Pengantar Pada terbitan nomor 1 tahun ke-10, Buletin Iptek Tanaman Pangan menyajikan lima tulisan review hasil penelitian. Tulisan pertama dan kedua membahas aspek pemupukan pada tanaman padi yang dikaitkan dengan upaya peningkatan produktivitas, pendapatan, dan pelestarian lingkungan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras dan menekan dampak emisi gas rumah kaca dari lahan sawah dengan mitigasi perubahan iklim global. Tulisan ketiga membahas upaya perbaikan ketahanan varietas kedelai terhadap ulat grayak. Dewasa ini ulat grayak telah berubah status menjadi hama utama kedelai yang tentu saja perlu dikendalikan agar tidak menurunkan produksi. Aflatoxin pada kacang tanah membahayakan kesehatan konsumen. Penyakit ini juga merusak biji jagung dan beberapa komoditas lainnya. Oleh karena itu, aflatoxin mendapat prioritas untuk diteliti. Tulisan kontaminasi aflatoxin pada kacang tanah juga mengisi Buletin Iptek Tanaman Pangan kali ini. Tulisan berikutnya membahas determinan agronomis produktivitas jagung. Redaksi
ISSN 1907-4263 Volume 10
Nomor 1
2015
DAFTAR ISI Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan ......... 1 (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) Erythrina dan Zulkifli Zaini Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah ......................................................... (Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric Greenhouse Gases in Lowland) A. Wihardjaka dan Poniman Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak .......... (Improvement of Soybean Resistance to Armyworm) Titik Sundari dan Kurnia Paramita Sari Kontaminasi Aflatoxin dalam Rantai Distribusi Kacang Tanah di Indonesia .......................................................................................... (Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain in Indonesia) Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo Determinan Agronomis Produktivitas Jagung ................................. (The Agronomic Factors Determining Maize Productivity) Sutoro
Buletin Iptek Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah review hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija). Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI, dan BATAN. Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di buletin ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Indonesia
9
19
29
39
PETUNJUK BAGI PENULIS KETENTUAN UMUM • Buletin Iptek Tanaman Pangan memuat tinjauan (review) atau analisis dari sejumlah referensi hasil penelitian menjadi gagasan baru untuk dapat memberikan pemecahan masalah pertanian tanaman pangan. • Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. • Naskah yang dikirim ke redaksi belum pernah diterbitkan di media publikasi lain. • Naskah lengkap dikirim rangkap tiga dalam bentuk print out atau melalui email ke alamat www.pangan.litbang.deptan.go.id. • Bagi naskah yang sudah terbit, penulis berhak menerima satu buletin asli dan cetak lepas 10 eksemplar. STANDAR PENULISAN • Naskah diketik dengan jarak 1½ spasi, dan satu spasi untuk Judul, Abstrak, Tabel, Gambar, dan Lampiran. Bidang ketik berjarak 4 cm dari tepi kiri dan masing-masing 3 cm dari tepi kanan, atas, dan bawah. • Huruf standar yang digunakan adalah tipe Arial dengan ukuran font 12 untuk teks dan 10-11 untuk Tabel dan Lampiran. • Naskah diketik dalam program Microsoft Word. • Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan instansi, abstrak, pendahuluan, isi/pokok bahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih (kalau ada), dan daftar pustaka. SISTEMATIKA PENULISAN • Judul: singkat, jelas, spesifik, dan informatif yang mencerminkan isi naskah. • Nama penulis: sesuai dengan pencantuman untuk pustaka. • Nama lembaga/instansi: disertai dengan alamat lengkap. • Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, merupakan intisari naskah, tidak lebih dari 250 kata, dan dituangkan dalam satu paragraf. • Kata kunci (key word): maksimum 5 kata. • Pendahuluan: menggambarkan latar belakang, tujuan, sasaran dan pustaka yang mendukung. • Isi/Pokok Bahasan: menyajikan dan membahas secara jelas pokok bahasan dengan mengacu kepada tujuan penulisan. • Kesimpulan: merupakan ringkasan dari substansi pokok bahasan. • Ucapan terima kasih (kalau ada). • Daftar Pustaka: a. Menggunakan minimal 25 referensi dalam 10 tahun terakhir dengan proporsi minimal 50% dari jurnal ilmiah. b. Pengutipan pustaka dari internet hanya diperbolehkan dari sumber yang dapat dipercaya seperti jurnal ilmiah dari instansi pemerintah atau swasta. c. Memuat nama penulis yang dirujuk dalam naskah, disusun alfabetis dan tahun terbit. Di belakang tahun, baik dalam teks maupun di daftar pustaka dapat dibubuhi huruf kecil (a, b, c) jika penulis yang sama menulis lebih dari satu artikel dalam tahun yang sama. Nama penulis yang lebih dari dua orang, di dalam kutipan teks menggunakan et al. setelah penulis pertama. Di daftar pustaka, semua penulis harus ditulis sesuai dengan kaidah penulisan pustaka.
•
Beberapa contoh penulisan sumber rujukan:
Buku Syam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan kedelai. Puslitbangtan. Bogor. 317 p. Jurnal Wahid, A.S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4):156-161. Artikel dalam buku Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi. 2007. Areal pertanaman dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p. 135-144. Internet Mutert, E. W. 2008. Plant nutrient balances in Asian and Pasific regions. The consequences for agricultural production. http:/ /www.agnet. org/library/eb/415. Prosiding Sembiring, H. dan Wasito. 2004. Peluang pengembangan sistem integrasi padi-ternak dalam pemberdayaan kelompok tani untuk meningkatkan kualitas lahan dan pendapatan petani di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Kerja sama Puslitbang Peternakan - BPTP Bali- CASREN. Bogor. p. 104115. Tesis/disertasi Koesrini. 2001. Studi metode skrining ketahanan kedelai terhadap aluminium. Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 127 p.
CARA PENULISAN • Tabel a. Huruf standar yang digunakan adalah Arial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11. b. Judul singkat, jelas, dan hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital, diletakkan di atas Tabel, dan diberi nomor urut dengan angka Arab. c. Keterangan Tabel ditulis dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 9-10. •
Gambar atau Grafik: Judul menggunakan huruf tipe Arial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11, diletakkan di bawah Gambar atau Grafik berupa kalimat singkat dan jelas. Hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital dan diberi nomor urut sesuai dengan letaknya.
•
Satuan ukuran: memakai sistem internasional.
•
Penulisan angka desimal: dalam bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan dalam bahasa Inggris dengan titik (.).
ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH
Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) Erythrina1 dan Zulkifli Zaini2 1
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10 Bogor 16114 E-mail:
[email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111, Jawa Barat E-mail:
[email protected]
Naskah diterima 11 November 2014 dan disetujui diterbitkan 4 Mei 2015
ABSTRACT IAARD in the Ministry of Agriculture has produced a wide range of technology for site specific nutrient management (SSNM), in form of soil-test kit equipment and software. This paper presents the concept of revitalization the system and direction for an efficient fertilization usage. A more rational use of fertilizers based on a specific locational need is expected in the long term to reduce the amount of fertilizer subsidies, without reducing the rice production. The effect of SSNM had been shown to give opportunities for yield increases per unit of fertilizer, to reduce loss of fertilizer, to improve agronomic efficiency and at the same time had positive influence on the environment. SSNM could be used to develop plan for fertilizer requirement per farmers’ group (RDKK) which in reality was often not compiled by field extension in accordance with the area of land and fertilizer needs. Inaccurate RDKK preparation had been causing problem on the distribution of subsidized fertilizer, because it was often showing an overestimate of the amount of fertilizer needed, as compared with the availability of fertilizer. Funds allocated for the preparation of RDKK could be routed to the procurement of hardware such as computers and to train the agricultural extension workers in each Agricultural Extension Center in Indonesia, to be able to access the website-specific nutrient fertilization through the internet. Assessment Institute of Agricultural Technology located in every province could facilitate this technology transfer process. Keywords: Fertilizer, SSNM technology, RDKK, rice paddy.
ABSTRAK Badan Litbang Kementerian Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL), baik berupa peralatan maupun perangkat lunak. Tulisan ini menyajikan pemikiran tentang upaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Pemupukan hara spesifik lokasi terbukti meningkatkan hasil per unit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk, meningkatkan efisiensi agronomi dari pupuk sekaligus berpengaruh positif terhadap lingkungan. Teknologi PHSL dapat digunakan untuk menyusun RDKK yang dalam kenyataannya seringkali tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuknya. Penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer dan melatih para penyuluh pertanian di setiap Balai Penyuluhan Pertanian di Indonesia untuk dapat mengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat proses alih teknologi ini. Kata kunci: Pupuk, teknologi PHSL, RDKK, padi sawah.
1
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
PENDAHULUAN Terminologi revolusi hijau digunakan untuk menjelaskan peningkatan aktivitas fotosintesis dari pigmen hijau daun atau klorofil, untuk dapat menghasilkan lebih banyak karbohidrat. Proses ini tidak hanya melibatkan penggunaan energi matahari dan karbon dioksida secara efektif dari atmosfer, tetapi juga air dan unsur hara, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium dari tanah (Horie et al. 2004). Melalui proses penyilangan dan seleksi, arsitektur tanaman dimodifikasi dari varietas lokal, dengan postur tanaman tinggi menjadi varietas unggul dengan anakan lebih banyak, daun tegak, berbatang pendek dan kokoh untuk dapat menahan gabah yang lebih banyak pada malai yang terbentuk, jika lahan diberi pupuk dan air yang cukup. Arsitektur tanaman yang lebih pendek dan kokoh mampu menggunakan eksternal input secara efisien yang berasal dari pupuk kimia dan air irigasi untuk menghasilkan gabah dalam jumlah yang lebih banyak dengan umur tanaman yang lebih pendek (Zaini 2012). Revolusi hijau yang memperkenalkan varietas unggul berdaya hasil tinggi merupakan faktor utama yang memungkinkan sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan produksi padi dan jagung pada tahun 1970 sampai 1980-an. Dampak positif dari peningkatan produksi adalah menurunnya angka kemiskinan melalui peningkatan pendapatan petani dan tersedianya beras dengan harga yang terjangkau bagi konsumen berpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupun perkotaan. Bagaimanapun, revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi maupun sosial. Terjadinya degradasi lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampai memperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagi wanita tani (Kesavan and Swaminathan 2006). Di sisi lain, produksi padi cenderung melandai sejak dua dasawarsa yang lalu akibat menurunnya laju peningkatan produktivitas. Dalam periode 1993-2013 laju peningkatan produktivitas padi sawah irigasi hanya 33 kg/tahun (R2=0,674) (BPS 2014). Pemerintah harus memastikan ketersediaan beras pada tingkat harga yang tidak memberatkan konsumen dan sekaligus memberikan keuntungan yang memadai kepada petani (Menko Perekonomian 2011). Situasi ini
2
hanya mungkin dicapai bila usahatani padi sawah dapat mengoptimalkan setiap penggunaan input. Pupuk merupakan salah satu input utama untuk memproduksi padi. Pemerintah telah mengurangi subsidi pupuk kimia sejak 1 April 2010, yang menyebabkan harga pupuk meningkat 25-40% di atas harga eceran tertinggi (HET) yang berlaku (Rachman 2011). Pupuk urea dipatok dengan harga Rp1.800/kg, pupuk majemuk NPK Rp2.300/kg, SP36 Rp2.000/kg, ZA Rp1.400/kg, dan pupuk organik Rp500/ kg. Harga itu berlaku sejak 2012. Dengan naiknya harga pupuk di pasaran, petani harus lebih efisien dalam mengelola pemupukan padi sawah. Pupuk berperan penting dalam peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan. Walaupun penyaluran pupuk bersubsidi terus meningkat (Tabel 1), tetapi ketersediaannya masih terbatas sehingga sering tidak tersedia pada saat petani membutuhkan. Subsidi pupuk di negara-negara berkembang cenderung meningkat, dengan pola dan ketentuan yang berbeda. Dibandingkan dengan China dan India, subsidi pupuk di Indonesia terbilang kecil, sekitar Rp 21 triliun pada tahun 2015 atau hanya sekitar 5% dari total subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi paling besar dikeluarkan pemerintah untuk energi (61%) dan listrik (26%). Besaran pupuk bersubsidi diperkirakan akan terus meningkat karena kenaikan harga bahan baku dan depresiasi rupiah yang menyebabkan harga pokok produksi (HPP) pupuk terus meningkat. Tulisan ini menyajikan suatu pemikiran tentang upaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Tingginya subsidi pupuk yang dialokasikan pemerintah membebani anggaran Kementerian Pertanian. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi diharapkan dalam jangka panjang dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Penyuluh dan petani harus memahami bahwa penggunaan pupuk sesuai kebutuhan tanaman tidak hanya meningkatkan efisiensi pemupukan dan penghematan pupuk tetapi juga berpengaruh positif terhadap lingkungan.
Tabel 1. Penyaluran pupuk bersubsidi, 2007-2012 (ton). Tahun 2007 2008 2009 2010 2012
Urea
ZA
NPK
Organik
4.300.000 800.000 700.000 4.800.000 814.400 750.350 5.500.000 1.000.000 923.000 4.931.000 850.000 849.749 5.100.000 1.000.000 1.000.000
700.000 962.680 1.500.000 2.100.000 2.593.000
0 345.000 450.000 750.000 835.000
36,55%
24,73%
Laju/tahun 2,88%
SP36
6,12%
8,89%
Sumber: Kementerian Pertanian 2012.
ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH
DINAMIKA REKOMENDASI TEKNOLOGI PEMUPUKAN Pada zaman penjajahan Belanda hanya pupuk nitrogen yang dianjurkan, dengan takaran 20-40 kg N/ha. Air irigasi diperkirakan dapat menyediakan unsur hara lainnya, terutama kalium (Giessen 1942, Dijk 1951). Balai Penyelidikan Teknik Pertanian (sekarang Puslitbang Tanaman Pangan) dengan berbagai keterbatasannya, mampu melaksanakan penelitian efektivitas kombinasi pemupukan N, P, dan K pada varietas lokal Bengawan (dilepas tahun 1943) dan Sigadis (dilepas tahun 1953) di Jawa pada tahun 1961-1962 (Nataatmadja et al. 1988). Rekomendasi Pemupukan Bersifat Umum Pada tahun 1980, Program Intensifikasi Khusus (Insus) menerapkan teknologi Sapta Usahatani sebagai penyempurnaan Panca-Usahatani dengan pilar utama penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan responsif terhadap pemupukan hara N, P, dan K sebagai andalan utama revolusi hijau. Implementasi program Insus yang didukung oleh penyuluhan dan perbaikan infrastruktur pertanian mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan dan menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi et al. 2009). Rekomendasi pemupukan padi sawah yang berlaku saat itu masih bersifat umum untuk semua wilayah Indonesia tanpa mempertimbangkan status hara tanah dan kemampuan tanaman menyerap hara (Sofyan et al. 2004). Sementara diketahui bahwa status hara P dan K lahan sawah bervariasi dari rendah sampai tinggi (Adiningsih et al. 1989). Pemupukan P dan K secara terus-menerus sejak dikembangkan program Insus dan Supra Insus dengan 10 jurus paket D menyebabkan sebagian besar lahan sawah di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Lombok, dan Bali berstatus hara P dan K relatif tinggi (Sofyan et al. 2004). Selain itu penggunaan pupuk P dan K secara terusmenerus menyebabkan ketidakseimbangan hara di tanah. Ketidak seimbangan hara diduga sebagai penyebab terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah. Kadar hara P dan K yang tinggi menyebabkan ketersediaan hara mikro seperti Zn dan Cu tertekan (Dobermann and Fairhurst 2000). Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi Konsep Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 1990-an, yang kemudian diteliti pada sekitar 200 lokasi lahan sawah irigasi di enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia
pada tahun 1997-2000 (Dobermann et al. 2002, Buresh et al. 2010). Penelitian manajemen pemupukan nitrogen (N) telah berubah: (1) dari pendekatan menekan kehilangan hara menjadi pemberian pupuk sesuai kebutuhan tanaman; (2) dari indikator utama recovery efficiency menjadi agronomic efficiency, yaitu setiap kg kenaikan hasil gabah per kg pupuk yang diberikan, dan partial factor productivity yaitu jumlah gabah yang dihasilkan untuk setiap kg pemberian pupuk; (3) dari rekomendasi yang bersifat umum menjadi rekomendasi berdasarkan respon tanaman dan efisiensi agronomi; dan (4) dari pemberian N yang berlebihan pada tahap awal pertanaman menjadi pemberian N sesuai stadia dan kebutuhan tanaman (Buresh 2007). Perubahan ini mengharuskan pemberian pupuk berbeda dosis antar lokasi, musim tanam, dan varietas yang digunakan. Pemupukan spesifik lokasi memberi peluang untuk meningkatkan hasil per unit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk, dan meningkatkan efisiensi agronomi pupuk (Zaini 2012). Teknologi Pemetaan Status Hara P dan K Tanah Peta status hara menggambarkan dan memberikan informasi tentang sebaran dan luasan status hara dalam suatu wilayah. Dari peta tersebut dapat diketahui berapa luas tanah yang mempunyai status hara rendah, sedang, tinggi, dan lokasinya. Peta status hara tanah skala 1:250.000 dapat digunakan sebagai dasar alokasi pupuk di tingkat provinsi, sedangkan peta status hara tanah skala 1:50.000 dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan tingkat kecamatan (Sofyan et al. 2004). Sebagian besar lahan sawah di Indonesia berstatus P sedang dan tinggi, sedangkan yang berstatus P rendah hanya 17% (Tabel 2).
Tabel 2. Status hara P tanah sawah skala 1:250.000 di beberapa pulau di Indonesia. Status hara P (‘000 ha) Pulau
Jawa Sumatera Kalimantan Selatan Bali Lombok Sulawesi Total
Total Rendah
Sedang
Tinggi
543 428 146 2 0 152
1.658 1.081 164 16 12 312
1.452 771 155 74 111 433
3.653 2.280 465 92 123 897
1.271
3.243
3.996
7.510
Sumber: Sofyan et al. 2004
3
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Kalium merupakan hara mikro ketiga yang dapat menjadi kendala bila hasil panen diangkut terus-menerus dan jerami tidak dikembalikan ke tanah. Pada lahan sawah yang digenangi selama pertumbuhan tanaman, ketersediaan K relatif tinggi karena perubahan dan pergerakan K terjadi secara cepat. Air irigasi yang mengandung K dan pengembalian jerami yang mengandung K cukup tinggi dapat memperkecil kemungkinan lahan sawah kahat K. Luas lahan sawah yang berstatus K rendah hanya 12% (Tabel 3). Teknologi Petak Omisi Petak Omisi atau minus satu unsur hara terdiri atas empat petak yaitu: (1) petak 0 N, yaitu petakan yang diberi pupuk
Tabel 3. Status hara K tanah sawah skala 1:250.000 di beberapa pulau di Indonesia. Status hara K (‘000 ha) Pulau
Total Rendah
Sedang
Tinggi
Jawa Sumatera Kalimantan Selatan Bali Lombok Sulawesi
473 246 66 90
1.172 1.181 261 197
2.008 858 138 92 123 609
3.653 2.280 465 92 123 897
Total
875
2.806
3.829
7.510
P dan K tanpa N, (2) petak 0 P, yaitu petakan yang diberi pupuk N dan K tanpa P, (3) petak 0 K, yaitu petakan yang diberi pupuk N dan P tanpa K, dan (4) petak NPK yaitu petakan yang diberi pupuk NPK (Abdulrachman et al. 2003). Pasokan hara asli tanah adalah jumlah hara tertentu yang tersedia dalam tanah yang berasal dari segala sumber (misalnya tanah, sisa tanaman, air irigasi), kecuali pupuk anorganik yang diberikan ke tanah, yang tersedia bagi tanaman selama musim tanam (Dobermann and Fairhurst 2000). Indikator pasokan hara dalam tanah yang praktis adalah hasil tanaman pada kondisi hara terbatas, yang dapat diukur dari hasil gabah pada petak omisi (misalnya hasil dengan keterbatasan N pada petak omisi yang dipupuk P dan K, tetapi tidak dipupuk N) (Abdulrachman et al. 2003). Teknologi PHSL Hasil penelitian PHSL telah dipublikasikan oleh Buresh et al. (2006) dan Buresh et al. (2012) yang mengemukakan bahwa penggunaan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi berpotensi meningkatkan hasil gabah sekitar 400 kg/ha/musim tanam. Hasil uji lapangan di delapan provinsi menunjukkan, dibandingkan pemupukan cara petani (FFP), penggunaan rekomendasi PHSL meningkatkan hasil gabah dari 200 kg/ha di Jawa sampai 600 kg/ha di luar Jawa serta meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 1,1 juta di Jawa sampai Rp 2 juta di luar Jawa (Gambar 1).
Sumber: Sofyan et al. 2005
Hasil gabah (kg/ha) PHSL 6,9
Cara petani
6,7 5,0
Jawa
Keuntungan usahatani (Rp/ha)
4,4
Luar Jawa
Jumlah petani: Jawa = 75 Luar Jawa = 231
2.082.340
1.134.960
Jawa
Luar Jawa
Gambar 1. Rata-rata hasil gabah dan keuntungan usahatani padi dari penggunaan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012).
4
ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH
Pupuk P
Pupuk N PHSL
Cara petani
PHSL
194
Pupuk K
Cara petani
34
PHSL
33 26
112 94
Jawa
25
20 18
85
Luar Jawa
Jawa
Cara petani
Luar Jawa
Jawa
24
22
Luar Jawa
Gambar 2. Penghematan penggunaan pupuk N, P2O5, dan K2O dengan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012).
Peningkatan hasil gabah diperoleh dengan penggunaan takaran pupuk yang lebih rendah. Dengan penggunaan PHSL rataan penggunaan pupuk N menurun dari 194 menjadi 94 kg/ha di Jawa dan dari 112 menjadi 85 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk P menurun dari 34 menjadi 20 kg/ha di Jawa dan dari 33 menjadi 26 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk K menurun dari 25 menjadi 18 kg/ha di Jawa tetapi tidak menurun di luar Jawa (Gambar 2). Temuan ini menunjukkan peningkatan produktivitas padi sawah dapat dicapai dengan pemberian pupuk yang lebih rendah yang mengindikasikan dengan teknologi PHSL mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dimana kenaikan hasil gabah per satuan pupuk makin meningkat.
PENGARUH PHSL TERHADAP LINGKUNGAN Pemakaian pupuk urea di tingkat petani seringkali melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah 200-250 kg/ ha, tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk urea 350-500 kg/ha (Buresh et al. 2012). Penggunaan pupuk secara berlebihan karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea sebagai sumber hara N mutlak diperlukan, sementara sumber hara lainnya seperti P dan K merupakan pupuk pelengkap. Dari total pupuk urea yang diberikan hanya 50% yang dapat diserap oleh tanaman, sedangkan sisanya hilang
karena tercuci maupun menguap ke udara. Emisi gas N2O di lahan sawah meningkat nyata dengan semakin tingginya takaran pupuk N (Engel et al. 2010; Weller et al. 2015). Terbentuknya N2O dipicu oleh kondisi hara N yang berlebihan di tanah pada kondisi tidak jenuh air (Sander et al. 2014). Keuntungan penerapan PHSL di antaranya menekan secara langsung emisi gas N2O karena pemberian pupuk N sesuai waktu dan jumlahnya. Pemberian N yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mengurangi kelebihan sisa N dalam tanah (Gaihre et al. 2014).
