Volume 13, Nomor 2, November 2016
ISSN: 1829-9903
E-ISSN: 2541-6944
DAFTAR ISI Arif Chasanul Muna, dkk. Natural Disasters: Makna Sabar dalam Konteks Ketahanan Korban Banjir, 119-140 Heru Kurniawan, Rekonstruksi dan Reaktualisasi Literasi Ekologi Sosial Islam, 141-150 Muhamad Iqbal, Khalifah Fi Al-’Ard Untuk Mewujudkan Kesadaran Energi, 151-163 Saefullah, Islam dan Tanggung Jawab Ekologi, 164-181 Laelatul Istiqomah, Pengelolaan Sumber Daya Air Minum dalam Kemasan (AMDK), 182-194 Maskhur, Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Keluarga Pelaku Ilegal Loging, 195-207 Nanang Hasan Susanto, Petani Kuningan dalam Pusaran Konflik Kelas, 208-224 Tri Astutik Haryati, Kematangan Beragama Masyarakat Industri Batik, 225-239 M. Muslih Husein, Hadis Kuraib dalam Konsep Rukyatul Hilal, 240-254
FUNGSI EKOLOGIS HUTAN MENURUT SISWA KELUARGA PELAKU ILLEGAL LOGING Maskhur IAIN Pekalongan
[email protected] Abstrak: Tulisan ini mendeskripsikan pemaknaan dan sikap siswa SDN3 Kluwih Bandar Batang keluarga pelaku illegal loging terhadap fungsi hutan. Penelitian ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi, wawancara kepada 12 subjek yang telah ditentukan secara purposif. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan model anailis interaktif dengan mengacu pada teori Milles & Huberman. Hasil riset ini menunjukkan bahwa pemaknaan mereka terhadap hutan menjadi negatif dan sesat. Walaupun pengetahuan para siswa tersebut tentang fungsi ekologis hutan masih positif dan baik. Pemahaman mereka atas fungsi ekologi hutan sangat dipengaruhi oleh perilaku pelaku penebangan hutan, yang mana adalah keluarga dekat mereka sendiri. Walaupun sikap mereka secara kognitif dan afektif sangat positif namun secara konatif sikap mereka sangat negatif. Kata Kunci: Pemaknaan, Sikap Siswa, Illegal loging, Ekologi, Hutan. Abstract: This article describes elementary knowledge and attitudes of students of SDN 3 Kluwih Banda Batang which had relathionship family with illegal loging agent. This used qualitative paradigm with phenomological perspective. Data collected through observation, interviews with 12 subjects who have been determined purposively. The data obtained were analyzed using an interactive model with reference to the theory of Milles and Huberman. The results of this research indicate that they purport to be negative and misguided forest. Hence the students knowledge about the ecological function of the forest is still positive and good. Their understanding of forests ecological functions are influenced by the behavior of agents of deforestation, which are close relatives of their own. Although their attitude is very positive cognitive and affective manner connective but their attitude was very negative. Keywords: understanding, attitudes of students, Illegal logging, Ecologyy, forest.
196
JURNAL PENELITIAN Vol. 13, No. 2, November 2016 Hal. 195-207
PENDAHULUAN Kerusakan hutan pada tahun 2000 saja telah meluas mencapai 22,5 ha dan pada 2004 kerusakan hutan naik mencapai 43 juta ha, sebuah loncatan yang sangat dramatis dua kali lipat. Kerusakan hutan tersebut kemudian diimbangi dengan program reboisasi di wilayah Gunung Kidul Jogjakarta oleh pemerintah pada tahun 2004. Namun hasilnya nihil, masyarakat skeptis terhadap program tersebut (Anisoyomukti, 2013: 125). Anjani, mengutip laporan ICW menyatakan bahwa hingga tahun 2012 terjadi 124 kasus kejahatan hutan yang mengakibatkan kerugian negara hingga 691 triliun. Kejahatan hutan tersebut teridentifikasi ke dalam tiga bentuk perilaku kejahatan yakni pertama; perilaku orang atau sekelompok orang yang hidup di sekitar hutan lindung, kedua; perilaku perusahaan yang melanggar ketentuan perijinan penebangan tanaman hutan, ketiga; orang atau sekelompok orang yang menebang kayu hutan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Kampung Begal Kluwih Bandar Batang sebagai lokasi penelitian memiliki hutan, 13.333,47 Ha (Data KPH Kendal). Di kampung Begal Kluwih Bandar terdapat para pencuri kayu yang tertangkap oleh polisi kemudian dipenjarakan di Rutan Rowobelang Batang. Sebagai contoh, Wgn (nama inisial), Bdl (nama inisial) dan Mnd (nama inisial) mereka bertiga adalah pencuri kayu yang tertangkap tangan sehingga dipenjara pada tahun 2008 (Wawancara, 20 Februari 2015). Di sebelah kampung tersebut juga terdapat satu dukuh yang diberi nama dukuh Begal. Begal (bahasa jawa) artinya adalah perampok atau penyamun. Dan memang secara historis dukuh tersebut merupakan pusat tempat tinggal para