakna yaitu, tidak langsung dihadapkan kepada prosedur-prosedur formal (Husna, Zulkardi, Somakim, 2014). Pemahaman siswa berkenaan dengan penyelesaian aljabar dapat dikontruksi dengan memberikan permasalahan dan meminta siswa untuk menyelesaikan permasalahan dengan caranya sendiri terlebih dahulu. Walcott (2011) menggunakan the cycle shop untuk mengajarkan sistem persamaan linear pada siswa tingkat menengah pada aktivitas pembelajaran. Penelitian yang membahas pembelajaran sistem persamaan linear telah dilaksanakan oleh Ogbuehi (2006), Firiani (2013), Husna, Zulkardi, Somakim (2014), danKhuluq, Zulkardi, Darmawijoyo (2015). Dengan demikian peneliti akan mengangkat penelitian sistem persamaan linear tiga variabel dengan konteks toko sepeda di sekolah menengah atas. Pada toko sepeda tersebut peneliti menyajikan beberapa gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga, dan sepeda tandem untuk meminta siswa mengamati dan mengidentifikasi unsur-unsur sistem persamaan linear tiga variabel serta mengontruksi model matematika yang akan diselesaikan dengan metode gabungan dan determinan matrik pada kurikulum 2013 di kelas X SMA. Sepeda-sepeda tersebut dituangkan pada aktivitas-aktivitas pembelajaran yang didesain sedemikian hingga pada lembar aktivitas siswa menggunakan pendekatan PMRI. Judul dari penelitian ini adalah “Desain Pembelajaran Materi Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan Pendekatan PMRI Di Sekolah Menengah Atas” Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: Rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah, 1. Bagaimana konteks toko sepeda dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa merepresentasikan penyelesaian sistem persamaan linear tiga variabel di Sekolah Menengah Atas? 2. Bagaimana lintasan belajar Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan konteks toko sepeda pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas? Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan: 1. Membangun pemahaman siswa dari konteks toko sepeda pada Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas, 2. Merancang lintasan belajar Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dengan konteks toko sepeda pada pendekatan PMRI di Sekolah Menengah Atas.
242
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
2. Kajian Literatur 2.1.Pendekatan PMRI PMRI mengacu pada konsep fundamental dalam Realistic mathematics Educations (RME). Dua pandangan yang penting dari fundamental adalah (1) mathematics must be conected to reality; and (2) mathematics as human activity (dalam Zulkardi, 2010). Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah peserta dididk harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (re-invention) ide dan konsep matematika melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world dengan bimbingan orang dewasa dan secara bertahap berkembang menuju kepemahaman matematika. Pada perancangan sistematika intruksional kegiatan pembelajaran ini, guru berpedoman pada ide pendidikan matematika realistik. Rangkaian kegiatannya yaitu kegiatan pembelajaran diawali dengan situasi nyata untuk siswa diantaranya pengenalan informasi mengenai toko sepeda, dan jenis-jenis sepeda.. Tujuan digunakannya situasi kontekstual ini yaitu supaya siswa mampu membawa pengetahuan informal mereka dari situasi yang diberikan guru. Dari rangkaian kegiatan tersebut diharapkan mampu menjembatani siswa dari pengetahuan yang bersifat nyata menuju tahap yang lebih formal dalam penggunaan model dan simbol. Pada kegiatan tersebut siswa diberi keleluasaan untuk berdiskusi mengenai strategi pemecahan masalah. Oleh karena itu, Design Research dipilih sebagai jenis penelitian yang tepat dalam rangka memenuhi tujuan yang akan dicapai guru. Ada tiga fase yang dilaksanakan dalam design research, yaitu: preliminari design, teaching eksperiment, dan retrospective analysis.