DISEMINASI REKOMENDASI PEMUPUKAN SPESIFIK LOKASI Untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat desa, skala usaha petani yang tidak memadai menjadi faktor pembatas. Pendataan usahatani oleh Badan Pusat Statistik (BPS 2010) pada tahun 2009 menunjukkan kondisi pemupukan padi saat ini, di mana 53,6% kepemilikan lahan sawah tergolong kecil dari 0,5 ha dan 8,2% dari 15 juta rumah tangga petani tidak menggunakan pupuk. Kondisi kepemilikan lahan sawah yang kecil, menyebabkan manajemen pengelolaan lahan beragam antarpetani maupun antarhamparan sawah. Kondisi ini memerlukan teknologi yang tepat guna dan spesifik lokasi untuk usahatani lahan sawah. Faktor kunci dalam peningkatan produksi padi nasional adalah air irigasi, varietas unggul, dan pupuk. Tidak seperti penyebaran varietas unggul baru, adopsi
5
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
teknologi pemupukan spesifik lokasi berjalan sangat lambat (Erythrina dan Zaini 2013, Erythrina et al. 2013). Di lain pihak, pupuk merupakan biaya produksi kedua terbesar dalam usahatani padi. Bila pupuk diberikan terlalu sedikit, terlalu banyak, atau pada waktu yang tidak tepat, maka tanaman tidak memberikan hasil yang tinggi sehingga tidak meningkatkan pendapatan petani. Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan beberapa alat atau piranti untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk pada padi sawah. Pemupukan P dan K berdasar hasil Perangkat Uji Tanah Sawah (soil test kit) (Setyorini dan Abdulrachman 2008) atau Petak Omisi (Abdulrachman et al. 2003), peta status hara P dan K (Sofyan et al. 2004) dan Kalender Tanam (Badan Litbang Pertanian 2014). Rekomendasi pemupukan PHSL padi sawah yang dapat diakses melalui situs web http://webapps.irri.org/ nm/id diresmikan penggunaannya oleh Menteri Pertanian pada Januari 2011 di Jakarta. Teknologi PHSL dapat didiseminasikan melalui dua cara yaitu: (1) Berbasis Web. Teknologi ini ditujukan untuk teknisi BPTP dan para penyuluh pertanian yang kantor BPPnya dilengkapi dengan fasilitas komputer dan internet. Dalam hal ini, penyuluh dapat mengakses http://webapps.irri.org/nm/id untuk menginput data dan outputnya adalah rekomendasi pupuk dalam bentuk tercetak, dapat diberikan kembali ke masingmasing petani. (2) Berbasis Android. Teknologi ini juga ditujukan untuk penyuluh pertanian maupun petani yang mempunyai telepon pintar (smart phone) dengan fitur Android. Menggunakan telepon pintar, penyuluh pertanian mendatangi dan mewawancarai para petani secara offline. Setelah semua pertanyaan terjawab, informasinya dapat disimpan dalam telepon pintar tersebut. Bila telah terdapat signal ke internet, rekomendasi pemupukan dapat dikirimkan ke masingmasing telepon seluler petani melalui pesan sms.
PHSL SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RDKK Menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI, No. 15/MDAG/PER/4/ 2013, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok tani (RDKK) adalah perhitungan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi yang disusun kelompok tani berdasarkan luasan area yang diusahakan petani anggota kelompok tani dengan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk penyelenggaraan pertanian. RDKK disusun oleh PPL, kemudian digabung
6
pada tingkat kecamatan oleh GAPOKTAN. Dokumen RDKK digunakan sebagai penyusun kebutuhan pupuk bersubsidi mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsi kemudian diteruskan ke Kementerian Pertanian. Penelitian lapangan menunjukkan RDKK tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuk (Zaini 2012). Penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk yang meliputi tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Teknologi pemupukan spesifik lokasi,baik yang menggunakan peralatan seperti Perangkat Uji Tanah Sawah atau Peta status hara P dan K maupun piranti lunak seperti Kalender Tanam dan PHSL, dapat digunakan sebagai alat bantu penyusunan RDKK. Dengan cara ini dapat diperhitungkan kebutuhan pupuk, baik berdasarkan individu petani maupun kelompok tani. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer, printer, dan modem serta melatih para penyuluh pertanian di setiap Balai Penyuluhan Pertanian untuk bisa mengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat proses alih teknologi ini.
KESIMPULAN 1. Dengan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi, penggunaan pupuk oleh petani dapat lebih rasional sesuai kebutuhan tanaman sekaligus meningkatkan produksi dan pendapatan petani. 2. Teknologi pemupukan spesifik lokasi, baik berupa peralatan maupun piranti lunak, dapat digunakan sebagai alat bantu penyusunan RDKK. 3. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi.
DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman, S., C. Witt, dan T. Fairhurst. 2003. Petunjuk teknis pemupukan spesifik: implementasi petak omisi. Kerjasama IRRI, Balai Penelitian Tanaman Padi dan PPI/PPIC. Singapore. 33 hlm. Adiningsih, J.S., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A.M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Hlm. 63-89 Prosiding Lokakarya
ERYTHRINA DAN ZAINI: REVITALISASI PEMUPUKAN PADI SAWAH
Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 25 November 1988. Badan Litbang Pertanian. 2014. Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 18 hal. Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Produktivitas padi 1993-2013. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php? kat=3&id_subyek=53¬ab=0. 09 Oktober 2014. Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Pendataan usaha tani padi, jagung, dan kedelai, 2009. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Buresh, R. J. 2007. Fertile progress. Rice today. JulySept. 2007. p 32-33. Buresh R.J, D. Setyorini, S. Abdulrachman, F. Agus, C. Witt, I. Las, S. Hardjosuwirjo. 2006. Improving nutrient management for irrigated rice with particular consideration to Indonesia. pp 165-178. In Sumarno, Suparyono, Fagi AM, Adnyana MO (eds.) Rice Industry, Culture and Environment: Book 1. Proceedings of the International Rice Conference, 12-14 September 2005, Bali. Buresh R.J., M.F. Pampolino, and C. Witt. 2010. Fieldspecific potassium and phosphorus balances and fertilizer requirements for irrigated rice-based cropping systems. Plant Soil. 335:35-64. Buresh, R.J., Z. Zaini, M. Syam, S. Kartaatmadja, Suyamto, R. Castillo, J. dela Torre, P.J. Sinohin, S. S. Girsang, A. Thalib, Z. Abidin, B. Susanto, M. Hatta, D. Haskarini, R.Budiono, Nurhayati, M. Zairin, D. W. Soegondo, M. van den Berg, H. Sembiring, M. J. Mejaya, and V. B. Tolentino. 2012. Nutrient manager for rice: a mobile phone and internet application increases rice yield and profit in rice farming. Paper presented at International Rice Seminar, ICRR, Sukamandi. Dijk, J.W. van. 1951. Plant, bodem en bemesting. J. B. Wolters, Groningen, the Netherlands. Dobermann, A., and T. Fairhurst. 2000. Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute and Potash & Phosphate Institute/ Potash & Phosphate Institute of Canada. Dobermann, A., C. Witt, S. Abdulrachman, H.C. Gines, R. Nagarajan, T.T. Son, P.S. Tan, G.H. Wang, N.V. Chien, V.T.K.Thoa, C.V. Phung, P. Stalin, P. Muthukrishnan, V. Ravi, M. Babu, S. Chatuporn, M. Kongchum, Q. Sun, R. Fu, G.C. Simbahan, and M.A.A. Adviento. 2002. Site-spesific nutrient management for intensive rice cropping systems in Asia. Field Crops Res. 74:37-66.
Engel, R.D.C. Liang, and R. Wallander. 2010. Influence of urea fertilizer placement on nitrous oxide production from a silt loam soil. J. Environment Qual 39:115-125. Erythrina dan Z. Zaini. 2013. Indonesia Ricecheck procedure: An approach for accelerating the adoption of ICM. Palawija 30(1):6-8. Erythrina, A R. Indrasti, dan A. Muharam. 2013. Kajian sifat inovasi komponen teknologi untuk menentukan pola diseminasi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. JPPTP. 17(1):45-55. Fagi, A.M., C.P. Mamaril, dan M. Syam. 2009. Revolusi hijau. Peran dan Dinamika Lembaga Riset. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. International Rice Research Institute. 34 hlm. Gaihre, Y.K., R. Wassmann, A. Tirol-Padre, G. VillegasPangga, E. Aquino, and B.A. Kimball. 2014. Seasonal assessment of greenhouse gas emissions from irrigated lowland rice fields under infrared warming. Agriculture, Ecosystems & Environment 184: 88-100. Giessen, C. van der. 1942. Rice culture in Java and Madura. Central Research Institute for Agriculture, Bogor. Contribution No. 11. Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980s?. Paper on International Crop Science Congress. p. 1-24. Kementerian Pertanian. 2012. Penyaluran pupuk bersubsidi, 2007-2012. Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana, Kementerian Pertanian. Kesavan, P.C. and M.S. Swaminathan. 2006. From green revolution to evergreen revolution: pathways and terminologies. Current Sci. 91(2): 145-146. Menko Perekonomian. 2011. Road map peningkatan produksi beras nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Nataatmadja, H., D. Kertosastro, dan A. Suryana. 1988. Perkembangan produksi dan kebijaksanaan pemerintah dalam produksi beras. Dalam Padi, Buku 1 (Ismunadji et al. eds). Puslitbang Tanaman Pangan, hlm. 37-53. Rachman, B. 2011. Kajian harga pupuk di lima provinsi sentra padi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sander, B.O., M. Samson, and R.J. Buresh. 2014. Methane and nitrous oxide emissions from flooded rice fields as affected by water and straw management between rice crops Geoderma 235: 355-36. 7
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Setyorini, D. dan S. Abdulrachman. 2008. Pengelolaan hara mineral teknologi tanaman padi. Padi: inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku 1, hlm. 110150. Sofyan, A., Nurjaya, dan A. Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan. Dalam: Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Hlm. 83-114. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
8
Weller, S., D. Kraus, K.R.P. Ayag, R. Wassmann, M.C.R. Alberto, K. Butterbach-Bhal and R. Kiese. 2015. Methane and nitrous oxide emissions from rice and maize production in diversified rice cropping systems. Nutr. Cycl. Agroecosyst 101:37-53. Zaini, Z. 2012. Pupuk majemuk dan pemupukan hara spesifik lokasi pada padi sawah. Iptek Tanaman Pangan 7(1):1-7.
WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI
Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah (Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric Greenhouse Gases in Lowland) A. Wihardjaka dan Poniman Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Kotak Pos 5 Jakenan Pati 59182 Jawa Tengah E-mail:
[email protected] Naskah diterima 20 Januari 2015 dan disetujui diterbitkan 22 Mei 2015
ABSTRACT National food demand, especially rice increases in accordance with the rate of population growth. The availability of rice mostly is still relying on the intensification of irrigated and rainfed lowlands, through applying balance nutrients fertilization, including the management of sulfur (S). Sulfur as one of the essential nutrients, is required for protein and enzyme syntheses, amino acids formation and metabolic acticities in plants. However, the program of rice production increases is also impacting on the increase of atmospheric greenhouse gases. The objective of this paper was to discuss sulfur management on rice production system and its impact on greenhouse gas emissions in lowland rice areas in Indonesia. Sulfur fertilization of 20 kg S/ha along with the application of N, P, K fertilizers was considered adequate to provide better plant growth and to yield of 5 t grains/ha. Sulfur fertilization should be applied before active tillering phase by broadcasting on the surface of flooded lowland rice field to obtain higher efficiency of S fertilizer. Besides increasing crop yield, sulfuric fertilization on rice crop played a role in mitigating greenhouse gases emission. The sulfuric fertilizer application reduced atmospheric greenhouse gases (GHGs) release, especially CH4 and N2O from lowland rice. Balance sulfur fertilization could improve yield and grain quality of rice as well as mitigated greenhouse gas emissions from the lowland rice areas. Keywords: Sulfur, paddy soil, grain yield, emission, greenhouse gas.
ABSTRAK Kebutuhan pangan nasional terutama beras, terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Penyediaan beras masih mengandalkan intensifikasi lahan sawah beririgasi maupun tadah hujan melalui pemupukan berimbang, termasuk pengelolaan hara sulfur (S). Sulfur dibutuhkan untuk sintesis protein dan enzim, penyusun asam-asam amino, dan terlibat dalam aktivitas metabolisme tanaman. Di sisi lain, budidaya padi sawah dapat menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Tulisan ini membahas kontribusi pengelolaan hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya terhadap emisi gas rumah kaca pada lahan sawah di Indonesia. Pemupukan 20 kg S/ha cukup memberikan pertumbuhan dan hasil gabah 5 t/ha, bersamaan dengan pemberian pupuk N, P, K. Pupuk S yang diberikan sebelum fase anakan aktif tanaman padi dengan cara disebar pada permukaa lahan sawah tergenang meningkatkan efisiensi pemupukan. Selain meningkatkan produktivitas tanaman, pemupukan S pada tanaman padi sawah berperan dalam mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK). Pupuk yang mengandung S dapat menekan pelepasan gas rumah kaca, terutama CH 4, dan N 2O dari lahan sawah ke atmosfer. Pemupukan S secara berimbang memperbaiki hasil dan kualitas gabah yang sekaligus sebagai upaya mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan sawah. Kata kunci: Sulfur, tanah sawah, hasil gabah, emisi, gas rumah kaca.
9
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
PENDAHULUAN Kebutuhan pangan nasional terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk. Padi menjadi pangan utama bagi lebih dari 90% populasi Indonesia meskipun Pemerintah telah menggalakan diversifikasi pangan. Stabilitas produksi pangan nasional didukung oleh intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, antara lain pencetakan sawah baru di luar Jawa, penggunaan masukan sarana produksi tinggi seperti benih, bahan agrokimia (pupuk dan pestisida). Namun penggunaan masukan tinggi dan intensif dapat berdampak terhadap ketidakseimbangan ekologi, terjadinya ledakan hama dan penyakit di beberapa daerah, kekahatan hara, keracunan unsur kimia, pencemaran terhadap air dan tanah, dan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (Kurnia 2008). Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu sumber emisi GRK di sektor pertanian adalah budidaya padi sawah sebagai sumber metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) (Johnson et al. 2007). Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara mandiri pada tahun 2020, dengan target penurunan emisi GRK dari sektor pertanian sebesar 0,008 Giga ton setara CO2 (Balitbangtan 2011). Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi GRK. Salah satu kegiatan yang mampu menurunkan emisi GRK di sektor pertanian adalah penerapan teknologi budidaya tanaman, antara lain penggunaan pupuk yang mengandung sulfur (S) (Sasa et al. 2000). Intensifikasi dan peningkatan produksi tanaman padi nyata meningkatkan penyerapan hara dari dalam tanah, serta diprediksi meningkatkan laju emisi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (van Groenigen et al. 2013). Di beberapa daerah di Indonesia, petani padi umumnya menggunakan pupuk NPK dengan takaran relatif tinggi, misalnya petani padi di Jawa yang umum menggunakan pupuk urea lebih dari 300 kg/ha (Chaerun dan Anwar 2008). Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara unsur hara yang diambil tanaman dan hara yang diberikan, sehingga memacu penurunan kesuburan tanah dan kekahatan hara tanaman tertentu, termasuk sulfur dan seng (Mamaril et al. 1991, Zuzhang et al. 2010). Dalam upaya peningkatan produksi padi, perhatian lebih besar seyogianya diberikan kepada pengelolaan hara berimbang, termasuk sulfur dan hara-hara esensial selain NPK. Dalam beberapa dekade terakhir jarang diteliti penggunaan hara sulfur bagi tanaman padi. Referensi yang berkaitan dengan pemupukan hara S umumnya terbit pada tahun 1970-80an. Tulisan ini membahas kontribusi hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya
10
terhadap mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawah di Indonesia.
PERAN SULFUR DALAM BUDIDAYA TANAMAN Sulfur dalam Tanaman Sulfur merupakan penyusun asam-asam amino esensial (sistin, sistein, methionin) yang terlibat dalam pembentukan klorofil, dan dibutuhkan dalam sintesis protein dan struktur tanaman (Mengel and Kirby 1987). Sulfur juga sebagai penyusun koenzim A dan hormon biotin dan thiamin yang dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat (Dobermann and Fairhurst 2000). Kahat S menghambat sintesis protein dan menurunkan kualitas produk tanaman. Lebih lanjut, asam-asam amino yang tidak mengandung S seperti asparagin, gluitamin, dan arginin terakumulasi pada tanaman kahat S yang berakibat pada buruknya aktivitas fotosintesis dan gula yang dihasilkan (Mamaril 1994). Kahat S pada tanah sawah tergenang terjadi akibat konversi sulfat menjadi fero sulfida tidak larut. Ini menjelaskan mengapa banyak petani mendrainase lahannya dengan maksud untuk mengatasi masalah tersebut dan merangsang pertumbuhan tanaman. Melalui drainase, sulfida (bentuk S tereduksi) dioksidasi menjadi sulfat (bentuk S teroksidasi) yang tersedia bagi tanaman (Mamaril et al.1976). Tanaman padi yang tumbuh pada tanah kahat S dalam percobaan rumah kaca mempunyai kandungan methionin yang lebih rendah dalam gabah daripada yang tumbuh pada tanah cukup S (Ismunadji and Miyake 1978). Hasil penelitian Juliano et al. dalam Mamaril (1995) menunjukkan kandungan sistein dan methionin dalam protein beras merah meningkat dengan pemberian S pada tanah kahat S di Bangladesh dan Indonesia. Kandungan sistein dan methionin rendah dalam protein teramati pada percobaan pot pada beras cokelat dengan nisbah N:S sebesar 16:25. Ini menjelaskan kandungan S dalam asam amino pada protein beras hanya terdeteksi bilamana ada kelebihan serapan N (Mamaril et al. 1991). Pada percobaan pot dengan menggunakan contoh tanah Grumusol dari Ngale Jawa Timur dengan kandungan sulfur rendah, efektivitas pupuk ZA sama dengan K2SO4 dalam meningkatkan kandungan S tanaman padi pada batas normal. Tanaman tanpa pupuk S hanya mengandung 0,10-0,13% S, yang merupakan nilai batas kritis (Ismunadji et al. 1975). Hara S kurang mobil dalam tanaman dibanding nitrogen, sehingga kahat S cenderung terlihat pertama
WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI
kali pada daun yang muda. Kahat S menyebabkan reduksi kandungan sistein dan methionin pada tanaman padi (Dobermann and Fairhurst 2000). Gejala kahat S pada tanaman padi umumnya terlihat dari menguningnya daun, tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, pembungaan tertunda, jumlah gabah hampa tinggi, dan perpanjangan akar terhambat (Yoshida and Chaudhry 1979). Menurut Jones et al. (1982), gejala kekuningan tanaman tidak seragam dan biasanya terjadi selama tahap pertumbuhan awal (dua minggu setelah tanam hingga fase anakan maksimum) pada kondisi tanaman kahat S sedang. Pada fase anakan maksimum, gejala kuning mungkin hilang, tanaman cenderung pulih, menjadi lebih hijau, namun jumlah anakan berkurang. Kahat S pada tanaman padi sering dilaporkan pada awal abad ke-21. Pada tahun 1970-an, penyakit padi yang disebut ‘mentek’ disebabkan oleh kahat S seperti yang terjadi di Ngale dan Magelang (Ismunadji et al. 1975). Mengapa kahat S pada tanaman padi tidak teramati hingga kini. Hal ini disebabkan karena pupuk yang mengandung S umumnya diberikan lebih awal. Pupuk beranalisis tinggi dan bebas S seperti urea dan TSP telah digunakan secara meluas. Penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi, peningkatan intensitas tanam, penurunan penggunaan pestisida dan fungisida mengandung S, pengendalian emisi SO2 lebih besar pada area industri, penurunan pendaurulangan biomassa dan penurunan pelepasan S tanah juga mendukung terjadinya peningkatan kahat S (Jones et al. 1982, Morris 1988). Serapan Sulfur oleh Tanaman Padi Tanaman umumnya menyerap S dalam bentuk SO42- dari tanah. Namun, ada sejumlah bukti yang (menunjukkan tanaman juga dapat menggunakan SO2 dari atmosfer (Mengel and Kirby 1987). Komponen-komponen pool S dalam tanah yang memasok tanaman padi adalah S-SO42dari larutan tanah dan yang dijerap partikel tanah, sedangkan bentuk ester-sulfat tersedia dalam jumlah yang kecil. Banyaknya hara S yang diserap tanaman padi bergantung pada banyak faktor, di antaranya varietas, jumlah hara S dan N yang diberikan dan ketersediaan S di tanah, pengelolaan air, dan status hara lainnya di tanah. Sulfur total yang terangkut oleh tanaman padi berkisar antara 7,8-16,8 kg S/ha. Pada ekosistem sawah tadah hujan, serapan S total tanaman padi antarmusim tanam sangat beragam, di mana serapannya pada sistem gogorancah (padi musim hujan) lebih tinggi daripada pada sistem walik jerami (padi musim kering) seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil gabah yang tinggi tidak selalu diikuti oleh jumlah S total yang diangkut tanaman. Bagian hara S yang diambil tanaman lebih banyak terdapat jerami.
Tabel 1. Serapan S total padi sawah tadah hujan di Jakenan, Jawa Tengah.
Pertanaman*
Gogorancah (Musim Hujan) Walik Jerami (Musim Kemarau)
Hasil gabah (t/ha)
Total serapan S (kg/ha)
Unsur S yang terangkut per ton gabah (kg)
4,9
11,5
2,34
3,1
7,8
2,52
* Rata-rata dari tiga musim tanam Sumber: Mamaril (1994)
Percobaan rumah kaca yang dilaksanakan di Filipina menunjukkan jumlah hara S yang diambil tanaman padi berasal dari pupuk S yang diberikan berkisar dari 7,227,7%, bergantung pada tipe tanah dan takaran S yang diberikan (Cacnio and Mamaril 1990). Respon Tanaman Padi terhadap Sulfur Masukan S kebanyakan berasal dari penggunaan ammonium sulfat (24% S) atau superfosfat tunggal (12% S). Sulfur yang diberikan dengan takaran 20-40 kg S/ha relatif cukup untuk memperoleh hasil yang tinggi, namun keragaman tanggap tanaman bergantung pada tingkat kekahatan S, potensi hasil varietas, interaksi hara, takaran yang diberikan, dan efisiensi penggunaan S (Dobermann and Fairhurst 2000). Peningkatan hasil ratarata dari 28 lokasi di Sulawesi Selatan akibat pemberian hara S adalah 19% (Blair et al. 1979). Pada percobaan multilokasi di Sulawesi Selatan, efisiensi penggunaan S berkisar antara 65-157 kg gabah/kg S, berbeda dengan efisiensi penggunaan S di tanah sawah tadah hujan di Jakenan, Jawa Tengah yang hanya 25-33 kg gabah/kg S (Mamaril dalam Dobermann et al. 1998). Di beberapa daerah, tanggap S tidak konsisten. Di Jakenan, Jawa Tengah, tanggap terhadap S konsisten selama musim kering, tetapi tidak pada tanaman musim hujan yang menghasilkan gabah lebih tinggi di lokasi yang sama (Mamaril dalam Dobermann et al. 1998). Besarnya tanggap padi terhadap pemberian S bergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) ketersediaan S dalam tanah, air irigasi dan hujan, (2) budi daya tanaman, (3) sumber S, (4) takaran, waktu dan metode pemberian, (5) pengelolaan air, dan (6) musim (Mamaril 1994). Tanggap tanaman padi terhadap hara S yang tidak konsisten dapat disebabkan oleh sumber S alami lain seperti air hujan, air irigasi, dan SO 2 di atmosfer. Konsentrasi S dalam air hujan sangat beragam dan umumnya makin turun dengan meningkatnya jarak lokasi budi daya dari pantai atau kawasan industri (Lefroy et al. 1992). Yoshida (1981) melaporkan bahwa kandungan S 11
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
dalam air sungai dan irigasi di beberapa negara berkisar antara 0,2-4,7 ppm dengan rata-rata 4,1 ppm. Menurut Ismunadji (1982), 44% air irigasi yang diambil di Jawa mengandung kurang dari 2 ppm S. Yoshida dan Chaudhry (1979) menegaskan bahwa 2,7 ppm S dalam air irigasi cukup untuk memasok kebutuhan tanaman padi dengan asumsi tanaman membutuhkan 100 cm air hingga masak. Lebih lanjut, Lefroy et al. (1992) melaporkan takaran deposisi S dalam air hujan di negara penghasil padi berkisar antara 0,4-2,9 ppm S/m2. Daerah yang memiliki curah hujan relatif tinggi mempunyai kandungan S tinggi, sehingga mengurangi kahat S. Pada kondisi sawah tadah hujan dengan tekstur lempung pasir di Jawa Tengah, pemberian 20 kg S/ha ammonium sulfat meningkatkan hasil rata-rata 0,55 t/ha selama tiga musim tanam (Gambar 1). Peningkatan hasil diperoleh dari penggunaan ammonium sulfat selama fase awal pertumbuhan tanaman. Namun tanggap S di tempat yang sama hanya teramati selama musim tanam kedua di bawah kondisi tergenang. Tanaman padi gogorancah tidak tanggap terhadap pemberian pupuk S. Pupuk ZA yang diberikan 20 hari setelah padi gogorancah tumbuh tidak efektif meningkatkan hasil gabah. Padi gogorancah ditanam saat tanah tidak tergenang sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara S bagi tanaman. Menurut Nearpass dan Clark dalam Mamaril (1995), penggenangan tanah sawah menurunkan ketersediaan hara S bagi tanaman, sehingga tanggap terhadap pemupukan yang mengandung S. Rendahnya ketersediaan hara S di tanah tergenang disebabkan oleh reduksi ion sulfat menjadi sulfida. Pengelolaan Pupuk Sulfur di Lahan Sawah Besarnya tanggap S juga dipengaruhi oleh pengelolaan pupuk S, seperti sumber, takaran, waktu dan metode
Semua sumber pupuk S sama efektifnya sepanjang tersedia bagi tanaman (Blair et al. 1979). Hasil penelitian
Padi gogorancah
6
5 4 3 2 1 0
Dalam beberapa laporan disebutkan bahwa pemupukan S dengan takaran 20-30 kg S/ha memberikan hasil gabah terbaik (FAO 1989), di mana setiap ton hasil gabah, tanaman menyerap rata-rata 2,3 kg S/ha. Menurut Cacnio dan Mamaril (1990), pemberian pupuk S dengan takaran 20 kg S/ha cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi menghasilkan gabah 5 t/ha.