perampok, bahkan hingga kini dukuh kampung tersebut masih banyak terdapat pelaku pencurian, utamanya adalah pencuri kayu (Kasmui, wawancara, 20 Februari 2015). Berdasarkan penelitian pendahuluan, di SDN 3 Begal Kluwih Bandar terdapat 12 siswa yang berasal dari keluarga pencuri kayu hutan, baik orang tuanya yang sering mencuri kayu maupun kakak yang masih tinggal serumah dengannya yang sering melakukan illegal loging dari hutan di sekitar area tempat tinggal (Wawancara, Mustofa, 15 Februari 2015). Duabelas (12) siswa tersebut, menurut penelitian pendahuluan, menganggap bahwa pencurian kayu hutan di sekitar kampungnya dianggap sebagai hal yang biasa saja terjadi. Apalagi ketika penebangan kayu hutan tersebut digunakan untuk kepentingan umum bagi masyarakat sekitar, walaupun prosedur penebangannya ilegal. Melihat realitas yang demikian ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pemaknaan dan siswa anak keluarga pelaku illegal loging dan dampak pemaknaan siswa tersebut terhadap sikapnya terhadap hutan di sekitar wilayahnya. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif-fenomenologis, yakni suatu usaha untuk memehami individu atau kehidupan atau pengalaman
Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Pelaku Illegal Loging (Maskhur)
197
seseorang melalui persepsi dan pernyataan mereka. Studi fenomenologis mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu dari berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan fenomena (Creswell, 2014: 105). Untuk mengetahui dan memaknai fenomena yang dialami oleh individu maka peneliti harus mengenal persepsi mereka terhadap sesuatu (Creswell, 2014: 268). Teknik pengumpulan data diperoleh melalui observasi perilaku, penanyaan langsung (wawancara) dan pengungkapan langsung (direct assessment). Penelitian ini akan dilakukan terhadap 12 siswa SDN3 Begal Kluwih Bandar Batang. Penentuan subjek dalam penelitian ini menggunakan prosedur purposive sampling yaitu cara memperoleh subyek riset berdasarkan kriteria dan tujuan yang telah ditentukan, sebagaimana yang dinyatakan Strauss & Corbin, 1990. Sedangkan kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, siswa SDN3 Begal Kluwih Bandar baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, siswa tersebut adalah anggota keluarga yang ayahnya atau dimana salah satu dari keluarga serumahnya sering mencuri kayu hutan atau menjadi oknum pelaku illegal loging, baik sebagai pelaku, pengangkut dengan alat transportasinya, pembeli, penadah, perantara (calo), pemain di balik layar (otak/” dalang”/dom), pemantau/pengawas/pengintai maupun pembantu dalam teknik-teknik tertentu pada proses pencurian kayu. HASIL DAN PEMBAHASAN Kerangka Teoritik
Fungsi Ekologis Hutan
Islam bukan hanya dimaknai sebagai pemberi petunjuk hidup yang hanya bersifat ritualistik dan normatif tetapi Islam juga mengupayakan elaborasi teologis yang mengutamakan keselamatan alam “sejajar” dengan manusia. Paradigma Islam yang ekologis ini sekaligus menjadi kritik dan semangat perlawanan perusak alam dan pemikiran positivistik antroposentris yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya, bukan sebagai bagian dari alam dan kosmos (Anisoyomukti, 2013: 118). Islam dalam pandangannya yang holistik dan komprehensif tentang Tuhan, manusia dan alam menegaskan bahwa semua mahluk dibumi ini adalah abdi Allah. Manusia sebagai mahluk yang terbaik dari mahluk lain adalah kholifah di bumi ini. Setiap manusia wajib memiliki kesadaran bahwa manusia harus menjadi pandega dalam penjagaan harmoni alam dan menyebarkan rahmat di dalamnya. Pola fikir manusia yang beriman kepada Tuhan sang pencipta alam sudah seharusnya tergugah dan tertarik pada teologi ekologis yang berpijak pada filsafat Marxis dan anti kapitalisme. Pendidikan bagi manusia tersebut juga harus berorientasi kepada penjagaan alam. Mengacu kepada teori yang diusung oleh Erick Fromm bahwa pendidikan harus melakukan proses “humanisasi masyarakat teknologis” (Anisoyomukti, 2013: 114). Pendidikan juga harus
198
JURNAL PENELITIAN Vol. 13, No. 2, November 2016 Hal. 195-207
membuahkan kesadaran manusia bahwa masalah lingkungan hidup dan alam, yang merupakan bagian dari realitas sosial, sebaiknya dikembalikan pada aspek relegiusitas karena agama merupakan manifestasi dalam bentuk konkrit dari realitas sosial (Fromm, 1988). Dalam konsep pendidikan berprespektif ekologi, kompetensi yang akan dikembangkan harus memberi jalan keluar bagi peserta didik dalam menghadapi lingkungannya (Mulyasa, 2013: 212).