2.2.Sistem Persamaan Linear Persamaan linear adalah bentuk kalimat terbuka yang memuat variabel dengan derajat tertinggi adalah satu. Sedangkan sistem persamaan linear adalah beberapa persamaan linear yang mempunyai hubungan satu sama lainnya dalam nilai-nilai variabelnya. Anton (1991) menyatakan bahwa sistem persamaan linear adalah sebuah himpunan berhingga dari persamaan-persamaan linear dalam peubah . Bentuk umum persamaan linear adalah dengan Dengan dinamakan koefisien dinamakan peubah b dinamakan suku konstan Perhatikan bahwa pangkat dari peubah hanya satu, tidak ada perkalian antar peubah dan peubah tidak muncul sebagai argumen untuk fungsi trigonometrik, fungsi logaritmik, atau untuk fungsi ekponensial (Anton, 1991). Penyelesaian sistem persamaan linear adalah sehimpunan bilangan terurut yang jika disubstitusikan kedalam persamaan linear akan menjadi valid. Sistem persamaan linear (SPL) adalah sehimpunan persamaan linear yang menjadi satu kesatuan, antar persamaan linear saling terikat. Bentuk umum sistem persamaan linear (disingkatSPL) yang terdiri dari m persamaan dan n variable x1,x2,…,xn dapat ditulis sebagai: a11 x1+ a12x2+…+a1nxn=b1 Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
243
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
a21x1+ a22x2+…+a2nxn=b2 : am1x1+ am2x2+…+amnxn=bm, Sistem persamaan linear diatas mempunyai n peubah dan m persamaan. Metode dasar untuk memecahkan sebuah sistem persamaan-persamaan linear adalah untuk mengganti sistem yang diberikan dengan sebuah sistem baru yang mempunyai himpunan pemecahan yang sama, tetapi lebih mudah untuk memecahkannya. Sistem tersebut bisa diselesaikan menggunakan matriks.
Cara menyelesaikan SPLTV dengan cara determinan yaitu sebagai berikut: Sistem persamaan :
ax by cz p dx ey fz q gx hy iz r diubah menjadi bentuk susunan bilangan sebagai berikut dan diberi notasi : D, D x, Dy, dan Dz.
a b D= d e g h
c p b f Dx = q e i r h x=
c f
a Dy = d g
i
Dx D
y=
p q
c f
r
i
Dy
a Dz = d g z=
D
b e
p q
h
r
Dz D
1) Determinan cara sarrus - - -
a b D= d e g h
c a f d i g
b e h
= aei + bfg + cdh – gec – hfa – idb
2) Determinan cara cramer
a b D= d e g h
c f i
= a
e h
f d -b i g
f d +c i g
e h
= a(ei-fh) – b(di-fg) + c(dh-eg) = aie – afh – bdi + bfg + cdh – ceg
244
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan desain riset (design research). Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah guru dan 30 siswa kelas X IIS 3 SMA N 1 Tanjung Raja, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia. Penelitian dilaksanakan pada semseter ganjil tahun akademik 2016/2017. Berdasarkan metode dan tahapan penelitian yang telah dijelaskan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini untuk setiap tahap akan diuraikan sebagai berikut: 1. Preliminary Design a. Observasi Kelas b. Wawancara dengan Guru
2. Penelitian Pendahuluan (Pilot Experiment) a. Tes b. Observasi c. Wawancara d. Dokumentasi 3. Teaching Experiment
Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan untuk membandingkan aktivitas siswa selama proses teaching experiment dan HLT yang telah didesain pada tahap preliminary design (desain pendahuluan).
4. Pembahasan Penelitian ini menghasilkan desain pembelajaran materi sistem persamaan linier tiga variable dengan menggunakan konteks toko sepeda. Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil dari penelitian. Dimana pada saat penelitian ini dilakukan melewati beberapa tahap, tahapan pertama dalam penelitian ini adalah desain pendahuluan (preliminary design), tahapan kedua yaitu percobaan pembelajaran (the design exsperiment), dan tahapan ketiga yaitu analisis retrospektif (retrospective analysis). Tahap Premilinary Design Pada tahap pendahuluan (premliminary design)kegiatan yang dilakukan oleh peneliti terdiri atas:
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
245
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
a. Kajian Literatur Peneliti mengkaji literatur tentang materi sistem persamaan linier tiga variabel, pendekatan PMRI, dan design research yang digunakan sebagai metode penelitian. Selain itu, peneliti juga mengobservasi siswa untuk melaksanakan pilot experiment dan bekerjasama dengan guru matematika yang akan dijadikan model sehingga didapatkan enam orang siswa dengan masing-masing dua siswa berkemampuan rendah, dua siswa berkemampuan sedang dan dua siswa berkemampuan tinggi. Sebelum pilot experiment, peneliti juga mengumpulkan data untuk subjek penelitian sehingga didapatkan satu kelas untuk teaching experiment. Adapun data yang dikumpulkan berupa jadwal pelajaran dan diskusi bersama guru model.