Hasil gabah (t/ha)
Hasil gabah (t/ha)
6
pemberian. Oleh karena tanaman umumnya menyerap S-SO42-, bahan yang mengandung bentuk S tersebut seharusnya memilikiki efektivitas yang sama. Bahan yang mengandung S lain seharusnya juga efektif sepanjang dapat membuat kondisi tanah menguntungkan bagi transformasi sulfur menjadi bentuk S-SO42-, terutama selama pada tahap awal pertumbuhan tanaman padi. Beberapa kajian lapangan menunjukkan bahwa ammonium sulfat (ZA) dan gipsum sama-sama efektif sebagai sumber S (Mamaril and Gonzales 1989, FAO 1989). Efektivitas S-elemen (So) dan bahan lain yang mengandung So kurang konsisten dibandingkan dengan bahan yang mengandung S-SO42-. Blair (1987) serta Mamaril dan Gonzales (1988) melaporkan bahwa So sama-sama efektif seperti ZA, tetapi S-bentonit yang mengandung So dilaporkan tidak efektif. Lebih lanjut, bahan So yang diberikan 20 hari sebelum tanam, menurun efektivitasnya (Blair et al. 1993). Sulfur tunggal seperti ZA juga tidak efektif pada percobaan lapang di Jawa Tengah (Wihardjaka et al. 1999). Pemberian ammonium sulfat meningkatkan hasil gabah 5,4% dibanding So. Sebaliknya, bahan lain yang mengandung So dalam urea S (US) efektif meskipun efektivitasnya lebih rendah daripada ZA, baik pada kondisi rumah kaca maupun di lapangan (Mamaril and Gonzales 1988).
Kontrol 5 HST
ZA
S-elemen 20 HST
35 HST
Padi walik jerami
5 4 3 2 1 0
Kontrol 5 HST
ZA 20 HST
S-elemen 35 HST
Gambar 1. Pengaruh sumber dan waktu pemberian pupuk S terhadap hasil padi IR64 pada lahan sawah tadah hujan, Jakenan, Jawa Tengah. Rata-rata dari 3 musim tanam (Wihardjaka dan Suprapto 1997, Wihardjaka et al.1999).
12
WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI
di Sulawesi Selatan menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh sumber pupuk S terhadap hasil gabah (Tabel 2). Pada satu lokasi, pemberian S-elemen 20 hari setelah tanam kurang menguntungkan dibanding diberikan pada saat tanam. Oksidasi awal S-elemen dan reduksi menjadi H 2 S pada 20 hari sebelum tanam menyebabkan penurunan hasil gabah (Blair et al. 1979). Pemberian hara S mempengaruhi anakan tanaman padi. Dengan demikian pupuk S seharusnya diberikan antara awal fase pertumbuhan dan sebelum fase anakan maksimum (Dobermann and Fairhurst 2000, Singh et al. 2012). Pada fase anakan aktif, tanaman padi lebih aktif menyerap S. Jika S kurang tersedia pada awal pertumbuhan tanaman maka jumlah anakan berkurang dan hasil padi akan turun (Singh et al. 2012). Bilamana hara S terbatas, penambahan pupuk nitrogen tidak mengubah hasil dan kandungan protein dalam tanaman (Zuzhang et al. 2010). Kajian di Filipina dengan tiga waktu pemberian S berbeda memberikan keragaman dalam kemasakan tanaman padi (Mamaril et al. 1991). Pemberian So (Selemen) saat 30 HST pada tanaman padi varietas IR66 berumur pendek tidak memberikan banyak manfaat, namun tanggap S nyata tercapai bilamana gipsum diberikan 30 HST. Padi berumur genjah seperti IR64 memberikan tanggap yang nyata terhadap S, baik dalam bentuk So maupun gipsum setelah 30 HST. Pada varietas berumur dalam seperti IR72, tanaman berumur 30 HST masih termasuk periode antara anakan aktif dan anakan maksimum, dimana tanaman masih tanggap terhadap pemberian S. Pada percobaan selama tiga tahun (enam musim tanam) di Jawa Tengah menggunakan varietas IR64 umur genjah (110 hari), pemberian ZA pada 35 HST menghasilkan gabah yang sama antara sistem walik jerami dengan perlakuan kontrol (0S). Pemberian ZA pada 20 HST masih menghasilkan gabah padi walik jerami lebih tinggi daripada kontrol (Gambar 1).
Tidak seperti N, pupuk S seharusnya diberikan pada permukaan tanah untuk memperoleh efisiensi pemupukan lebih tinggi. Pemberian hara S-SO42- pada lapisan reduktif tanah sawah tergenang dimungkinkan terjadi reduksi menjadi sulfida dan dipresipitasikan oleh logam berat seperti Fe, sehingga kurang tersedia bagi tanaman padi. Sulfur yang diberikan pada lapisan tanah reduksi juga dapat divolatilisasi sebagai H 2S. Demikian pula jika S o dibenamkan atau diberikan pada zona reduktif tidak akan dioksidasi dengan cepat dan menjadi tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap S lebih efisien jika So diberikan pada zona reduktif karena sulfur dapat dioksidasi menjadi sulfat pada perakaran tanaman padi dan sulfat yang terbentuk kemungkinan tercuci relatif rendah (He et al. 1994). Menurut Blair (1987), pembenaman So bubuk halus ke dalam tanah tergenang tidak efektif seperti pemberian pada permukaan dalam meningkatkan hasil biomassa kering dan serapan S pada lima varietas padi yang diuji (IR20, IR2755, B4-62, IR26, Mudgo). Disimpulkan bahwa hara S dan N seharusnya tidak dikombinasikan dan diterapkan dengan cara yang sama di tanah sawah tergenang untuk memperoleh efisiensi yang tinggi dari penggunaan kedua hara tersebut, terutama bilamana tanah terlalu reduktif. Di beberapa lokasi pengujian, pemberian S dalam bentuk amonium sulfat selain mengatasi kekahatan S juga sekaligus dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan hasil padi sawah dan padi gogorancah masing-masing 10,8% dan 52,9% dibanding tanpa S (Bastari 1996). Pemberian hara S dalam ramuan pupuk NPK dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Untuk memperoleh 1 kg gabah kering giling, takaran pupuk NPKS lebih rendah dibandingkan dengan pupuk NPK saja (Tabel 3).
Tabel 3. Rata-rata jumlah pupuk yang digunakan untuk memperoleh 1 ton gabah kering giling pada beberapa lokasi di Indonesia.
Lokasi
Tanaman
Tabel 2. Hasil padi pada lahan sawah dengan sumber S yang berbeda di Sulawesi Selatan. Hasil gabah (t/ha) Perlakuan Lokasi 1 Kontrol Ammonium sulfat Gipsum S-elemen, saat tanam S-elemen, 20 HST
0,96 2,72 2,62 2,68 -
a b b b
Lokasi 2 3,88 5,21 4,85 5,25 -
a b b b
Lokasi 3 3,33 4,72 4,61 4,55 4,11
a c c c b
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT. HST = hari setelah tanam Sumber: Blair et al. (1979)
Jember Bulukumba Sidrap Polmas Sampang Bangkalan Limapuluh Koto Lampung Selatan Gowa Takalar Kampar
Padi sawah Padi sawah Padi sawah Padi sawah Padi gora Padi gora Padi gora Padi gora Padi gora Padi gora Padi gora
Jumlah pupuk yang digunakan (kg) NPKS
NPK
112 125 66 71 106 143 123 148 80 144 221
119 139 94 88 129 150 154 193 100 152 226
Gora = gogorancah Sumber: Bastari (1996)
13
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Peran Sulfur dalam Mitigasi Perubahan Iklim Pada dekade terakhir, isu lingkungan yang menjadi perhatian dunia adalah pemanasan global dan perubahan iklim akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Budi daya padi sawah merupakan salah satu sumber pembentukan gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Kedua gas tersebut bersifat radiaktif di atmosfer bersama-sama CO2 (Partohardjono 2002). Gas metana menyokong 18-25% fenomena pemanasan global, di mana 25-50% dari total emisi metana global berasal dari lahan sawah (Bouman dalam Setyanto et al. 1997). Organisme pengoksidasi metana dapat menyebabkan tanah-tanah tertentu sebagai rosot (sink) metana (IPCC 1992). Gas dinitrogen oksida yang mempunyai waktu tinggal 150 tahun selain menyebabkan pemanasan global, juga dapat merusak lapisan ozon di stratosfer (Sasa et al. 2000, Johnson et al. 2007). Emisi metana dari lahan sawah tergenang adalah 4050 Tg CH4/tahun atau mendekati 10% dari total emisi metana global (Dubey 2005). Pasokan air terkontrol dan persiapan lahan intensif di lahan sawah tergenang memberikan kontribusi terhadap perbaikan pertumbuhan padi yang menghasilkan dan emisi CH4 lebih besar. Teknik perbaikan pengelolaan air dapat mengurangi emisi dari lahan sawah, tetapi pengelolaan praktis yang dapat dikerjakan untuk mengurangi emisi CH 4 tanpa meningkatkan kehilangan N dan mengurangi hasil belum dikembangkan. Pemupukan nitrogen yang mengandung S seperti ammonium sulfat yang diberikan tiga tahap (1/3 porsi sebelum tanam, 1/3 porsi pada fase anakan aktif, dan 1/ 3 porsi pada fase primordia bunga) dapat mengurangi emisi metana berkisar antara 43-61%, sedangkan urea tablet yang dibenamkan ke dalam lapisan reduksi tanah sawah menurunkan emisi metana sebesar 22-61% (Setyanto et al. 1999) (Tabel 4). Pemupukan ZA dapat menggantikan pupuk urea pril pada padi sawah karena mampu mengurangi metana sebesar 28 kg CH4/ha dan meningkatkan hasil gabah 7,5%. Menurut Schultz et al. dalam Setyanto et al. (1999),
pupuk N yang mengandung S menyebabkan terjadinya persaingan antara bakteri penghasil metana (metanogen) dan bakteri pereduksi sulfat dalam memperoleh hidrogen, sehingga menghambat pembentukan metana. Terbentuknya ion sulfit sebagai hasil samping dari hidrolisis ZA memperlambat penurunan potensial redoks tanah akibat terjadinya proses oksidasi sulfit menjadi sulfat, sehingga Eh tanah cenderung lebih tinggi. Bagi bakteri penghasil metana, sulfit dan sulfat bersifat toksik (Jacobsen dalam Setyanto et al. 1999). Pemupukan ZA di lahan sawah mereduksi emisi metana 25-36% (Jain et al. 2004). Sebanyak 60-70% dari pupuk N yang diberikan hilang sebagai N dalam bentuk gas, terutama melalui proses volatilisasi NH3 dan denitrifikasi. Menurut Byrnes (1990), hampir 90% emisi gas N2O berasal dari tanah melalui reaksi biologi nitrifikasi-denitrifikasi selama periode tanah basah-kering secara bergantian. Pada sistem sawah irigasi dengan kontrol air yang tepat, emisi N2O biasanya kecil, kecuali jika pupuk N diberikan dalam jumlah yang berlebihan pada tanah sawah yang subur. Pada tanah berdrainase buruk, pelumpuran tanah sawah, nitrifikasi rendah berlangsung dan kehilangan NO3 tercuci biasanya < 10% dari pupuk N yang diberikan (Dobermann and Fairhurts 2000). Peningkatan takaran pupuk N berpotensi mengakibatkan terjadinya kehilangan N lebih besar tanpa pengelolaan yang tepat. Rendahnya efisiensi pemupukan nitrogen menyebabkan pelepasan N dalam bentuk gas, terutama N2O menjadi tinggi. Namun pemberian pupuk N yang mengandung sulfur dalam bentuk ZA atau S-elemen dapat menekan pelepasan gas dinitrogen oksida ke atmosfer. Pemberian S-elemen (So) bersamaan dengan 115 kg N/ha pada lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah menurunkan emisi gas dinitrogen oksida 45-52%, meskipun tidak nyata mempengaruhi hasil gabah (Tabel 5). Penelitian Suharsih et al. (2001) juga menunjukkan penambahan hara S pada urea pril dapat menurunkan emisi gas dinitrogen oksida (Tabel 6). Penggunaan pupuk urea yang dilapisi sulfur selain meningkatkan efisiensi
Tabel 4. Emisi gas metana dan hasil gabah IR64 pada perlakuan pemberian pupuk N pada lahan sawah irigasi. Pati, 1998.
Pemupukan1)
Tanpa pupuk Urea pril diberikan 3 tahap ZA diberikan 3 tahap Urea tablet
Emisi gas metana (kg CH4/ha)
Hasil gabah (t/ha)
MH
MK
MH
MK
MH
MK
207 186 175 197
185 174 164 184
3,15 5,81 6,68 7,62
3,79 4,76 5,86 4,83
66 32 26 26
49 36 28 38
1) Pupuk N diberikan dengan takaran 120 kg N/ha, MH = musim hujan, MK = musim kemarau Sumber: Setyanto et al. (1999)
14
kg CH4/t gabah
WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI
Tabel 5. Emisi gas dinitrogen oksida pada beberapa takaran S-elemen pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, 1999.
Pemupukan (kg S/ha)
12 24 36
Emisi gas N2O (kg/ha/musim)
Hasil gabah (t/ha)
kg N2O/t gabah
MH
MK
MH
MK
MH
MK
0,071 0,056 0,034
0,111 0,100 0,061
3,4 3,2 3,4
3,1 3,2 3,2
0,02 0,02 0,01
0,04 0,03 0,02
MH = musim hujan, MK = musim kemarau Sumber: Sasa et al. (2000)
Tabel 6. Emisi gas dinitrogen oksida pada pemberian urea dan belerang pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, 2000. Emisi gas N2O (kg/ha/musim)
Hasil gabah (t/ha)
kg N2O/t gabah
Pemupukan
Urea pril Urea pril + S Tanpa pupuk
MH
MK
MH
MK
MH
MK
0,225 0,182 0,203
0,073 0,047 0,069
3,95 3,90 2,59
4,01 4,12 3,43
0,06 0,05 0,08
0,02 0,01 0,02
Takaran pupuk N dan S masing-masing 90 kg N dan 20 kg S/ha, MH = musim hujan, MK= musim kemarau Sumber: Suharsih et al. (2001)
pemupukan N juga mengurangi pelepasan gas dinitrogen oksida ke udara (Sasa et al. 2000). Tantangan Penelitian Sulfur pada Padi Sawah Selain kajian transformasi dan perilaku sulfur pada lahan sawah tergenang, juga perlu dilakukan penelitian dampak kahat S terhadap sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, daerah dan gejala kekahatan S, dan diperkuat oleh pengujian tanah atau analisis jaringan tanaman. Perbaikan penggunaan metode uji tanah untuk mengungkap status S perlu diusahakan pada berbagai agroekologi tanaman padi. Terkait dengan tekanan populasi penduduk dan penurunan luas lahan untuk produksi pertanian, banyak negara menerapkan pertanian intensif dan diversifikasi untuk meningkatkan produksi pangan. Alternatif pola tanam melalui rotasi tanaman padi dengan tanaman palawija pada lahan sawah diharapkan dapat meningkatkan dinamika ketersediaan hara-hara esensial dalam tanah, termasuk S, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan sebagai pertimbangan dalam strategi pengelolaan pupuk pada tanaman berbeda yang dirotasi. Interaksi S dan hara-hara lain seperti NPK perlu mendapat perhatian lebih besar karena ketersediaan harahara tersebut dalam tanah menurun cepat, terutama pada pertanaman intensif.
Kontribusi S dari sumber-sumber alami seperti hujan dan irigasi pada lingkungan tertentu juga perlu mendapat perhatian. Hara S dari sumber-sumber alami telah dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga dapat digunakan dalam menetapkan imbangan S yang sesuai untuk memperoleh produktivitas yang optimal.
KESIMPULAN DAN SARAN 1) Efektivitas pupuk yang mengandung S-SO42- sama dengan bahan yang mengandung So. Pada kondisi yang menguntungkan, So segera dapat dimanfaatkan tanaman melalui transformasi So menjadi bentuk SSO42- pada perakaran tanaman padi. Pemberian hara S dengan takaran 20 kg/ha bersamaan dengan pemberian pupuk lainnya (N, P, K) cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi dengan hasil gabah 5 t/ha di lokasi yang tanggap terhadap pemberian S. 2) Pupuk S disarankan untuk diberikan pada saat pertumbuhan tanaman padi antara fase anakan aktif hingga fase anakan maksimum. Pemberian S pada fase pertumbuhan anakan aktif lebih efektif diserap tanaman padi. Pemberian pupuk S disebar di permukaan tanah sawah tergenang memberikan efisiensi yang lebih tinggi daripada cara pemberian lainnya.
15
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
3) Penggunaan hara S sulfur seharusnya mulai dimasukkan dalam paket pemupukan tanaman produksi padi di tingkat petani. Sulfur yang diberikan dalam bentuk ZA atau So dalam budidaya tanaman padi sawah dapat mengurangi pelepasan gas metana dan dinitrogen oksida ke atmosfer. Sulfur berperan penting dalam mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawah. Informasi emisi gas rumah kaca dari tanah sawah melalui penggunaan sulfur di Indonesia masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. 4) Uji tanah atau analisis jaringan tanaman dapat digunakan untuk diagnosis kahat S. Gejala kahat S yang terdeteksi cukup awal relatif mudah diatasi dengan menggunakan pupuk yang mengandung S, seperti urea yang diselimuti S (SCU), ZA, superfosfat tunggal, sebagai bagian dari paket pengelolaan hara terpadu dengan mempertimbangkan masukan S dari air hujan dan irigasi.
DAFTAR PUSTAKA Balitbangtan. 2011. Road Map Strategi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 89 p. Bastari, T. 1996. Penerapan anjuran teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. pp. 7-35 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Blair, G.J. 1987. Nitrogen-sulfur interaction in rice. pp. 195-203 in Efficiency of Nitrogen Fertilizer for Rice. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Blair, G.J., E.O. Momuat, and C.P. Mamaril. 1979. Sulfur nutrition of wetland rice. IRRI Res. Pap. Ser. No. 21. 29 pp. Blair, G.J., R.D.B. Lefroy, N. Chinoim, and G.C. Anderson. 1993. Sulfur soil testing. Plant Soil 156: 383-386. Byrnes, B.H. 1990. Environmental effects of N fertilizer use – an overview. Fertilizer Res. 26: 209-215. Cacnio, V.N. and C.P. Mamaril. 1990. Influence of preplanting moisture regime and two sulfur sources on growth, yield and sulfur uptake of rice. The Nucleus 28: 1-2. Chaerun, S.K. and C. Anwar. 2008. Dampak lingkungan penggunaan pupuk urea pada pembebanan n dan hilangnya kandungan n di sawah. Jurnal Pendidikan IPA 6(7): 1-8. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient disorders & nutrient management. PPI – PPIC – IRRI.