Terbentuknya Sikap Siswa
Eagly dan Chaiken menyatakan bahwa sikap adalah hasil evaluasi terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif dan konatif. Sebagai hasil evaluasi yang disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kogitif, afektif (emosi) maupun perilaku (Wawan dan Dewi M, 2011: 22). Sedangkan menurut Bem individu akan bersikap positif maupun negatif terhadap objek sikap dibentuk melalui pengamatannya sendiri. Oleh karena itu ada beberapa hal penting dalm konsep sikap yakni pertama; keterkaitan ide dengan emosi yang mengawali terhadap situasi sosial tertentu. Kedua; predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dengan sesuai atau tidak sesuai terhadap objek yang ditentukan. Ketiga; kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi entitas tertentu dengan derajat suka atau tidak suka (Wawan dan Dewi M, 2011: 22). Azwar menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain pengalaman pribadi, orang yang dianggap penting (mencakup orang tua, orang yang statusnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, teman kerja dan lain-lain) dan faktor emosi dalam diri individu (Azwar, 2011: 30).
Teori Desonansi Kognitif (Leon Festinger)
Karena kajian dalam penelitian ini mengenai sikap siswa maka teori Desonansi Kognitif yang digagas oleh Leon Festinger. Teori ini dipandang tepat dijadikan pijakan awal dalam kajian ini. Desonansi dapat diartikan tidak cocoknya antara dua atau tiga elemen kognitif. Kognitif yang dimaksud Festinger mencakup pengetahuan, pandangan, kepercayaan tentang lingkungan, tentang seseorang atau tentang tindakan. Festinger mengatakan bahwa manusia pada dasarnya bersifat konsisten dan sikap akan mempengaruhi tindakan (Azwar, 2011: 45). Menurutnya, sikap individu itu biasanya konsisten satu dengan yang lainnya dan dalam tindakannya juga konsisten satu dengan lainnya (Wawan dan Dewi, 2011: 27). Senada dengan teori desonansi kognitif, teori Afektif-Kognitif Konsistensi dari Rosenberg juga akan dipakai dalam kajian ini. Rosenberg menyatakan bahwa tekanan-tekanan yang diberikan kepada,
Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Pelaku Illegal Loging (Maskhur)
199
individu secara kuat dan terus-menerus akan menjadikan proses inkonsistensi dan akan mempengaruhi terbentuknya sikap (Azwar, 2014: 52).
Teori Rangsang-Balas (Stimulus-Response Theory )
Salah satu teori untuk menerangkan terbentuknya sikap adalah teori Rangsang-Balas. Dalam teori ini Daryl Beum dengan mendasarkan diri pada teori operant Skinner menyatakan bahwa tingkah-laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku tertentu yang dikehendaki masyarakat (Sarwono, 2014: 20). Pemaknaan Siswa terhadap Fungsi Hutan Siswa belum mampu memahami fungsi hutan berdasarkan prinsipprinsip ekologis. Mereka memahami fungsi hutan berdasarkan pengetahuan mereka yang didapatkan dari pengalaman keseharian di wilayahnya. Pengetahuan dan pemahaman mereka juga terbatas pada apa yang mereka lihat secara jelas dan riil misalnya saja mereka memaknai fungsi hutan hanya sebagai tempat tinggal hewan dan binatang liar seperti babi hutan, burung dan binatang-binatang lain. Dari sisi kemanfaatan hutan, mereka juga hanya memaknai bahwa hutan hanya bermanfaat bagi tumbuh dan berkembangnya kayu-kayu jati, kayu saman, kayu sonokeling dan sengon. Dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen dan fungsi saling keterkaitannya antara hutan, hewan dan manusia belum mampu dipahami oleh siswa. Misalnya saja mereka hanya memaknai bahwa pohon-pohon yang ada di hutan hanyalah untuk membuat suasana teduh dan tidak panas saja. Pemahaman dan pemaknaan mereka yang seperti ini memang layak dan pantas karena mereka baru belajar di sekolah dasar yang pengetahuannya tentu masih minimalis. Pemahaman dan pemaknaan siswa di area pelaku illegal loging tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur yang membentuk pemahaman mereka. Salah satu unsur tersebut adalah persepsi mereka terhadap kepemilikan hutan. Persepsi kepemilikan hutan tersebut juga dipengaruhi oleh apa yang disaksikan oleh siswa maupun hang didengarkan olehnya baik baik oleh orang-orang yang menceritakannya