b. Pendesainan HLT Di dalam HLT terdapat tujuan pembelajaran bagi siswa, aktivitas terencana, dan dugaan berkembang pada siswa selama aktivitas proses pembelajaran berlangsung. Selain HLT sebagai panduan dalam menjawab pertanyaan penelitian pada tahap retrospective analysis, peneliti juga merancang perangkat pembelajaran berupa pre-test dan post-test, lembar aktivitas siswa (LAS), RPP, dan petunjuk guru. Selanjutnya HLT didesain menjadi empat aktivitas yakni 1) Menyusun konsep system persamaan linier tiga variable, 2) Menemukan syarat sistem persamaan linier tiga variable. 3) Menyelesaikan masalah kontextual sistem persamaan linier tiga variable dengan menggunakan metode eliminasi dan substitusi, 4) Menyelesaikan masalah kontextual system persamaan linier tiga variable dengan menggunakan metode determinan. Keempat aktivitas tersebut menggunakan konteks toko sepeda. Setiap aktivitas diuraikan pengetahuan awal siswa, tujuan yang ingin dicapai, deskripsi aktivitas, dan konjektur berfikir siswa yang kesemuanya agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi sistem persamaan linier tiga variabel. Proses Pembelajaran 1. Aktivitas pertama Pada aktifitas ini siswa secara berkelompok diberikan LAS 1 yang berisi masalah awal dengan konteks gambar sepeda roda dua, sepeda roda tiga dan sepeda tandem. Siswa diminta untuk mengidentifikasi jumlah komponen-komponen penyusun sepeda tersebut.
Gambar 1. Macam-macam Sepeda
Gambar 2. Jawaban siswa Aktivitas 1 246
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Gambar tersebut merupakan jawaban siswa pada aktivitas 1. Siswa mengidentifikasi gambar dan menjawab pertanyaan 2. Aktivitas kedua Pada aktifitas ini siswa diminta untuk merumuskan model matematika dari jumlah komponen-komponen tiap gambar yang tersedia. Siswa menentukan sendiri variabel apa yang dipakai.
Gambar 3. Soal aktivitas 2
Gambar 3. Jawaban siswa aktivitas 2 3. Aktivitas ketiga Pada aktifitas ini siswa berdiskusi dalam kelompoknya menentukan penyelesaian yang akan digunakan untuk mendapatkan nilai dari variabel yang belum diketahui dengan metode eliminasi dan substitusi.
Gambar 5. Jawaban siswa aktivitas 3 Pada gambar di atas siswa mengalami kesulitan membuat model matematika, setelah mendapat pengarahan guru siswa mengerti dan bisa membuat model matematika dan menyelesaikannya dengan metode eliminasi dan substitusi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
247
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
4. Aktivitas keempat Pada aktivitas ini, siswa menyelesaikan model sistem persamaan linear tiga variabel dengan metode determinan matrik. Dengan penyelesaian tersebut siswa mengetahui jumlah sepeda yang tersedia di toko.
Gambar 6. Jawaban siswa aktivitas 4 Pada Gambar 6. Di atas merupakan jawaban siswa menyelesaikan sistem persamaan linear tiga variabel menggunakan metode determinan. 5. Kesimpulan Dengan menggunakan pendekatan PMRI dan metode Design Research pembelajaran sistem persamaan linear tiga variabel dengan konteks toko sepeda yang terdiri dari sepeda roda dua, sepeda roda tiga, dan sepeda tandem diasumsikan pembelajaran yang menarik. Sebelum proses pembelajaran terlebih dahulu mendesain perangkat pembelajaran yaitu berupa HLT (lintasan belajar), Ice berg, silabus, RPP, LKS. Dari hasil pembelajaran menunjukkan bahwa dengan tahap-tahap pemodelan matematika pembelajaran sistem persamaan linear tiga variabel lebih bermakna dan dapat diaplikasikan pada masalah kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka Akker, J. V., Gravemeijer, K., McKenney, S., &Nieveen, N. (2006).Educational Design Research. London: Routledge. Anton, H. (1991). Aljabar Linear Elementer. Jakarta: Erlangga. Ayyers, Schmidt. (2004). Matematika Universitas Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer Tools. Amersfoort: Wilco Press. Bluman, A. G. (2004). Math Word Problems Demystified. USA: McGrow-Hill Professional Publishing.