16
Dobermann, A., K.G. Cassman, C.P. Mamaril, and J.E. Sheehy. 1998. Management of phosphorus, potassium, and sulfur in intensive, irrigated lowland rice. Field Crops Res. 56: 13-138. Dubey, S.K. 2005. microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem: A review. Appl. Eco. Environ. Res. 3(2):1-27. FAO. 1989. The sulphur newsletter No. 4. Fertilizer and plant nutrition service, FAO, Rome. He, Z.L., A.G. Odonnell, J.S. Wu, and J.K. Syers. 1994. Oxidation and transformation of elemental sulphur in soils. J. Sci. Food. Agric. 65: 59-65. IPCC. 1992. Methane emission and oppurtunities for control: Workshop Results of Intergovermental Panel on Climate Change. JAE & EPA. September 1991. Ismunadji, M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah. Tesis Doktor Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Ismunadji, M. and M. Miyake. 1978. Sulphur application and amino acid content of brown rice. JARQ 12(3): 180-182. Ismunadji, M., I. Zulkarnaini, and M. Miyake. 1975. Sulphur deficiency in lowland rice in Java. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 14. Jain, N., H. Pathak, S. Mitra, and A. Bhatia. 2004. Emission of methane from rice fields: A review. J. Sci. Indust. Res. 63: 101-115. Johnson, J.M.F., A.J. Franzluebbers, S.L. Weyers, and D.C. Reicosky. 2007. Agricultural opportunities to mitigate greenhouse gas emissions. Environmental Pollution 150: 107-124. Jones, U.S., J.C. Katyal, C.P. Mamaril, and C.S. Park. 1982. Wetland rice-nutrient deficiencies other than nitrogen. pp. 327-378 in Rice Research Strategies for the Future. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Mamaril, C.P. 1994. Contribution of sulphur research on rice production in Southeast Asia. Cooperative Depagri-IRRI Program. Bogor. Mamaril, C.P. 1995. Zinc and sulphur nutrition for rice. Rice Management Biotechnology. Associated Publishing Co. New Delhi. pp. 135-146. Mamaril, C.P., A.P. Umar, I. Manwan, and C.J.S. Momuat. 1976. Sulphur response of lowland rice in South Sulawesi, Indonesia. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 22: 12p. Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales. 1988. Response of lowland rice to S in the Philippines. pp. 70-76 in the Proceedings of the International Symposium on
WIHARDJAKA DAN PONIMAN: SULFUR PADA TANAMAN PADI
Sulphur for Korean Agriculture. Korean Society of Soil Science and Fertilizer, Seoul-The Sulphur Institute, Washington, D.C. Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales. 1989. Agronomic effectiveness of S sources for lowland rice. pp. 115119 in Proceedings of a Seminar on Sulphur Fertilizer Policy for Lowland and Upland Rice Cropping Systems in Indonesia. ACIAR Proceding No. 29. Australia. Mamaril, C.P., P.B. Gonzales, and V.N. Cacnio. 1991. Sulfur management in lowland rice. Paper presented during the International Symposium on the Role of Sulphur, Magnesium and Micronutrients in Balanced Plant Nutrition held at Chengdu, Sichuan, Proc. on April 3-10, 1991. Mengel, K. and E.A. Kirby. 1987. Principles of plant nutrition. 4th Edition. International Potash Institute, Bern, Switzerland. Morris, R.J. 1988. Sulphur – the fourth major plant nutrient. pp. 9-16 in the Proceedings of the International Symposium on Sulphur for Korean Agriculture. Korean Society of Soil Science, SeoulThe Sulphur Institute, Washington, D.C. Kurnia, U. 2008. Strategi pengelolaan lingkungan pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(1): 59-74. Lefroy, R.D.B., C.P. Mamaril, G.J. Blair, and P.B. Gonzales. 1992. Sulphur cycling in rice wetlands. pp. 279-299 in Howard, R.W., J.W.B. Steward, M.V. Ivanov (Eds.). Sulphur Cycling on the Continents. Wiley. New York. Partohardjono, S. 2002. Pengelolaan lahan sawah irigasi dalam menekan emisi gas metan. pp. 37-42 dalam Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Sasa, I.J., Mulyadi, and S. Partohardjono. 2000. Kombinasi urea tablet dan belerang pada padi tanam benih langsung: Upaya mereduksi gas N2O di lahan sawah. Penelitian Pertanian 19(3): 8-12. Setyanto, P., A.K. Makarim, and A.M. Fagi. 1997. Methane emission from rainfed rice field at Jakenan,
Central Java as affected by organic matter and water condition. Penelitian Pertanian 16(1): 19-25. Setyanto, P., Suharsih, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh pemberian pupuk anorganik terhadap emisi gas metan pada lahan sawah. pp. 36-43 dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Puslitbangtan. Bogor. Singh, A.K., Manibhushan, M.K. Meena, and A. Upadhyaya. 2012. Effect of Sulphur and Zinc on Rice Performance and Nutrient Dynamics in Plants and Soil of Indo Gangetic Plains. Journal of Agricultural Science 4(11): 162-170. Suharsih, P. Setyanto, dan T. Sopiawati. 2001. Pengaruh penggunaan pupuk N lambat urai terhadap emisi gas N2O pada lahan sawah tadah hujan. pp. 67-72 dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. van Groenigen, K.J., C. van Kessel, and B.A. Hungate. 2013. Increased greenhouse-gas intensity of rice production under future atmospheric conditions. Nature Climate Change 3: 288-291. Wihardjaka, A. dan Soeprapto. 1997. Tanggap tanaman padi sawah tadah hujan terhadap sulfur di Jawa Tengah. J. Agroland 4(4): 1-8. Wihardjaka, A., Soeprapto, and C.P. Mamaril. 1999. Response of rainfed lowland rice and soybean to sulphur in light textured soils in Central Java. Indonesian J. Crop Sci. 14(2): 29-34. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Yoshida, S. and M.R. Chaudhry. 1979. Sulfur nutrition of rice. Soil Sci. Plant Nutr. 25(1): 121-1345. Zuzhang, L., L. Guangrong, Y. Fusheng, T. Xiangan, and G. Blair. 2010. Effect of sources of sulphur on yield and disease incidence in crops in Jiangxi Province, hina. Pp. 60-63 in Proceeding of World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World 1-6 August 2010 at Brisbane, Australia.
17
SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK
Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak (Improvement of Soybean Resistant to Armyworm) Titik Sundari1 dan Kurnia Paramita Sari2 1
Staf Peneliti Pemuliaan di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2 Staf Peneliti Hama di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak Km 8 Malang, Kotak Pos 66 Malang 65101 E-mail:
[email protected],
[email protected] Naskah diterima 20 Maret 2015 dan disetujui diterbitkan 18 Mei 2015
ABSTRACT Armyworm (Spodoptera litura) is a major pest on soybean. Severe attack of this pest could cause 100% leaf defoliation and harvest failure. Soybean resistant to armyworm follows antibiosis and antixenosis mechanism. Antibiosis resistance was induced by certain chemical substances in the parts of plant that disturbed the physiological and biological processes of pest. Antixenosis resistance was a mechanism by plant morphological barrier that could affect the behavior of pests, such as leaf morphology, especially related to the pubescense density. The availability of soybean variety resistant to armyworm was expected to reduce the use of insecticides and to minimize the harvest failure. Soybean variety resistant to armyworm would be possible to be developed considering the source of genes for resistance had been identified, such as variety Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC-80-596-2, Bay, and W / 80-2-4- 20. An effective and efficient breeding method had also been available, through repeated backcrosses assisted by DNA markers as selection indicator. IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/KabaG-47, and IAC-100/Burangrang-G-119 were reported as promising lines, having moderately resistance to resistance to the pest, each line derived from the progenies of crossbreeding using IAC 100 as parent. Keywords: Soybean, armyworm, resistance, antibiosis, antixenosis.
ABSTRAK Ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu hama utama pada tanaman kedelai. Serangan parah oleh hama ini dapat menyebabkan defoliasi hingga 100% dan gagal panen. Mekanisme ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak mengikuti model ketahanan antibiosis dan antixenosis. Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama. Dalam hal ini adalah morfologi daun, terutama kepadatan bulu. Ketersediaan varietas kedelai tahan ulat grayak berperan penting untuk mengurangi penggunaan insektisida dan meminimalisasi gagal panen. Perakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak memiliki peluang besar untuk berhasil, mengingat sumber ketahanan terhadap ulat grayak sudah teridentifikasi, diantaranya Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC-80-596-2, Bay, dan W/802-4-20. Selain itu, metode pemuliaan yang efektif dan efisien juga telah tersedia, yaitu melalui silang balik berulang dengan menggunakan penanda DNA sebagai indikator seleksi. Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119, hasil persilangan dengan menggunakan IAC 100 sebagai tetua, merupakan galur harapan kedelai, yang tergolong agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak. Kata kunci: Kedelai, ulat grayak, ketahanan, antibiosis, antixenosis.
19
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
PENDAHULUAN Ulat grayak merupakan salah satu hama penting yang tersebar luas di daerah tropis hingga subtropis, di antaranya Asia, Australia dan Kepulauan Pasifik, dengan kisaran inang yang luas. Hama ini tidak hanya merusak tanaman pangan, tetapi juga tanaman perkebunan, sayuran, dan buah-buahan, antara lain kacang tanah, jagung, padi, kedelai, talas, kapas, rami, teh, tembakau, terong, labu, kentang, ubi jalar, termasuk tanaman hias, tanaman liar, dan gulma (Dhaliwal et al. 2010, CABI 2015). Ulat grayak bersifat polifag, dapat menyerang berbagai jenis tanaman dan termasuk hama pemakan daun kedelai (Endo et al. 2007, Adie et al. 2012). Selain merusak daun, larva ulat grayak juga dapat merusak polong muda. Pada kondisi endemis, ulat grayak dapat menyebabkan defoliasi/kerusakan daun hingga 100% dan merupakan kendala utama dalam mewujudkan potensi hasil kedelai (Tengkano dan Suharsono 2005, Bhatia et al. 2008). Di Indonesia, serangan ulat grayak banyak terjadi pada pertanaman kedelai musim kering (Marwoto dan Suharsono 2008). Di beberapa sentra kedelai di Jawa Timur seperti di Kabupaten Jombang, Ponorogo, Pasuruan, dan Banyuwangi, ulat grayak telah berkembang menjadi hama yang tahan terhadap insektisida golongan monokrotofos, endosulfan, dan dekametrin yang digunakan petani secara terus-menerus (Marwoto dan Bedjo 1996). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi perkembangan biotipe ulat grayak yang tahan insektisida kimia adalah menggunakan varietas tahan. Penanaman varietas tahan juga diperlukan untuk mengurangi aplikasi insektisida kimia dalam pengendalian ulat grayak (Komatsu et al. 2010). Varietas unggul tahan atau toleran hama merupakan komponen penting dalam pengelolaan hama terpadu (PHT). Penggunaan varietas tahan dapat menekan tingkat kerusakan tanaman, mengurangi atau menghilangkan input pestisida dan tidak merusak lingkungan (Endo et al. 2002, Wada et al. 2006). Penggunaan varietas tahan juga dapat menekan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak. Hasil penelitian Sari (2013) menunjukkan bahwa investasi ulat grayak pada galur tahan (G 100 H) tidak menurunkan hasil biji, sedangkan pada varietas Ijen yang toleran ulat grayak dibandingkan dengan kontrol yang hasil bijinya 15% lebih rendah. Tingkat kehilangan hasil tergantung pada varietas yang digunakan, fase pertumbuhan, dan waktu serangan (Adie et al. 2012).
20
Ketahanan tanaman kedelai terhadap hama ulat grayak dapat ditingkatkan melalui program pemuliaan tanaman. Untuk mendukung program tersebut perlu diidentifikasi plasma nutfah yang tahan terhadap hama ulat grayak. Penelitian di Jepang berhasil mengidentifikasi sumber genetik yang tahan ulat grayak dan telah digunakan sebagai tetua donor ketahanan. Mekanisme ketahanannya juga telah dipelajari berdasarkan karakter morfologi dan fisiologi (Hara and Ohba 1981). Ketahanan sumber daya genetik terhadap ulat grayak dan serangga hama pemakan daun lainnya telah teridentifikasi melalui pendekatan biomolekuler. Dengan menggunakan penanda DNA, seleksi ketahanan dapat dilakukan lebih efisien. Studi genetika ketahanan terhadap ulat grayak telah berkembang dengan baik, dan galur harapan tahan ulat grayak telah dikembangkan melalui seleksi dengan bantuan penanda molekuler yang dikombinasikan dengan silang balik (Komatsu et al. 2004, 2008). Komatsu et al. (2010) telah mengidentifikasi dua lokus sifat kuantitatif (QTL) untuk ketahanan terhadap ulat grayak dan 23 QTL untuk ketahanan terhadap hama pemakan daun lainnya. Kemajuan dalam studi genetika ketahanan ini memberikan peluang yang besar terhadap perakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak. Makalah ini membahas peluang perbaikan ketahanan tanaman kedelai terhadap hama ulat grayak.
GEJALA SERANGAN ULAT GRAYAK Serangan ulat grayak pada tanaman kedelai ditandai oleh gejala kerusakan daun, daun berlubang dan hanya tersisa tulang daun (Gambar 1). Kerusakan daun tersebut disebabkan oleh larva, dimana setelah telur menetas menghasilkan larva instar 1 yang kemudian menyebar ke seluruh permukaan daun (Gambar 2). Larva-larva tersebut memakan permukaan daun bagian bawah dan hanya meninggalkan tulang daun (Sullivan 2007). Larva pertama kali memangsa daun, namun apabila terjadi ledakan populasi (outbreak) larva juga dapat memakan polong (Waterhouse and Norris 1987), bunga, dan tunas (Dunkle 2005, Vennila et al. 2007). Menurut penelitian Punithavalli et al. (2014), ledakan populasi hama ulat grayak terjadi pada pertengahan September, bertepatan dengan fase reproduksi tanaman kedelai. Gejala serangan ulat grayak pada daun kedelai, mulai dari ringan hingga berat, dapat dilihat pada Gambar 3. Pada kebanyakan tanaman, kerusakan serius disebabkan oleh larva. Serangan berat pada tanaman muda menyebabkan perkembangan tanaman terhambat, dan polong menjadi kecil (Dunkle 2005, USDA 2005).
SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK
Gambar 1. Gejala kerusakan daun kedelai akibat serangan ulat grayak.
a b Gambar 2. Telur yang baru menetas (a), larva instar 1 (b), dan serangan parah pada daun (c).
0
2
4
6
c
8
10
Gambar 3. Peringkat kerusakan daun. Angka-angka di bawah gambar menunjukkan tingkat kerusakan daun (skala 0 sampai 10) untuk setiap potongan daun (Sumber: Oki et al. 2012).
DAMPAK SERANGAN HAMA ULAT GRAYAK TERHADAP HASIL KEDELAI Salah satu ancaman dalam peningkatan produksi kedelai adalah serangan hama, baik hama pemakan daun maupun perusak polong. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap sembilan jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayak merupakan hama pemakan daun yang sangat penting.
Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat mencapai 80%, bahkan dapat menyebabkan puso apabila tidak dikendalikan (Marwoto dan Suharsono 2008, Dhaliwal and Koul 2010). Hasil penelitian Gregorutti et al. (2012) menunjukkan bahwa kerusakan daun pada fase pembentukan polong (R3) dapat menurunkan hasil biji hingga 90%. Penelitian lain mengemukakan bahwa penurunan hasil biji terjadi apabila serangan ulat grayak 21
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
menyebabkan kerusakan daun sebesar 75-100% (Pickle and Cavinnes 1984). Hasil biji menurun 40-80% apabila kerusakan daun terjadi pada fase pembentukan biji (R5) (Board and Harville 1998). Borras et al. (2004) mengemukakan bahwa penurunan hasil biji disebabkan oleh berkurangnya aktivitas fotosintesis akibat kerusakan daun. Selain mengakibatkan penurunan hasil biji, kerusakan daun kedelai pada fase R3 juga mengakibatkan penurunan ukuran biji hingga 32% (Gregorutti et al. 2012). Menurut laporan Direktorat Perlindungan Tanaman (2008), luas serangan ulat grayak pada tahun 2002 mencapai 2.216 ha, dan 80 ha diantaranya mengalami puso. Pada tahun 2006, luas serangan ulat grayak mencapai 1.316 ha, dan 140 ha di antaranya gagal panen.
SUMBER KETAHANAN HAMA ULAT GRAYAK Pengembangan varietas tahan hama, termasuk ulat grayak, memerlukan pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme ketahanannya. Secara umum, ada tiga model ketahanan tanaman terhadap serangga, yaitu antibiosis, antixenosis (non-preferensi untuk tanaman tahan), dan toleran (van Emden 2002). Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama, sehingga kelimpahan hama dan kerusakan berkurang dibandingkan dengan yang akan terjadi apabila hama berada pada tanaman rentan (Heng-Moss et al. 2006). Ketahanan antibiosis sering mengakibatkan peningkatan mortalitas atau memperpendek umur dan mengurangi reproduksi serangga. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama, sehingga menghambat terjadinya interaksi antara tanaman inang dengan hama. Toleransi adalah ketahanan dimana tanaman mampu bertahan atau pulih kembali dari kerusakan yang disebabkan oleh kelimpahan hama. Mekanisme toleransi berbeda dengan antibiosis dan antixenosis (Teetes, 2013). Toleransi mengacu pada kemampuan tanaman untuk mampu memberikan hasil yang lebih besar dari varietas rentan pada tingkat serangan hama yang sama. Ketahanan terhadap ulat grayak telah diskrining secara luas dari plasma nutfah kedelai, baik di luar maupun dalam negeri. Di Jepang telah teridentifikasi sumber gen ketahanan terhadap ulat grayak. Hasil penelitian Komatsu et al. (2004, 2010) menunjukkan bahwa galur PI229358 (Sodendaizu), PI227687, PI171451,
22
dan Himeshirazu memiliki ketahanan terhadap ulat grayak. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa varietas Bay memiliki tingkat antibiosis yang tinggi terhadap ulat grayak (Endo et al. 2005). Galur IAC-100 juga tahan terhadap ulat grayak (Kraemer et al. 1997). Di Indonesia, identifikasi sumber ketahanan terhadap hama ulat grayak dilakukan pada plasma nutfah kedelai di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Beberapa galur kedelai yang tahan terhadap ulat grayak di antaranya adalah galur introduksi dari Brazilia, yaitu IAC-100, IAC-80-596-2, W/80-2-4-20 (Suharsono dan Adie 2010). Ketahanan galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 terhadap ulat grayak adalah antixenosis, karena kurang disukai oleh ulat grayak sebagai inang (Igita et al. 1998). Adie et al. (2000) menyatakan terdapat indikasi ketahanan antibiosis sebagai faktor ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. Ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak ditentukan oleh faktor morfologi daun, terutama kepadatan bulu dibandingkan dengan panjang bulu pada daun. Kepadatan bulu berkorelasi negatif nyata dengan intensitas kerusakan daun pada berbagai stadia tanaman (Adie 2008). Hal yang sama juga disampaikan oleh Hulburt et al. (2004), bahwa keberadaan bulu pada permukaan tanaman kedelai menjadi faktor yang menentukan ketahanan terhadap hama, baik pada tingkat antixenosis maupun antibiosis. Laporan lain menunjukkan bahwa bulu pada daun menjadi penghalang bagi hama. Menurut Boerma dan Specht (2004), terdapat sembilan gen kedelai yang berhubungan dengan keberadaan bulu daun. Empat gen (Pd1, P1, Ps dan Pb) diantaranya telah dipetakan pada Chr 1, 9, 12 dan 15 (Cregan et al. 1999, Song et al. 2004). Gen Pd1, Ps, dan P1 masing-masing mengekspresikan keberadaan bulu, yaitu padat, jarang dan tidak berbulu (gundul). Pb menunjukkan bulu tajam (PbPb atau Pbpb) dan pb tumpul (pbpb). Hulbert et al. (2004) melaporkan bahwa memasukkan gen Pb ke varietas kedelai bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap hama Lepidoptera. Dua QTL, Pd1 dan Ps yang mengekspresikan kepadatan bulu terdeteksi pada posisi yang sama dengan gen yang mengekspresikan keberadaan bulu dari populasi yang sama untuk identifikasi ketahanan terhadap ulat grayak. Namun QTL tersebut tidak terletak pada posisi yang tumpang tindih dengan QTL pengendali ketahanan antibiosis (Komatsu et al. 2005, 2007). Mekanisme antixenosis dapat berfungsi untuk meningkatkan ketahanan Himeshirazu terhadap ulat grayak, disamping mekanisme antibiosis. Rector et al. (1998, 1999, 2000) mengungkapkan bahwa QTL ketahanan antixenosis terhadap ulat grayak terdapat pada lima kromosom (Chr 2, 6, 7, 12 dan 13),
SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK
dan ketahanan antibiosis terdeteksi pada lima kromosom (Chr 7, 13, 14, 16 dan 18). Di antara QTL tersebut, terdapat satu QTL ketahanan antibiosis dan satu QTL ketahanan antixenosis yang berada pada posisi yang hampir sama pada Chr 7. Hal ini menunjukkan dua mekanisme ketahanan tersebut dikendalikan oleh gen yang berbeda. Struktur genetik antibiosis dan antixenosis hampir sama, sekitar 51,1-75,7% variasi fenotipe dijelaskan oleh 42,2-60,3% variasi genetik, dan 0 - 6 QTL aditif masingmasing menjelaskan 0,0-11,8% dari total variasi fenotipe 0,0-27,4%, dan 0-3 pasang QTL epistatik masing-masing menjelaskan 0,0-7,6% dari total variasi fenotipe 0,014,0%. Di antara QTL yang terdeteksi, qCCW6_1, qCCW10_1, dan qCCW12_2 merupakan kontributor utama antibiosis, dan qCCW10_1, qCCW10_2 dan qCCW12_1 kontributor utama antixenosis (Kim et al. 2014).
PEWARISAN KETAHANAN VARIETAS Hingga saat ini, varietas tahan ulat grayak belum tersedia di Indonesia. Namun upaya perakitan varietas tahan terus dilakukan. Perakitan diawali dengan proses pencarian dan identifikasi plasma nutfah untuk mendapatkan genotipe yang memiliki ketahanan terhadap hama ulat grayak. Dari beberapa genotipe kedelai yang diidentifikasi oleh Igita et al. (1996), tidak satu pun genotipe asal Indonesia yang bereaksi tahan terhadap ulat grayak, namun genotipe introduksi asal Jepang (Himeshirazu and Sodendaizu) dan Brasilia (IAC 80 dan IAC 100) dilaporkan tahan. Hasil penelitian Prayogo dan Suharsono (2005); Sulistyowati dan Suharsono (2011), serta Suharsono dan Suntono (2008) menunjukkan terdapat peluang untuk mendapatkan varietas tahan hama perusak daun, khususnya ulat grayak dengan memanfaatkan galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 sebagai sumber gen ketahanan. Galur IAC-100 yang disilangkan dengan Himeshirazu (tahan) menghasilkan galur G 100 H, yang mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap ulat grayak dibandingkan dengan kedua tetuanya (IAC-100 dan Himeshirasu). Genotipe G 100 H memiliki bentuk ketahanan antibiosis dan antixenosis (trikoma daun padat) dan berpeluang digunakan sebagai sumber tetua tahan dalam perbaikan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak (Adie et al. 2003). Perakitan varietas tahan ulat grayak dengan karakter agronomis yang baik membutuhkan waktu cukup panjang, karena karakter agronomis dari tetua tahan yang kurang baik, seperti tanaman pendek, potensi hasil rendah, ukuran biji kecil. Keturunan persilangan antara tetua donor tahan dan galur kedelai lainnya menyebabkan terjadinya pewarisan beberapa sifat yang tidak diinginkan, seperti
tanaman pendek, jumlah cabang sedikit, dan ukuran buku pendek. Pada tahun 2003, telah dilepas varietas Ijen sebagai satu-satunya varietas kedelai di Indonesia yang dinyatakan agak tahan ulat grayak, merupakan hasil silang balik antara Himeshirazu (tahan) dengan varietas Wilis (Suhartina 2005). Tingkat kerusakan daun varietas Ijen pada 12 hari setelah infestasi (HIS) relatif sama dengan varietas Wilis, meskipun pada awalnya tingkat kerusakan daun varietas Ijen hampir dua kali lipat dari varietas Wilis (Tabel 1). Berdasarkan deskripsi varietas, Ijen mempunyai ukuran biji 11,23 g/100 biji dan umur polong masak 83 hari, apabila dibandingkan dengan Wilis ukuran biji tersebut sedikit lebih besar dan umur lebih genjah, Wilis mempunyai ukuran 10 g/100 biji dan umur polong masak 85-89 hari. Perbaikan ketahanan varietas unggul kedelai terhadap ulat grayak di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) dimulai tahun 2007, melalui persilangan antara IAC-100 sebagai sumber gen ketahanan terhadap ulat grayak dengan varietas Kaba (tanaman tinggi, tidak mudah rebah, dan polong tidak mudah pecah) dan Burangrang (tanaman tinggi, tidak mudah rebah, dan ukuran biji besar). Dari persilangan tersebut diperoleh beberapa galur yang konsisten agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak, baik berdasarkan metode uji dengan pilihan maupun tanpa pilihan. Galur-galur tersebut adalah IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC-100/Burangrang-P-95, IAC-100/ Kaba-G-47, dan IAC-100/Burangrang-G-119 (Tabel 2) (Sari, 2013). Menurut hasil penelitian Suharsono et al. (2010), galur-galur kedelai hasil kombinasi persilangan menggunakan tetua IAC-100 atau IAC-80-596-2 sebagian besar mengandung sifat tahan terhadap ulat grayak. Pada tahun 2013, galur-galur hasil persilangan IAC100 x Kaba dan IAC-100 x Burangrang (Tabel 2) diuji di Pasuruan. Pada saat pengujian terjadi serangan ulat grayak dengan intensitas tinggi, sehingga dapat dilihat respon dari masing-masing galur terhadap serangan ulat
Tabel 1. Intensitas kerusakan daun beberapa galur kedelai.