dalam pergumulan sehari-hari maupun oleh orang yang memberikan doktrin kepada siswa. Misalnya saja, dalam pemahaman anak bahwa hutan itu milik mandor hutan, milik mantri hutan. Ada sebagian siswa yang memahami bahwa hutan adalah milik Negara, bukan milik perseorangan mantra maupun mandor. Anggapan hutan milik mandor ini disebabkan oleh penglihatan mereka bahwa ketika orang menebang kayu pasti diawasi oleh mandor. Mandor dipahami oleh siswa sebagai bos karena pakaiannya yang rapi dan bersih serta membawa tas dan buku. Orang yang bersih, bersepatu dan membawa tas adalah penampilan seorang bos dalam pandangan anak. Dan bos
200
JURNAL PENELITIAN Vol. 13, No. 2, November 2016 Hal. 195-207
adalah orang yang memilikinya. Lain halnya dengan dengan petugas pekerja penebang kayu yang dikenal oleh siswa dengan tukang glondong. Tukang glondong adalah kuli pekerja kasar yang harus selalu tunduk kepada bosnya (kepada mandornya). Pemahaman seperti ini mengakibatkan pemaknaan pada diri siswa bahwa siapapun boleh menebang kayu jati atau kayu apapun asalkan atas ijin mandor. Demikian pula ketika ada oknum menebang (mencuri) kayu dan oknum tersebut mengumbar kata-kata bahwa perilaku penebangannya sudah disetujui oleh mandornya dan pelaku tersebut membual mengaku sudah akrab dengan mandornya maka siswa memahami bahwa perilaku penebangan yang demikian tersebut benar, bukan termasuk aktivitas pencurian kayu. Dalam kenyataannya maling kayu tersebut sama sekali tidak melibatkan mandor tetapi hanya untuk berdalih dan menutupi perilakunya di tengah masyarakat (S2W1). Dalam pemahaman siswa bahwa penebangan kayu hutan juga hanya didasarkan pada prinsip kemanfaatan kayu saja. Mereka tidak memahami akibat dan resiko dari penebangan kayu tersebut. Misalnya saja, mereka memahami bahwa kayu itu boleh ditebang kapan saja dan kayu yang mana saja asalkan sudah besar atau sudah dimanfaatkan. Dalam kalimat dengan bahasa khas siswa desa tersebut, sebagian siswa menyatakan “ ye kayu jati key a kena ditegor angger wis gede. Ye sing endi bae a. tapai anak sing ora kena nang Tuk Tulung akana kae” (S2). Siswa belum memiliki pemahaman bahwa terdapat daerah-daerah tertentu yang tidak boleh ditebang kayunya karena rawan longsor. Dalam pandangan siswa juga bahwa penggunaan kayu jati maupun kayu lain dari hutan boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum tapi dalam kepentingan keagamaan. Misalnya saja untuk membuat rangka atap masjid dan madrasah diniyah. Tapi jika digunakan untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan agama maka tidak boleh. Misalnya saja untuk bangunan pos kamling, tempat tongkrongan masyarakat (cangkrukan) penggunaan kayu hutan untuk kepentingan yang demikian ini maka tidak boleh. (S3/25). Walaupun pemahaman yang demikian ini salah namun siswa belum memahami bahwa perilaku masyarakat yang menebang kayu hutan secara ilegal itu salah. Mereka masih memahami bahwa kepentingan keagamaan dalam hal ini adalah membangun masjid dapat menghalalkan segala cara termasuk menebang kayu milik negara walau tanpa ijin pemerintah. Unsur lain yang mempengaruhi pemaknaan siswa adalah sistem nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh siswa di daerah tersebut. Aturan adat dan kepercayaan ternyata lebih kuat dibandingkan dengan aturan formal. Misalnya saja dalam pandangan siswa bahwa orang tidak akan pernah berani menebang kayu hutan di sekitar Tuk Tulung dan sawah Silelur karena dua daerah tersebut dianggap keramat dan angker. Sebaik apapun kualitas kayu di sekitar dua daerah tersebut maka orang tidak akan berani mencurinya. Siswa sangat meyakini kepercayaan tersebut bahkan memahami bagaimana cara
Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Pelaku Illegal Loging (Maskhur)
201