248
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Burrill, J. (1999). Teaching Algebra Concepts in The Early Grades. Journal Fruedenthal Institute. Fatoni, Putri, Hartono. (2014). Desain Pembelajaran Konsep Pengukuran Panjang Menggunakan Permainan Tradisional Batok Kelapa di Kelas II Sekolah Dasar. Tesis PPS Pendidikan Matematika: UNSRI. Freudenthal. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht, the Netherlands: Kluwer Academic Publisers. Gharib et al. (2015). System of Linear Equations, Guassian Elimination. Journal of computer science and technology. Vol:15. ISSN: 0975-4350. Gravemeijer, K. & Cobb, P. (2006). Design research from the learning design perspective. Educational Design Research (pp. 17-51). London:Routledge. Husna, Zulkardi, Somakim. (2014). Desain Pembelajaran Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Menggunakan Pendekatan Ilmiah di Kelas VIII SMP. Tesis PPS Pendidikan Matematika: UNSRI. Imrona. (2009). Aljabar Linear Dasar. Jakarta: Erlangga. Kalman, D. (2004). Elementary Math Models: College Algebra Topics and a Liberals Arts Apporoach. Article Ideas and Project That Work Par:t 1 Kaino, L.M. (2005). Teaching Linear Equations using matematica at senior secondary high school. Journal faculty of educations university Bostwana. Kaur, B. (1997). Difficulties With Problem Solving In Mathematics. Journal The Mathematics Educator Vol.2, No. 1: 93-112. Kemdikbud.(2011). Survei International PISA. http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa November 2015
Diaksesdari pada 19
Kemdikbud (2012).Bahan Uji Publik Kurikulum 2012. Diaksesdari http://118.98.166.62/application/media/file/Laman%202012/Bahan%20Uji%20Publi k%20Kurikulum%202013.pdf pada 6 November 2015 Kemdikbud. (2013). Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta. Khuluq, M., Zulkardi, Darmawijoyo. (2015). Develoving Stunetds‟ Understanding of Linear Equation with One Variable Trough Balancing Activities. Tesis PPS Pendidikan Matematika: UNSRI. Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview. Journal The Ohio State University Vol. 41, No.4. Mursita. D. (2010). Aljabar Linear. Bandung: Rekayasa Sains.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
249
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Prince & Angulo. (2015). Aplication OF Linear Equations And Gauss Jordan Eliminations To Environmental Science In Class Room Setting. Journal of Sop Transactions on Apllied Mathematics. Vol: 2. ISSN: 2373-8480. Sutojo, et al. (2010). Teori dan Aplikasi Aljabar Linear dan Matriks. Yogyakarta: CV Andi Offset. Xin, Y. (2012). Conceptual Model Based Problem Solving. Netherlands: Sense publisher Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic Mathematics Education For Indonesian Student Teachers. Doctoral Thesis of Twente University. Enschede: Twente University. Zulkardi & Putri. (2006). Mendesain Sendiri Soal Kontekstual Matematika. Prosiding KNMI3. Semarang: Indonesia. Zulkardi & Putri (2010). Pengembangan Blog Support Untuk Membantu Siswa dan Guru Matematika Indonesia Belajar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Tersedia online: http://eprint.unsri.ac.id/540/1/Prof.Dr.Zulkardi_Dr.Ratuilma_di_JIPP-Balitbang.pdf
250
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP
Gida Kadarisma STKIP Siliwangi Bandung [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan pemahaman matematika siswa SMP di Kab. Sumedangi, hal ini berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan sebelumnya. Peneliti mengajukan Pendekatan Matematika Realistik sebagai alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui peningkatan pemahman matematika siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan PMR dengan yang menggunakan pembelajaran biasa Sampel dari penelitian ini adalah dua kelas dari salah satu SMP di Kab. Sumedang yang dipilih secara acak, kelas pertama mendapatkan pembelajaran dengan PMR sedangkan kelas kedua sebagai kelas kontrol. Instrumen dalam penelitian ini berupa soal uraian sebanyak 7 soal. Hasil dari penelitian ini menunjukan peningkatan pemahaman matematika siswa yang menggunkan pendekatan matematika realistik lebih baik dari yang menggunaka pembelajaran biasa. Kata Kunci:Pemahaman Matematik, Pendekatan Matematika Realistik.