Galur
Intensitas kerusakan daun (%) pada umur (HSI) 3
Cikuray Detam-1 G 100 H Ijen Wilis
7,13 7,12 5,36 9,16 4,67
6 8,63 14,15 8,38 16,80 10,72
9 24,91 20,00 7,57 21,67 18,33
Bobot biji (g/tanaman)
12 22,79 21,14 10,47 20,30 21,10
6,96 5,10 5,89 8,10 7,53
HIS (hari setelah infestasi), Sumber: Sari (2013)
23
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Tabel 2. Rata-rata intensitas kerusakan dan kriteria ketahanan genotipe kedelai terhadap ulat grayak pada metode dengan pilihan dan tanpa pilihan pakan. Dengan pilihan
Tanpa pilihan
Galur Intensitas Kriteria Intensitas Kriteria kerusakan keta- kerusakan keta(%) hanan (%) hanan IAC-100/Kaba-G-80 IAC-100/Kaba-G-67 IAC-100/Burangrang-P-94 IAC-100/Burangrang-P-95 IAC-100/Kaba-G-47 IAC-100/Burangrang-G-119 IAC-100/Burangrang-G-121 Kaba/IAC/Burangrang-P-91 IAC-100/Burangrang-P-97 IAC-100/Burangrang-P-96 IAC-100/Burangrang-G-625 IAC-100/Burangrang-G-645 Kaba Ijen Argomulyo G 100 H IAC 100
8,5 5,2 11,1 11,3 7,2 11,8 9,3 11,6 6,3 11,1 9,1 8,6 15,2 20,6 14,0 11,8 4,6
AT T R AT AT T R R T R R R R SR R AT T
39,9 33,7 46,4 40,0 38,8 27,0 42,0 50,5 41,4 43,0 46,1 43,9 55,2 42,6 47,3 40,3 34,7
AT T R AT AT ST R R R R R R SR R R R T
IAC-100/Kaba-G-80 Anjasmoro Gambar 4. Tingkat serangan ulat grayak pada daun varietas Anjasmoro dan galur harapan kedelai toleran ulat grayak (IAC 100/Kaba-G-80) di Pasuruan(Sumber: Koleksi pribadi).
T = tahan, AT = agak tahan, AR = agak rentan, R = rentan, SR = sangat rentan (Sumber: Sari 2013).
grayak (Gambar 4 dan 5). Tingkat serangan ulat grayak pada galur harapan kedelai tahan lebih rendah dibandingkan dengan galur rentan yang mengelilinginya (investasi hama terjadi secara alami). Tingkat serangan ulat grayak pada galur harapan hasil persilangan IAC100 x Kaba jauh lebih rendah dibandingkan dengan varietas Anjasmoro yang ditanam petani (Gambar 4 dan 5). Hasil dan komponen hasil kedelai dari pengujian di Pasuruan disajikan pada Tabel 3.
Gambar 5. Tingkat serangan ulat grayak pada daun galur harapan kedelai hasil persilangan IAC 100 dengan Kaba dan pada varietas Anjasmoro di Pasuruan (Sumber: Koleksi pribadi).
Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, dan IAC-100/Kaba-G-47 yang tegolong agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding varietas Kaba (tetua jantan), demikian juga ukuran bijinya yang lebih besar (Tabel 3).
antixenosis kedelai terhadap hama ulat grayak mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tinggi (73,2%) (Komatsu et al. 2004). Artinya, karakter ketahanan antixenosis tersebut mempunyai peluang yang cukup tinggi untuk diwariskan.
Pemuliaan ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak telah dilakukan di Jepang melalui persilangan (silang balik berulang) antara Himeshirazu (tahan) dan Fukuyutaka (rentan), dengan tujuan menggabungkan ketahanan terhadap ulat grayak dan karakter agronomi yang baik. Kegiatan tersebut menghasilkan galur Kyushuu 155 yang mewarisi dua gen ketahanan dari Himeshirazu, sedangkan karakter agronomis (umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, hasil, dan kualitas benih) mirip dengan Fukuyutaka (Komatsu et al. 2008).
Uji bioassay antixenosis terhadap populasi inbrida rekombinan yang berasal dari persilangan antara varietas Fukuyutaka (rentan) dengan Himeshirazu (tahan) telah dilakukan oleh Oki et al. (2012). Hasil pengujian menunjukkan adanya dua QTL ketahanan antixenosis, yaitu qRslx1 dan qRslx2, yang teridentifikasi pada Chr 7 dan 12, dan alel tahan dari qRslx1 dan qRslx2, masingmasing berasal dari Himeshirazu dan Fukuyutaka. Pada pengujian ini juga dilakukan analisis karakteristik keberadaan bulu daun untuk mengetahui hubungannya dengan ketahanan terhadap hama kedelai. Hasil analisis mengidentifikasi adanya dua QTL untuk panjang bulu
Ketahanan kedelai terhadap ulat grayak mengikuti ketahanan antibiosis dan antixenosis. Ketahanan 24
SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK
Tabel 3. Komponen hasil dan hasil galur-harapan kedelai toleran ulat grayak pada uji adaptasi di Pasuruan, 2013.
Nomor galur
IAC-100/Kaba-G-80 IAC-100/Kaba-G-67 IAC-100/Burangrang-P-94 IAC-100/Burangrang-P-95 IAC-100/Kaba-G-47 IAC-100/Burangrang-G-119 IAC-100/Burangrang-G-121 Kaba/IAC/Burangrang-P-91 IAC-100/Burangrang-P-97 IAC-100/Burangrang-P-96 IAC-100/Burangrang-G-625 IAC-100/Burangrang-G-645 Kaba Ijen Burangrang Uji F
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah cabang
Jumlah buku subur
Jumlah polong isi
Umur berbunga (hari)
Umur masak (hari)
Hasil biji (kg/12 m2)
Bobot biji (g/100 biji)
44,6 42,6 33,0 33,5 43,0 36,4 31,9 32,2 32,3 31,7 32,5 35,7 68,0 63,5 73,2
3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2
13 13 10 10 12 9 10 9 11 10 10 11 16 14 10
43 42 25 25 39 26 29 26 26 26 28 29 48 43 33
35 35 34 34 36 34 34 34 34 34 35 34 36 35 35
77 77 76 76 78 76 76 76 76 75 75 76 77 77 75
2,77 2,59 2,26 2,11 2,48 2,50 2,30 2,18 2,24 2,29 1,72 2,35 2,13 1,94 2,72
12,95 12,68 13,91 14,75 12,40 14,85 14,82 13,43 14,15 14,25 14,16 14,18 11,81 14,30 15,60
**
*
**
**
**
**
**
**
* dan **: menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji α 5% dan 1%. Sumber: Balitkabi 2014.
(pada Chr 7 dan 12) dan dua QTL untuk kepadatan bulu (pada Chr 1 dan 12). QTL keberadaan bulu pada Chr 7 dan 12 masing-masing terletak berdekatan dengan qRslx1 dan qRslx2. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan antixenosis dikendalikan secara genetik oleh dua QTL, dan karakteristik keberadaan bulu diduga mempunyai kontribusi terhadap ketahanan antixenosis kedelai terhadap ulat grayak (Oki et al. 2012). Pada varietas tahan, Himeshirazu terdapat dua QTL ketahanan antibiosis terhadap ulat grayak, dan ketahanan antibiosis dikendalikan oleh gen resesif yang terdapat pada LG-M (linkage group M) (Komatsu et al. 2004, 2005). Efek dari QTL tersebut telah diverifikasi melalui uji bioassay antibiosis menggunakan galur isogenik. Melalui silang balik berulang, gen ketahanan pada Himeshirazu berhasil disisipkan ke dalam Fukuyutaka (rentan) dengan menghasilkan varietas baru Fukuminori. Namun, tingkat ketahanan Fukuminori masih lebih rendah dibanding Himeshirazu (Komatsu et al. 2008). Hasil penelitian Adie (2008) menunjukkan bahwa kepadatan bulu pada kedelai hasil persilangan ICH x Wilis, G100H x ICH dan G100H x Wilis dikendalikan secara poligenik. Pada persilangan antara kedelai berbulu dengan kedelai tanpa bulu terdapat pengaruh gen dominan dan pengaruh tipe interaksi gen dominan x dominan. Pada persilangan kedelai berbulu padat dengan moderat terdapat pengaruh rata-rata, pengaruh gen aditif dan pengaruh gen dominan. Kepadatan bulu dapat digunakan sebagai kriteria seleksi tak langsung ketahanan kedelai terhadap ulat grayak.
KESIMPULAN DAN SARAN Ketahanan kedelai terhadap hama ulat grayak bersifat antibiosis dan antixenosis. Ketahanan antibiosis disebabkan oleh zat kimia tertentu dalam bagian tanaman yang dapat mengganggu aktivitas fisiologi hama dan mempengaruhi biologi hama. Ketahanan antixenosis disebabkan oleh adanya penghalang morfologis tanaman yang dapat mempengaruhi perilaku hama. Pada tanaman kedelai, ketahanan antixenosis ditentukan oleh morfologi daun, terutama kepadatan bulu. Ketersediaan varietas kedelai tahan ulat grayak berperan penting untuk mengurangi penggunaan insektisida dan meminimalisasi gagal panen. Peluang perakitan varietas unggul kedelai tahan ulat grayak cukup tinggi karena terdapat sumber genetik tahan, di antaranya Sodendaizu, Himeshirazu, IAC-100, IAC-80-596-2, Bay, dan W/80-2-4-20. Selain itu, metode pemuliaan yang efektif dan efisien juga telah tersedia, yaitu melalui silang balik berulang dengan menggunakan penanda DNA sebagai indikator seleksi. Galur IAC-100/Kaba-G-80, IAC-100/Kaba-G-67, IAC100/Burangrang-P-95, IAC-100/Kaba-G-47, dan IAC-100/ Burangrang-G-119, hasil persilangan menggunakan IAC 100 sebagai tetua, adalah galur harapan kedelai yang bersifat agak tahan hingga tahan terhadap ulat grayak.
25
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M., Tridjaka, dan K. Igita. 2000. Pewarisan trikoma, penentu sifat ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 19:47-50. Adie, M.M., G.W.A. Susanto, dan R. Kusumawaty. 2003. Ketahanan beberapa genotipe kedelai terhadap ulat grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(1):1-5. Adie, M.M. 2008. Perbaikan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. http://prasetya.ub.ac.id/berita/DisertasiM-Muchlish-Adie-Perbaikan-Ketahanan-Kedelai4734-id.html Diakses tanggal 16 Maret 2015. Adie, M.M., A. Krisnawati, dan A.Z. Mufidah. 2012. Derajat ketahanan genotipe kedelai terhadap hama ulat grayak. p. 29-36. Dalam: A.A. Rahmianna et al. (Eds.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian. Malang, 5 Juli 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Bhatia, V.S., Piara Singh, S.P. Wani, G.S. Chauhan, A.V.R. Kesava Rao, A.K. Mishra, and K. Srinivas. 2008. Analysis of potential yields and yield gaps of rainfed soybean in India using CROPGRO-Soybean model. Agricultural and Forest Meteorology 148:1252-1265. Board, J.E. and B.G. Harville. 1998. Late-planted soybean yield response to reproductive source/sink stress. Crop Sci. 38: 763-771. Boerma, H.R. and J.E. Specht. 2004. Soybeans: Improvement, production, and uses. 3rd edn. American Society of Agoronomy. Madison. p.170. Borras, L.G.A. Slafer and M.E. Otegui. 2004. Seed dry weight respone to source-sink manipulations in wheat, maize and soybean: a quantitative reappraisal. Field Crops Res. 86: 131-146. CABI. 2015. Spodoptera litura (taro caterpillar). http:// www.cabi.org/isc/datasheet/44520#20127201272 Diakses tanggal 2 Mei 2015. Cregan, P.B., T. Jarvik, A.L. Bush, R.C. Shoemaker, K.G. Lark, A.L.Kahler, N. Kaya, T.T. VanToai, D.G. Lohnes, and J. Chung. 1999. An integrated genetic linkage map of the soybean genome. Crop Sci. 39: 14641490. Dhaliwal, G.S. and O. Koul. 2010. Quest for Pest Management: From Green Revolution to Gene Revolution. Kalyani Publishers, New Delhi. 386p.
26
Dhaliwal GS, V. Jindal, and A.K. Dhawan. 2010. Insect pest problems and crop losses: changing trends. Indian Journal of Ecology, 37: 1-7. Direktorat Perlindungan Tanaman. 2008. Laporan luas dan serangan hama dan penyakit tanaman pangan di Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman. Jakarta. Dunkle, R.L. 2005. New pest response guidelines Spodoptera. www.aphis.usda.gov/.../nprg... Diakses tanggal 3 Februari 2015. Emden, van Helmut. 2002. Mechanism of resistance: antibiosis, antixenosis, tolerance, nutrition. In: D. Pimentel (Ed.) Encyclopedia of pest manajemen. https://books.google.co.id/books?isbn... Diakses tanggal 2 Mei 2015. Endo, N., T. Wada, N. Mizutani, and M. Takahashi. 2002. Possible resistance and tolerance of a soybean breeding line, Kyukei 279 to the common cutworm, Spodoptera litura and soybean stink bugs. Kyushu Plant Prot. Res. 48:68-71 (in English summary) a g r i s . f a o . o r g / a g r i s - s e a r c h / search.do?recordID=JP2003002362 [3 Februari 2015]. Endo, N., T. Wada, and S. Tojo. 2005. Resistance of soybean cultivar ‘Bay’ to the common cutworm, Spodoptera litura (Fabricius) (Lepidoptera: Noetuidae). Kyushu Plant Prot. Res. 51:49-52. http:/ /agris.fao.org/aos/records/ Diakses tanggal 29 Januari 2015. Endo, N., I. Hirakawa, T. Wada, and S. Tojo. 2007. Induced resistance to the common cutworm, Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) in three soybean cultivars. Appl. Entomol. Zool. 42(2):199204. http://ci.nii.ac.jp/naid/110006278157/en Diakses tanggal 30 Januari 2015. Gregorutti, V.C., O.P. Caviglia, and A. Saluso. 2012. Defoliation affects soybean yield depending on time and level of light interception reduction. Australian Journal of Crop Science 6(7):1166-1171. Hara, M., and T. Ohba. 1981. On the phytophagous insect resistance in soybean. Rep. Kyushu Br. Crop Sci. Soc. Japan 48:65-67. Heng-Moss, T.M., T. Macedo, L. Franzen, F.P. Baxendale, L. Higley, and G. Sarath. 2006. Physiological responsesof resistant and susceptible buffalograsses to Blissus occiduus (Hempitera: Blissidae) feeding. J. Econ. Entomol. 99: 222-228. Hulburt, D.J., H.R.Boerma, and J.N. All. 2004. Effect of pubescence tip on soybean resistance to lepidopteran insect. J. Econ. Entomol. 97:621-627.
SUNDARI DAN SARI: KETAHANAN KEDELAI TERHADAP ULAT GRAYAK
Igita, K., M.M. Adie, Suharsono, and Tridjaka. 1996. Second brief report: Method of cultivation of soybean in cropping systems with low input (pesticide) in Indonesia. RILET-JIRCAS. Malang. Igita, K., Adie, M.M. Suharsono, and Tridjaka. 1998. Low input cultivation method or soybean in Indonesia cropping system. Proc. Of RILET-JIRCAS Workshop on soybean Res. Malang, Indonesia. Kim, H.G. Xing, Y. Wang, T. Zhao, D. Yu, S. Yang, Y. Li, S. Chen, R.G. Palmer, and J. Gai. 2014. Constitution of resistance to common cutworm in terms of antibiosis and antixenosis in soybean RIL populations. Euphytica. 196(1): 137-154. http:// springer.libdl.ir/article/10.1007/s10681-013-1021-0 (5 Februari 2015). Komatsu, K.S. Okuda, M. Takahasi, and R. Matsunaga. 2004. Antibiotic effect of insect-resistant soybean on common cutworm (Spodoptera litura) and its inheritance. Breed. Sci. 54:27-32. Komatsu, K., S. Okuda, M. Takahashi, R. Matsunaga, and Y. Nakazawa. 2005. QTL mapping of antibiosis resistance to common cutworm (Spodoptera litura Fabricius) in soybean. Crop Sci. 45:2044-2048. Komatsu, K., S. Okuda, M. Takahashi, R. Matsunaga, and Y. Nakazawa. 2007. Quantitative trait loci mapping of pubescence density and flowering time of insect-resistant soybean (Glycine max L. Merr.). Genet. Mol. Biol. 30: 635-639. Komatsu, K., M. Takahashi, and Y. Nakazawa. 2008 Antibiosis resistance of QTL introgressive soybean lines to common cutworm (Spodoptera litura Fabricius). Crop Sci. 48, 527-532. Komatsu, K. M. Takahasi, and Y. Nakazawa. 2010. Genetic study on resistance to the common cutworm and other leaf-eating insects in soybean. JARQ 44 (2), 117-125 (2010) http://www.jircas.affrc.go.jp Diakses tanggal 29 Januari 2015. Kraemer, M.E., M.Rangappa, and A.I. Mohamed. 1997. Evaluation of vegetable soybean genotypes for resistance to corn earworm (Lepidoptera: Noctuidae). J. Entomol. Sci. 32:25-36. Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4):131-136. Marwoto dan Bedjo. l996. Resistensi hama ulat grayak terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian tahun 1996.
Oki, N., K. Komatsu, T. Sayama, M. Ishimoto, and M. Takahashi. 2012. Genetic analysis of antixenosis resistance to the common cutworm (Spodoptera litura Fabricius) and its relationship with pubescence characteristics in soybean (Glycine max (L.) Merr.). Breeding Science 61: 608-617. Pickle, C.S and C.E Cavinnes. 1984. Yield reduction from defoliation and plant cut off of determinate and semideterminate soybean. Agron J 76:474-476. Prayogo, Y. and Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) dengan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii pada media minyak nabati. Prosiding Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. p.385-395. Punithavalli, M., A.N. Sharma, and M. Balaji Rajkumar. 2014. Seasonally of the common cutworm Spodoptera litura in a soybean ecosystem. Phytoparasitica. 42:213-222. Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma. 1998. Identification of molecular markers associated with quantitative trait loci for soybean resistance to corn earworm. Theor. Appl. Genet. 96:786-790. Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma. 1999. Quantitative trait loci for antixenosis resistance to corn earworm in soybean. Crop Sci. 39:531-538 Rector, B.G., J.N. All, W.A. Parrott, and H.R. Boerma. 2000. Quantitative trait loci for antibiosis resistance to corn earworm in soybean. Crop Sci. 40:233-238. Sari, K.P. 2013. Evaluasi galur-galur kedelai hitam terhadap ulat grayak Spodoptera litura F. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2013. Song, Q.J., L.F. Marek, R.C. Shoemaker, K.G. Lark, V.C. Concibido, X. Delannay, J.E. Specht, and P.B. Cregan. 2004. A new integrated genetic linkage map of the soybean. Theor. Appl. Genet. 109: 122–128. http://digitalcommons.unl.edu/cgi/ viewcontent.cgi?....... [3 Februari 2015] Suharsono dan M. M. Adie.2010. Identifikasi sumber ketahanan aksesi plasma nutfah kedelai untuk ulat grayak Spodoptera litura F. Buletin Plasma Nutfah.16(1):29-37. Suharsono, Y. Prayogo, Bedjo, S. Hardaningsih, Sumartini, dan S.W. Indiati. 2010. Formulasi pestisida nabati dan agens hayati untuk pengendalian OPT kedelai ramah lingkungan, hemat pestisida kimia 50%. Laporan Akhir Penelitian 2010. Balai penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. p.
27
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Suharsono dan Suntono. 2008. Preferensi peneluran hama penggerek polong pada beberapa galur varietas kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 23 (01):38-43. Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacangkacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. 154p. Sulistyowati dan Suharsono. 2011. Hama dan penyakit tumbuhan di era globalisasi dan cara pengendaliannya. Prospek dan tantangan pertanian Indonesia di era globalisasi. p:354-365. Dalam: W.A. Setiawan dan S. Wardoyo (Eds.). 35 Tahun PT Agricon. Sullivan, M. 2007. CPHST pest datasheet for Spodoptera litura. USDA-APHIS-PPQ-CPHST. Balitkabi. 2013. Laporan Tahunan 2014. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 147p. Teetes, G.L. 2013. Plant resistance to insects: A fundamental component of IPM. Dept. of Entomology.
28
Texas A&M University. http://ipmworld.umn.edu/ chapters/teetes.ht Diakses tanggal 3 Februari 2015. Tengkano, W. dan Suharsono. 2005. Ulat grayak Spodoptera litura F. pada kedelai dan pengendaliannya. Buletin Palawija 10: 43-52. USDA. 2005. New pest response guidelines, Spodoptera. United States Department of Agriculture, Animal and Plant Health Inspection Service. 82pp. Wada, T., N. Endo, and M.Takahashi. 2006. Reducing seed damage by soybean bugs by growing smallseeded soy-beans and delaying the sowing time. Crop Prot.25:726-731. Waterhouse, D.F. and K.R. Norris. 1987. Biological control, pacific prospects. Australian Centre for International Agricultural Research. http://aciar. gov.au/files/node/326/biological_control_pacific_ prospects_supplement_17154.pdf Diakses tanggal 16 Naret 2015. Venilla, S., V.K. Biradar, M. Sabesh, and O.M. Bambawale. 2007. Know your cotton insect pests defoliators (semi-looper, leaf roller and leaf worm). Central Institute for Cotton Research. 2p.
(Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain in Indonesia) Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl Raya Kendalpayak Km 8 Malang E-mail:
[email protected] Naskah diterima 9 November 2014 dan disetujui diterbitkan 7 Mei 2015
ABSTRACT Aflatoxin is a secondary metabolite substance produced by Aspergillus flavus fungus living on the grain. The substance is very toxic, which may cause health problem when consumed by human or by animal. Of the twelve aflatoxin members, the B1-aflatoxin was reported as the most prevalence in Indonesia, and it was also the most toxic. Therefore, B1-aflatoxin was used as a criterion for the maximum tolerable limit of aflatoxin content in food and feed stuff. Aflatoxin B1 contamination was reported on groundnut grains sold in the retail traditional markets throughout Indonesia. The contaminated grains were noted derived from the nationally produced as well as from the imported ones. The aflatoxin contamination increased as the grain of groundnut reached the final retail markets destination. Contaminated grain processed into various food retained the aflatoxin in a toxic form. The negative effect on health from consuming food contaminated by aflatoxin must be minimized. The government of Indonesia had established food safety regulation regarding aflatoxin contamination, but prevention through the proper cultural practices and post harvest handling of groundnut, were equally important measure. Keywods: Groundnut, Aspergillus flavus, contamination, aflatoxin-B1.
ABSTRAK Aflatoxin adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus. Senyawa ini bersifat toksik yang mengganggu kesehatan manusia dan ternak, antara lain melalui gangguan fungsi hati. Di antara dua belas macam aflatoxin, aflatoxin B1 paling banyak dijumpai di Indonesia dan merupakan senyawa yang paling berbahaya sehingga digunakan sebagai kriteria ambang batas maksimum aflatoxin dalam bahan pangan dan pakan. Kontaminasi aflatoxin B1 yang tinggi dilaporkan pada biji kacang tanah yang berada pada pedagang pengecer di pasar tradisional di banyak tempat di Indonesia. Biji kacang tanah terkontaminasi aflatoxin B1 berasal dari hasil panenan pertanaman di Indonesia dan juga berasal dari impor dan penggunaannya untuk keperluan konsumsi. Kontaminasi aflatoxin pada biji kacang tanah asal dari dalam negeri dan impor meningkat menjadi tinggi setelah sampai pada pedagang pengecer. Makanan berbahan baku kacang tanah yang terkontaminasi aflatoxin dilaporkan juga mengandung aflatoxin B1 dengan beragam level. Bahaya gangguan kesehatan oleh dikonsumsinya kacang tanah terkontaminasi aflatoxin perlu diminimalisasi dengan cara menetapkan kebijakan tentang penanganan produk terkontaminasi aflatoxin dan teknologi anjuran proses produksi kacang tanah bebas aflatoxin. Kata kunci: Kacang tanah, Aspergillus flavus, kontaminasi, aflatoxin B1.
toxin. Afla mengacu pada nama jamur Aspergillus flavus dan toxin berarti racun. Oleh karena itu aflatoxin berarti racun yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus (Guo et al. 2009). Lebih detail, aflatoxin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh Aspergillus flavus, parasiticus, dan numius (Klich 2007). Penemuan aflatoxin bermula dari munculnya penyakit ‘Turkey X’ di Inggris pada tahun 1962 dimana 100.000 kalkun mati setelah makan kacang tanah terkontaminasi aflatoxin (Forgacs and Carll 1962 dalam Amaike and Keller 2011). Selain pada ternak, aflatoxin juga berbahaya bagi kesehatan manusia, misal kasus ratusan orang meninggal dunia di Kenya (Lewis et al. 2005). Senyawa aflatoxin mengakibatkan aflatoksikosis pada manusia atau ternak karena menghirup atau mengkonsumsi makanan atau pakan terkontaminasi aflatoxin dalam kadar yang tinggi. Akibat buruk yang ditimbulkan oleh senyawa aflatoxin telah menjadi isu dunia. Aflatoksikosis menjadi masalah serius di negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, di mana sistem keamanan pangan belum berkembang secara baik untuk melindungi konsumen dari produk makanan yang tidak sehat. Di negara-negara yang sudah berkembang, pemerintah menaruh perhatian yang serius pada isu keamanan pangan, termasuk aflatoxin, dan permintaan yang terus meningkat kepada industri untuk memenuhi regulasi standard keamanan pangan yang ketat. Meskipun demikian, di negara maju seperti Amerika Serikat, kehilangan hasil akibat kontaminasi aflatoxin dilaporkan mencapai jutaan dolar (Amaike and Keller 2011). Di Indonesia, meski kesadaran masyarakat akan bahaya aflatoxin masih rendah, namun penelitian tentang bahaya aflatoxin bagi kesehatan sudah dilakukan. Pang et al. (1974) dan Muhilal dan Nurjadi (1977) dalam Machmud (1989) melaporkan bahwa kontaminasi aflatoxin B1 dan G1 kebanyakan pada biji kacang tanah dan produk berbahan baku kacang tanah. Kedua jenis aflatoxin ini merupakan senyawa karsinogen yang berpotensi menyebabkan kanker hati di mana saat itu insiden kanker hati pada manusia dan hewan sangat tinggi. Pernyataan ini diperkuat oleh studi yang dilakukan kemudian, bahwa aflatoxin terdeteksi pada jaringan hati 58% pasien yang menderita kanker hati primer. Tipe dan jumlah aflatoxin terdeteksi pada spisemen hati adalah aflatoxin B1, G1 dan M1 hingga >400 µg/kg (ppb). Makanan yang dikonsumsi oleh pasien yang terdeteksi tersebut termasuk oncom (tempe kacang difermentasi dengan jamur Rhizopus oligosporus), kacang tanah goreng, bumbu kacang, bungkil kacang, kecap, ikan asin, dan beragam obat
berhubungan dengan aflatoxin dan virus hepatitis B (Tjindarbumi dan Mangunkusumo 2002). Rasyid (2006) melaporkan bahwa aflatoxin B1 diduga berperan dalam memicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati. Tulisan ini memaparkan status kontaminasi aflatoxin dan infeksi jamur Aspergillus flavus pada beragam mata rantai perdagangan, faktor-faktor yang mempengaruhi atau memicu produksi racun, dan strategi menekan kontaminasi aflatoxin, baik dari segi kebijakan maupun teknisnya, untuk menghasilkan produk yang aman bagi kesehatan.
SIFAT DAN MACAM AFLATOXIN Aflatoxin bersifat karsinogenik, mutagenik, dan immuno suppressive (IARC 1987 dalam Mobeen et al. 2011). Oleh karena itu, aflatoxin termasuk golongan karsinogen kelas 1 terhadap manusia (IARC 1993 dalam Bankole et al. 2005, Mutegi et al. 2013), serta mempunyai predikat sebagai hepatotoxic, carcinotoxic dan teratogenic (Klich et al. 2009; Jha et al. 2013; Abdalla et al. 2014). Aflatoxin berpotensi menyebabkan kerusakan hati, pengerasan hati (cirrhosis) dan kanker hati (Hongkong Food dan Environmental Hygiene 2001 dalam Paramawati et al 2006). Sifat karsinogenik yang dipunyai aflatoxin memungkinkan hubungan sebab akibat antara mengkonsumsi kacang tanah atau produk olahannya yang mengandung aflatoxin dengan kanker hati. Selain kacang tanah, beragam komoditas pertanian berpeluang terkontaminasi aflatoxin, antara lain jagung, biji kapas, beras dan produk dari ternak yang mengkonsumsi bahan tersebut, seperti susu dan telur. Jamur A. flavus dan A. parasiticus mampu menghasilkan empat senyawa utama aflatoxin (AfB1, AfB2, AfG1, dan AfG2) dan aflatoxin M1 dan M2 (M: Milk yang berarti susu) yang merupakan turunan aflatoxin B1 dan B2 pada lingkungan yang mendukung (Guo et al 2009). Aspergillus flavus secara umum memproduksi golongan toksin B, dengan demikian jagung, biji kapas, dan kacang tanah yang telah terkolonisasi A. flavus umumnya terkontaminasi oleh aflatoxin B1 (Abbas et al. 2009). Senyawa-senyawa toksin tersebut diberi nama sesuai dengan karakteristik warna fluoresen pada saat pendeteksian menggunakan gelombang ultraviolet (λ = 365 nm). AfB1 dan AfB2 menghasilkan warna fluoresen biru, sedangkan AfG1 dan AfG2 memproduksi warna fluoresen hijau (Klich 2007). Aflatoxin B1, B2, G1, G2 umum
terhadap hewan dan manusia (Bhatnagar et al. 2006), dan karena paling berbahaya, AfB1 dipakai sebagai ambang batas maksimum aflatoxin dalam bahan pangan dan pakan.
berakibat buruk dari sisi keamanan pangan karena berpotensi terjadi dan meningkatnya cemaran aflatoxin. Kontaminasi aflatoxin dapat terjadi pada saat polong belum dipanen (Guo et al. 2009), setelah panen dan sebelum polong dikeringkan, selama proses pengeringan dan selama disimpan (Mutegi et al. 2013; Waliyar et al. 2015), karena spora A. flavus secara alami terdapat di tanah dan udara. Kontaminasi aflatoxin yang terjadi pada biji, bungkil, tepung, dan produk makanan berbahan baku kacang tanah menunjukkan produksi racun ini dapat terjadi di setiap mata rantai perdagangan.
CEMARAN AFLATOXIN PADA RANTAI PERDAGANGAN KACANG TANAH Biji kacang tanah yang sampai ke konsumen akhir telah melewati banyak mata rantai perdagangan atau jalur distribusi (Gambar 1), di mana pada setiap mata rantai mengalami perubahan bentuk dan proses, misal dari bentuk polong basah di tingkat petani menjadi polong kering di tingkat pedagang pengumpul, biji ose di tingkat pedagang pengecer, dan aneka produk di tingkat prosesor.
Petani
Penebas
Pengumpul
Kacang tanah ditanam, dipelihara, dan dipanen oleh petani, sedangkan di beberapa sentra produksi panen dilaksanakan oleh penebas. Tingkat kontaminasi aflatoxin B1 pada biji kacang tanah di tingkat petani umumnya rendah, yaitu <15 ppb (Tabel 2) baik berasal dari
Pengolah pabrik
Pengecer
Pengusaha besar (grosir)
Pedagang pengecer
Pengusaha besar (grosir)
Ekspor
Konsumen
Gambar 1. Jalur perdagangan komoditas kacang tanah di Indonesia. (Sumber: Damardjati et al. 1979, dengan perubahan). Tabel 1. Cemaran aflatoxin B1 pada kacang tanah sejak di lapangan hingga masa perdagangan. Prosesor kacang kulit oven
Prosesor aneka olahan kc tanah Biji ose
7-90
Polong segar <2
5-14
2-10
3-15
6-28
<3,6-3.355
<15
<15->15
Uraian
Petani
Penebas
Pengumpul
Pedagang besar
Pedagang pengecer
Bentuk
Tanaman
Polong kering 1-10
35-47
35-45
4-16
Polong kering atau biji ose Sd 10 bulan (polong kering), 4 bulan (ose) 7-15
Biji ose
80-100
Polong segar 1-2
Lama waktu (hari) Kadar air biji pada MK (%) Kadar air biji pada MH (%) Kisaran cemaran aflatoxin pada MK (ppb) Kisaran cemaran aflatoxin pada MH (ppb) Rata-rata cemaran aflatoxin (ppb)
40-51 <6
9-35 <15
<3,6-94 <15
4-132
8-15 5-20
<3,6-1.366 <15
<15
3-30
<3,6-1.804 <3,6-1.859
<15->15
>15
tingkat kontaminasi kemungkinan disebabkan tinggi atau rendahnya kandungan air di dalam biji atau kandungan lengas di sekitar polong (Rahmianna et al. 2007a,c; Sumiyati 2009). Namun ada pula kacang tanah yang mempunyai tingkat kontaminasi tinggi, lebih dari ambang batas aman untuk konsumsi. Pengamatan menunjukkan kacang tanah di pedagang pengecer, satu mata rantai yang sudah mendekati konsumen akhir, terkontaminasi aflatoxin dalam kadar yang tinggi. Fakta ini menunjukkan besarnya peluang kontaminasi aflatoxin pada proses penyimpanan dan selama dalam jalur pemasaran dari pedagang pengumpul sampai ke pedagang pengecer. Kontaminasi aflatoxin B1 <15 ppb dari semua mata rantai perdagangan menginformasikan bahwa semakin jauh kacang tanah bergerak dari produsen semakin rendah jumlah sampel yang rendah tingkat cemaran aflatoxinnya. Dengan kata lain, semakin mendekati konsumen akhir, tingkat cemaran aflatoxin semakin tinggi (Gambar 2).
INFEKSI JAMUR ASPERGILLUS FLAVUS PADA RANTAI PERDAGANGAN KACANG TANAH Produksi aflatoxin diawali ketika jamur A. flavus atau A. paraciticus berhasil masuk ke dalam polong melalui luka makro maupun mikro pada kulit polong, dan menginfeksi biji. Pada periode itu jamur sebagai makhluk hidup melaksanakan metabolisme. Jamur memproduksi aflatoxin di dalam biji dipengaruhi oleh komposisi genetik individu isolat jamur, komposisi substrat, organisme kompetitor, kadar air biji maupun kelembaban relatif dan suhu lingkungan sekitar biji (Pettit 1984). Aspergillus flavus optimum menghasilkan aflatoxin pada kadar air substrat 15-30%, suhu 25-30oC dan kelembaban nisbi 85% (Wright dan Cruickshank 1999). Infeksi prapanen Jamur A. flavus adalah jamur tular tanah, sehingga infeksinya pada polong kacang tanah sangat mungkin terjadi ketika polong masih berada di lapang (infeksi prapanen). Selain menginfeksi polong, jamur juga menginfeksi tanaman dengan gejala umum daun menguning dan mengalami klorosis, kemudian layu, mengering dan tanaman ditumbuhi miselia berwarna coklat atau hitam dengan spora-spora kuning kehijauan (Mohammed dan Chala 2014). Faktor-faktor pemicu
Gambar 2. Tingkat keamanan kacang tanah ditinjau dari cemaran aflatoxin B 1 ≤15 ppb pada mata rantai utama perdagangan kacang tanah (Sumber: Dharmaputra et al. 2005a, Dharmaputra et al. 2007, Rahmianna et al. 2007c).
Lingkungan. Parameter lingkungan prapanen yang paling penting dalam produksi aflatoxin adalah lengas dan suhu tanah di sekitar polong. Deraan kekeringan yang tinggi selama 4-6 minggu hingga kacang tanah dipanen sangat berpeluang terbentuknya aflatoxin di dalam biji yang sudah terinfeksi jamur A. flavus. Suhu tanah yang optimum untuk produksi aflatoxin berkisar antara 26,330,5 o C (Schearer et al. 1999 dalam Wright and Cruickshank 1999). Kekeringan menginduksi peningkatan proline dan senyawa ini dilaporkan memicu pembentukan aflatoxin (Payne and Hagler 1983). Selain itu, pembentukan phytoalexin (senyawa antimikrobia) terhambat oleh deraan kekeringan. Kemungkinan lain adalah jamur kompetitor A. flavus tidak berkembang secara optimal pada kondisi kekeringan dan suhu tinggi, sedangkan A. flavus yang termasuk xerotolerant atau toleran terhadap suhu tinggi (25-42oC) sehingga masih mampu bertahan (Klich 2007). Oleh karena itu, salah satu tindakan yang dianjurkan untuk mencegah infeksi jamur A. flavus dan kontaminasi aflatoxin adalah pengairan (Rahmianna et al. 2007c). Pengairan yang cukup, terutama pada fase generatif akhir sangat dianjurkan untuk menjaga kadar air biji lebih tinggi dari 30%, kulit polong tetap utuh sehingga mampu menekan kontaminasi aflatoxin meskipun suhu tanah berada pada kisaran optimal untuk produksi aflatoxin. Keadaan fisik polong dan biji. Biji rusak atau yang masih muda (keriput) mempunyai kandungan aflatoxin lebih tinggi daripada biji utuh maupun sudah matang panen (Rahmianna et al. 2015). Sanders et al. (1993) melaporkan bahwa pada kondisi terdera kekeringan dan suhu lingkungan yang tinggi maka kontaminasi aflatoxin terjadi lebih awal dan pada tingkat yang lebih parah terjadi pada biji muda. Hal ini karena pada kondisi kekeringan dan
Infeksi Pascapanen Pada mata rantai penebas, pedagang pengumpul hingga pedagang, faktor yang mempengaruhi infeksi jamur A. flavus adalah: Tindakan pascapanen. Penundaan pengeringan, terutama pada musim hujan, akan memberi peluang bagi pertumbuhan A. flavus menghasilkan aflatoxin. Adanya polong/biji luka pada saat perontokan dan pengupasan biji juga memberi peluang bagi infeksi jamur. Selama penyimpanan, kadar air tinggi (>9%), kondisi penyimpanan yang lembab dan panas serta rendahnya sanitasi dan perlindungan ruang penyimpan akan memacu kontaminasi aflatoxin (Ginting 2006). Lama Penyimpanan. Peningkatan kandungan aflatoxin sepanjang rantai perdagangan merupakan akumulasi cemaran aflatoxin mulai dari panen hingga saat itu. Hal ini disebabkan oleh: 1) sifat resistensi dari aflatoxin di dalam biji yang tidak dapat terdegradasi, dan 2) terdapatnya jamur yang tumbuh. Kondisi penyimpanan di dalam kantong plastik yang tidak kedap udara telah menghasilkan lingkungan dengan kandungan oksigen berlimpah sehingga memacu jamur untuk memproduksi aflatoxin (Dharmaputra et al. 2006).
KONTAMINASI AFLATOXIN PADA KACANG TANAH ASAL IMPOR Selain dari dalam negeri, pasokan kacang tanah di pasar juga berasal dari China, India, Thailand, dan Vietnam (Dharmaputra et al. 2005b). Pengambilan sampel kacang tanah impor (diimpor dalam bentuk ose) pada berbagai
dan kemarau. Secara umum, tingkat cemaran aflatoxin B1 sangat beragam, mulai dari sangat rendah hingga sangat tinggi, baik pada saat baru tiba di pelabuhan maupun yang sudah beredar di tingkat pengecer di pasar tradisional (Tabel 2). Persentase jumlah sampel dengan tingkat kontaminasi aflatoxin B1 ≤15 ppb bervariasi, umumnya kurang dari 50%. Hal ini berarti bahwa kacang tanah asal impor umumnya terkontaminasi aflatoxin pada tingkat yang tidak aman bagi kesehatan (Tabel 2).
USAHA PENANGANAN KONTAMINASI AFLATOXIN Tingkat kesadaran dan pengetahuan yang masih rendah terhadap bahaya aflatoxin, baik di tingkat petani, penebas, pedagang dan prosesor, memperbesar peluang terjadinya kontaminasi aflatoxin. Hal ini dapat dilihat dari penentuan harga di tingkat pedagang yang hanya berdasarkan mutu fisik dan tidak adanya pembedaan harga jual antara polong yang baik dengan polong jelek di tingkat petani akibat sistem tebasan. Dengan demikian, dapat dipahami kekurangpedulian petani untuk menangani sendiri hasil panennya dengan baik. Demikian pula di tingkat prosesor, terutama skala kecil, yang cenderung memilih bahan baku dengan harga yang relatif murah tanpa mempertimbangkan kualitasnya. Dalam melindungi warga negara, pemerintah melalui kementerian teknis telah menghasilkan teknologi penanganan komoditas bebas atau rendah aflatoxin. Untuk menurunkan risiko kontaminasi aflatoxin pada kacang tanah di Indonesia, telah dirumuskan serangkaian pengelolaan mulai dari pra hingga pascapanen. Intinya
Tabel 2. Tingkat kontaminasi aflatoxin B1 pada beragam mata rantai perdagangan kacang tanah asal impor. Rantai perdagangan
Kota
Pelabuhan Importir
Jakarta Jakarta Bandung Bogor Cianjur Jakarta Bandung Bogor Cianjur Cipanas Jakarta
Wholesaler
Pedagang pengecer di pasar tradisional
Jumlah sampel
Tingkat cemaran aflatoxin
Jumlah sampel dengan kadar aflatoxin B 1 ≤15 ppb (%)
11 6 6 4 2 15 7 6 15 4 2
4,0-167,9 <3,6-47,8 <3,6-798,3 <3,6-38,8 <3,6-4,2 <3,6-167,2 <3,6-117,5 <3,6-330,2 7,2-100,5 <3,6-279,9 <3,6-25,3
36,4 16,7 33,4 50,0 0 20,0 57,1 16,7 46,7 25,0 50,0
kekeringan, kelembaban tanah optimal selama akhir masa pertumbuhan tanaman, budi daya tanaman sehat, dan saat panen yang tepat. Berhubungan dengan pascapanen yaitu saat mencabut tanaman, perontokan (pemisahan polong dari tanaman), sortasi/pembersihan sisa-sisa tanaman maupun material lain dan pengeringan polong (Rahmianna et al. 2007b). Berhubungan dengan penyimpanan, maka dianjurkan biji kacang tanah mempunyai kadar air biji rendah (10%) dan konsentrasi oksigen rendah di sekitar biji dalam kemasan (Dharmaputra et al. 2006). Pengolahan kacang ose menjadi produk olahan dapat menurunkan tingkat kontaminasi aflatoxin. Misal, ekstraksi minyak dari kacang tanah dapat menurunkan kandungan aflatoxin sebanyak 47,1-77,6% (Fardiaz 1997). Pembuatan tempe kacang dengan fermentasi menggunakan jamur Rhizopus oligosporus (bungkil kacang hitam) dan Neurospora sitophila (bungkil kacang oranye) menurunkan kontaminasi aflatoxin masing-masing 70-86,6% dan 5058,9% (Fardiaz 1997, Machmud 1989). Studi semacam ini diperlukan untuk mengontrol aflatoxin selama proses pengolahan pangan karena aflatoxin tahan panas, tidak larut dalam air, tidak berwarna dan tidak berbau, sehingga tidak dapat dihilangkan 100% selama proses pengolahan pangan. Sebaliknya, produk yang dibuat dari kacang tanah yang dipanen dari petani yang menerapkan cara budi daya anjuran atau ose berkualitas bagus dari pasar lokal mengandung aflatoxin B1 <20 ppb (Ginting 2006). Produk yang demikian aman dikonsumsi. Oleh karena itu sangat dianjurkan menggunakan bahan baku kacang tanah yang bermutu tinggi.
STRATEGI PEMERINTAH MENEKAN BAHAYA AFLATOXIN Peraturan Pemerintah Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bermuara pada rendahnya tingkat cemaran aflatoxin pada produk makanan dalam rangka menyediakan pangan yang aman. Batasan kadar aflatoxin telah ditetapkan oleh pemerintah. Secara spesifik, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menetapkan ambang batas cemaran aflatoxin B1 pada kacang tanah dan produk olahannya sebesar 20 µg/kg (ppb = part per billion) (SK Kepala Badan POM No HK.00.05.1.4057 tahun 2004), dan pada tahun 2009 diperbaiki menjadi maksimum 15 ppb untuk aflatoxin B1 dan 20 ppb untuk total aflatoxin pada produk olahan kacang tanah (Peraturan Kepala Badan POM Nomor
di pasaran dan aman dikonsumsi. Banyak negara yang telah menetapkan ambang batas dalam rangka melindungi warganya. Misal Amerika Serikat menetapkan ambang maksimum sebesar 20 µg/kg untuk makanan, 0,5 µg/kg untuk susu, dan 300 µg/kg untuk jagung dan biji kapas sebagai pakan (Klich 2007). Codex Alimentarius Commision FAO menetapkan batasan 15 ppb untuk total aflatoxin (B1, B2, G1 and G2) pada biji kacang tanah yang diproses lebih lanjut, sementara negara-negara Uni Eropa sangat ketat menerapkan batasan 4 ppb untuk total aflatoxin dan 2 ppb aflatoxin B1 untuk kacang tanah yang siap dikonsumsi (Murphy et al. 2006). Peraturan mengenai ambang batas maksimum cemaran aflatoxin total dalam makanan yang bervariasi antarnegara mengindikasikan perbedaan toleransi cemaran yang diperbolehkan untuk dikonsumsi. Penelitian/Pelatihan/Pembinaan/Penyuluhan Dunia ilmiah telah memulai penelitian kontaminasi aflatoxin sejak tahun 1960an dan telah berhasil mendokumentasikan tiga faktor yang berperan penting dalam produksi dan peningkatan kontaminasi aflatoxin, yaitu cekaman kekeringan, suhu tanah di sekitar polong yang tinggi, dan polong rusak. Penelitian kemudian bergerak pada pengembangan metode skrining dan identifikasi sumber ketahanan tanaman kacang tanah terhadap infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoxin yang digunakan sebagai landasan program pemuliaan tanaman untuk mengembangkan galur-galur harapan dengan potensi hasil tinggi dan rendah cemaran aflatoxin. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengantar peneliti menggunakan pendekatan genetika molekuler untuk menurunkan kontaminasi aflatoxin (Holbrook et al. 2008). Bahaya aflatoxin sudah disadari oleh berbagai kalangan. Para ilmuwan Indonesia telah meneliti aflatoxin pada tahun 1969. Penelitian awalnya fokus pada (1) survei invasi dan infeksi jamur A. flavus dan cemaran aflatoxin, (2) pencegahan produksi aflatoxin pada kacang tanah, dan (3) kajian hubungan antara kandungan aflatoxin dalam makanan dan manusia, terutama dalam insiden kanker hati (Husaini et al. 1974 dalam Machmud 1989). Data tingkat cemaran aflatoxin pada beragam produk olahan berbahan baku kacang tanah dari berbagai mata rantai perdagangan sudah tersedia. Melalui penelitian antara lain telah dirakitnya varietas unggul kacang tanah yang mempunyai ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada fase generatif, penyakit daun, infeksi jamur A. flavus
Kadar air (maksimum) Kotoran (maksimum) Polong keriput (maksimum) Polong rusak (maksimum) Polong berbiji satu (maksimum) Rendemen (maksimum)
% % % % % %
I
II
III
8 1 2 0,5 3 65
9 2 3 1 4 62,5
9 3 4 2 5 60
Sumber: SNI (1995)
Tabel 4. Standar mutu fisik biji kacang tanah (ose). Persyaratan mutu Jenis uji
penyimpanan dan transportasi biji sebagai komoditas perdagangan harus dilakukan dengan tepat dan cepat. Teknologi pengelolaan prapanen, pascapanen maupun pengolahan kacang tanah untuk menekan atau mengatasi kontaminasi aflatoxin B1 pada kacang tanah telah dihasilkan. Namun aplikasi di lapang masih sangat terbatas karena belum adanya insentif untuk produk yang aman dan bersih dari kontaminasi aflatoxin. Edukasi tentang aflatoxin, cara penanganan, dan cara memilih bahan baku dengan mutu yang baik kepada setiap aktor di setiap mata rantai perdagangan harus terus dilakukan bahkan perlu digalakkan.
Satuan
Kadar air (maksimum) Butir rusak (maksimum) Butir belah (maksimum) Butir warna (maksimum) Kotoran (maksimum) Diameter (maksimum)
% % % % % mm
I
II
III
6 0 1 0 0 8
7 1 5 2 0,5 7
8 2 10 3 3 6
Sumber: SNI (1995)
kacang tanah untuk menurunkan tingkat kontaminasi aflatoxin juga sudah didapatkan. Dari dunia kedokteran, sudah semakin jelas bahwa aflatoxin berhubungan erat dengan penurunan imunitas tubuh, dan insiden kanker hati. Hingga saat ini masih banyak peneliti yang meneliti kontaminasi aflatoxin karena besarnya kerugian ekonomi dan kesehatan yang ditimbulkannya. Standar Mutu Di Indonesia, semua bahan pangan yang diperdagangkan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pemerintah telah menetapkan standar mutu fisik untuk kacang tanah yang dapat diperdagangkan dalam bentuk polong (gelondong) maupun ose (biji). Standar mutu yang tertuang dalam Standar Nasional Indonesia tahun 1995 hanya mengatur mutu fisik (Tabel 3 dan 4). Dari kedua standar mutu fisik polong dan biji, diisyaratkan bahwa kacang tanah yang diperdagangkan harus bermutu tinggi yaitu utuh, kadar air rendah, dan bebas dari kotoran.
KESIMPULAN Aflatoxin yang diindikasi sebagai salah satu senyawa penyebab kanker hati, masuk ke dalam tubuh manusia
DAFTAR PUSTAKA Abbas, H., J. Wilkinson, R.M. Zablotowicz, C. Accinelli, C. Abel, H. Bruns, and M. Weaver. 2009. Ecology of Aspergillus flavus, regulation of aflatoxin production, and management strategies to reduce aflatoxin contamination of corn. Toxin Reviews, 28: 142-153. Abdalla, M.S., A. Saad-Hussein, W.G. Shousha, G. Moubarz, and A.H. Mohamed. 2014. Hepatotoxic effects of aflatoxin in workers exposed to wheat flour dust. Egyptian Journal of Environmental Research 2: 51-56. Amaike, S. and N.P. Keller. 2011. Aspergillus flavus. Annual Review of Phytopathology, 49: 107-133. Bahri, S., R. Maryam, dan R. Widiastuti. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapa daerah propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV, 10 (3): 236-241. Bankole, S.A., B.M. Ogunsanwo, and D.A. Eseigbe. 2005. Aflatoxins in Nigerian dry-roasted groundnuts. Food Chemistry, 89: 503-506. Bhatnagar, D., J. Cary, K. Ehrlich, J. Yu, and T. Cleveland. 2006. Understanding the genetics of regulation of aflatoxin production and Aspergillus flavus development. Mycopathologia, 162: 155-166. Damardjati, D.S., R. Mudjisihono, Suparyono, P.K. Utami, E. Soeprapto, dan Roestamsyah. 1979. Pola penanganan lepas panen dan hubungannya dengan kontaminasi Aspergillus sp pada kacang tanah segar di beberapa daerah di Jawa. Hlm: 103-115. Proceedings Seminar Teknologi Pangan IV tanggal 16-17 Mei 1979. Balai Penelitian Kimia. Departemen Perindustrian. Bogor. Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, and S. Ambarwati. 2006.
Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, and S. Ambarwati. 2007. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of the delivery chain in Wonogiri regency, Central Java, Indonesia. Biotropia, 14(2): 9-21. Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, S. Ambarwati, and E. Maysra. 2005a. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of the delivery chain in Cianjur regency, West Java, Indonesia. Biotropia, 24: 1-19. Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, S. Ambarwati, and E. Maysra. 2005b. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in imported peanuts at various stages of the delivery chain in West Java, Indonesia. Paper presented at the 1st International Conference of Crop Security 2005. Malang, Indonesia 20-27 September 2005. Fardiaz, D. 1997. Mycotoxin contamination of grains – a review of research in Indonesia. Proc. of the 17th ASEAN technical seminar on Grain Post-harvest Technology in Lumut, Perak Malaysia AGPP. Bangkok. p 112-119. Ginting, E. 2006. Mutu dan kandungan aflatoksin biji kacang tanah varietas Kancil dan Mahesa yang disimpan dalam beberapa jenis bahan pengemas. Jurnal Agrikultura, 17(3):165-172. Ginting, E., and A.A. Rahmianna. 2015. Infection of Aspergillus flavus and physical quality of peanuts collected from farmers, local merkets, and processors. Procedia Food Science, 3: 280-288. Guo, B., J. Yu, C.C. Holbrook, T.E. Cleveland, W.C. Nierman, and B.T. Scully. 2009. Strategies in prevention of preharvest aflatoxin contamination in peanuts: Aflatoxin biosynthesis, genetics and genomics. Peanut Science 36: 11-20. Holbrook, C.C., P. Ozias-Akins, P. Timper, D.M. wilson, E. Cantonwine, B.Z. Guo, D.G. Sullivan, and W. Dong. 2008. Reseach from the Coastal Plain Experiment Station, Tifton, Georgia, to minimize aflatoxin contamination in peanut. Toxin Review, 27(3&4): 391-410. Jha, A., R. Krithika, D. Manjeet, and R.J. Verma. 2013. Protective effect of black tea infusion on aflatoxininduced hepatotoxicity in mice. Journal of Clinical and Experimental Hepatology 3(1): 29-36. Klich, M.A. 2007. Aspergillus flavus: the major producer of aflatoxin. Molecular Plant Pathology, 8, 713-722.
191. Lewis, L., M. Onsongo, H. Njapau, H. Schurz-rogers, G. Luber, S. Kieszak, J. Nyamongo, L. Backer, A.M. Dahiye, A. Misore, K. Decock, and C. Rubin. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya. Environ Health Perspect, 113. Lilieanny, O.S. Dharmaputra, and A.S.R. Putri. 2005. Population of storage mould and aflatoxin content of processed peanut products. Indonesian Journal of Microbiology, (10)1: 17-20. Mahmud, M. 1989. Groundnut aflatoxin problems in Indonesia. p. 215-222. In D. McDonald dan V.K. Mehan (ed). Proceedings of the International Workshop on Aflatoxin Contamination of Groundnuts. ICRISAT, Patancheru, India, 6-9 October 1987. Mobeen, A.K., A. Aflab, A. Asif, and A.S. Zuzzer. 2011. Aflatoxin B1 and B2 contamination of peanut and peanut products and subsequent microwave detoxification. J. Pharm. Nutr. Sci. 1(1):1-3. Mohammed, A., and A. Chala. 2014. Incidence of Aspergillus contamination of groundnut (Arachis hypogaea L.) in Eastern Ethiopia. African Journal of Microbiology Research, 8(8): 759-765. Murphy, P.A., S. Hendrich, C. Landgren, and C.M. Pryant. 2006. Food mycotoxins: An update. Journal of Food Science, 71(5):R51-R65. Mutegi, C.K., J.M. Wagacha, M.E. Christie, J. Kimani, and L. Karanja. 2013. Effect of storage conditions on quality and aflatoxin contamination of peanuts (Arachis hypogaea L.). International Journal of Agricultural Science, 3(10): 746-758. Paramawati, R., R.W. Arief dan S. Triwahyudi. 2006. Upaya menurunkan kontaminasi aflatoksin B1 pada kacang tanah dengan teknologi pascapanen (Studi kasus di Lampung). Jurnal Enjiniring Pertanian, 4(1):1-8. Payne, G.A. and W.M. Hagler. 1983. Effect of specific amino acids on growth and aflatoxin production by Aspergillus parasiticus and Aspergillus flavus in defined media. Applied and Environmental Microbiology, 46, 805-812. Pettit, R.E. 1984. Yellow mold and aflatoxin. P. 35-36. In: D.M. Porter et al. (Eds.). Compendium of Peanut Diseases. The Amer., Phytophatological Soc.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 26(3): 206-211. Rahmianna, A.A., A. Taufiq, dan E. Yusnawan. 2007b. Effect of harvest timing and postharvest storage conditions on aflatoxin contamination in groundnuts harvested from Wonogiri regency in Indonesia. SAT eJournal 5: 1-3. Rahmianna, A.A, E. Ginting, dan E. Yusnawan. 2007c. Cemaran aflatoxin B1 pada kacang tanah yang diperdagangkan di sentra produksi Banjarnegara. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 26(2): 137-144. Rahmianna, A.A., J. Purnomo, dan E. Yusnawan. 2015. Assessment of groundnut varietal tolerant to aflatoxin contamination in Indonesia. Procedia Food Science, 3: 330-339. Rasyid, A. 2006. Temuan ultrasonografi kanker hati hepato seluler (hepatoma). Majalah Kedokteran Nusantara 2006, 39(2):100-103 Rubak, Y.T. 2011. Tingkat kontaminasi aflatoksin B1 pada produk olahan jagung dan kacang tanah di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan (NTT). Media Exata, 11(1): 6 hlm. Sanders, T.H., R.J. Cole, P.D. Blakenship, and J.W. Dorner. 1993. Aflatoxin contamination of peanut from
1995. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 7p. Sumiyati. 2009. Studi tentang Aspergillus flavus dan aflatoksin pada tahap budi daya kacang tanah dari beberapa lokasi lahan kering di Kabupaten Karanganyar. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi, 6(2): 91-98. Tjindarbumi, D. dan R. Mangunkusumo. 2002. Cancer in Indonesia, Present and Future. Jpn J Clin Oncol 32: S17-S21 (Supplement 1). Waliyar, F., M. Osiru, B.R. Ntare, K.V.K. Kumar, H. Sudini, A. Traore, and B. Diarra. 2015. Post-harvest management of aflatoxin contamination in groundnut. World Mycotoxin Journal 8(2): 245-252. Wotton, H.R., and R.N. Strange. 1985. Circumstantial evidence for phytoalexin in involvement in the risistance of peanut to Aspergillus flavus. J. General Microbiol., 131: 487-494. Wright, G.M. and A.L. Cruickshank. 1999. Agronomic, genetic and crop modeling strategies to minimize aflatoxin contamination in peanuts. p. 12-17. In. R.G. Dietzgen (Eds.). Elimination of Aflatoxin Contamination in Peanut. ACIAR Proceeding No. 89. Canberra.
SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG
Determinan Agronomis Produktivitas Jagung (The Agronomic Factors Determining Maize Productivity) Sutoro Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor E-mail:
[email protected] Naskah diterima 4 Mei 2015 dan disetujui diterbitkan 20 Mei 2015
ABSTRACT The national maize productivity is lower than its genetic potential of the variety. Maize yields varied among regions, due to differences of the technological practices, which mainly included seed quality and variety planted by farmers, rate of fertilizers and the availability of soil moisture. Productivity could be optimized by planting hybrid variety and supplying nutrients through fertilization and providing adequate soil moisture. Open pollinated variety was reported as more suitable for the suboptimum environment. To mitigate the climatic changes which were difficult to predict, proper cultivation techniques and water conservation were the determinant keys for increasing maize productivity. General climatic condition was not a limiting factor for producing maize in Indonesia. Expansion of planted area could be carried out on almost all kinds of farm-lands, provided the three determinant yield factors were implemented. When those program was implemented, it was suggested that Indonesia would reach self sufficiency in maize production. Keywords: Maize, productivity, hybrid variety, fertilization, irrigation.
ABSTRAK Produktivitas jagung nasional masih jauh dari potensi genetik dari varietas unggul yang ada. Hasil jagung beragam antar wilayah, disebabkan oleh perbedaan tingkat kemajuan teknologi budidaya yang mencakup komponen benih dan varietas yang ditanam, penggunaan pupuk, dan pengelolaan air. Produktivitas jagung dapat ditingkatkan melalui penanaman varietas unggul berupa varietas jagung hibrida yang adaptif disertai penyediaan hara secara optimal dan kelembaban tanah yang cukup, serta penanaman varietas unggul bersari bebas untuk lahan suboptimal. Untuk menghadapi perubahan iklim yang sulit diprediksi, teknik budidaya dan konservasi air menjadi kunci penentu keberhasilan dalam peningkatan produktivitas jagung. Iklim Indonesia tidak menjadi hambatan dalam usaha produksi jagung, sehingga perluasan areal tanam dapat dilakukan pada segala jenis lahan pertanian, asalkan dibarengi oleh penerapan tiga komponen produksi tersebut. Apabila hal itu dapat dilaksanakan, akan dapat menjadikan Indonesia berswasembada jagung. Kata kunci: jagung, produktivitas, varietas, pemupukan, pengairan.
PENDAHULUAN Jagung secara historis merupakan tanaman bahan pangan. Di Amerika Tengah, jagung menjadi pangan pokok bangsa Maya sejak 5.000 SM (Jugenheimer 1975). Hingga akhir abad19 penggunaan jagung tetap sebagai pangan, terutama di Amerika Selatan, Asia, dan negara-negara Afrika. Biji jagung mengandung karbohidrat (75%), protein (8-9%), dan minyak (5%) yang tinggi, sehingga mulai abad ke-20 jagung telah berubah menjadi komoditas multiguna. Dari total produksi jagung dunia pada tahun 2009 sekitar 709 juta ton, 472 juta ton atau 66% di antaranya digunakan untuk pakan, 20% diolah
dalam industri, dan 14% sebagai pangan manusia (Orenstein 2010). Di Amerika Serikat sejak 2007 sebanyak 83 juta ton biji jagung diolah menjadi ethanol sebagai bahan bioenergi dan kecenderungan penggunaannya terus meningkat (Assadourian 2007, Orenstein 2010). Di Asia, total produksi jagung sekitar 180 juta ton, terbesar di China (140,4 juta ton) dan India (14,7 juta ton) sedangkan Indonesia menurut data USDA-FAS (2008) hanya memproduksi 6,8 juta ton per tahun. Menurut data BPS (2014) produksi jagung di Indonesia mencapai 17 juta ton per tahun. Penggunaan jagung di Asia, termasuk Indonesia, selain untuk industri pakan juga sebagai bahan pangan.
39
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Walaupun hasil penelitian jagung di Indonesia dapat menghasilkan 10-11 t/ha, namum produktivitas di lahan petani sangat beragam, berkisar antara 3,2-8 t/ha (Yasin et al. 2014, Girsang et al. 2010). Produktivitas jagung nasional pada tahun 2014 menurut data BPS adalah 4,8 t/ha. Secara empiris keragaman produktivitas jagung antarwilayah di Indonesia dan antarpetani disebabkan oleh perbedaan penerapan teknologi budi daya yang mencakup benih, varietas, pupuk, dan pengelolaan air. Di Indonesia wilayah tengah dan barat, usahatani jagung pada umumnya dilakukan secara komersil, menggunakan benih varietas hibrida, pupuk anorganik dan suplementasi pengairan pada musim kemarau. Akan tetapi di wilayah timur, jagung sebagian besar merupakan komponen usahatani subsistensi, menggunakan benih varietas lokal, pemupukan minimal atau pupuk organik dosis rendah dan sumber air sepenuhnya berasal dari hujan.
Tabel 1. Dikotomi sistem produksi jagung di Indonesia.
Kebutuhan jagung untuk industri pakan yang terus berkembang, mengakibatkan Indonesia mengimpor jagung 1-3 juta ton per tahun, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri pakan. Hal ini menunjukkan pangsa pasar jagung di dalam negeri masih terbuka, di samping peluang ekspor juga cukup besar karena terjadinya pengurangan stok jagung dunia untuk industri ethanol.
9. Peran swasta 10. Peran pemerintah 11. Penghambat usaha
Sistem produksi jagung di Indonesia, seperti juga di negara-negara Asia, masih menunjukkan dikotomi dalam hal teknik produksi dan status usahataninya, seperti terlihat pada Tabel 1. Kedua sistem usahatani tersebut tetap memerlukan upaya peningkatan produktivitas mencapai optimal, agar diperoleh efisiensi produksi, peningkatan pendapatan, dan tercukupinya kebutuhan pangan pokok. Pencapaian produktivitas optimal jagung sangat penting karena sempitnya pemilikan lahan petani, dan secara nasional juga terbatasnya ketersediaan lahan. Sebagai komoditas perdagangan internasional, harga jagung dalam negeri sangat dipengaruhi harga di pasar internasional. Untuk dapat bersaing dengan harga jagung impor dan pasar bebas wilayah Asean, produktivitas jagung dalam negeri harus lebih tinggi dibanding produktivitas di negara tetangga dengan biaya produksi yang sebanding atau lebih rendah. Walaupun teknologi anjuran jagung telah tersedia, petani menerapkan teknologi yang beragam. Hal ini berkaitan dengan kemampuan modal usahatani dan kebiasaan individu petani dalam praktek usahatani. Kepemilikan lahan yang sempit mendorong petani membeli dan mengaplikasikan pupuk, terutama nitrogen, yang lebih banyak dari dosis yang dianjurkan. Di samping menurunkan efisiensi produksi, hal ini juga memboroskan penggunaan pupuk yang mendapat subsidi dari pemerintah. Dosis pupuk mendasarkan pada pendekatan pengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL) atau site spesific
40
Komponen pembeda
Usahatani subsisten
1. Cara/teknik produksi Tradisional 2. Penggunaan oleh petani 3. Wilayah produksi 4. Benih dan varietas
5. Pelaku usaha 6. Penggunaan saran produksi 7. Pengairan 8. Pendorong usaha
12. Perbaikan usaha
Bahan pangan Lahan marjinal Asalan, varietas lokal atau varietas bersari bebas, sintetik Petani miskin Minimal atau tanpa Curah hujan sewaktu Kebutuhan pangan, penambahan penduduk minimal besar Faktor alam Stabilitas hasil panen
Usahatani komersial Mengadopsi SOP maju Dijual, untuk pakan Lahan subur Bersertifikat, hibrida
Petani pengusaha Pupuk anorganik tinggi Suplementasi irigasi Perkembangan industri pakan dan ekspor Besar dan dinamis kecil Harga sarana dan harga jual produk Efisiensi produksi
Diadopsi dari Falcon (2008).
nutrient management (SSNM) dilaporkan mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi pemupukan (Murni et al. 2010, Syaffrudin et al. 2007). Tingkat kelembaban tanah sering menjadi pembatas produktivitas jagung pada musim kemarau. Dengan memberikan suplementasi irigasi atau pengaturan rotasi tanaman, tanam jagung yang dilakukan lebih awal dapat mencegah tanaman dari cekaman kekeringan (Oseni and Masarirambi 2011, Hadijah 2010). Makalah ini menelisik faktor determinan atau penentu utama produktivitas optimal jagung, mencakup varietas, pupuk, dan kelembaban tanah untuk memperoleh informasi guna penyediaan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat.
FAKTOR PENENTU PRODUKTIVITAS JAGUNG DI INDONESIA Produktivitas jagung ditentukan oleh kualitas lingkungan tumbuh dan varietas yang ditanam. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh interaksi antara genotipe dengan lingkungan. Secara umum, iklim sangat menentukan pertumbuhan tanaman, terutama suhu, curah hujan, dan intensitas cahaya matahari. Dari aspek iklim, hampir seluruh wilayah di Indonesia sesuai untuk memproduksi jagung. Ketersediaan hara tanah untuk pertumbuhan tanaman jagung juga sangat menentukan keberhasilan
SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG
budi daya jagung (Syafruddin et al. 2006. Banyak faktor yang menentukan produktivitas optimal jagung. Faktor lain yang mempengaruhi hasil jagung yaitu kecukupan hara yang diperoleh dari pemberian pupuk, pengendalian hama penyakit dan penyiangan, serta kelembaban tanah (Syafruddin et al. 2006, Aqil et al. 2007, Ahmed et al. 2011). Produksi jagung di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan nasional karena beberapa faktor, di antaranya rendahnya produktivitas, berkisar antara 4-5 t/ha, luas area pertanaman relatif sempit karena kalah bersaing dengan komoditas ekonomis lainnya. Faktor iklim di beberapa wilayah seperti NTT, dan tingkat kesuburan tanah tidak menunjang pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan jagung dapat optimal apabila kelembaban tanah cukup yang dapat mendukung proses penyerapan hara secara optimal dan terhambatnya hara yang bersifat toksik bagi tanaman. Kandungan bahan organik dalam tanah mempengaruhi tingkat serapan hara oleh tanaman dari dalam tanah, baik yang berasal dari pupuk maupun mineral tanah (Kasno et al. 2006). Teknologi budi daya jagung yang dapat memberikan produktivitas tinggi harus bersifat operasional dan layak diterapkan petani. Kelembaban tanah berperan penting sebagai determinan produktivitas (Aqil et al. 2007, Oseni and Masarirambi 2011, Djaman et al. 2013). Pada pola tanam padi-jagung di lahan irigasi, tanaman jagung lebih mudah mendapatkan air tetapi petani lebih suka menanam padi, karena lebih menguntungkan (Bahtiar et al. 2010)a Teknologi produksi jagung sangat beragam, bergantung pada orientasi produksi, kondisi lahan, dan kemampuan petani dapat digolongkan menjadi empat kelas, bergantung kualitas lingkungan dan teknik budi daya (Zubactirodin et al. 2007), yaitu: 1) sangat rendah pada usahatani tradisional-subsisten; 2) rendah pada lahan kering dengan input suboptimal; 3) tinggi pada lahan kering dengan input medium; dan 4) sangat tinggi pada usahatani jagung komersial. Produktivitas jagung di lahan petani menunjukkan keragaman yang sangat besar, walaupun dapat dioptimalkan pada kisaran 6-7 t/ha. Di lahan yang diusahakan secara subsisten, produktivitas jagung masih rendah. Pertanian subsisten secara umum menggunakan masukan sarana produksi (input) rendah yang berasal dari bahan yang tersedia di lokasi usahatani, yaitu benih dari hasil panen musim tanam sebelumnya, pupuk kandang dosis rendah, dan pengelolaan tanaman secara tradisional. Dengan teknologi input rendah tersebut, hasil jagung hanya sekitar 2 t/ha. Dengan teknologi budi daya baku, hasil jagung dapat mencapai 9-10 t/ha (Syafruddin et al. 2007).
PERAN VARIETAS Produktivitas jagung sangat dipengaruhi oleh mutu genetik varietas yang ditanam (Yasin et al. 2010). Varietas unggul jagung dapat berbentuk varietas bersari bebas dan varietas hibrida. Varietas jagung hibrida memiliki potensi hasil lebih tinggi daripada jagung bersari bebas, karena adanya efek heterosis dari gen-gen penyusun hibrida. Tingkat produktivitas varietas bersari bebas dan hibrida dipengaruhi oleh adaptabilitas masing-masing varietas. Tingkat adaptabilitas bergantung pada proses seleksi varietas tersebut (Sutoro 2007). Jagung hibrida maupun jagung komposit yang bersifat adaptif pada lahan spesifik sangat diperlukan untuk menunjang peningkatan produksi pada lahan tertentu. Budi daya jagung di Indonesia mengalami evolusi lima tahapan sebagai berikut (Mejaya et al. 2010, Hermanto et al. 2009). (1) Periode sebelum kemerdekaan, berbagai varietas lokal adaptif agroekologi setempat mendominasi area pertanaman jagung di Indonesia. Varietas lokal tersebut umumnya berasal dari hasil seleksi alam dan seleksi oleh petani, dari populasi yang tidak jelas. Varietas lokal yang terkenal antara lain Manado Kuning, Jawa Timur Kuning, Genjah Warangan, Genjah Kretek. Daya hasil varietas lokal tersebut sekitar 2,5 t/ha dan umur panen 80-85 hari. (2) Awal kemerdekaan, 1945-1965. Dari hasil penelitian sebelum kemerdekaan, yang diteruskan pada periode awal kemerdekaan, tersedia benih jagung varietas unggul bersari bebas atau sintetik antara lain Genjah Warangan, Perta, Metro , Bastar Kuning, Kania Putih, Harapan, Bima. Varietas tersebut dibentuk menggunakan populasi genetik yang berasal dari dalam dan luar negeri dengan daya hasil 4 t/ha umur panen 100-110 hari. Pada periode tersebut varietas lokal masih ditanam petani. (3) Masa 1966-1985. Periode ini ditandai oleh tersedianya varietas unggul bersari bebas yang daya hasilnya mencapai 5 t/ha, dibarengi tersedianya pupuk urea dan ZA di semua wilayah di Indonesia.Tingkat adopsi varietas unggul dan pemupukan urea semakin meluas dan varietas lokal semakin terdesak. Varietas yang terkenal pada masa itu antara lain Bisma, Pandu, Bayu, Bogor Composit-2, dan Arjuna. (4) Periode awal adopsi hibrida, 1986-2000. Pada periode ini penggunaan pupuk urea dan ZA sudah meluas oleh hampir semua petani jagung. Varietas jagung hibrida mulai diperkenalkan dan diadopsi petani. Di sentra produksi jagung seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Utara, petani mulai mengadopsi varietas hibrida, seperti Pioner-1, CPI-1, 41
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
C-2, dan BISI-2 dengan produktivitas 6-7 t/ha. Namun petani pada lahan kering masih banyak yang menanam varietas unggul bersari bebas seperti Arjuna, Rama, Bisma, Lagaligo, Surya, Lamuru, dan Andalas-4; yang produktivitasnya sekitar 5 t/ha. (5) Periode adopsi varietas hibrida, 2001-2015 dan selanjutnya. Sebagian besar petani telah menjadikan jagung sebagai komoditas komersial karena didorong oleh permintaan yang tinggi untuk industri pakan, tersedianya pupuk bersubsidi, dan tersedianya benih varietas hibrida pada kios pertanian di seluruh wilayah. Bachtiar et al. (2007) berdasarkan data Direktorat Perbenihan Kementerian Pertanian melaporkan bahwa pada tahun 2005 area pertanaman jagung hibrida telah mencapai 89%, varietas bersari bebas 5% dan varietas lokal 6% dari total luas panen 3,6 juta ha. Walaupun data tersebut mungkin tidak akurat namun dapat menggambarkan tingkat adopsi varietas hibrida oleh petani. Varietas unggul bersari bebas yang masih ditanam petani hingga kini antara lain Arjuna, Bisma, Kalingga, Lamuru, dan Sukmaraga, menempati lahan kering subsisten, terutama di NTT, NTB, Maluku dan wilayah pegunungan di Jawa (Bachtiar et al. 2007). Potensi hasil jagung hibrida berkisar antara 7,7-9,2 t/ha pada musim hujan (Hipi et al. 2010). Penanaman varietas hibrida yang lebih luas mulai awal tahun 2000 dan telah berkontribusi nyata terhadap kenaikan produksi jagung nasional, dari 8,1 juta ton pada tahun 1995 menjadi 12,5 juta ton pada tahun 2005 dan 18 juta ton pada tahun 2013 (BPS 2014). Varietas jagung yang dipilih petani umumnya ditentukan oleh kemampuan penyediaan modal dan kualitas lahan (Hadijah 2010). Rendahnya produktivitas jagung di wilayah timur Indonesia disebabkan karena petani menanam benih turunan hibrida atau varietas bersari bebas. Pada lahan kering suboptimal, hasil jagung hibrida sering lebih rendah daripada varietas bersari bebas (Taufik dan Thamrin 2009). Konstruksi gen jagung komposit bersifat stabil dari generasi ke generasi selama terjadi persilangan yang berlangsung secara acak. Hal tersebut berbeda dengan jagung hibrida yang akan berubah konstruksi genetiknya antargenerasi, sehingga potensi hasil dari benih turunan akan lebih rendah. Benih jagung hibrida memberikan hasil terbaik pada kondisi optimum. Pada kondisi kurang optimum (lahan marginal atau input rendah), penggunaan jagung komposit lebih menguntungkan daripada jagung hibrida (Pixley and Banziger 2001). Penggunaan varietas unggul bersari bebas mampu meningkatkan hasil 108-172% dibandingkan dengan varietas lokal (Samijan dan Prastuti 2010).
42
PERAN PUPUK Sifat fisik dan kimia tanah yang dapat menunjang pertumbuhan jagung adalah bertekstur gembur (ringan) dengan drainase yang baik dan mengandung hara yang cukup. Pada tanah bertekstur berat diperlukan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang atau pupuk organik untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah (Ofor et al. 2009). Sistem pertanaman intercropping jagung-glirisidia dilaporkan sebagai alternatif perbaikan kesuburan tanah (Akinnifesi et al. 2006). Kandungan N tanah merupakan faktor penting yang menentukan produktivitas jagung (Gentry et al. 2013). Jagung memerlukan hara N cukup banyak. Selain pupuk N anorganik, pupuk kandang dapat digunakan sebagai suplementasi sumber N (Amaral et al. 2015). Jenis tanah mempengaruhi serapan hara oleh tanaman jagung, tetapi jenis tanah bukan merupakan faktor penentu hasil jagung, selama pengelolaan lapangan memadai (Li et al. 2012). Dinamika kesuburan tanah dalam budi daya jagung menunjukkan kandungan C organik, total N, K, Ca dan Mg dipengaruhi oleh lamanya pertanaman jagung di lapangan (Agreda 2005). Produktivitas jagung pada pola jagungjagung di lahan yang berproduktivitas tinggi dan cekaman rendah tidak terjadi penurunan hasil (Porter et al. 1997). Pada pertanaman jagung terus-menerus sepanjang tahun, menurun dibandingkan dengan pertanaman jagung yang dirotasi dengan kedelai (Doerge 2007). Faktor penentu produktivitas jagung terutama adalah ketersediaan hara N, P, K dan unsur mikro. Pemberian pupuk N dengan dosis sedang mengakibatkan kehilangan hasil 10-22%, tanpa pupuk K menurunkan hasil 13%, tanpa pupuk fosfat dan tanpa Zn dan Mn menurunan hasil 10-12% (Subedi and Ma 2009). Syafruddin et al. (2006), menyatakan bahwa pupuk nitrogen menjadi determinan hasil jagung yang tinggi pada tanah Inceptisol di Bone. Pemupukan lengkap NPK pada jagung dengan dosis sedang (67,5 kg N + 45 kg P2O5 + 30 kg K2O) memberi hasil 7,3 t/ha, sedangkan tanpa N dengan dosis P dan K yang sama hanya memberi hasil 3,4 t/ha. Hasil jagung dari perlakuan penambahan N menjadi 135 kg/ha pada dosis P dan K yang sama memberikan hasil 7,97 t/ha, atau hanya meningkat 0,67 t/ha. Pemupukan N berlebihan menurunkan efisiensi agronomis pupuk dan menekan recovery hara P. Oleh karena itu, jumlah pupuk yang diberikan perlu memperhatikan tingkat kesuburan tanah. Untuk menghasilkan setiap 1.000 kg jagung, serapan hara yang terakumulasi pada tanaman bagian atas 17-20 kg N, 3-4,5 kg P, and 15-16 kg K (XinpengXu et al. 2013). Serapan hara oleh tanaman jagung yang tumbuh subur mencapai 114 kg N, 51 kg P, dan 66 kg K/ha (Kasno dan Rostaman 2013). Pada lahan dengan kondisi N cukup, perakaran tanaman lebih berkembang sehingga laju
SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG
serapan hara dan aliran melalui phloem dan xylem meningkat (Liangzheng Xu et al. 2009). Niehues et al. (2004) melaporkan bahwa pemberian 22 kg N/ha pada tanaman jagung sebagai starter pada saat tanam tanpa olah tanah menaikkan bobot biomassa dan hasil biji dibandingkan dengan total dosis pupuk N yang sama (168 kg N/ha) yang diberikan sekali pada tanaman berumur 4 minggu. Apabila proporsi pupuk N sebagai starter lebih dari 22 kg N/ha, bobot biomassa dan hasil biji tidak meningkat. Pengaruh pemberian pupuk starter bergantung pada kualitas lingkungan. Hasil penelitian Bermudes dan Mallarino (2002) pada 11 lokasi di Iowa, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa dosis N sebagai starter 16-27 kg N/ha dari total dosis 180 kg N/ ha meningkatkan hasil jagung 200-671 kg pada tujuh lokasi, tidak berpengaruh nyata pada tiga lokasi, dan menurunkan hasil 230 kg/ha pada satu lokasi. Tingkat hasil yang dicapai antarlokasi beragam, berkisar antara 7,3-11,4 t/ha. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Pemberian bahan organik akan memperbaiki struktur dan tekstur tanah, menjadi lebih gembur sehingga drainase lebih baik. Pemberian pupuk hijau Gliricidiae pada tanah Ultisol dapat mengurangi penggunaan pupuk N sebanyak 75% dan penggunaan Sesbaniaa rostrata meningkatkan hasil jagung 42% (Syafruddin et al. 2007). Pemberian pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi meningatkan kandungan K pada daun tanaman jagung (Veronica 2010). Fotosintesis radiasi aktif dan hasil biji meningkat dengan meningkatnya pemberian pupuk N dan peningkatan populasi tanaman diikuti dengan peningkatan pemberian pupuk (Mehdi 2011). Pemberian hara S yang diimbangi oleh pupuk N mengoptimalkan serapan hara (Rahman et al. 2011). Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan hasil jagung, terutama pada lahan dengan tekstur liat berlempung (Suratmini 2009, Singh et al. 2010). Respon jagung hibrida terhadap pemupukan N berbeda antarlahan maupun musim (Areerak et al. 2010, Murni et al. 2010). Pemberian pupuk N dengan dosis yang tepat pada jagung hibrida mampu menghasilkan 9-12 t/ ha (Syafruddin et al. 2008, Efendi et al. 2012). Efisiensi penggunaan pupuk berkisar antara 20-40 kg biji/kg N, 25-45 kg biji/kg P, dan 2-13 kg biji/kg K (Girsang et al. 2010, Samijan 2010). Efisiensi NPK dapat ditingkatkan melalui inokulasi cendawan mikoriza arbuskuler (Musfal dan Jamil 2009). Pada pola tanam padi-jagung, porsi pemberian pupuk jagung 50% atau lebih memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan porsi pupuk untuk padi lebih banyak (Faesal dan Syafruddin 2010).
PERAN KELEMBABAN TANAH DAN PENGAIRAN Faktor iklim yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas jagung di Indonesia curah hujan. Suhu udara menentukan pemasakan fisiologis tanaman yang secara langsung berpengaruh terhadap hasil jagung (Elmore and Abendroth 2008). Pada dataran rendah dan sedang, suhu tidak menjadi faktor pembatas. Pada lahan irigasi, perubahan iklim yang mengarah kepada cekaman kekeringan pada fase pembungaan hingga pengisian biji dapat menurunkan hasil 25% (Yasin et al., 2010). Temperatur dan curah hujan mengubah ketersediaan air dan fenologi tanaman yang berdampak terhadap penurunan produktivitas tanaman (Wang et al. 2011). Iklim pendukung pertanaman jagung yang dibudidayakan pada musim hujan dan musim kemarau disajikan pada Tabel 2. Varietas toleran kekeringan umumnya memiliki bobot kering akar lebih besar daripada yang peka (Efendi et al. 2009). Air sebagai bahan pelarut hara dan proses metabilisme sangat dibutuhkan oleh tanaman melalui proses evapotranspirasi. Kebutuhan jagung untuk evapotranspirasi 210 mm untuk 90 hari pertumbuhan dan 273 mm untuk 110 hari pertumbuhan (Abdul Salam dan Al Mazrooei 2006). Konsumsi air tanaman jagung berkisar antara 3,10-4,35 mm/hari (Tekwa and Bwade 2011). Kebutuhan air berbeda antara varietas jagung, bervariasi antarvarietas berkisar 2-6 mm/hari atau 411-550 mm/ musim. Tingkat evapotranspirasi jagung hibrida lebih besar daripada varietas lokal terkait dengan perbedaan laju pertumbuhan dan habitus tanaman (Adeniran et al. 2010, Tekwa and Bwade 2011, Zain Ul Abideen 2014). Defisit air karena perubahan iklim meningkatkan risiko penurunan hasil jagung (Ceglar et al. 2013). Masa kritis tanaman jagung terhadap defisit air adalah pada fase pertumbuhan vegetatif dan awal generatif, tetapi pengurangan air irigasi
Tabel 2. Faktor pendukung iklim untuk pertumbuhan tanaman jagung di Indonesia. Waktu tanam
Faktor iklim pendukung hasil baik
Faktor iklim pendukung hasil buruk
Musim hujan
Tanam pada musim hujan mendapatkan curah hujan cukup
Intensitas cahaya matahari kurang optimal bagi pertumbuhan Kelembaban yang tinggi memicu serangan hama penyakit
Musim Tanam awal musim kemarau kemarau mendapatkan intensitas matahari yang cukup untuk pertumbuhan tanaman
Ketersediaan air terbatas terutama pada daerah yang tidak memiliki fasilitas irigasi
Diadopsi dari Elmore dan Abendroth (2008).
43
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
pada awal pertumbuhan dan masa masak biji kurang berpengaruh terhadap hasil biji (Xiukang Wang 2013). Fase pembungaan dan pengisian biji adalah masa yang paling kritis memerlukan air. Semakin banyak air tersedia semakin banyak nitrogen dapat diabsorbsi tanaman yang berdampak terhadap tingginya hasil jagung (Xiukang Wang 2013). Cekaman kekeringan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman, pembentukan biomassa, proses anthesis (anthesis-silking interval), pengisian biji dan hasil jagung, terutama pada masa kritis terhadap defisit air pada stadia pembungaan dan proses penyerbukan (FAO 2001). Pemanfaatan air hujan dengan membuat embung merupakan cara pengairan tanaman pada musim kemarau (Aqil et al. 2007). Pengolahan tanah berpengaruh terhadap kandungan air tanah. Kandungan air tanah pada guludan lebih tinggi daripada lahan datar sehingga menyediakan kelembaban yang lebih baik. Pemberian mulsa juga dapat mengkonservasi air tanah dan meningkatkan hasil jagung (Arora et al. 2010). Pada kondisi air cukup, pengolahan tanah minimal (zero tillage) dapat mengurangi tenaga dan menghemat biaya produksi. Pada musim dimana cuaca tidak menentu, hasil jagung sangat beragam (Yadev and Singh 2010).
KESIMPULAN Produksi jagung di Indonesia berpeluang dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknik budi daya dan kualitas lingkungan. Faktor penentu keberhasilan peningkatan produksi jagung adalah sebagai berikut: 1. Tanaman jagung dapat dibudi dayakan pada hampir semua lahan di dataran rendah hingga sedang di Indonesia, sehingga peluang perluasan tanaman cukup besar. 2. Varietas unggul sangat menentukan peningkatan produktivitas jagung nasional. Penanaman varietas jagung hibrida yang adaptif disertai penyediaan hara secara optimal melalui pemupukan NPK dan penyediaan kelembaban tanah yang cukup menjadi penentu utama peningkatan produktivitas jagung. Dengan mengoptimalkan tiga komponen teknologi tersebut, produktivitas jagung mampu mencapai 7-9 t/ha, sebanding dengan produktivitas jagung di negara lain. 3. Untuk menghadapi perubahan iklim yang sulit diprediksi, penanaman jagung lebih awal dan konservasi air menjadi kunci keberhasilan budi daya jagung pada musim kemarau.
44
DAFTAR PUSTAKA Abdul Salam M. and S. Al Mazrooei. 2006. Crop water and irrigation water requirement of maize (Zea mays L.) in the entisols of Kuwait. Tenth International Water Technology Conference, IWTC10 2006, Alexandria, Egypt. p.781-793. Adeniran K.A , M.F. Amodu, M.O. Amodu, and F.A. Adeniji. 2010. Water requirements of some selected crops in Kampe dam irrigation project. Australian J. Agric. Eng. 1(4):119-125. Ahmed M.B., K. Hayat, Q. Zama, and N.H. Malik. 2001. Contribution of some maize production factors towards grain yield and economic return under the agro-climatic condition of Dera Ismail Khan. Online Journal of Biological Sciences 1 (4): 209-211. Agreda, F.M., J.M.J.J. Janssens, and J. Borgman. 2005. Effects of production systems with maize (Zea mays L.) on soil fertility and biological diversity in the Soconusco, Chiapas, Mexico. Deutscher Tropentag, October 11-13, 2005, Hohenheim. Akinnifesi, F.K. , W. Makumba, and F.R. Kwesiga. 2006. Sustainable maize production using gliricidia/maize intercropping in Southtern Malawi. Expl. Agric. (2006), volume 42, pp. 1-17. doi:10.1017/S001447 9706003814 Amaral T.A., C.L.T. Andrade, J.O. Duarte, J.C. Garcia, A. Garcia y Garcia, D.F. Silva, W.M. Albernaz, and G. Hoogenboom. 2015. Nitrogen management strategies for smallholder maize production systems: Yield and profitability variability. International Journal of Plant Production 9(1): 75-98. Aqil, M., I.U. Firmansyah, dan M. Akil. 2007. Pengelolaan air tanaman jagung. p.219-237. In: Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, H. Kasim (eds.). Jagung. Teknik produksi dan pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Areerak, C. La-ied, P. Intanai, and P. Grudloyma. 2010. Optimum nitrogen fertilizer rate of elite drought tolerant hybrid corn. p.514-517. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. Of the 10th Asian Regional Maize Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta. Arora, S., M.S. Hadda, K.R. Sharma, and R. Bhatt. 2010. Soil moisture conservation for improving maize yields through participatory micro-watershivaliks. p.467470. In: P.H. Zaidi, M. Azrai and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional
SUTORO: DETERMINAN AGRONOMIS PRODUKTIVITAS JAGUNG
Maize Workshop.Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta. Assadourian, E. 2007. Vital sign 2007-2008. The World watch Institute, W.W. Norton & Company. New York. p.165. Badan Pusat Statistik. 2014. Jakarta. Bahtiar, S. Pakki, dan Zubachtirodin. 2007. Sistem perbenihan jagung. Hlm. 177-191. Dalam: Sumarno et al. (eds). Jagung. Teknik produksi dan pengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. 508 hlm. Bahtiar, A.F. Fadhly, and S. Panikkai. 2010. Opportunity and challenge in maize farming with limited irrigation.p565-567. In: P.H. Zaidi, M. Azrai and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta. Bermudes, M. and A.P. Mallarino. 2002. Yield and early growth responses to starter fertilizer in no-till corn assessed with precision agriculture technologies. Agron. J. 94: 1024-1033. Ceglar, A., O. Chukaliev, G. Duvellier, and S. Niemeyer. 2013. Water requirements for maize production in Europe under changing climate conditions. Impacts World 2013, International Conference on Climate Change Effects, Potsdam, May 27-30. Djaman, K., S. Irmak, W.R. Rathje, D.L. Martin, and D.E. Eisenhauer. 2013. Maize evapotranpiration, yield productions, biomass, grain yield, harvest index, and yield response factors under full and limited irrigation. American Society of Agricultural and Biological Engineers 56(2): 273-293. Doerge, T. 2007. A new look at corn and soybean rotation options. Crop Insights Vol. 17. No. 2. DuPont Pioneer, Johnston, Iowa. Efendi, R., Sudarsono, S. Ilyas, dan E. Sulistiono. 2009. Seleksi dini toleransi genotipe jagung terhadap kekeringan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(2):63-68. Elmore, R. and L. Abendroth. 2008. Factors needed to maximize corn yield potential in 2008. http://www. extension.iastate.edu/CropNews/ Falcon, W.P. 2008. The Asian maize economy in 2025,p.435-456. In: A. Gulati and D. Dixon (eds.): Maize in Asia, Changing market, and incentives. Academic Foundation, New Delhi. FAO. 2001. Crop water management-maize. Land and Water Development Division (www.fao.org).p3-8.
Faesal and Syafruddin. 2010. Nutrinet management in rainfed lowland rice-maize cropping system of Indonesia. p.557-559. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta. Gentry, F., M.L. Ruffo, and F.E. Below. 2013. Identifying factors controlling the continuous corn yield penalty. Agron. J. 105:295-303. Girsang, S.S., M.P. Yufdy, and Akmal. 2010. Fertilizer recommendation based on the SSNM approach in upland Karo district, North Sumatera. p.540-544. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10 th Asian Regional Maize Workshop.Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation.IAARD. Jakarta. Hadijah, A.D. 2010. Peningkatan produksi jagung melalui penerapan inovasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Bul. IPTEK Tan. Pangan Vol 5(1):64-73. Hermanto, D. Sadikin, dan E. Hikmat. 2009. Deskripsi varietas unggul palawija 1918-2009. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.330 hlm. Hipi, A., B.T. Erawati, M. Azrai, and A. Takdir M. Agronomic characteristics and yield potential of promising maize hybrids in dryland agroecosystems of Western Nusa Tenggara. p. 568-570. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta. Jugenheimer, R.W. 1975. Corn. improvemnet, seed production and uses. John Wiley & Sons. New York. 670p. Kasno, A., D. Setyorini, dan E. Tuberkih. 2006. Pengaruh pemupukan fosfat terhadap produktivitas tanah inceptisol dan ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 8(2): 91-98. Kasno, A. dan Tia Rostaman. 2013. Serapan hara dan peningkatan produktivitas jagung dengan aplikasi pupuk NPK majemuk. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(3):179-186. Liangzheng Xu, J. Niu, C. Li, and F. Zhang. 2009. Growth, nitrogen uptake and flow in maize plants affected by root growth restriction. Journal of Integrative Plant Biology 51(7): 689-697. Li, S.L., Y.B. Zhang, Y.K. Rui, and X.F. Chen. 2012. Nutrient content in maize kernels grown on different types of soil. International J. of. Exp. Botany 81:4143.
45
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 10 NO. 1 2015
Mejaya, M.J., A. Takdir, N. Iriany, and M. Yasin. HG. 2010. Development of improved maize vatieties in Indonesia.p109-112. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation.IAARD. Jakarta. Meng Wang, Yinpeng Li, Wei Ye, Janet F. Bornman, and Xiaodong Yan. 2011. Effects of climate change on maize production, and potential adaptation measures: a case study in Jilin Province, China. Clim. Res. 46: 223-242. Mehdi, D. 2011. Effect of plant density and nitrogen rate on PAR absorbsion and maize yield. American J. Plant Physiol. 6(1):44-49. Murni, A.M., J.M. Pasuquin, and C. Witt. 2010. Performance of site specific nutrient management (SSNM) for maize an upland Lampung. p.536-539. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize
46
Workshop. Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation. IAARD. Jakarta. Musfal, Delivan, dan A. Jamil. 2009. Efisiensi penggunaan pupuk NPK melalui pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskuler pada jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3):165-169. Niehues, B.J., R.E. Lamond, C.B. Godsey, and C.J. Olsen. 2004. Starter N fertilizer management for continuous no-till corn production. Agron. J. 96:14121418. Ofor, M.O., I.I. Ibeawuchi, and A.M. Oparaeke. 2009. Crop protection in production of maize and Guinea corn in Northhern Guinea savanna of Nigeria . Nature and Science 7(11):45-51. Orenstein, O. 2010. Asian maize market opportunities small and large. p.3-4. In: P.H. Zaidi, M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc.Of the 10th Asian Regional Maize Workshop.Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal Foundation.IAARD. Jakarta.