mengendalikannya. Dalam pandangan dan keyakinan mereka bahwa cara untuk mengantisipasi kemarahan angkernya hutan tertentu maka harus ada sedekah bumi akni sedekah yang diperuntukkan demi mensyukuri nikmat Tuhan yang muncul dari bumi termasuk nikmat dari hutan. Caranya selain dengan sedekah bumi adalah dengan menyelenggrakan kesenian wayang terutama setelah ada pemilihan kepala desa baru. Kepala desa terpilih juga harus dari orang yang asli daerah tersebut bukan pendatang. Beberapa tempat yang dianggap angker dan keramat yang harus dijaga hutannya adalah daerah Tuk Tulung dan Silelur. Berdasarkan pengakuan siswa bahwa kepercayaan tersebut diperoleh dari para orang tuanya dan sesepuh desa melalui cerita-cerita mereka. Dan dengan demikian, siswa juga aktif mengikuti ritual sedekah bumi tersebut sebagai suatu budaya turun temurun (S 12). Konsep yang dimiliki siswa tentang pemanfaatan dan pemeliharaan hutan juga merupakan bagian dari hal yang membentuk pemaknaan siswa terhadap fungsi hutan. Mereka memiliki konsep tentang pemeliharaan hutan yang sangat erat dikaitkan dengan nilai/kepercayaan lokal mereka yakni dengan kepercayaan mistik di daerahnya. Mereka mempercayai bahwa hutan sesungguhnya ada mahlak halus yang menungguinya. Apalagi hutan yang berada di dekat mata air (belik). Pengalaman siswa dengan apa yang mereka saksikan maupun apa yang mereka dengar dari ceritera temannya mempengaruhi pemaknaan siswa terhadap konsep hutan. Ceritera tantang orang yang mati di sekitar hutan lantaran dia mengambil kayu bakar di hutan menjadikan siswa memaknai bahwa hutan dan sumber air tersebut ada makhluk penunggunya. Karena makhluk penunggunya terganggu dan marah maka makhluk tersebut marah dan menyiksa pencari kayu tersebut sehingga mati. Pernyataan subjek ke 5 berinisial R G mengatakan bahwa “ya pak dulu si Maktub mati lantaran sehabis cari kayu hutan mandi di sumber air (belik) dan beliknya diobok-obok sehingga Maktub mati kena bahaya (mati kalap), matinya perutnya besar pak (busung). Untuk itu, maka konsep pemeliharaan hutan juga harus dikaitkan dengan kepercayaan mistik. Pemeliharaan dan penjagaan hutan harus dilakukan dengan pengruwatan hutan tersebut dengan cara sedekah bumi dan pementasan wayang serta menjauhi tempat-tempat keramat utamanya hutan yang dekat dengan sungai dan sumber mata air atau dikenal dengan istilah tempat kalap. Kepercayaan ini sesungguhnya sangat bermanfaat bagi kelestarian hutan dan antisipasi kelongsoran. Sebab jika pohon-pohon di dekat sungai dan mata air tetap bertahan tidak pernah dicuri berarti tanah tersebut akan terhindar dari longsor. Kepercayaan tersebut cukup efektif untuk penjagaan kelestarian pohon hutan dan tak pernah ada warga sekitar maupun oknum yang berani menebang kayu di sekitar mata air tersebut. Hal demikian ini
202
JURNAL PENELITIAN Vol. 13, No. 2, November 2016 Hal. 195-207
sesungguhnya bagian dari konsep pemeliharaan hutan selain konsep-konsep yang dimiliki oleh sebagian warga dan anak-anak di sekitar hutan tersebut. Konsep pemeliharaan dan penjagaan hutan yang dimiliki siswa nampak masih sangat sederhana namun sesungguhnya cukup berarti dalam dataran pengetahuan dan konsep mereka sekalipun dalam kenyataannya anak-anak masih dapat terbawa arus perilaku illegal loging karena disuruh keluarga atau oleh oknum yang menawarkan hadiah keuntungan finansial. Konsep mereka dalam menjaga hutan antara lain dengan cara pengawasan petugas yang ketat, penjagaan hutan dari hewan-hewan yang dapat merusak tanaman, perilaku penggembalaan yang liar serta perilaku petani yang nakal. (S 3,5 dan 6,7,8,9). Secara teoretis, konsep pemeliharaan yang mereka pahami dekat dengan konsep strategi perlindungan hutan yang dikonsepsikan oleh Sumardi dan Widyastuti yang menyatakan bahwa azas strategi perlindungan hutan dapat dilakukan antara lain dengan cara memahami interaksi hutan dengan agen-agen perusak hutan sehingga dapat mengenal faktor-faktor yang menyebabkan masalah dalam perlindungan hutan serta dapat mengenali penyebab krusakan primer (Sumardi dan Wiyastuti, 2007: 8). Adapun cara pandang para siswa dalam memahami pelaku perilaku illegal loging benar-benar memandang hitam putih. Artinya mereka memahami bahwa yang dianggap pencuri adalah orang yang secara fisik melakukan tindakan tindakan pencurian. Maknanya bahwa otak pencurian atau orang yang mengatur dari “belakang layar” dan yang mengatur strategi pencuriannya tidak dianggap sebagai pencuri dan tidak digolongkan sebagai pelaku perusak hutan maupun pelaku illegal loging. Demikian pula para perantara yakni orang-orang yang menjadi calo dalam proses penjualan kayu hasil curian juga oleh siswa tidak dipahami sebagai pelaku kejahatan. Tak beda dengan kedua oknum (otak pelaku dan calo) pembeli dan penggarap kayu curian juga dipahami oleh siswa bukan sebagai orang yang jahat dan perusak hutan. Para pengrajin kayu hasil curian biasanya sudah bekerja sama antara pelaku pencuri kayu dari hutan (pelaku langsung) dengan calo yang mencari pembeli serta mengkondisikan tukang pengrajin kayu tersebut. Para tukang kayu yang bekerja sama tersebut adakalanya membuat kerajinan sesuai dengan calon pembeli atau membuat barang-barang jadi sesuai arahan calo maupun atas inisiatif tukang itu sendiri. Para tukang yang berdalih hanya bekerja atas perintah calo, di mata para siswa tidak dianggap sebagai pelaku kejahatan hutan. Begitu pula para penadah dengan alasan baha dirinya membeli dan sudah mengorbankan uang maka dirinya tidak mengaku salah. Dalih-dalih seperti itu seringkali dilontarkan oleh para pelaku maupun oleh otak pencurian sehingga dalih-dalih tersebut sering didengarkan oleh para siswa di daerah tempat tinggal mereka. Hal itulah yang menjadikan pemahaman siswa bahwa mereka yang tidak melakukan langsung secara fisik terjun ke hutan untuk mencuri kayu digolongkan bukan sebagai
Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Pelaku Illegal Loging (Maskhur)
203
pencuri ata perusak hutan. Setidaknya pemahaman kognitif yang semacam ini diungkapkan oleh 5 subjek. Ketika mereka diwawancarai tentang bagaimana pendapatku kalau ada orang yang menyuruh mencuri, para pengrajin kayu curian, para calo penawar kayu curian dan pembeli barang jadi hasil kayu curian? Beberapa subjek mengatakan dengan bahasa yang berbeda tetapi mengarah ke arah yang sama yakni boleh. Bahasa yang keluar dari pernyataan mereka adalah boleh, tidak apa-apa, mereka bukan pencuri karena hanya disuruh, mereka, para pembeli bukan pencuri karena membeli dan sudah mengeluarkan uang. (S 2,3,4,5,6: w 1brs 55). Cara pandang mereka dan memaknai perilaku dianggap sebagai perilaku pencurian atau bukan perilaku pencurian bukan hanya karena keterlibatan seseorang secara langsung atau tidaknya dalam pekerjaan pencurian kayu di hutan namun ada kalanya terkait dengan kekerabaan. Jika pelakunya adalah salah satu keluarga besarnya, baik kakak, paman atau saudaranya maka siswa mengatakan bahwa perilaku mereka bukanlah pencurian. Siswa akan mencari dalih dan alasan, baik alasan karena saudaranya hanya disuruh, buruh membawakan atau alasan–alasan lain. Para siswa juga cenderung merahasiakan nama-nama pelaku pencurian tersebut ketika beberapa kali dalam waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda. Dari sejumlah 12 siswa yang diwawancarai hanya terdapat 1 (satu) siswa yakni S 2 (Sryt) yang secara jantan mengakui bahwa pamannya pernah terlibat membeli kayu curian dan kemudian menjualnya lagi ke pembeli berikutnya. Salah satu unsur yang membentuk pemaknaan para siswa di lingkungan keluarga pelaku illegal loging terhadap hutan di sekitarnya adalah pengalaman mereka yang secara nyata di rasakan oleh mereka, baik perasaan yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan. Pengalaman yang mengenakkan misalnya karena siswa diberi uang dari hasil pekerjaan membantu pelaku pencurian tersebut. Ketika mereka merasakan keuntungan dengan mendapatkan upah uang dari pencuri maka siswa cenderung mau ikut membantu aktivitas pencurian tersebut dan rela kehilangan idealismenya tentang pentingnya hutan dan pelestariannya. Secara terus terang seorang siswa menyatakan pernah membantu suruh member tahu oknum agar berangkat bersama dengan salah satu keluarganya. Secara tegas subjek 4 menyatakan bahwa dirinya pernah disuruh salah satu keluarganya untuk memberi tahu seseorang untuk berangkat bersama melakukan pencurian kayu. Secara jelas juga subjek 4 menyatakan dirinya disuruh dan diberi upah uang oleh seorang oknum berinisial Mndr. Siswa tersebut selalu mengiyakan ketika disuruh dan diberi upah, namun ketika yang menyuruh tersebut tidak menepati janji, tidak member upah maka sejak itu pula siswa tersebut tidak mau lagi disuruh oleh oknum terswebut (S4w1 brs 70).
204
JURNAL PENELITIAN Vol. 13, No. 2, November 2016 Hal. 195-207
Secara umum dari subjek yang diwawancarai menyatakan bahwa dirinya pernah disuruh membawakan ranting-ranting kayu curian dari utan di dekat desanya. Mereka memehami bahwa mengambil maupun membawa kayu ranting hanya untuk kayu bakar dari hutan bukanlah perilaku pencurian. Para siswa juga tidak tahu bahwa perilakunya sesungguhnya bisa membahayakan secara hukum karena hal itu bertentangan dengan aturan kehutanan di Indonesia. Di sisi lain, keberanian siswa tersebut karena dilindungi oleh katakata orang yang menyuruhnya yang mengatakan bahwa membawa pulang kayukayu bakar sisa curian itu tidak apa-apa. Doktrin itulah yang membuat siswa semakin berani dan tidak merasa bersalah ketika melakukan aktivitasnya. Keberanian mereka disebabkan faktor yang lain yakni faktor kebersamaan. Artinya, mereka akan semakin berani melakukan perbuatan tersebut ketika dilakukan secara bersama-sama atau minimal ada temannya yang menemani. Perilakunya bukan semata disebabkan oleh suruhan orang tuanya atau saudaranya yang menyuruh membawa kayu bakar dari hutan tetapi sering terjadi karena diajak oleh temannya untuk mencari kayu walaupun keluarganya maupun orang tuanya tidak menyuruh sebelumnya. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa sesungguhnya perilaku mereka berjalan secara berantai, ada kalanya berantai dari orang tuanya, atau dari orang lain yang sudah mengetahui terlebih dahulu tentang informasi adanya sisa kayu-kayu bakar sisa–sisa pencurian. (S-9 kecuali S 4). Pengalaman nyata yang dialami siswa itulah nampaknya yang mewarnai pemahaman dan pemaknaan siswa tersebut mengenai fungsi hutan. Fungsi hutan bagi siswa tersebut kemudian dimaknai sebagai tempat penanaman kayu yang bisa ditebang asalkan seijin mandor ketika kayu sudah besar. Aktivitas membantu perilaku pencurian kayu juga dipahami siswa sebagai perilaku yang biasa terjadi dan tidak melanggar hukum ketika ada orang yang menyuruhnya atau yang melindunginya, baik keluarganya maupun orang lain yang menyuruhnya atau orang yang mengatasnamakan perintah mandor. Para penadah kayu dan pengrajin katu yang membeli dari hasil curian juga tidak dipahami sebagai perilaku illegal loging yang melanggar hukum oleh anak karena dalih pembelian dan pengorbanan. Penebangan kayu dilokasi manapun tanpa mempedulikan tingkat kerawanan tanah longsor juga dipahami boleh oleh siswa selama tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat yakni keyaninan kewalat atau kalap atau kena bahaya oleh mahluk halus penunggunya. Sikap Siswa terhadap Hutan Pembahasan tentang sikap tidak mungkin bisa lepas dari konsep sikap dan objek sikap. Oleh karena itu, pembahasan tentang sikap siswa ini didasarkan pada kedua unsur tersebut. Konsep sikap yang dipakai dalam analisis ini adalah konsep yang bermazhab kepada teori skema triadik dimana
Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Pelaku Illegal Loging (Maskhur)
205
pembahasan tentang sikap tiga ranah yakni kognitif, afektif dan konatif. Sedangkan objek sikap diupayakan secara tepat membahas aspek objek sikap yang luas dan relevan dengan teori-teori ekologi untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sikap siswa terhadap fungsi ekologis hutan. Penggalian sikap subjek dengan teknik pengungkapan langsung ini, subjek diminta untuk mengungkapkan pengetahuan mereka, perasaan (emosi) mereka dan tindakan nyata mereka sehari-hari terkait dengan fungsi ekologis hutan. Masing-masing pernyataan diberi pilihan jawaban yang positif dan negatif. Pilihan pengungkapan siswa diberi kesempatan pada dua angka pada pilihan positif dan dua angka pada pilihan negatif serta satu pilihan angka pada pilihan netral. Pilihan angka-angka tersebut adalah angka 1-2-0-1-2. Artinya, siswa yang memilih angka 1 atau 2 di sebelah kiri adalah dia yang mengungkapkan secara positif atau lebih positif. Siswa yang memilih angka -0adalah siswa yang netral terhadap objek. Sedangkan siswa yang memilih angka 1 atau 2 di sebelah kanan adalah siswa yang mengungkapkan negatif atau lebih negatif. Berdasarkan data yang didapatkan melalui teknik pengungkapan langsung (direct assessment), terhadap 20 item pernyataan pengungkapan langsung pada ranah kognitif, 12 subjek secara keseluruhan memilih angka 2 (dua) pada pernyataan/pengungkapan favorable yang berarti bahwa pengetahuan mereka lebih positif. Namun dalam ranah sikap (emosi) mereka terhadap fungsi ekologis adan penjagaan hutan, ditemukan bahwa afeksi (emosi) mereka negatif. Hal ini dibuktikan dengan pilihan mereka terhadap 9 (sembilan) pengungkapan dalam instrument pengungkapan sikap dimana keseluruhan subjek memilih angka 2 yang menunjukkan emosi mereka sangat negatif. Sedangkan terhadap 13 item pengungkapan konasi, secara keseluruhan 10 subjek memilih angka 2 pada pernyataan unfavorable. Hanya 2 subjek saja yang memilih 1 pada pernyataan favorable. Artinya keberanian mereka 90 % untuk berfikir berani saja dan berfikir untuk bertindak berani demi keberlangsungan hutan di sekitar mereka sangat lemah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa afeksi (emosi, empati, kepeduliannaya) dan konasi subjek terhadap kelestarian hutan sangat negatif walaupun ranah kognisi mereka cukup positif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingginya pengetahuan subjek tidak menjamin terhadap kuatnya afeksi dan konasi mereka sekalipun secara teoretik Rosenberg dalam teori afektif-kognitif konsistensinya menyatakan bahwa jika kognitifnya positif maka afeksi dan konasinya positif juga dan berjalan harmonis. Ketidak harmonisan antara kognisi, afeksi dan konasi subjek ini terjadi barangkali karena pengetahuan mereka (kognisi) tidak secara rutin dipertajam, tidak terbimbing dan tidak diperdalam dan tidak diimplementasikan dalam “latihan nyata”. Pengetahuan tentang urgensi hutan hanya dibelajarkan secara teoretis dan tidak dibelajarkan secara nyata. Strategi pendidikan tidak dilakukan melalui
206
JURNAL PENELITIAN Vol. 13, No. 2, November 2016 Hal. 195-207
basis realitas kehutanan (Problem Base Learning) di sekitarnya sehingga siswa kurang menginsyafi dan meresapkan pengetahuanya dalam kenyataan. Penyebab lain adalah bahwa realitas perilaku illegal loging di sekitar tempat tinggal siswa dan doktrin-doktrin dari keluarganya maupun dari oknum pelaku illegal loging terus dihujamkan di telinga dan fikiran para siswa (subjek). Di samping itu, faktor ketidakberdayaan siswa dalam mensikapi (menentukan emosi dan konasi) nya selalu ada dalam dirinya. Ketidakberdayaan ini disebabkan oleh karena pelaku illegal loging dan perusak hutan itu adalah keluarga besarnya sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya “toleransi” yang sesat. KESIMPULAN Pengalaman (kesaksian), adanya sistem kekerabatan dan keterlibatan subjek dalam perilaku illegal loging di daerahnya yang terjadi secara tak berdaya menjadikan pemaknaan subjek terhadap fungsi ekologis hutan menjadi negatif dan sesat walaupun persepsi, konsep maupun keterampilan strategi kognitif terhadap fungsi ekologis mereka positif. Pemaknaan negatif mereka pada gilirannya berdampak pada sikap mereka. Walaupun sikap mereka secara kognitif dan afektif sangat positif namun secara konasif sikap mereka sangat negatif. DAFTAR PUSTAKA Anisoyomukti, Nur. 2013. Teori-Teori Pendidikan. Jogjakarta: Arruzz Media. Baladewa, Neo. 2011. Laporan Hasil Penelitian Tahun. Creswell, W, John. 2014. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Froom, Erick. 1998. Refolusi Harapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamalik, Omar. 2012. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosdakarya. Mulyasa, Enco. 2009. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung: Rosdakarya. Mulyasa, Enco. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Rosdakarya. Muhtadi, Ali, Makalah disampaikan pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY. Oto, Soemarwoto. 1991. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Omar Hamalik. 2012. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosdakarya. Ta’rifin, Ahmad dkk, 2009. Konversi Keagamaan Mahasiswa STAIN Pekalongan, Jurnal Penelitian vol. 6 nopember.
Fungsi Ekologis Hutan Menurut Siswa Pelaku Illegal Loging (Maskhur)
Omar
207
Hamalik. 2012. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosdakarya. Saifudin Azwar. 2011. Sikap manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Saifudin Azwar. 2011. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarlito Wirawan Sarwono. 2014. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindopersada. Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2007. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wawan, A. & Dewi M. 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Mulia Medika.