1. PENDAHULUAN Belajar matematika salah satunya adalah untuk melatih pola berpikir yang deduktif sebaimana Ruseffendi (2010) menyatakan Hakekat matematika itu bisa berupa studi deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas manusia. Alasan utama mengapa matematika dijarkan di sekolah ialah karena kegunaannya untuk berkomunikasi di antara manusia-manusia itu sendiri (Ruseffendi, 2002). Menurut Bloom (Armiza, 2007) Pada dasarnya belajar matematika merupakan belajar konsep. Konsep-konsep pada matematika menjadi kesatuan yang bulat dan berkesinambungan. Agar dapat memahami suatu konsep siswa harus membentuk konsep sesuai dengan stimulus yang diterimanya dari lingkungan atau sesuai dengan pengalaman yang diperoleh semasa hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang harus dilalui oleh siswa merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dapat menunjang terbentuknya konsepkonsep tersebut. Dalam pemahaman konsep siswa tidak sebatas hanya mengenal tetapi siswa harus dapat menghubungkan antara satu konsep dan konsep lainnya . Pemahaman matematis merupakan landasan penting untuk berfikir dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika maupun permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang telah paham tentang suatu permasalahan matematika akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan tersebut daripada orang yang belum memahaminya
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
251
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Pemahaman matematik juga dipengaruhi oleh aktivitas matematisasi dalam belajar matematika. Freudenthal (dalam Panhuizen, 1985) menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Matematisasi horisontal menyangkut proses transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas terdapat empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik (tidak vertikal dan tidak horizontal), empiristik (hanya horizontal saja), strukturalistik (hanya vertikal saja) dan realistik (vertikal dan horizontal). Di Indonesia Pemahaman matematik siswa tingkat tinggi masih rendah, Kondisi ini secara kasat mata ditunjukkan oleh hasil survey internasionalThe Third International Mathematicsand Science Study (TIMSS) bahwa kemampuan siswa SMP kelas dua Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutins angat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur (Mullis, Martin, Gonzales, Gregory, Garden,O‟Connor, Krostowski, & Smith, 2000) Rendahnya pemahaman matematik siswa tingkat tinggi tersebut mungkin dikarenakan pendekatan yang digunakan di Indonesia semula adalah pendekatan mekanistik (konvensional) kemudian matematika modern dan akhirnya Cara Belajar Siwa Aktif (CBSA). Tetapi terlihat guru-guru seperti kembali kepada metode yang lama yaitu pengajaran konvensional. Berbeda dengan Belanda yang sebelum menerapkan RME mereka itu sepenuhnya menganut pendekatan mekanistik. Pemilihan metode mengajar yang tepat adalah salah satu faktor utama untuk meningkatkan pemahaman dan kreativitas siswa. Tetapi metode mengajar yang diterapkan itu harus efektif dan efesien. Ruseffendi ( 2006) mengatakan, metode mengajar dikatakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, tujuannya tercapai. Jadi kelihatannya yang dapat meningkatkan pemahaman matematik dan kreativitas siswa ialah caranya yang harus menjadi budaya mereka dan guru. Caranya yang bisa seperti itu antara lain adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pendidikan Matematika Realistik menghubungkan pengetahuan informal matematika yang diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari dengan konsep formal matematika. Realistik tidak hanya bermakna keterkaitan dengan fakta atau kenyataan tetapi juga berarti permasalahan kontekstual yang dipakai harus bermakna bagi siswa. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pendekatan realistik terkandung matematis vertikal dan horizontal. Berdasar hal ini tampak bahwa jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal. Selain itu peneliti sudah melakukan observasi pembelajaran dengan PMRI di MIN Cicendo dengan pokok bahasan jaring-jaring kubus. Peneliti dapat melihat secara langsung bagaimana penerapan kontekstual dengan terlebih dahulu guru menghubungkan topik dengan benda-benda di dalam kelas yang berbentuk kubus dan balok. Bahan ajar yang dibuat yaitu model kubus dari karton kemudian kontribusi siswa dapat dilihat ketika siswa berkreasi membentuk jaring-jaring dari kertas persegi warna-warni; berbagai bentuk jaring-jaring tercipta dari kreativitas mereka. Siswa aktif dan interaktif mengeluarkan pendapatnya. Disini guru pun dituntut untuk kreatif mengembangkan bahan ajar. Setelah pembelajaran selesai mereka mengaku lebih memahami jaring-jaring kubus dengan baik.
252
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
Karena itu peneliti ingin memecahkan permasalahan rendahnya pemahaman dan siswa SMP dengan PendekatanPendidikan Matematika Realistik.
2 2.1
Metode Penelitian Metode dan Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang pertama memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dan kelas yang kedua memperoleh pembelajaran biasa. Pada awal dan akhir pembelajaran kedua kelas diberi tes. Sehingga desain penelitiannya adalah sbb : A O X O A O O Dimana A : Pengambilan sampel secara acak menurut kelas O : Pre tes = post tes X : Perlakuan dengan pembelajaran PMR
2.2
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di Kab. Sumedang, sedangkan sampel dipilih dua kelas dari sekolah yang dipilih acak (dilotre)
2.3
Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah soal uraian (essay) sebanyak 7 soal yang telah diuji coba terlebih dahulu dan dikonsultasikan kepada ahlinya. Peneliti memilih istrumen berupa soal uraian agar dapat melihat sejauh mana siswa memahami materi melalui proses yang terlihat dari jawaban siswa.
3. 3.1
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian
Setelah peneliti melakukan eksperimen kepada kedua kelas sebanyak 7 kali pertemuan termasuk pretes dan postes, berikut statistika deskriptifnya :
Kelas Pretes Postes Gain
Tabel 3.1 Statistika Deskriptif Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Eksperimen Kontrol SB Min Max n SB Min Max N 41,48 11,58 20 60 27 38,03 13,07 20 65 28 54,44 15,33 30 80 43,39 16,10 20 80 0,23 0,16 0,00 0,54 0,09 0,11 0,00 0,44
Dari tabel 3.1 kita dapat menganalisIS pretes eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kemudian pada tes akhir atau postes ratarata kelas eksperimen 54,44 lebih besar daripada kelas kontrol yaitu 43,39, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah gain atau peningkatan dari kedua kelas, pada kelas ekspeimen peningkatan sebesar 0,23 sedangkan pada kelas kontrol 0,09. Uji perbedaan ratarata dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan rata-rata peningkatan kedua kelas,
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
253
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
sebelumnya telah diuji normalitas dan homogenitasnya dan didapat kedua data berdistribusi normal dan homogen. Berikut hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS Tabel 3.2Uji Perbedaan Dua Rata-rata Peningkatan Pemahaman Matematik t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
t Gain Equal variances assumed
3.572
Sig. (2tailed)
Df 53
.001
Std. Error Mean Differe Difference nce Lower .13516 .03784 .05926
Upper .21106
Dari Tabel 3.2 dapat dilihat Sig (2-tailed) sebesar 0.001, maka Sig (1-tailed) sebesar 0.0005, ini lebih kecil dari alpha 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa SMP yang menggunakan PMR lebih baik dari yang menggunakan pembelajaran biasa.
3.2
Pembahasan
Penelitian dilakukan untuk melihat peningkatan pembelajaran antara yang menggunakan PMR dengan yang menggunakan pembelajaran biasa. Pada awal pembelajaran siswa masih belum bisa beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran yang baru yaitu PMR, namun setelah beberapa kali pertemuan siswa malah merasa antusias mengikuti pembelajaran, sayangnya peneliti tidak fokus kepada bagaimana sikap siswa pada saat pembelajaran, mungkin akan menjadi fokus pada penelitian berikutnya. Pada pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik siswa berfikir dari informal kepada yang formal, sehingga pengetahuan tidak begitu saja siswa dapatkan melainkan melalui proses berpikir yang sedimikan rupa yang terjadi pada diri siswa. Peneliti jelas mengutamakan kepada 3 prinsip dari PMR yaitu, Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan terbimbing dan matematika progresf). Prinsip ini sesuai dengan konstruktivisme yang menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, guru tidak hanya sekedar transfer ilmu kepada siswa saja seperti menuangkan air ke gelas kosong dari masalah konstektual yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan. Prinsip yang kedua yaitu Didactical phennomenology (fenomena didaktik). Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan.Prinsip yang ketiga adalah Self development models ( Diri sendiriyang membangun model), dalam prinsip ini, model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk menemukan sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai 254
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan bahwa sifat bottom up(dari bawah ke atas) mulai terjadi. Dengan adanya modelmodel yang dilibatkan dalam pembelajaran siswa akan sampai kepada tahap berpikir formal
4. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan pemahaman matematim siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan matematika realistik lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa
Daftar Pustaka Armiza
(2007). Model Siklus Belajar Abduktif Empiris untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa SMP pada Materi Pemantulan Cahaya. Tesis pada PPS UPI. Bandung : tidak diterbitkan.
Mullis, dkk. T.A. (2000).TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: ISC Ruseffendi E.T. (2002). Dasar-Dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Edisi 5. Bandung : Tarsito. Ruseffendi E.T.(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito Ruseffendi E.T. (2010). Perkembangan Pendidikan Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka. Van den Heuvel – Panhuizen, M. (1985). Assesment and Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht University
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
255
Volume 4, Tahun 2016. ISSN 2338-8315
256
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi